BAB I PENDAHULUAN. 1 Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (2007).

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. 1 Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (2007)."

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Istilah kebudayaan (culture) biasanya digunakan untuk menyebut seluruh cara hidup suatu masyarakat yang dipandang sebagai sebuah keutuhan (Sanderson 2000: 51). Adanya bentuk-bentuk yang sama dari unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat yang berbeda telah menjadi tema yang diperdebatkan dalam ilmu antropologi. Dua penjelasan yang dikemukakan untuk menjawab gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan, yaitu: pertama, disebabkan karena persebaran atau difusi. Anggapan dasar pemikiran ini adalah kebudayaan manusia berpangkal di satu tempat tertentu (dikatakan dengan kebudayaan induk), yang berkembang, menyebar dan pecah ke dalam banyak kebudayaan baru karena pengaruh keadaan lingkungan dan waktu. Cara pikir kedua dalam melihat persamaan-persamaan ini disebabkan karena tingkat-tingkat yang sama dalam proses evolusi kebudayaan di berbagai daerah 1. Menurut pandangan evolusi, kebudayaan telah lahir dengan sendiri-sendiri dan mengalami perkembangan sebagai hasil adaptasi terhadap tantangan lingkungan alamiah. Pengaruh lingkungan terhadap kebudayaan, sebagai sebuah kajian lahir atas kritik terhadap pandangan bahwa kebudayaan berasal dari kebudayaan. Montesquieu dalam On the Spirit of Laws (1748) berupaya memberikan penjelasan mengapa masyarakat berbeda satu sama lainnya dengan menyatakan bahwa variabel-variabel seperti tanah, iklim dan lingkungan merupakan faktorfaktor yang ikut berpengaruh dalam membentuk kelembagaan masyarakat. Pemikiran tentang hubungan antara manusia, budaya dan lingkungan serta bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup, muncul kembali pada abad ke 19. Teori-teori ini hadir untuk menjelaskan perbedaan kebudayaan sebagai suatu proses evolusi dan menempatkan kelompok masyarakat pada kategori-kategori yang ditentukan berdasarkan teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di lingkungannya (Christensen dan Levinson 2003: 360). 1 Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (2007).

2 2 Manusia dan budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan. Aktivitas manusia mempengaruhi dan mengakibatkan perubahan pada lingkungan. Perubahan tersebut akan berbalik mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungan. Dengan sifat dasar manusia yang sadar diri, memiliki kemampuan teknologis dan sangat sosial, maka interaksi manusia dengan lingkungan menjadi hal kompleks dan menarik. Hubungan antara kebudayaan manusia dan alam tampak sangat jelas pada masyarakat tradisional pemburu mamalia laut dan ikan Lamalera. Komunitas adat ini dikenal dengan budaya mereka menikam paus, lumba-lumba dan ikan-ikan besar seperti pari dan hiu. Nelayan Lamalera memburu dan menikam ikan-ikan besar, namun secara spesifik perburuan paus yang membuat mereka dikenal dunia. Perburuan paus paling tidak telah dilakukan pada sekitar tahun 1643, sebagaimana tercatat dalam sebuah dokumen Portugis. Pada laporan ini ditegaskan bahwa perburuan paus oleh masyarakat Lamalera adalah budaya tua yang telah dilakukan jauh sebelum kedatangan pemburu paus dari Amerika dan Inggris di perairan timur Indonesia (Barnes 1996: 323). Terletak di pesisir selatan Pulau Lembata, desa ini sangat minim lahan subur yang dapat ditanami. Tidak heran apabila kegiatan ekonomi masyarakat hampir sepenuhnya bertopang pada hasil laut. Walaupun demikian, menurut sejarah bukan keterbatasan lahan subur yang membuat masyarakat Lamalera melaut, tetapi karena sebagian besar nenek moyang masyarakat desa ini merupakan pelaut yang dahulu melakukan perjalanan eksodus meninggalkan daerah asal mereka di pesisir Sulawesi. Penangkapan ikan dengan berburu dan menikam yang masih dilakukan hingga saat ini merupakan cara yang diwarisi dari leluhur. Kegiatan berburu dilakukan pada siang hari dengan seperangkat alat tangkap sederhana yang terbuat dari bahan-bahan yang ada di lingkungan setempat dan tanpa menggunakan peralatan modern. Tenalaja atau perahu layar 2 adalah salah satu unit penangkapan ikan utama, yaitu perahu tradisional dengan layar dan seperangkat tali serta tombak bambu yang digunakan untuk menikam ikan. Saat ini, tenalaja bukan satu-satunya alat produksi. Untuk jenis ikan seperti pari, hiu dan lumba-lumba 2 Tenalaja juga biasa disebut dengan peledang.

