KAJIAN MUSIM KAWIN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) PADA LEMBAGA KONSERVASI DI INDONESIA ANDI EKA PUTRA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN MUSIM KAWIN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) PADA LEMBAGA KONSERVASI DI INDONESIA ANDI EKA PUTRA"

Transkripsi

1 KAJIAN MUSIM KAWIN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) PADA LEMBAGA KONSERVASI DI INDONESIA ANDI EKA PUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 ABSTRAK ANDI EKA PUTRA. Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia. Dibimbing oleh LIGAYA ITA TUMBELAKA. Harimau Sumatera merupakan satu-satunya subspesies dari Panthera tigris yang masih ada di Indonesia. Harimau Sumatera diklasifikasikan oleh CITES ke dalam Appendix I critically endangered oleh IUCN. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pola reproduksi khususnya musim kawin harimau Sumatera yang berada di habitat ex-situ atau lembaga konservasi di Indonesia. Data didapatkan melalui penelusuran daya reproduksi harimau Sumatera berdasarkan studbook harimau Sumatera regional dan internasional tahun Data dianalisis secara deskriptif untuk status reproduksi meliputi jumlah anak per kelahiran, musim kawin dan masa produktif. Bulan perkawinan dapat ditentukan berdasarkan bulan terjadinya kelahiran. Penghitungan bulan perkawinan didapatkan dengan cara mengurangi tanggal kelahiran anak dengan rataan lama kebuntingan harimau yang berkisar antara 95 sampai 110 hari atau lebih kurang tiga bulan. Hasil penelusuran dari studbook didapatkan bahwa perkawinan harimau Sumatera merata setiap bulan dalam satu tahun sehingga pada harimau Sumatera yang hidup di lembaga konservasi di Indonesia tidak mempunyai musim kawin. Kata kunci: Harimau sumatera, studbook, musim kawin

3 ABSTRACT ANDI EKA PUTRA. Study of Sumatran Tiger (Panthera tigris sumatrae) Breeding Season in Conservation Institution in Indonesia. Under the advisory of LIGAYA ITA TUMBELAKA. The aim of the study is to find out the reproduction pattern especially breeding season of sumateran tiger in ex-situ habitat or conservation institution (zoo and safari park) in Indonesia. The reproductive data were obtained from sumateran tiger regional and international studbook The time of breeding were decided from the time of birth subtracted by the number of average pregnancy duration that range from 95 to 110 days or three months. The result of this study showed that sumateran tiger breed throughout the year; therefore, the sumatran tiger in conservation institution in Indonesia are non-seasonal breederr. Keywords: sumatran tiger, studbook, breeding season.

4 KAJIAN MUSIM KAWIN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) PADA LEMBAGA KONSERVASI DI INDONESIA ANDI EKA PUTRA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

5 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 2011 Andi Eka Putra NIM B

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

7 Judul Skripsi Nama NIM : Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia : Andi Eka Putra : B Disetujui : Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc Pembimbing Diketahui, Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah, rahmat dan hidayah-nya yang diberikan, skripsi dengan judul Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia dapat diselesaikan. Hasil dari kajian ini diharapkan dapat memberikan informasi berharga mengenai musim kawin harimau Sumatera serta usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan reproduksinya. Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan seluruh pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada 1 Allah SWT. 2 Ibunda Armilis Tin, ayahanda Margusnil Tangiran, kakanda Mera Oktaviyanti dan Meri Oktaviyanti serta adinda Riska Amelia atas doa, kasih sayang dan dukungan yang telah diberikan sampai saat ini. 3 Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc selaku pembimbing dalam kajian ini. 4 Drh. Abdul Zahid Ilyas, MSi selaku pembimbing akademik. 5 Sahabat-sahabat yang selalu memberikan dukungan (Dian, Sandra, Arni, Dara, Nisa, Inez, Niken, Yayan). 6 Rekan-rekan Gianuzzi 44 dan Himpunan Minat Profesi Satwa Liar atas pengalaman dan pelajaran yang diberikan hingga saat ini. 7 Seluruh pihak yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi (Febby, Wulan, Ati, Caca, Madu, Adek, Rendy). Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi civitas akademika maupun seluruh pembaca lainnya. Bogor, Agustus 2011 Andi Eka Putra NIM B

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Batusangkar, Sumatera Barat pada tanggal 22 Februari 1989 dari ayah Margusnil Tangiran dan ibunda Armilis Tin. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan mulai dari SDN 19 Padang Magek Selatan pada tahun 2001, kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Rambatan dan lulus pada tahun Pada tahun 2007 penulis menyelesaikan pendidikan pada SMAN 3 Batusangkar dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada jurusan Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif pada berbagai kepanitiaan dan organisasi di dalam kampus. Organisasi dalam kampus yang diikuti oleh penulis yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa kabinet Sinergis sebagai staf divisi PSDM ( ) Himpunan Minat Profesi Satwa Liar sebagai kadiv Internal ( ), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (imakahi) sebagai anggota divisi Kajian Strategi ( ), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang FKH IPB dan Ikatan Mahasiswa Serambi Mekah-Pagaruyung. Selama masa perkuliahan penulis pernah memperoleh penghargaan sebagai Runner up Duta Lingkungan Fakultas Kedokteran Hewan IPB pada tahun Penulis juga pernah menjadi panitia South East Asia Veterinary School Association (SEAVSA).

10 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman i ii iii iv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Kajian... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Taksonomi... 3 Morfologi... 3 Ekologi... 5 Tingkah Laku Sosial dan Aktifitas Harian... 6 Reproduksi... 7 Musim Kawin... 8 Studbook... 9 Ancaman dan Konservasi... 9 BAHAN DAN METODE Hewan yang Diteliti Metodologi Analisis Data Jadwal Pelaksanaan Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Penangkaran Status Reproduksi Musim Kawin SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 29

11 DAFTAR TABEL Halaman 1 Penyebaran harimau Sumatera di beberapa penangkaran Jumlah anak per pasangan harimau Sumatera di penangkaran Data kelahiran harimau Sumatera di penagkaran... 21

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Harimau Sumatera Perkiraan perkawinan harimau Sumatera di penangkaran ex-situ Jumlah anak yang dilahirkan tiap bulan di penangkaran ex-situ... 22

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data harimau Sumatera di lembaga konservasi di Indonesia Data perkawinan harimau Sumatera... 33

14 1 PENDAHULUAN Latar belakang Harimau Sumatera merupakan hewan karnivora asli Indonesia yang memiliki habitat di pulau Sumatera. Harimau Sumatera merupakan satu dari sembilan subspesies Panthera tigris (Linnaeus 1758) yang ada di dunia. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) merupakan subspesies yang ditemukan di pulau Sumatera yang keberadaannya saat ini diperkirakan tinggal ekor di habitatnya. Harimau Sumatera hidup di daerah dataran rendah dan hutan pegunungan (Krech et al 2004). Selain itu, harimau Sumatera juga ditemukan di daerah rerumputan alang-alang tinggi dan juga rawa-rawa air tawar. Harimau Sumatera mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih kecil daripada jenis harimau lainnya. Harimau Sumatera diklasifikasikan oleh Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) ke dalam Appendix I, yakni termasuk spesies yang terancam kepunahan dan atau mungkin terpengaruh oleh perdagangan sedangkan berdasarkan kriteria International Union for Conservation of Nature (IUCN) adalah critically endangered, yakni terancam punah. Harimau Sumatera semakin berkurang populasinya di alam liar karena perburuan liar dan juga karena tindakan manusia yang menganggap harimau Sumatera sebagai hama yang menghabisi ternak mereka. Baru-baru ini, satu harimau Sumatera ditangkap warga dengan menggunakan perangkap berupa kandang dari kayu di hutan Pandawa Lima, Desa Tarok, Nagari Kepala Hilalang, Kabupaten Padangpariaman, Sumatera Barat, karena dianggap telah memangsa ternak warga (Marboen 2011). Akibat berkurangnya habitat harimau Sumatera, hewan ini menjadi semakin sering berkonflik dengan manusia. Selama ini tuduhan yang sering terlontar oleh media massa yaitu harimau Sumatera yang memangsa ternak bahkan memangsa penduduk (Kathy 1992). Beberapa upaya telah dilakukan untuk mempertahankan populasi harimau agar tidak mengalami kepunahan. Usaha ini antara lain dengan menyelaraskan program konservasi in-situ (di habitatnya) dan ex-situ (di luar habitatnya). Contoh dari habitat in-situ yaitu berupa cagar alam dan suaka marga satwa. Sedangkan

15 2 contoh habitat ex-situ yaitu lembaga konservasi seperti kebun binatang dan pusat penyelamatan satwa. Penangkaran merupakan salah satu bentuk dari upaya pelestarian ex-situ dengan kegiatan pengembangbiakan jenis satwaliar dan tumbuhan alam, yang bertujuan untuk memperbanyak populasi dengan mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat dipertahankan (Thohari 1986). Indonesia yang merupakan negara tropis sebagai habitat harimau Sumatera mempunyai curah hujan yang tinggi dan sinar matahari dengan rasio terang dan gelap 12:12 jam. Kondisi ini berbeda dengan daerah subtropis sebagai habitat harimau Siberia yang hanya disinari matahari pada bulan-bulan tertentu. Perbedaan paparan sinar matahari menyebabkan terjadinya perbedaan musim. Mamalia biasanya memiliki musim kawin atau waktu tertentu untuk bereproduksi. Musim kawin dapat dipengaruhi oleh lingkungan, makanan, curah hujan dan suhu (Bronson 1998). Musim kawin dapat berpengaruh terhadap fekunditas dan litter size pada seekor hewan. Fekunditas adalah kemungkinan kelahiran hidup dalam satu siklus, sedangkan litter size adalah jumlah anakan yang lahir dalam sekali kelahiran. Melihat pentingnya mengetahui musim kawin terutama bagi penangkaran, maka dilakukan kajian untuk mengetahui musim kawin harimau Sumatera yang ada di Lembaga Konservasi Indonesia. Tujuan kajian Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pola reproduksi khususnya musim kawin Harimau sumatera yang berada di habitat ex-situ atau lembaga konservasi di Indonesia.

16 3 TINJAUAN PUSTAKA Harimau Sumatera yang ditemukan di pulau Sumatera biasa juga disebut dengan harimau loreng. Hal ini dikarenakan warna kuning-oranye dengan garis hitam vertikal pada tubuhnya. Taksonomi Klasifikasi harimau Sumatera menurut Pocock 1929 : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Carnivora Famili : Felidae Genus : Panthera Spesies : Panthera tigris Subspesies : sumatrae Diketahui ada sembilan subspesies Panthera tigris yaitu Panthera tigris tigris (harimau Bengala), Panthera tigris corbetti (harimau Indocina), Phantera tigris altaica (harimau Siberia), Panthera tigris amoyensis (harimau Cina utara), Panthera tigris virgata (harimau Caspian), Panthera tigris jacksoni (harimau Malaya), dan tiga subspesies yang terdapat di Indonesia yaitu Panthera tigris sumatrae (harimau Sumatera), Panthera tigris sondaica (harimau Jawa), dan Panthera tigris balica (harimau Bali). Disayangkan tiga dari sembilan subspesies ini dinyatakan telah punah yaitu Panthera tigris virgata (awal tahun 1970), Panthera tigris sondaica (pertengahan tahun 1970) dan Panthera tigris balica (sekitar tahun 1940) (IUCN 2011). Morfologi Harimau adalah spesies terbesar dari 36 spesies kucing, dan harimau Sumatera mempunyai ukuran tubuh terkecil dari keseluruhan subspesies harimau di dunia. Panjang harimau Sumatera rata-rata 2,4 meter untuk jantan dan 2,2 meter untuk betina. Tinggi diukur dari kaki ke tengkuk rata-rata adalah 75 cm, ada juga

17 4 yang mencapai antara cm. Rata-rata berat badan untuk harimau Sumatera jantan adalah 120 kg dan untuk betina 90 kg (Honolulu Zoo 2011). Hewan ini mempunyai bulu sepanjang 8-11 mm, surai pada harimau Sumatera jantan berukuran cm. Harimau Sumatera memiliki bulu di dagu, pipi, dan belakang kepala lebih pendek. Dagu, bagian tenggorokan, dan bagian bawah tubuh keputih-putihan. Warna bulunya lebih gelap dari jenis harimau lainnya dan bervariasi dari warna kuning-kemerahan sampai oranye gelap dengan belang berwarna hitam. Belang harimau Sumatera lebih tipis daripada subspesies harimau lain. Belang harimau berfungsi sebagai kamuflase di antara alang-alang dan rumput. Pada bagian pipi terdapat pili yang panjang yang berguna sebagai sensor ketika bergerak di semak belukar. Rambut-rambut panjang di bagian pipi dapat melindungi mereka dari cabang pohon dan ranting. Bulunya berubah menjadi hijau gelap ketika melahirkan (Tilson 1994). Bagian tubuh ventral dan paha bagian dalam hampir berwarna putih dan berwarna kuning terang. Kaki belakang harimau Sumatera lebih panjang dibandingkan dengan kaki depan sehingga memudahkan dalam mengatur keseimbangan, memanjat, melompat dan menerkam mangsa. Panjang ekor harimau Sumatera sekitar cm. Ekor tersebut berguna sebagai alat keseimbangan ketika berlari dengan kecepatan tinggi dan berbelok cepat serta digunakan untuk berkomunikasi dengan harimau lainnya (Sinaga 2004). Alat indera harimau seperti penglihatan dan pendengaran sangat bagus. Indera penciumannya juga berkembang dengan baik. Mata digunakan saat malam hari ketika berjalan di hutan. Ukuran tubuhnya yang kecil memudahkan mereka menjelajahi rimba. Mereka menggunakan jari kaki untuk berjalan. Harimau Sumatera dapat berlari dengan kecepatan 35 mil per jam. Seperti kebanyakan bangsa kucing, harimau Sumatera memiliki cakar yang tajam dimana cakar tersebut digunakan untuk mencengkeram mangsa. Selain itu cakaran juga digunakan untuk menandai daerah kekuasaan dengan membuat cakaran di pohon atau tanah. Kegiatan ini juga berfungsi untuk mengasah kuku dan otot di sekitar kuku. Cakar atau kuku harimau dapat ditarik kembali agar tetap tajam. Terdapat selaput di sela-sela jari berupa anyaman yang kuat dan lebar yang menjadikan

18 5 mereka sebagai hewan yang memiliki kemampuan berenang cepat dan bagus. Harimau Sumatera dapat berenang dan menyeberangi sungai sejauh 5 mil. Gambar 1 Harimau sumatera (WWF 2011) Ekologi Habitat harimau Sumatera di pulau Sumatera dan tersebar di semua provinsi mulai dari Aceh sampai Lampung. Habitatnya meliputi hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan. Harimau Sumatera, seperti jenis-jenis harimau lainnya merupakan jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Kondisi mutlak yang mempengaruhi pemilihan habitat seekor harimau adalah adanya kualitas yang baik untuk vegetasi cover sebagai tempat beristirahat dan berteduh agar terlindung dari panas serta sebagai tempat untuk membesarkan anak. Selain itu harus terdapat sumber air karena satwa ini sangat tergantung pada air untuk minum, mandi, dan berenang serta tersedianya mangsa dalam jumlah yang cukup. Tipe lokasi yang biasanya menjadi habitat pilihan harimau Sumatera bervariasi, dengan ketinggian antara meter dari permukaan laut seperti hutan hujan tropis, hutan primer dan sekunder pada dataran rendah sampai dataran tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka, pantai berlumpur, mangrove,

19 6 pantai berawa payau, pantai air tawar, padang rumput, daerah datar sepanjang aliran sungai, khususnya pada sungai yang mengalir melalui tanah yang ditutupi oleh hutan hujan tropis, areal hutan gambut dan juga sering terlihat di daerah perkebunan dan tanah pertanian (Sinaga 2004). Menurut Adlington (2003), hanya harimau Sumatera liar saja yang dapat ditemukan di hutan Sumatera. Sebagian besar harimau Sumatera yang berada di Kebun Binatang di Indonesia ataupun di luar Indonesia merupakan harimau Sumatera yang berasal dari alam, pertukaran antar satwa yang ada di Kebun Binatang atau sitaan dan titipan yang diberikan oleh Departemen Kehutanan. Harimau membutuhkan wilayah jelajah yang cukup luas. Menurut Hamaide (2007), harimau memiliki daerah jelajah seluas 100 km 2, tetapi wilayah jelajah ini dapat bervariasi, tergantung ketersediaan makanan di suatu wilayah. Wilayah jelajah akan mengecil jika mangsa harimau tersedia lebih dari cukup. Home range untuk seekor harimau betina adalah sekitar 20 km² sedangkan untuk harimau jantan sekitar km². Akan tetapi, angka tersebut bukan merupakan ketentuan yang pasti, karena dalam menentukan teritorinya juga dipengaruhi oleh keadaan geografi tanah dan banyaknya mangsa di daerah tersebut. Biasanya daerah teritori harimau jantan 3-4 kali lebih luas dibandingkan harimau betina. Harimau dapat bekelana lebih dari 20 mil (32 km) pada saat malam hari (Honolulu Zoo 2011). Tingkah Laku Sosial dan Aktifitas Harian Harimau bukan jenis satwa yang biasa tinggal berkelompok melainkan jenis satwa soliter, yaitu satwa yang sebagian besar waktunya hidup menyendiri, kecuali selama musim kawin atau betina memelihara anaknya. Harimau jantan dan betina menandai wilayah mereka dengan cara membuat cakaran di tanah dan pohon. Cakaran dibuat setelah melakukan urinasi. Pada saat urinasi harimau Sumatera menyemprotkan urine untuk menimbulkan bau-bauan serta meninggalkan bekas kotoran. Harimau merupakan hewan pemakan daging atau disebut juga karnivora. Menurut Sankhala (1997) harimau tidak akan membunuh mangsanya tanpa alasan, mereka tidak akan membunuh mangsanya apabila tidak merasa lapar.

20 7 Hewan yang biasanya menjadi mangsa adalah rusa Sambar, kijang, kancil, babi hutan, dan satwa liar lainnya. Hewan peliharaan seperti kerbau, sapi, domba, dan ayam menjadi mangsa bila habitat harimau terganggu atau rusak karena manusia tinggal di habitatnya sehingga memaksa harimau masuk ke pemukiman. Saat membunuh mangsanya, harimau akan menggigit bagian belakang leher, dan merusak tulang belakang. Untuk memenuhi kebutuhannya, harimau berburu 3-6 hari sekali, tergantung besar kecil mangsa yang didapatkannya. Biasanya seekor harimau membutuhkan sekitar 6-7 kg daging per hari, bahkan kadang-kadang sampai 40 kg daging sekali makan (Macdonald 1986). Besarnya jumlah kebutuhan ini tergantung dari apakah harimau tersebut mencari makan untuk dirinya sendiri atau berapa banyak anggota yang harus diberi makan seperti harimau betina yang harus mencari makan untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya. Masa hidup seekor harimau adalah sekitar tahun. Harimau yang tinggal di penangkaran umumnya lebih lama lagi, dapat mencapai tahun (Macdonald 1986). Reproduksi Harimau merupakan satwa dengan tingkat perkembangbiakan yang cukup tinggi. Kematangan seksual (pubertas) harimau Sumatera terjadi pada usia sekitar 3-4 tahun (Seidensticker 1996). Untuk harimau betina mencapai pubertas pada usia 3-4 tahun, sedangkan harimau jantan pada usia 4-5 tahun. Menurut Sankhala (1997) selama masa kawin pasangan harimau Benggala dapat hidup bersamasama. Mereka akan tinggal bersama selama betina birahi yang umumnya selama satu minggu. Kopulasi terjadi setiap menit dan terjadi 5-6 hari. Kopulasi terjadi hanya dalam waktu detik. Harimau betina dapat menerima beberapa pejantan sehingga harimau merupakan hewan yang berpoligami. Lama kehamilan harimau betina berkisar hari atau rata-rata 103 hari seperti dalam Seidensticker et al. (1993). Jumlah anak harimau dalam sekali kelahiran jumlahnya berkisar antara 1-6 ekor, dan bahkan kadang-kadang lahir 7 ekor, tetapi dari jumlah tersebut yang mampu bertahan dan hidup sampai dewasa hanya dua atau tiga ekor saja. Menurut Andriyanto (2001) jumlah serta nisbah jantan dan betina harimau Sumatera di Taman Safari Indonesia, Taman Margasatwa

21 8 Ragunan, Kebun Binatang Surabaya dan Kebun Binatang Gembira Loka tidak tetap. Anak harimau terlahir dalam keadaan mata tertutup seperti buta. Mata anakanak harimau tertutup oleh membran tipis dan akan terbuka pada saat berumur satu minggu (Jackson 1990). Selama 8 minggu, anak harimau hanya mengkonsumsi susu dari induknya. Anak harimau baru bisa berburu sendiri setelah berumur 18 bulan dan menjadi mandiri saat berumur 24 bulan. Harimau betina selama hidupnya dapat melahirkan anak dengan jumlah total sampai 30 ekor dan setiap tahun dapat melahirkan anak. Jarak antar kelahiran kurang lebih 22 bulan, atau 2-3 tahun, tetapi dapat lebih cepat bila anaknya mati. Dari penelitian Hidayani (2007) didapatkan hasil bahwa seekor harimau Sumatera betina dapat melahirkan anak sebanyak 35 ekor selama 7 tahun masa produktifnya. Musim Kawin Musim kawin adalah suatu musim dalam suatu tahun dimana hewan menunjukkan aktivitas perkawinan. Dalam periode satu musim, hewan betina jenis tertentu baik yang telah dewasa maupun baru mencapai pubertas memperlihatkan gejala birahi. Para pejantan dengan bersemangat akan melayani kehendak betina ini. Dalam tradisi rimba pada saat inilah terjadi pertarungan antar pejantan untuk memperebutkan betina. Bagi betina yang beruntung mendapat bibit pada musim kawin sebelumnya maka akan mengalami kebuntingan. Bagi betina yang kurang beruntung tidak menampakkan aktivitas kawin atau disebut juga nonbreeding season (Partodihardjo 1980). Banyak hewan yang melakukan perkawinan sepanjang tahun. Tetapi banyak juga yang memiliki musim kawin tertentu. Musim kawin beberapa hewan yang tergolong mamalia dipengaruhi oleh perubahan panjang jam siang setiap hari. Di daerah subtropis, pada bulan November, Desember, dan Januari siang hari menjadi pendek, sekitar 8-10 jam, sedangkan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus siang hari menjadi panjang sekitar jam. Di daerah tropis, lamanya siang hari merata sepanjang tahun, yaitu 12 jam. Pada hewan yang hidup di daerah subtropis, perkawinan terjadi mengikuti pola tertentu. Pada daerah subtropis terdapat empat

22 9 musim, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Bagi hewan yang berada di daerah subtropis, sangat penting untuk melahirkan pada musim tertentu dimana dapat menjamin keturunannya bertahan hidup, biasanya terjadi pada musim semi sampai panas (Short 1984). Pada mamalia yang hidup di daerah tropis terjadinya perkawinan tidak mengikuti pola reproduksi tertentu. Dalam Geptner et al (1992) reproduksi nonseasonal adalah karakteristik dari hewan tropis. Perbedaan iklim kemungkinan berpengaruh terhadap profil reproduksi hewan termasuk harimau. Studbook Seifert dan Muller (1984) mengatakan Studbook adalah kronologi populasi harimau yang ada di dalam penangkaran. Untuk setiap harimau yang terdaftar, pada studbook dicatat informasi mengenai tanggal lahir, tanggal kematian, induk jantan dan betina, lokasi keberadaan dan perpindahan harimau, serta nomor identifikasi institusi yang memiliki harimau dan nomor identifikasi Studbook yang terstandarisasi. Setiap hewan ditandai dengan nomor identitas yang khas atau nomor studbook yang memberikan susunan silsilah untuk analisis genetik. Data umur dari kelahiran dan kematian hewan dapat digunakan untuk analisis demografis. Selain itu data yang didapat dari studbook dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan penangkaran. Dengan data dari studbook dapat dicegah terjadinya kawin silang dalam (inbreeding) dan mempertahankan keragaman genetik. (WAZA 2011). Ancaman dan Konservasi Penyebab utama kerusakan alam dan komunitas biologi adalah bertambahnya populasi manusia di muka bumi. Ancaman utama pada lingkungan akibat kegiatan manusia adalah kerusakan habitat, fragmentasi habitat, degradasi habitat, perubahan iklim global, pemanfaatan spesies yang berlebih untuk kepentingan manusia, invasi spesies asing dan meningkatnya penyebaran penyakit serta sinergi dari faktor-faktor tersebut. Kebanyakan spesies dan komunitas yang terancam punah menghadapi sedikitnya dua atau lebih dari masalah-masalah

23 10 tersebut, yang mendorong kepunahan dan menyulitkan usaha perlindungan (Sunquist 2010). Begitu juga halnya dengan harimau Sumatera. Berkurangnya populasi harimau Sumatera di habitanya disebabkan oleh pembukaan lahan secara besarbesaran oleh manusia yang menyebabkan berkurangnya habitat yang membuat seolah-olah harimau merusak pemukiman penduduk untuk mencari makan. Selain itu perburuan dan penjualan ilegal bagian tubuh harimau juga meningkat. Menurut Twist (2004) pengobatan tradisional Cina merupakan ancaman bagi harimau Sumatera karena pengobatan tradisional tersebut menggunakan bagian-bagian tubuh harimau. Jepang, Hong Kong dan Korea Selatan merupakan negara-negara pengimpor tulang harimau untuk pengobatan tradisional Asia. Strategi terbaik bagi pelestarian jangka panjang dan untuk melindungi individu yang tersisa adalah dengan menempatkannya dalam suatu lingkungan yang dapat dipantau secara berkelanjutan (Indrawan et al 2007). Strategi ini dikenal dengan pelestarian ex-situ. Habitat ex-situ merupakan tempat tinggal satwa yang berada di luar habitatnya. Disain habitat ex-situ dibuat semirip mungkin dengan aslinya agar hewan merasa nyaman. Konservasi ex-situ didefinisikan dalam Convention on Biological Diversity sebagai pengawetan komponen-komponen keragaman plasma nutfah di luar habitat aslinya. Kegiatan yang dilakukan seperti pengambilan sampel, transfer, dan penyimpanan dari suatu taxa target dari daerah koleksi dan biasanya dilakukan untuk menjamin keberadaan suatu spesies atau populasi yang memiliki potensi kehancuran fisik, tergerus dan tergantikan oleh spesies lain, atau kemerosotan genetik (UNCED 1992). Tujuan jangka panjang dari program pelestarian ex-situ adalah untuk membentuk populasi cadangan, hingga jumlah individu spesies tersebut mencukupi dan habitat yang sesuai tersedia. Taman nasional, kebun binatang, akuarium, dan peternakan satwa buruan, serta berbagai program penangkaran merupakan contoh dari fasilitas ex-situ atau disebut lembaga konservasi. Perlindungan keanekaragaman hayati bagi spesies dan lingkungannya diatur dalam UU No. 5 Tahun Usaha perlindungan terhadap harimau Sumatera di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1931 yaitu berdasarkan Undang-undang Perlindungan Binatang Liar 1931 No. 134 serta SK Menteri Pertanian tahun 1972

24 11 No. 327/kpts/im/7/1972. Usaha pelestarian yang diusulkan adalah pembinaan populasi dan penetapan suaka alam khusus harimau Sumatera. Usaha yang dilakukan oleh masyarakat internasional adalah dengan mendirikan berbagai organisasi yang bertujuan untuk melindungi satwa-satwa liar yang terancam punah, diantaranya adalah International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 1948 serta Convention on International Trade In Endangered Species (CITES) yang ditandatangani tahun 1975 (Adlington 2003).

25 12 BAHAN DAN METODE Hewan yang diteliti Hewan yang diteliti adalah harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Metodologi Data sekunder dikaji melalui pemeriksaan dan penelusuran daya reproduksi harimau Sumatera yang berada di Indonesia berdasarkan studbook harimau Sumatera regional dan internasional tahun 2004 sampai Analisis data Data dianalisis secara deskriptif untuk status reproduksi meliputi jumlah anak per kelahiran, musim kawin dan masa produktif. Jadwal pelaksanaan kajian Kajian data dimulai bulan Mei 2011, dilanjutkan dengan kajian analisis data sampai Juli 2011.

26 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Penangkaran Dibentuknya suatu lembaga penangkaran harimau Sumatera di luar habitatnya didasari oleh kategori harimau Sumatera yang tergolong langka, sehingga dilakukan upaya untuk menyelamatkan harimau Sumatera dengan melakukan program penangkaran. Harimau Sumatera dikenal juga sebagai umbrella species, yang artinya dengan melindungi spesies tersebut spesies lainnya akan turut terdilindungi (Roberge dan Angelstam 2004). Upaya penangkaran harimau Sumatera dimulai pada tahun 1992 dengan terbentuknya lembaga penangkaran harimau Sumatera Perhimpunan Kebun Binatang se-indonesia (PKBSI) yang dipusatkan di Taman Safari Indonesia, dimulainya pencatatan studbook harimau Sumatera PKBSI dan pengelolaan penangkaran ex-situ. Tujuan utama konservasi ex-situ adalah menyokong keselamatan spesies satwaliar di habitat aslinya sehingga terhindar dari kepunahan. Konsevasi ex-situ merupakan suatu program yang berkomplemen dengan konservasi in-situ. Pelestarian ex-situ dan in-situ merupakan strategi yang saling melengkapi (Robinson 1992). Variasi genetik merupakan hal yang penting bagi populasi in-situ sehingga pengelolaan ex-situ dalam menunjang penyelamatan satwa in-situ sangat perlu mempertimbangkan mutu genetiknya. Sehingga hubungan kekerabatan antar individu dijaga serendah mungkin. Untuk mengurangi terjadinya kawin silang dalam (inbreeding) dalam penangkaran satwaliar maka dapat diambil langkah seperti mengambil bibit satwaliar dari populasi yang berbeda, melakukan tes heterozigositas dan melakukan pencatatan silsilah atau studbook (Sinaga 2004). Dalam setiap penangkaran biasanya dilakukan kegiatan pengelolaan kesehatan harimau. Setiap individu harimau Sumatera yang ada di kebun binatang sangat diperhatikan kesehatannya. Bagi harimau yang baru datang, baik dari alam ataupun dari kebun binatang lainnya harus melalui proses karantina dan pemeriksaan kesehatan umum. Perawatan harimau Sumatera harus mengikuti standar kesejahteraan hewan (kesrawan). Menurut Christie dan Dollinger (2007) syarat legal dalam pemeliharaan harimau berbeda pada tiap negara.

27 14 Untuk memelihara seekor harimau memerlukan tanah berpagar terbuka seluas 500 m² perpasang, sedangkan untuk betina yang memiliki anak harus memiliki kandang yang terpisah dari harimau jantan. Tinggi pagar yang diperlukan sekitar 3,5 m. Kandang harimau Sumatera harus dilengkapi dengan tempat untuk beristirahat, tempat minum, kandang tidur dan kandang latihan, saluran air yang baik, terdapat pohon untuk bernaung dan mengasah kuku, serta kolam untuk berenang. Untuk pengamanan, diperlukan pagar pembatas yang kuat dan biasanya dihubungkan dengan kawat listrik (Christie dan Dollinger 2007). Sinaga (2004) menyatakan bahwa, dalam penangkaran juga harus dilakukan pencatatan studbook untuk mengetahui asal usul satwa agar pengelolaan penangkaran dapat dilakukan dengan baik dan dapat mempertahankan sekurangkurangnya 90% genetik diversitas dari populasi. Pengelolaan perkawinan dapat dilakukan dengan variasi genetik tetap tinggi dan menghindari perkawinan silang. Selain itu untuk menunjang program konservasi harimau Sumatera dilakukan penampungan spermatozoa untuk diawetkan sehingga diharapkan suatu waktu dapat diinseminasikan kepada betina yang memerlukan. Sejak tahun 1995 Bank Sumber Plasma Nutfah dipusatkan di Taman Safari Indonesia. Berdasarkan studbook harimau Sumatera Regional dan Internasional sampai tahun 2007, Harimau sumatera tersebar di sebelas tempat di pulau Jawa, Bali dan Sumatera. Ke sebelas tempat tersebut adalah Bali Zoo, Taman Safari Bogor, Komplek Let Jen Norman Sasono, Taman Bundo Kanduang Bukittinggi, Ragunan Zoo, Yayasan Margasatwa Tamansari-Bandung, Kebun Binatang Taman Aneka Rimba Jambi, Yayasan Kebun Binatang Medan, Taman Wisata Satwa Taru Jugug, Kebun Binatang Surabaya, dan Kebun Binatang Gembira Loka. Jumlah harimau Sumatera terbanyak terdapat di Taman Safari Indonesia Bogor. Hal ini dikarenakan ditunjuknya Taman Safari Indonesia sebagai pusat dari lembaga Penangkaran harimau Sumatera (Tumbelaka 2007).

28 15 Tabel 1 Penyebaran Harimau Sumatera di Beberapa Penangkaran No Kebun Binatang Jantan Betina Total 1 Bali Zoo Taman Safari Indonesia Let Jen Norman Sasono Komplek Taman Bundo Kanduang Bukit Tinggi Ragunan Zoo Yayasan Margasatwa Tamansari-Bandung Kebun Binatang Aneka Rimba Jambi Yayasan Kebun Binatang Medan Taman Wisata Satwa Taru Jurug Kebun Binatang Surabaya Kebun Binatang Gembira Loka Sumber. Studbook Harimau sumatera regional tahun 2007 Pengelolaan kandang, pakan, kesehatan dan lingkungan memberikan pengaruh pada masa hidup harimau. Masa hidup harimau Sumatera yang ada di penangkaran lebih lama daripada yang hidup di alam. Menurut Macdonald (1986) harimau Sumatera yang ada di penangkaran bisa mencapai usia tahun. Dari data studbook (lampiran 2) tercatat harimau jantan yang memiliki usia paling lama adalah harimau dengan Nomor SB 883 yaitu 24 tahun dan harimau betina dengan nomor SB 876 yaitu selama 22 tahun. Pemasangan atau penjodohan juga memberikan kontribusi yang besar bagi penangkaran harimau Sumatera. Sebelum dipasangkan, biasanya harimau diperkenalkan terlebih dahulu satu sama lain dalam kandang yang diberi batas agar harimau tidak saling kontak fisik tetapi masih tetap bisa melihat dan mencium bau pasangannya. Hal yang paling penting dari penjodohan adalah memperhatikan kekerabatan. Menurut hasil penelitian Suharyo (2001) persyaratan yang ditentukan oleh Taman Safari Indonesia dalam menjodohkan harimau Sumatera adalah harimau yang dijodohkan harus bersal dari daerah yang berbeda, berumur lebih dari lima tahun, usianya hampir sama dan memiliki koefisien inbreeding yang rendah. Sementara itu hasil penelitian Andriyanto (2001) menyatakan bahwa harimau yang dikawinkan pada empat lembaga konservasi di Jawa (TSI, KB Gembiraloka, Ragunan dan KB Surabaya) berasal dari alam dan harimau hasil penangkaran.

29 16 Usaha yang dilakukan dalam pemilihan pasangan kawin tersebut tidak selamanya berhasil karena terkadang tidak ada saling ketertarikan antara pasangan kawin. Selain itu, perkawinan yang dilakukan melakukan perkawinan yang terkontrol dimana tidak setiap betina yang estrus harus dikawinkan dengan pejantan. Hal ini dipengaruhi oleh kapasitas atau daya dukung tempat di penangkaran. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan jumlah perkawinan setiap bulan di penangkaran. Status Reproduksi Status reproduksi hewan adalah kondisi reproduksi hewan pada saat tertentu yang meliputi jumlah anak perpasangan, jantan dan betina produktif serta musim kawin. Pada penangkaran, perkawinan harimau Sumatera dilakukan apabila telah mengalami dewasa kelamin (pubertas) dan betina menunjukkan gejala birahi. Pubertas adalah periode dalam kehidupan makhluk jantan dan betina dimana proses-proses reproduksi mulai terjadi, yang ditandai dengan kemampuan untuk pertama kalinya memproduksi benih (Partodihardjo 1980). Kematangan secara seksual harimau betina adalah pada usia 3-4 tahun, sedangkan harimau jantan pada usia 4-5 tahun. Smith (1994) mengatakan, usia produktif harimau jantan selama 2-6 tahun dan harimau betina kurang dari 6 tahun dan hidup sampai usia 15 tahun. Akan tetapi, dari data studbook (lampiran 1) diketahui bahwa harimau Sumatera yang hidup dipenangkaran masih produktif sampai usia 20 tahun. Tercatat harimau Sumatera betina di Kebun Binatang Bandung dengan nomor studbook 1051 dan harimau Sumatera jantan di Kebun Binatang Solo dengan nomor studbook 912 masih bisa kawin dan menghasilkan anak. Kemungkinan harimau yang hidup di penangkaran masih bisa bereproduksi sampai usia 25 tahun. Menurut Macdonald (1986) harimau yang ada dipenangkaran dapat hidup dalam usia tahun. Birahi adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Kopulasi dapat menghasilkan kebuntingan dan selanjutnya menghasikan anak. Jika birahi pertama tidak menghasilkan kebuntingan maka akan nada birahi kedua, ketiga dan seterusnya sampai terjadi kebuntingan. Jarak antar satu birahi dengan birahi berikutnya disebut sikus birahi. Siklus birahi terdiri atas 4 fase yaitu

30 17 proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Estrus adalah fase terpenting dalam siklus birahi, karena dalam fase ini betina memperlihatkan gejala yang khusus untuk tiap jenis hewan dan dalam fase ini pula hewan betina mau menerima pejantan untuk kopulasi (Partodihardjo 1980). Menurut Seal et al (1987) saat birahi harimau betina terlihat lebih aktif, interaksi dengan perawat meningkat dan nafsu makan menurun. Pada hewan jantan, siklus birahi seperti pada betina tidak ada. Pada umumnya pejantan selalu bersedia menerima harimau betina untuk melakukan aktivitas reproduksi. Jika ada harimau jantan yang menolak untuk aktivitas reproduksi bisa jadi harimau jantan tersebut tidak normal atau mengalami kelainan-kelainan. Sistem kawin pada hewan didefinisikan sebagai jumlah pasangan kopulasi tiap individu dalam setiap musim kawin. Sistem kawin ini ada beberapa jenis, yaitu monogami, poligami dan poliandri. Monogami apabila jantan dan betina kawin hanya dengan satu pasangan per musim kawin, poligami jika jantan kawin dengan lebih dari satu betina per musim kawin dan poliandri jika betina kawin dengan lebih dari satu jantan per musim kawin (Goodenough et al 2010). Sistem perkawinan harimau Sumatera tergolong pada poligami dan poliandri karena dapat kawin dengan beberapa pasangan. Berdasarkan penulusuran studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010 (lampiran 2), terdapat 44 pasang harimau Sumatera yang telah dikawinkan dengan jumlah pejantan sebanyak 33 ekor dan betina 34 ekor. Dari semua perkawinan yang terjadi, terlihat beberapa Harimau sumatera melakukan perkawinan dengan beberapa jantan atau betina yang berbeda. Hal in menunjukkan bahwa Harimau sumatera bukanlah hewan yang bersifat monogami.

31 18 Tabel 2 Jumlah anak per pasangan pada Harimau sumatera di penangkaran Lokasi No SB No SB Jumlah Anak Asal Asal Jantan Betina (ekor) TSI 1036 Tangkaran 1053 Tangkaran Tangkaran 1052 Tangkaran Tangkaran 1260 Tangkaran Tangkaran IN9969 Alam Alam 1017 Tangkaran Alam 1051 Tangkaran 8 Ragunan 905 Tangkaran 1264 Tangkaran Tangkaran 1270 Tangkaran Tangkaran 1266 Tangkaran Tangkaran 1343 Tangkaran Tangkaran 1348 Tangkaran 4 Bandung 942 Tangkaran 953 Tangkaran Tangkaran 953 Tangkaran Tangkaran 1190 Tangkaran Tangkaran 1191 Tangkaran 3 Solo 912 Tangkaran 943 Tangkaran 9 Surabaya 1035 Alam 1016 Tangkaran 2 Yogyakarta 954 Tangkaran 1018 Alam Tangkaran 1125 Tangkaran 1 Sumber: Studbook Harimau sumatera internasional tahun 2007 Status reproduksi dapat dilihat dari jumlah anak perpasangan. Tabel 2 menunjukkan, pada beberapa penangkaran seperti Taman Safari Indonesia, Taman Margasatwa Ragunan, Kebun Binatang Bandung, Solo, Surabaya, dan Yogyakarta ada 19 pasang harimau yang telah dikawinkan. Pasangan harimau Sumatera dengan nomor SB 942 dan SB 953 di Kebun Binatang Bandung merupakan pasangan harimau Sumatera yang memiliki jumlah anak paling banyak selama masa produktifnya yaitu 21 ekor. Sedangkan pasangan harimau Sumatera dengan nomor SB 1033 dan SB 953 memiliki jumlah anak 7 ekor selama masa produktifnya, sehingga harimau Sumatera betina dengan nomor SB 953 telah melahirkan 28 ekor anak selama masa produktifnya dari dua jantan yang berbeda. Harimau jantan dengan nomor SB 1033 melakukan perkawinan dengan empat betina yang berbeda dan telah menghasilkan 11 ekor anak. Harimau jantan dengan nomor SB 1265 telah menghasilkan 14 ekor anak selama masa produktifnya dari dua betina yang berbeda. Selain itu Harimau jantan SB 1101 (kelahiran tangkaran) yang dikawinkan dengan betina SB IN 9969 (kelahiran alam) memiliki jumlah

32 19 anak sebanyak 17 ekor selama masa produktifnya. Jumlah anak yang dilahirkan menunjukkan adanya hubungan antara reproduksi hewan dengan fekunditas dan litter size. Fekunditas merupakan kesuburan dari seekor hewan betina yang dilihat dari banyak dan seringnya anak yang dilahirkan (Yatim 1999). Tingginya tingkat fekunditas seekor harimau dilihat dari panjangnya masa produktif. Akan tetapi masa produktif seekor harimau betina tidak sepanjang masa produktif harimau jantan. Masa produktif harimau betina dipengaruhi oleh keterbatasan dalam memproduksi sel telur. Selain itu, harimau tidak pernah dikawinkan lagi sehingga tidak bereproduksi juga mempengaruhi masa produktif harimau betina. Berdasarkan data yang didapat dari studbook, harimau betina memiliki tingkat fekunditas berkisar antara 1-7 kali dalam melahirkan anak. Dari data yang didapatkan di studbook (lampiran 2), harimau betina dengan nomor SB 528 merupakan harimau dengan tingkat fekunditas yang tinggi, yaitu mampu melahirkan sebanyak 9 kali sepanjang hidupnya. Berdasarkan studbook, jumlah peristiwa kelahiran harimau Sumatera tidak mengikuti suatu pola reproduksi tertentu. Selain fekunditas, juga dapat dilihat banyaknya anak yang dilahirkan dalam satu kali kebuntingan atau disebut juga dengan litter size. Untuk harimau, rata-rata litter size adalah 3-4 seperti yang disebutkan dalam Triefeld (2007). Hasil penelitian Sagara (2011) didapatkan bahwa rata-rat litter size harimau Sumatera sebesar 2,1. Dari penelusuran data studbook (lampiran 2) didapatkan litter size harimau Sumatera antara 1-6 ekor dalam tiap kelahiran. Dimana harimau dengan nomor SB 887 merupakan harimau betina yang memiliki litter size paling tinggi yaitu mampu melahirkan 6 ekor anak dalam sekali kelahiran. Musim Kawin Mamalia sering menunjukkan variasi musiman dalam reproduksinya. Reproduksi musiman mamalia bergantung pada lingkungan. Kebanyakan kasus reproduksi musiman dipengaruhi oleh faktor makanan, iklim, curah hujan dan suhu. Perbedaan letak geografis atau garis lintang menunjukkan terjadinya

33 20 perbedaan iklim di suatu wilayah (Bronson 1998). Perbedaan iklim inilah yang mempengaruhi musim kawin pada mamalia. Iklim suatu daerah berkaitan erat dengan letak garis lintang dan ketinggiannya di muka bumi. Berdasarkan letak garis lintang dan ketinggian tersebut maka iklim dibagi menjadi dua yaitu iklim matahari dan iklim fisis. Iklim matahari didasarkan pada banyak sedikitnya sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi. Sedangkan iklim fisis adalah menurut keadaan atau fakta sesungguhnya di suatu wilayah muka bumi sebagai hasil pengaruh lingkungan alam yang terdapat di wilayah tersebut misalnya pengaruh lautan, daratan yang luas, relief muka bumi, angin dan curah hujan. Iklim matahari terdiri atas empat iklim yaitu iklim tropis, iklim subtropis, iklim sedang, dan iklim dingin (kutub). Pada daerah tropis, disinari matahari sepanjang tahun sedangkan pada daerah beriklim subtropis hanya disinari matahari pada bulan-bulan tertentu. Terdapat empat musim pada wilayah subtropis, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Harimau tersebar di wilayah beriklim tropis dan subtropis. Indonesia sebagai habitat harimau Sumatera terletak di wilayah beriklim tropis ( Prawirowardoyo 1996). Dari penulusuran studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010, dapat ditentukan bulan perkawinan berdasarkan bulan terjadinya kelahiran. Penghitungan bulan perkawinan dilihat dari bulan kelahiran anak dikurangi dengan rataan lama kebuntingan harimau Sumatera yang berkisar antara hari, atau lebih kurang tiga bulan (LIPI 1982). Dengan masa kebuntingan tersebut dapat diperkirakan kapan terjadinya perkawinan pada harimau Sumatera. Pada kajian ini penentuan waktu kawin berdasarkan tanggal lahir dikurangi rataan lama kebuntingan. Sehingga dapat diperkirakan kapan terjadinya perkawinan. Pada Tabel 3 dapat dilihat perkiraan bulan terjadinya perkawinan.

34 21 Tabel 3 Data kelahiran harimau Sumatera di penangkaran Bulan Kelahiran Jumlah Perkawinan Jumlah Induk (pasang) Jumlah Anak (ekor) April ,0 Mei ,5 Juni ,4 Juli ,3 Agustus ,5 September ,5 Oktober ,0 November ,5 Desember ,7 Januari ,6 Februari ,4 Maret ,4 Sumber: Studbook Harimau sumatera internasional tahun Rataan Jumlah Perkawinan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Bulan Gambar 2 Perkiraan perkawinan harimau Sumatera di penangkaran ex-situ berdasarkan bulan kelahiran (Sumber: Studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010)

35 22 Jumlah Anak (Ekor) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Bulan Gambar 3 Jumlah anak yang dilahirkan tiap bulan di penangkaran ex-situ (Sumber: Studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010) Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa pada harimau Sumatera yang ada pada lembaga konservasi di Indonesia, perkawinan terjadi sepanjang tahun. Perkawinan paling banyak terjadi di bulan Februari (17 pasang) dengan kelahiran anak sebanyak 42 ekor pada bulan Mei. Perkawinan paling sedikit terjadi pada bulan Mei (4 pasang) dengan kelahiran anak sebanyak 10 ekor pada bulan Agustus. Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara bulan kelahiran dengan bulan perkawinan. Harimau Sumatera betina di Indonesia, hidup di daerah tropis yang hanya memiliki dua musim, dimana curah hujan merata sepanjang tahun yakni sekitar mm dan fluktuasi suhu berkisar antara 3-5 C (Sipayung 2004). Data menunjukkan bahwa perkawinan dapat berlangsung sepanjang tahun, sesuai dengan pernyataan Semiadi dan Nugraha (2006). Hal ini mendukung pernyataan Geptner et al (1992) yang menyatakan bahwa reproduksi nonsesasonal adalah karakteristik dari hewan tropis. Belum dapat dipastikan apakah setiap harimau Sumatera betina mengalami estrus berulang sepanjang tahun seperti pada sapi karena belum ada penelitian lebih lanjut mengenai hal ini. Mamalia yang hidup di daerah subtropis, contohnya harimau Benggala, memiliki musim kawin pada musim dingin dan musim semi. Dari hasil penelitian Saputra (2010) pada harimau Benggala frekuensi perkawinan tertinggi terjadi dari

36 23 bulan Januari sampai Maret. Hal ini ternyata serupa dengan harimau Sumatera yang hidup di Indonesia. Jumlah peristiwa kelahiran yang tinggi pada bulan tersebut menandakan adanya kecenderungan peningkatan jumlah estrus. Hasil penelitian Hidayani (2007) juga menyatakan bahwa harimau Sumatera yang hidup di daerah subtropis bagian utara (Eropa, Amerika Serikat, Asia Tengah, Asia Timur) mengalami perkawinan terbanyak pada musim dingin dan musim semi. Hewan yang hidup di daerah subtropis, termasuk ke dalam golongan hewan polyestrus bermusim atau seasonally polyestrus, yaitu hewan yang menunjukkan gejala birahi beberapa kali dalam satu musim kawin. Harimau Siberia merupakan contoh hewan dengan seasonally polyestrus (Senger 1999). Beberapa data yang diperoleh menunjukkan bahwa banyaknya perkawinan yang terjadi pada akhir musim hujan (daerah tropis) dan akhir musim dingin (daerah subtropis) dipengaruh oleh kondisi lingkungan. Pada daerah subtropis misalnya, perkawinan banyak terjadi di musim dingin agar anak tepat lahir di musim semi, dimana pada musim ini tanaman tumbuh dengan subur sehingga hewan herbivora yang merupakan hewan mangsa dari harimau juga banyak tersedia. Menurut beberapa analisa biologik, hewan yang hidup di daerah subtropis menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dengan adanya musim kawin pada bulan-bulan tertentu dan lamanya masa bunting, maka anak-anak mereka akan lahir tepat pada waktu lingkungan dalam keadaan yang baik untuk hidup yaitu banyak makanan, udara tidak terlalu dingin atau terlalu panas (Partodihardjo 1980). Keseluruhan data yang diperoleh menunjukkan bahwa aspek utama untuk menunjang keberhasilan penangkaran adalah aspek reproduksi. Peningkatkan performa reproduksi sangat didukung oleh pengelolaan penangkaran yang baik meliputi pengaturan penjodohan, pemberian pakan yang tepat dan pengelolaan kesehatan. Sistem good husbandry juga dapat diterapkan seperti pengelolaan pakan, kandang dan lingkungan yang baik sehingga tercipta individu sehat yang memiliki kemampuan reproduksi yang baik pula.

37 24 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan yang diperoleh dari kajian ini adalah pada harimau Sumatera yang hidup di Indonesia tidak memiliki musim kawin atau waktu tertentu untuk melakukan perkawinan karena perkawinan terjadi sepanjang tahun. Untuk menyelamatkan populasi harimau Sumatera yang diambang kepunahan dapat dilakukan dengan penangkaran secara ex-situ melalui program pengelolaan penangkaran yang baik seperti perawatan kesehatan harimau Sumatera, pencatatan studbook dan penyimpanan plasma nutfah. Saran Studbook dipublikasikan dan terbuka untuk umum agar masyarakat mengetahui bagaimana status dan keadaan hewan langka saat ini sehingga upaya untuk mempertahankan populasi hewan langka yang semakin sedikit khususnya harimau Sumatera dapat terlaksana dengan baik. Diperlukan juga penelitian lebih lanjut berkaitan dengan siklus estrus pada harimau Sumatera betina maupun pola perkawinan pada harimau Sumatera jantan.

38 25 DAFTAR PUSTAKA Adlington F Philip s Nature Encyclopedia. Chancellor Press. hlm 380. Andriyanto T Manajemen Reproduksi Harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae) di Empat Kebun binatang di Jawa [skripsi]. Bogor: Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.. Bronson FH Mammalian Reproductive Biology. Chicago: University of Chicago. [CITES] Centre on International Trade of Endangered Species Appendices I, II, and III. [terhubung berkala]. [17 Juni 2011]. Geptner VG, Nasimovich AA, Bannikov AG Mammals of the Soviet Union: Carnivora (Hyaenas and Cats). Ed ke-2. New Delhi: Amerind Publishing. Goodenough J, Mcguire B, Jacob E Perspectives on Animal Behavior. USA: John Wiley and Sons. Hamaide B, Sheerin J, Tingsabadh C Natural Reserve Selection for Endangered Species Considering Habitat Needs: The Case of Thailand. dalam CC Pertsova. Ecol Econom Research Trends: New York: Nova Science Publishers, Inc. Hidayani AN Penyebaran Harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae pocock, 1929) di Luar Indonesia Berdasarkan Studbook Harimau Sumatera Internasional [skripsi]. Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Honolulu Zoo Sumatran Tiger. [terhubung berkala]. [19 Juli 2011]. Indrawan M, Primack RB, Supriatna J Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. [IUCN] International Union for Conservation of Nature Panthera tigris (Tiger). [terhubung berkala]. [17 Juli 2011] Jackson P Endangered Species Tigers. New Jersey: Chartwell Books.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Penangkaran

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Penangkaran 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Penangkaran Dibentuknya suatu lembaga penangkaran harimau Sumatera di luar habitatnya didasari oleh kategori harimau Sumatera yang tergolong langka, sehingga dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi 3 TINJAUAN PUSTAKA Harimau Sumatera yang ditemukan di pulau Sumatera biasa juga disebut dengan harimau loreng. Hal ini dikarenakan warna kuning-oranye dengan garis hitam vertikal pada tubuhnya. Taksonomi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Harimau Taksonomi harimau dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Harimau Taksonomi harimau dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia TINJAUAN PUSTAKA Harimau berada di bawah subfamili Pantherinae, bersama dengan singa, panther, dan jaguar. Seluruh subspesies harimau berada di bawah spesies Panthera tigris. Di dalam bukunya, Mongillo

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

Tiger (Panthera tigris) Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis) Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti)

Tiger (Panthera tigris) Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis) Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti) ) terbagi menjadi sembilan subspesies yang tersebar di Asia, mulai dari daratan Turki hingga ke Rusia dan Indonesia. Namun saat ini hanya tersisa enam subspesies harimau saja di dunia. Tiga subspesies

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau Kalimantan dan Papua, Hutan Sumatera mengalami kerusakan yang cukup tinggi. Sejak Tahun

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Berdasarkan aspek lokasi, macan tutul mampu hidup

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem. Kerusakan hutan dan aktivitas manusia yang semakin meningkat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungannya (Alikodra, 2002). Tingkah laku hewan adalah ekspresi hewan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungannya (Alikodra, 2002). Tingkah laku hewan adalah ekspresi hewan yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Rusa Sambar Perilaku satwa liar merupakan gerak gerik satwa liar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang diperoleh dari lingkungannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator,

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, TINJAUAN PUSTAKA Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam rantai makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, menjadikan harimau menjadi salah satu satwa yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG)

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) SKRIPSI Oleh: RICKY DARMAWAN PRIATMOJO 071201030 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 22 Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Page 1 of 9 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang sangat tinggi, salah satu diantaranya adalah kelompok primata. Dari sekitar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 7 TAHUN 1999 (7/1999) Tanggal : 27 Januari 1999 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Lembaga konservasi dunia yaitu IUCN (International

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis Rusa Rusa merupakan salah satu jenis satwa yang termasuk dalam Bangsa (Ordo) Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family) Cervidae. Suku Cervidae terbagi

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN HAYATI. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman Genetis Keanekaragaman ekosistem

KEANEKARAGAMAN HAYATI. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman Genetis Keanekaragaman ekosistem KEANEKARAGAMAN HAYATI Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman Genetis Keanekaragaman ekosistem Tujuan Pembelajaran Mampu mengidentifikasi keanekaragaman hayati di Indonesia Mampu membedakan keanekaragaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Orangutan Sumatera Indonesia memiliki dua jenis orangutan, salah satunya adalah orangutan sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

Anoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES. Upaya konservasi. In-situ.

Anoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES. Upaya konservasi. In-situ. Anoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES Upaya konservasi In-situ Ex-situ PENANGKARAN PERJALANAN 2015 ANOA BREEDING CENTER 2009 EKOLOGI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Merak hijau 2.1.1 Taksonomi Grzimek (1972) menyatakan bahwa klasifikasi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) sebagai berikut : Kingdom Phyllum : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel : 19-20 November KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA Yusrina Avianti Setiawan 1), Muhammad Kanedi 1), Sumianto 2), Agus Subagyo 3), Nur Alim

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR U M U M Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes TINJAUAN PUSTAKA Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan di Amerika Serikat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid. TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Daerah-daerah yang menjadi lokasi peneluran di Indonesia umumnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. Bahwa berdasarkan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1444, 2014 KEMENHUT. Satwa Liar. Luar Negeri. Pengembangbiakan. Peminjaman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

Profil Reproduksi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Tingkat Penangkaran

Profil Reproduksi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Tingkat Penangkaran B I O D I V E R S I T A S ISSN: 4-0X Volume 7, Nomor 4 Oktober 00 Halaman: -7 Profil Reproduksi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Tingkat Penangkaran Reproductive profile of captive Sumateran

Lebih terperinci

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2.1 Mengidentifikasi kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakan 1. Mengaitkan perilaku adaptasi hewan tertentu dilingkungannya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PEMINJAMAN JENIS SATWA LIAR DILINDUNGI KE LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANGBIAKAN (BREEDING LOAN) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN 1 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA PERESMIAN PROGRAM MECU (MOBILE EDUCATION CONSERVATION UNIT) DAN PENYERAHAN SATWA DI DEALER FORD ROXY MAS HARI JUMAT TANGGAL 11 MARET

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA JUNCTO

Lebih terperinci

Kebun Binatang Mini ala Fakultas Kedokteran Hewan

Kebun Binatang Mini ala Fakultas Kedokteran Hewan Kebun Binatang Mini ala Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR NEWS Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga tak hanya memiliki fasilitas akademik yang menunjang kegiatan belajar mahasiswa, tetapi juga

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH - 140 - AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN 1. Inventarisasi Hutan 1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam daerah. 2. Penunjukan Kawasan Hutan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya pemerintah Indonesia dalam rangka menyumbangkan ekosistem alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan konservasi yang dilaksanakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di wilayah 10 Kabupaten dan 2 Provinsi tentu memiliki potensi wisata alam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa, BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa, sebagian diantaranya dikategorikan langka, tetapi masih mempunyai potensi untuk ditangkarkan, baik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Di seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian utara, Eropa, Rusia bagian tenggara, dan Asia (Nowak, 1999). Dari 20 spesies tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI BURUNG CEMDRAWASIH KUNlNG KECIL ( Paradisaea minor ) SKRIPSI Oleh RlSFlANSYAH B 21.0973 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITWT PERTANIAN BOGOR 1990 RINGKASAN RISFIANSYAH.

Lebih terperinci

PELESTARIAN BAB. Tujuan Pembelajaran:

PELESTARIAN BAB. Tujuan Pembelajaran: BAB 4 PELESTARIAN MAKHLUK HIDUP Tujuan Pembelajaran: Setelah mempelajari bab ini, kalian diharapkan dapat: 1. Mengetahui berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang mendekati kepunahan. 2. Menjelaskan pentingnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG - 563 - AA. PEMBAGIAN URUSAN AN KEHUTANAN PROVINSI 1. Inventarisasi Hutan prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Lebih terperinci

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia:

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia: Pengaruh Letak Geografis Terhadap Kondisi Alam dan Flora Fauna di Indonesia Garis Lintang: adalah garis yang membelah muka bumi menjadi 2 belahan sama besar yaitu Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

PP 8/1999, PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PP 8/1999, PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PP 8/1999, PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1999 (8/1999) Tanggal: 27 JANUARI 1999 (JAKARTA) Tentang: PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah suatu istilah pembahasan yang mencakup semua bentuk kehidupan, yang secara ilmiah dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa liar merupakan bagian dari

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.2

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.2 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.2 1. Contoh pelestarian secara ex situ di Indonesia adalah... TN Lore Lindu SM Kutai Cagar Alam Nusa

Lebih terperinci