LRC. Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) yang dikatakan selalu berbenturan dengan aspek sosial budaya

Transkripsi

1

2 Oleh : Herman Rakha/Staff Pembangunan dan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan pada zaman dahulu bagaikan dua kutub berlawanan yang tidak bisa bertemu. Untuk itu, penerapan konsep pembangunan modern saat ini yang lebih menekankan kepada pembangunan yang berkelanjutan dimana konsep pembangunan ini mencakup aspek ekologis, ekonomis, dan sosial dalam satu strategi pembangunan. Salah satu cara penerapan strategi pembangunan yang sesuai dengan konsep ekologis adalah melalui Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) (PLH). Namun, pengelolaan lingkungan melalui Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) (PLH) belum berhasil dengan baik. Hal ini antara lain dikarenakan dalam PLH lebih menitikberatkan pada aspek ekologi (lingkungan) yang sering berbenturan dengan aspek ekonomi dan sosial-budaya. Kemunduran pendidikan lingkungan saat ini telah sampai pada tingkat yang dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia di muka bumi. Tidak heran apabila akhir-akhir ini sering kita melihat contoh yang diakibatkan oleh sikap manusia yang mulai tidak memperdulikan kelestarian lingkungan seperti terjadinya kebakaran hutan, tanah longsor yang diakibatkan oleh kerusakan hutan serta banjir yang disebabkan oleh seringnya manusia membuang sampah sembarangan. Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) memiliki peran yang sangat penting terutama untuk mempersiapkan generasi berikutnya agar memiliki kesadaran terhadap prinsip kelestarian lingkungan terhadap kehidupan manusia serta sebagai salah satu sarana untuk memecahan persoalan lingkungan saat ini. Pentingnya peran pendidikan dalam upaya pelestarian lingkungan itu maka, Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) haruslah diaplikasikan untuk disampaikan secara intensif melalui jenjang pendidikan baik formal maupun informal (Jommla, 2004). Pondok Pesantren merupakan salah satu jalur aplikasi terkait dengan upaya penyampaian Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH). Mengutip laman wikipedia pengertian Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan bahwa pesantren sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dimana para santri biasa tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum. Pondok Pesantren juga bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail dan mendalam, serta mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan penting moral dalam kehidupan bermasyarakat Sebagai tempat mempersiapkan generasi muda, Pondok Pesantren memiliki peran yang vital untuk dapat mencetak generasi muda yang mencintai dan melestarikan alam sekitar. Hal ini, juga berarti merupakan perwujudan dan kesyukuran anugerah Tuhan yang bernilai terhadap kesejahteraan kehidupan manusia serta sebagai pengejewantahan nilai-nilai ibadah terhadap Allah SWT. Pondok Pesantren harus mengambil peran dalam hal pelestarian lingkungan karena sesungguhnya Allah SWT telah memperingati hambanya melalui QS. Ar-Rum Ayat dan QS. Al-A Raf Ayat 56-58, dimana inti dari kedua surat Al-Qur an tersebut adalah bumi sebagai tempat tinggal dan tempat hidup manusia dan makhluk Allah lainnya sudah dijadikan Allah dengan penuh rahmat Nya. Gununggunung, lembah-lembah, sungai-sungai, lautan, daratan dan lain-lain semua itu diciptakan Allah untuk diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh manusia, bukan sebaliknya dirusak dan dibinasakan. Pakar pendidikan Islam berpendapat bahwa ajaran Islam diharapkan menjadi pegangan utama dalam upaya manusia mencegah dan mengatasi kerusakan lingkungan (Mangunjaya dan Abbas, 2009). Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) yang dikatakan selalu berbenturan dengan aspek sosial budaya

3 serta aspek ekonomi dalam konsep pembangunan berkelanjutan maka, melalui Pondok Pesantren diharapkan menjadi salah satu cara yang tepat untuk mengintegrasikan ketiga konsep pembangunan tersebut. Peran tersebut telah terlihat pada akhir dasawarsa 70-an dan dekade 80-an di mana peran pesantren terlibat secara langsung dalam kegiatan yang lebih substansial dan memfokuskan diri pada kebutuhan riil masyarakat, seperti pengembangan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan penggunaan teknologi alternatif (A la, 2006: 3-4). Keberadaan Pondok Pesantren untuk wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya yang berada di daerah pinggir hutan memiliki arti penting dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan serta sebagai sarana peningkatan kesejahteraan komunitas pesantren serta masyarakat yang berada di sekitarnya. Daerah yang berada di kawasan pinggir hutan merupakan salah satu kantong kemiskinan yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) NTB yang dirilis tahun 2016, jumlah penduduk miskin sebanyak jiwa. Hingga saat ini angka kemiskinan di NTB masih berada di atas nilai rata-rata angka kemiskinan Nasional yakni mencapai, yaitu 16.2%. Dalam RPJMD NTB tahun target penurunan angka kemiskinan ditargetkan mencapai 14%. Masih ada margin 2.2% yang harus dikejar oleh pemerintah NTB hingga tahun 2018 nanti. Angka ini tersebar di beberapa kantong kemiskinan, salah satunya adalah di daerah pinggiran hutan. Disinilah Pondok Pesantren khususnya yang berada di daerah pinggiran hutan mengambil peran sekaligus menjadi tantangan eksistensi mereka di tengah masyarakat terhadap pelestarian lingkungan. Selain disebabkan oleh alih fungsi lahan akibat dari kebijakan konsensi yang diberikan pemerintah kepada investor, kerusakan hutan di NTB umumnya karena terjadinya kegiatan perambahan yang dilakukan oleh masyarakat. Kemiskinan menjadi salah satu faktor utama yang mendorong masyarakat untuk masuk ke dalam hutan melakukan kegiatan perambahan secara liar. Kepala Dinas LHK NTB, Ir. Madani Mukarom, M.Si menyebutkan laju kerusakan hutan mencapai hektare setahun. Pada tahun 2014, luas lahan dan hutan yang kritis di NTB sebesar 590 ribu hektare. Untuk mengembalikan kondisi hutan NTB seperti semula dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pemulihan untuk satu haktare lahan kritis membutuhkan biaya sebesar Rp 5 juta, apabila dikalikan dengan 590 ribu hektare lahan kritis yng ada maka, dibutuhkan biaya pemulihan sekitar Rp 2,95 triliun. Disinilah peran Pondok Pesantren terutama yang berada di daerah pinggir hutan melalui Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) (PLH) dapat dimaksimalkan. Di Pondok Pesantren Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikannya ke dalam beberapa mata pelajaran formal termasuk pendidikan agama untuk menuju ke akhlakul karimah saja, ataupun dapat dilakukan melalui kajian-kajian pembahasan haditshadits dan ayat Al-Quran diambil dari kehidupan keseharian di lingkungan pondok termasuk lingkungan hidup. Pelibatan semua komunitas Pondok Pesantren terutama santri, dilibatkan dalam menjaga, memanfaatkan, dan tidak merusak lingkungan. Kepedulian terhadap lingkungan hidup diterapkan dalam keseharian melalui perilaku, misal siswa diingatkan untuk tidak membuang sampah sembarangan, makan sambil duduk dan sebagainya. Pondok Pesantren harus dapat menjadi wadah pembentukan jadi diri berupa kesalehan ekologis bagi para santri dan masyarakat sekitar. Esensi kesalehan ekologis adalah menjaga, melestarikan, mengelola, memperbaiki, dan mendayagunakan lingkungan seoptimal mungkin untuk kesejahteraan hidup manusia, harmoni terhadap alam raya, sekaligus memberikan kenyamanan dalam beribadah dan mewujudkan masa depan yang lebih baik. Dengan memiliki kesalehan ekologis, diharapkan seorang muslim hendaknya semakin ramah dan harmoni terhadap lingkungan sekitarnya, serta menjadikan masalah lingkungan hidup inheren dalam kepribadiannya, karena mereka juga yang akan merasakan akibatnya jika tidak bersikap saleh terhadapnya. Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di ponpes juga dapat ditunjukkan oleh pengasuh ponpes yang dalam strata sosial masyarakat adalah termasuk dalam golongan ulama yang sangat dihormati.

4 Umumnya para pengasuh ponpes adalah seorang yang alim, tokoh masyarakat yang disegani dan dihormasi oleh masyarakat. Pengasuh Ponpes dapat menunjukkan ketauladanan dengan cara melakukan kegiatan bercocok tanam pada lahan yang menjadi aset ponpes atau ada lahan pribadi dengan tidak lupa melibatkan santri dan semua komunitas ponpes. Walaupun tidak secara verbal bicara lingkungan hidup, tetapi gerakan nyata seorang pengasuh ponpes sangat jelas sebagai wujud komitmen mereka dalam menjaga lingkungan hidup sekaligus sebagai lahan penghidupan warga. Dengan bercocok tanam, pengasuh ponpes dan para santrinya bisa mandiri, bisa membantu sesama, sekaligus menjaga kelestarian alam. Pondok Pesantren bersama dengan masyarakat yang hidup di sekitar atau dalam kawasan hutan dapat berkolaborasi sebagai penjaga kelestarian hutan dan lingkungan yang efektif. Kolaborasi ini akan menjadi sesuatu keuntungan yang lebih baik dalam hal kelestarian serta manfaat yang akan diperoleh, seperti misalnya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK). NTB memiliki 222 potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) terdiri dari 115 jenis tumbuhan dan 7 jenis hewani yang tersebar di kawasan hutan di berbagai kabupaten, khususnya di Lombok Utara, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Potensi tersebut meliputi (1) komoditi riel antara lain: buahbuahan, madu Trigona sp, bambu, kemiri, aren; dan (2) komoditi potensial: kayu putih, rotan, ketak, gaharu. Salah satu tujuan pemanfaatan HHBK dalam pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga kawasan konservasi adalah meningkatkan sosial ekonomi masyarakat yang ada di daerah penyangga. Pondok Pesantren dengan melibatkan peran masyarakat dapat membentuk suatu kelembagaan yang khusus menangani kegiatan pemberdayaan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan komunitas pesantren. Kelembagaan yang dibentuk merupakan upaya pengembangan masyarakat yang dapat membantu menanggulangi masalah dan isu-isu penting dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat baik yang dilakukan oleh komunitas maupun oleh masyarakat melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Keberadaan Pondok Pesantren di tengah masyarakat memiliki makna startegis guna menjawab tantangan kemajuan perubahan global saat ini. Perubahan globalisasi yang terjadi terutama dibidang ekonomi maupun sosial budaya menuntut perhatian dan gerakan Pondok Pesantren untuk mengapresiasikan diri dalam arus globalisasi dan modernisasi yang tengah berlangsung. Pondok Pesantren harus mampu membangkitkan gairah dan semangat masyrakat guna meraih kemajuan menuju ke arah yang semakin sejahtera. Pondok Pesantren harus memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapakan pada runtuhnya sendi-sendi moral, melalui transformasi nilai yang ditawarkan terutama yang memiliki keterkaitan dengan upaya-upaya pelestarian lingkungan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kehadirannya bisa disebut sebagai agen perubahan sosial (agent of social change), yang selalu melakukan pembebasan pada masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, kemiskinan ilmu pengetahuan, dan bahkan dari pemiskinan ekonomi. Konsep penting yang perlu ada dalam berbagai aktivitas yang dilakukan di Pondok Pesantren, paling tidak meliputi empat hal : Pertama, Pembaharuan Subtansi atau isi pendidikan dengan memasukan subyek-subyek umum dan vocational. Kedua, pembaharuan metodologi seperti sistem klasikal atau penjenjangan. Ketiga, pembaruan kelembagaan seperti kepemimpinan dengan diversifikasi lembaga pendidikan. Keempat, pembaruan fungsi dari semula hanya fungsi pendidikan saja menjadi

5 sebuah fungsi yang mencangkup sosial ekonomi.