Proyek GAMBUT - UNOPS 96764/2016/TEI-CU/01 Pemanfaatan Kapabilitas Sistem Risiko Kebakaan Untuk Meningkatkan Efektivitas POSNAS Juli 2016 Dr.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Proyek GAMBUT - UNOPS 96764/2016/TEI-CU/01 Pemanfaatan Kapabilitas Sistem Risiko Kebakaan Untuk Meningkatkan Efektivitas POSNAS Juli 2016 Dr."

Transkripsi

1 Proyek GAMBUT - UNOPS 96764/2016/TEI-CU/01 Pemanfaatan Kapabilitas Sistem Risiko Kebakaan Untuk Meningkatkan Efektivitas POSNAS Juli 2016 Dr. Shiv Someshwar Brittney Melloy

2 Daftar Isi Akronim 2 I. Pendahuluan 4 II. Gambaran Umum Penanggulangan Kebakaran Hutan Saat ini dan Isu-isu Terkait 7 1. Degradasi Lahan Gambut dan Risiko Kebakaran Penanggulangan Kebakaran Saat Ini di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Riau Sistem Risiko Kebakaran (FRS) III. Kapabilitas FRS untuk Meningkatkan Efektivitas POSNAS: Rekomendasi Kunci Mengembangkan Strategi Pembangunan dan Rencana Tata Ruang Peka Risiko Kebakaran Jangka Panjang Mengoordinasikan Tindakan di Berbagai Jangka Waktu Menetapkan Arsitektur Kelembagaan yang Efektif Memperkuat Peran Petani Kecil dalam Pencegahan Kebakaran Anggaran yang Memadai dan Tepat Waktu, Termasuk Pemberian Insentif 41 IV. Kesimpulan Referensi... 49

3 Akronim ADD APBD ASMC Balakar BAPPEDA BAPPENAS BKSDA BLH BMKG BNPB BP REDD+ BPBD BRG Alokasi Dana Desa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ASEAN Specialized Meteorological Center (Pusat Meteorologi Khusus ASEAN) Barisan Sukarelawan Kebakaran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Balai Konservasi Sumber Daya Alam Badan Lingkungan Hidup Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Badan Nasional Penanggulangan Bencana Badan Pengelola Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Badan Restorasi Gambut Brigdalkarhutla Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan CCROM CCT CU Dalkarhutla Center for Climate Risk and Opportunity Management at the Institut Pertanian Bogor (Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim di Institut Pertanian Bogor) Conditional Cash Transfer (Bantuan Tunai Bersyarat) Columbia University Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

4 Ditjen PPI DR DSP FDRS FRMB FRS FSRIM HHBK IPB ISPU Karhutla Kemendagri Kemenhut Kementan KLHK KMS KPH KTPA LAPAN MODIS MPA Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Dana Reboisasi Dana Siap Pakai Fire Danger Rating System (Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran) Fire Risk Mitigation Bond (Obligasi Pengurangan Risiko Kebakaran) Fire Risk System (Sistem Risiko Kebakaran) Fire Spread Risk Index Map (Peta Indeks Risiko Penyebaran Kebakaran) Hasil Hutan Bukan Kayu Institut Pertanian Bogor Indeks Standar Pencemar Udara Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Dalam Negeri Kementerian Kehutanan (sekarang Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Kementerian Pertanian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Karhutla Monitoring System (Sistem Pemantauan Karhutla) Kesatuan Pengelolaan Hutan Kelompok Tani Peduli Api Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer Masyarakat Peduli Api

5 NOAA18 PBB PLTB Posko POSNAS PSDH Pusdalops REDD+ RI Setda SOP SST UNDP UNOPS Satelit peramalan cuaca yang dikelola oleh US National Oceanic and Atmospheric Administration Perserikatan Bangsa-Bangsa Pembukaan Lahan Tanpa Bakar Pos Komando Prosedur Standar Nasional Pencegahan Karhutla Provisi Sumber Daya Hutan Pusat Pengendalian Operasi Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) Republik Indonesia Sekretariat Daerah Standard Operating Procedure (Prosedur Operasi Standar) Sea Surface Temperature (Suhu Permukaan Laut) United Nations Development Programme (Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa) United Nations Office for Project Services (Kantor Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk Layanan Proyek)

6 Laporan ini merupakan salah satu dari serangkauan laporan untuk proyek Generating Anticipatory Measures for Better Utilization of Tropical Peatlands (GAMBUT) (Proyek UNOPS Nomor 96764/2016/TEI-CU/01). I. PENDAHULUAN Dalam laporan ini kami memberikan informasi tentang fungsi dan epran ramalan risiko kebakaran lahan dan hutan yang dipandu oleh informasi iklim dalam pelaksanaan Prosedur Operasi Standar Nasional (POSNAS) Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan (Kahutla) (Pemerintah Indonesia, 2014), atau disingkat menjadi POSNAS. Beberapa perubahan telah terjadi dalam pemikiran dan arsitektur penanggulangan kebakaran hutan di Indonesia dalam setahun terakhir. Secara signifikan, perubahan-perubahan tersebut mencakup penetapan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang baru, pembentukan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI) yang kuat, pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) yang baru, dan pembenahan fungsi-fungsi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat pelaksanaan agar mencakup pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Yang juga penting, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan dikeluarkan pada bulan April 2016, dengan perencanaan pelaksanaan yang sekarang sedang disusun. 1 POSNAS sangatlah penting untuk keberhasilan perwujudan ambisi peraturan tersebut pada praktiknya. POSNAS Kahutla menekankan pencegahan, kesiapsiagaan dan tanggapan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Prosedur Operasi Standar ini terbatas pada upaya-upaya untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, termasuk tindakan dan kegiatan mulai dari langkah-langkah antisipasi, pencegahan dan penegakan hingga tanggapan awal untuk memadamkan kebakaran, termasuk transisi dari Fase Pencegahan menuju Fase Kesiapsiagaan dan Tanggapan Darurat. (Pemerintah Indonesia, 2014, hal. 4). 1 Pemerintah Indonesia (2016). Peraturan Nomor P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. (Terjemahan Draft Bahasa Inggris). Jakarta

7 Cukup menggembirakan melihat bahwa peraturan yang baru dikeluarkan juga mengatur fasefase utama penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dari fase pencegahan hingga fase penyelamatan dan fase pasca-kebakaran. Peraturan tersebut menyatakan [P]engendalian kebakaran hutan dan lahan, yang dikenal sebagai dalkarhutla, mencakup upaya/kegiatan/tindakan mengatur, mengelola sumber daya manusia dan infrastruktur serta pencegahan operasional, pemadaman, penanggulangan pasca-kebakaran, evakuasi dan bantuan penyelematan, serta dukungan manajemen dalam kebakaran hutan dan/atau lahan. (Pasal 2, Pemerintah Indonesia 2016). Dalam POSNAS dan Peraturan Kebakaran Lahan dan Hutan, terdapat pengakuan yang jelas bahwa strategi dan tindakan untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan perlu mencakup fokus selain fokus upaya saat ini pada pemadaman kebakaran. Lebih lanjut, POSNAS menyatakan, kebakaran hutan dan lahan terjadi setiap tahun dikarenakan perilaku manusia. Upaya-upaya untuk mencegah kebakaran-kebakaran ini belum efektif (Halaman 3). Dalam SOP Kebakaran Hutan dan Lahan, terdapat pengakuan yang jelas bahwa kebakaran hutan dipicu oleh manusia, dan mengakibatkan dampak yang besar pada ekologi, ekonomi, kesehatan dan mata pencaharian, baik di tingkat lokal maupun di tingkat regional. Variabilitas iklim antar-tahun dan musiman sangat memengaruhi tingkat ruang dan waktu kebakaran hutan dan lahan. Dengan menenangkan waktu, tingkat dan penyebaran curah hujan, variabilitas-variabilitas tersebut memengaruhi kerentanan kawasan hutan (dan khususnya lahan gambut yang telah terdegradasi) terhadap kebakaran. Dengan demikian, informasi tentang potensi risiko kebakaran di musim mendatang dan kerentanan kawasan hutan dalam jangka panjang terhadap kebakaran merupakan informasi yang sangat dibutuhkan dalam rangka membantu mengurangi besarnya dan terjadinya kebakaran hutan. Sistem Risiko Kebakaran (Fire Risk System atau FRS) online yang dikembangkan bekerja sama erat dengan Columbia University (CU), Institute Pertanian Bogor (IPB) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), memiliki kapabilitas teknis untuk memberikan informasi berharga yang dibutuhkan tentang risiko kebakaran dan kerencanan kawasan gambut terhadap kebakaran yang akan meningkatkan efektivitas POSNAS serta peraturan Kebakaran Hutan dan Lahan. Laporan ini diatur dalam dua bagian yang substantive. Bagian berikut terdiri dari gambarangambaran singkat tentang upaya-upaya penanggulangan kebakaran saat ini di Kalimantan Tengah dan Riau, degradasi lahan gambut dan risiko kebakaran, serta FRS. Bagian substantif berikutnya menyajikan rekomendasi-rekomendasi untuk menjalankan kapabilitas FRS, dalam

8 rangka menggerakkan Indonesia menuju sistem penanggulangan risiko kebakaran antisipatif. 2 Rekomendasi-rekomendasi tersebut meliputi sebagai berikut: Mengembangkan strategi dan rencana pengembangan risiko kebakaran jangka panjang Mengoordinasikan tindakan untuk beberapa periode waktu Arsitektur kelembagaan yang efektif Memperkuat peran petani kecil Anggaran yang memadai dan tepat waktu, termasuk pemberian insentif 2 Langkah-langkah praktis selanjutnya untuk menggunakan FRS sehubungan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (2016) diuraikan dalam tiga laporan proyek yang substantif: (1) Rancangan insentif kebijakan partisipatif untuk satu kabupaten yang memiliki risiko kebakaran yang tinggi di Riau, (2) Pedoman protokol komunikasi dengan menggunakan sistem peringatan FRS melalui SMS, dan (3) Dinamika kelembagaan penanggulangan kebakaran hutan gambut Provinsi Kalimantan Barat.

