Fatchul Mu in. Maungkai Budaya. Esai-esai Kontemplatif tentang Bahasa, Sastra, Seni, Pendidikan dan Politik

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Fatchul Mu in. Maungkai Budaya. Esai-esai Kontemplatif tentang Bahasa, Sastra, Seni, Pendidikan dan Politik"

Transkripsi

1

2 Fatchul Mu in Maungkai Budaya Esai-esai Kontemplatif tentang Bahasa, Sastra, Seni, Pendidikan dan Politik i

3 Muangkai Budaya Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT) Maungkai Budaya Fatchul Mu in, Scripta Cendekia, Banjarbaru 2009 xiv halaman, 15,5 x 23 cm ISBN: Editor/Penyunting: Rusma Noortyani dan Sainul Hermawan Perwajahan: Hambali Pracetak: Agvenda Cetakan Pertama: Maret 2009 Diterbitkan oleh: Scripta Cendekia Jl. Nusantara V.1 Balitra Jaya Permai Banjarbaru Telp ii

4 PRAKATA S etelah artikel-artikel atau esai-esai mencapai jumlah cukup banyak sebagian besar terpublikasikan melalui surat kabar, dan sebagian kecil, melalui jurnal, dan beberapa yang lain masih menjadi dokumen pribadi sebenarnya saya berkeinginan untuk menerbitkannya dalam bentuk buku. Keinginan itu telah lama menjadi keinginan semata. Untungnya, ada seorang kawan yang sangat baik dan penuh perhatian. Atas anjuran dan dorongannya, saya nekad untuk mewujudkan keinginan itu. Namun proses penerbitan buku ini cukup panjang. Dalam proses cukup panjang itu, pada awalnya saya sangat bersemangat. Ketika proses penyuntingan telah berjalan tujuh puluh lima persen, tiba-tiba upaya untuk membukukan sejumlah tulisan itu, sempat terhenti. Dua hal utama menjadi penyebabnya. Rasa ragu-ragu adalah salah satunya. Ya, saya ragu apakah tulisantulisan saya itu layak diterbitkan dalam sebuah buku. Dan, pemberian judul atas kumpulan tulisan adalah penyebab keduanya. Rasa ragu dan lamanya menemukan judul itu benar-benar hampir menghentikan niat untuk menerbitkan buku itu. Judul-judul yang sempat muncul melibatkan kata/istilah: bianglala, pelangi, menulis, meretas, dan beberapa kata/istilah lain yang tidak populer. Semuanya tertolak, sebab bianglala milik Ahmad Tohari, pelangi milik Andrea Herata, menulis milik EWA, dan meretas milik Daud Pamungkas. Melalui diskusi cukup panjang dengan Sainul Hermawan, judul didapat, yakni Maungkai Budaya (Esai-esai Kontemplatif tentang Bahasa, Sastra, Seni, Pendidikan dan Politik). Kata maungkai berasal dari bahasa Banjar, yang berarti menyingkap, mengungkap. Maungkai Budaya dalam judul buku ini iii

5 Muangkai Budaya dimaksudkan untuk merujuk pada upaya merespons feneomenafenomena kehidupan manusia (kebudayaan) yang tentu saja menarik minat, dalam wujud esai. Ya, esai yang menyangkut bahasa, sastra, seni, pendidikan dan politik sebagai bagian tak terpisahkan dari kebudayaan. Diharapkan, kumpulan esai itu dapat menjadi bahan renungan bagi khalayak pembaca. Dalam menanggapi fenomena-fenomena kehidupan manusia, saya tidak berpretensi sebagai pemilik kemampuan memadai tentang kebudayaan. Pengetahuan yang serba sedikit tentang kebudayaan dimanfaatkan sebagai alat atau sarana untuk menanggapi fenomena-fenomena kehidupan dalam bentuk artikel atau esai. Bagian pertama menyorot bahasa dan fenomena bahasa. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa merupakan salah satu hal penting bagi manusia. Bahasa Indonesia merupakan sarana persatuan bagi bangsa Indonesia; ia mengemban fungsi sebagai bahasa resmi, bahasa pengantar pendidikan, dan lain-lain. Sebagai bahasa yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, selayaknyalah ia dikuasai dengan baik oleh seluruh anak bangsa. Kita, terutama keluarga, memiliki tanggung jawab membina anak-anak kita untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa daerah tak kalah pentingnya bagi kita. Sebelum anakanak kita menguasai bahasa Indonesia, umumnya, mereka telah mengenal dan menggunakan bahasa daerah. Agar penggunaan bahasa daerah tidak terkontaminasi oleh unsur-unsur bahasa lain (terutama bahasa asing), maka kita perlu mengupayakan keaslian dan kelestariannya. Kita hendaknya tidak menuduh begitu saja bahwa anak-anak kita, generasi muda kita, mulai meninggalkan atau kurang memperhatikan bahasa daerah, atau dengan kata lain, mereka cenderung menggunakan bahasa daerah tanpa memperhatikan kaidah. Kita semestinya bertanya kepada diri kita apa yang telah kita lakukan dalam upaya membina anak-anak kita agar dapat berbahasa daerah secara benar. Pembelajaran bahasa asing, khususnya, bahasa Inggris di Indonesia, seringkali dijadikan bahan pembicaraan. Anak-anak Indonesia banyak yang gagal dalam belajar bahasa Inggris. Mereka tidak mampu berbicara dan menulis walau telah belajar bahasa asing itu iv

6 Prakata selama bertahun-tahun. Dua artikel menyorot tentang bagaimana belajar bahasa Inggris guna mencapai penguasaan bahasa Inggris yang ideal. Penguasaan bahasa Inggris yang ideal mengacu pada penguasaan bahasa Inggris dalam empat keterampilan berbahasa. Masyarakat Indonesia bisa dikatakan sebagai masyarakat bilingual atau multilingual. Dalam masyarakat yang demikian, penggunaan bahasa sering menimbulkan fenomena kebahasaan yang secara normatif tidak dibenarkan. Fenomena itu seringkali mengacu pada interferensi, alih kode atau campur kode. Idealnya, penggunaan bahasa itu mengacu pada apa yang disebut oleh Dr. Istiati Soetomo sebagai tunggal bahasa. Namun, dalam situasi bilingualistik atau multilinguistik, seringkali kita temukan peristiwa interferensi, alih kode atau campur kode. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam upaya berinteraksi dan berkomunikasi manusia tak bebas; ia sangat dipengaruhi atau dikendalikan oleh budayanya. Budaya (di dalamnya terdapat norma-norma, aturanaturan) seringkali memaksa pemakai bahasa untuk melakukan interferensi, alih kode atau campur kode. Bagian kedua mengungkap karya sastra, penulisan karya sastra, moralitas dalam sastra, dan memahami karya sastra, serta pemanfaatan karya sastra untuk memahami masyarakat. Asbabun nuzul tulisan-tulisan tentang sastra ini berkait dengan semangat menggebu penulis usai menyelesaikan studi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pengetahuan tentang kesastraan yang serba sedikit dicobakembangkan dalam kegiatan menulis tentang karya sastra usai membaca ulasan tentang sastra dan atau mengikuti kegiatan diskusi, seminar atau lokakarya penulisan karya sastra. Bagian ketiga berbicara tentang seni. Seni dan kegiatan seni yang penulis amati adalah seni yang ditayangkan di televisi. Tulisantulisan tentang seni muncul setelah banyak orang menghebohkan tayangan televisi yang mengobral pornografi dan atau pornoaksi. Ini terjadi hampir bersamaan dengan upaya penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP), yang kini telah diundangkan sebagai UU Anti Pornografi. Tayangan televisi yang mempertonkan pornografi, mungkin saja, akan menimbulkan dampak negatif pada para pemirsanya, khususnya anak-anak dan generasi muda kita. v

7 Muangkai Budaya Bagian keempat berkaitan dengan pendidikan. Artikel pertama dari bagian ini menyangkut plagiarisme. Munculnya tulisan ini diilhami oleh pembacaan penulis tentang plagiarisme sewaktu mengambil mata kuliah Metode Penelitian Sastra di Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan dilatarbelakangi oleh sinyalemen tentang adanya jual jasa penulisan skripsi atau karya ilmiah lain. Artikel-artikel selebihnya muncul sebagai respons terhadap gagasan, masalah dan sejenisnya tentang penyelenggaraan pendidikan, seperti Ujian Nasional dan sisi-sisi lain dari penyelenggaraan pendidikan. Sejumlah tulisan yang muncul belakangan dimasukkan dalam buku ini. Bagian kelima menyoroti masalah-masalah yang bersinggungan dengan politik. Artikel-artikel tentang politik ini dimaksudkan untuk urun rembug, terutama, dalam pelaksanaan Pemilihan Umum 2004, Pemerintahan (Daerah), Pemilihan Rektor Unlam (2005), dan Pemilihan Pembantu Dekan Bagian Akademik Pengganti Antarwaktu (2006). Menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum 2004, penjaringan bakal/ calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangat ramai dibicarakan, baik di kalangan masyarakat maupun pers. Bermunculan tanggapan, berita dan opini di surat kabar. Berkenaan dengan itu, penulis juga menyampaikan tanggapan atau pandangan via surat kabar tersebut. Beberapa kali terlibat dalam kegiatan Safari Jum at yang dilakukan oleh Bupati Batola dan memperhatikan kondisi Pasar Selidah di Handil Bakti, penulis mencobaapungkan gagasan dalam beberapa artikel. Dua artikel di antaranya tersaji dalam buku ini. Pemilihan Rektor Unlam (2005) disambut secara antusias oleh segenap warga Unlam Banjarmasin. Antusiasme ini diakibatkan oleh kenyataan bahwa Pemilihan Rektor waktu itu berbeda dengan pemilihan-pemilihan rektor sebelumnya. Dosen, Mahasiswa dan Karyawan dilibatkan dalam proses pemilihan awal, walau pada akhirnya Senat Unlam yang menentukan pilihan mereka. Kondisi ini memberikan insprirasi pada penulis untuk menghasilkan artikel tentang pemilihan rektor di Unlam. Sementara itu, pemilihan Pembantu Dekan I Pengganti Antarwaktu meninggalkan kesan kurang nyaman, khususnya, pada diri penulis. Kala itu, penulis merupakan salah satu anggota panitia pemilihan. Kesan itu tertuang vi

8 Prakata dalam sebuah artikel sebagai kilas balik pemilihan salah satu pejabat di lingkungan FKIP Unlam itu. Sejumlah tulisan berkait dengan topik ini ditambahkan sebagai bagian dari tema politik. Sekali lagi, penulis tidak berpretensi sebagai pemilik kemampuan memadai untuk memberikan tanggapan atau bahkan protes terhadap masalah-masalah sebagaimana terurai dalam semua tulisan yang disajikan. Dalam hal ini, tentu saja, kekurangan atau kelemahan banyak ditemukan dalam tulisan-tulisan itu. Kritik dan saran dari pembaca yang budiman, sangatlah diharapkan. Handil Bakti, Barito Kuala Pebruari 2009 Penulis vii

9 Muangkai Budaya viii

10 UCAPAN TERIMA KASIH D ari sejumlah esai yang ada, Saudara Sainul Hermawan, mengelompokkannya dalam lima kelompok: bahasa, sastra, seni, pendidikan dan politik. Atas anjuran, dorongan dan kesediaannya, saya sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Tanpa dia, sejumlah artikel atau esai tetap saja dalam keadaan bahamburan di mana-mana, dan tak tertutup kemungkinan, akan habis dimakan rayap. Buku ini terwujud karena dukungan banyak pihak. Pihak pertama adalah penyunting. Dia, di samping bersedia melakukan proses penyuntingan, adalah orang pertama menganjurkan dan mendorong saya untuk membukukan artikel dan esai saya. Kedua adalah Ersis Warmansyah Abbas, seorang motivator, yang selalu memberikan semangat dan dorongan untuk bisa menerbitkan buku. Ketiga adalah para donatur: Dekan FKIP Unlam, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Unlam, Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unlam, Pengurus Ikatan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, dan Saudara Agus Zunaidi Karim. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada istri, Dina Indayati dan kedua: Fahrina Galuh Larasati dan Galih Rizki Khairul Ulum, yang telah merelakan waktu kebersamaan mereka, tersita. Kepada ayah, Sihyar Imodimedjo (kini, almarhum) dan ibu saya, Hj. Sunariyah, saudara-saudara saya: Saifuddin, Masrur, Binti Maspupah, Nur Hasyim, Mansur Arifin, Laili NS, disampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, atas dorongan, kesabaran dan kerelaan mereka selama ini. ix

11 Muangkai Budaya Juga kepada kedua mertua, H. Abdul Karim dan Hj. Kiptiyah, dan saudara-saudara ipar, Munir Sultoni, Agus Zunaidi, dan Ratna Widyawati berikut istri dan suami mereka, penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih, atas pemberian semangat, dorongan dan nasihat serta kesedian mereka untuk menjadi teman-teman diskusi dan ngobrol ngalor-ngidul saat saya menghadapi persoalan. Handil Bakti, Barito Kuala Pebruari 2009 Penulis Fatchul Mu in xiv

12 Catatan Penyunting PEMIKIR SEJATI, PENDENGAR YANG BAIK A dalah kehormatan berharga bagi kami mendapat kesempatan menyunting tulisan kolega yang memiliki perhatian terhadap dimensi hidup yang begitu beragam. Mengapa? Karena memposisikan kolega muda seperti kami baginya tentu merupakan apresiasi yang mahal harganya. Apalagi dalam atmosfer yang masih marak memperbincangkan pemapanan eksistensi posisi senior dan yunior. Dengan cara inilah sidin menawarkan bentuk interaksi yang baru dalam atmosfer semacam itu, yaitu semacam sikap yang mencoba meruntuhkan dinding pembatas senioritas. Kedua, melalui kesempatan penyuntingan ini kami berpeluang untuk mempelajari apa yang belum kami tahu dan apa yang telah kami ketahui tetapi mulai pudar dari ingatan. Dalam proses penyuntingan, kami berusaha menjadi dewa yang baik bagi tulisannya. Setiap keanehan tidak langsung kami buang. Kami lebih suka mendiskusikannya terlebih dahulu sebelum melakukannya. Ada sejumlah esai yang terpakasa harus keluar dari daftar isi karena telah dipublikasikan di buku lain. Selain membenahi kealpaan tulis dan logika bahasa yang mungkin menghalangi pemahaman pembaca, saya juga mengusulkan kepada penulis untuk menata isi sedemikian rupa sehingga penyajiannya menjadi relatif enak dipandang mata dan nyaman dibaca oleh mata. Alhasil, penulis benar-benar pendengar yang baik dan sangat apresiatif dan akomodatif terhadap tawaran-tawaran tersebut. Jadi, kendala penyuntingan buku ini menjadi lebih ringan karena sikap penulisnya yang demikian ramah. Kumpulan esai dalam buku ini menunjukkan bahwa sang penulis bukan sekadar pendengar yang baik, melainkan pengamat xi

13 Muangkai Budaya yang sabar mengamati dan mencerna beragam peristiwa di sekitarnya dan mengikat maknanya dalam tulisan-tulisannya. Beragam tema yang diulasnya pun memperlihatkan dia sebagai seoarang intelektual organik, yang menjelajahi wacana sampai jauh ke luar batas-batas keilmuannya sendiri. Kami merasa merasa bahagia mendapatkan kesempatan pertama membaca seluruh tulisannya melalui kegiatan penyuntingan. Kami menyadari kerja kami masih kurang sempurna. Segala kekuarang jelian atas kesalahan penulisan tanda baja dan ejaan, sepenuhnya tanggung jawab kami. Semoga, pada cetakan berikutnya kesalahan tersebut dapat diminimalkan. Banjarmasin, Pebruari 2009 xii

14 DAFTAR ISI PRAKATA... iii UCAPAN TERIMA KASIH... ix CATATAN PENYUNTING... xi DAFTAR ISI... xiii I. BAHASA Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga Bahasa Inggris Sejak Dini itu Perlu? Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya Bahasa dan Budaya Jawa Kedwibahasaan Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure? Dialog Borneo-Kalimantan VII: Suatu Kilas Balik Multilingualisme Dalam Karya Sastra Indonesia II. SASTRA Memahami Kondisi Sosial Budaya Masyarakat melalui Karya Sastra Menulis Mencipta Dan Membaca Karya Sastra Pelatihan Penulisan Kreatif, Tak Ada Artinya? Tentang Wanita, Prosa dan Ratna: Suatu Kilas Balik Karya Sastra Menurut Teori Abrams Sastra dalam Pandangan Interdisipliner Manfaat Karya Sastra dalam Pengajaran Bahasa Sejumlah Pendekatan dalam Studi Sastra Aspek Moralitas Karya Sastra III. SENI Bukan Hanya Buruan Cium Gue Joget: Antara Seni dan Moral xiii

15 Muangkai Budaya 3. Sisi Lain Sinetron Kita Teletubies: Potret Kebersamaan dalam Keberagaman Televisi dalam Perspektif Social Responssibility Theory IV. PENDIDIKAN Skripsi dan Plagiarisme Guru Kusayang, Guru Kau Nistakan? E-Learning Via Information Technology Siswa Gagal Ujian Nasional (Unas): Salah Siapa? Program Besar FKIP Unlam? Kekayaan Yang Terlupakan, Adakah? Sekolah dalam Kondisi Dilematis? Dukungan Dana, APBS, dan Studi Banding Mengapa Ada Pelarangan? Universitas Palangka Raya, Selangkah Lebih Maju? V. POLITIK Dominasi Pemilu Sebentar Lagi! KPU Kalsel musti Solid Tim Seleksi Anggota KPU: Obyektif Atau Akomodatif? Tim Seleksi Anggota KPU Juga Harus Jujur Pemilihan Umum 2004 Dan Sejumlah Aspeknya Pengawasan Pemilihan Umum Plus-Minus Penggalian Aspirasi Masyarakat Dengan Safari Jum at Pasar Induk Selidah Handil Bakti: Besar Tapi Sepi, Mengapa? Memahami Karakter Amerika Jalan Meraih Kursi Rektor Unlam Verifikasi Bukan Character Assassination Pemilihan Presiden Amerika Serikat DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT TULISAN RIWAYAT PENULIS xiv

16 Bahasa 1

17 Maungkai Budaya 2

18 PEMBINAAN BAHASA INDONESIA DALAM KELUARGA B ulan Oktober telah kita kenal sebagai bulan bahasa. Bulan Oktober bagi bangsa Indonesia memiliki arti historis tersendiri karena pada tanggal 28 Oktober 1928 pemuda Indonesia mengangkat sumpah, antara lain: menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sebagai penerus kita hendaknya tetap menggalang persatuan, sebagaimana yang dicita-citakan oleh pemuda puluhan tahun silam. Secara khusus kita hendaknya terus membina bahasa yang telah diikrarkan sebagai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Membina bahasa Indonesia bukan hanya menjadi tanggung jawab para pakar bahasa yang berkecimpung dalam bahasa dan sastra Indonesia, tetapi juga tanggung jawab semua putra dan putri Indonesia yang cinta tanah air, bangsa, dan bahasa. Dengan perkataan lain, membina bahasa Indonesia itu kewajiban kita semua, bangsa Indonesia. Membina bahasa Indonesia bisa dimulai dari keluarga. Keluarga, terutama para kaum ibu, sangat mungkin untuk memberikan bimbingan berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar sudah sering kita dengar, tetapi belum tentu pemahaman dan penafsiran kita sama terhadap makna ungkapan itu. Seperti yang pernah disampaikan oleh Dr. Durdje Durasid (1990), bahwa berbahasa yang baik adalah berbahasa yang mengandung nilai rasa, yang tepat dan sesuai dengan situasi pemakaiannya; sedangkan berbahasa yang benar adalah berbahasa yang secara cermat mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang berlaku. 3

19 Maungkai Budaya Peran Keluarga Sejak lahir, manusia telah memiliki potensi bawaan untuk mampu berbahasa. Potensi bawaan itu sering dikenal dengan Language Acquisition Device (LAD) atau Alat Pemerolehan Bahasa. LAD dapat berfungsi bila sejak dilahirkan manusia itu berada di lingkungan manusia, lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang terkecil adalah keluarganya. Oleh karena itu, keluarga memiliki peran yang sangat besar dalam proses belajar seseorang (anak). Di antara anggota-anggota keluarga itu, orang yang paling berperan adalah kaum ibu (wanita). Wanita secara tradisional dan umum diakui memegang peranan penting dalam menentukan kedudukan sosial anak-anaknya. Wanita memantau dan membimbing anak-anak menjadi peka terhadap norma-norma yang berlaku. Wanita selalu mengajarkan perilaku, termasuk perilaku berbahasa, kepada anak-anaknya. Wanita selalu mencegah anak-anak yang berbahasa tidak baik (mengucapkan katakata jorok atau tabu). Hal-hal semacam itu dilakukan wanita karena ia sangat dekat dengan anak-anaknya. Jadi, yang tahu segala gerak gerik anak-anak itu adalah wanita (ibu). Maka, wajarlah bila wanita diakui berperan sangat penting dalam membina anak-anaknya, termasuk membina bahasanya. Bila anak-anak sudah memiliki kemampuan berbahasa yang cukup baik, dalam arti mereka sudah menguasai kaidah-kaidah bahasa dan menggunakannya untuk berinteraksi sosial, maka keluarga, terutama ibu, secara sedikit demi sedikit mengarahkan caracara berbahasa yang baik. Bagaimana mereka harus berbahasa dengan orang yang lebih tua, bagaimana mereka harus berbahasa dalam situasi tertentu, dan sebagainya dapat diarahkan oleh keluarga. Tutur Lengkap dan Tutur Ringkas Tutur lengkap (elaborated code) dan tutur ringkas (restricted code) adalah dua istilah yang dimunculkan oleh Basil Berstein dari London University. Menurut Berstein, tutur lengkap cenderung digunakan dalam situasi-situasi seperti debat formal atau diskusi akademik. Sedangkan, tutur ringkas cenderung digunakan dalam suasana tidak resmi seperti dalam suasana santai. 4

20 Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga Dalam kaitan dengan pemerolehan bahasa oleh seorang anak, maka tutur lengkap dan tutur ringkas perlu diangkat ke permukaan. Tutur lengkap tentu saja mengandung kalimat-kalimat yang lengkap dan sesuai dengan tuntutan kaidah-kaidah sintaktis yang ada. Ungkapan-ungkapan dinyatakan secara jelas. Perpindahan dari kalimat yang satu ke kalimat yang lainnya terasa runtut dan logis, tidak dikejutkan oleh faktor-faktor non-kebahasaan yang aneh-aneh. Tutur ringkas sering mengandung kalimat-kalimat pendek, dan biasanya hanya dimengerti oleh peserta tutur. Orang luar kadangkadang tidak dapat menangkap makna tutur yang ada, sebab tutur itu sangat dipengaruhi antara lain faktor-faktor non-kebahasaan yang ada pada waktu dan sekitar pembicaraan itu berlangsung. Bahasa yang dipakai dalam suasana santai antara sahabat karib, sesama anggota keluarga, antar teman, biasanya berwujud singkatsingkat seperti itu. Keluarga sangat berpengaruh dalam proses belajar bahasa si anak. Dia akan dapat berbahasa secara baik, dalam arti, dapat menggunakan tutur lengkap bila keluarganya (sebagaimana disarankan oleh Berstein) bukan positional family, yakni keluarga yang penentuan segala keputusan tergantung pada status formal dari setiap anggota keluarga itu. Keluarga yang demikian itu cenderung mengakibatkan perkembangan kemampuan berbahasa si anak akan terhambat, karena ia tidak bisa bebas mengutarakan pendapat atau gagasannya. Lebih-lebih, bila orang tuanya sangat berlaku keras atau kejam terhadap anak-anaknya, maka hal ini akan berdampak kurang baik bagi si anak; dia akan cenderung merasa minder bila akan berbicara baik dengan orang tuanya, gurunya, maupun dengan sesama temannya. Sebagai akibatnya, dia hanya mampu menghasilkan tutur ringkas saja. Pada waktu menginjak usia sekolah, dia terasa sulit mengutarakan gagasannya bahasa yang jelas dan dengan tutur lengkap, kurang atau tidak memiliki keberanian yang memadai untuk berbicara sehingga dia akan mau membuka mulutnya bilamana keadaan memaksa untuk itu. Dan, sangat mungkin bahwa tuturannya hanya ala kadarnya atau seperlunya. Keluarga yang ideal dalam kaitan dengan pembinaan kemampuan berbahasa adalah keluarga yang person-oriented, yakni keluarga yang segala permasalahan dibicarakan dan didiskusikan 5

21 Maungkai Budaya bersama anggota-anggota keluarga. Gagasan atau pemikiran masingmasing anggota keluarga sangat dihargai. Keluarga yang demikian itu memungkinkan adanya komunikasi yang terbuka dan diskusi kecil tentang berbagai masalah yang ada di sekelilingnya. Si anak pun tidak merasa takut menceritakan berbagai pengalaman yang dialaminya. Dan, sementara si anak bercerita, orang tua membimbing anaknya dalam menggunakan bahasa sehingga tanpa disadari si anak memiliki kemampuan berbahasa yang baik, dengan tutut lengkap. Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga Umumnya, anak-anak Indonesia mempelajari bahasa daerah pada usia prasekolah. Mereka mempelajari bahasa Indonesia di sekolah. Pada saat si anak memperoleh pengajaran bahasa Indonesia di sekolah, keluarga dapat memantau anak-anak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di samping tetap membina bahasa daerah, keluarga harus mulai membina bahasa Indonesia anak-anaknya, dengan memberikan perhatian yang wajar terhadap bahasa Indonesia. Karena kebanyakan anak-anak Indonesia itu sebelum mempelajari bahasa Indonesia, telah menguasai bahasa daerah mereka masing-masing, maka metode komparatif dapat dipakai untuk mengajarkan bahasa Indonesia, yakni dengan membandingkan antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesi. Melalui bahasa daerah dapat diajarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa Indonesia sejak sumpah pemuda itu terus mengalami perkembangan dan kini semakin mantap. Kemakinmantapan bahasa Indonesia itu tidak lain karena para pakar bahasa kita berupaya terus menerus untuk menyempurnakan bahasa kita, bahasa Indonesia. Maka dari itu, agar bahasa kita, bahasa Indonesia, tetap terbina maka selain para guru, khususnya guru bahasa, dan para pakar bahasa, keluargapun harus juga memikul tanggung jawab untuk membina bahasa Indonesia. Keluarga juga harus mengajarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar kepada anak-anaknya. Membina bahasa Indonesia baku di lingkungan kelauarga sebagai langkah awal, dapat mempercepat laju perkembangan bahasa Indonesia yang baik dan benar. 6

22 Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga Dikatakan demikian, karena proses pemerolehan bahasa pada anak banyak tergantung pada atau dipengaruhi oleh keluarga. Sehingga, pendidikan dan pembinaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat dimulai di lingkungan keluarga, sehingga diharapkan beberapa tahun mendatang generasi penerus mampu bernalar dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sekarang kita mengenal istilah prokem. Prokem adalah semacam bahasa identitas remaja sekarang. Bahasa ini mampu mengungkapkan rahasia di antara mereka. Orang luar sering tidak bisa memahami istilah-istilah yang diungkapkan mereka. Kata-kata bapak diganti dengan bokap, ibu diganti dengan nyokap, orang tua diganti dengan ortu. Masih banyak lagi istilah-istilah jorok yang disingkat agar tidak terdengar tabu oleh mereka. Hal semacam ini menunjukkan pula, bahwa pembinaan bahasa Indonesia yang baik dan benar perlu dilakukan di lingkungan keluarga, agar nantinya remaja kita bisa menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Bagaimana menurut Anda? 7

23 Maungkai Budaya BAHASA INGGRIS SEJAK DINI ITU PERLU? (Tanggapan atas tulisan M. Taufiq Rahman) S audara M. Taufiq Rahman, dalam tulisannya yang berjudul Bahasa Inggris Sejak Dini, Mengapa Tidak!, memandang perlu pembelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak. Dia beralasan bahwa, antara lain, program pengajaran bahasa Inggris dipandang sebagai investasi jangka panjang sehingga program ini perlu dilakukan untuk anak didik sejak dini. Kalau kita cermati, bahwa pengajaran bahasa Inggris di Indonesia telah berjalan sangat lama. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, bahasa Inggris diajarkan sebagai bahasa asing pertama, sebagai pelajaran wajib, yang diajarkan mulai kelas satu SLTP sampai kelas tiga SLTA (SMU), dan bahkan pada universitas untuk beberapa semester. Semua kita, mungkin, telah tahu bahwa berbagai upaya untuk memperbaiki cara, pendekatan, metode dan sejenisnya telah dilakukan. Kurikulum telah berkali-kali mengalami perubahan. Berbagai buku penunjang banyak ditulis dan diterbitkan oleh berbagai penerbit. Namun, sebagian besar dari kita merasa gagal untuk memiliki kemampuan berbahasa Inggris baik aktif maupun reseptif yang memadai. Sementara itu, pada pihak para pembelajar bahasa Inggris, bahwa bahasa itu dianggap sebagai pelajaran yang sulit. Anggapan semacam itu menyebabkan mereka kurang termotivasi untuk mempelajari bahasa Inggris sampai mereka memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang memadai. Akibatnya, mereka cenderung bersikap apatis dan kurang bergairah dalam mengikuti pelajaran bahasa asing itu. Konsekuensi logis dari keadaan 8

24 Bahasa Inggris Sejak Dini itu Perlu? ini, prestasi belajar bahasa Inggris mereka kurang menggembirakan. Lalu siapa yang dipersalahkan? Guru atau murid? Sistem atau yang lainnya? Tentu saja, kita tidak perlu mencari kambing hitam atas kekurangmenggembirakannya untuk tidak mengatakan kegagalan - belajar mengajar bahasa Inggris baik di tingkat SLTP, SMU maupun di tingkat perguruan tinggi. Mungkin berangkat dari keadaan belajar mengajar bahasa Inggris semacam itulah, pembelajaran bahasa Inggris perlu dilakukan pada anak-anak di tingkat sekolah dasar. Dalam kaitan ini, saudara M. Taufiq Rahman memandang pembelajaran bahasa Inggris di tingkat sekolah dasar sebagai upaya untuk menanamkan pondasi yang kokoh mulai usia dini. Tentu saja, penanaman pondasi yang kokoh berkait dengan pembelajaran Inggris tidaklah gampang. Ia tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Mungkin jadi, upaya menanamkan pondisi yang kokoh, seperti disarankan oleh saudara M. Taufiq itu justru berakibat tidak terbangunnya pondasi yang kokoh namun pondasi yang rapuh. Karena, menurut pengamatan sementara saya, sejumlah anak sekolah dasar tidak merasa happy and fun. Sekedar contoh, anak saya yang tahun lalu berada di kelas IV, oleh guru bahasa Inggris diberi tugas membuat daftar kosa dengan huruf inisial a sampai z, masing-masing 5 kata lengkap dengan arti dan cara membacanya. Bagi anak kelas IV sekolah dasar, membuat tugas semacam itu sangatlah berat. Dilihat dari segi manapun, sekedar membuat daftar kosa kata seperti itu tidak ada artinya sama sekali. Justru, kita menjebak mereka dalam situasi yang mencekam ; mereka tidak lagi merasa dalam suasana happy and fun. Sebab, salah satu pengajaran kosa kata harus didasarkan pada konteks (Vocabolary in Context). Dalam perbincangan saya dengan Dra. M.F. Sri Ekonomi, M.Pd, penggagas dimunculkannya mata kuliah English for Young Learners pada kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unlam Banjarmasin, berkenaan dengan pengajaran bahasa Inggris untuk young learners (anak-anak), saya dapat sampaikan beberapa hal: (1) bahwa pengajaran bahasa Inggris untuk anak-anak memang perlu, (2) pengajaran bahasa Inggris itu harus didukung oleh kurikulum, dan (3) guru yang berkesuaian dengan pengajaran bahasa 9

25 Maungkai Budaya Inggris untuk anak-anak. Anehnya, menurut Dra. M.F. Sri Ekonomi, M.Pd., belum didukung oleh sebuah kurikulum, telah muncul bukubuku pelajaran bahasa Inggris yang dirancang untuk anak-anak Sekolah Dasar mulai kelas I sampai dengan kelas VI, bahkan di Indonesia telah beredar buku-buku pelajaran bahasa Inggris untuk Elementary School di Singapura. Untuk melengkapi tulisan Saudara M. Taufiq Rahman, perlu saya sampaikan bahwa bahasa Inggris bukanlah satu-satu bahasa asing dalam kurikulum sekolah kita. Sebab, pada masa penjajahan Belanda, bahasa Belanda merupakan pelajaran wajib yang harus diajarkan di sekolah-sekolah negeri (pemerintah). Bahasa Belanda, yang merupakan bahasa asing bagi siswa-siswa Indonesia, bukan hanya diajarkan sebagai mata pelajaran tetapi juga digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan (medium of instruction) pada sebagaian besar sekolah negeri. Keberhasilan dalam karir dan status sosial pada saat itu tergantung pada penguasaan bahasa asing (bahasa Belanda) itu. Sebagai konsekuensi logisnya, motivasi instrumental (instrumental motivation) untuk belajar bahasa Belanda begitu tinggi dan kuat. Bahkan banyak orang kita memiliki motivasi integratif (integrative motivation) untuk belajar bahasa Belanda. Di samping dipakai sebagai bahasa pengantar pendidikan, bahasa Belanda juga dipakai sebagai bahasa resmi pada kantor-kantor pemerintah, dalam bisnis dan bahkan di tempat-tempat kediaman Belanda yang terpelajar (Ramelan, 1984). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila hasil pengajaran bahasa Belanda lebih baik daripada pengajaran bahasa Inggris dewasa ini. Kendati tidak mengabaikan pengajaran keterampilan berbahasa: menyimak, berbicara dan menulis, pengajaran bahasa Inggris di Indonesia diarahkan kepada pengajaran keterampilan membaca (reading skill). Dengan demikian, rendahnya kemampuan menyimak, berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris pada para lulusan SMU harus kita maklumi. Hal ini dikarenakan bahwa tujuan utama pengajaran bahasa Inggris di sekolah kita secara khusus untuk mengembangkan kemampuan membaca. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan membaca pun tidak memuaskan. Saya kira, siapapun tidak akan memungkiri bahwa kebanyakan lulusan SMU dewasa ini sangat buruk penguasaan bahasa Inggris 10

26 Bahasa Inggris Sejak Dini itu Perlu? mereka. Namun, tidaklah bijaksana bila kegagalan pengajaran bahasa Inggris ini ditimpakan pada salah satu pihak atau bahkan semua pihak yang berkait dengan pengajaran bahasa Inggris. Banyak faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan pengajaran bahasa asing itu, di antaranya faktor siswa (yang meliputi motivasi, ketekunan, persepsi dan lain-lain) dan faktor sosiokultural (yang mengacu pada bagaimana bahasa Inggris itu digunakan dalam lingkungan masyarakat: apakah bahasa itu sering digunakan dalam masyarakat atau apakah diajarkan hanya sebagai suatu mata pelajaran, atau di samping serting digunakan dalam masyarakat dan diajarkan sebagai suatu mata pelajaran, apakah juga bahasa itu digunakan sebagai bahasa pengantar?). Tentu saja, di samping kedua faktor di atas, faktor guru juga sangat berpengaruh dalam berhasil atau tidaknya pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Wallahu a lam. 11

27 Maungkai Budaya PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM SITUASI KEANEKABAHASAAN T ulisan ini dimunculkan setelah saya berdiskusi dengan seorang kawan. Diskusi ini berkisar masalah: (1) pengucapan dan penulisan simbol-simbol budaya Indonesia dalam bahasa Inggris, (2) masuknya unsur bahasa asing (Inggris) dalam tuturan bahasa Indonesia, dan (3) masuknya unsur-unsur bahasa (dialek) daerah ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Kawan diskusi, antara lain, mempermasalahkan: 1. Penyebutan atau pengucapan singkatan RRI dengan cara pengucapan bahasa Inggris, yakni:/a: a: ai/, seperti yang terdengar dalam siaran berbahasa Inggris RRI. Pengucapan dipandang tidak benar. Walaupun dalam tindak bahasa dalam bahasa Inggris, singkatan itu tetap dipertahankan pengucapannya dengan cara/sistem pengucapan bahasa Indonesia, yakni:/er er i/. Dasar pemikirannya, bahwa singkatan RRI merupakan simbol budaya yang melambangkan nama yang bersifat ke-indonesiaan; maka ia harus diucapkan atau dilafalkan dengan mengikuti kaidah bahasa Indonesia. Disarankan, bahwa simbol RRI yang hendak diucapkan atau dilafalkan dalam bahasa Inggris, maka terlebih dahulu dipindah polanya dalam bahasa Inggris dan menjadi Radio of Republic of Indonesia, baru kemudian frasa ini dilafalkan dalam bahasa Inggris. 2. Penyebutan (penulisan) alamat bersituasi Indonesia dalam tindak bahasa dengan menggunakan bahasa Inggris. Penyebutan (penulisan) alamat harus mengikuti kaidah bahasa Indonesia bukan kaidah bahasa Inggris, seperti terlihat pada kalimat: He lives in Jalan A. Yani, bukan He lives in A.Yani Street, seperti 12

28 Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan dijumpai dalam tulisan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris semester awal. Alasannya, bahwa frasa Jalan A. Yani mengacu pada sebuah nama sehingga kata jalan pada frasa itu tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. 3. Penggunaan unsur asing, seperti terlihat dalam kalimat Product kita tidak kalah dengan product luar negeri, seperti terdengar pada acara dialog di televisi. (Kata product dilafalkan dalam bahasa Inggris). Fenomena berbahasa ini juga tidak dibenarkan. Alasannya, bahwa kata asing itu sudah memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia yakni: hasil atau barang hasil produksi. Disarankan, bahwa kata product hendaknya dicarikan bentuk padanannya dalam bahasa Indonesia. 4. Masuknya bahasa atau dialek daerah ke dalam tuturan bahasa Indonesia, misalnya, penggunaan bentuk sapaan elo, gue, gua, kata kerja pasif disamperin, dibuntutin, dibantuin, dan sebagainya, seperti banyak didengar lewat radio-radio stasiun Banjarmasin. Disarankan, seperti halnya kata product di atas, bahwa sepanjang kata-kata itu masih ada padanannya, hendaknya penutur menggunakan kata-kata dalam bahasa Indonesia. Kedwibahasaan Kalau kita melihat atau mendengar seseorang memakai dua bahasa atau lebih dalam pergaulannya dengan orang lain, kita dapat mengatakan bahwa dia berdwibahasa atau bermultibahasa, dalam arti dia melakukan kedwibahasaan atau kemultibahasaan atau keanekabahasaan. Ada sejumlah ilmuwan bahasa berpendapat bahwa penggunaan lebih dari satu bahasa semacam itu diacu dengan satu istilah, yakni kedwibahasaan atau bilingualisme. Kata bilingualisme secara leksikal berarti penggunaan dua bahasa. Kita ikuti pendapat-pendapat para ahli. Kedwibahasaan dibatasi oleh Bloomfield sebagai penggunaan dua bahasa yang sama baiknya antara bahasa ibu (asli) dan bahasa kedua. Dengan demikian, pengertian kedwibahasaan semacam ini menyaran pada kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penggunaan bahasa oleh penutur asli dari setiap bahasa itu. Bila kita beranjak dari gagasan Bloomfield tentang kewibahasaan, lebih jauh kita dapat ikuti penjelasannya dalam buku yang 13

29 Maungkai Budaya berjudul Language yang di dalamnya, antara lain, dia menyatakan sebagai berikut: 14 In the extreme case of foreign-language learning the speaker becomes so proficient as to be indistinguishable from the native speaker around him. This happens occasionally in adult shifts of language and frequently in the childhood shift.. In this cases where this perfect foreign-language learning is not accompanied by loss of the native-language, it results in bilingualism, nativelike control of two languages (Bloomfield, 1935:56). Dengan demikian, menurut Bloomfield, belajar bahasa asing yang sempurna tanpa diikuti oleh hilangnya bahasa asli akan terjadi native-like control of two languages. Namun demikian, penggunaan dua bahasa atau lebih akan melibatkan latar kontal sosial budaya. Pada hakikatnya, kontak bahasa adalah salah satu aspek dari kontak kebudayaan, sedangkan pengacauan kaidah, alih kode maupun campur kode itu merupan segi dari difusi dan akulturasi budaya. Lebih lanjut, dalam kaitan ini, Weinreich menjelaskan sebagai berikut. In a great majority of contact between groups speaking different mother tongues, the groups constitute, at the same time, distinct ethnic or cultural communities. Such contact entails biculturalism (participation in two cultures) as well as bilingualism, diffusion of cultural traits as well as of linguistic elements (1968:5 dan 89). Atas dasar pendapat dari dua ahli bahasa di atas, dapat dikatakan bahwa bagaimanapun sempurnanya penguasaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang, bila dua bahasa atau lebih berkontak, yakni: bahasa-bahasa itu digunakan oleh orang yang sama secara bergantian, maka unsur-unsur bahasa lain atau asing itu dapat saja muncul dalam tuturan orang tersebut. Penggunaan bahasa yang melibatkan unsur-unsur atau kaidahkaidah bahasa lain dapat ditanggapi lewat dua perspektif: linguistik dan sosiolinguistik/sosiologi bahasa. Interferensi dari Perspektif Linguistik Seorang dwibahasawan yang menyampaikan pesan lewat bahasa kepada orang lain, perjalanan pesan itu terhambat oleh dua faktor. Faktor yang pertama adalah beberapa kaidah bahasa yang dikenalnya, yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya: mampukah dia membedakan dan memilah-milahkan setiap kaidah

30 Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan itu, sehingga ketika dia menggunakan salah satu bahasa yang dikenal, kaidah bahasa yang lain tidak mengganggu? Jika dia tidak mampu, maka sementara dia menggunakan salah satu bahasa yang dikenalnya, kaidah bahasa yang lain dapat saja muncul dalam tuturannya. Terjadilah interferensi (Soetomo, 1985). Penggunaan bahasa seperti digambarkan di atas dapat ditanggapi dari sudut pandang bahasa apa yang dominan digunakan dalam suatu tindak berbahasa, apakah bahasa Indonesia atau bahasa Inggris? Bila bahasa yang dominan itu adalah bahasa Indonesia, maka bahasa Indonesia terkena interferensi (interference) dari (kaidah) bahasa Inggris. Dan, bila bahasa yang dominan itu adalah bahasa Inggris, maka bahasa Inggris terkena interferensi dari (kaidah) bahasa Indonesia. Interferensi menyaran pada penggunaan unsur atau kaidah dari bahasa tertentu dalam tuturan bahasa lain. Fenomena interferensi sebenarnya telah banyak dibicarakan orang. Yus Rusyana, misalnya, telah menyusun disertasi dengan mengangkat masalah interferensi morfologi pada tahun Beberapa dosen dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang juga pernah mengadakan penelitian atau menyusun karya tulis dengan mengangkat masalah interferensi, baik interferensi fonemis, morfologis maupun sintaktis. Yus Rusyana (1975) menyusun disertasi dengan judul Interferensi Morfologi pada Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Anakanak yang Berbahasa Pertama Bahasa Sunda Murid Sekolah Dasar Di Daerah Propinsi Jawa Barat. Kajian interferensi oleh Yus Rusyana ini jelas dilakukan dalam perspektif linguistik, sebab morfologi merupakan salah satu cabang linguistik atas dasar sistem bahasa. Mengapa penggunaan bahasa Indonesia oleh anak-anak sekolah dasar itu mendapat gangguan dari unsur-unsur atau kaidah-kaidah bahasa Sunda? Jawabannya adalah bahwa pada taraf belajar bahasa Indonesia, anak-anak itu telah menguasai bahasa pertama (bahasa ibu) bahasa Sunda. Kebiasaan berbahasa Sunda itu telah tertanam kuat dalam diri mereka, sehingga ketika mereka berbahasa dengan bahasa Indonesia dapat saja unsur-unsur (baik fonetis/fonemis, morfologis, sintaktis maupun semantis) dari bahasa Sunda masuk ke dalam tuturan bahasa Indonesia mereka. 15

31 Maungkai Budaya Dengan demikian, interferensi itu dapat ditanggapi dari sudut pandang kompetensi berbahasa. Kompetensi berbahasa ini menyaran pada kemampuan seseorang penutur untuk memilah dan memilih kaidah-kaidah bahasa tertentu dari kaidah-kaidah bahasa yang lain. Interferensi dapat dikatakan sebagai fenomena bahasa yang timbul akibat pengaruh bahasa tertentu. Karena seseorang, misalnya, tidak mampu memilih dan memilah kaidah bahasa yang satu dari bahasa yang lainnya, maka tuturannya dengan suatu bahasa akan terkena interferensi dari salah satu kaidah bahasa-(bahasa) yang dikuasainya. Artinya, sejumlah unsur bahasa yang berbeda masuk ke dalam tuturannya dalam bahasa tertentu. Misalnya, ketika anak-anak yang bahasa pertamanya bahasa Sunda berbahasa Indonesia, unsur-unsur bahasa Sunda masuk dalam tuturan bahasa Indonesia-nya. Atau, ketika seseorang berbahasa Inggris, unsur-unsur atau kaidah-kaidah bahasa Indonesia masuk ke dalam tuturan bahasa Inggris-nya. Jika masuknya unsur-unsur dari bahasa lain ke tuturan dalam bahasa tertentu dapat ditanggapi dari perspektif linguistik, maka hal itu dikategorikan dalam bentuk kesalahan berbahasa. Titik berat atau fokus perhatian pada kesalahan berbahasa dalam perspektif ilmu bahasa adalah pada bahasa penerima yang mendapat gangguan dari bahasa lain. Telaah dengan perspektif ini mengacu pada komponen-komponen bahasa (bunyi, mofem, kata, frasa, kalimat, dan makna). Hambatan Kultural dalam Berbahasa Faktor yang kedua adalah faktor yang berasal dari pertimbangan komunikasi. Bahasa digunakan manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggotaanggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka. Pertimbangan komunikasi ini menentukan apakah dia akan 16

32 Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi, atau alihkode/campur kode (Soetomo, 1985). Interferensi dan alih kode bahkan campur kode dapat dilihat dari dua contoh kalimat berikut: (1) Nuwun sewu, saya bisa mengganggu sebentar? (2) Ulun mencari piyan di kampus kemarin, piyan sudah bulikan. Andaikan saja, baik kalimat (1) maupun (2) diungkapkan dalam speech act berbahasa Indonesia, maka dengan demikian bahasa Indonesia sang penuturnya mendapat gangguan dari bahasa Jawa untuk kalimat (1) dan bahasa Banjar untuk kalimat (2). Ini berarti bahasa Indonesia kedua penutur itu mendapat interferensi dari bahasa Jawa atau Banjar. Jadi, gejala interferensi kita lihat dari bahasa penerima (dalam hal ini: bahasa Indonesia). Bila, baik penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia atau bahasa Banjar dan bahasa Indonesia kita lihat sebagai penggunaan dua bahasa secara berselang-seling, maka berarti kita menemukan gejala alih kode atau campur kode. Andaikan saja lagi, bahwa kedua penutur tersebut telah menjadi dwibahasawan-dwibahasawan seperti yang disarankan oleh Bloomfield, yakni yang kedwibahasaannya memenuhi kriteria native-like control of two languages. Penutur pertama, misalnya, memiliki kemampuan dan penguasaan terhadap baik bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia dengan sama baiknya, sama kelancarannya, dan sama akurasinya, dan demikian juga penutur yang kedua. Pendek kata, kedua penutur ini tidak memiliki persoalan kebahasaan. Dengan demikian, penyimpangan dalam berbahasa Indonesia itu bukan akibat ketidakmampuan mereka menggunakan bahasa Indonesia, tetapi ia merupakan akibat dari faktor sosial budaya yang melingkungi penutur-penutur tersebut. Jika dikatakan bahwa bahasa merupakan sistem simbol atau tata lambang, maka ia dapat mengacu tata lambing konstitusi, kognisi, evaluasi dan ekspresi. Tata lambang konstitusi adalah tata lambang yang bertalian dengan kepercayaan manusia terhadap Tuhan yang menentukan hidup dan kehidupan manusia atau terhadap kekuatan supernatural di luar kekuatan manusia. Tata lambang kognisi adalah tata lambing yang dihasilkan manusia dalam upayanya untuk 17

33 Maungkai Budaya memperoleh pengetahuan terhadap segala sesuatu di lingkungannya. Tata lambang evaluasi adalah tata lambang yang bertalian dengan nilai baik-buruk, betul-salah, pantas-tak pantas dan sebagainya. Tata lambang eskpresi adalah tata lambang untuk mengungkapkan perasaan atau emosi manusia (Soetomo, 1985). Sebagaimana diketahui bahwa bahasa dan budaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Hal ini karena bahasa merupakan salah satu unsur budaya, sedangkan budaya itu sendiri adalah sesuatu yang sebagiannya diformulasikan dalam bentuk bahasa. Budaya memberikan pedoman bagi masyarakat yang memilikinya. Ia mengajarkan bagaimana manusia harus bertingkah laku, termasuk bertingkah laku dalam berbahasa. Sebagian tata cara bertingkah laku itu dapat diungkapkan dengan bahasa. Jadi, di sini terdapat kesulitan untuk membedakan atau memisahkan bahasa dari budaya atau budaya dari bahasa. Menurut teori Parsons (dalam Soetomo, 1985) tingkah laku (berbahasa) manusia telah diatur oleh human action system. Sistem tindak manusia ini memiliki empat sub-sistem: budaya, sosial, kepribadian, dan tingkah laku manusia. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam sistem itu telah tertanam kuat pada diri seorang penutur bahasa (Jawa, misalnya), maka dapat saja dia terhambat oleh kultur Jawa-nya ketika dia berbahasa Indonesia. Sebagai contoh, dalam suatu interaksi verbal antara dua orang yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, tiba-tiba penutur A menyelipkan beberapa buah kata asing (non bahasa Indonesia) dalam tuturannya. Tingkah laku berbahasa ini dapat dinilai berdasarkan sumber-sumber penyebabnya. Masuknya unsur asing ke dalam tuturan A tadi dapat disebabkan oleh kebiasaan atau kemudahan pengucapan semata. Di sini, (sub) sistem tingkah laku adalah penyebab masuknya unsur asing itu dalam tuturan A tersebut. Tetapi, masuknya unsur asing itu dapat saja disengaja oleh A sebagai upaya untuk memperlihatkan perasaan (sikap, motivasi, pengalaman dan sebagainya) kepada penutur B. Dalam hal ini (sub) sistem kepribadian penutur adalah penyebab penggunaan unsur asing dalam tuturan bahasa Indonesia yang disampaikan oleh A tersebut. 18

34 Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan (Sub) sistem sosial dapat pula menjadi sumber hambatan, bila penutur A tadi menonjolkan status dan peranannya dalam interaksi verbal itu. Umpamanya, seorang pengacara ingin menyelipkan register hukum dalam tuturan bahasa Indonesia-nya akan memperingatkan lawan tuturnya, B, untuk selalu sadar akan posisi A maupun posisinya sendiri dalam hubungan peran itu. (Sub) sistem budaya (dalam kaitan dengan bahasa sebagai tata lambang: konstitusi, kognisi, evaluasi, dan ekspresi, sebagaimana terurai di atas) dapat menjadi hambatan dalam berbahasa. Oleh karena suatu komunitas tutur kebetulan mengangkat bahasa daerah atau asing tertentu lebih tinggi nilainya daripada bahasa Indonesia karena mampu mengungkapkan konsep atau ide secara lebih tepat dan teliti, maka penyelipan unsur-unsur bahasa daerah atau asing dalam tuturan bahasa Indonesia-nya akan dianggap orang lebih baik. Hambatan kultural yang lain dapat dilihat, misalnya, dari kasus tindak berbahasa (speech act) yang terjadi antara penutur dari suku Sunda dan Banjar. Penutur bahasa Sunda yang tentu saja berlatar belakang bahasa Sunda, artinya dia merupakan dwibahasawan Sunda-Indonesia. Sementara, penutur bahasa Banjar yang tentu saja berlatar belakang bahasa Banjar, artinya dia merupakan dwibahasawan Banjar-Indonesia. Kedua bahasa daerah ini samasama memiliki kata bujur. Kata bujur dalam bahasa Sunda berarti pantat dan harus ditabukan, dalam arti tidak dapat diucapkan di sembarang tempat (misalnya, di hadapan orang banyak). Sementara kata bujur dalam konteks bahasa Banjar berkonotasi baik. Hambatan kultural terjadi bila penutur yang berlatar belakang budaya/ bahasa Sunda mendengar atau menggunakan kata bujur, walaupun sekarang dia telah memahami arti kata bujur dalam konsep bahasa Banjar, namun tetap saja dia merasa berdosa bila dia mengucapkan kata tersebut karena ini berarti melanggar aturan atau nilai dari kulturnya sendiri. Kata sare, dahar dalam konsep bahasa Jawa tidak dapat dipakai secara sembarangan. Kata-kata itu harus digunakan sesuai dengan peserta tutur, siapa penuturnya dan siapa pula lawan tuturnya. Untuk menyapa atau membicarakan orang yang lebih tua, katakata itu dapat saja dipakai, namun tidak dapat dipakai untuk membicarakan diri sendiri atau anak-anak kecil. Kalimat Kulo dahar rumiyen adalah contoh kalimat yang tidak dibenarkan oleh kultur 19

35 Maungkai Budaya Jawa karena kata kulo tidak boleh ditinggikan (dengan menggunakan kata dahar ). Penggunaan yang benar, contohnya, adalah Bapak dahar atau Monggo dahar rumiyen. Kedua kalimat ini digunakan untuk membicarakan atau menyapa orang lain yang lebih tua atau lebih tinggi derajat sosialnya. Speech Act dalam Situasi Keanekabahasaan Penggunaan bahasa dalam situasi keanekabahasaan atau multilingualisme telah banyak mendapat perhatian dari ahli bahasa. Fishman, misalnya, mengkaitkan penggunaan bahasa semacam itu dengan Who speaks What language to Whom and When (1972:244). Sementara Pride dan Holmes mengatakan bahwa speech act yang terjadi pada masyarakat multilingual akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor non-kebahasaan seperti: partisipan, topik pembicaraan, setting, jalur, suasana dan maksud (1972:35) Gagasan dari kedua ahli itu sebenarnya mengandung maksud yang mirip. Kemiripan itu dapat diilustrasikan sebagai berikut. Ungkapan who speaks (penutur) dan to whom (lawan tutur) menyaran pada orang yang melakukan speech act; keduanya disebut partisipan. What language menyaran pada pemilihan bahasa yang dilakukan oleh partisipan. Pemilihan bahasa berkaitan dengan topik pembicaraan. Artinya, seorang partisipan memilih bahasa tertentu (dari sejumlah bahasa yang dikuasainya) karena topik pembicaraannya lebih tepat diungkapkan lewat bahasa itu. Pemilihan bahasa juga dipengaruhi oleh waktu dan suasana (Fishman menyebut when) dan setting. (Menurut Pride dan Holmes, setting menyaran pada waktu dan tempat). Penggunaan bahasa-bahasa (setidak-tidaknya dua bahasa) secara berselang-seling dapat ditanggapi dari perspektif sosiolinguistik/sosiologi bahasa. Penggunaan dua bahasa atau lebih (gandabahasa atau multibahasa) secara berselang seling semacam ini menimbulkan fenomena alih-kode. Menurut Istiati Soetomo (1985), tindak berbahasa yang ideal adalah bahwa bila seseorang berbahasa, maka bahasa yang digunakan adalah satu bahasa (dari sekian bahasa yang dia kenal dan kuasai) yang baik dan benar. Durdje Durasid (1990) menyatakan bahwa berbahasa yang baik adalah berbahasa yang mengandung nilai rasa yang tepat dan sesuai 20

36 Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan dengan situasi penggunaannya, sedangkan berbahasa yang benar adalah berbahasa yang secara cermat mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku. Ini berarti bahwa bila seseorang berbahasa dalam situasi tertentu, dengan menggunakan bahasa tertentu (bahasa Indonesia, misalnya) maka hendaknya unsur-unsur atau kaidah-kaidah dan sejenisnya dari bahasa-bahasa lain yang dikuasainya tidak dimasukkan dalam tuturan bahasa Indonesia-nya. Bila dalam situasi lain, dia memanfaatkan bahasa lain (bahasa daerah), maka hendaknya bahasa daerah itu tidak terselepi oleh simbol-simbol atau kaidah-kaidah dari bahasa-bahasa lain. Dalam perspektif sosiolinguistik/sosiologi bahasa ini, fenomena alih kode dilihat dari pemakai bahasa sebagai makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat yang berbudaya. Dalam kaitan ini, seseorang yang melakukan alih kode (mungkin berwujud alih bahasa, alih dialek, alih register, alih gaya, alih nada dan sebagainya) bukan berarti dia tidak mampu berbahasa dengan salah satu bahasa dari bahasa-bahasa yang dikuasainya. Bahasa digunakan oleh manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Sebab, ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota masyarakat lain sesuai dengan tata nilai budaya yang menjadi pedoman hidup mereka. Dia harus melakukan alih kode lantaran nilai budaya masyarakatnya, misalnya, menghendaki hal itu. Alih Kode oleh Penyiar Radio Menyikapi penggunaan bahasa Indonesia di radio, khususnya radio swasta, di mana sejumlah penyiarnya seringkali melakukan alih kode (ke dialek Betawi) atau menyilipkan istilah-istilah/katakata bahasa Inggris, hendaknya kita tidak serta merta menyatakan bahwa tindak berbahasa itu tidak benar dan penuturnya tidak mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar yang cenderung untuk mengangkat prestise-nya dengan cara menggunakan unsurunsur bahasa selain bahasa Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan yang bersangkutan berbahasa seperti itu. Seorang penyiar radio menyelipkan dialek Betawi, misalnya, karena, mungkin, khalayak pendengarnya menghendaki dialek itu. 21

37 Maungkai Budaya Sebab, mungkin, dialek Betawi dianggap berkesesuaian dengan selera pendengarnya. Dalam hal ini faktor pendengar menjadi penyebabnya, yakni penggunaan atau pemilihan dialek tertentu dilakukan untuk memenuhi tuntutan pendengarnya.. Bila dilihat dari sudut penyiarnya, mungkin, yang bersangkutan ingin mengidentifikasikan diri sebagai penutur berprestise tinggi seperti layaknya para selebritis di Jakarta. Dengan menggunakan dialek Betawi, lalu dia berkeyakinan bahwa prestise-nya akan naik maka faktor penyebabnya adalah motivasi, yakni motivasi dalam rangka untuk mencapai prestise melalui penggunaan bahasa (dialek) tertentu. Mungkin saja, alih bahasa atau dialek itu disebabkan oleh faktor-faktor lain, misalnya, yang berkaitan dengan sosial budaya (hubungan status-peranan sosial, sistem nilai dan sebagainya) dari masyarakat tertentu. Seorang penyiar yang menyelipkan unsurunsur dari bahasa daerah, seperti ulun, piyan (bahasa Banjar), dan nuwun sewu, semonggo, sugeng midangetakan (bahasa Jawa) yang memancarkan konotasi hormat, hendaknya kita pahami sebagai tindak berbahasa yang dilandasi oleh keharusan sosial-budaya di mana penutur itu harus berlaku hormat terhadap para pendengar pemilik bahasa itu (faktor sosial budaya). Penyiar Radio dalam Pembinaan Bahasa Indonesia Di samping masuknya unsur-unsur bahasa asing dan daerah dalam tuturan bahasa Indonesia, telah cukup lama dikenal dan digunakan istilah prokem. Prokem adalah semacam bahasa yang biasanya dipakai di lingkungan remaja dan orang-orang luar terkadang sulit memahaminya, sebab dalaam kode (yang berupa prokem) itu tersembunyi rahasia. Kata bapak diganti bokap; ibu diganti nyokap. Sejumlah kata-kata diucapkan terbalik: Arek Malang diucapkan kere ngalam, pulang menjadi ngalup. Sejumlah singkatan digunakan untuk menghindari ketabuhan atau kesan jorok bila diperdengarkan. Penyiar kita tak jarang menggunakan istilah-istilah semacam itu dalam kepenyiarannya. Dalam kaitan ini, para penyiar radio sangat penting peranannya dalam pembinaan bahasa Indonesia, di atas peran keluarga, para guru, khususnya guru bahasa Indonesia. Hal ini 22

38 Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan disebabkan oleh kenyataan bahwa tindak bahasa (speech act)-nya dapat didengar oleh khalayak yang sangat luas. Dalam kepenyiarannya yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, seorang penyiar radio hendaknya tidak ikut-ikutan untuk menggunakan istilah-istilah atau dialek daerah tertentu yang justru merusak bahasa Indonesia, kecuali jika siarannya dilakukan dalam bahasa daerah atau dialek daerah tertentu, atau bahkan dalam bahasa asing. Masalah bahasa Indonesia bukan hanya masalah guru atau dosen dan pakar bahasa, akan tetapi ia menjadi masalah seluruh bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia akan lebih mantap, bila dalam perkembangan dan pertumbuhannya terus menerus dibina, tidak dibiarkan tumbuh liar. Bahasa Indonesia yang jauh sebelum negara kita merdeka, sudah diikrarkaan oleh para pemuda waktu itu sebagai bahasa persatuan, suatu bahasa yang mampu mempersatukan berbagai macam suku baik sebelum Indonesia merdeka maupun setelah ia merdeka. Bahasa Indonesia sejak adanya sumpah pemuda itu terus mengalami perkembangan dan kini sudah semakin mantap. Kesemakinmantapan bahasa Indonesia itu tidak lain karena para pakar bahasa kita berupaya terus menerus untuk menyempurnakan bahasa Indonesia. Maka dari itu, agar bahasa kita, bahasa Indonesia tetap terbina maka para penyiar radio kita yang banyak berkecimpung dalam penggunaan bahasa Indonesia (di samping para guru, khususnya guru-guru bahasa dan pakar bahasa Indonesia) juga mempunyai tanggung jawab yang tidak enteng untuk membina bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam kegiatan kepenyiaran mereka, para penyiar juga harus ikut memasyarakatkan bahasa Indonesia yang baik dan benar kepada para pendengarnya. Dengan demikian, pembinaan bahasa Indonesia yang baik dan benar bukan hanya menjadi tanggung jawab keluarga, guru-guru khususnya guru-guru bahasa Indonesia di sekolah, tokoh-tokoh masyarakat di daerah dan pusat akan tetapi juga menjadi tanggung jawab para penyiar radio pemerintah maupun swasta. Atau dengan perkataan lain, peranan penyiar dalam pembinaan bahasa Indonesia adalah sangat besar. Untuk itu, peranan itu hendaknya betulbetul dimainkan oleh kawan-kawan penyiar radio. Wallahua lam. 23

39 Maungkai Budaya BAHASA DALAM PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA M anusia adalah makhluk sosial yang senantiasa memerlukan bantuan manusia lain dalam kehidupannya. Hampir tidak dapat dibayangkan betapa berat dan sulitnya seandainya dia hidup seorang diri tanpa ada yang menemaninya. Dalam kenyataannya, manusia selalu hidup secara berkelompok dan mereka saling memerlukan bantuan atau pertolongan dan saling bekerja sama antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, kita dapat membenarkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial sebab dia harus hidup bermasyarakat. Dalam upaya memenuhi segala kebutuhan hidup, manusia harus melakukan kerja sama antara satu dengan yang lainnya, yang hanya dapat dilakukan dalam suatu komunitas atau masyarakat. Sewaktu seseorang memerlukan beras, misalnya, dia tidak perlu menanam padi sendiri di ladang atau sawah. Yang menanamnya cukup para petani; dia dapat memperoleh beras dengan cara membeli dari mereka. Seseorang mungkin memiliki kecakapan khusus dalam hal membuat alat-alat pertanian, misalnya, cangkul atau alat membajak, yang kemudian dapat dia jual kepada para petani untuk keperluan menggarap sawah mereka. Dari contoh ini, kita dapat memperoleh gambaran secara jelas bahwa para anggota masyarakat saling memerlukan pertolongan antara yang satu dengan yang lainnya. Karena ada saling ketergantungan itu, maka mereka perlu menjalin kerja sama dalam rangka untuk memenuhi kepentingan atau keperluan mereka sendiri. Kerja sama antar mereka dapat berjalan dengan baik bila ada suatu alat komunikasi yang disebut bahasa. Dengan bahasa, manusia 24

40 Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya dapat mengungkapkan gagasan-gagasan dan keinginan-keinginannya kepada manusia lain dan menjalin kerja sama dengan sesama anggota masyarakat lainnya. Namun demikian, bahasa bukanlah satusatunya alat yang dipergunakan manusia sebagai alat komunikasi sebab dia dapat juga melakukan komunikasi dengan isyarat, ekspresi wajah dan sentuhan. Bahasa merupakan alat komunikasi yang memanfaatkan simbol-simbol yang dapat didengar (auditory symbols) atau bunyi-bunyi ujaran (speech sounds), yang dihasilkan dengan alat ucap manusia (speech organs). Sedangkan isyarat (sejumlah orang menyebut bahasa isyarat) berupa simbol-simbol visual, yang memiliki bentuk gerakan-gerakan anggota tubuh (badan) dan ekpresi wajah; isyarat ini kadang-kadang dipergunakan orang secara bersamaan dengan penggunaan bahasa dan kadang-kadang dipergunakan secara tersendiri atau tanpa bahasa. Isyarat dapat dikatakan sebagai pelengkap atau penunjang penggunaan bahasa. Sistem komunikasi visual itu tidak memiliki struktur selengkap bahasa, dan oleh karena itu, ia tidak dapat disebut sebagai bahasa. Penggunaan isyarat sangat terbatas karena sifatnya yang visual itu. Sedangkan penggunaan bahasa sangat luas sebab disamping sifatnya yang dapat didengar, ia dapat divisualisasikan (dalam bentuk tertulis). Dengan demikian, bahasa dapat dipergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan secara lisan dan secara tertulis. Jadi, jangkauan bahasa lebih luas ketimbang isyarat; bahasa lebih sering dipergunakan untuk berkomunikasi ketimbang isyarat; dan bahasa lebih lengkap ketimbang isyarat. Dari diskusi di atas, kita dapat memetik tiga hal, yaitu: manusia, masyarakat dan bahasa. Tiga hal ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ini berarti bahwa di mana terdapat manusia, di situ selalu ada suatu masyarakat, dan dalam masyarakat itu selalu ada bahasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi oleh para anggota masyarakat tersebut. Keberadaan bahasa dalam masyarakat adalah sangat penting. Hal ini karena, dalam kenyataan, manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bermasyarakat dan memerlukan bahasa sebagai alat untuk berinteraksi dengan sesamanya. 25

41 Maungkai Budaya Bahasa itu Abitrer Bahasa dikatakan memiliki sifat arbitrer. Ini berarti bahwa bahasa (mula-mula diciptakan) atas dasar kesepakatan sosial (social agreement). Dalam kaitan ini, tidak ada penjelasan yang logis atau masuk akal, misalnya, mengapa seekor binatang tertentu yang biasanya dipiara orang, yang berkaki empat dan dapat menggonggong disebut dog dalam bahasa Inggris, asu dalam bahasa Jawa, atau anjing dalam bahasa Indonesia. Mungkin saja, suku atau bangsa yang lain menyebut binatang semacam itu dengan istilah yang berbeda. Dalam ini, pemberian nama terhadap binatang itu hanya didasarkan pada kesepakatan sosial antar penutur-penutur bahasa Inggris untuk menyebut dog, antar penutur bahasa Jawa untuk menyebut asu dan antar penutur bahasa Indonesia untuk menyebut anjing. Lebih dari itu, sifat arbitrer itu juga dapat dilihat dari segi sistem gramatikal. Kata-kata dalam bahasa Indonesia, misalnya, harus disusun dengan order tertentu untuk membentuk konstruksi yang secara gramatikal dapat diterima. Misalnya, sejumlah kata: motor, Ali, naik, hari, setiap, tidak disusun secara sembarangan bila seseorang menginginkan konstruksi yang gramatikal. Kata-kata itu bisa disusun menjadi Ali naik motor setiap hari atau Setiap hari Ali naik motor. (Dalam bahasa Indonesia, dimungkinkan keterangan waktu diletakkan pada posisi awal atau pun akhir). Bila kata-kata itu disusun dengan susunan Ali motor naik hari setiap maka susunan itu tidak gramatikal. Tidak ada alasan yang logis mengapa penutur bahasa Indonesia menerima dan menggunakan susunan yang pertama dan bukan susunan yang kedua. Hal ini disebabkan bahwa sistem gramatikal pun didasarkan pada kesepakatan sosial dan oleh karena itu ia arbitrer. Pemerolehan Bahasa Sejak manusia lahir ke dunia, sebenarnya, telah memiliki semacam kemampuan bawaan (innate ability). Baik para ahli sosiolinguistik maupun psikolinguistik mengakui bahwa kemampuan bawaam itu diacu dengan istilah Language Acquisition Device (LAD), alat pemerolehan bahasa. Kendati memiliki kemampuan bawaan, seorang anak tidak secara otomatis mampu berbahasa (berbicara) hanya karena dia itu manusia. 26

42 Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya Kemampuan bawaan tidak ubahnya seperti potential seed yang harus ditumbuhkembangkan pada tempat yang cocok, yakni masyarakat sosial (social community). Jika kemampuan bawaan itu tidak dikembangkan secara benar, misalnya, jika seorang anak dipisahkan dari masyarakat dan terputus dari hubungan manusia (human relation), maka ia tidak akan mampu berbahasa dengan bahasa tertentu. Untuk memperoleh kemampuan berbahasa itu dia harus belajar bahasa melalui komunitas bahasa tertentu pula. Juga, pemerolehan kemampuan berbahasa ditentukan oleh komunitas bahasa di mana si anak tadi dibesarkan. Artinya, si anak dari suku Banjar tidak serta merta mampu berbahasa dengan bahasa suku itu. Bila dia dibesarkan di lingkungan komunitas bahasa Jawa, misalnya, dia akan berkemampuan untuk berbahasa Jawa. Atau, si anak dari keluarga atau suku Jawa yang dididik dan dibesarkan di lingkungan komunitas bahasa Perancis, dia akan berkemampuan untuk berbahasa Perancis sebagai bahasa yang digunakan di lingkungan sosial tempat dia dibesarkan. Dengan demikian, persangkaan bahwa anak dari etnis Jawa akan pandai berbahasa Jawa, atau anak dari bangsa Perancis akan pandai berbahasa Perancis merupakan persangkaan yang keliru. Bila berpedoman dari persangkaan itu, orang akan menganggap bahwa kemampuan berbahasa merupakan soal keturunan. Hal yang sebenarnya adalah bahwa biarpun seorang anak berasal dari keturunan etnis Jawa, bila dididik dan dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang bukan berbahasa Jawa, dia tidak akan memiliki kemampuan berbahasa Jawa, melainkan dia akan memiliki kemampuan berbahasa yang dipakai dalam keluarga dan lingkungan itu. Fungsi Sosial Bahasa Bahasa dalam konteks sosial bukan halnya sebagai alat komunikasi tetapi ia juga merupakan alat yang pemting untu menciptakan dan mempertahankan hubungan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Sebagai ilustrasi, ada dua orang yang belum saling mengenal yang sama-sama berada di ruang tunggu di stasiun kereta api. Mereka, kemudian, mengadakan suatu pembicaraan yang dimaksudkan untuk mengurangi kegelisahan. 27

43 Maungkai Budaya Mereka saling bercerita, saling memberikan informasi. Di antara mereka terjadilah hubungan sosial, yakni: mereka telah saling mengenal. Di sinilah letak fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan pada saat bersamaan ia berfungsi sebagai alat untuk menciptakan hubungan sosial. Jika mereka berdua berasal dari lingkungan geografis yang berbeda, misalnya yang satu dari Sumatera (Batak) dan yang lainnya dari Jakarta (Betawi), maka logat bahasa yang mereka gunakan menunjukkan perbedaan. Bahasa mereka itu menunjukkan asal-usul mereka. Bila seseorang telah mengenali logat tertentu sebagai logat Batak, Jawa, atau Betawi, maka dia akan mampu menebak bahwa penutur tertentu berasal dari Batak, Jawa, atau Betawi. Dalam hal ini, mungkin saja orang etnis Batak, Jawa, atau Betawi yang ada di Kalimantan Selatan menggunakan bahasa Banjar sebagai alat komunikasi dan interaksi sosialnya. Namun, tidak serta merta mereka akan diidentifikasi sebagai penutur bahasa Banjar asli atau beretnis Banjar. Sebab, sebagus apapun bahasa Banjar mereka, logat (lagu) bahasanya seringkali masih menunjukkan logat bahasa daerah mereka. Demikian pula, bila mereka menggunakan bahasa Indonesia, maka logat daerah mereka masih dapat dikenali dalam tuturan bahasa Indonesia mereka. Dalam kaitan ini, para ahli bahasa mengetengahkan istilah dialek regional (regional dialect), suatu variasi bahasa yang didasarkan pada daerah (tempat). Di samping dialek regional, kita juga mengenal dialek sosial (social dialect). Dialek sosial ini mengacu pada variasi bahasa yang dipergunakan oleh sekelompok orang dari kelas sosial tertentu. Bila seseorang berasal dari kelompok pengusaha, maka dia biasanya mempergunakan variasi bahasa yang sering dipergunakan oleh kelompok itu. Jika kita berpijak pada lingkungan fisik masyarakat di mana manusia itu berada atau tinggal, maka kita akan mendapat gambaran tentang refleksi lingkungan fisik dalam bahasa. Lingkungan fisik, misalnya, dapat direfleksikan dalam bahasa. Sebagai contoh, masyarakat Eskimo banyak dikelilingi oleh salju. Bermacam-macam salju ada dalam masyarakat itu, sehingga untuk membedakan jenis salju yang satu dengan jenis yang lainnya mereka perlu kosa kata yang berbeda-beda. Pembedaan nama-nama salju, bagi masyarakat Eskimo, adalah penting. Hal ini karena lingkungan 28

44 Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya fisik mereka menuntut adanya pembedaan yang demikian itu. Sedangkan masyarakat yang hidup dekat equator tidak merasa perlu membedakan jenis-jenis salju dan oleh karena itu mereka hanya memiliki satu kata, yakni: salju. Sementara itu, masyarakat Inggris hanya memiliki kata rice untuk menunjuk apa yang disebut oleh masyarakat Jawa sebagai pari, gabah, beras dan sega. Hal ini karena antara masyarakat Inggris dan Jawa memiliki kepentingan yang satu sama lain berbeda. Yang jelas, bahwa masyarakat Jawa lebih berkepentingan untuk menciptakan pembedaan kosa kata seperti di atas, karena pari, gabah, beras, dan sega dalam konteks budaya Jawa mengacu pada hal-hal yang berbeda. Bila dikaitkan dengan kegiatan tanam-menanam, dalam masyarakat Jawa pari akan digunakan (misalnya, dalam konteks nandur pari); buah pari yang telah dipanen disebut gabah; gabah kering yang kemudian dikupas kulitnya melalui proses penumbukan atau penggilingan disebut beras; pecahan beras yang kecil disebut menir; dan beras digunakan untuk menyebut bahan mentah yang diap dimasak untuk menjadi sego, lontong, kopat dan sebagainya. Sementara itu, masyarakat Inggris menyebut pari, gabah, beras, menir, dan sega dengan satu kata, yakni: rice. Di samping lingkungan fisik, lingkungan sosial pun dapat direfleksikan dalam bahasa, dan sering memiliki efek terhadap kosa kata. Sebagai misal, suatu sistem kekerabatan dari masyarakat tertentu biasanya direfleksikan dalam kosa kata kekerabatan. Kita dapat mengatakan betapa pentingnya kosa kata kekerabatam masyarakat tutur bahasa Banjar sehingga mereka memiliki banyak kosa kata kekerabatan itu. Masyarakat tutur ini memiliki kosa kata kekerabatan (dari angkatan atas): muyang, muning, waring, anggah, datu, kai, abah, anak, cucu, buyut, intah, cicit, muning dan muyang. Di samping itu, ada beberapa kosa kata: uma, julak, gulu, paman, dan acil. Ada juga sejumlah kosa kata: ading, laki, bini, ipar, marui dan warang. (Suryadikara, 1989). Masyarakat tutur bahasa Inggris memiliki kosa kata kekerabatan: son, daughter, grandson, granddaughter, brother, sister, father, mother, husband, wife, grandfather, grandmother, uncle, aunt dan cousin (Trudgill, 19 ). Tata nilai (system of values) dari suatu masyarakat dapat juga berpengaruh terhadap bahasanya. Hal yang demikian ini dapat kita 29

45 Maungkai Budaya lihat lewat fenomena tabu. Tabu mengimplikasikan adanya larangan. Kata-kata yang mengandung unsur tabu dilarang diucapkan atau dianggap tidak pantas atau tidak baik bila di sembarang tempat. Kata-kata semacam itu bila diucapkan di hadapan orang banyak dikategorikan sebagai hal yang memalukan dan oleh karena itu dilarang. Masyarakat kita tentu saja menganggap tabu bila mengucapkan alat vital orang laki-laki sesuai namanya. Biasanya kita menggantikannya dengan menyebut burung atau senjata tajam. Penyebutan dengan cara ini pun masih terasa ketabuhannya. *** Bahasa dan budaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahasa dimanfaatkan oleh penuturnya untuk menyampaikan dan mewadai segala aspek kebudayaan; sementara budaya dalam hal-hal tertentu- dijadikan oleh penutur bahasa sebagai pedoman perilaku, termasuk perilaku berbahasa. Pembahasan bahasa dalam perspektif sosial budaya mencoba mengkaitkan bahasa dengan aspek-aspek sosial budaya. Kaitan bahasa dengan aspek sosial budaya, bahwa (1) bahasa itu arbitrer; bahasa merupakan hasil kesepakatan sosial, (2) kemampuan berbahasa diperoleh melalui lingkungan sosial (3) bahasa digunakan untuk interaksi sosial, dan (4) tindak berbahasa dipengaruhi sistem tata nilai yang berlaku dalam masyarakat. 30

46 BAHASA DAN BUDAYA JAWA K etika bincang-bincang seputar penyusunan buku kenangan purnatugas Prof. M.P. Lambut, Ersis menyatakan siap mengusahakan buku hingga menjadi buku siap luncur. Atas sejumlah pertimbangan, usulan dan sejenisnya dari kawan-kawan, penanganan buku kenangan untuk Lambut olehnya tidak jadi dan selanjutnya dikembalikan kepada penggagas semula, Jarkasi dkk. Kala itu, Ersis dengan style-nya yang self-confident menyanggupkan diri untuk menangani buku kenangan bagi Prof. Fudiat bila beliau pensiun. Saya yakin dan percaya bahwa bagi Ersis penanganan buku semacam itu merupakan hal kecil, sebab hal-hal besar seperti yang pernah dia sebutkan Suplemen Lustrum VII IKIP Bandung. Mungkin, dalam benak Ersis bahwa Prof. Fudiat masih lama pensiunnya. Jadi, dia bisa santai-santai. Rupanya keinginan untuk bersantai ria bagi Ersis pupus, setelah keesokan harinya ada berita bahwa Prof. Fudiat meninggal dunia. Ketika kami sama-sama berkumpul waktu melayat almarhum, secara spontan kami menagih janji kepada Ersis yang telah sanggup menjadi chief editor dalam penanganan buku persembahan bagi Prof. Fudiat. Ersis tampaknya tak ingin gagal; dia ingin tetap didukung kawan-kawan. Makanya, dalam upaya pengumpulan artikel, Ersis yang biasanya berbicara meledak-ledak, terutama terhadap saya terpaksa ber- lemah lembut ketika mengajak kawan-kawan untuk menyumbangkan artikel. Dalam buku persembahan untuk Pak Lambut, saya menyatakan bahwa beliau merupakan sosok profesor yang humanis. Sifat 31

47 Maungkai Budaya humanistik sang profesor itu, antara lain, bisa dilihat dari perilaku yang mengedepankan kebersamaan, toleran terhadap pemeluk agama yang berbeda dengan yang beliau peluk, dan menghargai manusia sebagai manusia atau memanusiakan manusia. Mungkin, karena sifat humanistiknya itu, konon, beliau pernah diminta berpidato seputar agama/pemeluk agama Kristiani di hadapan kaum muslimin di Martapura sana. Sedangkan, dalam tulisan ini saya akan mengatakan bahwa Pak Fudiat (Almarhum) adalah sosok yang sifatnya kurang lebih sama dengan Pak Lambut. Prof. Fudiat sangat low profile, suka mengajak diskusi dan sangat dekat dengan dosen-dosen yunior. Beliau, tampaknya, tidak merasa rugi bila harus menyapa dosendosen yunior dan dosen-dosen baru sekalipun. Di mata saya, ada bedanya antara kedua beliau ini. Bedanya adalah bahwa saya agak sungkan dan cenderung takut dengan Pak Lambut; saya tidak merasa bebas bila saya berbicara dengan Pak Lambut. Namun, lain halnya bila saya berbincang-bincang dengan Pak Fudiat; saya merasa bebas (tanpa dihantui perasaan sungkan) bila berhadapan dengan beliau. Ini bukan tanpa sebab. Saya tidak merasa sungkan dengan Pak Fudiat, sebab sejak awal saya bertugas di FKIP Unlam ini, saya sering diajak diskusi tentang berbagai hal tentang bahasa dan budaya Jawa. Beliau sering mengajukan pertanyaan kepada saya seputar aspek-aspek budaya Jawa. Namun, semula saya tidak tahu apakah beliau itu bertanya karena beliau tidak tahu atau ingin klarifikasi. Tetapi, yang jelas bahwa beliau senantiasa mengajukan sejumlah pertanyaan bila beliau memulai diskusi dengan saya. Ternyata, beliau hanya ingin klarifikasi menyangkut pengetahuannya tentang bahasa Jawa dan budaya Jawa (khususnya yang menyangkut perkawinan dan kekerabatan). Dugaan saya ini didasarkan pada kenyataan bahwa segala hal yang dilontarkan beliau tentang bahasa dan budaya Jawa sama dan sebangun dengan hal-hal yang tersaji dalam Buku Pidato Pengukuan Guru Besar yang berjudul Sistem Perkawinan dan Istilah Kekerabatan pada Orang Jawa, Sunda dan Banjar (1989) yang belakangan ini saya ketemukan dan baca. Dengan penuh semangat dan tanpa menyadari bahwa saya berhadapan dengan seorang antropolog yang tentu saja mumpuni 32

48 Bahasa dan Budaya Jawa dalam segala persoalan kebudayaan, saya mencoba menerangkan hal-hal yang diapungkan oleh beliau. Ketika saya mencoba menerangkannya, seringkali beliau menyela dan menyatakan bahwa uraian saya tentang suatu hal tidak berkesesuaian dengan harapan beliau. Saya seringkali berkeberatan terhadap gagasan beliau tentang bahasa dan budaya Jawa, karena walau beliau seorang antropolog yang dalam kaitan dengan bahasa dan budaya Jawa sebagai pengamat saya sendiri adalah pemakai bahasa Jawa dan pelaku budaya Jawa. Barangkali, gagasan beliau tentang bahasa dan budaya Jawa itu berkenaan dengan hal-hal yang ideal sebagaimana dideskripsikan oleh seorang antropolog Amerika, Clifford Geertz, dalam bukunya The Religion of Java. Tampaknya buku inilah rujukan Prof. Fudiat dalam memahami budaya Jawa. Hal-hal yang ideal seringkali tidak berkesesuaian dengan hal-hal yang benar-benar terjadi. Penggunaan bahasa Jawa yang ideal sebagaimana dipolakan melalui budaya Jawa, sekarang, banyak mengalami pergeseran. Berkenaan dengan penggunaan bahasa Jawa yang ideal itu, kita ikuti uraian berikut. Penggunaan Bahasa Jawa Bahasa Jawa adalah bahasa ibu orang-orang Jawa yang tinggal, terutama di Propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Di daerah-daerah lain, misalnya di Banten sebelah utara, di Lampung dan daerah-daerah transmigrasi di beberapa pulau di Indonesia terdapat pula orang-orang Jawa yang berbahasa ibu bahasa Jawa. Bahasa Jawa sejak lama adalah bahasa pengantar suatu peradaban besar. Tradisi sastra tulis telah ada dan terus terpelihara, paling tidak sejak abad ke sepuluh (Poedjosoedarmo, 1979). Seperti bahasa lain, bahasa Jawa mempunyai berbagai dialek geografi. Dialek geografi seperti dialek Banyumas, Tegal, Yogya-Solo, Surabaya, Samin, Osing dan lain-lain memiliki sub-dialeknya sendiri. Seperti masyarakat bahasa lain, dalam masyarakat Jawa orang dapat membedakan golongan orang kecil dengan golongan yang lebih tinggi hanya dengan melihat adanya ciri kebahasaan tertentu yang sering dipakai oleh golongan-golongan itu (Poedjosoedarmo, 1979). Dalam masyarakat bahasa (speech community) dapat dipastikan terdapat aturan berbahasa yang disepakati oleh para anggotanya. 33

49 Maungkai Budaya Dalam pandangan Clifford Greetz aturan berbahasa itu diistilahkan sebagai Linguistic Etiquette. Dalam bahasa Indonesia istilah itu dikenal dengan etika berbahasa. Dalam masyarakat bahasa Jawa, misalnya, terdapat istilah tingkat tutur (speech levels), yaitu sistem kode penyampai rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsure kosa kata tertentu, aturan sintaksis tertentu, aturan morfologi tertentu dan juga fonologi tertentu. Tingkat tutur dalam bahasa Jawa yang umum adalah (1) Ngoko, (2) Krama Madya, dan (3) Krama Inggil. Masing-masing tingkat tutur itu memiliki kosa kata sendiri. Dengan demikian, dalam bahasa Jawa terdapat kosa kata untuk tingkat tutur ngoko, kosa kata untuk tingkat tutur krama madya, dan kosa kata untuk tingkat tutur krama inggil. Soepomo Pudjosoedarmo menambahkan bahwa kosa kata bahasa Jawa tidak hanya terbatas pada kosa kata ngoko, madya, dan krama, tetapi juga meliputi krama inggil, krama andap, dan krama desa. Katakata Ngoko memancarkan arti tanpa sopan santun; Krama Madya memancarkan arti sopan (konotasi hormat) tetapi tingkat kesopanannya agak setengah-setengah saja; Krama Inggil dan Krama Andap memancarkan konotasi hormat yang sangat tinggi; dan Krama Desa memancarkan konotasi hormat, tetapi di samping itu, ia menunjukkan juga bahwa pemakainya kurang mengetahui bentuk krama yang benar-benar standar (Poedjosoedarmo, 1979). Menurut Geertz, salah satu etiket orang Jawa adalah andap asor, yakni: merendahkan diri sendiri dengan sopan dan merupakan kelakuan yang benar yang harus ditunjukkan kepada setiap orang yang kira-kira sederajat atau lebih tinggi. Selalu ada semacam kegelisahan bilamana dua orang Jawa bertemu untuk pertama kalinya, karena masing-masing menentukan tingkatan pihak lainnya agar masing-masing dapat menggunakan bentuk linguistis yang tepat dan menerapkan pola andap asor yang tepat pula. Masing-masing penutur berusaha (bersaing) untuk menempatkan dirinya pada posisi yang paling rendah. Namun, persaingan ini sebenarnya hanya bersifat pura-pura. Yang bersangkutan berpura-pura merendah, namun sebenarnya ia bermaksud agar dirinya ditempatkan pada posisi yang tinggi (sesuai dengan posisi yang disandangnya). Mereka biasanya memakai tingkat tutur krama antara satu dengan yang lainnya, dan mereka tidak memakai tingkat tutur ngoko. 34

50 Bahasa dan Budaya Jawa Penggunaan tingkat tutur krama ini dimaksudkan agar yang bersangkutan dapat melakukan sikap andap asor dan pada saat yang bersamaan dia menghormati orang yang tua umurnya, menghargai orang yang baru saja dikenal atau belum dikenal. Tingkat tutur Krama Madya dan Krama Inggil juga digunakan untuk menghormati orang-orang yang berkedudukan atau berstatus lebih tinggi. Kedudukan atau status ditentukan oleh banyak hal, antara lain kekayaan, keturunan, pendidikan, pekerjaan, usia, keluarga dan kebangsaan. Untuk menyapa seseorang yang lebih rendah status sosialnya atau seseorang yang lebih muda dari dirinya sendiri atau seseorang yang telah menjadi kawan akrab, penutur dapat menggunakan tingkat tutur ngoko. Dalam kaitan ini, Geertz mencontohkan kalimat yang dalam bahasa Indonesia berarti Dari mana anda?. Bila kalimat itu dinyatakan dalam tutur ngoko akan berbunyi Kowe mau saka endi? dan dalam tingkat tutur krama Panjenengan wau saking tindak pundi? Menurut Prof. Fudiat, dalam hubungan kekerabatan anak terhadap orang tuanya, cucu terhadap kakek/neneknya, menantu terhadap mertuanya, antar besan, kemanakan terhadap paman/ bibinya, diwajibkan menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat tutur krama; sementara adik terhadap kakaknya diharapkan menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat tutur krama, tetapi bukan suatu keharusan. Sedangkan, pihak-pihak yang merupakan kebalikan dari mereka yang harus ber-krama (kecuali antara besan) diperbolehkan menggunakan tingkat tutur ngoko bila berbicara dengan mereka, yakni: orang tua terhadap anak, kakak terhadap adiknya, paman/ bibi terhadap kemanakannya. Dalam pandangan saya, penggunaan bahasa Jawa telah banyak mengalami pergeseran dari penggunaan yang ideal sebagaimana dilukiskan oleh seorang antropolog Clifford Geertz, yang dijadikan referensi Prof. Fudiat ketika mendiskusikan penggunaan bahasa Jawa. Pergeseran yang saya amati, misalnya, dalam penggunaan bahasa Jawa atas dasar pola hubungan sosial. Bila dikatakan bahwa tingkat tutur krama (madya dan inggil) digunakan seseorang penutur yang lebih muda atau lebih rendah derajat sosialnya ketimbang lawan tuturnya, dalam upayanya untuk ber-andap asor dan menghormat lawan tuturnya, pernyataan ini 35

51 Maungkai Budaya tidak sepenuhnya benar. Karena, untuk konteks sekarang banyak anak-anak tidak ber-krama terhadap bapak/simbok, simbah, pak de/pak lik, mbok de/mbok lik, kakang/mbak yu, dan tetanggatetangga mereka yang bila dilihat dari segi umur jelas lebih tua dari mereka. Memang, sebagian dari mereka yang pernah saya amati menggunakan pola seperti itu. Namun, sejumlah yang lain menggunakan bentuk-bentuk campuran (ngoko dan krama). Hal ini dapat kita lihat dalam ungkapan Sampeyan mau saka endi?. Dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas, penggunaan bahasa Jawa tingkat tutur krama oleh anak-anak muda dan/atau orang-orang dewasa dialamatkan kepada orang-orang tertentu (misalnya, tokoh agama atau tokoh masyarakat, lurah dan anak buahnya, camat dan anak buahnya). Itu pun, di sana-sini masih ada selipan unsur-unsur dari bahasa Indonesia atau bahasa lain. Dalam situasi formal (khutbah, ceramah, pidato, kampanye politik dan sejenisnya), kendati pembicaranya adalah tokoh agama, tokoh masyarakat, Lurah, Camat dan Juru Kampanye dan sebagainya, tingkat tutur krama seringkali digunakan bila audience-nya berasal dari berbagai kalangan. Namun, lagi-lagi, tuturan mereka tidak melulu dalam bahasa Jawa dengan tingkat tutur krama (madya atau inggil), tetapi campur tingkat tutur (istilah bakunya, campur kode atau code-mixing, sebab tingkat tutur dianggap suatu kode) dengan selipan unsur bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris. Penggunaan bahasa Jawa dengan tingkat tutur tertinggi (krama inggil) masih terlihat pada acara perkawinan oleh masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di luar kedua daerah itu, dalam acara serupa, penggunaan bahasa Jawa dengan tingkat tutur krama inggil jarang ditemukan. Tak jarang ditemukan penggunaan bahasa Jawa dengan berbagai tingkat tutur dan selipan unsur-unsur bahasabahasa lain. Pendek kata, penggunaan bahasa Jawa yang memiliki sejumlah tingkat tutur itu telah banyak mengalami pergeseran dari penggunaannya yang ideal. Sejumlah orang bertutur dengan tingkat ngoko padahal semestinya dengan tingkat tutur krama. Celakanya lagi, dalam pandangan saya, penguasaan tingkat tutur krama (madya dan inggil) pada kalangan kawula muda dalam kondisi memprihatinkan (untuk tidak mengatakan jelek ). Tampaknya, mereka 36

52 Bahasa dan Budaya Jawa kurang kompetensinya dalam bahasa Jawa, khususnya tingkat tutur krama, yang memancarkan konotasi hormat itu. Sehingga, performansi dalam bahasa itu seperti saya katakana di atas memprihatinkan. Yang lebih memprihatinkan lagi, mungkin menganggap bahasa Jawa sebagai bahasa tradisional dan biar dianggap sebagai orang-orang yang modern, educated ada sejumlah orang tua di kampung tempat kelahiran saya membiasakan anak-anak mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan Jawa mereka yang medok, padahal mereka hidup di lingkungan masyarakat bahasa (speech community) bahasa Jawa. Mereka tampak begitu bangga ketika memperhatikan anak-anak mereka berbahasa Indonesia. Hal yang demikian, di samping tidak mendidik anak-anak untuk mampu berbahasa Jawa, menyusahkan mereka dalam bergaul dengan sesama mereka, tetapi juga membutakan mereka terhadap budaya yang terpancar dari bahasa Jawa itu sendiri, seperti adap asor, dan unggah-ungguh. Anak-anak yang hidup dan bergaul dalam masyarakat tutur bahasa Jawa, ajarilah atau jika tidak biarkanlah mereka berbahasa dan berbudaya Jawa. Biarlah anak-anak berbahasa dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat bahasa setempat. Kedua anak saya, Galuh dan Galih, tidak saya paksakan memakai bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Karena mereka hidup dan bergaul dalam masyarakat tutur bahasa Banjar, saya biarkan saja mereka berbahasa dan berbudaya Banjar. Tak perlu repot-repotlah. Kan ada pepatah: Di situ bumi dipijak, di situ juga langit dijunjung. Budaya Jawa Di samping masalah seputar bahasa Jawa, Prof. Fudiat mengajukan sejumlah pertanyaan yang masih saya ingat, antara lain, berkenaan dengan sikap-sikap yang diajarkan oleh sistem budaya Jawa. Misalnya, Ngono yo ngono, nanging mbok aja ngono, tega larane ora tega patine, rame ing gawe sepi ing pamrih, narimo ing pandum, sumarah. Berkenaan dengan nafsu, beliau menanyakan tentang tiga nafsu yang harus dihindari, yakni: nefsu menange dhewe, nefsu benere dhewe, dan nefsu butuhe dhewe. Masih banyak lagi pertanyaan yang diajukan namun saya tidak ingat. 37

53 Maungkai Budaya Dengan merujuk pada karya-karya oleh Clifford Geertz, Hildred Geertz, Koentjaraningrat, Franz Magnis Suseno dan Kodiran melalui tulisan ini saya mencoba mengeksplorasi aspek-aspek budaya Jawa termasuk sikap-sikap yang dipertanyakan oleh Prof. Fudiat di atas. Sikap dalam bertingkah laku bagi orang Jawa tercermin pada doktrin kultural Ngono yo ngono, nanging mbok aja ngono (mungkin anda betul, tetapi jangan memakai cara seperti itu). Sikap itu harus diterapkan, misalnya, ketika seseorang atau sekelompok orang berhasil menangkap pencuri ayam dan lalu menghajarnya sampai babak belur atau bahkan sampai mati. Masyarakat Jawa tidak diajarkan menggunakan cara semacam itu; mereka harus berlaku tega larane ora tega patine. Doktrin ini berimplikasi bahwa mereka boleh-boleh saja memberi pelajaran kepada orang yang bersalah namun hendaknya tidak menyakitinya. Dalam konteks sekarang, doktrin itu banyak ditinggalkan orang. Pencuri sepeda motor atau barang-barang lain seringkali dihajar sampai babak belur atau bahkan dibakar hiduphidup. Dengan demikian, mereka telah tega lara tega pati (tega menyakiti sekaligus tega membunuh). Sikap lain yang harus dihindari adalah sikap atau perilaku atas dasar pamrih. Berperilaku atau bertindak atas dasar pamrih berarti hanya mengusahakan kepentingan diri sendiri dengan tidak menghiraukan kepentingan-kepentingan masyarakat. Secara sosial pamrih selalu mengacau karena merupakan tindakan tanpa perhatian terhadap keselarasan sosial. Pamrih terutama kelihatan dalam tiga nafsu, yaitu: nefsu menange dhewe, nefsu benere dhewe, dan nefsu butuhe dhewe yang secara berturut-turut berarti selalu ingin menjadi orang yang pertama, menanggap dirinya selalu betul, dan hanya memperhatikan kebutuhannya sendiri. Sikap yang menandai watak yang luhur adalah kebebasan dari pamrih atau sepi ing pamrih. Orang dikatakan sepi ing pamrih bila dia semakin tidak perlu gelisah dan prihatin terhadap dirinya sendiri, semakin bebas dari nafsu ingin memiliki. Hal ini sekaligus mengandaikan bahwa ia telah dia telah mengontrol nafsu-nafsunya sepenuhnya dan menjadi tenang. Dalam situasi sekarang, masihkah mereka (khususnya orang-orang Jawa) sepi ing pamrih dengan menghindari ketiga nafsu di atas? Doktrin lain adalah narimo ing pandum dan sumarah. Biasanya doktrin narimo ing pandum dilakukan dengan didahului sikap sabar. 38

54 Bahasa dan Budaya Jawa Dengan sabar dimaksudkan bahwa seseorang mempunyai nafas panjang dalam kesadaran bahwa pada waktunya nasib baik pun tiba. Narimo berarti menerima segala apa yang mendatanginya tanpa protes dan pemberontakan. Narimo menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Istilah narimo biasanya digabung dengan ing pandum atau lengkapnya narimo ing pandum. Istilah narimo ing pandum mengimplikasikan bahwa orang dalam keadaan kecewa dan dalam keadaan sulit pun bereaksi secara rasional, tidak ambruk, dan juga tidak menentang secara percuma. Doktrin sumarah mengisyaratkan sikap penuh penyerahan diri, dengan mendahulukan kewajiban-kewajiban ketimbang menuntut hak-hak. Sikap sumarah berarti pula bahwa seseorang yang setelah melakukan pekerjaan atau usaha untuk menggapai cita-cita atau harapan-harapannya kemudian berserah diri kepada Yang Mahakuasa dengan suatu harapan bahwa apa yang telah diperbuat itu sesuai dengan yang diinginkan. Paham fatalistik-kah ini? Sebetulnya, saya tidak kaget bila Prof. Fudiat yang antropolog beretnis Sunda memiliki interest pada budaya Jawa dan Banjar, apalagi setelah saya tahu beliau menulis tesis M.A-nya dengan judul Banjarese Marriage and Divorce in South Kalimantan ketika kuliah di The University of Kansas (1977) dan membaca Pidato Pengukuan Guru Besar-nya yang berjudul Sistem Perkawinan dan Istilah Kekerabatan pada Orang Jawa, Sunda, dan Banjar (1989). Sesuai topik yang digarap dalam buku Pidato Pengukuhan Guru Besar itu, Prof. Fudiat hanya menyoal budaya Jawa dari perspektif perkawinan dan kekerabatan saja. Dalam pandangan saya, soal perkawinan yang dikemukakan Prof. Fudiat dalam konteks sekarang sangatlah ideal (menurut adat perkawinan yang telah digariskan dalam sistem budaya). Dari perspektif perubahan kemasyarakatan dan kebudayaan, budaya (termasuk budaya Jawa) dapat saja mengalami pegeseran dari semula yang ideal menjadi tidak ideal atau bahkan hilang sama sekali. Saya tidak tahu persis apakah ketika menyusun tulisan itu Prof. Fudiat berdasar pada hasil penelitian lapangan atau hanya berdasar karya-karya Kodiran, Koentjaraningrat, Clifforf Geertz, Hildred Geertz dan lain-lain. Karena beliau telah tiada, maka saya tak bisa melakukan konfirmasi tentang hal itu. 39

55 Maungkai Budaya Berikut ini pandangan Prof. Fudiat tentang Perkawinan dan Kekerabatan Masyarakat Jawa yang saya rangkum dari Buku Pidato Pengukuhan Guru Besar-nya Sistem Perkawinan dan Istilah Kekerabatan pada Orang Jawa, Sunda, dan Banjar (1989). Saat yang terpenting dalam lingkaran hidup seseorang ialah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga, yaitu perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahasa dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Suryadikara, 1989). Orang Jawa umumnya beragama Islam. Larangan untuk mengawini wanita sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur an (Surah Annisa ayat 23) mereka patuhi. Selain mematuhi larangan perkawinan di atas, orang Jawa juga memperhatikan larangan perkawinan menurut adat Jawa sesuai dengan tempat dan golongan mereka. Orang Jawa melarang perkawinan antara saudara sepupu sekali yang ayah pihak pria dan ayah pihak wanita bersaudara dan antara pria-wanita yang masih ada hubungan kerabat tetapi pihak pria berasal dari generasi yang lebih muda atau pernah muda (Suryadikara, 1989). Pada waktu dulu, keluarga Jawa sangat berlaku seksama dan hati-hati dalam memilih calon menantu, baik itu calon menanti pria maupun wanita. Masing-masing pihak keluarga terlebih dahulu menyelidiki bakal calon menantu masing-masing, berkenaan dengan keturunan, pendidikan, dan status sosial (bibit, bebet dan bobot). Menurut adat Jawa, memilih jodoh itu ditentukan oleh orang tua. Sekarang, telah banyak orang tua memberikan sedikit kebebasan bagi kaum muda untuk memilih jodoh. Meskipun demikian, mereka tidak melupakan persetujuan orang tua. Umumnya mereka percaya bahwa perkawinan tanpa restu orang tua akan membawa mala petaka (Suryadikara, 1989). Namun, banyak pula orang tua tetap bersikukuh pada adat Jawa mereka. Bila pihak yang bersikukuh itu adalah pihak orang tua si wanita sementara antara pria dan wanita sudah merasa saling cocok, sejumlah kemungkinan yang akan terjadi: (1) bahwa si pria membawa lari si wanita dan menikahinya di tempat lain dengan wali hakim, (2) bahwa karena takut kuwalat sama orang tua si 40

56 Bahasa dan Budaya Jawa wanita terpaksa mengikuti keinginan orang tua untuk dijodohkan dengan pria lain walau yang bersangkutan tidak suka, (3) bahwa si wanita terpaksa mengikuti keinginan orang tua namun tidak mau dijodohkan dengan pria lain; dia memilih tidak kawin kecuali dengan pria idamannya. Tidak jarang wanita jatuh pada kemungkinan ketiga. Sebagai akibatnya, tidak sedikit wanita menjadi perawan tua gara-gara bakal calon suami mereka ditolak oleh para orang tua mereka sebab tidak sesuai dengan perhitungan ala adat Jawa. Namun, bila penolakan perkawinan datang dari pihak orang tua pria tidak banyak mengakibatkan timbulnya masalah sebab dengan atau tanpa restu orang tua perkawinan tetap bisa dilangsungkan dengan mudah. Tidak jarang pula pria nekat menikahi wanita yang bukan menjadi pilihan orang tua mereka. Secara adat Jawa, menurut keterangan Prof. Fudiat, tata cara perkawinan menyangkut hal-hal: (1) nakokake, yakni suatu aktivitas yang dilakukan oleh pihak orang tua pemuda dengan mengirimkan dandan (utusan atau perantara yang biasanya telah dikenal oleh kedua belah pihak) untuk menanyakan apakah si gadis itu sudah ada yang mengikat atau belum. Jika belum, apakah orang tua si gadis itu setuju jika anak gadisnya dijodohkan dengan pemuda yang diceritakan oleh utusan tadi. Jika hal itu disetujui, maka akan diadakan kunjungan atau perkenalan resmi dengan maksud untuk melihat dan mengamati gadis yang bersangkutan, (2) nontoni, yakni melihat wajah dan mengamati tingkah laku gadis yang akan diambil istri. Kegiatan nontoni biasanya tidak diketahui oleh si gadis. Setelah ada kecocokan pihak pemuda terhadap si gadis, atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, pada waktu yang ditentukan acara berikutnya, (3) yaitu, peningsetan, yakni pemberian sejumlah harta dari pihak pria kepada si gadis sebagai pengikat, biasanya berupa pakaian sepengadeg (pakaian mulai dari bagian bawah sampai bagian atas). Diteruskan dengan penentuan hari perkawinannya, (4) perkawinan, yakni kegiatan yang melibatkan banyak hal. Beberapa hari sebelum perkawinan dilangsungkan, calon pengantin pria mengirimkan hadiah perkawinan. Sehari sebelum pernikahan/ perkawinan kerabat calon pengantin wanita mengadakan ziarah kubur untuk minta restu. Malam pernikahan/perkawinan si wanita tidak tidur sampai tengah malam untuk minta restu kepada bidadari 41

57 Maungkai Budaya (midadarini). Pada pagi harinya diadakan akad nikah. Akad nikah ini dapat dilakukan di Kantor penghulu, di masjid atau di rumah calon pengantin wanita. Usai acara akad nikah, dilakukan temu manten (mempertemukan kedua pengantin) dan dilanjutkan dengan acara walimah, dan (5) ngunduh mantu, suatu upacara perkawinan kedua yang dilakukan di tempat pihak pengantin pria, yang biasanya, beberapa hari setelah pesta perkawinan di tempat pengantin wanita (Suryadikara, 1989). Dalam situasi sekarang, bila kedua bakal calon pengantin belum saling kenal, maka semua tata cara perkawinan di atas tetap saja dilalui, kendati di sana sini terdapat penyederhanaan. Namun, karena umumnya muda-muda melangkah ke jenjang perkawinan sudah saling mengenal (tepatnya, berpacaran) maka sebagian tata cara tersebut tidak dilakukan. Tampaknya, tata cara yang ada adalah (1) lamaran, (2) peningsetan, (3) perkawinan (yang tidak diikuti macam-macam aktivitas sebagaimana disebutkan di atas, kecuali walimah), dan (4) ngunduh mantu (yang tidak selalu dilakukan). *** Artikel ini ditulis untuk mengenang Almarhum Prof. Fudiat. Mengapa harus bahasa dan budaya Jawa? Pemilihan topik itu didasarkan pada kenyataan bahwa kala masih hidup Prof. Fudiat tidak hanya memiliki interest pada budaya beliau sendiri, budaya Sunda, tetapi juga budaya-budaya etnis lain seperti Jawa dan Banjar. Ketika beliau menyusun tesis M.A-nya, beliau bukan mengambil budaya Sunda tetapi budaya Banjar. Budaya bisa saja tetap ajeg, bergeser, berubah atau bahkan musnah. Budaya Jawa yang, konon, dikatakan adiluhung di masa lalu, setidak-tidaknya menurut pandangan saya sebagai pelaku dan sekaligus pengamat budaya Jawa itu, telah mengalami pergeseran dari budaya yang ideal, sebagaimana telah diamati dan dideskripsi oleh sejumlah antropolog baik domestik (seperti Koentjaraningrat, Kodiran dan Fudiat Suryadikara) maupun antropolog luar negeri (seperti suami-istri Clifford Geertz dan Hildred Geertz, dan Franz Magnis Soeseno), ke budaya yang kurang/tidak ideal, akibat dari berbagai faktor. Bagaimana menurut sampeyan? 42

58 KEDWIBAHASAAN Kedwibahasaan stilah kedwibahasaan, yang dalam bahasa Inggrisnya bilingual I ism, telah diperbincangkan oleh sejumlah ilmuwan bahasa. Mereka mengajukan pengertian atau batasan tentang kedwibahasaan itu menurut pandangan mereka masing-masing. William F. Mackey merangkum sejumlah pengertian kedwibahasaan, sebagai berikut: Pada waktu dulu, konsep kedwibahasaan dipandang sebagai the equal mastery of two languages (penguasaan yang sama terhadap dua bahasa); definisi ini masih diketemukan dalam kamus-kamus linguistik tertentu. Bloomfield memberikan konsep kedwibahasaan sebagai the native-like control of two languages (penguasaan dua bahasa yang sama antara bahasa asli dan bahasa yang lain). Konsep ini diperluas oleh Haugen menjadi kemampuan menghasilkan complete meaningful utterances in the other language (ungkapan-ungkapan yang bermakna dan sempurna dalam bahasa lain). Akan tetapi, sekarang disarankan bahwa konsep kedwibahasaan itu diperluas lagi dengan memasukkan passive knowledge (pengetahuan pasif) bahasa tulis atau setiap contact with possible models in a second language and the ability to use these in the environment of the native language (kontak dengan model model-model dalam bahasa kedua dan kemampuan menggunakan model-model itu dalam lingkungan bahasa asli). Perluasan konsep kedwibahasaan ini, menurut Mackey, karena kenyataan bahwa titik tolak seseorang penutur bahasa kedua menjadi dwibahasawan bersifat arbriter dan tidak mungkin ditentukan. Lebih 43

59 Maungkai Budaya dari itu, kita harus memasukkan tidak hanya dua bahasa, akan tetapi sejumlah bahasa. Oleh karena itu, kita akan memandang kedwibahasaan sebagai the alternate use of two or more languages by the same individual (penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh individu yang sama) (Fishman, ed., 1972:555). Kalau kita perhatikan pengertian kedwibahasaan di atas, kita akan melihat adanya perbedaan antara yang diberikan oleh Bloomfield dan oleh yang lainnya. Kedwibahasaan dibatasi oleh Bloomfield sebagai penggunaan dua bahasa yang sama baiknya antara bahasa ibu (asli) dan bahasa kedua. Dengan demikian, pengertian kedwibahasaan semacam ini menyaran pada kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penggunaan bahasa oleh penutur asli dari setiap bahasa itu. Bila kita beranjak dari gagasan Bloomfield tentang kedwibahasaan, lebih jauh kita dapat ikuti penjelasannya dalam bukunya yang berjudul Language yang di dalamnya, antara lain, menyatakan sebagai berikut: In the extreme case of foreign-language learning the speaker becomes so proficient as to be indistinguishable from the native speaker around him. This happens occassionally in adult shifs of language and frequently in the childhood shift.. In this cases where this perfect foreign-language learning is not accompanied by loss of the native-language, it results in bilingualism, nativelike control of two languages (Bloomfield, 1935:56). Dengan demikian, menurut Bloomfield, belajar bahasa asing yang sempurna tanpa diikuti oleh hilangnya bahasa asli akan terjadi native-like control of two languages. Namun demikian, penggunaan dua bahasa atau lebih akan melibatkan latar kontal sosial budaya. Pada hakikatnya, kontak bahasa adalah salah satu aspek dari kontak kebudayaan, sedangkan pengacauan kaidah, alih kode maupun campur kode (yang akan dibahas kemudian) merupakan segi dari difusi dan akulturasi budaya. Lebih lanjut, dalam kaitan ini, Weinreich menjelaskan sebagai berikut. In a great majority of contact between groups speaking different mother tongues, the groups constitute, at the same time, distinct ethnic or cultural communities. Such contact entails biculturalism (participation in two cultures) as well as bilingualism, diffusion of cultural traits as well as of linguistic elements (Weinreich, 1968:5 dan 89). 44

60 Kedwibahasaan Beranjak dari gagasan Weinriech di atas, dapat dikatakan bahwa bagaimanapun sempurnanya penguasaan bahasa asing (lain) oleh seseorang, bila dua bahasa atau lebih berkontak, yaki: bahasabahasa itu digunakan oleh orang yang sama secara bergantian, maka unsur-unsur bahasa asing (lain) dapat saja muncul dalam tuturannya. Kemunculan unsur-unsur dari bahasa asing (lain) dalam tuturan pemakai bahasa yang memiliki pengetahuan atau penguasaan lebih dari satu bahasa itu, lebih lanjut dijelaskan oleh Istiati Soetomo (1985:2) sebagai berikut. Jika seorang dwibahasawan akan menyampaikan suatu pesan lewat bahasa kepada pendengarnya, ada dua faktor yang menghambat perjalanan pesan itu sebelum ia dapat diujarkan oleh penuturnya. Pertama adalah faktor dari kaidah beberapa bahasa yang dikenalnya, tentunya berbeda satu dari yang lainnya. Mampukah dia membedakan dan memilah-milahkan setiap kaidah itu, sehingga ketika dia menggunakan salah satu bahasa, kaidah bahasa lain tidak mengganggu? Jika dia tidak mampu, maka sementara dia menggunakan salah satu bahasa yang dikenalnya, bahasa lain dapat saja muncul dalam tuturannya. Terjadilah apa yang disebut interferensi, alih kode/campur kode. Sebaliknya, bila dia dapat memisah-misahkan kaidah bahasa-bahasa yang dikenalnya, maka terjadilah tunggal-bahasa dalam tuturan si penutur tersebut. Kedua adalah faktor yang berasal dari pertimbangan komunikasi. Bahasa digunakan manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka. Pertimbangan komunikasi ini menentukan apakah dia akan bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi, atau alih-kode/campur kode. 45

61 Maungkai Budaya Tindak berbahasa bagi orang yang memiliki kemampuan atau penguasaan terhadap dua bahasa (atau lebih) dapat memenuhi tuntutan berkenaan dengan the native-like control of two languages, akan terjadi bila kita memandang tindak berbahasa itu dari segi penggunaan bahasa tanpa mempertimbangkan faktor-faktor nonkebahasaan, seperti: peserta tutur (partisipan), topik pembicaraan, setting, suasana, maksud dan faktor-faktor sosial-budaya. Namun, dalam tindak berbahasa seseorang dalam upayanya berinteraksi sosial dengan sesamanya, faktor-faktor non-kebahasaan seringkali mempengaruhi penggunaan bahasa-bahasa yang dikuasainya. Faktor-faktor non-kebahasaan dapat mengakibatkan apakah seseorang itu akan bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi, atau alih-kode/campur kode, sebagaimana disarankan oleh Istiati Soetomo di atas. Kemudian pengertian the native-like cotrol of two languages dipandang sebagai satu jenis kedwibahasaan. Pengertian lain tentang kedwibahasaan diberikan oleh Weinreich sebagai the practice of alternately using two languages. Dalam kaitan ini, dia memandang kedwibahasaan dalam arti yang luas, tanpa kualifikasi mengenai tingkat perbedaan antara dua bahasa, yaitu tanpa memandang apakah kedua sistem itu bahasa dengan bahasa, dialekdialek dari bahasa yang sama, atau varitas-varitas dari dialek yang sama. Berkenaan dengan pengertian kedwibahasaan ini, Haugen menyarankan bahwa tidak perlu adanya syarat yang sama dalam pengetahuan atau penguasaan terhadap kedua bahasa itu. Untuk itu, dia menawarkan dua jenis kedwibahasaan, yakni: compound bilingualism dan coordinate bilingualism. Jenis kedwibahasaan yang pertama menyaran pada penguasaan dua bahasa dalam konteks yang sama, sedangkan jenis kedwibahasaan yang kedua menyaran pada penguasaan dua bahasa dalam konteks yang berbeda. Konsep kedwibahasaan telah menjadi semakin luas. Ia tidak hanya menyaran pada penguasaan atau penggunaan dua bahasa tetapi juga pada dua bahasa atau lebih. Dengan demikian, konsep kedwibahasaan berimplikasi pada keanekabahasaan. Dalam hal ini, Mackey, seperti dinyatakan di atas, membatasi kedwibahasaan sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih oleh individu yang sama secara bergantian (Fishman, ed.,: 1972:555). 46

62 Kedwibahasaan Lebih lanjut, Mackey memandang konsep kedwibahasaan sebagai konsep yang nisbi atau relatif. Kedwibahasaan itu melibatkan atau mengandung masalah tingkat, fungsi, pertukaran, dan interferensi. Tingkatan kedwibahasaan menyaran pada masalah: seberapa baik seseorang mengetahui atau menguasai bahasa-bahasa yang digunakan, atau dengan perkataan: Seberapa jauh dia menjadi dwibahasawan? Fungsi kedwibahasaan menyaran pada masalah: untuk apa dia menggunakan bahasa-bahasa itu, peran apa yang dimainkan oleh bahasa-bahasa itu dalam pola perilakunya secara keseluruhan? Pertukaran menyaran pada masalah: seberapa luas dia mempertukarkan bahasa-bahasa yang dikuasainya, bagaimana dia melakukan pergantian dari dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dan dalam keadaan bagaimana dia berganti bahasa itu? Interferensi menyaran pada masalah: bagaimana dia menjaga bahasa-bahasa itu terpisah ketika dia melakukan speech act, seberapa luas dia mencampurbaurkan semua bahasa itu, dan bagaimana salah satu bahasa dari bahasa-bahasa yang dikuasainya mempengaruhi penggunaan bahasa yang lainnya? (Fishman, ed., 1972: ). Kedwibahasaan bukan fenomena atau gejala bahasa; melainkan sifat atau karakteristik penggunaannya. Ia bukan ciri kode; melainkan ciri pesan. Ia bukan bagian dari langue (totalitas dari suatu bahasa yang merupakan kombinasi dari grammar, kosa kata, dan system pengucapan); melainkan bagian dari parole (penggunaan bahasa secara nyata oleh penuturnya). Kalau bahasa merupakan milik kelompok, maka kedwibahasaan merupakan milik perseorangan. Penggunaan dua oleh seseorang mengharuskan keberadaan dua masyarakat bahasa (speech communities) yang berbeda; akan tetapi tidak mengharuskan masyarakat dwibahasawan (Fishman, ed., 1972:554). Setelah kita mendapatkan gambaran tentang kedwibahasaan, kita kemukakan istilah lain yang sangat berkaitan dengan masalah kedwibahasaan. Istilah itu adalah kontak bahasa (language contact). Sebagaimana dikatakan oleh Weinriech, bahwa dua bahasa atau lebih dikatakan dalam kontak apabila digunakan secara bergantian oleh orang yang sama. Individu pemakai bahasa-bahasa itu menjadi tempat atau sumber terjadinya kontak tersebut (Weinriech, l953:1). Sehubungan dengan kontak bahasa ini, Mackey menegaskan perbedaan antara kedwibahasaan. Kedwibahasaan, seperti 47

63 Maungkai Budaya dinyatakan di atas, menyaran pada penggunaan dua bahasa atau lebih oleh individu yang sama; sedangkan kontak bahasa menyaran pada pengaruh suatu bahasa terhadap bahasa lainnya, baik pengaruh langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan perubahan dalam langue yang menjadi milik tetap (permanen) penutur ekabahasawan (monolingual) dan memasuki perkembangan sejarah bahasa yang digunakan oleh penutur ekabahasawan tersebut (Haugen dalam Fishman, ed., 1972:20). Dwibahasawan Sama halnya dengan kedwibahasaan, konsep dwibahasawan juga mengalami perluasan. Weienriech memberikan batasan dwibahasawan sebagai orang yang terlibat dalam praktek penggunaan dua bahasa secara bergantian (1968:1). Kalau dikatakan bahwa bahasa-bahasa disebut dalam kontak bila bahasa-bahasa itu digunakan oleh dwibahasawan secara bergantian, maka sebenarnya kurang memadai pengertiannya. Hal ini karena, menurut Haugen, bahasa-bahasa itu tidak harus digunakan secara nyata oleh dwibahasawan melainkan hanya cukup diketahui saja. Namun demikian, dia menyarankan bahwa dwibahasawan yang ideal adalah seseorang yang mengetahui lebih dari satu bahasa yang mampu menginternalisasikan atau membiasakan pola-pola produktif (aturan tata bahasa) dan unsur leksikal dari dua speech communities (Fishman, ed., 1972:20). Bila kemampuan pasif bahasa tulis atau setiap kontak dengan bentuk-bentuk dalam bahasa kedua dimasukkan dalam konsep kedwibahasaan, maka dwibahasawan lebih jauh dibatasi sebagai orang yang memiliki kemampuan bahasa yang berbeda-beda (Fishman, ed., 1972:555). Hal ini didukung oleh pernyataan Haugen bahwa dwibahasawan itu bukanlah ekabahasawan atau mololingual walaupun tidak ditetapkan seberapa jauh seseorang itu memerlukan pengetahuan bahasa kedua sebelum disebut dwibahasawan. Kemudian, dia menyarankan bahwa kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa kedua harus menjadi syarat terendah, atau paling tidak, memahami kalimat-kalimat bahasa kedua itu. Istilah kedwibahasawan menyaran juga pada orang yang 48

64 Kedwibahasaan mengetahui lebih dari satu bahasa, yang biasa dikenal dengan istilah multibahasawan atau ploligot (Fishman, ed., 1978:4). Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa konsep kedwibahasaan telah mengalami perluasan. Hal ini terlihat pada pernyataan Mackey, bahwa kedwibahasaan itu melibatkan tingkatan. Tingkatan dimaksudkan untuk membedakan kemampuan seseorang dalam penguasaannya terhadap bahasa kedua. Tingkatan kemampuan itu dapat dilihat pada penguasaan dwibahasawan dalam hal fonologi, tata bahasa (grammar), segi leksikal, semantik dan gaya bahasa (stylistic) yang terlihat dalam empat ketrampilan (skill) bahasa, yaitu: menyimak (listening), membaca (reading), berbicara (speaking), dan menulis (writing) (Fishman, ed., 1972: ). Pengertian kemampuan berbahasa itu juga mengacu pada kemampuan aktif dan pasif. Ini berarti bahwa dwibahasawan tidak harus menguasai bahasa keduanya secara aktif, tetapi dapat juga secara pasif. Seseorang yang memiliki kemampuan pasif bahasa tulis dalam bahasa kedua dapat juga disebut dwibahasawan (Fishman, ed., 1972:555). Interferensi Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa kedwibahasaan mengandung pengertian yang relatif atau nisbi. Ia melibatkan masalah tingkatan, fungsi, pertukaran, dan interferensi. Tiga hal yang pertama (tingkatan, fungsi, dan pertukaran) menentukan terjadi atau tidaknya peristiwa interferensi bahasa tertentu dalam tuturan dwibahasawan dengan bahasa yang lain. Dengan demikian, menurut Mackey, pengertian interferensi adalah penggunaan unsurunsur yang ada dalam suatu bahasa pada waktu berbicara atau menulis dalam bahasa lain (Fishman, ed., 1972:569). Praktek penggunaan dua bahasa oleh seseorang menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dari norma masing-masing bahasa itu. Penyimpangan semacam itu disebut interferensi. Dalam hal ini, Weinreich mengatakan: The practice of alternately using two languages will be called bilingualism and the persons involved, bilingual. Those instances of deviation from the norms of either language either language which occurs in the speech of bilinguals 49

65 Maungkai Budaya 50 as a result of their familiarity with more than one language, i.e. as a result of language contact, will be referred to as interference phenomena (1953:1). Interferensi disebut juga dengan penerapan struktur bahasa yang satu (misalnya, bahasa X) pada bahasa yang lain (misalnya, bahasa Y). Atau, dapat dikatakan bahwa interferensi adalah penerapan dua struktur bahasa secara serampak pada saat bertutur dengan suatu bahasa (Haugen dalam Fishman, ed., 1978:33). Dari pengertian-pengertian tentang interferensi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa interferensi mencakup baik penggunaan unsur yang ada dalam suatu bahasa pada waktu berbicara atau menulis bahasa yang lain, maupun penerapakan dua kaidah bahasa secara serempak, yang akibatnya menimbulkan penyimpangan dari norma-norma masing-masing bahasa yang terjadi tuturan dwibahasawan. Penerapan dua kaidah bahasa secara serempak itu terbatas pada gejala tuturan saja. Hal ini karena kaidah yang dipandang sebagai pinjaman yang telah kukuh dan pemakaiannya tidak terbatas pada kedwibahasaan, maka ia bukan lagi disebut interferensi. Dalam kaitan ini, Weinreich menjelaskan sebagai berikut: In speech, interference is like sand carried by a stream; in language, it is sedimented sand deposited on the bottom of a lake. Two phases of interference should be distinguished. In speech, it occurs anew in the utterances of the bilingual speaker as a result of his personal knowledge of the other tongue. In language, we find interference phenomena which, having frequently occurred in the speech of bilinguals, have become habitualized and established. Their use is no longer dependent on bilingualism. When a speaker of language X uses a form of foreign origin not as an on the-spot borrowing from the language Y, but because he has heard it used by others in X-utterances, this borrowing element can be considered, from the descriptive viewpoint, to have a part of language X (1968:11). Senada dengan Weinreich, Mackey menyatakan bahwa deskripsi tentang interferensi harus dibedakan dengan analisis tentang pinjaman bahasa. Interferensi merupakan gejala parole; sedangkan pinjaman merupakan gejala langue. Interferensi itu terjadi pada diri dwibahasawan; sedangkan pinjaman bahasa yang berkaitan dengan integrasi- dapat terjadi tidak hanya pada diri dwibahasawan tetapi juga pada diri ekbahasawan (Fishman, ed., 1972:569). Pengertian integrasi akan dijelaskan kemudian.

66 Kedwibahasaan Dalam interferensi terdapat tiga unsur yang berperan, yaitu: (1) bahasa model atau bahasa sumber, (2) bahasa penyerap atau penerima, dan (3) unsur serapan atau importasi. Interferensi dapat terjadi karena pemindahan unsur. Unsur yang dipindahkan dari bahasa sumber ke bahasa penerima disebut serapan atau importasi. Unsur serapan atau importasi semacam ini dapat terjadi pada tingkat kata, yaitu berupa pemindahan atau pemasukan kata dari bahasa sumber ke bahasa penerima, di mana fonem-fonemnya diganti dengan fonem-fonem bahasa penerima (native phonemes). Dalam hal ini importasi menyebabkan adanya loanword (Weinreich, 1968:31 dan Fishman, ed., 1972:37). Juga, dalam interferensi terdapat penggantian unsur. Yang dimaksud dengan penggantian unsur di sini adalah unsure yang digantikan atau disalin dari bahasa sumber dalam bahasa penerima. Dalam hal ini, bahasa sumber disebut bahasa model dan bahasa penerima disebut replica. Unsur yang disalin adalah substitusi. Substitusi dari bahasa asli menyebabkan adanya loanship, yang terjadi dengan menyalin kata asli ke dalam bahasa replica disertai dengan pergesearan arti (Fishman, ed., 1978:38). Interferensi dapat saja terjadi dalam semua komponen kebahasaan. Ini berarti bahwa peristiwa interferensi dapat saja terjadi dalam bidangbidang: tata bunyi, tata bentuk, tata kata, tata kalimat, dan tata makna. Integrasi Baik interferensi maupun integrasi merupakan gejala akibat dari kontak bahasa. Keduanya peristiwa itu sebenarnya merupakan penggunaan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang terjadi pada diri penutur bahasa. Mackey mengajukan perbedaan antara interferensi dan integrasi. Menurut dia, interferensi menyaran pada the use of elements of one language or dialect while speaking or writing another dan integreasi menyaran pada the incorporation into one language or dialect of elements from another from another (Fishman, ed., 1972:555). Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa interferensi terjadi pada diri dwibahasawan; sedangkan pinjaman bahasa (yang sering dikaitkan dengan integrasi) dapat terjadi tidak hanya pada diri dwibahasawan tetapi juga pada diri ekabahasawan. Dengan 51

67 Maungkai Budaya demikian, dalam peristiwa integrasi unsur-unsur dari suatu bahasa digunakan seolah-olah menjadi bagian dari bahasa yang lain. Dalam kaitan ini, unsur-unsur dari bahasa lain itu digunakan oleh penutur ekabahasawan yang tidak mempunyai pengetahuan tentang bahasa sumber atau oleh penutur dwibahasawan yang menjadikan unsurunsur bahasa lain itu sebagai bagian dari kebiasaannya (Fishman, ed., 1972:569 dan Weinreich, 1968:11). Integrasi dapat dikatakan sebagai fenomena yang terjadi bila unsur-unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan dengan sistem bahasa penyerapnya sehingga pemakaiannya tidak lagi terasa keasingannya. Dalam hal ini, Haugen (dalam Rusyana, 1975:76) memberikan batasan integrasi sebagai kebiasaan menggunakan materi dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Seperti halnya interferensi, integrasi dapat terjadi pada semua komponen kebahasaan: tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat ataupun tata makna. Kode Istilah kode di sini dimaksudkan untuk menyebut salah satu varian dalam hirakhi kebahasaan. Kode dapat menyaran pada (1) bahasa, dan (2) varian dari suatu bahasa. Bila bahasa dipandang sebagai suatu kode, kita, misalnya, akan mengetahui bahwa bahasa Banjar, bahasa Arab, bahasa Indonesia dan sebagainya adalah kodekode. Suatu bahasa memiliki sejumlah varian bahasa dan selanjutnya setiap varian bahasa juga disebut kode. Varian-varian bahasa dapat berupa (a) dialek yang terbagi lagi menjadi: dialek geografi, sosial, usia, jenis kelamin, aliran, suku, ras dan sebagainya, (b) tingkat tutur yang terbagi lagi menjadi: tingkat tutur hormat, dan non-hormat, yang berwujud ngoko, krama madya, dan krama inggil (bahasa Jawa), (c) ragam (style) yang terbagi lagi atas dasar suasana: ragam santai (informal), resmi (formal), dan literer (indah), dan atas dasar komunikasi: ragam ringkas (restricted code), ragam lengkap (elaborated code), dan syair, serta atas dasar kekhususan: register (Poejosoedarmo, 1975). Dalam kaitan ini, Fishman menyatakan bahwa setiap varian bahasa itu dapat dikenali atau diketahui (1) pola-pola bunyinya, (2) kosa katanya, (3) ciri-ciri gramatikalnya, dan (4) maknanya (1972:5). Istilah dialek menyaran pada varian bahasa yang adanya ditentukan oleh latar belakang asal usul penutur. Latar belakang 52

68 Kedwibahasaan penutur dapat berupa (1) lingkungan geografis tempat seorang penutur hidup, (2) tingkat sosial dari mana seorang penutur berasal, (3) aliran agama, kepercayaan kebatinan atau kepartaian yang seorang penutur anut, (4) umur seorang penutur (anak-anak atau orang dewasa/tua, (5) jenis kelamin seorang penutur (laki-laki atau perempuan), dan suku/etnis seorang penutur (Negro, Indian, Tionghoa, Jawa, Madura). Berkenaan dengan dialek sebagai suatu kode, Trudgill berpendapat bahwa dalam bahasa terdapat dua dialek, yaitu dialek regional dan dialek sosial. Dialek regional menyaran pada varian bahasa yang adanya ditentukan oleh daerah asal si penutur. Dalam bahasa Banjar, misalnya, kita mengenal dialek bahasa Banjar Hulu dan Kuala; dalam bahasa Jawa, misalnya, kita mengenal dialek bahasa Jawa Surabaya, Yogyakarta, Banyumas, dan lain-lain. Dialek sosial menyaran dialek yang adanya ditentukan oleh tingkat sosial dari mana seseorang penutur berasal, apakah ia berasal dari kelas sosial tingkat, menengah, atau rendah. Lebih lanjut, Soepomo Poedjosoedarmo menjelaskan bahwa tingkat tutur dipandang sebagai suatu kode. Tingkat tutur mempunyai ciri khusus sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan tuturnya, dan situasi tutur yang ada. Tingkat tutur itu biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi oleh anggota suatu masyarakat bahasa. Bagi masyarakat ekabahasa, kode itu merupakan varian dari bahasanya yang satu. Akan tetapi, bagi masyarakat yang dwibahasa atau anekabahasa, inventariasai kode itu menjadi lebih luas dan mencakup varian dua bahasa atau lebih(1975:30). Berkaitan dengan tingkat tutur itu, Clifford Geertz membahasnya dalam kerangka sopan santun berbahasa atau etiket berbahasa. Dalam bahasa Jawa, kita mengenal tingkat-tingkat tutur (speech levels) yang sangat kompleks. Tingkat-tingkat tutur yang dimaksud adalah varian-varian bahasa yang perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap sopan santun yang ada pada diri pembicara atau penutur (O1) terhadap lawan bicara (O2). Tingkat-tingkat tutur itu adalah ngoko, krama madya, dan krama inggil (Geertz, 1960). Masing-masing tingkat tutur itu membawa perbedaan dalam kosa kata. Dengan perkataan lain, 53

69 Maungkai Budaya tingkat tutur itu dapat dikatakan sebagai sistem kode penyampai rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosa kata tertentu, aturan sintaksis tertentu, aturan morfologi dan fonologi tertentu (Poedjosoedarmo, 1979:3-8). Bila varian bahasa ditinjau dari segi ragam bahasa, maka varian bahasa itu biasanya dikaitkan dengan tingkat formalitas. Dalam kaitan ini, Trudgill mengatakan: 54 Formality is not, in fact, something which is easy to define with any degree of precision, largely because it subsumes very many factors including familiarity, kinship-relationship, politeness, seriousness, and so on, but most people have a good idea of the relative formality of particular linguistic varians in their own language (1974:110) Berpijak dari pendapat Trudgill di atas, kiranya dapat dikatakan bahwa tingkat formalitas antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya akan berbeda. Sebagai contoh, ragam formal dalam bahasa Inggris ditandai oleh penggunaan bentuk pasif; sementara ragam formal dalam bahasa Jawa ditandai dengan penggunaan tingkat tutur krama/krama inggil (misal, dalam rapat, pidato). Varian bahasa yang lain adalah apa yang dikenal dengan istilah tutur lengkap (elaborated code) dan tutur ringkas (restricted code). Dua istilah ini merupakan dua istilah yang pernah dipakai oleh Basil Berstein, seorang profesot sosiologi pendidikan pada Universitas London. Tutur lengkap, menurut sang professor ini, umumnya digunakan dalam situasi-situasi formal seperti debat formal atau diskusi akademik. Sedangkan tutur ringkas umumnya digunakan dalam suasana tak resmi, misalnya dalam suasana santai. Tutur lengkap tentu saja mengandung kalimat-kalimat yang lengkap, sesuai dengan kaidah sintaksis yang ada. Ungkapan-ungkapan dinyatakan dengan jelas. (Trudgill, 1974:51-52). Tutur lengkap tentu saja mengandung kalimat-kalimat yang lengkap, sesuai dengan kaidah sintaksis yang ada. Ungkapan-ungkapan dinyatakan dengan jelas. Perpindahan dari kalimat yang satu ke kalimat yang lain terasa runtut dan logis, tidak dikejutkan oleh faktor-faktor non kebahasaan yang aneh-aneh. Sedangkan tutur ringkas sering mengandung kalimatkalimat yang pendek, dan biasanya hanya dimengerti oleh peserta tutur. Orang luar kadang-kadang tak dapat menangkap makna tutur yang ada, sebab tutur itu sangat dipengaruhi antara lain oleh faktor-faktor

70 Kedwibahasaan non kebahasaan yang ada pada waktu dan di sekitar pembicaraan itu berlangsung. Bahasa yang dipakai dalam suasana santai antara sahabat karib, sesama anggota keluarga, antara teman, biasanya berwujud singkat-singkat seperti itu (Poedjosoedarmo, 1974:8). Varian bahasa yang lain adalah register. Kita sering membedakan tutur karena penggunaan tutur itu secara khusus. Tutur penjual obat dan tutur ahli hukum yang sedang bekerja di kantor pengadilan akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Demikian pula, tutur seseorang yang kerkecimpung dalam dunia kedokteran akan berbeda dengan tutur seseorang yang bekerja dalam bidang teknik. Dalam kaitan ini, Trudgill berpendapat: The occupational situation will produce a distinct linguistic variety. Occupational linguistic varieties of this sort have been termed registers, and are likely to occur in any situation involving members of a particular profession or occupation. The language of law, for example, is different from the language of medicine, which in turn is different from the language of engineering- and so on. Registers are usually characterized solely by vocabulary differences; neither by the use of particular words, or by the use of words in a particular sense (1974:104). Alih Kode Penggunaan bahasa dalam situasi kedwi-bahasaan atau keanekabahasaan akan melibatkan persoalan siapa yang bertutur, bahasa apa yang digunakan, kepada siapa seseorang itu bertutur, kapan dan di mana tutur itu terjadi (Fishman,1972:244). Dalam situasi kedwibahasaan atau keaneka-bahasaan, sering kita melihat orang mengganti bahasa atau ragam bahasa; hal ini tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu sendiri. Kalau bahasa dipandang sebagai system kode, maka peralihan bahasa yang satu ke bahasa yang lain disebut alih kode. Misalnya, seseorang penutur menggunakan bahasa Indonesia, dan kemudian beralih dengan menggunakan bahasa yang lain. Peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa yang lain itu disebut peristiwa alih kode (code-switching). Namun, seperti telah terurai di atas, dalam suatu bahasa terdapat kemungkinan varian bahasa baik dialek, tingkat tutur, ragam maupun register yang juga disebut sebagai kode maka peristiwa alih kode mungkin berwujud alih dialek, alih tingkat tutur, alih ragam ataupun alih register. Dalam kaitan ini, Nababan 55

71 Maungkai Budaya mengatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga di mana seseorang beralih dari satu ragam fungsiolek (misalnya ragam santai) ke ragam lain (misalnya ragam formal), atau dari satu dialek ke dialek yang lain (1984:31). Lebih lanjut, kalau kita berpijak pada bahasa Jawa atau bahasa daerah yang memiliki sejumlah tingkat tutur yang mempunyai tingkat tutur yang kompleks, alih kode ini dapat diperluas dengan alih tingkat tutur. Alih kode seperti ini terjadi, misalnya, pada waktu seseorang berbicara dalam bahasa daerah yang formal dan hormat (krama), tiba-tiba penutur itu beralih ke bahasa Indonesia ragam formal, kemudian kembali ke krama lagi, lalu berganti ke ngoko, lalu ke bahasa Indonesia lagi, lalu ke krama, begitu selanjutnya. Pengertian alih kode akan dibedakan dengan pengertian campur kode. Situasi berbahasa yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi alih kode ialah terdiri dari faktor-faktor, yakni: pribadi yang berperan dalam tindak berbahasa, yang membicarakan masalah tertentu, yang menggunakan jalur tertentu, dengan tujuan tertentu pula (Nababan, 1984:31). Istiati Soetomo menegaskan bahwa tindak berbahasa itu ditentukan oleh pertimbangan komunikasi, yaitu pertimbangan yang datang dari sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem tingkah laku (1985:26). Sedangkan pengertian campur kode, menurut Nababan, ialah suatu keadaan berbahasa di mana seseorang penutur mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak berbahasa (speech act) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu sendiri. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian dan/atau kebiasaannya yang dituruti (1984:31). Dalam hubungan ini, Istiati Soetomo menanbahkan bahwa campur kode itu dilakukan seseorang demi kemudahan dalam berbahasa (1985:88). 56 *** Seorang dwibahasawan mungkin saja menggunakan satu bahasa (single language, melakukan interferensi atau alih kode/campur kode. Fenomena bahasa seperti interferensi, integrasi, dan alih-kode/campur kode diakibatkan oleh penutur bahasa yang memiliki penguasaan terhadap lebih dari satu bahasa. Penutur semacam ini disebut

72 Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure? dwibahasawan. Penguasaan dan penggunaan lebih dari satu bahasa diacu dengan istilah kedwibahasaan. Berkaitan dengan kedwibahasaan ini, sejumlah ahli mengajukan konsep kedwibahasaan secara berbeda-beda, sehingga muncul, setidak-tidaknya, tiga jenis kedwibasaan: kedwibahasaan majemik (compound bilingualism), kedwibahasaan coordinat (coordinatitive bilingualism) dan kedwibahawaan sub-ordinat (subordinate bilingualism). 57

73 Maungkai Budaya BELAJAR BAHASA INGGRIS ITU PERLU EXPOSURE? B A language is defined as a system of arbitrary, vocal symbols which permit all people in a given culture, or other people who have learned the system of that culture, to communicate or to interact (Finocchioro) eranjak dari definisi bahasa tersebut, untuk keperluan penulisan artikel, kita dapat menarik beberapa ciri-ciri bahasa, yakni: bahasa itu (1) sistematis, (2) dilisankan (spoken), (4) sosial. Konsep bahasa yang bersifat sistematis, terlihat pada definisi bahasa di atas; hal ini ditunjukkan dengan istilah sistem. Sesuatu akan disebut sebagai sistem bila ia sistematis sifatnya. Bahasa dikatakan sebagai suatu sistem, karena ia memiliki sifat sistematis. Belajar bahasa tentu diarahkan kepada belajar grammar bahasa. Mempelajari grammar tidak semata-mata dimaksudkan untuk menguasai grammar itu sendiri, tetapi juga, untuk menunjang penggunaan bahasa secara lisan dalam speech community, dan tulisan. Belajar Bahasa itu untuk Apa? Sejak lahir, anak manusia sudah dibekali dengan language acquisition device (LAD). Alat pemerolehan bahasa ini memungkinkan anak manusia untuk mampu berbahasa. Karena kemampuan berbahasa itu tidak diturunkan secara genitis, maka kemampuan berbahasa itu dibentuk oleh lingkungan sosiokultural tempat ia dibesarkan. Ia diajari oleh -dan belajar bahasa dari- lingkungan sosial terdekatnya, yakni orang tua/keluarganya. Umumnya, dalam keseharian keluarga masyarakat Indonesia menggunakan bahasa daerah, maka si anak 58

74 Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure? manusia tadi diajari dan belajar- bahasa daerah. Dilihat dari sisi si anak, belajar bahasa daerah dimaksudkan untuk bisa berkomunikasi/ berinteraksi sosial dengan lingkungan sosialnya. Ketika lingkungan sosial lain (misal: sekolah) menghendaki penggunaan bahasa lain (baca: bahasa Indonesia), maka belajar bahasa Indonesia akan menjadi tuntutan baginya. Dia akan termotivasi untuk belajar bahasa Indonesia. Karena, bila dia tidak mampu berbahasa Indonesia maka hampir semua urusan yang berkait dengan sekolah, bakal terhambat. Sebab, bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Indonesia; buku-buku pelajaran tercetak dalam bahasa Indonesia; dan komunikasi antar siswa mungkin juga dilakukan dengan bahasa Indonesia. Secara tidak langsung si pembelajar telah menetapkan tujuan belajar bahasa Indonesia, yakni: untuk bisa mengikuti pelajaran di sekolah, berkomunikasi/berinteraksi sosial dan membaca bacaan dalam bahasa Indonesia. Pendek kata, ada unsur suka rela dalam belajar bahasa Indonesia. Bagaimana tentang belajar bahasa Inggris? Adakah kondisi tertentu yang menjadikan belajar bahasa Inggris itu seperti halnya belajar bahasa Indonesia? Mulai beberapa tahun terakhir, bahasa itu diajarkan di sekolah mulai tingkat sekolah dasar (kelas 4) hingga perguruan tingg dalam beberapa semester. Di sini, ada yang suka rela dan ada yang terpaksa belajar bahasa Inggris. Dalam kaitan ini, mereka yang suka rela, punya motivasi tinggi dalam belajar. Didasari motivasi tinggi itu, akan baguslah kemampuan bahasa Inggris mereka. Namun, jumlah mereka tak seberapa. Bagi yang terpaksa? Tampaknya, bahasa Inggris yang diajarkan sedini itu, justru menjadi momok bagi sebagian besar siswa. Mereka, tampaknya, kurang termotivasi untuk mempelajari bahasa Inggris itu sampai mereka memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang memadai. Kita mengatakan bahwa bahasa Inggris itu penting; sementara mereka punya pandangan: bahasa Inggris tak penting. Kalau demikian halnya, kita mau apa? Sebagai akibatnya, mereka cenderung bersikap apatis dan kurang bergairah dalam mengikuti pelajaran bahasa Inggris itu. Atas dasar pengamatan, hal ini tidak saja terjadi pada sejumlah siswa tetapi juga pada sejumlah 59

75 Maungkai Budaya mahasiswa. Mereka mengikuti pelajaran atau mata kuliah Bahasa Inggris, karena kurikulum mewajibkannya. Perlukah pelajaran bahasa Inggris diajarkan sebagai mata pelajaran pilihan? Siswa yang punya minat dan motivasi, boleh mengambilnya; sementara, siswa yang tak punya minat dan motivasi dipersilahkan untuk minggir. Kalau pelajaran bahasa Inggris tetap diwajibkan, hendaknya pihak berwenang mengupayakan exposure; hendaknya, tidak hanya menyambut baik dan mendukung saja. Itu tak cukup! Perlu Exposure Kemampuan berbahasa daerah umumnya didapat melalui proses pemerolehan (acquisition process), walaupun kadangkala diikuti juga oleh proses belajar (learning process). Kemampuan bahasa Indonesia bisa didapat melalui proses pemerolehan maupun belajar. Kemampuan berbahasa melalui proses pemerolehan biasanya didapat secara tidak disadari, sedangkan kemampuan berbahasa melalui proses belajar biasanya didapat secara sadar atau sengaja. Kemampuan berbahasa Inggris dikuasai melalui proses belajar (learning process). Mengapa kemampuan dua bahasa (bahasa daerah dan bahasa Indonesia) bisa baik, dalam arti, si penutur mampu menggunakan bahasa-bahasa yang dikuasainya itu untuk keperluan komunikasi/ interaksi sosial? Sementara itu, bahasa Inggris yang dipelajarinya sejak dia duduk di bangku kelas 4 SD hingga lulus SMA dan bahkan beberapa semester di perguruan tinggi itu, belum dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang sama. Belajar bahasa (apapun) perlu adanya exposure, speaking community, atau situasi di mana seseorang bisa terlibat atau melibatkan diri dalam suatu tindak bahasa (speech act). Dalam komunitas (atau setidak-tidaknya, kelompok) penutur itu, penggunaan bahasa secara nyata terjadi. Belajar bahasa dilakukan di sekolah, dan praktik berbahasa bisa dilakukan dalam speaking community itu. Bila kondisi belajarnya demikian, maka bisa saja seseorang mendapatkan kemampuan berbahasa melalui language acquisition. Sebab, di samping pengetahuan berbahasa yang didapat secara sadar, ada pengetahuan berbahasa yang tanpa disadari, didapat melalui speaking community, public speaking atau sejenisnya. 60

76 Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure? Untuk apa Bahasa Inggris? Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sama-sama dipelajari oleh kebanyakan anak Indonesia. Namun, karena exposure untuk bahasa Indonesia lebih dari cukup, maka kemampuan bahasa Indonesia yang mereka miliki jauh lebih baik. Hal ini, bukan karena bahasa Inggris itu bahasa asing. Tetapi, lebih cenderung, karena exposure untuk praktik menggunakan bahasa Inggris secara nyata sangat terbatas. Untuk apa bahasa Inggris diajarkan (mulai dari SD) dengan harapan anak-anak Indonesia memiliki empat keterampilan bahasa: listening, speaking, reading dan writing, bila exposure sebagai wahana bagi mereka untuk terlibat atau melibatkan diri, tidak diciptakan sedemikian memadai? Saya kira, tetap saja, anak-anak Indonesia dalam jumlah tertentu saja, yang memang memiliki motivasi (kendatipun, motivasi instrumental), akan memperoleh kemampuan bahasa Inggris yang baik. Sebab, mereka terus mencari atau menciptakan exposure sendiri. Tak ada di sekolah, mereka mencarinya di tempat lain: lingkungan keluarga, antara kawan, atau kursus. Bagi mereka yang tidak aktif menciptakan exposure, bisa saja, secara linguistis, mereka memiliki apa yang disebut Ferdinand de Saussure sebagai- langue tetapi tak/kurang mampu menghasilkan parole; atau menurut Noam Chomsky, mereka hanya memiliki competence tetapi tak/kurang mampu mewujudkannya dalam performance. Kemampuan semacam inipun, sebenarnya masih bagus. Kalau keduanya tak mereka miliki, itu berarti mereka gagal total. Hanya yes-no, I don t know, dan I love you saja, yang mereka tahu. Sebenarnya, saya prihatin. Bagaimana menurut Anda? 61

77 Maungkai Budaya KILAS BALIK DIALOG BORNEO- KALIMANTAN VII D ialog Borneo-Kalimantan VII berlangsung mulai tanggal 30 April sampai dengan 3 Mei 2003 di Hotel Borneo. Dialog itu menyoal budaya Melayu, termasuk di dalamnya bahasa Banjar. Adalah Ersis Warmansyah Abbas dengan gayanya yang khas, telah mengulas dialog itu dari berbagai sisi, antara lain, berkenaan dengan pelestarian budaya dan bahasa Banjar. Kali ini, saya melihat bahasa Banjar dari sisi yang lain. Dalam diskusi itu terungkap, antara lain, bahwa penggunaan bahasa Banjar sekarang menunjukkan gejala yang memprihatinkan. Dikhawatirkan bahwa bahasa Banjar akan tidak berkembang dan lama kelamaan akan lenyap bila tidak diadakan pembinaan. Sejumlah kalangan justeru tidak mengkhawatirkan akan lenyapnya bahasa Banjar. Hal ini karena bahasa daerah ini masih banyak pendukungnya. Di kantor-kantor, di kampung-kampung, di tempat-tempat mangkal para pengojek, dalam pandiran ala warung kopi dan lain-lain, yang pernah saya amati, bahasa Banjar selalu digunakan, khususnya, bila peserta tuturnya beretnis Banjar. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan etnis lain ikut menggunakan bahasa Banjar bila bergabung dengan mereka. Mereka ini sebenarnya para pelestari bahasa Banjar itu sendiri. Penggunaan bahasa Banjar dalam siaran berita RRI terkena tohok. Menurut salah seorang penyaji, bahasa Banjar dalam siaran berita RRI itu adalah bahasa Banjar yang tidak murni (terpengaruh oleh bahasa Indonesia) dan (ciri yang jelas) dibacakan dengan lagu bahasa Indonesia. Bagi penutur asli bahasa Banjar yang punya kepedulian terhadap hidup-matinya bahasa Banjar, siaran berita dalam bahasa daerah 62

78 Kilas Balik Dialog Borneo-Kalimantan VII ini dipandang cacat dan bisa memanaskan telinga. Namun sayang, model dan lagu membacakan berita dalam bahasa Banjar yang benar tidak dicontohkan (misalnya, dengan memutar kaset rekaman siaran itu). Padahal, kawan di sebelah saya ingin mendengar model dan lagu pembacaan berita dalam bahasa Banjar yang benar. Beranjak dari statement di atas, untuk kepentingan penyiaran berita dalam bahasa Banjar ini, kiranya perlu bagi pihak RRI untuk merekrut penulis dan atau pembaca berita dari penutur asli (native speaker) bahasa Banjar yang betul-betul memiliki linguistic competence dan performance yang memadai. Linguistic competence adalah kemampuan terhadap bahasa dan aturan-aturan atau kaidahkaidahnya (the users knowledge about the language and its system); sedangkan linguistic performance adalah penggunaan bahasa secara nyata (the actual use of the language) yang secara langsung dapat diamati (didengar atau dibaca). Atau, kalau perlu ia merekrut penutur asli bahasa Banjar yang monolingual. Namun, apa mungkin mengambil penutur yang monolingual itu? Jika seorang penutur bahasa akan menyampaikan pesan kepada orang lain, dia perlu mengetahui dan menguasai bahasa dan kaidahnya yang akan digunakan sebagai alat komunikasinya. Pengetahuan dan kemampuan terhadap kaidah bahasa itu akan sangat menentukan apakah kata-kata, kalimat-kalimat atau ungkapan-ungkapan yang diucapkan atau dihasilkannya itu benar atau tidak, dan baik atau tidak. Dengan demikian, penggunaan bahasa secara nyata (linguistic performance) yang didukung oleh pengetahuan dan kemampuan bahasa yang tidak atau kurang sempurna, akan memanaskan telinga penutur asli bahasa itu. Dalam arti, penggunaan bahasa secara nyata tidak berkesesuaian dengan kaidah bahasa yang bersangkutan, misalnya: bahasa Indonesia yang di-banjar-kan atau bahasa Indonesia yang dilagu-banjar-kan. Dalam diskusi tersebut terungkap pula bahwa rusaknya bahasa Banjar karena para penutur selain memiliki kemampuan bahasa Banjar juga kemampuan bahasa-(bahasa) lain. Mereka in disebut dwibahasawan. Penggunaan dua (atau lebih) bahasa disebut kedwibahasawan atau bilingualisme. Kedwibahasaan dibatasi oleh Bloomfield sebagai penggunaan dua bahasa yang sama baiknya antara bahasa ibu (asli) dan bahasa kedua. 63

79 Maungkai Budaya Dengan demikian, pengertian kedwibahasaan semacam ini menyaran pada kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penggunaan bahasa oleh penutur asli dari setiap bahasa itu. Munculnya unsurunsur dari bahasa lain (bahasa Indonesia) dalam tuturan pembawa berita dalam bahasa Banjar, seperti yang disinyalir terjadi di RRI, yang memiliki pengetahuan atau penguasaan lebih dari satu bahasa itu, kiranya perlu kita ikuti penjelasan sebagai berikut. Jika seorang dwibahasawan akan menyampaikan suatu pesan lewat bahasa kepada pendengarnya, ada dua faktor yang menghambat perjalanan pesan itu sebelum ia dapat diujarkan oleh penuturnya. Pertama adalah faktor dari kaidah beberapa bahasa yang dikenalnya, tentunya berbeda satu dari yang lainnya. Faktor ini tampaknya dapat untuk menanggapi penggunaan bahasa Banjar oleh penulis dan atau pembaca berita dalam bahasa Banjar di RRI. Saya berkeyakinan bahwa penulis dan atau pembaca berita dalam bahasa Banjar di RRI itu adalah dwibahasawan. Mampukah dia membedakan dan memilah-milahkan setiap kaidah itu, sehingga ketika dia menggunakan salah satu bahasa, kaidah bahasa lain tidak mengganggu? Jika dia tidak mampu, maka sementara dia menggunakan salah satu bahasa yang dikenalnya, bahasa lain dapat saja muncul dalam tuturannya. Terjadilah apa yang disebut interferensi, alih kode/campur kode. Sebaliknya, bila dia dapat memisah-misahkan kaidah bahasa-bahasa yang dikenalnya, maka terjadilah tunggal-bahasa dalam tuturan si penutur tersebut. Beranjak dari statement yang muncul dalam diskusi tersebut, dia tidak mampu membedakan dan memilah-milahkan setiap kaidah dari bahasa-bahasa yang dikenalnya. Akibatnya, ya itu tadi: the actual use of Banjarese language memanaskan telinga penutur aslinya. Kedua adalah faktor yang berasal dari pertimbangan komunikasi. Faktor ini kiranya dapat digunakan untuk menanggapi penggunaan bahasa Banjar yang ter-distorsi oleh bahasa-(bahasa) lain. Ini berkait dengan statement yang juga muncul dalam diskusi tersebut, bahwa bahasa Banjar berfungsi sebagai lingua franca untuk berbagai suku yang tinggal/menetap di Kalimantan Selatan, Timur dan Tengah, dan sebagian Kalimantan Barat. Bahasa Banjar digunakan mereka untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi antar mereka. 64

80 Kilas Balik Dialog Borneo-Kalimantan VII Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka. Pertimbangan komunikasi ini menentukan apakah dia akan bertutur dengan tunggal-bahasa, atau melakukan alih-kode (code-switching) atau bisa juga campur-kode (code-mixing). Dalam hal ini, mungkin kita dapati alih kode atau campur kode: Banjar-Jawa, Banjar-Madura, Banjar-Bugis, Banjar-Bakumpai Banjar-Indonesia, dan sebagainya atau Banjar logat Jawa, Banjar logat Madura, Banjar logat Bugis, Banjar logat Bakumpai, Banjar lagu Indonesia-nya pembaca berita dalam bahasa Banjar di RRI dan sebagainya. Kekhawatiran akan lenyapnya bahasa dan budaya Banjar memang perlu disikapi, misalnya, seperti kata Ersis, dengan memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah, menulis buku-buku dalam bahasa Banjar. Untuk melestarikan bahasa perlu dilakukan language planning dalam rangka untuk membakukan bahasa itu sendiri. Agar lagu bahasa bisa dipertahankan sesuai lagu aslinya, kiranya perlu dilakukan pelisanan bahasa itu oleh native speaker yang benar-benar bagus bahasa lisannya, atau bila perlu dilakukan recording terhadap bahasa lisan itu sendiri. Sebetulnya, amburadulnya penggunaan bahasa Banjar tidak sendirian. Penggunaan Jawa yang memiliki sejumlah tingkat tutur itu, misalnya, juga telah banyak mengalami pergeseran dari penggunaannya yang ideal. Sejumlah orang bertutur dengan tingkat ngoko padahal semestinya dengan tingkat tutur krama. Celakanya lagi, dalam pandangan saya, penguasaan tingkat tutur krama (madya dan inggil) pada kalangan kawula muda dalam kondisi memprihatikan (untuk tidak mengatakan jelek ). Tampaknya, mereka kurang kompetensinya dalam bahasa Jawa, khususnya tingkat tutur krama, yang memancarkan konotasi hormat itu. Sehingga, performansi dalam bahasa itu juga memprihatinkan. Yang lebih memprihatinkan lagi, mungkin menganggap bahasa Jawa sebagai bahasa tradisional dan biar dianggap sebagai orang-orang yang modern, educated ada sejumlah orang tua di kampung tempat kelahiran saya membiasakan anak-anak mereka 65

81 Maungkai Budaya menggunakan bahasa Indonesia dengan Jawa mereka yang medok, padahal mereka hidup di lingkungan masyarakat bahasa (speech community) bahasa Jawa. (Telinga saya juga panas bila mendengarnya). Mereka tampak begitu bangga ketika memperhatikan anak-anak mereka berbahasa Indonesia. Hal yang demikian, di samping tidak mendidik anak-anak untuk mampu berbahasa Jawa, menyusahkan mereka dalam bergaul dengan sesama mereka, tetapi juga membutakan mereka terhadap budaya yang terpancar dari bahasa Jawa itu sendiri, seperti adap asor, dan unggah-ungguh. Anak-anak yang hidup dan bergaul dalam masyarakat tutur bahasa Jawa, ajarilah atau jika tidak biarkanlah mereka berbahasa dan berbudaya Jawa. Secara adat Jawa, tata cara perkawinan, misalnya, menyangkut hal-hal: (1) nakokake, (2) nontoni, (3) yaitu, peningsetan, (4) perkawinan, dan (5) ngunduh mantu (Suryadikara, 1989). Dalam situasi sekarang, bila kedua bakal calon pengantin belum saling kenal, maka semua tata cara perkawinan di atas tetap saja dilalui, kendati di sana sini terdapat penyederhanaan. Namun, karena umumnya muda-mudi melangkah ke jenjang perkawinan sudah saling mengenal (tepatnya, berpacaran) maka sebagian tata cara tersebut tidak dilakukan. Tampaknya, tata cara yang ada adalah (1) lamaran, (2) peningsetan, (3) perkawinan (yang tidak diikuti macam-macam aktivitas, kecuali walimah), dan (4) ngunduh mantu (yang tidak selalu dilakukan). Dalam kaitan dengan budaya, mungkin kita sepakat bahwa budaya bisa saja tetap ajeg, bergeser, berubah atau bahkan musnah. Bila kita menginginkan keajegan budaya itu, kita tentu perlu usaha yang kongkret. Bagaimana menurut sampeyan? 66

82 Tulisan ini pernah dimuat di SKH Radar Banjarmasin, 13 Mei 2003 K MULTILINGUALISME DALAM KARYA SASTRA INDONESIA etika menjelaskan kedwibahasaan atau bilingualisme, William F. Mackey mengutip sejumlah definisi dari para pakar ilmu bahasa. Penjelasan Mackey adalah sebagai berikut. Istilah bilingualism itu banyak dipertentangkan oleh banyak ilmuwan bahasa. Hal ini terbukti dengan banyaknya pengertian tentang bilingualism itu sendiri. Konsep bilingualism telah menjadi semakin luas. Dahulu memang bilingualism dipandang sebagai the equal mastery of two languages. Konsep ini dikumandangkan oleh Bloomfiled sebagai the native-like control of two languages. Gagasan Bloomfield ini, kemudian, diperluas oleh Haugen menjadi the ability to produce complete meaningful utterances in the other language. Diebold, kemudian, menyarankan dimasukkannya passive-knowledge of the written language atau any contact with possible models in a second language and the ability to use these in the environment of the native language. Perluasan konsep ini karena titik tolak untuk menyatakan bahwa seorang penutur menjadi dwibahasawan (bilingual) bersifat arbitrer dan tidak mungkin ditentukan secara pasti. Untuk itu, jelaslah bahwa bila kita mengkaji gejala bilingualism berarti kita mengkaji sesuatu yang relatif atau nisbi. Lebih dari itu, kita harus memasukkan penggunaan tidak hanya terhadap dua bahasa, akan tetapi sejumlah bahasa. Dengan demikian kita akan memandang bilingualism sebagai the alternate use of two or more languages by the same individual atau penggunaan dua bahasa atau lebih oleh individu yang sama secara bergantian (Mackey dalam Fishman, ed., 1972:555). Atas dasar definisi kedwibahasaan ini menurut Mackey di atas, dua konsep, yakni: kedwibahasaan (bilingualism) dan keanekaba- 67

83 Maungkai Budaya hasaan (multilingualism) yang selama ini dianggap banyak kalangan mengacu kepada dua konsep yang berbeda, dapat dipandang sebagai hal yang sama. Secara harfiah, kata kedwibahasaan berarti penggunaan dua bahasa, sedangkan kata keanekabahasaan berarti penggunaan lebih dari dua bahasa. Dengan demikian, menurut definisi yang diajukan oleh Mackey tersebut, baik kedwibahasaan maupun keanekabahasaan sama-sama mengacu pada penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang secara bergantian, dalam arti pada suatu saat tertentu ia menggunakan suatu bahasa (yang dikuasai) dan pada saat yang lain ia menggunakan bahasa yang lain pula. Multingualisme dalam Sastra Ada suatu permasalahan yang sangat menarik untuk diungkapkan yaitu permasalahan tentang adanya gejala penggunaan bahasa yang unik dalam karya sastra Indonesia. Keunikan penggunaan bahasa dalam karya sastra Indonesia itu dapat dilihat dari penggunaan dua buah bahasa atau lebih dalam karya sastra Indonesia. Penggunaan dua buah bahasa atau lebih itu kita sebut multilingualisme dalam karya sastra Indonesia. Multilingualisme dalam karya sastra Indonesia itu pernah dipermasalahkan oleh seorang pemakalah pada Pertemuan Himpunan Sarjana Kesusasteraan-Indonesia (HISKI) di Denpasar-Bali pada bulan Juli Multilingualisme semacam itu dipandangnya sebagai tumpang tindih penggunaan bahasa dalam sastra Indonesia yang dapat mengganggu kelancaran dalam membaca bagi pembaca yang tidak berasal dari kultur yang sama (Hasanuddin, 1989:2). Terlepas dari ketumpangtindihan penggunaan bahasa dalam karya sastra Indonesia itu, bagaimanapun juga, jika kita menghadapi karya sastra yang memiliki gejala multilingualisme, kita harus menyikapi dan memahaminya. Sebuah karya sastra pada hekikatnya adalah tanggapan seseorang (pengarang) terhadap situasi di sekelilingnya. Berbagai situasi yang hidup di sekeliling pengarang dapat dijadikannya sebagai bahan untuk menghasilkan karya sastra setelah proses observasi, kontemplasi, dan imajinasi. Benda mati, tanaman, tatatan sosial, tatanan politik, dan manusia dapat dijadikan pbyek penulisan cerita oleh si 68

84 Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia pengarang. Dari sekian juta jumlah dan sekian banyak diobservasi oleh pengarang kiranya dapat dijadikan satu istilah: kehidupan. Dengan demikian karya sastra merupakan refleksi atau cerminan kehidupan yang diamati pengarang terhadap kehidupan itu. Dengan perkataan lain, karya sastra merupakan pengungkapan pengarang terhadap kehidupan, yaitu peristiwa yang ia tangkap maupun pengalaman dalam hidupnya. Untuk itu, latar belakang budaya dan pribadi setiap pengarang akan mendasari kreativitasnya. Pengarang karya sastra Indonesia sudah barang tentu orang yang sibuk berurusan dengan bahasa. Ia adalah orang yang mencintai bahasa bahasa. Ia mengurus bahasa, memilihnya dan mengolahnya untuk kepentingan penciptaan karya sastra. Bagi pengarang, penciptaan karya sastra tentu dimulai dengan pertama-tama memperoleh gagasan (masalah) dari masyarakat, kemudian memperenungkan gagasan (masalah) itu, selanjutnya mengekspresikannya dalam karya sastra dan menyajikannya kembali kepada masyarakat (pembaca). Karya sastra, menurut Andre Hardjana, merupakan pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat pada hakikatnya adalah kehidupan lewat bahasa (1981:10). Bahasa adalah medium sastra. Meskipun bahasa bukan satusatunya alat penentu keberhasilan sebuah karya sastra, bahasa tetap merupakan sebuah faktor penting. Bahasa adalah suatu alat untuk mengungkapkan kembali pengamatan pengarang terhadap kehidupan dalam bentuk karya sastra.untuk mencapai sasaran karya sastra, sang pengarang memilih bahasanya sendiri. Bahasa itu adalah milik khas sang pengarang karena ia sendiri yang tahu dalam memilih bahasa tersebut dan karena ia sendiri pula yang menciptakan dunia rekaannya. Kebebasan memilih bahasa untuk berekspresi adalah semacam kebebasan yang mengacu pada persoalan kreatif. Dalam membicarakan karya sastra Indonesia, khususnya, yang memiliki gejala penggunaan terhadap lebih dari satu bahasa, pemahaman tentang kedwibahasaan atau keanekabahasaan dalam karya sastra itu dipandang perlu. Bagaimanapun juga, karya sastra 69

85 Maungkai Budaya Indonesia yang terselipi dengan bahasa lain (asing atau daerah) harus disikapi dan dipahami. Pengarang tentu saja tidak asal mengarang atau menulis. Kalau tulisannya atau karangannya itu tidak ditujukan pada masyarakat tertentu, paling tidak ia menulisnya untuk dirinya sendiri. Dengan begitu, tulisan atau karangan itu selalu ada tujuannya. Karena ada tujuannya itu, dengan sendirinya pesan atau makna selalu ada (Husen, 1989:2). Kalau banyak pengarang karya sastra Indonesia memanfaatkan unsur-unsur bahasa lain (asing atau daerah) dalam karangan mereka, maka sebagai pembaca kita perlu memahami pesan atau makna apa yang ingin disampaikan oleh pengarang. Untuk memahami beberapa cerita pendek karya Umar (Sri Sumarah dan Bawuk, misalnya), beberapa novel karya Ahmad Tohari (Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, dan Di Kaki Bukit Cibalak, misalnya), prosa liris karya Linus Suryadi Pariyem, dan Roman Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya, pembaca perlu memahami unsur luar karya-karya itu, yang menyangkut kondisi penciptaan atau latar belakang sosial-budaya yang melingkungi karya-karya itu sendiri. Pengarang adalah produk zamannya. Jadi untuk memahami karya sastranya, mau tidak mau pembaca harus mengetahui latar belakang zamannya itu. Bahasa Indonesia merupakan medium untuk sastra Indonesia. Para pengarang sastra Indonesia jelas mereka yang yang menggeluti bahasa Indonesia secara serius.untuk kepentingan satu atau dua patah kata yang ditulis, pembaca memerlukan dukungan pengetahuan yang luas sekali (Husin, 1989:3). Terlebih lagi, kalau kata atau sejumlah kata itu berasal dari bahasa daerah atau bahasa asing, pembaca harus mengetahui lebih banyak tentang budaya dari bahasa daerah atau bahasa asing itu. Misalnya, kalau kita membaca karya-karya dari pengarang-pengarang di atas yang banyak diwarnai budaya Jawa, maka agar kita dapat memahami karyakarya itu secara lengkap kita hendaknya tidak memisahkan diri dari lingkungan atau budaya Jawa itu sendiri. Multilingualisme dalam Burung-Burung Manyar Kalau kita membaca novel (pengarangnya, Y.B. Mangunwijaya menyebutnya roman) Burung-Burung Manyar, kita akan tahu betapa 70

86 Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia kompleksnya masalah yang disampaikan oleh pengarangnya. Karya ini melibatkan berbagai tokoh dengan karakter yang berbeda-beda. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam karya itu berasal dari sejumlah kelas sosial yang berbeda.di dalamnya, ada tokoh yang konon keturunan kaum bangsawan, ada tokoh yang berpendidikan, ada tokoh pembantu rumah tangga yang tak berpendidikan, ada tokoh yang mewakili masyarakat kelas bawah dan sebagainya. Karena begitu kompleksnya masalah yang ingin disampaikan atau diungkapkan oleh pengarang lewat karyanya itu, maka digunakanlah lebih dari satu bahasa atau sebagaimana disebutkan di atas, multilingualisme dalam karya sastra itu.tokoh Setadewa, yang banyak bergaul dengan orang-orang Belanda, misalnya, harus mampu berbahasa Inggris dan berbahasa Belanda; sedangkan Larasati harus mampu menggunakan istilah khusus (register) biologi, agar masalah-masalah yang hendak disampaikan tampak wajar. Dengan demikian rumitnya masalah dalam novel itu menuntut multingualisme. Di samping itu, pengarang novel itu menyadari bahwa manusia yang diamatinya dan dijadikan obyek karangannya tidak berasal dari komunitas tutur yang sama, sehingga untuk membedakan karakter tokoh yang satu dengan yang lainnya digunakanlah ciri pembeda, yaitu: bahasa yang digunakan. Penggunaan bahasa Belanda oleh tokoh Setadewa pada bagian pertama cerita dalam Burung-Burung Manyar itu tidak digunakan lagi pada bagian ketiga novel itu. Pada bagian ketiga, bahasa asing yang digunakan adalah bahasa Inggris. itu tidak digunakan lagi pada bagian ketiga novel itu. Pada bagian ketiga, bahasa asing yang digunakan adalah bahasa Inggris. Perbedaan penggunaan bahasa asing pada bagian pertama dan bagian ketiga ini justru merupakan penggunaan bahasa yang diperhitungkan oleh pengarangnya. Pada bagian pertama, peristiwa cerita berkisar tahun 1934 sampai dengan tahun 1944, bagian kedua peristiwa cerita berikisar antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1950, dan bagian ketiga peristiwa cerita berkisar antara tahun 1968 sampai dengan tahun Secara historis, jelas setting bagian pertama cerita ini adalah masa penjajahan Belanda di mana peristiwa perang mewarnai masa itu, sehingga cerita atau novel itu banyak diilhami oleh peristiwa perang antara Indonesia dan Belanda. Bahasa Belanda pada masa 71

87 Maungkai Budaya itu dipelajari dan digunakan sebagai bahasa asing di Indonesia. Dengan demikian, penggunaan bahasa Belanda dalam novel itu adalah wajar dan berkesesuaian dengan setting historis. Penggunaan bahasa Belanda oleh tokoh Setadewa yang konon ibunya berasal dari negeri Belanda, misalnya, di samping berkesesuaian dengan setting historis juga berkesesuaian dengan speech act antara sang anak dan ibunya. Dengan demikian, penggunaan bahasa Belanda dalam novel itu, khususnya pada bagian pertama, dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, penggunaan bahasa itu dapat ditelusuri maksud penggunaannya. Setelah perang selesai, Setadewa pergi ke negeri Belanda, kemudian menempuh studi komputer di Amerika hingga memperoleh gelar doktor. Dengan demikian lingkungan dan situasi di mana Setadewa belajar menuntut yang besangkutaan untuk menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Belanda yang dulu dia kuasai sedikit demi sedikit tertutup oleh bahasa Inggris. Dengan demikian, ketika berbicara tentang ilmu dan pekerjaan dia sering melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. (Alih kode atau code-switching merupakan salah satu akibat dari penguasaan seseorang terhadap lebih dari satu bahasa). Jadi, penggunaan bahasa Inggris pada bagian ketiga dari novel itu pun dapat dipertanggungjawabkan. Diskusi tentang multilingualisme dalam novel Burung-Burung Manyar, pertama menyangkut macam atau jenis bahasa yang digunakan dalam novel tersebut. Bahasa-bahasa yang digunakan dalam novel tersebut adalah (1) (yang dominan) bahasa Indonesia, (2) bahasa Jawa, (3) bahasa Belanda, dan (4) bahasa Inggris. Penggunaan bahasa Jawa, Belanda dan Inggris hanya terbatas pada tingkat (1) kata (misalnya: Gusti, Verdomme dan sorry), (2) bentuk sapaan (misalnya: Den Rara, loitenent, dan sir), (3) frasa (misalnya: mampir ngombe, loitenent eeste, dan off the record), dan (4) klausa atau kalimat (misalnya: Nyuwun pangapunten, Daar bij de ouwe molen dan Okay, never mind), mengingat novel itu merupakan karya sastra Indonesia, yang tentu saja memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai mediumnya. Penggunaan bahasa-bahasa selain bahasa Indonesia dalam novel Burung-Burung Manyar dilakukan oleh pengarang dengan 72

88 Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia macam cara. Cara yang pertama adalah bahwa bahasa-bahasa itu digunakan secara langsung dalam diskripsi peristiwa, tokoh, setting dan sebagainya atau dalam percakapan antar tokoh dalam novel itu. Cara menggunakan bahasa semacam ini dinamakan cara eksplisit, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut:..walaupun konon salah seorang nenek canggah atau gantung siwur berkedudukan selir Keraton Mangkunegaran (BBM, 3). Beginilah dear Seta (BBM, 172). Bagaimana old fellow, elegan ya istriku berjalan (BBM, 172). Cara yang kedua adalah bahwa bahasa-bahasa itu digunakan secara tidak langsung. Cara menggunakan bahasa semacam ini disebut cara implisit. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut: Hanya secarik surat dari Mami yang kutemukan. Dalam bahasa Belanda (BBM, 33). Dalam bahasa Belanda ia tenang berkata padaku (BBM, 61). Anak-anak itu melongo mendengarkan percakapan dalam bahasa asing itu (BBM, 152). Ia bertanya dalam bahasa Inggris berlogat Perancis (BBM, 205). Multilingualisme, dalam pandangan sosiolinguistik, melibatkan persoalan siapa yang bertutur (who speaks), bahasa apa yang digunakan (what language), kepada siapa seseorang itu bertutur (to whom), kapan dan di mana tutur itu disampaikan (when and where) (Fishman, 1972:244). Menurut Pride dan Holmes (1972:35) pemilihan dan peralihan bahasa dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor non-kebahasaan, seperti partisipan dalam suatu speech act, topik pembicaraan, setting atau tempat pembicaraan itu terjadi, jalur, suasana, dan maksud. Faktor-faktor non-kebahasaan yang mempengaruhi masuknya unsur-unsur bahasa daerah atau bahasa asing dalam suatu speech act sebagaimana disarankan oleh Istiati Soetomo (1985) adalah: (1) faktor-faktor dalam sistem budaya (di mana bahasa dipandang sebagai (a) tata lambang konstitusi, (b) tata lambang kognisi, (c) tata lambang evaluasi, dan (d) tata lambang ekspresi, (2) faktor-faktor dalam sistem sosial (di mana penggunaan bahasa harus berkesesuaian dengan status dan peranan sosial manusia pemakai bahasa itu, dan (3) faktor-faktor dalam psikologi penutur (di mana 73

89 Maungkai Budaya penggunaan bahasa asing mungkin dilatarbelakangi oleh persepsi, motivasi, identitas, pengalaman dan hal-hal yang pribadi sifatnya. (Soetomo, 1985:2-3). Multilingualisme dalam novel Burung-Burung Manyar dapat dijelaskan melalui faktor-faktor non-kebahasaan sebagaimana yang disarankan oleh Fishman, Pride & Holmes, dan Istiati Soetomo di atas. Dalam kaitan ini, penulis hanya menjelaskan gejala multilingualisme dari (a) faktor-faktor peserta tutur (penutur dan lawan tuturnya), topik pembicaraan, dan waktu/tempat tutur itu disampaikan, dan (b) faktor-faktor dalam sistem budaya, sosial, dan kepribadian penutur. Multilingualisme ditinjau dari pesera tutur, topik, dan waktu/tempat Dari sudut pandang peserta dalam sejumlah speech act, Setadewa digambarkan sebagai tokoh yang menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris. Penggunaan bahasa Jawa untuk tokoh ini mengimplikasikan bahwa setidak-tidaknya dia memahami bahasa Jawa. Dengan alat bantu unsur cerita lain, tokoh ini teridentifikasi sebagai tokoh keturunan Jawa-Belanda; ayahnya keturunan Jawa sedangkan ibunya berdarah Belanda. Dengan demikian, penggunaan bahasa Jawa oleh tokoh ini adalah wajar dan diperhitungkan oleh pengarang novel itu. Atas dasar sudut pandang peserta tutur (penutur) dengan topik pembicaraan tertentu dan dialamatkan kepada lawar tutur tertentu, dia bisa saja menyelipkan unsur-unsur bahasa Jawa, bahasa Belanda, atau bahkan bahasa Inggris. Tokoh Setadewa ini menggunakan atau menyelipkan unsurunsur bahasa Jawa atau bahasa Belanda, bila topik yang dibicarakan menghendaki penggunaan bahasa-bahasa itu. Misalnya, ketika dia membicarakan seputar masa kecilnya, dia menyelipkan kata-kata loitenant, Vadeland, Inlandar (bahasa Belanda), dan kata-kata gantung siwur, canggah, selir, sinyo londo (bahasa Jawa). Faktor lawan tutur juga turut menentukan tokoh ini dalam memilih bahasa-bahasa yang akan digunakan. Misalnya, dia menggunakan bahasa Belanda bila dia berkomunikasi dengan ibunya (BBM, 29); dia menyelipkan katakata safe, detail, up and down, Excellency, multinational (bahasa Inggris), bila berkomunikasi dengan Larasati, Janakatamsi, dan John Briendley. 74

90 Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia Penggunaan bahasa-bahasa selain bahasa Indonesia itu dapat dijelaskan bahwa Setadewa menggunakan bahasa Jawa karena dia memiliki kemampuan berbahasa Jawa dan keturunan suku Jawa (dari pihak ayah). Kemampuan bahasa Jawanya diperoleh dari lingkungan keluarga dari garis ayahnya. Dia menggunakan bahasa Belanda karena dia memiliki kemampuan berbahasa Belanda dan keturunan Belanda (dari pihak ibu). Bagi dia, bahasa Belanda diduga sebagai bahasa pertamanya. Hal ini didasarkan pada teori pemerolehan bahasa pertama, bahwa bahasa itu diperoleh oleh seseorang (anak) melalui lingkungan sosial (terutama lingkungan keluarga, khususnya sang ibu). Ibu lah orang yang paling berperan dalam proses belajar bahasa pertama bagi anak(-anak)-nya. Bahasa (Belanda) yang diajarkan oleh orang tuanya itu tertanam kuat (wellestablished) dalam ingatannya sebab bahasa itu lah yang dipakai untuk komunikasi di lingkungan keluarganya. Oleh karena bahasa pertama ini tertanam kuat, maka ketika berkomunikasi dengan siapapun Setadewa kecil berusaha untuk menggunakan bahasa pertamanya itu, yakni bahasa Belanda. Setelah Setadewa menginjak usia yang memungkinkan untuk bergaul dengan orang-orang di luar keluarganya yang tidak berbahasa sebagaimana yang dia kuasai, maka kondisi ini menuntut dia untuk belajar bahasa lain, yakni bahasa Jawa. Berdasarkan cerita dalam novel itu, Setadewa dibawa oleh ayahnya ke Magelang dan Keraton. Di lingkungan sosial itu bahasa Jawa digunakan, sehingga dia harus belajar dan lalu menggunakan bahasa itu dalam upayanya untuk berkomunikasi dengan orang-orang di Keraton dan Magelang. Dorongan lain yang menyebabkan Setadewa mempelajari bahasa lain adalah karena keinginannya untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang hanya dapat dipelajari lewat bahasa lain itu sendiri. Atas dasar cerita dalam novel itu, bahwa setelah Belanda kalah perang, Setadewa pergi ke Belanda. Kemudian dia melanjutkan studi ke Amerika. Dia belajar komputer di Amerika. Karena lingkungan Amerika menuntut dia untuk memiliki kemampuan berbahasa Inggris, maka dia harus belajar dan lalu menggunakan bahasa itu untuk keperluan studi dan komunikasi di sana. Karena bahasa Inggris telah menjadi bagian dari hidupnya, maka ketika dia berbicara tentang pekerjaan atau ilmu pengetahuan dengan 75

91 Maungkai Budaya lawan tutur tertentu dia menggunakan bahas Inggris. Ketika dia kembali ke Indonesia, dia menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasinya, namun unsur-unsur bahasa Inggris masih mewarnai tuturannya. Multilingualisme ditinjau dari faktor budaya, sosial, dan kepribadian Dalam tinjauan dari sudut pandang faktor-faktor nonkebahasaan ini, multilingualisme dipandang sebagai bagian dari tingkah laku manusia, yakni: tingkah laku berbahasa dengan menggunakan lebih dari satu bahasa. Tingkah laku berbahasa ini dapat ditelusur (1) melalui sistem budaya, yang antara lain, menggariskan bahwa bahasa itu setidak-tidaknya- mencakup empat tata lambang: konstitusi, kognisi, evaluasi, dan ekspresi yang secara berturutan melambangkan kepercayaan (manusia terhadap Tuhan dan/atau kekuatan supernatural di luar dirinya), ilmu pengetahuan, penilaian (baik-buruk, pantas-tak pantas, dan sebagainya), dan pengungkapan perasaan manusia, (2) melalui sistem sosial (khususnya yang berkaitan dengan status dan peranan sosial), dan (3) melalui sistem kepribadian (khususnya yang berkaitan dengan sikap, identitas, persepsi, dan motivasi).. Dalam sistem budaya Jawa dikenal, antara lain, (1) adanya usaha mistik atau kebatinan sebagai usaha pendalaman batin untuk memperoleh ilmu mistik demi dua tujuan: (1) untuk mencapai pengertian dan kesadaran tentang sangkan paran atau asal-usul manusia, dan (2) untuk memiliki kemampuan menjalankan praktekpraktek jahat yang didorong oleh nafsu-nafsu rendah demi bendabenda dunia dan kekuatan iblis (setan). Usaha pendalaman batin yang pertama bersifat positif, karena kemampuan batin yang diperoleh tidak dimanfaatkan untuk tujuan jahat. Sedangkan usaha batin yang kedua disebut klenik, bersifat negatif, karena kemampuan batin yang diperoleh diarahkan kepada tindakan-tindakan yang jahat dan merugikan orang lain (Suseno, 184:182), (2) macam-macam selamatan (slametan), yang antara lain, nyadran (selamatan yang dilakukan di pekuburan), dan ramalan nasib dalam primbon-primbon (Koentjaraningrat, 1980). Dalam novel Burung-Burung Manyar, Y.B. Mangunwijaya menyelipkan sejumlah istilah bahasa Jawa yang melambangkan 76

92 Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia kepercaryaan manusia terhadap kekuatan supernatural, roh halus, gaib di luar kekuatan manusia. Penyebutan istilah-istilah kejawen, seperti primbon, ilmu klenik, (BBM, 7), dan nyadran (BBM, 193) dimaksudkan untuk memberikan penekanan pada aspek budaya Jawa, yang berkaitan dengan tata lambang kepercayaan terhadap kekuatan (gaib) di luar kekuatan manusia atau terhadap roh-roh halus. Penggunaan istilah-istilah dari bahasa Jawa, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris juga dimaksudkan untuk memberikan penekanan pada aspek budaya Jawa yang berkaitan dengan tata lambang pengetahuan manusia tentang alam sekelilingnya, karena jika diungkapkan dalam bahasa Indonesia akan kurang tepat atau memang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan istilah takir, biting, onde-onde ceplus, wijen (BBM, 11) (bahasa Jawa), fanfare, Khemeente (BBM, 5) (bahasa Belanda), dan Cobra-Fire of the moluccan Inlands (BBM, 173) (bahasa Inggris) Lambang-lambang kebaikan dan keburukan diungkapkan lewat istilah atau kata bahasa Jawa (istilah pewayangan) seperti pendowo (lambang kebaikan), dan togog (lambang keburukan) (BBM, 12). Lambang ekspresif untuk mengungkapkan perasaan cinta antara pria dan wanita diungkapkan lewat istilah kama dan ratih, trisno margo kulino, laras ing ati (BBM, 42) (bahasa Jawa); perasaan marah lewat istilah verrekt, verdomme (BBM, 31 dan 49) (bahasa Belanda), asu (BBM, 131) (bahasa Jawa). Penggunaan lebih dari satu bahasa atau multilingualisme dalam novel Burung-Burung Manyar dapat ditelusur melalui sistem sosial, yang dalam hal ini, berkaitan dengan status dan peranan sosial penuturnya. Penggunaan bahasa tertentu dimaksudkan untuk membedakan kelas-kelas sosial tokoh-tokoh yang ditampilkan. Tokoh Mbok Naya dan Mbok Ranu ditempatkan dalam kelas atau golongan wong cilik, sedangkan tokoh Larasati diposisikan sebagai seorang priyayi. Tokoh yang pertama memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan status dan peranan sebagai pembantu rumah tangga (abdi). Dalam perilaku berbahasa, sebagai abdi, mereka memperlihatkan sikap hormatnya terhadap tuannya, dengan menggunakan ungkapan-ungkapan dari bahasa Jawa kromo (BBM, 10). Penggunaan lebih dari satu bahasa atau multilingualisme dalam novel Burung-Burung Manyar dapat ditelusur melalui sistem 77

93 Maungkai Budaya kepribadian penutur. Penggunaan ungkapan ngono ya ngono ning mbok ja ngono (BBM, 110) harus menjadi sikap pemilik ungkapan dari bahasa itu yang terpancar dalam perilakunya yang rame ing gawe, sepi ing pamrih. Dalam sistem kepribadian Jawa, bekerja atau bertindak karena pamrih berarti hanya mengusahakan kepentingan diri sendiri saja dengan tidak menghiraukan kepentingan-kepetingan masyarakat. Secara sosial pamrih itu selalu mengacu karena merupakan tindakan tanpa perhatian terhadap keselarasan sosial. Orang ber-pamrih selalu ingin menange dhewe, benere dhewe, dan perlune dhewe (ingin menang sendiri, benar sendiri, dan memperhatikan kepentingan sendiri). Penggunaan istilah dari bahasa Jawa dan Belanda oleh tokoh Setadewa dapat ditanggapi sebagai memberikan penekanan pada identitas-nya sebagai tokoh yang berdarah Jawa dan Belanda (BB, 3). Faktor lain yang menyebabkan digunakannya unsur-unsur dari bahasa asing (selain bahasa Indonesia) dalam novel Burung-Burung Manyar ini adalah faktor pengalaman seseorang (tokoh). Sebagai ilustrasi, tokoh Setadewa adalah tokoh yang kaya akan pengalaman. Karena pengalamannya itu, dia banyak menggunakan unsur-unsur asing dalam tuturannya sesuai dengan status dan peranannya, di mana dia bertutur, kepada siapa dia bertutur dan kapan tutur itu dilakukan. *** Multilingualism dalam karya sastra, khususnya novel Burung- Burung Manyar, dilatarbelakangi oleh beberapa hal: (1) kompleksnya masalah yang ingin disampaikan, yang muliputi masalah lokal, nasional, dan internasional, (2) pluralistiknya tokoh-tokoh yang ditampilkan, yang meliputi tokoh kampung yang tak berpendidikan hingga tokoh kelas nasional bahkan internasional, dan (3) adanya usaha yang gagal untuk mencari padanan istilah-istilah atau katakata dari bahasa selain bahasa Indonesia sehingga pengarang menggunakan istilah atau kata dari bahasa lain; dari segi penceritaan penggunaan istilah atau kata dari bahasa lain itu adalah untuk memperjelas ide atau konsep sosial-budaya secara utuh dan tepat sasaran. 78

94 Sastra 79

95 Maungkai Budaya 80

96 MEMAHAMI KONDISI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT MELALUI KARYA SASTRA S aya menelaah karya sastra dalam upaya memahami kondisi sosial budaya masyarakat Amerika kulit hitam melalui novel Native Son karya Richard Right; sementara Sainul melakukan ha yang sama dalam upaya memahami kondisi sosial budaya masyarakat Tionghoa melalui novel Cabaukan karya Remy Sylado. Terus terang, saya belum membaca novel Cabaukan karya Remy Sylado. Pemahaman yang sangat sedikit tentang novel itu, saya dapatkan dari keterangan Sainul dan dari membaca hasil telaah terhadapnya. Tidak jelas, kapan novel itu pertama kali diterbitkan. Sebab, novel yang dikaji Sainul itu terbitan ke dua, tahun 1999; sementara dia tidak menjelaskan kapan novel itu diterbitkan untuk pertama kalinya. Yang jelas, novel itu mengisahkan sebagian dari sisi-sisi kehidupan orang-orang Tionghoa di Pulau Jawa, terutama Semarang, Tangerang dan Batavia, dalam kurun waktu Novel itu kemudian dikategorikan dalam Sastra Indonesia-Tionghoa. Dalam tradisi sastra Amerika, karya sastra yang ditulis oleh orang Amerika keturunan, misalnya, Afrika, dikategorikan dalam African-American Literature. Karya sastra semacam ini, selain ditulis oleh orang Amerika keturunan Afrika atau Amerika kulit hitam, umumnya, mengungkap sisi-sisi gelap kehidupan (penderitaan)dari orang-orang Amerika kulit hitam. Sebuah novel Native Son karya Richard Wright adalah contohnya. Penulisnya berasal dari ras hitam, dan tokoh-tokoh yang ditampilkan orang-orang kulit hitam dalam interaksi mereka dengan orang-orang kulit putih. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris Amerika dengan selipan dialek khas orang kulit hitam. 81

97 Maungkai Budaya Tampaknya, karena kekurangan informasi/referensi, Sainul tidak bisa melacak apakah penulis novel Cabaukan ber-etnis Tionghoa atau bukan. Itu bukan persoalan. Sebab, telaahnya tidak mengharuskan penulusuran terhadap siapa penulis novel itu. Dalam kaitan ini, siapapun orangnya, asal tahu seluk beluk kehidupan etnis tertentu dan terlibat di dalamnya baik secara kebahasaan maupun sosiokultural, punya peluang untuk mengekspresikan hasil pengamatannya dalam bentuk karya sastra. Saya kira, tidak harus, sastra Indonesia-Tionghoa (sebut saja begitu) ditulis oleh orang Indonesia keturunan Tionghoa. Setelah saya membaca buku Sainul, saya menangkap bahwa di satu sisi, secara makro, orang-orang keturunan Tionghoa menjadi kelompok marjinal dengan steriotip (label) negatif; mereka menempati kategori non-pribumi dalam dikotomi: pribumi vs nonpribumi. Secara politis (baca: de jure), mereka berada di bawah dominasi kelompok (elit/penguasa) pribumi; ada sejumlah aturan hukum yang secara khusus mengatur kehidupan orang keturunan Tionghio; dan secara de facto mereka menghadapi doiminasi dalam bentuk lain, misalnya: prejudice, discrimination, dan arnachic action dari kelompok pribumi kebanyakan. Namun di sisi lain mereka memegang dominasi yang memungkinkan mereka menjadi the oppressing people terhadap kebanyakan masyarakat Indonesia, khususnya, dalam kehidupan ekonomi. Itu sebuah realitas obyektif yang mungkin tak akan terbantah. Dominasi dalam kehidupan ekonomi ini, tampaknya, juga tercermin dalam novel Cabaukan karya Remy Sylado. Atas dasar telaah Sainul, Sylado mengukuhkan steriotip (label) negatif dan sekaligus membantahnya. Artinya, memang ada sisi-sisi baik dan buruk bagi diri orang-orang Tionghoa di Indonesia. Kehadiran novel Cabaukan ini, mungkin saja, dimaksudkan untuk membuka mata kaum pribumi bahwa mereka memiliki kekuatan. Dengan kata lain, kalaupun ada dominasi yang berwujud: prejudice, discrimination, oppression, anarchic action dan sejenisnya terhadap warga nonpribumi itu di satu sisi; ada juga kekuatan pada mereka untuk menguasai sektor kehidupan tertentu di pihak lain. Kalau novel Cabaukan dibandingkan dengan novel Native Son, ditemukan suatu perbedaan yang cukup tajam. Dalam Native Son 82

98 Memahami Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Melalui Karya Sastra justru orang-orang Amerika keturunan Afrika menjadi orang-orang yang tertindas tanpa kekuatan untuk menindas balik; mereka harus berhadapan dengan prejudice, discrimination, dan segregation, serta anarchic action. Sehingga, mereka menghadapi sejumlah masalah atau kesulitan dalam aspek-aspek kehidupan mereka; mereka dianggap sebagai makhluk yang rendah martabatnya, dan mereka tidak mempunyai persamaan hak dalam pendidikan, pekerjaan, perlindungan/pelaksanaan hukum, partisipasi politik, dan dalam aspek-aspek kehidupan sosial budaya yang lain. Kehadiran novel itu adalah sebagai salah satu bentuk protes terhadap perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih. Bila karya sastra dipandang sebagai dunia kecil atau miniature- yang dikonstruksi dari dunia besar (Abrams menyebutnya Universe), maka peristiwa-peristiwa yang terungkap di dalamnya merupakan refleksi dari peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dalam dunia besar itu. Dalam kaitan ini, (karya) sastra) pada hakikatnya adalah tanggapan seseorang (pengarang) terhadap situasi di sekelilingnya. Berbagai situasi di sekeliling pengarang dapat dijadikan bahan untuk menghasilkan karya sastra. Benda mati, tanaman, tatanan sosial, tatanan politik dan manusia dapat dijadikan obyek atau bahan penulisan oleh pengarang. Dari sekian juta jumlah benda yang ada didunia dan sekian banyak yang diamati oleh pengarang dapat dikelompokkan menjadi satu istilah, yakni: kehidupan. Dengan demikian karya sastra itu merupakan refleksi atau cerminan kehidupan yang diamati oleh pengarang, dibumbui respons atau tanggapan dan imaginasi pengarang terhadap kehidupan itu. Abdul Hadi menjelaskan bahwa dalam upaya mengungkapkan kembali pengamatannya terhadap kehidupan dalam bentuk karya sastra, pengarang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (dalam S.Hoerip, 1982). Dalam telaah wacana dalam sastra (sebagai dunia kecil ) sebagai upaya melihat dunia besar, diperlukan deskripsi tentang kondisi sosial, ekonomi, politik (secara umum, budaya) dan peristiwa sejarah yang melatari hadirnya sebuah karya sastra. Dalam telaah novel Cabaukan, Sainul mendeskripsikan kondisi tersebut secara berlebihan (hal ). Sebab, pada dalam kurun waktu

99 Maungkai Budaya hal-hal seperti: era Soeharto, surat edaran 14 Maret 1976, peristiwa Mei 1998, dan lain-lain, belum ada. Dalam baingkai teoritis, Sainul menegaskan bahwa karya sastra merupakan bangunan dunia yang tidak otonom, tetapi produk diskursif yang terikat pada berbagai konteks diskursif yang lebih luas; karya sastra bukan sekedar cermin pasif mengenai dunia, melainkan semacam tindakan terhadap dunia (hal. 32). Menurut saya, telaah wacana dalam novel Cabaukan tidak hanya dikaitkan dengan wacana-wacana ke-tionghoa-an, tetapi juga dengan pengarang dan kepengarangannya. Sekian. 84

100 MENULIS S aya dan mungkin banyak orang harus salut atas kepiawian Ersis Warmansyah Abbas. Dia memiliki keterampilan menulis yang luar biasa. Saya sering diskusi dengannya soal tulis menulis. Dalam suatu diskusi, dia mengatakan: Menulis itu gampang. Saya menimpali: Gampang bagi anda. Bagi saya, -walaupun saya suka menulis- tetap saja itu sulit. Pengalaman menunjukkan bahwa sejumlah topik tak bisa saya kembangkan menjadi sebuah artikel. Topik-topik itu tetap tersimpan dalam hard disk computer selama berhari-hari, bahkan ada yang berbulan-bulan. Ketika saya coba untuk dikembangkan lagi, tetap saja bisa jadi artikel. Sekilas tentang EWA Hal yang saya alami, tak bakal terjadi pada diri EWA. Daya rekam dan daya simpan EWA bagus, bahkan sangat bagus. Sehingga, ketika suatu saat dia ingin memanggil kembali memorinya, dia begitu lancar. Dalam waktu kurang dari dua jam, dia mampu menghasilkan sebuah artikel, bahkan bisa lebih. Bagi saya, itu tak mungkin. Ketika saya menulis hingga menghasilkan sebuah artikel, saya harus baca lagi, edit, baca lagi, dan edit lagi. Bila sekiranya artikel itu pantas dibaca orang, saya kirim ke media cetak. Namun, bila saya pikir itu tak pantas, saya urung kirimkan. Saya simpan saja. Kehebatan EWA dalam mencari bahan penulisan, mungkin, tak banyak orang yang menandingi. Dalam mencari bahan tulisan, dia tentu melalui kegiatan membaca. Dia banyak bacaan dan suka baca. Tak hanya itu, saya kira. Di samping daya rekam dan daya 85

101 Maungkai Budaya simpan yang kuat, dia memiliki daya teropong yang cukup tajam. Mobil plat merah yang dipakai untuk mengantar anak ke sekolah, misalnya, tak luput dari teropongannya dan lalu dijadikan bahan penulisan. Tentu, itu dimaksudkan untuk menyentil semua pemakai kendaran atau mobil plat merah yang semestinya- untuk keperluan tugas kedinasan namun dipakai untuk keperluan di luar tugas kedinasan: mengantar anak ke sekolah, berbelanja di mall pada malam hari, atau untuk sarana pergi saruan pada hari minggu. Satu lagi, didukung daya rekam, daya simpan, daya teropong yang kuat, EWA tak memerlukan alat tulis ketika berbincang-bincang atau semacam wawancara. Ketika orang-orang yang dihadapi bapandir, dia hanya mendengarkan sambil ketawa-ketawa khasnya dan sesekali menimpalinya dengan goyonan. Jangan coba-coba, ngomong semaunya bila berhadapan dengan EWA. Sebab, omongan anda bisa jadi dikutip EWA dan besok pagi muncul di koran. Lima Keterampilan Berbahasa Ada empat keterampilan berbahasa: listening, speaking, reading, dan writing (menyimak, berbicara, membaca dan menulis). Seorang kawan dari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unlam, menambahkan satu keterampilan lagi, menterjemahkan. Dengan demikian, dapat dikatakan, ada lima keterampilan berbahasa. Mahasiswa Jurusan Bahasa, khususnya, Jurusan Bahasa Inggris, pasti mendapatkan mata kuliah lima keterampilan berbahasa itu. Mahasiswa mendapat teori tentang how to : listen, speak, read and write. Diharapkan, tentunya, setelah selesai kuliah, mahasiswa mampu atau terampil menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Harapan dan kenyataan tak mesti sama. Kadangkala, ada sejumlah mahasiswa punya lima keterampilan berbahasa yang baik. Ada sejumlah lainnya punya empat keterampilan yang baik. Ada sejumlah mahasiswa punya tiga keterampilan berbahasa yang baik, dan seterusnya. Bahkan, ada sejumlah lainnya punya keterampilan berbahasa yang serba tanggung. Sehingga, masih mending bila ada mahasiswa atau lulusan Jurusan Bahasa yang punya keterampilan menulis. Bisa saja mereka lemah dalam menyimak, membaca atau berbicara, namun mereka punya keterampilan menulis dan menterjemahkan cukup bagus. 86

102 Menulis Belajar Menulis = Belajar Berjalan? Seorang bayi umur 11 bulan, punya naluri untuk mampu berjalan. Dalam upaya belajar berjalan, dia mencoba untuk berdiri. Masyarakat Jawa, khususnya, biasanya membuatkan alat bantu bagi si bayi dari bambu sedemikian rupa sehingga dengan dibantu orang tuanya- ia bisa memanfaatkannya untuk belajar bediri dan berjalan memutar. Bila sekiranya ia bisa berdiri tanpa alat bantu, orang tua membiarkannya untuk belajar berjalan. Tentu, karena kedua kakinya belum begitu kuat dan penguasaan teori berjalan belum begitu sempurna, ia jatuh bangun dalam proses belajar berjalan. Kegigihan untuk belajar berjalan mengantarkan ia memiliki kemampuan berjalan. Baik berjalan maupun menulis sama-sama dimulai dari ketidakmampuan. Berkat latihan terus menerus, kemampuan berjalan atau menulis terjadi. Peristiwa jatuh bangun pastilah terjadi. Pengalaman saya, bahwa ketika saya ada pada semester III, saya diminta menulis sebuah artikel pendek untuk Majalah Kampus, saya bingung tujuh keliling. Mulanya, saya tak mampu. Lalu, saya coba mengumpulkan sejumlah bahan bacaan. Saya coba telaah bahan bacaan itu dan kemudian saya coba tuangkan dalam sebuah artikel. Pendek kata, saya mampu menulis artikel, yang kabarnya, dimanfaatkan oleh mahasiswa angkatan sesudah saya sebagai rujukan mata kuliah Phonology. Berhasil menulis artikel untuk Majalah Kampus, saya ingin coba menulis untuk Majalah Psikologi terbitan Jakarta (kini, tak terbit lagi). Kala itu, saya sempat diolok-olok oleh kawan saya: Tak bakalan tulisan anda bisa dimuat di majalah ini. Ini majalah nasional. Dia berlangganan majalah itu. Betapa kagetnya dia ketika membaca artikel saya termuat di situ. Trial and Error itu perlu Bila kita hanya diberi teori-teori tentang menulis saja, misalnya, tanpa dibarengi trial and error, maka mustahillah kita punya kemampuan/keterampilan menulis yang baik. Selaku pengajar mata kuliah writing, saya selalu wanti-wanti kepada mahasiswa-mahasiswa saya untuk melakukan latihan menulis. Kesulitan menulis dalam bahasa Inggris, menulis bisa 87

103 Maungkai Budaya dilakukan dengan bahasa Indonesia atau bahasa apa saja yang dikuasai. Tampaknya, hanya satu dua orang saja yang mau menulis untuk orang banyak via koran. Dan, tak perlu menunggu diberi tugas menulis. Umumnya, bagi mahasiswa saya, menulis hanya dimaksudkan untuk memenuhi tugas kuliah saja. Lulus mata kuliah writing, mereka stop writing. Sebagai konsekuensinya, mereka banyak yang kesulitan bila mereka diberi tugas membuat karya tulis, misalnya: ulusan, makalah atau skripsi. Menulis untuk keperluan pemenuhan tugas akademis saja ogah-ogahan, mungkin dalam batin mereka: untuk apa menulis yang tak gunanya seperti menulis di koran. Bagaimana menurut Anda 88

104 MENCIPTA DAN MEMBACA KARYA SASTRA K Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1988: 8) alau tak ada aral melintang, Jurusan Bahasa dan Seni FKIP Unlam akan menyelenggarakan pelatihan penulisan kreatif, Kamis 26 Januari 2006, di Aula 1 FKIP Unlam Banjarmasin. Para pelatihnya adalah Agus R. Sarjono, Jamal T. Suryanata, dan Tajuddin Noor Gani. Ketiganya adalah para pendekar dalam hal menulis kreatif. Hasil karya mereka banyak terpublikasikan. Saya suka menulis. Fenomena kehidupan manusia yang saya amati, sering saya tulis. Kalau sekiranya hasil tulisan itu saya anggap tak layak untuk khalayak, saya simpan saja. Namun, saya tak mengklaim bahwa saya ini seorang penulis. Saya masih perlu terus belajar, ya belajar menulis. Kalau saya mengkalim sebagai penulis, tentu banyak orang akan bertanya: berapa banyak artikel ilmiah/ populer, buku dan karya-karya tulis lain. Dalam hal ini, saya tentu tak sebanding dengan Ersis Warmansyah Abbas (EWA). Sebab, artikel yang ditulisnya banyak; buku yang dihasilkannya banyak; dan karyakarya tulis lainnya segudang. Bagi dia, menulis itu gampang. Saya juga pernah mencoba menulis karya kreatif bukan kreatif. Sebab, seperti halnya menulis artikel, saya masih belajar. Saya coba mengadaptasikan karya-karya yang pernah baca, misal: karya Henry James, Faulkner, Richard Wright dan lain-lain dan saya tulis dalam bahasa Indonesia. Ya, karena itu hanya latihan atau 89

105 Maungkai Budaya belajar, maka saya tak berani mencoba untuk menerbitkannya. Saya amat takut dituduh plagiat oleh kritikus kita, Sainul Hermawan. Jadi, karya tulis kreatif yang sempat saya hasilkan, tak diterbitkan. Untuk bisa memiliki kemampuan kreatif, saya akan berguru kepada Agus R. Sarjono, Jamal T. Suryanata, dan Tajuddin Noor Gani. Insya Allah, beliau bertiga akan menyampaikan jurus-jurus tulis menulis kreatif. Beliau bertiga adalah pendekar dalam penulisan kreatif, yang akan mewariskan ilmu kepada sang murid. Tulisan berikut tidak bermuatan jurus-jurus penulisan kreatif. Ini hanya suatu ulasan dari sejumlah bacaan yang berkait dengan karya sastra dan penciptaannya. Ya, ini ulasan yang disampaikan oleh orang yang hanya berada pada posisi pembaca karya sastra, karya kreatif. Karya Sastra itu Karya Kreatif Karya sastra pada hakikatnya adalah tanggapan seseorang (pengarang) terhadap situasi di sekelilingnya. Berbagai situasi di sekeliling pengarang dapat dijadikan bahan untuk menghasilkan karya sastra. Benda mati, tanaman, tatanan sosial, tatanan politik dan manusia dapat dijadikan obyek atau bahan penulisan oleh pengarang. Dari sekian juta jumlah benda yang ada didunia dan sekian banyak yang diamati oleh pengarang dapat dikelompokkan menjadi satu istilah, yakni: kehidupan. Dengan demikian karya sastra itu merupakan refleksi atau cerminan kehidupan yang diamati oleh pengarang, dibumbui respons atau tanggapan dan imaginasi pengarang terhadap kehidupan itu. Dalam kaitan ini, Abdul Hadi menjelaskan bahwa dalam upaya mengungkapkan kembali pengamatannya terhadap kehidupan dalam bentuk karya sastra, pengarang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (dalam S.Hoerip, 1982:99). Jika dikatakan bahwa karya sastra merupakan fenomena kehidupan manusia, maka banyak sisi kehidupan manusia yang (dapat) dicakup oleh karya sastra, misalnya, kesedihan, kegelisahan, kekecewaan, kemarahan, keheranan, protes, dan pikiran atau opini. dan lingkungan, tatanan sosial, tatanan politik dan sejenisnya. Dengan demikian, karya sastra identik (walau tidak persis sama) dengan berita di koran, laporan penelitian antropologi, sosiologi, 90

106 Mencipta dan Membaca Karya Sastra psikologi dan sejarah. Sebab, karya sastra dan karya non sastra tersebut berbicara tentang manusia, kehidupan manusia, peristiwaperistiwa yang berhubungan dengannya, tempat dan waktunya. Hal yang membedakan adalah cara menyatakannya dan asumsi pembaca terhadap jenis tulisan tersebut. Cara seseorang yang menyatakan petani melarat dalam bahasa karya sastra akan berbeda dengan cara orang lain secara ilmiah, ilmiah popular atau dengan berita di koran, meskipun fakta yang ditulis sama. Demikian pula, asumsi pembaca terhadap teks sastra dan teks non sastra tampak berbeda. Secara umum orang beranggapan bahwa karya sastra itu selalu imaginer, fiktif atau khayal belaka; dan bahwa laporan penelitian antropologi, sosiologi, psikologi, sejarah dan berita di koran selalu nyata dan benar adanya. Benarkah bahwa seorang sastrawan menulis karyanya tidak berdasar pada fakta di zamannya sehingga tulisannya bersifat fiktif belaka? Sebaliknya, apakah seorang sejarawan, sosiolog, antropolog, atau reporter menulis fakta di lapangan secara benar-benar obyektif, independen, tanpa dipengaruhi subyektifitas, kepentingandan ideologi? Atau, barangkali orang akan mengatakan bahwa ketika karya sastra dan karya non sastra telah menjadi karya teks bisa saja mengandung unsur subyektif bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda? Memang, sepengetahuan penulis, orang-orang yang mengatakan bahwa karya sastra itu walaupun bersifat imaginer, fiktif, khayal alias tidak nyata- mengetengahkan fakta tentang kehidupan manusia dan sejumlah sisi yang menyertainya, adalah mereka yang menggeluti atau berkecimpung dalam dunia sastra. Sementara masyarakat secara umum dan kalangan akademisi tertentu menganggap bahwa karya sastra adalah benar-benar imaginer, fiktif, atau dunia rekaan pengarang yang kurang, atau bahkan tidak, berhubungan dengan dengan sejarah, sosiologi, psikologi, studi pembangunan, politik, moral, agama dan sebagainya. Pengarang dan Kepengarangan Dilihat dari sudut pandang penciptaan atau kepengarangan, dapat dikatakan bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan dari sang pengarangnya. Dalam kaitan ini, dalam proses kepengarangan, 91

107 Maungkai Budaya sang pengarang itu tentu tidak asal mengarang atau menulis karya sastra; dia tentu terlebih dahulu melakukan observasi dan lalu melakukan komtemplasi (perenungan) atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakatnya. Melalui proses observasi dan komtemplasi, dia melakukan imajinasi dakam rangka untuk menciptakan karya sastra (berkreasi). Singkat kata, melalui proses-proses itu maka terwujudlah suatu karya sastra. Secara ekspresif karya sastra (seni) merupakan hasil pengungkapan sang pencipta seni (artist) tentang pengalaman, pikiran, perasaan, dan sejenisnya.dengan demikian, menurut Lewis, karya sastra bisa didekati dengan pendekatan ekspresif, yakni pendekatan yang berfokus pada diri penulis (pengarang), imajinasinya, pandangannya, atau kespontanitasnya (1976: 46). Dengan perkatan lain, dilihat dari sisi pengarang, karya sastra (seni) merupakan karya kreatif, imaginatif (rekaan) dan dimaksudkan untuk menghadirkan keindahan. Dalam kaitan ini, Esten menyatakan bahwa ada dua hal yang harus dimiliki oleh seorang pengarang, yakni: daya kreatif dan daya imajinatif. Daya kreatif adalah daya untuk menciptakan hal-hal yang baru dan asli. Manusia penuh dengan seribu satu kemungkinan tentang dirinya. Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah kemampuan pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan, dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang yang memiliki daya imajinatif yang tinggi bila dia mampu memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan, masalah-masalah, dan pilihan-pilihan dari alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil tidaknya suatu karya sastra (1978: 9). Dalam kaitan dengan proses penciptaan karya sastra, seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat (realitas obyektif). Realitas obyektif bisa berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan bentuk-bentuk realitas obyektif yang ada dalam masyarakat. Bila seseorang pengarang merasa tidak puas dengan realitas obyektif itu, mungkin saja dia lalu merasa gelisah. Berangkat dari kegelisahan 92

108 Mencipta dan Membaca Karya Sastra itu, mungkin saja, dia, dengan caranya sendiri (misalnya, lewat kegiatan kepengarangan) memprotes, memberontak, mendobrak realitas obyektif yang, menurutnya, tidak memuaskan atau penuh dengan ketidakadilan. Setelah ada suatu sikap, maka dia mencoba untuk mengangankan suatu realitas baru sebagai pengganti realitas obyektif yang sementara ini dia tolak. Hal inilah yang kemudian dia ungkapkan melalui karya sastra yang dia ciptakan. Dia mencoba untuk mengutarakan sesuatu terhadap realitas obyektif yang dia temukan. Dia ingin berpesan kepada pihak-pihak lain tentang sesuatu yang dianggap sebagai masalah atau persoalan manusia (Esten, 1978: 9-10). *** Uraian di atas menunjukkan pandangan pembaca karya sastra terhadap karya sastra dan pengarangnya. Apakah hal itu berkesesuaian dengan pengalaman-pengalaman para pendekar penulisan kreatif sebagaimana disebutkan di atas? Jawabannya akan dapat kita dengar di FKIP Unlam Banjarmasin, Kamis 26 Januari

109 Maungkai Budaya PELATIHAN PENULISAN KREATIF, TAK ADA ARTINYA? P elatihan Penulisan Kreatif yang kami gelar di FKIP Unlam memang diperuntukan kepada mahasiswa sejumlah mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa FKIP Unlam. Para dosen tak diundang secara khusus, termasuk Kaprodi PBSID dan Bahasa Inggris serta Ersis Warmansayah Abbas (EWA). Tentu kasihan dan sayang bila EWA diundang untuk jadi peserta. Kendati tak hadir dalam acara yang kami gelar, Ersis Warmansayah Abbas (EWA) tampaknya punya kepedulian. Dia kirim Short Message Service kepada saya: Gimana Pelatihan Penulisan Kreatifnya. Pian suka banar maulu-ulu ulun?. Katanya lagi; Pelatihan menulis itu tak penting; yang penting menulisnya.sms saya balas: Maaf Pak Ersis, pian saya jadikan contoh. Ini bukan maulu-ulu. Bujur, ulun salut sama pian. Banyak pembaca memberikan komentar: Pak Ersis itu produktif, banyak sentilan. Pian mirip Mahbub, Hari Rusli atau Emha. Teori menulis itu perlu? EWA betul. Siswa atau mahasiswa dilatih langsung menulis. Kalau hanya diceramahi saja, mereka bisa bosan, apatis. Namun demikian, teori menulis itu perlu; kiat-kiat atau jurus-jurus menulis perlu. Dalam kaitan ini, Agus R. Sarjono, nara sumber dari Jakarta itu, membuat analogi dengan bermain melodi. Sebelum atau pada saat orang belajar melodi, otaknya perlu diisi dengan teori melodi dan lalu bermain. Kalau hanya otaknya saja yang diisi teori melodi atau hanya praktek saja, ia hanya punya satu melodi; paduan teori dan praktek menghasilkan dua melodi dalam dirinya. Saat ia bermain melodi, ia berteori; saat ia berteori, ia bermain. 94

110 Pelatihan Penulisan Kreatif, Tak Ada Artinya? Dalam hal tulis menulis, teori menulis pastilah diperlukan. Seperti telah diketahui, hal-hal yang diperhatikan dalam menulis adalah antara lain: kata, frasa, klausa dan kalimat, paragraph, pungtuasi dan sebagainya. Kalau EWA mengatakan bahwa kata, misalnya, hanya dibentuk dari beberapa huruf; kalimat hanya terbentuk dari beberapa kata; dan paragraf atau sering disebut alinea hanya terbentuk dari beberapa kalimat; dan sebuah artikel terbentuk dari sekian paragraf, banyak orang sudah tahu. Katanya lagi, menulis itu gampang; sementara banyak orang mengatakan: menulis itu sulit. Pernyataan EWA tak lain, tak bukan hanyalah untuk memberikan motivasi kepada kita: menulislah karena menulis itu tak sesulit yang dibayangkan! Agus R. Sarjono menyoal Esai Dalam acara pelatihan itu, Agus didaulat untuk berbicara tentang strategi penulisan esai. Dalam uraiannya, dia memulai dengan sejumlah definisi (baca: teori) tentang esai, selayaknya dosen mengajar di kelas. Seiring penguraian tentang teori itu, para audience tampak lesu, kurang bergairah. Dia paham audience-nya kurang berterima dengan metode ceramah ; lalu, dia mengubahnya. Sambil seringkali mengusap hidungnya (yang mungkin gatal), dia menjelaskan esai (dengan tidak terpaku pada teori) dalam kaitan dengan karya ilmiah dan karya sastra. Dengan mengutip pendapat Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Agus menjelaskan prosedur penulisan karya ilmiah: (1) sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah, (2) pengamatan dan pengumpulan data yang relevan, (3) penyusunan atau klasifikasi data, (4) perumusan hipotesis, (5) deduksi dan hipotesis, dan (6) tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis. Dengan begitu, karangan ilmiah memiliki kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan kerangka/metode ilmiah yang mendasarinya. Dalam penulisannya pun karya ilmiah memiliki kaidah-kaidah tesendiri yang ditandai dengan adanya pengajuan masalah, penyusunan kerangka teoritis, laporan hasil penelitian, ringkasan dan kesimpulan, abstrak dan daftar pustaka. Dengan kata lain, karya tulis ilmiah, menuntut penulisnya untuk memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, antara lain: bahwa (1) sub- 95

111 Maungkai Budaya ject-matter dinyatakan secara eksplisit, (2) kegiatan penelitian dilakukan secara obyektif, dan (3) hasil disampaikan secara sistematis. Kaidah pertama memungkinkan penulis untuk memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap suatu topik sebelum dia menyatakan subject-matter yang akan dicobapecahkan melalui kegiatan penelitian; kaidah kedua melatih mahasiswa berlaku obyektif bukan subyektif; dan kaidah ketiga mengarahkan mahasiswa untuk berpikir atau melakukan sesuatu secara sistematis, tidak acak-acakan. Pendek kata, dia menentukan obyek pengamatan, melakukan pengamatan, berlaku obyektif dan menulis hasilnya secara sistematis. Sementara karya sastra memiliki kaidah tersendiri. Dalam kaitan ini pengarang karya satra berpedoman pada kaidah penulisan sastra yang relatif baku, seperti tema, alur, latar, sudut pandang dan sebagainya (untuk cerpen dan novel), dan tema, diksi, irama, majas, rancang bangun dan sebagainya (untuk puisi). Sama halnya dengan penulis karya ilmiah, pengarang karya sastra, tentu terlebih dahulu mencari dan menentukan obyek penulisan, melakukan pengamatan terhadap obyek itu dan lalu melakukan komtemplasi (perenungan) atas hasil pengamatannya. Melalui proses observasi dan komtemplasi, dia melakukan imajinasi dakam rangka untuk menciptakan karya sastra (berkreasi). Singkat kata, melalui prosesproses itu maka terwujudlah suatu karya sastra. Selanjutnya, Agus R. Sarjono menjelaskan tentang esai. Secara prosedural, penulis esai beranjak dari hal sebagaimana dilakukan oleh penulis karya ilmiah dan karya sastra; ia menentukan obyek penulisan, melakukan pengamatan dan lalu melakukan penulisan. Esai punya kemiripan dengan karya ilmiah. Baik karya ilmiah maupun esai tidak meninggalkan fakta. Yang membedakan adalah bahwa esai disampaikan bersamaan dengan subyektivitas penulisnya; sementara karya ilmiah disampaikan dengan meninggalkan unsur subyektif penulisnya. Misalnya, (mohon maaf untuk contoh) EWA menulis tentang kendaraan plat merah yang dipakai untuk mengantarkan anak ke sekolah. Itu didasarkan pada fakta. Tetapi, itu fakta yang disampaikan dengan caranya sendiri (ada unsur subyektif di sini). Berari pula, EWA, mengacu pada pandangan Agus R. Sarjono, adalah contoh seorang penulis esai. 96

