Transkripsi

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12 MANNEKE BUDIMAN sementara di dalam praktik bisnis terjadi kolusi antara banyak pengusaha "nonpribumi" dengan pemerintah, yang pada dasarnya memberikan keutnungan yang besar kepada pejabat-pejabat dalam pemerintahan. Dengan demikian, dalam skala makro, orang-orang "non-pribumi" dengan latar belakang etnik Cina pun sebenarnya tetap saja merupakan kelompok minoritas, yang keberadaannya dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Dimensi agama yang secara kuat mewarnai berbagai persitiwa kerusuhan yang ada juga tidak dapat dikesampingkan dengan sederhana. Sekalipun secara resmi pemerintah mengakui lima agama besar, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buda, tidak dapat disangkal bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia. Idealnya, di dalam sebuah masyarakat yang multiagama seperti Indonesia setiap kelompok agama harus dapat menerima kelompok agama lain dan membuka dialog untuk menyepakati suatu komitmen bersama untuk membangun masyarakat yang pluralistik (Mardiatmadja 1997). Dalam praktiknya, hubungan antaragama di Indonesia masih sering dibayang-bayangi oleh paling sedikit empat kendala utama, yakni prasangka, sekularisme, fundamentalisme dan komunalisme. Menurut B.S. Mardiatmadja, hal itu terjadi karena ada banyak unsur dalam pemerintahan yang memainkan politik pecah belah dengan cara menyebarkan kecurigaan di antara umat beragama serta para intelektual dan pemuka agama yang membiarkan dirinya dipecahbelah oleh ekonomi dan politik. Dari sejumlah data yang dibahas dapat disimpulkan bahwa kebhinnekaan budaya lebih merupakan kendala bagi proses pembentukan bangsa, dan semakin lama kendala ini menjadi semakin mengkhawatirkan. Secara sepintas terlihat pula mengapa kemajemukan, yang seharusnya menjadi unsur pemerkaya, justru cenderung berfungsi sebagai penghambat tercapainya kebersamaan, dan pada dasarnya faktor penyebabnya kembali kepada penerapan berbagai kebijakan yang simpang-siur atau tidak konsisten akibat ketidakjelasan konsep dan arah pengembangan, sikap dan praktik diskriminatif yang ditumbuhkembangkan oleh unsur-unsur dalam pemerintahan sendiri, serta kesenjangan sosial dan ekonomi yang juga disebabkan oleh penerapan kebijakan yang salah kaprah. Dalam uraian berikutnya akan dibahas situasi kemajemukan di Inggris dewasa ini serta berbagai aspek yang menjadikan kemajemukan tersebut menjadi kendala bagi pembangunan bangsa. 14

13

14

15

16

17

18

19 JATIDIRI BUDAYA karena ia tidak memperjuangkan nasib orang-orang Maluku atau Tapanuli, yang pada masa itu juga ditindas oleh Belanda. Ia bahkan tidak dapat dikatakan memperjuangkan kebebasan orang Jawa, karena alasan utamanya mengangkat senjata adalah karena Belanda berencana membangun jalan melewati makam keluarganya. Tetapi perjuangan yang sangat personal sifatnya itu kemudian diuniversalkan dalam ruang lingkup nasional melalui berbagai macam karya pahat, gambar di mata uang, nama jalan dan buku- buku pelajaran sejarah di seluruh negeri, sehingga status Diponegoro pun terangkat menjadi 'pahlawan nasional'. Baik orang Indonesia yang berada di Medan maupun di Ambon kini telah terbiasa memandang Diponegoro sebagai pahlawan mereka, yang seakanakan berjuang untuk memerdekakan seluruh tanah Nusantara dari kolonialisme Belanda. Seorang pakar lain yang juga secara mendalam mengulas masalah kebangsaan adalah Julia Kristeva. Kristeva sependapat dengan Renan bahwa bangsa dan kebangsaan lebih merupakan suatu jiwa dan bukan materi. Ia merujuk kepada konsep esprit general yang dikembangkan oleh Montesquieu, yang menitikberatkan kepada semangat persaudaraan bukan hanya antarwarga sebuah nation tetapi, yang lebih penting lagi, antarmanusia. Kristeva mengutip pernyataan Montesquieu yang berbunyi: If I knew something useful to myself and detrimental to my family, I would reject it from my mind. If I knew something useful to my family but not to my homeland, I would try to forget it. If I knew something useful to my homeland and detrimental to Europe, or else useful to Europe and detrimental to Mankind, I would consider it a crime (1993: 28). Terlihat jelas dalam pandangan yang kosmopolitan itu bahwa pengorbanan untuk suatu cita-cita yang lebih besar menjadi inti konsep esprit general, sebagaimana yang dipahami oleh Kristeva. Di sini didapati gaung pemikiran Renan yang berkenaan dengan perasaan 'senasib dan sepenanggungan' demi cita-cita bersama yang lebih mulia sebagai kunci langgengnya eksistensi sebuah bangsa. Namun berbeda dari Renan, pengorbanan dan solidaritas a la Montesquieu yang dikumandangkan oleh 21

20 MANNEKE BUDIMAN Kristeva itu ruang lingkupnya melampaui batas-batas nation. Kristeva tampaknya sadar betul bahwa bangsa dan kebangsaan hanyalah sebuah konstruksi historis dan politis belaka, dan itu sebabnya mengapa manusia yang menjadi warga sebuah nation tidak boleh terkungkung pemikirannya oleh sesuatu yang mereka ciptakan sendiri. Yang lebih penting dari solidaritas nasional, di mata Kristeva, tampaknya adalah solidaritas kemanusiaan, yang jelas bersifat transenden atas batas-batas kebangsaan. Yang menjadi visi Kristeva adalah kosmopolitanisme, yang tidak dibangun atas keseragaman melainkan atas penghargaan bagi perbedaan dan kemajemukan. Pengakuan atas 'yang lain' (otherness) ini, menurutnya, merupakan hak sekaligus kewajiban semua orang dan merupakan suatu versi integrasi yang paling optimal (1993: 31). Dalam konteks positioning, Kristeva mengklaim bahwa ia memilih menjadi seorang kosmopolitan, yang mendahulukan kemanusiaan di atas kebangsaan, dan kebebasan untuk memilih posisi seperti itu harus dimiliki oleh setiap individu. Tugas sebuah bangsa yang demokratis adalah menjamin dan melindungi hak untuk memilih tersebut, yang dimiliki oleh segenap warganya (1993:15 16). Apa yang tersirat dari pemikiran Kristeva tersebut adalah suatu konsep tentang bangsa yang minus kebangsaan tetapi tetap dapat hidup sebagai suatu solidaritas sosial. Ia merombak asumsi yang memandang nasionalisme sebagai pondasi sebuah bangsa melalui argumentasi bahwa sebuah bangsa dapat tetap hidup dengan mapan meskipun nasionalisme sudah mati, asalkan bangsa tersebut berorientasi kepada kemanusiaan yang universal. Pandangan itu tentu sangat menarik untuk ditelaah, terutama dalam konteks krisis tanda serta upaya pembentukan bangsa yang sedang berlangsung di banyak tempat di dunia, termasuk di Indonesia. Situasi negara-negara bekas jajahan di Asia dan Afrika tentu saja agak berbeda karena kesadaran nasional dan nasionalismelah yang membawa mereka keluar dari penindasan. Untuk dapat menyatukan berbagai kelompok yang memiliki kekhasan dan cara pandang yang beragam diperlukan suatu klaim ke masa lampau ketika 'kebudayaan nasional' belum terkontaminasi oleh kolonialisme. Klaim tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Frantz Fanon, berfungsi sebagai justifikasi bagi harapan akan pengembangan kebudayaan nasional di masa depan (1963: 210). Pada tahap awal perjuangan, kebudayaan nasional pertama-tama harus merupakan perjuangan untuk membebaskan bangsa dari penjajahan, dan itu sebabnya maka pada tahap berikutnya, yaitu membangun masa depan, diperlukan lebih dari sekadar klaim ke masa lampau. Kebudayaan nasional, di mata Fanon, bukanlah sekumpulan cerita rakyat melainkan keseluruhan upaya bangsa untuk menjelaskan, membela 22

21 'V JATIDIRI BUDAYA serta menjunjung setiap tindakan yang diambil untuk membentuk bangsa serta menjaga kelestariannya (1963: 233). Tampak di sini Fanon memandang kebudayaan nasional sebagai proses dan kerja, bukan artefak atau materi budaya peninggalan masa silam, dan di dalam konteks inilah maka kebudayaan nasional harus terus dapat menyesuaikan diri dan memperbarui diri sejalan dengan proses pembentukan bangsa. Fanon menyayangkan bahwa di banyak negara yang baru merdeka kebudayaan nasional lalu menjadi sebuah jargon kosong yang tidak lagi berisi kristalisasi harapan dan cita-cita bangsa karena ketidakbecusan dan keserakahan para pemimpin yang kemudian memerintah negara-negara tersebut (1963: ). Sebuah keprihatinan yang memang sulit disangkal, khususnya jika dilihat berbagai macam praktik ketidakadilan sosial dan politik pecah belah, yang dipelajari dari penguasa kolonial dan kemudian diterapkan kembali oleh sebagian besar pemerintahan di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika. DARI KENDALA MENJADI ASET Ada beberapa pokok yang penting yang perlu diperhatikan dalam menilai kebhinnekaan yang dimiliki Indonesia di dalam konteks persatuan dan pembentukan bangsa. Berbagai wawasan yang selama ini telah ditelurkan mengandung paling tidak dua masalah, pertama, bahwa fakta kemajemukan budaya lebih sering disanjung-sanjung secara konseptual tanpa acuan yang jelas kepada bagaimana konsep-konsep tersebut dapat secara realistis diterjemahkan dalam implementasi, terutama ketika berhadapan dengan sisi pembentukan bangsa yang lain, yakni persatuan dan kesatuan. Ketidakjelasan itu membawa masalah yang kedua, yaitu bahwa dalam kenyataannya kebhinnekaan sering dikorbankan demi persatuan dan kesatuan atau, dengan kata lain, persatuan dan keutuhan bangsa berada di atas kemajemukan. Namun seperti telah diuraikan dalam bab pengertian "bangsa" itu sendiri pada dasarnya lebih banyak dibentuk oleh imajinasi daripada oleh realitas. Yang faktual dan telah ada sebelum terbentuknya bangsa adalah justru kemajemukan budaya, namun yang kemudian ditempatkan dalam posisi sekunder dan, bila dipandang menjadi ancaman bagi proses pembentukan bangsa, dapat dikorbankan atau dikesampingkan. Argumen yang ada memperlihatkan bahwa sesungguhnya "bangsa" adalah suatu pengertian yang sangat abstrak dan suatu kesatuan yang sangat rapuh. Dibutuhkan banyak tindak 'kekerasan" untuk mempertahankannya agar tetap utuh dan kuat, dan salah satu bentuk kekerasan yang terjadi adalah marginalisasi kemajemukan budaya yang diwadahi oleh "bangsa" itu. 23

22 Jika "bangsa Indonesia" hanyalah sebuah konstruksi imajiner yang ada di dalam benak masing-masing warga yang menjadi anggota bangsa Indonesia, sesuai dengan teori Anderson, maka perlu dilakukan tinjauan ulang atas implementasi paham Bhinneka Tunggal Ika dalam proses pembentukan bangsa di Indonesia. Yang kongkret adalah beribu-ribu kebudayaan daerah yang memperkaya bumi Nusantara, dan seharusnya kebhinnekaan ini mendapat tempat utama di atas ketunggalikaan. Membangun paham kebangsaan di atas pondasi kemajemukan tidak berarti bahwa bangsa itu tidak akan menjadi kuat atau bahwa nation-building tidak akan pernah tercapai. Pertama-tama harus disadari bahwa nation-building merupakan suatu proses yang tidak akan ada akhirnya, sehingga impian untuk menciptakan sebuah bangsa "yang adil dan makmur secara materiel maupun spiritual" tidak boleh mengorbankan kemajemukan, yang menjadi fakta keseharian dalam kehidupan bangsa Indonesia. Selain itu, harus disadari pula bahwa kekukuhan sebuah bangsa pada dasarnya tidak terutama terletak pada persatuan dan kesatuan, tetapi lebih pada jaminan bahwa perbedaan dan kekhasan budaya yang ada selalu dihargai dan dipelihara sebagai khasanah kekayaan nasional, pada keadilan sosial serta perlakuan yang sama untuk setiap kelompok etnik, serta pada perlindungan atas hak-hak dan kepentingan-kepentingan minoritas. Keterpakuan pada pengertian kesatuan dan persatuan yang sempit, yang terwujud dalam adanya pemerintah pusat yang kuat dan tersentralisasi, mengakibatkan terabaikannya kelompok yang ada di 'pinggiran' serta tidak meratanya kesejahteraan sosial. Di Indonesia situasi ini diperburuk oleh diadopsinya kebudayaan salah satu kelompok etnik tertentu, yaitu Jawa, sebagai kebudayaan politik nasional, sehingga kebudayaan Jawa menjadi kebudayaan daerah yang dominan dan nyaris disamakan dengan kebudayaan 'nasional'. Persatuan dan kesatuan bangsa yang selalu didengungdengungkan tidak perlu dilihat sebagai sebuah esensi materiel yang harus dipertahankan dengan harga seberapapun, melainkan harus dilihat sebagai bagian dari impian masa depan, sebagai 'bab terakhir' narasi kebangsaan yang selalu menunggu untuk diguratkan tetapi yang titik penutupnya tidak pernah hadir. Ketertundaan sampai batas waktu yang tidak tertentu inilah yang sebenarnya membuat roda kehidupan sebuah bangsa terus bergulir dan yang menjadi faktor dinamis dalam proses nation-building. Dengan kata lain, persatuan dan kesatuan adalah sebuah ideal (das Sein) yang tidak boleh dikacaukan statusnya dengan realitas (das Sollen), karena jika itu yang terjadi, maka manusia menjadi korban cita-cita yang selalu tersimpan di dalam benak dan masa depan bangsa. 24

23

24

25

26

27

28

29