Ketentuan Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan dalam Hukum Posistif
|
|
- Hadi Kartawijaya
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Ketentuan Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan dalam Hukum Posistif Hasyim Nawawi * Abstraks: Masyarakat Indonesia yang heterogen baik dari segi agama, ras, ataupun budaya dan adat istiadat merupakan masyarakat yang sudah barang tentu mempunyai norma-norma adat yang berlaku bagi masing-masing kelompok itu. Untuk itu, sejak pemerintah Indonesia menemukan bahwa hukum Islam yang menyangkut masalah keluarga; perkawinan, dengan mengeluarkan UU No. 1 Tahun Dalam hal ini hukum Islam yang telah lama dianut dan diamalkan oleh mayoritas bangsa ini, layak untuk menduduki posisi yang penting. Masalah yang menjadi kajian penelitian ini, yaitu: Bagaimana sumbangan hukum Islam dalam pembentukan hukum Positif, dan bagaimana pelaksanaan hukum Islam yang telah teradopsi dalam hukum Positif itu, serta bagaimana tentang pencatatan pernikahan itu sendiri. Setelah mengadakan analisa, penulis mendapati bahwa dalam pembentukan hukum Perkawinan Indonesia banyak mendapat sumbangan dari hukum Islam yang mengatur masalah yang sama. Kata Kunci: Ketentuan, pencatatan, pernikahan, Hukum Positif Latar Belakang Masalah Allah SWT menciptakan manusia sudah dibekali dengan nafsu disamping akal dan intuisi atau perasaan. Manusia dengan nafsu ini mempunyai syahwat, kecenderungan dorongan, semangat dan kemauan, tergantung mana yang lebih dominan dan sejauh mana kemampuannya untuk mengelola potensi tersebut agar sesuai dengan norma-norma hukum syari at maupun norma bermasyarakat. Pernikahan bukanlah sekedar pintu masuk untuk pemenuhan kebutuhan biologis semata, tapi lebih dari itu yakni merupakan sunnah Rasul. Setiap insan tentu ingin membina rumah tangga dengan jalan melangsungkan pernikahan. dalam diri manusia terdapat hajah atau syahwah jinsiyah (kebutuhan atau nafsu biologis), yang * Dosen Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri dan Sekretaris Daerah Kota Kediri Jurnal Tribakti, Volume 19 No Jali
2 diberikan oleh Allah dalam rangka untuk menjaga perkembangbiakan manusia (tannasul) bagai prasyarat proses imarah al-ardh (memakmurkan bumi) secara berkesinambungan. 1 Sudah bisa dipastikan pula, perkawinan tersebut diharapkan dapat memberikan kebahagiaan lahir batin, suatu kondisi yang sering kita istilahkan dengan penuh mawaddah, mahabbah dan rahmah. Oleh karenanya, gagasan tentang rumahku adalah surgaku di dunia dapat menjadi nyata. Memperbincangkan masalah pernikahan sudah barang tentu terkait erat dengan aturan-aturan yang telah digariskan oleh hukum syari at, hukum positif dan adat istiadat yang berlaku di daerah tersebut. Perihal aturan-aturan hukum perkawinan baik hukum Islam, hukum adat maupun hukum formal tidak selamanya seiring sejalan. Hal ini disebabkan oleh produk hukum itu sendiri, hukum Islam berasal dari aturan aturan wahyu Ilahi, hadits maupun ijtihad ulama, sedangkan dalam hukum positif murni buah pemikiran manusia. Jadi tidak mengherankan bila pada gilirannya menyebabkan perbedaan materi hukumnya meskipun pada masalah yang sama, meskipun demikian pada sisi-sisi tertentu ada banyak kesamaan tapi tidak pada halhal yang prinsipil. Penulis mencermati salah satu materi dalam Kompilasi Hukum Islam perihal keharusan pencatatan pernikahan bagi mempelai yang ingin mengikatkan dirinya dalam sebuah tali pernikahan. Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu undang undang hukum positif yang berlaku di negeri ini. Pada pasal 5 Kompilasi Hukum Islam disebutkan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam harus di catat. 2 Pada pasal 6 ayat juga mengulangi pengertian pencatatan dalam artian setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. 3 1 Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat, (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2003) hlm Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan agama Islam, 2000) hlm Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi. Jurnal Tribakti, Volume 19 No Jali
3 Apabila dipahami secara mendalam isi Kompilasi Hukum Islam, kata harus disini adalah wajib menurut pengertian hukum Islam. 4 Oleh karenanya pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah maka tidak mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan pada pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dengan demikian, mencatatkan perkawinan adalah merupakan kewajiban bagi mereka yang akan melangsungkan perkawinan. Sedangkan di dalam aturan hukum syari at sama sekali tidak menyebutkan tentang kewajiban pencatatan perkawinan ini. 5 Apa yang terkandung dalam Undang Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, perihal keharusan pencatatan perkawinan ini menurut hemat penulis terkait erat dengan tujuan hukum (maqashid syari ah) yakni kemaslahatan kedua mempelai di dalam terlindungi secara hukum. Mengingat hukum yang berlaku di negeri ini bukanlah hukum Islam. Pengertian Hukum Positif Di Indonesia. Perkataan hukum yang sering kali digunakan sehari-hari, berasal dari kata hukum dalam bahasa Arab. Artinya norma atau kaidah ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Hubungan antara perkataan hukum dalam bahasa Indonesia tersebut dengan hukum dalam pengertian norma dalam bahasa arab tersebut memang sangat erat sekali, sebab setiap peraturan, apapun bentuk dan sumbernya, dapat dipastikan mengandung unsur norma atau kaidah sebagi intinya. 6 Perangkat kaidah-kaidah hukum dalam masyarakat, biasanya mengatur pelbagai bidang kehidupan, sehingga menimbulkan tata hukum tertentu. Masyarakat dan warga-warganya hidup dalam suatu wadah disebut negara berinteraksi dengan Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, hlm. 5 Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, loc., cit. 6 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 44. Jurnal Tribakti, Volume 19 No Jali
4 adanya sistem pemerintahan. Hubungan antara warga masyarakat dengan negara dan pemerintahan diatur oleh hukum negara. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah pendapat para pakar hukum tentang pengertian hukum positif: 1. Menurut C.S.T. Kansil, hukum positif adalah hukum yang sedang berlaku pada suatu masyarakat Menurut Muhammad Daud Ali, hukum positif adalah sistem atau susunan hukum yang berlaku di suatu daerah atau negara tertentu 8 3. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, hukum positif adalah hukum perundang-undangan yang mencakup semua hasil keputusan resmi yang tertulis dari penguasa/pemerintah, yang mengikat secara umum. Perundangundangan tersebut terikat oleh hierarki atau tingkatan tertentu dimana perundang-undangan yang lebih rendah harus mengacu pada yang lebih tinggi derajatnya. Misalnya, Undang Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan peraturan perundang-undangan daerah seperti Perda. 9 Dengan demikian, kiranya dapat diambil pengertian bahwa hukum positif adalah suatu sistem dan aturan-aturan tentang hukum yang sedang berlaku atau diberlakukan dalam sebuah negara/pemerintahan. Lebih konkretnya adalah bahwa yang di maksud dengan hukum positif Indonesia adalah hukum yang sedang berlaku di dalam wilayah negara Republik Indonesia dan dalam penetapannya dilakukan oleh negara atau atas nama negara. Hukum positif Indonesia bisa juga disebut dengan hukum Nasional Indonesia, karena secara definitif, hukum Nasional adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara. Pengertian Perkawinan dalam Perspektif Hukum Positif. 7 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) hlm Muhammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum, hlm Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986) hlm. 85. Jurnal Tribakti, Volume 19 No Jali
5 Menurut pasal 26 Burgerlijk Wetboek, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undangundang ini juga memandang perkawinan hanyalah hubungan keperdataan saja. 10 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 11 Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Yang juga merupakan Instruksi Presiden Nomor I tahun 1991, mendefinisikan pengertian perkawinan sebagai berikut: perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah 12 ketentuan ini terdapat pada bab II pasal 2 Kompilasi Hukum Islam. Mengenai pengertian perkawinan yang dirumuskan dalam konteks dasar-dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam, dirumuskan sedikit berbeda dengan apa yang disepakati dalam Undang-undang No. I Tahun Dalam Kompilasi, menyebut perkawinan sebagai akad tanpa menjelaskan maknanya, apalagi dalam artian aqad yang kuat atau mitsaqan ghalidzan sebenarnya masih memerlukan penjelasan lebih lanjut, apakah sama, lebih luas atau bahkan lebih sempit dari kalimat ikatan lahir batin yang terdapat pada Undang-undang No. I Tahun Terlepas dari perbedaan definisi di atas, secara umum pengertian perkawinan menurut ketiga keterangan di atas perbedaannya tidaklah terlalu prinsipil. Maka Dari itu dapat disimpulkan, pertama, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin maupun janji yang sangat mengikat di antara keduanya, dua, perkawinan tersebut dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang selanjutnya disebut sebagai pasangan 10 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, Tanpa Tahun) hlm Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, (Jakarta: 2004) hlm Instruksi Presiden RI No. I Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan kelembagaan Agama Islam, 2000) hlm Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992) hlm. 67. Jurnal Tribakti, Volume 19 No Jali
6 suami isteri, ketiga, perkawinan tersebut mempunyai tujuan membangun keluarga yang bahagia dan kekal, empat, perkawinan dilakukan dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian di atas, jelaslah bahwa perkawinan dalam perspektif hukum positif ini, mempunyai implikasi hukum yang mengikat yang pada gilirannya terkait penuh dengan aturan-aturan baku yang telah mempunyai ketentuanketentuan dan akibat-akibat hukum tersendiri. Pengertian Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan dalam Hukum Positif. Keharusan pencatatan pernikahan adalah sebuah langkah yang mesti dilakukan oleh pihak-pihak yang akan melaksanakan atau meresmikan sebuah ikatan pernikahan. Menurut M. Atho Muzdar, keharusan pencatatan pernikahan diharuskan sebagai akibat banyaknya orang yang melakukan kawin di bawah tangan yang pada waktunya dapat mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum anak yang dihasilkannya. 14 Menurut M. Yahya Harahap, bahwa keharusan pencatatan pernikahan merupakan landasan yuridis bagi yang melaksanakannya. Dengan keharusan ini setidaknya mempertegas sekaligus upaya mengaktualkan ketertiban perkawinan masyarakat Islam. 15 Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa keharusan pencatatan pernikahan adalah dalam rangka terjaminnya kepastian hukum, kepastian hukum dalam keseluruhannya hanya dapat dicapai, apabila segala ketentuan dalam Undang-undang dipenuhi. 16 Menurut Sudarsono, bahwa pencatatan tiap-tiap pernikahan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya, pencatatan kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akte yang juga di muat dalam daftar pencatatan M. Atho Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press) hlm M. Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta, Logos, 1992) hlm Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, Cetakan keempat, 1960) hlm Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994) hlm. 8. Jurnal Tribakti, Volume 19 No Jali
7 Ketentuan-Ketentuan Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan dalam Hukum Positif. 1. Menurut Undang-undang Nomor I tahun Materi dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang perkawinan, merupakan salah satu dari upaya untuk memadukan dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat sebelumnya. Sesuai dengan konsideran Undang-undang Nomor I tahun 1974, bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. 18 Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa tiaptiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 19 Pasal ini termasuk asas dan prinsip yang tercantum dalam Undang-undang tersebut. Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Akad perkawinan tersebut juga harus dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan ini menjadi penting mengingat pencatatan ini dimaksudkan demi ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Baik di dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo Undangundang No.32 Tahun 1954 maupun Undang-undang No. 1 Tahun 1974, semuanya mengharuskan pencatatan tiap-tiap perkawinan. 20 Menurut Sudarsono, pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ini menitikberatkan pada adanya keharusan pencatatan perkawinan. 21 Dengan demikian, aturan ini semenjak disahkannya hingga sekarang berlaku dan bersifat mengikat, bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Untuk menjamin kepastian hukum, maka 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Surabaya: Karya Anda) 1975, hlm Ibid. hlm Arso Sastroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, hlm Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 17. Jurnal Tribakti, Volume 19 No Jali
8 perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun Meskipun telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 sebagai sebuah Undang-undang, tapi Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut, belum dapat berjalan maksimal dan efektif sebelum dikeluarkannya peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, (Pasal 67 ayat 1). Akan tetapi setelah mengalami proses panjang kurang lebih selama 15 bulan sejak diundangkannya Undang-undang Perkawinan, maka pada tanggal 1 April 1975 telah berhasil diundangkan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 23 Selain pertimbangan di atas, sesuai dengan konsideran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dipandang perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut 24 Salah satu prestasi gemilang umat Islam pada era sembilan puluhan adalah keberhasilan untuk membumikan hukum Islam, menjadi hukum positif di Indonesia. Dengan keberhasilan tersebut, umat Islam kini mendapat kenyamanan dan jaminan untuk menjalankan aturan-aturan agama dan keyakinannya. Keberhasilan tersebut berupa tersusunnya Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kata Kompilasi sendiri berasal dari bahasa Latin Compilatie yang berarti kumpulan atau pemberkasan. 25 Ditinjau dari sudut bahasa, kompilasi adalah kegiatan 22 Ibid., hlm Arso Sastroatmojo dan A. Wasit Aulawi, op. cit., hlm Depag, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, (Jakarta: 2004) hlm S. Adiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1986), hlm. 24 Jurnal Tribakti, Volume 19 No Jali
9 pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai persoalan tertentu. 26 Sedangkan dalam pengertian terminologinya, Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama Fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. 27 KHI merupakan himpunan materi hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku, yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan dan buku III tentang Hukum Perwakafan. KHI telah diberlakukan sebagai Undangundang dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli Pasal 6 ayat (2) menegaskan, bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan pasal 7 ayat (1) menyebutkan, perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. 29 Dengan demikian, perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinannya tersebut termasuk tidak mempunyai kekuatan hukum, selain hal tersebut, perkawinan juga hanya dapat dibuktikan melalui surat Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah, maka dari itu mencatatkan perkawinan adalah merupakan kewajiban bagi mereka yang akan melangsungkan perkawinan. Dari keterangan kedua hukum positif di atas, jelaslah bahwasanya perundang undangan yang berlaku, mengatur dengan tegas peraturan tentang pencatatan perkawinan. Dengan demikian, landasan yuridis bagi pasangan calon mempelai yang 26 Abdurrahman, op. cit., hlm Abdurrahman, op., cit., hlm Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm Instruksi Presiden RI No. I Tahun 1991, loc., cit. Jurnal Tribakti, Volume 19 No Jali
10 akan melangsungkan perkawinan telah diatur sedemikian rupa dalam rangka menjamin kepastian hukum dan ketertiban hukum perkawinan di masyarakat Dengan landasan yuridis dalam KHI, (mengacu pada ketentuan pasal 2 undang-undang No. 1 Tahun 1974), setidaknya KHI telah mengakui sepenuhnya campur tangan penguasa dalam setiap perkawinan. Hal ini sekaligus melepaskan jauh-jauh dogma yang dikembangkan dan dipahami selama ini yang mengajarkan perkawinan sebagai individual affairs atau urusan pribadi. Bagi yang tidak mau mematuhi aturan, maka akan menanggung resiko yuridis. Bagi mereka yang tidak mendaftarkan perkawinan atau enggan melangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinannya dikualifikasikan sebagai perkawinan liar dalam bentuk compassionate marriage atau kawin kumpul kerbau. 30 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pencatatan pernikahan bagi setiap pasangan suami isteri yang akan melangsungkan sebuah perkawinan, menurut undang-undang yang berlaku, diharuskan untuk dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Apabila aturan hukum positif ini dilanggar maka pernikahan yang bersangkutan, tidak mempunyai kekuatan hukum. Proses Perumusan dalam Kompilasi Hukum Islam Menurut A. Qadri Azizi, proses perumusan hukum fiqh harus menggunakan 2 (dua) metode, yaitu: deduktif dan induktif. Dalam proses deduktif, pertama yang dilakukan adalah melalui penelitian dalil-dalil nash, kemudian ditafsirkan, diuraikan dan diberi penjelasan. Cara yang kedua adalah induktif, yaitu: pola pikir kontekstualis, cara yang diambil adalah dalil diposisikan sebagai inspirasi proposisi atau landasan (starting points) analisa hukum. 31 Terkait dengan hal tersebut, ide pengadaan kompilasi Hukum Islam muncul sekitar tahun 1985 dan mencuatnya ide ini adalah merupakan hasil kompromi antara 30 M. Yahya Harahap, op., cit., hlm A. Qadri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional, (Jakarta: Gama Media, 1999), hlm. 46. Jurnal Tribakti, Volume 19 No Jali
11 pihak Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Kemudian pada bulan Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehingga terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB), antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama, yang kemudian membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam (KHI). 32 Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tersebut kemudian Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendapat pengakuan ulama dari berbagai unsur, secara resmi KHI merupakan hasil konsesnsus (ijma ) ulama dari berbagai mazhab, yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan negara. Dengan demikian, keberhasilan penyusunan KHI merupakan suatu proses tranformasi hukum Islam ke dalam hukum perundang-undangan nasional. Perumusannya, secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni Al-Qur an dan Sunnah Rasul, dan ijtihad ulama Indonesia dengan menggunakan metode al-istihsan, al-urf dan metode istidlal lainnya dengan tujuan yang pasti yaitu jalbul mashalih wa dar u al-mafasid (menarik kebaikan dan menolak kerusakan). 33 Selain itu, para perumus Kompilasi Hukum Islam juga memperhatikan tatanan hukum barat tertulis dan tatanan hukum adat yang memiliki titik temu dengan hukum Islam. dengan demikian, terjadi proses eklektisisme antara tatanan hukum Islam, hukum nasional dan hukum adat, ke dalam Kompilasi Hukum Islam, dengan kata lain, KHI dapat dikatakan sebagai wujud hukum Islam yang bercorak keindonesiaan. 34 Proses perumusan tersebut menurut M. Yahya harahap, meliputi 4 (empat) pendekatan, yaitu: Pendekatan melalui Al-Qur an dan Sunnah, dengan mengacu kepada tiga hal, 32 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hlm Ibid., hlm Cik Hasan Bisri, KHI dan Peradilan Agama; Dalam System Hukum Nasional, (Jakarta: Logos, 1992), hlm Ibid, hlm. 39. Jurnal Tribakti, Volume 19 No Jali
12 a. Bila nash-nash tersebut bersifat qath I, maka ruang gerak dan ruang lingkup untuk melenturkan dan menafsirkan menjadi sangat terbatas. b. Bila masih bersifat zanni, maka kemungkinan untuk melakukan reinterpretasi sangat terbuka lebar. c. Bila tidak ditemukan dalam nash dan Sunnah maka menggunakan ijtihad. 4. Mengutamakan pemecahan masalah masa kini, dengan mengacu kepada: a. Menghindari dari pengkajian perbandingan fiqh yang berlarut-larut. b. Memilih alternatif yang lebih rasional, praktis, operasional, dan aktual yang mempunyai potensi dan berorientasi kepada ketertiban dan kemaslahatan hukum. 5. Mengedepankan ciri hukum fiqh yang sarat dengan corak keindonesiaan. Mengingat apabila ada hukum yang tidak sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia, terutama oleh umat Islam, maka konsekwensinya hukum itu pasti tidak akan bisa dilaksanakan, sebagaimana seharusnya hukum tersebut berlaku. Bahkan mungkin hukum tersebut akan menjadi pemicu pertentangan antara rakyat dengan penguasa, sebab rakyat memandang bahwa penguasa telah menyimpang dari nilai-nilai kebenaran yang diyakini oleh mayoritas warga negara Melalui pendekatan kompromi dengan hukum adat. Pendekatan perumusan ini dilakukan dalam kaitan terbatasnya nilai-nilai hukum yang terkandung dalam Nash dan Sunnah. Disamping itu, nilai-nilai hukum tersebut telah tumbuh dan berkembang sebagai norma adat dan kebiasaan masyarakat Indonesia. Dengan pendekatan 4 (empat) perumusan di atas, maka semakin memantapkan langkah dan posisi Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu acuan hukum formal yang diberlakukan untuk umat Islam di Indonesia. Sekaligus sebagai upaya penyeragaman hukum dan menjamin kepastian hukum di lingkungan lembaga 36 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hlm Jurnal Tribakti, Volume 19 No Jali
13 Peradilan Agama, yang sebelumnya belum mempunyai acuan dan landasan hukum yang kuat. Kesimpulan Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. a. Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, terdapat kesamaan tentang ketentuan keharusan pencatatan pernikahan. Alasan keduaanyapun sama, yakni demi ketertiban perkawinan dan mempunyai landasan serta kekuatan hukum. b. Al-Syatibi memiliki konsep yang cukup brilian tentang maqashid syari ah. Konsep tersebut kemudian mengilhami para ilmuan untuk mengekplorasi kedua sumber hukum Islam, yakni Al-Qur an dan Hadits dengan analisa maslahat. c. Keharusan pencatatan pernikahan merupakan produk hukum Undang-undang perkawinan yang berorientasi pada ketertiban hukum perkawinan masyarakat dalam skala luas dan untuk menjamin kepastian hukum serta melindungi kedua belah pihak dari tindakan hukumnya tersebut. Terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara pandangan Al-Syatibi dengan keharusan pencatatan perkawinan yang terdapat dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam. Sisi korelatifnya terletak pada Maqashid al-daruriyat yang dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok (kulliyatul khoms) kehidupan manusia dalam hal ini khusus pada aspek hifdz al-nasl (memelihara keturunan). Selain itu juga mempunyai titik temu dalam hal penekanan pentingnya segi kemaslahatan umum dan menghindari kemudaratan. Jurnal Tribakti, Volume 19 No Jali
14 DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992). Adiwinata, S. Istilah Hukum Latin-Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1986) Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) Azizi, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional, (Jakarta: Gama Media, 1999). Bisri, Cik Hasan, KHI dan Peradilan Agama; Dalam System Hukum Harahap, M. Yahya, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta, Logos, 1992) Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan agama Islam, 2000). Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, Cetakan keempat, 1960) Mahfudh, Sahal, Solusi Problematika Umat, (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2003). Muzdhar M. Atho, dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press) Sastroatmojo Arso, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981) Soekanto,Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986) Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, Tanpa Tahun) Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994) Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, (Jakarta: 2004) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Surabaya: Karya Anda, 1975) Usman, Suparman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) Jurnal Tribakti, Volume 19 No Jali
Ketentuan Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan Dalam Hukum Positif Rohmat
Ketentuan Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan Dalam Hukum Positif Rohmat Abstrak: Masyarakat Indonesia yang heterogen baik dari segi agama, ras, ataupun budaya dan adat istiadat merupakan masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin
BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena ia tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami isteri saja tetapi
Lebih terperincisegera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik
2 Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu, dalam perkawinan akan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan akan tetap bertahan hingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan
Lebih terperinciSKRIPSI PELAKSANAAN PERKAWINAN MELALUI WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG
SKRIPSI PELAKSANAAN PERKAWINAN MELALUI WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: ANDRIYANI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, manusia sendiri diciptakan berpasang-pasangan. Setiap manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. Peristiwa hukum yang pasti dialami oleh manusia adalah kelahiran dan kematian. Sedangkan peristiwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang penting, diantaranya adalah pembentukan sebuah keluarga yang didalamnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai umatnya. Serta ayat-ayat Al-qur an yang Allah SWT. khaliknya dan mengatur juga hubungan dengan sesamanya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama sempurna yang diciptakan Allah SWT untuk kita manusia sebagai umatnya. Serta ayat-ayat Al-qur an yang Allah SWT turunkan kepada rasul melalui
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah
1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup memerlukan interaksi dan komunikasi satu sama lain, khususnya bagi umat manusia. Interaksi dan komunikasi ini sangat diperlukan karena manusia ditakdirkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selain sebagai makhluk individu, manusia juga disebut sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi
Lebih terperinciKEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI
KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Fakultas Hukum Oleh: MONA
Lebih terperinciASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D
ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D 101 09 512 ABSTRAK Penelitian ini berjudul aspek yuridis harta bersama dalam
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak
TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun
Lebih terperinciPENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975. Yasin. Abstrak
PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975 Yasin Abstrak Apabila ternyata dari hasil penelitian itu terdapat halangan perkawinan atau belum dipenuhi syarat-syarat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara kodrati merupakan makhluk sosial, yang mana tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya manusia akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan pencerminan dari
Lebih terperinci2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,
Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan seorang wanita dan seorang laki-laki, ada rasa saling tertarik antara satu sama
Lebih terperinciTINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM
TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, merupakan salah satu badan
Lebih terperinciThe Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict
The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict Heniyatun 1 *, Puji Sulistyaningsih 2, Bambang Tjatur Iswanto 3 1,2,3 Hukum/Fakultas Hukum, *Email: heniyatun@ummgl.ac.id Keywords:
Lebih terperinciPERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh
PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh Ahmad Royani Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan Abstrak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman adat istiadat dalam pelaksanaan perkawinan. Di negara. serta dibudayakan dalam pelaksanaan perkawinan maupun upacara
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan adat istiadat. Contoh dari keanekaragaman tersebut adalah keanekaragaman adat istiadat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak dilahirkan ke dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Di dalam bentuknya yang terkecil,
Lebih terperinciBAB I. Pendahuluan. melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing dalam membangun keluarga
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Kebahagiaan dalam keluarga merupakan keinginan yang diharapkan semua orang yang membina rumah tangga. Suami dan isteri berjalan beriringan melaksanakan tugas
Lebih terperinciBAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN
BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dan sakral dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang
Lebih terperinciFUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Perkawinan adalah suatu ikatan lahir
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan sistem hukum civil law yang sangat menjunjung tinggi kepastian hukum. Namun dalam perkembangannya Sistem hukum di Indonesia dipengaruhi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
Lebih terperinciBAB V PENUTUP A. Kesimpulan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah menguraikan tentang pembahasan dan analisis sesuai dengan memperhatikan pokok-pokok permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, yang berjudul Pendapat Hakim Pengadilan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik antara satu dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1. yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pasal 1 UU.No 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahagia dan kekal yang dijalankan berdasarkan tuntutan agama. 1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT, manusia dibekali dengan keinginan untuk melakukan pernikahan, karena pernikahan itu adalah salah satu faktor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai kodratnya, manusia mempunyai hasrat untuk tertarik terhadap lawan jenisnya sehingga keduanya mempunyai dorongan untuk bergaul satu sama lain. Untuk menjaga kedudukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu amalan sunah yang disyari atkan oleh Al- Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, segala sesuatu
Lebih terperinciBAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu
BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut
Lebih terperinciBAB III. POLIGAMI MENURUT PP No. 45 TAHUN Ketentuan Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil
BAB III POLIGAMI MENURUT PP No. 45 TAHUN 1990 1. Ketentuan Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990 mengatur tentang perubahan atas PP No. 10 Tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang sangat sensitif dan erat sekali hubunganya dengan kerohanian seseorang.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perkawinan adalah bukanlah sekedar masalah pribadi dari mereka yang melangsungkan perkawinan itu saja, tetapi merupakan salah satu masalah keagamaan yang sangat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup bermasyarakat, karena sebagai individu, manusia tidak dapat menjalani kehidupannya sendiri untuk mencapai
Lebih terperinciBAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo
BAB I 1. LATAR BELAKANG Salah satu kebutuhan hidup manusia selaku makhluk sosial adalah melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi sosial akan terjadi apabila terpenuhinya dua syarat, yaitu adanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan manusia perkawinan merupakan salah satu hal. yang penting terutama dalam pergaulan hidup masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam kehidupan manusia perkawinan merupakan salah satu hal yang penting terutama dalam pergaulan hidup masyarakat. Perkawinan adalah suatu jalan yang amat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu hikmah
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DATA. penelitian kepustakaan seperti buku-buku, dokumen-dokumen, jurnal, dan lainlain
59 BAB IV ANALISIS DATA Setelah penulis menguraikan setiap bab yang memiliki hubungan dengan judul skripsi penulis, maka penulis akan menganalisa data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan seperti
Lebih terperinciBAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Perkawinan merupakan institusi kecil yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah
Lebih terperinciProsiding Ilmu Hukum ISSN: X
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 3277 K/ Pdt/ 2000 Mengenai Tidak Dipenuhinya Janji Kawin Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Lebih terperinciALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL
ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL Muchamad Arif Agung Nugroho Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang agungprogresif@gmail.com ABSTRAK Perkawinan heteroseksual merupakan suatu perikatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalammenjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketentuan Allah di dalammenjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum, menyeluruh, berlaku
Lebih terperinciANAK SAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN KHI Oleh : Chaidir Nasution ABSTRAK
ANAK SAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN KHI Oleh : Chaidir Nasution ABSTRAK Keluarga kecil (Small Family) adalah kumpulan individu yang terdiri dari orang tua (Bapak Ibu) dan anak-anak. Dalam Islam, hubungan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. melalui pernyataan bahwa manusia adalah makhluk zoonpoliticon 75, yaitu bahwa
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepanjang sejarah perkembangan manusia, manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri, kecuali dalam keadaan terpaksa manusia dapat berpisah dari kelompoknya
Lebih terperinciBAB III PERILAKU SEKSUAL SEJENIS (GAY) DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
38 BAB III PERILAKU SEKSUAL SEJENIS (GAY) DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Konsep Perkawinan Dalam Hukum Positif 1. Pengertian Perkawinan Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 merumuskan pengertian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang terjadi dalam hidup manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sedangkan menurut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan institusi atau lembaga yang sangat penting dalam, masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan
Lebih terperinciBAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN MAJELIS HAKIM DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO NO. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda A. Analisis Yuridis Pertimbangan Dan Dasar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk Allah SWT yang bernyawa. Adanya pernikahan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan
Lebih terperinciImplikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Oleh: Pahlefi 1 Abstrak Tulisan ini bertujuan membahas dan menganalisis apakah
Lebih terperinciPERKAWINAN ADAT. (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Provinsi Jawa Timur) Disusun Oleh :
PERKAWINAN ADAT (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang antara kedua belah pihak suami dan istri, akan senantiasa diharapkan berjalan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. 2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peristiwa perkawinan yang oleh masyarakat disebut sebagai peristiwa yang sangat penting dan religius. Arti perkawinan sendiri ialah ikatan lahir batin antara seorang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini dikarenakan pada hakikatnya kehidupan setiap manusia diawali dengan perjanjian dengan-nya untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki kedudukan mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling berhubungan antara satu dengan
Lebih terperinciBAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE
30 BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE NO. 49/08 YANG TERDAFTAR PADA KANTOR DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus
12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah ditempatkan sebagai suatu bagian penting bagi kehidupan manusia. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus meningkat.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan khusus terkait dengan perkawinan yaitu
BAB I PENDAHULUAN Lembaga perkawinan adalah lembaga yang mulia dan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan khusus terkait
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. dengan membuat Permohonan penetapan kepada Pengadilan Negeri. Surabaya yang isinya menyatakan bahwa benar telah didaftarkannya
77 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pokok permasalahan dalam kasus ini adalah perjanjian perkawinan yang tidak berlaku terhadap pihak ketiga karena tidak tercantum dalam akta perkawinan. Tindakan hukum yang
Lebih terperinciSTATUS HUKUM ANAK HASIL PERNIKAHAN SIRRI DAN AKIBAT HUKUMNYA
STATUS HUKUM ANAK HASIL PERNIKAHAN SIRRI DAN AKIBAT HUKUMNYA (STUDI PERBANDINGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka rumusan kesimpulan yang
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian sebelumnya, maka rumusan kesimpulan yang dikemukakan dalam bab penutup ini, bukan merupakan ikhtisar dari keseluruhan tulisan, tetapi merupakan penegasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULAUAN. budaya yang mewarnai kehidupan bangsa ini. Dalam mengembangkan kebudayaan di
BAB I PENDAHULAUAN 1.1 Latar Belakang Kemajemukan suku dan budaya yang berada di Indonesia menunjukkan kepada kita selaku warga negara dan masyarakat dunia bahwa indonesia memiliki kekayaan alam dan budaya
Lebih terperincib. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan
BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. umat manusia untuk menikah, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan kepada umat manusia untuk menikah, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagaimana diketahui bahwa perkawinan adalah satu jalan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa perkawinan adalah satu jalan yang diberikan Allah SWT kepada umatnya agar terciptanya keturunan dari masing-masing keluarga. Perkawinan menuju
Lebih terperinciDengan adanya masalah pokok diatas maka dapat pula dikemukakan dua sub masalah, yaitu :
Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Pengadilan Agama Tana Toraja) A. Latar Belakang Hampir semua mahluk ciptaan Allah swt, di atas dunia ini bila hendak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia, yang diharapkan akan mampu menjalin sebuah ikatan lahir-batin antara
BAB I PENDAHULUAN Perkawinan adalah sebuah perilaku turun temurun dari umat manusia, sebagai sarana yang dipandang baik dan benar untuk melanjutkan proses regenerasi dan kesinambungan hidup dan kehidupan
Lebih terperinciBAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur
69 BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 1. Faktor-Faktor Kawin di Bawah Umur Penyebab terjadinya faktor-faktor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, lebih khusus lagi agar mereka bisa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan dan kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya saling kenal-mengenal
Lebih terperinci