Kasman Siburian. Kebijakan Pidana (Penal Policy) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kasman Siburian. Kebijakan Pidana (Penal Policy) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi"

Transkripsi

1

2 Kebijakan Pidana (Penal Policy) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Kasman Siburian Para pelaku korupsi layaknya dijatuhi pidana yang berat, sebab apabila pelaku korupsi dijatuhi pidana yang ringan, apalagi bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, banyak masyarakat menganggap penjatuhan putusan itu tidak adil. Penegakan hukum pidana, secara fungsional melibatkan 3 (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu: faktor perundang-undangan; faktor aparat/badan penegak hukum; dan faktor kesadaran hukum. Sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi bila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah menganut jenis stelsel penyerapan murni dalam Pasal 63 ayat (1) dan (2), stelsel penyerapan yang dipertajam dalam Pasal 65 KUHP, stelsel komulasi murni dalam pasal 70 KUHP. Jadi, secara umum KUHP menganut stelsel penyerapan dipertajam dan stelsel komulatif terbatas akan tetapi disamping itu. Penggunaan kebijakan pidana ( penal policy), tindak pidana korupsi dapat ditanggulangi adalah bahwa Ide dasar sistem pidana minimum khusus tersebut kemudian (idealnya) ditindaklanjuti dengan menentukan kriteria kualitatif dan kuantitatif untuk sistem pidana minimum khusus. Ini berarti, pemegang kebijakan legislasi dalam membuat suatu undang-undang pidana, tidak boleh sembarangan dan asal taruh pidana minimum khusus di dalam rumusan deliknya, dengan tanpa memperhatikan kriteria kualitatif dan kuantitatif sistem pidana minimum khusus. Dari formulasi sistem pemidanaan yang diatur dalam undang-undang, utamanya yang menyangkut rumusan pidana minimum khusus. Di samping itu dikenal pidana ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [16]

3 bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut. I. PENDAHULUAN Mewujudkan masayarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera, perlu terus menerus ditingkatkan usaha-usaha penceghan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya dan tindak pidana korupsi pada khususnya. Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar, yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Tindak pidana korupsi sangat berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi. 1 Secara umum pengertian korupsi diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu. Secara spesifik ada tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism). 2 Berdasarkan terori-teori pemidanaan terdapat berbagai pemikiran, yang secara tradisional pada umumnya dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok teori yaitu: 1. Teori Absolut atau teori pembalasan 2. Teori relatif atau teori tujuan. 3 Menurut teori absolut pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana ( quiea peccatumn east). Pidana 1 Barda Nawawi Arief, Pokok-Pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Makalah Seminar di Unsoed, Purwokerto, 1999 bahwa The Asian Wall Street Journal pada tahun 1997 saja sudah menuliskan corruption ranking in 1996,. 2 Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, Jakarta: LP3ES, 1983, hal.12 3 Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 10. PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [17]

4 merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadi kejahatan itu sendiri. Menurut teori relatif memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan diartikan sebagai sesuatu yang tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana dalam teori ini bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Teori ini sering disebut teori tujuan (utilitarian theory). Terkait dengan pelaksanaan pidana penjara sebagai salah satu bentuk pemidaan dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, dalam kerangka teori ini hanya akan disampaikan teori pidana dan pemidaan yang memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut Hak Asasi Manusia. Teori tujuan pemidanaan, yang integratif (Kemanusiaan Sistem Pancasila) yang tepat untuk diterapkan di Indonesia, menyatakan bahwa dewasa ini masalah pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang menjadi Hak Asasi Manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Diperlukan pendekatan multi dimensional yang bersifat mendasarkan terhadap dampak pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang bersifat individu maupun dampak yang bersifat sosial. 4 Pendekatan ini mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih teori integratif tentang tujuan pemidanaan yang mempengaruhi fungsinya dalam rangka kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana. Tujuan pemidanaan menurut teori ini adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana Ibid, hlm. 15. Dwidja Priyatno, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung STHB Press, 2005, hlm. 28 PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [18]

5 II. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi bila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? 2. Apakah dengan menggunakan kebijakan pidana ( penal policy), tindak pidana korupsi dapat ditanggulangi? III. PEMBAHASAN 1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan Kejahatan itu dapat terjadi dimana-mana, maksudnya tidak dibatasi oleh ruang, waktu, dan ras suatu bangsa. Kejahatan ini mempunyai kaitan yang erat dengan hukum atau peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana, yang mana berlaku secara positif. Seseorang yang melakukan kejahatan itu akan diproses dan diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman atau pidana. Pidana ialah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonnis kepada orang-orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana. 6 Selanjutnya Ruslan Saleh, mengatakan bahwa Pidana ialah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik. 7 Barda Nawawi Arief, pada penataran Krinilogi Angkatan III di Universitas Andalas Padang, mengatakan bahwa dilihat secara fungsional dan operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijaksanaan yang konkretisasinya sengaja direncanakan melalui beberapa tahap. Dimulai dari tahap formulasi oleh pembuat 6 R. Soesilo. KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1983, hlm Ruslan Saleh. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru. hlm. 5. PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [19]

6 undang-undang, kemudian tahap aplikasi oleh badan yang berwenang dan akhirnya tahap eksekusi oleh aparat yang berwenang dan akhirnya tahap eksekusi oleh aparat/instansi pelaksana pidana. 8 Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita ketahui bahwa pemidanaan itu merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan. Dimana tahap pembentukan undang-undang oleh pembuat undang-undang. Kemudian tahap aplikasi atau perwujudan undang-undang itu oleh para penegak hukum, termasuk di pengadilan dan kemudian tahap pengeksekusian oleh lembaga penegak hukum lain, yang dalam hal ini adalah berada di tangan kejaksaan itu sendiri. Eksekusi ini baru dapat dilaksanakan setelah ada keputusan hakim yang sudah tetap. Memperhatikan dan membicarakan tentang tujuan pemidanaan, tidak lepas kaitannya dengan membicarakan teori-teori penghukuman itu ialah: 1) Teori Absolut atau mutlak, yaitu setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak dan tujuan hukuman adalah sebagai pembalasan dendam. Teori ini dikenal dan dianut sarjana seperti Immanuel Kant, Van Bemmelen, Van Hattum, dan Hegel. 2) Teori Relatif atau nisbi, yaitu yang mengatakan bahwa kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana, dimana tujuan penghukuman adalah agar kejahatan yang dilakukan itu tidak terulang lagi dan juga untuk memperbaiki si penjahat. 3) Teori Gabungan yaitu gabungan kedua teori di atas, penganutnya adalah Pompe, Hugo de Groot dan Rossi. 9 Kalau diperhatikan teori-teori tersebut di atas, maka dapat kita ketahui bahwa hukuman itu adalah sebagai balas dendam atas tindak pidana yang dilakukan 8 Barda Nawawi Arief. Kebijaksanaan Hukum Pidana Dalam Konsep KUHP Baru. Bahan Penataran Kriminologi Angkatan III di Universitas Andalas Padang, hlm A. Hamzah dan Siti Rahayu. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Jakarta: Akademi Pressindo. 1983, hlm. 25. PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [20]

7 seseorang. Dimana pada mulanya hukuman pada saat lahirnya teori ini adalah bertentangan dengan prikemanusiaan dan pada pelaksanaannya mengandung maksud untuk menakut-nakuti atau membuat jera orang lain. Untuk itu pelaksanaan hukuman seperti hukuman mati dilaksanakan di muka umum agar dapat diketahui oleh umum. Pada Teori Relatif atau Nisbi, hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang adalah didasarkan pada penjaminan tertib hukum dan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan hukuman berdasarkan teori ini adalah: a. Tujuan repressif yaitu memulihkan kerugian-kerugian yang diderita masyarakat akibat kejahatan. b. Tujuan preventif yaitu untuk mencegah kejahatan itu agar jangan sampai terjadi lagi. Sedangkan tujuan preventif ini dapat dibagi atas 2 bagian yaitu : 1. generale preventie, yaitu ancaman hukuman ditujukan kepada masyarakat umum agar tidak berbuat jahat; 2. speciale preventie, yaitu bahwa ancaman hukuman ditujukan kepada si terhukum supaya dia tidak lagi melakukan perbuatan jahat di kemudian hari. 10 Berhubungan dengan teori gabungan adalah merupakan gabungan dari teori Absolut dengan teori Relatif. Munculnya teori ini disebabkan oleh pertimbangan: a. Teori pembalasan mungkin dapat menyebabkan tindakan-tindakan yang tidak adil, oleh karena masalah-masalah yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan kejahatan, tidak diperhitungkan oleh teori ini; 10 Ibid. PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [21]

8 b. Teori Relatif atau teori nisbi juga dianggap berat sebelah oleh teori gabungan, sebab dengan memperbaiki sifat si penjahat saja adalah tidak cukup, oleh karena dengan demikian kesadaran hukum daripada khalayak ramai atau masyarakat tidak diberi kemantapan. Menurut teori gabungan dianggap juga harus memperhitungkan terhadap si terhukum Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Perundang-undangan di Indonesia sampai dengan sekarang ini belum memiliki "sistem pemidanaan yang bersifat nasional" yang di dalamnya mencakup "pola pemidanaan" dan "pedoman pemidanaan". "Pola pemidanaan", yaitu acuan/pedoman bagi pembuat undang-undang dalam membuat/menyusun peraturan perundang-undangan yang mengandung sanksi pidana. Istilah pola pemidanaan ini sering juga disebut "pedoman legislatif" atau "pedoman formulatif. Sedangkan "pedoman pemidanaan" adalah pedoman penjatuhan/penerapan pidana untuk hakim (pedoman yudikatif/pedoman aplikatif). Dilihat dari fungsi keberadaannya, maka pola pemidanaan ini seharusnya ada lebih dahulu sebelum perundang-undangan pidana dibuat, bahkan sebelum KUHP Nasional dibuat. Memang sudah ada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun substansi undang-undang ini adalah lebih mengenai asas, proses/prosedur penyiapan, pembahasan, teknis penyusunan dan pemberlakuannya. Undang-undang ini sama sekali tidak menyinggung tentang "pemidanaan", setidaknya hal-hal yang berkaitan tentang jenis pidana ( strafsoort), kriteria sedikit-lamanya pidana (strafmaat) serta cara pelaksanaan pidana (strafmodus). Berkaitan dengan faktor perundang-undangan pidana ini, mantan Ketua Mahkamah Agung R.I., Bagir Manan, mengatakan, bahwa dua aspek penting dalam keberhasilan 11 Ibid. PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [22]

9 penegakan hukum pidana tersebut, adalah isi/hasil penegakan hukum (substantive justice), tata cara penegakan hukum (procedural justice). Meski Indonesia belum memiliki "pola pemidanaan" yang berkaitan dengan kriteria kualitatif dan kuantitatif penentuan pidana minimum khusus, namun bila menyadari bahwa efektivitas penegakan hukum itu bertitik tolak dari kualitas produk kebijakan legislatif, maka melihat perkembangan doktrin pidana dan/atau melakukan studi komparasi pada beberapa perundang-undangan pidana negara lain, yang sudah mengatur hal itu adalah salah satu solusinya. Secara kualitatif, menurut doktrin Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, delikdelik tertentu yang dapat ditentukan pidana minimum khususnya adalah yang berkarakter berikut: 1. delik-delik yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat; 2. delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya ( erfolgsqualifizierte delikte) Selanjutnya untuk ukuran kuantitatif, belum ada bahan rujukan yang baku, sehingga salah satu solusinya adalah dengan membandingkannya dengan formulasi pidana "minimum khusus di beberapa KUHP negara lain. Masalah pokoknya di Indonesia adalah bahwa sampai sekarang belum terjawab, sejauhmana kewenangan kebebasan yang dimiliki oleh hakim (judicial discretion) untuk "dapat" turun (sampai batas tertentu) di bawah batas-limit pidana minimum khusus dalam suatu formulasi perundang-undangan, agar implementasi penegakan hukum yang berkeadilan tersebut tetap berada dalam koridor kepastian hukum. Dan itu tidak lain adalah dengan membuatkan suatu formulasi aturan/pedoman pemidanaan (straftoemetings regelistraftoemetingsleidraad, atau statutory guidelines for sentencing) sebagaimana aturan/pedoman pemidanaan dalam pola pidana maksimum khusus yang "dapat" naik (sampai batas tertentu) di atas batas -limit pidana maksimum khususnya, ketika terdapat faktor-faktor yang memperberat PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [23]

10 pidana, seperti concursus realis terhadap kejahatan terren recidive terhadap kejahatan tertentu yang sejenis. Undang-undang memang mewajibkan hakim menggali dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dan perspektif masyarakat, agar dihukumnya para pelaku korupsi sebanyak-banyaknya dengan pidana yang relatif berat, sebab apabila pelaku korupsi dijatuhi pidana yang ringan, apalagi bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, banyak masyarakat menganggap penjatuhan putusan itu tidak adil. Penegakan hukum pidana, secara fungsional melibatkan 3 (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu: a. faktor perundang-undangan; b. faktor aparat/badan penegak hukum; dan c. faktor kesadaran hukum. Faktor perundang-undangan dalam hal ini perundang-undangan pidana, meliputi Hukum pidana materiel (hukum pidana substantif), hukum pidana formil meliputi acara pidana maupun hukum pelaksanaan pidana. Untuk faktor perundangundangan inipun terkait dengan tahapantahapan kebijakan formulatif (legislatif), kebijakan aplikatif (yudikatif) dan kebijakan administratif (eksekutif). Dapat dikatakan, bahwa pada tahap kebijakan formulasi adalah merupakan penegakan hukum "in abstracto", yang pada gilirannya akan diwujudkan dalam penegakan hukum "in concreto:' (melalui tahap kebijakan aplikasi dan eksekusi). Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement yang operasionalisasinya melalui beberapa tahap, yaitu: 1) tahap formulasi (kebijakan legislatif); 2) tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) dan 3) tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [24]

11 tahap paling strategis dari penal policy. Letak strategisnya adalah karena garisgaris kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang diformulasikan oleh aparat legislatif merupakan landasan legalitas bagi aparat penerap pidana (aparat yudikatif) dan aparat pelaksana pidana (aparat ek sekutif/administratif). Hal ini juga berarti, apabila pada tahap kebijakan formulatif ini terdapat kelemahan perumusan pada sistem pemidanaannya, maka eksesnya eksekusi pada tahap-tahap berikutnya (tahap aplikasi dan tahap eksekusi). Dengan perkataan lain, kelemahan penegakan hukum pidana "in abstracto" akan membawa pengaruh pada kelemahan penegakan hukum "in concreto Dalam praktik pembuatan perundang-undangan di Indonesia penggunaan pidana sebagai bagian dari politik/kebijakan harus sudah dianggap sebagai hal yang wajar, hingga terkesan tidak perlu lagi dipersoalkan eksistensinya. Akibat yang bisa dilihat adalah hanya dicantumkannya sanksi pidana, baik mengenai strafsoort, atau strafmaat ataupun strafmodus pada setiap kebijakan pembuatan perundangundangan pidana di Indonesia, dengan tanpa adanya penjelasan resmi tentang pemilihannya atau penentuannya. Dari bermacam produk perundang-undangan pidana di Indonesia akhir-akhir ini, ada yang menentukan pidana maksimum khusus saja, namun ada beberapa lainnya, utamanya pada delik-delik tertentu, sekaligus disebutkan pidana maksimum khusus dan pidana minimum khususnya, baik perumusan alternatif, atau kumulatif, atau juga kumulatif-alternatif. Selanjutnya dalam tataran aplikasi, pada delik-delik tertentu sebagaimana didakwakan Penuntut Umum kepada terdakwa, ternyata ada beberapa hakim (dengan pertimbangan hukum tertentu) yang menjatuhkan pidana di bawah batas/limit ancaman pidana minimum khusus dalam rumusan deliknya, pada hal sesungguhnya pembuat undang-undang menetapkan pidana minimum khusus untuk delik-delik tertentu tersebut adalah bukan tanpa maksud dan tujuan. Dalam penerapannya, suatu putusan pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dapat membawa dampak luas, tidak hanya bagi pelaku tindak pidana yang PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [25]

12 bersangkutan, akan tetapi juga bagi korban dan masyarakat. Hal ini karena dalam proses penjatuhan pidana, di samping bersentuhan dengan aspek yuridis, juga didalamnya terkait dengan aspek sosiologis dan aspek filosofis. Akhirnya banyak timbul wacana diantara para pemerhati hukum, bahwa untuk penjatuhan pidana pada delik-delik tertentu, manakah yang harus lebih diprioritaskan antara kepentingan kepastian hukum di satu pihak ataukah kepentingan keadilan di lain pihak, demikian juga, manakah yang harus diprioritaskan antara kepentingan perlindungan masyarakat di satu pihak, dengan kepentingan pembinaan individu pelaku tindak pidana di lain pihak. Hal ini merupakan aksi dan sikap kritis terhadap "beragamnya" strafmaat yang sudah diputuskan oleh lembaga peradilan terhadap perkara-perkara tindak pidana tertentu tersebut. Tampak luar dari persoalan tersebut adalah munculnya issue disparitas pidana disparity of sentencing di antara delik-delik tertentu tersebut. Secara umum dapat dikatakan, bahwa dilihat dari sumbernya, maka faktor penyebab disparitas pidana selain berasal dari Hakim (yang menjatuhkan putusan pidana), juga utamanya berasal dari kelemahan hukum positif (peraturan perundang-undangan), yang dilatarbelakangi oleh faktor: a) pertama, adanya fakta disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delikdelik yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, dan b) kedua, adanya keinginan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya standar minimal objektif untuk delikdelik tertentu yang sangat dicela dan merugikan/membahayakan masyarakat/negara, serta ketiga, demi untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum (general prevention) terhadap delik-delik tertentu yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat, maka lembaga pembuat undang-undang kemudian menentukan, bahwa untuk delik tertentu, di samping ada pidana maksimum khususnya, juga sekaligus ditentukan pidana minimum khususnya. PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [26]

13 Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. 12 B. Arief Sidharta mengatakan bahwa tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat). 13 Dalam penegakan hukum pidana ada 4 (empat) aspek dari perlindungan masyarakat yang harus mendapat perhatian, yaitu: 14 a. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini maka wajar apabila penegakan hukum bertujuan untuk penanggulangan kejahatan. b. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang. Wajar pula apabila penegakan Hukum Pidana bertujuan memperbaiki sipelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. c. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat pada umumnya. Wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus 12 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hlm B. Arief Sidharta. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia). Bandung: Mandar Maju.1999, hlm Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hlm PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [27]

14 mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum. d. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat dari adanya kejahatan. Wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Penegakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap: 15 a) Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang; b) Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan Hukum Pidana oleh aparataparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif; c) Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat juga disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif. Hukum mempunyai komponen-komponen yaitu: a. komponen substantif, berupa kaidah-kaidah yang mempunyai sifat relatif konstan; b. Komponen spritual, berupa nilai-nilai yang mempunyai tendensi dinamis; c. Komponen struktural, terdiri dari lapisan-lapisan mulai dari adat, kebiasaan, hukum dan undang-undang; d. komponen kultural, berupa tatanan hidup manusia yang mempunyai sifat 15 Muladi. Op-cit., hlm PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [28]

15 menyelaraskan diri dengan lingkungan. 16 Dalam kaitan ini, Hukum Acara Pidana berfungsi ganda, yakni di satu sisi berusaha mencari dan menemukan kebenaran sejati tentang terjadinya tindak pidana agar yang bersangkutan dapat dipidana sebagai imbalan atas perbuatannya, di sisi lain adalah untuk sejauh mungkin menghindarkan seseorang yang tidak bersalah agar jangan sampai dijatuhi pidana. 17 Persamaan di hadapan hukum ( equality befor the law) dimaksud bahwa semua warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum, penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court. Hal ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat pemerintahan negara maupun warga negara biasa, berkewa-jiban untuk mentaati hukum yang sama. 18 The rule of law dalam pengertian ini bahwa para pejabat negara tidak bebas dari kewajiban untuk mentaati hukum yang mengatur warga negara biasa atau dari yuridiksi peradilan biasa. Tidak dikenal peradilan administrasi negara dalam sistem Anglo Saxon. 19 Dalam sistem Common Law, seperti Amerika Serikat dan Inggris, persoalan-persoalan administratif dihadapkan kepada pengadilan-pengadilan biasa ( ordinary courts), dengan hakimhakim yang independen, untuk mempertahankan salah satu unsur terpenting dari the rule of law. Dalam paham the rule of law, hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh pengadilan. Pandangan Dicey dikatakan pandangan murni dan sempit, karena dari ketiga pengertian dasar yang diketengahkannya tentang the rule of law, intinya adalah Common Law sebagai dasar perlindungan kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Perlindungan Common Law 16 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hlm Soedjono Dirdjosisworo. Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum. Bandung: Armico, 1984, hlm Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsip, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan AdministrasiNegara. Surabaya: Bina Ilmu, 1987, hlm Ibid. PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [29]

16 hanya dapat meluas kepada kebebasan pribadi tertentu seperti kebebasan berbicara, tetapi tidak dapat assure the citizen s economic or social well being (menjamin kesejahteraan ekonomi atau sosial warga negara) seperti perlindungan fisik yang baik, memiliki rumah yang layak, pendidikan, pemberian jaminan sosial atau lingkungan yang layak, kesemuanya itu membutuhkan pengaturan yang kompleks. Suatu hal yang penting dari the rule of law adalah mencegah penyalahgunaan kekuasaan diskresi. Pemerintah dilarang menggunakan privilege yang bertentangan dengan aturan hukum Kebijakan Pidana (Penal Policy) a. Putusan Hakim Dalam Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi Hakim merupakan tokoh sentral yang menentukan bagaimana proses persidangan dijalankan bahkan di tangan hakimlah keluar suatu keputusan yang akan menentukan nasib selanjutnya bagi seorang manusia yang melakukan suatu tindak pidana. Namun dari dulu hingga sekarang ini telah menjadi semacam kebiasaan (habit) dalam praktek peradilan pidana di Indonesia selama ini, dimana hakim pidana sering (kalau tidak bisa dikatakan hampir selalu) menjatuhkan putusan pemidanaan terutama pidana jenis penjara, kurungan atau denda dengan masa pidana atau denda yang lebih ringan di banding atau denda yang dimohonkan jaksa penuntut umum (JPU) dalam tuntutannya. Banyaknya putusan pemidanaan yang lebih ringan di banding tuntutan penuntut umum ini seolah sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Kecenderungan seperti ini tidak saja terjadi pada perkara pidana biasa di pengadilan umum, tetapi juga pada pengadilan khusus seperti pengadilan tindak pidana korupsi yang dalam beberapa putusan pemidanaannya juga cenderung lebih ringan dibanding tuntutan penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berbagai cara telah dilakukan untuk 20 Ibid. PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [30]

17 mengembalikan citra hukum Indonesia di mata masyarakat, namun upaya-upaya ini belum mampu mendongkrak citra hukum di Negara kita. Sekian banyak bidang hukum yang ada di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa bidang hukum pidana (termasuk sistem peradilan pidananya) menempati urutan pertama yang tidak mendapat sorotan, tetapi juga mendapat celaan yang luar biasa di banding bidang hukum lainnya. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah: faktor-faktor apa sajakah yang sehingga hakim memberikan putusan pemidanaan yang lebih ringan daripada tuntutan; bagaimanakah sikap JPU menanggapi putusan Pemidanaan oleh hakim yang cenderung lebih ringan dari pada tuntutan. 21 Faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh hakim sebagai pedoman dalam menentukan berat ringannya pidana adalah penyebutan lamanya masa pidana di dalam tuntutan yang secara psikologis mempengaruhi dan mengarahkan masa pidana yang akan diputuskan hakim, hakim kurang menggali dan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pada perbuatan yang dilakukan maupun kehidupan terdakwa, hakim ingin perkara cepat selesai dan tidak diajukan banding dan persepsi dan pemikiran hakim untuk mewujudkan keseimbangan melalui putusan. Sikap jaksa menanggapi putusan pemidanaan oleh hakim yang cenderung lebih ringan dari pada tuntutan adalah dengan cara menerima atau menolak putusan tersebut karena setelah putusan jaksa diberi waktu pikir-pikir terlebih dahulu selama tujuh (7) hari sesuai dengan Pasal 233 Ayat (2) KUHAP. Menerima putusan jika putusan pemidanaan oleh hakim tersebut telah sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa maka Jaksa dapat saja langsung menerima putusan pemidanaan tersebut atau menolak jika putusan 21 PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [31]

18 pemidanaan oleh hakim tersebut belum sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan si pelaku maka jaksa akan melakukan upaya banding. b. Sanksi Ganti Rugi Dalam Tindak Pidana Korupsi Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut. 22 Sanksi Ganti Kerugian, menurut schafer telah dikenal pada masa hukum Primitif. Pada masa ini telah dikenal adanya personal reparation, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau dalam masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization) bentuk-bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa terjadi sehari-hari. 23 Pada masa ini terlihat, sanksi Ganti kerugian merupakan suatu tanggung jawab pribadi pelaku tindak pidana kepada pribadi korban. Perkembangan berikutnya adalah pengambil alihan tanggung jawab oleh suku-suku terhadap tindakan anggota-anggota suku tersebut. Keadaan ini adalah awal dari munculnya tanggung jawab yang bersifat kolektif dalam kehidupan masyarakat kesukuan. Pada masa ini konsep ganti kerugian kadang-kadang dimasukkan dalam hukum Pidana. Hukum kebiasaan di German bahkan menggunakan sanksi ganti kerugian untuk perkara pembunuhan. 24 Pada masa ini nampak ganti kerugian bukan lagi merupakan suatu kesepakatan antara korban 22 Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, 1990, hlm Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2004 Op-Cit., hlm. 1 PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [32]

19 dengan pelaku tindak pidana, tetapi adalah merupakan suatu sanksi yang ditentukan suku-suku kepada pelaku tindak pidana. Setelah munculnya negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat, sanksi Ganti Kerugian tidak lagi termasuk dalam hukum pidana. Sanksi Ganti kerugian termasuk ke dalam apa yang disebut dengan the law of tort, pihak yang dirugikan (korban tindak pidana) harus mengajukan tuntutan dalam bentuk uang ataupun sesuatu yang bersifat ekonomi. Dalam hal ini telah terjadi pengambil alihan segala sesuatu yang bersifat ganti kerugian bagi korban kejahatan kepada negara. Sehingga hubungan korban dengan kejahatan merupakan suatu hubungan yang bersifat keperdataan. 25 Dalam hal ini segala kerugian korban dipandang sebagai kerugian negara, negaralah yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan. Dengan demikian negara tidak lagi memberikan hak pada korban kejahatan untuk memperoleh ganti kerugian dari pelaku kejahatan, tetapi hal itu dapat dilakukan korban melalui gugatan yang bersifat perdata. Sanksi Ganti Kerugian ini kemudian kembali diharapkan keberadaannya sebagai bagian dari hukum Pidana, Pada tahun 1887, Goerge Arney seorang hakim Agung dari New Zaeland dan William Tallack, telah mengusulkan untuk kembali kepada praktek pemberian ganti kerugian kepada korban kejahatan. Berikutnya, Raffaele Garofalo telah menulis bahwa pembayaran ganti kerugian terhadap korban merupakan masalah keadilan dan keamanan atau ketertiban sosial. Kemudian Kongres Internasional Penjara tahun 1895 di Paris maupun Kongresnya pada tahun 1900 di Brussel, mempertanyakan hak korban untuk memperoleh jaminan ganti kerugian dari pelaku tindak pidana. 26 Perhatian terhadap korban kejahatan semakin serius setelah diadakan Simposium Viktimologi I di Jerusalem pada tahun 1973, yang 24 Ibid. 25 Ibid. hlm Ibid, hlm. 4. PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [33]

20 menghendaki seluruh Negara-negara di dunia memperhatikan system ganti kerugian terhadap korban kejahatan, meningkatkan secara maksimum penerapannya dan memberikan informasi mengenai hal ini pada masyarakat umum. Kemudian Draft teks dari United Nation Declaration on the Prosecutions and Assistence of Crima Victims, pada butir 4 (Part I General Principles) menetapkan secara tegas kewajiban negara-negara untuk melakukan : Reparation by the offender to the victim shall be an objective of the process of justice. Such reparation may include : (1) the return of stolen property : (2) monetary pavment for loss, damages, personal injury and psychological traume: (3) davment for pain and sufferino : (4) servis to the victim. Meningkatnya perhatian dunia internasional terhadap korban, telah mengajak masyarakat untuk memikirkan upaya-upaya untuk mengurangi penderitaan yang dialami oleh korban. Ganti Kerugian oleh pelaku kejahatan terhadap korban (restitusi) dipandang sebagai sarana yang baik untuk itu. Kenyataan inilah yang telah membawa kembali sanksi Ganti Kerugian masuk ke dalam bidang hukum Pidana. IV. PENUTUP 1. Para pelaku korupsi sebanyak-banyaknya dengan pidana yang relatif berat, sebab apabila pelaku korupsi dijatuhi pidana yang ringan, apalagi bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, banyak masyarakat menganggap penjatuhan putusan itu tidak adil. Penegakan hukum pidana, secara fungsional melibatkan 3 (tiga) faktor y ang saling terkait, yaitu: faktor perundang-undangan; faktor aparat/badan penegak hukum; dan faktor kesadaran hukum. Sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi bila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [34]

21 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah menganut jenis stelsel penyerapan murni dalam Pasal 63 ayat (1) dan (2), stelsel penyerapan yang dipertajam dalam Pasal 65 KUHP, stelsel komulasi murni dalam pasal 70 KUHP. Jadi, secara umum KUHP menganut stelsel penyerapan dipertajam dan stelsel komulatif terbatas akan tetapi disamping itu. 2. Penggunaan kebijakan pidana ( penal policy), tindak pidana korupsi dapat ditanggulangi adalah bahwa Ide dasar sistem pidana minimum khusus tersebut kemudian (idealnya) ditindaklanjuti dengan menentukan kriteria kualitatif dan kuantitatif untuk sistem pidana minimum khusus. Ini berarti, pemegang kebijakan legislasi dalam membuat suatu undang-undang pidana, tidak boleh sembarangan dan asal taruh pidana minimum khusus di dalam rumusan deliknya, dengan tanpa memperhatikan kriteria kualitatif dan kuantitatif sistem pidana minimum khusus. Dari formulasi sistem pemidanaan yang diatur dalam undang-undang, utamanya yang menyangkut rumusan pidana minimum khusus. Di samping itu dikenal pidana ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut. Subjek hukum dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah: setiap orang atau korporasi (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3). Subjek Hukum yang dapat dijerat sebagai pelaku tindak pidana korupsi tidak hanya orang perseorangan secara individu (kapasitasnya sebagai orang swasta atau pegawai negeri), tetapi juga suatu korporasi. Pasal 20 ayat (1) menyebutkan bahwa jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka tuntutan dan pemidanaan dapat diberikan kepada: (1) Korporasi dan atau (2) Pengurusnya. Pasal 20 ayat (2) menyatakan bahwa tindak pidana Korupsi dilakukan oleh Korporasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Ada dua jenis pidana pokok yang diancamkan dalam perumusan delik (yaitu penjara dan denda), hanya pidana denda yang paling tepat untuk korporasi. PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [35]

22 DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, , Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, A. Hamzah dan Siti Rahayu. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Jakarta: Akademi Pressindo Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti , Pokok-Pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Makalah Seminar di Unsoed, Purwokerto, 1999 bahwa The Asian Wall Street Journal pada tahun 1997 saja sudah menuliskan corruption ranking in , Pokok-Pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Makalah Seminar di Unsoed, Purwokerto, , Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, , Perbandingan Hukm Pidana, Rajawali Pers, Jakarta,1990. B. Arief Sidharta. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [36]

23 Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia). Mandar Maju Bandung: Dwidja Priyatno, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung STHB Press, , Kebijakan Legalisasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, Penerbit CV.Utomo, Bandung, Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, , Konsep Indonesia Tentang Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Bandung: Penataran Tindak Pidana di Bidang Ekonomi, Fakultas Hukum UNPAR, 1994). Muladi, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, , Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, PATIK Edisi 6 Thn 2014/2015 [37]

Sistem Pidana Minimum

Sistem Pidana Minimum Sistem Pidana Minimum Penegakan hukum pidana, secara fungsional akan melibatkan minimal 3 (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan; faktor aparat/penegak hukum; dan faktor kesadaran

Lebih terperinci

POLA PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI

POLA PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI POLA PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pola Pemidanaan. Perundang-undangan di Indonesia sampai dengan sekarang ini belum memiliki "sistem pemidanaan yang bersifat nasional" yang di dalamnya mencakup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. masalah yang serius dan penegakannya tidak mudah.

BAB I PENDAHULUAN. merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. masalah yang serius dan penegakannya tidak mudah. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pada saat ini penegakan hukum yang paling ditunggu masyarakat adalah penegakan hukum tindak pidana korupsi. Adanya tuntutan dari masyarakat untuk dilakukanya upaya pemberantasan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh : Wahab Ahmad, S.HI., SH (Hakim PA Tilamuta, Dosen Fakultas Hukum UG serta Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

I. PENDAHULUAN. untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan tujuan untuk menguntungkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Syarifa Yana Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Riau Kepulauan Di dalam KUHP dianut asas legalitas yang dirumuskan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Penerapan unsur-unsur tindak pidana tanpa hak memiliki menyimpan atau menguasai

Lebih terperinci

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan mempunyai

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. NDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Pemidanaan 1. Tujuan Hukum Pidana Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia, karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada sesudah meninggal.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan

I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan penanggulangan kejahatan pengedar narkotika dengan pidana penjara ditinjuau dari Pemidanaan terhadap pengedar narkotika terdapat dalam pasal-pasal dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN. lembaga yang berwenang kepada orang atau badan hukum yang telah

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN. lembaga yang berwenang kepada orang atau badan hukum yang telah BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN A. Pidana dan Pemidanaan 1. Pengertian Pidana Pidana merupakan suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan oleh lembaga yang berwenang kepada orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu arah kebijaksanaan yang harus ditempuh khususnya dalam rangka mewujudkan sistim hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

DISPARITAS PIDANA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN BIASA DI PENGADILAN NEGERI KOTA SEMARANG

DISPARITAS PIDANA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN BIASA DI PENGADILAN NEGERI KOTA SEMARANG DISPARITAS PIDANA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN BIASA DI PENGADILAN NEGERI KOTA SEMARANG Indung Wijayanto Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang indung_wijayanto@yahoo.com Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

PIDANA GANTI RUGI : ALTERNATIF PEMIDANAAN DI MASA DEPAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERTENTU

PIDANA GANTI RUGI : ALTERNATIF PEMIDANAAN DI MASA DEPAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERTENTU PIDANA GANTI RUGI : ALTERNATIF PEMIDANAAN DI MASA DEPAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERTENTU SYAFRUDDIN, SH, MH Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara Medan I. PENDAHULUAN Bagaikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu masalah yang ada di dalam kehidupan masyarakat, baik dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang berbudaya modern

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbuatan dan Sifat melawan Hukum I. Pengertian perbuatan Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki,

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi. 1998. Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Moeljatno. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara. Jakarta.

