BAB I PENDAHULUAN. Intellectual Property of Rights atau Hak Kekayaan Intelektual (HaKI)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Intellectual Property of Rights atau Hak Kekayaan Intelektual (HaKI)"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intellectual Property of Rights atau Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan hasil proses kemampuan berpikir manusia yang dijelmakan ke dalam suatu bentuk ciptaan atau penemuan. Ciptaan atau penemuan tersebut merupakan milik yang di atasnya melekat suatu hak yang bersumber dari akal (intelek). Hak tersebut digunakan/dimanfaatkan oleh manusia untuk meningkatkan kesejahtraan/kebahagiaan hidup. Makin maju dan tinggi kemampuan berpikir seseorang atau suatu bangsa, makin maju dan tinggi pula ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai. Akibatnya, makin produktif pula seseorang atau suatu bangsa menghasilkan ciptaan dan penemuan baru. Kemampuan berpikir yang semakin meningkat dan berkembang berindikator kepada meningkatnya jumlah ciptaan atau penemuan yang dihasilkan. Tingginya jumlah ciptaan atau yang telah dikuasai dapat juga mencerminkan pembangunan ekonomi suatu bangsa. Pembangunan ekonomi suatu bangsa salah satunya sangat ditentukan dengan kemampuan suatu bangsa untuk menguasai teknologi. 1 Melalui teknologi, suatu bangsa akan mengalami proses pertumbuhan yang amat cepat. Oleh karena itu, keberadaan teknologi 1 Teknologi adalah cara atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia. (lihat pasal 1 UU R.I. No 18/2002 tentang Sistem Nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi), lihat Dewi Astutty Mochtar, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi dan Pengembangan Teknologi Indonesia, Penerbit P.T. Alumni, Bandung, 2001, hal

2 sebagai penunjang dalam pembangunan ekonomi menjadi suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi. Dalam realitanya penguasaan teknologi sendiri masih menyimpan sejumlah kesenjangan, dimana kalau dicermati di dunia ini ada beberapa negara yang telah menguasai bahkan mampu mengembangkan teknologi pada tingkat yang paling canggih. Namun ada juga negara-negara di dunia ini yang tingkat kemampuan penguasaan teknologi tidak sehebat negara-negara lain. Tingginya kesenjangan pertumbuhan/perkembangan teknologi antar suatu negara membuat perlindungan hukum terhadap penemuan (invensi) di bidang teknologi menjadi terasa sangat penting, terutama karena suatu invensi teknologi yang merupakan hasil daya cipta dan karya manusia telah terbukti dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia karena adanya manfaat ekonomi yang terdapat di dalamya. Teknologi telah banyak menyumbang dan berdampak positip bagi kesejahtraan manusia. Invensi di bidang teknologi muncul dan berkembang melalui suatu upaya serius melibatkan faktor tenaga, waktu dan dana yang cukup besar. Dengan makin majunya teknologi, pengembangan teknologi tidak saja memajukan perekonomian suatu negara, tetapi juga juga semakin memajukan teknologi itu sendiri di segala bidang. Teknologi dalam kehidupan manusia berperan sangat penting, termasuk di dalamnya sumbangan teknologi pada kesejahteraan manusia, sehingga teknologi ditempatkan sebagai aset yang sangat berharga. Aset ini terasa sangat berharga karena proses penemuan dan

3 pengembangannya yang tidak sederhana sehingga suatu hasil karya pemikiran kreatif dan inovatif sangat perlu dihargai. Bentuk penghargaan yang diberikan kepada pemilik teknologi adalah pemilik teknologi dapat menikmati hak khusus (hak eksklusif) untuk membuat, menggunakan dan menjual produknya, dan terhadap hasil temuannya diberikan perlindungan hukum. Perlindungan hukum terhadap teknologi itu sendiri merupakan suatu pengakuan hukum dan penghormatan yang banyak kepada mereka yang telah bekerja keras memanfaatkan secara maksimum segenap kemampuan akal budinya, sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat dan bernilai ekonomis. Dalam era Globalisasi, persaingan global akan sangat berat untuk dihadapai. Selain itu, dengan berkembangnya pasaran dunia dan timbulnya persaingan internasional, timbul pula dorongan kebutuhan untuk menggunakan teknologi yang paling menguntungkan. Teknologi sebagai ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam industri hadir dalam kehidupan manusia sebagai ilmu penemuan. Teknologi adalah karya intelektualitas manusia sebagai hasil rasa, karsa, dan cipta manusia. Dalam kegiatan penelitian memerlukan tenaga, waktu, dan dana yang hasilnya memiliki nilai dan manfaat ekonomi, sehingga perlu diberi perlindungan hukum sebagai imbalan kepada teknologi baru yang dikategorikan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud. Perlindungan dan penegakan hukum terhadap HaKI (Hak Kekayaan Intelektual) juga ditujukan untuk memacu penemuan baru di bidang teknologi dan untuk memperlancar alih serta penyebaran teknologi dengan memperhatikan

4 kepentingan produsen dan konsumen, pengguna/pengetahuan teknologi secara seimbang, yang bertujuan untuk menunjang kesejahteraan sosial ekonomi, serta untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Walaupun pada kenyataannya kekayaan intelektual sering dipandang sebagai hambatan yang mahal (terkadang justru menjadi dasar pelanggaran) dalam pengalihan teknologi barat yang dibutuhkan negara berkembang untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan kesejahtraan sosialnya karena banyak negara berkembang yang mencemaskan bila mereka menerapkan hukum HaKI secara ketat, mereka malah harus membayar royalti dan biaya lisensi yang semakin tinggi untuk mendapatkan teknologi dan barang-barang kegunaan pokok lainnya, sehingga akan menimbulkan inflasi dan devisa negara yang keluar semakin tinggi. Akan tetapi dalam pelaksanaan pembangunan nasional (negara kita Indonesia), khusus di bidang ekonomi diberlakukan upaya-upaya, antara lain: terus meningkatkan, memperluas, menetapkan, dan mengamankan pangsa pasar bagi segala bentuk produk baik barang maupun jasa, termasuk aspek investasi dan hak kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan serta meningkatkan kemampuan serta daya saing internasional. 2 Upaya dan dorongan yang diberlakukan oleh negara mengakibatkan banyaknya penemuan teknologi. Teknologi hasil penemuan pemikiran seseorang pada hakekatnya haruslah didaftarkan, agar temuan tersebut diberikan perlindungan hukum. Pendaftaran HaKI baik dari segi prosedural maupun pelaksanaannya haruslah benar-benar terkoordinasi, tidak menyimpang dari fungsi/tugasnya, karena yang lebih penting dari itu ialah tuntutan hati nurani dan 2 MA, GATT, TRIPs, dan HaKI (Jakarta, 1998). Hal.2

5 kepuasan untuk menimbulkan kebutuhan dalam melindungi dan mempertahankan HaKI tersebut. Dalam pendaftaran HaKI ada yang harus dibedakan antara kata permohonan dan pendaftaran. Kalau tentang Merek haknya diberikan oleh negara, begitu juga dengan Paten. Oleh karena itu, orang harus mengajukan permohonan dalam pendaftaran Merek maupun Paten. Kalau dahulu di dalam Undang-undang HaKI permohonan atau pendaftaran HaKI dikatakan permintaan, kalau sekarang dikatakan permohonan dan orangnya disebut pemohon. Walaupun ada sebagian orang mengatakan bahwa ini benar atau tidak tetapi hal itu tergantung kesepakatan seseorang untuk menggunakan kata tersebut. Banyaknya permasalahan yang muncul dalam masalah HaKI, membuat perlindungan HaKI tidak lagi menjadi urusan satu negara saja, tetapi sudah menjadi urusan masyarakat internasional. Terlebih setelah ditandatanganinya Agreement Establisihing the World Trade Organization (WTo). Untuk mewujudkan perlindungan HaKI yang efisien, efektif dan menguntungkan semua anggota WTo, diperlukan adanya kerjasama antara anggota WTo baik yang bersifat regional maupun internasional. Sebagai contoh, di negara-negara ASEAN telah dibentuk suatu forum yang membahas masalah perlindungan HaKI. Demikian juga dengan kawasan Asia Pasifik yang sudah membentuk forum yang terdiri dari para ahli di bidang HaKI untuk meningkatkan perlindungan HaKI agar sesuai dengan standard perlindungan yang ditetapkan Agreement on Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs).

6 Sebagai salah satu negara yang memiliki komitmen yang sangat kuat terhadap perlindungan HaKI, Indonesia juga sudah lama terlibat secara aktif dalam kerangka kerja baik yang bersifat regional maupun yang bersifat internasional. Meskipun keikutsertaan tersebut tidak secara otomatis menghapus faktor-faktor penghalang di dalam penegakan HaKI di Indonesia, setidaknya Indonesia telah menunjukkan kepada dunia internasional, bahwa HaKI telah menjadi prioritas utama di dalam pembangunan saat ini. Atas dasar itu, maka perlu diadakan suatu perlindungan hukum kepada pemegang hak paten. Untuk mengetahui dan membahas secara jelas mengenai tindak pidana pelanggaran hak paten ini, maka penulis akan membahasnya dalam penulisan skripsi yang berjudul Tinjauan Yuridis Atas Tindak Pidana Paten Menurut Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka adapun permasalahan yang diajukan adalah: 1. Bagaimana tinjauan umum tentang paten berdasarkan Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten? 2. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran tindak pidana paten? 3. Bagaimana urgensi perlindungan yang diberikan terhadap hak paten?

7 C. Tujuan dan Manfaat penulisan Tujuan Penulisan Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diajukan maka tujuan penulisan ini adalah: 1. Mengetahui bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi pada hak paten, sehingga dapat dihukum 2. Mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap hak paten yang telah dimiliki oleh seseorang 3. Memenuhi sebagai syarat-syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum, juga sebagai bentuk perhatian penulis dalam hal-hal yang terjadi di lapangan hukum pidana khususnya tindak pidana pelanggaran paten. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penulisan skripsi ini adalah, untuk melengkapi bahanbahan yang akan diberikan dalam mata kuliah hukum, terutama hukum di bidang Paten, dan juga diharapkan akan bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang merasa tertarik dalam masalah yang ditulis dalam skripsi ini. 2. Manfaat Praktis a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat khususnya memberikan informasi ilmiah mengenai masalah tindak pidana pelanggaran hak paten.

8 b. Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi penegak hukum dalam menangani masalah tindak pidana pelanggaran hak paten. D. Keaslian Penulisan Skripsi berjudul: TINJAUAN YURIDIS ATAS TINDAK PIDANA PATEN MENURUT UNDANG-UNDANG NO.14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri, yang mana sumber penulis peroleh dari berbagai literatur yang ada tercantum dalam Daftar Pustaka skripsi ini dan sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan data kepustakaan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum bahwa skripsi dengan judul tersebut belum pernah ada yang menulisnya sebelumnya. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Segala macam invensi dapat dipatenkan, dengan syarat invensi tersebut berguna dan memang belum ada dalam lapangan teknologi yang bersangkutan, senyawa kimia, mesin, proses pembuatan, bahkan jenis mahkluk yang baru sekalipun dapat dipatenkan.

9 Hak yang diperoleh melalui paten adalah hak khusus untuk menggunakan invensi yang telah dilindungi paten serta melarang pihak lain melaksanakan invensi tersebut tanpa persetujuan dari pemegang paten. Oleh karena itu, pemegang paten harus mengawasi haknya agar tidak dilanggar oleh pihak lain. Sebelum memutuskan untuk mengajukan permohonan paten, inventor harus mempertimbangkan terlebih dahulu keuntungan dan kerugian dari perlindungan paten tersebut. Untuk memperoleh paten, inventor harus mengungkapkan seluruh rahasia invensinya termasuk contoh bagaimana sebaiknya menjalankan invensi tersebut yang tertuang dalam spesifikasi paten yang diajukan. Jika inventor tidak berniat untuk mengungkapkan rahasia invensinya, inventor seharusnya tidak mempatenkan invensinya. Sebagai alternative, inventor dapat mencari bentuk perlindungan lain, misalnya dengan rahasia dagang. Ada beberapa hal kata yang sering dipergunakan dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2001 yaitu: Invensi : ide inventor yang dituangkan kedalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Inventor : seseorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama menjalankan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi. Pemohon : pihak yang mengajukan permohonan paten

10 Permohonan : permohonan Paten yang diajukan kepada Direktotat Jenderal Tanggal penerimaan : tanggal penerimaan permohonan yang telah memenuhi persyaratan adminnistratif Hak Prioritas : hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convection for the protection of Industrial Property atau Agreement Establishing the World trade Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convection tersebut. Lisensi : izin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. Hari : hari kerja. 1.1 Syarat-Syarat Paten Dalam Pasal 2 Undang-Undang No 14 Tahun 2001 disebutkan, paten diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri. Menurut Pasal 3 Undang-Undang No.14 Tahun 2001, suatu invensi dianggap baru jika invensi yang diajukan paten tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya, yaitu: Suatu invensi dianggap baru jika pada tanggal penerimaan, invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya

11 Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah teknologi tang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan invensi tersebut sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas. Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaiman dimaksud pada ayat (1) mencakup dokumen permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi tanggal penerimaan tersebut lebih awal daripada Tanggal Penerimaan atau Tanggal prioritas Permohonan. Untuk menentukan apakah sebuah invensi bersifat baru, harus diadakan pemeriksaan terhadap data terdahulu untuk mencari dokumen pembanding terbit sebelum tanggal penerimaan permohonan paten. Apabila invensi yang dimintakan paten tidak terdapat dalam dokumen pembanding, invensi itu diangap baru. Menurut Pasal 4 Undang-Undang No.14 Tahun 2001, suatu invensi tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal penerimaan, invensi tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran internasional di Indonesia atau luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi atau dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi. Invensi tersebut juga invensi tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal penerimaan, invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh Inventornya dalam rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan. Invensi juga tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu 12 ( dua belas ) bulan sebelum tanggal penerimaan, ternyata ada pihak lain yang mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga kerahasiaan invensi tersebut. Penilaian ada tidaknya langkah inventif merupakan hal yang sangat sulit untuk dilaksanakan dalam praktik sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 Undang-

12 Undang No.14 Tahun 2001, suatu invensi mengandung langkah inventif jika invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya. 1.2 Pemakai Terdahulu Pasal 11 Undang-Undang Paten Indonesia menyebutkan bahwa yang dianggap sebagai inventor adalah orang atau beberapa orang yang untuk pertama kali dinyatakan sebagai inventor dalam permohonan. Pasal 13 menetapkan bahwa barang siapa telah menjalankan sebuah invensi pada saat invensi serupa dimintakan paten oleh pihak lain, orang tersebut tetap dapat menjalankan invensi sekalipun terhadap invensi yang sama tersebut kemudian diberi paten. Pasal 15 (1) menetapkan bahwa pihak yang melaksanakan suatu invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dapat mengajuan permohonan ke kantor HaKI untuk diakui sebagai pemakai terdahulu sehingga dapat tetap menjalankan invensinya tanpa melanggar invensi yang telah diberikan. 1.3 Subjek Paten Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Paten Indonesia mengatur tentang subjek yang berhak memperoleh Paten, yaitu: a. Inventor itu sendiri b. Orang-orang yang diberikan hak lebih lanjut oleh inventor Pada umumnya, permohonan paten diajukan oleh perusahaan-perusahaan yang telah memperoleh hak tersebut dengan jalan membeli dari inventor atau pihak lain, atau inventornya bekerja untuk perusahaan tersebut dan kegiatan

13 invensi dijalankan oleh pekerja di perusahaan tersebut. Jika invensi merupakan hasil kegiatan inventor dalam pekerjaannya sehari-hari, perusahaan sebagai majikan memiliki hak atas invensi tersebut. Namun, jika invensi dihasilkan di luar pekerjaannya berarti invensi tersebut menjadi milik pegawai, itupun bergantung kepada ada atau tidaknya perjanjian lain yang mengikat. 1.4 Jangka Waktu Perlindungan Paten biasa berlaku selama dua puluh tahun terhitung sejak tanggal penerimaan paten. Jangka waktu tersebut sesuai dengan tuntutan perjanjian TRIPs. Selain paten biasa, di Indonesia dikenal pula jenis paten lain yang disebut Paten Sederhana. Jangka waktu perlindungan Paten sederhana adalah sepuluh tahun terhitung sejak tanggal penerimaan. Untuk menjamin kelangsungan Paten itu dari tahun ke tahun, pemegang Paten harus membayar biaya. Pasal 115 menetapkan bahwa Paten dinyatakan batal demi hukum jika kewajiban membayar biaya tahunan tidak dipenuhi selama tiga tahun berturut-berturut. 1.5 Bentuk-Bentuk Perlindungan Paten Pasal 16, 17, dan 19 menyebutkan: Pemegang paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya: dalam hal patenproduk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewa. Dan menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten; dalam hal Paten-Proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud.

14 Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1), pemegang Paten wajib membuat produk atau menggunakan proses yang diberi Paten di Indonesia. Dalam hal suatu produk diimpor ke Indonesia dan proses untuk membuat produk yang bersangkutan telah dilindungi Paten yang berdasarkan Undang-Undang ini, Pemegang Paten-Proses yang bersangkutan berhak atas dasar ketentuan dalam Pasal 16 ayat (2) melakukan upaya hukum terhadap produk yang diimpor apabila produk tersebut telah dibuat di Indonesia dengan menggunakan proses yang dilindungi Paten. Berdasarkan ketentuan yang yang terdapat dalam Pasal 19 beserta dengan Pasal 16 dan Pasal 17 dapat diartikan bahwa pemegang paten memiliki hak untuk melarang orang lain tanpa persetujuannya mengimpor produk yang dipatenkan dengan syarat produk tersebut telah dibuat di Indonesia dengan menggunakan proses yang dilindungi Paten. 2. Pengertian Tindak Pidana Paten Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar fait. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia-Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar fait itu. Karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat. Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah: a. Tindak Pidana, dapat dikatakan beberapa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana. Misalnya pemberantasan tindak pidana korupsi.

15 b. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Mr.Tresna dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana. c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin Delictum yang digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. d. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno misalnya dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana. Secara literlijk kata straaf artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh dan feit adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata hukum, padahal sudah lazim hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya. Untuk kata baar ada dua istilah yang digunakannya yakni boleh dan dapat secara literlijk bisa kita terima. Sedangkan untuk kata feit digunakan empat istilah, yakni: tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. 3 Jenis-Jenis Tindak Pidana Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu: a. Kejahatan dan Pelanggaran Apakah dasar pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran? Mengenai hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan MvT, bahwa pembagian itu didasarkan pada alasan, bahwa pada kenyataanya banyak dalam masyarakat terdapat perbuatan- 3 Adami Chazami, Pelajaran hukum Pidana I, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal

16 perbuatan yang pada dasarnya memang sudah tercela dan pantas untuk dipidana, bahkan sebelum dinyatakan demikian oleh undang-undang, dan juga ada perbuatan yang baru bersifat melawan hukum dan dipidana setelah undangundang menyatakan demikian. Kejahatan adalah memperkosa suatu kepentingan hukum (krenkings delicten) seperti pembunuhan, pencurian dan sebagainya atau juga membahayakan suatu kepentingan hukum dalam pengertian yang konkret, seperti Pasal 489 KUHP tentang kenakalan terhadap orang atau barang, Pasal 497 KUHP tentang membahayakan kepentingan umum akan bahaya kebakaran. Sedangkan pelanggaran adalah hanya membahayakan kepentingan hukum dalam arti abstrak seperti penghasutan dan sumpah palsu. Namum kadang-kadang dapat dikatakan bahwa sumpah palsu itu merupakan suatu kejahatan. Kejahatan dan pelanggaran itu dapat dibedakan karena sifat dan hakikatnya berbeda, akan tetapi ada pula pembedaan kejahatan dan pelanggaran didasarkan atas ukuran pelanggaran itu dipandang dari sudut kriminologi tidak begitu berat dibanding dengan kejahatan. Perbedaan yang demikian itu disebut perbedaan secara kuantitatif dan kualitatif. Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP ada kecenderungan untuk mengikuti pandangan kuantitatif, sekalipun ada penyimpangan dalam beberapa hal kejahatan dan pelanggaran mempunyai derajat yang sama. Beberapa ketentuan KUHP yang mengandung ukuran secara kuantitatif adalah : dalam hal percobaan, yang dapat dipidana hanyalah terhadap percobaaan melakukan kejahatan saja, dan bukan pada tindakan percobaan pelanggarannya. Contoh lain, misalnya mengenai

17 pembantuan, yang dapat dipidana adalah pembantuan dalam hal kejahatan, dan tidak dalam hal pelanggaran. Dasar pembedaan lainnya dari kejahatan terhadap pelanggaran yang dikemukakan adalah pada berat atau ringannya pidana yang diancamkan. Seyogianya untuk kejahatan diancamkan pidana yang berat seperti pidana mati atau penjara atau tutupan. Ternyata pendapat ini memenuhi kesulitan karena pidana kurungan dan denda diancamkan, baik pada kejahatan dan juga pelanggaran. Dari sudut pemidanaan, pembagian kejahatan sebagai delik hukum atau pelanggaran sebagai delik undang-undang, tidak banyak faedahnya sebagai pedoman. Demikian juga dari sudut berat ringannya ancaman pidana terhadapnya, sangat sulit untuk dipedomani. Dalam penerapan hukum positif tiada yang merupakan suatu kesulitan, karena penempatan kejahatan dalam buku II dan pelanggaran dalam buku III sudah cukup sebagai pedoman, untuk menentukan apakah suatu tindakan merupakan kejahatan atau pelanggaran. 4 b. Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materil Tindak pidana formil yaitu tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga memberikan arti bahawa inti laranagan yang dirumuskan itu adalah melakukan sutu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan dan tidak memerlukan timbulnya suatu akaibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata perbutannya. Sebaliknya pada tindak pidana materil, inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat 4 S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indinesia dan Penerapannya, Penerbit Alumni, Jakarta,1996, hal. 227.

18 yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Misalnya pada pembunuhan Pasal 338 KUHP inti larangan adalah pada menimbulkan akibat kematian, bukan pada wujud menikam atau menembak atau membacok. Untuk selesainya tindak pidana tergantung pada timbulnya akibat dan bukan pada selesainya wujud perbuatan. 5 c. Tindak Pidana Sengaja dan tindak Pidana Kelalaian Untuk menyatakan adanya unsur kesengajaan, terdapat sejumlah delik yang tidak secara tegas menggunakan salah satu istilah tersebut, namun harus ditafsirkan sebagai tindakan yang dilakukan dengan sengaja. Tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang unsur-unsur kesalahan adalah berupa kelalaian, karena kurang hati-hati dan tidak karena kesengajaan. 6 d. Tindak Pidana Aktif (Delik Komisionis) dan Tindak Pidana Pasif (Delik Omisionis) Delik komisionis adalah delik yang dilakukan terhadap larangan yang diadakan oleh undang-undang, misalnya dalam pencurian Pasal 362 KUHP, dan penggelapan Pasal 372 KUHP. 7 Delik ommisionis dapat dibagai atas delik omisionis tulen, yaitu yang mengabaikan sutu keharusan yang dilakukan oleh undang-undang pidana diperintahkan, sedangkan khusus mengabaikan keharusan itu diancamkan dengan pidana. Misalnya Pasal 164, 165, 224, 531 KUHP, dan delik ommisionis yang 5 Adami Chazawi, Op. Cit., hal Ibid, hal R.Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Peraturan Khusus, Politeia, Bogor, 1979, hal.23

19 tidak tulen, yaitu yang terjadi apabila akibat dari perbuatan yang bersangkutan yang tidak dikehendaki oleh suatu undang-undang pidana, disebabkan oleh sutu pengabaian perbuatan. e. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum materil (Buku II dan Buku III KUHP), sedangkan tindak pidana khusus semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut. Misalnya tindak pidana korupsi. f. Tindak Pidana Seketika dan Tindak Pidana Berlangsung Terus Tindak pidana terjadi seketika ataupun delik yang berjalan selesai adalah suatu delik yang terdiri atas satu atau beberapa perbuatan tertentu yang menimbulkan suatu akibat tertentu yang selesai dalam waktu singkat. Sedangkan delik yang berlaku secara terus yaitu delik yang terdiri dari satu atau beberapa perbuatan yang meneruskan suatu keadaan yang oleh undang-undang dilarang. g. Tindak Pidana Communia dan Tindak Pidana Propria Delik propria adalah sutu delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan tertentu, missalny ibu (Pasal 341,342 KUHP). Sedangkan lawannya adalah delik communia ataupum delik biasa yaitu delik yang dapat dilakukan oleh sembarangan orang, atau dapat dilakukan oleh semua orang. h. Tindak Pidana Biasa dan Tindak Pidana Aduan

20 Delik aduan adalah delik yang hanya boleh dituntut, jika ada pengaduan dari orang yang menderita delik itu. Sedangkan delik biasa adalah delik yang karena jabatan oleh pemerintah harus dituntut (tanpa pengaduan), misalnya pembunuhan. i. Delik Berkualifikasi dan Delik Sederhana. Delik berkualifikasi adalah suatu delik yang berbentuk istimewa, sedangkan delik sederhana yaitu suatu delik yang berbentuk biasa, misalnya pencurian biasa Pasal 362 KUHP. j. Tindak Pidana Berdasarkan Kepentingan Hukum Yang Dilindungi Tindak pidana berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka dapat disebutkan misalnya dalam Buku II KUHP. Untuk melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan negara. k. Tindak Pidana Tunggal dan Tindak Pidana Sederhana Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku, cukup dilakukan satu kali perbuatan saja. Bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP berupa tindak pidana tunggal. Sedangkan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pembuat, disyaratkan dilakukan secara berulang-ulang. Misalnya Pasal 481 ayat (1) KUHP, dimana perbuatan membeli, menukar, menerima gadai yang diperoleh dari kejahatan tersebut dilakukan secara kebiasaan. Kebiasaan disini disyaratkan telah dilakukan berulang, setidaknya dua kali perbuatan.

21 Tindak pidana Paten merupakan suatu tindak pidana pelanggaran yang baru bisa diproses dalam pengadilan apabila ada pengaduan dari pihak yang merasa haknya dilanggar. Dalam Pasal 133 Undang-Undang No.14 Tahun 2001 tentang paten dinyatakan, bahwa tindak pidana dalam paten merupakan delik aduan. Delik aduan merupakan suatu delik yang hanya boleh dituntut, jika ada pengaduan dari pihak yang menderita delik tersebut. paten adalah: Beberapa perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana pelanggaran 1. Membuat; 2. Menggunakan; 3. Menjual; 4. Mengimpor; 5. Menyewakan; 6. Menyerahkan;atau 7. Menyediakan untuk dijual;atau 8. Disewakan;atau 9. Diserahkan Paten produk atau paten proses tanpa izin dari pemegang paten, dapat dituntut ke Pengadilan oleh pemegang paten tersebut. Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, maka hakim yang memeriksa pelanggaran tersebut dapat memerintahkan agar barang-barang hasil pelanggaran paten disita oleh negara dengan tujuan agar dimusnahkan.

22 F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penulisan deskriptif sebagai salah satu bentuk penelitian hukum Normatif, adapun bentuk penelitian hukum Normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan tindak pidana paten. 2. Metode Pengumpulan Data Metode penelitian yang dilakukan adalah Penelitian Kepustakaan (Library Reseach) yaitu dengan kegiatan mengumpulkan data-data sekunder. Data-data sekunder yang dimaksud adalah: a. Bahan hukum primer Yaitu semua ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang mengikat dan ditetapkann oleh pihak-pihak yang berwenang. Dapat berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya. Dalam skripsi ini terutama Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten. b. Bahan hukum sekunder Yaitu semua bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, seperti seminar hukum, buku-buku, majalah, karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan tindak pidana paten. c. Bahan hukum tertier

23 Yaitu semua bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder. Seperti: kamus, ensiklopedia, bibliography, dan lain-lain. 3. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam Penelitian adalah metode analistis normatif kualitatif. Dengan demikian akan merupakan analisis data tanpa menggunakan rumus dan matematis, akan tetapi pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis guna memberikan gambaran yang jelas. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab akan diuraikan mengenai pokok-pokok pentingnya saja. Adapun uraian bab-bab tersebut adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang dari penulisan skripsi ini disertai alasan pemilihan judul skripsi, pokok permasalahan yang disampaiakan yang berkaitan dengan perlindungan hak paten, metode penelitian yaitu metode yang digunakan penulis dalam menyusun penulisan ini, tujuan penulisan yang membahas mengenai tujuan yang hendak dicapai dalam melakukan penulisan tersebut. Juga dibahas mengenai tinjauan pustaka yang menguraikan mengenai pokok-pokok yang digunakan penulis sebagai acuan dalam penyusunan penulisan ini. Dan terakhir dibahas mengenai sistematika pembahasan diamana sistematika pembahasan ini terbagi dalam lima bab secara terperinci sehingga dengan mudah dapat dipahami.

24 BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PATEN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.14 TAHUN 2001 Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai penjelasan umum tentang paten secara global serta peraturan perundang-undangannya. BAB III : TINDAK PIDANA PATEN MENURUT UNDANG-UNDANG NO.14 TAHUN 2001 Dalam bab ini penulis menganalisis mengenai bentuk pelanggaran paten, serta unsur-unsur yang terdapat dalam pelanggaran paten tersebut. BAB IV : PERLINDUNGAN TERHADAP HAK PATEN Pada bab ini penulis akan membahas mengenai bagaimana bentuk perlindungan yang diberikan terhadap hak paten tersebut dan apa saja bentuk invensi yang diberikan perlindungan BAB V : PENUTUP Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dari penulisan tentang pembahasan penulisan skripsi, juga memberikan saran yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

Lex Et Societatis Vol. V/No. 10/Des/2017

Lex Et Societatis Vol. V/No. 10/Des/2017 KETENTUAN PIDANA DAN PENYELESAIAN SENGKETA HAK PATEN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN 1 Oleh: Sergio Tuerah 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak Kekayaan Intelektual (yang selanjutnya disingkat HKI) merupakan

I. PENDAHULUAN. Hak Kekayaan Intelektual (yang selanjutnya disingkat HKI) merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak Kekayaan Intelektual (yang selanjutnya disingkat HKI) merupakan terjemahan dari Intellectual Property Rights (IPR), yaitu hak atas kepemilikan terhadap karya-karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang;

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undangundang tentang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 302, 1997 (HAKI. PATEN. Perdagangan. Penemuan. Ekonomi. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sejalan dengan retifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 32/2000, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU *12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dalam melaksanakan pembangunan Nasional, perlu melakukan perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang ekonomi yang mengarah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas

BAB I PENDAHULUAN. karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi dewasa ini, teknologi sebagai ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam kegiatan industri hadir dalam kehidupan manusia dalam bentuk hasil penemuan.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 244, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Di negara negara maju bidang hak kekayaan intelektual ini sudah mencapai suatu titik dimana masyarakat sangat menghargai dan menyadari pentingnya peranan hak kekayaan

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia,

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia, LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 31, 1997 HAKI. MEREK. Perdagangan. Ekonomi. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3681). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan hak kekayaan intelektual yang

Lebih terperinci

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI I. UMUM Indonesia sebagai negara berkembang perlu memajukan sektor industri dengan meningkatkan

Lebih terperinci

PATEN. Disusun oleh : Dr. Henny Medyawati, SKom,MM. Sumber: UU NO. 14 tahun 2001, tentang Paten,2010, New Merah Putih, Yogyakarta

PATEN. Disusun oleh : Dr. Henny Medyawati, SKom,MM. Sumber: UU NO. 14 tahun 2001, tentang Paten,2010, New Merah Putih, Yogyakarta PATEN Sejarah dan pengertian hak paten, objek dan subjek hak paten, sistem pendaftaran, pengalihan hak paten, jangka waktu dan ruang lingkup hak paten, pemeriksaan permintaan paten, lisensi dan pembatalan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan Kekayaan Intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Keanekaragaman budaya yang dipadukan

BAB I PENDAHULUAN. dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Keanekaragaman budaya yang dipadukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang perlu memajukan sektor industri dengan meningkatkan kemampuan daya saing. Salah satu daya saing tersebut adalah dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk baru atau pengembangan dari produk-produk. penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk baru atau pengembangan dari produk-produk. penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perdagangan global seiring berjalannya waktu selalu menghasilkan produk-produk baru atau pengembangan dari produk-produk sebelumnya yang memiliki kualitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dengan adanya perkembangan kehidupan

Lebih terperinci

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL Sebagai negara berkembang, Indonesia perlu mengupayakan adanya persaingan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manajemen. Waralaba juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif

I. PENDAHULUAN. manajemen. Waralaba juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Waralaba pada hakekatnya adalah sebuah konsep pemasaran dalam rangka memperluas jaringan usaha secara cepat, sistem ini dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DESAIN DAN HAK CIPTA PADA KAIN PRODUKSI PT ISKANDARTEX SURAKARTA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DESAIN DAN HAK CIPTA PADA KAIN PRODUKSI PT ISKANDARTEX SURAKARTA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DESAIN DAN HAK CIPTA PADA KAIN PRODUKSI PT ISKANDARTEX SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Penyusunan Melengkapi pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Oleh: WAA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Desain Industri;

Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Desain Industri; Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Desain Industri; UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu kondisi yang tidak mengenal lagi batas-batas wilayah. Aspek ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. satu kondisi yang tidak mengenal lagi batas-batas wilayah. Aspek ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi diartikan sebagai suatu proses transformasi sosial yang membawa kondisi umat manusia yang berbeda, terpencar di seluruh dunia ke satu kondisi yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Tidak dapat kita pungkiri bahwa merek merupakan suatu aset yang sangat berharga dalam dunia perdagangan sehingga memegang peranan yang sangat penting. Oleh

Lebih terperinci

LEGAL ASPEK PRODUK TIK IMAM AHMAD TRINUGROHO

LEGAL ASPEK PRODUK TIK IMAM AHMAD TRINUGROHO LEGAL ASPEK PRODUK TIK IMAM AHMAD TRINUGROHO Subjek dan Objek Hukum Arti & Peranan Hak Kekayaan Intelektual Klasifikasi Hak Kekayaan Intelektual Subjek Hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelompokkan manusia yang seperti ini biasanya disebut dengan masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelompokkan manusia yang seperti ini biasanya disebut dengan masyarakat, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kita ketahui bersama bahwa manusia itu tidak mungkin hidup sendiri oleh karena itu terjadilah sekelompok manusia yang hidup dalam suatu tempat tertentu. Pengelompokkan

Lebih terperinci

PENDAFTARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PENDAFTARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari PENDAFTARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Oleh: Chandra Dewi Puspitasari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) muncul karena adanya kemampuan berpikir. Hasil dari daya cipta tersebut dimiliki secara khusus (eksklusif)

Lebih terperinci

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI (HAKI)

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI (HAKI) HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI (HAKI) 1. Pembahasan HAKI Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hubungan antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri.

Lebih terperinci

(a) pembajakan merajalela akibatnya kreativitas menurun;

(a) pembajakan merajalela akibatnya kreativitas menurun; DESAIN INDUSTRI SEBAGAI BAGIAN PERLINDUNGAN HUKUM DI BIDANG HAKI Oleh: Widowati ABSTRAKSI Tujuan perusahaan didirikan adalah untuk memperoleh profit. Agar profit dapat diraih biasanya perusahaan melakukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat ini di satu sisi membawa dampak positif, tetapi disisi lain

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat ini di satu sisi membawa dampak positif, tetapi disisi lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini tidak dapat dipungkiri kebutuhan manusia akan teknologi dalam menunjang berbagai kemudahan aktivitas kehidupannya. Melalui perkembangan teknologi yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 PENJELASAN ATAS TENTANG DESAIN INDUSTRI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 PENJELASAN ATAS TENTANG DESAIN INDUSTRI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adanya perlindungan terhadap karya cipta manusia. menjadi semakin penting dengan terjadinya revolusi

BAB I PENDAHULUAN. Adanya perlindungan terhadap karya cipta manusia. menjadi semakin penting dengan terjadinya revolusi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya perlindungan terhadap karya cipta manusia menjadi semakin penting dengan terjadinya revolusi teknologi berbasis sumber daya kecerdasan manusia. Seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia yang pada tahun 2020 memasuki era pasar bebas. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia yang pada tahun 2020 memasuki era pasar bebas. Salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan bagi kekayaan intelektual merupakan langkah maju bagi Bangsa Indonesia yang pada tahun 2020 memasuki era pasar bebas. Salah satu implementasi era pasar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK I. UMUM Salah satu perkembangan yang aktual dan memperoleh perhatian saksama dalam masa sepuluh tahun terakhir ini dan kecenderungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang tidak dapat terelakkan akibat meningkatnya laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang cukup tinggi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya terdapat tiga fungsi aparatur pemerintah seiring dengan bergulirnya reformasi birokrasi, yaitu fungsi penyelenggaraan pemerintah, fungsi penyelenggaraan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

ETIKA BISNIS DAN TANGGUNGJAWAB SOSIAL

ETIKA BISNIS DAN TANGGUNGJAWAB SOSIAL MODUL 4 ETIKA BISNIS DAN TANGGUNGJAWAB SOSIAL PENGANTAR BISNIS Bahan Ajar Untuk Kalangan Sendiri Etika bisnis adalah serangkaian nilai moral yang akan membentuk perilaku perusahaan. Perusahaan menciptakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO) melalui

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO) melalui BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi pembentukan World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG HAKI

TINJAUAN TENTANG HAKI TINJAUAN TENTANG HAKI Mata Kuliah : Legal Aspek dalam Produk TIK Henny Medyawati, Universitas Gunadarma Materi dikutip dari beberapa sumber Subjek dan objek hukum Subjek Hukum adalah : Segala sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para pemilik bisnis baik kecil, menengah, maupun besar, benar-benar harus

BAB I PENDAHULUAN. para pemilik bisnis baik kecil, menengah, maupun besar, benar-benar harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi saat ini, di mana persaingan bisnis berlangsung sengit, para pemilik bisnis baik kecil, menengah, maupun besar, benar-benar harus berupaya

Lebih terperinci

SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN

SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI MODUL 13 UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) OLEH : M. BATTLESON SH. MH. DESKRIPSI : HAKI mengatur mengeni

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.252, 2016 HUKUM. Merek. Indikasi Geografis. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

TINDAK PIDANA DI BIDANG PATEN 1 Oleh : Aditia E Bawole 2

TINDAK PIDANA DI BIDANG PATEN 1 Oleh : Aditia E Bawole 2 TINDAK PIDANA DI BIDANG PATEN 1 Oleh : Aditia E Bawole 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan Paten menurut Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2001 dan bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang

BAB I PENDAHULUAN. di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan dunia perdagangan tidak dapat dilepaskan dari pembangunan di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang pelaksanaannya dititikberatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam upayanya memperbaiki nasib atau membangun segala

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam upayanya memperbaiki nasib atau membangun segala BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gelombang globalisasi tidak terbendung lagi memasuki setiap negara. Indonesia dalam upayanya memperbaiki nasib atau membangun segala potensinya perlu memperhitungkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di

II. TINJAUAN PUSTAKA. hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Paten 1. Pengertian Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU Paten, yang dimaksud dengan Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan strategi pemberdayaan ekonomi di negaranya masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. menentukan strategi pemberdayaan ekonomi di negaranya masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjalanan peradaban suatu bangsa terus berkembang mengikuti arus perubahan yang terjadi dalam masyarakat, sebagai akibat dari berkembangnya pola pikir, intelektual,

Lebih terperinci

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 45 BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Sejarah Perkembangan Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia Permasalahan hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang industri, ilmu pengetahuan, kesusasteraan atau seni. 1 Hak atas kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. bidang industri, ilmu pengetahuan, kesusasteraan atau seni. 1 Hak atas kekayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Intellectual Property Rights (IPR) dalam bahasa Indonesia memiliki 2 (dua) istilah yang pada awalnya adalah Hak Milik Intelektual dan kemudian berkembang menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan meningkat dengan pesat, khususnya ketika ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan meningkat dengan pesat, khususnya ketika ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir kondisi ekonomi seperti globalisasi ekonomi, perdagangan barang selain produk seperti perdagangan jasa secara signifikan meningkat dengan pesat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

Skripsi PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENERBIT SEBAGAI PEMEGANG HAK CIPTA ATAS PEMBAJAKAN BUKU BERDASARKAN UNDANG-

Skripsi PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENERBIT SEBAGAI PEMEGANG HAK CIPTA ATAS PEMBAJAKAN BUKU BERDASARKAN UNDANG- Skripsi PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENERBIT SEBAGAI PEMEGANG HAK CIPTA ATAS PEMBAJAKAN BUKU BERDASARKAN UNDANG- UNDANG No.19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA (Studi pada P. T Tiga Serangkai Pustaka Mandiri) Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN A. Analisis Terhadap Sanksi Pidana Pelanggaran Hak Pemegang Paten Menurut UU.

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB II KRITERIA INVENSI PATEN SEDERHANA DI BIDANG TEKNOLOGI ALAT-ALAT PERTANIAN. A. Paten Sebagai Benda Immateril dan Bagian Hak Kekayaan Industri

BAB II KRITERIA INVENSI PATEN SEDERHANA DI BIDANG TEKNOLOGI ALAT-ALAT PERTANIAN. A. Paten Sebagai Benda Immateril dan Bagian Hak Kekayaan Industri BAB II KRITERIA INVENSI PATEN SEDERHANA DI BIDANG TEKNOLOGI ALAT-ALAT PERTANIAN A. Paten Sebagai Benda Immateril dan Bagian Hak Kekayaan Industri Dalam memahami lingkup Hak Kekayaan Intelektual, perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai terbentuk ditandai dengan berbagai peristiwa

Lebih terperinci

Tanya Jawab Tentang Paten

Tanya Jawab Tentang Paten Tanya Jawab Tentang Paten Apakah paten itu? Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan

Lebih terperinci