9 II. GAMBARAN PENAGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN SAAT INI DAN ISU- ISU TERKAIT Dalam bagian ini kami memberikan gambaran tentang tiga aspek substantif yang memiliki kaitan yang penting dengan pemanfaatan informasi peramalan risiko kebakaran jauh sebelumnya untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan secara lebih baik di provinsiprovinsi di Indonesia yanh memiliki kerentanan yang tinggi terhadap kebakaran hutan gambut. Diskusi-diskusi tersebut terkait dengan hubungan antara degradasi lahan gambut dengan risiko kebakaran, sistem penanggulangan kebakaran hutan yang saat ini diberlakukan di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Riau, serta fungsi-fungsi utama Sistem Risiko Kebakaran. 1. Degradasi Lahan Gambut dan Risiko Kebakaran Di banyak bagian di Kalimantan Tengah dan Riau, lahan gambut telah banyak dikeringkan untuk pembangunan kanal. Degradasi yang diakibatkan dari pengeringan tersebut meningkatkan kerentanan kubah-kubah gambut terhadap kebakaran. Restorasi gambut sangatlah penting untuk pembangunan nasional dan daerah. Sebagai pengakuan terhadap pentingnya restorasi gambut, Pemerintah Indonesia melalui Perpres No. 1/2016 telah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Badan tersebut telah mengidentifikasi tujuh provinsi sasaran untuk kegiatan-kegiatan restorasi lahan gambut dan pencegahan kebakaran, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. Walaupun menaikkan tingkat air biasanya membantu mengurangi kerentanan terhadap kebakaran, efektivitasnya tergantung pada tingkat degradasi lahan gambut yang bersangkutan. Karema sumber daya anggaran untuk restorasi lahan gambut akan terus tebatas, penetapan prioritas kawasan untuk restorasi harus mengikuti risiko kebakaran. Tabel kemungkinan pada Gambar 1 menyajikan sebuah skema tentang degradasi lahan gambut dan kemungkinan risiko kebakaran akibat El Niño yang dikembangkan untuk Kalimantan Tengah. Degradasi lahan gambut dikonseptualisasikan di sini dalam tiga tahap penting (kecil, menengah dan maksimal, mengikuti Schumann dan Joosten 2008). Tiap tahap ditandai dengan perubahan kompleks terhadap komponen-komponen lahan gambut (seperti vegetasi, hidrologi dan hidraulik tanah, serta endapan gambut). Restorasi menjadi semakin sulit dan pelik ketika lebih banyak komponen dipengaruhi. Ketika hanya vegetasinya yang rusak, seperti dalam tahap kecil, kondisi hidorlogi masih tidak terpengaruhi dan restorasi relatif sederhana. Ketika faktor yang

10 Vegetasi Hidrologi & Hidraulik Tanah Deposit gambut Tahun El Niño Netral Tahun El Niño Ringan Tahun El Niño Kuat mengganggu dihilangkah, lahan gambut dapat beregenerasi secara spontan. Dalam tahap menengah, situasinya lebih pelik, memengaruhi lebih banyak komponen lahan gambut. Dalam tahap maksimal, kegiatan-kegiatan penggunaan lahan selama beberapa dekade lamanya telah mengubah sifat hidraulik tanah, dengan hilangnya vegetasi asli dan pemadatan lapisan gambut (yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah). Tahap Karakteristik Komponen Kemungkinan Tingkat Degradasi Lahan Gambut Risiko Kebakaran Kecil Kegiatan-kegiatan kehutanan intensitas rendah. Agak dikeringkan. Menengah Pengeringan dangkal jangka panjang, dengan beberapa pedogenesis. Perubahan vegetasi alami Maksimal Dikeringkan secara intensif, dengan permukaan gambut padat. Bentuk lahan gambut dimodifikasi oleh turunnya permukaan tanah. Badan gambut sangat dipengaruhi oleh erosi dan oksidasi Degradasi Meningkat Kemampuan untuk Dapat direstorasi Menurun Tidak terdampak Agak terdampak Sangat terdampak

11 Risiko kebakaran rendah Risiko kebakaran sedang Risiko kebakaran tinggi Gambar 1: Tahap-tahap degradasi lahan gambut dan kemungkinan risiko kebakaran terkait dengan El Niño: Kasus Kalimantan Tengah, Indonesia Risiko kebakaan meningkat seiring dengan peningkatan degradasi gambut. Mengingat kecenderungan kekeringan dalam dan bertahan lama yang tinggi di Kalimantan Tengah sepadan dengan kuatnya El Niño, tahap-tahap degradasi gambut memiliki tingkat risiko kebakaran yang berbeda-beda (Gambar 2). Presentasi skematik tingkat risiko kebakaran mengingat degradasi lahan gambut berhubungan dengan kuatnya El Niño untuk Kalimantan Tengah didasarkan pada dua sifat mendasar: kecenderungan gambut kering untuk terbakar, dan dampak dari fenomena iklim skala besar pada tingkat kelembaban gambut setempat. 3 Walaupun skema tersebut diperlihatkan untuk Kalimantan Tengah, skema-skema serupa dapat dikembangkan untuk provinsi-provinsi lainnya yang juga kaya gambut, termasuk Riau, Kalimantan Barat dan Papua. Hubungan di tiap provinsi tersebut akan berbeda mengingat hubungan yang berbeda antara El Nino dengan curah hujan setempat di tiap provinsi, dan akibatnya pada tingkat kelembaban gambut. FRS dapat membantu membangun tabel-tabel kemungkinan serupa untuk semua provinsi yang kaya gambut yang memiliki risiko kebakaran hutan yang tinggi akibat deforestasi dan perubahan penggunaan lahan yang masih terus berlangsung. Kerentanan kawasan lahan gambut terhadap risiko kebakaran dan kerentanannya terhadap fenomena iklim kawasan skala besar (El Niño dan Indian Ocean Dipole, misalnya) menawarkan data ilmiah yang dapat membantu lembaga-lembaga pemerintah menetapkan prioritas pengurangan risiko kebakaran dan restorasi gambut. Serangkaian perangkat FRS dapat sangat membantu dalam hal ini. Penetapan prioritas upaya-upaya restorasi yang didasarkan pada ilmu pengetahuan terbaik tidak hanya akan membantu pemanfaatan sumber daya langka dengan cara yang paling berguna, hal tersebut juga dapat membantu menjawab tekanan politik dari berbagai bagian untuk pemilihan lokasi yang mendukung. 3 Peningkatan lebih lanjut pada skema tersebut akan membutuhkan pertimbangan kekuatan dan waktu suhu permukaan laut (SST), keahlian curah hujan ruang, dan faktor-faktor kerentanan kebakaran hutan dan lahan gambut (yang dapat diadakan dalam sistem FRS).

12 2. Penanggulangan Kebakaran Saat Ini di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Riau POSNAS Karhutla dibingkai untuk meningkatkan efektivitas tanggapan yang ada terhadap kebakaran hutan dan lahan di berbagai provinsi, dan terutama di daerah-daerah yang memiliki risiko kebakaran hutan yang tinggi (lihat Gambar 2). Dalam bagian ini, secara singkat kami meninjau sistem penanguulangan kebakaran yang diberlakukan saat ini, dengan contoh-contoh dari Kalimantan Tengah dan Riau. Pemerintah mengambil kepemimpinan dalam penanggulangan kebakaran di kedua provinsi tersebut. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mengoordinasikan kegiatan dengan menggunakan data cuaca dan lingkungan hidup dari lembaga-lembaga tingkat nasional seperti Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan dalam beberapa kasus dari ASEAN Specialized Meteorological Center (ASMC) di Singapura. Di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/MenLHK-II/2015 (tentang Oganisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di bawah Ditjen PPI diberi tanggung jawab mengendalikan kebakaran hutan dan lahan. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan terdiri daru lima subdirektorat (Subdirektorat Perencanaan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Subdirektorat Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, Subdirektorat Penanggulangan Kebakaran Hutan dan lahan, Subdirektorat Sistem Kemitraan dan Masyarakat Peduli Api, serta Subdirektorat Tenaga dan Sarana Prasarana), selain Subbagian Tata Usaha. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut (berdasarkan Pasal 980 Permen tahun 2015 tersebut): Penyiapan perumusan kebijakan pencegahan, penanggulangan, sistem kemitraan dan masyarakat peduli api, tenaga dan sarana prasarana pengendalian kebakaran hutan dan lahan; Penyiapan pelaksanaan kebijakan pencegahan, penanggulangan, sistem kemitraan dan masyarakat peduli api, tenaga dan sarana prasarana pengendalian kebakaran hutan dan lahan;

13 Penyiapan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan pencegahan, penanggulangan, sistem kemitraan dan masyarakat peduli api, tenaga dan sarana prasarana pengendalian kebakaran hutan dan lahan; Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria pencegahan, penanggulangan, sistem kemitraan dan masyarakat peduli api, tenaga dan sarana prasarana pengendalian kebakaran hutan dan lahan; Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pemberian bimbingan teknis pencegahan, penanggulangan, sistem kemitraan dan masyarakat peduli api, tenaga dan sarana prasarana pengendalian kebakaran hutan dan lahan; Supervisi atas pelaksanaan urusan pencegahan, penanggulangan, sistem kemitraan dan masyarakat peduli api, tenaga dan sarana prasarana pengendalian kebakaran hutan dan lahan di daerah; dan Pelaksanaan administrasi Direktorat. Gambar 2. Dinamika kebakaran lahan gambut (IPB-CU-UN) Di tingkat provinsi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menggunakan data titik api dan Peta Indeks Risiko Penyebaran Kebakaran (FSRIM) digabungkan dengan

14 pengamatan lapangan untuk mengkaji tingkat risiko kebakaran saat ini di seluruh provinsi ini selama musim kemarau. Badan Lingkungan Hidup (BLH) menggunakan informasi ini untuk menetapkan status peringatan di daerah-daerah setempat, beberapa di antaranya 48 jam sebelumnya. Peringatan-peringatan ini memicu kegiatan-kegiatan khusus yang akan diambil oleh staf lokal dalam rangka meningkatkan kewaspadaan, seperti melalui patroli untuk memantau daerah-daerah berisiko tinggi, dan menyelesaikan persiapan peralatan pemadaman kebakaran dan pasokan air. Pemerintah provinsi juga melakukan kampanye informasi publik selama musim kemarau, untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya kebakaran dan menghalangi penggunaannya. 4 Informasinya didasarkan pada klimatologi dan tidak khusus untuk musim mendatang. Walaupun pemerintah provinsi dan daerah melakukan upaya terbaik, dampak kebakaran terus meningkat di kedua provinsi tersebut. Yang mengkhawatirkan, musim kebakaran tahun 2013 dan 2014 di Riau memperlihatkan sebuah pola baru yang dapat meningkatkan kerentanan kebakaran. Kebakaran di kedua tahun tersebut terjadi setelah masa kekeringan yang relatif singkat di tahun yang seharusnya merupakan tahun basah (Gaveau dkk. 2014). Dengan kata lain, risikonya tinggi tidak hanya di tahun-tahun kemarau (seperti di tahuntahun sebelumnya), tetapi sekarang risiko tampaknya tinggi juga di tahun-tahun basah yang mengalami masa kemarau panjang. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 (tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan) menetapkan otoritas kelembagaan untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan. Pendekatannya bersifat hirarki, dengan kewenangan yang diberikan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah kementerian utama yang bertanggung jawab atas koordinasi kegiatankegiatan penanggulangan kebakaran di daerah yang mencakup lebih dari satu provinsi dan/atau negara-negara tetangga (menurut Pasal 23). 5 KLHK memimpin koordinasi sarana untuk mengendalikan kebakaran hutan dan lahan, dan mengembangkan kapasitas sumber daya manusia untuk mengendalikan kebakaran hutan dan lahan, selain pelaksanaan kerja sama internasional. Peraturan tersebut memiliki ruang lingkup yang luas dan Pasal 2 mengatur 4 Pada tahun 2006, Gubernur Kalimantan Tengah mengambil langkah yang tidak umum dengan melarang penggunaan api oleh rumah tangga dan perkebunan rakyat (karena UU nasional tahun 1999 melarang penggunaan api untuk membuka lahan di perkebunan-perkebunan kelapa sawit swasta di seluruh Indonesia). 5 Tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas semua kegiatan yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan di tingkat nasional, provinsi dan daerah telah diperjelas dan semakin diperkuat oleh Pemerintah Indonesia (2016).

15 pencegahan serta pemadaman dan rehabilitasi kawasan setelah kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan yang menyebar ke lebih dari satu kabupaten/kota merupakan tanggung jawab gubernur, sedangkan kebakaran yang terbatas pada satu kabupaten/kota merupakan tanggung jawab bupati. Selain pemadaman kebakaran, peraturan tahun 2001 tersebut memerinci kewajiban-kewajiban berbagai fungsi pemerintah (mulai dari gubernur dan seterusnya) tentang isu meningkatkan kesadaran masyarakat; memberikan informasi kepada masyarakat tentang kebakaran hutan dan lahan dan dampak sosial, lingkungan dan kesehatannya; serta langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi dampak kebakaran hutan dan lahan. Pada praktiknya, aspek-aspek pencegahan biasanya kurang mendapatkan perhatian dan anggaran yang memadai, dibayangi oleh mendesaknya pemadaman kebakaran. BRG yang baru dibentuk memiliki mandat yang sangat besar, yaitu mencegah kebakaran hutan, terutama di lahan gambut, serta merestorasi lahan gambut yang rusak akibat kebakaran hutan. Praktik penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang diberlakukan saat ini, termasuk di daerah-daerah yang rutin mengalami kebakaran hutan gambut yang berdampak besar, terdiri dari dua aspek, yaitu penyebaran informasi tentang peringkat intensitas kebakaran (Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran, atau FDRS), dan tindakan pemadaman kebakaran. Awalnya dikembangkan untuk hutan di daerah-daerah bersuhu sedang di dunia ini, FDRS menghubungkan kondisi meteorologi skala cuaca dengan tipe-tipe vegetasi setempat yang dominan. Pengukuran bahaya kebakaran berdasarkan kondisi cuaca (suhu, angin, curah hujan, dan kelembaban relatif) memberikan peringatan kepada para pemangku kepentingan pemadaman kebakaran. 6 BMKG adalah lembaga nasional yang aktif dalam mengumpulkan, menganalisis dan menyebarkan parameter-parameter penting yang dimasukkan ke dalam FDRS kepada lembaga-lembaga pemerintah provinsi. 7 6 FDRS terdiri dari beberapa peringkat dan indeks untuk menghitung intensitas kebakaran: Fine Fuel Moisture Code (peringkat kandungan kelembaban daun-daun kering dan materi organik lainnya yang berada di tanah dan bahan bakar lainnya di permukaan tanah hutan) bersama dengan kecepatan angin untuk menghasilkan laju perkiraan penyebaran kebakaran yang dihitung sebagai Initial Spread Index; Duff Moisture Code (peringkat kandungan kelembaban rata-rata lapisan organik yang tidak terlalu padat pada kedalaman menengah tanah hutan), dan Drought Code (peringkat kandungan kelembaban rata-rata lapisan organik padat dan dalam di tanah hutan) digabungkan untuk menghasilkan jumlah bahan bakar yang tersedia untuk pembakaran atau Buildup Index. Initial Spread Index dan Buildup Index digunakan untuk menghitung intensitas kebakaran. 7 Penelitian oleh Earth Institute dan CCROM di Kalimantan Tengah, yang dipimpin oleh Dr. P. Ceccato, mengungkapkan beberapa keterbatasan pada tingkat keterpercayaan perhitungan FDRS. Bukannya jumlah curah hujan, tingkat anomali curah hujanlah yang sangat memengaruhi aktivitas kebakaran. Indeks-indeks FDRS yang mengandalkan vegetasi perlu disesuaikan untuk kondisi vegetasi dan kondisi ekosistem dasar di lahan gambut. Untuk dampak iklim pada kebakaran hutan di Kalimantan Tengah, lihat Ceccato dkk. (2010).

16 Secara fundamental, sistem yang diberlakukan saat ini bersifat reaksi, berfokus pada pemadaman kebakaran dengan menggunakan informasi berbasis cuaca (satu atau dua hari sebelumnya). Di Kalimantan Tengah, BLH mengeluarkan peringatan berbasis cuaca (berdasarkan informasi yang diterima dari BMKG dan LAPAN). Peringatan-peringatan tersebut dikirimkan kepada semua lembaga pemerintah provinsi terkait serta pemerintah daerah di tingkat kabupaten/kota. Di Riau, lembaga-lembaga pemerintah mengandalkan berbagai sumber untuk informasi kebakaran hutan. Dinas kehutanan menggunakan data titik api NOAA18. Manggala Agni di Dumai mengandalkan data titik api NOAA18 yang dilengkapi dengan data BMKG tentang arah angin, bukan FDRS. Masyarakat Peduli Api (MPA) menggunakan sistem peringkat risiko mereka sendiri berdasarkan pengetahuan setempat (informasi yang digunakan meliputi jumlah minggu tanpa hujan di desa yang bersangkutan, dan opini sukarelawan setempat). Secara keseluruhan, arus informasi dari tingkat atas pemerintah pusat dan pemerintah provinsi turun ke tingkat kabupaten/kota dan desa. Kerentanan kebakaran dan responsnya merupakan isu yang sangat terbatas pada tempat, dan pada praktiknya terdapat kekurangan arus informasi dari bawah ke atas, dari desa ke atas melalui pemerintah kecamatan, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi dan pada akhirnya pemerintah nasional. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2016 tentang Kebakaran Hutan dan Lahan yang memberikan tanggung jawab kepada KPH untuk menanggulangi kebakaran di tingkat tapak merupakan peraturan yang dikeluarkan tepat pada waktunya, dirancang untuk membuat kegiatan-kegiatan setempat yang efektif yang membutuhkan informasi geografi dan ekosistem yang sangat terkontekstualisasi. Pasal 18 peraturan menteri tersebut mewajibkan tiap KPH untuk membentuk Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Brigdalkarhutla). 8 Baik di Provinsi Kalimantan Tengah maupun di Provinsi Riau, pemerintah provinsinya merupakan pemangku kepentingan utama dalam sistem penanggulangan kebakaran. Penyebaran dan penggunaan informasi bersifat hirarki, dengan banyak titik di mana informasi dan permintaan untuk merespons kebakaran diwajibkan untuk menerima persetujuan dari Sekretariat Daerah (Setda) dan Bupati. Kecenderungannya adalah bekerja melalui lembagalembaga pemerintah, dengan tingkat keterpercayaan yang tinggi pada pendekatan komando dan pengendalian. Pos komando (Posko) membentuk sistem pusat di tingkat provinsi dan 8 Lihat Pemerintah Indonesia (2016) P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016.

17 kabupaten/kota untuk pemadaman kebakaran di Kalimantan Tengah dan Riau. 9 Di Kalimantan Tengah, Posko memanfaatkan informasi FDRS untuk memberikan informasi dan peringatan kepada kabupaten/kota dan masyarakat pedesaan yang terdampak. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, di Riau Posko tidak menggunakan FDRS, melainkan mengandalkan pemantauan titik api dari data NOAA18 dan patroli oleh brigade-brigade pemadam kebakaran masyarakat tingkat desa. Sekumpulan tindakan yang dapat diambil oleh lembaga-lembaga pemerintah, apakah di lapangan atau di tingkat kecamatan dan tingkat yang lebih tinggi, secara umum jatuh ke dalam kategori pemadaman kebakaran. Walaupun informasi ini dan operasioperasi pemadaman kebakaran setelahnya sangat dibutuhkan untuk memadamkan kebakaran, kegiatan tidak memberikan pilihan tindakan dalam jangka waktu yang lebih panjang seperti pengaturan waktu alternatif untuk pembukaan lahan yang menggunakan api, memberikan saran tentang tanaman alternatif, mendorong alternatif terhadap penggunaan api, dll. Pemangku kepentingan penting lainnya dalam sistem penanggulangan kebakaran di Kalimantan Tengah dan Riau adalah Dinas Kehutanan dan Manggala Agni. Di dalam Dinas Kehutanan Provinsi Riau, terdapat tiga brigade kebakaran yang terdiri dari sekitar orang. Setiap kabupaten/kota juga memiliki satu brigade kebakaran di bawah Bupati, di Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, dan sangat terlibat dengan pemadaman kebakaran. Walaupun hanya bertanggung jawab atas lahan konservasi, Manggala Agni rutin dipanggil untuk memadamkan kebakaran di luar lahan konservasi. Terkait dengan pemadaman kebakaran gambut, metode-metode utama Manggala Agni untuk menangani kebakaran lahan gambut adalah dengan menyuntikkan air dengan menggunakan pompa tongkat, yang menggenangi seluruh lapisan gambut yang terbakar. Pemadaman kebakaran dari udara dianggap memberikan dampak yang terbatas karena cara ini sering kali tidak dapat menghentikan penyebaran api di bawah permukaan gambut. Sifat sistem penanggulangan kebakaran yang reaksioner di tingkat provinsi dapat dipahami dari mekanisme pendanaannya. Pendanaan kegiatan-kegiatan penanggulangan kebakaran adalah untuk pemadaman kebakaran, dengan pendanaan tambahan yang tergantung pada situasi darurat yang ditetapkan. Misalnya, operasi-operasi provinsi di Riau menggunakan Aturan 9 Di Riau, Posko adalah Satuan Tugas Darat (Satgas Darat), yang diberi tugas pemadaman kebakaran, pencegahan kebakaran dan penegakan hukum. Gubernur dan komandan militer memimpinnya. Namun, mempertimbangkan POSNAS, satu Satgas Karhutla dibentuk untuk memperjelas peran dalam merespons kebakaran di tingkat provinsi. Saat ini satgas tersebut dipimpin oleh BPBD. Satgas serupa yang ada dalam BLH memiliki efektivitas terbatas karena satgas tersebut mulai beroperasi setelah titik api diidentifikasi (biasanya setelah kebakaran terjadi selama beberapa hari).

18 50%+1 untuk menetapkan situasi darurat. Jika kebakaran teridentifikasi di 50% kabupaten/kota (6 dari 12 kabupaten/kota) plus 1 kabupaten/kota tambahan (berdasarkan pemantauan titik api dan verifikasi lapangan), maka perstiwa tersebut diklasifikasikan sebagai bencana, dan akibatnya dapat ditetapkan sebagai situasi darurat. Ambang batas untuk mengklasifikasikan suatu kabupaten/kota dengan tingkat kebakaran yang cukup ditentukan berdasarkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang berada di atas tingkat berbahaya. Setelah penetapan situasi darurat, sumber daya tambahan akan tersedia bagi BPBD, dan juga bagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), untuk pemadaman kebakaran. Dengan demikian, BPBD biasanya terbatas dalam hal kemampuannya untuk bertindak sampai situasi darurat ditetapkan. Dana juga dialokasikan di APBD untuk mendanai Manggala Agni. Dana tersebut rutin menutupi biaya kendaraan dan tenaga kerja harian. Sumber daya disediakan di beberapa kabupaten/kota oleh perusahaan-perusahaan swasta besar untuk memadamkan kebakaran dekat daerah konsesi mereka. Keputusan Menteri No. 3 Tahun 2016 juga mengatur bahwa KPH harus mengalokasikan dana untuk kegiatan-kegiatan penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan (Pasal 109). Sistem penanggulangan kebakaran di Indonesia sangat berfokus pada pemadaman kebakaran. Oleh karena itu, arti penting yang diberikan untuk pencegahan kebakaran (dan lebih lanjut untuk sistem peringatan dini) baik dalam POSNAS dan dalam Peraturan Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 2016 merupakan terobosan Sistem Risiko Kebakaran (FRS) Dalam laporan ini kami mengidentifikasi rekomendasi-rekomendasi tentang penggunaan informasi risiko kebakaran jauh di muka, yaitu Sistem Risiko Kebakaran (FRS) untuk melaksanakan POSNAS secara efektif. 11 Menggunakan Sistem Risiko Kebakaran, yang dikembangkan oleh Center for Climate Risk and Opportunity Management (CCROM) IPB, Earth Institute CU, dan PBB, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan diberdayakan untuk memajukan pendekatan penanggulangan risiko kebakaran berbasis 10 Dipimpin oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana menandatangani Prosedur Operasi Standar Nasional (POSNAS) Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, Dokumen antar kementerian bersama dengan UU No. 18 Tahun 2013 pada tanggal 16 Oktober Peraturan nasional tentang kebakaran hutan dan lahan (2016) tidak menghalangi pentingnya merevisi POSNAS. Diskusi dengan pemangku kepentingan, baik di dalam maupun di luar pemerintahan, menunjukkan komplementaritas yang dalam antara peraturan tersebut dan SOP pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan yang efektif di Indonesia.

19 antisipasi untuk pencegahan, pengendalian dan pemadaman kebakaran. Bagian berikut ini memberikan gambaran singkat tentang sistem FRS. 12 Gambar 3: Contoh-contoh prakiraan Risiko Kebakaran FRS yang dikeluarkan untuk Kabupaten Kapuas (Kalimantan Tengah) dan Kabupaten Bengkalis (Riau) pada bulan Januari 2016 untuk bulan April Sumber: Situs web FRS: 12 Boer dkk. (2015) menyajikan deskripsi terperinci tentang sistem FRS.

20 Sistem Risiko Kebakaran (FRS) menghasilkan informasi probabilitas tentang kemungkinan aktivitas kebakaran di tingkat provinsi dan kabupaten/kota satu hingga tiga bulan sebelumnya. Hal ini sangat berbeda dengan sistem lainnya yang digunakan di Indonesia yang memiliki ramalan kebakaran jangka yang lebih pendek. FDRS dan SiPongi/Karhutla Monitoring System (KMS) biasanya tidak menggunakan ramalan lebih dari tujuh hari di muka. Sistem-sistem ini berguna dalam merancang kegiatan-kegiatan untuk membantu mengurangi dampak kebakaran yang sedang terjadi. Sebaliknya, FRS memfasilitasi pelaksanaan tindakan-tindakan jangka menengah dan jangka panjang untuk pencegahan kebakaran dan pengurangan risiko kebakaran. Ramalan aktivitas kebakaran FRS 1-3 bulan di muka mengidentifikasi daerah-daerah berisiko tinggi untuk memulai tindakan-tindakan pencegahan. Ramalan-ramalan tersebut didasarkan pada analisis kerentanan kebakaran di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, dan melibatkan pengkajian probabilitas terjadinya titik kebakaran. Tindakan-tindakan pencegahan yang dimulai oleh ramalan FRS yang dikeluarkan hingga 3 bulan sebelum terjadinya kebakaran harus dipadukan tanpa ada masalah dengan upaya-upaya pemadaman kebakaran (menggunakan informasi dari sistem-sistem yang berjangka waktu lebih pendek seperti FDRS, SiPongi, dan Global Forest Watch), untuk penanggulangan kebakaran yang lebih efektif. Penyimpangan dari iklim jangka panjang adalah kunci analisis FRS. Anomali suhu permukaan laut (SST) di Samudra Pasifik merupakan sifat yang sangat penting (lihat Gambar 4). El Niño kuat dikaitkan dengan kekeringan dan musim kemarau panjang di sebagian besar bagian di Indonesia. 13 Penyebaran kebakaran yang tidak terkendali di lahan gambut memberikan risiko yang serius kepada kesehatan dan mata pencaharian masyarakat, serta upaya-upaya konservasi di Indonesia, dan secara signifikan berkontribusi pada perubahan iklim. Selama tahun , kebakaran lahan gambut di seluruh Indonesia mengakibatkan kabut asap kawasan yang besar, jutaan orang mengalami masalah pernapasan, dan miliaran kerugian ekonomi di Indonesia dan di seluruh Asia Tenggara (Tacconi dkk., 2007). Kebakaran-kebakaran ini menyumbang setara dengan 13-40% emisi karbon global dari bahan bakar fosil selama periode waktu tersebut (Page dkk., 2002). (Someshwar dkk., 2010). 14 Dalam jenis situasi El Niño, 13 Someshwar, S., L. Goddard dan E. Conrad, dengan kontribusi dari C. Green, M. Bell, K. Venkatasubramanian, dan S. Nair (2009). El Niño Tele-connections in Africa, Latin America and Caribbean and Asia Pacific: Overview of current socioeconomics and of enhanced odds of anomalous seasonal precipitation. IRI, Columbia University, Someshwar, S., R. Boer dan E. Conrad (2010). Managing Peatland Fires in Kalimantan: Risks, scientific interventions and policy impacts Penugasan penulisan makalah untuk World Resources Report on Climate Change Adaptation. Washington DC.

21 informasi FRS sangatlah penting untuk memulai langkah-langah pengurangan risiko kebakaran, terutama di provinsi dan kabupaten/kota yang sangat rentan di Provinsi Riau, Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Barat. Gambar 4: Anomali suhu rata-rata permukaan laut (dalam ºC) untuk minggu 5 Agustus 2015 di Pasifik barat. Anomali terkait degan mean mingguan periode dasar Sumber: sodisc.pdf Perubahan-perubahan besar dalam penggunaan lahan dan tutupan lahan selama dua dekade terakhir, terutama di lahan gambut di Indonesia, telah meningkatkan risiko kebakaran hutan yang tidak terkendali. FRS memiliki kapabilitas data untuk menghasilkan peta kerentanan kebakaran untuk memungkinkan perencanaan tindakan-tindakan pencegahan kebakaran secara lebih efektif. Peta kerentanan kebakaran dibuat dengan algoritma yang menggunakan data titik api MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) dan nilai-nilai yang dipertimbangkan dengan benar untuk indikator-indikator lokasi khusus (seperti penggunaan lahan dan tutupan lahan, jarak ke jalan raya, sungai dan pusat desa, kedalaman gambut, dll.). Dalam jangka waktu satu tahun, peta kerentanan kebakaran yang didasarkan pada faktor-faktor biofisik, sosial dan ekonomi di tingkat kabupaten/kota dan provinsi mengidentifikasi daerahdaerah prioritas untuk kegiatan-kegiatan pencegahan dan pengurangan risiko (lihat Gambar 5 dan 6). Karena kegiatan-kegiatan pengurangan risiko diarusutamakan dalam perencanaan pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dalam jangka waktu 5+ tahun, tingkat kerentanan (sangat tinggi, tinggi, tinggi-menengah, menengah, menengahrendah, rendah, sangat rendah) dan frekuensi ramalan risiko tinggi dapat digunakan bersamasama untuk memantau perubahan risiko kebakaran dari waktu ke waktu informasi yang

22 sangat penting untuk memandu perencanaan pembangunan jangka menengah dan jangka panjang pemerintah daerah. Oleh karena itu, FRS sangatlah penting untuk mengaitkan tujuan-tujuan pencegahan dalam instruksi kebakaran hutan nasional dengan fungsi program POSNAS. Namun, menganggap bahwa FRS memiliki keunggulan tunggal dibandingkan dengan sistem-sistem prakiraan jangka pendek lainnya merupakan kesalahan. Kedua sumber informasi, yang memberikan informasi risiko dan kerentanan kebakaran dalam jangka panjang dan jangka pendek, sangatlah dibutuhkan untuk memenuhi tujuan ambisius pemerintahan Presiden Joko Widodo, yaitu sistem pencegahan kebakaran hutan nasional dan sistem pengurangan dampak kebakaran yang efektif.

23 Gambar 5: Contoh Peta Kerentanan Kebakaran FRS, yang dikeluarkan untuk Kabupaten Bengkalis (Riau) dan untuk Kalimantan Barat, diakses pada 30 Juni Sumber: Situs web FRS:

24 Gambar 6: Informasi tutupan lahan untuk Kabupaten Bengkalis (Riau), diakses pada 30 Juni Sumber: Situs web FRS: Di bagian berikut kami membahas rekomendasi-rekomendasi khusus untuk memperkuat penggunaan produk-produk FRS dalam rangka meningkatkan pencegahan dan pemadaman kebakaran.

25 III. KAPABILITAS FRS UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIVITAS POSNAS: REKOMENDASI-REKOMENDASI KUNCI Bagian ini membahas rekomendasi-rekomendasi kunci untuk Pemerintah Indonesia dalam menjalankan FRS untuk meningkatkan sistem pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, sistem penanggulangan kebakaran saat ini merupakan sistem yang bersifat reaksi, dengan fokus utama pada ramalan cuaca satu hingga dua hari yang membantu kegiatan-kegiatan pencegahan kebakaran. Sistem Posko di tingkat provinsi yang diberi mandat untuk memadamkan kebakaran menggunakan informasi ini untuk memberikan peringatan kepada kabupaten/kota dan masyarakat pedesaan yang terdampak. Tindakan-tindakan yang diambil oleh lembaga-lembaga ini, dengan bantuan titik api, merupakan langkah-langkah pemadaman kebakaran. Walaupun sangat dibutuhkan untuk memadamkan kebakaran dan mencegahnya agar tidak menyebar, POSNAS perlu memastikan bahwa langkah-langkah tersebut dimasukkan ke dalam sebuah sistem penanggulangan risiko kebakaran yang lebih komprehensif yang memberikan pilihan tindakan selama jangka waktu yang lebih panjang. Hal ini meliputi pengaturan waktu alternatif terhadap pembukaan lahan dengan menggunakan api, meningkatkan kelembaban gambut di periode-periode kemarau kritis, atau memberikan saran tentang kegiatan-kegiatan mata pencaharian alternatif sebagaimana yang ditekankan dalam Peraturan Menteri tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Pemerintah Indonesia 2016). Karena kebakaran gambut memiliki kecenderungan untuk masuk ke dalam gambut, penanggulangan kebakaran hutan konvensional yang bergantung pada peringatan jangka pendek tidaklah efektif. Arsitektur dan kapasitas kelembagaan yang ada saat ini untuk penanggulangan kebakaran menghadapi beberapa tantangan dalam mencapai kerja sama yang dibutuhkan di seluruh lembaga dan skala untuk tindakan antisipasi. Lembaga dan pendanaan operasi-operasi penanggulangan kebakaran biasanya ditetapkan secara eksklusif untuk mengatasi kebakaran setelah terjadi. Pada praktiknya, tata kelola pemadaman kebakaran bersifat satu arah dan dari atas ke bawah, yaitu peraturan diundangkan di tingkat nasional dan provinsi, ditegakkan di tingkat kabupaten/kota dan dilaksanakan di tingkat desa dan petani. Peran yang baru-baru ini diamanatkan kepada KPH untuk mengelola dan mencegah kebakaran hutan (menurut Pemerintah Indonesia 2016) harus menjadi titik keberangkatan bagi POSNAS dalam merencanakan sebuah sistem berbasis lokal yang sangat disesuaikan dengan konteks dinamika perubahan penggunaan lahan dan karakteristik gambut setempat. Sistem tersebut juga dapat membantu memasukkan risiko dan imbalan penanggulangan kebakaran bagi penduduk desa ke

26 Sistem Pengurangan Risiko dalam konteks rencana pembangunan daerah. Penekanan peraturan yang dikeluarkan baru-baru ini pada kewajiban bagi semua tingkat pemerintahan dan KPH untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dan membina partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pencegahan kebakaran hutan (Pasal 94, Pemerintah Indonesia 2016) merupakan langkah yang disambut baik. Tabel 1 menyoroti tantangan dan peluang utama sistem penanggulangan kebakaran hutan dan lahan saat ini di tingkat daerah. Tabel 1: Gambaran Tantangan dan Peluang dalam Sistem Penanggulangan Kebakaran di Tingkat Daerah Tantangan Fokus pada informasi cuaca jangka pendek, bukan pada informasi ramalan dengan jangka waktu yang lebih lama, yaitu berbulan-bulan Kurangnya sistem peringatan dini atau sistem pengurangan risiko yang peka terhadap, dan menjawab, ekologi kebakaran lokasi-lokasi setempat yang sangat bervariasi Peluang Sistem Risiko Kebakaran memasukkan informasi cuaca dan ramalan iklim dengan analisis kerentanan kebakaran, memungkinkan pejabat pemerintah untuk meramalkan kemungkinan kebakaran 1-3 bulan sebelum terjadinya kebakaran. Mengadopsi perencanaan partisipatif untuk mengurangi kerentanan terhadap kebakaran Serangkaian insentif finansial dan teknologi yang seimbang dan hukuman yang disasarkan dengan baik

27 Arsitektur Kelembagaan Lembaga-lembaga yang berorientasi pada respons dan pembiayaan operasioperasi penanggulangan kebakaran yang ditetapkan secara eksklusif untuk mengatasi kebakaran segera setelah terjadi Pada praktiknya, tata kelola pemadaman kebakaran bersifat satu arah dan dari atas ke bawah: Sistem formal tersebut menerima umpan balik terbatas dari tingkat lokal, terutama tentang variasi-variasi lokal. Pertimbangan-pertimbangan yang sangat penting tentang risiko dan imbalan bagi penduduk desa dalam penanggulangan kebakaran tidak dihargai sepenuhnya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota Mandat yang jelas dari Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim untuk kebakaran hutan dan lahan. Tanggung jawab yang diberikan kepada KPH untuk pencegahan dan pengendalian kebakaran setempat. Meningkatkan kapasitas para pemangku kepentingan masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta di tingkat lokal untuk bermitra dengan KPH guna mencapai hasil-hasil pengurangan kebakaran di lapangan Karena kegiatan-kegiatan untuk mengurangi risiko kebakaran merupakan kegiatan-kegiatan setempat yang disesuaikan dengan lokasinya, ramalan risiko kebakaran yang terampil akan dibuat pada skala kabupaten/kota, KPH dan desa. Skema-skema insentif dan hukuman untuk pencegahan kebakaran hutan akan dimasukkan ke dalam rencana-rencana pembangunan.

28 Data dan Komunikasi Akses yang tidak terpercaya ke informasi dan sangat beragamnya situasi kebakaran setempat bertentangan dengan penggunaan pendekatan hirarki penyebaran dan penggunaan informasi (seperti perlunya mengakhiri semua informasi kebakaran di tingkat provinsi) FRS, informasi akan dimasukkan ke dalam situs web dan disediakan bebas di semua tingkat pemerintahan, masyarakat sipil dan sektor swasta. Komunikasi akan diarahkan melalui sebuah badan satu fungsi pintu (KLHK-KPH) dengan fokus pada aksi. 1. Mengembangkan Strategi Pembangunan dan Rencana Tata Ruang Jangka Panjang yang Peta Risiko Kebakaran Strategi pembangunan dan rencana tata ruang yang peka terhadap risiko kebakaran sangatlah penting untuk memastikan pengurangan kerentanan terhadap kebakaran lahan hutan, dan khususnya kawasan gambut, dalam jangka panjang. Oleh karena itu strategi pembangunan dan rencana tata ruang yang peka terhadap risiko kebakaran tersebut sangatlah penting bagi keberhasilan POSNAS. 15 Pengembangan strategi-strategi yang demikian membutuhkan banyak langkah, termasuk menetapkan prioritas kegiatan-kegiatan pencegahan kebakaran dan pengurangan risiko kebakaran serta menentukan mekanisme insentif dan hukuman yang tepat untuk tiap desa, kabupaten/kota atau provinsi. Strategi-strategi tersebut, yang dipimpin oleh KLHK, harus memperjelas hubungan antara kegiatan-kegiatan pencegahan kebakaran dengan dinamika petani kecil serta pengelolaan air dan lahan gambut (lihat Tabel 2). Satu fitur utama dari strategi-strategi tersebut adalah merencanakan insentif untuk mengurangi penggunaan api, terutama selama masa-masa risiko kebakaran yang diperkirakan tinggi. 16 Insentif-insentif yang memungkinkan meliputi penggunaan Bantuan Tunai Bersyarat (CCT) untuk mendorong perubahan perilaku menjauh dari penggunaan api, akses bersyarat (dalam 15 Mengingat ruang lingkup POSNAS (halaman 4): Prosedur Operasi Standar ini terbatas pada upaya-upaya untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, termasuk tindakan dan kegiatan mulai dari langkah-langkah antisipasi, pencegahan dan penguatan hingga respons awal untuk memadamkan kebakaran, termasuk transisi dari Fase Pencegahan menuju Fase Kesiapsiagaan dan Tanggapan Darurat. (Pemerintah Indonesia, 2014, hal. 4). 16 Pentingnya menyertakan pencegahan risiko kebakaran dalam rencana pembangunan daerah (dan RTRW) di daerah-daerah yang kaya gambut di Indonesia harus ditekankan pada pelaksanaan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Pemerintah Indonesia 2016).

29 bentuk perjanjian sewa sementara) bagi masyarakat setempat untuk lahan terlantar, pembebasan pajak sementara bagi dukungan sektor swasta untuk meningkatkan perkebunan tanaman pohon dan kayu yang dikelola oleh masyarakat, serta pinjaman dan akses ke kredit untuk membantu pengusaha kecil dan menengah ke pasar global (manufaktur perabot, produsen hasil hutan bukan kayu (HHBK), dan produsen kerajinan lainnya). Tabel 2: Contoh Langkah Antisipasi dan Pencegahan Mengarusutamakan kegiatan-kegiatan antisipasi dalam perencanaan pembangunan di lahan gambut yang memiliki risiko kebakaran hutan yang tinggi yang menargetkan faktor-faktor akar risiko kebakaran dengan insentif mata pencaharian Selama periode 5 tahun: Diversifikasi untuk ketahanan dan pembangunan berkelanjutan Pergerakan sistemik menuju wanatani karet, dengan dukungan sektor swasta (jaminan dukungan harga beberapa tahun untuk hasil pertanian setempat, misalnya), terutama mata pencaharian yang menggunakan praktik tebang-bakar Meningkatkan nilai tambah lokal dalam hortikultura, peternakan Mendukung pengembangan badan usaha setempat Menghubungkan produsen kerajinan dengan pusat-pusat permintaan Menyediakan akses bersyarat bagi masyarakat setempat untuk menggunakan lahan hutan (lahan terlantar yang saat ini tidak disertakan, misalnya) untuk produksi mata pencaharian Mendorong dukungan sektor swasta (dalam peraturan-peraturan pemerintah) untuk perkebunan kayu yang dikelola oleh masyarakat Berinvestasi pada hubungan jangka panjang dengan para pelaku rantai pasokan pasar dalam dan luar negeri (misalnya, dengan para pembuat perabot berkualitas tinggi Memasukkan kegiatan-kegiatan antisipasi dalam perencanaan pembangunan 1 Tahun: Pergerakan menuju mata pencaharian alternatif Menguji coba budidaya perikanan untuk mendemonstrasikan penambahan nilai serta mengidentifikasi tantangan Mengidentifikasi permintaan dalam dan luar negeri untuk produk-produk kerajinan setempat

30 Menyesuaikan rencana sekat kanal dengan tujuan-tujuan produksi ekonomi dan tidak semata-mata untuk pembasahan kembali lahan gambut. Upaya-upaya pencegahan terkait dengan prakiraan FRS berisiko tinggi 3 bulan: Memobilisasi sumber daya untuk kegiatan-kegiatan jangka pendek Kegiatan-kegiatan penciptaan aset pedesaan dengan menggunakan tenaga kerja lokal, termasuk sekat kanal, sekat bakar; Mendorong dengan akses preferensial untuk penduduk desa yang berpartisipasi Dukungan anggaran untuk mendorong perubahan tanaman Menjamin harga tingkat petani untuk produk-produk hortikultura dan kerajinan Memberikan sumber daya tambahan kepada KPH untuk pelaksanaan inventarisasi strategis 1 bulan: Upaya-upaya pencegahan aksi cepat Meningkatkan kampanye kesadaran untuk prakiraan risiko kebakaran yang tinggi dengan dukungan KPH Mengumumkan larangan membakar di daerah-daerah yang memiliki risiko kebakaran yang sangat tinggi Menyediakan herbisida dan meminjamkan peralatan untuk pembukaan lahan manual Dalam periode 1 hingga 3 minggu: Menyelaraskan FRS dengan FDRS/SiPongi Meningkatkan kapasitas KPH untuk memadamkan kebakaran dengan menggunakan FRS, meningkatkan kesiapsiagaan MPA dan memastikan ketersediaan peralatan pemadaman kebakaran yang memadai di daerah-daerah berisiko tinggi Semua kegiatan akan diprioritaskan di daerah-daerah berisiko kebakaran tinggi POSNAS harus memungkinkan pengembangan strategi-strategi yang peka risiko kebakaran di tingkat desa, kabupaten/kota, dan provinsi, yang akan dimasukkan ke dalam rencana pembangunan dan rencana tata ruang tahunan dan beberapa tahun. Organisasi-organisasi masyarakat dan sektor swasta harus dilibatkan dengan KPH dalam perumusan rencana pengurangan risiko kebakaran, sebagai pemilik bersama upaya dengan lembaga-lembaga pemerintah yang sesuai. Universitas-universitas nasional, mengingat keahlian teknis mereka

31 yang tinggi, dan universitas-universitas lokal dengan koneksi mereka yang kuat dengan realitas pembangunan setempat dan risiko kebakaran harus menjadi mitra-mitra yang kuat dalam upaya-upaya tersebut. 2. Mengoordinasikan Tindakan di Banyak Periode Waktu Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, saat ini penanggulangan kebakaran didasarkan pada informasi pemantauan titik api, yang digunakan dalam Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (FDRS). Informasi ini sangatlah dibutuhkan untuk operasi-operasi pemadaman kebakaran untuk membantu memadamkan kebakaran hutan dan lahan, dan sangatlah penting. Namun, kegiatan-kegiatan antisipasi untuk mengurangi risiko kebakaran tidak dapat dilaksanakan dalam jangka waktu terbatas, beberapa hari, dengan menggunakan peringatan kebakaran skala cuaca. Kegiatan-kegiatan yang membutuhkan pilihan tindakan selama periode waktu yang lebih panjang (dalam skala beberapa bulan), termasuk pengaturan waktu alternatif untuk pembukaan lahan dengan menggunakan api, memberikan saran tentang tanaman alternatif, mendorong alternatif terhadap penggunaan api, dll. tidak dimungkinkan. Mengingat pendeknya jangka waktu informasi peringatan kebakaran FDRS, sekumpulan tindakan yang dapat diambil oleh lembaga-lembaga pemerintah apakah di lapangan ataupun di tingkat kecamatan terbatas pada respons kebakaran. POSNAS dan Peraturan Kebakaran Hutan dan Lahan (2016) secara tegas menyatakan perlunya sistem peringatan dini kebakaran. POSNAS mencakup di luar hal tersebut, termasuk perlunya memasukkan lebih banyak prakiraan berbasis iklim jangka panjang melalui penggunaan model-model ramalan El Niño dan curah hujan. Oleh karena itu, perpaduan informasi FRS dan FDRS sangat dibutuhkan di bawah kepemimpinan BMKG. Informasi ini akan membantu mencapai ambisi ganda pencegahan serta pemadaman kebakaran. POSNAS dan Peraturan Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 2016 harus menyoroti perlunya tindakan-tindakan jangka pendek, menengah dan panjang, mulai dari mengarusutamakan pengurangan risiko kebakaran dalam rencana pembangunan dan RTRW hingga pemadaman kebakaran. POSNAS telah menyoroti perlunya perangkat peringatan dini dan memperhatikan penggunaan informasi iklim untuk peringatan dini. Namun, sejauh ini, perangkat yang memberikan peringatan beberapa hari lebih awal belum tersedia. Oleh karena itu, salah satu langkah penting yang perlu diambil adalah memerinci penggunaan FRS, dengan penjelasan tentang tindakan-tindakan jangka pendek, menengah dan panjang yang difasilitasi oleh

32 informasi FRS. Sebagaimana yang diilustrasikan dalam Tabel 2 dan Gambar 7, beberapa kegiatan pencegahan kebakaran dan mitigasi risiko di daerah-daerah prioritas yang memiliki risiko kebakaran tinggi didukung oleh FRS, yang meliputi: Mengarusutamakan kegiatan-kegiatan antisipasi dalam perencanaan pembangunan (dalam periode waktu 5+ tahun) Memadukan kegiatan-kegiatan antisipasi dalam perencanaan pembangunan dan penanggulangan bencana (dalam periode waktu 1 tahun) Upaya-upaya pencegahan untuk memobilisasi sumber daya (dalam kerangka waktu 3 bulan) Upaya-upaya pencegahan tindakan cepat (dalam keangka waktu 1 bulan), dan Upaya-upaya pemadaman kebakaran dengan menyelaraskan informasi FRS dan FDRS (dalam kerangka waktu kurang dari 1 bulan) Gambar 7: Contoh upaya-upaya pengurangan risiko kebakaran, pencegahan kebakaran dan pemadaman kebakaran dengan menggunakan FRS Kegiatan-kegiatan pengurangan risiko kebakaran dalam jangka panjang (5 tahun dan lebih) dapat berfokus pada mekanisme-mekanisme untuk mendorong petani kecil menuju sistem wanatani dan pertamian berbasis karet, menggabungkan dua tujuan pembangunan ekomomi yang dinamis (terutama bagi petani kecil) dengan pengelolaan sumber daya hutan dan lahan gambut secara lebih berkelanjutan. Upaya-upaya dalam kerangka waktu bertahun-tahun dapat dilakukan untuk diversifikasi sumber pendapatan, bukan hanya dengan mendorong tanaman alternatif seperti karet, sagu dan jelutung, melainkan juga dengan memprioritaskan

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep No.149, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN. Badan Pengelola. Penurunan. Emisi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.9/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2018 TENTANG KRITERIA TEKNIS STATUS KESIAGAAN DAN DARURAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DEPUTI BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Jakarta, 12 Juni 2014 RUANG LINGKUP 1. KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB III KELEMBAGAAN PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

BAB III KELEMBAGAAN PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BAB III KELEMBAGAAN PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN 1. Kebakaran Hutan dan Lahan berdampak pada dimensi Pembangunan Berkelanjutan, yaitu dimensi : Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan. Karhutla telah menimbulkan

Lebih terperinci

SISTEM RISIKO KEBAKARAN (FRS): Peringatan Dini Kebakaran Lahan & Hutan Musiman

SISTEM RISIKO KEBAKARAN (FRS): Peringatan Dini Kebakaran Lahan & Hutan Musiman SISTEM RISIKO KEBAKARAN (FRS): Peringatan Dini Kebakaran Lahan & Hutan Musiman http://geospasial.bnpb.go.id Presented by Rizaldi Boer (Team Coordinator) Centre for Climate Risk and Opportunity Management

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 12/Menhut-II/2009 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 12/Menhut-II/2009 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 12/Menhut-II/2009 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 22, Pasal 23, Pasal

Lebih terperinci

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar Tahun 2015 menjadi tahun terburuk bagi masyarakat di Sumatera dan Kalimantan akibat semakin parahnya kebakaran lahan dan hutan. Kasus

Lebih terperinci

Penanggulangan Kebakaran Hutan Provinsi, Kalimantan Barat

Penanggulangan Kebakaran Hutan Provinsi, Kalimantan Barat Proyek GAMBUT - UNOPS 96764/2016/TEI-CU/01 Penanggulangan Kebakaran Hutan Provinsi, Kalimantan Barat Januari 2017 Dr. Shiv Someshwar Brittney Melloy Ratna Patriana (IPB) Akronim...2 I. Pendahuluan.....4

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG MEKANISME PENCEGAHAN PENCEMARAN DAN/ATAU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN/ATAU LAHAN MENTERI

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN, Dalam rangka peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di seluruh wilayah Republik Indonesia,

Lebih terperinci

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 01 I 11 April 2016 USAID LESTARI KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri PENGANTAR Bagi ilmuwan, kebakaran

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa hutan dan lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

ULASAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT

ULASAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT ULASAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT Pendekatan MCA-Indonesia Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia, dan lahan gambut menghasilkan sekitar sepertiga dari emisi

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 52 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBUKAAN LAHAN DAN PEKARANGAN BAGI MASYARAKAT DI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH

INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR : 360 / 009205 TENTANG PENANGANAN DARURAT BENCANA DI PROVINSI JAWA TENGAH Diperbanyak Oleh : BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH JALAN IMAM BONJOL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG BADAN RESTORASI GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG BADAN RESTORASI GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG BADAN RESTORASI GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka percepatan pemulihan

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah

Lebih terperinci

SETELAH HUJAN TURUN: MENUJU PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT JANGKA PANJANG

SETELAH HUJAN TURUN: MENUJU PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT JANGKA PANJANG Foto 1: www.durianasean.com SETELAH HUJAN TURUN: MENUJU PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT JANGKA PANJANG Foto 2: Yayasan Cakrawala/BMKG 1. PENGANTAR Siklus El Nino tahun 2015 - yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

Pedoman Pengguna-Akhir untuk Meningkatkan Kapasitas KPH Dalam Mempergunakan FRS Dr. Shiv Someshwar Brittney Melloy

Pedoman Pengguna-Akhir untuk Meningkatkan Kapasitas KPH Dalam Mempergunakan FRS Dr. Shiv Someshwar Brittney Melloy Proyek GAMBUT - UNOPS 96764/2016/TEI-CU/01 Pedoman Pengguna-Akhir untuk Meningkatkan Kapasitas KPH Dalam Mempergunakan FRS Dr. Shiv Someshwar Brittney Melloy Daftar Isi Akronim... 2 I. Kata Pengantar...

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa sumber daya hutan dan lahan merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN TENTANG BADAN RESTORASI GAMBUT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN TENTANG BADAN RESTORASI GAMBUT SALINAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 2012 TENTANG BADAN RESTORASI GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka percepatan

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan suatu tempat yang luas yang didalamnya terdapat berbagai macam makhluk hidup yang tinggal disana. Hutan juga merupakan suatu ekosistem yang memiliki

Lebih terperinci

Latar Belakang. Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. pada lanskap lahan gambut. Di lahan gambut, ini berarti bahwa semua drainase

Latar Belakang. Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. pada lanskap lahan gambut. Di lahan gambut, ini berarti bahwa semua drainase 1 2 Latar Belakang Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. Banyak lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan telah terbakar dalam beberapa tahun terakhir ini. Kebakaran gambut sangat mudah menyebar di areaarea

Lebih terperinci

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Nita Murjani n.murjani@cgiar.org Regional Communications for Asia Telp: +62 251 8622 070 ext 500, HP. 0815 5325 1001 Untuk segera dipublikasikan Ilmuwan

Lebih terperinci

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan. BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database

BAB I PENDAHULUAN. daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan merupakan bukan hal baru terjadi disejumlah daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database yang seharusnya menjadi

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Agreement. Perubahan Iklim. PBB. Kerangka Kerja. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 204) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.61/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2017 TENTANG PENUGASAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN UNTUK KEGIATAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI KALIMANTAN TENGAH,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI KALIMANTAN TENGAH, SALINAN v GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 24 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGANAN DARURAT BENCANA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

BUPATI BENGKALIS ASSALAMU ALAIKUM WR. WB SELAMAT PAGI, SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEMUA,

BUPATI BENGKALIS ASSALAMU ALAIKUM WR. WB SELAMAT PAGI, SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEMUA, BUPATI BENGKALIS SAMBUTAN BUPATI BENGKALIS PADA APEL SIAGA DARURAT BENCANA ASAP AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN TINGKAT KABUPATEN BENGKALIS TAHUN 2017 BENGKALIS, 6 FEBRUARI 2017 ASSALAMU ALAIKUM WR. WB

Lebih terperinci

ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 01/PRT/M/2008 18 Januari 2008 Tentang: ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL SUMBER DAYA AIR DAFTAR ISI PENGANTAR I. Direktorat

Lebih terperinci

Oleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI

Oleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon dan/atau Penyimpanan Karbon (PAN-RAP Karbon) Nomor: SK. 494/Menhut-II/2013 Hutan Rawa Gambut Tropis Merang-Kepayang Sumatera Selatan, Indonesia Oleh: PT. GLOBAL

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PP 57/2016

IMPLEMENTASI PP 57/2016 PAPARAN BRG TENTANG IMPLEMENTASI PP 57/2016 Jakarta, 25 April 2017 PEMBENTUKAN BADAN CLICK RESTORASI EDIT GAMBUT MASTER TITLE STYLE Dibentuk dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi

Lebih terperinci

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 228) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN 2013-2015 Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (PERSETUJUAN ASEAN TENTANG PENCEMARAN ASAP LINTAS BATAS) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional UNFCCC dan juga telah menyepakati mekanisme REDD+ yang dihasilkan oleh rezim tersebut dituntut

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM PERATURAN PRESIDEN NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Sungai Citarum

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 TENTANG PROGRAM KAMPUNG IKLIM

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 TENTANG PROGRAM KAMPUNG IKLIM PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 TENTANG PROGRAM KAMPUNG IKLIM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut Peta Jalan Lahan Gambut APRIL-IPEWG Versi 3.2, Juni 2017 Kelompok Ahli Gambut Independen (Independent Peatland Expert Working Group/IPEWG) dibentuk untuk membantu

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP)

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP) INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP) I. PENDAHULUAN - IAFCP didasarkan pada Kesepakatan Kerjasama ditandatangani oleh Presiden RI dan Perdana Menteri Australia 13 Juni 2008, jangka waktu

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pencemaran dan kerusakan lingkungan merupakan permasalahan yang cukup pelik dan sulit untuk dihindari. Jika tidak ada kesadaran dari berbagai pihak dalam pengelolaan lingkungan,

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian mitigasi. 2. Memahami adaptasi

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

24 Oktober 2015, desa Sei Ahass, Kapuas, Kalimantan Tengah: Anak sekolah dalam kabut asap. Rante/Greenpeace

24 Oktober 2015, desa Sei Ahass, Kapuas, Kalimantan Tengah: Anak sekolah dalam kabut asap. Rante/Greenpeace 24 Oktober 2015, desa Sei Ahass, Kapuas, Kalimantan Tengah: Anak sekolah dalam kabut asap. Rante/Greenpeace Publikasikan Peta, Hentikan Kebakaran, Selamatkan Hutan Transparansi sangat penting untuk mencegah

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini memiliki tema utama yakni upaya yang dilakukan Australia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini memiliki tema utama yakni upaya yang dilakukan Australia BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian ini memiliki tema utama yakni upaya yang dilakukan Australia dalam pengurangan emisi gas karbon di Indonesia melalui kerjasama IAFCP terkait mekanisme

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.344, 2011 KEMENTERIAN KESEHATAN. Strategi Adaptasi. Perubahan Iklim. Kesehatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.344, 2011 KEMENTERIAN KESEHATAN. Strategi Adaptasi. Perubahan Iklim. Kesehatan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.344, 2011 KEMENTERIAN KESEHATAN. Strategi Adaptasi. Perubahan Iklim. Kesehatan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1018/MENKES/PER/V/2011 TENTANG STRATEGI

Lebih terperinci

LAPORAN TRIWULAN BADAN RESTORASI GAMBUT RI KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA JULI SEPTEMBER 2016

LAPORAN TRIWULAN BADAN RESTORASI GAMBUT RI KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA JULI SEPTEMBER 2016 LAPORAN TRIWULAN BADAN RESTORASI GAMBUT RI KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA JULI SEPTEMBER 2016 01 SK PENETAPAN PETA INDIKATIF RESTORASI 1 SK.05/BRG/Kpts/2016 telah diterbitkan pada 14 September 2016.

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai Para Peserta) Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ini dibuat oleh Center for Internasional Forestry Research (CIFOR) dan tidak bisa dianggap sebagai terjemahan resmi. CIFOR tidak bertanggung jawab jika ada kesalahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan

BAB VI PENUTUP. dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai strategi komunikasi bencana yang dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan pengelolaan komunikasi bencana

Lebih terperinci

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat. Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau Daddy Ruhiyat news Dokumen terkait persoalan Emisi Gas Rumah Kaca di Kalimantan Timur

Lebih terperinci

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1018/MENKES/PER/V/2011 TENTANG

- 1 - PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1018/MENKES/PER/V/2011 TENTANG - 1 - PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1018/MENKES/PER/V/2011 /Menks/SK/V/2009 TENTANG STRATEGI ADAPTASI SEKTOR KESEHATAN TERHADAP DAMPAK PERUBAHAN IKLIM Menimbang : a. DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa irigasi

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Praktek-Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBANGUN DASAR KERANGKA PENGAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA Apa» Kemitraan dengan Ratah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasca runtuhnya Uni Soviet sebagai salah satu negara adi kuasa, telah membawa agenda baru dalam tatanan studi hubungan internasional (Multazam, 2010). Agenda yang awalnya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

Rasionalisasi. Anggaran Prioritas Untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan di Provinsi Riau Tahun Anggaran 2016

Rasionalisasi. Anggaran Prioritas Untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan di Provinsi Riau Tahun Anggaran 2016 Rasionalisasi Anggaran Prioritas Untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan di Provinsi Riau Tahun Anggaran 2016 FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU A. Pengantar Isu strategis lingkungan

Lebih terperinci

GubernurJawaBarat. Jalan Diponegoro Nomor 22 Telepon : (022) Faks. (022) BANDUNG

GubernurJawaBarat. Jalan Diponegoro Nomor 22 Telepon : (022) Faks. (022) BANDUNG GubernurJawaBarat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, RINCIAN TUGAS UNIT DAN TATA KERJA BADAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI JAWA BARAT Menimbang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/262/KPTS/013/2015 TENTANG TIM BRIGADE PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI Oleh Ir. H. BUDIDAYA, M.For.Sc. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi) Disampaikan pada Focus Group

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 P. Nasoetion, Pemanasan Global dan Upaya-Upaya Sedehana Dalam Mengantisipasinya.

BAB I PENDAHULUAN. 1 P. Nasoetion, Pemanasan Global dan Upaya-Upaya Sedehana Dalam Mengantisipasinya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim atau Climate change adalah gejala naiknya suhu permukaan bumi akibat naiknya intensitas efek rumah kaca yang kemudian menyebabkan terjadinya pemanasan

Lebih terperinci

Kerangka Acuan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional

Kerangka Acuan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional Kegiatan Kerangka Acuan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional SFDRR (Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana) dan Pengarusutamaan PRB dalam Pembangunan di Indonesia Tanggal 17 Oktober

Lebih terperinci

ABSTRAK DUKUNGAN AUSTRALIA DALAM PENANGGULANGAN DEFORESTASI HUTAN DI INDONESIA TAHUN

ABSTRAK DUKUNGAN AUSTRALIA DALAM PENANGGULANGAN DEFORESTASI HUTAN DI INDONESIA TAHUN ABSTRAK DUKUNGAN AUSTRALIA DALAM PENANGGULANGAN DEFORESTASI HUTAN DI INDONESIA TAHUN 2004-2009 AKRIS SERAFITA UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL 2012 Hubungan Indonesia dan Australia memiliki peranan penting

Lebih terperinci

DUKUNGAN PERLINDUNGAN PERKEBUNAN

DUKUNGAN PERLINDUNGAN PERKEBUNAN DUKUNGAN PERLINDUNGAN PERKEBUNAN PEDOMAN TEKNIS FASILITASI TEKNIS DUKUNGAN PERLINDUNGAN PERKEBUNAN TAHUN 2018 (Operasional Brigade Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 T E N T A N G SISTEM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 T E N T A N G SISTEM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 T E N T A N G SISTEM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan Instruksi Presiden

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN

Lebih terperinci

Kajian Nilai Konservasi Tinggi Provinsi Kalimantan Tengah

Kajian Nilai Konservasi Tinggi Provinsi Kalimantan Tengah Kajian Nilai Konservasi Tinggi Provinsi Kalimantan Tengah Ringkasan Eksekutif Bismart Ferry Ibie Nina Yulianti Oktober 2016 Nyahu Rumbang Evaphilo Ibie RINGKASAN EKSEKUTIF Kalimantan Tengah berada di saat

Lebih terperinci