BAB V PENUTUP. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sejatinya dibentuk untuk memenuhi

Transkripsi

1 ! 140 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Et erit opus justitiae pax et cultus justitiae silentum et securitas usque in sempiternu (Setiap karya keadilan dan kebenaran pada akhirnya melahirkan perdamaian, kedamaian, dan ketenangan untuk selama-lamanya) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sejatinya dibentuk untuk memenuhi tujuan restorative justice sebagai konsep transitional justice yang tidak mungkin dielakkan akibat terjadinya kejadian-kejadian represif pemerintahan sebelumnya. Transitional justice bukan hanya mengenai penyelesaian kasus demi kasus pelanggaran hak asasi manusia tetapi juga memiliki landasan moral untuk membentuk pemerintahan dan masyarakat yang menghormati martabat dan hak asasi manusia melalui langkah-langkah demokratis, tanpa kekerasan, dan mengacu ke tertib hukum, sehingga menjamin peristiwa serupa tidak akan terulang di masa depan. 187 Komisi kebenaran adalah sebuah jawaban dan karya keadilan yang tidak dapat terbantahkan dalam setiap usaha untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang berpegang teguh dan berfokus kepada hak-hak!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 187 Daan Bronkhorst, 2001, Menguak Masa Lalu, Merenda Hari Depan: Refleksi atas Pengalaman Komisi Kebenaran di Berbagai Negara (terjemahan dari Truth and Reconciliation, Obstacles and Opportunities for Human Rights), ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Jakarta., bagian Prakata Seri.

2 ! 141 korban. Menjawab permasalahan dalam Penulisan Hukum ini Penulis, memberikan kesimpulannya sebagai berikut : Terkait dengan rumusan masalah Pertama : Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia harus berhati-hati dalam menentukan langkahnya dalam membuat sebuah komisi kebenaran. Hal ini karena jika kita melihat konteksnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibuat di Indonesia seakan-akan adalah sebagai sarana pengganti dari pengadilan, padahal pembentukan KKR adalah sebagai pendukung dari lembaga peradilan. Jika memang jalur yang dipilih oleh pemerintah adalah mengadakan keadilan restoratif maka pembentukan komisi kebenaran adalah hal yang tepat untuk dilaksanakan, tapi jika keadilan restoratif tersebut dimaksudkan agar pelaku tidak mendapatkan penuntutan di pengadilan maka sama saja pemerintah telah mengingkari janjinya sendiri yang sudah diikrarkan dalam konstitusi nasional serta telah melanggar hukum kebiasaan internasional yang berlaku terhadap pelaku pelanggar HAM berat masa lalu. Selain itu pembentukan KKR haruslah melihat secara penuh dan terfokus kepada korban bukan sebaliknya yaitu untuk melenggangkan impunitas tetap berdiri di Indonesia. Terkait dengan rumusan masalah kedua : Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah satu-satunya komisi yang dapat menguatkan dan menegaskan hak atas kebenaran dan reparasi bagi korban. Ini memperlihatkan bahwa dalam taraf pertanggungjawaban negara terhadap HAM dan korban pelanggaran HAM berat masa lalu, pembentukan sebuah komisi kebenaran harus dilakukan meskipun tidak ada instrumen hukum internasional yang mewajibkan hal tersebut.

3 ! 142 Tetapi sebuah komisi kebenaran tidak bisa dilepaskan dari proses keadilan transisional. Melihat praktik yang terjadi di negara-negara seperti di Argentina, Afrika Selatan, Peru, Timor Leste, dan juga Maroko terlihat bahwa komisi kebenaran memiliki dampak yang signifikan terhadap korban. Inilah mengapa dapat dikatakan pembentukan sebuah komisi kebenaran merupakan bentuk pertanggung jawaban Indonesia terhadap korban pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi di negara ini. Sehingga mau tidak mau, suka ataupun tidak suka sudah semestinya pembentukan sebuah lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi segera untuk dibentuk baik dari segi landasan hukumnya dan juga secara institusinya, karena dalam pelanggaran HAM berat pendekatan yang seharusnya diutamakan adalah pendekatan terhadap korban dan disini pembentukan sebuah Komisi Kebenaran adalah suatu hal yang tepat untuk itu. it always seems impossible until it s done (nelson mandela)

4 ! 143 B. SARAN 1. Pemerintah Indonesia dalam merancang Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harus memandang dan menjadikan nilai-nilai dan prinsipprinsip HAM dan Kemanusiaan yang universal sebagai pijakan utama dalam konteks penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang berpusat kepada korban. 2. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harus segera dilaksanakan. Hal ini karena Indonesia memilik kewajiban yang nyata dan harus dipenuhi kepada korban. 3. Pemerintah harus melakukan analisis-analisis terkait bersama dengan LSM dan juga peran masyarakat terutama korban untuk merumuskan isi, tujuan, dan kewenangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 4. Perlu adanya kehati-hatian dalam proses pembentukan KKR ini, karena masalah pelanggaran HAM berat masa lalu yang ada di Indonesia sudah dapat dikatakan dalam taraf yang sensitif dimana juga menyentuh sampai ke masyarakat akar rumput dan juga menyentuh beberapa orang-orang yang memiliki kewenangan di pemerintahan. 5. Pembuatan UU KKR haruslah diilhami juga dengan prinsip impunitas serta independen. Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui KKR bukan sebagai subtitusi dari jalur pengadilan namun sebagai instrumen dan institusi pelengkap dari proses pengadilan. 6. Pembentukan KKR harus melihat dan berfokus kepada korban dimana pencarian terhadap kebenaran masa lalu harus berpusat kepada korban dan

5 ! 144 tidak perlu untuk memikirkan mengenai kepentingan politik yang ada. Tugas KKR yang paling utama adalah memenuhi hak-hak korban. 7. Terkait dengan pendekatan apa yang bisa dilakukan agar KKR bisa bekerj sama dengan pengadilan HAM terkait proses penuntutan, ini perlu dilakukan sinergitas antara lembaga-lembaga terkait dan juga dapat melihat panduan yang sudah dibuat oleh PBB. 8. Independensi komisi harus benar-benar ditegakkan agar tidak ada intervensi yang bersifat politik pada saat menjalankan tugasnya. 9. Di dalam komisi harus ada orang yang dipercaya semua pihak dan juga harus kuat, sehingga kesimpulannya bisa diterima oleh rakyat. Sehingga disini dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat seperti yang terjadi di Argentina dan Afrika Selatan.