3 3 yang ukurannya relatif lebih kecil, sampan besar bermesin biasa digunakan. Namun demikian, hal itu tidak berlaku untuk paus sperma (Physeter macrocephalus) yang dalam bahasa lokal disebut koteklema. Dengan rancangan khusus dan seperangkat kepercayaan terhadap laut, maka hanya dengan tenalaja, koteklema bisa dan boleh ditikam. Beberapa pergeseran mulai terjadi ketika nelayan Lamalera dikenalkan dengan mesin. Perlahan-lahan setelah mengenal mesin tempel yang mereka sebut johnson pada tahun 1970an melalui program FAO, aktivitas melaut di Lamalera mulai mengalami pergeseran. Kegiatan mendayung perahu sambil bersenandung digantikan oleh tenaga mesin atau menarik tenalaja dengan sampan besar yang dipasangi mesin johnson pada saat mengejar koteklema. Suasana semarak mendorong perahu turun ke laut di pagi hari pada musim lefa (musim berburu) digantikan dengan kesibukan menata pukat pada sore hari. Nelayan Lamalera yang akrab dengan lautnya hanya pada siang hari juga mulai terbiasa menunggu ikan menyentuh pukat yang di tebar pada malam hari. Masuknya teknologi mesin menandai permulaan terjadinya beberapa pergeseran pada sistem produksi di desa pemburu ikan dan mamalia laut ini. Jauh sebelum introduksi teknologi, faktor-faktor seperti misi Katolik, pendidikan dan masuknya sistem pemerintahan desa telah lebih dulu membawa perubahan ke Lamalera. Pertama misi Katolik menggeser sistem religi animisme kepada kepercayaan terhadap gereja serta mengenalkan pendidikan yang dikemudian hari memacu tingkat migrasi penduduk usia muda meninggalkan desa untuk melanjutkan sekolah. Kedua masuknya sistem pemerintahan desa di masa pemerintahan kolonial membagi masyarakat dengan satu kultur ini secara administratif menjadi dua desa. Perubahan sosial yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah perubahan oleh pergeseran adat produksi. Munculnya teknologi modern penangkap ikan telah melahirkan pergeseran berarti karena memunculkan pengelolaan perekonomian masyarakat yang berbeda meski tidak bisa dikatakan meninggalkan pola sosiokultur aslinya. Saat ini, kegiatan produksi dengan perahu mesin berpukat lebih mendominasi perekonomian di Lamalera, sementara aktivitas

4 4 berburu masih dilakukan apabila melihat segerombolan paus atau lumba-lumba melintas di depan kampung mereka. Introduksi teknologi modern menghasilkan cara pemanfaatan sumberdaya laut yang baru pula. Jumlah tenalaja sebagai alat produksi utama mulai berkurang seiring dengan bertambahnya jumlah sampan besar yang menggunakan mesin johnson dengan gulungan jaring pukat di dalamnya. Melihat Lamalera saat ini dengan mengidentifikasi sistem sosiokulturnya sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan, maka pemakaian mesin dan alat tangkap pukat menjadi lebih dari sekedar perubahan alat produksi. Hal ini menunjuk pada satu gejala munculnya sistem sosiokultur baru yang berbeda dengan sistem sebelumnya. Seperti apa yang dikatakan Barnes, Lamalera is a community which straddles several dichotomies (1996: 341). Meskipun Barnes tidak secara terperinci menggambarkan bagaimana bentuk dikotomi tersebut, namun dikotomi ini mendekati konsep dualisme ekonomi Boeke yang digambarkan seperti sistem ekonomi-prakapitalis yang didampingi oleh ekonomi kapitalis, dimana kedua sistem ini saling mempengaruhi (Sajogyo 1985: 36, Barnes 1996: 341) 3. Sejauh apa dikotomi itu membelah masyarakat Lamalera? Bagaimana dan seperti apa pergeseran sosiokultur di Lamalera menjadi salah satu pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini. Pertanyaan diatas diperlukan dalam mengkaji persoalan selanjutnya terkait kebijakan konservasi Laut Sawu, khususnya Laut Lembata 4. Mengemukanya wacana konservasi laut inilah sebenarnya yang menghantarkan saya melakukan penelitian di Lamalera. Di samping menghadapi perubahan-perubahan dalam sistem produksinya, masyarakat Lamalera juga dihadapkan pada wacana konservasi keanekaragaman hayati yang muncul dalam kebijakan penetapan kawasan konservasi perairan. Isu konservasi dikontradiksikan dengan budaya berburu peninggalan leluhur masyarakat Lamalera. Setidaknya Lamalera terseret dalam konstelasi politik konservasi ini karena dua alasan pertama karena secara geografis posisinya yang terletak di pesisir Laut Sawu, kedua karena jenis 3 Penelitian Barnes di Lamalera tidak untuk melihat dikotomi ekonomi seperti paparan Dualisme Ekomoni Boeke (1953). Tetapi ia menguraikan fakta bahwa perubahan ekonomi dan sosial telah mendorong dikotomi dalam aktivitas-aktivitas produksi dan pola konsumsi individu dalam komunitas tersebut (hal. 341) 4 Konservasi Laut Solor-Lembata-Alor (SOLAR)

5 5 mamalia laut buruan orang Lamalera dipandang sebagai jenis cetacean yang perlu dijaga kelestariannya. Laut Sawu di Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah perairan penting untuk mamalia laut di Indonesia yang diperkirakan terdapat 30 spesies cetacea 5 yang dapat ditemui di Laut Sawu seperti paus, lumba-lumba dan duyung. Dari 30 spesies catecea tersebut, beberapa jenis diantaranya adalah paus-paus besar yang terancam punah yaitu paus biru, paus sei dan paus fin. Selain itu, juga banyak ditemukan paus sperma yang berdasarkan data IUCN termasuk ke dalam spesies yang rentan mengalami kepunahan (Mustika, 2006: 1). Paus adalah salah satu mamalia laut yang bermigrasi secara musiman untuk mencari makan, menuntun anaknya ke perairan yang lebih hangat serta mencari daerah untuk membesarkan anaknya. Laut Sawu adalah laut dalam yang dibatasi oleh Pulau Flores, Timor dan Sumba. Terusan kecil antara Solor dan Alor di Laut Sawu merupakan tempat mencari makan serta koridor migrasi bagi paus dan catecea lainnya. Pada awalnya, Konservasi Laut Sawu yang menempatkan perairan Lembata dalam zona II kawasan tersebut ditolak oleh masyarakat Lamalera. Upaya advokasi dan menggalang dukungan dilakukan dengan mengangkat kasus ini di berbagai media. Penolakan masyarakat terhadap pencadangan Zona II dalam konservasi Laut Sawu tidak lagi menjadi isu lokal, setelah beberapa media lokal dan nasional memberitakan kekhawatiran dan penolakan masyarakat terhadap kebijakan ini. 6 Penolakan tersebut didasari oleh pemahaman bahwa cepat atau lambat, konsekuensi yang akan dihadapi dengan masuknya zona II dalam wilayah konservasi Sawu adalah pelarangan untuk meneruskan tradisi mereka berburu paus. 7 Setiap jawaban klarifikatif yang disampaikan oleh para pihak yang 5 Cetacean adalah sebutan umum bagi mamalia laut dari Ordo Cetacea, antara lain paus, lumbalumba, dan pesut. Seperti mamalia laut yang pada umumnya hidup di darat, di dalam air, cetacean juga bernapas menggunakan paru-paru dan bereproduksi dengan cara melahirkan. Sebagian besar cetacean hidup di laut, tetapi ada juga beberapa jenis yang hidup di air tawar, yaitu dari jenis lumba-lumba. Mead, J. G. dan J. P. Gold. Whales and dolphins in question Diberitakan dalam beberapa media online. Lihat aus 7 Media Indonesia.com memberitakan bahwa masyarakat Lamalera menolak konservasi Zona II Laut Sawu karena dipandang akan memicu pelarangan tradisi penangkapan paus di daerah itu.

6 6 berwenang dan memiliki kepentingan (Dinas Perikanan Kelautan Lembata, WWF dan pihak lainnya) tidak berhasil merubah perspektif masyarakat. Dengan nama apapun, baik itu Kawasan Konservasi Laut (KKL), Kawasan Konservasi Perairan (KKP), Taman Laut, dan sebagainya dipandang akan memberikan konsekuensi yang sama dan menjauhkan mereka dengan para leluhur serta menghentikan tradisi berburu koteklema. Paus sperma merupakan salah satu mamalia laut buruan nelayan Lamalera. Secara umum, paus merupakan cetacean yang masuk dalam daftar spesies yang terancam punah. Hal ini mendorong kelompok pecinta lingkungan hidup semakin aktif menyerukan penyelamatan paus. Pada tahun 1986 kesepakatan internasional mengenai moratorium penangkapan paus telah menetapkan pelarangan perburuan paus untuk tujuan komersial dan mengizinkan sebagian masyarakat asli memburu sejumlah terbatas paus berdasarkan izin penangkapan paus untuk mencari nafkah. International Whale Commision (IWC) mengakui bahwa perburuan paus oleh masyarakat tradisional berbeda dengan perburuan paus untuk keperluan komersial. Konvensi Genewa mengenai Peraturan Penangkapan Paus tahun 1931 menetapkan bahwa masyarakat tradisional yang diperbolehkan menangkap paus adalah masyarakat yang hanya menggunakan kano, perahu atau alat tangkap lokal yang menggunakan dayung dan layar, tidak menggunakan senjata api, dilakukan sendiri oleh masyarakat asli dan tidak terikat kerjasama dengan pihak ketiga untuk menerima hasil tangkapan (Revees 2002). Dalam kategori yang ditetapkan IWC, penangkapan paus di Lamalera tergolong pada subsistence whaling, karena penangkapan paus dilakukan dalam skala kecil, berkesinambungan dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal serta tidak ada tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan perburuan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan kategori yang ditetapkan oleh IWC, maka masyarakat nelayan Lamalera termasuk dalam kategori masyarakat adat yang tidak menjadi subjek pengawasan IWC. Beberapa orang Lamalera terutama yang berada di perantauan mengetahui kategorisasi yang ditetapkan oleh IWC. Bagi mereka, benar salahnya kegiatan berburu yang mereka lakukan tidak perlu lagi diperdebatkan. Tetapi keresahan Konservasi-Paus

7 7 yang berkembang di dalam lefo tidak dapat diabaikan. Kekhawatiran dijauhkan dari tradisi leluhur, ketidakharmonisan karena saling berprasangka terhadap pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan dari rencana penetapan kawasan konservasi berkembang di lefo Lamalera. Isu konservasi dan larangan berburu menyebabkan masyarakat Lamalera di lefo dan di luar lefo menggalang suara untuk menolak dimasukkannya Zona II dalam Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu (KKPN Laut Sawu). Penolakan yang dilakukan memberikan hasil seperti yang mereka harapkan, yaitu dikeluarkannya zona II dari KKPN Laut Sawu. Zona II memang telah keluar dari KKPN Laut Sawu. WWF beserta LSM lingkungan lain yang pernah melakukan kegiatan di Lamalera dilarang masuk ke kampung itu. Di Lamalera, berdasarkan kesepakatan bersama maka sejak bulan Mei 2009 semua pembicaraan tentang konservasi dihentikan. Sementara itu, upaya mengembangkan kegiatan di perairan Lembata masih dilakukan. WWF sebagai satu-satunya LSM internasional disana masih melanjutkan kegiatan di Lembata dan dua pulau lainnya (Solor dan Alor). Pertanyaan utama disusun untuk mengetahui bagaimana program-program kelautan dan konservasi mempengaruhi sistem bermasyarakat di Lamalera. Dengan perubahan dalam sistem produksi yang sedang berjalan di Lefo disana, apakah kebijakan konservasi ini akan mempengaruhi sistem sosiokultur masyarakat Lamalera? Penelitian tentang masyarakat pemburu ikan-ikan besar terutama paus di Lamalera masih terbatas. Sejumlah hasil studi yang peneliti temukan yaitu penelitian etnografis Barnes (1996) yang memberikan gambaran mengenai organisasi sosial dan budaya dengan memfokuskan pada organisasi ekonomi di Lamalera. Barnes menuliskan secara mendetail mengenai desa, masyarakat dan aktivitas non-maritim yang dilakukan oleh masyarakat Lamalera pada bagian awal serta memaparkan mengenai laut serta segala hal yang terkait dengan itu pada bagian utama bukunya. Studi komparatif pada masyarakat pemburu cetacean di Lamalera, Lamakera, Alor dan Rote juga pernah dilakukan oleh Mustika (2006). Penelitian ini melihat status tradisi perburuan paus di Laut Sawu dalam konteks konservasi mamalia laut.

8 8 Beberapa penelitian yang ditemukan dalam bentuk artikel jurnal dilakukan oleh Anita Lundberg dan David A. Nolin. Anita Lundberg (2003) dalam Time Travels in Whaling Boats 8 memberikan gambaran etnografis dan arkeologis tentang bentuk dan konstruksi perahu layar tradisional nelayan Lamalera. Artikel lainnya Voyage of the Ancestors 9 (2003), dimana Lumberg membaca ulang teksteks yang membawa Lamalera kembali ke awal sejarahnya. Lundberg menyusuri mitos-mitos secara simultan untuk mencari asal-usul perjalanan leluhur Lamalera dari Pulau Lembata, ke tanah Lepan Batan, melalui Maluku dan kembali ke pesisir Sulawesi. Masih dengan studi etnografi, Nolin (Smith 2010) melaporkan estimasi kuantitatif transmisi antar generasi dan ketidaksetaraan untuk mengukur kesejahteraan dalam populasi masyarakat pemburu dan peramu. 10 Penelitian dilakukan di lima populasi sampel, salah satunya masyarakat pemburu Lamalera. Indikator yang digunakan untuk menggukur tingkat kesejahteraan di Lamalera yaitu kesejahteraan kehidupan rumah tangga, ikatan jaringan bagi hasil, kepemilikan perahu dan keberhasilan reproduksi. Penelitian ini mengambil fokus yang berbeda dengan penelitian-penelitian di atas yaitu mencoba menggabungkan pendekatan ekologi budaya dengan kepentingan konservasi terhadap KKPN Laut Sawu. Penelitian ini berada dalam posisi menggabungkan teori antropologi lingkungan, mengkaji perubahanperubahan sistem sosiokultur dalam koridor ekologi serta memberikan gambaran deskriptif tentang bagaimana kebijakan lingkungan disikapi dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat di Lamalera. Lalu bagaimanakah kebijakan lingkungan ini memposisikan masyarakat tradisional Lamalera. Pendekatan baru dalam kajian antropologi lingkungan telah mengkritik pendekatan lama dalam melihat masyarakat pada skala lokal saja dan mengabaikan faktor-faktor luar sebagai konsekuensi dari kehidupan yang terintegrasi dengan sebuah negara serta pengaruh globalisasi yang lebih luas. Sebagaimana pendekatan baru tersebut, penelitian ini juga memperluas perspektif dalam melihat interaksi antara masyarakat lokal dan lingkungannya dengan tidak 8 Downloaded from by Febrina Desrianti on October 20, Downloaded from by Febrina Desrianti on October 20, Eric Alden Smith, Wealth Transmission and Inequality among Hunter-Gatherers (2010). Didownload pada tanggal 4 april 2010.

9 9 membatasi cara pandang pada perspektif lokal semata, tetapi juga memberikan perhatian terhadap tekanan-tekanan dari luar yang mengintroduksir pola hidup komunitas tradisional Pertanyaan Penelitian Sistem sosiokultur masyarakat Lamalera dihadapkan pada dua tantangan. Pertama perubahan cara pemanfaatan sumberdaya. Introduksi teknologi telah menggeser cara masyarakat Lamalera dalam memamfaatkan sumber daya ikan. Dalam perspektif ekologi, baik perubahan teknologi eksploitasi maupun perubahan pada kondisi lingkungan berpeluang merubah unsur-unsur lain dalam sebuah sistem sosiokultur. Ada dualisme pola pemamfaatan sumber daya di Lamalera saat ini yaitu pola berburu dan manikam yang biasanya dilakukan pada musim lefa (musim ke laut), berlangsung dari bulan Mei sampai Oktober setiap tahun. Selain itu dilakukan juga dalam saat-saat baleo, yaitu saat mereka melihat koteklema atau lumba-lumba dan jenis paus lain melintas di sepanjang pantai desanya. Pola baru yang muncul belakangan ini adalah berpukat. Sebagaimana banyak dilakukan oleh nelayan-nelayan di berbagai daerah di Indonesia. Pemakaian jaring pukat menuntut nelayan untuk keluar melaut malam hari dan biasanya kembali ke daratan pagi harinya. Kegiatan berburu dan menikam masih dilakukan, tetapi aktivitas berpukat malam telah mendominasi pola produksi para nelayan Lamalera. Tantangan kedua adalah pencadangan KKPN Laut Sawu. Mungkin terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa kebijakan konservasi ini akan menjadi tantangan antropologis bagi masyarakat lokal Lamalera. Akan tetapi beberapa kasus menunjukan hal serupa itu. Manusia dipandang sebagai ancaman besar terhadap keberlangsungan keanekaragaman hayati. Ada prasangka bahwa manusia tidak lagi bertahan dengan ekonomi subsisten dan pola konsumsi sudah melebihi yang dibutuhkan. Prasangka tersebut tidak memandang batas wilayah, maka masyarakat tradisional pun seringkali dilihat sebagai ancaman bagi lingkungan mereka sendiri yang bernilai biodivesiti tinggi. Perubahan sosial menjadi titik tolak melihat sebuah kebijakan konservasi. Perburuan paus di Lamalera dibolehkan oleh IWC karena masuk dalam kategori

10 10 subsisten whaling. Apakah pola subsistensi tersebut masih berjalan? Dalam ruang kajian pemanfaatan sumber daya, apabila merubah perilaku konsumsi masyarakat maka merupakan satu hal penting melihat kembali relasi antara masyarakat dan lingkungan. Di sisi lain, menghargai sistem sosiokultur sebuah komunitas merupakan kemestian. Oleh karena itu penetapan wilayah konservasi harus memperhatikan aspek sosial budaya yang memadai. Kita tentu saja tidak boleh menutup mata pada salah satunya. Menjaga kelestarian dan keseimbangan alam di satu sisi dan mengakui hak-hak tradisional masyarakat adat di sisi lain tanpa menkontradiksikan keduanya. Permasalahan yang akan dijawab oleh penelitian ini adalah bagaimana program-program kelautan dan konservasi laut mempengaruhi sistem sosiokultur masyarakat tradisional Lamalera? Pertanyaan ini akan dijawab dengan mengurainya menjadi beberapa pertanyaan yaitu : 1. Bagaimana sistem sosiokultur masyarakat nelayan Lamalera dalam perspektif ekologi? 2. Sejauh mana terjadi perubahan-perubahan sosiokultur pada masyarakat nelayan Lamalera sebagai akibat adanya program-program pembangunan kelautan dan konservasi? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk meluaskan perspektif dalam melihat relasi antara masyarakat lokal dan lingkungan yang akan selalu bergulat dengan kompleksitas, perbandingan dan perubahan. Perubahan ada di depan sebuah sebuah sistem sosiokultur yang diwariskan. Kombinasi studi antropologi lingkungan, perubahan dan politik ekologi dilakukan untuk melihat semuanya dalam skala yang lebih luas. Dengan bertahap penelitian ini bertujuan untuk mengenali sistem sosiokultur masyarakat Lamalera dalam perspektif ekologi dan mengetahui perubahan sosial sebagai akibat terjadinya perubahan pada infrastruktur material. Tujuan akhir penelitian ini adalah mengkaji sejauh mana kebijakan pembangunan kelautan dan konservasi berpengaruh pada sistem sosiokultur masyarakat Lamalera.

PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN LAMALERA (Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi dan Ekologi) FEBRINA DESRIANTI

PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN LAMALERA (Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi dan Ekologi) FEBRINA DESRIANTI PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN LAMALERA (Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi dan Ekologi) FEBRINA DESRIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Lamalera di Pulau Lembata yang merupakan salah satu desa nelayan tradisional dengan sistem sosiokultur yang

Lebih terperinci

Perburuan Ikan Paus di Lamalera

Perburuan Ikan Paus di Lamalera Nama : Amila Rezky Mufidah NIM : A21116014 Perburuan Ikan Paus di Lamalera A. Pengantar Perburuan ikan paus sudah ada sejak berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun yang lalu, hingga sekarang perburuan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perairan Indonesia merupakan perairan yang sangat unik karena memiliki keanekaragaman Cetacea (paus, lumba-lumba dan dugong) yang tinggi. Lebih dari sepertiga jenis paus

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS SUB ZONA PERLINDUNGAN SETASEA DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TNP LAUT SAWU, NTT

EFEKTIVITAS SUB ZONA PERLINDUNGAN SETASEA DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TNP LAUT SAWU, NTT EFEKTIVITAS SUB ZONA PERLINDUNGAN SETASEA DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TNP LAUT SAWU, NTT Mujiyanto, Riswanto dan Adriani S. Nastiti Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan Jl. Cilalawi No. 01 Jatiluhur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena akhir-akhir ini eksploitasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Implementasi otonomi daerah di wilayah laut merupakan bagian dari proses penciptaan demokrasi dan keadilan ekonomi di daerah. Hal ini dituangkan dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

Ketika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari

Ketika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari Ketika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari Kuwati, M. Martosupono dan J.C. Mangimbulude Magister Biologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Email: kuwatifolley@yahoo.co.id Pendahuluan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aceh secara geografis terletak di jalur perdagangan Internasional yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Aceh secara geografis terletak di jalur perdagangan Internasional yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aceh secara geografis terletak di jalur perdagangan Internasional yaitu selat malaka, banyaknya pelayaran dan pelabuhan di pantai Aceh membuat kapalkapal

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

Nurlaili Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Nurlaili Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Permasalahan Sosial Budaya dalam Implementasi Peraturan tentang Perlindungan Spesies Hiu di Tanjung Luar, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat Nurlaili Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dari ribuan pulau ini, setiap masyarakat yang

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dari ribuan pulau ini, setiap masyarakat yang BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah Negara multikultural dengan berbagai ribuan pulau yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dari ribuan pulau ini, setiap masyarakat yang menempatinya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. spesifik. Oleh sebab itu, apa yang diperoleh ini sering disebut sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. spesifik. Oleh sebab itu, apa yang diperoleh ini sering disebut sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kearifan merupakan salah satu bagian yang melekat pada masyarakat, khususnya masyarakat lokal. Kondisi lingkungan dan pengalaman belajar yang spesifik membuat masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar wiliyahnya merupakan perairan laut, selat dan teluk, sedangkan lainnya adalah daratan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia Sejarah Peraturan Perikanan Indonesia Peranan Hukum Laut dalam Kedaulatan RI Laut Indonesia pada awalnya diatur berdasarkan Ordonansi 1939 tentang Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim yg menetapkan laut

Lebih terperinci

II. TinjauanPustaka A. Definisi Sasi

II. TinjauanPustaka A. Definisi Sasi II. TinjauanPustaka A. Definisi Sasi Sasi merupakan bentuk aturan pengelolan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Maluku. Sasi merupakan kearifan tradisional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dulu hingga dewasa ini, Indonesia terkenal dengan julukan negara kepulauan. Negara dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau yang tersebar dari Sabang sampai

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB V PENGARUH MOTORISASI TERHADAP SISTEM SOSIOKULTUR DI LAMALERA

BAB V PENGARUH MOTORISASI TERHADAP SISTEM SOSIOKULTUR DI LAMALERA BAB V PENGARUH MOTORISASI TERHADAP SISTEM SOSIOKULTUR DI LAMALERA Masyarakat Lamalera mengalami perubahan, sebagaimana juga pernah dikatakan oleh Barnes (1996). Apa penyebab perubahan tersebut? Bagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu Kabupaten yang paling banyak memproduksi Ikan, komoditi perikanan di Kabupaten Kupang merupakan salah satu pendukung laju perekonomian masyarakat,

Lebih terperinci

Kemampuan khusus Cetacea

Kemampuan khusus Cetacea Kemampuan khusus Cetacea Reproduksi: Cetacean bereproduksi dengan cara vivipar (melahirkan), setelah melahirkan kelompok betina saling menjaga bayi yang baru lahir, agar tidak tenggelam dan bisa ke perukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada BAB I PENDAHULUAN Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada rumah di kawasan permukiman tepi laut akibat reklamasi pantai. Kawasan permukiman ini dihuni oleh masyarakat pesisir

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai

Lebih terperinci

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Pulau Maratua berada pada gugusan pulau Derawan, terletak di perairan laut Sulawesi atau berada dibagian ujung timur Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sosial masyarakat karena tanpa bahasa masyarakat akan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sosial masyarakat karena tanpa bahasa masyarakat akan sulit untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat karena tanpa bahasa masyarakat akan sulit untuk melanjutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Kisaran adalah Ibu Kota dari Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota Kisaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya ini pemerintah berupaya mencerdaskan anak bangsa melalui proses pendidikan di jalur

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM SOSIOKULTUR KOMUNITAS NELAYAN LAMALERA

BAB IV SISTEM SOSIOKULTUR KOMUNITAS NELAYAN LAMALERA BAB IV SISTEM SOSIOKULTUR KOMUNITAS NELAYAN LAMALERA Masyarakat Lamalera membangun permukimannya di sepanjang pesisir pantai yang berbatu karang. Pemukiman penduduk ditata mulai dari bibir-bibir pantai

Lebih terperinci

vi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kabupaten Buton diperkirakan memiliki luas sekitar 2.509,76 km 2, dimana 89% dari luas wilayah tersebut merupakan perairan laut. Secara geografis Kabupaten Buton terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyu hijau merupakan reptil yang hidup dilaut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh disepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara.

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan 2016 2019 PUSKAMUDA Isu Strategis dalam Kerangka Strategi Kebijakan 1. Penyadaran Pemuda Nasionalisme Bina Mental Spiritual Pelestarian Budaya Partisipasi

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT (Mewujudkan Kawasan Suaka Perikanan Nasional Perairan Laut Sawu dan Sekitarnya) Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum masyarakat nelayan desa pesisir identik dengan kemiskinan,

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum masyarakat nelayan desa pesisir identik dengan kemiskinan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum masyarakat nelayan desa pesisir identik dengan kemiskinan, yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL SASI DALAM SISTEM ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI RAJA AMPAT

PEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL SASI DALAM SISTEM ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI RAJA AMPAT PEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL SASI DALAM SISTEM ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI RAJA AMPAT Oleh Paulus Boli Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil Jakarta, 9 10 Mei 2017

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km 2 terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km 2 dan daratan 5,779.123 Km 2. Dengan luas

Lebih terperinci

Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman.

Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman. Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman. 1. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan deep ecology? 2. Bagaimana menerapkan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari? 3. Apa peran pemerintah dalam konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia memiliki luasan dengan luas kira-kira 5 juta km 2 (perairan dan daratan), dimana 62% terdiri dari lautan dalam batas 12 mil dari garis pantai (Polunin,

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Hutan untuk Masa Depan Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia

METODOLOGI. Hutan untuk Masa Depan Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia Hutan untuk Masa Depan 2 METODOLOGI Struktur Buku ini adalah sebuah upaya untuk menampilkan perspektif masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan berkelanjutan. Buku ini bukanlah suatu studi ekstensif

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak hutan tropis, dan bahkan hutan tropis di Indonesia merupakan yang terluas ke dua di dunia setelah negara Brazil

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya banyak yang dihuni oleh manusia, salah satunya adalah Pulau Maratua

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya banyak yang dihuni oleh manusia, salah satunya adalah Pulau Maratua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim yang terdiri dari beberapa gugusan pulau mulai dari yang besar hingga pulau yang kecil. Diantara pulau kecil tersebut beberapa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Kemiskinan dan kesenjangan sosial pada kehidupan nelayan menjadi salah satu perhatian utama bagi kebijakan sektor perikanan. Menurut pemerintah bahwa kemiskinan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari / BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK Proyek yang diusulkan dalam penulisan Tugas Akhir ini berjudul Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta. Era globalisasi yang begitu cepat berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu dapat dikenali dari keanekaragaman budaya, adat, suku, ras, bahasa, maupun agama. Kemajemukan budaya menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontrak perkebunan Deli yang didatangkan pada akhir abad ke-19.

BAB I PENDAHULUAN. kontrak perkebunan Deli yang didatangkan pada akhir abad ke-19. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Batubara merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten yang baru menginjak usia 8 tahun ini diresmikan tepatnya pada 15

Lebih terperinci

mendorong menemukan pasar untuk produk yang sudah ada dan mendukung spesies-spesies lokal yang menyimpan potensi ekonomi (Arifin et al. 2003).

mendorong menemukan pasar untuk produk yang sudah ada dan mendukung spesies-spesies lokal yang menyimpan potensi ekonomi (Arifin et al. 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat hutan pegunungan sangat rentan terhadap gangguan, terutama yang berasal dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan manusia seperti pengambilan hasil hutan berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Struktur karya sastra dibedakan menjadi dua jenis yaitu struktur dalam

BAB I PENDAHULUAN. Struktur karya sastra dibedakan menjadi dua jenis yaitu struktur dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Struktur karya sastra dibedakan menjadi dua jenis yaitu struktur dalam (intrinsik) dan luar (ekstrinsik). Pada gilirannya analisis pun tidak terlepas dari kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, dimana banyak memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, dimana banyak memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, dimana banyak memiliki kekayaan kebudayaan didalamnya. Selain itu menurut Koentjaraningrat (2009:165), di Indonesia

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Y, Wartaya Winangun, Tanah Sumber Nilai Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal

BAB I PENDAHULUAN. 1 Y, Wartaya Winangun, Tanah Sumber Nilai Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN A.1. Latar Belakang Permasalahan Dalam kehidupan di dunia, setiap makhluk hidup pasti tergantung pada 3 unsur pokok, yaitu: tanah, air, dan udara. Ketiga unsur tersebut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN EKOSISTEM

DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN EKOSISTEM DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN EKOSISTEM * * * * * * * * * * * * * * * * PUSAT PERANCANGAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan sejak abad ke- 17 telah menjadi kota Bandar, karena memiliki posisi sangat strategis secara geopolitik dan geostrategis.

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN Pelabuhan Perikanan. Pengertian pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN Pelabuhan Perikanan. Pengertian pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN 1.1.1. Pelabuhan Perikanan Pengertian pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, 2006. Menyatakan bahwa pelabuhan perikanan adalah tempat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total panjang keseluruhan 95.181

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION TO THE

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN SAHAM DAN BATASAN LUASAN LAHAN DALAM PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PEMANFAATAN PERAIRAN DI SEKITARNYA DALAM RANGKA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

KAJIAN KONSTRUKSI DAN LOKASI JARING WARING TERHADAP UPAYA PENCEGAHAN TERPERANGKAP IKAN HIU PAUS (Rhincodon typus) DI SELAT MADURA

KAJIAN KONSTRUKSI DAN LOKASI JARING WARING TERHADAP UPAYA PENCEGAHAN TERPERANGKAP IKAN HIU PAUS (Rhincodon typus) DI SELAT MADURA KAJIAN KONSTRUKSI DAN LOKASI JARING WARING TERHADAP UPAYA PENCEGAHAN TERPERANGKAP IKAN HIU PAUS (Rhincodon typus) DI SELAT MADURA Mochamad Arief Sofijanto 1, Dwi Ariyoga Gautama 2, Bagus Ramadhan 3, Fernandes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pemerintah Indonesia dalam pengembangan kepariwisataan

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pemerintah Indonesia dalam pengembangan kepariwisataan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upaya pemerintah Indonesia dalam pengembangan kepariwisataan diwujudkan dalam program Visit Indonesia yang telah dicanangkannya sejak tahun 2007. Indonesia sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara PEMBUKAAN PSB KOTA SURABAYA Oleh: Dr. Asmara Indahingwati, S.E., S.Pd., M.M TUJUAN PROGRAM Meningkatkan pendapatan dan Kesejahteraan masyarakat Daerah. Mempertahankan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI 189 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI A. Simpulan Umum Kampung Kuta yang berada di wilayah Kabupaten Ciamis, merupakan komunitas masyarakat adat yang masih teguh memegang dan menjalankan tradisi nenek

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan tersebar dari pulau Sumatera sampai ke ujung timur

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.573, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Pertanahan. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penataan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan budaya itu tersimpan dalam kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan budaya itu tersimpan dalam kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya dengan ragam kebudayaan. Kekayaan budaya itu tersimpan dalam kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perubahan arah kebijakan pembangunan dari yang berbasis pada sumber daya terestrial ke arah sumber daya berbasis kelautan merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dipicu

Lebih terperinci

DATA SPESIFIK BIDANG PP I UNTUK SUPPORT NTT SATU DATA

DATA SPESIFIK BIDANG PP I UNTUK SUPPORT NTT SATU DATA DATA SPESIFIK BIDANG PP I UNTUK SUPPORT NTT SATU DATA I. DATA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL (KAT) PROVINSI NTT A. Pengertian. Komunitas Adat Terpencil adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN 78 7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN 7.1 Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terkait sistem bagi hasil nelayan dan pelelangan Menurut

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci