KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA"

Transkripsi

1 KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA KENI SULTAN PROGRAM STUDI MAYOR PRIMATOLOGI INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Habitat dan Populasi Ungko (Hylobates agilis ungko) Melalui Pendekatan Sistem Informasi Geografi di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2009 Keni Sultan NIM P

3 ABSTRACT KENI SULTAN. Habitat And Population Analysis Based On Geographic Information Systems of Ungko (Hylobates agilis unko) at Batang Gadis National Park, North Sumatera. Under direction of SRI SUPRAPTINI MANSJOER and M. BISMARK. Ungko (Hylobates agilis unko) is considered an endangered species. The information on the population status of the ungko is limited and fluctuatives. The overall aim of this project is to generate critical baseline data on the status of ungko and it s habitat at Batang Gadis National Park, North Sumatera. The survey had been conducted at three diferent location during August 2006 through January Location of the research was based on type of forest, there were primary forest, logged-over forest and post-cultivated forest. Population density of ungko was conducted by fixed point count method, ungko s habitat was conducted by block line method. The average population density for ungko at post-cultivated forest was 15,5 individuals/km 2 and 4,7 groups/km 2, logged-over forest 13,2 individuals/km 2 and 4 groups/km 2, dan primary forest 9,9 individuals/km 2 and 3,3 groups/km 2. Overall there were groups and individuals in Batang Gadis National Park. Based on the data, population density of ungko at HBL is greater than at other location. Food source tree at the research site was 20 trees: 13 trees at postcultivated forest, 17 trees at logged-over forest and 7 trees at primary forest. The feeding patern was 85% fruits, 10% leaves and 5% flowers. The average high of sleeping trees was 26,86±4,84 m and dbh was 56,33±23,99 cm. The sleeping trees at research site was dominated by Dipterocarpaceae. Keywords: ungko (Hylobates agilis unko), Batang Gadis National Park, population density, habitat.

4 RINGKASAN KENI SULTAN. Kajian Habitat dan Populasi Ungko (Hylobates agilis unko) Melalui Pendekatan Sistem Informasi Geografi di Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utara. Dibimbing oleh SRI SUPRAPTINI MANSJOER dan M. BISMARK Taman Nasional Batang Gadis merupakan salah satu wilayah konservasi yang diperuntukan bagi satwa endemik dan langka Indonesia. Gangguan yang terjadi di Taman Nasional Batang Gadis sebelumnya, memberikan pengaruh terhadap kehidupan satwaliar di dalamnya, termasuk ungko. Saat ini, ungko termasuk satwa yang terancam punah yang diakibatkan semakin berkurangnya luasan habitat ungko, adanya perburuan dan perdagangan untuk dijadikan satwa peliharaan (pet animal). Keterbatasan informasi tentang ukuran populasi, karakteristik demografi dan laju kecenderungan demografi ungko liar juga menambah sulitnya menentukan langkah konservasi ungko selanjutnya. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mendapat informasi karakteristik populasi (kepadatan populasi, ukuran kelompok dan penyebaran), habitat (jenis, keragaman dan distribusi pohon sumber pakan dan pohon tempat tidur), dan persepsi masyarakat terhadap pelestarian ungko di Taman Nasional Batang Gadis. Metode yang digunakan untuk pengambilan data kelompok dilakukan dengan metode Fixed Point Count, sedangkan untuk mengetahui jumlah individu menggunakan metode pengamatan langsung (sensus) pada jalur transek (1-2 km) di hutan bekas ladang (HBL), hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP). Adapun metode untuk analisis vegetasi dilakukan dengan metode petak contoh untuk vegetasi tipe pohon (dbh 10 cm). Selanjutnya, untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap konservasi ungko dilakukan dengan metode wawancara langsung pada setiap satuan pemukiman penduduk Desa Aek Nangali yang terdiri atas Dusun Batu Nabontar, Malaka dan Pasar. Data yang diambil mewakili gender (laki-laki dan perempuan) dan umur (16 tahun keatas atau dewasa). Penelitian ini dilakukan antara Agustus 2006 sampai dengan Januari Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa pada areal sensus 0,24 ha jumlah jenis pohon di HP sekitar 21 jenis, HBT 30, dan HBL 40 jenis pohon. Kerapatan pohon HBL 470,8 pohon/ha, HBT 337,5 pohon/ha dan HP 483,3 pohon/ha. Adapun indeks keragaman jenis tiap lokasi: HBL 3,2, HBT 3,1 dan HP 2,7. hasil ini menunjukkan bahwa ketiga lokasi memiliki keragaman jenis yang cukup tinggi yang ditandai dengan jumlah jenis dalam petak 400 m 2 berkisar jenis. Begitu juga dengan kondisi kerapatan pohonnya baik. Pohon sumber pakan ungko diidentifikasi berjumlah 20 jenis yang dikelompokkan ke dalam 10 famili. Pohon sumber pakan pada HBL, HBT dan HP secara berturut-turut adalah 13 (190 jenis/ha), 17 jenis (175 jenis/ha), sedangkan di HP hanya ditemukan 7 jenis (175 jenis/ha) pohon sumber pakan. Famili Moraceae merupakan sumber pakan utama ungko di TN Batang Gadis. Adapun komposisi pakan ungko adalah 85% buah, 15% daun dan 5% bunga. Selanjutnya, pohon yang dimanfaatkan sebagai tempat tidur berjumlah 17 pohon yang dimasukkan ke dalam 5 famili. pohon yang banyak dimanfaatkan sebagai tempat tidur oleh ungko berasal dari famili Dipterocarpaceae (41,2%: 7 jenis) dan Lauraceae (23,5%: 4 jenis). Dari famili Dipterocarpaceae, jenis meranti (Shorea sp.) (23,5%) dan sengal (Shorea sp.) (17,6%) adalah jenis yang banyak

5 dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur. Berdasarkan pengamatan pohon tempat tidur menunjukkan bahwa karakteristik pohon tempat tidur pada setiap lokasi, antara lain 1) pohon tertinggi atau setara ketinggianya dengan pohon sekitarnya, 2) memiliki percabangan yang relatif banyak dan besar, 3) daun tidak terlalu rimbun untuk memudahkan pengawasan sekitar, 4) batang utama tegak lurus, 5) memiliki batang bebas cabang cukup tinggi (rerata 17,4±3,9), dan 6) terdapat pohon pakan disekitar pohon tidur. Secara umum, kisaran ketinggian habitat ungko di TN Batang Gadis antara m dpl. Berdasarkan hasil pengamatan kelompok di kawasan hutan Desa Aek Nangali menunjukkan bahwa penyebaran ungko pada HBL berkisar antara , HBT antara , dan HP m dpl. Adapun kawasan yang menjadi sebaran ungko memiliki ciri-ciri, antara lain 1) memiliki kerapatan tajuk yang baik karena termasuk kawasan dengan vegetasi stratum B, 2) ketersediaan sumber pakan yang banyak 180 jenis/ha, dan 3) kawasan yang minim terjadinya interaksi antar ungko dengan manusia karena jauh dari pemukiman penduduk (10 km dari desa terdekat). Berdasarkan komposisi kelompok, populasi ungko dewasa 31,7%, pradewasa 16,7%, anak 17,5% dan bayi 2,5%. Secara keseluruhan, keberhasilan kelahiran anak di ketiga lokasi termasuk tinggi. Ukuran keberhasilan ini dilihat dari tingginya persentase kelompok yang memiliki keturunan yang mencapai 76,7% dan sebaliknya, kelompok yang tidak memiliki keturunan hanya sebesar 23,3%. Jumlah populasi menunjukkan HBL 946 individu dengan 287 kelompok; HBT sekitar individu dengan 308 kelompok; dan HP memiliki jumlah individu yang lebih tinggi, yaitu individu dengan kelompok. Total estimasi populasi ungko di TN Batang Gadis diperkirakan sebesar individu dengan jumlah kelompok sekitar kelompok. Populasi ini dapat bertahan atau menunjukkan peningkatan jika habitat ungko dapat dijaga dengan baik melalui pembinaan potensi desa, pengawasan yang ketat dan ditunjang dengan penegakan hukum yang tegas. Disamping itu, perlu juga dilaksanakan pengembangan sumber ekonomi alternatif, akan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Kata kunci: ungko (Hylobates agilis unko), pohon sumber pakan, pohon tempat tidur, populasi, pelestarian ungko.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB

7 KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS, SUMATERA UTARA KENI SULTAN Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mayor Primatologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

8 Judul Tesis Nama NIM : Kajian Habitat dan Populasi Ungko (Hylobates agilis unko) Melalui Pendekatan Sistem Informasi Geografi di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. : Keni Sultan : P Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Ketua Prof. (R) Dr. Ir. M. Bismark, MS Anggota Diketahui Ketua Mayor Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 20 Januari 2009 Tanggal Lulus :

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Entang Iskandar MS.

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 27 September 1980 dari ayah Roni Ahmad dan Ibu Endang Sri Widayati. Penulis adalah anak kelima dari sembilan bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1987 di SDN 11 Srengseng Sawah Jakarta Selatan. Tahun 1993 menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 211 Srengseng Sawah Jakarta Selatan dan tahun 1999 menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Bunda Kandung Pasar Minggu Jakarta Selatan. Pada tahun 1999, pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan, Program Studi Teknologi Produksi Ternak dan Lulus pada tahun Di Tahun 2005, penulis diterima masuk ke Sekolah Pascasarjana IPB pada Mayor Primatologi, Institut Pertanian Bogor.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 Kerangka Pemikiran... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 6 Habitat Ungko... 6 Pengertian Hutan... 6 Hutan sebagai Habitat Ungko... 7 Pohon Sumber Pakan Ungko... 7 Pohon Tempat Tidur Ungko... 8 Hylobates agilis unko... 9 Klasifikasi dan Penyebaran... 9 Morfologi Komposisi Kelompok Reproduksi Populasi Ungko Kepadatan Populasi Sistem Informasi Geografi Konsep Dasar Sistem Informasi Geografi Aplikasi GIS untuk Pengelolaan Sumberdaya Hutan Keadaan Umum Taman Nasional Batang Gadis Letak dan Luas Keanekaragaman Hayati Keragaman Flora Keragaman Fauna Penetapan TN Batang Gadis sebagai Taman Nasional BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Waktu Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat Metode Penentuan Lokasi Pengumpulan Data Vegetasi Profil Habitat... 24

12 Pohon Sumber Pakan Pohon Tempat Tidur Pengumpulan Data Estimasi Populasi Pengumpulan Informasi Geografi Pengumpulan Data Aspek Konservasi Analisis Data Vegetasi Keanekaragaman Jenis Estimasi Populasi Ukuran Kelompok Analisis Sistem Informasi Geografi Aspek Konservasi HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Habitat Ungko Kerapatan dan Keragaman Jenis Indeks Nilai Penting (INP) Ekologi Populasi Pohon Sumber Pakan Ungko Pohon Tempat Tidur Ungko Estimasi Populasi Analisis Populasi Berdasarkan Suara Laju Vokalisasi Analisis Populasi Berdasarkan Pemetaan Kawasan Sebaran Ungko Komposisi Kelompok Kepadatan Populasi Aspek Konservasi Degradasi Habitat Pola Pemanfaatan Lahan oleh Masyarakat Persepsi Masyarakat terhadap Konservasi Ungko SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 74

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Estimasi populasi Hylobates sp di Indonesia Profil vegetasi tingkat pohon pada habitat ungko Nilai INP tertinggi jenis vegetasi tingkat pohon yang mendominasi di kawasan hutan TN Batang Gadis Pohon sumber pakan ungko di areal penelitian dalam luasan 0,52 ha Famili yang dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur ungko Rerata jumlah kelompok yang diidentifikasi di setiap lokasi peneliti Komposisi kelompok ungko di TN Batang Gadis Ukuran populasi dan kelompok ungko... 60

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian Peta sebaran Hylobates agilis di Sumatera, Semenanjung Malaysia dan Thailand (Geissmann 1995) Variasi warna rambut Hylobates agilis (Geissmann 2000) Hylobates agilis: betina subadult (A), betina dewasa (B) bayi (infant) (C), dan jantan dewasa (D) (Geissmann 2000) Peta kawasan konservasi TN Batang Gadis Keanekaragaman flora TN Batang Gadis: bunga kantung semar, Rafflesia sp dan alpine flower (Departemen Kehutanan 2004) Keanekaragaman fauna TN Batang Gadis: harimau sumatera, kambing hutan dan kucing emas (Departemen Kehutanan 2004) Lokasi penelitian di Desa Aek Nangali Disain metode garis berpetak Disain jalur transek Disain areal pengamatan Fixed Point Count (Segitiga ungu adalah pos dengar dan A adalah luas areal pengamatan ) (Duma 2007) Kondisi lokasi penelitian: hutan primer (A), hutan bekas ladang (B) dan hutan bekas tebangan (C) Profil habitat ungko habitat ungko dalam petak 20x40 m Buah yang dikonsumsi ungko di TN Batang Gadis langsat hutan (A), torop/cempedak (B), gumbot laut (C), gitan (D), asam kandis (E), dan gumbot besar (D) Kisaran diameter dan tinggi pohon tempat tidur ungko pada lokasi penelitian Karakteristik pohon tempat tidur ungko dengan percabangan yang lebar Peta sebaran kelompok di HBL, HBT dan HP Persentase vokalisasi kelompok pada cuaca yang berbeda... 50

15 19. Persentase sebaran populasi ungko per ketinggian di TN Batang Gadis Peta sebaran ungko berdasarkan ketinggian pada lokasi penelitian Tutupan lahan TN Batang Gadis Peta sebaran kelompok menurut kelas ketinggian Sumber pendapatan masyarakat Desa Aek Nangali Mata pencaharian masyarakat Desa Aek Nangali Persentase (%) persepsi terhadap keberadaan ungko oleh Masyarakat Desa Aek Nangali... 66

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Jenis pohon TN Batang Gadis Jenis pohon pada setiap lokasi penelitian Pohon sumber pakan ungko Analisis vegetasi hutan bekas ladang Analisis vegetasi hutan bekas tebangan Analisis vegetasi hutan primer Profil pohon tempat tidur ungko Analisis statistika Lembar borang... 86

17 PENDAHULUAN Tidak ada

18 TINJAUAN PUSTAKA Habitat Ungko Pengertian Hutan Pengertian hutan menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, yaitu suatu kesatuan ekosistem, berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang di dominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan cara terjadinya, hutan dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu hutan alam dan hutan anthropogen. Hutan alam adalah hutan asli yang mengalami suksesi sekunder sebagai akibat kerusakan-kerusakan karena faktor alam. Hutan alam terbagi atas dua, yaitu 1) hutan alam primer meliputi hutan asli (cerwood), hutan alam primer tua dan hutan alam primer muda, dan 2) hutan alam sekunder, meliputi hutan banjir, hutan vulkanogen, hutan erosi, hutan kebakaran alam dan hutan penggembalaan alam. Hutan anthropogen adalah hutan asli yang mengalami suksesi sekunder karena adanya tindakan manusia. Hutan anthropogen terbagi atas dua, yaitu 1) hutan anthropogen primer (permudaan hutan alam) meliputi hutan seleksi primer dan hutan trubusan (opslag) primer, dan 2) hutan anthropogen sekunder, meliputi hutan pengembangan anthropogen, hutan kebakaran anthropogen, hutan ladang, hutan tanaman dan hutan trubusan sekunder (Soerianegara dan Indrawan 1998). Selain pembagian hutan di atas, hutan dapat dibagi atas hutan primer dan hutan sekunder. Hutan primer adalah sebuah area hutan yang sudah berumur tua dan memiliki keunikan bentuk biologis. Ciri hutan primer adalah terdapat pohon hidup yang besar, pohon mati yang besar (terkadang disebut snag). Selain itu, hutan primer memiliki beragam strata tegakan vegetasi hutan dari beragam spesies pohon dan beragam kelas umur (Wikipedia 2006). Hutan sekunder adalah hutan alam yang sudah mengalami gangguan, baik karena faktor alami dan campur tangan manusia. Hutan bekas tebangan adalah hutan alam yang mengalami gangguan karena faktor manusia berupa pembalakan (over-logged forest). Hutan bekas ladang (postcultivated forest) adalah hutan sekunder yang terbentuk akibat aktifitas perladangan berpindah yang dilakukan manusia (Soerianegara 1996).

19 Hutan sebagai Habitat Ungko Habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar populasi, yaitu kebutuhan untuk berlindung, sumber pakan dan air (Alikodra 2002). Penebangan pohon dapat mengganggu aktifitas harian, terutama bagi satwa-satwa yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di atas pohon (Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup 1986). Habitat dengan pohon bertajuk kontinyu antara satu pohon dengan pohon lainnya pada habitat ungko memiliki peranan yang penting karena habitat yang demikian memungkinkan ungko untuk melakukan pergerakan (brankiasi) dengan cepat dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Sebaran Hylobates agilis hampir meliputi seluruh Sumatera, kecuali sebagian besar wilayah utara Sumatera (utara dari Danau Toba) adalah habitat Hylobates lar. Hylobates agilis unko hidup di hutan dataran rendah dan masih dapat ditemukan hingga ketinggian hingga m dpl (Nijman 2005). Ketinggian di atas m dpl bukan habitat yang baik untuk Hylobates karena kawasan di atas m dpl sedikit memiliki spesies tumbuhan dan jenis tumbuhan tersebut tidak sesuai untuk melakukan brankiasi (Rowe 1996). Di TN Kerinci Seblat, ungko ditemukan pada habitat perbukitan dengan ketinggian antara m dpl. Habitat ungko di TN Batang Gadis meliputi hutan primer dan hutan sekunder dengan ketinggian berkisar m dpl yang didominasi famili Euphorbiaceae, Myrtaceae, Lauraceae dan Dipterocarpceae (Bangun 2007). Pohon Sumber Pakan Ungko Pohon sumber pakan adalah jenis pohon yang menyediakan sumber pakan untuk ungko, meliputi buah, daun dan bunga atau bagian lainnya. Secara umum, jenis sumber pakan satwa primata terbagi atas 1) bagian vegetatif tumbuhan, 2) bagian reproduktif tumbuhan, dan 3) hewan (Fleagle 1988). Dalam komposisi pakan ungko, buah merupakan sumber pakan utama karena ungko termasuk satwa primata frugivorous (pemakan buah). Ungko juga diketahui mengkonsumsi daun, bunga dan serangga kecil dengan proporsi yang lebih sedikit dibandingkan buah. Supriatna dan Wahyono (2000) menyebutkan bahwa proporsi pakan Hylobates agilis terdiri atas buah 58%, daun 39%, bunga 3% dan serangga 1%, sedangkan menurut Napier dan Napier (1967) komposisi pakan ungko terdiri 7

20 atas 80% buah-buahan dan 20% daun, bunga dan pucuk daun, tetapi terkadang makan serangga. Di TN Batang Gadis terdapat sekitar 15 jenis pohon sumber pakan yang dikelompokkan ke dalam 7 famili, yaitu Myristacaceae, Moraceae, Apycinaceae, Myrtaceae, Euphorbiaceae, Rubiaceae, Verbenaceae. Jenis pohon yang dominan dimanfaatkan ungko sebagai sumber pakan, antara lain Geunsia farinosa Blume, Craton laevifolius Blume, Myristica iners Blume dan Syzygium sp. Pada hutan yang sedikit mengalami gangguan lebih banyak ditemukan pohon sumber pohon pakan dibandingkan hutan terganggu, secara berturut-turut 13 jenis (86,7%) dan 10 jenis (66,7) (Bangun 2007). Sumber pakan paling umum bagi Hylobates agilis albibarbis di TN Sebangau, berasal dari famili Myrtaceae (8 jenis), diikuti Annonaceae, Cluciaceae, Moraceae, Sapotaceae, Apocynaceae, Ebenaceae, Euphorbiaceae dan Dipterocarpaceae (Duma 2007). Persentase terbesar jenis pohon sumber pakan yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan oleh Hylobates moloch di TN Gunung Halimun Salak berasal dari famili Moraceae (24,2%), Fagaceae (24,2%), Myrtaceae (12,1%), Euphorbiaceae (9,1%) dan Meliaceae (9,1%) (Iskandar 2007). Pohon Tempat Tidur Ungko Pohon tempat tidur adalah pohon yang dimanfaatkan sebagai tempat beristirahat pada malam hari. Menurut Reichard (1998), Hylobates tidak membuat sarang untuk tidur, memanipulasi batang dan daun-daunan, melainkan tidur di batang terbuka. Lokasi pohon tempat tidur dominan berada di home range suatu kelompok (83%) dan sedikit berada di areal tumpang-tindih (overlap) dengan kelompok tetangga (17%). Di area tumpang-tindih, anggota dari kelompok yang berbeda adalah tidak pernah dilihat menggunakan pohon tempat yang sama. Perilaku pemilihan termpat tidur memiliki tujuan adalah untuk meminimalisasi resiko predasi dari predatornya dan setiap spesies memiliki strategi yang khas dalam pemilihan pohon tidur, tempat untuk tidur dan tingkahlaku tidur. Pemilihan ketinggian di pohon tempat tidur nyata dilakukan induk betina dengan bayi (infant) dibandingkan dengan jantan dewasa. Induk betina dengan bayi memilih pohon yang paling tinggi untuk dijadikan pohon tidur dibandingkan dengan jantan dewasa. 8

21 Urutan masuk ke pohon tidur, yaitu pertama induk betina-bayi yang diikuti anak (juvenile), sedangkan subadult dan jantan dewasa merupakan anggota keluarga yang terakhir masuk ke pohon tidur. Tingkahlaku tidur anggota keluarga gibbons, yaitu tidur terpisah pohon, kecuali bayi tidur dengan induk betina (Reichard 1998). Hylobates sp. memilih pohon tempat tidur dengan pertimbangan, yaitu 1) faktor cuaca, 2) kenyamanan, 3) ekploitasi sumber pakan, 4) menghindari dari ancaman predator, dan 5) daerah jelajah (Reichard 1998). Bangun (2007) menjelaskan bahwa di TN Batang Gadis, lokasi tidur ungko berada pada percabangan yang menghadap ke sungai. Menurutnya pemilihan percabangan yang mengarah ke sungai membuat sisa defekasi ungko akan jatuh langsung ke sungai, maka jejaknya akan hilang dari deteksi predator. Dengan demikian, ungko akan terhindar dari ancaman predator. Adapun karakteristik pohon tempat tidur yang dipilih Hylobates agilis di TN Sebangau Kalimantan Tengah, yaitu 1) merupakan pohon yang tertinggi disekitar lokasi tersebut, 2) mempunyai sistem percabangan yang relatif banyak dan besar, 3) daun sedikit sampai agak rimbun untuk memudahkan mengontrol sekitar pohon tempat tidur, 4) terdapat kanopi pohon lain disampingnya yang lebih rendah dari pohon tersebut untuk naik dan turun dari pohon tempat tidur, dan 5) disekitar pohon tempat tidur terdapat pohon sumber pakan yang dapat dimakan sesaat setelah turun dari pohon tempat tidur atau pohon tempat tidur itu sendiri merupakan pohon sumber pakan (Duma 2007). Di Taman Nasional Khao Yai, Thailand, 16% Hylobates menggunakan famili Dipterocarpaceae sebagai pohon tempat tidur lebih dari satu kali. Saat dewasa, pohon dari famili Dipterocarpae ini memiliki ukuran yang sangat besar (ketinggian 50), batang tegak lurus dan memiliki tinggi bebas cabang (cabang ptegak lurus dan memiliki tinggi bebas cabang (cabang pertama) umumnya tinggi dari pemukaan tanah (Reichard 1998). Ungko (Hylobates agilis unko) Klasifikasi dan Penyebaran Berdasarkan klasifikasi, Hylobates agilis unko termasuk ordo: primata; famili: Hylobatidae, genus: Hylobates, dan spesies: Hylobates agilis (Napier dan Napier 1985). Spesies Hylobates agilis terbagi ke dalam tiga subspesies, yaitu Hylobates 9

22 agilis unko, Hylobates agilis agilis dan Hylobates agilis albibarbis (Supriatna dan Wahyono 2000). Hylobates agilis unko juga dikenal dengan sebutan ungko (Indonesia); sarudung (Mandailing Natal); black-handed gibbon (Inggris); agile gibbon (Inggris); dan lowland agile gibbon (Inggris). Secara umum, penyebaran Hylobates spp., meliputi hutan hujan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, mulai dari timur laut (northeastern) India hingga Cina bagian selatan, berlanjut ke Bangladesh dan Malaysia hingga Indonesia. Di Asia Tenggara, penyebaran ungko meliputi Indonesia (Selatan Danau Toba, Sumatera), Malaysia (utara Sungai Perak dan selatan Sungai Mudah) dan Thailand (Eudey dan Members of the Primate Specialist Group 2000; Supriatna dan Wahyono 2000). Gambar 2 Peta sebaran Hylobates agilis ( ) di Sumatera, Semenanjung Malaysia dan Thailand (Geissmann 1995). Gambar 2 memperlihatkan penyebaran ungko yang meliputi hampir seluruh kawasan hutan Pulau Sumatera, kecuali utara Danau Toba yang merupakan penyebaran spesies Hylobates lar. Di Pulau Sumatera, ungko dapat dijumpai di kawasan konservasi seperti Taman Nasional Way Kambas (Lampung), Bukit Barisan Selatan (Lampung dan Selatan Bengkulu), Kerinci Seblat (Padang), Bukit Tiga Puluh 10

23 (Riau dan Jambi), Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Tapanuli Selatan) (Ditjen PHKA 2006b). Morfologi Secara umum, ciri-ciri Hylobates adalah kera kecil tak berekor, kepala kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, rongga dada pendek tetapi lebar, serta memiliki rambut yang tebal dan halus (Chivers 1977). Ungko (Hylobates agilis unko) memiliki tangan lebih panjang daripada kaki dan tidak dapat berenang (Bismark 1984). Disamping itu, memiliki struktur tangan, kaki dan jari yang panjang yang memungkinkan ungko dapat menjangkau dahan-dahan yang jauh dan efisien untuk berayun atau menggantung di tajuk-tajuk pohon dalam hutan (Napier dan Napier 1967). Pada bagian telapak tangan dan kaki berwarna hitam (Supriatna dan Wahyono 2000) dan penamaan black-handed gibbon diambil dari warna hitam pada bagian telapak tangannya. Pada bagian wajah tidak memiliki rambut dan berwarna hitam Secara umum, warna rambut penutup tubuh Hylobates agilis bervariasi dari gelap sampai dengan berwana coklat keemasan (golden brown). Jantan dewasa memiliki rambut putih dibagian alis mata dan sekeliling pipi, sedangkan betina hanya alis yang berwarna putih (Twycross Zoo 2004; Geissmann 1995). Subspesies Hylobates agilis unko dapat dibedakan dari Hylobates agilis agilis pada frekuensi warna gelap yang lebih tinggi dan rendahnya warna terang (Eudey dan Members of the Primate Specialist Group 2000). Menurut Bangun (2007) pada ungko yang mempunyai pola warna rambut kecoklatan adalah pada bagian punggung dan dada lebih dominan dengan rambut berwarna hitam kecoklatan, sedangkan bagian tubuh lainnya dipenuhi rambut berwarna kecoklatan. Pada bagian lengan ungko ditumbuhi rambut berwarna hitam atau coklat gelap meskipun pada seluruh tubuhnnya dipenuhi warna lain seperti kuning atau coklat. Variasi warna rambut pada spesies Hylobates agilis disajikan pada Gambar 3. 11

24 Gambar 3 Variasi warna rambut Hylobates agilis (Geissmann 2000). Bobot badan dewasa ungko sekitar 4,5-5,5 kg dengan panjang tubuh sekitar 45 cm (Twycross Zoo 2004) atau lebih rendah dibandingkan dengan siamang (Symphalangus syndactylus) yang berbobot sekitar 11 kg. Supriatna dan Wahyono (2000) menunjukkan bahwa bobot badan ungko dewasa antara 5-7 kg dan memiliki panjang tubuh antara mm. Pembedaan jantan dan betina dewasa menurut bobot badan, tidak berbeda nyata. Namun, umumnya jantan dewasa lebih berat dari betina dewasa (Geissmann 2002; Kuester 2000). Komposisi Kelompok Famili Hylobatidae hidup dalam kelompok sosial yang disebut monogami. Satu kelompok ungko terdiri atas sepasang jantan dan betina dewasa dengan 1-2 ekor anak. Dalam satu kelompok ungko dapat terdiri atas 3-5 anggota kelompok. komposisi kelompok, terdiri dari: 1) pasangan jantan dan betina dewasa, 2) bayi (infant): mulai dari lahir sampai umur dua tahun, ukuran tubuh kecil dan pada tahun pertamanya digendong oleh induk betina selama pergerakanya, 3) anak muda (juvenile): berumur 2-4 tahun, berbadan kecil, berjalan sendiri tapi cenderung selalu dekat induknya, 4) anak remaja (adolescent): berumur 4-6 tahun, ukuran badan sedang, sering berjalan dan melakukan aktivitas makan sendiri, dan 5) anak menjelang dewasa (>6 tahun), ukuran badan hampir sama dengan dewasa tetapi belum matang seksual, tetap di dalam kelompok tetapi lebih sering memisahkan diri (Gittin dan Raemaeker 1980; Baker et al. 2000). 12

25 B A D C Gambar 4 Hylobates agilis: A) betina subadult; B) betina dewasa; C) bayi (infant); dan D) jantan dewasa (Geissmann 2000). Gambar di atas memperlihatkan komposisi kelompok ungko yang berjumlah 4 individu, yaitu sepasang jantan dan betina dewasa, remaja menjelang dewasa dan bayi. Ikatan pasangan antara jantan dan betina terjadi setelah mencapai masa dewasa kelamin (12-13 tahun). Ikatan pasangan antar jantan dan betina dewasa berlangsung bertahun-tahun (Geissmann 2005). Bayi yang dilahirkan selalu digendong induk betina dan akan terus bersama keluarga asalnya sampai umur 6 tahun (Gittin dan Raemaekers 1980). Kuester (2000) dan Leighton (1987) menjelaskan bahwa anak akan bersama induknya sampai mereka mencapai dewasa kelamin, sekitar umur 8 sampai 10 tahun, selanjutnya mereka akan memisahkan diri keluarga untuk membentuk keluarga baru. Dalam sebuah kelompok ungko, interaksi antar anggota keluarga akan meningkat seiring dengan meningkatnya periode aktivitas seksual, baik frekuensi, intensitas dan agresifitas. Lebih lanjut, anak ungko yang menjelang dewasa ditandai dengan mulai tertariknya pada tingkahlaku teritori dan aktivitas seksual (Baker et al. 2000). Reproduksi Hylobates tidak punya musim kawin tertentu. Jantan dewasa dapat mengawini betina sepanjang tahun. Rerata jantan dan betina mencapai umur dewasa kelamin adalah umur 8 tahun dan ditandai dengan keinginan mencari pasangan hidup untuk pertama kali. Pada betina, dewasa kelamin ditandai dengan terjadi mentruasi pertama kali (Kuester 2000). Periode kebuntingan betina Hylobates spp. (gestation) sekitar 7 bulan. Betina dewasa hanya melahirkan satu anak per kelahiran setiap 2-3 tahun sekali (Kuester 13

26 2000). Masa pre-natal pada Hylobates spp. betina sekitar 7 bulan. Adapun jumlah total melahirkan bayi antara 5-6 anak selama periode hidupnya yang mencapai 30 tahun. Pada umumnya, Hylobates spp. akan menjaga dan merawat anaknya sampai sekitar umur 2 tahun atau disebut masa sapih (Kuester 2000). Menurut Leighton (1987), bahwa akibat keterbatasan data mengenai demografi Hylobates spp pada kebanyakan area menunjukkan Hylobates spp. tidak mempunyai musim melahirkan (birth seasonality). Populasi Ungko Kepadatan Populasi Menurut Alikodra (2002), populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu manghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Kebutuhan akan makanan, kebutuhan akan cover (tutupan), cara hidup, tempat berkembang biak dan kemampuan satwa beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya adalah faktor yang mempengaruhi terhadap kehidupan satwaliar. Hylobates agilis telah kehilangan 66% habitatnya yang semula cukup luas, yaitu sekitar km 2 menjadi sekitar km 2. Populasi ungko yang tersedia di alam pada tahun 1986, diperkirakan hanya berkisar individu dan hanya dapat ditemukan dalam konservasi di Kalimantan dan Sumatera (Supriatna dan Wahyono 2000). Febrianti (2003) menyebutkan bahwa untuk areal TN Kerinci Seblat yang luasnya 1,3 juta ha diperkirakan terdapat sekitar individu. Kepadatan populasi ungko di TN Kerinci Seblat adalah 0,283-0,567 kelompok/km 2 (Kehati 2004). Estimasi populasi spesies Hylobates disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Estimasi populasi Hylobates ssp. di Indonesia Spesies Status IUCN Tahun Estimasi Populasi Konservasi Red List Assessment Referensi H. moloch H. agilis H. albibarbis H. lar H. muelleri H. klosii Highest Very High CR LR/nt [VU] LR/nt LR/nt VU * Iskandar 2007 MacKinnon McKinnon 1987 Nijman dan Meijaard Whittaker 2005 * Estimasi Hylobates agilis Indonesia, Estimasi populasi H.moloch di TN Halimun-Salak 14

27 Populasi ungko di kawasan lindung HPHTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper Sektor Baserah, Riau diperoleh kepadatan populasi ungko di KPPN sebesar 17,45±5,61 individu/km 2 dan Sempadan Sungai 4,26±0,67 individu/km 2 dengan kepadatan kelompok masing-masing 7,47±0,52 kelompok/km 2 dan 1,89±0.02 kelompok/km 2 (Apriadi 2001). Di TN Batang Gadis yang luasnya ha diperkirakan terdapat sekitar individu. Kepadatan populasi ungko di TN Batang Gadis sebesar 8,82 individu/km 2 dan kepadatan kelompok sebesar 2,6 kelompok/km 2. Adapun ukuran kelompok ungko TN batang Gadis antara 2-5 individu/kelompok. Kepadatan populasi ungko di TN Batang Gadis terbaik pada level ketinggian m dpl. (Bangun 2007). Sistem Informasi Geografi Konsep Dasar Sistem Informasi Geografi Sistem informasi geografi (SIG) adalah bidang ilmu baru yang dapat digunakan oleh berbagai bidang disiplin ilmu sehingga dapat berkembang dengan cepat. Pengertian SIG berdasarkan ESRI, Environment System Research Institute (vendor yang bergerak dibidang SIG) adalah kumpulan terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personel yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, memuhtakhirkan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang mempunyai referensi geografi. Secara umum, berdasarkakn definisi tersebut, satu fungsi SIG yang sangat penting adalah kemampuan menganalisa data, terutama data spasial yang kemudian menyajikannya dalam bentuk suatu informasi spasial berikut data atributnya (Yusmur dan Imantho ). Pada suatu peta dibuat berdasarkan data spasial. Data spasial adalah data yang mengandung informasi lokasi geografi dari kenampakan-kenampakan dari permukaan bumi yang disertai informasi-informasi tertentu yang menggambarkan keadaan permukaan bumi tersebut (Trisasongko dan Shidiq 2004). Data spasial, salah satunya dapat diperoleh dari alat GPS (Global Positioning System) tentang titik koordinat (x,y) rute kejadian (addresses route events). 15

28 Penggunaan GPS adalah untuk mencek kebenaran image dengan cara menentukan beberapa lokasi dalam image, kemudian melakukan groundtruthing/field checking ke lokasi dan mencatat kondisi lokasi tersebut. Pengolahan data spasial dapat menggunakan perangkat lunak seperti ARC/INFO, ArcView, IDRISI, ER Mapper, GRASS, MapInfo (Puntodewo et al. 2003). SIG telah digunakan sebagai sebuah alat untuk memfasilitasi penelitian berbagai disiplin ilmu karena beragam tipe peta dari bidang ilmu yang terpisah dapat mensintesa melalui overlay peta (Savitsky 1998). Penggunaan SIG dalam pengelolaan sumber daya alam dapat mendukung perencanaan dan pengelolaan hutan tropis di Indonesia, termasuk pengambilan keputusan (Puntodewo et al. 2003). Keuntungan penggunaan SIG dalam pengelolaan hutan tropis adalah dapat menjangkau area yang luas yang menjadi batasan inventori dan monitoring langsung (Puntodewo et al. 2003). Aplikasi SIG untuk Pengelolaan Sumberdaya Hutan Perencanaan dan pengelolaan sumber daya hutan yang baik mutlak diperlukan untuk menjaga kelestariannya. Untuk itu diperlukan informasi yang memadai yang bisa dipakai untuk pengambilan keputusan, termasuk diantaranya informasi spasial. Sistem informasi geografi (SIG), penginderaan jauh (PJ) dan GPS (Global Positioning System) adalah tiga teknologi spasial yang sangat bermanfaat. Sebagian besar aplikasi SIG belum mencakup hutan tropis, meskipun dalam sepuluh tahun terakhir ini aplikasi SIG untuk hutan tropis sudah mulai berkembang (Puntodewo et al. 2003). Secara komersial, hasil hutan yang paling utama adalah kayu. Penebangan hutan yang mempertimbangkan dampak negatif terhadap lingkungan memerlukan perencanaan yang baik. Pemodelan hutan secara spasial menggunakan SIG sangat membantu dalam perencanaan dan strategi penebangan. Disamping itu, SIG dapat membantu rehabilitasi hutan dalam tahap penelitian dan pemetaan lokasi, pemilihan spesies yang cocok, lokasi pembibitan dan infrastruktur dan juga tahap monitoring dan eveluasi (Puntodewo et al. 2003). Dalam aspek konservasi hutan dan keragaman hayati, menentukan area prioritas dan hotspot dari keragaman hayati adalah hal paling mendasar. Aplikasi SIG untuk ini telah banyak membantu pengelolaan sumberdaya hutan dan keragaman 16

29 hayatinya. Baik di negara maju maupun di negara berkembang, penggunaan SIG dalam aspek konservasi dan keragaman hayati sudah cukup banyak dipakai (Puntodewo et al. 2003).. KEADAAN UMUM TAMAN NASIONAL BATANG GADIS Letak dan Luas Secara administratif, TN Batang Gadis berlokasi di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) Propinsi Sumatera Utara. Secara geografis, TN Batang Gadis terletak diantara 99 12' 45" ' 10" Bujur Timur (BT) dan 0 27' 15" - 1 Or 57" Lintang Utara (LU) dan bersinggungan langsung dengan 68 desa. Nama taman nasional ini berasal dari nama sungai utama yang mengalir dan membelah Kabupaten Mandailing Natal, yaitu Batang Gadis. Adapun titik tertinggi adalah di puncak gunung berapi Sorik Merapi dengan ketinggian sekitar m dpl (Departemen Kehutanan 2004). TN Batang Gadis memiliki luas mencapai ha. Letak TN Batang Gadis disajikan dalam Gambar 5 berikut ini. Gambar 5 Peta kawasan konservasi TN Batang Gadis. 17

30 Kawasan TN Batang Gadis seluas hektar, sebelumnya berupa kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap. Hutan Lindung yang dialihfungsikan menjadi taman nasional seluas hektar, yaitu Hutan Lindung Register 4 Batang Gadis I, Register 5 Batang Gadis II Komp I dan II, Register 27 Batang Natal I, Register 28 Batang Natal II, Register 29 Batahan Hulu dan Register 30 Batang Parlampungan 1. Kawasan hutan lindung tersebut ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam kurun waktu 3 tahun antara tahun Kawasan hutan produksi yang dialihfungsikan menjadi bagian TN Batang Gadis meliputi areal eks HPH PT. Gunung Raya Utama Timber (Gruti) seluas ± hektar dan PT. Aek Gadis Timber seluas ±1000 hektar (Departemen Kehutanan 2004). TN Batang Gadis juga merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Gadis. DAS ini mempunyai luas ha atau 58,8% dari luas Kabupaten Mandailing Natal dan sangat penting artinya sebagai penyedia air yang teratur untuk mendukung kehidupab dan kegiatan perekonomian masyarakat, terutama di bidang pertanian. Selain itu, TN Batang Gadis juga berfungsi menjaga tata air regional, karena keseimbangan tata air lokasi lain yang bertetangga dengan Kabupaten Mandailing Natal, seperti Kabupaten Tapanuli Selatan, Pasaman di Propinsi Sumatera Barat dan Rokan Ulu di Propinsi Riau, tergantung dari kondisi tutupan hutan TN Batang Gadis (Departemen Kehutanan 2004). Keanekaragaman Hayati Keragaman Flora Hasil survei singkat keanekaragaman hayati yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia (CII) selama kurang lebih satu bulan, telah memperlihatkan bahwa keanekaragaman hayati di TN Batang Gadis cukup tinggi. Berdasarkan hasil penelitian flora, dalam petak berukuran 200 m 2 terdapat 242 jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plant) atau sekitar 1% dari flora yang ada di Indonesia (sekitar jenis tumbuhan berpembuluh yang ada di Indonesia). Selain itu, ditemukan juga jenis bunga langka dan dilindungi, yaitu bunga padma (Rafflesia sp.) jenis baru (Departemen Kehutanan 2004). 18

31 Gambar 6 Keanekaragaman flora TN Batang Gadis: bunga kantung semar, rafflesia sp. dan alpine flower (Departemen Kehutanan 2004). Keragaman Fauna Berdasarkan hasil perangkap kamera (camera trap) dan penelusuran jejak satwa, berhasil ditemukan satwa langka yang dilindungi undang-undang dan konvensi internasional, seperti harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), kucing hutan (Catopuma temminckii), kancil (Tragulus javanicus), binturong (Arctitis binturong) beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjac)dan landak (Hystix brachyura). Selain itu, juga berhasil menemukan amfibi tak berkaki (Ichtyopis glutinosa) yang merupakan jenis satwa purba dan katak bertanduk tiga (Megophyris nasuta) yang sudah langka dan merupakan jenis yang hanya dapat dijumpai (endemik) di Sumatera (Departemen Kehutanan 2004). Gambar 7 Keanekaragaman fauna TN Batang Gadis: harimau sumatera, kambing hutan dan kucing emas (Departemen Kehutanan 2004). Selain itu, jumlah burung di kawasan TN Batang Gadis yang dapat ditemukan 242 jenis, yaitu 45 jenis merupakan jenis burung yang dilindungi di Indonesia, 8 jenis secara global terancam punah, 11 jenis mendekati terancam punah, seperti 19

32 jenis-jenis Sunda groundcuckoo, Salvadori pheasant, Sumatran cochoa. Crested fireback dan March finfoot merupakan dua jenis burung yang ditemukan di TN Batang Gadis selama ini dikategorikan sebagai kekurangan data (data deficient) oleh IUCN karena sedikitnya catatan. Dari total jenis burung tersebut 13 merupakan jenis yang dikategorikan sebagai Burung Sebaran Terbatas yang berkontribusi pada terbentuknya Daerah Burung Endemik dan Daerah Penting bagi Burung (DPB) (Departemen Kehutanan 2004). Penetapan Kawasan Hutan Batang Gadis sebagai Taman Nasional Penetapan TN Batang Gadis diawali adanya usulan untuk penunjukkan TN Batang Gadis secara formal yang diajukan kepada Menteri Kehutanan melalui Surat Bupati Mandailing Natal (Madina) No. 522/982/Dishut/2003 tertanggal 8 April 2003 dan kepada Gubernur Provinsi Sumatera Utara No. 522/1837/Dishut/2003 tertanggal 16 September 2003 dan No. 522/2036/Dishut/2003 tanggal 29 Oktober Usulan ini diperkuat dengan adanya surat dari DPRD Kabupaten Madina yang memberikan persetujuan melalui Surat No. 170/1145/2003 tertanggal 20 November 2003 dan berbagai unsur masyarakat menyatakan Deklarasi Pembentukan Taman Nasional Batang Gadis pada tanggal 31 Desember TN Batang Gadis ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan surat keputusan dari Menteri Kehutanan pada tanggal 29 April 2004 No.l26/Menhut- 11/2004 tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap di Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara seluas ± ha sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan fungsi taman nasional dengan nama Taman Nasional Batang Gadis. Penunjukkan taman nasional ini merupakan upaya bersama, antara lain pemerintah daerah, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat seperti, BITRA Indonesia, Conservation International Indonesia (CII), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut, PUSAKA Indonesia, Yayasan Leuser Lestari (YLL), Yayasan Samudra (Departemen Kehutanan 2004). 20

33 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Waktu Survei pendahuluan dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus Pengumpulan data dilaksanakan selama 5 bulan, yaitu mulai bulan Agustus 2006 sampai dengan Januari 2007 di TN Batang Gadis, Sumatera Utara. Tempat Lokasi penelitian berada di Desa Aek Nangali pada hutan bekas ladang (HBL), hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP). Ketiga lokasi tersebut merupakan habitat ungko hasil survei pendahuluan bulan Juli-Agustus Letak lokasi penelitian dan titik pos dengar di hutan Desa Aek Nangali TN Batang Gadis disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Lokasi penelitian di Desa Aek Nangali. Ketiga lokasi berada pada kisaran ketinggian antara m dpl dan secara umum bertopografi berbukit-bukit dengan puncak tertinggi adalah Tor Sanduduk (1.283 m dpl) (Gambar 8). Secara geografis, HBT terletak pada titik

34 koordinat ,036 lintang selatan dan ,884 bujur timur, HBL ,22 lintang selatan dan ,592 bujur timur, dan HP ,292 lintang selatan dan ,448 bujur timur. Bahan dan Alat Bahan Ungko adalah satwa primata yang menjadi obyek utama penelitian ini. Bahan lain yang dipergunakan adalah alkohol 75%, yang dipergunakan sebagai bahan pengawet contoh daun herbarium. Adapun bagian pohon yang akan diawetkan, yaitu daun. Contoh daun dilengkapi dengan nama lokal dan untuk diidentifikasi spesiesnya dilakukan di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor. Alat Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain 1)citra satelit Landsat 7 dan tutup lahan (land cover) tahun 2000, 2) GPS (Global Positioning System) untuk mencatat koordinat pada saat ungko ditemukan dan saat pengumpulan data vegetasi, 3) perangkat lunak ArcView GIS 3.3 dan ERDAS 8.5 untuk menganalisis data spasial dan koordinat hasil pencatatan dari GPS, 4) kompas untuk menentukan arah (derajat) kelompok ungko saat vokalisasi, 5) termohidrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban lingkungan aktual setiap lokasi, 6) meteran, 7) tambang plastik, 8) kamera digital 2 megapiksel 10 kali perbesaran, 9) buku saku, dan 10) teropong binokuler. Metode Penentuan Lokasi Pertimbangan dalam menentukan lokasi penelitian adalah berdasarkan keberadaan ungko dan tipe habitat yang menjadi fokus penelitian ini. Informasi sebaran ungko diperoleh dari petugas maupun masyarakat sekitar yang mempunyai akses ke hutan dan juga berasal dari survei pendahuluan bulan Juli- Agustus Dari hasil survei pendahuluan diperoleh lokasi penelitian yang tepat adalah di hutan Desa Aek Nangali. Hal ini karena hanya hutan Desa Aek Nangali yang memiliki habitat (hutan bekas tebangan, hutan bekas ladang dan hutan primer) yang paling lengkap dibandingkan desa lainnya. Hasil ini didukung 22

35 data Bitra Konsorsium Indonesia (2005), bahwa hanya hutan di Desa Aek Nangali pernah dibuka untuk padi ladang, sedangkan desa lainnya tidak diperoleh informasi aktifitas ladang berpindah. Dengan demikian, lokasi penelitian yang sesuai sebagai lokasi penelitian adalah hutan di Desa Aek Nangali. Pengumpulan Data Vegetasi Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak (Soerianegara dan Indrawan 1998). Cara pengambilan data vegetasi dilakukan dengan menggunakan plot (petak) yang berbentuk bujur sangkar yang berukuran 20x20 m. Pada tiap lokasi pengamatan HBL, HBT dan HBT, plot dibuat sebanyak 6 petak, sehingga total berjumlah 18 petak. Petak ini dibuat pada jalur mengikuti kontur lahan dan kelompok ungko. Data vegetasi yang dikumpulkan hanya berasal dari vegetasi tingkat pohon (dbh 10cm). Pohon-pohon yang tidak diketahui nama lokalnya akan diawetkan dengan alkohol 75% kemudian diidentifikasi di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Adapun, disain metode garis berpetak disajikan pada Gambar 9 berikut ini. 50 m 20 m 10 m Arah Kompas 50 m 10 m Gambar 9 Disain metode garis berpetak. Pengambilan data vegetasi hanya pada tingkat pohon karena ungko merupakan satwa primata arboreal dan keberadaan pohon pada habitatnya sangat penting. Perubahan struktur dan komposisi pohon pada habitatnya akibat penebangan dapat mempengaruhi tingkahlaku dan kepadatan populasi ungko. Dengan melihat kondisi struktur dan komposisi pohon, maka pengaruh perubahan struktur dan komposisi pohon terhadap sebaran dan populasi ungko di TN Batang Gadis dapat disimpulkan dengan baik. Dari penelitian Suyanti (2007) menjelaskan 23

36 bahwa Hylobates agilis banyak menghabiskan waktunya di vegetasi tingkat pohon stratum B (15-30 m di atas permukaan tanah) dan sedikit menghabiskan waktunya pada pohon dengan stratum yang lebih rendah. Pengambilan data pohon meliputi 1) nama jenis, 2) jumlah individu satu jenis dan beda jenis dalam petak pengamatan, 3) pendugaan tinggi pohon dan diameter pohon, 4) lebar tajuk pohon, 5) tinggi bebas cabang, 6) tinggi total dan 7) jarak antar pohon. Untuk pengukuran diameter batang pohon diukur setinggi dada manusia dewasa. Profil Habitat. Struktur pohon setiap lokasi pengamatan HBL, HBT dan HBT diketahui dengan cara menggunakan diagram profil habitat dalam petak ukuran 20x40 m terhadap pohon dengan dbh 10 cm. Parameter struktur pohon yang dicatat adalah nama jenis, tinggi total, tinggi dan lebar tajuk, diameter dan posisi pohon dalam petak tersebut. Selanjutnya, data tersebut diolah dan gambar profil habitat dibuat dengan menggunakan perangkat lunak CorelDraw Graphics Suite 11. Pohon Sumber Pakan. Pohon sumber pakan diketahui melalui 1) pengamatan langsung saat ungko makan, 2) sisa-sisa makanan yang terbuang, 3) informasi dari masyarakat yang mememiliki akses ke lokasi penelitian, seperti penjerat burung murai daun dan pemandu dan 4) informasi pustaka. Data yang dikumpulkan meliputi jumlah jenis, jenis pohon sumber pakan dan bagian yang dimakan oleh ungko. Pohon sumber pakan yang sudah identifikasi kemudian akan dicatat juga titik koordinatnya menggunakan GPS. Dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3, data koordinat keberadaannya diolah dan dimasukkan ke dalam peta Landsat 7 untuk mendapatkan peta sebaran pohon sumber pakan masing-masing lokasi pengamatan. Pohon Tempat Tidur. Pohon tempat tidur ungko diketahui dengan pengamatan langsung di pagi hari sebelum ungko turun dari pohon tempat tidurnya. Pengumpulan data pohon tempat tidur dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristiknya, antara lain 1) jenis pohon, 2) tinggi total, 3) diameter batang, 4) lebar dan tinggi tajuk, dan 5) tinggi bebas cabang. Pohon tempat tidur yang sudah identifikasi kemudian akan dicatat juga titik koordinatnya menggunakan GPS. Dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3, 24

37 data koordinat keberadaanya diolah dan dimasukkan ke dalam peta Landsat 7 untuk mendapatkan peta sebaran pohon tempat tidur masing-masing lokasi pengamatan. Pengumpulan Data Estimasi Populasi Estimasi populasi primata didasarkan pada jumlah individu atau kelompok yang tercatat pada luasan areal tertentu (Bismark 2006). Jumlah individu dalam kelompok diketahui melalui pengamatan langsung pada jalur pengamatan (line transect sampling), sedangkan estimasi jumlah kelompok diketahui dengan menggunakan metode Fixed Point Count (Gambar 10) berdasarkan waktu vokalisasi yang ditentukan (O brien 2004; Whittaker, 2005). Penentuan luas daerah pengamatan untuk metode Fixed Point Count adalah luas lingkaran (Gambar 10), sedangkan metode sensus adalah luas transek (panjang x lebar) (Bismark 2006). Berdasarkan hasil survei pendahuluan, diperoleh jarak suara ungko terjauh dan dapat didengar dengan baik adalah 0,7 km. Dengan proporsi areal pengamatan adalah 1 (Φ=1), maka luas areal pengamatan (A=Φ.π.r 2 ) adalah 1,5 km 2. Untuk metode pengamatan langsung, panjang transek dibuat sejauh 1-2 km dengan lebar pengamatan kiri dan kanan adalah 50 m. Setiap jalur dilakukan pengulangan sebanyak 8 kali. Setiap jarak 25 m dalam jalur diberi pita untuk memudahkan dalam mencatat lokasi ditemukan ungko (Gambar 10). Waktu pelaksanaan pengamatan kelompok, yaitu pagi hari mulai pukul WIB. Hal ini didasarkan bahwa suara great call ungko terjadi antara fajar sampai dengan pukul WIB (Haimoff 1984; Whittaker 2005; Nijman dan Menken 2005; Nijman 2004). Saat great call terdengar, dicatat waktu (awal dan akhir), arah sumber suara menggunakan kompas, dan estimasi jarak antar pendengar dengan sumber suara dari tempat yang tetap atau yang disebut listening post (pos dengar). Untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda yang terjadi karena ungko seringkali melakukan vokalisasi tidak hanya pada satu pohon saja, maka jarak antar vokalisasi kelompok ditetapkan 300 m. Pertimbangan penentuan jarak vokalisasi tersebut didasarkan atas sebaran suara kelompok setiap lokasi yang telah dipetakan per hari pengamatan dan pertimbangan waktu (interval waktu antar vokalisasi). 25

38 Ukuran kelompok adalah jumlah individu dalam kelompok. Kelompok yang ditemukan pada jalur transek diamati sekitar 10 menit, untuk kemudian dicatat: 1) jumlah individu, 2) komposisi keluarga, 3) karakteristik individu dalam kelompok, dan 4) titik koordinat kelompok dari GPS. Kelompok ungko yang berada di luar 50 m tidak dicatat. Titik koordinat yang diperoleh, diolah menggunakan program Arcview 3.3 sehingga diperoleh sebaran kelompok setiap lokasi penelitian. 50 m Jalur Transek 50 m Gambar 10 Disain jalur transek. A r 2 A=θ.π.r 2 Gambar 11 Disain areal pengamatan Fixed Point Count (segitiga ungu adalah pos dengar dan A = luas areal pengamatan) (Duma 2007). Pengumpulan Informasi Geografi Pada penelitian ini, sistem informasi geografi (SIG) dipakai untuk mendapatkan keadaan kawasan hutan TN Batang Gadis yang menjadi habitat 26

39 untuk ungko, melalui penggunaan teknologi spasial penginderaan jauh dan GPS. Salah satu hasil pemakaian SIG dalam penelitian ini adalah peta tutupan lahan kawasan hutan Batang Gadis dan peta sebaran pohon sumber pakan dan tempat tidur ungko serta sebaran kelompok ungko. Citra satelit Landsat 7 kawasan hutan TN Batang Gadis tahun 2001 adalah bahan dasar untuk pengolahan informasi geografi/spasial (GIS database). Informasi spasial ini diperoleh dengan menggunakan alat GPS, yang berisikan koordinat (x,y) baik letak lokasi, sebaran pohon sumber pakan, pohon tempat tidur dan sebaran kelompok ungko. Disamping itu, informasi kondisi lokasi juga dicatat sebagai informasi pendukung dari data spasial. Titik koordinat lokasi tipe/kelas hutan yang nantinya menjadi bahan untuk mengklasifikasi kawasan hutan TN Batang Gadis dikumpulkan sebanyak mungkin. Tujuannya adalah mendapatkan kebenaran image secara tepat atau sesuai dengan kondisi lapangan pada saat pengolahan citra nantinya. Titik-titik tersebut antara lain hutan primer, hutan bekas ladang, hutan bekas tebangan, perkebunan (hutan campuran), semak belukar, lahan terbuka (areal penebangan, jalan tanah), sawah, pemukiman penduduk dan sumber air (sungai). Data geografi/spasial dan citra satelit TN Batang Gadis diolah dengan menggunakan perangkat lunak ERDAS 8.5 dan ArcView 3.3. Pengumpulan Data Aspek Konservasi Untuk mengetahui ragam aktifitas masyarakat Desa Aek Nangali dalam pemanfaatan hutan, persepsi masyarakat terhadap ungko dan tanggapan atas kegiatan konservasi, maka diadakan survei dengan metode wawancara langsung. Metode wawancara langsung ini bertujuan untuk mendapatkan jawaban secara terbuka dari masyarakat Aek Nangali. Aspek yang menjadi fokus wawancara, diantaranya pengamanan habitat ungko, pengamanan ungko dan sosial ekonomi masyarakat yang berkaitan konservasi ungko. Pengambilan jumlah responden (masyarakat) Desa Aek Nangali menggunakan metode purposive sampling, yaitu jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang untuk setiap satuan pemukiman pembentuk Desa Aek Nangali, yaitu Dusun Batu Nabontar 30 orang, Dusun Malaka 30 orang dan Dusun Pasar 30 orang. Dengan demikian, jumlah total responden yang akan diambil sebanyak 27

40 90 orang. Adapun pengumpulan data kuisioner mewakili kategori, antara lain jenis kelamin (gender) laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 50:50, dan masyarakat berumur 16 tahun ke atas atau berumur dewasa. Analisis Data Vegetasi Untuk mengetahui jenis-jenis vegetasi yang dominan di habitat ungko maka untuk setiap vegetasi yang berdiameter lebih dari 10 cm dihitung dari nilai penting dengan peubah sebagai berikut ini: a) Kerapatan ni Ki = A Keterangan: Ki = kerapatan spesies ke-i, ni = jumlah individu spesies ke-i, dan A = luas petak contoh. b) Kerapatan Relatif Keterangan: KR = kerapatan relatif, Ki = kerapatan spesies ke-i, dan Σn = kerapatan seluruh spesies. ni KR = x100% Σ n c) Frekuensi Ji Fi = K Keterangan: Fi = frekuensi spesies ke-i, Ji = jumlah petak ditemukannya spesies ke-i, dan K = jumlah seluruh petak contoh. d) Frekuensi Relatif 28

41 FR = Keterangan FR = frekuensi relatif, Fi = frekuensi spesies i, dan F = jumlah frekuensi seluruh spesies. Fi Σ F x100% e) Dominansi Keterangan: Di Ai A Di = Ai ΣC = dominansi spesies ke-i = jumlah luas bidang dasar spesies ke-i, dan = luas petak contoh. f) Dominansi Relatif Ci DR = x100% Σ C Keterangan: DR = dominansi relatif ke-i, Ci = dominansi spesies ke-i, dan C = dominansi seluruh spesies. g) Indeks Nilai Penting (INP) INP = KR + FR + DR Keanekaragaman Jenis. Keanekaragaman jenis pohon dihitung menggunakan persamaan indeks keanekaragaman Shannon-wiener (H ) (Odum 1993), sebagai berikut: H = Σ[pi.logpi] Keterangan: pi = proporsi nilai penting tiap spesies dalam petak contoh. Semakin tinggi nilai keanekaragaman, maka semakin tinggi nilai indeks Shannon-wiener (H ). Untuk Indonesia, nilai indeks keanekaragaman 3,5 keatas dapat dikatakan tinggi (Soerianegara 1996). 29

42 Estimasi Populasi Penghitungan kepadatan populasi berdasarkan luas per lokasi dan mempertimbangkan ketinggian kelompok ungko ditemukan, yang telah dimodifikasi dari O Brien et al. (2004), sebagai berikut: Ai = Φ. π. ri 2 DGi = mi. (Φi. π. ri 2 ) -1 DG = (Li x DGi) P = DG. I Keterangan: P = kepadatan populasi ungko TNBG, DGi = kepadatan kelompok ungko pada m dpl lokasi ke-i (kelompok/km 2 ), DG = kepadatan kelompok ungko pada m dpl (kelompok/km 2 ), mi = jumlah kelompok ungko diidentifikasi pada lokasi ke-i, Ai = rerata luas area pengamatan ke-i Li = luas total habitat di ketinggian m dpl setiap lokasi ke-i (km 2 ), θi = proporsi area lokasi ke-i, π = phi (3,14), ri = jarak suara yang dapat didengar baik pada lokasi ke-i (km), dan I = rata-rata ukuran kelompok (individu/kelompok). Penghitungan populasi berdasarkan luas total TN Batang gadis, sebagai berikut: P = (L total x Di) Keterangan: P = kepadatan populasi ungko TN Batang Gadis L total = luas total TN Batang Gadis (km 2 ) Di = kepadatan individu (individu/km 2 ) Ukuran Kelompok Perhitungan ukuran kelompok sebagai berikut: UKi = Ntot R Keterangan: UKi Ntot = ukuran kelompok ungko lokasi ke-i (individu/kelompok), = jumlah total individu yang diidentifikasi (individu), dan 30

43 R = jumlah total kelompok yang diidentifikasi (kelompok) Analisis Sistem Informasi Geografi Penelitian ini menggunakan citra citra Landsat 7 kawasan hutan TN Batang Gadis sebagai dasar pengolahan informasi geografi. Untuk mendapatkan kondisi tutupan lahan, dilakukan klasifikasi hutan. Klasifikasi hutan tersebut didasarkan pada pola warna kelas/tipe lahan yang ditentukan. Langkah-langkahnya sebegai berikut: 1) lakukan pennyesuaian band (Band Combination) untuk lanskap hutan yakni band 4: 5: 2, pada perangkat lunak ERDAS ) Setelah mendapatkan pola warna untuk lanskap, dilakukan klasifikasi citra TN Batang Gadis menurut pola warna kelas dengan menggunakan teknik klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Citra kawasan hutan TN Batang Gadis diklasifikasi sebanyak 10 kelas, yaitu hutan primer, hutan bekas ladang, hutan bekas tebangan, perkebunan, semak belukar, lahan terbuka, pemukiman penduduk, awan, bayangan dan sumber air. Sampel setiap kelas telah diketahui letak dan posisinya berdasarkan hasil survei awal 2005, informasi dari pemandu dan peta tutupan lahan tahun Tiap kelas dibedakan menurut warna yang mewakilinya, seperti hijau tua untuk hutan primer, hijau muda hutan bekas tebangan, hijau terang untuk hutan bekas ladang, biru untuk sumber air, kuning untuk pemukiman, putih untuk awan, hitam untuk bayangan. Selanjutnya setelah warna setiap kelas terbentuk, dilakukan proses digitasi per kelas dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3. Informasi spasial titik sebaran pohon sumber pakan dan tempat tidur serta sebaran kelompok ungko ditambahkan pada image hasil klasifikasi. Hasil pengolahan spasial tadi disajikan dalam bentuk peta tutupan lahan (landcover) dan dianalisis secara deskriptif. Analisis Aspek Konservasi Analisis aspek konservasi dibatasi pada persepsi masyarakat terhadap keberadaan ungko, upaya konservasi dan perlindungan habitatnya. Terutama pada 31

44 masyarakat yang terlibat langsung dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lahan di dalam dan sekitar TN Batang Gadis. Untuk mengetahui persepsi masyarakat lokal terhadap kegiatan konservasi ungko dan habitatnya dilakukan wawancara langsung pada Masyarakat Desa Aek Nangali (Dusun Batu Nabontar, Pasar dan Malaka). Data hasil wawancara disajikan dalam bentuk diagram dan dianalisis secara deskriftif. 32

45 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di sekitar Tor Sanduduk yang secara administratif termasuk wilayah Desa Aek Nangali, Kecamatan Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal. Jarak dari Desa Aek Nangali ke lokasi penelitian sekitar 10 km dan untuk mencapainya ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 3 jam melalui jalan Desa Aek Nangali-Aek Nabara/Aek Guo. Kondisi topografi lokasi penelitian berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar m dpl dan Tor Sanduduk adalah puncak tertinggi. Kawasan hutan di Desa Aek Nangali termasuk hutan hujan tropis dataran rendah yang didominasi vegetasi dari famili Euphorbiaceae, Myrtaceae, Lauraceae dan Dipterocarpaceae (Bangun 2007). Kawasan ini merupakan daerah vulkanis dengan jenis tanah yang rawan erosi dan longsor, serta termasuk kawasan dengan curah hujan bertipe A yang menandakan bahwa kawasan ini memiliki intensitas hujan per tahunnya adalah tinggi (Departemen Kehutanan 2004). Lokasi yang menjadi fokus penelitian meliputi hutan bekas ladang (HBL), hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP). Hutan bekas ladang (postcultivated forest) adalah hutan sekunder yang terbentuk akibat kegiatan perladangan berpindah yang dilakukan oleh manusia di masa lalu. Lokasi penelitian hutan bekas ladang berada disekitar jalan Desa Aek Nabara/Guo-Aek Nangali pada koordinat ,6 lintang utara dan ,9 bujur timur. Ketinggian lokasi penelitian ini berkisar m dpl. Masyarakat sekitar mengenal kawasan ini dengan sebutan Bapen, yang merupakan sebuah persatuan penduduk lokal yang membuka ladang di masa lalu (Bitra Konsorsium Indonesia 2005). Masyarakat Aek Nangali telah melakukan perladangan sejak jaman pemerintah kolonial Belanda (Bitra Konsorsium Indonesia 2005) dan pada survei pendahuluan tahun 2005, aktifitas ladang berpindah masih dijumpai. Terdapat empat puluh kepala keluarga (40 KK) yang membuka ladang ke arah Desa Aek Nabara (Bitra Konsorsium Indonesia 2005). Namun, saat ini sebagian kawasan tersebut telah ditanami tanaman kebun dan sebagian lagi dibiarkan tidak dirawat ditumbuhi vegetasi tingkat semai hingga tingkat tiang. Bitra Konsorsium Indonesia (2005)

46 menyebutkan bahwa masyarakat setempat akan beralih dari tanaman ladang ke perkebunan, apabila ladangnya tidak memberikan hasil yang bagus. Hutan bekas ladang (logged-over forest) adalah hutan sekunder yang terbentuk karena sebab-sebab antropogenik (kegiatan manusia), berupa pembalakan (Soerianegara 1996). Lokasi penelitian hutan bekas tebangan berada pada koordinat lintang utara dan bujur timur. Ketinggian lokasi penelitian ini berkisar m dpl. Masyarakat lokal mengenal lokasi ini dengan sebutan camp rangkuti atau rangkuti, yaitu nama pemondokan kayu yang dibangun oleh marga rangkuti sebagai tempat istirahat bagi penebang kayu. Berdasarkan informasi dari masyarakat bahwa pembalakan kayu ilegal dilakukan oleh masyarakat Aek Nangali dan perusahaan perkayuan. Pembalakan kayu ilegal dalam skala besar marak sebelum Agustus 2004 dan kegiatan pembalakan kayu ilegal ini dipermudah dengan dibukanya jalan dari Desa Aek Nangali ke Aek Nabara. Adapun, jenis kayu yang paling diincar oleh penduduk adalah jenis bania (Hopea ssp.) yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Bitra Konsorsium Indonesia 2005). Secara umum, hutan alam yang terdapat di lokasi penelitian dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu blok yang ada di sebelah barat dan blok yang ada di sebelah timur jalan Aek Nangali-Aek Guo/Aek Nabara. Blok hutan di sebelah barat jalan, berukuran relatif kecil dan telah sedikit terisolasi dibanding blok hutan di sebelah timur jalan yang masih cukup luas dan bersambung dengan kawasan hutan di Gunung Sorik Marapi. Blok hutan di sebelah barat jalan sebagian besar merupakan kawasan bekas HPH PT. GRUTI. Antara hutan alam di kedua blok dan perkampungan di sekitarnya terdapat hutan sekunder, semak belukar, kebun campuran dan persawahan. Sisa-sisa aktifitas penebangan kayu masih dapat ditemukan di sisi jalan Aek Nangali-Aek Nabara/Aek Guo, seperti batang utuh (gelondongan). Berdasarkan hasil survei pendahuluan, sedikitnya terdapat enam titik lokasi pengolahan batang utuh menjadi balok-balok persegi disekitar daerah ini (Gambar 12). Hutan primer dapat didefinisikan sebagai hutan yang minim sekali atau belum mengalami gangguan manusia. Hutan primer mudah dibedakan dengan tipe hutan lainnya melalui ukuran diameter batang yang besar dan tinggi, serta memiliki tajuk 33

47 yang rapat berasal dari bermacam-macam spesies pohon dan kelas umur vegetasi. Lokasi penelitian hutan primer berada di sekitar Batang Bangko pada koordinat ,7 lintang utara dan ,91 bujur timur. Ketinggian lokasi hutan primer antara m dpl dan berbatasan langsung dengan Sungai Batang Bangko dan Aek Batang Manemek. Secara umum, kondisi topografi lokasi bervariasi mulai dari datar hingga bergelombang dengan derajat kemiringan antara 3 0 hingga lebih dari 45 0, dengan lembah yang dalam. Akibat kemiringan yang terjal dan tingginya intensitas hujan menyebabkan penelitian di hutan primer lebih sulit. Hutan penelitian disajikan pada Gambar 12. A B C Gambar 12 Tipe hutan di lokasi penelitian: hutan primer (A), hutan bekas ladang (B) dan hutan bekas tebangan (C). Ketinggian pohon di hutan primer dapat mencapai 45 m (Gambar 12). Berdasarkan penelitian gabungan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Conservation International Indonesia (CII) dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, diperoleh di hutan dataran rendah (ketinggian m dpl) di daerah Desa Aek Nangali, pada petak ukuran 200 m 2 terdapat 222 jenis tumbuhan yang meliputi pohon, tumbuhan pemanjat, epifit semak dan herba, yaitu sekitar 90% terdiri atas hutan primer (Departemen Kehutanan 2004). Pada petak satu hektar, jumlah pohon dengan diameter setinggi dada ( 10 cm) terdapat pohon dengan kerapatan 583 batang per hektar: 120 pohon (20,6%) adalah 34

48 famili Dipterocarpaceae (meranti-merantian), seperti Hopea spp (cengal), Dipterocarpus spp dan Shorea platyclados (bania) yang ditemukan pada ketinggian m dpl dengan diameter pohon dapat mencapai 1,6 m (Departemen Kehutanan 2004). Habitat Ungko Pada penelitian ini, analisis vegetasi lebih difokuskan pada vegetasi tingkat pohon (dbh 10 cm). Hal ini didasarkan bahwa ungko adalah satwa primata arboreal yang banyak menggunakan ruang geraknya di atas pepohonan. Beragam aktifitas harian, mulai dari bangun tidur, vokalisasi, mencari makan, menjelajah, istirahat hingga kembali ke pohon tidur dilakukan di atas pohon. Ungko jarang sekali turun ke dasar hutan. Perbedaan kondisi struktur dan komposisi dapat mempengaruhi ungko dalam pemanfaatan pohon sebagai tempat aktifitas harianya. Dengan demikian, keberadaan pohon memiliki peran penting dalam kehidupan satwa primata arboreal seperti ungko. Kerapatan dan Keragaman Jenis Berdasarkan hasil identifikasi dalam luas areal 0,24 ha, diperoleh jumlah pohon pada HBL, HBT dan HP secara berturut-turut adalah 40, 30 dan 21 jenis. Selanjutnya, kerapatan pohon di HBL sebanyak 470,8 pohon/ha, HBT sebanyak 337,5 pohon/ha dan HP sebanyak 483,3 pohon/ha. Kerapatan ini lebih tinggi dari hasil laporan Bangun (2007) yang menyebutkan bahwa kerapatan pohon di hutan primer sekitar 295 pohon/ha dengan jumlah pohon 31 jenis, sedangkan kerapatan pohon di hutan bekas tebangan diperoleh sekitar 220 pohon/ha dengan jumlah pohon adalah 24 jenis. Tabel 2 Analisis vegetasi tingkat pohon pada habitat ungko Lokasi JJ K D F H Penelitian (indv) (pohon/ha) (JBD/ha) (jmlh plot /total plot) (indeks) HBL 40,0 470,8 77,0 12,2 3,2 HBT 30,0 337,5 190,3 8,5 3,1 HP 21,0 483,3 59,3 8,7 2,7 JJ: jumlah jenis, K: kerapatan, D: dominansi, F: frekuensi, H : indeks keragaman jenis Shannon- Wiener, indv: individu, ha: hektar, JBD: jumlah bidang dasar, Jmlh: jumlah. 35

49 Tabel 2 memperlihatkan bahwa kerapatan pohon tertinggi adalah di kawasan HP, diikuti HBL dan HBT. Penyebab utama perbedaan kerapatan pohon antara kawasan HP dengan HBT dan HBL adalah pembalakan pohon di hutan Aek Nangali yang terjadi dimasa lalu. Kerapatan pohon yang tinggi di kawasan HP, terutama karena pohon di kawasan ini sulit dijangkau oleh manusia. Kawasan ini berada jauh dari jalan Aek Nangali-Aek Nabara/Aek Guo, sekitar 2 km dan akses untuk mencapai lokasi ini lebih sulit dibandingkan lokasi lainnya sehingga gangguan manusia pada HP lebih rendah. Berbeda dengan kawasan HBL dan HBT yang mudah dijangkau manusia karena berada disekitar dengan jalan Aek Nangali-Aek Nabara/Aek Guo sehingga cenderung memiliki kerapatan pohon yang lebih rendah. HBL dan HBT adalah kawasan hutan yang telah terfragmentasi akibat penebangan pohon dan alihfungsi hutan menjadi lahan pertanian. Penebangan kayu ilegal yang terjadi di masa lampau turut menyebabkan kerapatan vegetasi di HBT dan HBL menjadi rendah. Indeks keragaman jenis pada HBL, HBT dan HP berturut-turut adalah 3,2, 3,2 dan 2,7. Keragaman jenis ini dapat dikatakan cukup tinggi yang ditandai dengan jumlah pohon dalam petak berukuran 400 m 2 berkisar jenis. Keragaman jenis tinggi pada HBL dan HBT dimungkinkan terjadi karena penebangan kayu pada HBT bersifat tidak tebang habis dan hanya memilih jenis-jenis kayu bernilai ekonomi yang tinggi, seperti jenis bania (Hopea spp.) ataupun meranti (Shorea spp.). Dengan masih menyisakan pohon, pertumbuhan pohon pada titik-titik penebangan masih dapat ditutupi oleh pohon lama yang berada di sekitarnya dan perkembangan suksesi tumbuhan pada hutan bekas tebangan kelak akan seperti hutan primernya (Soerianegara 1996). Selanjutnya, tingginya keanekaragaman jenis pohon di hutan terganggu juga disebabkan adanya pertumbuhan jenis baru yang mendominasi pada titik/lokasi penebangan dan perladangan. Jenis baru yang dimaksud adalah jenis pohon yang tumbuh setelah hutan primer dibuka. Jenis pohon ini membutuhkan paparan sinar matahari yang cukup untuk dapat tumbuh. Di hutan primer, jenis ini sulit tumbuh akibat rapatnya tajuk menghalangi sinar matahari masuk sampai ke lantai hutan. Umumnya, pertumbuhan jenis ini sifatnya cepat, batang utama kurus dan tinggi, dan percabangannya kecil rapat. Contoh beberapa jenis yang hanya ditemukan di lokasi 36

50 hutan terganggu adalah marambong (Geunsia farinosa Blume), andaurung (Grewia acuminate Juss), dan gumbot (Ficus padana.). Berdasarkan hasil pengamatan pada kedua hutan terganggu tersebut diperoleh bahwa HBL dan HBT memiliki jenis pohon yang tidak dijumpai di HP sekitar 60,3% (38 jenis) dari total 63 jenis yang ditemukan. Selanjutnya, persentase kesamaan pohon antara HBL dengan HP lebih kecil, yaitu sekitar 4,3% (8 jenis), sedangkan persentase kesamaan pohon antara HBT dengan HP, yaitu sekitar 19% (12 jenis). Angka persentase ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa antara hutan bekas tebangan dan hutan primer memiliki kesamaan vegetasi tingkat pohon sekitar 40% (Bangun 2007). Beberapa pohon yang sama pada ketiga lokasi penelitian antara lain medang (Litsea sp) ndolok (Ixora sp), meranti (Shorea sp), oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl), darah-darah (Myristica iners Blume) dan kemenyan (Syrax benzoin Dryand). Berdasarkan hasil pengamatan pada petak ukuran 20x40 m tiap lokasi ditemukan sebanyak 85 pohon dan secara horizontal, setiap lokasi memiliki perbedaan struktur pohon. Pada HBL, pohon stratum C dan B mendominasi kawasan ini, masing-masing sebesar 56 dan 28%. Pada HBT, pohon stratum B dan C mendominasi kawasan, masing-masing sebesar 38,6% (10 jenis) dan 57,6% (15 jenis), sedangkan stratum A hanya sebesar 3,8% (1 jenis). Hasil berbeda ditunjukkan pada HP bahwa kawasan ini memiliki pohon dengan beragam ukuran ketinggian yang lengkap: pohon stratum B mendominasi kawasan ini sebesar 62,8% (22 jenis), pohon stratum A sebesar 28,5% (10 jenis) dan stratum C sebesar 5,7% (2 jenis). Apabila melihat besarnya dominasi pohon stratum B dan C tiap lokasi, maka dapat dikatakan bahwa pergerakan dan aktifitas ungko akan lebih banyak dilakukan di kedua stratum tersebut, meskipun di HP pohon stratum A juga digunakan sebagai ruang aktifitas bagi ungko. Di HP, famili paling tinggi berasal dari Dipterocarpaceae, yaitu meranti (Shorea sp.). Perbedaan struktur dan komposisi setiap lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13 berikut ini (perbandingan 1:667). 37

51 Stratum A Stratum B Stratum C Stratum D HBT HBL Gambar 13 Profil habitat ungko dalam petak 20x40 m 2. HP 38

52 Indeks Nilai Penting (INP) Bangun (2007) menyebutkan bahwa hutan primer di TN Batang Gadis didominasi jenis mollatus sp, Craton laevifolius Blume dan Geunsia farinosa Blume, dengan INP berturut-turut 49,5, 23,9, dan 19,9%. Selanjutnya, pada hutan terganggu didominasi Litsea elliptica Blume Boerl, Geunsia farinosa Blume dan Ixora sp, dengan INP berturut-turut 35,9, 26,7, dan 22,6%. Indeks nilai penting pohon pada lokasi penelitian HBL, HBT dan HP disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai INP tertinggi jenis vegetasi tingkat pohon yang mendominasi di kawasan hutan TN Batang Gadis HBL Jenis Krptn Per ha DR FR KR INP Tinggi Pohon Mayang (Litsea oppositifolia (Blume) Korth 25,00 3,73 5,48 5,31 14,52 18,33 Medang (Litsea sp) 41,67 48,08 5,48 8,85 62,41 16,65 Meranti (Shorea sp) 25,00 3,47 6,85 5,31 15,63 20,50 Moyan (belum teridentifikasi) 37,50 5,35 5,48 7,96 18,79 19,00 Ndolok (Ixora sp) 37,50 2,11 5,48 7,96 15,55 14,30 Oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl 29,17 5,20 4,11 6,19 15,50 21,28 Torop (Artocarpus sp) 45,83 5,29 2,74 9,73 17,76 12,95 HBT Marambong (Geunsia farinose Blume) 29,17 7,04 5,88 8,64 21,56 16,10 Medang (Litsea sp) 25,00 7,92 7,84 7,41 23,17 23,66 Meranti (Shorea sp) 20,83 6,56 7,84 6,17 20,58 23,20 Ndolok (Ixora sp) 79,17 22,56 9,80 23,46 55,82 24,21 Oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl 20,83 6,38 7,84 6,17 20,40 25,28 Ronggas (belum teridentifikasi) 8,33 2,72 3,92 2,47 9,11 23,50 Sengal (Shorea sp) 8,33 6,57 3,92 2,47 12,96 35,50 HP Langsat hutan (Craton laevifolius Blume) 20,83 7,28 7,69 4,31 19,28 24,20 Mayang (Litsea oppositifolia (Blume) Korth) 20,83 2,95 7,69 4,31 14,96 18,40 Medang (Litsea sp) 66,67 9,74 11,54 13,79 35,07 21,69 Meranti (Shorea sp) 45,83 7,99 9,62 9,48 27,09 19,63 Ndolok (Ixora sp) 137,50 13,32 11,54 28,45 53,30 20,60 Oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl) 41,67 7,43 7,69 8,62 23,74 15,64 Sengal (Shorea sp) 37,50 12,48 3,85 7,76 24,09 19,22 DR: dominansi relatif, FR: frekuensi relatif, KR: kerapatan relatif, INP: indeks nilai penting, Krptn: kerapatan, Berdasarkan Tabel 3, jenis pohon yang mendominasi pada ketiga lokasi berasal dari jenis pohon medang (Litsea sp.), sengal (Litsea sp.), meranti (Shorea sp.), Oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl), marambong (Geunsia farinosa Blume) dan ndolok (Ixora sp.). Besarnya dominasi dan kerapatan pohon tersebut dibandingkan dengan 39

53 jenis lainnya menunjukkan bahwa pohon-pohon tersebut merupakan jenis pohon yang mencirikan hutan di Desa Aek Nangali. Pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa HBT memiliki rerata tinggi pohon 24,49±5,71 m dan lebih tinggi dibandingkan dengan HP (19,91±2,68 m) dan HBL (17,57±3,11 m). Di HP, jenis ndolok (Ixora sp), medang (Litsea sp.) dan langsat hutan (Craton laevifolius Blume) merupakan pohon tertinggi dengan ketinggian secara berturut-turut adalah 20,6, 21,7 dan 24,2 m. Di HBT, jenis sengal (Shorea sp.), oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl.) dan ndolok (Ixora sp.) merupakan pohon tertinggi berturut-turut adalah 35,5, 25,3 dan 24,1 m. Di HBL, jenis oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl), moyan (belum diidentifikasi) dan meranti (Shorea sp.) merupakan pohon tertinggi berturut-turut adalah 21,3, 19 dan 20,5 m. Keberadaan jenis-jenis ini pada lokasi penelitian memiliki nilai penting untuk ungko karena umumnya jenis-jenis ini memiliki percabangan yang tinggi besar dan bertajuk lebar. Berdasarkan rerata ketinggian dari pohon yang mendominasi, maka pohon di ketiga lokasi tersebut termasuk stratum B yang mempunyai ketinggian m. Pohon dari stratum B memiliki tajuk yang kontinyu, batang umumnya banyak bercabang dan batang bebas cabang tidak terlalu tinggi (Soerianegara dan Indrawan 1998). Ungko menyukai pohon ini, terutama untuk melakukan pergerakan dengan cepat sambil mengayunkan lengannya (brankiasi) dan berpindah dengan cara bergantungan dari satu pohon ke pohon lainnya dan kerapkali memanfaatkannya untuk beristirahat. Dalam penelitian Suyanti (2007) dilaporkan bahwa Hylobates agilis TN Sebangau Kalimantan Tengah dominan juga memanfaatkan vegetasi stratum B (15-25 m) sebesar 60% dan masih dapat memanfaatkan vegetasi stratum C (10-15 m) dalam frekuensi pemanfaatan yang rendah sebesar 40%. Ekologi Populasi Pohon Sumber Pakan Ungko Keanekaragaman jenis tumbuhan yang juga sumber pakan bagi satwaliar merupakan habitat yang ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan satwaliar (FWI/GFW 2000). Semakin besar keanekaragaman jenis yang termasuk sumber pakan akan menentukan tingkat kepadatan populasi ungko pada suatu kawasan. Pohon yang termasuk sumber pakan adalah pohon yang menghasilkan buah, daun 40

54 dan bunga yang menjadi sumber pakan bagi ungko. Menurut Kuester (2000) Hylobates agilis merupakan satwa primata frugivorus yang proporsi konsumsi buah dalam jumlah besar, sedangkan daun dan serangga dikonsumsi dalam jumlah sedikit. Berdasarkan hasil pengamatan dalam total areal 0,52 ha, ditemukan pohon sumber pakan sebanyak 20 jenis yang dikelompokkan ke dalam 10 famili. Dari 20 jenis tersebut, 14 jenis (70%) diantaranya merupakan sumber pakan potensial ungko. Sumber pakan potensial tersebut antara lain Cheiocarpus sp., Saurauia sp., Mollatus paniculatus (Lam) Muell., Craton laevifolius Blume, Ficus variegata Blume, Ficus padana Burm. f., Artocapus dadah Miq., Artocarpus sp., Myristica iners Blume, Knema latericia Elmer, Syzygium polyanthum (Wight) Walp., Litsea sp., Anthocephalus cadamba Miq., Grewia acuminate Juss., Geunsia farinose Blume., Ficus spp. (Tabel 4). Komposisi sumber pakan ungko di TN Batang Gadis meliputi buah 85%, daun 10% dan bunga 5%. Tingginya persentase konsumsi buah diduga berhubungan dengan kelimpahan sumber buah saat penelitian dilaksanakan. Kecilnya konsumsi bunga dikarenakan tidak banyak pohon yang berbunga yang ditemukan saat penelitian. Palombit (1997) menjelaskan bahwa Hylobates lar akan mengkonsumsi bunga hanya kadangkala, yaitu saat bunga sedang berlimpah dan juga karena palatabilitas bunga terbilang rendah, maka Hylobates lar mengkonsumsi sejumlah kecil bunga dan beralih ke sumber pakan lainnya: Hylobates lar mengkonsumsi bunga hanya 1 % (Palombit 1997). Pada penelitian ini, ungko mengkonsumsi bunga hanya sebesar 5%. Bagian pohon sumber pakan yang dikonsumsi ungko disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan analisis vegetasi pohon sekitar sumber pakan pada petak 400 m 2, diperoleh kerapatan pohon di HBL adalah 395,8 pohon/ha, HBT 330 pohon/ha dan HP 466,6 pohon/ha. Kerapatan ini menandakan bahwa kerapatan pohon disekitar sumber pakan mempengaruhi pemilihan pohon pakan karena kerapatan pohon yang baik dapat memudahkan ungko untuk menjangkau pohon-pohon yang merupakan sumber pakannya. 41

55 Tabel 4 Pohon sumber pakan ungko di areal penelitian dalam luasan 0,52 ha Famili Nama Ilmiah HBL HP HBT Bagian Apycinaceae Cheiocarpus sp * Buah Actinidiaceae Saurauia sp * Buah/Daun Euphorbiaceae Mollatus paniculatus (Lam) Muell. * Buah Craton laevifolius Blume * * * Buah Moraceae Ficus variegate Blume * Buah Ficus padana Burm.f. * Buah Ficus sp1 * Buah Ficus sp2 * * Buah Ficus sp3 * * Buah Ficus sp4 * Buah Artocarpus dadah Miq * * Buah Artocarpus sp * * Buah Myristacaceae Myristica iners Blume * * * Buah Knema latericia Elmer * * * Buah Myrtaceae Syzygium polyanthum (Wight) Walp. * * Buah Lauraceae Litsea sp * * * Buah Litsea elliptica (Blume) Boerl. * * * Daun Rubiaceae Anthocephalus cadamba Miq * * Buah Tiliaceae Grewia acuminate Juss. * Buah/bunga Geunsia farinose Blume * * Buah * jenis pohon sumber pakan Tabel 4 memperlihatkan jenis sumber pakan ungko di TN Batang Gadis. Dari pengamatan ditemukan tiga macam sumber pakan ungko, yaitu buah, daun dan bunga. Dalam areal penelitian seluas 0,52 ha, masing-masing HBL dan HBT ditemukan sebanyak 13 (190 jenis/ha) dan 17 jenis (175 jenis/ha), sedangkan di HP hanya ditemukan 7 jenis (175 jenis/ha) pohon sumber pakan. Ini menandakan bahwa kerapatan pohon sumber pakan ungko di TN Batang Gadis cukup tinggi, yaitu dengan rerata kepadatan sebesar 180 jenis/ha. Pohon sumber pakan ungko yang diidentifikasi di HP banyak berasal dari famili Lauraceae, terutama dari jenis medang (Litsea sp.) (42%) dan oteng (Litsea elliptica Blume.) (26%): bagian yang dikonsumsi dari medang (Litsea sp.) dan oteng (Litsea elliptica Blume.) adalah daun dan kulit buah yang kaya akan serat. Selanjutnya, di HBL ungko dominan mengkonsumsi sumber pakan yang berasal dari famili Moraceae, yaitu torof 19,2% (Geunsia farinosa Blume.) dan famili Lauraceae, yaitu oteng 19,2% (Litsea elliptica Blume.). Pada HBT yang merupakan hutan bekas tebangan, ungko dominan mengkonsumsi sumber pakan yang berasal dari famili Lauraceae, yaitu medang 10,8% (Litsea sp.) dan oteng 13,5% (Litsea elliptica 42

56 Blume) dan famili Verbenaceae, yaitu marambong 18,9% (Geunsia farinosa Blume.). Secara keseluruhan, dari 10 famili sumber pakan yang diidentifikasi pada lokasi penelitian, famili Moraceae merupakan sumber pakan tertinggi yang dikonsumsi ungko sebesar 40% (8 jenis), diikuti Lauraceae 10% (2 jenis), Euphorbiaceae 10% (2 jenis) dan Myristacaceae 10% (2 jenis). Dengan demikian, pohon sumber pakan yang berasal dari famili Moraceae adalah komponen utama penyusun sumber pakan buah di TN Batang Gadis karena proporsi konsumsi Moraceae mencapai 40%. Hasil yang sama juga ditemukan pada owa jawa, bahwa Moraceae merupakan sumber pakan utama (Iskandar 2007); TN Batang Gadis sumber pakan utamanya berasal dari famili Moraceae 33,3% (5 spesies) dan Myristaceae 20,0% (3 spesies) (Bangun 2007). Besarnya konsumsi pohon sumber pakan yang berasal dari famili Moraceae karena Moraceae memiliki kandungan nutrisi yang penting yang dibutuhkan dalam level metabolisme energi dan protein untuk mendukung pemeliharaan kehidupan ungko dan ketersediaannya (Ficus sp.) pun sepanjang tahun (Iskandar 2007). Famili Euphorbiaceae juga dikonsumsi dalam jumlah besar karena famili ini termasuk famili yang menghasilkan gula yang disukai oleh genus Hylobates (Palombit 1997). Sumber pakan ungko di TN Batang Gadis disajikan pada Gambar 14. Gambar 14 Buah yang dikonsumsi ungko di TN Batang Gadis (dari kiri ke kanan): langsat hutan, torop/cempedak, gumbot laut, gitan, asam kandis, dan gumbot besar. 43

57 Gambar 14 memperlihatkan sumber pakan buah yang terdapat di TN Batang Gadis. Sumber pakan Hylobates agilis albibarbis di Kalimantan berasal dari 55 jenis pohon sumber pakan (28 famili) dan jenis tumbuhan yang menghasilkan buah sebagai pakan utama H. a. albibarbis sebanyak 36 jenis. Famili Myrtaceae merupakan sumber pakan yang terbanyak, diikuti Cluciaceae, Euphorbiaceae, Moraceae, Sapotaceae, Annonaceae dan Dipterocarpaceae (Suyanti 2007). Menurut Primack et al., (1998) penebangan, pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan dan perambahan hutan akan menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati. Dengan demikian, prioritas perlindungan populasi ungko secara in situ adalah dengan menjaga ataupun pengkayaan jenis pohon sumber di habitatnya. Pohon Tempat Tidur Ungko Pohon tempat tidur adalah pohon yang digunakan sebagai tempat tidur oleh Hylobates sp. pada malam hari (Reichard 1998). Secara umum, Hylobates agilis albibarbis menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan beristirahat yang mencapai 32% (Duma 2007). Namun demikian, untuk mendapatkan lokasi beristirahat dan tidur dibutuhkan seleksi yang baik atas kenyamanan tempat dan lokasi. Untuk itu, kebiasaan istirahat satwa primata umumnya mengacu pada kondisi ekologi sekitarnya (Fruth dan McGrew 1998). Sebagai contoh, Hylobates lar memilih pohon dengan ketinggian sekitar 32 m di atas permukaan tanah dan sedikit memilih lokasi di daerah tumpang tindih (overlap) dengan kelompok tetangga (17%) dan lebih banyak memilih homerange (83%) dari total 178 pohon tempat tidur (Reichard 1998). Pada areal sensus seluas 4,5 km 2 atau 450 hektar ditemukan sekitar 17 pohon yang diidentifikasi sebagai pohon tempat tidur ungko, yang dimasukkan ke dalam 5 lima famili. Famili tersebut antara lain Dipterocarpaceae, Euphorbiaceae, Moraceae, Lauraceae, dan Bombacaceae. Kerapatan pohon sekitar pohon tempat tidur dalam petak 400 m 2, di HBL, HBT dan HP secara berturut-turut adalah 465,0 pohon/ha; 405,1 pohon/ha dan 483,3 pohon/ha. Dipilihnya lokasi dengan kerapatan pohon yang tinggi oleh ungko karena kerapatan pohon tinggi akan melindungi ungko dari pengaruh udara yang dingin saat malam hari. Disamping itu, kerapatan yang tinggi membuat pergerakan ungko lebih leluasa dalam melarikan diri dari predatornya atau berpindah ke pohon lainnya. 44

58 Pemilihan lokasi pohon tempat tidur menurut kerapatan pohon dapat dilihat pada peta sebaran pohon tempat tidur pada Gambar 17. Pohon yang dimanfaatkan sebagai tempat tidur ungko disajikan pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5 Famili pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur ungko Famili Spesies Nama Lokal Bombacaceae Durio zibethinus Murr. Durian Dipterocarpaceae Shorea sp 1 Bania Shorea sp 2 Meranti Shorea sp Sengal Euphorbiaceae Elaeocarpus sp Si jingkal Mallotus sp tapa-tapa Lauraceae Litsea elliptica (Blume) Boerl. Oteng Litsea sp Medang Moraceae Artocarpus sp Torof Ficus sp Kayu Ara Tabel 5 memperlihatkan bahwa pohon yang banyak dimanfaatkan sebagai tempat tidur oleh ungko berasal dari famili Dipterocarpaceae (41,2%: 7 jenis) dan Lauraceae (23,5%: 4 jenis). Dari famili Dipterocarpaceae, jenis meranti (Shorea sp.) (23,5%) dan sengal (Shorea sp.) (17,6%) adalah jenis yang banyak dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kawasan penelitian adalah hutan dataran rendah yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dan Lauraceae, sehingga pemanfaatan atas jenis ini akan lebih banyak dibandingkan dengan jenis lainnya. Disamping itu, tingginya penggunaan kedua famili ini sebagai tempat tidur oleh kelompok ungko tidak terlepas dari karakteristik pohon tersebut yang ideal sebagai tempat tidur. Ketinggian minimal dari meranti dan sengal berturut-turut adalah 25,7 dan 24 m dan ada dari kedua jenis ini yang lebih dari 30 m di atas permukaan tanah sehingga ideal sebagai pohon tempat tidur ungko. Selanjutnya, jenis lain yang juga banyak dimanfaatkan sebagai tempat tidur berasal dari famili Lauraceae adalah jenis medang (Litsea sp) (11,8%) dan Oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl) (11,8%). Kedua jenis ini juga merupakan pohon sumber pakan yang kerapkali dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur ungko. Dari hasil pengamatan pada ketiga lokasi, berhasil diidentifikasi sebanyak enam pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur sekaligus pohon sumber pakan pada pagi harinya. Menurut Duma (2007) dan Iskandar (2007) tujuan pemanfaatan pohon tempat tidur sekaligus pohon sumber pakan oleh ungko adalah untuk memperoleh sumber energi dengan cepat di pagi hari guna memulihkan tenaganya sebelum 45

59 beraktifitas. Jenis kayu ara (Ficus sp), medang (Litsea sp), oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl.) dan torop (Artocarpus sp) merupakan contoh pohon yang digunakan sebagai pohon tempat tidur dan sumber pakan ungko. Gambar 15 Kisaran diameter dan tinggi pohon tempat tidur ungko pada lokasi penelitian. Berdasarkan Gambar 15 di atas, pohon yang dimanfaatkan sebagai tempat tidur ungko memiliki rerata ketinggian 26,9±4,8 m; diameter 56,4±23,4 cm; dan tinggi bebas cabang 17,4±3,9 m di atas permukaan tanah. Pada penelitian Duma (2007), pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur oleh Hylobates agilis albibarbis berkisaran antara m dan berdiameter antara cm. Laporan penelitian Iskandar (2007) bahwa rerata tinggi pohon tempat tidur Hylobates moloch di TN Gunung Halimun Salak adalah 20,82±7,21 m. Selanjutnya, Hylobates lar di TN Khao Yai Thailand juga tidur pada pohon dewasa yang berketinggian antara m (Reichard 1998). Berdasarkan identifikasi terhadap 17 pohon tempat tidur, pohon tempat tidur ungko memiliki ciri-ciri, antara lain 1) merupakan pohon tertinggi atau setara ketinggiannya dengan pohon sekitarnya dan saling bertautan dengan pohon disekitarnya, 2) memiliki percabangan yang relatif banyak dan besar, 3) Daun tidak terlalu rimbun untuk memudahkan pengawasan sekitar, 4) batang utama pohon tidur berbentuk relatif tegak lurus, dan 5) memiliki tinggi bebas cabang (TBC) yang cukup tinggi (17,4±3,9 m). Untuk lebih jelas mengenai karakteristik pohon tempat tidur dapat dilihat pada Lampiran 8. 46

60 Gambar 16 Karakteristik pohon tempat tidur ungko dengan percabangan yang lebar. Dari pengamatan pohon tempat tidur, lokasi-lokasi pohon tempat tidur ungko antara lain 1) berada dekat sumber air, 2) berada dipunggungan dan sisi/tepi punggung bukit, dan 3) berada di sekitar atau merupakan sumber pakan. Pemilihan lokasi-lokasi tersebut diduga didasarkan atas: 1) pertimbangan rasa aman dari ancaman predator melalui pemilihan pohon tinggi dan besar, 2) agar vokalisasinya dapat didengar baik oleh kelompok lain untuk menunjukkan eksistensinya terhadap kelompok disekitarnya dan 3) agar cepat mendapatkan hangat sinar matahari melalui pemilihan pohon dipunggungan bukit, dan 4) kemudahan mengeksploitasi sumber pakan melalui pemilihan pohon tempat tidur berada dekat dengan sumber pakan. Pada penelitian Bangun (2007), salah satu lokasi pohon tempat tidur yang dipilih oleh ungko (Hylobates agilis unko) adalah berada di lembah dekat sumber air. Menurutnya, pemilihan lokasi pohon tempat tidur dekat dengan sumber air bertujuan untuk menghilangkan bau (odor) fesesnya, dimana bau fesesnya dapat dideteksi oleh predatornya. Hylobates lar di Khao Yai National Park Thailand memilih lokasi untuk tidur di sepanjang sisi punggungan yang dekat dengan aliran air dan jurang. Terkadang, Hylobates juga memilih pohon tempat tidurnya sekaligus sebagai pohon pakannya di pagi hari, bertujuan mendapatkan sumber makanan yang cepat di pagi hari sehingga dapat memulihkan tenaga yang kosong dengan cepat. (Bangun 2007; Iskandar 2007; Chapman 1989; Reichard 1998). 47

61 Gambar 17 Peta sebaran pohon tempat tidur ungko di HBT, HBL dan HP. Berdasarkan peta sebaran pohon tempat tidur di atas menunjukkan bahwa lokasi pohon tempat tidur ungko berada pada daerah dengan kerapatan pohon yang baik yang berwarna hijau tua/gelap. Kelompok ungko di hutan terganggu, seperti HBL dan HBT cenderung memilih lokasi pohon tempat tidur pada sisi/perbatasan antara hutan utuh dengan hutan terganggu 76,9% (10 pohon) dan kelompok yang memiliki lokasi di dalam hutan 23,1% (3 pohon). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok ungko di hutan terganggu mempertimbangkan kerapatan pohon yang baik dalam mencari lokasi pohon tempat tidur. 48

62 Estimasi Populasi Analisis Populasi Berdasarkan Suara Laju vokalisasi. Laju vokalisasi adalah kelompok ungko yang bervokalisasi sebanyak 1 kali per hari. Jenis suara ungko yang digunakan dalam penelitian ini adalah great call (suara panjang) yang dihasilkan dari kombinasi/paduan suara jantan dan betina dewasa di pagi hari antara WIB. Selama penelitian di TN Batang Gadis, laju vokalisasi kelompok ungko bervariasi antara 0-7 kali per hari. Adapun total kesempatan mendengarkan great call adalah 232 kali dari 18 kelompok ungko. Berdasarkan analisis diperoleh bahwa cuaca sangat mempengaruhi laju vokalisasi kelompok ungko (P 0,05). Hal ini dapat dilihat dari laju vokalisasi ungko tinggi banyak terjadi saat cuaca cerah (66,7%) dan lebih kecil saat cuaca hujan (33,3%). Selanjutnya, laju vokalisasi nol (tidak ada vokalisasi) terjadi saat cuaca hujan, sedangkan laju vokalisasi 7 kali per hari terjadi saat cuaca cerah. Hasil ini didukung hasil penelitian Nijman (2001) yang menjelaskan bahwa perubahan iklim mikro (hujan, hembusan angin yang kencang dan perbedaan suhu siang dan malam yang ekstrim) di dalam hutan dapat mempengaruhi laju vokalisasi Hylobates. Penyebab rendahnya frekuensi (jumlah) great call saat cuaca hujan karena pengaruh suhu lingkungan yang rendah: suhu minimal di kawasan penelitian dapat mencapai 18 0 C dan suhu maksimal dapat mencapai 28 0 C. Ungko merupakan satwa berdarah panas, yaitu pada saat suhu lingkungan menjadi rendah, maka tubuhnya memetabolisme energi (membakar simpanan energi) untuk menjaga suhu tubuh tetap hangat. Saat turun hujan di pagi hari ataupun pada malam sebelumnya, ungko akan mengurangi laju ataupun frekuensi vokalisasi guna meminimalisir terjadinya kehilangan energi yang lebih besar yang dibutuhkan dalam menjaga tubuhnya tetap hangat. Menurut Chiver (2001) dan Duma (2007) vokalisasi membutuhkan energi yang cukup untuk kebugaran fisik agar menghasilkan vokal yang kuat. Oleh sebab itu, cuaca dapat mempengaruhi laju vokalisasi harian ungko. Besarnya pengaruh cuaca terhadap laju vokalisasi kelompok ungko yang hidup di habitat terganggu, seperti HBL dan HBT diduga karena komposisi dan kerapatan pohon di hutan terganggu telah mengalami perubahan akibat penebangan pohon. Banyak pohon yang berfungsi sebagai tutupan sinar matahari dan pemecah 49

63 hembusan angin telah berkurang sehingga meningkatkan perbedaan suhu (siang dan malam) dan juga meningkatkan hembusan angin di dalam hutan (Nijman 2001). Sebagai akibat meningkatnya hembusan angin dan hujan, dapat menurunkan temperatur lingkungan (Nijman 2001). Pengaruh cuaca terhadap laju vokalisasi dari 18 kelompok di lokasi pengamatan HBL, HBT dan HP disajikan pada Gambar 18. PERSENTASE VOKALISASI (%) cerah hujan >09.00 SELANG WAKTU (JAM) Gambar 18 persentase vokalisasi kelompok pada cuaca yang berbeda. Gambar 18 memperlihatkan bahwa saat cuaca cerah, puncak great call terjadi antara WIB (80%) dan sedikit terjadi di atas pukul (20%). Selanjutnya, saat hujan frekuensi vokalisasi kelompok lebih kecil dan puncak great call terjadi lebih lambat, yaitu pada pukul Saat semakin siang (>09.00 WIB), vokalisasi kelompok hanya terjadi kadangkala saat ada gangguan dari kelompok lain atau penyusup. Keadaan ini sama dengan Hylobates agilis di TN Bukit Barisan Selatan, bahwa vokalisasi tertinggi terjadi antara pukul dan sedikit vokalisasi setelah jam (O Brien et al. 2004). Pada Hylobates agilis albibarbis, puncak great call terjadi pada pukul , kemudian menurun saat hari semakin siang (Duma 2007). 50

64 Tabel 6 Rerata jumlah kelompok yang diidentifikasi di setiap lokasi penelitian Pohon Kerapatan persentase Sumber Pohon Pohon Fixed point count Sensus Lokasi Pakan (phn/ha) Sumber Kepadatan Jmlh Jmlh Kepadatan (phn/ha) Pakan Kelompok Kelompok Kelompok Individu (%) (klp/km 2 ) (klp) (klp) (indv/klp) HBL HBT HP 54,2 70,8 29,2 470,8 337,5 483,3 11,5 21,0 6,0 4,7 4,0 3,3 7,0 a 2,4 3,0 6,0 b 1,5 3,3 5,0 c 1,1 3,3 klp: kelompok, indv: individu, jmlh: jumlah; angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama artinya tidak berbeda nyata pada taraf uji 1% Tabel 6 memperlihatkan penelitian dengan menggunakan vokalisasi sebagai dasar penghitungan mempengaruhi jumlah kelompok yang dapat diidentifikasi dibandingkan dengan jumlah kelompok yang diidentifikasi melalui pengamatan sensus (P 0,01). Namun dari hasil uji jarak Tukey tiap lokasi penelitian menunjukkan bahwa vokalisasi sangat mempengaruhi jumlah kelompok yang dapat diidentifikasi di HBL dan HP. Hal ini disebabkan kondisi topografi yang berbukitbukit pada lokasi pengamatan mempengaruhi hasil pengamatan kelompok secara langsung. Selain itu, tingkahlaku ungko yang diam tidak bergerak (freezing) ataupun bersembunyi (hidding) di atas tajuk saat mendeteksi kehadiran pengamat, dan kondisi cuaca juga mempengaruhi pengamatan. Penggunaan suara (vokalisasi) sebagai dasar penghitungan dapat meng-cover area pengamatan yang sulit dijangkau dengan pengamatan langsung. Dengan demikian, areal pengamatannya menjadi lebih luas karena suara great call ungko dapat terdengar hingga lebih 1 km (Supriatna dan Wahyono 2000), sehingga dapat menjangkau area yang menjadi batasan metode sensus. Disamping itu, pengamatan kelompok menjadi lebih mudah karena tanpa masuk ke habitat mereka dan mengganggu kelompok dengan kehadiran pengamat. Dengan pengamatan tanpa masuk ke dalam habitat dan mengganggu tingkahlaku bersuara maka dapat meningkatkan akurasi estimasi kepadatan populasi karena ungko akan berhenti bersuara, bersembunyi dan pergi menjauh saat mendeteksi kehadiran pengamat. Berdasarkan hasil analisis, ketersediaan sumber pakan memiliki korelasi positif terhadap kepadatan populasi ungko (r=0,682; P=0,522). Hal ini dapat dilihat dari jumlah pohon sumber pakan per hektar di HBL yang lebih besar dibandingkan 51

65 dengan lokasi lainnya: 65 pohon/ha diperoleh 7 kelompok, HBT 85 pohon/ha diperoleh 6 kelompok dan HP 50 pohon/ha diperoleh 5 kelompok. Menurut Gupta dan Chivers (1999) biomasa komunitas primata berhubungan atau seiring dengan peningkatan kerapatan pohon melalui ketersediaan pohon sumber pakan dan tajuk. Menurut O Brien et al., (2004) dan Bangun (2007), kepadatan populasi Hylobates berhubungan dengan sumber pakan, struktur dan komposisi hutan serta demografi. Dari hasil analisis korelasi juga menunjukkan bahwa antara tipe habitat dan kepadatan kelompok ungko memiliki hubungan yang positif (r=0,260). Kepadatan kelompok berbeda nyata untuk masing-masing tipe habitat. Semakin bagus potensi suatu habitat, semakin banyak kelompok yang mendiami habitat tersebut, maka semakin banyak frekuensi vokalisasi kelompok. Dari 18 kelompok ungko TN Batang Gadis, rerata kelompok bervokalisasi 1 kali per hari. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produktifitas sumber pakan pada suatu kawasan dapat mendorong kelompok ungko mengunjungi kawasan tersebut. Analisis Populasi Berdasarkan Pemetaan Kawasan Sebaran Ungko. Penyebaran Hylobates bergantung pada keadaan habitatnya. Semakin baik kualitas habitat, semakin banyak jumlah kelompok yang bisa didukung, sehingga jarak masing-masing yang terbentuk cenderung berdekatan. Sebaliknya, jika habitat kurang mendukung, maka jumlah kelompok yang terbentuk cenderung rendah dan jarak satu kelompok yang satu dengan kelompok lainnya berjauhan, karena kelompok tersebut harus lebih memperluas wilayah jelajah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Iskandar 2007). Dari identifikasi kawasan yang menjadi sebaran ungko ini, maka diperoleh ciri-ciri, antara lain 1) memiliki kerapatan tajuk yang baik yang memungkinkan ungko dapat bergerak secara brankiasi (mengayun) karena umumnya pohonnya tergolong stratum B, 2) secara umum, memiliki ketersediaan sumber pakan yang besar, yaitu rerata 180 pohon/ha, dan 3) kawasan yang minim interaksi antar ungko dengan manusia atau jauh dari pemukiman penduduk (>4 km dari batas desa). 52

66 Jumlah (%) > 1000 Ketinggian (m dpl) Gambar 19 Persentase sebaran populasi ungko per ketinggian di TN Batang Gadis. Gambar 19 memperlihatkan bahwa ungko ditemukan pada ketinggian di lokasi penelitian. Ungko banyak ditemukan dari ketinggian m dpl (23,8%), kemudian meningkat pada m dpl (57,1%). Proporsi perjumpaan menurun pada ketinggian diatas 800 m dpl (14,3%). Perjumpaan ungko pada ketinggian lebih dari 900 m dpl hanya satu kali (4,8%), yaitu di HBL, sedangkan ketinggian di atas 1000 m dpl tidak ditemukan kelompok ungko. Sulitnya kondisi medan di ketinggian ini karena derajat kemiringan yang mencapai 65 0 diduga juga ikut membatasi pengamatan. Secara umum, kondisi topografi di lokasi penelitian adalah berbukit-bukit (Departemen Kehutanan 2004). Berdasarkan survei pendahuluan 2005, ungko tersebar pada kisaran ketinggian antara m dpl dan penyebaran utama ungko di TN Batang Gadis adalah kawasan hutan di Desa Aek Nangali, Sopotinjak, Simpang Banyak, Sibanggor Julu, Huta Nagodang, Ampung Julu, Batahan, Sihayo dan Aek Nabara/Guo. Di kawasan hutan Desa Aek Nangali yang merupakan kawasan penelitian, ungko ditemukan antara m dpl: HBL berkisar m dpl, di HBT berkisar m dpl, dan di HP berkisar m dpl. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Iskandar (2007) di TN Gunung Halimun-Salak, bahwa semakin tinggi kawasan, maka semakin sedikit kepadatan populasi Hylobates yang teridentifikasi. Dalam laporannya disebutkan 53

67 bahwa faktor yang menyebabkan Hylobates sedikit teridentifikasi adalah potensi pohon sumber pakan yang semakin sedikit, dan kerapatan dan tajuk yang menyulitkan untuk melakukan brankiasi. Dalam penelitian O Brien et al. (2004) juga menunjukkan bahwa kepadatan populasi Hylobates agilis di TN Bukit Barisan Selatan tertinggi berada pada kisaran ketinggian m dpl (2,8 individu/km2) dan sedikit di ketinggian di atas 900 m dpl (2,2 individu/km2). Data kisaran ketinggian tiap habitat ungko diperoleh dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning System). Kawasan yang menjadi sebaran kelompok ungko pada Taman Nasional Batang Gadis disajikan pada Gambar 20 berikut ini. PETA SEBARAN KELOMPOK TN BATANG GADIS Gambar 20 Peta sebaran kelompok ungko berdasarkan ketinggian lokasi penelitian. Gambar 20 memperlihatkan bahwa kawasan yang menjadi sebaran ungko berada jauh dari pemukiman penduduk. Kawasan dengan ketinggian m dpl (hijau muda) umumnya berbatasan langsung dengan pemukiman dan lahan pertanian 54

68 serta perkebunan masyarakat. Kawasan ini tidak cocok untuk habitat ungko karena umumnya hutan ini telah terfragmentasi. Kawasan dengan ketinggian m dpl jauh dari pemukiman (hijau daun dan tua) dan cocok untuk habitat ungko karena persentase aktifitas masyarakat ke kawasan ini kecil. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa besar kerusakan hutan yang berjarak 0-4 km dari pemukiman mencapai 59,5%. Pada kerusakan sebesar 59,5% diperoleh kepadatan populasi 1,3 individu/km 2. Selanjutnya, kerusakan hutan yang berjarak 4-8 km dari pemukiman lebih kecil, yaitu hanya 29,5% dan kepadatan populasi pada hutan yang berjarak 4-8 km dari pemukiman sebesar 2 individu/km 2. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin dekat hutan dengan pemukiman penduduk, semakin besar kerusakan, maka semakin kecil kepadatan ungko di hutan tersebut. Hasil penelitian Geissmann et al. (2006) menjelaskan bahwa hutan yang terpisah satu dengan lainnya (patches), dan adanya penanaman karet secara monokultur, meski masih menyisakan pohon asli, dapat menyebabkan populasi Hylobates agilis dan siamang semakin berkurang. Hanya jenis monyet pemakan daun (leaf-eating monkey) yang sering dijumpai. Selanjutnya, kawasan dengan ketinggian diatas 900 m dpl sedikit perjumpaan dengan ungko. Menurut Iskandar (2007), sedikitnya perjumpaan Hylobates moloch disebabkan sedikitnya pohon sumber pakan dan kondisi pohon yang tidak cocok untuk melakukan brankiasi. Komposisi Kelompok. Ungko merupakan satwa primata yang hidup dalam kelompok monogami, yang terdiri atas sepasang jantan dan betina dewasa dengan 1-2 anak. Spesies Hylobates sp. hanya melahirkan satu anak per kelahiran dan akan melahirkan anak kedua setelah anak pertama di sapih, sekitar umur 2-3 tahun. Saat anak menjelang dewasa (subadult), mereka akan memisahkan diri dari kelompoknya dan membentuk kelompok baru (Kuester 2000). Total kelompok yang teridentifikasi melalui sensus berjumlah 14 kelompok. Dari 14 kelompok tersebut, jumlah anggotanya bervariasi dari 2-5 individu/kelompok. Adanya kelompok berjumlah 5 individu disebabkan karena anak umur dewasa (>6 tahun) belum keluar dari kelompok asal untuk membentuk kelompok baru. Secara umum, pada sistem sosial yang disebut kelompok keluarga (family group), anak yang telah mencapai umur dewasa akan keluar membentuk 55

69 kelompok baru. Adapun, jumlah maksimal anggota dalam satu kelompok adalah 4 individu. Tabel 7 Komposisi kelompok ungko di TN Batang Gadis Lokasi Kelompok Komposisi Keluarga JD BD Rmj Ank Byi Jumlah HBL 1 1,0 1,0 1,0 0,0 0,0 3,0 2 1,0 1,0 1,0 1,0 0,0 4,0 3 1,0 1,0 0,0 1,0 0,0 3,0 4 1,0 1,0 0,0 1,0 0,0 3,0 5 1,0 1,0 0,0 0,0 0,0 2,0 Jumlah 5,0 5,0 2,0 3,0 0,0 15,0 Rerata 1,0 1,0 0,4 0,6 0,0 3,0 HBT 6 1,0 1,0 1,0 1,0 0,0 4,0 7 1,0 1,0 1,0 1,0 0,0 4,0 8 1,0 1,0 1,0 0,0 0,0 3,0 9 1,0 1,0 0,0 1,0 0,0 3,0 10 1,0 1,0 0,0 0,0 0,0 2,0 11 1,0 1,0 1,0 0,0 1,0 4,0 Jumlah 6,0 6,0 4,0 3,0 1,0 20,0 Rerata 1,0 1,0 0,7 0,5 0,2 3,3 HP 12 1,0 1,0 0,0 0,0 0,0 2,0 13 1,0 1,0 0,0 1,0 0,0 3,0 14 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 5,0 Jumlah 3,0 3,0 1,0 2,0 1,0 10,0 Rerata 1,0 1,0 0,3 0,7 0,3 3,3 JD: jantan dewasa; BD: betina dewasa; Rmj: remaja; Ank: anak; Byi: bayi Berdasarkan tabel di atas, setiap lokasi pengamatan mempunyai komposisi dewasa, remaja dan anak yang berbeda-beda. Kelompok ungko di HBL memiliki proporsi dewasa, remaja dan anak secara berturut-turut adalah 66,6; 13,3; dan 20,0%. Selanjutnya, proporsi pasangan yang memiliki satu anak sebesar 60,0% dan pasangan yang memiliki anak lebih dari satu (anak>1) sebesar 40%. Pada HBT, persentase dewasa, remaja dan anak secara berturut-turut adalah 60,0; 20,0; dan 20,0%. Proporsi pasangan yang memiliki satu anak sebesar 33,3%, pasangan yang memiliki anak lebih dari satu 50,0%, dan pasangan yang tidak memiliki anak sebesar 15,7%. Pada HP, perbandingan kelompok umur dewasa, remaja dan anak secara berturut-turut adalah 60,0; 10,0; dan 30,0%. Hasil penelitian Bangun (2007) menunjukkan komposisi kelompok populasi jantan 29,27%, betina 29,27%, pra dewasa 4,88%, remaja/anak 26,83% dan bayi 9,75%, sedangkan pada penelitian ini, populasi jantan dan betina dewasa 31,7%, pradewasa 16,7%, anak 17,5% dan bayi 2,5%. Apabila dibandingkan proporsi setiap kelompok umur, diperoleh adanya peningkatan persentase untuk kelas pradewasa 56

70 hingga kelas dewasa dan penurunan persentase untuk kelas umur anak dan bayi. Hal ini diduga karena telah terjadi perubahan kelas umur dari umur muda (bayi dan anak) menjadi umur yang lebih tua (subadult dan dewasa) sehingga persentase kelas dewasa meningkat, sedangkan penurunan persentase kelas umur anak dan bayi, disebabkan karena tidak adanya kelahiran bayi dari induk betina dalam selang dua tahun terakhir. Secara keseluruhan, keberhasilan kelahiran anak di ketiga lokasi termasuk tinggi. Ukuran keberhasilan ini dilihat dari tingginya persentase kelompok yang memiliki keturunan yang mencapai 76,7% dan sebaliknya, kelompok yang tidak memiliki keturunan hanya sebesar 23,3%. Selanjutnya, proporsi pasangan yang memiliki satu anak sebesar 42,3% dan pasangan yang memiliki lebih dari satu anak sebesar 34,4% (Tabel 7). Tingginya keberhasilan kelahiran anak karena kondisi habitat setiap lokasi penelitian masih dapat menunjang kebutuhan hidup kelompok ungko, terutama melalui ketersediaan pohon sumber pakan dan tajuk vegetasi yang baik. Bangun (2007) menunjukkan kepadatan populasi yang tinggi juga ditandai dengan tingkat kelahiran yang tinggi dan laju kematian individu yang rendah. Disamping itu, kelimpahan sumber pakan, struktur dan komposisi hutan juga turut mempengaruhi keberhasilan kelahiran anak. Dalam lingkungan yang stabil, populasi cenderung meningkat hingga mencapai daya dukung habitat (carrying capacity) (Indrawan et al. 2007). Meskipun hutan di TN Batang Gadis telah mengalami degradasi, tetapi Hylobates agilis unko mampu bertoleransi terhadap gangguan oleh manusia. Keadaan ini sama dengan hasil penelitian Nijman (2001) dan O Brien et al. (2004), bahwa Hylobates spp dapat bertahan terhadap gangguan manusia seperti penebangan. Kepadatan Populasi. Kepadatan populasi adalah ukuran populasi yang dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per satuan luas atau per satuan volume (Suin 2003). Penelitian populasi primata didasarkan pada jumlah individu atau kelompok yang tercatat pada luasan areal tertentu (Bismark 2006). Jumlah individu dalam kelompok diketahui melalui pengamatan langsung pada jalur pengamatan, sedangkan estimasi jumlah kelompok diketahui dengan menggunakan metode fixed 57

71 point count berdasarkan waktu vokalisasi Hylobates yang ditentukan (O brien et al. 2004; Whittaker, 2005). Hasil estimasi kepadatan kelompok dan individu ungko di TN Batang Gadis disajikan dalam Tabel 8. Kepadatan kelompok ungko berbeda-beda tiap lokasi penelitian dan kepadatan tertinggi terdapat di HBL sebesar 4,7 kelompok/km 2, diikuti HBT sebesar 4,0 kelompok/km 2 dan terendah di HP sebesar 3,3 kelompok/km 2. Demikian juga dengan kepadatan individu, tertinggi di HBL sebesar 15,5 individu/km 2, diikuti HBT sebesar 13,2 individu/km 2 dan terendah di HP sebesar 9,9 individu/km 2. Adapun rerata kepadatan individu per kelompok secara keseluruhan sebesar 12,9 individu/km 2. Besarnya kepadatan individu pada HBL dan HBT karena kedua lokasi ini memiliki kerapatan pohon yang rendah sehingga menyebabkan ungko lebih mudah dideteksi pengamat dibandingkan di HP. Disamping itu, keanekaragaman dan keberadaan pakan ungko berupa buah di HBL dan HBT menarik minat kelompok ungko untuk mendatangi areal ini secara intensif. Gambar 21 Tutupan lahan TN Batang Gadis. 58

72 Gambar 21 memperlihatkan tutupan lahan hutan primer mencapai 894 km 2 (93,8%), HBT sekitar 77 km 2 dan HBL sekitar 61 km 2. Dalam perkiraan kasar, hingga penelitian ini dilaksanakan penurunan luas hutan primer TN Batang Gadis sebesar 17,2% yang diakibatkan alihfungsi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan dan fragmentasi kawasan hutan akibat penebangan ilegal. Adapun luas sebaran habitat ungko antara m dpl adalah sekitar 823,25 km 2. Perhitungan ini didasarkan pada pertimbangan ditemukan ungko pada selang ketinggian m dpl dan faktor koreksi sebesar 20% yang merupakan kawasan yang tidak dapat ditinggali oleh ungko, seperti kawasan dengan ketinggian di atas m dpl, semak belukar, perkebunan karet monokultur dan lahan terbuka (komunikasi pribadi). Gambar 22 peta sebaran kelompok ungko menurut kelas ketinggian. Jumlah populasi di kawasan taman nasional berdasarkan luas habitat ungko antara m dpl adalah individu, sedangkan jumlah kelompok di kawasan taman nasional adalah kelompok. Selanjutnya kepadatan individu dan kelompok secara berturut-turut adalah 12,9 individu/km 2 dan 4 kelompok/km 2. Pada 59

73 metode hitungan yang berbeda, jumlah populasi di kawasan taman nasional berdasarkan luas tipe hutan adalah individu. Jumlah kelompok di kawasan taman nasional adalah kelompok. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah populasi yang dihitung berdasarkan luas habitat ungko m dpl adalah lebih besar 1,8% (192,5 individu). Berikut ini adalah perhitungan populasi menurut tipe habitat yang menjadi habitat ungko. Tabel 8 Ukuran populasi dan kelompok ungko berdasarkan tipe habitat Tipe Luas Kepadatan Kepadatan Jumlah Jumlah Hutan Total Individu Kelompok Kelompok Individu (km 2 ) (indv/km 2 ) (klp/km 2 ) (klp) (indv) HP 894,0 9,9 3, , ,6 HBL 61,0 15,5 4,7 286,7 946,1 HBT 77,0 13,2 4,0 308, ,4 Jumlah 1.032,0 38,6 12, , ,1 Rerata 344,0 12,9 4, , Indv: individu; Klp: kelompok Berdasarkan tabel di atas memperlihatkan bahwa jumlah kelompok tertinggi adalah di HP sebesar kelompok, diikuti HBT sebesar 308 kelompok dan terendah di 287 kelompok. Jumlah individu, HP memiliki jumlah individu sebesar individu, diikuti HBT individu dan HBL sebesar 946 individu. Hasil penelitian Bangun (2007) pada lokasi yang sama menunjukkan bahwa kepadatan individu di hutan terganggu lebih kecil dibandingkan dengan hutan primer. Menurutnya, perubahan kualitas habitat akibat penebangan yang terjadi di TN Batang Gadis telah menurunkan populasi ungko sebesar 12%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa akibat penebangan yang terjadi dimasa lalu menyebabkan kerapatan vegetasi berkurang termasuk jumlah pohon sumber pakan ungko menjadi lebih sedikit dibandingkan hutan primer. Pada penelitian ini, tingginya kepadatan individu di hutan terganggu selain karena ketersediaan sumber pakan yang 4,4% atau lebih banyak 8 jenis/km 2 nya dibandingkan hutan primer, keberadaan pohon yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat tidur oleh ungko juga berperan dalam menarik minat kelompok ungko untuk mengunjungi kawasan ini. Pada penelitian yang dilakukan O Brien et al. (2004) mengenai distribusi Hylobates agilis di hutan yang mengalami gangguan di Sumatera menemukan fakta bahwa Hylobates agilis mampu beradaptasi terhadap gangguan 60

74 manusia dibandingkan dengan beruk (pig-tailed macaque). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa populasi beruk berkorelasi negatif dengan populasi manusia di tapal batas TN Bukit Barisan Selatan. Dalam selang 2 tahun sejak penelitian populasi ungko tahun 2005, kemudian dilanjutkan tahun 2007 terjadi peningkatan populasi ungko sebesar individu. Hal ini mengindikasikan adanya pertumbuhan populasi sebesar 28,2% per dua tahun. Besarnya persentase pertumbuhan populasi ini, selain karena teknik pengamatan kelompok yang berbeda, peningkatan populasi ini merupakan nilai kasar karena belum memasukan faktor pembatas pertumbuhan populasi seperti angka mortalitas. Untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan populasi ungko lebih akurat dibutuhkan waktu penelitian yang berkala dan jangka waktu yang tidak singkat. Untuk menjaga kelestarian ungko dalam jangka panjang di TN Batang gadis, diperlukan turut campur pemerintah untuk mengontrol penebangan liar di kawasan taman nasional. Sejak penebangan yang marak terjadi tahun 2004 (Bitra Konsorsium Indonesia 2005), diperkirakan luas penanaman pohon karet semakin meningkat karena banyak masyarakat yang memanfaatkan areal bekas tebangan untuk ditanami pohon karet. Aspek Konservasi Degradasi Habitat Kehilangan habitat diterima secara luas sebagai ancaman terbesar terhadap populasi primata (Mittermeierr dan Cheney 1987). Beragam kegiatan manusia seperti kegiatan pertanian, penebangan hutan, transmigrasi, tambang minyak, memperbesar kehilangan hutan primer sampai pada angka yang menakjubkan (MacKinnon 1986; Whitten 1987). Bangsa Indonesia telah kehilangan sebagian dari hutan tropisnya dan diperkirakan laju deforestasi di Indonesia telah mengalami peningkatan sejak tahun 1997 yang dipicu oleh kebakaran hutan besar-besaran pada tahun , krisis ekonomi dan lemahnya penegakan hukum. Secara keseluruhan, Indonesia telah kehilangan tutupan hutan sebesar 2,2 juta ha per tahun pada kurun waktu antara tahun 1985 sampai dengan Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera merupakan pulau dengan laju deforestasi yang terbesar di Indonesia (FWI/GFW 2001). 61

75 Salah satu akibat laju deforestasi adalah terdapat 31 jenis satwa primata Indonesia yang telah dimasukkan ke dalam daftar satwa primata yang dilindungi dan memerlukan upaya-upaya konservasi habitat, penangkaran untuk peningkatan populasi, termasuk pemanfaatan jasa dan penelitian (CITES 2003). Ungko dan spesies Hylobates lainnya termasuk satwa primata yang dilindungi negara berdasarkan SK MenHut 10 Juni 1991 No.301/Kpts-II/1991 (Colin dan Mucthar 2002). Peraturan ini diperkuat oleh Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan PP No. 7 tahun 1999 tentang Hylobatidae. Selain itu, ungko dilindungi melalui konvensi internasional, yaitu dengan ditetapkannya ungko sebagai satwa dengan status endangered species oleh IUCN tahun 2008 (Geissmann dan Nijman 2008). Pembentukan hutan konservasi ataupun hutan lindung dapat menguntungkan bagi upaya-upaya konservasi ungko karena kawasan tersebut mampu menyediakan kebutuhan hidup ungko seperti air, sumber pakan yang melimpah, tempat berlindung dan pohon untuk tidur yang dibutuhkan oleh ungko. Namun, ancaman kerusakan hutan telah merambah ke kawasan-kawasan yang berstatus dilindungi. Batas-batas kawasan konservasi yang diperuntukan sebagai penyangga, masih lemah terhadap kegiatan pembalakan liar, perambahan untuk kegiatan pertanian dan pemukiman berlangsung dikawasan-kawasan lindung. Saat ini, kondisi populasi ungko yang baik hanya terdapat dikantung-kantung perlindungan di Sumatera (Supriatna dan Wahyono 2000), seperti TN Way Kambas (Lampung), Bukit Barisan Selatan (Lampung dan Selatan Bengkulu), Kerinci Seblat (Padang), Bukit Tiga Puluh (Riau dan Jambi), Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Tapanuli Selatan) (Ditjen PHKA 2006b). Saat penelitian dilakukan, kelestarian kawasan TN Batang Gadis menghadapi ancaman degradasi. Secara tidak langsung, ancaman degradasi tersebut disebabkan karena sebagian besar lahan pertanian atau perkebunan milik masyarakat masuk ke dalam batas kawasan taman nasional. Kondisi ini menciptakan kelangkaan luasan lahan pertanian atau perkebunan. Kelangkaan lahan yang terjadi pada akhirnya dapat meningkatkan ketergantungan penduduk terhadap sumberdaya hutan. Keadaan ini tidak menguntungkan bagi upaya-upaya konservasi karena ketergantungan 62

76 masyarakat terhadap sumberdaya hutan dalam jangka panjang dapat mengurangi keanekaragaman hayati TN Batang Gadis, termasuk penurunan populasi ungko. Berdsaarkan hasil analisis informasi spasial, diperoleh bahwa besar kerusakan hutan yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk atau lahan pertanian (jarak 0-4 km) mencapai 59%. Selanjutnya, besar kerusakan hutan yang jarak 4-8 km dari pemukiman penduduk mencapai 28% atau lebih kecil dibandingkan dengan tingkat kerusakan hutan yang berjarak 0-4 km. Kemudahan akses ke lokasi berupa jalan bekas truk merupakan faktor penyebab tingkat kerusakan hutan semakin besar. Saat penelitian, penebangan kayu ilegal sudah tidak dijumpai. Adapun lokasi utama penebangan yang terjadi di Desa Aek Nangali, yaitu Tor Ompu Sutan, Tor Sanduduk, Tor Pargadungan (Bitra Konsorsium Indonesia 2005). Pemukiman dan lahan yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional juga meningkatkan frekuensi warga desa masuk hutan. Peningkatan frekuensi masuk ke hutan ini berdampak pada peningkatan perjumpaan dengan kelompok ungko. Perjumpaan yang intens menyebabkan ungko mudah terhabituasi karena kehadiran manusia tidak lagi menjadi sebuah ancaman bagi kelompoknya. Oleh karena manusia bukan ancaman, maka ungko dapat mudah ditangkap. berdasarkan informasi, sebagian besar warga Desa Aek Nangali masuk hutan lebih dari 15 kali per bulan dan bertemu dengan ungko, baik di dalam hutan maupun dipinggir hutan. Melihat besarnya pengaruh kerusakan habitat terhadap penurunan populasi ungko, maka upaya konservasi ungko secara in situ dapat diarahkan pada pelestarian habitatnya. Adapun upaya pelestarian habitat ungko, yaitu 1) perlu monitoring kawasan terutama pada lokasi yang memiliki resiko tinggi terjadinya perusakan kawasan, seperti pada kawasan-kawasan yang bersinggungan langsung dengan lahan pertanian warga desa, 2) kawasan-kawasan yang telah dibuka/dikelola sebelumnya perlu direhabilitasi dengan penanaman vegetasi yang sama dengan vegetasi awal. Hal ini bertujuan mengembalikan hutan ke kondisi awal habitat ungko, 3) batas dan fungsi zona pada hutan konservasi lebih dipertegas, sehingga masyarakat sekitar hutan konservasi mengetahui batas-batas kawasan yang diperuntukan bagi pemanfaatan dan konservasi, dan 4) pengembangan informasi akan areal potensial penebangan liar dan pembukaan hutan akan berarti bagi pengelolaan kawasan hutan 63

77 taman nasional. Namun, upaya pelestarian habitat ungko harus diikuti dengan pencegahan perdagangan dan pemeliharaan ungko oleh masyarakat sekitar. Pola Pemanfaatan Lahan oleh Masyarakat Kehidupan ekonomi warga Aek Nangali bertumpu pada sektor pertanian, baik pertanian tanaman pangan (sawah dan ladang palawija) dan tanaman perkebunan. Komoditas andalan tanaman perkebunan meliputi karet dan coklat, sedangkan tanaman pangannya adalah padi. Selain dari pertanian, warga Desa Aek Nangali juga memanfaatkan hasil dari hutan, seperti perburuan satwa, mengambil rotan manau dan damar. Persentase jenis pekerjaan masyarakat Desa Aek Nangali disajikan dalam Gambar 23. PNS 9% Pelajar 5% Tidak Bekerja 5% Berkebun 27% Bertani 54% Gambar 23 Sumber pendapatan warga Desa Aek Nangali. Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa roda ekonomi masyarakat Aek Nangali digerakan dari hasil pertanian dan perkebunan. Apabila melihat pertanian dan perkebunan sebagai penggerak roda perekonomian utama masyarakat, maka tolak ukur dalam menentukan besar penghasilan setiap keluarga di Desa Aek Nangali adalah luasan kepemilikan lahan. Semakin luas kepemilikan lahan, maka semakin besar pendapatan keluarga dan sebaliknya, semakin kecil lahan, maka semakin kecil pendapatan keluarga. Berdasarkan hasil wawancara, mayoritas warga desa hanya memiliki luas lahan kurang dari satu hektar dan umumnya berbatas langsung dengan kawasan taman nasional. Saat penelitian ini dilakukan terdapat respon negatif dari warga desa berkaitan penguasaan lahan mereka yang masuk di dalam kawasan taman nasional. Respon negatif ini timbul karena rasa kekhawatiran atas lahan, bahwa mereka tidak diperbolehkan/diperkenankan mengolah lahan mereka atau terjadi kelangkaan luas 64

78 lahan karena lahan mereka masuk ke dalam kawasan taman nasional. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka dalam jangka panjang dapat mengakibatkan peningkatkan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Oleh karena itu dibutuhkan sistem pemberdayaan masyarakat bidang melalui intensifikasi pertanian ataupun perkebunan guna meningkatkan produktifitas dalam luasan lahan yang terbatas. Gambar 24 Mata pencaharian masyarakat Desa Aek Nangali. Pencarian alternatif pengembangan ekonomi akan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Beberapa hal yang dapat dilakukan terkait pengembangan ekonomi alternatif. Pertama adalah pengembangan pertanian secara intensif. Sistem ini cocok untuk luas lahan yang sempit karena dapat meningkatkan produktifitas pada lahan terbatas. Misalnya melalui peremajaan pohon karet yang telah berumur tua dengan pohon karet yang bagus. Menurut warga desa, sebagian umur pohon karet mereka sudah tua, sudah tidak produktif dan belum ada pergantian dengan yang baru. Kedua adalah penggunaan pertanian sistem tumpang sari, pada disela-sela pohon karet ditanami beragam jenis buah-buah atau jenis lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Selain dari hasil tanaman pokok, buah yang dipanen nantinya dapat memberikan kontribusi yang baik untuk ekonomi keluarga. 65

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA KENI SULTAN PROGRAM STUDI MAYOR PRIMATOLOGI INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara

Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6, No. 1, Juni 2009, p.19-24. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi ungko dan siamang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

Analisis Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah

Analisis Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6, No. 1, Juni 2009, p.24-29. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Analisis Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2011. Lokasi penelitian berada di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di sekitar Tor Sanduduk yang secara administratif termasuk wilayah Desa Aek Nangali, Kecamatan Batang Natal, Kabupaten Mandailing

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

Populasi dan Distribusi Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara

Populasi dan Distribusi Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6, No. 1, Juni 2009, p.25-31. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Populasi dan Distribusi Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

KONSERVASI Habitat dan Kalawet 113 KONSERVASI Habitat dan Kalawet Kawasan hutan Kalimantan merupakan habitat bagi dua spesies Hylobates, yaitu kalawet (Hylobates agilis albibarbis), dan Hylobates muelleri. Kedua spesies tersebut adalah

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGI UNGKO (Hylobates agilis agilis) DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA TUAH MALEM BANGUN

KAJIAN EKOLOGI UNGKO (Hylobates agilis agilis) DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA TUAH MALEM BANGUN KAJIAN EKOLOGI UNGKO (Hylobates agilis agilis) DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA TUAH MALEM BANGUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Lindung dan Hutan Produksi dengan pengertian sebagai berikut : a) Hutan

I. PENDAHULUAN. dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Lindung dan Hutan Produksi dengan pengertian sebagai berikut : a) Hutan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Oleh : MUHAMMAD MARLIANSYAH 061202036 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di wilayah 10 Kabupaten dan 2 Provinsi tentu memiliki potensi wisata alam yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU Number of Individual and Groups Proboscis (Nasalis Larvatus, Wurmb) In Sentarum Lake

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan III. METODE PENELTIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat (Gambar 6) pada bulan Mei

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Resort Pugung Tampak pada bulan Januari September 2012. Resort Pugung Tampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK Media Konservasi Vol. 16, No. 3 Desember 2011 : 133 140 ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (Population Analysis of Javan Gibbon (Hylobates

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG)

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) SKRIPSI Oleh: RICKY DARMAWAN PRIATMOJO 071201030 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di stasiun penelitian Yayasan Ekosistem Lestari Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera

Lebih terperinci

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008).

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008). I. PENDAHALUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Lampung dengan luas ± 3.528.835 ha, memiliki potensi sumber daya alam yang sangat beraneka ragam, prospektif, dan dapat diandalkan, mulai dari pertanian,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa Kabupaten

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel : 19-20 November KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA Yusrina Avianti Setiawan 1), Muhammad Kanedi 1), Sumianto 2), Agus Subagyo 3), Nur Alim

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE BAB II METODE A. Waktu Pelaksanaan Kajian profil keanekaragaman hayati dan dan kerusakan tutupan lahan di kawasan Gunung Aseupan dilaksanakan selama 60 hari kerja, yaitu tanggal 2 Juni s/d 31 Juli 2014.

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara)

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI PENDAHULUAN Ekowisata berkembang seiringin meningkatnya

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: 978-602-18962-5-9 PERBANDINGAN PERILAKU BERSARANG ORANGUTAN JANTAN DENGAN ORANGUTAN BETINA DEWASA (Pongo abelii) DI STASIUN PENELITIAN SUAQ BALIMBING Fauziah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan satwa endemik di Kalimantan Tengah. Distribusi owa (H. albibarbis) ini terletak di bagian barat daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan primer (primary forest) adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya serta memiliki sifat-sifat

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI 1 PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Januari 2010 Februari 2010 di Harapan Rainforest, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC CURRICULUM VITAE WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC 1 Jabatan Peneliti Peneliti Madya 2 Kepakaran Konservasi Sumberdaya Hutan 3 E-mail wkuswan@yahoo.com 4 Riwayat Pendidikan S1 : Jurusan Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Joja (Presbytis potenziani) adalah salah satu primata endemik Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang unik dan isolasinya di Kepulauan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kawasan lindung Bukit Barisan Selatan ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Marga Satwa melalui Besluit Van

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ekosistem hutan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar terdapat di hutan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau Kalimantan dan Papua, Hutan Sumatera mengalami kerusakan yang cukup tinggi. Sejak Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci