INTERNALISASI BIAYA KONSERVASI LAHAN PERTANIAN KENTANG DI DAS SERAYU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INTERNALISASI BIAYA KONSERVASI LAHAN PERTANIAN KENTANG DI DAS SERAYU"

Transkripsi

1 INTERNALISASI BIAYA KONSERVASI LAHAN PERTANIAN KENTANG DI DAS SERAYU Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah Rachman Pasha P PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Internalisasi Biaya Konservasi Lahan Pertanian Kentang di DAS Serayu (Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini Bogor, Juli 2012 Rachman Pasha NIM P

3 ABSTRACT RACHMAN PASHA. The Internalization Cost of Conservation Practices of Potato Farming in Serayu Watershed (Case study in Igirmranak Village, Kejajar Sub- District, Wonosobo District). Supervised by SAMBAS BASUNI and SUYANTO Environmental degradation caused by intensive potato farming on the upper Dieng Plateau has reached an alarming level. Farmers who intensively plant potatoes and other vegetables in this Plateu mostly do not apply soil and water conservation practices on their gardens. This is suspected as one of the main causes of high erosion and sedimentation rates in the watershed. These environmental problems combined with farmers behavior torwards soil and water conservation in their potato gardens require further attention and information on how to solve such problem. Therefore, this research offers some fundamental analysis on farm-budget under different conservation techniques, farmers willingness to accept in improving their conservation practices and potential of application of rewards for environmental services schemes in the upper Dieng Plateu. The objective of this study are (i) to evaluate the conservation practices of potato farming by comparing rate of erosion and farm productivity under different soil and water conservation techniques, (ii) to determine the Willingness to Accept (WTA) value to environmentally friendly farming practices for sedimentation reduction. The research involving 100 respondents was carried out in January May 2011 at Igirmranak village, Wonosobo district, Central Java, Indonesia. The study shows that the total potato production on land without conservation techniques was 37% higher compared to the one with conservation techniques. This result is based on the measurement of the potato farming erosion rate that the conservation techniques could control erosion and run-off at higher rates (18.38% and 33.90% respectively) compared to potato farming without conservation techniques. Farmers who adopted conservation techniques experience less profit per season (IDR 5,905,021) than those who do not apply such technique. In contrast, the potato production per stem in conservation farming was 26% higher compared to production on land without conservation techniques. The study also showed that the value of WTA among farmers was IDR 5,000,000. Some factors that influenced them to make decisions were 1) bid amount and 2) perception of profitability of potato. Overall, this study concluded that the RES concept in Dieng could be implemented by setting enabling conditions for environmentally friendly agriculture system that could provide long-term benefits to farmers. Government involvement and support would be needed to provide livelihoods alternatives that can fill the gap between opportunity costs and WTA. Keywords: Land conservation, erosion and run off, willingness to accept, opportunity cost

4 RINGKASAN RACHMAN PASHA. Internalisasi Biaya Konservasi Lahan Pertanian Kentang Di DAS Serayu (Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo). Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI dan SUYANTO. Degradasi lingkungan yang disebabkan oleh pertanian intensif kentang di hulu Dataran Tinggi Dieng telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Para petani yang menanam kentang dan berbagai sayur-sayuran secara intensif, pada umumnya tidak menerapkan praktek konservasi yang baik dan benar di lahan pertanian mereka. Kondisi ini diduga sebagai salah satu penyebab utama terjadinya erosi dan sedimentasi yang sangat tinggi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu. Masalah serius lainnya di DAS ini adalah mengeringnya beberapa danau pada musim kemarau dan serta seringnya bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi pada saat musim hujan tiba. Berbagai permasalahan lingkungan yang dikombinasikan dengan perilaku petani dalam mengelola lahan pertanian kentang memerlukan perhatian lebih lanjut untuk dapat mencari berbagai solusi untuk menghadapi masalah tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk melakukan beberapa analisa fundamental mengenai analisis usaha tani berdasakan penerapan teknik konservasi yang berbeda, menilai besaran insentif yang dinginkan petani untuk menerima dan melakukan praktik konservasi (Willingness to Accept/WTA) serta melihat potensi penerapan skema jasa lingkungan di Dieng. Tujuan dari penelitian ini adalah (i) untuk mengevaluasi praktek-praktek konservasi usahatani kentang dengan membandingkan laju erosi dan produktivitas pertanian bawah tanah yang berbeda dan teknik konservasi air, (ii) untuk menentukan nilai WTA petani kentang agar bersedia melakukan praktek pertanian ramah lingkungan bagi upaya pengurangan sedimentasi. Penelitian yang melibatkan 100 responden ini dilakukan pada Januari-Mei 2011 di Igirmranak desa, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total produksi kentang pada lahan tanpa teknik konservasi adalah 37% lebih tinggi dibandingkan dengan lahan dengan teknik konservasi. Hasil pengukuran laju erosi dan limpasan permukaan pada lahan

5 pertanian kentang menunjukkan bahwa teknik konservasi mampu mengendalikan erosi dan limpasan permukaan pada tingkat yang lebih tinggi (18,38% dan 33,90% masing-masing) dibandingkan dengan lahan pertanian kentang tanpa teknik konservasi. Petani yang mengadopsi teknik konservasi akan mendapatkan keuntungan yang lebih sedikit per musim (Rp ) dibandingkan dengan para petani yang tidak menerapkan teknik tersebut. Sebaliknya, produksi kentang per batang dalam pertanian konservasi 26% lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada lahan tanpa teknik konservasi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa nilai WTA di kalangan petani adalah Rp Beberapa faktor yang mempengaruhi mereka untuk membuat keputusan adalah 1) Jumlah tawaran dan 2) Persepsi profitabilitas kentang. Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep RES di Dieng dapat diterapkan dengan menetapkan kondisi yang memungkinkan untuk sistem pertanian ramah lingkungan yang dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi para petani. Keterlibatan dan dukungan pemerintah sangat diperlukan untuk dapat menyediakan alternatif mata pencaharian yang dapat mengisi kesenjangan antara opportunity costs and WTA. Kata Kunci: Konservasi lahan, Erosi dan limpasan permukaan, Wilingness to Accept, Opportunity Cost

6 @ Hak Cipta milik IPB tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seijin IPB

7 INTERNALISASI BIAYA KONSERVASI LAHAN PERTANIAN KENTANG DI DAS SERAYU Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah Rachman Pasha P Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

8 Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc

9

10 Karya Ilmiah ini kupersembahkan kepada Istri dan anakku tersayang (Silvia Pasha dan Tiara Pasha), Alm.Mama Yetti, Papa Wahab, Abang, Adik-adikku Serta seluruh keluarga besar dan semua orang yang tanpa henti memberikan dukungan. Terima Kasih yang tulus untuk semuanya Kalian sumber inspirasiku

11 PRAKATA Alhamdullilah, puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Internalisasi Biaya Konservasi Lahan Pertanian Kentang Di DAS Serayu (Studi Kasus di Desa Igir Mranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo). Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat utama penyelesaian studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (PS-PSL IPB). Kesuksesan hingga tahap akhir dari perjuangan selama masa studi di Sekolah Pascasarjana IPB ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Suyanto M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas kesediaan waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis ini. 2. Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc.Trop dan Prof. Dr. Ir. Erliza Noor, MS selaku Penguji Luar Komisi dan Penguji Perwakilan Program Studi atas saran dan masukan yang sangat berharga demi perbaikan tesis ini. 3. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi PSL, para staf dosen dan staf sekretariat PSL atas segala bantuan, sumbangsih IPTEK dan kerjasama yang telah terjalin dengan baik selama studi. 4. Dr. Beria Leimona selaku RUPES Project Coordinator atas bantuan berupa dorongan bimbingan serta dana penelitian yang bersumber dari IFAD (International Fund for Agriculture Development). 5. Teman-teman peneliti di Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang (Iraz Tumita Sari, Kurniawan Sigit, Iva Dewi Lestariningsih, Dr. Widianto dan Prof. Kurniatun Hairiah) yang telah turut membantu mendisain penelitian ini.

12 6. Rekan-rekan di Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) (Mas Fahmi, Mas Andreas, Mas Widodo, Mas Tahrifan, Mas Yama, Mas Meri, Mas Soemali) atas masukan, diskusi dan fasilitasi selama penelitian dilakukan serta para enumerator (Agung, Munadhom, dkk) yang telah membantu dalam proses pengumpulan data. 7. Kepada teman-teman PSL IPB angkatan 2008 atas segala kebersamaan, kekompakan dan keceriaan selama proses studi di IPB. 8. Rekan rekan kerja di World Agroforestry Centre (ICRAF) South East Asia Regional Office atas segala semangat., dukungan dan kebersaman yang telah diberikan. 9. Seluruh teman-teman, sanak saudara dan handai taulan telah memberikan kontribusi lewat berbagai cara selama proses penelitian dan penyelesaian studi di IPB. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan berkat- Nya bagi kita semua. Amin Penulis mengucapkan maaf apabila masih terdapat kekurangan dalam penulisan tesis ini karena keterbatasan yang dimiliki. Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih. Bogor, Juni 2012 Rachman Pasha

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 April 1982 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Hizran Wahab dan Alm. Ibu Yetti Rosmiati. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Bhayangkari II Padang pada tahun 1994 kemudian melanjutkan studi ke SMP Negeri 172 Jakarta Timur dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis menempuh sekolah menengah atas pada SMU Negeri 7 Padang dan lulus pada tahun Pendidikan sarjana ditempuh di tahun yang sama pada Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan (JKSH), Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dari tahun Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang Master di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PS-PSL) di universitas yang sama pada tahun Saat ini penulis bekerja sebagai Peneliti bidang Jasa Lingkungan di World Agroforestry Centre (ICRAF) South East Asia Regional Office, suatu lembaga riset internasional yang bergerak dibidang Pertanian, Kehutanan dan Agroforestry.

14 i DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN Halaman i iii v vii ŀ I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Penelitian Kerangka Pemikiran Manfaat Penelitian 7 II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cakupan Pengelolaan DAS Multifungsi Daerah Aliran Sungai Pertanian Kentang Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Bahaya Usaha Tani yang Serampangan 18 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Wonosobo Kejajar Kecamatan Kejajar Kawasan Dieng profil Desa Igirmranak 36 IV. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian 38

15 ii 4.2. Alat dan Bahan Penelitian Jenis dan Sumber Data Pengumpulan Data Prosedur Penelitian Metode Penelitian 40 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Usaha Tani Kentang Pengukuran Laju Erosi Dan Limpasan Permukaan Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Persepsi Responden Nilai Tingkat Diskonto (Discount Rate) Nilai Willingness To Accept (WTA) Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Willingness 75 To Accept (WTA) Dengan Metode Regresi Logit 5.8. Evaluasi Penggunaan CVM Potensi Pengembangan Jasa Lingkungan Di Dieng 81 VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 86 VII. DAFTAR PUSTAKA 87

16 iii DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perbandingan Antara Daerah Hulu dengan Hilir 11 Tabel 2. Potensi Keuntungan dan Kerugian dalam Penerapan Mekanisme Pembayaran Jasa Multifungsi Daerah Aliran 15 Tabel 3. Topografi Luas Kemiringan Lahan Kabupaten Wonosobo 24 Tabel 4. Peranan masing-masing sektor dalam PDRB (%) Kabupatren Wonosobo Atas Dasar harga Konstan Tahun Tabel 5. Penggunaan Lahan di Kecamatan Kejajar 27 Tabel 6. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Kejajar 28 Tabel 7. Luas Panen dan Produksi Tanaman Sayuran di Kecamatan Kejajar 28 Tabel 8. Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Kejajar 30 Tabel 9. Luas Kawasan Dieng Dirinci Menurut Wilayah Kabupaten dan Kecamatan 33 Tabel 10. Hutan Lindung Kawasan Dieng di Kabupaten Wonosobo 35 Tabel 11. Kebutuhan dan keuntungan usaha tani pada tiap perlakuan 49 Tabel 12. Produksi Tanaman Kentang pada Tiap Perlakuan 53 Tabel 13. Nilai opportunity cost penurunan erosi pada lahan pertanian kentang 53 Tabel 14. Data Limpasan Permukaan (Run Off) dan Erosi pada tiap Perlakuan 57 Tabel 15. Besar Limpasan permukaan (mm) dan Erosi (Ton/Ha) serta Produksi Kentang (Kg/Tanaman 58 Tabel16. Kadar Air Tanah Satu Hari Setelah Hujan pada Tiap Perlakuan dan Tiap Bulan 60

17 iv Tabel 17. Rata-rata Pendapatan per Kapita Responden 64 Tabel 18. Tingkat Diskonto (Discount Rate) Responden 73 Tabel 19. Tabel Dugaan Tawaran WTA Responden Tabel 20. Tabel Dugaan Variabel yang mempengaruhi WTA Responden Tabel 21. Hasil Nilai Koefisien pada Peubah Kesediaan Masyarakat untuk Menerima Pembayaran atas Jasa Lingkungan dengan Regresi Logit (Logistic Regression)

18 v DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran 7 Gambar 2. Peta Administrasi Kabupaten Wonosobo 21 Gambar 3. Distribusi Penggunaan Lahan di Kabupaten Wonosobo 22 Gambar 4. Peta Curah Hujan Kawasan Dieng dan sekitarnya 23 Gambar 5. Kepemilikan Lahan di Kecamatan Kejajar 27 Gambar 6. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Kejajar 29 Gambar 7. Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Kejajar 31 Gambar 8. Skema Plot Erosi Chin Ong Meter 42 Gambar 9. (a) Plot Konservasi Dengan Model Teras Sejajar Kontur (b) Plot BAU dengan Model Teras Sejajar Lereng 51 Gambar 10. Proses Konstruksi Plot Erosi. 54 Gambar 11. Pengolahan Tanah Dan Penanaman Tanaman Kentang Di Plot Erosi 55 Gambar 12. Sebaran responden menurut Usia 62 Gambar 13. Sebaran responden menurut Pendidikan 63 Gambar 14. Sebaran responden menurut Jumlah Tanggungan 63 Gambar 15 Sumber Pendapatan Responden 64 Gambar 16. Peran penting sungai menurut responden 65 Gambar 17. (a) Kondisi lingkungan saat ini (b) Faktor-faktor penyebab kerusakan (c) Beban tanggung jawab atas kerusakan 66 lingkungan Gambar 18. Alasan menanam kentang menurut responden 67 Gambar 19. (a) Dampak Negatif Kentang (b) Pendapat dari menanam kentang (c) Alasan petani tetap menanam kentang 68 Gambar 20. (a) Keinginan alih komoditi (b) Alasan menolak alih komoditi 70 Gambar 21. Jenis terasering yang diterapkan oleh responden 71

19 vi Gambar 22. Grafik perbandingan teras searah lereng dan teras searah kontur 71 Gambar 23. Grafik Tingkat Diskonto (Discount Rate) Responden 73 Gambar 24. Grafik Dugaan kurva tawaran WTA responden 75

20 vii DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Kuisioner Analisis Usaha Tani 93 Lampiran 2. Kuisioner Sosial Ekonomi, Persepsi, Discount Rate dan WTA Lampiran 3. Perhitungan Usaha Tani 105 Lampiran 4. Hasil Analisis Regresi Logit dengan STATA Lampiran 5. Hubungan Antara Curah hujan dengan Limpasan Permukaan (Run Off) dan Erosi pada Tiap Perlakuan Lampiran 6. Korelasi Limpasan Permukaan (Run Off) dan Erosi pada Tiap Perlakuan Lampiran 7. Uji T Kadar Air 1 Hari Setelah Hujan dari Dua Perlakuan

21 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit listrik, irigasi sawah, sumber air minum, pemandian dan sebagainya. Salah satu fungsi DAS yang utama adalah sebagai pemasok air dengan kualitas dan kuantitas yang baik terutama bagi orang di daerah hilir (Farida dan Noordwijk, 2004). Ketersediaan air sangat tergantung pada aktivitas yang dilakukan di hulu DAS karena daerah ini merupakan pintu utama dalam menjaga ketersediaan suplai air. Tingginya laju sedimentasi di sungai menjadi suatu permasalahan yang umum terjadi di berbagai DAS yang ada di Indonesia. Meningkatnya populasi manusia di wilayah hulu, terbatasnya pemilikan lahan, tingginya kemiskinan serta kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, cenderung memotivasi masyarakat untuk membuka lahan guna menghasilkan sumber pendapatan baru (Farida dan Noordwijk, 2004). Terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam teknik budidaya dan pola pengelolaan lahan juga diduga sebagai pendorong terjadinya aktivitas masyarakat yang berakibat pada menurunnya kualitas & kuantitas air sungai. Munculnya lahan-lahan kritis sebagai akibat dari proses erosi dan longsor dari pola pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan berdampak langsung pada meningkatnya proses sedimentasi di sungai. Kondisi ini merugikan banyak pihak, baik dari masyarakat hulu sendiri selaku pengelola maupun para pengguna air yang berada di daerah hilir selaku pemanfaat. Di satu sisi masyarakat merasa dirugikan dengan seiring menurunnya hasil pertanian dan berkurangnya areal lahan yang mereka miliki, sedangkan di sisi lain banyak pihak sebagai pengguna air yang tidak dapat melakukan kegiatan produksinya secara maksimal (Verbist dan Pasya, 2004). Kondisi di atas juga terjadi di DAS Serayu, tepatnya pada dataran tinggi Dieng. Masyarakat secara intensif mengusahakan lahan miliknya untuk budidaya tanaman semusim, terutama kentang. Usaha budidaya tanaman kentang yang selama ini dilakukan masyarakat cenderung tidak sesuai dengan kaidah konservasi

22 2 tanah dan sistem budidaya tanaman semusim di lahan kering. Masyarakat selama ini beranggapan bahwa guludan yang sejajar kontur akan membuat aliran air permukaan menjadi terhambat sehingga dikhawatirkan akan membuat tanah menjadi tergenang air hujan yang pada akhirnya akan menyebabkan umbi kentang menjadi busuk sehingga membuat mereka rugi. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa pembuatan teknik konservasi cukup mahal. Paradigma ini yang menyebabkan proses pemahaman mengenai pentingnya pola pertanian ramah lingkungan di Dieng menjadi terkendala. Kondisi diatas berdampak pada produksi kentang yang terus merosot selama empat tahun terakhir. Apabila pada tahun 2004 per hektar tanaman kentang masih menghasilkan 17,6 ton, tahun 2007 bisa 15,4 ton, ternyata tahun 2008 panen hanya tertinggi 10-13,5 ton per hektar. Biaya produksi tanaman pun naik, kalau 2004 per hektar cukup Rp 25 juta, ternyata saat ini kisarannya Rp 40 juta-rp 48 juta per hektar untuk sekali musim tanam (TKPD 2008). Hal tersebut diperparah dengan semakin membanjirnya kentang impor dari China yang memiliki harga jual relatif lebih murah dibandingkan kentang Dieng, yaitu seharga Rp 3.500/kg sehingga menyebabkan daya jual kentang Dieng kalah bersaing. Memburuknya kualitas tanah dan panenan itu tak menyurutkan alih fungsi lahan. Menurut TKPD (2008), pada tahun 2005 luas lahan kentang di Dieng hektar, tahun 2006 menjadi hektar. Pada tahun 2008, lahan justru meluas menjadi hektar. Tim Kerja Pemulihan Dieng TKPD (2008) mengidentifikasi kecenderungan-kecenderungan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan sebagai berikut: Di Dataran Tinggi Dieng, tingkat erosi mencapai 161 ton per hektar per tahun. Di tahun 2002, terhitung tingkat erosi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu mencapai 4,21 mm per tahun, dan 13,7 mm per tahun di hulu DAS Merawu. Sebelumnya, tingkat erosi di tahun 1990 tidak pernah melebihi 2 mm per tahun di kedua tempat tersebut. Pertambahan sedimen di Waduk Sudirman, Sungai Serayu, sejak tahun Pendangkalan di waduk ini telah mencapai 60,106 m3 atau 40% dari kapasitas

23 3 waduk. Penambahan sedimen tertinggi terjadi selama tahun 2000 (7,106 m3) pada saat terjadi penggundulan hutan besar-besaran di dataran tinggi Dieng. Empat danau besar yang ada pada kawasan Dieng, saat ini sudah mengering. Kini, di dataran tersebut hanya tinggal satu danau yaitu Telaga Warna yang masih berair, namun saat ini airnya sudah tidak lagi menampilkan warna yang mempesona seperti kondisi tahun silam Penurunan produktifitas lahan dan banjir di daerah hilir Serayu dan anak-anak sungainya Penurunan kualitas dan kuantitas air menyebabkan mulainya kesulitan pemenuhan kebutuhan air bagi lahan pertanian dan konsumsi rumah tangga Kondisi demikian telah mendorong berbagai pihak untuk peduli terhadap pemulihan kawasan Dieng. Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten Wonosobo, telah memasukkan program rehabilitasi kawasan Dieng dalam Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah Hanya saja tampaknya pengelolaan sumberdaya lahan dan hutan di kawasan Dieng yang berkelanjutan belum efektif dan menghasilkan capaian-capaian sesuai harapan. Imbal Jasa Lingkungan-Payment for Environmental Services (PES) merupakan salah satu pendekatan dengan tujuan untuk mencari solusi dari permasalahan hulu-hilir yang banyak diterapkan di berbagai negara, baik itu negara maju maupun negara berkembang (Wunder et al. 2008). Pendekatan ini sudah mulai diterapkan di wilayah Amerika Latin, tetapi masih tergolong suatu hal yang baru di Asia, terutama di Indonesia (Leimona, 2007). Salah satu pendekatan inovatif dalam pengelolaan DAS adalah melalui skema pembayaran jasa lingkungan (payment for environmental services) dan imbal jasa lingkungan (rewards for environmental services) (Van Noordwijk, 2005; Van Noordwijk and Leimona, 2010). Dalam skema imbal jasa lingkungan, petani terutama yang tinggal di hulu suatu DAS, dipandang sebagai pengambil keputusan penggunaan lahan dan berkontribusi sebagai penyedia jasa lingkungan (environmental service providers). Di lain pihak, masyarakat luas yang menggunakan air dipandang sebagai pemanfaat jasa lingkungan (environmental service beneficiaries) (Leimona et all, 2009).

24 4 Kombinasi penerapan teknik pertanian yang bersifat ramah lingkungan dan penyediaan insentif melalui skema jasa lingkungan bagi para petani yang bersedia mengadopsi teknik tersebut, diharapkan menjadi salah satu solusi yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, baik masyarakat maupun lingkungan. Tidak hanya memiliki manfaat dari sisi ekologi, akan tetapi juga manfaat dari sisi ekonomi dan sosial. B. Rumusan Masalah Tingkat pemanfaatan yang tidak diikuti dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang berkelanjutan menyebabkan terlampauinya daya dukung kawasan Dieng. Karakteristik hak kepemilikan pribadi (private property rights) yang otonom dalam pengambilan keputusan menyebabkan pemilik lahan memiliki kebebasan dalam memanfaatkan lahannya yang terkadang tanpa memperhitungkan eksternalitas yang dihasilkan oleh pola pengelolaan lahan yang diterapkan. Keputusan-keputusan yang dibuat umumnya didasarkan pada rasionalitas jangka pendek dan untuk kemanfaatan individu, sementara kemanfaatan jangka panjang dan perlindungan lingkungan untuk kemanfaatan sosial jarang dijadikan acuan. Akibatnya dampak-dampak negatif pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan yang eksploitatif seperti banjir, tanah longsor, sulitnya memperoleh air dengan kualitas dan kuantitas yang memadai dan rusaknya kawasan wisata menjadi beban bagi orang lain. Kondisi demikian tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, karena akan menimbulkan masalah ekonomi di kemudian hari. Tidak saja bagi masyarakat umum dan pemerintah melainkan bagi petani kentang itu sendiri. Bagi petani pelaku aktif budidaya kentang misalnya, semakin lama biaya produksi usaha taninya semakin besar, sehingga tingkat keuntungan yang diperoleh akan semakin menipis. Akibat jangka panjangnya akan menurunkan kemampuan investasi petani dalam pengelolaan asset lahannya, sehingga pada suatu saat lahan yang mereka miliki tidak dapat lagi ditanami kentang atau tidak mampu lagi menghasilkan manfaat. Bagi pemerintah, kerusakan lingkungan yang parah akan menurunkan kesempatan penggunaan anggaran bagi pembangunan kesejahteraan

25 5 sosial karena dana yang ada dan terbatas habis untuk membiayai pencegahan dan penanganan bencana lingkungan seperti banjir dan tanah longsor. Namun demikian, kebijakan pemulihan kawasan Dieng tidak lantas diarahkan untuk menghentikan kegiatan budidaya kentang di kawasan Dieng. Kebijakan demikian mungkin akan menyelesaikan masalah rusaknya kawasan Dieng, tetapi tidak menjamin bahwa kerusakan serupa tidak terjadi di tempat lain seperti Garut, Lembang dan tempat-tempat lain yang memiliki kondisi agroklimat yang sesuai bagi budidaya kentang. Oleh karenanya kebijakan pemulihan kawasan Dieng seharusnya ditujukan untuk mengembalikan fungsi lindung kawasan Dieng tanpa mengabaikan kepentingan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Untuk itu pertimbangan-pertimbangan yang holistik diperlukan dalam pembuatan kebijakan pemulihan kawasan Dieng yang kompleksitas permasalahannya sangat tinggi dengan penyebab yang beragam mulai dari penyebab yang terkait dengan ekonomi, sosial dan kelembagaan masyarakat dan pemerintah, hingga kualitas sumberdaya manusia dan ketersediaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan dalam banyak kasus penyebab-penyebab tersebut terkait satu sama lain. Valuasi ekonomi sumberdaya lahan untuk kawasan Dieng dapat dijadikan input untuk intervensi kebijakan penyelesaian masalah yang terkait dengan ekonomi usaha tani yang berkelanjutan. Oleh karenanya valuasi ekonomi manfaat ekologis dan kerugian atas kerusakan sumberdaya lahan dan hutan di Kawasan Dieng perlu dilakukan. Namun demikian, disadari bahwa untuk melakukan penilaian ekonomi manfaat ekologis dan kerugian atas kerusakan sumberdaya lahan dan hutan bukanlah pekerjaan yang ringan. Untuk mendapatkan kualitas dan validitas yang memadai diperlukan kajian yang mendalam dan membutuhkan korbanan dana dan waktu yang tidak sedikit. Mengingat kemampuan yang ada pada saat ini belum dapat memenuhi keinginan melakukan valuasi ekonomi sesuai standar keilmuan baku, maka dalam kesempatan ini kajian akan dibatasi pada pengungkapan gambaran awal issue dan permasalahan kerusakan sumberdaya lahan di kawasan Dieng sebagai sarana untuk menuju valuasi ekonomi manfaat ekologis dan

26 6 kerugian atas kerusakan sumberdaya lahan dan hutan di Kawasan Dieng yang sesuai dengan standar ilmiah, berkualitas dan valid. C. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghitung besaran nilai eksternalitas yang perlu internalisasi oleh petani kentang sebagai dasar dan acuan untuk merancang skema PES yang cocok, adil dan berkelanjutan bagi proses perbaikan kawasan Dieng. Tujuan ini dapat dicapai dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Membandingkan tingkat kesuburan tanah pada pertanian kentang yang diukur dari tingkat erosi dan limpasan permukaan yang dipengaruhi oleh pola konservasi yang diterapkan. 2. Menghitung besaran nilai ekonomi pertanian kentang yang dihasilkan yang diukur dari tingkat produksi dan keuntungan panen yang dipengaruhi oleh pola konservasi yang diterapkan. 3. Menghitung besarnya nilai internalisasi petani untuk menurunkan erosi dan limpasan permukaan dengan menggunakan pendekatan Opportunity Cost dan Willingness to Accept (WTA) serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya. D. Hipotesis 1. Tingkat erosi dan limpasan permukaan pada plot yang menerapkan teknik konservasi lebih rendah dibandingkan pada plot yang tidak menerapkan sistem konservasi 2. Hasil panen kentang pada plot yang menerapkan sistem konservasi lebih rendah dibandingkan pada plot yang tidak menerapkan sistem konservasi akan tetapi produktifitas kentang per tanaman pada plot yang menerapkan sistem konservasi lebih tinggi dibandingkan pada plot yang tidak menerapkan sistem konservasi 3. Nilai internalisasi petani untuk menurunkan erosi dan limpasan permukaan dengan menggunakan pendekatan WTA lebih rendah dari nilai opportunity cost

27 7 E. Kerangka Pemikiran Penelitian berikut: Secara skematis, kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan berupa acuan kepada pihak pemerintah daerah Wonosobo untuk penyusunan Skema Imbal Jasa Lingkungan bagi pengelolaan DAS Serayu dimasa yang akan datang guna memotivasi masyarakat selaku pengelola jasa lingkungan di dalam menjaga dan memelihara kualitas DAS Serayu. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam pengelolaan kawasan Dieng, terutama bagi pemerintah dan masyarakat di dalam membuat kebijakan dan menentukan pola pengelolaan lahan pertanian kentang yang bernilai ekonomis dan ramah lingkungan.

28 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Persoalan sedimentasi, penurunan muka air suatu waduk, sungai, atau danau serta maraknya kejadian bencana alam akhir-akhir ini seperti longsor, banjir dan kekeringan, dapat dipandang sebagai indikator tidak optimalnya pengelolaan sumberdaya (alam dan manusia) dalam Daerah Aliran Sungai (DAS). Intervensi dan kebutuhan manusia dalam pemanfaatan sumber daya yang semakin meningkat membuat makin banyaknya DAS yang rusak dan kritis. Salah satu fokus kegiatan Departemen Kehutanan pada era Kabinet Indonesia Bersatu adalah pengelolaan DAS. Saat ini diketahui bahwa jumlah DAS kritis yang ada di Indonesia mencapai 458 DAS dimana 60 DAS diantaranya termasuk kedalam prioritas I, 222 DAS termasuk ke dalam prioritas II dan sisanya 176 DAS tergolong ke dalam prioritas III untuk upaya penanggulangannya/ rehabilitasinya. Sedangkan lahan kritis di wilayah DAS kritis di Indonesia sangat luas dan terbagi ke dalam lahan sangat kritis seluas hektar dan hektar merupakan lahan kritis (Darori, 2008). Gambaran kerusakan DAS dan degradasi lahan menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas ha, kemudian meningkat menjadi 39 DAS kritis pada tahun 1994 dengan luas lahan kritis mencapai ha dan pada tahun 2000 DAS kritis berjumlah 42 DAS dengan luas lahan kritis mencapai ha (Soenarno, 2000; Ditjen RRL, 1999). Saat ini diperkirakan 13% atau 62 DAS dari 470 DAS di Indonesia dalam kondisi kritis, meskipun kegiatan konservasi tanah dan air dalam pengelolaan DAS sudah sejak lama dilakukan. Pendekatan pengelolaan DAS menjadi relevan kembali setelah munculnya persoalan pengelolaan sumber daya alam serta dampak pengelolaan yang buruk. Selain itu pendekatan pengelolaan DAS yang lebih menonjolkan aspek erosi sedimentasi ternyata menjadi bumerang bagi pengelolaan DAS. DAS tidak hanya menghasilkan satu fungsi yang selama ini lebih ditonjolkan tetapi banyak fungsi DAS seperti penyedia pangan, papan, sandang, rekreasi, pendaur ulang sampah, penyedia air, mitigasi kekeringan, mitigasi banjir, keanekaragaman hayati,

29 9 penyedia energi dan sebagainya. Selama ini multifungsi tersebut seakan tenggelam dan ditenggelamkan oleh erosi sedimentasi yang sejak lama dikampanyekan pemerintah dalam pengelolaan DAS. Paper ini menguraikan imbal jasa multifungsi DAS untuk mendukung pengelolaan DAS dan implementasi serta kendala yang mungkin terjadi Cakupan Pengelolaan DAS Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pembangunan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan. Pada dasarnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2000). (DAS) merupakan suatu ekosistem dimana terjadi interaksi antara organisme dari lingkungan biofisik dan kimia secara intensif serta terjadi pertukaran material dan energi. Dalam ekosistem DAS dapat dilihat bahwa hujan sebagai input, DAS sebagai pemroses, dan air sebagai output. Hujan sebagai input dalam ekosistem DAS bisa dianggap sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. DAS sebagai faktor proses merupakan unsur yang bisa diubah atau diperlakukan untuk bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di dalamnya dan untuk bisa menekan kerusakan yang terjadi (Priyono dan Cahyono, 2003). Karena DAS secara alamiah juga merupakan satuan hidrologis, maka dampak pengelolaan yang dilakukan di dalam DAS akan terindikasikan dari keluarannya yang berupa tata air. Terdapat hubungan yang sangat erat antara hulu dan hilir dalam DAS, di mana hulu sebagai daerah tangkapan air akan memberikan dampak dari pengelolaan yang dilakukan di hulu. Sementara itu, hilir berperan sebagai penerima dampak kegiatan pengelolaan di hulu (dampak baik atau buruk). Namun

30 10 tidak selalu daerah hilir menerima dampak dari kegiatan di hulu karena dapat terjadi daerah hulu menerima dampak dari aktivitas ekonomi di daerah hilir. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya di dalam DAS perlu dilakukan secara terpadu (integrated resource management) untuk dapat mengakomodir semua kepentingan. Kegiatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pertama kali di Indonesia dilakukan pada tahun 1970-an. Pada saat itu, pengelolaan DAS merupakan respon terhadap banjir besar yang terjadi di kota Solo pada tahun 1966 (BTP DAS Surakarta, 2001). Pengelolaan DAS adalah upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2000). Pengelolaan DAS terpadu menurut Easter et al. (1986) adalah proses formulasi dan implementasi suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut sumberdaya alam dan manusia dalam suatu DAS dengan memperhitungkan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan faktor-faktor institusi yang ada di DAS tersebut dan sekitarnya untuk mencapai tujuan sosial yang spesifik. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS ditujukan pada kesejahteraan manusia dengan mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kelembagaan. Pengelolaan DAS yang hanya bertumpu pada salah satu aspek tanpa memperhatikan aspek yang lain akan mengalami kegagalan. Hal ini terbukti bahwa pengelolaan DAS pada masa lalu yang lebih menonjolkan pada monofungsi DAS yang disederhanakan sebagai pengendali erosi dan sedimentasi ternyata telah gagal dengan ditunjukkannya banyaknya bencana dan kemiskinan. Padahal DAS memiliki banyak fungsi baik tangible maupun intagible seperti penyedia pangan, papan, sandang, rekreasi, kesejukan udara, jasa lingkungan, keanekaragaman hayati, penyedia energi, dan sebagainya. Hilang atau dihilangkannya multifungsi DAS tersebut telah membuat DAS hanya sebatas wacana dan penarik dana keproyekan. Strategi pengelolaan DAS yang memfokuskan pada pengendalian erosi sedimentasi ternyata tidak fokus dan gagal mengkampanyekan bahwa DAS merupakan pendukung kehidupan. Untuk itu, pendekatan perlu diubah menjadi multifungsi DAS dan peran DAS yang dominan

31 11 dalam kehidupan manusia. Secara topografi, DAS dibagi atas daerah hulu, tengah, dan hilir yang saling terkait (Asdak, 1995). Aktivitas yang terjadi pada daerah hulu akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap daerah hilir. Sebagai salah satu sumberdaya alam, maka sumberdaya yang ada pada suatu wilayah DAS dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Lahan di kawasan DAS dipergunakan untuk pembangunan pertanian baik yang berada di kawasan hulu maupun hilir. Pada daerah hulu umumnya merupakan lahan kering seperti huma, tegalan, dan kebun. Adapun daerah hilir umumnya dipergunakan sebagai daerah persawahan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Tabel 1. Perbandingan Antara Daerah Hulu dengan Hilir (Cahyono dan Purwanto, 2006) HILIR HULU Faktor Faktor Biofisik Datar Berlereng miring Tidak rentan terhadap erosi Rentan terhadap erosi Relatif banyak sedimentasi Relatif sedikit sedimentasi Seragam Beragam Sedikit hutan yang tertinggal Masih cukup banyak sisa hutan Lapisan olahnya tebal dan subur Lapisan olahnya dangkal, kritis Umumnya lahan teririgasi Umumnya lahan kering Sistem usahatani sejenis, padi Sistem usahatani beragam Pertanian intensif Pertanian ekstensif Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Keragaman etnis/suku yang kecil Keragaman etnis/suku besar Budaya mayoritas Kelompok etnis minoritas Mudah dicapai Terpencil Infrastruktur yang baik Infrastruktur yang buruk Pendidikan lebih tinggi Pendidikan lebih rendah Pekerja buruh Pekerja keluarga Kemampuan ekonomi lebih baik Kemampuan ekonomi rendah, miskin Kredit lebih mudah diberikan Kredit sukar diberikan Berorientasi pasar Berorientasi subsisten Pusat aktivitas, pengambilan keputusan Bukan pusat aktivitas Hak kepemilikan tanah jelas Hak kepemilikan tanah rumit Kepemilikan tanah perseorangan Banyak tanah milik negara

32 12 Pendekatan Penyuluhan Teknologi yang kompleks Paket teknologi Paket diberikan Fokus pada sistem pertanian Pelayanan penyuluhan baik Teknologi Yang Menentukan Penyediaan air/irigasi Jenis tanaman unggulan Pengendalian hama penyakit, pemupukan berimbang Teknologi yang sederhana Pilihan teknologi Proses difasilitasi Relevan dengan tata guna lahan Pelayanan penyuluhan kurang baik Konservasi tanah dan air Konservasi unsur hara Pola tanam intercropping dengan tanaman tahunan Adanya keterkaitan antara daerah hulu dan hilir sebagai suatu ekosistem DAS membuat pengelolaan DAS harus terintegrasi dan holistik. Pengelolaan DAS dilakukan melalui pendekatan ekosistem yang dilaksanakan berdasarkan prinsip satu daerah aliran sungai, satu rencana, satu pengelolaan. Pengembangan hilir tanpa memperhatikan wilayah hulu akan mengakibatkan rendahnya kesejahteraan di hulu. Namun, hal itu akan mengancam kesinambungan pembangunan wilayah di daerah hilir. Bila dicermati, pengembangan di daerah hulu relatif lebih sedikit dibandingkan dengan daerah hilir, baik dari segi perhatian, program, dana, dan sebagainya. Hal ini wajar karena secara nilai ekonomis wilayah hilir yang bernilai ekonomis tinggi akan lebih diperhatikan oleh pemerintah dibandingkan dengan wilayah hulu. Akibatnya, terjadi ketimpangan pembangunan antara daerah hulu dengan hilir. Daerah hilir umumnya menjadi pusat-pusat aktivitas manusia dan daerah hulu merupakan pemasok bahan baku dan sumberdaya bagi daerah hilir. Bila ini tidak diantisipasi akan menimbulkan konflik kepentingan antara daerah hulu dengan hilir. Konflik yang sering terjadi berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan pemberian kompensasi bagi daerah hulu dari hilir yang selama ini cenderung menikmati apa yang dihasilkan oleh wilayah hulu. Pengembangan budidaya tanaman pangan di wilayah hulu yang tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air biasanya menimbulkan degradasi lingkungan yang dicerminkan dengan tingginya laju erosi, sedimentasi, dan kehilangan unsur hara mineral. Upaya-upaya konservasi dan rehabilitasi telah banyak dilakukan. Namun, tingkat partisipasi masyarakat rendah dan

33 13 kompleksitas kondisi sosial ekonomi dan fisik di daerah hulu membuat upaya tersebut kurang signifikan Multifungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai selama ini lebih sering dipahami dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan erosi dan sedimentasi. Hal ini wajar karena kampanye pengelolaan DAS pada periode yang lalu lebih menonjolkan pada peran yang dapat dimainkan DAS dalam rangka mengeliminir dampak yang merugikan dari erosi sedimentasi. Konsep DAS terlihat tengelam dan kehilangan arus utamanya dalam pengelolaan sumberdaya alam maupun secara kewilayahan. Hal tersebut kasat mata terlihat bahwa pembangunan dan pengelolaan sumberdaya lebih berpegang pada batas administratif dibandingkan dengan batas alami DAS. Daerah aliran sungai perlu dilihat dalam dimensi yang lebih luas, yaitu tidak terbatas hanya sebagai pengendali erosi sedimentasi dan sedikit produksi. DAS dapat menghasilkan produk yang dapat dipasarkan dan juga sekaligus sebagai penghasil jasa yang tidak bisa dipasarkan. Berbagai fungsi itu antara lain penyedia produk (pangan, sandang, dan papan), keindahan lansekap, mitigasi banjir, mitigasi, kekeringan, mitigasi longsor, mengurangi erosi, mitigasi gas rumah kaca, tempat rekreasi, penyejuk udara, mempertahankan keanekaragaman hayati, pendaur ulang limbah organik, menjaga ketahanan pangan, penyangga ekonomi, penyedia lapangan kerja, dan sebagainya. Daerah aliran sungai terdiri dari penggunaan lahan dan setiap penggunaan lahan memiliki beragam fungsi. Misal, sawah memiliki banyak fungsi yang penting bagi kehidupan. Berbagai studi menunjukkan bahwa sawah selain sebagai penyedia pangan juga mempunyai jasa terhadap lingkungan baik lingkungan biofisik, kimia maupun sosial ekonomi (Agus et al, 2003; Pawitan, 2004; dan Wahyunto et al, 2004). 2.4 Tanaman Kentang Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak, termasuk Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas

34 14 Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies Solanum tuberosum L. (Beukema, 1977). Tanaman kentang berasal dari Amerika Selatan (Peru, Chili, Bolivia, dan Argentina) serta beberapa daerah Amerika Tengah. Di Eropa daratan tanaman itu diperkirakan pertama kali diintroduksi dari Peru dan Colombia melalui Spanyol pada tahun 1570 dan di Inggris pada tahun 1590 (Hawkes, 1990). Penyebaran kentang ke Asia (India, Cina, dan Jepang), sebagian ke Afrika, dan kepulauan Hindia Barat dilakukan oleh orang-orang Inggris pada akhir abad ke-17 dan di daerah-daerah tersebut kentang ditanam secara luas pada pertengahan abad ke-18 (Hawkes, 1992). Menurut Permadi (1989), saat masuknya tanaman kentang di Indonesia tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada tahun 1794 tanaman kentang ditemukan telah ditanam di sekitar Cisarua (Kabupaten Bandung) dan pada tahun 1811 tanaman kentang telah tersebar luas di Indonesia, terutama di daerah-daerah pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Minahasa, Bali, dan Flores. Di Jawa daerah-daerah pertanaman kentang berpusat di Pangalengan, Lembang, dan Pacet (Jawa Barat), Wonosobo dan Tawangmangu (Jawa Tengah), serta Batu dan Tengger (Jawa Timur). Kentang termasuk tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropika dan subtropika (Ewing dan Keller, 1982), dapat tumbuh pada ketinggian 500 sampai 3000 m di atas permukaan laut, dan yang terbaik pada ketinggian 1300 m di atas permukaan laut. Tanaman kentang dapat tumbuh baik pada tanah yang subur, mempunyai drainase yang baik, tanah liat yang gembur, debu atau debu berpasir. Tanaman kentang toleran terhadap ph pada selang yang cukup luas, yaitu 4,5 sampai 8,0, tetapi untuk pertumbuhan yang baik dan ketersediaan unsur hara, ph yang baik adalah 5,0 sampai 6,5. Menurut Asandhi dan Gunadi (1989), tanaman kentang yang ditanam pada ph kurang dari 5,0 akan menghasilkan umbi yang bermutu jelek. Di daerah-daerah yang akan ditanam kentang yang menimbulkan masalah penyakit kudis, ph tanah diturunkan menjadi 5,0 sampai 5,2. Pertumbuhan tanaman kentang sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca. Tanaman kentang tumbuh baik pada lingkungan dengan suhu rendah, yaitu 15 sampai 20

35 15 oc, cukup sinar matahari, dan kelembaban udara 80 sampai 90 % (Sunarjono, 1975). Pertumbuhan dan hasil tanaman kentang juga sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan penyebarannya selama masa pertumbuhan. Selama pertumbuhannya tanaman kentang menghendaki curah hujan 1000 mm atau setiap bulan rata-rata 200 sampai 300 mm. Saat kritis bagi tanaman kentang adalah saat ketika dibutuhkan lebih banyak air, yaitu pada permulaan pembentukan umbi dan pembentukan stolon. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang tinggi, pada saat itu kadar air tanah pada kedalaman 15 cm dari permukaan tanah tidak boleh kurang dari 56% kapasitas lapang (Nonnecke, 1989). Hal itu didukung oleh Gandar dan Tanner (1976) yang menyatakan bahwa perpanjangan dan bentangan daun menurun jika potensial air daun menurun. Hasil umbi kentang akan terganggu jika kelembaban terlalu tinggi Mekanisme Pembayaran Jasa Multifungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) Nilai finansial jasa multifungsi DAS dapat dipahami dan dimanfaatkan untuk mendorong pengelolaan DAS yang lebih bijak dan menghambat praktek pengelolaan DAS yang merusak. Sistem pasar dan kebijakan pembangunan yang mengabaikan multifungsi DAS dan menganggap jasa yang dihasilkan sebagai eksternalitas telah menyebabkan semakin rendahnya insentif pengelolaan DAS. Nilai atau manfaat multifungsi DAS memiliki ciri seperti public goods, yakni dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa harus membayar. Keadaan ini membuat pengambil manfaat dari multifungsi tersebut kurang menyadari dan tidak memberikan perhatian yang sepatutnya pada penjaga dan pengelola penyedia jasa multifungsi tersebut. Tabel 2. Potensi Keuntungan dan Kerugian dalam Penerapan Mekanisme Pembayaran Jasa Multifungsi Daerah Aliran Sungai (Cahyono dan Purwanto, 2006) Potensi Keuntungan Potensi Kerugian - Meningkatkan dan menjaga kualitas air - Pengalokasian suplai air lebih efisien - Pengadaan kembali aliran air alami - Mengurangi biaya sekunder yang muncul karena penyaringan endapan/sedimen - Kompleksitas permasalahan manajemen DAS menyebabkan kesulitan (atau bahkan tidak mungkin) dalam memperoleh informasi lengkap mengenai sebab

36 16 - Mengurangi biaya kesehatan tambahan - Memberikan layanan yang diperlukan pengguna atau industri dengan lebih efisien dan murah dibandingkan dengan pendekatan kebijakan atau pengawasan - Berpotensi sebagai sumber pendapatan dalam jangka waktu yang lama untuk melindungi kawasan termasuk ekosistem kritis. - Mendorong makin diakuinya nilai ekonomis dan ekologis DAS - Keuntungan sekaligus biaya jasa DAS dapat tersebar dengan lebih merata - Mengurangi jurang perbedaan urban-rural dan meningkatkan pemerataan - Memberikan kesempatan untuk pengembangan mekanisme pengaturan yang partisipatif dan kooperatif yang berdampak positif yang bersifat sosial lebih luas - Memperbaiki regulasi atau struktur hukum perlindungan air dan DAS Komunikasi yang lebih baik di antara para pemangku kepentingan - Penyedia jasa lingkungan memperoleh kompensasi. Ini berarti meningkatkan pendapatan masyarakat miskin pedesaan jika hak mereka diakui dan kepastian kepemilikan lahan meningkat - Peningkatan kapasitas masyarakat pedesaan melalui pengembangan keterampilan dalam praktik pemanfaatan lahan, manajemen, dan kesempatan baru yang muncul - Peningkatan representasi politik masyarakat miskin - Peningkatan pemahaman secara ilmiah - Perlindungan warisan budaya/leluhur - Peningkatan kesempatan rekreasi - Peningkatan penyediaan jasa DAS - Potensi pasar yang sangat besar untuk jasa hidrologi akibat dan pengukuran dampak - Pengembangan pasar dan kelembagaan merupakan proses yang lambat, berulang serta memerlukan waktu - Tingginya biaya transaksi yang dikaitkan dengan pengembangan pasar yang mungkin berupa: (a) perencanaan dan negosiasi, (b) pemantauan dan penerapan - Kesepakatan dan kerjasama diantara pemangku kepentingan multipihak (multiple stakeholder agreements and collaboration) untuk mengatasi masalah free-riding - Pengumpulan informasi ilmiah dan informasi lainnya untuk mendukung pembuatan keputusan - Penjelasan kepada para pemangku kepentingan dan membuat mereka mnyadari kemungkinan ketidakpastian yang muncul sehingga harapan yang tidak realistik dapat dihindarkan - Kejelasan hak atas lahan - Memperkuat kerangka hukum dan perundangan - Pengembangan lembaga perantara - Pemecahan permasalahan akses pasar dapat berupa (a) rendahnya pendidikan, (b) isolasi geografis, (c) kurangnya hak atas lahan, (d) kekuatan tawar yang tidak merata - Biaya penerapan langkah perlindungan - Ketidakadilan mungkin akan timbul ketidakadilan yang ada semakin tajam jika tidak ditangani secara

37 17 intensif - Hilangnya biaya peluang terhadap pemanfaatan lahan tertentu. Daya beli pemakai air mungkin rendah - Potensi kehilangan hak guna informasi akibat meningkatnya kompetisi dan pemberlakuan berbagai pembatasan - Peliknya prosedur valuasi ekonomi jasa lingkungan Tidak seperti insentif finanisal yang tergantung pada subsidi pemerintah, imbal jasa ini mensyaratkan pemanfaat jasa multifungsi DAS membayar jasa yang diterimanya kepada penyedia jasa tersebut. Selain itu harus disepakati jasa apa saja yang akan dibayarkan oleh penerima jasa kepada penyedia jasa. Penyedia jasa pun harus dapat memastikan bahwa jasa multifungsi DAS tersebut merupakan hasil pengelolaannya dan ketersediaannya tergantung pada keputusan yang diambil oleh penyedia jasa. Namun, banyaknya stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan DAS dapat menyebabkan situasi yang kompleks, rumit dan membutuhkan biaya transaksi yang tinggi. Menurut Cahyono dan Purwanto (2006), mekanisme imbal jasa multifungsi DAS dapat dikelompokkan dalam 3 bentuk yaitu: a. Kesepakatan yang diatur sendiri Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima jasa, biasanya bersifat tertutup, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara tatap muka, perjanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang rendah dari pemerintah. Misalnya, skema ekolabel, sertifikasi, pembelian hak pengembangan lahan dimana jasa itu berada, pembayaran langsung antara pemanfaat jasa DAS yang berada di luar lokasi dengan pemilik lahan yang bertanggungjawab atas ketersediaan jasa multifungsi DAS. b. Skema pembayaran publik Pendekatan ini sering digunakan bila pemerintah bermaksud menyediakan landasan kelembagaan untuk suatu program dan sekaligus menanamkan investasinya. Pemerintah dapat memperoleh dana melalui beberapa jenis

38 18 iuran dan pajak. Contohnya, kebijakan penetapan harga air, persetujuan penggunaan pajak air untuk melindungi DAS, menciptakan mekanisme pengawasan, pemantauan dan pelaksanaan regulasi yang bersifat melindungi penyedia jasa dan menerapkan denda bagi pelanggarnya. c. Skema pasar terbuka Skema ini jarang diterapkan dan cenderung dapat diterapkan di negara yang sudah maju. Pemerintah dapat mendefinisikan barang atau jasa apa saja dari multifungi DAS yang dapat diperjual belikan. Selanjutnya dibuat regulasi yang dapat menimbulkan permintaan. Perlu sebuah kerangka regulasi yang kuat dan penegakan hukum, transparansi, penghitungan secara ilmiah yang akurat dan sistem verifikasi yang terjamin. Selain mekanisme yang dipergunakan dalam imbal jasa multifungsi DAS, tipe imbalan berkaitan dengan jasa lingkungan akan menentukan implementasi lapangan. Gouyon (2004) membagi imbalan berkaitan dengan jasa lingkungan dalam 3 kategori yaitu: 1. Imbalan berupa pembiayaan langsung, seperti pemberian subsidi atas pertukaran suatu perubahan tata guna lahan. 2. Imbalan non finansial, misalnya penyediaan infrastruktur, pelatihan, manfaat atau jasa-jasa lainnya bagi pihak yang menyediakan jasa lingkungan. 3. Akses ke sumberdaya atau pasar, seperti pemilikan lahan, atau akses pasar yang lebih baik dengan sertifikasi jasa lingkungan atau dengan skema alokasi kontrak publik 2.6. Bahaya Usaha Tani yang Serampangan Apa yang terkandung dalam tanah merupakan unsur hara atau makanan yang sangat diperlukan tanaman. Kemampuan tanah dalam memenuhi kebutuhan tanaman disebut dengan produktifitas tanah. Produktifitas tanah semakin lama akan semakin menurun akibat Usaha tani yang tidak benar, pengikisan lapisan tanah atas yang dibiarkan, pencemaran lingkungan, dan bencana alam. Usaha tani yang kita lakukan secara terus menerus dengan mengangkut hasil panenan keluar tanpa dilakukan upaya pengembalian kembali sisa bahan

39 19 tersebut dan bahan organik lainnya, akan menguras kesuburan tanah. Unsur hara atau makanan yang ada di tanah akan diambil tanaman untuk pertumbuhan batang, daun dan buah. Unsur hara yang diambil itu adalah unsur hara Makro (unsur yang diambil tanaman dalam jumlah besar) yaitu, N (nitrogen), P (fosfor), K (kalium), Ca (Calsium), Mg (magnesium), dan S (sulfur) dan juga unsur mikro (unsur yang diperlukan dalam jumlah sedikit) yaitu Fe (besi), Mn (mangan), Bo (boron), Mo (molibdenum), Cu (tembaga), Zn (seng), Cl (klor)dan Co (kobalt). Oleh karena itu setiap panenan banyak sekali unsur hara yang terangkut dari dalam tanah tanpa dikembalikan lagi ke dalam tanah. Pada lahan-lahan miring, kehilangan lapisan tanah atas akan terjadi bersamaan dengan mengalirnya air ke bawah. Lapisan atas yang mengandung unsur hara akan segera habis dengan besarnya pengaliran air di atasnya. Hilangnya lapisan atas akan menyisakan lapisan tanah dalam atau yang sering disebut tanah tulang. Tanpa usaha pencegahan tanah tidak akan mampu lagi mendukung pertumbuhan tanaman secara maksimal. Penggunaan bahan-bahan kimia dan racun secara berlebihan akan mengganggu kondisi lingkungan kita. Racun akan terserap ke dalam tanah dan akan membunuh makhluk hidup lain di dalam tanah, sehingga tanah menjadi mati dan tidak mampu berproduksi dengan semestinya. Bencana alam baik yang terjadi secara alamiah seperti banjir, dan tanah longsor akibat ulah manusia seperti penggundulan hutan akan mempengaruhi produktifitas tanah. Oleh karenanya usaha yang akan kita lakukan harus selalu diiringi dengan upaya pemeliharaa nnya agar usaha yang sedang kita kembangkan dapat mencapai tujuan dan langgeng. Keberhasilan dalam berusaha tani tidak hanya diukur dengan berapa banyak keuntungan yang kita dapatkan saat ini, tetapi juga sampai berapa lama keuntungan itu dapat kita peroleh.

40 20 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kondisi umum dari lokasi penelitian yaitu dimulai dari kondisi umum Kabupaten Wonosobo, Kecamatan Kejajar, Dataran Tinggi Dieng hingga profil desa penelitian yaitu Desa Igirmranak. Data dan informasi yang dipaparkan dalam bab ini bersumber pada dokumen Wonosobo Dalam Angka tahun 2009 dan Wonosobo Dalam Angka tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Wonosobo serta beberapa informasi yang didapat melalui wawancara dengan beberapa stakeholders kunci Kabupaten Wonosobo a. Letak dan Luas Wonosobo merupakan salah satu dari 35 Kabupaten di Jawa Tengah yang terletak pada LS, dan dan BT dengan luas wilayah mencapai hektar. Secara administratif Kabupaten Wonosobo terbagi menjadi 15 Kecamatan, yaitu Kecamatan Wonosobo, Kertek, Selomerto, Leksono, Garung, Kejajar, Mojotengah, Watumalang, Sapuran, Kepil, Kalikajar, Kalibawang, Kaliwiro, Wadaslintang dan Kecamatan Sukoharjo. Kabupaten ini berbatasan dengan: Kabupaten Banjarnegara, Kendal dan Batang di sebelah utara. Kabupaten Temanggung dan Magelang di sebelah timur. Kabupaten Purworejo dan Kebumen di sebelah selatan. Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Kebumen di sebelah Barat. Secara lebih jelas, peta administrasi Kabupaten Wonosobo disajikan pada Gambar 2 berikut.

41 21 Sumber: Wonosobo Dalam Angka 2010 Gambar 2. Peta Administrasi Kabupaten Wonosobo b. Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan Penggunaan lahan utama di wilayah Kabupaten Wonosobo adalah untuk tegalan/kebun, yang mana luas lahan untuk tanah kering/tegalan/kebun adalah ,90 ha atau 55,99% dari total wilayah kabupaten. Penggunaan lainnya meliputi tanah sawah yang mencakup ,68 ha (18,99%), hutan negara ,72 ha (19,20%), perkebunan negara/swasta seluas 2.764,51 ha (2,80%) dan lainnya seluas 2.968,07 ha (3,01%) (Gambar 3).

42 22 Sumber: Wonosobo Dalam Angka 2010 Gambar 3. Distribusi Penggunaan Lahan di Kabupaten Wonosobo Tanah kering merupakan bagian terluas dari wilayah Wonosobo. Pada wilayah tersebut penguasaan ada pada masyarakat, selain sawah dan penggunaan lainnya. Sementara itu, hutan dikuasai oleh negara (state forest) yang pengelolaannya dilakukan oleh Perum Perhutani, dan perkebunan oleh swasta. Tidak ditemukan data rinci mengenai penggunaan tanah kering tersebut. Dapat dikemukakan bahwa kondisi tanah di Kabupaten Wonosobo tergolong subur, karena terletak di sekitar gunung api muda. Wajar jika dimanfaatkan untuk tanaman pertanian yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat Wonosobo. Komoditi utama pertanian yang dikembangkan antara lain kentang, tembakau, kopi, pepaya carica, purwaceng, jamur, kol dan wortel. Kebun dan hutan rakyat berkembang sangat pesat, khususnya di wilayah bagian tengah dan selatan (Nugroho, 2009). c. Kondisi Agro-ekosistem Wonosobo beriklim tropis dengan suhu rata-rata antara C pada siang hari, dan turun menjadi 20 C pada malam hari. Pada bulan Juli sampai Agustus suhu udara terasa lebih dingin, antara C pada siang hari, dan mencapai 12 C pada malam hari. Hujan turun hampir sepanjang tahun, dengan curah hujan rata-rata mm. Mengacu pada catatan statistik, Juli merupakan

43 23 bulan yang paling jarang hujan, dan paling banyak terjadi hujan pada bulan Januari. Rata-rata hari hujan adalah 196 hari dengan curah hujan rata-rata mm, tertinggi di Kecamatan Garung (4.802 mm) dan terendah di Kecamatan Watumalang (1.554 mm). Peta curah hujan untuk kawasan Dieng dan sekitarnya disajikan pada Gambar 4 berikut: Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng, 2011 Gambar 4. Peta Curah Hujan Kawasan Dieng dan sekitarnya Menurut data BPS Kabupaten Wonosobo 2010, jenis tanah di Kabupaten Wonosobo dapat diklasifikasikan sebagai berikut: - Andosol (25%), tersebar di Kecamatan Kejajar, sebagian Garung, Mojotengah, Watumalang, Kertek dan Kalikajar, - Regosol (40%), terdapat di Kecamatan Kertek, Sapuran, Kalikajar, Selomerto, Watumalang dan Garung, dan - Tanah Podsolik (35%) terdapat di Kecamatan Selomerto, Leksono dan Sapuran. Bentang alam Wonosobo berupa pegunungan dengan ketinggian berkisar antara 270 meter sampai dengan meter di atas permukaan laut (mdpl). Sulit menemukan daerah datar di Wonosobo. Hanya 54,4 ha luas wilayah masuk dalam

44 24 kategori datar. Sebagian besar wilayah mempunyai tingkat kemiringan lebih dari 30% (Tabel 3). Dan beberapa wilayah kabupaten Wonosobo merupakan daerah yang labil sehingga rawan terjadi tanah longsor. Tabel 3. Topografi Luas Kemiringan Lahan Kabupaten Wonosobo URAIAN LUAS (Ha) Datar ( 3 8 % ) 54,4 ha Bergelombang ( 8 15 % ) ,1 ha Curam ( % ) ,6 ha Sangat Curam ( > 40 % ) ,9 ha Sumber: Wonosobo Dalam Angka 2010 Daerah pegunungan Wonosobo di bagian utara menjadi sumber mata air yang mengalir beberapa sungai, yaitu Sungai Serayu, Bogowonto, Kali Putih, Kali Galuh, Kali Semagung, dan Luk Ulo. Sebagian besar sungai ini dimanfaatkan untuk irigasi pertanian, keperluan rumah tangga, air minum komersial dan sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Terdapat satu bendungan besar Mrica (Sudirman) di wilayah Kabupaten Banjarnegara yang berasal dari Sungai Serayu yang digunakan untuk irigasi dan PLTA. Aliran sungai lainnya digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Mengacu pada pembagian wilayah pengelolaan sungai, Sub Satuan Wilayah Sungai (SSWS) di Kabupaten Wonosobo adalah sebagai berikut : SSWS Serayu Hulu mempunyai luas daerah tangkapan 591,34 km2 dengan panjang sungai 45 km SSWS Bogowonto seluas 146,10 km2 dengan panjang sungai 26,70 km SSWS Medono seluas 196,10 km2 dengan panjang sungai 10,25 km SSWS Luk Ulo seluas 51,27 km2 dengan Sungai Luk Ulo dengan panjang sungai 7,50 km.

45 25 d. Kependudukan dan Perekonomian Kependudukan Hasil Registrasi Penduduk Akhir Tahun 2009, jumlah penduduk Kabupaten Wonosobo adalah sebanyak jiwa, yang terdiri dari laki-laki jiwa dan perempuan jiwa dengan rasio jenis kelamin 102,05. Pertambahan penduduk dari tahun 2008 ke 2009 sebesar jiwa berasal dari mutasi penduduk lahir sebanyak jiwa, meninggal sebanyak jiwa, datang 3.983, dan pergi Tingkat kelahiran tertinggi sebesar 16,86% terjadi di Kecamatan Kaliwiro dan tingkat kematian tertinggi sebesar 6,97% terjadi di Kecamatan Kepil. Bila dilihat per kecamatan, jumlah penduduk terbesar adalah di Kecamatan Kertek yaitu sebanyak jiwa, disusul Kecamatan Wonosobo sebesar jiwa, sedangkan Kecamatan yang jumlah penduduknya paling sedikit adalah Kecamatan Kalibawang yaitu sebesar jiwa. Ditinjau dari pertumbuhan penduduk selama lima tahun terakhir ( ), Kecamatan Garung mengalami pertumbuhan penduduk yang paling tinggi sebesar 0,93%, sedangkan pertumbuhan penduduk terendah di Kecamatan Wonosobo sebesar 0,27%. Kepadatan penduduk di Kabupaten Wonosobo tahun 2009 sebesar 802 jiwa per Km2. Bila dilihat per kecamatan, angka kepadatan penduduk cukup bervariasi. Angka kepadatan penduduk yang paling tinggi terdapat di kecamatan Wonosobo sebesar jiwa per Km2 sedangkan yang paling rendah di Kecamatan Wadaslintang sebesar 433 jiwa per Km 2. Perekonomian Sektor pertanian memiliki perananan penting dalam perekonomian Kabupaten Wonosobo. Merujuk pada angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) , Sektor Pertanian menyumbang rata-rata per tahun sebesar 48,95%. Nilai kontribusi bertambah besar jika memasukan sektor industri pengolahan berbasis pertanian ikut diperhitungkan. Kontribusi masing-masing sektor dalam PDRB disajikan pada Tabel 4.

46 26 Tabel 4. Peranan masing-masing sektor dalam PDRB (%) Kabupatren Wonosobo Atas Dasar harga Konstan Tahun No Sektor Produk Domestik Regional Bruto (Tahun) Pertanian 48,93 49,04 49,08 2 Pertambangan dan 0,71 0,72 0,72 Penggalian 3 Industri Pengolahan 11,28 11,13 11,08 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0,72 0,72 0,72 5 Bangunan 4,04 4,04 4,04 6 Perdagangan, Hotel dan 11,60 11,65 11,74 Restoran 7 Angkutan dan Komunikasi 5,93 5,89 5,86 8 Bank, Persewaan & Jasa 6,14 6,15 6,12 Perusahaan 9 Jasa-jasa 10,66 10,66 10,65 PDRB Sumber: Wonosobo Dalam Angka Kecamatan Kejajar Kecamatan Kejajar merupakan wilayah Kabupaten Wonosobo yang seluruhnya berada di Kawasan Dieng. Luas wilayah Kecamatan Kejajar adalah hektare yang tebagi dalam 15 desa, yaitu: Buntu, Sigedang, Tambi, Kreo, Serang, Igirmanak, Surengede, Tieng, Parikesit, Sembungan, Jojogan, Patak Banteng, Dieng, Sikunang dan Campursari. Desa terbesar adalah Sigedang dengan luasan 1.081,52 hektar dan desa terkecil adalah Igirmanak 109, 86 hektar Penggunaan Lahan Kecamatan Kejajar berada pada ketinggian antara meter dari permukaan laut. Kecamatan Kejajar memiliki suhu udara yang sejuk dan cenderung dingin yaitu C. Tanah di kecamatan Kejajar terdiri dari tanah tegalan, hutan dan perkebunan. Luas tanah tegalan mencapai luasan 3.067,31 hektar, hutan negara terdapat pada semua desa dan mencapai luasan hektar (Tabel 5).

47 27 Tabel 5 Penggunaan Lahan di Kecamatan Kejajar No. Lahan Jumlah Prosentase 1 Pekarangan 157,21 2.7% 2 Tegalan 3.066, % 3 Kolam 1,67 0.0% 4 Hutan Negara 2.307, % 5 Rawa/Telaga 21,00 0.4% 6 Perkebunan 155,85 2.7% 7 Lainnya 52,67 0.9% Jumlah 5.761, % Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011 Komposisi lahan terbesar berupa tegalan yang dipakai sebagai lahan budidaya tanaman semusim oleh masyarakat, yang mana bentuk pengusahaan lahan ini diduga kuat sebagai merupakan salah satu sumber penyumbang erosi terbesar di DAS Serayu Kepemilikan Lahan Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011 Gambar 5. Kepemilikan Lahan di Kecamatan Kejajar

48 28 Dari Gambar 5 diatas, dapat diketahui bahwa rata-rata kepemilikan lahan untuk setiap rumah tangga di Kecamatan Kejajar adalah di bawah 1 Ha. Keterbatasan lahan ini menyebabkan pengolahan lahan di Kejajar menjadi sangat intensif, bahkan menurut beberapa sumber yang diwawancara, kondisi seperti ini yang pada masa lalu akhirnya mendorong masyarakat merambah kawasan hutan untuk menanam tanaman semusim Mata Pencaharian Mata pencaharian sebagian besar penduduk di Kecamatan Kejajar adalah sebagai petani dengan komoditi yang dibudidayakan meliputi kentang, sawi, kacang merah, daun bawang, kobis dan jagung. Secara lebih jelas, sebaran penduduk menurut mata pencahariannya disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7 serta gambar 3.5 berikut: Tabel 6. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Kejajar No. Mata pencaharian Jumlah Prosentase 1 Petani % 2 Buruh Tani % 3 Penambang 144 1% 4 Industri 688 3% 5 Bangunan 854 4% 6 Perdagangan % 7 Transportasi 399 2% 8 PNS/Polri 284 1% 9 Pensiunan 71 0% 10 Lainnya % Jumlah % Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011 Tabel 7. Luas Panen dan Produksi Tanaman Sayuran di Kecamatan Kejajar No Tanaman Luas Panen Produksi Prosentase Prosentase (ha) (Ton) Luas Produksi 1 Bawang Putih 8 3,7 0.1% 0.0% 2 Kentang ,3 40.8% 86.7% 3 Sawi % 1.7% 4 Kacang Merah % 0.3%

49 29 5 Daun Bawang % 0.9% 6 Kobis % 10.4% Jumlah % 100.0% Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011 Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011 Gambar 6. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Kejajar Melihat dari komposisi mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Kejajar, sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani dan buruh tani yang mengindikasikan bahwa adanya ketergantungan yang sangat tinggi terhadap keberadaan lahan pertanian. Kondisi ini menyebabkan upaya-upaya perbaikan lingkungan yang sempat diinisiasi oleh pemerintah menjadi terhambat karena program rehabilitasi tersebut cenderung bertentangan dengan metode pengolahan lahan yang selama ini dianut oleh masyarakat. Perlu dicoba untuk mengembangkan alternatif pekerjaan sampingan yang tidak berbasis lahan seperti pembuatan kerajinan, pariwisata, pengolahan bahan mentah menjadi setengah jadi dan sebagainya, sehingga fokus mata pencaharian masyarakat tidak hanya dari pertanian semata.

50 Tingkat Pendidikan Tabel 8. Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Kejajar Desa SD SLTP SMA AKD tidak/belum tidak /PT tamat SD sekolah Jumlah 01. Buntu Sigedang Tambi Kreo Serang Kejajar Igirmranak Surengede Tieng Parikesit Sembungan Jojogan Patakbanteng Dieng Sikunang Campursari Jumlah Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011 Berdasarkan komposisi tingkat pendidikan masyarakat Kejajar, terlihat bahwa hal mendesak lain yang perlu segera ditangani adalah peningkatan kapasitas masyarakat. Tabel 8 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa sekitar 62% (17.992) tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Kejajar hanya pada taraf Sekolah Dasar (SD) saja. Tingginya jumlah masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung akan mempersulit proses persuasi dalam mengajak masyarakat agar mau terlibat dalam upaya penyelamatan Dieng, karena mereka tidak memahami pentingnya upaya tersebut. Diperlukan suatu upaya peningkatan kesadaran (raising awareness) dan peningkatan kapasitas (capacity building) yang intensif agar masyarakat di Kecamatan Kejajar dapat memahami mengenai pentingnya menerapkan usaha tani yang ramah lingkungan dan tentunya semua sektor yang berkepentingan harus saling mendukung untuk mencapai tujuan tersebut.

51 31 Sumber: Tim Kerja Pemulihan Dieng 2011 Gambar 7. Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Kejajar Karakteristik Masyarakat Kejajar Masyarakat Kejajar merupakan masyarakat agraris, dimana hampir seluruh penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Hanya saja ternyata belum semua petani memiliki pengetahuan yang cukup memadai di bidang pertanian itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari sejarah pertanian di Kejajar ketika mulai booming tanaman kentang tahun 80-an, ternyata hingga saat ini belum ada perkembangan yang berarti untuk pengelolaan pertanian. Masyarakat petani sejauh ini hanya mengandalkan penyuluhan-penyuluhan dari agen-agen pabrik pestisida yang sesungguhnya hanya mempromosikan produknya. Akibatnya petani tidak mengetahui benar apa saja yang sesungguhnya dibutuhkan oleh tanaman dan lahan pertaniannya. Mereka hanya berusaha untuk mempertinggi hasil panen dengan menambah dosis obat atau mengganti obat dengan kandungan yang lebih kuat. Akibatnya tanaman semakin resisten dan kandungan bahan kimia dalam tanah semakin tinggi dan merusak struktur tanah (TKPD, 2011). Beberapa tahun terakhir ini ketika harga kentang semakin turun sementara harga pupuk dan obat-obatan melambung, keuntungan dari budidaya tanaman kentang menipis. Hanya saja petani tidak mempunyai alternatif lain untuk mengefisienkan biaya produksi maupun mengganti tanaman lain yang punya nilai ekonomis setara dengan kentang.

52 32 Perhatian utama masyarakat Kejajar selama ini hanya tertuju pada bidang pertanian, terutama tanaman kentang yang secara ekonomis cukup menguntungkan sehingga bidang-bidang lain kurang mendapat perhatian. Pendidikan dan ketrampilan lain belum menjadi kebutuhan karena orientasi mereka masih pada materi dan sudah terpenuhi dari hasil tanaman kentang. Maka salah satu dampaknya adalah minimnya pengetahuan masyarakat di bidang-bidang lain seperti pariwisata sehingga sumber daya manusia untuk mendukung pengelolaan menuju desa wisata masih belum memadai (TKPD, 2011). Hutan yang sudah terlanjur gundul di Desa Kejajar belum direhabilitasi sampai sekarang sehingga erosi terjadi hampir di seluruh kawasan desa yang topografinya berbukit-bukit sehingga mendorong terjadi pengendapan lumpur di daerah hilir Kawasan Dieng Kawasan Dieng dapat dikatakan merupakan tulang punggung sistem penyangga kehidupan (life support system) Kabupaten Wonosobo. Hampir semua aktivitas ekonomi bersumber pada kawasan Dieng. Demikian pula potensi bencana yang ada. Dengan demikian, peran dan fungsi Kawasan Dieng berupa produktivitas ekonomi maupun jasa lingkungan, dapat terwujud apabila dikelola secara lestari (Nugroho, 2009). Meski demikian, tidak semua Kawasan Dieng berada seluruhnya di Kabupaten Wonosobo. Kawasan seluas ,24 ha secara administratif berada di wilayah 6 (enam) kabupaten yaitu Kabupaten Banjarnegara, Temanggung, Wonosobo, Kendal, Batang dan Pekalongan. Letak geografis Kawasan Dieng adalah antara 7º º 35 2 LS dan 109º º BT. Secara lebih rinci sebaran luasan dari tiap Kabupaten di Kawasan Dieng dapat dilihat pada Tabel 9

53 33 Tabel 9. Luas Kawasan Dieng Dirinci Menurut Wilayah Kabupaten dan Kecamatan KABUPATEN KECAMATAN LUAS (Ha) Batur Banjarnegara Kalibening Pejawaran Wanayasa Banjarnegara Total , 35 Bawang Batang Blado Reban Batang Total 5.586, 33 Kendal Plantungan Sukorejo Kendal Total Doro Kajen Karanganyar Pekalongan Lebak Barang Paninggaran Petung Kriono Talun Pekalongan Total ,07 Candiroto Temanggung Ngadirejo Parakan Tretep Temanggung Total 5.617,21 Garung Kejajar Wonosobo Kertek Mojo Tengah Watu Malang Watumalang

54 34 KABUPATEN KECAMATAN LUAS (Ha) Wonosobo Wonosobo Total ,95 Jumlah , 27 Sumber: Nugroho, 2009 Keistimewaan kawasan Dieng adalah merupakan hulu dari 8 DAS yang mengalir ke wilayah selatan dan utara Pulau Jawa. Alirannya mengaliri ribuan ha sawah dan mencukupi kebutuhan air bagi jutaan penduduk. Kedelapan sungai tersebut adalah hulu DAS Serayu (seluas ha), hulu DAS Progo (seluas 2.672,13 ha), hulu DAS Bodri Ds (seluas 3.646,62 ha), hulu DAS Lampir Ds (seluas 5.967,56 ha), hulu DAS Sengkarang Ds (seluas ,65 ha), hulu DAS Comal (seluas 380,48 ha), dan hulu DAS Sragi (seluas 2.526,56 ha). Khusus untuk Sungai Serayu, kawasan ini menjadi daerah tangkapan air (DTA) waduk Sudirman yang merupakan investasi besar guna irigasi dan tenaga listrik (Nugroho, 2009). Dilihat dari fungsinya, hutan di dalam Kawasan Dieng diperuntukan kawasan konservasi seluas 53,4 ha, Hutan Produksi Terbatas ,08 ha, Hutan Produksi 489,89 ha, Hutan Lindung 7.506,34 ha, dan Areal Penggunaan Lain ,56 ha Seluruh hutan di Kawasan Dieng dikelola KPH Kedu Utara yang berstatus hutan lindung. Luas hutan lindung di kawasan dataran tinggi Dieng yang dikelola Perum Perhutani seluas 4.292,0 Ha berada di BKPH Wonosobo seluas 3.178,6 Ha dan BKPH Candiroto seluas 1.112,4 Ha, dengan rincian sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 10

55 35 Tabel 10 Hutan Lindung Kawasan Dieng di Kabupaten Wonosobo KPH Luas No B.H RPH Kabupaten Petak Fungsi Hutan Ket. ha Kedu Utara 1 Wonosobo Dieng Wonosobo 1 83,7 Hutan Lindung 2 70,9 Hutan Lindung 3 444,7 Hutan Lindung 4 384,7 Hutan Lindung 5 532,3 Hutan Lindung 6 36,9 Hutan Lindung 7 513,1 Hutan Lindung 8 89,9 Hutan Lindung 9 6,7 Hutan Lindung 10 20,7 Hutan Lindung ,0 Hutan Lindung ,2 Hutan Lindung Sigedang 13 68,4 Hutan Lindung ,9 Hutan Lindung ,5 Hutan Lindung 3.179,6 2 Candiroto Kenjuran Kendal 1 631,9 Hutan Lindung Temanggung 4 268,8 Hutan Lindung 7 211,7 Hutan Lindung 1.112, ,0 Sumber: Nugroho, 2009 Kawasan Dieng juga merupakan habitat beragam satwa dilindungi yang sebagian diantaranya terancam punah. Beberapa spesies yang tercatat hidup di dataran tinggi Dieng antara lain Harimau Tutul (Panthera pardus), mamalia endemik Jawa seperti Babi Hutan (Sus verrcosus), Owa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), dan Lutung (Trachypithecus auratus), serta 19 species burung endemik Jawa termasuk diantaranya Elang Jawa (Spizaetus bartelsii). Juga terdapat tumbuhan spesifik yang hanya hidup di pegunungan Dieng yaitu Purwoceng (Pimplinea pruacen) yang dikenal sebagai tanaman obat. Dataran tinggi ini dikenal karena memiliki lansekap alam pegunungan yang indah dengan warisan budaya berupa tinggalan Siwaistik dari belasan abad silam. Tinggalan tersebut adalah delapan buah candi, yaitu Candi Arjuna, Semar, Srikandi, Puntadewa, Sembadra, Dwarawati, Bhima, dan Gatotkaca. Selain itu masih dijumpai beberapa struktur bangunan yang diduga sebagai tempat tinggal para biksu, petirtaan, serta saluran air dan jalan kuna. Warisan budaya di Dataran Tinggi Dieng sudah lama dikelola, baik segi pelestarian maupun pemanfaatan untuk pariwisata. Namun pengelolaan kawasan

56 36 Dieng, baik sebagai situs bersejarah maupun objek wisata, berbenturan dengan kepentingan lain, misalnya pertanian kentang, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB), pabrik pengalengan jamur dan carica, serta pemukiman. Kepadatan penduduk rata-rata Kawasan Dieng mencapai angka 100 jiwa/km² dengan pemilikan lahan yang rendah yaitu rata-rata sebesar 0,1 ha. Desa yang paling padat jumlah penduduknya adalah desa Dieng, Kecamatan Kejajar yang mencapai 190 jiwa/km². Kepadatan penduduk yang cukup tinggi dan tingkat kepemilikan lahan yang rendah ini menyebabkan terjadinya tekanan terhadap kawasan lindung dengan adanya proses pengalihan fungsi lahan (kawasan lindung menjadi lahan budidaya). Konversi lahan ini menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang parah. Lahan kritis yang sudah di atas ambang batas toleransi terjadi di mana-mana akibat pemanfaatan lahan hutan di Pegunungan Dieng secara besar-besaran untuk tanaman kentang. Saat ini Dieng yang masuk wilayah Banjarnegara, terdapat hektare tanaman kentang, sedang di Wonosobo hektare lebih. Jadi sekitar hektare lebih lahan di Dieng sudah menjadi tanah kritis. Lahan kritis itu tetap bisa berproduksi, karena tanaman kentang dipacu dengan pupuk (kandang/ kimia) dalam dosis besar. Tingkat erosi yang terjadi sudah mencapai mencapai angka 10,7 mm/tahun atau rata-rata sebesar 161 ton/hektare/ tahun Profil Desa Igirmranak Berikut akan disampaikan sekilas mengenai kondisi umum desa penelitian yaitu Desa Igirmranak. Data-data yang disajikan disadur dari data Monografi Desa Igirmranak tahun 2010 yang diperoleh dari kantor desa setempat. Pada umumnya masyarakat di Desa Igirmranak tidak jauh berbeda dengan masyarakat lainnya di Kecamatan Kejajar. Sektor pertanian masih merupakan sumber utama untuk pendapatan mereka, disamping sektor-sektor lainnya. Luas desa Igirmranak sekitar 109, 862 ha dengan batas wilayah sebelah Barat dengan Desa Sureng Gede, sebelah Timur dengan Desa Wates (Kab.Temenggung), sebelah Selatan dengan Kelurahan Kejajar serta sebelah Utara dengan kawasan hutan. Desa Igirmranak berada pada ketinggian 1850 mdpl dengan tingkat curah hujan yang cukup tinggi yaitu mm/tahun. Topografi desa cukup beragam,

57 37 yaitu dari mdpl mdpl dan suhu udara sangat sejuk yang berkisar antara 14 o 23 o C. Jumlah penduduk desa Igirmranak hingga akhir tahun 2011 adalah sebanyak 716 jiwa yang terdiri dari 370 orang laki-laki dan 346 perempuan. Sedangkan jumlah Kepala Keluarga (KK) adalah sebanyak 213 KK. Jarak desa dari ibukota kabupaten sekitar 21 km dan jarak dari pusat pemerintahan kecamatan adalah sekitar 4 km. Mayoritas masyarakat di Desa Igirmranak adalah penganut agama Islam. Infrastruktur yang tersedia di desa ini masih relatif terbatas dimana hanya terdapat sebuah masjid dan dua buah Sekolah Dasar (SD) saja. Akses jalan cukup baik, walaupun dibeberapa lokasi ditemukan bahu jalan rusak akibat longsor yang terjadi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pertanian sayuran merupakan satusatunya usaha pertanian yang dijalankan oleh masyarakat di desa ini. Total luas lahan yang digunakan untuk pertanian sayur-sayuran adalah 67, 3 ha dengan hasil total sebanyak 632 ton per tahun. Kondisi perekonomian masyarakat dapat dikatakan masih rendah mengingat masih banyaknya ditemukan rumah-rumah yang bersifat semi permanen maupun non permanen. Begitu pun dengan tingkat pendidikan masyarakat dimana hampir sebagian besar hanya lulusan SD.

58 38 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, dalam rentang bulan Januari - Mei 2011 yang berlokasi di Desa Igirmranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah Alat dan Bahan Penelitian Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner Willingness to Accept (WTA), kuisioner biaya pertanian, altimeter, klinometer, bor tanah, Chin Ong Meter, ring sampel tanah, meteran, waterpass, pisau pandu, kantong plastik dan karet gelang, kertas label, drum penampung, atau kolektor air larian dan sedimentasi, lembar plastik penahan, alat-alat pertukangan, kamera digital, perangkat komputer, alat tulis. Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini diantaranya lahan budidaya kentang, contoh tanah/sedimen, contoh air larian, peta administrasi, peta jenis tanah, peta kelas lereng, peta penutupan dan penggunaan lahan dan data curah hujan Jenis dan Sumber Data Jenis data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder. Adapun jenis-jenis data primer yang diperoleh melalui penelitian ini adalah: Data laju erosi dan aliran permukaan dari setiap plot pengamatan dengan perbedaan perlakuan teknik konservasi, analisis usaha tani pertanian kentang, kondisi sosial ekonomi dan persepsi responden, tingkat diskonto (discount rate) serta nilai WTA dari 100 petani kentang yang tinggal di desa lokasi penelitian. Data-data tersebut dikumpulkan melalui wawancara serta perhitungan langsung di lokasi penelitian. Sedangkan jenis-jenis data sekunder yang dikumpulkan adalah Demografi Kabupaten Wonosobo dan Kecamatan Kejajar, Peta Administrasi, Peta Curah Hujan serta beberapa data-data dari penelitian sejenis sebelumnya.

59 Pengumpulan Data Tahapan yang dilakukan dalam proses pengumpulan data dibagi menjadi dalam lima tahapan : Tahapan Persiapan Kegiatan tahapan persiapan terdiri atas: (i) Pengumpulan dan kompilasi data sekunder (studi literatur). Proses ini bertujuan untuk mengumpul berbagai informasi mengenai kondisi umum lokasi penelitian, penelitian-penelitian yang sudah ada, program pemerintah serta berbagai data - data literatur yang terkait dengan kawasan Dieng. Selain itu juga dilakukan (ii) Persiapan bahan dan alat penelitian, seperti kuisioner, peta digital, GPS dan tallysheet Observasi Lapang Kunjungan lapang dilakukan sebagai bentuk observasi langsung terhadap kondisi lokasi penelitian dan sosial masyarakat yang ada. Beberapa hal yang dilakukan adalah pemilihan lokasi plot sampling, negosiasi dengan pemilik lahan, persiapan alat, dll Pengambilan Data Primer Pengambilan data erosi dan aliran permukaan pada setiap plot pengamatan yang berbeda pada setiap momen hujan selama maksimal 6 bulan (disesuaikan dengan awal dan akhir penanaman kentang). Selain itu juga dilakukan analisis biaya pertanian dan survey (WTA) kepada para petani terhadap adanya inovasi-inovasi baru dalam pertanian kentang Wawancara Petani Kentang Wawancara bertujuan guna mendapatkan berbagai informasi yang terkait dengan biaya produksi pertanian kentang serta Willingness to Accept (WTA) yang diinginkan oleh para petani kentang untuk melakukan upaya konservasi yang ditawarkan dalam skema imbal jasa lingkungan untuk perbaikan wilayah Dieng Prosedur Penelitian Adapun prosedur penelitian adalah: 1. Menghitung erosi dengan metode Chin Ong Meter a) Ditentukan lokasi penempatan alat Chin Ong Meter

60 40 b) Diukur curah hujan per kejadian hujan c) Dilakukan pengukuran setiap setelah kejadian hujan d) Pengukuran air limpasan dan sedimen Diaduk seluruh air limpasan dan sedimen yang tertampung dalam drum/jerigen penampung Dihitung volume air limpasan dan sedimen yang telah diaduk rata Diambil sampel larutan (air lintasan dan sedimen yang diaduk) e) Pengukuran besar tanah yang tererosi Disaring sampel larutan (air limpasan dan sedimen yang diaduk) Diovenkan sedimen yang tersaring hingga berat konstan Ditimban sedimen yang tersaring setelah diovenkan sebelumnya 4.6. Metode Penelitian Pengukuran Laju Erosi dengan metode Chin Ong Meter Penelitian ini merupakan metode dekriptif eksploratif yang dilakukan untuk mengetahui tingkat erosi dan aliran permukaan di kawasan hulu DAS Serayu (Dieng), melalui perhitungan dan pengukuran besarnya erosi aktual pada penggunaan lahan pertanian kentang. Pengukuran erosi dan pengambilan sampel tanah dilakukan dengan cara purposive sampling terutama dalam menetapkan lokasi pada lahan pertanian kentang. Limpasan permukaan dan erosi dimonitor dan diukur dari petak-petak erosi yang dibangun pada lahan pertanian kentang yang masing-masing diberi perlakuan: - Konservasi campuran berupa terasering sejajar kontur, Pembuatan SPA serta penanaman strip rumput - Bisnis as Usual (Konvensional) sebagai control Petak erosi berukuran 40 m 2, dengan panjang 10 m searah lereng dan lebar 4 m, dengan kemiringan sekitar 30 o. Dari luasan lahan tersebut setiap kejadian hujan diukur besarnya limpasan permukaan dengan menggunakan alat penampung

61 41 Chin-ong-meter. Pengukuran limpasan dan erosi dilakukan sesudah setiap peristiwa hujan selama masa tanam kentang. Chin-ong meter (Gambar 8) merupakan suatu penyalur limpasan permukaan yang dipasang di saluran pembuangan plot pengukur limpasan permukaan dan erosi. Chin-ong meter ini terbuat dari plat besi setebal 3 mm yang berbentuk persegi panjang dengan panjang 50 cm, lebar 25 cm dan tinggi 15 cm. Di bagian tengah dan bawah dari alat ini dibuat lubang selebar diameter dalam dari pipa besi berdiamater 5 cm. Di dalam pipa tersebut di buat lubang sempit memanjang guna pembuangan air yang ditampung dalam jurigen untuk pengukuran limpasan permukaan dan erosi. Limpasan permukaan dan erosi yang lainnya diteruskan ke bawah dalam permukaan dasar Chin-ong meter menuju pembuangan. Alat ini pada bagian yang panjang dipasang agak miring namun pada bagian lebar harus dipasang dalam posisi yang rata dan dichek dengan water-pas. Dengan teknik pemasangan tersebut, aliran air diasumsikan sebagai aliran laminer, sehingga sebagian aliran akan masuk silinder dan lainnya terus menuju pembuangan. Perbandingan antara jumlah air yang masuk silinder dan yang keluar setiap alat yang terpasang di lapangan harus dikalibrasikan melalui proses penuangan air 10 liter dari atas alat dan diukur limpasan yang masuk ke dalam jerigen. Selanjutnya jika sudah ada angka kalibrasi untuk setiap alat maka untuk pengamatan limpasan permukaan dan erosi cukup menampung aliran yang lewat Chin-ong meter, kemudian diukur volume air dan sedimen di jerigen penampung. Infiltrasi dihitung berdasarkan neraca air dengan memberikan curah hujan buatan dari alat curah hujan buatan (rainfall simulator) pada luasan tanah 0.2 m x 0.3 m. Intensitas hujan yang diberikan sebesar 60 mm jam-1 selama 5 menit dan diulang 3 kali untuk setiap plot secara berturutan. Limpasan permukaan diukur setiap 30 detik. Laju infiltrasi dihitung dari pengurangan curah hujan dengan limpasan permukaan. Infiltrasi yang disajikan adalah infiltrasi konstan dimana tanah telah mengalami penjenuhan air.

62 42 Gambar 8. Skema Plot Erosi Chin Ong Meter Opportunity Cost (Biaya Peluang) dengan pendekatan Analisis Usaha Tani Dalam melakukan usaha tani kentang, analisis biaya dan pendapatan merupakan awal dalam menentukan sikap untuk melakukan budidaya kentang. Analisis perhitungan dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai produksi dan harga jual yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pendapatan petani dalam berusaha tani kentang. Usaha tani kentang skalanya relatif kecil dan adanya ketergantungan terhadap harga jual yang selalu berfluktuasi setiap waktu akan mempengaruhi hasil usaha tani serta pendapatan petani. Melihat fenomena di atas mendorong dilaksanakan analisis usaha tani kentang di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Sampel diambil dari kepala rumah tangga petani yang mengusahakan kentang pada lahan pertanian yang dikuasai. Data yang dikumpulkan mencakup data kualitatif dan kuantitatif yang bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan metode survey, yakni dengan mewawancarai responden secara langsung dengan bantuan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Data primer meliputi: 1 Identitas umum petani sampel: nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas pemilikan dan luas garapan.

63 43 2 Aspek produksi dan biaya produksi: luas tanam, luas panen, besarnya produksi, penggunaan sarana produksi (bibit, pupuk, obat-obatan, mulsa, plastik dan ajir), penggunaan tenaga kerja (luar dan dalam keluarga), upah biaya untuk irigasi, pajak tanah dan penyusutan alat-alat pertanian. Data sekunder diperoleh dari lembaga atau instansi yang terkait dengan penelitian meliputi: data yang diperoleh dari kantor kepala desa, Kantor Statistik Kabupaten Wonosobo, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Wonosobo, serta pustaka-pustaka ilmiah. Analisis yang digunakan adalah analisis usaha tani. Data kuantitatifnya ditabulasi dan dikonversi dalam satuan yang sama. Menurut Soekartawi (1993), pendapatan usaha tani merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya yang dikeluarkan. Pendapatan usahatani kentang diperoleh dari perhitungan sebagai berikut : TL = Y.Py - Σ X i. Pi Keterangan: TL = Pendapatan usaha tani Kentang. Y = Produksi kentang Py = Harga kentang per unit X i = Penggunaan faktor ke-i Pi = Harga faktor ke-i per unit Untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha tani kentang dipergunakan analisis R/C ratio. Makin besar nilai R/C ratio usahatani itu makin layak diusahakan (Soekartawi, 1993). Dalam penelitian ini dipergunakan batasan operasional berikut: 1. Usaha tani adalah suatu jenis kegiatan pertanian rakyat yang diusahakan oleh petani dengan mengkombinasikan faktor alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang ditujukan pada peningkatan produksi. 2. Pendapatan usaha tani adalah selisih antara penerimaan yang diterima pada akhir produksi dengan biaya riil (tunai) yang dikeluarkan selama proses produksi.

64 44 3. Penerimaan usaha tani adalah jumlah yang diterima petani dari suatu proses produksi, dimana penerimaan tersebut didapatkan dengan mengalikan produksi dengan harga yang berlaku saat itu. 4. Biaya usaha tani adalah biaya yang dikeluarkan oleh seorang petani dalam proses produksi. Dalam hal ini biaya diklasifikasikan ke dalam biaya tunai (biaya riil yang dikeluarkan) dan biaya tidak tunai (diperhitungkan). 5. Keuntungan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dengan biaya total (biaya tunai dan tidak tunai). 6. Kepala rumah tangga adalah seorang pria atau wanita yang dianggap bertanggung jawab dalam rumah tangga itu oleh anggota rumah tangga. Satu musim adalah 4,5 bulan, terhitung dari saat awal pengolahan tanah sampai dengan panen terakhir Analisis Kesediaan Dibayar (Willingness to Accept) dengan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) Metode valuasi merupakan suatu cara perhitungan secara langsung dimana peneliti langsung menanyakan kesediaan respoden untuk menerima pembayaran dalam melakukan suatu inovasi yang ditawarkan. Penelitian ini mengukur seberapa besar keinginan dibayar (Willingness to Accept/WTA) dari petani kentang di kawasan Dieng untuk mau melakukan kegiatan pertanian yang ramah lingkungan dengan menerapkan metode konservasi tanah yang ideal, dengan memperhitungkan biaya kehilangan waktu (keterlambatan), biaya tenaga (membuat teknik konservasi), biaya pembuatan teknik konservasi (pembelian bibit dan material) dan sebagainya. Pada awal proses kegiatan CVM, terlebih dahulu membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi. Pasar hipotesis yang akan dibentuk adalah suatu pasar dengan kualitas lingkungan yang berbeda dengan kondisi saat ini. Untuk membuat pasar hipotesis, responden terlebih dahulu diminta untuk mendengarkan mengenai kondisi DAS Serayu di Kawasan Dieng yang saat ini kondisinya semakin memprihatinkan. Kemudian dijelaskan juga bahwa kondisi tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, dimana salah satunya adalah pengolahan lahan pertanian yang tidak ramah lingkungan. Selanjutnya responden diminta

65 45 untuk mendengar tentang suatu tawaran inovasi yang dapat membuat kondisi lingkungan yang ada menjadi lebih baik dimana respoden ditawarkan sejumlah insentif apabila mau melakukan inovasi tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut, akan diperoleh ukuran perilaku konsumen dalam situasi hipotesis bukan dalam situasi sebenarnya. Besaran nilai insentif yang akan ditawarkan sebelumnya diperoleh melalui mekanisme Fokus Group Discussion (FGD) dengan mengundang beberapa responden kunci yang merupakan petani kentang. Selain untuk mendapatkan informasi awal mengenai kondisi umum lokasi penelitian, FGD ini juga bertujuan untuk memperoleh gambaran nilai keinginan dibayar (WTA) dari responden terhadap upaya perbaikan lingkungan dengan menerapkan teknik konservasi lahan dalam pengelolaan pertanian kentang mereka. Susunan nilai yang ditawarkan menggunakan range atau interval tertentu yang dihitung dengan rumus yang dibuat oleh Ferraro. Penentuan nilai WTA dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu, pertanyaan terbuka dimana responden bebas menyatakan nilai moneter (rupiah yang ingin dibayar) dan model referendum (tertutup) dimana responden diberikan suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak. Penelitian ini menggunakan pendekatan yang kedua, yaitu dengan metode referendum. Setelah nilai WTA dikumpulkan dari seluruh responden, selanjutnya dapat dibuat kurva permintaan WTA. Kurva permintaan WTA ini bertujuan untuk menggambarkan grafik kecenderungan responden menerima nilai WTA yang ditawarkan. Semakin besar nilai yang ditawarkan, maka kecenderungan responden menerima WTA akan semakin besar. Sedangkan penetuan nilai lelang diperoleh dengan meregresikan WTA sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variabel bebas. Untuk mendapatkan model penduga digambarkan melalui hubungan berikut: WTA = F (NWTA, USIA, PDDK, TANG, LMLK, PDPT, SKPL, SLOP, DNEG, PKTG, TIME) Dimana: WTA = Nilai 1 jika Ya, Nilai 0 jika Tidak

66 46 NWTA = Nilai WTA yang ditawarkan USIA = Usia PDDK = Pendidikan TANG = Jumlah Tanggungan LMLK = Lama Memiliki Lahan PDPT = Pendapatan Rumah Tangga SKPL = Status Kepemilikan Lahan SLOP = Kemiringan Lahan DNEG = Persepsi respoden mengenai dampak negatif dari kentang PKTG = Persepsi respoden mengenai pendapatan dari kentang TIME = Time Preferrence Sementara itu untuk analisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi WTA responden digunakan regresi logit (Logistic Regression) yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya Model Regresi Logit Analisa faktor-faktor yang diduga mempengaruhi WTA responden akan dilakukan dengan menggunakan metode statistik berupa Regresi Logit. Hal ini karena di dalam penggunaan konsep CVM yang menggunakan Dichotomous Choice Model dalam menentukan besarnya nilai WTA, bentuk data yang dikumpulkan adalah data biner. Data biner adalah bentuk data yang menggambarkan pilihan responden, apakah akan menerima tawaran insentif untuk konservasi atau tidak. Dengan demikian, analisis untuk menentukan tingkat validitas, reabilitas dan signifikansi penggunaan CVM, alat analisis yang sesuai adalah regresi logit. WTA dibuat ke dalam sebuah model regresi logit untuk menganalisis peubah respon berskala biner dengan rumus: Exp(βo + β 1 *X β n *Xn) P = P(Y=1) = [1+Exp(βo + β 1 *X β n *Xn)]

67 47 Dimana: Pi = Sebuah kemungkinan dengan Yi = 1 βo X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 X 9 X 10 X 11 K E = Intersep = Nilai WTA = Usia = Pendidikan = Jumlah Tanggungan = Lama Memiliki Lahan = Pendapatan Rumah Tangga = Luas Kepemilikan Lahan = Jumlah lahan yang dikuasai = Kemiringan Lahan = Persepsi respoden mengenai pendapatan dari kentang = Time Preferrence = Banyaknya X = Exp (β) = Odd ratio Persamaan diatas bisa dimodifikasi menjadi: P* = Ln[p/(1-p)] = βo + β 1 X i + β 2 X β k X k Model logistik biner, nilai Y mengikuti sebaran Bernoulli yang nilai variance merupakan fungsi dari p. Nilai p bervairasi tergantung pada variabel penjelas X. Persamaan dan prosedur analisis regresinya dapat diuraikan sebagai berikut: Variabel Dependent (P) adalah peluang kesediaan responden untuk bersedia dibayar (WTA) dalam melakukan upaya konservasi dalam pertanian kentang (bernilai 1 untuk bersedia, 0 untuk tidak bersedia). Variabel Independen (X) merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi responden untuk bersedia dibayar. Variabel ini terdiri dari 11 parameter, yaitu: (X 1 ) Nilai WTA, (X 2 ) Usia, (X 3 ) Pendidikan, (X 4 ) Jumlah Tanggungan, (X 5 ) Lama Memiliki Lahan, (X 6 ) Pendapatan Rumah Tangga (X 7 ) Status Kepemilikan Lahan, (X 8 ) Kemiringan Lahan, (X 9 ) Persepsi respoden mengenai dampak negatif dari kentang, (X 10 ) Persepsi respoden mengenai pendapatan dari kentang serta (X 11 ) kecenderungan

68 48 terhadap waktu (Time Preferrence). Analisis regresi logistik biner akan dilakukan dengan menggunakan program statistik Stata. Variabel-variabel yang diduga berbanding terbalik dengan WTA responden diantaranya adalah kecenderungan terhadap waktu (Time Preferrence) serta Persepsi respoden mengenai pendapatan dari kentang. Sedangkan variabel-variabel yang diduga berbanding lurus dengan WTA responden diantaranya adalah Nilai WTA, Usia, Pendidikan, Jumlah Tanggungan, Luas Area, Lama Memiliki Lahan, Pendapatan Rumah Tangga, Jumlah Kepemilikan Lahan, serta Kemiringan Lahan.

69 49 V. HASILDAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Usaha Tani Kentang Penelitian analisis usaha tani kentang dilakukan pada lahan pertanian kentang dengan membuat 2 buah plot pengamatan berukuran 40 m 2 karakteristik sebagai berikut: dengan 1. Plot 1: Plot dengan kondisi pengelolaan tanaman kentang yang biasa/bisnis As Usual (BAU) sebagai kontrol. Pada plot ini pembuatan teras dilakukan searah lereng/tegak lurus kontur. Selanjutnya plot ini disebut dengan Plot Konvensional. 2. Plot 2: Plot dengan kondisi pengelolaan tanaman kentang yang diberi perlakuan konservasi tanah dan vegetatif berupa pembuatan teras bangku, pembuatan Saluran Pembuangan Air (SPA/Drop Structure) serta penanaman strip rumput pada bibir teras. Pada plot ini pembuatan teras dilakukan sejajar kontur. Selanjutnya plot ini disebut dengan Plot Konservasi. Penelitian dilakukan dengan dua kali ulangan pada dua kebun yang memiliki karakteristik topografi yang sama yaitu kemiringan Pengambilan data dimulai setelah pembuatan plot selesai dilakukan sehingga kegiatan pengolahan lahan untuk penanaman bisa dimulai. Beberapa data yang diambil adalah jumlah bibit yang digunakan, jumlah pupuk serta obat, serta Hari Orang Kerja (HOK) yang dihitung semenjak persiapan lahan hingga pemanenan. Hasil akhir analisis biaya produksi dan panen tanaman kentang untuk kedua plot ujicoba disajikan pada Tabel 11 berikut: Tabel 11. Kebutuhan dan keuntungan usaha tani pada tiap perlakuan Kebutuhan Per Hektar Plot Konvensional (Rp) Plot Konservasi (Rp) Bibit 45,000,000 21,970,000 Pupuk 4,407,690 2,165,999 Obat-obatan 938, ,600 Material SPA & Teras (Drop Structure) 0 2,917,000 Tenaga Kerja teras 0 954,525 Tenaga Kerja 9,192,725 7,403,937 Pemanenan 2,540,000 1,157,490

70 50 Total Kebutuhan 62,078,530 37,033,551 Hasil Panen 81,825,000 50,875,000 Keuntungan Panen 19,746,470 13,841,449 Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) Tabel 11 diatas menunjukkan perbedaan kebutuhan untuk membuat plot konvensional dan plot konservasi. Dari perhitungan jumlah bibit pada kedua plot pengamatan (dengan dua kali ulangan), diperoleh rata-rata jumlah bibit per Hektar pada plot konvensional adalah kg dan rata-rata jumlah bibit per Hektar pada plot konservasi adalah sebanyak kg. Dengan harga per Kg bibit Rp diperoleh kebutuhan bibit per Hektar pada plot konvensional adalah Rp dan pada plot konservasi adalah Rp Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan bibit pada plot konservasi hanya 49 % dari jumlah bibit pada plot konvensional atau bisa dikatakan hampir setengah dari total bibit yang dibutuhkan pada plot konvensional. Dari perhitungan biaya pengolahan lahan pada pertanian kentang diperoleh hasil dimana plot konvensional membutuhkan biaya rata-rata sebesar Rp sedangkan plot konservasi membutuhkan biaya rata-rata sebesar Rp Jumlah biaya yang dikeluarkan pada plot konservasi hanya 81% dari total biaya yang dikeluarkan pada plot konvensional atau Rp lebih murah. Pada perlakuan searah kontur yang dimodifikasi dengan SPA dan tanaman penguat teras, terdapat bangunan konservasi berupa SPA (drop Structure) dan tanaman penguat teras dari jenis rumput Gajah (Setaria spp) dibibir terasnya. Untuk bibit rumput Gajah tidak membutuhkan biaya karena bibit bisa diambil di sekitar lahan. Untuk pembuatan SPA dibutuhkan biaya untuk penyediaan bahan (Bambu) dan upah bagi tenaga pembuat. Untuk pembuatan 12 drop structure dibutuhkan Rp untuk bahan berupa bambu dan Rp untuk tenaga pembuat drop structure. Dari perhitungan, diketahui jumlah SPA yang dibutuhkan tiap Hektarnya adalah 1000 buah. Dari perhitungan total biaya didapatkan Rp untuk pembuatan SPA pada plot konservasi per Hektarnya. Untuk tenaga pembuat teras dan penanaman rumput, rata-rata dibutuhkan waktu selama 63 HOK dengan total biaya yang diperlukan adalah Rp Biaya ini tidak

71 51 ada pada plot konvensional karena tidak dilakukan pembuatan terasering sejajar kontur. Berdasarkan hasil perhitungan terhadap penggunaan obat-obat (pestisida, herbisida), plot konvensional membutuhkan biaya sekitar Rp tiap Hektarnya sedangkan plot konservasi hanya membutuhkan setengahnya atau Rp Untuk biaya penggunaan pupuk dasar (kandang, Urea, SP, Phonska, dll), plot konvensional membutuhkan biaya sekitar Rp untuk setiap Hektarnya. Sedangkan biaya pemakaian pupuk pada plot konservasi hanya 49% dari biaya yang diperlukan pada plot konvensional yaitu sebesar Rp Untuk alat alat seperti diesel, selang, drum dll biasanya petani hanya membeli alat alat itu satu kali dan digunakan sampai alat itu rusak, sehingga pengeluaran biaya tiap periode tanam Kentang tidak bisa diperkirakan karena bersifat tentatif. Untuk biaya panen dibagi menjadi 2 yaitu kebutuhan biaya untuk pekerja dan jasa mobil angkut. Hasil akhir perhitungan menunjukkan bahwa biaya panen yang dibutuhkan pada plot konvensional untuk setiap hektarnya adalah Rp Sedangkan biaya panen yang dibutuhkan pada plot konservasi untuk setiap hektarnya adalah Rp atau hanya 46% dari total biaya pemanenan pada plot konvensional. a b Gambar 9. (a) Plot konservasi dengan model teras sejajar kontur (b) Plot konvensional dengan model teras sejajar lereng Pada data produksi Kentang tiap Hektarnya dapat diketahui produksi Kentang tiap jenisnya yaitu AB (Kentang sayur), DN (Kentang Bibit) dan rindil (Kentang kecil) pada plot konvensional dan plot konservasi. Pada perhitungan harga jual total Kentang tiap Hektar menunjukkan bahwa total harga jual Kentang pada plot konvensional untuk satu hektar diperkirakan mencapai Rp

72 52 dan pada plot konservasi diperkirakan mencapai Rp Terdapat selisih nilai harga penjualan sebesar Rp atau 62% dari harga penjualan dari hasil panen kentang pada plot konvensional. Harga jual total Kentang dipengaruhi oleh harga Kentang per Kg nya dan harga jual total Kentang diatas didapat dengan mengalikan jumlah produksi Kentang per Hektar dengan harga Kentang per Kg saat ini. Harga kentang juga bervariasi untuk setiap jenisnya, dimana Kentang AB memiliki harga jual Rp. 5000/kg, Kentang DN memiliki harga jual Rp.7000/kg serta Kentang Rindil memiliki harga jual Rp.1200/kg. Semua harga tersebut merupakan harga yang berlaku pada saat penelitian ini dilakukan. Setelah mengetahui kebutuhan kebutuhan untuk usahatani Kentang serta input dari usahatani Kentang itu sendiri, didapatkan informasi keuntungan usahatani Kentang. Pada plot konvensional diperoleh keuntungan usahatani yaitu Rp sedangkan pada plot konservasi diperoleh keuntungan usahatani yaitu Rp per Hektarnya. Dari hasil perhitungan di atas, maka didapat nilai opportunity cost yang hilang apabila petani mau mengubah teknik pengolahan tanah pada lahan Kentangnya dari teknik pengolahan tanah searah lereng menjadi teknik pengolahan tanah searah kontur yang dimodifikasi SPA dan tanaman penguat teras dengan nilai sebesar Rp tiap Hektarnya untuk setiap kali panen. Nilai itu diperoleh dari selisih keuntungan usahatani pada plot konvensional dan plot konservasi tiap Hektarnya. Nilai ini yang diharapkan dapat disubstitusi melalui skema imbal jasa lingkungan yang nantinya akan dikembangkan di kawasan Dieng. Analisis Benefit Cost Ratio (B/C ratio) biasanya digunakan untuk mengukur kelayakan suatu usahatani, yaitu dengan cara membandingkan antara penerimaan kotor (hasil penjualan) dan biaya total yang dikeluarkan. Perhitungan pada Tabel 5.1 memperlihatkan bahwa nilai B/C ratio untuk plot konvensional adalah 1.32 sedangkan nilai B/C ratio untuk plot konservasi adalah Hal berarti bahwa usahatani kentang pada plot konvensional dengan modal Rp 1,- dapat memperoleh hasil penjualan sebesar Rp 1,32,- sedangkan usahatani kentang pada plot konservasi dengan modal Rp 1,- dapat memperoleh hasil penjualan sebesar Rp 1,37. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya secara kelaikan usaha

73 53 tani, plot konservasi lebih menguntungkan dibandingkan dengan plot konvensional. Teknik pengolahan tanah pada tiap perlakuan sangat besar pengaruhnya terhadap produksi Kentang, karena pada plot konvensional jumlah tanamannya lebih banyak dari pada plot konservasi. Tabel 12 menunjukkan bahwa pada plot konvensional produksi kentang yang dihasilkan mencapai ton/ha sedangkan hasil panen kentang pada plot konservasi hanya 10 ton/ha atau 37% lebih rendah. Akan tetapi kalau dilihat dari produksi per tanaman, plot konservasi menghasilkan produksi sebesar 0.31 kg/tanaman, atau 26% lebih besar dibanding produksi per tanaman pada plot konvensional dengan nilai 0.23 kg/tanaman. Tabel 12. Produksi Tanaman Kentang pada Tiap Perlakuan Perlakuan Produksi (kg/tanaman) Produksi (Ton/Ha) Plot Konvensional Plot Konservasi Tabel 13. Nilai Opportunity cost penurunan erosi pada lahan pertanian kentang Komponen Plot Plot Konvensional Konservasi Selisih Keuntungan Panen (Rp/ha) (a) Rp Rp Rp (a) Erosi (ton/ha) (b) (b) Opportunity cost (a/b) Rp Tabel 13 diatas menunjukkan bahwa nilai yang dibutuhkan untuk menurunkan 1 ton erosi selama 1 kali musim panen adalah Rp Nilai tersebut didapat dari selisih keuntungan panen dari pertanian kentang konvensional dengan pertanian kentang konservasi. Hasil selisih tersebut kemudian dibagi dengan nilai selisih pengendalian erosi dari pertanian kentang konvensional dengan pertanian kentang konservasi. Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengolahan tanah secara konservasi memang benar mengurangi produksi kentang bila dibandingkan dengan pengolahan tanah secara konvensional. Akan tetapi kurangnya produksi itu disebabkan karena pada pengolahan tanah secara konservasi, jumlah tanamannya lebih sedikit bila dibandingkan dengan

74 54 pengolahan tanah secara konvensional, bukan karena pengolahan tanah secara konservasi meningkatkan kemampuan tanaman menyimpan air sehingga umbi kentang akan mudah busuk. Hal ini dapat menjawab persepsi yang selama ini berkembang di masyarakat dimana teknik konservasi cenderung merugikan mereka Pengukuran Laju Erosi dan Limpasan Permukaan Pengukuran laju erosi dan limpasan permukaan dilakukan bersama-sama dengan Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya (Unibraw), Malang. Kegiatan penelitian dilakukan selama 5 bulan yaitu dari bulan Januari 2011 hingga Mei Kegiatan penelitian ini meliputi survey pendahuluan, diskusi, pembuatan konstruksi plot erosi, kalibrasi, pemasangan alat sensor curah hujan, serta pengumpulan data. Gambar 10. Proses konstruksi plot erosi. Dari kiri ke kanan: Pembangunan penampung sedimen berupa gutter dan pemasangan chinong meter Pengaruh Curah Hujan Terhadap Limpasan Permukaan (Run Off) dan Erosi Curah hujan merupakan faktor penting pada proses terjadinya limpasan permukaan dan erosi pada suatu lahan karena sebagian dari air hujan yang tidak terinfiltrasi ke tanah akan terlimpas menjadi limpasan permukaan dan semakin besar limpasan permukaan akan diikuti semakin tinggi pula massa tanah yang tererosi. Hasil korelasi (Lampiran 5a) menunjukkan bahwa curah hujan berhubungan erat dan berpengaruh nyata terhadap limpasan permukaan dan erosi.

75 55 Dengan nilai koefisien korelasi antara curah hujan dengan limpasan permukaan pada perlakuan konvensional (r = 0.74**) sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan perlakuan konservasi (r = 0.73**). Berbeda dengan nilai koefisien antara curah hujan dengan erosi, nilai koefisien korelasi antara curah hujan dengan erosi (Lampiran 5b) pada perlakuan konvensional (r = 0.59**) lebih kecil bila dibandingkan dengan perlakuan konservasi (r =0.67**). Pada dua perlakuan, hubungan curah hujan dengan limpasan permukaan lebih erat bila dibandingkan dengan hubungan curah hujan dengan erosi. Gambar 11. Pengolahan tanah dan penanaman tanaman kentang di plot erosi; a) Perlakuan guludan konservasi, b) Pemasangan drop struktur pada saluran pembuangan air, c) konstruksi chinometer dan jirigen, d) Saluran pengarah aliran permukaan menuju chinometer, penampung aliran permukaan. Hasil perhitungan ini menunjukkan secara umum semakin besar curah hujan juga diikuti semakin besarnya limpasan permukaan (run off) dan erosi, tapi pada beberapa kali pengamatan terdapat beberapa data yang menunjukkan limpasan permukaan (run off) dan erosi yang melebihi angka normal sehingga sangat mempengaruhi jumlah keseluruhan limpasan permukaan (run off) dan erosi pada satu periode tanam Kentang.

76 56 Menurut Sanchez (1992) keadaan hujan dengan intensitas tinggi dengan kondisi tanah cepat jenuh akan menyebabkan limpasan yang banyak, bahkan juga pada kondisi lereng yang tidak terlalu landai. Air akan mengalir dipermukaan tanah apabila banyaknya air hujan lebih besar dari pada kemampuannya menginfiltrasi air ke lapisan lebih dalam. Sedangkan menurut Rahim (2003), limpasan permukaan atau aliran permukaan merupakan sebagian dari air hujan yang mengalir diatas permukaan tanah. Jumlah air yang menjadi limpasan sangat tergantung kepada jumlah air hujan persatuan waktu, keadaan penutup tanah, topografi (terutama kemiringan lahan), jenis tanah, dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya. Limpasan permukaan dengan jumlah dan kecepatan yang besar sering menyebabkan pemindahan atau pengangkutan massa tanah secara besar besaran. Supirin (2001) menambahkan, hujan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingginya aliran permukaan dan erosi tanah. Tetesan air hujan yang menghantam permukaan tanah mengakibatkan terlemparnya partikel tanah ke udara. Karena gaya gravitasi bumi, partikel tersebut jatuh kembali ke bumi dan sebagian partikel tanah halus menutupi pori pori tanah sehingga porositas menurun. Dengan tertutupnya pori pori tanah, maka kapasitas infiltrasi menjadi berkurang sehingga air yang mengalir dipermukaan sebagai faktor erosi akan semakin besar Pengaruh Limpasan Permukaan (Run Off) Terhadap Erosi pada Tiap Perlakuan Tingkat korelasi antara curah hujan dengan limpasan permukaan dan erosi ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (Lampiran 6). Hasil korelasi antara limpasan permukaan dan erosi pada perlakuan konvensional (r = 0.79**), sedangkan pada perlakuan konservasi (r = 0.96**). Pada perlakuan konvensional limpasan permukaan berpengaruh nyata terhadap erosi, sedangkan pada perlakuan konservasi limpasan permukaan juga berpengaruh nyata terhadap erosi. Dari nilai koefisien korelasi dapat diketahui, perlakuan konservasi lebih dipengaruhi limpasan permukaan bila dibandingkan dengan perlakuan konvensional (R² = 0.911). Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian -

77 57 bagian dari tanah dari suatu tempat ketempat lain oleh media alam. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan pada suatu tempat lain. Pengangkutan atau pemindahan tanah tersebut terjadi oleh media alami, yaitu air dan angin (Arsyad, 1989) Tabel 14. Data Limpasan Permukaan (Run Off) dan Erosi pada tiap Perlakuan Perlakuan Konvensional Konservasi Ulangan Limpasan Permukaan (mm) Erosi (Ton/Ha) Rata-rata Limpasan Permukaan (mm) Rata-rata Erosi (Ton/Ha) Dari data limpasan permukaan (run off) dan erosi diatas, terlihat bahwa semakin meningkatnya limpasan permukaan juga diikuti semakin meningkatnya erosi. Limpasan permukaan (run off) dan erosi pada plot yang diolah dengan teknik pengolahan searah lereng (Plot konvensional) lebih besar bila dibandingkan dengan limpasan permukaan (run off) dan erosi pada plot yang diolah dengan teknik pengolahan tanah searah kontur yang dimodifikasi dengan SPA dan tanaman penguat teras (Plot Konservasi). Data menunjukkan pengolahan tanah plot konservasi mampu mengurangi nilai limpasan permukaan (run off) sebesar 33.90% dan erosi % jika dibandingkan dengan pengolahan tanah plot konvensional. Kowal (1970) dalam Amstrong et al. (1981) melaporkan bahwa teknik penanaman Kentang diatas guludan memotong lereng (searah kontur) mampu menekan erosi sebanyak 82 % dibandingkan dengan penanaman diatas guludan searah lereng. Hal ini karena guludan searah kontur bisa berfungsi sebagai dam kecil sehingga menekan air dan memberikan kesempatan air untuk berinfiltrasi ke dalam tanah sehingga aliran permukaan turun secara nyata yang selanjutnya mengurangi laju erosi. Sedangkan Sinukaban dan Banuwo (1995) melaporkan, hasil penelitian di Pangelangan bahwa pada tanaman Kentang dan Kubis ditanah Andisol dengan kemiringan 30% pada ketinggian 1450 m di atas permukaan laut, menunjukkan

78 58 bahwa tindakan konservasi dengan penanaman pada guludan sejajar kontur dapat menekan erosi sebesar 71,1 71,6 %, dan aliran permukaan sebesar 80,9 93,6%. Suganda et. al (1997) menambahkan, pengolahan tanah yang tidak searah garis kontur atau searah lereng dapat memicu terjadinya longsor akibat gerusangerusan tanah di antara dua bidang lahan oleh konsentrasi aliran permukaan yang mengalir dalam pola aliran yang tidak teratur. Guludan atau bedengan yang dibuat diagonal terhadap kontur masih menyebabkan erosi dua kali lebih besar dibandingkan dengan erosi pada guludan searah kontur. Guludan dapat diperkuat dengan tanaman konservasi seperti serengan jantan (Flemingia congesta), glirisidia (Glyrisidae sp), dan lamtoro (Leucaena sephala). Bisa juga dengan rumput-rumputan seperti setaria, rumput gajah, rumput raja, rumput bede, dan paspalum. Dengan ditanami tanaman penguat, maka teras gulud lama-kelamaan dapat membentuk teras bangku yang efektif menahan erosi (Arsyad, S, 1989) Pengaruh Limpasan Permukaan (Run Off) dan Erosi, serta Teknik Pengolahan Tanah Terhadap Produksi Kentang (Solanum Tuberosum L.) Tabel 15. Besar Limpasan permukaan (mm) dan Erosi (Ton/Ha) serta Produksi Kentang (Kg/Tanaman) Limpasan Produksi Produksi Plot Erosi (Ton/Ha) Permukaan (mm) (Ton/Ha) (kg/tanaman) Konvensional Konservasi Tabel 15 menunjukkan besarnya limpasan permukaan (run off) dan erosi diikuti dengan produksi Kentang per Tanaman. Dari Uji F 5% menunjukkan bahwa produksi Kentang per Tanaman pada tiap perlakuan tidak berbeda nyata. Tabel 15 menunjukkan besarnya limpasan permukaan (run off) dan erosi diikuti dengan semakin menurunnya produksi Kentang per Tanaman. Tingkat korelasi antara limpasan permukaan (run off) dan erosi dengan produksi Kentang pertanaman ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi. Semakin besar nilai koefisien korelasi menunjukkan kolerasi semakin nyata. Hasil korelasi antara limpasan permukaan (run off) dan erosi dengan produksi Kentang pertanaman menunjukkan bahwa limpasan permukaan (run off) dan erosi berhubungan erat

79 59 terbalik dan berpengaruh nyata dengan produksi Kentang per Tanaman dengan nilai koefisien korelasi limpasan permukaan (run off) dengan produksi per Tanaman (r = 0.99**) dan koefisien korelasi erosi dengan produksi per Tanaman (r = 0.95**). Menurut Purbiati (2008), lahan dataran tinggi yang diolah secara terusmenerus pada lahan yang sama akan mengakibatkan terjadinya produktifitas lahan rendah, serangan hama penyakit dan meningkatkan erosi. Rendahnya produktivitas kentang Indonesia disebabkan karena petani banyak mengusahakan pertanaman kentang dengan menggunakan pupuk kimia dan pestisida dan tidak mengunakan metode konservasi kondisi demikian akan terjadi kerusakan serta penurunan tingkat produktifitas lahan (Deptan, 2004). Sedangkan menurut Winarso (2005), pengukuran kualitas tanah merupakan dasar untuk penilaian keberlanjutan pengelolaan tanah yang dapat diandalkan untuk masa-masa yang akan datang, karena dapat dipakai sebagai alat untuk menilai pengaruh pengelolaan lahan. Pada umumnya proses degradasi tanah dalam sistem pertanian dapat disebabkan oleh erosi, pemadatan, penurunan ketersediaan hara atau penurunan kesuburan, kehilangan bahan organik tanah dan lain lain. Beasley (1972) menambahkan, kerusakan tanah di tempat terjadinya erosi terutama akibat hilangnya sebagian tanah dari tempat tersebut karena erosi. Hilangnya sebagian tanah ini mengakibatkan hal hal berikut, yaitu : penurunan produktivitas tanah, kehilangan unsur hara ang diperlukan tanaman, kualitas tanaman menurun, laju infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air berkurang, struktur tanah menjadi rusak, lebih banyak tenaga yang diperlukan untuk mengolah tanah, erosi gully dan tebing (longsor) menyebabkan lahan terbagi bagi dan mengurangi luas lahan yang dapat ditanami, dan pendapatan petani berkurang. Masyarakat berpendapat bahwa jika teknik pengolahan tanah searah kontur (konservasi) diterapkan pada lahan Kentang mereka, maka akan merugikan karena teknik pengolahan tanah searah kontur akan menyebabkan aliran air terhambat oleh guludan sehingga kemampuan tanah menyimpan air tinggi. Kemampuan menyimpan air yang tinggi ini menyebabkan Kentang mudah

80 60 terserang berbagai penyakit dan jamur sehingga produksi bisa menurun. Untuk membuktikan anggapan tersebut, pada penelitian ini dilakukan analisis kadar air tanah pada 1 hari setelah hujan. Tabel 16. Kadar Air Tanah Satu Hari Setelah Hujan pada Tiap Perlakuan dan Tiap Bulan Label Kadar air tanah Bulan Ke 1 (%) Kadar air tanah Bulan ke 2 (%) Kadar air tanah Bulan ke 3 (%) Konvensional Konservasi Konvensional Konservasi Konvensional Konservasi GK GK GK GK SK SK Ket : G = Guludan, S = Selokan antar guludan, K1 = Kedalaman 0-10 cm, K2 = Kedalaman cm, K3 = Kedalaman cm dan K4 = Kedalaman cm Tabel 16 diatas menunjukkan bahwa kadar air satu hari setelah hujan pada plot yang diolah dengan teknik konvensional dan plot yang diolah dengan teknik konservasi berbeda tapi tidak nyata. Hal itu dapat dilihat pada uji T kadar air tanah 1 hari setelah hujan pada perlakuan konvensional dan perlakuan konservasi (Lampiran 8). Tapi apabila dilihat pada tabel, kadar air tanah pada perlakuan konservasi tidak selalu lebih besar dari kadar air tanah pada perlakuan konvensional. Kadar air tanah satu hari setelah hujan pada plot konvensional maupun konservasi semakin menurun pada tiap bulannya. Hal ini disebabkan karena semakin lama pertumbuhan tanaman Kentang maka semakin luas pula tutupan lahannya sehingga sebagian air hujan yang jatuh ditangkap oleh tanaman Kentang yang digunakan untuk metabolisme tanaman dan sebagian lagi menguap. Menurut Supirin (2001), vegetasi dapat mengurangi besarnya aliran permukaan dan pengangkutan massa tanah karena dapat menghalangi air hujan agar tidak langsung jatuh di permukaan tanah, sehingga air yang jatuh ke permukaan tanah

81 61 tekanannya lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit karena terkurangi untuk metabolism vegetasi itu dan sebagian terevaporasi. Dari Tabel Produksi Kentang dan Tabel Kadar air tanah 1 hari setelah hujan, dapat disimpulkan bahwa teknik konservasi memang benar mengurangi produksi Kentang tiap Hektarnya. Akan tetapi penurunan produksi itu bukan disebabkan karena konservasi dapat menyebabkan kemampuan tanah menyimpan air lebih tinggi sehingga Kentang mudah busuk. Akan tetapi penurunan produksi tersebut disebabkan karena teknik konservasi dapat mengurangi jumlah tanaman tiap Hektarnya. Pengurangan jumlah tanaman per Hektarnya tersebut juga akan diikuti dengan penurunan jumlah produksi Kentang per Hektarnya Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Kondisi Lingkungan Hidup Pertanian kentang secara intensif masih dipercaya memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat, tapi di sisi lain secara tidak disadari hal ini menimbulkan kerusakan pada lingkungan. Kawasan pertanian kentang yang intensif ini menyebabkan Desa Igirmranak rawan terhadap erosi dan longsor yang dikarenakan pengolahan lahan yang tidak tepat. Sedikitnya jumlah pohon serta kemiringan lahan yang sangat curam di Desa Igirmranak menyebabkan potensi terjadinya longsor dan erosi baik pada lahan pertanian maupun pemukiman menjadi sangat tinggi. Hal ini sudah terlihat dimana pada beberapa lokasi terlihat patahanpatahan akibat longsor yang terjadi Karakteristik Responden Lokasi penelitian hanya terfokus pada keluarga yang berdomisili dan bertani di sekitar lokasi penelitian. Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor kepala desa setempat, jumlah penduduk desa Igirmranak adalah sejumlah 213 KK. Karakteristik umum responden di Desa Igir Mranak ini diperoleh berdasarkan data hasil survey terhadap 100 kepala keluarga. Karakteristik umum responden dinilai dari berbagai beberapa variabel, yaitu usia, pendidikan formal terakhir, kepemilikan anak (jumlah tanggungan anak), jumlah pendapatan, serta sumber pendapatan.

82 Usia Responden Tingkat umur responden bervariasi, dimulai dari 21 tahun hingga diatas umur 71 tahun. Distribusi tingkat umur responden dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Sebaran responden menurut Usia Dari gambar di atas terlihat bahwa responden terbanyak pada kisaran umur tahun yaitu sejumlah 36 orang atau 36% dari keseluruhan responden, dan pada kisaran umur tahun sebanyak 20 orang atau 20 % dari keseluruhan responden. Responden yang berusia antara tahun sejumlah 18 orang atau 18% dari keseluruhan responden, responden yang berusia antara tahun sejumlah 17 orang atau 17% dari keseluruhan responden, responden yang berusia antara tahun sejumlah 8 orang atau 8% dari keseluruhan responden sedangkan responden yang berusia di atas 71 tahun sejumlah 1 orang atau satu persen dari keseluruhan responden Tingkat Pendidikan Berdasarkan Gambar 13, dapat dilihat bahwa responden umumnya lulusan Sekolah Dasar atau sederajat yaitu sejumlah 87 orang atau 87% dari keseluruhan responden. Responden yang memiliki pendidikan formal terakhir SMP atau sederajat berjumlah 6 orang atau atau 6% dari keseluruhan responden, responden yang memiliki pendidikan formal terakhir SMA atau sederajat berjumlah 2 orang atau atau 2% dari keseluruhan responden, sedangkan responden yang tidak sekolah berjumlah 5 orang atau 5% dari keseluruhan responden.

83 63 Gambar 13. Sebaran responden menurut Pendidikan Jumlah Tanggungan Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki anak 3 orang yaitu sejumlah 43 keluarga atau 43% dari keseluruhan responden. Selanjutnya diikuti dengan responden memiliki 2 orang anak yaitu sejumlah 28 keluarga atau 28% dari keseluruhan responden. Responden yang memiliki 4 orang anak yaitu sejumlah 14 keluarga atau 14% dari keseluruhan responden, responden yang memiliki 1 orang anak yaitu sejumlah 9 keluarga atau 9% dari keseluruhan responden, responden yang memiliki 5 orang anak yaitu sejumlah 4 keluarga atau 4% dari keseluruhan responden serta responden yang memiliki 6 dan 7 orang anak masing-masing berjumlah 1 keluarga atau 1% dari keseluruhan responden (Gambar 14). Gambar 14. Sebaran responden menurut Jumlah Tanggungan Pendapatan Walaupun responden tinggal pada daerah pertanian kentang, komoditi pertanian kentang bukan satu-satunya sumber pendapatan bagi masyarakat di desa

84 64 Igirmranak. Hasil survey menunjukkan bahwa pendapatan dari hasil pertanian kentang hanya menyumbang hampir 70% dari total pendapatan keluarga responden. Selain itu, 17 % total pendapatan lainnya berasal dari upah sebagai buruh maupun gaji sebagai perangkat desa, guru maupun PNS, 8 % dari sektor perdagangan berupa warung maupun sebagai pengumpul kentang sedangkan 5% sisanya berasal dari sektor jasa, industri rumah tangga, ternak serta sumber lain. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Gambar 15. Gambar 15. Sumber pendapatan responden Tabel 17 dibawah menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendapatan responden perkapita untuk setiap bulannya adalah Rp ,- dimana nilai tersebut sebenarnya masih diatas nilai garis kemiskinan kabupaten Wonosobo sebesar Rp ,- (BPS, 2008). Apabila dilihat dari nilai pendapatan perkapita untuk setiap rumah tangga yang disurvey, diketahui bahwa sebanyak 39% responden berada dibawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten Wonosobo. Hal ini berarti rumah tangga mereka tidak mampu untuk memenuhi seluruh kebutuhan dasar sehingga dikategorikan sebagai petani miskin. Tabel 17. Rata-rata Pendapatan Per Kapita Responden Sumber Pendapatan Total pendapatan Per Tahun Rata-rata pendapatan per HH per tahun Rata-rata pendapatan per Kapita per bulan Rupiah % Rupiah % Rp 1. Pertanian 882,914, ,918, , Non Pertanian Dagang 120,240, ,220, ,303

85 65 Industri RT 3,960, , Jasa 58,920, , ,399 Kiriman 6,000, , ,263 Upah/Gaji 247,494, ,499, ,082 Ternak 3,900, , Lain-lain 6,000, , ,263 TOTAL 1,330,028, ,434, , Persepsi Responden Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden menyadari bahwa sungai memiliki banyak arti penting di dalam kehidupan mereka. Hal tersebut tergambar melalui jawaban yang beragam yang disampaikan. Sebanyak 68% responden berpendapat bahwa peran penting sungai bagi kehidupan mereka adalah untuk pengairan bagi pertanian kentang mereka (Gambar 16). Hal ini disebabkan karena tanaman kentang sangat bergantung kepada pasokan air sepanjang tahun, terutama pada saat musim kemarau/kering. Sebanyak 14% berpendapat bahwa air sungai juga dapat digunakan sebagai campuran untuk pestisida yang mereka gunakan sedangkan hanya 10% responden yang berpendapat bahwa air sungai bermanfaat untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga mereka sehari-hari. Hanya sebagian kecil responden (7%) yang beranggapan bahwa sungai merupakan tempat pembuatan berbagai sampah dari kehidupan mereka. Hal ini perlu mendapat perhatian serius agar pemahaman-pemahaman seperti ini tidak muncul secara lebih luas di kalangan masyarakat Desa Igir Mranak. Gambar 16. Peran penting sungai menurut responden Masyarakat menyadari bahwa lingkungan mereka saat ini sudah mengalami penurunan kualitas apabila dibandingkan dengan satu dekade yang

86 66 lalu. Hal tersebut ditunjukkan dengan data yang menggambarkan bahwa sebanyak 77% responden berpendapat demikian. Beberapa bentuk kerusakan alam yang paling banyak disampaikan oleh responden selama penelitian adalah longsor, banjir, erosi, perubahan profil sungai, panen menurun serta kualitas tanah yang semakin rendah. Sedangkan sisanya sebanyak 20% responden berpendapat bahwa kondisi lingkungan mereka saat ini lebih baik dibandingkan dengan kondisi pada beberapa tahun yang lalu (Gambar 17a). Berbagai pendapat dari reponden menyebutkan bahwa penyebab kerusakan tersebut bersumber dari manusia dan kondisi alam itu sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah jawaban sebesar 60% (Gambar 17b). Sementara itu, sebagian responden berpendapat bahwa penyebab kerusakan yang terjadi murni semata-mata adalah karena ulah manusia saja (18%) dan murni karena kondisi alam/topografi (18%). Beberapa bentuk dan contoh kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia diantaranya adalah penebangan hutan secara tidak terkendali, penggunaan bahan kimia yang berlebihan serta pola pengolahan lahan pertanian yang cenderung tidak mengikuti kaidah konservasi yang baik dan benar. Sedangkan kerusakan yang disebabkan karena alam digambar dengan contoh tingginya curah hujan dan topografi yang curam yang dianggap sebagai penyebab utama terjadi kerusakan lingkungan seperti banjir dan longsor. (a) (b) (c) Gambar 17. (a) Kondisi lingkungan saat ini (b) Faktor-faktor penyebab kerusakan (c) Beban tanggung jawab atas kerusakan lingkungan

87 67 Meskipun demikian, masyarakat menyadari bahwa yang harus bertanggung jawab atas terjadinya penurunan kualitas di daerah tempat tinggal dan lahan pertanian mereka adalah mereka sendiri serta masyarakat sekitar. Hal ini cukup jelas digambarkan dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebanyak 48 % responden menjawab bahwa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kerusakan yang ada adalah mereka sendiri, dan sebanyak 33% berpendapat bahwa masyarakat umum juga memiliki tanggung jawab serupa. Hanya sebagian kecil saja, yaitu 19% rerponden yang berpendapat bahwa pemerintahlah yang sepenuhnya harus bertanggung jawab atas semua kerusakan lingkungan yang ada (Gambar 17c). Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, hampir seluruh masyarakat di Desa Igir Mranak melakukan bercocok tanam kentang sebagai mata pencaharian utama dari sektor pertanian. Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan dengan beberapa orang tokoh masyarakat dari desa lokasi, diperoleh keterangan bahwa sejarah masuk dan diperkenalkannya tanaman kentang ke desa mereka sudah berlangsung semenjak tahun Sebelumnya, masyarakat setempat mengusahakan tembakau sebagai komoditas utama mereka. Dari hasil wawancara diperoleh hasil bahwa alasan mereka menanam kentang adalah karena faktor tradisi yang cukup kuat yang terjadi secara turun temurun (71%). Sedangkan sebagian kecil responden berpendapat bahwa tanaman kentang memiliki masa panen yang relatif lebih cepat dan menguntungkan (Gambar 18). Gambar 18. Alasan menanam kentang menurut responden Walaupun demikian, masyarakat tidak menampik bahwa tanaman kentang yang mereka usahakan hingga saat ini memiliki berbagai dampak negatif

88 68 terhadap lingkungan tempat tinggal dan lahan pertanian mereka. Sebanyak 37% responden menyatakan bahwa dampak negatif tanaman kentang adalah dapat menimbulkan erosi dan longsor, sedangkan 36% responden menyatakan bahwa tanaman kentang dapat menyebabkan lahan yang ditanami lama-kelamaan akan menjadi tidak subur dan produktif lagi (Gambar 19a). Dampak negatif ini ditimbulkan akibat pola pengolahan lahan yang tidak memenuhi kaidah konservasi serta dilakukan hingga pada lahan-lahan yang memiliki kemiringan ekstrem (diatas 90%). Selain itu, penggunaan pupuk kimia serta berbagai obatobatan kimia juga dianggap oleh responden sebagai penyebab semakin menurunnya kualitas dan produktifitas lahan pertanian mereka. Hal tersebut diperburuk dengan banyaknya lapisan subur yang sudah tergerus oleh erosi sehingga tanah yang tersisa hanyalah bagian yang kurang subur. Yang cukup menarik, sebagian kecil responden (16%) menyatakan bahwa tanaman kentang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan karena lahan pertanian kentang mereka berada pada lahan yang relatif datar sehingga tidak mengalami berbagai dampak yang disebutkan diatas secara langsung. (a) (b) (c) Gambar 19. (a) Dampak Negatif Kentang (b) Pendapat dari menanam kentang (c) Alasan petani tetap menanam kentang

89 69 Berbanding lurus dengan dampak yang dihasilkan, pendapatan dari pertanian kentang juga memberikan hasil yang baik kepada para responden. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang menunjukkan bahwa lebih dari setengah (52%) dari responden menyatakan bahwa mereka mengalami kerugian dari mengusahakan komoditi ini, setidaknya untuk 10 tahun terakhir. Selain itu, 36% responden menyatakan bahwa menanam kentang justru menguntungkan serta 12 % responden lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara untung dan rugi (Gambar 19b). Untuk menutupi kerugian tersebut, pada umumnya mereka meminjam uang kepada para tengkulak, tetangga dan bank. Bentuk usaha gali lobang tutup lobang ini berlangsung hampir setiap tahun dimana para petani biasanya membayar utang mereka dari hasil panen yang mereka dapatkan sebelumnya. Namun demikian, responden tetap memilih kentang sebagai komoditas utama pertanian mereka. Hal ini disebabkan karena mereka mengaku tidak memiliki pilihan (61%) untuk mengganti tanaman kentang dengan jenis komoditi yang lain. Selain itu, faktor kebiasaan (tradisi) juga merupakan salah satu faktor yang membuat mereka tetap pada usaha tanaman kentang. Hal ini mengingat bahwa pengetahuan yang mereka miliki hanyalah bercocok tanaman kentang yang sudah berlangsung turun temurun sehingga mereka merasa tidak nyaman apabila harus melakukan alih komoditi dengan komoditas yang lain (Gambar 19c). Berdasarkan kondisi diatas, sebagian besar responden sudah berpikir untuk melakukan alih komoditi, mengingat usaha pertanian kentang yang mereka jalani sekarang sudah tidak memberikan hasil (keuntungan) kepada mereka lagi. Hal ini terlihat dari hasil wawancara yang menunjukkan bahwa 56% responden mau melakukan alih komoditi sedangkan 44% responden lainnya tetap memilih kentang sebagai usaha utama mereka (Gambar 20a). Hanya saja ketika pertanyaan mengenai jenis tanaman yang mereka inginkan sebagai pengganti tanaman kentang disampaikan, jawaban yang diberikan sangat beragam seperti cabai, tembakau, karika dan lain-lain. Beragamnya jawaban mereka ini menunjukkan bahwa mereka masih belum memiliki keinginan yang jelas mengenai jenis tanaman pertanian yang mereka inginkan. Jawaban yang diberikan masih terkesan ragu-ragu dan tidak meyakinkan. Hal ini dirasa wajar mengingat bahwa mereka

90 70 sekian lama sudah melakukan pertanian kentang sehingga ketika diberikan pilihan untuk mengusahakan tanaman jenis lain, mereka terlihat ragu dan bingung. (a) (b) Gambar 20. (a) Keinginan alih komoditi (b) Alasan menolak alih komoditi Bagi responden yang menyatakan menolak untuk melakukan alih komoditi, terdapat beberapa alasan yang mereka kemukakan. Sebanyak 52% responden menyatakan bahwa tanaman kentang masih merupakan komoditi yang terbaik apabila dibandingkan dengan jenis-jenis tanaman lain yang biasa dibudidayakan oleh para petani di daerah Dieng seperti sayur-sayuran dan buahbuahan. Hal ini disebabkan karena pasar kentang yang memang sudah jelas serta pengetahuan yang mereka kuasai akibat sudah terbiasa semenjak lama menanam kentang (5%). Selain itu mereka juga terjebak dengan kondisi yang ada, dimana mereka tidak memiliki dan tidak meilhat pilihan lain yang lebih baik selain menanam kentang (25%) sehingga mereka tidak berani untuk mengambil keputusan untuk melakukan alih komoditi (18%) (Gambar 20b). Tidak banyak responden yang memahami pembuatan teknik konservasi yang sesuai dengan kaidah yang benar. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa sebanyak 89 % petani melakukan teknik konservasi terasering searah lereng dalam usaha pertanian kentang, sedangkan 11 % responden lainnya mengaku telah menerapkan teknik konservasi terasering searah kontur dalam menanam kentang (Gambar 21). Berbagai pendapat dan alasan membuat teras searah lereng dikemukakan oleh responden, diantaranya adalah teras searah kontur akan mengurangi bidang tanam, biaya pembuatan mahal, perawatan yang relatif sulit, aliran air menjadi tidak lancar sehingga membuat kentang menjadi busuk, pengetahuan serta waktu yang tidak cukup serta berbagai alasan lainnya. Hal ini memang cukup wajar, dimana persepi yang terbangun selama ini di

91 71 masyarakat adalah membuat teras serah lereng yang menurut mereka lebih praktis, ekonomis dan baik untuk pertumbuhan kentang. Gambar 21. Jenis terasering yang diterapkan oleh responden Secara lebih jauh, wawancara juga menggali berbagai jawaban untuk melihat perbandingan antara teras searah lereng dengan teras searah kontor (nyabuk gunung). Berdasarkan hasil wawancara, responden berpendapat bahwa pembuatan teras searah lereng akan menguntungkan secara ekonomi mengingat biayanya yang cenderung lebih murah (60%). Selain itu, kebutuhan bibit yang diperlukan juga cukup banyak (58%), sehingga jumlah tanaman kentang yang dapat ditanam dan hasil panen nantinyapun akan lebih banyak (58%) (Gambar 22). Gambar 22. Grafik perbandingan teras searah lereng dan teras searah kontur (nyabuk gunung) Sedangkan pembuatan teras searah kontur (nyabuk gunung) memiliki keunggulan dari sisi konservasi, dimana sebanyak 81% responden setuju bahwa pembuatan teras serah kontur akan dapat mengawetkan tanah dari ancaman erosi dan longsor. Selain itu, responden juga berpendapat bahwa teras searah kontur

92 72 memiliki fungsi perlindungan yang sangat tinggi (84%) dan mempermudah mereka dalam melakukan perawatan lahan dan tanaman kentang karena cederung lebih datar (67%). Yang menarik adalah sebanyak 40% responden berpendapat bahwa pembuatan teras searah kontur maupun serah lereng tidak akan mempengaruhi dari kualitas kentang yang dihasilkan. Hal ini berbeda dengan paradigma yang ad adi masyarakat Dieng secara umum, dimana pembuatan teras serah kontur akan menyebabkan hasil tanaman kentang menjadi lebih buruk dan busuk sebagai akibat adanya pengendapan air di tanah Nilai Tingkat Diskonto (Discount Rate) Banyak para peneliti ekonomi lingkungan yang menunjukkan bagaimana kemiskinan berhubungan erat dengan degradasi lingkungan ((Holden et al., 1998; Leimona et al, 2010). (Holden et al, 1998) menunjukkan bagaimana kemiskinan dapat ditunjukkan melalui penerapan Rate of Time Preferences (RTP) bagi petani di negara-negara berkembang. Menurut Barbier (1996) dalam Suyanto (2002), salah satu faktor yang menentukan kecenderungan petani untuk melakukan pertanian sehat dengan menerapkan teknik konservasi adalah faktor tingkat diskonto. Petani yang memiliki tingkat diskonto rendah cenderung akan mau menerima teknik konservasi yang ditawarkan, dan begitu juga sebaliknya. Di dalam penelitian ini, nilai RTP digali dengan mengumpulkan informasi tingkat diskonto perseorangan melalui serangkaian pertanyaan yang diajukan. Reponden diminta untuk membuat pilihan dari dua pilihan yang diberikan, seperti dalam waktu 6 bulan, ada akan memiliki Rp , - saat ini ataukah Rp Rp. X dalam waktu 6 bulan mendatang?. Berdasarkan hasil wawancara dan simulasi yang dilakukan dengan para responden, didapat hasil bahwa lebih dari setengah responden yaitu 60% memiliki tingkat diskonto yang sangat tinggi yaitu di atas 100%, 22 % memiliki tingkat diskonto yang tinggi (51-100%) serta 18 % lainnya memiliki tingkat diskonto yang rendah (< 50%). Hasil ini menunjukkan bahwa responden cenderung sulit untuk menerima teknik konservasi yang ditawarkan karena memiliki tingkat diskonto yang tinggi. (Tabel 18 dan Gambar 23).

93 73 Tabel 18. Tingkat Diskonto (Discount Rate) Responden Discount Rate Total Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Tingginya tingkat diskonto responden ini tidak terlepas dari kondisi ekonomi mereka yang mayoritas rendah. Hal ini mndorong mereka untuk cenderung mengejar hasil pertanian setinggi-tingginya guna pemenuhan kebutuhan hidup mereka dalam waktu singkat tanpa memikirkan inventasi lahan dalam jangka panjang sehingga prinsip-prinsip konservasi yang baik dan benar pun diabaikan. Gambar 23. Grafik Tingkat Diskonto (Discount Rate) Responden 5.5. Nilai Willingness to Accept (WTA) Membangun Pasar Hipotesis (Setting up the Hypothetical Market) Pada saat pengumpulan data WTA, seluruh responden diberi informasi mengenai beberapa bentuk kerusakan dan bencana yang ditimbulkan sebagai akibat dari pengelolaan DAS yang serampangan. Oleh karena itu, dalam rangka perbaikan fungsi DAS untuk mencegah terjadinya kejadian-kejadian tersebut pada masa mendatang, maka pemerintah membuat program baru untuk dapat meningkatkan kualitas DAS. Program ini merupakan suatu skenario yang mendorong para petani agar mau melakukan usaha pertanian ramah lingkungan dengan menerapkan beberapa teknik konservasi yang telah ditentukan. Agar

94 74 petani mau melakukan program pemerintah tersebut, maka pemerintah menawarkan sejumlah insentif berupa uang kepada mereka sebagai bentuk kompensasi dan penghargaan atas keinginan masyarakat berpartisipasi. Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan insentif serta meningkatkan kesadaran masyarakat dalam usaha konservasi pada daerah hulu DAS Serayu Memperoleh Wilai WTA (Obtaining Bids) Besaran nilai WTA diperoleh dari hasil wawancara dengan para responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang tertera di dalam kuisioner. Dari 100 responden yang diwawancara, sebanyak 51% menerima skenario yang diajukan, sementara 49 % diantaranya menolak. Jumlah responden yang tidak bersedia menerima skenario yang diajukan cukup besar dimana hampir setengah dari jumlah total responden yang diwawancara. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, diantaranya adalah responden merasa bahwa nilai yang diberikan tidak mencukupi untuk menutupi biaya kerugian yang akan diderita apabila mereka menerapkan system konservasi yang akan mengorbankan jumlah tanaman kentang mereka. Selain itu mereka juga berpendapat bahwa kondisi lahan yang ada saat ini tidak memungkinkan untuk diterapkan teknik konservasi karena luasan lahan pengelolaan mereka yang relatif sempit dan curam. Sedangkan bagi responden yang bersedia untuk menerima skenario konservasi yang diajukan, secara umum menyatakan bahwa kesediaan mereka tersebut merupakan bagian bentuk partisipasi mereka untuk menjaga lingkungan DAS Serayu agar dapat terpelihara dengan baik guna mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan yang lebih parah. Tentunya mereka sangat mengharapkan agar upaya tersebut tidak menjadi tanggung jawab mereka semata, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab semua pihak yang berkepentingan di Dieng Menduga Kurva Penawaran WTA Kurva WTA responden dibentuk berdasarkan nilai WTA responden terhadap dana kompensasi atau nilai pembayaran jasa lingkungan yang dikehendaki. Kurva ini menunjukkan hubungan antara tingkat WTA yang diinginkan dalam Rp/ha/tahun dengan jumlah responden yang bersedia menerima

95 75 pada tingkat WTA tersebut. Berdasarkan jawaban yang diperoleh dari hasil wawancara, maka nilai WTA digolongkan menjadi 10 kelompok seperti yang dijelaskan pada Tabel 19 dan kurva WTA pada Gambar 24 berikut: Tabel 19. Tabel Dugaan Tawaran WTA Responden No Nilai WTA YA Tidak Jumlah Frekuensi Relatif 1 1,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, Gambar 24. Dugaan kurva tawaran WTA responden 5.6. Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai Willingness to Accept (WTA) dengan metode Regresi Logit Untuk mengetahui peubah-peubah yang mempengaruhi terhadap kesediaan menerima (WTA) skenario konservasi yang ditawarkan serta apakah secara statistik nilai WTA tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan atau tidak,

96 76 maka dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA responden dengan teknik Logistic Regression. Variabel dependen yang digunakan serta hipotesis hubungannya dengan WTA responden dijelaskan dalam Tabel 20 berikut: Tabel 20. Tabel Dugaan Variabel yang mempengaruhi WTA Responden No Variabel Penjelasan Dugaan Hubungan 1 Nilai WTA Besaran nilai WTA yang diajukan untuk melakukan konservasi 2 Usia Usia responden pada saat diwawancara 3 Pendidikan 4 Jumlah Tanggungan 5 Luas area Jumlah tahun responden mengeyam pendidikan formal Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan responden Luas areal lahan pertanian kentang yang dimiliki 6 Lama Memiliki Lahan Jangka waktu memiliki lahan 7 8 Pendapatan Rumah Tangga Jumlah Kepemilikan Lahan 9 Kemiringan Lahan 10 Persepsi respoden mengenai pendapatan dari kentang 11 Time Preferrence Total pendapatan rumah tangga respoden selama satu tahun Total jumlah petak lahan yang dimiliki Kondisi kemiringan lahan berdasarkan pengamatan responden;(1) datar,(2) miring, (3) curam Persepsi bahwa usaha tani kentang menghasilkan (1) keuntungan, (2)kerugian atau (3)sama saja Tingkat diskonto responden yang diukur dengan kritera: (1) rendah (2)sedang, (3)tinggi (4) sangat tinggi Semakin besar, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar Semakin tua, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar Semakin tinggi, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar Semakin besar, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar Semakin luas lahan, kecenderungan menerima WTA semakin besar Semakin lama, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar Semakin besar, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar Semakin banyak, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar Semakin miring, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar Responden yang menjawab pendapatan kentang membuat rugi, kecenderungan menerima WTA akan semakin besar Semakin tinggi, kecenderungan menerima WTA akan semakin kecil 21 berikut: Sedangkan hasil pengolahan data untuk model diatas disajikan pada Tabel Tabel 21. Hasil Nilai Koefisien pada Peubah Kesediaan Masyarakat untuk Menerima Pembayaran atas Jasa Lingkungan dengan Regresi Logit (Logistic Regression) Peubah Koefisien Std Err t P> t [95% Conf. Interval] Pembayaran (Rp) ** Usia (USIA) Pendidikan (PDDK)

97 77 Jumlah Tanggungan (TANG) Lama Memiliki (LMLK) Pendapatan (PDPT) -1.17e e e e-08 Luas Lahan (AREA) Jumlah Plot (JMPL) Kemiringan Lahan (SLOP)_ Pendapatan Kentang (PKTG)_ Pendapatan Kentang (PKTG)_ * Time Preferrence (TIME)_ Time Preferrence (TIME)_ Time Preferrence (TIME)_ Konstanta Log likelihood: ** Nyata (p<0.05) * Nyata (p<0,1) LR chi2 (14): Prob > chi2: P Value as a whole Pseudo R2: Berdasarkan hasil analisis dengan variable-variabel sosial ekonomi yang diperkirakan dapat mempengaruhi responden untuk menerima pembayaran sebagaimana yang disajikan pada Tabel 21 di atas, menunjukkan bahwa berdasarkan nilai multiple R (r) dapat dilihat bahwa hubungan antar variabel input-input yang digunakan tersebut dengan output yang dihasilkan memiliki hubungan yang kurang erat. Berdasarkan nilai R square (R2) dapat dilihat bahwa nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang dihasilkan adalah sebesar % yang mana berarti bahwa model regresi tersebut hanya bisa menjelaskan sebesar 12.72% dari nilai WTA konservasi yang ditawarkan, sedangkan sisanya sebesar 87,28 % dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Hasil uji t (t-test) terhadap peubah-peubah tersebut terdapat dua peubah yang berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden, yaitu besaran Nilai WTA (X1) yang berbeda pada taraf nyata 95%, dan Persepsi pendapatan dari kentang (X10) yang berbeda pada taraf nyata 90%. Variabel nilai WTA memiliki nilai Sig sebesar 0,022 yang berarti bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap peluang responden bersedia menerima pembayaran untuk melakukan teknik konservasi (α) 5

98 78 persen. Sedangkan nilai koefisien bertanda positif (+) pada variabel tersebut berarti bahwa semakin tinggi nilai tawaran yang diberikan maka semakin besar pula kecenderungan peluang responden untuk bersedia menerima pembayaran jasa lingkungan. Hal ini sesuai dengan hukum penawaran yang menyatakan bahwa semakin tinggi nilai imbal jasa lingkungan yang ditawarkan kepada petani, maka semakin besar pula peluang para petani tersebut untuk menerima nilai yang ditawarkan. Variabel X10 merupakan variabel dummy yang menyatakan persepsi responden mengenai pendapatan dari pertanian kentang. Variabel X10 memiliki nilai Sig sebesar 0,059 yang berarti bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap peluang responden bersedia menerima pembayaran untuk melakukan teknik konservasi pada taraf (α) 10 persen. Sedangkan nilai koefisien bertanda positif (+) memiliki arti bahwa responden yang berpendapat bahwa pendapatan dari menanam kentang tidak memberikan keuntungan maupun kerugian secara ekonomi (sama saja) memiliki peluang bersedia membayar lebih besar kali dibandingkan dengan responden yang berpendapat bahwa menanam kentang malah memberikan kerugian secara ekonomi bagi mereka. Variabel penjelas lainnya yang diduga memiliki pengaruh terhadap kesediaan melakukan konservasi pada pertanian kentang seperti variabel Usia, Pendidikan, Jumlah tanggungan, Pendapatan, Lama memiliki lahan, Luas Lahan, Jumlah Plot, Kemiringan dan Time Preferrence memiliki nilai Sig yang lebih besar dari taraf kepercayaan (α) 20 persen, hal tersebut menunjukkan bahwa variabel-variabel respon tersebut tidak berpengaruh nyata. Dari nilai koeefisien yang dihasilkan, terdapat beberapa variable lainnya yang sesuai dengan hipotesis yang dibuat, diantaranya adalah Jumlah Tanggungan, Kemiringan Lahan serta Time Preferrence. Semakin besar jumlah tanggungan, semakin miring lahan yang dimiliki dan semakin rendah tingkat diskonto maka kecenderungan petani untuk menerima WTA juga akan semakin besar. Hanya saja karena variable-variabel tersebut memiliki nilai signifikansi yang besar (> 10%), hubungan tersebut menjadi tidak nyata. Berdasarkan model di atas, dapat dihitung nilai rata-rata WTA responden untuk melakukan teknik konservasi di lahan pertanian kentang. Nilai tersebut didapat dengan membagi nilai alpha (α) dan beta (β) seperti perhitungan dibawah:

99 79 WTA = α/ β = / = ,- Rp Berdasarkan hasil perhitungan nilai WTA dengan menggunakan model regresi logistik dapat dilihat bahwa rata-rata besaran nilai WTA responden adalah sebesar Rp /ha/panen. Nilai ini mendekati nilai opportunity cost yaitu sebesar Rp /ha/panen. Walaupun banyak kritik terhadap penggunaan metode CVM dalam menduga nilai WTA, akan tetapi hasil perhitungan WTA pada penelitian ini tidak terlalu jauh dari nilai opportunity cost yang diperoleh melalui analisis usaha tani. Kelemahan penggunaan CVM ini akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan berikutnya Evaluasi Penggunaan CVM Berdasarkan hasil analisis regresi logistik yang dilakukan, diperoleh nilai Pseudo R 2 sebesar %. Menurut Mitchell dan Carson (1989) dalam Hanley dan Spash (1993) penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan dapat mentolerir nilai Pseudo R 2 sampai dengan 15 persen, hal ini dikarenakan penelitian tentang lingkungan berhubungan dengan perilaku manusia yang memiliki nilai bias yang cukup tinggi. Meskipun demikian, nilai Pseudo R 2 yang kecil tidak membuat suatu model dianggap tidak bagus. Hal ini dikarenakan nilai Pseudo R 2 yang bernilai 0 sampai dengan 1 bukan merupakan interpretasi alami melainkan tiruan untuk mengganti R square OLS pada model logit (Greene, 2000). Hal tersebut juga didukung oleh Gujarati (2003) yang berpendapat bahwa dalam model regresi logistik, hal utama yang harus diperhatikan adalah indikator signifikansi model, signifikansi variable-variabel independen dan arah koefisien dari variable tersebut. Sedangkan besar nilai Pseudo R 2 tidak diutamakan. Selain itu penggunaan data cross section pada penelitian ini membawa implikasi nilai R square yang rendah belum tentu menandakan model yang digunakan tidak baik (Hakim, 2009). Apabila hasil pengujian t-stat menunjukkan hasil yang signifikan serta sesuai dengan arah dari teori ekonomi, model tersebut masih dapat digolongkan sebagai model yang layak untuk statistik (Gujarati, 2003). Oleh

100 80 karena itu, hasil pelaksanaan CVM dalam penelitian ini dapat diyakini kebenaran dan keandalannya. Rendahnya nilai Pseudo R 2 dalam penelitian ini tidak terlepas dari beberapa kelemahan yang terdapat dalam teknik CVM. Menurut Fauzi (2006), meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk mengukur WTA/WTP, namun terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang utama dari pendekatan ini adalah timbulnya bias. Bias dalam pengumpulan data dengan mengunakan teknik CVM menurut Hanley dan Spash (1993) dalam Fauzi (2006) terdiri dari: 1) Bias Strategi (Strategic Bias) Adanya responden yang meminta suatu nilai WTA yang relatif besar karena alasan bahwa ada responden lain yang akan membayar upaya peningkatan kualitas lingkungan dengan harga yang lebih tinggi kemungkinan dapat terjadi. Alternatif untuk mengurangi bias strategi ini adalah melalui penjelasan bahwa semua orang akan membayar nilai tawaran rata-rata atau penekanan sifat hipotetis dari perlakuan. Hal ini akan mendorong responden untuk mengajukan nilai WTA yang benar. Hoehn dan Randall (1987) dalam Hanley dan Spash (1993) menyarankan bahwa bias strategi dapat dihilangkan dengan menggunakan format referendum terhadap nilai WTA yang terlalu tinggi 2) Bias Rancangan (Design Bias) Beberapa hal dalam rencangan survei yang dapat mempengaruhi responden adalah: a. Pemilihan jenis tawaran (bid vehicle). Jenis tawaran yang diberikan dapat mempengaruhi nilai-nilai rata-rata tawaran. b. Bias titik awal (starting point bias). Pada metode bidding game, titik awal yang diberikan kepada responden dapat mempengaruhi nilai tawaran (bid) yang ditawarkan. Hal ini dapat dikarenakan responden yang ditanyai merasa kurang sabar atau karena titik awal yang mengemukakan besarnya nilai tawaran adalah tepat dengan selera responden (disukai responden karena responden tidak memiliki

101 81 pengalaman tentang nilai perdagangan benda lingkungan yang dipermasalahkan). c. Sifat informasi yang ditawarkan (nature of information provided). Dalam sebuah pasar hipotesis, responden mengkombinasikan informasi benda lingkungan yang diberikan kepadanya dan bagaimana pasar akan bekerja. Tanggapan responden dapat dipengaruhi oleh pasar hipotesis maupun komoditas spesifik yang diinformasikan pada saat survei. 3) Bias yang Berhubungan dengan Kondisi Kejiwaan Responden (Mental Account Bias) Bias ini terkait dengan langkah proses pembuatan keputusan seorang individu dalam memutuskan seberapa besar pendapatan, kekayaan, dan waktunya yang dapat dihabiskan untuk benda lingkungan tertentu dalam periode waktu tertentu. 4) Kesalahan Pasar Hipotetik (Hypotetical Market Error) Kesalahan pasar hipotetik terjadi jika fakta yang ditanyakan kepada responden di dalam pasar hipotetik membuat tanggapan responden berbeda dengan konsep yang diinginkan peneliti sehingga nilai WTA yang dihasilkan menjadi berbeda dengan nilai yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan studi CVM tidak berhadapan dengan perdagangan aktual, melainkan suatu perdagangan atau pasar yang murni hipotetik yang didapatkan dari pertemuan antara kondisi psikologi dan sosiologi prilaku. Terjadinya bias pasar hipotetik bergantung pada: a. Bagaimana pertanyaan disampaikan ketika melaksanakan survei. b. Seberapa realitistik responden merasakan pasar hipotetik akan terjadi. c. Bagaimana format WTA yang digunakan. Solusi untuk menghilangkan bias ini salah satunya yaitu desain dari alat survei sedemikian rupa sehingga maksimisasi realitas dari situasi yang akan diuji dan melakukan pengulangan kembali untuk kekonsistenan dari responden.

102 Potensi Pengembangan Jasa Lingkungan di Dieng Ide atau gagasan mengembangkan konsep jasa lingkungan oleh Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) sebagai kelompok kerja sukalera berbasis lokal bersama para pihak terkait diawali dengan pemikiran bahwa laju kerusakan DAS Serayu semakin tinggi. Kenyataannya DAS Serayu hanya dipandang sebagai tempat yang ideal untuk bercocok tanam tanaman holtikultura (terutama kentang) saja. Namun apabila diteliti sebetulnya masih banyak komponen yang lebih besar nilainya selain pertanian seperti potensi air, ekowisata, panorama alam, dan lainlain yang menyangkut air, keanekaragaman hayati dan wisata. Tantangannya saat ini bagaimana memberikan penjelasan kepada masyarakat petani yang berada di hulu DAS mengenai pentingnya fungsi konservasi melalui penerapan pertanian ramah lingkungan sebagai sistem pengendali dan antisipasi terhadap kerusakan DAS yang ada. Desakan ekonomi dan idealisme masyarakat dalam bertani kentang sampai saat ini masih sangat kuat, dan menurut mereka hingga kini belum ada alternatif komoditi lain yang bisa menyaingi kentang. Membanjirnya kentang impor Cina yang menawarkan harga yang jauh lebih murah akan membuat daya saing kentang lokal di tingkat petani akan semakin turun. Kondisi ini di satu sisi akan membuat posisi ekonomi para petani kentang semakin terjepit, akan tetapi kondisi ini juga membuka peluang untuk intervensi konservasi yang semakin tinggi sebagai akibat nilai profitabilitas kentang yang semakin rendah. Hal ini tentu saja manjadi suatu dilema. Adanya skema imbal jasa lingkungan dimana penggantian komoditas kentang dengan tanaman yang mampu menjadi penyangga tanah dan air, diharapkan pendapatan masyarakat dapat sebanding dengan yang mereka dapatkan dari kentang. Cukup banyak kisah sukses yang menunjukkan keberhasilan alih komoditi dari sayuran intensif menjadi tanaman keras dengan pola agroforestry yang bisa dijadikan model bagi para petani kentang di Dieng, seperti di daerah Pengalengan dan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Namun kembali melihat kondisi dimana tingkat ketergantungan petani Dieng terhadap komoditi kentang ini yang masih tinggi, maka perlu dilakukan peningkatan kesadaran masyarakat melalui kegiatan-kegiatan lingkungan yang bersifat partisipatif sebelum melangkah ke skema imbal jasa.

103 83 Di Kabupaten Wonosobo sendiri konsep pengembangan jasa lingkungan sudah sampai pada tahap penyamaan persepsi pada tataran pengambil kebijakan maupun pada tahap melakukan penilaian (assessment) potensi jasa lingkungan dan pelatihan pada tingkat lapang pada tataran masyarakat dan penggiat lingkungan. Salah satu strategi yang ditempuh TKPD adalah melalui raising awareness atau peningkatan kepedulian masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan. Nugroho (2010) menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek yang perlu dinilai dalam kajian valuasi ekonomi kawasan Dieng. Aspek-aspek tersebut memiliki maksud dan kegunaan yang berbeda, yang secara sinergis diharapkan dapat menjawab persoalan-persoalan pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di kawasan Dieng, khususnya pada persoalan yang disebabkan oleh penyebab-penyebab yang terkait dengan ekonomi usaha tani budidaya tanaman semusim bernilai tinggi (kentang). Salah satu aspek yang dimaksud adalah kebijakan penetapan insentif dan dis-insentif pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di kawasan Dieng melalui skema jasa lingkungan. Insentif merupakan instrumen yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keputusan produsen/konsumen baik berdasarkan pertimbangan finansial maupun non-finansial. Dalam kasus pemulihan kawasan Dieng, insentif perlu diberikan untuk mendorong petani dan pihak pemanfaat sumberdaya lahan dan hutan lainnya dalam penerapan teknik budidaya ramah lingkungan. Sebaliknya dis-insentif, perlu dikembangkan untuk menghambat penerapan teknik-teknik pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan yang tidak ramah lingkungan. Nugroho (2010) menyatakan bahwa terdapat banyak model (regime) insentif dan dis-insentif yang dapat diterapkan, misalnya (1) insentif yang berorientasi pada kebendaan/finansial (remunerative incentives or financial incentives), (2) insentif yang berorientasi moral (moral incentives) dengan mengajak/mengkapanyekan hal-hal baik dan terpuji untuk dilakukan, dan (3) insentif paksaan (coercive incentives) dengan memberikan hukuman, pengucilan, dsb (dis-insentif). Sasaran insentif/dis-insentif dapat diberikan kepada individu (personal incentives) dan insentif untuk masyarakat luas (social incentives). Berdasarkan paparan di atas, alternatif-alternatif insentif yang paling mungkin adalah sebagai berikut:

104 84 a. Insentif untuk penerapan teknik budidaya ramah lingkungan, terdiri dari: Kompensasi, misalnya dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan (payment for environmental services) dan/atau REDD. Subsidi, misalnya keringan pajak PBB atau subsidi input teknologi. Fasilitasi perolehan harga premium (premium price) atas komoditas hasil pertanian yang dilakukan dengan teknik budidaya yang ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan maraknya kampanye kampanye yang dilakukan oleh berbagai instansi mengenai isu green product. b. Dis-insentif untuk penerapan teknik budidaya konvensional (tidak ramah lingkungan) dengan pengenaan pajak berlipat (misal: PBB, penggunaan air dalam dan telaga, dls) van Noordwijk dan Leimona (2010) juga menyatakan bahwa skema Imbal Jasa Lingkungan (IJL) yang berfokus bahwa insentif/pembayaran bagi penyedia jasa lingkungan tidak hanya berupa uang tunai tetapi dapat berupa imbalan nontunai, seperti peningkatan kapasitas masyarakat, fasilitas umum untuk kesehatan dan pendidikan, akses pasar untuk komoditas pertanian dan pekebunan setempat, dan sebagainya. Salah satu contoh insentif berupa uang adalah aplikasi IJL di Cidanau dimana masyarakat petani mendapatkan pembayaran tunai jika mereka berhasil menanam sejumlah pohon berkayu dan memeliharanya dalam jangka waktu tertentu (Leimona, Pasha, and Rahadian 2010). Hasil penelitian di sejumlah negara Asia (Indonesia, Filipina, dan Nepal) menunjukkan bahwa imbalan nontunai lebih diharapkan oleh masyarakat penyedia jasa lingkungan (Leimona, Joshi, and Van Noordwijk 2009). Penganut paham PJL berpendapat bahwa pemberian imbalan non-tunai dapat mengurangi efektivitas dari skema karena non-peserta dianggap penunggan bebas (free rider) dan peserta tidak menerima pembayaran utuh sebagai pengganti biaya kesempatannya (opportunity cost) yang hilang (Pagiola, Arcenas, and Platais 2005; Grieg-Gran, Porras, and Wunder 2005). Kurangnya pembayaran tunai bagi penyedia jasa lingkungan dianggap sebagai salah satu akibat lunturnya performa mereka dalam melaksanakan kontrak konservasi. Namun, perlu pula dipertimbangkan bahwa pemberian uang tunai

105 85 terutama bagi masyarakat pedesaan, dipandang merendahkan norma sosial mereka dalam melestarikan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan Dieng memiliki banyak potensi untuk pengembangan imbal jasa lingkungan. Jasa lingkungan tersebut tidak hanya dari aspek sumber air, tetapi juga ekowisata, keanekaragaman hayati, sumber tenaga listrik, potensi karbon stok dan keindahan bentang alam. Sehingga pengembangan imbal jasa lingkungan bisa berupa kombinasi dari aspek jasa-jasa lingkungan yang tersedia tersebut (bundle ES). Pada akhirnya, dengan menerapkan mekanisme imbal jasa lingkungan di Dieng adalah terpeliharanya jasa-jasa lingkungan dengan memperhatikan tradeoff antara produktivitas suatu lahan dalam menyediakan produk yang tangible dan berkontribusi langsung terhadap penghidupan dengan jasa lingkungan yang akan mendukung keberlanjutan potensi sumber daya alam di Dieng. Selain mendorong upaya penerapan IJL sebagai salah satu cara untuk mengatasi permasalahan yang ada, penetapan wilayah untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya juga harus semakin diperjelas lagi agar tidak terjadi tumpang tindih pengelolaan dan kebijakan di lapangan. Kondisi ini biasanya muncul pada wilayah-wilayah pedesaan atau wilayah yang dihuni oleh masyarakat tradisional seperti kawasan Dieng, dimana perlindungan tidak bisa terlepas dengan pemanfaatan wilayah. Pada wilayah ini konsep pembagian wilayah lindung dan wilayah budidaya perlu dikaji lagi dengan mengedepankan kedua aspek ini sekaligus. Ini terkait dengan budaya masyarakat, pada masyarakat pedesaan terutama masyarakat tradisional, dimana sistem perlindungan dan pemanfaatan menyatu dalam satu ritme kehidupan. Ketergantungan masyarakat pada alam secara otomatis akan membentuk budaya yang juga ikut melestarikan alam. Pola masyarakat yang seperti ini disebut dengan masyarakat ekosentris. Penataan ruang di Indonesia seharusnya sudah mampu mengadopsi sistem yang membagi wilayah secara lebih detail. Bahwa blok Taman Nasional atau Cagar Alam misalnya harus juga memperhatikan kelompok-kelompok masyarakat yang sudah hidup jauh sebelum wilayah tersebut dijadikan wilayah lindung. Pertanyaan yang paling sulit adalah bagaimana mengelola wilayah tersebut agar fungsi kawasan lindung dan kawasan budidaya tidak saling merugikan.

106 86 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil pada penelitian ini adalah 1. Teknik konservasi terbukti mampu menurunkan nilai limpasan permukaan (run off) sebesar 33,90 % dan erosi 18,38 % jika dibandingkan dengan pengolahan tanah searah lereng. Teknik konservasi juga terbukti tidak menyebabkan terjadinya penyimpanan air di dalam tanah yang menyebabkan kebusukan pada kentang 2. Teknik konservasi yang diterapkan memang terbukti menurunkan jumlah produksi hasil panen secara keseluruhan sebesar 37 % lebih rendah, akan tetapi terbukti dapat meningkatkan produktifitas per tanaman sebesar 26 %. Hal ini diduga karena teknik konservasi mampu menahan laju kehilangan zat-zat hara dan pupuk yang dibutuhkan oleh tanaman kentang 3. Besarnya biaya yang harus diinternalisasi oleh petani dalam penerapan konservasi lahan tanaman kentang adalah: Rp ,- /ha/panen dengan pendekatan WTA atau sebesar Rp / ha/panen atau Rp / Ton erosi dengan pendekatan Opportunity Cost.. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi WTA petani adalah Nilai Tawaran (Bid) dan persepsi responden tentang keuntungan dari petanian kentang. 4. Apabila ditinjau dari besarnya erosi dan produksi Kentang, maka pengolahan tanah yang paling menguntungkan petani untuk jangka panjang adalah searah kontur yang dimodifikasi dengan SPA dan tanaman penguat teras karena nilai erosi pada perlakuan ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan pengolahan tanah searah lereng dan produksinyapun tidak jauh beda dengan pengolahan tanah searah lereng.

107 Saran 1. Untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif, penelitian ini hendaknya juga dilengkapi dengan melihat aspek kesediaan membayar (Willingness to Pay/WTP) dari para pemanfaat DAS, aspek sejarah dan budaya masyarakat petani kentang serta pengambilan data erosi dan limpasan permukaan yang dilakukan dalam kurun waktu yang lebih panjang dan ulangan yang lebih banyak. 2. Dukungan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk dapat memfasilitasi permasalahan di Dieng dengan mencoba meningkatkan kesadaran akan pentingnya pertanian ramah lingkungan untuk manfaat dalam jangka panjang 3. Penyediaan insentif bagi usaha pertanian ramah lingkungan harus bersifat terpadu dan tidak terbatas hanya berupa pembayaran jasa lingkungan saja. Perlu ada tambahan inisiatif lain seperti misalnya peternakan, perikanan yang dapat memberikan manfaat sampingan bagi petani kentang 4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat alternatif bentuk pengelolaan lahan yang memiliki nilai ekonomis dan konservasi seperti penggantian kentang menjadi penanaman tanaman keras dengan pola agroforestry ataupun komoditas lain yang lebih ramah lingkungan.

108 88 DAFTAR PUSTAKA Agus, F., R.L. Watung, H. Suganda, S.H. Talaohu, Wahyunto, S. Sutono, A. Setiayanto, H. Mayrowani, A.R. Nurmanaf, dan K. Kundarto Assesment of Environmental Multifungtions of Paddy farming in Citarum River Basin, west Java, Indonesia. Dalam U. Kurnia et al. Penyunting. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor, 2 Oktober dan Jakarta 25 Oktober Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Amstrong C.L., J.K., Mitchell dan P.H., Walker, Soil Loss Equation Research in Africa Review, Dept of Agric. Engenering Univ. of Illnois, USA Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. Bogor. Penerbit IPB. Asandhi, A.A., dan N. Gunadi Syarat tumbuh tanaman kentang. Dalam Kentang. Edisi kedua. Balai Penelitian Hortikutura Lembang. Asdak, C Hidrologi dan Pengelolaan DAS. UGM Press. Yogyakarta. Beukema, H.P Potato production. International Agriculture Centre, Wageningen Beasley, R.P Erosion and sediment pollution Control. Iowa State University Press. Biro Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo Wonosobo Dalam Angka tahun Kabupaten Wonosobo. Biro Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo Wonosobo Dalam Angka tahun Kabupaten Wonosobo. Badan Pusat Statistik Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS. BTP DAS Surakarta Rencana Program Litbang Pengelolaan DAS Tahun BTP DAS Surakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Cahyono, S.A dan Purwanto Imbal Jasa Multifungsi DAS Untuk Mendukung Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Disampaikan dalam Seminar Peran Stakeholder dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan DAS Cicatih Hulu, 21 September 2006 di Bogor. Gujarati, D.N., Basic Econometrics. fourth edition McGraw-Hill, New York. Darori Pengelolaan DAS Berbasis Multipihak. Pidato Pembukaan Pada Semiloka Pengelolaan DAS Berbasis Multipihak (Prosiding). Kerjasama FP-USU dan BPDAS Wampu Ular; Editor: Bejo Slamet, Abdul Rauf dan Misran. Hal:iii-viii

109 Departemen Kehutanan Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Pertanian Teknologi Konservasi Tanah Pada Budidaya Sayuran Di Dataran Tinggi di dalam Buku Teknologi Konservasi Tanah Pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Luas Lahan Kritis di Indonesia dan Statistik dalam Angka. Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Easter, K.W., J.A. Dixon, dan Hufschmidt Watershed Resources Management: an Integrated Framework with Studies from Asia and The Pacific. Westview Press. Colorado. Ewing, E.E., and R.E. Keller Proc. Int. Congr. Research for the Potato in the Year Limiting factors to the extension of potato into nontraditional climates. International Potato Centre. Farida and M.V. Noordwijk Analisis Debit Sungai Akibat alih Guna Lahan dan Aplikasi Model GenRiver Pada DAS Way Besai Sumberjaya. World Agroforestry Centre. Bogor. Fauzi, Akhmad Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori & Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Gouyon, A Imbalan bagi Masyarakat Miskin Dataran Tinggi terhadap Jasa Lingkungan: Sebuah Tinjauan tentang Inisiatif dari Negara- Negara Maju. World Agroforestry Centre. Bogor Green W. H (2000). Econometric Analysis. 4th edn. Englewwod Cliffs, NJ: Prentice Hall Hakim, Rizki Abinul Analisis Determinan Tingkat Kejahatan Properti di Jawa Tahun Skripsi. Universitas Indonesia. Hanley, N dan C. L. Spash Cost-Benefit Analysis and Environmental. Edward Elgar Publishing England. Hawkes, J.G The potato, evolution, biodiversity, and genetic resources. Balhaven Press, London. Hawkes, J.G. (ed.) History of the potato. In: P.M Harris. The potato crop. The scientific basis for improvement. Chapman and Hall, London. p Hernawati Pengaruh Beberapa teknik Konservasi Tanah dan Air dalam budidaya Kentang dan Kubis Terhadap Aliran Permukaan, Erosi dan Produksi Tanaman. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor Holden, S., Shiferaw, B., Wik.M., Poverty, market imperfections and time preferences: of relevance for environmental policy? Environment and Development Economics 3,

110 90 Suganda. Husein M.S., Djunaedi, D. Santoso, dan S. Sukmana., Pengaruh cara pengendalian erosi terhadap aliran permukaan, Tanah Tererosi, clan Produksi savuran pada andisols. Jurnal Tanah clan Iklim. No. 15 hal. Leimona, B Actual Experiment of Direct incentive Scheme through Auction for Environmental Service Provision in Watershed Management. World Agroforestry Centre. Bogor. Leimona, B, Laxman Joshi, and Meine Van Noordwijk Can rewards for environmental services benefit the poor? Lessons from Asia. International Journal of the Commons 3 (1): Leimona, B, R. Pasha, and N.P. Rahadian The livelihood impacts of incentive payments for watershed management in West Java, Indonesia. In Livelihoods in the REDD?: Payments for Environmental Services, Forest Conservation and Climate Change, edited by L. Tacconi, S. Mahanty and H. Suich. Cheltenham: Edward Elgar. Nonnecke, L.I Vegetable production. Van Nostrand Reinhold, Canada. Nugroho, B Menuju Valuasi Ekonomi Manfaat Ekologis dan Kerugian atas Kerusakan Sumberdaya Lahan dan Hutan di Kawasan Dieng, Kabupaten Wonosobo. Paper disampaikan dalam Workshop Membangun Wonosobo Berkelanjutan, Maret Pagiola, S, Agustin Arcenas, and Gunars Platais Can Payments for Environmental Services Help Reduce Poverty? An Exploration of the Issues and the Evidence to Date from Latin America. World Development 33 (2): Pasha R, Asmawan T, Leimona B, Setiawan E, Irawadi Wijaya C. (2011) Komoditisasi atau koinvestasi jasa lingkungan? Skema imbal jasa lingkungan program peduli sungai di DAS Way Besai, lampung, Indonesia. Working Paper. Bogor. World Agroforestry Centre Pemerintah Desa Igirmranak Monografi Desa Desa Igirmranak. Wonosobo. Priyono, C.N.S dan S.A. Cahyono Status dan Strategi Pengembangan Pengelolaan DAS di Masa Depan di Indonesia. Alami, 8(1): 1 5. Purbiati, Pengaruh umur panen kentang varietas atlantik terhadap hasil dan kualitas di datarn medium. Sumberpucung-Malang. Badan penelitian dan pengembangan pertanian pusat penelitian dan pengembangan hortikultura. Balai penelitian tanaman sayuran. Lembang Bandung. Rahim S. E Pengendalian Erosi Tanah: Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Bumi aksara. Jakarta. Sanchez, P. A Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Penerbit ITB Bandung. Bandung

111 Sinukaban, I.S. Banuwo Pengaruh Tindakan Konservasi tanah terhadap Aliran Permukaan, Erosi, dan Kehilangan hara pada Pertanaman Sayuran. IPB Soekartawi Agribisnis, Teori dan Aplikasinya. Universitas Brawijaya. PT.Raja Grafindo Persada Jakarta. Sunarjono, H Budidaya kentang. N.V. Soeroengan. Jakarta. Supirin Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi Offset. Yogyakarta. Suyanto,S Pertanian Sehat: Pandangan dari Aspek Ekonomi dalam buku Akar Pertanian Sehat; Konsep dan Pemikiran. Universitas Brawijaya. Malang Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) Program Pemulihan Dieng: Pembangunan Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Rehabilitasi Kawasan Terdegradasi Secara Terpadu dan Partisipatif. Tidak diterbitkan. Van Noordwijk, Meine, and Beria Leimona Principles for fairness and efficiency in enhancing environmental services in Asia: payments, compensation, or co-investment? Ecology and Society 15 (4). Verbist, B dan G. Pasya Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik Dan Negosiasi Di Sumberjaya Lampung Barat Propinsi Lampung. Agrivita 26 (1): Winarso, S Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media. Yogyakarta. Wunder, S., S. Engel and S. Pagiola Taking Stock: A comparative analysis of payments for environmental services programs in developed and developing countries. Ecological Economics 65 (2008) Elsevier Wunder, S Payment for Environmental Services: Some Nuts and Bolts. Occasional Paper no.42. CIFOR. Bogor 91

112 92

113 LAMPIRAN 1. Kuisioner Analisis Usaha Tani 93

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Persoalan sedimentasi, penurunan muka air suatu waduk, sungai, atau danau serta maraknya kejadian bencana alam akhir-akhir ini seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian masih merupakan prioritas pembangunan secara nasional maupun regional. Sektor pertanian memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Manusia sangat bergantung pada lingkungan yang memberikan sumberdaya alam untuk tetap bertahan

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber daya alam. Sub sistem ekologi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan sektor pertanian melalui peningkatan kontribusi subsektor tanaman pangan dan hortikultura merupakan salah satu upaya untuk memperkuat perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan milik masyarakat berangsur-angsur menjadi pemukiman, industri atau usaha kebun berorientasi komersil. Karena nilai ekonomi lahan yang semakin meningkat maka opportunity

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang lautannya lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia 2/3 dari luas Indonesia. Daratan Indonesia subur dengan didukung

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Dieng merupakan salah satu kawasan penting dalam menyangga keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500 sampai dengan 2093

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan isu terkini yang menjadi perhatian di dunia, khususnya bagi negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kedua fenomena tersebut

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Iklim merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan di bumi. Dimana Iklim secara langsung dapat mempengaruhi mahluk hidup baik manusia, tumbuhan dan hewan di dalamnya

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang DAS Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dan merupakan sumber air yang penting bagi masyarakat di sekitarnya yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DAS Serayu, terutama di bagian hulu DAS berkaitan dengan pemanfaatan lahan

BAB I PENDAHULUAN. DAS Serayu, terutama di bagian hulu DAS berkaitan dengan pemanfaatan lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai Serayu merupakan salah satu DAS terbesar di Indonesia yang masuk dalam jajaran DAS kritis dengan luas wilayah sebesar 358.514,57 ha (BPDAS Serayu

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan barang ultra essential bagi kelangsungan hidup manusia. Tanpa air, manusia tidak mungkin bisa bertahan hidup. Di sisi lain kita sering bersikap menerima

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak memberi

BAB I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak memberi BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak memberi manfaat tidak saja digunakan sebagai bahan pangan tetapi juga sebagai bahan baku industri

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi 136 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Pengembangan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser memiliki peran yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi Sumatera Utara dan NAD

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia. Perkembangan produksi tanaman pada (Oryza sativa L.) baik di Indonesia maupun

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI LAHAN PERTANIAN

VALUASI EKONOMI LAHAN PERTANIAN VALUASI EKONOMI LAHAN PERTANIAN Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering (Studi Kasus di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat) I R A W A N SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah)

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah) JURNAL ILMU LINGKUNGAN Volume 9, Issue 2: 57-61 (2011) ISSN 1829-8907 STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah) Rathna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Organik Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan berpengaruh pada pemanfaatan sumberdaya lahan dalam jumlah besar untuk memenuhi ketersediaan kebutuhan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa

I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan asset multi guna yang tidak saja menghasilkan produk seperti kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong besar. Saat ini berdasarkan survey terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta lebih. Laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: land degradation, tobacco, income, erosion, agro-technology, slit pit

ABSTRACT. Keywords: land degradation, tobacco, income, erosion, agro-technology, slit pit ABSTRACT JAKA SUYANA. The Development of Tobacco-Based Sustainable Dry Land Farming System at Progo Hulu Sub-Watershed (Temanggung Regency, Central Java Province). Under direction of NAIK SINUKABAN, BUNASOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an yang diimplementasikan dalam bentuk proyek reboisasi - penghijauan dan rehabilitasi hutan - lahan kritis. Proyek

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian masih menjadi sektor unggulan di Indonesia. Selain tenaga kerja yang terserap cukup besar, sektor ini juga masih mampu memberikan kontribusi pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kegiatan memperbaiki, memelihara, dan melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan barang dan jasa khususnya, baik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010). BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu komponen penting untuk kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Air juga merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

PERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 1 Makalah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KTMK 613) Program Pasca Sarjana / S2 - Program Studi Manjemen Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Dosen Pengampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Di Indonesia

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian telah berperan dalam pembangunan melalui. pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian telah berperan dalam pembangunan melalui. pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian telah berperan dalam pembangunan melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian Indonesia memiliki potensi yang besar dalam segi sumberdaya dan kualitas, sehingga dapat menjadi sektor unggulan dalam meningkatkan pendapatan negara. Saat ini

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris memiliki hasil pertanian yang sangat berlimpah. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang memiliki posisi penting di Indonesia. Data Product

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

KERANGKA PIKIR PENELITIAN DAN HIPOTESIS. Referensi menunjukkan, bahwa keberadaan agroforestri mempunyai peran

KERANGKA PIKIR PENELITIAN DAN HIPOTESIS. Referensi menunjukkan, bahwa keberadaan agroforestri mempunyai peran 69 III. KERANGKA PIKIR PENELITIAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pikir Penelitian Referensi menunjukkan, bahwa keberadaan agroforestri mempunyai peran dan berkontribusi penting sebagai sumber nafkah utama

Lebih terperinci

Materi 05 Manajemen Produksi Tanaman Pengelolaan Produksi Tanaman Berbasis Agroklimat. Benyamin Lakitan

Materi 05 Manajemen Produksi Tanaman Pengelolaan Produksi Tanaman Berbasis Agroklimat. Benyamin Lakitan Materi 05 Manajemen Produksi Tanaman Pengelolaan Produksi Tanaman Berbasis Agroklimat Benyamin Lakitan Ragam Agroklimat Penting di Indonesia Iklim Tropika Lembab (Humid Tropics) Iklim Tropika Kering (Arid

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung,

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, menyimpan,

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci

VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH

VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH Deng Xio Ping suatu ketika pernah mengatakan bahwa the China s problem is land problem, and the land problem is rural problem. Persoalan

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN 38 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, dalam rentang bulan Januari - Mei 2011 yang berlokasi di Desa Igirmranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawah Tengah. DAS Garang terdiri dari tiga Sub DAS yaitu Kripik, Kreo

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawah Tengah. DAS Garang terdiri dari tiga Sub DAS yaitu Kripik, Kreo BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) Garang merupakan DAS yang terletak di Provinsi Jawah Tengah. DAS Garang terdiri dari tiga Sub DAS yaitu Kripik, Kreo dan Garang, berhulu

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Pegunungan Dieng Kabupaten Wonosobo dengan kemiringan lereng > 40 %. Suhu udara Pegunungan Dieng

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan sawah memiliki manfaat sebagai media budidaya yang menghasilkan bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki manfaat bersifat fungsional

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 I-1 BAB I 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali merupakan bagian dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali-Comal yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa

Lebih terperinci