BURUNG PANTAI PEMANGSA KRUSTASEA Oleh Ucu Yanu Arbi 1)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BURUNG PANTAI PEMANGSA KRUSTASEA Oleh Ucu Yanu Arbi 1)"

Transkripsi

1 Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008 : 1 8 ISSN BURUNG PANTAI PEMANGSA KRUSTASEA Oleh Ucu Yanu Arbi 1) ABSTRACT COASTAL BIRDS AS CRUSTACEAN PREDATORS. Ecologically, coastal birds depend on intertidal area to obtain their lives. Coastal birds tend to concentrate in area, were preys are occured. The most important food of coastal birds are crustacean, fish and mollusc Coastal birds carch their preys (crustaceans) in the coastal area. Decapods, Stomatopods, Amphipods and Isopods are some crustaceans that are usually captured by coastal birds. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai jumlah pulau lebih dari buah. Jumlah panjang total pantai di Indonesia diperkirakan lebih dari km, sebagian diantaranya ditumbuhi oleh hutan mangrove, serta hamparan lumpur dan pasir yang sangat potensial untuk mendukung sejumlah besar kehidupan biota. Termasuk di dalamnya adalah burung pantai (baik burung pantai yang bersifat sebagai penetap maupun yang bersifat migran) sebagai hewan pemangsa, serta berbagai jenis krustasea sebagai salah satu hewan mangsa utama bagi burung pantai tersebut. Sehingga dari kondisi tersebut, Indonesia menjadi negara yang penting dalam hal tersedianya habitat yang mendukung kehidupan burung pantai. Setiap satwa (termasuk burung pantai) harus mencari pakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Proses mencari pakan dan proses makan yang dilakukan oleh satwa tersebut, merupakan produk yang bermanfaat bagi lingkungan. Secara alami, pemangsaan akan menekan populasi yang berlebih dari suatu jenis di suatu wilayah ekologi tertentu (ADISOEMARTO, 1998). Hubungan antara hewan pemangsa dengan mangsanya merupakan sebuah wujud dari sistem dan mekanisme dalam pengendalian keseimbangan kehidupan di alam liar. Pemangsa berperan sebagai pengendali jenis hewan tertentu di dalam suatu lingkungan. Secara alamiah, proses pemangsaan akan menekan populasi dari suatu jenis hewan yang berlebihan. Jika hewan mangsa berlebihan, maka populasi hewan pemangsa akan bertambah besar dan jumlah hewan mangsa akan dikurangi. Jika jumlah pemangsa berlebihan, populasi mangsa akan menurun, sebagai akibatnya pemangsa pun akan menurunkan populasinya. Kehidupan burung pantai merupakan suatu indikator penting dalam pengkajian mutu dan produktivitas suatu lingkungan pantai, apalagi setelah diikrarkannya Konvensi Ramsar pada tahun 1971 (HOLMES et al., 2003). 1) UPT Loka Konservasi Biota Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Bitung. 1

2 Burung-burung pantai sangat bergantung pada ketersediaan hewan-hewan pantai yaitu ikan, krustasea, moluska, polikhaeta dan biota lainnya. Krustasea merupakan salah satu mangsa utama bagi burung pantai (GOSZTONYI & KUBA, 1998). Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana peran krustasea bagi kelangsungan hidup burung pantai demi keseimbangan ekosistem pantai. Tulisan ini akan mencoba membahas tentang kehidupan burung pantai, khususnya mengenai cara makan dan krustasea sebagai makanan utama burung pantai. BURUNG PANTAI Burung pantai diartikan sebagai sekelompok burung air yang secara ekologis bergantung pada kawasan pantai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Banyak burung pantai yang berkembang biak jauh di daerah daratan yang bukan merupakan daerah pantai, tetapi burung-burung tersebut sangat bergantung pada kawasan pantai. Burung pantai, dalam kehidupannya yaitu mencari makan, mencari pasangan, berkembang biak, membesarkan anak dan bersarang hampir semuanya dilakukan di daerah pantai (HOLMES et al., 2003). Salah satu burung pantai yang kehidupannya tergantung pada daerah pantai adalah burung Trinil Pantai (Actitis hypoleucos) dari famili Scolopacidae (Gambar 1). Gambar 1. Burung Trinil Pantai (Actitis hypoleucos), salah satu jenis burung pantai yang sedang mencari makan di daerah pantai (CROBY, 2001). 2

3 Dari 214 jenis burung pantai di dunia yang telah teridentifikasi, 65 jenis diantaranya ditemukan di Indonesia. Sampai saat ini belum ada peraturan khusus yang berkaitan dengan burung pantai di Indonesia. Dari 400 jenis burung yang dilindungi di Indonesia, hanya 9 jenis burung pantai. Usaha perlindungan terhadap kehidupan satwa liar, termasuk burung pantai diantaranya perdagangan satwa melalui CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Flora and Fauna) dan konvensi tentang biodiversitas yaitu CBD (Convension on Biological Diversity). Pada tahun 1991, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Ramsar tentang lahan basah yang berkaitan dengan habitat burung pantai. Indonesia turut serta dalam kesepakatan multilateral negara-negara di kawasan Asia dan Oseania, yaitu East Asian Australian Shorebird Site Network, yang setiap negara anggota diharuskan mengajukan lokasi-lokasi yang penting bagi persinggahan burung pantai (HOLMES et al., 2003). Kehadiran jenis burung pantai tertentu, pada umumnya disesuaikan dengan kesukaannya terhadap habitat. Meskipun tidak dapat dijadikan sebagai panduan utama, namun habitat dapat dijadikan sebagai panduan untuk membantu identifikasi terhadap jenis burung pantai tersebut. Sampai saat ini hampir setiap jenis burung pantai telah dapat dipetakan sebarannya, baik pada tingkat negara maupun tingkat geografis yang lebih sempit. Strategi Makan Burung Pantai Burung pantai berkumpul dalam jumlah yang besar di suatu kawasan pantai selama periode tidak berbiak. Kondisi ini akan mengakibatkan kompetisi, baik dalam hal makanan, tempat mencari makan maupun tempat beristirahat. Wilayah mencari makan burung pantai umumnya adalah daerah pasang surut, sehingga burung pantai hanya bisa mencari makan pada saat tertentu, yaitu pada saat air surut. Untuk mengatasi berbagai halangan yang ditimbulkan oleh keadaan tersebut, burung pantai memiliki strategi khususnya dalam mencari makan. Keberadaan pemangsa burung pantai, merupakan tantangan bagi burung pantai dalam mencari makan. Keberadaan pemangsa tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang surut dan suhu. Setiap burung pantai memiliki perilaku makan yang efisien, sehingga mereka dapat mencari dan memperoleh makanan yang cukup walaupun waktu yang terbatas (HOLMES et al., 2003). Kompetisi diantara burung pantai dalam mencari makan akan berkurang, karena adanya spesialisasi pada masing-masing burung pantai. Spesialisasi tersebut diwujudkan dalam bentuk penampakan karakter morfologi, yaitu bentuk dan ukuran paruh, bentuk dan ukuran kaki serta ukuran mata. Burung pantai mencari makan sesuai pada mintakat tanah dan jenis makanan pada suatu lokasi yang sama. Disamping itu, perbedaan morfologi antara jantan dengan betina pada jenis yang sama, juga mempengaruhi kompetisi dalam mencari makan. Beberapa kelompok burung pantai memiliki perilaku yang khas dan mencolok dalam mencari makan, sehingga mudah dikenali dan memudahkan proses identifikasi. Perbedaan perilaku tersebut pada dasarnya disebabkan karena adanya perbedaan ukuran dan bentuk paruh, kaki serta habitat dari masing-masing burung pantai tersebut. Burung pantai yang memiliki mata besar, makan dengan berdiri tegak sambil melihat-lihat mangsa berikutnya, berlari dan mematuk mangsanya. Burung pantai yang memiliki paruh lebih panjang, umumnya memiliki mata lebih kecil dan mencari makan dengan menusuk-nusukkan paruh ke dalam sedimen yang lembut (HOLMES et al., 2003). Beberapa burung pantai biasanya mencari makan di daerah pesisir pantai yang dangkal dan berlari cepat untuk mengejar mangsa yang bergerak cepat di perairan 3

4 tersebut. Burung pantai juga ada yang mencari makan dengan cara membalikkan batu atau serasah yang diduga sebagai tempat persembunyian mangsanya. Beberapa jenis burung pantai mencari makan dengan berenang, memutar-mutarkan tubuhnya di permukaan air, dan menangkap mangsanya dengan cara mengapung di air. Bahkan pada beberapa jenis burung pantai lainnya justru terbang berputarputar di sekitar daerah pasang surut dan segera menangkap mangsanya dengan cara terbang menukik ke arah mangsa tersebut (HOLMES et al., 2003). KRUSTASEA SEBAGAI MAKANAN BURUNG PANTAI Burung pantai cenderung berkumpul dan terkonsentrasi pada daerah yang paling menguntungkan, hal ini berkaitan dengan keberadaan mangsanya, yakni menyangkut ukuran, kerapatan dan posisi dari mangsanya serta kemungkinannya untuk menangkap (memakan) mangsanya. Mangsa yang berbeda, cenderung menempati habitat yang berbeda dan memiliki relung yang berbeda pula di daerah pasang surut. Kehadiran serta pergerakan mangsa, sangat dipengaruhi oleh kondisi dan siklus pasang surut yang terjadi di daerah tersebut (HOLMES et al., 2003). Keberadaan mangsa bagi burung pantai merupakan sesuatu yang harus terpenuhi setiap harinya, terutama pada saat-saat tertentu, yaitu pada musim migrasi maupun saat memijah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya persediaan mangsa akan berakibat pada kegagalan proses pendewasaan burung pantai yang masih muda. WANLESS et al. (2005) menunjukkan bahwa akibat kekurangan energi dari terbatasnya mangsa menyebabkan kegagalan proses pemijahan pada burung pantai Ammodytes marinus di Laut Utara. Burung pantai memangsa hampir semua fauna yang hidup di daerah pantai/pesisir, tetapi yang paling utama adalah fauna krustasea. Semua jenis krustasea bermanfaat sebagai mangsa burung pantai, jika dapat dicerna dan menghasilkan energi yang memadai per satuan waktu. Krustasea yang akan dimangsa oleh burung pantai biasanya memiliki daya penyamaran yang baik dan memiliki kemampuan bergerak cepat. Krustasea yang pergerakannya lambat, biasanya dilengkapi dengan pelindung tubuh yang lebih tebal dan kuat. Untuk jenisjenis krustasea yang mencari makan di bawah permukaan tanah, jarang muncul ke permukaan, memiliki kemampuan bergerak lebih lambat dan memiliki tubuh yang halus, serta kadang-kadang memanfaatkan cangkang gastropoda untuk melindungi tubuhnya, misalnya pada kumang Dardanus megistos (HOLMES et al., 2003). Krustasea yang hidup di kawasan pasang surut, telah mengalami penyesuaian diri (adaptasi) dan berkembang dengan baik untuk menghindarkan diri dari burung pantai. Beberapa jenis di antara krustasea tersebut, akan segera menguburkan diri ke dalam substrat pada saat burung pantai datang mendekat. Sementara beberapa jenis mangsa lainnya justru hanya akan berdiam diri untuk menghindari burung pantai, sampai waktu burung pantai tersebut meninggalkannya (HOLMES et al., 2003). Krustasea merupakan mangsa yang paling umum bagi burung pantai selama musim tidak berbiak (HOLMES et al., 2003). Analisis isi perut burung Phalacrocorax atriceps menunjukkan bahwa jenis mangsa yang dimakan oleh burung tersebut, 56% adalah berupa krustasea (GOSZTONYI & KUBA, 1998). Namun kasus yang ditunjukkan oleh PUNTA et al. (1993), menunjukkan bahwa mangsa terbanyak yang dimakan oleh Phalacrocorax albiventer di Bahia Bustamante dan Puerto Melo, Brasil adalah jenis ikan. Meski terdapat banyak jenis krustasea di daerah pasang surut, namun hanya sebagian kecil yang dapat dimangsa burung pantai. Krustasea yang tidak dapat dimangsa umumnya memiliki karapas yang kuat, memiliki alat 4

5 perlindungan diri, misalnya capit yang kuat atau permukaan tubuh yang terdapat banyak duri. Selain itu juga karena kemampuan adaptasi yang baik, mampu berlari cepat, atau berlindung di balik cangkang, serta mengubur diri dalam substrat. Saat permukaan air berubah akibat pasang surut, maka aktifitas dan kehadiran kepiting juga akan berubah. Beberapa jenis krustasea yang paling banyak dikonsumsi oleh burung pantai adalah jenis-jenis dari Decapoda (Scopimera sp., Macrophthalmus sp., Uca sp., Ocypode sp., Portunus sp., Penaeus sp., Callianassa sp., dan Corophium sp.), Stomatopoda (Oratosquilla sp.) serta Amphipoda (Gammarus sp.). Di samping itu, jenis-jenis krustasea yang dikonsumsi lainnya adalah tergantung dari jenis burung pantai yang memangsanya (HOLMES et al., 2003). Uca sp. (Brachyura, Decapoda) Portunus sp. (Brachyura, Decapoda) Gammarus sp. (Amphipoda) Oratosquilla sp. (Stomatopoda) Panulirus sp. (Macrura, Decapoda) Penaeus sp. (Macrura, Decapoda) Gambar 2. Beberapa jenis krustasea yang umum menjadi mangsa bagi burung pantai di daerah pasang surut. 5

6 Hasil penelitian terhadap analisis isi perut yang dilakukan oleh GOSZTONYI & KUBA (1998), memberi gambaran bahwa terdapat 56% krustasea yang dalam perut burung Phalacrocorax atriceps terdiri dari Isopoda (5,7%), Amphipoda (4,7%), Caridea (15,5%), Brachyura (15,5%), Stomatopoda (2,4%), Campylonotus sp. (1,6%), Munida sp. (6,5%) dan jenis krustasea yang tak teridentifikasi (7,3%). Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan BLABER & WASSERBURG (1989), yaitu dengan melihat riwayat hidup burung tersebut berdasarkan analisis otolith. Tingkat kemudahan penangkapan krustasea oleh burung pantai, juga disebabkan adanya perbedaan ukuran tubuh krustasea. Kepiting dengan ukuran tubuh lebih besar lebih sulit ditangkap burung pantai, karena dapat menggali lebih dalam. Kepiting yang lebih kecil lebih mudah ditangkap oleh burung pantai, karena masih bisa dijangkau paruh burung pantai tersebut. Mangsa yang dimakan oleh burung pantai sangat bergantung pada jenis dan ukuran burungnya. Semakin besar ukuran tubuh burung pantai, semakin besar pula ukuran mangsanya. Untuk memantau perubahan musiman atau harian dari kehadiran mangsa di dekat atau di permukaan sedimen, adalah dengan menggunakan teknik tertentu, terutama bagi kepiting penggali. Teknik tersebut yakni dengan membuat pembatas dari kayu atau bambu berukuran 1 m 2, kemudian diletakkan di atas sedimen. Jumlah kepiting yang ada di permukaan sedimen tersebut dihitung, baik dengan jumlah yang akurat maupun dengan jumlah perkiraan. Perhitungan tersebut dapat dilakukan setiap 15 menit pada interval sebelum, selama atau setelah air surut. HUBUNGAN BIOMASSA KRUSTASEA DENGAN SUMBER ENERGI BURUNG PANTAI Salah satu fungsi ekologis penting dari burung pantai adalah sebagai indikator kualitas lingkungan pantai. Hal itu berkaitan erat dengan posisi burung pantai dalam jaring-jaring makanan, karena sebagian dari burung pantai menduduki puncak piramida makanan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan linier antara luasan hutan mangrove, produktivitas primer, kelimpahan krustasea, serta burung pantai. Kelimpahan krustasea cenderung terkonsentrasi pada daerah dengan kondisi hara yang berlimpah, biasanya dibentuk dari guguran seresah dan kotoran burung pantai. Burung pantai sebagai pemangsa krustasea, juga memiliki kecenderungan berkonsentrasi pada habitat yang tersedia makanan dalam jumlah berlimpah. Dengan korelasi ini, dapat ditunjukkan bahwa di lokasi ditemukan burung air dalam jumlah melimpah, hampir dapat dipastikan bahwa krustasea juga dalam keadaan yang melimpah (NOOR, 2004). Biomassa adalah bobot dari organisme hidup yang ditemukan di suatu wilayah dengan ukuran tertentu, misalnya dalam 1 meter persegi sedimen, dalam satuan gram per berat kering bebas abu per meter persegi (Ash-free Dry Weight per Square Meter g ADW.m 2 ). Data biomassa krustasea di tempat burung pantai mencari makan perlu diketahui, karena merupakan sumber energi utama bagi burung pantai, terutama bagi burung-burung pantai migran. Biomassa dalam berat kering merupakan jasad organik organisme, tanpa kandungan air, tanpa sedimen dalam perut, tanpa kandungan kapur dan garam. Pengukuran biomassa suatu organisme dapat dilakukan dengan pembakaran atau pemanasan pada suhu tinggi, dengan menggunakan oven sampai suhu 540 o C selama 2-4 jam (HOLMES et al., 2003). 6

7 Dengan pengukuran biomassa, memungkinkan dilakukan kalkulasi kerapatan rata-rata dan penyebaran krustasea di suatu wilayah. Selanjutnya, dapat diketahui potensi rata-rata energi yang tersedia di unit wilayah tersebut. Pada akhirnya, hal ini dapat dikaitkan dengan penyebaran dan konsentrasi sebaran burung pantai. Untuk beberapa lokasi tertentu, pengukuran biomassa memungkinkan untuk mengkalkulasi nilai kepentingan jenis-jenis krustasea tertentu bagi burung pantai (dalam kaitannya dengan kelimpahan dan biomassa), dibandingkan dengan lokasi lain, atau dibandingkan dengan jenis krustasea lain di lokasi yang sama. Hasil dari pengukuran ini dapat dikaitkan dengan usaha konservasi dan perlindungan lokasi yang dianggap penting di suatu daerah tertentu (HOLMES et al., 2003). Jika pengukuran biomassa krustasea dilakukan secara berkala, misalnya setiap bulan, dan kemudian dihubungkan dengan studi yang lebih rinci mengenai pengukuran mangsa, penggantian populasi dan pengkajian pemangsaan oleh burung pantai, maka dapat dikalkulasi produksi biomassa tahunan dalam suatu areal dan memberikan informasi mengenai sejarah hidup dari krustasea tertentu. Jika dilakukan pengukuran ukuran tubuh masingmasing krustasea, maka dapat dikalkulasikan biomassa dari rata-rata ukuran krustasea tersebut, dengan menggunakan faktor pembetulan (correction factor) dapat mengkalkulasi biomassa krustasea yang telah diketahui ukurannya. Hasil pengukuran biomassa kemudian dapat dikonversikan dalam kilo joule (kj) (1 g ADW setara 22 kj), biasanya digunakan untuk mengkalkulasi faktor-faktor lainnya, seperti penggunaan energi (energy intake) dari burung yang diamati (HOLMES et al. 2003). DAFTAR PUSTAKA ADISOEMARTO, S Pengelolaan Satwa Nusantara suatu Gagasan demi Peningkatan Mutu Kehidupan Bangsa. Dalam: Sumberdaya Alam sebagai Modal dalam Pembangunan Berkelanjutan. LIPI Jakarta. Pembangunan Berkelanjutan: BLABER, S.B.R. and T.J. WASSERBURG Feeding Ecology of the Piscivovous Birds Phalacrocorax varius, Phalacrocorax melanoleucus and Sterna bergii in Moreton Bay, Australia: Diets and Dependance on Trawler Discards. Mar. Biol. 101: CROBY, M.J Saving Asia s Threatened Birds, a Guide for a Government and Civil Society. Birdlife International: 43 pp. GOSZTONYI, A.E. and L. KUBA Fishes in the Diet of The Imperial Cormorant Phalacrocorax atriceps at Punta Lobería Chubut, Argentina. Marine Ornithology 26 : HOLMES, J.; D. BAKEWELL and Y.R. NOOR Panduan Studi Burung Pantai. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor: 327 pp. NOOR, Y. R Paparan Nilai Penting Cagar Alam Pulau Dua, Teluk Banten sebagai Kawasan Berbiak Burung Air, disertai panduan pengenalan jenis burung air. Seri Selamatkan Lingkungan Teluk Banten. Wetlands International Indonesia Programme, Bogor: 70 hal. 7

8 PUNTA, G.E.; J.R.C. SARAVIA and P.M. YORIO The Diet and Foraging Behaviour of two Patagonian Cormorants. Mar. Orn. 21: WANLESS, S.; M.P. HARRIS; P. REDMAN and J.R. SPEAKMAN Low Energy Values of Fish as a Probable cause of a Major Seabird Breeding Failure in the North Sea. Mar. Ecol. Prog. Series. 294:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Burung Pantai Menurut Mackinnon et al. (2000) dan Sukmantoro et al. (2007) klasifikasi burung pantai adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Fillum : Chordata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya hayati perairan laut merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar 17.000 pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau menjadikan Indonesia berpotensi memiliki keanekaragaman habitat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi

Lebih terperinci

I. Pengantar. A. Latar Belakang

I. Pengantar. A. Latar Belakang I. Pengantar A. Latar Belakang Secara geografis, Raja Ampat berada pada koordinat 2 o 25 Lintang Utara hingga 4 o 25 Lintang Selatan dan 130 132 55 Bujur Timur (Wikipedia, 2011). Secara geoekonomis dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang secara geografis memiliki daerah pesisir yang sangat panjang. Di sepanjang daerah tersebut hidup beranekaragam biota laut (Jati dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indramayu merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang mempunyai potensi perikanan dan kelautan yang cukup tinggi. Wilayah pesisir Indramayu mempunyai panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk kedalam negara kepulauan yang memiliki garis

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk kedalam negara kepulauan yang memiliki garis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia termasuk kedalam negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia. Panjang garis pantai

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah perairan, perairan tersebut berupa laut, sungai, rawa, dan estuari. Pertemuan antara laut dengan sungai disebut dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara mega-biodiversity dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara mega-biodiversity dengan tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara mega-biodiversity dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, ditandai dengan ekosistem, jenis dalam ekosistem, dan plasma nutfah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pantai Nanganiki merupakan salah satu pantai yang terletak di Desa

BAB 1 PENDAHULUAN. Pantai Nanganiki merupakan salah satu pantai yang terletak di Desa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pantai Nanganiki merupakan salah satu pantai yang terletak di Desa Ne otonda Kecamatan Kotabaru Kabupaten Ende. Keindahan Pantai Nanganiki dapat dinikmati sebagai objek

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat 17 TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Burung Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai hampir di setiap tempat. Jenisnya sangat beranekaragam dan masingmasing jenis memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

V PEMBAHASAN UMUM Kesesuaian Habitat Burung Air

V PEMBAHASAN UMUM Kesesuaian Habitat Burung Air 121 V PEMBAHASAN UMUM Kesesuaian Habitat Burung Air Banyaknya spesies burung air yang ditemukan sangat didukung oleh tersedianya habitat lahan basah yang bervariasi. Hasil analisis spasial menunjukkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai keanekaragaman burung yang tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan jumlah burung yang tercatat di

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perairan Indonesia merupakan perairan yang sangat unik karena memiliki keanekaragaman Cetacea (paus, lumba-lumba dan dugong) yang tinggi. Lebih dari sepertiga jenis paus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove yang ada di Indonesia makin lama makin berkurang akibat perubahan bentuk menjadi kawasan pemukiman, pertanian maupun tambak atau mendapat tekanan yang besar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada segitiga terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, sekitar 17.508 buah pulau yang membentang sepanjang 5.120 km dari timur ke barat sepanjang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri. Ekosistem pesisir dan laut

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri. Ekosistem pesisir dan laut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, mempunyai nilai ekologis dan nilai ekonomis yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan wilayah perairan yang memiliki luas sekitar 78%, sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Menurut

Lebih terperinci

Oleh. Firmansyah Gusasi

Oleh. Firmansyah Gusasi ANALISIS FUNGSI EKOLOGI HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menempuh Ujian Sarjana Pendidikan Biologi Pada Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

LAMUN: KEHIDUPAN, PEMANFAATAN DAN PELESTARIANNYA

LAMUN: KEHIDUPAN, PEMANFAATAN DAN PELESTARIANNYA LAMUN: KEHIDUPAN, PEMANFAATAN DAN PELESTARIANNYA Lamun adalah tumbuhan berbunga (Spermato phyta) yang telah menyesuaikan diri untuk hidup sepenuhnya terbenam di dalam laut. Seperti tumbuhan darat umumnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan mangrove mencapai 2 km. Tumbuhan yang dapat dijumpai adalah dari jenis Rhizopora spp., Sonaeratia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari pulau dengan luasan km 2 yang terletak antara daratan Asia

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari pulau dengan luasan km 2 yang terletak antara daratan Asia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km 2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau berbintil yang termasuk dalam filum echinodermata. Holothuroidea biasa disebut timun laut (sea cucumber),

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan I. PENDAHULUAN Mangrove adalah tumbuhan yang khas berada di air payau pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya laut yang menimpah baik dari

BAB I PENDAHULUAN km. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya laut yang menimpah baik dari BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terdiri dari 17,508 buah pulau yang besar dan yang kecil secara keseluruhan memiliki panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Daerah-daerah yang menjadi lokasi peneluran di Indonesia umumnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air laut baik. Mangrove juga memiliki keunikan tersendiri dibandingkan lain, keunikannya diantaranya

Lebih terperinci

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid. TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan masyarakat tumbuhan atau hutan yang beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki peranan penting dan manfaat yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993).

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumber daya pesisir

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik (perairan)

Lebih terperinci