BAB II ACUAN TEORETIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II ACUAN TEORETIS"

Transkripsi

1 7 BAB II ACUAN TEORETIS A. MENYIMAK 1. Pengeretian Menyimak Dalam kegiatan komunikasi sehari-hari seseorang sudah pasti akan menggunakan perangkat indera pendengaran untuk mendengar. Lain halnya dengan mendengarkan adalah kegiatan yang disengaja untuk mendapatkan informasi atau pesan yang disampaikan oleh orang lain. Menurut Russel dan Russel dalam Tarigan, menyimak bermakna mendengarkan dengan penuh pemahaman dan perhatian serta apresiasi. 1 Dibuku yang sama Tarigan menjelaskan Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman apresiasi serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. Tujuan orang menyimak sesuatu itu beraneka ragam antara lain: 1. Untuk memperoleh pengetahuan dari bahan ujaran sang pembicara; dengan perkataan lain, dia menyimak untuk belajar;. Untuk penikmatan terhadap sesuatu dari materi yang diujarkan atau yang diperdengarkan atau dipergelarkan (terutama sekali dalam bidang seni); pendeknya dia menyimak untuk menikmati keindahan audial; 3. Untuk menilai apa-apa yang dia simak itu (baik-buruk, indah-jelek, logistak logis, dan lain-lain); singkatnya dia menyimak untuk mengevaluasi; 4. Untuk menikmati serta menghargai apa-apa yang disimaknya itu (misalnya: pembacaan cerita, pembacaan puisi, musik dan lagu, dialog, 1 Henry Guntur Tarigan, Menyimak, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 9 Ibid. hlm. 8 7

2 8 diskusi panel, perdebatan); pendek kata, orang itu menyimak untuk mengapreasi materi simakan; 5. Untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide, gagasan-gagasan, maupun perasaan-perasaannya kepada orang lain dengan lancar dan tepat. Banyak contoh dan ide yang dapat diperoleh dari sang pembicara dan semua ini merupakan bahan penting dan menunjangnya dalam mengkomunikasikan ide-idenya sendiri; 6. Untuk dapat membedakan bunyi-bunyi dengan tepat; mana bunyi yang membedakan arti mana bunyi yang tidak membedakan arti; biasanya ini terlihat nyata pada seseorang yang sedang belajar bahasa asing yang asyik mendengarkan ujaran pembicara asli; 7. Ada lagi orang yang menyimak dengan maksud agar dia dapat memecahkan masalah secara kreatif dan analisis, sebab dari sang pembicara dia mungkin memperoleh banyak masukan berharga; 8. Selanjutnya ada lagi orang yang tekun menyimak sang pembicara untuk meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat selama ini dia ragu; dengan perkataan lain, dia menyimak persuasif. 3 Dari uraian di atas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya menyimak itu dapat kita pandang dari berbagai segi, misalnya sebagai keterampilan berkomunikasi dan sebagai pengalaman kreatif.. Ragam Menyimak Ragam menyimak yang penulis sarikan dari pendapat Tarigan (1993:35), bahwa menyimak secara umum dapat dikelompokkan ke dalam menyimak ekstensif dan menyimak intensif. Menyimak ekstensif meliputi; (1) sekunder, () estetik. Sedangkan menyimak intensif meliputi menyimak; (1) kritis, () konsentratif, (3) kreatif, (4) eksploratif, (5) interogatif, dan (6) selektif. 4 a. Menyimak Ekstensif Menyimak ekstensif (extensive listening) adalah sejenis kegiatan menyimak yang mengenai hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap suatu ujaran, tidak perlu di bawah bimbingan langsung dari seorang guru. 5 menyimak jenis ini merupakan jenis menyimak yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat umum. 3 Tarigan, menyimak. hlm Ibid. hlm Bustanul Arifin, Menyimak, (Jakarta: Gramedia, 004), hlm. 1. 8

3 9 1. Menyimak Sekunder menyimak sekunder (secondary listening) adalah sejenis kegiatan menyimak secara kebetulan (casual listening) dan secara ekstensif (extensive listening). Menyimak ini lebih bersifat umum tanpa ada bimbingan. Apa yang didengar oleh penyimak bukan menjadi tujuan utama. Salah satu contoh, bila menikmati musik sementara ikut berpartisipasi dalam kegiatan menulis atau melukis. 6 Kegiatan menyimak seperti ini, yaitu kegiatan menyimak suara sesuatu, sementara perhatian penyimak sebenarnya pada hal yang lain secara lebih khusus. Misalnya, penyimak menonton pertunjukkan tari, dalam kegiatan tersebut tarian biasanya diiringi oleh musik. Musik yang mengalun tersebut sebenarnya oleh penyimak hanya disimak secara kebetulan, sedangkan perhatian yang sebenarnya adalah pada gerak taritarinya.. Menyimak Estetik Menyimak estetik (aesthetic listening) ataupun yang disebut menyimak apresiatif (Appreciational listening) adalah menyimak secara serius dan besungguh-sungguh memperhatikan satu cara atau pertunjukan drama, cerita, dongeng. Baik secara langsung maupun malalui siaran televise atau radio. 7 Kegiatan menyimak estetik pada dasarnya adalah kegiataa menyimak hal-hal yang mungkin dapat menimbulkan keindahan bagi diri penyimak. b. Menyimak Intensif Menyimak intensif merupakan kegiatan menyimak kebalikan dari kegiatan menyimak ekstensif. 8 Pada kegiatan menyimak intensif sangat memerlukan bimbingan guru. Kegiatan menyimak instensif selalu diawasi dikontrol agar terarah pada topik tertentu. Dalam menyimak intensif, 6 Tarigan, Menyimak. hlm Aripin, Menyimak hlm Ibid. hlm. 1.9

4 10 penyimak memerlukan arahan dan bimbingan guru yang ketat karena bahanbahan yang harus disimak perlu dipahami secara terperinci, teliti dan mendalam. Kegiatan menyimak intensif ini, penyimak pada dasarnya ditekankan untuk dapat rnemahami materi simakkan bukan saja yang tersurat, namun termasuk pula terhadap hal-hal yang tersirat. Oleh karena itu, unsur pemahaman dalam menyimak intensif ini sangat menjadi perhatian. Menyimak intensif ini pun banyak ragamnya, di antaranya; (1) menyimak kritis, () menyimak konsentratif, (3) menyimak kreatif, (4) menyimak eksploratif, (5) menyimak interogatif. Pengertian istilah-istilah dalam ragam menyimak intensif tersebut di atas, sebagai berikut. 1). Menyimak Kritis Menyimak kritis (critical listening) adalah sejenis kegiatan menyimak yang berupa untuk mencari kesalahan atau kekeliruan bahkan juga butir-butir yang baik dan benar dari ujaran seorang pembicara, dengan alasan-alasan yang kuat yang dapat diterima oleh akal sehat. 9 Penjelasan pengertian menyimak kritis sebagaimana dikemukakan di atas. Tujuan menyimak kritis adalah untuk memperoleh keakuratan tentang sesuatu sehingga menghasilkan suatu kesimpulan. Olehkarena itu penyimak kritis mendapatkan segala apa yang diidekan atau diinformasikan sampai bermanfaat. ) Menyimak Konsentratif Menyimak konsentratif (consentralive listening) sering juga disebut study-tipe listening atau menyimak yang merupakan sejenis telaah. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam menyimak konsentratif itu adalah : 9 Tarigan, Menyimak, hlm. 4

5 11 Mengikuti petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam pembicaraan. Mencari dan merasakan hubungan-hubungan, seperti kelas, tempat, kualitas, waktu, urutan serta sebab-akibat. Mendapat atau memeperoleh butir-butir informasi tertentu. Memperoleh pemahaman dan pengertian yang mendalam. Merasakan serta menghayati ide-ide sang pembicara. Sasaran maupun pengorganisasiannya. Memahami urutan ide-ide pembicara. Mencari dan mencatat fakta-fakta penting. 10 Penjelasan pengertian menyimak konsentratif di atas, penulis sederhanakan bahwa menyimak konsentratif adalah menyimak bagianbagian tertentu dari materi simakan atau ujaran yang dianggap penting saja. Artinya, penyimak memusatkan perhatiaimya pada hal-hal yang memang sangat dibutuhkan, sedangkan materi lainnya tidak dijadikan pusat perhatian. 3). Menyimak Kreatif Menyimak kreatif (creative listening) adalah sejenis kegiatan dalam menyimak yang dapat mengakibatkan rekontruksi imajinatif para penyimak terhadap bunyi, penglihatan, gerakan, serta perasaan-perasaan kinestetik yang disarankan atau dirangsang oleh apa-apa yang disimaknya. 11 Menyimak kreatif merupakan kegiatan menyimak yang dapat menimbulkan suatu dampak kreatif bagi pembaca dari materi yang disimaknya. Materi yang dimaksud dapat berupa isi, cara penyusunan ide, gaya bicara, atau yang lainnya, namun hal tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pengalaman penyimak. 4). Menyimak Eksploratif Menyimak eksploratif, menyimak yang bersifat menyelidik adalah sejenis kegiatan menyimak intensif dengan maksud dan tujuan menyelidiki 10. Tarigan, Menyimak hlm Ibid. hlm. 46

6 1 sesuatu lebih terarah dan lebih sempit. 1 Dalam kegiatan menyimak seperti ini sang penyimak menyiagakan perhatian untuk menjelajahi serta menemukan hal-hal yang menarik perhatian, informasi tambahan mengenai suatu topik. 5). Menyimak Interogatif Menyimak interogatif (interrogative listening) adalah sejenis kegiatan menyimak intensif yang menuntut lebih banyak konsentrasi dan seleksi, pemusatan perhatian dan pemilihan butir-butir dari ujaran sang pembicara, karena sang penyimak akan mengajukan sebanyak pertanyaan. 13 Artinya dalam menyimak introgatif ini, penyimak dalam melakukan kegiatan menyimak, memiliki sasaran untuk memilih butirbutir yang dapat dijadikan bahan pertanyaan kepada si pembicara. Oleh karena itu, kegiatan menyimak seperti ini menuntut konsentrasi penuh. Maksudnya, agar jangan sampai bahan yang menjadi pertanyaan dari penyimak tersebut sebenarnya telah dibahas pada saat pembicara menyampaikan materi pembicaraannya. B. Cerita Pendek a. Pengertian Cerita Pendek Cerita pendek adalah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu, Apa yang terjadi di dalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan reaksi mental itulah yang pada hakekatnya disebut cerpen. 14 Sedangkan menurut Burhan Nurgiyantoro cerpen adalah sebuah cerita selesai dibaca dengan sekali duduk. 15 Sebuah cerpen pada dasarnya menuntut adanya perwatakan jelas pada tokoh cerita. Sang tokoh merupakan ide sentral dari cerita; cerita bermula dari sang tokoh dan berakhir pula pada nasib yang menimpa sang tokoh itu. Unsur 1. Tarigan, Menyimak. hlm Ibid. hlm Atar Semi, Atonomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi, (Yogyakarta: UGM, 005), hlm. 10

7 13 perwatakan lebih dominan daripada unsur cerita sendiri. Membaca sebuah cerpen berarti kita berusaha memahami manusia bukan sekedar ingin mengetahui bagaimana jalan ceritanya. Beda dengan sebuah novel di mana kedudukan perwatakan dan jalan cerita berada dalam satu keseimbangan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Soal panjang pendek ukuran fisiknya tidak menjadi ukuran yang mutlak; tidak ditentukan bahwa cerpen harus sekian halaman atau sekian kata, walaupun ia punya kecenderungan untuk berukuran pendek dan pekat. Karena singkatannya jelas tidak memberi kesempatan bagi cerpen itu menjelaskan dan mencantumkan segalanya; kepadanya dituntut menyampaikan sesuatu yang tidak kecil kendatipun menggunakan sejumlah kecil bahasa. Dengan begitu cerpen menyuguhkan kebenaran yang diciptakan, dipadatkan, digayakan, dan diperkokoh oleh kemampuan imajinasi pengarangnya. 16 Di Indonesia sendiri cerpen lazim ditemui dikisaran kata (6-8 halaman kwarto, spasi ganda), jumlah kata ini menjadi persyaratan standar sebuah naskah cerpen yang dimuat surat kabar hari minggu. Jumlah itu dianggap cukup memenuhi definisi klasik dari cerpen; Cerita pendek harus dapat dibaca dalam waktu sekali duduk (Edgar Allan Poe, 1846). Boleh jadi definisi ini erat kaitannya dengan kebiasaan membaca Koran di WC. b. Unsur-unsur Cerpen 1. Unsur Intrinsik Unsur intrinsik menurut Nurgiantoro adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya sastra itu hadir. Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur/plot, penokohan, latar, gaya, suasana, sudut pandang dan amanat. 17 Untuk lebih jelasnya, unsur intrinsik akan dipaparkan lebih lanjut di bawah ini. a. Tema Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam buku Apresiasi Kesusastraan menyatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang 16 Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi hlm Burhan. Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, (Yogyakarta: BPFE, 1995), hlm. 3

8 14 dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan sesuatu kepada pembaca. Sesuatu yang mau dikatakan itu bisa suatu masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini, atau komentar terhadap kehidupan ini. Kejadian dan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide pengarang tersebut. Sebuah cerita novel harus mengatakan sesuatu, yaitu pendapat pengarang tentang hidup ini, sehingga orang lain dapat mengerti hidup ini lebih baik. Tema adalah gagasan pertama atau pikiran pokok. Tema suatu karya sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh setiap pembaca yang cermat sebagai akibat dari membaca karya sastra tersebut. Tema biasanya merupakan komentar mengenai kehidupan. 18 Tema pada sebuah cerita baru dapat diketahui setelah pembaca mengetahui isi keseluruhan cerita. Pembaca harus mampu menafsirkan terlebih dahulu unsur-unsur intrinsik lainnya, karena tidaklah mudah menemukan tema suatu cerita. Tema biasanya tidak dicantumkan secara eksplisit oleh pengarang. Sumardjo dan Saini K.M, menyatakan bahwa di dalam cerpen yang berhasil, tema justru tersamar dalam sebuah elemen. Pengarang memakai dialog para tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian, latar cerita untuk mempertegas atau menyamarkan isi temanya. Pengarang biasanya menyatakan tema secara sembunyi-sembunyi dalam suatu potongan dialog tokohnya, atau dalam suatu adegan cerita. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide cerita yang merupakan dasar pengembangan sebuah cerita dan menjiwai seluruh bagian cerita itu. b. Alur/Plot Pada setiap peristiwa yang terjadi selalu memiliki permulaan, pertengahan, dan kemudian sampailah pada sebuah akhir peristiwa, begitu pula dengan cerita fiksi dan novel. Dalam sebuah cerita, peristiwa yang terjadi itu 18 Henry Guntur Tarigan, Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa, 1994), hlm. 160

9 15 disebut sebagai alur atau plot. Alur atau plot biasanya diidentikkan dengan jalan cerita, padahal alur tidak sama dengan jalan cerita. Nurgiantoro menyamakan plot dengan jalan cerita atau bahkan mendefinisikan plot sebagai jalan cerita sebenarnya adalah kurang tepat. Plot memang mengandung unsur jalan cerita, namun ia lebih dari jalan cerita itu sendiri. 19 Banyak ahli bahasa yang mengemukakan pengertian alur. Panuti Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra menyatakan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian. Pautannya dapat diwujudkan dengan hubungan kausal atau sebab akibat. Nurgiantoro menyatakan bahwa alur/plot merupakan cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalaam bertindak, berpikir dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Namun, tidak dengan sendirinya semua kejadian yang dialami manusia dapat disebut plot jika bersifat khas, mengandung unsur konflik, saling berkaitan dan yang terpenting adalah menarik untuk diceritakan dan bersifat dramatik. 0 Inti alur adalah konflik, namun sebuah konflik dalam cerita tidak dipaparkan begitu saja, plot itu harus ada dasarnya. Maka dari itu, plot/alur sering dikupas menjadi elemen-elemen berikut. a) Pengenalan. b) Timbulnya konflik. c) Konflik memuncak. d) Klimaks. e) Pemecahan masalah. Lebih lanjut, Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita, konflik digambarkan sebagai pertarungan antara protagonis dan antagonis. Protagonis adalah pelaku utama cerita, sedangkan antagonis adalah tokoh lawan protagonis. Tokoh-tokoh tersebut bertemu dan terjadilah perbenturan yang membangun cerita. 19 Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa,. hlm Ibid. hlm. 114

10 16 Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot/alur dibagi menjadi bagian, yaitu plot lurus dan plot sorot balik. Sebuah novel dikatakan memiliki plot lurus jika peristiwa-peristiwa yang diceritakan bersifat kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa berikutnya. Situasi dimulai dari tahap awal, tengah, sampai tahap akhir. Sedangkan, novel dikatakan memiliki plot sorot balik (flashback), jika urutan kejadian ceritanya tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari awal, melainkan dari tahap tengah, atau mungkin dari tahap akhir, baru kemudian ke awal cerita. Berdasarkan padat atau tidaknya cerita, plot dibagi menjadi, yaitu plot rapat dan plot longgar Sebuah cerita dikatakan memiliki plot rapat jika hubungan antara peristiwa dijalani secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus- menerus mengikutinya. Sedangkan, cerpen dikatakan memiliki plot longgar jika hubungan antara peristiwa tidak terlalu erat, artinya peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain diselipi dengan peristiwa tambahan. 1 c. Penokohan Setiap novel tentu memiliki tokoh yang sengaja diciptakan untuk mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan sengaja diciptakan untuk mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan segala perwatakan dan berbagai jati dirinya disebut sebagai penokohan. Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 1995) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya sastra naratif, atau drama yang oleh pembacanya ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Istilah penokohan oleh Sudjiman diartikan sebagai penciptaan cerita di dalam karya sastra. Tokoh tersebut diciptakan oleh pengarang secara 1 Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa,. hlm Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa,.... hlm. 165

11 17 meyakinkan sehingga pembaca merasa seolah-olah berhadapan dengan manusia sebenarnya. Tarigan mengungkapkan bahwa yang dimaksud tokoh atau karakterisasi adalah proses yang dipergunakan oleh seorang pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fiksinya. Sedangkan untuk melukiskan tokoh dalam cerita bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1) Melukiskan bentuk lahir dari pelakon. ) Melukiskan jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikirannya. 3) Melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu terhadap kejadian-kejadian. 4) Pengarang langsung menganalisis watak pelakon. 5) Pengarang melukiskan keadaan sekitar pelakon, misalnya dengan melukiskan keadaan kamar pelakon (biasanya keadaan kamar seseorang mencerminkan wataknya). 6) Pengarang melukiskan bagaimana pandangan-pandangan pelakon lain dalam suatu cerita terhadap pelakon utama itu. 7) Mempergunakan pelakon-pelakon lain yang memperbincangkan keadaan pelakon utama. 3 Kualitas sebuah cerita atau novel banyak ditentukan oleh kepandaian pengarang dalam menghidupkan watak para tokohnya. Jika watak tokohnya lemah, maka menjadi lemahlah keseluruhan cerita. Oleh karena itu, watak atau karakter tokoh di dalam sebuah novel harus digambarkan oleh pengarang secara tersirat, sehingga dapat ditangkap oleh pembaca. Jadi, dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah seseorang yang berperan dalam sebuah cerita dan mengalami peristiwaperistiwa yang terdapat dalam cerita itu, dengan memiliki watak atau karakter sendiri, terutama dalam menghadapi suatu masalah atau kejadian yang dialaminya Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1985), hlm.

12 18 d. Latar Nurgiantoro, dengan mengutip pendapat Abrams, mendefinisikan latar sebagai landasan tumpu menyarankan pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. 4 Sumardjo dan Saini K.M. mengemukakan bahwa latar dalam sebuah novel bukan hanya menunjukan tempat dan waktu terjadinya suatu peristiwa, melainkan juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada macam debunya, pemikiran rakyatnya, kegiatan mereka, gaya hidup mereka dan sebagainya. Lebih lanjut Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita yang baik, latar harus benar-benar mutlak menggarap tema dan karakter cerita, sehingga dari latar wilayah tertentu akan menghasilkan perwatakan tokoh tertentu pula. Andaikata sebuah novel latarnya dapat diganti dengan tempat mana saja tanpa mengubah atau mempengaruhi watak tokoh-tokoh dan tema novelnya, maka latar yang demikian kurang integral. Kedudukan latar dalam novel sangat penting karena dapat memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolaholah sungguh-sungguh ada dan terjadi. 5 Pembaca merasa dipermudah mengoperasikan daya imajinasinya, di samping memungkinkan berperan secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca pun dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah menemukan dalam cerita itu sesuatu yang menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakannya ke dalam novel. 4 Nurgiantoro, Burhan. Penilaian dalam Penilaian Bahasa hlm Ibid. hlm. 17

13 19 e. Sudut Pandang /Point of view Sudut pandang yaitu cara pandang pengarang menempatkan dirinya dalam cerita. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa-siapa saja yang menceritakan, atau dari posisi mana peristiwa dilihat. 6 Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995) menyatakan bahwa sudut pandang bersarang pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sasaran untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan sebuah strategi atau teknik yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup dan tafsirnya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh atau kacamata tokoh tersebut. Sudut pandang pada dasarnya merupakan visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Dalam hal ini, harus dibedakan dengan pandangan pengarang sebagai pribadi, sebab sebuah karya sebenarnya merupakan pandangan pengarang terhadap kehidupannya. Suara pribadi pengarang jelas akan masuk ke dalam karyanya dan ini lazim disebut gaya pengarang. Sedangkan sudut pandang menyangkut teknis bercerita, yaitu soal bagaimana pandangan pribadi pengarang akan bisa diungkapkan sebaik-baiknya. Hal senada diungkapkan oleh Booth (dalam Nurgiyantoro, 1995) yang mengatakan bahwa sudut pandang bagaimanapun merupakan sesuatu yang menyarankan pada masalah teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang lebih besar daripada sudut pandang itu sendiri. Sudut pandang merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. Dengan teknik yang dipilihnya itu, diharapkan pembaca dapat menerima dan menghayati gagasan pengarang. 6 Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, hlm. 46

14 0 f. Amanat Dalam membuat cerita, setiap pengarang pasti ingin menyampaikan amanat kepada pembacanya. Seperti halnya tema, amanat biasanya disampaikan pengarang secara implisit (tersirat). Maka dari itulah pembaca harus mampu menemukan amanat dari karya sastra yang dibacanya. Panuti Sudjiman mengatakan bahwa amanat yang terdapat dalam sebuah karya sastra bisa secara implisit maupun eksplisit. Dikatakan implisit jika jalan keluar atau jalan moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, dan larangan yang berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu yang disampaikan pada bagian tengah atau akhir cerita. Amanat biasanya berupa ajaran moral yang berhubungan dengan sifatsifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. G. Gaya/Style Setiap pengarang pasti memiliki ciri khas tersendiri dalam mengungkapkan ceritanya dan tergambar pada hasil karyanya. Artinya, cara bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan dan menceritakannya dalam sebuah karya sastra, tentunya setiap pengarang memiliki gaya bercerita yang berbeda dengan pengarang lainnya. Gaya tersebut biasanya dipengaruhi oleh latar belakang pengarang itu sendiri, misalnya latar belakang pendidikan, latar belakang profesi, atau latar belakang lingkungan tempat ia tinggal. Gaya dalam sebuah karya sastra juga biasanya ada hubungannya dengan penggunaan bahasa. Hal ini ditegaskan oleh pendapat Aminuddin (dalam Hendrayati, 1990) bahwa gaya mengandung pengertian cara seseorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis, serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Penggunaan media bahasa meliputi penggunaan kalimat, penggunaan kata, penggunaan bentuk bahasa figuratif, dialog dan sebagainya. Panuti Sudjiman memaparkan beberapa pengertian gaya yang diungkapkan dalam Kamus Istilah Sastra sebagai berikut:

15 1 1. Cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata.. Cara khas dalam penyusunan dan penyampaian pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan dan lisan. 3. Ciri-ciri suatu kelompok karya sastra berdasarkan bentuk perbuatannya (ekspresinya) dan bukan kandungan isinya. Gaya terutama ditentukan oleh diksi dan struktur kalimat. Kesimpulannya, gaya adalah ciri khas setiap pengarang dalam menyajikan karyanya, di mana antara pengarang yang satu dengan pengarang yang lainnya tidak memiliki gaya yang sama persis. Mempelajari gaya bercerita pengarang akan membantu kita untuk lebih memahami pribadi yang kreatif daripada membaca biografinya yang ditulis oleh orang lain. Yang pasti, gaya karangan yang diciptakan mencerminkan jiwa pengarangnya. h. Suasana Dalam suatu peristiwa tertentu, pasti ada suasana yang mewarnainya. Misalnya, sedih, gembira, mengharukan, memancing emosi kemarahan, dan ekspresi jiwa lainnya. Dengan gambaran suasana yang naratif dan emotif inilah keasikan dari pembaca akan timbul. Demikian halnya dengan unsurunsur intrinsik lainnya, unsur suasana akan menjadi lebih baik apabila didukung oleh unsur-unsur intrinsik lainnya seperti tokoh, latar, tema, dan sebagainya. Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra, mengemukakan bahwa Suasana adalah suasana hati yang ditimbulkan oleh latar dan cakapan. Sedangkan, Harianto G.P. mengemukakan bahwa Suasana adalah hawa (udara atau kesadaran sesuatu) di suatu lingkungan, keadaan suatu peristiwa, atau keadaan perasaan yang ada dalam suatu peristiwa. Sebenarnya untuk menjelaskan suasana memang agak sulit, walaupun bisa dilihat dan dirasakan. Namun yang jelas, suasana merupakan warna dasar cerita itu atau merupakan pesona sebuah cerita.

16 C. Media 1. Pengertian Media Pembelajaran Media berasal dari bahasa latin medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah peratara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. 7 Adapun pendapat lain Pada tahun 198 Heinich dan kawan-kawan mengemukakan istilah medium sebagai perantara. Jadi televisi, film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan cetakan adalah media komunikasi. 8 Apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan intruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran. Association for Education and Communication technologi (AECT) di Amerika membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi. Sedangkan National Education Association (NEA) mengatakan bahwa adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audiovisual serta peralatannya. 9 Media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape recorder, kaset, video, kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar grafik, televisi dan komputer. Sedangkan menurut Elly(1977) media digolongkan menjadi enam kategori umum yaitu: 1).Gambar diam,yaitu cetakan fotografis, sketsa, kartun, tabel, grafik dan peta. ) Audio yaitu suara guru, radio, tape, recorder dan disk,3). Gambar gerak yaitu film, 4). Televisi, videotape, 5). Benda nyata, 6). Komputer. 30 Dengan demikian media pembelajaran didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dari pengirim informasi 7 Arief Sudirman, dkk, Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 003), Cet. ke-7, hlm. 6 8 Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 009),Cet. ke-1, hlm. 6 9 Loc. Cit. hlm M. Zaim, The Effect of Using Instruksional Media Toward the Learning Achievement of English, dalam jurnal guru, no. vol. Desember, 006, hlm. 78

17 3 (guru) ke penerima informasi (siswa) sehingga proses belajar terjadi. Media pembelajaran adalah suatu cara, alat, atau proses yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari sumber pesan kepada penerima pesan yang berlangsung dalam proses pendidikan. Penggunaan media dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Selain itu, pembelajaran bermedia dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran serta mendapatkan informasi. Dengan berkembangnya sikap positif guru dan kepala sekolah dalam pemanfaatan media pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar. Kegiatan pembelajaran lebih variatif dan menyenangkan bagi para siswa. Pemanfaatan media pembelajaran yang dikelola oleh guru secara terencana dikelas dapat membantu mempermudah para siswa memahami materi pelajaran dan pada akhirnya juga turut meningkatkan prestasi belajar siswa. Dalam keadaan yang demikian, dapat dikatakan bahwa para guru dapat memperlakukan media pembelajaran sebagai mitra dalam mengelola kegiatan belajar mengajar di kelas. 31 Hamalik (1986) yang mengemukakan bahwa media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. 3 Oleh karena itu fungsi media pembelajaran ialah dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar, memudahkan siswa dalam mengingat informasi mengenai materi pelajaran, serta memudahkan siswa memahami pelajaran. 31 Sudirman Siahaan, Media Pembelajaran Pemahaman dan Pemanfaatannya dalam Kegiatan Pembelajaran; dalam jurnal TEKNODIK, no. 0 Tahun ke-11, April 007, hlm Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia,004), hlm. 15.

18 4. Manfaat Media Pembelajaran Berbagai manfaat media telah diungkapkan oleh beberapa ahli. Meskipun telah disadari bahwa banyak keuntungan penggunaan media pembelaaran, namun penerimaan serta pengintegrasiannya kedalam program-program pembelajaran berjalan lambat. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran memiliki manfaat antara lain: 1) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar. ) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga lebih difahami oleh siswa. 3) Metode mengajar akan lebih bervariasi siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru tapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, dan lain-lain. 33 Dengan demikian, manfaat penggunaan media pembelajaran diantaranya adalah dapat menjadikan pengajaran lebih menarik, memperjelas bahan pengajaran, menjadikan pengajaran lebih bervariatif dan menjadikan siswa lebih berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Penggunaan media secara kreatif akan memperbesar kemungkinan siswa untuk belajar lebih banyak, mencamkan apa yang dipelajarinya lebih baik dan meningkatkan keterampilan mereka sesuai dengan apa yang menjadi tuntunan pembelajaran yang telah ditetapkan. 3. Jenis Media 1. Media Tape Recorder Media berasal dari bahasa latin medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. 34 Sedangkan menurut Ma mur Saadie media adalah segala sesuatu yang terletak di tengah dalam letak jenjang atau alat apa saja 33 Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, Media Pengajaran, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), hlm. 34 Loc. Cit. hlm. 6

19 5 yang digunakan sebagai perantara atau penghubung hal. 35 Jadi media adalah bahan, alat atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa untuk menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dirancang dengan baik dalam batas-batas tertentu terdapat merangsang timbulnya dialog internal dalam diri siswa dengan media atau antar siswa dengan guru sebagai sumber belajar Alat perakam pita magnetic (magnetic tape recording) atau lazimnya orang menyebut tape recorder adalah salah satu media pendidikan yang tak dapat diabaikan untuk menyampaikan informasi, karena mudah menggunakan. Ada dua macam rekaman dalam alat perekam pita magnetik yaitu sistem full track recording dan double track recorder. 36 Jadi tape recorder suatu perlengkapan elektronik yang diciptakan berkat kemajuan dalam bidang teknologi modern. Melalui alat ini orang dapat mendengar siaran tentang berbagai peristiwa, kejadian-kejadian yang penting dan baru, masalah dalam kehidupan dan acaraacara rekreasi yang menyenangkan, semuanya dipancarkan dari stasiun tape recorder tertentu. 1. Kelebihan media tape recorder a. Tidak begitu mahal untuk kegiatan pembelajaran. b. Tape recorder cukup hemat, sebab suatu rekaman dapat dihapus dan diganti dengan materi yang baru. c. Dapat digunakan untuk belajar kelompok maupun individual. d. Siswa yang tuna netra maupun yang tuna aksara dapat belajar melalui madia tape recorder. e. Anak yang masih kecil atau untuk anak didik yang belum dapat membaca, media tape recorder dapat membentuk pengalaman belajar bahasa permulaan.. Kelemahan media audio a. Melalui tape recorder dapat mendengarkan urutan penyajian yang tetap, bahkan apabila diputar kembali, akan terdengar hal-hal yang sama. Hal ini kadang-kadang membosankan. b. Tanpa ada penyajian yang bertatap muka langsung dengan siswa, beberapa di antara siswa kurang memperhatikan penyajian itu. c. Pengembang program tape recorder yang baik, akan banyak menyita waktu. 35 Ma mur Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia, (Jakarta: UT, 008), hlm Sudjana, Media Pengajaran... hlm. 7

20 6 d. Penentuan kecepatan cara penyampaian informasi dapat menimbulkan kesulitan apabila pendengar memiliki latar belakang serta kemampuan mendengar yang berbeda. e. Tidak dapat diperoleh balikan secara langsung karena hanya ada satu jalur penyampaian informasi Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia.. hlm

21 7 BAB II ACUAN TEORETIS A. MENYIMAK 1. Pengeretian Menyimak Dalam kegiatan komunikasi sehari-hari seseorang sudah pasti akan menggunakan perangkat indera pendengaran untuk mendengar. Lain halnya dengan mendengarkan adalah kegiatan yang disengaja untuk mendapatkan informasi atau pesan yang disampaikan oleh orang lain. Menurut Russel dan Russel dalam Tarigan, menyimak bermakna mendengarkan dengan penuh pemahaman dan perhatian serta apresiasi. 1 Dibuku yang sama Tarigan menjelaskan Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman apresiasi serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. Tujuan orang menyimak sesuatu itu beraneka ragam antara lain: 1. Untuk memperoleh pengetahuan dari bahan ujaran sang pembicara; dengan perkataan lain, dia menyimak untuk belajar;. Untuk penikmatan terhadap sesuatu dari materi yang diujarkan atau yang diperdengarkan atau dipergelarkan (terutama sekali dalam bidang seni); pendeknya dia menyimak untuk menikmati keindahan audial; 3. Untuk menilai apa-apa yang dia simak itu (baik-buruk, indah-jelek, logistak logis, dan lain-lain); singkatnya dia menyimak untuk mengevaluasi; 4. Untuk menikmati serta menghargai apa-apa yang disimaknya itu (misalnya: pembacaan cerita, pembacaan puisi, musik dan lagu, dialog, 1 Henry Guntur Tarigan, Menyimak, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 9 Ibid. hlm. 8 7

22 8 diskusi panel, perdebatan); pendek kata, orang itu menyimak untuk mengapreasi materi simakan; 5. Untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide, gagasan-gagasan, maupun perasaan-perasaannya kepada orang lain dengan lancar dan tepat. Banyak contoh dan ide yang dapat diperoleh dari sang pembicara dan semua ini merupakan bahan penting dan menunjangnya dalam mengkomunikasikan ide-idenya sendiri; 6. Untuk dapat membedakan bunyi-bunyi dengan tepat; mana bunyi yang membedakan arti mana bunyi yang tidak membedakan arti; biasanya ini terlihat nyata pada seseorang yang sedang belajar bahasa asing yang asyik mendengarkan ujaran pembicara asli; 7. Ada lagi orang yang menyimak dengan maksud agar dia dapat memecahkan masalah secara kreatif dan analisis, sebab dari sang pembicara dia mungkin memperoleh banyak masukan berharga; 8. Selanjutnya ada lagi orang yang tekun menyimak sang pembicara untuk meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat selama ini dia ragu; dengan perkataan lain, dia menyimak persuasif. 3 Dari uraian di atas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya menyimak itu dapat kita pandang dari berbagai segi, misalnya sebagai keterampilan berkomunikasi dan sebagai pengalaman kreatif.. Ragam Menyimak Ragam menyimak yang penulis sarikan dari pendapat Tarigan (1993:35), bahwa menyimak secara umum dapat dikelompokkan ke dalam menyimak ekstensif dan menyimak intensif. Menyimak ekstensif meliputi; (1) sekunder, () estetik. Sedangkan menyimak intensif meliputi menyimak; (1) kritis, () konsentratif, (3) kreatif, (4) eksploratif, (5) interogatif, dan (6) selektif. 4 a. Menyimak Ekstensif Menyimak ekstensif (extensive listening) adalah sejenis kegiatan menyimak yang mengenai hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap suatu ujaran, tidak perlu di bawah bimbingan langsung dari seorang guru. 5 menyimak jenis ini merupakan jenis menyimak yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat umum. 3 Tarigan, menyimak. hlm Ibid. hlm Bustanul Arifin, Menyimak, (Jakarta: Gramedia, 004), hlm. 1. 8

23 9 1. Menyimak Sekunder menyimak sekunder (secondary listening) adalah sejenis kegiatan menyimak secara kebetulan (casual listening) dan secara ekstensif (extensive listening). Menyimak ini lebih bersifat umum tanpa ada bimbingan. Apa yang didengar oleh penyimak bukan menjadi tujuan utama. Salah satu contoh, bila menikmati musik sementara ikut berpartisipasi dalam kegiatan menulis atau melukis. 6 Kegiatan menyimak seperti ini, yaitu kegiatan menyimak suara sesuatu, sementara perhatian penyimak sebenarnya pada hal yang lain secara lebih khusus. Misalnya, penyimak menonton pertunjukkan tari, dalam kegiatan tersebut tarian biasanya diiringi oleh musik. Musik yang mengalun tersebut sebenarnya oleh penyimak hanya disimak secara kebetulan, sedangkan perhatian yang sebenarnya adalah pada gerak taritarinya.. Menyimak Estetik Menyimak estetik (aesthetic listening) ataupun yang disebut menyimak apresiatif (Appreciational listening) adalah menyimak secara serius dan besungguh-sungguh memperhatikan satu cara atau pertunjukan drama, cerita, dongeng. Baik secara langsung maupun malalui siaran televise atau radio. 7 Kegiatan menyimak estetik pada dasarnya adalah kegiataa menyimak hal-hal yang mungkin dapat menimbulkan keindahan bagi diri penyimak. b. Menyimak Intensif Menyimak intensif merupakan kegiatan menyimak kebalikan dari kegiatan menyimak ekstensif. 8 Pada kegiatan menyimak intensif sangat memerlukan bimbingan guru. Kegiatan menyimak instensif selalu diawasi dikontrol agar terarah pada topik tertentu. Dalam menyimak intensif, 6 Tarigan, Menyimak. hlm Aripin, Menyimak hlm Ibid. hlm. 1.9

24 10 penyimak memerlukan arahan dan bimbingan guru yang ketat karena bahanbahan yang harus disimak perlu dipahami secara terperinci, teliti dan mendalam. Kegiatan menyimak intensif ini, penyimak pada dasarnya ditekankan untuk dapat rnemahami materi simakkan bukan saja yang tersurat, namun termasuk pula terhadap hal-hal yang tersirat. Oleh karena itu, unsur pemahaman dalam menyimak intensif ini sangat menjadi perhatian. Menyimak intensif ini pun banyak ragamnya, di antaranya; (1) menyimak kritis, () menyimak konsentratif, (3) menyimak kreatif, (4) menyimak eksploratif, (5) menyimak interogatif. Pengertian istilah-istilah dalam ragam menyimak intensif tersebut di atas, sebagai berikut. 1). Menyimak Kritis Menyimak kritis (critical listening) adalah sejenis kegiatan menyimak yang berupa untuk mencari kesalahan atau kekeliruan bahkan juga butir-butir yang baik dan benar dari ujaran seorang pembicara, dengan alasan-alasan yang kuat yang dapat diterima oleh akal sehat. 9 Penjelasan pengertian menyimak kritis sebagaimana dikemukakan di atas. Tujuan menyimak kritis adalah untuk memperoleh keakuratan tentang sesuatu sehingga menghasilkan suatu kesimpulan. Olehkarena itu penyimak kritis mendapatkan segala apa yang diidekan atau diinformasikan sampai bermanfaat. ) Menyimak Konsentratif Menyimak konsentratif (consentralive listening) sering juga disebut study-tipe listening atau menyimak yang merupakan sejenis telaah. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam menyimak konsentratif itu adalah : 9 Tarigan, Menyimak, hlm. 4

25 11 Mengikuti petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam pembicaraan. Mencari dan merasakan hubungan-hubungan, seperti kelas, tempat, kualitas, waktu, urutan serta sebab-akibat. Mendapat atau memeperoleh butir-butir informasi tertentu. Memperoleh pemahaman dan pengertian yang mendalam. Merasakan serta menghayati ide-ide sang pembicara. Sasaran maupun pengorganisasiannya. Memahami urutan ide-ide pembicara. Mencari dan mencatat fakta-fakta penting. 10 Penjelasan pengertian menyimak konsentratif di atas, penulis sederhanakan bahwa menyimak konsentratif adalah menyimak bagianbagian tertentu dari materi simakan atau ujaran yang dianggap penting saja. Artinya, penyimak memusatkan perhatiaimya pada hal-hal yang memang sangat dibutuhkan, sedangkan materi lainnya tidak dijadikan pusat perhatian. 3). Menyimak Kreatif Menyimak kreatif (creative listening) adalah sejenis kegiatan dalam menyimak yang dapat mengakibatkan rekontruksi imajinatif para penyimak terhadap bunyi, penglihatan, gerakan, serta perasaan-perasaan kinestetik yang disarankan atau dirangsang oleh apa-apa yang disimaknya. 11 Menyimak kreatif merupakan kegiatan menyimak yang dapat menimbulkan suatu dampak kreatif bagi pembaca dari materi yang disimaknya. Materi yang dimaksud dapat berupa isi, cara penyusunan ide, gaya bicara, atau yang lainnya, namun hal tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pengalaman penyimak. 4). Menyimak Eksploratif Menyimak eksploratif, menyimak yang bersifat menyelidik adalah sejenis kegiatan menyimak intensif dengan maksud dan tujuan menyelidiki 10. Tarigan, Menyimak hlm Ibid. hlm. 46

26 1 sesuatu lebih terarah dan lebih sempit. 1 Dalam kegiatan menyimak seperti ini sang penyimak menyiagakan perhatian untuk menjelajahi serta menemukan hal-hal yang menarik perhatian, informasi tambahan mengenai suatu topik. 5). Menyimak Interogatif Menyimak interogatif (interrogative listening) adalah sejenis kegiatan menyimak intensif yang menuntut lebih banyak konsentrasi dan seleksi, pemusatan perhatian dan pemilihan butir-butir dari ujaran sang pembicara, karena sang penyimak akan mengajukan sebanyak pertanyaan. 13 Artinya dalam menyimak introgatif ini, penyimak dalam melakukan kegiatan menyimak, memiliki sasaran untuk memilih butirbutir yang dapat dijadikan bahan pertanyaan kepada si pembicara. Oleh karena itu, kegiatan menyimak seperti ini menuntut konsentrasi penuh. Maksudnya, agar jangan sampai bahan yang menjadi pertanyaan dari penyimak tersebut sebenarnya telah dibahas pada saat pembicara menyampaikan materi pembicaraannya. B. Cerita Pendek a. Pengertian Cerita Pendek Cerita pendek adalah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu, Apa yang terjadi di dalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan reaksi mental itulah yang pada hakekatnya disebut cerpen. 14 Sedangkan menurut Burhan Nurgiyantoro cerpen adalah sebuah cerita selesai dibaca dengan sekali duduk. 15 Sebuah cerpen pada dasarnya menuntut adanya perwatakan jelas pada tokoh cerita. Sang tokoh merupakan ide sentral dari cerita; cerita bermula dari sang tokoh dan berakhir pula pada nasib yang menimpa sang tokoh itu. Unsur 1. Tarigan, Menyimak. hlm Ibid. hlm Atar Semi, Atonomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi, (Yogyakarta: UGM, 005), hlm. 10

27 13 perwatakan lebih dominan daripada unsur cerita sendiri. Membaca sebuah cerpen berarti kita berusaha memahami manusia bukan sekedar ingin mengetahui bagaimana jalan ceritanya. Beda dengan sebuah novel di mana kedudukan perwatakan dan jalan cerita berada dalam satu keseimbangan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Soal panjang pendek ukuran fisiknya tidak menjadi ukuran yang mutlak; tidak ditentukan bahwa cerpen harus sekian halaman atau sekian kata, walaupun ia punya kecenderungan untuk berukuran pendek dan pekat. Karena singkatannya jelas tidak memberi kesempatan bagi cerpen itu menjelaskan dan mencantumkan segalanya; kepadanya dituntut menyampaikan sesuatu yang tidak kecil kendatipun menggunakan sejumlah kecil bahasa. Dengan begitu cerpen menyuguhkan kebenaran yang diciptakan, dipadatkan, digayakan, dan diperkokoh oleh kemampuan imajinasi pengarangnya. 16 Di Indonesia sendiri cerpen lazim ditemui dikisaran kata (6-8 halaman kwarto, spasi ganda), jumlah kata ini menjadi persyaratan standar sebuah naskah cerpen yang dimuat surat kabar hari minggu. Jumlah itu dianggap cukup memenuhi definisi klasik dari cerpen; Cerita pendek harus dapat dibaca dalam waktu sekali duduk (Edgar Allan Poe, 1846). Boleh jadi definisi ini erat kaitannya dengan kebiasaan membaca Koran di WC. b. Unsur-unsur Cerpen 1. Unsur Intrinsik Unsur intrinsik menurut Nurgiantoro adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya sastra itu hadir. Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur/plot, penokohan, latar, gaya, suasana, sudut pandang dan amanat. 17 Untuk lebih jelasnya, unsur intrinsik akan dipaparkan lebih lanjut di bawah ini. a. Tema Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam buku Apresiasi Kesusastraan menyatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang 16 Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi hlm Burhan. Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, (Yogyakarta: BPFE, 1995), hlm. 3

28 14 dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan sesuatu kepada pembaca. Sesuatu yang mau dikatakan itu bisa suatu masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini, atau komentar terhadap kehidupan ini. Kejadian dan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide pengarang tersebut. Sebuah cerita novel harus mengatakan sesuatu, yaitu pendapat pengarang tentang hidup ini, sehingga orang lain dapat mengerti hidup ini lebih baik. Tema adalah gagasan pertama atau pikiran pokok. Tema suatu karya sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh setiap pembaca yang cermat sebagai akibat dari membaca karya sastra tersebut. Tema biasanya merupakan komentar mengenai kehidupan. 18 Tema pada sebuah cerita baru dapat diketahui setelah pembaca mengetahui isi keseluruhan cerita. Pembaca harus mampu menafsirkan terlebih dahulu unsur-unsur intrinsik lainnya, karena tidaklah mudah menemukan tema suatu cerita. Tema biasanya tidak dicantumkan secara eksplisit oleh pengarang. Sumardjo dan Saini K.M, menyatakan bahwa di dalam cerpen yang berhasil, tema justru tersamar dalam sebuah elemen. Pengarang memakai dialog para tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian, latar cerita untuk mempertegas atau menyamarkan isi temanya. Pengarang biasanya menyatakan tema secara sembunyi-sembunyi dalam suatu potongan dialog tokohnya, atau dalam suatu adegan cerita. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide cerita yang merupakan dasar pengembangan sebuah cerita dan menjiwai seluruh bagian cerita itu. b. Alur/Plot Pada setiap peristiwa yang terjadi selalu memiliki permulaan, pertengahan, dan kemudian sampailah pada sebuah akhir peristiwa, begitu pula dengan cerita fiksi dan novel. Dalam sebuah cerita, peristiwa yang terjadi itu 18 Henry Guntur Tarigan, Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa, 1994), hlm. 160

29 15 disebut sebagai alur atau plot. Alur atau plot biasanya diidentikkan dengan jalan cerita, padahal alur tidak sama dengan jalan cerita. Nurgiantoro menyamakan plot dengan jalan cerita atau bahkan mendefinisikan plot sebagai jalan cerita sebenarnya adalah kurang tepat. Plot memang mengandung unsur jalan cerita, namun ia lebih dari jalan cerita itu sendiri. 19 Banyak ahli bahasa yang mengemukakan pengertian alur. Panuti Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra menyatakan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian. Pautannya dapat diwujudkan dengan hubungan kausal atau sebab akibat. Nurgiantoro menyatakan bahwa alur/plot merupakan cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalaam bertindak, berpikir dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Namun, tidak dengan sendirinya semua kejadian yang dialami manusia dapat disebut plot jika bersifat khas, mengandung unsur konflik, saling berkaitan dan yang terpenting adalah menarik untuk diceritakan dan bersifat dramatik. 0 Inti alur adalah konflik, namun sebuah konflik dalam cerita tidak dipaparkan begitu saja, plot itu harus ada dasarnya. Maka dari itu, plot/alur sering dikupas menjadi elemen-elemen berikut. a) Pengenalan. b) Timbulnya konflik. c) Konflik memuncak. d) Klimaks. e) Pemecahan masalah. Lebih lanjut, Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita, konflik digambarkan sebagai pertarungan antara protagonis dan antagonis. Protagonis adalah pelaku utama cerita, sedangkan antagonis adalah tokoh lawan protagonis. Tokoh-tokoh tersebut bertemu dan terjadilah perbenturan yang membangun cerita. 19 Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa,. hlm Ibid. hlm. 114

30 16 Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot/alur dibagi menjadi bagian, yaitu plot lurus dan plot sorot balik. Sebuah novel dikatakan memiliki plot lurus jika peristiwa-peristiwa yang diceritakan bersifat kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa berikutnya. Situasi dimulai dari tahap awal, tengah, sampai tahap akhir. Sedangkan, novel dikatakan memiliki plot sorot balik (flashback), jika urutan kejadian ceritanya tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari awal, melainkan dari tahap tengah, atau mungkin dari tahap akhir, baru kemudian ke awal cerita. Berdasarkan padat atau tidaknya cerita, plot dibagi menjadi, yaitu plot rapat dan plot longgar Sebuah cerita dikatakan memiliki plot rapat jika hubungan antara peristiwa dijalani secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus- menerus mengikutinya. Sedangkan, cerpen dikatakan memiliki plot longgar jika hubungan antara peristiwa tidak terlalu erat, artinya peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain diselipi dengan peristiwa tambahan. 1 c. Penokohan Setiap novel tentu memiliki tokoh yang sengaja diciptakan untuk mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan sengaja diciptakan untuk mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan segala perwatakan dan berbagai jati dirinya disebut sebagai penokohan. Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 1995) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya sastra naratif, atau drama yang oleh pembacanya ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Istilah penokohan oleh Sudjiman diartikan sebagai penciptaan cerita di dalam karya sastra. Tokoh tersebut diciptakan oleh pengarang secara 1 Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa,. hlm Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa,.... hlm. 165

31 17 meyakinkan sehingga pembaca merasa seolah-olah berhadapan dengan manusia sebenarnya. Tarigan mengungkapkan bahwa yang dimaksud tokoh atau karakterisasi adalah proses yang dipergunakan oleh seorang pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fiksinya. Sedangkan untuk melukiskan tokoh dalam cerita bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1) Melukiskan bentuk lahir dari pelakon. ) Melukiskan jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikirannya. 3) Melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu terhadap kejadian-kejadian. 4) Pengarang langsung menganalisis watak pelakon. 5) Pengarang melukiskan keadaan sekitar pelakon, misalnya dengan melukiskan keadaan kamar pelakon (biasanya keadaan kamar seseorang mencerminkan wataknya). 6) Pengarang melukiskan bagaimana pandangan-pandangan pelakon lain dalam suatu cerita terhadap pelakon utama itu. 7) Mempergunakan pelakon-pelakon lain yang memperbincangkan keadaan pelakon utama. 3 Kualitas sebuah cerita atau novel banyak ditentukan oleh kepandaian pengarang dalam menghidupkan watak para tokohnya. Jika watak tokohnya lemah, maka menjadi lemahlah keseluruhan cerita. Oleh karena itu, watak atau karakter tokoh di dalam sebuah novel harus digambarkan oleh pengarang secara tersirat, sehingga dapat ditangkap oleh pembaca. Jadi, dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah seseorang yang berperan dalam sebuah cerita dan mengalami peristiwaperistiwa yang terdapat dalam cerita itu, dengan memiliki watak atau karakter sendiri, terutama dalam menghadapi suatu masalah atau kejadian yang dialaminya Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1985), hlm.

32 18 d. Latar Nurgiantoro, dengan mengutip pendapat Abrams, mendefinisikan latar sebagai landasan tumpu menyarankan pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. 4 Sumardjo dan Saini K.M. mengemukakan bahwa latar dalam sebuah novel bukan hanya menunjukan tempat dan waktu terjadinya suatu peristiwa, melainkan juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada macam debunya, pemikiran rakyatnya, kegiatan mereka, gaya hidup mereka dan sebagainya. Lebih lanjut Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita yang baik, latar harus benar-benar mutlak menggarap tema dan karakter cerita, sehingga dari latar wilayah tertentu akan menghasilkan perwatakan tokoh tertentu pula. Andaikata sebuah novel latarnya dapat diganti dengan tempat mana saja tanpa mengubah atau mempengaruhi watak tokoh-tokoh dan tema novelnya, maka latar yang demikian kurang integral. Kedudukan latar dalam novel sangat penting karena dapat memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolaholah sungguh-sungguh ada dan terjadi. 5 Pembaca merasa dipermudah mengoperasikan daya imajinasinya, di samping memungkinkan berperan secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca pun dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah menemukan dalam cerita itu sesuatu yang menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakannya ke dalam novel. 4 Nurgiantoro, Burhan. Penilaian dalam Penilaian Bahasa hlm Ibid. hlm. 17

33 19 e. Sudut Pandang /Point of view Sudut pandang yaitu cara pandang pengarang menempatkan dirinya dalam cerita. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa-siapa saja yang menceritakan, atau dari posisi mana peristiwa dilihat. 6 Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995) menyatakan bahwa sudut pandang bersarang pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sasaran untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan sebuah strategi atau teknik yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup dan tafsirnya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh atau kacamata tokoh tersebut. Sudut pandang pada dasarnya merupakan visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Dalam hal ini, harus dibedakan dengan pandangan pengarang sebagai pribadi, sebab sebuah karya sebenarnya merupakan pandangan pengarang terhadap kehidupannya. Suara pribadi pengarang jelas akan masuk ke dalam karyanya dan ini lazim disebut gaya pengarang. Sedangkan sudut pandang menyangkut teknis bercerita, yaitu soal bagaimana pandangan pribadi pengarang akan bisa diungkapkan sebaik-baiknya. Hal senada diungkapkan oleh Booth (dalam Nurgiyantoro, 1995) yang mengatakan bahwa sudut pandang bagaimanapun merupakan sesuatu yang menyarankan pada masalah teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang lebih besar daripada sudut pandang itu sendiri. Sudut pandang merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. Dengan teknik yang dipilihnya itu, diharapkan pembaca dapat menerima dan menghayati gagasan pengarang. 6 Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, hlm. 46

34 0 f. Amanat Dalam membuat cerita, setiap pengarang pasti ingin menyampaikan amanat kepada pembacanya. Seperti halnya tema, amanat biasanya disampaikan pengarang secara implisit (tersirat). Maka dari itulah pembaca harus mampu menemukan amanat dari karya sastra yang dibacanya. Panuti Sudjiman mengatakan bahwa amanat yang terdapat dalam sebuah karya sastra bisa secara implisit maupun eksplisit. Dikatakan implisit jika jalan keluar atau jalan moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, dan larangan yang berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu yang disampaikan pada bagian tengah atau akhir cerita. Amanat biasanya berupa ajaran moral yang berhubungan dengan sifatsifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. G. Gaya/Style Setiap pengarang pasti memiliki ciri khas tersendiri dalam mengungkapkan ceritanya dan tergambar pada hasil karyanya. Artinya, cara bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan dan menceritakannya dalam sebuah karya sastra, tentunya setiap pengarang memiliki gaya bercerita yang berbeda dengan pengarang lainnya. Gaya tersebut biasanya dipengaruhi oleh latar belakang pengarang itu sendiri, misalnya latar belakang pendidikan, latar belakang profesi, atau latar belakang lingkungan tempat ia tinggal. Gaya dalam sebuah karya sastra juga biasanya ada hubungannya dengan penggunaan bahasa. Hal ini ditegaskan oleh pendapat Aminuddin (dalam Hendrayati, 1990) bahwa gaya mengandung pengertian cara seseorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis, serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Penggunaan media bahasa meliputi penggunaan kalimat, penggunaan kata, penggunaan bentuk bahasa figuratif, dialog dan sebagainya. Panuti Sudjiman memaparkan beberapa pengertian gaya yang diungkapkan dalam Kamus Istilah Sastra sebagai berikut:

35 1 1. Cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata.. Cara khas dalam penyusunan dan penyampaian pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan dan lisan. 3. Ciri-ciri suatu kelompok karya sastra berdasarkan bentuk perbuatannya (ekspresinya) dan bukan kandungan isinya. Gaya terutama ditentukan oleh diksi dan struktur kalimat. Kesimpulannya, gaya adalah ciri khas setiap pengarang dalam menyajikan karyanya, di mana antara pengarang yang satu dengan pengarang yang lainnya tidak memiliki gaya yang sama persis. Mempelajari gaya bercerita pengarang akan membantu kita untuk lebih memahami pribadi yang kreatif daripada membaca biografinya yang ditulis oleh orang lain. Yang pasti, gaya karangan yang diciptakan mencerminkan jiwa pengarangnya. h. Suasana Dalam suatu peristiwa tertentu, pasti ada suasana yang mewarnainya. Misalnya, sedih, gembira, mengharukan, memancing emosi kemarahan, dan ekspresi jiwa lainnya. Dengan gambaran suasana yang naratif dan emotif inilah keasikan dari pembaca akan timbul. Demikian halnya dengan unsurunsur intrinsik lainnya, unsur suasana akan menjadi lebih baik apabila didukung oleh unsur-unsur intrinsik lainnya seperti tokoh, latar, tema, dan sebagainya. Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra, mengemukakan bahwa Suasana adalah suasana hati yang ditimbulkan oleh latar dan cakapan. Sedangkan, Harianto G.P. mengemukakan bahwa Suasana adalah hawa (udara atau kesadaran sesuatu) di suatu lingkungan, keadaan suatu peristiwa, atau keadaan perasaan yang ada dalam suatu peristiwa. Sebenarnya untuk menjelaskan suasana memang agak sulit, walaupun bisa dilihat dan dirasakan. Namun yang jelas, suasana merupakan warna dasar cerita itu atau merupakan pesona sebuah cerita.

36 C. Media 1. Pengertian Media Pembelajaran Media berasal dari bahasa latin medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah peratara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. 7 Adapun pendapat lain Pada tahun 198 Heinich dan kawan-kawan mengemukakan istilah medium sebagai perantara. Jadi televisi, film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan cetakan adalah media komunikasi. 8 Apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan intruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran. Association for Education and Communication technologi (AECT) di Amerika membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi. Sedangkan National Education Association (NEA) mengatakan bahwa adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audiovisual serta peralatannya. 9 Media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape recorder, kaset, video, kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar grafik, televisi dan komputer. Sedangkan menurut Elly(1977) media digolongkan menjadi enam kategori umum yaitu: 1).Gambar diam,yaitu cetakan fotografis, sketsa, kartun, tabel, grafik dan peta. ) Audio yaitu suara guru, radio, tape, recorder dan disk,3). Gambar gerak yaitu film, 4). Televisi, videotape, 5). Benda nyata, 6). Komputer. 30 Dengan demikian media pembelajaran didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dari pengirim informasi 7 Arief Sudirman, dkk, Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 003), Cet. ke-7, hlm. 6 8 Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 009),Cet. ke-1, hlm. 6 9 Loc. Cit. hlm M. Zaim, The Effect of Using Instruksional Media Toward the Learning Achievement of English, dalam jurnal guru, no. vol. Desember, 006, hlm. 78

37 3 (guru) ke penerima informasi (siswa) sehingga proses belajar terjadi. Media pembelajaran adalah suatu cara, alat, atau proses yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari sumber pesan kepada penerima pesan yang berlangsung dalam proses pendidikan. Penggunaan media dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Selain itu, pembelajaran bermedia dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran serta mendapatkan informasi. Dengan berkembangnya sikap positif guru dan kepala sekolah dalam pemanfaatan media pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar. Kegiatan pembelajaran lebih variatif dan menyenangkan bagi para siswa. Pemanfaatan media pembelajaran yang dikelola oleh guru secara terencana dikelas dapat membantu mempermudah para siswa memahami materi pelajaran dan pada akhirnya juga turut meningkatkan prestasi belajar siswa. Dalam keadaan yang demikian, dapat dikatakan bahwa para guru dapat memperlakukan media pembelajaran sebagai mitra dalam mengelola kegiatan belajar mengajar di kelas. 31 Hamalik (1986) yang mengemukakan bahwa media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. 3 Oleh karena itu fungsi media pembelajaran ialah dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar, memudahkan siswa dalam mengingat informasi mengenai materi pelajaran, serta memudahkan siswa memahami pelajaran. 31 Sudirman Siahaan, Media Pembelajaran Pemahaman dan Pemanfaatannya dalam Kegiatan Pembelajaran; dalam jurnal TEKNODIK, no. 0 Tahun ke-11, April 007, hlm Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia,004), hlm. 15.

38 4. Manfaat Media Pembelajaran Berbagai manfaat media telah diungkapkan oleh beberapa ahli. Meskipun telah disadari bahwa banyak keuntungan penggunaan media pembelaaran, namun penerimaan serta pengintegrasiannya kedalam program-program pembelajaran berjalan lambat. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran memiliki manfaat antara lain: 1) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar. ) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga lebih difahami oleh siswa. 3) Metode mengajar akan lebih bervariasi siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru tapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, dan lain-lain. 33 Dengan demikian, manfaat penggunaan media pembelajaran diantaranya adalah dapat menjadikan pengajaran lebih menarik, memperjelas bahan pengajaran, menjadikan pengajaran lebih bervariatif dan menjadikan siswa lebih berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Penggunaan media secara kreatif akan memperbesar kemungkinan siswa untuk belajar lebih banyak, mencamkan apa yang dipelajarinya lebih baik dan meningkatkan keterampilan mereka sesuai dengan apa yang menjadi tuntunan pembelajaran yang telah ditetapkan. 3. Jenis Media 1. Media Tape Recorder Media berasal dari bahasa latin medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. 34 Sedangkan menurut Ma mur Saadie media adalah segala sesuatu yang terletak di tengah dalam letak jenjang atau alat apa saja 33 Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, Media Pengajaran, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), hlm. 34 Loc. Cit. hlm. 6

39 5 yang digunakan sebagai perantara atau penghubung hal. 35 Jadi media adalah bahan, alat atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa untuk menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dirancang dengan baik dalam batas-batas tertentu terdapat merangsang timbulnya dialog internal dalam diri siswa dengan media atau antar siswa dengan guru sebagai sumber belajar Alat perakam pita magnetic (magnetic tape recording) atau lazimnya orang menyebut tape recorder adalah salah satu media pendidikan yang tak dapat diabaikan untuk menyampaikan informasi, karena mudah menggunakan. Ada dua macam rekaman dalam alat perekam pita magnetik yaitu sistem full track recording dan double track recorder. 36 Jadi tape recorder suatu perlengkapan elektronik yang diciptakan berkat kemajuan dalam bidang teknologi modern. Melalui alat ini orang dapat mendengar siaran tentang berbagai peristiwa, kejadian-kejadian yang penting dan baru, masalah dalam kehidupan dan acaraacara rekreasi yang menyenangkan, semuanya dipancarkan dari stasiun tape recorder tertentu. 1. Kelebihan media tape recorder a. Tidak begitu mahal untuk kegiatan pembelajaran. b. Tape recorder cukup hemat, sebab suatu rekaman dapat dihapus dan diganti dengan materi yang baru. c. Dapat digunakan untuk belajar kelompok maupun individual. d. Siswa yang tuna netra maupun yang tuna aksara dapat belajar melalui madia tape recorder. e. Anak yang masih kecil atau untuk anak didik yang belum dapat membaca, media tape recorder dapat membentuk pengalaman belajar bahasa permulaan.. Kelemahan media audio a. Melalui tape recorder dapat mendengarkan urutan penyajian yang tetap, bahkan apabila diputar kembali, akan terdengar hal-hal yang sama. Hal ini kadang-kadang membosankan. b. Tanpa ada penyajian yang bertatap muka langsung dengan siswa, beberapa di antara siswa kurang memperhatikan penyajian itu. c. Pengembang program tape recorder yang baik, akan banyak menyita waktu. 35 Ma mur Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia, (Jakarta: UT, 008), hlm Sudjana, Media Pengajaran... hlm. 7

40 6 d. Penentuan kecepatan cara penyampaian informasi dapat menimbulkan kesulitan apabila pendengar memiliki latar belakang serta kemampuan mendengar yang berbeda. e. Tidak dapat diperoleh balikan secara langsung karena hanya ada satu jalur penyampaian informasi Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia.. hlm

41 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Pakuhaji Tangerang. Pada Bulan November di kelas X Tahun Ajaran 010/011. B. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian yang berjudul Efektivitas Penggunaan Tape Recorder dalam Pembelajaran Menyimak Cerita Pendek Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Pakuhaji Tangerang Tahun Pembelajaran 010/011 ini merupakan penelitian lapangan seperti pendapat Bogdan dan Biklen (198) tentang makna catatan lapangan di at as, ia memahaminya sebagai hasil observasi dan wawancara yang bermakna lebih kolektif, karena terdiri dari catatan lapangan yang dibuat oleh peneliti sendiri, dan ditambahkan dengan hasil karya orang lain yang berupa transkrip wawancara (transkip wawancara ini mungkin saja merupakan hasil karya orang lain, karena si peneliti sendiri menyerahkan hasil rekamannya kepada seorang ahli yang telah terbiasa menulis transkripnya), dokumen resmi yang, statistic resmi, gambar, foto, rekaman, video, ataupun catatan resmi lainnya yang dikeluarkan pihak yang terkait dengan situasi fokus penelitian. 1 Adapun pendekatan penelitian yang penulis lakukan adalah menggunakan pendekatan kuantitatif. Berbeda dengan penelitian kualitatif berupaya membangun pemahaman (verstehen) dan penjelasan atas perilaku manusia sebagai mahkluk sosial (Muhadjir, 000), penelitian kuantitatif yang bertujuan memperoleh teori-teori atau hukum-hukum hubungan kausalitas yang general 1 Moleong, Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif.(Selasa, 8, 11, 010) 9

42 30 yang memungkinkan peneliti melakukan prediksi dan pengendalian seperti yang dilakukan pada penelitian ilmu alam,. C. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen (eksperimen semu). Quasi eksperimen adalah suatu eksperimen semu dimana penelitian menggunakan rancangan penelitian yang tidak dapat mengontrol secara penuh terhadap ciri-ciri dan karakteristik sampel yang diteliti, tetapi cenderung menggunakan rancangan yang memungkinkan pada pengontrolan yang sesuai dengan kondisi yang ada (situasional). 3 D. Desain Penelitian Pada penelitian ini desain atau rancangan penelitian yang digunakan adalah Control Group Pretest Postest dimana di dalam desain ini observasi dilakukan kali yaitu sebelum eksperimen dan sesudah eksperimen. Observasi yang dilakukan sebelum eksperimen disebut pretest, dan observasi sesudah eksperimen disebut postest yang dibandingkan dengan kelompok yang lain yang disebut kelompok kontrol yang tidak mendapat perlakuan. Dalam hal ini dilihat perbedaan pencapaian antara kelompok eksperimen dengan pencapaian kelompok kontrol. 4 Adapun desain penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut: Kelompok Tabel 3.1 Desain Penelitian Tes Awal Variabel Bebas (Pretest) Tes akhir (Postest) E T 1 X E T K T 1 X K T Moleong, Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif.(Selasa, 8, 11, 010) 3 Nana Sudjana dan Ibrohim, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, ( Bandung : Sinar baru Algensindo), 007, hlm Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta : Rineka Cipta) 00, hlm

43 31 Keterangan : E : Kelas Eksperimen K : Kelas Kontrol X E X K T 1 T : Perlakuan yang diberikan pada kelompok eksperimen yaitu dengan menggunakan media tape recorder : Perlakuan yang diberikan pada kelompok kontrol yaitu dengan tidak menggunakan media tape recorder : Tes awal (pretest) yang diberikan sebelum proses belajar mengajar di mulai, diberikan kepada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol) : Tes akhir (postest) yang diberikan sesudah proses belajar mengajar di mulai, diberikan kepada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol) E. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Sedangkan sampel adalah sebagian/wakil populasi yang diteliti yang dianggap mewakili populasi dan diambil dengan menggunakan teknik sampling. 5 Dalam hal ini populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 1 Pakuhaji Tangerang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan tujuan penelitian. 6 Yaitu melihat pengaruh penggunaan media Tape Recorder terhadap hasil belajar siswa di SMA Negeri 1 Pakuhaji kelas X.1 sebagai kelas eksperimen dan kelas X. sebagai kelas kontrol, kelas ini dipilih sebagai sampel penelitian karena kelas ini dinilai lebih baik dan kondusif di antara kelas-kelas lainnya. F. Prosedur Penelitian Adapun prosedur penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap akhir penelitian. 1. Tahap Persiapan 5 Ibid. hlm Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif dan R dan D (Bandung : ALFABETA, 005), hlm. 10

44 3 Langkah awal pada tahap persiapan sebelum melaksanakan penelitian adalah pengurusan surat izin penelitian dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Langkah selanjutnya adalah survei tempat untuk uji coba instrumen dan penelitian. Setelah melaksanakan survei tempat, langkah selanjutnya adalah membuat instrumen penelitian berdasarkan kisi-kisi soal yang telah dibuat dengan bimbingan dosen pembimbing. Setelah penelitian selesai dibuat dilanjutkan dengan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Setelah instrumen penelitian dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran selesai dibuat, langkah selanjutnya adalah melakukan koordinasi dengan pihak sekolah dalam hal ini guru bidang studi yang bersangkutan untuk melaksanakan uji coba instrumen. Setelah uji coba instrumen selesai dilaksanakan, dilakukan analisis data hasil uji coba instrumen untuk menentukan soal-soal yang akan digunakan dalam penelitian (pretest dan postest). Analisis data hasil uji coba instrumen merupakan langkah terakhir pada tahap persiapan sebelum melaksanakan penelitian.. Tahap Pelaksanaan Penelitian Langkah awal tahap pelaksanaan penelitian adalah menentukan dua kelompok sampel yaitu kelompok eksperimen dan kelompok control. Selanjutnya diadakan tes awal (pretest) bagi kedua kelompok penelitian dengan menggunakan soal-soal hasil analisis data uji coba instrumen penelitian. Setelah tes awal (pretest) dilaksanakan pada kedua kelompok penelitian, kegiatan belajar mengajar dapat dilaksanakan kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa penggunaan media tape recorder yang berisi materi Bahasa Indonesia dalam pembahasan unsur-unsur intrinsik. Sedangkan kelompok kontrol dengan perlakuan berupa pembelajaran dengan menggunakan metode konvensional di kelas. Setelah perlakuan tersebut diadakan tes akhir (postes) untuk kedua kelompok penelitian dengan menggunakan soal-soal yang sama ketika dilakukan tes awal (pretest).

45 33 3. Tahap Akhir Penelitian Setelah kedua kelompok penelitian melaksanakan tes akhir (postest), langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data hasil tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest). Kedua kelompok penelitian dengan menggunakan analisis uji statistik dengan memanfaatkan hasil analisis statistik yang telah dilakukan. Penarikan kesimpulan merupakan langkah paling akhir dalam prosedur penelitian. G. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian diartikan sebagai alat yang dapat menunjang sejumlah data yang diasumsikan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menguji hipotesis penelitian. Sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan, penelitian ini menggunakan dua instrumen penelitian, yaitu: 1. Tes Hasil Belajar Tes hasil belajar, yaitu tes yang digunakan untuk mengukur sejauh mana siswa menguasai materi yang diberikan. Tes yang diberikan merupakan tes tertulis berbentuk pilihan ganda dengan empat pilihan (option) pada pokok bahasan unsur-unsur intrinsik yang meliputi jenjang pengetahuan (C 1 ), pemahaman (C ), aplikasi (C 3 ) dan analisis (C 4 ). Sebelum tes ini diujikan kepada siswa kelas X, tes ini terlebih dahulu diujicobakan di kelas XI untuk diketahui validitas dan reliabilitasnya.. Angket Angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain yang bersedia memberikan respon (responden) sesuai dengan permintaan pengguna. 7 Dalam penelitian ini angket digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan media tape recorder. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan instrumen penelitian ini adalah sebagai berikut : 7 Ridwan, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Penelitian Pamulang, (Bandung: Alfabeta, 005), hlm. 71

46 34 1. Menentukan konsep dan sub konsep berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk tingkat SMA/MAN. Membuat kisi-kisi instrumen penelitian 3. Membuat soal berdasarkan kisi-kisi 4. Instrumen yang telah dibuat kemudian dikonsultasikan ke dosen pembimbing 5. Melaksanakan uji coba instrumen H. Variabel Penelitian Dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian yaitu pengaruh pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan media tape recorder sebagai variabel bebas (variabel X) dan hasil belajar siswa sebagai variabel terikat (variabel Y). I. Teknik Analisis Data Setelah melakukan uji coba instrumen, selanjutnya dilakukan penelitian. Data yang diperoleh melalui instrumen penelitian selanjutnya diolah dan dianalisis dengan maksud agar hasilnya dapat menjawab pertanyaan penelitian dan menguji hipotesis. Dalam pengolahan dan penganalisisan data tersebut dalam statistik. Dalam penggunaan statistik untuk pengolahan data tersebut adalah: 1. Uji Hipotesis Hipotesis kognitif diuji dengan menggunakan uji t jika hasil uji normalitas normal. Kemudian diuji dengan rumus. 8 x1 x t (dk = n 1 + n -) 1 1 S n1 n 1 1 S n n n 1 S n 1 1 S 8 Sudjana, Metode Statistik, (Bandung: Tarsito, 006), hlm 39

47 35 Keterangan: X 1 : rerata skor kelompok eksperimen X : rerata skor kelompok kontrol n 1 : jumlah anggota sampel kelompok eksperimen n : jumlah anggota sampel kelompok kontrol S 1 : varians kelompok eksperimen S : varians kelompok kontrol S : nilai varians gabungan Langkah selanjutnya adalah sebagai berikut : a. Mengajukan hipotesis, yaitu 1) Uji kesamaan dua rata-rata hasil pretes H o : X = Y Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pretes kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol H a : X Y Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pretes kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol ) Uji kesamaan dua rata-rata hasil postes H o : X = Y Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor postes kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol H a : X Y Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor postes kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol b. Menghitung nilai t hitung dengan rumus uji-t c. Menentukan derajat kebebasan (dk) dengan rumus : dk = n 1 + n - d. Menentukan nilai t tabel dengan α = 0.05 e. Menguji hipotesis Jika : -t tabel < t hitung < t tabel maka H o diterima pada tingkat kepercayaan 0.95 Jika : t hitung -t tabel atau t tabel t hitung maka H a diterima pada tingkat kepercayaan 0.95

48 36

49 87 BAB IV HASIL PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Peneliti telah melakukan uji coba instrumen pada kelas XI SMA Negeri 1 Pakuhaji Tangerang dengan jumlah sampel penelitian 40 siswa dan 40 soal instrumen penelitian. Dari 40 soal instrumen penelitian diambil 0 soal instrumen penelitian berdasarkan analisis butir soal. Instrumen yang telah valid dijadikan sebagai instrumen dalam penelitian ini. Instrumen digunakan pada saat pretes dan postest. Penelitian yang diperoleh meliputi data nilai pretest dann posttest dari 60 siswa yang terdiri dari kelompok eksperimen sebanyak 30 siswa dan kelompok kontrol sebanyak 30 siswa. Data tersebut dianalisis dan dibahas sebagai upaya untuk mengetahui hasil belajar siswa pada pokok bahasan unsur-unsur intrinsik dengan menggunakan media tape recorder. Pengumpulan data hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan alat pengumpul data berupa tes objektif pilihan ganda yang terdiri dari 0 soal. Adapun deskripsi data dari hasil pretest dan posttest kelompok kontrol yakni kelompok siswa yang tidak mendapat perlakuan dan kelompok eksperimen (kelompok siswa yang diberi perlakuan berupa penggunaan media tape recorder) adalah sebagai berikut : 1. Deskripsi Data Hasil Pretest Kelompok Kontrol dan Eksperimen Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian mengenai tes awal hasil belajar Bahasa Indonesia kelompok kontrol dari 30 siswa dijadikan sample penelitian diperoleh nilai tertinggi 60 dan nilai terendah 5; nilai rata-rata sebesar 41,4; standar deviasi 8,69; dan varian sebesar 75,68. Sedangkan deskripsi hasil pretes pada kelompok eksperimen, dapat dilihat berdasarkan hasil pengolahan data pretes mengenai tes hasil belajar Bahasa Indonesia, dari 30 siswa dijadikan sample penelitian diperoleh nilai tertinggi 60 dan nilai terendah 5; nilai rata-rata sebesar 55,73; standar deviasi 10,5; dan varian sebesar 110,6. Untuk lebih jelasnya, deskripsi dari hasil 87

50 88 belajar pretes kelompok kontrol dan eksperimen dapat dilihat pada tabel dan histogren di bawah. Gambar 4.1. Histogram Distribusi Frekuensi Pretest Kelompok Kontrol dan Eksperimen Berdasarkan tabel yang terdapat pada lampiran dan grafik histogram di atas, terlihat bahwa skor pada interval merupakan skor paling banyak diperoleh siswa kelompok kontrol, yaitu sebanyak 6,7%. Skor rata-rata diperoleh kelompok kontrol yaitu 4. Siswa yang mendapat skor di atas ratarata sebanyak 66,6% yaitu siswa pada kelas interval nomor 3, 4, 5 dan 6. Siswa yang mendapat skor di bawah rata-rata sebanyak 6,7% yaitu siswa pada kelas interval nomor 1. a. Data skor pretes siswa kelas kontrol Distribusi Frekuensi a. Menentukan skor besar dan kecil Skor terbesar = 60 Skor terkecil = 5

BAB II LANDASAN TEORI. Berkaitan dengan pembahasan usulan skripsi yang berjudul Meningkatkan

BAB II LANDASAN TEORI. Berkaitan dengan pembahasan usulan skripsi yang berjudul Meningkatkan 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori Berkaitan dengan pembahasan usulan skripsi yang berjudul Meningkatkan Kemampuan Menyimak Cerita melalui Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS)

Lebih terperinci

KEMAMPUAN MENULIS CERPEN BERDASARKAN PENGALAMAN SISWA DI SMP NEGERI 17 KOTA JAMBI

KEMAMPUAN MENULIS CERPEN BERDASARKAN PENGALAMAN SISWA DI SMP NEGERI 17 KOTA JAMBI KEMAMPUAN MENULIS CERPEN BERDASARKAN PENGALAMAN SISWA DI SMP NEGERI 17 KOTA JAMBI Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai objeknya dan bahasa sebagai mediumnya. Menurut Esten (2000: 9), sastra merupakan pengungkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di sekitarnya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sering melaksanakan tugas-tugas menyimak, disertai kondisi fisik dan mental yang prima,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sering melaksanakan tugas-tugas menyimak, disertai kondisi fisik dan mental yang prima, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Kemampuan Kemampuan menyimak manusia sangat terbatas. Manusia yang sudah terlatih baik dan sering melaksanakan tugas-tugas menyimak, disertai kondisi fisik dan mental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. Hal ini tercermin dalam undang-undang nomor 20

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi, kecakapan dan karakteristik pribadi peserta didik. Kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. potensi, kecakapan dan karakteristik pribadi peserta didik. Kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kegiatan mengoptimalkan perkembangan potensi, kecakapan dan karakteristik pribadi peserta didik. Kegiatan pendidikan diarahkan kepada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Relevan Sebelumnya Dari beberapa penelusuran, tidak diperoleh kajian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang hampir sama adalah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling vital untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling vital untuk memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir-hampir tidak pernah dapat terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana untuk mengungkapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang berdasarkan aspek kebahasaan

Lebih terperinci

MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE TIPE SCRIPT SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENYIMAK DONGENG SISWA SMP

MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE TIPE SCRIPT SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENYIMAK DONGENG SISWA SMP MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE TIPE SCRIPT SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENYIMAK DONGENG SISWA SMP Heru Susanto, Eti Sunarsih Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP Singkawang,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN Pada bab ini akan diuraikan empat hal pokok yaitu: (1) kajian pustaka, (2) landasan teori, (3) kerangka berpikir, dan

Lebih terperinci

BAB 2 PEMBELAJARAN MENYIMAK DAN MEDIA AUDIO. Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian menyimak, tujuan

BAB 2 PEMBELAJARAN MENYIMAK DAN MEDIA AUDIO. Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian menyimak, tujuan BAB 2 PEMBELAJARAN MENYIMAK DAN MEDIA AUDIO 2.1 Keterampilan Menyimak Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian menyimak, tujuan menyimak, manfaat menyimak, ragam menyimak, faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Drama Sebagai Karya Fiksi Sastra sebagai salah satu cabang seni bacaan, tidak hanya cukup dianalisis dari segi kebahasaan, tetapi juga harus melalui studi khusus yang berhubungan

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian dan pernyataan yang

II. LANDASAN TEORI. dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian dan pernyataan yang II. LANDASAN TEORI 2.1.Kemampuan Mengapresiasi Cerpen 2.1.1 Pengertian Apresiasi Secara leksikal, appreciation apresiasi mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian

Lebih terperinci

Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Strategi Copy The Master Melalui Media Audio Visual pada Siswa Kelas IX-C SMPN 2 ToliToli

Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Strategi Copy The Master Melalui Media Audio Visual pada Siswa Kelas IX-C SMPN 2 ToliToli Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen dengan Strategi Copy The Master Melalui Media Audio Visual pada Siswa Kelas IX-C SMPN 2 ToliToli Mashura SMP Negeri 2 ToliToli, Kab. ToliToli, Sulteng ABSTRAK Strategi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori

BAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori BAB II LANDASAN TEORI Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori pendukungnya antara lain; hakekat pendekatan struktural, pangertian novel, tema, amanat, tokoh dan penokohan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide atau gagasan seorang pengarang. Kehidupan manusia dan pelbagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Citra Perempuan dalam Novel Hayuri karya Maria Etty, penelitian ini

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Citra Perempuan dalam Novel Hayuri karya Maria Etty, penelitian ini 12 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian Sejenis Penelitian lain yang membahas tentang Citra Perempuan adalah penelitian yang pertama dilakukan oleh Fitri Yuliastuti (2005) dalam penelitian yang berjudul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, keterampilan menulis selalu dibelajarkan. Hal ini disebabkan oleh menulis

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, keterampilan menulis selalu dibelajarkan. Hal ini disebabkan oleh menulis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keterampilan menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa dalam kegiatan pembelajaran. Bagi peserta didik yang sedang menuntut ilmu

Lebih terperinci

ANALISIS AMANAT DAN PENOKOHAN CERITA PENDEK PADA BUKU ANAK BERHATI SURGA KARYA MH. PUTRA SEBAGAI UPAYA PEMILIHAN BAHAN AJAR SASTRA DI SMA

ANALISIS AMANAT DAN PENOKOHAN CERITA PENDEK PADA BUKU ANAK BERHATI SURGA KARYA MH. PUTRA SEBAGAI UPAYA PEMILIHAN BAHAN AJAR SASTRA DI SMA ANALISIS AMANAT DAN PENOKOHAN CERITA PENDEK PADA BUKU ANAK BERHATI SURGA KARYA MH. PUTRA SEBAGAI UPAYA PEMILIHAN BAHAN AJAR SASTRA DI SMA oleh INEU NURAENI Inneu.nuraeni@yahoo.com Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilukiskan dalam bentuk tulisan. Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan

BAB I PENDAHULUAN. dilukiskan dalam bentuk tulisan. Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah ungkapan pribadi manusia. Ungkapan tersebut berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, semangat, dan keyakinan dalam suatu kehidupan, sehingga

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep. 1. Pengertian Novel. Novel atau sering disebut sebagai roman adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan problematika yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah mempertinggi kemahiran siswa dalam menggunakan bahasa meliputi kemahiran menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berkaitan erat dengan proses belajar mangajar. Seperti di sekolah tempat pelaksanaan pendidikan, peserta didik dan pendidik saling melaksanakan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena

BAB I PENDAHULUAN. tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Bahasa mempunyai fungsi intelektual,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata

BAB II LANDASAN TEORI. suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata BAB II LANDASAN TEORI Seperti yang telah disebutkan dalam bab pendahuluan bahwa sastra adalah suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata lain, kegiatan sastra itu merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

Oleh Sri Lestari Siregar Prof. Dr. Tiur Asi Siburian, M. Pd.

Oleh Sri Lestari Siregar Prof. Dr. Tiur Asi Siburian, M. Pd. 0 PENGARUH MODEL THINK TALK WRITE (TTW)TERHADAP KEMAMPUAN MENGANALISIS UNSUR-UNSUR INTRINSIK CERPEN OLEH SISWA KELAS XI SMK NEGERI 1 TANJUNG PURA TAHUN PEMBELAJARAN 2014/2015 Oleh Sri Lestari Siregar Prof.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan dan intelektual, sosial,

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan dan intelektual, sosial, 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan dan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua

Lebih terperinci

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom RAGAM TULISAN KREATIF C Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom HAKIKAT MENULIS Menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa. Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Siswa Kelas Unggulan di SMP Negeri 1 Gondang Tulungagung. berkaitan dengan indera pendengar, dimana pesan yang disampaikan

BAB V PEMBAHASAN. Siswa Kelas Unggulan di SMP Negeri 1 Gondang Tulungagung. berkaitan dengan indera pendengar, dimana pesan yang disampaikan BAB V PEMBAHASAN A. Keterampilan Guru Pendidikan Agama Islam dalam Menggunakan Media Pembelajaran Audio untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas Unggulan di SMP Negeri 1 Gondang Tulungagung. Dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup diperhitungkan karya-karyanya dan dianggap sebagai pengarang produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa Sansekerta yang berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi

BAB I PENDAHULUAN. bahasa Sansekerta yang berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah salah satu seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan kehidupan manusia subjeknya. Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta

Lebih terperinci

BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI

BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI Ma mur Saadie SASTRA GENRE SASTRA nonimajinatif - esai - kritik - biografi - otobiografi - sejarah - memoar - catatan harian Puisi imajinatif Prosa Fiksi Drama GENRE SASTRA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terpisahkan dalam seluruh proses pembelajaran di sekolah. Pembelajaran menulis

BAB I PENDAHULUAN. terpisahkan dalam seluruh proses pembelajaran di sekolah. Pembelajaran menulis 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa yang termasuk ke dalam ruang lingkup mata pelajaran bahasa indonesia dan tidak dapat terpisahkan

Lebih terperinci

intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang semuanya bersifat imajinatif. Novel adalah karya fiksi yang

intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang semuanya bersifat imajinatif. Novel adalah karya fiksi yang 1 PENDAHULUAN Karya sastra adalah salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide atau gagasan seorang pengarang. Kehidupan manusia dan berbagai masalah yang dihadapinya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Membaca 2.1.1 Pengertian Membaca Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan dalam pembelajaran berpengaruh pada tingkat pencapaian hasil belajar. Hasil belajar yang dicapai tentu harus melalui proses pembelajaran secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar, yaitu keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan berbicara

BAB I PENDAHULUAN. dasar, yaitu keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan berbicara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterampilan berbahasa (language skills) meliputi empat keterampilan dasar, yaitu keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan berbicara (speaking

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan

BAB II LANDASAN TEORI. Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Menyimak Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apersepsi serta interpretasi untuk memperoleh informasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dalam meningkatkan hal tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dalam meningkatkan hal tersebut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN GURU KELAS SD

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN GURU KELAS SD SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN GURU KELAS SD BAB III KETERAMPILAN BERBAHASA INDONESIA Dra.Hj.Rosdiah Salam, M.Pd. Dra.Andi Nurfaizah, M.Pd. Drs. Latri S, S.Pd., M.Pd.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan bahan acuan yang dipakai dalam penelitian sekaligus sebagai sumber ide untuk menggali pemikiran dan gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat terlepas dari kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat terlepas dari kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat terlepas dari kegiatan berkomunikasi, karena untuk mencapai segala tujuanya, manusia memerlukan sebuah alat atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang disediakan lembaga untuk peserta didik. Kurikulum pendidikan sudah beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. global. Salah satu komponen penting dari sistem pendidikan tersebut adalah kurikulum,

BAB I PENDAHULUAN. global. Salah satu komponen penting dari sistem pendidikan tersebut adalah kurikulum, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem pendidikan nasional senantiasa harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi baik ditingkat lokal, nasional, maupun global.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan bahwa sastra adalah institusi sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan bahwa sastra adalah institusi sosial BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah 1.1.1. Latar Belakang Sastra 1 merupakan curahan hati manusia berupa pengalaman atau pikiran tentang suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan

Lebih terperinci

BAB 2 IHWAL MENULIS, CERITA PENDEK, DAN TEKNIK BERBAGI PENGALAMAN. Menulis sebagai salah satu cara bagi seseorang untuk menyampaikan

BAB 2 IHWAL MENULIS, CERITA PENDEK, DAN TEKNIK BERBAGI PENGALAMAN. Menulis sebagai salah satu cara bagi seseorang untuk menyampaikan BAB 2 IHWAL MENULIS, CERITA PENDEK, DAN TEKNIK BERBAGI PENGALAMAN 2.1 Menulis 2.1.1 Pengertian menulis Menulis sebagai salah satu cara bagi seseorang untuk menyampaikan pesannya kepada orang lain. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk mengikuti perkembangan zaman. Pembelajaran memiliki peran serta mendidik siswa agar menjadi manusia

Lebih terperinci

PENGGUNAAN MODEL COOPERATIVE SCRIPT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENYIMAK SISWA KELAS V SDN BULAK 1 BENDO MAGETAN. Cerianing Putri Pratiwi 1

PENGGUNAAN MODEL COOPERATIVE SCRIPT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENYIMAK SISWA KELAS V SDN BULAK 1 BENDO MAGETAN. Cerianing Putri Pratiwi 1 PENGGUNAAN MODEL COOPERATIVE SCRIPT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENYIMAK SISWA KELAS V SDN BULAK 1 BENDO MAGETAN Cerianing Putri Pratiwi 1 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk (1) meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Hasil Penelitian yang Relevan. Penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini adalah Pengaruh

BAB II KAJIAN TEORI. A. Hasil Penelitian yang Relevan. Penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini adalah Pengaruh 5 BAB II KAJIAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini adalah Pengaruh Media Pembelajaran Film Dokumenter terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas XI

Lebih terperinci

MENU UTAMA UNSUR PROSA FIKSI PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN

MENU UTAMA UNSUR PROSA FIKSI PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN ENCEP KUSUMAH MENU UTAMA PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN UNSUR PROSA FIKSI CERPEN NOVELET NOVEL GENRE SASTRA SASTRA nonimajinatif Puisi - esai - kritik - biografi - otobiografi - sejarah - memoar - catatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan gaya penulisan. Menulis merupakan suatu kemampuan berbahasa yang

BAB I PENDAHULUAN. dan gaya penulisan. Menulis merupakan suatu kemampuan berbahasa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, terdapat empat aspek kebahasaan yang harus dikuasai siswa, yaitu kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kemampuan Menurut Moeliono (2002:701) kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Selanjutnya Menurut Moenir (2001:16) kemampuan berasal dari kata dasar mampu yang jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang penting dan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang penting dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran bahasa merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan manusia. Kemampuan berbahasa seseorang dapat menunjukkan kepribadian serta pemikirannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan seni yang bermediumkan bahasa dan dalam proses terciptanya melalui intensif, selektif, dan subjektif. Penciptaan suatu karya sastra bermula

Lebih terperinci

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS CERPEN MELALUI PENGGUNAAN MEDIA AUDIOVISUAL TAYANGAN TELEVISI CERMIN KEHIDUPAN TRANS 7

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS CERPEN MELALUI PENGGUNAAN MEDIA AUDIOVISUAL TAYANGAN TELEVISI CERMIN KEHIDUPAN TRANS 7 Oleh Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Galuh ABSTRAK Kenyataannya di SMK Farmasi Bakti Kencana Banjar beberapa siswa diantaranya kurang mampu menggunakan imajinasi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tidak terlepas dari kehidupan masyarakat karena dalam karya

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tidak terlepas dari kehidupan masyarakat karena dalam karya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Karya sastra tidak terlepas dari kehidupan masyarakat karena dalam karya sastra terdapat kenyataan yang dialami oleh masyarakat itu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hasil Belajar Apresiasi Puisi 1. Definisi Belajar Pengertian belajar menurut Dimyati dkk (2002 : 5), menyebutkan bahwa belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran menjadi salah satu kegiatan yang bernilai edukatif, hal ini terjadi karena adanya interaksi antara guru dan siswa. Interaksi yang dilakukan mengharapkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa menduduki fungsi utama sebagai alat komunikasi dalam kehidupan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa menduduki fungsi utama sebagai alat komunikasi dalam kehidupan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa menduduki fungsi utama sebagai alat komunikasi dalam kehidupan. Bahasa merupakan struktur bentuk dan makna yang dapat dijadikan sebagai media untuk menyesuaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan seni dan karya yang sangat berhubungan erat dengan ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka karya sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa dan merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa dan merupakan suatu kegiatan yang mempunyai hubungan dengan proses berpikir, serta keterampilan ekspresi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan material meliputi kebutuhan pokok, sekunder dan tersier.

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan material meliputi kebutuhan pokok, sekunder dan tersier. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan umat manusia tidak lepas dari kebutuhan material dan nonmaterial. Kebutuhan material meliputi kebutuhan pokok, sekunder dan tersier. Sedangkan dalam

Lebih terperinci

32. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA)

32. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA) 32. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta

Lebih terperinci

Fakultas Pendidikan Islam dan Keguruan Universitas Garut

Fakultas Pendidikan Islam dan Keguruan Universitas Garut Fakultas Pendidikan Islam dan Keguruan Universitas Garut ISSN: 1907-932X PENGARUH PENGGUNAAN METODE BERCERITA TERHADAP KEMAMPUAN MENYIMAK SISWA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA (Deskriptif Analisis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Kegiatan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Kegiatan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis dan Hipotesis Tindakan a. Landasan Teoritis 1. Kegiatan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Dalam setiap kegiatan belajar memiliki suatu tujuan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soemardjo dan Saini K.M (1991:2) sastra merupakan karya fiktif

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soemardjo dan Saini K.M (1991:2) sastra merupakan karya fiktif BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Soemardjo dan Saini K.M (1991:2) sastra merupakan karya fiktif yang dibuat berdasarkan imajinasi dunia lain dan dunia nyata sangat berbeda tetapi saling terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

MEDIA GAMBAR SEBAGAI ALAT BANTU PEMBELAJARAN APRESIASI PUISI PADA SISWA SEKOLAH DASAR Oleh: Arif Mustofa*

MEDIA GAMBAR SEBAGAI ALAT BANTU PEMBELAJARAN APRESIASI PUISI PADA SISWA SEKOLAH DASAR Oleh: Arif Mustofa* MEDIA GAMBAR SEBAGAI ALAT BANTU PEMBELAJARAN APRESIASI PUISI PADA SISWA SEKOLAH DASAR Oleh: Arif Mustofa* Abstrak Selama ini, pembelajaran apresiasi puisi sering menjadi momok yang menakutkan bagi siswa.

Lebih terperinci

89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa

89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa 89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa A. Latar Belakang Mata pelajaran Sastra Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran sastra

Lebih terperinci

HUBUNGAN KETERAMPILAN MEMBACA APRESIATIF DENGAN KETERAMPILAN MENULIS CERPEN SISWA KELAS X SMA PEMBANGUNAN LABOLATORIUM UNP

HUBUNGAN KETERAMPILAN MEMBACA APRESIATIF DENGAN KETERAMPILAN MENULIS CERPEN SISWA KELAS X SMA PEMBANGUNAN LABOLATORIUM UNP HUBUNGAN KETERAMPILAN MEMBACA APRESIATIF DENGAN KETERAMPILAN MENULIS CERPEN SISWA KELAS X SMA PEMBANGUNAN LABOLATORIUM UNP Oleh: Ella 1, Harris Effendi Thahar 2, Afnita 3 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. untuk memperoleh kesan-kesan yang dikehendaki, yang disampaikan penulis

II. LANDASAN TEORI. untuk memperoleh kesan-kesan yang dikehendaki, yang disampaikan penulis II. LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Membaca Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh seseorang untuk memperoleh kesan-kesan yang dikehendaki, yang disampaikan penulis melalui media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. berarti berbuat, to act atau to do (Morris dalam taringan, 2000:69). Drama dapat

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. berarti berbuat, to act atau to do (Morris dalam taringan, 2000:69). Drama dapat BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Drama Kata drama berasal dari bahasa Greek, tegasnya dan kata kerja Dran yang berarti berbuat, to act atau to do (Morris dalam taringan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukan kajian pustaka. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah

Lebih terperinci

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK BERITA DENGAN METODE DRILLPADA PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP NEGERI 1KALIBAWANG TAHUN PEMBELAJARAN 2013/2014

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK BERITA DENGAN METODE DRILLPADA PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP NEGERI 1KALIBAWANG TAHUN PEMBELAJARAN 2013/2014 PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK BERITA DENGAN METODE DRILLPADA PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP NEGERI 1KALIBAWANG TAHUN PEMBELAJARAN 2013/2014 Oleh: Rizky Adhya Herfianto Program Studi Pendidikan Bahasa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembelajaran sastra di sekolah kini tampak semakin melesu dan kurang diminati oleh siswa. Hal ini terlihat dari respon siswa yang cenderung tidak antusias saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan pembangunan dan peningkatan sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia dapat dilakukan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI Pada bab ini penulis akan memaparkan beberapa penelitian sebelumnya,konsep dan landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama-tama penulis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian yang relevan dengan penelitian tentang novel Bumi Cinta karya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian yang relevan dengan penelitian tentang novel Bumi Cinta karya 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Yang Relevan Kajian yang relevan dengan penelitian tentang novel Bumi Cinta karya Habiburrahman El Shirazy sesuai dengan tinjauan terhadap penelitian sebelumnya yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 1). Pembelajaran menurut Sugandi (2006: 9) adalah seperangkat peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 1). Pembelajaran menurut Sugandi (2006: 9) adalah seperangkat peristiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran bisa diartikan sebagai sebuah proses kegiatan pelaksanaan kurikulum suatu lembaga pendidikan yang telah ditetapkan (Sudjana, 2001: 1). Pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan kebudayaan sangat erat. Oleh sebab itu, sebagian besar objek karya

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan kebudayaan sangat erat. Oleh sebab itu, sebagian besar objek karya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu bentuk institusi sosial dan hasil pekerjaan seni kreatif dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Hubungan antara sastra, masyarakat

Lebih terperinci

Kata Kunci: menulis, cerpen, metode kuantum

Kata Kunci: menulis, cerpen, metode kuantum PENINGKATAN MINAT MENULIS CERPEN BERDASARKAN PENGALAMAN PRIBADI DENGAN METODE KUANTUM PADA SISWA KELAS IX B SMP NEGERI 2 SUMBERLAWANG SEMESTER 1 TAHUN PELAJARAN 2015 / 2016 Anies Khusnul Varia 1) 1) SMP

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Sekolah : SMA SMA Negeri 1 Wonogiri Mata Pelajaran/Tema : Bahasa Indonesia/ Kelas/Semester Waktu : XI / Ganjil : 1 x Pertemuan (2 x 45 menit) Hari : Kamis, 23 Desember

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 9 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti terlebih dahulu meninjau penelitian sebelumnya. Peninjauan pada penelitian lain sangat penting dilakukan. Hal ini

Lebih terperinci

Buku Teks Bahasa Indoneia Siswa Kelas VII SMP Negeri 11 Kota Jambi. Oleh Susi Fitria A1B1O0076

Buku Teks Bahasa Indoneia Siswa Kelas VII SMP Negeri 11 Kota Jambi. Oleh Susi Fitria A1B1O0076 Kemampuan Siswa menentuan Tokoh, Karekter Tokoh, dan Latar Cerpen Pada Buku Teks Bahasa Indoneia Siswa Kelas VII SMP Negeri 11 Kota Jambi Oleh Susi Fitria A1B1O0076 Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh

Lebih terperinci

PENGARUH METODE BERCERITA TERHADAP KEMAMPUAN MENYIMAK ANAK USIA 4-5 TAHUNDI TK

PENGARUH METODE BERCERITA TERHADAP KEMAMPUAN MENYIMAK ANAK USIA 4-5 TAHUNDI TK PENGARUH METODE BERCERITA TERHADAP KEMAMPUAN MENYIMAK ANAK USIA 4-5 TAHUNDI TK. NEGERI PEMBINA KI HADJAR DEWANTORO KECAMATAN KOTA SELATAN KOTA GORONTALO ERTIWI MAMONTO Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan

Lebih terperinci

PENULISAN KARANGAN FIKSI * Oleh: ASHADI SIREGAR

PENULISAN KARANGAN FIKSI * Oleh: ASHADI SIREGAR PENULISAN KARANGAN FIKSI * Oleh: ASHADI SIREGAR 1. ASAS-ASAS KARANGAN FIKSI 1.1. Karangan fiksi, karangan khayali, karangan imajiner; yaitu karangan yang berasal dari dunia subyektif seseorang, atau ekspresi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari bahasa. Bahasa merupakan sarana untuk berkomunikasi antarsesama manusia. Bahasa sebagai sarana komunikasi dapat berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dikatakan Horatio (Noor, 2009: 14), adalah dulce et utile

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dikatakan Horatio (Noor, 2009: 14), adalah dulce et utile BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan struktur dunia rekaan, artinya realitas dalam karya sastra adalah realitas rekaan yang tidak sama dengan realitas dunia nyata. Karya sastra itu

Lebih terperinci

34. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunarungu (SMALB B)

34. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunarungu (SMALB B) 279 34. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunarungu (SMALB B) A. Latar Belakang Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional

Lebih terperinci

2015 PENERAPAN TEKNIK MENULIS BERANTAI DALAM PEMBELAJARAN MENULIS TEKS ULASAN FILM ATAU DRAMA

2015 PENERAPAN TEKNIK MENULIS BERANTAI DALAM PEMBELAJARAN MENULIS TEKS ULASAN FILM ATAU DRAMA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menulis adalah kegiatan pembelajaran yang mengedepankan proses dan hasil. Menulis merupakan suatu keterampilan yang kompleks dan unik yang menuntut sejumlah

Lebih terperinci