BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi stakeholder dan peranannya Jumlah stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan wisata alam di KBL ialah 21 Stakeholder. Stakeholder yang terlibat berasal dari instansi pemerintah provinsi dan kota, lembaga swasta, kelompok masyarakat, pengusaha perorangan, dan masyarakat. Hasil identifikasi stakeholder berdasarkan tingkatan administrasi disajikan pada Tabel 2. Peran stakeholder dalam pengelolaan wisata alam dalam penelitian ini dibedakan menjadi empat yaitu peran perlindungan sumberdaya, pemberdayaan masyarakat setempat, penyediaan pelayanan wisata, penyediaan data dan informasi wisata alam. Stakeholder yang berasal dari instansi pemerintah, lembaga swasta, kelompok masyarakat dan masyarakat dapat memiliki keempat peran tersebut ataupun hanya sebagian saja. Tabel 2 Tingkatan administratif stakeholder wisata alam No. Stakeholder Prov. Kota Kelurahan Kampung 1. Disbudpar Bandar Lampung 2. PT Bumi Kedaton 3. Perusahaan Wira Garden 4. UPTD Tahura WAR 5. Yayasan Taman Buaya Indonesia 6. PT Sutan Duta Sejati 7. Kelompok sadar wisata THKT 8. Yayasan Sahabat Alam 9. BKSDA Lampung 10. DKP Bandar Lampung 11. Disbudpar Lampung 12. Beppeda KBL 13. PT Alam Raya 14. KPPH Sumber Agung 15. Watala 16. HPI 17. PHRI 18. ASITA 19. WWF 20. Pengusaha Sukamenanti 21. Masyarakat

2 Instansi pemerintah Peran instansi pemerintah dalam pengelolaan wisata alam KBL meliputi perlindungan sumberdaya, pemberdayaan masyarakat setempat, penyediaan pelayanan wisata, dan penyediaan data serta informasi wisata alam. Peran instansi pemerintah dalam perlindungan sumberdaya dilakukaan melalui pengawasan yang berkaitan dengan lingkungan terhadap kawasan wisata alam. Peran instansi pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui pembentukan kelompok sadar wisata THKT di KBL. Peran instansi pemerintah dalam penyediaan pelayanan wisata dilakukan melalui perbaikan jalan menuju objek wisata. Peran instansi pemerintah dalam penyediaan data dan informasi dilakukan melalui inventarisasi atau kunjungan ke objek wisata dan dipublikasikan dalam media massa Lembaga swasta Pada umumnya peran lembaga swasta dalam pengelolaan wisata alam di KBL meliputi pemberdayaan masyarakat, penyediaan pelayanan wisata, penyediaan data dan informasi. Peran pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat, pembinaan tentang pembibitan tanaman kehutanan oleh Yayasan Sahabat Alam dan pembinaan serta penyuluhan manfaat hutan oleh Watala. Peran penyediaan pelayanan wisata dilakukan melalui penyediaan penginapan, restoran, program wisata, dan fasilitas lainnya yang dibutuhkan pengunjung. Peran penyediaan data dan informasi dilakukan melalui billboard, website, leaflet dan papan interpretasi yang menjelaskan flora dan fauna di dalam kawasan wisata alam Kelompok masyarakat Peran kelompok masyarakat dalam pengelolaan wisata alam di KBL meliputi perlindungan sumberdaya, pemberdayaan masyarakat setempat dan penyediaan pelayanan wisata. Peran perlindungan sumberdaya dilakukan melalui menjaga habitat satwaliar, menanam dan memelihara tumbuhan di kawasan

3 26 Tahura WAR, tidak berburu satwaliar dan tidak melakukan penebangan pohon. Peran kelompok masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui penyuluhan yang bersifat persuasif untuk menjaga hutan dan melindungi satwaliar yang berada di daerah tempat tinggal. Peran penyediaan pelayanan wisata hanya dilakukan kelompok sadar wisata THKT dengan membangun penampungan air di sumber mata air dalam kawasan THKT Pengusaha perorangan dan masyarakat Peran pengusaha perorangan dalam pengelolaan wisata alam di KBL ialah penyediaan pelayanan wisata. Peran penyediaan pelayanan wisata dilakukan melalui pembangunan fasilitas mushola, toilet dan tangga di wisata alam batu putu. Dana yang digunakan untuk pembangunan fasilitas juga berasal dari Disbudpar Bandar Lampung selaku pemilik objek wisata alam Batu Putu. Peran masyarakat dalam pengelolaan wisata alam di KBL sebagai penyedia pelayanan wisata. Peran masyarakat dalam penyediaan pelayanan wisata dilakukan melalui pembuatan warung makan didalam kawasan wisata alam maupun disepanjang jalan menuju kawasan wisata alam. 4.2 Pemetaan stakeholder Stakeholder yang telah teridentifikasi memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh berbeda terhadap pengelolaan wisata alam di KBL. Perbedaan tingkat kepentingan masing-masing stakeholder dipengaruhi oleh bentuk keterlibatan stakeholder dalam wisata alam, ketergantuang stakeholder terhadap wisata alam, program kerja masing-masing stakeholder yang berkaitan dengan wisata alam, manfaat yang diperoleh stakeholder dari wisata alam, peran yang dimainkan oleh stakeholder dalam pengelolaan wisata alam. Perbedaan tingkat ketergantungan stakeholder dipengaruhi oleh kekuatan kondisi, kekuatan kelayakan, kekuatan kompensasi, kekuatan individu, kekuatan organisasi (Gabriel 1983; Reed et al. 2009). Hasil analisis tingkat kepentingan stakeholder dapat dilihat pada Tabel 3 dan hasil analisis tingkat pengaruh dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil analisis

4 27 kepentingan dan pengaruh dengan menggunakan matriks Reed et al. (2009) dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel 3 Tingkat kepentingan stakeholder No. Nama Stakeholder Nilai I II III IV V Total 1. Disbudpar Bandar Lampung PT Bumi Kedaton Perusahaan Wira Garden UPTD Tahura WAR Yayasan Taman Buaya Indonesia PT Sutan Duta Sejati Kelompok sadar wisata THKT Yayasan Sahabat Alam BKSDA Lampung DKP Bandar Lampung Disbudpar Lampung Beppeda Bandar Lampung PT Alam Raya KPPH Sumber Agung Watala HPI PHRI ASITA WWF Pengusaha Sumamenanti Masyarakat Keterangan: I:keterlibatan; II: anfaat; III: persentase program kerja; IV: tingkat ketergantungan; V:peran Tabel 4 Tingkat pengaruh stakeholder No. Nama Stakeholder Nilai Total I II III IV V 1. Disbudpar Bandar Lampung PT Bumi Kedaton Perusahaan Wira Garden UPTD Tahura WAR Yayasan Taman Buaya Indonesia PT Sutan Duta Sejati Kelompok sadar wisata THKT Yayasan Sahabat Alam BKSDA Lampung DKP Bandar Lampung Disbudpar Lampung Beppeda KBL PT Alam Raya KPPH Sumber Agung Watala HPI PHRI ASITA WWF Pengusaha Sumamenanti Masyarakat Keterangan: I:kondisi; II: kelayakan; III: kompensasi; IV: kepribadian; V:organisasi

