BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Keterampilan Bermain Drama Berbicara tentang peningkatan keterampilan memerankan tokoh dalam drama, semua tak lepas dari pengertian keterampilan itu sendiri, kemudian karakteristik subjek pemeran tokoh dalam drama, sampai lebih jauh mengenal tentang drama. a. Pengertian Keterampilan Dalam rangka meningkatkan proses dan hasil pembelajaran di sekolah dasar, maka salah satu faktor penunjang hal ini adalah keterampilan yang dimiliki siswa. Terutama dalam kegiatan pembelajaran yang memiliki aspek psikomotor yang tinggi. Seperti pembelajaran tentang memerankan tokoh dalam drama yang terdapat dalam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar. Dalam memerankan tokoh dalam drama yang dilakukan oleh siswa memanglah lebih ditekankan pada sisi keterampilan. Dari unsur sastra dalam drama seperti lafal, intonasi, kemudian dari unsur teater (seni pementasan) seperti ekspresi, penghayatan, dan aspek lainnya, memanglah lebih didominasi oleh unsur psikomotor didalamnya. Meskipun aspek kognitif dan afektif ikut pula dalam hal ini, namun peningkatan pembelajaran memerankan tokoh dalam drama lebih ditekankan pada aspek psikomotorik sebagai

2 keterampilan siswa karena pembelajaran ini dituntut adanya action di atas panggung. Terampil itu sendiri memilki makna cakap dalam menyelesaikan tugas, keterampilan berarti kecakapan untuk menyelesaikan tugas. Dalam hal ini, pengertian keterampilan yang dimaksud lebih spesifik kepada siswa sekolah dasar, atau secara psikologis pada masa sekolah (6,0 12,0 tahun). Tingkatan keterampilan maupun perkembangan pada masa sekolah berbeda dengan orang dewasa. Aspek yang menjadikan ciri khusus pada perkembangan masa sekolah adalah sebagai berikut: a. Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan. Melalui pertumbuhan fisik dan otak, anak belajar dan berlari semakin stabil, makin mantap dan cepat. Pada masa sekolah anak sudah sampai pada taraf penguasaan otot, sehingga sudah dapat berbaris, melakukan senam pagi, dan permainanpermainan ringan, seperti sepak bola, loncat tali, berenang, dan sebagainya. b. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya. Apabila anak sudah masuk sekolah, perbedaan jenis kelamin akan semakin tampak. Dari segi permainan umpamanya akan tampak bahwa anak laki-laki tidak akan memperbolehkan anak

3 perempuan mengikuti permainannya yang khas laki-laki, seperti main kelereng, main bola, dan layang-layang. c. Belajar mengembangkan konsep sehari-hari. Apabila kita telah melihat sesuatu, mendengar, mengecap, mencium, dan mengalami, tinggallah suatu ingatan pada kita. Ingatan mengenai pengamatan yang telah lalu itu disebut konsep (tanggapan). Dari ciri khusus dari perkembangan pada masa sekolah di atas, berhubungan dengan adanya pembelajaran tentang memerankan tokoh dalam drama, maka jenis drama yang akan diaplikasikan terhadap siswa pun memperhatikan ciri dan karakter siswa. Seperti halnya ekspresi dalam aspek drama yang mampu menunjang perkembangan siswa, pemilihan tokoh dalam drama yang berkesesuaian dengan gender siswa, dan pemilihan skenario drama yang sederhana dan jelas memberikan nilai moral yang baik. b. Pembelajaran Drama di Sekolah Dasar Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid (Syaiful Sagala, 2011: 61). Sering dikatakan mengajar adalah mengorganisasikan aktivitas siswa dalam arti yang luas. Peranan guru bukan sematamata memberikan informasi, melainkan juga mengarahkan dan memberi fasilitas belajar (directing and facilitating the learning)

4 agar proses belajar lebih memadai. Hal ini juga akan terjadi dalam pembelajaran drama di sekolah dasar, karena dalam pembelajaran ini guru tidak hanya menyampaikan materi, tapi juga memfasilitasi, bahkan lebih dalam memahami karakter siswa tiap individu. Dalam pembelajaran memerankan tokoh dalam drama, selain guru menjadi fasilitator dan pembingbing, siswa juga memiliki peranan aktif yang besar karena siswa akan perform secara aktif memerankan drama. Drama pada sekolah dasar, yang ada dalam sub materi di pelajaran Bahasa Indonesia, berbeda dengan drama pada umumnya yang diperankan orang dewasa di atas panggung. Tokoh yang bermain pada drama di sekolah dasar adalah anak-anak, yang memiliki karakter seperti yang peneliti jelaskan sebelumnya. Dalam dunia drama, drama di sekolah dasar ini disebut drama anak-anak dan creative dramatic. Drama anak-anak adalah sebuah drama yang dipentaskan untuk penonton yang terdiri dari anak-anak, dengan lakon yang disuguhkan secara cermat oleh aktor-aktor yang memenuhi syarat sebagai aktor.creative dramaticadalah drama yang dimainkan oleh anak-anak, yang dipergunakan sebagai media pendidikan anak-anak. Menurut Sumantri Sastrowondho, yang menjadi tujuan dalam creative dramatic bukanlah publik, tetapi adalah proses dari penyelenggaraan drama itu sendiri bagi para peserta yang terdiri dari anak-anak.

5 Dari pengertian tersebut, bahwa drama dalam sub materi memerankan tokoh dalam drama yang ada dalam pembelajaran sekolah dasar, bahwa drama itu sendiri memiliki pengertian drama sebagai drama anak-anak dan creative dramatic. Sebagai drama anak-anak yang mampu memberikan tontonan kepada anak-anak, sehingga memberikan pesan moral dan hiburan melalui pertunjukan drama. Sebagai creative dramatic karena siswa yang memerankan tokoh dalam drama dijadikan fokus utama dalam pengembangan kegiatan memerankan tokoh dalam drama. c. Bermain Drama dalam Pementasan Ada tiga pihak yang saling berkaitan dalam pementasan: sutradara, pemain, dan penonton. Dalam penelitian ini sutradara bisa diperankan guru dan peneliti, sementara pemain dan penonton adalah seluruh siswa di dalam kelas. Mereka tidak mungkin bertemu jika tidak ada naskah (teks). Secara praktis, pementasan bermula dari naskah yang dipilih oleh sutradara atau guru dan peneliti, tentunya setelah melalui proses studi. Sampai di sini, persoalan drama dalam dimensi pementasan masih terlihat sederhana. Karena setelah ini, penonton (terutama yang awam) menjadi tabu melihat drama telah menjadi suatu seni pertunjukan yang siap dinikmati. Dari semua unsur yang memungkinkan sebuah drama dapat dipentaskan manjadi satu seni pertunjukan, maka dapat dipilah-pilah menjadi dua bagian besar, yaitu (1) unsur utama, terdiri dari

6 sutradara, pemain, teknisi (pekerja panggung), dan penonton, serta (2) sarana pendukung, yang terdiri dari pentas dan komposisinya, kostum (busana), tata rias, pencahayaan, serta tatasuara, dan ilustrasi musik. Kesemua unsur ini, jika dilihat dari cara membaginya, yang dikategorikan sebagai unsur utama adalah unsur manusia, sedangkan unsur sarana pendukung adalah unsur kebendaan atau barang. Maka, efektif tidaknya unsur sarana pendukung amat tergantung pada bagian unsur utama mengelolanya. Harus disadari tanpa bantuan sarana pendukung, bisa saja sebuah pementasan drama tidak menarik untuk dinikmati. Bayangkan saja jika pementasan menuntut tampilnya seorang tokoh raja, atau tokoh yang dituntut seorang tua (kakek-kakek atau nenek-nenek), sementara pemain seluruhnya muda-muda, atau tempat dan ruang yang sedang dipentaskan menuntut menggambarkan suasana di kamar tidur, sedangkan yang disaksikan penonton panggung masih di dekor sebagai ruang tamu, dan lain-lain. Berdasarkan hal itu, unsur sarana pendukung tidak bisa diabaikan, melainkan dipelajari dan dikaji sehingga ketika dipergunakan untuk pementasan suatu drama, unsur ini menjadi tepat guna. d. Hakikat Drama Pengertian tentang drama yang dikenal selama ini, misalnya dengan menyebutkan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan tidaklah salah. Hal ini disebabkan jika

7 ditinjau dari kata drama itu sendiri, pengertian drama di atas dianggap tepat. Kata drama berasal dari Bahasa Yunani yaitu draoma yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya. Jadi dramaberarti perbuatan atau tindakan. Berdasarkan kenyataan ini memang drama sebagai suatu pengertian lebih difokuskan kepada dimensi seni pertunjukannya dibanding dimensi genre sastranya. Beberapa pengertian tentang drama yang akan diungkapkan berikut ini akan menunjukan bahwa dimensi drama sebagai seni pertunjukan lebih mendominasi dibanding dimensi genre sastranya. Menurut Ferdinan Brunetiere dan Balthazar Verhagen, drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku. Adapun pengertian drama menurut Moulton adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak, drama adalah menyaksikan kehidupan manusia yang diekspresikan secara langsung. Dari beberapa pengertian yang telah diungkapkan tersebut tidak terlihat perumusan yang mengarahkan pengertian drama kepada pengertian drama ke dimensi sastranya. Padahal meskipun drama ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan, tidaklah berarti bahwa semua karya drama yang ditulis oleh pengarang haruslah dipentaskan. Tanpa dipentaskan sekalipun karya drama tetap dipahami, dimengerti dan dinikmati. Tentulah pemahaman dan penikmatan atas karya drama tersebut lebih pada

8 aspek cerita sebagai genre sastra, dan bukan sebagai karya seni lakon. Oleh sebab itu dengan mengabaikan aspek sastra di dalam drama hanya akan memberikan gambaran yang tidak menyeluruh terhadap suatu bentuk seni yang disebut drama. Pengertian drama yang dikenal selama ini, yang hanya diarahkan pada dimensi seni pertunjukan atau seni lakon, ternyata memberikan cerita yang kurang baik terhadap drama, khususnya bagi masyarakan Indonesia. Konsepsi drama adalah peniruan atau tindakan yang tidak sebenarnya, berpura-pura di atas pentas, menghasilkan idiom-idiom yang menunjukan bahwa drama bukanlah drama dianggap sesuatu yang serius dan berwibawa. Pernyataan seperti Janganlah kamu bersandiwara! atau Pemilihan pimpinan organisasi merupakan panggung drama saja!,menujukan istilah drama atau sandiwara dipakai untuk ejekan ketidakseriusan. Harus diluruskan pengertian peniruan di dalam drama agar tidak disalahartikan oleh masyarakat. Di samping itu, kenyataan ini tentulah amat bertentangan dengan hakikat sastra bahwa kebenaran, keseriusan merupakan hal-hal yang dibicarakan di dalam sastra. Dengan demikian, drama sebagai salah satu genre sastra seharusnya dipahami bahwa di dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran dan keseriusan, bukan sekedar permainan belaka. Seperti yang diketahui, bahwa dalam kehidupan masyarakat, sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu; (1) Fungsi rekreatif, yaitu

9 sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya, (2) Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalamnya, (3) Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat/pembaca karena sifat keindahannya, (4) Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca/peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi, dan (5) Fungsi religius, yaitu sastra mampu menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat/pembaca sastra. Sebagai salah satu karya yang mempunyai dua dimensi, maka pementasan harus dianggap sebagai penafsiran lain dari penafsiran yang telah ada yang dapat ditarik dari suatu karya drama. Dengan kata lain penafsiran ini memberikan kepada drama sebagai penafsiran kedua. Maksud dari pernyataan ini adalah, pementasan baru dimungkinkan terjadi jika teks drama telah ditelaah dan ditafsirkan oleh sutradara dan (pemain untuk kepentingan suatu seni peran yang didukung oleh perangkat panggung, seperti dekor, kostum, tata rias, pencahayaan, dan lain-lainnya). Sesuatu yang terjadi di atas panggung tidak termasuk pada teori drama sebagai genre sastra, melainkan pada ilmu drama sebagai suatu seni

10 pertunjukan, yang oleh banyak pihak pada saat ini disebut dengan istilah teater. Dengan demikian, hasil penafsiran sutradara dan pemain yang kemudian menjadi seni pertunjukan dari suatu teks drama memberikan pemahaman lain bagi peneliti atau mereka yang sedang mengkaji teks drama, disamping peneliti atau mereka yang sedang mengkaji teks drama, disamping pemahaman yang telah dimiliki dari pembacaan teks drama. Sehingga, bukan sebaliknyalah yang harus terjadi, yaitu menempatkan hasil penafsiran sutradara dan para pemain teks drama yang kemudian menjadi seni pertunjukan sebagai dasar untuk memahami teks drama dari sudut dimensi sastra. Demikianlah, pengertian terhadap drama sebaiknya memang dengan menempatkan kesadaran bahwa drama adalah karya yang memiliki dua dimensi karakteristik, yaitu (1) dimensi sastradan (2) dimensi seni pertunjukan. Pemahaman terhadap masing-masing dimensi wajar jika berbeda karena unsur-unsur yang membangun dan membentuk drama pada masing-masing memang berbeda. Meskipun berbeda, pemahaman drama pada satu dimensi akan memberikan bantuan bagi pemahaman dimensi lainnya. Pada akhirnya, pemahaman itu akan mengeras pada pemahaman yang menyeluruh terhadap drama sebagai karya dua dimensi tersebut. Berdasarkan karakteristik drama yang demikian dapat diketahui secara lebih terperinci hal-hal yang khusus terdapat pada drama tetapi tidak ditemukan genre sastra lainnya, misalnya pada

11 fiksi maupun pada puisi. Dan hasil perbandingan antara genre sastra drama dengan genre sastra fiksi dan puisi didapatkan kekhususan karakteristik drama sebagi berikut. 1. Drama, karena karakteristiknya, penggambaran unsur-unsur pembangunnya dari segi genre sastra terasa lebih lugas, lebih tajam, dan lebih detil, terutama unsur perwatakan dan penokohan. Hal ini pulalah yang menyebabkan penerjemahan teks drama ke dalam unsur visualisasi terasa lebih intens. Perhatikan unsur ujaran, gerak dan perilaku para tokoh, jauh lebih hidup, dan berkarakter tegas dibanding dengan ujaran, gerak, dan perilaku tokoh dalam genre fiksi. 2. Pengarang tidak dapat secara leluasa mengembangkan kemampuan imajinasinya di dalam drama. Artinya jika pengarang ingin melukiskan suatu kehidupan di alam tertentu yang secara konfensional belum dapat diterima logika umum amatlah sulit. Paparan menjadi terbatas dikarenakan hal tersebut harus mempertimbangkan penyampaiannya dalam bentuk dialog. 3. Dalam dimensi sebagai seni pertunjukan, drama dapat memberi pengaruh emosional yang lebih besar dan terarah kepada penikmat (audiens) jika dibandingkan dengan genre sastra lainnya.

12 4. Keterkaitan dimensi sastra dengan dimensi seni pertunjukan mengharuskan para aktor dan pemain menghidupkan tokohtokoh yang digambarkan pengarangnya lewat apa yang di apa yang diucapkan tokoh-tokoh tersebut dalam bentuk dialogdialog. 5. Unsur panggung memang membatasi pengarang drama dalam menuangkan imajinasinya. Namun demikian panggung juga memberi kesempatan sepenughnya kepada pengarang untuk dapat mempergunakannya supaya menarik dan memuaskan perhatian penikmat dan penonton pada suatu situasi tertentu, yaitu situasi panggung. 6. Bentuk yang khusus dari drama ialah keseluruhan peristiwa yang disampaikan melalui dialog. 7. Konflik kemanusiaan menjadi syarat mutlak. Bentuk dialoglah yang menuntun adanya konflik tersebut di dalam drama. 8. Ada anggapan bahwa drama tidaklah dapat dianggap sebagai suatu genre murni sebagaimana genre fiksi dan puisi. 9. Sebagaimana kemungkinan pemberi penafsiran kedua, dimensi seni pertunjukan pada drama, disamping memiliki nilai keunggulan memiliki pula nilai kekurangan. Keunggulannya adalah peristiwa dapat disaksikan langsung secara konkret, sedangkan kelemahannya drama tidak dapat dinikmati kedua kalinya seperti genre sastra dalam fiksi dan puisi.

13 10. Sutradara, aktor, dan pendukung pementasan harus secara arif menafsirkan dan berusaha setuntas mungkinuntuk memfisualisasikan tuntutan teks drama. Di dalam drama dialog memilki fungsi sebagai sarana primer yang dijabarkan ke dalam satuan-satuan pikiran, akan di dapatkan rumusan-rumusan sederhana sebagaimana yang diuraikan pada pembahasan berikut ini. 1. Sarana universal, dialog sebagai sarana primer di dalam drama berfungsi sebagai wadah bagi pengarang untuk menyampaikan informasi, menjelaskan fakta atau ide-ide utama. 2. Alur adalah rentetan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain dalam hubungan sebab akiat. 3. Dialog memberikan kejelasan watak dan perasaan tokoh atau pelaku. 4. Menciptakan serta melukiskan suasana merupakan fungsi lainnya dari dialog di dalam drama. 5. Dialog juga menentukan dan dapat mengatur tempo permainan. 6. Sebagai suatu genre sastra ada unsur yang baru dapat ditemukan setelah unsur-unsur intrinsik lainnya dipahami oleh pembaca dan atau penonton. e. Unsur Intrinsik Drama Jika dibandingkan dengan fiksi, maka unsur intrinsik drama dapat dikatakan kurang sempurna. Di dalam drama tidak

14 ditemukan unsur adanya unsur pencerita, sebagaimana terdapat di dalam fiksi. Alur di dalam drama lebih dapat ditelusuri melalui motivasi yang merupakan alasan untuk munculnya suatu peristiwa. Motivasi di dalam menjadi penting karena aspek ini sudah menjadi perhatian pengarang sewaktu karya drama ditulis. Meskipun dalam menulis pengarang dapat menggunakan kebebasan daya cipta yang dimilikinya, ia tetap harus memikirkan kemungkinan dapat terjadinya laku (action) di pentas. Faktor laku merupakan wujud lakon, dan motivasilah yang merupakan landasannya. Aspek inilah yang menyebabkan drama mempunyai sedikit keterbatasan dibanding fiksi. 1) Tokoh, Peran, dan Karakter Dalam hal penokohan, di dalamnya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan penamaan, pemeranan, keadaan fisik tokoh, (aspek fisiologis),keadaan kejiwaan tokoh (aspek sosiologi),serta karakter tokoh. Hal-hal yang termasuk di dalam permasalahan penokohan ini saling berhubungan dalam upaya membangun permasalahan-permasalahan atau konflik-konflik kemanusiaan yang merupakan persyaratan utama drama. Bahkan di dalam drama, unsur penokohan merupakan aspek penting. Selain melalui aspek inilah aspek-aspek lain di dalam drama dimungkinkan berkembang, unsur penokohan di dalam drama

15 terkesan lebih tegas dan jelas pengungkapannya dibanding dengan fiksi. 2) Motivasi, Konflik, Peristiwa, dan Alur Permasalahan-permasalah drama, disamping dapat dibangun melalui pertemuan dua tokoh atau sekelompok tokoh yang memerankan peran yang berbeda, juga dapat dibangun melalui laku. Pada segi pementasan, unsur laku terasa lebih jelas dan konkret, dibanding pada teksnya. Hal ini menjadi jelas karena unsur laku di atas pentas merupakan tindakan pemvisualisasian. Laku dapat dipahami sebagai gerakan atau tindakan tokohtokoh. Gerakan atau tindakan-tindakan tokoh berikutnya dapat membentuk suatu peristiwa. Pada hakikatnya pun, gerakan atau tindakan para tokoh itu sendiri merupakan suatu kejadian yang dapat dikaitkan telah berlangsung jika seseorang tokoh atau sekelompok tokoh melakukan kegiatan pada suatu tempat dan pada suatu waktu tertentu. Peristiwa-peristiwa atau pada kejadiannya membentuk permasalahan-permasalahan drama. Peristiwa di dalam drama, merupakan salah satu unsurnya, sulitlah dibayangkan sebuah karya fiksional disampaikan tanpa adanya peristiwa atau kejadian. Dalam memahami peristiwa di dalam drama harus disadari sepenuhnya bahwa peristiwa tidaklah terjadi begitu saja, secara tiba-tiba tau serta-merta.

16 Setiap peristiwa yang berlaku atau yang terjadi selalu mempunyai hubungan sebab akibat. Sesuatu peristiwa akan terjadi jika disebabkan oleh suatu hal atau hal yang menjadi alasan peristiwa itu terjadi. Di samping itu, setiap peristiwa yang berlaku akan menimbulkan akibat tertentu yang mungkin saja berupa munculnya peristiwa-peristiwa baru. Suatu tindakan, perbuatan atau laku tidak mungkin dilakukan begitu saja dan tiba-tiba oleh para tokoh. Harus ada alasan (logika imajinatif) tentang laku tersebut dilakukan oleh tokoh. Alasan tentang suatu laku atau juga suatu peristiwa terjadi dapat disebutkan dengan istilah motivasi. Laku merupakan perwujudan drama, maka laku atau satuan peristiwa harus dijelaskan melalui kerangka unsur dan totalitas tentang hal tersebut terjadi. Oleh sebab itu, motivasi merupakan dasar laku, keseluruhan stimulus yang menjadi sebab pelaku (seorang atau sekelompok orang) mengadakan respons-respons. Motivasidapat muncul dari berbagai sumber, antara lain sebagai berikut. (a) Kecenderungan-kecenderungan dasar (basic instinct) yang dimilki manusia, misalnya kecenderungan untuk dikenal, untuk memperoleh suatu pengalaman tertentu, suatu pemuasan libido tertentu. (b) Situasi yang melingkupi manusia, yaitu keadaan fisik dan keadaan sosial.

17 (c) Interaksi sosial, yaitu rangsangan yang ditimbulkan karena hubungan sesama manusia. (d) Watak manusia itu sendiri, sifat-sifat intelektualnya, emosionalnya, persepsi dan resepsinya, dan ekspresif serta sosial kulturalnya. 3) Latar dan Ruang Latar merupakan identitas permasalahan drama sebagai karya fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan penokohan dan alur. Jika permasalahan drama sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelas suasana, tempat, serta waktu peristiwa itu berlaku. Latar dan ruang di dalam drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan permasalahan drama. Secara langsung latar berkaitan dengan penokohan dan alur. Sehubungan dengan itu, latar harus saling menunjang dengan alur dan penokohan dalam membangun permasalahan dan konflik. Latar yang konkret biasanya berhubungan dengan tokoh-tokoh yang konkret dan peristiwa-peristiwa yang konkret. Sebaliknya latar yang abstrak akan berhunungan dengan peristiwa yang abstrak dengan tokoh-tokoh yang abstrak pula. 4) Penggarapan Bahasa Di dalam sebuah drama, dialog merupakan situasi bahasa utama, namun pengertian penggarapan bahasa di sini bukanlah

18 tentang dialog itu sendiri, melainkan bagaimana bahasa dipergunakan pengarang sehingga terjadi situasi bahasa. Tentang bahasa dipergunakan barangkali menyangkut tentang gaya. Mungkin lebih tepat jika yang dimaksudkan dengan penggarapan bahasa adalah yang biasa disebut dengan style. Ada tujuh ciri bahasa tulis. Di dalam ketujuh ciri bahasa tulis itu terkandung keunggulan dan kelemahannya. Bahasa tulis jika dibandingkan dengan bahasa lisan, telah kehilangan unsur penunjang, seperti isyarat, ekspresi, intonasi, serta peragaan. Sebenarnya di dalam kekurangan itu terdapat celah untuk pengarang yang kreatif dapat menyampaikan permasalahanpermasalahan drama. Pengarang diharapkan harus mengungkapkan permasalahan secermat dan teliti mungkin, sehingga tersusunlah bahasa yang rapi dan indah sebagai salah satu ciri karya sastra. Dengan kreatifitasnya, pengarang memanfaatkan kekurangan bahasa tulis untuk menciptakan situasi sastra yang ambigu yang juga menjadi ciri khas karya sastra. 5) Tema (Premisse) dan Amanat Tema dan amanat dapat dirumuskan dari berbagai peristiwa, penokohan, dan latar. Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh sebab itu, terra merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa

19 yang terkait dengan penokohan dan latar. Dalam sebuah drama terdapat banyak peristiwa yang masing-masingnya mengemban permasalahan, tetapi hanya ada sebuah tema sebagai intisari dari permasalahan-permasalahan tersebut. Permasalahan ini juga dapat muncul melalui perilaku-perilaku para tokoh ceritanya yang terkait dengan latar dan ruang. Amanat di dalam drama dapat terjadi lebih dari satu, asal semua itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan kristalistik dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar, dan ruang cerita. 2. Model Pembelajaran Kolaborasi dan Scaffolding Learning dalam Pembelajaran Bermain Drama Kolaborasi dan scaffolding learning adalah gabungan dua unsur atau lebih yang dipadukan secara intensif. Model kolaborasi dan scaffolding learning merupakan dua hal yang saling menunjang. Titik berat kolaborasi adalah pada masalah penyatuan dua unsur, yaitu sastra dan seni. Sementara scaffolding learning cenderung ke arah langkah pemanfaatan dua unsur sastra dan seni itu disajikan. Melalui kolaborasi dan scaffolding learning pembelajaran bermain drama berupaya mencampur dengan tahap dan langkah tertentu antara ragam genre dalam sastra dengan seni pertunjukan atau teater secara padu. Percampuran unsur itu bukan tanpa alasan, melainkan untuk menemukan keindahan

20 dan sekaligus kedalaman rasa. Dalam kaitan ini, sekaligus untuk meyakinkan gagasan Carter, bahwa sastra itu tidak sekedar masalah pengejaran tetapi cenderung pengajaran. Bermain drama adalah genre dalam dimensi sastra yang tidak sekedar mengejar materi melimpah, tetapi harus diupayakan untuk menanamkan pendidikan akhlak tertentu. Endaswara menyatakan bahwa scaffolding learning adalah metode pembelajaran dengan tahap-tahapan tertentu. Scaffolding berarti membangun tahapan. Tahapan itu dalam bidang bermain drama berupa perangkap atau pancingan. Biasanya mengajar sering melakukan metode ini dengan menyebutkan potongan kata, potongan bacaan, potongan akting, lalu diteruskan oleh subjek didik, sehingga pengertian menjadi jelas. Sesungguhnya konsep ini juga tidak hanya dilakukan sekolah tingkat rendah, tetapi jenjang apapun dapat melakukannya. Asumsi dasar hadirnya model kolaborasi dan scaffolding learning dalam pembelajaran bermain drama adalah drama merupakan bentuk karya yang kaya akan nilai seni dan pesan pendidikan serta nilai sosial. Sebagai karya seni, telah sepantasnya apabila orang yang belajar drama menciptakan aneka perubahan yang signifikan agar karya itu dapat memiliki daya tarik khusus, terutama untuk siswa sekolah dasar yang hal semacam ini masihlah asing dan merupakan hal yang baru. Melalui aneka tampilan pembelajaran, pesan nilai pendidikan dalam bermain drama justru mudah tertanam. Akar-akar estetika justru mudah meresap ketika

21 sebuah drama ditampilkan atau diapresiasi menurut nuansa seni, khususnya pada siswa sekolah dasar. Dalam kaitan ini, perspektif sastra yang dikaitkan adalah (1) sebuah ekspresi superfisial dari fenomena tertentu dan (2) sebagai simbol pandangan sastrawan. Dari kedua hal tersebut, sebenarnya nilai drama akan mudah ditangkap maknanya melalui suatu model kolaborasi dan scaffolding learning pada siswa sekolah dasar. Prinsip dasar model kolaborasi dan scaffolding learning adalah hadirnya pembelajaran bermain drama pada siswa sekolah dasar yang tak lain sebagai sebuah pengalaman dalam aktifitas mengeksplor jiwa dengan nilai-nilai tertentu. Bermain drama akan menawarkan pengalaman hidup yang beragam. Untuk itu bermain drama pada siswa kelas V SD Negeri 1 Dukuhwaluh yang semula hanya sekedar diformat sebagai kegiatan sekedar membaca skenario di depan kelas, akan berubah menjadi konsumsi di atas panggung. Secara teknis, tentang upaya peningkatan keterampilan bermain drama melalui penerapan model kolaborsi dan scaffolding learning ini adalah dengan memadukan dua unsur antara sastra dengan seni teater secara padu dan untuh yang dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu. Adapun tahapan-tahapan tersebut melalui beberapa langkah. Langkah pertama adalah pengenalan tentang bermain drama pada siswa. Pengenalan di sini adalah kegiatan transfer knowledge dan transfer values tentang drama yang dilakukan secara mendalam. Kemudian

22 penggunaan media video dianggap efektif untuk mengenalkan drama secara lebih konkret kepada siswa. Termasuk tentang memerankan tokoh tertentu semua dilakukan dalam tahapan pengenalan drama pada siswa. Langkah selanjutnya adalah penugasan, dilakukan dengan membentuk kelompok dan masing-masing kelompok dibagi skanario drama yang akan mereka pentaskan nantinya. Selanjutnya adalah sesi latihan sebelum pementasan, yang dilakukan seluruh kelompok di luar jam pelajaran dengan bimbingan intensif. Langkah yang terakhir adalah pementasan. Event puncak dari pembelajaran bermain drama ini adalah ketika pementasan berlangsung. Siswa diberi kesempatan untuk menunjukan keterampilannya (perform) secara totalitas. Kegiatan perform ini bisa menggunakan kostum sederhana yang mereka pilih serta konsep panggung sederhana yang dirancang di dalam kelas. Sedangkan metode penilaiannya mengaplikasikan sistem perlombaan. Jadi ada juara di pementasan ini, dengan demikian antusiasme siswa dalam melakukan pementasan drama tinggi. Upaya peningkatan keterampilan bermain drama melalui model kolaborasi dan scaffolding learning dengan penggunaan media video ini akan mampu membangkitkan minat, bakat, kreatifitas, eksplorasi penjiwaan, serta nilai berupa pesan moral yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran kolaborasi dan scaffolding learning pada dasarnya merupakan sebuah bentuk penyajian integrated method. Kolaborasi dan scaffolding learning diartikan sebagai percampuran dua unsur atau lebih

23 dalam pembelajaran, yang disatukan sehingga membentuk kepaduan strukturan dan fungsional, melalui tahapan estetis. Kepaduan strukturan artinya adanya penataan yang sinkron dari awal sampai akhir pembelajaran. Penataan struktur itu cukup beralasan guna mencapai keberhasilan pembelajaran. Kepaduan fungsional yang berarti terkait dengan makna dari perpaduan itu, diupayakan agar menarik, lebih efektif dan efisien, dan menggunakan pancingan jitu. Dengan demikian pembelajaran bermain drama pada siswa kelas V SD Negeri 1 Dukuhwaluh dengan menerapkan model kolaborasi dan scaffolding learning pada dasarnya adalah proses pembelajaran tentang bermain drama dengan penyajian yang utuh dan sesuai pada hakikat tentang nilai dalam drama. Pembelajaran tentang memerankan tokoh dalam drama dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat di SD Negeri 1 Dukuhwaluh belumlah mencapai pembelajaran tentang bermain drama dengan utuh dan sesuai hakikatnya. Sebab kegiatan yang dilakukan hanya sekedar membacakan teks skenario drama di depan kelas, selebihnya tak ada lagi unsur lain yang dimasukan. Dengan demikian penerapan pembelajaran bermain peran dengan model kolaborasi dan scaffolding learning pada siswa kelas V SD Negeri 1 Dukuhwaluh berpaya membelajarkan drama seutuhnya pada siswa. Penerapan model kolaborasi memanglah sesuai dengan karakteristik drama. Sebab drama memang memiliki dua unsur yang menjadi ciri khasnya. Bahwa drama memilki dimensi sastra sekaligus

24 dimensi seni pementasan atau teater. Sehingga pendekatan yang dilakukan tepat dilakukan dengan model kolaborasi. Sedangkanscaffolding learning adalah upaya langkah dan tahapan yang ditempuh selama pembelajaran berlangsung untuk mencapai kompetensi siswa yang diinginkan. 3. Penggunaan Media Video dalam Pembelajaran Menurut Kamus Bahasa Indonesia, video adalah bagian yang memancarkan gambar pada pesawat televisi; rekaman gambar hidup atau program televisi untuk ditayangkan lewat pesawat televisi. Dari pengertian tersebut video memiliki sifat audio dan visual. Sehingga mampu menunjukan gambar hidup lengkap dengan suara yang mengiringinya. Penggunaan media video dalam pembelajaran merupakan alat-alat peraga yang diproyeksikan, yaitu alat peraga yang menggunakan proyektor sehingga gambar nampak pada layar, dan video maupun film adalah contoh alat peraga yang diproyeksikan. Dalam penelitian yang dilaksanakan, peneliti pun menggunakan media video yang di dalamnya berupa film singkat tentang permainan drama yang dimainkan oleh beberapa siswa sekolah dasar. Film pada hakikatnya merupakan penemuan baru dalam interaksi belajar-mengajar yang mengkombinasikan dua macam indera pada saat yang sama. Film adalah serangkaian gambar yang diproyeksikan ke layar pada kecepatan tertentu sehingga menjadikan urutan tingkatan yang berjalan terus

25 sehingga menggambarkan pergerakan yang nampak normal, (Sudjana, 2010: 102). Menurut fungsinya, film itu dapat berbentuk film dokumentasi, sponsor (advertensi perusahaan), hiburan, pendidikan, keagamaan, darma wisata, propaganda, dan episode. Menggunakan film dalam pendidikan dan pengajaran di kelas berguna terutama untuk; a) Mengembangkan pikiran dan pendapat siswa. b) Menambah daya ingat pada pelajaran. c) Mengembangkan daya fantasi anak didik. d) Menumbuhkan minat dan motivasi belajar. e) Mengatasi pembatasan dalam jarak waktu. f) Memperjelas hal-hal yang abstrak. g) Memberikan gambaran pengalaman yang lebih realistis. Untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya dalam menggunakan film di kelas perlu diperhatikan langkah-langkah berikut: a) Langkah pesiapan guru Pada langkah ini guru menetapkan tujuan yang akan dicapai dari penggunaan film sehubungan dengan pelajaran yang akan dijelaskan melalui film tersebut. b) Langkah persiapan kelas Pada langkah ini bukan hanya menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk pemutaran film saja, tetapi juga persiapan siswa

26 agar dapat mengikuti, mencatat, menganalisis, mengkritik, dan lainlain dari isi film pendidikan tersebut. c) Langkah penyajian film Penyajian film bisa diputar ulang, bisa pula diputar dengan kecepatan rendah bila ada hal-hal yang sangat penting untuk dianalisis. d) Langkah lanjutan dan aplikasi Sesudah pemutaran film perlu ada kegiatan belajar sebagai tindak lanjut dari penggunaan film tersebut. Misalnya diskusi, laporan, dan tugas lain. Suatu film pendidikan dikatakan baik bila memenuhi beberapa syarat, di antaranya adalah sangat menarik minat siswa dan autenti, up to date, sesuai dengan tingkat kematangan anak, bahasanya baik dan tepat, mendorong keaktifan siswa sejalan dengan isi pelajaran dan memuaskan dari segi teknik. B. Hasil Penelitian Yang Relevan Dalam buku Bunga Rampai, model-model pembelajaran bahasa, sastra dan seni. Penelitian tentang upaya peningkatan pembelajaran khususnya tentang pertunjukan di atas panggung pernah dilakukan oleh Suwardi Endraswara, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS Universitas Negeri Yogyakarta, melalui model kolaborasi dan scaffolding learning. Sedikit berbeda, namun esensinya masihlah sama. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suwardi Endraswara adalah tentang pertunjukan dalam

27 membaca puisi jawa yang dikolaborasi dan di scaffolding learningkan dengan unsur seni lain seperti gamelan, tari, dan lain sebagainya. Sehingga menjadi sebuah pertunjukan di atas panggung yang utuh dan dapat dinikmati penonton. Sedangkan yang peneliti kaji dalam skripsi ini adalah tentang bermain peran yang pada hakikatnya memiliki dua unsur yaitu sastra dan seni teater. Berikut adalah hasil penelitian yang relevan yang pernah dilakukan oleh Suwardi Endraswara, pada tahun 2003 dengan judul Pembelajaran Sastra Berbasis Kompetensi. Hasil penelitian menggambarkan bahwa model kolaborasi dan scaffolding learning sastra dan seni dalam mata kuliah sanggar sastra membutuhkan beberapa siklus. Dalam siklus I, subjek didik belajar vokal, akting, melagukan macapat. Pada siklus ini mereka bermain puisi Jawa modern dan macapat dengan iringan instrumen gamelan. Instrumen gamelan dirancang dalam bentuk gecul. Subjek didik membaca dan bermain gamelan yang lebih kompleks karena mengolaborasi dan scaffolding learning-kan dalam bentuk seni pertunjukan. Siklus II, dilakukan sama seperti pada siklus I dengan berbagai perbaikan setelah dilakukan evaluasi pada siklus I. Hasil evaluasi siklus II ternyata subjek didik telah menguasai model kolaboratif. Setelah melakukan berbagai tahapan, namun mereka masih merasa kurang terutama dalam hubungannya dengan rasa (ngeng).

28 C. Kerangka Berpikir Memerankan tokoh dalam drama memanglah terdapat dalam salah satu kompetensi dasar yang telah ditentukan dalam pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Dengan adanya drama di pendidikan sekolah dasar, sudah pasti guru dituntut untuk mencapai proses dan hasil dari bermain drama, dan siswa berkewajiban untuk mengenal dan mempraktekan drama itu sendiri. Kenyataanya hal ini tidaklah seperti yang peneliti asumsikan. Pembelajaran drama di sekolah dasar kebanyakan belumlah memenuhi proses dan hasil dari bermain drama yang sesungguhnya. Hal ini memanglah wajar, mengingat kebanyakan bermain drama hanya dikenalkan dengan ruang dan waktu yang lebih luas di tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama hingga perguruan tinggi dan di sanggar-sanggar saja. Tidaklah suatu yang umum drama diajarkan sebagai keterampilan khusus yang diajarkan pada siswa sekolah dasar dalam muatan lokal maupun ekstra kulikuler. Karena hal inilah guru menganggap biasa dan bukanlah prioritas utama untuk diajarkan secara total dalam pembelajaran. Jika kita kembali pada hakikat dan tujuan pendidikan seperti yang ditentukan dalam kurikulum maupun oleh pakar pendidikan dengan teoriteori mereka, secara umum pembelajaran mestilah membangkitkan minat, bakat, kreatifitas, serta penuh makna yang mampu membentuk karakter peserta didik. Jika pembelajaran tentang bermain drama hanya seremonial untuk sekedar menggugurkan kewajiban, seperti yang pernah peneliti observasi dan melakukan wawancara dengan pihak pelaksana pembelajaran

29 tentang bermain drama, maka hasil dari pembelajaran tidaklah mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Pembelajaran yang mampu membangkitkan minat, bakat, kreatifitas, serta penuh makna yang mampu membentuk karakter peserta didik semua aspek ini bisa kita gali hanya dengan melakukan totalitas dengan bermain drama. Minat siswa mampu terbangkit dengan memerankan tokoh dalam drama, sebab drama menyajikan dunia imaginatif, inspiratif, serta ruang dan waktu yang menyenangkan penuh tantangan kepada mereka, drama juga memberikan dunia yang jauh dari membosankan seperti dunia yang mereka jalani dalam kesehariannya. Kedua, bakat siswa mampu tergali sebab mereka diberi kesempatan dan tanggung jawab untuk mengeksplor diri. Ketiga, kreatifitas siswapun mampu terasah, sebab mereka mestilah mampu menciptakan watak dan bahasa tubuh maupun lisan yang mereka ciptakan sendiri hingga sejalan dengan tokoh yang mereka perankan. Terakhir yaitu penuh makna dan miliki nilai pendidikan karakter, sebab semua drama dalam karya sastra adalah cerita-cerita mengesankan yang berupa nilai, pesan, nasehat, moral yang baik yang disajikan dengan luar biasa. Berdasarkan argumen peneliti di atas, dapat digeneralisasikan bahwa pembelajaran memerankan tokoh dalam drama memanglah sangat penting. Disayangkan sekali jika pembelajaran memerankan tokoh dalam drama tidak dilakukan secara total. Untuk itulah maka peneliti hendak melakukan upaya untuk meningkatkan keterampilan bermain drama pada siswa sekolah dasar.

30 Upaya peningkatan itu peneliti tempuh melalui model pembelajaran kolaborasi dan scaffolding learning dengan menggunakan media video. Menggunakan kolaborasi, sebab drama terdiri dari dua unsur yaitu unsur sastra dan unsur teater (seni pementasan). Kedua unsur ini adalah kesatuan yang padu, oleh sebab itu penting untuk mengenalkan drama pada siswa dengan keutuhan dua unsur ini. Intonasi, lafal, gaya bahasa dan sebagainya adalah bagian drama dari segi sastra, sedangkan ekspresi, penghayatan, gesture, adalah bagian drama dari unsur teater (seni pementasan). Pengenalan drama sebagi dua unsur yang padu ini dikenalkan dengan media audio visual (video). Mengapa media video, sebab video dikenal media paling tepat untuk memahamkan siswa secara konkret dan langsung. Menggunakan scaffolding learning sebab untuk mencapai tingkatan siswa mampu mementaskan drama secara baik, dibutuhkan langkah dan tahapan tertentu. Selama ini yang dikeluhkan pihak pendidik di sekolah dasar mengapa pembelajaran drama tidaklah maksimal, karena terbatasnya waktu. Berdasarkan hal ini salah satu tahapan dalam model scaffolding learning yang peneliti solusikan adalah pembelajaran drama itu dijadikan salah satu kegiatan ekstra kulikuler. Sebab dalam kegiatan yang secara khusus membahas tentang drama, siswa akan lebih fokus dan total dalam belajar tentang drama. Dari rangkain proses untuk mencapai hasil siswa mampu memerankan tokoh dalam drama dengan baik, yang peneliti tempuh melalui penerapan

31 model kolaborasi dan scaffolding learning dengan menggunakan media video, adalah sebuah harapan agar keterampilan siswa dalam bermain drama bisa meningkat. D. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dapat dikemukakan hipotesis tindakan sebagai berikut: dengan menggunakan model kolaborasi dan scaffolding learning dengan penggunaan media video dalam pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya tentang memerankan tokoh dalam drama dapat meningkatkan keterampilan bermain peran dengan lafal, intonasi dan ekspresi yang tepat pada siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 1 Dukuhwaluh.

BAB I PENDAHULUAN. mengarahkan pendidikan menuju kualitas yang lebih baik. Berbagai. Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun,

BAB I PENDAHULUAN. mengarahkan pendidikan menuju kualitas yang lebih baik. Berbagai. Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan senantiasa mengalami perubahan yang bertujuan untuk mengarahkan pendidikan menuju kualitas yang lebih baik. Berbagai pengembangan kebijakan tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Drama adalah salah satu bentuk sastra yang diajarkan dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berkaitan erat dengan proses belajar mangajar. Seperti di sekolah tempat pelaksanaan pendidikan, peserta didik dan pendidik saling melaksanakan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk mengikuti perkembangan zaman. Pembelajaran memiliki peran serta mendidik siswa agar menjadi manusia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembelajaran sastra di sekolah kini tampak semakin melesu dan kurang diminati oleh siswa. Hal ini terlihat dari respon siswa yang cenderung tidak antusias saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dalam meningkatkan hal tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dalam meningkatkan hal tersebut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Peneliti mengambil penelitian dengan judul Resepsi mahasiswa Jurusan

BAB II LANDASAN TEORI. Peneliti mengambil penelitian dengan judul Resepsi mahasiswa Jurusan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Yang Relevan Sebelumnya Peneliti mengambil penelitian dengan judul Resepsi mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Terhadap pentas drama Drakula intelek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan dalam pembelajaran berpengaruh pada tingkat pencapaian hasil belajar. Hasil belajar yang dicapai tentu harus melalui proses pembelajaran secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. siswa dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Siswa. dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.

BAB 1 PENDAHULUAN. siswa dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Siswa. dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Berbicara adalah salah satu aspek keterampilan berbahasa yang dipelajari siswa dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Siswa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran

BAB 1 PENDAHULUAN. (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Drama merupakan karya yang memiliki dua dimensi karakter (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran atau seni pertunjukan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum 2013 yang wajib dilaksanakan dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertunjukan drama merupakan sebuah kerja kolektif. Sebagai kerja seni

BAB I PENDAHULUAN. Pertunjukan drama merupakan sebuah kerja kolektif. Sebagai kerja seni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertunjukan drama merupakan sebuah kerja kolektif. Sebagai kerja seni yang kolektif, pertunjukan drama memiliki proses kreatifitas yang bertujuan agar dapat memberikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Drama Sebagai Karya Fiksi Sastra sebagai salah satu cabang seni bacaan, tidak hanya cukup dianalisis dari segi kebahasaan, tetapi juga harus melalui studi khusus yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada satu atau beberapa karakter utama yang sukses menikmati perannya atau

BAB I PENDAHULUAN. pada satu atau beberapa karakter utama yang sukses menikmati perannya atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drama merupakan karya sastra yang dalam penulisan teksnya berisikan dialog-dialog dan isinya membentangkan sebuah alur. Seperti fiksi, drama berpusat pada satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat terlepas dari kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat terlepas dari kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat terlepas dari kegiatan berkomunikasi, karena untuk mencapai segala tujuanya, manusia memerlukan sebuah alat atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan pembangunan dan peningkatan sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia dapat dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan problematika yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterampilan bermain peran merupakan salah satu keterampilan berbahasa lisan yang penting dikuasai oleh siswa, termasuk siswa Sekolah Menengah Pertama. Seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan berbahasa yang baik. Bentuk bahasa dapat dibagi dua macam, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan berbahasa yang baik. Bentuk bahasa dapat dibagi dua macam, yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk sosial selalu berbahasa. Bahasa senantiasa digunakan manusia dalam komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan seseorang

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMERANAN DRAMA. Kata Kunci : Metode Bermain Peran dan Pemeranan Drama

PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMERANAN DRAMA. Kata Kunci : Metode Bermain Peran dan Pemeranan Drama PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMERANAN DRAMA R. ArnisFahmiasih 1 ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masalah kemampuan pembelajaran sastra dalam memerankan drama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Tema dan Karya Alasan Pemilihan Tema

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Tema dan Karya Alasan Pemilihan Tema 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Tema dan Karya 1.1.1 Alasan Pemilihan Tema Di Indonesia pada dasarnya sangat kental dengan cerita misteri, sampai saaat ini pun di radio-radio tanah air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah mempertinggi kemahiran siswa dalam menggunakan bahasa meliputi kemahiran menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang disediakan lembaga untuk peserta didik. Kurikulum pendidikan sudah beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya belajar berbahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya belajar berbahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya belajar berbahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia mengarahkan siswa untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam bidang pendidikan di sekolah peranan seorang guru sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam bidang pendidikan di sekolah peranan seorang guru sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam bidang pendidikan di sekolah peranan seorang guru sangat penting. Kualitas kinerja atau mutu guru dapat mempengaruhi proses pembelajaran dan mutu pendidikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan mengekspresikan gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Fotografi merupakan teknik yang digunakan untuk mengabadikan momen penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena melalui sebuah foto kenangan demi kenangan dalam

Lebih terperinci

Prakata. iii. Bandung, September Penulis

Prakata. iii. Bandung, September Penulis Prakata Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Bahasa mempunyai fungsi intelektual, sosial, dan emosional. Selain itu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. belajar dipengaruhi oleh motivasi dari dalam dan luar siswa.

BAB I PENDAHULUAN. belajar dipengaruhi oleh motivasi dari dalam dan luar siswa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan proses yang kompleks karena menyangkut berbagai faktor baik yang berasal dari diri guru, berasal dari diri siswa maupun yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (Najid, 2003:7). Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya penyelenggaran pendidikan diupayakan untuk membangun

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya penyelenggaran pendidikan diupayakan untuk membangun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pentingnya penyelenggaran pendidikan diupayakan untuk membangun manusia yang memiliki kepribadian. Hal ini juga diwujudkan oleh pemerintah, dengan membangun

Lebih terperinci

BAB I DEFINISI OPERASIONAL. Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan

BAB I DEFINISI OPERASIONAL. Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan 1 BAB I DEFINISI OPERASIONAL A. LATAR BELAKANG MASALAH Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan karya yang dapat menyentuh jiwa spiritual manusia, karya seni merupakan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional, pada BAB II tentang Dasar,

I. PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional, pada BAB II tentang Dasar, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional, pada BAB II tentang Dasar, Fungsi dan Tujuan Sistim Pendidikan Nasional Tahun 2003 pada pasal 3 yang dikatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Sebagai bahasa negara, BI dapat

BAB I PENDAHULUAN. dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Sebagai bahasa negara, BI dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Sebagai bahasa negara, BI dapat dimaknai sebagai bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas pendidikan saat ini adalah lemahnya para pendidik dalam menggali

BAB I PENDAHULUAN. kualitas pendidikan saat ini adalah lemahnya para pendidik dalam menggali BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Pendidikan saat ini mulai menurun kualitasnya, salah satu faktor menurunnya kualitas pendidikan saat ini adalah lemahnya para pendidik dalam menggali potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di antaranya adalah Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari, dan Seni Teater. Beberapa jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan gaya penulisan. Menulis merupakan suatu kemampuan berbahasa yang

BAB I PENDAHULUAN. dan gaya penulisan. Menulis merupakan suatu kemampuan berbahasa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, terdapat empat aspek kebahasaan yang harus dikuasai siswa, yaitu kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. berarti berbuat, to act atau to do (Morris dalam taringan, 2000:69). Drama dapat

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. berarti berbuat, to act atau to do (Morris dalam taringan, 2000:69). Drama dapat BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Drama Kata drama berasal dari bahasa Greek, tegasnya dan kata kerja Dran yang berarti berbuat, to act atau to do (Morris dalam taringan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Drama sebagai salah satu bagian dari pembelajaran sastra memiliki peranan penting dalam membentuk watak peserta didik yang berkarakter. Peranan penting

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian mengenai pembelajaran menulis cerpen menggunakan strategi. 3M (Meniru-Mengolah-Mengembangkan) dilakukan dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian mengenai pembelajaran menulis cerpen menggunakan strategi. 3M (Meniru-Mengolah-Mengembangkan) dilakukan dengan 1 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian mengenai pembelajaran menulis cerpen menggunakan strategi 3M (Meniru-Mengolah-Mengembangkan) dilakukan dengan menggunakan metode penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Menyikapi Kompetensi Dasar tentang Drama pada Kurikulum 2013

HASIL DAN PEMBAHASAN Menyikapi Kompetensi Dasar tentang Drama pada Kurikulum 2013 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan dibahas lima hal sesuai dengan hasil penelitian. Lima hal tersebut yaitu 1) pembahasan terhadap upaya menyikapi kompetensi dasar tentang drama pada kurikulum 2013,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelajaran bahasa Indonesia di SD diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi dengan baik, baik secara lisan maupun tulisan. Disamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia mempunyai berbagai suku bangsa dan warisan budaya yang sungguh kaya, hingga tahun 2014 terdapat 4.156 warisan budaya tak benda yang

Lebih terperinci

BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN BERMAIN PERAN MELALUI METODE KETERAMPILAN PROSES. Drama di teater adalah salah satu bentuk karya sastra, bedanya dengan

BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN BERMAIN PERAN MELALUI METODE KETERAMPILAN PROSES. Drama di teater adalah salah satu bentuk karya sastra, bedanya dengan BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN BERMAIN PERAN MELALUI METODE KETERAMPILAN PROSES A.Pengertian Drama atau Bermain Peran Drama di teater adalah salah satu bentuk karya sastra, bedanya dengan bentuk lain (prosa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud,

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan, dan pendapat

Lebih terperinci

2. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR BAHASA INDONESIA SMP/MTs

2. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR BAHASA INDONESIA SMP/MTs 2. KOMPETENSI INTI DAN BAHASA INDONESIA SMP/MTs KELAS: VII Tujuan kurikulum mencakup empat kompetensi, yaitu (1) kompetensi sikap spiritual, (2) sikap sosial, (3) pengetahuan, dan (4) keterampilan. Kompetensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari bahasa. Bahasa merupakan sarana untuk berkomunikasi antarsesama manusia. Bahasa sebagai sarana komunikasi dapat berupa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Drama Pendek a. Pengertian Drama Kata drama berasal dari kata Yunani draomai (Haryamawan, 1988, 1) yang berarti berbuat, bertindak, bereaksi, dan sebagainya.

Lebih terperinci

34. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunarungu (SMALB B)

34. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunarungu (SMALB B) 279 34. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunarungu (SMALB B) A. Latar Belakang Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena

BAB I PENDAHULUAN. tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Bahasa mempunyai fungsi intelektual,

Lebih terperinci

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS KREATIF NASKAH DRAMA SATU BABAK DENGAN MEDIA AUDIOVISUAL PADA SISWA KELAS VIII RKBI SMP MUHAMMADIYAH 7 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2012/2013 NASKAH PUBLIKASI Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menarik perhatian siswa. Selama ini pembelajaran sastra di sekolah-sekolah

BAB I PENDAHULUAN. menarik perhatian siswa. Selama ini pembelajaran sastra di sekolah-sekolah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pembelajaran bahasa yang harus dilaksanakan oleh guru. Guru harus dapat melaksanakan pembelajaran sastra dengan menarik.

Lebih terperinci

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN BAGI SISWA KELAS V SDN 2 NGALI KECAMATAN BELO KABUPATEN BIMA TAHUN

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN BAGI SISWA KELAS V SDN 2 NGALI KECAMATAN BELO KABUPATEN BIMA TAHUN PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN BAGI SISWA KELAS V SDN 2 NGALI KECAMATAN BELO KABUPATEN BIMA TAHUN 2010-2011 Jenep Hanapiah Suwadi Abstrak: Salah satu tujuan Mata Pelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pikiran, pendapat, imajinasi, dan berhubungan dengan manusia lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. pikiran, pendapat, imajinasi, dan berhubungan dengan manusia lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat terpenting yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Melalui bahasa, manusia akan dapat mengungkapkan segala pemikirannya. Selain itu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa pengalaman, semangat, ide, pemikiran, dan keyakinan dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. berupa pengalaman, semangat, ide, pemikiran, dan keyakinan dalam suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil cipta yang mengungkapkan pribadi manusia berupa pengalaman, semangat, ide, pemikiran, dan keyakinan dalam suatu gambaran konkret yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film adalah sarana komunikasi massa yang digunakan untuk menghibur, memberikan informasi, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, komedi, dan sajian teknisnya

Lebih terperinci

METODE PENGENALAN BAHASA UNTUK ANAK USIA DINI*

METODE PENGENALAN BAHASA UNTUK ANAK USIA DINI* METODE PENGENALAN BAHASA UNTUK ANAK USIA DINI* Hartono Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY e-mail: hartono-fbs@uny.ac.id Pemilihan metode pengenalan bahasa untuk anak usia dini perlu memperhatikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. 2.1 Kedudukan Pembelajaran Mendeskripsikan Perilaku Manusia Melalui

BAB II KAJIAN TEORITIS. 2.1 Kedudukan Pembelajaran Mendeskripsikan Perilaku Manusia Melalui BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Kedudukan Pembelajaran Mendeskripsikan Perilaku Manusia Melalui Dialog Naskah Drama dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2.1.1 Standar Kompetensi Standar kompetensi mata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh kreativitas bangsa itu sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh kreativitas bangsa itu sendiri dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kebutuhan sepanjang hayat yang harus dipenuhi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maju mundurnya suatu bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali,

BAB I PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa. Dari zaman ke zaman sudah banyak orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 Tinjauan aspek sosiokultural puisi-puisi pada harian Solopos dan relevansinya sebagai materi ajar alternatif bahasa Indonesia di SMA (harian Solopos edisi oktober-desember 2008) Oleh: Erwan Kustriyono

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kenyataan implementasi di lapangan, pembelajaran seni budaya khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Kenyataan implementasi di lapangan, pembelajaran seni budaya khususnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kenyataan implementasi di lapangan, pembelajaran seni budaya khususnya seni tari terkadang tidak sesuai dengan harapan. Pembelajaran seni tari di sekolah mengalami

Lebih terperinci

MENCIPTA TOKOH DALAM NASKAH DRAMA Transformasi dari Penokohan Menjadi Dialog, Suasana, Spektakel

MENCIPTA TOKOH DALAM NASKAH DRAMA Transformasi dari Penokohan Menjadi Dialog, Suasana, Spektakel MENCIPTA TOKOH DALAM NASKAH DRAMA Transformasi dari Penokohan Menjadi Dialog, Suasana, Spektakel Yudiaryani PENDAHULUAN Unsur yang paling mendasar dari naskah adalah pikiran termasuk di dalamnya gagasan-gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rizka Fauziah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rizka Fauziah, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam lingkup kebahasaan, pada dasarnya siswa harus menguasai empat aspek keterampilan berbahasa. Empat aspek keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Drama merupakan kisah utama yang memiliki konflik yang disusun untuk sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini drama bukan hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran adalah sebuah proses, pada proses tersebut adanya perubahan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran adalah sebuah proses, pada proses tersebut adanya perubahan dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelajaran adalah sebuah proses, pada proses tersebut adanya perubahan dan perkembangan yang terjadi pada peserta didik. Supaya perubahan pada peserta didik dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran merupakan suatu proses perubahan tingkah laku individu dalam interaksi dirinya dengan lingkungannya. Hasil dari interaksi yang dilakukan dalam

Lebih terperinci

48. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR SENI BUDAYA SMA/MA/SMK/MAK

48. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR SENI BUDAYA SMA/MA/SMK/MAK 48. KOMPETENSI INTI DAN SENI BUDAYA SMA/MA/SMK/MAK KELAS: X A. SENI RUPA 3. memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

KEMAMPUAN MENULIS CERPEN BERDASARKAN PENGALAMAN SISWA DI SMP NEGERI 17 KOTA JAMBI

KEMAMPUAN MENULIS CERPEN BERDASARKAN PENGALAMAN SISWA DI SMP NEGERI 17 KOTA JAMBI KEMAMPUAN MENULIS CERPEN BERDASARKAN PENGALAMAN SISWA DI SMP NEGERI 17 KOTA JAMBI Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Peningkatan Kemampuan Membaca Puisi Melalui Teknik Pemodelan Siswa Kelas IV SDN 05 Bunobogu

Peningkatan Kemampuan Membaca Puisi Melalui Teknik Pemodelan Siswa Kelas IV SDN 05 Bunobogu Peningkatan Kemampuan Membaca Puisi Melalui Teknik Pemodelan Siswa Kelas IV SDN 05 Bunobogu Yayu M.Binol, Ali Karim, Efendi Mahasiswa Program Guru Dalam Jabatan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan seni dan karya yang sangat berhubungan erat dengan ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka karya sastra

Lebih terperinci

Rizmada Azzahra 1) 1) Universitas Khairun, Ternate, Maluku Utara, Indonesia. 1) ABSTRAK

Rizmada Azzahra 1) 1) Universitas Khairun, Ternate, Maluku Utara, Indonesia.   1) ABSTRAK ANALISIS PEMBUATAN VIDEO MEDIA PEMBELAJARAN DALAM MATA KULIAH PEMBELAJARAN MENYIMAK OLEH MAHASISWA KELAS A SEMESTER V PRODI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE Rizmada Azzahra 1) 1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan hasil pekerjaan seni kreasi manusia. Sastra dan manusia erat

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan hasil pekerjaan seni kreasi manusia. Sastra dan manusia erat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil pekerjaan seni kreasi manusia. Sastra dan manusia erat kaitannya karena pada dasarnya keberadaan sastra sering bermula dari persoalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Melalui karya sastra, seseorang

I. PENDAHULUAN. membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Melalui karya sastra, seseorang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat keyakinan dalam suatu bentuk konkret yang membangkitkan pesona

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Fungsi dan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Fungsi dan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fungsi dan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Bahasa Indonesia tahun 2006 bertujuan untuk menjadikan

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP No. 1.1) : SMP Negeri 2 Gerokgak

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP No. 1.1) : SMP Negeri 2 Gerokgak RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP No. 1.1) Sekolah : SMP Negeri 2 Gerokgak Mata Pelajaran : Seni Budaya / Seni Rupa Kelas/Semester : IX / I Pertemuan ke : 1-2 Alokasi Waktu : 4 x 40 menit Satandar

Lebih terperinci

KURIKULUM 2004 STANDAR KOMPETENSI. Mata Pelajaran

KURIKULUM 2004 STANDAR KOMPETENSI. Mata Pelajaran KURIKULUM 2004 STANDAR KOMPETENSI Mata Pelajaran KESENIAN SEKOLAH MENENGAH ATAS dan MADRASAH ALIYAH DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL Jakarta, Tahun 2003 Katalog dalam Terbitan Indonesia. Pusat Kurikulum,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 51 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena data yang

Lebih terperinci

Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Strategi Copy The Master Melalui Media Audio Visual pada Siswa Kelas IX-C SMPN 2 ToliToli

Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Strategi Copy The Master Melalui Media Audio Visual pada Siswa Kelas IX-C SMPN 2 ToliToli Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Strategi Copy The Master Melalui Media Audio Visual pada Siswa Kelas IX-C SMPN 2 ToliToli Mashura SMP Negeri 2 ToliToli, Kab. ToliToli, Sulteng ABSTRAK Strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, di samping itu

BAB I PENDAHULUAN. indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, di samping itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif manusia dalam kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sastra seni kreatif menggunakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. kepenerima pesan (2006:6). Dalam Accociation for education and communication

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. kepenerima pesan (2006:6). Dalam Accociation for education and communication BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pengertian Media Secara harfiah media berarti perantara atau pengantar. Oleh Sadiman dikemukakan bahwa media adalah perantara atau pengantar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati dan dipahami serta dimanfaatkan oleh masyarakat pembaca. Karya sastra memberikan kesenangan dan pemahaman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rahayu Yulistia, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rahayu Yulistia, 2013 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang memegang peranan sangat penting. Manusia mampu mengungkapkan pikiran, ide, gagasan, dan perasaannya kepada orang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. problematika yang dialaminya dalam kehidupan. Problematika dapat timbul

I. PENDAHULUAN. problematika yang dialaminya dalam kehidupan. Problematika dapat timbul I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan problematika yang dialaminya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seniman melalui berbagai bentuk media yang digunakannya. Melalui karya seni inilah

BAB I PENDAHULUAN. seniman melalui berbagai bentuk media yang digunakannya. Melalui karya seni inilah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah karya seni merupakan suatu kegiatan kreatif yang dihasilkan oleh seorang seniman melalui berbagai bentuk media yang digunakannya. Melalui karya seni inilah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bentuk karya yang bereaksi langsung secara kongkret (Hasanuddin, 2009:1).

BAB 1 PENDAHULUAN. bentuk karya yang bereaksi langsung secara kongkret (Hasanuddin, 2009:1). 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai suatu genre sastra, drama mempunyai kekhususan dibanding genre puisi atau genre fiksi. Kesan dan kesadaran terhadap drama lebih difokuskan kepada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai objeknya dan bahasa sebagai mediumnya. Menurut Esten (2000: 9), sastra merupakan pengungkapan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang maha esa. Karena dengan

KATA PENGANTAR. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang maha esa. Karena dengan KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr. Wb. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang maha esa. Karena dengan rahmatnya kita bisa membuat makalah ini dengan tepat waktu. Semoga makalah ini bermanfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya terdapat daya kreatif dan daya imajinasi. Kedua kemampuan tersebut sudah melekat pada jiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berekspresi dan salah satunya adalah menulis puisi. Puisi dalam Kamus Besar. penataan bunyi, irama, dan makna khusus; sajak.

BAB I PENDAHULUAN. berekspresi dan salah satunya adalah menulis puisi. Puisi dalam Kamus Besar. penataan bunyi, irama, dan makna khusus; sajak. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterampilan berbahasa mencakup empat aspek, yakni (1) keterampilan menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan membaca, (4) keterampilan menulis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan medium bahasa. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soemardjo dan Saini K.M (1991:2) sastra merupakan karya fiktif

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soemardjo dan Saini K.M (1991:2) sastra merupakan karya fiktif BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Soemardjo dan Saini K.M (1991:2) sastra merupakan karya fiktif yang dibuat berdasarkan imajinasi dunia lain dan dunia nyata sangat berbeda tetapi saling terkait

Lebih terperinci