MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI LAJU PENYEBARAN SULFUR DIOKSIDA (SO 2 ) DAN DEBU DARI KAWASAN INDUSTRI (STUDI KASUS DI KOTA CILEGON) YAYAT RUHIAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI LAJU PENYEBARAN SULFUR DIOKSIDA (SO 2 ) DAN DEBU DARI KAWASAN INDUSTRI (STUDI KASUS DI KOTA CILEGON) YAYAT RUHIAT"

Transkripsi

1 MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI LAJU PENYEBARAN SULFUR DIOKSIDA (SO 2 ) DAN DEBU DARI KAWASAN INDUSTRI (STUDI KASUS DI KOTA CILEGON) YAYAT RUHIAT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI LAJU PENYEBARAN SULFUR DIOKSIDA (SO 2 ) DAN DEBU DARI KAWASAN INDUSTRI (STUDI KASUS DI KOTA CILEGON) Merupakan gagasan atau hasil disertasi saya sendiri, dengan bimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Mei 2009 YAYAT RUHIAT G

3 ABSTRACT YAYAT RUHIAT. Predictive Distribution Model of Dispersion Sulphur dioxide (SO 2 ) and Dust of Industrial Area (Case Study at Cilegon City). Under supervision of Ahmad Bey, Imam Santoso and Leopold Oscar Nelwan. This study aims to examine the characteristics of local air; analyze the concentration of air pollution emitted from factories located in an industrial area; and predict air pollution distribution the city of Cilegon. Several sequential steps of analysis are carried out which include: (1) calculation of high-layer pollutant mixing in the atmosphere (mixing height), (2) analysis of emission of air pollutant from the source point using screen3 model; (3) analysis of distribution of air pollutant from the industrial area using general transport equation of unsteady flow. Based on climatology, Pasquill stability criterian indicate that stability profile in the region ranges from A (very unstable) to E (slightly stable). Pollutant distribution from the industry depends on the height of the chimney. The higher the chimney is, the further the distribution of the pollutant as a result of emission is expected to be. The highest concentration of SO 2 is found in the emission of industry area, with atmosfheric stability class A (very unstable), whereas furthest distance occurred stability E class (slightly stable). The distribution of SO 2 extends towards Tamansari village of Pulomerak District. From 24 sampling points, the highest concentration of 55,75 μg/m 3 occurred in the ASDP Merak. The levels and patterns of air pollutant distribution in the area need to be taken into account, particularly in the interest of protecting public healthlife from the impacts caused by the pollutant. Keywords: Prediction model, Sulphur dioxide (SO 2 ), characteristics of local air, general equation of transport, unsteady flow, and industrial area

4 RINGKASAN YAYAT RUHIAT. Model Prediksi Distribusi Laju Penyebaran Sulfur Dioksida (SO 2 ) dan Debu dari Kawasan Industri (Studi Kasus di Kota Cilegon). Dibimbing oleh Ahmad Bey, Imam Santoso dan Leopold Oscar Nelwan. Di Kota Cilegon telah berdiri industri sebanyak 104 perusahaan besar, yang menyebar di tiga zona kawasan. Zona KS 44 perusahaan, zona Pulomerak 39 perusahaan dan zona Ciwandan 21 perusahaan. Bahan bakar yang digunakan oleh pabrik di kawasan industri tersebut adalah High Speed Diesel, Marine Fuel Oil, Pyrolisis Fuel Oil, solar, residu, bahan bakar gas dan batubara. Bahan bakar dengan kapasitas besar yang digunakan oleh pabrik di kawasan industri adalah batubara. Kapasitas terbesar digunakan oleh Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Suralaya, dengan kisaran ton/jam. Sementara itu tinggi cerobong yang digunakan oleh pabrik bervariasi antara 10 sampai 275 meter. Beragamnya bahan bakar dan tinggi cerobong yang digunakan, diduga akan berimplikasi pada berbagai jenis dan sebaran polutan yang diemisikan. Metode yang digunakan untuk menganalisis emisi polutan di kawasan industri menggunakan model screen3. Sementara itu untuk menduga sebaran polutan dari kawasan industri menggunakan persamaan umum transpor untuk aliran unsteady. Pola sebaran dianalisis dalam periode tiga bulanan. Untuk menjelaskan karakteristik udara Kota Cilegon digunakan data iklim stasiun meteorologi Serang, periode pengamatan Tahun 2001 sampai Tahun Hasil analisis mawar angin menunjukkan pola yang bervariasi antara pagi, siang, sore dan malam hari. Pada bulan Nopember sampai Maret umumnya angin bergerak dari Barat ke Timur, sedangkan pada bulan April sampai Oktober umumnya angin bergerak dari Utara ke Selatan. Sementara itu kemantapan (stabilitas) atmosfer diperoleh bahwa pada pagi, siang, sore dan malam hari mempunyai variasi antara A (sangat tidak stabil) sampai E (agak stabil). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi udara di Kota Cilegon berada antara labil mantap sampai agak stabil, sesuai dengan kriteria kemantapan udara Pasquill. Hasil running model screen3 pada berbagai stabilitas atmosfer menunjukaan bahwa: (1) semakin tinggi cerobong yang digunakan, semakin jauh jarak sebaran dengan konsentrasi sulfur dioksida (SO 2 ) dan debu yang diemisikan semakin kecil; dan (2) konsentrasi tertinggi yang diemisikan dari cerobong terjadi pada stabilitas A (sangat tidak stabil), dengan jarak sebaran minimum, sementara pada stabilita E (agak stabil) konsentrasi yang diemisikan minimum, tapi jarak sebarannya maksimum. Hasil analisis untuk setiap kondisi stabilitas atmosfer menunjukkan bahwa umumnya penyebaran SO 2 dan debu akan terkumpul di sekitar jarak maksimum dari sumber emisi, kemudian akan menyebar dengan konsentrasi yang menurun sampai jarak yang cukup jauh dari sumbernya. Untuk menilai kehandalan model emisi yang telah digunakan, maka hasil dari model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Di kawasan Pulomerak konsentrasi SO 2 yang diemisikan dari UBP Suralaya pada unit-1 sampai unit-4 diperoleh rata-rata hasil model sebesar 304,646 μg/m 3 dengan simpangan baku 312,01. Kemudian dianalisis untuk memperoleh nilai mutlak z-score. Pada unit-1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,183, pada unit-2 diperoleh nilai mutlak z- score sebesar 0,377 pada unit-3 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,492 dan

5 pada unit-4 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 2,203. Kemudian pada unit-5 sampai unit-7 diperoleh rata-rata hasil model sebesar 197,878 μg/m 3 dengan simpangan baku 21,707. Pada unit-5 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,589 pada unit-6 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,079 dan pada unit-7 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,715. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk pencemar SO 2 pada unit-1, unit-2, unit-3, unit-5, unit-6, dan unit-7 aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang dapat diterima (acceptable performance). Sementara itu pada unit-4 aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang diragukan (questionable performance). Untuk kawasan Krakatau Steel konsentrasi SO 2 yang diemisikan sebagai berikut: pada unit BSP diperoleh ratarata hasil model sebesar 5,501 μg/m 3 dengan simpangan baku 2,075 pada unit SSP-1 rata-rata hasil model sebesar 5,419 μg/m 3 dengan simpangan baku 2,085 pada unit SSP-2 rata-rata hasil model sebesar 5,339 μg/m 3 dengan simpangan baku 2,095 pada unit DRP-2 rata-rata hasil model sebesar 56,026 μg/m 3 dengan simpangan baku 20,621 dan pada unit HYL rata-rata hasil model sebesar 146,751 μg/m 3 dengan simpangan baku 29,230. Pada unit BSP diperoleh nilai mutlak z- score sebesar 0,610 pada unit SSP-1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,461 pada SSP-2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,342 pada unit DRP-2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 5,522 dan pada unit HYL diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,435. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk pencemar SO 2 pada unit BSP, unit SSP-1, unit SSP-2, dan unit HYL aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang dapat diterima (acceptable performance). Akan tetapi pada unit DRP-2 aplikasi model termasuk pada ketgori hasil yang diragukan (questionable performance). Hasil verifikasi pada berbagai stabilitas atmosfer menunjukkan bahwa emisi pencemar udara SO 2 hasil pengukuran pada umumnya masih memenuhi kisaran angka yang dihasilkan model. Secara umum hasil analisis sebaran emisi SO 2 di kawasan industri dengan model screen3 termasuk pada kategori hasil yang dapat diterima (acceptable performance). Konsentrasi debu yang diemisikan dari UBP Suralaya pada unit-1 sampai unit-4 diperoleh rata-rata hasil model sebesar 106,980 μg/m 3 dengan simpangan baku 27,446. Pada unit-1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,204 pada unit-2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 3,887 pada unit-3 diperoleh nilai mutlak z- score sebesar 1,781 dan pada unit-4 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 2,182. Kemudian pada unit-5 sampai unit-7 diperoleh rata-rata hasil model sebesar 106,364 μg/m 3 dengan simpangan baku 20,079. Pada unit-5 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 3,415 pada unit-6 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,807 dan pada unit-7 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 5,428. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk pencemar debu pada unit-1, unit-3, dan unit-6 aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang dapat diterima (acceptable performance). Kemudian pada unit unit-4 aplikasi model termasuk pada ketgori hasil yang diragukan (questionable performance), sedangkan pada unit-5 dan unit-7 aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang tidak dapat diterima (unacceptbale performance). Sementara itu konsentrasi debu yang diemisikan dari kawasan Krakatau Steel sebagai berikut: pada unit BSP diperoleh rata-rata hasil model sebesar 26,052 μg/m 3 dengan simpangan baku 9,533 pada pada unit SSP-1 ratarata hasil model sebesar 26,025 μg/m 3 dengan simpangan baku 9,333 pada unit SSP-2 rata-rata hasil model sebesar 25,272 μg/m 3 dengan simpangan baku 9,575 pada unit DRP-2 rata-rata hasil model sebesar 2,566 μg/m 3 dengan simpangan

6 baku 0,956 dan pada unit HYL rata-rata hasil model sebesar 17,382 μg/m 3 dengan simpangan baku 9,399. Pada unit BSP diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 3,154 pada unit SSP-1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 3,351 pada SSP-2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,893 pada unit DRP-2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,906 dan pada unit HYL diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 2,197. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk emisi pencemar debu pada unit SSP-2, dan unit DRP-2 aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang dapat diterima (acceptable performance). Sementara itu pada unit HYL aplikasi model termasuk pada ketgori hasil yang diragukan (questionable performance) dan pada unit BSP dan SSP-1 aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang tidak dapat diterima (unacceptable performance). Secara umum hasil model screen3 untuk emisi debu di kawasan industri termasuk pada kategori hasil yang diragukan (questionable performance). Berdasarkan hal tersebut, maka polutan yang dikaji dengan menggunakan persamaan umum transpor untuk aliran unsteady adalah SO 2. Hasil analisis model berdasarkan arah angin dominan bahwa SO 2 menyebar dari Barat ke Timur sesuai arah angin, konsentrasi tertinggi terjadi di Desa Tamansari Kecamatan Pulomerak. Lokasi yang menunjukkan konsentrasi SO 2 tinggi terjadi di ASDP Merak. Hasil model berada pada kisaran 41,116 51,058 μg/m 3 sedangkan hasil pengukuran sebesar 55,75 μg/m 3. Jarak lokasi tersebut dari UBP Suralaya berkisar 3 km. Sesuai dengan arah penyebaran SO 2 tersebut, maka penduduk di sekitar lokasi ASDP Merak paling berpeluang untuk mengalami gangguan kesehatan. Untuk menilai kehandalan model penyebaran pencemar udara yang telah digunakan, maka hasil dari model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa secara umum konsentrasi SO 2 di 24 titik sampel di Kota Cilegon hasil model selalu lebih kecil dari hasil pengukuran. Perbedaan hasil model dengan hasil pengukuran, disebabkan model hanya memperhitungkan polutan yang diemisikan dari kawasan industri yang memiliki cerobong di atas 40 meter. Polutan yang diemisikan dari kendaraan bermotor pada studi ini tidak diperhitungkan. Hasil pengukuran SO 2 untuk pengukuran 24 jam di semua lokasi secara kualitatif masih jauh berada di bawah baku mutu yang ditetapkan dalam PP 41/1999 sebesar 365 μg/m 3. Kata kunci: kawasan industri, sulfur dioksida, debu, model screen3, persamaan transpor, aliran unsteady

7 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB secara wajar. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI LAJU PENYEBARAN SULFUR DIOKSIDA (SO 2 ) DAN DEBU DARI KAWASAN INDUSTRI (STUDI KASUS DI KOTA CILEGON) YAYAT RUHIAT DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Klimatologi Terapan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

9 Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Zainal Alim Mas ud, DEA Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Sc 2. Dr. Ir. Yadi Suryadi, M.Si

10 Judul Disertasi N a m a NRP : Model Prediksi Distribusi Laju Penyebaran Sulfur Dioksida (SO 2 ) dan Debu dari Kawasan Industri (Studi Kasus di Kota Cilegon) : Yayat Ruhiat : G Disetujui, Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc Ketua Dr. Ir. Imam Santoso, M.S Anggota Dr. Leopold Oscar Nelwan, STP, M.Si Anggota Ketua Program Studi Klimatologi Terapan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: 14 Mei 2009 Tanggal Lulus:

11 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala karunia- Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2005 ini ialah pencemaran udara, dengan judul Model Prediksi Distribusi Laju Penyebaran Sulfur Dioksida (SO 2 ) dan Debu dari Kawasan Industri (Studi kasus di Kota Cilegon). Tiga perempat dari seluruh kegiatan ekonomi Kota Cilegon berbasis pada sektor sekunder, dengan industri pengolahan sebagai penggerak utama. Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Imam Santoso, MS dan Dr. Leopold Oscar Nelwan, STP, M.Si sebagai anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan, arahan, saran dan bantuan sejak dalam persiapan sampai penulisan disertasi ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Klimatologi Terapan, yang telah menerima penulis untuk mengikuti Program S3 pada Program Studi tersebut pada Tahun Selanjutnya terimakasih juga penulis sampaikan kepada Rektor, Dekan FKIP dan Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah memberikan kesempatan kepada penulis, untuk studi lanjut pada program S3. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Bapedalda Banten, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi Kota Cilegon beserta staf dan Kepala Bapeda Cilegon beserta staf, Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika Kabupaten Serang, serta Kepala Pusdiklat Krakatau Steel yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri dan anak serta seluruh keluarga, atas segala do a dan kasih sayangnya. Akhirnya, penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan disertasi ini. Perhatian dan bimbingan serta dorongan yang telah diberikan, sangat berarti bagi penulis. Semoga penelitian ini, menjadi sesuatu yang berguna. Bogor, Mei 2009 Yayat Ruhiat

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Cikalong Kecamatan Cikalong Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 11 Agustus 1964 sebagai anak ketujuh dari ayah bernama Rukandi dan ibu bernama Urminah. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan pendidikan Fisika, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah Jakarta, lulus pada Tahun Pada Tahun 1998, penulis mengikuti pendidikan pra S2 selama satu tahun dan diterima sebagai mahasiswa S2 Fisika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia dan memperoleh gelas Magister Sains (MSi) pada Tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke progam doktor pada program studi Agroklimatologi (sekarang: Klimatologi Terapan) Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh Tahun 2004 dan menamatkannya pada Tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada jurusan pendidikan Fisika IKIP Muhammadiyah Jakarta (sekarang Universitas Muhammadiyah Hamka) sejak Tahun Pada Tahun 2002 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada program studi Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). Artikel berjudul karakteristik udara di Kota Cilegon telah diterbitkan pada jurnal penelitian ilmu-ilmu sosial dan eksakta Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Untirta pada Tahun Artikel lain berjudul prediksi sebaran pencemar udara di Kota Cilegon diterbitkan pada jurnal Sains Indonesia FMIPA UI pada Tahun Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xvii I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Luaran Penelitian Kebaruan (novelty) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer Pencemar Udara Partikulat Senyawa Sulfur Sumber Pencemar Udara Pencemaran Udara Penyebaran Pencemar Udara Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan Stabilitas Atmosfer Turbulensi Sirkulasi Angin Lokal Kondisi Topografi Model Prediksi Model Dispersi Sistem Peramalan Kualitas Udara Pengembangan Model Aplikasi Model untuk Mengevaluasi Konsentrasi Polutan. 34 III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Prosedur Penelitian Data dan Peralatan Pengumpulan Data.. 41

14 3.3.2 Data dan Software Data dan Informasi Pendukung Analisa Data Analisis Karakteristik cuaca di Kota Cilegon Analisis Sebaran Polutan di Kawasan Industri Prediksi Sebaran Polutan pada suatu Wilayah Pemantauan Kualitas Udara Pembandingan Hasil Program dengan Hasil Pengukuran.. 51 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Cuaca di Kota Cilegon Pencemaran Udara di Kawasan Industri Kawasan Industri Aplikasi Model Screen Sebaran Polutan di Kawasan Industri Hasil Pengukuran Emisi di Kawasan Industri Iklim Emisi Pencemar Udara Validasi Model Emisi Prediksi Sebaran Polutan di Kota Cilegon Pemecahan Model Prediksi Aplikasi Model di Kota Cilegon Sebaran SO 2 di Kota Cilegon Prediksi Sebaran SO 2 di Kota Cilegon Validasi Model Sebaran SO Laju Penyebaran SO 2 di Kota Cilegon V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 120

15 DAFTAR TABEL Halaman Gas-gas tidak tetap dalam atmosfer Susunan gas di atmosfer pada suhu dan tekanan udara baku... Jenis industri dan bahan pencemar udara yang diemisikan... Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia Ukuran cerobong pabrik pengolahan besi dan peleburan baja di PT Krakatau Steel. Kondisi stabilitas berdasarkan Richardson Number (Ri)... Nilai p untuk model profil angin sebagai pengaruh kekasapan permukaan... Hubungan antara parameter n dengan kondisi stabilitas atmosfer... Jenis dan macam data yang diperlukan... Kondisi atmosfer dalam berbagai stabilitas... Hubungan antara kondisi stabilitas dan nilai konstanta n... Nama pabrik yang menyebarkan polutan di kawasan industri... Variasi suhu tahunan... Kemantapan udara (stabilitas) Pasquill... Ketinggian lapisan pencampuran... Data iklim Kota Cilegon. Jenis dan alokasi pemakaian bahan bakar... Jarak sebaran SO 2 dan Debu dengan konsentrasi maksimum di zona Pulomerak... Jarak sebaran SO 2 dan Debu dengan konsentrasi maksimum di zona KS... Jarak sebaran SO 2 dan Debu dengan konsentrasi maksimum di zona Ciwandan... Hasil pengukuran iklim mikro di sekitar UBP Suralaya... Hasil pengukuran SO 2 di cerobong UBP Suralaya... Hasil pengukuran emisi debu di cerobong UBP Suralaya... Hasil pengukuran emisi SO 2 di lokasi PT KS

16 Hasil pengukuran emisi debu di lokasi PT KS... Hasil pengukuran dan model emisi SO 2 dan Debu di UBP Suralaya Hasil pengukuran dan model emisi SO 2 dan Debu di PT KS. Angka hasil pendugaan menurut model screen3 dan pengukuran di UBP Suralaya... Difusivitas SO 2 terhadap udara.. Hasil pengukuran dan model sebaran SO 2 di Kota Cilegon... Penggunaan lahan di Kota Cilegon... Luas daerah dan pembagian wilayah... Pabrik di kawasan industri Cilegon DAFTAR GAMBAR Halaman Kerangka pemikiran model prediksi... Konsentrasi TSP dan PM 10 dan Debu. Konsentrasi SO 2 di Kota Cilegon... Stabilitas atmosfer ditinjau dari laju penurunan suhu... Sketsa aliran turbulen di atas permukaan yang halus Pola dispersi pada permukaan Profil kecepatan angin di permukaan kota Model penyebaran polutan dari sumber titik berdasar sebaran Gauss Wilayah studi... Diagram alir prosedur penelitian... Lokasi pengukuran pencemar udara... Mawar angin (windrose) Cilegon Bentuk cerobong. Model input data pada model screen3... Konsentrasi maksimum SO 2 sebagai fungsi jarak... Contour sebaran SO 2 dari kawasan industri... Hasil pengukuran emisi SO 2 di Cerobong UBP Suralaya... Hasil pengukuran emisi Debu di Cerobong UBP Suralaya... Hasil pengukuran emisi SO 2 di PT KS

17 Hasil pengukuran dan model di PLTU Suralaya... Hasil pengukuran dan model di PT KS... Volume kontrol sekitar node p... Sebaran SO 2 dan Debu pada 24 titik sampel di Kota Cilegon periode Interval konsentrasi SO 2 pada 24 titik sampel di Kota Cilegon periode Grid Kota Cilegon... Sebaran SO 2 hasil model dan hasil pengukuran di 24 titik sampel pada kecepatan angin 1 3 m/s... Sebaran SO 2 di Kota Cilegon... Perbedaan hasil model dan hasil pengukuran... Sebaran SO 2 pada periode tiga bulanan saat ada sumber dan tidak ada sumber dengan kecepatan angin 2,5 m/s... Pola sebaran SO 2 di Kota Cilegon... Sebaran SO 2 dari kawasan industri... Sebaran debu dari kawasan industri Sebaran SO 2 di Kota Cilegon pada berbagai stabilitas atmosfer (skenario ada sumber)

18 DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG Singkatan Nama Pemakaian pertama kali pada halaman PT Perusahaan Terbatas... 1 KS Krakatau Steel. 1 BUMN Badan Usaha Milik Negara. 1 DLHPE Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi 1 UKMO United Kingdom Meteorological Office... 2 UMPL Unifed Model for Poland Area... 2 ISCST3 Industrial Source Complex Short-Term HSD High Speed Diesel.. 2 MFO Marine Fuel Oil... 2 PFO Pyrolisis Fuel Oil 2 UBP Unit Bisnis Pembangkitan.. 2 PT-RMS Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer... 6 AGL Above Ground Level... 6 KLH Kementrian Lingkungan Hidup.. 8 BAPEDALDA Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah 9 PP Peraturan Pemerintah.. 11 WHO World Health Organization 12 GEP Good Engineering Practice. 16 PLTU Pembangkit Listrik Tenaga Uap. 16 CFD Computational Fluid Dynamic EDLA Evaluasi Dosis Lepasan Atmosfir OSPM Operational Street Pollution Model RASS Radio Acoustic Sounding Sistem ELR Environmental Lapse Rate.. 20 IBL Internal Boundary Layer. 24 NSW-EPA New South Wales Environment Protection Authority 28 TAPM The Air Pollutan Model IOA Index of Agreement SIP Strongly-Implicit-Procedure EPAV Environment Authority of Victoria 30 FVM Finit Volum Method PGT Pasquill-Gifford-Turner.. 36 PTM Pasquill-Turner Method US-EPA United States-Environmental Protection Agency DAUMOD The Atmospheric Dispersion Model HILA High Level Architecture... 37

19 DALI Distributed Spatial-temporal Interoperability architecuture BPN Badan Pertanahan Nasional 39 BMG Badan Meteorologi dan Geofisika. 40 TDMA Tri-Diagonal Matrix Algorithm.. 48 KDL Krakatau Daya Listrik. 56 BBG Bahan Bakar Gas 58 CEM Continuous Emitions Monitoring SSP Steel Slab Plant DRP Direct Reduction Plant 59 BSP Billet Steel Plant. 59 WRM Wire Rod Mill. 59 HSM Hot Strip Mill.. 59 PGI Perusahaan Gas Indonesia.. 60 CRM Cold Rolling Mill 60 KWH Kilowatt hour.. 60 Lambang Nama Pemakaian pertama kali pada halaman SO 2 Sulfur dioksida... 1 CO Karbon monoksida. 1 NO 2 Nitrogen dioksida... 1 Pb Timbal 1 H 2 O Air... 6 CO 2 Karbon dioksida. 6 O 3 Ozon... 6 NH 3 Ammonia... 7 H 2 S Hidrogen sulfur... 7 N 2 Nitrogen. 7 O 2 Oksigen... 7 Ar Argon. 7 Ne Neon... 7 He Helium... 7 Kr Kripton... 7 H Hidrogen 7 CH 4 Metana... 7 NOx Oksida nitrogen... 7 PM 10 Partikulat Mater 10 mikro.. 8

20 PM 2,5 Partikulat Mater 2,5 mikro. 8 TSP Total Suspended Particulate... 8 SOx Oksida sulfur... 9 NOx Nitrogen oksida.. 12 CO-Hb Karboksi-hemoglobin u Kecepatan angin z Ketinggian p Fungsi stabilitas atmosfer Ф Konsentrasi pencemar 32 τ Tensor tegangan viskositas 32 μ Viskositas dinamik. 33 ρ Kerapatan udara. 33 g Percepatan gravitasi v Viskositas kinematis. 33 C Konsentrasi polutan Q Jumlah emisi σ y, σ z Parameter penyebaran plume u z Kecepatan angin pada ketinggian z Г Difusivitas pencemar p Tekanan di suatu tempat p c Tekanan kritis pencemar T Temperatur di suatu tempat Tc Temperatur kritis z z-score V R Nilai referensi Vs Nilai hasil simulasi U Nilai penyimpangan yang diterima Sh Simpangan baku n Jumlah nilai hasil simulasi DAFTAR LAPMPIRAN Halaman Wilayah dan Kawasan Industri Kota Cilegon Analisis Distribusi Laju Penyebaran Pencemar Udara Hasil Running Screen Sebaran SO 2 di Kota Cilegon. 134

21 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas industri dapat memberikan kontribusi kenaikan kadar polutan, seperti gas dan partikulat ke dalam lingkungan udara atmosfer sehingga dapat menurunkan mutu udara ambien. Peningkatan aktivitas industri akan diikuti dengan peningkatan penggunaan bahan bakar, misalnya batubara, minyak bumi ataupun sumber energi lainnya. Beragamnya penggunaan bahan bakar yang digunakan, akan berimplikasi pada jenis penyebaran pencemar udara. Cilegon dikenal sebagai kota baja karena di wilayah ini berdiri PT Krakatau Steel (KS), yang merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pengolah baja terbesar di Indonesia. Lahan yang digunakan untuk industri seluas km 2. Di atas lahan tersebut, telah berdiri industri sebanyak 104 perusahaan besar, yang menyebar di tiga zona kawasan. Zona KS 44 perusahaan, zona Pulomerak 39 perusahaan dan zona Ciwandan 21 perusahaan (Data Kota Cilegon, 2004). Masing-masing industri tersebut, menggunakan bahan bakar dan tinggi cerobong yang berbeda. Banyaknya industri dengan berbagai penggunaan bahan bakar dan tinggi cerobong yang berbeda, akan berimplikasi pada berbagai jenis dan sebaran polutan yang menyebar di Kota Cilegon. Berdasarkan hasil pengujian udara emisi, yang dilakukan di beberapa pabrik di kawasan industri serta hasil analisis udara ambien di beberapa tempat di wilayah Kota Cilegon, yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi (DLHPE) diketahui bahwa jenis pencemar udara yang menyebar adalah: nitrogen dioksida (NO 2 ), partikel/debu, sulfur dioksida (SO 2 ), karbon monoksida (CO), hidrokarbon, dan timbal (Pb). Upaya untuk mengetahui konsentrasi polutan, dilakukan pengukuran secara periodik pada setiap titik sampel, sedangkan untuk menduga penyebarannya dilakukan dengan model. Model yang dibuat berkaitan dengan penyebaran pencemar udara, merupakan suatu upaya untuk memberikan masukan sekaligus informasi dini mengenai penyebaran pencemar udara pada suatu area. Osrodka, Wojtylak dan Krajny (2001) membuat model prakiraan polusi udara dari industri dan prakiraan cuaca secara numerik. Model untuk prakiraan polusi udara 1

22 2 dibangun dengan menggunakan UKMO (United Kingdom Meteorological Office), sedangkan prakiraan cuaca menggunakan UMPL (Unifed Model for Poland Area). Model tersebut diaplikasikan untuk memprakirakan sebaran SO 2 dan particulate matter periode pada 24 titik sampel. Hasil penelitian menunjukkan selama pengukuran 24 jam, nilai hasil model berada pada kisaran hasil pengukuran. Berkaitan dengan penyebaran polutan dari kawasan industri Cilegon, Raharjo (1999) melakukan penelitian di PT Krakatau Steel, untuk memprediksi penyebaran SO 2 dari beberapa sumber. Model yang digunakan menerapkan program ISCST3 (Industrial Source Complex Short Term3). Untuk menduga sebaran polutan di Kota Cilegon, pada kajian ini menggunakan model dispersi untuk aliran unsteady. Model ini dibangun untuk menganalisis sebaran pencemar udara dari kawasan industri. Emisi polutan dari cerobong pabrik dianalisis dengan menggunakan model screen3. Sementara itu analisis angin dominan menggunakan program WrPlot. Pemilihan Kota Cilegon sebagai wilayah kajian untuk aplikasi model, didasarkan pada luasnya kawasan industri di kota tersebut. Secara geografis Kota Cilegon berbatasan dengan laut, hal ini akan berimplikasi pada karakteristik cuaca, sehingga diasumsikan akan berdampak pada pola penyebaran pencemar udara di wilayah tersebut. 1.2 Kerangka Pemikiran Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada sub-bab latar belakang, disusunlah kerangka pemikiran kajian model prediksi distribusi penyebaran pencemar udara seperti yang disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa banyaknya industri dengan berbagai bahan bakar dan tinggi cerobong, akan berimplikasi pada jenis polutan dan jarak sebaran. Proses penyebaran polutan pada suatu wilayah, dipengaruhi oleh stabilitas atmosfer daerah setempat. Bahan bakar yang digunakan oleh pabrik di kawasan industri Cilegon terdiri dari High Speed Diesel (HSD), Marine Fuel Oil (MFO), Pyrolisis Fuel Oil (PFO), solar, residu, Bahan Bakar Gas (BBG) dan batubara. Bahan bakar dengan kapasitas besar yang digunakan oleh pabrik di kawasan industri adalah batubara. Bahan bakar tersebut digunakan oleh Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Suralaya,

23 3 dengan kapasitas pemakaian pada unit 1 sampai 4 masing-masing sebesar 170 ton/jam, sedangkan pada unit 5 sampai 7 masing-masing sebesar 255 ton/jam. Berdasarkan besarnya pemakaian bahan bakar batubara oleh pabrik di kawasan industri, maka polutan yang dikaji dalam penelitian ini adalah SO 2 dan debu. Tinggi cerobong yang digunakan oleh pabrik di kawasan industri Cilegon bervariasi antara 10 sampai 275 meter. UBP Suralaya pada unit 1 sampai 4 menggunakan cerobong masing-masing tingginya 200 meter, sedangkan pada unit 5 sampai 7 masing-masing tingginya 275 meter. Tingginya cerobong yang digunakan, diduga sebaran SO 2 dan debu menyebar ke luar kawasan industri. Aplikasi model untuk menganalisis emisi SO 2 dan debu pada setiap pabrik di kawasan industri menggunakan model screen3, sedangkan untuk menganalisis sebaran polutan di Kota Cilegon menggunakan persamaan umum transpor untuk aliran unsteady. Dalam aplikasi model untuk aliran unsteady, didasarkan pada hasil running model screen3, difusivitas pencemar serta arah angin dominan. Gambar 1. Kerangka pemikiran model prediksi Untuk memprediksi penyebaran SO 2 dan debu di Kota Cilegon akan diperoleh melalui studi ini. Beberapa permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimana mendapatkan karakteristik udara lokal, karena akan berimplikasi pada pola penyebaran SO 2 dan debu; (2) bagaimana sebaran SO 2 dan debu yang diemisikan oleh pabrik di kawasan industri;

24 4 (3) bagaimana mendapatkan laju penyebaran SO 2 dan debu di Kota Cilegon. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, disusun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Memahami karakteristik udara lokal di Kota Cilegon, yaitu ciri-ciri cuaca dan iklim yang meliputi pola pergerakan angin dominan, dan stabilitas atmosfer; 2. Mendapatkan konsentrasi SO 2 dan debu di kawasan industri yang bersumber dari emisi pabrik, berdasarkan stabilitas atmosfer; 3. Mengestimasi konsentrasi SO 2 dan debu pada suatu wilayah di Kota Cilegon dengan menggunakan model. 1.4 Luaran Penelitian Adapun output atau luaran yang diharapkan dari penelitian dengan tema model prediksi distribusi laju penyebaran SO 2 dan debu dari kawasan industri di Kota Cilegon, antara lain: 1. Memberikan informasi ciri-ciri cuaca, pola pergerakan angin serta stabilitas atmosfer di Kota Cilegon 2. Memberikan informasi potensi besarnya konsentrasi SO 2 dan debu yang diemisikan oleh pabrik di kawasan industri 3. Masukan bagi pengambil kebijakan dan instansi terkait dalam pengendalian pencemaran udara di Kota Cilegon 1.5 Kebaruan (novelty) Ada tiga hal sebagai unsur kebaruan (novelty) dalam penelitian ini, sebagai berikut: (1) dapat diketahui jarak dan konsentrasi SO 2 dan debu yang diemisikan dari kawasan industri Cilegon pada berbagai stabilitas atmosfer

25 5 (2) dapat mengestimasi konsentrasi SO 2 dan debu dalam periode tiga bulanan di suatu wilayah di Kota Cilegon yang diemisikan dari kawasan industri (3) upaya memberikan informasi dini besarnya konsentrasi SO 2 dan debu pada suatu wilayah di Kota Cilegon, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah untuk pengendalian. Ketiga hal tersebut diharapkan sedikitnya menyumbang informasi bagi berbagai pihak terutama bagi DLHPE Kota Cilegon.

26 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer Secara alami atmosfer terdiri dari berbagai gas, jumlahnya ada yang tetap dari waktu ke waktu dan ada yang berfluktuasi, karena adanya masukan yang berasal dari berbagai aktivitas makhluk hidup di permukaan bumi. Fungsi atmosfer adalah untuk mencegah pemanasan dan pendinginan permukaan bumi yang berlebihan dan menyediakan gas-gas tertentu bagi organisme. Atmosfer sendiri merupakan suatu medium yang sangat dinamik, ditandai dengan kemampuan-kemampuan sebagai: penyebaran (dispersion), pengenceran (dilutions), difusi (antar molekul gas atau partikel/aerosol) dan transformasi fisikkimia dalam proses dan mekanisme kinetik atmosferik. Pergerakan dan dinamika serta kimia atmosferik, merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan keberadaan pencemar udara setelah diemisikan dari sumbernya. Schnitzhofer et.al. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampuran polutan terjadi sampai di atas 100 m AGL (above ground level). Pada ground level meningkat karena kesetimbangan radiasi, kemudian polutan meningkat karena inversi dan pengenceran. Dalam atmosfer dari permukaan bumi hingga ketinggian km berbagai gas berada secara tetap dalam bentuk campuran, kecuali pada saat perubahan kecil selama periode yang pendek dan pada wilayah di luar batas ketinggian tersebut. Sementara itu kadar gas di atmosfer yang bersifat tidak tetap, selengkapnya ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Gas-gas tidak tetap dalam atmosfer Gas Persentase Volume Air (H 2 O) 0 7 Karbon dioksida (CO 2 ) 0,01 0,1 (rata-rata = 0,032) Ozon (O 3 ) 0 0,1 (pada ketinggian km) Sulfur dioksida (SO 2 ) 0 0,0001 Nitrogen dioksida (NO 2 ) 0 0,00002 Sumber: Anon (1971) Ada empat macam gas terbanyak di udara yakni: nitrogen (78,08%), oksigen (20,94%), argon (0,90%) dan karbondioksida (0,03%). Di samping 6

27 7 keempat gas tersebut, udara mengandung gas-gas lain dalam jumlah yang sangat kecil, di antaranya ada yang merupakan pencemar udara yaitu: NH 3, SO 2, CO dan H 2 S, selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Susunan gas di atmosfer pada suhu dan tekanan udara baku Jenis Gas Nitrogen Oksigen Argon Karbon dioksida Neon Helium Kripton Hidrogen Ozon Metana Oksida nitrogen Sulfur dioksida Ammonia Karbon monoksida Hidrogen Sulfur Simbol N 2 O 2 Ar CO 2 Ne He Kr H O 3 CH 4 NO x SO 2 NH 3 CO H 2 S Volume (%) Kandungan (μg/nm 3 ) A B C 78,80 20,94 0,93 0,03 9,75 x ,99 x ,60 x ,90 x ,60 x Sumber: A dan B : Barry and Chorly (1968); Gordon et al (1998), di troposfer sampai ketinggian 25 km C : Bowen (1979), sampai ketinggian 100 m Suhu baku adalah 25 o C, tekanan udara baku adalah 1 atmosfer 2.2 Pencemar Udara Pencemar udara adalah substansi di atmosfer yang pada kondisi tertentu akan membahayakan manusia, hewan, tanaman atau kehidupan mikroba atau bahan bangunan (Oke, 1978). Pencemar udara dapat dikelompokkan berdasar caranya menjadi polutan, yaitu polutan primer dan polutan sekunder, dapat juga berdasarkan jumlah yang dihasilkan yaitu pencemar mayor dan pencemar minor, berdasarkan bentuk fisik yaitu gas, cair dan padat (partikel). Pencemar udara dihasilkan oleh alam dan juga terutama oleh kegiatan manusia (man-made pollution). Pencemar udara yang disebabkan oleh kegiatan manusia terutama merupakan hasil dari kegiatan transportasi, industri dan urbanisasi. Stafilov, Bojkovska dan Hirao (2003) mengukur konsentrasi CO, SO 2, NO, NO 2, suspensi particulate matter (SPM), dan O 3 pada waktu yang bersamaan dengan parameter

28 8 meteorologi yang berbeda pada empat stasiun di Skopje Macedonia. Konsentrasi polutan mayor (SO 2, NO 2, CO dan SPM) meningkat selama proses pemanasan. Konsentrasi tinggi disebabkan oleh gabungan polutan karena pemanasan, kondisi geograpi dan kondisi meteorologi. Pencemar udara yang dihasilkan dari industri berbeda-beda, tergantung pada bahan bakar yang digunakan oleh industri tersebut. Pemakaian bahan bakar sebagai sumber energi dalam menunjang proses industri masih sangat mendominasi kegiatan industri di Indonesia, akibat belum mencukupinya energi listrik yang ada. Pemakaian bahan bakar fosil akan memberikan emisi pencemar udara konservatif, yang meliputi CO, hidrokarbon, NOx, partikulat (total tersuspensi), dan SOx. Unsur-unsur ini dapat menjadi indikator utama pencemaran udara, di samping oksidan photokimia yang terbentuk akibat adanya unsur-unsur prekursor (hidrokarbon dan NOx) yang bereaksi dengan adanya sinar ultra violet. Kawasan industri Kota Cilegon terdapat berbagai macam pabrik pengolahan dengan berbagai produk yang berbeda-beda. Pelbagai pabrik di kawasan industri tersebut, dapat digolongkan menjadi empat jenis dengan berbagai pencemar udara yang diemisikan, selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis industri dan bahan pencemar udara yang diemisikan Jenis Industri Pencemar yang dihasilkan Industri besi dan baja debu, senyawa fluorida dan SO 2 Industri kayu lapis padatan tersuspensi, fenol dan asam resin Industri kimia tergantung jenis industri kimia, misalnya HCl, Cl 2, NO 2, NH 3, hidrokarbon aromatik, pestisida dan lain-lain Industri logam dan pengecoran logam SO 2, sulfida, klor, HCl dan debu Sumber: Hartogensis (1977); Winarso (1991); Strauss dan Mainwaring (1994) Partikulat Secara fisik untuk penentuan kualitas udara ambien, partikulat dikelompokkan menjadi PM 10 yaitu partikulat dengan ukuran <10 μm, PM 2,5 yaitu partikulat dengan ukuran <2,5 μm, dan TSP (Total Suspended Particulate) yaitu partikulat tersuspensi (KLH, 2002). Secara kimia partikel dapat dikelompokkan

29 9 menjadi partikel anorganik dan fly ash (sisa debu dari sistem cerobong industri yang menggunakan bahan bakar fosil). Partikel yang lebih halus, PM 10 dan khususnya PM 2,5 yang ultra-halus, adalah yang paling berbahaya. Pada udara ambien, partikel biasanya ada dengan sejumlah zat pencemar lain. Nakaguchi et.al. (2005) melakukan penelitian distribusi partikulat di atmosfer selama 9 bulan di Osaka Jepang. Partikulat yang diteliti PM-1 (> 10 μm), PM-2 (10 2,5 μm) dan PM-3 (< 2,5 μm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio total PM selama 9 bulan adalah 0,880 ± 0,011 untuk 207/206 Pb 2,137 ± 0,033 untuk 208/206 Pb dan 0,413 ± 0,007 untuk 207/208 Pb. Terdapat hubungan yang signifikan antara rasio PM-1 dengan 207/206 Pb dan 208/206 Pb dalam PM-1 dan PM-2. Berdasarkan hasil pengukuran Badan pengendalian dampak lingkungan (Bapedal) Indonesia (2000) konsentrasi TSP mulai Tahun 1996 sampai Tahun 1998 di sebagian besar kota-kota Indonesia meningkat dengan cepat. Konsentrasi TSP tertinggi terjadi di kota Ujung Pandang Tahun Sementara itu hasil pengukuran Bapedalda Jakarta (2002) menunjukkan bahwa PM 10 selama Tahun 2001 terjadi sangat tinggi pada bulan Juni September. Berkaitan dengan sebaran partikulat dari kawasan industri, Bapedalda Banten (2002) menganalisis jarak sebaran partikulat dari sumber Cilegon yang jatuh pada permukaan tanah adalah meter dengan konsentrasi sebesar 34,95 μg/m 3. Jarak sebaran partikulat dari sumber Serang adalah 5008 meter dengan konsentrasi sebesar 6,9 μg/m 3. Jarak sebaran tersebut terjadi pada stabilitas atmosfer E (agak stabil). Sementara itu hasil pemantauan udara ambien pada 24 titik sampel yang dilakukan DLHPE Kota Cilegon (2005) dengan baku mutu 230 μg/m 3, menunjukkan bahwa debu yang melebihi baku mutu terjadi pada 9 titik sampel, tertinggi terjadi di lokasi kantor Bea Cukai dengan konsentrasi sebesar 514 μg/m 3. Selengkapnya ditampilkan pada Gambar Senyawa Sulfur Menurut Seinfeld (1986), sumber senyawa sulfur di atmosfer adalah penghancuran secara biologi, pembakaran bahan bakar fosil dan bahan bakar organik, percikan air laut serta industri peleburan logam. Sulfur terutama terlepas dalam bentuk SO 2, selanjutnya teroksidasi menjadi SO 3, kedua senyawa tersebut dikenal sebagai oksida sulfur (SOx). SO 2 bersifat larut dalam air dan dapat

30 10 mengiritasi mata, kulit, selaput lendir dan sistem pernafasan serta pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kematian. Jika membentuk kabut (haze) dari reaksi fotokimia aerosol, SO 2, oksida nitrogen dan hidrokarbon di atmosfer. Senyawa sulfur dapat menurunkan jarak pandang, jika bereaksi dengan air hujan akan meningkatkan keasaman air hujan yang dapat menyebabkan asidifikasi sumber air serta penurunan unsur hara tanah, juga menyebabkan korosi logam dan bahan bangunan lain. Emisi sulfur dioksida terutama timbul dari pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung sulfur terutama batubara yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik atau pemanasan rumah tangga. 600 Konsentrasi ( u g /m Konsentrasi (ug/m3) Baku Mutu (ug/m3) Lokasi Pengukuran a) Rata-rata Konsentrasi b) Konsentrasi PM 10 c) Konsentrasi debu di Kota TSP Tahunan di Indonesia di Jakarta, 2001 Cilegon, 2005 Gambar 2. Konsentrasi TSP, PM 10 dan debu Sulfur dioksida (SO 2 ) adalah gas yang tidak berwarna, memedihkan mata (irritating), mudah larut dalam air dan reaktif. Gas yang berbau tajam tapi tak bewarna ini dapat menimbulkan serangan asma, gas ini menetap di udara, bereaksi dan membentuk partikel-partikel halus dan zat asam. Gas ini dibentuk pada saat bahan bakar (minyak dan batubara) yang mengandung sulfur dibakar, terutama dari kegiatan industri. SO 2 dapat mematikan dan menghambat pertumbuhan pepohonan, hasil produksi pertanian dapat merosot, hutan-hutan menjadi kurang produktif sehingga akan mengurangi peranan hutan sebagai tempat rekreasi dan keindahan. Pada manusia dapat menimbulkan efek iritasi pada saluran nafas sehingga menimbulkan gejala batuk dan sesak nafas. SO 2 dihasilkan oleh kendaraan bermotor dan industri, dan dapat menyebabkan hujan asam. Penyumbang pencemar SO 2 terbesar adalah industri (76%) diikuti dengan transportasi (15%). Perkiraan besarnya emisi SO 2 yang berasal dari kendaraan

31 11 bermotor menurut Bapedal (2001) pada Tahun 1999, 2000 dan 2001 secara berurutan adalah ,7 ton/tahun; ton/tahun; ,9 ton/tahun. Tasic et.al. (2007) mengimplementasikan sistem monitoring kualitas udara, untuk mengestimasi konsentrasi SO 2 dengan menggunakan TScreen. Hasil model untuk waktu rata-rata 1 jam pada 8 titik sampel menunjukkan adanya hubungan antara tingkat emisi dengan konsentrasi SO 2. Berkaitan dengan sebaran SO 2 di Kota Cilegon, DLHPE Tahun 2005 melakukan pemantauan udara ambien pada 24 titik sampel. Hasil pemantauan dengan baku mutu 365 μg/m 3, menunjukkan bahwa SO 2 tertinggi terjadi di lokasi depan PENI Desa Gerem Kecamatan Grogol dengan konsentrasi sebesar 15,12 μg/m 3. Selengkapnya disajikan pada Gambar 3. Konsentrasi Gambar 3. Konsentrasi SO2 di 24 titik sampel SO2 Lokasi pemnantauan Kelapa Tujuh Kantor Bea Cukai ASDP Merak Pasar Merak Depan PENI Cikuasa Baru Cikuasa Lama Kruwuk Sumur Wuluh (Jalan Tol) Pabuaran Lor Komp, Arga Baja Pura Polres Palem Hills Perum KS Telkom Warnasari Semangraya Nirmala Optik Pelindo Ramayana PCI Randakari KBS/Sebrang rel Pengabuan Cilodan 2.3 Sumber Pencemar Udara Pencemaran udara terjadi akibat dilepaskannya zat pencemar dari berbagai sumber ke udara. Sumber-sumber pencemar udara dapat bersifat alami maupun antropogenik (aktivitas manusia). Peraturan Pemeritah (PP) mengenai pengelolaan udara yang saat ini berlaku di Indonesia yaitu PP No. 41/1999 mendefinisikan sumber pencemar sebagai setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak berfungsi sebagaimana mestinya. PP ini kemudian menggolongkan sumber pencemar atas lima kelompok, yaitu: (1) sumber bergerak, sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor; (2) sumber bergerak spesifik, serupa dengan sumber bergerak namun berasal dari kereta api, pesawat terbang,

32 12 kapal laut dan kendaraan berat lainnya; (3) sumber tidak bergerak, sumber emisi yang tetap pada suatu tempat; (4) sumber tidak bergerak spesifik, serupa dengan sumber tidak bergerak namun berasal dari kebakaran hutan dan pembakaran sampah; dan (5) sumber gangguan, sumber pencemar yang menggunakan media udara atau padat untuk penyebarannya. Sumber ini terdiri dari kebisingan, getaran, dan kebauan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan sumber pencemar atas sumber tidak bergerak, sumber bergerak dan sumber dalam ruangan. Di kotakota Besar di Indonesia, sumber bergerak telah mendominasi emisi pencemar udara. Di Jakarta misalnya, kendaraan bermotor telah menyumbangkan 70 % dari pencemar PM 10 dan NOx Tahun Faktor yang mempengaruhi tingginya pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah pesatnya pertambahan jumlah kendaraan bermotor, rendahnya kualitas bahan bakar minyak dan masih digunakannya jenis bahan bakar minyak mengandung Pb, penggunaan teknologi lama (sistem pembakaran) pada sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia dan minimnya budaya perawatan kendaraan secara teratur. Sumber pencemar udara dari sumber tidak bergerak terdiri dari industri, rumah tangga, dan kebakaran hutan. Sektor industri merupakan penyumbang pencemaran udara setelah kendaraan bermotor, melalui penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit tenaga. Penggunaan bahan bakar fosil dan kayu di rumah tangga ikut menyumbang pencemaran udara dari sumber tidak bergerak meskipun tidak sebesar kontribusi pencemaran industri. Kemudian asap pekat dari kebakaran hutan menjadi bahan pencemar udara. Hasil dari proses pembakaran, di dalam asap terkandung campuran gas-gas dan partikel-partikel yang mengancam kesehatan manusia dan menambah jumlah gas rumah kaca di atmosfer. Produksi energi, pengangkutan, konversi serta rumah tangga, industri dan penggunaan kendaraan bermotor, merupakan penyumbang antropogenik utama kepada polusi udara. Bahan-bahan pencemar utama yang penting adalah timbal, partikel halus, karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), hidrokarbon, sulfur dioksida (SO 2 ), dan karbon diokida (CO 2 ). Menurut Novontny dan Chlesters (1981) sumber polusi udara global adalah: a. Emisi dari kota dan industri: pembangkit energi, industri dan domestik;

33 13 b. Emisi dari pertanian dan hutan: erosi tanah oleh angin, slash burning dari kebakaran hutan, komponen pupuk dan pestisida yang terbawa erosi angin, dekomposisi limbah pertanian dan peternakan; c. Emisi yang terjadi secara alami dalam skala global: tiupan debu dari daerah kering dan gurun, kebakaran hutan, semak dan rumput, letusan gunung berapi, emisi hidrokarbon dari hutan dan aktivitas budidaya hutan, percikan air laut, serta evaporasi dari tubuh air. 2.4 Pencemaran Udara Pencemaran udara dapat diartikan sebagai adanya satu atau lebih pencemar yang masuk ke dalam udara atmosfer yang terbuka, yang dapat berbentuk sebagai debu, uap, gas, kabut, bau, asap, atau embun yang dicirikan bentuk jumlahnya, sifatnya dan lamanya. Pencemaran udara dibataskan sebagai menurunnya kualitas udara sehingga akibatnya akan mempengaruhi kesehatan manusia yang menghirupnya. Salah satu faktor penyebab meningkatnya pencemaran udara adalah semakin meningkatnya populasi penduduk di suatu tempat, terutama di Kota-kota Besar. Kegiatan transportasi, industri dan aktivitas penduduk menjadi sumber pencemaran udara. Miller (1979) membagi bahan pencemar udara menjadi: karbon oksida (CO, CO 2 ), sulfur oksida (SO 2, SO 3 ), nitrogen oksida (N 2 O, NO, NO 2 ), hidrokarbon (CH 4, C 4 H 10, C 6 H 6 ), fotokimia oksidan (O 3, PAN dan aldehida), partikel (asap, debu, jelaga, asbestos, logam, minyak dan garam), senyawa inorganik (asbestos, HF, H 2 S, NH 3, H 2 SO 4, H 2 NO 3 ), senyawa inorganik lain (pestisida, herbisida, alkohol, asam-asam dan zat kimia lainnya), zat radioaktif, panas, dan kebisingan. Pengaruh yang sangat penting adanya pencemaran udara pada manusia adalah dalam aspek: kesehatan, kenyamanan, keselamatan, estetika dan perekonomian. Pencemaran udara dapat digolongkan ke dalam tiga kategori; pergesekan permukaan, penguapan, dan pembakaran. Pergesekan permukaan adalah penyebab utama pencemaran partikel padat di udara dan ukurannya dapat bemacam-macam, misalnya: penggergajian, dan pengeboran. Kemudian penguapan merupakan perubahan fase cair menjadi gas. Polusi udara banyak disebabkan zat-zat yang mudah menguap, seperti pelarut cat dan perekat. Sementara itu pembakaran

34 14 merupakan reaksi kimia yang berjalan cepat dan membebaskan energi cahaya atau panas. Bahan bakar yang umum digunakan ialah kayu, batubara, kokas, minyak, semuanya mengandung karbon, sehingga dalam proses pembakaran dihasilkan senyawa karbon dioksida dan air, disamping arang dan jelaga. Kriteria dampak pencemaran udara, mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. KEP-056/Tahun 1994 sebagai berikut: (1) jumlah manusia yang terkena dampak, (2) luas wilayah persebaran dampak, (3) lamanya dampak berlangsung, (4) intensitas dampak, (5) banyaknya komponen lingkungan lain yang terkena dampak, (6) sifat kumulatif dampak, dan (7) berbalik (reversible) atau tidak berbalik (irreversible) dampak. Pengaruh pencemaran udara terhadap manusia tergantung pada pencemar yang ada di udara. Pada Tabel 4 dimuat beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia. Menurut Adel (1995) dan Hill (1984), CO merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau, mempunyai afinitas yang tinggi dengan hemoglobin, yaitu sekitar 240 kali lebih kuat dibandingkan afinitas O 2 terhadap hemoglobin. Apabila CO masuk ke dalam paru-paru akan berikatan dengan hemoglobin membentuk karboksi-hemoglobin (CO-Hb). Chi-Wen (1999) meneliti penyebaran pencemar udara dari industri kimia dan serat di Taiwan, yang dilakukan sebagai tanggapan atas keberatan atau reaksi terhadap bau yang ditimbulkan. Pencemar udara yang diemisikan adalah senyawa sulfur (SO 2, H 2 S, CS 2 dan merkaptan) dan beberapa senyawa organik volatif (benzene, toluena, pxylene aseton dan kloroform). Pengukuran di udara ambien dilakukan di empat lokasi sekitar industri tersebut. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa di keempat lokasi pengukuran, H 2 S dengan rata-rata hasil pengukuran 7,6 ppb telah melewati ambang batas bau (odoran threshold) sekitar 0,47 ppb, di satu lokasi CS 2 pada malam hari dapat mencapai 256 ppb melewati ambang batas bau sebesar 210 ppb. Sementara itu Bokowa dan Liu (2003) mengestimasi kebauan yang diemisikan dari sumber fugitive dengan menggunakan model screen3. Konsentrasi kebauan hasil model antara 0,6 sampai 1,2 dengan rata-rata 0,9 sedangkan hasil monitoring antara 0,98 sampai 1,1. Hasil model menunjukkan nilai sedikit dibawah hasil monitoring.

35 15 Tabel 4. Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia Jenis pencemar udara Karbon monoksida (CO) Sulfur dioksida (SO 2 ) Nitrogen oksida (NO x ) Hidrokarbon Oksigen fotokimia (O 3 ) Debu Amonia (NH 3 ) Hidrogen sulfida (H 2 S) Pengaruh terhadap manusia Menurunkan kemampuan darah membawa oksigen, melemahkan berpikir, penyakit jantung, pusing, kelelahan, sakit kepala dan kematian Memperberat penyakit saluran pernafasan, melemahkan pernafasan dan iritasi mata Memperberat penyakit jantung dan pernafasan, dan iritasi paru-paru Mempengaruhi sistem pernafasan, beberapa jenis dapat menyebabkan kanker Memperberat penyakit jantung dan pernafasan, iritasi mata, iritasi kerongkongan dan saluran pernafasan Penyakit kanker, memperberat penyakit jantung dan pernafasan, batuk, iritasi kerongkongan dan dada tak enak Iritasi saluran pernafasan Mabuk (pusing), iritasi mata dan kerongkongan dan racun pada kadar tinggi Logam dan senyawa logam Menyebabkan penyakit pernafasan, kanker, kerusakan syaraf dan kematian Sumber: Hartogensis (1977); Fardiaz (1992); Nukman (1998); Holper dan Noonan (2000) Vinitnantharat dan Khummongkol (2003) melakukan penelitian deposisi sulfur dan nitrogen yang disebabkan oleh pencemar udara industri dan kendaraan di enam wilayah di Thailand. Penelitian dilakukan baik terhadap deposisi basah dan deposisi kering. Pengumpulan sampel basah dilakukan dengan menampung air hujan menggunakan penakar hujan (rain gauge), sedangkan sampel kering dikumpulkan menggunakan filter empat tahap. Terhadap sampel basah diukur ph (di tempat), dianalisis SO 2 4 dan NO 3, terhadap sampel kering dilakukan analisis SO 2 4 dan NO 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa ph air hujan berkisar dari 5,5 sampai 6,3 bahkan di satu wilayah dengan ph lebih rendah dari 5,6 yang merupakan ph batas hujan asam. Hal ini berarti bahwa telah terjadi hujan asam akibat pencemaran sulfur dan nitrogen.

36 Penyebaran Pencemar Udara Penyebaran pencemar udara berhubungan dengan keadaan atmosfer, sedangkan keadaan atmosfer tergantung pada perubahan sistem cuaca, sirkulasi angin regional dan turbulensi, dan efek mikrometeorologi. Parameter-parameter penting yang diperlukan dalam menetapkan potensi penyebaran pencemar udara ialah: ketinggian bercampur, tinggi pembalikan, kecepatan angin tahunan, potensi tinggi pencemar udara yang dapat mempengaruhi suatu area, dan kejadian harian. Adapun efek mikrometeorologi tergantung pada insolasi solar, topografi, kekasapan permukaan, albedo permukaan, lahan yang digunakan dan radiasi panjang gelombang (Mikkelsen, 2003). Penyebaran pencemar udara, terutama dari industri ditentukan oleh tinggi cerobong (stack). Semakin tinggi stack yang digunakan, semakin jauh jarak sebaran polutan yang diemisikan. Good Engineering Practice (GEP) mengusulkan secara ekstrim, bahwa tinggi stack harus 305 meter (Leonard, 1997). Sebaran polutan dari kegiatan industri dengan ketinggian cerobong di atas lima puluh meter diduga dapat memberikan dampak sebaran polutan sampai dengan jarak yang cukup jauh dari lokasi sumber. Untuk industri dengan daya yang besar, tinggi cerobong asap harus di atas 200 meter (Forsdyke, 1970). Sehubungan dengan hal itu, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya menggunakan cerobong setinggi 200 meter sehingga abu dan gas SO 2 yang terbang ke udara dapat terdispersi secara baik, dan tidak mencemari udara di pemukiman sekitarnya (Bapedalda Banten, 2004). Setiap pabrik di kawasan industri, memiliki ukuran stack yang berbeda. Hal ini dimungkinkan karena kapasitas dan jenis bahan bakar yang digunakan berbeda. Vawda et.al. (2005) mengukur konsentrasi SO 2 yang diemisikan dari suatu kawasan. Estimasi emisi SO 2 dari masing-masing tinggi stack menggunakan ADMS-Screen. Dari lima metode yang digunakan, menunjukkan bahwa metode ADMS-screen paling sesuai untuk menganalisis emisi pada berbagai tinggi stack. Hasil identifikasi cerobong pabrik pengolahan besi dan peleburan baja di kawasan PT Krakatau Steel (KS) disajikan pada Tabel 5. Pada tabel tersebut, tampak bahwa tinggi cerobong di kawasan PT KS berada pada kisaran meter. Hal ini akan berdampak pada pola sebaran polutan yang diemisikan dari

37 17 kawasan tersebut pada lingkungan di sekitarnya. Keragaman penyebaran polutan yang diemisikan, akan berimplikasi pada perbedaan konsentrasi pada suatu area. Tabel 5. Ukuran cerobong pabrik pengolahan besi dan peleburan baja di PT Krakatau Steel NO LOKASI CEROBONG TINGGI NO LOKASI CEROBONG TINGGI 1 DR1 Gas Ref 1 33,5 4 SSP 1 Ladle Furnace 1 32 Gas Ref 2 33,5 Ladle Furnace 2 32 Gas Preh 5 33,2 Dedusting 35 Gas Preh 6 33,2 5 SSP 2 Ladle Furnace 32 Gas Preh 7 33,2 Dedusting 35 Gas Preh 8 33,2 6 BILLET Ladle Furnace 32 Air Preh 2 27,2 Timur Dedusting 1 35 Scrubber 1 10,8 Barat Dedusting 2 35 Scrubber 2 10,8 7 SSP 1 Ladle Furnace 1 32 B Down Stack 30,2 Ladle Furnace DR2 Gas Ref 1 33,5 Dedusting 35 Gas Ref 2 33,5 8 SSP 2 Ladle Furnace 32 Scrubber 1 10,8 Dedusting 35 Scrubber 2 10,8 9 BILLET Ladle Furnace 32 B Down Stack 30,2 Timur Dedusting HYL III Gas Heater 1 80 Barat Dedusting 2 35 Gas Heater 2 80 Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi Kota Cilegon (2006) 2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan Penyebaran polutan di atmosfer dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Stull (2000), penyebaran polutan di atmosfer melibatkan tiga mekanisme utama yaitu gerakan udara secara global, fluktuasi kecepatan turbulensi yang akan menyebarkan polutan ke seluruh arah dan difusi massa akibat perbedaan konsentrasi. Sementara itu penyebaran polutan dari suatu sumber emisi selain dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi juga oleh karakteristik meteorologi dan tofografi setempat (Oke, 1978). Faktor meteorologi yang berpengaruh langsung terhadap penyebaran polutan adalah angin (meliputi arah dan kecepatan) serta stabilitas atmosfer. Huang et.al. (2005) membuat simulasi CFD (Computational Fluid Dynamic) dengan radiasi dan analisis konduksi yang diangkat keluar untuk menganalisis dispersi polutan dengan kondisi non istermal di Kota Kawasaki Jepang. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kecepatan angin rata-rata di atas bangunan sekitar 2

38 18 m/s secara signifikan besarnya menurun karena efek bloking bangunan. Penyebaran polutan searah dengan arah angin. Sementara itu Mayhoub, Essa dan Aly (2003) membangun bentuk analisis dispersi polutan untuk kondisi atmosfer yang berbeda. Hubungan antara jarak peluruhan (downwind dan crosswind) sebanding dengan tinggi inversi. Kecepatan angin dan koefisien difusi berbeda untuk stabilitas atmosfer yang berbeda (stabil dan netral). Variabel lain yang bertalian dengan meteorologi terdiri dari unsur-unsur radiasi matahari, suhu dan tekanan udara, curah hujan, kelembapan, dan evaporasi. Arah angin akan menentukan arah penyebaran polutan, sedangkan pola penyebaran polutan tergantung pada lokasi sumber pencemar, kondisi meteorologi serta topografi daerah. Cahyana, Umbara dan Lubis (1998) membuat pemodelan isodosis dari dispersi radionuklida di atmosfer di daerah PPTN Serpong. Perangkat lunak yang digunakan adalah EDLA (Evaluasi Dosis Lepasan Atmosfir) dengan menggunakan bahasa pemrograman Delphi 3,0. Penyebaran gas atau partikel radionuklida yang terlepas ke atmosfir menggunakan persamaan Gauss. Klasifikasi kestabilan atmosfir dilakukan berdasarkan kecepatan angin permukaan, insolation (incoming solar radiation) dan radiasi bersih (net radiation) dari tapak. Parameter insolation digunakan jika pengamatan dilakukan pada siang hari, sedangkan radiasi bersih digunakan jika pengamatan dilakukan pada malam hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangkat lunak EDLA dapat digunakan untuk mensimulasikan dispersi radionuklida di atmosfir sampai pada penghitungan dosis efektif sebagai fungsi jarak dari titik pelepasan yang akan diterima manusia, baik untuk kondisi operasi normal ataupun bila terjadi kecelakaan release (kedaruratan nuklir). Besarnya dosis efektif sebagai fungsi koordinat dapat diketahui dengan cepat dan akurat. Pemanfaatan perangkat lunak EDLA untuk kasus kedaruratan nuklir dapat memberikan informasi dosis efektif kecelakaan, sehingga upaya penanggulangan yang sesuai dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Sementara itu Wang, Bosch dan Kuffer (2008) meneliti sebaran NO 2 dan PM 10 di jalan raya. Model dispersi yang digunakan adalah OSPM (Operational Street Pollution Model). OSPM adalah model polusi yang digunakan di jalan raya yang dibangun oleh Departemen Atmosfer Lingkungan, institute riset Nasional Denmark. Data meteorologi sebagai input, digunakan data

39 19 kecepatan dan arah angin per jam dan temperatur ambien. Output model yang berhubungan dengan database memberikan peringatan pada ketinggian 17 m Stabilitas Atmosfer Stabilitas atmosfer menurut Stull (2000) terbagi dua, ada yang statis dan ada yang dinamis. Stabilitas dinamis ditentukan oleh faktor buoyancy (daya apung udara akibat pemanasan oleh radiasi matahari) dan wind shears (gesekan yang terjadi antara dua lapisan atmosfer dengan arah angin berbeda), sedangkan stabilitas statis hanya mempertimbangkan faktor buoyancy. Chung-Chen, Kot dan Tepper (1996) mendeteksi kondisi stabil dan inversi dengan menggunakan Radio Acoustic Sounding Sistem (RASS). Hasil deteksi menunjukkan bahwa tanggal 3 Januari 1996 pukul 11.30am pada kondisi stabil, dan terjadi inversi pada saat fumigasi pada permukaan lapisan. Sementara itu Huser, Nilsen dan Skatun (1997) membangun sebuah prosedur untuk memprediksi kondisi stabil atmosfer pada permukaan yang kompleks dengan model k-ε dengan program FLOW3D. Angin, temperatur dan kuantitas turbulensi dihitung dengan aliran udara dan transfer panas sampai keadaan steady. k-ε adalah model turbulensi, dengan k adalah turbulensi energi kinetik dan ε adalah bouyance pada kondisi stabil. Model diaplikasi untuk memprediksi sebaran konsentrasi NOx di atmosfer. Hasil pembandingan prediksi dengan model menunjukkan bahwa hasil prediksi berada pada kisaran hasil pengukuran. Karakteristik yang dapat menunjukkan stabilitas atmosfer adalah gradien suhu potensial (dθ/dz). Suhu potensial (θ) adalah suhu yang akan dimiliki suatu paket udara kering jika bergerak secara adiabatik dari tekanan tertentu (p) menuju permukaan atau tekanan standar p o. Umumnya p o digunakan 1000 mb (Wark dan Warner, 1981) Rd / Cp p θ T o =. 2.1 p dengan R d adalah konstanta gas universal untuk udara kering dan nilai eksponen untuk udara kering adalah 0,286 (Stull, 2000) Secara umum stabilitas statis terdiri dari tiga kondisi kestabilan yaitu stabil, tidak stabil dan netral. Gambar 4 menunjukkan stabilitas atmosfer ditinjau

40 20 dari laju penurunan suhu paket udara dan lingkungan serta gradien suhu potensial. Pada gambar tersebut Environmental Lapse Rate (ELR) adalah laju penurunan suhu lingkungan, sedangkan Г adalah laju penurunan suhu paket udara. Kondisi tidak stabil adalah kondisi ketika laju penurunan suhu paket udara lebih kecil dibandingkan laju penurunan suhu udara lingkungannya, sehingga pada ketinggian yang sama, suhu paket udara lebih tinggi dibanding lingkungannya. Paket udara ini akan cenderung mengembang secara vertikal, pergerakan secara horisontal akan bergantung arah anginnya. Hal ini terjadi biasanya pada siang hari dengan radiasi matahari tinggi. Berkaitan dengan suhu potensial, pada kondisi stabil gradien suhu potensial terhadap ketinggian negatif. Sumber: Oke (1978) Gambar 4. Stabilitas atmosfer ditinjau dari laju penurunan suhu Kondisi netral ditunjukkan oleh laju penurunan suhu paket udara yang sama dengan laju penurunan suhu udara lingkungannya, sehingga suhu keduanya akan sama pada ketinggian yang sama. Menurut Stull (2000), pada kondisi ini jika udara tidak jenuh, maka dt/dz=-г d, jika udara jenuh uap air dt/dz=-г s (laju penurunan suhu udara jenuh). Apabila diekspresikan dengan suhu potensial, maka kondisi netral ditunjukkan oleh dθ/dz=0, jika udara tidak jenuh, dan dθ/dz=г d -Г s biasa terjadi siang ataupun malam hari, berangin dan atau berawan. Kondisi stabil terjadi jika laju penurunan suhu paket udara lebih besar dibandingkan dengan laju penurunan suhu udara lingkungannya. Pada ketinggian yang sama suhu paket udara lebih rendah dibanding suhu lingkungannya, sehingga tidak akan dapat berkembang vertikal. Hal ini menyebabkan suatu paket udara cenderung stabil ditempatnya.

41 21 Atmosfer dikatakan dalam kondisi inversi jika terjadi kenaikan suhu terhadap ketinggian. Menurut Schnelle dan Dey (2000), inversi suhu dapat terjadi akibat beberapa hal, yaitu: (1) berubahnya keseimbangan radiasi gelombang pendek dan panjang (inversi radiasi) seperti yang terjadi secara alami di permukaan bumi pada malam hingga dini hari, (2) karena evaporasi, sehingga terjadi pendinginan permukaan bumi (evaporation inversion) terutama pada siang hari saat langit cerah tanpa awan, (3) adanya udara hangat bergerak di atas permukaan yang lebih dingin (advection inversion), sehingga dapat membentuk kabut, dan (4) adanya subsidensi udara dingin (udara dingin lebih berat sehingga cenderung turun), sehingga udara yang lebih hangat naik, seperti yang terjadi di sekitar lereng atau lembah pegunungan Turbulensi Di atas permukaan, ketika udara bergerak akan mengalami gesekan maupun geseran sehingga akan menimbulkan olakan (eddy), sehingga terjadi turbulensi yang melibatkan pergerakan molekul-molekul antar lapisan udara dikenal pula sebagai konveksi mekanik (forced convection). Di atas ketinggian planetary boundary layer, pengaruh gesekan diabaikan. Pada Gambar 5 divisualisasikan sketsa aliran turbulen di atas permukaan yang halus. Pada lapisan udara yang paling dekat dengan permukaan, terdapat lapisan tipis yang disebut laminar boundary layer (Oke, 1978), yang merupakan lapisan dengan gerakan laminier (gerakan paralel terhadap permukaan bumi, tidak ada komponen yang saling menyilang) dan tidak ada konveksi, transfer non-radiasi berjalan secara molekular. Sementara itu difusivitas molekular udara sangat kecil, sehingga kadang kala lapisan ini menjadi penghalang yang penting antara permukaan dengan atmosfer. Ketebalannya akan bergantung pada kekasapan permukaan dan kecepatan angin. Jika kecepatan angin tinggi, lapisannya akan menjadi sangat tipis bahkan akan menghilang sementara. Di atas lapisan laminier aliran udara menjadi tidak stabil dan terdiri dari olakan (eddy) yang acak, disebut lapisan turbulen, dengan ketebalan sekitar 50 meter di atas permukaan. Pada lapisan ini perpindahan turbulen (konveksi) lebih efektif daripada difusi molekular.

42 22 Menurut Schenelle dan Dey (2000), Richardson Number (Ri) dapat digunakan sebagai indikator turbulensi indeks kestabilan atmosfer. Parameter stabilitas dalam hal ini adalah s yang diekspresikan dalam persamaan berikut: g Δθ s = T Δz. 2.2 Δθ g Δz dan Ri = du T dz. 2.3 Sumber: McIntosh dan Thom (1973) Gambar 5. Sketsa aliran turbulen di atas permukaan yang halus Tabel 6. Kondisi stabilitas berdasar Richardson Number (Ri) Stabilitas Ri Keterangan Stabil > 0,25 tidak ada vertical mixing, angin lemah, inversi kuat, turbulensi mekanik diperkecil, penyebaran kepulan asap dapat diabaikan Stabil 0 < Ri < 0,25 turbulensi mekanik ditekan oleh stratifikasi yang stabil Netral 0 turbulensi mekanik Tidak stabil -0,03 < Ri < 0 turbulensi mekanik dan konveksi Tidak stabil < -0,04 konveksi mendominasi, angin lemah, gerak vertikal kuat, asap menyebar dengan cepat secara vertikal dan horisontal Sumber: Schenelle dan Dey (2000)

43 Sirkulasi Angin Lokal Kecepatan angin secara horisontal dipengaruhi oleh gradien tekanan di permukaan serta kondisi kekasapan permukaan (surface roughness). Semakin besar beda tekanan akan semakin tinggi kecepatan angin, tetapi semakin kasap permukaan maka angin horisontal akan diperlambat. Angin mempengaruhi penyebaran, pengenceran dan perpindahan polutan (Oke, 1978). Ketika angin bertiup, polutan mengalami penyebaran searah angin dan jika terjadi turbulensi maka penyebaran dapat terjadi searah dan melintas arah angin (crosswind). Kecepatan angin berimplikasi pada proses pengenceran, semakin besar kecepatan angin maka konsentrasi semakin mengecil. Raducan (2008) meneliti level konsentrasi NOx, NO 2, NO, CO dan O 3 dari urban area dengan menggunakan OSPM (Operational Street Pollution Model). OSPM digunakan dengan parameter aliran yang sangat simpel dan kondisi dispersi pada street canyon. Aliran angin dan dispersi polutan secara khusus tergantung pada aspek rasio (H/W = 1,16 dengan H adalah tinggi rata-rata bangunan sepanjang jalan dan W adalah lebar jalan). Pembandingan hasil pengukuran dan perhitungan konsentrasi yang ditunjukkan OSPM berhasil untuk memprediksi polusi dari lalulintas di jalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara lalulintas dan polusi. Sementara itu Cahyono (2005) meneliti sebaran SO 2 dan NO 2 dari industri di Bandung. Metode yang digunakan adalah semi top-down untuk data gradien menggunakan MM5. MM5 adalah salah satu model gradien yang merupakan model prediksi cuaca regional. MM5 sendiri merupakan model gradien finite difference. Berdasarkan hasil analisis dengan MapInfo dan ArcView tampak di daerah sebelah timur kota Bandung emisi NO 2 and SO 2 lebih tinggi dibandingkan daerah lain. SO2 mencapai nilai kg/tahun dan NO2 mencapai nilai kg/tahun. Akan tetapi pola penyebaran ini juga dipengaruhi oleh efek sirkulasi diurnal di daerah tersebut seperti angin gunung dan angin lembah. Di daerah utara sekitar Dago dan daerah terdekatnya cenderung nilainya rendah, karena daerah utara Bandung merupakan daerah tinggi yang penuh dengan vegetasi. Angin dapat membawa materi polutan melintasi batas kota dan negara sampai ratusan kilometer. Faktor iklim dan cuaca sangat menentukan dalam penyebaran polutan di suatu wilayah. Faktor meteorologi

44 24 mempunyai peran yang sangat utama dalam menentukan kualitas udara di suatu daerah, baik kualitas udara perkotaan, pedesaan maupun alami. Pola angin pada jenis permukaan berbeda akan menentukan pola dispersi yang terjadi berbeda. Pada Gambar 6.a tampak terjadi perbedaan arah dispersi di permukaan dan lapisan di atasnya. Menurut Klipp dan Mahrt (2003) ketika lapisan pembatas terdapat di atas dua jenis permukaan yang berbeda, maka kesetimbangan dengan permukaan di bawahnya akan terganggu, dan terbentuk lapisan yang disebut Internal Boundary Layer (IBL). Pada Gambar 6.b menggambarkan pola dispersi pada permukaan yang lebih homogen yaitu daratan (perkotaan), pola dispersi akan menyesuaikan dengan pola angin yang terjadi. Arah dan kecepatan angin selalu berubah-ubah sehingga memerlukan analisis data angin untuk mendapatkan arah dan kecepatan angin rata-rata di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Analisis ini dikenal sebagai windrose (Cooper dan Alley, 1994). Data yang diperlukan untuk analisis ini adalah data kecepatan dan arah angin dari waktu ke waktu, dibuat tabel frekuensi untuk arah angin dan kisaran kecepatan angin tertentu. (a) Pola dispersi pada permukaan heterogen (b) Pola dispersi pada permukaan homogen Gambar 6. Pola dispersi pada permukaan Profil kecepatan angin vertikal antara urban, pedesaan atau sub-urban serta permukaan terbuka ditunjukkan pada Gambar 7.a. Pada ketinggian yang sama untuk ketiga jenis permukaan menunjukkan kecepatan angin yang berbeda. Wilayah yang lebih kasap, perubahan kecepatan angin antar ketinggiannya kecil, karena terjadi olakan yang mengakibatkan kecepatan angin lebih homogen. Pada Gambar 7.b-e menunjukkan pengaruh stabilitas terhadap profil kecepatan angin. Pada kondisi stabil perbedaan kecepatan angin antar ketinggian lebih besar dibandingkan dengan kondisi netral dan tidak stabil.

45 25 Sumber: Oke (1978) Gambar 7. Profil kecepatan angin di permukaan kota, suburban dan daerah terbuka (a), serta pengaruh stabilitas (b, c, d, e) Pada skala vertikal kecepatan angin meningkat terhadap ketinggian, dan dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan Deacon dalam Wark dan Warner (1981) sebagai berikut: p u 2 z 2 =. 2.4 u1 z1 dengan : u 1, u 2 = kecepatan angin pada dua lapisan ketinggian yang berbeda (ms -1 ) z 1, z 2 = ketinggian dua lapisan (m); p = fungsi stabilitas atmosfer Menurut Geiger, Aron dan Todhunter (1995), variasi angin terhadap ketinggian maksimum terjadi di atas permukaan yang tidak beraturan dan minimum di atas daratan yang datar dan permukaan air. Pada daerah yang penuh bangunan tinggi nilai p sekitar 0,40 kota kecil dan daerah berhutan p = 0,28 sedangkan untuk daerah terbuka dan datar, danau dan laut nilai p = 0,16. Tabel 7. Nilai p untuk model profil angin sebagai pengaruh kekasapan permukaan Kelas stabilitas p (kota) p (desa) A B C D E F 0,15 0,15 0,20 0,25 0,40 0,60 0,15 0,15 0,20 0,25 0,40 0,60 Sumber: Cooper dan Alley (1994)

46 26 Wark dan Warner (1981) mengemukakan bahwa nilai p pada persamaan 2.4 dapat dihubungkan dengan nilai n (parameter stabilitas): n p = n Pada kondisi netral, persamaan 2.4 menjadi: u* z u = ln k zo dengan u* = τ ρ. 2.6 Keterangan : u = kecepatan angin pada ketinggian z k = konstanta von Karman (0,4 untuk dekat permukaan tanah) z o = panjang kekasapan permukaan (bidang yang paling aktif melakukan pertukaran), makin halus permukaan z o makin kecil diukur dari analisa profil τ = tegangan geser permukaan ρ = kerapatan atmosfer u* = kecepatan gesekan (sher velocity) merupakan indikasi turbulensi dan bergantung ketinggian Tabel 8. Hubungan antara parameter n dengan kondisi stabilitas atmosfer Jika u * k Kondisi stabilitas Laju penurunan suhu besar Laju penurunan suhu kecil atau nol Inversi moderat Inversi kuat Sumber: Suton dalam Wark dan Warner (1981) n 0,20 0,25 0,33 0,50 dianggap sebagai suatu konstanta c, maka persamaan 2.6 menjadi : z u = clog zo. 2.7 ketika terjadi inversi, udara dingin cenderung bertahan di permukaan, sehingga: du dz 1 =. 2.8 cz menurut Geiger, Aron dan Todhunter (1995) secara umum persamaan 2.8 ditulis menjadi: du dz β = cz. 2.9 dengan β adalah fungsi struktur suhu (stabilitas), β = 1 untuk kondisi netral, β < 1 untuk kondisi stabil dan β > 1 untuk kondisi tidak stabil

47 Kondisi Topografi Kondisi topografi suatu wilayah akan mempengaruhi angin dan suhu udara di atasnya. Perbedaan penerimaan radiasi matahari antara datar dan berlereng menyebabkan terjadinya pola aliran udara yang mengikuti perbedaan suhu dan tekanan udara di atasnya. Pengaruh topografi cukup rumit, sehingga menurut Barry (1968), perlu mengenali jenis pegunungan dengan kriterianya. Pada dasarnya perlu dibedakan antara puncak yang terisolasi, yaitu rangkaian pegunungan yang cukup besar untuk memodifikasi aliran udara ke atas maupun ke bawah, dan dataran tinggi yang membentuk penghalang utama untuk gerakan udara dan memiliki iklim sendiri. Puncak yang tinggi mengalami suhu yang hampir sama dengan udara bebas pada ketinggian yang sama, sementara dataran tinggi dipanaskan dan didinginkan oleh proses radiasi. Lembah diantara dataran tinggi memiliki atmosfer tertutup yang secara diurnal dimodifikasi oleh pendinginan malam hari, khususnya di musim dingin dan dinaikkan (suhunya) oleh pemanasan siang hari. Wilayah dengan topografi datar, pola anginnya relatif tidak mengalami gangguan, seperti yang dikemukakan oleh Zhang dan Ghoniem (1993) bahwa pengaruh topografi datar terhadap dispersi dan lintasan kepulan sangat kecil. Untuk daerah dengan berpegunungan gerakan udara (angin) akan mendapatkan hambatan sehingga terjadi gerakan udara ke atas secara mekanik (forced convective). Topografi juga dapat mengubah arah dan kecepatan angin dengan cepat karena adanya saluran (chanelling) melalui lembah, dan city-street canyon, atau pemisahan aliran. Menurut Bibero dan Young (1974) profil kota yang kasar menjadi tempat penyerapan energi kinetik dan memperlambat angin. 2.7 Model Prediksi Model Dispersi Secara umum terdapat empat model kualitas udara yang digunakan, yaitu: (1) model empirik atau statistik, model ini digunakan untuk menghubungkan data konsentrasi suatu lingkungan dengan lingkungan lain, misalnya CAR-model, suatu model untuk mengestimasi kepadatan lalulintas dengan perubahan area; (2) model

48 28 Gaussian atau plume-model, merupakan model teori dasar penyebaran mengenai distribusi polutan karena turbulensi, model ini dapat digunakan pada skala lokal; (3) model Lagrangian, model untuk paket udara sebagai fungsi waktu sepanjang aliran streamlines dalam atmosfer. Model ini digunakan untuk menganalisis emisi polutan pada topografi yang kompleks, sedangkan aliran dan perubahan konsentrasinya dikaji secara particulary (Noonan, 1999). Jenis model partikel Lagrangian merupakan satu level di atas model puff. Model ini membutuhkan sejumlah banyak partikel untuk membangun signifikansi statistik pada simulasi (Mikkelsen, 2003); dan (4) model Eulerian, suatu model untuk menganalisis konsentrasi satu atau beberapa kotak, pergerakan dari kotak ke kotak dipengaruhi oleh kecepatan angin. Untuk memprediksi penyebaran pencemar udara dikenal dua level pemodelan, yakni screen modeling dan refined modeling. Analisis penyebaran dengan screening modeling memberikan prediksi yang bersifat konservatif terhadap dampak sumber pencemar dengan menggunakan masukan data dari kasus terburuk (konsentrasi zat pencemar maksimum) atau data yang minimum ketersediaannya (NSW-EPA 2001 dan ODEQ 2002). Menurut New South Wales Environment Protection Authority (2001), screening modeling ini akan memberikan suatu penilaian yang disebut penilaian dampak tingkat 1 (level 1 impact assessment). Dalam publikasi World Bank (1997) diungkapkan bahwa screen models dapat digunakan untuk menentukan dispersi pencemar udara dengan lebih cepat karena prosesnya yang tidak terlalu kompleks. Model prediksi dapat diberlakukan untuk setiap evolusi dan seluruh spesies polutan dalam lingkungan dengan perubahan yang konstan. Menurut Ching et al. (2005) keluaran model secara kuantitatif tergantung pada seleksi grid serta aplikasi komputasi yang digunakan. Lee, Geem, Kim dan Nam Yon (1998) membangun simulasi komputer untuk memprediksi polutan beracun melalui adveksi dan difusi untuk aliran unsteady. Model simulasi komputer dibangun dengan UNET, model simulasi kualitas air, TOX15. Model ini diaplikasikan pada phenol di sungai Nakdong Korea. Hasil model menunjukkan secara akurat dapat memprediksi transpor polutan pada sistem sungai. Sementara itu Reza, Kingham dan Pearce (2005) mengevaluasi model dispersi PM 10 dengan menggunakan

49 29 model TAPM (The Air Pollutan Model) di Christchurch New Zeland. Hasil pembandingan statistik dengan monitoring dengan IOA (Index of Agreement) 0,6 untuk variabel meteorologi menunjukkan hasil yang baik. Penggunaan model dispersi udara secara esensi menggambarkan laju emisi. Model dispersi adalah melakukan penghitungan sebaran udara dengan koefisien dari setiap udara bebas pada waktu dan keadaan tertentu. Mayinger, Pultz dan Durst (1989) membuat model simulasi numerik penyebaran polutan pada lapisan batas atmosfer. Model yang dibangun menggunakan model Euler. Persamaan difernsial dikembangkan dari hukum konservasi massa, momentum dan energi. Prosedur solusi numerik untuk unsteady secara spesipik dilakukan melalui: metode finite volum, menggunakan scheme implicit (time step), sedangkan penyelesaian matrik menggunakan Strongly-Implicit-Procedure (SIP). Secara umum penyebaran plume pada lapisan batas atmosfer melalui dua mekanisme yaitu konveksi (atau adveksi) dan difusi. Difusi adalah pergerakan atau perpindahan molekul-molekul dari material tertentu, dari tempat konsentrasi tinggi ke tempat dengan konsentrasi lebih rendah. Difusi merupakan sifat alamiah molekul yang terjadi karena setiap molekul memiliki energi kinetik untuk terus bergerak dengan bebas, cepat dan acak sehingga molekul-molekul akan saling bertabrakan sampai terdistribusi merata. Model dispersi yang digunakan, tingkat kerumitannya akan beragam, tergantung pada input yang digunakan dan output yang diharapkan. Drew et.al. (2006) membuat model penyebaran bioaerosol dari fasilitas pupuk kompos. Data konsentrasi bioaerosol diukur dan dianalisis secara berurut dengan menggunakan model dispersi ADMS. Model ini adalah model dispersi Gausian untuk durasi penyebaran yang singkat dan permukaan yang kompleks. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan hasil pengukuran untuk mendapatkan model prediksi yang akurat. Dalam membandingkan hasil model, didasarkan pada tiga kelas stabilitias Pasquill (very unstable, neutral dan very stable). Pada kondisi very unstable konsentrasi bioaerosol pada ground level lebih tinggi dari pada kelas stablitias yang lain. Sementara itu Cemas dan Rakovec (2003) membangun model spasial dan temporal untuk menganalisis emisi SO 2 dari termal Powerplant di Europa. Konsentrasi polutan di atmosfer dianalisis menggunakan konservasi massa. Model

50 30 yang dibangun menggunakan model dispersi MEDIA yaitu suatu model Eulerian untuk grid tiga dimensi dengan sigma sebagai koordinat vertikal. Konsentrasi polutan diukur pada setiap titik grid (node) pada setiap waktu Sistem Peramalan Kualitas Udara Menurut Tetuko (1998) terdapat beberapa metode komputasi untuk pemodelan, misalnya metode analitik (analytical method), metode momen (moment method), metode elemen hingga (finite element method), dan metode beda hingga kawasan waktu (finite difference time domain). Pemilihan metode mana yang terbaik tergantung pada problem utama yang akan dianalisa. Sebuah Model Simulasi Kualitas Udara dapat berupa metodologi atau teknik numerik, yang didasarkan atas dasar-dasar pokok fisika, yang digunakan untuk memperkirakan konsentrasi pencemar udara dalam waktu dan ruang sebagai fungsi dari distribusi emisi dan parameter meteorologi serta keadaan geofisik. Menurut Mcdonald (2003), model simulasi adalah esensi prosedur komputasi untuk memprediksi konsentrasi karena arah dan kecepatan angin, emisinya didasarkan pada karakteristik (kecepatan keluar stack, temperatur plume, dan diameter stack), bentuk permukaan (kekasapan permukaan, topografi lokal, bentuk bangunan) dan keadaan atmosfer (kecepatan angin, stabilitas, dan tinggi bercampur). Sistem peramalan kualitas udara dapat digolongkan menjadi sistem peramalan empirik atau statistik dan sistem peramalan numerik atau hibrid. Sistem peramalan empirik atau statistik telah dioperasikan oleh beberapa lembaga negara di Australia, misalnya Environment Authority of Victoria (EPAV) mengembangkannya untuk kota Melbourne dan Geelong sejak Tahun Prakiraan kualitas udara secara numerik mengembangkan prediksi meteorologi dan kualitas udara melalui pemecahan persamaan konservasi untuk momentum, energi, uap air dan massa untuk beberapa spesies. Sistem numerik sekarang sedang dikembangkan di beberapa negara, termasuk Jepang, Jerman, Amerika Serikat dan Kanada. Ada tiga macam teknik pemecahan numerik, yaitu finit difference, finit element dan spectral method. Metode numerik adalah teknik yang digunakan untuk memformulasikan persoalan

51 31 matematik sehingga dapat dipecahkan dengan operasi perhitungan/aritmetika biasa. Reddy (1998) membuat model komputasi untuk memprediksi aliran dan transpor polutan di sungai, muara dan laut. Persamaan dibangun dari konservasi massa dan momentum, persamaannya diselesaikan dengan teknik finite different. Solusi persamaan ini dapat memprediksi sebaran polutan pada setiap grid sebagai fungsi ruang dan waktu. Tang et.al. (2006) membuat simulasi Computational Fluid Dynamic (CFD) pada penyebaran jangka-pendek, secara khusus aliran dan penyebaran pada struktur yang kompleks. Pengembangan dalam simulasi komputer menggunakan performa FLUENT. Program ini merupakan solusi dari persamaan konservasi massa, momentum dan energi. Pengembangan dari finit element adalah finit volum method (FVM). Nelwan (2005) telah mengembangkan FVM dalam penelitiannya untuk mendapatkan distribusi suhu dan kelembapan nisbi udara dalam alat pengering berbantuan energi surya yang berbentuk silinder untuk pengeringan biji kakao. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penggunaan FVM diperoleh perbedaan suhu dan kelembapan nisbi udara pada beberapa posisi dalam pengering tersebut sesuai dengan hasil pengukuran langsung. Sementara itu Papakostas et.al. (2005) membuat model numerik dengan scheme implisit untuk polusi atmosfer. Model konsentrasi polutan di atmosfer dihubungkan dengan kecepatan angin, vektor difusivitas turbulen dan difusi massa polutan. Solusi numerik dengan asumsi S=0 (tidak ada sumber) didapatkan solusi analitik model Gaussian sebagai fungsi jarak dan waktu Pengembangan Model Model yang dibangun untuk memprediksi laju penyebaran pencemar udara, merupakan pengembangan dari persamaan kontinuitas dan persamaan gerak. Model aliran yang dibangun dari kedua persamaan tersebut dapat diaplikasikan untuk penyebaran polutan. Untuk mengkaji model penyebaran tersebut digunakan model Euler atau model Lagrang. Model Euler mengkaji model aliran dalam konsep medan, sedangkan model Lagrang mengkaji model aliran dalam konsep partikel (Cengel dan Cimbala, 2006)

52 32 Persamaan kontinuitas dibentuk dari pola aliran dengan memperhatikan hukum kekekalan, jika φ property fluida per unit volum (biasa disebut konsentrasi) dan net efek per unit volum pada seluruh proses non-konservatif adalah Q[ φ ] diperhitungkan, maka persamaan umum kontinuitas menurut Vallis (2005) adalah: D φ v v + φ. V = Q[ φ ] Dt dengan D = + u + v + w Dt t x y z Jika efek pada proses non-konservatif tidak diperhitungkan, maka persamaan 2.10 berubah menjadi: φ v v +.( φv ) = t Secara umum: t v v +. = 0 ( ρφ ) ( ρφv ) dengan ρ adalah kerapatan udara Pada persamaan gerak berlaku kesetimbangan momentum. Aliran momentum, baik masuk maupun keluar, melalui dua mekanisme, yaitu konveksi dan transfer molekul (Bird et al., 1960). Dalam setiap fluida yang mengalir terdapat dua jenis perpindahan momentum: (1) perpindahan momentum secara molekular, yang ditimbulkan karena gaya tarik-menarik antar molekul, dan (2) perpindahan momentum secara konveksi, yang ditimbulkan karena adanya aliran massa. Secara umum persamaan gerak dirumuskan: v D( ρv) v v v = p +. τ + ρ g 2.13 Dt dengan v τ adalah tensor tegangan viskos, sebagai berikut: u u v u w 2μ μ + μ + x y x z x τxx τxy τ xz v v u v v w τ = τ yx τ yy τ yz = μ + 2μ μ + x y y z y τzx τzy τ zz w u w v w μ μ 2μ + + x z y z z

53 33 jika tensor tegangan τ v pada persamaan 2.14 dimasukkan ke persamaan 2.13, maka didapat persamaan Navier-Stokes (Cengel dan Cimbala, 2006): v D( ρv) v 2 = p + μ V + ρg Dt dengan μ adalah viskositas dinamik, ρ adalah kerapatan udara, p adalah tekanan, V v adalah vektor kecepatan dan g adalah percepatan gravitasi bumi. Perpindahan massa berlangsung dengan dua cara yaitu: konveksi dan difusi. Perpindahan secara konveksi, karena adanya gaya dari luar sistem, sedangkan perpindahan massa secara difusi, karena adanya gaya penggerak dalam sistem, yakni perbedaan konsentrasi. Alirannya berlangsung dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah (Bird et al., 1960). Penyebaran pencemar udara diperoleh dengan menggabungkan persamaan 2.10 dan 2.15 sebagai berikut: v ρv v v v 2 +.( ρv) = p+ μ V + ρg t Penyebaran pencemar udara, untuk keadaan steady, dalam hal ini bahwa ρ adalah tetap, maka uraian persamaan 2.16, untuk komponen-x adalah : u u u u p u u u ρ + u + v + w = + ρgx + μ t x y z x x y z 2 u u ρ = μ 2 t z 2 u u = ν 2 t z μ dengan ν = adalah viskositas kinematik. ρ u u u p Untuk keadaan steady u + v + w = 0 kemudian = 0 x y z x dan ρ g x = 0 karena tidak ada perubahan tekanan dan gaya gravitasi pada sumbu-x. Fluida mengalir pada sumbu-x, maka syarat kontinuitas 2 u = x 2 0 dan u y 2 = 0 2 karena tidak ada kecepatan terhadap sumbu y, maka fluida mengalir pada bidang x-z. Persamaan merupakan persamaan difusi untuk satu dimensi. Menurut Mikkelsen (2003) persamaan difusi timbul sebagai konsekuensi langsung dari

54 34 prinsip konservasi massa, dengan perubahan total massa pada sistem tertutup adalah nol Aplikasi Model untuk Menganalisis Konsentrasi Polutan Untuk menganalisis sebaran pencemar udara dari sumber dilakukan model. Suatu model untuk menganalisis sebaran pencemar udara digunakan model Gaussian. Proses model plume Gauss, cocok untuk mengidentifikasi hubungan input dan output dari data yang di uji (Sabin et al., 2000). Gaussian plume model adalah salah satu model matematika yang digunakan untuk mempresentasikan proses dispersi polutan di udara. Persamaan dari model tersebut digunakan untuk menentukan konsentrasi polutan hasil dispersi cerobong asap pabrik di lokasi tertentu di sekitar cerobong asap. Pada model ini perilaku polutan mengikuti distribusi normal atau distrbusi Gaussian. Model Gausian secara luas digunakan untuk mengestimasi impact polutan non-reaktif dari sumber titik atau garis (Arya, 1999). Model Gaussian pertama-tama dikembangkan untuk mengolah emisi dari sebuah sumber titik (plumes) dalam skala lokal, model multi kotak sengaja dikembangkan sebagai model regional (skala meso) untuk menangani pencemaran di daerah urban yang secara spesifik akan mengolah penyebaran pencemar di daerah berdasarkan distribusi emisi pencemarnya. Formula pada Gaussian plume model dapat digunakan untuk menentukan tinggi fisik cerobong asap yang minimum agar dispersi polutan tidak membahayak makhluk hidup di sekitar pabrik. Soriano et.al. (2003) melakukan pengukuran dampak emisi dari cerobong industri, dengan menggunakan model Gaussian dan mesoscale. Model Gaussian digunakan untuk memprediksi konsentrasi pelbagai polutan pada ground-level yang diemisikan dari cerobong industri. Sementara itu dampak emisi dari cerobong indutri di Eastern Spanyol digunakan model TAPM (The Air Pollutan Model). Model sebaran pencemar udara dari sumber titik disajikan pada Gambar 8. Hasil model plume Gaussian sebagai solusi dari persamaan difusi. Pada model ini faktor lain yang dipertimbangkan yaitu stabilitas atmosfer yang mempengaruhi penyebaran polutan baik secara horisontal searah angin (downwind) maupun

55 35 melintasi arah angin (crosswind). Formula dasar fungsi Gaussian dapat digunakan secara tepat untuk mengestimasi distribusi polutan dari single source (Forsdyke, 1970). Model dispersi Gauss dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan: 2 2 Q 1 y 1 z H 1 z+ H CxyzH (,, ; ) = exp exp exp πσ yσ zu 2 σ y 2 σ z 2 σ z keterangan : C adalah konsentrasi polutan pada suatu titik (x,y,z), dalam gm -3 Q adalah laju emisi, dalam gs -1 σ y, σ z adalah parameter penyebaran horisontal (y) dan vertikal (z), merupakan fungsi dari jarak (x) u adalah kecepatan angin rata-rata pada ketinggian cerobong, dalam ms -1 y adalah kepulan horisontal dari centerline, dalam m x adalah kepulan vertikal dari permukaan, dalam m H adalah ketinggian efektif (H=h+ h), h adalah ketinggian cerobong dan h adalah tinggi kepulan di atas cerobong Gambar 8. Model penyebaran polutan dari sumber titik berdasar sebaran Gauss (Carbon, 2004 ) Gambar 8 memberikan ilustrasi tentang pemodelan dispersi polutan dengan Gaussian plume model. Polutan bergerak searah dengan arah angin pada sumbu-x. Sumbu-y adalah arah tegak lurus horisontal dengan sumbu-x dan sumbu-z adalah vertikal dengan permukaan tanah. Pada proses difusi polutan, terjadi difusi tiga dimensi karena molekul-molekul polutan berdifusi pada sumbux, sumbu-y dan sumbu-z. Selain proses difusi, pada sumbu-x juga terjadi proses adveksi atau transportasi polutan yang diakibatkan oleh angin. Persamaan 2.18 dapat digunakan dengan asumsi; kecepatan dan arah angin dari sumber titik sampai reseptor konstan, turbulensi atmosfer konstan, seluruh kepulan tidak mengalami deposisi ataupun washout, komponen yang mencapai

56 36 permukaan dipantulkan kembali ke dalam kepulan, tidak ada komponen yang diserap oleh badan air atau vegetasi, dan secara kimia tidak ada komponen yang mengalami transformasi, dispersi hanya terjadi pada arah vertikal dan crosswind (Leonard, 1997). Stabilitas atmosfer dan downwind distance pada model Gaussian, bukan merupakan input langsung, tapi seluruhnya terkaper pada parameter dispersi σ y dan σ z. Parameter tersebut diasumsikan sebagai standar deviasi horisontal dan vertikal. Parameter dispersi yang biasa digunakan untuk model Gaussian adalah koefisien dispersi PGT (Pasquill-Gifford-Turner) untuk rural area. Ashrafi dan Hoshyaripour (2008) membuat model untuk menganalisis stabilitas atmosfer dan hubungannya dengan konsentrasi CO. Metode yang digunakan untuk menganalisis stabilitas atmosfer adalah PTM (Pasquill-Turner Method) dengan program PORTRAN90. Untuk aplikasi model digunakan data meteorologi dari Tahun 2000 sampai 2005 dari stasiun Mehrabad. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara konsentrasi CO dengan stabilitas atmosfer. Klasifikasi stabilitas atmosfer sebesar 38,77%, 27,26%, 33,97% untuk kondisi stabil, netral dan tidak stabil. Hasil frekuensi relatif mengindikasikan kondisi stabil menurun selama periode Januari sampai Juni, dan meningkat selama periode Juli sampai Desember. Sementara itu Ruhiat et.al. (2009) melakukan analisis karkateristik udara di Kota Cilegon. Data meteorologi yang digunakan dari Tahun Hasil analisis menunjukkan bahwa stabilitas atmosfer di Kota Cilegon berada pada stabilitas A (sangat tidak stabil) sampai E (agak stabil). Aplikasi model untuk single source pada berbagai stabilitas atmosfer digunakan model screen3 suatu model yang dikembangkan oleh badan lingkungan Amerika USEPA (United States Environmental Protection Agency). Model dispersi Screen3 digunakan untuk menganalisis pola sebaran polutan yang tidak reaktif pada periode jangka pendek (harian), sehingga diperoleh pola sebaran pada tingkat stabilitas yang berbeda. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Banten (2002) melakukan analisis pola penyebaran polusi udara di Provinsi Banten. Sebaran polutan dikaji dengan menggunakan model screen3. Hasil analisis sebaran menunjukkan bahwa jarak sebaran terjadi pada berbagai kondisi stabilitas atmosfer. Pada stabilitas E yaitu pada saat kondisi udara agak stabil (slightly stable), penyebaran polutan dapat

57 37 terjadi sampai jarak puluhan ribu meter atau puluhan kilometer dari sumbernya. Konsentrasi terbesar (maksimum) yang jatuh pada permukaan tanah adalah pada stabilitas A yaitu pada kondisi udara labil mantap (very unstable). Aplikasi model untuk multiple sources digunakan model ISCST3 (Industrial Source Complex Short Term3). Rahmawati (2003) mengaplikasikan model dispersi Gauss untuk menduga pencemaran udara di kawasan industri. Analisis emisi dari sumber menggunakan model ISCST3. Sementara itu Venegas dan Mazzeo (2002) membuat model dispersi untuk mengevaluasi konsentrasi NO 2 di Buinos Aires. Aplikasi model dari sumber titik menggunakan model ISCST3 sedangkan dari sumber area menggunakan model DAUMOD (The Atmospheric Dispersion Model). Model ini diaplikasikan untuk mengevaluasi sebaran polutan pada setiap grid untuk Kota Buinos Aires. Konsentasi NO 2 perjam dan pertahun dapat diestimasi. Hasil prediksi terjadinya konsentrasi perjam lebih besar dari yang ditunjukan WHO. Ruhiat et.al. membuat prediksi sebaran SO 2 di Kota Cilegon. Model dibangun dengan menggunakan persamaan adveksi-difusi untuk aliran unsteady. Kemudian Tan, Vergel dan Camagay (2006) membangun dan mengkalibrasi model dispersi polutan. Model dispersi udara digunakan untuk mengestimasi konsentrasi polutan yang diemisikan pada berbagai sumber industri. Konsentrasi polutan dianalisis searah dengan arah angin. Model ini diaplikasikan di Kota Manila, sebarannya dianalisis sebagai fungsi ruang dan waktu. Untuk menganalisis penyebaran pencemar udara pada suatu wilayah, Santoso (2005) membuat model penyebaran pencemar udara dari kendaraan bermotor dengan menggunakan metode volume terhingga di Kota Bogor. Model yang dibangun, diturunkan dari persamaan umum tranpor untuk aliran steady. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencemar udara, menyebar ke semua arah melalui proses difusi. Sementara itu Lastdrager, Koren dan Verwer (2001) membuat teknik kombinasi masalah adveksi time-dependent pada setiap grid. Persamaan adveksi didiskretisasi menjadi persamaan linear. Hasil analisis menunjukkan bahwa teknik kombinasi lebih efisien dari pada pendekatan singlegrid. Schulze et.al. (2002) membuat model distribusí dan simulasi spasialtemporal. Untuk mendukung informasi spasial digunakan HILA (High Level

58 38 Architecture). Spasial-temporal pada standar geoinformasi digunakan DALI (Distributed Spatial-temporal Interoperability architecuture). Sementara itu Alimaman (2004) membuat model matematis monitoring kualitas lingkungan untuk kawasan perkotaan. Model ini dilakukan pada lokasi; Kota Bogor, Kota Jakarta, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Bandung. Model matematis yang dibangun adalah model regresi. Hasil pola regresi dengan variabel yang dikembangkan, didapat bahwa jumlah rumah dan jumlah industri yang bertambah, akan membutuhkan kebutuhan kapasitas jalan sesuai kebutuhan dengan jumlah kendaraan yang ada, akan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kemudian Chenevez, Baklanov dan Sorensen (2004) membuat model prediksi transpor polutan dengan scheme integrasi numerik. Sebaran konsentrasi polutan (C) dianalisis dengan menggunakan persamaan adveksi-difusi. Persamaan dibangun dalam bentuk spasial dan temporal. Konsentrasi yang diemisikan pada t+δt t Δt waktu t+δ t di dalam grid didapat solusi: C = 2 Δ tq. ( t) + C dengan Q tergantung pada volume emisi grid. Sementara itu Tartakovsky, Federico (1997) membuat solusi analitik untuk transpor pencemaran pada aliran nonuniform. Persamaan dibangun dari persamaan difernsial dispersi-konveksi steady-state untuk kasus 2 dimensi. Kemudian Fadimba (2005) membuat linierisasi dengan scheme Euler pada persamaan adveksi-difusi nonlinear. Fungsi aliran faksional, fungsi invers, dan koefisien difusi menggunakan deret Taylor-expansion. Hasil analisis linearisasi untuk time-step ditunjukkan dengan matrik.

59 III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2005 sampai April 2008 termasuk untuk persiapan, perijinan dan penyusunan proposal. Penelitian dilakukan di Kota Cilegon Provinsi Banten. Wilayah kajian melingkupi kawasan industri, dan perumahan atau pemukiman Kota Cilegon dengan Kabupaten Serang, seperti terlihat pada Gambar 9. Gambar 9. Wilayah studi Cilegon dikenal sebagai kota baja, karena di kota ini berdiri perusahaan pengolah baja terbesar di Indonesia. Berdirinya perusahaan ini, diikuti oleh perusahaan lain sebagai penunjang, sehingga membutuhkan lahan yang cukup luas. Lahan yang digunakan untuk industri menurut penggunaan tanah seluas 2.846,89 ha (BPN Kota Cilegon, 2004). Industri tersebut menyebar di tiga kecamatan yakni: kecamatan Ciwandan, Citangkil dan Pulomerak. 3.2 Prosedur Penelitian Proses pendugaan dan analisis dispersi pada penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap kegiatan. Tahapan tersebut mencakup kegiatan pengumpulan data, pembuatan model prediksi serta aplikasi model pada studi kasus, hingga pemetaan penyebaran pencemar udara di Kota Cilegon. Tahapan pengolahan dan analisis data penelitian, selengkapnya disajikan pada Gambar

60 40 Gambar 10. Diagram alir prosedur penelitian Pada tahap satu kegiatan difokuskan di kawasan industri dan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Pengkajian di kawasan industri mencakup bahan bakar dan tingi cerobong, kemudian diinventarisasi yang didasarkan pada jenis bahan bakar dan tinggi cerobong yang digunakan. Output pada tahap ini didapatkan karakteristik udara lokal Kota Cilegon. Pada tahap dua pengkajian di fokuskan di kawasan industri, untuk menganalisis pencemar udara yang diemisikan dari pabrik didasarkan karakteristik udara. Analisis penyebaran menggunakan screen3 model US-EPA Environmental Protection Agency, Amerika Serikat. Output pada tahap ini didapatkan konsentrasi maksimum di permukaan tanah (ground level concentration) dan jarak sebaran polutan yang diemisikan dari pabrik. Polutan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah partikulat (debu) dan SO 2. Untuk

61 41 mengevaluasi kehandalan model, dilakukan pengukuran emisi polutan di kawasan industri. Pada tahap tiga yang merupakan tahap akhir kegiatan penelitian, menganalisis sebaran polutan di Kota Cilegon. Analisis penyebaran polutan menggunakan persamaan umum transpor untuk aliran unsteady. Input untuk model ini adalah hasil running screen3 dan difusivitas pencemar udara. Output pada tahap ini didapatkan sebaran polutan di Kota Cilegon. Agar model yang dikembangkan dapat digunakan, maka dilakukan validasi. Untuk memvalidasi kehandalan model, dilakukan pengukuran sebaran polutan pada 24 titik sampel di Kota Cilegon. Studi kasus ini dilakukan untuk memahami lebih jauh aplikasi model pada kondisi tertentu. Analisis model dibuat dalam periode tiga bulanan, hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran sebaran konsentrasi polutan pada suatu wilayah di Kota Cilegon. 3.3 Data dan Peralatan Pengumpulan Data Pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil survey lapang, maupun dari instansi-instansi terkait yang ada di wilayah Kota Cilegon. Jenis dan macam data yang diperlukan ditampilkan pada Tabel 9. Tabel 9. Jenis dan macam data yang diperlukan Jenis Macam Sumber Peta Kota Cilegon geografi, topografi Bapeda Kota Cilegon Potensi polutan jumlah, lokasi, kapasitas emisi Industri dan DLHPE Kota Cilegon Cuaca dan iklim suhu, angin, awan, hujan Stasiun Meteorologi Kondisi atmosfer stabilitas, mixing height Stasiun Meteorologi Data dan Software Data yang digunakan untuk membangun model prediksi, terdiri dari jenis polutan yang diemisikan masing-masing pabrik. Adapun data yang berhubungan dengan meteorologi diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Untuk aplikasi pada studi kasus, digunakan data, alat dan software penunjang sebagai berikut: 1. Peta Kota Cilegon

62 42 2. Data pengukur kualitas udara ambien 3. Alat penunjuk arah angin 4. Software Wrplot untuk mendapatkan arah dan kecepatan angin ratarata 5. Software Screen3 untuk menganalisis pola sebaran polutan dari masing-masing pabrik di kawasan industri 6. Software Matlab R2006b versi 7.3 untuk menganalisis distribusi laju sebaran polutan di Kota Cilegon 7. Software ArcView untuk memetakan penyebaran zat pencemar di Kota Cilegon Data dan informasi pendukung Untuk mendukung analisis dan evaluasi dalam penelitian ini, diperlukan beberapa data dan informasi, yaitu: 1. Data pabrik di kawasan industri, yakni jumlah pabrik di zona KS, zona Ciwandan, dan zona Pulomerak 2. Penggunaan bahan bakar masing-masing pabrik 3. Penggunaan cerobong masing-masing pabrik 4. Data unsur cuaca atau iklim yang diperoleh dari stasiun Klimatologi Serang 3.4 Analisis Data Analisis karakteristik cuaca di Kota Cilegon Analisis faktor-faktor meteorologi antara lain meliputi mawar angin (wind rose), analisis stabilitas atmosfer, analisis ketinggian pencampuran polutan, dan analisis profil kecepatan angin pada level ketinggian. Metode analisis penentuan stabilitas atmosfer berdasarkan model persamaan menurut Turner dalam Cooper dan Alley (1994) atau lebih dikenal dengan Pasquill-Gifford-Turner (PGT). Kategori PGT dihitung dari kecepatan angin (10 meter di atas permukaan) dan mendatangkan insolasi sebagai parameter pengembangan, dengan kategori (A = sangat tidak stabil, B = tidak stabil menengah, C = sedikit tidak stabil, D = netral, E = agak stabil, F = stabil) yang berhubungan dengan kurva σ y (kualitas plume lateral) dan σ z (kualitas plume

63 43 vertical) untuk difusi waktu rata-rata. Adapun kategori penentuan stabilitas tersebut disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Kondisi atmosfer dalam berbagai stablitas Kecepatan Radiasi matahari siang hari angin Berawan permukaan Kuat b Sedang c Redup d ( 4/8) (m/det) a < > 6 A A B B C C A B B B C C D D B C C D D Sumber: Turner (1970) dalam Cooper dan Alley (1994) Keawanan malam hari e Cerah ( 3/8) Keterangan: a. Kecepatan angin permukaan diukur pada ketinggian 10 meter di atas permukaan b. Siang hari pada musim panas yang cerah dengan ketinggian matahari > 60 o di atas garis horison c. Siang hari musim panas sedikit gumpalan awan, atau siang hari cerah dengan ketinggian matahari 35 o 60 o di atas horison d. Siang hari menjelang sore, atau siang hari musim panas yang berawan, atau siang hari musim panas dengan sudut ketinggian matahari 15 o 35 o e. Keawanan didefinisikan sebagai fraksi dari penutupan langit oleh awan. E E D D D F F E D D Metode perhitungan tinggi lapisan pencampuran polutan di atmosfer (mixing height) dilakukan dengan menggunakan persamaan Randerson (1984): z m 0,3 u * =. 3.1 f Perhitungan nilai u* dapat dihitung dari kecepatan angin pada 10 meter (u 10 ), dalam hal ini : u* = 0,1u10, dengan : u* adalah kecepatan friksi (ms -1 ), dan f adalah parameter coriolis (9, pada 40 o ). Metode perhitungan profil kecepatan angin pada lapisan ketinggian, menggunakan persamaan 2.4 dengan formula: n u z z = uo zo. 3.2 dengan : u z = kecepatan angin pada ketinggian z (meter) u o = kecepatan angin pada ketinggian z o (meter), umumnya dipakai angin permukaan pada ketinggian 10 (sepuluh) meter n = konstanta, tergantung pada kondisi stabilitas, antara 0,20 0,50 seperti pada Tabel 11.

64 44 Tabel 11. Hubungan antara kondisi stabilitas dan nilai konstanta n Kondisi stabilitas Large lapse rate Zero or small lapse rate Moderate inversion Large inversion Sumber: Wark dan Warner (1981) Nilai konstanta 0,20 0,25 0,33 0, Analisis sebaran polutan di Kawasan Industri Analisis sebaran polutan di kawasan industri, dilakukan dengan beberapa tahap, sebagai berikut: 1) Inventarisasi Emisi Kegiatan inventarisasi emisi dilakukan untuk memperoleh gambaran secara rinci dan lengkap mengenai jenis dan sumber pencemar di wilayah studi. Hal ini dilakukan, agar dapat mendukung dalam analisis pola sebaran. Salah satu dasar batasan yang dipakai untuk menentukan sumber polutan adalah ketinggian cerobong. Inventarisasi emisi yang dilakukan dalam penelitian ini hanya dibatasi pada sumber pencemar dari kegiatan industri dengan ketinggian cerobong di atas 40 (empat puluh) meter, karena hal ini dianggap dapat memberikan kontribusi sebaran polutan pada daerah yang cukup luas, yang meliputi seluruh wilayah Kota Cilegon. Sementara itu jenis dan sumber polutan dengan ketinggian di bawah 40 meter, termasuk sumber transportasi maupun sumber domestik diabaikan dalam penelitian ini, karena pola sebarannya lebih bersifat lokal atau mikro dengan sebaran polutan pada luas wilayah yang relatif lebih kecil. 2) Verifikasi Pabrik Jumlah pabrik di Kota Cilegon sebanyak 104 dengan pelbagai produksi dan bahan bakar yang digunakan berbeda. Pabrik tersebut menyebar di tiga zona kawasan industri. Untuk menganalisis sebaran polutan yang diemisikan, dilakukan verifikasi yang didasarkan pada tinggi cerobong yang digunakan. Dalam penelitian ini, diambil pabrik dari masing-masing zona (sesuai kriteria pada bagian 1), selengkapnya ditampilkan pada Tabel 12.

65 45 Tabel 12. Nama pabrik yang menyebarkan polutan di kawasan industri No Nama Pabrik Zona Bahan Bakar PT. Indonesia Power (PLTU Suralaya) PT. Chandra Asri Pembangkit Listrik (Cigading) Pulomerak Ciwandan Ciwandan PT. Krakatau Steel KS PT. Krakatau Daya Listrik KS Keterangan : HSD = High Speed Diesel MFO = Marine Fuel Oil PFO = Pyrolisis Fuel Oil Batu bara, HSD dan MFO Solar, PFO dan MFO Residu dan BBG HSD dan MFO Residu Jumlah Cerobong ) Analisis sebaran polutan di kawasan industri Besarnya kapasitas emisi yang dipancarkan dari setiap kegiatan industri sangat tergantung pada jenis dan jumlah bahan bakar yang digunakan dalam setiap proses produksi. Umumnya bahan bakar batubara akan memberikan kontribusi emisi polutan yang lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar minyak dan gas bumi. Akan tetapi ada beberapa faktor yang dapat menurunkan kadar emisi ke udara yaitu faktor penggunaan teknologi pengendalian emisi dan kadar polutan dalam bahan bakar yang digunakan. Industri yang menggunakan teknologi pengendalian emisi akan memberikan kontribusi emisi polutan yang lebih kecil dibandingkan dengan industri yang sama sekali tidak menggunakan teknologi pengendalian. Demikian juga dengan penggunaan bahan bakar, industri yang menggunakan bahan bakar yang kandungan polutannya lebih rendah akan memberikan emisi yang lebih kecil. Untuk menganalisis konsentrasi pencemar udara yang keluar dari cerobong pabrik menggunakan persamaan model dispersi Gauss. Model untuk menganalisis penyebaran pencemar udara dari setiap cerobong pabrik menggunakan screen3. Dalam publikasi World Bank (1997) diungkapkan bahwa screen models dapat digunakan untuk menentukan dispersi pencemar udara dengan lebih cepat karena prosesnya yang tidak terlalu kompleks. Output dari model screen3 akan didapat konsentrasi maksimum dan jarak polutan yang diemisikan dari sumber.

66 Prediksi Sebaran Polutan pada suatu Wilayah Dalam memprediksi distribusi laju penyebaran pencemar udara di Kota Cilegon, dilakukan dengan beberapa batasan sebagai berikut: 1) Perlakuan Penyebaran polutan di Kota Cilegon, akan dikaji melalui dua perlakuan; pertama penyebaran pencemar dengan ada sumber pencemar, kedua penyebaran pencemar dengan tidak ada sumber pencemar. Kedua skenario tersebut, dibuat secara periodik dalam periode tiga bulanan. Output nya didapatkan perbedaan konsentrasi sebaran pencemar udara pada setiap stabilitas atmosfer pada suatu wilayah yang diemisikan dari industri pada waktu tertentu. 2) Persamaan yang digunakan Penyebaran pencemar udara selain berlangsung melalui proses difusi, juga dipengaruhi oleh aliran atau gesekan udara yang disebut proses konveksi. Untuk mengkaji aliran penyebaran pencemar udara menggunakan model Euler, yakni suatu kajian model aliran pencemar dalam bentuk paket atau kotak. Persamaan model yang dibangun merupakan gabungan persamaan kontinuitas dan persamaan gerak. Model yang digunakan untuk memprediksi sebaran polutan dikembangkan dari persamaan 2.15 dengan memperhitungkan sumber emisi. Untuk itu, model yang digunakan diturunkan dari hukum konservasi persamaan umum transpor untuk aliran unsteady (Versteeg, 1995), sebagai berikut: d dt ( ρφ ) ( ρφ ) ( φ ) + div u = div Γ grad + S. 3.3 keterangan: ρ = Kerapatan udara [kg/m 3 ] Г = Difusivitas pencemar [kg/m.s] u = Kecepatan angin [m/s] S = Sumber (source) φ = Properti (pencemar udara) [μg/m 3 ] Difusivitas antar pencemar udara (Г), menurut Bird (1960) dihitung dengan menggunakan persamaan: φ

67 47 dengan : pγ AB T = a 1/2 1/3 5/ TcAT cb + M A M B ( p p ) ( T T ) ca cb ca cb b. 3.4 Γ AB = difusivitas antar pencemar [kg/m.s] p = tekanan di suatu tempat [atm] p c = tekanan kritis pencemar [atm] T c = temperatur kritis [ o K] T = temperatur di suatu tempat [ o K] M A dan M B = massa masing-masing pencemar 4 a dan b adalah konstanta, dengan a = 2.745x10 dan b = 1,823 3) Tahapan pemecahan model Aplikasi matematik untuk memecahkan persamaan model, menggunakan solusi persamaan difernsial parsial. Cara umum untuk menyelesaikan persamaan difernsial parsial dilakukan dengan membagi daerah (domain) ke dalam kisi-kisi dengan jarak berhingga dalam arah koordinat (Rice, 1983). Pada studi ini, model matematik yang dibangun dipecahkan dengan metode finite volum. Menurut Burden dan Douglas (1989) metode finite volum digunakan untuk menyelesaikan masalah nilai-batas untuk setiap turunan pada persamaan difernsial. Metode finite volum digunakan untuk menyelesaikan suatu persamaan umum secara numerik dengan teknik integral (Rice, 1983). Metode numerik tersebut dipilih karena cukup baik dan sederhana dalam pemecahan persoalan aliran atau transpor. Penyelesaiannya menggunakan teorema Green, solusinya berbentuk node dan titik sekitarnya (Hoffmann dan Steve, 1993). Tahapan pemecahan model tersebut adalah sebagai berikut: a) pembentukan grid, membagi domain menjadi volume kontrol b) diskretisasi Untuk pemecahan model, dilakukan analisis terhadap model penyebaran pencemar udara sebagai fungsi waktu. Persamaan 3.3 didiskretisasi dengan mengintegrasi pada volume kontrol dengan interval waktu dari t ke t + Δt. Aliran ini harus memenuhi aturan kontinuitas berikut: ( ρφu) d = dx maka persamaannya menjadi:

68 48 ( ) ( ) ( ) ( ) o o o o o φp φ p Γe φe φp Γw φp φw Γe φe φp Γw φp φ W ρ Δ x = θ Δt + ( 1 θ ) + SΔx δxpe δxwp δxpe δx WP. 3.6 dengan θ adalah parameter yang digunakan untuk mengevaluasi integral φ P, φ E, dan φ W. Diskretisasi adalah: ( 1 ) o o o ( 1 ) ( 1 ) ( 1 ) a φ = a θφ + θ φ + a θφ + θ φ P P W W W E E E o dengan : a θ ( a a ) a = + + dan P W E P a o P o + ap + θ aw θ a E φp + b x = ρ Δ Δt. 3.7 Scheme yang digunakan untuk penelitian ini adalah scheme implisit dengan parameter θ = 1 pada kasus dua dimensi, maka diskretisasi aliran penyebaran pencemar: a φ = a φ + a φ + a φ + a φ + a φ + S. 3.8 o o P P W W E E S S N N P P u dengan : a = a + a + a + a + a +ΔF S dan 0 P W E S N P P a o p o ρ pδxδy = Δt Setelah terbentuk persamaan-persamaan pada volume kontrol, hasil analisis persamaan 3.8 disusun ke dalam suatu matriks. Selanjutnya dilakukan eleminasi, sehingga distribusi penyebaran konsentrasi pencemar dapat diperoleh. 4) Langkah pembuatan model a) Pemantauan konsentrasi polutan di Kota Cilegon, data ini digunakan sebagai nilai kondisi awal (initial conditions) di suatu tempat b) Pemantauan udara di perbatasan Kota Cilegon, digunakan sebagai nilai pada kondisi batas (boundary conditions) c) Untuk memprediksi distribusi laju penyebaran pencemar udara di Kota Cilegon, menggunakan persamaan 3.8 d) Sebaran konsentasi pencemar udara pada setiap titik di Kota Cilegon, menggunakan software Matlab e) Analisis distribusi laju penyebaran pencemar udara di Kota Cilegon, menggunakan tri-diagonal matrix algorithm (TDMA). Persamaannya

69 49 didapat berdasarkan ukuran grid dari peta Kota Cilegon yang sudah di digitasi f) Validasi model 5) Pemetaaan Sebaran konsentrasi zat pencemar yang dihasilkan oleh program model meliputi seluruh titik pada rentang grid daerah penerima di Kota Cilegon. Langkah pemetaan distribusi pencemar dilakukan sebagai berikut: a) penyediaan peta dasar yaitu peta Kota Cilegon diperoleh dari Badan Perencanaan Kota Cilegon; b) digitasi peta dasar yang diperoleh dari Badan Perencanaan Kota Cilegon; c) selanjunya peta penyebaran pencemar udara, ditumpangtindihkan dengan peta Kota Cilegon, sehingga dapat diketahui wilayah yang menjadi arah atau terkena penyebaran pencemar udara. Penumpangtindihan (overlaping) dilakukan dengan program ArcView Pemantauan Kualitas Udara Pemantauan kualitas emisi dilakukan di kawasan industri, hal ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi pencemar udara yang diemisikan dari masing-masing pabrik. Untuk aplikasi model penyebaran polutan di Kota Cilegon, dilakukan pengkuran pada beberapa titik sampel untuk mengetahui kondisi awal (initial conditions) dan kondisi batas (boundary conditions). Pengukuran dilakukan di 24 titik sampel yang menyebar di seluruh wilayah Kota Cilegon. Sementara itu untuk mengetahui kondisi batas, dilakukan pengukuran masingmasing di 7 titik sampel di sebelah Timur dan Selatan batas antara Kota Cilegon dan Kabupaten Serang. Untuk validasi model, dilakukan pengukuran di 24 titik sampel secara periodik dalam periode tiga bulanan dari Tahun 2005 sampai Tahun Kegiatan pemantauan kualitas udara di Kota Cilegon ditampilkan pada Gambar 11.a sedangkan pengukuran di daerah perbatasan ditampilkan pada Gambar 11.b. Pengukuran dilakukan di daerah sekitar kawasan industri, daerah padat lalulintas dan daerah perumahan.

70 50 a Lokasi pemantauan kualitas udara di Kota Cilegon b. Lokasi pengukuran di daerah perbatasan Cilegon dan Serang Gambar 11. Lokasi pengkuran pencemar udara di dalam dan di perbatasan Kota Cilegon

71 Pembandingan Hasil Model dengan Hasil Pengukuran Hasil model kemudian dibandingkan dengan hasil pengukuran kualitas udara ambien pada beberapa titik sampel. Pengukuran dilakukan di 24 titik sampel di Kota Cilegon bekerja sama dengan DLHPE Kota Cilegon. Selanjutnya guna mengetahui tingkat kepastian hasil model prediksi, Coutinho et al. (2002) berusaha menggambarkan variabilitas hasil model dengan menghitung z-score. VR VS z =. 3.9 U dengan : 2 Sh U = U n 2 mod keterangan : z = z-score V R = nilai referensi (hasil pengukuran langsung) V S = nilai hasil simulasi/model U = nilai penyimpangan yang dapat diterima Sh = simpangan baku n = jumlah nilai hasil simulasi/model Umod = nilai ketidakpastian untuk model prediksi, dianggap setara dengan 2 Nilai hasil program model tersebut dihitung atau dibandingkan dengan nilai hasil pengukuran atau observasi langsung di lapang (pengukuran konsentrasi ambien). Batas z-score ditentukan dan diklasifikasikan sebagai berikut: o z 2 dinyatakan sebagai hasil dapat diterima (acceptable performance) o 2< z 3 dinyatakan sebagai hasil yang diragukan (questionable performance) o z > 3 dinyatakan sebagai hasil yang tidak dapat diterima (unacceptable performance).

72 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Cuaca di Kota Cilegon Untuk menjelaskan karakteristik udara Kota Cilegon digunakan data iklim stasiun meteorologi Serang, periode pengamatan Tahun 2001 sampai Tahun Data iklim yang diuraikan, yang berhubungan dengan studi ini meliputi: 1) Suhu udara Variasi suhu harian mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan penyebaran polusi udara. Pada siang hari dengan suhu permukaan tinggi dan yang cukup lebih tinggi dari suhu lapisan udara di atasnya memberikan kecenderungan udara bergerak ke atas dan mengangkut bahan-bahan polutan ke atas, sehingga daerah penyebaran menjadi luas. Sebaliknya pada malam dan pagi hari dengan suhu permukaan rendah dan lebih rendah dari suhu lapisan udara di atasnya, memberi kecenderungan udara diam atau bergerak ke bawah dan memperbesar daya pengendapan sehingga daerah penyebaran bahan-bahan polutan sempit. Suhu udara rata-rata bulanan di Kota Cilegon tidak memperlihatkan fluktuasi atau variasi yang nyata, berkisar dari yang terendah 21,0 o C pada bulan Agustus, sampai yang tertinggi 34,4 o C pada bulan April. Suhu tertinggi terjadi sekitar pukul waktu setempat dan minimum pada pagi sekitar waktu setempat. Variasi suhu tahunan tidak terlalu besar dibandingkan dengan variasi suhu harian. Hal tersebut dikarenakan kedudukan matahari yang hampir selalu di atas khatulistiwa. Beda maksimum dan minimum rata-rata sekitar 14 derajat, variasi suhu tahunan ditampilkan pada Tabel 13. Tabel 13. Variasi suhu tahunan ( o C) Stasiun Suhu Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Cengkareng Maks Rata 2 Min 30,1 26,3 23,6 30,2 26,2 23,4 31,3 26,8 23,6 32,0 27,1 23,7 31,9 27,2 23,8 31,8 26,7 23,2 31,6 26,4 22,7 31,7 26,4 22,4 32,4 26,9 22,8 32,5 27,2 23,3 32,2 27,1 23,6 31,1 26,7 23,5 Curug Serang Maks Rata 2 Min Maks Rata 2 Min 30,5 25,9 23,2 30,5 26,3 23,5 30,5 25,7 23,0 30,7 26,1 23,8 31,7 26,2 23,1 31,7 26,5 23,8 32,4 26,5 23,2 32,2 26,7 24,0 32,6 26,6 23,2 32,2 26,9 23,5 32,4 26,3 22,5 31,5 26,7 23,0 32,4 25,9 21,7 31,4 26,2 22,8 32,8 26,0 21,6 31,3 26,2 22,4 33,4 26,5 21,9 32,4 26,6 22,9 33,1 26,7 22,7 32,5 26,8 23,2 32,4 26,5 23,2 32,0 26,7 23,3 31,3 26,2 23,0 30,7 26,9 23,4 52

73 53 2) Arah dan kecepatan angin Angin sangat besar pengaruhnya dalam penyebaran polusi udara. Arah angin ikut menentukan ke arah mana polutan menyebar, dan kecepatan angin ikut menentukan sampai sejauh berapa polutan disebarkan. Kecepatan angin rata-rata bulanan di Kota Cilegon berkisar dari 0,2 m/s pada bulan Januari, sampai 4,0 m/s pada bulan Desember. Untuk mengetahui distribusi keseringan angin tersebut data angin dianalisis dan dibuat peta mawar angin (windrose), selengkapnya ditampilkan pada Gambar 12. Berdasarkan hasil analisis mawar angin untuk Kota Cilegon menunjukkan pola yang bervariasi antara pagi, siang, sore dan malam hari. Secara umum, pada bulan Nopember sampai Maret umumnya angin bergerak dari Barat ke Timur. Frekuensi angin Barat terendah adalah 36,7 % pada bulan Nopember, dan yang tertinggi 87,1 % pada bulan Desember. Sementara itu pada bulan April sampai Oktober umumnya angin bergerak dari Utara ke Selatan. Frekuensi angin Utara terendah adalah 46,7 % pada bulan Juni, dan yang tertinggi 67,7 % pada bulan Agustus. 3) Hujan Secara umum musim hujan terjadi dalam bulan Nopember sampai Maret, dan musim kemarau dari bulan April sampai Oktober. Di Kota Cilegon, data curah hujan rata-rata bulanan memperlihatkan periode curah hujan tinggi dan periode curah hujan rendah. Periode curah hujan rendah (musim kemarau) berlangsung dari bulan April sampai Oktober, dengan kisaran curah hujan berkisar dari 42 mm pada bulan Mei sampai 185 mm pada bulan Juli. Periode curah hujan tinggi berlangsung dari bulan Nopember sampai Februari, dengan curah hujan berkisar dari 70 mm pada bulan Nopember sampai 305 mm pada bulan Januari. Hari hujan terendah adalah 11 hari pada bulan Agustus dan September, dan hari hujan tertinggi adalah 25 hari pada bulan Januari. 4) Kemantapan udara (Stabilitas atmosfer) Lama penyinaran matahari merupakan nisbah antara lamanya atau periode matahari bersinar cerah dalam sehari dengan panjang hari yang dinyatakan dalam persen. Data lamanya penyinaran rata-rata bulanan menunjukkan bahwa lama

74 54 penyinaran memperlihatkan pola musiman, dengan nilai terendah 36% pada bulan Januari dan yang tertinggi 72% pada bulan Agustus dan September. Secara praktis untuk aplikasi dalam analisis pola sebaran polusi udara digunakan kemantapan udara Pasquill, dalam hal ini stabilitas atmosfer dibagi dalam enam kelas yang didasarkan atas kecepatan angin, radiasi matahari, dan jumlah awan pada saat itu. Kemantapan (stabilitas) udara Pasquill secara periodik di Kota Cilegon pada pagi, siang, sore, dan malam hari, selengkapnya ditampilkan ditampilkan pada Tabel 14. Dari hasil analisis stabilitas atmosfer diperoleh bahwa stabilitas pada pagi, siang, sore dan malam hari mempunyai variasi antara A (sangat tidak stabil) sampai E (agak stabil), hal ini menunjukkan bahwa kondisi udara di Kota Cilegon berada antara labil mantap sampai agak stabil, sesuai dengan kriteria kemantapan udara Pasquill. Tabel 14. Kemantapan udara (stabilitas) Pasquill W a k t u Lokasi Cilegon A - C B D B - D D - E 5) Ketinggian pencampuran polutan (Mixing height) Selain kemantapan atmosfer tingkat lamanya polutan di dalam udara ditemukan pula kelembapan udara. Di Kota Cilegon kelembapan nisbi udara terendah 82% yang terjadi pada bulan September, sedangkan kelembapan nisbi udara tertinggi 87% pada bulan Februari dan Oktober. Untuk mengetahui keadaan lamanya polutan di dalam udara digunakan kriteria yang disebut mixing height yakni tebal lapisan atmosfer paling bawah yang memungkinkan terjadinya proses pencampuran sempurna. Tebal lapisan tersebut mulai dari permukaan sampai convective condensation level. Ketinggian level pengembunan dihitung dengan menggunakan persamaan 3.1. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada pagi hari mixing height lebih rendah dibandingkan dengan pada siang hari. Secara umum ketinggian lapisan pencampuran secara periodik di Kota Cilegon pada pagi, siang, sore dan malam hari selengkapnya ditampilkan pada Tabel 15.

75 55 Gambar 12. Mawar angin (windrose) Kota Cilegon (Sumber data: BMG stasiun klimatologi Serang)

76 56 Secara umum data iklim (hujan, suhu udara, kelembapan nisbi, lama penyinaran dan kecepatan angin) Kota Cilegon rata-rata Tahun 2001 sampai 2007, ditampilkan pada Tabel 16. Tabel 15. Ketinggian lapisan pencampuran (meter) W a k t u Lokasi Cilegon Sumber data: BMG Serang 4.2 Pencemaran Udara di Kawasan Industri Kawasan Industri Kota Cilegon memiliki tiga zona kawasan industri, yakni: zona Ciwandan, zona Krakatau Steel dan zona Pulomerak. Setiap zona terdiri dari beberapa pabrik dengan berbagai produk, bahan bakar dan tinggi cerobong yang digunakan berbeda-beda. Luas tanah yang digunakan untuk industri sebesar 17%. Jumlah pabrik di Kota Cilegon sebanyak 104 perusahaan, yang tersebar di berbagai kawasan industri. Jumlah pabrik di zona kawasan Krakatau Steel sebanyak 44 perusahaan, kawasan Ciwandan 21 perusahaan dan kawasan Pulomerak sebanyak 39 perusahaan, selengkapnya ditampilkan pada Tabel 33 pada Lampiran 1. Data industri yang diuraikan, yang berhubungan dengan studi ini meliputi: 1) Sumber pencemar Sumber pencemar yang dikaji dalam penelitian ini meliputi tiga zona kawasan industri yang didasarkan pada penggunaan bahan bakar dan tinggi cerobong masing-masing unit operasi. Berdasarkan survey lapang di kawasan industri Kota Cilegon, terdapat lima pabrik dari semua kawasan industri yang dominan mengemisikan polutan tinggi. Kelima pabrik tersebut didasarkan pada tinggi cerobong dan bahan bakar yang digunakan. Untuk zona KS, dipilih PT KS, PT Krakatau Daya Listrik (KDL), untuk zona Ciwandan, PT Chandra Asri, dan Pembangkit Listrik Cigading, sedangkan untuk zona Pulomerak adalah PT Indonesia Power.

77 57 Tabel 16. Data iklim Kota Cilegon No Unsur Iklim B u l a n Jan Feb Maret Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des Tahunan Hujan : 1 Curah hujan (mm) Hari hujan Suhu udara (C) 26,4 26,6 27,0 27,4 27,2 26,9 26,4 26,2 27,0 27,0 26,9 26,3 26,8 3 Kelembapan Nisbi (%) Lama Penyinaran (%) Kecepatan angin 0,2 1,9 3,0 3,0 2,5 3,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 4,0 2,3 rata-rata (m/s) Sumber data: Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Serang (rata-rata tahun 2001 sampai 2007)

78 58 2) Bahan bakar Bahan bakar yang digunakan pabrik di kawasan industri Cilegon berbeda-beda, secara umum ada lima jenis bahan bakar yang digunakan yakni: batubara, residu, solar, High Speed Diesel (HSD), Pyrolisis Fuel Oil (PFO) dan Marine Fuel Oil (MFO). Dalam pengoperasiannya PT Indonesia Power menggunakan bahan bakar batubara, HSD dan MFO. Bahan bakar batubara dan HSD digunakan untuk proses pembakaran unit 1 sampai unit 7, sedangkan untuk bahan bakar MFO hanya digunakan pada unit 1 sampai unit 4. PT Chandra Asri menggunakan bahan bakar solar, PFO dan MFO. Bahan bakar residu dan Bahan Bakar Gas (BBG) digunakan pembangkit listrik Cigading. PT Krakatau Daya Listrik menggunakan bahan bakar residu, sedangkan PT Krakatau Steel menggunakan bahan bakar HSD dan MFO. Jenis dan alokasi pemakaian bahan bakar selengkapnya ditampilkan pada Tabel 17. Tabel 17. Jenis dan alokasi pemakaian bahan bakar No Perusahaan Bahan Pemakaian Bakar ton/jam Liter/Bulan 1 PT Indonesia Power Batu bara HSD - 320,09 MFO PT Chandra Asri Solar 1,00 - PFO 3,72 - MFO 3,76-3 PT Cigading Residu 80,00 - BBG PT KS HSD MFO PT Krakatau Daya Listrik Residu 80,00 - Sumber: DLHPE Kota Cilegon (2006) 3) Cerobong Cerobong yang digunakan pabrik di kawasan industri, berbeda-beda, masingmasing pabrik memiliki beberapa cerobong dengan tinggi yang berbeda. Dari tiga kawasan industri, di zona Pulomerak, yakni di PT Indonesia Power memiliki 7 cerobong dengan tinggi meter. Adapun bentuk bagian-bagian dari cerobong,

79 59 ditampilkan pada Gambar 13. Gambar tersebut memvisualisasikan bentuk cerobong yang dipasang dengan Continuous Emitions Monitoring (CEM). Gambar diambil dari cerobong pabrik dedusting PT KS setinggi 80 meter. Gambar 13. Bentuk cerobong 4) Jenis produk dan kapasitas energi Pada dasarnya kegiatan produksi yang dilakukan PT KS merupakan satu kesatuan rangkaian proses produksi mulai dari bahan baku, berupa biji besi menjadi produk setengah jadi. Saat ini PT KS memiliki 7 (tujuh) unit fasilitas produksi (pabrik), yang terdiri dari: (1) Pabrik Besi Spons (Direct Reduction Plant), (2) Pabrik Baja Slab (Slab Steel Plant) I, (3) Pabrik Baja Slab (Slab Steel Plant)-2, (4) Pabrik Billet Baja (Billet Steel Plant), (5) Pabrik Batang Kawat (Wire Rod Mill), (6) Pabrik Canai Panas (Hot Strip Mill), dan (7) Pabrik Canai Dingin (Cold Rolling Mill). Pabrik besi spons atau Direct Reduction Plant (DRP) memproduksi besi spons, dengan kapasitas produksi antara 1,3 juta sampai 2 juta ton per tahun. Proses produksi dilakukan dengan cara mengubah pellet (Fe 2 O 3 ) menjadi biji spons dengan metoda reduksi langsung (Direct Reduction). Penggunaan energi yang dibutuhkan untuk pengoperasian indutsri DRP menggunakan listrik dengan pemakaian per bulannya sekitar 77,953 MW. Energi listrik tersebut disuplai oleh PT KDL. Pabrik baja slab atau Steel Slab Plant (SSP)-1 dilengkapi dengan empat buah dapur listrik (Electrical Furnace), dengan kapasitas masing-masing 130 ton liquid skill yang dilengkapi dengan mesin continuous casting. Produksi pabrik SSP-1 berupa slab sebagai bahan baku untuk pabrik Hot Strip Mill (HSM) dengan kapasitas

80 60 ton/tahun. Pabrik ini membutuhkan energi listrik sebesar KWH/bulan yang bersumber dari PT KDL. Selain listrik, pabrik ini juga menggunakan gas sebesar m 3 /bulan untuk kegiatan industri yang bersumber dari Perusahaan Gas Indonesia (PGI). Pabrik baja slab atau Steel Slab Plant (SSP)-2 pada dasarnya sama dengan pabrik SSP-1. Kapasitas produksinya mencapai ton/tahun. Pabrik ini membutuhkan energi listrik sebesar 93,5 MW, sedangkan per bulannya sebesar 39,6 juta KWH yang bersumber dari PT KDL. Selain listrik, pabrik ini juga menggunakan energi gas alam sebesar 659,520 Nm 3 /bulan untuk kegiatan industri yang bersumber dari PGI. Pabrik billet baja atau Billet Steel Plant (BSP) membutuhkan energi listrik dengan kapasitas 165 MW yang bersumber dari PT KDL. Pemakaian perbulannya berkisar 125 MW yang dibutuhkan untuk proses melting. Pabrik batang kawat atau Wire Rod Mill (WRM) menggunakan bahan baku hasil produksi pabrik BSP dengan berat 1,1 2,2 ton/batang billet. Kapasitas produksi pabrik batang kawat adalah ton/tahun. Energi yang digunakan di pabrik WRM adalah energi listrik, khususnya untuk proses rolling, dengan jumlah sebesar 20 MW yang disuplai dari PT KDL. Pabrik ini juga menggunakan energi gas yang disuplai dari Pertamina dengan kapasitas terpasang Nm 3 /jam sedangkan pemakaian per bulannya sebesar 1508 Nm 3 /jam. Pabrik canai panas atau Hot Strip Mill (HSM) menggunakan bahan baku slab yang berasal dari pabrik SSP-1 dan SSP-2 dengan kapasitas maksimum ton per tahun. Penggunaan energi yang dibutuhkan pabrik ini adalah energi listrik yang bersumber PT KDL dengan kapasitas terpasang sebesar KWH sedangkan rata-rata pemakaian per bulannya sebesar KWH. Pabrik canai dingin atau Cold Rolling Mill (CRM) menggunakan bahan baku yang berasal dari HSM dalam bentuk gulungan hot rolled coil (HRC) dengan volume ton per bulan. Kapasitas energi yang digunakan sebesar KWH yang bersumber dari PT KDL dengan pemakaian per bulannya sebesar KWH Aplikasi Model Screen3 Screen3 adalah dispersi model single-source yang dibangun oleh US EPA untuk mengestimasi konsentrasi maksimum pelbagai polutan. Model ini digunakan sebagai

81 61 penilaian awal untuk sumber titik dan sumber area (Jungers et. at. 2006). Berikut ditampilkan aplikasi model screen3 untuk menentukan konsentrasi maksimum polutan yang diemisikan dari cerobong pabrik. Output dari model ini akan didapat konsentrasi maksimum dan jarak polutan yang diemsikan dari setiap cerobong. a. Input data yang berhubungan dengan sumber emisi b. Input data yang berhubungan dengan data meteorologi Gambar 14. Model input data pada model screen3 Cara penggunan model tersebut hádala sebagai berikut: a. pada Title tulis judul analisis, kemudian pada Source Type pilih Point. Selanjutnya pada Dispersion Coeficient pilih Rural, sedangkan Flagpole Receptor tertulis

82 62 Receptor Height Above Ground, tulis 0 untuk ground level atau 1.5 m untuk ketinggian standar b. pada Point Source Parameters masukkan data tingkat emisi, tinggi stack, diameter dalam stack, kecepatan gas keluar dari stack, temperatur gas keluar dari stack, dan temperatur udara ambien. Setelah semua data diisi, kemudian clik option maka muncul layar Source Type: Point c. pada Terrain Option pilih: Simple Terrain untuk daerah yang simpel, Complex Terrain untuk daerah yang kompleks, dan Complex + Simple Terrain. Untuk Simple Terrain pilih Flat Terrain atau Elevated Terrain. Pada Choose At Least One Option pilih Automated Distances atau Discrete Distances, dan pada Option pilih Fumigation dan Building Downwash d. untuk berbagai stabilitas atmosfer pilih Single Stability Class and Wind Speed. Pada Stability Class pilih A sampai F (sesuai dengan stabilitas atmosfer suatu daerah), kemudian tulis kecepatan angin pada ketinggian 10 meter (dengan range 1 sampai 5 m/s) Sebaran Polutan di Kawasan Industri Berdasarkan penerapan model screen3, maka didapat jarak sebaran dan konsentrasi maksimum SO 2 dan debu yang jatuh pada permukaan tanah. Hasil running model screen3 pada berbagai stabilitas atmosfer dengan kecepatan angin rata-rata bulanan 2,5 m/s ditampilkan pada Tabel 18 sampai Tabel 20. Tabel 18. Jarak sebaran SO 2 dan debu dengan konsentrasi maksimum (μg/m 3 ) yang jatuh pada permukaan tanah di kawasan industri zona Pulomerak Stabilitas Atmosfer Sumber: PT Indonesi Power Unit 1-4 Sumber: PT Indonesi Power Unit 5-7 SO2 Debu SO2 Debu Jarak Stabilitas Jarak Sebaran Konsentrasi Konsentrasi Atmosfer Sebaran Konsentrasi Konsentrasi (m) Maksimum Maksimum (m) Maksimum Maksimum (μg/m 3 ) (μg/m 3 ) (μg/m 3 ) (μg/m 3 ) A , ,0000 A , ,9500 B , ,2000 B , ,9000 C , ,0000 C , ,8700 D , ,3000 D , ,3000 E , ,4000 E , ,8000

83 63 Tabel 19. Jarak sebaran SO 2 dan Debu dengan konsentrasi maksimum di kawasan industri zona KS Sumber: PT KDL Sumber: PT KS Stabilitas Atmosfer Jarak Sebaran (m) SO2 Debu Stabilitas SO2 Debu Jarak Konsentrasi Atmosfer Sebaran Konsentrasi Maksimum (m) Maksimum (μg/m 3 ) (μg/m 3 ) Konsentrasi Maksimum (μg/m 3 ) Konsentrasi Maksimum (μg/m 3 ) A , ,4700 A , ,1800 B , ,5900 B , ,7000 C , ,6500 C , ,3500 D , ,5900 D ,1900 8,0970 E ,1300 8,1430 E ,1630 4,5830 Tabel 20. Jarak sebaran SO 2 dan Debu dengan konsentrasi maksimum di kawasan industri zona Ciwandan Stabilitas Atmosfer Jarak Sebaran (m) Sumber: PT Candra Asri Konsentrasi Maksimum (μg/m 3 ) Konsentrasi Maksimum (μg/m 3 ) Sumber: PT Ciwandan SO2 Debu Stabilitas SO2 Debu Atmosfer Jarak Sebaran (m) Konsentrasi Maksimum (μg/m 3 ) Konsentrasi Maksimum (μg/m 3 ) A ,5785 0,0214 A ,5200 9,8940 B ,3811 0,0141 B ,1200 9,4150 C ,2849 0,0106 C ,2100 7,2350 D ,1031 0,0038 D ,6200 2,9220 E ,1682 0,0062 E ,9900 2,3960 Hasil analisis sebaran pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa jarak sebaran pada berbagai kondisi stabilitas atmosfer terlihat sangat bervariasi, sebagai berikut: a) zona Pulomerak Pada zona ini, pabrik yang dikaji adalah PT Indonesia Power yang dikenal sebagai PLTU Suralaya. Perusahaan ini memiliki tujuh cerbong, pada unit 1-4 cerobong yang digunakan setinggi 200 meter sedangkan pada unit 5-7 menggunakan cerobong setinggi 275 meter. Konsentrasi maksimum SO 2 dan debu yang diemisikan pada berbagai stabilitas atmosfer sangat bervariasi. Pada stabilitas sangat tidak stabil sampai netral (A D) jarak sebaran SO 2 dan debu semakin besar, sedangkan konsentrasi SO 2 dan debu yang diemisikan semakin kecil. Jarak sebaran SO 2 dan debu terbesar terjadi pada stabilitas D (netral) dan E (agak stabil). Sementara itu konsentrasi terbesar SO 2 dan debu yang diemisikan yang jatuh pada permukaan tanah terjadi pada stabilitas A yaitu pada kondisi udara labil mantap (very unstable). Penyebaran SO 2 dan

84 64 debu dapat terjadi sampai jarak puluhan ribu meter atau beberapa puluh kilometer dari sumbernya. SO 2 dan debu yang diemisikan mencapai meter. b) zona Kraktaua Steel (KS) Pada zona ini, pabrik yang dikaji adalah PT KS dan PT KDL. Jumlah cerobong pada PT KS sebanyak 25 cerobong dan PT KDL sebanyak 5 cerobong. Konsentrasi terbesar SO 2 dan debu yang jatuh pada permukaan tanah dari sumber PT KDL adalah pada stabilitas B yaitu pada kondisi udara cukup labil (moderate unstable). Sementara itu dari sumber PT KS konsentrasi terbesar SO 2 dan debu yang jatuh pada permukaan tanah adalah pada stabilitas A yaitu pada kondisi udara labil mantap (very unstable). Penyebaran SO 2 dan debu dapat terjadi sampai puluhan ribu meter atau beberapa puluh kilometer dari sumbernya. Secara umum SO 2 dan debu yang diemisikan pada stabilitas sangat tidak stabil sampai agak stabil (A E) menunjukkan semakin jauh jarak sebaran, semakin kecil konsentrasinya. c) zona Ciwandan Pada zona ini, pabrik yang dikaji adalah PT Candra Asri dan PT Cigading. Banyaknya cerobong pada PT Candra Asri 2 cerobong dan PT Cigading 5 cerobong. Konsentrasi terbesar SO 2 dan debu yang jatuh pada permukaan tanah adalah pada stabilitas A yaitu pada kondisi udara labil mantap (very unstable). Pada stabilitas A sampai D menunjukkan bahwa jarak sebaran semakin besar, sedangkan konsentrasi yang diemisikan semakin kecil. Kemudian pada stabilitas E yaitu pada saat kondisi udara agak stabil (slightly stable), baik jarak sebaran maupun konsentrasi SO 2 dan debu menurun. Penyebaran SO 2 dan debu dapat terjadi sampai puluhan ribu meter atau beberapa puluh kilometer dari sumbernya. Hasil analisis untuk setiap kondisi stabilitas atmosfer menunjukkan bahwa umumnya penyebaran SO 2 dan debu akan terkumpul di sekitar jarak maksimum dari sumber emisi, kemudian akan menyebar dengan konsentrasi yang menurun sampai jarak yang cukup jauh dari sumbernya. Konsentrasi maksimum SO 2 yang diemisikan dari unit 1 PLTU Suralaya sebagai fungsi jarak pada stabilitas A dengan kecepatan angin 2 m/s ditunjukkan pada Gambar 15.a sedangkan pada stabilitas B dengan kecepatan angin

85 65 yang sama ditunjukkan pada Gambar 15.b selengkapnya ditampilkan pada Gambar 31 dan 32 Lampiran 2. Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa pada stabilitas atmosfer A konsentrasi maksimum SO 2 berada pada kisaran ( ) μg/m 3 dengan jarak ( ) meter, sedangkan pada stabilitas B konsentrasi maksimum berada pada kisaran ( ) μg/m 3 dengan jarak 4000 meter. Jarak dan besarnya kadar polutan yang jatuh pada permukaan tanah selain dipengaruhi oleh stabilitas juga akan sangat dipengaruhi oleh besarnya sumber emisi dan ketinggian cerobong. Pada stabilitas E yaitu pada saat kondisi udara agak stabil (slightly stable), penyebaran polutan dapat terjadi sampai jarak puluhan ribu meter atau puluhan kilometer dari sumbernya. Konsentrasi terbesar (maksimum) yang jatuh pada permukaan tanah terjadi pada stabilitas A yaitu pada kondisi udara labil mantap (very unstable). Semakin stabil kondisi atmosfer, konsentrasi polutan di sekitar cerobong asap semakin kecil. Hal ini dikarenakan tingkat pengolakan udara lebih kecil sehingga polutan tidak banyak berdispersi atau menyebar. Hasil ini didukung oleh Ashraf dan Hoshyaripour (2008) yang membuat model untuk menganalisis CO pada stabilitas atmosfer dengan PTM (Pasquill-Turner Method). Cahyono (2005) yang meneliti sebaran SO 2 dan NO 2 dari industri di Bandung. Metode yang digunakan adalah semi top-down untuk data gradien menggunakan MM5. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa angin dapat membawa materi polutan melintasi batas kota dan negara sampai ratusan kilometer. Huang et.al. (2005) menganalisis dispersi polutan dengan kondisi non istermal di Kota Kawasaki Jepang. Hasil simulasi menunjukkan penyebaran polutan searah dengan arah angin. Kemudian Drew et.al. (2006) yang membuat model penyebaran bioaerosol dari fasilitas pupuk kompos, yang menyatakan bahwa pada kondisi very unstable konsentrasi bioaerosol pada ground level lebih tinggi dari pada kelas stablitias yang lain. Kapasitas emisi dari setiap kegiatan industri sangat tergantung pada jenis dan jumlah bahan bakar yang digunakan dalam setiap proses produksi. Berdasarkan analisis sebaran pada kecepatan angin 1 m/s debu dan SO 2 yang diemisikan dari kawasan industri sebagai berikut: dari zona Ciwandan pada stabilitas A (sangat tidak stabil) dan B (tidak stabil menengah) masih di dalam kawasan, sedangkan pada stabilitas C E (sedikit tidak stabil sampai agak stabil) menyebar sampai ke luar kawasan industri; dari

86 66 zona KS pada stabilitas A C masih di dalam kawasan, sedangkan pada stabilitas D E (netral sampai agak stabil) menyebar sampai ke luar kawasan industri; dan dari zona Pulomerak, pada stabilitas A masih di dalam kawasan, sedangkan pada stabilitas B E menyebar sampai ke luar kawasan industri. a. Jarak versus konsentrasi pada stabilitas A dengan v = 2,5 m/s b. Jarak versus konsentrasi pada stabilitas B dengan v = 2,5 m/s Gambar 15. Konsentrasi maksimum SO 2 sebagai fungsi jarak Pada kecepatan angin 2,5 m/s (rata-rata bulanan), debu dan SO 2 yang diemisikan dari kawasan industri sebagai berikut: dari zona Ciwandan pada stabilitas A C masih di dalam kawasan, sedangkan pada stabilitas D E menyebar sampai ke luar kawasan

87 67 industri; dari zona KS pada stabilitas A C masih di dalam kawasan, sedangkan pada stabilitas D E menyebar sampai ke luar kawasan industri; dan dari zona Pulomerak, pada stabilitas A B masih di dalam kawasan, sedangkan pada stabilitas C E menyebar sampai ke luar kawasan industri. Sementara itu jarak sebaran polutan, kecuali tergantung pada stabilitas atmosfer juga tergantung pada kecepatan angin dan tinggi cerobong. Semakin besar kecepatan angin, konsentrasi polutan di sekitar cerobong asap semakin besar. Hal ini dikarenakan polutan akan lebih cepat mencapai lokasi tertentu karena terbawa angin. Selain itu, angin yang lebih kencang akan lebih cepat membelokkan polutan saat bergerak naik sehingga lintasan pergerakan polutan akan lebih dekat dengan permukaan tanah. Contour sebaran polutan yang menyebar ke luar kawasan industri pada kecepatan angin 2,5 m/s dari kawasan industri di Kota Cilegon, disajikan pada Gambar 16. Gambar 16. Contour sebaran SO 2 dari kawasan industri Dari gambar tersebut tampak bahwa, dari tiga zona kawasan industri yang ada di Kota Cilegon sebaran polutan yang menyebar ke luar kawasan industri adalah dari zona Pulomerak. Hal ini disebabkan pada zona tersebut, menggunakan tinggi cerobong 200-

88 meter. Sementara itu dari zona Ciwandan, sebarannya masih di sekitar kawasan industri. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Bapedalda Banten (2002) yang menyatakan bahwa sebaran polutan yang menyebar di provinsi Banten diemisikan dari PLTU Suralaya. Kemudian Bokowa dan Liu (2003) yang mengestimasi kebauan yang diemisikan dari sumber fugitive dengan menggunakan model screen Hasil Pengukuran Emisi di Kawasan Industri Iklim Pengukuran iklim yang dilakukan merupakan pengukuran sesaat dan dalam skala mikro yang meliputi parameter suhu lingkungan, kelembapan dan kecepatan serta arah angin. Pengukuran dilakukan di enam lokasi, yaitu di Lebak Gede, Cipala Dua, Brigil, Gunung Gede, Perumahan UBP Suralaya, dan Tapak UBP Suralaya. Tabel 21 memperlihatkan iklim mikro di sekitar UBP Suralaya. Temperatur lingkungan maksimum yang terukur pada Bulan Mei Tahun 2007 berkisar antara (30 33) o C, sedangkan temperatur lingkungan minimum yang terukur berkisar antara (27,5 31,2) o C. Terjadinya perbedaan suhu lingkungan tersebut erat kaitannya dengan intensitas penyinaran matahari dan kelembapan yang terjadi pada saat pengukuran dilakukan. Kelembapan maksimum bervariasi antara (61 91)%, sedangkan kelembapan minimum yang terukur berkisar antara (60 81)%. Tabel 21. Hasil pengukuran iklim mikro di sekitar UBP Suralaya Bulan Januari 2005 Juni 2007 Temperatur Kecepatan ( o Kelembapan % Arah Angin No Lokasi Pengkuran C) Angin ke Min Max Min Max Min Max 1 Lebak Gede 28,0 31,2 61,0 85,0 0,2 2, Cipala Dua 28,5 30,0 60,0 91,0 0,4 2, Brigil 29,0 31,0 61,0 75,0 0,4 1, Gunung Gede 28,0 33,0 61,0 61,0 0,8 2, Perumahan UBP Suralaya 31,2 33,0 63,5 82,0 0,4 3, Tapak UBP Suralaya 27,5 30,9 67,7 84,8 0,4 1, Pengukuran temperatur menunjukkan suhu lingkungan tertinggi terukur di Gunung Gede dan Perumahan UBP sebesar 33 o C dan suhu terendah terukur di Tapak UBP sebesar 27,5 o C. Kelembapan udara yang terukur cenderung menunjukkan penurunan kadar kelembapan, dengan kelembapan udara terendah tercatat di Cipala Dua

89 69 sebesar 60%, sedangkan kelembapan tertinggi juga terjadi di Cipala Dua yaitu sebesar 91%. Arah dan kecepatan angin menunjukkan karakteristik atmosfer yang berbeda. Hal ini ditunjukkan dengan kecepatan angin yang jauh lebih tinggi, yaitu antara (0,2 3,2) m/det. Kondisi cuaca cerah dan berawan di beberapa tempat dengan arah angin bertiup ke arah barat Emisi Pencemar Udara Sesuai dengan Kep.MENLH No.KEP.13/MENLH/3/1995 Lampiran A III tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak untuk kegiatan pembangkitan listrik tenaga uap berbahan bakar batubara, maka parameter pencemar yang harus dipantau adalah total partikel SO 2, dan NO 2. Mengacu pada lampiran A III, hasil pengukuran emisi pada pemantauan ini (khusus untuk parameter SO 2 ) cenderung menunjukkan peningkatan konsentrasi di beberapa lokasi PT Indonesia Power (zona Pulomerak) A. Emisi Gas SO 2 Kisaran konsentrasi emisi SO 2 minimum yang terukur pada suhu baku 25 o C dan tekanan 1 atmosfer pada bulan Maret Tahun 2007 adalah 127,44 μg/m 3 di cerobong Unit 4 hingga maksimum terukur sebesar 441,37 μg/m 3 di cerobong Unit 1. Pengambilan sampel emisi dilakukan pada 7 (tujuh) cerobong UBP Suralaya unit 1 sampai unit 7 untuk zona Pulomerak. Hasil pengukuran emisi SO 2 pada bulan Mei 2007 cenderung menunjukkan peningkatan konsentrasi, tetapi di beberapa lokasi menunjukkan penurunan konsentrasi. Konsentrasi SO 2 minimum terukur di Unit 5 sebesar 258,39 μg/m 3 dan maksimum terukur di Unit 4 dengan konsentrasi sebesar 414,14 μg/m 3. Emisi gas SO 2 di tujuh cerobong UBP Suralaya pada bulan Mei Tahun 2007 ditampilkan pada Tabel 22 dan Gambar 17. Apabila mengacu pada baku mutu KepMen LH No. 13 Tahun 1995 Lampiran A III, maka hasil pemantauan emisi di semua cerobong tidak ada yang melampaui baku mutu yang ditetapkan, yaitu sebesar 750 μg/m 3. Tinggi rendahnya emisi SO 2 yang terukur sangat dipengaruhi oleh kandungan sulfur dalam batubara yang digunakan.

90 70 Tabel 22. Hasil pengukuran emisi SO 2 pada suhu baku 25 o C dan tekanan 1 atmosfer di cerobong UBP Suralaya Bulan Januari 2005 Juni 2007 No Cerobong Satuan Periode 1 Periode 2 Periode 3 Periode 4 Periode 1 Periode 2 Periode 3 Periode 4 Periode 1 Periode 2 1 Unit 1 μg/m 3 654,00 571,00 582,00 720,00 648,00 734,00 718,00 587,00 441,37 295,57 2 Unit 2 μg/m 3 654,00 571,00 465,00 687,00 645,00 701,00 615,00 686,00 348,34 323,36 3 Unit 3 μg/m 3 524,00 605,62 675,00 703,00 586,00 701,00 747,00 588,00 232,72 378,82 4 Unit 4 μg/m 3 524,00 682,99 425,00 720,00 513,00 567,00 620,00 653,00 127,44 414,14 5 Unit 5 μg/m 3 327,00 699,77 327,00 458,00 488,50 267,00 489,00 424,00 201,77 258,39 6 Unit 6 μg/m 3 458,00 571,65 425,00 450,00 439,60 501,00 522,00 359,00 262,63 309,47 7 Unit 7 μg/m 3 458,00 536,69 327,00 408,00 342,00 367,00 554,00 294,00 288,64 271,50 Baku Mutu μg/m a. Hasil pengukuran emisi SO2 di Cerobong UBP Suralaya (Unit 1-4) SO2 (ug/m3) P1-05 P2-5 P3-05 P4-05 P1-06 P2-06 P3-06 P4-06 P1-07 P2-07 Periode Pemantauan Unit 1 Unit 2 Unit 3 Unit 4 BM b. Hasil pengukuran emisi SO2 di Cerobong UBP Suralaya (Unit 5-7) SO2 (ug/m3) P1-05 P2-5 P3-05 P4-05 P1-06 P2-06 P3-06 P4-06 P1-07 P2-07 Periode Pemantauan Unit 5 Unit 6 Unit 7 BM Gambar 17. Hasil pengukuran emisi SO 2 pada suhu baku 25 o C dan tekanan 1 atmosfer di PLTU Suralaya

91 71 B. Emisi Total Partikel/Debu Total partikel yang terukur pada suhu baku 25 o C dan tekanan 1 atmosfer, saat pemantauan periode 2 Tahun 2007 berkisar antara (94,24 129,68) μg/m 3, konsentrasi terendah terukur di cerobong unit 4 dan tertinggi tercatat di cerobong unit 2. Pengukuran emisi debu pada periode 4 Tahun 2006 menunjukkan penurunan konsentrasi di semua unit, kecuali di cerobong unit 5 yang mengalami peningkatan konsentrasi yang cukup berarti dibandingkan dengan hasil pengukuran emisi debu pada periode 3 Tahun 2005, yaitu sebesar 109 μg/m 3 menjadi 143 μg/m 3 pada periode 4 Tahun Dibandingkan dengan hasil pengukuran emisi debu periode 4 Tahun 2006, pengukuran emisi debu pada periode 1 Tahun 2007 cenderung menunjukkan peningkatan konsentrasi, namun di beberapa lokasi menunjukkan penurunan konsentrasi. Hasil pengukuran emisi debu periode 1 Tahun 2007 di unit 5 kembali menunjukkan penurunan konsentrasi menjadi 102,57 μg/m 3. Konsentrasi emisi debu di unit 6 pada pengukuran periode 1 Tahun 2007 juga menurun dibandingkan dengan pengukuran periode 4 Tahun Pada periode 2 Tahun 2007 pengukuran emisi debu di unit 5 menunjukkan sedikit peningkatan konsentrasi yaitu mejadi 111,91 μg/m 3. Peningkatan konsentrasi emisi debu pada pengukuran periode 2 Tahun 2007 terjadi pada cerobong unit 2, 4, 5, dan 6. Peningkatan emisi debu pada cerobong unit 2 dan unit 6 hampir dua kali lipat dibandingkan dengan pengukuran debu pada periode 1 Tahun Konsentrasi emisi debu pada periode 1 Tahun 2007 di unit 2 sebesar 73,99 μg/m 3 menjadi 129,68 μg/m 3 pada periode 2 Tahun Di unit 6 sebesar 64,18 μg/m 3 pada periode 1 Tahun 2007 menjadi 109,83 μg/m 3 pada periode 2 Tahun Apabila mengacu pada baku mutu yang diijinkan untuk emisi debu sebesar 150 μg/m 3 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Kep.13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu udara emisi sumber tidak bergerak untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap Berbahan bakar Batubara, berlaku efektif Tahun Hasil pengukuran emisi debu di semua cerobong ada yang melampaui baku mutu yang ditetapkan. Pengukuran periode 2 Tahun 2005 unit 1 dan unit 5 melampaui batas baku mutu yang ditetapkan. Kemudian pada periode tiga, tahun yang sama unit 1, 2 dan 5 melampaui batas baku mutu yang ditetapkan. Pada unit emisi total partikel/debu di tujuh cerobong UBP Suralaya pada periode dua, Tahun 2007 selengkapnya ditampilkan pada Tabel 23 dan Gambar 18.

92 72 Tabel 23. Hasil pengukuran emisi debu pada suhu baku 25 o C dan tekanan 1 atmosfer di cerobong UBP Suralaya Bulan Januari 2005 Juni 2007 No Cerobong Satuan Periode 1 Periode 2 Periode 3 Periode 4 Periode 1 Periode 2 Periode 3 Periode 4 Periode 1 Periode 2 1 Unit 1 μg/m 3 127,00 250,59 172,00 148,00 130,00 197,00 148,00 115,00 130,10 99,95 2 Unit 2 μg/m 3 134,00-640,00 132,00 149,00 164,00 71,00 57,00 73,99 129,68 3 Unit 3 μg/m 3 107,00 61,39 121,00 18,00 52,00 32,00 154,00 77,00 132,97 117,38 4 Unit 4 μg/m 3-21,61 147,00 142,00 27,00 14,00 87,00 58,00 83,12 94,24 5 Unit 5 μg/m 3 91,00 352,87 161,00 11,00 44,00 80,00 109,00 143,00 102,57 119,91 6 Unit 6 μg/m 3 37,00 16,22 127,00 96,00 45,00 110,00 140,00 139,00 64,18 109,83 7 Unit 7 μg/m 3 89,00 19,46 48,00 58,00 58,00 147,00 149,00 116,00 146,65 126,93 a. Hasil pengukuran emisi Debu di Cerobong UBP Suralaya (Unit 1-4) Debu (ug/m3) P1-05 P2-5 P3-05 P4-05 P1-06 P2-06 P3-06 P4-06 P1-07 P2-07 Periode Pemantauan Unit 1 Unit 2 Unit 3 Unit 4 BM b. Hasil pengukuran emisi Debu di Cerobong UBP Suralaya (Unit 5-7) Debu (ug/m3) P1-05 P2-5 P3-05 P4-05 P1-06 P2-06 P3-06 P4-06 P1-07 P2-07 Periode Pemantauan Unit 5 Unit 6 Unit 7 BM Gambar 18. Hasil pengukuran emisi debu pada suhu baku 25 o C dan tekanan 1 atmosfer di PLTU Suralaya

93 PT Krakatau Steel (zona KS) A. Emisi Gas SO 2 Konsentrasi emisi SO 2 yang terukur pada suhu baku 25 o C dan tekanan 1 atmosfer pada bulan September Tahun 2007 tertinggi di SSP2 sebesar 126,30 μg/m 3. Untuk zona KS pengambilan sampel dilakukan di PT Krakatau Steel pada 4 cerobong Krakatau Daya Listrik (KDL) dan 25 cerobong yang menyebar pada berbagai unit pengolahan, seperti: Direct Reduction Plant (DRP), Steel Slab Plant (SSP) dan Billet Steel Plant (BSP). Hasil pengukuran emisi SO 2 pada periode ini cenderung menunjukkan peningkatan konsentrasi, tetapi di beberapa lokasi menunjukkan penurunan konsentrasi. Konsentrasi SO 2 minimum terukur di SSP1 dan BSP. Emisi gas SO 2 di empat lokasi PT Krakatau Steel pada bulan September Tahun 2007 selengkapnya ditampilkan pada Tabel 25. Apabila mengacu pada baku mutu KepMen LH No.13 Tahun 1995 Lampiran A III maka hasil pemantauan emisi di semua cerobong tidak ada yang melampaui baku mutu yang ditetapkan, yaitu sebesar 750 μg/m 3. Tinggi rendahnya emisi SO 2 yang terukur sangat dipengaruhi oleh kandungan sulfur dalam bahan bakar yang digunakan. Tabel 24. Hasil pengukuran emisi SO 2 pada suhu baku 25 o C dan tekanan 1 atmosfer di lokasi PT KS No Lokasi Satuan Nop-05 Agust-06 Nop-06 Mart-07 Sept-07 1 SSP1 μg/m 3 5,00 5,00 5,00 5,00 0,00 2 SSP2 μg/m 3-6,61 5,00 5,00 126,30 3 DRP2 μg/m ,02 20,70 87,00 4 BSP μg/m 3 5,00 5,00 5,00 5,00 0,00 B. Emisi Total Partikel/Debu Hasil pengukuran emisi debu pada suhu baku 25 o C dan tekanan 1 atmosfer pada bulan Maret 2007 cenderung menunjukkan peningkatan konsentrasi. Konsentrasi debu minimum terukur di DRP2 sebesar 0,67 μg/m 3. Konsentrasi maksimum terukur di SSP2 sebesar 21,54 μg/m 3. Hasil pengukuran emisi debu pada bulan September 2007 terjadi penurunan konsentrasi di semua lokasi pabrik. Konsentrasi minimum terjadi di DRP2 sebesar 0,46 μg/m 3 dan maksimum terjadi di SSP1 sebesar 2,99 μg/m 3. Hasil pengukuran emisi debu di semua lokasi secara kualitatif masih jauh berada di bawah

94 74 baku mutu yang ditetapkan dalam PP 41/99 sebesar 150 μg/m 3. Emisi debu di empat lokasi PT Krakatau Steel bulan September Tahun 2007 selengkapnya ditampilkan pada Tabel 25 dan Gambar 19. Tabel 25. Hasil pengukuran emisi debu pada suhu baku 25 o C dan tekanan 1 atmosfer di lokasi PT KS No Lokasi Satuan Nop-05 Agust-06 Nop-06 Mart-07 Sept-07 1 SSP1 μg/m 3 10,00 56,00 12,30 12,50 2,99 2 SSP2 μg/m ,70 21,54 1,28 3 DRP2 μg/m ,82 0,67 0,46 4 BSP μg/m 3 59,26 28,57 13,33 12,31 0,54 SO2 (ug/m3) a. Hasil pengukuran emisi SO2 di PT KS Nop-05 Agust-06 Nop-06 Mart-07 Sept-07 Periode SSP1 SSP2 DRP2 BSP Debu (ug/m3) b. Hasil pengukuran emisi Debu di PT KS Nop-05 Agust-06 Nop-06 Mart-07 Sept-07 Periode SSP1 SSP2 DRP2 BSP Gambar 19. Hasil pengukuran emisi SO 2 dan debu pada suhu baku 25 o C dan tekanan 1 atmosfer di PT KS

95 Validasi Model Emisi Berdasarkan analisis sebaran, bahwa pada kecepatan angin 1 m/s SO 2 dan debu yang diemisikan dari zona Ciwandan pada stabilitas A (sangat tidak stabil) dan B (tidak stabil menengah) masih di dalam kawasan, sedangkan pada stabilitas C (sedikit tidak stabil) sampai E (agak stabil) menyebar sampai ke luar kawasan industri. Kemudian pada zona KS SO 2 dan debu yang diemisikan sampai ke luar kawasan industri terjadi pada stabilitas D (netral) dan E (agak stabil). Sementara itu pada zona Pulomerak SO 2 dan debu yang diemisikan sampai ke luar kawasan industri terjadi pada stabilitas B (tidak stabil menengah) sampai E (agak stabil). Perbedaan jarak sebaran diakibatkan oleh tinggi cerobong yang digunakan. Semakin tinggi cerobong asap, konsentrasi polutan di sekitar cerobong asap semakin kecil karena lintasan pergerakan polutan otomatis akan lebih jauh. Untuk menilai kehandalan model emisi yang telah digunakan, maka hasil dari model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Pengukuran emisi SO 2 dan debu dilakukan di dua kawasan industri. Hasil analisis program model dengan pengukuran emisi SO 2 dan debu yang dilakukan di kawasan Pulomerak dan kawasan Krakatau Steel, selengkapnya ditampilkan pada Tabel 26 dan 27, dan Gambar 20 dan 21. Tabel 26. Hasil pengukuran dan model emisi SO 2 dan Debu di PLTU Suralaya No Lokasi Pengukuran Stabilitas A B C D E SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu 1 Unit-1 295,57 99,95 866,00 143,00 374,40 127,20 245,30 107,00 24,85 94,30 12,68 63,40 2 Unit-2 323,36 129,68 866,00 143,00 374,40 127,20 245,30 107,00 24,85 94,30 12,68 63,40 3 Unit-3 378,82 117,38 866,00 143,00 374,40 127,20 245,30 107,00 24,85 94,30 12,68 63,40 4 Unit-4 414,14 94,24 866,00 143,00 374,40 127,20 245,30 107,00 24,85 94,30 12,68 63,40 5 Unit-5 258,39 119,91 592,40 132,95 237,20 119,90 148,90 106,87 4,82 98,30 1,07 73,80 6 Unit-6 309,47 109,83 592,40 132,95 237,20 119,90 148,90 106,87 4,82 98,30 1,07 73,80 7 Unit-7 271,50 126,93 592,40 132,95 237,20 119,90 148,90 106,87 4,82 98,30 1,07 73,80 Emisi SO 2 yang ditunjukkan pada Gambar 20 hasil model yang mendekati hasil pengukuran pada stabilitas B (tidak stabil menengah) yaitu pada kisaran waktu siang dan sore hari pukul sampai dengan kecepatan angin rata-rata bulanan 2,5 m/s. Hal ini sesuai dengan saat waktu pengukuran yang berlangsung di kawasan Pulomerak. Sementara itu pada saat pengukuran di kawasan Krakatau Steel berlangsung

96 76 dari pagi sampai malam hari. Pada Gambar 21 ditunjukkan bahwa angka kisaran hasil model pada berbagai stabilitas memenuhi hasil pengukuran. Emisi debu yang ditunjukkan pada ke dua gambar tersebut, yang diemisikan dari kawasan Pulomerak dan kawasan Krakatau Steel pada berbagai stabilitas angka hasil model berbeda jauh dengan hasil pengukuran. a. Hasil pengukuran dan model emisi SO2 PLTU Suralaya Konsentrasi Unit-1 Unit-2 Unit-3 Unit-4 Unit-5 Unit-6 Unit-7 Pengukur an Stabi l i tas A Stabi l i tas B Lokasi Pabrik Stabi l i tas C Stabi l i tas D Stabi l i tas E b. Hasil pengukuran dan model emisi Debu PLTU Suralaya Konsentrasi Unit-1 Unit-2 Unit-3 Unit-4 Unit-5 Unit-6 Unit-7 Pengukur an Stabi l i tas A Stabi l i tas B Stabilitas C Stabi l i tas D Stabi l i tas E Lokasi Pabrik Gambar 20. Hasil pengukuran dan model di PLTU Suralaya

97 77 Tabel 27. Hasil pengukuran dan model emisi SO 2 dan Debu di Krakatau Steel Stabilitas Pengukuran No Lokasi A B C D E SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu 1 SSP-1 5,00 12,50 7,205 28,890 7,795 39,480 6,200 31,420 2,752 13,980 3,143 16,490 2 SSP-2 5,00 21,54 7,173 28,720 7,698 38,500 6,117 30,600 2,709 13,550 2,997 14,990 3 HYL 154,10 4,00 194,330 27, ,380 26, ,690 20, ,190 8, ,163 4,583 4 DRP-2 20,70 0,67 72,780 2,880 80,120 3,899 63,820 3,101 28,450 1,376 34,960 1,572 5 BSP 5,00 13,30 7,237 28,890 7,893 39,480 6,282 31,420 2,794 13,980 3,297 16, a. Hasil pengukuran dan model emisi SO2 PT KS 200 Konsentrasi SSP-1 SSP-2 HYL DRP-2 BSP Pengukur an Stabilitas A Stabilitas B Stabilitas C Stabilitas D Stabilitas E Lokasi Pabrik Konsentrasi b. Hasil pengukuran dan model emisi Debu PT KS SSP-1 SSP-2 HYL DRP-2 BSP Pengukur an Stabilitas A Stabi l i tas B Lokasi Pabrik Stabilitas C Stabilitas D Stabi l i tas E Gambar 21. Hasil pengukuran dan model di PT KS

98 78 Untuk menilai kehandalan model emisi yang telah digunakan, maka hasil dari model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hasil analisis program model dengan pengukuran emisi SO 2 dan debu untuk kawasan industri yang dilakukan di kawasan Pulomerak dan kawasan Krakatau Steel, selengkapnya ditampilkan pada Tabel 28. Pada Tabel 28a untuk kawasan Pulomerak konsentrasi SO 2 yang diemisikan dari Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Suralaya pada unit-1 sampai unit-4 diperoleh rata-rata hasil model sebesar 304,646 μg/m 3 dengan simpangan baku 312,01. Kemudian dianalisis dengan menggunakan persamaan 3.9 untuk memperoleh nilai mutlak z-score. Pada unit-1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,183 pada unit-2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,377 pada unit-3 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,492 dan pada unit-4 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 2,203. Kemudian pada unit-5 sampai unit-7 diperoleh rata-rata hasil model sebesar 197,878 μg/m 3 dengan simpangan baku 21,707. Pada unit-5 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,589 pada unit-6 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,079 dan pada unit-7 diperoleh nilai mutlak z- score sebesar 0,715. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk pencemar SO 2 pada unit-1, unit-2, unit-3, unit-5, unit-6, dan unit-7 aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang dapat diterima (acceptable performance). Sementara itu pada unit-4 aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang diragukan (questionable performance). Hal ini disebabkan karena input data pada program model menggunakan data emisi yang sama. Berdasarkan data pada Tabel 28b untuk kawasan Krakatau Steel konsentrasi SO 2 yang diemisikan sebagai berikut: pada unit BSP diperoleh rata-rata hasil model sebesar 5,501 μg/m 3 dengan simpangan baku 2,075 pada unit SSP1 rata-rata hasil model sebesar 5,419 μg/m 3 dengan simpangan baku 2,085 pada unit SSP2 rata-rata hasil model sebesar 5,339 μg/m 3 dengan simpangan baku 2,095 pada unit DRP2 rata-rata hasil model sebesar 56,026 μg/m 3 dengan simpangan baku 20,621 dan pada unit HYL rata-rata hasil model sebesar 146,751 μg/m 3 dengan simpangan baku 29,230. Pada unit BSP diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,610 pada unit SSP1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,461 pada SSP2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,342 pada unit DRP2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 5,522 dan pada unit HYL diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,435. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk pencemar SO 2 pada unit BSP,

99 79 unit SSP1, unit SSP2, dan unit HYL aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang dapat diterima (acceptable performance). Akan tetapi pada unit DRP2 aplikasi model termasuk pada ketgori hasil yang diragukan (questionable performance). Hasil verifikasi pada berbagai stabilitas atmosfer menunjukkan bahwa emisi pencemar udara SO 2 hasil pengukuran pada umumnya masih memenuhi kisaran angka yang dihasilkan model. Secara umum hasil analisis sebaran emisi SO 2 di kawasan industri dengan model screen3 termasuk pada kategori hasil yang dapat diterima (acceptable performance). Tabel 28a. Angka hasil pendugaan menurut model scree3 dan data hasil pengukuran dalam satuan μg/m 3 emisi SO 2 dan debu di Kawasan Industri Pulomerak SO2 Debu No Lokasi M M P P Minimal Maksimal Minimal Maksimal 1 Unit-1 295,57 12,68 866,00 99,95 63,40 143,00 2 Unit-2 323,36 12,68 866,00 129,68 63,40 143,00 3 Unit-3 378,82 12,68 866,00 117,38 63,40 143,00 4 Unit-4 414,14 12,68 866,00 94,24 63,40 143,00 5 Unit-5 258,39 1,07 592,40 119,91 73,80 132,95 6 Unit-6 309,47 1,07 592,40 109,83 73,80 132,95 7 Unit-7 271,50 1,07 592,40 126,93 73,80 132,95 Tabel 28b. Angka hasil pendugaan menurut model screen3 dan data hasil pengukuran dalam satuan μg/m 3 emisi SO 2 dan debu di Kawasan Industri Krakatau Steel SO2 Debu No Lokasi M M P P Minimal Maksimal Minimal Maksimal 1 SSP1 5,000 2,752 7,795 12,500 13,980 39,480 2 SSP2 5,000 2,709 7,698 21,540 13,550 38,500 3 HYL 154, , ,330 4,000 4,583 27,180 4 DRP2 20,700 28,450 80,120 0,670 1,376 3,899 5 BSP 5,000 2,794 7,893 13,300 13,980 39,480 Keterangan : M = angka menurut model P = data hasil pengukuran Konsentrasi debu yang diemisikan dari UBP Suralaya pada unit-1 sampai unit-4 diperoleh rata-rata hasil model sebesar 106,980 μg/m 3 dengan simpangan baku 27,446. Pada unit-1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,204 pada unit-2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 3,887 pada unit-3 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,781

100 80 dan pada unit-4 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 2,182. Kemudian pada unit-5 sampai unit-7 diperoleh rata-rata hasil model sebesar 106,364 μg/m 3 dengan simpangan baku 20,079. Pada unit-5 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 3,415 pada unit-6 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,807 dan pada unit-7 diperoleh nilai mutlak z- score sebesar 5,428. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk pencemar debu pada unit-1, unit-3, dan unit-6 aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang dapat diterima (acceptable performance). Kemudian pada unit unit-4 aplikasi model termasuk pada ketgori hasil yang diragukan (questionable performance), sedangkan pada unit-5 dan unit-7 aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang tidak dapat diterima (unacceptbale performance). Sementara itu konsentrasi debu yang diemisikan dari kawasan Krakatau Steel sebagai berikut: pada unit BSP diperoleh rata-rata hasil model sebesar 26,052 μg/m 3 dengan simpangan baku 9,533 pada unit SSP1 rata-rata hasil model sebesar 26,025 μg/m 3 dengan simpangan baku 9,333 pada unit SSP2 rata-rata hasil model sebesar 25,272 μg/m 3 dengan simpangan baku 9,575 pada unit DRP2 ratarata hasil model sebesar 2,566 μg/m 3 dengan simpangan baku 0,956 dan pada unit HYL rata-rata hasil model sebesar 17,382 μg/m 3 dengan simpangan baku 9,399. Pada unit BSP diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 3,154 pada unit SSP1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 3,351 pada SSP2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,893 pada unit DRP2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,906 dan pada unit HYL diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 2,197. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk emisi pencemar debu pada unit SSP2, dan unit DRP2 aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang dapat diterima (acceptable performance). Sementara itu pada unit HYL aplikasi model termasuk pada ketgori hasil yang diragukan (questionable performance) dan pada unit BSP dan SSP1 aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang tidak dapat diterima (unacceptable performance). Secara umum model screen3 untuk menganalisis sebaran emisi debu di kawasan industri termasuk pada kategori hasil yang diragukan. Dalam menganalisis emisi debu di kawasan tersebut, perlu diperhatikan kandungan partikel pada bahan bakar yang digunakan karena akan berimplikasi pada debit emisi pencemar yang diemisikan masing-masing sumber. Aplikasi model screen3 untuk kawasan industri memiliki kelemahan dan kelebihan dalam menganalisis sebaran polutan. Hal ini ditunjukkan adanya pebedaan

101 81 hasil dalam menganalisis sebaran SO 2 dan debu di kawasan industri Cilegon. Kelebihan model screen3 dalam menganalisis sebaran, lebih cepat serta membutuhkan input yang sederhana. Bentuk dan tinggi bangunan, dan posisi cerobong dengan menggunakan model ini, tidak diperhitungkan. Sementara itu kelemaham hasil model ditunjukkan dengan perbedaan hasil analisis, hal ini terjadi karena banyaknya cerobong dengan tinggi yang berbeda pada masing-masing unit operasi. Aplikasi model screen3 dalam menganalisis sebaran, harus di running pada setiap tinggi cerobong. Jika dalam setiap unit operasi terdapat 4 cerobong, maka harus dilakukan running sebanyak empat kali. Berdasarkan hasil survey, perbedaan tinggi cerobong pada masing-masing unit operasi menunjukkan perbedaan kapasitas bahan bakar yang digunakan oleh pabrik tersebut. Dengan kata lain model screen3 terdapat kelemahan, jika diaplikasikan pada kawasan industri, karena tidak memperhitungkan posisi cerobong pada setiap unit operasi pada masing-masing pabrik. 4.5 Prediksi Sebaran Polutan di Kota Cilegon Pemecahan Model Prediksi Penyebaran pencemar udara selain berlangsung melalui proses difusi, juga dipengaruhi oleh aliran atau gesekan udara yang disebut proses konveksi. Model yang digunakan, diturunkan dari persamaan umum transpor dengan memperhitungkan efek difusi-konveksi. Analisis aliran penyebaran pencemar merupakan bentuk umum hukum konservasi massa. Model yang dibangun untuk memprediksi laju penyebaran pencemar udara dengan memperhatikan sumber emisi, dikembangkan dari persamaan 3.3. Dalam pembentukan grid pada volume kontrol dilakukan pada kasus satu dimensi, seperti tampak pada Gambar 22. Titik P merupakan sebuah titik node umum dan titik sekitarnya yang lain pada geometri satu dimensi, sebagai misal di sini dari arah barat ke timur, node ke arah barat diidentifikasi sebagai W dan ke timur sebagai E. Volume kontrol yang mengarah ke barat adalah w dan yang mengarah ke timur adalah e. Jarak antara node w dan p dan antara node p dan e diidentifikasi sebagai δx wp dan δx pe, sedangkan lebar volume kontrol Δx = δx we.

102 82 δ x wp δ xpe δ x we waktu t ke t Gambar 22. Volume kontrol sekitar Node p Integrasi finite volume persamaan 3.3 pada volume kontrol (CV), dengan interval +Δt sebagai berikut: t+δ t t+δ t t+δt ( ρφ ) dt dv + n. ( ρuφ ) da dt t ( ) t+δt = n. Γ gradφ da dt + SφdVdt CV t t A t A t. 4.1 Untuk kasus satu dimensi, persamaan (3.3) berubah menjadi: d d d dφ ( ρφ ) + ( ρuφ ) = Γ + S dt dx dx dx d dengan memperhatikan syarat kontinuitas ( u) 0 dx ρ =, maka: d d dφ ( ρφ ) = Γ + S dt dx dx φ φ t Persamaan (4.3) didiskretasasi pada volume kontrol, dengan interval waktu t ke +Δ t, dengan ρ (kerapatan udara) konstan: t +Δ t t +Δ t t +Δ t dφ d dφ ρ dvdt = Γ dvdt + SφdVdt dt dx dx t CV t CV t CV dφ dφ dφ ρ dt dv = ΓA Γ A dt + SφΔVdt dt dx dx e t +Δ t t +Δ t t +Δ t. 4.4 w t t e w t dengan : A = luas permukaan pada volume kontrol Δ V = AΔ x = volume Δ x = lebar pada volume kontrol S φ = sumber pencemar (source) rata-rata Evaluasi integral bagian kiri persamaan 4.4 adalah: e t+δt o ρ = ρ( φp φp) Δ. 4.5 w t dφ dt dv V dt maka persamaan (4.4) berubah menjadi:

103 83 t+δ t t+δt o φe φ P φp φ W ρ( φp φp) Δ V = ΓeA Γ wa dt+ SφΔVdt δx t PE δxwp t. 4.6 Untuk mengevaluasi φ P, φ E dan φ W pada persamaan (4.6), digunakan parameter θ sebagai berikut: t+δt o P P ( 1 ) P. 4.7 t Iφ = φ dt = θφ + θ φ Δt Substitusi persamaan (4.6) ke (4.7) menjadi: t+δ t t+δt o φe φ P φp φ W ρ( φp φp) Δ V = A Γe Γ w dt+ A SφΔxdt δx t PE δx WP t t+δ t t+δt o φe φ P φp φ W ρ( φp φp) Δ x = Γe Γ w dt + SφΔxdt δx t PE δx WP t t+δ t t+δt o Γe Γw ρ( φp φp) Δ x = ( φe φp) dt ( φp φw ) dt Sφ x t δx + Δ Δ δx PE t t+δ t t+δ t t+δ t t+δt o Γ e Γ w ρ( φp φp) Δ x = φedt φpdt φpdt φwdt Sφ x t δx + Δ Δ PE δx t t WP t t o Γe o o ( P P) Δ x = { E + ( 1 ) E Δt P + ( 1 ) P Δt} ρ φ φ θφ θ φ θφ θ φ δ x PE Γ WP t { ( 1 ) o o θφp θ φ P θφw ( 1 θ ) φ W } w φ δ x + Δ + Δ + Δ Δ WP φ φ Γ o o ( 1 )( ) o ρ P P e Δ x = θφe φp + Δt δ xpe θ φe φp Γ w o o θφp θφw ( 1 θ )( φp φw ) x WP t t S x t + + SφΔx δ Δx Δx θγ φ θγ φ θγ φ θγ φ Γ φ ρ φp ρ φ = + + θ Δt Δt x x x x x o o e E e P w P w W e E P ( 1 ) δ PE δ PE δ WP δ WP δ PE o o o ΓeφP ΓwφP ΓwφW ( 1 θ) ( 1 θ) + ( 1 θ) + SφΔ x δx δx δx PE WP WP Δx Γe Γ w Γe Γ ( 1 ) o w o ρ + θ φp = θφe + θ φ E + θφw + ( 1 θ ) φ W t δxpe δxwp δx PE δx Δ WP

104 84 Δx Γe Γ w o + ρ ( 1 θ) ( 1 θ) φp + SφΔx Δt δxpe δxwp Bentuk standar dari persamaan tersebut adalah: o o o o ap + θ ( ae aw ) φp = a E θφe + ( 1 θ) φ E + a W θφw + ( 1 θ) φ W ( 1 ) ( 1 ) o + ap θ ae θ a W φp + b ( 1 ) ( 1 ) ( 1 ) ( 1 ) a o o o o PφP = a W θφw + θ φ W + a E θφe + θ φ E + ap θ aw θ a E φp + b x dengan : ap = ρ Δ Δ t ; a Γ Γ w e W = ; ae δ xwp δ xpe = + + ; dan b= S Δ x. o = ; a θ ( a a ) a P W E P Aliran penyebaran menggunakan scheme implisit (θ = 1) untuk kasus dua dimensi, sebagai berikut: a φ = a φ + a φ + a φ + a φ + a φ + S. 4.9 o o P P W W E E S S N N P P u φ dengan : a = a + a + a + a + a +ΔF S dan 0 P W E S N P P o keterangan: φ p = pencemar pada kondisi awal a o p o ρ pδxδy = Δt Aplikasi Model di Kota Cilegon Hasil pengukuran kualitas udara ambien yang dilakukan selama 5 periode dari Tahun 2005 sampai 2007 menunjukkan fluktuasi konsentrasi pada beberapa titik sampel. Sebaran debu dan SO 2 pada 24 titik sampel di Kota Cilegon disajikan pada Gambar 23. Berdasarkan gambar tersebut, konsentrasi debu yang menyebar di Kota Cilegon, kosentrasi tertinggi mencapai 686 μg/m 3 terukur pada pengukuran ke tiga Tahun Konsentrasi tersebut terjadi di lokai Nirmala Optik Desa Jombang Wetan Kecamatan Jombang. Sementara itu konsentrasi SO 2 tertinggi terjadi di ASDP Merak Desa Tamansari Kecamatan Pulomerak sebesar 55,75 μg/m 3. Besarnya konsentrasi tersebut terukur pada pengukuran periode kelima Tahun Untuk aplikasi model sebaran, polutan yang dianalisis didasarkan pada hasil analisis model screen3. Pada model ini dianalisis dua jenis polutan yang diemisikan dari sumber pencemar yakni SO 2 dan debu. Berdasarkan validasi model screen3, menunjukkan bahwa secara umum emisi SO 2 diklasifikasikan sebagai hasil yang dapat

105 85 diterima (acceptable performance), sedangkan emisi debu secara umum aplikasi model termasuk pada kategori hasil yang diragukan (questionable performance). Debu (ug/m3) Sulfur dioksida (ug/m3) SO2 Debu Gambar 23. Sebaran Debu dan SO 2 pada 24 titik sampel di Kota Cilegon periode Hasil pengukuran SO 2 selama 24 jam yang dilakukan pada tanggal 4 Juli Tahun 2007 (periode 5) menunjukkan konsentrasi tertinggi terukur di ASDP Merak Desa Tamansari sebesar 55,75 μg/m 3, sedangkan konsentrasi terendah terukur di Pallem Hills dengan konsentrasi sebesar 7,65 μg/m 3. Hasil pengukuran SO 2 di semua lokasi secara kualitatif masih jauh berada di bawah baku mutu yang ditetapkan dalam PP 41/1999 sebesar 365 μg/m 3 (pengukuran 24 jam). Interval hasil pengukuran konsentrasi SO 2 selama 5 kali pengukuran disajikan dalam Gambar 24. Berdasarkan gambar tersebut, interval kenaikkan konsentrasi tertinggi terjadi di lokasi ASDP Merak Desa Tamansari Kecamatan Pulomerak (No. 3). Pada periode pertama terukur konsentrasi SO 2 sebesar 13,92 μg/m 3 sedangkan pada periode kelima terumur sebesar 55,75 μg/m 3. Kemudian di lokasi depan PENI Desa Gerem Kecamatan Grogol (No. 5) periode pertama konsentrasi SO 2 sebesar 15,12 μg/m 3 sedangkan pada periode kelima hasil pengukuran sebesar 41,42 μg/m 3. Secara umum hasil pengukuran SO 2 pada beberapa titik sampel cenderung meningkat, namun terjadi pula penurunan konsentrasi di beberapa titik lainnya. Hasil pengukuran SO 2 tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh tinggi rendahnya aktivitas sekeliling titik pengukuran, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor meteorologi setempat terutama sebagai akibat stabilitas atmosfir secara mikro.

106 86 Dalam menganalisis sebaran SO 2 di Kota Cilegon menggunakan hasil analisis faktor meteorologi, hasil model sebaran di kawasan industri, nilai kondisi awal (initial conditions) dan nilai kondisi batas (boundary conditions) sebagai input model. Input lain untuk aplikasi model adalah nilai difusivitas. Pencemar SO 2 difusivitasnya dikaji terhadap udara. Model dispersi untuk mengetahui distribusi laju penyebaran SO 2 merupakan aplikasi dari persamaan 4.9. Model tersebut dibangun dengan menggunakan software Matlab. Sementara itu difusivitas SO 2 terhadap udara dikaji dengan menggunakan persamaan Bird (persamaan 3.4), disajikan pada Tabel 29. Konsentrasi SO2 (ug/m3) Lokasi Pengukuran (titik sampel) Gambar 24. Interval konsentrasi SO2 pada 24 titik sample di Kota Cilegon periode Tabel 29. Difusivitas SO 2 terhadap udara Zat Tempe ratur (K) Tekan an (atm) Massa Massa Jenis (Kg/m3) Tempe ratur Kritis (K) Tekan an Kritis (atm) Non-polar gaspairs Difusivitas a b cm 2 /sec 10-4 kg/ms Udara ,97 1, , , ,823 SO2 302,3 0,995 64,07-430,7 77,8 0,129 0,1664 Untuk menganalisis sebaran SO 2 di Kota Cilegon dikaji dengan persamaan 4.9. Sebaran SO 2 dikaji dalam dua dimensi, berdasarkan karakteristik udara di Kota Cilegon dan survey lapang sebagai berikut:

107 87 1) Arah angin rata-rata di Kota Cilegon bergerak dari Barat ke Timur 2) Sumber pencemar udara berada di antara Barat dan Timur 3) Tidak ada sumber pencemar udara pada batas antara Serang dan Cilegon Persamaan sebaran dianalisis dengan menggunakan matriks, analisis persamaan menggunakan Tri-Diagonal Matrix Algorithm (TDMA). Thomas (1949) membangun teknik TDMA untuk mengimplementasikan dengan cepat suatu persamaan (Versteeg and Malalasekela, 1995). Untuk menyelesaikan sistem TDMA pada kasus dua dimensi untuk sebaran SO 2 di Kota Cilegon, disesuaikan dengan jumlah grid sedangkan aliran sebaran polutan dipilih dari Barat ke Timur (w e). Analisis sebaran pencemar udara berdasarkan persamaan 4.9 untuk kasus dua dimensi adalah sebagai berikut: a φ = a φ + a φ + a φ + a φ + a φ + S o o P P W W E E S S N N P P u a = a + a + a + a + a +ΔF S 0 P W E S N P P dengan: ΓwAw aw = ; ΓeA Γ e ae = ; s As as = ; dan ΓnAn an = menurut Versteeg dan δ x δ x δ x δ x WP PE SP Malalasekera (1995) untuk kasus dua dimensi berlaku: Aw = Ae =Δ y dan An = As =Δ x. Susunan grid Kota Cilegon diperoleh 192 cell, luas area setiap cell adalah 1 km 2, dengan ukuran 1,0 x 1,0 km. Susunan grid Kota Cilegon ditampilkan pada Gambar 25. Difusivitas SO 2 berdasarkan Tabel 29 diperoleh bahwa difusivitas SO 2 dengan massa jenis 1,289 kg/m 3 4 adalah Γ = 0,1664x10 kg/m.sec. SO2 Analisis koefisien dari persamaan tersebut untuk pencemar udara adalah: 1) koefisien pada kondisi awal ( Δx) ( Γso ) 2 2 1x ( 10 ) ( x 4 ) 2 3 ρudara Δ t < = 2 2 0, Δ t < 3,005x10 sekon dan ρ = 1 kg / m udara koefisien untuk waktu tiga bulan, adalah: a o p 3 ( ) 2 ρ 1 10 udaraδδ x y x = = = 0, ,129x10 8 Δt 7,78x PN

108 88 Gambar 25. Grid Kota Cilegon 2) koefisien sulfur dioksida 4 0,1664x10 aw = ae = as = an = 3 ( 10 ) = 0,1664x Konveksi massa Δ F dihitung dengan menggunakan persamaan: Δ F = Fe Fw + Fn Fs dengan: F = ( ρu) A ; F = ( ρu) A ; F = ( ρv) A dan = ( ρ ) w w w e e e n n n F v A Arah angin yang digunakan dari Barat ke Timur, pada penelitian ini hanya menggunakana satu arah maka konveksi massa, dengan kecepatan u = 2,5 m/s adalah: w e udara 3 3 ( ρ ) 12,510 2,510 F = F = u Δ y = x x = x F = F = 0 n s s s s

109 89 Δ F = Fe Fw + Fn Fs = Dari persamaan 4.11 diperoleh bahwa konveksi massa adalah nol. Hal ini menunjukkan bahwa sebaran SO 2 di Kota Cilegon hanya ditinjau secara difusi. Dengan kata lain SO 2 menyebar dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Berdasarkan model prediksi yang dilakukan serta hasil analisis difusivitas, maka diperoleh persamaan distribusi sebaran SO 2 sebagai fungsi waktu. Analisis penyebaran SO 2 dilakukan dengan menggunakan dua skenario. Skenario pertama adalah dalam keadaan ada sumber pencemar dengan proses penyebaran SO 2 menyebar ke semua arah melalui proses difusi. Sementara itu skenario kedua adalah dalam keadaan tidak ada sumber pencemar. Analisis sebaran SO 2 di Kota Cilegon sebagai berikut: a) Dalam keadaan ada sumber pencemar Pada skenario ini, menggunakan asumsi bahwa arah angin hanya satu arah, dari Barat ke Timur. Analisis sebaran untuk masing-masing node menggunakan persamaan sebagai berikut: Node sebelah Barat ( 0) a = a + a + a + a +Δ F 0 P E S N P P a W = dan ( Sp Su 0) = =, karena tidak ada sumber: ( 0,1664 0,1664 0,1664) 10 0, ,34 10 a = x + = x a φ = a φ + a φ + a φ + a φ o o P P E E S S N N P P ( ) 0,134x10 φ = 0,1664φ + 0,1664φ + 0,1664φ ,129x10 φ atau o P E S N P 134φ = 0,01664φ + 0,01664φ + 0,01664φ + 129φ o P E S N P Node antara Barat dan Timur: a = a + a + a + a + a +Δ F 0 P W E S N P P ( 0,1664 0,1664 0,1664 0,1664) 10 0, ,36 10 a = x + = x a φ = a φ + a φ + a φ + a φ + a φ + S o o P P W W E E S S N N P P u ( ) 0,136x10 φ = 0,1664φ + 0,1664φ + 0,1664φ + 0,1664φ ,129x10 φ + S atau o P W E S N P u

110 90 136φ = 0,01664φ + 0,01664φ + 0,01664φ + 0,01664φ + 129φ o + S P W E S N P u dengan: S u = Sumber emisi Node sebelah Timur ( 0) a = a + a + a + a +Δ F 0 P W S N P P a E = dan ( Sp Su 0) = =, karena tidak ada sumber: ( 0,1664 0,1664 0,1664) 10 0, ,34 10 a = x + = x a φ = a φ + a φ + a φ + a φ o o P P W W S S N N P P ( ) 0,134x10 φ = 0,1664φ + 0,1664φ + 0,1664φ ,129x10 φ atau o P W S N P 134φ = 0,01664φ + 0,01664φ + 0,01664φ + 129φ o P W S N P b) Dalam keadaan tidak ada sumber pencemar Pada skenario ini, menggunakan asumsi bahwa S = 0 (tidak ada sumber) dan arah angin hanya satu arah, dari Barat ke Timur. Analisis sebaran untuk masingmasing node menggunakan persamaan sebagai berikut: Node sebelah Barat ( 0) a = a + a + a + a +Δ F 0 P E S N P P a W = dan ( Sp Su 0) = = : ( 0,1664 0,1664 0,1664) 10 0, ,34 10 a = x + = x a φ = a φ + a φ + a φ + a φ o o P P E E S S N N P P ( ) 0,134x10 φ = 0,1664φ + 0,1664φ + 0,1664φ ,129x10 φ atau o P E S N P 134φ = 0,01664φ + 0,01664φ + 0,01664φ + 129φ o P E S N P Node antara Barat dan Timur ( Sp Su 0) a = a + a + a + a + a +Δ F 0 P W E S N P P = = : ( 0,1664 0,1664 0,1664 0,1664) 10 0, ,36 10 a = x + = x a φ = a φ + a φ + a φ + a φ + a φ o o P P W W E E S S N N P P

111 91 ( ) 0,136x10 φ = 0,1664φ + 0,1664φ + 0,1664φ + 0,1664φ ,129x10 φ atau o P W E S N P 136φ = 0,01664φ + 0,01664φ + 0,01664φ + 0,01664φ + 129φ o P W E S N P Node sebelah Timur ( 0) a = a + a + a + a +Δ F 0 P W S N P P a E = dan ( Sp Su 0) = = : ( 0,1664 0,1664 0,1664) 10 0, ,34 10 a = x + = x a φ = a φ + a φ + a φ + a φ o o P P W W S S N N P P ( ) 0,134x10 φ = 0,1664φ + 0,1664φ + 0,1664φ ,129x10 φ atau o P W S N P 134φ = 0,01664φ + 0,01664φ + 0,01664φ + 129φ o P W S N P Sebaran SO 2 di Kota Cilegon Untuk menganalisis penyebaran SO 2 di Kota Cilegon menggunakan arah angin dominan. Sesuai dengan arah angin dominan tersebut, maka penyebaran SO 2 berlangsung ke arah timur. Berdasarkan hasil analisis model, sebaran SO 2 untuk masing-masing skenario adalah sebagai berikut: 1) Hasil model sebaran SO 2 berdasarkan skenario ada sumber pencemar Hasil analisis model menunjukkan bahwa pada stabilitas A (sangat tidak stabil) sebaran SO 2 terjadi dikawasan industri. Sebaran SO 2 dari kawasan industri ke seluruh Kota Cilegon terjadi pada stabilitas tidak stabil menengah sampai agak stabil (B E). SO 2 yang menyebar di Kota Cilegon pada stabilitas B (tidak stabil menengah) dengan kecepatan angin 1 m/s dan 1,5 m/s diemisikan dari kawasan Pulomerak, sementara dari kawasan Ciwandan dan KS sebaran SO 2 masih di kawasan masing-masing. Pada kecepatan angin 2 m/s ke atas, sebaran SO 2 masih disekitar kawasan industri masingmasing. Pada stabilitas C (sedikit tidak stabil) dengan kecepatan angin 1 m/s SO 2 yang menyebar di Kota Cilegon diemisikan dari kawasan Pulomerak dan Ciwandan. Sementara itu pada kecepatan angin 1,5 m/s ke atas hanya kawasan Pulomerak yang mengemisikan SO 2 ke Kota Cilegon, sedangkan kawasan KS dan Ciwandan sebaran SO 2 masih di sekitar kawasan masing-masing. Pada stabilitas netral sampai agak stabil

112 92 (D E) pada berbagai kecepatan angin, SO 2 yang menyebar di Kota Cilegon terjadi karena emisi dari ketiga kawasan industri. Pada stabilitas B (tidak stabil menengah) dengan kecepatan angin 1 m/s kosentrasi SO 2 tinggi, dengan nilai 13 μg/m 3 ke atas terjadi di empat kecamatan, yakni: di Kecamatan Pulomerak dua lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi, Kecamatan Purwakarta satu lokasi dan Kecamatan Citangkil satu lokasi. Kemudian pada stabilitas atmosfer yang sama dengan kecepatan angin 1,5 m/s konsentrasi tinggi terjadi di tiga kecamatan, yakni: di Kecamatan Pulomerak dua lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi dan Kecamatan Purwakarta satu lokasi. Pada stabilitas C (sedikit tidak stabil) dengan kecepatan angin 1 m/s kosentrasi SO 2 tinggi, dengan nilai 13 μg/m 3 ke atas terjadi di tiga kecamatan, yakni: di Kecamatan Pulomerak dua lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi, dan Kecamatan Purwakarta satu lokasi. Kemudian pada stabilitas atmosfer yang sama dengan kecepatan angin (1,5 3) m/s konsentrasi tinggi terjadi di empat kecamatan, yakni: di Kecamatan Pulomerak dua lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi, Kecamatan Purwakarta satu lokasi, dan Kecamatan Citangkil satu lokasi. Pada stabilitas D (netral) dengan kecepatan angin 1 m/s kosentrasi SO 2 tinggi, dengan nilai 13 μg/m 3 ke atas terjadi di empat kecamatan, yakni: di Kecamatan Pulomerak satu lokasi, Kecamatan Grogol lima lokasi, Kecamatan Purwakarta satu lokasi, dan Kecamatan Citangkil satu lokasi. Kemudian pada kecepatan angin 1,5 m/s konsentrasi tinggi terjadi di empat kecamatan, yakni: di Kecamatan Pulomerak satu lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi, Kecamatan Purwakarta satu lokasi, dan Kecamatan Citangkil satu lokasi. Pada kecepatan angin (2 3) m/s konsentrasi tinggi terjadi di Kecamatan Pulomerak satu lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi, Kecamatan Purwakarta satu lokasi, dan Kecamatan Citangkil dua lokasi. Pada stabilitas E (agak stabil) dengan kecepatan angin 1 m/s kosentrasi SO 2 tinggi, dengan nilai 13 μg/m 3 ke atas terjadi di empat kecamatan, yakni: di Kecamatan Pulomerak satu lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi, Kecamatan Purwakarta satu lokasi, dan Kecamatan Citangkil dua lokasi. Kemudian pada kecepatan angin (1,5 3) m/s konsentrasi tinggi terjadi di Kecamatan Pulomerak satu lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi, Kecamatan Purwakarta satu lokasi, dan Kecamatan Citangkil satu lokasi.

113 93 Pencemar SO 2 di Kecamatan Pulomerak di Desa Tamansari pada berbagai stabilitas atmosfer dengan berbagai kecepatan angin dalam rentang (1 3) m/s, konsentrasi diprediksi pada kisaran antara (6,797 51,058) μg/m 3. Hasil pengukuran di desa tersebut yang berlokasi di Kantor Bea Cukai, ASDP Merak dan Pasar Merak, konsentrasi SO 2 terukur sebesar (10,35-16,56) μg/m 3, (13,92-55,75) μg/m 3 dan (8,69-16,93) μg/m 3. Konsentrasi SO 2 di Kecamatan Grogol pada berbagai stabilitas dan berbagai kecepatan angin dalam rentang (1 3) m/s, di Desa Gerem diprediksi berkisar dari 9,013 μg/m 3 sampai 13,216 μg/m 3, di Desa Rawaarum diprediksi berkisar dari 10,513 μg/m 3 sampai 12,702 μg/m 3, dan di Desa Kotasari diprediksi berkisar dari 11,812 μg/m 3 sampai 13,825 μg/m 3. Hasil pengukuran di Desa Gerem yang berlokasi di Cikuasa Baru dan Cikuasa Lama, konsentrasi SO 2 sebesar (9,57-13,39) μg/m 3 dan (8,28-15,88) μg/m 3. Di Desa Rawaarum yang berlokasi di Kruwuk dan Pabuaran Lor, konsentrasi SO 2 sebesar (5,35-13,73) μg/m 3 dan (14,57 17,32) μg/m 3. Di Desa Kotasari yang berlokasi di komplek Arga Baja, konsentrasi SO 2 sebesar (5,21 5,35) μg/m 3. Konsentrasi SO 2 di Kecamatan Purwakarta pada berbagai stabilitas dan berbagai kecepatan angin dalam rentang (1 3) m/s, di Desa Ramanuju dan Desa Kotabumi diprediksi berkisar dari (9,76 17,75) μg/m 3 dan (4,51 15,85) μg/m 3. Hasil pengukuran di Desa Ramanuju yang berlokasi di depan Polres, konsentrasi SO 2 terukur sebesar (9,76-20,46) μg/m 3. Sementara itu di Desa Kota Bumi yang berlokasi di Palem Hills dan Perum KS, konsentrasi SO 2 terukur sebesar (4,51 7,65) μg/m 3 dan (10,58 15,85) μg/m 3. Konsentrasi SO 2 di Kecamatan Citangkil pada berbagai stabilitas dan berbagai kecepatan angin dalam rentang (1 3) m/s, di Desa Warnasari dan Desa Citangkil diprediksi berkisar dari (5,979-7,002) μg/m 3 dan (2,983 3,491) μg/m 3. Hasil pengukuran di Desa Warnasari yang berlokasi di depan Telkom Warnasari, konsentrasi SO 2 terukur sebesar (5,77 12,72) μg/m 3 dan di Desa Citangkil yang berlokasi di Semangraya, konsentrasi SO 2 terukur sebesar (7,97 16,12) μg/m 3. Konsentrasi SO 2 di Kecamatan Ciwandan pada berbagai stabilitas dan berbagai kecepatan angin dalam rentang (1 3) m/s, di Desa Tegalratu, Randakari, Kepuh dan Desa Gunungsugih diprediksi berkisar dari (3,594 8,261) μg/m 3, (3,410 8,395)

114 94 μg/m 3, (3,274 4,575) μg/m 3 dan (6,505 7,229) μg/m 3. Hasil pengukuran di Desa Tegalratu yang berlokasi di depan Pelindo dan KBS/seberang Rel, konsentrasi SO 2 terukur sebesar (8,90 13,25) μg/m 3 dan (7,69 11,47) μg/m 3. Di Desa Randakari yang berlokasi di Randakari, konsentrasi SO 2 terukur sebesar (3,45 10,85) μg/m 3. Di Desa Kepuh dan Desa Gunungsugih yang berlokasi di Pengabuan dan Cilodan, konsentrasi SO 2 terukur sebesar (5,98 11,94) μg/m 3 dan (9,57 16,12) μg/m 3. Konsentrasi SO 2 di Kecamatan Cibeber dan Jombang pada berbagai stabilitas dan berbagai kecepatan angin dalam rentang (1 3) m/s, di Desa Sukmjaya, Kedaleman dan Desa Jombangwetan diprediksi berkisar dari (7,168 9,601) μg/m 3, (8,051 9,106) μg/m 3 dan (5,485 6,424) μg/m 3. Hasil pengukuran di Desa Sukmajaya yang berlokasi di Ramayana konsentrasi SO 2 terukur sebesar (9,96 19,78) μg/m 3. Di Desa Kedaleman yang berlokasi di Perumahan Cilegon Indah (PCI) konsentrasi SO 2 terukur sebesar (6,40 14,25) μg/m 3. Di Desa Jombangwetan yang berlokasi di Nirmala Optik konsentrasi SO 2 terukur sebesar (14,46 23,96) μg/m 3. Sebaran SO 2 hasil pengukuran dan hasil di 24 titik sampel yang menyebar di Kota Cilegon pada berbagai kecepatan angin, disajikan pada Gambar 26. Sementara itu persentase hasil model dan hasil pengukuran pada berbagai kecapatan angin dan berbagai stabilitas atmosfer, disajikan pada Gambar 26. Berdasarkan gambar tersebut, secara umum hasil model berada pada kisaran hasil pengukuran. Sebaran SO 2 pada berbagai stabilitas dan kecepatan angin di Kota Cilegon selengkapnya disajikan pada Gambar 33 pada Lampiran2. Sebaran konsentrasi SO 2 terjadi perbedaan yang besar di beberapa lokasi. Perbedaan tersebut terjadi karena faktor lain (misalnya kepadatan lalulintas) dari model tersebut tidak diperhitungkan. Di lokasi seperti Pasar Merak, depan PENI, Sumur Wuluh Jalan Tol, Perum KS, Telkom Warnasari, Pelindo, Ramayana dan PCI padat penduduk dan padat kendaraan, baik karena aktivitas penduduk maupun padat kendaraan untuk mendistribusikan hasil industri. 2) Hasil model sebaran SO 2 berdasarkan skenario tidak ada sumber pencemar Hasil analisis model berdasarkan skenario tidak ada sumber dan skenario ada sumber, terjadi perbedaan konsentrasi SO 2 yang di beberapa lokasi. Pebedaan hasil analisis untuk masing-masing skenario ditunjukkan pada Gambar 27.

115 95 Konsentrasi SO2 (ug/m3) Kecepatan angin (m/s) Pengukuran Prediksi Gambar 26. Sebaran SO 2 hasil model dan hasil pengukuran di 24 titik sampel pada kecepatan angin 1 3 m/s Konsentrasi SO2 (ug/m3) Gambar 27. Sebaran SO2 di Kota Cilegon (skenario tidak ada sumber) P-1 P-2 P-3 P-4 Periode tiga bulanan Berdasarkan Gambar 27 tampak bahwa dalam periode tiga bulanan dari periode satu (P-1) sampai periode empat (P-4) konsentrasi SO 2 pada setiap titik sampel terjadi penurunan. Dari P-1 sampai P-4 konsentrasi tertinggi di Kecamatan Purwakarta di Desa Ramanuju yang berlokasi di depan Polres Cilegon. Pada P-1 konsentrasi SO 2 sebesar 24,759 μg/m 3 kemudian terjadi penurunan, sehingga pada P-4 konsentrasinya menjadi 21,137 μg/m 3. Hal ini terjadi karena nilai kondisi awal di lokasi tersebut lebih besar dari pada titik sampel lainnya. Di Kecamatan Pulomerak konsentrasi tertinggi terjadi di Desa Tamansari yang berlokasi di ASDP Merak. Pada periode satu dilokasi tersebut konsentrasi SO 2 sebesar 17,645 μg/m 3 sedangkan pada periode empat konsentrasinya menurun menjadi 16,823

116 96 μg/m 3. Sementara itu di Kecamatan Grogol konsentrasi tertinggi terjadi di Desa Grogol yang berlokasi di komplek Arga Baja Pura. Pada periode satu dilokasi tersebut konsentrasi SO 2 sebesar 13,825 μg/m 3 sedangkan pada periode empat konsentrasinya menurun menjadi 11,810 μg/m 3. Di Kecamatan Citangkil, Jombang, Ciwandan dan Cibeber konsentrasi SO 2 berkisar dari 4,127 9,601 μg/m 3. Konsentrasi tertinggi terjadi di Desa Sukmajaya yang berlokasi di depan Ramayana. Pada periode satu dilokasi tersebut konsentrasi SO 2 sebesar 9,601 μg/m 3 sedangkan pada periode empat konsentrasinya menurun menjadi 8,198 μg/m Prediksi Sebaran SO 2 di Kota Cilegon Banyak sel berdasarkan ukuruan grid 1 km x 1 km di Kota Cilegon sebanyak 192 sel, sementara nilai kondisi awal di kota tersebut hanya 24 titik sampel. Pebedaan jumlah titik sampel dengan jumlah sel, akan berdampak pada sebaran polutan di Kota Cilegon. Sebaran SO 2 di seluruh Kota Cilegon seperti ditampilkan pada Gambar 33 pada Lampiran 2. Pada kecepatan angin 1 m/s konsentrasi SO 2 yang diemisikan dari kawasan industri, terjadi pada stabilitas atmosfer B E. Di Kecamatan Pulomerak di Desa Suralaya pada titik sampel yang sama, konsentrasi SO 2 tidak mengalami perubahan, besar konsentrasi di titik sampel tersebut sebesar 6,065 μg/m 3. Di Desa Tamansari, dari tiga lokasi titik sampel, satu lokasi menunjukkan perubahan. Konsentrasi SO 2 menurun dari kisaran 19,586 μg/m 3 sampai 7,657 μg/m 3. Akan tetapi di Kecamatan Citangkil di Desa Warnasari dan di Kecamatan Ciwandan di Desa Kubangsari dan Kepuh konsentrasi SO 2 mengalami peningkatan. Di Desa Warnasari Kecamatan Citangkil dari lima lokasi titik sampel, dua lokasi menunjukkan peningkatan. Konsentrasi SO 2 meningkat dari kisaran 7,934 μg/m 3 sampai 13,030 μg/m 3. Di Desa Kubangsari dan Kepuh Kecamatan Ciwandan dari 14 titik sampel, tiga lokasi menunjukkan peningkatan konsentrasi. Konsentrasi SO 2 meningkat dari kisaran 8,671 μg/m 3 sampai 12,036 μg/m 3. Pada kecepatan angin 1,5 m/s konsentrasi SO 2 yang diemisikan dari kawasan industri, yang menyebar di Kota Cilegon terjadi pada stabilitas atmosfer B E. Di Kecamatan Pulomerak di Desa Suralaya pada titik sampel yang sama, konsentrasi SO 2 tidak mengalami perubahan. Di Desa Tamansari, dari tiga lokasi titik sampel, satu lokasi

117 97 menunjukkan perubahan. Konsentrasi SO 2 menurun dari kisaran 21,862 μg/m 3 sampai 7,818 μg/m 3. Akan tetapi di Kecamatan Citangkil di Desa Warnasari dan di Kecamatan Ciwandan di Desa Kubangsari dan Kepuh konsentrasi SO 2 mengalami peningkatan. Di Desa Warnasari Kecamatan Citangkil dari lima lokasi titik sampel, dua lokasi menunjukkan peningkatan. Konsentrasi SO 2 meningkat dari kisaran 7,934 μg/m 3 sampai 12,586 μg/m 3. Di Desa Kubangsari dan Kepuh Kecamatan Ciwandan dari 4 titik sampel, tiga lokasi menunjukkan peningkatan konsentrasi. Konsentrasi SO 2 meningkat dari kisaran 8,671 μg/m 3 sampai 11,897 μg/m 3. Pada kecepatan angin 2 m/s konsentrasi SO 2 yang diemisikan dari kawasan industri, yang menyebar di Kota Cilegon terjadi pada stabilitas atmosfer C E. Di Kecamatan Pulomerak di Desa Suralaya pada titik sampel yang sama, konsentrasi SO 2 tidak mengalami perubahan. Di Desa Tamansari, dari tiga lokasi titik sampel, satu lokasi menunjukkan perubahan. Konsentrasi SO 2 menurun dari kisaran 17,602 μg/m 3 sampai 7,947 μg/m 3. Akan tetapi di Kecamatan Citangkil di Desa Warnasari dan di Kecamatan Ciwandan di Desa Kubangsari dan Kepuh konsentrasi SO 2 mengalami peningkatan. Di Desa Warnasari Kecamatan Citangkil dari lima lokasi titik sampel, dua lokasi menunjukkan peningkatan. Konsentrasi SO 2 meningkat dari kisaran 7,934 μg/m 3 sampai 13,079 μg/m 3. Di Desa Kubangsari dan Kepuh Kecamatan Ciwandan dari 14 titik sampel, tiga lokasi menunjukkan peningkatan konsentrasi. Konsentrasi SO 2 meningkat dari kisaran 8,671 μg/m 3 sampai 12,086 μg/m 3. Pada kecepatan angin 2,5 m/s dan 3 m/s konsentrasi SO 2 yang diemisikan dari kawasan industri, terjadi pada stabilitas atmosfer C E. Di Kecamatan Pulomerak di Desa Suralaya pada titik sampel yang sama, konsentrasi SO 2 tidak mengalami perubahan, besar konsentrasi di titik sampel tersebut sebesar 6,065 μg/m 3. Di Desa Tamansari, dari tiga lokasi titik sampel, satu lokasi menunjukkan perubahan. Pada kecepatan angin 2,5 m/s konsentrasi SO 2 menurun dari kisaran 18,033 μg/m 3 sampai 7,929 μg/m 3, sedangkan pada kecepatan angin 3 m/s konsentrasi SO 2 menurun dari kisaran 18,236 μg/m 3 sampai 7,908 μg/m 3. Akan tetapi di Desa Warnsari Kecamatan Citangkil dan di Desa Kubangsari dan Kepuh Kecamatan Ciwandan konsentrasi SO 2 mengalami peningkatan. Di Desa Warnasari Kecamatan Citangkil dari lima lokasi titik sampel, dua lokasi menunjukkan peningkatan. Pada kecepatan angin 2,5 m/s konsentrasi

118 98 SO 2 meningkat dari kisaran 7,934 μg/m 3 sampai 13,418 μg/m 3, sedangkan pada kecepatan 3 m/s meningkat sampai 13,696 μg/m 3. Di Desa Kubangsari dan Kepuh Kecamatan Ciwandan dari 4 titik sampel, tiga lokasi menunjukkan peningkatan konsentrasi. Pada kecepatan angin 2,5 m/s konsentrasi SO 2 meningkat dari kisaran 8,671 μg/m 3 sampai 12,424 μg/m 3, sedangkan pada kecepatan angin 3 m/s meningkat sampai 12,702 μg/m Validasi Model Sebaran SO 2 Untuk menilai kehandalan model penyebaran pencemar udara yang telah digunakan, maka hasil dari model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hasil analisis program model dengan pengukuran sebaran SO 2 yang dilakukan di Kota Cilegon, selengkapnya ditampilkan pada Tabel 30. Dari 24 titik sampel dalam periode tiga bulanan menunjukkan bahwa rata-rata hasil model sebesar 17,83 μg/m 3 dengan standar deviasi sebesar 10,47. Untuk melihat perbedaan hasil pengukuran dan hasil model selengkapnya ditampilkan pada Gambar 28. Pada gambar tersebut tampak bahwa dari 24 titik sampel dalam periode tiga bulanan menunjukkan bahwa konsentrasi SO 2 ada yang menurun dan ada yang meningkat. Sebagai contoh misalnya hasil model di Kelapa Tujuh konsentrasi SO 2 pada periode satu sebesar 6,065 μg/m 3 sementara pada periode ke empat konsentrasinya menjadi 5,411 μg/m 3. Penurunan konsentrasi terjadi karena arah angin, dalam hal ini angin mengalir dari barat ke timur. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa secara umum konsentrasi SO 2 di 24 titik sampel di Kota Cilegon hasil model selalu lebih kecil dari hasil pengukuran. Sebagai contoh misalnya konsentrasi SO 2 di ASDP Merak, menurut model nilainya sebesar 51,058 μg/m 3 sedangkan hasil pengukuran sebesar 55,75 μg/m 3. Di kantor Bea Cukai konsentrasi SO 2 menurut model nilainya sebesar 11,648 μg/m 3 sementara hasil pengukuran sebesar 16,56 μg/m 3. Perbedaan yang sangat tinggi terjadi di lokasi depan Peni, Ramayana dan Cilodan. Di depan Peni konsentrasi SO 2 menurut model nilainya sebesar 11,289 μg/m 3 sementara hasil pengukuran sebesar 41,42 μg/m 3. Di Ramayana konsentrasi SO 2 menurut model nilainya sebesar 7,168 μg/m 3 sementara hasil pengukuran sebesar 19,78 μg/m 3. Kemudian di Cilodan konsentrasi SO 2 menurut model nilainya sebesar 6,17 μg/m 3 sementara hasil pengukuran sebesar 16,12 μg/m 3.

119 99 Perbedaan hasil model dengan hasil pengukuran, disebabkan model hanya memperhitungkan polutan yang diemisikan dari kawasan industri yang memiliki cerobong di atas 40 meter. Polutan yang diemisikan dari kendaraan bermotor pada studi ini tidak diperhitungkan. Dengan kata lain persamaan model hanya digunakan untuk menganalisis sebaran SO 2 yang diemisikan dari pabrik di kawasan industri. Lognormal Probability Plot for Hasil Ukur - Hasil Model Hasil Ukur Hasil Model Percent Data Gambar 28 a. Perbedaan hasil model (ada sumber) dan hasil pengukuran SO 2 di Kota Cilegon Survival Plot for Hasil Ukur-Hasil Model Lognormal Distribution 100 Hasil Ukur Hasil Model Survival % Time to Failure Gambar 28 b. Persbedaan hasil model (ada sumber) dan hasil pengukuran SO 2 di Kota Cilegon

120 100 Tabel 30. Hasil pengukuran dan model sebaran SO 2 di Kota Cilegon No Lokasi Desa Kecamatan Hasil Pengukuran Hasil Model P-1 P-2 P-3 P-4 P-1 P-2 P-3 P-4 1 Kelapa Tujuh Suralaya Pulomerak Kantor Bea Cukai Tamansari Pulomerak ASDP Merak Tamansari Pulomerak Pasar Merak Tamansari Pulomerak Depan PENI Gerem Grogol Cikuasa Baru Gerem Grogol Cikuasa Lama Gerem Grogol Kruwuk Rawaarum Grogol Sumur Wuluh (Jalan Tol) Grogol Grogol Pabuaran Lor Rawaarum Grogol Komp, Arga Baja Pura Kotasari Grogol Polres Ramanuju Purwakarta Palem Hills Kotabumi Purwakarta Perum KS Kotabumi Purwakarta Telkom Warnasari Warnasari Citangkil Semangraya Citangkil Citangkil Nirmala Optik Jombang Wetan Jombang Pelindo Tegalratu Ciwandan Ramayana Sukmajaya Cibeber PCI Kedaleman Cibeber Randakari Randakari Ciwandan KBS/Sebrang rel Tegalratu Ciwandan Pengabuan Kepuh Ciwandan Cilodan Gunungsugih Ciwandan

121 Laju Penyebaran SO 2 di Kota Cilegon Berdasarkan skenario ada sumber, dari empat periode dalam waktu tiga bulanan, di Kecamatan Pulomerak di Desa Suralaya terjadi penurunan konsentrasi. Dari empat periode analisis konsentrasi SO 2 di Desa Suralaya dari kisaran 6,065 μg/m 3 menurun menjadi 5,411 μg/m 3. Sementara itu di Desa Tamansari terjadi kenaikkan dari kisaran 19,586 μg/m 3 meningkat menjadi 51,058 μg/m 3. Di Kecamatan Grogol di Desa Gerem, Desa Rawaarum, Desa Grogol, dan Kotasari menunjukkan bahwa: konsentrasi SO 2 di Desa Gerem menurun dari kisaran 13,216 μg/m 3 sampai 11,289 μg/m 3 ; di Rawaarum menurun dari kisaran 12,702 μg/m 3 sampai 10,844 μg/m 3 ; di Desa Grogol menurun dari kisaran 9,925 μg/m 3 sampai 8,478 μg/m 3 dan di Kotasari menurun dari kisaran 13,825 μg/m 3 sampai 11,812 μg/m 3. Di Kecamatan Purwakarta konsentrasi SO 2 di Desa Ramanuju menurun dari kisaran 24,760 μg/m 3 sampai 21,139 μg/m 3 dan di Kotabumi menurun dari kisaran 9,374 μg/m 3 sampai 8,005 μg/m 3. Konsentrasi SO 2 di Kecamatan Citangkil di Desa Warnasari, Desa Citangkil terjadi penurunan. Di Desa Warnasari menurun dari kisaran 7,002 μg/m 3 sampai 5,979 μg/m 3 di Desa Citangkil menurun dari kisaran 3,491 μg/m 3 sampai 2,983 μg/m 3. Di Kecamatan Ciwandan di Desa Kepuh, Desa Randakari, Desa Tegalratu, dan Desa Gunungsugih konsentrasi SO 2 terjadi fluktuatif dari kisaran 8,395 μg/m 3 sampai 3,387 μg/m 3. Di Desa Kepuh konsentrasi SO 2 meningkat dari kisaran 3,274 μg/m 3 sampai 4,575 μg/m 3. Di Desa Randakari konsentrasi SO 2 menurun dari kisaran 8,395 μg/m 3 sampai 3,907 μg/m 3. Di Desa Tegalratu konsentrasi SO 2 menurun dari kisaran 7,828 μg/m 3 sampai 3,387 μg/m 3. Di Desa Gunungsugih konsentrasi SO 2 menurun dari kisaran 7,229 μg/m 3 sampai 6,170 μg/m 3. Di Kecamatan Cibeber di Desa Sukmajaya dan Desa Kedaleman konsentrasi SO 2 terjadi penurunan konsentrasi. Di Desa Sukmajaya konsentrasi SO 2 menurun dari kisaran 9,601 μg/m 3 sampai 7,168 μg/m 3. Di Desa Kedaleman konsentrasi SO 2 menurun dari kisaran 8,567 μg/m 3 sampai 8,051 μg/m 3. Untuk mengestimasi konsentrasi sebaran SO 2 yang menyebar di Kota Cilegon yang diemisikan dari kawasan industri, dilakukan analisis dengan periode tiga bulanan dengan kecepatan angin rata-rata 2,5 m/s dengan arah angin dari Barat ke Timur, selengkapnya ditampilkan pada Gambar 29.

122 102 Hasil analisis yang ditampilkan oleh gambar tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara sebaran SO 2 ada sumber (skenario 1) dan tidak ada sumber (skenario 2). Pada skenario 1 pada tiga bulan pertama degan kecepatan angin 2,5 m/s SO 2 menyebar dari Desa Tamansari ke arah Desa Suralaya Kecamatan Pulomerak. Kemudian dari Desa Kotasari Kecamatan Grogol SO 2 menyebar ke arah Desa Kotabumi Kecamatan Purwakarta. Konsentrasi SO 2 berkisar dari 21,843 μg/m 3 sampai 24,573 μg/m 3. Pada tiga bulan kedua, ketiga dan ke empat konsentrasi SO 2 terjadi di Kecamatan Pulomerak SO 2 menyebar dari Desa Tamansari ke arah Desa Suralaya. Pada tiga bulan keempat konsentrasi SO 2 berkisar dari 40,228 μg/m 3 sampai 45,256 μg/m 3. Pada skenario 2 pada tiga bulan pertama Desa Kotasari Kecamatan Grogol SO 2 menyebar ke arah Desa Kotabumi Kecamatan Purwakarta. Konsentrasi SO 2 berkisar dari 21,842 μg/m 3 sampai 24,572 μg/m 3. Kemudian pada tiga bulan kedua, ketiga dan keempat SO 2 menyebar ke arah timur. konsentrasi SO 2 pada setiap periode (tiga bulanan) terjadi penurunan. Pada tiga bulan keempat konsentrasi SO 2 berkisar dari 20,721 μg/m 3 sampai 23,311 μg/m 3. Berdasarkan arah sebaran SO 2 di Kota Cilegon, lokasi yang menunjukkan konsentrasi SO 2 tinggi terjadi di ASDP Merak sebesar 55,75 μg/m 3 sedangkan hasil model berada pada kisaran 41,116 51,058 μg/m 3. Lokasi ini berada di Desa Tamansari Kecamatan Pulomerak, sedangkan jarak dari kawasan industri UBP Suralaya berkisar 3 km. Kemudian di depan PENI Desar Gerem Kecematan Grogol hasil pengukuran di lokasi tersebut sebesar 41,42 μg/m 3 sedangkan hasil model berada pada kisaran 11,289 13,216 μg/m 3. Lokasi ini berada di sekitar kawasan KS dan UBP Suralaya. SO 2 menyebar dari Barat ke Timur sesuai arah angin, konsentrasi tertinggi terjadi di Kecamatan Pulomerak di Desa Tamansari. Hasil analisis model dengan menggunakan software Matlab pola sebaran SO 2 di Kota Cilegon ditampilkan pada Gambar 30. Berdasarkan gambar tersebut, pada tiga bulan pertama tampak bahwa konsentrasi SO 2 sebarannya masih fluktuatif, hal ini diakibatkan dari nilai konsentrasi pada kondisi awal. Pada tiga bulan kedua konsentrasi SO 2 mulai menyebar, secara grafik pada titik-titik tertentu sudah menurun. Pada tiga bulan ketiga dan keempat pola sebaran sangat tampak, konsentrasi SO 2 menyebar dari barat ke timur.

123 103 Sebaran SO 2 pada tiga bulan kesatu Sebaran SO 2 pada tiga bulan kedua Sebaran SO 2 pada tiga bulan ketiga Sebaran SO 2 pada tiga bulan keempat Gambar 29.a. Sebaran SO 2 di Kota Cilegon pada tiga bulan pertama sampai keempat dengan kecepatan angin 2,5 m/s pada skenario ada sumber

124 104 Sebaran SO 2 pada tiga bulan pertama Sebaran SO 2 pada tiga bulan kedua Sebaran SO 2 pada tiga bulan ketiga Sebaran SO 2 pada tiga bulan keempat Gambar 29.b. Sebaran SO 2 di Kota Cilegon pada tiga bulan pertama sampai keempat dengan kecepatan angin 2,5 m/s pada skenario tidak ada sumber

125 105 Sebaran Konsentrasi SO2 di Kota Cilegon Sebaran Konsentrasi SO2 di Kota Cilegon Konsentrasi SO2, ug/m Konsentrasi SO2, ug/m sumbu-y, km sumbu-x, km sumbu-y, km sumbu-x, km Tiga bulan pertama Tiga bulan kedua Sebaran Konsentrasi SO2 di Kota Cilegon Sebaran Konsentrasi SO2 di Kota Cilegon Konsentrasi SO2, ug/m Konsentrasi SO2, ug/m sumbu-y, km sumbu-x, km sumbu-y, km sumbu-x, km Tiga bulan ketiga Tiga bulan keempat Gambar 30. Pola sebaran SO 2 di Kota Cilegon sesuai arah angin

126 106 Sesuai dengan arah penyebaran SO 2 tersebut, maka penduduk di sekitar lokasi ASDP Merak dan depan PENI paling berpeluang untuk mengalami gangguan kesehatan tersebut. Seperti telah diuraikan pada Bab II Tabel 4, SO 2 menggangu kesehatan manusia dapat menimbulkan penyakit saluran pernafasan, melemahkan pernafasan dan iritasi mata. Hasil pengukuran SO 2 untuk pengukuran 24 jam di semua lokasi secara kualitatif masih jauh berada di bawah baku mutu yang ditetapkan dalam PP 41/1999 sebesar 365 μg/m 3. Pola sebaran SO 2 dari kawasan industri dengan menggunakan model prediksi untuk aliran unsteady didukung oleh hasil penelitian Lee et. al. (1998) yang membangun simulasi komputer untuk memprediksi polutan beracun beracun di sungai Nakdong Korea. Chenevez, Baklanov dan Sorensen (2004) yang membuat model untuk memprediksi pergerakan polutan. Kemudian Osrodka, Wojtylak dan Krajny (2001) yang mengkaji sebaran polusi udara dari industri dengan prakiraan cuaca secara numerik.

127 V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Dalam mengkaji karakteristik udara lokal Kota Cilegon didapat bahwa: suhu udara rata-rata bulanan berkisar dari yang terendah 21 o C yang terjadi pada bulan Agustus sampai yang tertinggi 34,4 o C pada bulan April. Suhu tertinggi terjadi pada pukul dan yang terendah pada pukul waktu setempat. Arah angin pada bulan Nopember sampai Maret umumnya angin bergerak dari Barat ke Timur. Pada bulan April sampai Oktober umumnya angin bergerak dari Utara ke Selatan. Kecepatan angin rata-rata tahunan sebesar 2,3 m/s. Secara umum musim hujan terjadi dalam bulan Nopember sampai Maret, dan musim kemarau dari bulan April sampai Oktober. Kemantapan (stabilitas) atmosfer diperoleh bahwa stabilitas pada pagi, siang, sore dan malam hari mempunyai variasi antara A (sangat tidak stabil) sampai E (agak stabil), hal ini menunjukkan bahwa kondisi udara di Kota Cilegon berada antara labil mantap sampai agak stabil, sesuai dengan kriteria kemantapan udara Pasquill. Besarnya kapasitas emisi yang dipancarkan dari setiap kegiatan industri sangat tergantung pada jenis dan jumlah bahan bakar yang digunakan dalam setiap proses produksi. Umumnya bahan bakar batubara akan memberikan kontribusi emisi SO 2 dan debu yang lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar minyak dan gas bumi. Berdasarkan penerapan model didapat jarak dan besarnya kadar SO 2 dan debu yang jatuh pada permukaan tanah selain dipengaruhi oleh stabilitas juga akan sangat dipengaruhi oleh besarnya sumber emisi dan ketinggian cerobong. Tinggi cerobong yang digunakan, berimplikasi pada jarak sebaran polutan yang diemisikan. Emisi SO 2 dan debu di kawasan industri pada berbagai stabilitas atmosfer dianalisis menggunakan model screen3. Aplikasi model screen3 untuk kawasan industri memiliki kelemahan dan kelebihan dalam menganalisis sebaran polutan. Kelebihan model screen3 dalam menganalisis sebaran, lebih cepat serta membutuhkan input yang sederhana. Bentuk dan tinggi bangunan, dan posisi cerobong dengan menggunakan model ini, tidak diperhitungkan. Sementara itu kelemaham aplikasi model screen3 dalam menganalisis sebaran, harus di running pada setiap tinggi cerobong. Jika dalam 107

128 108 setiap unit operasi terdapat 4 cerobong, maka harus dilakukan running sebanyak empat kali. Hasil running model screen3 menunjukaan bahwa: (1) semakin tinggi cerobong yang digunakan, semakin jauh jarak sebaran dengan konsentrasi SO 2 dan debu yang diemisikan semakin kecil; dan (2) konsentrasi tertinggi yang diemisikan dari cerobong terjadi pada stabilitas A (sangat tidak stabil), dengan jarak sebaran minimum, sementara pada stabilitas E (agak stabil) konsentrasi yang diemisikan minimum, tapi jarak sebarannya maksimum. Penyebaran SO 2 dan debu dari kawasan industri ke seluruh Kota Cilegon mulai terjadi pada stabilitas B, sedangkan pada stabilitas A sebaran polutan masih di kawasan industri. Untuk menilai kehandalan model emisi yang telah digunakan, maka hasil dari model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hasil verifikasi pada berbagai stabilitas atmosfer menunjukkan bahwa emisi SO 2 hasil pengukuran pada umumnya masih memenuhi kisaran angka yang dihasilkan model, sehingga dinyatakan sebagai hasil dapat diterima (acceptable performance). Secara umum model screen3 dapat digunakan untuk menganalisis sebaran emisi SO 2 di kawasan industri. Akan tetapi untuk emisi debu secara umum menunjukkan hasil yang diragukan (questionable performance). Dalam hal menganalisis emisi debu perlu diperhatikan kandungan partikel pada bahan bakar yang digunakan karena akan berimplikasi pada debit emisi pencemar yang diemisikan masing-masing sumber. Hasil analisis model screen3 dan karakteristik udara dijadikan sebagai input pada persamaan umum transpor untuk aliran unsteady. Jenis pencemar yang dianalisis yang menyebar di Kota Cilegon adalah SO 2 dalam hal ini difusivitasnya dihitung terhadap udara. Sebaran SO 2 dari kawasan industri ke seluruh Kota Cilegon terjadi pada stabilitas tidak stabil menengah sampai agak stabil (B E). Pada stabilitas B (tidak stabil menengah) dengan kecepatan angin 1 m/s dan 1,5 m/s, SO 2 yang menyebar diemisikan dari kawasan Pulomerak. Pada stabilitas C (sedikit tidak stabil) dengan kecepatan angin 1 m/s SO 2 yang menyebar diemisikan dari kawasan Pulomerak dan Ciwandan. Pada stabilitas tersebut dengan kecepatan angin 1,5 m/s ke atas hanya kawasan Pulomerak yang mengemisikan SO 2 ke Kota Cilegon. Pada stabilitas

129 109 netral sampai agak stabil (D E) pada berbagai kecepatan angin, SO 2 yang menyebar di Kota Cilegon merupakan emisi dari ketiga kawasan industri. Hasil analisis model menunjukkan bahwa sebaran konsentrasi SO 2 di Kota Cilegon berada pada kisaran 3,387 μg/m 3 sampai 51,058 μg/m 3. Lokasi yang menunjukkan konsentrasi SO 2 tinggi terjadi di ASDP Merak hasil model berada pada kisaran 41,116 51,058 μg/m 3, sedangkan hasil pengukuran sebesar 55,75 μg/m 3. Lokasi ini berada di Desa Tamansari Kecamatan Pulomerak, sedangkan jarak dari kawasan industri UBP Suralaya berkisar 3 km. Konsentrasi SO 2 tinggi terjadi juga di depan PENI Desar Gerem Kecematan Grogol. Hasil model berada pada kisaran 11,289 13,216 μg/m 3, sedangkan hasil pengukuran sebesar 41,42 μg/m 3. Lokasi ini berada di sekitar kawasan KS dan UBP Suralaya. Konsentrasi SO 2 terkecil terjadi di Palem Hills, hasil pengukuran sebesar 7,65 μg/m 3 sedangkan hasil model berada pada kisaran 8,005 9,374 μg/m 3. Konsentrasi SO 2 yang menyebar di Kota Cilegon masih berada di bawah baku mutu udara ambien berdasarkan PP 41/99 sebesar 900 μg/m 3 (pengukuran 1 jam) dan 365 μg/m 3 (pengukuran 24 jam). Lokasi-lokasi yang mempunyai kadar SO 2 dengan konsentrasi tinggi terjadi di Desa Tamansari Kecamatan Pulomerak, dan di Desa Gerem Kecamatan Grogol. Sementara itu lokasi yang berpotensi memiliki konsentrasi SO 2 meningkat adalah di depan Polres, di depan Telkom Warnsari dan di Nirmala Optik. Hasil pengukuran di depan Polres selama empat periode pengukuran meningkat dari 9,76 20,46 μg/m 3. Di lokasi Telkom Warnasari meningkat dari 5,77 21,24 μg/m 3. Di lokasi Nirmala Optik meningkat dari 14,46 23,96 μg/m 3. Peningkatan konsentrasi di beberapa titik sampel diakibatkan peningkatan kepadatan lalulintas. SO 2 diprediksi menyebar ke arah Desa Tamansari Kecamatan Pulomerak. Berdasarkan hasil analisis model, di desa tersebut kosentrasi SO 2 sebesar μg/m 3 sedangkan hasil pengukuran sebesar 55,75 μg/m 3. Dari 24 titik sampel di lokasi tersebut menunjukkan konsentrasi SO 2 tertinggi. Penyebaran pencemar udara dapat dimanfaatkan sebagai informasi awal pemantau udara ambien dan dapat digunakan sebagai dasar pengendalian pencemaran udara. Untuk menurunkan pencemaran udara di Kota Cilegon, kebijakan yang perlu diprioritaskan untuk bidang industri dalam mengurangi tingkat pencemaran udara

130 110 yang ada adalah kebijakan mengenai pemeliharaan alat-alat mesin pembangkit dan pemakaian bahan bakar yang sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan. Untuk menilai kehandalan model penyebaran pencemar udara yang telah digunakan, maka hasil dari model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa secara umum konsentrasi SO 2 di 24 titik sampel di Kota Cilegon hasil model selalu lebih kecil dari hasil pengukuran. Perbedaan hasil model dengan hasil pengukuran, disebabkan model hanya memperhitungkan polutan yang diemisikan dari kawasan industri yang memiliki cerobong di atas 40 meter. Polutan yang diemisikan dari kendaraan bermotor pada studi ini tidak diperhitungkan. 5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Aplikasi model di kawasan industri, dengan berbagai tinggi cerobong, akan menunjukkan kompleksitas sebaran emisi, maka sebaiknya digunakan model dispersi yang dapat menganalisis sebaran emisi secara sekaligus; 2. Dalam menganalisis emisi pencemar udara dari sumber titik khususnya penerapan dalam suatu kawasan dengan berbagai tinggi cerobong, perlu diperhatikan kapasitas dan bahan bakar yang diemisikan dari cerobong tersebut; 3. Aplikasi model dispersi untuk aliran unsteady, sebaiknya digunakan untuk periode waktu yang sangat pendek dengan grid yang sangat kecil; 4. Input data pada model dispersi untuk aliran unsteady, sebaiknya nilai kondisi awal sama banyaknya dengan jumlah sel hasil grid peta, agar sebaran polutan pada wilayah tersebut tidak terjadi fluktuasi yang sangat tinggi; 5. Untuk pemecahan model, perlu dipertimbangkan untuk menggunakan scheme yang lain (Crank Nicolson atau Eksplisit); 6. Pada masa yang akan datang, hendaknya sebelum pengukuran sampel kualitas udara ambien dilakukan oleh institusi audit lingkungan, perlu diukur terlebih dahulu arah angin dominan di kawasan industri tersebut dan sekitarnya. Hal

131 111 ini perlu dilakukan agar hasil pengukuran udara emisi sesuai dengan arah sebaran dan jarak polutan yang diemisikan dari industri; 7. Perlunya pemantauan kualitas udara, khususnya parameter pencemar udara yang bersumber dari kawasan industri di Kota Cilegon secara periodik dan berkelanjutan untuk mengetahui peningkatan pencemar udara tersebut; 8. Untuk penelitian yang lebih akurat, sebaiknya semua data pemantauan kualitas udara dapat diukur secara lengkap dan tepat, disertai dengan pengukuran faktor-faktor yang mempengaruhi dispersi pencemar udara, yakni faktor emisi, meteorologi, bangunan, dan topografi kawasan industri.

132 DAFTAR PUSTAKA Adel UA Kebijaksanaan Pengendalian Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Di Wilayah DKI Jakarta: Makalah dalam Panel Diskusi Forum Komunikasi Lingkungan DKI Jakarta. Jakarta 23 Agustus pp. Alimaman R Model Matematis Monitoring Kualitas Lingkungan untuk Kawasan Perkotaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman. BPLHD Jawa Barat Anon Encyclopedia Americana. New York: Americana Co. 954p. Arya S.P Air Pollution Meteorology and Dispersion. Department of Marine, Earth, and Atmspheric Sciences New York: North Carolina State University. Oxford University Press. 217p. Ashrafi KH., GH.A. Hoshyaripour A Model to Determine Atmospheric Stability and its Correlation with CO Concentration. Proceedings Of World Academy Of Science, Engineering and Technology Volume 34 [BAPEDAL] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Indonesia Laporan Kualitas Udara di Indonesia ( ). BAPEDAL Indonesia [BAPEDALDA JAKARTA] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Jakarta Pengukuran Kualitas Udara di Jakarta. 24 jam rata-rata [BAPEDALDA BANTEN] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Banten Ringkasan Eksekutif AMDAL Pembangunan PLTGU Cilegon 740 MW, Laporan akhir April 2004 Banten: BAPEDALDA Banten... Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Banten Analisis Pola Penyebaran Polusi Udara di Provinsi Banten. Oktober 2002 Banten: BAPEDALDA Banten Barry RG., Chorley JR Atmosphere, Weather and Climate. London: Methuen Bibero RJ., Young, IG System Approach to Air Pollution Control. Canada: Jhon Wiley&Sons, Inc pp. Bird RB. Warren ES., Edwin NL Transport Phenomena. Singapore: John Wiley & Sons p. Bokowa A.H., Hong Liu Techniques for Odour Sampling of Area an Fugitive. ORTECH Environmental. York University 112

133 113 Bowen HJM Environmental Chemistry of the Elements. London: Academic Press Burden RL. Douglas JF Numerical Analysis. Fourth Edition. Boston: PWS-KENT Publishing Company p. Cahyana C., H. Umbara, E. Lubis Pemodelan Isodosis dari Dispersi Radionuklida di Atmosfer di Daerah PPTN Serpong. Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif. Batan Cahyono W.E Penyebaran SO 2 dan NO 2 dari Industri di Bandung. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Bandung Carbon B Good Practice Guide for Atmospheric Dispersion Modelling. Ministry for the Environment. Manatû Mö Te Taiao. New Zealand pp. Cemas D., J. Rakovec The Impact Emissions from the Sostanj Thermar Powerplant on Winter SO 2 Pollution in Central Europe. Faculty of Mathematics and Physics. University of Ljubljana. Slovenia Cengel YA., Cimbala JM Fluid Mechanics: Fundamentals and Aplications. Singapore: McGraw-Hill International Edition , 430pp. Chenevez J., Baklanov A., Sorensen JH Pollutant Transport Scheme Integrated in a Numerical Weather Prediction Model: Model Description and Verification Results. Danish Meteorological Institute (DMI), Meteorological Research Division. Copenhagen. Denmark Chi-Wen L Hazardous Pollutant Source Emissions for a Chemical Fiber Manufacturing Facility in Taiwan. Dept. of Env. Engineering Da-Yeh University. Changhua pp. Ching J, Isakov V, Herwehe J., Majed MA Incorporating Sub-Grid Varibality Concentration Distributions with CMAQ. CMAS Workshop session 5: Urban/Regional Model Aplications and Evaluation, 1p. Chung-Chen J., S.C. Kot, J.M. Tepper Detecting Inversions and Stable Lapse Rates with RASS. Research Centre. The Hongkong University of Science and Technology. Clear Water Bay. Kowlon. Hongkong Cooper CD., Alley FC Air Pollution Control a designed approach. 2 nd ed. Waveland press, Inc. Illinois pp.

134 114 Coutinho M., C. Ribeiro, C.Borrego Uncertainties of Environmental Impact Assesment Due to Input Modeling Data Variability. University of Aveiro. Portugal [DLHPE] Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi Kota Cilegon Pengukuran Kualitas Udara di Jakarta. 24 jam rata-rata Drew G.H., A. Tamer, M.P.M. Taha, R. Smith, P.J. Longhurst, R. Kinnersly dan S.J.T. Pollard Dispersion of Bioaeorosols from Composting Facilities. Integrated Waste Management Centre. Cranfield University Fadimba K.B A linearization of a backward Euler scheme for a Class of Degenerate Nonlinear Advection diffusion Equations. Department of Mathematical Sciences. University of South Carolina Aiken. USA Fardiaz S Polusi Air dan Udara. Jakarta: Kanisius pp. Forsdyke World Meteorological Organization. Technical note no Meteorological Factors in Air Pollution. WMO-No.274.TP.153. Geneva. 1-14pp. Geiger R. Aron RH., Todhunter P The Climate Near the Ground. Braundschweig/Wiesbaden: Friedr Vieweg and Sohn Verlagsgesellschaff mbh pp. Gordon A. et.al Dynamic Meteorology, A Basic Course. London: Edward Arnold Hartogensis P Atmospheric Pollution, Delft: Int. Ins. for Hydrolics and Civil Engineering. 1-47pp. Hill JW Chemistry for Changing Time 4 th ed. Minnesota: Burgess Publishing Company. 558p. Hoffmann KA., Steve TC Computational Fluid Dynamics for Engineers. Volume II. Wichita-Kansas: A Publication of Engineering Education Syistem TM. 266p. Holper P., Noonan JN Urban and Regional Air Pollution. Perth: CSIRO Atmosphere Research Huang H, R. Ooka, S. Kato, H. Chen CFD Analysis on Traffic-Induced Air Pollutant Dispersion with Non Isothermal Condition in a Complex Urban Area in Winter. Institute of Industrial Science. University of Tokyo Huser A., P.J. Nilsen, H. Skatun Application of k-ε Model to the Stable ABL: Pollution in Complex Terrain. Journal of Wind Engineering an Industrial Aerodynamics pp.

135 115 Jungers BD. Niemeier D. Kear T. Eisinger D A Survey Of Air Quality Dispersion Models For Projectlevel Conformity Analysis. UC Davis- Caltrans Air Quality Project /Task Order No. 44 Klipp C., Mahrt L Condition Analysis of an Internal Boundary Layer: Boundary Layer Meteorlogy pp. [KLH] Kementrian Lingkungan Hidup Pengendalian Pencemaran Udara dalam Himpunan Peraturan Petrundang-undangan di Bidang Pengelolaan Lengkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah. Bab VI. KLH. Jakarta. 741p. Lastdrager B., B. Koren, J. Verwer The Sparse-grid Combination Technique Applied to Time-dependent Advection Problems. Applied Numerical Mathematics pp. Lee DH., JW. Geem, JH. Kim, Y. Nam Yon Prediction of Toxic Pollutant Advection and Dispersion in Unsteady Flow. Korea University, Department of Civil and Environmental Engineering Leonard LR Air Quality Permiting. Lewis Publishers is an imprint of CRC Press. London pp. Mayhoub A.B, K.S.M Essa dan S. Aly Analytical Form of Pollutants Dispersion for Different Atmospheric Conditions. Mathematics and Theoretical Physics Department Atomic Energy Authority, Nuclear Research Center. Cairo-Egypt. Romania Reports in Physics, Volume pp. Mayinger F., G. Pultz, B. Durst The Numerical Simulation of the Spreading of a Pollutant Plume in the Atmosphere Considering Change of Phase and Topography. University of Munich. FRG Mcdonald R Theory and Objectives of Air Dispersion Modeling: Wind Engineering. Waterloo: Department of Mechanical Engineering. University of Waterloo. 1p. McIntosh DH., Thom AS Essentials of Meteorology. London: Wykeham Publications pp. Mikkelsen T Modelling of Pollutant Transport in the Atmosphere. Atmospheric Physics Division Wind Energy Department Risk National Laboratory Dk-4000 Roskilde. Denmark. 1; 13-16pp. Miller GT Living in the Environmental 2 nd ed. California: Wodworth Publ. Co. Bemount

136 116 Nakaguchi Y., Y. Matoba, A. Shimizu, H. Yamazaki Distribution of Stable Isotopes of Particulate Lead in the Atmosphere in Osaka, Japan. Interdisciplinary Graduate School of Science and Engineering, Kinki University. Kowakae Higashi-osaka. Japan. Nelwan LO Study on Solar-Assited Dryer with Rotating Rock for Cocoa Beans [dissertation]. Bogor Agricultural University [NSW-EPA] New South Wales-Environmental Protection Authority Approved Method and Guidance for The Modeling and Assessment of Air Pollutans in New South wales Sydney NSW. Australia Noonan JA Dispresion Modelling Data Requirements, Risk Assesment and Air Pollutants. Perth Western Australia: CSIRO Atmospheric Research. 2p. Novontny V., Chesters G Handbook of Nonpoint Pollution. Sources and Management. McGraw-Hill, Inc. New York. 555p. Nukman A Role of Health Sector to Prevent Adverse Health Impact of Haze in Indonesia. Paper Presented in International Cross Sectoral Forum on Forest Management in South East Asia. Jakarta December pp. Oke TR Boundary Layer Climates. Methuen & Co.Ltd. London ; ; pp. Osrodka L., M. Wojtylak, E. Krajny Forecasting of High-level Air Pollution in Urban-Industrial Agglomeration by Means of Numerical Weather Forecasting. Institute of Meteorology and Water Management, Katowice, Poland: University of Silesia. Katowice Papakostas T., A.G. Bratsos, I.Th. Famelis, A.I. Delis, D.G. Natsis An Implicit Numerical Scheme for the Atmospheric Pollution. Department of Mathematics. Technological Educational Institution (TEI) of Athens. Athens. Raducan G.M Pollutant Dispersion Modeling with OSPM in a Street Canyon from Bucharest. University of Bucharest. Faculty of Physics. Department of Atmospheric Physics Raharjo S Analisis Penerapan Program ISCST3 untuk memprediksi Penyebaran Gas SO 2 dari Multiple Sources di Pabrik CRM PT Krakatau Steel. Laporan Penelitian. Institut Teknologi Bandung Rahmawati F Aplikasi Model Dispersi Gauss untuk Menduga Pencemaran Udara di Kawasan Industri [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

137 117 Reddy G.S Aspects of a Computational Model for Predicting the Flow and Pollutant Transport in Rivers, Estuaries and Seas. Reza PZ., S. Kingham, J. Pearce Evaluation of a year-long dispersion modeling of PM 10 using the Mesoscale model TAPM for Christchurch, New Zealand. Science of the Total Environment pp. Rice JR Numerical Methods, Software, and Analysis. Singapore: McGraw- Hill Book Co. 311, 321pp. Ruhiat Y., A. Bey, I. Santoso, LO. Nelwan Analisis Karakteristik Udara di Kota Cilegon. LPPM Untirta. Jurnal Penelitian. Ilmu-ilmu Sosial dan Eksakta. Edisi2 Volume Prediksi Sebaran Pencemar Udara di Kota Cilegon. FMIPA UI. Jurnal Sains Indnesia. Sabin TJ, Bailer-Jones CAL, Withers PJ Accelerated Learning Using Gaussian Process Models to Predict Static Recrystallization in Al-Mg Alloy. Department of Materials Science and Metallurgy; University of Cambridge. 692p. Santosa I Model Penyebaran Pencemar Udara dari Kendaraan Bermotor Menggunakan Metode Volume Terhingga: Studi Kasus di Kota Bogor [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Schnitzhofer R., J. Dunkl, M. Norman, A. Wisthaler, A. Ghom, F. Obleitner Vertical Distribution of Air Pollutants in the Inn Valley Atmosphere in Winter. Institut für Ionenphysik und Angewandte Physik, University of Innsbruck. Innsbruck. Austria Schulze T., A. Wytzisk, I. Simonis Distributed Spatio-Temporal Modeling and Simulation. University of Magdeburg. Germany Seinfeld JH Atmospheric Chemistry and Physics of Air Pollution. John Wiley & Sons. Canada. 3-71pp. Schenelle KB., Dey PR Atmospheric Dispersion Modelling Compliance Guide. Mc Graw-Hill Soriano C., R. Soler, B. Physick, A. Luhar, P. Hurley Environmental Impact Assessment of Emissions from an Industrial Stack: Gaussian and Mesoscale Modeling. Geophysical Research Stafilov T., R. Bojkovska, M.Hirao Air Pollution Monitoring System in the Republic of Macedonia. Journal of Environmental Protection and Ecology 4 No pp.

138 118 Strauss W., SJ. Mainwaring Air Pollution. London: Edward Arnold. 152p. Stull RB Meteorology for Scientist and Engineers. 2 nd Brooks/Cole. California. 502p. Edition. Tan M., K. Vergel, M. Camagay Development and Calibration of Pollutant Dispersion Models for Roadside Air Quality Modeling. Department of Civil Engineering, University of the Philippines Diliman Tang W., A. Huber, Brian B., W. Schwarz Application of CFD Simulations for Short-Range Atmospheric Dispersion Over Open Fields and within Arrays of Building. AMS 14 th Joint Conference on the Applications of Air Pollution Meteorology with the A&WMA. Atlanta. Tartakovsky D.M., V.D. Federico An Analytical Solution for Contaminant Transport in Nonuniform Flow. Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands. Transport in Porous Media pp. Tasic V., D. Milivojevic, N. Zivkovic, A. Dordevic Implementation of Air Quality Monitoring System. Facta Universitatis. Working and Living Environmental Protection Vol pp. Vallis GK Atmospheric and Oceanic Fluid Dynamics: Fundamentals and Large-Scale Circulation Vawda Y., J.S. Moorcroft, P. Khandelwal, C. Whall Sulphur Dioxide Emissions from Small Boilers - Supplementary Assistance on Stack Height Determination. Stanger Science and Environment, Great Guildford House. London Vinitnantharat S., Khummongkol P Sulfur and Nitrogen Deposition in Six Regions of Thailand. Asian Society for Environmental Protection. Vol pp. Venegas LE., Mazeo NA Application of Atmospheric Dispersión Models to Evaluate Population Exposure to NO 2 Concentration in Buenos Aires. Department of Atmospheric and Oceanic Sciences. Faculty of Sciences. University of Buenos Aires Versteeg HK., Malalasekera W An Introduction to Computational Fluid Dynamics. New York: John Wiley & Sons pp. Wang G, FHM. van den Bosch, M. Kuffer Modeling Urban Traffic Air Pollution Dispersion. Dept. of Urban and Regional Planning and Geoinformation Management, International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation. Netherlands

139 119 Wark K., Warner CF Air Pollution: Its Origin and Control. New York: Haper and Row Publishers Winarso PA Sumber dan Pengelolaan Pencemar Udara. Himpunan Karangan Ilmiah di Bidang Perkotaan dan Lingkungan PKPL DKI Vol.2: 42 48pp. World Bank Airshed Models. Pollution Prevention and Abatement Handbook. World Bank. pollution Zhang X., Ghoniem, AF A Computational Model for the Rise and Dispersion of Wind-Blown, Buoyancy-Driven Plumes I. Neutrally Stratified Atmosphere. Atmospheric Environment pp.

140 Lampiran 1 Analisis Distribusi Laju Penyebaran Sulfur dioksida (SO 2 ) di Kota Cilegon

141 Lampiran 2 Sebaran Sulfur dioksida (SO 2 ) dan Debu dari Kawasan Industri

142 Lampiran 3 Sebaran SO 2 dan di Kota Cilegon

143 Lampiran 1. Wilayah dan Kawasan Industri Kota Cilegon Wilayah Kota Cilegon Kota Cilegon terletak antara 105 o o BT dan 5 o o LS, dengan luas 175,50 Km 2. Kota Cilegon berbatasan dengan: sebelah Utara Kabupaten Serang; sebelah Timur Kabupaten Serang; sebelah Selatan Kabupaten Serang; dan sebelah Barat Selat Sunda. Secara umum Penggunaan Lahan Kota Cilegon dimanfaatkan untuk pertanian, perumahan dan pemukiman, perkantoran atau jasa, industri dan pariwisata. Kota Cilegon memiliki delapan kecamatan dan empat puluh tiga kelurahan/desa, jumlah penduduk selama periode sebanyak jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar 0,5 % dan tingkat kepadatan penduduk mencapai jiwa per kilometer persegi (BPS Kota Cilegon, 2004). Tabel 31. Penggunaan lahan di Kota Cilegon No Penggunaan Lahan Luas (Ha) Pertanian Perumahan dan Pemukiman Perkantoran / Jasa Industri Pariwisata Kegiatan lainnya 6.913, ,25 313, ,89 6,10 777,84 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cilegon, tahun 2004 Tabel 32. Luas daeah dan pembagian wilayah Kecamatan 1. Ciwandan 2. Citangkil 3. Pulomerak 4. Grogol 5. Purwakarta 6. Cilegon 7. Jombang 8. Cibeber Ibukota Tegal Ratu Kebon Sari Taman Sari Grogol Purwakarta Ciwaduk Jombang Wetan Kali Timbang Luas area Km 2 % 51,85 22,98 19,86 15,24 23,38 9,15 11,55 21,49 29,54 13,09 11,32 8,68 13,32 5,21 6,58 12,25 Banyaknya Desa Jumlah 175,50 100,00 43 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cilegon, tahun

144 121 Tabel 33. Pabrik di kawasan industri Cilegon No Nama Industri Alamat Jenis Produk A ZONA KAWASAN KS 1 PT AIRLIQUIDE INDONESIA Jl. Australia II Kav. M1 Liquide Nitrogen, Oksigen, Telp , Fax Argon dan Gas Hidrogen 2 PT ANEKA GAS INDUSTRI Jl. Eropa I Kav. 12/1 Pembotolan Gas Oksigen Telp PT MITRAGUNA PANCATAMA/ Jl. Australia II Kav. L1 Paku, Bendrad PT ARGAMAS BAJATAMA Telp , Fax PT BLOUSCOPE STEEL INDNESIA Jl. Asia Raya Kav. 02 Zincalum Coated Coil, Paint Telp Fax Coated Coil 5 PT BRIKETAMA ANUGRAH (TUTUP) Jl. Australia II Kav. Q1 Cold Briket Iron Telp , Fax PT CABOT INDONESIA Jl. Amerika I Kav. A5 Carbon Black Telp Fax PT CAHAYA ANUGRAHTAMA Jl. Eropa I Kav. 12/4 Design, Engeering Telp , , Fabrication and Contruction Fax PT CHEETAM GARAM INDONESIA Jl. Australia II Kav. D1/1 Garam Telp Fax PT CHICAGO BRIDGE AND INRON Jl. Australia I Kav. H2/1 Vessel Fabrication, Telp , Fax Construction 10 PT CIGADING HABEAM CENTRE Jl. Eropa I Kav. J2 & L2 Welde H-Bean, Steel Telp Fax Fabricator Coil Centre, Electric Pole 11 PT COMMONWEALTH STEEL Jl. Australia II Kav. I1/1 Grinding Media Roll INDONESIA Telp PT COMMUNICATION CABLE Jl. Eropa II Kav. E3/1 Industri Kabel SYSTEM INDONESIA Telp , Fax PT DAEKYUNG INDAH HAEVY IND Jl. Australia II Telp Steel Fabrication Fax , PT DRESSER-RAND SERVICE Jl. Eropa II SFB No. B1 Jasa Perbaikan dan Peme- INDONESIA Telp , Fax liharaan alat-alat Berat untuk Pertambangan dan Gas 15 PT DYSTAR COLOUR INDONESIA Jl. Australia I Kav. F1 Zat warna tekstil Telp , Fax

145 PT HARBISON WALKER Jl. Australia II Kav. N1 Refractories REFRACTORIES Telp Fax PT BETON CILEGON AGUNG Concrete Ready Mix 18 PT INDOCEMENT TUNGGAL Jl. Raya Anyer Kav. KS Coal Storage Terminal PERKASA Tbk Telp Fax PT INDONESIA ASRI Jl. Australia I Kav. B1 Refractories REFRACTORIES Telp , Fax PT KAPURINDO SENTANA BAJA Jl. Australia II Kav. H1 Kapur Bakar Telp , PT KARUNIA BERCA INDONESIA Jl. Eropa I Kav G2 Telp Fabrikasi Konstruksi Baja dan Fax Galvanis 22 PT KHI PIPE INDUSTRI Jl. Amerika I Telp / Steel Pipe & Corrosion Pipe Fax Protection 23 PT KOKUSAI KEISO INDONESIA Jl. Australia II Kav. O1/1 Enggencering, Construction Telp Fax and Maintenance 24 PT KRAKATAU ENGEERING Jl. A 0/1 Telp , Service Engineering Fax PT KRAKATAU PRIMA DHARMA Jl. Eropa I Kav. 12/3 Telp , Alumunium Pellet SENTANA Fax PT LATINUSA Jl. Australia I Kav. E1 Telp Tin Plate Fax PT MULTI FABRINDO GEMILANG Jl. Australia II Kav. G 1/2 Engineering, Fabrication and Telp , Fax Construction 28 PT NUSARAYA PUTRA MANDIRI Jl. Eropa II Kav. D 3/1 Pengemasan Olie Telp Fax PT PETROJAYA BORAL PLASTER Jl. Asia I Kav. G 3/1 Telp Gypsum Board BOARD Fax PT CLARIANT INDONESIA Jl. Australia I Kav. F1 Telp Bahan Baku Cat dan Tekstil Fax PT ROHM AND HAAS INDNESIA Jl. Eropa III Kav. M2 Telp Acrylic Emulsion Resin Fax PT SAMUDRA FERRO ENGEERING Jl. Australia II Kav. D 1/2 Engineering, Fabrication & Telp Fax , Industrial Erection, Maintenance 33 PT SAVANA MULIA INDAH Jl. Australia I Kav. B 1/2 Briiket Besi Telp Fax

146 PT SEAMLES PIPA INDUSTRI JAYA Jl. Asia Raya Kav. F4 Telp Fax , Industri Pipa Baja tanpa Kampuh 35 PT SIEMENS INDONESIA Jl. Eropa I Kav. B2 Telp Turbine Component & Part Fax PT SUMIMAGNE UTAMA Jl. Eropa III Kav. N2 Telp , Fax Ferrite Magnat, Ferrite Material dan Peralatan Pengerjaan Logam 37 PT KRAKATAU WAJATAMA Kawasan KIEC Cilegon 38 PT TJOKRO PUTRA PERSADA Jl. Eropa I Kav. E 2/2 Telp Komponen Mesin, Steel , Fax Fabricasi 39 PT KRAKATAU STEEL Kawasan KIEC Telp Pabrik Spons (DRP) Fax Pabrik Besi Slab (SSP) Pabrik Billet Baja (BSP) Pabrik Batang Kater (WRM) Pabrik Canai Panas (HSM) Pabrik Canai Dingin (CRM) 40 PT KRAKATAU DAYA LISTRIK Jl. Amerika I Telp PLTU KS Fax PT PURNA BAJA HACKET Jl. N2 KIEC, Desa Cigading Kec. Ciwandan Telp , Fax PT BARATA INDONESIA Industri Slag handling dan Metal Recovery Jasa Konstruksi & Permesinan (Vessel) 43 PT CITRA INDUSTRI LOGAM PIG Iron MESIN PERSADA 44 PT PRAJAMITA INTERNUSA Kawasan KIEC I Pembuatan Drum

147 124 Lampiran 2. Analisis Distribusi Laju Penyebaran Pencemar Udara Sistem persamaan bentuk tri-diagonal Φ = C (1.a) 1 1 β Φ + D Φ α Φ = C (1.b) β Φ + D Φ α Φ = C (1.c) β Φ + D Φ α Φ = C (1.d) β Φ + D Φ α Φ = C (1.e) n n 1 n n n n+ 1 n Φ = C (1.f) n+ 1 n+ 1 Bentuk umum persamaan tersebut adalah: β Φ + D Φ α Φ = C (2) j j 1 j j j j+ 1 j Persamaan (1.b-f) di atas dapat ditulis sebagai: α β C Φ = Φ + Φ + (3.1) D2 D2 D2 α β C Φ = Φ + Φ + (3.2) D3 D3 D3 α β C Φ = Φ + Φ + (3.3) D4 D4 D4 α β C Φ = Φ + Φ + (3.4) n n n n n 1 n 1 Dn Dn Dn Substitusi persamaan (3.2) dengan (3.1) α β α β C C Φ = Φ + Φ + Φ D3 D3 D2 D2 D2 D3 α β α β β β C C Φ = Φ + Φ + Φ D3 D3 D2 D3 D2 D3 D2 D3 β β β C Φ Φ = Φ β3 α 2 α3 D2 D2 C D3 D2 D3 D3 D3 D3

148 125 β2 C 2 β3 1 C3 α Φ + + D 3 2 D2 Φ 3 = Φ 4 + α2 α2 D3 β 3 D3 β3 D 2 D 2 (4) ' α 3 β3c2 + C 3 Φ 3 = Φ 4 + D3 β3a2 D3 β3a2 dengan: A α 2 2 = dan D2 Persamaan (4) dapat ditulis: dengan: Φ = A Φ + C A ' = D α3 β A C β C = Φ + ' D2 D2 dan C β C + C ' ' = D3 β3a2 Bentuk umum dari persamaan tersebut adalah: Φ = A Φ + C ' j j j+ 1 j dengan: A j = D α j β A j j j 1, dan C ' j β C + C = D β A ' j j 1 j j j j 1

149 126 LISTING PROGRAM % Penyelesaian Persamaan Linear clc clear disp(' Matrix A dimasukkan melalui program satu demi satu elemen ') disp('jika setelah dilakukan penukaran baris, ternyata pada elemen ') disp(' diagonalnya terdapat nilai 0 maka program akan menampilkan ') disp(' bahwa matrix yang dimasukkan tidak dapat difaktorkan ') disp('=============================================================') disp(' Menghitung Sebaran Konsentrasi ') disp(' Pencemar Udara di Kota Cilegon ') disp('======================================================') disp(' Oleh : YAYAT RUHIAT ') disp(' G ') disp('======================================================') disp('masukkan ukuran matrix jumlah baris=jumlah kolom:') n=input('ukuran matrix b : ') p=1; for i = 1:n for j = 1:n x = sprintf('b(%g,%g) : ',i,j); b(i,j)=input(x); a(i,j)=b(i,j); end; end; for i=1:(n-1), if a(n,n)==0; for k = 1:n c=a(i,k); a(i,k)=a(n,k); a(n,k)=c; end; end; end for i=1:(n-1), if a(i,i)==0; for k=1:n c=a(i+1,k); a(i+1,k)=a(i,k); a(i,k)=c; end; end; end; for i=1:n if a(i,i)==0; p=0; end; end; disp(' Tekan sembarang tombol'); pause; %clc disp('matrix asli :'); b disp('matrix hasil perubahan baris '); a if p==0; disp(' ');

150 127 disp('matrix tak dapat difakorkan! '); end; if p~=0; for j=2:n; a(j,1)=a(j,1)/a(1,1); end; for k=2:(n-1), for j=k:n, c=0; for m=1:(k-1), c=c+a(k,m)*a(m,j); end; a(k,j)=a(k,j)-c; end; for j=(k+1):n, c=0; for m=1:(k-1), c=c+a(j,m)*a(m,k); end; a(j,k)=(a(j,k)-c)/a(k,k); end; end; c=0; for m=1:(n-1), c=c+a(n,m)*a(m,n); end; a(n,n)=a(n,n)-c; l = tril (a,-1)+ eye(n,n); u=triu(a); disp(' Tekan sembarang tombol'); pause; clc; disp('hasil L dari matrix a ') l disp('hasil U dari matrix a ') u disp('hasil LU dari matrix a ') a end; disp(' Tekan sembarang tombol'); disp(' '); disp('masukkan nilai vektor kolom :') disp(' '); m=n; for i = 1:m x = sprintf('c(%g) : ',i); c(i)=input(x); d(i)=c(i); end; c=c'; %hitung nilai y y=1\c; %hitung nilai x1,...xn x=u\y disp(' '); disp('nilai x :')x

151 128 Lampiran 3. Hasil Running Screen3 Stabilitas A Stabilitas B Stabilitas C Stabilitas D Stabilitas E PLTU: Unit 1-4 PLTU: Unit 5-7 Gambar 31.a. Sebaran SO 2 dari PT Indonesia Power (zona Pulomerak)

152 129 Stabilitas A Stabilitas B Stabilitas C Stabilitas D Chandra Asri Stabilitas E Pembangkit Listrik Cigading Gambar 31.b. Sebaran SO 2 dari PT Chandra Asri dan Pembangkit Litrik Cigading (zona Ciwandan)

153 130 Stabilitas A Stabilitas B Stabilitas C Stabilitas D Krakatau Daya Listrik Stabilitas E Krakatau Steel (HYL) Gambar 31.c. Sebaran SO 2 dari PT KS dan Krakatau Daya Listrik (zona KS)

154 131 Stabilitas A Stabilitas B Stabilitas C Stabilitas D Stabilitas E PLTU: Unit 1-4 PLTU: Unit 5-7 Gambar 32.a. Sebaran Debu dari PT Indonesia Power (zona Pulomerak)

155 132 Stabilitas A Stabilitas B Stabilitas C Stabilitas D Chandra Asri Stabilitas E Pembangkit Listrik Cigading Gambar 32.b. Sebaran Debu dari PT Chandra Asri dan Pembangkit Litrik Cigading (zona Ciwandan)

156 133 Stabilitas A Stabilitas B Stabilitas C Stabilitas D Krakatau Daya Listrik Stabilitas E Krakatau Steel (HYL) Gambar 32.c. Sebaran Debu dari PT KS dan Krakatau Daya Listrik (zona KS)

157 Lampiran 4. Sebaran Konsentrasi SO 2 di Kota Cilegon 134 Stabilitas Atmosfer B dengan kecepatan angin 1 m/s Stabilitas Atmosfer C dengan kecepatan angin 1 m/s Stabilitas Atmosfer D dengan kecepatan angin 1 m/s Stabilitas Atmosfer E dengan kecepatan angin 1 m/s Gambar 33.a. Sebaran SO 2 di Kota Cilegon pada berbagai stabilitas udara dengan kecepatan angin 1 m/s pada scenario ada sumber

158 135 Stabilitas Atmosfer B dengan kecepatan angin 1,5 m/s Stabilitas Atmosfer C dengan kecepatan angin 1,5 m/s Stabilitas Atmosfer D dengan kecepatan angin 1,5 m/s Stabilitas Atmosfer E dengan kecepatan angin 1,5 m/s Gambar 33.b. Sebaran SO 2 di Kota Cilegon pada berbagai stabilitas udara dengan kecepatan angin 1,5 m/s pada scenario ada sumber

159 136 Stabilitas Atmosfer C dengan kecepatan angin 2 m/s Stabilitas Atmosfer D dengan kecepatan angin 2 m/s Stabilitas Atmosfer E dengan kecepatan angin 2 m/s Gambar 33.c. Sebaran SO 2 di Kota Cilegon pada berbagai stabilitas udara dengan kecepatan angin 2 m/s pada scenario ada sumber

160 137 Stabilitas Atmosfer C dengan kecepatan angin 2,5 m/s Stabilitas Atmosfer D dengan kecepatan angin 2,5 m/s Stabilitas Atmosfer E dengan kecepatan angin 2,5 m/s Gambar 33.d Sebaran SO 2 di Kota Cilegon pada berbagai stabilitas udara dengan kecepatan angin 2,5 m/s pada scenario ada sumber

161 138 Stabilitas Atmosfer C dengan kecepatan angin 3 m/s Stabilitas Atmosfer D dengan kecepatan angin 3 m/s Stabilitas Atmosfer E dengan kecepatan angin 3 m/s Gambar 33.e. Sebaran SO 2 di Kota Cilegon pada berbagai stabilitas udara dengan kecepatan angin 3 m/s pada scenario ada sumber

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas industri dapat memberikan kontribusi kenaikan kadar polutan, seperti gas dan partikulat ke dalam lingkungan udara atmosfer sehingga dapat menurunkan mutu udara

Lebih terperinci

MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI LAJU PENYEBARAN SULFUR DIOKSIDA (SO 2 ) DAN DEBU DARI KAWASAN INDUSTRI (STUDI KASUS DI KOTA CILEGON) YAYAT RUHIAT

MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI LAJU PENYEBARAN SULFUR DIOKSIDA (SO 2 ) DAN DEBU DARI KAWASAN INDUSTRI (STUDI KASUS DI KOTA CILEGON) YAYAT RUHIAT MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI LAJU PENYEBARAN SULFUR DIOKSIDA (SO 2 ) DAN DEBU DARI KAWASAN INDUSTRI (STUDI KASUS DI KOTA CILEGON) YAYAT RUHIAT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 SURAT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

PENYEBARAN PENCEMAR UDARA DI KAWASAN INDUSTRI CILEGON. (The Dispersion Air Polutant at Cilegon Insdustry Area) ABSTRACT

PENYEBARAN PENCEMAR UDARA DI KAWASAN INDUSTRI CILEGON. (The Dispersion Air Polutant at Cilegon Insdustry Area) ABSTRACT PENYEBARAN PENCEMAR UDARA DI KAWASAN INDUSTRI CILEGON (The Dispersion Air Polutant at Cilegon Insdustry Area) Yayat Ruhiat 1, Ahmad Bey 2, Imam Santosa 2, Leopold O. Nelwan 3 1 Mahasiswa Agroklimatologi

Lebih terperinci

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT.

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. 1 PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. Pencemaran Udara 2 3 Regulasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara 4 Pencemaran Udara Masuknya atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi udara merupakan masalah lingkungan global yang terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), polusi udara menyebabkan kematian

Lebih terperinci

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA Pengelolaan lingkungan diperlukan agar lingkungan dapat terus menyediakan kondisi dan sumber daya yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Lingkungan abiotis terdiri dari atmosfer,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia,

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan,

Lebih terperinci

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 9. Wilayah studi

III. METODOLOGI. Gambar 9. Wilayah studi III. METOOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2005 sampai April 2008 termasuk untuk persiapan, perijinan dan penyusunan proposal. Penelitian dilakukan di Kota Cilegon

Lebih terperinci

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas

Lebih terperinci

LIMBAH. Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4.

LIMBAH. Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4. LIMBAH Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4.B3 PENGERTIAN Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18/1999 Jo.PP 85/1999

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Hujan Asam Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA)

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA) ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA) RAHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd PENCEMARAN LINGKUNGAN Purwanti Widhy H, M.Pd Pengertian pencemaran lingkungan Proses terjadinya pencemaran lingkungan Jenis-jenis pencemaran lingkungan PENGERTIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN Berdasarkan UU Pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan di berbagai bidang yang semakin meningkat apabila tidak disertai oleh upaya pengelolaan lingkungan yang baik, maka dapat mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN

BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN BAB IX PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI PERKOTAAN 1. Pencemaran Udara Pencemaran lingkungan kadang-kadang tampak jelas oleh kita ketika kita melihat timbunan sampah di pasar-pasar, pendangkalan

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA)

PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) EKO SUPRIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan fisik kota yang ditentukan oleh pembangunan sarana dan prasarana. Lahan yang seharusnya untuk penghijauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan komponen yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Tingkat pencemaran udara di Kota Padang cukup tinggi. Hal

Lebih terperinci

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Pemantauan kualitas udara Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Keabsahan dan keterpercayaannya ditentukan oleh metode dan analisis yang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya.

Lebih terperinci

PERILAKU ZAT PENCEMAR DI ATMOSFER

PERILAKU ZAT PENCEMAR DI ATMOSFER PERILAKU ZAT PENCEMAR DI ATMOSFER Pengantar Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kondisi atmosfer yang terdiri atas senyawa-senyawa dengan konsentrasi tinggi diatas kondisi udara ambien normal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di

Lebih terperinci

KLASIFIKASI LIMBAH. Oleh: Tim pengampu mata kuliah Sanitasi dan Pengolahan Limbah

KLASIFIKASI LIMBAH. Oleh: Tim pengampu mata kuliah Sanitasi dan Pengolahan Limbah KLASIFIKASI LIMBAH Oleh: Tim pengampu mata kuliah Sanitasi dan Pengolahan Limbah 1 Pengertian Limbah Limbah: "Zat atau bahan yang dibuang atau dimaksudkan untuk dibuang atau diperlukan untuk dibuang oleh

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

ATMOSFER I. A. Pengertian, Kandungan Gas, Fungsi, dan Manfaat Penyelidikan Atmosfer 1. Pengertian Atmosfer. Tabel Kandungan Gas dalam Atmosfer

ATMOSFER I. A. Pengertian, Kandungan Gas, Fungsi, dan Manfaat Penyelidikan Atmosfer 1. Pengertian Atmosfer. Tabel Kandungan Gas dalam Atmosfer KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami pengertian dan kandungan gas atmosfer. 2. Memahami fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Udara merupakan zat yang penting dalam memberikan kehidupan di permukaan bumi. Selain memberikan oksigen, udara juga berfungsi sebagai alat penghantar suara dan bunyi-bunyian,

Lebih terperinci

Udara & Atmosfir. Angga Yuhistira

Udara & Atmosfir. Angga Yuhistira Udara & Atmosfir Angga Yuhistira Udara Manusia dapat bertahan sampai satu hari tanpa air di daerah gurun yang paling panas, tetapi tanpa udara manusia hanya bertahan beberapa menit saja. Betapa pentingnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan senyawa campuran gas yang terdapat pada permukaan bumi. Udara bumi yang kering mengandung nitrogen, oksigen, uap air dan gas-gas lain. Udara ambien,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk di Kota Padang setiap tahun terus meningkat, meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan jumlah transportasi di Kota Padang. Jumlah kendaraan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Secara geografis Kota Medan terletak pada 3 30'

Lebih terperinci

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG Sumaryati Peneliti Bidang Komposisi Atmosfer, LAPAN e-mail: sumary.bdg@gmail.com,maryati@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Pengelolaan polusi udara pada prinsipnya adalah

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya. Udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH

PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 12 Tahun 2010 Tanggal : 26 Maret 2010 I. PENDAHULUAN PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH Dalam Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi saat ini menjadi masalah yang sangat penting karena dapat mengindikasikan kemajuan suatu daerah. Transportasi sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA Abstrak Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. lingkungan yang utama di dunia, khususnya di negara berkembang. Pencemaran udara dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. lingkungan yang utama di dunia, khususnya di negara berkembang. Pencemaran udara dapat BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat sekarang ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan lingkungan yang utama di dunia, khususnya di negara berkembang. Pencemaran udara dapat terjadi

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5 1. Perubahan iklim global yang terjadi akibat naiknya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik, khususnya sekitar daerah ekuator

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gas seperti sulfur dioksida vulkanik, hidrogen sulfida, dan karbon monoksida selalu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gas seperti sulfur dioksida vulkanik, hidrogen sulfida, dan karbon monoksida selalu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udara Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali. Beberapa gas

Lebih terperinci

BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA 1. Kontaminan Adalah semua spesies kimia yang dimasukkan atau masuk ke atmosfer yang bersih. 2. Cemaran (Pollutant) Adalah kontaminan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkembangnya sektor industri dan pemanfaatan teknologinya tercipta produk-produk untuk dapat mencapai sasaran peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dengan peralatan

Lebih terperinci

Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio)

Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio) Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio) Abdu Fadli Assomadi Laboratorium Pengelolaan Pencemaran Udara dan Perubahan Iklim karakteristik tinggi skala (scale height) Dalam mempelajari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... i ii iii vi iv xi xiii xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan unsur lingkungan hidup lainnya (SNI ).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan unsur lingkungan hidup lainnya (SNI ). 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udara Ambient Udara dapat di kelompokkan menjadi dua jenis, yaitu udara ambient dan udara emisi. Udara ambient adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect) PEMANASAN GLOBAL Efek Rumah Kaca (Green House Effect) EFEK RUMAH KACA Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Jakarta sebagai kota metropolitan di Indonesia memiliki berbagai masalah, salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan adalah masalah pencemaran udara. Menurut

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Oleh REZA DARMA AL FARIZ PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017

TUGAS AKHIR. Oleh REZA DARMA AL FARIZ PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017 PREDIKSI KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA (CO) DAN SULFUR DIOKSIDA (SO 2 ) DARI SUMBER TRANSPORTASI DI JALAN S.PARMAN MEDAN MENGGUNAKAN BOX MODEL STREET CANYON TUGAS AKHIR Oleh REZA DARMA AL FARIZ 130407011

Lebih terperinci

ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR

ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR Oleh : AMBAR YULIASTUTI L2D 004 294 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESI DEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESI DEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESI DEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : Bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.10

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.10 SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.10 1. Akhir-akhir ini suhu bumi semakin panas dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena efek rumah kaca. Faktor yang mengakibatkan semakin

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelestarian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya. Udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kualitas udara merupakan komponen lingkungan yang sangat penting, karena akan berpengaruh langsung terhadap kesehatan masyarakat terutama pada pernafasan. Polutan di

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. didalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari

BAB II LANDASAN TEORI. didalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Polusi udara Polusi udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing didalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Udara

Lebih terperinci

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat Polusi Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemar kendaraan bermotor di kota besar makin terasa. Pembakaran bensin dalam kendaraan bermotor merupakan lebih dari separuh penyebab polusi udara. Disamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran

Lebih terperinci

KONSEP DASAR KIMIA UDARA

KONSEP DASAR KIMIA UDARA Company LOGO KONSEP DASAR KIMIA UDARA Zulfikar Ali As Poltekkes Banjarmasin Jurusan Kesehatan Lingkungan Banjarbaru KOMPOSISI UDARA BERSIH Gass By Volume of dry air ppm Nitrogen Oxygen Argon Carbon dioxyde

Lebih terperinci

SELEKSI MASUK UNIVERSITAS INDONESIA (SIMAK-UI) Mata Pelajaran : IPA TERPADU Tanggal : 01 Maret 2009 Kode Soal : 914 PENCEMARAN UDARA Secara umum, terdapat 2 sumber pencermaran udara, yaitu pencemaran akibat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN INTISARI ABSTRACT i ii iii iv v vii ix x xi xii xiii

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.9. lithosfer. hidrosfer. atmosfer. biosfer

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.9. lithosfer. hidrosfer. atmosfer. biosfer SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.9 1. Berdasarkan susunan kimianya komposisi permukaan bumi dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu lithosfer, hidrosfer, atmosfer, dan biosfer.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dilepaskan bebas ke atmosfir akan bercampur dengan udara segar. Dalam gas

I. PENDAHULUAN. dilepaskan bebas ke atmosfir akan bercampur dengan udara segar. Dalam gas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sarana transportasi saat ini sangat dibutuhkan bagi masyarakat yang melakukan aktivitas perjalanan di luar rumah. Kebutuhan sarana transportasi tersebut memacu laju pertambahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.

Lebih terperinci

Maria Katherina Gnadia Liandy, Endro Suswantoro, Hernani Yulinawati

Maria Katherina Gnadia Liandy, Endro Suswantoro, Hernani Yulinawati ANALISIS SEBARAN TOTAL SUSPENDED PARTICULATE (TSP), SULFUR DIOKSIDA (SO 2 ), DAN NITROGEN DIOKSIDA (NO 2 ) DI UDARA AMBIEN DARI EMISI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU) BANTEN 3 LONTAR DENGAN MODEL GAUSSIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

PREDIKSI KONSENTRASI CO2 PADA CEROBONG ASAP DARI RENCANA PEMBANGUNAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MESIN DAN GAS (PLTMG) DURI

PREDIKSI KONSENTRASI CO2 PADA CEROBONG ASAP DARI RENCANA PEMBANGUNAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MESIN DAN GAS (PLTMG) DURI PREDIKSI KONSENTRASI CO2 PADA CEROBONG ASAP DARI RENCANA PEMBANGUNAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MESIN DAN GAS (PLTMG) DURI Yulia Fitri, Sri Fitria Retnawaty Prodi Fisika Universitas Muhammadiyah Riau Jl.

Lebih terperinci

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU Oleh: Imam Yanuar 3308 100 045 Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit)

EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit) EVALUASI KOMPETENSI SEMESTER GASAL KELAS XI WAKTU : (90 menit) A. Pilihlah satu jawaban yang paling benar dengan memberi silang pada salah satu huruf di lembar jawab! 1. Di Indonesia, pengaturan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara merupakan sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk bernafas umumnya tidak atau kurang

Lebih terperinci

TINGKAT POLUSI UDARA DARI EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN VOLUME LALU LINTAS (Studi Kasus : Simpang Empat Bersinyal Kota Lhokseumawe)

TINGKAT POLUSI UDARA DARI EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN VOLUME LALU LINTAS (Studi Kasus : Simpang Empat Bersinyal Kota Lhokseumawe) TINGKAT POLUSI UDARA DARI EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN VOLUME LALU LINTAS (Studi Kasus : Simpang Empat Bersinyal Kota Lhokseumawe) Gustina Fitri *) ABSTRAK Simpang Empat Bersinyal Kota

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berwawasan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat dengan sesedikit mungkin memberikan dampak negatif pada lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam usaha di bidang kesehatan seperti di jelaskan dalam Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. dalam usaha di bidang kesehatan seperti di jelaskan dalam Undang-Undang Nomor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional di bidang kesehatan yang tercantum dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yaitu terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi

Lebih terperinci

Oleh: ANA KUSUMAWATI

Oleh: ANA KUSUMAWATI Oleh: ANA KUSUMAWATI PETA KONSEP Pencemaran lingkungan Pencemaran air Pencemaran tanah Pencemaran udara Pencemaran suara Polutannya Dampaknya Peran manusia Manusia mempunyai peranan dalam pembentukan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk 2.191.140 jiwa pada tahun 2014 (BPS Provinsi Sumut,

Lebih terperinci

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M. Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : 35410453 Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.T TUGAS AKHIR USULAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN KINERJA LINGKUNGAN

Lebih terperinci

STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. : Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran. Lingkungan

STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. : Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran. Lingkungan Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2011 Tanggal : 14 September 2011 STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA 1. Kualifikasi : Penanggung Jawab Pengendalian

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

SIMULASI PENYEBARAN GAS SO 2 DENGAN MODEL FLUENT DAN MODEL DIFUSI GAUSS GANDA

SIMULASI PENYEBARAN GAS SO 2 DENGAN MODEL FLUENT DAN MODEL DIFUSI GAUSS GANDA SIMULASI PENYEBARAN GAS SO 2 DENGAN MODEL FLUENT DAN MODEL DIFUSI GAUSS GANDA (Studi Kasus di PLTU PT. INDORAMA SYNTHETICS tbk.) TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Kurikuler Program Sarjana di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 AREN (Arenga pinnata) Pohon aren (Arenga pinnata) merupakan pohon yang belum banyak dikenal. Banyak bagian yang bisa dimanfaatkan dari pohon ini, misalnya akar untuk obat tradisional

Lebih terperinci

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar POLUSI Standart Kompetensi : Memahami polusi dan dampaknya pada manusia dan lingkungan Kompetensi Dasar : Mengidentifikasi jenis polusi pada lingkungan kerja 2. Polusi Air Polusi Air Terjadinya polusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga

I. PENDAHULUAN. bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga merupakan atmosfir

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia setiap detik selama hidupnya akan membutuhkan udara. Secara ratarata manusia tidak dapat mempertahankan hidup tanpa udara lebih dari tiga menit. Udara tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri seharusnya memiliki kualitas sesuai standar yang ditentukan. Dalam proses pembuatannya tentu diperlukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Data Data yang akan digunakan dalam pengerjaan tugas akhir ini, antara lain data pemakaian batubara, data kandungan sulfur dalam batubara, arah dan kecepatan

Lebih terperinci

Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi

Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi IV.1 Umum Kota Bandung yang merupakan ibukota propinsi Jawa Barat terletak pada 107 o 36 Bujur Timur dan 6 o 55 Lintang Selatan. Secara topografis terletak pada ketinggian

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 129 TAHUN 2003 TENTANG BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 129 TAHUN 2003 TENTANG BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI S A L I N A N KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 129 TAHUN 2003 TENTANG BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP; Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas udara perkotaan di Indonesia menunjukkan kecenderungan menurun dalam beberapa tahun terakhir ini. Ekonomi kota yang tumbuh ditandai dengan laju urbanisasi

Lebih terperinci

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA PENCEMARAN Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat dimana terjadi perubahan cuaca dan iklim lingkungan yang mempengaruhi suhu bumi dan berbagai pengaruh

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI CO, NO x, SO 2, HC, DAN PM 10 DARI AKTIVITAS TRANSPORTASI DI JALAN MAYOR OKING CITEUREUP BOGOR FITRI HASANAH

PENDUGAAN KONSENTRASI CO, NO x, SO 2, HC, DAN PM 10 DARI AKTIVITAS TRANSPORTASI DI JALAN MAYOR OKING CITEUREUP BOGOR FITRI HASANAH PENDUGAAN KONSENTRASI CO, NO x, SO 2, HC, DAN PM 10 DARI AKTIVITAS TRANSPORTASI DI JALAN MAYOR OKING CITEUREUP BOGOR FITRI HASANAH DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR FISIS YANG MEMPENGARUHI AKUMULASI NITROGEN MONOKSIDA DAN NITROGEN DIOKSIDA DI UDARA PEKANBARU

FAKTOR-FAKTOR FISIS YANG MEMPENGARUHI AKUMULASI NITROGEN MONOKSIDA DAN NITROGEN DIOKSIDA DI UDARA PEKANBARU FAKTOR-FAKTOR FISIS YANG MEMPENGARUHI AKUMULASI NITROGEN MONOKSIDA DAN NITROGEN DIOKSIDA DI UDARA PEKANBARU Riad Syech, Sugianto, Anthika Jurusan Fisika FMIPA Universitas Riau Kampus Bina Widya Km 12,5

Lebih terperinci

Atmosfer. 1. Bahan 2. Struktur 3. Peranan Atmosfer. Meteorology for better life

Atmosfer. 1. Bahan 2. Struktur 3. Peranan Atmosfer. Meteorology for better life Atmosfer 1. Bahan 2. Struktur 3. Peranan Atmosfer 2 1 Bahan Penyusun Gas ~96%volume Udara kering 99.9% Gas utama 0.01% Gas penyerta (permanen, tidak permanen) >dftr Udara Lembab di daerah Subtropika 0%

Lebih terperinci