Lebih terperinci

Oleh: Haryadi 1. Abstrak

Oleh: Haryadi 1. Abstrak Tinjauan Yuridis Perumusan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Dalam Perspektif Tujuan Pemidanaan Oleh: Haryadi 1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat

BAB I PENDAHULUAN. (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum pidana, secara fungsional akan melibatkan minimal 3 (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat atau penegak hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun seluruh manusia Indonesia

I. PENDAHULUAN. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun seluruh manusia Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun seluruh manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan perekonomian seluruh rakyat Indonesia pada khususnya. Perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebijakan Kriminal Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena keterbiasaanya terdapat semacam kerancuan atau kebingungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Setelah dilakukan pembahasan dan analisis, disimpulkan bahwa

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Setelah dilakukan pembahasan dan analisis, disimpulkan bahwa BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Setelah dilakukan pembahasan dan analisis, disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas pidana dalam putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni : I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) menentukan secara tegas, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyelenggara pemerintahan mempunyai peran penting dalam tatanan (konstelasi)

I. PENDAHULUAN. Penyelenggara pemerintahan mempunyai peran penting dalam tatanan (konstelasi) 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggara pemerintahan mempunyai peran penting dalam tatanan (konstelasi) ketatanegaraan. Hal ini tersirat dalam Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Singkatnya korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk. semakin melemahkan citra pemerintah di mata masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Singkatnya korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk. semakin melemahkan citra pemerintah di mata masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Kasus Korupsi merupakan musuh bagi setiap Negara di dunia. Korupsi yang telah mengakar akan membawa konsekuensi terhambatnya pembangunan di suatu negara. Singkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Narkotika Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun Ciri dari

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun Ciri dari BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Indonesia adalah negara hukum, yang ketentuannya diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Ciri dari negara hukum adalah

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG- UNDANG TENTANG PERKAWINAN 1

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG- UNDANG TENTANG PERKAWINAN 1 KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG- UNDANG TENTANG PERKAWINAN 1 Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 2 A. PENDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan

I. PENDAHULUAN. pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada masyarakat tersebut, baik itu lembaga di bidang ekonomi, sosial, budaya, teknologi maupun hukum. Untuk meningkatkan

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB IV SIMPULAN A. SIMPULAN

BAB IV SIMPULAN A. SIMPULAN BAB IV SIMPULAN A. SIMPULAN 1. Pengaturan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil tidaklah berbeda dengan penyalahgunaan yang dilakukan oleh masyarakat umum, sesuai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha atau kegiatan untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuannya untuk mencapai kesehatan secara optimal.

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka kehidupan masyarakat tidak lepas dari aturan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. tidak masuk akal atau tidak logika, sehingga tidak dapat. maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

BAB III PENUTUP. tidak masuk akal atau tidak logika, sehingga tidak dapat. maka dapat disimpulkan sebagai berikut: BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan, disparitas pemidanaan tersebut bukanlh merupakan suatu permasalahan hukum apabila dianggap sesuai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan dan Sekitar Penahanan 1. Pengertian Penahanan Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang menyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA ORIENTASI PRINSIP PEMIDAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA ORIENTASI PRINSIP PEMIDAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA ORIENTASI PRINSIP PEMIDAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA MOH. ZAINOL ARIEF Dosen Fakultas Hukum Universitas Wiraraja Sumenep sobarchamim@gmail.com ABSTRAK Pidana dan pemidanaan dalam ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas sebagai hasil penelitian dan pembahasan dalam disertasi ini, maka dapat diajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Penjabaran

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Oleh : Iman Hidayat ABSTRAK Secara yuridis konstitusional, tidak ada hambatan sedikitpun untuk menjadikan hukum adat sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat negatif lainnya yang menyertai

Lebih terperinci

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MEMBERIKAN PUTUSAN BERSYARAT TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A PADANG

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MEMBERIKAN PUTUSAN BERSYARAT TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A PADANG DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MEMBERIKAN PUTUSAN BERSYARAT TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A PADANG (Studi Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kelas I A Padang Perkara Nomor:

Lebih terperinci

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H 1 UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H A. LATAR BELAKANG Pemerintah sangat menjunjung tinggi perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya, sehingga diperlukan pemantapan-pemantapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan internasional, regional dan nasional. Sampai dengan saat ini, penyalahgunaan narkotika di seluruh

Lebih terperinci

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada ketentuan peraturan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang mempunyai akibat buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan saja merugikan keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan 1 Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk FH USI Di satu sisi masih banyak anggapan bahwa penjatuhan pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu usaha untuk mewujudkan tata tertib hukum didalamnya terkandung keadilan, kebenaran dan kesejahteraan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

USU Law Journal, Vol.2.No.3 (Desember 2014)

USU Law Journal, Vol.2.No.3 (Desember 2014) KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI Megawati Madiasa Ablisar, Marlina, Suhaidi (Churumii@yahoo.co.id) ABSTRACT Policy formulation is a criminal sanction in formulating

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Berdasarkan analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada. keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya pidana

BAB III PENUTUP. Berdasarkan analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada. keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya pidana BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya pidana dalam tindak pidana korupsi. Terbukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari sedikitnya hak-hak korban

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci