O4-97 '()*+,-. :(,-6+3+) Z(4+H:+,L4()9+=+0 '(=+,-4 <6(4L) 9+)?(4+)L=6(,4+ _+);+ '(=+,-49+=+0 Y9+,+ _(,1-3+

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "O4-97 '()*+,-. :(,-6+3+) Z(4+H:+,L4()9+=+0 '(=+,-4 <6(4L) 9+)?(4+)L=6(,4+ _+);+ '(=+,-49+=+0 Y9+,+ _(,1-3+"

Transkripsi

1 !"#!$%&$ 8" '()*+,-. '()+01+.+) (,0()4+67 8(9+3 '+97 9()*+) :+;+)* <6;(,*7=-6 >7*(, 4(,.+9+; :+)9-)*+)?7)(,+= :+=67-0@ 5(,-0 9+)?+*)(67-0 A$BCD 9 1E& D$E 4B$D 3$"&E FGHFI '()*+,-. ;J 9+) K+0+ 5(,0()4+67 L=(. M)N70 O(=-=L6( 9+=+0 ',L6(6 J79,L=7676 -)4-3?()7)*3+43+) >7=+7 P7N7 MQ()* PL)9L3 B$E FRHGS '()*+,-. '(0+3+7+)?7)T+3 U+*-)*4(,.+9+; 'L=+ K(0+3 8+,+. :(=7)Q7 VE GWHGX '()*+,-. '(01(,7+) Y,7) O+;7;+9+ Z(,1+*+7 :L)6()4,+679+) K+0+ '(,()9+0+) Z()7. O()4,L [\()4,L6(0+ '-1(6Q()6]4(,.+9+; 8+T+ :(Q+01+.@ ^7*L,74+69+) Z(,+4 :(,7)* _+)+0+) `$a$d GbHSI O4-97 '()*+,-. :(,-6+3+) Z(4+H:+,L4()9+=+0 '(=+,-4 J(36+)+@ <6(4L) 9+)?(4+)L=6(,4+ _+);+ '(=+,-49+=+0 Y9+,+ _(,1-3+!$B 2"c d"& SRHSX e9()47f )*7?73L,7N+ <,1-63-=+, [5?<]97 J-4+) K7)9-)*?+)*,Lg( '+)*3+= Z+1- :+1-;+4() _+)h-)* U+1-)* Z+,+4 U+017 3"$E& 2c 6"i&$"$ 9$E D$E V$a$B SbHWI ^L=-0( <017)* 9+) ZL1L4 Z+9+) <)+3 :+017)* '(,+)+3+) M4+j+. 6(1+*+7 k(6;l) '(01(,7+) 5OJ 9+) '?OP 4D$E D$E i$l WRHIS e9()47f73+67 U()769+) '(,1+)T+3+) M)9L073L,7N+ KL3+=97 J-4+) :+0;-6 Y)7g(,674+6 U+017 2c 6"i&$"$ 9$E 3"$E& D$E 4#$CD IWHIm Mg+=-+67?-4- P+1+. '+97 KL3+= '+6+)* O-,-4 <6+= :(Q+0+4+) _-)*3+= e=7, :+1-;+4() _+)h-)* U+1-)* Z+,+4 4CE" InHRF e9()47f73+67?-4- Z(,+69+,7 '+97 KL3+= '+6+)* O-,-4 <6+= :(Q+0+4+) '()*+1-+) :+1-;+4() _+)h-)* U+1-)* Z+,+4 `&C 9$%a RGHRX <)+= ) :+,+34(,76+67 O()T+j+ <=3+=L79 8+,7 _+)+0+) :7)+ [\.7)Q.L)+ =(9*(,7+)+] 3%a$ 0BE IbHmI 6D$E 6E"$E

2 Volume 14, Nomor 2, Hal ISSN Juli Desember 2012 IDENTIFIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR (FMA) DI HUTAN LINDUNG MANGROVE PANGKAL BABU KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT JAMBI Nursanti, Rike Puspitasari Tamin, dan Hamzah Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengeksploirasi ada tidaknya Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) endogenus pada hutan lindung mangrove Pangkal Babu Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Percobaan dilaksanakan pada bulan Juni - November 2012 di Hutan Lindung Mangrove Pangkal Babu Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Laboratorium laboratorium Produksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Pengambilan sampel tanah dilakukan di setiap tegakan/rhizosfer masing-masing dengan 3 kali ulangan, kemudian sampel tanah yang diperoleh dilakukan pengamatan spora FMA dengan teknik penyaringan basah bertingkat lalu diamati di mikroskop Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil eksplorasi FMA endogenus pada hutan lindung mangrove Pangkal Babu di Kabupaten Tanjung Jabung Barat didapatkan kelimpahan spora FMA yang berbeda pada setiap tegakan/rhizosper. Kepadatan spora terendah terdapat pada rhizosfer pohon Xylocarpus granatum dan Bruquiera gymnorhyza masing-masing sebesar 15 dan 19 spora per 100 gram sampel tanah, sedangkan kepadatan spora tertinggi didapat dari rhizosfer pohon teruntum (Lumnitzera racemosa) sebesar 58 spora per 100 gram tanah. Kata kunci : FMA, hutan mangrove, endogenus PENDAHULUAN Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan ( interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain. Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan. Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, namun sudah semakin kritis ketersediaannya. Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara jamur dan akar tanaman. Salah satu 29

3 Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains kemampuan FMA yaitu dalam membantu tanaman menyerap unsur hara terutama unsur hara Phosfor (Brundrett, 2004). Hampir pada semua jenis tanaman terdapat bentuk simbiosis ini. FMA dapat ditemukan hampir pada sebagian besar tanah dan pada umumnya tidak mempunyai inang yang spesifik. Walaupun demikian, tingkat populasi dan komposisi jenis sangat beragam dan dipengaruhi oleh karakteristik tanaman dan faktor lingkungan seperti suhu, ph tanah, kelembaban tanah, kandungan posfor dan nitrogen. Dengan demikian, setiap ekosistem mempunyai kemungkinan dapat mengandung FMA dengan jenis yang sama atau bisa juga berbeda, karena keanekaragaman dan penyebaran FMA sangat bervariasi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang bervariasi juga, begitu juga dengan FMA yang terdapat di hutan mangrove memiliki ciri khas tersendiri, salah satunya FMA yang terdapat di hutan lindung mangrove Pangkal Babu Kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi dimana belum pernah diketahui keberadaannya, jenis dan keanekaragaman FMA tersebut, sehingga perlu dilakukan eksplorasi dan indentifikasi serta perbanyakan FMA karena penggunakan FMA endogenus akan lebih baik dibandingkan menggunakan FMA eksogenus pada jenis-jenis tanaman lokal. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan lapangan dilaksanakan di Hutan Lindung Magrove Pangkal Babu Kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi, Laboratorium Produksi Tanaman bulan Juni sampai dengan November Bahan dan Alat Percobaan Bahan yang digunakan antara lain adalah tanah pada Hutan Lindung Mangrove Pangkal Babu Kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi,, aquades, alkohol 70%,bayclin, gula pasir. Alat-alat yang digunakan adalah pinset spora, pipet spora, suntikan, cawan petri, mikroskop, tabung film, lemari pendingin, kantong plastik, kaca preparat, pot kecil, zeolit, cangkul, kertas label, saringan spora, blender, sentrifius, dan kamera digital. Rancangan Percobaan Metode sampling yang digunakan dalam pengambilan sampel tanah di Hutan Lindung Mangrove Pangkal Babu Kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi yaitu secara Purposive Random Sampling dengan 3 kali ulangan. Metode Eksplorasi FMA Di Hutan Lindung Mangrove Pangkal Babu Kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi Eksplorasi FMA dilakukan dengan cara mengambil contoh tanah secara acak dengan 3 kali ulangan pada beberapa titik di sekitar perakaran tanaman (rhizosfer) untuk 7 jenis pohon mangrove dari kedalaman 0 20 cm. Contoh tanah dimasukan dalam kantung plastik dan diberi label sebanyak 500 gram. Kemudian dilakukan pencatatan dan dokumentasi tentang kondisi habitat. Pengamatan Spora Awal 1. Ambil sampel tanah yang diambil dari Hutan Lindung Mangrove Pangkal Babu Kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi. 2. Haluskan contoh tanah uji. 3. Teknik penyaringan FMA menggunakan teknik basah dari Nicholson dan Gerdeman (1963), dengan cara : a. Campurkan contoh tanah sebanyak ± 250 ml didalam satu liter air dan aduklah sampai rata. Biarkan beberapa menit sampai partikel-partikel besar mengendap. b. Tuang cairan tadi ke dalam saringan yang berukuran ( µm) untuk memisahkan partikel-partikel bahan organik yang berukuran besar. Tampung cairan yang keluar dan basuhlah saringan tadi untuk menjamin bahwa partikel yang kecil sudah terbawa. c. Buat suspensi kembali dari cairan yang telah ditampung tadi dan biarkan untuk beberapa menit agar partikel-partikel yang berat mengendap. d. Tuang cairan tadi ke dalam saringan yang berukuran µm. 30

4 Nursanti, dkk.: Identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) di Hutan Lindung Mangrove Pangkal Babu Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi e. Cucilah semua bahan yang menempel pada saringan agar menjamin keluar dari saringan. f. Pindahkan sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan ke dalam cawan petri dan lihatlah ke dalam mikroskop. g. Isilah gelas sentrifius yang bersih dengan 10 ml sukrosa 50 %. h. Tambahkan lagi 10 ml larutam sukrosa 25 % di atas larutan sukrosa 50 % dengan menggunakan jarum injeksi. Penambahan ini harus dilakukan secara hati-hati agar tidak tercampur. i. Tambahkan lagi di atas lapisan sukrosa 25 % dengan air biasa sebanyak 10 ml. j. Tambahkan suspensi yang telah disaring melalui teknik penyaringan basah ke dalam tabung sentrifius tadi dan sentrifiuslah selama 5 menit dengan kecepatan 3000 rpm. k. Pisahkan kotoran-kotoran yang ada dan tuangkan atau ambilah cairan yang bening pada lapisan tengah dengan menggunakan jarum injeksi. Kotoran ini kemudian dicuci pada saringan yang berdiameter 45 µm. Setelah dicuci, pindahkan spora yang menempel pada saringan ke dalam cawan petri dan lihatlah di bawah mikroskop untuk dilakukan pengamatan identifikasi spora FMA. l. Simpan spora FMA didalam tabung film berisi air, kemudian simpan didalam kulkas sampai pada waktunya untuk diperbanyak dengan kultur spora tunggal. Ekstraksi Spora FMA Ekstraksi FMA dilakukan untuk memisahkan spora dari contoh tanah sehingga dapat dilakukan identifikasi guna mengetahui genus spora FMA. Teknik yang digunakan adalah teknik tuang saring dari Pacioni (1992) dan dilanjutkan dengan sentrifugasi dari Brundrett et al.(1996) 1. Pada teknik tuang saring, contoh tanah sebanyak 100 gram dicampur dengan ml air, lalu diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur. Selanjutnya disaring dalam satu set saringan. Saringan bagian atas disemprot dengan air kran untuk memudahkan spora lolos. Selanjutnya saringan teratas dilepas, dan sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saribgab terbawah dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse. 2. Hasil saringan dalam tabung sentrifuse ditambah glukosa 60 % dengan menggunakan pipet. 3. Kemudian masukan tabung ke dalam sentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. 4. Selanjuntnya larutan supernatan tersebut dihisap dengan pipet hisap dan dituang ke dalam saringan 45 µm, dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan glukosa. 5. Endapan yang tersisa disaringan dituangkan ke dalam cawan petri plastik dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop binokuler untuk penghitungan spora dan pembuatan preparat guna identifikasi spora FMA yang ada. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian berupa kepadatan spora per 100 gram tanah dari Hutan Lindung Mangrove Pangkal Babu Tanjung Jabung Barat Jambi dari rhizosfer jenis Avicennia (api-api), Sonneratia alba (Pedada), Rhizophora sp. (bakau), Xylocarpus granatum (nyirih), Bruguiera gymnorhyza (tancang), teruntum, dan Nypha fruticans (Nipah) seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa Hutan Lindung Mangrove Pangkal Babu Tanjung Jabung Barat Jambi yang merupakan ekosistem salin mengandung fungi mikoriza arbuskular lokal (endomikoriza) endogenus. Hasil penelitian ini mendukung beberapa hasil penelitian terdahulu yang juga menemukan fungi mikoriza arbuskular pada tanah tergenang dan salin, seperti penelitian Lingan, et al. (1999) yang menemukan 3 jenis endomikoriza lokal di Hutan mangrove Pichavaram India. Moharkumar dan Mahadevan (1986) di sitasi Sengupta dan Chaudhuri (2002), Kan (1993) disitasi oleh 31

