HASIL LITBANG2015 LAPORAN TAHUNAN BUKU II PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL LITBANG2015 LAPORAN TAHUNAN BUKU II PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN"

Transkripsi

1 HASIL LITBANG2015 LAPORAN TAHUNAN BUKU II PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BOGOR, 2015

2 Hasil Litbang 2015 Puslitbang Hasil Hutan Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jln. Gunung Batu 5 Bogor, Tlp. : (0251) , Fax. : (0251) info@pustekolah.org publikasi@pustekolah.org Website : Puslitbang Hasil Hutan 2015 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, termasuk fotocopy, microfilm dan cetak, tanpa izin penyusun dan penerbit.

3 HASIL LITBANG 2015 LAPORAN TAHUNAN BUKU II PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BOGOR, 2015

4 KATA PENGANTAR Hasil penelitian dan pengembangan (litbang) merupakan salah satu output penting dari sebuah institusi litbang. Oleh karena itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH) berupaya untuk menyusun hasil litbang dalam bentuk Buku Hasil Litbang P3HH 2015 sebagai media diseminasi dan distribusi informasi kepada para pengguna terkait hasil-hasil penelitian sepanjang tahun Buku ini berisi ringkasan yang informative terkait hasil penelitian yang telah dikerjakan oleh para peneliti P3HH. Penyusunan buku ini diharapkan dapat menjadi salah satu sarana efektif untuk para pengguna dan pengambil kebijakan dalam mengambil data dan informasi sebagai dasar kebijakan berdasarkan hasil penelitian bidang keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan yang terkait. Kepada para peneliti dan seluruh pihak kami sampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi yang tinggi atas kerjasama dan kontribusinya dalam penyusunan buku ini. Bogor, Desember 2015 Kepala Pusat, Dr. Ir. Dwi Sudharto, M.Si NIP iii

5 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... Halaman RPPI 7. REVITALISASI PEMANFAATAN HASIL HUTAN PASCA PANEN UNTUK ENERGI, PANGAN DAN OBAT-OBATAN ALTERNATIF DARI HUTAN 1. Teknik Pemanfaatan Resin dan Getah untuk Biocosmetik dan 1 Biomedicine Teknik Pengolahan HHBK sebagai Bahan Pangan Teknik Pengolahan Biomethanol dari Bahan Berlignoselulosa Teknik Pengolahan Bioetanol dari Bahan Berlignoselulosa Teknik Pengolahan Bio-oil dari Bahan Berlignoselulosa RPPI 8. PENGOLAHAN HASIL HUTAN 1. Paleobotani Fosil Tumbuhan Hutan Tropis Teknik Pengolahan dan Diversifikasi Produk Serat dan Partikel Bambu Inovasi Teknik Pengolahan Rotan Formulasi Perekat Nabati dari Kulit Kayu Formulasi Bahan Impregnan dan Finishing Kayu RPPI 9. TEKNIK PEMANENAN HUTAN 1. Regionalisasi Faktor Eksploitasi Hutan Alam 77 iii v v

6 Program : Litbang Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Judul RPPI : 7 Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen Untuk Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Koordinator RPPI : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si Judul Kegiatan : 1 Teknik Pemanfaatan Resin dan Getah untuk Biocosmetik dan Biomedicine Pelaksana Kegiatan : Ir. Totok.K. Waluyo, M.Si; Gunawan Pasaribu, S.Hut, M.Si; Dr. Ina Winarni, S.Hut, M.Si; Novitri Hastuti, S.Hut, M.Sc; Esa Pangersa Gusti, S.Hut Abstrak Hasil hutan bukan kayu (HHBK) potensinya cukup besar dan perlu dimanfaatkan dan dikembangkan yang mana hingga saat ini belum banyak tersentuh. Beberapa jenis HHBK potensial antara lain tumbuhan obat, resin dan getah. Tujuan penelitian untuk mendapatkan informasi kandungan senyawa aktif 10 (sepuluh) jenis tumbuhan obat hutan asal Kalimantan, karakterisasi getah jelutung, gaharu dan kemenyan untuk biomedicine dan biocosmetic. Metode yang digunakan adalah ekstraksi, uji fitokimia, toksisitas. Hasil penelitian 10 jenis tumbuhan berpotensi sebagai obat ternyata diketahui 10 jenis tumbuhan tersebut berpotensi sebagai antikanker dan 7 diantaranya juga berpotensi sebagai antibakteri, antivirus, antiinflamasi, antialergi, antikanker dan antioksidan. Getah jelutung mempunyai sifat dan komposisi kimia sama dengan getah karet alam hanya berbeda kadarnya seperti kadar protein. Getah jelutung mempunyai kadar protein sangat rendah dibanding getah karet alam sehingga dalam penyimpanan dan pengolahan tidak menimbulkan aroma bau/busuk seperti getah karet alam. Komposisi kimia gaharu kamedangan hasil budidaya dan alam sebagian besar mengandung senyawa seskuiterpena berupa turunannya. Senyawa tersebut merupakan salah satu penciri gaharu selain senyawa turunan khromon. Komponen utama kemenyan adalah asam balsamat/sinamat. Selain senyawa tersebut, kemenyan mengandung senyawa benzoic acid, trans cinnamic acid, benzyl cinnammate, vanillin, cinnamyl cinnamate. Kata kunci: Tumbuhan obat, getah jelutung, gaharu, kemenyan, Ekstraksi 1

7 A. Latar Belakang RINGKASAN Hasil hutan bukan kayu (HHBK) cukup banyak jenisnya dan beragam bentuknya (resin, getah, daun, kayu, dan lain-lain). Berdasarkan Permenhut No: P.35/Menhut-II/2007, yaitu terdapat 9 kelompok yang terdiri dari 557 spesies tumbuhan dan hewan. Manfaat hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan memberikan sumbangan 80% dibanding kayu 20%, namun hingga saat ini potensi HHBK tersebut belum dimanfaatkan secara optimal (Permenhut No. P.19/Menhut-II/2009). Produk HHBK pada umumnya masih dalam bentuk bahan baku (raw materials) seperti resin, daun kering, getah, serpihan atau kayu utuh, akar, buah, dan lain-lain. Tumbuhan yang berpotensi sebagai obat hanya berdasarkan etnobotany, sama halnya dengan pemanfaatan getah jelutung, gaharu dan kemenyan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik HHBK khususnya tanaman obat, getah jelutung, gaharu dan kemenyan. Dengan diketahui karakteristik tersebut diharapkan upaya pemanfaatan lebih lanjut sebagai bahan baku biocosmetic dan biomedicine. B. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan a. Mendapatkan informasi kandungan senyawa aktif 10 (sepuluh) jenis tumbuhan obat hutan asal Kalimantan. b. Karakterisasi resin dari getah jelutung dan gaharu sebagai bahan biomedicine. c. Karakterisasi kemenyan sebagai bahan biocosmetic. 2. Sasaran Tersedianya data dan informasi senyawa aktif tumbuhan obat hutan asal Kalimantan, sifat-sifat resin dari getah jelutung dan gaharu serta kemenyan. C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Kegiatan pengumpulan bahan penelitian berupa tumbuhan hutan dan getah jelutung dilakukan di Kalimantan Tengah, gaharu dari NTB dan kemenyan dari Sumatera Utara. Selanjutnya dilakukan ekstraksi bahan dan uji sifat serta karakterisasi bahan penelitian di Bogor dan Bandung. Lokasi studi banding tanaman obat dilakukan di Tawangmangu dan Pemalang, Jawa Tengah. 2

8 2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah 10 jenis tumbuhan hutan yang berpotensi sebagai obat, getah jelutung, sampel kayu gaharu jenis Gyrinops (3 kualitas) dan kemenyan. Gaharu Bahan kimia yang diperlukan aseton, etanol, metanol, kloroform, heksana, KOH, MgSO 4, HCl, dietilmeter, NaHCO 3 dan NaOH. Alat yang digunakan adalah soxhlet, rotary vacuum evaporator, erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, buret, kompor gas, spatula, ekstraktor, magnetic stirrer, penyaring, timbangan, termometer dan GCMS. 3. Prosedur Kerja a. Tumbuhan obat 1). Penyiapan bahan Bahan penelitian berupa bagian tumbuhan/pohon yang berkhasiat obat (kulit, buah, daun, akar) dikumpulkan masing-masing sebanyak 2 kg. Bagian pohon berkhasiat obat tadi selanjutnya dikeringkan dengan oven pada suhu ± 50 0 C. Data sekunder berupa informasi etnobotani dilakukan ketika pengumpulan bahan di lapangan. 2). Ekstraksi Bagian pohon/tumbuhan berkhasiat obat digiling/dihaluskan menggunakan hammer mill atau blender dan disaring untuk menghasilkan serbuk mesh. Kemudian serbuk diekstraksi secara maserasi (perendaman) dengan metanol. Ekstrak kemudian disaring dan dipekatkan dengan rotary vacum evaporator. 3). Uji fitokimia Uji fitokimia terdiri dari uji alkaloid, uji saponin, uji flavonoid, uji triterpenoid atau steroid, uji tanin dan uji hidroquino. 4). Pengujian toksisitas Pengujian toksisitas dilakukan dengan menggunakan metode BSLT (brime shrimp lethality test). Telur udang Artemisia salina Leach. ditetaskan dalam air laut dengan bantuan lampu TL, kemudian larva udang yang telah menetas dan berusia kurang lebih 48 jam, dimasukkan ke dalam sampel yang dibuat dalam 3 (tiga) konsentrasi berbeda dengan menggunakan pelarut air laut. Kemudian jumlah larva udang yang mati dan yang masih hidup di hitung kemudian digunakan untuk menentukan tingkat toksisitasnya (Lethal concentration/lc 50). 5). Analisis komponen kimia Analisis kimia dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas spektrofotometri massa (GCMS). b. Analisis sifat getah jelutung 1). Analisis sifat getah jelutung adalah kadar air (%), kadar abu (%), kadar kotoran (%), kadar nitrogen (%) dan kadar ekstrak aseton (%). Metode analisis untuk kadar air, kadar abu, kadar kotoran dan kadar nitrogen 3

9 menggunakan metode berdasarkan Standar Nasional Indonesia Rubber (SNI & SNI 7942:2013), sedangkan kadar ekstrak aseton menggunakan ASTM D (Standard Test Methods for Rubber Ptroducts-Chemical Analysis). 2). Uji spektrum infra merah getah jelutung Getah jelutung dianalisis dengan menggunakan FTIR (Fourier transform infrared spectroscopy) 3). Komponen kimia resin jelutung Resin hasil ekstraksi dengan menggunakan pelarut aseton dianalisis komponen kimia dengan menggunakan alat GC-MS. c. Gaharu 1). Ekstraksi gaharu dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan alat soxhlet dan maserasi. Semua cara tersebut menggunakan empat pelarut (metanol, aseton, khloroform dan heksana). Rendemen resin (kadar resin) untuk setiap metode ekstraksi dan pelarut dihitung. 2). Analisis komponen kimia Masing-masing resin hasil ekstraksi (soxhlet dan maserasi) dengan menggunakan empat pelarut (metanol, aseton, khloroform dan heksana) dianalisis komponen kimia dengan menggunakan alat GC-MS. d. Kemanyan 1). Kemenyan jenis toba dan durame dianalisa sifat-sifatnya meliputi warna, kadar air, kadar kotoran, kadar abu, titik lunak dan kadar asam sinamat (SNI 7940:2013). 2). Ekstraksi Ekstraksi resin kemenyan toba dan durame menggunakan pelarut aseton, metanol, khloroform dan heksana. Cara ekstraksi menggunakan soxhlet selama 6 jam. 3). Analisis komponen kimia Ekstrak resin kemenyan dianalisis kandungan komponen kimianya menggunakan GC-MS guna mengetahui komposisi senyawa sehingga dapat diketahui senyawa target bahan baku parfum. 4. Analisis data a. Tumbuhan obat Analisis dilakukan secara kualitatif dan deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabulasi. b. Getah jelutung Uji sifat-sifat getah jelutung (kadar air, kadar abu, kadar kotoran, kadar nitrogen dan ekstrak aseton/kadar resin) merupakan hasil rata-rata dari tiga kali pengujian. Sedangkan hasil analisis GC-MS berupa khromatogram diamati dan ditabulasi senyawa-senyawa yang terkandung dalam resin dari getah jelutung. 4

10 c. Gaharu Kadar resin hasil dua cara ekstraksi dengan menggunakan empat pelarut merupakan hasil rata-rata dari tiga ulangan. Sedangkan hasil analisis GC- MS berupa khromatogram diamati dan ditabulasi senyawa-senyawa yang terkandung dalam resin gaharu. d. Kemenyan Analisa data sifat fisikokimia dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan hasil penelitian dengan acuan standar yang berlaku (SNI). Analisa kandungan komponen kimia dimaksudkan untuk mengetahui indikasi adanya pengaruh pelarut organik terhadap kadar kandungan komponen kimia target. D. Hasil yang dicapai A. Tumbuhan Obat 1. Identifikasi jenis dan rendemen ekstrak Hasil identifikasi jenis sampel herbarium yang dilakukan oleh Bagian Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) disajikan pada Tabel 1. Rendemen ekstrak tertinggi adalah jenis belawan dan puri (31,50% dan 31,25%), sedangkan terendah ekstrak jenis akar kuning daun besar dan pasak bumi (5,82% dan 6,21%). Hal ini mengindikasikan bahwa rendemen ekstrak rendah terdapat pada bagian akar atau batang. Tabel 1. Hasil identifikasi dan rendemen ekstrak jenis tumbuhan obat No Nama daerah Jenis Rendemen ekstrak (%) 1 Kenanga Cananga odorata (Lam) Hook.f. & Thomson 10,10 2 Rambai Ziziphus horsfieldii Miq. Kuwung 8,22 3 Akar kuning Fibraurea tinctoria Lour. daun besar 5,82 4 Bangang Tabernaemontana sphaerocarpa Blume 6,79 5 Kaloan Vitex pinnata L. 7,31 6 Kajak Dillenia excelsa (Jack) Martelli ex Gilg. 22,77 7 Tapisi Elaeocarpus glaber Blume 12,65 8 Puri Mitragyna speciosa (Korth.) Havil. 31,25 9 Belawan Tristaniopsis obovata (Benn.) Peter G. Wilson & J.T. Waterh. 31,50 10 Pasak bumi Eurycoma longifolia Jack 6,21 5

11 2. Uji fitokima Hasil uji fitokimia 10 jenis ekstrak tumbuhan obat disajikan pada Tabel 2. Analisis fitokimia merupakan salah satu cara skrining awal untuk mengetahui kandungan kelompok senyawa secara kualitatif yang merupakan senyawa metabolit sekunder dari suatu bahan alam. Tumbuhan banyak mengandung bahan hasil metabolisme sekunder yang berguna untuk bahan obat seperti golongan alkaloid, terpenoid, flavonoid, dan lain-lain (Harborne, 1987; Tiwari et al., 2011). Senyawa golongan flavonoid adalah kelompok senyawa polyphenol yang secara alami banyak terdapat pada buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji, bunga, daun, kulit pohon, dan lain-lain. Manfaat senyawa flavonoid antara lain sebagai antibakteri, antivirus, antiinflamasi, antialergi, antikanker, antioksidan, dan lain-lain (Cook et al., 1996). Berdasarkan hasil uji fitokimia, terdapat 7 jenis tumbuhan obat yang mengandung kelompok senyawa flavonoid yang mempunyai potensi manfaat seperti tersebut di atas adalah Cananga odorata (Lam) Hook.f. & Thomson; Ziziphus horsfieldii Miq.; Vitex pinnata L.; Dillenia excelsa (Jack) Martelli ex Gilg.; Mitragyna speciosa (Korth.) Havil.; Tristaniopsis obovata (Benn.) Peter G. Wilson & J.T. Waterh. Dan Eurycoma longifolia Jack. Kelompok senyawa triterpenoid terdiri dari lebih senyawa, bermanfaat untuk antiinflamasi, hepatoprotektif, analgesik, antimikroba, dan lain-lain (Dzubak, et.al., 2006). Dengan demikian terdapat 5 jenis tumbuhan obat yang mempunyai potensi manfaat seperti di atas yaitu Cananga odorata (Lam) Hook.f. & Thomson.; Fibraurea tinctoria Lour.; Dillenia excelsa (Jack) Martelli ex Gilg.; Tristaniopsis obovata (Benn.) Peter G. Wilson & J.T. Waterh. dan Eurycoma longifolia Jack. Semua tumbuhan obat yang dianalisi/uji fitokimia berpotensi sebagai penurun tekanan darah tinggi, antikarsinogen, antimutasigen, antimikroba. Hal ini disebabkan semua tumbuhan obat tersebut mengandung kelompok senyawa tanin (Chung et al., 1998). Tabel 2. Fitokimia 10 jenis ekstrak tumbuhan obat No Jenis ekstrak T S F S/T Alkaloid D M W H 1 Cananga odorata (Lam) Hook.f T & Thomson 2 Ziziphus horsfieldii Miq S Fibraurea tinctoria Lour S /T Tabernaemontana sphaerocarpa Blume 5 Vitex pinnata L

12 6 Dillenia excelsa (Jack) Martelli ex T Gilg. 7 Elaeocarpus glaber Blume Mitragyna speciosa (Korth.) Havil. 9 Tristaniopsis obovata (Benn.) T Peter G. Wilson & J.T. Waterh. 10 Eurycoma longifolia Jack T Keterangan: T=Tanin; S=Saponin; F=Flavonoid; S/T=Steroid/Triterpenoid; D=Dragendorf; M=Meyer; W=Wagner; H=Hidrokuinon 3. Toksisitas Hasil pengujian toksisitas 10 jenis tumbuhan obat yang ditunjukkan dengan nilai LC 50, disajikan pada Tabel 3. Suatu zat dikatakan aktif atau toksik bila nilai LC 50 <1000 ppm untuk ekstrak dan <30 ppm untuk suatu senyawa. Sementara jika nilai LC 50 >1000 ppm tergolong tidak toksik. Sehingga, berdasarkan data yang didapatkan, kedua ekstrak termasuk dalam kategori tidak toksik (Meyer, 1982). Jadi semua sampel tumbuhan obat yang diuji bersifat toksik dan berpotensi sebagai antikanker dan dapat dikembangkan sebagai bahan baku obat herbal. Tabel 3. Toksisitas ekstrak tumbuhan obat No Jenis ekstrak LC 50, ppm 1 Cananga odorata (Lam) Hook.f. & Thomson Ziziphus horsfieldii Miq Fibraurea tinctoria Lour Tabernaemontana sphaerocarpa Blume Vitex pinnata L Dillenia excelsa (Jack) Martelli ex Gilg Elaeocarpus glaber Blume Mitragyna speciosa (Korth.) Havil Tristaniopsis obovata (Benn.) Peter G. Wilson & J.T. Waterh Eurycoma longifolia Jack Kandungan komponen kimia Senyawa trans-caryophyllene dan VERIDIFLOROL yang terdapat pada tumbuhan Cananga odorata merupakan kelompok senyawa sesquiterpena yang mempunyai efek yang cukup besar sebagai antimikroba, antifungi dan antibiotik (Warsinah et al, 2011). Selanjutnya disebutkan bahwa asamasam lemak seperti hexadecanoic acid, Palmitic acid, Octadecadienoic acid linoleic acid dan Stearic acid pada Ziziphus horsfieldii, Fibraurea tinctoria, Tabernaemontana sphaerocarpa dan Elaeocarpus glaber dapat menghambat pertumbuhan mikroba. 7

13 B. Getah Jelutung 1. Sifat-sifat getah jelutung Hasil analisis getah jelutung tercantum pada Tabel 4. Tabel 4. Sifat-sifat getah jelutung No Parameter Kadar air, % Kadar abu, % Kadar kotoran, % Kadar nitrogen, % Kadar ekstrak aseton, % Sampel 1 72,15 0,42 0,19 0,06 81,77 Hasil analisis Sampel Sampel ,10 74,05 0,12 0,14 0,29 0,25 0,03 0,09 77,21 85,08 Keterangan: * Nwaroh & Enyiegbulam (1998) ** Jayanthy & Sankaranayaranan (2005) Ratarata 73,10 0,27 0,24 0,06 81,35 Getah jelutung HTI 46,20 0,04 0,24 0,07 52,71 Getah karet alam ,6* 2-3** 2. FTIR (Fourier transform infrared spectroscopy) getah jelutung Hasil uji spektrum FTIR getah jelutung seperti pada Gambar 1 dan getah karet alam pada Gambar 2. Terdapat kesamaan spektrum getah jelutung dan getah karet alam. Hal ini menandakan bahwa struktur dan komposisi senyawa kedua bahan tersebut sama, hanya kadar senyawa yang terkandung berbeda. Gambar 1. Spektrum infra merah getah jelutung 8

14 Gambar 2. Spektrum infra merah getah karet alam Spektrum FTIR getah jelutung adalah seperti dipaparkan pada Gambar 3. Tampak bahwa puncak-puncak serapan gugus fungsi dari polimer, cis-poliisoprena, yang terdapat di dalam getah jelutung serupa dengan puncak-puncak serapan gugus fungsi polimer getah karet alam H. brasiliensis (Gambar 4). Namun vibrasi ulur dan vibrasi tekuk gugus NH tidak terlihat pada spektrum karet jelutung. Ini berarti bahwa kadar protein di dalam karet jelutung memang rendah. Selain itu puncak serapan gugus karbonil pada daerah bilangan gelombang 1700 cm -1 tidak tampak pada getah jelutung, dengan demikian diperkirakan pemurnian getah jelutung akan lebih mudah dibandingkan dengan getah karet alam. 3. Komponen senyawa resin dari getah jelutung Kandungan resin getah jelutung cukup tinggi dibanding getah karet alam yaitu 81,35%, sehingga getah jelutung kurang elastis dibanding getah karet alam. Hasil analisis GC-MS resin, komponen kimia resin dari getah jelutung didominasi asam sinamat dan turunannya. Resin dengan komponen kimia tersebut terdapat juga pada resin kemenyan. Selain senyawa tersebut, terdapat senyawa taraxasterol yang bermanfaat sebagai obat antiinflamasi (Zhang et al., 2012; Xiong et al., 2014). C. Gaharu 1. Ekstraksi gaharu Rendemen ekstrak gaharu dengan 2 metode (soxhlet dan maserasi) dengan menggunakan pelarut metanol, aseton, khloroform dan heksana tercantum pada Tabel 5. 9

15 Tabel 5. Rendemen ekstrak gaharu Kualitas Gaharu Metode Ekstraksi Metanol (%) 1. Kamedangan Soxhlet 15,88 budidaya (KB1) 2. Kamedangan 16,92 Budidaya (KB2) 3. Kamedangan 10,57 Alam (KA1) Pelarut Aseton Khloroform (%) (%) 12,20 5,28 12,99 6,23 13,82 5,13 Heksana (%) 9,41 9,76 9,33 4. Kamedangan budidaya (KB1) 5. Kamedangan Budidaya (KB2) 6. Kamedangan Alam (KA1) Maserasi 10,23 12,20 10,14 9,62 11,80 11,12 2,45 3,08 4,10 6,45 6,60 6,88 Pelarut metanol merupakan pelarut bersifat polar menghasilkan rendemen terbesar dibanding pelarut lainnya yaitu aseton (semi polar), khloroform (semi polar) dan heksana (non polar), sehingga komponen kimia yang terkandung dalam gaharu kemungkinan juga bersifat polar. 3. Komponen kimia gaharu Hasil analisis GC-MS,, komponen kimia gaharu (3 kualitas) sebagian besar mengandung senyawa turunan seskuiterpena. Hanya beberapa senyawa seskuiterpena murni yang terdeteksi antara lain aromadenrene, valencene, vulgarol, valerenol. Banyaknya senyawa turunan seskuiterpena yang terdapat pada gaharu disebabkan gaharu masih termasuk kualitas terendah sehingga belum banyak terbentuk senyawa seskuiterpena murni. Senyawa penciri gaharu selain senyawa seskuiterpena adalah senyawa turunan khromon. Semua gaharu yang dianalisis tidak satupun terdeteksi atau mengandung senyawa turunan khromon, sehingga dapat dikatakan resin gaharu terbentuk belum sempurna. D. Kemenyan 1. Sifat-sifat kemenyan Hasil uji sifat-sifat kemenyan tercantum pada Tabel 6. 10

16 Tabel 6. Sifat-sifat kemenyan No. Kualitas Mutu I II III Jurur 1. Warna Putih Putih Campuran Coklat kekuningan kekuningan putih kuning gelap 1. Kadar asam balsamat (%) 10,41 8,56 8,54 9,57 2. Kadar air (%) 1,00 1,00 1,50 2,90 3. Kadar abu (%) 2,76 0,19 2,21 0,06 4. Kadar kotoran (%) 4,49 1,47 9,49 2,35 5. Titik lunak ( o C) ,5 88 Keterangan: Mutu I (super) : kemenyan toba (Styrax benzoin) Mutu II (mata campuran) : kemenyan toba (Styrax benzoin) Mutu III (tahir) : kemenyan toba (Styrax benzoin) Jurur : kemenyan durame (Styrax sumatrana) 2. Ekstraksi kemenyan Rendemen ekstraksi 4 mutu kemenyan dengan metode soxhlet dan menggunakan pelarut metanol, aseton, khloroform dan heksana tercantum pada Tabel 7. Tabel 7. Rendemen ekstraksi kemenyan Mutu Kemenyan 1. Mutu I (super) 2. Mutu III (mata campuran) 3. Mutu III (tahir) 4. Jurur Metanol (%) 99,27 97,30 98,80 92,77 Aseton (%) 99,22 96,56 96,54 69,25 Pelarut Khloroform (%) 97,07 96,43 97,69 85,26 Heksana (%) 7,16 5,07 5,15 7,95 Rendemen ekstraksi kemenyan dengan menggunakan pelarut metanol tertinggi dibandingkan pelarut aseton, khloroform dan heksana. Dengan demikian metanol dapat dikatakan sebagai pelarut sempurna untuk kemenyan. 3. Komponen kimia kemenyan Hasil analisis GC-MS ekstrak kemenyan, kemenyan mengandung senyawa kimia yang terdapat pada kemenyan adalah vanillin. Senyawa tersebut menimbulkan aroma wangi sehingga dapat digunakan sebagai 11

17 bahan kosmetik/parfum. Disamping itu, kemenyan mengandung senyawa asam benzoat/asam sinamat yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet makanan dan minuman (Sagala et al, 1980). Pengambilan Sampel Kulit Kayu Kenanga Katuk Senghau 12

18 E. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Tumbuhan obat 1). Skrining fitokimia 10 jenis tumbuhan hutan yang berpotensi sebagai obat terdapat 7 jenis berpotensi sebagai antibakteri, antivirus, antiinflamasi, antialergi, antikanker dan antioksidan yaitu Cananga odorata (Lam) Hook.f. & Thomson; Ziziphus horsfieldii Miq.; Vitex pinnata L.; Dillenia excelsa (Jack) Martelli ex Gilg.; Mitragyna speciosa (Korth.) Havil.; Tristaniopsis obovata (Benn.) Peter G. Wilson & J.T. Waterh. dan Eurycoma longifolia Jack. 2). Terdapat 5 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai antiimflamasi, hepatoprotektif, analgesik dan antimikroba yaitu Cananga odorata (Lam) Hook.f. & Thomson.; Fibraurea tinctoria Lour.; Dillenia excelsa (Jack) Martelli ex Gilg.; Tristaniopsis obovata (Benn.) Peter G. Wilson & J.T. Waterh. dan Eurycoma longifolia Jack. 3). Hasil uji toksisitas terhadap larva udang, ke sepuluh tumbuhan berpotensi sebagai antikanker. b. Getah jelutung 1). Sifat fisiko-kimia getah jelutung mengandung kadar air 73,10%; kadar abu 0,27%; kadar kotoran 0,24%; kadar nitrogen 0,06% dan kadar resin 81,35%. 2). Getah jelutung mengandung protein cukup kecil sekitar 0,38% sehingga getah tidak menimbulkan aroma bau/busuk. 3). Komposisi senyawa resin yang terkandung dalam getah jelutung adalah hexadecanoic acid, methyl ester; cinnamic acid; benzyl cinnamate; trans cinnamic acid; phenylacrylic acid trans-cinnamic acid; ISOBUTYLCINNAMMATE dan taraxasterol. 4). Senyawa taraxasterol dapat digunakan sebagai bahan biomedicine yang bermanfaat sebagai antiinflamasi. c. Gaharu 1). Ekstraksi resin gaharu dengan alat soxhlet menghasilkan rendemen ekstrak resin lebih tinggi dibanding dengan metode maserasi. 2). Pelarut metanol untuk mengekstrak resin gaharu menghasilkan rendemen tertinggi dibanding pelarut aseton, khloroform dan heksana. 3). Gaharu kualitas kamedangan, kamedangan II hasil budidaya dan kamedangan alam mengandung senyawa seskuiterpena yang sebagian besar masih berupa turunannya. 4). Semua gaharu tidak mengandung senyawa turunan khromon, di mana senyawa tersebut merupakaan salah satu senyawa penciri gaharu selain senyawa seskuiterpena. 13

19 5). Senyawa seskuiterpena dapat digunakan sebagai bahan biomedicine yang bermanfaat sebagai antibakteri, antivirus, obat batuk dan antikanker. d. Kemenyan 1). Sifat-sifat kemenyan terutama kadar asam balsamat/sinamat yang merupakan komponen utama kadarnya di bawah 20% sehingga termasuk mutu C (terendah) berdasarkan klasifikasi SNI kemenyan. 2). Ekstraksi kemenyan dengan menggunakan pelarut metanol menghasilkan rendemen tertinggi dibandingkan pelarut aseton, khloroform dan heksana. 3). Komponen kimia kemenyan didominasi senyawa-senyawa cinnamic acid, benzoic acid, trans cinnamic acid, benzyl cinnammate, vanillin, cinnamyl cinnamate. 4). Senyawa vanillin dapat digunakan sebagai bahan biocosmetic berupa parfum. 2. Saran Tumbuh-tumbuhan yang berpotensi untuk obat perlu dikembangkan secara terstruktur untuk menjamin kelestarian dan ketersediaan di alam. Perlu transfer informasi tentang kandungan senyawa aktif ke institusi yang menangani masalah obat. Sebagai contoh, adanya senyawa aktif taraxasterol dalam getah jelutung yang berfungsi sebagai antiinflamasi, senyawa-senyawa seskuiterpena dalam gaharu yang berfungsi sebagai antikanker. 14

20 Program : Litbang Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Judul RPPI : 7 Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen Untuk Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Koordinator RPPI : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si Judul Kegiatan : 2 Teknik Pengolahan HHBK sebagai Bahan Pangan Pelaksana Kegiatan : Gunawan Pasaribu,S.Hut, M.Si; Ir. Totok K. W, M.Si; Prof. Dr. Gustan Pari; Novitri Hastuti, S.Hut, M.Sc Abstrak Porang (amorphophallus muelleri Blume) merupakan salah satu jenis tanaman pangan yang mampu hidup dibawah tegaka dan memiliki prospek untuk dikembangkan di Indonesia. Permasalahan dalam pengolahan pasca panen adalah tingginya kadar oksalat dan teknologi mendapatkan kadar glukomanan maksimal. Untuk itu, teknologi pengolahan pasca panen merupakan hal penting yang harus dikuasai untuk meningkatkan mutu porang agar mengurangi nilai impor dan meningkatkan harga jual bahan pangan lokal untuk ekspor. Teknologi pengolahan tepung porang perlu dikaji untuk peningkatan mutunya sebagai bahan pangan, mengingat tanaman ini dibudidayakan oleh petani yang menggantungkan sumber mata pencahariannya dari budidaya porang. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan derajat putih dan kadar glukomanan tepung porang melalui penambahan natrium bisulfit dan perendaman dengan etanol. Hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan natrium bisulfit pada tepung porang dapat meningkatkan derajat putih tepung porang Kediri sebesar 10,36% dan porang nganjuk 6,59%. Pencurian bertingkat dengan etanol pada tepung porang asal nganjuk dapat meningkat kadar glukomanan dari 12,86 menjadi 38,11%. Sedangkan tepung porang asal Kediri, tidak terlihat peningkatan kadar glukomanan setelah perlakuan dilakukan. Kandungan glukomanan dari kedua lokasi porang yang diteliti tidak berbeda dengan kandungan glukomanan dari yang dihasilkan dari pabrik pengolahan tepung porang. Kandungan Fe dan Ca tepung porang sebelum dan setelah perlakuan tidak jauh berbeda, sehingga proses pencurian dengan etanol tidak akan mengurangi kadar zat besi dan kalsium dari tepung porang. Komponen kimia utama porang asal Nganjuk adalah 1,6-ANHYDRO-BETA-D-GLUCOPYRANOSE; 1,2,3,4-CYCLOPENTANE- TETROL, (1.alpha.,2.beta.,3.beta.,4.alpha.) : cyclopropyl carbinol; Acetic acid (CAS) Ethylic acid dan Hexadecanoic acid. Komponen kimia utama porang asal Kediri adalah Nonanal (CAS) n-nonanal; vinyl butyl sulfide; 2-Furamenthanol (CAS) Furfurly alcohol; 2H-Pyran, Hexadecanoic acid dan Octadecanoic acid. Kata kunci: porang, natrium bisulfit, etanol, glukomanan. 15

21 A. Latar Belakang RINGKASAN Kehutanan merupakan sektor penting dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Hal ini sesuai dengan mandat Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan. Kepedulian akan fungsi hutan sebagai pendukung ketahanan pangan sudah dipikirkan oleh para ahli dan peminat kehutanan dalam Kongres Kehutanan I tahun 1956 yang telah mengamanatkan untuk menyisihkan sepertiga kawasan hutan guna dijadikan kawasan pertanian untuk ditanami tanaman pangan (Persatuan Peminat dan Ahli Kehutanan, 1956). Salah satu jenis HHBK pangan yang potensial dikembangkan adalah porang karena berbagai kelebihan dalam hal budidaya dan pengolahannya. Purwadaria et al., (2002) menyebutkan bahwa Indonesia mengekspor tepung dari umbi porang seharga 4,5 US$ per kg, namun mengimpor glukomanan murni seharga 250 US$ per kg. Perbedaan yang besar antara harga ekspor dan impor ini dikarenakan kualitas glukomanan impor yang jauh lebih baik dilihat dari kandungan glukomanannya, viskositas dan warna tepung glukomanan yang putih. Umbi porang bisa dibuat chips, setelah dimurnikan jadi tepung dibuat beraneka makanan, antara lain mie, tahu dan beras tiruan rendah kalori, campuran bahan baku industri, bahan dasar industri perfilman, hingga diolah menjadi minuman penyegar tubuh. Permasalahan dalam pengolahan pasca panen adalah tingginya kadar oksalat dan teknologi mendapatkan kadar glukomanan maksimal. Untuk itu, teknologi pengolahan pasca panen merupakan hal penting yang harus dikuasai untuk meningkatkan mutu porang agar mengurangi nilai impor dan meningkatkan harga jual bahan pangan lokal untuk ekspor. Teknologi pengolahan tepung porang perlu dikaji untuk peningkatan mutunya sebagai bahan pangan, mengingat tanaman ini dibudidayakan oleh petani yang menggantungkan sumber mata pencahariannya dari budidaya porang. Perendaman dengan etanol merupakan salah satu cara yang digunakan untuk meningkatkan kadar glukomanan. Selanjutnya untuk meningkatkan kadar keputihan dari tepung porang dapat dilakukan dengan perendaman dengan natrium bisulfit. Natrium bisulfit merupakan salah satu bahan pengawet makanan yang diizinkan oleh Kemenkes, (Permenkes N0.722/Menkes/Per/IX/88). Peningkatan mutu bahan pangan diharapkan dapat menguntungkan secara ekonomis dan sosial yang akan berdampak pada kualitas pembangunan. 16

22 B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian tahun 2015 adalah meningkatkan derajat putih dan kadar glukomanan tepung porang. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah tersedianya informasi derajat putih tepung porang dan kadar glukomanan yang lebih baik. C. Metode penelitian 1. Persiapan sampel Tepung porang dikeringkan dan ditimbang serta dikarakterisasi sesuai kriteria bahan pangan seperti kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat/nilai kalori, kandungan Fe dan Ca serta kadar glukomanannya. 2. Penelitian Tahap I: Penambahan Natrium Bisulfit Penambahan/perendaman natrium bisulfit dilakukan dengan variasi 0.5%, 0.75% dan 1% dengan waktu 10 menit, 15 menit dan 20 menit. Setiap perlakuan diuji derajat putihnya. 3. Penelitian Tahap II: Pencucian dengan Etanol Tepung porang dengan derajat putih paling tinggi (optimasi Tahap I) kemurnian dicuci/direndam secara bertingkat dengan Etanol 30%, 40% dan 50% dengan variasi waktu yang berbeda (2 jam, 3 jam dan 4 jam). 4. Pengujian karakter tepung porang pasca perlakuan Tepung porang hasil perlakuan, dilakukan pengujian seperti pada tepung pra perlakuan meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat/nilai kalori, kandungan Fe dan Ca serta kadar glukomanan. 5. Analisis Data Penelitian Tahap I dianalisis dengan Uji t (perbandingan) dan Tahap II menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial 3x3 dengan jumlah ulangan 3 kali. Macam penambahan larutan natrium bisulfit dan konsentrasi Etanol akan dianalisis hasil mutu tepungnya dan dibandingkan dengan kondisi tepung awal dan pembanding lainnya berupa tepung glukomanan komersial (PT. Ambico Jawa Timur). D. Hasil yang dicapai 1. Karakteristik Tepung Awal Dari pabrik di Perhutani Kediri dilakukan pengambilan bahan penelitian berupa tepung porang dan chip porang. Secara umum kendala produksi dan pemasaran tepung porang adalah teknologi dan mesin pengolahan pasca panen, tata niaga dan komoditas tepung porang yang belum menjadi preferensi masyarakat pada umumnya (tidak ada pasar). 17

23 Kadar lemak tepung porang dari Nganjuk dan Kediri sebesar 3,44% dan 0,84%. Kadar ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar lemak pada tepung jagung sebesar 3,99-5,46%. Namun demikian kadar protein dari tepung jagung lebih tinggi dibandingkan tepung porang (Badan Litbang Pertanian, 2015). 2. Penambahan Natrium Bisulfit Hasil penelitian penambahan natrium bisulfit pada tepung porang asal Nganjuk dan Kediri memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) pada peningkatan derajat putih tepung porang asal Nganjuk. Analisa sidik ragam yang dilakukan disajikan pada Tabel 4 bahwa derajat putih tepung porang sebelum perlakuan sebesar 63,69% dapat meningkat sampai 67,89% pada konsentrasi 1% selama 10 menit. Lamanya perendaman tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai derajat putih. Demikian halnya dengan penambahan natrium bisulfit memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) pada peningkatan derajat putih tepung porang asal Kediri. Analisa sidik ragam yang dilakukan disajikan pada Tabel 6. bahwa derajat putih tepung porang sebelum perlakuan sebesar 50,29% dapat meningkat sampai 55,93% pada konsentrasi 1,0% selama 20 menit. Lama perendaman tidak memberikan pengaruh yang nyara terhadap nilai derajat putih. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa kadar derajat putih porang asal Nganjuk lebih baik dari porang asal Kediri. Hal ini dapat dijelaskan bahwa bahan baku porang asal nganjuk (kontrol) memiliki derajat putih yang lebih baik dibanding porang asal Kediri. Penanganan bahan baku diduga menjadi faktor penyebab terjadinya perbedaan derajat putih ini. Bahan baku porang asal Nganjuk lebih dapat dikontrol proses penanganannya karena dilakukan dengan pemesanan khusus. Sehingga setiap tahapan pengolahan pasca panen meliputi pembuatan chip dan pengeringan lebih terkendali. Berbeda dengan chip porang dari Kediri, sudah terlihat warna chip yang agak gelap karena berasal dari berbagai sumber porang yang tidak terkontrol proses penanganan pasca panennya. Sebagai pembanding adalah proses pengeringan yang dilakukan oleh PT Ambico, Surabaya, dimana sudah menggunakan sistem pengeringan menggunakan oven sehingga kualitas tepung porang yang dihasilkan menjadi lebih baik. 3. Pencucian bertingkat Kandungan glukomanan sebelum perlakuan dan setelah proses pencucian bertingkat dengan etanol 30%, etanol 40% dan etanol 50% pada tepung porang asal Nganjuk dapat meningkatkan kadar glukomanan dari 12,86 menjadi 38,11%. Berbeda halnya dengan kadar glukomanan pada tepung porang asal Kediri, tidak terlihat peningkatan kadar glukomanan setelah perlakuan dilakukan. Hal ini diduga karena keragaman yang tinggi sampel 18

24 porang yang berada di gudang Perhutani (Kediri) yang berasal dari berbagai lokasi yang berbeda. Disamping itu, dugaan rendahnya kadar glukomanan pada tepung porang asal Kediri diakibatkan oleh proses esktraksi yang kurang sempurna oleh etanol. Etanol sebagai koagulan belum menggumpalkan glukomanan secara sempurna, sehingga kadar glukomanan yang teranalisis menjadi lebih kecil (Nindita et al., 2012). Ekstraksi glukomanan juga dipengaruhi oleh kondisi ph dan temperatur yang akan mempengaruhi dispersi glukomanan di dalam air (Jian et al., 2015). Pada penelitian ini faktor ph dan temperatur belum diperhatikan saat proses pencucian menggunakan etanol. Jika dibandingkan dengan tepung porang komoditi ekspor oleh PT Ambico di Jawa Timur, nilai glukomanannya tidak jauh berbeda. Kadar glukomanan tepung Ambico sebesar 23,03%. Nilai ini sama dengan kontrol pada tepung porang dari Kediri dan lebih tinggi dengan perlakuan pada porang asal Nganjuk. Pada karakteristik tepung porang terlihat peningkatan persentase karbohidrat dan kadar lemak. Akan tetapi ada indikasi penurunan dari kadar protein. Peningkatan kadar karbohidrat pada tepung porang ini bisa diakibatkan penambahan kadar air pada saat pencucian mengunakan etanol. Air yang ada pada larutan etanol menyebabkan ekstraksi karbohidrat yang kemudian teranalisis pasca pencucian. Air diketahui merupakan pelarut yang baik untuk pati (Harkin & Rowe, 1971). Senyawa lemak diketahui akan mudah terekstrak oleh pelarut non polar. 4. Kandungan Fe dan Ca Perubahan kandungan Fe dan Ca tepung porang sebelum dan setelah perlakuan tidak jauh berbeda. Kadar Fe 0,03-0,08% dan kadar Ca 0,41-0,35%. Sehingga dapat dijelaskan bahwa proses kimiawi yang dilakukan tidak akan mengurangi kadar zat besi dan kalsium dari tepung porang. Fe merupakan zat besi yang penting bagi tubuh manusia, kekurangan zat ini akan menyebabkan potensi anemia. Begitu juga dengan Ca (kalsium) yang penting bagi pertumbuhan dan kesehatan gigi dan tulang. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 913/Menkes/SK/VII/2002 tentang angka kecukupan gizi bagi bangsa Indonesia menyebutkan bahwa konsumsi zat besi untuk usia tahun berkisar mg per hari dan ditambah kurang lebih sebanyak 2 mg untuk ibu hamil dan menyusui. Untuk Ca sebanyak 500 mg per hari dengan tambahan sebanyak 400 mg bagi ibu hamil dan menyusui (Keputusan Menkes, 2002). Kandungan Fe dan Ca pada tepung porang yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu, memungkinkan konsumsi tepung porang dapat menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan zat besi dan kalsium (Depkes 1996 dalam Siregar 2011). 19

25 5. Analisis Komponen Kimia Komponen kimia utama porang asal Nganjuk dan Kediri merupakan turunan kelompok karbohidrat dan lemak. Decanoic acid merupakan salah satu jenis asam lemak. Senyawa ini diketahui berpotensi sebagai media pengontrol kadar gula darah pada penderita diabetes. Gu dan Silverman (2011) meneliti sintesis asam amino dan decanoic acid sebagai agen antikanker. Tepung Porang Umbi Porang 20

26 E. Kesimpulan dan Saran a. Kesimpulan 1. Penambahan natrium bisulfit pada tepung porang dapat meningkatkan derajat putih tepung porang Kediri sebesar 10,36% dan porang Nganjuk 6,59%. 2. Pencucian bertingkat dengan etanol pada tepung porang asal Nganjuk dapat meningkatkan kadar glukomanan dari 12,86 menjadi 38,11%. Sedangkan tepung porang asal Kediri, tidak terlihat peningkatan kadar glukomanan setelah perlakuan dilakukan. 3. Kandungan glukomanan dari kedua lokasi porang yang diteliti tidak berbeda dengan kandungan glukomanan dari yang dihasilkan dari pabrik pengolahan tepung porang. 4. Kandungan Fe dan Ca tepung porang sebelum dan setelah perlakuan tidak jauh berbeda, sehingga proses pencucian dengan etanol tidak akan mengurangi kadar zat besi dan kalsium dari tepung porang. 5. Komponen kimia utama porang asal Nganjuk adalah 1,6-ANHYDRO- BETA-D-GLUCOPYRANOSE; 1,2,3,4-Cyclopentanetetrol, (1. alpha., 2. beta., 3. beta., 4. alpha.); Cyclopropyl carbinol; Acetic acid (CAS) Ethylic acid dan Hexadecanoic acid 6. Komponen kimia utama porang asal Kediri adalah Nonanal (CAS) n- Nonanal; vinyl butyl sulfide; 2-Furanmethanol (CAS) Furfuryl alcohol; 2H-Pyran, Hexadecanoic acid dan Octadecanoic acid. b. Saran Dari hasil penelitian ini disarankan adanya penanganan khusus pasca panen misalnya menjaga kadar air chip, agar kualitas tepung porang yang dihasilkan tetap terjaga. 21

27 Program : Litbang Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Judul RPPI : 7 Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen Untuk Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Koordinator RPPI : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si Judul Kegiatan : 3 Teknik Pengolahan Biometanol dari Bahan Berlignoselulosa Pelaksana Kegiatan : Ir. Djeni Hendra, M.Si; Prof. Dr. Gustan Pari; Nining; Heru Abstrak Saat ini Indonesia masih menjadi pengimpor BBM dan masih bergantung pada bahan bakar fosil. Sementara itu, Indonesia memiliki potensi bahan baku untuk pengembangan bahan bakar nabati yaitu bioenergi. Salah satu bioenergi yang perlu diteliti dan dikembangkan adalah biometanol. Sehingga perlu dilakukan penelitian pembuatan biometanol dari limbah kayu memali proses yang cepat dan ramah lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi kadar dan karakterisasi sifat fisiko kimia biometanol yang dihasilkan dari limbah serbuk kayu. Pengolahan bimetanol menggunakan proses hidrotermal (300 o C) dengan menggunakan tambahan katalis laterit Fe dan sulfur dan cuka kayu sebagai pelarut dengan bahan baku serbuk kayu acaci mangium. Hasil penelitian menunjukan kadar biometanol pada ulangan ke 1 berkisar antara 57,8-70,3%, dan kadar biometanol pada ulangan ke 2 berkisar antara 62,02-86,55%. Kata kunci: Biometanol, Hidrotermal, Katalis, pelarut. A. Latar Belakang RINGKASAN Program nasional diversifikasi energi adalah pengkayaan produksi jenisjenis bahan energi baru yang dapat diperbaharui, di antaranya bahan bakar pengganti bensin dari minyak nabati (Krause, 2001). PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang kebijakan energi nasional menyebutkan bahwa perlunya meningkatkan eksplorasi sumber daya, potensi dan atau cadangan terbukti energi baik dari jenis fosil maupun energi baru dan terbarukan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah mendukung penyediaan energi baru 22

28 terbarukan. Salah satu energi terbarukan adalah biometanol. Biometanol adalah cairan tidak berwarna yang memiliki unsur penyusun yang sama seperti alkohol dan memiliki berat jenis rendah. Pengolahan biometanol dapat memanfaatkan biomassa hutan yang bersumber dari kayu atau limbah. Penggunaan biometanol dari kayu (biomassa hutan) juga akan mengurangi potensi kebakaran hutan dan sekaligus dapat menjadi alternatif menarik untuk penyediaan listrik murah di pedesaan. Penelitian biometanol di Indonesia belum banyak dilakukan. Padahal Indonesia memiliki potensi biomassa sebagai bahan baku. Penelitian ini memanfaatkan limbah serbuk kayu dari industri penggergajian. Limbah serbuk kayu mudah dan murah untuk didapatkan. Selain itu pemanfaatan serbuk kayu dalam penyediaan energi alternatif masih jarang dilakukan sehingga perlu ditingkatkan. 1. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian tahun ini adalah untuk memperoleh informasi kadar dan karakterisasi sifat fisiko kimia biometanol yang dihasilkan dari limbah serbuk kayu. Sasaran penelitian ini adalah diperolehnya informasi kadar metanol dan karakteristik sifat fisiko kimia dari limbah serbuk kayu. 2. Metode Penelitian a. Bahan dan Peralatan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk kayu Acacia mangium, asap cair dari kayu campuran, etanol pa, benzena pa, asam asetat, asam klorida, Iod, asam sulfat, sulfur, laterit Fe dan aquades. Peralatan yang digunakan antara lain saringan serbuk kayu, reaktor hidrotermal, labu/corong pemisah, alat distilasi, kompor listrik, pengaduk (stirer), desikator, ph meter, alkohol meter, piknometer, erlenmeyer tutup asah, neraca sartorius dan oven. b. Prosedur Kerja 1). Serbuk kayu Akasiamangiumdigiling dan diseragamkan ukurannya yaitu lolos 80 mesh tertahan 100 mesh, kemudian dioven pada suhu 105 o C. 2). Serbuk kayu lolos 80 mesh tertahan 100 mesh ditambahkan campuran katalis laterit dengan konsentrasi laterit 4%, 6% dan 8% (b/b) dan sulfur 1,5% dan 3% (b/b). Pelarut yang digunakan berupa asap cair dari kayu campuran. Katalis dan pelarut dicampurkan dan diaduk, kemudian dimasukkan ke dalam reaktor dan ditutup rapat. Serbuk kayu dan asap cair menggunakan perbandingan 1:7, setelah itu, dipanaskan secara bertahap dari suhu o C. Ketika mencapai suhu 23

29 300 o C kemudian ditahan selama 1 jam. Setelah itu suhu diturunkan sampai 150 o C kemudian pemanasan dihentikan dan didinginkan sampai suhu 28 o C. 3). Tahap selanjutnya proses fraksinasi dengan cara destilasi dimulai pada suhu o C, o C, dan o C. SERBUK KAYU PROSES HIDROTHERMAL Fraksinasi Destilasi Biometanol Katalis Solven Gambar 1. Proses pengolahan secara langsung 4). Pengujian kualitas Pengujian kualitas dilakukan terhadap sifat fisiko-kimia yaitu: berat jenis, ph, viskositas, kadar metanol dengan alat Kromatografi Gas (GC), dan uji komponen kimia dengan Spektrometri Massa Kroma-tografi Gas (GC-MS). 3. Hasil yang dicapai Bedasarkan hasil percobaan dengan 2 kali ulangan contoh uji, kadar metanol tertinggi terdapat pada campuran katalis laterit Fe 8% dan sufur 3% (L8S3) dengan nilai rata-rata sebesar 78,41%, berat jenis0,8765, ph 3,93 dengan rendemen sebesar 21,6%. 24

30 TEKNOLOGI PENGOLAHAN BIOMETANOL DARI BAHAN BERLIGNOSELULOSA Foto reaktor alat pembuat metanol kap. 5 kg Foto bahan serbuk kayu Akasia mangium Foto bahan solven (asap cair) 25

31 Foto uji bakar biometanol 4. Kesimpulan dan Saran a. Kesimpulan 1. Rendemen biometanol dari serbuk kayu akasia yang lolos 80 mesh tertahan 100 mesh berkisar antara 16,30-23,20%. Rendemen tertinggi terdapat pada sampel L8S3 yaitu sebesar 23,30 dan rendemen terendah pada sampel L4S1 yaitu sebesar 16,30%. 2. Komponen kimia biometanol Akasia mangium fraksi pada fraksi suhu C tertinggi terdapat pada L8S3 yang didominasi oleh golongan Acetic acid (CAS) Ethylic acid sebesar 41,48%, Ethanone,1-(1- cyclohexen-1-yl-(cas) 1-Cyclohexen-1-yl methyl keton 23%, 2-Methoxy-4-methylphenol 7,48%, Phenol,4-methoxy-(CAS) Hqmme 5,67%, Phenol (CAS) Izal 5,65%, 2,5-Dimethoxytoluene 4,23%, 5-Hydroxy-2- heptanone 3,95%, dan Phenol, 2-methoxy-4-propyl-(CAS) 5-Propylguaiacol 3,12%, dengan kadar biometanol sebesar 70,27% dan etanol 25,98%. b. Saran Hasil penelitian biometanol berbahan baku serbuk gergaji menunjukan bahwa methanol dapat dibuat dari limbah kehutanan. Hal ini membuktikan bahwa limbah memiliki sumber energi yang dapat dikembangkan menjadi energi alternatif. Oleh karena itu, perlu adanya studi lebih lanjut tentang pengolahan limbah menjadi energi alternatif (biometanol) melalui penyempurnaan proses. 26

32 Program : Litbang Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Judul RPPI : 7 Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen Untuk Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Koordinator RPPI : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si Judul Kegiatan : 4 Teknik Pengolahan Bioetanol dari Bahan Berlignoselulosa Pelaksana Kegiatan : Dr. Ina Winarni; T. Beuna Bardant, ST, M.Si; Ir. Djeni Hendra, M.Si; Prof. Dr. Gustan Pari Abstrak Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki industry pengolahan kayu yang cukup banyak, sehingga akan menghasilkan limbah yang banyk pula. Limbah kayu merupakan limbah lignoselulosa yang pada umumnya akan menumpuk dan kurang dimanfaatkan, sehingga akan menyebabkan pencemaran. Untuk meningkatkan nilai tambah limbah kayu/ lignoselulosa, pembuatan bioetanol merupakan salah satu cara optimalisasi limbah tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi kadar bioetanol dari limbah industry penggergajian kayu. Hasil penelitian menunjukan, perlakuan konsentrasi substrat 25% dan selulase 15 FPU/g substrat menghasil gula pereduksi tertinggi sebesar 248,3 mg/ml; sedangkan konsentrsi substrat 35% dapat menghasilkan kadar etanol sebesar 17,7% dengan rendemen sebesar 38,4%. Kata kunci: Limbah kayu, lignoselulosa, hidrolisis, kadar etanol A. Latar Belakang RINGKASAN Pada tahun 2011, pengguna bensin di Indonesia mencapai 165 juta barel, naik sekitar 50% dari 2005 sebanyak 100 juta barel (Kementrian ESDM data statistik minyak bumi, 2012). Sehingga salah satu cara untuk mengatasi ketergantungan bahan bakar minyak sebagai bahan yang tidak dapat diperbaharui dan terbatas ketersediaannya adalah dengan membuat energi alternatif selain minyak bumi, gas bumi dan batu bara (BBM) yang disebut bahan bakar nabati (BBN) yang berasal dari biomasa. 27

33 Salah satu energi alternatif yang menjanjikan adalah bioetanol. Sementara itu, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki industri pengolahan kayu yang cukup banyak. Hasil sampingan dari industri penggergajian kayu adalah limbah industri yang berupa serpih dan serbuk (lignoselulosa). Menurut data Kementrian Kehutanan, limbah serbuk gergaji yang dihasilkan per tahun ( ) dapat mencapai 7,5% dari total produksi kayu penggergajian. Sedangkan jumlah produksi penggergajian kayu tahun 2013 sebanyak 1,218 juta m 3, yang naik dari tahun sebelumnya sebanyak 1,053 juta m 3, dapat dibayangkan potensi limbah serbuk penggergajian kayu setiap tahunnya. Pembuatan bioetanol dari lignoselulosa lebih sulit dari gula atau pati, disebabkan lebih sulitnya proses teknologi yang digunakan dan karakteristik bahan baku yang mengandung lignin yang dapat menghalangi proses kerja selulase yang merubah selulosa menjadi gula (Sun & Cheng, 2002). Sehingga, pembuatan bioetanol dari lignoselulosa dibutuhkan proses pendahuluan atau pretreatment sebelum sakarifikasi dan fermentasi. Hasil penelitian yang telah dilakukan, pembuatan etanol dengan penambahan konsentrasi substrat (high loading substrate) pada saat hidrolisis akan meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan setelah fermentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa substrat pulp tandan kosong kelapa sawit (TKKS) sebanyak 23% menghasilkan kadar etanol sebanyak 8,23%; sedangkan 36,5% substrat pulp batang sawit dapat menghasilkan kadar etanol sebanyak 10,48% (Bardant et al., 2012). Sehingga, diharapkan dengan metode high loading substrat limbah kayu pada penelitian ini, dapat menghasilkan kadar etanol yang tinggi, dan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi krisis energi. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi pembuatan bioetanol dari limbah batang sawit. Sasaran dari penelitian ini adalah diperolehnya informasi kadar etanol dari limbah batang sawit. C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah kayu yang berasal dari Industri Penggergajian kayu di Tasikmalaya, Jawa Barat. Data dan informasi tentang kebun sawit diperoleh dari Sukabumi dan Yogjakarta serta data serta pengujian diperoleh dari Bandung, Jawa Barat. 28

34 2. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah industri penggergajian kayu berupa sebetan. Bahan kimia yang digunakan adalah enzim selulase dan beta-glukosidase, ragi Sacharomycescerevisiae dari merk komersial Fermipan, zeolit, kapur, urea, NPK. Peralatan yang digunakan antara lain alat hidrolisis, reaktor fermentasi, unit distilator, alat pengaduk, neraca, hot plate, buret, brix meter, ph meter, alat gelas/kaca dan lain-lain. 3. Prosedur Kerja Tahapan kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut : A. Uji proksimat B. Persiapan bahan baku Limbah sebetan dipotong menjadi serpih, dipulping dengan metode sulfat sampai menjadi pulp. C. Proses sakarifikasi Proses sakarifikasi menggunakan enzim selulase (10 dan 15 FPU/g substrat) dan 10% surfaktan Tween 20 dan konsentrasi subrat (15, 20 dan 35%). Kontrol disiapkan tanpa penambahan surfaktan. Kemudian dimasukkan substrat dan dihidrolisa pada suhu ruangan selama 48 jam. E. Proses fermentasi Gula yang dihasilkan diambil sedikit dan dianalisa kadar gula pereduksi dengan metode DNS (Miller, 1959). Sedangkan sisanya difermentasi dengan penambahan urea, NPK dan ragi (Saccharomyces cerevisae). Fermentasi berlangsung selama 3-4 hari. F. Analisa kandungan etanol Analisa kandungan etanol pada sampel menggunakan mesin Gas Chromatography (GC) dengan kondisi kolom OV 17; FID detektor; suhu initial 85 C; suhu final 100 C, suhu injek 150 C dan suhu detektor 200 C dengan pembawa gas nitrogen dan hidrogen. 4. Analisis data Rancangan penelitian yang dilakukan adalah Rancangan Ragam peragam dengan pola Acak Lengkap (RAL). D. Hasil yang dicapai Kadar selulosa bahan baku adalah sebesar 51,8%; pentosan 12,8%; holoselulosa 65,6%; alpha selulosa 30,37% dan hemiselulosa 34,9%. Setelah dilakukan delignifikasi, kadar selulosa akan meningkat seiring dengan menurunnya kadar lignin (87,7%). Sehingga, pulp limbah kayu berpotensi tinggi untuk dijadikan bahan baku pembuatan bioetanol. 29

35 Perlakuan konsentrasi substrat sebanyak 25% dengan aktivitas selulase 15 FPU menghasilkan kadar gula pereduksi sebelum fermentasi tertinggi (optimum) sebesar 248,3 mg/ml dan terendah adalah sebesar 66 mg/ml pada perlakuan konsentrasi substrat sebanyak 15% dengan aktivitas 15 FPU/g substrat. Konversi selulosa tertinggi (89,5-90%) adalah dengan konsentrasi substrat 25% dan aktivitas 10 dan 15 FPU/g substrat. Konversi selulosa mengalami penurunan pada waktu penambahan sampel menjadi 35% pada aktivitas selulase 10 dan 15 FPU/g susbtrat. Hal ini disebabkan, dengan semakin banyaknya substrat yang dimasukkan pada saat hidrolisis, dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengkonversi selulosa menjadi gula, atau menambah optimal konsentrasi selulase yang dibutuhkan. Semua sampel (kontrol dan perlakuan) menunjukkan nilai kadar etanol memenuhi target kelayakan produksi, karena menghasilkan kadar etanol > 5% v/v (pabrik alkohol Madukismo). Sementara itu, semua kadar etanol kontrol lebih rendah dari kadar etanol sampel (penambahan surfaktan) pada semua perlakuan. Meskipun, tidak ada perbedaan yang signifakan kadar etanol kontrol dan perlakuan pada konsentrasi substrat 15% dan penambahan selulase 10 dan 15 FPU/g substrat. Perbedaan signifikan lebih terlihat setelah konsentrasi substrat 25 dan 35% pada waktu hidrolisis. Kadar etanol tertinggi dihasilkan dari perlakuan konsentrasi substrat 35 % dengan aktivitas selulase sebanyak 15 FPU/g substrat (17,7%) dengan rendemen 38,4% dan terendah adalah 7,2% (rendemen 36,7%) yaitu kontrol dengan konsentrasi substrat 15% dan aktivitas selulase 10 FPU/g substrat. Semakin tinggi konsentrasi selulosa pada waktu hidrolisis, maka semakin tinggi etanol yang dihasilkan. Chip kayu Pulping 30

36 E. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Perlakuan preatment berupa delignifikasi dengan metoda pulping dapat meningkatkan konversi selulosa dan kadar etanol yang dihasilkan. Penambahan surfaktan semua sampel menunjukan hasil kadar gula pereduksi dan kadar etanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan control (tanpa surfaktan). b. Analisa fisiko kimia (proksimat) bahan baku dan pulp limbah sengon menunjukan pengurangan yang cukup signifikan pada kadar lignin yaitu 26,6% (bagan baku) menjadi 2,5% (pulp); selulosa bahan baku 51,8% menjadi 87,7%. c. Konversi selulosa tertinggi adalah sebesar 91,9% pada perlakuan konsentrasi substrat 15% dan selulase 15 FPU/g substrat. Semua perlakuan sampel mengalami peningkatan sebanyak 5-20% konversi selulosa dibandingkan tanpa surfaktan. d. Metode high loading substrate dapat menghasilkan kadar etanol tertinggi sebesar 17,7% dengan rendemen 38,4% pada perlakuan konsentrasi sampel 15% dengan aktivitas selulase 15 FPU/g substrat. 2. Saran Penggunaan metode high loading substrate, penting dilakukan perlakuan pendahuluan untuk mengetahui kadar selulase optimal yang dibutuhkan pada saat hidrolisis, atau penambahan waktu sakarifikasi atau fermentasi agar gula pereduksi dan kadar etanol akan maksimal. 31

37 Program : Litbang Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Judul RPPI : 7 Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen Untuk Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Koordinator RPPI : Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si Judul Kegiatan : 5 Teknik Pengolahan Bio-oil dari Bahan Berlignoselulosa Pelaksana Kegiatan : Santiyo Wibowo, STP, M.Si; Lisna Efiyanti, S.Si, M.Si; Ir. Djeni Hendra, M.Si Abstrak Potensi minyak bumi semakin menurun sementara kosumsinya terus meningkat. Saat ini banyak Negara di dunia mulai mengembangkan berbagai bahan bakar nabati (BBN) seperti bioetanol, biodiesel, dan bio-oil. Bio-oil adalah sejenis minyak bakar yang memiliki berat jenis tinggi yang dibuat dari bahan berlignoselulosa, seperti limbah kehutanan dan industri hasil hutan. Penggunaan bio-oil di dalam industri khususnya sebagai bahan bakar untuk boiler atau bahan bakar langung untuk pengeringan. Tujuan penelitian adalah mendapatkan data dan informasi karakteristik bio-oil dari tanda kosong kelapa sawit melalui penambahan katalis. Sasaran penelitian adalah tersedianya data dan informasi karakterist bio-oil tanda kosong kelapa sawit. Luaran penelitian adalah laporan hasil penelitian (LHP) dan draf karya tulis ilmiah. Hasil penelitian menunjukan penambahan 6% katalis Ni/NZA terhadap sempel tanda kosong sawit memberikan hasil optimal yaitu rendemen liquid 30,27%, ph 2,94, berat jenis 1,068 g/cm 3, viskositas 44 cst, nilai kalor 29,38 MJ/kg, dan daya nyala katagori sedang. Bio-oil yang dihasilkan di dominasi oleh asam asetat, fenol dan benzene atau toluene serta terdapat senyawa golongan hidrokarbon alkena seperti hexadecane dan hidrokarbon aromatic naphthalene. Hasil penelitian upgrading bio-oil menggunakan katalis Ni/NZA memberikan sifat fisiko kimia yang optimal yaitu; rendemen liquid 26,01%, rendemen bahan bakar 10,01%, ph 3,64, berat jenis 0,893, viscositas 2,7 cst, nilai kantor 33,06 MJ/kg dan daya nyala katagori cepat. Hasil GCMS menunjukan penambahan katalis Ni/NZA terindentifikasi golongan hidrokarbon alkana yaitu heptanes (C8H18) 1,4%, decane (C10H22) 2,92%, udecane (C11H24) 4,21%, tridecane (C13H28) 6,69%, dodecane (C12H26) 3,85% tetradecane (c14h30) 10,72%, oktadekate (c18h38) 4,46%,hexadecane (c16h34) 0,67%. Kata kunci: bio-oil, lignoselusosa, tanda kosong kelapa sawit, pirolisis, BB 32

38 A. Latar Belakang RINGKASAN Permasalahan pemakaian BBM minyak bumi adalah karena sifatnya yang tidak dapat dipulihkan (non renewable), oleh karena itu perlu disubstitusi oleh bahan bakar yang dapat dipulihkan antara lain yang berasal dari tanaman pertanian atau kehutanan. Bio-oil atau dikenal juga sebagai pyrolysis oil adalah bahan bakar sejenis solar yang memiliki berat jenis tinggi, sebagai bahan bakar boiler atau dibakar langsung untuk keperluan pengeringan (Sudradjat & Hendra, 2011). Bio-oil dapat diproduksi dari bahan baku biomassa menggunakan teknologi pirolisis. Sumberdaya biomassa sangat besar terutama dari sektor pertanian dan kehutanan, seperti limbah pemanenan dan limbah industri kehutanan, misalnya serbuk gergaji atau tandan kosong kelapa sawit. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah mendapatkan informasi sifat fisiko-kimia bio-oil tandan kosong kelapa sawit melalui penambahan katalis. Sasaran dari penelitian ini adalah tersedianya informasi sifat fisiko-kimia bio-oil tandan kosong kelapa sawit melalui penambahan katalis. C. Metode Penelitian 1. Bahan dan Peralatan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dari daerah Jawa Barat. Bahan kimia yang digunakan antara lain metanol, etanol, air suling, asam fluorida (HF), asam klorida (HCl), amonium klorida (NH4Cl), natrium sulfat (Na 2SO 4) anhidrat, dan Kristal Ni (NO 3) 2.6H 2O. Peralatan yang digunakan antara lain mesin pembuat serbuk kayu, saringan, reaktor pirolisisbio-oil free fall reactor, refluks, penampung larutan bio-oil, penampung partikulat, alat distilasi, pengaduk (stirer), desikator, ph meter, piknometer, erlenmeyer asah, neraca dan oven. 2. Prosedur Penelitian Tahapan penelitian terdiri dari persiapan bahan baku, pembuatan katalis dan pembuatan bio-oil dan pengujian. Persiapan bahan; serbuk diseragamkan ukurannya menggunakan mesin pembuat serbuk kayu dan disaring pada mesh. Pembuatan katalis; katalis yang digunakan adalah zeolit alam dengan impregnasi nikel. Proses pembuatan katalis menggunakan modifikasi prosedur yang telah dilakukan oleh Tadeus et al., (2013) dan Irvantino (2013).Pembuatan bio-oil; penelitian pembuatan bio-oil menggunakan alat free fall reactor pada suhu reaksi 550 o C dengan bahan baku TKKS dengan 33

39 penambahan katalis zeolit alam aktif atau disebut juga NZA (Natural Zeolite Activated) berpengemban nikel (Ni/NZA) dengan jumlah katalis 0, 2, 4, 6 dan 8% dari sampel tandan kosong sawit. Pengujian bio-oil; pengujian dilakukan terhadap sifat fisiko-kimia yaitu: rendemen (liquid, arang, dan gas), berat jenis, ph, nilai kalor, viscositas, analisis unsur dansifat kimia menggunakan GCMS. D. Hasil dan Pembahasan 1. Analisis Proksimat Tandan Kosong Kelapa Sawit Hasil analisis kimia tandan kosong kelapa sawit dapat adalah sebagai berikut; kadar air 8,84%, kadar ekstraktif 6,12%, kadar holoselulosa 56,16%, kadar alphaselulosa 37,13%, kadar hemiselulosa 19,03% dan kadar lignin 16,4%. 2. Karakterisasi Katalis Zeolit Keasaman merupakan parameter yang sangat penting untuk suatu padatan agar dapat digunakan sebagai katalis (Witanto, et al., 2011).Hasil analisis keasaman katalis yaitu zeolit alam 0,8494 (mmol/g zeolit), zeolit teraktivasi 1,1963 (mmol/g zeolit), dan Ni/NZA 1,7006 (mmol/g zeolit). Dari hasil analisis XRD dapat diinformasikan bahwa zeolit alam yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis mineral mordenit sebagai komponen utama dan di dalamnya masih bercampur dengan klinoptilonit serta kuarsa. 3. Karakterisasi Bio-oil a. Rendemen Hasil rendemen produk dari pirolisis serbuk tandan kosong kelapa sawit pada konsentrasi katalis Ni/NZA 2,4,6 dan 8% b/b dengan temperatur 550 o C menggunakan free fall pyrolysis adalah sebagai berikut; rendemen liquid atau cairan berkisar antara 20,39-30,27%. Rendemen terbesar diperoleh dari serbuk tandan kosong kelapa sawit pada perlakuan penambahan 6% katalis yaitu sebesar 30,27% dan yang terkecil dihasilkan dari sampel pada penambahan 0% katalis yaitu 20,39%. Rendemen bio-oil berkisar antara 3,99-13,07%, rendemen terbesar pada penambahan katalis 6% dan yang terendah adalah tanpa penambahan katalis. Adanya penambahan katalis secara langsung pada bahan baku dapat meningkatkan jumlah rendemen liquid tandan kosong kelapa sawit dibandingkan kontrol atau tanpa penambahan katalis. Hal ini sesuai dengan Sukarjo (1997) bahwa katalis memungkinkan reaksi berlangsung lebih cepat atau memungkinkan reaksi pada suhu lebih rendah akibat perubahan yang dipicunya terhadap pereaksi. Lestari (2010) berpendapat bahwa dengan 34

40 impregnasi logam transisi seperti nikel (Ni) yang terdistribusi pada zeolit akan semakin meningkatkan daya katalitiknya. Hal ini menunjukkan bahwa pengembanan logam Nikel ke dalam zeolit alam dengan kadar tertentu sangat berguna dalam meningkatkan yield bio-oil. Rendemen arang berkisar antara 25,04-26,95%, dengan rendemen terbesar berasal dari sampel tanpa penambahan katalis dan terkecil pada penambahan katalis 8%. Rendemen gas berkisar antara 44,56-52,66%, dengan rendemen terbesar berasal dari sampel tanpa penambahan katalis dan terkecil pada penambahan katalis 6%. Rendemen gas yang dihasilkan masih memungkinkan untuk diperkecil dengan cara menangkap asap/gas yang keluar menggunakan alat ESP menjadi bentuk cairan. Gas yang terbentuk dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif melalui tahapan proses penyaringan dan pemurnian gas agar dapat terbakar sempurna. Sebagai hasil samping pengolahan bio-oil, arang masih dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi seperti arang briket atau karbon pelet selain itu berpotensi digunakan untuk arang aktif, arang kompos dan produk nano karbon (Susanti et al., 2012; Lempang et la., 2009; Komarayati et al., 2012; Pari et al., 2012). b. ph bio-oil Tabel 1 menunjukkan bio-oil tandan sawit mempunyai kadar ph antara 2,49-2,94. ph terendah diperoleh pada perlakuan tanpa katalis yaitu sebesar 2,49 dan ph tertinggi diperoleh pada sampel dengan perlakuan penambahan katalis 6% yaitu sebesar 2,94. Hal ini sesuai dengan Easterly (2002) bahwa keasaman bio-oil cukup tinggi yaitu antara 2,5 sampai 3,0 sehingga mensyaratkan penanganan penyimpanan bio-oil menggunakan bahan yang tahan karat, seperti stainless steel, gelas kaca, plastik, dan fiberglass. Tabel 1. Karakteristik bio-oil tandan kosong kelapa sawit Parameter Jumlah Katalis ph Berat jenis Viscositas Nilai kalor Daya nyala g/cm 3 cst MJ/kg 0 2,49 1,095 18,6 17,26 lambat 2 2,65 1, ,88 sedang 4 2,86 1,075 46,3 27,89 sedang 6 2,94 1, ,38 sedang 8 2,93 1,067 36,7 24,81 sedang c. Berat jenis Hasil pengujian berat jenis atau densitas bio-oil yang diperoleh dari sampel serbuk tandan kosong kelapa sawit berkisar antara 1,067-1,095 g/cm 3 (Tabel 1). Hasil ini lebih tinggi dari penelitian Zhang et al., (2009) yang menghasilkan densitas bio-oil tongkol jagung dengan penambahan katalis 35

41 HZSM-5 sebesar 0,95 g/cm 3. Secara umum berat jenis bio-oil adalah tinggi bahkan mencapai 1,2 g/cm 3 (Sensoz, 2003), dengan penambahan katalis dimungkinkan senyawa dengan berat molekul tinggi dapat terpecah menjadi senyawa dengan berat molekul yang rendah. 4. Viscositas Viskositas adalah ukuran kekentalan suatu fluida yang menunjukkan besar kecilnya gesekan di dalam fluida. Makin besar viskositas suatu fluida, maka semakin sulit fluida mengalir dan semakin sulit suatu benda bergerak di dalam fluida tersebut. Hasil uji viskositas (Tabel 1) berkisar antara 18,6-46,3 cst. Viscositas terendah ada pada perlakuan tanpa katalis yaitu 18,6 cst diikuti dengan penambahan katalis 2% yaitu 28 cst, hal ini disebabkan pada sampel tersebut kandungan airnya/asap cairnya lebih besar jika dibandingkan dengan sampel dengan penambahan katalis 4%,6% dan 8%. Tingginya kekentalan biooil disebabkan terbentuknya senyawa-senyawa dengan berat molekul tinggi. Pada perlakuan tanpa katalis dihasilkan senyawa berberat molekul tinggi yang lebih rendah dibandingkan dengan penambahan katalis. 5. Nilai kalor Nilai kalor pembakaran menunjukkan energi kalor yang dikandung dalam tiap satuan massa bahan bakar. Tabel 1 menunjukkan nilai kalor bio-oil dari tandan kosong kelapa sawit yang diukur dengan alat calorimeter bomb yaitu antara 17,13-29,16 MJ/kg. Nilai kalor tertinggi diperoleh pada penambahan katalis 6% dan terendah pada katalis 0%. Nilai kalor 29,16 MJ/kg ini lebih tinggi jika dibandingkan bio-oil rumput gelagah dengan proses free fall reactor menghasilkan nilai kalor 25,29 MJ/kg (Wibowo dan Hendra, 2014), tetapi masih lebih rendah jika dibandingkan penelitian Zhanget al., (2009) yang menghasilkan bio-oil dari tongkol jagung yang ditambahkan katalis HZMS-5 dengan nilai kalor sebesar 34,6 MJ/kg. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan bahan baku, alat pirolisis yang digunakan dan perbandingan katalis yang digunakan. 6. Daya nyala Pengujian daya nyala dilakukan untuk mengetahui kemampuan bio-oil untuk menyala bila diberi sumber api. Daya nyala bio-oil tandan kosong kelapa sawit menggunakan free fall pyrolysis dapat dilihat pada Tabel 1. Sampel tanpa katalis menyala setelah 7 detik atau mempunyai kategori lambat sedangkan tandan kosong kelapa sawit yang ditambahkan katalis semuanya menyala setelah 3-5 detik atau berdaya nyala sedang. 36

42 7. Hasil GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrometry) Hasil pengujian GCMS menunjukkan bahwa komponen kimia bio-oil serbuk TKKS pada suhu 550 o C tanpa katalis terdeteksi 25 komponen, yang didominasi oleh golongan phenol, asam palmitat dan asam stearat. Belum terlihat adanya senyawa hidrokarbon. Penambahan katalis Ni/NZA 2%, terdeteksi 68 komponen, 4% teridentifikasi 69 komponen,6% teridentifikasi sebanyak 74, dan 8% teridentifikasi 59 komponen. Didominasi oleh golongan phenol, golongan benzene atau aceton, dan 2-furancarboxaldehyde, teridentifikasi juga adanya senyawa hidrokarbon alkena yaitu 1-hexadecene (C 16H 32) dan hidrokarbon aromatik naphthalen (C 12H 12). D. Upgrading Bio-oil Uji coba upgrade bio oil dilakukan dengan reaktor hidrorengkah kapasitas 500 ml, sampel dimasukkan ke dalam reaktor, ditutup, suhu di luar reaktor di set 200 o C, sampai diperoleh tekanan 2 bar atau 25 psi, selanjutnya ditahan selama 15 menit sampai diperoleh tekanan 4 bar atau 50 psi. Setelah tercapai tekanan 4 bar kran reaktor dibuka, sehingga uap akan menuju kondensor pendingin atau penyulingan, proses penyulingan dilakukan selama 1 jam setelah keran dibuka. Hasil uji coba upgrading pada bio-oil tandan kosong kelapa sawit dapat di lihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis upgrading bio-oil tandan kosong kelapa sawit Perlakuan Liquid Fuel (%) Sisa di reaktor ph Bj g/cm 3 Viscositas cst Nilai kalor MJ/kg Daya nyala Tanpa 13,14 4,53 75,94 3,89 0,932 4,7 29,58 cepat katalis Ziolit 38,54 5,51 50,26 3,81 0,930 3,7 31,21 cepat alam NZA 27,22 5,76 57,22 3,73 0,928 3,7 31,29 cepat Katalis 26,01 10,01 51,07 3,64 0,893 2,7 33,06 cepat (Ni/NZA) solar - - 4,26 0,864 4,8 39,40 cepat Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa rendemen bahan bakar (fuel) tertinggi diperoleh pada penambahan katalis Ni/NZA dan yang terendah adalah tanpa penambahan katalis. Sementara itu rendemen bahan bakar pada penambahan katalis zeolit alam dan NZA hampir sama yaitu 5,51 dan 5,76%. Adanya katalis zeolit berpengemban nikel terbukti dapat mempercepat reaksi pemecahan senyawa berberat molekul tinggi menjadi senyawa bahan bakar dengan berat molekul yang lebih rendah. Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan pada 37

43 penelitian sebelumnya menggunakan bio-oil rumput gelagah yang hanya mendapatkan 0,8% (Wibowo, dan Hendra, 2014). ph fuel hasil upgrading biooil berkisar antara 3,64-3,89, meningkat jika dibandingkan dengan ph bio-oil awal. Ini menunjukkan bahwa proses upgrading telah memecah senyawa asam menjadi senyawa lainnya. Demikian juga dengan berat jenis fuel hasil upgrading menjadi berada di bawah satu atau bila bercampur air maka fuel ini berada di atas air. Hasil uji nilai kalor menunjukkan bahwa tanpa katalis diperoleh nilai kalor 29,58 MJ/kg, dan dengan penambahan katalis Ni/NZA diperoleh nilai kalor 33,06 MJ/kg. Hasil uji daya nyala menunjukkan baik fuel tanpa katalis maupun dengan penambahan katalis masuk dalam kategori cepat (0-2 detik) sama seperti daya nyala bahan bakar minyak bumi; bensin atau solar (0-2 detik). Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Zhang et al., (2009), bahwa penambahan katalis HZSM-5 pada pembuatan bio-oil tongkol jagung dapat meningkatkan nilai ph dari 2,8 menjadi 5,2, menurunkan nilai berat jenis dari 1,18 g/cm 3 menjadi 0,95 g/cm 3 dan meningkatkan nilai kalor dari 18,8 MJ/kg menjadi 34,6 MJ.kg. Hasil GCMS upgrading bio-oil menunjukkan bahwa proses upgrading bio-oil baik tanpa dan dengan penambahan katalis telah terbentuk hidrokarbon alkana yaitu heptane (C 8H 18), octane (C 8H 18), udecane (C 11H 24), tridecane (C 13H 28), dodecane (C 12H 26), tetradecane (C 14H 30), heptadecane (C 17H 36) dan hexadecane (C 16H 34). Hasil ini seperti hasil GCMS biosolar seperti heptane, octane, nonane, decane, udecane, dodecane, tridecane, tetradecane, hexadecane, octadecane, eicosane, pentadecane. Hasil GCMS ini menunjukkan bahwa proses upgrading bio-oil dapat meningkatkan kualitas bahan bakar biooil yang dibuktikan dengan terbentuknya senyawa kimia hidrokarbon golongan alkana. 38

44 Lampiran Foto Kegiatan Penelitian Uji daya nyala Tandan kosong kelapa sawit Proses aktivasi zeolit Proses pengembanan nikel pada zeolit teraktivasi (NZA) Proses pengecilan ukuran tandan kosong sawit 39

45 A. Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN 1. Pembuatan bio-oil dari tandan kosong kelapa sawit diperoleh sifat fisiko kimia bio-oil yang didominasi oleh asam-asam terutama asam asetat, fenol dan benzene atau toluen serta terdapat beberapa senyawa golongan hidro karbon alkena seperti hexadecene dan hidrokarbon aromatik naphthalen. Penambahan 6% katalis Ni/NZA terhadap sampel tandan kosong sawit memberikan hasil optimal yaitu rendemen liquid 30,27%, ph 2,94, berat jenis 1,068 g/cm 3, viskositas 44 cst, nilai kalor 29,38 MJ/kg, dan kemampuannya menyala pada 3 detik (kategori sedang). 2. Upgrading bio-oil menggunakan katalis Ni/NZA memberikan sifat fisiko kimia yang optimal yaitu; rendemen liquid 26,01%, rendemen bahan bakar 10,01%, ph 3,64, berat jenis 0,893, viscositas 2,7 cst, nilai kalor 33,06 MJ/kg dan kemampuan menyala pada 1 detik (kategori cepat). Hasil GCMS menunjukkan penambahan katalis Ni/NZA teridentifikasi 113 senyawa, diantaranya adalah golongan hidrokarbon alkana yaitu heptane (C 8H 18) 1,4%, decane (C 10H 22) 2,92%, udecane (C 11H 24) 4,21%, tridecane (C 13H 28) 6,69%, dodecane (C 12H 26) 3,85%, tetradecane (C 14H 30) 10,72%, oktadekane (C 18H 38) 4,46%, hexadecane (C 16H 34) 0,67%. B. Saran Hasil samping pengolahan bio-oil adalah arang yang dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif arang briket dan pellet, arang aktif bahan nano karbon dan kompos arang yang perpotensi meningkatkan nilai tambah. Demikian juga dengan hasil samping gas dapat dimanfaatkan untuk energi alternatif kompor. Untuk meningkatkan mutu bio-oil sebagai bahan bakar mesin perlu terus dilakukan kajian upgrading bio-oil melalui teknik cracking dengan penamabahan katalis. 40

46 Program : Litbang Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Judul RPPI : 8 Pengolahan Hasil Hutan Koordinator RPPI : Ir. Jamal Balfas, M.Sc Judul Kegiatan : 1 Paleobotani Fosil Tumbuhan Hutan Tropis Pelaksana Kegiatan : Andianto, S.Hut, M.Si; Dra. Sri Ruliaty, M.Sc; Drs. Agus Ismanto; Drs. Dominicus Martono Abstrak Penelitian dilakukan terhadap sejumlah fosil kayu yang berasal dari wilayah Banten dan Garut. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan informasi ilmiah mengenai fosil-fosil kayu yang terdapat disekitar wilayah Banten dan Garut. Irisan bidang lintang, radial dan tangensial fosil kayu diamati ciri-ciri anatominya menggunakan mikroskop Carl Zeiss-axio Imager A1m. diskripsi ciri anatomi mengacu kepada daftar ciri mikroskopis untuk identifikasi kayu daun lebar IAWA. Analisis umur fosil dilakukan berdasarkan meoda radio karbon analisa peta geologi. Ciri-ciri anatomi yang berhasil terindentifikasi berupa pembuluh yang sebagian besar soliter, lainnya berganda radial dan diagonal, ukuran pembuluh agak kecil sampai agak besar, jari-jari agak sempit dan jarang, terlihat adanya saluran dammar aksial berderet tangensial panjang. Ciri anatomi demikian adalah ciri anatomi dari jenis Shoreoxylon sp (meranti). Ciri anatomi pada fosil aslinnya yang teridentifikasi adalah pembuluh hamper seluruhnya soliter, pembuluh agak jarang, jari-jari agak sempit dan jarang. Ciri-ciri demikian merupakan ciri anatomi yang dimiliki oleh jenis Drobalanoxylon sp (kamper). Fosil-fosil kayu tersebut diperkirakan berumur masa Plistosen awal (0,012 0,027 juta tahun lalu). Kata kunci: Fosil kayu, Banten, Garut, Shoreoxylon, Dryobalanoxylon. A. Latar Belakang RINGKASAN Indonesia selain dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman jenis pohon juga memiliki keragaman jenis fosil kayu. Penemuan fosil kayu di Indonesia masih sedikit yang terungkap, sehingga hal ini mejadi daya tarik untuk tetap dicari dan digali informasinya. Hingga saat ini, kekayaan fosil kayu 41

47 yang berlimpah hanya sebagai sarana pemuas konsumsi para kolektor dan penjual demi kepentingan bisnis dan kesenangan. Menurut Mandang dan Martono (1996), fosil kayu sejak kurang lebih 20 tahun lalu sudah diperjual belikan di daerah barat Pulau Jawa. Sumber Daya Alam berupa fosil kayu yang kita miliki ini dapat menjadi media dan sarana ilmu pengetahuan dan pendidikan. Informasi jenis pohon pada masa lampau dapat digunakan untuk mengetahui perubahan ekologi atau kedekatan ekologi berbagai daerah. Salah satu dari hasil penelitian fosil kayu di Indonesia melaporkan bahwa penemuan fosil kayu jenis suku Dipterocarpaceae yang banyak ditemukan di daerah Banten menandakan adanya kemungkinan bersatunya Pulau Jawa dengan Sumatera dan Kalimantan pada jaman dahulu kala (Mandang dan Martono, 1996). Keberadaan jenis-jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae dewasa ini adalah dominan di Pulau Sumatera dan Kalimantan, namun di Pulau Jawa semua jenis tersebut hampir tidak ditemukan lagi. Penelitian fosil kayu dirasa penting mengingat fosil kayu merupakan salah satu kekayaan peninggalan sejarah flora di Indonesia. Semakin gencarnya praktek jual beli fosil kayu selama ini dikhawatirkan fosil kayu akan semakin langka, padahal fosil-fosil kayu yang diperjual belikan sebagian besar tanpa diketahui identitas botanisnya. Identitas botanis ini penting untuk menggali sejarah sebaran jenis-jenis pohon yang tumbuh di masa lampau, sehingga kita dapat menguak adanya perubahan anatomi kayu dari pohon keturunannya yang tumbuh saat ini. Harapan ke depan dari kegiatan penelitian fosil kayu ini akan melahirkan suatu kebijakan yang dapat membangun persepsi yang sama terhadap pentingnya keberadaan kawasan konservasi fosil kayu di Indonesia. Dampak yang diharapkan juga adalah kesadaran akan perlunya perlindungan terhadap keberadaan fosil kayu sebagai aset ilmu pengetahuan dan kekayaan alam Indonesia. A. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan Penelitian tahun 2015 bertujuan untuk mendapatkan informasi ilmiah mengenai fosil-fosil kayu yang terdapat di sekitar wilayah Banten dan Garut. 2. Sasaran Sasaran penelitian adalah tersedianya informasi ilmiah mengenai identitas botanis, persebaran serta umur fosil kayu. Dengan demikian maka keberadaan fosil-fosil kayu yang terdapat di beberapa wilayah Indonesia terlihat jelas dengan dukungan data-data ilmiah yang dapat dipergunakan untuk pengelolaan sumber daya alam fosil kayu di Indonesia. 42

48 B. Metoda Penelitian Bahan utama penelitian adalah fosil kayu yang masih tertimbun di dalam tanah yang dikumpulkan dari beberapa wilayah di Banten dan Garut. Bahan kimia yang dipakai di antaranya yaitu carborundum dan canada balsam. Peralatan yang digunakan antara lain pemotong batu (gergaji mesin), mikrotom, mikroskop cahaya, kamera, hot plate. Sedangkan bahan gelas kaca yang diperlukan antara lain object glass, cover glass, loupe, dan lain-lain. Bidang lintang, radial dan tangensial dari setiap fosil kayu diamati ciri-ciri anatominya pada preparat iris dengan bantuan mikroskop Carl Zeiss-Axio Imager A1m. Pembuatan preparat iris dimulai dengan memotong/mengiris sebongkah fosil kayu berukuran 3 cm x 3 cm x 6 cm pada tiga bidang/ penampang yaitu lintang, radial, dan tangensial. Permukaan pada setiap penampang irisan ditipiskan dengan menggunakan mesin gosok batuan yang sudah ditaburi serbuk carborundum 100 mesh. Selanjutnya setiap irisan fosil dicuci dengan air, dan digosok kembali dengan kaca ketebalan 5 milimeter yang sudah ditaburi serbuk carborundum 320 mesh. Kemudian dicuci kembali dan selanjutnya digosok pada kaca yang ditaburi serbuk carborundum 600 mesh agar lebih halus. Selanjutnya masing-masing irisan fosil kayu beserta object glass dipanaskan pada hot plate hingga suhu C. Setelah dipanaskan selanjutnya masing-masing irisan fosil direkatkan pada object glass yang sudah diolesi canada balsam dengan menekan hingga tidak nampak gelembung udara. Diamkan hingga dingin dan melekat dengan baik. Setiap irisan fosil yang sudah melekat pada object glass selanjutnya digosok kembali pada plat gosok batuan hingga terlihat tipis (bayang-bayang) dengan melihatnya di bawah mikroskop. Untuk mendapatkan ketipisan sesuai yang diinginkan, irisan fosil selanjutnya dibersihkan dengan air dan digosok kembali pada kaca yang ditaburi serbuk carborundum 320 mesh. Apabila belum sesuai dengan ketipisan yang diinginkan, digosok kembali pada kaca yang ditaburi serbuk carborundum 600 mesh. Jika ketipisan sudah sesuai, selanjutnya dikeringkan sebentar dan beri entelan serta tutup dengan cover glass hingga kering selama lebih kurang 2 jam. Selanjutnya preparat iris siap untuk dilakukan pengamatan. Diskripsi ciri anatomi guna penentuan jenis fosil kayu mengacu kepada daftar ciri mikroskopis untuk identifikasi kayu daun lebar IAWA (Wheeler et al., 1989). Jumlah pengamatan ciri-ciri kuantitatif sel disesuaikan dengan jumlah sel yang dapat dilihat pada slide/preparat pengamatan. Ciri-ciri anatomi hasil pengamatan selanjutnya dibandingkan dengan ciri-ciri anatomi kayu masa kini yang sejenis. Perkiraan umur fosil kayu ditelusuri dan dianalisis dengan bantuan data yang terdapat pada peta Geologi (skala 1 : ). Peta Geologi merupakan peta yang di dalamnya berisi stratigrafi (formasi) batuan dengan perkiraan 43

49 informasi umurnya. Keberadaan fosil kayu yang tertimbun di dalam lapisan tanah diasumsikan memiliki usia yang sama dengan lapisan tanah itu sendiri. Selain berdasarkan peta Geologi, untuk mengetahui perkiraan umur fosil kayu juga dilakukan melalui teknik peluruhan isotop radioaktif (waktu paruh). Cara pentarikhan radiokarbon merupakan salah satu metoda radiometri yang dapat dipakai untuk menentukan umur mutlak suatu bahan sampai umur ± tahun yang lalu. Metoda ini hanya dapat digunakan pada bahan yang mengandung unsur karbon (C). Unsur karbon yang dipakai adalah isotop 14 C yang terdapat dalam atmosfir yang terikat dalam senyawa 14 CO 2. Nisbah radiokarbon terhadap isotop karbon yang mantap dalam organisma hidup adalah sama dengan nisbah dalam atmosfir. Kematian organisma mengakhiri pertukaran 14 CO 2 antara organisma dengan atmosfir. Dalam organisma yang mati, 14 C berkurang melalui degradasi radioaktif. Dengan membandingkan derajat keradioaktifan dalam organisma hidup dapat ditentukan sudah berapa lama organisma itu mati. D. Hasil yang Dicapai Lokasi fosil kayu berada di wilayah Kabupaten Lebak (Provinsi Banten), Kabupaten Bogor dan Kabupaten Garut (Provinsi Jawa Barat). Berdasarkan tinjauan ke lokasi, fosil kayu yang berhasil ditemukan berada pada daerah persawahan dan kebun campuran. Temuan fosil kayu di wilayah Kabupaten Lebak berada pada dua kecamatan, sedangkan kecamatan lainnya merupakan wilayah perbatasan antara Kabupaten Lebak dan Bogor yaitu Kecamatan Jasinga. Temuan fosil kayu di daerah Garut berada pada satu wilayah kecamatan. 1. Karakteristik wilayah temuan fosil kayu - Lokasi Banten Kabupaten Lebak merupakan kabupaten terluas di Provinsi Banten dan memiliki luas lahan persawahan ke dua terbesar di Provinsi Banten (23,66%) setelah Kabupaten Pandeglang. Kabupaten Lebak berbatasan dengan Kabupaten Serang dan Tangerang di sebelah utara, berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Sukabumi di sebelah timur, dan Kabupaten Pandeglang di sebelah barat dan sebelah selatan dengan Samudera Indonesia. Secara geografis wilayah Kabupaten Lebak berada pada ' s/d ' BT dan ' s/d ' LS dengan luas wilayah Ha. Bagian utara berupa dataran rendah, dan di bagian selatan merupakan pegunungan. Sungai Ciujung mengalir ke arah utara yang merupakan sungai terpanjang di wilayah Banten (Provinsi Banten, 2015). Temuan fosil kayu di Kabupaten Lebak berada pada dua wilayah yaitu kecamatan Curug Bitung dan kecamatan Cimarga. Kedua wilayah kecamatan ini berada pada ketinggian antara

50 hingga 500 mdpl. Berdasarkan data potensi komoditi industri kecil di daerah Kabupaten Lebak, batu fosil merupakan salah satu hasil komoditi daerah ini. Kabupaten Lebak merupakan satuan Ekoregion Karst dan sebagiannya merupakan Blok patahan yang cenderung berbukit dengan kemiringan lereng dominan lebih dari 37%. Struktur geologi di daerah ini terdiri dari formasi batuan yang terdiri batuan sedimen, batuan gunung api, batuan terobosan dan alluvium yang berumur mulai Miosen awal hingga Resen (Provinsi Banten, 2015). Masyarakat di wilayah ini sudah tidak asing dengan pencarian fosil kayu, bahkan terdapat beberapa pengusaha batu alam yang menjadikan fosil kayu sebagai komoditi yang diperjual-belikan. Masyarakat setempat melakukan cara/teknik pencarian fosil kayu dengan cara menusukkan sebatang besi ke dalam tanah. Apabila terasa adanya benturan keras, maka diduga kemungkinan di bawah tanah tersebut terdapat fosil kayu. Gambar 1. Lubang galian dan fosil-fosil kayu di wilayah Banten Sebaran fosil kayu yang terdapat di wilayah Banten tercermin dalam tabel berikut di bawah ini. 45

51 Tabel 1. Sebaran lokasi fosil kayu di daerah Banten No. Lokasi penemuan Koordinat lokasi Ketinggian (mdpl) 1. Kampung Blok Kebon panas, Desa Koleang, Kec. Jasinga 2. Kampung Blok Kebon panas, Desa Koleang, Kec. Jasinga 3. Kampung Candi, Desa Lebak kasih, Kec. Curug bitung 4. Kampung Turus, Desa Curug bitung, Kec. Curug bitung 5. Kampung Kadu luhur, Desa Tambak, Kec. Cimarga 6. Kampung Polad, Desa Tambak, Kec. Cimarga 7. Kampung Polad, Desa Tambak, Kec. Cimarga LS (S) '39,6'' BT (E) '12,5'' LS (S) '658'' BT (E) '207'' LS (S) '756'' BT (E) '446'' LS (S) '726'' BT (E) '549'' LS (S) '726'' BT (E) '549'' LS (S) '421'' BT (E) '925'' LS (S) '410'' BT (E) '792'' 8. Kali Cisentul LS (S) '400'' BT (E) '791'' 9. Kampung Polad, Desa LS (S) '633'' Tambak, Kec. BT (E) '553'' Cimarga 10. Kampung Polad, Desa Tambak, Kec. Cimarga LS (S) '603'' BT (E) '521'' jumlah specimen yang diambil (buah) Kode specimen I.1, I.2,I I.A, I.B II.1, II.2, II.3, II.4, II III.1 s/d III IV V VIII.1, VIII IX.1, IX X XI.1, XI.2 Jumlah 25 - Lokasi Garut Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan ( '49'' LS dan '8'' BT). Kabupaten ini memiliki luas sekitar Ha, berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang di sebelah utara, Kabupaten Tasikmalaya di sebelah Timur, Kabupaten Bandung dan Cianjur di sebelah Barat, serta berbatasan dengan Samudera Indonesia di sebelah Selatan. Rangkaian gunung api aktif mengelilingi dataran dan 46

52 cekungan antar gunung seperti Gunung Guntur, Gunung Haruman, Gunung Kamojang di sebelah Barat, Gunung Papandayan dan Gunung Cikuray di sebelah Selatan Tenggara, serta Gunung Cikuray, Gunung Talagabodas, Gunung Galunggung di sebelah Timur. Letak/tapak fosil kayu yang ditemukan berada pada dua lokasi areal persawahan penduduk. Saat mengunjungi tapak fosil kayu, keberadaan fosil kayu sudah tidak tampak lagi karena sudah dipindahkan ke salah satu rumah penduduk dan pekarangan kepala desa setempat. Bagian fosil kayu yang masih tersisa di lokasi dibawa untuk dilakukan identifikasi jenis. Sebaran fosil kayu yang di temui di lapangan adalah sebagai berikut di bawah ini. Tabel 2. Sebaran lokasi fosil kayu di daerah Garut No. Lokasi penemuan 1. Kampung Kareo RT05/RW 04, Desa Wangunjaya, Kec. Banjarwangi, Kabupaten Garut 2. Kampung Kadu RT04/RW 04, Desa Wangunjaya, Kec. Banjarwangi, Kabupaten Garut Koordinat lokasi LS (S) '595'' BT (E) '425'' LS (S) '782'' BT (E) '255'' Ketinggian (mdpl) jumlah specimen yang diambil (buah) Kode specimen I.1, I II Jumlah 3 Gambar Lokasi penemuan fosil kayu di wilayah Garut 47

53 2. Analisis perkiraan umur fosil kayu Analisis umur fosil kayu dilakukan dengan dua metoda, yaitu berdasarkan metoda radio karbon serta berdasarkan peta geologi. - Berdasarkan metoda radio karbon Analisa/pengujian umur fosil kayu telah dilakukan terhadap 20 specimen. Tidak semua fosil kayu dapat dianalisa umurnya. Pengujian umur fosil dibatasi oleh peralatan yang tersedia di Laboratorium. Keterbatasan peralatan pengujian umur fosil kayu di Indonesia menjadi kendala dalam menganalisa umur fosil kayu hingga jutaan tahun. Berdasarkan hasil pengamatan melalui metoda radio karbon, diperkirakan umur fosil kayu mencapai lebih dari tahun. - Berdasarkan Formasi geologi Fosil-fosil kayu yang berasal dari wilayah Garut dapat dianalisis berdasarkan data pada peta geologi skala 1 : Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru. Berdasarkan stratigrafi lembar peta, wilayah Kabupaten Garut berumur Pliosen - Pleistosen yaitu masa antara 0.01 hingga 5 juta tahun yang lalu. Sedangkan fosil yang berasal dari wilayah Banten diperkirakan berumur Pliosen (Mandang & Kagemori, 2004). Masa Pleistosen adalah 0,01-1,8 juta tahun lalu yang ditandai oleh beberapa kali glasiasi (zaman es), sedangkan masa Pliosen adalah sekitar 1,8-5 juta tahun lalu yang ditandai dengan semakin berkurangnya jumlah tumbuhan karena cuaca dingin (Museum Geologi, 2014). 3. Jenis fosil kayu Berdasarkan hasil pengamatan ciri-ciri anatomi yang dapat diidentifikasi, fosil asal Banten (kode I.1) memiliki ciri berupa sel pembuluh yang hampir seluruhnya soliter dan sebagian bergabung 2-3 arah radial dan kadang-kadang berkelompok dalam arah diagonal maupun tangensial. Ciri anatomi lainnya adalah ditemukannya sel jari-jari yang hampir seluruhnya multiseriate, terdapat sel parenkim berbentuk selubung dan terkadang aliform maupun konfluen, serta terdapat saluran damar aksial berderet tangensial panjang. Ciriciri anatomi fosil kayu ini serupa dengan ciri-ciri anatomi kayu dari genus Shorea famili Dipterocarpaceae, sehingga dapat dikatakan jenis fosil dengan nomor kode I.1 adalah jenis Shoreoxylon sp. (Meranti). Sedangkan fosil lainnya yang berhasil teridentifikasi yang juga berasal dari Banten adalah fosil dengan nomor kode III.2, dengan ciri-ciri anatomi berupa sel pembuluh yang hampir seluruhnya soliter dan terkadang gabungan 2-3 arah radial atau tangensial. Ciri anatomi lainnya adalah terdapat sel parenkim tipe paratrakeal selubung dan parenkim pita terputus serta parenkim baur. Selain itu ciri anatomi lainnya 48

54 berupa adanya saluran damar berderet tangensial dengan diameter lebih kecil dibandingkan diameter sel pembuluh. Ciri-ciri anatomi demikian serupa dengan ciri-ciri kayu jenis Dryobalanops sp. anggota famili Dipterocarpaceae. Sehingga fosil kayu dengan kode I.B diduga adalah jenis Dryobalanoxylon sp. (Kamper). E. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Sejumlah fosil kayu yang diperoleh dari wilayah Banten dan Garut telah berhasil diambil langsung dari lokasi keberadaannya. Hasil pengamatan ciri-ciri anatomi yang berhasil diidentifikasi menunjukkan bahwa jenis fosil adalah jenis Shoreoxylon sp. (Meranti) dan Dryobalanoxylon sp. (Kamper). Analisa pengukuran umur fosil terhadap kedua jenis fosil tersebut berdasarkan data peta geologi diperkirakan berumur Plistosen yaitu sekitar 0,01 hingga 2,5 juta tahun lalu. Sedangkan hasil pengujian berdasarkan metoda radio karbon terhadap 5 sampel fosil lainnya yang juga berasal dari wilayah Banten diperkirakan berumur Plistosen awal (0,012 hingga 0,027 juta tahun lalu). Lokasi wilayah temuan fosil kayu umumnya berada pada lahan pesawahan dan kebun dengan lokasi ketinggian berkisar antara 63 hingga 107 mdpl. 2. Saran Berdasarkan jumlah fosil kayu yang ditemukan Banten dan Garut. Mengindikasikan bahwa pada kedua wilayah ini memiliki potensi sebagai sumber keragaman jenis fosil kayu di Indonesia. Sehingga untuk menjaga keberadaannya diperlukan upaya konservasi, mengingat adanya kabar yang berkembang bahwa di wilayah ini akan direncanakan pembangunan waduk untuk pengairan sawah dan pembangkit tenaga listrik. 49

55 Program : Litbang Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Judul RPPI : 8 Pengolahan Hasil Hutan Koordinator RPPI : Ir. Jamal Balfas, M.Sc Judul Kegiatan : 2 Teknik Pengolahan dan Diversifikasi Produk Serat dan Partikel Bambu Pelaksana Kegiatan : Dr. Ir. IM. Sulastiningsih, M.Sc; Prof.Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si; Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si; Dian Anggraini Indrawan, S.Hut. MM; Ir. Nurwati Hadjib, MS; Ir. MI. Iskandar BSc.F, MM Abstrak Sumber daya bambu Indonesia melimpah, tetapi pemanfaatannya terbatas. Karena itu perlu ditingkatkan diversifikasi produk pengolahan bambu. Untuk meningkatkan efisiensi, maka bambu harus diolah lebih lanjut menjadi produk panel berupa papan partikel dan papan serat hardboard yang lebih fleksibel penggunaannya dibanding bambu bulat. Papan untai berarah atau Oriented Strand Board (OSB) adalah salah satu produk pengolahan bambu yang dapat memenuhi persyaratan sebagai bahan pembuatan komponen mebel dan bangunan karena sifat dan dimensinya dapat diatur sesuai dengan tujuan penggunaannya. Sedangkan papan serat sebagai salah satu produk rekonstitusi bahan berserat lingo-selulosa selain kayu memiliki berbagai kegunaan seperti untuk bahan isolasi, dinding penyekat, produk furniture, bagian peralatan listrik, dan konstruksi ringan hingga berat. Tujuan kegiatan penelitian ini adalah mendapatkan informasi pembuatan papan untai dan hardboard berbasis bambu yang berkualitas tinggi sedangkan sasarannya adalah tersedianya informasi pembuatan papan untai dan hardboard berbasis bambu yang sesuai sebagai bahan substitusi kayu dan produk kayu. OSB bambu yang dibuat memiliki kerapatan rata-rata 0,75 g/cm 3. Sifat fisis dan mekanis OSB bambu sangat dipengaruhi oleh kadar perekat yang digunakan, semakin tinggi kadar perekat semakin baik sifat OSB bambu yang dihasilkan. Keteguhan rekat internal OSB bambu dipengaruhi oleh ukuran untai dan kadar perekat yang digunakan. Hardboard dibuat dengan campuran pulp (bambu tali + bambu ampel) dengan proporsi 100%+0%, 75%+25%, 50%+50%, 25%+75%, dan 0%+100%. Tiap proporsi ditambahkan bahan perekat tannin-resorsinolformaldehida (TRF) sebesar 0%, 6% dan 8%. Hardboard yang menunjukan prospek tertinggi (banyak memenuhi persyaratan JIS dan ISO) adalah hardboard dari serap pulp bambu ampel 100% (TRF 8%) diikuti hardboard dari pulp bambu tali + pulp bambu ampel (50%+50% dan 25%+75%). Hardboard berprospek terendah adalah dari serat pulp bambu tali 100%. Kata kunci: Teknik pengolahan, diversifikasi produk, bambu, OSB, papan serat. 50

56 RINGKASAN A. Latar Belakang Konversi bambu menjadi papan dan balok bambu telah dilakukan dengan membuat produk pengolahan bambu berupa bambu lamina dimana elemen penyusunnya berupa bilah bambu. Pengolahan bambu menjadi produk bambu lamina masih menyisakan beberapa bagian batang bambu yang tidak dimanfaatkan karena produk bambu lamina hanya memanfaatkan bambu yang berdiameter besar, dindingnya tebal dan batangnya lurus. Untuk meningkatkan efisiensi pengolahan bambu maka limbah hasil pengolahan bambu untuk bambu lamina tersebut dan jenis bambu yang berdiameter kecil harus diolah lebih lanjut menjadi produk panel berupa papan partikel dan papan serat (hardboard) berbasis bambu yang lebih fleksibel dalam penggunaannya. 1. Tujuan dan Sasaran Tujuan kegiatan penelitian ini adalah mendapatkan informasi pembuatan papan untai dan hardboard berbasis bambu dan sasarannya adalah tersedianya data dan informasi teknis mengenai pembuatan papan untai dan hardboard berbasis bambu. 2. Metode Penelitian a. Pembuatan papan partikel bambu (papan untai bambu berarah) Jenis bambu yang digunakan untuk pembuatan papan partikel bambu (papan untai bambu berarah) adalah bambu tali dan perekat yang digunakan adalah fenol formaldehida. Partikel berbentuk untai atau strand yang digunakan memiliki dimensi tebal sekitar 0,5 0,8 mm, lebar sekitar 2 2,5 cm dan panjangnya 3 macam yaitu 7,5 cm, 10 cm dan 15 cm. Untuk masingmasing ukuran untai dibuat papan untai berarah dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 1,2 cm dan target kerapatan 0,7 g/cm 3. Papan untai bambu berarah (OSB bambu) yang dibuat merupakan papan untai berlapis 3 (tiga) dimana lapisan tengah atau lapisan 2 disusun tegak lurus atau menyilang terhadap lapisan luar (lapisan 1 atau atas dan lapisan 3 atau bawah). OSB bambu dibuat dengan 3 macam kadar perekat yaitu 6%, 7% dan 8% dari berat kering untai dan dibuat dari masing-masing untai atau strand dengan ukuran panjang yang sama (homogen). Papan untai bambu berarah dibuat dengan proses kempa panas pada suhu 160ºC dengan tekanan spesifik 25 kg/cm 2 selama 6 menit. Untuk setiap perlakuan dibuat papan untai bambu berarah (OSB bambu) sebanyak 4 papan. Pengujian sifat fisis dan mekanis papan untai bambu berarah (OSB bambu) meliputi kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, pengembangan linier, keteguhan rekat internal, kuat pegang sekrup, dan keteguhan lentur 51

57 dilakukan menurut Standar Jepang (JIS A 5908, JSA 2003). Data hasil pengujian sifat fisis dan mekanis OSB bambu kemudian dianalisis secara statistik dengan menggunakan rancangan percobaan faktorial 3 x 3. Banyaknya ulangan untuk masing-masing perlakuan 4 buah papan. b. Pembuatan papan serat (hardboard) Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu ampel (Bambusa vulgaris) dan bambu tali (Gigantochloa apus), serta perekat tanin resorsinol formaldehida. Bambu dijadikan serpih berukuran panjang 2-3 cm, lebar 2-2,5 cm, dan tebal 2-3 mm secara manual. Pengolahan pulp menggunakan proses semi-kimia soda panas terbuka dengan nilai banding bahan baku serat dengan larutan pemasak sebesar 1:8 (b/v), dan suhu maksimum pemasakan (100 o C) selama 2 jam. Konsentrasi alkali (soda api) untuk pemasakan bambu dibuat dalam 1 variasi yaitu 10,5%. Hardboard dibuat dengan campuran pulp (bambu tali + bambu ampel) dengan proporsi 100%+0%, 75%+25%, 50%+50%, 25%+75%, dan 0%+100%. Tiap proporsi ditambahkan bahan perekat tanin-resorsinol-formaldehida (TRF) sebesar 0%, 6% and 8%. Lembaran papan serat bertipe hardboard (target kerapatan 1,0 g/cm 3, dimensi hardboard 30 cm x 30 cm x 0,5 cm) dibuat menggunakan alat deckle box (cara basah), selanjutnya dikempa dingin dengan tekanan 5 kg/cm 2, dilanjutkan dengan perlakuan panas selama 30 menit, dan pengempaan panas (suhu 170 o C, tekanan 30 kg/cm 2, selama 10 menit). Lembaran hardboard yang terbentuk selanjutnya dikondisikan pada suhu ruangan selama 24 jam, dan siap diuji sifat fisik dan mekanisnya. Pengujian sifat fisis dan mekanis hardboard mengacu pada standar JIS (Japanese Standards Association (JSA). 2003) dan ISO (2009), yang mencakup kerapatan riil, keteguhan lentur meliputi modulus elastisitas (MOE) dan modulus patah (MOR), kadar air, daya serap air, pengembangan tebal, keteguhan rekat internal, konduktifitas panas, dan ketahanan panas. Analisis data dilakukan pada sifat dasar, sifat pengolahan pulp dan sifat fisis dan mekanis hardboard. Data hasil pengujian sifat fisis-mekanis harboard ditelaah dengan rancangan percobaan acak lengkap berpola faktorial. Sebagai faktor adalah proporsi campuran serat dan penggunaan aditif. Proporsi campuran serat (P) yaitu pulp bambu tali + pulp bambu ampel, terdiri dari dari 5 taraf yaitu 100%+0% (p1), 75%+25% (p2), 50%+50% (p3), 25%+75% (p4), dan 0%+100% (p5). Penggunaan aditif (T) terdiri dari tiga macam yaitu kontrol/tanpa aditif (t1), TRF 6% (t2), dan TRF 8% (t3). Ulangan dari masingmasing kombinasi faktor P dan T dilakukan sebanyak 5 kali. 52

58 3. Hasil yang dicapai a. Papan untai bambu berarah Papan untai berarah (OSB) dari bambu tali telah dibuat dengan 3 macam ukuran untai dan 3 macam kadar perekat fenol formaldehida. Kadar air ratarata papan untai bambu berarah yang dibuat dari bambu tali dengan berbagai perlakuan adalah 8,3%, sedangkan kerapatannya berkisar antara 0,74 g/cm 3 hingga 0,76 g/cm 3 dengan rata-rata 0,75 g/cm 3. Secara keseluruhan, kadar air dan kerapatan papan partikel untai bambu berarah ini telah memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia dan Standar Jepang untuk produk papan partikel dan memenuhi Standar Inggris untuk OSB. Pengembangan tebal OSB bambu yang dibuat dengan berbagai perlakuan berkisar antara 11,4% sampai 15,0% dengan rata-rata 13,07%. Sifat pengembangan tebal OSB bambu sangat penting untuk diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan dimensi OSB bambu pada saat digunakan. Secara keseluruhan, pengembangan tebal OSB bambu hasil penelitian ini memenuhi persyaratan produk papan partikel menurut Standar Nasional Indonesia dan Standar Jepang serta memenuhi persyaratan pengembangan tebal OSB menurut Standar Inggris. Keteguhan rekat internal atau internal bond merupakan indikator baik tidaknya ikatan antar partikel dalam OSB bambu. Keteguhan rekat internal (internal bond ) OSB bambu yang dibuat dengan berbagai perlakuan serta direkat dengan perekat fenol formaldehida berkisar antara 3,11 kg/cm 2 sampai 4,28 kg/cm 2 dengan rata-rata 3,49 kg/cm 2. Secara keseluruhan, keteguhan rekat internal OSB bambu hasil penelitian ini memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia dan Standar Jepang untuk produk papan partikel dan memenuhi persyaratan Standar Inggris untuk produk OSB. Kuat pegang sekrup OSB bambu hasil penelitian ini yang dibuat dengan berbagai perlakuan serta direkat dengan perekat fenol formaldehida berkisar antara 79,4 kg sampai 94,1 kg dengan rata-rata 86,7 kg. Nilai kuat pegang sekrup OSB bambu ini memenuhi persyaratan produk papan partikel menurut Standar Nasional Indonesia dan Standar Jepang. Keteguhan lentur OSB bambu yang dibuat dengan berbagai perlakuan berkisar antara 431,5 kg/cm 2 hingga 524,8 kg/cm 2 dengan rata-rata 479,6 kg/cm 2. OSB bambu hasil penelitian ini memiliki keteguhan lentur lebih tinggi dibanding keteguhan lentur papan partikel bambu betung hasil penelitian Sulastiningsih et al. (2006) dan keteguhan lentur OSB campuran kayu Calophyllum inophyllum dan Paulownia coreana hasil penelitian Oh dan Kim (2015). Nilai keteguhan lentur OSB bambu ini memenuhi persyaratan produk papan partikel tipe 24 menurut Standar Jepang. 53

59 b. Papan serat tipe hardboard Kadar air hardboard hasil percobaan (4,2-9,3%), hampir seluruhnya (93,3%) memenuhi persyaratan JIS (2003); tetapi pengembangan tebal (47,7-60,4%) dan penyerapan air (83,8-97,5%) keseluruhannya tidak memenuhi persyaratan. Campuran pulp bambu tali + pulp bambu ampel, pada 5 taraf proporsi; dan penggunaan aditif (perekat TRF) berpengaruh nyata terhadap sifat kerapatan, MOE, MOR, dan IB produk hardboard. Penggunaan perekat TRF (6% dan 8%) cenderung lebih tinggi pada keempat sifat tersebut dibandingkan nilai untuk hardboard kontrol. Kerapatan dan MOE hardboard hasil percobaan berturut-turut adalah 0,87-0,99 kg/cm 2 ) dan kg/cm 2, dan seluruhnya memenuhi persyaratan JIS dan ISO. Untuk MOR (246,2-470,5 kg/cm 2 ) dan IB (1,7-5,2 kg/cm 2 ) juga memenuhi persyaratan tersebut tetapi secara parsial yaitu berturut-turut 66,6-86,6% dan 6,7%. Gambar Untai bambu ditimbang Gambar Untai bambu dicampur perekat Gambar Bahan OSB bambu siap dikempa panas suhu 160 C Gambar Pengempaan panas 54

60 Gambar OSB bambu siap dikeluarkan dari mesin kempa panas Gambar OSB bambu didinginkan 4. Kesimpulan dan Saran a. Kesimpulan Berdasarkan pencermatan sifat dasar bahan serat (bambu tali dan bambu ampel), sifat pengolahan pulp, dan sifat fisis-kekuatan/mekanis produk hardboard, bahan serat yang paling berprospek untuk hardboard adalah pulp bambu ampel 100%. Sedangkan yang paling tidak berprospek adalah pulp bambu tali 100%. Bahan serat berupa campuran pulp bambu tali dan pulp bambu ampel pada proporsi 50%+50% dan 25%+75% berturut-turut menempati urutan prospek kedua dan ketiga. Sifat produk hardboard pada urutan prospek pertama, kedua dan ketiga banyak memenuhi persyaratan (JIS dan ISO). Sifat fisis-mekanis hardboard yang diberi bahan perekat TRF 8% lebih baik dibandingkan dengan TRF 6%. Sifat hardboard tersebut dengan perekat TRF lebih baik daripada sifat hardboard kontrol (tanpa TRF). 2. Saran Berdasarkan hasil penelitian maka perekat TRF 8% yang paling baik digunakan sebagai bahan aditif hardboard. Untuk memperbaiki performa serat yang kurang prospektif untuk hardboard (bambu tali), disarankan antara lain pencampurannya dengan serat pulp bambu ampel dengan porsi 50%, perekat TRF lebih banyak, cross-linking agent dan penerapan oil-tempering. Guna menjaga atau memperbaiki mutu/kualitas hardboard hasil percobaan, perlu usaha yang mengarah penyempurnaan sifatnya dengan urutan prioritas mula-mula IB, lalu berturut-turut MOR, daya hantar panas, pengembangan tebal, kerapatan, kadar air, MOE, penyerapan air, dan akhirnya ketahanan panas. 55

61 Program : Litbang Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Judul RPPI : 8 Pengolahan Hasil Hutan Koordinator RPPI : Ir. Jamal Balfas, M.Sc Judul Kegiatan : 3 Inovasi Teknik Pengolahan Rotan Pelaksana Kegiatan : Dr. Krisdianto, S.Hut, M.Sc; Dra. Jasni, M.Si; Drs. D. Martono; Prof. Dr. Adi Santoso, M.Si; Ir. Achmad Supriadi, MS Abstrak Peningkatan nilai tambahan rotan di masyarakat hulu diupayakan dengan mengembangkan perekayasa pengolahan rotan seperti penggorengan dengan minyak tanah yang sesuai dengan kemajuan teknologi. Teknologi gelombang mikro (microwave) merupakan salah satu alternatif pengeringan rotan dengan proses relative bersih dan terjangkau. Penelitian ini mempelajari efektivitas pengeringan rotan dengan teknologi microwave oven yang tersedia dipasaran. Rotan diameter besar (d>18 mm) jenis semambu (calamus scipionum lour.) dan rotan kesur (calamus ornatus blume ex. Schult.f.) dikumpulkan dari Bengkulu untuk dibandingkan pengeringannya dengan microwave dan digoreng dengan minyak tanah. Rotan pendek berukuran 10 cm dan rotan panjang berukuran 2 m di uji cobakan pada microwave dan penggorengan dengan minyak tanah sebagai perbandingan. Hasil penelitian menunjukan kadar air menurun secara nyata, semakin besar energy microwave, semakin besar penurunan kadar airnya dan penurunan kadar air lebih besar dari penurunan kadar air dengan digoreng. Namun, pada tingkat energy 100% dan 75%, batang rotan menjadi keriput akibat penyusutan dimensi secara cepat. Untuk menghindari keriput disarankan untuk menggunakan microwave oven 1 kw (input) dengan kekuatan energy microwave 50% atau lebih rendah. Pengeringan rotan dengan microwave generasi pertama dilakukan per-satu batang dan perlu dikembangkan modifikasi microwave generasi kedua untuk mengeringkan rotan dalam ikatan besar. Setelah pemanasan dengan microwave rotan perlu diusap dengan kain yang telah dicelupkan dalam minyak tanah. Analisis biaya pengeringan rotan dengan microwave energy 50% sebesar RP 205 per-batang rotan panjang 2 m. Secara umum, pengeringan batang rotan dengan microwave cukup terjangkau dan efektif untuk menurunkan kadar air rotan. Kata kunci: pengeringan, rotan, microwave oven, kadar air, keriput 56

62 A. Latar Belakang RINGKASAN Rotan merupakan suatu istilah yang diberikan untuk kelompok tumbuhan memanjat yang batangnya dapat digunakan untuk berbagai macam produk, seperti mebel, keranjang dan peralatan rumah tangga (Dransfield & Manokaran, 1994; Alrasjid, 1989). Rotan adalah salah satu komoditi yang termasuk dalam kategori Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Daerah penghasil rotan tersebar di Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua dengan perkiraan potensi ton/tahun. Dalam rangka meningkatkan nilai tambah rotan, Menteri Perindustrian melalui Surat Keputusan No. 199/M-Ind/Per/10/2009 tentang upaya peningkatan nilai tambah rotan di masyarakat hulu dengan mengembangkan perekayasaan pengolahan rotan yang sesuai dengan kemajuan teknologi. Salah satu proses pengolahan rotan di tingkat hulu yang bersifat tradisional adalah penggorengan rotan dalam minyak tanah yang dipanaskan (Rachman & Jasni, 2008). Penggorengan rotan dengan minyak tanah panas merupakan salah satu proses percepatan pengeringan rotan. Tanpa perlakuan, batang rotan segar memerlukan waktu sekitar empat bulan untuk mencapai kondisi kering angin, sedangkan penggorengan dengan minyak menjadikan rotan mengering dalam waktu satu bulan (Rachman, 2001). Penggorengan rotan dalam minyak tanah saat ini merupakan perlakuan pendahuluan yang paling efektif sebelum pengeringan rotan di tempat terbuka (Rachman & Jasni, 2008). Teknologi microwave telah dikembangkan untuk pengeringan kayu dan bahan berlignoselulosa lainnya (Vinden & Torgovnikov, 2000, Sugiyanto, 2011). Rotan merupakan bahan berlignoselulosa sehingga teknologi microwave memiliki potensi aplikasi untuk mengeringkan rotan. Kegiatan penelitian ini bertujuan mempelajari aplikasi teknologi microwave untuk mengeringkan rotan. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian ini bertujuan mempelajari penggunaan teknologi microwave untuk mengeringkan rotan. Sasaran dari kegiatan penelitian ini adalah diketahuinya efektivitas penggunaan microwave sebagai cara alternatif untuk mengeringkan rotan. C. Metode Penelitian Metode penelitian dilakukan dengan memodifikasi microwave oven agar dapat digunakan untuk batang rotan yang memiliki panjang lebih dari ukuran microwave oven. Modifikasi dilakukan pada generasi pertama dan dilanjutkan 57

63 dengan penyempurnaan hasil modifikasi sesuai aplikasi di lapangan. Kecepatan pengeringan diukur berdasarkan pengurangan berat selama pengeringan pada rotan berukuran pendek (10 cm) dan berukuran panjang (2 m). Penyusutan batang rotan diukur pada batang rotan pendek dalam fungsi waktu, dan pengamatan cacat dilakukan secara visual. Analisis biaya dihitung berdasarkan proses pengeringan rotan selama 1 tahun. D. Hasil yang dicapai Microwave oven dengan kekuatan input daya 1 kwh dan output energi 800 watt dimodifikasi untuk pengolahan batang rotan, dengan modifikasi sebagai berikut: 1. Ruang pemanas oven digunakan sebagai ruang pemanas batang rotan. 2. Pada kedua sisi dibuat lubang buatan untuk memasukkan batang rotan dengan cara ditarik melalui ruang pemanas. 3. Didalam aplikator/ruang pemanas hindari penggunaan material berbahan baku logam yang bisa memantulkan energi microwave. 4. Sistem pengumpan masuknya batang rotan ke dalam pemanas dikendalikan oleh motor penggerak yang dapat diatur kecepatannya. Bagan modifikasi microwave oven generasi pertama disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Skema modifikasi microwave oven 58

64 Keterangan: 1. Microwave oven, SHARP, R-240F, 220 V, - 50 Hz, INPUT 1,21 kw, 5,7 A, OUTPUT 800 W (IEC) FREQUENCY 2450 MHz (in) 2. Penyangga 3. Tunnel, besi aluminium, bentuk persegi, ukuran 2 x 2 cm 4. Motor penarik BALDOR Industrial Motor, 1/50 ¾ HP@230 VAC 50/60 Hz, Max ratings 3,5 Amps DC, 5,0 Amps AC. 5. Benang penarik rotan 6. Lubang buatan Arah penarikan rotan Hasil penurunan kadar air pada rotan semambu dan kesur disajikan dalam Gambar 2. Gambar 2. Grafik penurunan kadar air rotan semambu setelah dikeringkan dengan microwave dan perbandingan dengan digoreng minyak tanah. Semakin besar energi microwave, semakin cepat penurunan kadar airnya, yaitu 3 menit untuk energi 100%, 4 menit untuk energi 75%, 11 menit untuk energi 50% dan 17 menit untuk energi 25%. Cepatnya penurunan kadar air rotan disebabkan gelombang elektromagnetik mampu berpenetrasi ke dalam struktur porus batang rotan dan mengetarkan molekul air dalam rotan. Gaya kinetik getaran molekul H 2O menyebabkan terjadi panas dari dalam batang rotan dan secara cepat menimbulkan tekanan uap yang mendorong air keluar dari batang rotan. 59

65 Pengeluaran air secara cepat menyebabkan batang rotan menyusut dan menjadi keriput. Penyusutan terbesar (8%) terjadi pada pemanasan microwave energi 100%, berangsur angsur menurun sampai penyusutan sebesar 2% pada pemanasan dengan microwave energi 25%. Pada pengeringan dengan microwave 100% dan 75% timbul cacat pengeringan berupa keriput akibat penyusutan yang cepat, namun keriput tidak tampak pada batang rotan yang dikeringkan dengan energi 50% dan 25%. Analisis biaya dengan asumsi pembelian sistem microwave oven modifikasi sebesar Rp ,- dan tarif dasar listrik Rp per kwh, dan upah minimum regional sebesar Rp , maka biaya pengeringan satu batang rotan dengan panjang 2 m adalah sebesar Rp 205,-. Dengan kebutuhan biaya pengeringan rotan Rp 205,- per batang, maka teknologi microwave terjangkau untuk diterapkan di Industri Kecil Menengah (IKM). INOVASI TEKNIK PENGOLAHAN ROTAN 60

66 Proses pelengkungan dengan microwave dan hasil pelengkungannya E. Kesimpulan dan Saran a. Kesimpulan a.1. Pengeringan rotan berukuran pendek Microwave oven yang dimodifikasi dapat menurunkan kadar air rotan pendek dan panjang basah (>80%) menjadi kadar air 25 30%. Semakin tinggi energi microwave yang digunakan, penurunan kadar air rotan semakin besar dan cepat. Buku pada batang rotan tidak mempengaruhi penurunan kadar air pada saat pengeringan dengan microwave dan digoreng dengan minyak. Semakin tinggi energi microwave yang digunakan, semakin cepat rotan menjadi kering, namun pengamatan visual menunjukan batang rotan menjadi keriput akibat penyusutan pada pemanasan microwave 100% 61

67 dan 75%, sehingga disarankan pengeringan dengan microwave menggunakan energi lebih kecil dari 50%. Penyusutan batang rotan arah longitudinal dapat diabaikan (0,11 0,21%). a.2. Pengeringan rotan berukuran panjang Microwave oven yang dimodifikasi dapat menurunkan kadar air rotan pendek dan panjang basah (>80%) menjadi kadar air 25 30%. Semakin tinggi energi microwave yang digunakan, penurunan kadar air rotan semakin besar dan cepat. Semakin tinggi energi microwave, semakin tinggi intensitas keriput batang rotan. Untuk menghindari keriput direkomendasikan penggunaan energi microwave 50%. Penumpukan getah di permukaan batang rotan dapat dihilangkan dengan mengusap dengan kain yang sudah dicelup minyak tanah, pengusapan meningkatkan kilap rotan sehingga tidak jauh berbeda dengan kilap rotan setelah digoreng. Rata-rata waktu pengeringan rotan dengan panjang 2 meter sekitar 12 menit lebih pendek dibandingkan pengeringan dengan minyak tanah selama 30 menit. a.3. Analisis biaya Analisis biaya menunjukkan biaya pengeringan satu batang rotan sepanjang 2 m adalah Rp 205,- per batang, sehingga dapat diterapkan di industri kecil menengah pengrajin rotan. B. Saran Dalam pemanfaatan teknologi microwave generasi pertama batang rotan masuk satu persatu dipandang kurang efisien, sehingga perlu dikembangkan sistim pengeringan rotan untuk satu bundel rotan dan atau pengeringan satu ikatan rotan (berisi ± 40 batang rotan). Selain itu, teknologi microwave juga dapat dikembangkan untuk pelengkungan rotan dengan beberapa modifikasi dari microwave untuk pengeringan rotan. 62

68 Program : Litbang Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Judul RPPI : 8 Pengolahan Hasil Hutan Koordinator RPPI : Ir. Jamal Balfas, M.Sc Judul Kegiatan : 4 Formulasi Perekat Nabati dari Kulit Kayu Pelaksana Kegiatan : Abdurachman, ST; Prof. Dr. Adi Santoso, M.Si; Ir. Nurwati H, MS; Ir. MI. Iskandar, MM Abstrak Upaya untuk memperoleh produk bahan penunjang industry seperti perekat untuk industry kayu komposit yang murah dan ramah lingkungan terus dilakukan antara lain dengan eksplorasi dan karakterisasi berbagai bahan yang mengandung senyawa fenolik seperti tannin yang berasal dari kulit pohon akasia (Acacia decureens Willd., Acacia mangium), bakau (Rhizophora spp.) dan tancang (Prunilva spp.) dengan kombinasi bahan berkarbohidrat seperti tepung tapioka, terigu industry dan sejenisnya. Laporan ini menyajikan hasil penelitian tentang eksplorasi dan karakterisasi bahan baku perekat dari limbah kulit kayu (Swietenia mahoni jack) sebagai sumber senyawa fenolik dan tapioka sebagai sumber karbohidrat, reaksi kopolimerisasi ekstra tanin mahoni dengan formaldehida, serta peramuannya dengan tepung tapioka untuk aplikasi perekat kayu komposit serta uji kualitas produk perekatannya. Kulit kayu mahoni dipotong-potong sampai berukuran kira-kira 2,0 x 1,0 x 0,1 cm, kemudian direndam di dalam ekstraktor berisi air panas (70-80 o C) dengan perbandingan bahan:air = 1:3. Ekstraksi dilakukan selama 3 jam dan selama proses campuran itu selalu diaduk, kemudian campuran didinginkan dan disaring. Reidu diektraksi kembali seperti sebelumnya sampai 2 kali, filtrate yang diperoleh kemudian digabung dan dibagi 2, sebagian dikristalkan dalam penangas air dan sebagian lagi digunakan untuk pembuat perekat. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara visual, ekstrak tanin dari kulit mahoni ini berupa cairan berwarna gelap cokelat kemerahan mirip dengan warna senyawa fenolik denga kekentalan 1,04 poise dan bobot jenis 1,02 serta nilai derajat keasaman (ph) 4,0. Rendemen ekstra kulit kayu mahoni mencapai 87,60%, memiliki kadar padatan (solid content) rata-rata 2,01% dengan kadar senyawa fenolik yang diperoleh 6,90% dan distribusi bobot molekul antara Formula optimum perekat dari ekstrak kulit kayu mahoni adalah yang menggunakan campuran 0,25 mol resorsinol teknis dengan tapoika 15% dan formalin teknis 1 mol, serta katalis (NaOH 40%) sebanyak 4% dari total bobot perekat. Kata kunci: limbah kulit kayu mahoni, ekstraksi, karakteristik, tapioka, perekat 63

69 A. Latar Belakang RINGKASAN Teknologi perekat dan perekatan berperan penting dalam industri pengolahan kayu berkaitan dengan diproduksinya berbagai produk perekatan kayu yang ditengarai mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan berupa kayu. Dalam produk panel kayu komposit seperti kayu lapis, LVL, bare core, papan blok, papan partikel dan papan sambung serta produk sejenisnya, tidak bisa lepas dari kebutuhan perekat yang sampai saat ini sebagian besar masih impor. Oleh karena itu, perlu berbagai upaya untuk memperoleh bahan perekat lokal yang relatif murah dan ramah lingkungan (Santoso, 2011). Tanin yang terdiri atas senyawa fenolik diketahui banyak terdapat dalam kulit pohon seperti akasia (Acacia decureens Willd, Acacia mangium Wild), bakau (Rhizophora spp) dan tancang (Prunilva spp), dan dapat dijadikan bahan pengganti fenol atau resorsinol. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah berhasil menciptakan perekat substitusi barbasis tanin dari kulit pohon mangium (Acacia mangium Wild) yang setara kualitasnya dengan produk impor, sehingga pemakaian bahan baku seperti fenol atau resorsinol dalam komposisi perekat hanya sekitar 15 18% dari total formulanya (Santoso, 2011). Namun demikian, guna mencegah ketergantungan bahan baku tanin terhadap kulit dari jenis pohon tertentu perlu dilakukan penelitian terhadap tanin dari kulit pohon mahoni (Swietenia mahagoni Jack) sebagai alternatif. Tujuan dan Sasaran Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi karakteristik bahan baku perekat dari kulit kayu mahoni dan tepung tapioka, serta formula perekat untuk aplikasi produk komposit. Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi karakteristik bahan baku perekat dari kulit kayu mahoni dan tepung tapioka, serta formulasi perekatnya untuk aplikasi kayu komposit. Metode Penelitian A. Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian terdiri atas kegiatan lapangan dan laboratorium yang dilaksanakan di beberapa lokasi, yaitu Jawa Barat sebagai lokasi pengumpulan bahan baku dan data/informasi penunjang dan Banten sebagai tempat eksperimen (analisis dan pengujian). 64

70 B. Bahan dan Peralatan 1. Bahan utama: Limbah kulit kayu mahoni berupa potongan atau cacahan sebanyak 2 m 3 yang diperoleh dari industri penggergajian kayu di Ciamis Jawa Barat. 2. Bahan kimia: resorsinol untuk aditif dan larutan NaOH 50%, formaldehida serta aquades sebagai pelarut dan untuk mengatur ph. 3. Bahan Penunjang: kertas saring, ph universal, kertas label, air, ampelas roll, klem, baut + mur dan lain-lain. 4. Peralatan yang dipergunakan: penangas air, beaker glass, gelas ukur, stopwatch, timbangan, viskometer Ostwald, oven, saringan 40 mesh, cawan petri, piknometer dan kamera. Untuk analisis digunakan alat Py- GCMS, spektrofotometer UV-VIS, FTIR, dan XRD. C. Prosedur Kerja Prosedur kerja ekstraksi kulit kayu mahoni sebagai bahan perekat nabati diringkas dalam bentuk diagram alir sebagai berikut: Ektraksi Kulit Kayu Mahoni Penentuan Kadar Padatan Karakterisasi Ekstraks Kulit Kayu Mahoni Formulasi Ekstrak Kulit Kayu Mahoni Sebagai Perekat Kayu Pengukuran Viskositas Pengukuran Bobot Jenis Penentuan Bilangan Stiasny Pengujian Sifat Fisiko-kimia Perekat D. Analisis Data Gambar Diagram alir proses ekstraksi kulit kayu mahoni Data hasil pengamatan ditabulasi dan dirata-ratakan. Analisis dilakukan secara deskriptif sehingga menghasilkan karakteristik tanin mahoni yang diketahui dari puncak-puncak grafik hasil analisis py-gcms. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan percobaan faktorial A x B, di 65

71 mana faktor A adalah perbandingan mol T : R : F = 1 : (0,1-0,5) : 1, faktor B adalah pencampuran dengan tepung tapioka antara (0,5 20)%. Bila perlakuan berpengaruh nyata terhadap parameter yang diuji maka dilanjutkan dengan uji beda dengan cara Turkey (Steel dan Torrie, 1992). Hasil yang Dicapai A. Karakterisasi Ekstrak Kulit Kayu Mahoni Secara visual, ekstrak tanin dari kulit mahoni ini berupa cairan berwarna gelap cokelat kemerahan mirip dengan warna senyawaan fenolik dengan kekentalan 1,04 poise dan bobot jenis 1,02 serta nilai derajat keasaman (ph) 4,0. Rendemen ekstrak kulit kayu mahoni mencapai 87,60%. Ekstrak cair dari kulit kayu mahoni ini memiliki kadar padatan (solid content) rata-rata 2,01% dengan kadar senyawa fenolik yang diperoleh 6,90%, dan distribusi bobot molekul antara Hasil analisis gugus fungsi yang teridentifikasi pada ekstrak cair kulit kayu mahoni menggunakan FTIR adalah gugus hidroksil, karbonil, vibrasi cincin aromatik, aldehida aromatik dan eter. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit kayu mahoni mengandung senyawa tanin. Hasil analisis lebih lanjut dengan Py-GCMS menunjukkan ekstrak kulit kayu mahoni mengandung komponen senyawa fenolik yang terdiri atas: phenol yang muncul pada waktu retensi (t R) 14,82 menit dengan konsentrasi 2,59%, dan pada t R 16,91 menit merupakan senyawa p-cresol dengan konsentrasi 0,63%, pada t R 17,10 menit merupakan Guaiacol dengan konsentrasi 0,85%, serta pada t R 19,43 menit merupakan senyawa Pyrocatechol dengan konsentrasi 1,25%, Hydroquinone pada t R 20,66 menit dengan konsentrasi 0,76%, 4 Methyl catechol pada t R 20,97 menit dengan konsentrasi 0,45%, dan 2,6-Dimethoxyphenol pada t R t R 21,74 menit dengan konsentrasi 0,37%. Hasil analisis ini mengidentifikasikan bahwa komponenkomponen kimia yang terkandung dalam ekstrak kulit kayu mahoni tergolong tanin kondensat, yaitu tanin yang biasa digunakan untuk bahan perekat. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis dengan difraksi sinar-x diketahui derajat kristalinitas senyawa yang terkandung dalam ekstrak kulit kayu mahoni 12,29%, mengindikasikan bahwa susunan rantai senyawa tersebut didominasi bentuk amorf (tidak beraturan), dan hal ini serupa dengan ekstrak tanin mangium yang memiliki derajat kristalinitas 10,71 16,40 % (Hagerman, 2002; Hindriani et al., 2005). B. Formulasi dan Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Perekat Ekstrak kulit kayu mahoni yang mengandung senyawa tanin (derivat katekin) dapat direaksikan dengan formaldehida dan aditif (katalis dan ekstender) membentuk kopolimer untuk aplikasi perekat kayu. Tolok ukur 66

72 pencapaian formula optimum ramuan perekat tanin mahoni dengan tepung tapioka dilakukan terutama dengan pendekatan nilai solid content, formaldehida bebas dari ramuan perekat, dan keteguhan rekat produk perekatannya, hasilnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Optimalisasi formula perekat tannin dari ektrak kulit kayu mahoni berdasarkan solid content, formaldehida bebas ramuan perekat, dan keteguhan rekat produk perekatannya Parameter uji Keteguhan geser rekat (kg/cm 2 ) Kadar air (%) Kerapatan (g/cm 3 ) Solid content (%) Uji kering Uji basah Formaldehida bebas (%) Kadar resorsinol (mol, A) Kadar ekstender (%, B) 0 (b1) 2,5 (b2) 5,0 (b3) 10 (b4) 15 (b5) 20 (b6) 0,00 (a1) 31,04 43,40 102,13 77,95 66,84 50,45 0,10 (a2) 33,86 39,03 40,29 41,93 68,78 47,00 0,25 (a3) 34,69 36,55 43,91 47,61 94,63 46,73 0,50 (a4) 40,05 43,11 54,94 57,07 38,94 27,44 0,00 (a1) 7,04 7,72 8,65 10,98 16,99 21,66 0,10 (a2) 8,71 9,84 16,81 22,07 9,29 6,72 0,25 (a3) 10,62 15,60 12,63 11,71 10,55 9,83 0,50 (a4) 15,64 16,16 16,78 17,40 21,65 23,78 0,00 (a1) 14,18 13,75 13,15 13,54 12,98 10,89 0,10 (a2) 11,41 11,35 11,46 12,59 13,43 11,57 0,25 (a3) 11,13 11,26 11,57 12,47 12,60 12,22 0,50 (a4) 13,23 12,47 11,95 13,05 13,68 13,07 0,00 (a1) 0,41 0,42 0,42 0,41 0,41 0,41 0,10 (a2) 0,41 0,41 0,38 0,38 0,37 0,37 0,25 (a3) 0,35 0,38 0,42 0,39 0,39 0,35 0,50 (a4) 0,37 0,39 0,41 0,42 0,45 0,41 0,00 (a1) 6,00 6,71 7,81 11,37 16,57 21,83 0,10 (a2) 7,86 8,46 8,83 9,91 12,84 19,86 0,25 (a3) 11,03 12,61 14,79 15,49 22,44 37,96 0,50 (a4) 15,68 16,13 16,98 18,03 21,76 23,83 0,00 (a1) 0,0047 0,0053 0,0072 0,0083 0,0073 0,0064 0,10 (a2) 0,0044 0,0045 0,0057 0,0069 0,0055 0,0049 0,25 (a3) 0,0041 0,0043 0,0052 0,0068 0,0053 0,0047 0,50 (a4) 0,0038 0,0041 0,0044 0,0047 0,0045 0,0040 Untuk mengetahui pengaruh dari setiap perlakuan dan interaksi antar perlakuan terhadap parameter yang diuji dilakukan analisis keragaman, yang hasilnya dicantumkan dalam Tabel 2. 67

73 Tabel 2. Analisis keragaman pengaruh komposisi resorsinol dan ekstender terhadap parameter yang diuji. Ket. Geser Rekat Solid Kadar air Kerapatan Sumber Df Kering Basah Content Form.bebas Jumlah Kuadrat (JK) Resorsinol ,7** 767,07** 28,0479** 0, ** 1314,42** 0, ** Ekstender ,3** 315,76** 19,7413** 0, ** 2870,41** 0, ** Interaksi ,3 ** 1385,63** 37,0812** 0, ** 582,31** 0, ** Galat 72 12,5 12,34 3,1934 0, ,59 0, Total , ,0639 0, ,73 0, Keterangan : ** berbeda sangat nyata Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kadar resorsinol dan ekstender memberikan pengaruh nyata terhadap parameter uji (keteguhan geser rekat, kadar air, kerapatan, solid content dan formaldehida bebas). Proses pencampuran komponen perekat Penimbangan solid content Contoh uji keteguhan geser rekat kayu sengon menggunakan perekat nabati dari ekstraksi kulit kayu mahoni 68

74 Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan 1. Karakteristik ekstrak kulit kayu mahoni yang secara visual berwarna gelap cokelat kemerahan ternyata terdiri atas berbagai golongan senyawa fenolik yang menyerupai senyawa tanin kondensat (katekin dan derivatnya). Dengan kadar fenolik 6,90% dan tingkat reaktivitas (bilangan stiasny) terhadap formaldehida mencapai 92,12%. 2. Ekstrak cair kulit pohon mahoni ini dapat dikopolimerisasi membentuk resin yang dapat diaplikasikan sebagai perekat kayu dengan proses kempa dingin. Karakteristik perekat ini berbeda dengan bahan bakunya baik secara kualitatif maupun kuantitatif. 3. Karakteristik perekat tanin mahoni menyerupai perekat golongan fenolik tipe eksterior. Formula optimum perekat dari ekstrak kulit kayu mahoni adalah yang menggunakan campuran 0,25 mol resorsinol teknis dengan tapioka 15% dan formalin teknis 1 mol, serta katalis (NaOH 40%) sebanyak 4% dari total bobot perekat. B. Saran Berdasarkan hasil ekstraksi kulit kayu mahoni yang bersifat fenolik dan dapat dikopolimerisasi membentuk renin bisa diaplikasikan sebagai perekat kayu dengan proses kempa dingin. Perbandingan resorsinol teknis : formalin teknis adalah 1:0,25 mol dengan katalis NaOH 40% sebanyak 4% ditambah tepung tapioka sebesar 15% dari total bobot perekat. 69

75 Program : Litbang Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Judul RPPI : 8 Pengolahan Hasil Hutan Koordinator RPPI : Ir. Jamal Balfas, M.Sc Judul Kegiatan : 5 Formulasi Bahan Impregnan dan Finishing Kayu Pelaksana Kegiatan : Ir. Elfrida, M.Sc; Ir. Jamal Belfast, M.Sc; Ir. Djeni Hendra, M.Si; Karnita Yuniarti, S.Hut, M Wood Sc, PhD; Prof, Dr. Adi Santoso, M.Si Abstrak Produksi kayu gergajian menghasilkan limbah kayu berbentuk serbuk, sebetan dan kulit kayu yang berpotensi sebagai bahan impregnan untuk meningkatkan kualitas kayu dan bahan finishing alternative karena kandungan senyawa aktif didalamnya. Untuk menghasilkan senyawa aktif dapat dilakukan dengan metode ekstraksi maupun destilasi. Kegiatan tahun 2015 bertujuan mendapatkan data dan informasi karakteristik destilat dari limbah kayu sebagai bahan impregnan dan formulasi bahan finishing dari bahan utama ekstrak serbuk kayu jati. Adapun sasaran penelitian adalah diperolehnya data dan informasi karakteristik destilat sebagai bahan impregnan organic dan uji pendahuluan pada kayu jabon, serta formuls wood stain dan top coat organic dari ekstrak kayu jati maupun campurannya dan uji pendahuluan pada kayu karet dan tusam. Karakteristik destilat meliputi warna, ph, viskositas, dan komponen kimianya, sedangkan sifat kayu yang akan diuji mencakup kerapatan dan pengembangan dimensi. Performa bahan finishing diuji secara fisis, mekanis, dan kimia serta aplikasinya pada kayu karet dan tusam. Hasil penelitian menunjukan : 1) karakter destilat murni berbeda dengan destilat yang sudah dicampurkan dengan kak, terutama pada komponen kimianya, 2) kestabilan dimensi dan kerapatan kayu jabon tertinggi diperoleh pada formula campuran destilat dengan kak konsentrasi 8%, 3) bahan finishing yang memiliki ketahanan gores tertinggi terdapat pada formula 5% sirlak dalam larutan ekstrak jati konsentrasi duplo, 4) formula 5% sirlak dalam larutan ekstrak jati konsentrasi standar memberikan efek pewarnaan jati terdekat pada kayu karet dan ekstrak jati konsentrasi duplo pada kayu tusam. Kata kunci: Limbah kayu gergajian, formula impregnan, formula bahan finishing 70

76 A. Latar Belakang RINGKASAN Peningkatan sifat dan kualitas kayu inferior (mutu rendah) dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Pada tahun 2015, penyempurnaan sifat dan kualitas kayu dicoba dengan mengimpregnasi kayu dengan bahan impregnan utama yaitu destilat yang diperoleh dari hasil destilasi limbah kayu (sebetan dan kulit kayu) sengon. Dasar pertimbangannya adalah pada proses destilasi akan terjadi pengayaan komponen kimia yang bisa digunakan sebagai bahan impregnan untuk meningkatkan kualitas kayu. Selama ini bahan finishing kayu secara komersil didominasi oleh penggunaan resin sintetis, seperti melamin dan nitroselulosa yang menggunakan pelarut mineral (chemical solvent-based) dan pengeras formaldehida yang mengganggu lingkungan maupun kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu dicari sumber material organik yang memiliki potensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan finishing yang aman terhadap manusia. Hasil penelitian Basri dan Balfas (2014), mendapatkan ekstrak limbah kayu jati tua dengan resin sirlak selain dapat menstabilkan dimensi, juga memberi kesan warna permukaan kayu jati umur muda dan karet mendekati warna kayu jati tua sehingga bisa dijadikan bahan baku finishing. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah mendapatkan data dan informasi karakteristik destilat dari sebetan dan kulit kayu sengon sebagai bahan impregnan dan formulasi bahan finishing dari bahan utama ekstrak serbuk kayu jati. Sasaran penelitian adalah diperolehnya data maupun informasi karakteristik destilat sebagai bahan impregnan organik dan formula wood stain dan top coat dari ekstrak kayu jati serta uji performan pada kayu. C. Metode Penelitian Bahan kayu yang diuji cobakan dalam penelitian adalah jabon, karet, dan tusam yang diambil di Jawa Barat. Sebetan dan kulit kayu sengon untuk bahan destilat diambil dari Malimping (Banten) dan serbuk kayu jati umur 60 tahun untuk bahan finishing diambil dari Cepu (Jawa Tengah). 1. Formulasi bahan impregnan Kegiatan formulasi bahan impregnan diawali dengan pembakaran sebetan dan kulit kayu sengon. Asap dari proses pembakaran yang dialirkan melalui pipa yang sudah dirancang dengan proses pendinginan akan menghasilkan destilat atau cuka kayu. Destilat tersebut sebagai bahan impregnan setelah dicampurkan dengan kak atau gum (kolagen dari protein 71

77 hewani) dalam 2 konsentrasi, masing-masing 8% dan 12%. Impregnasi bahan ke dalam kayu dilakukan secara rendaman dengan 2 perlakuan suhu, masingmasing 60 o C dan 80 o C. Setiap perlakuan dikerjakan dalam 5 ulangan. Ukuran contoh uji untuk pengujian stabilisasi dimensi 1 cm (tangensial/ T) x 1cm (longitudinal/l) x 10 cm (radial/r) dan 1 cm (R) x 1cm (L) x 10 cm (T); kerapatan kayu berukuran 3 cm (T) x 3 cm (R) x 3 cm (L), dan contoh uji kristalinitas kayu dalam bentuk serbuk. Pengujian stabilisasi dimensi kayu melalui perhitungan nilai Anti Swelling Efficiency (ASE), mengacu pada Mantanis (1994) dalam Basri dan Balfas (2014), kerapatan kayu mengacu pada ASTM D (ASTM, 2012) dan kristalinitas kayu menggunakan Difraksi sinar X (XRD). 2. Formulasi bahan finishing Serbuk kayu jati tua diekstrak dengan pelarut metanol dalam perbandingan 1:8. Formula bahan finishing terdiri dari larutan ekstrak jati dan sirlak dengan beberapa variasi berikut: a. 5% sirlak bobot/volume (b/v) dalam larutan ekstrak jati standar (E1S1). b. 10% sirlak b/v dalam larutan ekstrak jati standar (E1S2). c. 5% sirlak b/v dalam larutan ekstrak jati konsentrasi duplo (E2S1). d. 10% sirlak b/v dalam larutan ekstrak jati konsentrasi duplo (E2S2). e. 5% sirlak b/v dalam larutan ekstrak jati konsentrasi triplo (E3S1). f. 10% sirlak b/v dalam larutan ekstrak jati konsentrasi triplo (E3S2). Pengujian fungsi bahan finishing dalam hal penolakan air menggunakan contoh uji kayu berukuran 1 cm (T) x 1 cm (L) x 10 cm (R) dan 1 cm (R) x 1 cm (L) x 10 cm (T) yang direndam dan yang dibasahkan dengan larutan finishing. Pengujian pengembangan contoh uji yang direndam dalam air pada beberapa periode waktu, sebagaimana diuraikan dalam Basri dan Balfas (2014), sedangkan pengujian pembasahan contoh uji pada ruangan lembab dilakukan dalam desikator tertutup berisi air yang kelembabannya dijaga antara 90-95% dan suhu antara o C. Pengujian aspek mekanis dan kimia bahan finishing dilakukan dengan melaburi permukaan contoh uji berukuran (30 x 10 x 1) cm dengan masing-masing komposisi. Pengujian ketahanan gores pada permukaan film finishing menggunakan metode ASTM D (ASTM, 1995), terhadap senyawa asam, basa serta berbagai pelarut dengan metode ASTM D (ASTM, 2002), dan efektifitas warna bahan wood stain hasil formulasi maupun yang komersil terhadap warna kayu jati dengan sistem Cielab, pengukuran warna dengan Precise Color Reader, WR-10 menggunakan standar iluminan D65 dan sudut observasi 10, meliputi nilai kecerahan (lightness, L*), nilai kemerahan (green-red, a*), dan nilai kekuningan (blueyellow, b*), sebagaimana diuraikan dalam Krisdianto (2013). 72

78 D. Hasil yang Dicapai 1. Formulasi bahan impregnan Nilai ph destilat murni dari sebetan dan kulit kayu sengon maupun campurannya dengan kak 8 dan 12% berada pada kisaran 3,32 sampai dengan 3,86, atau tergolong asam. Menurut Pujilestari (2007), ph bahan pada kisaran 1,5-3,7 dapat menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk atau mikroba berspora. Warna destilat murni cokelat muda agak kekuningan, tapi setelah ditambahkan kak warna larutannya berubah menjadi hitam. Meskipun demikian, kayu yang diimpregnasi dengan bahan impregnan tersebut tidak menjadi hitam. Komposisi kimia destilat yang ditambahkan kak lebih banyak daripada komposisi kimia destilat murni, sehingga BJ-nya lebih tinggi. Pada campuran destilat dan kak 8%, konsentrasi fenol dan derivatnya 41,8%, sedangkan pada campuran destilat dan kak 12% naik menjadi 48,1%. Semakin tinggi konsentrasi kak semakin tinggi BJ larutannya, dan semakin banyak senyawa fenol (phenol) dan derivatnya yang dihasilkan. Fenol adalah senyawa kimia yang bersifat racun dan bisa sebagai bahan inhibitor (Nurhayati et al., 2009). Pada penelitian ini, formula campuran destilat dan kak 8% pada suhu larutan 80 o C adalah yang terbaik dalam peningkatan kestabilan dimensi kayu dengan nilai ASE di atas 50% dan kerapatan 0,46 gr/cm 3. Namun jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya (Basri dan Balfas, 2014; Basri et al., 2014) yang mendapatkan nilai ASE di atas 80%, maka nilai ASE yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah. Hal ini mungkin karena pada perlakuan sebelumnya impregnasi bahan impregnan ke dalam kayu dilakukan secara tekanan, sehingga bahan impregnan yang masuk ke dalam struktur kayu menjadi lebih banyak. Naiknya kerapatan kayu jabon pada penggunaan formula kak 8%, juga dibuktikan dengan kenaikan derajat kristalinitas kayu tersebut dari 22,9 o ke 19,12 o. Penurunan sifat-sifat kayu jabon pada penambahan konsentrasi kak dari 8% menjadi 12% menghambat infiltrasi bahan impregnan ke dalam struktur kayu karena larutannya terlalu kental. Hal ini ditunjukkan dari kekentalan (viskositas) larutan dengan konsentrasi kak 12% (0,072 poise) hampir dua kali dibandingkan kekentalan larutan dengan kak 8% (0,042 poise). Sebagaimana diketahui kak sebagai bahan pengikat merekat seperti lem (Anonim, 2015). Semakin tinggi konsentrasi kak akan semakin kental larutan, sehingga sulit untuk menyerap ke dalam pori-pori kayu, kecuali mungkin dengan proses tekanan. 2. Formulasi bahan finishing Penggunaan bahan finishing komersil melamin formaldehida (MF) dan nitro selulosa (NS) dengan pelarut thinner lebih mampu memberi proteksi 73

79 pada kayu tusam dan karet terhadap intrusi air dibandingkan dengan penggunaan bahan formulasi organik. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh porsi kandungan padatan yang lebih tinggi pada resin komersil tersebut dibandingkan dengan resin organik serta pelarut thinner yang digunakan bersifat hidrofobik, sehingga memiliki daya tolak air lebih tinggi daripada bahan formulasi organik yang menggunakan pelarut metanol yang bersifat polar. Perlakuan E2S1 (5% sirlak dalam larutan ekstrak jati konsentrasi duplo) memberikan efek pewarnaan jati dengan nilai kemerahan terdekat pada kayu tusam, sedangkan perlakuan E1S1 (5% sirlak dalam larutan ekstrak jati konsentrasi standar) terdekat pada kayu karet. Meskipun komposisi top coat organik dari ekstrak jati dan sirlak memiliki ketahanan terbatas terhadap silen, HCl 5% dan air, namun bisa ditingkatkan dengan menambahkan vaselin pada permukaan film top coat organik. Permukaan produk kayu tusam dan karet yang dilaburkan dengan vaselin juga mengkilap (glossy). Aplikasi ketebalan film 100 mikron pada top coat organik maupun top coat komersil (MF dan NS) memiliki ketahanan gores dan stabilitas lebih tinggi daripada aplikasi film 200 mikron. Pada kelompok top coat formula organik, nilai ketahanan gores tertinggi diperoleh pada komposisi E2S1. Emisi formaldehida pada contoh uji kayu tusam yang di-finishing dengan melamin formaldehida (MF) cukup tinggi, yaitu 1,5 sampai 4,4 mg/l, sedangkan pada kayu karet 1,1 sampai 1,8 mg/l. Pelarut thinner pada MF mengandung silen (xylene) dan toluen (toluene) yang menurut Kim (2010) bisa menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan, gangguan syaraf, kanker paru, dan mutasi gen. Hasil analisis biaya menunjukkan biaya pada perlakuan pelaburan permukaan kayu dengan larutan campuran ekstrak jati dan sirlak berkisar antara Rp sampai Rp per m 2. Biaya ini lebih murah dibandingkan dengan biaya jika menggunakan bahan komersil, yang berkisar antara Rp hingga per m 2. 74

80 Produk kayu karet yang diplitur dengan formula finishing organic dan vaselin untuk pewarna kayu dan pengerjaan akhir Proses Rendaman (Impregnan) 75

81 E. Kesimpulan dan Saran a. Kesimpulan 1. Formulasi Bahan Impregnan - Tingkat keasaman (PH) destilat murni dari sebetan dan kulit kayu sengon maupun campurannya dengan kak pada konsentrasi 8% dan 12%, berturut-turut adalah 3,32 3,73 dan 3,86 (tergolong asam), sedangkan berat jenisnya berturut-turut 1,006, 1,030, dan 1, Komposisi kimia pada formula campuran destilat dan kak lebih banyak dibanding komposisi kimia destilat murni. Semakin tinggi konsentrasi kak, semakin banyak fenolnya. Konsentrasi fenol destilat murni hanya 11,14%, sementara konsentrasi fenol dan derivatnya pada campuran destilat dan kak 8% sebanyak 41,8%. - Formula campuran destilat dan kak konsentrasi 8% pada suhu larutan 80 o C memberikan performa terbaik untuk peningkatan stabilisasi dimensi kayu jabon dengan nilai ASE (anti swelling efficiency) diatas 50% dan kerapatan 0, Formulasi dan uji bahan finishing - Ekstraksi serbuk gergajian jati dengan menggunakan pelarut methanol teknis menghasilkan ekstrak padatan dari jenis epoksi, tetrakosaheksan, antrakuinon dan hentriakontanon sebesar 3%. - Perlakuan rendaman contoh uji dalam larutan bahan finishing memberikan pertambahan dimensi contoh uji tangensial yang lebih tinggi daripada contoh uji radial. Contoh uji yang direndam dalam bahan finishing dengan pelarut metanol memiliki perubahan dimensi lebih besar daripada contoh uji yang direndam dengan bahan pelarut thinner. 76

82 Program : Litbang Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Judul RPPI : 9 Teknik Pemanenan Hutan Koordinator RPPI : Ir. Soenarno, M.Si Judul Kegiatan : 6 Regionalisasi Faktor Eksploitasi Hutan Alam Pelaksana Kegiatan : Ir. Soenarno, M.Si; Ir. Zakaria Basari, BSc.F; Wesman Endom, BSc.F, M.Sc; Prof. Dr. Dulsalam, MM; Ir. Sona Suhartana; Yuniawati, SP, M.Si Abstrak Dalam kegiatan pemanfaatan kayu, pemanenan kayu merupakan kegiatan pertama yang dilakukan agar potensi pohon dapat dikeluarkan dari dalam hutan. Banyak atau sedikitnya limbah yang terjadi selama proses pemanenan kayu dapat dijadikan tolok ukur faktor eksploitasi (FE). Faktor eksploitasi menunjukkan besarnya tingkat efisiensi pemanfaatan hutan berupa kayu. Selama ini, pemerintah menetapkan angka FE sebesar 0,7. Padahal, paradigm pengelolaan hutan alam sudah semakin baik dengan diterapkannya pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging/ril) dan/atau berdampak rendah karbon (RIL-C). Bahkan beberapa IUPHHK-HA telah mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management) dari lembaga sertifikasi internasional. Dilihat dari aspek ekonomis, nilai FE mempunyai peranan sangat penting karena digunakan sebagai pengali didalam menentukan jatah produksi tahunan (JPT) dan dasar untuk menjadi memperkirakan penerimaan besarnya provisi sumberdaya hutan (PSDH). Sedangkan dari aspek ekologis, penetapan nilai FE yang lebih besar dapat mengurangi terjadinya kerusakan hutan sehingga dapat mendorong kelestarian dan keberlanjutan produksi kayu pada rotasi berikutnya. Oleh karena itu, validasi besaran nilai FE pada kegiatan IUPHHK-HA menjadi suatu keniscayaan untuk dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan di 5 IUPHHK-HA di Kalimantan Timur dengan menggunakan rancangan plot contoh penelitian secara purposive systematic sampling seluas 6-9 ha menunjukkan besarnya nilai FE berkisar antara 0,8-0,9. Kerusakan tegakan berkisar 5,94-14,92% dengan rata-rata 10,77% atau tergolong tingkat kerusakan tegakan ringan-sedang. Kata kunci: Pemanenan kayu, hutan alam, IUPHHK-HA, faktor eksploitasi, kerusakan tegakan tinggal. 77

83 A. Latar Belakang RINGKASAN Dalam proses pemanenan kayu, terjadinya limbah tidak dapat dihindari. Banyak atau sedikitnya limbah selama proses pemanenan kayu dapat dijadikan tolok ukur untuk menilai besarnya faktor eksploitasi (FE). Selama ini, pemerintah menetapkan bilangan FE sebesar 0,7. Padahal, akhir-akhir ini pengelolaan hutan alam sudah semakin baik dengan diterapkannya pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging/ril) dan/atau berdampak rendah karbon (RIL-C). Membaiknya pengelolaan hutan alam tersebut dicirikan makin banyaknya IUPHHK-HA yang telah mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHAPL) tetapi juga pemanfaatan kayu yang makin efisien (Dulsalam, 2012 dan Matangaran, 2013). Bahkan, hasil penelitian Matangaran et al. (2013) di dua IUPHHK-HA di Kalimantan Tengah dan Sumatera Barat menunjukkan bilangan FE berkisar antara 0,74-0,75. Apabila diasumsikan kenaikan bilangan FE sebesar 10% dari bilangan FE 0,7 maka JPT kayu bulat hutan alam menjadi lebih besar yaitu sebanyak 10,01 juta m 3. Diharapkan, dengan JPT menjadi sebesar 10,01 juta m 3 tersebut akan meningkatkan kontribusi produksi kayu bulat dari hutan alam, yang selama ini hanya mampu berperan sebesar 20% (Anonim, 2012). Dilihat dari aspek ekonomis, nilai FE mempunyai peranan sangat penting karena digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan penerimaan besarnya provisi sumber daya hutan (PSDH) yang akan diperoleh dari pemegang IUPHHK-HA. Sedangkan dari aspek ekologis, penetapan nilai FE yang lebih besar dapat mengurangi terjadinya kerusakan hutan sehingga dapat mendorong kelestarian dan keberlanjutan produksi kayu pada rotasi berikutnya. Oleh karena itu, kajian lebih lanjut untuk memfalidasi bilangan FE baik pada skala regional maupun nasional menjadi suatu keniscayaan. B. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan bilangan faktor eksploitasi (FE) pada kegiatan pemanenan kayu di hutan alam produksi sub regional Propinsi Kalimantan Timur. 2. Sasaran a. Tersedianya data dan informasi empiris nilai FE di Kalimantan Timur. b. Tersedianya data dan informasi proporsi kayu yang dimanfaatkan dan limbah pemanenan kayu. 78

84 C. Metode penelitian Pada tahun 2015, kegiatan penelitian untuk regional FE Pulau Kalimantan baru dapat dilaksanakan di Sub Regional Kalimantan Timur. Hal ini disebabkan untuk wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah hingga pertengah bulan Nopember 2015 masih terganggu kabut asap dari pembakaran lahan dan hutan. Lokasi penelitian dilakukan di 5 IUPHHK-HA yang tersebar di Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember Prosedur pelaksanaan penelitian di lapangan untuk masing-masing lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Gambar Prosedur pelaksanaan penelitian Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan primer. Data sekunder yang dikumpulkan adalah kondisi umum IUPHHAK-HA (keadaan hutan, letak dan luas areal, topografi, ikilm), LHC, LHP, pelaksanaan grading scalling. Data primer diperoleh dengan cara pengamatan langsung di lapangan. Adapun data primer yang dikumpulkan adalah data volume kayu batang bebas cabang yang dimanfaatkan, limbah kayu yang terdapat di petak tebang akibat proses penebangan dan pembagian batang, limbah di sepanjang jalan sarad dan di TPn akibat proses grading scaling. Data hasil pengukuran rata-rata bilangan FE, indek tebang dan indek sarad serta kerusakan tegakan dianalisis secara statitik menggunakan program SPSS versi

85 D. Hasil dan Pembahasan 1) Volume kayu dimanfaatkan dan limbah penebangan Hasil pengukuran diameter, panjang sortimen volume kayu yang dimanfaatkan dan limbah penebangan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 di atas menunjukkan volume kayu dimanfaatkan berkisar antara 3,220-16,759 m 3 / pohon, tergantung diameter dan tinggi pohon yang ditebang. Sedangkan ratarata volume kayu batang bebas cabang berkisar antara 3,842-19,092 m 3 / pohon. Hasil penelitian Dulsalam et al., (2013) menunjukkan bahwa volume kayu yang dimanfaatkan rata-rata berkisar antara 8,234 m 3 /pohon. Tabel 2. Diameter, panjang, volume kayu dimanfaatkan dan limbah penebangan No. Uraian IUPHHK-HA PT A PT B PT C PT D PT E 1. Diameter pohon (cm) 75,40 76,67 55,50 77,23 96,73 2. Panjang kayu (m) 22,53 17,66 17,13 18,47 24,49 3. Volume batang bebas cabang 8,389 9,867 3,846 8,422 19,092 ( m 3 /pohon) 4. Volume kayu dimanfaatkan 7,502 7,968 3,220 7,150 16,759 (m 3 /pohon)) 5. Volume limbah penebangan (m 3 /pohon) 0,856 1,932 0,625 1,273 2,410 2) Proporsi distribusi limbah penebangan Hasil pengukuran proporsi limbah pemanenan kayu disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rekapitulasi proporsi limbah penebangan kayu IUPHHK- HA Limbah kayu Tunggak Pangkal Ujung Jumlah (m 3 /phn) (%) (m 3 /phn) (%) (m 3 /phn) (%) m 3 /phn (%) PT A 0,131 15,71 0,272 32,61 0,432 51,80 0, PT B 0,104 5,38 0,958 49,56 0,871 45,06 1, PT C 0,104 6,95 0,383 65,42 0,186 27,63 0, PT D 0,128 10,22 0,701 53, ,90 1, PT E 1,233 46,44 1,422 53,56 2, Rata-rata 0,093 6,37 0,709 48,56 0,671 45,07 1, Dari Tabel 3 tersebut di atas dapat dilihat bahwa proporsi limbah pemanenan kayu terbesar pada limbah pangkal sebesar 0,709 m 3 /pohon (48,56%), selanjutnya limbah ujung sebanyak 0,671 m 3 /pohon (45,07%) dan terkecil berupa limbah tunggak sebesar 0,093 m 3 /pohon (6,37%). Masih 80

86 diketemukannya limbah tunggak mencerminkan bahwa penebang belum menjalankan teknik penebangan yang baik khususnya dalam membuat takik tebang yang berada diatas tinggi tebang yang diijinkan, yaitu 1/2 diameter pohon yang ditebang (Ward, 2011). 3) Indek tebang Hasil rekapitulasi pengukuran indek tebang secara rinci disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rekapitulasi perhitungan indek tebang No. Uraian IUPHHK-HA Ratarata PT A PT B PT C PT D PT E 1. Minimal ,68 0,80 0,76 0,73 0,75 2. Maksimal ,91 0,87 0,96 0,99 0,94 3. Rata-rata 0,90 0,80 0,84 0,86 0,92 0,86 4. Kesalahan baku ,07 0,02 0,06 0,10 0,06 Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata indek tebang berkisar antara dengan rata-rata Hal tersebut dapat diartikan bahwa di dalam petak tebang masih banyak limbah penebangan berkisar antara 6-25% atau rata-rata 14% dari volume batang bebas cabang. Bervariasinya nilai indek tebang tersebut disebabkan karena (a) pembuatan takik tebang yang tidak sempurnanya, (b) kebiasaan penebang yang tidak mau sulit melakukan pemotongan ujung (toping), (c) kebijakan manajemen yang mensyaratkan diameter rata-rata kayu bulat > 50 cm, (d) tidak adanya kontrol yang memadai paska kegiatan penebangan di dalam petak tebang. 4) Indek sarad Hasil rekapitulasi pengukuran indek sarad akibat proses penyaradan dan grading scalling di TPn disajikan pada Tabel 5. Dari Table 5 di atas, dapat disimpulkan bahwa indek sarad berkisar antara 0,95-0,98 dengan rata-rata 0,97. Ini berarti bahwa di TPn masih terdapat limbah kayu, baik yang diakibatkan selama proses penyaradan maupun pengujian dan pengukuran (grading and scaling) yaitu rata-rata sebesar 3% dari volume kayu yang disarad. Dalam kaitannya indek sarad, meskipun keterampilan operator traktor sarad sangat penting tetapi pemilihan jenis traktor dan metode penyaradan harus sesuai untuk ukuran kayu yang disarad dan kondisi areal kerja (Rose et al,. 2009). 81

87 Tabel 5. Rekapitulasi perhitungan indek sarad No. Uraian IUPHHK-HA Ratarata PT A PT B PT C PT D PT E 1. Minimal 0,99 0,99 0,88 0,95 0,92 0,95 2. Maksimal 0,99 1,00 0,95 0,99 0,99 0,98 3. Rata-rata 0,99 0,99 0,92 0,98 0,96 0,97 5) Faktor eksploitasi (FE) Berdasarkan indek tebang (Tabel 4) dan indek sarad (Tabel 5) dapat dihitung bilangan faktor eksploitasi hutan rata-rata yang hasilnya disajikan pada Tabel 6. Dari Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa bilangan FE di Sub Regional Kalimantan Timur telah meningkat menjadi berkisar antara 0,8-0,9 dengan rata-rata 0,8 dari bilangan FE yang selama ini ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan. Hal ini berarti, sesungguhnya sudah terjadi peningkatan bilangan FE antara 0,1-0,2 atau efisiensi pemanfaatan kayu berkisar antara 10-20% dengan rata-rata 14%. Hasil penelitian Soenarno et al., 2013 menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian di dua IUPHHK-HA bersertifikat Internasional ternyata bilangan FE sebesar 0,9. Tabel 6. Perhitungan bilangan faktor eksploitasi hutan No IUPHHK-HA Sertikat PHPL Indek tebang Indek sarad Bilangan FE (dibulatkan), 1. PT A Internasional 0,90 0,99 0,9 2. PT B Internasional 0,80 0,99 0,8 3. PT C Nasional 0,84 0,92 0,8 4. PT D Nasional 0,86 0,98 0,8 5. PT E Nasional 0,92 0,96 0,9 Rata-rata 0,86 0,97 0,8 Melihat fakta hasil penelitian tersebut di atas disimpulkan bahwa secara umum bilangan FE pada IUPHHK-HA yang telah bersertifikat Internasional lebih tinggi dibandingkan yang masih Nasional. Kendatipun demikian, sebenarnya bilangan FE ini sangat dipengaruhi oleh ketrampilan pengusaan teknik tebang dari operator chain saw di lapangan, khususnya dalam melakukan pembagian batang (bucking). Garland et al., (1997) menyatakan bahwa penebangan dan pembagian batang yang benar akan meningkatkan kualitas kayu dan pendapatan dari hasil penjualan kayu. Meningkatnya bilangan FE tersebut merupakan potensi ekonomi apabila dapat dimanfaatkan dan bagi pemerintah menjadi tambahan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) khususnya dari nilai pajak provisi sumber daya hutan (PSDH). Apabila JPT nasional adalah 9,1 juta m 3 maka potensi limbah kayu sebanyak m 3. Dengan asumsi PSDH limbah sebesar US $ 2 82

88 maka besarnya PSDH yang dapat dipungut adalah US $ atau sebesar Rp 33,124 milyar/tahun. Secara teknis, sebenarnya nilai FE tersebut masih dapat ditingkatkan dengan menerapkan metode tree length logging. Hasil penelitian Idris dan Soenarno (2015) menunjukkan nilai FE pada kegiatan pembalakan dengan metode tree length logging mencapai 0,93. Uusitalo et al., (2004) menyatakan bahwa teknik pembagian batang yang tepat akan mempengaruhi efisiensi pemanfaatan dan kualitas kayu yang dihasilkan. Hasil penelitian pada log kayu pinus makin panjang ukuran logs yang akan dilakukan pembagian batang makin besar peluangnya menghasilkan kualitas kayu. 6) Kerusakan tegakan Hasil rekapitulasi perhitungan kerusakan tegakan akibat pemanenan kayu disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Rekapitulasi perhitungan kerusakan tegakan No. Uraian IUPHHK-HA Ratarata PT A PT B PT C PT D PT E 1. Minimal 1,44 7,14 11,34 11,18 0,00 6,22 2. Maksimal 11,11 21,43 18,42 14,93 10,53 15,28 3. Rata-rata 5,94 13,69 14,92 13,39 5,91 10,77 Dari Tabel 7 tersebut diatas disimpulkan bahwa kerusakan tegakan tinggal berkisar antara 6,22-15,28% dengan rata-rata 10,77% atau tergolong tingkat kerusakan tegakan ringan-sedang. 83

89 Teknik pembuatan takik tebang yang tidak sempurna B A C Gambar Limbah pangkal (A), banir (B) dan kayu dimanfaatkan (C) 84

90 A E. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Nilai FE hutan alam di Sub Regional Kalimantan Timur berkisar antara 0,8-0,9 tergantung tingkat kompetensi keterampilan operator chain saw dan kompetensi perusahaan dalam menyelenggarakan pengelolaan hutan. 2. Besarnya indek tebang berkisar antara 0,84-0,90 dengan rata-rata sebesar 0,85 dan indek sarad berkisar antara 0,92-1,00 dengan rata-rata 0, Besarnya volume limbah pemanenan kayu berkisar antara 0,606-1,933 m 3 / pohon dengan rata-rata 1,274 m 3 /pohon, sedangkan volume kayu yang dimanfaatkan berkisar antara 3,220-7,968 m 3 /pohon atau rata-rata 6, Proporsi limbah pemanenan kayu paling banyak berupa limbah pangkal (53,87%), selanjutnya limbah ujung (35,90%) dan paling sedikit limbah tunggak (10,22%). 5. Kerusakan tegakan berdiameter 20 cm dan keatas akibat penebangan berkisar antara 5,94-14,92% atau termasuk kategori kerusakan tegakan tingkat ringan sampai sedang. Saran 1. Pemegang IUPHHK-HA perlu mempertimbangkan penerapan metode tree length logging karena terbukti mampu meningkatkan nilai FE tanpa banyak menimbulkan kerusakan tegakan. 2. Guna meningkatkan nilai tambah, pemegang IUPHHK-HA sebaiknya dapat memanfaatkan lebih lanjut limbah pemanenan kayu. 85

91 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN Jl. Gunung Batu 5 Bogor Telp./Fax (0251) /

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BOGOR, 2015 SINTESIS ANTARA RPPI 7 REVITALISASI PEMANFAATAN HASIL HUTAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

Permasalahan. Pengelolaan HHBK belum optimal yang mengakibatkan pemanfaatan HHBK belum optimal (Permenhut No. P.19/Menhut-II/2009)

Permasalahan. Pengelolaan HHBK belum optimal yang mengakibatkan pemanfaatan HHBK belum optimal (Permenhut No. P.19/Menhut-II/2009) RPPI 7 Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen untuk Energi, Pangan dan Obatobatan Alternatif dari Hutan Koordinator Wakil Pembina : Totok Kartono Waluyo : Gusmailina : Prof. Riset. Dr. Gustan

Lebih terperinci

RPPI Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen untuk Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan

RPPI Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen untuk Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan RPPI 7 2015-2019 Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen untuk Energi, Pangan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Koordinator Wakil Pembina : Totok Kartono Waluyo : Gusmailina : Prof. Riset. Dr.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama lima bulan dari bulan Mei hingga September 2011, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Bengkel Teknologi Peningkatan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang- 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang- Cihideung. Sampel yang diambil adalah CAF. Penelitian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber energi berbasis fosil (bahan bakar minyak) di Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 23 tahun lagi dengan cadangan yang ada sekitar 9.1 milyar barel (ESDM 2006),

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab Bandung Barat. Sampel yang diambil berupa tanaman KPD. Penelitian berlangsung sekitar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Judul Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN Judul Penelitian 1.1. Judul Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN Eksperimen Dan Pemodelan Kesetimbangan Termodinamika Pada Ekstraksi Fenol Dari Bio-Oil Hasil Pirolisis Tempurung Kelapa. 1.2. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Sebanyak 5 kg buah segar tanaman andaliman asal Medan diperoleh dari Pasar Senen, Jakarta. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian

Lebih terperinci

TEKNIK PENGOLAHAN BIO-OIL

TEKNIK PENGOLAHAN BIO-OIL PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN SERI PAKET IPTEK TEKNIK PENGOLAHAN BIO-OIL DARI BIOMASSA Santiyo Wibowo,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. BAHAN DAN METODE

I. PENDAHULUAN II. BAHAN DAN METODE Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 3, September 2016: 241-248 I. PENDAHULUAN Ketahanan pangan menjadi perhatian yang utama, mengingat kontribusinya dalam mendukung pembangunan nasional. Ketahanan pangan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Energi (M BOE) Gambar 1.1 Pertumbuhan Konsumsi Energi [25]

BAB I PENDAHULUAN. Energi (M BOE) Gambar 1.1 Pertumbuhan Konsumsi Energi [25] BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pertumbuhan populasi penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan konsumsi energi semakin meningkat pula tetapi hal ini tidak sebanding dengan ketersediaan cadangan

Lebih terperinci

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga, 24 BAB III METODA PENELITIAN A. Alat dan Bahan 1. Alat Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah semua alat gelas yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan industri kelapa sawit yang cukup potensial sebagai penghasil devisa negara menyebabkan luas areal dan produksi kelapa sawit di Indonesia semakin meningkat. Sampai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Latar dan Waktu Penelitian Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun dari tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jarak pagar varietas Lampung IP3 yang diperoleh dari kebun induk jarak pagar BALITRI Pakuwon, Sukabumi.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah kulit buah manggis, ethanol, air, kelopak bunga rosella segar, madu dan flavor blackcurrant. Bahan kimia yang digunakan untuk keperluan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Fraksinasi Sampel buah mahkota dewa yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari kebun percobaan Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daun salam (Syzygium polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam yang didapatkan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN JENIS POHON. (Avicennia spp.) SEBAGAI BAHAN

PEMANFAATAN JENIS POHON. (Avicennia spp.) SEBAGAI BAHAN PEMANFAATAN JENIS POHON MANGROVE API-API (Avicennia spp.) SEBAGAI BAHAN PANGAN DAN OBAT-OBATAN Ketua : Dr. Ir. Cahyo Wibowo, MScF. Anggota : 1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. 2. Dr. Ir. Ani Suryani,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut yang luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput laut merupakan komoditas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang diperoleh dari perkebunan murbei di Kampung Cibeureum, Cisurupan

Lebih terperinci

BIOAKTIVITAS EKSTRAK METANOL DAN FRAKSI N-HEKSANA DAUN SUNGKAI (PERONEMA CANESCENS JACK) TERHADAP LARVA UDANG (ARTEMIA SALINA LEACH)

BIOAKTIVITAS EKSTRAK METANOL DAN FRAKSI N-HEKSANA DAUN SUNGKAI (PERONEMA CANESCENS JACK) TERHADAP LARVA UDANG (ARTEMIA SALINA LEACH) BIOAKTIVITAS EKSTRAK METANOL DAN FRAKSI N-HEKSANA DAUN SUNGKAI (PERONEMA CANESCENS JACK) TERHADAP LARVA UDANG (ARTEMIA SALINA LEACH) Islamudin Ahmad dan Arsyik Ibrahim Laboratorium Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil determinasi tumbuhan dilampirkan pada Lampiran 1) yang diperoleh dari perkebunan

Lebih terperinci

EKSTRAKSI MINYAK SEREH DAPUR SEBAGAI BAHAN FLAVOR PANGAN I N T I S A R I

EKSTRAKSI MINYAK SEREH DAPUR SEBAGAI BAHAN FLAVOR PANGAN I N T I S A R I EKSTRAKSI MINYAK SEREH DAPUR SEBAGAI BAHAN FLAVOR PANGAN I N T I S A R I Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu teknologi proses ekstraksi minyak sereh dapur yang berkualitas dan bernilai ekonomis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

HASIL LITBANG 2016 PUSLITBANG HASIL HUTAN BUKU II

HASIL LITBANG 2016 PUSLITBANG HASIL HUTAN BUKU II HASIL LITBANG 2016 PUSLITBANG HASIL HUTAN BUKU II BOGOR, JANUARI 2017 i KATA PENGANTAR Buku Hasil Litbang 2016 Puslitbang Hasil Hutan memberikan gambaran atas hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biomassa BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Biomassa meliputi semua bahan yang bersifat organik ( semua makhluk yang hidup atau mengalami pertumbuhan dan juga residunya ) (Elbassan dan Megard, 2004). Biomassa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Zat Ekstraktif Mindi Kadar ekstrak pohon mindi beragam berdasarkan bagian pohon dan jenis pelarut. Berdasarkan bagian, daun menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan Januari 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika 99,1 juta ton dan 33,2 juta ton

BAB I PENDAHULUAN Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika 99,1 juta ton dan 33,2 juta ton BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Produksi singkong dunia diperkirakan mencapai 184 juta ton pada tahun 2002. Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika 99,1 juta ton dan 33,2 juta ton di

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Jawa Barat. Identifikasi dari sampel

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis bahan bakar minyak merupakan salah satu tanda bahwa cadangan energi fosil sudah menipis. Sumber energi fosil yang terbatas ini menyebabkan perlunya pengembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun 2010 pemakaian BBM sebanyak 388.241 ribu barel perhari dan meningkat menjadi 394.052 ribu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah dengan mengembangkan alternatif pangan. Program diversifikasi pangan belum dapat berhasil

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : 19630504 198903 2 001 DIBIAYAI OLEH DANA DIPA Universitas Riau Nomor: 0680/023-04.2.16/04/2004, tanggal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia semakin tahun

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia semakin tahun 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Konsumsi BBM bersubsidi di Indonesia mencapai 21,22 juta kiloliter pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jamur tiram putih merupakan salah satu jamur kayu yang tumbuh di permukaan batang pohon yang sudah lapuk. Jamur tiram putih dapat ditemui di alam bebas sepanjang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia) BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia) yang diperoleh dari Kampung Pamahan, Jati Asih, Bekasi Determinasi

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

RPI dan RENJA 2015 Litbang Teknologi Pengolahan Hasil Hutan untuk Peningkatan Daya Saing Produk Kayu dan Bukan Kayu

RPI dan RENJA 2015 Litbang Teknologi Pengolahan Hasil Hutan untuk Peningkatan Daya Saing Produk Kayu dan Bukan Kayu RPI 2015-2019 RENJA 2015 Litbang Teknologi Pengolahan Hasil Hutan untuk Peningkatan Daya Saing Produk Kayu Bukan Kayu Bogor, 7 Agustus 2014 RPI 2015-2019 4 RPI 1. Sifat Dasar kegunaan kayu bukan kayu 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Energi minyak bumi telah menjadi kebutuhan sehari-hari bagi manusia saat

BAB I PENDAHULUAN. Energi minyak bumi telah menjadi kebutuhan sehari-hari bagi manusia saat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Energi minyak bumi telah menjadi kebutuhan sehari-hari bagi manusia saat ini karena dapat menghasilkan berbagai macam bahan bakar, mulai dari bensin, minyak tanah,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia yang bertempat di jalan Dr. Setiabudhi No.

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Tumbuhan labu dideterminasi untuk mengetahui kebenaran identitas botani dari tumbuhan yang digunakan. Hasil determinasi menyatakan bahwa tanaman yang diteliti adalah Cucubita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi permintaan. Artinya, kebijakan energi tidak lagi mengandalkan pada ketersediaan pasokan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Organik Cair Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran berupa zat atau bahan yang dianggap tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung.

III. METODE PENELITIAN di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung. 16 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2012 sampai dengan bulan Maret 2013 di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung. 3.2 Alat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memiliki potensi perikanan terbesar ketiga dengan jumlah produksi ,84

I. PENDAHULUAN. memiliki potensi perikanan terbesar ketiga dengan jumlah produksi ,84 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi sumber daya perikanan laut cukup besar. Kota Bandar Lampung merupakan daerah yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Bio Oil Dengan Bahan Baku Tandan Kosong Kelapa Sawit Melalui Proses Pirolisis Cepat

BAB I PENDAHULUAN. Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Bio Oil Dengan Bahan Baku Tandan Kosong Kelapa Sawit Melalui Proses Pirolisis Cepat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Selama ini Indonesia menggunakan BBM (Bahan Bakar Minyak) sebagai sumber daya energi primer secara dominan dalam perekonomian nasional.pada saat ini bahan bakar minyak

Lebih terperinci

II. DESKRIPSI PROSES

II. DESKRIPSI PROSES II. DESKRIPSI PROSES A. Jenis-Jenis Proses Proses pembuatan pulp adalah pemisahan lignin untuk memperoleh serat (selulosa) dari bahan berserat. Oleh karena itu selulosa harus bersih dari lignin supaya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g Kacang hijau (tanpa kulit) ± 1

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

KADAR BIOETANOL LIMBAH TAPIOKA PADAT KERING DENGAN PENAMBAHAN RAGI DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA

KADAR BIOETANOL LIMBAH TAPIOKA PADAT KERING DENGAN PENAMBAHAN RAGI DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA 0 KADAR BIOETANOL LIMBAH TAPIOKA PADAT KERING DENGAN PENAMBAHAN RAGI DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan bakar memiliki peran yang penting dalam kehidupan manusia. Krisis energi yang terjadi di dunia dan peningkatan populasi manusia sangat kontradiktif dengan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica charantia L.) yang diperoleh dari Kampung Pamahan-Jati Asih, Bekasi. Dan

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kentang merah dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kentang merah dan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Tepung Kentang Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kentang merah dan kentang. Pembuatan tepung kentang dilakukan dengan tiga cara yaitu tanpa pengukusan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. 1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai dari bulan Februari sampai Juni 2014. Lokasi penelitian dilakukan di berbagai tempat, antara lain: a. Determinasi sampel

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. Disebut beras analog karena bentuknya yang oval menyerupai beras, tapi tidak terproses

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2013 sampai Agustus 2013 di Laboratoium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium Instrumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan energi untuk beberapa abad ke depan, semakin meningkat

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan energi untuk beberapa abad ke depan, semakin meningkat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan energi untuk beberapa abad ke depan, semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia dan berkembangnya negaranegara maju menuju negara

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan September 2013 sampai bulan Maret 2014

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan September 2013 sampai bulan Maret 2014 25 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan September 2013 sampai bulan Maret 2014 yang dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Fakultas MIPA Unila, dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 LOKASI PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Analisa dan Laboratorium Proses Industri Kimia, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sumatera

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2015 di Laboratorium Kimia Universitas Medan Area. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyiapan Sampel Sampel daging buah sirsak (Anonna Muricata Linn) yang diambil didesa Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo, terlebih

Lebih terperinci

Bab III Metodologi. III.1 Alat dan Bahan. III.1.1 Alat-alat

Bab III Metodologi. III.1 Alat dan Bahan. III.1.1 Alat-alat Bab III Metodologi Penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu isolasi selulosa dari serbuk gergaji kayu dan asetilasi selulosa hasil isolasi dengan variasi waktu. Kemudian selulosa hasil isolasi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia dan merupakan kunci utama diberbagai sektor. Semakin hari kebutuhan akan energi mengalami kenaikan seiring dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki ribuan jenis tumbuhan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki ribuan jenis tumbuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki ribuan jenis tumbuhan yang harus dilestarikan dan dimanfaatkan dengan baik. Sebagian besar tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang kaya akan sumber daya alamnya, sehingga menjadi negara yang sangat potensial dalam bahan baku obat, karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pengawet pada produk makanan atau minuman sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalam industri makanan. Apalagi perkembangan zaman menuntut produk makanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibudidayakan oleh petani dan petani hutan. Umbi porang banyak tumbuh liar di

BAB I PENDAHULUAN. dibudidayakan oleh petani dan petani hutan. Umbi porang banyak tumbuh liar di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Umbi porang merupakan bahan baku glukomanan yang saat ini banyak dibudidayakan oleh petani dan petani hutan. Umbi porang banyak tumbuh liar di kawasan hutan dan lereng

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang bertempat di jalan Dr. Setiabudhi No.229

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2012 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah pada bulan Juli sampai Oktober 2013. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Sawit

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya I PENDAHULUAN Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya dibutuhkan penulisan laporan mengenai penelitian tersebut. Sebuah laporan tugas akhir biasanya berisi beberapa hal yang meliputi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014, III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014, bertempat di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. areal Hutan Tanaman Indusrti (HTI) telah banyak digunakan sebagai bahan baku kayu

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. areal Hutan Tanaman Indusrti (HTI) telah banyak digunakan sebagai bahan baku kayu BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini jenis akasia (Acacia mangium Willd) yang sebagian besar berasal dari areal Hutan Tanaman Indusrti (HTI) telah banyak digunakan sebagai bahan baku kayu gergajian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung Lawu. Sedangkan pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Biologi dan Kimia

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Garut, Jawa Barat serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daratan Malaya. Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) banyak ditemui

I. PENDAHULUAN. daratan Malaya. Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) banyak ditemui I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belimbing wuluh merupakan salah satu tanaman buah asli Indonesia dan daratan Malaya. Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) banyak ditemui sebagai tanaman pekarangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak

I. PENDAHULUAN. menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada masa sekarang produksi bahan bakar minyak (BBM) semakin menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak mentah nasional menipis produksinya.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Turi (Sesbania grandiflora) merupakan tanaman asli Indonesia, yang termasuk kedalam jenis kacang-kacangan. Kacang turi merupakan jenis kacang-kacangan dari pohon turi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat seiring dengan terus meningkatnya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat seiring dengan terus meningkatnya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penggunaan energi oleh manusia yang berasal dari bahan bakar fosil semakin meningkat seiring dengan terus meningkatnya pertumbuhan penduduk di dunia.menurut laporan

Lebih terperinci