NASKAH AKADEMIK PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN TENTANG HUKUM PERIKATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "NASKAH AKADEMIK PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN TENTANG HUKUM PERIKATAN"

Transkripsi

1 Untuk Kalangan Terbatas NASKAH AKADEMIK PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN TENTANG HUKUM PERIKATAN Badan Pembinaa_n Hukum Nasional Departemen Kehakiman Rl Jl. May. Jen. Sutoyo - Cililitan Jakarta 13640

2 NASKAH AKADEMIK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG HUKUM PERIKATAN

3 ii

4 NASKAH AKADEMIK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG HUKUM PERIKATAN PENGGANTI BURGERLIJK WETBOEK/STB BUKU KETIGA TITEL 1-4 SETIAWAN, S.H. I flnieypman I BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN KEHAKIMAN T AHUN 1993/1994 iii

5

6 Kala Pengantar Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-nya maka Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang "Hukum Perikatan" sebagai pengganti Burgerlijk Wetboek (Stb Buku Ketiga Titel 1-4) ini telah dilaksanakan penerbitannya sesuai dengan yang diharapkan. Naskah Akademik ini merupakan kegiatan lanjutan dari hasil Penelitian dan Pengkajian Peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan pada zaman kolonial Hindia Belanda, yang sampai saat ini masih berlaku berdasar Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Seperti diketahui Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 telah mengamanatkan bahwa Sistem Hukum Nasional diharapkan telah terbentuk pada akhir PJPT II yang akan datang. Untuk itu prioritas pada Repelita VI adalah telah dapat digantinya semua hukum yang dikeluarkan pada zaman kolonial yang masih berlaku, untuk diganti dengan hukum nasional yang berdasar pada Pancasila dan UUD Dalam rangka itulah, Badan Pembinaan Hukum Nasional yang mempunyai tugas membina dan membangun hukum nasional, telah berusaha dengan maksimal mengadakan penelitian, pengkajian sekaligus penyusunan Naskah Akademik ini melalui kegiatan suatu Crash Program. v

7 Kami yakin di sana sini masih banyak kekurangannya. Oleh sebab itu sumbang saran demi perbaikannya dari berbagai pihak, sangat kami harapkan. Atas bantuan dan partisipasi khalayak ramai untuk bersamasama menyusun Sistem Hukum Nasional kita, saya ucapkan terima kasih banyak. Mudah-mudahan penerbitan Naskah Akademik ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Jakarta, Januari 1995 KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL, ttd. Prof.Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, S.H. vi

8 Kata Pengantar Memenuhi tugas yang diberikan kepada kami dalam rangka penggantian peraturan perundang-undangan kolonial dengan hukum nasional, bersama ini disampaikan laporan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Pengganti Burgerlijk Wetboek (Stb ) Buku Ketiga Titel 1-4 tentang Hukum Perikatan. Stb (BW) Buku Ketiga dijadikan dua naskah akademik, yaitu tentang Perikatan Umum dan tentang Perjanjian Khusus (Jual Beli, Tukar Menukar, dan Sewa Menyewa). Dipisahkannya dua materi pengaturan ini adalah berdasarkan pengamatan tim, bahwa perjanjian khusus telah berkembang sedemikian pesatnya sehingga perlu diatur dalam perundang-undangan tersendiri, agar mudah mengikuti perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Juga memperhatikan saran dan rekomendasi dari hasil kegiatan ilmiah, baik penelitian, pengkajian maupun seminar yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional selama ini, mengenai Hukum Perdata khususnya tentang perikatan, di mana kedua materi ini sudah saatnya dipisahkan. Naskah Akademik ini adalah tentang Hukum Perikatan. Dapat disadari bahwa hasil dari kegiatan ini masih jauh daripada yang diharapkan, mengingat keterbatasan waktu dan vii

9 kendala-kendala lainnya. Namun demikian diharapkan laporan ini dapat digunakan sebagai bahan masukan, baik untuk pembaharuan tata hukum nasional pada umumnya, maupun tugas-tugas Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan kolonial khususnya. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala BPHN yang telah memberikan kepercayaan dan kesempatan kepada Tim untuk melaksanakan kegiatan ini. Jakarta, Maret 1994 Sekretaris/ Anggota Ketua, Raida L. Tobing, S.H. Setiawan, S.H viii

10 DAFTAR lsi Halaman Kata Pengantar Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional.. Kata Pengantar Daftar lsi v vii ix Bab I. PENDAHULUAN Latar Belakang Keadaan Data Pengaturan Tujuan dan Kegunaan Metode Kerja Asas-asas di dalam Hukum Perikatan Nasional Sistematika Bab II. PERISTILAHAN DAN PENGERTIAN Bab Ill SUMBER-SUMBER PERIKATAN Sumber Perikatan Kewajiban yang Timbul Akibat Perikatan Kewajiban Si Berutang Wanprestasi dan Akibatnya Pembelaan Debitur yang Dituduh Lalai Bab IV MACAM-MACAM PERIKATAN Perikatan Bersyarat Perikatan dengan Ketetapan Waktu Perikatan Manasuka (Aiternatif) Perikatan Tanggung-menanggung Perikatan yang Dapat Dibagi-bagi dan yang Tidak Dapat Dibagi-bagi Perikatan dengan Ancaman Hukum Bab V HAPUSNYA/BERAKHIRNYA PERIKATAN Bab VI PERJANJIAN ix

11 Bab VII PENGURUSAN KEPENTINGAN ORANG LAIN SECARA SUKARELA BaB VIII PEMBAYARAN TANPA WAJIB Bab IX PERBUATAN MELAWAN HUKUM Bab x KETENTUAN PERALIHAN Bab XI PENUTUP 34 LAMPl RAN: 1. Konsep Rencana Undang-undang tentang Hukum Perikatan Kegiatan Awal terhadap Hukum Perikatan serta Beberapa Bentuk Perjanjian dalam Kitab Undangundang Hukum Per data {BW) PUSTAKAACUAN X

12 Pendahuluan 1 1. Latar Belakang Mengacu kepada hasil kajian yang telah dilakukan Tim Pelaksana mengenai Hukum Perikatan Buku Ill Titel 1-4 BW, (Stb 1847 No. 23) dalam rangka penggantian Hukum Kolonial dengan Hukum Nasional, perundang-undangan ini masih dapat dipertahankan hanya saja perlu diatur kembali dalam perundang-undangan nasional (ganti baju). Pasal-pasal dari Buku Ill BW tersebut pada umumnya masih bisa dipertahankan, kecuali ada beberapa pasal yang harus dicabut dan ada juga pasal yang rumusannya perlu diperbaiki. Dari Buku Ill ini disusun dua naskah akademik, yaitu Hukum Perikatan/Perjanjian Umum dan Perjanjian Khusus (jual beli, tukar-menukar dan sewa- menyewa). Naskah Akademik peraturan perundang-undangan tentang Hukum Perikatan ini dimaksudkan sebagai Naskah Awal dari Rancangan Undang-undang Hukum Perikatan Nasional. Dalam penyusunan Naskah Akademik ini BW tetap digunakan sebagai pedoman, juga hasil-hasil penelitian hukum dan pertemuan ilmiah yang telah dilakukan BPHN selama ini yang berkaitan dengan Hukum Perikatan. Sebagai subsistem dari Hukum Perdata N.asional, maka Hukum Perikatan Nasional akan didasarkan pada nilai filosofis, nilai sosiologis, dan nilai yuridis yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, dan GBHN 1993.

13 Sistem pluralisme/keanekaragaman yang merupakan ciri hukum kolonial akan ditinggalkan dan akan berlaku suatu unifikasi Hukum Perdata Nasional yang di dalamnya termasuk Hukum Perikatan. Unifikasi di bidang Hukum Perikatan/ Perjanjian yang meliputi jual-beli, sewa-menyewa, dan tukar-menukar dapat dilakukan karena Hukum Perikatan merupakan bidang hukum netral yang tidak memuat substansi yang sensitif. Hukum Perikatan ini menganut sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak, di mana semua perjanjian mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini sesuai dengan Hukum Perikatan modern dan juga dengan perkembangan yang cepat dalam masyarakat, sehingga dapat menampung keperluan-keperluan baru yang timbul sebagai akibat globalisasi. Untuk sahnya suatu perjanjian perlu dibuat syarat bahwa perjanjian tidak boleh berisikan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan serta perikemanusian. Hal ini perlu dicantumkan unluk mencegah penyalahgunaan kedudukan pihak yang ekonominya lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. 2. Keadaan Data Pengaturan Berikut ini ada beberapa bahan yang dapat dikaitkan dengan Hukum Perikatan, yaitu: a. Buku Ill KUH Perdata Pas a I ; b. Konsep RUU Hukum Perjanjian oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro; c. Konsep RUU Hukum Perikatan oleh Prof. Subekti, S.H. d. Konsep RUU tentang Pokok-pokok Hukum Perikatan oleh Tim Inti RUU/Kodifikasi Hukum Perdata BPHN Departemen Kehakiman Rl; 2

14 e. Surat Edaran Mahkamah Agung Rl No. 3/1963 mengenai gagasan menganggap BW tidak sebagai undang-undang. 3. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundangundangan tentang Hukum Perikatan adalah dalam rangka penggantian hukum kolonial untuk menuju Hukum Perikatan Nasional. Konsep-konsep ini mengacu ke masa depan dengan memberikan argumentasi tentang urgensi, landasan, dan prinsip yang digunakan bagi pembentukkan Naskah Akademik. Naskah Akademik ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penyusunan RUU Hukum Perikatan Nasional. 4. Meto~e Kerja Penyusunan naskah ini dilakukan dengan metode kerja sebagai berikut: a. inventarisasi data melalui hasil kajian yang telah dilakukan terhadap Hukum Perikatan; b. perumusan masalah yang diambil dari hasil kajian; c. penyusunan Rancangan Naskah Akademik. 5. Asas-asas di dalam Hukum Perikatan Nasional a. Asas Kebebasan Mengadakan Perjanjian/berkontrak (party otonom11 Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berkaitan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan dengan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 BW ini mempunyai kekuatan mengikat. 3

15 Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat panting di dalam Hukum Perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Bagi Indonesia menjadi pertanyaan, apakah kebebasan berkontrak tetap dipertahankan sebagai asas esensial di dalam Hukum Perjanjian Nasional yang akan datang. Ada paham yang tidak setuju kebebasan berkontrak ini digunakan sebagai as as utama Hukum Perjanjian. Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., kebebasan berkontrak perlu tetap dipertahankan sebagai asas utama di dalam Hukum Perjanjian Nasional. Hukum Perdata sebagai induk Hukum Perjanjian adalah hukum yang mengatur kepentingan perseorangan. Namun dalam suasana setelah tahun 1945, rumusan ini menjadi sebagai berikut: "Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan perseorangan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945". Falsafah negara Pancasila menampilkan ajaran, bahwa harus ada keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara penggunaan hak asasi dengan kewajiban asasi. Dengan perkataan lain, di dalam kebebasan terkandung "tanggung jawab". Di dalam Hukum Perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab,, yang mampu memenuhi keseimbangan perlu tetap dipertahankan, yaitu pengembangan kepribadian hidup lahir dan batin yang serasi, selaras, dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. b. Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas, sedangkan dalam Pasal KUH Perdata ditemukan dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk 4

16 menyatakan keinginannya (wil), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian, yai'tu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan tercapainya sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian itu (dan perikatan yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat detik tercapainya konsensus. Dalam Code Civil Perancis, sepakat kedua belah pihak tidak saja melahirkan perjanjian-perjanjian secara sah, tetapi dalam perjanjian jual beli bahkan ia sudah pula memindahkan hak m!lik atas barang dari pihak penjual kepada pembeli. c. Asas Kepercayaan ( vertrouwensbeginsel) Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu, bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa ada kepercayaan perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. d. Asas Persamaan Hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk mengamati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. 5

17 e. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhati kan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. f. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. g. Asas Moral Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, di mana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral), yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi perbuatan hukum itu berdasarkan pad a nkesusilaan" (moral), sebagai panggiian dari hati nuraninya. h. Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai 6

18 isi perjanjian. Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini, ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. 6. Sistematika Bertitik tolak pada hal-hal tentang Hukum Perikatan Nasional tersebut di atas, keseluruhan naskah akademik disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Bab II Bab Ill BabiV Bab V Bab VI Bab VII Bab VIII BabiX Bab X Bab XI Pendahuluan Peristilahan Sumber-sumber Perikatan Macam-macam Perikatan Hapusnya Perikatan Perjanjian Pengurusan kepentingan orang lain secara sukarela Pembayaran tanpa wajib Perbuatan melawan hukum Ketentuan Peralihan Penutup 7. Pelaksana -- Ketua Sekretaris merangkap Anggota Setiawan, S.H. Raida L. Tobing, S.H. 7

19 Peristilahan dan Pengertian 2 Peristilahan Mengenai peristilahan yang digunakan dalam Naskah Akademik ini adalah istilah perikatan untuk Verbintenis dalam bahasa Belanda dan istilah perjanjian untuk Overeenkomst (lihat kajian awal him. 76). lstilah lain yang perlu dimasukkan juga dalam naskah akademik ini adalah si berpiutang, si berutang, prestasi, kerugian, benda, kelalaian, dan lain-lain. Pengertian istilah-istilah tersebut adalah: a. Perikatan : adalah suatu hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang atau lebih yang terletak di dalam harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. b. Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang yang sating berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. c. Si Berpiutang : adalah orang yang berhak menuntut. (Kreditur) d. Si Berutang: adalah orang yang wajib memenuhi tuntutan. (Debitur) e. Prestasi adalah sesuatu benda yang dapat dituntut. 8

20 f. Kerugian : g. Benda h. Kelalaian: adalah kerusakan benda-benda kepunyaan si kreditur yang diakibatkan kelalaian si debitur. adalah sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik, yang meliputi benda-benda yang berwujud dan hak. adalah apabila si berutang/debitur tidak melakukan apa yang menjadi kewajibannya. 9

21 Sumber-sumber Perikatan 3 Pokok-pokok Pikiran 1. Dalam BW disebutkan bahwa sumber perikatan adalah dari perjanjian dan undang-undang. Lokakarya dan Simposium Hukum Perikatan, (BPHN), mengusulkan bahwa sumber ini ditambah lagi dengan perkataan "hukum yang tidak tertulis"; yang mencakup kepatutan/perikemanusiaan. Kewajiban berprestasi debitur semata-mata karena rasa kemanusiaan saja atau kepatutan. Jadi perumusan hukumnya akan berbunyi sebagai berikut: suatu perikatan dilahirkan dari perjanjian dan undang-undang dan hukum yang tidak tertulis. 2. Kewajiban yang Timbul Akibat Perikatan BW memberikan kewajiban kepada pihak yang menerbitkan perikatan, yaitu: menyerahkan benda/barang kepada orang lain, misalnya: jual-beli, tukar-menukar, penghibahan (pemberian), sewa-menyewa, pin jam pakai. kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan, misalnya: perjanjian membuat suatu lukisan, membuat sebuah garasi, dan lain-lain. kewajiban untuk tidak melakukan suatu perbuatan, misalnya: perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, 10

22 perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain, dan seterusnya. Apabila si debitur (si berutang) tidak menepati janji, si kreditur (si berpiutang) malalui keputusan hakim dapat merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya menurut perjanjian. Dengan kata lain, dapat dilakukan eksekusi riil untuk memperoleh ganti rugi. Apabila timbul kerugian yang bersifat moral dan yang tidak bersifat finansial, seperti pelanggaran-pelanggaran atas hak pribadi, menderita baik badan atau rohaniah, perlu ditambah lagi satu pasal yang bertujuan menjelaskan bahwa sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan uang dapat dituntut. 3. Kewajiban si Berutang Kewajiban si berutang di sini adalah menjaga jangan sampai barang yang akan diserahkan itu rusak atau hi lang sebelum diserahkan. Kewajiban menyerahkan/memberikan barang yang hanya ditetapkan jenisnya, tidak diwajibkan memberikan mutu barang yang lebih tinggi, tetapi sebaliknya tidak boleh memberikan barang dari mutu yang paling rendah. Juga si berutang wajib memberikan surat-surat bukti hak milik benda yang diperjanjian. Apabila ada kewajiban memberikan sejumlah uang dalam mata uang asing, boleh memberikan dalam uang rupiah yang nilainya sama dengan uang asing. 4. "Wanprestasi" dan Akibatnya Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, dikatakan ia melakukan "wanprestasi" atau lalai. 11

23 Kelalaian atau kealpaan si debitur dapat berupa: a. tidak melakukan apa yang disanggupi/akan dilakukannya; b. melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Hukuman yang dapat dikenakan kepada si debitur yang lalai adalah sebagai berikut: a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau yang disebut ganti rugi. Ganti rugi dapat terdiri dari beberapa unsur, yaitu: biaya, rugi, dan bung a. Ad any a kerugian ini dan berapa besarnya harus dibuktikan oleh si kreditur. b. Pembatalan perjanjian adalah sanksi yang dapat dikenakan juga kepada seorang debitur yang lalai. Pembatalan perjanjian dalam hal ini bertujuan membawa kedua belah pihak ke~bali kepada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Apabila salah saru pihak telah menerima uang ataupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pembatalan perjanjian itu harus dinyatakan/ditetapkan oleh hakim. c. Peralihan risiko dapat juga sebagai sanksi atas kelalaian seorang debitur. Hal ini diatur oleh Pasal 1237 ayat 2 BW. Yang dimaksud dengan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. 12

24 5. Pembelaan Debitur yang Dituduh Lalai Si debitur dapat mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman. Pembelaan tersebut adalah: a. Adanya keadaan memaksa (overmacht) atau force maajeure. Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan, karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan pihak debitur. Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaari memaksa itu adalah: 1. tidak dipenuhinya suatu prestasi karena musnahnya benda yang menjadi objek perikatan; 2. tidak dipenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang mengahalangi perbuatan debitur untuk melaksanakan prestasi. 3. karena suatu peristiwa yang tidak dapat diketahui/ dinyatakan sebelumnya. b. Si debitur (si berutang) mengajukan tuntutan bahwa si berpiutang (si kreditur) sendiri juga telah lalai (exceptio non adimpleti contractus). Dimungkinkannya pembatalan seperti ini karena dalam setiap perjanjian timbal batik dianggap bahwa kedua belah pihak harus bersama-sama melakukan kewajibannya. Menurut Prof. Subekti, S.H., terjadinya exceptio non adimpleti contractus dapat membebaskan si debitur yang dituduh lalai dari pembayaran ganti rugi, walaupun tidak disebutkan dalam suatu pasal dan undang-undang. Hal ini merupakan suatu peraturan hukum yang diciptakan oleh para hakim melalui yurisprudensi (Subekti 1987:58). Untuk itu dalam Hukum Perikatan Nasional yang akan datang hal ini harus lebih diperjelas. 13

25 c. Pelepasan hak (rechtverwerking) dari pihak kreditur. Yang dimaksud dengan pelepasan hak di sini adalah pihak debitur menilai bahwa si kreditur sudah tidak akan menuntut ganti rugi lagi. Misalnya, si pembeli, meskipun barang yang diterimanya tidak memenuhi kualitas atau mengandung cacat tersembunyi, tidak menegur si penjual atau mengembalikan barangnya tetapi barang itu dipakai juga. Atau ia pesan lagi barang seperti itu. Dari sikap terse but dapat disimpulkan bahwa barang itu sudah memuaskan si pembeli. Jika ia kemudian menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian, tuntutan itu sudah seharusnya tidak diterima oleh hakim. 14

26 Macam macam Perikatan 4 Pokok-Pokok Pikiran 1. Perikatan Bersyarat a. Suatu perikatan adalah bersyarat apabila digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan karena terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Dalam hal pertama, perikatan lahir hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan lahir pada detik terjadinya peristiwa itu. Perikatan ini dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Dalam hal kedua, suatu perikatan yang sudah lahir, justru berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi atau tidak terjadi. Perikatan semacam ini dinamakan perikatan dengan suatu syarat batal. b. Apabila syarat itu ditujukan untuk melakukan suatu yang tidak mungkin dilaksanakan atau bertentangan dengan ketentuan/ketertiban umum atau dilarang oleh undangundang, maka ia batal demi hukum. 15

27 c. Suatu perikatan yang digantungkan pada suatu syarat di mana peristiwa akan terjadi di dalam suatu waktu tertentu, maka syarat tersebut dianggap tidak ada apabila waktu tersebut telah lewat tanpa terjadinya peristiwa dimaksud. d. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian. Suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. 2. Perikatan dengan Ketetapan Waktu Berbeda dengan perikatan bersyarat, perikatan dengan ketetapan waktu (termijn) tidak menangguhkan pelaksanaannya, ataupun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan. Misalnya, seseorang menyewa rumah mulai 1 Januari 1964 sampai tanggal 1 Januari 1969, maka perjanjian sewa mengenai rumah itu adalah suatu perjanjian dengan ketetapan waktu. Suatu ketetapan waktu dibuat untuk kepentingan si berutang, kecuali dari sifat perikatannya sendiri atau dari keadaan yang ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah dibuat untuk kepentingan si berpiutang. Apa yang harus dibayar pada suatu waktu yang dit~ntukan, tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba. Akan tetapi, apa yang telah dibayar sebelum waktu itu datang, tidak dapat diminta kembali. 3. Perikatan Mana Suka (alternatif) Dalam perikatan seperti ini, si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan 16

28 dalam perjanjian tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya. Hak memilih ada pada si berutang, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada si berutang. Misalnya saja: Seseorang mempunyai suatu tagihan uang seratus ribu rupiah pada seorang petani, yang sudah lama tidak dibayarnya. Apabila si berpiutang tadi mengadakan suatu perjanjian dengan si berutang, ia akan dibebaskan dari utangnya kalau ia menyerahkan sepuluh kuintal beras. Apabila salah satu dari barang-barang yang dijanjikan musnah atau tidak lagi dapat diserahkan, perikatan mana suka itu menjadi suatu perikatan murni dan bersahaja. Jika kedua barang itu telah hilang dan si berutang bersalah tentang hilangnya salah satu barang tersebut, ia diwajibkan membayar harga barang yang hi lang paling akhir. Jika hak milik ada pada si berpiutang dan hanya salah satu barang saja yang hilang, maka jika itu terjadi di luar salahnya si berutang, si berpiutang harus mendapat barang yang masih ada. Jika hilangnya salah satu barang tadi terjadi karena kesalahan si berutang, si berpiutang dapat menuntut penyerahan barang yang masih ada atau harga barang yang telah hilang. Jika kedua-duanya barang musnah, si berpiutang (apabila hilangnya kedua barang itu, atau hilang salah satu di antaranya karena kesalahan si berutang) boleh menuntut penyerahan salah satu, menurut pilihannya. 4. Perikatan Tanggung-menanggung Dalam perikatan semacam ini, di salah satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal beberapa orang terdapat di 17

29 pihak debitur I maka tiap-tiap debitur itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh utang. Juga kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang. Dengan sendirinyal pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur I membebaskan debitur-debitur lainnya. Begitu pula pem,bayaran yang dilakukan kepada salah seorang kreditur membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur yang lainnya. Dalam hal si berutang berhadapan dengan beberapa orang krediturl maka terserah kepada si berutangl untuk memilih kepada kreditur yang mana ia hendak membayar utangnya selama ia bel urn digugat oleh salah satu kreditur. Suatu perikatan tanggung-menanggung harus dengan tegas diperjanjikan atau ditetapkan dalam undang-undang. 5. Perikatan yang Dapat Dibagi-bagi dan yang Tidak Dapat Dibagi-bagi Suatu perikatan yang dapat dibagi-bagi adalah suatu perikatan yang penyerahan barangnya atau pelaksanaan perbuatannya dapat dibagi-bagi baik secara nyata maupun secara perhitungan. Perikatan yang tidak dapat dibagi-bagi adalah suatu perikatan yang penyerahan barangnya atau pelaksanaan perbuatannya tidak dapat dibagi-bagil baik secara nyata maupun secara perhitungan. Dapat dibagi menurut sifatnyal misalnya suatu perikatan untuk menyerahkan sejumlah barang atau sejumlah hasil barul sebaliknya tidak dapat dibagi misalnya adalah kewajiban untuk menyerahkan seekor kudal karena kuda tidak dapat dibagi tanpa kehilangan hakikatnyal dan lain-lain. Akibat hukum yang penting dari dapat atau tidak dapat dibaginya suatu perikatan adalah sebagai berikut: 18

30 Dalam hal suatu perikatan tidak dapat dibagi-bagi, tiap-tiap kreditur berhak menuntut seluruh prestasinya pada tiap-tiap debitur, dan masing-masing debitur diwajibkan memenuhi prestasi tersebut seluruhnya. Sedangkan dalam hal suatu perikatan dapat dibagi, tiap-tiap kreditur hanya berhak menuntut suatu bagian menurut imbangan dari prestasi tersebut,, sedangkan masing-masing debitur juga hanya diwajibkan memenuhi bagiannya. Dalam hal suatu perikatan yang tidak dapat dibagi, masing-masing waris dari salah seorang debitur diwajibkan memenuhi prestasi seluruhnya. 6. Perikatan dengan Ancaman Hukum Perikatan ini adalah suatu perikatan di mana ditentukan bahwa si berutang, untuk jaminan pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai ganti kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya perikatan. Hal ini dimaksud sebagai dorongan/cambuk bagi si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya. Juga sebagai alat pembebasan bagi si berpiutang dari pembuktian tentang jumlah/besarnya kerugian yang dideritanya. 19

31 Hapusnya/Berakhirnya Perikatan 5 Pokok-pokok Pikiran BW mengatur tentang hapusnya atau berakhirnya suatu perikatan/perjanjian dalam Pasal 1381 BW. Hal ini akan diatur kembali dalam Hukum Perikatan Nasional. Hapusnya Perikatan karena: a. Pembayaran Dalam arti luas, yaitu setiap pelaksanaan atau pemenuhan perjanjian secara sukarela tanpa adanya suatu paksaan atau eksekusi. Pembayaran tidak hanya diartikan sebagai uang, tetapi juga penyerahan suatu barang menurut yang diperjanjikan. Yang wajib membayar suatu utang bukan hanya si berutang (debitur) tetapi juga seorang kawan si berutang dan juga penanggung utang (borg). Seorang pihak ketiga juga dapat bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang. Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan oleh hakim atau oleh undang-undang untuk menerima pembayaran-pembayaran bagi si berpiutang. Pembayaran yang dilakukan kepada seorang yang tidak ber.. kuasa menerima bagi si berpiutang adalah sah, apabila si berpiutang telah menyetujuinya. Pembayaran yang dengan itikad baik dilakukan kepada seorang yang memegang surat piutang yang bersangkutan adalah sah. 20

32 Si debitur tidak boleh memaksa krediturnya untuk menerima pembayaran utangnya sebagian demi sebagian meskipun utang itu dapat dibagi-bagi. Tempat pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian. Subrogasi atau penggantian hak-hak si debitur oleh pihak ketiga kepada si kreditur harus dinyatakan dengan perjanjian atau undangundang. Subrogasi yang terjadi dengan perjanjian dapat terjadi apabila seorang pihak ketiga membayar kepada si kreditur, maka hak-hak si kreditur tadi, yaitu seperti gugatan-gugatannya, hak-hak istimewanya, dan hipotik berpindah kepada pihak ketiga tadi. Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan tepat pada waktu pembayaran. Apabila si berutang meminjam sejumlah uang untuk melunasi utangnya dan menentukan/menyatakan orang yang meminjam uang itu akan menggantikan hak-hak si berpiutang, harus dibuat dengan akta autentik yang menjelaskan bahwa uang itu dipinjam untuk melunasi utang tersebut. Subrogasi yang terj_adi demi undangundang adalah sebagai berikut: apabila seorang yang melunasi suatu utang kepada seorang yang berpiutang lainnya, yang berdasarkan hak-hak istimewanya atau hipotik mempunyai suatu hak yang lebih tinggi, sedangkan ia sendiri menjadi kreditur; seorang pembeli suatu benda tidak bergerak, yang telah memakai uang harga benda tersebut untuk melunasi orang-orang berpiutang kepada siapa benda itu diperikatkan dalam hipotik; untuk seorang yang bersama-sama dengan orang lain diwajibkan membayar suatu utang, berkepentingan untuk melunasi utang itu; untuk seorang ahli waris yang sedang menerima suatu warisan dengan hak istimewa, guna mengadakan pencatatan tentang keadaan harta peninggalan; 21

33 b. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti dengan Penyimpan atau fenitipan Suatu cara pembayaran yang dilakukan apabila kreditur menolaknya adalah barang atau uang yang akan dibayar ditawarkan secara resmi melalui seorang notaris atau juru sita dengan suatu proses verbal (berita acara) dan kreditur diminta menandatangani proses verbal tersebut. Syarat-syarat penawaran supaya sah: harus dilakukan kepada si kreditur atau orang yang berhak menerimanya; diwajibkan oleh orang yang berhak membayarnya; penawaran itu mengenai semua uang pokok dan bunga yang dapat ditagih; apabila ada suatu ketetapan waktu yang telah dibuat untuk kepentingan si kreditur, maka setelah waktu itu tiba; syarat perjanjian utang telah dipenuhi; penawaran dilakukan oleh seorang notaris atau juru sita disertai dua orang saksi; c. Pembaharuan Utang atau Novasi Suatu perjanjian baru yang dibuat menghapuskan perikatan lama, namun pada saat itu juga terjadi suatu perikatan baru. Misalnya, seorang penjual barang membebaskan pembeli dari harga barang, tetapi pembeli diminta untuk menandatangani suatu perjanjian pinjam uang yang jumlahnya sama-sama dengan harga barang. Dapat juga terjadi, jika debitur dengan persetujuan kreditur, diganti ole~ orang lain yang menyanggupi akan membayar barang. 22

34 Syarat-syarat pembaharuan utang: Pembaharuan utang dilaksanakan/dilakukan oleh orang-orang yang cakap untuk mengadakan perjanjian. Kehendak orang yang mengadakannya harus secara tegas ternyata dari perbuatannya. Pembaharuan utang dengan penunjukan seorang berutang baru untuk mengganti yang lama, dapat dilaksanakan tanpa bantuan si berutang yang lain. Hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik yang melekat pada piutang lama tidak berpindah pada piutang baru yang menggantikannya, kecuali kalau itu secara tegas dipertahankan oleh si kreditur. d. Perjumpaan Utang atau Kompensasi Hapusnya perikatan, apabila dalam perikatan yang bersangkutan antara pihak saling mempunyai utang 'satu sama lainnya, sehingga dimungkinkan adanya perjumpaan utang. Kompensasi ini hanya dapat terjadi apabila objek perikatan mengenai jumlah uang dan barang-barang sejenis habis dipakai. e. Percampuran Utang Apabila terjadi kedudukan kreditur dan debitur melekat pada satu orang, sehingga menjadi suatu percampuran utangpiutang, yang berarti utang-piutang pun hapus. Misalnya, debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya. Atau dapat juga antara waris tunggal oleh krediturnya. A tau dapat juga antara debitur kawin dengan kreditur, maka dengan sendirinya terjadi persatuan harta kawin. Percampuran utang yang terjadi pada dirinya si berutang utama berlaku juga untuk kepentingan para pemilik 23

35 utangnya (borg). Sebaliknya, percampuran yang terjadi pada seorang penanggung utang (borg) tidak menghapuskan sama sekali utang pokok. f. Pembebasan Utang Pembebasan utang yaitu apabila seorang kreditur melepaskan hak untuk menagih piutangnya terhadap debitur, dan pihak debitur menerima dengan baik pelepasan hak terse but. g. Musnahnya Barang yang Terutang Jika barang sebagai objek perjanjian musnah, sehingga sama sekali tidak diketahui ada tidaknya barang tersebut. Hal ini dimungkinkan hapusnya perjanjian, apabila barang musnah atau hilang di luar kesalahan debitur untuk menyerahkan barang tersebut (Pasal 1444 KUH Perdata). h. Pembatalan Perjanjian Setiap perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang tidak cakap menurut undang-undang untuk bertindak sendiri atau dibuat karena paksaan, kekhilafan ataupun penipuan, dapat dibatalkan. Pembatalan harus dituntut dan melalui putusan pengadilan, biasanya akan berakibat para pihak keadaannya dikembalikan seperti pada waktu perjanjian belum dibuat. Apabila tidak dilakukan tuntutan, perjanjian dapat berlangsung terus, sekalipun ada cacat atau kelemahan pada subjeknya. i Berlakunya Syarat Bat a/ Syarat batal, apabila tidak dipenuhinya syarat objektif suatu perjanjian. Pembatalan tanpa perlu harus dituntut dan melalui putusan pengadilan, sebab perjanjian yang demikian seolah-olah tidak pernah ada. 24

36 ;. Lewatnya Waktu (kadaluwarsa} Merupakan upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan (perjanjian) dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan ada syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Untuk hal ini, segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan akan hapus karena kadaluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun. Di samping itu, hapusnya atau berakhirnya suatu perjanjian dapat terjadi karena: a. Para pihak menentukan secara tegas dalam perjanjian yang mereka buat, misalnya perjanjian hanya ber!aku 2 tahun. b. Batas berlakunya suatu perjanjian yang dilakukan para ahli waris untuk tidak mengadakan pemecahan harta warisan (Pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata). Akan tetapi, waktu berlakunya dibatasi hanya 5 tahun (Pasal 1066 ayat (4) KUH Perdata). c. Para pihak pun dapat menentukan, dengan terjadinya peristiwa tertentu perjanjian akan dihapus, seperti: a) karena putusan pengadilan; b) persetujuan tertentu telah tercapai; c) dengan persetujuan para pihak; d) pernyataan penghentian perjanjian 25

37 \ Perianiian 6 Pokok-pokok Pikiran Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Unsur-unsur perjanjian adalah sebagai berikut: ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang; Pihak-pihak ini disebut subjek perjanjian. Subjek perjanjian ini dapat berupa manusia pribadi dan badan hukum. Subjek perjanjian ini harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan undang-undang. ada persetujuan antara pihak-pihak tersebut; Persetujuan di sini bersifat tetap dan bukan sedang berunding. Perundingan adalah tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan. Persetujuan yang diadakan pada umumnya mengenai syarat-syarat dan objek perjanjian. Dengan disetujuinya oleh masing-masing pihak dan objek perjanjian tersebut, timbullah persetujuan. Persetujuan ini adalah suatu syarat sahnya perjanjian. 26

38 adanya tujuan yang akan dicapai; Tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan tidak dilarang oleh undang-undang. ada prestasi yang akan dilaksanakan; Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian. Misalnya, pembeli berkewajiban membayar harga barang, dan si penjual berkewajiban menyerahkan barang. Juga perjanjian mempunyai syarat-syarat tertentu agar perjanjian itu sah, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan diri; kecakapan mereka yang mengikatkan diri; hal yang diperjanjikan harus jelas dan tertentu; isi perjanjian tidak bertentangan dengan hukum, kepatutan-kepatutan dan ketertiban umum. Suatu perjanjian dianggap tidak sah apabila perjanjian itu telah terjadi karen a paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) atau penipuan (bedrog). Dan orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian harus diwakili oleh orang tua, wali atau pengampu mereka. Segala perjanjian yang dibuat secara sah "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Artinya, suatu perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, mengikat kedua belah pihak. 27

39 7 Pengurusan kepentingan orang lain secara sukarela Pokok-pokok Pikiran Apabila seseorang dengan sukarela, tanpa mendapat perintah, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili kepentingannya itu dapat mengerjakan sendiri kepentingan tersebut. Ia melaksanakan semua kewajiban yang timbul akibat dari pengurusan tersebut dan dilaksanakan berdasarkan kewajiban menurut hukum (undang-undang) atau tindakannya tidak bertentangan dengan kehendak pihak yang berkepentingan. Hak dan Kewajiban Pihak-pihak; a. Pihak yang Mewakili Ia berkewajiban mengerjakan segala sesuatu urusan itu sampai selesai, dengan memberikan pertanggungjawaban. Apabila orang yang diurus kepentingannya meninggal dunia, orang yang melakukan pengurusan secara sukarela wajib meneruskan pglngurusannya sampai para ahli warisnya dapat mengambil alih pengurusan tersebut. Yang mengurus kepentingan itu memikul segala beban biaya atau ongkos-ongkos pengurusan. Di samping kewajiban tersebut di atas, orang yang mengurus kepentingan itu berhak memperoleh ganti rugi 28

40 dari orang yang diwakili itu atau segala perikatan yang dibuatnya secara pribadi dan memperoleh penggantian atas segala pengeluaran. b. Hak dan Kewajiban yang Diwakili Yang diwakili atau yang berkepentingan berkewajiban memenuhi perikatan yang dibuat oleh wakil itu atas namanya, membayar ganti kerugian atau pengeluaran yang telah dipenuhi oleh pihak yang mengurus kepentingan itu. Pihak yang berkepentingan berhak meminta pertanggungjawaban atas pengurusan kepentingannya itu. Dalam perikatan, wakil tanpa kuasa ini tid~k dikenal upah. Perikatan wakil tanpa kuasa ini perlu diatur dalam Hukum Perikatan Nasional karena perikatan semacam ini banyak timbul dalam masyarakat kita. 29

41 Pembayaran tanpa waiib 8 Poko-pokok pikiran Setiap pembayaran yang ditujukan untuk melunasi suatu utang, tetapi ternyata tidak ada utang, pembayaran yang telah dilakukan itu dapat dituntut kembali. Tuntutan kembali atas pembayaran yang telah dilakukan disebut conditio indebti. Dalam hal ini, pembayaran (betaling) yang dimaksud di sini, diatur dalam arti yang luas, yang berarti menyempurnakan/ melaksanakan perjanjian. Apabila orang yang menerima pembayaran itu beritikad buruk, karena seharusnya tidak dibayarkan kepadanya, ia diwajibakan mengembalikan pembayaran yang bukan haknya itu ditambah dengan bunga dan hasil terutang sejak diterimanya pembayaran itu, dengan tidak mengurangi kewajiban untuk mengganti kerugian jika barang yang diterimanya itu merosot harganya. Jika barang itu musnah, meskipun itu terjadi bukan karena kesalahannya, ia diwajibkan membayar harganya akibat penggantian biaya kerugian dan bunga. 30

42 Perbuatan Melawan Hukum 9 Pokok-pokok Pikiran 1. Perbuatan melawan hukum harus memenuhi beberapa unsurl yaitu: ada perbuatan melawan hukuml ada kesalahanl ada kerugianl dan ada hubungan sebab akibat. 2. Asas-asas hukum tanggung- jawab dalam perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut: asas bahwa yang merugikan orang lain harus mengganti kerugianl asas tanggung jawab ber.d~sarkan based on fault) I (liability without fault) I (strict liability) I liabilty) I kesalahan (liability as as tanggung jawab tanpa kesalahan asas tanggung jawab terbatas as as tanggung jawab mutlak (absolut as as anggapan harus bertanggung jawab (presumption of liabilty). 3. Kriteria perbuatan melawan hukum adalah melanggar hak subjektif I bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuatl dan bertentangan dengan kepatutan. 4. Perbuatan melawan hukum dapat dilahirkan oleh seseorang dan oleh beberapa orang dan oleh badan hukum dan organ-organnya dan perbuatan melawan hukum oleh pemerintah. Juga perlu pengaturan mengenai sistem pembuktian. 31

43 Demikian pokok-pokok pikiran yang dimuat mengenai Hukum Perikatan Umum, mengenai norma hukum dari hal-hal tersebut akan disusun dalam lampiran RUU tentang Hukum Perikatan sebagaimana terlampir. 32

44 Ketentuan Peralihan 10 a. Yang dimuat dalam "Ketentuan Peralihan" ini adalah ketentuan mengenai penyesuaian keadaan yang sudah ada pada saat mulai berlakunya peraturan perundang-undangan baru, dengan keadaan sesudah dikeluarkannya perundang-undangan baru. b. Ketentuan tentang pelaksanaan peraturan perundangundangan baru itu secara berangsur-angsur. 33

45 Penutup 11 Demikianlah Naskah Akademik Peraturan Perundangundangan tentang Hukum Perikatan ini disusun. Semoga dapat berguna sebagai konsep awal bagi penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Hukum Perikatan. 34

46 LAMPIRAN 1 Konsep RUU Tentang Hukum Perikatan Berdasarkan uraian dalam Bab I sampai dengan Bab XI, maka disusunlah Naskah RUU tentang Hukum Perikatan seperti di bawah ini. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO... TAHUN... TENTANG PERIKATAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Menimbang: a. Bahwa tujuan pembangunan nasional adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila. b. Bahwa Hukum Perikatan adalah salah satu lembaga yang mengatur hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain di bidang harta kekayaan. Dengan semakin pesatnya kemajuan di bidang so sial, ekonomi yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka akan semakin banyak permasalahan yang timbul dalam penerapan perikatan di masyarakat. 35

47 c. Bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengeriai perikatan umum yang ada saat ini masih berasal dari peninggalan kolonial Belanda/ oleh karena itu banyak ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan. d. Bahwa untuk meningkatkan pembinaan Hukum Perikatan sesuai dengan perkembangan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia serta hubungan internasional dengan negara lain dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai perikatan umum dalam undang-undang. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat ( 1) dan Pas a I 20 ayat ( 1) Undangundang Dasar Ketetapan MPR-RI No. 11/MPR/1993 Tentang Garisgaris Besar Haluan Negara. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia MEMUTUSKAN Menetapkan: Undang-undang Tentang Perikatan. BABI KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: a. Perikatan: adalah suatu hubungan ht.jkum yang terjadi di antara dua orang atau lebih yang terletak di 36

48 dalam harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. b. Perjanjian : adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu. c. Benda: adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik, yang meliputi barang-barang yang berwujud dan hak. d. Si Berpiutang:adalah orang yang berhak menuntut. {kreditur) e. Si Berutang : adalah orang yang wajib memenuhi tuntutan. {Debitur) f. Prestasi : g. Kerugian : h. Kelalaian: adalah sesuatu benda yang dapat dituntut. adalah kerusakan benda-benda kepunyaan si kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. adalah suatu keadaan dimana si berutang {debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya. BAB II Bagian Pertama Tentang Perikatan Pada Umumnya Pasal 1 Suatu perikatan dilahirkan dari perjanjian atau dari undang- undang dan hukum yang tidak tertulis. Pasal 2 Suatu perikatan menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. 37

49 flasal 3. Sesuatu yang tidak dapat dinhai dengan uang, dapat juga dituntut berdasarkan suatu perikatan. Bagian Kedua Kewajiban-kewajiban dalam Perikatan Pasal 4 Seseorang yang berdasarkan suatu perikatan diwajibkan menyerahkan benda, wajib merawatnya sebaik-baiknya seperti terhadap barang milik sendiri sampai saat penyerahan terlaksana. Pasal 5 Seseorang yang diwajibkan memberikan suatu benda yang hanya ditetapkan jenisnya tidak diwajibkan memberikan benda dari mutu yang paling tinggi, tetapi juga tidak boleh memberikan benda dari mutu yang paling rendah. Pasal 6 Dalam kewajiban menyerahkan hak milik atas suatu benda mengandung kewajiban memberikan surat-surat bukti hak milik beserta segala apa yang diperlukan untuk peralihan pemilikan atas benda itu. Pasal 7 Seseorang yang diwajibkan menyerahkan sejumlah uang yang ditetapkan dalam mata uang asing, dapat menyerahkan sejumlah uang rupiah yang nilainya sama menurut nilai tukar pada saat penyerahan itu dilakukan. 38

50 Bagian Ketiga Tentang lngkar Janji dan Akibat-akibatnya Pasal 8 Seseorang yang karena kelalaiannya tidak memen.uhi kewajibannya, wajib mengganti segala kerugian yang diakibatkan tidak terpenuhinya kewajiban tersebut. Pasal 9 ( 1) Seseorang adalah I alai apabila ia, setelah ditegur untuk memenuhi kewajibannya, tetap tidak memenuhinya. (2) Teguran dapat dilakukan dengan cara yang cukup jelas menyatakan keinginan si berpiutang bahwa ia menghendaki pemenuhan perikatannya. (3) Teguran tidak diperlukan apabila: (a) saat pemenuhan telah ditetapkan atau menurut perikatan si berutang akan dianggap lalai setelah lewatnya waktu yang ditetapkan; (b) si berutang telah melakukan perbuatan yang tidak boleh dilakukannya menurut perikatan; dengan melakukan perbuatan tersebut, si berutang dengan sendirinya adalah I alai. Pasal 10 (1) Dalam kerugian yang dapat digugat oleh si berpiutang, termasuk kehilangan keuntungan sebagai akibat tidak dipenuhinya perikatan. (2) Adanya kerugian dan berapa besarnya, wajib dibuktikan oleh si berpiutang. Pasal 11 Suatu perikatan untuk membayar sejumlah uang, kerugian yang disebabkan karena terlambatnya pembayaran ditetapkan oleh yang berwenang, dihitung mulai tanggal digugatnya pembayaran itu di 39

51 muka pengadilan, tanpa pembebasan pembuktian kepada si berpiutang tentang ada dan besarnya kerugian yang dideritanya. Pasal 12 ( 1) Si berutang dibebaskan dari pembayaran ganti rugi apabila ia dapat membuktikan bahwa tidak atau terlambat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu hal yang sama sekali tidak terduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. (2) Begitu pula si berutang dibebaskan dari pembayaran ganti kerugian, apabila ia dapat membuktikan bahwa si berpiutang sendiri juga melakukan suatu kelalaian. Pasal 13 Apabila si berpiutang menolak pemenuhan perikatan yang ditawarkan oleh si berutang, maka segala akibat dari penolakan itu yang merugikan si berutang harus ditanggung oleh si berpiutang. Pasal 14 (1) Suatu perikatan untuk memberikan suatu benda tertentu yang sudah tersedia, apabila tidak dipenuhi secara suka-rela, dapat dimintakan pelaksanaannya kepada hakim. (2) Dalam suatu perikatan untuk berbuat sesuatu yang dengan mudah dapat juga dilakukan oleh orang lain, si berpiutang dapat dikuasakan oleh hakim untuk mengusahakan sendiri pelaksanaannya atas biaya si berutang, dengan tidak mengurangi haknya untuk menuntut ganti rugi. (3) Demikian juga dalam suatu perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, si berpiutang berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan dan ia dapat pula dikuasakan oleh hakim untuk pembatalan atau menyuruh membatalkan segala sesuatu tersebut atas biaya si 40

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Menurut sistem terbuka yang mengenal adanya asas kebebasan berkontrak

Lebih terperinci

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan 2 Prof. Subekti Perikatan hubungan hukum antara 2 pihak/lebih, dimana satu pihak

Lebih terperinci

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukannya dengan sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN 21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian dan Jenis-jenis Perjanjian Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB VI PERIKATAN (VERBINTENISSEN RECHT)

BAB VI PERIKATAN (VERBINTENISSEN RECHT) BAB VI PERIKATAN (VERBINTENISSEN RECHT) A. DASAR-DASAR PERIKATAN 1. Istilah dan Pengertian Perikatan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan, definisi, maupun arti istilah Perikatan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.... TAHUN. TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI Menurut ketentuan pasal 1233 KUH Perdata, perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Dari kedua hal tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa salah satu

Lebih terperinci

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN Selamat malam semua Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Asas-asas dalam Hukum Perjanjian ya.. Ada yang tahu asas-asas apa saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Pasal 1234 KHUPerdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, sebaiknya dianggap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Perihal Perikatan (Verbintenis), yang mempunyai arti lebih luas

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Perihal Perikatan (Verbintenis), yang mempunyai arti lebih luas BAB II LANDASAN TEORI A. RUANG LINGKUP PERJANJIAN 1. Pengertian Perjanjian Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) berjudul Perihal Perikatan (Verbintenis), yang mempunyai arti lebih luas

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

Asas asas perjanjian

Asas asas perjanjian Hukum Perikatan RH Asas asas perjanjian Asas hukum menurut sudikno mertokusumo Pikiran dasar yang melatar belakangi pembentukan hukum positif. Asas hukum tersebut pada umumnya tertuang di dalam peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan orang di Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

PENGERTIAN PERIKATAN HUKUM PERIKATAN PADA UMUMNYA. Unsur-unsur Perikatan 3/15/2014. Pengertian perikatan tidak dapat ditemukan dalam Buku III BW.

PENGERTIAN PERIKATAN HUKUM PERIKATAN PADA UMUMNYA. Unsur-unsur Perikatan 3/15/2014. Pengertian perikatan tidak dapat ditemukan dalam Buku III BW. PENGERTIAN PERIKATAN HUKUM PERIKATAN PADA UMUMNYA Level Kompetensi I Sesuai Silabus Pengertian perikatan tidak dapat ditemukan dalam Buku III BW. Pengertian perikatan diberikan oleh ilmu pengetahuan Hukum

Lebih terperinci

BERAKHIRNYA PERIKATAN

BERAKHIRNYA PERIKATAN RH BERAKHIRNYA PERIKATAN Perjanjian baru benar-benar berakhir jika seluruh isi perjanjian telah ditunaikan. Isi perjanjian itu adalah perikatan. Ps 1381 KUHPdt mengatur cara hapusnya perikatan : 1. Pembayaran;

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG USAHA PERSEORANGAN DAN BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG USAHA PERSEORANGAN DAN BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG USAHA PERSEORANGAN DAN BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH Oleh : Gostan Adri Harahap, SH. M. Hum. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Labuhanbatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Hukum Perikatan Pada Umumnya 1. Pengertian Perikatan Hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang,

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS CACAT TERSEMBUNYI PADA OBJEK PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL YANG MEMBERIKAN FASILITAS GARANSI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kebutuhan yang sangat besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata pengertian jual beli adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

PERJANJIAN DAN PERIKATAN BAB I PENDAHULUAN. (Burgerlijk Wetboek) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang

PERJANJIAN DAN PERIKATAN BAB I PENDAHULUAN. (Burgerlijk Wetboek) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang PERJANJIAN DAN PERIKATAN BAB I PENDAHULUAN Istilah kontrak atau perjanjian terkadang masih dipahami secara rancu. BW (Burgerlijk Wetboek) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

PERJANJIAN JUAL BELI. Selamat malam. Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya..

PERJANJIAN JUAL BELI. Selamat malam. Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya.. PERJANJIAN JUAL BELI Selamat malam Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya.. 1. PENGERTIAN PERJANJIAN JUAL BELI Dalam suatu masyarakat, dimana

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Ketentuan-ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak A. SOMASI l. Dasar Hukum dan Pengertian Somasi 2. Bentuk dan Isi Somasi

Ketentuan-ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak A. SOMASI l. Dasar Hukum dan Pengertian Somasi 2. Bentuk dan Isi Somasi Ketentuan-ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak A. SOMASI l. Dasar Hukum dan Pengertian Somasi Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan terjemahan dari ingebrekestelling. Somasi diatur dalam Pasal 1238

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. lebih. Perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. lebih. Perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan suatu kata yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Dengan mendengar sebuah kata perjanjian maka kita akan langsung berfikir bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan di Indonesia

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian, 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI 2.1 Pengertian Perjanjian Kredit Pasal 1313 KUHPerdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III KUH Perdata, dibawah judul Tentang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

Dari rumus diatas kita lihat bahwa unsur- unsur perikatan ada empat, yaitu : 1. hubungan hukum ; 2. kekayaan ; 3. pihak-pihak, dan 4. prestasi.

Dari rumus diatas kita lihat bahwa unsur- unsur perikatan ada empat, yaitu : 1. hubungan hukum ; 2. kekayaan ; 3. pihak-pihak, dan 4. prestasi. HUKUM PERIKATAN 1. Definisi Perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari tahun ke tahun terus berupaya untuk melaksanakan peningkatan pembangunan di berbagai

Lebih terperinci

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan cara bekerja.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian perjanjian Istilah perjanjian tanpa adanya penjelasan lebih lanjut menunjuk pada perjanjian obligator, yaitu

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN A. Dasar Hukum Memorandum Of Understanding Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi : Kemudian daripada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan verbintenis, yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan.

Lebih terperinci

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 9-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1983 (ADMINISTRASI. FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. menyalin kedalam bahasa Indonesia, dengan kata lain belum ada kesatuan

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. menyalin kedalam bahasa Indonesia, dengan kata lain belum ada kesatuan BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Pengertian Perjanjian Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai istilah perjanjian. Mengenai istilah perjanjian dalam hukum perdata Indonesia yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK Sularto MHBK UGM PERISTILAHAN Kontrak sama dengan perjanjian obligatoir Kontrak sama dengan perjanjian tertulis Perjanjian tertulis sama dengan akta Jadi antara istilah kontrak,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK A. Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding dalam Perjanjian Berdasarkan Buku III Burgerlijke

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci