BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum 1. Sejalan dengan ketentuan tersebut, pelepasan dari hukuman terhadap pelaku tindak pidana.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum 1. Sejalan dengan ketentuan tersebut, pelepasan dari hukuman terhadap pelaku tindak pidana."

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum 1. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka prinsip penting negara hukum adalah menjamin penyelenggaraan kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka. Lembaga Pengadilan melalui hakim melaksanakan atau menerapkan hukum terhadap suatu perkara dengan suatu putusan hakim. Putusan hakim dapat berupa pemidanaan, pembebasan, maupun pelepasan dari hukuman terhadap pelaku tindak pidana. 2 Dalam rangka menegakan aturan-aturan hukum yang berlaku, maka diperlukan suatu institusi negara yang dinamakan kekuasaan kehakiman (Judicative power). Kekuasaan kehakiman dalam praktek diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara. 3 Dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (untuk selanjutnya disingkat dengan UUD 1945) dinyatakan bahwa : Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Sedangkan dalam ayat (2) dijelaskan bahwa : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam 1 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2011, h Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2010, h. 3. 1

2 2 lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.... Derivasi dari rumusan Undang-Undang Dasar diatas, yaitu peraturan mengenai kekuasaan kehakiman dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) dan untuk selanjutnya disingkat UU No. 48 tahun Pasal 1 angka (1) UU No. 48 tahun 2009 berisi rumusan : Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan berpuncak di Mahkamah Agung. 4 Kewenangan yang sangat besar dimiliki oleh hakim dengan kekuasaan kehakiman dalam menentukan pelaksanaan sistem peradilan pidana. Hakim adalah salah satu elemen dasar dalam sistem peradilan selain jaksa dan penyidik (Kejaksaan dan Kepolisian) sebagai subjek yang melakukan tindakan putusan atas suatu perkara di dalam suatu pengadilan. 5 Hakim merupakan salah satu predikat yang melekat pada seseorang yang memiliki pekerjaan dengan spesifikasi khusus dalam bidang hukum dan peradilan sehingga banyak orang bersinggungan dengan 4 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Penerbit Kencana, Jakarta, 2012, h. 167.

3 3 masalah mengenai kebebasan dan keadilan secara legal dalam konteks putusan atas perkara yang dibuat. 6 Dalam Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan untuk selanjutnya disingkat KUHAP, dikatakan bahwa hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka (9) dirumuskan bahwa : Mengadili merupakan serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Hakim wajib memeriksa dan mengadili perkara sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 UU No. 48 tahun Adapun rumusan ketentuan dimaksud, yaitu bahwa : Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan demikian wewenang utama hakim adalah mengadili, yang meliputi kegiatankegiatan menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana. Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Pasal 1 angka (11) KUHAP menyebutkan bahwa Putusan pengadilan sebagaimana pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut yang diatur dalam undang-undang ini. Dengan demikian dapat dikonklusikan bahwa putusan 6 Ibid., h. 169.

4 4 hakim di satu pihak berguna bagi Terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechts zekerheids) tentang statusnya. Di satu sisi, putusan hakim adalah mahkota atau puncak dari pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran haiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni dan faktual serta visualisasi etika, mentalitas dan moralitas hakim yang bersangkutan. 7 Dimana di sisi lain, kualitas dan kredibilitas seorang hakim juga ditentukan oleh putusan-putusan yang dibuatnya, sehingga hakim dalam tugas dan fungsinya serta dalam memutus suatu perkara haruslah berdasarkan hati nuraninya yang terlepas dari segala bentuk intervensi untuk menegakan hukum dan keadilan. Dalam hal inilah, hakim telah diberikan kebebasan sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 yang mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. Susunan hakim pada lingkungan peradilan termaksud Mahkamah Agung yaitu sekurang-kurangnya berjumlah tiga orang hakim, antara lain seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota. 8 Majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan mengadakan sidang permusyawaratan yang bersifat rahasia, dimana dalam sidang permusyawaratan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa. 9 Pada profesi hakim, hakim memiliki kebebasan yang menegaskan bahwa seorang hakim harus mampu menentukan dirinya sendiri dalam membuat putusan pengadilan. Kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara inilah 7 Lilik Mulyasi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, h Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia NomoR Ibid., Pasal 14 ayat (1) dan (2).

5 5 yang menjadi pranata munculnya dissenting opinion. Perbedaan pendapat hakim kerap muncul sebagai bentuk kebebasan individual hakim termaksud kebebasan terhadap sesama anggota majelis atau sesama hakim. Selain itu dengan susunan jumlah hakim yang ganjil dapat memungkinkan untuk terjadinya perbedaan pendapat antar hakim dalam memutus perkara. Dissenting opinion merupakan hal yang normal dalam sistem common law sebagaimana dikatakan oleh Julia Laffaranque 10 : In common law countries, the dissenting opinion became quickly a completely normal part of decision making proces. It was accepted that all judges cannot be of the same opinion in collegal decision making and openness of the administration of justice include the publication of the dissenting opinion. Pranata dissenting opinion bukan sesuatu yang lazim dipakai dalam sistem hukum kontinental. Pada umumnya mereka tidak menerapkan pranata dissenting opinion. Bagi negara yang tidak mengenal dissenting opinion, setiap putusan merupakan kesepakatan bersama. Demikian pula pada negara-negara Anglo Sakson. Pranata dissenting opinion berkembang di Inggris, Amerika Serikat dan diikuti negara yang sepaham. Penggunaan dissenting opinion dipandang sebagai cara mewujudkan kebebasan hakim untuk berbeda pendapat dan menghindari putusan rekayasa. 11 Di Indonesia sendiri, belum ada Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang dissenting opinion, namun secara umum diatur dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP yang menjelaskan bahwa : 10 Julia Laffarenque, Dissenting Opinion and Judicial Independence, Juridica International VII, 2003, h Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia,Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2007, h. 204.

6 6 Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku: a. Putusan diambil dengan suara terbanyak; b. Jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi Terdakwa. Keberadaan dissenting opinion juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) Nomor 2 tahun 2000 tentang Hakim Ad Hoc. Dalam Pasal 1 angka (3) dikatakan bahwa : Perbedaan pendapat adalah pendapat yang berbeda dari salah seorang anggota majelis baik mengenai fakta atau hukumnya dalam musyawarah majelis. Pasal 9 mengatakan bahwa : (1) Dalam hal terjadinya perbedaan pendapat dalam musyawarah majelis, catatan perbedaan pendapat tersebut disatukan dengan naskah putusan dalam bentuk lampiran; (2) Lampiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari naskah putusan. PERMA ini tidak menjelaskan bagaimana pengambilan putusan apabila terjadi dissenting opinion, melainkan hanya menjelaskan letak dissenting opinion dalam putusan. Begitupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 30 ayat (3) dikatakan bahwa : Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Peraturan ini juga tidak menjelaskan bagaimana pengambilan putusan apabila terjadi dissenting opinion, melainkan hanya menjelaskan letak dissenting opinion dalam putusan. Akan tetapi perbedaannya apabila terjadi dissenting opinion dimuat dalam putusan tidak lagi berbentuk lampiran sebagaimana dikatakan dalam PERMA Nomor 2 tahun 2000.

7 7 Dissenting opinion yang terjadi di tingkat kasasi juga diatur dalam Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dimana Pasal 13 mengatakan Dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara anggota dengan ketua majelis maka perbedaan pendapat tersebut wajib dimuat dalam putusan kasasi. Selain itu, dissenting Opinion juga diatur dalam Pasal 14 ayat (2) dan (3) UU No. 48 tahun 2009, dimana ayat (2) mengatakan bahwa Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Sedangkan ayat (3) memuat ketentuan Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat hakim, pendapat yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Menurut Bagir Manan, pendapat anggota-anggota majelis dalam suatu perkara dapat berupa: seluruh anggota dan ketua majelis sepakat dengan pertimbangan dan amar yang diusulkan pembaca terdahulu. 2. seluruh anggota dan ketua majelis sepakat mengenai amar (seluruh atau sebagian), tetapi ada yang menambahkan atau mengusulkan dasar pertimbangan yang berbeda, biasa disebut dengan Concurring Opinion. 3. ada anggota yang berbeda pendapat baik atas pertimbangan maupun amarnya, biasa disebut dengan Dissenting Opinion. Dengan demikian pola yang dimaksud dengan dissenting opinion dapat berupa perbedaan atas pertimbangan dan amar dan perbedaan atas pertimbangan 12 Ibid.

8 8 tetapi sepakat atas seluruh atau sebagian amar. Sehingga apabila terjadi pertimbangan yang berbeda tetapi amarnya sama itu tidak dapat dikatakan sebagai dissenting opinion, melainkan concurring opinion. Dissenting opinion merupakan perbedaan pendapat dari satu atau lebih hakim yang membuat pernyataan tidak setuju terhadap putusan dari mayoritas hakim dan majelis hakim yang membuat keputusan di dalam sidang pengadilan. Perbedaan pendapat ini akan dicantumkan dalam amar putusan dan bersifat rahasia, 13 akan tetapi perbedaan pendapat tersebut tidak akan menjadikan suatu preseden yang mengikat atau menjadi bagian dari keputusan hakim. Meskipun terdapat dissenting opinion, putusan tetap ditandatangani oleh ketua dan seluruh anggota majelis termasuk anggota atau ketua yang memberikan dissenting opinion. Penandatanganan oleh ketua atau seluruh anggota menunjukan bahwa putusan adalah putusan majelis, bukan oleh ketua dan anggota secara perorangan. 14 Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 bahwa Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang. Sehingga secara filosofis harus dipahami, bahwa putusan hakim atau majelis hakim awalnya bersifat individual atau majelis, namun pada saat palu hakim diketukkan sebagai tanda putusan, maka pada saat itu putusan hakim harus dipandang sebagai putusan pengadilan yang bersifat kelembagaan. Karena setelah putusan hakim atau putusan majelis hakim tersebut diucapkan dalam persidangan 13 Pasal 182 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, jo. Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 14 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia, 2007, Op. Cit., h. 206.

9 9 yang terbuka untuk umum, maka putusan demikian telah menjelma menjadi putusan lembaga pengadilan dan telah menjadi milik publik. 15 Melalui putusan pengadilan, hakim yang merupakan personifikasi atas hukum harus menjamin rasa keadilan bagi setiap orang yang mencari keadilan melalui proses hukum legal, seperti tercantum dalam putusan hakim, yaitu Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Adanya dissenting opinion membuat hakim dengan suara terbanyaklah (majority opinion) yang di gunakan sebagai putusan pengadilan sehingga suara terbayak dianggap sebagai putusan yang benar dan adil, padahal dissenting opinion juga bisa menjadi putusan yang benar dan adil. Contoh dissenting opinion yang terjadi pada perkara pidana yang pertama adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 906 K/Pid.Sus/2012 sebagaimana terjadi dissenting opinion oleh salah satu Anggota Majelis Hakim yaitu Surya Jaya. Putusan tersebut mengenai tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh Terdakwa Muhammad alias Mumu. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana secara tanpa hak menguasai Narkotika Golongan I bukan tanaman dimana melanggar Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (untuk selanjutnya disingkat UU No. 35 tahun 2009) dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 4 tahun dengan denda sebesar Rp ,- (delapan ratus juta rupiah) dan subsidair 3 bulan penjara. Dalam Putusan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta juga menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kemudian Terdakwa mengajukan 15 Ahmad Kamil, 2012, Op. Cit., h. 8.

10 10 kasasi ke Mahkamah Agung. Oleh Mahkamah Agung memutus menolak kasasi dari permohonan. Akan tetapi putusan tersebut tidak disertai dengan suara bulat, dimana satu dari dua hakim dissenting opinion. Pertimbangan hakim yang berbeda pendapat tersebut adalah : a. bahwa Terdakwa terbukti melanggar Pasal 127 UU No. 35 tahun 2009 bukan melanggar Pasal 112 UU No. 35 tahun 2009 sebagaimana didakwakan kepada Terdakwa. Sehingga apabila menerapkan Pasal 112 kepada Terdakwa maka hal tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sangat serius. b. bahwa karena dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan dakwaan tunggal maka untuk menghindari Terdakwa harus dibebaskan karena tidak sesuai dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka Terdakwa diputus melanggar Pasal 112 UU No. 35 tahun 2009 dengan pidana dibawah pidana minimum demi keadilan. Contoh kedua adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 996/K/Pid/2010 sebagaimana terjadi dissenting opinion oleh hakim anggota majelis Salman Luthan. Putusan tersebut mengenai tindak pidana pengerusakan yang dilakukan oleh Terdakwa Leopold Tuerah alias POL. Dimana Terdakwa melakukan pengerusakan berupa mendorong pagar beton yang baru saja dibangun sehingga menimbulkan kerugian oleh saksi korban Remy Maringka sebesar Rp ,- (tujuh juta rupiah). Pada Putusan Negeri Airmadidi Terdakwa diputus terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana pengerusakan. Terdakwa dijatuhi hukuman dengan pidana penjara 5 bulan akan tetapi pidana tersebut tidak perlu

11 11 dijalani oleh Terdakwa selama masa percobaan 10 bulan. Jaksa Penuntut Umum kemudian mengajukan banding, dan oleh Pengadilan Tinggi memperkuat putusan Pengadilan Negeri dengan memerintahkan Terdakwa ditahan selama 5 bulan pidana penjara. Akibat putusan Pengadilan Tinggi tersebut, Terdakwa mengajukan kasasi. Dalam putusan kasasi, Mahkamah agung menolak permohonan kasasi Terdakwa. Akan tetapi putusan kasasi dalam Mahkamah agung tersebut tidak disertai dengan suara bulat, dimana satu dari dua hakim dissenting opinion. Pertimbangan hakim yang berbeda pendapat tersebut adalah judex facti telah salah menerapkan hukum, dimana alasan judex facti pengadilan Tinggi untuk memperberat pidana tidak benar. Kerugian yang diderita saksi korban sebesar Rp ,- (tujuh juta rupiah) dalam fakta persidangan hanya sebesar Rp ,- (tiga juta rupiah). Selain itu, alasan kasasi Terdakwa yang menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi tidak mengindahkan hukum adat khususnya larangan dari tetua dan pemerintah desa serta pemerintah kecamatan dapat dibenarkan sehingga kasasi Terdakwa patut untuk dikabulkan. Perbedaan pola pandang hakim dalam mencari keadilan untuk memutus perkara pidana tersebut menjadi polemik bagaimana hakim mencari keadilan. Hakim yang dissenting opinion dengan hakim yang majority opinion mempunyai pola pandang yang berbeda. Perbedaan pola pandang ini sebagai tanda masingmasing hakim mempunyai pendapat masing-masing dalam membuat keputusan. Keputusan yang diyakini oleh masing-masing hakim, pendapat mereka telah mewujudkan keadilan.

12 12 Dengan demikian, hakim dalam memberi putusan jangan selalu terpaku pada sistem hukum yang ada. Untuk mewujudkan keadilan para hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang ada di dalam masyarakat. 16 Dissenting opinion adalah proses dalam teori keadilan bermartabat. Teori keadilan bermartabat menekankan kegiatan berpikir filsafati yang dapat dilakukan oleh hakim ketika hakim memberikan pertimbangan hukum bagi putusannya, sebagai wujud hukum yang lahir dalam jiwa bangsa. 17 Di dalam teori keadilan bermartabat dianut prinsip untuk memahami doktrin dan ketentuan yang pernah ada di dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila sebagai sistem hukum utama. Kaedah tersebut harus dicari dalam hukum yang terdapat dalam masyarakat. Prinsip tersebut adalah dikte hukum yang mewajibkan hakim melakukan penemuan hukum dengan berfilsafat, yang berarti hakim menemukan hukum dengan cara menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, atau dalam jiwa bangsa (volkgeist). 18 Teori keadilan bermartabat merupakan hasil tarik-menarik antara pikiran Tuhan (lex aeterna) dengan hukum jiwa bangsa (volkgeist) dan melahirkan hukum positif, yaitu sistem hukum berdasarkan Pancasila. Dengan demikian maka teori keadilan bermartabat dalam memberikan penjelasan terhadap hukum dan hukum positif Indonesia merupakan jalan tengah yang merupakan pertemuan antara 16 Hangga Prajatama, Kedudukan Dissenting opinion sebagai upaya kebebasan hakim untuk mencari keadilan di Indonesia, h. 81 di kunjungi dari /kedudukan-dissenting-opinion/ tanggal 14 September Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Prespektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2015, h Ibid., h

13 13 eksternal law dan volkgeist Indonesia, yaitu Pancasila. 19 Sehingga dalam teori keadilan bermartabat keadilan hukum dalam perspektif Pancasila adalah keadilan yang dilandasi oleh sila kedua yaitu adil dan beradab serta didukung oleh sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa dan sila kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 20 B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada uraian di atas, rumusan masalah yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah : 1. apakah dissenting opinion yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 906 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 996/K/Pid/2010 telah mencerminkan keadilan bermartabat? 2. bagaimana pola pandang hakim yang majority opinion dan dissenting opinion dalam mewujudkan keadilan saat memutuskan perkara pidana? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis adanya keadilan bermartabat yang tercermin dalam dissenting opinion di Putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, serta menganalisis pola pandang hakim yang majority opinion dan dissenting opinion saat memutus 19 Ibid., h Ibid., h. 106.

14 14 perkara pidana, sehingga dapat mengetahui putusan manakah yang telah mencerminkan keadilan bermartabat. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian ini adalah : 1. dari segi teoritis yaitu sebagai pengembangan ilmu tentang dissenting opinion serta dapat memperjelas pola pandang hakim yang dissenting opinion dalam mencapai sebuah keadilan berdasarkan prinsip keadilan bermartabat. 2. pada tataran praktis sebagai sumbangan pemikiran bagaimana mencapai suatu keadilan bagi para penegak hukum terlebih hakim dalam membuat keputusan baik apabila terjadi dissenting opinion sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk penelitian selanjutnya. E. Metode Penelitian 1. Penelitian yang hendak dilakukan penulis adalah penelitian hukum (legal research) yang ditujukan pada dissenting opinion dalam putusan perkara pidana. Pendekatan yang digunakan adalah : a. pendekatan perundang-undangan (statute approach) Penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan karena melihat dari aturan hukum mengenai dissenting opinion, sehingga bertujuan untuk menelaah peraturan perundang-undangan. b. pendekatan konseptual (conceptual approach)

15 15 Penulis menggunakan pendekatan konseptual karena merujuk pada pandangan-pandangan sarjana dan doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. c. pendekatan kasus (case approach) Penulis menggunakan pendekatan kasus yang dilakukan terhadap putusan pengadilan untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan dissenting opinion. Dari pendekatan kasus ini bertujuan untuk mengetahui pola pandang hakim majority opinion dengan hakim dissenting opinion. 2. Bahan hukum yang digunakan yaitu : a. bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang berarti mempunyai otoritas, terdiri atas perundang-undangan antara lain Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang- Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Putusan Mahkamah Agung Nomor 906 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 996/K/Pid/2010. b. bahan hukum sekunder, merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, terdiri atas kamus hukum, jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan. 3. Unit amatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah putusan pengadilan yang berkaitan dengan dissenting opinion. Penulis mengambil Putusan Mahkamah Agung Nomor 906 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 996/K/Pid/2010

16 16 4. Metode analisis dalam menganalisis putusan hakim tersebut menggunakan penafsiran hukum sistematis. Penafsiran sistematis dapat dipahami bahwa dalam menganalisis putusan pengadilan tersebut maka tidak lepas atau menyimpang dari sistem perundang-undangan atau sistem hukum, dalam hal ini sistem hukum pancasila berdasarkan teori keadilan bermartabat. F. Sistematika Penulisan Tulisan ini terbagi atas beberapa Bab, dengan sistematika yaitu Bab I menguraikan mengenai latar belakang masalah dan gambaran umum mengenai dissenting opinion, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian. Bab II akan menguraikan tentang Pembahasan. Bab ini akan membahas tentang tinjauan pustaka yang terbagi atas tinjauan teori keadilan bermartabat, tinjauan indepenensi peradilan, tinjauan putusan pengadilan dan tinjauan dissenting opinion. Serta pembahasan mengenai hasil penelitian yang menguraikan analisis prinsi keadilan bermartabat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 906 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 996/K/Pid/2010. Bab III berisi kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan saran terhadap penegakan hukum, baik hakim dalam mewujudkan keadilan didalam putusan yang dissenting opinion.

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan adanya jaminan kemandirian dan kemerdekaan seseorang dalam menyampaikan

Lebih terperinci

DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA PIDANA BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 906/K/PID

DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA PIDANA BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 906/K/PID DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA PIDANA BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN BERMARTABAT (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 906/K/PID.SUS/2012 DAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 996/K/PID/2010) SKRIPSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum, Indonesia menjujung

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009.... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 12 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem peradilan pidana secara sederhana merupakan proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana. Kepolisian, kejaksaan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan I. PEMOHON 1. Elisa Manurung, SH 2. Paingot Sinambela, SH, MH II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak mempunyai permasalahan atau berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial sesuai dengan apa yang termuat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui salah satu asas yang dianut oleh KUHAP adalah asas deferensial fungsional. Pengertian asas diferensial fungsional adalah adanya pemisahan

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup berkembang di kalangan masyarakat. Konsumen minuman keras tidak hanya orang dewasa melainkan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana terhadap harta benda yang sering terjadi dalam masyarakat. Modus yang digunakan dalam tindak pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

NILAI-NILAI POSITIF DAN AKIBAT HUKUM DISSENTING OPINION DALAM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

NILAI-NILAI POSITIF DAN AKIBAT HUKUM DISSENTING OPINION DALAM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA NILAI-NILAI POSITIF DAN AKIBAT HUKUM DISSENTING OPINION DALAM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Oleh : Ni Luh Kadek Rai Surya Dewi I Dewa Made Suartha Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Gigih Wijaya (2007, 31) Dissenting opinion merupakan hal baru dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Gigih Wijaya (2007, 31) Dissenting opinion merupakan hal baru dalam II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perbedaan Pendapat (Dissenting Opinion) 1. Pengertian dissenting opinion Menurut Gigih Wijaya (2007, 31) Dissenting opinion merupakan hal baru dalam sistem hukum di Indonesia. Pranata

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP memiliki tujuan dalam menegakkan

I. PENDAHULUAN. Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP memiliki tujuan dalam menegakkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP memiliki tujuan dalam menegakkan kepastian hukum dan mencegah kewenang-wenangan penguasa. Hukum berfungsi sebagai perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era Globalisasi dan seiring dengan perkembangan zaman, tindak pidana kekerasan dapat terjadi dimana saja dan kepada siapa saja tanpa terkecuali anak-anak. Padahal

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.3, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA NEGARA. MAHKAMAH AGUNG. Badan Peradilan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp TAMBAHAN BERITA NEGARA RI MA. Uang Pengganti. Tipikor. Pidana Tambahan. PENJELASAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Artikel I. Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2004 Kekuasaan ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara, digariskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Hukum. Dengan demikian, segala

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di dunia menghadapi masalah ini. Disparitas pidana yang disebut sebagai the disturbing disparity

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG Menimbang UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Ini berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB II PUTUSAN HAKIM DALAM PERADILAN PIDANA

BAB II PUTUSAN HAKIM DALAM PERADILAN PIDANA 22 BAB II PUTUSAN HAKIM DALAM PERADILAN PIDANA A. Pengertian Putusan Hakim Proses peradilan pidana merupakan suatu proses yang panjang dan berbeda dengan proses pada peradilan lainnya. Suatu proses yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Maia MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Jalan Medan Merdeka Utara No. 9 13 JAKARTA PUSAT PETIKAN PUTUSAN PASAL 226 KUHAP Nomor 434 K/PID/2003 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya dalam Pasal 1 ayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Page 14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyimpang dirumuskan oleh Saparinah Sadli sebagai tingkah laku yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. menyimpang dirumuskan oleh Saparinah Sadli sebagai tingkah laku yang dinilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat.perilaku menyimpang

Lebih terperinci