STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI"

Transkripsi

1 STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Studi Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2010 ISNAINI NIM A

3 ABSTRACT ISNAINI. Study of Aluminum Tolerance Inheritance of Sweet Sorghum [Sorghum bicolor (L.) Moench]. Under direction of TRIKOESOEMANINGTYAS and DESTA WIRNAS. Sweet sorghum [Sorghum bicolor (L.) Moench] is actually not Indonesian origin but it has a big potential to be grown and cultivated in this country as the solution to food and energy crisis owing to its wide adaptability and other advantages. Al toxicity is one of limiting factors in agriculture development in Indonesia. Further research on sorghum breeding is needed especially to search for genotypes that can be grown and cultivated in acid soil with Al toxicity. The successes in the sorghum breeding program to obtain adaptable varieties in Al stress is determined by selecting the appropriate breeding method. The objective of this research was to study inheritance of Al tolerance of sweet sorghum by analysis of F2 distribution, the genetic components and heritability of the four generation of sorghum to determine the effective and efficient method in breeding program for sorghum tolerance to Al. The four populations in this research were UPCA S1 (P1, susceptible parent) and Numbu (P2, tolerant parent), F1 and F1 reciprocal and F2. This research was also to develop selection criteria for Al tolerance in sorghum breeding and selection based on yield character for food and bio-ethanol. The crosses of parental, F1, F1R and F2 generation were established in University Farm of IPB and UPTD Tenjo from June 2008 to June The study of Al tolerance inheritance in nutrient culture was conducted in green house of University Farm of IPB from July-August The study of Al tolerance inheritance in field was conducted in UPTD Tenjo from July-November Selection was applied to 600 genotypes of F2 generation. Based on reciprocal analysis, all of characters are controlled by nuclear genes and their inheritance in not affected by maternal cytoplasm. The distribution of F2 genotype is indicating continuous with skewnesses which indicate that all characters are polygenics. All characters of Al tolerance in seedling stage i.e. root length, root and shoot dry weight were controlled by additive gene action with contribution by complementary epistasis gene except shoot length that is controlled by additive gene action with duplicate epistasis gene. Plant height in field experiment is controlled by additive gene action. Plant weight, total of biomass weight, ear length and total of grain weight are controlled by additive gene action with complementary epistasis gene. In F2 generation, there are transgresive segregants. All characters had broad sense heritability from medium to high. Based on heritability value, pedigree selection is the most effective selection method in breeding program for sorghum tolerance to Al. Multi-characters selection is more effective in F2 selection both for food and bio-ethanol. Keywords: Sorghum, inheritance, quantitative traits, Al tolerance, differential selection

4 RINGKASAN ISNAINI. Studi Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench]. Dibimbing oleh TRIKOESOEMANINGTYAS dan DESTA WIRNAS. Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat potensial dalam pemecahan masalah krisis pangan dan energi. Sorgum manis ideal untuk dikembangkan di Indonesia karena tanaman ini mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk dikembangkan di lahan kering. Namun lahan kering di Indonesia didominasi oleh tanah yang bereaksi masam. Karena itulah perlu dilakukan program pemuliaan untuk memperoleh varietas yang mampu beradaptasi terhadap cekaman Al ditentukan oleh pemilihan metode pemuliaan yang tepat sehingga kegiatan pemuliaan dapat menjadi efektif dan efisien. Sampai sejauh ini informasi mengenai pewarisan toleransi keracunan Al pada tanaman sorgum manis masih sangat sedikit. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai pewarisan sifat toleransi Al pada tanaman sorgum manis. Tujuan lainnya adalah memperoleh karakter untuk seleksi pemuliaan sorgum yang toleran Al serta memperoleh genotipe-genotipe toleran Al melalui seleksi pada generasi F2 di tanah masam. Percobaan dimulai dengan pembentukan populasi melalui persilangan antara tetua peka cekaman Al (UPCA S1) dan tetua toleran cekaman Al (Numbu) sejak bulan Juni 2008-Juli 2009 di KP Cikabayang University Farm (UF) IPB dan UPTD Lahan Kering Tenjo, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Studi pewarisan sifat toleransi Al pada karakter stadia bibit pada kondisi tercekam Al dengan menggunakan metode kultur hara, dilakukan rumah kaca KP Cikabayan, UF IPB sejak bulan Juli Agustus Studi pewarisan karakter agronomi dan hasil pada kondisi tercekam Al di lapang dilaksanakan di UPTD Tenjo sejak bulan Juli November Seleksi genotipe sorgum toleran Al dilakukan pada populasi F2 yang ditanam pada percobaan lapang. Hasil analisa uji-t pada populasi F1 dan F1R diketahui bahwa pada kondisi cekaman Al, gen yang mengendalikan karakter fase bibit, karakter agronomi dan karakter hasil terdapat pada gen-gen inti dan pewarisannya tidak dipengaruhi tetua betina. Analisa sebaran frekuensi genotipe F2 menunjukkan bahwa semua karakter pengendali toleransi tanaman sorgum terhadap cekaman Al bersifat poligenik. Semua karakter toleransi Al yang berhubungan dengan stadia bibit yaitu panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering tajuk dikendalikan aksi gen aditif dengan pengaruh gen epistasis komplementer kecuali pada karakter panjang tajuk yang memiliki aksi gen aditif dengan pengaruh gen epistasis duplikasi. Karakter agronomi dan hasil hanya karakter tinggi tanaman yang dikendalikan oleh aksi gen aditif. Karakter bobot batang, bobot total biomassa, panjang malai dan bobot biji per tanaman terdapat aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis komplementer. Hasil analisa sebaran frekuensi genotipe F2 juga menunjukkan terdapat keragaman yang besar pada populasi F2 yang merupakan zuriat hasil persilangan dari tetua genotipe toleran Al dan genotipe peka Al dan terdapat terdapat segregan transgresif pada semua karakter-karakter yang diuji dengan nilai melebihi nilai kedua tetua. Nilai

5 heritabilitas arti luas untuk semua karakter toleransi Al yang berhubungan dengan pertumbuhan akar maupun karakter agronomi cekaman Al tergolong sedang hingga tinggi sehingga metode seleksi yang dapat digunakan dalam seleksi galur sorgum dengan toleransi terhadap Al dapat menggunakan metode pedigree sebagai metode seleksi yang paling efektif. Seleksi pada populasi F2 untuk keperluan pangan menghasilkan nilai diferensial seleksi yang lebih tinggi jika seleksi dilakukan berdasarkan bobot biji per tanaman dan tinggi tanaman dibandingkan jika hanya berdasarkan bobot biji per tanaman. Seleksi pada populasi F2 sebagai bahan bioetanol menghasilkan nilai diferensial yang lebih tinggi apabila seleksi dilakukan berdasarkan kedua karakter bobot biji per tanaman dan bobot batang segar secara bersamaan dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan dengan menggunakan karakter tunggal. Kata Kunci: Sorgum, pewarisan karakter kuantitatif, toleransi Al, diferensial seleksi

6 Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan sebagian pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Yudiwanti WE Kusumo, MSi

9 Judul Tesis : Studi Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] Nama : ISNAINI NRP : A Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. Ketua Dr. Desta Wirnas, SP. MSi. Anggota Diketahui Ketua Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal Ujian: Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis dengan judul Studi Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia melalui beasiswa BPPS tahun dan Hibah Penelitian Tim Pascasarjana-HPTP tahun Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tidak terhingga kepada: 1. Tim BPPS, Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti program Master di IPB. 2. Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. selaku Ketua Komisi Pembimbing atas bimbingan dan perhatian selama penulis menempuh pendidikan di IPB dan selama pelaksanaan penelitian serta penulisan tesis ini. 3. Dr. Desta Wirnas, SP. MSi. selaku Pembimbing Tesis Kedua yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan penulisan tesis. 4. Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS. selaku Kepala Bagian Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, yang telah memberikan kesempatan yang sangat berharga dan rekomendasi kepada penulis untuk mendaftar di Sekolah Pascasarjana IPB. 5. Prof. Dr. Ir. Bambang S Purwoko, MSc., Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr., Prof. Dr. Ir. MA Chozin, MAgr. dan Dr. Ir. Sobir, MSi. yang telah berkenan memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk mendaftar di Sekolah Pascasarjana IPB. 6. Dr. Ir. Yudiwanti WE Kusumo, MSi. sebagai penguji luar komisi pada saat ujian akhir tesis atas saran-saran untuk perbaikan tesis ini.

11 7. Kepala dan staf UPTD Lahan Kering Tenjo, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 8. Dosen-dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan tiada batas kepada penulis selama menempuh pendidikan di IPB. 9. Ayahanda Asmawi Bakrie dan Ibunda Asmarawati MA Bakrie, Abang Hendri Afrizal dan Dang Nur Asmi Hayati, SPdI, Abang Syafrizal, SH. dan Dedek Aidil Syah Putra atas semua doa, dukungan dan curahan kasih selama penulis menyelesaikan pendidikan. 10. Sahabat tersayang, Fifin N Nisya, SP. MSi., (semangat, Sir! biar kita lanjut ke project berikutnya), Genta Atmaja, SP. (atas sponsorship perbanyakan tesis), Novy Anggraini, SP. MM., Effi Noverya, SPi., Melinda T Wulan, SP., I Gst Ayu Dwi Putri Mayasari, SP., Rahdini Safitri, SSi. dan Yenni Rahmawati, SE. (my bfs forever!) atas semua kebersamaan dan dukungan. 11. Rekan-rekan satu tim HPTP (Ir. Sungkono, MP., Ir. Karlin Agustina, MSi., Sumiyati, SP. dan Rahmansyah Darmawan, SP.), rekan-rekan PBT 2007 (Heni Safitri, SP. MSi., Amin Nur, SP. MSi., Siti Noorohmah, SP. MSI., Nurwanita E Putri, SP. MSi., Yussi Arisandi, SP. MSI., Alfin Widiastuti, SP. MSi., Rokhana Faizah, SP. MSi. dan Hairin Dalimunthe, SP. MSi.) dan Ayunda Dian Novita, SP. atas semua kebersamaan dan bantuan. 12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebut satu per satu yang banyak membantu menyelesaikan studi dan penelitian penulis. Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memperkaya keilmuan dan bermanfaat bagi semua. Bogor, Februari 2010 ISNAINI

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bengkulu pada tanggal 17 Januari 1984 dari Bapak Asmawi Bakrie BA dan Ibu Asmarawati MA Bakrie. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri 20 Kota Bengkulu pada tahun , dilanjutkan dengan SLTP Negeri 2 Kota Bengkulu ( ) dan dilanjutkan ke SMU Negeri 2 Kota Bengkulu ( ). Tahun 2002 penulis diterima di Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun Penulis berkesempatan melanjutkan program master pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2007 atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana dari Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Karya ilmiah yang merupakan bagian dari tesis penulis telah dipresentasikan dalam Simposium dan Kongres Nasional VI Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) pada bulan November 2009 dengan Judul Genetic Variation, Heritability and Gene Action of Sorghum [Sorghum bicolor (L.) Moench] in Nutrient Solution.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL. xv DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xix PENDAHULUAN. 1 Latar Belakang.. 1 Tujuan... 4 Hipotesis 4 TINJAUAN PUSTAKA 6 Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench]... 6 Mekanisme Toleransi terhadap Aluminium. 8 Pemuliaan bagi Lingkungan Bercekaman 11 Arah Program Pemuliaan Tanaman Sorgum 13 Metode untuk Mempelajari Pola Pewarisan Sifat 22 Pewarisan Toleransi terhadap Aluminium 26 BAHAN DAN METODE. 28 Bahan Tanaman 28 Waktu dan Tempat 28 Pewarisan Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit. 28 Pewarisan Karakter Agronomi dan Hasil pada Kondisi Tercekam Al 29 Seleksi Genotipe F2 Sorgum Toleran Cekaman Al.. 30 Analisis Data. 30 HASIL DAN PEMBAHASAN. 33 Pewarisan Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit Pengaruh Tetua Betina terhadap Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit.. 37 Sebaran Frekuensi Genotipe Generasi F2 Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit. 38 Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Arti Luas Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit. 42 Pewarisan Karakter Agronomi dan Hasil pada Kondisi Tercekam Al 45 Pengaruh Tetua Betina Karakter Agronomi dan Hasil.. 48 Sebaran Frekuensi Genotipe Generasi F2 Karakter Agronomi dan 48 Hasil Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Arti Luas Karakter Agronomi dan Hasil. 53

14 Seleksi Genotipe F2 Sorgum Toleran Cekaman Al.. 55 KESIMPULAN DAN SARAN. 59 Kesimpulan Saran. 59 DAFTAR PUSTAKA 60 LAMPIRAN.. 71 DAFTAR TABEL

15 Halaman 1 Rata-rata Tetua P1 (UPCA S1), P2 (Numbu), Generasi F1 dan F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPSA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Pendugaan Pengaruh Tetua Betina Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Nilai Skewness, Aksi Gen, Nilai Kurtosis Genotipe F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Nilai Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas Arti Luas Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Rata-rata tetua P1 (UPCA S1), P2 (Numbu), F1 dan F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan Pendugaan Pengaruh Tetua Betina Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan Nilai Skewness, Aksi Gen, Nilai Kurtosis Genotipe F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan Nilai Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas Arti Luas Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan 54 9 Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman Hasil dan Tinggi Tanaman Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapang an Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Batang Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman dan Bobot Batang Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan... 57

16 DAFTAR GAMBAR Halaman

17 1 Bagan Alir Penelitian Studi Pewarisan Toleransi Al Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] Penampilan UPCA S1 dan Numbu (kiri) dan F1/F1 Resiprokal Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu (kanan) pada Cekaman Al di Kultur Hara Penampilan Generasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Kultur Hara Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Tajuk Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Akar Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Kering Tajuk Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Kering Akar Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Penampilan Tanaman dan Malai UPCA S1 (P1) dan Numbu (P2) di Lapangan 46 9 Penampilan Tanaman dan Malai F1 dan F1 Resiprokal Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu di Lapangan Penampilan Tanaman dan Malai F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu di Lapangan Grafik Sebaran Frekuensi Tinggi Tanaman Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Batang Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Biomassa Total Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan 51

18 14 Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Malai Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Biji per Tanaman Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan. 52 DAFTAR LAMPIRAN

19 Halaman 1 Komposisi Larutan Hara Steinberg yang telah dimodifikasi (Ohki 1987) Daftar Hasil Analisis Contoh Tanah Lapang UPTD Lahan Kering Tenjo Kriteria Kondisi Lahan Kering Masam Tenjo, Jasinga Deskripsi Varietas Numbu Deskripsi Varietas UPCA S Daftar Genotipe Terpilih Hasil Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman Hasil dan Tinggi Tanaman Persilangan Sorgum Manis Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan 75 7 Daftar Genotipe Terpilih Hasil Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman dan Bobot Batang Hasil Persilangan Sorgum Manis Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan 76

20 71 PENDAHULUAN Latar Belakang Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan salah satu tanaman pangan utama dunia. Hal ini ditunjukkan oleh data mengenai luas areal tanam, produksi dan kegunaan tanaman ini di dunia yang menempati peringkat ke-lima setelah gandum, padi, jagung dan barley (Murty et al. 1994). Tanaman sorgum merupakan sumber pangan utama di Afrika yang dikonsumsi lebih dari 300 juta penduduknya (Rajvanshi dan Nimbkar 2001). Pemanfaatan sorgum lainnya adalah produk olahannya berupa roti, bubur, bahan minuman (bir dan sirup) serta gula atau jiggery (ICRISAT 1996). Tanaman sorgum manis merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat potensial dalam pemecahan masalah krisis pangan dan energi. Berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia, tanaman sorgum sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan pangan utama sumber karbohidrat karena memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (Yudiarto 2006). Beberapa kandungan nutrisi yang dimiliki sorgum melebihi kandungan yang dimiliki penghasil karbohidrat utama (beras) yaitu protein, lemak, kalsium, besi, fosfor dan vitamin B-1 (Departemen Kesehatan RI 1992). Batang dan biji sorgum dapat dikonversi menjadi bioetanol melalui proses fermentasi (Reddy dan Dar 2007). Sorgum memenuhi tiga syarat utama yang sangat diperlukan untuk diproduksi menjadi bahan bakar non-fosil yaitu tidak berkompetisi dengan tanaman pangan, produktivitasnya tinggi dan biaya produksinya rendah (Medco Energi 2007). Produktivitas sorgum sebagai bahan baku bioetanol lebih tinggi dibandingkan tanaman yang umum digunakan sebagai bahan baku bioetanol di Indonesia seperti tebu, ubi kayu, jagung dan gula bit (Medco Energi 2007). Sorgum memiliki daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, kebutuhan input lebih sedikit serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman pangan lain (Hoeman 2007). Sorgum dapat tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi mencapai 1500 m

21 72 di atas permukaan laut dan dapat ditanam di daerah tropis atau subtropis. Tanaman sorgum memiliki toleransi tinggi terhadap kekeringan dan kondisi iklim yang berbeda-beda (FAO 2002; Hoeman 2007). Selain itu tanaman sorgum memiliki toleransi terhadap cekaman abiotik dan dapat dibudidayakan dengan hasil yang cukup baik. Sorgum manis ideal untuk dikembangkan di Indonesia karena tanaman ini mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk dikembangkan di lahan kering. Lahan kering di Indonesia mencapai 144 juta hektar. Di antara luas lahan kering yang tersedia, baru sekitar 55.6 juta hektar atau sekitar 29.4% yang telah digunakan sebagai lahan pertanian (BPS 2001). Berdasarkan bentuk wilayah (topografi) sekitar 31.5 juta ha merupakan lahan kering dengan topografi yang datar berombak (kemiringan lereng < 8 %) dan sesuai untuk dibangun perkebunan sorgum. Dengan demikian lahan kering merupakan salah satu sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk pembangunan pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun peternakan. Kendala yang dihadapi dari potensi lahan kering di Indonesia adalah sebesar 99.5 juta hektar (69.1%) dari total lahan kering tersebut merupakan tanah yang bereaksi masam (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering masam dicirikan dengan ph < 5.0 dan kejenuhan basa < 50% (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering masam juga ditandai oleh tingginya konsentrasi Aluminium (Al), terutama Al 3+, yaitu bentuk Al yang dianggap paling beracun bagi tanaman (Marschner 1995). Konsentrasi Al pada larutan tanah mineral berkisar di bawah 1 mg/l (±37 µm) pada ph 5.5 dan akan meningkat dengan penurunan ph tanah. Konsentrasi Al 3+ pada taraf tersebut dapat dengan cepat menghambat pertumbuhan akar (Carver and Ownby 1995). Lahan bertanah masam juga mengalami defisiensi P akibat terikatnya P oleh Al yang menyebabkan P menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Toksisitas Al pada tanaman serealia dapat menurunkan hasil antara 28-63% dari kapasitas optimumnya (Sierra et al. 2005). Aktivitas Al menyebabkan pertumbuhan akar sorgum terhambat hingga 30% untuk tetua toleran dan mencapai 45% pada populasi bersegregasi sorgum yang digunakan (Caniato et al. 2007).

22 73 Menurut Marschner (1995), terdapat dua model pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi tanah marjinal yaitu dengan pendekatan bermasukan tinggi melalui penerapan agroteknologi seperti pengapuran dan pemupukan, serta dengan pendekatan bermasukan rendah melalui program pemuliaan tanaman yang diarahkan untuk mendapatkan varietas yang adaptif. Bellon (2001) menyatakan bahwa penggunaan varietas toleran Al merupakan pilihan terbaik dalam mengatasi permasalahan keracunan Al karena pengapuran terlalu mahal dan tidak efektif dalam mengatasi kemasaman tanah pada lapisan tanah yang lebih dalam. Keberhasilan program pemuliaan untuk memperoleh varietas yang mampu beradaptasi terhadap cekaman Al ditentukan oleh pemilihan metode pemuliaan yang tepat sehingga kegiatan pemuliaan dapat menjadi efektif dan efisien. Dalam upaya tersebut perlu diketahui informasi mengenai kendali genetik karakterkarakter yang akan diperbaiki (Roy 2000; Chahal and Gosal 2003). Sampai sejauh ini informasi mengenai pewarisan toleransi keracunan Al pada tanaman sorgum manis masih sangat sedikit. Program pemuliaan sorgum toleran Al diawali dengan pembentukan populasi dasar dengan variasi genetik yang tinggi sebagai bahan pemuliaan. Populasi dasar yang memiliki variasi genetik tinggi akan memberikan respon yang baik terhadap seleksi karena akan memberikan peluang besar untuk mendapatkan genotipe dengan gabungan sifat-sifat yang diinginkan. Kegiatan selanjutnya adalah menyeleksi galur-galur/varietas-varietas dari koleksi yang dimiliki untuk memperoleh galur/varietas sorgum yang toleran Al. Seleksi pada sorgum akan menunjukkan kemajuan genetik yang tinggi jika sifat yang dilibatkan dalam seleksi mempunyai heritabilitas yang tinggi. Jika nilai heritabilitas tinggi, sebagian besar variasi fenotipe disebabkan oleh variasi genetik, maka seleksi akan memperoleh kemajuan genetik (Bernando 2002). Seleksi terhadap sifat yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi dapat dilakukan pada generasi awal, sedangkan untuk sifat yang menunjukkan nilai heritabilitas rendah, seleksi dilakukan pada generasi akhir (Zen 1995).

23 74 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk 1. Memperoleh informasi mengenai pewarisan sifat toleransi Al pada tanaman sorgum manis. 2. Memperoleh karakter untuk seleksi sorgum yang toleran Al. 3. Memperoleh genotipe-genotipe toleran Al melalui seleksi pada generasi F2 di tanah masam. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain 1. Karakter-karakter pengendali toleransi Al pada sorgum manis baik stadia bibit maupun karakter agronomi dan hasil dikendalikan oleh gen-gen yang terdapat di inti. 2. Karakter-karakter pengendali toleransi Al pada sorgum manis baik stadia bibit maupun karakter agronomi dan hasil bersifat poligenik. 3. Karakter-karakter pengendali toleransi Al pada sorgum manis baik stadia bibit maupun karakter agronomi dan hasil dikendalikan oleh aksi gen aditif. 4. Terdapat karakter yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi pemuliaan sorgum yang toleran Al. 5. Terdapat genotipe sorgum generasi F2 toleran terhadap cekaman Al.

24 75 Plasma Nutfah Seleksi Adaptasi Tanah Masam Dept. AGH IPB Seleksi Produktivitas Bioethanol B2TP-BPPT Galur Toleran Galur Peka Hibridisasi / Persilangan F1/F1R Selfing F2 Studi Pewarisan Sifat Toleransi Al di Lapangan Studi Pewarisan Sifat Toleransi Al di Kultur Hara Seleksi Individu pada Generasi F2 (segregan) Analisis Data Genotipe F2 Toleran Al Informasi Kendali Gen dan Parameter Genetik Pewarisan Toleransi Al pada Sorgum Karakter Seleksi pemuliaan sorgum yang toleran Al Gambar 1 Bagan Alir Penelitian Studi Pewarisan Toleransi Al Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench].

25 76 TINJAUAN PUSTAKA Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan tanaman dari famili Gramineae (Poaceae), subfamili Panicoideae dan genus Andropogon (Rukmana dan Oesman 2001). Daerah asal penyebaran tanaman sorgum baik spesies liar maupun spesies budidaya terbesar ditemukan di Afrika (Grubben dan Partohardjomo 1996) untuk selanjutnya tumbuh dan berkembang di berbagai daerah seperti India, Nigeria, Argentina, Meksiko dan Sudan (ICRISAT 1996). Keunggulan tanaman sorgum adalah sangat efisien dalam penggunaan air. Hal ini disebabkan karena sorgum memiliki sistem perakaran yang halus dan pertumbuhan akar agak dalam sehingga memungkinkan penyerapan air yang cukup intensif (Rismunandar 1989). Sistem perakaran sorgum terdiri dari akarakar seminal (akar-akar primer) pada dasar buku pertama pangkal batang, akar koronal (akar-akar pada pangkal batang yang tumbuh ke arah atas) serta akar-akar udara. Tanaman sorgum dapat membentuk perakaran sekunder berukuran dua kali lipat dari akar sekunder jagung (Rukmana dan Oesman 2001). Doggett (1970) menyimpulkan bahwa pada endodermis akar sorgum terdapat endapan silika yang berfungsi mencegah kerusakan akar pada kondisi kekeringan. Batang tanaman sorgum berbentuk silinder, beruas-ruas dan berbuku-buku (ICRISAT 1996). Setiap ruas memiliki alur yang letaknya berselang-seling. Batang sorgum memiliki sel-sel parenkim atau seludang pembuluh yang diselubungi oleh sebuah lapisan keras. Beberapa varietas sorgum dapat membentuk cabang dan memiliki anakan (Rukmana dan Oesman 2001). Menurut Martin (1970) banyaknya anakan yang berkembang tergantung faktor genetik, jarak tanam, kelembaban tanah, fotoperiodisme, vigor tanaman dan waktu tanam. Ukuran diameter batang bervariasi antara 0.5 sampai 5 cm. Begitu juga dengan tinggi tanaman bervariasi dari 0.5 sampai 4 m (Murty et al. 1994). Tinggi tanaman dipengaruhi oleh jumlah buku, panjang ruas batang, panjang tangkai malai, panjang malai dan faktor genetik (Doggett 1970). Perpanjangan buku pada

26 77 tanaman sorgum dikendalikan oleh empat lokus gen Dwarf yaitu Dw 1, Dw 2, Dw 3 dan Dw 4 (House 1985). Daun tanamam sorgum terdiri dari helai daun dan pelepah daun dengan panjang helai daun mencapai cm dan lebar daun maksimum cm. Menurut Rismunandar (1989) daun sorgum dilapisi sejenis lilin yang agak tebal berwarna putih, berfungsi untuk menahan atau mengurangi penguapan air dari dalam tanaman sehingga toleran terhadap kekeringan. Bunga sorgum tersusun dalam bentuk malai dengan banyak bunga pada setiap malai sekitar bunga. Bunga sorgum akan mekar teratur dari cabang malai paling atas hingga ujung malai paling bawah. Malai sorgum memiliki tangkai yang tegak atau melengkung, berukuran pendek atau panjang dan bentuk malai dari agak kompak sampai terbuka, oval, kerucut, ramping panjang atau piramida (Murty et al. 1994). Biji sorgum berbentuk kariopsis atau karnel yaitu buah berbiji tunggal dengan kulit buah (pericarp) yang bersatu dengan kulit biji. Warna, ukuran dan bentuk biji sorgum beragam. Kulit biji dapat berwarna putih, krem, kekuningan, merah atau coklat. Biji sorgum dapat berbentuk bola, bentuk seperti buah pear dan gepeng pada salah satu bagiannya. Bobot 100 biji sorgum berkisar gram (Murty et al. 1994). Waktu yang diperlukan biji sorgum untuk mencapai berat kering maksimal tergantung pada kondisi pertumbuhan, biasanya hari setelah antesis dengan kadar air 25-35% (Doggett 1970). Menurut Rismunandar (1989) malai sorgum dapat dipanen rata-rata setelah tanaman berumur hari. Tanaman sorgum mampu tumbuh di daerah tropis maupun subtropis mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi sampai ketinggian 1500 m di atas permukaan laut (Rismunandar 1989). Kondisi yang optimum untuk tanaman sorgum adalah daerah bersuhu o C, kelembaban rendah dan curah hujan mm selama tanaman masih muda hingga mencapai umur 4-5 minggu. Sorgum dapat tumbuh di hampir setiap jenis tanah. Sorgum merupakan tanaman C4 yaitu spesies tanaman yang menghasilkan empat karbon (asam malat dan aspartat) sebagai produk awal penambatan CO 2

27 78 dalam proses metabolisme. Tanaman jenis ini memanfaatkan kedua sel mesofil dan sel seludang berkas untuk menambat CO 2 sehingga jenis tanaman C4 menjadi sangat efisien dalam fotosintesis. Produk yang dihasilkan sel mesofil berupa asam malat dan asam aspartat dengan cepat ditransfer ke sel seludang berkas dan asam tersebut mengalami dekarboksilasi dengan melepaskan CO 2 yang selanjutnya ditambat oleh Rubisco untuk diubah menjadi 3-PGA (asam fosfogliserat). Tanaman C4 juga memiliki sel seludang berkas yang lebih tebal dibandingkan dengan sel seludang pada tanaman C3 sehingga mengandung lebih banyak kloroplas, mitokondria dan organel penting lainnya dalam proses fotosintesis (Salisbury dan Ross 1992; Taiz dan Zeiger 2002). Tanaman C4 juga mampu berfotosintesis lebih cepat pada penyinaran tinggi dan suhu panas sehingga mampu menghasilkan biomassa yang lebih banyak dibandingkan tanaman C3 (Salisbury dan Ross 1992). Pada tanaman sorgum, selain memiliki mekanisme fotosintesis yang efisien juga memiliki mekanisme fisiologi lainnya antara lain permukaan daun yang dilapisi lilin sehingga dapat mengurangi laju transpirasi dan mempunyai sistem perakaran yang ekstensif (House 1985). Hal ini membuat produktivitas biomassa sorgum lebih tinggi dibandingkan tanaman C4 sejenis yaitu jagung (Hoeman 2007). Penelitian Borrel et al. (2005) menemukan bahwa tanaman sorgum efisien dalam penggunaan radiasi dan transpirasi karena memiliki gen pengendali stay-green sejak fase pengisian biji yang berhubungan dengan kandungan nitrogen daun spesifik. Fenomena ini mampu memperlambat proses senescen pada daun sorgum sehingga mampu mempertahankan batang dan daun tetap hijau meskipun pasokan air sangat terbatas (Seetharama dan Mahalakshmi 2006; Borrel et al. 2006). Mekanisme Toleransi terhadap Aluminium Lahan kering masam dicirikan dengan ph < 5.0 dan kejenuhan basa < 50% (Hidayat dan Mulyani 2002). Tanah masam juga ditandai oleh tingginya konsentrasi Aluminium (Al), terutama Al 3+, yaitu bentuk Al yang dianggap paling beracun bagi tanaman (Marschner 1995). Aluminium dapat mempengaruhi

28 79 morfologi, fisiologi dan ekspresi gen tanaman. Cekaman Al menyebabkan terganggunya penyerapan hara tanaman (Adam et al. 1999). Meningkatnya konsentrasi Al terlarut menyebabkan penyerapan unsur-unsur hara berkurang sehingga pada akhirnya mengakibatkan terjadinya defisiensi hara antara lain Ca, P, K Mg dan hara mikro seperti seng, tembaga dan molybdenum. Terganggunya penyerapan secara langsung disebabkan kerusakan membran sel akar. Akumulasi Al dapat menyebabkan kebocoran membran, mengurangi kandungan K dalam jaringan ujung akar dan merusak viabilitas protoplasma karena Al dan membran plasma akar membentuk ikatan polimer sehingga terjadi kerusakan pada membran dan kebocoran K dari sel akar (Matsumoto et al. 1992). Kerusakan akar akibat cekaman Al juga disebabkan terjadinya penebalan ujung akar dan akar cabang. Penelitian Caniato et al. (2007) memperlihatkan bahwa aktivitas Al menyebabkan pertumbuhan akar sorgum terhambat hingga 30% untuk tetua toleran dan mencapai 45% pada populasi bersegregasi sorgum yang digunakan. Penelitian Yamamoto (1992) mendapatkan hasil bahwa toksisitas Al pada tembakau menyebabkan tanaman kekurangan hara dan juga mengubah struktur dan fungsi membran plasma serta menghalangi pembelahan sel pada ujung-ujung akar. Kelarutan Al yang tinggi secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses-proses fisiologi dan metabolisme tanaman. Terganggunya penyerapan hara menyebabkan ketersediaan unsur hara menurun sehingga pertumbuhan tajuk tanaman menjadi tertekan (Marschner 1995). Polle dan Konzak (1990) menjelaskan bahwa kerusakan akar oleh Al menyebabkan terganggunya hara dan meningkatkan kepekaan terhadap kekeringan sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Mekanisme toleransi terhadap Al dapat dikelompokkan menjadi mekanisme eksternal dan mekanisme internal (Taylor 1991; Sopandie 2006). Tanaman yang memiliki mekanisme eksternal mampu mencegah Al masuk ke dalam simplas dan bagian metabolik yang sensitif. Mekanisme ini dapat dicapai antara lain dengan imobilisasi Al pada dinding sel dan selektivitas plasma membran terhadap Al, induksi ph di rizosfir atau apoplas akar, sekresi senyawa

29 80 organik pengkelat Al. Penelitian Pineros dan Kochian (2001) pada pewarnaan akar dengan hematoxylin menunjukkan bahwa jagung yang toleran Al mampu melakukan akumulasi Al pada lapisan sel bagian luar tudung akar sebagai upaya penahanan Al masuk ke dalam jaringan. Peningkatan ph rizosfer pada larutan/media merupakan salah satu indikator toleransi tanaman terhadap cekaman Al. Beberapa penyebab penurunan ph pada zone perakaran: 1) Pelepasan ion H akibat absorpsi kation > anion, 2) Pelepasan dan hidrolisis CO 2, 3) Pelepasan ion-ion H dari gugus karboksil asam poligalakturonat dan sisa-sisa asam pektat dan 4) Ekskresi proton-proton dari mikroorganisme-mikroorganisme yang berhubungan dengan akar. Tanaman yang memiliki mekanisme toleransi dengan mengubah ph di daerah perakaran akan meningkat ph larutan hara sehingga tanaman mampu menurunkan kelarutan dan toksisitas Al (Sasaki et al. 1997). Percobaan pada metode kultur hara menunjukkan bahwa genotipe toleran pada tanaman jagung, gandum, barley dan padi mengalami peningkatan ph larutan serta terjadi penurunan kelarutan dan toksisitas Al (Caniato et al. 2007; Furukawa et al. 2007). Menurut Hayes (1990), peningkatan ph rizosfer akan meningkatkan ketersediaan unsur hara seperti P dan menurunkan ketersediaan Zn, Cu, Fe, Mn dan Al. Penelitian Delhaize et al. (1995) pada tanaman kedelai menunjukkan bahwa genotipe toleran mampu meningkatkan ph rizosfer dua kali lipat dibandingkan dengan genotipe peka. Kenaikan ph akan mengurangi kelarutan Al, toksisitas dan melepaskan ikatan dengan P. Tanaman toleran mampu menghasilkan asam organik yang dapat mengkelat Al dan mencegah pengikatan Al-P dalam akar (Delhaize et al. 1993; Furukawa et al. 2007). Ujung akar tanaman yang toleran Al selain mengeksudasi asam organik juga mampu mengeksudasi fosfat organik. Hal ini merupakan proses alami hara P dan bagian dari keseimbangan hara P dalam tanaman (Pellet et al. 1996). Detoksifikasi Al oleh fosfat karena terbentuknya ikatan kompleks Al- P (Delhaize et al. 1993). Tanaman jagung dan gandum toleran mampu mengeksudasi fosfat organik lebih banyak dibandingkan tanaman peka (Pellet et

30 81 al dan 1996). Mekanisme eksternal menyebabkan kandungan Al dalam jaringan menjadi rendah. Tanaman dengan mekanisme internal memiliki daya toleransi untuk mengakumulasi Al dalam sel sehingga kandungan Al dalam jaringan tinggi. Mekanisme resistesi internal dicapai dengan pengkelatan Al oleh asam organik dalam sitosol, kompartementasi Al di vakuola, memproduksi protein pengikat Al serta produksi dan peningkatan enzim yang tahan Al. Senyawa organik pada tanaman toleran Al mampu melakukan kompleks atau bahkan kelat (menjepit) Al sehingga dapat mengurangi kelarutan Al (Hayes dan Swift 1990; Tan 1993). Senyawa organik pada tanaman peka Al tidak efektif melakukan kompleks atau mengkelat ion logam, salah satunya disebabkan karena jumlah yang dihasilkan tidak mampu untuk menetralkan atau mengusir Al (Sopandie et al. 2003; Kasim et al. 2001). Anion organik pada barley mengaktifkan Al-effluks dari akar dan berkorelasi dengan toleransi Al (Furukawa et al. 2007). Caniato et al. (2007) menyatakan bahwa mekanisme fisiologi toleransi Al pada sorgum berdasarkan pengkelatan Al di rizosfer oleh malat yang dilepas dari apikal akar dan mencegah logam mencapai situs sensitif di dalam akar. Tanaman teh merupakan salah satu tanaman yang menghasilkan asam organik/polifenol yang dapat menawarkan racun Al dengan cara mengkelatnya (Matsumoto dan Sasaki 2002). Aluminium berikatan dengan catechin di dalam daun muda dan pucuk, sedangkan pada daun tua ditemukan adanya kompleks aluminium-asam fenolik dan asam alumoniumasam organik. Pemuliaan bagi Lingkungan Bercekaman Lingkungan bercekaman adalah lingkungan sub optimum bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Lingkungan sub optimum merupakan lingkungan yang beragam dan tidak sama tingkat cekamannya. Tujuan pemuliaan untuk perbaikan produktivitas tanaman pada lingkungan bercekaman ditentukan oleh tingkat cekaman pada lingkungan target (Sopandie et al. 2004; Sopandie 2006).

31 82 Perbaikan produktivitas tanaman di lahan bercekaman dapat dilakukan melalui perbaikan potensi hasil untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dan perbaikan daya adaptasi tanaman untuk mendapatkan varietas yang toleran (Accevedo dan Fererres 1993). Menurut Baker (1993), produktivitas tanaman pada kondisi bercekaman ditentukan oleh potensi hasil tanaman serta daya adaptasi tanaman terhadap cekaman. Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman ringan atau sedang dilakukan melalui perbaikan potensi hasil dan pembentukan idiotype breeding (Romagosa dan Fox 1993). Perbaikan potensi hasil dapat dilakukan melalui perbaikan kapasitas fotosintesis dan respirasi untuk meningkatkan biomassa tanaman dan perbaikan sink capacity dan partisi fotosintat (Accevedo dan Fererres 1993). Upaya pembentukan idiotype breeding dilakukan dengan mengembangkan kombinasi karakter yang mendukung fotosintesis, pertumbuhan dan produksi tanaman (Sopandie 2006). Melalui pembentukan idiotype breeding, pemulia akan memperoleh gambaran yang jelas dalam menyeleksi karakter tanaman yang mendukung peningkatan potensi hasil (Romagosa dan Fox 1993; Sopandie 2006). Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman berat dilakukan melalui peningkatan adaptasi tanaman (Romagosa dan Fox 1993). Pada lingkungan dengan cekaman berat terdapat interaksi genotipe dengan lingkungan baik interaksi yang bersifat kuantitatif maupun interaksi yang bersifat kualitatif. Interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kuantitatif tidak menyebabkan perubahan rangking genotipe. Genotipe yang unggul pada satu lingkungan tetap unggul pada lingkungan yang berbeda. Interaksi genotipe lingkungan yang bersifat kualitatif merupakan kendala dalam pemuliaan bagi lingkungan bercekaman berat karena mengakibatkan perubahan rangking genotipe (Ceccareli 1996). Genotipe berdaya hasil tinggi pada satu lingkungan bisa mengalami penurunan hasil yang cukup tajam pada lingkungan berbeda akibat pengaruh cekaman (Romagosa dan Fox 1993; Roy 2000; Bernardo 2002; Chahal dan Gosal 2003).

32 83 Seleksi pada lingkungan bercekaman harus dilakukan di lingkungan target sehingga dapat memaksimalkan ekspresi gen-gen yang mengendalikan daya hasil maupun daya adaptasi tanaman terhadap cekaman (Ceccareli et al. 2007). Seleksi pada kondisi bercekaman dapat dilakukan berdasarkan fenotipe, marka molekular dan gabungan antara fenotipe dan marka molekuler (Bernardo 2002). Seleksi berdasarkan fenotipe menjadi sulit karena nilai heritabilitas yang rendah dan adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan yang bersifat kualitatif. Untuk meningkatkan efisiensi seleksi maka seleksi dapat dilakukan menggunakan marka molekuler. Marka molekuler yang terpaut dengan QTL atau yang mengendalikan daya hasil pada kondisi bercekaman serta QTL yang mengendalikan toleransi terhadap cekaman merupakan salah satu marka yang dapat dijadikan alat bantu seleksi (Forster et al. 2000; Hussain 2006). Arah Program Pemuliaan Tanaman Sorgum Tanaman sorgum manis merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat potensial dalam pemecahan masalah krisis pangan dan energi. Kebutuhan terhadap tanaman ini terus meningkat (Grassi 2001). Konsekuensinya adalah perbaikan hasil dan kualitas sangat perlu dilakukan. Secara umum, tanaman sorgum manis yang diinginkan adalah tanaman sorgum yang memiliki indeks panen yang tinggi, produktivitas yang tinggi, stabilitas hasil, resisten terhadap penyakit dan memiliki toleransi terhadap cekaman abiotik seperti tidak sensitif terhadap photoperiodisme, kelembaban tinggi, toleran kekeringan dan lahan masam (Baenziger 2006). Ketersediaan bahan bakar tidak terbarukan (berbasis fosil) saat ini semakin terbatas menyebabkan kebutuhan akan sumber energi yang terbarukan (biofuel) menjadi penting. Penggunaan bioetanol dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sampai 12% (Reddy dan Dar 2007). Dari tahun ke tahun kebutuhan terhadap bioetanol semakin meningkat. Sorgum merupakan salah satu tanaman yang dapat menjadi bahan baku industri bioetanol karena batang dan juga bijinya dapat dikonversi menjadi bioetanol melalui proses fermentasi (Yudiarto 2006; Reddy dan Dar 2007). Selain produktivitasnya yang tinggi dan biaya produksi yang

33 84 rendah, tanaman sorgum tidak berkompetisi dengan tanaman pangan. Saat ini produsen bioetanol yang menggunakan sorgum masih didominasi oleh Amerika Serikat, Cina, Afrika Selatan dan India (Dirjen Tanaman Pangan 2007). Sorgum memenuhi persyaratan sebagai bahan baku bioetanol antara lain dapat tumbuh dalam berbagai agroekologi, lebih tahan penyakit dan memerlukan input produksi yang relatif sedikit jika dibandingkan dengan tanaman penghasil bioetanol lainnya. Rasmusson (1987) menjelaskan bahwa ideotipe merupakan sifat yang diharapkan dapat ditingkatkan potensi genetik hasilnya. Pemuliaan ideotipe didefinisikan sebagai metode yang digunakan dalam pemuliaan untuk meningkatkan potensi genetik karakter yang diinginkan dengan memodifikasi karakter tersebut secara spesifik (Roy 2000). Arah pemuliaan sorgum untuk produksi bioetanol diarahkan pada perbaikan karakter-karakter produksi bioetanol yaitu karakter malai dan batang. Tanaman sorgum memiliki efisiensi fotosintesis yang tinggi yaitu 2.5% dengan efisiensi fotosintesis maksimum pada beberapa jam tertentu dalam siklus harian mencapai 27% (Grassi 2005). Perbaikan efisiensi fotosintesis diharapkan dapat meningkatkan produksi biomassa sorgum sehingga produktivitas bioetanol juga akan meningkat. Alkohol diperoleh dari nira bagian batang sorgum. Kualitas nira sorgum manis setara dengan nira tebu, kecuali kandungan amilum dan asam akonitat yang relatif tinggi (Sirappa 2003). Kandungan amilum yang tinggi tersebut merupakan salah satu masalah dalam proses kristalisasi nira sorgum sehingga gula yang dihasilkan berbentuk cair. Untuk mengatasi masalah tersebut, pengembang ideotipe dapat diarahkan pada penurunan kandungan amilum dari kadar awal. Bioetanol juga diperoleh dari bagian malai. Sirappa (2003) menjelaskan bahwa biji sorgum mengandung 65-71% pati yang dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana. Gula sederhana yang diperoleh dari biji sorgum selanjutnya dapat difermentasi untuk menghasilkan alkohol. Menurut Somani dan Pandrangi (1993) dalam Sumarno dan Karsono (1996), setiap ton biji sorgum dapat menghasilkan

34 liter bioalkohol. Seleksi berdasarkan bobot biji per tanaman diharapkan akan diperoleh perbaikan produksi malai surgum. Kelebihan lain adalah manfaat ganda tanaman sorgum yang dapat digunakan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan pakan. Sorgum manis merupakan salah satu tanaman pangan dunia dengan luas areal tanam, produksi dan kegunaan tanaman ini di dunia yang menempati peringkat ke-lima setelah gandum, padi, jagung dan barley (Murty et al. 1994). Tanaman sorgum merupakan sumber pangan utama di Afrika yang dikonsumsi lebih dari 300 juta penduduknya (Rajvanshi dan Nimbkar 2001). Pemanfaatan sorgum lainnya adalah produk olahannya berupa roti, bubur, bahan minuman (bir dan sirup) serta gula atau jiggery (ICRISAT 1996). Berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia, tanaman sorgum sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan pangan utama sumber karbohidrat karena memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (Yudiarto 2006) Beberapa kandungan nutrisi yang dimiliki sorgum melebihi kandungan yang dimiliki penghasil karbohidrat utama (beras) yaitu protein, lemak, kalsium, besi, fosfor dan vitamin B-1 (Sirappa 2003). Kandungan tannin pada beberapa jenis sorgum cukup tinggi (0,40 3,60%), sehingga hasil olahannya kurang enak. Sumarno dan Karsono (1996) menyarankan untuk mengatasi masalah ini melalui teknologi pengolahan kulit dan lapisan testa dengan pengikisan (penyosohan). Pendekatan melalui program pemuliaan dapat dilakukan melalui perakitan sorgum dengan kandungan tannin rendah. Keberadaan tannin pada sorgum sulit terdeteksi dan tidak tergantung pada warna biji (House 1985). Sorgum memenuhi syarat gizi dan faktor biofisik untuk dijadikan jalan keluar dalam krisis pangan dan dalam rangka perbaikan gizi masyarakat, sehingga pengembangan varietas sorgum dengan level vitamin, mineral dan protein tinggi harus dilakukan. Sorgum memiliki kandungan glutin sorgum sangat rendah (Graybosch 1992) sehingga sorgum dikembangkan sebagai bahan pangan premium untuk keperluan diet pada penderita diabetes dan diet pada penderita alergi glutin (Hoeman 2008).

35 86 Pemanfaatan sorgum sebagai pakan ternak yaitu biji sorgum untuk bahan campuran ransum pakan ternak unggas, sedangkan batang dan daun sorgum (stover) untuk ternak ruminansia (Hoeman 2007). Kandungan lemak sorgum yang relatif tinggi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan bobot ternak. Dengan demikian, pemilihan ideotipe dapat diarahkan pada perakitan genotipe yang memiliki kandungan lemak tinggi. Penggunaan biji sorgum dalam ransum pakan ternak bersifat suplemen (substitusi) terhadap jagung karena nilai nutrisinya tidak berbeda dengan jagung, namun karena kandungan tannin yang cukup tinggi membuat rasa pakan biji sorgum menjadi pahit (Sirappa 2003). Menurut Koentjoko (1996), kandungan tanin dalam ransum di atas 0,50% dapat menekan pertumbuhan ayam, dan apabila mencapai 2% akan menyebabkan kematian (Rayudu et al. 1970) sehingga salah satu ideotipe yang dapat dikembangkan dalam program pemuliaan sorgum untuk keperluan pakan adalah menurunkan kadar tannin pada lapisan aleuron biji. Potensi daun sorgum manis sekitar 14 16% dari bobot segar batang atau sekitar 3 ton daun segar/ ha dari total produksi 20 ton/ha. Soebarinoto dan Hermanto (1996) melaporkan bahwa setiap hektar tanaman sorgum dapat menghasilkan jerami 2,62 + 0,53 ton bahan kering. Konsumsi rata-rata setiap ekor sapi adalah 15 kg daun segar/hari (Direktorat Jenderal Perkebunan 1996). Dengan demikian pengembangan sorgum sebagai tanaman pakan ternak (forage sorghum) dapat dilakukan dengan meningkatkan potensi hijauan sorgum. Borrel et al. (2006) menjelaskan kondisi stay green pada tanaman sorgum dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan radiasi dan transpirasi yang tinggi. Penelitian sorgum selain mengarah pada perbaikan sifat agronomi dan kualitas sebagai sumber pangan, pakan dan bahan baku bioetanol, juga diarahkan pada peningkatan produktivitas antara lain dengan perakitan sorgum yang memiliki daya adaptasi luas dengan produktivitas tinggi namun memerlukan input relatif rendah, peningkatan ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman serta toleransi terhadap kondisi marjinal (kekeringan, salinitas dan lahan masam). Arah pemuliaan sorgum dalam peningkatan komponen hasil dan produktivitas dapat dilakukan dengan memanfaatkan galur-galur murni dan hibrida (Institute of

36 87 Agricultural Sciences at Xinxian-Shanxi 1972). Hasil panen pada hibrida sorgum berkorelasi dengan berat malai. Poelman dan Sleper (1996) menerangkan bahwa program pemuliaan sorgum untuk daya hasil tinggi memerlukan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman seperti umur tanam, sensitifitas terhadap fotoperiode, resistensi terhadap kerebahan dan resistensi terhadap cekaman (biotik maupun abiotik). Karakter agronomi seperti tinggi tanaman, jumlah daun dan produksi biji dapat digunakan sebagai indikator tahan kekeringan. Grassi et al menjelaskan bahwa daya adaptasi sorgum terhadap kekeringan berhubungan dengan mekanisme efisiensi penggunaan air. Penelitian yang dilakukan Di Fonzo et al. (1999) diketahui bahwa luas area hijau daun pada fase generatif meningkatkan produksi biji. Genotipe dengan kemampuan stay-green pada tanaman pangan seperti jagung, sorgum dan gandum, lebih aktif berfotosintesis selama masa pengisian biji. Hal serupa juga dijelaskan oleh van Oosterom et al. (1996), bahwa karakter stay-green merupakan komponen toleransi terhadap kekeringan pada fase akhir pembungaan sorgum. Sorgum dengan fenotipe staygreen mengakumulasi lebih banyak gula pada batang baik selama maupun setelah fase pengisian biji. Karakter stay-green merupakan karakter penting dalam perakitan varietas sorgum manis toleran kekeringan dan juga dapat digunakan dalam aplikasi pemuliaan lainnya. Penurunan produktivitas tanaman pada tanah masam terutama dialami oleh jenis tanaman semusim (annual plant) dengan sistem perakaran yang dangkal (Kochian et al. 2004). Pada kondisi tercekam kemasaman, pertumbuhan tajuk akan terhambat yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang kerdil (Marschner 1995). Hal ini disebabkan oleh terhambatnya akses air dan nutrisi karena pertumbuhan akar yang terhambat. Sistem perakaran merupakan salah satu karakter yang dapat digunakan tanaman untuk mengurangi toksisitas Al dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan unsur hara. Strategi untuk meningkatkan produktivitas tanaman di lingkungan bercekaman adalah melalui program pemuliaan tanaman yang didukung oleh pemahaman tentang aspek fisiologi adaptasi tanaman (Sopandie 2006).

37 88 Pengembangan sorgum yang memiliki toleransi terhadap Al diperlukan upaya mengembangkan varietas-varietas sorgum yang beradaptasi pada kondisi agroekologi lahan bercekaman Al. Varietas sorgum toleran Al telah dikembangkan di beberapa negara (Kochian et al. 2004), tetapi di Indonesia saat ini belum dikembangkan, karenanya pengembangan varietas sorgum toleran tanah masam sangat diperlukan. Pemahaman tentang mekanisme adaptasi dan kendali genetiknya dapat membantu meningkatkan efektivitas seleksi galur-galur sorgum toleran Al. Indonesia bukan merupakan daerah origin sorgum, namun tanaman sorgum di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama dikenal. Perkembangan sorgum di Indonesia tidak sebaik padi dan jagung karena masih sedikit daerah yang memanfaatkan tanaman sorgum sebagai bahan pangan. Budidaya, penelitian dan pengembangan tanaman sorgum di Indonesia masih sangat terbatas (Hoeman 2007). Salah satu penyebab keterbatasan tersebut adalah tidak tersedianya benih varietas unggul sorgum. Hal inilah yang menyebabkan keragaman genetik yang tersedia masih sangat terbatas. Peningkatan keragaman genetik sorgum dapat dilakukan melalui introduksi, hibridisasi, mutasi dan bioteknologi maupun kombinasi antara metode-metode tersebut. Varietas sorgum yang terdapat di Indonesia sebagian besar merupakan introduksi dari International Crop Research Institut for Semi-Arid Tropics (ICRISAT) dan dari beberapa negara seperti India, Thailand dan Cina. Setelah melalui proses pengujian adaptasi dan daya hasil selama beberapa generasi, beberapa varietas introduksi tersebut telah dilepas oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia sebagai varietas sorgum unggul nasional antara lain UPCA, Keris, Mandau, Higari, Numbu, Kawali, Badik, Gadam dan Sangkur (Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan 2003). Teknik hibridisasi atau persilangan buatan dapat menimbulkan keragaman baru melalui rekombinasi yang terbentuk dari alela-alela yang berasal dari tetuatetua persilangan. Persilangan dapat menghasilkan keragaman baru yang tidak ditemukan pada genotipe kedua tetuanya karena adanya rekombinasi (Baenziger 2006). Setelah melalui segregasi akan terbentuk populasi yang mempunyai

38 89 keragaman genetik lebih tinggi. Dengan hibridisasi, keragaman yang dibentuk dapat diarahkan sesuai dengan sasaran program pemuliaan, berupa gabungan karakter-karakter unggul yang ada di tetua-tetua persilangan. Persilangan buatan dapat melibatkan semua bentuk genotipe, varietas dari suatu spesies yang sama atau antar spesies yang berbeda. Berdasarkan pengelompokan genotipe ini persilangan buatan dapat dikelompokkan menjadi (1) Intervarietal yaitu persilangan yang melibatkan tetua-tetua berupa kultivar dari spesies yang sama (Harlan dan de Wet 1971), (2) Interspesifik yaitu persilangan yang melibatkan tetua yang berasal dari dua spesies yang berbeda dari genus yang sama (Harlan dan de Wet 1971), (3) Intergenerik yaitu persilangan yang melibatkan tetua-tetua yang berasal dari spesies dari genus yang berbeda (Greene dan Morris 2001) dan (4) Introgressi yaitu persilangan yang melibatkan tetuatetua yang berasal dari spesies yang berbeda dengan tujuan untuk memindahkan satu atau beberapa gen saja dari tetua spesies liar ke spesies budidaya (Gepts 2002). Tipe persilangan yang paling umum dilakukan adalah tipe persilangan intervarietal, karena rekombinasi gen dapat terjadi lebih mudah dan tanpa hambatan reproduksi. Persilangan yang melibatkan spesies tanaman yang berbeda mempunyai kendala pada hambatan reproduksi sehingga memerlukan teknik khusus. Pemilihan tetua sangat penting diperhatikan dalam hibridisasi karena menentukan keberhasilan dari tujuan persilangan yang diinginkan. Tetua yang digunakan dalam persilangan harus membawa karakter unggul yang diinginkan (Sutjahjo et al. 2005). Selain itu, salah satu atau kedua tetua memiliki adaptasi dan penampilan agronomis yang baik dan juga antara tetua mempunyai jarak kekerabatan yang jauh sehingga dapat menghasilkan keragaman genetik yang tinggi pada turunannya. Sumber keragaman untuk seleksi tetua persilangan dapat diperoleh dari koleksi plasma nutfah yang ada atau jika tidak ada dapat diintroduksikan dari wilayah lain. Sutjahjo et al. (2005) menjelaskan bahwa plasma nutfah yang menjadi sumber keragaman bagi seleksi tetua dapat terdiri dari varietas komersial, galur-galur elit hasil pemuliaan (breeding lines), varietas lokal atau landrace dan

39 90 spesies liar. Varietas komersial adalah varietas yang telah ditanam luas dan diterima baik oleh petani. Galur-galur elit hasil pemuliaan (breeding lines) adalah yaitu galur-galur terpilih dengan sifat-sifat unggul tetapi belum dilepas sebagai varietas. Varietas lokal atau landrace yaitu kultivar hasil seleksi petani yang mempunyai keunggulan dalam adaptasi terhadap cekaman lingkungan tertentu seperti kekeringan, tanah masam, salinitas atau tanah gambut sulfat masam, sedangkan spesies liar adalah spesies bukan budidaya namun mempunyai sifatsifat yang diinginkan dan akan digunakan dalam persilangan dengan spesies budidaya. Jika keragaman dari karakter yang dikehendaki tidak dapat ditemukan dalam koleksi plasma nutfah, maka keragaman dapat diperoleh melalui mutasi induksi (Ahloowalia et al. 2004). Aisyah (2006) menjelaskan bahwa mutasi adalah perubahan materi genetik yang terjadi secara mendadak dan bersifat permanen akibat perlakuan radiasi atau bahan kimia (mutagen fisik atau kimia). Keragaman yang ditimbulkan oleh mutasi tidak dapat diduga arahnya (van Harten 1998). Peningkatan keragaman lainnya dapat dilakukan dengan melalui pendekatan bioteknologi antara lain embryo rescue (Comeau et al. 1992), manipulasi kromosom sitoplasma (Fedak 1999; Jauhar dan Chibbar 1999) atau manipulasi kromosom molekular dengan transformasi genetik (Zhong 2001). Kegiatan selanjutnya adalah proses seleksi dan pengujian selama beberapa generasi hingga diperoleh galur-galur harapan dengan karakter yang diinginkan. Sorgum termasuk kelompok tanaman yang melakukan penyerbukan sendiri dengan persentase menyerbuk silang sebesar 6% (Poehlman dan Sleper 1996). Sasaran yang hendak dicapai pada program pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri adalah sifat unggul dan tanaman homozigot (Poespodarsono 1988). Metode seleksi yang digunakan untuk tanaman menyerbuk sendiri seperti sorgum dapat dilakukan pada populasi yang heterogen dan pada populasi bersegregasi (Trikoesoemaningtyas, bahan kuliah 2007). Seleksi pada populasi heterogen dilakukan dengan metode seleksi massa dan seleksi galur murni, sedangkan pada populasi bersegregasi, seleksi dapat dilakukan dengan metode adalah pedigree, bulk, silang balik, single seed descent dan double haploid.

40 91 Metode pedigree banyak digunakan untuk seleksi pada karakter kualitatif atau karakter kuantitatif yang mempunyai nilai heritabilitas yang tergolong tinggi sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi awal (Moreno-Gonzales dan Cubero 1993; Roy 2000; Chahal dan Gosal, 2003). Metode pedigree merupakan metode yang paling sering digunakan dalam pemuliaan sorgum (House 1985). Kelebihan metode pedigree antara lain hanya keturunan dari tanaman unggul saja yang dilanjutkan, menghemat lahan karena jumlah tanaman tiap generasi semakin sedikit dan silsilah dari galur diketahui (Sutjahjo et al. 2006). Namun pada metode ini banyak genotipe akan terbuang pada saat masih bersegregasi, sedangkan genotipe tersebut mungkin akan mempunyai fenotipe yang baik pada generasi lanjut setelah seluruh gen-gen aditif terfiksasi dan juga pencatatan yang dilakukan setiap generasi memerlukan banyak tenaga dan ketelitian yang tinggi dalam mencatat dan menyimpan data silsilah. Metode silang balik (back cross) diterapkan dengan tujuan memasukkan satu atau dua karakter pada varietas atau genotipe yang sudah mempunyai daya adaptasi atau karakter agronomi yang sudah baik (Stoskopf et al. 1993; Roy 2000; Chahal and Gosal 2003; Sutjahjo et al. 2006). Metode silang balik bertujuan untuk memperbaiki kultivar yang sudah mempunyai karakter agronomi dan adaptasi yang baik, tetapi kekurangan satu atau beberapa karakter saja, misalnya pemuliaan untuk memperbaiki resistensi terhadap penyakit dari varietas unggul komersial yang diadopsi luas. Tujuan dari silang balik berulang dengan tetua recurrent adalah untuk meningkatkan proporsi gen tetua recurrent. Metode silang balik dilaksanakan dengan menyilangkan kembali F1 dengan tetua yang mempunyai sifat agronomi baik sebagai tetua berulang (recurrent parent) untuk beberapa generasi. Untuk itu metode silang balik memerlukan tetua recurrent dengan sifat agronomi baik. Umumnya tetua recurrent merupakan varietas unggul komersial yang diadopsi secara luas oleh petani. Metode silang balik hanya memperbaiki satu sifat tetapi tidak dapat meningkatkan potensial hasil dari varietas yang ada. Metode bulk dan single seed descent umum digunakan untuk seleksi pada karakter kuantitatif atau karakter yang mempunyai nilai heritabilitas yang

41 92 tergolong rendah atau sedang sehingga seleksi dilakukan pada generasi lanjut yaitu F5 atau F6. Prinsip kedua metode ini adalah upaya menangani populasi bersegregasi selama beberapa generasi secara bersama-sama sampai mencapai tingkat homozigositas yang diinginkan sebelum melakukan seleksi terhadap individu tanaman. Generasi F 1 sampai F 4 pekerjaan tidak terlalu berat, karena pada generasi tersebut tidak dilakukan seleksi. Dalam metode single seed descent hanya satu benih yang diambil secara acak dari setiap tanaman untuk ditanam pada generasi berikutnya (Stoskopf et al. 1993; Roy 2000; Chahal dan Gosal 2003; Sutjahjo et al. 2006). Metode untuk Mempelajari Pola Pewarisan Sifat Karakter-karakter yang diekspresikan tanaman dibedakan atas karakter kualitatif dan karakter kuantitatif. Karakter kualitatif seperti warna dan bentuk bunga, bentuk dan warna biji, penampilannya sangat sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Karakter-karakter ini akan mempunyai penampilan yang tetap pada berbagai lingkungan yang berbeda (Stoskopf 1993). Hal ini dapat terjadi karena karakter-karakter ini dikendalikan oleh gen-gen yang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap penampilan/fenotipe (gen mayor), sehingga pengaruh lingkungan terhadap karakter tersebut kecil. Karakter kualitatif memiliki keragaman yang dapat dengan mudah dikelaskan dan pewarisan karakternya mengikuti hukum pewarisan sifat Mendel (Roy 2000) yaitu menurut Hukum Segregasi, di mana alel-alel dari pasangan gen bersegregasi (berpisah) satu dengan lainnya ke dalam gamet dan Hukum Perpaduan Bebas yaitu pada waktu pembentukan gamet, salah satu pasangan gen berpadu secara bebas dengan pasangan gen lainnya. Fenotipe dari karakter kualitatif dapat dikelaskan dengan jelas. Keragaman karakter kualitatif dapat dibedakan berdasarkan aksi gen yang mengendalikan karakter tersebut (Stoskopf 1993; Chahal dan Gosal 2002). Karakter kualitatif dapat dikendalikan oleh satu gen yang mempunyai aksi dominan, over dominan atau kodominan, yang merupakan bentuk interaksi alela dalam lokus/gen yang sama. Dominansi adalah bentuk interaksi antar alel yang

42 93 menyebabkan alela pasangannya dalam lokus yang sama tertekan ekspresinya. Alela yang terekspresi disebut alela dominan sedangkan alela yang tertekan ekspresinya disebut alela resesif. Jika dominansi bersifat penuh, maka ekspresi aksi gen dominan akan menyebabkan genotipe dengan alela heterozigot mempunyai fenotipe yang sama dengan bentuk homozigot dominannya. Jika dominansi tidak bersifat penuh, maka genotipe heterozigot akan mempunyai fenotipe yang berada di antara fenotipe genotipe homozigot dominan dengan homozigot resesif. Aksi gen dominan dapat terjadi dalam bentuk overdominansi, di mana genotipe heterozigot akan mempunyai fenotipe yang melebihi genotipe homozigot dominan. Fenomena ini umumnya terlihat pada karakter yang berhubungan dengan ukuran dan viabilitas. Epistasis terjadi jika dua gen berinteraksi mengatur karakter yang sama dan interaksi tersebut melibatkan alela dari lokus yang berbeda. Epistasis dapat menyebabkan timbulnya fenotipe yang berbeda dari fenotipe yang disebabkan oleh interaksi antar alela dalam lokus yang sama, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan dalam nisbah fenotipe di generasi F2. Karakter-karakter kuantitatif seperti karakter yang berhubungan dengan pertumbuhan tanaman atau hasil panen, umumnya merupakan karakter-karakter yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Roy 2000). Karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen di mana pengaruh masing-masing gen terhadap penampilan karakter (fenotipe) lebih kecil dan bersifat aditif. Gen-gen tersebut secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pengaruh lingkungan (Roy 2000). Gen-gen yang demikian disebut gen minor. Aksi gen minor ditentukan oleh bentuk interaksi yang terjadi baik interaksi antar alel pada lokus yang sama. Untuk karakter kuantitatif maka interaksi antar alela dapat terjadi dalam bentuk interaksi aditif dan dominan maupun interaksi antar alel pada lokus yang berbeda (epistasis). Jumlah gen yang banyak menyebabkan keragaman fenotipe dari karakter kuantitatif tidak dapat dikelaskan dengan jelas dan cenderung membentuk sebaran yang kontinyu. Seleksi terhadap karakter kuantitatif tidak didasarkan pada visual tetapi pada hasil analisis stastistik.

43 94 Pemulia harus memilih metode yang paling efektif dan efisien dalam pelaksanaan seleksi untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya. Pemilihan metode dilakukan melalui analisis pewarisan dengan menghitung potensialitas dari persilangan yang dilakukan (Roy 2000). Analisis harus dilakukan sejak generasi awal menggunakan data tetua dan data dari generasi awal. Roy (2000) menjelaskan terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam memprediksi tingkat kepotensialitas persilangan yaitu dengan melihat penampilan tetua, analisa rata-rata generasi atau dengan analisa diallel. Metode analisa penampilan tetua merupakan metode analisis yang paling sederhana karena tidak menggunakan analisis genetik namun pendugaan pewarisan hanya didasarkan pada penampilan kedua tetua dan progeni F1 dengan hipotesis semua karakter dikendalikan oleh aksi gen aditif. Hubungan antara nilai tengah kedua tetua dan F1 tidak hanya tergantung pada tipe penyerbukan tanaman saja, namun juga tergantung pada sejarah materi genetik yang digunakan (Chahal dan Gosal 2002). Beberapa karakter penampilan tetua dapat digunakan sebagai prediktor hasil persilangan. Keberadaan epistasis akan dihilangkan dengan cara menggunakan komponen karakter yang kompleks, sedangkan efek dominansi akan dikurangi melalui selfing (Roy 2000). Keberadaan pautan tidak akan berpengaruh pada rata-rata populasi jika epistasis telah ditiadakan. Kelemahan dari metode ini adalah asumsi aksi gen aditif pada karakter yang kompleks tidak selalu dapat terpenuhi karena adanya faktor interaksi lingkungan dan atau genetik. Selain itu potensialitas hasil persilangan yang tinggi hanya dapat diperoleh dari tetua dengan nilai yang tinggi juga, sehingga pemilihan tetua menjadi sangat penting. Analisa rata-rata generasi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menduga peran aksi gen aditif, dominan atau interaksi terhadap ekspresi suatu karakter (Roy 2000). Analisa rata-rata generasi juga dapat digunakan untuk menentukan metode seleksi varietas yang akan dihasilkan. Jika aksi gen aditif yang paling besar perannya maka seleksi dalam populasi akan efektif mengakumulasi gen-gen aditif yang diinginkan. Varietas yang dihasilkan berupa galur murni. Jika aksi gen dominan yang paling besar perannya, seleksi antar

44 95 populasi. Dalam melakukan pendugaan aksi gen suatu populasi dengan analisis rata-rata generasi, populasi yang digunakan harus mengikuti asumsi kedua tetua homozigot, pola pewarisan diploid, tidak ada keterpautan gen, tidak ada pengaruh tetua betina, tidak ada interaksi antara genotipe dengan lingkungan, interaksi hanya terjadi antara dua gen dengan dua alela (Allard 1960). Analisa rata-rata generasi menggunakan populasi P1, P2, F1/F1R, BC1 dan BC2, untuk itu digunakan dua macam metode pendugaan, yaitu (1) Scaling Test (Uji Skala), yang menduga aksi gen dan model genetik dengan menguji sejumlah generasi secara terpisah dan (2) Joint Scaling Test (Uji Skala Gabungan), menduga aksi gen dan model genetik dengan menguji sejumlah generasi secara bersama-sama, dan memungkinkan dilakukannya uji kesesuaian model genetik. Pada uji skala, pendugaan model genetik dan komponen dari ratarata generasi dapat dilakukan dengan menggunakan skala yaitu A, B, C dan D. Sedangkan pada uji skala gabungan, model diuji dengan uji kebaikan sesuai terboboti dan dapat digunakan untuk menduga parameter m (rata-rata), d (pengaruh aksi gen aditif), h (pengaruh aksi gen dominan) dan interaksinya. Dalam analisis silang diallel, pendugaan parameter genetik sudah dapat dilakukan pada F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BCP1 ataupun BCP2, seperti pada teknik pendugaan parameter genetik menggunakan pendekatan enam populasi. Sebaran gen pengendali sifat di dalam tetua-tetua dan pendugaan batas tertinggi fenotipe jika semua gen mengumpul dalam suatu individu bisa dipelajari. Analisis silang diallel juga harus memenuhi beberapa asumsi seperti yang di kemukakan oleh Allard (1960) yaitu terjadi segregasi diploid, tidak ada perbedaan antara persilangan resiprokal, tidak ada interaksi antara gen gen yang tidak satu alel, tidak ada multialelisme, tetua homozigot dan gen gen menyebar secara bebas di antara tetua. Analisa dengan menggunakan metode diallel dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan Hayman dengan melakukan studi pewarisan dan pendekatan Griffing dengan menghitung daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK). Daya gabung umum yang lebih besar daripada daya gabung khusus menunjukkan bahwa aksi gen aditif lebih berperan dalam mengendalikan sifat

45 96 tersebut dibandingkan aksi gen non-aditif. Sebaliknya daya gabung khusus yang lebih besar dibandingkan daya gabung umum menunjukkan bahwa aksi gen non aditif lebih berperan dalam mengendalikan suatu sifat daripada aksi gen aditif. Menurut Roy (2000) daya gabung umum merupakan penduga terhadap ragam aditif. Sementara daya gabung khusus merupakan penduga ragam non aditif (dominan dan epistasis). Umumnya pendekatan Griffing diarahkan untuk mempelajari kemampuan daya gabung umum (general combining ability/gca) dan kemampuan daya gabung khusus (specific combining ability/sca). Namun demikian, pendekatan Griffing dapat juga untuk mempelajari aksi gen, ragam aditif, ragam dominan, heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Pewarisan Toleransi terhadap Aluminium Setiap tanaman mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap keracunan Al (Wirnas et al. 2002). Sifat toleransi terhadap cekaman Al dketahui dikendalikan secara genetik. Menurut Tisdale dan Nelson (1975) sifat toleransi tanaman terhadap lingkungan sub optimum dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Hal ini didukung oleh Chaubey dan Senadhira (1994) yang menyatakan bahwa keragaman yang diamati dalam adaptasi tanaman terhadap tanah masam dikendalikan secara genetik walaupun ekspresinya dipengaruhi oleh lingkungan. Kedua faktor ini mempengaruhi penampilan fenotipe (Falconer and Mackay 1996). Keadaan lingkungan yang berubah-ubah dan seleksi alam akan memaksakan dan menyebabkan menonjolnya sifat yang memungkinkan tanaman tersebut mampu menyesuaikan diri dalam keadaan yang sangat kompetitif (Jain 1982). Salasar et al. (1995) mengatakan bahwa toleransi pada lahan masam pada jagung dikendalikan oleh gen inti. Sifat ketenggangan terhadap Al tidak diturunkan secara sederhana dengan model satu atau dua gen, tetapi atas pengaruh gen poligenik (Zhang et al. 1999). Berbagai studi menunjukkan bahwa gen yang mengendalikan sifat ketenggangan Al sangat kompleks sehingga dapat memberikan pengaruh pada pewarisan sifat yang berbeda pula. Hal ini diperkuat oleh Jagau (2000) yang menyimpulkan bahwa terdapat interaksi antar gen sehingga sifat ketenggangan aluminium ini

46 97 dikendalikan secara poligenik. Menurut Zhang et al. (1999), toleransi terhadap Al pada triticale disebabkan oleh efek aditif dan dominan. Karakter toleransi Al pada triticale dikendalikan oleh sepasang sampai tiga pasang gen (poligenik). Begitu juga hasil penelitian Bianchi-Hall (1998) pada tanaman kedelai toleransi terhadap Al juga dikendalikan oleh poligen. Kajian pewarisan sifat yang menggunakan kriteria pertumbuhan akar ditemukan bahwa sifat ketenggangan Al dikendalikan oleh sekelompok gen dan diwariskan secara kuantitatif. Penelitian Khatiwada et al. (1996) menunjukkan bahwa panjang akar relatif (PAR) yang tinggi pada tanaman padi dikendalikan oleh gen aditif dominan, tetapi lebih banyak karena pengaruh gen aditif sehingga karakter PAR menunjukkan dominansi parsial dan dikendalikan oleh sekelompok gen. Dengan demikian gen-gen aditif diketahui cukup berperan dibandingkan pengaruh gen-gen non-aditif yang diketahui melalui nilai heritabilitas arti sempit yang tinggi (Khatiwada et al. 1996). Penelitian pewarisan toleransi Al pada triticale menunjukan bahwa ekspresi toleransi Al dikendalikan oleh aksi gen aditif dan dominan, serta terdapat juga interaksi non alelik (epistasis) dalam hasil persilangan tetua toleran dan peka (Zhang et al. 1999). Sifat kemampuan tumbuh kembali dari akar yang tercekam Al tidak diwariskan mengikuti model aditif-dominan karena adanya pengaruh interaksi gen yang cukup besar (Zhang et al. 1999). Ninamango-C ardenas (2003) menyatakan bahwa toleransi Al pada jagung dikendalikan oleh efek dominan dan aditif. Hasil penelitian Magalhaes et al menunjukkan bahwa toleransi Al pada sorgum dikendalikan oleh sebuah lokus mayor tunggal, Alt SB. Kendali toleransi terhadap cekaman Al oleh lokus mayor tunggal serupa pada tanaman barley (Tang et al. 2000; Raman et al. 2002; Raman et al. 2003), gandum (Raman et al. 2005) dan rye (Miftahudin et al. 2002).

47 98 BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan pada pewarisan karakter toleransi Al pada stadia bibit dan pewarisan karakter agronomi dan hasil pada kondisi tercekam Al adalah varietas UPCA S1 dan Numbu, masing-masing sebagai tetua peka dan toleran terhadap cekaman Al, F1/F1R dan F2 hasil persilangan kedua tetua. Waktu dan Tempat Pembentukan populasi F1, F1R dan F2 dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Cikabayan University Farm IPB dan Kebun UPTD Lahan Kering Tenjo, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor dari bulan Juni 2008-Juli Penelitian studi pewarisan toleransi Al karakter stadia bibit di kultur hara dilakukan di Rumah Kaca KP Cikabayan University Farm IPB dari bulan Juli Agustus Penelitian studi pewarisan toleransi Al di lapang dilakukan di Kebun UPTD Lahan Kering Tenjo dari bulan Juli-November Pewarisan Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit Studi pewarisan karakter toleransi Al pada stadia bibit di kultur hara dilakukan menggunakan bahan tanaman yang terdiri dari 20 tanaman P1, 20 tanaman P2, 20 tanaman F1, 20 tanaman F1R, 120 tanaman F2. Benih sorgum sebelumnya dikecambahkan terlebih dahulu pada media sekam bakar steril lembab. Setelah kecambah memiliki 2 lembar daun dengan panjang akar yang seragam dipindahkan ke media larutan hara Steinberg yang telah dimodifikasi (Ohki 1987). Komposisi larutan hara yang digunakan ditampilkan dalam Tabel Lampiran 1. Konsentrasi Al yang digunakan 148 µm. ph larutan diatur pada kisaran 4.0 dengan menggunakan 1.0 M HCl atau 1.0M NaOH. Batang kecambah tersebut dibalut dengan gabus busa lunak kemudian dimasukkan ke lubang-lubang styrofoam yang telah disiapkan dan diapungkan pada larutan hara dalam pot.

48 99 Pengukuran dan penyesuaian ph dilakukan setiap hari dan diberi aerasi supaya Al dan hara tidak mengendap. Air yang hilang akibat transpirasi diganti dengan menambahkan aquades setiap hari dengan ph tetap dipertahankan sekitar 4.0±0.1 dengan penambahan 1.0 M HCl atau 1.0M NaOH. Pemanenan dilakukan pada hari ke 14 saat tanaman mencapai fase pertumbuhan lima daun (tahap dua). Tanaman dipanen dan dikeringkan dengan oven pada suhu 60 o C selama 2 x 24 jam kemudian ditimbang berat keringnya. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan pada karakter; 1. Karakter panjang akar (cm), yaitu diukur dari pangkal sampai ujung akar dilakukan pada akhir percobaan. 2. Panjang tajuk (cm), yaitu diukur dari pangkal batang sampai ujung batang dilakukan pada akhir percobaan. 3. Bobot kering akar (gram), yaitu dilakukan pada hari ke 14 dengan cara dikeringkan pada oven 60 o C selama 2 hari. 4. Bobot kering tajuk (gram), yaitu dilakukan pada hari ke 14 dengan cara dikeringkan pada oven 60 o C selama 2 hari. 5. Nisbah panjang tajuk/akar (%). 6. Nisbah bobot kering tajuk/akar (%). Pewarisan Karakter Agronomi dan Hasil pada Kondisi Tercekam Al Bahan tanaman dalam percobaan ini terdiri dari 40 tanaman P1, 40 tanaman P2, 40 tanaman F1, 40 tanaman F1R, 600 tanaman F2. Penanaman dilakukan di lahan masam dengan ph berkisar (sangat masam) dan kejenuhan Al 33% dengan cara tanam benih langsung pada lubang tanam yang telah ditugal. Jumlah benih yang dimasukkan ke lubang tanam sebanyak 1 (satu) benih per lubang, dengan jarak tanam 70 cm x 15 cm. Pupuk dasar diberikan pada saat tanam dengan dosis Urea 150 kg/ha, SP kg/ha, dan KCl 100 kg/ha. Urea diberikan dua kali, yaitu 2/3 diaplikasikan pada saat tanam dan 1/3 sisanya diaplikasikan setelah tanaman berumur 7 (tujuh) minggu. Pengamatan dilakukan pada saat panen terdiri dari pengamatan pada karakter;

49 Tinggi tanaman (cm), diukur pada batang utama mulai dari permukaan tanah sampai ujung malai. 2. Bobot batang (gram), yaitu bobot total batang segar baik batang utama dan batang sekunder tanpa malai dan akar. 3. Bobot total biomasa (gram), yaitu bobot total tanaman segar yang terdiri dari akar, batang, daun, dan malai yang masih terdapat biji. 4. Panjang malai (cm), diukur mulai dari pangkal hingga ujung malai, dilakukan pada waktu panen. 5. Bobot biji per tanaman (gram), yaitu bobot seluruh biji yang terdapat pada setiap malai tanaman yang terdapat pada batang utama maupun percabangan. 6. Indeks panen, yaitu perbandingan antara berat biji per malai dengan berat total biomassa per tanaman. Seleksi Genotipe F2 Sorgum Toleran Cekaman Al Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini terdiri 600 tanaman F2 hasil persilangan UPCA S1 (tetua peka) dan Numbu (tetua toleran). Penanaman dilakukan di lahan masam dengan (sangat masam) dan kejenuhan Al 33% dengan cara tanam benih langsung pada lubang tanam yang telah ditugal. Jumlah benih yang dimasukkan ke lubang tanam sebanyak 1 (satu) benih per lubang, dengan jarak tanam 70 cm x 15 cm. Pupuk dasar diberikan pada saat tanam dengan dosis Urea 150 kg/ha, SP kg/ha, dan KCl 100 kg/ha. Urea diberikan dua kali, yaitu 2/3 diaplikasikan pada saat tanam dan 1/3 sisanya diaplikasikan setelah tanaman berumur 7 (tujuh) minggu. Seleksi dilakukan pada 10% individu terbaik berdasarkan : 1. Pemilihan 10% individu terbaik berdasarkan karakter bobot biji per tanaman dan karakter tinggi tanaman. 2. Pemilihan 10% individu terbaik berdasarkan karakter bobot biji per tanaman dan bobot batang segar.

50 101 Analisa Data Analisa data yang diperoleh dari kedua percobaan meliputi pengujiaan keberadaan pengaruh tetua betina, uji kenormalan sebaran data dan frekuensi genotipe generasi F2, analisis komponen ragam dan perhitungan nilai heritabilitas arti luas serta perhitungan nilai diferensial seleksi pada generasi F2. Keberadaan pengaruh tetua betina pada pewarisan sifat toleransi Al sorgum dilakukan dengan membandingkan nilai tengah dari generasi F1 dan resiprokalnya dengan menggunakan uji t. Jika terdapat perbedaan nyata di antara kedua generasi F1, hal ini menunjukkan terdapat pengaruh tetua betina. Jika tidak terdapat pengaruh tetua betina, maka kedua generasi dapat digabung dalam analisis selanjutnya. Pengujian pengaruh tetua betina dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel dan Minitab versi Uji kenormalan sebaran data dan frekuensi genotipe generasi F2 dilakukan untuk masing-masing karakter menggunakan uji kenormalan Shapiro-Wilk dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel dan Minitab versi Apabila distribusi sebaran F2 kontinu maka pewarisan karakter tersebut kuantitatif (poligenik) sedangkan apabila distribusi sebaran F2 tidak kontinu maka pewarisan sifat tersebut bersifat kualitatif. Kenormalan data dilihat dari nilai kemenjuluran (skewness) dan kurtosis. Menurut Roy (2000), apabila nilai skewness dan kurtosis yang diperoleh; skewness = 0, sebaran normal = aksi gen aditif skewness < 0, terdapat kemenjuluran = aksi gen aditif dengan terdapat atau sebaran tidak normal pengaruh epistasis duplikat skewness > 0 = aksi gen aditif dan terdapat pengaruh epistasis komplementer Kurtosis = 3, bentuk grafik sebaran mesokurtic Kurtosis < 3, bentuk grafik sebaran platykurtic = karakter dikendalikan oleh banyak gen Kurtosis > 3, bentuk grafik sebaran leptokurtic = karakter dikendalikan oleh sedikit gen.

51 102 Pendugaan komponen genetik meliputi pendugaan nilai komponen ragam yaitu ragam fenotipe (σ 2 p), ragam lingkungan (σ 2 e), ragam genetik (σ 2 g) dan Koefisien Keragaman Genetik (KKG). Ragam fenotipe (σ 2 p) = i n 1 ( Xi ) = σ 2 F2 n 1 Ragam Lingkungan (σ 2 e) = Ragam genetik (σ 2 g) = σ 2 p - σ 2 e Koefisien keragaman genetik (KKg) = Hasil pendugaan komponen ragam genetik digunakan untuk menduga heritabilitas arti luas (broadsense heritability) yang dihitung dengan rumus Nilai heritabilitas dikategorikan tinggi bila h 2 bs > 50%; sedang bila h 2 bs terletak antara 20% - 50%; dan rendah bila h 2 bs < 20% (Mangundidjojo, 2003). Genotipe terpilih berdasarkan persentase seleksi 10% akan digunakan untuk ditanam pada siklus seleksi selanjutnya. Penghitungan diferensial seleksi dilakukan dengan perhitungan yang diterangkan oleh Baihaki (2000) terdiri dari; Rataan awal = nilai rataan seluruh populasi F2 Rataan tanaman terseleksi = nilai rataan dari semua individu-individu terpilih Diferensial seleksi = Rataan tanaman terseleksi - Rataan awal di mana : Persentase Seleksi = 10 %

52 103 HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya tanaman sorgum di Indonesia masih sangat terbatas (Hoeman 2007). Keterbatasan tersebut salah satu disebabkan oleh tidak tersedianya benih varietas unggul sorgum. Tanaman sorgum bukan merupakan tanaman asli Indonesia sehingga keragaman genetik yang tersedia masih sangat terbatas. Salah satu upaya peningkatan keragaman genetik sorgum adalah dengan melakukan persilangan dari sumber plasma nutfah yang tersedia. Kegiatan selanjutnya adalah proses seleksi dan pengujian selama beberapa generasi hingga diperoleh galurgalur harapan dengan karakter yang diinginkan. Keberhasilan program pemuliaan untuk memperoleh varietas yang mampu beradaptasi terhadap cekaman Al ditentukan oleh pemilihan metode pemuliaan yang tepat sehingga kegiatan pemuliaan dapat menjadi efektif dan efisien. Untuk itu diperlukan informasi mengenai kendali genetik karakter pengendali toleransi Al. Informasi tersebut diperoleh melalui pewarisan toleransi tanaman sorgum terhadap keracunan Al baik karakter agronomi maupun karakter-karakter penunjang lainnya. Dalam penelitian ini telah dilaksanakan percobaan pewarisan toleransi Al pada stadia bibit dan percobaan pewarisan pada karakter agronomi serta karakter hasil. Pewarisan karakter stadia bibit dilakukan pada media kultur hara dalam kondisi tercekam Al bertujuan untuk mengetahui pewarisan toleransi terhadap cekaman Al pada karakter pertumbuhan akar. Pewarisan karakter agronomi dan hasil dilaksanakan di lahan masam bertujuan untuk mengetahui pewarisan toleransi terhadap cekaman Al pada karakter-karakter agronomi. Pelaksanaan percobaan pada lingkungan yang bercekaman diharapkan supaya gen-gen pengendali toleransi Al pada sorgum akan terekspresi (Wallace dan Yan 1998). Informasi yang telah diperoleh meliputi informasi mengenai keberadaan pengaruh tetua betina, analisis ragam dan aksi gen pengendali karakter pada fase bibit dan karakter agronomi serta nilai diferensial seleksi genotipe-genotipe toleran Al.

53 104 Pewarisan Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit Percobaan studi pewarisan toleransi Al pada stadia bibit bertujuan memperoleh informasi mengenai kendali genetik karakter toleransi Al pada fase bibit dan pada pertumbuhan akar. Percobaan dilaksanakan di rumah kaca dalam kondisi lingkungan terkendali untuk mengurangi pengaruh lingkungan selain dari cekaman Al. Cekaman Al pada media kultur hara diberikan 2 hari setelah tanaman dipindahkan dari media perkecambahan. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman memasuki fase pertumbuhan kedua (fase lima daun). Menurut Vanderlip dan Reeves (1972), tanaman sorgum pada saat fase lima daun mengalami perkembangan akar yang cepat. Pemberian cekaman pada fase ini akan dengan cepat menurunkan pertumbuhan sehingga ideal untuk melakukan pengamatan perkembangan tanaman (Vanderlip dan Reeves 1972). Pengamatan pada tahap awal pertumbuhan diharapkan dapat mengurangi kompleksitas pewarisan sifat dalam keadaan tercekam Al karena pada umur tanaman ini proses fisiologi yang terjadi masih sederhana (Wallace dan Yan 1998). Hasil pengamatan pada penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman UPCA S1 sebagai tetua peka pada kondisi tercekam Al memiliki performa tajuk pendek, daun kecil dan meruncing (tajam) dengan akar yang pendek, merah dan tebal, sedangkan Numbu sebagai tetua toleran memiliki performa tajuk tumbuh normal, daun berbentuk pita dengan akar yang panjang, putih dan rimbun (Gambar 2). Populasi F1 dan F1R memiliki penampilan tajuk yang tumbuh normal, berdaun seperti pita dengan akar yang panjang, berwarna kemerahan dan agak menebal (Gambar 2). Nilai tengah dari masing-masing generasi ditampilkan pada Tabel 1. Numbu memiliki nilai tengah yang lebih tinggi dibandingkan dengan UPCA S1 pada semua karakter fase bibit. Populasi F1 memiliki nilai tengah yang berada di antara kedua tetua.

54 105 Tabel 1 Rata-rata Tetua UPCA S1 (P1), Numbu (P2), Generasi F1 dan F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPSA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Karakter Rata-rata UPCA S1 Rata-rata Numbu Rata-rata F1 Rata-rata F2 Panjang Tajuk (cm) ± ± ± ±9.28 Panjang Akar (cm) 7.45 ± ± ± ±8.28 Bobot Kering Tajuk (g) 0.10 ± ± ± ±0.18 Bobot Kering Akar (g) 0.04 ± ± ± ±0.04 Nisbah Tajuk/Akar 3.41 ± ± ± ±1.09 Bobot Tajuk/Akar 2.75 ± ± ± ±2.82 Dari total 120 tanaman F2 yang diamati terdapat keragaman baik pada penampilan akar maupun tajuk (Gambar 3). Individu yang toleran memiliki tajuk dan akar yang menyerupai tetua toleran (Numbu) yaitu tajuk tumbuh normal, daun berbentuk pita dengan akar yang panjang, putih dan rimbun, sedangkan individu yang peka memiliki penampilan menyerupai tetua peka (UPCA S1). Beberapa individu pada generasi F2 juga memperlihatkan penampilan tajuk dan akar yang melebihi tetua toleran. Individu yang peka diidentifikasikan dari penampilan tajuk yang tidak tumbuh normal. Marschner (1995) menjelaskan pada kondisi tercekam kemasaman, pertumbuhan tajuk akan terhambat yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang kerdil. Hal ini disebabkan oleh terhambatnya serapan hara dan air karena kerusakan akar yang terhambat. Individu sorgum yang peka memiliki akar yang pendek dan tebal. Penelitian Delhaize et al. (1993) pada tanaman gandum di kultur hara menunjukkan bahwa cekaman Al menyebabkan penurunan pertumbuhan akar hingga 50%. Keragaman lain yang terjadi pada beberapa individu F2 adalah individu yang memiliki penampilan tajuk menyerupai tetua toleran dengan akar rimbun tetapi dengan warna akar yang merah (menyerupai tetua UPCA S1).

55 106 UPCA S1 Numbu F1 F1R Gambar 2 Penampilan Kedua Tetua, UPCA S1 (P1) dan Numbu (P2) (kiri); Penampilan F1/F1 Resiprokal Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu (kanan) pada Cekaman Al di Kultur Hara. Gambar 3 Penampilan Beberapa Generasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Kultur Hara. Kerusakan akar akibat cekaman Al juga disebabkan terjadinya penebalan ujung akar dan akar cabang. Penelitian Caniato et al. (2007) memperlihatkan bahwa aktivitas Al menyebabkan pertumbuhan akar sorgum terhambat hingga 30% untuk tetua toleran dan mencapai 45% pada populasi bersegregasi sorgum yang digunakan.

56 107 Pengaruh Tetua Betina terhadap Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam pendugaan aksi gen yang mengendalikan suatu karakter adalah tidak ada pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter tersebut (Allard 1960). Keberadaan pengaruh tetua betina pada karakter menyebabkan gen-gen tidak bersegregasi bebas karena pewarisan gengen pada turunannya akan mengikuti tetua betina sehingga nisbah segregasi tidak mengikuti nisbah Mendel. Keberadaan pengaruh tetua betina juga dapat menyebabkan karakter yang dianalisis tidak dapat dipetakan pada kromosom dan kelompok keterpautan tertentu (Yunianti dan Sujiprihati 2006). Keberadaan pengaruh tetua betina pada karakter toleransi Al pada stadia bibit diuji dengan membandingkan nilai tengah F1 dengan F1R pada setiap karakter yang diamati. Berdasarkan hasil uji-t pada penelitian ini, tidak terdapat perbedaan antara F1 dengan resiproknya dari semua karakter yang dihitung sehingga diketahui bahwa tidak terdapat pengaruh tetua betina pada karakterkarakter tersebut (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa keenam karakter pada percobaan kultur hara dikendalikan oleh gen-gen yang terdapat pada inti sel dan pewarisannya tidak dipengaruhi oleh gen-gen pada sitoplasma tetua betina. Pada karakter yang dikendalikan oleh gen sitoplasma, F1 hasil persilangan berbeda dengan F1 hasil persilangan resiprokalnya. Apabila suatu karakter dikendalikan oleh gen-gen yang terdapat pada inti sel maka diharapkan pendugaan nilai ragam, aksi gen dan heritabilitas tidak mengandung bisa dan kedua tetua dapat samasama berpotensi baik sebagai tetua jantan maupun tetua betina. Selain itu, dalam perhitungan data selanjutnya F1 dan F1R dapat digabung. Penelitian Eticha et al. (2005) juga menemukan tidak terdapat pewarisan sitoplasmik pada populasi F1 dan resiprok jagung pada studi pewarisan toleransi Al di media kultur hara. Hal serupa juga ditemukan dalam penelitian tanaman padi mengenai pewarisan sifat efisiensi K dan pewarisan sifat efisiensi N dalam keadaan tercekam Al di kultur hara (Trikoesoemaningtyas 2002; Jagau 2000). Selanjutnya rata-rata F1 dan resiprokalnya dapat digabungkan untuk analisa lebih lanjut.

57 108 Tabel 2 Pendugaan Pengaruh Tetua Betina Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Karakter Rata-rata F1 Rata-rata F1R P-Value Panjang Tajuk (cm) ± ± tn Panjang Akar (cm) ± ± tn Bobot Kering Tajuk (g) ± ± tn Bobot Kering Akar (g) ± ± tn Nisbah Tajuk/Akar ± ± tn Nisbah Bobot Tajuk/Akar ± ± tn Ket: tn = tidak nyata pada taraf 5% uji-t Sebaran Frekuensi Genotipe Generasi F2 Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit Beberapa karakter agronomi penting seperti hasil, ukuran biji, bobot biomassa, ketahanan terhadap cekaman biotik dan toleransi terhadap cekaman abiotik dikendalikan oleh banyak gen dengan efek yang kecil. Efek karakter ini dinamakan karakter poligenik. Pewarisan pada karakter yang poligenik dinamakan pewarisan kuantitatif. Efek gen secara individual tidak dapat dilacak sehingga pada karakter yang poligenik tidak dapat dikelompokkan (Chahal dan Gosal 2002). Keberadaan gen mayor penyusun sifat kuantitatif dapat dilacak dengan beberapa pendekatan yaitu menganalisis distribusi multimodal, silang balik yang diikuti dengan seleksi, analisis ketidaknormalan distribusi, analisis keragaman, analisis kemiripan tetua-anak dan analisis segregasi (Falconer and Mackay 1996). Prinsip Hukum Mendel meski pun dapat digunakan pada karakter yang poligenik namun tidak dapat menjelaskan mengenai pola distribusi yang kontinyu tersebut. Dari data karakter stadia bibit generasi F2 hasil persilangan UPCA S1 dan Numbu dapat diperoleh informasi mengenai aksi gen dengan menganalisis sebaran genotipe yang dimiliki. Kenormalan sebaran data diukur dari nilai skewness dan kurtosis. Data menyebar normal jika mempunyai nilai skewness sama dengan nol. Kenormalan sebaran data diukur dari nilai skewness yang

58 109 menunjukkan kemenjuluran data. Nilai skewness bernilai positif jika data menjulur ke kanan dan bernilai negatif jika data menjulur ke kiri. Grafik analisis sebaran F2 memperlihatkan bahwa semua karakter pada fase bibit bersifat kontinyu (Gambar 4 - Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa semua karakter pada percobaan ini dikendalikan oleh banyak gen atau bersifat poligenik. Pantalone et al. (1996) menyatakan bahwa data yang bersifat poligenik mempunyai sebaran normal dan bersifat kontinyu. Nilai kurtosis menunjukkan kemendataran sebaran data terhadap data normal. Roy (2000) menyatakan bahwa data yang menyebar normal memiliki kurtosis = 3. Pada perhitungan dengan menggunakan program Minitab, nilai tersebut telah dikonversi menjadi = 0 untuk data yang menyebar normal. Nilai kurtosis yang positif mengindikasikan bahwa distribusi memiliki puncak yang lebih tajam, pundak kurva yang lebih sempit dan ekor yang lebih lebar daripada distribusi normal dan grafik sebaran disebut leptokutric. Nilai kurtosis yang negatif menandakan bahwa distribusi memiliki puncak yang lebih datar, pundak kurva yang lebih lebar dan ekor yang lebih sempit dibandingkan dengan distribusi normal dan grafik sebaran dinamakan platykurtic (Minitab Inc 2000). Karakter panjang tajuk dan bobot kering tajuk pada penelitian ini memiliki nilai < 0 (berbentuk platykurtic), menunjukan bahwa pada kedua karakter tersebut dikendalikan oleh banyak gen (Gambar 4 dan Gambar 6). Sedangkan karakter panjang akar dan bobot kering akar memiliki nilai kurtosis >0 (berbentuk leptokurtic) berarti karakter-karakter tersebut dikendalikan oleh sedikit gen (Gambar 5 dan Gambar 7). Penelitian Zhang et al.(1999) pada triticale di kultur hara menunjukkan terdapat sebaran yang kontinyu pada toleransi Al yang menunjukkan bahwa pewarisan toleransi Al pada triticale diwariskan dengan sistem poligenik. Hal serupa juga ditemukan pada penelitian populasi double haploid padi yang menunjukkan bahwa sifat toleransi Al dikendalikan oleh sistem poligenik (Nguyen 2002).

59 110 Gambar 4 Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Tajuk Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara. Gambar 5 Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Akar Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara.

60 111 Gambar 6 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Kering Tajuk Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara. Gambar 7 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Kering Akar Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara.

61 112 Tabel 3 Nilai Skewness, Aksi Gen, Nilai Kurtosis dan Bentuk Grafik Sebaran Genotipe F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Karakter Skewness Aksi Gen Kurtosis Keterangan Panjang Tajuk Aditif+epistasis duplikasi Panjang Akar Aditif+epistasis komplemeter Bobot Kering Tajuk Bobot Kering Akar Aditif+epistasis komplemeter Aditif+epistasis komplemeter Dikendalikan banyak gen Dikendalikan sedikit gen Dikendalikan banyak gen Dikendalikan sedikit gen Uji kenormalan dengan menggunakan Metode Shapiro-Wilks menunjukkan bahwa karakter pada stadia akar tanaman sorgum dalam kondisi tercekam Al tidak menyebar normal ditunjukkan dengan adanya kemenjuluran data. Karakter panjang tajuk memiliki nilai skewness < 0.5 dan negatif. Hal ini menunjukkan bahwa karakter panjang tajuk memiliki sebaran genotipe mendekati normal dan dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis duplikat (Gambar 4). Karakter panjang akar, bobot kering tajuk dan bobot kering akar masing-masing memiliki sebaran data yang menjulur ke kanan (nilai skewness positif) (Gambar 5-7). Dengan demikian pada ke empat karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis komplementer. Menurut Falconer dan Mackay (1996), data yang bersifat kontinyu, tetapi tidak menyebar normal dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang besar atau interaksi genotipe dengan lingkungan. Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Arti Luas Karakter Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit Sebelum menetapkan metode seleksi yang akan digunakan perlu diketahui berapa besarnya keragaman genetik, karena keragaman genetik sangat mempengaruhi keberhasilan suatu proses seleksi dalam pemuliaan tanaman (Pinaria et al. 1995). Keragaman genetik yang luas memberikan peluang seleksi terhadap suatu karakter berlangsung efektif (Ruchjaningsih et al. 2000).

62 113 Keragaman karakter kuantitatif dapat diukur dengan menjumlahkan simpangan nilai hasil pengamatan hasil masing-masing genotipe terhadap nilai tengah populasi. Keragaman yang dapat diamati dari suatu populasi disebut keragaman fenotipik (V p ). Keragaman fenotipik dipengaruhi oleh keragaman faktor genetik (V G ) dan keragaman akibat faktor lingkungan (V E ) (Allard 1960 dan Kearsey 1993). Nilai ragam fenotipe, ragam lingkungan, ragam genetik karakter stadia bibit pada kondisi tercekam Al ditampilkan oleh Tabel 3. Karakter panjang tajuk memiliki nilai ragam fenotipe dan ragam genotipe tertinggi dibandingkan dengan nilai ragam karakter lainnya. Menurut Makmur (1992), efektif atau tidaknya seleksi terhadap suatu populasi, tergantung dari keragaman yang disebabkan faktor genetik yang nantinya diwariskan kepada keturunannya dan seberapa jauh keragaman hasil yang disebabkan oleh lingkungan tumbuh tanaman. Populasi tetua galur umum (P 1 dan P 2 ) serta keturunannya (F 1 ) bersifat homogen sehingga keragaman yang timbul pada populasi tersebut hanya disebabkan oleh faktor lingkungan. Generasi F 2 memiliki ragam genetik populasi sangat besar akibat segregasi gen. Oleh sebab itu, keragaman yang timbul pada populasi F 2 tidak hanya disebabkan oleh faktor lingkungan melainkan juga oleh faktor genetik. Seleksi untuk sifat-sifat yang diinginkan dapat dilakukan pada populasi ini karena pada generasi F2 memiliki keragaman tertinggi. Ukuran keragaman genetik dapat dinyatakan dalam koefisien keragaman genetik (KKG). Menurut Zen et al. (1995) nilai koefisien keragaman genetik membantu pengukuran diversitas genetik pada suatu sifat dan melengkapi cara dalam membandingkan keragaman genetik di dalam sifat-sifat kuantitatif. Semua karakter yang diamati pada percobaan di kultur hara memiliki keragaman genetik yang sempit ditunjukkan dari nilai koefisien keragaman genetik (KKG) 0% - 6,56% (Tabel 4). Seleksi kurang efektif bila dilakukan pada karakter yang memiliki keragaman genetik yang sempit (Chahal dan Gosal 2003).

63 114 Tabel 4 Nilai Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas Arti Luas Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Karakter σ 2 p σ 2 e σ 2 g KKg (%) h 2 bs Kriteria Panjang Tajuk tinggi Panjang Akar tinggi Bobot Kering Tajuk tinggi Bobot Kering Akar ~ - Nisbah Tajuk/Akar sedang Bobot Tajuk/Akar tinggi Ket : σ 2 p (ragam fenotipe), σ 2 e (ragam lingkungan), σ 2 g (ragam genetik), KKG (koefisien keragaman genetik) dan h 2 bs (heritabilitas arti luas) Perbandingan antara nilai ragam genetik (V G ) terhadap nilai ragam fenotipik (V p ) dari suatu sifat tanaman merupakan nilai heritabilitas (h 2 ). Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh informasi bahwa semua karakter yang diamati mempunyai nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi selain karakter nisbah tajuk/akar yang menunjukkan nilai heritabilitas dalam arti luas yang sedang (Tabel 4). Oleh sebab itu kelima sifat tersebut lebih banyak dikendalikan oleh faktor genetik dibandingkan dengan faktor lingkungan (Poehlman dan Sleper 1996). Nilai heritabilitas merupakan tolok ukur pendugaan keefektifan seleksi. Nilai duga heritabilitas yang tinggi dari suatu karakter mengindikasikan bahwa seleksi terhadap karakter tersebut dapat dimulai pada generasi awal, namun jika karakter memiliki nilai heritabilitas sedang hingga rendah lebih baik diseleksi pada generasi lanjut.

64 115 Pewarisan Karakter Agronomi dan Hasil pada Kondisi Tercekam Al Pelaksanaan percobaan di lapangan bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kendali genetik pada karakter agronomi tanaman sorgum terhadap toleransi Al. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa ph tanah di lahan pengujian berkisar (sangat masam) dengan kejenuhan Al 33% (Tabel Lampiran 2). Kondisi lingkungan yang demikian diharapkan dapat menyebabkan gen-gen pengendali toleransi Al akan terekspresi. Numbu merupakan varietas sorgum nasional yang dilepas oleh Pemerintah pada tahun Varietas ini merupakan varietas introduksi dari India. Hasil penapisan ketahanan genotipe sorgum di lahan masam menunjukkan bahwa varietas Numbu termasuk pada kelompok sorgum yang toleran lahan masam (Sungkono, tidak dipublikasikan). Numbu sebagai tetua toleran Al tidak mengalami gangguan pertumbuhan meskipun ditanam di lahan dengan cekaman Al (Gambar 8). Penampilan daun hijau berbentuk pita dan memiliki malai yang kompak dengan warna sekam coklat muda dan biji berwarna krem. pada penelitian ini varietas Numbu menunjukkan memiliki mekanisme stay-green karena mampu mempertahankan kehijauannya hingga akhir fase pengisian biji. Mekanisme stay-green yaitu kemampuan tanaman mempertahankan kehijauan sehingga lebih aktif berfotosintesis selama masa pengisian biji. Borrel et al. (2006) menjelaskan kondisi stay-green pada tanaman sorgum dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan radiasi dan transpirasi yang tinggi. UPCA S1 merupakan varietas introduksi dari Filipina dan dilepas oleh Pemerintah sebagai varietas nasional tahun UPCA S1 memiliki malai yang kompak dengan sekam berwarna hitam dan biji berwarna coklat. Varietas ini memiliki kepekaan terhadap lahan masam. UPCA S1 mengalami pertumbuhan yang terhambat, terlihat dari tinggi tanaman yang lebih pendek dibandingkan dengan Numbu (Gambar 8). Database yang dimiliki oleh Departemen Pertanian RI (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2004) memperlihatkan bahwa tinggi tanaman UPCA S1 dan Numbu tidak berbeda (Tabel Lampiran 4). Penampilan individu mulai mengalami senesence (penuaan) daun setelah tanaman memasuki fase generatif dan pengisian biji yang terlihat dari daun mulai

65 116 mencoklat dan mengering. Dengan demikian dapat diduga bahwa UPCA S1 tidak memiliki mekanisme stay-green. Numbu UPCA S1 UPCA S1 Numbu Gambar 8 Penampilan Tanaman dan Malai Sorgum Varietas UPCA S1 (P1) dan Numbu (P2) di Lapangan. F1R F1 F1R F1 Gambar 9 Penampilan Tanaman dan Malai F1 dan F1 Resiprokal Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu di Lapangan. Gambar 10 Penampilan Tanaman dan Malai F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu di Lapangan.

66 117 Penampilan F1 hasil persilangan UPCA S1 dan Numbu ditampilkan pada pada Gambar 9, sedangkan nilai rata-rata F1 ditampilkan pada Tabel 5. Dari gambar 9 diketahui bahwa tanaman F1 memiliki tinggi tanaman berada di antara kedua tetua. Begitu juga dengan warna malai sekam dan biji. Sekam pada generasi F1 berwarna coklat muda dengan semburat hitam. Tabel 5 memperlihatkan bahwa karakter tinggi tanaman, bobot batang, bobot biji per tanaman dan indeks panen memiliki rata-rata di antara kedua tetua, sedangkan karakter bobot total biomassa dan panjang malai memiliki rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan kedua tetua. Tabel 5 Rata-rata Tetua Sorgum Varietas UPCA S1 (P1), Numbu (P2), F1 dan F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPSA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan Karakter Rata-rata UPCA S1 Rata-rata Numbu Rata-rata F1 Rata-rata F2 Tinggi Tanaman (cm) ± ± ± ± Bobot Batang (g) ± ± ± ± Bobot Total Biomassa (g) Panjang Malai (cm) Bobot Biji per Tanaman (g) ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± Indeks Panen 0.15 ± ± ± ± 0.10 Populasi bersegregasi F2 hasil persilangan UPCA S1 dan Numbu memiliki penampilan beragam. Keragaman meliputi karakter kualitatif yaitu sekam dan biji, juga kemampuan mempertahankan kehijauan daun setelah fase generatif. Selain itu juga terdapat individu yang tidak mencapai fase generatif yang dikarenakan oleh lambatnya pertumbuhan tanaman sehingga tidak mampu bersaing dengan tanaman lainnya dan juga terdapat individu yang mampu tumbuh baik tetapi tidak

67 118 membentuk malai. Individu ini pertumbuhan berhenti pada saat terbentuk fase daun bendera. Pengaruh Tetua Betina terhadap Karakter Agronomi dan Hasil Dalam studi pewarisan sifat harus memenuhi salah satu asumsi bahwa karakter tersebut diwariskan oleh gen yang terdapat di inti tanpa ada pengaruh dari tetua betina (Allard 1960). Hasil analisa data menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai tengah antara F1 dan F1R untuk semua karakter di percobaan lapangan (Tabel 6). Hal ini berarti bahwa karakter-karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen yang terdapat pada inti sel dan diwariskan secara merata kepada zuriatnya. Hasil penelitian Vargas-Duque et al. (1994) mengatakan bahwa toleransi pada lahan masam pada jagung juga dikendalikan oleh gen inti. Tabel 6 Pendugaan Pengaruh Tetua Betina Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan Karakter Rata-rata F1 Rata-rata F1R P-Value Tinggi Tanaman (cm) ± ± tn Bobot Batang (g) ± ± tn Bobot Total Biomassa (g) 410 ± ± tn Panjang Malai (cm) 20.9 ± ± tn Bobot Biji per Tan (g) 74.9 ± ± tn Indeks Panen 0.2 ± ± tn Ket: tn = tidak nyata pada taraf 5% uji-t, Sebaran Frekuensi Genotipe Generasi F2 Karakter Agronomi dan Hasil Sebaran frekuensi genotipe karakter agronomi sorgum pada kondisi cekaman Al di lapangan (Gambar 11 Gambar 15) menunjukkan pola distribusi yang kontinyu sehingga diduga karakter-karakter tersebut bersifat poligenik. Analisa kenormalan menggunakan Metode Shapiro-Wilks dapat digunakan untuk memperoleh nilai kurtosis dan skewness dari distribusi populasi. Semua karakter

68 119 agronomi dan hasil yang diamati pada 2 hasil persilangan UPCA S1 dan Numbu memiliki nilai kurtosis > 0, sehingga diduga dikendalikan oleh sedikit gen. Skewness merupakan pendugaan statistik untuk mengetahui kemenjuluran sebaran data. Hasil pengujian kenormalan sebaran data karakter agronomi sorgum pada kondisi cekaman Al menunjukkan bahwa karakter agronomi sorgum tidak menyebar normal kecuali karakter tinggi tanaman. Karakter tinggi tanaman memiliki nilai skewness yang hampir mendekati nol (Gambar 11). Data yang memiliki sebaran yang normal memiliki nilai skewness = 0 (Roy 2000). Dengan demikian dapat diduga bahwa karakter tinggi tanaman sebagian besar dikendalikan oleh aksi gen aditif. Karakter lainnya yaitu bobot batang, bobot total biomassa, panjang malai dan bobot biji per tanaman memiliki kemenjuluran data pada sebaran populasi F2. Hasil analisis dengan Metode Shapiro-Wilks menunjukkan nilai skewness keempat karakter tersebut tidak sama dengan 0 sehingga dapat diduga pada keempat karakter tersebut selain terdapat aksi gen aditif juga terdapat interaksi alel dari lokus yang berbeda (epistasis). Lebih lanjut Roy (2000) menjelaskan bahwa sebaran data menjulur ke kanan, nilai skewness yang diperoleh akan positif. Sebaran yang demikian menunjukkan bahwa aksi gen epistasis yang terjadi adalah epistasis komplementer. Sebaliknya jika sebaran data yang menjulur ke kiri, nilai skewness yang diperoleh akan negatif dan menunjukkan bahwa pada karakter tersebut terdapat aksi gen epistasis dominan. Dengan demikian, epistasis yang terjadi pada karakter bobot batang, bobot total biomassa, panjang malai dan bobot biji per tanaman adalah epistasis komplementer.

69 120 Gambar 11 Grafik Sebaran Frekuensi Tinggi Tanaman Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan. Gambar 12 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Batang Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan.

70 121 Gambar 13 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Biomassa Total Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan. Gambar 14 Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Malai Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan.

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 71 PENDAHULUAN Latar Belakang Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan salah satu tanaman pangan utama dunia. Hal ini ditunjukkan oleh data mengenai luas areal tanam, produksi dan kegunaan

Lebih terperinci

STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI

STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI

STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif).

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif). PEMBAHASAN UMUM Sorgum merupakan salah satu tanaman serealia yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap kekeringan sehingga berpotensi untuk dikembangkan di lahan kering masam di Indonesia. Tantangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dengan laju pembangunan dan pertambahan penduduk. Usaha ini tidak. terbatas pada tanaman pangan utama (padi) melainkan penganekaraman

PENDAHULUAN. dengan laju pembangunan dan pertambahan penduduk. Usaha ini tidak. terbatas pada tanaman pangan utama (padi) melainkan penganekaraman PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peningkatan produksi bahan pangan terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan terutama makanan pokok terus meningkat sejalan dengan laju pembangunan dan pertambahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) banyak ditanam di daerah beriklim panas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) banyak ditanam di daerah beriklim panas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tanaman Sorgum Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) banyak ditanam di daerah beriklim panas dan daerah beriklim sedang. Sorgum dibudidayakan pada ketinggian 0-700 m di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum (Sorgum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman yang termasuk di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum (Sorgum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman yang termasuk di 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Sorgum 2.1.1. Klasifikasi Tanaman Sorgum Sorgum (Sorgum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae bersama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Sorgum Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae (Poaceae). Tanaman ini telah lama dibudidayakan namun masih dalam areal yang terbatas. Menurut

Lebih terperinci

124 tinggi yaitu sebesar 2.73 me/100 g (Tabel 1.1). Perbedaan kondisi cekaman ini menyebabkan perbedaan tingkat toleransi untuk genotipe ZH ,

124 tinggi yaitu sebesar 2.73 me/100 g (Tabel 1.1). Perbedaan kondisi cekaman ini menyebabkan perbedaan tingkat toleransi untuk genotipe ZH , PEMBAHASAN UMUM Di Indonesia, kondisi lahan untuk pengembangan tanaman sebagian besar merupakan lahan marjinal yang kering dan bersifat masam. Kendala utama pengembangan tanaman pada tanah masam adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan dan energi masih menjadi salah satu perhatian besar di

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan dan energi masih menjadi salah satu perhatian besar di 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan dan energi masih menjadi salah satu perhatian besar di Indonesia. Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2012), pada tahun 2011

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan untuk mencukupi kebutuhan setiap penduduk. Di Indonesia, masalah ketahanan pangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) berasal dari negara Afrika.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) berasal dari negara Afrika. 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengenalan Tanaman Sorgum Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) berasal dari negara Afrika. Tanaman ini sudah lama dikenal manusia sebagai penghasil pangan, dibudidayakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench]

TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] 76 TINJAUAN PUSTAKA Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan tanaman dari famili Gramineae (Poaceae), subfamili Panicoideae dan genus Andropogon (Rukmana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Adalah penting bagi Indonesia untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan

I. PENDAHULUAN. Adalah penting bagi Indonesia untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Salah satu tantangan terbesar yang dimiliki oleh Indonesia adalah ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan nasional adalah masalah sensitif yang selalu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan dan krisis energi sampai saat ini masih menjadi salah satu

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan dan krisis energi sampai saat ini masih menjadi salah satu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan dan krisis energi sampai saat ini masih menjadi salah satu perhatian utama dalam pembangunan nasional. Usaha peningkatan produksi bahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minyak bumi pun menurun. Krisis energi pun terjadi pada saat ini, untuk

BAB I PENDAHULUAN. minyak bumi pun menurun. Krisis energi pun terjadi pada saat ini, untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan sumber energi semakin meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Namun hal tersebut tidak diimbangi dengan ketersediaan sumber energi yang ada. Manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sorgum (Sorghum bicolor [L.] Moench) adalah tanaman serealia yang potensial

I. PENDAHULUAN. Sorgum (Sorghum bicolor [L.] Moench) adalah tanaman serealia yang potensial I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sorgum (Sorghum bicolor [L.] Moench) adalah tanaman serealia yang potensial untuk dibudidayakan dan dikembangkan, khususnya pada daerah-daerah marginal dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae bersama

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae bersama 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tanaman Sorgum Sorgum merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae bersama padi, jagung,tebu,gandum, dan lain-lain. Di jawa tengah dan jawa timur, sorgum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) 4 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) Setelah perkecambahan, akar primer awal memulai pertumbuhan tanaman. Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Oleh sebab

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Oleh sebab II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diversifikasi Pangan Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penentu dalam stabilitas nasional suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Oleh sebab

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia komoditas tanaman pangan yang menjadi unggulan adalah padi,

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia komoditas tanaman pangan yang menjadi unggulan adalah padi, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Di Indonesia komoditas tanaman pangan yang menjadi unggulan adalah padi, padahal ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditas tanaman mengandung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA.1 Kacang Panjang.1.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Panjang Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Botani Tanaman Sorgum. Berdasarkan klasifikasi botaninya, Sorghum bicolor (L.) Moench termasuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Botani Tanaman Sorgum. Berdasarkan klasifikasi botaninya, Sorghum bicolor (L.) Moench termasuk 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Sorgum Berdasarkan klasifikasi botaninya, Sorghum bicolor (L.) Moench termasuk ke dalam : Kingdom : Plantae Divisi Class Ordo Family Genus : Magnoliophyta : Liliopsida

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo 3 TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo Padi gogo adalah budidaya padi di lahan kering. Lahan kering yang digunakan untuk tanaman padi gogo rata-rata lahan marjinal yang kurang sesuai untuk tanaman. Tanaman padi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Umumnya lahan kering di Indonesia didominasi oleh tanah Podsolik Merah Kuning (Ultisol). Masalah utama yang dihadapi pada t

PENDAHULUAN Latar Belakang Umumnya lahan kering di Indonesia didominasi oleh tanah Podsolik Merah Kuning (Ultisol). Masalah utama yang dihadapi pada t TOLERANSI SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM DI LARUTAN HARA Abstrak Percobaan mengenai tanggap toleransi sorgum terhadap cekaman aluminium di larutan hara telah dilaksanakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Sorgum. Sorgum (Sorgum bicolor [L].Moench) merupakan tanaman yang termasuk di

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Sorgum. Sorgum (Sorgum bicolor [L].Moench) merupakan tanaman yang termasuk di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Sorgum Sorgum (Sorgum bicolor [L].Moench) merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae bersama dengan padi, jagung, tebu, gandum,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut dinamakan akar adventif (Duljapar, 2000). Batang beruas-ruas dan berbuku-buku, tidak bercabang dan pada bagian

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut dinamakan akar adventif (Duljapar, 2000). Batang beruas-ruas dan berbuku-buku, tidak bercabang dan pada bagian TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Seperti akar tanaman jagung tanaman sorgum memiliki jenis akar serabut. Pada ruas batang terendah diatas permukaan tanah biasanya tumbuh akar. Akar tersebut dinamakan akar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil protein nabati yang sangat penting, baik karena kandungan gizinya, aman dikonsumsi, maupun harganya yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut: Divisi Sub divisi Kelas Keluarga Genus Spesies : Spermatophyta : Angiospermae : Monotyledonae : Gramineae (Poaceae)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sungai Niger di Afrika. Di Indonesia sorgum telah lama dikenal oleh petani

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sungai Niger di Afrika. Di Indonesia sorgum telah lama dikenal oleh petani 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sorgum (Sorghum bicolor L. merupakan tanaman biji-bijian (serealia) yang banyak dibudidayakan didaerah beriklim panas dan kering. Sorgum bukan merupakan tanaman asli

Lebih terperinci

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi 87 PEMBAHASAN UMUM Pemanfaatan lahan yang ada di bawah tegakan tanaman perkebunan dapat memperluas areal tanam kedelai sehingga memacu peningkatan produksi kedelai nasional. Kendala yang dihadapi dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk akan terus menuntut pemenuhan kebutuhan dasar terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada krisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Dengan perkembangan teknologi, ubi kayu dijadikan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teoritis 2.1.1. Tanaman Gandum Tanaman gandum (Triticum aestivum L) merupakan jenis dari tanaman serealia yang mempunyai tektur biji yang keras dan bijinya terdiri dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia pada saat ini sedang menghadapi beberapa masalah dalam menjaga ketahanan pangan untuk masa yang akan datang. Seperti negara-negara lain di dunia, Indonesia sedang

Lebih terperinci

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN SEBARAN NORMAL KARAKTER-KARAKTER PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HASIL PERSILANGAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merril) VARIETAS ANJASMORO DENGAN GENOTIPA KEDELAI TAHAN SALIN PADA F2 SKRIPSI OLEH : NARWIYAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jambu Biji Merah Nama ilmiah jambu biji adalah Psidium guajava. Psidium berasal dari bahasa yunani yaitu psidium yang berarti delima, guajava

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Tanaman sorgum mempunyai daerah adaptasi

Lebih terperinci

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH Oleh Baiq Wida Anggraeni A34103024 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan sumber protein terpenting di Indonesia. Kandungan protein kedelai sangat tinggi, sekitar 35%-40%, persentase tertinggi dari seluruh

Lebih terperinci

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH :

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : DINI RIZKITA PULUNGAN 110301079 / PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut USDA (2008), kedudukan sorgum manis (Sorghum bicolor [L.]

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut USDA (2008), kedudukan sorgum manis (Sorghum bicolor [L.] 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengenalan Tanaman Sorgum 2.1.1 Asal dan penyebaran sorgum Menurut USDA (2008), kedudukan sorgum manis (Sorghum bicolor [L.] Moench) dalam ilmu taksonomi tumbuhan adalah : Kingdom

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) bukanlah tanaman asli Indonesia. Kedelai diduga berasal dari daratan China Utara atau kawasan subtropis. Kedelai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keharusannya memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Berdasarkan Sensus

I. PENDAHULUAN. keharusannya memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Berdasarkan Sensus I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peranan sektor pertanian tanaman pangan di Indonesia sangat penting karena keharusannya memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena harganya terjangkau dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pisang adalah buah yang

Lebih terperinci

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Cabai (Capsicum annuum L) merupakan salah satu komoditas sayuran yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini terlihat dari areal pertanaman cabai yang menempati areal terluas diantara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan sesuatu hal yang sangat vital bagi kehidupan manusia.

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan sesuatu hal yang sangat vital bagi kehidupan manusia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pangan merupakan sesuatu hal yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Peningkatan ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah.

Lebih terperinci

UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA. Oleh. Fetrie Bestiarini Effendi A

UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA. Oleh. Fetrie Bestiarini Effendi A UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA Oleh Fetrie Bestiarini Effendi A01499044 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di Indonesia. Hampir 90 % masyarakat Indonesia mengonsumsi beras yang merupakan hasil olahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum berasal dari bahasa latinsorgum bicolor L. Moench.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum berasal dari bahasa latinsorgum bicolor L. Moench. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Sorgum Tanaman sorgum berasal dari bahasa latinsorgum bicolor L. Moench. Tanaman ini berasal dari wilayah sungai Niger di Afrika.Sorgum termasuk tanaman utama di peringkat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Pertumbuhan Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) mempunyai sistem perakaran yang terdiri dari akar tunggang yang terbentuk dari calon akar, akar sekunder,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Menurut Cock (1985), ubikayu merupakan salah satu tanaman penghasil

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Menurut Cock (1985), ubikayu merupakan salah satu tanaman penghasil PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut Cock (1985), ubikayu merupakan salah satu tanaman penghasil kalori penting di daerah tropik. Tanaman ubikayu ini dapat membentuk karbohidrat dengan efisien. Dalam Widodo

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt L.) Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang dan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt L.) Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt L.) Akar primer awal memulai pertumbuhan tanaman setelah perkecambahan. Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman Morfologi tanaman kedelai ditentukan oleh komponen utamanya, yaitu akar, daun, batang, polong, dan biji. Akar kedelai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kacang Hijau Kacang hijau termasuk dalam keluarga Leguminosae. Klasifikasi botani tanman kacang hijau sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Classis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting dalam peningkatan gizi masyarakat Indonesia. Hal tersebut didasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen dalam bentuk polong muda. Kacang panjang banyak ditanam di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai. Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai. Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari sebuah akar tunggang yang terbentuk dari calon akar,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diikuti oleh akar-akar samping. Pada saat tanaman berumur antara 6 sampai

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diikuti oleh akar-akar samping. Pada saat tanaman berumur antara 6 sampai TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Pada saat jagung berkecambah, akar tumbuh dari calon akar yang berada dekat ujung biji yang menempel pada janggel, kemudian memanjang dengan diikuti oleh akar-akar samping.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Jagung (Zea Mays L.) Jagung (Zea mays L) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis rumputan/graminae yang mempunyai batang tunggal, meski terdapat kemungkinan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA

PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA RAFLI IRLAND KAWULUSAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan strategis ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Sejalan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber utama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kedelai biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe, tahu, kecap,

Lebih terperinci

terkandung di dalam plasma nutfah padi dapat dimanfaatkan untuk merakit genotipe padi baru yang memiliki sifat unggul, dapat beradaptasi serta tumbuh

terkandung di dalam plasma nutfah padi dapat dimanfaatkan untuk merakit genotipe padi baru yang memiliki sifat unggul, dapat beradaptasi serta tumbuh PEMBAHASAN UMUM Kebutuhan pangan berupa beras di Indonesia terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Akan tetapi di masa datang kemampuan pertanian di Indonesia untuk menyediakan beras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka kebutuhan energi juga mengalami peningkatan. Hal tersebut tidak

BAB I PENDAHULUAN. maka kebutuhan energi juga mengalami peningkatan. Hal tersebut tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya perkembangan teknologi di dunia, maka kebutuhan energi juga mengalami peningkatan. Hal tersebut tidak diimbangi dengan ketersediaan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman dari keluarga Poaceae dan marga Sorghum. Sorgum sendiri. adalah spesies Sorghum bicoler (japonicum). Tanaman yang lazim

BAB I PENDAHULUAN. tanaman dari keluarga Poaceae dan marga Sorghum. Sorgum sendiri. adalah spesies Sorghum bicoler (japonicum). Tanaman yang lazim BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman sorgum merupakan tanaman asli dari wilayah- wilayah tropis dan subtropis di bagian Pasifik tenggara dan Australasia, wilayah yang meliputi Australia, Selandia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Cekaman Aluminium pada Lahan Respon Fisiologis Tanaman terhadap Cekaman Al

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Cekaman Aluminium pada Lahan Respon Fisiologis Tanaman terhadap Cekaman Al TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Cekaman Aluminium pada Lahan Pembukaan areal pertanian di luar Jawa, khususnya tanaman pangan di lahan kering ditujukan pada jenis tanah Podsolik Merah Kuning dengan luas areal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi Pertumbuhan tanaman padi dibagi kedalam tiga fase: (1) vegetatif (awal pertumbuhan sampai pembentukan bakal malai/primordial); (2) reproduktif (primordial

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Keracunan Al merupakan salah satu faktor utama yang membatasi pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah masam. Pengaruh yang pen

PENDAHULUAN Latar Belakang Keracunan Al merupakan salah satu faktor utama yang membatasi pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah masam. Pengaruh yang pen TANGGAP MORFO-FISIOLOGIS AKAR SORGUM (Sorghum Bicolor L. Moench) TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DI DALAM RHIZOTRON Abstrak Penelitian mengenai tanggap morfologi dan fisiologi sorgum terhadap

Lebih terperinci

UJI GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA UMUR GENJAH TOLERAN LAHAN MASAM DI KALIMANTAN SELATAN

UJI GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA UMUR GENJAH TOLERAN LAHAN MASAM DI KALIMANTAN SELATAN UJI GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA UMUR GENJAH TOLERAN LAHAN MASAM DI KALIMANTAN SELATAN Suwardi Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Panyipatan, Kabupaten Tanah Laut,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitan Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitan Bahan dan Alat METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitan Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan UPTD Lahan Kering, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Tenjo, Kabupaten Bogor. Pengujian laboratorium dan rumah kaca dilaksanakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan komoditas strategis yang berperan penting dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, dan menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian. Sejalan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan turut meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan turut meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan turut meningkatkan kebutuhan makanan yang bernilai gizi tinggi. Bahan makanan yang bernilai gizi tinggi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Cabai ditemukan pertama kali oleh Columbus pada saat menjelajahi Dunia Baru. Tanaman cabai hidup pada daerah tropis dan wilayah yang bersuhu hangat. Selang beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk Indonesia. Produksi padi nasional mencapai 68.061.715 ton/tahun masih belum mencukupi

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.)

PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.) PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.) SKRIPSI Oleh : FIDELIA MELISSA J. S. 040307013 / BDP PET PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH:

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: Dinda Marizka 060307029/BDP-Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Jagung manis atau lebih dikenal dengan nama sweet corn (Zea mays

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Jagung manis atau lebih dikenal dengan nama sweet corn (Zea mays PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung manis atau lebih dikenal dengan nama sweet corn (Zea mays saccharata Sturt) merupakan tanaman pangan yang memiliki masa produksi yang relatif lebih cepat, bernilai ekonomis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meningkat. Sementara lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luas

I. PENDAHULUAN. meningkat. Sementara lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Penduduk Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah, dengan pertumbuhan sekitar 1,6 % tahun -1, sehingga mendorong pemintaan pangan yang terus meningkat.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH:

PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH: PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH: DESY MUTIARA SARI/120301079 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tunggak (Vigna unguiculata (L.)) merupakan salah satu anggota dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tunggak (Vigna unguiculata (L.)) merupakan salah satu anggota dari II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi dan Morfologi Kacang Tunggak Kacang tunggak (Vigna unguiculata (L.)) merupakan salah satu anggota dari genus Vignadan termasuk ke dalam kelompok yang disebut catjangdan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia. Kebutuhan kacang tanah dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan

PENDAHULUAN. Indonesia. Kebutuhan kacang tanah dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan PENDAHULUAN Latar Belakang Kacang tanah adalah komoditas agrobisnis yang bernilai ekonomi cukup tinggi dan merupakan salah satu sumber protein dalam pola pangan penduduk Indonesia. Kebutuhan kacang tanah

Lebih terperinci

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor sub pertanian tanaman pangan merupakan salah satu faktor pertanian yang sangat penting di Indonesia terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, peningkatan gizi masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun,

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 974.512 ton. Namun, pada tahun 2010 produksi kedelai nasional mengalami penurunan menjadi 907.031

Lebih terperinci

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH EKOFISIOLOGI TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN TANAH LINGKUNGAN Pengaruh salinitas pada pertumbuhan semai Eucalyptus sp. Gas-gas atmosfer, debu, CO2, H2O, polutan Suhu udara Intensitas cahaya, lama penyinaran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Lahan Kering Masam TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Lahan Kering Masam Secara teoritis lahan kering di Indonesia dibedakan menjadi dua kategori, yaitu lahan kering beriklim kering, yang banyak dijumpai di kawasan timur Indonesia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Bahan Humat dengan Carrier Zeolit terhadap Jumlah Tandan Pemberian bahan humat dengan carrier zeolit tidak berpengaruh nyata meningkatkan jumlah tandan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman yang termasuk dalam famili Gramineae dan genus Oryza (Grist, 1959). Padi dapat tumbuh pada berbagai lokasi dan iklim yang berbeda.

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemuliaan tanaman telah menghasilkan bibit unggul yang meningkatkan hasil pertanian secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan dihasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri.

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. Sebagai sumber

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum berasal dari Afrika, beberapa varietas asalnya antara lain White Durra,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum berasal dari Afrika, beberapa varietas asalnya antara lain White Durra, 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah dan Klasifikasi Tanaman Sorgum Sorgum berasal dari Afrika, beberapa varietas asalnya antara lain White Durra, Brown Durra, White Kafir, Red Kafir, dan Milo. Tanaman

Lebih terperinci