5 Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains Tabel 1. Jumlah spora FMA per 50 gram tanah yang ditemukan pada 7 jenis pohon di Hutan Lindung Mangrove Pangkal Babu Tanjung Jabung Barat Jambi No Jenis Ulangan 1 Avicennia 2 Sonneratia alba 3 Rhizophora sp. 4 Xylocarpus granatum 5 Bruguiera gymnorhyza 6 Teruntum 7 Nypha fruticans Jumlah Spora Rata-rata Jumlah Spora Saidi et al. (2007), serta Wang et al. (2011) juga mengemukakan bahwa beberapa fungi mikoriza arbuskular mampu bertahan pada kondisi salin dan tergenang. Keberadaan FMA pada kondisi salin dan tergenang seperti hutan mangrove dapat dijelaskan antara lain ; 1) FMA tersebut merupakan jenis yang toleransinya tinggi terhadap garam; 2) pada kondisi tergenang moderat misalnya (2-4 jam per hari) jumlah akar nafas pneumatophore meningkat sehingga dapat pula meningkatkan efisiensi dari parenkim udara aerenkim pada jenis-jenis mangrove; 3) pada kondisi tergenang moderat tersebut, fotosintesis jenis-jenis mangrove sangat efisien dan optimal sehingga karbohidrat yang dihasilkan lebih banyak yang merupakan sumber energi bagi FMA (Wang et al, 2011 ; Avid et al., 2006). Jaringan aerenkim di korteks pada jenis-jenis mangrove menjadi pintu masuknya oksigen dari permukaan ke dalam akar yang akan memfasilitasi survival FMA pada kondisi anaerobik. Keberadaan FMA pada Hutan Mangrove Pangkal Babu salah satunya didukung oleh letak wilayah tersebut pada daerah estuarin yang merupakan daerah endapan sedimen aluvial dari wilayah daratan. Hal tersebut berbeda dengan hutan mangrove pada Marine Salt Marsh yang dilaporkan tidak ditemukan spora FMA ( Moharkumar dan Mahadevan, 1986 disitasi oleh Sengupta dan Chaudhuri, 2002). Status mikoriza arbuskular di dalam tanah salah satunya tercermin dari kepadatan spora per gram tanah dalam hal ini per 100 gram tanah dari rhizosfer tanaman sampel. Kepadatan FMA di Hutan mangrove Pangkal Babu ini bervariasi dari 3-84 per 100 gram tanah dari rhizosfer 7 jenis pohon mangrove yang diamati. Populasi spora FMA di Hutan Mangrove Pangkal Babu ini tergolong tinggi, karena menurut Walker (1992) diacu dalam Widiastuti dan Kramadibrata (1993) populasi spora FMA dikategorikan tinggi bila jumlahnya per 100 gram tanah. Tingginya populasi spora FMA pada tanah salin diduga karena jenis-jenis FMA pada lokasi tersebut memiliki mekanisme osmoregulasi yaitu mekanisme penyesuaian osmotik dari halofit pada tanah salin dengan cara menyimpan ion natrium dan klorida sehingga potensial osmotik di dalam sel lebih rendah daripada larutan tanah (Flowers et al., 1977). Gambar 1. Kelimpahan spora FMA pada rhizosfer Teruntum Gambar 2. Kelimpahan spora FMA pada rhizosfer Rhizophora sp. 32

6 Nursanti, dkk.: Identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) di Hutan Lindung Mangrove Pangkal Babu Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi Kepadatan spora terendah pada rhizosfer pohon Xylocarpus granatum dan Bruquiera gymnorhyza, sedangkan kepadatan spora tertinggi didapat dari rhizosfer pohon teruntum ( Lumnitzera racemosa). Tingginya populasi spora pada rhizosfer pohon teruntum diduga karena substrat tempat tumbuh teruntum sesuai untuk perkecambahan spora FMA karena substratnya berupa pasir dan lumpur yang tebal dan berada di sepanjang aliran yang mendapat banyak air tawar. Ratarata jumlah spora per 100 gram tanah tertinggi dari rhizosfer pohon teruntum, diikuti Nypha fruticans, Sonneratia alba, avicennia, Rhizophora, dan terendah Bruquiera gymnorhyza dan Xylocarpus granatum. Penelitian Lingan et al. (1999) pada hutan Mangrove Pichavaram India, menemukan jumlah spora tertinggi justru pada rhizosfer pohon Bruquiera gymnorhyza 110 spora per 50 gram tanah, sedangkan untuk jenis Avicennia officinalis 32 spora per 50 gram tanah, dan terendah pada Rhizophora mucronata 2 spora per 50 gram tanah. Sedangkan penelitian Saidi, et al., (2007) pada hutan mangrove Pasca Tsunami di Nangroe Aceh Darussalam dan Pulau Nias ditemukan jumlah spora sebesar spora per 50 gram tanah. Kepadatan spora FMA pada mangrove dipengaruhi terutama oleh kondisi kimia tanah dan lingkungan dari sampel tanah mangrove tersebut (Kim dan Weber, 1985 diacu dalam Saidi, et al., 2007). Selain itu persaingan interspesifik diantara FMA tersebut juga turut menentukan. Peneliti lain yaitu Flowers, (1977) disitasi Kuske (1987) menambahkan bahwa pohon inang juga turut mempengaruhi kelimpahan spora FMA. Peranan pohon inang terhadap kelimpahan spora FMA di rhizosfer adalah berhubungan dengan eksudat akar yang dihasilkan, dimana eksudat akar yang merupakan sumber energi akan mempengaruhi perkecambahan spora FMA. KESIMPULAN Hasil eksplorasi FMA endogenus pada hutan lindung mangrove Pangkal Babu di Kabupaten Tanjung Jabung Barat didapatkan kelimpahan spora FMA yang berbeda pada setiap tegakan/rhizosper. Kepadatan spora terendah terdapat pada rhizosfer pohon Xylocarpus granatum dan Bruquiera gymnorhyza masing-masing sebesar 15 dan 19 per 100 gram sampel tanah, sedangkan kepadatan spora tertinggi didapat dari rhizosfer pohon teruntum ( Lumnitzera racemosa) sebesar 58 per 100 gram tanah. DAFTAR PUSTAKA Allaby, M Biomes of the World. Anndromedia volume 7 Oxford. Avid, K., Koth, D., Shalin, Bhattacharyyn, Ramesh, and C. Kuhad Micorrhyza at Nicobar India. Biol Fertil Soils 42: Flowers, T.J., Troke, P.F., and A.R. Yeo The mechanism of salt tolerance in halophytes. Ann. Rev. Plant Physiol 28 : Kellert, S. R Macmillion Encyclopedia of the Environment. Simon and Schuster and Prentice Hall International. Kusmana, C Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai Pasca Tsunami di NAD dan Nias. Makalah dalam Lokakarya Hutan mangrove Pasca sunami, Medan, April Naamin, N Penggunaan Hutan Mangrove untuk Budidaya Tambak Keuntungan dan Kerugian. Prosiding Seminar IV Ekosistem Hutan Mangrove MAB Indonesia LIPI. Bandar lampung. Saenger Global Status of Mangrove Ekosistem, IUCN Commission on Ecology Papers, No Saidi, A.B., Budi, S.W., dan C. Kusmana Status cendawan mikoriza arbuskular hutan pantai dan hutan mangrove pasca tsunami (Studi Kasus di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Pulau Nias). Forum Pascasarjana vol. 30 No. 1;(13-25). Sengupta, A., and S. Chaudhuri Arbuscular mycorrhizal of mangrove plant community at the Ganges river 33

