BAB I PENDAHULUAN. dan anak yang paling dominan berada di sektor jasa prostitusi, kebanyakan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. dan anak yang paling dominan berada di sektor jasa prostitusi, kebanyakan"

Transkripsi

1 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perdagangan perempuan dan anak saat ini mempuanyai jaringan yang sangat luas di dunia international khususnya negara Indonesia. Praktek perdagangan orang dan anak yang paling dominan berada di sektor jasa prostitusi, kebanyakan korbannya adalah anak perempuan. Di Asia Tenggara, dalam beberapa tahun belakanganan ini sejumlah besar anak-anak dari Myanmar, Kamboja, Cina, Laos, telah diperdagangkan dan dipaksa bekerja di dunia prostitusi, baik anak laki-laki maupun anak perempuan dari daerah pedalaman yang miskin. 1 Mengenai fenomena meningkatnya kejahatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, Frank Tannembaum, sebagaimana dikutip oleh J.E Sahetapy menyatakan bahwa crime is eternal-as eternal as society yang artinya di mana ada manusia di sana pasti ada kejahatan. 2 Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya perempuan dan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisir maupun tidak terorganisir, tindak pidana ini juga tidak hanya dilakukan perorangan tetapi juga melibatkan korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya, dan memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar 1 Chairul Bariah, Aturan-Aturan Hukum Trafiking ( Perempuan dan Anak),( USU Press, 2005), hal 2. 2 J.E.Sahetapy, Kausa Kejahatan, (Pusat Studi Kriminologi Fakultas Hukum Unair : 1979), hal.1.

2 wilayah dalam negeri, tetapi juga antar negara dan merupakan kejahatan transnational crime. 3 Undang-undang dasar 1945 Amandemen ke-4 sebagai landasan konstitusional secara tegas telah mengatur tentang pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak-hak perempuan dan anak-anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 B ayat (2), yang menyebutkan: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 4 Dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu perwujudan hak untuk hidup, hak untuk bebas dari perhambaan (servitude) atau perbudakan (slavery). Hak asasi ini bersifat langgeng dan universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa membeda-bedakan asal - usul, jenis kelamin, agama, serta usia, sehingga setiap negara berkewajiban untuk menegakkannya tanpa terkecuali. Upaya perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak, salah satunya melalui pencegahan dan pemberantasan perdagangan manusia, perlu secara terus menerus dilakukan demi tetap terpeliharanya sumber daya manusia yang berkualitas. Perlindungan terhadap perempuan dan anak hendaknya memiliki derajat/tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orang-orang dewasa maupun pria, karena 3 Dikdik. M. Arief Mansur, Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3 setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law). 5 Kejahatan perdagangan manusia selama ini sudah terorganisir dengan rapi bahkan sudah masuk dalam jaringan perdagangan internasional, dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang modern serta sumber dana yang relatif tidak terbatas. Dalam hal ini Pemerintah Indonesia telah melakukan pengesahan peraturan tentang perdagangan orang pada tanggal 19 April 2007 yakni Lembaran Negara Nomor 58, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ( UU PTPPO ) nomor 21 Tahun Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ini merupakan produk hukum yang cukup komprehensif, karena tidak hanya mempidanakan perdagangan orang sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga mengatur tentang pemberian bantuan kepada korban secara menyeluruh, dan peran serta masyarakat dalam upaya-upaya pencegahan serta penanganan kasus, undang-undang ini juga merupakan pencerminan standar internasional. 6 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang ini juga memberikan sanksi pidana yang cukup berat terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai wujud perlindungan terhadap korban perdagangan manusia. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 2 yang mengatur tentang dapat dipidananya perbuatan seorang pelaku perdagangan manusia baik hal Dikdik. M. Arief Mansur, Ibid., hal Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika. 2010),

4 secara melawan hukum maupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain yang bertujuan untuk mengeksploitasi. Pasal 2 tersebut berbunyi : Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (enam ratus juta rupiah). 7 Pasal 2 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. Adanya perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang. b. Adanya ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat. c. Walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain. d. Untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut. e. Di Wilayah Negara Republik Indonesia. 7 Lebih lanjut lihat Pasal 2 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

5 f. Adanya salah satu unsur saja di point a dan salah satu unsur di point b, kemudian memenuhi unsur di point d dan e, maka orang yang melakukan tindakan tersebut (pelaku) dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang ini. Dalam Pasal 2 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 kata untuk tujuan sebelum frasa mengeskploitasi orang tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat. 8 Eksploitasi yang dimaksudkan dalam Undang-Undang ini adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban, tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. 9 Adapun Pasal 3 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, juga memberikan pengaturan pidana terhadap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara 8 Lebih lanjut lihat Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 9 Lebih lanjut lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang..

6 Republik Indonesia untuk dieksploitasi baik di wilayah Negara Republik Indonesia maupun di Negara lain. Orang yang melakukan tindak pidana ini diancam dengan pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda minimal Rp ,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan maksimal Rp ,- (enam ratus juta rupiah). Secara lengkap bunyi Pasal 3 adalah: Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (enam ratus juta rupiah). 10 Pasal 3 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. Memasukkan orang. b. Ke wilayah negara Republik Indonesia. c. Dengan maksud untuk dieksploitasi. d. Di wilayah negara Republik Indonesia. e. Atau dieksploitasi di negara lain. Unsur di point a, b, c dan d, dapat digunakan apabila pelaku perdagangan manusia menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai tempat tujuan perdagangan manusia atau tujuan eksploitasi, sedangkan point e digunakan apabila pelaku menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai tempat transit atau persinggahan 10 Lebih lanjut lihat Pasal 3, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

7 sebelum pelaku membawa korban perdagangan manusia ke Negara lain sebagai tempat tujuan. Sanksi pidana lain yang termaktub dalam UU ini antara lain adalah pasal 4. Dalam Pasal 4 Undang-Undang ini memberikan pidana kepada setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia. Bunyi Pasal 4 secara lengkap adalah: Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (enam ratus juta rupiah). 11 Pasal 4 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. membawa warga negara Indonesia. b. ke luar wilayah negara Republik Indonesia. c. dengan maksud untuk dieksploitasi. d. di luar wilayah negara Republik Indonesia. Unsur di point a, b, c dan d, dapat digunakan apabila pelaku perdagangan manusia menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai sumber perdagangan manusia untuk dieksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia. 11 Lebih lanjut lihat Pasal 4, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

8 Dalam Pasal 5 memberikan larangan kepada setiap orang untuk melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi. Bunyi Pasal 5 secara lengkap adalah: Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (enam ratus juta rupiah). 12 Pasal 5 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. melakukan pengangkatan anak. b. dengan menjanjikan sesuatu. c. atau memberikan sesuatu. d. dengan maksud untuk dieksploitasi. Pasal ini memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban perdagangan manusia dari usaha-usaha pengangkatan anak untuk mengeksploitasi anak tersebut. Dalam Pasal 6 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 juga memberikan larangan untuk melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi. Bunyi Pasal 6 secara lengkap, yaitu: 12 Lebih lanjut lihat Pasal 5, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

9 Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (enam ratus juta rupiah). 13 Pasal 6 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. melakukan pengiriman anak. b. ke dalam atau ke luar negeri. c. dengan cara apa pun. d. mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi. Pasal ini memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban perdagangan manusia dari usaha-usaha pengiriman anak baik di dalam negeri (antar daerah) maupun ke luar negeri yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi. Lebih lanjut Pasal 9 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 mengatur tentang sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, namun tindak pidana itu tidak terjadi. Pasal 9 secara lengkap berbunyi: Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah) Lebih lanjut lihat Pasal 6, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 14 Lebih lanjut lihat Pasal 9, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

10 Pasal 9 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. berusaha. b. menggerakkan orang lain. c. supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang. d. tindak pidana itu tidak terjadi. Pasal ini memberikan pengaturan mengenai penggerak dari tindak pidana perdagangan manusia. Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tidak menjelaskan yang dimaksud dengan menggerakkan orang lain tersebut. Dalam Pasal 10, 11 dan 12 juga menyebutkan bahwa setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan, merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama seperti pelaku tindak pidana perdagangan manusia. Secara lengkapnya Pasal 10, 11, dan 12 berbunyi: Lebih lanjut lihat Pasal 10, 11, 12 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

11 Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (Pasal 10) Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. ( Pasal 11) Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (Pasal 12) Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang. Seperti hal nya tindak pidana memberi keterangan palsu pada dokumen Negara atau memalsukan dokumen Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 19. Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah). 16 Pasal 19 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: 16 Lebih lanjut lihat Pasal 19 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

12 a. Memberikan atau memasukkan keterangan palsu. b. Atau memalsukan. c. Dokumen negara atau dokumen lain. d. Untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Yang dimaksud dengan dokumen negara dalam ketentuan ini meliputi tetapi tidak terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu keluarga, akte kelahiran, dan surat nikah, sedangkan dokumen lain meliputi tetapi tidak terbatas pada surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan tenaga kerja Indonesia, asuransi, dan dokumen yang terkait. 17 Di dalam Pasal 20 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang berkaitan dengan kesaksian palsu, alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum. Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah) Lebih lanjut lihat Penjelasan Pasal Pasal 20 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

13 Pasal 20 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. memberikan kesaksian palsu. b. menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu. c. atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum. d. di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang. Yang dimaksud Pasal ini adalah kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan perdagangan manusia. Kata setiap orang dalam Pasal 20, dapat berarti orang perseorangan maupun korporasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana atau subyek tindak pidana Perdagangan Manusia berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang ini adalah orang perseorangan maupun korporasi. Lebih lanjut Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pasal 23 memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku, menyediakan tempat tinggal bagi pelaku, menyembunyikan pelaku atau menyembunyikan informasi keberadaan pelaku. Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan:

14 a. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku; b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; c. menyembunyikan pelaku; atau d. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (dua ratus juta rupiah). 19 Pasal 23 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang. b. dari proses peradilan pidana. c. dengan cara: 1) memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku. 2) menyediakan tempat tinggal bagi pelaku. 3) menyembunyikan pelaku. 4) menyembunyikan informasi keberadaan pelaku. 19 Lebih lanjut lihat Pasal 23 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

15 Pasal 23 memberikan ancaman pidana terhadap pelaku yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana. Sanksi hukum tindak pidana perdagangan orang sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tidak membuat pelaku enggan untuk melakukan eksploitasi perdagangan orang. Bahkan dalam kurun waktu belakangan ini, berdasarkan wawancara dengan LSM Pemerhati Hak Asasi Manusia oleh bapak Lukman Hasibuan, untuk wilayah Medan Sumateara Utara sejauh ini mereka sudah banyak mendapati laporan kasus terkait dengan perdagangan orang. Mayoritas perkara perdagangan orang terjadi di pedalaman. Menurut H. Lukman Hasibuan di tahun 2008 hingga tahun 2012 ada 5 kasus yang berhasil mereka bantu 3 berlokasi di Belawan dan dua diantaranya berada dilokasi Tembung Percut Sei Tuan. 20 Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa putusan Pengadilan Negeri di sebahagian wilayah Indonesia mengenai kejahatan perdagangan orang, vonis hakim terhadap pelaku perdagangan orang belum maksimal sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap pelaku kejahatan dinilai masih belum memberikan rasa takut dan efek jera terhadap para pelaku. Otoritas hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara, mengakibatkan banyak terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini 20 Wawancara dengan H. Lukman Hasibuan, ketua LSM pemerhati HAM, di Kantor lsm pemerhati HAM jln Tuba I, April 2013

16 ditandai dengan adanya perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim Pengadilan Negeri yang satu dengan putusan hakim Pengadilan Negeri yang lain, padahal semuanya mengacu pada peraturan Perundang-Undangan yang sama. Hakim dalam kedudukannya yang bebas diharuskan untuk tidak memihak (impartial judge). Sebagai hakim yang tidak memihak dalam menjalankan profesi, mengandung makna, hakim harus selalu menjamin pemenuhan perlakuan sesuai hak- hak asasi manusia khususnya bagi tersangka atau terdakwa. Hal demikian telah menjadi kewajiban hakim untuk mewujudkan persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap warga negara (equally before the law). 21 Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan kebebasan hakim dalam melaksanakan wewenang judicialnya tidaklah mutlak sifatnya. Karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan. Tetapi kenyataan, putusan-putusan yang dibuat oleh hakim sering mengundang kontroversial. Tidak jarang terjadi terhadap pelaku tindak pidana yang satu dijatuhkan pidana berat sedangkan terhadap pelaku tindak pidana lainnya dijatuhi hukuman ringan atau bahkan dibebaskan, padahal pasal yang dilanggar adalah sama. 21 Andy Hamzah dan Bambang Waluyo, Delik-Delik terhadap Penyelenggaraan Peradilan (Conterm of Court), (Jakarta: Sinar Grafika, 1988). Hal. 43

17 Meningkatnya kasus tindak pidana perdagangan orang dari tahun ke tahun tidak terlepas dari ringannya putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini menggambarkan 10 contoh kasus putusan perdagangan orang yang diputus oleh Pengadilan Negeri, Untuk lebih jelas kita lihat tabel berikut : Tabel 1. Tabel Putusan Pengadilan Negeri di sebahagian wilayah Indonesia Tahun No Nomor Perkara Pasal Dilanggar Penjara Pidana Denda /Pid. B/2008/PN.Mdn Pasal 2 UU No 21/ tahun Rp , /Pid. B/2009/PN.Mdn Pasal 10 UU No 21/ tahun Rp ,- 3 75/Pid. B/2011/PN.DOM Pasal 6 jo 7 UU No 21/ tahun Rp , /Pid. B/2009/PN.BTM Pasal 4 UU No 21/ tahun 4 bulan Rp , /Pid. B/2012/PN.Mdn Pasal 2 UU No 21/ tahun Rp , /Pid. B/2009/PN.Mdo Pasal 2 UU No 21/ tahun Rp ,- 7 89/Pid/2012/PN.Klb Pasal 2 UU No 21/ tahun Rp , /Pid. B/2012/PN.Bji Pasal 2 UU No 21/ tahun Rp , /Pid.Sus/2012/PN.BGL Pasal 2 UU No 21/ Bln 20 Hari /Pid. B/2012/PN.Mdn Pasal 2 UU No 21/ tahun 6 bulan Rp ,- Sumber : Data Tabel diperoleh dan diolah Dari Beberapa Putusan Pengadilan Negeri Di Indonesia Tahun

18 Dari tabel putusan kasus di atas, terlihat adanya perbedaan penjatuhan putusan oleh hakim dan putusan yang dijatuhkan terkesan ringan bila dibandingkan dengan ketentuan ancaman pidana maksimal dalam undang-undang perdagangan orang. seharusnya hakim dalam menjatuhkan putusan harus memperhatikan 3 (tiga) unsur yang penting yaitu: keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka menarik untuk diteliti tentang putusan hakim yang diberi judul Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri Di Indonesia). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang? 2. Bagaimana penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia? 3. Bagaimana langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang? C. Tujuan Penelitian Pada dasarnya tujuan penelitian adalah untuk mencari pemahaman tentang masalah-masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang.

19 2. Untuk mengetahui penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia. 3. Untuk mengetahui langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut: a. Memberi masukan dan sumbangan pemikiran dalam rangka penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang. b. Memberi sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum pidana. 2. Manfaat Praktis Selain manfaat secara teoritis, Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berpikir dan cara bertindak hakim dalam mengambil keputusan guna mewujudkan tujuan hukum. Serta menjadi masukan bagi penegakan hukum bagi Hakim disamping dapat mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum, juga harus mewujudkan hukum yang memenuhi rasa keadilan yang mana konsekuensi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di tangan Hakim harus dimaknai dan diimplementasikan untuk mewujudkan cita hukum yang berintikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

20 E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan serta penelusuran yang telah dilakukan melalui studi kepustakaan khususnya pada lingkungan perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum, Penelitian yang berjudul : Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisis beberapa putusan di Indonesia) ini belum pernah diteliti oleh orang lain sebelumnya, akan tetapi dalam penelitian yang menyinggung mengenai traficking pernah dibahas oleh Alexander Keristian dalam skripsinya dengan judul Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Di Poltabes Medan), adapun perumusan masalah yang dibahasnya adalah 1. Bagaimanakah Karakteristik dilihat dari Faktor, Modus operandi dan dampak perdagangan orang?, 2. Peraturanperaturan apakah yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang?, 3. Bagaimanakah Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang?, pembahasan yang lain juga pernah dilakukanoleh dengan judul Analisa Hukum Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Nomor : 743/Pid/2008/PT-Mdn.) yang mana perumusan masalahnya membahas mengenai 1. Bagaimana pengaturan hukum perdagangan orang di Indonesia, 2. Bagaimana upaya penanggulangan perdagangan orang, 3. Analisa kasus putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 743/Pid/2008/PT- Medan. Merujuk dari perumusan masalah, maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai

21 penelitian baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif dalam menemukan kebenaran. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Soejono Soekanto menyatakan bahwa, kontinuitas perkembangan ilmu hukum itu, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori, Sehingga teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis, artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan yang mampu menerangkan masalah tersebut. 22 Menurut M. Solly Lubis, Kerangka teori merupakan landasan teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis 23. Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini adalah teori keadilan dan teori pemidanaan sehingga dapat memberikan pedoman pembahasan pada uraian berikutnya. Berbicara tentang keadilan, Aristoteles berpandangan bahwa keadilan dibagi kedalam dua macam yakni : keadilan distributief dan keadilan commutatief. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap 22 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.6 23 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80

22 orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa 24, Dari pembagian macam keadilan ini Aristoteles mendapatkan kontroversi dan perdebatan. Hans Kelsen mengemukakan dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya. Keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesarbesarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, ang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dn 25 oleh sebab itu bersifat subjektif. Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan L.J.Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita,1996 ), hal Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, (Bandung, Nusa Media, 2011),hal Ibid.7

23 Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 mempunyai konsekuensi untuk menegakkan hukum, yang artinya setiap tindakan yang dilaksanakan oleh siapapun di negara ini serta akibat yang harus ditanggungnya harus didasarkan kepada hukum dan diselesaikan menurut hukum juga. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Ditinjau dari sisi keadilan, putusan pengadilan Negeri Medan sepertinya belum termasuk teori keadilan Adam Smith yang hanya menerima satu konsep atau teori keadilan yaitu keadilan komutatif yakni keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak lain. 27 Berbicara tentang pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien). 28 Secara garis besar teori pidana ini dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Ruslan saleh mengemukakan bahwa dalam teori pemidanaan, penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan. wib teori-keadilan-adam-smith.html diakses pada tanggal 25 maret 2012 pukul E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta:Universitas Jakarta, 1958), hal. 157.

24 Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi bertujuan sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. 29 Ditinjau dari teori pemidanaan menyataan bahwa putusan hakim pada tingkat pengadilan negeri yaitu penjatuhan pidana penjara kepada pelaku perdagangan orang terlepas dari disparitas lama tahanan sudahlah tepat. namun perlu di garis bawahi bahwa pidana penjara yang dijatuhkan bukanlah dengan tujuan semata-mata untuk membalas dan menakutkan, akan tetapi untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. 2. Kerangka Konsepsi Dalam penelitian hukum, kerangka konsepsional diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundangundangan tertentu, maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus merumuskan defenisi-defenisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional didalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan kontruksi data. 30 Bertolak dari kerangka teori sebagaimana tersebut diatas, berikut ini disusun kerangka konsep yang dapat dijadikan sebagai defenisi operasional, Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka konsepsional saja, akan tetapi pada usaha merumuskan defenisi-defenisi operasional diluar peraturan 29 Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta ; Aksara Baru, 1983), hal M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80

25 perundang-undangan. 31 Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Adpun kerangka konsep pada tesis ini adalah : a. Sanksi pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 32 Secara umum istilah pidana sering kali diartikan sama dengan istilah hukuman. Hukuman adalah suatu pengertian umum sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedang pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan. 33 b. Tindak pidana yaitu: Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 34 c. Perdagangan orang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Bab I tentang Ketentuan Umum Undang Undang nomor 21 tahun 2007 adalah tindakan perekrutan, pengangjutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga 31 Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 1999), hal Muladi dan Barda Nawawi Arief,Teori-teori dan Kebijakan Pidana, ( Bandung: Alumni, 1992, hal 2 33 Andi Hamzah, Stelsel Pidana dan pemidanaan di indonesia, op cit, hal Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara, 1980), hal.1

26 memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekspolitasi. 35 Dalam Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004, tentang Penghapusan Perdagangan ( Traficking) Perempuan dan Anak, menyatakan bahwa Perdagangan manusia adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu perbuatan yang memenuhi salah satu unsur-unsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan dan anak dengan menggunakan kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan atau penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak. 36 d. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi, mengajak, mengumpulkan, membawa dan memisahkan seseorang dari keluarga. 37 e. Eksploitasi ialah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau 35 Lebih lanjut lihat Pasal 1 ayat (1) Bab I tentang Ketentuan Umum Undang Undang nomor 21 tahun Lebih lanjut lihat Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun Salinan Putusan Pengadilan Negeri Medan no 806/pid.B/2009/PN. Mdn

27 mentransplatasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan. 38 G. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan ilmu mengenai jenjang-jenjang yang harus dilalui dalam suatu proses penelitian, atau ilmu yang membahas metode ilmiah dalam mencari, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. 39 Metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilaksanakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari dua sumber peraturan - peraturan yang berlaku. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan. Hal ini disebabkan karena penelitian lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, ( Jakarta, 2005), hal Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta : Granit, 2004), hal Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal.13.

28 2. Bahan-bahan Hukum yang Digunakan Bahan hukum dibagi tiga yaitu bahan hukum primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum sekunder diperoleh dari literatur atau buku-buku, dan bahan hukum tersier diperoleh dari kamus-kamus dalam hal ini kamus hukum. 41 Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. 42 a. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer Yaitu bahan hukum yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah. 43 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Norma atau kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Undang-Undang Dasar Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang. 4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 5. Putusan Putusan Hakim Pengadilan Negeri. hal Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1984), 42 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hal. 43 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001), h. 103.

29 6. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 44 Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang pada penelitian ini adalah: 1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia. 2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini. 3. Koran yang memuat tentang kasus perdagangan orang. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan yakni berupa studi dokumen dan teknik pendukung lainnya yaitu meneliti dokumen yang ada dengan mengumpulkan data dan informasi dari buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya serta putusan pengadilan negeri yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu dengan cara mencari, mempelajari dan mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian Amiruddin dan Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 225.

30 4. Analisa Bahan Hukum Analisa dapat dirumuskan untuk menguraikan hal yang akan diteliti ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil dan sederhana. 46 Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis bahan dalam penelitian ini adalah: a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang perdagangan orang. b. Membuat sistematik dari Pasal-Pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu (yang selaras dengan penegakan hukum terhadap perdagangan orang). c. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan secara metode deduktif, yaitu kerangka pemikiran diarahkan kepada aspek-aspek normatif yang terkandung dalam hukum positif. Sehingga hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke- 20, Opcit., hal.

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

BAB II SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN ORANG

BAB II SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN ORANG BAB II A. Sanksi Pidana SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN ORANG 1. Pengertian Sanksi Pidana Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan beberapa peraturan, khususnya tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP Di dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) sebelum lahirnya undangundang no.21

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di dunia menghadapi masalah ini. Disparitas pidana yang disebut sebagai the disturbing disparity

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama perempuan dan anak, termasuk sebagai tindak

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Hukum bukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan atau kaedah dalam suatu kehidupan bersama, yaitu keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI Oleh : Kadek Dwika Agata Krisyana Pembimbing : I Ketut Sudiarta Program Kekhususan : Hukum Pidana, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka kehidupan masyarakat tidak lepas dari aturan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1. TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1 Abstraksi Perdagangan manusia di Indonesia merupakan suatu fenomena yang luar biasa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Deskripsi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Sejarah Singkat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia yang mempunyai harkat dan martabat yang melekat didalam diri setiap manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 372 KUHP tindak pidana penggelapan adalah barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertumbukan, serang-menyerang, dan bertentangan. Pelanggaran artinya

BAB I PENDAHULUAN. bertumbukan, serang-menyerang, dan bertentangan. Pelanggaran artinya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi lalu lintas di jalan raya semakin padat, bahkan bisa dibilang menjadi sumber kekacauan dan tempat yang paling banyak meregang nyawa dengan sia-sia. Kecelakaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFIKING) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap perempuan dan anak. Dengan demikian upaya perlindungan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. terhadap perempuan dan anak. Dengan demikian upaya perlindungan terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang dapat terjadi pada setiap manusia, terutama terhadap perempuan dan anak. Dengan demikian upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan hal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perdagangan Manusia untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor) merupakan masalah yang sangat besar. Data Perdagangan Manusia di Indonesia sejak 1993-2003

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang yang melangsungkan perkawinan pasti berharap bahwa perkawinan yang mereka lakukan hanyalah satu kali untuk selamanya dengan ridho Tuhan, langgeng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Penegakan Hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman...3 Halaman...33 Halaman...49 Halaman...59

DAFTAR ISI Halaman...3 Halaman...33 Halaman...49 Halaman...59 ii DAFTAR ISI Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009-2014. Halaman...3 Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak sedikit membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia dalam meningkatkan sumber daya manusia, sebagai modal dasar pembangunan

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepolisian Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepolisian Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga atau BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepolisian Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga atau badan penegakan hukum untuk menyidik serta menyelesaikan segala kasus pelanggaran hukum yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Pasal 242 (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di segala bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan timbul dalam kehidupan masyarakat karena berbagai faktor

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan timbul dalam kehidupan masyarakat karena berbagai faktor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. Kejahatan merupakan suatu fenomena yang komplek yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda, itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tujuan dari negara yang menganut sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Defenisi Human Trafficking Protokol Palermo Tahun 2000 : Perdagangan orang haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan cara terbaik dalam menegakan keadilan. Kejahatan yang menimbulkan penderitaan terhadap korban, yang berakibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang. ditentukan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007.

BAB I PENDAHULUAN. serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang. ditentukan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri karena kejahatan merupakan produk dari masyarakat dan ini perlu ditanggulangi

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK C. Tindak Pidana Persetubuhan dalam KUHPidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari sedikitnya hak-hak korban

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Di tangan mereka peranperan strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain. Manusia selalu ingin bergaul bersama manusia lainnya dalam. tersebut manusia dikenal sebagai makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain. Manusia selalu ingin bergaul bersama manusia lainnya dalam. tersebut manusia dikenal sebagai makhluk sosial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya tidak ada manusia yang dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Manusia hidup saling

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. atau kurangnya interaksi antar anggota keluarga yang mengakibatkan

BAB. I PENDAHULUAN. atau kurangnya interaksi antar anggota keluarga yang mengakibatkan 1 BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak terjadi sepanjang abad kehidupan manusia. Hal tersebut tercermin dari masih adanya anak-anak yang mengalami abuse,

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH AYAH KANDUNG TERHADAP ANAKNYA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan dengan tujuan untuk mengatur tatanan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi setiap komponen yang berada dalam masyarakat. Dalam konsideran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di kenal dengan istilah strafbar feit dan dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana)

Lebih terperinci

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA Oleh I. Gst. Ayu Stefani Ratna Maharani I.B. Putra Atmadja Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia, hal ini dikarenakan hukum dan Hak Asasi Manusia saling berkaitan satu sama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan;

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu kota dan

Lebih terperinci