BAB V KESIMPULAN. fenomena kotak amal yang dilakukan lembaga sosial keagamaan Islam sudah

Transkripsi

1 BAB V KESIMPULAN Studi ini telah menggambarkan dan menjelaskan bahwa munculnya fenomena kotak amal yang dilakukan lembaga sosial keagamaan Islam sudah mencapai taraf yang masif. Kotak amal sudah menjadi pemandangan umum yang terjadi di ruang-ruang publik. Analisis penelitian ini menggunakan konsep hegemoni dan konsep praktik sosial. Hegemoni adalah upaya yang dilakukan untuk menggiring masyarakat supaya menilai suatu hal dalam kerangka pemikiran yang sudah ditentukan. Hegemoni mengarahkan perilaku masyarakat (habitus). Sedangkan praktik sosial adalah perilaku yang dibentuk dari habitus dan modal dalam ranah tertentu. Secara empirik hegemoni dikuatkan dalam bentuk reward and punishment yang dikaitkan dengan dalil-dalil yang berasal dari ayat-ayat Al Qur an dan Hadist. Pengkaitan ini dilakukan dengan cara mencuplik ayat-ayat yang mengatur mengenai paham berbagi (terutama zakat dan infak) dan melekatkannya ke dalam cerita-cerita kesuksesan dari kegiatan berbagi dan cerita-cerita kegagalan sebagai akibat dari keengganan berbagi. Mereka menciptakan ketakutan yang disebarluaskan melalui propaganda di berbagai media seperti media elektronik dan media fisik, salah satunya kotak amal. Studi ini menggambarkan bahwa lembaga sosial keagamaan Islam menggunakan kotak amal untuk menggalang dana sosial. Pada praktiknya, kotak 106

2 amal memiliki peran ganda dalam penggalangan dana sosial di ruang publik. peran tersebut adalah (1) sebagai media penyampaian informasi dan propaganda dalam penyadaran berbagi dan (2) sebagai tempat penitipaan sumbangan sementara yang diberikan oleh orang-orang yang takut. Untuk bisa memaksimalkan peran dari kotak amal khususnya sebagai tempat penitipan sementara sumbangan, lembaga sosial keagamaan Islam menggalang hubungan dengan pemilik-pemilik tempat yang dititipi. Mengawali langkah membangun relasi, pengantar-jemput kotak amal melakukan pencarian tempat potensi. Mereka (pengantar-jemput kotak) mendefinisikan tempat potensi dengan memberikan tiga persyaratan khusus, yaitu (1) berkumpul banyak orang, (2) ada kegiatan transaksi, dan (3) akses lokasi. Syarat satu dan dua adalah keharusan, sedangkan akses lokasi diperhitungkan sesuai dengan tingkat keramaian dari lokasi yang diperkirakan berpotensi. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila pada lokasi seperti rumah makan, warung, swalayan, jasa binatu, apotek, dan salon dapat dengan mudah dijumpai kotak amal dari berbagai lembaga sosial keagamaan Islam. Setelah menentukan lokasi potensi, pengantar-jemput melakukan pendekatan kepada pemilik lokasi tersebut. Berbagai pendekatan dilakukan, seperti penjelasan mengenai program-program yang ada dan dilekatkan dalam simbol-simbol di kotak amal, pelekatan simbol instansi tempat penitipan di bagian luar kotak amal, hingga pemberian sebagian dana sosial hasil dari kotak amal yang dititipkan kepada pemilik tempat untuk melakukan kegiatan kemanusiaan atas nama pemilik tempat. Lembaga yang memiliki kedekatan dengan pemilik 107

3 lokasi penitipan akan mendapatkan keistimewaan. Kotak amal mereka akan ditempatkan sedekat mungkin dengan lokasi transaksi uang. Biasanya lokasi transaksi tersebut berupa kasir. Tidak hanya itu, melalui transaksi yang ada di balik kedekatan lembaga sosial keagamaan Islam dengan pemilik lokasi penitipan kotak, mereka (lembaga sosial) bisa menekan pemilik tempat untuk membatasi jumlah kotak amal. Ini memunculkan monopoli peletakan kotak amal di ruang publik oleh beberapa lembaga sosial keagamaan Islam. Untuk mempertahankan stabilitas jumlah dana sosial di lokasi penitipan, lembaga sosial keagamaan Islam melalui pengantar-jemput melakukan upaya penghegemonian terhadap pemilik lokasi penitipan. Mereka menerapkan mekanisme reward and punishment. Reward and punishment hadir dalam kegiatan pemberian doa setelah pengambilan donasi, dan pencabutan kotak amal apabila donasi di lokasi penitipan dinilai tidak menguntungkan. Pengantar-jemput melakukan intimidasi psikologis terhadap pemilik tempat dengan menggunakan kwitansi yang mencatat sejarah donasi kotak amal di tempat tersebut. Pola-pola tersebut menimbulkan kepatuhan pemilik tempat hingga secara sadar atau tidak akan memberikan uang mereka ketika mengetahui jumlah donasi kotak amal tidak mencapai rata-rata. Mekanisme reward and punishment yang disebarluaskan melalui berbagai media berhasil meningkatkan keinginan berbagi dari masyarakat. Akan tetapi, berbagi yang dipengaruhi oleh mekanisme tersebut dimaknai lain oleh masyarakat. Mereka mendekati sumber-sumber kemiskinan baik formal maupun nonformal untuk melakukan kegiatan berbagi dengan tujuan meningkatkan 108

4 eksistensi yang berdampak pada peningkatan kondisi finansial. Hal ini terjadi pada seluruh masyarakat. Termasuk pula pemilik lokasi penitipan maupun orang yang hadir di lokasi-lokasi tersebut. Lembaga sosial keagamaan Islam secara cerdas melihat gejala peningkatan keinginan berbagi masyarakat dengan mendekatkan kemiskinan kepada masyarakat. Kotak amal hadir sebagai kemiskinan simbolis yang mendekati masyarakat melalui tulisan dan gambar-gambar yang dilekatkan pada kemasannya. Kotak amal menjadi perangkap donasi dari masyarakat tanpa harus pergi ke kantor lembaga sosial keagamaan Islam. Masyarakat yang terhegemoni merasa rela uangnya diberikan secara cuma-cuma ke dalam kotak dengan harapan bahwa akan adanya balasan baik dari Tuhan. Hal ini berdampak positif terhadap pendapatan lembaga sosial keagamaan Islam lewat kotak amal. Dampak positif ini disikapi oleh lembaga sosial keagamaan Islam dengan membuat batas minimal pendapatan dari kotak amal. Rumah Zakat menetapkan batas minimal pendapatan sejumlah Rp ,- per bulan dengan menyumbang 5-10% pendapatan per tahun sedangkan Rumah Yatim menetapkan batas minimal sebesar Rp ,- per bulan dan menyumbang 25% pendapatan per tahun. Dana sosial yang didapat dari kotak amal berpengaruh signifikan terhadap pendapatan total yang diperoleh lembaga sosial keagamaan Islam membuat pola ini tetap dipertahankan. Selain itu, biaya yang relatif murah dalam pengelolaannya tidak menjadi beban bagi lembaga sosial. 109

5 Dana sosial yang diperoleh dari kotak amal dimasukkan dalam kategori donasi infak. Pemanfaatan dana infak yang lebih luwes membuat dana ini tidak harus diposisikan dalam anggaran secara khusus. Pada praktiknya, dana ini tidak dibedakan dengan zakat. Dana infak dan zakat dilebur menjadi satu untuk menjalankan program-program pengentasan kemiskinan yang menjadi komoditi lembaga sosial untuk mendapatkan dana. Kemiskinan ditafsirkan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan konsumen (masyarakat). Oleh sebab itu, praktik penyaluran yang dilakukan oleh Rumah Zakat dan Rumah Yatim berbeda. Rumah Zakat menyalurkan dana sosial dalam program-program pemberdayaan sedangkan Rumah Yatim mengalokasikan dana sosial dalam pendidikan anak asuh. 110