ANALISA VEGETASI TINGKAT PANCANG DAN TIANG PADA HUTAN SEKUNDER DI KAMPUS POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA
|
|
- Deddy Susman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 ANALISA VEGETASI TINGKAT PANCANG DAN TIANG PADA HUTAN SEKUNDER DI KAMPUS POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA Oleh : MARTINI NENENG MATARAU NIM PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA S A M A R I N D A 2012
2 ANALISA VEGETASI TINGKAT PANCANG DAN TIANG PADA HUTAN SEKUNDER DI KAMPUS POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA Oleh : MARTINI NENENG MATARAU NIM Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Sebutan Ahli Madya pada Program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA S A M A R I N D A 2012
3 ANALISA VEGETASI TINGKAT PANCANG DAN TIANG PADA HUTAN SEKUNDER DI KAMPUS POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA Oleh : MARTINI NENENG MATARAU NIM Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Sebutan Ahli Madya pada Program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA S A M A R I N D A 2012
4 HALAMAN PENGESAHAN Judul Karya Ilmiah : Analisa Vegetasi Tingkat Pancang dan Tiang Pada Hutan Sekunder Di Politeknik Pertanian Negeri Samarinda Nama : Martini Neneng Matarau NIM : Program Studi : Manajemen Hutan Jurusan : Manajemen Pertanian Pembimbing Penguji I Penguji II Ir. Suparjo,MP NIP Ir. Hasanudin,MP NIP Rudi Djatmiko,S.Hut,MP NIP Meyetujui Ketua Program Studi ManajemenHutan Mengesahkan Ketua Jurusan Manajemen Pertanian Ir. M. Fadjeri, MP NIP Ir. Hasanudin, MP NIP
5 ABSTRAK MARTINI NENENG MATARAU. Analisa Vegetasi Tingkat Pancang dan Tiang Pada Hutan Sekunder Di Kampus Politeknik Pertanian Negeri Samarinda (di bawah bimbingan Suparjo). Analisa vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk suatu kondisi hutan yang luas, maka kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan sampling, artinya kita cukup menempatkan beberapa petak contoh yang memuat sub plot untuk mewakili habitat tersebut. Dalam sampling ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu jumlah petak contoh, cara peletakan petak contoh dan teknik analisa vegetasi yang digunakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi dan keragaman jenis vegetasi tingkat pancang dan tingkat tiang di hutan sekunder Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Pengamatan ini dilaksanakan di Hutan Sekunder Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Waktu penelitian selama 2 bulan di mulai dari tanggal 21 Mei Juli Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode plot tunggal. Dimana ukuran plot penelitian tersebut adalah 40m x 40m (1600 m²). Didalam plot pengamatan terdapat sub plot pengamatan dengan ukuran 10m x 10m untuk pengamatan tingkat Tiang, dan dalam sub plot ukuran 10m x 10m terdapat sub plot dengan ukuran 5m x 5m untuk pengamatan tingkat pancang. Adapun dasar penentuan luas plot 40m x 40m tidak ditentukan berdasar kurva spesies area untuk menentukan luas minimum sampling, tapi merujuk pada hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh Sihombing (1994) yang melakukan analisis vegetasi pada hutan sekunder bekas terbakar di Lempake menggunakan luas sampling 0,16 ha (40 x 40 m). Dari hasil perhitungan Nilai Penting Jenis pada tingkat Pancang dan tiang dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Permudaan tingkat pancang dengan Nilai Penting Jenis (NPJ) terbesar di duduki oleh jenis Hevea braziliensis (NPJ = 88,54%), selanjutnya diikuti oleh jenis Artocarpous, sp (NPJ = 68,29%), NPJ 79,83% untuk jenis Tabernae montana,sp, yang terakhir di duduki oleh jenis Maranthes corymbosa BI (NPJ = 63,32%). 2. Permudaan tingkat tiang dengan Nilai Penting Jenis terbesar adalah jenis Hevea braziliensis (NPJ = 121,75%), sedangkan pada urutan kedua di duduki oleh jenis Artocarpus,sp (82,67%). Kata Kunci : Analisa Vegetasi
6 RIWAYAT HIDUP Martini Neneng Matarau. Lahir pada tanggal 18 April 1989 di Desa Baopukang, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Petrus Sugi Matarau dan Ibu Magdalena Halina. Pendidikan SD dimulai dari Sekolah Dasar Negeri 062 Nunukan pada tahun 1997 lulus pada tahun Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Nunukan lulus pada tahun Pada tahun yang sama melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan Nunukan dan memperoleh ijasah pada tahun Pendidikan tinggi pada tahun 2008 di Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, Program Studi Manajemen Hutan, Jurusan Manajemen Pertanian. Tanggal 7 Maret 2012 sampai dengan 7 Mei 2012 mengikuti Praktek Kerja Lapang di PT. Wana Adiprima Mandiri Kabupaten Malinau.
7 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah ini tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Penyelesaian Karya Ilmiah ini banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Keluarga yang telah memberikan dukungan dan doa kepada Penulis 2. Ir. Suparjo, MP selaku Dosen Pembimbing Karya Ilmiah yang mengarahkan penulis mulai dari persiapan sampai penyusunan karya ilmiah. 3. Bapak Ir. Hasanudin,MP selaku dosen penguji I dan Bapak Rudy Djatmiko.S.Hut.Mp selaku dosen penguji II, yang telah banyak memberikan masukan dan pengarahan guna menyelesaikan Karya Ilmiah ini. 4. Bapak Ir. Hasanudin, MP selaku Ketua Jurusan Manajemen Pertanian. 5. Bapak Ir.M. Fadjeri, MP selaku Ketua Program Studi Manajemen Hutan. 6. Rekan rekan mahasiswa yang telah banyak membantu dalam menyelelesaikan karya ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Karya Ilmiah ini masih banyak terdapat kekurangan kekurangan sehingga Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan Karya Ilmiah ini, harapan Penulis Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin. Kampus Sei Keledang Juni 2012 Penulis
8 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... V DAFTAR ISI... VI DAFTAR TABEL... VII DAFTAR GAMBAR... VIII DAFTAR LAMPIRAN... IX ABSTRAK... X I. PENDAHULUAN... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 A. Pengertian Hutan... 3 B. Uraian Umum Tentang Hutan Sekunder... 4 C. Permudaan Tingkat Tiang dan Pancang... 7 D. Metode Pengambilan Contoh... 8 E. Analisa Vegetasi... 9 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian B. Alat dan Bahan Penelitian C. Prosedur Kerja D. Pengolahan Data IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil B. Pembahasan V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 22
9 DAFTAR TABEL Nomor Tubuh Utama Halaman 1 Tally Sheey Pengamatan Hasil Perhitungan Nilai Penting Jenis (NPJ) Permudaan Tingkat Pancang, yang disusun berdasarkan 6 jenis yang Mendominasi Hasil Perhitungan Nilai Penting Jenis (NPJ) Permudaan Tingkat Tiang, yang disusun berdasarkan 4 jenis yang Mendominasi Lampiran 1 Gambar Tata letak plot dan sub plot pengamatan Tabel Distribusi Tingkat Pancang Tabel Distribusi Tingkat Tiang Data Hasil Perhitungan Vegetasi tingkat pancang di Lapangan Data Hasil Perhitungan Vegetasi tingkat Tiang di Lapangan Tabel Data Perhitungan LBD Tingkat Pancang Tabel Data Perhitungan LBD Tingkat Tiang... 36
10 DAFTAR GAMBAR Nomor Lampiran Halaman 1 Gambar 2. Contoh Pengukuran Diameter Vegetasi Tingkat Pancang Dan Tiang Gambar 3. Contoh Pengukuran Diameter Vegetasi Tingkat Tiang Gambar 4. Contoh Pengukuran Diameter Vegetasi Tingkat Tiang Gambar 5. Contoh Pengukuran Diameter Vegetasi Tingkat Tiang... 38
11 BAB I PENDAHULUAN Hutan sebagai sumber daya perlu dipertahankan, dibina dan dikelola agar diperoleh keseimbangan alam dan keserasian lingkungan hidup. Selain itu, pengelolaan sumber daya hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar mukin bagi kemakmuran bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut maka upaya pengelolaan hutan perlu ditingkatkan. Hutan tersusun oleh berbagai komponen makhluk hidup antara lain, tumbuhan, hewan dan termasuk di dalamnya manusia. Dalam dunia ilmu pengetahuna tumbuhan termasuk ke dalam kelompok vegetasi. Vegetasi penyusun ekosistem hutan berbeda-beda tegantung letaknya secara geografi. Sebagai contoh vegetasi penyusun hutan di daerah tropis akan berbeda dengan vegetasi penyusun hutan di daerah empat musim. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa vegetasi penyusun hutan sangat dipengaruhi oleh tipe hutan yang bersangkutan. Selain itu jenis vegetasi penyusun tegakan hutan mengalami fase-fase pertumbuhan, diantaranya fase semai, fase pancang, fase tiang dan fase pohon. Di hutan alam ada kecenderungan bahwa pase semai cenderung melimpah keberadaannya jika dibandingkan fase pancang, tiang dan pohon. Demikian pula fase pancang cenderung lebih melimpah jika dibandingkan dengan fase tiang dan pohon. Demikian seterusnya sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah individu per satuan luas cenderung mengalami penurunan seiring dengan meningkatkan umur vegetasi, karea terdapat individu yang mengalami kematian selama masa proses pertumbuhan dari semai menuju dewasa (pohon).
12 2 Untuk mengetahui komposisi jumlah dan jenis vegetasi pada suatu tempat diperlukan adanya kegiatan inventarisasi. Kegiatan inventarisasi memiliki tujuan yang berbeda-beda diantaranya untuk pengetahui potensi tegakan, untuk mengetahui biomassa dan untuk mengetahui komposisi jenis pada setian fase pertumbhuan tegakan atau sering disebut dengan Analisa Vegetasi. Analisa vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk suatu kondisi hutan yang luas, maka kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan sampling, artinya kita cukup menempatkan beberapa petak contoh yangmemuat sub plot untuk mewakili habitat tersebut. Dalam sampling ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu jumlah petak contoh, cara peletakan petak contoh dan teknik analisa vegetasi yang digunakan. Dari keterangan tersebut penulis melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui komposisi dan keragaman jenis vegetasi tingkat pancang dan tingkat tiang di hutan sekunder Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Sedangkan hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai komposis dan keragaman jenis yang terdapat di Hutan Sekunder Politeknikp Pertanian Negeri Samarinda.
13 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hutan Menurut Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Hutan merupakan suatu ekosistem yang dibentuk atau tersusun oleh berbagai komponen yang tidak bisa berdiri sendiri, tidak dapat dipisahpisahkan, bahkan saling mempengaruhi dan saling bergantung. Pendapat lain mendefinisikan Hutan sebagai lapangan yang ditumbuhi pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem (Kadri dkk., 1992). Soerianegara dan Indrawan (1982) mengemukakan Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohonpohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan diluar hutan. Sedangkan Arief (1994) menulis bahwa Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan di permukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis. Walaupun berbagai pendapat dikemukakan namun semuanya itu mengadung pengertian yang sama.
14 4 B. Uraian Umum Tentang Hutan Sekunder Luas hutan sekunder di Indonesia di perkirakan 23 juta hektar, sedangkan di Kalimantan Timur, luas hutan sekunder kurang lebih hektar dengan perincian sebagai berikut: hektar di luar kawasan hutan tetap, sedangkan hektar lagi berada dalam. (Abdullah, 1950 dalam Fadjeri, 1992). Umur vegetasi hutan sekunder biasanya pendek, seringkali pada umur 18 tahun dan hanya sedikit sekali yang bisa hidup sampai 30 tahun atau lebih. Jenis-jenis vegetasi hutan sekunder umumnya sangat membutuhkan cahaya dengan intensitas cahaya paling tidak 75% dalam satu hari penuh. Anakan takkan hidup di bawah naungan, pertumbuhan cepat pertambahan tinggi bisa mencapai empat meter/tahun dan pertambahan diameter mencapai 2-4 cm/tahun (Abdullah 1980 dalam Anonim 1992). Dan persentasi kematian dalam hutan sekunder lebih besar dibandingkan kematian di hutan primer (whitemore 1975). Lamprech 1982, yang dikutip Firdaus 1985 memberi gambaran mengenai sifat kehidupan jenis-jenis pada hutan sekunder sebagai berikut: 1. Umumnya menghasilkan jumlah biji sangat banyak dengan ukuran kecil. 2. Anakan tidak tahan terhadap naungan. 3. Selama hidup tetap memerlujan cahaya yang cukup. 4. Pertumbuhan cepat dan berumur pendek. 5. Umumnya struktur dan komposisi sederhana kurang didapat tajuk yang berukuran besar. Sesudah pengembangan di hutan tropis terbentuk hutan sekunder. Walaupun demikian ekosistem ini dijumpai juga di daerah-daerah hutan
15 5 musim, di dataran rendah dan perbukitan. Disamping itu hutan sekunder dapat juga terbentuk dari perkembangan hutan-hutan muda bekas ladang berpindah. (Wirakusumah, 1980). Richard (1964), mengemukakan bahwa tipe bahwa tipe vegetasi hutan sekunder akibat, perladangan atau tebang habis akan berbeda dengan tipe hutan vegetasi, hutan sekunder akibat penebangan dengan sistem tebang pilih. Tipe ini menurut Whitemore (1975) disebutkan tegakan sisa penebangan ( Depleted Forest ) yang komposisinya adalah jenis-jenis sekunder atau jenis-jenis primer dalam bentuk kelompok-kelompok. Tidak benar bahwa hutan sekunder tidak alami lagi, yang benar istilahnya adalah Hutan Alam Sekunder untuk membedakannya dari hutan alam primer Sifat-sifat hutan sekunder : 1. Komposisi dan struktur tidak saja tergantung tapak namun juga tergantung pada umur. 2. Tegakan muda berkomposisi dan struktur lebih seragam dibandingkan hutan aslinya. 3. Tidak berisi jenis niagawi. Jenis-jenis yang lunak dan ringan, tidak awet, kurus, tidak laku. 4. Persaingan ruangan dan sinar yang intensif sering membuat batang bengkok. Jenis-jenis cepat gerowong. 5. Riap awal besar, lambat laun mengecil. 6. Karena struktur, komposisi dan riapnya tidak akan pernah stabil, sulit merencanakan pemasaran hasilnya.
16 6 Definisi-definisi yang diberikan mengenai Hutan Sekunder dilihat dari ciri dan berbagai faktor pembentukannya adalah sebagai berikut : 1. Brown & Lugo (1990) Hutan-hutan sekunder terbentuk sebagai suatu konsekensi dari dampak manusia terhadap kawasan-kawasan hutan Hutan-hutan yang terbentuk sebagai suatu konsekensi dari pengaruh manusia, biasanya setelah adanya kegiatan pertanian di areal-areal hutan yang ditebang-habis, tidak termasuk disini. Dalam konteks ini, hutan-hutan sekunder merupakan suatu komponen penting dari perladangan berpindah. 2. Catterson (1994) Suatu bentuk hutan dalam proses suksesi yang mengkolonisasi arealareal yang sebelumnya rusak akibat sebab-sebab alami atau manusia, dan yang suksesinya tidak dipengaruhi oleh vegetasi asli disekitarnya karena luasnya areal yang rusak. Bentuk-bentuk formasi vegetasi berikut ini dapat terbentuk: lahan kosong / padang-padang rumput buatan / areal areal bekas-tebangan baru / areal-areal bekas tebangan yang lebih tua. 3. Corlett (1994) Ciri-ciri utama dari hutan-hutan sekunder adalah terjadinya interupsi dari penutupan hutan yang kontinyu, ketergantungan dari luar dalam pembentukan hutan kembali, dan kenyataan bahwa ciri-ciri ini dapat dikenali pada struktur dan/atau komposisi vegetasi hutan. Pendefinisian hutan-hutan sekunder seperti biasanya adalah suatu masalah bagaimana menarik garis batas didalam suatu selang/skala.
17 7 C. Permudaan Tingkat Tiang Dan Pancang Permudaan alam adalah suatu proses silvikultur yang segala sesuatunya diatur oleh alam itu sendiri. Namun tidak semua perubahan alam dari jenis alam dapat berhasil atau tumbuh dengan baik. Hal ini karena banyaknya kerusakan dan gangguan dari faktor alam lainnya yang berada di sekitanya. Diantaranya faktor linhkungan fisiologi, edafis, klimatis, fisiografis, dan biotis (Djiun, 1953 dalam Haidir, 1998). Terjadinya perubahan lingkungan hutan akan mengakibatkan kerusakan yang langsung terhadap masyarakat hutan sekunder, baik yang terjadi lambat maupun terjadi secara cepat. Komunitas masyarakat hutan sekunder terjadi perubahan dari hutan primer karena terbukanya tajuk yang relatif besar pada celah antara tajuk, sehingga dengan cepat kesempatan ini di tumbuhi oleh tumbuhan jenis pioneer (Bratawinata, 1982 dalam Haidir, 1998). Permudaan adalah proses timbulnya atau tumbuhnya generasi baru di hutan alam, semua aktivitas sepenuhnya ketergantungan pada alam, tidak dengan bantuan manusia untuk kehadiran permudaan di hutan alam (Bratawinata 1987). Menurut Indriyanto 2005) yang dimaksud dengan permudaan tingkat permudaan tingkat tiang adalah pohon yang berdiameter 20 cm sampai dengan 20 cm. Sedangkan tingkat pancang adalah permudaan dengan tinggi 1,5 meter sampai berdiameter batang kurang dari 10 cm.
18 8 D. Metode Pengambilan Contoh Pengambilan contoh dalam analisis komunitas tumbuhan dapat dilakuakan dalam metode plot (petak), metode jalur, ataupun metode kuadran (Indriyanto, 2006). 1. Metode Petak Metode Petak merupakan produk yang paling umum digunakan untuk pengambilan contoh berbagai tipe organisme termasuk komunitas tumbuhan. Petak yang digunakan dapat berbentuk segi empat, persegi, atau lingkaran. Disamping itu, untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan dapat digunakan petak tunggal atau petak ganda. a. Petak tunggal Di dalam metode petak tunggal, hanya dibuat satu petak contoh dengan ukuran tertentu yang mewakili suatu tegakan hutan atau suatu komunitas tumbuhan. Luas minimum petak contoh itu ditetapkan dengan dasar bahwa penambahan luas petak tidak menyebabkan kkenaikan jumlah spesies lebih dari 5% ( Indriyanto, 2006 ) b. Petak ganda Pengambilan contoh vegetasi pada metode petak ganda dilakukan dengan menggunakan banyak petak contoh yang letaknya tersebar merata pada areal yang dipelajari, dan peletakkan petak contoh sebaiknya secara sistematik. Ukuran setiap petak contoh disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan bentuk tumbuhannya. Menurut Kusmana ( 1997 ), ukuran petak contoh untuk pohon dewasa adalah 20 m x 20 m, fase tiang adalah 10 m x 10 m, fase pancang adalah 5m x 5 m, dan untuk fase
19 9 semai serta tumbuhan bawah menggunakan petak contoh berukuran 1 m x 1 m, atau 2 m x 2 m (Indriyanto, 2006). Gambar 1. Secara Acak Gambar 2. Secara Sistematis 2. Metode Jalur Metode jalur merupakan metode yang paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut kondisi tanah, topografi dan elevasi. Jalur-jalur contoh dibuat memotong garis kontur ( garis tinggi/garis topografi ) dan sejajar satu deengan yang lainnya. Pendekatan, cara itu untuk aplikasi dilapangan misalnya jalur-jalur contoh dibuat tegak lurus garis pantai, memotong sungai, atau naik/turun lereng gunung. Jumlah jalur contoh disesuaikan dengan intensitas samplingnya. Jalur contoh yang berukuran lebar 20 m dapat dibuat dengan intensitas sampling 2%-10% ( Soerianegara dan Indrawan, 1982 dalam Indriyanto, 2006). Berikut adalah gambar bentuk dan ukuran petak pengamatan serta peletakkannya pada setiap garis rintis.
20 10 B C A Arah rintis Gambar 3. Desain Petak Contoh Di Lapangan Dengan Metode Jalur ( Indriyanto, 2006 ) Keterangan : Jalur A : lebar 20 m dengan petak-petak berukuran 20m x 20m untuk pengamatan pohon. Jalur B : lebar 10 m dengan petak-petakberukuran 10m x 10m untuk pengamatan poles dan sampling. Jalur C : lebar 2 m dengan petak-petak berukuran 2m x 2m atau 2m x 5m untuk pengamatan seedling dan tumbuhan bawah. Pada metode jalur semua parameter kuantitatif dapat dihitung dengan menggunakan rumus-rumus seperti yang telah diuraikan. 3. Metode Garis Berpetak Metode ini dianggap sebagai modifikasi dari metode petak ganda atau metode jalur, yaitu dengan cara melompati satu atau lebih petak dalam jalur, sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama.
21 11 Berikut adalah gambar bentuk dan ukuran ukuran petak pengamatan serta peletakannya pada setiap garis rintis. A C arah rintis B Gambar 4. Desain Petak Contoh Di Lapangan Dengan Metode Garis Berpetak ( Indriyanto, 2006 ). Keterangan : Petak A : petak berukuran 20m x 20m untuk pengamatan pohon Petak B : petak berukuran 10m x 10m untuk pengamatan tingkat poles Petak C : petak berukuran 5m x 5m pengamatan sampling Petak D : petak berukuran 2m x 2m untuk pengamatan seedling dan tumbuhan bawah 4. Metode Kombinasi Metode kombinasi yang dimaksudkan adalah kombinasi antara metode jalur dan garis berpetak. Di dalam metode tersebut, risalah pohon dilakukan dengan metode jalur, yaitu pada jalur-jalur yang lebarnya 20m, sedangkan untuk fase pemudaan ( fase poles, sapling, dan seedling ), serta tumbuhan bawah digunakan metode garis berpetak. Berikut adalah gambar bentuk dan ukuran petak pengamatan serta peletakkan pada setiap garis rintis.
22 12 A D C B Arah Rintis Gambar 5. Desain Petak Contoh Di Lapangan Dengan Metode Kombinasi ( Indriyanto, 2006 ) Keterangan : Petak A : Petak berukuran 20m x 20m untuk pengamatan pohon. Petak B : Petak berukuran 10m x 10m untuk pengamatan poles. Petak C : Petak berukuran 5m x 5m untuk pengamatan sapling. Petak D : Petak berukuran 2m x 2m untuk pengamatan seedling dan tumbuhan bawah. 5. Metode Kuadran Metode Kuadran umumnya dipergunakan untuk pengambilan contoh vegetasi tumbuhan jika hanya vegetasi fase pohon yang menjadi objek kajiannya. Metode itu mudah dikerjakan, dan lebih cepat jika akan dipergunakan untuk mengetahui komposisi jenis, tingkat dominansi, dan menaksir volume pohon. Syarat penerapan metode kuadran adalah distribusi pohon yang akan diteliti harus acak. Metode ini kurang tepat dipergunakan bila populsi pohon berdistribusi mengelompok ataupun seragam (Sugianto, 1994 dalam Indriyanto, 2006 ). Metode kuadran atau metode titik pusat kuadran merupakan metode sampling tanpa petak contoh yang dapat dilakukan secara efisien karena dalam pelaksanaannya dilapangan tidak memerlukan waktu lama dan mudah di kerjakan ( Kusmana 1997 dalam Indriyanto, 2006 ).
23 13 Didalam metode kuadran, pada setiap titik pengukuran dibuat garis absis dan ordinat khayalan, sehingga pada setiap titik pengukuran terdapat empat buah kuadran. Pilih satu pohon disetiap kuadran yang letakknya paling dekat dengan titik pengukuran dan ukur jarak dari masing-masing pohon ke titik pengukuran. Perlu diperhatikan bahwa pengukuran dimensi pohon hanya dilakukan terhadap keempat pohon yang terpilih pada tiap-tiap kuadran. d1 d4 d5 d8 arah rintis d2 d3 d6 d7 Gambar 6. Desain Titik Pengukuran Dan Letak Pohon Yang Diukur Dengan Metode Kuadran ( Indriyanto, 2006 ).
24 14 E. Analisa Vegetasi Analisa vegetasi adalah cara mempelajari susunan ( komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan untuk suatu kondisi hutan yang luas, maka kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan sampling, artinya kita cukup menempatkan beberapa petak contoh untuk mewakili habitat tersebut. Pertak tunggal merupakan salah satu cara yang umum digunakan dalam analisa vegetasi. Dalam cara ini hanya di pelajari satu petak contoh yang mewakili tegakan. Ukuran minimum dari suatu petak tunggal tergantung dari kerapatan tegakan dan jumlah jenis yang ada. Makin jarang tegakannya atau makin banyak jenisnya, makin besar ukuran petak tunggal yang digunakan ( Oosting 1958, Soerianegara dan Indrawan 1876 dalam Djatmiko 1994 ).
25 15 A. Waktu Dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kampus Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Waktu penelitian selama 2 bulan dimulai dari tanggal 21 Mei Juli 2012, meliputi orientasi lapangan, penulisan proposal, persiapan alat dan bahan, pengamatan dan pengambilan data, pengolahan data dan penyusunan laporan penelitian. B. Alat dan Bahan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam pengamatan ini adalah sebagai berikut: a) Alat tulis menulis b) Kalkulator untuk menghitung dalam pengolahan data c) Kamera untuk dokumentasi d) Parang e) Meteran dengan ukuran 50m f) Buku tally sheet g) Phiband Bahan yang digunakan dalam pengamatan ini adalah vegetasi permudaan alam tingkat Pancang dan Tiang.
26 16 C. Prosedur Kerja Prodesur pengamatan ini meliputi tahap-tahap sebagai berikut: 1. Studi Pustaka Pelaksanaan pengamatan diawali dengan studi pustaka yang bertujuan untuk mendapatkan sumber-sumber dan data penunjang pengamatan. 2. Orentasi Lapangan Orientasi lapangan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara langsung letak dan kondisi areal hutan yang akan diamati/diteliti dengan pertimbangan antara lain: a) Menempatkan plot sedapat mungkin pada areal yang dianggap baik/cocok yang bias menggambarkan kondisi hutan setempat. b) Karena titik berat penelitian ini berhubungan dengan keragaman jenis, maka diusahakan menempatkan plot terletak pada areal yang dianggap kaya akan jenis. 3. Pembuatan Plot Pengamatan Pembuatan plot pengamatan dimulai dengan membuat batas plot tunggal seluas 40m x 40m pada areal yang sudah dipilih dalam orientasi lapangan. Plot tersebut dibagi dalam 16 sub plot dengan ukuran 10 x 10m untuk pengamatan tingkat tiang. Dalam sub plot ukuran 10 x10m dibuat sub plot dengan ukuran 5 x5m untuk pengamatan tingkat sapih (pancang). Adapun dasar penentuan luas plot 40m x 40m tidak ditentukan berdasar kurva spesies area untuk menentukan luas minimum sampling, tapi merujuk pada hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh Sihombing (1994) yang
27 17 melakukan analisis vegetasi pada hutan sekunder bekas terbakar di Lempake menggunakan luas sampling 0,16 ha (40 x 40 m). 4. Pengambilan data Data yang diambil dalam pengamatan ini adalah sebagai berikut: a) Tingkat Pancang/sapih 1. Jenis 2. Jumlah individu 3. Kehadiran (Frekuensi) 4. Diameter b) Tingkat Tiang 1. Jenis 2. Jumlah individu 3. Kehadiran 4. Diameter batang 5. Identifikasi Jenis Untuk identifikasi jenis bagi jenis yang sudah diketahui maka akan langsung dilakukan pencatatan jenis pada lokasi pengamatan. Sedangkan untuk jenis yang belum diketahui di lapangan maka di ambil sebagai sempel herbarium dan di bawa ke Laboratorium Dendrologi Politeknik Pertanian Negeri Samarinda untuk diamati atau diidentifikasi.
28 18 6. Pengamatan Melakukan pengamatan pada plot yang telah dibagi dalam 16 sub plot. Pengamatan ini dilakukan dengan menggunakan tally sheet sebagai berikut: Tabel 1. Tally sheet pengamatan tingkat Pancang dan Tiang Nomor Jenis/Spesies Diameter( Ø) Sub Plot Individu 5. Pengambilan Gambar Melakukan pengambilan gambar terhadap kondisi obyek pengamatan D. Pengolahan Data Data hasil pengukuran di lapangan diolah sedemikian rupa sehingga diketahui informasi mengenai jumlah individu, kehadiran (frekuensi), bidang dasar dan Nilai penting jenis. Berikut dicantumkan rumus-rumus untuk mengetahui beberapa parameter yang berhubungan dengan pengolahan data. 1. Luas bidang dasar Luas bidang dasar adalah besarnya luas penampang batang pohon. Luas bidang dasar per pohon dirumuskan sebagai berikut: LBD = ¼.!. "²
29 19 Dimana: D = diameter batang! = Konstanta (3,1415) 2. Permudaan tingkat pancang dan tiang. Dari data hasil pengukuran vegetasi permudaan tingkat sapihan yang meliputi jenis, jumlah individu, kehadiran dan diameter diolah dengan menggunakan pola perhitungan NPJ. Nilai penting jenis (NPJ) yang didapat dengan menggunakan rumus seperti dikemukakan oleh Curtis dan Cottam (1964) sebagai berikut: NPJ% = FR % + KR% + DR% Dimana FR (%) = J$%&'( )*+,$+-./ 0'*/.'1$ 2+-/. J$%&'( )*+,$+-./.+&$*$( 2+-/. x 100% KR (%) = J$%&'( /-0/3/0$.$'1$ 2+-/. J$%&'( /-0/3/0$.+&$*$( 2+-/. x 100% DR (%) = J$%&'( 4/0'-5 0'.'*.$'1$ 2+-/. J$%&'( 4/0'-5 0'.'*.+&$*$( 2+-/. x 100% Keterangan: NPJ = Nilai Penting Jenis KR = Kerapatan Relatif FR = Frekuensi Relatif DR = Dominasi Relatif
30 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Dari data hasil pengamatan yang dilakukan dilapangan, maka datadata tersebut dihitung dan diolah sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dimana data-data ini memberikan informasi mengenai Frekuensi Tiap Jenis, kehadiran tiap jenis pada sub plot pengamatan, Basal Areal, Frekuensi Relatif, Kerapatan Relatif, Dominansi Relatif dan Nilai Penting Jenis (NPJ). Data-data yang diambil dilapangan disajikan dalam tabel-tabel berikut: 1. Hasil Pengamatan Permudaan Tingkat Sapihan Tabel.2 Nilai Penting Jenis (NPJ) Permudaan Tingkat Pancang. No Jenis F N BA FR KR DR M² % % % NPJ 1 Artocarpus, sp Aquilaria malaccensis Hevea braziliensis Marantes corymbosa BI Milletia spendidissima Blume Jenis C Sedangkan untuk pengamatan tingkat Tiang memiliki hasil sebagai berikut: Tabel.3 Nilai Penting Jenis (NPJ) Permudaan Tingkat Tiang. No Jenis F N BA FR KR DR M² % % % 1 Artocarpus,sp Hevea braziliensis Maranthes corymbosa BI Tabernae montana,sp NPJ
31 21 B. Pembahasan 1. Distribusi jenis tumbuhan permudaan tingkat pancang Distribusi tingkat pancang memperlihatkan bahwa jumlah individu dan kehadiran terkonsentrasi pada jenis Hevea braziliensis yaitu 21 individu dan 12 frekuensi, sedangkan urutan kedua terkonsentrasi pada jenis Artocarpus,sp 16 individu dan Frekuensi 9. Sedangkan untuk jenisjenis yang lain memiliki kehadiran dan Frekuensi dalam jumlah kecil. Terkonsentrasinya jumlah individu dan kehadiran tersebut dimungkinkan oleh tinggi daya hidup serta habitat yang cocok bagi pertumbuhan jenijenis tersebut pada areal penelitian, dimana faktor lingkungan tidak membatasi kelangsungan hidupnya (Djatmiko 1994). 2. Distribusi jenis tumbuhan permudaan tingkat tiang Distribusi tingkat tiang yang disajikan dalam Tabel 3 memperlihatkan bahwa jumlah individu yang mendominasi atau kehadiran terkonsentrasi pada jenis Hevea braziliensis yaitu 21 individu dan hadir di 11 plot. Pada tingkat konsentrasi kedua didominasi oleh jenis Artocarpus,sp dengan 14 individu dan 9 kehadiran. Sedangkan untuk urutan selanjutnya didominasi oleh jenis Maranthes corymbosa BI dan Tabernae montana,sp masing-masing 8 individu serta 14 dan 15 untuk masing-masing kehadiran pada sub plot pengamatan. Pada sub plot pengamatan yang telah dibuat dan di teliti terdapat juga jenis-jenis tanaman lain yang tumbuh. Dimana jenis tanaman ini memberikan warna pada lantai hutan sekunder. Jenis-jenis yang tidak diteliti ini juga akan mendominasi keberadaannya pada lantai hutan. Namun membutuhkan waktu tumbuh yang lama karna kondisi hutan
32 22 sekunder yang ditumbuhi oleh berbagai macam tumbuh-tumbuhan sehingga dalam hal memperoleh unsur hara, sinar matahari akan sangat sulit.
33 23 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil perhitungan Nilai Penting Jenis pada tingkat Pancang dan tiang distribusi vegetasi masing-masing fase pertumbuhan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Permudaan tingkat pancang dengan Nilai Penting Jenis (NPJ) terbesar di duduki oleh jenis Hevea braziliensis (NPJ = 88,54%), selanjutnya diikuti oleh jenis Artocarpous, sp (NPJ = 68,29%), NPJ 79,83% untuk jenis Tabernae montana,sp, yang terakhir di duduki oleh jenis Maranthes corymbosa BI (NPJ = 63,32%). 2. Permudaan tingkat tiang dengan Nilai Penting Jenis terbesar adalah jenis Hevea braziliensis (NPJ = 121,75%), sedangkan pada urutan kedua di duduki oleh jenis Artocarpus,sp (82,67%). B. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian serupa khususnya pada tingkat semai dan pohon. Hal ini untuk mengetahui penyebaran semai terbanyak dan dapat memperoleh informasi pohon yang dapat dijadikan pohon induk pada lahan Hutan Sekunder Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. 2. Perlunya penanganan khusus untuk Lokasi Hutan Sekunder pada Lahan Kampus Politeknik Pertanian Negeri Samarinda untuk kepentingan Penelitian, Praktek Perkuliahan dan sebagai Lahan Percontohan Hutan Sekunder.
34 24 DAFTAR PUSTAKA Ande, M Bagaimana Mempelajari Analisa Vegetasi. Diunduh pada Tanggal 2 juli Andre Diunduh pada Tanggal 3 Juli Dedy Diunduh pada Tanggal 3 juli Indriyanto Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Angsara. Jakarta. Michael, M Ekologi Umum. Jakarta: Universitas Indonesia. Diunduh pada Tanggal 3 juli Simanung Diunduh pada Tanggal 3 juli Swanarno, H Pengantar Ilmu Lingkungan. Malang: Universitas Muhammadyah. Diunduh pada Tanggal 3 juli Wahyu, I Diunduh pada Tanggal 3 juli 2012.
35 28 Lampiran 1. Gambar 1. Tata Letak Plot dan Sub Plot Pengamatan 10x10m 10x10m 10x10m 10x10m 5x5 5x5 5x5 5x5 m m m m 10x10m 10x10m 10x10m 10x10m 5x5 m 5x5 m 5x5 m 5x5 m 10x10m 10x10m 10x10m 10x10m 5x5 5x5 5x5 5x5 m m m m 10x10m 10x10m 10x10m 10x10m 5x5 5x5 5x5 5x5 m m m m Keterangan: Luas plot 40m x 40m (1600 m 2 ) Petak 5m x 5m untuk pengamatan (pengukuran) vegetasi tingkat pancang Petak 10m x 10m untuk pengamatan (pengukuran) tingkat tiang
36 29 Lampiran 2. Distribusi Tingkat Pancang dan Tiang Tabel 2. Distribusi Tingkat Pancang No Jenis F N BA FR KR DR M² % % % NPJ 1 Artocarpus, sp Aquilaria malaccensis Hevea braziliensis Marantes corymbosa BI Milletia spendidissima Blume Jenis C Tabel 3. Distribusi Tingkat Tiang BA FR KR DR No Jenis F N M² % % % 1 Artocarpus,sp Hevea braziliensis Maranthes corymbosa BI Tabernae montana,sp NPJ
37 30 Lampiran 4. Pengukuran Tingkat Pancang Tabel 4. Data Pengukuran Vegetasi Tingkat Pancang. Sub Plot I II III IV V VI VII VIII IX X No Jenis Individu Diameter Ø 1 Hevea braziliensis Hevea braziliensis Marantes corymbosa BI Marantes corymbosa BI Milletia spendidissima blume 7 1 Artocarpus,sp Hevea braziliensis Hevea braziliensis 6 4 Marantes corymbosa BI Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis Jenis C 6 1 Aquilaria malaccensis Artocarpus,sp Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis Marantes corymbosa BI Marantes corymbosa BI Artocarpus,sp Artocarpus,sp Artocarpus,sp Hevea braziliensis Milletia spendidissima blume Artocarpus,sp 7 2 Jenis C Milletia spendidissima blume Milletia spendidissima blume Artocarpus,sp Artocarpus,sp Artocarpus,sp Hevea braziliensis Artocarpus,sp Hevea braziliensis 5 3 Hevea braziliensis 4.4
38 31 Tabel 4. Lanjutan XI XII XIII XIV XV XVI 1 Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis Marantes corymbosa BI Hevea braziliensis Milletia spendidissima blume Milletia spendidissima blume Aquilaria malaccensis Artocarpus,sp Hevea braziliensis Hevea braziliensis Artocarpus,sp Artocarpus,sp Milletia spendidissima blume 5 4 Milletia spendidissima blume Artocarpus,sp Artocarpus,sp Artocarpus,sp 9 1 Hevea braziliensis Jenis C 7 3 Jenis C 8.1
39 32 Lampiran 5. Pengukuran Tingkat Tiang Tabel 5. Data Hasil Pengukuran Vegetasi Tingkat Tiang. Sub Plot I II III IV V VI VII VIII No Individu Jenis Diameter 1 Tabernae montana,sp Tabernae montana,sp Tabernae montana,sp Hevea braziliensis Hevea braziliensis Artocarpus,sp Artocarpus,sp Maranthes corymbosa BI Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis 13 2 Artocarpus,sp Hevea braziliensis Maranthes corymbosa BI Tabernae montana,sp 19 2 Maranthes corymbosa BI Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis Maranthes corymbosa BI Hevea braziliensis Hevea braziliensis Maranthes corymbosa BI Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis Tabernae montana,sp Maranthes corymbosa BI Maranthes corymbosa BI 16.8 Ø
40 33 Tabel 5. Lanjutan 3 Artocarpus,sp Artocarpus,sp 16.8 IX 2 Artocarpus,sp Artocarpus,sp 19 4 Tabernae montana,sp Tabernae montana,sp Hevea braziliensis Tabernae montana,sp 14.3 X 3 Tabernae montana,sp Artocarpus,sp Artocarpus,sp Maranthes corymbosa BI 14 XI 2 Maranthes corymbosa BI Maranthes corymbosa BI Artocarpus,sp 18.7 XII 1 Hevea braziliensis Tabernae montana,sp Maranthes corymbosa BI 15.1 XIII 2 Tabernae montana,sp Tabernae montana,sp Maranthes corymbosa BI Maranthes corymbosa BI 17.5 XVI 3 Maranthes corymbosa BI Artocarpus,sp Hevea braziliensis Hevea braziliensis 13.6 XV 1 Hevea braziliensis Tabernae montana,sp Tabernae montana,sp 12.4 XIV 3 Artocarpus,sp Artocarpus,sp Maranthes corymbosa BI 16.7
41 34 Lampiran 6 Tabel 6. Data Perhitungan LBD Tingkat Pancang Sub Plot I II III IV V VI VII VIII IX X No Jenis Individu Diameter Ø Luas Bidang Dasar (M²) 1 Hevea braziliensis Hevea braziliensis Marantes corymbosa BI Marantes corymbosa BI Milletia spendidissima blume Artocarpus,sp Hevea braziliensis Hevea braziliensis Marantes corymbosa BI Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis Jenis C Aquilaria malaccensis Hevea braziliensis Artocarpus,sp Hevea braziliensis Hevea braziliensis Marantes corymbosa BI Marantes corymbosa BI Artocarpus,sp Artocarpus,sp Artocarpus,sp Hevea braziliensis Milletia spendidissima blume Artocarpus,sp Artocarpus,sp Milletia spendidissima blume Jenis C Artocarpus,sp Artocarpus,sp Artocarpus,sp Hevea braziliensis Artocarpus,sp Hevea braziliensis Hevea braziliensis
42 35 Tabel 6. Lanjutan XI XII XIII XIV XV XVI 1 Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis Marantes corymbosa BI Hevea braziliensis Milletia spendidissima blume Milletia spendidissima blume Aquilaria malaccensis Artocarpus,sp Hevea braziliensis Hevea braziliensis Artocarpus,sp Artocarpus,sp Milletia spendidissima blume Milletia spendidissima blume Artocarpus,sp Artocarpus,sp Artocarpus,sp Hevea braziliensis Jenis C Jenis C
43 36 Lampiran 7. Tabel 7. Data Hasil Perhitungan Luas Bidang Dasar (LBD) Tingkat Tiang. No Sub Plot Individu I II III IV V VI VII VIII Jenis Diameter Ø Luas Bidang Dasar M² 1 Artocarpus,sp Hevea braziliensis Hevea braziliensis Tabernae montana,sp Tabernae montana,sp Tabernae montana,sp Artocarpus,sp Maranthes corymbosa BI Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis Artocarpus,sp Hevea braziliensis Maranthes corymbosa BI Tabernae montana,sp Maranthes corymbosa BI Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis Maranthes corymbosa BI Hevea braziliensis Hevea braziliensis Maranthes corymbosa BI Hevea braziliensis Hevea braziliensis Hevea braziliensis Tabernae montana,sp Maranthes corymbosa BI Maranthes corymbosa BI Artocarpus,sp
44 37 Tabel 7. Lanjutan 1 Artocarpus,sp Artocarpus,sp IX 3 Artocarpus,sp Tabernae montana,sp Tabernae montana,sp Hevea braziliensis Tabernae montana,sp X 3 Tabernae montana,sp Artocarpus,sp Artocarpus,sp Maranthes corymbosa BI XI 2 Maranthes corymbosa BI Maranthes corymbosa BI Artocarpus,sp XII 1 Hevea braziliensis Tabernae montana,sp Maranthes corymbosa BI XIII 2 Tabernae montana,sp Tabernae montana,sp Maranthes corymbosa BI Maranthes corymbosa BI XVI 3 Maranthes corymbosa BI Artocarpus,sp Hevea braziliensis Hevea braziliensis XV 1 Hevea braziliensis Tabernae montana,sp Tabernae montana,sp XIV 3 Artocarpus,sp Artocarpus,sp Maranthes corymbosa BI
45 38 Lampiran Gambar-gambar Pengambilan Data DiLapangan Gambar 2. Contoh pengukuran Diameter Gambar 3. Contoh pengukuran Diameter Tingkat Tiang
46 39 Gambar 4. Contoh pengukuran Diameter Tingkat Tiang Gambar 5. Contoh pengukuran Diameter Tingkat Pancang
III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,
16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa
19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal
Lebih terperinciBAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi
BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan
Lebih terperinciPenelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.
IV. METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur. Waktu penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. B.
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek
Lebih terperinciProses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian
4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang
Lebih terperinciGambar 2 Peta lokasi penelitian.
0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman
Lebih terperinciMETODOLOGI PENELITIAN
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu
Lebih terperinciKERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM
KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul
III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Pada bulan September 2013 sampai dengan Oktober 2013. B. Alat
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura
12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan
Lebih terperinciMETODOLOGI. Lokasi dan Waktu
METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis
Lebih terperinciBAB III METODELOGI PENELITIAN. Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016.
BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Hutan Bambu tepatnya di Kawasan Ekowisata Boon Pring Desa Sanankerto Kecamatan Turen Kabupaten Malang, Provinsi Jawa
Lebih terperinciAnalisis Vegetasi Hutan Alam
Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian
Lebih terperinciBAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Buana Sakti dan sekitarnya pada bulan November -- Desember 2011. B. Objek dan Alat Penelitian Objek pengamatan
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan
14 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan kiri Jalan Sanggi-Bengkunat km 30 - km 32, Pesisir Barat, Taman Nasional
Lebih terperinciKOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM
KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di Blok Perlindungan Tahura Wan Abdul
12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Blok Perlindungan Tahura Wan Abdul Rachman. Penelitian ini telah dilakukan pada September 2013 sampai dengan
Lebih terperinci3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi
12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi
18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan
23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan ini mengunakan metode petak. Metode petak merupakan metode yang paling umum
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Penengahan, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan pada
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian
19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Lebih terperinciSTRUKTUR VEGETASI. Boy Andreas Marpaung / DKK-002
STRUKTUR VEGETASI Boy Andreas Marpaung / DKK-002 andre.marp@yahoo.com Pemahaman tentang struktur vegetasi penting dalam kegiatan penelitian ekologi hutan. Kesalahan identifikasi struktur akan menyebabkan
Lebih terperinciB III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.
B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada
Lebih terperinciANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT
ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN
Lebih terperinciDINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.
KARYA TULIS DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 1961 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m. Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk
34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk jarak tanam 3 m x 3 m terdapat 3 plot dengan jumlah
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Desa Pesawaran Indah ini merupakan salah satu desa yang semua penduduknya
19 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pesawaran Indah, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran. Lokasi ini dipilih secara sengaja dikarenakan
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Blok Koleksi Tanaman Tahura Wan Abdul Rachman. Penelitian ini dilaksanakan pada Februari 2012 sampai dengan Maret 2012.
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan
Lebih terperinci4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Di kawasan hutan terdapat komunitas tumbuhan yang
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja
Lebih terperinciBaharinawati W.Hastanti 2
Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan eberadaan Pohon Inti dan ondisi Permudaannya (Studi asus di Areal IUPHH PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua) 1 Baharinawati W.Hastanti 2 BP Manokwari
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Denpasar, Maret 2016 Kepala Balai, Ir. S y a f r i, MM NIP
KATA PENGANTAR Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan pelaksanaan kegiatan Inventarisasi Biogeofisik di Wilayah
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,
Lebih terperinciStruktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi
Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam Muhdi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropika yang
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di blok pemanfaatan kawasan hutan pendidikan
III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di blok pemanfaatan kawasan hutan pendidikan USU Tahura Desa Tongkoh Kecamatan Dolat Rayat Kabupaten Karo Provinsi
Lebih terperinciBAB III. METODE PENELITIAN
BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar
Lebih terperinciPENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.
PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI GUNUNG ASEUPAN Dalam Rangka Konservasi Dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode belt transek. Metode ini sangat cocok digunakan untuk mempelajari suatu kelompok
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal hutan kerangas yang berada dalam kawasan Hak Pengusahaan Hutan PT. Wana Inti Kahuripan Intiga, PT. Austral Byna, dan dalam
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan
10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. rekreasi alam, yang mempunyai fungsi sebagai: Kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan.
TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran
Lebih terperinciAsrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak
Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi
Lebih terperinciINVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH
INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH Oleh/by MUHAMMAD HELMI Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.
BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Propinsi Sumatera Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember
Lebih terperinciPENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO
1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli
` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
Lebih terperinciKESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pohon dilakukan di PT. MAM, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua. Penelitian ini dilaksanakan pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi atau pengertian tentang hutan menurut Dengler (1930) dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon atau tumbuhan berkayu lainya
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi :
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutaan Institut
Lebih terperinciPANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN
PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN TFT 2018 Document Prepared by: The Forest Trust Jl. Dr.Wahidin No 42 Semarang, Jawa Tengah Indonesia Ph +62 24 8509798 1 PENGANTAR DEFINISI Sungai adalah alur atau wadah air
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup dalam kehidupannya memiliki lingkungan kehidupan yang asli atau tempat tinggal yang khas untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik
Lebih terperinciANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT
ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem
Lebih terperinciLokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian
Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk
5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam
Lebih terperinciProfil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE
BAB II METODE A. Waktu Pelaksanaan Kajian profil keanekaragaman hayati dan dan kerusakan tutupan lahan di kawasan Gunung Aseupan dilaksanakan selama 60 hari kerja, yaitu tanggal 2 Juni s/d 31 Juli 2014.
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
Lebih terperinciANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI
ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PE ELITIA
10 III. METODOLOGI PE ELITIA 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK PT. DRT, Riau. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu tahap pertama pengambilan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).
I. PENDAHULUAN Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan hewan yang hidup di lapisan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan
Lebih terperinciBAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN
BB III BHN DN METODE PENELITIN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013. Tempat penelitian di Desa Brondong, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan analisis
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif dengan metode
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif dengan metode ObservasiPartisipatif Plot Sampling dan Transect-walkSystematicSampling yang dikombinasikan dengan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu bulan di blok Krecek, Resort Bandialit, SPTN wilayah II, Balai Besar Taman
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di
Lebih terperinciII. METODOLOGI. A. Metode survei
II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan
Lebih terperinciEkologi Padang Alang-alang
Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)
Lebih terperinciSUKSESI AUTEKOLOGI. Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya.
SUKSESI SUKSESI EKOLOGI AUTEKOLOGI SYNEKOLOGI Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya. Synekologi adalah ilmu yang mempelajari struktur,
Lebih terperinci