7 Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains estuary in India. Mycorrhiza 12 : Soerianegara, I., dan Indrawan Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Stralher, Arthur N, Strahler, and H. Alan Elements of Physical Geography. John Wiley & Sons. Van Aarle, I.M., T.R. Cavagnaro, S.E. Smith, F.A. Smith, and S. Dickson Metabolic activity of Glomus intradices in Arum- and Paris-type arbuscular mycorrhizal colonization. New Phytologist 166(2): Wang, Y., Huang, Y., Qiu, Q., Xin, Q., Yang, Z., and Shi, S Flooding Greatly Affect The Diversity Arbuscular Mycorrhyzal Fungi Communities in The Wetland Plants. Widiastuti, H. dan K. Karmadibrata Identifikasi jumlah mikoriza vesikular arbuskular di arboretum. Menara jurnal 61 (1):

O4-97 '()*+,-. :(,-6+3+) Z(4+H:+,L4()9+=+0 '(=+,-4 <6(4L) 9+)?(4+)L=6(,4+ _+);+ '(=+,-49+=+0 Y9+,+ _(,1-3+

O4-97 '()*+,-. :(,-6+3+) Z(4+H:+,L4()9+=+0 '(=+,-4 <6(4L) 9+)?(4+)L=6(,4+ _+);+ '(=+,-49+=+0 Y9+,+ _(,1-3+ 01778981878908 788 8 0!"#!$%&$ 8" '()*+,-. '()+01+.+) +- (,0()+7 8(9+ '+97 9()*+) :+;+)* 7*(, (,.+9+; :+)9-)*+)?7)(,+= :+=7-0@ (,-0 9+)?+*)(7-0 A$BCD 9 1E& D$E B$D $"&E FGHFI '()*+,-. ;J 9+)

Lebih terperinci

O4-97 '()*+,-. :(,-6+3+) Z(4+H:+,L4()9+=+0 '(=+,-4 <6(4L) 9+)?(4+)L=6(,4+ _+);+ '(=+,-49+=+0 Y9+,+ _(,1-3+

O4-97 '()*+,-. :(,-6+3+) Z(4+H:+,L4()9+=+0 '(=+,-4 <6(4L) 9+)?(4+)L=6(,4+ _+);+ '(=+,-49+=+0 Y9+,+ _(,1-3+ 012345673758984313872894048 728483 83 3 0!"#!$%&$ 8" '()*+,-. '()+01+.+) 2+34-5(,0()4+67 8(9+3 '+97 9()*+) :+;+)* 7*(, 4(,.+9+; :+)9-)*+)?7)(,+= :+=67-0@ 5(,-0 9+)?+*)(67-0 A$BCD 9 1E& D$E

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE Penelitian I. Populasi dan Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskular pada Lahan Sayuran dan Semak 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Sampel tanah untuk penelitian ini diambil dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

ISSN JURNAL PENELITIAN UNIVERSITAS JAMBI SERI SAINS

ISSN JURNAL PENELITIAN UNIVERSITAS JAMBI SERI SAINS ISSN 0852-8349 JURNAL PENELITIAN UNIVERSITAS JAMBI SERI SAINS Daftar Isi Volume 14, Nomor 1, Januari Juni 2012 Sifat Kimia Tanah Ultisol dan Hasil Kedelai (Glycine Max (L) Merril) Akibat Perbedaan Waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

Identifikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula Dari Perakaran Tanaman Pertanian

Identifikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula Dari Perakaran Tanaman Pertanian ISSN 2302-1616 Vol 4, No. 1, Juni 2016, hal 16-20 Available online http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/biogenesis Identifikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula Dari Perakaran Tanaman Pertanian EKA SUKMAWATY

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Percobaan ini dilaksanakan di rumah plastik, dan Laboratorium Produksi

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Percobaan ini dilaksanakan di rumah plastik, dan Laboratorium Produksi III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan ini dilaksanakan di rumah plastik, dan Laboratorium Produksi Perkebunan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Bandar Lampung,

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit PTPN 7 Unit Usaha

III BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit PTPN 7 Unit Usaha III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit PTPN 7 Unit Usaha Rejosari dan Laboratorium Produksi Perkebunan Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Februari 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Februari 2014. 10 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Februari 2014. Pengambilan sampel tanah dilakukan di Hutan mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Analisis

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan kering, Desa Gading PlayenGunungkidul Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 15 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Kaca dan Laboratorium Produksi Perkebunan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, mulai bulan Maret sampai Mei

Lebih terperinci

STUDI POTENSI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR INDIGENOUS DARI LOKASI PENANAMAN JARAK PAGAR DI LEMBAH PALU

STUDI POTENSI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR INDIGENOUS DARI LOKASI PENANAMAN JARAK PAGAR DI LEMBAH PALU STUDI POTENSI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR INDIGENOUS DARI LOKASI PENANAMAN JARAK PAGAR DI LEMBAH PALU The potency of Indigenous Arbuscular Mycorrhizae Fungi from Physic Nut Area at Lembah Palu ABSTRAK Setiap

Lebih terperinci

Ni Kadek Marina Dwi Cahyani

Ni Kadek Marina Dwi Cahyani Ni Kadek Marina Dwi Cahyani 1509 100 067 Dosen Pembimbing: Ir. Sri Nurhatika, MP Dr. Ir. Anton Muhibuddin, SP., MP JURUSAN BIOLOGI Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Perkebunan Fakultas Pertanian, Unila dari Bulan Desember 2014 sampai Maret

III. BAHAN DAN METODE. Perkebunan Fakultas Pertanian, Unila dari Bulan Desember 2014 sampai Maret III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan ini dilaksanakan di Rumah Kaca dan Laboratorium Produksi Tanaman Perkebunan Fakultas Pertanian, Unila dari Bulan Desember 2014 sampai Maret

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR MATA KULIAH TEKNOLOGI PUPUK DAN PEMUPUKAN PUPUK HAYATI MIKORIZA MIRPROB

LAPORAN AKHIR MATA KULIAH TEKNOLOGI PUPUK DAN PEMUPUKAN PUPUK HAYATI MIKORIZA MIRPROB LAPORAN AKHIR MATA KULIAH TEKNOLOGI PUPUK DAN PEMUPUKAN PUPUK HAYATI MIKORIZA MIRPROB oleh : Bayu Widhayasa 0910480026 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2010

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang tentang Studi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang tentang Studi III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang tentang Studi Rehabilitasi Tanah atas kerjasama antara Universitas Lampung (UNILA),

Lebih terperinci

BAB I. penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah

BAB I. penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekitar 75% dari luas wilayah nasional berupa lautan. Salah satu bagian penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai, dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari Febuari hingga April 2015.

III. BAHAN DAN METODE. Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari Febuari hingga April 2015. 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Produksi Perkebunan dan rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari Febuari hingga April

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Universitas 27 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Universitas Lampung pada September 2014 sampai Januari 2015. Identifikasi jumlah spora

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium dan Rumah Kaca Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, mulai bulan Januari 2012

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. dengan Yokohama National University Jepang yang dilaksanakan di Kebun

III. BAHAN DAN METODE. dengan Yokohama National University Jepang yang dilaksanakan di Kebun III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang kerjasama Unila dengan Yokohama National University Jepang yang dilaksanakan di Kebun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang Studi Rehabilitasi Tanah yang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang Studi Rehabilitasi Tanah yang 15 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang Studi Rehabilitasi Tanah yang merupakan kerjasama peneliti antara Universitas Lampung,

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2011 sampai Oktober 2012. Sampel gubal dan daun gaharu diambil di Desa Pulo Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang Soil

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang Soil III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang Soil Rehabilitation yang dilaksanakan atas kerjasama GMP-UNILA-YNU. Pengambilan sampel

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DI LAHAN GAMBUT DESA AEK NAULI, KECAMATAN POLLUNG, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DI LAHAN GAMBUT DESA AEK NAULI, KECAMATAN POLLUNG, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DI LAHAN GAMBUT DESA AEK NAULI, KECAMATAN POLLUNG, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN Deni Elfiati Delvian PS KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN USU PENDAHULUAN Mikoriza merupakan bentuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. jamur (mykos = miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa

TINJAUAN PUSTAKA. jamur (mykos = miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Mikoriza Istilah mikoriza diambil dari Bahasa Yunani yang secara harfiah berarti jamur (mykos = miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa mutualisme antara jamur dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif bertujuan untuk

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif bertujuan untuk 29 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif bertujuan untuk mengetahui potensi akumulasi tumbuhan mangrove terhadap logam berat Cd di Pantai

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 8 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1.1 Materi Penelitian 1.1.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang bertubuh buah, serasah daun, batang/ranting

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SALINAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS, Menimbang

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang kerjasama

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang kerjasama 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang kerjasama Universitas Lampung dengan Yokohama National University Japan (UNILA- YNU)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

mesh, kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml selanjutnya diamkan selama 30 menit

mesh, kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml selanjutnya diamkan selama 30 menit Lampiran 1. Prosedur Penelitian 1. Sifat Kimia Tanah a. C-Organik Ditimbang g tanah kering udara telah diayak dengan ayakan 10 mesh, kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml Ditambahkan 10 ml K 2

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir. Hutan mangrove menyebar luas dibagian yang cukup panas di dunia, terutama

Lebih terperinci

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada ) Mangal komunitas suatu tumbuhan Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terletak didaerah teluk dan muara sungai dengan ciri : tidak dipengaruhi iklim, ada pengaruh pasang surut

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan Jurusan 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Lapangan

Lebih terperinci

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1 : (1999)

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1 : (1999) Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1 : 77-85 (1999) Artikel (Article) STUDI KEMAMPUAN TUMBUH ANAKAN MANGROVE JENIS Rhizophora mucronata, Bruguiera gimnorrhiza DAN Avicennia marina PADA BERBAGAI

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca dan Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dari bulan November 2009 Mei

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, yang mencerminkan adanya interaksi

TINJAUAN PUSTAKA. dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, yang mencerminkan adanya interaksi TINJAUAN PUSTAKA A. Fungi Mikoriza Arbuskula Fungi mikoriza arbuskula merupakan suatu bentuk asosiasi antara fungi dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, yang mencerminkan adanya interaksi fungsional yang

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tanaman Fakultas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tanaman Fakultas III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Pelaksanaan penelitian dimulai dari September

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

Produksi inokulan cendawan ektomikoriza untuk bibit tanaman kehutanan

Produksi inokulan cendawan ektomikoriza untuk bibit tanaman kehutanan Standar Nasional Indonesia Produksi inokulan cendawan ektomikoriza untuk bibit tanaman kehutanan ICS 65.020.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2014

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan antara habitat-habitat yang bertentangan. Untuk menghadapi lingkungan yang unik ini maka makhluk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pangan dari tahun ke tahun meningkat, hal ini sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pangan dari tahun ke tahun meningkat, hal ini sejalan dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan pangan dari tahun ke tahun meningkat, hal ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang juga meningkat. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Gambar 3.1. Lokasi Penelitian (Google Map, 2014)

III. METODE PENELITIAN. Gambar 3.1. Lokasi Penelitian (Google Map, 2014) III. METODE PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di hutan mangrove Segara Anakan Cilacap, Jawa Tengah, International Tropical Marine and Earth Science Laboratory

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang memiliki tubuh buah, serasah daun, ranting, kayu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Hutan dan rumah kaca Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) Gunung Batu Bogor. Percobaan dilaksanakan

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Kasim Riau yang beralamat di Jl. HR. Soebrantas KM 15 Panam, Pekanbaru.

MATERI DAN METODE. Kasim Riau yang beralamat di Jl. HR. Soebrantas KM 15 Panam, Pekanbaru. III. MATERI DAN METODE 3.1. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) dan lahan kampus Universitas Islam Negeri Sultan Syarif

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan 14 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

II. METODOLOGI PENELITIAN. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana,

II. METODOLOGI PENELITIAN. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana, II. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Metode Pengumpulan Data 2.1.1. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental. Pengambilan data penelitian diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) tunggal, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. endomikoriza atau FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) pada jenis tanaman. (Harley and Smith, 1983 dalam Dewi, 2007).

TINJAUAN PUSTAKA. endomikoriza atau FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) pada jenis tanaman. (Harley and Smith, 1983 dalam Dewi, 2007). TINJAUAN PUSTAKA Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara jamur dan akar tanaman (Brundrett, 1991). Hampir pada semua jenis tanaman terdapat bentuk simbiosis ini. Umumya mikoriza dibedakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Bidang Proteksi Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

O4-97 '()*+,-. :(,-6+3+) Z(4+H:+,L4()9+=+0 '(=+,-4 <6(4L) 9+)?(4+)L=6(,4+ _+);+ '(=+,-49+=+0 Y9+,+ _(,1-3+

O4-97 '()*+,-. :(,-6+3+) Z(4+H:+,L4()9+=+0 '(=+,-4 <6(4L) 9+)?(4+)L=6(,4+ _+);+ '(=+,-49+=+0 Y9+,+ _(,1-3+ 012345673758984313872894048 728483 83 3 0!"#!$%&$ 8" '()*+,-. '()+01+.+) 2+34-5(,0()4+67 8(9+3 '+97 9()*+) :+;+)* 7*(, 4(,.+9+; :+)9-)*+)?7)(,+= :+=67-0@ 5(,-0 9+)?+*)(67-0 A$BCD 9 1E& D$E

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Laboratorium Produksi Perkebunan Fakultas Pertanian Universitas Lampung

III. BAHAN DAN METODE. Laboratorium Produksi Perkebunan Fakultas Pertanian Universitas Lampung III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca, Laboratorium Produksi Tanaman, dan Laboratorium Produksi Perkebunan Fakultas Pertanian Universitas Lampung mulai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut 4 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan dengan faktor fisik yang ekstrim, seperti habitat tergenang air dengan salinitas tinggi di pantai dan sungai dengan

Lebih terperinci

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MIKORIZA INDIGENOUS DARI PERAKARAN TEMBAKAU DI AREA PERSAWAHAN KABUPATEN PAMEKASAN MADURA

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MIKORIZA INDIGENOUS DARI PERAKARAN TEMBAKAU DI AREA PERSAWAHAN KABUPATEN PAMEKASAN MADURA ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MIKORIZA INDIGENOUS DARI PERAKARAN TEMBAKAU DI AREA PERSAWAHAN KABUPATEN PAMEKASAN MADURA Siti Sundari 1507 100 058 Dosen Pembimbing Tutik Nurhidayati, S.Si, M.si Indah Trisnawati,

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

Lampiran 1. Spesifikasi bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian

Lampiran 1. Spesifikasi bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian Lampiran 1. Spesifikasi bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian No. Nama Alat Merek/Tipe Kegunaan Tempat Peminjaman 1. GPS Garmin Nuvi Menentukan letak Lab. Ekologi 205 posisi geogafis titik

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lay out penelitian I

Lampiran 1 Lay out penelitian I LAMPIRAN 65 Lampiran 1 Lay out penelitian I 66 Lampiran 2 B. humidicola tanpa N (A), B. humidicola dengann (B), P. notatum tanpa N (C), P. notatum dengan N (D), A. compressus tanpa N (E), A.compressus

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR Lili Kasmini 11 ABSTRAK Desa Ladong memiliki keanekaragaman mangrove yang masih tinggi yang berpotensi untuk tetap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaporkan sekitar 5,30 juta hektar jumlah hutan itu telah rusak (Gunarto, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. dilaporkan sekitar 5,30 juta hektar jumlah hutan itu telah rusak (Gunarto, 2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai hutan mangrove (hutan bakau) terbesar di dunia, yaitu mencapai 8,60 juta hektar, meskipun saat ini dilaporkan sekitar

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2010 hingga Oktober 2011.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2010 hingga Oktober 2011. III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2010 hingga Oktober 2011. Ekstraksi, analisis sifat kimia ekstrak campuran bahan organik dan analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2011 sampai Maret 2012 di Rumah Kaca

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2011 sampai Maret 2012 di Rumah Kaca III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2011 sampai Maret 2012 di Rumah Kaca dan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci