STUDI KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) BUKIT PINANG DI KOTA SAMARINDA DALAM KONTEKS TATA RUANG. Oleh: ESTIADI GUNAWAN NIM.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) BUKIT PINANG DI KOTA SAMARINDA DALAM KONTEKS TATA RUANG. Oleh: ESTIADI GUNAWAN NIM."

Transkripsi

1 STUDI KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) BUKIT PINANG DI KOTA SAMARINDA DALAM KONTEKS TATA RUANG Oleh: ESTIADI GUNAWAN NIM PROGRAM STUDI GEOINFORMATIKA JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA SAMARINDA 2016

2 STUDI KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) BUKIT PINANG DI KOTA SAMARINDA DALAM KONTEKS TATA RUANG Oleh: ESTIADI GUNAWAN NIM Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Sebutan Ahli Madya pada Program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda PROGRAM STUDI GEOINFORMATIKA JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA SAMARINDA 2016

3 STUDI KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) BUKIT PINANG DI KOTA SAMARINDA DALAM KONTEKS TATA RUANG Oleh: ESTIADI GUNAWAN NIM Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Sebutan Ahli Madya pada Program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda PROGRAM STUDI GEOINFORMATIKA JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA SAMARINDA 2016

4 ESTIADI GUNAWAN NIM Saya persembahkan karya ilmiah ini untuk : Ayahanda & Ibunda Tercinta

5 HALAMAN PENGESAHAN Judul Karya Ilmiah : Studi Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bukit Pinang Di Kota Samarinda Dalam Konteks Tata Ruang N a m a : Estiadi Gunawan N I M : Program Studi Jurusan : Geoinformatika : Manajemen Pertanian Pembimbing, Penguji I, Penguji II, Ir. M. Fadjeri, MP NIP Andrew Stefano, ST.MT Radik Khairil Insanu, ST. MT.MT NIP NIP Menyetujui, Ketua Program Studi Geoinformatika Mengesahkan, Ketua Jurusan Manajemen Pertanian Husmul Beze S.Hut, M.Si NIP Ir. M. Masrudy, MP NIP Lulus ujian pada tanggal :

6 ABSTRAK ESTIADI GUNAWAN. Studi Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bukit Pinang di Kota Samarinda Dalam Konteks Tata Ruang (dibawah bimbingan M. FADJERI). Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebagai tempat pengolahan sampah yang dikumpulkan dari Tempat Pembuangan Sementara (TPS), baik sampah hasil produksi industri ataupun rumah tangga. Sampah menjadi masalah yang rumit untuk diselesaikan, dikarenakan keterbatasan lahan, anggaran, maupun teknologi pengolahan sampah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui standar pemilihan lokasi TPA berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan di masing-masing daerah. TPA sebagai gerbang akhir penumpukan dan pengolahan sampah mempunyai peran yang sangat penting, sehingga perlu diperhatikan keberadaannya dalam konteks tata ruang. Metode penelitian ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan lokasi TPA melalui pengamatan secara langsung dilapangan maupun wawancara dengan pihak terkait. Berdasarkan has il penelitian diketahui bahwa TPA Bukit Pinang tidak layak lagi digunakan dikarenakan letak permukiman yang semakin dekat dengan TPA (kurang dari 3 km), pencemaran udara akibat pembakaran sampah, tidak ada zona penyangga (zona hijau) dan kondisi drainase yang tidak terawat dapat menyebabkan pencemaran tanah. Kata kunci : Tempat Pembuangan Akhir, Sampah, Tata Ruang

7 RIWAYAT HIDUP Estiadi Gunawan lahir pada tanggal 26 Nopember tahun 1990 di Kota Samarinda. Merupakan anak ketiga dari lima bersaudara yang dilahirkan dari Pasangan suami-istri Sudiyono dan Nari. Tahun 1997 memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 003 Samarinda dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 21 Samarinda tahun Pendidikan dilanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 13 (Olahraga) jurusan IPS dan lulus tahun Setelah lulus SMA, bekerja membantu orang tua sebagai tukang las, kemudian Nopember 2011 mengikuti kursus desain grafis di LKP Cendana program PNPM dan selesai pada bulan Desember Bekerja sebagai karyawan di sebuah percetakan di Samarinda dari tahun 2012 hingga Pebruari 2014 sebagai desain grafis dan operator mesin cetak, serta mengikuti uji kompetensi desain grafis yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Kompetensi Teknologi Informasi dan Komunikasi di El Rahma Education Centre Samarinda. Politeknik Pertanian Negeri Samarinda menjadi pilihan untuk menempuh pendidikan tinggi pada tahun 2013 di jurusan Manajemen Pertanian, Program Studi Geoinformatika. Selama menempuh pendidikan di Politeknik Pertanian Negeri Samarinda pernah menerima beasiswa PPA tahun 2014 dan Kaltim Cemerlang Tahun Di dalam Program Studi tergabung di Himpunan Mahasiswa (HIMA) Geoinformatika serta menjadi panitia Pengenalan Tahap Awal Geoinformatika (PETAGI) pada tahun 2014 dan 2015 sebagai seksi acara. Bulan Maret-Mei 2016 mengikuti program Praktik Kerja Lapang (PKL) di The Nature Conservancy job site Kampung Merabu, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau.

8 KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bukit Pinang di Kota Samarinda, sebagai syarat untuk dapat menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Ahli Madya Diploma III (A.md) di Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Bapak Ir. M. Fadjeri, MP selaku Dosen Pembimbing. 2. Bapak Andrew Stefano, ST. MT selaku Dosen Penguji I. 3. Bapak Radik Khairil Insanu, ST. MT selaku Dosen Penguji II. 4. Bapak Husmul Beze, S.Hut. M.Si selaku Ketua Program Studi Geoinformatika. 5. Bapak Ir. M. Masrudy, MP selaku Ketua Jurusan Manajemen Pertanian Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. 6. Bapak Ir. Hasanudin, MP selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. 7. Seluruh rekan-rekan mahasiswa/mahasiswi Geoinformatika 2013/2016 yang telah banyak membantu dan memberikan semangat serta inspirasi bagi penulis hingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. 8. Orang tua tercinta yang telah memberikan dukungan baik materi maupun moril kepada penulis. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi perbaikannya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca. Estiadi Gunawan Kampus Gunung Panjang, Agustus 2016

9 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... Halaman v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB I. PENDAHULUAN BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kota Samarinda... 3 B. Tempat Pembuangan Akhir Bukit Pinang... 6 C. Tempat Pembuangan Akhir (TPA)... 7 D. Tata Ruang E. Global Positioning System (GPS) BAB III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian B. Alat dan Bahan C. Prosedur Penelitian BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil B. Pembahasan BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

10 DAFTAR GAMBAR Nomor Tubuh Utama Halaman 1. Diagram Alir Prosedur Penelitian Tanda TPA Bukit Pinang Ditutup Masyarakat Membuang Sampah di TPA Bukit Pinang Aktifitas Truk Dinas Kebersihan dan Pertamanan di TPA Bukit Pinang. 48

11 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Truk Sampah Saat Akan Melakukan Bongkar Muatan di Titik Pembuangan Truk Sampah Saat Melakukan Bongkar Muatan di Titik Pembuangan Data Retasi Sampah DKP Kota Samarinda Bulan April Aktifitas Pencari Barang Bekas Di TPA Bukit Pinang 5. Tumpukan Sampah di Zona Aktif Pembakaran Sampah di Zona Aktif Kondisi Drainase TPA Bukit Pinang Kolam Penampungan Lindi TPA Bukit Pinang Lindi Yang Mengalir ke Kolam Penampungan Rumah Kompos dan Pencacah Plastik PAUD Anggrek di TPA Bukit Pinang... 62

12 DAFTAR TABEL Nomor Tubuh Utama Halaman 1. Tabel Observasi Tempat Pembuangan Akhir Deskripsi Observasi Tempat Pembuangan Akhir Koordinat Data Lapangan... 42

13 BAB I PENDAHULUAN Manusia dalam segala aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang. Ruang tempat meraka tinggal dalam upaya meningkatkan kualitas hidup dan statusnya dengan mengolah sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia itu sendiri. Disadari atau tidak, dalam proses pemanfaatan sumber daya itu sendiri akan menghasilkan sampah, dan sampah tersebut akan menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan. Meningkatnya jumlah penduduk dalam suatu wilayah, secara otomatis akan meningkat pula sampah yang dihasilkan dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Sampah yang dihasilkan biasanya akan dibuang ke tong sampah, bak sampah/tempat Pembuangan Sementara (TPS) untuk selanjutnya akan diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebagai terminal akhir penampungan dan pengolahan sampah. Penentuan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) itu sendiri harus memenuhi syarat kesehatan. Menurut Anonim (1999), sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Perkiraan-perkiraan dampak penting suatu lokasi TPA yang berpengaruh kepada masyarakat saat operasi maupun sesudah beroperasi harus sudah dapat diduga sebelumnya. Pendugaan dampak ini, diantaranya berkaitan dengan penerapan kriteria pemilihan lokasi TPA sampah. Kriteria pemilihan lokasi TPA sampah di Indonesia telah diatur dalam Keputusan Direktorat Jenderal Cipta Karya No: 07/KPTS/CK/1999.

14 2 TPA Bukit Pinang adalah salah satu TPA di Kota Samarinda yang selalu dipermasalahkan keberadaannya oleh masyarakat maupun pemerhati lingkungan. Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memahami bagaimana cara memilih lokasi TPA berdasarkan konsep tata ruang dan memberikan informasi mengenai konsep tata ruang TPA sesuai standar kepada pemerintah daerah. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa TPA Bukit Pinang tidak layak lagi digunakan. Hal ini dikarenakan letak permukiman yang semakin dekat dengan TPA (kurang dari 3 km), pencemaran udara akibat pembakaran sampah, tidak ada zona penyangga (zona hijau) dan kondisi drainase yang tidak terawat dapat menyebabkan pencemaran tanah.

15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kota Samarinda 1. Sejarah Kota Samarinda Kota Samarinda dahulunya adalah salah satu wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Wilayah tersebut belum ada sebuah desa pun berdiri. Pertengahan abad ke-17, wilayah Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Lahan persawahan dan perladangan itu umumnya dipusatkan di sepanjang tepi sungai karang mumus dan sungai karang asam. Tahun 1668, rombongan orang-orang Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado) hijrah dari tanah Kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai. Mereka hijrah ke luar pulau hingga ke Kesultanan Kutai karena mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap perjanjian bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserang oleh pasukan Belanda. Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai. Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Sesuai dengan perjanjian, bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh. Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara karang mumus (daerah selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai.

16 4 Tahun 1668, sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Filipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya. Rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan Samarendah atau lama-kelamaan ejaan Samarinda. Istilah atau nama itu memang sesuai dengan keadaan lahan atau lokasi yang terdiri atas dataran rendah dan daerah persawahan yang subur (Ars et al., 1986). 2. Pembagian Administrasi Kota Samarinda Menurut Anonim (2013b), Kota Samarinda dibentuk dan didirikan pada tanggal 21 Januari 1960, berdasarkan UU Darurat No. 3 Tahun 1953, Lembaran Negara No. 97 Tahun 1953 tentang Pembentukan daerah-daerah Tingkat II Kabupaten/kotamadya di Kalimantan Timur.

17 5 Semula Kotamadya Dati II Samarinda terbagi dalam 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda Ilir dan Samarinda Seberang. Kemudian dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Kalimantan Timur No. 18/SK/TH-Pem/1969 dan SK No. 55/TH-Pem/SK/1969, terhitung sejak tanggal 1 maret 1969, wilayah administratif Kotamadya Dati II Samarinda ditambah dengan 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Palaran, Sanga-Sanga, Muara Jawa dan Samboja (luas sekitar km²). Saat ini pembagian kecamatan di Samarinda tidak termasuk Sanga-Sanga, Muara Jawa dan Samboja, ketiganya masuk dal am Kabupaten Kutai Kartanegara. Setelah PP No. 38 Tahun 1996 terbit, wilayah administrasi Kodya Dati II Samarinda mengalami pemekaran, semula terdiri dari 4 kecamatan menjadi 6 kecamatan, yaitu: a. Kecamatan Sungai Kunjang b. Kecamatan Samarinda Ulu e. Kecamatan Samarinda Seberang f. Kecamatan Palaran c. Kecamatan Samarinda Utara d. Kecamatan Samarinda Ilir Pemekaran kecamatan kembali dilakukan seiring dengan pertumbuhan penduduk yang cukup pesat dan pelayanan masyarakat yang semakin meningkat. Kecamatan-kecamatan di Samarinda yang semula berjumlah 6, kini dimekarkan menjadi 10 kecamatan. 4 kecamatan hasil pemekaran tersebut antara lain : a. Kecamatan Samarinda Kota b. Kecamatan Loa Janan Ilir c. Kecamatan Sambutan d. Kecamatan Sungai Pinang

18 6 B. Tempat Pembuangan Akhir Bukit Pinang Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bukit Pinang adalah tempat pembuangan akhir sampah Kota Samarinda yang terletak di Kecamatan samarinda Ulu Kelurahan Bukit Pinang dengan jarak 5 km dari pusat kota. Lokasi TPA seluas 10 hektar berupa jurang dengan kedalaman m, TPA Bukit Pinang menjadi salah satu tempat dimana seluruh sisa atau buangan dari kegiatan masyarakat samarinda. TPA Bukit Pinang didirikan dengan pertimbangan untuk digunakan menampung jumlah sampah kota yang terus bertambah dari tahun ke tahun. Hingga sekarang TPA Bukit Pinang masih menggunakan metoda open dumping, dimana sampah dibongkar dari truk dan ditimbun di bibir jurang. Masalah sampah merupakan masalah utama di setiap kota di Ind onesia, termasuk Kota Samarinda. Sampah perkotaan merupakan salah satu persoalan rumit yang dihadapi pengelola kota dalam menyediakan sarana dan prasarana perkotaan. Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi disertai kemajuan tingkat perekonomian, maka akan sangat mempengaruhi peningkatan jumlah timbunan sampah pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sehingga apabila tidak dikelola dengan baik akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan mencemari lingkungan, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat. Penimbunan sampah didalam Tempat Pembuangan Akhir (TPA) akan mengalami proses penguraian kimia dan biokimia. Ketika air hujan dan air permukaan meresap kedalam timbunan sampah, maka akan menghasilkan cairan rembesan dengan kandungan polutan dan kebutuhan oksigen yang sangat tinggi yang disebut dengan leachate (Kahar, 2012).

19 7 C. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) 1. Pengertian TPA Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan, pemindahan/pengangk utan, pengolahan dan pembuangan. TPA merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya. Karenanya diperlukan penyediaan fasilitas dan perlakuan yang benar agar keamanan tersebut dapat dicapai dengan baik. Selama ini masih banyak persepsi keliru tentang TPA yang lebih sering dianggap hanya merupakan tempat pembuangan sampah. Hal ini menyebabkan banyak Pemerintah Daerah masih merasa sayang untuk mengalokasikan pendanaan bagi penyediaan fasilitas di TPA yang dirasakan kurang prioritas dibanding dengan pembangunan sektor lainnya. Sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) masih mengalami proses penguraian secara alamiah dengan jangka waktu panjang. Beberapa jenis sampah dapat terurai secara cepat, sementara yang lain lebih lambat, bahkan ada beberapa jenis sampah yang tidak berubah sampai puluhan tahun, misalnya plastik. Hal ini memberikan gambaran bahwa setelah TPA selesai digunakan masih ada proses yang berlangsung dan menghasilkan beberapa zat yang dapat mengganggu lingkungan. Karenanya masih diperlukan pengawasan terhadap TPA yang telah ditutup (Anonim, 2008).

20 8 2. Persyaratan Lokasi TPA Menurut Anonim (2005a) penentuan lokasi TPA harus memperhatikan beberapa hal, seperti dibawah ini sesuai dengan keputusan Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Permukiman Departemen Kesehatan No. 281 tahun 1989 tentang persyaratan kesehatan pengelolaan sampah yaitu : a. Pengelolaan sampah yang baik dan memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu upaya untuk mendapat derajat kesehatan yang mendasar. b. Masyarakat perlu dilindungi dari kemungkinan gangguan kesehatan akibat pengelolaan sampah sejak awal hingga Tempat Pembuangan Akhir. Dalam lampiran keputusan Dirjen tersebut dijelaskan pula persyaratan kesehatan pengelolaan sampah untuk pembuangan akhir sampah yang dinyatakan antara lain : a. Lokasi TPA harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : 1) Tidak merupakan sumber bau, asap, debu, bising, lalat, binatang pengerat bagi permukiman terdekat (minimal 3 km). 2) Tidak merupakan pencemar bagi sumber air baku untuk minum dan jarak sedikitnya 200 meter dan perlu memperhatikan struktur geologi setempat. 3) Tidak terletak pada daerah banjir. 4) Tidak terletak pada daerah yang permukaan airnya tinggi. 5) Memperhatikan estetika. b. Pengelolaan sampah di TPA harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : 1) Diupayakan agar lalat, nyamuk, tikus, kecoa, tidak berkembang biak dan tidak menimbulkan bau. 2) Memiliki drainase yang baik dan lancar.

21 9 3) Leachate harus diamankan sehingga tidak menimbulkan masalah pencemaran. 4) TPA yang digunakan untuk membuang bahan beracun dan berbahaya, lokasinya harus diberi tanda khusus dan tercatat di kantor Pemda. 5) Dalam hal tertentu jika populasi lalat melebihi 20 ekor per blok atau tikus terlihat pada siang hari atau nyamuk aedes, maka harus dilakukan pemberantasan dan cara pengelolaan sampah. 3. Metoda Pembuangan Sampah di TPA Menurut Anonim (2005a), Pembuangan sampah mengenal beberapa metoda dalam pelaksanaannya yaitu : a. Open Dumping Open dumping atau pembuangan terbuka merupakan cara pembuangan sederhana dimana sampah hanya dihamparkan pada suatu lokasi dibiarkan terbuka tanpa pengamanan dan ditinggalkan setelah lokasi tersebut penuh. Masih ada Pemda yang menerapkan cara ini karena alasan keterbatasan sumber daya (manusia, dana, dll). Cara ini tidak direkomendasikan lagi mengingat banyaknya potensi pencemaran lingkungan yang dapat ditimbulkannya seperti : 1) Perkembangan vektor penyakit seperti lalat, tikus, dll. 2) Polusi udara oleh bau dan gas yang dihasilkan. 3) Polusi air akibat banyaknya lindi (cairan sampah) yang timbul. 4) Estetika lingkungan yang buruk karena pemandangan yang kotor. b. Control Landfill Metoda ini merupakan peningkatan dari open dumping dimana secara periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk

22 10 mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam operasionalnya juga dilakukan perataan dan pemadatan sampah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukaan TPA. Untuk Indonesia, metode control landfill dianjurkan untuk diterapkan di kota sedang dan kecil. Untuk dapat melaksanakan metoda ini diperlukan penyediaan beberapa fasilitas diantaranya : 1) Saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan. 2) Saluran pengumpul lindi dan kolam penampungan. 3) Pos pengendalian operasional. 4) Fasilitas pengendalian gas metan. 5) Alat berat. c. Sanitary Landfill Metoda ini merupakan metoda standar yang dipakai secara internasional dimana penutupan sampah dilakukan setiap hari sehingga potensi gangguan yang timbul dapat diminimalkan. Namun demikian diperlukan penyediaan prasarana dan sarana yang cukup mahal bagi penerapan metode ini sehingga sampai saat ini baru dianjurkan untuk kota besar dan metropolitan. 4. Jenis dan Hal-hal yang Berkaitan dengan Fungsi Fasilitas TPA Menurut Anonim (2005a) untuk dapat dioperasikan dengan baik maka TPA perlu dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang meliputi : a. Prasarana Jalan Prasarana dasar ini sangat menentukan keberhasilan pengoperasian TPA. Semakin baik kondisi jalan ke TPA akan semakin lancar kegiatan pengangkutan sehingga efisiensi keduanya menjadi tinggi. Konstruksi jalan

23 11 TPA cukup beragam disesuaikan dengan kondisi setempat sehingga dikenal jalan TPA dengan konstruksi : 1) Hotmix 2) Beton 3) Aspal 4) Perkerasan sirtu 5) Kayu Dalam hal ini TPA perlu dilengkapi dengan : 1) Jalan masuk/akses yang menghubungkan TPA dengan jalan umum yang telah tersedia. 2) Jalan penghubung yang menghubungkan antara satu bagian dengan bagian lain dalam wilayah TPA. 3) Jalan operasi/kerja yang diperlukan oleh kendaraan pengangkut menuju titik pembongkaran sampah. 4) Pada TPA dengan luas dan kapasitas pembuangan yang terbatas biasanya jalan penghubung dapat juga berfungsi sekaligus sebagai jalan kerja/operasi. b. Prasarana Drainase Drainase di TPA berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air hujan dengan tujuan untuk memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah. Seperti diketahui, air hujan merupakan faktor utama terhadap debit lindi yang dihasilkan. Semakin kecil rembesan air hujan yang masuk ke timbunan sampah akan semakin kecil pula debit lindi yang dihasilkan yang pada gilirannya akan memperkecil kebutuhan unit pengolahannya. Secara teknis drainase TPA dimaksudkan untuk menahan aliran limpasan air hujan dari luar TPA agar tidak masuk ke dalam area

24 12 timbunan sampah. Drainase penahan ini umumnya dibangun di sekeliling blok atau zona penimbunan. Selain itu, untuk lahan yang telah ditutup tanah, drainase TPA juga dapat berfungsi sebagai penangkap aliran limpasan air hujan yang jatuh di atas timbunan sampah tersebut. Untuk itu permukaan tanah penutup harus dijaga kemiringannya mengarah pada saluran drainase. c. Fasilitas Penerimaan Fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai tempat pemeriksaan sampah yang datang, pencatatan data, dan pengaturan kedatangan truk sampah. Pada umumnya fasilitas ini dibangun berupa pos pengendali di pintu masuk TPA. Pada TPA besar dimana kapasitas pembuangan telah melampaui 50 ton/hari maka dianjurkan penggunaan jembatan timbang untuk efisiensi dan ketepatan pendataan. Sementara TPA kecil bahkan dapat memanfaatkan pos tersebut sekaligus sebagai kantor TPA sederhana dimana kegiatan administrasi ringan dapat dijalankan. d. Lapisan Kedap Air Lapisan kedap air berfungsi untuk mencegah rembesan air lindi yang terbentuk di dasar TPA ke dalam lapisan tanah di bawahnya. Untuk itu lapisan ini harus dibentuk di seluruh permukaan dalam TPA baik dasar maupun dinding. Bila tersedia di tempat, tanah lempung setebal 50 cm merupakan alternatif yang baik sebagai lapisan kedap air. Namun bila tidak dimungkinkan, dapat diganti dengan lapisan sintetis lainnya dengan konsekuensi biaya yang relatif tinggi. e. Fasilitas Pengamanan Gas Gas yang terbentuk di TPA umumnya berupa gas karbon dioksida dan metan dengan komposisi hampir sama, disamping gas -gas lain yang sangat sedikit jumlahnya. Kedua gas tersebut memiliki potensi besar dalam proses pemanasan

25 13 global terutama gas metan; karenanya perlu dilakukan pengendalian agar gas tersebut tidak dibiarkan lepas bebas ke atmosfer. Untuk itu perlu dipasang pipapipa ventilasi agar gas dapat keluar dari timbunan sampah pada titik-titik tertentu. Untuk ini perlu diperhatikan kualitas dan kondisi tanah penut up TPA. Tanah penutup yang poros atau banyak memiliki rekahan akan menyebabkan gas lebih mudah lepas ke udara bebas. Pengolahan gas metan dengan cara pembakaran sederhana dapat menurunkan potensinya dalam pemanasan global. f. Fasilitas Pengamanan Lindi Lindi merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang melarutkan banyak sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan pencemar khususnya zat organik sangat tinggi. Lindi sangat berpotensi menyebabkan pencemaran air baik air tanah maupun permukaan sehingga perlu ditangani dengan baik. Tahap pertama pengamanan adalah dengan membuat fasilitas pengumpul lindi yang dapat terbuat dari: perpipaan berlubang-lubang, saluran pengumpul maupun pengaturan kemiringan dasar TPA, sehingga lindi secara otomatis begitu mencapai dasar TPA akan bergerak sesuai kemiringan yang ada mengarah pada titik pengumpulan yang disediakan. Tempat pengumpulan lindi umumnya berupa kolam penampung yang ukurannya dihitung berdasarkan debit lindi dan kemampuan unit pengolahannya. Aliran lindi ke dan dari kolam pengumpul secara gravitasi sangat menguntungkan, namun bila topografi TPA tidak memungkinkan, dapat dilakukan dengan cara pemompaan. g. Alat Berat Alat berat yang sering digunakan di TPA umumnya berupa: bulldozer, excavator dan loader. Setiap jenis peralatan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dalam operasionalnya. Bulldozer sangat efisien dalam operasi perataan

26 14 dan pemadatan tetapi kurang dalam kemampuan penggalian. Excavator sangat efisien dalam operasi penggalian tetapi kurang dalam perataan sampah. Sementara loader sangat efisien dalam pemindahan baik tanah maupun sampah tetapi kurang dalam kemampuan pemadatan. Untuk TPA kecil disarankan dapat memiliki bulldozer atau excavator, sementara TPA yang besar umumnya memiliki ketiga jenis alat berat tersebut. h. Penghijauan Penghijauan lahan TPA diperlukan untuk beberapa maksud diantaranya adalah peningkatan estetika lingkungan, sebagai buffer zone untuk pencegahan bau dan lalat yang berlebihan. Untuk itu perencancaan daerah penghijauan ini perlu mempertimbangkan letak dan jarak kegiat an masyarakat di sekitarnya (permukiman, jalan raya, dll). i. Fasilitas Penunjang Beberapa fasilitas penunjang masih diperlukan untuk membantu pengoperasian TPA yang baik diantaranya pemadam kebakaran, mesin pengasap (mist blower), kesehatan/keselamatan kerja, toilet, dan lain lain. 5. Tahapan Operasi Pembuangan Kegiatan operasi pembuangan sampah secara berurutan akan meliputi : 1) Penerimaan sampah di pos pengendalian dimana sampah diperiksa, dicatat dan diberi informasi mengenai lokasi pembongkaran. 2) Pengangkutan sampah dari pos penerimaan ke lokasi sel yang dioperasikan, dilakukan sesuai rute yang diperintahkan. 3) Pembongkaran sampah dilakukan di titik bongkar yang telah ditentukan dengan manuver kendaraan sesuai petunjuk pengawas.

27 15 4) Perataan sampah oleh alat berat yang dilakukan lapis demi lapis agar tercapai kepadatan optimum yang diinginkan. Proses pemadatan yang baik dapat diharapkan kepadatan sampah meningkat hampir dua kali lipat. 5) Pemadatan sampah oleh alat berat untuk mendapatkan timbunan sampah yang cukup padat sehingga stabilitas permukaannya dapat diharapkan untuk menyangga lapisan berikutnya. 6) Penutupan sampah dengan tanah untuk mendapatkan kondisi operasi control atau sanitary landfill. 6. Pengaturan Lahan Seringkali TPA tidak diatur dengan baik. Pembongkaran sampah terjadi di sembarang tempat dalam lahan TPA sehingga menimbulkan kesan yang tidak baik, disamping sulit dan tidak efisiennya pelaksanaan pekerjaan perataan, pemadatan dan penutupan sampah tersebut (Anonim, 2005a). Agar lahan TPA dapat dimanfaatkan secara efisien, maka perlu dilakukan pengaturan yang baik yang mencakup : a. Pengaturan Sel Sel merupakan bagian dari TPA yang digunakan untuk menampung sampah satu periode operasi terpendek sebelum ditutup dengan tanah. Pada sistem sanitary landfill, periode operasi terpendek adalah harian yang berarti bahwa satu sel adalah bagian dari lahan yang digunakan untuk menampung sampah selama satu hari. Sementara untuk control landfill satu sel adalah untuk menampung sampah selama 3 hari, atau 1 minggu, atau operasi terpendek yang dimungkinkan. Dianjurkan periode operasi adalah 3 hari berdasarkan pertimbangan waktu penetasan telur lalat yang rata-rata mencapai 5 hari dan asumsi bahwa sampah telah berumur 2 hari saat ada di TPS sehingga sebelum menetas perlu ditutup

28 16 tanah agar telur/larva muda segera mati. Pengaturan sel perlu diperhatikan beberapa faktor: 1) Lebar sel sebaiknya berkisar antara 1,5-3 lebar blade alat berat agar manuver alat berat dapat lebih efisien. 2) Ketebalan sel sebaiknya antara 2-3 meter. Ketebalan terlalu besar akan menurunkan stabilitas permukaan, sementara terlalu tipis akan menyebabkan pemborosan tanah penutup. 3) Panjang sel dihitung berdasarkan volume sampah padat dibagi dengan lebar dan tebal sel. Sebagai contoh, bila volume sampah padat adalah 150 m3/hari, tebal sel direncanakan 2 m, lebar sel direncanakan 3 m, maka panjang sel adalah 150/(3x2) = 25 m. 4) Batas sel harus dibuat jelas dengan pemasangan patok-patok dan tali agar operasi penimbunan sampah dapat berjalan dengan lancar. b. Pengaturan Blok Blok operasi merupakan bagian dari lahan TPA yang digunakan untuk penimbunan sampah selama periode operasi menengah misalnya 1 atau 2 bulan. Karenanya luas blok akan sama dengan luas sel dikalikan perbandingan periode operasi menengah dan pendek. Sebagai contoh bila sel harian berukuran lebar 3 m dan panjang 25 m, maka blok operasi bulanan akan menjadi 30 x 75 m 2 = m 2. c. Pengaturan Zona Zona operasi merupakan bagian dari lahan TPA yang digunakan untuk jangka waktu panjang misal 1 3 tahun, sehingga luas zona operasi akan sama dengan luas blok operasi dikalikan dengan perbandingan periode operasi panjang dan

29 17 menengah. Sebagai contoh bila blok operasi bulanan memiliki luas m 2 maka zona operasi tahunan akan menjadi 12 x = 2,7 ha. 7. Pembongkaran Sampah Letak titik pembongkaran harus diatur dan diinformasikan secara jelas kepada pengemudi truk agar mereka membuang pada titik yang benar sehingga proses berikutnya dapat dilaksanakan dengan efisien. Titik bongkar umumnya diletakkan di tepi sel yang sedang dioperasikan dan berdekatan dengan jalan kerja sehingga kendaraan truk dapat dengan mudah mencapainya. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa titik bongkar yang ideal sulit dicapai pada saat hari hujan akibat licinnya jalan kerja (Anonim, 2005a). Hal ini perlu diantisipasi oleh penanggung jawab TPA agar tidak terjadi. Jumlah titik bongkar pada setiap sel ditentukan oleh beberapa faktor : 1) Lebar sel. 2) Waktu bongkar rata-rata. 3) Frekuensi kedatangan truk pada jam puncak. Harus diupayakan agar setiap kendaraan yang datang dapat segera mencapai titik bongkar dan melakukan pembongkaran sampah agar efisiensi kendaraan dapat dicapai. 8. Perataan dan Pemadatan Sampah Menurut Anonim (2005a) perataan dan pemadatan sampah dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi pemanfaatan lahan yang efisien dan stabilitas permukaan TPA yang baik. Kepadatan sampah yang tinggi di TPA akan memerlukan volume lebih kecil sehingga daya tampung TPA bertambah, sementara permukaan yang stabil akan sangat mendukung penimbunan lapisan

30 18 berikutnya. Pekerjaan perataan dan pemadatan sampah sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan efisiensi operasi alat berat : 1) Pada TPA dengan intensitas kedatangan truk yang tinggi, perataan dan pemadatan perlu segera dilakukan setelah sampah dibongkar. Penundaan pekerjaan ini akan menyebabkan sampah menggunung sehingga pekerjaan perataannya akan kurang efisien dilakukan. 2) Pada TPA dengan frekuensi kedatangan truk yang rendah maka perataan dan pemadatan sampah dapat dilakukan secara periodik, misalnya pagi dan siang. 3) Perataan dan pemadatan sampah perlu dilakukan dengan memperhatikan kriteria pemadatan yang baik. 4) Perataan dilakukan selapis demi selapis. 5) Setiap lapis diratakan sampah setebal 20 cm - 60 cm dengan cara mengatur ketinggian blade alat berat. 6) Pemadatan sampah yang telah rata dilakukan dengan menggilas sampah tersebut 3-5 kali. 7) Perataan dan pemadatan dilakukan sampai ketebalan sampah mencapai ketebalan rencana. 9. Penutupan Tanah (Pengurugan Sampah) Penutupan TPA dengan tanah mempunyai fungsi maksud sebagai berikut : 1) Untuk memotong siklus hidup lalat, khususnya dari telur menjadi lalat. 2) Mencegah perkembangbiakan tikus. 3) Mengurangi bau. 4) Mengisolasi sampah dan gas yang ada. 5) Menambah kestabilan permukaan.

31 19 6) Meningkatkan estetika lingkungan. 7) Frekuensi penutupan sampah dengan tanah disesuaikan dengan metode/teknologi yang diterapkan. Penutupan sel sampah pada sistem sanitary landfill dilakukan setiap hari, sementara pada control landfill dianjurkan 3 kali sehari. 10. Pengelolaan Sampah di Negara Maju Pada umumnya suatu negara memiliki maalah dengan pengelolaan sampah, namun tidak halnya dengan negara Swedia, negara ini mengimpor sampah dari negara tetangganya. Swedia kini mulai mengimpor 800 ribu ton sampah per tahun dari Norwegia. Bahkan Swedia memperoleh tambahan pendapatan, karena negara yang ekspor sampah harus membayar sejumlah uang untuk dapat mengirimkan sampahnya. Tidak semua sampah bias di ekspor, misalkan sampah beracun dan berbahaya. Sampah-sampah tersebuat nantinya akan diubah menjadi energi (waste to energy atau WTE). Program WTE sudah mampu mengolah 2 juta ton sampah menjadi energi panas yang dialirkan kepada 810 ribu rumah penduduk dan energi listrik ke 250 rumah penduduk. Swedia memiliki penanganan sampah yang efektif, hanya sekitar 4% saja yang dibuang ke landfill atau TPA. Sampah organik misalnya sampah dapur, dedaunan atau kotoran hewan diolah secara biologi menjadi pupuk kompos atau menjadi biogas. Untuk kertas bekas atau plastik yang recyclable akan diaur ulang, sedangkan yang sudah tidak bias didaur ulang (non recyclable) akan dibakar di incinerator. Incinerator akan menghasilkan panas yang kemudian disalurkan melalui pipa ke wilayah perumahan atau gedung komersil. Sistem pembakaran sampah dengan incinerator ini sudah ada sejak tahuhn 1904.

32 20 Pemerintah Swedia juga menerapkan beberapa kebijakan yang dinilai dapat mengurangi produksi sampah, diantaranya adalah produsen harus bertanggung jawab penuh terhadap sampah yang dihasilkannya, terutama perusahaan pengemasan, koran atau percetakan, produsen ban, mobil, alat-alat listrik dan elektronik. Kebijakan lain adalah tingginya pajak TPA (landfill tax), hal ini bertujuan agar pembuangan sampah di TPA dapat berkurang. Sampah yang terlalu banyak bertumpuk di suatu area atau lahan tertentu, akan dapat mengurangi kualitas tanah, air dan udara di daerah tersebut (Setiana, 2013). D. Tata Ruang 1. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Menurut Anonim (2009) Rencana Tata Ruang Wilayah dapat menjadi fungsi koordinasi dan pengendalian dengan munculnya pemahaman bersama mengenai orientasi dan paradigma pembangunan perkotaan masa depan, dan dalam upaya mengurangi fragmentasi sektoral dan fungsional. Penataan ruang ditujukan untuk menyerasikan peraturan penataan ruang dengan peraturan lain yang terkait, harmonisasi pembangunan antar wilayah, mengendalikan pemanfaatan ruang yang efektif, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan mewujudkan sistem kelembagaan penataan ruang. Penataan ruang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan pembangunan demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan yaitu dalam bentuk memberikan kontribusi yang nyata dalam pengembangan wilayah dan kota yang berkelanjutan. Sehingga keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dapat tercapai. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia

33 21 dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memellihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tat a ruang,pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tata ruang atau dalam bahasa Inggrisnya Land use adalah wujud struktur ruang dan pola ruang disusun secara nasional, regional dan lokal. Secara nasional disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK). Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana. Berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Perencanaan tata ruang merupakan metode-metode yang digunakan oleh sektor publik untuk mengatur penyebaran penduduk dan aktivitas dalam ruang yang skalanya bervariasi. Perencanaan tata ruang terdiri dari semua tingkat penatagunaan tanah, termasuk perencanaan kota, perencanaan regional, perencanaan lingkungan, rencana tata ruang nasional, sampai tingkat internasional seperti Uni Eropa. Salah satu definisi awal perencanaan tata ruang diambil dari European Regional/Spatial Planning Charter (disebut juga Torremolinos Charter), yang diadopsi pada tahun 1983 oleh Konferensi Menteri Eropa yang bertanggung jawab atas Regional Planning (CEMAT), yang berbunyi : "Perencanaan tata ruang

34 22 memberikan ekspresi geografis terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi, sosial, budaya, dan ekologis. Perencanaan tata ruang juga merupakan sebuah ilmu ilmiah, teknik administrasi, dan kebijakan, yang dikembangkan sebagai pendekatan lengkap dan antar-ilmu, yang diarahkan kepada pengembangan regional dan organisasi fisik terhadap sebuah strategi utama ". Menurut Diwiryo (1980) konsep pola dan struktur ruang yang bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang. Konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, misal antara KTI dan KBI, antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad milenium bahkan mengarahkan konsep pengembangan wilayah sebagai alat untuk mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. RTRW merupakan rencana tata ruang yang bersifat umum yang berisi tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang wilayah, rencana struktur ruang, rencana pola ruang, penetapan kawasan strategis, arahan pemanfaatan ruang, dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah baik tingkat nasional (RTRWN), provinsi (RTRWP) maupun RTRW kab/kota. Tujuan RTRW merupakan arahan perwujudan visi dan misi pembangunan jangka panjang pada aspek keruangan, yang pada dasarnya mendukung terwujudnya ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. RTRW menjadi dasar dalam memberikan rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang. Adapun fungsi dari RTRW itu sendiri diantaranya : 1. Acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

35 23 2. Acuan dalam pemanfaatan ruang/pengembangan wilayah. 3. Acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam wilayah. 4. Acuan lokasi investasi dalam wilayah yang dilakukan pemerintah, masyarakat, dan swasta. 5. Pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang di wilayah. 6. Dasar pengendalian pemanfaatan ruang dalam penataan/pengembangan wilayah yang meliputi penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. 7. Acuan dalam administrasi pertanahan. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah suatu negara yang dijadikan acuan untuk perencanaan jangka panjang. Fungsi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan : 1) Pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional. 2) Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional. 3) Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional. 4) Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah provinsi, serta keserasian antar sektor. 5) Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi. 6) Penataan ruang kawasan strategis nasional. 7) Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. RTRW Propinsi disusun berdasarkan perkiraan kecenderungan dan arahan perkembangan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa depan sesuai

36 24 dengan jangka waktu perencanaannya. Sedangkan penyusunan RTRW Kabupaten dilakukan dengan berazaskan kaidah-kaidah perencanaan seperti keselarasan, keserasian, keterpaduan, kelestarian, keberlanjutan serta keterkaitan antar wilayah baik di dalam propinsi maupun dengan propinsi sekitarnya. Menurut Diwiryo (1980), Tujuan dari perencanaan tata ruang wilayah propinsi adalah mewujudkan ruang wilayah propinsi yang mengakomodasikan keterkaitan antar kawasan/kabupaten/kota untuk mewujudkan perekonomian dan lingkungan yang berkesinambungan. Sedangkan sasaran dari perencanaan tata ruang wilayah kabupaten adalah: 1) Terkendalinya pembangunan di wilayah propinsi baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. 2) Terciptanya keserasian antara kawasan lindung dan kawasan budidaya. 3) Tersusunnya arahan pengembangan sistem pusat-pusat pemukiman perkotaan dan perdesaan. 4) Tersusunnya arahan pengembangan sistem prasarana wilayah propinsi. 5) Terkoordinasinya pembangunan antar wilayah dan antar sektor pembangunan. Fungsi dari RTRW Propinsi adalah : 1) Sebagai matra keruangan dari pembangunan daerah. 2) Sebagai dasar kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah propinsi. 3) Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkembangan antar wilayah propinsi dan antar kawasan/kabupaten/kota serta keserasian antar sektor.

37 25 4) Sebagai salah satu bentuk rumusan kesepakatan antara pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota tentang struktur dan pola ruang wilayah. 5) Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang. Sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang, RTRW Kabupaten berisi tentang : 1) Tujuan penataan ruang kabupaten, kebijakan dan strategi pengembangan wilayah kabupaten. 2) Rencana struktur ruang kabupaten yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten. 3) Rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten dan kawasan budi daya kabupaten. 4) Penetapan kawasan strategis kabupaten. 5) Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan. 6) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. Rencana pola ruang wilayah kota yang meliputi kawasan lindung da n kawasan budi daya termasuk : 1) Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau. 2) Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka non hijau; dan 3) Rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang

38 26 evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah; 4) Penetapan kawasan strategis kota. 5) Arahan pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan. 6) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. 2. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pada pasal 26 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyatakan bahwa ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota berisikan Ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif; serta arahan sanksi (Anonim, 2009). Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota berfungsi : 1) Sebagai alat pengendali pengembangan kota. 2) Menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang. 3) Menjamin agar pembangunan baru tidak mengganggu pemanfaatan ruang yang telah sesuai dengan rencana tata ruang. 4) Meminimalkan pengunaan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. 5) Mencegah dampak pembangunan yang merugikan dan melindungi kepentingan umum.

39 27 3. Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Menurut Anonim (2009) ketentuan umum peraturan zonasi kota adalah penjabaran secara umum ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya. Ketentuan umum peraturan zonasi kota berfungsi sebagai dasar pemberian izin pemanfaatan ruang dan dasar pelaksanaan pengawasan pemanfaatan ruang. Peraturan zonasi (Zoning Regulation) merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukkan sesuai dengan rencana tata ruang. Peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas ketentuan tentang amplop ruang (koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan bangunan), penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Dalam kaitannya dengan penyusunan rencana yang lebih rinci, ketentuan umum peraturan zonasi merupakan jembatan untuk menjabarkan fungsi ruang (kawasan) di dalam RTRW kota kedalam fungsi blok (zona) didalam rencana detail tata ruang kota maupun rencana rinci kawasan strategis kota. Dengan demikian maka ketentuan umum peraturan zonasi ini meliputi : 1) Ketentuan umum penjabaran fungsi kawasan ke dalam zona (fungsi blok), tujuan pengembangan blok dan arahan kegiatan yang dilarang untuk dikembangkan. 2) Ketentuan umum intensitas ruang.

40 28 4. Ketentuan Umum Penjabaran Fungsi Kawasan Kedalam Zona Menurut Anonim (2009) dalam pengaturan zona terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan antara lain upaya untuk penyebaran kepadatan ruang, kebutuhan pengembangan ruang kota. Dengan demikian maka indikasi zona antara lain : 1) Zona perumahan (meliputi rumah deret, rumah tunggal, rumah susun). 2) Zona pemerintahan (meliputi perkantoran pemerintah dan perkantoran swasta). 3) Zona perdagangan dan jasa (meliputi zona perdagangan dan jasa tunggal serta deret). 4) Zona sarana umum (meliputi fasilitas pendidikan, fasilitas peribadatan, fasilitas olahraga dan rekreasi, fasilitas sosial budaya, fasilitas transportasi). 5) Zona industri dan pergudangan (meliputi industri kecil, industri sedang dan industri besar, pergudangan terbuka dan pergudangan tertutup). 6) Zona ruang terbuka hijau dan non hijau (meliputi tempat pemakaman umum, ruang terbuka hijau taman kota dan taman lingkungan). 7) Zona khusus (meliputi zona militer, zona instalasi utilitas kota). Agar dapat dicapai tujuan pengembangan zona dalam setiap kawasan, maka diperlukan arahan kegiatan didalam zona yang mengindikasikan jenis dan intensitas kegiatan pengisi ruang yang diizinkan dan tidak diizinkan serta diizinkan dengan pembatasan dan persyaratan tertentu. Jenis dan intensitas kegiatan in secara rinci akan diatur lebih lanjut didalam perturan zonasi. Arahan pengembangan zona didalam setiap kawasan di tuangkan didalam matrik

41 29 arahan zona dan tujuan pengembangan zona serta indikasi kegiatan yang diizinkan, dianjurkan dan dilarang. E. Global Positioning System (GPS) 1. Pengertian GPS Menurut Abidin (1995), GPS adalah sistem navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit yang dikembangkan dan dikelola oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. GPS dapat memberikan informasi tentang posisi, kecepatan dan waktu di mana saja di muka bumi setiap saat, dengan ketelitian penentuan posisi dalam milimeter sampai dengan meter. Kemampuan jangkauannya mencakup seluruh dunia dan dapat digunakan banyak orang se tiap saat pada waktu yang sama. 2. Manfaat GPS Pemanfaatan teknologi GPS dapat dibagi menjadi dua bagian: a. Keperluan Militer dan Pertahanan Keamanan. Penggunaan GPS untuk keperluan militer antara lain digunakan sebagai alat navigasi bagi tentara saat melakukan operasi militer pada daerah yang sangat sukar untuk mendapatkan patokan arah atau posisi dimana mereka berada, contohnya pada padang pasir. GPS ini juga digunakan pada beberapa kendaraan militer seperti pada tank, mobil perang, helikopter, pesawat tempur, kapal perang dan sebagainya. b. Keperluan Masyarakat Sipil. Untuk keperluan sipil GPS digunakan untuk beberapa keperluan seperti : 1) Kegiatan Outdoor : digunakan sebagai alat navigasi untuk menunjukkan posisi dan arah dari suatu titik tempat kita berada pada muka bumi, navigasi bagi pecinta alam, saat ini pada beberapa tempat seperti di Amerika dan Eropa

42 30 digunakan juga pada kendaraan bermotor yang dapat memberi petunjuk arah dan peta jalan yang akan dilalui dan tujuan. 2) Maritim/Kelautan : untuk keperluan di bidang kelautan, GPS dipasang pada perahu motor atau kapal yang digunakan sebagai alat navigasi laut yang dapat menunjukkan arah dan posisi kapal tersebut pada muka bumi, dipakai juga untuk keperluan penangkapan ikan dengan tambahan bantuan alat sonar dan sebagainya. 3) Avionics : digunakan juga pada pesawat-pesawat komersial sebagai bagian alat navigasi udara, dan juga pada balon udara. 4) Pemetaan/ Geographics Information System (GIS) atau survei. Selain hal tersebut di atas GPS dimanfaatkan secara khusus untuk memperoleh data untuk pembuatan peta survei suatu daerah berupa contour dan juga untuk keperluan data geografi/ GIS. 3. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan GPS Dalam setiap pengguanaannya GPS memiliki juga kelebihan dan kekurangan GPS. Kelebihan dan kekurangan GPS dapat dilihat di bawah ini: a. Kelebihan GPS Berikut adalah kelebihan GPS, yaitu : 1) Penggunaannya relatif mudah 2) Informasi dapat diperoleh secara cepat 3) Informasi yang dihasilkan cukup akurat 4) Mudah dipindah pindahkan/dibawa 5) Terus berkembang sesuai kebutuhan (banyak pilihan model)

43 31 b. Kekurangan GPS Berikut adalah Kekurangan GPS, yaitu : 1) Dipengaruhi oleh cuaca dan tempat. 2) Pengambilan data harus dilakukan di tempat terbuka. 3) Tergantung dengan keberadaan satelit yang beredar. 4) Koordinat yang dihasilkan terkadang tidak pas jika diplotkan di peta. 5) Tempat penyimpanan data masih terbatas. 4. Keakuratan Perangkat GPS Berikut adalah keakuratan perangkat GPS, yaitu : 1) GPS umumnya memiliki 12 channel secara parallel. 2) Faktor atmosfir dapat mengurangi ketepatan. 3) GPS untuk penerbangan dapat mencapai keakurasian sampai dengan +/- 15 meter. 4) WAAS (Wide Area Augmentation System) dapat meningkatkan keakurasian hingga +/- 3 8 meter. 5) Tidak ada alat khusus atau biaya ekstra untuk mendapatkan signal WAAS, selama negara tersebut memasang WAAS ground koreksi satelit. 6) Sedang Differential GPS (DGPS) dapat meningkatkan keakurasian hingga +/- 3-5 meter. 7) DGPS terdiri dari alat yang menerima signal dan mentransmisikan ulang untuk mengoreksi posisi, alat ini dipakai untuk penerbangan, di Halim Airport ada 2 unit DGPS untuk meningkatkan keakurasian. 8) Untuk koreksi ini GPS kita harus memiliki differential beacon receiver and antenna, seperti pada GPS295 dimana kita dapat menyetel frequensi dari beacon tersebut.

44 32 5. Sumber Kesalahan Berikut adalah sumber kesalahan GPS, yaitu: a. Keterlambatan dari pantulan Ionosphere dan troposphere : terjadi penurunan ketepatan akibat dari keterlambatan waktu saat signal saat menembus lapisan ini, namun GPS dapat mengkoreksi dengan mengasumsikan faktor kesalahan rata rata. b. Error dari Pantulan signal : hal ini terjadi jika signal GPS berpantul melalui objek seperti bangunan atau gunung sebelum dia diterima unit kita. c. Kesalahan Waktu dari unit kita : Ketepatan waktu / jam dari unit kita tidak setepat jam Atom di GPS satelit (GPS memakai Atomic Clock). Untuk itu ada sedikit error waktu. d. Orbital errors dikenal sebagai ephemeris errors, hal ini terjadi jika ada pergeseran dari orbit / laporan dari satelit untuk posisinya. e. Jumlah satelit yang diterima: semakin banyak signal yang diterima semakin tinggi ketepatannya, bangunan, gunung, gangguan elektronik, bahkan pohon rindang dapat mengurangi ketepatan. f. Posisi relatif dari Satelit / gangguan sisi miring : hal ini terjadi jika posisi satelit terletak pada sudut yang sangat lebar atau sangat dekat atau hampir berhimpitan satu sama lain sehingga perhitungan ketepatan berkurang. 6. Teknik Pengambilan Posisi Menggunakan GPS Pengambilan posisi dengan menggunakan GPS sangat bergantung dari seberapa kuat sinyal yang dapat diterima oleh GPS. Semakin banyak dan kuat sinyal yang diterima oleh GPS maka semakin tinggi pula akurasi yang dihasilkan oleh GPS tersebut. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat

45 33 penerimaan oleh GPS, antara lain adalah kondisi cuaca. Cuaca mendung dapat menghalangi tingkat penerimaan sinyal oleh GPS. Berikut cara menggunakan GPS dalam penentuan posisi : 1) Menyalakan GPS, dengan menekan tombol, setelah itu GPS akan segera melakukan kalkulasi posisi berdasarkan penerimaan sinyal oleh satelit. Besarnya sinyal satelit yang diterima oleh GPS dapat dilihat diagram batang (bar indikator). 2) Jika GPS telah berhasil menerima sinyal dari satelit minimal 3 atau 4 buah, maka posisi GPS akan segera tampak, beserta dengan perhitungan akurasinya. Sebaiknya akurasi yang digunakan adalah dibawah 8 meter. GPS akan senantiasa melakukan kalkulasi berdasarkan tingkat penerimaan sinyal, oleh sebab itu posisi geografis yang ditunjukkan akan selalu berubah-ubah. 3) Jika nilai akurasi yang diinginkan telah dicapai, maka kita dapat melakukan penandaan posisi (marking) dengan menggunakan tombol enter. Setelah itu tampilan akan berubah ke Mark Waypoint. Waypoint merupakan istilah untuk titik (stasiun) yang posisinya kita ambil menggunakan GPS. Kita juga dapat melakukan perubahan jenis simbol, nama waypoint, serta memasukkan sedikit catatan. Pengaturan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan tombol arah dan enter. Waypoint hasil penandaan oleh GPS tersebut selain berisi posisi GPS saat itu, juga memuat informasi waktu pengambilan dan elevasi permukaan bumi. Jika pengaturan selesai dilakukan, tekan tombol OK untuk mengakhiri proses penandaan data (sekaligus menyimpan data). 4) GPS juga dapat menyimpan track, dimana track merupakan jalur yang telah dilalui oleh GPS ketika sedang on (aktif) dan menerima sinyal dari satelit. Track

46 34 akan otomatis diambil oleh GPS, dimana track tersebut berisi informasi posisi, waktu, serta ketinggian tempat. Tombol find berfungsi untuk membantu kita dalam melakukan pengecekan terhadap titik yang telah diambil sebelumnya. Caranya, tekan tombol find, kemudian pada layar akan tampil menu find, setelah itu pilih waypoint dan tekan enter. Setelah itu kita tinggal memilih titik yang ingin di cek ataupun di cari. GPS kemudian akan memberikan tampilan informasi titik tersebut. Kita juga bisa melihat posisi titik tersebut pada peta dengan memilih Map atau mengecek arahnya dari GPS dengan memilih GO TO. Selain berfungsi menentukan posisi, GPS juga memiliki beberapa fungsi tambahan, antara lain : Penerimaan Satelit, mengukur trip (perjalanan), peta, kompas, ketinggian, pasang surut, dan lain-lain. Penerimaan sinyal oleh GPS juga dapat dipengaruhi oleh halangan-halangan fisik seperti bangunan, pohon, atap rumah dan lain lain.

47 BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi 1. Waktu Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan yaitu mulai bulan Januari Juli 2016 meliputi penyusunan proposal, pengambilan data lapangan, pengolahan data di laboratorium dan penyusunan laporan. 2. Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bukit Pinang Kota Samarinda sebagai obyek yang diteliti. Data lapangan diolah di Laboratorium Geodesi, Program Studi Geoinformatika Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. B. Alat dan Bahan 1. Peralatan a. Global Positioning System (GPS) Navigasi CSx60 Garmin b. Kendaraan bermotor ( roda dua ) c. Kamera Handphone d. Perangkat Laptop e. Alat tulis 2. Bahan - Peta administrasi Kota Samarinda tahun Data retasi sampah DKP Kota Samarinda bulan april 2016

48 36 C. Prosedur Penelitian Dalam penelitian ini prosedur kerja yang dilakukan dapat dilihat pada diagram alir berikut ini : Persiapan Pengumpulan Data Data Primer Data Sekunder Overlay Data Primer dan Data Sekunder Observasi TPA Bukit Pinang Analisis peta TPA Bukit Pinang Hasil observasi TPA Bukit Pinang Selesai Gambar 1. Diagram Alir Prosedur Penelitian 1. Persiapan Penelitian Mempersiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian. Dimulai dari menentukan judul penelitian, konsultasi pembimbing, pembuatan proposal, penyusunan rencana kerja dan surat perijinan.

49 37 2. Pengambilan Data Lapangan Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder. a. Data Primer Data primer merupakan data yang diambil langsung dilapangan. Data primer yang diambil adalah letak Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bukit Pinang Kota Samarinda menggunakan alat GPS Navigasi Garmin tipe 60CSx. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh data koordinat berupa letak geografis TPA Bukit Pinang. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan informasi yang dikumpulkan dari pustaka, monografi atau wawancara. Data sekunder ini berfungsi sebagai data atribut antara lain nama dan alamat TPA Bukit Pinang di Kota Samarinda. 3. Observasi Menurut Anonim (2005b) observasi merupakan peninjauan secara cermat. Observasi dilakukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bukit Pinang Kota Samarinda sebagai objek yang akan dikaji. Tujuannya untuk mendapat informasi mengenai letak TPA Bukit Pinang dan dampak yang ditimbulkan dari TPA Bukit Pinang, guna mengetahui apakah TPA Bukit pinang sudah sesuai dengan standar konsep tata ruang.

50 38 Tabel 1. Tabel Observasi Tempat Pembuangan Akhir No Kriteria TPA Kondisi di TPA Bukit Pinang 1 Letak pemukiman terdekat (minimal 3 KM). Tidak merupakan pencemar bagi sumber air baku 2 untuk minum dan jarak sedikitnya 200 meter 3 Tidak terletak pada daerah banjir. 4 Tidak terletak pada daerah yang permukaan airnya tinggi. Memenuhi standar Ya Tidak 5 Tidak merupakan sumber bau, kecelakaan serta memperhatikan estetika. Sumber : Ketentuan Lokasi TPA dan Wawancara Kepala UPTD TPA Bukit Pinang 4. Pengolahan Data a. Pembuatan Peta Data primer yang sudah diambil dari lapangan menggunakan GPS handheld berupa data tracking dan marking. Data yang diperoleh kemudian dibawa ke laboratorium Penginderaan Jauh dan SIG Program Studi Geoinformatika Politeknik Pertanian Negeri Samarinda untuk di unduh. Berikut gambaran singkat pengolahan data lapangan : 1) Menghubungkan kabel data dari GPS ke Laptop. 2) Mengunduh data hasil pengukuran dilapangan dari GPS menggunakan software MapSource.

51 39 3) Menghapus data yang tidak diperlukan. 4) Menentukan data yang akan digunakan, kemudian disimpan dengan format.dxf. 5) Membuka aplikasi ArcMap 10.

52 40 6) Menentukan sistem koordinat. 7) Melakukan input data GPS ke dalam aplikasi ArcMap 10 dilanjutkan dengan edit atribut. 8) Melakukan Convert data menggunakan Arc Tool Box untuk melakukan edit data Tracking.

53 41 9) Melakukan input peta administrasi Kota Samarinda. 10) Membuat layout peta. 11) Melakukan Eksport peta kedalam format raster (.jpg /.pdf). b. Analisis Peta Analisis peta dilakukan secara deskriptif. Dalam analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan data Tata Ruang TPA Bukit Pinang dengan data standar TPA serta data sekunder lainnya.

54 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Bukit Pinang Berdasarkan observasi/pengamatan yang dilakukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bukit Pinang, diperoleh informasi mengenai keadaan sebenarnya di TPA. Berdasarkan informasi yang diperoleh, kemudian dibandingkan dengan standar tata ruang TPA disajikan dalam tabel 2 dibawah ini. Tabel 2. Deskripsi Observasi Tempat Pembuangan Akhir No Kriteria TPA Kondisi di TPA Bukit Pinang 1 Letak permukiman terdekat (minimal 3 km). Tidak merupakan pencemar bagi sumber air 2 baku untuk minum dan jarak sedikitnya 200 meter 3 Tidak terletak pada daerah banjir. 4 Tidak terletak pada daerah yang permukaan airnya tinggi. Memenuhi standar Ya Tidak 5 Tidak merupakan sumber bau, kecelakaan serta memperhatikan estetika. Tabel 3. Koordinat Data Lapangan No Objek Zona Koordinat (UTM) Easting (m) Northing(m) Elevation (m) 1 Lokasi TPA Bukit Pinang 50 Selatan Kolam penampungan limbah cair 50 Selatan

55 43 B. Pembahasan 1. Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Bukit Pinang Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diketahui bahwa Tempat Pembuangan Akhir Bukit Pinang terletak daerah berbukit pada ketinggian 64 meter di atas rata-rata muka laut, yang diukur menggunakan GPS Navigasi. Bagian utara TPA merupakan tempat pembuatan beton ( semenisasi jalan, bangunan). Bagian barat adalah daerah berbukit yang hijau. Sebelah timur dan selatan adalah permukiman penduduk. Menurut Anonim (2005a) penentuan lokasi TPA harus memperhatikan beberapa hal, seperti dibawah ini sesuai dengan keputusan Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Permukiman Departemen Kesehatan No. 281 tahun Dalam lampiran keputusan Dirjen tersebut dijelaskan pula persyaratan kesehatan pengelolaan sampah untuk pembuangan akhir sampah yang dinyatakan antara lain : a. Lokasi TPA harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : 1) Tidak merupakan sumber bau, asap, debu, bising, lalat, binatang pengerat bagi permukiman terdekat (minimal 3 km). 2) Tidak merupakan pencemar bagi sumber air baku untuk minum dan jarak sedikitnya 200 meter dan perlu memperhatikan struktur geologi setempat. 3) Tidak terletak pada daerah banjir. 4) Tidak terletak pada daerah yang permukaan airnya tinggi. 5) Memperhatikan estetika.

56 44 Hasil pengamatan menunjukan bahwa terdapat beberapa syarat ketentuan TPA yang tidak sesuai dengan tata ruang TPA, berikut uraiannya : 1) Letak Permukian Standar letak permukiman yang ditetapkan berdasarkan tata ruang TPA adalah minimal 3 km. Fakta kondisi dilapangan menunjukan bahwa permukiman berada sangat dekat dengan TPA Bukit Pinang. Hal ini berdasarkan observasi dilapangan dan analisis melalui peta dasar Kota Samarinda tahun 2010 yang diperoleh dari Dinas Cipta Karya Dan Tata Kota Samarinda. Didukung oleh pernyataan saat wawancara dengan pengelola TPA Bukit Pinang, Bapak Drs. H. Iswanto yang memberikan i Jl. P.Suryanata karena jauh dari permukiman dan berada pada tempat yang tinggi untuk memudahkan proses pengolahan. Namun seiring perkembangan kota, 2) Tidak Merupakan Pencemar Bagi Sumber Air Baku Untuk Minum Tempat Pembuangan Akhir Bukit Pinang memiliki pengolah limbah cair yang terletak di sisi timur TPA. Lindi atau limbah cair hasil penumpukan sampah dialirkan ke bak penampungan limbah cair melalui drainase yang ada di TPA. Pengolahan lindi merupakan upaya agar limbah cair yang dibuang tidak mencemari lingkungan. Berdasarkan pengukuran kualitas air yang pernah dilakukan di lokasi TPA Bukit Pinang pada 2012, diketahui bahwa kondisi air tanah di sekitar lokasi TPA tercemar oleh limbah cair sampah (Kahar, 2012).

57 45 3) Tidak Terletak Pada Daerah Banjir Tempat Pembuangan Akhir Bukit Pinang tidak terletak pada daerah banjir. Secara geografis TPA Bukit Pinang terletak pada ketinggian 64 meter diatas rata-rata muka laut, yang diukur menggunakan GPS Navigasi. Letak lokasi TPA cukup tinggi dibandingkan wilayah lain di Kota Samarinda. 4) Tidak Terletak Pada Daerah Dengan Muka Air Tinggi Terletak pada daerah yang cukup tinggi sehingga tidak ada genangan air yang tertahan di lokasi TPA. Sehingga meskipun hujan, tidak menggenangi timbunan sampah. 5) Tidak Merupakan Sumber Bau, Kecelakaan dan Menperhatikan Estetika Metode open dumping yang diterapkan pada TPA Bukit Pinang menyebabkan bau yang tidak sedap. Disebabkan sampah yang dibawa ke TPA dihamparkan atau ditumpuk pada lahan terbuka. Selain daripada bau yang tidak sedap, belum pernah terjadi kecelakaan di lokasi sampah. Namun bila dilihat dari segi estetika, timbunan sampah di lokasi TPA bukanlah pemandangan yang indah, karena yang terlihat hanya tumpukan sampah yang kotor. Berdasarkan pertimbangan tersebut TPA Bukit Pinang tidak difungsikan lagi yang ditandai dengan plang penutupan aktifitas TPA Bukit Pinang. Tempat Pembuangan Akhir yang baru sudah disiapkan di kawasan Kelurahan Sambutan. Pada 2014 TPA Sambutan sudah mulai difungsikan dengan menerapkan metode Sanitary Landfill. Akan tetapi, tidak semua sampah yang ada di Kota Samarinda dapat diangkut dan dibuang ke TPA Sambutan. Penyebabnya adalah masih ada lahan yang digunakan sebagai akses masuk menuju TPA sambutan yang belum dibebaskan oleh pemerintah daerah Kota Samarinda. Sampah yang boleh masuk

58 46 hanya sampah yang berada di kawasan Kecamatan Sambutan, sedangkan kawasan lainnya tetap dibuang ke TPA Bukit Pinang. Gambar 2. Tanda TPA Bukit Pinang Ditutup 2. Aktifitas Di TPA Bukit Pinang Aktifitas TPA Bukit Pinang tetap berjalan seperti biasa. Truk pengangkut sampah dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan mengangkut dan membuang sampah dari kawasan selain dari Kecamatan Sambutan ke TPA Bukit Pinang. Selain Truk dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan, masyarakat yang membuang sampah ke dalam TPA Bukit Pinang masih terlihat. Biasanya masyarakat yang datang membuang sampah menggunakan mobil bak terbuka. Aktifitas di TPA Bukit Pinang lebih banyak terlihat pada siang sampai sore hari.

59 47 Alat berat yang aktif digunakan untuk mengangkut sampah berupa satu unit excavator untuk mengangkut sampah dari titik pembuangan ke zona penumpukan sampah. Dari dua unit bulldozer, hanya satu yang difungsikan untuk meratakan atau memadatkan sampah di zona aktif untuk kemudian dibakar. Gambar 3. Masyarakat Membuang Sampah di TPA Bukit Pinang Dengan Mobil Bak Terbuka

60 48 Gambar 4. Aktifitas Truk Dinas Kebersihan dan Pertamanan di TPA Bukit Pinang 3. Pengolahan Sampah Sampah yang diangkut dari Tempat Penampungan Sementara (TPS) ke Tempat Pembuangan Akhir dibuang di tempat bongkar muatan yang ditentukan. Alat berat akan mengangkut sampah dari tempat bongkar muat ke zona penumpukan, kemudian sampah akan di pindahkan menggunakan alat berat lainnya dan dipadatkan untuk kemudian dibakar. Sampah yang sudah dipadatkan pada lokasi pembakaran tidak bisa langsung dibakar begitu saja. Tentunya harus menunggu kondisi permukaan timbunan sampah cukup kering. Selama proses ini, lindi atau limbah cair dari timbunan sampah akan mengalir ke drainase yang ada pada tiap sisi zona penumpukan. Arah aliran lindi yang berada di drainase dibuat mengarah ke kolam penampungan limbah cair di sisi timur TPA dengan ketinggian 28 meter diatas rata-rata muka laut, yang diukur menggunakan GPS Navigasi.

61 49 Namun kondisi drainase yang dibuat dengan mengeruk tanah menggunakan alat berat tanpa di cor, membuat lindi tidak mengalir secara maksimal ke kolam penampungan limbah cair. Ditambah lagi sampah yang berjatuhan ke saluran drainase saat proses pemindahan sampah dari titik pembuangan ke zona penumpukan ataupun saat pemadatan sampah. Ketentuan lainnya yang tidak ada di TPA Bukit Pinang adalah tidak terdapat tempat khusus untuk membuang limbah berbahaya, sehingga semua sampah yang masuk ditumpuk menjadi satu. Hal ini tentunya akan menjadikan sampah yang seharusnya bisa didaur ulang tidak dimanfaatkan, misalnya saja limbah kaca. Dari pengamatan selama 5 hari di lokasi TPA, tidak ditemukan banyak lalat. Hal ini dikarenakan timbunan sampah di proses dengan cara dibakar sehingga mengurangi populasi lalat, karena lava lalat ikut terbakar saat proses pembakaran sampah. Dalam peraturan mengenai TPA, tidak boleh ada permukiman di lingkungan TPA. Hal ini berdasarkan pertimbangan kesehatan, mengingat dampak yang timbul dari penumpukan sampah. Sisi selatan TPA Bukit Pinang terdapat permukiman kecil, yang diketahui merupakan permukiman bagi masyarakat yang bekerja sebagai pemulung sampah di lokasi TPA. Akan tetepi, keberadaan pemulung di lokasi TPA Bukit Pinang dianggap membantu mengurai sampah yang ada di lokasi penumpukan sampah, sehingga masyarakat yang berprofesi sebagai pemulung di TPA Bukit Pinang turut di dukung oleh Walikota Kota Samarinda H. dengan membuat rumah kompos. Diharapkan dengan adanya rumah kompos yang dikelola secara bersama ini dapat membantu ekonomi masyarakat yang berprofesi sebagai pemulung sampah di lokasi TPA Bukit Pinang Kota Samarinda.

62 50 4. Prasarana Di TPA Bukit Pinang Menurut Anonim (2005a) untuk dapat dioperasikan dengan baik maka TPA perlu dilengkapi dengan prasarana. Beberapa prasarana yang terdapat di lokasi TPA Bukit Pinang berupa : a. Jalan Akses masuk di gerbang TPA berupa jalan semen, sedang jalan menuju areal bongkar muatan truk sampah berupa perkerasan sirtu. Namun jalan perkerasan sirtu bukan berarti tanpa masalah, terutama saat setelah hujan maka akan menjadi berlumpur, karena kondisi drainase yang kurang baik. Hal ini tentu akan berdampak bila truk atau kendaraan pengangkut sampah yang keluar TPA, akan menyebabkan jalan raya atau jalan umum tercemar lumpur yang terbawa oleh roda kendaraan. b. Drainase. Pendukung dari jalan adalah drainase yang berfungsi mengendalikan limpasan air hujan dan sebagai saluran untuk mengalirkan lindi atau limbah cair menuju kolam penampungan limbah cair yang terdapat di TPA. Drainase atau saluran aliran air harus dibuat dengan mempertimbangkan topografi daerah tersebut. Tujuannya agar aliran air atau lindi yang masuk drainase dapat mengalir secara optimal, namun keadaan saluran air yang terdapat di TPA Bukit Pinang kondisinya kurang terawat. Akibat dari saluran air yang tidak standar ini dapat meyebabkan air atau limbah cair yang masuk saluran air tidak mengalir secara optimal, bahkan dampak buruknya lindi akan mencemari tanah karena saluran tersumbat oleh sampah di saluran air.

63 51 5. Fasilitas Penunjang Fasilitas yang terdapat di lokasi TPA Bukit Pinang adalah kantor pencatat retasi, sekaligus memantau aktifitas bongkar muatan dan pengolahan sampah di lokasi TPA. Fasilitas lainnya berupa pos jaga, rumah pencacah plastik, PAUD dan klinik. Namun PAUD, klinik dan rumah pencacah plastik tidak difungsikan lagi, karena TPA Bukit Pinang sudah tidak di fungsikan secara optimal lagi. Menurut Anonim (2005a) beberapa fasilitas penunjang masih diperlukan untuk membantu pengoperasian TPA yang baik diantaranya : pemadam kebakaran, mesin pengasap/ mistblower, kesehatan/keselamatan kerja, toilet, dan lain lain. Dari pengamatan yang diperoleh di TPA Bukit Pinang ini tidak ditemukan, mistblower, kemudian fasilitas penunjang kesehatan yang paling sederhana seperti masker tidak ada, hal ini atas apa yang terlihat di lapangan bahwa petugas petugas kantor sampai operator alat berat pun tidak ada yang menggunakan alat atau fasilitas penunjang kesehatan seperti itu. 6. Konversi TPA Bukit Pinang Menurut Anonim (2005a) penghijauan lahan TPA diperlukan untuk beberapa maksud diantaranya adalah peningkatan estetika lingkungan, sebagai buffer zone untuk pencegahan bau dan lalat yang berlebihan. Untuk itu perencancaan daerah penghijauan ini perlu mempertimbangkan letak dan jarak kegiatan masyarakat di sekitarnya (permukiman, jalan raya, dll). Menurut Iswanto (2016) selaku Kepala UPTD TPA Bukit Pinang menyatakan mengenai pengolahan sampah. Akan tetapi untuk realisasinya masih menunggu Pada lokasi TPA juga sudah disiapkan areal pembibitan, bibit pohon ini nantinya akan ditanami di lokasi

64 52 TPA Bukit Pinang. Namun sayangnya karena keterbatasan anggaran, areal pembibitan masih belum ada bibit pohon. Area pembibitan ini sendiri terletak tepat berseberangan dengan PAUD Anggrek yang berada di lokasi TPA.

65 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa TPA Bukit Pinang tidak layak difungsikan lagi, yang disebabkan sebagai berikut : 1. Permukiman berada dalam radius kurang dari 3 km dari Tempat Pembuangan Akhir Bukit Pinang. 2. Sistem open dumping dan pembakaran sampah di TPA menyebabkan pencemaran udara di dekat lokasi TPA. 3. Drainase TPA yang tidak standar. 4. Tidak ada zona penyangga (zona hijau) di lokasi TPA. 5. Tidak ada alat pengasap yang berfungsi untuk mengurangi pertumbuhan lalat atau kecoa. B. SARAN Mengingat TPA Bukit Pinang sudah tidak layak lagi digunakan, maka perlu : 1. Memindahkan TPA ke lokasi yang lebih representatif. 2. Melakukan penghijauan di zona yang sudah tidak aktif, serta memasyarakatkan penggunaan masker di TPA. 3. Menyediakan fasilitas penunjang seperti alat pengasap dan pemadam kebakaran.

66 DAFTAR PUSTAKA Abidin Global Positioning System. Konsep Sistem Informasi Geografis. (Diakses Pada Tanggal 17 Oktober 2015) Anonim Keputusan Dirjen Cipta Karya Nomor 07/KPTS/CK/1999. Juknis Bidang Perencanaan, Pembangunan dan Pengelolaan Bidang ke- PLP-an Perkotaan dan Pedesaan. Anonim. 2005a. Tempat Pembuangan Akhir. com/kriteria-penentuan-lokasi-pembuangan-sampah. (Diakses pada tanggal 1 Desember 2015) Anonim. 2005b. Pengertian Observasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Anonim Tempat Pembuangan Akhir. eprints.undip.ac.id/15259/1.pdf. (Diakses Pada Tanggal 24 Nopember 2015) Anonim Rencana Tata Ruang Wilayah. com/rtrw-kota.html. (Diakses Pada Tanggal 9 Desember 2015) Anonim. 2013a. Pedoman Akademik. Petunjuk Teknis Penulisan Karya Ilmiah. Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Samarinda. Anonim. 2013b. Geografis dan Administrasi Kota Samarinda. Samarinda#Geografi_dan_administrasi. (Diakses pada tanggal 13 Oktober 2015). Ars Nur M, Rasyid Y, Achmad H Sejarah Kota Samarinda. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Jakarta. Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Peta Administrasi Kota Samarinda. Samarinda. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Data retasi sampah DKP Kota Samarinda Bulan April Samarinda. Diwiryo R Konsep Pola dan Struktur Ruang? com/rtrw-kota.html. (Diakses Pada Tanggal 9 Desember 2015) Iswanto Konversi Lahan TPA Bukit Pinang. Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Samarinda.

67 55 Kahar A Makalah Tempat Pembuangan Akhir Bukit Pinang. scribd.com/doc/ /atwp-2012-pemakalah-abdul-kahar#scribd. (Diakses pada tanggal 23 Januari 2016) Setiana R Pengelolaan Sampah di Negara Maju. /mengintip-sistem-pengelolaan-sampah-di-negara-maju. (Diakses Pada Tanggal 24 Januari 2016)

68 57 Lampiran 1 Gambar 5. Truk Sampah Saat Akan Melakukan Bongkar Muatan di Titik Pembuangan Gambar 6. Truk Sampah Saat Melakukan Bongkar Muatan di Titik Pembuangan

69 58 Lampiran 2 Tabel 4. Data Retasi Sampah DKP Kota Samarinda Bulan April 2016

70 59 Lampiran 3 Gambar 7. Aktifitas Pencari Barang Bekas di TPA Bukit Pinang Gambar 8. Tumpukan Sampah di Zona Aktif

71 60 Lampiran 4 Gambar 9. Pembakaran Sampah di Zona Aktif Gambar 10. Kondisi Drainase TPA Bukit Pinang

72 61 Lampiran 5 Gambar 11. Kolam Penampungan Lindi TPA Bukit Pinang Gambar 12. Lindi Yang Mengalir ke Kolam Penampungan

73 62 Lampiran 6 Gambar 1 3. Rumah Kompos dan Pencacah Plastik Gambar 14. PAUD Anggrek di TPA Bukit Pinang

74 m mT m mT Kec. Samarinda Ulu mT POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA PETA AREA TPA BUKIT PINANG KOTA SAMARINDA ÅU B S Skala 1:3.000 Meter T Keterangan : Garasi Pencacah Plastik IPAL Terpadu Pencatat Retasi Klinik Pengendali Metan Kolam Lindi Pos Jaga PAUD Anggrek Permukiman Terdekat TPA Jalan TPA BP Penumpukan_Sampah Parkir Kendaraan Rusak Pembibitan Pengolahan Limbah Zona Aktif Zona Hijau Zona Non Aktif Jalan Lokal Kec. Samarinda Ulu mT Dibuat Oleh : Proyeksi : Transverse Mercator Grid : UTM Datum : WGS 84 Zona : 50 Selatan Tahun : 2016 Satuan : Meter Sumber : 1. Peta administrasi Kota Samarinda, Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda tahun Tracking area TPA Bukit Pinang tahun : Estiadi Gunawan NIM

TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR

TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR A. UMUM 1. Pengertian TPA Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan, pemindahan/pengangkutan,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI I. UMUM Di dalam undang-undang no 26 Tahun 2007 tentang penataan Ruang, dijelaskan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan perlunya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 LAMPIRAN III UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Pasal 1 (1.1) Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota akan selalu berhubungan erat dengan perkembangan lahan baik dalam kota itu sendiri maupun pada daerah yang berbatasan atau daerah sekitarnya. Selain itu lahan

Lebih terperinci

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas.

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 0000 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Oleh : Ir. Bahal Edison Naiborhu, MT. Direktur Penataan Ruang Daerah Wilayah II Jakarta, 14 November 2013 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Pendahuluan Outline Permasalahan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi Ketentuan Umum 2.1. Istilah dan Definisi Penyusunan RDTR menggunakan istilah dan definisi yang spesifik digunakan di dalam rencana tata ruang. Berikut adalah daftar istilah dan definisinya: 1) Ruang adalah

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh peneliti yaitu dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh peneliti yaitu dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Data yang diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari instansi yang terkait dengan penelitian, melaksanakan observasi langsung di Tempat Pembuangan

Lebih terperinci

Apa saja Struktur Ruang dan Pola Ruang itu??? Menu pembangunan atau produk dokumen yang kita buat selama ini ada dibagian mana??

Apa saja Struktur Ruang dan Pola Ruang itu??? Menu pembangunan atau produk dokumen yang kita buat selama ini ada dibagian mana?? DASAR PENATAAN RUANG DAN PENGGUNAAN LAHAN Semakin menurunnya kualitas permukiman Alih fungsi lahan Kesenjangan antar dan di dalam wilayah Kolaborasi bangunan yang tidak seirama Timbulnya bencana Mamanasnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERENCANAAN TEMPAT PENGOLAHAN AKHIR JATIBARANG KOTA SEMARANG DENGAN SISTEM SANITARY LANDFILL

TUGAS AKHIR PERENCANAAN TEMPAT PENGOLAHAN AKHIR JATIBARANG KOTA SEMARANG DENGAN SISTEM SANITARY LANDFILL TUGAS AKHIR PERENCANAAN TEMPAT PENGOLAHAN AKHIR JATIBARANG KOTA SEMARANG DENGAN SISTEM Merupakan Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana Strata 1 (S-1) Pada Program Studi Teknik Sipil Fakultas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA. PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA., Menimbang : a. bahwa pertambahan penduduk dan perubahan

Lebih terperinci

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.71, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Bandar Udara. Pembangunan. Pelestarian. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5295) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I- 1

BAB I PENDAHULUAN I- 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkembangan penduduk daerah perkotaan yang sangat pesat dewasa ini tidak terlepas dari pengaruh dorongan berbagai kemajuan teknologi, transportasi, dan sebagainya.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH REGIONAL JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

Syarat Bangunan Gedung

Syarat Bangunan Gedung Syarat Bangunan Gedung http://www.imland.co.id I. PENDAHULUAN Pemerintah Indonesia sedang giatnya melaksanakan kegiatan pembangunan, karena hal tersebut merupakan rangkaian gerak perubahan menuju kepada

Lebih terperinci

BAB 2 KETENTUAN UMUM

BAB 2 KETENTUAN UMUM BAB 2 KETENTUAN UMUM 2.1 PENGERTIAN-PENGERTIAN Pengertian-pengertian dasar yang digunakan dalam penataan ruang dan dijelaskan di bawah ini meliputi ruang, tata ruang, penataan ruang, rencana tata ruang,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI DAN KARAKTERISTIK SAMPAH KOTA BOGOR 1. Sifat Fisik Sampah Sampah berbentuk padat dibagi menjadi sampah kota, sampah industri dan sampah pertanian. Komposisi dan jumlah

Lebih terperinci

KRITERIA, INDIKATOR DAN SKALA NILAI FISIK PROGRAM ADIPURA

KRITERIA, INDIKATOR DAN SKALA NILAI FISIK PROGRAM ADIPURA Lampiran IV : Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 01 Tahun 2009 Tanggal : 02 Februari 2009 KRITERIA, INDIKATOR DAN SKALA NILAI FISIK PROGRAM ADIPURA NILAI Sangat I PERMUKIMAN 1. Menengah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013 1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGATURAN INTENSITAS PEMANFAATAN RUANG KORIDOR JALAN LETJEND S. PARMAN - JALAN BRAWIJAYA DAN KAWASAN SEKITAR TAMAN BLAMBANGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 54 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DAN ZAT KIMIA PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA DAN BANDAR UDARA DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kualitas sampah yang dihasilkan. Demikian halnya dengan jenis sampah,

BAB I PENDAHULUAN. dan kualitas sampah yang dihasilkan. Demikian halnya dengan jenis sampah, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia dengan segala aktivitasnya pastilah tidak terlepas dengan adanya sampah, karena sampah merupakan hasil efek samping dari adanya aktivitas

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN

BUPATI LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN BUPATI LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

TPST Piyungan Bantul Pendahuluan

TPST Piyungan Bantul Pendahuluan TPST Piyungan Bantul I. Pendahuluan A. Latar belakang Perkembangan teknologi yang semakin maju dan kemegahan zaman mempengaruhi gaya hidup manusia ke dalam gaya hidup yang konsumtif dan serba instan. Sehingga

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 3 2009 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa lingkungan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa pertambahan penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pesatnya pertambahan penduduk menyebabkan meningkatnya berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat, pembangunan fasilitas kota seperti pusat bisnis, komersial dan industri,

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2012 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2012 TENTANG SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN LAHAN UNTUK PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa dinamika perkembangan

Lebih terperinci

Bab 3 Kerangka Pengembangan Sanitasi

Bab 3 Kerangka Pengembangan Sanitasi 3.1. Visi dan misi sanitasi Bab 3 Kerangka Pengembangan Sanitasi Dalam rangka merumuskan visi misi sanitasi Kabupaten Lampung Tengah perlu adanya gambaran Visi dan Misi Kabupaten Lampung Tengah sebagai

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BARANG TAMBANG INDONESIA II. Tujuan Pembelajaran

BARANG TAMBANG INDONESIA II. Tujuan Pembelajaran K-13 Geografi K e l a s XI BARANG TAMBANG INDONESIA II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami kegiatan pertambangan. 2. Memahami

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.101 2016 KESRA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Penyelenggaraan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5883) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan hasil analisa terhadap kawasan Kampung Sindurejan yang berada di bantaran sungai

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan telah diatur ketentuan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN 1. LATAR BELAKANG PENGELOLAAN SAMPAH SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, mendefinisikan sampah sebagai limbah yang bersifat padat, terdiri atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih dioperasikan secara open dumping, yaitu sampah yang datang hanya dibuang

BAB I PENDAHULUAN. masih dioperasikan secara open dumping, yaitu sampah yang datang hanya dibuang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah merupakan permasalahan cukup pelik yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Begitu pula dengan di Indonesia terutama di kota besar dan metropolitan, masalah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT,

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 42 2012 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG

DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG KONDISI FAKTUAL KONDISI IDEAL ATURAN BERSAMA YANG DISEPAKATI A. LINGKUNGAN 1. Jaringan Jalan dan Drainase Banyak rumah yang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN TAHUN 2009-2028 I. UMUM 1. Ruang wilayah Kabupaten Pacitan, baik sebagai kesatuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2011 2031 I. UMUM Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas yang meliputi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR + BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan berdasarkan Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 pada sasaran ke enam ditujukan untuk mewujudkan ketersediaan dan pengelolaan

Lebih terperinci

EVALUASI SISTEM PEMROSESAN AKHIR SAMPAH DI TPA LADANG LAWEH KABUPATEN PADANG PARIAMAN MENUJU CONTROLLED LANDFILL

EVALUASI SISTEM PEMROSESAN AKHIR SAMPAH DI TPA LADANG LAWEH KABUPATEN PADANG PARIAMAN MENUJU CONTROLLED LANDFILL EVALUASI SISTEM PEMROSESAN AKHIR SAMPAH DI TPA LADANG LAWEH KABUPATEN PADANG PARIAMAN MENUJU CONTROLLED LANDFILL Oleh : ROFIHENDRA NRP. 3308 202 014 Dosen Pembimbing : Prof. Dr. YULINAH TRIHADININGRUM,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI

PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI Sampah?? semua material yang dibuang dari kegiatan rumah tangga, perdagangan, industri dan kegiatan pertanian. Sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

KELOMPOK KERJA SANITASI KABUPATEN BERAU BAB I PENDAHULUAN

KELOMPOK KERJA SANITASI KABUPATEN BERAU BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sanitasi didefinisikan sebagai upaya membuang limbah cair domestik dan sampah untuk menjamin kebersihan dan lingkungan hidup sehat, baik ditingkat rumah tangga maupun

Lebih terperinci

BUPATI NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYEDIAAN LAHAN, PRASARANA LINGKUNGAN, FASILITAS UMUM DAN FASILITAS SOSIAL OLEH PENGEMBANG DI KABUPATEN NGAWI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 05 TAHUN 2014 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI DENGAN

Lebih terperinci

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH ABSTRAK KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH Peningkatan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kuantitas sampah kota. Timbunan sampah yang tidak terkendali terjadi

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) IBUKOTA KECAMATAN TALANG KELAPA DAN SEKITARNYA

RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) IBUKOTA KECAMATAN TALANG KELAPA DAN SEKITARNYA 1.1 LATAR BELAKANG Proses perkembangan suatu kota ataupun wilayah merupakan implikasi dari dinamika kegiatan sosial ekonomi penduduk setempat, serta adanya pengaruh dari luar (eksternal) dari daerah sekitar.

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011-2031 I. UMUM Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banjarnegara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sanitasi sebagai salah satu aspek pembangunan memiliki fungsi penting dalam menunjang tingkat kesejahteraan masyarakat, karena berkaitan dengan kesehatan, pola hidup,

Lebih terperinci

~ 53 ~ PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup Jelas. Pasal 2 Cukup Jelas. Pasal 3 Cukup Jelas

~ 53 ~ PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup Jelas. Pasal 2 Cukup Jelas. Pasal 3 Cukup Jelas ~ 51 ~ PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN 2015-2035 I. UMUM 1. Ruang Wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa pertambahan penduduk

Lebih terperinci

Untuk lebih jelasnya wilayah Kabupaten Karangasem dapat dilihat pada peta di bawah ini :

Untuk lebih jelasnya wilayah Kabupaten Karangasem dapat dilihat pada peta di bawah ini : GAMBARAN UMUM Kabupaten Karangasem berada di belahan timur Pulau Bali yang secara administratif merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah Provinsi Bali, dengan batas batas wilayah - wilayah sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi, yang juga akan membawa permasalahan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sumber daya alam atau biasa disingkat SDA adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN 2013-2032 I. UMUM Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH I. UMUM Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi mengakibatkan bertambahnya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 70-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 127, 2001 Perhubungan.Pelabuhan.Otonomi Daerah.Pemerintah Daerah.Tarif Pelayanan. (Penjelasan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi mengakibatkan bertambahnya volume sampah. Di samping itu, pola konsumsi masyarakat memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu saja akan banyak dan bervariasi, sampah, limbah dan kotoran yang

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu saja akan banyak dan bervariasi, sampah, limbah dan kotoran yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan manusia untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidup, menuntut berbagai pengembangan teknologi untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak ada

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA SALINAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa pencemaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka landasan administrasi dan keuangan diarahkan untuk mengembangkan otonomi

Lebih terperinci

JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN

JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SD III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN A. Ketampakan Lingkungan Alam dan Buatan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar

Lebih terperinci