5 Kepentingan 28 Hasil perhitungan total nilai kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder dipetakan dalam matriks kepentingan dan pengaruh pada Gambar 4. Gambar 4 menjelaskan pembagian stakeholder dalam empat kelompok yaitu key player, subject, context setter dan crowd. Masing-masing kelompok memiliki jumlah stakeholder yang berbeda sesuai dengan tingkat kepentingan dan pengaruhnya. 25,0 22,5 20,0 17,5 15,0 12,5 10,0 7,5 5,0 2,5 2,5 Crowd 5,0 Keterangan : 1. Disbudpar K ota Bandar Lampung 2. PT Bumi Kedaton 3. Perusahaan Wira Garden 4. UPTD Tahura WAR 5. Yayasan Taman Buaya Indonesia 6. PT Sutan Duta Sejadi 7. Kelompok Sadar wisata THKT 8. Yayasan Sahabat Alam 9. BKSDA Lampung 10. DKP Bandar Lampung 11. Disbudpar Lampung 12. Bappeda Bandar Lampung 13. PT Alam Raya 14. KPPH Sumber Agung 15. Watala 16. HPI 17. PHRI 18. ASITA 19. WWF 20. Pengusaha sukamenanti 21. Masyarakat Gambar 4 Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholder wisata alam a. Key player Subject , ,0 12,5 15,0 Pengaruh 8 1 Key Player Context Setter 17,5 20,0 Key player merupakan stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang besar dan paling aktif dalam pengelolaan (Reed et al. 2009). Stakeholder yang dikategorikan kelompok key player dalam pengelolaan wisata alam di KBL ialah Disbudpar Bandar Lampung. Hal itu karena Disbudpar Bandar Lampung merupakan instansi pemerintah daerah yang diberikan mandat untuk melaksanakan urusan pemerintah daerah di bidang kebudayaan dan pariwisata di KBL. Sehingga semua sumberdaya alam milik pemerintah daerah yang akan dijadikan objek wisata alam harus melalui persetujuan Disbudpar Bandar 22,5 25,0

6 29 Lampung. Selain itu, Disbudpar Bandar Lampung juga bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap pertumbuhan dan perkembangan wisata alam di KBL. b. Subject Subject merupakan stkaeholder yang memiliki kepentingan yang besar tetapi pengaruh kecil. Stakeholder jenis ini bersifat supportive, mempunyai kapasitas yang kecil untuk mengubah situasi (Reed et al. 2009). Stakeholder yang dikategorikan dalam kelompok subject ialah PT Bumi Kedaton, Perusahaan Wira Garden, UPTD Tahura WAR, Yayasan Taman Buaya Indonesia, PT Sutan Duta Sejadi. Keseluruhan stakeholder yang masuk dalam kelompok subject merupakan para pemilik objek wisata alam di KBL. Kelompok subject memiliki kepentingan tinggi karena melakukan pengelolaan langsung terhadap objek wisata alam yang dimiliki baik berupa pembangunan fasilitas, pembuatan program wisata, pemasaran, dan penanganan pencemaran lingkungan dari kegiatan wisata alam. Pengelolaan yang dilakukan bertujuan untuk menarik pengunjung ke objek wisata alam yang dimilikinya. Kelompok subject memiliki pengaruh kecil karena kurangnya kerjasama dengan stakeholder lainnya. Kelompok subject hanya melakukan kerjasama dengan masyarakat setempat. Kerjasama yang dilakukan dengan masyarakat setempat berupa pengamanan objek wisata alam. c. Context setter Context setter merupakan stkaeholder yang memiliki pengaruh besar tetapi kepentingan kecil (Reed et al. 2009). Stakeholder yang masuk dalam kelompok context setter ialah Yayasan Sahabat Alam. Yayasan Sahabat Alam memiliki kepentingan rendah karena kegiatan wisata yang dilakukan hanya berupa wisata pendidikan kepada anak sekolah dan wisata bukan merupakan tujuan utama yayasan. Tujuan utama Yayasan Sahabat Alam adalah konservasi kupu-kupu di KBL. Yayasan Sahabat Alam memiliki pengaruh yang besar karena pemilik dan sebagian besar pengurus yayasan bergerak dibidang akademisi yaitu sebagai dosen di Universitas Lampung (UNILA). Profesi yang dimiliki pemilik dan

7 30 pengurus yayasan dapat mempengaruhi instansi pemerintah, LSM, dan masyarakat setempat. Pengaruh kepada instansi pemerintah dilakukan melalui pendapat dan saran dalam suatu kegiatan wisata seperti pameran. Pengaruh kepada LSM diberikan melalui kerjasama dalam bentuk project di bidang konservasi. Pengaruh kepada masyarakat diberikan melalui penyuluhan dan bimbingan dalam menanam bibit tanaman kehutanan. Bibit tanaman kehutanan masyarakat kemudian dibeli yayasan untuk ditanam di dalam kawasan Taman Kupu-Kupu Gita Persada. d. Crowd Crowd merupakan stakeholder dengan kepentingan dan pengaruh yang kecil. Stakeholder ini akan mempertimbangkan segala kegiatan yang mereka lakukan (Reed et al. 2009). Stakeholder yang termasuk dalam kelompok crowd ialah DKP Bandar Lampung, Disbudpar Lampung, Bappeda Bandar Lampung, PT Alam Raya, KPPH Sumber Agung, Watala, HPI, PHRI, ASITA, WWF, Pengusaha Sukamenanti dan Masyarakat. Kelompok crowd memiliki kepentingan dan pengaruh kecil karena sebagian besar wilayah kerjanya berada di tingkat provinsi seperti Disbudpar Lampung, BKSDA Lampung, Watala, HPI, PHRI, ASITA dan WWF. Sehingga program kerja para stakeholder tersebut tidak terfokus di KBL melainkan untuk seluruh Provinsi Lampung. Stakeholder yang memiliki wilayah kerja di KBL seperti DKP Bandar Lampung dan Bappeda Bandar Lampung juga memiliki kepentingan dan pengaruh kecil karena kedua instansi hanya terlibat dalam perencanaan wisata alam di KBL. Perencanaan wisata alam yang telah dibuat dalam bentuk zonasi diserahkan kepada Disbudpar Bandar Lampung untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata alam. PT Alam Raya memiliki kepentingan dan pengaruh kecil karena PT Alam Raya sebenarnya bergerak dibidang pembangunan dan pemasaraan perumahan Pantai Puri Gading. PT Alam Raya hanya memanfaatkan keberadaan pantai di dalam perumahan menjadi objek wisata alam untuk meningkatkan nilai jual perumahan. KPPH Sumber Agung dan Pengusaha Sukamenanti memiliki kepentingan dan pengaruh kecil karena KPPH Sumber

8 31 Agung hanya sebagai mitra UPTD Tahura WAR dalam menjaga kawasan Tahura WAR sedangkan Pengusaha Sumanenanti hanya sebagai mitra Disbudpar Bandar Lampung pada pelaksanaan kegiatan wisata di Wisata Alam Batu Putu. Masyarakat memiliki kepentingan dan pengaruh kecil karena masyarakat belum dapat memanfaatkan peluang adanya objek wisata untuk menambah penghasilan kecuali sebagai pekerja di objek wisata. Selain itu masyarakat juga masih dianggap sebagai objek yang dipengaruhi bukan sebagai pelaku kegiatan wisata. 4.3 Identifikasi TUPOKSI dan aturan kelembagaan stakeholder Setiap instansi pemerintah memiliki Tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) sesuai bidang yang dimandatkan kepada instansi. Stakeholder yang berasal dari lembaga swasta dan kelompok masyarakat memiliki aturan kelembagaan yang menjelaskan fungsi dan tujuan lembaga. TUPOKSI instansi pemerintah dan aturan kelembagaan lembaga swasta serta kelompok masyarakat yang telah dianalisis dapat dilihat pada Tabel 5. TUPOKSI instansi pemerintah pada Tabel 5 telah mencakup seluruh instansi yang terlibat dalam pengelolaan wisata alam di KBL tetapi aturan kelembagaan yang tercantum pada Tabel 5 belum mencakup seluruh stakeholder wisata alam di KBL. Hal itu karena beberapa lembaga swasta dan kelompok masyarakat belum memiliki aturan kelembagaan secara tertulis meskipun telah memiliki struktur organisasi. Tabel 5 Hasil analisis TUPOKSI dan aturan kelembagaan Stakeholder No. Nama Instansi / Lembaga/ Kelompok 1. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bandar Lampung 2 Dinas Kelautan dan Perikanan Bandar Lampung Dokumen Komponen Keterangan TUPOKSI Konservasi Pasal 21 Partisipasi Pasal 23,26 Manfaat ekonomi Pasal 24 Edukasi Pasal 4,11 Wisata Pasal3,4,16,17,19,20,21, 25, dan 26 TUPOKSI Konservasi Pasal Partisipasi - Manfaat ekonomi - Edukasi Pasal 21 Wisata -

9 32 No. Nama Instansi / Lembaga/ Kelompok 3. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bandar Lampung Dokumen Komponen Keterangan TUPOKSI Konservasi Pasal 15,20,21 Partisipasi - Manfaat ekonomi - Edukasi - Wisata - 4. BKSDA Lampung TUPOKSI Konservasi Pasal 2,3,11,12,14,15, 17 Partisipasi - Manfaat Ekonomi Pasal 3 Edukasi Pasal 12,14,16,17 Wisata Pasal 3,14,16,17 5. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung 6. UPTD Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman 7. Kelompok sadar wisata THKT Taman Hutan 8. Perhimpunan Hotel dan Retoran Indonesia 9. Himpunan Pramuwisata Indonesia 10. Asosiasi Tour dan Travel Indonesia 11. Watala Visi dan Misi 12. PT Sutan Duta Sejadi Visi dan Misi TUPOKSI Konservasi - Partisipasi - Manfaat ekonomi Pasal 20 Edukasi - Wisata Pasal 20 TUPOKSI Konservasi Pasal 155 Partisipasi - Manfaat ekonomi - Edukasi Pasal 157 Wisata - AD-RT Konservasi Pasal 1 dan 7 Partisipasi Pasal 7 Manfaat ekonomi Pasal 7 Edukasi Pasal 1 Wisata Pasal 1 AD-RT Konservasi - Partisipasi - Manfaat ekonomi Pasal 6 Edukasi Pasal 6 Wisata Pasal 7 AD-RT Konservasi - Partisipasi - Manfaat ekonomi Pasal 8 Edukasi Pasal 6 Wisata Pasal 6 AD-RT Konservasi - Partisipasi - Manfaat ekonomi Pasal 8 Edukasi Pasal 6 Wisata Pasal 6 Konservasi Visi dan misi Partisipasi Tujuan khusus Manfaat ekonomi - Edukasi Tujuan khusus Wisata - Konservasi - Partisipasi - Manfaat ekonomi - Edukasi - Wisata Visi dan misi

10 33 Analisis isi TUPOKSI dan aturan kelembagaan pada Tabel 4 menunjukkan komponen yang paling banyak dijelaskan dalam TUPOKSI dan aturan kelembagaan adalah komponen wisata sedangkan komponen yang paling sedikit dijelaskan dalam TUPOKSI dan aturan kelembagaan adalah komponen partisipasi. Komponen wisata paling banyak dijelaskan karena sebagian besar stakeholder merupakan pelaksana kegiatan wisata di KBL. Komponen partisipasi paling sedikit dijelaskan karena sebagian stakeholder tidak melibatkan masyarakat dalam bidang wisata melainkan melibatkan masyarakat dalam bidang kerja masing-masing misalnya UPTD Tahura WAR yang melibatkan masyarakat untuk menjaga dan melestarikan sumberdaya alam. 5.4 Hubungan stakeholder wisata alam Hubungan stakeholder wisata alam dapat dilihat melalui dokumen dan wawancara kepada informan kunci. Dokumen yang dapat menjelaskan hubungan diantara stakeholder adalah dokumen TUPOKSI instansi pemerintah dan aturan kelembagaan lembaga swasta serta kelompok masyarakat. Hubungan antara stakeholder yang dilihat melalui wawancara informan kunci merupakan hubungan antara stakeholder yang terjadi di lapangan. Hubungan antara stakeholder melalui dokumen dan wawancara informan kunci dapat dikelompokkan menjadi hubungan koordinasi, kerjasama, dan komunikasi. Masing-masing kelompok hubungan akan dilihat letak hubunganya berdasarkam komponen wisata alam meliputi konservasi, partisipasi, manfaat ekonomi, edukasi dan wisata. Peta hubungan diantara stakeholder dalam pengelolaan wisata alam di KBL dapat dilihat pada Gambar 5.

11 34 UPTD Tahura WAR BKSDA Lampung Disbudpar Lampung Disbudpar Bandar Lampung Bappeda Bandar Lampung DKP KBL Yayasan Sahabat Alam Watala KPH Sumber Agung Pengembangan Wisata Alam di KBL Kelompok Masyarakat sadar wisata taman hutan kera tirtosari Masyarakat PHRI WWF ASITA PT Bumi Kedaton Yayasan Taman Buaya Indonesia PT Sutan Duta Sejadi PT Alam Raya Perusahaan Wira Garden Pengusaha Sukamenanti Keterangan : : Koordinasi di lapangan; : Kerjasama di lapangan; : Komunikasi di lapangan; : Koordinasi dalam dokumen; : Kerjasama dalam dokumen; : Komunikasi dalam dokumen HPI Gambar 5 Peta hubungan stakeholder wisata alam berdasarkan dokumen dan hasil wawancara.

12 Koordinasi Koordinasi merupakan proses penyatuan unit organisasi yang berbeda untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama (Denise 2011). Koordinasi juga merupakan suatu kesatuan usaha bersama dari beberapa bagian, komponen, kelompok, atau organisasi yang memiliki bermacam sikap, tugas dan wewenang masing-masing agar tercipta suatu keserasian, keselarasan, dan kesatuan tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama (Damayanti 2006). Hubungan koordinasi antara stakeholder wisata alam di KBL terletak dalam komponen konservasi dan wisata. Hubungan koordinasi dalam komponen konservasi terjadi pada BKSDA Lampung dengan UPTD Tahura WAR, Disbudpar Bandar Lampung dengan Bappeda Bandar Lampung dan DKP Bandar Lampung. Hubungan koordinasi dalam komponen wisata terjadi pada Disbudpar Lampung dengan Disbudpar Bandar Lampung. Hubungan koordinasi diantara instansi pemerintah diatas terlihat dalam dokumen TUPOKSI dan kenyataan dilapangan. Hubungan koordinasi yang terjadi antara BKSDA Lampung dengan UPTD Tahura WAR, Disbudpar Bandar Lampung dengan Bappeda Bandar Lampung dan DKP Bandar Lampung disebut hubungan koordinasi horizontal sedangkan hubungan koordinasi antara Disbudpar Lampung dengan Disbudpar Bandar Lampung disebut hubungan koordinasi vertikal. Hubungan koordinasi horizontal adalah hubungan koordinasi yang dilaksanakan diantara instansi/organisasi yang berada pada tingkat yang sama sedangkan hubungan koordinasi vertikal adalah hubungan koordinasi yang dilaksanakan oleh badanbadan pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya terhadap badan-badan yang lebih rendah tingkatannya (Hadjan 1994). Hubungan koordinasi pada komponen konservasi antara BKSDA Lampung dengan UPTD Tahura WAR di dalam dokumen TUPOKSI terlihat pada pasal 15 TUPOKSI BKSDA Lampung dan pasal 155 TUPOKSI UPTD Tahura WAR. TUPOKSI BKSDA Lampung pasal 15 menjelaskan tentang tugas BKSDA Lampung khususnya bidang konservasi sumberdaya alam wilayah dalam

13 36 mengkoordinasikan pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya di dalam dan di luar kawasan konservasi serta koordinasi teknis pengelolaan kawasan konservasi. TUPOKSI UPTD Tahura WAR pasal 155 menjelaskan tentang fungsi UPTD Tahura WAR untuk melakukan perencanaan, pembinaan, pemanfaatan dan perlindungan Tahura WAR. Kedua pasal yang telah disebutkan menjelaskan UPTD Tahura WAR melakukan koordinasi kepada BKSDA Lampung dalam melakukan pengelolaan Tahura WAR. Hubungan koordinasi antara BKSDA Lampung dan UPTD Tahura WAR di lapangan terlihat melalui adanya penyusunan rencana pengelolaan dan laporan evaluasi UPTD Tahura WAR kepada BKSDA Lampung terkait pengelolaan kawasan Tahura WAR. Hubungan koordinasi pada komponen konservasi antara Disbudpar Bandar Lampung, Bappeda Bandar Lampung dan DKP Bandar Lampung di dalam dokumen terlihat pada pasal TUPOKSI Disbudpar Bandar Lampung, pasal 15,20,21 TUPOKSI Bappeda Bandar Lampung, pasal TUPOKSI DKP Bandar Lampung. Pasal TUPOKSI Disbudpar Bandar Lampung menjelaskan tugas Disbudpar Bandar Lampung untuk melakukan pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi usaha rekreasi dan usaha objek wisata. Pasal 15,20 dan 21 TUPOKSI Bappeda Bandar Lampung menjelaskan tentang tugas Bappeda Bandar Lampung dalam penataan ruang, pengendalian pembangunan dan prasarana di bidang pertanian, kehutanan, peternakan dan kelautan. Pasal TUPOKSI DKP Bandar Lampung menjelaskan tugas DKP Bandar Lampung untuk melakukan pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya. Pasal-pasal yang telah disebutkan menjelaskan ketiga instansi memiliki tugas melakukan konservasi sesuai dengan cakupan kerjanya. Pelaksanaan tugas konservasi pada masing-masing instansi memerlukan koordinasi agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan. Hubungan koordinasi antara Disbudpar Bandar Lampung, Bappeda Bandar Lampung dan DKP Bandar Lampung di lapangan terlihat dari keseluruhan program kerja dan kegiatan Disbudpar Bandar Lampung dan DKP Bandar Lampung diserahkan

14 37 terlebih dahulu kepada Bappeda Bandar Lampung untuk dilakukan sinkronisasi recana kegiatan. Hubungan koordinasi antara Disbubpar Lampung dengan Disbudpar Bandar Lampung di dalam dokumen TUPOKSI terlihat pada pasal 20 TUPOKSI Disbudpar Lampung dan pasal 3-4 TUPOKSI Disbudpar Bandar Lampung. Pasal 20 TUPOKSI Disbudpar Lampung menjelaskan tugas Disbudpar Lampung yaitu perumusan kebijakan teknis, penyelenggaraan urusan pemerintah dan pelayanan umum, pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kebudayaan dan pariwisata. Pasal 3 TUPOKSI Disbudpar Bandar Lampung menjelaskan tugas pokok Disbudpar Bandar Lampung yaitu melaksanakan urusan pemerintah daerah di bidang kebudayaan dan pariwisata berdasarkan azas ekonomi dan tugas pembantuan serta perundang-undangan yang berlaku sedangkan pasal 4 menjelaskan fungsi Disbudpar Bandar Lampung dalam perumusan kebijakan teknis, penyelenggaraan urusan pemerintah dan pelayanan umum, pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kebudayaan dan pariwisata. Ketiga pasal diatas menjelaskan adanya hubungan koordinasi dalam komponen wisata antara Disbudpar Lampung dengan Disbudpar Bandar Lampung dalam melakukan tugas dan fungsi berdasarkan tugas pembantuan. Hubungan koordinasi antara Disbudpar Lampung dengan Disbudpar Bandar Lampung di lapangan terlihat dari pembinaan dan pengarahan yang dilakukan Disbudpar Lampung kepada Disbudpar Bandar Lampung untuk perencanaan suatu acara dan pemberian laporan program dan kegiatan yang telah dilaksanakan Disbudpar Bandar Lampung setiap tahunnya kepada Disbudpar Lampung Kerjasama Kerjasama (Cooperation) adalah keterlibatan secara pribadi diantara kedua belah pihak dami tercapainya penyelesaian masalah yang dihadapi secara optimal (Sunarto 1993). Kerjasama dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama (Soekanto 2009). Sehingga kerjasama merupakan suatu

15 38 keterlibatan/ usaha bersama diantara dua belah pihak (perorangan atau kelompok) untuk satu atau beberapa tujuan bersama serta menghadapi masalah secara optimal. Kerjasama dapat dibedakan menjadi tiga (Soekanto 2009) yaitu kerjasama spontan (spontaneous coorperation), kerjasama langsung (directed coorperation), kerjasama kontrak (contractual coorperation) dan kerjasama tradisional (traditional coorperation). Kerjasama spontan adalah kerjasama yang serta merta. Kerjasama langsung merupakan hasil dari perintah atasan atau penguasa. Kerjasama kontrak merupakan kerjasama atas dasar tertentu. Kerjasama tradisional merupakan kerjasama sebagai bagian dari unsur atau sistem sosial. Kerjasama yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah kerjasama kontrak. Kerjasama yang dilakukan antara stakeholder wisata alam di KBL atas dasar TUPOKSI, aturan lembaga, kesamaan tujuan atau visi dan misi diantara lembaga/instansi/kelompok masyarakat. Hubungan kerjasama antara stakeholder wisata alam di KBL terletak pada komponen konservasi, manfaat ekonomi, edukasi dan wisata. Stakeholder yang memiliki hubungan kerjasama pada komponen konservasi yaitu UPTD Tahura WAR dengan Yayasan Sahabat Alam, WWF, Watala dan KPH Sumber Agung. Stakeholder yang memiliki hubungan kerjasama pada komponen manfaat ekonomi yaitu Disbudpar Bandar Lampung dengan PHRI, ASITA dan HPI. Stakeholder yang memiliki hubungan kerjasama pada komponen edukasi ialah UPTD Tahura WAR dan Watala dengan KPH Sumber Agung, Disbudpar Bandar Lampung dengan Kelompok sadar wisata THKT, Disbudpar Bandar Lampung dengan PHRI. Stakeholder yang memiliki hubungan kerjasama dalam komponen wisata ialah Disbudpar Bandar Lampung dengan PHRI, ASITA, HPI, PT Sutan Duta Sejadi dan Pengusaha Sukamenanti. Hubungan kerjasama pada komponen konservasi antara UPTD Tahura WAR dengan Watala di dalam dokumen dijelaskan pada pasal 155 TUPOKSI UPTD Tahura WAR dan visi serta misi Watala. Pasal 155 UPTD Tahura WAR menjelaskan tentang tugas pelaksanaan teknis operasional dan Perencanaan, pembinaan, pamanfaatan dan perlindungan Tahura WAR. Visi dan misi Watala

16 39 berisi tentang mewujudkan lingkungan yang serasi, berkeadilan dan berkelanjutan bagi masyarakat. TUPOKSI dan visi serta misi Watala menjelaskan tentang adanya kesamaan tujuan untuk melindungi dan menjaga lingkungan. Hubungan kerjasama antara UPTD Tahura WAR dengan Watala dan KPH Sumber Agung di lapangan terlihat dari kerjasama dalam betuk kemitraan untuk melindungi Tahura WAR dengan berbagai proyek yang dilakukan seperti inventarisasi flora dan fauna, perlindungan kawasan hutan, dan penanaman tumbuhan dalam kawasan Tahura WAR. Hubungan kerjasama antara UPTD Tahura WAR, Yayasan Sahabat Alam, WWF dan KPH Sumber Agung tidak terdapat dalam dokumen melainkan terjadi di Lapangan. Hubungan kerjasama UPTD Tahura WAR dengan Yayasan Sahabat Alam terjadi melalui peminjaman kawasan Tahura WAR seluas 3,7 hektar oleh UPTD UPTD WAR kepada Yayasan Sahabat Alam agar dikelola sebagai tempat pelestarian kupu-kupu. Hubungan kerjasama antara Yayasan Sahabat Alam dan WWF terjadi dengan adanya bantuan dana dari WWF kepada Yayasan Sahabat Alam untuk kegiatan konservasi. Hubungan kerjasama pada komponen manfaat ekonomi antara Disbudpar Bandar Lampung, PHRI, ASITA dan HPI di dalam dokumen dijelaskan pada pasal 24 TUPOKSI Disbudpar Bandar Lampung, ADRT PHRI pasal 7, ADRT HPI pasal 8 dan ADRT ASITA pasal 6. TUPOKSI Disbudpar pasal 24 menjelaskan tentang tugas Disbudpar dalam melakukan kegiatan promosi untuk meningkatkan kunjungan wisatawan. ADRT PHRI pasal 7 menjelaskan tentang tujuan PHRI untuk berperan aktif dalam kegiatan promosi di dalam dan di luar negeri untuk meningkatkan dan memantapkan iklim usaha kepariwisataan. ADRT HPI pasal 8 mejelaskan tentang tugas dan usaha HPI untuk menciptakan kerjasama dengan pemerintah maupun komponen usaha jasa pariwisata demi terciptanya lapangan kerja yang layak dan merata bagi anggota. ADRT ASITA pasal 6 menjelaskan tentang tujuan ASITA untuk meningkatkan peran anggota sebagai salah satu pelaku utama pariwisata nasional, penghasil devisa dan peningkatan pendapatan serta pengembangan kapasitas usaha berdaya saing global. TUPOKSI dan ADRT ke-empat stakeholder tersebut saling mendukung

17 40 dalam mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatan wisata dengan peningkatan kegiatan promosi dan pengembangan kapasitas kerja. Hubungan kerjasama antara Disbudpar Bandar Lampung, PHRI, HPI dan ASITA pada komponen manfaat ekonomi tidak ditemukan dilapangan. sehingga hubungan kerjasama antara Disbudpar Bandar Lampung, PHRI, ASITA, dan HPI dalam komponen manfaat ekonomi disebut potensial kerjasama. Hubungan kerjasama pada komponen edukasi antara UPTD Tahura WAR dan Watala dengan KPH sumber agung terlihat dalam TUPOKSI UPTD Tahura WAR pasal 157 yang menjelaskan tugas UPTD Tahura WAR untuk melaksanakan pembinaan kepada masyarakat/lembaga masyarakat di sekitar kawasan hutan yang menjadi wilayah kerjanya dan tujuan khusus Watala untuk Mendorong partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Hubungan kerjasama yang terjadi dilapangan antara ketiga stakeholder ialah penyuluhan dan pembinaan tentang kehutanan dari UPTD Tahura WAR dan Watala kepada KPH Sumber Agung yang tinggal di sekitar kawasan Tahura WAR. Penyuluhan dan pembinaan yang dilakukan meliputi penyuluhan tentang pentingnya menjaga hutan dan pembinaan dengan cara pemberian lahan garapan kepada masyarakat untuk ditanami tanaman tahunan. Pembinaan ini berdampak positif terhadap peningkatan perlindungan hutan oleh masyarakat dan peralihan profesi masyarakat dari petani tanaman semusim mejadi petani tanaman tahunan. Hubungan kerjasama pada komponen edukasi antara Disbudpar Bandar Lampung dengan Kelompok Sadar Wisata Taman Hutan Kera Tirtosar dalam dokumen dijelaskan pada pasal 4 dan 11 TUPOKSI Disbudpar Bandar Lampung dan pasal 1 ADRT Kelompok sadar wisata THKT. Pasal 4 dan pasal 11 TUPOKSI Disbudpar Bandar Lampung menjelaskan tentang pembinaan di bidang kebudayaan dan pariwisata kepada masyarakat. Pasal 1 ADRT Kelompok sadar wisata THKT menjelaskan peningkatan pendalaman masyarakat terhadap wisata. Hubungan kerjasama yang terjadi di lapangan antara Disbudpar Bandar Lampung dan Kelompok sadar wisata THKT ialah pembinaan Disbudpar Bandar Lampung

18 41 tentang sadar wisata terhadap kelompok sadar wisata yang telah dibentuk kemudian Kelompok sadar wisata THKT mengajak masyarakat disekitar kawasan untuk melakukan kegiatan sadar wisata. Hubungan kerjasama pada komponen edukasi Disbudpar Bandar Lampung dengan PHRI dalam dokumen dijelaskan pada pasal 4, pasal 11 TUPOKSI Disbudpar Bandar Lampung dan pasal 7 ADRT PHRI. Pasal 4 dan 11 TUPOKSI Disbudpar Bandar Lampung menjelaskan tentang pembinaan di bidang kebudayaan dan pariwisata kepada masyarakat. Pasal 7 ADRT PHRI menjelaskan tentang usaha PHRI dalam mencapai tujuan meliputi memajukan dan menumbuhkembangkan semangat kepariwisataan, menggalang kerjasama dan solidaritas sesama anggota dan seluruh unsur keperiwisataan nasional dan internasional. Hubungan kerjasama yang terjadi dilapangan antara Disbudpar Bandar Lampung dan PHRI tidak ditemukan. Hal itu karena masing-masing stakeholder melakukan kegiatan pelatihan pariwisata sendiri tanpa adanya kerjasama. Hubungan kerjasama pada komponen wisata antara Disbudpar Bandar Lampung, PHRI, HPI, ASITA dan PT Sutan Duta Sejadi dalam dokumen dijelaskan pada pasal 3,4,20 TUPOKSI Disbudpar Bandar Lampung, pasal 6 ADRT PHRI, pasal 6 ADRT HPI, pasal 1 dan 8 ADRT ASITA dan visi PT Sutan Duta Sejadi sedangkan untuk kerjasama dengan Pengusaha Sukamenenti tidak berada dalam dokumen. Pasal 3, 4 dan 20 TUPOKSI Disbudpar Bandar Lampung menjelaskan tentang tugas Disbudpar dalam mengurus urusan pemerintah daerah di bidang kebudayaan dan pariwisata yang meliputi perumusan kebijakan teknis di bidang kebudayaan dan pariwisata, penyelenggaraan urusan pemerintah dan pelayanan umum di bidang kebudayaan dan pariwisata, pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kebudayaan dan pariwisata. Pasal 6 ADRT PHRI menjelaskan tujuan PHRI sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan pariwisata. Pasal 6 ADRT HPI menjelaskan tentang tujuan HPI dalam melaksanakan dan mensukseskan pembangunan pariwisata. Pasal 1 dan 8 ADRT ASITA menjelaskan tentang fungsi ASITA untuk melakukan kerjasama dengan

19 42 para pihak untuk kepentingan pariwisata. Visi PT Sutan Duta Sejadi berisi tentang peningkatan pariwisata Lampung. Hubungan kerjasama antara Disbudpar Bandar Lampung, PHRI, HPI dan ASITA di lapangan terjadi saat adanya acara-acara yang digelar oleh Disbudpar Bandar Lampung. Pada acara tersebut Disbudpar melibatkan dengan PHRI, HPI dan ASITA dalam pelaksanaan acara dan kegiatan promosi. Selain itu PHRI, HPI dan ASITA dianggap sebagai mitra Disbudpar Bandar Lampung dalam menghimpun keluhan, saran dan pendapat para pengusaha pariwisata di KBL. Keluhan, saran dan pendapat tersebut disampaikan kepada Disbudpar Bandar Lampung setiap tahunnya dalam forum pertemuan yang membahas pariwisata. Hubungan kerjasama antara Disbudpar Bandar Lampung dan Pengusaha Sukamenenti terlihat dari peminjaman lahan wisata milik pemerintah daerah kepada Pengusaha Sukamenanti untuk dikelola dan pembagunan fasilitas oleh Disbudpar Bandar Lampung di kawasan wisata yang dikelola oleh pengusaha sukamenanti. Hubungan kerjasama PT sutan duta sejadi dengan stakeholder lainnya tidak ditemukan di lapangan Komunikasi Komunikasi merupakan proses memahami satusama lainnya dan proses informasi baik berupa fakta, kebijakan, prospek, rumor dan kegagalan dapat disebarkan dalam organisasi (Denise 2011). Komunikasi dalam organisasi juga merupakan proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau selalu berubah-ubah (Muhammad 2004). Definisi komunikasi muhammad 2004 mengandung tujuh konsep kunci yaitu proses, pesan, jaringan, saling tergantung, hubungan, lingkungan dan ketidakpastian. Hubungan komunikasi antara stakeholder wisata alam di KBL terletak pada komponen konservasi dan wisata. Stakeholder yang memiliki hubungan komunikasi pada komponen konservasi ialah BKSDA Lampung dengan PT Bumi Kedaton. Stakeholder yang memiliki hubungan komunikasi pada komponen wisata ialah PHRI dengan PT Bumi Kedaton dan Perusahaan Wira Garden.

20 43 Hubungan komunikasi pada komponen konservasi di dalam dokumen antara BKSDA Lampung dan PT Bumi terdapat pada pasal 2 BKSDA Lampung yang menjelaskan tugas BKSDA Lampung untuk menyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di dalam dan di luar kawasan konservasi. Hubungan komunikasi antara BKSDA Lampung dan PT Bumi kedaton di lapangan melalui laporan PT Bumi Kedaton terhadap BKSDA Lampung tentang kondisi dan keadaan satwaliar di dalam kawasan wisata dan komunikasi apabila terdapat pemindahan satwaliar dari kawasan wisata ataupun penambahan satwaliar dari tempat lain. Hubungan komunikasi antara PHRI dengan PT Bumi Kedaton dan Perusahaan Wira Garden merupakan komunikasi antara perhimpunan dengan anggotanya. Hubungan komunikasi pada komponen wisata dijelaskan pada pasal 8 ADRT PHRI yang berisi usaha PHRI untuk mencapai tujuan dengan cara membantu dan membina usaha para anggota, memberikan perlindungan, menerima masukan, memberi bimbingan dan konsultasi serta pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan mutu anggota. Hubungan komunikasi yang terjadi dilapangan antara PHRI dengan PT Bumi Kedaton dan Perusahaan Wira Garden ialah bimbingan dan konsultasi serta penerimaan keluhan, saran dan kritik tentang pariwisata di KBL. keluhan, saran dan kritik yang telah diberikan akan disampaikan kepada pemerintah KBL dan pemerintah Provinsi Lampung. 4.4 Identifikasi kebijakan wisata alam Kebijakan yang digunakan untuk pengelolaan wisata alam di Kota Bandar Lampung berjumlah 8 kebijakan. Kebijakan yang digunakan terdiri dari 5 kebijakan nasional dan 3 kebijakan daerah. Kebijakan nasional yang digunakan dalam pengelolaan wisata alam di KBL meliputi undang undang nomor 9 tahun 1990, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, peraturan pemerintah nomor 8 tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010, dan peraturan menteri kehutanan nomor 53 tahun Kebijakan daerah yang digunakan dalam

21 44 pengelolaan wisata alam di KBL meliputi peraturan daerah Kota Bandar Lampung nomor 16 tahun 2008, Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 9 Tahun 2003 dan peraturan walikota Bandar Lampung nomor 31.A tahun Hasil anaslis kebijakan nasional dan daerah disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil analis kebijakan wisata alam No. Kebijakan Komponen Keterangan 1. Undang- undang No. 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan Konservasi Pasal 4,6,12,23,24,25,26 27, 28,29,30,59,64 Partisipasi Pasal 1,2,9,12,26 Manfaat ekonomi Pasal 3,4,5,12 Edukasi Pasal 4,26,30,52 Wisata Pasal 1,4,5,6,9,12,19, 2. UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya 23,24, 26-30, Konservasi Pasal 1-5,11,28,31,37 Partisipasi - Manfaat ekonomi - Edukasi Pasal 31,36,37 Wisata Pasal 31,36 3. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar 4. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam 5. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 53 Tahun 2006 tentang Lembaga Konservasi 6. Peraturan Daerah KBL nomor 9 tahun 2003 tentang izin usaha kepariwisataan 7. Peraturan Daerah KBL nomor 16 tahun 2008 tentang Kepariwisataan 8. Peraturan WaliKBL Nomor 31.A tahun 2010 tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil KBL Konservasi Pasal 2,4,30,31,35, 40, Partisipasi - Manfaat ekonomi Pasal 2,3 Edukasi Pasal 3,4,31 Wisata Pasal 1,3 Konservasi Pasal 1,2,5,18,21,28 Partisipasi Pasal 1,21 Manfaat ekonomi Pasal 14,21 Edukasi Pasal 5 Wisata Pasal 1,7,8,30 Konservasi Pasal 1,2,16,21,22,24, 25,29,31 Partisipasi - Manfaat ekonomi - Edukasi - Wisata Pasal 2,22 Konservasi Pasal 4,8,9 Partisipasi - Manfaat ekonomi Pasal 11,14 Edukasi - Wisata Pasal 1,3,11 Konservasi Pasal 2,3,40 Partisipasi Pasal 79,80 Manfaat ekonomi - Edukasi Pasal 23 Wisata Pasal 1-3,12-17,31-33 Konservasi Pasal 1,2,5,8,12,14 Partisipasi - Manfaat ekonomi - Edukasi Pasal 8 Wisata Pasal 3,8

22 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 merupakan kebijakan nasional tentang kepariwisataan. Undang-Undang Nomor10 Tahun 2009 digunakan sebagai dasar kebijakan nasional bagi pengembangan pariwisata termasuk wisata alam di KBL tetapi dalam pelaksanaanya undang-undang ini masih dalam tahap sosialiasi oleh Disbudpar Bandar Lampung. Proses aplikasi akan dilakukan apabila proses sosialisasi kebijakan telah selesai dilakukan. Proses sosialisasi dimaksudkan untuk memberikan pengarahan tentang beberapa perubahan aturan tentang pariwisata sehingga pelaku kegiatan wisata mengetahui perubahan peraturan dan tidak merasa dirugikan akibat adanya perubahan peraturan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 berisi komponen-komponen wisata alam yang meliputi konservasi, partisipasi, manfaat ekonomi, edukasi dan wisata. Komponen yang paling banyak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 yaitu komponen wisata yang dijelaskan dalam 14 pasal sedangkan komponen yang paling sedikit terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 yaitu komponen manfaat ekonomi dan komponen edukasi yang hanya dijelaskan dalam empat pasal. Kompenen konservasi tedapat pada pasal 4,6,12,23,24,25,26 27, 28,29,30,59, dan 64, Komponen partisipasi terdapat pada pasal 1,2,9,12, dan 26, komponen manfaat ekonomi terdapat pada pasal 3,4,5,12, komponen edukasi terdapat pada pasal 4,26,30,52, dan komponen wisata terdapat pada pasal 1,4,5,6,9,12,19, 23,24, 26 sampai 30. Komponen konservasi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 dijelaskan melalui tujuan kepariwisataan, prinsip kepariwisataan dan azas kepariwisataan untuk melestarikan daya tarik wisata, tanggung jawab pelaku kegiatan pariwisata, dan sanksi yang diberikan apabila merusak daya tarik wisata. Komponen partisipasi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 dijelaskan melalui pemberian kesempatan yang sama dan seluas-luasnya kepada masyarakat dalam menyediakan fasilitas wisata, pelibatan masyarakat dalam pembuatan rencana induk pembangunan kepariwisataan, dan mengutamakan masyarakat

23 46 sekitar daya tarik wisata untuk dijadikan tenaga kerja. Komponen manfaat ekonomi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 dijelaskan melalui tujuan dan prinsip pariwisata untuk mengatasi pengangguran, menghapus kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Komponen edukasi dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2009 dijelaskan melalui tujuan pariwisata dan menyelenggarakan pelatihan dan penelitian tentang pariwisata. Komponen wisata dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 dijelaskan melalui pengertian wisata, tujuan kepariwisataan, azas kepariwisataan, prinsip kepariwisataan, pembuatan rencana induk pembangunan pariwisata, tanggung jawab pelaku kegiatan wisata, dan kewenangan pemerintah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 merupakan kebijakan nasional tentang koservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 digunakan sebagai dasar konservasi dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 berisi empat komponen wisata alam yaitu konservasi, manfaat ekonomi, edukasi dan wisata. komponen yang paling banyak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 ialah komponen konservasi yang dijelaskan dalam 8 pasal dan komponen yang paling sedikit terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 ialah komponen manfaat ekonomi, edukasi dan wisata yang hanya dijelaskan dalam satu pasal. komponen konservasi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 terdapat pada pasal 1-5, 11, 28 dan 37, komponen manfaat ekonomi terdapat pada pasal 36, komponen edukasi terdapat pada pasal 37, dan komponen wisata terdapat pada pasal 36. Komponen partisipasi tidak terdapat dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1990 karena partisipasi masyarakat lebih difokuskan pada kegiatan konservasi seperti menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan (pasal 37).

24 47 Komponen konsevasi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dijelaskan melalui pengertian konservasi sumberdaya alam hayati (KSDAH), tanggung janggung jawab KSDAH di tangan pemerintah dan rakyat, kegiatan KSDAH yang meliputi perlindungan sistem penyangga, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, pemanfaatan lestari sumberdaya alam hayati, dan pengembangan peran masyarakat dengan menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Komponen manfaat ekonomi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dijelaskan melalui pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar dalam bentuk penangkaran, perburuan dan perdagangan. Komponen edukasi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dijelaskas melalui bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan tumbuhan dan satwaliar. Komponen wisata dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dijelaskan melalui peragaan tumbuhan dan satwaliar kepada pengunjung Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 merupakan kebijakan nasional tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 berisi empat komponen wisata alam yaitu konservasi, manfaat ekonomi, edukasi dan wisata. komponen yang paling banyak terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 adalah komponen konservasi yang dijelaskan pada 8 pasal sedangkan komponen yang paling sedikit terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 adalah komponen wisata yang hanya dijelaskan dalam tiga pasal. Komponen konservasi terdapat pada pasal 2, 4, 30, 31, 33, 40, 45 dan 61, komponen manfaat ekonomi terdapat pada pasal 2, 3, 17 dan 21, komponen edukasi terdapat pada pasal 2, 3, 4 dan 31, komponen wisata terdapat pada pasal 1 dan 3. Komponen partisipasi tidak terdapat dalam peraturan pemrintah nomor 8 tahun 1999 karena partisipasi masyarakat hanya diarahkan pada pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar dalam bentuk penangkaran, perburuan dan perdagangan seperti yang terlihat pada pasal 12, 17, 19 dan 45.

25 48 Komponen konservasi yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dijelaskan melalui pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar secara lestari. Hal itu berarti pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar dengan syarat dan ketentuan tertentu misalnya pemenfaatan jenis satwaliar dalam bentuk penangkaran wajib menjaga kemurnian jenis tumbuhan dan satwaliar yang dilindungi, pemanfaatan satwaliar dalam bentuk perburuan hanya dilakukan untuk keperluan olahraga berburu, perolehan trofi dan perburuan tradisional oleh masyarakat, pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar dalam bentuk pertukaran dilakukan atas dasar keseimbangan nilai konservasi dan pemanfaatan untuk pemeliharaan kesenangan harus memperhatikan kesehatan satwa. Selain itu terdapat pembatasan kuota perburuan satwaliar secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar areal buru dengan menggunakan alat-alat tradisional. Komponen manfaat ekonomi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dijelaskan melalui pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar dalam bentuk penangkaran, perburuan dan perdagangan. Komponen edukasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dijelaskan melalui pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan. Komponen wisata dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dijelaskan melalui pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar dalam bentuk peragaan kepada pengunjung Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 merupakan kebijakan nasional tentang pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 berisi empat komponen wisata alam yaitu konservasi, partisipasi, manfaat ekonomi, dan wisata. komponen yang paling banyak terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 adalah komponen konservasi yang dijelaskan dalam 6 pasal sedangkan komponen yang paling sedikit adalah komponen partisipasi yang hanya dijelaskan pada satu pasal. Komponen konservasi terdapat pada pasal 1, 2, 5, 18, 21 dan 28, komponen partisipasi

26 49 terdapat pada pasal 21, komponen manfaat ekonomi terdapat pada pasal 14 dan 21, komponen wisata terdapat pada pasal 1, 5, 7 dan 8. Komponen edukasi tidak terdapat dalam peraturan peerintah nomor 36 tahun 2006 karena kebijakan ini lebih memfokuskan tentang teknis perizinan dan birokrasi dalam pengusahaan pariwisata alam, usaha penyediaan jasa wisata alam dan usaha penyediaan sarana wisata alam. Komponen konservasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 dijelaskan melalui pengusahaan pariwisata alam sesuai dengan azas konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dengan menjaga kelestarian alam, menjaga kebersihan lingkungan, dan merehabilitasi kerusakan yang ditimbulkan dari kegiatan wisata. Komponen partisipasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 dijelaskan melalui pelibatan masyarakat setempat di dalam melaksanakan kegiatan pariwisata. Komponen manfaat ekonomi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 dijelaskan melalui iuran pemegang izin usaha wisata alam dan pungutan masuk kawasan wisata. Komponen wisata dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 dijelaskan melalui penjelasan bentuk kegiatan pariwisata yang dapat dilakukan di taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam yang meliputi mengunjungi, melihat, menikmati keindahan alam, keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta pembanguan sarana pariwisata. Selain itu dijelaskan juga tentang perizinan dalam pengusahaan pariwisata alam, usaha penyedia jasa alam dan usaha penyediaan sarana wisata alam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 53 tahun 2006 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 53 Tahun 2006 merupakan kebijakan nasional tentang lembaga konservasi. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 53 Tahun 2006 berisi tiga komponen wisata alam yaitu konservasi, edukasi dan wisata. Komponen yang paling banyak terdapat dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 53 Tahun 2006 adalah komponen konservasi yang dijelaskan dalam 9 pasal sedangkan komponen yang paling sedikit adalah komponen wisata yang hanya dijelasakan dalam 2 pasal. Komponen konservasi terdapat pada pasal

27 50 1, 2, 16, 21, 22, 24, 25, 29 dan 31, komponen edukasi terdapat pada pasal 2, 22 dan 24, komponen wisata terdapat pada pasal 2, dan 22. Komponen partisipasi dan manfaat ekonomi tidak terdapat dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 53 Tahun 2006 karena kebijakan ini menjelaskan tentang pengertian dan karakteristik lembaga konservasi di Indonesia. Komponen konservasi dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 53 Tahun 2006 dijelaskan melalui pengerian, fungsi lembaga konservasi sebagai pengembangbiakan dan atau penyelamatan tumbuhan dan satwaliar, perizinan lembaga konservasi, syarat-syarat perolehan tumbuhan dan satwaliar di lembaga konservasi yang berasal dari hasil sitaan maupun penangkapan di alam, dan pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar di lembaga konservasi untuk kepentingan pengembangbiakan dan pelepasaliaran di alam, perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh lembaga konservasi. Komponen edukasi dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 53 Tahun 2006 dijelaskan melalui fungsi lembaga konservasi sebagai tempat pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan serta pemanfaatan spesimen untuk penelitian dan pendidikan. Komponen wisata dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 53 Tahun 2006 dijelaskan melalui fungsi lembaga konservasi sebagai sarana rekreasi yang sehat dan pemanfaatan spesimen koleksi untuk kepentingan peragaan kepada pengunjung Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 9 tahun 2003 Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 9 Tahun 2003 merupakan kebijakan daerah tentang izin usaha kepariwisataan. Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 9 Tahun 2003 berisi tiga komponen wisata alam yaitu konservasi, manfaat ekonomi dan wisata. Komponen yang paling banyak terdapat dalam peraturan daerah KBL nomor 9 tahun 2003 adalah komponen manfaat ekonomi dan wisata yang dijelaskan dalam 3 pasal sedangkan komponen yang paling sedikit terdapat dalam peraturan daerah KBL nomor 9 tahun 2003 adalah komponen konservasi yang dijelaskan hanya dalam satu pasal. Komponen konservasi terdapat pada pasal 4, komponen manfaat ekonomi terdapat pada pasal

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SEKRETARIAT, BIDANG,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata, wisata dan wisata alam Pariwisata merupakan perjalanan yang dilakukan dari satu tempat ke tempat lain yang bukan tempat tinggalnya dan menetap sementara waktu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, untuk meningkatkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suaka Alam Pulau Bawean ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/Um/12/1979 tanggal 5 Desember 1979 meliputi Cagar Alam (CA) seluas 725 ha dan Suaka

Lebih terperinci

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 1 Pengelolaan Taman Hutan Raya (TAHURA) Pengertian TAHURA Taman Hutan Raya adalah Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Untuk tujuan

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN PELAYANAN SKPD

BAB II. GAMBARAN PELAYANAN SKPD BAB II. GAMBARAN PELAYANAN SKPD 2.1. Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan Register 19 semula ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan

I. PENDAHULUAN. Hutan Register 19 semula ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Register 19 semula ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 67/Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang Rencana

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur 1. Visi dan Misi Provinsi Jawa Timur Visi Provinsi Jawa Timur : Terwujudnya Jawa Timur Makmur dan Berakhlak dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Misi Provinsi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: P.7/IV-Set/2011 Pengertian 1. Kawasan Suaka Alam adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah serta Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA Menimbang a. GUBERNUR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obyek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan atau aktivitas dan fasilitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obyek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan atau aktivitas dan fasilitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obyek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan atau aktivitas dan fasilitas yang berhubungan yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SEKRETARIAT, BIDANG, SUB BAGIAN DAN SEKSI DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR MENIMBANG :

Lebih terperinci

4 Dinas Tata Ruang, Kebersihan dan Pertamanan

4 Dinas Tata Ruang, Kebersihan dan Pertamanan LAMPIRAN 64 65 Lampiran 1 Tugas pokok dan fungsi instansi-instansi terkait No. Instansi Tugas pokok dan fungsi 1 BAPPEDA Tugas pokok: melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah bidang perencanaan

Lebih terperinci

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila; Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber

Lebih terperinci

MEKANISME HUBUNGAN PARA PIHAK DALAM PENGELOLAAN WISATA ALAM DI KOTA BANDAR LAMPUNG DAN SEKITARNYA, PROVINSI LAMPUNG WINDY MARDIQA RIANI

MEKANISME HUBUNGAN PARA PIHAK DALAM PENGELOLAAN WISATA ALAM DI KOTA BANDAR LAMPUNG DAN SEKITARNYA, PROVINSI LAMPUNG WINDY MARDIQA RIANI MEKANISME HUBUNGAN PARA PIHAK DALAM PENGELOLAAN WISATA ALAM DI KOTA BANDAR LAMPUNG DAN SEKITARNYA, PROVINSI LAMPUNG WINDY MARDIQA RIANI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG Page 1 of 19 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 UMUM TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

Lebih terperinci

I. UMUM. Sejalan...

I. UMUM. Sejalan... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM I. UMUM Kekayaan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Manokwari (BBTNTC, DKP Provinsi Papua Barat, Dinas Pariwisata Provinsi Papua Barat) dan Kabupaten Teluk Wondama (Wasior,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 49 TAHUN 2017 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA R. SOERJO

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN PURWOREJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 115 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KAMPUNG WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH

BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

(2) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Banten mempunyai fungsi sebagai berik

(2) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Banten mempunyai fungsi sebagai berik BAB XXXVIII BALAI PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BANTEN PADA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN PROVINSI BANTEN Pasal 173 Susunan Organisasi Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Banten terdiri dari : a. Kepala

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB 2 Perencanaan Kinerja

BAB 2 Perencanaan Kinerja BAB 2 Perencanaan Kinerja 2.1 Rencana Strategis Tahun 2013-2018 Rencana Stategis Dinas Kean Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan yang berkelanjutan dimasa kini telah menjadi keharusan, dimana keberadaan serta keberlangsungan fungsi sumber daya

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEM ERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 29 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PADA DINAS KEHUTANAN ACEH GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) Copyright (C) 2000 BPHN PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 62 TAHUN 1998 (62/1998) TENTANG PENYERAHAN

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar http://blog.unila.ac.id/janter PENGERTIAN Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar perlindungan populasi satwa untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS BAB II PERENCANAAN STRATEGIS 2.1 Rencana Strategis Tahun 2013-2018 Rencana Stategis Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS PARIWISATA KOTA BATU DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN BENGKALIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKALIS,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2002 T E N T A N G RETRIBUSI IZIN PENGUSAHAAN OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2002 T E N T A N G RETRIBUSI IZIN PENGUSAHAAN OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2002 T E N T A N G RETRIBUSI IZIN PENGUSAHAAN OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

Tabel 40. Kedudukan, Tugas dan Fungsi dari Lembaga/Instansi dalam Kegiatan Pembangunan di Wilayah Kepulauan Seribu

Tabel 40. Kedudukan, Tugas dan Fungsi dari Lembaga/Instansi dalam Kegiatan Pembangunan di Wilayah Kepulauan Seribu Tabel 40. Kedudukan, Tugas dan Fungsi dari Lembaga/Instansi dalam Kegiatan Pembangunan di Wilayah Kepulauan Seribu No. INSTANSI KEDUDUKAN TUGAS POKOK FUNGSI (TUGAS OPERASIONAL 1. BKSDA & Unit pelaksana

Lebih terperinci

KABUPATEN PESAWARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA HANURA, KEPALA DESA CILIMUS DAN, KEPALA DESA HURUN

KABUPATEN PESAWARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA HANURA, KEPALA DESA CILIMUS DAN, KEPALA DESA HURUN SALINAN KABUPATEN PESAWARAN PERATURAN BERSAMA KEPALA DESA HANURA NOMOR 2 TAHUN 2015 KEPALA DESA CILIMUS NOMOR 2 TAHUN 2015 KEPALA DESA HURUN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA DAN TANGGUNGJAWAB MASYARAKAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kuningan berada di provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kuningan berada di provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kabupaten Kuningan berada di provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, dan

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G RINCIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SUKAMARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Pariwisata telah menjadi bagian

Lebih terperinci

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 02/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP)

VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP) 88 VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP) Kerusakan hutan Cycloops mengalami peningkatan setiap tahun dan sangat sulit untuk diatasi. Kerusakan tersebut disebabkan oleh aktivitas masyarakat yang tinggal di

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT DI LINGKUNGAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

NOMOR 18 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM

NOMOR 18 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 59 TAHUN 2016

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 59 TAHUN 2016 SALINAN BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN BLITAR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. bahwa Taman

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci