BAB V PENUTUP. pemilikan hak yang bertahap berupa Hak Erfpacht, HGU hasal Konversi Hak

Transkripsi

1 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pola penguasaan oleh masyarakat Desa Alasbuluh dan Desa Wongsorejo Pola penguasaan tanah oleh Masyafakat Petani Kampung Bongkoran yang dikenal dengan Petani OPWB adalah penguasaan tanah yang didasarkan penguasaan tanah hasil membuka hutan dan mengolah lahan perkebunan yang ditelantarkan. Pola penguasaan oleh pihak lain yakni PT. Wongsoredjo adalah didasarkan atas pemilikan hak yang bertahap berupa Hak Erfpacht, HGU hasal Konversi Hak Erfpacht, HGU dan HGB. Sampai saat ini tetap ada 2 pola penguasaan tanah, pertama, oleh Masyarakat Petani OPWB dan kedua, oleh PT. Wongsoredjo. 2. Kronologis Konflik yang dialami oleh Masyarakat Petani OPWB Konflik yang terjadi atas saling klaim penguasaan tanah antara masyarakat Petani OPWB dengan PT. Wongsoredjo telah terjadi bertahun-tahun. Berbagai macam perlakuan dialami oleh warga petani anggota OPWB. Kronologis konflik terbagi atas beberapa periode yaitu Periode konversi HGU asal Hak Erfpacht, Periode transisi Konversi HGU menjadi HGU, Periode HGU, Periode HGU menjadi HGB dan terakhir periode HGB hingga saat ini. Tahapan Konflik dikaji menurut Teori Transformasi Sengketa oleh William L.F. Felstiner, Richard L. Abel dan Austin Sarat yang terdiri dari tahapan naming, blaiming, dan claiming. Penyebab akar konflik dibagi berdasarkan pertama, dari subjek utama yang berkonflik, petani 302

2 303 OPWB dan PT. WOngsoredjo yakni 1) Permasalahan surat perjanjian kerja warga dan PT. Wongsoredjo; Kebutuhan hidup warga petani OPWB; Kurangnya pemahaman warga akan bukti hukum penguasaan tanah; Kurangnya pemahaman masyarakat petani mengenai cara mengatasi konflik dan penyelesaian konflik pertananan di instansi yang bersangkutan; Penyelesaian konflik oleh PT. Wongsoredjo yang dilakukan dengan intimidasi maupun kekerasan kepada warga. Kedua, dari subjek pendukung konflik yakni 1) Arsip pertanahan yang dimiliki instansi berwenang tidak lengkap; 2) Cacat administrasi; 3) Kurang pedulinya pihak diluar warga dan PT. Wongsoredjo terhadap penyelesiaan konflik; 4) Kebijakan instansi pemerintah atas penyelesaian konflik yang memunculkan konflik horizontal antarwarga. Bentuk konflik yang dialami warga dalam bentuk ancaman kekerasan maupun kekerasan langsung. Perilaku dari pihak perusahaan yang mengintimidasi warga juga sering dilakukan baik dengan perlakuan maupun secara verbal. Hal ini terlihat dari tidak imbangnya posisi antara petani dengan perusahaan pemilik modal. 3. Upaya Masyarakat Petani OPWB Mengatasi Konflik yang Terjadi di Wongsorejo Masyarakat petani berupaya mengatasi konflik yang selama ini terjadi dengan mendirikan organisasi petani bernama OPWB. Upaya ini dilakukan agar petani tidak tertindas secara individu dan berfikir secara bergotong royong untuk mengatasinya. Masyarakat petani menguasakan upaya melalui pengurus organisasi dalam melakukan upaya kepada lembaga pemerintah agar membantu penyelesaian konflik serta permohonan hak atas tanah untuk mendapat kepastian

3 304 dan keadilan terhadap penguasaan dan pemanfataan tanah selama ini. Laporan pengaduan permasalahan dan kekerasan yang dialami serta permohonan bantuan penyelesaian diajukan ke berbagai instansi seperti Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Daerah dan Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, hingga Presiden RI, lembaga Pertanahan mulai Kantor pertanahan Banyuwangi, Kanwil BPN Jatim hingga BPN RI, kepolisian Sektor Wongsorejo, Kepolisian Resort Banyuwangi, Kepolisian Daerah Jawa Timur hingga Kepolisian RI, lembaga nonpemerintah seperti Ombudsman Perwakilan Jawa Timur, Komnas HAM, LPSK hingga lingkup akademisi Dekan FH Universitas Airlangga, Pusat Kajian Hukum dan HAM UNAIR, serta aktivis seperti Kontras dan LBH Surabaya. B. Saran Dari segala hal yang telah diupayakan oleh masyarakat Desa Alasbuluh, maka dapat disarankan beberapa hal agar upaya masyarakat menjadi maksimal. 1. Masyarakat petani OPWB agar dapat melakukan negosiasi atau mediasi ulang untuk pemenuhan pembagian tanah bagi petani dapat dicukupkan bagi petani yang mengolah lahan dengan iktikad baik, baik yang tinggal di kawasan objek konflik maupun yang tinggal di sekeliling objek konflik. Masyarakat petani juga disarankan agar mengerti bahwa petani yang tercatat sebagai anggota OPWB yang telah mengikuti program transmigrasi untuk tidak dianggap sebagai anggota yang berhak atas penguasaan tanah.

4 PT. Wongsoredjo agar bersikap profesional dalam penyelesaian konflik penguasaan tanah dan tidak berkolusi dengan pemerintah daerah. Ada banyak warga yang tinggal di dalam wilayah objek konflik dengan pekerjaan sehari-hari sebagai petani guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. PT. Wongsoredjo disarankan untuk memberikan suatu kebijakan bahwa tanah memiliki fungsi sosial. Penggunaan cara-cara penyelesaian konflik dengan kekerasan maupun intimidasi agar tidak digunakan kembali, karena warga petani juga manusia yang memiliki hak asasi yang harus dihargai. 3. Lembaga pemerintah baik tingkat daerah hingga pusat agar menaruh perhatian lebih kepada konflik-konflik agraria yang selama ini terjadi di masyarakat. Lembaga pemerintah agar memposisikan diri sebagai pihak yang netral dan tidak memihak konflik yang terjadi. Pemecahan masalah dengan solusi yang baik menetapkan keputusan maupun kebijakan yang seadil-adilnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia. Konflik yang telah bertahun-tahun terjadi, seharusnya pemerintah tidak hanya memihak kepada perusahaan pemilik modal namun menetapkan kebijakan yang tepat seperti reforma agraria yang dapat memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan yang seluas-luasnya bagi para pihak. Pendekatan lebih kepada masyarakat dalam menyampaikan solusi harus diperhatikan secara baik agar tidak menggunakan cara-cara penyelesaian konflik yang arogan karena dapat menimbulkan konflik yang berlarut-larut. Suatu kebijakan yang diambil hendaknya juga mempertimbangkan keberadaan masyarakat mengingat tujuan negara berdasarkan UUD RI 1945

5 Lembaga swadaya masyarakat serta pihak yang peduli kepada konflik yang dialami petani OPWB supaya mendorong pemerintah guna melakukan kebijakan reforma agraria demi kesejahteraan petani dan juga keberlanjutan pangan. Dukungan dan pendampingan secara terus menerus hendaknya dilakukan mengingat lemahnya kedudukan petani OPWB saat melakukan upaya-upaya penyelesaian konflik selama ini.