112 Pelatihan Penulisan Kreatif, Tak Ada Artinya? Panitia Digugat? Mahasiswa mempertanyakan: Mengapa kegiatan pelatihan penulisan kreatif tak diikuti oleh training, simulasi dan praktek? Pertanyaan ini jelas tak bisa dijawab oleh para nara sumber. Moderator pun bingung menjawabnya. Untuk itu, panitia harus menjawab. Kegiatan itu memang dimaksudkan untuk menggali pengalaman, kiat dan jurus-jurus kepengarangan dari nara sumber. Untuk sementara, setelah jurus-jurus kepengarangan telah terwariskan, maka praktek selanjutnya dilakukan sendiri oleh para peserta. Kata panitia, kegiatan lanjutan yang dimaksud mahasiswa itu akan dilakukan tahun depan, Mendengar gugaan mahasiswa itu, justru, Dr. Jumadi merasa senang terhadap mahasiswa yang jeli dan kritis. Karena, selama ini, tampaknya, mahasiswa hanya menerima apa saja yang dimaui dosennya. Bila mereka diundang dan wajib hadir, mereka hadir saja. Namun, kalau boleh saya katakan, kehadiran mereka hanyalah kehadiran fisik: hanya memenuhi kewajiban akademis belaka. Mudah-mudahan, dengan kerja keras tak kenal lelah dan semangat yang luar biasa para dosen muda, Jumadi, Sainul Hermawan, Daud Pamungkas, M. Rafiek dan lain-lain, suasana akademis menjadi lebih baik. Dengan harapan, tentu saja, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Unlam memiliki keterampilan berbahasa dan keterampilan mengajar bahasa yang baik, serta memiliki keterampilan tambahan dalam hal tulis menulis (baik ilmiah, sastra dan esai) yang baik pula. Namun, ini akan terjadi bila para mahasiswa juga mengimbangi. Ada acara, mereka datang. Dan, yang terpenting adalah mereka mau berlatih dan berlatih. Tanpa itu, kerja keras para dosen bagai bertepuk sebelah tangan. Yang pinter justru para dosen mereka! Viva mahasiswa. Menulis dan berkaryalah! 97

113 Maungkai Budaya TENTANG WANITA, PROSA DAN RATNA T ampaknya, arti penculikan mulai bergeser atau sengaja digeserkan maknanya. Kata penculikan menyaran pada makna negatif (kriminalitas). Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata kerja dari kata itu adalah menculik, yang berarti mencuri atau melarikan anak atau orang, lalu disembunyikan atau dimintakan tebusan Sang penculik melakukan penculikan dengan cara sembunyi-sembunyi dan didasarkan pada rencana yang matang agar tidak diketahui dan ditangkap sekelompok orang/pemuda atau polisi. Bila penculik semacam ini tertangap basah oleh sekelompok orang/pemuda, maka ia bisa babak belur akibat digebuki oleh mereka. Ya, bila ia ditangkap (istilah halusnya: diamankan) oleh petugas keamanan, ia bisa bernapas agak lega; ia tak akan diapa-apai bila tidak bandel. Ratna diculik? Dalam proses penyelenggaraan diskusi tentang Wanita, Prosa dan Ratna, dua penggagasnya, Jarkasi dan Sainul Hermawan, melakukan aksi penculikan terhadap calon pembicara, Ratna Indraswari Ibrahim, asal Malang Jawa Timur. Konon, karena cerpenis-novelis ini juga pelaku penculikan terhadap orang-orang hebat seperti W.S. Rendra dan Eep Syaifullah untuk menjadi pembicara suatu diskusi, ia hooh saja ketika kedua penggagas diskusi itu mencoba menculiknya. Ia tak menolak. Sebab, penculikan model ini bisa mendatangkan manfaat bagi kedua pihak: penculik dan terculik. Diskusi itu tak banyak dihadiri oleh peserta. Hal ini, mungkin, diakibatkan oleh kenyataan bahwa para mahasiswa FKIP Unlam 98

114 Tentang Wanita, Prosa dan Ratna sedangkan menjalani liburan semester. Sementara, undangan disampaikan melalui koran. Nah, bagi mereka yang tak membaca undangan yang ditempel di pintu masuk ruang dosen kampus I FKIP Unlam atau undangan via koran (Radar Banjarmasin), tentu saja mereka tak tahu kalau FKIP Unlam -yang dimotori oleh Jarkasi dan Sainul Hermawan- menggelar diskusi dengan pembicara seorang pengarang hebat. Dekan FKIP Unlam, Drs. H. Rustam Effendi, M.Pd., dalam sambutannya, mengakui bahwa liburan semester menjadi salah satu penyebab para mahasiswa (berikut para dosen?) tak bisa hadir dalam diskusi itu. Mungkin, karena Dekan FKIP Unlam merasa kurang puas terhadap sederhana and minimnya peserta diskusi, beliau punya niat untuk mengundang Ratna Indraswari Ibrahim secara khusus di masa mendatang. Semoga, niat itu kesampaian. Ratna mampu jadi motivator? Secara pribadi, saya amat takjub terhadap Ratna. Kalau kita hanya bertemu ia di jalan, dan duduk di kursi roda, dan didorong oleh asistennya, kita tak akan menyangka bila ia seorang pengarang 400 lebih cerpen dan novel. Dalam benak saya, ia adalah orang yang luar biasa. Meski catat fisik bawaan, lumpuh, ia tetap percaya diri. Tak minder sama sekali. Begitu melihat Ratna, saya kontan teringat kemenakan saya. Kondisi fisik kemenakan saya itu punya kemiripan dengan Ratna. Sebenarnya, secara mental ia normal. Memperhatikan kondisi fisiknya kurang normal (lumpuh dan tangan kanannya sulit difungsikan), kedua orang tuanya mengirimnya ke sekolah bagi penderita cacat mental; ia menolak karena ia merasa dirinya normal. Sementara, kedua orang tuanya juga enggan megirimnya ke sekolah bagi anak normal; sebab, mereka khawatir kalau ia merepotkan pihak sekolah dan mendapatkan olok-olok dari temantemannya. Hingga sekarang, ia tidak bersekolah. Andaikan saja, saya tahu Ratna sejak ia masih anak-anak, saya akan ikut membesarkan hatinya, agar ia mau bersekolah dan memotivasi kedua orang tuanya agar selalu sabar, telaten, dan pantang menyerah. Sementara, Ratna mendapatkan perhatian yang luar biasa dari kedua orang tuanya. Dengan kondisi fisik seperti itu, ia sempat kuliah 99

115 Maungkai Budaya di Fakultas Ilmu Admistrasi Universitas Brawijaya Malang meski tak lulus. Perhatian dari kedua orangnya, saya kira, bukan hanya pemenuhan kebutuhan Ratna sebagai makhluk biologis, melainkan pemenuhan terhadap segala kebubuhan sebagaimana dituntut oleh manusia normal. Singkatnya, proses pendidikan dan pembelajaran yang dilalui Ratna mengantarkannya ke Ratna seperti yang kita ketahui: Ratna yang tak didukung kemampuan fisik dalam dunia tulis-menulis; namun, ia mampu membaca banyak fenomena kehidupan dan lalu dituangkan dalam lebih dari 400 karya (cerpen dan novel)-nya. Dalam pengalaman kepengarangannya, Ratna mengaku pernah jatuh bangun. Ia tak begitu saja menjadi penulis terkenal di negeri ini. Baginya, karya tulisnya ditolak media cetak itu biasa. Ia tak patah semangat, kendati seperti yang ia akui- dari 10 karya yang ia tulis, semuanya dikembalikan. Kalau menyimak tuturan Ratna tentang pengalaman dalam kepengarangannya, ia bisa kita jadikan motivator untuk memunculkan kreativitas kita dan anak-anak kita dalam dunia tulis menulis. Pesan Ratna, kalaupun tidak menulis/mengarang cerpen atau novel, setidak-tidaknya kita menulis sesuatu dalam buku harian dan syukur menulis artikel. Menurut Ratna, meski baik, menonton televisi, khususnya sinetron, dan membaca itu bagaikan hanya menelan sesuatu. Hendaknya, kita tidak berhenti di situ saja, namun, cobalah untuk menulis. Ratna, Wanita, dan Penindasan Orang atau kelompok bisa melakukan penindasan manakala ia atau mereka dominan. Dominasi yang melekat pada dirinya atau diri mereka bisa berimplikasi negatif bila ia atau mereka melakukan penindasan, penekanan, perampasan hak atau sejenisnya terhadap pihak yang lemah atau minor. Bila wanita diposisikan sebagai konco wingking (baca: teman tak setara) yang hanya memainkan peran masak, macak dan manak (memasak, berdandan dan melahirkan) dan memiliki posisi (sosial) suargo nunut neroko katut (baca: laki-laki/suami nyaman, wanita/ istri ikut nyaman), maka penindasan terhadapnya mungkin saja mudah terjadi. Dalam kaitan ini, Ratna memandang penindasan 100

116 Tentang Wanita, Prosa dan Ratna dari sisi lain. Penindasan (oppression) bisa terjadi di mana-mana, dan dilakukan oleh siapa saja. Sebagaimana yang saya tangkap dari penuturan Ratna, sang penindas tentu merasa dirinya lebih kuat ketimbang yang ditindas. Wanita bisa saja menindas suaminya. Hendanya, penindasan itu tidak dilihat dari segi siapa pelakunya. Saya kira Ratna benar. Bila wanita memiliki dominasi, ia mungkin saja akan menindas laki-laki yang note bene suaminya sendiri. Bukankah fenomena STI (suami takut istri) menyiratkan bahwa sang istri menempatkan dirinya pada posisi dominan atas suaminya, dan lalu menindasnya? Let us stop oppressing one to another! Bagaimana menurut Anda? 101

117 Maungkai Budaya KARYA SASTRA MENURUT TEORI ABRAMS D alam bukunya yang berjudul The Mirror and The Lamp (l971), Abrams mengetengahkan teori Universe-nya. Melalui teori Universe itu, kita mengetahui bahwa: pertama, ada suatu karya sastra (karya seni); kedua, ada pencipta (pengarang) karya sastra; ketiga, ada semesta (alam) yang mendasari lahirnya karya sastra; dan keempat, ada penikmat karya sastra (pembaca). Berkenaan dengan teori Universe itu, dia mengatakan: 102 Four elements in the total situation of a work of art are discriminated and made salient, by one or another synonym, in almost all theories which aim to be comprehensive. First, there is the work, the artist product itself. And since this is a human product, an artifact, the second common element is the artificer, the artist. Third, the work is taken to have a subject which, directly or deviously, is derived from existing things-to be about, or signify, or reflect something which either is, or bears some relation to, an objective state of affairs. This third element, whether held to consist of people and actions, ideas and feelings, material things and events, or supersensible essences, has frequently been denoted by that word-all-work, nature ; but let us use the more neutral and comprehensive term, universe, instead. For the final element we have the audience: the listeners, spectators, or readers to whom the work of art is addressed (Abrams, l971: 6). Berdasar teori itu, karya sastra dapat dipandang dari empat sudut pandang: (a) ekspresif, (b) mimetik, (c) pragmatis dan (d) obyektif. Cara pandang terhadap karya sastra semacam itu, lebih lanjut, dijelaskan oleh Leary Lewis bahwa dalam memahami atau

118 Karya Sastra Menurut Teori Abrams menelaah karya sastra bisa difokuskan pada: (a) pengarang bila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekspresif, (b) hubungan antara karya sastra dan universe yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu bila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan mimetik, (c) efek karya sastra terhadap pembaca bila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pragmatis, dan (d) karya sastra sebagai karya yang otonom, sebagai artifak yang bisa dikenali ciri-ciri strukturnya bila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan obyektif (Lewis, 1976: 46). Empat sudut pandang itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Sudut Pandang Ekspresif Secara ekspresif karya sastra (seni) merupakan hasil pengungkapan sang pencipta seni (artist) tentang pengalaman, pikiran, perasaan, dan sejenisnya.dengan demikian, menurut Lewis, karya sastra bisa didekati dengan pendekatan ekspresif, yakni pendekatan yang berfokus pada diri penulis (pengarang), imajinasinya, pandangannya, atau kespontanitasnya (1976: 46). Dengan perkatan lain, dilihat dari sisi pengarang, karya sastra (seni) merupakan karya kreatif, imaginatif (rekaan) dan dimaksudkan untuk menghadirkan keindahan. Dalam kaitan ini, Esten menyatakan bahwa ada dua hal yang harus dimiliki oleh seorang pengarang, yakni: daya kreatif dan daya imajinatif. Daya kreatif adalah daya untuk menciptakan hal-hal yang baru dan asli. Manusia penuh dengan seribu satu kemungkinan tentang dirinya. Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia yang substil (halus) dan bervariasi dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah kemampuan pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan, dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang yang memiliki daya imajinatif yang tinggi bila dia mampu memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan, masalah-masalah, dan pilihan-pilihan dari alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil tidaknya suatu karya sastra (1978: 9). Dalam kaitan dengan proses penciptaan karya sastra, seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam 103

119 Maungkai Budaya masyarakat (realitas obyektif). Realitas obyektif bisa berbentuk peristiwaperistiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan bentukbentuk realitas obyektif yang ada dalam masyarakat. Bila seseorang pengarang merasa tidak puas dengan realitas obyektif itu, mungkin saja dia lalu merasa gelisah. Berangkat dari kegelisahan itu, mungkin saja, dia, dengan caranya sendiri (misalnya, lewat kegiatan kepengarangan) memprotes, memberontak, mendobrak realitas obyektif yang, menurutnya, tidak memuaskan atau penuh dengan ketidakadilan. Setelah ada suatu sikap, maka dia mencoba untuk mengangankan suatu realitas baru sebagai pengganti realitas obyektif yang sementara ini dia tolak. Hal inilah yang kemudian dia ungkapkan melalui karya sastra yang dia ciptakan. Dia mencoba untuk mengutarakan sesuatu terhadap realitas obyektif yang dia temukan. Dia ingin berpesan kepada pihakpihak lain tentang sesuatu yang dianggap sebagai masalah atau persoalan manusia (Esten, 1978: 9-10). Karena karya sastra (seni) dituntut untuk memberikan hiburan (entertainment), maka keindahan, kesegaran, kemenarikan dan sejenisnya harus menyertai karya sastra (seni) itu. Karena sifatnya yang kreatif-imaginatif, karya sastra (seni) menyaran pada dunia rekaan sang penciptanya. Karya sastra, novel, misalnya, menyuguhkan cerita. Tokoh-tokoh berikut perilaku yang menyertai dan segala aspek pendukung cerita itu merupakan hasil kreasi dari penciptanya. Sebagai karya seni, karya sastra dicipta dengan menonjolkan aspek seninya (aspek estetis) dalam upaya untuk memberikan hiburan (entertainment) bagi penikmatnya. Pandangan tersebut, memang, sejalan dengan doktrin seni yang pernah berkembang di Eropa, terutama di Perancis, pada akhir abad 19, yakni: l art pour l art yang dalam bahasa Inggrisnya art for art s sake yang berarti seni untuk seni. Para seniman Perancis, pada waktu itu, mengukuhkan pandangan bahwa karya seni menyuguhkan nilai (seni) yang agung ketimbang karya-karya manusia lainnya dan harus dipandang sebagai dirinya sendiri sebab ia mampu berdiri sendiri (self-sufficient) ; ia tidak menghadirkan manfaat atau mengajarkan moral. Tujuan akhir dari karya seni adalah hanya menyuguhkan keindahan, yang pada gilirannya dapat memberikan hiburan kepada penikmatnya (Abrams, l998). 104

120 Karya Sastra Menurut Teori Abrams Sudut Pandang Mimetik Secara mimetik dalam proses penciptaan karya sastra (seni), sastrawan/seniman tentu saja telah melakukan pengamatan yang seksama terhadap kehidupan manusia dalam dunia nyata dan lalu membuat perenungan terhadap kehidupan itu sebelum menuangkan dalam karya sastra (seni)-nya. Dengan demikian karya sastra pada hakikatnya adalah tanggapan seseorang (pengarang) terhadap situasi di sekelilingnya. Pandangan semacam ini berangkat dari pemikiran bahwa karya sastra merupakan refleksi kehidupan nyata. Refleksi ini terwujud karena adanya peniruan dan dipadukan dengan imajinasi pengarang terhadap realitas alam atau kehidupan manusia. Berbicara mengenai pandangan mimetik terhadap karya sastra itu, pada dasarnya tidak dilepaskan dari pemikiran Plato. Dalam hubungan ini, Plato, dalam dialognya dengan Socrates, mengemukakan bahwa semua karya seni (termasuk karya sastra) merupakan tiruan (imitation). Tiruan merupakan istilah relasional, yang menyaran adanya dua hal, yakni: yang dapat ditiru (the imitable) dan tiruannya (the imitation) dan sejumlah hubungan antara keduanya. Hubungan dua hal tadi terlihat dalam tiga kategori: (a) adanya ideide abadi dan ide-ide yang tidak bisa berubah (the eternal and unchanging Ideas), (b) adanya refleksi dari ide abadi dalam wujud dunia rekaan baik natural maupun artifisial, dan (c) adanya refleksi dari kategori kedua sebagaimana terlihat adanya suatu bayangan dalam air dan cermin dan karya-karya seni (Abrams, l971: 8). Sudut Pandang Pragmatis Pandangan terhadap karya sastra (seni) secara pragmatis ini menggeser doktrin seni (hanya) untuk seni sebagaimana terurai di atas. Dalam kaitan ini, Horace, misalnya, mengetengahkan tesis dan kontratesisnya terhadap karya seni. Menurut Horace, bahwa seni harus dulce et utile atau menghibur dan bermanfaat (Wellek & Warren, l977). Karya seni yang menghibur dan bermanfaat harus dilihat secara simultan, tidak secara terpisah antara satu dengan yang lainnya. Artinya, bagi seniman, dalam proses penciptaan karya seni antara aspek hiburan dan kebermanfaatan harus dipertimbangkan; dia hendaknya tidak menonjolkan aspek hiburan ketimbang aspek 105

121 Maungkai Budaya kebermanfaatan, sehingga terjadi keseimbangan antara segi menghibur dan bermanfaat pada karya seni yang diciptanya. Secara pragmatis selain sebagai sarana hiburan, pesan-pesan moral yang dihadirkan oleh karya seni bisa dimanfaatkan oleh para penikmatnya sebagai bahan perenungan. Kalau sastra (seni), misalnya novel, dianggap sebagai model kehidupan manusia, betatapun khayalnya, kita bisa melihat model-model atau pola-pola kehidupan yang baik-buruk, santun-kasar, bermoral-amoral, menyegarkan-menyebalkan atau sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan, hubungan antar anak-anak, hubungan anak terhadap orang tua atau sebaliknya, hubungan murid terhadap guru atau sebaliknya, dan sebagainya). Model-model kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan dalam kita hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; sebaliknya, hal-hal yang tidak baik tentu harus kita tinggalkan. Sebagai model kehidupan, novel hampir selalu menawarkan model kehidupan yang baik dikonfrontasikan dengan yang jelek, jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak menghadapi tantangan, masalah, dan sejenisnya dari tokoh yang jahat; pada akhirnya yang baik menang, berjaya, dan berbahagia, sedangkan yang jahat kalah, tersingkir dan lalu menderita. Aspek pragmatis (kebermanfaatan) yang dapat dipetik dari karya seni tersebut adalah antara lain: (a) perbuatan yang baik lambat laun akan membuahkan hasil yang baik pula, (b) perbuatan yang tidak baik (sewenang-wenang, korupsi, manipulasi, hanya mementingkan kepentingan pribadi padahal yang bersangkutan seharusnya memikirkan kepentingan rakyat banyak, serakah, memakan yang bukan haknya, dan sejenisnya) akan berbuah ketidakbaikan, ketidaknyamanan, kegelisahan, stress, penyakit (terkena bala), dan hal-hal yang tidak nyaman lainnya; (c) perbuatan yang baik akan mengalahkan perbuatan yang jahat. Sudut Pandang Obyektif Pandangan terhadap karya sastra secara obyektif menyatakan bahwa karya sastra (seni) merupakan dunia yang otonom, yang dapat dilepaskan dari pencipta dan lingkungan sosial-budaya zamannya. Dalam hal ini, karya sastra dapat diamati berdasarkan strukturnya. 106

122 SASTRA DALAM PANDANGAN INTERDISIPLINER ika dikatakan bahwa karya sastra merupakan fenomena kehidupan manusia, yang secara garis besar menyangkut: (a) persoalan manusia dengan dirinya sendiri, (b) hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk dalam hubungannya dengan lingkungan alam, dan (c) hubungan manusia dengan Tuhannya (Nurgiyantoro, l998:323), maka banyak sisi kehidupan manusia yang (dapat) dicakup oleh karya sastra, misalnya, kesedihan, kegelisahan, kekecewaan, kemarahan, keheranan, protes, dan pikiran atau opini. dan lingkungan, tatanan sosial, tatanan politik dan sejenisnya. Dengan demikian, karya sastra identik (walau tidak persis sama) dengan berita di koran, laporan penelitian antropologi, sosiologi, psikologi dan sejarah. Sebab, karya sastra dan karya non sastra tersebut berbicara tentang manusia, kehidupan manusia, peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengannya, tempat dan waktunya. Hal yang membedakan adalah cara menyatakannya dan asumsi pembaca terhadap jenis tulisan tersebut. Cara menyatakan petani melarat dalam bahasa karya sastra akan berbeda dengan cara yang digunakan dalam bahasa antropologi, sosiologi, psikologi dan berita di koran, meskipun fakta yang ditulis sama. Demikian pula, asumsi pembaca terhadap teks sastra dan teks non sastra tampak berbeda. Secara umum orang beranggapan bahwa karya sastra itu selalu imaginer, fiktif atau khayal belaka; dan bahwa laporan penelitian antropologi, sosiologi, psikologi, sejarah dan berita di koran selalu nyata dan benar adanya. 107

123 Maungkai Budaya Benarkah bahwa seorang sastrawan menulis karyanya tidak berdasar pada fakta di zamannya sehingga tulisannya bersifat fiktif belaka? Sebaliknya, apakah seorang sejarawan, sosiolog, antropolog, atau reporter menulis fakta di lapangan secara benar-benar obyektif, independen, tanpa dipengaruhi subyektifitas, kepentingandan ideologi? Atau, barangkali orang akan mengatakan bahwa ketika karya sastra dan karya non sastra telah menjadi karya teks bisa saja mengandung unsur subyektif bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda? Memang, sepengetahuan penulis, orang-orang yang mengatakan bahwa karya sastra itu walaupun bersifat imaginer, fiktif, khayal alias tidak nyata- mengetengahkan fakta tentang kehidupan manusia dan sejumlah sisi yang menyertainya, adalah mereka yang menggeluti atau berkecimpung dalam dunia sastra. Sementara masyarakat secara umum dan kalangan akademisi tertentu menganggap bahwa karya sastra adalah benar-benar imaginer, fiktif, atau dunia rekaan pengarang yang kurang, atau bahkan tidak, berhubungan dengan dengan sejarah, sosiologi, psikologi, studi pembangunan, politik, moral, agama dan sebagainya. Dengan cara pandang interdisipliner kita akan dapat melihat bahwa disiplin-disiplin tertentu tidak lebih unggul atau lebih favorit daripada yang lain. Sebab, setiap disiplin memiliki kekurangan dan kelebihan dalam melihat fenomena kehidupan manusia; setiap disiplin memiliki obyek dan permasalahan yang diselesaikan dengan caranya yang khas dan tidak dapat diselesaikan oleh oleh disiplin lain. Cara Pandang interdisipliner dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang memiliki banyak sisi. Atau dengan perkataan lain, cara pandang interdisipliner dalam kasus-kasus tertentu sangat diperlukan, karena penjelasan yang menyeluruh terhadap satu hal atau fenomena dapat diperoleh. Karya sastra, novel misalnya, dapat dipandang sebagai potret kehidupan manusia. Di dalamnya, sang pengarang mengetengahkan model kehidupan para tokoh dan kondisi sosial yang antara lain mencakup struktur sosial, hubungan sosial, pertentangan sosial, hubungan kekeluargaan, dominasi kelompok yang kuat terhadap yang lemah, dan sisi-sisi kehidupan sosial lainnya, seperti layaknya kehidupan nyata. Dengan demikian, menghayati dan memahami 108

124 Sastra dalam Pandangan Interdisipliner karya sastra sama halnya menghayati dan memahami manusia dan kehidupannya dalam segala segi, yang pada hakikatnya masingmasing segi tersebut dapat dipelajari oleh disiplin-disiplin ilmu yang bergayut dengan manusia (ilmu-ilmu humaniora/sosial) lain. Bila studi sastra secara interdisipliner bisa memanfaatkan disiplin-disiplin ilmu humaniora/sosial yang lain, maka pada gilirannya studi sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi misalnya) bisa memanfaatkan karya sastra sebagai salah satu sumber datanya. Dalam kaitan ini, menurut Selden (l989), karya sastra pun dapat dianggap sebagai data sejarah, antropologi, psikologi, dan disiplindisiplin ilmu humaniora/sosial yang lain. Memahami karya sastra dengan cara pandang interdisipliner memungkinkan kita untuk mengerahui banyak fenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia sebagaimana tercermin dalam karya sastra. Kita ambil contoh sebuah novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari. Dalam novel itu pengarang menggambarkan pola hubungan seorang Kepala Desa dan rakyatnya. Secara politis kepala desa adalah pemimpin desa yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam proses pemilihan kepala desa, masingmasing calon berkompetisi untuk bisa memenangkan pemilihan itu. Artinya, jabatan kepala desa itu diraih secara politis. Cara meraih jabatan itu secara politis bisa bersifat baik dan bisa pula bersifat tidak baik atau curang. Cara yang baik bisa berupa penyampaian program yang akan dilaksanakan bila yang bersangkutan terpilih; cara ini menyaran pada upaya menarik simpati (tanpa diikuti pemberian uang atau menggunakan politik uang, misalnya, para calon pemilihnya. Namun tak jarang banyak dugaan bahwa dalam kompetisi itu para calon itu menggunakan cara-cara yang tak terpuji, misalnya: money politics atau siasat-siasat tak terpuji lainnya. Calon yang menang dan kemudian dikukuhkan menjadi kepala desa, pada umumnya, akan berhadapan pihak yang kalah berikut dengan para pendukung setianya. Kepala desa terpilih dengan cara yang simpatik, jujur atau sejenisnya biasanya melakukan rekonsiliasi dengan cara yang simpatik untuk tidak melukai bekas saingannya, tanpa memandang pihak yang kalah sebagai lawan secara terus menerus. Dengan perkataan lain, kepala desa terpilih mungkin saja mendapatkan banyak persoalan bilamana dia gagal melakukan 109

125 Maungkai Budaya rekonsiliasi dengan pihak calon yang kalah berikut dengan sejumlah pendukungnya. Terlebih sulit lagi bagi kepala desa itu bilamana pihak yang kalah dan pendukungnya dipandang sebagai lawan politiknya. Seperti tercermin dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak tersebut kepala desa yang terpilih diduga oleh sementara pihak pada saat pemilihan bahwa dia telah melakukan berbagai kecurangan. Dia tidak melakukan rekonsiliasi dengan pihak-pihak yang kalah. Sebaliknya dia malah berusaha menyingkirkan setiap orang yang dengan sengaja mengungkap kecurangan-kecurangan yang dia lakukan pada saat pemilihan. Adalah Pambudi, tokoh protagonis, yang berusaha untuk menegakkan keadilan di desanya terdepak oleh kepala desanya. Dia terpaksa meninggalkan desanya, keluarganya, kekasihnya akibat tekanan yang teramat kuat dari kepala desanya. Namun, upaya Pambudi untuk melengserkan kepala desanya yang zalim (sewenang-wenang, korup, suka kawin secara paksa, berlaku asal bapak senang (ABS) terhadap atasannya dan sejenisnya) dari jabatannya, tak kunjung padam bahkan meningkat intensitasnya. Dia dengan gencarnya menggoyang kepala desanya melalui artikel-artikelnya di Koran Kalawarta. Melihat novel Di Kaki Bukit Cibalak itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1994, maka bisa kita katakana bahwa situasi politik pada waktu itu atau bahkan sebelumnya masih kental dengan nuansa politik orde baru di mana seorang pemimpin, katakan kepala desa/ lurah, memiliki dominasi yang sangat kuat terhadap rakyatnya. Kehadiran novel itu, menurut teori novel sosial/ novel protes, dimaksudkan untuk mengkritisi pemegang dominasi kekuasaan pada waktu itu. Jika dilihat dengan pendekatan mikro-makro terhadap karya sastra, maka seorang kepala desa seperti tercermin dalam novel itu sebenarnya merupakan representasi dari banyak kepala desa atau pemimpin politis lainnya dan seorang Pambudi seperti tercermin juga dalam novel itu merupakan representasi dari sekian orang yang berani mengkritisi pemimpin politis. Tampaknya, belum banyak orang yang berani mengkritisi kepala desa atau pemimpin politis lainnya pada waktu itu. Kalau boleh saya mengatakan, pada waktu itu, hanya ada tiga orang saja yang berani melawan pemimpin politis, satu di antaranya, Ahmad Pambudi Tohari. 110

126 Sastra dalam Pandangan Interdisipliner Suatu pandangan lain adalah menyangkut masalah status dan peranan. Secara sosiologis seseorang yang dalam keseharian sebagai warga biasa menjadi pejabat berarti yang bersangkutan naik statusnya. Status yang demikian disebut achieved status, bukan ascribed status. Istrinya pun dengan serta merta menyandang status baru. Status seseorang sebagai kepala desa dan memerankan peranannya sebagai akibat dari statusnya itu merupakan tindakan yang wajar dan memang seharusnya demikian. Namun, akan menimbulkan interpretasi lain bila peranan istri pemimpin desa itu seperti layaknya seorang kepala desa; wanita yang memainkan peranan yang demikian itu melebibi status yang disandangnya, yakni hanya sebagai istri seorang pemimpin desa.. Sebagaimana tercermin dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak itu, bahwa peranan istri kepala desa dan istri camat tampak dominan bahkan lebih dominan ketimbang suami-suami mereka. Kalau boleh saya katakana bahwa di desa/ kecamatan itu terdapat dua kepala desa dan dua camat, yang satu formal dan yang satunya lagi informal. Namun justru yang informal lebih mengepala desa daripada kepala desa dan lebih mencamat daripada camat. Sebenarnya, penggambaran peranan istri kepala desa/camat oleh Ahmad Tohari dapat dipahami sebagai kritik terhadap banyaknya campur tangan istri kepala desa/ camat dalam hal-hal di luar kewenangan mereka. Dalam hubungan dinas kepemerintahan, tentu ada batas-batas yang memisahkan wewenang kepala desa/ camat dengan wewenang istri kepala desa/ camat. Sebagai missal, istri kepala desa/ camat tidak selayaknya memberikan komando atau instruksi yang sebenarnya menjadi kewenangan. Namun, seperti tercermin dalam novel itu bahwa istri kepala desa lebih dominan daripada suaminya; dia dengan semaunya sendiri memberikan perintah kepada bawahan kepala desa, dan bahkan lebih dari itu, dalam urusan kepemerintahan, dia berani mengatur suaminya. Pada era sekarang, masihkah peranan wanita istri pejabat (yang sebagai ketua Tim Penggerak PKK) seperti peranan wanita istri kepala desa/camat dalam novelnya Ahmad Tohari? Dari pandangan moralitas, bahwa secara moral suatu jabatan harus dipersembahkan kepada kepentingan publik, rakyat banyak. Yang bersangkutan hendaknya tidak mementingkan kepentingan 111

127 Maungkai Budaya pribadi atau kelompoknya, tetapi dia hendaknya berdiri di atas kepentingan rakyat tanpa pandang bulu. Jabatan kepala desa, misalnya, hendaknya dimanfaatkan untuk memberikan pengayoman terhadap seluruh rakyat di wilayah desanya. Sebagai orang yang memiliki dominasi kekuasaan, kepala hendaknya tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk menindas, menekan, mempersulit rakyatnya. Seperti tercermin dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak, seorang kepala desa memanfaatkan dominasinya untuk menggilas lawan-lawan politiknya, menekan yang lemah, memperlakukan secara berbeda atau tidak adil terhadap yang pro dan yang kontra dengannya. Suatu pandangan lain berasal dari ajaran agama. Dari ajaran agama (Islam khususnya) yang, antara lain, mengajarkan kepada manusia untuk amar ma ruf dan nahi munkar. Ahmad Tohari, pengarang novel Di Kaki Bukit Cibalak, yang terlahir dari keluarga muslim taat dan dibesarkan di lingkungan pesantren, atas dasar teori pendekatan sastra secara ekspresif, dapat dikatakan bahwa dia merasa gelisah atas perilaku para pemimpin di negeri ini dan kemudian mengungkapkan kegelisahan nya itu dalam bentuk karya sastra. Dalam kaitan ini, kalau boleh saya katakana bahwa pada hakikatnya dia ber-amar ma ruf dan nahi munkar; dia mengajak para pembaca sekalian untuk melakukan kebaikan dan mencegah perbuatan melanggar larangan Tuhan (dosa) Ilustrasi lain tentang penerapan pendekatan interdisipliner untuk memahami novel karya Richard Wright yang berjudul Native Son. Dalam novel ini pengarang mengetengahkan model/pola hubungan antara orang-orang Amerika kulit putih dan kulit hitam. Menurut hemat penulis, pengarang novel ini tampak netral dalam pola hubungan itu. Pada satu sisi, walaupun dia berkulit hitam, dia mengkritisi sesama orang kulit hitam yang malas, munafik, tak berdaya dan tergantung pada orang kulit putih; pada sisi lain, dia mengecam keras orang-orang kulit putih yang menekan, menzalimi, sewenang-wenang dan sejenisnya terhadap orang-orang kulit hitam. Dalam pola hubungan itu terjadi dominasi orang kulit putih diikuti oleh efek-efek negatif bagi kaum kulit hitam. Dari perspektif sejarah, misalnya, sebagian besar orang-orang Amerika kulit hitam adalah bekas budak, sehingga ketika mereka 112

128 Sastra dalam Pandangan Interdisipliner menjadi orang-orang bebas (freedmen), mereka dipandang sebagai bermartabat rendah (inferior) dan tidak layak untuk diposisikan sederajat dengan orang-orang kulit putih. Sehingga, dalam perspektif sosiologi (sistem kelas sosial) orang-orang kulit putih memandang diri mereka sebagai superior dan orang-orang kulit hitam sebagai inferior dan diperlakukan secara tidak adil. Orang-orang kulit hitam diposisikan dalam warga negara kelas dua (second-class citizens). Dalam perspektif politik, kita dapat melihat adanya ketidaksamaan hak politik antara kulit putih dan kulit hitam. Menurut aturan dasar sebagaimana tersurat dalam Declaration of Independence, bahwa all men are created equal. Namun, dalam sejarah politik Amerika tampak terjadi pengingkaran terhadap salah satu doktrin dalam deklarasi itu. Dalam perspektif psikologi, kita dapat melihat adanya perasaan rendah diri, tak percaya diri, takut, dan sejenisnya pada orang kulit hitam, yakni sebagai akibat penindasan mental yang dilakukan oleh orang kulit putih terhadap mereka, secara turun temurun mulai masa perbudakan hingga saat ditulisnya novel tersebut. Dari perspektif ekonomi (dunia usaha), kita dapat melihat pola hubungan usaha yang tidak imbang antara orang kulit hitam dan kulit putih, di mana, antara lain, kesempatan usaha pada orang kulit hitam sangat dibatasi oleh orang kulit putih. 113

129 Maungkai Budaya MANFAAT KARYA SASTRA DALAM PENGAJARAN BAHASA P enggunaan bahasa dalam sastra sebagai besar tergantung pada perpaduan antara aspek individual dan sosial dari pengarang- nya. Penciptaan karya sastra oleh pengarang dimaksudkan untuk menimbulkan respons tertentu pada pendengar atau pembacanya. Untuk itu, dalam penciptaan karya sastra, pengarang memilih bentuk-bentuk yang menurut pertimbangannya akan dapat membangkitkan reaksi atau respons dari pendengar atau pembcanya. Reaksi atau respons ini akan muncul bilamana karya sastra itu dibaca atau didengar (diperdengarkan). Oleh karena itu, karya sastra harus menarik untuk dibaca, didengar (diperdengarkan) dan kemudian didiskusikan. Kemenarikan karya sastra memungkinkan seseorang guru, misalnya, untuk memilihnya sebagai bahan pengajaran bahasa. Dalam pengajaran bahasa ada empat keterampilan berbagasa yang harus dikembangkan, yaitu: menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing). Masuknya karya sastra dalam (kurikulum) pengajaran bahasa akan membantu untuk mengembangkan keterampilan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Keterampilan Membaca Keterampilan membaca yang diperoleh melalui kegiatan membaca karya sastra akan lebih besar manfaatnya daripada melalui kegiatan membaca non-karya sastra. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa apa yang tertulis dalam karya sastra merupakan bentuk, pilihan, dan koleksi yang khusus dari bahasa tertentu, dan 114

130 Manfaat Karya Sastra dalam Pengajaran Bahasa bahwa tulisan (karya sastra) itu merupakan tulisan yang kreatifimaginatif-simbolis yang tidak hanya mengungkapkan makna denotatif tetapi juga makna konotatif. Kegiatan membaca karya sastra tidak dimaksudkan untuk memahami makna denotatif tetapi pada saat yang sama untuk memahami makna konotatif. Pembaca karya sastra mencoba untuk memahami apa yang tersurat dan yang tersirat. Dalam kaitan itu, Rusyana menjelaskan bahwa bahasa dalam sastra tidak dipergunakan sebagai alat semata seperti halnya dalam penggunaan bahasa ilmu yang mengutamakan perhubungan antara tanda dengan apa yang dimaksud. Bahasa dalam sastra dipergunakan sebagai perwujudan ekspresi pengarangnya. Oleh karena itu, disamping denotasi kata, dalam karya sastra itu bunyi kata, konotasi kata, irama, dan unsure lainnya mendapat perhatian. Unsur-unsur itu yang dalam penggunaan lainnya kurang diindahkan, dalam sastra justru diutamakan (l984:301). Keterampilan Menyimak Keterampilan menyimak dapat dibangun melalui kegiatan menyimak suatu karya sastra, apakah berupa puisi, cerita fiksi (cerita pendek, novel) yang dibacakan secara nyaring atau menyimak hasil rekamannya. Dalam kegiatan menyimak, seseorang (siswa) dapat memperoleh pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu dilisankan. Dengan perkataan lain, dia akan mendapat pengetahuan tentang pengucapan (pronunciation) sesuai dengan system bunyi (sound system) bahasa yang dipelajari atau bahasa target. Masalah pengucapan merupakan salah satu masalah dalam belajar bahasa, khususnya bahasa asing (bahasa Inggris, misalnya). Masalah pengucapan ini muncul dalam diri pembelajar karena: (1) sejak masa kanak-kanak dia telah terbiasa memproduksi bunyi-bunyi dalam bahasa pertamanya; (2) karena kebiasaannya itu, alat-alat ucapnya sulit digerakkan untuk menghasilkan bunyi-bunyi bahasa asing; dan (3) adanya perbedaan unsur dalam sistem bunyi antara bahasa pertama dan bahasa asing. Melalui kegiatan menyimak, si pembelajar dapat memperbaiki pengucapan dalam bahasa asingnya melalui proses peniruan 115

131 Maungkai Budaya terhadap teks bahasa asing yang dilisankan. Komponen-komponen bahasa yang bisa dipahami dan ditiru selain pengucapan adalah intonasi, penekanan (stress), penggunaan kosa kata dan pola-pola kalimat, yang pada gilirannya akan bermanfaat untuk mengembangkan kecakapan menulis dan berbicara. Keterampilan Menulis Dari kegiatan menyimak sebagaimana diuraikan di atas, kita bisa mengembangkan keterampilan menulis, yaitu dengan cara meminta siswa untuk menceritakan kembali atau memberikan ulasan terhadap pembacaan puisi atau cerita tersebut secara tertulis (Elkins, 1976). Bila didukung dengan kegiatan membaca karya sastra secara intensif (intensive reading) dan secara ekstensif (extensive reading), maka kegiatan menulis tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk sekedar menceritakan kembali atau memberikan ulasan sederhana saja, namun dikembangkan lagi untuk menghasilkan tulisan-tulisan yang apresiatif, interpretatif atau evaluatif. Tulisan-tulisan yang apresiatif, interpretatif, atau evaluatif terhadap karya sastra harus didukung pula oleh (1) kepekaan emosi atau perasaan terhadap unsur-unsur artistik yang terdapat dalam karya sastra, (2) pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan, (3) pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan (4) pemahaman terhadap unsur- unsur intrinsik karya sastra (Elkins, l976 dan Aminuddin, l996). Pendek kata, keterampilan menulis akan dapat dikembangkan oleh seseorang dengan (1) membaca karya sastra baik secara intensif maupun ekstensif, (2) membekali diri dengan pengetahuan dan pengalaman tentang kehidupan dan kemanusiaan; pengetahuan kebahasaan dan kesastraan (teori sastra), dan (3) memiliki kepekaan emosi atau perasaan sehingga dia tidak hanya mampu menghayati dan memahami keindahan, tetapi juga mampu memahami kendungan makna dalam karya sastra yang umumnya bersifat konotatif. Keterampilan Berbicara Keterampilan berbicara termasuk keterampilam berbahasa yang bersifat produktif-ekspresif. Ia mencakup komponen-komponen bahasa seperti fonologi, strukstur, kosa kata dan menuntut kecepatan dan kelancaraan. Ia juga banyak didukung oleh keterampilan 116

132 Manfaat Karya Sastra dalam Pengajaran Bahasa membaca dan menyimak. Melalui kegiatan membaca, seseorang akan memperoleh banyak pengetahuan bahasa dan komponenkomponennya, pengalaman dan pemahaman tentang kehidupan dan sebagainya. Melalui kegiatan menyimak, dia akan memiliki pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu dilisankan. Dengan demikian, keterampilan membaca dan menyimak menentukan atau mempengaruhi kecakapan seseorang dalam berbicara. Seperti halnya menulis, keterampilan berbicara, sebenarnya, dapat dibangun melalui kegiatan membaca dan menyimak karya sastra yang berupa puisi atau cerita fiksi. Seseorang (guru) dapat meminta siswanya untuk membaca atau menyimak dan kemudian melaporkan hasil membaca atau menyimaknya secara lisan. Namun, suatu karya sastra yang lebih cocok untuk membangun keterampilan berbahasa adalah drama. Karena, di samping terdiri dari dialog drama juga menghadirkan tiruan dari kehidupan dan aktivitas manusia. Puisi dan prosa fiksi yang banyak melibatkan narasi lebih cocok untuk membangun keterampilan membaca, walau tidak menutup kemungkinan untuk membangun keterampilanketerampilan yang lain (menyimak, menulis dan berbicara). Melalui drama yang di dalamnya terdapat dialog, pembaca atau pendengar dapat melihat perkembangan karakter-karakternya. Drama merupakan karya untuk presentasi teatrikal. Dalam membaca atau membicarakan drama sebagai karya sastra, seseorang tidak boleh lupa bahwa drama adalah karya teatrikal. Orang harus membayangkan suatu panggung pementasan dalam pikirannya ketika membaca drama. Dalam pengembangan keterampilan berbicara di satu sisi, dan keterampilan lain di sisi lainnya, maka drama itu harus melibatkan setidak-tidaknya dua kelompok: kelompok pemain dan kelompok penonton. Kelompok pertama dapat mengembangkan keterampilan berbicaranya dan kelompok kedua dapat mengembangkan keterampilan menyimak ketika drama itu dipentaskan. Beranjak dari diskusi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa karya sastra pada hakikatnya adalah karya yang dimaksudkan untuk menggambarkan kehidupan, menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan atau moral melalui bahasa; dan bahwa karya 117

133 Maungkai Budaya sastra adalah bahasa, yakni bahasa yang mewadai nilai-nilai kemanusiaan atau moral. Karya sastra sangat baik untuk digunakan sebagai bahan pengajaran bahasa. Karena, di samping sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan atau moral bahasa ragam sastra itu terdiri dari dari bentuk-bentuk yang khas. Karena kekhasannya itu, bahasa dalam sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari dan oleh karena itu diharapkan penggunaan karya sastra untuk pengajaran bahasa akan lebih menarik. 118

134 SEJUMLAH PENDEKATAN DALAM STUDI SASTRA D alam studi sastra ada sejumlah pendekatan yang dapat diterapkan oleh penelaah sastra. Bila kita bertolak dari empat cara pandang terhadap karya sastra seperti ditawarkan oleh Abrams, yakni karya sastra dilihat dari: (1) karya sastra itu sendiri, (2) pengarangnya, (3) semesta, dan (4) pembacanya, maka empat cara pandang itu menghasilkan empat pendekatan, yakni (1) pendekatan obyektif, (2) pendekatan ekspresif, (3) pendekatan mimesis, dan (4) pendekatan pragmatis. Pendekatan Obyektif Pendekatan obyektif adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra. Dengan pendekatan obyektif ini penelaah melihat karya sastra sebagai produk manusia atau artifak. Karya sastra, dalam hal ini, merupakan suatu karya yang otonom, yang dipisahkan dari hal-hal di luar karya itu sendiri. Dengan demikian telaah karya sastra dengan pendekatan obyektif beranjak dari aspekaspek atau unsur-unsur yang langsung membangun karya sastra. Signifikansi dan nilai karya sastra dilihat dari unsur-unsur dan keterhubungan antara unsur-unsur karya sastra. Ilutrasi di atas diderivasikan dari gagasan Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp, yaitu: (the objective approach) will explain the work by considering it in isolation, as an autonomous whole, whose siginificance and value are ditermined without any reference beyond itself (Abrams, 1953:7). Telaah karya sastra dengan pendekatan obyektif sering dikenal dengan telaah struktural, yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan 119

135 Maungkai Budaya tema, peristiwa, tokoh, alur, setting, sudut pandangan, diksi yang terdapat dalam karya sastra. Pendekatan Ekspresif Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang mendasarkan pada pencipta atau pengarang karya sastra. Telaah dengan pendekatan ekspresif ini menitik beratkan, misalnya, pada the novelist, his imagina-tion, insight, and spontaneity Lebih lanjut, Abrams menjelaskan: This is based on the ex-pressive theory which considers a work of art as essentially the internal made external, resulting from a creative process operating under the impulse of feeling, and embodying the combined product of the novelist s perceptions, thoughts, and feelings. The primary source and subject matter of a novel therefore are the attributes and actions of the novelist s mind (Abrams, 1956:22). (Telaah ini didasarkan pada teori ekspresif yang memandang suatu karya seni yang secara esensial sebagai dunia internal (pengarang) yang terungkap sehingga menjadi dunia eksternal (berupa karya seni); perwujudannya melalui proses kreatif, dengan titik tolak dorongan perasaan pengarang; dan hasilnya adalah kombinasi antara persepsi, pikiran dan perasaan pengarangnya. Sumber utama dan pokok masalah suatu novel, misalnya, adalah sifat-sifat dan tindakantindakan yang berasal dari pemikiran pengarangnya). Di sisi lain Rohrberger dan Woods (1971:8) memandang pendekatan ekspresif ini sebagai pendekatan biografis. Dalam kaitan ini, mereka menjelaskan: The biographical approach refers to the necessity for an appreciation of the ideas and personality of the author to an understanding of the literary object. On the basis of this approach, a work of art is a reflection of a personality, that in the esthetic experience the reader shares the authors consciousness, and that at least part of the readers responsse is to the author s personality. Consequently, we attempt to learn and to apply this knowledge in our attempt to understand his writing(s). (Pendekatan biografis menyaran pada perlunya suatu apresiasi terhadap gagasan-gagasan dan kepribadian pengarang untuk memahami obyek literer. Atas dasar pendekatan ini, karya seni dipandang sebagai refleksi kepribadian pengarang, yang atas dasar pengalaman estetis pembaca dapat menangkap kesadaran pengarangnya; dan yang setidak-tidaknya.sebagian respons pembaca 120

136 Sejumlah Pendekatan dalam Studi Sastra mengarah kepada kepribadian pengarangnya. Untuk itu, dengan pendekatan ekspresif penelaah hendaknya mempelajari pengetahuan tentang pribadi pengarang guna memahami karya seninya). Telaah dengan pendekatan ekspresif dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pengarang dalam mengungkapkan gagasan-gagasan, imajinasi, spontatanitasnya dan sebagainya. Pendekatan Mimetik Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mendasarkan pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu. Perhatian penelaah adalah pada the rela-tionship between the work of art and the universe that it pretends to produce (hubungan antara karya seni dan realitas yang melatarbelakangi kemunculannya). Dalam hubungan ini Lewis menjelaskan: This approach views art as an imita-tion of aspects of the universe, of external and immutable ideas, of eternal and unchanging patterns of sound, sight, movement, or form (pendekatan ini memandang seni sebagai tiruan dari aspek-aspek realitas, dari gagasan-gagasan eksternal dan abadi, dari pola-pola bunyi, pandangan, gerakan, atau bentuk yang muncul secara terus menerus dan tidak pernah berubah) (Lewis, 1976:46). Serupa dengan Lewis, Rohrberger dan Woods memandang pendekatan mimetik sebagai pendekatan historis-sosiologis. Katanya: The sociological-historical approach refers to an approach that locates the real work in reference to the civilization that produced it. Civilization here can be defined as the attitudes and actions of a specific group of people and point out that literature takes these attitudes and actions as its subject matter (pendekatan sosiologis-historis menyaran kepada pendekatan yang menempatkan karya yang sebenarnya dalam hubungannya dengan peradaban yang menghasilkannya. Peradaban di sini dapat didefisikan sebagai sikap-sikap dan tindakan-tindakan kelompok masyarakat tertentu dan memperlihatkan bahwa sastra mewadahi sikap-sikap dan tindakan-tindakan mereka sebagai persolan pokoknya) ((Rohrberger dan Woods, 1971:9). Dalam mengimplementasikan pendekatan-pendekatan di atas, penelaah pertama memahami suatu karya atas dasar teks tertulis; kedua 121

137 Maungkai Budaya dia memandang teks tertulis itu sebagai pengungkapan pengalaman, perasaan, imajinasi, persepsi, sikap dan sebagainya; dan kedua dia menghubungkannya dengan realitas yang terjadi di masyarakatnya. Langkah-langkah ini pernah dilakukan Fatchul Mu in (2001) ketika dia menelaah novel Native Son karya Richard Wright dalam tesisnya yang berjudul Richard Wright s Native Son: A Study of White Domination and Its Effects on African Americans. Katanya: In implementing those approaches, the writer of this thesis comprehends Richard Wright s Native Son on the basis of its written text, then regards it as Richard Wright s experience, feeling, imagination, perceptions, etc. After that the writer relates it (the novel) to the universe or the American life as the background of the production of the novel. (dalam mengimplementasikan pendekatanpendekatan itu, penulis tesis ini memahami Native Son karya Richard Wright atas dasar teks tertulisnya, kemudia memandangnya sebagai ungkapan pengarang novel itu tentang pengamalannya, perasaannya, imajinasinya dan sebagainya. Setelah itu, dia menghubungkan novel itu dengan realitas atau kehidupan Amerika sebagai latar belakang penulisan novel itu sendiri). Dilihat dari sudut pandang penciptaan atau kepengarangan, dapat dikatakan bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan dari sang pengarangnya. Dalam kaitan ini, dalam proses kepengarangan, sang pengarang itu tentu tidak asal mengarang atau menulis karya sastra; dia tentu terlebih dahulu melakukan observasi dan lalu melakukan komtemplasi (perenungan) atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakatnya. Melalui proses observasi dan komtemplasi, dia melakukan imajinasi dakam rangka untuk menciptakan karya sastra (berkreasi). Singkat kata, melalui proses-proses itu maka terwujudlah suatu karya sastra. Karena karya sastra banyak berkait dengan persoalan-persoalan kemanusia, maka untuk dapat memahaminya kita perlu mengkaitkannya dengan bidang-bidang atau disiplin-disiplin sosial/ humaniora lainnya. Pemahaman dengan cara yang demikian mengacu kepada pemahaman karya sastra secara interdisipliner. Pendekatan Interdisipliner Pendekatan interdisipliner dalam studi sastra mengacu kepada pendekatan yang melibatkan sejumlah disiplin sosial/ humaniora 122

138 Sejumlah Pendekatan dalam Studi Sastra lainnya. Pendekatan ini telah banyak dilakukan dalam studi sastra pada Program American Studies. Pendekatan interdisipliner seperti yang disarankan oleh McDowel sebagai berikut: an approach pertinent to American Studies is the interdisciplinary approach as suggested by McDowel, stating that the course in American Studies is interdisciplinary in approach and employs the resources of history, philosophy, the social sciences, and literature, art and architecture, music, the dance, and the motion picture (1948:71-72). Dalam studi sastra dengan pendekatan interdisipliner, kita mungkin memanfaatkan kajian sejarah, sosiologi, pendidikan, politik, ekonomi, dan budaya dalam yang seluas-luasnya. Pendekatan mikro-makro merupakan salah pendekatan yang dimanfaatkan dalam studi sastra pada Program American Studies. Dalam kaitan ini, McDowel mengatakan bahwa: Another approach used in this study is micro to macro approach by which a study begins with the microcosm,, a small world to explain the macrocosm, a larger world (McDowel, 1948:92). Ketika melakukan telaah sastra untuk tesis S-2, Fatchul Mu in (2001) mengetangahkan: In American Studies Study, a literary work is regarded as a mental evidence to explain American culture as a whole; a literary work is regarded as a microcosm which is used to explain a microcosm. Richard Wright s Native Son is a literary work portraying a black man s life. Thus, Bigger Thomas as a black man in the novel is a representative of the black people; whereas the Dalton family is a representation of the white people (dalam studi pengkajian Amerika, suatu karya sastra dipandang sebagai bukti mental (mental evidence) untuk menjelaskan kebudayaan Amerika secara luas (yang menyangkut keseluruhan hubungan dan akibat hubungan antara orang-orang kulit putih dan kulit hitam); suatu karya sastra dipandang sebagai dunia kecil (mikrokosmos) yang dimanfaatkan untuk menjelaskan dunia besar (makrokosmos). Novel Native Son karya Richard Wright yang menggambarkan kehidupan seorang kulit hitam. Jadi, Bigger Thomas sebagai seorang kulit hitam dalam novel itu merupakan perwujudan dari orang-orang Amerika kulit hitam; sedangkan keluarga Dalton merupakan perwujudan orang-orang Amerika kulit putih). 123

139 Maungkai Budaya ASPEK MORALITAS KARYA SASTRA P ada hakikatnya, nilai-nilai moral atau nilai baik-buruk, positifnegatif, pantas-tak pantas dan sejenisnya adalah bersumber dari ajaran agama. Prinsip ajaran agama adalah untuk mengatur kehidupan manusia. Jenis ajaran moral dapat mencakup masalah, yang boleh dikatakan tak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Secara garis besar persoalan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam persoalan: (a) persoalan manusia dengan dirinya sendiri, (b) hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk dalam hubungannya dengan lingkungan alam, dan (c) hubungan manusia dengan Tuhannya (Nurgiyantoro, l998:323). (Pembedaan persoalan kehidupan manusia itu hanya untuk memudahkan pemahaman. Sebab, persoalan hidup/kehidupan manusia tak bisa lepas dari persoalan hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan). Secara umum moral mengacu pada ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (Kamus Umum Bahasa Indonesia, l982). Istilah bermoral bagi seseorang yang kita rujuk berarti bahwa yang bersangkutan memiliki pertimbangan baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, positif dan negatif. Namun demikian, pengertian baik dan buruk, dan sejenisnya kadang-kadang bersifat relatif. Artinya, suatu perbuatan, sikap, atau hal yang dipandang baik oleh orang atau sekelompok orang atau bangsa yang satu, belum 124

140 Aspek Moralitas Karya Sastra tentu baik bagi pihak yang lain. Biasanya, pandangan baik dan buruk itu dipengaruhi oleh pandangan hidup kelompok etnis, suku atau bangsanya. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilainilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Sebuah karya sastra ditulis oleh pengarang, antara lain, untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Karya sastra mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangan tentang moral. Melalui cerita, sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan morean yang disampaikan atau diamanatkan. Jika kehidupan seperti tercermin dalam karya sastra dipandang sebagai model kehidupan manusia, maka model kehidupan itu dapat diadopsi dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari dan yang buruk atau tidak terpuji tentu harus ditinggalkan oleh pembaca atau penikmat karya sastra. Jika nilai-nilai moral seperti tercermin dalam karya sastra dipahami, dihayati, dan lalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tidak tertutup kemungkinan kita bisa mengembangkan sikap mental yang positif, kuat, tangguh dan sejenisnya sehingga kita mampu bersikap, berpikir, dan berperilaku positif yang tidak hanya menguntungkan diri kita sendiri tetapi juga menguntungkan pihak-pihak lainnya. Kalau novel, bisa juga sinetron, misalnya, dianggap sebagai model atau pola kehidupan manusia, betapapun khayalnya, kita bisa melihat model-model atau pola-pola kehidupan yang baikburuk, santun-kasar, bermoral-amoral, menyegarkan-menyebalkan atau sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan, hubungan antar anak-anak, hubungan anak dengan orang tua atau sebaliknya, hubungan guru dengan murid atau sebaliknya, hubungan dosen terhadap mahasiswa atau sebaliknya, hubungan pemimpin dengan anak buahnya atau sebaliknya, dan sebagainya). Model-model atau pola-pola kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan dalam kita hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; sebaliknya, hal-hal yang tidak baik tentu harus kita 125

141 Maungkai Budaya model/pola kehidupan yang baik dikonfrontasikan dengan yang jelek, jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak menghadapi tantangan, masalah, dan sejenisnya dari tokoh yang jahat; pada akhirnya yang baik menang, berjaya, dan berbahagia, sedangkan yang jahat kalah, tersingkir dan lalu menderita. Aspek pragmatis yang dapat dipetik dari karya seni tersebut adalah antara lain: (a) perbuatan yang baik lambat laun akan membuahkan hasil yang baik pula, (b) perbuatan yang tidak baik (sewenang-wenang, korupsi, manipulasi, hanya mementingkan kepentingan pribadi padahal yang bersangkutan seharusnya memikirkan kepentingan rakyat banyak, serakah, memakan yang bukan haknya, dan sejenisnya) akan berbuah ketidakbaikan, ketidaknyamanan, kegelisahan, stress, penyakit (menderita lumpuh), dan hal-hal yang tidak nyaman lainnya; (c) perbuatan yang baik akan mengalahkan perbuatan yang jahat. Naudzubillahi min dzalik. Sehabis baca novel, terlepas apakah ceritanya yang sangat fiktif, karakterisasinya terlalu dibuat-buat dan sangat jauh dunia nyata, saya senantiasa membutiri pesan-pesan moral yang dicobaapungkan oleh novel itu. Ambil contoh, novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari. Penulis novel ini menggarap seorang pemimpin (kepala desa) yang sewenang-wenang, otoriter, koruptor dan asal bapak camat senang, serta atribut-atribut buruk lainnya. Melihat novel Di Kaki Bukit Cibalak itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1994, maka bisa kita katakan bahwa situasi politik pada waktu itu atau bahkan sebelumnya masih kental dengan nuansa politik orde baru di mana seorang pemimpin, katakan kepala desa/ lurah, memiliki dominasi yang sangat kuat terhadap rakyatnya. Kehadiran novel itu, menurut teori novel sosial/ novel protes, dimaksudkan untuk mengkritisi pemegang dominasi kekuasaan pada waktu itu. Jika dilihat dengan pendekatan mikro-makro terhadap karya sastra, maka seorang kepala desa seperti tercermin dalam novel itu sebenarnya merupakan representasi dari banyak kepala desa atau pemimpin politis lainnya dan seorang Pambudi seperti tercermin juga dalam novel itu merupakan representasi dari sekian orang yang berani mengkritisi pemimpin politis. Sang lurah yang jahat itu akhirnya jatuh juga. Kejatuhan lurah ini digambarkan dengan indahnya oleh pengarang mulai dari kejayaannya hingga 126

142 Aspek Moralitas Karya Sastra menjadi manusia yang hina dina bagai sampah yang tiada guna, sebagai akibat yang bersangkutan suka menghalangi atau merampas hak-hak orang lain. Novel Uncle Tom s Cabin karya Harriet Beecher Stowe mengisahkan perbudakan di Amerika Serikat. Ketika novel ini ditulis, di negara itu telah terjadi silang pendapat tentang adanya perbudakan. Kelompok yang pro dengan perbudakan adalah terdiri dari orang-orang kulit putih yang umumnya berada di Amerika belahan selatan, yang memiliki banyak budak atau yang diuntungkan dengan adanya perbudakan itu; sedangkan kelompok yang kontra adalah mereka yang berada di Amerika belahan utara (didukung oleh kelompok kulit hitam). Kelompok yang pertama tetap ingin mempertahankan perbudakan sedangkan kelompok yang kedua ingin menghapuskan dengan dasar pemikiran masingmasing. Lalu, muncullah novel Uncle Tom s Cabin yang mengisahkan betapa kejamnya para penjaga budak, para tuan budak atau pemilik budak dan betapa menderitanya menderitanya para budak. Novel ini dikatakan sebagai novel yang memiliki daya provokatif yang luar biasa, karena tak lama kemudian terjadi perang saudara (civil war) di Amerika. Aspek moral yang dapat dipetik adalah agar setiap manusia yang juga sebagaimana umat Tuhan di manusia kan sebagaimana manusia-manusia lain. Kelompok manusia yang satu hendaknya tidak memperbudak manusia atau kelompok manusia yang lain. Ini juga mengisyaratkan akan perlunya cinta sesama umat. Dalam kaitan itu, pembaca dihadapkan pada sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang baik dan kurang terpuji. Terhadap sikap dan perilaku tak terpuji itu bukan berarti bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan berperilaku demikian. Sikap dan perilaku tak terpuji itu hanyalah sebuah model, yakni model yang harus dihindari atau ditolak oleh pembaca. Pembentukan Mentalitas via Karya Sastra Besar kecilnya peranan dalam masyarakat banyak ditentukan oleh peranan konsumen sastra dalam masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai moral dalam karya sastra akan tidak banyak artinya jika para anggota masyarakat yang bersangkutan tidak 127

143 Maungkai Budaya memiliki kemauan untuk membaca. Langkah awal untuk bisa membentuk sikap mental yang baik melalui karya sastra adalah membaca karya sastra itu sendiri. Melalui kegiatan pembacaan terhadap karya sastra, seseorang bisa mengambil manfaat dari hasil pembacaan itu, dengan cara membutiri nilai-nilai moral yang baik dan yang buruk. Nilai-nilai moral yang baik bisa diadopsi dan lalu dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat; sementara nilainilai moral yang buruk ditinggalkan. Novel karya Stowe yakni Uncle Tom s Cabin seperti disinggung di atas, dikatakan sebagai peniup perang saudara di negeri Paman Sam itu. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai moral yang buruk akibat dari perbudakan bisa ditangkap oleh banyak orang di sana sehingga secara simultan mereka membenci dan menolak perbudakan. 128

144 Seni 129

145 Maungkai Budaya 130

146 BUKAN HANYA BURUAN CIUM GUE (Catatan Tambahan untuk Dwi Atmono) K arya atau kreasi seni, seperti: Dansa Yo Dansa, Goyang Ngebor Inul dan Goyang Patah Anisa Bahar, dan terakhir film Human Cium Cue menuai protes dari sejumlah kalangan. Sebenarnya masih banyak lagi karya-karya seni (baca: sinetron) yang perlu mendapat perhatian. Saya setuju bila dikatakan bahwa sejumlah sinetron: Cinta SMU, ABC, Cinta Memang Gila, Inikah Rasanya, dan Kisah Kasih di Sekolah merupakan sinetron-sinetron yang bermasalah, bahkan menurut saya, kurang (boleh dikatakan tidak ) mengajarkan nilai-nilai moral yang kelakdapat dipedomani oleh kita, remaja kita dan masyarakat kita. Dalam dunia nyata, guru senantiasa mencegah anak didiknya untuk melakukan perbuatan yang baik atau bermoral; namun, dalam sejumlah sinetron, guru diberi peran minor atau sejenis peran asesoris belaka. Ini pelecehan terhadap profesi guru. Bahkan, Kisah Sedih di Hari Minggu dan Bawang Merah- Bawang Putih mengede-pankan ketidakberdayaan kaum lelaki yang notabene sebagai kepala keluarga. Dalam dua sinetron yang disebutkan terakhir ini mengarah kepada karakterisasi (penghadiran karakter) yang berlebihan. Dalam dunia nyata, sifat galak, benci, kuat-lemah atau sejenisnya memang benar adanya. Namun,-bila hal-hal itu dihadirkan dengan tokoh dalam cerita secara berlebihan, maka cerita itu justru tidak memberikan moral teaching yang baik. Saya menjadi terheran-heran mengapa para produser selalu saja mcmproduksi sarana hiburan yang dibalut dengan sex appeal yang berlebihan. Nah, setelah masyarakat ramai-ramai memprotesnya, mereka tidak serta merta melakukan koreksi diri dan 131

147 Maungkai Budaya bahkan mencari pembenaran atas dasar sudut pandangnya sendiri. Tampaknya, mereka tidak menjadikan keberatan, kritik dan bahkan protes dari masyarakat sebagai pelajaran berharga untuk memproduksi sarana hiburan (sinetron/film) yang lebih santun, bermartabat dan bermoral. Karya Seni yang Ideal Memang, karya seni, khususnya sinetron atau film, seperti halnya novel atau cerita rekaan lainnya, menyuguhkan cerita. Tokoh-tokoh berikut perilaku yang menyertai dan segala aspek pendukung cerita itu merupakan hasil kreasi dari penciptanya. Sebagai karya seni, sinetron diciptakan dengan menonjolkan aspek seninya (aspek estetis) dalam upaya untuk memberikan hiburan (entertainment) bagi penikmatnya. Hal ini, memang, sejalan dengan doktrin seni yang pernah berkembang di Eropa, terutama di Perancis, pada akhir abad 19, yakni: I art pour l art yang dalam bahasa Inggrisnya art for art s sake yang berarti seni untuk seni. Para seniman Perancis, pada waktu itu, mengukuhkan pandangan bahwa karya seni menyuguhkan nilai (seni) yang agung ketimbang karya-karya manusia lainnya dan harus dipandang sebagai dirinya sendiri sebab ia mampu berdiri sendiri (selfsuffi-cient) ; ia tidak menghadirkan manfaat atau mengajarkan moral. Tujuan akhir dari karya seni adalah hanya menyuguhkan keindahan, yang pada gilirannya dapat memberikan hiburan kepada penikmatnya (Ahrums, I977). Kemudian, pada pcrkembangan sclunjulnyu, pandangan seni (hanya) unluk seni banyak mendapat kecaman. Horace, misalnya, mengetengahkan tesis dan kontratesisnya terhadap karya seni. Menurut Horace, bahwa seni harus menghibur dan bermanfaat (Wellek & Warren, 1977). Karya seni yang menghibur dan bermanfaat harus dilihat secara simultan, tidak secara terpisah antara satu dengan yang lainnya. Artinya, bagi seniman, dalam proses penciptaan karya seni antara aspek hiburan dan kebermanfaatan harus dipertimbangkan; dia hendaknya tidak menonjolkan aspek hiburan ketimbang aspek kebermanfaatan, sehingga terjadi keseimbangan antara segi menghibur dan bermanfaat pada karya seni yang diciptanya. 132

148 Bukan Hanya Buruan Cium Gue Produser hendaknya mempertimbangkan bahwa publik atau masyarakal mempunyai hak dan produsen mempunyai tanggungjawab untuk memenuhi hak masyarakat tersebut. Hakhak yang melckat pada masyarakat, antara lain, adalah hak-hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan pendidikan moral (moral teaching) dari produser melalui karya seni yang dihasilkan. Di sisi lain, produser mempunyai kewajiban untuk memenuhi public interest dalam menyajikan program-programnya. Program-program yang disajikan bukan hanya-bersifat informasional dan business-oriented tetapi hendaknya dalam kerangka untuk pendidikan moral. Dengan demikian, kalaupun dikatakan bahwa produser mempunai kebebasan (freedom) untuk berekspresi, tetapi dia memiliki tanggung jawab moral yang menyertai kebebasan itu. Tidak Self-Cencorship Produser sinetron film atau pengelola televisi, misalnya, memiliki hak unluk membuat program hiburan. Namun, masalah pendidikan moral seyogyanya menjadi pertimbangan utama, artinya, tidak semata-mata demi keuntungan ekonomis. Self-Censorship bisa dilakukan dengan cara, misalnya, mendesain dan menayangkan iklan/program hiburan yang tidak berbau pornografi, tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial, moral, dan agama, sebelum hasil karya disensor oleh lembaga sen sor atau diprotes oleh masyarakat luas. Dengan perkataan lain, model pakaian, perilaku dan sejenisnya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur bangsa seyogyanya tidak ditampilkam, karena hal itu akan memiliki dampak tak baik bagi moralitas anak bangsa. Tampaknya, self-censorship tidak dilakukan oleh sejumlah produser (pengelola) acara TV atau produser film-sinetron. Buktinya, antara lain: (1) pada awaltahun 1980-an, sejumlah film layar lebar yang dibintangi oleh tiga sekawan (Dono, Kasino dan Indro) yang banyak memamerkan daya tarik seksual diperuntukkan kepada mereka yang berumur 17 tahun ke atas Jewat gedung bioskop; kini ditayangkan secara berulang-ulang dan dapat ditonton lewat layar kaca (TV) oleh masyarakat segala umur, (2) setelah goyang ngebomya Inul diprotes di mana-mana, sejumlah Stasiun TV, 133

149 Maungkai Budaya termasuk TVRI Kalimantan Selatan, menyiarkan secara langsung acara musik di mana performance (pakaian dan goyangnya) artisartisnya kurang lebih atau bahkan melebihi Inul, (3) sejumiah judul sinetron menjadi bahan pembicaraan sejumlah orang tua karena akan berdampak tak baik bagi putra-putri mereka dan bahan penulisan artikel bagi sejumiah pengamat, (4) presenter/perabawa acara wanita di TV, artis-artis wanita AFI dan lain-lain didesain dengan pakaian yang begitu minim (kain) dan ketat seolah penonton/pemirsa bisa melihat bentuk tubuh aslinya hanya demi daya tarik, dan (5) film BCG membuat gelisah seorang ustadz kondang, Aa Gym, yang kemudian menyeru agar film porno itu ditarik dari peredaran; tampaknya hasil karya produser bisa saja lolos dari Lembaga Sensor Film, namun ia belum tentu lulus bila diuji oleh Aa Gym yang didukung oleh khalayak. Untuk itu, kepekaan lembaga penjaga moralitas bangsa, seperti Majelis Ulama Indonesia (dari pusat sampai daerah arau sebaliknya dari daerah sampai pusat) sangatlah diperlukan. Orangorang yang tergabung dalam lembaga itu hendaknya secara cepat menangani atau menanggapi fenemona sosial, khususnya yang menyangkut moralitas. Mereka hendaknya tidak menunggu adanya keberatan atau protes dari masyarakat seperti yang terjadi selama ini. MUI Kabupaten/Kota dan Propinsi, semestinya, tidak perlu menunggu petunjuk dan instruksi dari MUI Pusat dalam merespons hal-hal yang dipandang akan merusak moralitas anak bangsa. 134

150 JOGET: ANTARA SENI DAN MORAL G oyang atau joget Inul yang ngebor, beberapa saat lalu bikin heboh dan kemudian tenggelam, belakangan ini, bikin heboh lagi. Sejumlah pihak memandangnya sebagai salah satu seni; sementara pihak memandangnya sebagai sesuatu yang tidak baik, tidak patut dan merusak moral. Menimbulkan Kontrovesi Seperti telah diketahui, performansi Inul dengan goyang ngebornya (dan Ani Bahar dengan goyang patahnya) menimbulkan banyak reaksi keras dari sejumlah kalangan. Bahkan di sejumlah daerah banyak digelar protes dengan mengerahkan massa yang besar. Tidak ketinggalan Chofifah Indar Parawansa, mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan, ketika diminta pendapatnya pada acara Cek dan Ricek suatu jaringan TV, ikut memprotes juga. Reaksi dan protes yang mungkin terkeras terlontar oleh Si Raja Dangdut, Rhoma Irama. Reaksi keras dan protes itu didasarkan pada anggapan bahwa goyangan ngebor ala Inul dan goyangan patah ala Anisa Bahar telah memicu timbulnya tindak asusila pada penontonnya. Apa bener nich? Reaksi demi reaksi dan protes demi protes pun ditanggapi oleh sementara pihak yang pro dunia seni, antara lain seorang artis yang cukup terkenal, Nurul Arifin, yang menyatakan bahwa seni itu seni dan hendaknya tidak dikaitkan dunia di luar seni. Bahkan, Gus Dur, sang mantan Presiden pun berseberangan dengan mantan anaknya dan si Raja Dangdut. Namun, belakangan Gus Dur diberitakan menyetujui keberatan Rhoma Irama. Di sisi lain, Inul yang dibela oleh sejumlah pihak malah takluk di hadapan Rhoma Irama dan minta 135

151 Maungkai Budaya maaf kepadanya; sementara Anisa Bahar memilih untuk mengajukan somasi lewat pengacaranya kepada si Raja Dangdut tersebut. Terjadilah gonjang-ganjing goyang ngebor dan goyang patah. Faktor Internal dan Eksternal Kali ini, saya akan mengajukan pertanyaan: Apakah benar hanya karena goyangan ngebor atau goyangan patah itu sejumlah penonton atau pengemar menjadi rusak moralnya sehingga mereka melakukan tindak asusila? Apa tuduhan itu tidak berlebihan? Menurut saya, rusak atau bejatnya moral yang berakibat timbulnya tindak asusila disebabkan oleh banyak faktor, tidak hanya akibat dibor Inul. Faktor-faktor itu bisa bersifat internal, yang berasal dari individu pelaku itu sendiri dan eksternal, yang bersumber dari luar individu pelaku bersangkutan. Faktor internal penyebab tindak asusila, dilihat dari agama, adalah rendahnya (baca: labilnya) moral agama yang ada pada dirinya. Agama, antara lain, telah mengajarkan manusia bagaimana ia melihat, memahami, dan mengambil sikap terhadap berbagai gejala, peristiwa maupun hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Teori Psikoanalisisnya Sigmund Freud, yang menjelaskan bahwa dalam diri manusia ada tiga kekuatan: id, ego dan superego. Id berarti kekuatan naluriah untuk hidup dan mempertahankan diri dan melestarikan jenisnya; ego berarti kesadaran diri akan keberadaannya di antara id-id dan alter-alter (ego-ego pada orang lain) dalam memenuhi kebutuhannya; dan superego unsur-unsur kultural umum yang telah terpateri dalam dirinya, yang akan memimpin, memedomani tingkah-lakunya sesuai dengan nilai dan norma-norma yang telah disepakati oleh para anggota masyarakat di mana pelaku atau seseorang itu hidup (dalam Istiati Soetomo, 1985). Ego atau identitas individual merupakan kekuatan sentral dalam diri manusia. Ego ini bisa memperlihatkan kepribadian pemiliknya. Secara internal, perilaku ego dipengaruhi oleh superegonya (baca: moralitasnya) dalam mengendalikan id (baca: naluri seksnya). Bila bagian pengendalinya mantap, kokoh, baik atau sejenisnya, maka sekuat apapun terpaan faktor-faktor eksternal (salah satunya: goyang ngebornya Inul) si ego akan memilih perilaku susila ketimbang asusila. Dengan demikian, perilaku asusila (baca: penyimpangan seksual yang berupa pemerkosan) setelah menyaksikan goyang ngebornya 136

152 Joget: Antara Seni dan Moral Inul sebenarnya, menurut saya, bersumber dari masing-masing ego pelakunya. Karena mereka memiliki mental agama yang lemah, mereka akan mudah berbuat tak senonoh; mereka sulit mengendalikan emosi dan hasrat seksualnya sehingga bila ada rangsangan sepintas imannya mudah goyah. Goyang ngebornya Inul hanyalah salah satu dari sekian faktor eksternal yang bisa mempengaruhi orang untuk melakukan tindak asusila. Itu pun bila benar bahwa seseorang pelaku pemerkosaan disebabkan hanya oleh goyang ngebornya Inul. OK, katakan saja bahwa faktor eksternal itu memiliki pengaruh yang signifikan pada perilaku menyimpang seseorang. Mari kita bongkar lagi faktor-faktor eksternal yang lain. Kita tentu saja tahu tayangan Televisi (iklan, sinetron, musik, dan acara hiburan lain) dan media cetak (koran, majalah dalam kolom tertentu) banyak memamerkan atau mempertontonkan sex appeal (daya tarik seksual) wanita. Pornografi di Media Massa Para produsen atau pemasang iklan di televisi seringkali menggunakan slogan yang mengimplikasikan keunggulan produk mereka dari produk yang lain. Di samping slogan, mereka juga memanfaatkan simbol-simbol prestise, kecantikan, kehebatan, kekuatan dan sebagainya; dan tidak jarang mereka lebih menonjolkan daya tarik seks (sex appeal) daripada pengenalan produknya. Sinetron-sinetron di televisi baik hasil produksi domestik maupun mancanegara banyak menonjolkan daya tari seksual ketimbang aspek moralnya. Koran dan majalah juga melakukan hal yang sama ketika memberitakan artis/selebritis: memamerkan daya tarik seksual wanita. Yang luput dari perhatian kita adalah perilaku keseharian wanita kita. Dalam kehidupan keseharian di jalan-jalan, di pasar, di mall-mall, di tempat-tempat hiburan, bahkan di kampus-kampus dan sebagainya, banyak pula para wanita mempertontonkan daya tarik seksual mereka. Dengan demikian, bila faktor-faktor eksternal tersebut menjadi biang keladi timbulnya tindak asusila maka akan tidak bijaksana jika hanya Inul dan Anisa Bahar yang dipersalahkan. Sebenarnya, hebohnya goyang ngebornya Inul dikaitkan dengan soal daya tarik seksual. Soal daya tarik seksual bukan hanya datang 137

153 Maungkai Budaya dari Inul dan atau Anisa Bahar. Ia datang dari media cetak, elektronik dan kehidupan keseharian. Adalah hak semua orang untuk melakukan sesuatu yang indah, artistik, menarik dan sejenisnya. Produsen atau pengelola televisi, misalnya, memiliki hak untuk membuat iklan dan program hiburan. Namun, masalah pendidikan moral seyogyanya menjadi pertimbangan utama, artinya, tidak semata-mata demi keuntungan ekonomis. Self-Censorship bisa dilakukan dengan cara, misalnya, mendesain dan menayangkan iklan/program hiburan yang tidak berbau pornografi, tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial, moral, dan agama. Dengan perkataan lain, model pakaian, perilaku dan sejenisnya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur bangsa seyogyanya tidak ditampilkam, karena hal itu akan memiliki dampak tak baik bagi moralitas anak bangsa. Solusi Dalam kaitan ini, media massa terutama TV hendaknya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam kerangka membangun moral anak bangsa. Media massa memiliki kebebasan. Kebebasan bagi media massa adalah hak; penyampaian pesan-pesan moral (moral teaching) adalah kewajibannya. Semua orang yang terlibat dalam dunia media massa, hendaknya melakukan self-censorship sebelum produk pers (media massa) disiarkan kepada khalayak. Demikian juga, adalah hak para kaum hawa untuk memilih cara dan model pakaian. Namun, perlu diketahui bahwa model pakaian yang ketat dan bila dikenakan akan memperlihatkan bangun tubuh aslinya, akan menimbulkan atau menyebabkan memanasnya hasrat lelaki yang melihat. Bila terlalu sering melihat tontonan yang menggairahkan semacam itu, mungkin saja, seseorang akan tergoyah imannya. Bila hal ini terjadi, sementara yang si empunya ego tidak memiliki ketahanan yang kuat, maka ia menyalurkan gairah birahinya secara asusila. Untuk itu, dalam kehidupan keseharian hendaknya kaum hawa hendaknya tidak mempertontonkan sex appeal dengan cara berpakaian serba ketat. Wallahu a lam. 138

154 S SISI LAIN SINETRON KITA: ANTARA HIBURAN DAN KEBERMANFAATAN (Tanggapan atas Tulisan Nadzmi Akbar) audara saya, Nadzmi Akbar, dalam tulisannya yang berjudul Hati-hati dengan Nuansa Kemewahan Sinetron Televisi (Kalimantan Post, Kamis, 8 Agustus 2002) menyoal tentang sinetron (kalau saya tidak salah tangkap) dari sisi hiburan yang cenderung memamerkan kemewahan berikut dengan sejumlah efek negatif dari penayangan sinetron tersebut. Saya sangat setuju dengan gagasan saudara saya tersebut. Namun, dalam beberapa hal saya mempunyai pandangan lain, sebagai berikut. Tanpa penjelasan apapun, semua orang akan selalu mengatakan bahwa karya-karya seni, termasuk di dalamnya sinetron, merupakan karya imaginatif atau fiktif. Dunia seni merupakan dunia rekaan atau hasil karya kreatif pencipta seni, dengan aspek estetisnya cukup dominan. Dari sudut pandang ini, adalah sah bagi pencipta karya seni untuk menghasilkan karya yang sangat fiktif dan sama sekali tidak bersentuhan dengan dunia nyata dan hanya berkutat dalam dunia maya. Sinetron, seperti halnya novel atau cerita rekaan lainnya, menyuguhkan cerita. Tokoh-tokoh berikut perilaku yang menyertai dan segala aspek pendukung cerita itu merupakan hasil kreasi dari penciptanya. Sebagai karya seni, sinetron dicipta dengan menonjolkan aspek seninya (aspek estetis) dalam upaya untuk memberikan hiburan (entertainment) bagi penikmatnya. Hal ini, memang, sejalan dengan doktrin seni yang pernah berkembang di Eropa, terutama di Perancis, pada akhir abad 19, yakni: l art pour l art yang dalam bahasa Inggrisnya art for art s sake yang berarti 139

155 Maungkai Budaya seni untuk seni. Para seniman Perancis, pada waktu itu, mengukuhkan pandangan bahwa karya seni menyuguhkan nilai (seni) yang agung ketimbang karya-karya manusia lainnya dan harus dipandang sebagai dirinya sendiri sebab ia mampu berdiri sendiri (self-sufficient) ; ia tidak menghadirkan manfaat atau mengajarkan moral. Tujuan akhir dari karya seni adalah hanya menyuguhkan keindahan, yang pada gilirannya dapat memberikan hiburan kepada penikmatnya (Abrams, l953). Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, pandangan seni (hanya) untuk seni banyak mendapat kecaman. Horace, misalnya, mengetengahkan tesis dan kontratesisnya terhadap karya seni. Menurut Horace, bahwa seni harus menghibur dan bermanfaat (Wellek & Warren, l977). Karya seni yang menghibur dan bermanfaat harus dilihat secara simultan, tidak secara terpisah antara satu dengan yang lainnya. Artinya, bagi seniman, dalam proses penciptaan karya seni antara aspek hiburan dan kebermanfaatan harus dipertimbangkan; dia hendaknya tidak menonjolkan aspek hiburan ketimbang aspek kebermanfaatan, sehingga terjadi keseimbangan antara segi menghibur dan bermanfaat pada karya seni yang diciptanya. Tentang Karya Seni Bila dilihat dari tiga dari empat teori Universe-nya Abrams (1998), pertama, secara ekspresif karya seni merupakan hasil pengungkapan sang pencipta seni (artist) tentang pengalaman, pikiran, perasaan, dan sejenisnya. Dengan perkatan lain, karya seni merupakan karya kreatif, imaginatif (rekaan) dan dimaksudkan untuk menghadirkan keindahan. Karena karya seni dituntut untuk memberikan hiburan (entertainment), maka keindahan, kesegaran, kemenarikan dan sejenisnya harus menyertai karya seni itu. Karena sifatnya yang kreatif-imaginatif, karya seni menyaran pada dunia rekaan sang penciptanya. Kedua, secara mimetik dalam proses penciptaan karya seni, seniman tentu saja telah melakukan pengamatan yang seksama terhadap kehidupan manusia dalam dunia nyata dan lalu membuat perenungan terhadap kehidupan itu sebelum menuangkan dalam karya seninya. Seorang karikaturis, misalnya, tentu telah melakukan 140

156 Sisi Lain Sinetron Kita: Antara Hiburan dan Kebermanfaatan pengamatan yang seksama dan membuat pertimbangan matang sebelum melakukan kritik melalui karikaturnya. Seorang novelis, misalnya, tentu tidak langsung menulis cerita khayalnya sebelum melakukan hal-hal serupa. Demikian juga, seorang seniman yang membuat sinetron, misalnya, tentu terlebih dahulu melihat atau mengamati fenomena-fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat sebelum dia menciptakan sinetronnya. (Memang, acapkali kita temukan sejumlah sinetron yang menyuguhkan cerita yang sangat fiktif (jauh dari kenyataan kehidupan keseharian), penokohannya terlalu dibuat-buat dan cenderung untuk dimanfaatkan sebagai hiburan oleh penikmatnya). Ketiga, secara pragmatis selain sebagai sarana hiburan, pesanpesan moral yang dihadirkan oleh karya seni bisa dimanfaatkan oleh para penikmatnya bahan perenungan. Kalau sinetron, misalnya, dianggap sebagai model atau pola kehidupan manusia, betatpun khayalnya, kita bisa melihat model-model atau pola-pola kehidupan yang baik-buruk, santun-kasar, bermoralamoral, menyegarkan-menyebalkan atau sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan, hubungan antar anak-anak, hubungan anak terhadap orang tua atau sebaliknya, hubungan murid terhadapguru atau sebaliknya, dan sebagainya). Model-model atau pola-pola kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan dalam kita hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; sebaliknya, hal-hal yang tidak baik tentu harus kita tinggalkan. Sebagai model kehidupan, sinetron hampir selalu menawarkan model/pola kehidupan yang baik dikonfrontasikan dengan yang jelek, jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak menghadapi tantangan, masalah, dan sejenisnya dari tokoh yang jahat; pada akhirnya yang baik menang, berjaya, dan berbahagia, sedangkan yang jahat kalah, tersingkir dan lalu menderita. Aspek pragmatis yang dapat dipetik dari karya seni tersebut adalah antara lain: (a) perbuatan yang baik lambat laun akan membuahkan hasil yang baik pula, (b) perbuatan yang tidak baik (sewenang-wenang, korupsi, manipulasi, hanya mementingkan kepentingan pribadi padahal yang bersangkutan seharusnya memikirkan kepentingan rakyat banyak, serakah, memakan yang bukan haknya, dan sejenisnya) akan berbuah ketidakbaikan, ketidaknyamanan, 141

157 Maungkai Budaya kegelisahan, stress, penyakit (terkena bala), dan hal-hal yang tidak nyaman lainnya; (c) perbuatan yang baik akan mengalahkan perbuatan yang jahat. Sebuah Catatan Sehabis nonton sinetron, terlepas apakah ceritanya yang sangat fiktif, karakterisasinya terlalu dibuat-buat dan sangat jauh dunia nyata, saya senantiasa membutiri pesan-pesan moral yang dicobaapungkan oleh sinetron itu. Tanpa menyebut judul-judul sinetron yang ditayangkan melalui media TV kita, saya tertarik dengan karakterisasi terhadap sejumlah tokoh yang secara kasat mata (dikatakan) tidak mencerminkan karakter manusia dalam dunia nyata, antara lain: anak-anak, siswa/mahasiswa, orang tua, ayah/ibu/anak tiri, guru, dosen, profesor (ilmuwan, intelektual), dokter dan sebagainya. Sekedar contoh, suatu sinetron yang mengetengahkan tokoh profesor yang nota bene sebagai ilmuwan atau intelektual, mungkin dikomentari sebagai sangat melecehkan eksistensi seorang profesor ; atau suatu sinetron yang menghadirkan sosok seorang guru, mungkin dikomentari sebagai merendahkan martabat guru ; dan seterusnya. Dalam kaitan ini saya mencobaapungkan sosok profesor dan guru dalam sinetron kita. Memang seorang profesor adalah sosok yang harus dihormati, dihargai karena derajat keilmuwannya yang tinggi, oleh karena itu dia tidak boleh dilecehkan dengan cara atau melalui media apapun. Namun, perlu diingat bahwa dalam kehidupan nyata kita sering mendengar ketika ada tes ujian masuk perguruaan tinggi ada sejumlah joki (pelakunya tentu kaum intelek, setidak-tidaknya orang berilmu cukup tinggi); ketika mahasiswa menyusun skripsi (disinyalir) dibantu oleh orang yang berkemampuan menyusun karya ilmiah itu; ketika polisi menangkap pelaku pemalsuan (pengisian ulang) kartu telepon yang memanfaatkan keahliannya untuk melakukan kegiatan melanggar hukum (dia ini masuk kategori orang berilmu). Mungkin juga dalam segala lini kehidupan banyak orang yang nota bene adalah ilmuwan, melakukan pembelokan dari yang semestinya benar menjadi salah atau sebaliknya. Hal-hal itulah yang mungkin dijadikan dasar oleh 142

158 Sisi Lain Sinetron Kita: Antara Hiburan dan Kebermanfaatan pencipta sinetron untuk mengangkat sosok seorang profesor yang dikarakterisasikan sebagai sosok yang jahat, yang memanfaatkan ilmu pengetahuannya untuk merusak kehidupan manusia. Setelah dua kali penayangan suatu sinetron yang antara lain menghadirkan tokoh-tokoh guru di suatu sekolah, ada kawan saya yang kebetulan seorang guru berkomentar miring terhadap guruguru dalam sinetron itu. Komentar-komentarnya, antara lain, adalah bahwa:(a) dalam sinetron itu tidak ada kerjasama atau komunikasi yang baik antar para guru, (b) perilaku guru tidak mencerminkan perilaku guru secara nyata; perilaku guru itu aneh; (c) mengatasi masalah satu murid yang sebenarnya masalah kecil seperti halnya mengatasi masalah yang sangat besar. Inti komentar itu adalah bahwa cerita itu sangat khayal (jauh dari kenyataan dalam dunia pendidikan) dan karakterisasi tokoh-tokohnya terlalu dibuat-buat dan berlebihan. Beranjak dari hal-hal di atas, saya mencoca untuk mengajukan sejumlah pertanyaan bahwa (a) apakah cerita sinetron itu merupakan cerminan dari kondisi persekolahan kita, di mana para guru (kelompok guru) saling bercakaran satu sama lain?; (b) kalau dalam sinetron itu digambarkan seorang guru yang keras, militeristik, dominasinya sangat kuat, apakah perilaku ini merupakan refleksi perilaku sejumlah guru atau pendidik kita, sehingga dengan mudahnya memvonis salah anak didik dan lalu mengeluarkannya?; (c) apakah gaya/ perilaku itu tidak mengimplikasikan gaya atau perilaku kelompok kuat terhadap yang lemah, di mana pihak yang lemah selalu pada posisi tertekan, tertindas, terjajah dan sejenisnya? Jika jawaban terhadap contoh-contoh pertanyaan itu adalah ya, maka aktivitas cakar-mencakar atau jegal-menjegal dan sejenisnya, pihak yang dominan harus menang atau sejenisnya, telah merambat dari dunia luar pendidikan ke dunia persekolahan kita. Jika jawabannya tidak, maka (memang) dunia sinetron adalah dunia rekaan, dunia fiktif. Itulah sinetron, sebuah karya seni, yang diciptakan bisa atas dasar imaginasi penciptanya dan bisa saja atas dasar kenyataan yang ada dalam masyarakat. Sebuah karya seni tentu bisa diinterpretasikan dari sudut pandang yang bermacaam-macam. Harapan kita semua pada para pencipta seni, tidak lain, adalah: 143

159 Maungkai Budaya Ciptakanlah karya seni, termasuk sinetron, yang di samping sebagai hiburan bisa dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan moral (moral teaching). Sebab, anda semua merupakan bagian warga bangsa yang harus ikut bertanggung jawab terhadap moralitas seluruh anak bangsa Indonesia ini. Wallahu a lam. 144

160 TELETUBIES: POTRET KEBERSAMAAN DALAM KEBERAGAMAN * D alam suatu negara di mana masyarakatnya heterogen atau beragam apakah dalam hal etnis, ras, agama, kebudayaan atau dalam hal-hal lainnya, mau tidak tidak mau, pasti menghadapi sejumlah persoalan akibat dari keberaman itu. Amerika Serikat, suatu negara besar, misalnya, yang berlatar belakang keberagaman ras (ada tiga ras besar di sana: putih, merah, dan hitam), etnis, agama (aliran agama), dan kebudayaan secara historis terlihat tersibukkan oleh persoalan akibat dari keberagam itu. Sadar akan keberagam yang bisa menimbulkan persoalan itu, Thomas Jefferson mengapungkan gagasan seperti tertuang dalam tulisannya Declaration of Independence (yang kemudian dikukuhkan menjadi naskah deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat), antara lain, bahwa semua orang diciptakan sama atau sederajat, bahwa mereka dianugerahi oleh Sang Pencipta dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat dirampas, bahwa di antara hak-hak ini terdapat hak (untuk) hidup, kebebasan, dan hak mendapatkan kebahagiaan. Kesadaran yang sama muncul pada diri Jean de Crevecoeur (seorang imigran asal Perancis) seperti tertuang dalam tulisannya Letters from an American Farmer (1782). Dia melihat keberagaman Amerika dari kacamata melting pot, yakni Amerika sebagai tempat berleburnya berbagai macam ras, etnis, bangsa berikut dengan atribut-atribut yang menyertainya menjadi suatu bangsa yang baru, bangsa Amerika. Katanya bahwa Jadi apakah yang disebut orang Amerika, manusia (bangsa) yang baru ini? Ia orang Eropa atau keturunan Eropa, dan inilah asal-usul darah campuran yang lain dari yang lain itu, yang tidak akan pernah dijumpai di 145

161 Maungkai Budaya negeri lain..sebuah keluarga, sang kakek orang Inggris, istrinya seorang perumpuan Belanda, anak lelaki mereka kawin dengan seorang perempuan Perancis, dan keempat anak laki-laki pasangan ini menikah dengan empat anak gadis yang berasal dari empat negara... Di sini setiap orang dari semua negara di dunia berbaur menjadi suku bangsa manusia yang baru. Dua ratus tahun kemudian tempat asal dan susunan dari suku bangsa manusia baru ini telah meluas melampaui batas-batas Eropa, tetapi proses tercabut dari akar ini, perpindahan ke negeri baru, penyusuaian diri, dan pembaharuan terus berjalan. Walau demikian, sejarah menunjukkan bahwa dalam meniti kehidupan berbangsa, bangsa Amerika itu tetap saja dalam keberagaman. Amerika tidak dipandang sebagai melting pot (periuk pelebur) melainkan sebagai salad bowl (wadah sayur-mayur). Sebagai salad bowl, Amerika masih memperlihatkan warna-warni-nya bangsa Amerika; di sana masih ada keberagaman. Untuk itu, tampaknya, bangsa Amerika memandang perlu memberlakukan semboyannya E Pluribus Unum (beraneka ragam tetapi tetap satu). E Pluribus Unum bisa dipandang sebagai harapan bangsa Amerika untuk menciptalan kebersamaan dalam keberagaman. Namun, lagi-lagi sejarah menunjukkan bahwa kebersamaan itu sulit diwujudkan. Dalam kaitan ini, Alexis de Toqueville dalam bukunya Democracy in America ( ) menjelaskan bahwa Amerika yang terbangun atas tiga ras besar (putih, merah, dan hitam) memperlihatkan ketidaksederajatan orang-orang Amerika antara ras yang satu dengan ras-ras yang lain; ras putih memposisikan diri sebagai kelompok superior; ras merah dan hitam di bawah mereka; dan ras yang paling menderita adalah ras hitam. Tampaknya, Amerika memerlukan waktu yang amat panjang untuk menciptakan kebersamaan sesuai dengan semboyannya E Pluribus Unum. Karena, seperti tercermin dalam Black Studies, bahwa orang-orang Amerika kulit hitam hidup di bawah dominasi orang-orang Amerika kulit putih. Penderitaan demi penderitaan dialami oleh orang-orang Amerika kulit hitam. Setidak-tidaknya, hingga tahun 1960-an Amerika banyak dihadapkan dengan masalah atau konflik rasial antara kulit putih dan kulit hitam. Seperti halnya masyarakat Amerika, masyarakat Indonesia pun juga dikenal sebagai masyarakat yang mejemuk, beragam atau 146

162 Teletubies: Potret Kebersamaan dalam Keberagaman * heterogen. Kita hidup bersama dalam keberagaman. Keberagaman itu bisa terlihat dari keberagaman etnis, kebudayaan, agama, dan lain-lain. Secara historis, sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaan, misalnya, keberagaman itu telah disadari dan lalu diantisipasi oleh para pemuda kita. Kita semua tahu bahwa pada tahun 1928 (tepatnya tanggal 28 Oktober 1928), dalam keberagaman itu para pemuda kita telah mengangkat sumpah untuk (1) menjadi bangsa yang satu, yakni bangsa Indonesia, (2) bertanah air yang satu, yakni tanah air Indonesia, dan (3) menjunjung tinggi bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, kesadaran akan keberagaman masih tampak kental, sebagaimana tercermin pada semangat para pendiri negara ini, yang kemudian secara eksplisit mengukir kata persatuan dalam Dasar Negara dan Undang Undang Dasar 1945 kita. Dan, mereka mewakili segenap bangsa ini menciptakan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang mirip dengan E Pluribus Unum-nya Amerika. Di samping itu, banyak pula kata-kata bijak, kata-kata mutiara, slogan, semboyan dimunculkan ke permukaan untuk menyadarkan kita akan keberagaman. Atas dasar kesadaran akan keberagaman itu kita membuat komitmen untuk menjalani kehidupan dan menjalin hubungan yang harmonis, mesra, seiring sejalan, senasib seperjuangan dalam kerangka untuk mencapai satu tujuan bersama., yakni tercapainya masyarakat adil dan makmur. Tentu, tidak asing lagi bagi telinga kita sewaktu kita mendengar kata-kata bijak seperti Bediri sama tinggi, duduk sama rendah Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, dan Bersatu kita teguh, bercerai berai kita runtuh. Ungkapan-ungkapan itu, di samping mengisyaratkan kesamaan derajat antar kita yang beragam ini, juga mengimplikasikan akan pentingnya kebersamaan dan/atau kesatuan dan persatuan. Mungkin timbul pertanyaan, Sudahkan kita mengimplementasikan ungkapan-ungkapan di atas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam arti yang sebenar-benarnya? Atau, ungkapan-ungkapan itu hanyalah sekedar ungkapan yang perlu diajarkan di sekolah sebagai bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia tanpa dicobajabarkan dan diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga, misalnya, (a) kita benar-benar saling 147

163 Maungkai Budaya memandang bahwa kita- warga bangsa ini, tanpa melihat latar belakang etnis, agama, dan kultur masing-masing- merupakan orang-orang yang benar-benar seperti yang diisyaratkan oleh ungkapan Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah?, (b) beban berat yang ada pada bangsa ini dipikul atau ditanggulangi secara bersama seperti yang diisyaratkan oleh ungkapan Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul?, dan (c) kita bersatu padu, tanpa saling curiga, tanpa saling usik, tanpa saling cakar atau sejenisnya seperti yang diisyaratkan oleh ungkapan Bersatu kita teguh, bercerai berai kita runtuh. Tampaknya, ungkapan bijak, semboyan, slogan yang mengajak kita untuk hidup dalam kebersamaan, dalam pandangan saya pribadi, tidak banyak implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sekedar contoh, pada tataran Rukun Tetangga (RT), tataran yang mungkin paling kecil dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bahkan bernegara, sering dijumpai semacam aksi boikot oleh orang atau kelompok orang tertentu terhadap kegiatan kerukuntetanggaan akibat dari, misalnya, ketua RT-nya bukan orang mereka; atau akibat dari gagasan orang atau kelompok orang tertentu ditolak oleh orang atau kelompok orang yang lain; atau akibat dari ketidak/kekurangpedulian kita terhadap pentingnya kebersamaan; atau akibat dari anggapan akan adanya dikotomi superioritas-inferioritas, mayoritas-minoritas, pribumi-non pribumi, penduduk asli-pendatang, dan sejenisnya. Hal itu masih dilihat dari skala yang sangat kecil, belum dari skala yang lebih besar. Ungkapan-ungkapan di atas, tampaknya, tetap menjadi rangkaian kata-kata yang kandungan maknanya seperti halnya rangkaian kata-kata lain. Slogan Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa yang diikrarkan oleh para pemuda kita puluhan tahun silam tidak sepenuhnya kita pegang teguh. Sebagai bukti? Sejumlah daerah di negeri ini ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atau, masih sering terdengar adanya purbasanga (prejudice) dan diskriminasi (discrimination) dan sejenisnya di antara kita. Lalu, apakah semboyan kita Bhineka Tunggal Ika hanya akan menjadi semboyan belaka, yang harus dihafal oleh anak-anak murid kita, yang menjadi hiasan rumah, gedung, kantor kita tanpa upaya konkret untuk menggalang kebersamaan sebagaimana dicita- 148

164 Teletubies: Potret Kebersamaan dalam Keberagaman * citakan oleh para pendiri negara, pendahulu kita dan tentu oleh kita semua? Kiranya kita, elit politik kita, pejabat negara kita semua perlu menonton Film Teletubbies. Karya seni yang cukup digemari anakanak itu mengetengahkan keberagaman para pelaku -nya. Namun, keberagaman itu tidak menghalangi mereka untuk menjalin kebersamaan, keharmonisan, kerukunan, kebersatuan dan sejenisnya. Kalau kebersamaan demi kebersamaan tercipta mulai dari skala kecil, maka semoga- tidak terjadi saling cakar, saling hujat, saling menjatuhkan, saling menghina dan sejenisnya. Implikasinya bahwa jika kita sebagai rakyat, kita sadar akan posisi kita sebagai rakyat; jika kita sebagai wakil rakyat, kita betul-betul merakyat, memperjuangkan atau menyuarakan aspirasi rakyat, dan berperilaku sebagai wakil rakyat; jika kita sebagai pejabat, kita betulbetul menjadi pengayom rakyat secara keseluruhan tanpa memandang latar belakang suku, ras, agama atau warna-warni baju mereka. Wallahua lam. 149

165 Maungkai Budaya TELEVISI DALAM PERSPEKTIF SOCIAL RESPONSSIBILITY THEORY K alau boleh dikatakan, era reformasi adalah era kebebasan. Tidak seperti pada era sebelumnya, era Orde Baru, yang ditandai dengan otoriterisme yang sangat kuat dan dominan sehingga setiap pemegang otoritas setiap sektor kehidupan memiliki kekuatan dan dominasi yang luar biasa, maka pada era reformasi, otoriterisme memudar atau bahkan sudah tidak ada lagi. Kondisi ini memungkinkan kebebasan tak terbendung lagi. Kebebasan diartikan oleh sebagian orang sebagai kebebasan untuk berbuat sesuai dengan keinginan, kepentingan dan ekspektasi sendiri. Mereka lupa bahwa orang-orang (pihak) lain juga berhak untuk tidak terganggu oleh kebebasan itu. Sekedar contoh, dalam kehidupan sehari-hari, kita dapati orang atas dasar kebebasan yang dimiliki berbuat seenaknya sendiri tanpa memperhatikan bahwa perbuatannya itu mengganggu kebebasan orang lain. Misalnya, kebut-kebutan di jalan raya yang sedang ramai, memutar musik dengan nyaring sewaktu kebanyakan orang sedang istirahat dan sejenisnya. Kebebasan semestinya dikembangkan dalam rangka untuk tidak mengganggu kebebasan orang (pihak) lain. Kebebasan itu hendaknya mengimplikasikan adanya tanggung jawab (moral, sosial). Kebebasan sering dikaitkan dengan dunia pers atau media massa. Pertelevisian, bagian dari pers, memiliki (atau diberi) kebebasan. Namun, empat teori tentang pers yakni: teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers bermuatan tanggung jawab sosial, dan teori pers totaliter-soviet mengaplikasikan kebebasan secara berbeda antara satu dengan yang lainnya. 150

166 Televisi dalam Perspektif Social Responssibility Theory Berdasar pada teori social responssibility, media massa (pers) baik cetak maupun audiovisual harus mempertimbangkan dua hal, yaitu: (1) the public s right to know, dan (2) the public responssibility of the mass media. Hak-hak yang melekat pada masyarakat, antara lain, adalah hak-hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan pendidikan moral (moral teaching) dari media massa. Di sisi lain, media massa mempunyai kewajiban untuk memenuhi public interest dalam menyajikan program-programnya. Program-program yang disajikan bukan hanya bersifat informasional tetapi hendaknya dalam kerangka untuk pendidikan moral. Dengan demikian, kalaupun dikatakan bahwa media massa mempunai kebebasan (freedom) untuk berekspresi, tetapi dia memiliki tanggung jawab yang menyertai kebebasan itu. Dia bebas tetapi bertanggung jawab, sehingga kita punya ungkapan pers yang bebas tetapi bertanggung jawab. Fungsi pers, antara lain, adalah memberikan informasi tentang berbagai aspek kihidupan (sosial, politik, ekonomi dan sebagainya), memberikan pencerahan kepada publik, melindungi hak-hak individu, dan memberikan hiburan kepada publik. Dalam kerangka social responsibility theory, fungsi pers tersebut harus bermuatan tanggung jawab. Bentuk-bentuk tanggung jawab itu, antara lain, bersifat sosial, moral dan religius. Televisi, sebagai salah satu bagian darin pers, antara lain, memprogramkan iklan dan paket hiburan. Iklan adalah salah satu alat yang dapat dimanfaatkan oleh produsen untuk memperkenalkan produk tertentu kepada (calon) pembeli atau pelanggan. Melalui iklan tersebut, produsen atas suatu peroduk berharap untuk dapat menarik perhatian para (calon) pembeli atau pelanggannya, yang pada gilirannya mereka membeli produk yang diiklankan itu. Iklan, sebagai upaya sistematis untuk mempromosikan causa tertentu, turut membentuk dan mentransmisikan perilaku, kepercayaan, dan nilainilai dari suatu kelompok masyarakat tertentu kepada kelompok yang lain. Para produsen atau pemasang iklan seringkali menggunakan slogan yang mengimplikasikan keunggulan produk mereka dari produk yang lain. Lihat saja, misalnya, tiga produk sepeda motor: Suzuki dengan Inovasi Tiada Henti (memangnya produsen lain tidak pernah melakukan inovasi?), Honda dengan Bagaimanapun 151

167 Maungkai Budaya Honda Lebih Unggul (di mana dan apa keunggulannya?), dan Vespa dengan Lebih Baik Naik Vespa (daripada jalan kaki?). Di samping slogan, mereka juga memanfaatkan simbol-simbol prestise, kecantikan, kehebatan, kekuatan dan sebagainya; dan tidak jarang mereka lebih menonjolkan daya tarik seks (sex appeal) daripada pengenalan produknya. Program televisi yang lain adalah program atau paket hiburan (entertainment). Mungkin, program ini merupakan program yang dominan dalam media TV bila dibandingkan dengan program-program lain. Program hiburan di TV dapat diambil dari produksi domestik atau produksi luar negeri. Program hiburan ini mungkin mendapat pujian atau bahkan kritikan dari masyarakat. Adalah hak produsen untuk membuat iklan dan program hiburan. Namun, masalah pendidikan moral seyogyanya menjadi pertimbangan utama, artinya, tidak semata-mata demi keuntungan ekonomis. Self-Censorship bisa dilakukan dengan cara, misalnya, mendesain iklan/ program hiburan yang tidak berbau pornografi, tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial, moral, dan agama. Dengan perkataan lain, model pakaian, perilaku dan sejenisnya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa seyogyanya tidak ditampilkam, agar pada gilirannya tidak ditiru oleh anak bangsa ini. Seperti terungkap dalam program Dewan Pers Menjawab, bahwa lembaga sensor atau otoritas yang menentukan hidupmatinya media massa telah pudar. Tampaknya, dengan dalih menghidupkan seni atau sejenisnya, media TV banyak mengeksploitasi daya tarik seksual wanita dan perilaku kurang bermoral. Sekedar contoh, TVRI menyiarkan secara langsung Dansa Yo Dansa di mana penari wanita asing berpakaian sedemikian minimnya sehingga ketika dia menari (maaf) pakaian dalamnya kelihatan. Acara ini, mungkin, telah membikin heboh sehingga MUI mengeluarkan teguran kepada TVRI dan dibahas dalam acara Dewan Pers Menjawab oleh stasiun yang sama. Contoh lain, ada sejumlah iklan untuk sejumlah produk yang menonjolkan daya tarik seksual wanita ketimbang produk yang ditawarkan dan sejumlah iklan yang lain menampilkan perilaku (cara makan, minum) yang tidak patut ditiru oleh anak bangsa, dan banyak lagi iklan yang melangggar etika (saya melihatnya sebagai plagiat yakni meniru 152

168 Televisi dalam Perspektif Social Responssibility Theory iklan yang sudah ada), menjelekkan produk lain, memanfaatkan agama untuk kepentingan bisnis dan sejenisnya. Dalam kaitan ini, media massa terutama TV hendaknya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam kerangka membangun moral anak bangsa. Media massa memiliki kebebasan. Kebebasan bagi media massa adalah hak; penyampaian pesan-pesan moral (moral teaching) adalah kewajibannya. Semua orang yang terlibat dalam dunia media massa, hendaknya melakukan self-censorship sebelum produk pers (media massa) disiarkan kepada khalayak. Wallahu a lam. 153

169 Maungkai Budaya 154

170 Pendidikan 155

171 Maungkai Budaya 156

172 SKRIPSI DAN PLAGIARISME S kripsi merupakan sebuah karya tulis ilmiah bagi mahasiswa program S-1. Wajib atau tidaknya penyusunan skripsi itu tergantung pada kebijakan perguraan tinggi tempat mahasiswa mengikuti Program S1 itu sendiri. Artinya, ada sejumlah perguruan tinggi yang mewajibkan penyusunan skripsi bagi mahasiswa mereka; ada sejumlah perguruan tinggi yang lain menawarkan mata kuliah skripsi itu sebagai mata kuliah pilihan. Sekedar contoh, sebut saja, Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, tempat penulis menyelesaikan program S1, telah mewajibkan para mahasiswanya untuk menyusun skripsi sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program S1-nya, setidak tidaknya bagi mahasiswa mulai angkatan tahun 1975; pada jurusan itu tidak ada jalur nonskripsi, yang ada hanyalah program sarjana strata 1 dengan skripsi sebagai salah satu mata kuliah wajibnya; tidak ada mata kuliah yang dapat digunakan sebagai pengganti skripsi. Artinya, mahasiswa yang gagal menyusun skripsi dan/atau gagal ujian skripsi, maga gagallah yang bersangkutan untuk menjadi seorang sarjana. Bila lembaga perguruan tinggi menawarkan jalur skripsi dan non-skripsi, maka umumnya sejumlah (besar) mahasiswa memilih jalur non-skripsi, kecuali bagi mereka yang memiliki pertimbangan tertentu yang mendorong mereka menyusun skripsi. Hal ini didasarkan pada perbincangan ala warung kopi dengan sejumlah mahasiswa, yang ketika ditanya mengapa mereka tidak menyusun skripsi, mareka memberikan alasan yang beragam: ada yang ingin 157

173 Maungkai Budaya segera lulus karena ada pertimbangan tertentu (walaupun sebenarnya yang bersangkutan ingin menyusun skripsi), ada yang menganggap penyusunan skripsi itu di luar kemampuannya, dan ada yang merasa puas dengan predikat sarjana tanpa skripsi. Penulis pernah mendapati salah seorang mahasiswa yang telah memprogramkan skripsi dan mengerjakannya selama satu semester, lalu mundur atau membatalkan program skripsinya. Lalu, saya bertanya kepadanya mengapa dia membatalkannya. Dia menjawab bahwa dia sudah tak mampu berpikir lagi. Padahal, menurut pandangan penulis bahwa dia tergolong mahasiswa yang cukup potensial. Hal ini, mungkin, disebabkan oleh adanya jalur lain, yakni: non-skripsi. Sehingga, begitu muncul sejumlah kendala dalam proses penyusunan skripsi itu, dia lalu menyerah. Bila, misalnya, penyusunan skripsi menjadi salah satu persyaratan seorang mahasiswa untuk mencapai derajat sarjana S1, maka mau tidak mau dia harus berusaha untuk memenuhinya. Mahasiswa yang cukup potensial namun tidak menyusun skripsi ini akan kalah sebelum berperang, bila kelak dia berkompetisi untuk posisi tertentu yang mensyaratkan bahwa yang bersangkutan adalah sarjana ber-skripsi. Bila seorang mahasiswa berkeinginan untuk menjadi staf pengajar di perguruan tinggi (dosen) atau melanjutkan ke S2 kelak, maka dia akan berupaya untuk menyusun skripsi. Karena, pada umumnya, salah satu syarat untuk menjadi staf pengajar di perguruan tinggi atau melanjutkan ke S2 adalah sarjana yang bersangkutan menyusun skripsi. Dengan demikian, dia menyusun skripsi lantaran dia memiliki target tertentu yang hanya dapat dicapai dengan skripsi. Skripsi tampaknya menjadi momok bagi sejumlah mahasiswa. Dengan demikian, menjadikan skripsi sebagai mata kuliah wajib bagi calon sarjana S1 dapat memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif dari penyusunan skripsi bagi mahasiswa yang menyusunnya. Mahasiswa yang menyusun skripsi tentu dituntut untuk banyak menggali berbagai informasi ilmiah yang mendukung topik yang ingin dikembangkan dalam sebuah karya ilmiah yang bernama skripsi, melalui kegiatan studi kepustakaan dan/atau penelusuran atau pencarian informasi ilmiah via internet. Hal yang demikian memungkinkan mahasiswa untuk memperluas wawasan 158

174 Skripsi dan Plagiarisme dan memperdalam pengetahuan terhadap suatu topik yang kelak dijadikan spesialisasinya. Karena skripsi merupakan karya tulis ilmiah, maka ia menuntut penyusunannya untuk memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, antara lain: bahwa (1) subject-matter dinyatakan secara eksplisit, (2) kegiatan penelitian dilakukan secara obyektif, dan (3) hasil disampaikan secara sistematis, dan (4) ilmu pengetahuan itu open to change. Kaidah pertama memungkinkan mahasiswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap suatu topik sebelum dia menyatakan subject-matter yang akan dicobapecahkan melalui kegiatan penelitian; kaidah kedua melatih mahasiswa berlaku obyektif bukan subyektif; dan kaidah ketiga mengarahkan mahasiswa untuk berpikir atau melakukan sesuatu secara sistematis, tidak acak-acakan, serta kaidah keempat mengajarkan bahwa seseorang hendaknya tidak beranggapan suatu temuan selalu benar untuk selamanya bila telah ada temuan baru yang menyatakan bahwa temuan terdahulu tidak atau kurang benar adanya. Dampak positif penyusunan skripsi lainnya adalah bahwa mahasiswa penyusunnya dapat menjadikan penyusunan skripsi itu sebagai ajang latihan menulis karya ilmiah. Sebagaimana dikatakan di atas, mahasiswa yang hendak menyusun skripsi dituntut untuk mengumpulkan sebanyak mungkin bahan bacaan atau referensi dan kemudian membaca, menelaah, menerapkannya dalam kegiatankegiatan penelitian, yang mencakup kegiatan persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan. Pendek kata, penyusunan skripsi harus didasari oleh kemauan dan keterampilan menulis. Mahasiswa yang telah menyusun skripsi sendiri, berarti dia telah mendapatkan keterampilan membaca (kritis), menulis, dan pengalaman menyusun karya ilmiah. Keterampilan dan pengalaman semacam itu akan sangat bemanfaat bila dia melakukan kegiatan ilmiah serupa. Naluri ilmiah sarjana ber-skripsi ini dapat dengan cepat muncul sewaktuwaktu terjadi fenomena tertentu di masyarakat dan tergerak untuk segara menanggapi baik melalui kegiatan penelitian maupun melalui penulisan artikel ilmiah popular. Dampak negatif dapat saja terjadi bila mahasiswa diwajibkan menyusun skripsi. Diwajibkannya penyusunan skripsi bagi mahasiswa, bahwa mungkin saja akan melakukan hal-hal yang tidak 159

175 Maungkai Budaya terpuji, yakni: melakukan plagiarisme, akibat dari ketidakmauan, atau kekurangmampuan, atau ketidakmampuan atau sejenisnya. Menurut Mintarsih Adimihardja dalam Jurnal Pelangi Pendidikan, Volume 4 No.2 Tahun 2001, (2001:58), menyatakan bahwa plagiarisme adalah pencurian dan penggunaan gagasan atau tulisan orang lain dan diakui sebagai miliknya sendiri, yang meliputi peminjaman, reproduksi, terjemahan, dan perubahan tulisan orang lain yang diakui sebagai tulisannya sendiri. Sementara itu, Gunawan Wiradi dalam Etika Penulisan Karya Ilmiah (1996:37), menjelaskan bahwa plagiarisme adalah suatu perbuatan mengemukakan kata-kata, frasa, kalimat, pendapat, ungkapan-ungkapan, gagasan (sebagian atau seluruhnya), dari orang lain, tetapi tanpa menyebutkan sumbernya sehingga memberikan kesan sebagai karya sendiri. Lebih lanjut, Mintarsih Adimihardja menjelaskan bahwa peminjaman gagasan atau pendapat orang lain dapat dianggap sebagai plagiarisme yang bersangkutan mengutip atau mengulang gagasan atau pendapat orang lain itu dalam suatu percakapan tanpa merujuk kepada yang punya gagasan. Reproduksi dikategorikan sebagai plagiarisme; kegiatan ini dilakukan dengan cara mereproduksi atau mereduplikasi karya orang lain dan diakui sebagai tulisan sendiri. Penerjermahan karya penulis asing dan diakui sebagai gagasan si penterjemah dipandang sebagai plagiarisme. Dan, terakhir, tulisan yang merupakan hasil modifikasi (perubahan) dianggap juga sebagai plagiarisme (Jurnal Pelangi Pendidikan, Volume 4 No.2 Tahun 2001, hal.58-61). Kegiatan tulis-menulis, khususnya tulis-menulis karya ilmiah, termasuk skripsi, ternyata tidak gampang. Sehingga, kalau kondisi tertentu mengharuskan seseorang untuk menulis karya ilmiah, yang bersangkutan hendaknya mencoba semampunya untuk menulis sendiri. Menulis skripsi pasti dibimbing oleh satu atau dua orang pembimbing. Tak perlu khawatir bila ada kekurangan atau kesalahan sekalipun. Hal terpenting, menulis apa yang bisa ditulis. Dengan bimbingan pembimbing, Insya Allah, skripsi itu akan terwujud. Ada sejumlah kiat dalam menyusun skripsi. Pertama, pilihlah topik yang menarik. Topik yang menarik akan mempermudah bagi penulisnya untuk mengembangkannya menjadi skripsi. Kedua, topik 160

176 Guru Kusayang, Guru Kau Nistakan? yang menarik itu hendaknya didukung oleh pengetahuan memadai. Hendaknya tidak mengambil topik yang penulis tidak memiliki pengetahuan sama sekali. Ketiga, penulis memiliki referensi yang cukup untuk mendukung dua hal di atas. Artinya, bila topik itu menarik dan penulis memiliki pengetahuan memadai tentang topik itu, serta didukung oleh sejumlah referensi yang relevan, maka penyusunan skripsi akan lebih gampang. Wallahua lam. 161

177 Maungkai Budaya GURU KUSAYANG, GURU KAU NISTAKAN? B agi saya, seorang guru adalah orang orang yang mengajarkan ilmu yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan saya. Kedua orang tua, tentu, guru saya yang pertama dan utama. Berikutnya adalah guru-guru di sekolah, ustadz di madrasah, dan da i atau penceramah di majelis taklim. Disusul oleh kakak-kakak dan kawankawan saya. Setelah menikah, kedua mertua dan pasangan saya menjadi guru-guru saya. Para penulis buku, karya sastra, artikel dan lain-lain serta wartawan, saya akui sebagai guru-guru saya. Bahkan, sejumlah mahasiswa yang menemukan sesuatu dalam skripsi mereka, saya akui sebagai guru. Kenapa begitu? Ya, karena mereka semua pernah memberikan ilmu yang tiada terkira manfaatnya bagi saya, yang tentu saja dengan teknik dan metode yang satu sama lain tak sama. Untuk itu, mereka hendaknya dihormati dan disayangi. Tak Wajib Beli? Jual beli buku pelajaran sebenarnya telah berlangsung lama. Selaku wali murid selama 8 tahun saya membeli buku-buku pelajaran lewat guru-guru anak saya. Pembayarannya bisa dicicil atau setidak-tidaknya bisa ditunda atau ngutang. Kata anak saya, bapak-ibu guru tidak mewajibkan untuk membeli buku di sekolah. Kalau mau beli sendiri di toko buku, beliau mempersilakan. Ketidakharusan membeli buku lewat guru/sekolah ini sebetulnya telah ditegaskan oleh salah satu kepala SMA di Banjarmasin, yang dilansir oleh salah satu koran di kota ini. Bagi saya, buku-buku itu sangat penting. Bila si anak telah memiliki buku-buku pelajaran yang disarankan bapak-ibu guru, baik guru maupun murid akan lebih mudah dalam kegiatan belajar 162

178 Guru Kusayang, Guru Kau Nistakan? mengajar (KBM). Tanpa buku-buku pelajaran sebagai pegangan guru dan murid, maka kita akan kembali ke pola catat buku sampai (h)abis seperti yang pernah saya alami pada era 1970-an sampai dengan 1980-an. Sekedar contoh, selama lebih kurang 6 tahun saya menjadi tukang catat di papan tulis. Karena saya ingin juga punya catatan, maka saya harus mencatat lagi di rumah. Sudah Terlanjur, Maklumilah! Seperti saya, kawan saya yang kebetulan guru memandang buku-buku pegangan sebagai piranti kegiatan belajar mengajar yang sangat penting. Tanpa buku-buku itu, ia akan menghadapi kesulitan dalam KBM. Kan ada buku paket milik sekolah? Betul, memang ada buku paket itu, tapi apakah semua sekolah mempunyai buku paket dalam jumlah yang cukup? Bila jumlah buku paket itu cukup, sebenarnya kepemilikan buku-buku pendukung dan buku LKS (Lembar Kerja Siswa) sebagaimana dihebohkan itu- dimaksudkan untuk menambah bahan bacaan mendampingi buku yang ada. Konon, buku pendukung yang dijualbelikan itu lebih mudah dipahami, khususnya oleh para siswa. Memang sebuah peraturan yang melarang bisnis buku di sekolah haruslah dipatuhi. Namun, menurut kawan saya tadi, peraturan itu belum terbaca oleh guru. Dia tahu jual beli buku itu dilarang, hanya lewat koran. Guru terlanjur menyediakan dan mendistribusikan buku-buku kepada para muridnya beberapa hari sebelum peraturan Mendiknas diketahui oleh para guru. Menurut ia, tidak ada kesengajaan guru maupun sekolah untuk melanggar, mencueki, meremehkan atau sejenisnya terhadap Permendiknas tersebut. Hendaknya, hal ini dimaklumi. Tampaknya, komentar-komentar tentang jual beli buku di sekolah yang cenderung memojokkan guru, tidak sepenuhnya didasarkan pada kenyataan di lapangan. Lalu dasarnya apa? Laporan dari wali murid? Laporan dari wali murid boleh dijadikan pijakan untuk memberikan komentar terhadap jual beli buku di sekolah. Ya, boleh-boleh saja keluhan masyarakat disuarakan, namun hendaknya guru/sekolah tidak dipojokkan secara berlebihan. Menanggapi komentar anggota DPRD Kota Banjarmasin (Radar Banjarmasin, 11 Agustus 2005, hal. 8), bahwa siswa yang telah 163

179 Maungkai Budaya terlanjur menerima buku-buku, disarankan agar tidak membayar. Saran ini tidak fair, tidak cantik, tidak pada tempatnya dan sekaligus tidak mendidik. Hal ini bisa menistakan eksistensi dan fungsi bapakibu guru sebagai pendidik generasi muda kita. Relakah kita bila bapakibu guru kita menjadi nista di hadapan masyarakat (baca: wali siswa dan siswa)? Kalau siswa yang bersangkutan tidak jadi membeli buku lewat gurunya, sebaiknya dia mengembalikannya. Bagaimana hukumnya, buku diambil tapi tidak dibayar? Haram atau halalkah bila kita memanfaatkannya? Guru Tak Sepenuhnya Salah? Saya kurang setuju bila dikatakan bisnis buku di sekolah sebagai bisnis konspiratif atau bisnis terselubung yang dilakukan oleh penerbit dan guru/sekolah. Baik bisnis konspiratif (kongkalikong) maupun bisnis terselebung (secara sembunyi-sumbunyi) menyiratkan makna yang negatif. Saya tidak mampu melihat konspirasi atau keterselubungan dalam bisnis buku di sekolah itu. Saya kira, istilah cukup tepat untuk menyebut hubungan antara penerbit/pebisnis buku dan guru/sekolah adalah hubungan koordinatif atau partnership. Kalau bisnis buku di sekolah dianggap sebagai hal yang salah, maka kesalahan itu hendaknya tidak dialamatkan kepada guru/ sekolah saja. Penerbit atau pebisnis buku yang mengarahkan placement-nya di sekolah (bukan di toko buku) dan menjadikan personal selling sebagai strategi pemasarannya, tentu mempunyai andil kesalahan dalam bisnis buku di sekolah. Sudahkah pihak berwenang memberikan imbauan kepadanya untuk tidak berbisnis buku secara langsung ke sekolah? Menurut saya, akan lebih fair jika imbauan atau bahkan pelarangan juga dialamatkan kepadanya. Karena, sebagai sesama warga Negara, baik guru maupun pebisnis buku memiliki hak yang sama. Bila guru dilarang untuk menyalurkan buku, pebisnis buku hendaknya diperlukan sama. Beban Guru itu Berat? Guru sudah menanggung beban moral yang cukup berat. Misalnya, siswa gagal Ujian Nasional, guru terkena sorot; antar siswa terlibat perkelaian, guru harus ikut bertanggung jawab, dan sebagainya. Sekarang ditambah lagi dengan dugaan bisnis buku 164

180 Guru Kusayang, Guru Kau Nistakan? secara kongkalikong atau terselubung. Akibat dugaan ini, guru harus menanggung rasa kada nyaman ketika ia ada di lingkungan masyarakatnya. Sekedar informasi, sejumlah guru di sekolah tertentu tidak menangani lagi pendistribusian buku-buku pelajaran yang terlanjur didrop oleh pebisnis buku. Let us stop underestimating our teachers! Bagaimana menurut Anda? 165

181 Maungkai Budaya E-LEARNING VIA INFORMATION TECHNOLOGY (Menanggapi Tulisan Ersis Warmansyah Abbas) E -Learning atau Electronic Learning sebenarnya dimaksudkan sebagai sarana belajar bersama melalui IT (Information Technol- ogy) atau baca saja internet. Namanya saja belajar bersama. Tentu saja, orang-orang yang terlibat dalam kelompok belajar itu membahas hal-hal yang scientific-lah. Tidak seperti yang diungkap oleh Ersis Warmansyah Abbas dalam tulisannya Ketika Gaji Dosen Terlalu Tinggi (Radar Banjarmasin, 27 Mei 2003). Dalam tulisan itu, antara lain,dia menyatakan bahwa melalui kawan-kawan yang terlibat dalam kelompok itu menyampaikan (mendiskusikan?) uneg-uneg sampai kritikan pedas terhadap Unlam. Apa ini bukan Menepuk Air Di Dulang, Basah Muka Sendiri? Saya kira, uneg-uneg atau kritikan yang pedas sekalipun, tidak perlu dilontarkan melalui dunia maya (internet). Soalnya, pihakpihak yang dikritik mungkin sekali tidak bakalan membaca uneguneg atau kritikan itu. Apalagi, bila para petinggi Unlam, sebagaimana disinyalir anggota kelompok belajar itu, benar-benar gaptek (gagap teknologi), seperti disampaikan Ersis dalam tulisannya itu, maka akan jelaslah bahwa tulisan kritikan hanyalah deretan kata-kata yang tidak memiliki implikasi apa-apa. Kritikan yang cenderung menghujat semacam itu tidak akan terbaca; namun yang jelas, ia menambah dosa. Kiranya, kita tidak perlu terlalu terbawa emosi lalu mencak-mencak, menghujat dan sejenisnya lewat dunia maya akibat angka credit point usulan kenaikan pangkat dipangkas (misalnya, satu tulisan di Jurnal yang sesuai dengan ketentuan dari pusat bernilai 10 hanya dihargai 3). 166

182 E-Learning Via Information Technology Dalam soal naik pangkat, saya mempunyai pengalaman yang sebenarnya menurut saya dan mungkin menurut kawankawan yang tergabung dalam kelompok E-Learning of tidak rasional. Ceritanya begini. Kira-kira lima tahun yang silam, saya mengusulkan kenaikan pangkat dari III c ke III d. Modal untuk usul kenaikan pangkat saya kumpulkan selama dua tahun. Nah, menurut ketentuan yang ada, seseorang dosen boleh saja mengusulkan kenaikan pangkatnya dua tahunan sepanjang didukung credit point yang dipersyaratkan. Saya telah memenuhi ketentuan itu. Dan, usul kenaikan pangkat itu adalah hak setiap dosen. Saya adalah dosen, maka saya berhak untuk naik pangkat. Hak saya itu dirampas oleh penjaga pintu gerbang kenaikan pangkat di tingkat program studi. Kenapa ketua program studi bertindak sebagai penentu bahwa seseorang bisa dinaikkan pangkatnya? Sebab, di samping ada peraturan dari pusat, ternyata ada juga ketentuan di tingkat fakultas yang menggariskan, bila seorang dosen akan naik pangkat dua tahunan terlebih dahulu yang bersangkutan harus mendapat restu dari ketua program studinya. Kebetulan saya tak mendapat restu itu. Oleh karenanya, saya coba menyampaikan soal itu kepada Pembantu Dekan I. Dia menegaskan bahwa restu yang sifatnya tertulis itu harus disertakan dalam usulan kenaikan pangkat. Itu sudah ketentuan fakultas, katanya. Saya akan coba mengadu kepada dekan, tapi saya tak jadi, sebab saya takut. Konon kabarnya, ketentuan itu dibikin oleh dekan. Singkat cerita, saya tak mampu melewati pintu gerbang kenaikan pangkat. Lalu, saya biarkan usulan kenaikan pangkat saya itu hingga setahun kemudian. Baru setelah itu saya ajukan lagi. Lolos. Dan, naik pangkatlah saya dari IIIc ke IIId. Kini, saya siap-siap mengajukan usul kenaikan pangkat dari IIId ke IVa. Walaupun dalam hitungan saya, credit point saya sudah cukup, sementara ini saya kurang bernafsu untuk usul. Saya nggak repot, kok. Yang penting, sekarang mudah-mudahan sampai masa pensiun tiba saya coba untuk jadi dosen yang baik, seperti baiknya tokoh-tokoh heroik dalam cerita fiksi. Tokoh-tokoh semacam ini selalu sukses dalam memberantas ketidakadilan dan selalu dikenang jasanya. Saya pengin seperti itu. Orang lain? Mana saya tahu! 167

183 Maungkai Budaya Dalam arti, saya coba untuk committed terhadap status dan peran saya sebagai dosen, menjaga martabat diri, kolegial, dan instutusional; tidak telatan, tidak bolosan, dan sejenisnya. Kalaupun saya beternak ayam dan itik, saya tidak koar-koar melalui koran. Insya Allah, dengan begitu, hasil kerja yang kita makan dalam keseharian, beberkah. Dari awal mendosen nama ini diupayakan baik; pada masa purnabakti diupayakan baik; serta pasca purnabakti diupayakan meninggalkan kesan yang baik pula. Singkat kata, keadaan yang husnul khatimah-lah yang musti kita cita-citakan. 168 *** Saya memang suka baca cerpen atau novel baik yang populer maupun serius, baik yang berbahasa daerah (Banjar dan Jawa), Indonesia maupun Inggris. Bagi saya, cerpenis atau novelis adalah orang yang mampu menciptakan manusia dan pola kehidupannya dalam dunia fiktif. (Tentu, hanya Tuhanlah yang mampu dan berhak menciptakan pola kehidupan manusia yang nyata). Cerpenis atau novelis mampu mempolakan kehidupan manusia dalam dua kategori: manusia yang baik tabiatnya dan yang buruk tabiatnya, otoriter dan demokratis, kaya dan miskin, baik rupa dan buruk rupa, dan sejenisnya. Kalau novel, bisa juga sinetron, misalnya, dianggap sebagai model atau pola kehidupan manusia, betapapun khayalnya, kita bisa melihat model-model atau pola-pola kehidupan yang baik-buruk, santun-kasar, bermoral-amoral, menyegarkan-menyebalkan atau sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan, hubungan antar anakanak, hubungan anak dengan orang tua atau sebaliknya, hubungan guru dengan murid atau sebaliknya, hubungan dosen terhadap mahasiswa atau sebaliknya, hubungan pemimpin dengan anak buahnya atau sebaliknya, dan sebagainya). Model-model atau polapola kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan dalam kita hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; sebaliknya, hal-hal yang tidak baik tentu harus kita tinggalkan. Sebagai model kehidupan, novel hampir selalu menawarkan model/pola kehidupan yang baik dikonfrontasikan dengan yang jelek, jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak menghadapi tantangan, masalah, dan sejenisnya dari tokoh yang jahat; pada akhirnya yang baik menang, berjaya, dan berbahagia,

184 E-Learning Via Information Technology sedangkan yang jahat kalah, tersingkir dan lalu menderita. Aspek pragmatis yang dapat dipetik dari karya seni tersebut adalah antara lain: (a) perbuatan yang baik lambat laun akan membuahkan hasil yang baik pula, (b) perbuatan yang tidak baik (sewenang-wenang, korupsi, manipulasi, hanya mementingkan kepentingan pribadi padahal yang bersangkutan seharusnya memikirkan kepentingan rakyat banyak, serakah, memakan yang bukan haknya, dan sejenisnya) akan berbuah ketidakbaikan, ketidaknyamanan, kegelisahan, stress, penyakit (menderita lumpuh), dan hal-hal yang tidak nyaman lainnya; (c) perbuatan yang baik akan mengalahkan perbuatan yang jahat. Naudzubillahi min dzalik. Sehabis baca novel, terlepas apakah ceritanya yang sangat fiktif, karakterisasinya terlalu dibuat-buat dan sangat jauh dunia nyata, saya senantiasa membutiri pesan-pesan moral yang dicobaapungkan oleh novel itu. Ambil contoh, novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari. Penulis novel ini menggarap seorang pemimpin (lurah) yang sewenang-wenang, otoriter, koruptor dan asal bapak camat senang, serta atribut-atribut buruk lainnya. Melihat novel Di Kaki Bukit Cibalak itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1994, maka bisa kita katakan bahwa situasi politik pada waktu itu atau bahkan sebelumnya masih kental dengan nuansa politik orde baru di mana seorang pemimpin, katakan kepala desa/ lurah, memiliki dominasi yang sangat kuat terhadap rakyatnya. Kehadiran novel itu, menurut teori novel sosial/ novel protes, dimaksudkan untuk mengkritisi pemegang dominasi kekuasaan pada waktu itu. Jika dilihat dengan pendekatan mikro-makro terhadap karya sastra, maka seorang kepala desa seperti tercermin dalam novel itu sebenarnya merupakan representasi dari banyak kepala desa atau pemimpin politis lainnya dan seorang Pambudi seperti tercermin juga dalam novel itu merupakan representasi dari sekian orang yang berani mengkritisi pemimpin politis. Sang lurah yang jahat itu akhirnya jatuh juga. Kejatuhan lurah ini digambarkan dengan indahnya oleh pengarang mulai dari kejayaannya hingga menjadi manusia yang hina dina bagai sampah yang tiada guna, sebagai akibat yang bersangkutan suka menghalangi atau merampas hak-hak orang lain. *** 169

185 Maungkai Budaya Pakai sajalah media lain bila hendak mengritik. Karena, saya percaya anda-anda yang tergabung dalam kelompok IT itu memiliki kemampuan untuk menyuarakan pemikiran-pemikiran konstruktif baik melalui ajang dialog maupun media koran, yang dilandasi dengan teori-teori yang sangat sophisticated. Kenapa harus melalui dunia maya? Mending, bila nama atau identitas pengritiknya tercermin dalam -nya seperti Artinya, pihak-pihak pengritiknya bisa diidentifikasi dan kritikan-kritikannya bisa dikonfirmasi. Bila tidak, bukankah hal itu sama saja dengan Melempar batu sembunyi tangan? Tentang gaji dosen yang dihitung Ersis Rp ,00 sekali hadir mengajar 2 mata kuliah, itu memang besar bila dibanding kerja buruh di tambak ikan atau kandang ayam sampeyan. Tapi, yang harus diingat bahwa kewajiban seorang dosen tentu tidak hanya mengajar. Habis mengajar dia menghilang ke negeri antah berantah, sehingga mahasiswa yang memerlukan bimbingan akademis di luar kuliah bingung mencarinya. Dosen itu kan pegawai negeri. Masak hadirnya cuma satu kali dalam seminggu? Kalau begitu, ya baju luarnya saja yang dosen. Ah, yang bener aja, Sampeyan! 170

186 SISWA GAGAL UJIAN NASIONAL (UNAS) SALAH SIAPA? B ila seorang siswa sukses dan mencapai prestasi gemilang, or ang tuanya mengklaim: Itu wajar, memang anak saya pintar. Si anak sendiri mungkin juga punya anggapan yang kurang lebih sama seraya mengatakan: Kalau saya nggak lulus, yang bodoh bukan saya. Terhadap anak itu, orang lain pun, mungkin, akan mengatakan: Wah, luar biasa anak itu, nilai matematikanya 10 (sepuluh) dan bertanya: Anak siapa itu, dan tak menanyakan: Siapa guru matematikanya, atau les privat di mana? Dia mungkin lupa bahwa kepintaran anak itu salah satunya- merupakan hasil terpaan para gurunya di sekolah? Namun, bila dia gagal, guru itu menjadi orang yang akan dimnitai pertanggungjawabannya? Saling Lempar Kesalahan? Pada tahun pelajaran 2004/2005 ini, ribuan siswa mengalami kegagalan dalam studi. Mereka tidak lulus ujian akhir. Siapa salah dan dipersalahkan? Tentu, para siswa dan orang tua/wali siswa tak akan mengakui kalau mereka bersalah dan kemudian, dipersalahkan. Malahan mereka balik mempersalahkan guru. Seperti disinyalir oleh mantan Gubernur H.M. Said (Banjarmasin Post, 31 Juli 2005), bahwa orang tua murid jika anak-anaknya tidak lulus sekolah marah-marah dengan gurunya, padahal memang anaknya yang kurang memenuhi syarat untuk dinyatakan lulus sekolah. Bila mereka gagal dalam pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris atau pelajaran Matematika, maka guru mata pelajaran itu akan dipersalahkan? Tentu, itu tak fair. Terhadap para siswa yang gagal, guru/sekolah mungkin mempersalahkan para siswa. Dari pembicaraan ringan dengan teman 171

187 Maungkai Budaya saya, tampaknya pihak guru/sekolah mempersalahkan para siswa, karena mereka tak mau bekerja keras atau belajar ala kadarnya. Mungkin juga, pihak para guru/sekolah mempersalahkan para orang tua/wali siswa. karena mereka tidak mendorong anak-anak untuk belajar. Para orang tua dinilai hanya mengandalkan upaya para guru di sekolah; mereka pasrah (menyerahkan sepenuhnya) kepada para guru/sekolah. Tentu saja, amat tidak fair bila pihak guru atau sekolah memiliki sikap semacam itu, yakni menimpakan kesalahan kepada para siswa dan para orang tua mereka. Banyak faktor penyebab mengapa para orang tua kurang memiliki atensi terhadap kegiatan belajar anak-anaknya. Salah satunya adalah faktor ekonomi keluarga. Banyak para orang tua siswa kurang beruntung secara ekonomis. Mereka harus membanting tulang, bekerja keras untuk mampu survive dalam kondisi sulit ini. Boro-boro untuk mengirimkan anak-anak mereka ke Pusat Bimbingan Belajar, Les Privat atau membelikan buku-buku penunjang untuk keperluan belajar anak-anak mereka, bagi mereka, cukup untuk menghidupi segenap anggota keluarganya dengan takaran gizi minimal saja, sudah bersyukur. Ujian Ulang? Menurut informasi, para siswa yang gagal UNAS itu akan diberi kesempatan untuk ujian ulang pada bulan Agustus Dari sudut pandang kemanusiaan, pemberian kesempatan ujian ulang ini, menurut saya, bagus. Sebab, secara psikologis (yang positif) ia tidak terlalu lama mendera mental para siswa yang gagal itu. Namun, secara psikologis pula (yang agak negatif dari aspek pembelajaran), retest semacam itu tidak akan memberikan shock therapy bagi diri mereka dan adik-adik kelas mereka di masa mendatang. Sebab, seperti tahun-tahun yang lalu, dengan gaya belajar mereka yang santai, toh mereka akan lulus bahkan dengan nilai yang lebih tinggi dari nilai teman-temannya lulus terdahalu. Bila gaya ini yang diadopsi oleh adik-adik kelas mereka, maka hal serupa akan terulang pada tahun-tahun mendatang. Tidak lulus UNAS, tenang-tenang saja. Toh mereka akan lulus bila diuji ulang. Untuk dapat menjadi shock theraphy, terhadap para siswa yang gagal UNAS dan para adik kelas mereka, seorang teman saya lebih 172

188 Siswa Gagal Ujian Nasional (Unas) Salah Siapa? cenderung berkeberatan akan adanya retest tersebut. Menurut dia, untuk memberikan motivasi belajar yang tinggi salah satunya- siswa yang tak lulus harus mengulang atau mengikuti pelajaran lagi di sekolah yang bersangkutan selama dua semester. Memang, dari segi pembiayaan atau material-finansial, hal itu akan merepotkan baik para orang tua maupun sekolah/pemerintah. Namun, dari segi akademis, hal itu akan memacu mereka untuk mengubah gaya belajar yang ala kadarnya menjadi gaya belajar yang serius, yang pada gilirannya nanti, mereka tidak mengalami kegagalan dalam UNAS. Tentu, kegagalan para siswa tidak dapat sepenuhnya diakibatkan oleh para guru atau pihak sekolah. Tak ada guru atau sekolah manapun punya keinginan anak didiknya gagal alias tidak lulus. Mereka tentu saja menginginkan semua anak didiknya berhasil dengan predikat memuaskan, bahkan sangat memuaskan. Namun, harus diakui bahwa mereka tentu punya andil terhadap kegagalan sejumlah siswa dalam UNAS. Dan, saya yakin, mereka juga tahu dan sadar bahwa mereka punya andil. Kalau, kemudian, mereka hanya melempar kesalahan kepada para siswa, itu juga tidak fair. Atensi lebih terhadap Proses? Menurut pengamatan saya, andil terhadap kegagalan para siswa dalam UNAS itu bisa dirunut kembali mulai kelas satu. Saya punya ilustrasi sederhana. Andaikan saja, ada siswa yang sebetulnya lemah. Dengan berbagai pertimbangan, dia dinaikkan ke kelas dua. Karena di kelas satu dia lemah, tanpa dibarengi upaya keras, di kelas dua dia masih juga lemah. Dengan pertimbangan tertentu lagi, dia naik ke kelas tiga. Celakanya, di kelas tiga dia memainkan peranan yang sama dengan ketika dia berada di kelas sebelumnya. Pada akhirnya, dia gagal dalam UNAS-nya, karena memang- dia lemah sejak kelas-kelas awal. Input bisa saja kurang bagus. Namun, bila proses pembelajaran dan proses penilaian serta aspek-aspek pengiring lainnya berpijak pada norma-norma yang telah ditetapkan, tanpa rekadaya, Insya Allah, input kurang bagus akan keluar menjadi output yang bagus. Kalaupun, paribahasa kita tak bisa mengubah iwak saluang menjadi 173

189 Maungkai Budaya iwak haruan, ya setidak-tidak kita mengupayakan mereka untuk mampu melampuai standar kelulusan. Namun, hendaknya kita tetap memperhatikan aspek-aspek: pengetahuan, sikap dan perilaku. Bila nilai kelulusan dipandang sebagai satu-satunya target dan dianggap sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan siswa, maka kita akan terjebak pada proses pembelajaran yang titik berat aspek atau ranah kognitif (pengetahuan) saja. Dua aspek atau ranah lain: sikap dan perilaku terabaikan. Gawat, bila ini terjadi. Konon, karena nilai yang dikejar, ada sejumlah siswa mengerjakan tes dengan cara yang tak terpuji. Dan, ada sinyalemen, bahwa ada pihak tertentu, dengan cara tertentu, dan untuk tujuan tertentu, mengupayakan para siswa agar mereka mencapai angka/nilai standar kelulusan. Wallahua lam. Bagaimana menurut Anda? 174

190 PROGRAM BESAR FKIP S ejak bulan Agustus 2008, FKIP Unlam mengadakan sejumlah rapat besar. Pertemuan besar pertama adalah rapat kerja fakultas. Dalam rapat kerja itu, memang dibicarakan hal-hal yang ideal. Kalau hal-hal ideal itu bisa diimplementasikan dalam kegiatan nyata di lingkungan fakultas, pastilah fakultas itu akan menjadi fakultas dengan atmosfer akademik yang luar biasa tingginya. Dosen disiplin; pemanfaatan IT menggairahkan; KBM bagus; dosenmahasiswa betah di kampus. Gagasan-gagasan ideal yang muncul dan dijadikan kesepakatan, tampaknya, belum menyentuh pelaksanaan KBM secara ideal. Buktinya, KBM masih saja terganggu oleh bisingnya suara kendaraan. Ruang kuliah masih menjadi rebutan. Dan sebagainya. Seringkali, gagasan-gagasan ideal sulit diimplementasikan. Sebab, banyak hal mempengaruhinya. Salah satunya adalah ketersediaan dana. Gagasan pemanfataan IT dalam KBM, misalnya, selain terkendala dana, ia meuntut kemampuan masing-masing individu untuk mengoperasikannya. Ok, operasionalisasi ini bisa dibantu oleh teknisi. Namun, apakah fakultas telah menyediakan tenaga teknisi? Pemanfaatan IT ternyata menuntut individu untuk tidak sekedar mengoperasikannya. Konkritnya, kita harus mampu mengoperasikan komputer; membuat media dengan komputer; memiliki blog/web dan mampu memeliharanya, dan sebagaimana dan seterusnya. Pertanyaannya, sudahkah kita mengupayakan kepada kita sendiri dan kepada warga fakultas secara keseluruhan untuk melek IT itu?. Hendaknya, tidak hanya menyarankan atau 175

191 Maungkai Budaya mengharuskan atau bahkan menginstruksikan untuk memanfaatkan IT tetapi kita sendiri tak tahu sama sekali tentang IT. Kalau hanya memberikan perintah saja, hendaknya dihindari. Mari belajar dulu, baru memberikan perintah. Berikan contoh atau teladan dalam hal IT dan pemanfaatannya. Agenda besar lain adalah pembuatan rancangan pedoman akademik, pedoman penulis karya ilmiah, dan lain-lain. Ini bagus, bahkan bagus sekali. Namun, perlu diingat bahwa pedoman yang ada masih dapat digunakan. Hal terpenting sebenarnya bukan melakukan revisi pedoman, khususnya pedoman akademik, tetapi memaksimalkan implementasi pedoman akademik itu dalam kehidupan akademis di fakultas. Pertanyaannya? Apakah pedoman yang ada itu telah dijalankan sebagaimana mestinya? Agenda besar lain yang cukup menyita perhatian, tenaga dan pikiran adalah revisi kurikulum. Pertengahan September 2008, pertemuan akbar digelar. Sejumlah peserta rapat membahas secara habis-habisan dan cenderung emosional. Sebab, berbagai alasan atau pemikiran yang cukup rasional tidak ditanggapi dengan cara yang sama. Kalau boleh dikatakan, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kekuasaan. Konkritnya? Bahwa revisi kurikulum bagai kata pepatah tak semudah membalik telapak tangan. Atas dasar perdebatan sengit diwarnai sikap cukup emosional, disepakati: revisi kurikulum diselesaikan di tingkat jurusan/program studi, selama enam bulan. Persoalan muncul, ketika fakultas (dengan input dari PD 1) mengundang lokakarya kurikulum pada tanggal 12 November Artinya, kesepakatan penyelesaian revisi kurikulum dalam enam bulan, dilabaikan. Undangan lokakarya itu telah beredar pada akhir Oktober Sejumlah kaprodi bereaksi dan menyampaikan halnya kepada dekan, dengan mengacu pada kesepakatan pada lokakarya pertengahan September Gimana nich, kan belum enam bulan, koq sudah ada undangan lokakarya?, komentar salah seorang dari salah satu program studi di FKIP. Beberapa hari sebelum lokakarya revisi kurikulum ke dua itu digelar, ada surat penundaan lokakarya sampai waktu yang belum ditetapkan. Dalam kaitan ini, dekan berlaku bijaksana. Mengapa? Bila lokakarya yang belum saatnya digelar itu dipaksakan, akan 176

192 Program Besar FKIP beberapa kemungkinan hal yang akan terjadi. Perdebatan sengit seperti lokakarya pertama mungkin akan terulang. Kalau tidak, para kaprodi hanya menampilkan sesuatu ala kadarnya, karena memang, revisi kurikulum di prodinya belum dilaksanakan secara tuntas. Masih sepenggal-sepenggal alias tidak seutuhnya. Apalagi, pedoman yang turun dari langit ternyata membingunkan dan sering berubah-ubah seiring dengan masuknya informasi baru. Muncul lagi informasi terbaru, pedoman atau tepatnya petunjuk berubah lagi. Hal ini membuat sejumlah dosen bekerja dua sampai tiga kali seiring perubahan petunjuk. Seyogyanya, pedoman itu didasarkan pada hasil kesepakatan. Bila keliru, keliru semua; bila benar, ya benar semua. Tak ada yang dipersalahkan bila ada kesalahan. Kalau begini, kesan pertama atas berubah-ubahnya pedoman itu adalah belum matangnya perencanaan, konsep dan lain-lain di tingkat fakultas. Bukan kita menolak perubahan menuju hal ideal. Tapi, berikan waktu yang cukup dan bila perlu sokongan dana yang memadai. Bila waktu yang disediakan cukup dan sokongan dana memadai, kerja dosen akan maksimal. Harap diingat, bahwa para dosen kita masih banyak yang mencari penghasilan tambahan di sela-sela tugas wajibnya. Jadi, bila sekiranya dana fakultas memungkinkan, alangkah bagusnya, dana itu tidak hanya diarahkan kepada pengembangan fisik saja tetapi juga kepada pengembangan non-fisik, termasuk memberikan intensif bagi dosen yang berkarya. Karya dosen tidak hanya penelitian atau pengabdian masyarakat. Membuat peranti pembelajaran (silabus, RPP, dan buku ajar dan sebagainya) bisa diartikan sebagai karya akademis. Hendaknya, ada reward bagi dosen yang berkreasi/berkarya. Dalam hal ini, perlu dibikin mekanisme pemberian reward. Menulis artikel di koran, jurnal ilmiah, buku ajar, dan sejenisnya, misalnya, dihargai berapa. Bila begini apresiasinya, dosen akan menjadi kreatif, inovatif dan produktif. Namun, bila dosen hanya diminta kerja dalam suatu tim untuk mengerjakan, katakan saja, rancangan pedoman akademik tanpa adanya reward, maka mereka tidak ada bedanya dengan mereka di luar tim. Walau semua kita tahu, bahwa membela lembaga itu hukumnya wajib. Kalau boleh dibagi, ada wajib secara individu dan wajib secara kelompok (tim). 177

193 Maungkai Budaya Tak salah kiranya bila tim yang notabene mewakili semua itu diberi apresiasi khusus. Bila tidak, tidak fair namanya. Sebab, jelas kerja mereka menjadi ganda: sebagai individu dan sebagai anggota tim kerja. Sebagai pemain ganda, mereka hendaknya tidak dipandang dengan sebelah mata. Bagaimana menurut Anda? 178

194 KEKAYAAN YANG TERLUPAKAN, ADAKAH? (Catatan dari Sosialisasi Kekayaan Intelektual) M enurut keterangan panitia, dalam tahun 2005, Sosialisasi Kekayaan Intelektual dalam bentuk Penataran dan Lokakarya atau Workshop telah digelar oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui Direktur Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DP3M), di empat tempat (Malang, 1 s.d 4 Juni 2005, Jakarta, 27 s.d. Juni 2005, Manado, 3 s.d. Juli 2005, dan Banjarmasin 29 s.d. 31 Agustus 2005). Kegiatan Manajemen (Sentra) Kekayaan Intelektual akan digelar di Jakarta, pada bulan September Sosialisasi Kekayaan Intelektual ini diselenggarakan, antara lain, didasarkan pada kenyataan bahwa kita, bangsa Indonesia amat kaya akan invensi (temuan) dan inovasi teknologis, baik sederhana maupun complicated. Dengan harapan, insan akademis melakukan kegiatan riset/penelitian yang invensi dan inovasinya dideskripsi semikian rupa untuk bisa dipatenkan kelak. Tak nyambung? Kebetulan saya dikirim oleh lembaga tempat saya bekerja untuk mengikuti sosialisasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Karena ketidaktahuan saya tentang HKI itu, saya hooh saja, ketika lembaga meminta kesediaan saya. Tentu dengan harapan, walau serba sedikit, saya akan menjadi tahu tentang HKI. Materi demi materi saya ikuti dengan seksama hingga acara itu selesai. Jujur saja, lembaga kurang tepat dalam mengirim orang. Sebab, prior knowledge saya tak banyak terpaut dengan materi yang disajikan. Soal teknik (sekalipun yang paling sederhana), jangankan bikin, paham saja enggak. Soal elektronik, saya hanya mampu menyambung kabel. 179

195 Maungkai Budaya Soal pertanian/perkebuhan, saya hanya pengguna hasilnya. Soal hukum, saya hanya tahu sedikit sekali. Padahal, usai penataran, peserta diharapkan untuk mengupayakan riset berbasis Hak Kekayaan Intelektual atau berperan aktif mengelola Hak Kekayaan Intelektual di Sentra Hak Kekayaan Intelektual; setidaktidaknya, selalu melakukan sosialisasi tentang Hak Kekayaan Intelektual lebih lanjut. Saya tak nyambung dengan materi-materi yang disajikan itu. Sub-materi karya seni saja yang sedikit nyangkut. Karya seni, novel misalnya, tidak seperti tempe yang bisa diusulkan Hak Kekayaan Intelektual-nya berupa hak paten; Hak Kekayaan Intelektual novel hanya berupa hak cipta (copy right). Namun sub-materi itupun, tak banyak dipaparkan oleh penyaji. Tampaknya, Hak Kekayaan Intelektual yang bisa dipatenkan, dimonopoli oleh hal-hal berbau teknologi. Tak Semua Bikin Makalah Kegiatan sosialisasi itu memang memang berupa penataran dan lokakarya. Ya, sah-sah saja bila para pembicara tak menyusun makalah. Karena kegiatan itu perlu dokumen tertulis, selain materi pokok, sambutan-sambutan pun perlu dituangkan dalam dokumen tertulis. Dari 15 pembicara, hanya 3 pembicara menyusun makalah. Sejumlah lainnya hanya menyampaikan materi secara lisan; dan sejumlah lainnya lagi menyampaikannya dengan pointer. Idealnya, materi terlebih dahulu dituangkan dalam makalah. Memang, penyusunan makalah perlu waktu cukup panjang. Ini, tentu agak merepotkan pembicara yang sibuknya luar biasa. Namun, perlu diingat, bahwa sang pembicara perlu meninggalkan dokumen tertulis yang berupa makalah, bukan pointer-pointer. Makalah menghadirkan sejumlah manfaat bagi pembaca, baik yang sebagai peserta maupun bukan peserta; ia dapat dibaca kembali guna pemahaman lebih lanjut dan/atau dimanfaatkan sebagai bahan rujukan penyusunan makalah/artikel oleh pihak lain. Tampaknya, penyampaian materi dengan pointer telah menjadi trend sekarang ini. Sang pembicara/penyaji, tampaknya, tak peduli, apakah materi yang disampaikan bisa diserap dengan baik atau tidak. Ya, mungkin saja, para peserta bisa menyerapnya dengan baik ketika atau beberapa saat setelah materi itu disampaikan. Setelah mereka kembali ke lembaga masing-masing. Materi yang sempat hinggap 180

196 Kekayaan yang Terlupakan, Adakah? dalam memori mereka, bisa saja lenyap. Bila tak ada makalah, pointer-pointer itu saja satu-satunya bahan untuk memunculkan pemahaman tentang materi tertentu. Ini menyusahkan. Penyampaian materi tanpa makalah bisa mengindikasikan bahwa sang penyaji koler menyusun makalah (dengan sejumlah alasan) dan melestarikan tradisi lisan. Bila dikatakan bahwa dia tak punya kemampuan menulis, tak mungkinlah. Dia tentu pakar. Sebagai seorang dengan label pakar, selain hebat dalam bicara, tentu hebat dalam dunia tulis menulis, termasuk menulis makalah yang kaidahnya serba scientific. Syukur-syukur, kalau penyaji yang berasal dari pengelola Sentra Kekayaan Inteletual menyertakan contoh proposal pengajuan Hak Kekayaan Intelektual, baik Hak Cipta maupun Hak Paten. Dalam kaitan ini, saya ingat seorang penulis artikel dalam koran di kota ini, yang menyatakan bahwa banyak di antara kita bisu bahasa tulis dan hanya mengandalkan bapandir. Oleh karena itu, wajar saja bila banyak temuan atau peristiwa penting tak terdokumentasikan. Tautannya dengan Kekayaan Intelektual? Lha, karena tak terbiasa mendokumentasikan, justru, orang luar negeri meneliti produk yang telah sekian lama dihasilkan atau meneliti hal-hal lain di bumi pertiwa ini, lalu mendokumentasikan dan mengusulkan menjadi hak patennya. Tak perlu disesali. It is useless. Kebakaran Jenggot? Konon, banyak temuan bangsa kita yang menjadi kekayaan intelektual terlupakan untuk dipatenkan; justru diusulpatenkan oleh orang-orang manca negara. Sekedar contoh, hak kekayaan intelektual (paten) untuk tempe, tahu, batik, furnitur, dan akar pasak bumi dimiliki oleh mereka. Ketika salah seorang penyaji bersamasama peserta penataran- melakukan searching hak paten tempe (tereja tempeh) di internet, ditemukan lebih dari 500 hak paten yang terkait tempe. Apakah satu atau beberapa hak paten tempe itu dimiliki oleh orang-(orang) kita? Tak tahulah. Yang saya tangkap, tempe produk makanan yang teknologinya telah dikerjakan oleh orang Jawa secara turun temurun itu- telah dipatenkan oleh orang Jepang. Sebagai konsekuensinya, kita tak bisa menjual produk itu ke luar negeri sebelum membayar royalty kepada pemilik hak patennya. 181

197 Maungkai Budaya Setelah temuan demi temuan bangsa kita dipatenkan oleh pihak lain, kita terkaget-kaget dan lalu kebakaran jenggot seraya mengklaim ini-itu merupakan kekayaan intelektual kita. Bila azas yang dipakai adalah siapa cepat, dia dapat (the first to file), maka kita hanya bisa gigit jari. Orang kita yang menemukan dan mengembangkan, tetapi Hak Kekayaan Intelektual -nya dimiliki oleh orang luar negeri. Bila benar Hak Kekayaan Intelektual teknologi sasirangan telah dimiliki oleh orang luar negeri, maka kita akan susah mengekspor produk sasirangan, dan tidak tertutup kemungkinan kita akan diklaim sebagai penjiplak. Bila klaim penjiplakan ini terjadi, tentu konsekuensi hukum menyertainya. Sentra HKI di Unlam Buku Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang, antara lain, mengamanatkan pembetukan Sentra Hak Kekayaan Intelektual di Perguruan Tinggi, tentu telah lama ada di Unlam. Tampaknya, Sentra Hak Kekayaan Intelektual (HKI) belum dibentuk di Unlam. Agar tidak mengingkari Undang-Undang itu, terutama pasal 13 ayat 2 dan 3: Perguruan tinggi dan lembaga libang wajib mengusahakan penyebaran informasi hasil-hasil kegiatan penelitian dan pengembangan serta kekayaan intelektual yang dimiliki selama tidak mengurangi kepentingan perlindungan kekayaan intelektual dan Dalam meningkatkan kekayaan intelektual, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan pembentukan sentra HKI sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya maka dengan mengikuti atau mengadopsi paparan Dr. Suprapto, Manager Sentra HKI dan Promosi IPTEKS, ITS Surabaya dalam makalahnya Peran Sentra/Gugus HKI di Perguruan Tinggi (bila perlu), Unlam sesegera mungkin membentuk Sentra HKI. Diharapkan, selain sebagai wadah untuk menangani tetek bengek tentang HKI, Sentra HKI di Unlam bersama Lembaga Penelitian bisa memainkan peran dalam sosialisasi kekayaan intelektual dan mengarahkan research for invention and/or innovation to reach intellectual property rights. Bagaimana menurut Anda? 182

198 SEKOLAH DALAM KONDISI DILEMATIS? T erinspirasi oleh berita di Radar Banjarmasin, Sabtu, 26 Juli 2008 berjudul Dikembalikan, Tapi Dipungut Lagi?, saya mencoba untuk menulis artikel ini. Dalam artikel berita dikemukakan soal pungutan biaya penyelenggaraan pendidikan. Konon, menurut ketentuan pungutan tanpa dasar yang jelas, dilarang. Sehingga, saya berasumsi bahwa sekolah, khususnya di Banjarmasin, dihadapkan pada dua pilihan yang sulit untuk dipilih. Sekolah menjadi serba salah. Sekolah mendapat tekanan berat dari berbagai arah. Memang, pelarangan tentu ada dasarnya. Namun, dalam melarangan adanya pungutan mustinya dibarengi kebijakan yang meringankan semua pihak (khususnya, sekolah dan orang tua siswa). Berikut ulasannya. Sebagaimana dimaklumi selama ini, pendidikan terhadap anak bangsa ini menjadi tanggung jawab bersama, antara pemerintah, masyarakat dan para orang tua. Tanggung jawab ketiga pihak itu tentu sudah dijalankan sesuai dengan porsi masing-masing. Secara khusus, sebagaimana yang saya ketahui dan alami ketika masih sekolah, tanggung jawab orang tua yang harus diemban oleh orang tua, salah satu di antaranya, adalah pemenuhan sumbangan yang berupa uang pangkal dan SPP. Sejauh yang saya ketahui, uang pangkal dan SPP ditentukan oleh pihak sekolah. Kini, sumbangan berganti nama (uang pengembangan dan iuran komite) dan ditentukan melalui musyawarah antara sekolah, komite sekolah dan para orang tua siswa. Kedua macam sumbangan sebenarnya setali tiga uang atau sama saja. Yakni, sama-sama merogoh kocek orang tua siswa. 183

199 Maungkai Budaya Selama ini pula, tidak muncul persoalan berarti. Namun, dua tahun terakhir, ketika diwacanakan pendidikan murah atau kalau perlu gratis, sumbangan pendidikan memunculkan persoalan cukup pelik bagi sekolah. Sebab, konon kabarnya, kucuran dana operasional pendidikan di sekolah tak mampu untuk membiayai semua keperluan sekolah. Sementara, pihaknya tidak diperbolehkan memungut uang dari wali siswa secara sepihak. Pungutan uang sekecil apapun, tanpa melalui mekanisme musyawarah, akan diobok-obok oleh LSM dan disemprit oleh pihak-pihak berwenang. Pihak sekolah benar-benar berada dalam kondisi dilematis: memungut, salah; tidak memungut, tak ada duit. Urusan finansial di sekolah tak bakal menjadi masalah bilamana pihak berwenang mengucurkan dana yang cukup guna operasionalisasi pendidikan di sekolah. Pertanyaannya: apakah pihak berwenang telah menyediakan dana yang cukup? Perlu sokongan dana Ada sebuah ungkapan yang kurang lebih artinya: ingin sukses, berkorbanlah. Menggapai kesuksesan besar perlu biaya yang besar pula. Menginginkan pendidikan dengan mutu yang memadai tanpa pembedaan latar belakang ekonomi orang tua siswa, perlu sokongan dana yang memadai pula. Anggota masyarakat yang cukup berkemampuan dan menginginkan anak bangsa ini maju, tentu saja, diharapkan bersedia merogoh koceknya untuk penyelenggaraan pendidikan (via orang tua asuh atau lainnya). Orang tua yang berharap anaknya berhasil dalam belajar, sudah barang tentu, hendaknya melakukan hal yang sama. Pendek kata, segala sesuatu tanpa bea (baca: pengorbanan) hasilnya tak maksimal alias ala kadarnya. Menurut informasi dari salah seorang Wakasek salah satu SMA favorit di Kota Balikpapan, Pemerintah Kota Balikpapan mengucurkan dana bantuan atau subsidi untuk pendidikan. Bantuan untuk siswa SMA (negeri/swasta) lebih kurang 50 % dari dana yang harus dibayar; SMP (negeri/swasta) dan SD (negeri/swasta) mungkin saja gratis bila dana bantuan cukup untuk operasionalisasi pendidikan. Bila dana bantuan ternyata kurang, maka kekurangan itu dimusyawarahkan antara sekolah, komite sekolah dan wali siswa. Dalam musyawarah, ditetapkan sumbangan sukarela tapi mengikat. 184

200 Sekolah dalam Kondisi Dilematis Besaran sumbangan sukarela ini tidak sama antara orang yang satu dengan lainnya. Tidak dipukul rata. Orang tua/wali siswa diharapkan memberikan subsidi silang kepada orang tua/wali siswa kurang mampu. Agak rumit memang, namun hal itu dapat dilakukan. Ini berarti penyelenggaraan pendidikan di sana tak mengalami masalah dalam pembiayaan, sebab pemerintah setempat menyokong dana kepada sekolah. Sokongan dana ini pada gilirannya akan meringankan biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung. Pembiayaan penyelenggaraan tetap saja seperti biasa, bahkan bisa lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, namun pihak sekolah disokong dana yang memadai. Pak walikotanya memenuhi janji untuk meringankan beban masyarakat dalam pendidikan. Namun demikian, sebagaimana dituturkan oleh Wakasek itu, pendidikan gratis-tis itu hal yang tak mungkin. Semua pihak, khususnya orang tua siswa, harus menanggung sebagian dari biaya pendidikan. Mana ada yang gratis sekarang ini. Di kota ini? Kayaknya, kebijakan seperti itu koq belum terdengar. Yang terdengar selama ini, tak boleh ada pungutan dalam penerimaan siswa baru (PSB); setelah PSB selesai, tak boleh ada pungutan dari orang tua/siswa dalam bentuk apapun sebelum ada musyawarah antara sekolah, komite sekolah dan wali siswa. Banyak pengelola pendidikan di sekolah berada di bawah bayang-bayang ketakutan. Berani melakukan pungutan, harus siap terkena semprit. Sampai-sampai, menyediakan tetek bengek atribut sekolah, seragam dan lain-lain perlu dilengkapi dengan surat pernyataan yang berbunyi: Saya memesan/membeli barang tersebut atas kemauan sendiri, tanpa ada paksaan dari pihak manapun yang ditandatangani oleh siswa dan walinya. Ini refleksi dari ketakutan yang luar biasa! Saya kira semua kita tahu, atribut dan seragam sekolah (khusus baju batik, topi, kaos kaki, kerudung yang tak ada di pasaran) dari dulu disediakan oleh sekolah. Sebentar lagi, heboh soal pengadaan buku mungkin terjadi lagi. Kita tunggu reaksi apa yang bakal muncul? Tidak baik memang, membanding-membandingkan dengan pihak/kota lain. Namun, perlu juga kita memperhatikan kiprah pihak 185

201 Maungkai Budaya lain dan bila beberapa hal di antaranya patut diadoptasi, kenapa tidak? Kita seringkali mendengar istilah studi banding. Sejumlah anggota dewan, pengelola sekolah, atau dosen/mahasiswa melakukan studi banding ke wadah orang. Apa gunanya studi banding? Ya itu tadi, kalau kita dapati hal-hal bagus di wadah orang, kita manfaatkan untuk membangun di wadah kita. Kiranya, perlu juga mengintip penyelenggaraan pendidikan di kota dari provinsi tetangga itu. Pungutan dilarang Pelarangan terhadap sesuatu pasti didasarkan pada perilaku menyimpang yang terjadi selama ini. Untuk mengeliminir (setidaktidaknyanya, meminimalisir) perlu dilakukan pelarangan. Ini kebijakan yang perlu dihormati. Karena, sekecil apapun, pungutan, misalnya, tetap saja melanggar ketentuan. Bila pungutan uang pengembangan dan iuran komite harus didasarkan pada musyawarah, hendaknya sekolah tidak coba-coba memungut sebelum ada kesepakatan dalam musyawarah. Kegiatan musyawarah untuk menentukan besaran uang sumbangan, hendaknya didasarkan pada rencana kegiatan/pengeluaran/ pembiayaan yang realistis dan bermuara pada peningkatan mutu pembelajaran. Insentif boleh saja tinggi. Namun, insentif tinggi harus dibarengi dengan tingkat pelayanan yang sepadan. Rencana anggaran untuk pengadaan/peningkatan fasilitas boleh saja besar. Namun, anggaran yang besar itu harus direalisasikan sesuai dengan rencana anggaran yang telah ditetapkan. Dengan jalan itu dan hanya dengan jalan itu, anggaran pendapatan dan belanja sekolah akan mengantarkan pembelajaran bermutu dan pada gilirannya anak didik bisa memperoleh layanan pendidikan yang memuaskan. Proses bagus dan hasil maksimal. Konsekuensi logisnya, damai di sekolah dan damai di masyarakat; damai guru dan damai siswa. Pendek kata, tiada kecewa di sana dan tiada gerutu di sini. Di sana-sini, yang ada adalah kepuasaan semua pihak. Alangkah indahnya bila sebuah sekolah mampu menciptalan kondisi itu. Soal buku pelajaran Setiap awal tahun pelajaran, para orang tua/wali siswa sering dipusingkan dengan pengadaan buku-buku pelajaran. Mereka 186

202 Sekolah dalam Kondisi Dilematis diwajibkan menebus buku-buku pelajaran. Sempat ada pelarangan terhadap guru/sekolah merangkap sebagai penyedia buku-buku pelajaran. Sejumlah guru takut menjual buku pelajaran yang diasuhnya. Sehingga, mereka hanya mewajibkan anak didik memiliki buku itu. Tetapi ternyata, ada sejumlah orang tua siswa pusing ketika membeli sendiri di toko buku. Sebab, buku-buku yang dimaksud ternyata tidak selalu tersedia di toko buku tertentu. Pendek kata, dia harus pergi dari toko buku yang satu ke toko yang lain. Ternyata, ongkos yang harus dikeluarkan lebih besar ketimbang ujungan yang diterima oleh bapak/ibu guru. Tak salah-salah amat, bila kita membantu bapak/ibu guru. Biarkanlah beliau ikut menyalurkan buku pelajaran yang ditawarkan oleh penerbit atau pihak manapun. Diakui atau tidak, buku pelajaran itu penting dalam serangkaian proses pembelajaran. Sekarang bukan zamannya lagi kita menerapkan sistem catat, sebab bahan yang dicatat telah tersedia. Sehingga, pengadaan buku pelajaran menjadi sebuah keharusan. Dalam hal ini, bila guru/sekolah menjadi penyedia buku-buku pelajaran, seyogyanya pihaknya mengatur cara pembayaran sedemikian rupa sehingga kelak tidak memberatkan siswa/orang tua siswa yang kurang mampu. Untuk keperluan jauh ke depan, bila pembelajaran menekankan pada proses sesuai dengan tuntutan kurikulum dan ditunjung buku/ referensi memadai, maka dalam menempuh ujian nasional para siswa tidak perlu lagi diantarkan, sebagaimana disinyalir selama ini, dengan cara-cara yang tidak mendidik. Hendaknya, para guru/sekolah tidak dihadapkan pada kondisi dilematis. *** Upaya meringankan masyarakat dalam pendidikan hendaknya tidak hanya didasarkan pada niat/keinginan belaka; harus ada tindakan nyata. Pendidikan perlu biaya. Bila pihak berwenang ingin meringankan biaya pendidikan, tindakan nyata yang semestinya ditempuh adalah memberikan sokongan dana. Dan, masyarakat cukup mampu perlu diminta partisipasinya melalui orang tua asuh, memberikan sokongan dana lebih dari yang ditetapkan atau memberikan donasi dengan cara lain. Dengan cara itu, beban masyarakat kurang mampu akan menjadi lebih ringan. Komitmen semua pihak perlu dibangun, khususnya dalam pembiayaan 187

203 Maungkai Budaya penyelenggaraan pendidikan. Setelah dana tersedia, sekolah hendaknya berkomitmen untuk benar-benar memanfaatkan dana itu untuk kepentingan penyelenggaran pendidikan. Bagaimana menurut Anda? 188

204 DUKUNGAN DANA, APBS DAN STUDI BANDING (Tanggapan atas Tulisan Ahmad Rizky Mardhatillah Umar) A rtikel saya Sekolah dalam Kondisi Dilematis? (Radar Banjarmasin, 29 Juli 2008) ditanggapi oleh Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, selanjutnya disebut Umar, seorang alumnus salah satu SMA favorit di Banjarmasin, dengan judul Sekolah, Pungutan, dan Transparansi (Radar Banjarmasin, 6 Agustus 2008). Tulisan tanggapan itu menyorot beberapa hal, antara lain: kebijakan Dinas Pendidikan Kota, APBS, dan Studi Banding. Masalah-masalah yang dicobaampungkan menyangkut pelaksanaan program sebagaimana tertuang dalam APBS (Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah). Ulasannya adalah sebagai berikut: Tentang Dukungan Dana? Prinsipnya, saya setuju dengan gagasan yang dicobaapungkan oleh Umar. Berkenaan dengan dukungan dana penyelenggaraan pendidikan yang berasal dari Pemerintah Kota Banjarmasin, dalam artikel saya, saya sampaikan dengan harapan untuk mendapatkan informasi tentang ada/tidaknya dukungan dana. Dengan perbandingan itu, kalau memang pihaknya mendrop sejumlah dana penunjang penyelenggaraan pendidikan di kota ini, yang berwenang diharapkan memberikan klarifikasi, bahwa pihaknya telah melakukan hal itu. Kalau memang dana penunjang pendidikan itu ada, bagaimana mekanisme pendistribusiannya? Apa Sekolah dan Komite Sekolah merancang RAPBS, semisal belanja sekolah teranggar 1 miliar rupiah. Lalu, diajukan ke Pemkot. Katakan saja, pihaknya membantu setengah miliar rupiah. Kalau begini kondisi, sekolah 189

205 Maungkai Budaya bersama komite sekolah akan mencari setengah miliar ke pihak wali murid melalui mekanisme rapat/musyawarah. Atau, pendistribusiannya melalui mekanisme lain. Bila dana ada dan mekanisme pendistribusiannya jelas, maka pihak sekolah/ komite sekolah tidak kalang kabut. Ini semua, yang saya kira, belum jelas. Yang jelas dan sangat jelas, sekolah tidak boleh memungut biaya dari wali murid sebelum ada ketetapan besaran pungutan melalui musyawarah. Larang-melarang boleh-boleh saja; namun, menurut saya, melarang memungut duit maka mohon dengan sangat hormat berikanlah duit pengganti. Dalam kaitan ini, mungkin senada dengan Umar, pelarangan pungutan hendaknya tersosialisasikan dengan sebaik-baiknya hingga seluruh personil pendudung penyelenggaraan pendidikan tahu persis apa saja yang boleh dan apa saja yang dilarang. Mohon diberi rambu-rambu yang jelas sehingga komite sekolah tidak ikut kalang kabut. Berkenaan dengan pemungutan, yang legal sekalipun, bagi oknum nakal yang memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadi, hendaknya ditangani dengan mekanisme yang sudah baku. Oknum yang jelas menyelewengkan dana dari masyarakat, tentu saja patut diberi ganjaran setimpal. Tentang APBS Idealnya, APBS disusun melalui prosedur yang cukup panjang. Pertama, sekolah membentuk tim penyusun Rancangan RAPBS. Tim ini mencakup beberapa bidang, antara lain: umum, pengajaran, sarana dan prasarana, kesiswaan, kehumasan, perpustakaan. Kedua, masing-masing bidang merencanakan program berikut dengan biaya yang diperlukan. Ketiga, hasil kerja dari masing-masing bidang dikompilasi menjadi Rancangan RAPBS. Keempat, RAPBS ini kemudian ditelaah oleh Pengurus Komite Sekolah. Kelima, Rancangan RAPBS hasil revisi itu lalu dijadikan RAPBS, yang kemudian diserahkan ke Dinas Pendidikan Kota untuk ditelaah lagi. Kemudian, RAPBS hasil telaah Dinas Pendidikan Kota itu dibawa ke musyawarah bersama sekolah, komite sekolah dan wali murid. Terakhir, melalui kesepakatan bersama, RAPBS dijadikan APBS yang disahkan oleh Dinas Pendidikan Kota. Mekenisme ini perlu proses 190

206 Dukungan Dana, APBS dan Studi Banding yang panjang, sementara biaya penyelenggaraan pendidikan harus terpenuhi dari hari ke hari dan dari bulan ke bulan. Merespons gagasan Umar tentang APBS, bahwa APBS yang telah ada sebenarnya sudah baik walau belum ideal dan rasional. Ia terlahir melalui proses yang cukup ideal dan telah dimungkinkan untuk dijadikan dasar belanja sekolah. Namun, seperti disinyalir oleh Umar, di sani-sini masih ditemukan hal-hal yang kurang rasional. Untuk itu, saya sepakat, rasionalisasi anggaran perlu dilakukan. Insentif dipangkas (sebab umumnya personil sekolah negeri itu pegawai negeri dan sebagian telah mendapatkan tunjangan profesional). Biaya ulangan harian, ulangan blok, ulangan tengah semester dan ulangan semester disediakan dana secara wajar dan rasional (misal, hanya biaya untuk alat tulis; sedangkan panitia dan pengawas tidak usah dibayar (sebab itu sudah menjadi bagian dari tugas guru: mengajar, menguji dan menilai). Mari kita sama-sama perhatikan beberapa hal tentang peran yang seharusnya dimainkan oleh komite sekolah, yakni: (1) pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan di sekolah, (2) pendukung finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan, (3) pengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan, dan (4) mediator antara sekolah dan masyarakat. Dari peran-peran itu termanifestasi fungsi-fungsi yang seharusnya dijalankan, antara lain; (1) membangun komitmen masyarakat terhadap pendidikan bermutu, (2) menjalin kerja sama dengan masyarakat dalam arti luas, (3) menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan masyarakat, (4) memberikan masukan, pertimbangan dan rekomendasi kepada sekolah yang antara lain berkenaan dengan RAPBS, dan (5) mendorong partisipasi masyarakat (termasuk orang tua murid/ siswa) dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, serta (6) melakukan kegiatan-kegiatan lain yang mendorong kebermutuan penyelenggaraan pendidikan. Bila peran dan fungsi komite sekolah bisa dijalankan sesuai dengan Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002, komite sekolah akan lebih powerful dalam rangka penyelenggaraan pendidikan yang bermutu akan terwujud, dana tersedia dengan cara legal, 191

207 Maungkai Budaya transparansi dan akuntabilitas terjaga, komitmen sekolah dan masyarakat terbangun, dan segala keluhan terhadap penyimpangan penggunaan dana APBS, dapat diminimalisir, syukur bila dapat dieliminir. Hal terpenting, bila komite sekolah lebih powerful, ia bisa memainkan peran dan mengemban fungsinya secara maksimal. Selama ini, apakah komite itu powerful or powerless? Bila ia powerless, pihak sekolah menjadi pihak yang powerful. Sehingga, komite sekolah hanya sebuah badan hidup tapi tanpa roh, dengan fungsi sebagai pemberi legitimasi kebijakan program sekolah? Namun, adakah di dunia ini yang ideal atau bahkan sangat ideal? Seringkali, antara harapan terhadap komite sekolah tidak berbanding lurus dengan kenyataan. Hanya dengan komitmen kepala sekolah dan jajarannya dalam menjalankan proses persekolahan berdasar ketentuan tersebut, harapan terhadap komite sekolah dan kenyataan dapat berbanding lurus. Tentang Studi Banding Studi banding dalam artikel saya adalah studi banding dalam rangka pemenuhan biaya penyelenggaraan pendidikan oleh pihak pemerintah, masyarakat dan orang tua murid. Namun, studi banding yang saya maksudkan, oleh Umar, ditarik sedemikian jauh sehingga secara implisit memasuki ranah yang berbeda. Ranah yang dimasuki Umar, konon kabarnya, telah ada klarifikasi. Itu sah-sah saja. Tapi bagi saya, itu bagai ungkapan lain nang gatal, lain nang digaruk. Luput jadinya. Terlepas dari itu, saya salut dengan adik kita bernama Umar ini. You are a creative and critical young man. Go on your writing habit. I hope you become a good writer in the future. Bagaimana menurut Anda? 192

208 MENGAPA ADA PELARANGAN? P elarangan diberlakukan oleh pihak berwenang tentu didasarkan pada pertimbangan yang matang. Pelarangan dimunculkan ke permukaan bila sesuatu hal dilakukan akan menimbulkan kerugian, ketidaknyamanan, penderitaan, keberatan atau sejenisnya pada pihak lain yang nota bene masyarakat luas. Penjualan buku dan penarikan pungutan yang ditengarahi tidak wajar dan rasional di sekolah, akhir-akhir ini, menjadi bahan pembicaraan sejumlah kalangan dan menjadi obyek pelarangan oleh pihak berwenang. Tulisan ini menyorot dua obyek pelarangan. Ulasannya sebagai berikut: Penjualan Buku Teks Langkah-langkah pihak berwenang untuk menertibkan pungutan di sekolah perlu dihormati. Sebagai warga negara yang baik, kita sudah semestinya sami na wa atha na. Bila pihak berwenang melakukan pelarangan, tentu pihaknya telah mempertimbangkannya secara matang. Sebagaimana telah ditengarahi, bahwa ada tindakan menyimpang terjadi selama ini. Satu tindakan yang diduga menyimpang adalah penjualan buku pelajaran oleh sekolah/guru. Mengapa menjadi agen penjualan buku-buku pelajaran dilarang? Memang buku pelajaran itu penting dalam kegiatan belajar mengajar. Bahkan bagi saya, kepemilikan (atau paling tidak, penyediaan) buku pelajaran oleh si murid itu sebuah keharusan. Bila kita menginginkan anak-anak kita memiliki penguasaan ilmu dan teknologi yang memadai, seyogyanya kita menyediakan bahan-bahan bacaan yang tidak hanya buku-buku 193

209 Maungkai Budaya pelajaran. Namun, kita semestinya tahu, bahwa tidak semua wali murid itu berkemampuan membeli buku pelajaran dan bahan-bahan bacaan lain. Sehingga, bila tiap awal tahun setiap murid wajib membeli buku-buku pelajaran dengan total harga 200 ribu rupiah hingga 500 ribu rupiah, banyak wali murid tak sanggup. Bila guru mewajibkan murid untuk membawa buku pelajaran ketika belajar, tidak banyak menimbulkan masalah kelak. Sebab, para murid akan mensiasatinya dengan cara saling pinjam. Pada awal bulan, mereka masing-masing bisa membeli satu buku mata pelajaran tertentu (misal, Bahasa Indonesia) dan yang lain menyediakan buku pelajaran lain (misal, Bahasa Inggris). Mereka saling pinjam buku antara satu dengan yang lain. Dan, saling pinjam bisa dilakukan dengan kawan di satu sekolah atau bila mungkin dengan kawan antar sekolah, sepanjang buku yang digunakan sama. Masalah akan timbul bila sekolah/guru mewajibkan muridmuridnya untuk membeli buku-buku pelajaran melalui pihaknya. Mungkin saja, pihaknya tak mau tahu apakah si murid/ wali murid itu punya duit atau tidak, atau tak mau tahu apakah si murid itu sudah punya buku (bekas kakak atau kawannya) atau belum. Cara yang terindikasi pemaksaan ini dilarang. Dalam kaitan ini, sekolah/ guru hendaknya memberikan pandangan sedemikian rupa kepada murid, sehingga dia mempunyai pandangan bahwa memiliki buku itu suatu keharusan bagi dirinya. Jadi, yang mengharuskan itu adalah si murid terhadap dirinya (mungkin dengan kalimat: saya harus punya buku); bukan si guru terhadap muridnya (kira-kira dengan kalimat: kamu harus punya buku, bila kamu tidak punya buku, bapak/ibu tak mau mengajar kamu). Ada dua keharusan. Keharusan yang pertama itu bagus dan tanpa resiko; dan keharusan kedua hendaknya tidak dilakukan karena riskan dan dapat menimbulkan keluhan serta melanggar ketentuan. Ketentuan dimaksud tertuang dalam pasal 8 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 tahun 2005, sebagai berikut: (1) Guru dapat menganjurkan kepada peserta didik yang mampu untuk memiliki buku teks pelajaran, (2) Anjuran sebagaimana pada ayat 1 bersifat tidak memaksa atau tidak mewajibkan, (3) Untuk memiliki buku teks pelajaran peserta didik atau orang tua/walinya membelinya di pasar, dan (4) Untuk membantu peserta didik yang tidak mampu 194

210 Mengapa Ada Pelarangan? memiliki akses ke buku teks pelajaran, satuan pendidikan wajib menyediakan paling sedikit 10 (sepuluh) eksemplar buku teks pelajaran pada setiap kelas, untuk dijadikan koleksi perpustakaannya, serta pasal 9: Guru, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, atau komite sekolah tidak dibenarkan melakukan penjualan buku kepada peserta didik. Pungutan Biaya Pendidikan Ketika terlibat dalam pembicaraan tentang pendidikan gratis, saya ditanya: Apakah anda termasuk orang yang tidak setuju dengan pendidikan gratis?. Jawab saya, prinsipnya saya setuju. Apalagi, segalanya gratis alias tak dipungut biaya apapun, mulai uang ini dan itu, seragam dan atribut sekolah, buku teks pelajaran dan lain-lain. Syukur-syukur kalau diberi uang saku dan makan siang di sekolah. Kalau begini, beban saya akan menjadi ringan dalam membiayai anak-anak saya. Cukup menyediakan sarapan pagi dan makan malam, dan membelikan beberapa lembar pakaian untuk di rumah dan jalan-jalan. Namun, mungkinkah anak kita mau pinter melalui cara seperti itu? Hal itu bisa terjadi bila negara ini kaya raya dan banyak dana, serta mampu mendanai semua biaya penyelenggaraan pendidikan. Saya tak tahu apakah ada negara di dunia ini menggratiskan biaya pendidikan anak bangsanya? Kalau ada, berbahagialah anak bangsa di negara itu. Pendidikan gratis? Mungkinkah? Dan, itu wacana atau program? Terhadap pendidikan gratis (apakah itu wacana atau program), sejumlah kawan menanggapi secara beragam. Namun, walau tanggapan itu beragam, tampaknya dapat disimpulkan, bahwa pendidikan gratis itu tak mungkin. Kawan yang satu memberikan contoh. Akibat kebijakan pendidikan (baca: sekolah) gratis, ada sebuah sekolah tak mampu membayar biaya pemakaian listrik sekian bulan, dan kemudian aliran akan diputus oleh PLN. Kawan yang lain, mengatakan, pendidikan gratis itu mungkin terjadi bila dana operasional tersedia. Memimjam pandangan Alimun Hakim, pendidikan gratis itu hanya omong kosong (Radar Banjarmasin, 26 Juli 2008). Lalu siapa pihak penyedia dana, kalau pendidikan itu gratis? Konon kabarnya, ada sejumlah sumber dana untuk penyelenggaran pendidikan. Ada macam-macam hibah, salah 195

211 Maungkai Budaya satunya bloc grant namanya, dengan jumlah ratusan jutaan rupiah, tentu saja, di samping dana dari negara. Komite sekolah diminta ikut mengesahkan proposal yang diajukan sekolah, namun tak tahu penggunaan dana secara persisnya, karena memang tidak ada laporan diperuntukkan padanya. Konon, katanya, komite sekolah terbatas kewenangannya. Tak boleh tahu urusan internal sekolahnya. Setelah ada masalah menerpa, komite sekolah terbawa-bawa. Ikut dimintai keterangan atas dugaan penyimpangan prosedur penggalangan dan kemungkinan penyalahgunaan dana. Permintaan keterangan oleh pihak berwenang, sebenarnya, bukan menjadi persoalan serius bagi komite sekolah dari sekolah diwakilinya. Namun, hal ini mengakibatkan terganggunya kegiatan dan pikiran sang pengarus komite sekolah yang nota bene sebagai pelayan publik dalam rangka ikut mencerdaskan anak bangsa, di tempat berbeda, sebagai guru atau dosen, misalnya. Ironis sekali, bila pihak sekolah diam seribu bahasa. Apa jadinya, bila komite sekolah tidak diberi kewenangan yang seimbang atau lebih kuat dari kepala sekolahnya. Sebetulnya, penggalangan dana dari wali murid itu sah adanya. Asal didasarkan pada aturan yang ada. Coba lihat dan baca lagi Keputusan Menteri Pendidikan Nasional, nomor 044/U/2002. Di sana jelas tertera, komite sekolah boleh menggalang dana dari masyarakat, khususnya, wali murid atau siswa melalui mekanisme musyawarah atau sidang paripurna. Soal penggunaan dana yang dikumpulkannya, tentu menjadi tanggung penuh kepala sekolah dan jajarannya. Komite Sekolah harus kuat, independen Selama ini komite sekolah ditetapkan oleh kepala sekolah, berdasarkan hasil musyawarah antara wali murid dengan mediator sekolah yang bersangkutan. Sehingga, kedudukan komite sekolah seolah subordinate (di bawah) sekolah, khususnya, kepala sekolah. Hal ini menyebabkan komite sekolah tak memiliki power yang memadai dalam peran dan fungsinya sebagai institusi legal (berdasarkan pada Kepmendiknas, nomor 044/U/2002 dan diperkuat lagi oleh PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Berdasar Keputusan Menteri Pendidikan tersebut, komite sekolah memiliki sejumlah peran dan mengemban sejumlah fungsi, yang 196

212 Mengapa Ada Pelarangan? antara lain: memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada sekolah (satuan pendidikan) yang antara lain mengenai RAPBS (Rencana Anggaran dan Belanja Sekolah); mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan; dan menggalang dana masyarakat (tentunya, termasuk orang tua/wali murid) dalam rangka penyelenggaraan pendidikan. Kekuatan komite sekolah itu dipertegas lagi dengan PP Nomor 19 Tahun 2005, khususnya Bab VIII Standar Pengelolaan, khususnya lagi, pasal 51 ayat 2, pasal 52 ayat 1 dan 3, pasal 53 ayat 3, dan pasal 54 ayat 2 dan 4. Dalam artikel ini, saya kutip pasal 54 ayat 4, yang berbunyi: Pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dipertanggungjawabkan oleh kepala satuan pendidikan kepada rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah. Dalam kaitan dengan penggalangan dana dan penyelenggaraan pendidikan dalam arti seluas-luasnya, yang telah direkomendasikan oleh komite sekolah, berdasarkan ketentuan itu, kepala sekolah menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas pengelolaannya. Sebenarnya, komite sekolah itu harus kuat dan independen. Agar komite sekolah itu kuat dan independen, maka ia harus dikukuhkan dengan surat keputusan institusi yang lebih tinggi dari sekolah. Bisa Dinas Pendidikan atau Walikota. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak (khususnya, sekolah, komite sekolah dan pihak-pihak terkait). Mari kita jalin komunikasi sebagai upaya menyelesaikan persoalan kita dalam penyelenggaraan pendidikan di negeri ini, khususnya di kota ini, Kota Banjarmasin. Mari kita cari win-win solution sehingga tak ada pihak merasa kalah dan menang. Kepala sekolah dan bapak/ibu guru, tetap semangatlah dalam mendidik anak bangsa ini. Jangan ala kadarnya walau insentif anda dipangkas sekalipun. Melalui pian-pian jua anak bangsa ini pintar dan beberapa dari mereka menjadi pemimpin di negeri ini. Bapak/ibu guru, pahlawanku. Berkat anda juga, aku jadi dosen..he he he; komite sekolah, jangan mundur; dan pihak berwenang, mohon jadi motivator. Bila saya salah, mohon diluruskan; bila saya khilaf, mohon dimaafkan. Amin. 197

213 Maungkai Budaya UNIVERSITAS PALANGKA RAYA, SELANGKAH LEBIH MAJU? (Catatan Kunjungan Mahasiswa Unpar di FKIP Unlam) T anggal 7-8 November 2008, rombongan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Unpar Palangkarya, berada di Banjarmasin dalam rangka studi banding dengan program studi yang sama di FKIP Unlam Banjarmasin. Didampingi oleh Ketua Prodi, Natalina Asi, M.A., secara kelembagaan, mereka menjadi tamu fakultas atau bahkan universitas. Oleh karena mereka berasal dari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, maka Program Studi yang sama diminta oleh Dekan FKIP Unlam untuk mempersiapkan penyambutan dan menjadi partner studi banding mereka. Banyak acara yang ditawarkan tidak dapat dipenuhi. Sebab, selain rentang waktu yang sempit (hanya satu minggu), dana sangat terbatas menjadi alat pembenarannya. Tiga agenda penting: diskusi program kerja HIMA. mata kuliah dan perkuliahan antara dua prodi sejenis, dan campus tour dapat dipenuhi oleh tuan rumah. Acara studi banding itu dibuka oleh Dekan FKIP Unlam; kegiatan selanjutnya diladeni oleh program studi, tanpa kehadiran satupun pimpinan fakultas. Sebab, pada waktu yang sama, dekan menjadi salah pembicara kunci dalam seminar sertifikasi guru, sementara para pembantu dekan entah kemana. Barangkali, mereka punya kegiatan lain yang maha penting dan tidak bisa diganggu gugat. Enam Doktor? Dalam diskusi terungkap, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Unpar, Palangka Raya memili 28 dosen. Enam di antaranya, bergelar doktor (S-3). Tak lama lagi, ujar Natalina Asi, 2 dosennya akan menyelesaikan pendidikan doktor. Bila dalam waktu dekat, kedua 198

214 Universitas Palangka Raya, Selangkah Lebih Maju? dosen ini lulus, prodi yang dipimpinnya punya 8 doktor. Sementara Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unlam memiliki 22 dosen (empat di antaranya, berstatus DPK) dengan pendidikan tertinggi, S2 (magister). Di Unpar, sudah ada Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Inggris; di Unlam, program yang sama, belum ada. Dari jumlah dosen, kualifikasi dosen, dan kepemilikan program S-2, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Unpar jelas lebih unggul. Ketika saya ajukan sejumlah pertanyaan kepada Natalina Asi, kiat-kiat apa yang dilakukan kawan-kawan di Unpar sehingga jumlah dosennya cukup ideal dan fakultas/universitas mampu menyekolahkan mereka sehingga mempunyai 6 doktor? Pertanyaan ini tidak dijawab secara memuaskan. Jawaban saya harapkan adalah jawaban yang terkait dengan seberapa jauh keterlibatan pihak fakultas/universitas dan pemerintah setempat dalam studi lanjut para dosennya. Katanya, tidak ada kiat-kiat istimewa. Dari segi finansial, mereka sama saja dengan kawan-kawan di Unlam. Yang jelas, dalam diri mereka ada motivasi yang tinggi dan rajin mencari peluang untuk bisa studi lanjut hingga mencapai derajat doktor. Tentang sejauh mana keterlibatan lembaga dan pemerintah setempat dalam hal studi lanjut itu, dia tidak memberikan penjelasan sama sekali. Saya hanya menduga, keberhasilan FKIP Unpar itu tak lepas dari upaya lembaga di tingkat fakultas/universitas dan mendapat dukungan dari pemerintah setempat. Selain pemberian stimulasi dan motivasi, pihak lembaga, saya yakin, memberikan bantuan yang memadai. Di FKIP Unlam? Berkait dengan ini, saya teringat, ada sejumlah kawan di FKIP yang sedang studi lanjut ke S-2 dan S-3. Beberapa tahun lalu, mereka mengeluh, salah satunya, kepada saya. Pasalnya? Setelah enam bulan mereka sekolah, tunjungan fungsional dipotong atau tidak dibayarkan. Memang, kata saya, menurut aturan yang ada, pemotongan itu benar adanya dan nanti diganti dengan tunjungan fungsional. Salah satu dari mereka berkilah, aturan ya aturan; kalau menyangkut urusan hidup, kan enggak bisa ditunda. Waduh, kalau begitu saya tak bisa ngomong. 199

215 Maungkai Budaya Lalu, dia mengadukan halnya kepada salah satu pejabat di lingkungan FKIP Unlam Banjarmasin. Apa komentar beliau? Komentar yang tidak disangka meluncur: Yang menyuruh sekolah siapa?. Komentar semacam ini, menurut saya, tak selayaknya terlontar. Lembaga yang bernama fakultas itu perlu tenaga dosen yang S-2 dan kalau perlu S-3. Coba bayangkan, bila FKIP Unlam tak cukup dosen yang S-2 dan S-3? Pertama, akreditasi kategori baik mungkin saja tak tergapai. Kedua, proyek sertifikasi guru tak bakal singgah di FKIP Unlam (sebab, usulan bakal calon asesor untuk masing-masing program studi, setidak-tidaknya: 1 doktor dan selebihnya bisa magister; bagi prodi yang tak punya doktor, mau tak mau harus pinjam ke prodi lain). Ketiga, tanpa dosen S-2/S-3 pamor lembaga akan redup dan lama kelamaan padam. Hal ini jangan sampai terjadi. Hendaknya, dosen yang masih S-1 difasilitasi agar bisa bisa meneruskan ke S-2; dan yang sudah S-2, ke S-3. Kalaupun tak bisa membantu dalam urusan finansialnya, pemberian doa restu dan motivasi sudah lumayan. Komentar sejenis, ke depannya, hendaknya tak terjadi lagi. Dalam bincang tak resmi Dalam perbincangan tidak resmi, usai rapat pemilihan Ketua Jurusan PBS FKIP Unlam, sejumlah dosen yang telah doktor, menyarankan dosen-dosen yang masih S2 untuk melanjutkan studi ke program doktor. Saran memang bagus, bahkan sangat bagus. Banyak persoalan yang menghantui kawan-kawan. Urusan keluarga, biaya kuliah, aspek untung rugi menjadi bahan pertimbangan serius. Dekan FKIP Unlam, H.Ahmad Sofyan, memberikan dorongan dan akan memberikan bantuan dari fakultas. Namun, tak jelas bantuan dana itu diberikan dalam 1 tahun, 2 tahun atau sampai selesai studi. Tampaknya, keraguan masih saja menghinggapi mereka. Akan cukupkah biaya untuk bisa menyelesaikan program doktor? Sementara mereka tidak punya modal yang cukup, anak-anak masih perlu perhatian dan sebagainya. Tampaknya, mereka takut untuk melanjutkan studi bukan lantaran mereka takut beratnya studi, tetapi biaya besarlah yang menjadi biang keladinya. 200

216 Universitas Palangka Raya, Selangkah Lebih Maju? Kabar yang datang dari kawan-kawan yang sudah doktor, antara lain, menyebutkan bahwa setidak-tidaknya seorang calon doktor harus mempersiapkan diri dengan modal awal Rp 100 juta. Waduh, duit dari mana? Kalau bantuan dari fakultas hanya Rp 1 juta per tahun dan bea siswa (bila dapat) Rp 12 juta setahun. Rasanya, tidak akan sangguplah bila kita todak punya modal, paling tidak, Rp 50 juta. Saya sendiri akan berpikir dua belas kali. Apalagi anak saya melarang saya untuk sekolah. Katanya, Bapak enggak usah sekolah lagi. Saya saja yang sekolah sampai doktor. Mbah kakung (kakek) dulu, kan enggak sekolah tinggi, hanya lulus SD. Mending, saya saja yang sekolah lebih tinggi dari Bapak. Benar juga anak saya itu. Sebab, bapak saya dulu hanya lulus SD. Artinya, kalau anaknya sekolah, tamat SMP pun sudah bagus. Setingkat lebih tinggi dari bapak saya. Ah, sekolah doktor, bagi hanya, cukup berat. Tidak tahulah nanti. Kalau cukup modal dan tidak mengganggu sekolah anak saya, mudah-mudahan, saya berubah pikiran. Untuk apa sekolah doktor dan berhasil, tetapi anak saya terkalahkan? Apalagi, sampai jual ini dan jual itu hanya karena sudah terlanjur basah. Bagaimana menurut Anda? 201

217 Maungkai Budaya 202

218 Politik 203

219 Maungkai Budaya 204

220 DOMINASI D alam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar atau bahkan menggunakan kata-kata dominasi/ dominan, mayoritas, dan minoritas. Kata dominasi berasal dari bahasa Inggris domination yang berarti penguasaan, memiliki kekuasaan atau pengaruh. Kata sifat dari dominasi adalah dominan. Kelompok yang dominan bisa berimplikasi pada kolompok mayoritas, superioritas, kuat, berpengaruh atau sejenisnya; sedangkan kelompok yang tidak dominan bisa berimplikasi pada minoritas, inferioritas, lemah, tidak berpengaruh atau sejenisnya. Sekelompok orang bisa melakukan dominasi bila mereka dominan atas kolompok orang lainnya. Dominasi itu akan berarti positif bila pihak yang dominan dalam arti di atas, misalnya, memberikan perlindungan atau pengayoman kepada pihak yang lemah. Dominasi dalam Pandangan Islam Dalam syariah Agama Islam digariskan apa yang disebut dengan ibadah. Kata ibadah atau ibadat adalah kata benda yang berasal dari (kata kerja) bahasa Arab abada-ya badu yang berarti menyembah atau menghambahan diri kepada Allah SWT. Dalam bahasa Indonesia, kata itu menjadi ibadah, yang berarti pengabdian kepada Tuhan atau kegiatan untuk menunjukkan bakti kepada Tuhan, yang bukan hanya digunakan dalam agama Islam tetapi juga agama-agama lain. Bentuk kata kerja dari ibadah adalah beribadah atau melakukan ibadah. Dalam Islam, ibadah-ibadah yang dilandasai oleh shahadah atau kesaksian, bahwa Tiada Tuhan (yang wajib disembah) kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, adalah mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan puasa, dan menunaikan haji. 205

221 Maungkai Budaya Setiap ibadah dalam Islam, apakah itu shalat, membayar zakat, melaksanakan puasa, dan menunaikan haji, memiliki dua demensi. Pertama, kegiatan ibadah dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban atau penggilan Allah SWT, dalam rangka hablum minallah. Kedua, ibadah yang dilakukan oleh hamba Allah itu memiliki implikasi sosial. Dimensi kedua ini menyaran pada implikasi hablum minallah terhadap hablum minannas. Dalam dimensi kewajiban, ibadah shalat (lima waktu), membayar zakat, menjalankan puasa, dan menunaikan haji merupakan ibadah yang wajib hukumnya (fardlu ain); artinya setiap muslim wajib melaksanakan ibadah-ibadah itu, kecuali haji; ibadah haji wajib hukumnya bagi seorang muslim yang mampu untuk menunaikannya. Dalam ajaran Islam, ibadah shalat merupakan ibadah yang sangat penting. Karena sangat pentingnya shalat, maka shalat dipandang sebagai tiyang agama. Shalat, digariskan sebagai ibadah yang mampu mencegah umat muslim dari perbuatan keji dan munkar, memiliki dimensi sosial, antara lain, mendidik umat manusia untuk berlaku demokratis. Sewaktu melaksanakan ibadah shalat berjamaah di mushalla atau masjid, antar kaum muslimin tidak ada perbedaan; tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, bawahan dan atasan, kaum elit dan rakyat biasa dan sebagainya. Seseorang yang paling awal datang ke mushalla atau masjid untuk shalat berjamaah, dia memiliki hak untuk menempatkan diri pada barisan terdepan. Implikasi sosial lebih lanjut bisa dilihat bila seorang muslim kembali ke tengah-tengah masyarakat, dia akan mendahulukan atau memperhatikan hak orang lain ketimbang hak yang dimilikinya. Ini berarti bahwa dia tidak akan merasa menang sendiri; dia tidak akan merasa pintar sendiri; dia tidak akan merasa benar sendiri, dia rame ing gawe sepi ing pamrih (tidak melakukan korupsi dan manipulasi, karena dua perbuatan ini mengarah kepada pengambilan sesuatu yang bukan menjadi haknya), dan sebagainya. Demikian pula, ibadah puasa juga mendidik kaum muslimin untuk tidak berpurba sangka (prejudice), tidak melakukan pembedaan (discrimination), dan sejenisnya terhadap sesama umat manusia. Hal ini didasarkan pada salah satu unsur puasa adalah menahan lapar dan dahaga. Perasaan lapar dan dahaga merupakan masalah keseharian yang dihadapi oleh orang-orang miskin, namun bukan menjadi masalah 206

222 Dominasi bagi orang-orang berada. Pada tataran tertentu, seseorang yang berasal dari kelompok orang berada akan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudaranya yang berada di bawah garis kemiskinan, yaitu perasaan lapar dan dahaga. Hal ini, sebenarnya, mengajarkan pada umat manusia untuk tidak berpurbasangka, melakukan diskriminasi atau pembedaan terhadap sesama umat. Implikasi sosial yang dipancarkan oleh ibadah zakat bisa timbul dari hikmah ibadah puasa. Seperti diketehui dan dirasakan bahwa setiap orang yang berpuasa pasti mengalami rasa lapar dan dahaga. Dengan mengalami sendiri bagaimana rasanya lapar dan dahaga sewaktu berpuasa itu, maka orang-orang, katakanlah, dari kalangan kaya terlatih untuk merasakan derita lapar dan dahaga sebagaimana yang dialami oleh golongan fakir-miskin dalam hidup keseharian mereka. Ajaran ini diharapkan dapat menimbulkan rasa belas kasihan dan sifat penyantun si kaya terhadap si miskin. Pada waktu-waktu selepas puasa, diharapkan bahwa si kaya atas kemauannya sendiri akan selalu mengulurkan tangan, memberikan pertolongan dan bantuan baik secara material maupun non-material. Bantuan-bantuan itu bisa berupa infag, sedekah dan zakat (materi) dan nasihat, dorongan moril dan sejenisnya (non-materi). Dalam kehidupan bernegara, ajaran ini menggariskan kepada para pemegang kekuasaan untuk mengarahkan segala kebijakan (ekonomi, politik, dan sosial budaya, dan sebagainya) demi kepentingan orang banyak, khususnya orang miskin, wong cilik bukan demi kepentingan untuk mencari popularitas dalam rangka mempertahankan kekuasaan mereka. Implikasi sosial yang terpancar dalam ibadah haji, antara lain, adalah terciptanya persaudaraan sesama umat Islam dari seluruh pelosok dunia dan sekaligus merupakan syiar Islam yang luar biasa. Setiap musim haji tiba, sejumlah besar umat Islam yang berasal dari seluruh penjuru dunia berbondong-bondong ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Momen ibadah haji ini bisa dimanfaatkan sebagai syiar Islam dan sekaligus sebagai sarana untuk menjalin persaudaraan sesama muslim sedunia. Usai menunaikan ibadah haji, seorang muslim dapat memanfaatkan momen ibadah yang telah dilaksanakan itu sebagai titik tolak untuk mengembangkan tali persaudaraannya dengan sesama umat muslim, dengan umat sebangsa di tanah airnya secara lebih baik. 207

223 Maungkai Budaya Ibadah haji, sebagaimana dinyatakan oleh Ustadz Fauzan Abidin merupakan ibadah yang dimaksudkan untuk mensucikan diri dari: kotoran lahiriah, kotoran bathiniah, kotoran pikiran dan kotoran sosial. (Radar Banjarmasin, 31 Januari). Seorang muslim yang telah menunaikan ibadah haji berarti yang bersangkutan telah memenuhi lima rukun Islam. Dia adalah seorang muslim yang telah tersucikan dari segala kotoran sebagaimana dijelaskan oleh Ustadz tersebut. Bila ibadah dalam kerangka hablum minallah memiliki implikasi sosial (hablum minnas) yang positif, dan bila nilai-nilai baik yang terkandung di dalamnya terpateri secara kukuh dan terpadu dalam diri seorang muslim dan secara terus menerus diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka Insya Allah berarti dia adalah mukmin, muslim dan sekaligus muhsin. Dalam ajaran Islam, hubungan antar manusia (hablum minannas) yang terbimbing melalui ibadah (hablum minallah) telah diatur secara sangat rapi. Dalam kerangka hubungan antar manusia, ajaran Islam menggariskan pola persaudaraan sesama muslim (ukhuwah al- Islamiyah atas dasar al muslimu akhul muslim), persaudaraan sesama warga bangsa (ukhuwah al- wathaniyah), dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah al-basyariyah). Dalam hal ini, para mukminin, muslimin dan muhsinin yang telah menunaikan lima rukun Islam (bukan hanya rukun Islam ke lima) menjadi harapan kita semua untuk menjadi pelopor dalam mengemban ajaran Allah SWT, bahwa: Islam adalah rahmat bagi sekalian alam, yang di samping dengan tetap menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, secara sosial mereka akan senantiasa, antara lain, menjaga kelestarian, keselarasan, keharmonisan di muka bumi ini. Dominasi dalam arti positif, misalnya, dapat kita lihat dalam ajaran Islam di mana hubungan antar manusia (hablum minannas) telah diatur sedemikian rapinya sehingga dominasi pihak yang mayoritas, kuat, kaya, berpengaruh atau sejenisnya harus diupayakan menjadi hal yang positif dan diridhai oleh Allah S.W.T. Dalam pandangan Islam, orang atau kelompok orang yang dominan, kuat, kaya, atau berpengaruh bisa saja melakukan dominasi tetapi harus dalam kerangka untuk melindungi atau mengayomi pihak lain yang lemah. Orang kaya yang secara ekonomi dominan harus melindungi atau mengayomi pihak yang miskin dengan cara 208

224 Dominasi memberikan sedekah, santunan, zakat, pekerjaan atau sejenisnya. Dalam dunia kerja hubungan antara majikan dan buruh dalam ajaran Islam tidak berimplikasi pada dominasi majikan terhadap buruh, seperti yang diisyaratkan oleh sistem kelas model kapitalisme. Seperti diuraikan di atas, ajaran Islam menggariskan pola persaudaraan sesama muslim, persaudaraan sesama warga bangsa, dan persaudaraan sesama manusia. Dengan demikian jikalau kaum muslimin menjadi kekuatan yang dominan maka tidak ada alasan bagi mereka untuk melakukan penindasan, penekanan, intimidasi, perampasan hak atau sejenisnya terhadap kelompok lain yang lemah atau minoritas. Sebab, ajaran Islam menunjukkan bahwa semua umat manusia di bumi ini, tanpa memandang rasa, suku dan agama, adalah saudara. Dalam pandangan Islam, jikalau terjadi dominasi yang mengarah pada penindasan, intimidasi, pemaksaan, perampasan hak dan sejenisnya, berarti di sana terjadi pula pengingkaran terhadap ajaran Islam bahwa: Islam adalah rahmat bagi sekalian alam, dan terhadap hakikat manusia sebagai Allah S.W.T, yang antara lain untuk menjaga kelestarian, keselarasan, keharmonisan di muka bumi ini. Dominasi di Amerika Dalam suatu negara di mana masyarakatnya heterogen atau beragam apakah dalam hal etnis, ras, agama, kebudayaan atau dalam hal-hal lainnya, mau tidak tidak mau, pasti menghadapi sejumlah persoalan akibat dari keberagaman itu. Amerika Serikat, suatu negara besar, misalnya, yang berlatar belakang keberagaman ras (ada tiga ras besar di sana: putih, merah, dan hitam), etnis, agama (aliran agama), dan kebudayaan secara historis terlihat tersibukkan oleh persoalan akibat dari keberagam itu. Warga negara ras kulit putih memegang dominasi di sana. Dominasi bisa berimplikasi negatif bila pihak yang dominan melakukan penindasan, penekanan, perampasan hak atau sejenisnya terhadap pihak yang lemah atau minor. Banyak contoh dominasi semacam ini muncul ke permukaan. Secara historis, misalnya, sebagian besar orang-orang Amerika kulit hitam adalah bekas budak. Ketika mereka menjadi orang-orang bebas (freedmen), mereka dipandang sebagai bermartabat rendah (inferior) dan tidak 209

225 Maungkai Budaya layak untuk diposisikan sederajat dengan orang-orang kulit putih. Orang-orang kulit putih memandang diri mereka sebagai superior dan orang-orang kulit hitam sebagai inferior. Di Amerika pernah terjadi atau muncul dominasi kelompok orang Amerika kulit putih terhadap kelompok orang Amerika kulit hitam, yang berwujud purbasangka (prejudice), diskriminasi (discrimination), dan pemisahan (segregation), pencabutan hak pilih (disfranchisement), intimidasi (intimidation), hukuman mati tanpa proses hukum (lynching) dan tindak kekerasan lainnya. Dominasi kelompok orang Amerika kulit putih merupakan upaya untuk mempertahankan superioritas mereka dan inferioritas kelompok orang Amerika kulit hitam. Di bawah dominasi itu, orang-orang Amerika kulit hitam menjadi orang-orang yang tertindas (the oppressed people) dan diperlakukan secara tidak tidak adil; mereka dianggap rendah martabatnya, dan dalam segala aspek kehidupan mereka berhadapan dengan diskriminasi atau pembedaan, serta sering terjadi mereka dipisahtempatkan ke pemukiman khusus untuk orang-orang kulit hitam (ghetto). Dengan dominasi itu pula, mereka menghadapi banyak masalah atau kesulitan dalam dunia pendidikan, pekerjaan, hukum/pelaksanaan hukum, partisipasi politik, dan dalam banyak aspek kehidupan sosial-budaya lainnya. Untuk mendobrak dominasi kulit putih itu amatlah berat bagi orang-orang Amerika kulit hitam. Sebab, pihak kulit putih dengan berbagai cara berupaya agar pihak kulit hitam tetap berada pada posisi inferioritas sehingga segala upaya untuk memperoleh persamaan derajat yang dilakukan oleh pihak kulit hitam ditepis habis-habisan, kalau perlu dengan kekerasan. Sebetulnya, dominasi orang kulit terhadap orang kulit hitam seperti terurai di atas merupakan bentuk pengingkaran terhadap harapan para pendiri negara Amerika Serikat sebagaimana tersurat dalam Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) negera itu, yaitu bahwa all men are created equal (semua manusia diciptakan sederajat atau sama). Dominasi Mayoritas terhadap Minoritas Seperti halnya masyarakat Amerika, masyarakat Indonesia pun juga dikenal sebagai masyarakat yang mejemuk, beragam atau 210

226 Dominasi heterogen. Kita hidup bersama dalam keberagaman. Keberagaman itu bisa terlihat dari keberagaman etnis, kebudayaan, agama, dan lain-lain. Dalam masyarakat yang beragam (pluralistik) sering terjadi kelompok tertentu merasa lebih tinggi dari kelompok yang lain. Kelompok-kelompok yang sering memperlihatkan dikotomi, misalnya, kelompok mayoritas-minoritas, kelompok kuat-lemah, kelompok kaya-miskin, dan sebagainya. Dalam kondisi semacam ini dominasi yang negatif sifatnya mungkin saja terjadi. Bahaya dominasi negatif yang lain bisa saja muncul bila dominasi itu didasarkan pada aspek suara mayoritas. Suara mayoritas belum tentu memiliki implikasi pada kebenaran. Sekedar contoh, keputusan sesaat yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menangkap pencuri sepeda motor di mana mayoritas atau bahkan seluruh orang yang ada di tempat kejadian itu menghendaki agar si pencuri itu dibunuh dan dibakar. Tindakan brutal dan keji yang mirip dengan lynching (hukuman mati secara kejam tanpa proses hukum/ pengadilan di Amerika, akhir abad 19 sampai menjelang pertengahan abad 20) ini jelas tidak bisa dibenarkan karena melanggar hukum. Massa dalam situasi dan kondisi apapun tidak diperbolehkan main hakim sendiri walaupun mayoritas dari mereka mendukungnya. Berbicara tentang mayoritas dan minoritas, tidak ada salahnya kita melihat kembali sebuah kisah pewayangan. Konon, Negeri Alengka Diraja yang diperintah oleh Rahwana, raja yang angkara murka. Dia ingin memperistri Dewi Shinta yang telah diperistri Shri Rama. Singkat cerita, Shri Rama dibantu oleh pasukan kera berencana menyerang Alengka. Sidang dalam rangka untuk membahas rencana menghadapi serangan dari bala tentara Shri Rama pun digelar. Ketika sidang itu berlangsung, ada satu orang yang adik kandung sang raja, Bambang Wibisana, menolak aksi penyerbuan terhadap pasukan Shri Rama dan meminta sang raja untuk mengembalikan Dewi Shinta kepada suaminya secara damai. Sebab, dia tahu bahwa tindakan sang raja adalah tidak benar, tidak bermoral, dan melanggar hukum. Alkisah, dia melakukan walk-out, meninggalkan sidang dan lalu bergabung dengan kelompok pengemban nilai-nilai kebenaran. 211

227 Maungkai Budaya Pesan moral dari dua peristiwa di atas mengisyaratkan bahwa suara mayoritas bisa dimanfaatkan untuk pembenaran hal yang bathil, inkonstitusional dan sejenisnya oleh kelompok yang dominan (mayoritas). Bambang Wibisana yang minoritas merupakan cermin kebenaran. Rahwana yang didukung oleh suara mayoritas adalah cermin kezaliman/kebathilan. Kebenaran yang terpancar dari diri si Bambang Wibasana tidak diindahkan oleh yang mayoritas. Suara mayoritas ala Negeri Alengka diselimuti oleh keangkaramurkaan dan keserakahan. Dalam situasi Indonesia, jikalau kelompok tertentu mampu melakukan dominasi dan lalu mewujudkannya dalam bentuk penindasan, intimidasi, perampasan hak, akal-akalan, kolusikorupsi-nepotisme, purbangsangka (prejudice), diskriminasi, pemisahan (segregation), pengusiran dan sejenisnya merupakan perwujudan pengingkaran kita terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, dan sumber hukum dari segala sumber hukum. Untuk direnungkan Dengan demikian, alangkah indahnya, alangkah bijaksananya kalau kita berpikir, berbicara dan bertindak dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bukan atas dasar suara mayoritas yang diyakini terdapat celah-celah ketidakbenaran, ketidakadilan, inkonstitusional dan sejenisnya dan diyakini dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu demi kepentingan pribadi, kelompok, atau sejenisnya yang sifatnya sesaat, tetapi atas dasar kebenaran, keadilan dan keterpihakan pada rakyat banyak, yang bisa diterima oleh semua pihak dan diradhai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa serta dalam kerangka untuk membangun bangsa dan negara. Bila kita berada dalam lingkaran mayoritas dan tahu keangkaramurkaan dan ketidakadilan ada di dalamnya, hendaknya kita amalkan ajaran: Katakan yang benar itu benar walau anda merasa pahit ketika mengatakannya. Mari kita tegakkan kebenaran dan keadilan pada segala lini kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Walaupun dalam kondisi bangsa yang majemuk (pluralistik), semangat Bhineka Tuggal Ika kita jangan sampai pudar. Wallahu a lam 212

228 PEMILU SEBENTAR LAGI! P emilu dikatakan sebagai titik tolak berjalannya mekanisme kepemimpinan nasional lima tahunan. Dengan Pemilu ini kita yakini bahwa mekanisme kepemimpinan nasional telah dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Pemilu yang lima tahun sekali dilaksanakan bisa dikatakan sebagai alat untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negera demokrasi. Pemilu selalu saja dikatakan sebagai penuh rekayasa politik yang penuh kecurangan, akal-akalan, intimidasi atau sejenisnya untuk kepentingan kelompok penguasa. Kesan yang saya tangkap dari sejumlah anggota masyarakat, bahwa di samping pemerintah Orde Baru mengobok-obok partai politik peserta pemilu ia juga banyak melakukan rekayasa politik dalam pelaksanaan Pemilu itu sendiri Sebagai contoh, elemen-elemen panitia Pemilu mulai tingkat atas (KPU pusat) sampai dengan tingkat bawah (Panitia Pemungutan Suara) berasal dari orang-orang pendukung salah satu kontestan Pemilu. Mereka semua diyakini memiliki kecenderungan membela (untuk memenangkan) kontestan tersebut. Di sinilah, banyak orang mensinyalir bahwa mereka melakukan pelanggaran, penyelewenangan, atau manipulasi suara atau sejenisnya. Diakui atau tidak, hal ini masih membekas dalam diri kebanyakan rakyat Indonesia. Tapi, itu dulu. Pada Pemilihan Umum mendatang (2004), tampaknya KPU tidak banyak disorot dalam kaitan dengan pelanggaran, 213

229 Maungkai Budaya penyelewenangan, atau manipulasi suara atau sejenisnya. Dari sekarang telah tampak bahwa pemilu tersebut akan berjalan secara jujur dan adil. KPU sebagai salah satu kunci keberhasilan pemilu dituntut untuk bekerja secara profesional demi mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap keseluruhan proses pelaksanaan pemilu itu sendiri. Namun demikian, demi perbaikan dalam waktu yang pendek ini (lebih kurang satu bulan), KPU Kabupaten Barito Kuala, khususnya, perlu dikritisi. Pada tanggal Februari 2004, saya dan sejumlah anggota masyarakat Kelurahan Handil Bakti mengikuti acara sosialisasi tentang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Barito Kuala. Konon, semua kegiatan KPU (khususnya KPU Kabupaten Barito Kuala), termasuk sosialisasi tentang pelaksanaan Pemilu, telah terjadwal rapi. Namun, tampaknya, setidak-tidaknya menurut kesan yang sasya tangkap, kegiatan KPU Kabupaten Barito Kuala tidak terencana secara rapi. Buktinya? Sekedar contohnya: pertama, sosialisasi itu direncanakan pada hari Sabtu, tanggal 21 Februari 2004, pukul 14.00, namun undangan baru saya terima pada hari, tanggal, dan pukul yang sama. Kedua, fasilitator KPU tampak kurang siap dan hanya menyiapkan perlengkapan ala kadarnya. Ketiga, saya dan enam orang kawan diusulkan oleh Ketua RT untuk menjadi KPPS. Jangankan diberi Surat Penunjukan, diberi tahu saja tidak. Keempat, kawan saya yang menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) telah diberi buku pedoman; sementara kami yang, konon, diusulkan menjadi KPPS (yang kegiatannya diawasi oleh Panwaslu) belum diberi apa-apa kecuali handout presentasi fasilitator dari KPU. 214 *** Sistem Pemilu 2004 sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Dalam Pemilu-pemilu sebelum ini para calon pemilih hanya mencoblos tanda gambar; sebagian atau bahkan mereka semua tidak menghiraukan calon-calon anggota legislatif yang ada di bawah tanda gambar itu; dan asal mereka telah fanatik kepada salah kontestan Pemilu, mereka pilih atau cobloslah tanda gambarnya. Namun, sekarang mereka bisa mencoblos tanda gambar saja, dengan ketentuan suara mereka tertuju kepada calon nomor urut 1 (satu); dan mereka bisa mencoblos tanda gambar dan nama

230 Pemilu Sebentar Lagi! calon yang dihendaki. Jika mereka hanya memilih atau mencoblos nama calon, maka suara mereka tidaklah sah atau batal. Dalam kaitan ini saya mencoba untuk memberikan ilustrasi tentang karakter para calon pemilih pada Pemilu mendatang. Pertama, tetap ada calon pemilih yang hanya akan memilih tanda gambar partai saja. Hal ini didasarkan pada fanatisme mereka yang telah tertanam kuat mulai Pemilu-Pemilu sebelumnya. Oleh karena itu, mereka mungkin saja tidak menghiraukan siapa calon legislatif yang mereka pilih. Bagi mereka, hal yang penting adalah bahwa suara mereka sah dan tersalur pada partai idola mereka. Kedua, ada calon pemilih yang memilih tanda gambar partai berikut nama calon legislatifnya. Hal ini didasarkan pada fanatisme terhadap partai dan simpatisme terhadap calon tertentu. Sebagai konsekuensinya, bila pemilih dengan karakter semacam ini banyak yang memberikan suaranya kepada salah satu calon legislatif dari partai tertentu (kendati dia berada pada nomor bawah), maka mereka akan mengantarkan dia dan calon legislatif nomor urut 1 (satu) untuk menjadi anggota legislatif jika jumlah suara mereka melebihi quota yang ditentukan. Namun, bila jumlah suara mereka tidak memenuhi quota yang ditentukan (katakan, kurang 1 (satu) suara) berarti mereka harus rela menyerahkan suara mereka kepada calon legislatif yang sebenarnya tidak mereka pilih. Bila penyerahan suara ini terjadi (dan mungkin saja terjadi), maka bersama-sama calon yang dipilihnya, pemilih dengan karakter ini akan kecewa. Demokratiskah ketentuan semacam ini? Ketiga, ada calon pemilih yang cenderung untuk memilih menjadi GOLPUT. Banyak sinyalem, bahwa terhadap pelaksanaan Pemilu pada era sekarang ini, banyak anggota masyarakat bersikap apatis, tidak percaya dan tidak ingin melibatkan diri dalam kegiatan politik. Dengan perkataan lain, mereka enggan untuk memberikan hak suara mereka; mereka cenderung memilih (dalam istilah sekarang) menjadi GOLPUT. Kepanjangan dari apa GOLPUT itupun, saya tidak tahu, apakah Golongan Putih atau Golongan Putus asa. Terhadap GOLPUT itu, dulu, pernah akan dibuatkan undangundang. Intinya, mereka akan diberi sanksi. Bagaimanapun juga, GOLPUT itu perlu disikapi, namum bukan dengan cara diberi sanksi. 215

231 Maungkai Budaya Sebab, mengikuti Pemilu itu hak. Tentu, akan dipandang aneh bila orang yang tidak menggunakan haknya, lalu diberi sanksi. Memang tidak mudah untuk mengembalikan kepercayaan semua lapisan masyarakat terhadap pelaksanaan Pemilu kita. *** Sebagai penutup tulisan ini, saya kira ada tiga hal yang patut kita renungkan. Pertama, sebagai warga negara Indonesia yang baik, kita hendaknya berperan serta dalam pem-bangunan, termasuk pembangunan di bidang politik, dengan cara menggunakan hak pilih secara benar, mensukseskan, dan menerima segala hasil Pemilu. Kedua, bila kita sebagai penyelenggara Pemilu, hendaknya kita hendaknya bekerja secara profesional (tidak emosional), terbuka (bagi krtitikan), jujur dan transparan. Bagaimana menurut Anda? 216

232 KPU KALSEL MUSTI SOLID D alam dunia pewayangan, konon, Negeri Amarta memiliki pemimpin yang bernama Yudhistira. Dia adalah tokoh tertua dari lima bersaudara. Kenapa dia dipilih menjadi pemimpin negeri itu? Bukan Bima, Arjuna, Sadewa atau Nakula? Apa karena dia yang tertua? Alkisah, dia itu dikarakterisasikan sebagai tokoh yang secara fisik lemah dan kurang terampil menggunakan senjata. Lalu, tokoh yang semacam ini kog dijadikan pemimpin? Padahal, baik Bima maupun Arjuna selalu tampil di barisan terdepan ketika Pandawa Lima itu kedatangan musuh. Sementara, Yudhistira diminta oleh para saudaranya untuk berlindung di tempat yang aman. Pak Dalang menjelaskan, Bima menyadari bahwa dia memiliki emosionalitas yang tinggi; sementara Arjuna menyadari bahwa dia suka mengembara. Saudara mereka, Sadewa dan Nakula, menyadari bahwa mereka adalah kembar dan paling yunior yang bila salah satunya dipilih menjadi pemimpin, yang bersangkutan akan sungkan terhadap saudara-saudara tua dan saudara kembarnya; mereka khawatir tidak mampu bertindak tegas. Tampaknya, para saudara Yudhistira itu mengakui kelebihan dan kekurangan saudara tertua mereka. Kelebihan yang nyata adalah bahwa selain sebagai senior dari saudara-saudaranya, Yudhistira amat bijaksana, tidak emosional, dan rendah hati. Itu hanya cerita wayang, cerita fiksi yang bagi kebanyakan dimanfaatkan sebagai hiburan. Sama seperti cerita-cerita fiksi lainnya, cerita wayang juga menyampaikan pesan-pesan moral yang tanpa mengesampingkan ajaran moral agama perlu dicermati dan dicermini. Bila tindakan 217

233 Maungkai Budaya melanggar terhadap ajaran moral agama langsung diadili oleh Tuhan, mungkin saja para pelaku atau orang-orang lain yang menyaksikan pengadilan Tuhan itu akan jera, tak berani melanggar ketentuan (hukum) yang ada dan bertaubat. Artinya, kita bercermin pada orang-orang yang diadili itu. Tapi, Tuhan tidak mengadili mereka di dunia tetapi di akhirat kelak. Sehingga, kita tidak bisa tahu akhir kisah para pelanggar hukum, misalnya. Dengan demikian, cerita wayangpun, saya kira tak salah untuk dijadikan cermin. Sebab, kita bisa tahu akhir kisah tokoh-tokoh yang sewenang-wenang, zalim dan mengakali hukum, dan sebagainya. Seperti diketahui bahwa ada dua versi cerita wayang: Ramayana dan Mahabarata. Keduanya berasal dari India. Keduanya adalah produk kebudayaan Hindu. Dalam kisah Ramayana, kita temukan pertentangan antara Ramawijaya dan Rahwana. Dalam kisah Mahabarata, kita temukan pertentangan antara Pandawa Lima dan Kurawa. Baik Ramawijaya maupun Pandawa Lima adalah tokoh-tokoh lambang yang merepresentasikan kebaikan, kejujuran, keadilan, pengayoman, kedamaian, legowo dan sejenisnya. Sedangkan, baik Rahwana maupun Kurawa adalah lambang yang merepresentasikan keburukan, ketidakjujuran, ketidakadilan, penindasan, kekacauan, sinisme dan sebagainya. Dari kisah-kisah itu pula, kita bisa melihat bahwa Ramawijaya dan Pandawa Lima berjaya; sementara Rahwana dan Kurawa hancur lebur. Terlepas dari itu, rupanya angka 5 punya konotasi yang sangat bagus. Bagi kaum muslimin, angka 5 menyaran pada 5 Rukun Islam (Syahadah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji). Dalam kisah pewayangan yang dikemas oleh Sunan Kalijaga, Rukun Islam yang lima itu dikaitkan dengan Pandawa yang jumlahnya lima. Dalam dakwah Islamnya melalui wayang, melalui Pandawa Lima, Sunan Kalijaga mengajar Islam. Kekuatan Pandawa adalah pada jimat kalimasadha. Fondasi Islam adalah pada dua kalimah syahadah. Kaitan Pandawa Lima dan Rukun Islam yang Lima adalah adanya Panca Manunggal (Lima unsur yang pada hakikatnya satu) sehingga unsur yang satu tidak bisa dipisahkan dengan unsur yang lain. Bagi bangsa Indonesia, angka 5 juga punya konotasi yang bagus; ia digunakan dalam Pancasila (lima sila). Pemahaman, penghayatan 218

234 KPU KalSel Musti Solid dan pengamalan Pancasila tak bisa dilakukan secara sepotongsepotong. Kelima sila itu merupakan satu kesatuan yang terpadu. Jumlah jari-jari tangan kita juga lima. Dalam keseharian, kita telah diajarkan kelima jari tangan kita untuk selalu bekerja sama secara terpadu dan solid. Masing-masing jari tidak bisa meng-klaim kalau dirinya paling hebat di antara jari-jari yang lain. Sehebat apapun ibu jari, misalnya, bila dia diminta untuk mengangkat satu ember air, ia tak akan mampu; ia perlu bantuan keempat jari lainnya. KPU dibentuk dengan jumlah yang lima. Mungkin saja, maksudnya untuk memberikan implikasi pada angka 5 dalam cerita wayang (Pandawa Lima), atau pada Rukun Islam yang Lima, atau pada Dasar Negara kita (Pancasila), atau pada jar-jari (tangan) manusia yang juga lima. Sebab, angka 5 pada ketiga hal itu memiliki konotasi dan/atau implementasi yang sangat baik. Ia menunjukkan kebersatuan, kebersamaan, keterpaduan. Namun, KPU Propinsi Kalimantan Selatan yang lima itu tampaknya belum mengimplikasikan kebersatuan, kebersamaan, dan keterpaduan (untuk tidak mengatakan: masih dalam suasana cakar-cakaran). *** Kelima anggota KPU Provinsi Kalimantan Selatan tentu orangorang pilihan terbaik melalui proses seleksi oleh tim seleksi anggota KPU beberapa waktu lalu, mulai dari seleksi administratif (lulus 70 orang), tes wawancara (lulus 10 orang), terakhir tes kelayakan dan kepatutan (lulus 5). Artinya, secara administratif, dan akademis mereka layak dan patut untuk menduduki posisi di KPU. Juga, mereka telah mengucapkan sumpah/janji dengan diawali: Demi Allah (Tuhan). Dalam sumpah/janji itu mereka akan (1) bekerja dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, (2) loyal terhadap Pancasila dan UUD 1945, (3) tidak menerima tekanan dan pengaruh apa pun dari pihak mana pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, (4) bekerja dengan sungguh-sungguh, jujur, adil, dan cermat, (5) menegakkan demokrasi dan keadilan,dan (6) mengutamakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia daripada kepentingan pribadi atau golongan.(disarikan dari Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Pemilu 2003). *** 219

235 Maungkai Budaya Seperti pernah saya tulis pada koran ini bahwa terhadap pelaksanaan Pemilu pada era sekarang ini, banyak anggota masyarakat bersikap apatis, tidak percaya dan tidak ingin melibatkan diri dalam kegiatan politik. Untuk mengembalikan kepercayaan semua lapisan masyarakat terhadap pelaksanaan Pemilu kita, tidaklah mudah. Sebabnya? Hampir semua kita, khususnya kaum intelektual, akademisi, dan orang-orang yang teraniaya secara politik, saya yakin, memiliki asumsi bahwa siapapun penyelenggara Pemilu akan dikatakan sebagai akan tidak berlaku jujur dan adil. Pemilu yang dari dulu dinyatakan sebagai sarana berdemokrasi yang Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia, di sana-sini masih terdengar complaint dari sejumlah kalangan yang mensinyalir adanya kecurangan dan/atau pelanggaran dalam Pemilu itu sendiri. Pada Pemilihan Umum mendatang (2004), sejumlah kalangan khususnya kalangan akedemisi meragukan bahwa pemilu tersebut akan berjalan secara jujur dan adil. Banyak kalangan kawula muda, khususnya sejumlah mahasiswa, dan akademisi yang kurang mempercayai pemilu. Dengan kata lain, mereka lebih cenderung untuk tidak memilih. Singkat kata, KPU sebagai salah satu kunci keberhasilan pemilu dituntut untuk bekerja secara profesional demi mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap keseluruhan proses pelaksanaan pemilu itu sendiri. Dan, yang terpenting KPU Propinsi Kalimantan, khususnya, haruslah solid dan mengesampingkan kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu. Kiranya, amat baguslah bila kita bercermin pada Pandawa Lima yang solid itu. Wallahua lam. 220

236 TIM SELEKSI ANGGOTA KPU: OBYEKTIF ATAU AKOMODATIF? S ebetulnya, saya kurang tertarik pada dunia politik, tetapi lebih tertarik pada masalah humanitas. Namun, ketika dua kawan saya, Ersis dan Daud Pamungkas, mendorong saya untuk ikut nimbrung membicarakan politik maka saya mencobanya. Tidak salah bukan? Terlebih ketika saya membaca komentar yang menurut saya agak minor, terkesan prejudice dan (mungkin juga) tendensius tentang pembentukan (tampaknya) KPU (Kalsel) itu, saya jadi agak semangat. Pembentukan KPU (khususnya KPU Provinsi Kalimantan Selatan) banyak mendapat sorotan agak minor dari berbagai pihak. Saya ambil contoh saja, misalnya, seorang pengirim opini via SMS yang mengatakan: KPU daerah hanyalah perpanjangan tangan KPU Pusat, jadi anggota KPU tidak perlu S-3 atau profesor. Cukup aktivis yang paham politik, muda dan enerjik (Radar Banjarmasin, 24 April 2003, halaman 9) dan salah seorang rektor PTS di Banjarmasin yang menyatakan bahwa Tim Seleksi Anggota KPU hendaknya tidak menganaktirikan akademisi dari PTS (Radar Banjarmasin, 25 April 2003, halaman 15). Dua komentar di atas mempunyai implikatur yang kurang sedap didengar. Komentar pertama tentu dialamatkan kepada para calon yang lulusan S-3 (Doktor) dan/atau yang bergelar profesor. Implikasinya adalah prejudice atau underestimate terhadap KPU Pusat dan akademisi yang telah meraih derajat doktor dan atau bergelar profesor (guru besar). Tentu kita semua tidak tahu betul apa niat, minat, dan kepentingan mereka menjadi anggota KPU. Siapa tahu 221

237 Maungkai Budaya kalau, misalnya, niat mereka adalah lillahi ta ala untuk mengabdikan segala yang mereka miliki kepada kepentingan bangsa dan negara? Jawabnya: tentu kita tidak tahu persis. Namun, kita telah berburuk sangka dan/atau melecehkan mereka. Saya kira, semua warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Undang- Undang memiliki hak untuk menjadi anggota KPU. Alangkah manisnya, kalau kita berikan kepercayaan kepada mereka; alangkah bijaksananya, kalau kita berikan dukungan kepada mereka; dan alangkah idealnya, kalau kita bisa gapai harapan akan perbaikan kualitas pemilu melalui perjuangan mereka. Setelah pemilu nanti, mari kita membandingkan mana yang lebih baik antara KPU masa lalu dan KPU sekarang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 menggariskan syarat-syarat untuk dapat menjadi anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia; b. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; c. mempunyai integritas pribadi yang kuat, jujur, dan adil;d. mempunyai komitmen dan dedikasi terhadap suksesnya Pemilu, tegaknya demokrasi dan keadilan; e. memiliki pengetahuan yang memadai tentang sistem kepartaian, sistem dan proses pelaksanaan Pemilu, sistem perwakilan rakyat, serta memiliki kemampuan kepemimpinan; f. berhak memilih dan dipilih; g. berdomisili dalam wilayah Republik Indonesia yang dibuktikan dengan KTP; h. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari rumah sakit; i. tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik; j. tidak pernah dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; k. tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri; l. bersedia bekerja sepenuh waktu. Bila para doktor dan/atau profesor yang aktivis, paham politik, muda dan enerjik, serta yang memenuhi segala persyaratan di atas, apa salahnya bagi mereka untuk memasuki dunia KPU? Malahan, saya yakin bahwa dua orang di antara mereka punya idealisme, 222

238 Tim Seleksi Anggota KPU: Obyektif atau Akomodatif? dedikasi, komitmen, dan spirit untuk menciptakan kondisi yang demokratis bila mereka berdua betul-betul duduk di KPU. Dengan perkataan lain, kemampuan mereka berdua bisa diandalkan. (Boleh dong, memuji jago-jagonya; wong orang lain lebih dulu melakukan hal yang sama). Komentar kedua, menurut saya, berimplikasi pada upaya menciptakan dikotomi antara PTN-PTS. Ah, jangan pakai dikotomi PTN-PTS, anak tiri-anak kandung, bapak/ibu tiri-bapak/ibu kandung seperti itulah, kalau hanya dalam kaitan dengan soal KPU. Hal ini karena kaum akademisi baik dari PTN maupun PTS, menurut saya, bukan mewakili PTN atau PTS tempat mereka bernaung. Saya kira, mereka tidak juga diutus oleh pimpinan (rektor) mereka untuk memasuki dunia KPU. Dalam kaitan ini, saya amat salut terhadap sikap Rektor Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin tentang sejumlah anak buah beliau yang mendaftarkan diri untuk menjadi anggota KPU, yang menyatakan (seperti dikutip wartawan Radar Banjarmasin): Mereka mendaftar atas nama pribadi atau LSM, meski juga dosen Unlam. Dalam hal ini kampus tak pernah mengusulkan. Untuk sementara kami tak mau campur tangan (Radar Banjarmasin, 24 April 2003, halaman 15). Dengan demikian, karena para dosen itu mendaftarkan diri untuk menjadi anggota KPU atas nama pribadi, maka pada hakikatnya mereka tidak membawa bendera PT tertentu; mereka tidak mewakili PT tertentu (karena setahu saya, tidak ada perkawilan dosen untuk KPU); dan mereka juga bukan utusan dari PT tertentu. Singkat kata, mereka atas inisiatif sendiri berkeinginan untuk menjadi anggota KPU dan konsekuensi logis dari hal itu akan menjadi tanggung jawab masing-masing dari mereka. Sehingga, menurut saya, sebenarnya tidak ada persaingan ketat antara PTN dan PTS, yang ada antar individu yang berjumlah 70 itu dalam perebutan kursi-kursi di KPU. Terlepas dari itu semua, Tim Seleksi Calon Anggota KPU tentu sudah mempersiapkan seperangkat alat uji untuk menjaring sekian banyak calon anggota KPU, terutama yang berkaitan dengan kesetiaan kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita 223

239 Maungkai Budaya Proklamasi 17 Agustus 1945; integritas pribadi yang kuat, jujur, dan adil; dan komitmen dan dedikasi terhadap suksesnya Pemilu, tegaknya demokrasi dan keadilan. Dalam hal ini, obyektivitas Tim Seleksi Anggota benar-benar diuji: apakah tim ini benar-benar obyektif atau akomodatif? Bila mereka berlaku obyektif berarti mereka akan menerapkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan untuk menentukan apakah sejumlah calon tertentu bisa diajukan menjadi anggota-anggota KPU atau tidak. Namun, mereka mungkin saja mengakomodasikan sejumlah 10 calon, yang mencerminkan berbagai unsur dari Unlam, IAIN Antasari, Stienas, Uniska, dan PTS lain (bila ada), serta orang dari luar kampus untuk diajukan menjadi anggota-anggota KPU Provinsi. Bila cara yang kedua (cara kompromistik) ini diambil, jelas obyektivitas Tim Seleksi terganggu. Yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah cara yang demikian ini mencerminkan keadilan sebagaimana diharapkan sementara pihak? Wallaua lam. 224

240 TIM SELEKSI ANGGOTA KPU JUGA HARUS JUJUR S ecara historis, situasi politik di Indonesia menegang sekurangkurangnya ketika Partai Komunis berkeinginan untuk memegang dominasi dalam kehidupan politik di negeri ini. Kegagalan partai yang melakukan pemberontakan pada tahun 1965 untuk berdiri pada barisan terdepan, diikuti oleh carut marutnya kehidupan politik kita. Singkat kata, kendali pemerintahan bergeser dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto (Faruk, dkk., 2000:98-99). Era Soekarno dikatakan sebagai Orde Lama; sedangkan Era Presiden Soeharto dikatakan sebagai Orde Baru. Pemunculan Orde Baru dimaksudkan untuk melakukan koreksi terhadap kesalahan dan/atau penyelewengan terhadap Dasar Negara dan UUD 1945 yang dilakukan oleh orde sebelumnya, yakni Orde Lama. Perkembangan politik di Indonesia pada pemerintahan Orde Baru ditandai oleh dominasi yang sangat kuat dari pihak penguasa. Orde ini ditopang oleh militer dan teknokrat. Para teknokrat ditugasi untuk memperbaiki dan mengembangkan potensi ekonomi; sementara militer ditugasi untuk menentukan, mengatur dan menjaga stabilitas politik dan keamanan dalam negeri. Praktek kekuasaan pada era Orde Baru, tampaknya, ditentukan oleh presiden. Sang Presiden tampak dengan jelas berusaha menentukan dan mengontrol ideologi, pranata, personalia dan aktivitas politik di Indonesia. Konon, pada Pemilihan Umum tahun 1971 yang diikuti oleh 10 partai politik, pihak militer memiliki pengaruh yang sangat 225

241 Maungkai Budaya kuat. Artinya, militer ikut bermain dalam rangka memenangkan salah satu kontestan pemilu. Itulah kesan di masyarakat bahwa pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tersebut dan Pemilu-Pemilu selanjutnya selama era Orde Baru banyak diwarnai ketidakadilan, kecurangan, dan kegiatan-kegiatan malprakek lainnya (Faruk, dkk., 2000:99-100). Sehingga, kemenangan partai peserta pemilu yang diraihnya bisa dikatakan sebagai kemenangan semu, kemenangan dengan cara tak terpuji, yang pada hakikatnya bukanlah kemenangan. Pada era Orde Baru, rakyat dibuat takut. Betapa tidak! Ketika seseorang berbicara politik ala warung kopi atau ketika dia berpidato dengan kebudayaan (seni) untuk kalangan terbatas dan menyentil atau menyudutkan simbol kekuatan Orde Baru, dan sentilan atau penyudutan terdengar pihak penguasa, maka dia bisa dituduh subversi. Akibat dari sentilen dan/atau penyudutan itu, hukuman teringan adalah pencekalan (seperti Emha Ainun Najib yang tidak boleh tampil pidato atau berkegiatan di Wilayah Jawa Tengah) dan hukuman (yang betul-betul hukuman) menimpa seorang cendekiawan kita, Dr. Sri Bintang Pamungkas. (Orang yang belakangan disebut ini dituduh menghina Presiden. Selain, harus hengkang dari kursi DPR/MPR ia dipenjarakan. Ketika terjadi pergantian presiden dari Soeharto ke B.J. Habibie, ia dibebaskan atau diberi pengampunan oleh Presiden Habibie). Pada sisi lain, kita bisa juga melihat bahwa berdasar Undang- Undang Pemilu yang berlaku, pihak militer tidak memiliki hak pilih; namun mereka mendapat kursi di parlemen yakni 1/5 dari seluruh jumlah kursi anggota parlemen atau DPR. Mengapa militer bisa berlaku seperti itu? Konon kabarnya, mereka merupakan stabilisator dan dinamisator dalam kehidupan sosial dan politik. Mereka diberi dua fungsi yang disebut dwi fungsi (Faruk, dkk., 2000:99). Bila kita mempercayai kata pepatah: Sepandai-pandai tupai meloncat, suatu saat ia akan jatuh juga. Kata pepatah yang cukup bijak ini kiranya bisa dimanfaatkan untuk menginterpretasikan simbol kekuatan Orde Baru. Siapa yang menyangka ia akan jatuh dan lalu tertimpa tangga (terkena hujatan sangat hebat)? Ia kita ketahui sangat kuat di segala lini kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun, sekuat apapun suatu kekuatan suatu orde, ketika 226

242 Tim Seleksi Anggota KPU Juga Harus Jujur simbol kekuatannya jatuh, toh akhirnya, ia runtuh juga. Apakah keruntuhan Orde Baru disusul oleh orde lain? Tampaknya, hingga kini belum ada penamaan orde setelah keruntuhan Orde Baru itu. Tetapi yang tampak adalah munculnya era baru. Era ini disebut Era Reformasi, suatu era yang ditandai oleh kebebasan yang kurang atau bahkan tidak dilandasi sikap-sikap moral yang baik, justru menjadikan tercabik-cabik atau carut-marutnya dunia politik di Indonesia. Sikap-sikap yang demikian tampak pada kebanyakan elit kita yang menonjolkan keinginan untuk menang sendiri, perasaan benar sendiri, dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan/ kepentingan sendiri. Dalam situasi politik yang carut marut itu, muncullah berpuluhpuluh partai politik. Dalam situasi yang penuh kebebasan itu, sekolompok orang yang mungkin kecewa karena kepentingan mereka tidak diperhatikan oleh partai asal mereka dengan begitu mudahnya mendirikan partai-partai baru. Sementara itu, organisasi politik pendukung kuat pemerintahan Orde Baru mulai diobokobok atau, pada tingkatan paling rendah, menjadi bahan olok-olok; banyak orang menudingnya sebagai penyebab segala krisis yang melanda Indonesia. Terhadap pelaksanaan Pemilu pada era sekarang ini, banyak anggota masyarakat bersikap apatis, tidak percaya dan tidak ingin melibatkan diri dalam kegiatan politik. Untuk mengembalikan kepercayaan semua lapisan masyarakat terhadap pelaksanaan Pemilu kita, tidaklah mudah. Sebabnya? Hampir semua kita, khususnya kaum intelektual, akademisi, dan orang-orang yang teraniaya secara politik, saya yakin, memiliki asumsi bahwa siapapun penyelenggara Pemilu akan dikatakan sebagai akan tidak berlaku jujur dan adil. Pemilu yang dari dulu dinyatakan sebagai sarana berdemokrasi yang Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia, ditambah Jurdil (Jujur dan Adil) di sana-sini masih terdengar complaint dari sejumlah kalangan yang mensinyalir adanya kecurangan dan/atau pelanggaran dalam Pemilu itu sendiri. Pemilu yang lima tahun sekali dilaksanakan bisa dikatakan sebagai alat untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negera demokrasi. Pemilu selalu saja dikatakan sebagai penuh rekayasa politik yang penuh kecurangan, akal-akalan, 227

243 Maungkai Budaya intimidasi atau sejenisnya untuk kepentingan kelompok penguasa. Kesan yang saya tangkap dari sejumlah anggota masyarakat, bahwa di samping pemerintah Orde Baru mengobok-obok partai politik peserta pemilu ia juga banyak melakukan rekayasa politik dalam pelaksanaan Pemilu itu sendiri Sebagai contoh, elemen-elemen panitia Pemilu mulai tingkat atas (KPU pusat) sampai dengan tingkat bawah (Panitia Pemungutan Suara) berasal dari orang-orang pendukung salah satu kontestan Pemilu. Mereka semua diyakini memiliki kecenderungan membela (untuk memenangkan) kontestan tersebut. Di sinilah, banyak orang mensinyalir bahwa mereka melakukan pelanggaran, penyelewenangan, atau manipulasi suara atau sejenisnya. Diakui atau tidak, hal ini masih membekas dalam diri kebanyakan rakyat Indonesia. Pada Pemilihan Umum mendatang (2004), atas dasar pengalaman Pemilu-Pemilu sebelumnya, sangat mungkin banyak kalangan meragukan bahwa pemilu tersebut akan berjalan secara jujur dan adil. Dengan kata lain, mereka lebih cenderung untuk tidak memilih. Singkat kata, KPU sebagai salah satu kunci keberhasilan pemilu dituntut untuk bekerja secara profesional demi mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap keseluruhan proses pelaksanaan pemilu itu sendiri. Ketika Tim Seleksi Calon Anggota KPU dibentuk, tidak terdengar ribut-ribut seperti halnya ketika proses seleksi calon anggota KPU dilangsungkan.tim Seleksi ini tak dikritisi. Malahan, KPU yang masih dalam proses pembentukan sudah dituntut macammacam. Namun apa boleh dikata. Tim Seleksi itu sudah terbentuk dan sudah pula menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, yang penting sekarang, sebelum menuntut calon anggota KPU untuk taat pada Pancasila dan UUD 1945, independen, sungguh-sungguh, jujur, adil, cermat dan mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi, terlebih dahulu Tim Seleksi memiliki sikap yang sama. Melalui Tim Seleksi dengan sikap seperti itu, kita akan berharap para calon anggota KPU yang akan dilahirkannya betul-betul mampu menyelenggarakan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, dan jujur serta adil pada Pemilu Bagaimana menurut sampeyan? 228

244 PEMILIHAN UMUM 2004 DAN SEJUMLAH ASPEKNYA P emilu 2004 sebentar lagi akan digelar. Segenap jajaran penyelenggara Pemilu, KPU Pusat, Propinsi dan Kabupaten/ Kota, tengah sibuk-sibuknya mempersiapkan pelaksanaan pesta demokrasi itu. Salah satu kegiatan mereka adalah sosialisasi pemungutan suara kepada penyelenggara Pemilu tingkat paling bawah, KPPS. Sementara itu, para Calon Legislatif dan para Calon Dewan Perwakilan Daerah juga tak mau ketinggalan; mereka juga mensosialisasikan diri bahwa mereka telah masuk dalam Daftar Calon Legislatif dan Calon Dewan Perwakilan Daerah dengan harapan (tentunya) agar masyarakat (calon pemilih) mengetahui pencalonan mereka. Sistem Pemilu 2004 Sistem Pemilu 2004 sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Beberapa di antaranya: (1) Wakil Daerah yang dalam Pemilu-pemilu sebelum ini dipilih oleh DPRD Tingkat I; sekarang mereka dipilih langsung oleh rakyat (2) dulu, para calon pemilih (capem) hanya mencoblos tanda gambar; sebagian atau bahkan mereka semua tidak menghiraukan calon-calon anggota legislatif (caleg) yang ada di bawah tanda gambar itu; dan asal mereka telah fanatik kepada salah kontestan Pemilu, mereka pilih atau cobloslah tanda gambarnya; sekarang, mereka mencoblos foto (untuk DPD) dan tanda gambar partai berikut caleg di bawahnya yang dikehendaki, (3) persaingan terjadi antar perorangan baik untuk DPD maupun Legislatif; dengan begitu, tidak tertutup kemungkinan bahwa ada calon yang mendapatkan suara yang berlimpah dan ada pula yang mendapat suara yang tidak signifikan jumlahnya. 229

245 Maungkai Budaya Menurut keterangan M. Ramli, anggota KPU Propinsi Kalimantan Selatan, pada Pemilu 2004, dalam suatu kesempatan sosialisasi Pemilu di Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, ada empat kartu suara: untuk (1) Calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD), (2) DPR, (3) DPR Propinsi, dan (4) DPR Kabupaten/Kota. Untuk mencoblos calon anggota DPD, sangat mudah: coblos salah satu foto dari sekian calon. Namun, untuk mencoblos baik surat suara untuk DPR, DPR Propinsi, maupun DPR Kabupaten/Kota, pemilih mencoblos dua kali untuk masing- masing kartu suara: pertama, mencoblos tanda gambar partai, dan kedua, mencoblos salah satu nama caleg yang ada di bawah. Dengan demikian, ada 7 (tujuh) kali pencoblosan: 1 kali untuk kartu suara DPD, 2 kali untuk kartu suara DPR, 2 kali untuk kartu suara DPR Propinsi, dan 2 kali untuk kartu suara DPR Kabupaten/Kota. Lebih lanjut, M. Ramli menyatakan bahwa ada dua cara pencoblosan yang sah untuk memilih caleg: (1) pemilih bisa mencoblos tanda gambar saja. Walaupun diperbolehkan dan sah, namun cara pertama ini tidak disarankan; dan (2) pemilih bisa mencoblos tanda gambar dan nama calon yang dihendaki. Cara kedua ini yang disarankan. Jika mereka hanya memilih atau mencoblos nama calon, maka suara mereka tidaklah sah atau batal. Perlu diketahui, tata cara mencoblos itu belum tersosialisasikan sampai ke akar rumput pemilih kita. Alasannya? Ada sejumlah kawan saya yang cukup terdidik belum tahu cara mencoblos. Untuk itu, segenap panitia penyelenggara Pemilu hendaknya tidak mengganggap enteng soal tata cara mencoblos yang benar dan hasil coblosannya sah. Karakter Calon Legislatif dan Calon Pemilih Analisis karakter sudah biasa saya lakukan ketika saya menelaah sebuah novel atau cerita pendek. Namun, kali ini analisis itu saya coba lakukan terhadap caleg dan capem pada Pemilu 2004 mendatang. Analisis saya adalah sebagai berikut: (1) caleg terdukung penuh oleh suara pemilih; dengan jumlah suara tertentu dia terantar menuju kursi wakil rakyat, (2) caleg beruntung; dia terantar ke kursi wakil rakyat karena dia mendapatkan donor suara dari caleg lain yang nomor urutnya berada di bawahnya; dan kemungkinan besar 230

246 Pemilihan Umum 2004 dan Sejumlah Aspeknya caleg dengan nomor urut satu adalah caleg beruntung, dan (3) caleg pendonor; dia mendapatkan suara namun jumlah suaranya tidak memenuhi quota satu kursi (walaupun hanya kurang satu suara) dan mau tidak mau atau suka atau tidak suka dia harus mendonorkan suara yang diperolehnya untuk caleg lain yang berada pada nomor urut di atasnya. Calon pemilih dimungkinkan memiliki sejumlah karakter pada Pemilu Pertama, tetap ada calon pemilih yang hanya akan memilih tanda gambar partai saja. Hal ini didasarkan pada fanatisme mereka yang telah tertanam kuat mulai Pemilu-Pemilu sebelumnya. Oleh karena itu, mereka mungkin saja tidak menghiraukan siapa calon legislatif yang mereka pilih. Bagi mereka, hal yang penting adalah bahwa suara mereka sah dan tersalur pada partai idola mereka. Kedua, ada calon pemilih yang memilih tanda gambar partai berikut nama calon legislatifnya. Hal ini didasarkan pada fanatisme terhadap partai dan simpatisme terhadap calon tertentu. Sebagai konsekuensinya, bila pemilih dengan karakter semacam ini banyak yang memberikan suaranya kepada salah satu calon legislatif dari partai tertentu (kendati dia berada pada nomor bawah), maka mereka akan mengantarkan dia dan calon legislatif nomor urut 1 (satu) untuk menjadi anggota legislatif jika jumlah suara mereka melebihi quota yang ditentukan. Namun, bila jumlah suara mereka tidak memenuhi quota yang ditentukan (katakan, kurang 1 (satu) suara) berarti mereka harus rela menyerahkan suara mereka kepada calon legislatif yang sebenarnya tidak mereka pilih. Bila penyerahan suara ini terjadi (dan mungkin saja terjadi), maka bersama-sama calon yang dipilihnya, pemilih dengan karakter ini akan kecewa. Terhadap hal ini muncul pertanyaan: Demokratiskah ketentuan semacam ini? Ketiga, ada calon pemilih yang mempunyai simpatisme kepada salah calon legislatif tetapi tidak menyukai partai yang menaunginya. Bila hal ini terjadi, suaranya akan tidak sah atau batal. Calon dengan karakter ini mungkin saja mencoblos tanda gambar partai karena keterpaksaan, agar suaranya sah. Saya yakin, calon pemilih seperti banyak jumlahnya. 231

247 Maungkai Budaya Keempat, ada calon pemilih yang cenderung untuk memilih menjadi Golput. Ada sinyalemen, bahwa terhadap pelaksanaan Pemilu pada era sekarang ini, banyak anggota masyarakat bersikap apatis, tidak percaya dan tidak ingin melibatkan diri dalam kegiatan politik. Dengan perkataan lain, mereka enggan untuk memberikan hak suara mereka; mereka cenderung memilih (dalam istilah sekarang) menjadi Golput Kepanjangan dari apa Golput itupun, saya tidak tahu, apakah Golongan Putih atau Golongan Putus asa. Apatisme Calon Pemilih Terhadap calon pemilih yang Golput tu, dulu, pernah akan dibuatkan undang-undang. Intinya, mereka akan diberi sanksi. Bagaimanapun juga, Golput itu perlu disikapi, namum bukan dengan cara diberi sanksi. Sebab, mengikuti Pemilu itu hak. Tentu, akan dipandang aneh bila orang yang tidak menggunakan haknya, lalu diberi sanksi. Memang tidak mudah untuk mengembalikan kepercayaan semua lapisan masyarakat yang apatis terhadap pelaksanaan Pemilu kita. Mereka itu menjadi apatis, tentu mereka mempunyai sejumlah alasan; sejumlah di antaranya, mungkin, aspirasi politik mereka tak bisa tersalur lewat partai-partai yang ada, atau ketidakyakinan mereka akan tetap kukuhnya idealisme para calon DPD atau Legislatif ketika mereka benar-benar menjadi wakil rakyat (di DPD, DPR, DPRD Propinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota). Jika sinyalemen mengenai memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap Pemilu itu benar adanya, adalah tugas setiap calon DPD dan partai beserta para calegnya untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap Pemilu kita. Bagaimana menurut sampeyan? 232

248 PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM T ulisan ini semula akan saya gunakan untuk melengkapi salah satu persyaratan melamar menjadi calon anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Banjarmasin. Setelah mengambil formulir, saya membaca ketentuan-ketentuan yang di dalamnya. Sebenarnya, secara administratif saya bisa memenuhi ketentuanketentuan itu. Karena sejumlah sebab, saya putuskan bahwa saya tidak jadi melamarnya. Tak tahulah di masa-masa mendatang! Namun demikian, walaupun tak jadi melamar sebagai calon anggota Panwaslu, kiranya tak salah bila saya turut urun rembug dalam soal pengawasan Pemilu. Toh, secara de facto saya telah mulai melakukan pengawasan terhadap bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan Pemilu. *** Pemilihan Umum dapat dikatakan sebagai titik tolak berjalannya mekanisme kepemimpinan nasional lima tahunan. Kepemimpinan Orde Baru tampak yakin dan percaya bahwa mekanisme kepemimpinan nasional telah dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Hal itu tercermin dalam Materi Pokok Penataran P4 Pola 100 jam (1993:310), bahwa pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 selama Orde Baru ini telah mulai terbina dan terpelihara dengan baik. Mekanisme Kepemimpinan Nasional yang dilaksanakan lima tahunan itu telah berjalan dengan baik. Mekanisme lima tahunan itu meliputi kegiatan-kegiatan kenegaraan sebagai berikut: 233

249 Maungkai Budaya 1. Pemilihan Umum. Pemilihan Umum dilaksanakan untuk wakil rakyat yang akan duduk di DPRD Tk II, DPRD Tk I, dan DPR Pusat.Selanjutnya, DPRD Tk I yang merupakan hasil pemilu tadi mengirimkan utusan-utusannya untuk duduk sebagai bagian dari MPR. 2. Sidang MPR. MPR yang terdiri dari seluruh anggota DPR, utusanutusan dan golongan-golongan sebagai hasil Pemilihan Umum berdasarkan Undang-Undang mengadakan sidang, yang antara lain, menetapkan GBHN dan memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk masa lima tahun untuk melaksanakan GBHN. 3. Pelaksanaan Tugas Presiden/Mandataris MPR. Presiden sebagai mandataris MPR dibantu oleh Wakil Presiden dan para menteri melaksanakan tugas berdasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN, yang akan dipertanggungjawabkan kepada Sidang Umum MPR pada akhir masa jabatannya. 234 *** Memang, bila dilihat dari mekanisme kepemimpinan nasional tersebut sesuai saja dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Undang-Undang Dasar Yakni, mula-mula kita mengadakan pemilihan umum; para wakil rakyat hasil pemilu menetapkan GBHN dan memilih presiden dan wakil presiden, dan presiden menjalankan GBHN itu dalam masa lima mendatang. Menjelang presiden selesai masa jabatan yang lima tahun itu, kita mengadakan pemilu lagi. Dan begitu seterusnya. Namun, pemilu kita selama ini dinilai oleh sementara pihak sebagai memiliki sisi-sisi negatif. Pemilu disinyalir masih diselimuti kecurangan dan/atau pelanggaran. Untuk menghindari (atau setidak-tidaknya meminimalisir) munculnya kecurangan dan/atau pelanggaran dalam Pemilu sangat diperlukan adanya Panitia Pengawas Pemilu yang benar-benar independen. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003, Pasal 122, Pengawas Pemilu mempunyai tugas dan wewenang: (1) mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilu; (2) menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan Pemilu; (3) menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu; dan (4) meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang.

250 Pengawasan Pemilihan Umum Strategi pengawasan yang sekiranya dapat diimplementasikan dapat ditarik dari tugas dan wewenang Panitia Pengawas Pemilu, sebagai berikut: (1) Panitia Pengawas Pemilu harus bertindak atas dasar tugas dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku. (2) Panitia Pengawas Pemilu tidak hanya menunggu laporan-laporan tentang pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tetapi harus proaktif dalam melakukan tugas pengawasan terhadap setiap tahapan pemilu. Dalam hal ini, panitia harus peka terhadap halhal yang disinyalir sebagai pelanggaran baik yang berasal pembicaraan ala warung kopi oleh sejumlah kalangan maupun yang diekspos di media massa. Berangkat dari kepekaaan ini, tanpa menunggu laporan dari pihak tertentu, panitia harus mencari klarifikasi tentang sinyalemen itu. (3) Panitia Pengawas Pemilu mencatat hal pada poin (1) di atas sebagai pelanggaran bila memang ada bukti bahwa hal itu pelanggaran; namun, bila bukan merupakan pelanggaran tetapi menjadikan masalah bagi pihak tertentu, maka hal itu diselesaikan sesuai dengan tugas dan wewenang serta ketentuan yang berlaku. (4) Pelanggaran yang mengandung unsur pidana diteruskan kepada pihak berwenang. Untuk itulah, orang-orang yang terlibat dalam Panitia Pengawas Pemilu setidak-tidaknya harus memiliki sifat-sifat berikut: (1) Agresif, dalam arti bahwa mereka harus cekatan dan penuh kreatifitas dalam menjalankan segala hal yang berkaitan dengan tugas-tugas mereka. (2) Transparan atau Terbuka, dalam arti segala sesuatu yang benar disampaikan bahwa itu benar; sementara sesuatu yang tidak benar (hendaknya) tidak dibungkus sehingga menjadi kelihatan benar. (3) Disiplin, dalam arti bahwa mereka harus bekerja sesuai dengan ketentuan/jadwal, tidak menunda-nunda, bermalas-malasan dan sejenisnya. 235

251 Maungkai Budaya (4) Komunikatif, dalam arti bahwa mereka hendaknya mampu menjalin komunikasi ke segala arah (secara horisontal saja maupun vertikal-horisontal). (5) Selalu tertantang, dalam arti bahwa mereka selalu merasa tertantang untuk melakukan yang terbaik bagi keseluruhan lapisan; berusaha untuk membuka peluang guna mencari solusi terhadap tantangan atau masalah tersebut. (6) Adaptif, dalam arti bahwa mereka selalu berusaha untuk menyesuaikan diri di segala lingkungan di mana mereka berada. (7) Persuasif, dalam arti bahwa mereka berusaha untuk selalu dingin dalam menghadapi segala masalah; segala masalah yang ditangani secara persuatif mengisyaratkan bahwa yang bersangkutan tetap dalam situasi damai. (8) Jujur, dalam arti bahwa mereka berusaha untuk menghindari malpraktek atau pelanggaran. (9) Tanggung jawab, dalam arti bahwa mereka hendaknya bekerja berdasarkan aturan yang ada dan hasil kerjanya dapat dipertanggungjawabkan menurut aturan itu; tanggung jawab di sini tentu harus dilandasi oleh moralitas agama dan Pancasila demi terjaminnya pemilu yang jujur dan adil. Wallahua lam. 236

252 PLUS-MINUS PENGGALIAN ASPIRASI MASYARAKAT MELALUI SAFARI JUM AT (Catatan untuk Pemerintah Kabupaten Barito Kuala) K epemimpinan Bupati Barito Kuala, Eddy Sukarma, telah hampir berjalan lima tahun. Selama memimpin Kabupaten Batola, beliau telah banyak melakukan kunjungan/safari Jum at. Setidak-tidaknya, tiga kali Jum at, saya menghadirinya. Setelah shalat Jum at, Bupati melakukan dialog dengan jamaah. Dalam dialog itu, warga diberi kesempatan untuk memberikan apresiasi dan/atau usulan berkait dengan pembangunan di lingkungan Kabupaten Batola. Dalam safari itu, Bupati tidak sendirian. Beliau diikuti oleh personil-personil dinas-dinas pemerintah lokal. Skenario dialog dirancang oleh pengurus masjid. Dialog diawali dengan sambutan wakil pengurus masjid. Dalam sambutan itu, selain memberikan kata pengantar untuk dialog, dia mewakili warga guna menyampaikan usulan-usulan tentang apa saja yang perlu mendapatkan perhatian Pemerintah Kabupaten Batola. Umumnya, karena acara dialog itu di masjid, sang pengurus minta bantuan untuk pembangunan masjid. Dan, secara global, dia menyampaikan masalah sarana jalan lingkungan, kesehatan, air minum dan lain-lain. Dilanjutkan dengan sambutan camat setempat. Dalam sambutannya, camat biasanya memberikan gambaran singkat tentang kecamatan yang dipimpinnnya, khususnya desa/kelurahan setempat, kepada bupati. Dilanjutkan dengan sambutan bupati. Lalu, dipimpin oleh camat, dialog dengan jamaah dilakukan. Tampak pula, dalam acara dialog itu, Pemerintah Kabupaten/ dinas terkait memberikan bantuan kepada pengurus masjid, mushala, dan madrasah dari sejumlah desa/kelurahan terdekat, 237

253 Maungkai Budaya yang telah ditentukan sebelumnya. Waktu saya mewakili pengurus salah satu mushala di Handil Bakti, kami diberi bantuan Rp ,-, jumlah uang yang lumayan untuk membenahi mushala yang biayanya tak kurang dari Rp. 20 juta. (Saat itu dialog dilakukan di suatu masjid di Desa Beringan). Plus-Minus Safari Jum at? Dari sisi silaturrahim, pemimpin yang datang dan berdialog dengan warganya, amat bagus dan sangat terpuji. Tiada yang salah dalam acara silaturrahim. Banyak warga masyarakat bisa bertatap muka langsung dengan pemimpinnya. Dalam hal safari ini, kalau tidak salah, Camat Alalak, waktu itu Pak Samson, pernah mengatakan bahwa Bupati Barito Kuala adalah satu-satunya Bupati yang bersedia menyambangi warganya hingga ke pelosok-pelosok wilayah kabupaten. Bupati dan rombongan membaur dengan warga masyarakat. Kedekatan beliau dengan warga masyarakat terbangun dengan baik. Seolah, terlihat tiada jarak sosial mencolok antara beliau dengan warga masyarakat. Memang betul adanya. Pada safari jum at ini, misalnya, Bupati Eddy Sukarma di desa/kecamatan A; dan pada jum at yang lain di desa/kecamatan B. Pendek kata, mungkin, setiap kecamatan di kabupaten ini, pernah dikunjungi oleh Bupati Eddy Sukarma dalam rangka safari Jum at. Sebagai warga biasa, tentu saya senang bertemu bupati secara langsung. Di sisi lain, karena para warga diberi kesempatan untuk usul perbaikan dan/pembangunan ini dan itu, tentu mereka punya pengharapan atas apa-apa yang diusulkan. Mereka menunggu dan menunggu realisasi usulan perbaikan dan/atau pembangunan fasilitas tertentu. Seolah, Bupati memberikan janji. Janji yang suatu saat harus dipenuhi. Sekadar contoh, ketika warga mengusulkan perbaikan/ pengaspalan jalan utama di lingkungan Komplek Griya Permata, usulan itu tidak dijawab langsung oleh Bupati melainkan dilemparkan ke dinas terkait. Oleh dinas terkait, dikatakan bahwa sarana jalan itu masih merupakan kewenangan pengembang; belum diserahkan oleh pengembang ke Pemerintah Kabupaten Barito Kuala. Dalam kaitan ini, Pemerintah Kabupaten Batola belum bisa 238

254 Plus-Minus Penggalian Aspirasi Masyarakat melalui Safari Jum at melakukan pembenahan (kehendak warga, pengaspalan) lantaran fasilitas jalan belum diserahkan oleh pengembang kepada pihaknya. Usulan tetap menjadi usulan; hanya ditampung sebagai sebagian dari aspirasi warga. Aspirasi yang ditampung tanpa realisasi di kemudian hari, akan mengurangi arti niat baik Pemerintah Kabupaten Batola dalam rangka membangun masyarakat seutuhnya; membangun masyarakat lahir-batin, menyeluruh dan berkesinambungan. Bahkan, hal itu mungkin sekali akan mengurangi (kalaupun, tidak mengikis habis) kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa aspirasi warga itu digali langsung oleh Bupati beserta rombongan yang nota bene personil-personil dinas-dinas terkait. Bila aspirasi itu digali melalui kegiatan penelitian/survey, akan lain lagi masalahnya. Warga tak akan menunggu. Warga mempercayakan kepada para wakilnya di DPR dan Pemerintah Kabupaten Batola. Bila tak ada atensi dari pemerintah daerah, pembenahan dan/atau pembangunan fasilitas umum dilakukan dengan swadaya masyarakat, seperti yang dilakukan selama ini. Kalau ada atensi, ya syukur; kalau tidak, ya apa boleh buat. Kalau hanya menambal jalan berlobang, warga masyarakat masih punya kesanggapun. Swadaya Masyarakat Berkait dengan soal fasilitas jalan di komplek manapun yang perlu penanganan/pembenahan, namun belum diserahkan oleh pengembang ke Pemerintah Kabupaten, tentu Pak Ketua RW hendaknya mempelopori pengurusan dan penyerahan fasilitas jalan itu. Kalau tidak, Pak Lurah dan Pak Camat yang ikut hadir dalam acara safari itu, tentu punya kewajiban membantu warganya agar fasilitas jalan di komplek itu bisa diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten. Atau, kalau tidak, tim dari Pemerintah Kabupaten mengambil langkah solutif yang jitu. Sebab, kehadiran Bupati dan rombongan, tentu selain menggali aspirasi, juga akan membantu memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat, bukan? Caranya? Tak tahulah saya! Sekadar diketahui, Pengembang Komplek Griya Permata Handil Bakti, telah lama bubar. Para personilnya bahamburan ke mana- 239

255 Maungkai Budaya mana. Pengembang yang berjuluk PT Griya Permata Dwi Manunggal itu hanya tinggal namanya saja. Kalau fasilitas jalannya harus diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten, siapa yang berhak menyerahkannya? Bisahkah mantan direkturnya? Atau, bisakah Pak RW, Pak Lurah dan Pak Camat? Atau langsung diambil alih oleh Pemerintah Kabupaten? Tolong warga dikasih tahu! Dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun hingga masa bakti Bupati Eddy Sukarma hampir habis, kondisi jalan (khususnya, jalan utama) di lingkungan Komplek Griya Permata masih seperti dulu. Rusak dan berlobang. Untuk mengurangi kerusakan atau menutup lobang-lobang yang ada, secara insidental, sejumlah warga (bukan Pengurus Rukun Warga atau RW) memprakarsai bapintaan kepada orang-orang tertentu (yang mampu) dan meminta bantuan ala kadarnya kepada para pemakai jalan, untuk membeli pasir-batu, dan kemudian diampar secara gotong royong. Hasilnya, lumayan. Kondisi jalan, walaupun buruk tapi tak berlobang. Sekadar diketahui, sejumlah warga mempunyai prakarsa spontan tampaknya merasa jenuh, karena mereka bukan pengurus Rukun Warga; mereka tak mempunyai hubungan hirarkhisinstitusional dengan para ketua Rukun Tetangga. Untuk itu, Pak Ketua RW hendaknya tanggap dan sasmita dalam menghadapi persoalan-persoalan lingkungan di bawah kewenangannya. Adalah tugas dan kewajiban Pak Lurah untuk membenahi dan memberdayakan para Ketua RW. Pernah diaspal Konon, tahun 1999, era Bupati Bardiansyah, fasilitas jalan di Komplek Griya Permata itu pernah diaspal. Siapa pengusulnya, saya tak tahu. Kala itu saya berada di luar daerah untuk beberapa tahun. Waktu itu tidak ada masalah dengan status fasilitas jalan itu, apakah sudah diserahkan ke Pemerintah Kabupaten atau belum. Kenyataanya, bisa diaspal. Bekas aspalnya, masih ada. Kini, ketika pembenahan/pengaspalan diusulkan lewat dialog, jawabannya bahwa fasilitas jalan itu belum diserahkan ke Pemerintah Kabupaten Batola sehingga pembenahan/pengaspalan fasilitas jalan ini tak bisa dilakukan. Namun, tampak juga keanehan. Dalam status fasilitas jalan yang tak jelas itu, terlihat adanya pengaspalan pada 240

256 Plus-Minus Penggalian Aspirasi Masyarakat melalui Safari Jum at sejumlah ruas jalan tertentu. Pada suatu ruas jalan, pengaspalan itu tidak dimulai dari pintu gerbang. Dari pintu gerbang hingga lebih kurang 500 meter dibiarkan hancur dan berlobang di sana sini. Barubaru ini, malahan dilakukan pengaspalan pada ruas jalan di tengahtengah komplek. Ada apa di balik ini semua? Air leding asin Air leding bersih layak diminum merupakan dambaan warga Batola, khususnya di Kecamatan Alalak. Selanjutnya, keluhan warga tertuju kepada Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Barito Kuala, air yang diproduksi pihaknya di Kecamatan Alalak, bila musim kemarau, asin rasanya. Keluhan warga disampaikan secara langsung kepada Bupati dan rombongan (atau sering, melalui koran via SMS). Jawaban disampaikan pihak PDAM (kira-kira, begini): Bapak-bapak di sini masih mendingan; masih bisa mandicuci dengan air bersih. Hendaknya, bersabar karena dua-tiga tahun mendatang, PDAM akan mengalihkan intake bahan air baku ke Sungai Tabuk sana. Itu sebuah jawaban yang sama sekali tak memuaskan dan terkesan sekenanya. Masa air leding rasa kalat atau asin, kok dibilang mendingan. (Dialog ini terjadi di Masjid Nurul Iman beberapa bulan yang lalu). Ya, betul kami masih mendingan pakai air bersih tapi kalat dan kalau kemarau asin rasanya itu. Tapi tarifnya kok dibikin sama dengan air PDAM yang bersih lagi layak diminum. Tiada penurunan tarif ketika air leding berasa asin! Air itu masih saja kami manfaatkan untuk mandi/cuci walaupun rasanya asin dan cenderung pahit, sebab tak ada pilihan lain. Untuk sekadar diketahui, selama ini kami tidak memanfaatkan produk PDAM itu untuk keperluan masak atau minum. Ini bisa dicek. Berapa banyak mobil pick up pembawa jurigen berisi air minum yang masuk ke Komplek Griya Permata, bisa diamati. Kami sebenarnya tak ingin membaca PDAM sebagai Perusahan Daerah Air Mandi. Walaupun pernah dinyatakan oleh pihak berwenang bahwa air itu layak diminum, tapi kami tak meminumnya; karena memang tidak enak diminum. *** Singkat kisah, penggalian inspirasi lewat safari Jum at bisa berdampak positif bila keinginan/usulan warga ditindaklanjuti di 241

257 Maungkai Budaya kemudian hari. Jawaban terhadap keluhan warga hendaknya didesain sedemikian rupa agar memuaskan warga. Seperti halnya anak kecil, warga masyarakat tahunya minta saja dan permintaannya musti dikabulkan. Penggalian aspirasi itu bisa berdampak negatif bila usulan warga hanya ditampung dan tak ada tindak lanjut sampai masa kepemimpinan seorang bupati habis. Warga masyarakat akhirnya menjadi kurang respek dan dihinggapi prejudice. Kalau begini kondisinya, maka kunjungan itu menjadi useless. Mudah-mudahan gagasan ini ada manfaatnya. Wallau a lam. Bagaimana menurut Anda? 242

258 PASAR INDUK SELIDAH HANDIL BAKTI BESAR TAPI SEPI, MENGAPA? (Menanggapi Keluhan Bupati Barito Kuala) S elain mengacu pada tempat bertemunya pedagang dan pembeli, implikasi kata pasar adalah ramai. Terhadap para siswa yang berbicara dalam waktu bersamaan, tak karuhan ujung pangkalnya, seorang guru sering mengatakan: Lho ramainya kaya pasar (ikan)!. Ternyata, kesan ramai seperti pasar-pasar lain tak terjadi Pasar Handil Bakti, sebuah pasar induk yang terbesar di kawasan Kabupaten Barito Kuala sebagaimana diproklamirkan oleh Bapak Bardiansyah, Bupati Barito Kuala, ketika menyampaikan pidato peresmian, kala itu. Untuk sekedar diingat kembali, warga yang hadir dalam peresmian itu, memberikan applause yang meriah, ketika beliau menyatakan bahwa Pasar Induk ini adalah pasar terbesar dan menjadi pusat perdagangan di kawasan Kabupaten Barito Kuala Namun, kini, apa yang terjadi? Pasar yang punya label pasar induk ini terlihat seperti pasar sejumput dengan sejumlah pedagang kecil. Itupun, hanya setiap hari minggu. Sebenarnya, kami ikut prihatin! Pasar Induk atau Pasar Sejumput? Kalau saya tak salah, para pedagang kecil tersebut merupakan pindahan dari pasar sejumput yang berlokasi di depan Komplek Griya Permata. Selain dimanfaatkan untuk belanja sembako dan lain-lain, pasar sejumput itu dimanfatkan untuk rekreasi oleh sebagian besar warga komplek Griya Permata khususnya dan warga Kelurahan (waktu itu masih, Desa) Handil Bakti dan desa-desa lain di sekitarnya. Warga mulai dari anak-anak hingga kakek-kakekdengan suka ria mengunjungi pasar itu. 243

259 Maungkai Budaya Awalnya, mereka khususnya anak-anak dan bapak-bapak- tidak punya niat untuk belanja dan hanya sekedar melihat-lihat barangbarang dagangan. Namun, setelah mereka tertarik terhadap barangbarang yang dilihatnya, akhirnya mereka membeli juga. Kala itu, saya amati, mereka itu banyak jumlahnya. Kini, hal itu tak ada lagi setelah pasar sejumput berpindah ke pasar yang disebut pasar induk itu. Pemindahan pasar sejumput itu, sebenarnya, banyak dikeluhkan oleh sebagian besar konsumen, termasuk keluarga saya. Sebagai akibatnya, pemindahan itu membuat anak-anak dan bapak-bapak koler berkunjung ke pasar itu, dengan berbagai alasan. Misalnya, jaraknya jauh, dan jalannya ramai dengan berbagai kendaraan. Yang tertarik untuk pergi ke Pasar Induk (tapi kenyataannya) sejumput adalah para ibu rumah tangga. Karena faktor kemalasan untuk pergi pasar di Banjarmasin, mereka terpaksa memilih pasar itu sebagai tempat untuk berbelanja keperluan rumah tangga mereka. Itupun, tak banyak jumlahnya. Salah Penempatan? Semula, saya menduka bahwa sebelum pembangunan pasar itu, tidak dilakukan studi kelayakan (feasibility studi). Karena tidak dilakukan studi kelayakan itu, maka pasar itu ditempatkan pasa lokasi yang kurang tepat. Dalam suatu pandiran di pangkalan ojek dalam Komplek Griya Permata Handil Bakti, kawan saya membantah. Walaupun dia kurang tahu pasti, apakah studi kelayakan itu dilakukan oleh pihak berwenang atau tidak, dia menyatakan bahwa penempatan pasar induk itu sudah tepat. Dia berasumsi, pasar induk yang ditempatkan di dekat jembatan kayu (orang menyebut, jembatan lama) sebagai penghubung warga Kota Banjarmasin dan lokasi pasar itu, diharapkan tidak hanya dikunjungi oleh warga Batola tetapi juga warga Kota Banjarmasin. Dalam perkembangan berikutnya, jembatan tersebut rusak. Idealnya, jembatan yang rusak itu tidak dihancurkan sekalian, namun justru ia diperbaiki. Bukankah memperbaiki jembatan itu lebih mudah dan lebih ringan biayanya ketimbang membangunnya kembali? Atas dasar penghancuran jembatan itu, saya masih merasa yakin kalau studi kelayakan itu tidak dilakukan. Bila studi kelayakan itu dilakukan, khususnya, terhadap warga Kota Banjarmasin, 244

260 Pasar Induk Selidah Handil Bakti Besar Tapi Sepi, Mengapa? mengenai kesiapan atau kesediaan mereka menjadi calon konsumen bagi pasar tersebut, maka, menurut saya, jembatan itu tak akan dihancurkan. Bukankah, dalam teori pemasaran, faktor para calon konsumen, potensial tidaknya para calon konsumen, itu perlu mendapatkan perhatian serius? Saya kira, jumlah calon konsumen potensial yang mungkin bisa terjaring dari wilayah Kota Banjarmasin yang ada sekitar jembatan rusak dan lalu dihancurkan itu, cukup besar. Di sana, ada banyak warga asli dan warga komplek perumahan yang cukup besar jumlahnya. Tampaknya, mereka bisa dikatakan sebagai calon konsumen yang potensial. Bahkan, kalau sarana dan prasarananya sangat menunjang, besar kemungkinan warga Kota Banjarmasin, khusunya, yang berasal dari Kecamatan Banjarmasin Utara, menjadi calon konsumen yang potensial. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa mereka akan merasa lebih leluasa berbelanja di pasar induk ketimbang di pasar di tengah-tengah Kota Banjarmasin. Yang pasti, mereka tak akan terkendala kemacetan di jalan dan tak akan bekajal ketika berada di pasar. Karena, jembatan penghubungnya rusak dan lalu dihancurkan, mereka enggan berkunjung ke pasar induk tersebut. Daripada harus berputar lewat Jembatan Kayu Tangi Ujung, tentu, mereka lebih memilih untuk pergi ke pasar di Kota Banjarmasin; di sana, mereka bisa membeli apa saja yang mereka mau. Solusi Ketika saya menyodorkan berita dengan judul Beratnya Menata Pasar Handil Bakti (Radar Banjarmasin, 18 Agustus 2005, halaman 14), kepada kawan saya, dia tak tertarik untuk membacanya. Dia meminta saya untuk menyebutkan inti berita tersebut. Kata saya, Pasar Induk Selidah Handil Bakti itu sepi pengunjung disebabkan oleh tiga masalah, yakni: pedagang enggan berjualan, jembatan penghubung lokasi pasar dan wilayah utara Kota Banjarmasin, dan jalan dari Komplek Griya Permata menuju pasar induk. Dalam diskusi ringan itu, kami menggagas solusi terhadap masalah-masalah tersebut. Pertama, kalau Bupati Barito Kuala mengatakan bahwa pihaknya akan membina pedagang, kami punya pandangan lain. 245

261 Maungkai Budaya Kami memandang perlu diadakannya pendataan ulang terhadap pemilik kios, toko dan ruko. Dalam kaitan ini, kami mensinyalir para pemilik kios, toko dan ruko, tidak semuanya pedagang. Malahan, kami berkeyakinan, bila diprosentasikan, 90 persen pemilik kios, toko dan ruko itu bukan pedagang. Mohon maaf, itu hanya sinyalemen. Secara konkret dan akuratnya, perlu pendataan ulang secara seksama terhadap mereka, sebagai upaya mengalihkan kepemilikan kios, toko dan ruko itu kepada mereka yang benar-benar pedagang. Bila para pemilik kios, toko dan ruko itu pedagang, tanpa pembinaan yang melelahkan, kemungkinan besar mereka akan menggelar dagangan di sana. Rugi dong, kalau mereka tak memanfaatkan kios, toko atau roko mereka, sebab investasi yang mereka tanamkan cukup besar. Kedua, terhadap masalah jembatan penghubung lokasi pasar dan wilayah Kota Banjarmasin, kami punya pandangan yang tak terlalu muluk. Cukup dibangunkan jembatan gantung, seperti halnya di daerah pahuluan. Yang penting, pejalan kaki dan pemakai sepeda motor bisa melintas dari wilayah Kota Banjarmasin ke lokasi pasar atau sebaliknya. Syukur-syukur kalau Pemerintah Kabupaten Barito Kuala membangun jembatan besar, kokoh dan permanen. Di samping untuk menunjang keberadaan pasar induk, jembatan itu tentu akan bermanfaat sebagai jembatan alternatif. Sebab, selama ini semua pemakai jalan dari Banjarmasin menuju ke wilayah Kabupaten Barito Kuala dan/atau ke wilayah Kabupaten/Kota di Kalimantan Tengah atau sebaliknya, hanya mengandalkan Jembatan Kayu Tangi Ujung. Ketiga, masalah jalan dan jembatan (kecil) dari Komplek Griya Permata menuju lokasi pasar sebagaimana dinyatakan Bupati Barito Kuala, secara persis sama dipersepsi oleh kami. Itu memang perlu dibenahi. Karena kami berdua adalah warga Komplek Griya Permata, kami tahu persis soal keberadaan jalan dari komplek menuju lokasi pasar. Jalan sudah ada; namun, jembatan masih darurat. Sarana jalan dan jembatan ini hanya perlu pembenahan. Syukur-syukur lagi kalau Pemerintah Kabupaten Batola tidak hanya membenahi jalan dari komplek menuju lokasi pasar, tetapi juga semua ruas jalan di seluruh komplek. Setidak-tidaknya, bila dana tak mencukupi, jalan utama di komplek yang rusak cukup berat itu 246

262 Pasar Induk Selidah Handil Bakti Besar Tapi Sepi, Mengapa? juga dibenahi. Sekedar untuk diingat kembali, hampir seluruh ruas jalan di komplek itu pernah diaspal oleh Pemerintah Kabupaten Barito Kuala. Tapi, kini, di permukaan jalan itu tak kentara lagi aspalnya., bahkan rusak cukup parah. Selain itu, kami akan sangat berterima kasih, bila Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Barito Kuala mengatasi masalah air (minum?) di Kecamatan Alalak yang bila musim kemarau, asin rasanya; misalnya, dengan menjalin kerja sama dengan PDAM Kota Banjarmasin atau dengan cara mengambil bahan baku yang tidak kalat. Untuk sekedar diketahui, selama ini kami tidak memanfaatkan produk PDAM itu untuk keperluan masak atau minum. Believe it or not, it is the real fact. The local government of Barito Kuala can check it. Berapa banyak mobil pick up pembawa jurigen berisi air minum yang masuk ke Komplek Griya Permata, bisa diamati. Kami sebenarnya tak ingin membaca PDAM sebagai Perusahan Daerah Air Mandi. Walaupun pernah dinyatakan oleh pihak berwenang bahwa air itu layak diminum, tapi kami tak meminumnya; karena memang tidak enak diminum. Air minum yang diproduksi di kawasan Handil Bakti itu, kami manfaatkan untuk mandi dan mencuci saja. Tak lebih dari itu. Sebenarnya, hal ini telah tersampaikan oleh warga ketika Bapak Bupati dan rombongan berkunjung ke Komplek Griya Permata, Handil Bakti, beberapa bulan yang lewat. We hope our expectation will be responsded soon. 247

263 Maungkai Budaya MEMAHAMI KARAKTER AMERIKA D ulu, awal-awal tahun 1990-an, President George Bush, pemegang kendali pemerintahan United States of America, dikutuk habishabisan oleh dunia internasional, karena negeri Uncle Sam itu bersama sekutu-sekutunya menyerang Iraq yang oleh sejumlah pengamat dikatakan- untuk menurunkan Saddam Husin dari kursi kepresidenan. Iraq, kala itu, hancur lebur akibat serangan maha dahsyat dari Amerika dan para sekutunya. Walaupun begitu, negeri Seribu Satu Malam itu masih mampu bertahan dan hingga kini Saddam Husin masih mampu memimpin. Kini, President George Walker Bush, anak mantan President George Bush, mendapat kutukan dari dunia internasional, termasuk dari rakyatnya sendiri. Dulu, walau dikutuk habis-habisan, President George Bush tetap saja melanjutkan penggempuran terhadap Iraq. Perang besar yang didukung peralatan serba canggih berkobar di kawasan Teluk Persia. Perang besar disebut oleh banyak orang dengan sebutan Perang Teluk. Kini, atas dasar kutukan yang sama, apakah sang anak mantan President George Bush dan konco-konconya akan kembali meluluhlantakkan negeri Seribu Satu Malam itu? 248 *** Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa negeri Uncle Sam itu begitu ngotot untuk menyerang Iraq? menguasai Iraq? menguasai Timur Tengah? menguasai Dunia? Keinginan negeri itu untuk menjadi polisi dunia, negara adidaya, pemegang superiotas dunia dan sejenisnya, dapat kita telusuri lewat sejumlah karakter orang-orang Amerika.

264 Memahami Karakter Amerika Seperti pernah saya tulis pada Radar Banjarmasin, bahwa sejak dari awal berdirinya negara Amerika Serikat, orang-orang Amerika itu beragam baik bila dilihat dari ras, etnis, agama, dan budaya. Upaya untuk mempersatukan mereka yang beragam itu, para pendiri negara itu menuangkan sebuah doktrin dalam deklarasi kemerdekaan negara itu: bahwa semua orang diciptakan sama atau sederajat, bahwa mereka dianugerahi oleh Sang Pencipta dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat dirampas, bahwa di antara hak-hak ini terdapat hak (untuk) hidup, kebebasan, dan hak mendapatkan kebahagiaan. Pemikiran lain muncul dari Jean de Crevecoeur dalam tulisannya Letters from an American Farmer (1782). Bumi Amerika sebagai New World dipandang sebagai melting pot, tempat berleburnya berbagai macam ras, etnis, bangsa berikut segala atribut yang menyertainya menjadi suatu bangsa yang baru, bangsa Amerika. Katanya bahwa bangsa Amerika adalah bangsa dengan darah campuran, bangsa yang beragam. Sebagai bangsa yang baru, orang-orang Amerika meleburkan diri untuk membentuk karakter baru, karakter khas Amerika. Walau demikian, sejarah menunjukkan bahwa dalam meniti kehidupan berbangsa, bangsa Amerika itu tetap saja dalam keberagaman. Amerika tidak dipandang sebagai melting pot (periuk pelebur) melainkan sebagai salad bowl (wadah sayur mayur). Sebagai salad bowl, Amerika masih memperlihatkan warnawarni-nya bangsa Amerika; di sana masih ada keberagaman. Untuk itu, tampaknya, bangsa Amerika memandang perlu memberlakukan semboyannya E Pluribus Unum (beraneka ragam tetapi tetap satu). Sebenarnya, implikasi dari semboyan ini adalah kesederajatan atau keseteraan antara unsur bangsa yang satu dengan unsur bangsa yang lainnya. Kendati bersemboyan E Pluribus Unum, namun bangsa Amerika masih belum sepenuhnya menunjukkan kesederajatan atau kesetaraan antar unsur bangsa yang ada. Dalam kaitan ini, Luther S. Luedtke, seorang editor buku yang berjudul Making America: The Society and Culture of the United States (1988) menyatakan bahwa di Amerika terdapat kontradiksi pandangan hidup yang resmi diterima yakni kemerdekaan, persamaan derajat, peluang, dan keadilan bagi individu dengan diskriminasi kalaupun tidak secara de jure tetapi de facto- terhadap orang-orang Amerika kulit hitam. Bagi orang Amerika kulit hitam, persamaan 249

265 Maungkai Budaya derajat, peluang, dan keadilan bagi invididu bukanlah hal-hal secara otomatis melekat pada diri mereka namun harus diperjuangkan. Singkat kata, kendati, pada akhirnya, ada pengakuan secara de jure (khususnya melalui amanden 13, 14 dan 15 konsitusi Amerika Serikat) bahwa orang-orang Amerika kulit hitam merupakan bagian dari warga negara itu, secara de fakto, di sana sini mereka masih dibedakan; mereka masih berposisi di bawah dominasi orang-orang Amerika kulit putih; artinya, mereka masih menghadapi persoalan purbasangka/ predikat jelek (prejudice), diskriminasi (discrimination), dan mungkin juga pemisahan (segregation). Karakter orang-orang Amerika, khususnya, kulit putih yang demikian dapat ditelusur kembali melalui pengalaman sejarah mereka. Karakter bangsa Amerika terbentuk mulai dari zaman kedatangan pertama para kolonis atau imigran dari Eropa yang datang dan menetap di Amerika karena dorongan kekuatan untuk membebaskan diri dari tekanan keagamaan, politik, dan ekonomi. Mereka membawa beraneka ragam kebudayaan. Kemudian muncul pemikiran Jean de Crevecoeur tentang melting pot; keberagaman dianggap tidak ada sehingga mereka mampu mengarungi kehidupan baru di Dunia Baru dalam keberagaman itu, dengan keyakinan bahwa Amerika adalah negeri harapan, negeri kebanggaan karena menunjung tinggi kemerdekaan dan kemandirian pribadi. Dalam perkembangan selanjutnya, dari sekian kelompok manusia yang berlatar belakang agama/keyakinan, ras, dan budaya yang berbeda-beda itu, ada satu kelompok orang kulit putih yang tergolong sebagai White Anglo Saxon Protestant (WASP)/ Orang-orang kulit putih yang berasal dari Inggris dan beragama Protestan, yang dominan dalam kehidupan bangsa Amerika. Dominasi mereka ini dimanfaatkan untuk memposisikan mereka pada posisi superior dan kelompok etnis atau ras yang lain pada posisi inferior, termasuk di dalamnya orang-orang Amerika asli (bangsa Indian) dan orangorang Amerika kulit hitam. 250 *** Orang-orang Amerika kulit putih yang tergolong sebagai WASP itu menganggap diri mereka sebagai God chosen people (orang-orang yang terpilih oleh Tuhan) untuk membangun promised land (tanah harapan) yaitu Dunia Baru (Amerika) sebagai A City Upon a Hill

266 Memahami Karakter Amerika (Sebuah Kota di Atas Bukit). Di negeri sendiri, kelompok WASP memposisikan diri pada tempat tertinggi di atas kelompok-kelompok yang lain. Dalam lingkup dunia internasional, A City Upon A Hill, salah satu dari sekian American dreams, yang mungkin mendasari Amerika Serikat ingin tetap mempertahankan posisinya sebagai negara superior (tertinggi), super power (terkuat, adidaya), dan sebagai polisi dunia yang selalu siap menangkap mereka yang dianggap bersalah atau membangkang terhadapnya. Hal itu yang dapat kita lihat dari sepak terjang Amerika Serikat, setidak-tidaknya, mulai dari Perang Dunia II, Perang Dingin (Cold War) antara Amerika Serikat-Uni Soviet sampai dengan sekarang, di mana Amerika Serikat tetap ingin menjadi nomor wahid dunia. Begitulah analisis singkatsederhana tentang Amerika, selanjutnya Wallahua lam (dan Allah yang maha mengetahui). 251

267 Maungkai Budaya JALAN MERAIH KURSI REKTOR UNLAM S ebuah jalan yang sangat panjang dan sulit harus ditempuh oleh seorang dosen untuk bisa menjadi rektor. Tak semua dosen berkesempatan. Dia harus telah mengabdikan dirinya setidaktidaknnya selama 20 tahun; dia harus lektor kepala dengan golongan IV c. Yang bermasa kerja 20 tahun/ lector kepala IVc, banyak sekali di Unlam. Namun tak banyak yang mampu melintasi pagar berikutnya, yakni: pernah menjabat serendah-rendahnya Pembantu Dekan atau Ketua Lembaga Universitas. Menggapai jabatan rektor amatlah susah, banyak pagar yang menghadang. Pada hari Sabtu, 04 Juni 2005, warga Universitas Lambung Mangkurat telah berpesta demokrasi. Mereka ikut serta dalam salah satu proses penjaringan bakal calon rektor. Ada sebelas bakal calon rektor yang bersaing. Melalui proses penjaringan yang melibatkan para dosen dan sejumlah karyawan dan mahasiswa. Untuk mendapatkan enam peraih suara terbesar. Menurut penghitungan sementara, enam bakal calon rektor peraih suara terbesar adalah (1) H.M. Rasmadi (25,46 %), (2) H. Rustam Effendi (19,09 %), (3) Adreas Mashuri (16,37 %), (4) Athailah Mursyid (13,42 %), (5) Moehansyah (8,72 %), dan (6) Zain Hernady Arifin (5,59 %) (Banjarmasin Post, 5 Juni 2005, hal.1). Oleh senat Unlam, dengan mekanisme yang telah ditetapkan, mereka dipilih untuk menempati 3 besar dan sekaligus ditentukan peringkatnya. Kemudian, ketiganya dikirim ke Presiden melalui Mendiknas, guna memperoleh keputusan penetapan salah satu dari mereka menjadi rektor Unlam Periode

268 Jalan Meraih Kursi Rektor Unlam Skenario memihak? Dalam suatu acara pemilihan, termasuk pemilihan rektor, tentu ada: (1) penyelenggara, (2) aturan main, (3) pemilih, dan (4) peserta/ yang dipilih. Mereka semua bermain tentunya. Saya coba mengulas kata bermain. Ini kata punya konotasi yang bagus bila digabung dengan kata cantik (bermain cantik). Bermain cantik itu enak dilihat dan hasilnya pasti memuaskan semua pihak: (dalam kompetisi) pihak yang kalah dan yang menang. Namun, bila kata bermain digabung dengan sabun (bermain sabun), punya konotasi negatif. Di dalamnya, ada unsur akal-akalan, curang, menghalalkan segala cara, atau sejenisnya. Dalam dunia persepakbolaan, saya ingat, pada tahun an, konon, ada sebuah skenario untuk menghalangi PSIS Semarang untuk masuk partai final Divisi Utama Sepak Bola Indonesia. Konon, partai final dirancang untuk Persija Jakarta dan Persebaya Surabaya. Lalu, pada putaran semi final yang mempertemukan Persija-Persebaya dirancang sedemikian rupa agar salah satu kesebelasan itu tidak kalah. Bila salah satu kesebelasan itu kalah, maka pemenangnya akan bertemu dengan PSIS Semarang. Ternyata, mereka main sabun dengan hasil 0-0. Permainan yang ditampilkan hanya ala kadarnya dan hanya untuk memenuhi wajib tanding. Kondisi ini tentu saja mengecewakan tidak hanya pihak PSIS Semarang tetapi semua pihak, semua pencinta sepak bola yang menghendaki fair play. Pemenang kompetisi itu bukanlah the real winner (pemenang sejati) melainkan the invented winner (pemenang hasil rekadaya/rekayasa) Konser Eliminasi model AFI 2005 juga diduga ada skenario keberpihakan. Walaupun, Tri Utami alias Mbak iik berulang kali mengatakan: Pemirsa adalah the real executor, bukan saya. Namun, kita tidak serta merta percaya terhadap pernyataan sikap Tri Utami, bukan? Karena, ia bisa saja bermain menurut takarannyanya sendiri dan/atau selera pihak-pihak tertentu; dan dukungan pemirsa via SMS dan/atau premium call bisa saja dimainkan. Siapa tahu bila cara-cara ini dilakukan? Tak seorangpun pemirsa tahu. Kalaupun tahu, tak akan ada protes dari mereka. Kalaupun ada protes, protes itu akan dianggap sebagai angin yang numpang lewat. 253

269 Maungkai Budaya Adakah skenario keberpihakan dalam pemilihan rektor Unlam periode ? Tak banyak warga Unlam tahu. Tak banyak dari mereka berkeberatan, lalu protes. Kalaupun ada yang berkeberatan dan protes, keberatan atau protes dipersilakan lewat. Namun demikian, oleh sebagian kalangan melalui pandiran ala warung kopi, suatu pandiran yang tak didengar dan tak akan pernah didengar kalaupun diperdengarkan mekanisme yang telah ditetapkan itu dinilai sarat dengan vested interest dari pihak(-pihak) tertentu untuk menggolkan salah satu balon tertentu. Diduga, target pertamanya, yang penting dia masuk 6 besar. Aturan main telah ditetapkan: penetapan 3 besar, berikut peringkatannya, ada di tangan senat. Ya, terserah senat-ai. Dalam tahapan ini, senat bisa saja bermain secara cantik dan fair. Hasilnya? Saya, anda dan kita semua punya hak untuk memprediksi, kalau dikehendaki oleh mayoritas anggota senat, peringkat berapa pun punya peluang bertengger di posisi klasemen teratas alias tampil sebagai pemenang, the winner. Proses Alami Dalam pilih-memilih, yang seharusnya tidak dipilih tapi akhirnya terpilih, itu mungkin saja terjadi. Pilih-memilih itu tak akan menjadi beban bagi pelakunya, bila prosesnya berjalan alami, tanpa pesanan, tanpa pemberian janji-janji terteentu, tanpa tekanan, tanpa penggiringan, atau tanpa intimidasi. Artinya, memilih tanpa menanggung beban berkepanjangan adalah memilih sesuai hati nurani, didasarkan kondisi obyektif orang yang akan dipilih, dan keyakinan bahwa calon yang dipilih, Isnya Allah, akan menjadi initiator, creator, actor perubahan menuju kemajuan Unlam. Dan, pilihmemilih itu akan menjadi beban, bila hati nurani telah terkena interferensi pihak-pihak yang punya vested interest dalam proses pilih-memilih itu. Mohon maaf, mohon ampun, sebagai manusia saya punya banyak khilaf dan kekurangan. Namun, izinkanlah saya menyampaikan moral message kepada para pemegang hak pilih calon rektor: Pilihlah calon rektor Unlam yang dalam visi-misi-program dan proses pencalonannya tersurat atau tersirat karakteristik berikut: (1) Kreatif-inovatif, dalam arti bahwa ia harus cekatan dan penuh 254

270 Jalan Meraih Kursi Rektor Unlam kreatifitas-inovasi dalam menjalankan segala hal yang berkaitan dengan tugas-tugas mereka. (2) Transparan atau Terbuka, dalam arti segala sesuatu yang benar disampaikan bahwa itu benar; sementara sesuatu yang tidak benar (hendaknya) tidak dibungkus sehingga menjadi kelihatan benar. (3) Disiplin diri, dalam arti bahwa sebagai pihak penegak disiplin mustinya terlebih dahulu ia mendisiplinkan diri sebelum ia menuntut pihak lain untuk berdisiplin. (4) Komunikatif, dalam arti bahwa mereka hendaknya mampu menjalin komunikasi ke segala arah (secara horisontal saja maupun vertikal-horisontal). (5) Selalu tertantang, dalam arti bahwa ia selalu merasa tertantang untuk melakukan yang terbaik bagi keseluruhan lapisan; berusaha untuk membuka peluang guna mencari solusi terhadap tantangan atau masalah tersebut. (6) Adaptif, dalam arti bahwa ia selalu berusaha untuk menyesuaikan diri di segala lingkungan di mana mereka berada. (7) Persuasif, dalam arti bahwa ia berusaha untuk selalu dingin dalam menghadapi segala masalah; segala masalah yang ditangani secara persuatif mengisyaratkan bahwa yang bersangkutan tetap dalam situasi damai. (8) Kooperatif, dalam arti ia berusaha untuk tidak hanya menjalin kerjasama di tingkat local, nasional tetapi juga di tingkat internasional. (9) Jujur, dalam arti bahwa ia berusaha untuk menghindari malpraktek atau pelanggaran. (10) Tanggung jawab, dalam arti bahwa ia hendaknya bekerja berdasarkan aturan yang ada dan hasil kerjanya dapat dipertanggungjawabkan menurut aturan itu; tanggung jawab di sini tentu harus dilandasi oleh moralitas agama dan Pancasila demi terjaminnya pemilihan rektor yang jujur dan adil. Lurahnya Ahmad Tohari Tulisan ini saya tutup dengan penggambaran tokoh lurah dalam Novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari sebagai 255

271 Maungkai Budaya berikut. (Ini barangkali- dapat dijadikan bahan perenungan). Seperti tercermin dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak yang kebetulan menyangkut persoalan kepemimpinan tersebut kepala desa yang terpilih diduga oleh sementara pihak pada saat pemilihan bahwa dia telah melakukan berbagai kecurangan. Dia tidak melakukan rekonsiliasi dengan pihak-pihak yang kalah. Sebaliknya dia malah berusaha menyingkirkan setiap orang yang dengan sengaja mengungkap kecurangan-kecurangan yang dia lakukan pada saat pemilihan. Adalah Pambudi, tokoh protagonis, yang berusaha untuk menegakkan keadilan di desanya terdepak oleh kepala desanya. Dia terpaksa meninggalkan desanya, keluarganya, kekasihnya akibat tekanan yang teramat kuat dari kepala desanya. Namun, upaya Pambudi untuk melengserkan kepala desanya yang zalim (sewenang-wenang, korup, suka kawin secara paksa, berlaku asal bapak senang (ABS) terhadap atasannya dan sejenisnya) dari jabatannya, tak kunjung padam bahkan meningkat intensitasnya. Dia dengan gencarnya menggoyang kepala desanya melalui artikel-artikelnya di Koran Kalawarta. Semoga bermanfaat. Wallahua lam. 256

272 VERIFIKASI BUKAN CHARACTER ASSASSINATION (Kilas Balik Pemilihan PD-I Pengganti Antar Waktu di FKIP Unlam) T iada duga, tiada nyana di FKIP Unlam terjadi Pemilihan Pembantu Dekan I pada sepertiga perjalanan per-pd-an. Pemilihan Pembantu Dekan I Pengganti Antar dilaksanakan karena H. Ahmad Sofyan terpilih sebagai Pembantu Rektor III. Sebenarnya, Ahmad Sofyan belum habis masa jabatannya. Masih dua setengah tahunan. Memperhatikan masa itu masih lama, Dekan FKIP Unlam memandang perlu untuk mencari ganti Pembantu Dekan bidang akademiknya. Atas dasar itu, tanggal 4 Januari 2006, Dekan FKIP Unlam mengundang para anggota Senat FKIP Unlam untuk menyampaikan perlunya mencari Pembantu Dekan I dan sekaligus membentuk panitia. Semua anggota sepakat terhadap keinginan dekan. Selanjutnya, panitia pemilihan dibentuk. Pembentukan panitia berjalan tanpa proses yang sulit. Sesuai ketentuan yang ada, anggota panitia tak boleh mencolankan. Maka, dicarilah orang-orang yang sekiranya tidak akan mencalonkan diri. Ada seorang pengusul menghendaki panitia berasal dari para senior (usia di atas 61 tahun) atau para yunior yang tak punya hak untuk mencalonlan diri. Singkat kisah, dua anggota senat yunior dan satu pejabat FKIP dinobatkan menjadi panitia. Yudha Irhasyuarna, ketua; saya, Fatchul Mu in, sekretaris, dan Tri Irianto (Pembantu Dekan III), anggota. Tanggal 5 Januari 2006 Surat Keputusan Dekan terbit. Mulai tanggal 5 Januari 2006 itu pula panitia langsung bergerak. Pengumuman tentang penjaringan bakal calon dan formulir selesai pada tanggal itu juga. Proses penjaringan bakal calon dilaksanakan mulai tanggal 5 sampai dengan 14 Januari Hingga tanggal

273 Maungkai Budaya Januari, telah terjaring 5 (lima) bakal calon. Tanggal 14 Januari 2006, 5 (lima) bakal calon Pembantu Dekan I FKIP Unlam diumumkan. Dari pengumuman itu, sejumlah pemerhati mulai melakukan analisis politik mereka. Masing-masing bakal calon dianalisis. Kalau yang ini, begini; kalau yang itu, begitu. Pendek kata, dua sisi (positifnegatif) dari masing-masing bakal calon diungkap. Pandiran ala warung kopi bertemakan bakal calon pengganti H. Ahmad Sofyan itu. Sementara proses penjaringan masih berlangsung, saya mencari data tentang status para bakal calon. Ini sebagai upaya untuk memastikan apakah bakal calon itu memenuhi syarat atau tidak. Syarat-syarat sebagai bakal calon Pembantu Dekan I (sesuai Keputusan Rektor Unlam, Nomor 209/J08/KP/2005, tanggal 11 April 2005) adalah sebagai berikut: 1. Staf pengajar tetap dengan pengalaman masa kerja sekurangkurangnya delapan tahun pada fakultas yang bersangkutan (sesuai dengan masa kerja yang tercantum pada SK kepangkatan terakhir). 2. Pendidikan sekurang-kurangnya Sarjana dengan jabatan fungsional sekurang-kurangnya Lektor Kepala dengan pangkat Pembina/IV/a. 3. Usia tidak lebih dari 61 tahun pada saat berakhirnya jabatan Pembantu Dekan terdahulu. 4. Mempunyai prestasi kerja, kesetiaan, pengabdian, kejujuran, sehat jasmani dan rohani, berbudi pekerti luhur, integritas kepribadian, kepemimpinan sesuai dengan Peraturan dan Perundangundangan (termasuk PP. No. 10 Tahun 1983 jo PP. No.45 Tahun 1990). 5. Tidak untuk menjabat jabatan Pembantu Dekan untuk yang ketiga kalinya berturut-turut. 6. Sekurang-kurangnya pernah menjabat Ketua Jurusan/ Ketua Program Studi/Kepala Bagian/Ketua Bagian atau yang setara. 7. Tidak sedang mengikuti studi lanjutan program S2 dan S3 atau pendidikan lainnya yang melebihi waktu 6 bulan. 8. Secara tertulis menyatakan bersedia: 258 a. Dicalonkan sebagai calon Pembantu Dekan.

274 Verifikasi Bukan Character Assassination b. Memenuhi isi dan jiwa PP. 60 Tahun 1999, dan c. Melepaskan jabatan rangkap, baik di dalam maupun di luar lingkungan Fakultas. Data yang diperlukan didapat, pada 12 Januari 2006, saya temukan bahwa ada seorang bakal calon dilaporkan oleh fakultas berstatus mahasiswa (S3). Atas pertimbangan kemanusian (yang kemudian ditertawakan oleh sejumlah kawan), saya coba mengklarifikasinya kepada yang bersangkutan. Dia adalah H. Ahmad Suriansyah. Ternyata, dia mulai (tiga) semester yang lewat, telah berhenti kuliah. Disayangkan, pada 16 Januari 2006 saat verifasi dilakukan, surat keterangan berhenti atau pegunduran dirinya tak kunjung terlihat oleh semua anggota panitia, hingga proses verifikasi selesai; dan keputusan tentang bakal calon itu memenuhi syarat atau tidak, telah diterbitkan dan dilaporkan ke Dekan FKIP Unlam. Memang, secara normatif (de jure?), dia masih berstatus sebagai mahasiswa (S3), walaupun dalam kenyataan yang diakuinya secara sepihak (de facto?) dia telah berhenti. Pada tanggal 16 Januari 2006 itu pula, ketua dan sekretaris panitia memutuskan bahwa seorang bakal calon, H. Ahmad Suriansyah, tak memenuhi syarat untuk menjadi bakal calon, tanpa dimusyawarahkan dengan anggota lain, walaupun ada permintaan untuk melibatkannya. Dia terleminasi dari pencalonan. Tak selang lama, dia kirimkan surat keterangan nomor 002/K/DIA/I/2006 yang menyatakan bahwa dia sudah tidak aktif lagi. Lalu, panitia melakukan sidang. Frasa tidak aktif lagi diinterpretasi sebagai (1) tidak sedang studi, dan (2) belum berhenti; yang bersangkutan masih berstatus mahasiswa. Permintaan untuk meninjau ulang surat nomor , perihal hasil verifikasi bakal calon Pembantu Dekan I FKI Unlam, ditangguhkan. Tanggal 17 Januari 2006, panitia konsultasi dengan Dekan FKIP Unlam, dilanjutkan dengan musyawarah. Deadlock. Mufakat, tidak; voting pun tidak. Tak ada keputusan. Kemudian, Dekan membawanya ke rapat Senat FKIP Unlam. Sementara itu, atas inisiatif sendiri, H. Ahmad Suriansyah mengurus surat keterangan berhenti dari lembaga tempat dia studi lanjut. Tanggal 18 Januari 2006, ada surat keterangan nomor 008/K/DIA/I/2006. Ketika rapat Senat FKIP Unlam, surat itu dinyatakan sah. 259

275 Maungkai Budaya Apresiasi oleh sejumlah warga FKIP Unlam dalam pembicaraan ala warung kopi bermacam-macam. Setidak-tidaknya, dua hal yang saya catat: pro eliminasi dan kontra eleminasi. Pro eliminasi berkeyakinan bahwa pihaknya telah menegakkan kebenaran dan (secara implisit) menuduh kontra eliminasi menegakkan kebatilan; sementara kontra eliminasi juga berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan juga benar. Wallahu a lam. Menurut saya, verifikasi bukanlah pembunuhan karakter. Ia dimaksudkan untuk membuktikan apakah benar seseorang itu memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Cara bisa macam-macam. Pertama, verifikasi bisa dilakukan secara normatif, dengan terlebih dahulu mengklarifikasikan dengan yang bersangkutan. Merujuk seorang bakal calon, H. Ahmad Suriansyah, bila verifikasi atas dasar laporan fakultas, memang dia tak memenuhi syarat. Sebab, statusnya masih dalam studi lanjut (normatif). Kemudian, ada surat keterangan yang bisa digunakan untuk menganulir laporan fakultas itu (Surat Keterangan 1). Ini juga normatif. Lebih-lebih, hal itu dikuatkan lagi dengan surat keterangan lain (Surat Keterangan 2). Kedua, verifikasi normatif dipadukan dengan pendekatan humanistik (mungkin tak ada dalam kamus hukum, sehingga ketika saya lontarkan dalam pandiran ala warung kopi, saya ditertawakan?). Ini dilakukan dengan tetap memperhatikan acuan normatif; namun dalam proses verifikasi itu tetap ada komunikasi dan/atau klarifikasi dengan seseorang yang diverifikasi. Bagaimana menurut Anda? 260

276 PEMILIHAN PRESIDEN AMERIKA SERIKAT 2008 DARI INVISIBLE MAN MENJADI VISIBLE MAN? D alam proses pemilihan presiden, di manapun, kalah atau menang dalah hal biasa. Bila seseorang mampu meraup suara terbanyak, dia menang; sebaliknya bila dia memperoleh suara lebih kecil dari pesaingnya, berarti dia kalah. Namun, akan menjadi lain, bila Obama mampu meraih kemenangan dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Mengapa demikian? Saya mencoba memberikan ulasan sebagai berikut. Sekilas tentang Black American Orang Amerika kulit hitam, yang memiliki sejumlah sebutan: Negro, Black American, dan African American. Sebutan negro atau niger dan black American, kini, jarang dipakai. Tampaknya, sebutan popular hari ini adalah African American. Orang Amerika kulit hitam, awalnya, orang Afrika yang dipekerjakan sebagai indentured servant dan kemudian sebagai budak (slave).para budak itu, umumnya, bekerja di perkebunan, dimiliki oleh pemilik budah (slave owner), dan diawasi oleh para mandor. Mereka bisa diperjualbelikan. Hingga dalam beberapa generasi, mereka menjadi budak. Walaupun Amerika telah mendapatkan kemerdekaannya, perbudakan masih berlangsung, hingga pecahnya Perang Saudara (Civil War). Perang saudara itu terjadi antara pihak pro dan kontra perbudakan. Pihak pro pebudakan adalah Amerika bagian Utara (Northern America) dan Amerika bagian Selatan (Southern America). Salah satu faktor utama penyebab meletusnya perang saudara 261

277 Maungkai Budaya adalah pandangan kelompok Utara, bahwa perbudakan melanggar hak asasi manusia (human rights); perbudakan bertentangan dengan Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence), khususnya... all men are created equal (Semua manusia tercipta dalam kesamaan). Para budak harus ditingkat status sosial mereka sebagai orang bebas (free men), yang memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama, dalam semua aspek kehidupan (idelogi, politik,ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan. Setelah secara de jure, perbudakan itu dihapuskan, namun secara de facto, perlakuan terhadap free men tidak serta merta sama dengan warga Amerika lain, khususnya dengan White American. Warga kulit hitam lama sekali berada di bawah dominasi kulit putih (white domination). Warga kulit putih menganggap diri mereka sebagai superior; sementara warga kulit hitam, sebagai inferior. Sejarah mencatat, di bawah white domination itu, warga Amerika kulit hitam dihadapkan pada kehidupan yang serba sulit dan berat. Mereka dihadapkan pada purbasangka (prejudice), diskriminasi (discrimination), pemisahan (segregation), bahkan hukuman mati secara sadis tanpa proses hukum (lynching). Pengalaman warga Amerika kulit hitam banyak terefleksikan dalam kaya-karya sastra. Ambil contoh, novel berjudul Uncle Tom s Cabin, Native Son dan Insivible Man. Dalam Uncle Tom s Cabin, seorang perempuan kulit hitam, Harriet Beecher Stowe, mengisahkan perbudakan di Amerika Serikat. Ketika novel ini ditulis, di negera itu telah terjadi silang pendapat tentang adanya perbudakan. Kelompok yang pro dengan perbudakan adalah terdiri dari orangorang kulit putih yang umumnya berada di Amerika bagian Selatan, yang memiliki banyak budak atau yang diuntungkan dengan adanya perbudakan itu. Sedangkan kelompok yang kontra adalah mereka yang berada di Amerika bagian Utara (didukung oleh kelompok kulit hitam). Menurut catatan sejarah, novel Uncle Tom s Cabin memiliki daya provokatif yang luar biasa, membawa rakyat Amerika ke kancah perang saudara. Novel Native Son, karya Richard Wright, terbit pada tahun an, dan Insvisible Man, karya Ralph Ellison, terbit tahun 1950-an, keduanya masih merekam inferioritas kaum kulit hitam. Dalam masa 262

278 Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2008 dari Invisible Man Menjadi... ini, secara de jure, perbudakan telah dihapuskan; namun secara de facto, dominasi kulit putih terhadap kulit hitam masih cukup kuat. Yang menarik untuk diungkap di sini adalah invisible man dalam novel Invisible Man. Pernah ada penerjemah, menerjemahkan Invisible Man dalam bahasa Indonesia dengan istilah Manusia Gaib. Yang dimaksud dengan invisible man bukanlah manusia gaib ; tetapi manusia yang secara fisik seperti manusia lain, bisa dilihat, dan dia tidak bisa menghilang. Dia adalah manusia yang secara sosialbudaya kurang (atau bahkan tidak) diakui eksistensinya. Kondisi Dilematis? Secara sosiologis, berdasar pengelompokan ras, masyarakat Amerika digolongkan dalam tiga golongan besar. Pertama adalah kelompok kulit putih; kedua, kulit merah; dan ketiga, kulit hitam. Orang kulit putih ini berasal dari imigran Eropa (khususnya, Inggris); orang kulit merah adalah orang Amerika Asli (Native Americans); dan orang kulit hitam berasal dari/keturunan Afrika. Orang kulit putih menduduki kelas pertama (the first class); orang kulit merah, kelas kedua (the second class); dan orang kulit hitam (dan imigran lain), kelas ketiga (the third class). Bila orang kulit dan kulit hitam disandingkan, stratifikasi sosial mereka adalah: orang kulit laki-laki (male white people), orang kulit putih perempuan (female white people), orang kulit hitam laki-laki (male Black Americans), dan orang kulit hitam perempuan (female Black Americans). Ketika Obama bersaing dengan Hillary Clinton dalam penjaringan kandidat presiden dari Partai Demokrat, di atas kertas, diprediksi dia (Obama) sulit mendapat dukungan untuk menjadi salah satu penghuni Gedung Putih. Mengapa? Karena, Hillary itu perempuan (Female American); sementara Obama itu keturunan kulit hitam (African American). Secara sosiologis, posisi sosial Hillary lebih tinggi ketimbang Obama. Berdasar sudut pandang sosiologis pula, pertarungan Obama dan Hillary menciptakan kondisi dilematis bagi rakyat pendukung mereka. Memilih Obama yang kulit hitam atau Hillary yang kulit putih tapi perempuan. Sebab, sejarah menunjukkan bahwa belum pernah ada orang kulit hitam atau kulit putih perempuan menjadi Presiden Amerika. 263

279 Maungkai Budaya Sebab, selama ini, dominasi kulit putih (white domination), khususnya, kulit putih yang terkategori WASPs (White Anglo-Saxon Protestants). Klausa...all men are created equal.. seperti tertera dalam Declaration of Independence, selama ini, masih berpihak pada Man White Anglo- Saxon Protestant. Namun, kini, tradisi bahwa Presiden Amerika Serikat itu laki-laki, kulit putih, keturunan Inggris, dan beragama Protestan, telah runtuh seiring dengan kemenangan Barack Obama. Apakah kemenangan Obama ini berarti mengantarkan status invisible man seperti yang dicita-citakan oleh Ralph Ellison dalam novelnya Invisible Man ke status visible man? Saya kira, hanya orangorang Amerika yang mampu dan berhak menjawabnya. Pelajaran berharga Sejumlah pengamat menyatakan bahwa kemenangan Barack Obama dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat ini hendaknya dijadikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden kita nanti, atau Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota, kita hendaknya mengambil sisi-sisi positif dari proses demokrasi di negeri Paman Sam itu. Satu sisi yang perlu dicermati adalah kenyataan bahwa seorang Barack Obama bukanlah orang terkategori sebagai bagian dari White Anglo- Saxon Protestants. Artinya, siapapun asalkan Warga Negara Indonesia dan tentu memenuhi syarat-syarat sebagai kandidat presiden, bupati atau wali kota- beri kesempatan untuk maju ke pemilihan presiden. Bila beliau terpilih, dialah presiden, gubernur, atau bupati/wali kota kita. Beliau harus didukung, dan hendaknya tidak diprotes, diboikot program-programnya, dan tindakantindakan sejenisnya. Bagaimana menurut Anda? 264

280 DAFTAR PUSTAKA Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Keputusan Menteri Pendidikan Nasional, nomor 044/U/2002. Tentang Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidian. Abdul Hadi, WM Bahasa Sebagai Alat Pengucapan Kesusasteraan, dalam Satyagraha Hoerip, Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan. Abrams, M.H The Mirror and the Lamp. Oxford: Oxford University Press. Abrams, M.H A Glossary of Literary Terms. Fort Worth: Harcourt Brace Press. Aminuddin Pengantar Aspresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Bloomfield, Leonard Language. London: Unwin University Books Compston Printing Ltd. Djoko Damono, Sapardi Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Bahasa. Durasid, Durdje Pengembangan Materi Penelitian dalam Bidang Bahasa. Banjarmasin: Puslit Unlam Elkins, Deborah Teaching Literature, Design for Cognitive Development. Ohio: A bell & Howell Company. Esten, Mursal Kesusasteraan: Pengantar Teori Bandung: Angkasa. dan Sejarah. 265

281 Maungkai Budaya Fatchul Mu in Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga. (Makalah). Banjarmasin: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Unlam. Fatchul Mu in Richard Wright Native Son: A Study of White Dominaation and Its Effects on African-Americans. (Thesis S-2). Yogyakarta: Gadjah Mada University. Fananie, Zainuddin Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Fishman, J.A Language in Sociocultural Change. California: Stanford University Press. Fishman, J.A. Ed Readings in the Sociology of Language. The Hague-Paris: Mouton. Fishman, J. A, Advances in the Study of Societal Multilingualism. The Hague-Paris: Mouton. Geertz, Clifford The Religion of Java. New York: The Free Press. Geertz, Hildred The Javanese Family. New York: The Free Press. Gumpers, John J. & Dell Hymes, eds Diretiction in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication. New York: Holt, Rinehart and Winston. Haugen, Einar Ecology of Language, Stanford: Stanford University Press. Hoerip, Satyagraha (Editor) Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapaan. Hardjana, Andre Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Hasanuddin Tentang Tumpang Tindih Bahasa dalam Sastra Kita.(Makalah). Denpasar: HISKI. Hermawan, Sainul Tionghoa dalam Sastra Yogyakarta: IRCISoD Indonesia. Husen, Ida Sundari Pemahaman Sri Sumarah Karya Umar Kayam dalam Pelajaran Pengkajian Teks Sastra. (Makalah). Denpasar: HISKI. Kayam, Umar Para Priyayi. (Novel). Jakarta: Djambatan 266

282 Daftar Pustaka Kodiran Kebudayaan Jawa dalam Koentjaraningrat (ed) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Koentjaraningrat Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka. Lewis, Leary American Literature: A Study and Research New York: St. Martin s Press. Guide. Lewis, Sinclair Babbit. New York: The American Library of World Literature, Inc. Mackey, William F. The Description of Bilingualism in Fishman, J.A. Ed., Readings in The Sociology of Language. The Hague-Paris: Mouton. Mangunwijaya, Y.B Burung-Burung Manyar. Jakarta: Djambatan. Martin, James Kirby dkk America and Its People. New York: Harper Collins Publishers. Mintarsih Adimihardja Plagiarisme, dalam Jurnal Pelangi Pendidikan, Volume 4 No.2. Jakarta: Departmen Pendidikan Nasional. McDowell, Tremaine American Studies. Menneapolis: The University of Menneapolis. Nababan, PWJ Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia. Nurgiyantoro, Burhan Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarya: Gadjah Mada University Press. Parsons, Talcott Societies: Evolutionary and Comparative Perspective. Englewood, New Jersey: Prentice_hall, Inc. Poedjosoedarmo, Soepomo Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa Poedjosoedarmo, Soepomo Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. Ramelan. l984. Introduction to Linguistics for Students of English in Indonesia. Semarang: IKIP. Ramelan English Phonetics Part I. Semarang: English Department, IKIP. 267

283 Maungkai Budaya Rohrberger, Mary & Samuel H. Woods Reading and Writing about Literature. First Edition. New York: Random House. Rusli, Marah Sitti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka. Rusyana, Yus Interferensi Morfologi pada Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Anak-anak yang berbahasa Pertama Bahasa Sunda Murid Sekolah Dasar di Daerah Propinsi Jawa Barat. Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia. Rusyana, Yus Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro. Semi, Atar Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. Siebert, Fred S. dkk Four Theories of the Press. Urbana and Chicago: University of Illinoisa Press. Soekanto, Soerjono Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali. Soetomo, Istiati. 1985a. Telaah Sosial-Budaya Terhadap Interferensi, Alih-Kode dan Tunggal Bahasa dalam Masyarakat Gandabahasa. (Disertasi). Jakarta: UI. Soetomo, Istiati 1985b. Sosiolinguistik vs Sosiologi Bahasa: Dua Disiplin Ilmu yang bisa Komplementer. Makalah. Semarang: FS Undip. Soetomo, Istiati.1985b. Pokok-Pokok Pikiran tentang Multilingualisme dalam Sastra. (Makalah). Semarang: Fakultas Sastra. Stowe, Hariet Beecher Uncle Tom s Cabin. New York: Harcourt, Brace & World, Inc. Sumarjo, Yakop Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: C.V. Nur Cahaya. Suryadikara, Fudiat Sistem Perkawinan dan Istilah Kekerabatan pada Orang Jawa, Sunda dan Banjar. Banjarmasin: Unlam. Suseno, Franz Magnis Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafati tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. Tohari, Ahmad Ronggeng Duku Paruk. Jakarta: Gramedia Tohari, Ahmad Lintang Kemukus Dini Hari. Jakrta: Gramedia Tohari, Ahmad. Jantera Bianglala. Jakarta: Gramedia Tohari, Ahmad Di Kaki Bukit Cibalak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 268

284 Daftar Pustaka Trudgill, Peter Sociolinguistics: An Introduction. Middlesex, England: Penguin Books. Weinriech, Uriel Languages in Contact: Findings and Problems. The Hague: Mouton. Wellek, Rene & Warren, Austin Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World, Inc. Wiradadi, Gunawan Etika Penulisan Karya Ilmiah, Beberapa Butir Prinsip Dasar. Bandung: Yayasan Akatiga. Wright, Richard Native Son. (Novel). New York: Harper & Row Publishers, Inc. 269

285 Maungkai Budaya RIWAYAT TULISAN I. Bahasa 1. Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga (Dinamika Berita, 25/10/1994) 2. Bahasa Inggris Sejak Dini itu Perlu? (Banjarmasin Post, 16/07/ 2004) 3. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan (Dokumen Pribadi) 4. Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya (Dokumen Pribadi) 5. Bahasa dan Budaya Jawa (Dokumen Pribadi) 6. Kedwibahasaan (Dokumen Pribadi) 7. Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure? (Radar Banjarmasin, 03/10/2005) 8. Kilas Balik Dialog Borneo-Kalimantan VII (Radar Banjarmasin, 13/5/ 2003) 9. Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia (Dokumen Pribadi) II. Sastra 1. Memahami Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Melalui Karya Sastra (Radar Banjarmasin, 30/10/2005) 2. Menulis (Radar Banjarmasin, 23 Januari 2006) 3. Mencipta dan Membaca Karya Sastra (Radar Banjarmasin, 26/ 01/2006) 270

286 Riwayat Tulisan 4. Pelatihan Penulisan Kreatif, Tak Ada Artinya? (Radar Banjarmasin, 29/01/2006) 5. Tentang Wanita, Prosa dan Ratna: Suatu Kilas Balik (Radar Banjarmasin, 18/08/2005) 6. Karya Sastra Menurut Teori Abrams (Dokumen Pribadi) 7. Sastra dalam Pandangan Interdisipliner (Dokumen Pribadi) 8. Manfaat Karya Sastra dalam Pengajaran Bahasa (Dokumen Pribadi) 9. Sejumlah Pendekatan dalam Studi Sastra (Dokumen Pribadi) 10. Aspek Moralitas Karya Sastra (Dokumen Pribadi) III. Seni 1. Bukan Hanya Buruan Cium Gue (Radar Banjarmasin, 21/09/ 2004) 2. Semestinya Bukan Hanya Buruan Cium Gue (Radar Banjarmasin,21 September 2004) 3. Joget: Antara Seni dan Moral (Radar Banjarmasin, 07/05/2003) 4. Semestinya Porno Performansi Juga Dilarang! (Dokumen Pribadi) 5. Sisi Lain Sinetron Kita (Kalimantan Post, 15/08/2002) 6. Teletubies: Potret Kebersamaan dalam Keberagaman (Radar Banjarmasin, 07/10/2002) 7. Televisi dalam Perspektif Social Responssibility Theory (Kalimantan Post, 12/06/2002) IV. Pendidikan 1. Skripsi dan Plagiarisme (Dokumen Pribadi) 2. Aku Seorang Guru di Perguruan Tinggi? (Dokumen Pribadi) 3. Guru Kusayang, Guru Kau Nistakan? (Radar Banjarmasin, 13/ 08/2005) 4. E-Learning Via Information Technology (Dokumen Pribadi) 5. Siswa Gagal Ujian Nasional (Unas): Salah Siapa? (Radar Banjarmasin, 04/08/2005) 6. Program Besar FKIP Unlam? (Dokumen Pribadi) 271

287 Maungkai Budaya 7. Kekayaan yang Terlupakan, Adakah? (Radar Banjarmasin, 03/ 09/2005) 8. Sekolah dalam Kondisi Dilematis? (Radar Banjarmasin, 29 Juli 2008) 9. Dukungan Dana, APBS, dan Studi Banding (Radar Banjarmasin, Agustus 2008) 10. Mengapa Ada Pelarangan? (Dokumen Pribadi, 2008) V. Politik 1. Dominasi (Kalimantan Post, 15/707/ 2002) 2. Pemilu Sebentar Lagi! (Dokumen Pribadi) 3. KPU Kalsel Musti Solid (Dokumen Pribadi) 4. Tim Seleksi Anggota KPU: Obyektif Atau Akomodatif? (Radar Banjarmasin, 28/04/2003) 5. Tim Seleksi Anggota KPU Juga Harus Jujur (Radar Banjarmasin, 03/05/2003) 6. Pemilihan Umum 2004 dan Sejumlah Aspeknya (Dokumen Pribadi) 7. Pengawasan Pemilihan Umum (Dokumen Pribadi) 8. Plus-Minus Penggalian Aspirasi Masyarakat Dengan Safari Jum at (Dokumen Pribadi) 9. Pasar Induk Selidah Handil Bakti: Besar Tapi Sepi, Mengapa? (Radar Banjarmasin,23/08/2005) 10 Memahami Karakter Amerika (Radar Banjarmasin, 19/02/ 2003) 11. Jalan Meraih Kursi Rektor Unlam (Radar Banjarmasin, 06/06/2005) 12. Verifikasi Bukan Character Assassination (Dokumen Pribadi) 13. Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Dokumen Pribadi) 272

288 Riwayat Penulis Fatchul Mu in, lahir pada 04 Maret 1961 di Blitar, Jawa Timur. Pendidikan Dasar dan Menengah dilaluinya di Sekolah Dasar Islam Wahid Hasyim di kampung tempat kelahirannya, Tanjungsari (lulus tahun 1974) dan Pendidikan Guru Agama 4 Tahun di Kota Blitar (lulus tahun 1979), dan Madrasah Aliyah Negeri di Tlogo, Kanigoro, Kabupaten Blitar (lulus tahun 1981). Gelar kesarjanaannya (S-1) diperoleh dari Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Diponegoro, Semarang (masuk tahun 1982 dan lulus tahun 1987). Menjadi staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin mulai tahun 1989 hingga sekarang. Pada tahun 1998, dia melanjutkan studi ke Program Pascasarjana (S-2) Kesusastraan Amerika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan lulus tahun 2001 dengan tesis: Richard Wright s Native Son: A Study of White Domination and Its Effects on African-Americans Karya-karyanya berupa artikel, esai dan makalah banyak bersinggungan dengan masalah bahasa, sastra, seni, pendidikan, dan politik. Buku bukunya berjudul Sociolinguistics: An Introduction (ditulis bersama Sirajuddin Kamal) dan Introduction to Linguistics (ditulis bersama Nanik Mariani). Menjadi penyunting FKIP in Waiting... (bersama Sainul Hermawan). 273

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia (RRI) stasiun Medan, di mana sejumlah penyiarnya seringkali melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia (RRI) stasiun Medan, di mana sejumlah penyiarnya seringkali melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menyikapi penggunaan bahasa Indonesia di radio, khususnya Radio Republik Indonesia (RRI) stasiun Medan, di mana sejumlah penyiarnya seringkali melakukan alih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alih kode..., Dewi Nuryanti, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Alih kode..., Dewi Nuryanti, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemahaman berbahasa setiap orang berbeda di setiap budaya. Berkumpulnya berbagai budaya di suatu tempat, seperti ibukota negara, menyebabkan bertemunya berbagai budaya

Lebih terperinci

JURNAL LOGIKA, Vol XVIII, No 3, Desember 2016 p-issn: e-issn:

JURNAL LOGIKA, Vol XVIII, No 3, Desember 2016 p-issn: e-issn: PENGARUH BAHASA GAUL TERHADAP PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA MAHASISWA UNSWAGATI Ratna Prasasti Suminar (Universitas Swadaya Gunung Jati) Abstrak Bahasa adalah identitas dari suatu negara sebagai alat untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan baik antarsesama. (Keraf, 1971:1), bahasa merupakan alat

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan baik antarsesama. (Keraf, 1971:1), bahasa merupakan alat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki peranan penting bagi manusia. Bahasa merupakan alat komunikasi dalam lisan maupun tulisan. Tanpa bahasa, seseorang tidak dapat berinteraksi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa juga merupakan ekspresi kebudayaan,

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa juga merupakan ekspresi kebudayaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat yang digunakan oleh sekelompok manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa juga merupakan ekspresi kebudayaan, karena bahasa mengalami

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo, 1985:46). Untuk

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo, 1985:46). Untuk BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah ide-ide, penggambaran, hal-hal, atau benda-benda ataupun gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo, 1985:46).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gio M. Johan, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gio M. Johan, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 28 Oktober 1928 segenap pemuda tanah air mendeklarasikan Sumpah Pemuda yang salah satu isinya menyatakan bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena bahasa

I. PENDAHULUAN. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena bahasa 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena bahasa digunakan manusia sebagai alat untuk berkomunikasi, bersosialisasi, dan beradaptasi. Melalui bahasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 2001: 21). Sebagai alat

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 2001: 21). Sebagai alat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa (language) merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Dalam bab 5 ini, peneliti memaparkan hasil simpulan dan saran. Simpulan

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Dalam bab 5 ini, peneliti memaparkan hasil simpulan dan saran. Simpulan 522 BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN Dalam bab 5 ini, peneliti memaparkan hasil simpulan dan saran. Simpulan dan saran dipaparkan berdasarkan temuan penelitian dalam menjawab rumusan masalah yang dijabarkan melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu sama lain. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat komunikasi sosial.

BAB I PENDAHULUAN. satu sama lain. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat komunikasi sosial. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam komunikasi, hubungan antara bahasa dan masyarakat tidak dapat dipisahkan karena bahasa merupakan wahana bagi masyarakat untuk berinteraksi satu sama lain. Fungsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi antar sesama, baik dalam kehidupan sehari-hari di keluarga maupun di lingkungan masyarakat tempat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelajaran 2011/2012. Bab 1 ini mencakup latar belakang masalah penelitian,

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelajaran 2011/2012. Bab 1 ini mencakup latar belakang masalah penelitian, 2 BAB 1 PENDAHULUAN Dalam bab 1 peneliti memaparkan yang menjadi pendahuluan penelitian Studi tentang Register Penyiar Radio sebagai Bahan Pembelajaran Berbicara serta Pelaksanaannya pada Siswa Kelas X

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau kelompok individu terutama kelompok minoritas atau kelompok yang

BAB I PENDAHULUAN. atau kelompok individu terutama kelompok minoritas atau kelompok yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seseorang dapat bertutur dengan bahasa tertentu secara tiba-tiba dalam situasi penuturan baik bersifat formal maupun yang bersifat informal. Mengganti bahasa diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi

BAB I PENDAHULUAN. manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi tersebut, manusia memerlukan

Lebih terperinci

INTERFERENSI BAHASA JAWA DALAM KARANGAN NARASI BERBAHASA INDONESIA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 SAWIT BOYOLALI TAHUN AJARAN 2009/2010 SKRIPSI

INTERFERENSI BAHASA JAWA DALAM KARANGAN NARASI BERBAHASA INDONESIA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 SAWIT BOYOLALI TAHUN AJARAN 2009/2010 SKRIPSI INTERFERENSI BAHASA JAWA DALAM KARANGAN NARASI BERBAHASA INDONESIA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 SAWIT BOYOLALI TAHUN AJARAN 2009/2010 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, digunakan baik sebagai bahasa pengantar sehari-hari ataupun bahasa pengantar di lingkungan formal seperti bahasa pengantar sekolah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi menggunakan simbol-simbol vokal

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi menggunakan simbol-simbol vokal 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sarana komunikasi yang paling penting sesama masyarakat adalah bahasa. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia lain. Bahasa

Lebih terperinci

Semua informasi tentang buku ini, silahkan scan QR Code di cover belakang buku ini

Semua informasi tentang buku ini, silahkan scan QR Code di cover belakang buku ini Bilingualisme dan Pendidikan Bilingual, oleh Luh Putu Artini; Putu Kerti Nitiasih Hak Cipta 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283 Telp: 0274-889398; Fax: 0274-889057; E-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istilah. Berikut diuraikan penjelasan yang berkaitan dengan pendahuluan.

BAB I PENDAHULUAN. istilah. Berikut diuraikan penjelasan yang berkaitan dengan pendahuluan. BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini diuraikan mengenai: (1) latar belakang, (2) fokus penelitian, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) penegasan istilah. Berikut diuraikan penjelasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemakaian bahasa Indonesia mulai dari sekolah dasar (SD) sampai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pemakaian bahasa Indonesia mulai dari sekolah dasar (SD) sampai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedudukan bahasa Indonesia saat ini semakin mantap sebagai wahana komunikasi, baik dalam hubungan sosial maupun dalam hubungan formal. Pemakaian bahasa Indonesia mulai

Lebih terperinci

PRESENTASI ARTIKEL. Oleh : Nida Aniati. Tentang saya

PRESENTASI ARTIKEL. Oleh : Nida Aniati. Tentang saya PRESENTASI ARTIKEL Oleh : Nida Aniati Tentang saya Nama : Nida Aniati TTL : Tasikmalaya, 1997 Hobi : Membaca Sekolah Asal : MA Plus Al-Aqsha Alamat : Kp. Pareang Desa Tonjongsari Kec. Cikalong Tema : Pengaruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia sebagai masyarakat sosial dituntut untuk berkomunikasi dengan

I. PENDAHULUAN. Manusia sebagai masyarakat sosial dituntut untuk berkomunikasi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai masyarakat sosial dituntut untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Untuk keperluan ini, manusia dapat menggunakan bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kenegaraan, bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, dan alat

BAB I PENDAHULUAN. kenegaraan, bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, dan alat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, dan alat penghubung pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peneliti di Indonesia. Penelitian-penelitian itu yang dilakukan oleh: Susi Yuliawati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peneliti di Indonesia. Penelitian-penelitian itu yang dilakukan oleh: Susi Yuliawati BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relavan Penelitian mengenai multilingualisme telah banyak dilakukan oleh para peneliti di Indonesia. Penelitian-penelitian itu yang dilakukan oleh: Susi Yuliawati

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bahasa. Tidak seperti sistem isyarat yang lain, sistem verbal bisa digunakan untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bahasa. Tidak seperti sistem isyarat yang lain, sistem verbal bisa digunakan untuk BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori Ibrahim (1993:125 126), berpendapat bahwa semua kelompok manusia mempunyai bahasa. Tidak seperti sistem isyarat yang lain, sistem verbal bisa digunakan untuk mengacu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia bermasyarakat. Bahasa berfungsi sebagai alat untuk berinteraksi atau alat

BAB I PENDAHULUAN. manusia bermasyarakat. Bahasa berfungsi sebagai alat untuk berinteraksi atau alat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan fenomena yang tidak dapat dilepaskan dari segala kegiatan manusia bermasyarakat. Bahasa berfungsi sebagai alat untuk berinteraksi atau alat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan karangan argumentasi sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan karangan argumentasi sebagai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Relevan Sebelumnya Berikut ini terdapat beberapa penelitian relevan yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan karangan argumentasi sebagai berikut.

Lebih terperinci

Abstraksi. Kata kunci: dialektologi, sikap, bahasa, minang, rantau

Abstraksi. Kata kunci: dialektologi, sikap, bahasa, minang, rantau Kajian Dialektologi dan Sikap Bahasa Minang Pada Pedagang Rantau di Jakarta 1 Erni Hastuti, 2 Teddy Oswari 1 Fakultas Sastra dan Bahasa, Universitas Gunadarma 2 Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) lambang

BAB I PENDAHULUAN. negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) lambang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia memiliki status sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) lambang kebanggaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Dalam bab ini dijelaskan mengenai kajian pustaka, konsep, dan landasan teori

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Dalam bab ini dijelaskan mengenai kajian pustaka, konsep, dan landasan teori 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI Pendekatan yang dipakai dalam kajian ini adalah pendekatan sosiolinguistik. Dalam bab ini dijelaskan mengenai kajian pustaka, konsep, dan landasan teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budayanya dan budaya orang lain, serta mengemukakan gagasan dan

BAB I PENDAHULUAN. budayanya dan budaya orang lain, serta mengemukakan gagasan dan 1 BAB I PENDAHULUAN peserta didik agar dapat mengenali siapa dirinya, lingkungannya, budayanya dan budaya orang lain, serta mengemukakan gagasan dan perasaannya. Penggunaan bahan ajar yang jelas, cermat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Ari Kartini, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Ari Kartini, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa nasional mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Hal ini dibuktikan dengan disusunnya UU yang membahas

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA SALINAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENGGUNAAN DIKSI PADA ARTIKEL SURAT KABAR SOLOPOS EDISI APRIL - MEI 2010

ANALISIS PENGGUNAAN DIKSI PADA ARTIKEL SURAT KABAR SOLOPOS EDISI APRIL - MEI 2010 ANALISIS PENGGUNAAN DIKSI PADA ARTIKEL SURAT KABAR SOLOPOS EDISI APRIL - MEI 2010 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia,

Lebih terperinci

PENYEBAB INTERFERENSI GRAMATIS

PENYEBAB INTERFERENSI GRAMATIS PENYEBAB INTERFERENSI GRAMATIS BAHASA BATAK ANGKOLA DALAM KARANGAN BERBAHASA INDONESIA SISWA KELAS 5 SDN 105010 SIGAMA KECAMATAN PADANG BOLAK TAPANULI SELATAN Fitriani Lubis Fakultas Bahasa dan Seni Universitas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Strategi Copy The Master Melalui Media Audio Visual pada Siswa Kelas IX-C SMPN 2 ToliToli

Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Strategi Copy The Master Melalui Media Audio Visual pada Siswa Kelas IX-C SMPN 2 ToliToli Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Strategi Copy The Master Melalui Media Audio Visual pada Siswa Kelas IX-C SMPN 2 ToliToli Mashura SMP Negeri 2 ToliToli, Kab. ToliToli, Sulteng ABSTRAK Strategi

Lebih terperinci

diperoleh mempunyai dialek masing-masing yang dapat membedakannya

diperoleh mempunyai dialek masing-masing yang dapat membedakannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan sosial kemasyarakatan, santun berbahasa sangat penting peranannya dalam berkomunikasi. Tindak tutur kesantunan berbahasa harus dilakukan oleh semua pihak untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. kaitannya dengan penelitian yang dilakukan. Kajian pustaka adalah langkah yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. kaitannya dengan penelitian yang dilakukan. Kajian pustaka adalah langkah yang BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka berisi beberapa hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan. Kajian pustaka

Lebih terperinci

PEMAKAIAN GAYA BAHASA HIPERBOLA PADA IKLAN DALAM TABLOID NYATA DAN KAITANNYA DENGAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

PEMAKAIAN GAYA BAHASA HIPERBOLA PADA IKLAN DALAM TABLOID NYATA DAN KAITANNYA DENGAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PEMAKAIAN GAYA BAHASA HIPERBOLA PADA IKLAN DALAM TABLOID NYATA DAN KAITANNYA DENGAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komunikasi terbentuk dari pengirim (encoder) yang mengirim pesan (message) dan diterima oleh penerima (decoder). Dalam ilmu komunikasi, suatu komunikasi dapat dikatakan

Lebih terperinci

PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DALAM TALK SHOW EMPAT MATA DI TRANS 7

PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DALAM TALK SHOW EMPAT MATA DI TRANS 7 PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DALAM TALK SHOW EMPAT MATA DI TRANS 7 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun kelompok. Bahasa

Lebih terperinci

Teknis Penulisan Karya Ilmiah

Teknis Penulisan Karya Ilmiah Modul ke: Teknis Penulisan Karya Ilmiah Silahkan mencoba menulis karya ilmiahsesuai dengan sistematika yang benar Fakultas TEKNIK Drs. Masari, MM Program Studi TEKNIK MESIN http://www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia pendidikan. Anak sekolah di taman kanak-kanak hingga mahasiswa di

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia pendidikan. Anak sekolah di taman kanak-kanak hingga mahasiswa di BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah bangsa Indonesia berhasil lepas dari belenggu penjajahan dengan diproklamasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahasa Indonesia memiliki peran yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menganggapnya sebagai hal yang biasa, seperti bernafas atau berjalan. (Bloomfield,

BAB I PENDAHULUAN. menganggapnya sebagai hal yang biasa, seperti bernafas atau berjalan. (Bloomfield, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Lazimnya, manusia tersebut jarang memperhatikan peranan bahasa itu sendiri dan lebih sering menganggapnya sebagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Biau. Kabupaten Buol. Adapun penelitian sejenis yang pernah diteliti antara lain:

BAB II LANDASAN TEORI. Biau. Kabupaten Buol. Adapun penelitian sejenis yang pernah diteliti antara lain: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Penelitian tentang alih kode dan campur kode, sudah banyak diteliti oleh para peneliti sebelumnya. Namun sejauh ini belum ada yang melakukan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling kompleks mengutip istilah Brown (2004: 220), mulai dari imitative

BAB I PENDAHULUAN. paling kompleks mengutip istilah Brown (2004: 220), mulai dari imitative 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keterampilan menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa yang diajarkan secara berkesinambungan pada jenjang pendidikan formal. Mulai

Lebih terperinci

ALIH KODE DALAM PROSES BELAJAR-MENGAJAR KELAS VII MTS AL-KAUTSAR SRONO BANYUWANGI

ALIH KODE DALAM PROSES BELAJAR-MENGAJAR KELAS VII MTS AL-KAUTSAR SRONO BANYUWANGI ALIH KODE DALAM PROSES BELAJAR-MENGAJAR KELAS VII MTS AL-KAUTSAR SRONO BANYUWANGI SKRIPSI Oleh Nurul Elfatul Faris NIM 070210482010 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa pengantar dalam komunikasi sehari-hari. nasional dan bahasa negara. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional,

BAB I PENDAHULUAN. bahasa pengantar dalam komunikasi sehari-hari. nasional dan bahasa negara. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahasa merupakan sarana yang vital dan utama dalam hidup. Karena tanpa bahasa sulit bagi kita untuk mengerti atau memahami arti dan maksud dari perkataan orang lain.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebahasaan dan keterampilan berbahasa. Pengetahuan kebahasaan meliputi

BAB 1 PENDAHULUAN. kebahasaan dan keterampilan berbahasa. Pengetahuan kebahasaan meliputi 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran bahasa Indonesia secara formal mencakup pengetahuan kebahasaan dan keterampilan berbahasa. Pengetahuan kebahasaan meliputi pembelajaran mengenai asal-usul

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hubungan antarbahasa sehingga timbul penyerapan bahasa-bahasa asing ke dalam

I. PENDAHULUAN. hubungan antarbahasa sehingga timbul penyerapan bahasa-bahasa asing ke dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peranan bahasa asing dalam bahasa Indonesia membuktikan adanya kontak atau hubungan antarbahasa sehingga timbul penyerapan bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Era Globalisasi membuat jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan. dimasyarakatkan luas pada khususnya. Agar bangsa Indonesia tidak

I. PENDAHULUAN. Era Globalisasi membuat jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan. dimasyarakatkan luas pada khususnya. Agar bangsa Indonesia tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era Globalisasi membuat jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan luas pada khususnya. Agar bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh pengaruh dari budaya

Lebih terperinci

ANALISIS ISI PESAN DALAM KARIKATUR DI INTERNET SEBAGAI KRITIK SOSIAL

ANALISIS ISI PESAN DALAM KARIKATUR DI INTERNET SEBAGAI KRITIK SOSIAL 1 ANALISIS ISI PESAN DALAM KARIKATUR DI INTERNET SEBAGAI KRITIK SOSIAL SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Oleh:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengantar Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah menjadi suatu wilayah yang kompleks masyarakatnya. Keadaan ini terjadi karena sekarang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam pembelajaran bahasa Indonesia, keterampilan menulis merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam pembelajaran bahasa Indonesia, keterampilan menulis merupakan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menerangkan bahwa mata kuliah bahasa Indonesia adalah mata kuliah wajib

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan sehari-hari tidak terlepas dari yang namanya komunikasi. Antarindividu tentu melakukan kegiatan komunikasi. Kegiatan komunikasi bisa dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah bentuk tiruan kehidupan yang menggambarkan dan membahas kehidupan dan segala macam pikiran manusia. Lingkup sastra adalah masalah manusia, kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling efektif dalam interaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling efektif dalam interaksi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling efektif dalam interaksi sosial. Suatu komunikasi dikatakan berhasil apabila pesan yang disampaikan pembicara dapat

Lebih terperinci

Kesalahan Umum Penulisan Disertasi. (Sebuah Pengalaman Empirik)

Kesalahan Umum Penulisan Disertasi. (Sebuah Pengalaman Empirik) Kesalahan Umum Penulisan Disertasi (Sebuah Pengalaman Empirik) Setelah membimbing dan menguji disertasi di sejumlah perguruan tinggi selama ini, saya memperoleh kesan dan pengalaman menarik berupa kesalahan-kesalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti

BAB I PENDAHULUAN. dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah salah satu identitas sebuah bangsa demikian juga halnya dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen, yaitu keterampilan

BAB I PENDAHULUAN. Keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen, yaitu keterampilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Keempat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain, sehingga orang lain mengetahui informasi untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. lain, sehingga orang lain mengetahui informasi untuk memenuhi kebutuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa berperan penting di dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, hampir semua kegiatan manusia bergantung pada dan bertaut dengan bahasa. Tanpa adanya bahasa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. akan lumpuh tanpa bahasa, walaupun sebenarnya manusia juga dapat berkomunikasi

I. PENDAHULUAN. akan lumpuh tanpa bahasa, walaupun sebenarnya manusia juga dapat berkomunikasi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semua makhluk hidup di muka bumi ini saling berinteraksi serta berkomunikasi satu sama lain tak terkecuali manusia. Untuk keperluan ini, manusia dapat menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. C. Latar Belakang Masalah. Iklan merupakan suatu produk periklanan yang mencakup segala macam

BAB I PENDAHULUAN. C. Latar Belakang Masalah. Iklan merupakan suatu produk periklanan yang mencakup segala macam 1 BAB I PENDAHULUAN C. Latar Belakang Masalah Iklan merupakan suatu produk periklanan yang mencakup segala macam tujuan, baik untuk tujuan perdagangan, mengumumkan kehilangan sesuatu, dan sebagainya. Iklan

Lebih terperinci

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

(Elisabeth Riahta Santhany) ( ) 292 LAMPIRAN 1 LEMBAR PEMBERITAHUAN AWAL FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONUSA ESA UNGGUL JAKARTA Saya mengucapkan terima kasih atas waktu yang telah saudara luangkan untuk berpartisipasi dalam penelitian

Lebih terperinci

INTERFERENSI SINTAKSIS BAHASA MINANGKABAU DALAM BAHASA INDONESIA PADA MASYARAKAT MINANG PERANTAU DI MEDAN

INTERFERENSI SINTAKSIS BAHASA MINANGKABAU DALAM BAHASA INDONESIA PADA MASYARAKAT MINANG PERANTAU DI MEDAN INTERFERENSI SINTAKSIS BAHASA MINANGKABAU DALAM BAHASA INDONESIA PADA MASYARAKAT MINANG PERANTAU DI MEDAN Syamsul Bahri Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan ABSTRAK Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya, dan dalam pemakainnya dimungkinkan dapat memakai lebih dari satu bahasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendiri bangsa Indonesia menyadari betul akan ancaman perpecahan bangsa

BAB I PENDAHULUAN. pendiri bangsa Indonesia menyadari betul akan ancaman perpecahan bangsa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Bahasa Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang sangat beragam suku, adat istiadat, ras, agama, dan bahasa. Para pendiri

Lebih terperinci

ETIKA DALAM BERKOMONIKASI

ETIKA DALAM BERKOMONIKASI ETIKA DALAM BERKOMONIKASI PENGERTIAN ETIKA Etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat kebiasaan di mana etika berhubungan erat dengan konsep individu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bahasanya. Bahasa setiap daerah memiliki style atau gaya tersendiri dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bahasanya. Bahasa setiap daerah memiliki style atau gaya tersendiri dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat penting dalam kehidupan individu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bahasa dapat digunakan dalam berkomunikasi dengan yang lain, juga untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk memiliki keterampilan dalam berbahasa. Keterampilan berbahasa mencakup empat komponen keterampilan.

BAB I PENDAHULUAN. untuk memiliki keterampilan dalam berbahasa. Keterampilan berbahasa mencakup empat komponen keterampilan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal ini haruslah kita sadari benar-benar karena bahasa adalah alat komunikasi manusia. Suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN MAKALAH BAHASA INDONESIA RAGAM ILMIAH Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN MAKALAH BAHASA INDONESIA RAGAM ILMIAH Latar Belakang Masalah MAKALAH BAHASA INDONESIA RAGAM ILMIAH BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, khususnya di Indonesia perkembangan bahasa Indonesia baik di kalangan dewasa, remaja, dan anak-anak telah

Lebih terperinci

Amsih NIM Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Siliwangi Bandung ABSTRAK

Amsih NIM Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Siliwangi Bandung ABSTRAK PEMBELAJARAN MENULIS KARANGAN ARGUMENTASI DENGAN MENGGUNAKAN METODE CTL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) PADA SISWA KELAS VI SDN MERDEKA 5/4 KOTA BANDUNG Amsih NIM. 08210216 Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dalam segala kegiatan seperti pendidikan, keagamaan, perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dalam segala kegiatan seperti pendidikan, keagamaan, perdagangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai alat interaksi sosial peranan bahasa besar sekali. Hampir tidak ada kegiatan manusia yang berlangsung tanpa kehadiran bahasa. Bahasa muncul dan diperlukan dalam

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KEBUDAYAAN. Bahasa. Sastra. Pengembangan. Pembinaan. Perlindungan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 157) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia lain. Hubungannya itu antara lain berupa menyampaikan isi pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia lain. Hubungannya itu antara lain berupa menyampaikan isi pikiran dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai mahluk sosial memerlukan hubungan dan kerja sama dengan manusia lain. Hubungannya itu antara lain berupa menyampaikan isi pikiran dan perasaan, menyampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbentuknya pembagian bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang

BAB I PENDAHULUAN. terbentuknya pembagian bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri melainkan selalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan makhluk sosial lainnya, untuk keperluan

Lebih terperinci

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PEMBELAJARAN SAINS DI SD DOREMI EXCELLENT SCHOOL. oleh: Ni Made Yethi suneli

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PEMBELAJARAN SAINS DI SD DOREMI EXCELLENT SCHOOL. oleh: Ni Made Yethi suneli ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PEMBELAJARAN SAINS DI SD DOREMI EXCELLENT SCHOOL oleh: Ni Made Yethi suneli Abstrak: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menganalisis

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS

KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan isi hatinya, baik perasaan senang, sedih, kesal dan hal lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan isi hatinya, baik perasaan senang, sedih, kesal dan hal lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa, maka kehidupan manusia akan kacau. Sebab dengan bahasalah manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hidup bermasyarakat merupakan salah satu sifat manusia. Manusia tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hidup bermasyarakat merupakan salah satu sifat manusia. Manusia tidak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hidup bermasyarakat merupakan salah satu sifat manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam menjalin interaksi dengan orang lain, manusia

Lebih terperinci

memperoleh pengetahuan dan keterampilan sehingga timbul adanya suatu

memperoleh pengetahuan dan keterampilan sehingga timbul adanya suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Belajar Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kemampuan keterampilan dan sikap. Seseorang dapat belajar dari pengalaman sendiri maupun pengalaman

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA I. UMUM Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah SMP Negeri 2 Polanharjo merupakan sekolahan yang letaknya di pinggiran Kabupaten Klaten tepatnya di Jalan Raya Tegalgondo-Janti km 3, Sidowayah, Polanharjo,

Lebih terperinci

TINDAK TUTUR DALAM BERCERITA SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 CIAMIS

TINDAK TUTUR DALAM BERCERITA SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 CIAMIS TINDAK TUTUR DALAM BERCERITA Oleh Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ABSTRAK Berdasarkan observasi penulis saat melakukan kegiatan PPL. Anak terlihat cenderung pasif melakukan kegiatan

Lebih terperinci

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom RAGAM TULISAN KREATIF C Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom HAKIKAT MENULIS Menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa. Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena interferensi bahasa sangat lumrah terjadi pada masyarakat yang menggunakan dua bahasa atau yang juga disebut dwibahasa. Fenomena tersebut dalam sosiolinguistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia di jajah oleh bangsa Eropa kurang lebih 350 tahun atau 3.5 abad, hal ini di hitung dari awal masuk sampai berakhir kekuasaannya pada tahun 1942. Negara eropa

Lebih terperinci

KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : NURUL FATIMAH Y.M. L2D 002 422 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

METODE PEMBELAJARAN BAHASA SASTRA Prosedur dan Kultur. Meyridah SMAN Tambang Ulang, Tanah Laut

METODE PEMBELAJARAN BAHASA SASTRA Prosedur dan Kultur. Meyridah SMAN Tambang Ulang, Tanah Laut METODE PEMBELAJARAN BAHASA SASTRA Prosedur dan Kultur Meyridah SMAN Tambang Ulang, Tanah Laut merydah76@gmail.com ABSTRAK Tulisan ini bertujuan memberikan kontribusi pemikiran terhadap implementasi pembelajaran

Lebih terperinci

Sikap Bahasa Masyarakat Urban terhadap Bahasa Indonesia. (Menemukan Tipe Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Wilayah Rural dan Urban)

Sikap Bahasa Masyarakat Urban terhadap Bahasa Indonesia. (Menemukan Tipe Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Wilayah Rural dan Urban) Sikap Bahasa Masyarakat Urban terhadap Bahasa Indonesia (Menemukan Tipe Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Wilayah Rural dan Urban) Nuryani,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Abstrak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. haruslah digunakan ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi. Tetapi

BAB 1 PENDAHULUAN. haruslah digunakan ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi. Tetapi BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Berbahasa yang baik dan benar seperti dianjurkan pemerintah bukanlah berarti harus selalu menggunakan bahasa baku atau resmi dalam setiap kesempatan, waktu dan tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih

Lebih terperinci

Penting Tidaknya Bahasa Indonesia

Penting Tidaknya Bahasa Indonesia Penting Tidaknya Bahasa Indonesia 1. Jumlah Penutur 2. Luas Penyebarannya 3. Keterpakaian sebagai Sarana Ilmu, Budaya, dan Sastra Ragam bahasa apa yang Anda tahu??? Kompetensi Dasar Mahasiswa memiliki

Lebih terperinci

KELOMPOK 1 Teknik Mesin UB DIKSI DAN KATA BAKU. Makalah Bahasa Indonesia

KELOMPOK 1 Teknik Mesin UB DIKSI DAN KATA BAKU. Makalah Bahasa Indonesia KELOMPOK 1 Teknik Mesin UB DIKSI DAN KATA BAKU Makalah Bahasa Indonesia KATA PENGANTAR Syukur alhamdulilah kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat yang telah di limpahkannya. Sehingga penyusunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan sehari-hari tidak pernah lepas dengan bahasa, ketika

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan sehari-hari tidak pernah lepas dengan bahasa, ketika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan sehari-hari tidak pernah lepas dengan bahasa, ketika mendengar lagu yang merdu, menonton film yang bagus, membaca cerita, bercakap-cakap dengan keluarga

Lebih terperinci