KAJIAN KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR MANOKWARI PASKALINA THERESIA LEFAAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR MANOKWARI PASKALINA THERESIA LEFAAN"

Transkripsi

1 KAJIAN KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR MANOKWARI PASKALINA THERESIA LEFAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 i

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Komunitas Lamun di Perairan Pesisir Manokwari adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2008 Paskalina Theresia Lefaan NRP G ii

3 PASKALINA THERESIA LEFAAN. Study of Seagrass Community in Coastal Waters of Manokwari. Under direction of DEDE SETIADI and D. DJOKOSETIYANTO. ABSTRACT Study of seagrass community in coastal waters of Manokwari was done in July-October The locations (sampling points) consisted of seagrass beds that were closed to anthropogenic waste and/or suspended particles sources (i.e. Andai, Wosi, and Briosi) and seagrass beds that were relatively far from those sources (i.e. Rendani and Tj. Mangewa). Seagrass samplings were conducted by line transect and plot methods, environmental parameters were measured. There were eight species collected which included in pioneer group (C. rotundata, H. pinifolia, H. uninervis, H. ovalis, S. isoetifolium) and climax group (C. serrulata, E. acoroides, T. hemprichii). Seagrass species in Andai and Wosi were of pioneer group, while those in other locations were pioneer and climax groups. STORET method, showned that Wosi and Briosi were categorized as heavily polluted, while Andai, Rendani and Tj. Mangewa were medium polluted. In addition, covering percentage, densities, biomass, INP, diversity and dominance indexes, indicated that Andai, Wosi, and Briosi had more stress and were also relatively unstable. This condition was probably related to anthropogenic waste and suspended solid inputs. Suspended particles (inputs) and eutrophication could extremely change in seagrass growth (condition), reduce species composition and area seagrass area (coverings). Keywords: seagrasses, pioneer, climax, anthropogenic, suspended particles. iii

4 RINGKASAN PASKALINA THERESIA LEFAAN. Kajian Komunitas Lamun di Perairan Pesisir Manokwari. Dibimbing oleh DEDE SETIADI dan D. DJOKOSETIYANTO. Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem yang ada di wilayah pesisir yang paling produktif, yang berperan baik secara fisik mau pun biologi bagi ekosistem perairan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji jenis lamun di daerah perairan pesisir Manokwari dari segi struktur komunitas dan parameter fisika-kimia perairan yang berhubungan dengan keberadaan lamun di daerah ini. Penelitian dilakukan di Pantai Andai, Pantai Rendani, Pantai Wosi, Pantai Briosi, dan Tanjung Mangewa, Kabupaten Manokwari, berlangsung dari bulan Juli sampai Oktober Metode pengamatan dan pengambilan sampel lamun menggunakan garis transek, kuadrat dan survei jelajah. Parameter yang diamati, diukur dan dianalisis adalah komposisi jenis lamun, zonasi, frekuensi, kepadatan, luas penutupan, INP, biomassa, indeks keanekragaman, indeks dominasi, indeks kesamaan komunitas, suhu, kecepatan arus, gas oksigen terlarut, ph, amoniak air, nitrat air, fosfat air, C organik sedimen, N total sedimen, P tersedia sedimen, dan ukuran fraksi sedimen. Untuk mengetahui sebaran spasial karakteristik parameter fisika-kimia di antara lokasi penelitian digunakan analisis multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama (PCA), dan untuk mengetahui kualitas perairan digunakan metode STORET. Hasil penelitian diperoleh 8 jenis lamun, yang terdiri dari 2 suku dan 6 marga dengan tipe vegetasi campuran dan pola penyebaran yang mengelompok. Kedelapan jenis lamun tersebut adalah C. rotundata, C. serrulata, H. pinifolia, H. uninervis, S. isoetifolium, E. acoroides, H. ovalis, dan T. hemprichii. Secara umum zonasi lamun di semua lokasi penelitian, batas atas distribusi terletak di antara permukaan rata-rata air laut dan surut terendah. Pada bagian atas daerah intertidal, terutama ditemukan jenis berukuran kecil seperti H. pinifolia, H. uninervis dan H. Ovalis, sedang pada zona intertidal bagian bawah yang masih tergenang pada saat surut terendah, umumnya ditemukan jenis berukuran besar. Frekuensi kehadiran jenis lamun yang tinggi adalah H. pinifolia yang ditemukan pada lokasi Andai dan Wosi sedang tiga lokasi lainnya mempunyai nilai frekuensi kehadiran yang relatif seimbang di antara jenis. Kepadatan rata-rata lamun tertinggi adalah H. pinifolia di lokasi Wosi (3462,182 tegakan/m 2 ) dan terendah C. serrulata dan H. ovalis masing-masing di lokasi Rendani dan Briosi dengan kepadatan yang sama, yaitu 0,364 tegakan/m 2. Sedangkan berdasarkan lokasi kepadatan tertinggi berturut-turut Wosi (3677,092 tegakan/m 2 ), Rendani (1663,637 tegakan/m 2 ), Briosi (1397,94 tegakan/m 2 ), Tj. Mangewa (1376,848 tegakan/m 2 ), dan Andai (358,787 tegakan/m 2 ). Kepadatan jenis lamun di suatu daerah dipengaruhi oleh kondisi abiotisnya seperti kecerahan air, sirkulasi, kedalaman air, substrat, dan kandungan zat hara. Berdasarkan lokasi, Rendani mempunyai luas penutupan lamun yang tinggi (45,339 %) dan terendah pada lokasi Andai (14,189 %). Penutupan lamun yang tinggi umumnya didominasi oleh jenis dengan morfologi daun yang besar. iv

5 Nilai INP tertinggi di lokasi Andai dan Wosi ditemukan pada jenis H. pinifolia (290,006 dan 243,767), sedang di lokasi Rendani dan Tj. Mangewa oleh T. hemprichii (101,725 dan 135,139) dan lokasi Briosi oleh C. rotundata (120,146). Jenis lamun yang sama bisa saja mempunyai nilai INP yang berbeda meskipun selalu terdapat pada semua lokasi penelitian. Biomassa total lamun di lokasi Andai dan Wosi didominasi oleh H. pinifolia sedangkan di lokasi Rendani, Briosi dan Tj. Mangewa didominasi oleh T. hemprichii dan C. rotundata yang berukuran besar. Berdasarkan perbandingan antara biomassa di bagian bawah substrat dan di atas substrat, lokasi Andai mempunyai perbandingan tertinggi (7,831) dan Briosi terendah (2,103). Perbandingan ini umumnya > 1, karena itu biomassa di bagian bawah substrat sering kali mendominasi biomassa total dari komunitas lamun. Kondisi ini menunjukkan bahwa alokasi sebagian besar hasil fotosintesis ditujukan untuk proses lainnya di dalam jaringan di bawah tanah. Indeks keanekaragaman pada lima lokasi penelitian termasuk kategori rendah, yaitu kurang dari 1. Walau pun demikian, di antara lima lokasi, Rendani memiliki nilai yang lebih tinggi (0,644), keadaan ini mengindikasikan bahwa komunitas lamun di lokasi ini berada dalam kondisi yang relatif lebih stabil dibanding empat lokasi lainnya. Lokasi Wosi dan Andai mempunyai nilai indeks keanekaragaman rendah (0,109 dan 0,015) tetapi mempunyai nilai indeks dominasi yang tinggi yaitu masing-masing 0,889 dan 0,989. Kondisi ini menandakan bahwa ada jenis lamun yang dominan pada kedua lokasi tersebut, yaitu H. Pinifolia. Berdasarkan nilai indeks kesamaan komunitas diperoleh dua kelompok lokasi, yaitu Andai dan Wosi dengan tingkat kemiripan 84,587 % dan Rendani, Tanjung Mangewa, dan Briosi dengan tingkat kemiripan 77,319 %. Hasil analisis komponen utama Hasil analisis komponen utama menunjukkan adanya pengelompokkan lokasi berdasarkan kondisi fisika-kimia perairan. Kelompok pertama terdiri dari lokasi Andai, Wosi dan Briosi transek 1 dicirikan oleh tipe sedimen terrigenous, tingkat kekeruhan, amoniak air, nitrat air, P tersedia, C organik sedimen dan persentase fraksi pasir yang tinggi sedangkan kelompok kedua lokasi Rendani, Tj. Mangewa, Briosi transek 1 dan 2 dicirikan oleh tipe sedimen karbonat, persentase fraksi liat, persentase fraksi debu, ph air, DO dan fosfat air yang tinggi. Sedangkan hasil analisis parameter fisika-kimia menggunakan metode STORET diperoleh lokasi Wosi dan Briosi termasuk dalam kriteria tercemar berat, sedangkan tiga lokasi lainnya masih termasuk dalam kategori tercemar sedang. v

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB vi

7 KAJIAN KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR MANOKWARI PASKALINA THERESIA LEFAAN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Biologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 vii

8 viii

9 PRAKATA Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Rahim atas segala kemurahannya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah komunitas lamun, dengan judul Kajian Komunitas Lamun di Perairan Pesisir Manokwari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji jenis lamun di daerah perairan pesisir Manokwari dari segi struktur komunitas dan parameter fisika-kimia perairan yang berkaitan dengan keberadaan lamun di daerah ini. Adapun manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan gambaran mengenai kondisi komunitas lamun dan sebagai salah satu bahan informasi dalam upaya pengelolaan ekosistem lamun di perairan pesisir Manokwari. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, MS. dan Dr. Ir. D. Djokosetiyanto, DEA selaku pembimbing, Dr. Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, M.Sc. selaku penguji luar komisi pada ujian tesis, Ketua Program Studi Biologi IPB beserta staf, Rektor Unipa beserta staf, Ditjen Dikti yang telah memberikan dana BPPS, Depdiknas melalui Program Beasiswa Unggulan P3SWOT, Program Mitra Bahari-Coremap II dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang telah memberikan dana bantuan penulisan tesis. Ungkapan terima kasih pula disampaikan kepada kedua Orang Tua, Suami, dan seluruh keluarga atas dukungan doa, material dan kasih sayangnya. Juga kepada teman-teman yang telah membantu di lapangan, yaitu Agustinus Lebang, S.Pi., Simon P. O. Leatemia, S.Pi., Benyamin Mandosir, S.Pi., Hengki Kaiway, S.Pi., Melianus Yewen, S.Pi., Novalius S. Leatemia, S.P., M.Si., Sonar Mampioper, William Iwanggin, S.Pi., Abraham Rumfabe, dan Paulus. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, karena itu masukan untuk melengkapi dan memperbaiki karya ilmiah ini sangat diharapkan. Akhirnya semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Agustus 2008 Paskalina Theresia Lefaan ix

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 10 April 1971 dari Ayah Petrus Lefaan dan Ibu Agnes Duma. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin dan lulus tahun Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua sejak tahun Pada tahun 2006 penulis diberi kesempatan mengikuti program magister sains di Program Studi Biologi IPB atas bantuan dana dari BPPS. x

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GAMBAR.... xiv DAFTAR LAMPIRAN.. xv I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian. 1.4 Hipotesa II TINJAUAN PUSTAKA Lamun Klasifikasi Lamun Karakteristik Tumbuhan Lamun Habitat dan Distribusi Lamun Fungsi dan Manfaat Padang Lamun Parameter Kualitas Perairan Suhu Salinitas Kecerahan dan Kekeruhan Kecepatan Arus Nilai ph Kadar Gas Oksigen Terlarut Unsur Hara Sedimen Dasar... III METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Metode Pengambilan Data Pengambilan Contoh Lamun Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Perairan Analisa Data Frekuensi dan Frekuensi Relatif Kepadatan dan Kepadatan Relatif Penutupan dan Penutupan Relatif Indeks Nilai Penting (INP) Pola Penyebaran Indeks Keanekaragaman dan Dominasi Jenis Indeks Kesamaan Komunitas Parameter Kualitas Perairan Sebaran Spasial Parameter Fisika-Kimia Perairan xi

12 IV HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lokasi Penelitian Struktur Komunitas Lamun Jenis dan Sebaran Lamun Zonasi Frekuensi, Kepadatan, Penutupan, INP, dan Biomassa Lamun Pola Penyebaran Indeks Keanekaragaman dan Dominasi Indeks Kesamaan Komunitas Parameter Fisika - Kimia Media Air Sedimen Sebaran Spasial Karakteristik Fisika-Kimia Perairan Kualitas Perairan... V SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Sebaran dan komposisi jenis lamun berdasarkan karakteristik substrat (Kiswara 1997) Kekayaan jenis dan sebaran lamun di perairan Indonesia (Dimodifikasi oleh Hutomo 1985 dari Den Hartog 1970, diacu dalam Hutomo et al. 1993) Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Posisi geografis garis transek pada lima lokasi penelitian Kriteria kelas penutupan lamun berdasarkan dominansi penutupan Nilai yang diberikan untuk setiap parameter yang tidak memenuhi nilai baku mutu... 7 Klasifikasi mutu air berdasarkan EPA (Environmental Protection Agency) Jenis dan sebaran lamun pada lokasi penelitian Frekuensi kehadiran jenis lamun pada lokasi penelitian Kepadatan rata-rata (tegakan/m 2 ) jenis lamun pada lokasi penelitian Penutupan jenis lamun (%) pada lokasi penelitian Biomassa jenis lamun (gbk m -2 ) pada lokasi penelitian Biomassa rata-rata (gbk m -2 ) dan perbandingan biomassa bagian atas dan bawah pada lokasi penelitian Indeks keanekaragaman dan dominansi Kriteria kualitas perairan pada lokasi penelitian xiii

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Bagan pendekatan masalah penelitian Struktur morfologi umum tumbuhan lamun (Fortes 1990) Jaring makanan dari suatu ekosistem lamun di Filipina (Fortes 1990) Siklus hidup dari beberapa udang Penaeidae yang tergantung pada padang lamun untuk stadia post larva dan juvenil (Dimodifikasi dari Dall et al. 1990, diacu dalam Tomascik et al. 1997) (A) Rata-rata kecepatan arus pasang pada satu siklus pasang; dan (B) perbandingan kecepatan di dalam suatu bidang lamun (Zostera novazelandica) dengan di luar dan di atasnya pada lokasi Harwood, South Island, Selandia Baru (Heiss et al. 2000) Peta lokasi penelitian Indeks nilai penting (INP) setiap jenis lamun berdasarkan lokasi Diagram pembagian produksi lamun di bawah permukaan dan di atas permukaan sedimen (Pollard & Greenway 1993) Persentase biomassa bagian atas dan bagian bawah Pengaruh eutrofikasi yang berasal dari peningkatan masukan nutrien pada ekosistem lamun (tanda positif dan negatif menunjukkan pengaruhnya) (Duarte 2002) Dendogram tingkat kesamaan komunitas lamun antara lokasi Analisis komponen utama pengelompokkan lokasi penelitian berdasarkan kesamaan parameter fisika-kimia perairan (a) menunjukkan posisi lokasi dan (b) menunjukkan korelasi antar variabel lingkungan xiv

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Lokasi penelitian 67 2 Posisi garis transek pada lokasi penelitian Jenis-jenis lamun yang ditemukan pada lokasi penelitian Profil daerah intertidal dan zonasi lamun Pola penyebaran jenis-jenis lamun pada lokasi penelitian Parameter fisika-kimia perairan lokasi penelitian Tipe tekstur substrat Hasil analisis komponen utama 80 xv

16 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan ekosistem yang unik dan saling terkait antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Wilayah ini juga merupakan ekosistem yang dinamis dan mengalami perubahan yang cepat serta produktif. Salah satu sumberdaya alam wilayah pesisir Indonesia adalah padang lamun. Bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove, terumbu karang dan estuaria maka ekosistem lamun mempunyai peranan yang tidak kalah penting baik secara fisik mau pun biologi (Tulungen et al. 2003; Wimbaningrum et al. 2003). Peranan padang lamun secara fisik di perairan laut dangkal antara lain membantu mengurangi hempasan gelombang dan arus yang menuju pantai, menyaring sedimen yang terlarut dalam air, menstabilkan dasar sedimen, serta penangkap sedimen dan penahan erosi (Fonseca et al. 1982; Kiswara & Winardi 1994). Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai produsen primer (penghasil bahan organik), habitat berbagai satwa laut, substrat bagi banyak biota penempel, tempat pembesaran beberapa jenis biota yang menghabiskan masa dewasanya di habitat ini, tempat perlindungan organisme dan tudung pelindung dari panas matahari yang kuat bagi penghuninya, dan pendaur zat hara (Kiswara & Hutomo 1985; Nybakken 1988; Nienhuis 1993). Indonesia memiliki padang lamun yang luasnya ribuan kilometer persegi dengan 12 jenis lamun dari 58 jenis yang ada di dunia, namun informasi mengenai ekologi dan distribusi lamun sangat sedikit. Hal ini disebabkan karena penelitian mengenai komunitas lamun sangat sedikit (Knox & Miyabara 1984). Ada indikasi luasan padang lamun yang produktif dari tahun ke tahun semakin berkurang akibat berbagai kerusakan yang terjadi pada ekosistem ini (Kawaroe et al. 2005). Padahal menurut Medrizam et al. (2004), ekosistem padang lamun memiliki nilai pelestarian fungsi dan manfaat lainnya di masa mendatang sesuai dengan perkembangan teknologi. Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan jenis hayati yang tinggi baik di daratan maupun perairan. Salah satunya adalah lamun yang tersebar hampir di seluruh perairan Papua yang perlu dilestarikan

17 2 karena dapat memberikan kontribusi pada peningkatan hasil perikanan dan sektor lainnya seperti pariwisata. Ekosistem lamun yang berhubungan erat dengan ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang mempunyai arti penting bagi pengelolaan perairan pantai secara terpadu. Namun penelitian dan informasi mengenai ekosistem ini masih sangat terbatas. Mengingat pentingnya peranan lamun bagi ekosistem di laut dan semakin besarnya tekanan gangguan baik akibat aktivitas manusia mau pun akibat alami, maka perlu diupayakan pelestarian lamun melalui pengelolaan yang baik. 1.2 Perumusan Masalah Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan biota laut dan merupakan salah satu ekosistem bahari yang paling produktif, sehingga mampu mendukung potensi sumberdaya yang tinggi pula (Azkab 1999). Keberadaan ekosistem ini sangat dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi di laut dan daratan. Menyadari pentingnya nilai ekologis lamun sebagai bagian dari rantai makanan dan masih sedikitnya informasi mengenai ekosistem ini, maka penulis ingin mengetahui distribusi dan kondisi struktur komunitas padang lamun di perairan pesisir Manokwari yang dihubungkan dengan karakteristik parameter kualitas perairan. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mencoba mendekati permasalahan tersebut dengan mempelajari interaksi ekologisnya yang dapat digambarkan secara ringkas dalam bagan alir sebagai berikut (Gambar 1).

18 3 Ekosistem Pesisir Ekosistem Lamun Komunitas Lamun Parameter Lingkungan Perairan Fisika: Suhu, kecepatan arus, kekeruhan Kimia: Salinitas, gas oksigen terlarut, ph, nitrat, amoniak, fosfat Substrat: Tipe substrat, C organik, N total, P tersedia Struktur Komunitas Lamun: Jenis dan sebaran, zonasi, frekuensi, kepadatan, penutupan, INP, biomassa, pola penyebaran, indeks keanekaragaman dan dominasi, kesamaan komunitas Keterangan: Gambar 1 Hubungan memengaruhi Hubungan balik Bagan pendekatan masalah penelitian.

19 4 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji jenis lamun di daerah perairan pesisir Manokwari dari segi struktur komunitas (jenis dan sebaran, zonasi, frekuensi, kepadatan, penutupan, indeks nilai penting, biomassa, pola penyebaran, indeks keanekaragaman, indeks dominasi, dan kesamaan komunitas) dan parameter fisika-kimia perairan yang berkaitan dengan keberadaan lamun di daerah ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai komunitas lamun dan sebagai salah satu bahan informasi yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan sumberdaya hayati di wilayah pesisir Manokwari. 1.4 Hipotesa Berdasarkan pada perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Perbedaan tipe sedimen antara lokasi penelitian akan memengaruhi parameter fisika-kimia sedimen seperti fraksi sedimen, C organik, N total, dan P tersedia. 2. Parameter fisika-kimia sedimen yang berbeda akan memengaruhi struktur komunitas lamun.

20 5 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Klasifikasi Lamun Istilah lamun pertama kali diperkenalkan oleh Hutomo (1984), diacu dalam Kiswara dan Azkab (2000) berdasarkan istilah yang dipakai oleh nelayan dan masyarakat di pesisir Teluk Banten untuk seluruh jenis seagrass. Sementara di daerah lain istilah ini hanya dipakai untuk satu jenis seagrass saja. Misalnya penduduk di Pulau Pari, Kepulauan Seribu yang memberi nama samo-samo untuk jenis Enhalus acoroides dan tidak mengenal istilah lain untuk jenis seagrass lainnya. Penduduk di wilayah pesisir dan nelayan di beberapa wilayah Indonesia lainnya seperti di Lombok Selatan, Pulau Selayar, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, dan Teluk Lampung, tidak mengetahui istilah untuk seagrass. Untuk itu, guna membedakan pengertian antara seagrass dengan seaweed untuk rumput laut yang telah dikenal oleh masyarakat luas, maka istilah lamun untuk seagrass dari Teluk Banten diangkat sebagai istilah untuk seagrass dalam bahasa Indonesia. Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki daun, rhizoma dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Berbeda dengan tumbuhan laut lainnya, lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji sehingga dapat mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah yang dihasilkan secara seksual. Sebagian besar lamun berumah dua, artinya dalam satu tumbuhan hanya ada bunga jantan saja atau bunga betina saja. Penyerbukan terjadi di dalam air dengan bantuan arus (Bengen 2001; Nontji 1987; Romimohtarto & Juwana 2001). Jumlah jenis lamun di dunia adalah 58 jenis yang termasuk dalam 4 suku dan 12 marga. Di perairan Indonesia ditemukan 12 jenis lamun yang termasuk dalam 2 suku dan 7 marga (Kuo & McComb 1989; Fortes 1990). Secara lengkap klasifikasi jenis lamun yang terdapat di perairan pantai Indonesia (Gembong 2004; Kuo & McComb 1989), adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Anak divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Bangsa : Helobiae

21 6 Suku Hydrocharitaceae Cymodoceaceae Jenis Enhalus acoroides (L.f.) Royle Halophila ovalis (R. Br.) Hook. F H. decipiens Ostenfeld H. minor (Zoll.) den Hartog H. spinulosa (R. Br.) Aschers. in Neumayer Thalassia hemprichii (Ehrenb.) Aschers Cymodocea rotundata Ehrenb. & Hempr. ex Aschers. C. serrulata (R. Br.) Aschers. & Magnus Halodule pinifolia (Miki) den Hartog H. uninervis (Forsk.) Aschers in Boissier Syringodium isoetifolium (Aschers.) Dandy Thalassodendron ciliatum (Forsk.) den Hartog Karakteristik Tumbuhan Lamun Lamun merupakan tumbuhan vaskuler yang hidup di daerah estuari dan pantai pada semua garis lintang kecuali di kutub (Kennish 1990). Tumbuhan ini mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya hidup di lingkungan laut, yaitu: mampu hidup di media air asin, mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik, serta mampu melaksanakan daur generatif dalam keadaan terbenam (Den Hartog 1977, diacu dalam Hutomo et al. 1993). Bentuk vegetatif lamun memperlihatkan tingkat keseragaman yang tinggi. Hampir semua marga mempunyai rhizoma yang berkembang baik dan bentuk daun yang memanjang (linear) atau berbentuk sangat panjang seperti ikat pinggang (strap shaped), kecuali pada marga Halophila yang umumnya berbentuk bulat telur. Oleh karena itu, lamun umumnya dianggap sebagai kelompok tumbuhan yang homogen (Kiswara & Hutomo 1985). Struktur morfologi umum tumbuhan lamun dapat dilihat pada Gambar 2.

22 Gambar 2 Struktur morfologi umum tumbuhan lamun (Fortes 1990). 7

23 8 Berdasarkan karakter-karakter sistem vegetatif tersebut lamun dapat dikelompokkan dalam 6 kategori (Den Hartog 1967, diacu dalam Kiswara & Hutomo 1985): I. Herba, percabangan monopodial a. Daun panjang, berbentuk pita atau ikat pinggang, mempunyai saluran udara. 1. Parvozosterid, daunnya panjang dan sempit, yang termasuk dalam kelompok ini adalah Halodule dan Zostera submarga Zosterella. 2. Magnozosterid, daunnya panjang atau berbentuk pita tetapi tidak lebar, yang termasuk dalam kelompok ini adalah Zostera submarga Zostera, Cymodocea dan Thalassia. 3. Syringodid, daun bulat seperti lidi dengan ujung runcing (subulate), yang termasuk dalam kelompok ini adalah Syringodium. 4. Enhalid, daun panjang dan kaku seperti kulit (leathery lilier) atau berbentuk ikat pinggang yang kasar (coarse strap shape), yang termasuk dalam kelompok ini adalah Enhalus, Posidonia dan Phyllospadix. b. Daun berbentuk elips, bulat telur, berbentuk tombak (lanceolate) atau panjang, rapuh dan tanpa saluran udara. 5. Halophilid: Halophila. II. Berkayu, percabangan simpodial, daun tumbuh teratur ke kiri dan kanan cabang tegak. 6. Amphibolid: misalnya Amphibolis, Thalassodendron dan Heterozostera. Berdasarkan komposisi jenisnya pertumbuhan padang lamun dapat dikelompokkan atas vegetasi tunggal dan vegetasi campuran (Brouns 1985): a. Vegetasi tunggal, apabila padang lamun hanya disusun oleh satu jenis lamun. Jenis-jenis lamun yang membentuk vegetasi tunggal (monospesifik), antara lain: E. acoroides, C. rotundata, C. serrulata, Halodule pinifolia, H uninervis, Halophila ovalis, H. spinulosa, Thalassia hemprichii, dan Thalassodendron ciliatum. b. Vegetasi campuran, apabila komunitas padang lamun disusun oleh 2 atau lebih jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu habitat. Padang lamun vegetasi campuran umumnya lebih banyak dijumpai daripada vegetasi tunggal.

24 Habitat dan Distribusi Lamun Lamun hidup di perairan dangkal yang agak berpasir sering dijumpai di terumbu karang, umumnya membentuk padang yang luas di dasar laut yang masih dapat di jangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya (Nontji 1987). Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, yaitu pada substrat yang berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang khas lebih sering ditemukan pada substrat lumpur berpasir yang tebal di antara mangrove dan terumbu karang (Bengen 2001). Kelompok tumbuhan ini juga ditemukan tumbuh di rataan terumbu (reef flat) dan rataan pasir di perairan pantai yang dangkal (Knox & Miyabara 1984). Kedalaman air, pengaruh pasang surut dan struktur substrat memengaruhi zona sebagian jenis lamun dan bentuk pertumbuhannya. Lamun tersebar pada sebagian besar perairan pantai di dunia, hanya pada beberapa wilayah saja tumbuh-tumbuhan ini tidak ditemukan. Dari 12 marga yang ada, 7 marga merupakan penghuni perairan tropik dan 5 marga lainnya pada perairan ugahari (Kiswara & Hutomo 1985). Menurut Kennish (1990), distribusi lamun dipengaruhi oleh iklim, salinitas, cahaya, dan kekeruhan. Di perairan Indonesia padang lamun adalah ekosistem yang umum terdapat dan tumbuh di daerah pasang-surut pulau-pulau utama dan pulau-pulau karang. Daerah yang paling penting bagi lamun adalah mintakat pasang-surut (intertidal) bawah dan mintakat subtidal atas, dimana suatu vegetasi yang kompleks dapat terbentuk dari 7-8 jenis yang tumbuh bersama-sama (vegetasi campuran) (Hutomo et al. 1993). Mintakat pasang surut dicirikan oleh vegetasi pioner, yang umumnya didominasi oleh H. ovalis, C. rotundata dan H. pinifolia. Di antara ketiga jenis ini H. ovalis mempunyai sebaran vertikal yang luas yaitu mulai dari mintakat pasang surut sampai kedalaman lebih dari 20 meter, terutama tumbuh pada sedimen yang baru terganggu (Kiswara 1999a). Zonasi sebaran dan karakteristik habitat lamun di perairan pesisir Indonesia dapat dikelompokkan menurut: 1. Genangan air dan kedalaman (daerah dangkal yang selalu terbuka saat air surut, daerah dengan kedalaman sedang atau di daerah pasang surut dan daerah yang dalam dan selalu tergenang air) 2. Kecerahan air tempat tumbuhnya (air yang jernih, keruh dan sangat keruh)

25 10 3. Komposisi jenisnya pertumbuhan padang lamun dapat dikelompokkan atas vegetasi tunggal dan vegetasi campuran (Brouns 1985). 4. Karakteristik tipe substratnya padang lamun yang tumbuh di perairan Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 6 kategori, yaitu: lumpur, lumpurpasiran, pasir, pasir-lumpuran, puing karang, dan batu karang. 5. Asosiasinya dengan ekosistem lain (terumbu karang, mangrove dan muara sungai). Berdasarkan karakteristik habitat dan sebaran lamun maka dapat dikelompokkan jenis lamun yang kosmopolitan (dapat tumbuh di hampir semua kategori habitat), moderat (tumbuh pada kategori habitat antara 50-75%), dan jenis lamun yang terbatas sebarannya (tumbuh pada kategori habitat < 50%) (Tabel 1) (Kiswara 1997). Tabel 1 Sebaran dan komposisi jenis lamun berdasarkan karakteristik substrat (Kiswara 1997) Jenis Genangan dan cadangan Kecerahan air Komposisi jenis Tipe substrat Asosiasi A B C D E F G H I J K L M N O E. acoroides x x - x x x x x x x x x x x x C. rotundata - x - x x x x x x x x x C. serrulata - x - x x x x x x x x - - x x H. decipiens - x x x - - x x x x x - - x x H. minor/ovata x x - x x x x x x x x x H. ovalis - x x x x x x x x x x - x x x H. spinulosa - x x x x x - - x x x H. pinifolia x x - x x x x x x x x - - x x H. uninervis x x - x x x x x x x x - - x x S. isoetifolium - x x x x - x x x x x x T. hemprichii x x x x x x x x x x x x x - x T. ciliatum - - x x - x x x x x - - Keterangan: A = Dangkal E = Keruh I = Lumpur pasiran M = Karang B = Sedang F = Tunggal J = Pasir lumpuran N = Mangrove C = Dalam G = Campuran K = Pasir O = Estuaria D = Jernih H = Lumpur L = Koral x= Ditemukan - = Tidak ditemukan Penelitian sebaran lamun di Indonesia masih sangat langka. Data dan sebaran geografis lamun di Indonesia dapat dijumpai dalam Den Hartog (1970); Soegiarto & Polunin (1981), diacu dalam Hutomo et al. (1993); Kiswara dan Hutomo (1985). Di antara ke-12 jenis lamun, T. ciliatum mempunyai sebaran yang sangat terbatas, umumnya hanya terdapat di Indonesia bagian timur, sebarannya yang paling barat dijumpai di Bali. Dua jenis lainnya sampai saat ini hanya tercatat pada beberapa

26 11 lokasi yang terbatas, yaitu H. spinulosa tercatat di lima lokasi yaitu Kepulauan Riau, Anyer (Pulau Jawa), Baluran Utara (Besuki), Lombok, dan Irian Jaya, serta H. decipiens tercatat di empat lokasi, yaitu Teluk Jakarta, Sulawesi Selatan, Teluk Moti-Moti (Sumbawa), dan Kepulauan Aru (Hutomo et al. 1993; Kiswara 1999a). Kekayaan jenis dan sebaran lamun di perairan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Kekayaan jenis dan sebaran lamun di perairan Indonesia (dimodifikasi oleh Hutomo 1985 dari Den Hartog 1970, diacu dalam Hutomo et al. 1993) Suku Jenis Sebaran Enhalus acoroides Halophila decipiens + Halophila ovalis Hydrocharitaceae Halophila minor Halophila spinulosa Halophila beccarii????? Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Cymodoceaceae Halodule pinifolia Halodule uninervis Syringodium isoetifolium Thalassodendron ciliatum Keterangan: + = ditemukan 2 = Jawa dan Bali - = tidak ditemukan 3 = Sulawesi? = diduga dijunpai, tetapi belum tercatat 4 = Maluku dan Nusa Tenggara 1 = Sumatera 5 = Irian Jaya Fungsi dan Manfaat Padang Lamun Secara ekologis, padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pulau-pulau kecil yaitu sebagai produsen bagi detritus dan penyedia unsur hara; mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini, serta sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari. Di samping itu, padang lamun juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan budidaya berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram, tempat rekreasi dan sumber pupuk hijau.

27 12 Produsen Primer Lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki jaring makanan (Gambar 3) melalui pemangsaan langsung oleh herbivora. Sumber karbon organik lainnya adalah detritus yang terakumulasi pada permukaan sedimen pada padang lamun (Yamamuro et al. 1993) dan selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan avertebrata seperti Gastropoda dan Bivalvia (Rhoads 1974, diacu dalam Pollard & Kogure 1993). Oleh karena itu, ekosistem lamun sering digambarkan sebagai jaring-jaring makanan dengan dasar detritus, dengan material tumbuhan yang mati menyediakan karbon organik untuk dekomposisi. Gambar 3 Jaring makanan dari suatu ekosistem lamun di Filipina (Fortes 1990) Habitat bagi Biota Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan yang epifit pada bagian daun. Organisme yang epifit pada lamun khususnya adalah kelompok alga (Harlin 1980, diacu dalam Azkab 2000) dan beberapa kelompok fauna avertebrata seperti Gastropoda (23 jenis), Amphipoda (23 jenis), Isopoda (4 jenis), dan Polychaeta (18 jenis) (Marsh 1973, diacu dalam Azkab 2000).

28 13 Selain itu padang lamun juga sebagai daerah asuhan dan mencari makan dari berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang (Kikuchi & Peres 1977) serta beberapa jenis biota laut yang terancam punah yaitu Dugong dugong dan Chelonia mydas. Beberapa jenis udang yang bernilai ekonomis (Penaeus esculatus, P. semisulcatus, dan Metapenaeus ensis) juga sangat tergantung dengan keberadaan komunitas lamun untuk makanan dan perlindungan, terutama pada tahap-tahap awal siklus hidupnya (Stapples et al. 1985, diacu dalam Hendrarto et al. 2000) (Gambar 4). Hasil penelitian Hendrarto et al. (2000) menunjukkan bahwa ada hubungan di antara tutupan lamun yang rendah (44,90 %) di Teluk Kartini dan yang tinggi (94,49 %) di Pulau Panjang terhadap kelimpahan udang Penaeidae. Gambar 4 Siklus hidup dari beberapa udang Penaeidae yang tergantung pada padang lamun untuk stadia post larva dan juvenil (Dimodifikasi dari Dall et al. 1990, diacu dalam Tomascik et al. 1997). Perangkap dan Penstabil Dasar Perairan Pertumbuhan daun yang lebat dan sistem perakaran yang padat menjadikan vegetasi lamun dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak serta menyebabkan perairan di sekitarnya tenang (Philips & Menez 1988; Heiss et al. 2000). Hasil penelitian Heiss et al. (2000) menunjukkan bahwa kecepatan arus akan menurun pada bagian dasar bidang lamun Zostera novazelandica dibandingkan pada bagian atas (3,7 kali lebih besar) maupun di luar bidang lamun ini (2,5 kali lebih besar) (Gambar 5). Penurunan kecepatan arus

29 14 menyebabkan partikel-partikel berbutir halus yang tersuspensi akan mengendap, dan mereka kemudian distabilkan oleh sistem akar dan rhizoma dari lamun (Ginsburg & Lowenstam 1958, diacu dalam Heiss et al. 2000). Gambar 5 (A) Rata-rata kecepatan arus pasang pada satu siklus pasang; dan (B) perbandingan kecepatan di dalam suatu bidang lamun (Zostera novazelandica) dengan di luar dan di atasnya pada lokasi Harwood, South Island, Selandia Baru (Heiss et al. 2000). Pendaur Zat Hara Lamun memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara di lingkungan perairan pesisir, khususnya yang dibutuhkan oleh alga epifit. McRoy dan Bersdate (1970), diacu dalam Azkab (2000) menunjukkan bahwa akar Zostera dapat mengambil fosfat dari daun yang telah membusuk pada celah-celah sedimen. Selanjutnya Harlin (1975), diacu dalam Azkab (2000) menunjukkan bahwa fosfat dari daun-daun Phyllospadix dan Zostera dapat bergerak sepanjang helai daun dan masuk ke dalam alga epifitik. Beberapa jenis alga biru hijau yang bersifat epifitik pada Thalassia, memfiksasi nitrogen dan menyebabkan nitrat yang terlarut mendapatkan jalan masuk ke inangnya (Goering & Parker 1972, diacu dalam Azkab 2000).

30 Parameter Kualitas Perairan Parameter kualitas perairan yang penting memengaruhi distribusi dan pertumbuhan padang lamun, yaitu: Suhu Walau secara geografis padang lamun dapat tersebar secara luas, hal ini mengindikasikan bahwa adanya kisaran toleransi yang luas terhadap suhu, tetapi pada kenyataannya jenis lamun di daerah tropik mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu. Menurut Dahuri (2003), suhu optimal yang dibutuhkan lamun berkisar 28 o C - 30 o C. Bagi lamun suhu dapat memengaruhi proses-proses fisiologis seperti fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi. Apabila berada di luar kisaran optimal tersebut maka proses fisiologis dapat menurun dengan tajam Salinitas Jenis lamun memiliki toleransi yang berbeda terhadap salinitas, tetapi sebagian besar memiliki kisaran yang lebar, yaitu antara 10 dan 40 g/kg dengan nilai optimum 35 g/kg (Dahuri 2003). Penurunan salinitas akan menyebabkan laju fotosintesis dan pertumbuhan lamun menurun dan dapat berpengaruh terhadap proses perkecambahan dan pembentukan bunga (McRoy & McMillan 1977, diacu dalam Erina 2006). Menurut Nontji (1987), sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai Kecerahan. dan Kekeruhan Kecerahan perairan ditunjukkan dengan kemampuan cahaya menembus lapisan air sampai pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Distribusi dan kelimpahan lamun juga dibatasi oleh ketersediaan cahaya hal ini dapat dilihat dari sebarannya yang terbatas pada daerah yang masih dapat ditembusi cahaya matahari (Berwick 1983, diacu dalam Erina 2006). Den Hartog (1977), diacu dalam Kiswara dan Utomo (1985), menyatakan bahwa Halophila telah ditemukan sampai kedalaman 90 meter, tetapi batas kedalaman sebagian besar jenis lamun adalah 10 sampai 12 meter.

31 16 Kekeruhan merupakan gambaran sifat optik dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada di dalam perairan tersebut (APHA 1989). Kekeruhan menyebabkan terhalangnya penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air. Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, zat-zat koloid, bahan-bahan organik, dan plankton. Semakin tinggi kekeruhan perairan maka penetrasi cahaya ke dalam air semakin dangkal. Lamun dapat menurunkan kekeruhan air karena mampu meredam atau mengurangi kecepatan arus melalui padang lamun, akibatnya partikel tersuspensi di kolom air akan jatuh ke dasar perairan. Fluktuasi kekeruhan berkaitan erat dengan tipe sedimen, kedalaman air dan keadaan cuaca (Hamid 1996) Kecepatan Arus Arus laut permukaan merupakan pencerminan langsung dari pola angin (Romimohtarto & Juwana 2001). Kecepatan arus ini dapat memengaruhi produktivitas primer padang lamun. Misalnya Thalassia testudinum mempunyai kemampuan maksimal untuk menghasilkan standing crop pada arus sekitar 0,5 m/detik. Beberapa jenis lamun bahkan mampu hidup dengan kecepatan arus berkisar 0-2,0576 m/detik, misalnya H. spinulosa dan H. uninervis pada kisaran 0-1,0288 m/detik (Dahuri 2003; Walker 1989, diacu dalam Irawan 2003). Aliran air akan meningkatkan pengambilan CO 2 dan nutrien ke permukaan melalui modifikasi turbelensi oleh kanopi padang lamun (Hillman et al. 1989) Nilai ph Nilai ph menyatakan intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion hidrogen. Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk mencegah perubahan ph. Perubahan sedikit saja dari ph alami akan memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat menimbulkan perubahan dan ketidak seimbangan kadar CO 2 yang dapat membahayakan kehidupan biota laut. Nilai ph air laut permukaan di Indonesia umumnya bervariasi dari lokasi ke lokasi antara 6,0 dan 8,5. Menurut Beer et al. (1977), diacu dalam Phillip dan Menez (1988), lamun dapat tumbuh dengan baik pada saat ph air laut normal yaitu antara 7,8 dan 8,5 karena pada saat

32 17 tersebut ion bikarbonat yang dibutuhkan untuk proses fotosintasis oleh lamun berada dalam keadaan melimpah Kadar Gas Oksigen terlarut Gas oksigen terlarut adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air dan diperlukan oleh hampir semua bentuk kehidupan akuatik untuk proses pembakaran dalam tubuh. Menurut Hutagalung dan Rozak (1997a), sumber utama oksigen dalam air laut adalah udara melalui proses difusi dan hasil fotosintesis tumbuhan air pada siang hari. Selanjutnya dikatakan bahwa menurunnya kadar oksigen dalam air laut dapat diakibatkan oleh kenaikan suhu air, proses respirasi, adanya lapisan minyak di atas permukaan laut, dan masuknya limbah organik yang mudah terurai ke lingkungan laut. Kadar oksigen terlarut di perairan Indonesia berkisar 4,5-7,0 ppm Unsur Hara Ketersediaan unsur hara di perairan padang lamun dapat berperan sebagai faktor pembatas bagi pertumbuhannya. Entsch et al. (1983) menyatakan bahwa padang lamun yang tumbuh pada sedimen kapur, unsur hara fosfat dapat bertindak sebagai faktor pembatas pertumbuhannya karena kuatnya terikat oleh partikelpartikel sedimennya. Selain itu ketersediaan nitrogen organik di perairan diduga sebagai pembatas pertumbuhannya (Moriarty & Boon 1989, diacu dalam Kiswara 1995), sehingga efisiensi daur nutrisi dalam sistemnya akan menjadi sangat penting untuk memelihara produktivitas primer lamun dan organismeorganisme autotrofnya (Hillman et al. 1989, Patriquin 1992, diacu dalam Zulkifli & Efriyeldi 2003). Unsur hara fosfat, nitrat dan amonium diserap oleh lamun melalui daun dan akarnya, namun Short (1987); Erftemeijer (1994); Muchtar (1994 & 1999), diacu dalam Zulkifli dan Efriyeldi (2003), menyatakan bahwa penyerapan unsur hara melalui daun lamun di daerah tropis sangat kecil bila dibandingkan dengan penyerapan melalui akar. Di daerah tropis kadar unsur hara di air poros lebih besar bila dibandingkan dengan di kolom air dan air permukaan.

33 Sedimen Dasar Padang lamun umumnya dapat hidup pada berbagai tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari endapan lumpur halus sebesar 40% (Dahuri 2003), namun mereka membutuhkan dasar yang lunak agar mudah ditembus oleh akar-akar dan rhizomanya untuk menyokong tumbuhan. Kesesuaian substrat yang paling utama bagi perkembangan dan pertumbuhan lamun ditandai dengan kandungan sedimen yang cukup. Semakin tipis substrat perairan akan menyebabkan lamun tidak stabil, sebaliknya semakin tebal substrat lamun akan tumbuh dengan subur. Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen mencakup 2 hal, yaitu: melindungi tanaman dari arus laut dan tempat mengolah dan memasok nutrien (Berwick 1983, diacu dalam Erina 2006).

34 19 III METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada lima lokasi yang terletak di perairan pesisir Kabupaten Manokwari. Kelima lokasi tersebut adalah Pantai Andai, Pantai Rendani, Pantai Wosi, Pantai Briosi, dan Tanjung Mangewa (Gambar 6). Pelaksanaan penelitian di lapangan dan analisis di laboratorium berlangsung dari bulan Juli sampai Oktober Analisis kandungan amoniak, nitrat dan fosfat air, kandungan N total, C oganik, P tersedia di dalam sedimen dan fraksi sedimen dilakukan di Laboratorium Lingkungan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, sedangkan identifikasi dan analisis lamun dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA Unipa Manokwari. Sumber: Dimodifikasi dari Bakorsurtanal 2006 Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

35 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Keterangan Parameter Satuan Alat/bahan Fisika-Kimia - Suhu o C Termometer In situ - Kecepatan arus m/det. Current meter In situ - Salinitas o / oo Hand refractometer In situ - Gas oksigen terlarut mg/l DO meter In situ - ph ph meter In situ - Kekeruhan NTU Turbidimeter Laboratorium - Nitrat air mg/l Botol sampel Laboratorium - Amoniak air mg/l Botol sampel, Laboratorium - Fosfat air mg/l Botol sampel Laboratorium - C organik sedimen % Pipa paralon, Laboratorium - Total N sedimen % Pipa paralon Laboratorium - P tersedia sedimen ppm Pipa paralon Laboratorium - Fraksi sedimen % Pipa paralon Laboratorium Biologi - Komposisi jenis Kuadrat In situ - Kepadatan tegakan /m 2 Kuadrat In situ - Penutupan % Kuadrat In situ - Biomassa gbk/m 2 Kuadrat, skop, air, oven, In situ timbangan Laboratorium Posisi lokasi sampling Derajat ( o Geographic Position ) (koordinat) System (GPS) In situ 3.3 Metode Pengambilan Data Pengambilan Contoh Lamun Pengambilan contoh lamun menggunakan metode garis transek dan kuadrat. Untuk memudahkan, pengambilan contoh lamun dilakukan pada saat surut terendah. Sebelum pengambilan data, dilakukan pengamatan terhadap kondisi penyebaran lamun untuk menentukan penempatan garis transek. Selanjutnya pada setiap lokasi diletakkan 3 garis transek yang masing-masing tegak lurus garis pantai menuju ke arah tubir. Panjang setiap garis transek 50 m. Jarak antar transek pada lokasi Briosi dan Tj. Mangewa adalah 25 m dan pada lokasi Andai, rendani dan Wosi adalah 50 m. Posisi geografis garis transek dapat dilihat pada Tabel 4 dan letak garis transek dapat dilihat pada Lampiran 2.

36 21 Tabel 4 Posisi geografis garis transek pada lima lokasi penelitian No. Lokasi Transek LS BT 1. Andai I 00 o 55'52,8" 134 o 01'18,1" II 00 o 55'53,3" 134 o 01'16,5" III 00 o 55'54,1" 134 o 01'16,5" 2. Rendani I 00 o 53'46,8'' 134 o 03'07,1" II 00 o 53'49,2'' 134 o 03'08,9" III 00 o 53'48,3'' 134 o 03'05,7" 3. Wosi I 00 o 52'21,0" 134 o 03'00,0" II 00 o 52'21,8" 134 o 02'59,2" III 00 o 52'22,9" 134 o 02'59,0" 4. Briosi I 00 o 52'27,7" 134 o 04'08,4" II 00 o 55'16,9'' 134 o 04'06,9" III 00 o 52'24,0" 134 o 04'06,3" 5 Tanjung Mangewa I 00 o 55'16,1'' 134 o 06'32,7" II 00 o 55'16,9'' 134 o 06'33,2" III 00 o 55'16,8'' 134 o 06'33,4" Pada setiap garis transek diletakkan 11 kuadrat, masing-masing berukuran 50 x 50 cm dengan jarak antar kuadrat 5 m. Setiap kuadrat dibagi lagi menjadi 25 sub kuadrat, masing-masing berukuran 10 x 10 cm. Pengamatan komposisi jenis lamun dan luas penutupan dilakukan pada setiap kuadrat. Identifikasi jenis lamun mengacu pada Phillips dan Menez (1988); Fortes (1990). Selanjutnya sampel lamun yang terdapat di setiap kuadrat diambil, dibersihkan dan dimasukkan ke dalam plastik sampel dan diberi label kemudian dibawa ke laboratorium. Di laboratorium, sampel dicuci kembali untuk menghilangkan substrat dan biota penempel, kemudian lamun yang sudah bersih dipisahkan menurut jenisnya lalu dihitung jumlah tegakannya. Setelah itu sampel lamun dipisahkan lagi menurut bagian tumbuhannya, yaitu bagian di atas substrat (BA) terdiri dari helaian dan pelepah daun dan bagian bawah di bawah substrat (BB) terdiri dari rhizoma dan akar. Bagian-bagian tumbuhan ini selanjutnya dibungkus aluminium foil yang sebelumnya telah diberi label dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60 o C selama 24 jam (Kiswara 1999b), kemudian ditimbang berat keringnya. Selain menggunakan metode garis transek dan kuadrat juga digunakan metode survei jelajah untuk mengumpulkan jenis lain yang kemungkinan ditemukan berada di luar kuadrat.

37 Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Perairan Pengukuran parameter fisika-kimia air dan sedimen dilakukan seperti tertera pada Tabel 3. Pengukuran beberapa parameter seperti suhu; kedalaman; salinitas; ph air; kecepatan arus; dan gas oksigen terlarut (DO) langsung dilakukan di lapangan (in situ), sedangkan penentuan kandungan amoniak, nitrat, fosfat air, C, N, P sedimen dan fraksi sedimen dilakukan di laboratorium. Pengambilan contoh air kolom menggunakan botol sampel yang dilakukan secara acak pada setiap garis transek, masing-masing satu kali pengambilan. Botol sampel dipisahkan atas botol untuk analisis kandungan amoniak dan nitrat (setiap botol berisi 125 ml contoh air laut ditambah 0,1 ml larutan H 2 SO 4 pekat) dan untuk analisis kandungan fosfat (setiap botol berisi 100 ml contoh air laut ditambah 0,05 ml larutan HgCl). Pengambilan contoh sedimen menggunakan pipa paralon berdiameter 2,5 inchi. Contoh sedimen diambil secara acak pada setiap garis transek, masing-masing satu kali pengambilan sampai kedalaman 15 cm, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik. Selanjutnya contoh air laut dan sedimen dikirim ke Laboratorium Lingkungan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk dianalisis. Untuk menentukan tipe tekstur tanah digunakan segitiga tekstur tanah (Brower et al. 1990) dengan membandingkan persentase fraksi sedimen (pasir, debu dan liat). 3.4 Analisa Data Untuk mendapatkan gambaran mengenai struktur komunitas lamun pada kelima lokasi penelitian, maka dilakukan analisis data yang meliputi: Frekuensi dan Frekuensi Relatif Frekuensi jenis (Fi) lamun menggambarkan peluang ditemukannya jenis lamun pada semua kuadrat pengamatan. Perhitungan frekuensi jenis mengacu pada Cox (2002), sebagai berikut: Jumlah kuadrat ditemukannya jenis ke i Frekuensi jenis = Jumlah total kuadrat Frekuensi relatif (FR) adalah perbandingan antara frekuensi jenis lamun ke-i dengan frekuensi seluruh jenis (Cox 2002), sebagai berikut: Frekuensi jenis ke i Frekuensi relatif (%) = x 100 Frekuensi seluruh jenis

38 Kepadatan dan Kepadatan Relatif Kepadatan jenis (Ki) lamun adalah perbandingan antara jumlah tegakan dengan luas wilayah contoh. Kepadatan setiap jenis lamun dihitung dengan menggunakan formula Cox (2002), sebagai berikut: Jumlah tegakan tiap jenis Kepadatan jenis = 2 Luas wilayahcontoh (m ) Kepadatan relatif (KR) adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis lamun ke-i dan jumlah total tegakan seluruh jenis lamun (Cox 2002), sebagai berikut: Jumlah tegakan tiap jenis Kepadatan relatif (%) = x100 Jumlah tegakan seluruh jenis Penutupan dan Penutupan Relatif Penutupan lamun menyatakan luasan area yang tertutupi oleh lamun. Persentase penutupan (Pi) lamun dihitung menggunakan metode Saito and Atobe (English et al. 1970, diacu dalam Kepmen Negara LH No. 200 Thn. 2004), dengan menggunakan rumus: C = ( Mi x fi) f Dimana: C = penutupan jenis lamun i (%), M i = nilai tengah kelas ke-i, F = frekuensi (jumlah sub kuadrat yang memiliki nilai tengah yang sama). Penutupan relatif (PR) adalah perbandingan di antara penutupan individu jenis ke-i (ni) dengan jumlah total penutupan seluruh jenis (n) (Brower et al. 1990). Nilai tengah kelas untuk menghitung persen penutupan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kriteria kelas penutupan lamun berdasarkan dominasi penutupan Kelas Luas area % penutupan area % nilai tengah (M) 5 1/2 - penuh /4-1/ ,5 3 1/8-1/4 12, ,75 2 1/16-1/8 6,25-12,5 9,38 1 <1/16 <6,25 3,13 0 Kosong 0 0 Sumber: Kepmen Negara LH No. 200 Tahun 2004

39 Indeks Nilai Penting (INP) Indeks nilai penting (INP) digunakan untuk mengetahui peranan individu jenis lamun terhadap komunitasnya. Semakin tinggi nilai INP suatu jenis terhadap jenis lainnya maka semakin tinggi pula peranan jenis tersebut terhadap komunitasnya. INP dihitung dengan menggunakan rumus: INP = KR + FR + PR Dimana: KR = kepadatan relatif FR = frekuensi relatif PR = penutupan relatif Pola Penyebaran Pola penyebaran ditentukan berdasarkan perbandingan keragaman dengan nilai rata-rata hitung individu jenis ke-i (Elliott 1973; Ludwig & Reynolds 1988) sebagai berikut: x = Σ x n i S 2 = Σ (x i x) n 1 2 ID = 2 S x Dimana: x = rata-rata hitung individu jenis ke-i, x i = jumlah individu jenis ke-i dalam setiap kuadrat, S 2 = keragaman, n = jumlah kuadrat, ID = indeks penyebaran. Jika: ID < 1 berarti pola penyebaran teratur atau merata, ID = 1 berarti pola penyebaran acak, dan ID > 1 berarti pola penyebaran mengelompok. Karena nilai ID sering menyimpang dari 1 maka untuk mengujinya dipakai uji-t: t hitung = S x 1 2 n 1 Dengan kriteria keputusan : t hitung t 0,05 (n 1) = berarti terima hasil ID = 1, dan t hitung > t 0,05 (n 1) = berarti tolak hasil ID = 1.

40 Indeks Keanekaragaman dan Dominasi Jenis Penentuan indeks keanekaragaman jenis pada penelitian ini menggunakan Indeks Shannon-Wiener berpedoman pada Cox (2002), dengan formula sebagai berikut: H' = pi log pi Dimana: H = indeks keanekaragaman jenis, pi = ni/n, ni = jumlah individu jenis ke-i, N = jumlah total individu seluruh jenis. Agar nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) dapat ditafsirkan maknanya maka digunakan kriteria sebagai berikut: Jika H < 1: keanekeragaman jenis rendah, Jika 1 H < 3: keanekaragaman jenis sedang, Jika H > 3: keanekaragaman jenis tinggi. Sedang untuk mengetahui dominasi suatu jenis lamun dalam komunitasnya menggunakan indeks dominasi mengacu pada Cox (2002), sebagai berikut: ni (ni 1) Cd = N (N 1) Dimana: C d = indeks dominasi, ni = jumlah individu jenis ke-i, N = jumlah total individu seluruh jenis. Nilai indeks dominasi berkisar 0-1. Jika indeks dominasi 0 berarti hampir tidak ada jenis lamun yang mendominasi dan apabila nilai indeks dominasi mendekati 1 berarti ada salah satu jenis yang mendominasi di komunitas tersebut Indeks Kesamaan Komunitas Indeks kesamaan komunitas bertujuan untuk mengetahui tingkat kesamaan komunitas lamun pada semua lokasi penelitian. Penentuan indeks kesamaan komunitas (S) menggunakan pedoman Cox (2002), sebagai berikut: 2 w S (%) = x 100 (A + B) Dimana: A = jumlah INP jenis lamun yang ditemukan pada lokasi A, B = jumlah INP jenis lamun yang ditemukan pada lokasi B, w = jumlah INP terkecil setiap jenis lamun di antara kedua lokasi.

41 Parameter Kualitas Perairan Kualitas air merupakan refleksi dari perubahan lingkungan di sekitarnya pada waktu tertentu sehingga akan memengaruhi kondisi fisik, kimia dan biologi perairan tersebut. Untuk menilai suatu ekosistem perairan apakah sudah tercemar atau kondisinya masih baik sesuai peruntukannya, tidak dapat didasarkan hanya kepada satu parameter, tetapi ditentukan oleh banyak parameter. Hal ini dikarenakan kompleksnya ekosistem perairan itu sendiri dan responnya terhadap perubahan lingkungan serta adanya hubungan antara satu parameter dengan parameter lainnya (Kamal 2006). Untuk mengetahui kondisi perairan di lokasi penelitian maka dilakukan penghitungan indeks kualitas air dengan menggunakan metode STORET (Storage and Retrieval of Water Quality Data System). Metode STORET merupakan salah satu metode untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan. Secara prinsip metode STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air sesuai peruntukkannya. Data terdiri atas parameter-parameter fisika dan kimia yang diambil secara spasial, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Membuat tabel hasil pengukuran dan analisa parameter fisika dan kimia yang mencakup nilai maksimum, nilai minimum dan nilai rerata. 2. Pada tabel yang sama mencantumkan nilai baku mutu parameter fisika dan kimia untuk biota laut berdasarkan Kepmen Negara LH No. 51 Tahun Membandingkan masing-masing nilai (nilai maksimum, nilai minimum dan nilai rata-rata) dengan nilai baku mutu. 4. Memberikan skor terhadap masing-masing parameter tersebut sebagai berikut: a. Skor (0), jika nilai-nilai parameter hasil pengukuran (minimum, maksimum dan rata-rata) memenuhi baku mutu atau masih di bawah nilai baku mutu. b. Skor (-1s/d-9), jika nilai-nilai parameter hasil pengukuran (minimum, maksimum dan rata-rata) telah melebihi nilai baku yang telah ditetapkan dan jumlah contoh air yang diukur kurang dari 10. c. Skor (-2s/d-18), jika nilai-nilai parameter hasil pengukuran (minimum maksimum, dan rata-rata) telah melebihi nilai baku yang telah ditetapkan dan jumlah contoh air yang diukur lebih dari atau sama dengan 10.

42 27 Tabel 6 Nilai yang diberikan untuk setiap parameter yang tidak memenuhi nilai baku mutu Parameter Jumlah Contoh Nilai <10 Minimum Maksimum Rata-rata 10 Minimum Maksimum Rata-rata Fisika Kimia Biologi Sumber: Canter 1977, diacu dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003 d. Setelah masing-masing parameter diberi skor, nilai skor dari seluruh parameter fisika dan kimia dijumlahkan dan dibandingkan dengan nilai berdasarkan EPA (Environmental Protection Agency) seperti tercantum pada Tabel 7. Tabel 7 Klasifikasi mutu air berdasarkan EPA (Environmental Protection Agency) Kelas Jumlah Total Skor Mutu Air A 0 Memenuhi baku mutu B -1 s/d -10 Tercemar ringan C -11 s/d 30 Tercemar sedang D -31 Tercemar berat Sumber: Canter 1977, diacu dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 115 Tahun Sebaran Spasial Parameter Fisika-Kimia Perairan Untuk mengetahui hubungan antara lokasi penelitian dengan parameter fisika-kimia perairan digunakan analisis komponen utama dengan program Statistika 6.0.

43 28 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di Andai merupakan pantai landai dekat dengan muara Sungai Andai (Lampiran 1a dan 2). Walau relatif jauh dari pemukiman yang padat, namun kondisi perairan ini keruh dengan tipe sedimen terrigenous (berasal dari daratan). Kondisi ini diduga berkaitan dengan masukan partikel tersuspensi dan aktivitas penambangan pasir dan kerikil di Sungai Andai. Padang lamun di lokasi Rendani ditemukan pada daerah rataan terumbu yang landai dan cukup luas, juga terdapat ekosistem mangrove dan terumbu karang. Substrat sebagian besar tersusun dari sedimen karbonat yang terdiri dari pasir dan pecahan karang. Lokasi ini relatif jauh dari pemukiman yang padat dan kondisi perairannya relatif jernih. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1b dan 2. Lokasi Wosi merupakan pantai landai yang cukup luas dan terletak dalam teluk kecil, sehingga relatif terlindung (Lampiran 1c dan 2). Lokasi ini dekat dengan pemukiman penduduk yang padat dan pasar. Padang lamun ditemukan dekat muara Sungai Wosi dengan tipe sedimen terrigenous. Kondisi perairannya keruh dan diduga banyak mendapat masukan dari limbah antropogenik. Lokasi Briosi seperti halnya Rendani merupakan daerah rataan terumbu tetapi relatif lebih sempit dengan tipe substrat karbonat. Di bagian ke arah laut terdapat ekosistem terumbu karang yang tidak terlalu luas. Lokasi ini relatif dekat dengan pemukiman penduduk, PLN Manokwari dan jalur transportasi laut. Kondisi lokasi ini relatif keruh dan mengandung minyak, hal ini sangat mungkin berkaitan dengan masukkan limbah antropogenik dari beberapa sungai kecil, limbah minyak dari PLN dan kapal. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1d dan 2. Lokasi Tanjung Mangewa terletak di ujung timur Pulau Mansinam, sehingga relatif jauh dari pemukiman penduduk dan aksesibilitas yang relatif sulit. Padang lamun di daerah ini ditemukan pada daerah rataan terumbu yang sempit di bagian dalam teluk kecil, sehingga relatif terlindung (Lampiran 1e dan 2). Tipe sedimen pada padang lamun ini adalah karbonat (pasir dan pecahan karang). Selain ekosistem lamun, juga ditemukan ekosistem terumbu karang di bagian ke arah laut.

44 Struktur Komunitas Lamun Jenis dan sebaran lamun Selama penelitian ini berhasil diidentifikasi sebanyak 8 jenis lamun yang termasuk dalam 2 suku (Hydrocharitaceae dan Cymodoceaceae) dan 6 marga (Tabel 8, Lampiran 3). Kedelapan jenis lamun itu adalah: Enhalus acoroides (Linnaeus f.) Royle, Halophila ovalis (R. Brown) Hooker f., Thalassia hemprichii (Ehrenberg) Ascherson, Cymodocea rotundata Ehrenberg and Hemprich ex Ascherson, C. serrulata (R. Brown) Ascherson and Magnus, Halodule pinifolia (Miki) den Hartog, Halodule uninervis (Forsskal) Ascherson, dan Syringodium isoetifolium (Ascherson) Dandy. Salah satu jenis, yaitu E. acoroides ditemukan pada suatu bidang kecil di luar petak pengamatan di lokasi Wosi. Selain delapan jenis lamun yang ditemukan dalam penelitian ini, terdapat satu jenis lainnya (Halophila minor) yang dilaporkan dalam penelitian sebelumnya (Talakua 2007) di daerah pesisir Rendani dan Pulau Lemon. Tabel 8 Jenis dan sebaran lamun pada lokasi penelitian No. Takson Lokasi Andai Rendani Wosi Briosi Tj.Mangewa Cymodoceaceae 1. C. rotundata a C. serrulata b - + (+) - (+) 3. H. pinifolia a H. uninervis a S. isoetifolium a Hydrocharitaceae 6. E. acoroides b - - (+) H. ovalis a T. hemprichii b Total Keterangan: - = tidak ditemukan a = jenis pioner + = ditemukan di dalam petak pengamatan b = jenis klimaks (+) = ditemukan di luar petak pengamatan Padang lamun pada lokasi penelitian mempunyai tipe vegetasi campuran. Hemminga dan Duarte (2000), mengemukakan bahwa karakteristik padang lamun pada daerah tropis dan subtropis Indo-Pasifik yaitu memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dan bertipe vegetasi campuran (mixed vegetation). Tipe vegetasi campuran juga ditemukan di beberapa perairan Indonesia lainnya (Erftemeijer & Middelburg 1993; Merryanto 2000; Nasution 2003, Suparno et al. 2005; Erina 2006)

45 30 yang umumnya tersusun dari 4-8 jenis. Walau juga ditemukan tegakan monospesifik, misalnya padang E. acoroides di daerah pesisir Gusung Tallang dengan kondisi lingkungan yang terlindung dan bertipe substrat lumpur (Erftemeijer & Middelburg, 1993). Perbedaan komposisi jenis lamun dan sebaran pada masing-masing lokasi penelitian ini diduga berkaitan dengan kemampuan adaptasi jenis lamun tersebut terhadap kondisi lingkungan yang berbeda. Pada lokasi Andai dan Wosi yang bertipe sedimen terrigenous dan tingkat kekeruhan yang tinggi, jenis lamun yang ditemukan terutama dari jenis pioner, yaitu: H. pinifolia, H. ovalis dan C. rotundata. Kelompok ini relatif berukuran kecil, memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan masa hidup yang lebih singkat (Hillman et al. 1989; Duarte 1991). Jenis pioner merupakan kelompok yang pertama menempati lokasi setelah terjadinya gangguan (Duarte et at. 1997) dan salah satu marga di antaranya, yaitu Halodule bersifat eurybiontic dan membentuk pertumbuhan awal pada substrat yang baru terbentuk atau terganggu (Phillips & Meñez 1988). Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya urutan pergantian jenis dalam proses suksesi selama pemulihan setelah terjadinya gangguan. Percobaan yang dilakukan terhadap habitat yang telah rusak di Karibia (Williams 1987 & Williams 1990, diacu dalam Hemminga & Duarte 2000) menunjukkan bahwa jenis pioner Halodule wrightii akan digantikan oleh Syringodium filiforme dan akhirnya oleh jenis klimaks Thalassia testudinum, selama pemulihan. Walau pun hasil percobaan Duarte et al. (1997) menunjukkan bahwa jenis klimaks yang berukuran besar sensitif terhadap gangguan kekeruhan, namun demikian beberapa di antaranya tahan terhadap kondisi ini, yaitu E. acoroides (Terrados et al. 1997) dan C. serrulata (Duarte et al. 1997). Kemampuan adaptasi kedua jenis ini yang menjelaskan keberadaannya di lokasi Wosi. Pada padang lamun di lokasi Rendani, Tanjung Mangewa dan Briosi yang bertipe sedimen karbonat, selain ditemukan beberapa jenis pioner, juga umumnya didominasi oleh jenis klimaks yang berukuran relatif lebih besar. Kelompok ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat dan masa hidup yang lebih lama (Hillman et al. 1989; Duarte 1991) serta umumnya hidup pada kondisi habitat yang relatif stabil. Walau komposisi jenis di antara ketiga lokasi ini relatif sama, namun beberapa di antaranya yaitu T. hemprichii dan S. isoetifolium yang relatif peka

46 31 terhadap gangguan (kekeruhan dan penutupan oleh sedimen) (Terrados et al. 1997; Vermaat et al. 1997) ditemukan dalam kondisi (kepadatan, persentase tutupan, biomassa dan INP) yang relatif lebih baik pada lokasi dengan perairan yang lebih jernih (Rendani dan Tanjung Mangewa). Phillips & Meñez (1988), mengemukakan bahwa T. hemprichii dominan di daerah rataan terumbu mati dan rataan subtidal pada substrat pasir dan patahan karang yang bersih Zonasi Secara umum pada semua lokasi penelitian, batas atas distribusi lamun terletak di antara permukaan rata-rata air laut dan surut terendah (Lampiran 4). Pada bagian atas daerah intertidal, terutama ditemukan jenis berukuran kecil seperti H. pinifolia, H. uninervis dan H. ovalis. Walau demikian, pada tiga lokasi rataan terumbu intertidal (Rendani, Briosi dan Tj. Mangewa), juga ditemukan jenis berukuran besar (C. rotundata dan T. hemprichii). Pada zona intertidal bagian bawah yang masih tergenang pada saat surut terendah, umumnya ditemukan jenis berukuran besar, termasuk S. isoetifolium dan C. serrulata. Pola zonasi pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4. Sebagian besar jenis lamun tidak mampu menoleransi kondisi kekeringan sehingga tidak dapat tumbuh pada zona intertidal. Walau hanya jenis lamun berukuran kecil dan mampu menahan air di antara daun-daunnya ketika terdedah pada surut terendah yang dapat menempati daerah ini (Koch 2001) namun beberapa jenis yang tidak tahan terhadap kekeringan bisa hidup pada daerah ini, misalnya S. isoetifolium (Björk et al. 1999) yang ditemukan pada kolam-kolam dangkal di daerah rataan terumbu (Phillips & Meñez 1988). Selain itu juga, keberadaan beberapa jenis lamun berukuran besar lainnya di daerah intertidal berkaitan dengan kemampuannya menoleransi kondisi kekeringan. Björk et al. (1999) mengemukakan bahwa kemampuan menoleransi kondisi kekeringan sangat terkait dengan karakter morfologis yang bisa meminimumkan tekanan kekeringan. Hal ini juga telah dibuktikan oleh Tanaka dan Nakaoka (2004) yang menemukan bahwa laju kehilangan air pada bagian daun C. rotundata dan C. serrulata jauh lebih cepat daripada T. hemprichii, dan dengan kondisi yang demikian menunjukkan bahwa kedua jenis ini rentan terhadap tekanan kekeringan. Namun perbedaan toleransi fisiologis ini tidak sesuai dengan variasi yang diamati pada batas atas distribusi atau

47 32 variasi kelangsungan hidup yang diukur pada percobaan transplantasi (Tanaka & Nakaoka 2004), karena jenis C. rotundata juga ditemukan pada daerah intertidal dan mempunyai kelangsungan hidup yang tinggi. Phillips dan Meñez (1988) mengemukakan bahwa jenis yang berukuran kecil, yaitu H. ovalis dan marga Halodule, bersifat eurybiontic dan eurythermic. Keberadaan H. ovalis pada daerah intertidal berkaitan dengan karakteristik daundaunnya yang ditopang oleh petiole tipis dan fleksibel (Lampiran 3) sehingga memungkinkannya rebah pada substrat lembab (Björk et al. 1999). Substrat ini yang selanjutnya menjaga kelembabannya dengan air pori dan rembesan air dari daerah intertidal di bagian atasnya. Selain bentuk daunnya yang tipis dan fleksibel pada Halodule wrightii, menurut Björk et al. (1999) keberadaan daunnya yang padat akan saling menutupi ketika kondisi surut sehingga mengurangi penguapan dari daun-daun yang tidak secara langsung berhubungan dengan substrat pasir yang lembab. Keberadaan kedua jenis ini pada daerah intertidal juga mempunyai keuntungan dari aliran air kaya nutrient dari daerah di bagian atasnya yang merembes melalui pasir. Hal ini berkaitan dengan ukuran kedua jenis yang kecil sehingga memiliki sistem akar yang lebih dangkal dibandingkan jenis yang lebih besar (Duarte et al. 1998), dan kondisi ini akan membatasi suplai nutriennya jika tumbuh lebih jauh dari pantai. Cymodocea rotundata memiliki rhizoma vertikal yang pendek dan pelepah seperti selempang (strap-like sheath) (Lampiran 3). Menurut Tanaka dan Nakaoka (2004), karakteristik morfologi yang demikian memungkinkan bagian-bagian di atas permukaan (daun dan pelepah) berada pada sedimen dan tetap berhubungan dengan substrat yang basah, sehingga terhindar dari kehilangan air ketika padang lamun terdedah. Sedangkan pada C. serrulata, selain toleransi fisiologis daun yang rendah terhadap kekeringan, juga mempunyai rhizoma vertikal yang lebih panjang sehingga akan menjauhi substrat yang basah dan pelepah yang lebih sempit serta tipis yang kurang berfungsi mencegah kehilangan air. Karakteristik morfologis ini tidak menguntungkan pada daerah intertidal, seperti yang ditunjukkan dari hasil percobaan Tanaka dan Nakaoka (2004) yang menemukan kelangsungan hidupnya yang rendah sekali pada daerah intertidal. Karakteristik vertikal rhizoma C. serrulata yang panjang dianggap menguntungkan untuk mendapatkan cahaya dan untuk menghindari terkubur secara fisik pada lokasi-lokasi subtidal yang dalam (Duarte et al. 1997).

48 33 Jenis T. hemprichii memiliki rhizoma vertikal yang lebih panjang dan pelepah yang tidak fleksibel (Lampiran 3) dibanding C. rotundata, sehingga mengalami kondisi terdedah yang lebih lama. Namun, kondisi ini diimbangi oleh toleransi fisiologis daunnya yang lebih besar terhadap kekeringan dan juga memiliki pelepah yang banyak sehingga bisa membantu mencegah kehilangan air dari meristemnya. Selain variasi morfologis antar jenis, juga ditemukan variasi di dalam jenis pada lamun yang hidup di daerah intertidal dan subtidal. Hasil penelitian Tanaka dan Nakaoka (2004) menemukan bahwa pada kondisi alamiah, T. hemprichii dan C. rotundata memiliki rhizoma vertikal dan daun yang lebih pendek pada zona intertidal dibandingkan subtidal. Ukuran rhizoma vertikal yang lebih pendek akan mengurangi kemungkinan meristem terdedah, dan daun yang lebih pendek akan menurunkan kerusakan terhadap organ fotosintesis. Penurunan ukuran pada zona intertidal juga diamati pada H. ovalis, H. uninervis dan Z. capricorni di Australia (Dawson & Dennison 1996, diacu dalam Tanaka & Nakaoka, 2004). Oleh karena itu, penurunan ukuran dianggap sebagai salah satu respon yang umum dari lamun terhadap tekanan kekeringan Frekuensi, Kepadatan, Penutupan, INP, dan Biomassa Lamun Frekuensi kehadiran jenis lamun di semua lokasi penelitian (Tabel 9) menunjukkan bahwa H. pinifolia di lokasi Andai dan Wosi mempunyai nilai yang paling tinggi. Hal ini menggambarkan kemampuan adaptasinya terhadap kondisi yang terganggu. Pada ketiga lokasi lainnya menunjukkan nilai frekuensi kehadiran yang relatif seimbang di antara jenis. Walau demikian, frekeunsi kehadiran yang tinggi ditemukan pada jenis T. hemprichii dan C. rotundata. Tabel 9 Frekuensi kehadiran jenis lamun pada lokasi penelitian No. Jenis Lamun Lokasi Andai Rendani Wosi Briosi Tj. Mangewa 1. C. rotundata 0,697 0,061 0,697 0, C. serrulata 0, H. pinifolia 0,970 0,424 1,000 0,242 0, H. uninervis 0,636 0,061 0, S. isoetifolium 0,121 0,030 0, H. ovalis 0,091 0,545 0,303 0,030 0, T. hemprichii 0,879 0,788 0,879 Total 1,061 3,333 1,364 1,848 2,697

49 34 Pada lokasi yang bertipe sedimen karbonat dan jauh dari sumber limbah antropogenik/kekeruhan (Rendani dan Tanjung Mangewa) ditemukan bahwa kepadatan tegakan tertinggi pada jenis T. hemprichii (617,697 dan 828,000 tegakan/m 2 ), sedangkan pada lokasi Briosi dengan tipe sedimen yang sama, tetapi relatif dekat dengan sumber limbah antropogenik ditemukan C. rotundata memiliki kepadatan tertinggi (570,667 tegakan/m 2 ). Pada lokasi lainnya yang berada dekat muara sungai dengan tipe sedimen terrigenous dan tingkat kekeruhan yang tinggi (Andai dan Wosi), jenis H. pinifolia ditemukan memiliki kepadatan yang lebih tinggi (356,848 dan 3462,182 tegakan/m 2 ). Kepadatan rata-rata setiap jenis lamun dan secara keseluruhan di semua lokasi penelitian disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Kepadatan rata-rata (tegakan/m 2 ) jenis lamun pada lokasi penelitian No. Jenis Lamun Lokasi Andai Rendani Wosi Briosi Tj. Mangewa 1. C. rotundata 486,182 41, , , C. serrulata 0, H. pinifolia 356, , , , ,03 4. H. uninervis 184,364 4,485 46, S. isoetifolium 16,121 5,818 45, H. ovalis 1, , ,455 0,364 11, T. hemprichii 617, , ,000 Total 358, , , , ,848 Kepadatan lamun per satuan luas tergantung pada jenisnya (Nienhuis et al. 1989, diacu dalam Nasution, 2003). Jenis-jenis lamun dengan kepadatan tegakan yang tinggi biasanya juga memiliki frekuensi kehadiran dan penutupan yang tinggi (Tabel 9 dan Tabel 11). Menurut Terrados et al. (1997), umumnya kontribusi jenis lamun (misalnya kepadatan atau biomassa) cenderung didominasi oleh satu atau beberapa jenis saja dalam suatu komunitas. Hal ini diduga sangat terkait dengan kemampuan adaptasi suatu jenis lamun terhadap kondisi lingkungan setempat. Brouns dan Heijs (1991), diacu dalam Tanaka dan Kayanne (2007), menemukan bahwa T. hemprichii dan C. rotundata adalah jenis lamun yang dominan pada lokasi-lokasi penelitiannya di Indonesia dan Papua New Guinea. Di antara kedua jenis ini, T. hemprichii lebih sensitif terhadap kekeruhan

50 35 (Terrados et al. 1997; Vermaat et al. 1997), sehingga umumnya ditemukan dominan pada daerah rataan terumbu yang mati dan rataan subtidal dengan substrat pasir dan pecahan karang, juga pada substrat campuran lumpur dan pasir serta lumpur lunak (Phillips & Meñez 1988). Jenis lainnya yang termasuk kelompok pioner, yaitu C. rotundata paling umum pada batas surut terendah, pada daerah rataan yang berpasir karbonat, walau juga melimpah pada rataan lumpur yang luas pada daerah-daerah yang terlindung, juga pada daerah estuari dan sekitar mangrove (Phillips & Meñez 1988). Sedangkan kepadatan tegakan H. pinifolia yang tinggi pada lokasi Andai dan Wosi berkaitan dengan kemampuan adaptasinya pada kondisi substrat yang terganggu (Phillips & Meñez 1988). Berdasarkan lokasi penelitian kepadatan tertinggi ditemukan di Wosi (3677,092 tegakan/m 2 ) dan terendah di Andai (358,787 tegakan/m 2 ). Kepadatan lamun di lokasi Wosi dan Andai terutama disusun oleh jenis pioner berukuran kecil yang relatif tahan terhadap kondisi perairan tersebut. Zieman (1987), diacu dalam Hemminga dan Duarte (2000), mengemukakan bahwa kepadatan lamun di suatu daerah dipengaruhi oleh kondisi abiotisnya seperti kecerahan air, sirkulasi, kedalaman air, substrat, dan kandungan zat hara. Penutupan lamun menggambarkan tingkat penutupan ruang oleh setiap jenis lamun dan/atau komunitas lamun. Informasi mengenai penutupan sangat penting artinya untuk mengetahui kondisi ekosistem secara keseluruhan serta sejauh mana komunitas lamun mampu memanfaatkan luasan yang ada (Erina 2006). Penutupan jenis lamun di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Penutupan jenis lamun (%) pada lokasi penelitian No. Jenis Lamun Lokasi Andai Rendani Wosi Briosi Tj. Mangewa 1. C. rotundata 15,001 1,365 9,626 7, C. serrulata 0, H. pinifolia 14,064 1,501 14,046 3,251 7, H. uninervis 4,876 0,375 2, S. isoetifolium 1,250 0,500 5, H. ovalis 0,125 5,251 3,003 0,125 0, T. hemprichii 17,334 9,251 17,222 Total 14,189 45,339 18,414 23,129 40,601

51 36 Tingkat penutupan sangat berkaitan dengan kepadatan dan juga morfologi (ukuran) jenis lamun penyusunnya. Penutupan lamun yang tinggi umumnya didominasi oleh jenis dengan morfologi daun yang besar (C. rotundata dan T. hemprichii) kecuali padang lamun di Andai dan Wosi yang terutama disusun oleh jenis yang berukuran kecil. Berdasarkan lokasi, Rendani mempunyai luas penutupan yang tinggi (45,339 %) dan terendah pada lokasi Andai (14,189 %). Walau demikian, nilai persentase penutupan lamun pada lokasi Rendani dan Tanjung Mangewa termasuk dalam kondisi kurang kaya/kurang sehat (30-59,9 %), sedangkan ketiga lokasi lainnya termasuk dalam kondisi miskin ( 29,9 %) (Kepmen Negara LH No. 200 Tahun 2004). Indeks nilai penting (INP) merupakan besaran yang digunakan untuk melihat seberapa penting peranan suatu jenis lamun dalam komunitasnya. Nilai INP dipengaruhi oleh nilai frekuensi, kepadatan dan penutupan jenis lamun. Komposisi, frekuensi, kepadatan, dan penutupan jenis lamun di setiap lokasi pengamatan berbeda-beda dan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Oleh karena itu jenis lamun yang sama bisa saja mempunyai nilai INP yang berbeda meskipun selalu terdapat pada semua lokasi penelitian. Nilai INP setiap jenis lamun pada semua lokasi penelitian disajikan pada (Gambar 7). Pada lokasi Andai dan Wosi, nilai INP tertinggi ditemukan pada jenis H. pinifolia, sedangkan tiga lokasi lainnya yang bertipe sedimen karbonat ditemukan pada jenis T. hemprichii dan C. rotundata. Nilai INP yang tinggi sangat terkait dengan kondisi perairan dan tipe substrat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa jenis pioner lebih dominan pada daerah Andai dan Wosi yang terletak dekat muara dan memiliki tipe sedimen terrigenous, dengan tingkat kekeruhan dan/atau masukkan limbah antropogenik yang tinggi. Demikian juga dengan lokasi Briosi yang bertipe sedimen karbonat, yang terutama didominasi oleh jenis pioner lainnya (C. rotundata). Kondisi sebaliknya nampak pada padang lamun lainnya yang memiliki tipe sedimen karbonat dan relatif jernih, terutama didominasi oleh jenis klimaks yaitu T. hemprichii.

52 37 Ket..: A. Andai Cr = C. rotundata B. Rendani Cs = C. serrulata C. Wosi Ho = H. ovalis D. Briosi Hp = H. pinifolia E. Tj. Mangewa Hu = H. uninervis Si = S. isoetofolium Th = T. hemprichii Gambar 7 Indeks nilai penting (INP) setiap jenis lamun berdasarkan lokasi.

53 38 Biomassa pada setiap lokasi penelitian (Tabel 12), umumnya didominasi oleh jenis yang berukuran besar dan/atau memiliki kepadatan yang tinggi, misalnya C. rotundata dan T. hemprichii, kecuali pada lokasi Andai dan Wosi yang didominasi oleh jenis lamun pioner berukuran kecil dengan kepadatan yang tinggi. Walau kekayaan jenis lamun di daerah tropis tinggi, namun biasanya terdapat satu jenis yang dominan dalam hubungannya dengan biomassa (Hemminga & Duarte 2000), karena hal ini berkaitan dengan morfologi dan laju pertumbuhan yang berbeda di antara jenis lamun (Vermaat et al. 1995). Tabel 12 Biomassa jenis lamun (gbk/m 2 ) pada lokasi penelitian Lokasi Jenis Andai Rendani Wosi Briosi Tj. Mangewa C. rotundata - 41,251 40,978 26,309 45,841 C. serrulata - 0, H. pinifolia 5,943 3,745 92,322 2,415 23,725 H. uninervis - 7,022-0,121 3,855 S. isoetifolium - 0,424-0,078 7,918 H. ovalis 0,012 1,896 1,618 0,001 0,221 T. hemprichii - 181,316-67, ,364 Total 5, , ,918 96, ,922 Keterangan : gbk = gram berat kering Variabilitas pada biomassa berkaitan dengan variabel lingkungan, yaitu kondisi cahaya, suhu, karakteristik sedimen dan ketersediaan nutrien setempat (misalnya, Dennison & Alberte 1985; Orth & Moore 1986; Short 1987; Giesen et al. 1990; Pedersen & Borum 1993; Hemminga et al. 1994a; Lalumière et al. 1994). Kondisi lingkungan yang sesuai akan menjadikan pertumbuhan lamun menjadi cepat, sehingga memiliki kepadatan dan biomassa yang tinggi. Berdasarkan lokasi, biomassa yang tinggi ditunjukkan oleh lokasi Tanjung Mangewa dan Rendani, sedangkan paling rendah di lokasi Andai. Hal ini sangat berkaitan dengan kepadatan yang tinggi dari jenis berukuran besar (T. hemprichii dan C. rotundata) pada kedua lokasi ini, dan sebaliknya pada lokasi Andai didominasi oleh jenis berukuran kecil (H. pinifolia).

54 39 Walau produksi lamun terbagi menjadi jaringan di bawah permukaan dan di atas permukaan sedimen (Gambar 8), namun biomassa di bagian bawah (rhizoma dan akar) sering kali mendominasi biomassa total dari komunitas lamun. Alokasi biomassa di bagian bawah pada semua lokasi antara 67,77 % dan 88,68 % (Gambar 9) dengan nilai perbandingan biomassa lamun bagian bawah terhadap bagian atas pada semua lokasi antara 2,103 dan 7,831 (Tabel 13). Berdasarkan hasil beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa perbandingan biomassa bagian bawah terhadap bagian atas secara umum >1 (Stevenson 1988; Hillman et al. 1989). Kondisi ini menunjukkan bahwa alokasi sebagian besar hasil fotosintesis ditujukan pada proses-proses lainnya di dalam jaringan di bawah tanah. Gambar 8 Diagram pembagian produksi lamun di bawah permukaan dan di atas permukaan sedimen (Pollard & Greenway 1993) Pada lokasi bertipe substrat karbonat, perbandingan yang tinggi di antara biomassa kedua bagian lamun ini ditemukan pada lokasi Tj. Mangewa dan Rendani, sedangkan pada lokasi Briosi yang relatif dekat dengan sumber masukan antropogenik dan tingkat kekeruhan yang tinggi, nilai perbandingan kedua bagian ini lebih rendah. Nilai perbandingan pada dua lokasi yang bertipe substrat terrigenous dan keruh menunjukkan bahwa Andai lebih tinggi dari Wosi.

55 40 Tabel 13 Biomassa rata-rata (gbk/m 2 ) dan perbandingan biomassa bagian atas dan bawah pada lokasi penelitian Parameter Andai Rendani Wosi Briosi Tj. Mangewa Biomassa daun dan pelepah (BA) 0,674 70,618 26,723 31,070 71,373 Biomassa rhizoma dan akar (BB) 5, , ,196 65, ,549 BB:BA 7,831 2,348 4,049 2,103 6,186 Keterangan: BA = biomassa atas BB = biomassa bawah Gambar 9 Persentase biomassa bagian atas dan bagian bawah. Pengambilan nutrien pada lamun bisa dilakukan melalui daun maupun sistem akarnya (Short & McRoy 1984; Hemminga et al. 1991; Pérez-Lloréns et al. 1993), oleh karena itu perbandingan di antara biomassa atas dan bawah bisa menjadi indikasi ketersediaan cahaya dan/atau nutrien pada suatu perairan. Pada daerah tropis yang jernih dan umumnya dengan konsentrasi nutrien terlarut dalam air laut yang lebih rendah dibandingkan dalam sedimen, pengambilan nutrien dari sedimen oleh akar menjadi lebih penting (Short 1987), walau hal ini tergantung pada perbandingan di antara luas permukaan daun dan permukaan akar yang aktif menyerap (Smith et al. 1979; Caffrey & Kemp 1992). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan perbandingan biomassa bagian bawah terhadap bagian atas permukaan merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap kondisi kolom air yang jernih dan atau rendah nutriennya. Hasil fotosintesis S. isoetifolium pada sedimen karbonat di Dravuni dialokasikan pada peningkatan daerah permukaan akar untuk menyerap nutrien (Yamamuro et al. 1993). Demikian pula hasil penelitian Brouns (1987), diacu dalam Pollard (1999), menemukan bahwa S. isoetifolium mengatur sebagian besar produksinya ke dalam

56 41 jaringan di dalam substrat (69 %). Proporsi biomassa T. hemprichii yang dialokasikan pada bagian bawah menurun secara nyata sebagai respon terhadap penambahan nutrien kolom air (Agawin 1995, diacu dalam Agawin et al. 1996). Hasil percobaan Agawin et al. (1996) melalui fertilisasi pada kolom air terhadap jenis E. acoroides, T. hemprichii dan C. rotundata di Cape Bolinao (Filipina Barat Laut) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan biomassa daun secara nyata Pola Penyebaran Hasil perhitungan diperoleh nilai indeks penyebaran untuk semua jenis lamun >1(Lampiran 5). Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa pola penyebaran dari setiap jenis lamun adalah mengelompok. Bentuk penyebaran yang demikian sangat terkait erat dengan bentuk pertumbuhan vegetatifnya yaitu melalui rhizoma. Odum (1993), menyatakan bahwa tipe penyebaran berkelompok pada tumbuhan dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan yakni respon individu terhadap kondisi lokal, perubahanperubahan cuaca harian atau musiman, dan proses reproduksi. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa pola penyebaran ini akan meningkatkan kompetisi di antara individu untuk memeroleh nutrien dan ruang, namun mempunyai mortalitas yang rendah selama kondisi lingkungan yang memburuk atau adanya predasi Indeks Keanekaragaman dan Dominasi Indeks keanekaragaman suatu komunitas dapat menggambarkan tingkat kestabilannya. Nilai indeks ini dipengaruhi oleh jumlah individu setiap jenis dan jumlah total individu seluruh jenis. Indeks keanekaragaman pada lima lokasi penelitian termasuk kategori rendah, yaitu kurang dari 1 (Tabel 14). Walau demikian, di antara lima lokasi, Rendani memiliki nilai yang lebih tinggi, sedangkan Wosi dan Andai paling rendah. Tabel 14 Indeks keanekaragaman dan dominasi Lokasi Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Dominasi (Cd) Andai 0,015 0,989 Rendani 0,644 0,262 Wosi 0,109 0,889 Briosi 0,490 0,338 Tanjung Mangewa 0,499 0,421

57 42 Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman komunitas lamun umumnya rendah. Nilai indeks ini berkisar di antara 0,708 dan 1,2 (Pantai Bama Jawa Timur, Wimbaningrum et al. 2003), namun bisa mencapai 1,56 (di wilayah Indo-Pasifik, Duarte 2000, diacu dalam Hemminga & Duarte, 2000). Walau indeks keanekaragaman akan meningkat dengan jumlah jenis dalam komunitas (Krebs 1989), namun karena ketidakmerataan kontribusi jenis lamun terhadap komunitas, maka nilainya akan rendah (Hemminga & Duarte 2000), sekalipun pada padang lamun di daerah tropis yang umumnya banyak jenis. Nilai indeks keanekaragaman yang lebih tinggi pada lokasi Rendani, mengindikasikan lokasi ini relatif stabil dan keberadaan jenis lamun lebih berimbang dalam komunitasnya dibandingkan lokasi yang lain. Pada lokasi Wosi dan Andai menunjukkan kondisi kebalikan, menandakan keanekaragaman jenis yang rendah, kurang meratanya individu setiap jenis lamun penyusun komunitas dan juga suatu tanda adanya jenis yang dominan. Keadaan ini dapat dilihat dari tingginya nilai indeks dominasi pada lokasi Andai dan Wosi. Hal ini diduga berkaitan dengan keberadaan kedua lokasi ini dalam kondisi yang terganggu, sehingga hanya beberapa jenis saja yang mampu hidup dan berkembang dengan baik (yaitu H. pinifolia). Phillips dan Meñez (1988) mengemukakan bahwa jenis H. pinifolia bersifat eurybiontic dan merupakan jenis pioner pada susbstrat yang baru terbentuk atau tergganggu. Berdasarkan komposisi jenis, penutupan, kepadatan, biomassa, INP, indeks keanekaragaman, dan indeks dominasi mengindikasikan bahwa lokasi Andai, Wosi dan Briosi banyak mengalami tekanan yang diduga diakibatkan oleh masukan antropogenik dan padatan tersuspensi. Masukan partikel tersuspensi dan penyuburan yang berlebihan (eutrofikasi) akan menyebabkan perubahan yang drastis dari kondisi pertumbuhan lamun, penurunan komposisi jenis dan luas penutupan padang lamun (Orth & Moore 1983; Cambridge & McComb 1984; Onuf 1994). Selain itu juga, kondisi ini bisa mengakibatkan perubahan komposisi lamun menjadi jenis pioner yang mampu hidup pada kondisi yang terganggu, dan juga penurunan pada kepadatan, persentase penutupan dan biomassanya.hal yang sama juga telah dilaporkan pada beberapa penelitian sebelumnya di Chesapeake Bay (Stevenson et al. 1993).

58 43 Mekanisme penurunan kondisi vegetasi lamun melalui mekanisme eutrofikasi ditunjukkan pada Gambar 10. Masukkan nutrien yang berlebihan selanjutnya akan meningkatkan kelimpahan plankton dan alga epifit, sehingga mengakibatkan peningkatan naungan yang menghambat proses fotosintesis dan kondisi yang anoksik bagi lamun. Beberapa penelitian sebelumnya, di Denmark (Borum 1985), Australia (Silberstein et al. 1986), Meksiko (Flores-Verdugo et al. 1988), Chesapeake Bay, USA (Kemp et al. 1983), dan Texas, USA (Dunton 1990) mengindikasikan bahwa peningkatan ketersediaan nutrien kolom air secara khusus mengakibatkan tingkatan epifit yang lebih tinggi pada daun lamun. Peningkatan pada epifit akan menurunkan jumlah cahaya yang diterima jaringan daun lamun (Sand-Jensen 1977; Twilley et al. 1995; Silberstein et al. 1986) dan selanjutnya menyebabkan penurunan densitas tegakan, indeks luas daun, dan biomassa (Tomasko & Lapointe 1991). Gambar 10 Pengaruh eutrofikasi yang berasal dari peningkatan masukan nutrien pada ekosistem lamun (Tanda positif dan negatif menunjukkan pengaruhnya) (Duarte 2002) Indeks Kesamaan Komunitas Nilai indeks kesamaan komunitas antar lokasi disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan nilai indeks kesamaan komunitas diperoleh dua kelompok lokasi, yaitu Andai dan Wosi, serta Rendani, Tanjung Mangewa, dan Briosi dengan tingkat kemiripan komunitas lamun masing-masing 84,587 % dan 77,319 %. Dua komunitas atau lebih dikatakan mirip apabila mempunyai nilai indeks kesamaan komunitas 75%.

59 44 Gambar 11 Dendogram tingkat kesamaan komunitas lamun antara lokasi. 4.3 Parame ter Fisika-Kimia Media Parameter fisika-kimia perairan memiliki peran sangat penting dalam kehidupan seluruh biota yang ada di lingkungan laut, tak terkecuali tumbuhan lamun. Nilai-nilai parameter fisika-kimia perairan yang meliputi kolom air dan sedimen pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran Air Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses metabolisme dan penyebaran organisme. Proses metabolisme hanya akan berfungsi di dalam kisaran suhu yang relatif sempit, biasanya dari 0 o C sampai 40 o C, tetapi ada juga organisme yang mampu mentolerir suhu sedikit di atas dan

60 45 sedikit di bawah batas tersebut, misalnya ganggang hijau-biru yang hidup pada suhu 85 o C di sumber air panas. Kebanyakan organisme laut mengalami adaptasi untuk hidup dan berkembang biak dalam kisaran suhu yang lebih sempit daripada kisaran total 0-40 o C (Nybakken 1988). Suhu permukaan perairan pada lima lokasi penelitian berfluktuasi tidak terlalu besar yakni dari 29,9 o C sampai 31,3 o C, dengan suhu terendah di lokasi Andai dan Rendani dan suhu tertinggi di Tanjung Mangewa (Lampiran 6). Bila dibandingkan dengan nilai pada baku mutu maka nilai suhu tertinggi telah melebihi baku mutu (> 30 o C), namun dari hasil beberapa penelitian dilaporkan bahwa suhu dari 25 o C sampai 35 o C merupakan kisaran suhu yang optimum untuk fotosintesis lamun (Berwick 1983, diacu dalam Erina 2006; Bulthuis 1987). Jadi suhu perairan di lima lokasi selama penelitian berada pada kisaran yang optimum bagi kehidupan lamun. Kecepatan arus Padang lamun umumnya ditemukan pada perairan dangkal sepanjang pesisir pantai dan estuari yang memiliki dinamika secara fisik dan terkena arus pasang surut dan gelombang (Koch & Gust 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa arus pada semua lokasi penelitian relatif sama (Lampiran 6) dan termasuk dalam kategori sangat lambat sampai sedang (0,10-0,50 m/det.) (Macon 1974, diacu dalam Welch 1980). Kondisi arus yang demikian mengindikasikan bahwa padang lamun ini berada pada lokasi yang relatif terlindung. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan jenis memerlukan kondisi yang relatif terlindung untuk tumbuh dengan subur, misalnya di bagian antara pantai dan terumbu karang (Fonseca 1996, diacu dalam Koch et al. 2006; Fonseca & Bell 1998). Koch (2001) mengemukakan bahwa untuk mendukung pertumbuhan dan distribusi padang lamun yang sehat diperlukan kecepatan arus yang sedang (di antara 0,05 dan 1,00 m/det.). Walau demikian, pergerakan air akan diperlukan untuk kelangsungan pertumbuhan lamun, diantaranya berkaitan dalam peningkatan laju pengambilan amonium dan nitrat (Thomas & Cornelisen 2003; Cornelisen & Thomas 2006) dan transpor karbon serta nutrien dari kolom air ke permukaan daun (Koch 1994, diacu dalam Koch & Gust 1999).

61 46 Jika kecepatan arus berada di atas atau di bawah kisaran kristis ini, mekanisme timbal balik menjadi tidak seimbang dan bisa membawa pada penurunan atau bahkan kehilangan secara keseluruhan vegetasi ini. Pada kondisi arus dan gelombang yang terlalu lemah bisa mengganggu keberadaan lamun, karena akan mengakibatkan penumpukan bahan organik (Roblee et al. 1991) dan peningkatan konsentrasi sulfida dalam sedimen (Koch 1999, diacu dalam Koch 2001). Konsentrasi bahan organik dan sulfida yang terlalu berlebihan dalam sedimen akan meningkatkan kebutuhan oksigen oleh akar karena kondisi sedimen yang anoksik, dan apabila tidak tercukupi karena ketersediaan cahaya yang rendah, maka akan menyebabkan kematian tumbuhan (Roblee et al. 1991). Sebaliknya, pada daerah dengan arus dan gelombang kuat, akan mengakibatkan kerusakan yang disebabkan transpor sedimen yang berlebihan sehingga tidak memungkinkan anakan untuk tumbuh atau menutupi tegakan padang lamun (Koch 2001). Sebagai akibatnya, daerah yang terkena arus atau gelombang yang kuat akan cenderung memiliki bidang lamun yang kecil atau tanpa vegetasi (Fonseca & Bell 1998; Hovel et al. 2002; Krause-Jensen et al. 2003). Kekeruhan Nilai kekeruhan di lokasi penelitian berkisar 0,00-24,63 NTU (Lampiran 6). Nilai kekeruhan yang tinggi ditemukan pada lokasi Andai, Wosi dan Briosi, sedangkan dua lokasi lainnya (Rendani dan Tanjung Mangewa) relatif lebih jernih. Tingginya nilai kekeruhan di beberapa lokasi penelitian, diduga perairan tersebut banyak menerima masukan bahan tersuspensi yang berasal dari sedimentasi dan limbah antropogenik. Jika dibandingkan dengan baku mutu, maka nilai kekeruhan di semua lokasi masih berada di bawah nilai baku mutu ( 30 NTU). Namun demikian kekeruhan yang tinggi dapat mengurangi ketersediaan cahaya matahari yang masuk ke dalam kolom air (Vermaat et al. 1997, diacu dalam Bach et al. 1998) sehingga akan menurunkan efisiensi fotosintesis oleh lamun (Gacia et al. 2005), meningkatkan penutupan vegetasi oleh sedimentasi (Duarte et al. 1997) dan juga mungkin mengubah kondisi sedimen (Terrados et al. 1997).

62 47 Nilai ph Nilai ph sangat penting sebagai parameter kualitas air karena akan mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Nilai ph merupakan suatu ekspresi dari konsentrasi ion hidrogen (H + ) di dalam air. Variasi ph umumnya bisa disebabkan oleh proses-proses kimia dan biologis yang dapat menghasilkan senyawasenyawa yang bersifat asam maupun alkalis. Selain itu, variasi ph juga bisa disebabkan masukkan limbah yang bersifat asam atau alkalis dari daratan. Nilai ph yang diperoleh dari semua lokasi penelitian berkisar 5,61-8,78 (Lampiran 6). Kepmen Negara LH No. 51 Tahun 2004 menetapkan nilai ambang batas ph 7-8,5 ± 0,2 untuk biota laut dan terlihat bahwa lokasi Wosi dan Briosi berada di luar kisaran ini. Di antara kelima lokasi penelitian, nilai ph yang rendah ditemukan pada lokasi Wosi dan Briosi (Transek 1). Kondisi ini diduga sangat terkait dengan masukan bahan organik dari luar. Keberadaan bahan organik yang tinggi akan meningkatkan aktivitas mikrobiologi dalam penguraiannya, sehingga selanjutnya bisa mengakibatkan kondisi kolom air yang anoksik. Selain itu juga, pada beberapa lokasi lainnya menunjukkan nilai ph yang lebih tinggi. Kondisi ph yang tinggi diduga terkait dengan proses fotosintesis. Phillips dan Meñez (1988) menyatakan bahwa nilai ph di perairan tropis bisa meningkat hingga 9,4 selama proses fotosintesis berlangsung. Sedang tiga lokasi lainnya cenderung memiliki kisaran nilai ph yang normal. Salinitas Distribusi salinitas di perairan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain penguapan, curah hujan, pola sirkulasi air, dan kandungan air tawar yang masuk ke perairan laut. Air tawar yang masuk ke perairan laut dapat berasal dari curah hujan atau aliran permukaan dan aliran sungai (Officer 1976, diacu dalam Erina 2006). Dalam penelitian ini, nilai salinitas pada semua lokasi penelitian relatif sama (Lampiran 6), kecuali di Rendani yang lebih rendah. Kondisi salinitas yang lebih rendah di Rendani berkaitan dengan terjadinya hujan pada waktu pengambilan sampel. Pada lokasi Andai dan Wosi, walau keduanya relatif dekat dengan muara sungai, namun salinitasnya relatif sama dengan lokasi lainnya yang jauh dari sumber air tawar. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan pola aliran air tawar dari sungai tidak mengarah ke lokasi pengambilan sampel atau kondisi debit air sungai relatif

63 48 rendah karena curah hujan rendah serta hari hujan sedikit ( mm dan 7-19 hari, BMG Manokwari) sehingga masukkan air tawar tidak menjangkau lokasi ini. Sebagian besar jenis lamun dapat mentoleransi kisaran salinitas yang lebar. Dahuri (2003) mengemukakan bahwa lamun hidup pada kisaran salinitas di antara 10 dan 40 o / oo, Thalassia ditemukan hidup pada salinitas antara 3,5 dan 60 o / oo walau dengan waktu toleransi yang singkat (Zieman 1986), sedangkan jenis Halodule mampu hidup pada salinitas di atas 72 o / oo (Phillips & Meñez 1988). Walau demikian, vegetasi ini memiliki kondisi optimum untuk pertumbuhannya, yaitu 35 o / oo (Dahuri 2003) dan pada kelompok Thalassia dilaporkan dari salinitas 24 sampai 35 o / oo (Zieman 1986). Apabila berada di luar batas toleransinya, pertumbuhan lamun akan menurun dan bila melebihi 45 o / oo bisa terjadi mortalitas (Quammen & Onuf 1993). Gas oksigen terlarut Gas oksigen terlarut dalam air laut dapat berasal dari hasil difusi dari udara (proses aerasi) dan hasil proses fotosintesis di siang hari (Hutagalung & Rozak 1997a). Nilai kandungan gas oksigen terlarut dari lima lokasi penelitian berkisar 4,69-8,95 mg/l (Lampiran 6). Secara umum kisaran nilai tersebut berada di atas baku mutu untuk biota laut, yaitu > 5 mg/l. Berfluktuasinya kandungan gas oksigen terlarut di perairan lokasi penelitian diduga disebabkan pemakaian oleh lamun untuk respirasi akar dan rhizoma, respirasi biota air lainnya dan pemakaian oleh bakteri nitrifikasi dalam proses siklus nitrogen di padang lamun. Selain itu faktor-faktor yang dapat menurunkan kandungan oksigen dalam air laut adalah kenaikan suhu, adanya lapisan minyak di atas permukaan laut, dan masuknya limbah organik yang mudah terurai ke lingkungan laut (Hutagalung & Rozak 1997a). Amoniak, Nitrat dan Fosfat Hasil analisis kandungan amoniak dalam kolom air di semua lokasi penelitian menunjukkan konsentrasi yang rendah, yaitu berkisar 0,003-0,266 mg/l (Lampiran 6). Konsentrasi ini masih lebih rendah dari baku mutu untuk biota laut yang telah ditetapkan oleh Kepmen Negara LH No. 51 Tahun 2004 yaitu sebesar 0,3 mg/l. Namun demikian, pada lokasi Andai, Wosi dan Briosi ditemukan kandungan amoniak dalam kolom air lebih tinggi dibandingkan dua lokasi

64 49 lainnya. Kandungan amoniak yang tinggi pada ketiga lokasi ini diduga merupakan hasil degradasi bahan organik, karena banyak mendapat pengaruh antropogenik dan masukan melalui aliran sungai. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hutagalung dan Rozak (1997b), bahwa peningkatan kandungan amoniak di laut berkaitan erat dengan masuknya bahan organik yang mudah diurai. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa selain berasal dari hasil degradasi bahan organik, senyawa ini merupakan hasil reduksi nitrat atau nitrit oleh mikroorganisme. Kandungan nitrat kolom air pada semua lokasi antara 0,000 dan 0,401 mg/l (Lampiran 6). Pada lokasi Rendani dan Tj. Mangewa menunjukkan kandungan nitrat yang lebih rendah, namun demikian konsentrasi senyawa ini telah melewati baku mutu untuk biota laut (0,008 mg/l) (Kepmen Negara LH No. 51 Tahun 2004) pada semua lokasi penelitian. Edward (1996), mengemukakan bahwa sumber utama nitrat di alam berasal dari dekomposisi senyawa-senyawa organik. Konsentrasi fosfat pada semua lokasi relatif sama, yaitu antara 0,103 dan 0,354 mg/l (Lampiran 6), namun kondisi ini sudah melampaui baku mutu untuk biota laut (0,015 mg/l) (Kepmen Negara LH No. 51 Tahun 2004). Keberadaan fosfat yang tinggi, selain berasal dari masukan limbah antropogenik dan ekosistem di sekitarnya (misalnya mangrove), juga terkait dengan pelepasan senyawa ini dari matrik karbonat karena kandungan bahan organik yang tinggi dalam sedimen (Morse et al. 1985, diacu dalam Ferdie & Fourqurean 2004). Kondisi ini terlihat pada lokasi Rendani dan Tj. Mangewa dengan konsentrasi fosfat kolom air yang relatif lebih tinggi. Walau pada lingkungan laut terdapat berbagai tingkat konsentrasi amoniak, nitrat dan fosfat dalam kolom air maupun dalam air pori sedimen (Hemminga & Duarte 2000), namun Hemminga (1998), diacu dalam Hemminga dan Duarte (2000), mengemukakan bahwa konsentrasi rata-rata amonium, nitrat, dan fosfat pada kolom air di padang lamun berturut-turut yaitu 3,1 µm (0,056 mg/l), 2,7 µm (0,167 mg/l), dan 0,35 µm (0,033 mg/l). Berdasarkan konsentrasi amoniak, nitrat dan fosfat, diduga telah terjadi eutrofikasi, terutama pada lokasi Wosi dan Briosi.

65 Sedimen Distribusi Ukuran Partikel dan Tipe Sedimen Hasil pengamatan terhadap sedimen pada lokasi padang lamun ditemukan dua tipe berdasarkan asalnya. Padang lamun yang ditemukan dekat dengan muara sungai (Andai dan Wosi) menempati tipe sedimen terrigenous (berasal dari daratan), sedang padang lamun di Rendani, Briosi, dan Tanjung Mangewa yang terletak di rataan terumbu bertipe sedimen karbonat yang berasal dari hancuran karang. Berdasarkan hasil analisis terhadap ukuran partikel substrat diketahui bahwa pada masing-masing lokasi penelitian didominasi oleh fraksi sedimen ukuran pasir (59,03-99,85 %), dan sisanya berupa fraksi debu dan liat (0,15-40,97%). Hasil pengelompokkan ditemukan tiga tipe tekstur sedimen, yaitu pasir, pasir berlempung, dan lempung berpasir. Tipe tekstur substrat pada kelima lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 7. Koch (2001), mengemukakan bahwa rata-rata kandungan debu dan liat pada padang lamun yang sehat di perairan estuari dan laut < 20%. Distribusi ukuran partikel sedimen sangat memengaruhi pertukaran air pori dengan kolom air di bagian atasnya. Pada distribusi ukuran partikel yang cenderung ke arah debu dan liat akan menyebabkan pertukaran air pori dengan kolom air menjadi rendah (Huettel & Gust 1992) sehingga konsentrasi nutrien dan fitotoksin seperti sulfida dalam sedimen akan meningkat (Kenworthy et al. 1982, diacu dalam Koch, 2001; Holmer & Nielsen 1997). Kondisi yang sebaliknya akan dialami oleh lamun jika menempati tipe sedimen pasir kasar (Huettel & Gust 1992). Pada lingkungan yang bersalinitas lebih tinggi, nampaknya tumbuhan akuatik memerlukan sedimen yang lebih beroksigen (lebih kasar) dan juga tingkat sulfida dapat berkurang melalui laju pertukaran air pori yang lebih tinggi (Koch 2001). Karbon Organik, Nitrogen Total dan Fosfat Tersedia Hasil analisis karbon organik sedimen dari semua lokasi penelitian berkisar 0,20-3,90 % (Lampiran 6). Berdasarkan hasil ini terlihat bahwa lokasi Briosi dan Wosi mempunyai kandungan karbon organik yang tinggi dibanding

66 51 lokasi lainnya. Sumber karbon organik dalam sedimen di padang lamun bisa berasal dari hasil dekomposisi bagian lamun yang telah mati, namun juga bisa berasal dari masukkan dari daratan melalui aliran sungai. Sumber karbon organik yang tinggi pada kedua lokasi ini selain berasal dari serasah lamun yang terperangkap dalam sistem rhizoma dan akarnya, diduga juga berasal dari masukan limbah antropogenik melalui Sungai Wosi dan beberapa sungai kecil di sekitar Teluk Sawaibu serta pemukiman yang relatif padat di sekitarnya. Lokasi Rendani, walau letaknya relatif jauh dari sumber limbah antropogenik, kandungan karbon organik yang cukup tinggi dalam sedimen diduga disebabkan masukkan dari ekosistem mangrove yang berada di sekitarnya. Media air pasang dan surut, di antara ekosistem mangrove dan ekosistem pesisir lainnya akan memungkinkan transpor material di antaranya. Mekanisme transpor material organik dari mangrove ke sistem perairan sekitarnya, termasuk ekosistem lamun, telah diteliti sebelumnya dengan menggunakan metode perangkap serasah (Flores-Verdugo et al. 1987; Slim et al. 1996) maupun isotop karbon ( 13 C) (Hemminga et al. 1994b). Hasil penelitian Flores-Verdugo et al. (1987) memperkirakan bahwa 90 % dari total serasah mangrove ditransportasikan ke perairan laguna, namun demikian Slim et al. (1996) menunjukkan bahwa 78 % dari seluruh serasah mangrove ditransportasikan sebagai material yang terapung, sedangkan sisanya (22 %) ditansportasikan melalui pasang surut sebagai material yang tenggelam dan tersuspensi. Material yang tenggelam dan tersuspensi ini secara keseluruhan atau sebagian akan terperangkap dalam ekosistem lamun. Berdasarkan data isotop karbon dari sedimen dan lamun yang dilaporkan oleh Hemminga et. al. (1994b) menunjukkan bahwa serasah mangrove terutama terperangkap dalam zona lamun dalam jarak kurang dari 2 km. Kandungan N total dan P tersedia dalam sedimen pada lokasi penelitian secara berturut-turut berkisar 0,04-0,80% dan 2-23 ppm (Lampiran 6). Keberadaan kandungan nitrogen dalam sedimen yang tinggi umumnya ditemukan pada lokasi bertipe sedimen karbonat (Tj. Mangewa dan Briosi), kecuali Wosi (tipe sedimen terrigenous) yang bisa disebabkan oleh masukkan

67 52 limbah antropogenik. Kondisi yang sebaliknya ditemukan pada kandungan P tersedia dalam sedimen, yaitu pada lokasi Andai dan Wosi yang terletak dekat muara dan bertipe sedimen terrigenous, kandungannya dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan tiga lokasi lainnya yang bertipe karbonat. Keberadaan nitrogen dan fosfor dalam sedimen bisa ditemukan dalam berbagai bentuk. Nitrogen dalam sedimen bisa ditemukan dalam air pori (NH 4, NO 3, NO 2 dan nitrogen organik terlarut), diserap menjadi partikel (NH 4 yang dapat diubah), tersedia dalam mineral-mineral debu, dan terkandung dalam bahan organik (Entsch et al. 1983; D Elia & Wiebe 1990). Demikian juga dengan Fosfor dalam sedimen yang bisa ditemukan dalam air pori (fosfor reaktif terlarut, atau PO 4 ), terserap menjadi partikel, terikat dengan kalsium, diserap oleh besi oksihidroksida dan aluminium oksida, dan terkandung dalam bahan organik (Balzer 1986, diacu dalam Erftemeijer & Middelburg 1993). Selain berasal dari luar ekosistem lamun, ketersediaan nutrien terlarut dalam air pori sedimen merupakan hasil dari regenerasi. Kuantitas yang besar dari nitrogen dan fosfor akan diregenerasikan melalui proses dekomposisi bahan organik. Walau penyerapan ammonium dan fosfat dapat terjadi pada semua tipe sedimen, tetapi penyerapan yang besar dan keseimbangan di antara penyerapan dan pelepasan kembali bisa berbeda di antara sedimen dari komposisi mineral yang berbeda. Short (1987) menunjukkan suatu perbedaan yang penting pada siklus nutrien di antara sedimen terrigenous dan karbonat, terutama pada dinamika fosfor yang sangat berbeda. Sedimen berkalsium karbonat diketahui memiliki kapasitas yang tinggi dalam penyerapan fosfat (De Kanel & Morse 1978; Kitano et al. 1978), dan sebagai akibatnya maka konsentrasi fosfat anorganik terlarut dalam air pori sedimen karbonat sering kali sangat rendah. Selain itu juga penyerapan unsur-unsur ini sangat berkaitan dengan ukuran partikel sedimen. Berdasarkan ukuran partikel (Lampiran 7) menunjukkan bahwa pada lokasi bertipe sedimen karbonat memiliki persentase partikel debu dan liat yang lebih besar dibandingkan lokasi bertipe sedimen terrigenous. Erftemeijer (1994) mengemukakan bahwa ukuran partikel sedimen memiliki hubungan kebalikan terhadap potensial penyerapan; pada

68 53 partikel yang berukuran lebih kecil akan menyediakan lebih luas permukaan untuk penyerapan P, sehingga mengakibatkan ketersediaan fosfor yang sedikit untuk tumbuhan. Mekanisme ini diduga berperan dalam kaitannya dengan kandungan P tersedia yang lebih rendah pada lokasi bertipe substrat karbonat dalam penelitian ini (Rendani, Tj. Mangewa dan Briosi) dibandingkan dengan dua lokasi lainnya yang bertipe substrat terrigenous. Pelarutan kembali dan pengendapan dari karbonat juga akan dipengaruhi oleh bahan organik (Morse et al. 1985, diacu dalam Ferdie & Fourqurean 2004) dan ph sedimen (Jensen et al. 1998), dimana pelarutan kembali CaCO 3 akan terkait dengan kandungan bahan organik yang lebih tinggi. Kondisi ini terlihat pada lokasi Briosi yang memiliki kandungan organik, P tersedia yang lebih tinggi dan ph yang lebih rendah dibanding dua lokasi lainnya yang bertipe sedimen karbonat (Lampiran 6). 4.4 Sebaran Spasial Karakteristik Fisika-Kimia Perairan Berdasarkan hasil analisis data dengan Principal Component Analysis (PCA) yang didasarkan pada matriks korelasi untuk mendeskripsikan korelasi antara variabel fisika-kimia perairan (suhu, kecepatan arus, salinitas, gas oksigen terlarut, ph, kekeruhan, nitrat, amoniak, fosfat, C organik, total nitrogen, P tersedia, dan fraksi sedimen) di masing-masing lokasi penelitian menunjukkan adanya pemusatan informasi pada 3 sumbu utama yang masing-masing memberikan kontribusi dari ragam total yaitu: Fl sebesar 31,30 %, F2 sebesar 18,16 % dan F3 sebesar 13,69 % (hasil analisis terlampir). Hasil analisis komponen utama menunjukkan adanya pengelompokkan lokasi berdasarkan kondisi fisika-kimia perairan, yaitu kelompok 1 (Andai, Wosi dan Briosi transek 1) dan kelompok 2 (Rendani, Tj. Mangewa, Briosi transek 1 dan 2) (Gambar 12a, Lampiran 8). Kelompok pertama terutama dicirikan oleh tipe sedimen terrigenous, tingkat kekeruhan, amoniak air, nitrat air, P tersedia, C organik sedimen dan persentase fraksi pasir yang tinggi. Parameter yang mencirikan kelompok kedua adalah tipe sedimen karbonat, persentase fraksi liat, persentase fraksi debu, ph air, DO dan fosfat air yang tinggi. Karakteristik fisik dan kimia perairan kedua kelompok lokasi ini ditunjukkan pada Gambar 12b.

69 54 a b Gambar 12 Analisis komponen utama pengelompokkan lokasi penelitian berdasarkan kesamaan parameter fisika-kimia perairan (a) menunjukkan posisi lokasi dan (b) menunjukkan korelasi antar variabel lingkungan. 4.5 Kualitas Perairan Kualitas perairan diperoleh dengan membandingkan parameter fisika-kimia air terhadap baku mutu air laut untuk biota laut (Lampiran 6) dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode STORET. Hasil yang diperoleh berdasarkan kriteria EPA (Environmental Protection Agency) disajikan pada Tabel 15.

70 55 Tabel 15 Kriteria kualitas perairan pada lokasi penelitian Lokasi Skor Parameter Fisika Kimia Jumlah Kelas Mutu air Andai C Cemar sedang Rendani C Cemar sedang Wosi D Cemar berat Briosi D Cemar berat Tj. Mangewa C Cemar sedang Berdasarkan hasil ini terlihat bahwa lokasi Wosi dan Briosi termasuk dalam kriteria tercemar berat, sedangkan ketiga lokasi lainnya masih termasuk dalam kategori tercemar sedang. Kondisi ini diduga sangat terkait dengan keberadaan kedua lokasi ini yang terletak dekat dengan daerah padat penduduk di Manokwari. Masukan limbah antropogenik dan padatan tersuspensi dari Sungai Wosi serta beberapa sungai kecil di sekitar Teluk Sawaibu serta aktivitas masyarakat pesisir, diduga berperan dalam degradasi kondisi kedua lokasi ini. Hal ini terindikasi melalui tingkat amoniak, fosfat, dan karbon organik serta tingkat kekeruhan yang lebih tinggi pada kedua lokasi ini (Lampiran 6).

71 56 V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Lamun yang ditemukan secara keseluruhan terdiri dari 8 jenis yang termasuk dalam kelompok pioner (C. rotundata, H. pinifolia, H. uninervis, H. ovalis, S. isoetifolium) dan kelompok klimaks (C. serrulata, E. acoroides, T. hemprichii). 2. Komposisi lamun di lokasi Andai dan Wosi tersusun dari jenis pioner sedangkan lokasi Rendani, Briosi dan Tj. Mangewa terdiri dari jenis pioner dan klimaks. 3. Padang lamun yang ditemukan membentuk tipe vegetasi campuran dengan pola penyebaran mengelompok. 4. Kepadatan, persentase tutupan dan biomassa pada lokasi Andai dan Wosi didominasi jenis H. pinifolia, Rendani dan Tj. Mangewa didominasi oleh T. hemprichii, sedangkan Briosi merupakan kombinasi dari C. rotundata dan T. hemprichii. 5. Status komunitas lamun berdasarkan persentase tutupan menunjukkan lokasi Rendani dan Tj. Mangewa termasuk kurang kaya/kurang sehat sedangkan Andai, Wosi dan Briosi berstatus miskin. 6. Nilai INP pada lokasi Andai dan Wosi didominasi oleh H. pinifolia, Rendani dan Tj. Mangewa didominasi oleh T. hemprichii, sedangkan Briosi didominasi oleh C. rotundata. 7. Perbandingan biomassa bawah dengan biomassa atas tertinggi ditemukan pada lokasi Andai dan terendah pada lokasi Briosi. 8. Komunitas lamun di lokasi Rendani, Tj. Mangewa, dan Briosi memiliki indeks keanekaragaman lebih tinggi dan indeks dominasi yang lebih rendah dibanding Andai dan Wosi, sehingga komunitas lamun diketiga lokasi tersebut lebih stabil. 9. Hasil pengukuran dan analisis parameter fisika-kimia pada kolom air umumnya masih berada dalam kisaran yang dapat mendukung pertumbuhan lamun, namun jika dilihat dari kriteria kualitas perairan dengan menggunakan metode STORET maka kelima lokasi berada dalam status tercemar sedang (Andai, Rendani dan Tj. Mangewa) dan tercemar berat (Wosi dan Briosi).

72 Saran 1. Informasi mengenai keberadaan lamun di wilayah Papua masih terbatas, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai ekosistem ini di daerah pesisir lainnya. 2. Perlu dilakukan penelitian secara temporal untuk mengetahui kondisi struktur komunitas lamun dan kualitas perairan. 3. Untuk mengetahui sumbangan padang lamun terhadap ekosisten sekitarnya, perlu dilakukan penelitian mengenai produktivitas lamun.

73 58 DAFTAR PUSTAKA Agawin NSR, Duarte CM, Fortes MD Nutrient limitation of Philippine seagrasses (Cape Bolinao, NW Philippines): in situ experimental evidence. Marine Ecology Progress Series 138: [APHA] American Public Health Association Standard Method for the Examination of Water and Wastewater. New York: APHA Inc. Azkab MH Pedoman inventarisasi lamun. Oseana 24:1-16. Azkab MH. 2000a. Epifit pada lamun. Oseana 25:1-11. Azkab MH. 2000b. Struktur dan fungsi pada komunitas lamun. Oseana 25: Bach SS, Borum J, Fortes MD, Duarte, CM Species composition and plant performance of mixed seagrass beds along a siltation gradient at Cape Bolinao, The Philippines. Marine Ecology Progress Series 174: Bengen DG Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Björk M, Uku J, Weil A, Beer S, Photosynthetic tolerances to desiccation of tropical intertidal seagrasses. Marine Ecology Progress Series 191: Borum J Development of epiphytic communities on eelgrass (Zostera marina) along a nutrient gradient in Danish estuary. Marine Biology 87: Brouns JJWM A preliminary study of the Thalassodendron ciliatum (Forsk.) Den Hartog from Eastern Indonesia. Aquatic Botany 23: Brower J, Zar J, Ende cv. Kane K, editor Field and Laboratory Methods for General Ecology. Edisi ke-3. America: Wm. C. Brown Publishers. Bulthuis DA Effect of temperature on photosynthesis and growth of seagrass. Aquatic Botany 27: Caffrey JM, Kemp WM Influence of the submerged plant, Potamogeton perfoliatus, on nitrogen cycling in estuarine sediments. Limnology and Oceanography 37: Cambridge ML, McComb AJ The loss of seagrasses Cockburn Sound, western Australia. I. The time course and magnitude of seagrass decline in relation to industrial development. Aquatic Botany 20: Cornelisen CD, Thomas FIM Water flow enhances ammonium and nitrate uptake in a seagrass community. Marine Ecology Progress Series 312: Cox GW General Ecology Laboratory Manual. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill Higher Education. Dahuri R Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. De Kanel J, Morse JW The chemistry of orthophosphate uptake from seawater on to calcite and aragonite. Geochim. Cosmochim. Acta 42: D'Elia CF, Wiebe WJ Biogeochemical nutrient cycles in coral-reef ecosystems. In: Dubinsky, Z. (ed.) Coral reefs. Ecosystems of the world 25. Elsevier, Amsterdam, p Dennison WC, Alberte RS Role of daily light period in the depth distribution of Zostera marina (eelgrass). Marine Ecology Progress Series 25:51 61.

74 Duarte CM Allometric scaling of seagrass form and productivity. Marine Ecology Progress Series 77: Duarte CM The future of seagrass meadows. Environmental Conservation 29: Duarte CM, Merino M, Agawin NSR, Uri J, Fortes MD, Gallegos ME, Marbà N, Hemminga MA Root production and belowground seagrass biomass. Marine Ecology Progress Series 171: Duarte CM, Terrados J, Agawin NSR, Fortes MD, Bach S, Kenworthy WJ, Response of a mixed Philippine seagrass meadow to experimental burial. Marine Ecology Progress Series 147: Dunton KH Production ecology of Ruppia rnaritima L. s. l. and Halodule wrightii Aschers. in two subtropical estuaries. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 143: Dwikorawati SS Telaah kandungan nitrogen dan fosfor di perairan Situ Cikaret Kecamatan Cibinong- Kabupaten Bogor. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Intitut Pertanian Bogor. Edward Kandungan zat hara fosfat, nitrat dan oksigen terlarut di perairan Waisarisa Pulau Seram (Artikel). Lingkungan dan Pembangunan 16: Elliott JM Some methods for the statistical analysis of samples of benthic invertebrates. Scientific Publication No. 25, Freshwater Biological Association, Ambleside, Westmorland, Great Britain. Entsch BK, Boto G, Slim RG, Wellington TJ Phosphorus and nitrogen in coral reef sediments. Limnology and Oceanography 28: Erftemeijer PLA Differences in nutrient concentrations and resources between seagrass communities on carbonate and terrigenous sediments in South Sulawesi, Indonesia. Bull Mar Sci 54: Erftemeijer PLA, Middelburg JJ Sediment nutrient interactions in tropical seagrass beds: A comparison between a carbonate and terrigenous sedimenary environment in South Sulawesi (Indonesia). Marine Ecology Progress Series 102: Erina Y Keterkaitan antara komposisi perifiton pada lamun Enhalus acoroides (Linn. F) Royle dengan tipe substrat lumpur dan pasir di Teluk Banten [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fachrul MF, Haeruman H, Anggraeni A Distribusi spasial nitrat, fosfat dan ratio N/P di perairan Teluk Jakarta. [22 Maret 2008]. Ferdie M, Fourqurean JW Responses of seagrass communities to fertilization along a gradient of relative availability of nitrogen and phosphorus in a carbonat environment. Limnology and Oceanography 49: Flores-Verdugo FJ, Day JW, Brisen-Duenas R Structure, litter fall, decomposition, and detritus dynamics of mangroves in a Mexican coastal lagoon with an ephemeral inlet. Marine Ecology Progress Series 35: Flores-Verdugo FJ, Day JW Jr, Mee L, Bnseno-Duenas R Phytoplankton production and seasonal biomass variation of seagrass, Ruppia rnaritima L., in a tropical Mexican lagoon with an ephemeral inlet. Estuaries 11:

75 Fonseca MS, Bell SS Influence of physical setting on seagrass landscapes near Beaufort, North Carolina, USA. Marine Ecology Progress Series 171: Fonseca MS, Fisher JS, Zieman JC Influence of the seagrass, Zostera marina L. on current flow. Estuarine, Coastal and Shelf Science 15: Fortes MD Seagrasses: a Resource Unknown in the ASEAN Region. ICLARM Education Series 6. Manila, Philippines: International Center for Living Aquatic Resources Management. Gacia E, Kennedy H, Duate CM, Terrados J, Marbà, Papadimitriou S, Fortes M Light-dependence of the metabolic balance of a highly productive Philippine seagrass community. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 316: Gembong T Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Giesen WBJT, van Katwijk MM, den Hartog C Eelgrass condition and turbidity in the Dutch Wadden Sea. Aquatic Botany 37: Hamid A Peranan faktor lingkungan perairan terhadap pertumbuhan Enhalus acoroides (L.f) Royle di Teluk Grenyang, Bojonegoro, Kabupaten Serang Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Heiss WM, Smith AM, Probert PK Influence of the small intertidal seagrass Zostera novazelandica on linear water flow and sediment texture (Short communication). New Zealand Jornal of Marine and Freshwater Research 34: Hemminga MA, Duarte CM Seagrass Ecology. Australia :Cambridge University Press. Hemminga MA, Harrison PG, van Lent F The balance of nutrient losses and gains in seagrass meadows. Marine Ecology Progress Series 71: Hemminga MA, Koutstaal BP, van Soelen J, Merks, GA. 1994a. The nitrogen supply to intertidal eelgrass (Zostera marina). Marine Biology 118: Hemminga MA, Slim FJ, Kazungu J, Ganssen GM, Nieuwenhuize J, Kruyt NM. 1994b. Carbon outwelling from a mangrove forest with adjacent seagrass beds and coral reefs (Gazi bay, Kenya). Marine Ecology Progress Series 106: Hendrarto IB, Ruswahyuni, Kuspartini Penaeid post larvae abundanve within two different seagrass beds. Di dalam: Sustainable Fisheries in Asia in the New Millenium. JSPS-DGHE International Symposium. hlm Hillman K, Walker DI, Larkum AWD, McComb AJ Productivity and nutrient limitation. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA. (eds.) Biology of Seagrasses: A treatise on the biology of seagrasses with special reference to the Australian Region. Aquatic Plant Studies No. 2. Elsevier, Amsterdam, p Holmer M, Nielsen SL Sediment sulfur dynamics related to biomassdensity patterns in Zostera marina (eelgrass) beds. Marine Ecology Progress Series 146: Hovel KA, Fonseca MS, Meyer DL, Kenworthy WJ, Whitfield PE Effects of seagrass landscape structure, structural complexity and hydrodynamic regime on macroepibenthic faunal densities in North Carolina seagrass beds. Marine Ecology Progress Series 243:

76 Huettel M, Gust G Impact of bioroughness on interfacial solute exchange in permeable sediments. Marine Ecology Progress Series 89: Hutagalung HP, Rozak A. 1997a. Penentuan kadar oksigen terlarut. Di dalam:hutagalung HP, Setiapermana D, Riyono HS, editor. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Jakarta: Pusat penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. hlm 32. Hutagalung HP, Rozak A. 1997b. Penentuan kadar amoniak. Di dalam:hutagalung HP, Setiapermana D, Riyono HS, editor. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Jakarta: Pusat penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. hlm 81. Hutagalung HP, Rozak A. 1997c. Penentuan kadar nitrat. Di dalam:hutagalung HP, Setiapermana D, Riyono HS, editor. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Jakarta: Pusat penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. hlm 94. Hutomo M, Kiswara W, Azkab MH Status dan khasanah pengetahuan ekosistem lamun di Indonesia. Di dalam: Hutomo M, Soemodihardjo, penyunting. Prosiding Lokakarya Nasional Penyusunan Program Penelitian Biologi Kelautan dan Proses Dinamika Pesisir; Semarang, November Jakarta: LIPI dan Universitas Diponegoro. hlm Irawan A Asosiasi makrozoobentos berdasarkan letak padang lamun di estuaria Bontang Kuala Kota Bontang Kalimantan Timur. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jensen H, McGlathery K, Marino R, Howarth R Forms and avalilability of sediment phosphorus in carbonate sand of Bermuda seagrass beds. Limnology and Oceanography 43: Kamal MM Kualitas air. Di dalam: Pelatihan Teknik Survei Ekosistem Perairan, Bogor: 11 September Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Kawaroe M, Indrajaya, Happy SI Pemetaan bioekologi padang lamun (seagrass) di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Pesisir & Lautan 6: Kemp WM, Boynton WR, Twilley RR, Stevenson JC, Means JC The decline of submerged vascular plants in upper Chesapeake Bay: summary of results concerning possible causes. Mar Technol. Soc J. 17: Kennish MJ Ecology of Estuaries. Volume ke-2: Biological Aspect. CRC Press Inc. Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup Nomor: 02 Tahun 1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Kikuchi T, Peres JM Consumer ecology of seagraa beds. Di dalam: Seagrass Ecosystems. A scientific Perspective. Mc. Roy P, C. Helfferich, editor. New York: Mar. Sci. 4:

77 Kiswara W Kandungan hara dalam air antara dan air permukaan padang lamun Pulau Barang Lompo dan Gusung Talang, Sulawesi Selatan. Di dalam: Pemantapan Keterpaduan dan Pendayagunaan Potensi Sumberdaya Manusia, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Kelembagaan Kelautan Nasional Menuju Kemandirian Prosiding Seminar Kelautan Nasional-1995; Jakarta, Nopember Jakarta: Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim. hlm II.29-II.38. Kiswara W Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia. Di dalam: Kongres Biologi Indonesia XV di Universitas Indonesia. Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut-Pesisir II Geologi, Kimia, Biologi dan Ekologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. hlm Kiswara W. 1999a. Perkembangan penelitian ekosistem padang lamun di Indonesia. Di dalam: Prosiding Seminar tentang Oseanologi dan Ilmu Lingkungan Laut dalam rangka Penghargaan kepada Prof. Dr. Aprilani Soegiarto, M.Sc.,APU. Jakarta: Puslitbang Oseanologi LIPI. hlm Kiswara W. 1999b. Struktur komunitas padang lamun di perairan Sumatera Utara. Di dalam: Prosiding Seminar Kelautan Regional Sumatera Kedua; Padang, 6-7 Agustus hlm Kiswara W, Hutomo M Habitat dan sebaran geografik lamun. Oseana 10: Kiswara W, Winardi Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. Di dalam: Kiswara W, Moosa MK, Hutomo M, penyunting. Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungannya. Jakarta: Proyek Pengembangan Kelautan/MREP Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. hlm Kitano Y, Okumura M, Idogaki, M Uptake of phosphate ions by calcium carbonate. Geochem. J. 12: Knox G, Miyabara T Coastal Zone Resources Development and Conservation in Southeast Asia, with Special Reference to Indonesia. Jakarta: UNESCO. Koch EW Beyond light: Physical, geological, and geochemical parameters as possible submersed aquatic vegetation habitat requirements. Estuaries 24:1-17. Koch EW, Gust G Water flow in tide- and wave-dominated beds of the seagrass Thalassia testudinum. Marine Ecology Progress Series 184: Koch EW, Sanford LP, Chen SN, Shafer DJ, Smith, JM Waves in seagrass systems: Review and technical recommendations. US Army Corps of Engineers. Krause-Jensen D, Pedersen MF, Jensen C Regulation of eelgrass (Zostera marina) cover along depth gradients in Danish coastal waters. Estuaries 26: Kuo J, McComb A.J Seagrass Taxonomy, Structure and Development. Larkum A.W.D, McComb A.J., Shepherd S.A (editor). Di dalam: Biology of Seagrasses. Elsevier Science Publishers B.V. Lalumière R, Messier D, Fournier JJ, McRoy CP Eelgrass meadows in a low Arctic environment, the northeast coast of James Bay, Québec. Aquatic Botany 47: Ludwig JA, Reynols JF Statistical Ecology a Primer on Methods Computing a Wiley. Canada: Interscience Publication. John Wiley & Sons. 62

78 Medrizam, Pratiwi S, wardiyono Wilayah kritis keanekaragaman hayati di Indonesia: instrumen penilaian dan pemindaian indikatif/cepat bagi pengambil kebijakan sebuah studi kasus ekosistem pesisir laut. BAPPENAS Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Direktorat Pengendalian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Merryanto Y Struktur komunitas ikan dan asosianya dengan padang lamun di perairan Teluk Awur Jepara [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nasution IM Padang lamun di perairan Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau. Di dalam: Burhanuddin S, Sulistiyo B, Supangat A, editor. Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. hlm Nienhuis PH Structure and Fungtioning of Indonesia Seagrass Ecosystem. Di dalam: Moosa MK, de Longh HH, Blaaum HJA, Norimarna MKJ, editor. Proceeding Coastal Zone Managemant of Small Island Ecosystem, Ambon: 7-10 April Ambon: University Pattimura and Foundation of AIDENvironment. Nontji A Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. Nybakken JW Biologi Laut: suatu pendekatan ekologis. Eidman HM, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M, Sukardjo S, alih bahasa. Jakarta: PT Gramedia. Terjemahan dari: Marine Biology: An Ecological Approach. Odum EP Dasar-Dasar Ekologi Edisi ke-3. Samingan T, Srigandono B, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology Third Edition. Onuf CP Seagrasses, dredging and light in Laguna Madre, Texas, U.S.A. Estuarine, Coastal Shelf Science 39: Orth RJ, Moore KA Chesapeake Bay: an unprecedented decline in submerged aquatic vegetation. Science 222: Orth RJ, Moore, KA Seasonal and year to year variations in the growth of Zostera marina L. (eelgrass) in the lower Chesapeake Bay. Aquatic Botany 15: Pedersen, MF, Borum J An annual nitrogen budget for a seagrass Zostera marina population. Marine Ecology Progress Series 101: Pérez-Lloréns J.L, de Visscher P, Nienhuis PH, Niell FX Light-dependent uptake, translocation and foliar release of phosphorus by the intertidal seagrass Zostera noltii Hornem. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 166: Philips CR, Meñez EG Seagrass. Washington D.C.: Smithsonian. Institutions Press. Pollard PC Measuring Photosynthetic Characteristics of the Seagrass Syringodium isoetifolium: Implications for in situ Productivity Estimates. New Zaeland Journal of Marine and Freshwater Research 33: Pollard PC, Greenway M. 1993b. Photosynthetic characteristics of the seagrasses (Cymodocea serrulata, Thalassia hemprichii and Zostera capricornii) in a low-light environment, with a comparison of leaf marking and lacunal-gas measurements of productivity. Australian Journal of Marine and Freshwater Research 44:

79 Pollard PC, Kogure K. 1993a. The role of epiphytic and epibenthic algal productivity in a tropical seagrass, Syringodium isoetifolium (Aschers.) Dandy, Community. Australian Journal of Marine and Freshwater Research 44: Quammen ML, Onuf CP Laguna Madre: Seagrass changes continue decades after salinity reduction. Estuaries 16: Roblee MB, Barber TR, Carlson PR, Durako MJ, Fourqurean JW, Muehlstein LK, Porter D, Yarbro LA, Zieman RT, Zieman JC Mass mortality of the tropical seagrass Thalassia testudinum in Florida Bay (USA). Marine Ecology Progress Series 71: Romimohtarto K, Juwana S Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Jakarta: Djambatan. Sand-Jensen K Effect of epiphytes on eelgrass photosynthesis. Aquatic Botany 3: Short FT Effects of sediment nutrients on seagrasses: literature review and mesocosm experiment. Aquatic Botany 27: Short FT, McRoy CP Nitrogen uptake by leaves and roots of the seagrass Zostera marina L. and its epiphytes. Botanica mar. 27: Silberstein K, Chiffings AW, McComb AJ The loss of seagrass in Cockburn Sound. Western Australia The effect of epiphytes on productivity of Posidonia australis Hook. F. Aquatic Botany 24: Slim FJ, Hemminga MA, Cocheret de la Moriniere E, van Der Velde G Tidal exchange of macrolitter between a mangrove forest and adjacent seagrass beds (Gazi Bay, Kenya). Netherlands Journal of Aquatic Ecology 30: Smith GW, Hayasaka SS, Thayer GW Root surface area measurements of Zostera marina and Halodule wrightii. Botanica mar. 22: Stevenson JC Comparative ecology of submersed grass beds in freshwater, estuarine, and marine environments. Limnology and Oceanography 33: Stevenson JC, Staver LW, Staver KW Water quality associsted with survival of submersed aquatic vegetation along an estuarine gradient. Estuaries 16: Suparno Keterkaitan kualitas sediment dengan kandungan C, N, P jaringan lamun (Enhalus acoroides, Royle 1840) dan biomassanya di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Jawa Barat. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suparno, Elifitrida, Zulkarnaen Bioekologi lamun (sea grasss) di Perairan Teluk Tapian Nauli, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. J. Mangrove dan Pesisir 5:1-7. Talakua S Komunitas makroalga, lamun dan mangrove di Pesisir Pantai Manokwari, Provinsi Irian Jaya Barat. [tesis]. Manado: Program Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi. Tanaka Y, Kayanne H Relationship of species composition of tropical seagrass meadows to multiple physical environmental factors. Ecol. Res. 22: Tanaka Y, Nakaoka M Emergence stress and morphological constraints affect the species distribution and growth of subtropical intertidal seagrasses. Marine Ecology Progress Series 284:

80 Terrados J.Duarte CM, Fortes M.D, Borum J, Agawin NSR, Bach S, Thampanya U, Kamp-Nielsen L, Kenworthy WJ, Geertz-Hansen O, Vermaat J Changes in community structure and biomass of seagrass communities along gradients of siltation in SE Asia. Estuarine, Coastal and Shelf Science 46: Thomas FIM, Cornelisen CD Ammonium uptake by seagrass communities: effects of oscillatory versus unidirectional flow. Marine Ecology Progress Series 247: Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK The Ecology of the Indonesian Seas. Part II. Periplus Edition. Tomasko DA, Lapointe BE, Productivity and biomassa of Thalassia testudinum as related to water column nutrient availability and epiphyte levels: field observations and experimental studies. Marine Ecology Progress Series 75:9-17. Tulungen JJ, Kasmidi M, Rotinsulu C, Dimpudus M, Tangkilisan N Di dalam: M Knight, Tighe S. (Eds). Panduan Pengelolaan SD Wilayah Pesisir berbasis Masyarakat. USAID Indonesia-Coastal Resources Management Project. Koleksi Dokumen Proyek Pesisir Kutipan: Koleksi Dokumen Proyek Pesisir ; Coastal Resources Center, University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island, USA. (5 Seri, 30 Buku, 14 CR- ROM). Twilley RR, Kemp WM, Staver KW, Stevenson JC, Boynton WR Nutrient enrichment of estuarine submerged vascular plant communities: 1. Algal growth and effects on production of plants and associated communities. Marine Ecology Progress Series 23: Vermaat JE, Agawin NSR, Fortes MD, Uri JS, Duarte CM, Marbà N, van Vierssen W The capacity of seagrass to survive increased turbidity and siltation: the significance of growth form and light use. Ambio 26: Vermaat JE, Fortes MD, Agawin N, Duarte CM, Marbà, N, Uri J Meadow maintenance, growth, and productivity of a mixed Philippine seagrass bed. Marine Ecology Progress Series 124: Welch EB The Ecologycal Effect of Waste Water. Cambridge University Press. Cambridge. Williams SL Competition between the seagrasses Thalassia testudinum and Syringodium filiforme in a Caribbean lagoon. Marine Ecology Progress Series 35: Wimbaningrum R, Choesin DN, Nganro NN Komunitas lamun di rataan terumbu Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Ilmu Dasar Yamamuro MI. Koike, Iizumi H Partioning of nitrogen stock in the vicinity of a Fijian seagrass bed dominated by Syringodium isoetifolium (Ashers.) Dandy. Australian Journal of Marine and Freshwater Research 44: Zieman JC Gradients in Carribean seagrass ecosystem. Di dalam: Ogden JC, Gladfelter EH, editor. Carribean Coastal Marine Productivity. Jamaica: Unesco reports in Marine Science: Zulkifli, Efriyeldi Kandungan zat hara dalam air poros dan air permukaan padang lamun Bintan Timur Riau. J. Natur Indonesia 5:

81 LAMPIRAN 66

82 Lampiran 1 Lokasi penelitian 67

83 Lampiran 2 Posisi garis transek pada lokasi penelitian 68

84 Lanjutan Lampiran 2 69

85 70 Lampiran 3 Jenis-jenis lamun yang ditemukan pada lokasi penelitian Cymodocea serrulata Cymodocea rotundata Halodule pinifolia Halodule uninervis

86 71 Lanjutan Lampiran 3 Syringodium isoetifolium Enhalus acoroides Halophila ovalis Thalassia hemprichii

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau datar yang melintang di barat daya Laut Jawa dan memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang mampu hidup terbenam dalam air di lingkungan perairan dekat pantai. Secara taksonomi, lamun termasuk ke dalam kelompok

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik dan Mofologi Lamun Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN SALINAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan Kondisi parameter fiskia-kimia perairan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan organisme perairan.

Lebih terperinci

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Nurtin Y.

Lebih terperinci

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA Rinta Kusumawati ABSTRAK Lamun merupakan tanaman laut berbentuk daun tegak memanjang dengan pola sebaran mengelompok pada substrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak dan dilintasi garis khatulistiwa. Wilayah Indonesia yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun ( Seagrass Deskripsi Lamun

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun ( Seagrass Deskripsi Lamun 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun (Seagrass) 2.1.1. Deskripsi Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut (McKenzie & Yoshida 2009).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi dan Peranan Lamun 2.1.1 Biologi Lamun Lamun (seagrass) termasuk dalam sub kelas monocotyledonae dan merupakan tumbuhan berbunga (kelas Angiospermae) (Yulianda 2002).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km yang dilalui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Lamun Lamun (seagrass) merupakan bentangan tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dari klass angiospermae, tumbuhan air berbunga yang telah menyesuaikan diri hidup terbenam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Umum Tumbuhan Lamun Menurut Azkab (2006), lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Tidak terkecuali dalam hal kelautan. Lautnya yang kaya akan keanekaragaman hayati membuat

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA YUSTIN DUWIRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum

Lebih terperinci

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA (Comparison Of Community Structure Seagrasses In Bantayan, Dumaguete City Philippines And

Lebih terperinci

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vegetasi Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan salinitas cukup tinggi.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Deskripsi lamun

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Deskripsi lamun 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun 2.1.1 Deskripsi lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkunga laut; berpembuluh, berdaun, berimpang (rhizome), berakar,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Lamun 2.1.1 Ekosistem Padang Lamun Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

ADI FEBRIADI. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji

ADI FEBRIADI. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji Struktur Komunitas Padang Lamun di Perairan Kelurahan Penyengat Kota Tanjungpinang Adi Febriadi 1), Arief Pratomo, ST, M.Si 2) and Falmi Yandri, S.Pi, M.Si 2) ADI FEBRIADI Program Studi Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Wilayah pesisir desa Sitardas memiliki panjang garis pantai sekitar 6 km dan

TINJAUAN PUSTAKA. Wilayah pesisir desa Sitardas memiliki panjang garis pantai sekitar 6 km dan 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Desa Sitardas Desa Sitardas berada di Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah. Wilayah pesisir desa Sitardas memiliki panjang garis pantai sekitar 6 km dan berhadapan

Lebih terperinci

KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT ABSTRACT

KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT ABSTRACT KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT Rene Ch. Kepel 1 dan Sandra Baulu 2 1 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI.

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI. STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) Gautama Wisnubudi 1 dan Endang Wahyuningsih 1 1 Fakultas Biologi Universitas

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN: STRUKTUR KOMUNITAS DAN BIOMASSA RUMPUT LAUT (SEAGRASS) DI PERAIRAN DESA TUMBAK KECAMATAN PUSOMAEN 1 Idris Baba 2, Ferdinand F Tilaar 3, Victor NR Watung 3 ABSTRACT Seagrass community structure is the basic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 3, Desember 2013 Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Lebih terperinci

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat Album Peta Lamun 2017 Pusat Penelitian Oseanografi PENYUSUN Marindah Yulia

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

II. Tinjauan Pustaka A. Defenisi Padang lamun

II. Tinjauan Pustaka A. Defenisi Padang lamun II. Tinjauan Pustaka A. Defenisi Padang lamun Lamun (seagrass) merupakan satu- satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizome, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut (Bengen,

Lebih terperinci

1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padang Lamun, Fungsi dan Manfaat

1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padang Lamun, Fungsi dan Manfaat 1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padang Lamun, Fungsi dan Manfaat Lamun tumbuh di perairan dangkal terlindung pada batu yang lunak dan hidup pada habitat pantai seperti estuari. Istilah lamun pertama kali diperkenalkan

Lebih terperinci

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, mor 1, Juni 2013 Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Meilan Yusuf, 2 Yuniarti Koniyo,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh proses kehidupan berlangsung di lingkungan perairan laut dangkal (Susetiono, 2004). Lamun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 5 3 '15 " 5 3 '00 " 5 2 '45 " 5 2 '30 " BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan April 2010, lokasi pengambilan sampel di perairan

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Oktober 2009 dalam kawasan rehabilitasi PKSPL-IPB di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi padang lamun Untuk menghindari kesalahpahaman antara lamun dan rumput laut, berikut ini disajikan istilah tentang lamun, padang lamun, dan ekosistem lamun (Azkab,

Lebih terperinci

Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara.

Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara. Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara Suhandoko 1, Winny Retna Melani 2, Dedy Kurniawan 3 suhandoko.2001@gmail.com Program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas

Lebih terperinci

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN

ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN Devi Triana 1, Dr. Febrianti Lestari, S.Si 2, M.Si, Susiana, S.Pi, M.Si 3 Mahasiswa 1, Dosen

Lebih terperinci

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 1 BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU Rudini, rudini1990@gmail.com Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH Arief Pratomo, ST, M.Si

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITAN

3. METODOLOGI PENELITAN 3. METODOLOGI PENELITAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali (Lampiran 1). Cakupan objek penelitian

Lebih terperinci

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Supriadi Mashoreng Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10 Tamalanrea Makassar E-mail : supriadi112@yahoo.com

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU SEMINAR KOMPREHENSIF Dibawah Bimbingan : -Dr. Sunarto, S.Pi., M.Si (Ketua Pembimbing)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Dini Arifa 1, Arief Pratomo 2, Muzahar 2 Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Siti Rahmi A.R. Nusi, 2 Abdul Hafidz Olii, dan 2 Syamsuddin 1 s.rahmi.nusi@gmail.com 2 Jurusan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Bintan merupakan salah satu bagian dari gugusan pulau yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.Wilayah administrasi gugus Pulau

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Pulau Nusa Lembongan Nusa Lembongan merupakan salah satu dari tiga pulau di Kecamatan Nusa Penida dan pulau terbesar kedua setelah Pulau Nusa Penida. Letak Nusa

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BB III BHN DN METODE PENELITIN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013. Tempat penelitian di Desa Brondong, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan analisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LAMUN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LAMUN 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LAMUN Dalam dunia tumbuhan, lamun dipandang sebagai kelompok flora yang unik. Dianggap demikian, karena lamun merupakan satu-satunya kelompok tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

Jenis dan Biomassa Lamun (Seagrass) Di Perairan Pulau Belakang Padang Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Kepulauan Riau.

Jenis dan Biomassa Lamun (Seagrass) Di Perairan Pulau Belakang Padang Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Kepulauan Riau. Jenis dan Biomassa Lamun (Seagrass) Di Perairan Pulau Belakang Padang Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Kepulauan Riau By : Muhammad Yahya 1), Syafril Nurdin 2), Yuliati 3) Abstract A Study of density

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Proses pengambilan sampel dilakukan di Perairan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta pada tiga

Lebih terperinci

HABITAT DAN SEBARAN GEOGRAFIK LAMUN

HABITAT DAN SEBARAN GEOGRAFIK LAMUN Oseana, Volume X, Nomor 1 : 21-30, 1985. ISSN 0216-1877 HABITAT DAN SEBARAN GEOGRAFIK LAMUN oleh Wawan Kiswara 1) dan Malikusworo Hutomo 1) ABSTRACT SEAGRASS, IT'S HABITAT AND GEOGRAPHICAL DISTRIBUTION.

Lebih terperinci

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA 1 SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Juni

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 13 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di perairan Pesisir Manokwari Provinsi Papua Barat, pada empat lokasi yaitu Pesisir Perairan Rendani, Wosi, Briosi dan

Lebih terperinci

Struktur Komunitas Lamun di Perairan Pesisir Manokwari

Struktur Komunitas Lamun di Perairan Pesisir Manokwari Maspari Journal, 2013, 5 (2), 69-81 http://masparijournal.blogspot.com Struktur Komunitas Lamun di Perairan Pesisir Manokwari Paskalina Th. Lefaan 1), Dede Setiadi 2), D. Djokosetiyanto 3) 1) Jurusan Biologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memegang peranan penting dalam mendukung kehidupan manusia. Pemanfaatan sumber daya ini telah dilakukan sejak lama seperti

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Pulau Barrang Lompo adalah salah satu pulau di kawasan Kepulauan Spermonde, yang berada pada posisi 119 o 19 48 BT dan 05 o 02 48 LS dan merupakan salah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi 2.1.1. Klasifikasi Tiram merupakan jenis bivalva yang bernilai ekonomis. Tiram mempunyai bentuk, tekstur, ukuran yang berbeda-beda (Gambar 2). Keadaan tersebut

Lebih terperinci

Biomass Of Sea grass At Selat Mie Village Coastal Water, Moro District, Karimun Regency, Riau Archipelago ABSTRACT

Biomass Of Sea grass At Selat Mie Village Coastal Water, Moro District, Karimun Regency, Riau Archipelago ABSTRACT Biomass Of Sea grass At Selat Mie Village Coastal Water, Moro District, Karimun Regency, Riau Archipelago By Nova Andriadi 1), Syafril Nurdin 2), Efawani 2) ABSTRACT The research was done in January 2012

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci