BAB II LANDASAN TEORI. sekitarnya. Dalam keadaan ini, enzim-enzim polimorfonuklear secara

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. sekitarnya. Dalam keadaan ini, enzim-enzim polimorfonuklear secara"

Transkripsi

1 digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Nanah Infeksi bakteri sering menyebabkan konsentrasi polimorfonuklear yang sangat tinggi yang tertimbun di dalam jaringan, dan banyak sel-sel ini mati serta membebaskan enzim-enzim hidrolitiknya yang kuat ke sekitarnya. Dalam keadaan ini, enzim-enzim polimorfonuklear secara harafiah mencerna jaringan di bawahnya dan mencairkannya. Kombinasi agregasi neutrofil dan pencairan jaringan-jaringan di bawahnya ini disebut supurasi, dan dengan demikian eksudat yang terbentuk disebut eksudat supuratif, atau lebih sering disebut nanah atau pus. Jika terjadi supurasi lokal di dalam jaringan padat, lesi yang diakibatkan disebut abses. Abses adalah sebuah lubang berisi nanah yang terdapat di dalam jaringan yang terkena. Abses merupakan lesi yang sulit diatasi oleh tubuh karena kecenderungannya untuk membesar dengan pencairan jaringan yang lebih luas, membentuk lubang dan resistensi terhadap penyembuhan. Penanganan abses oleh tubuh sangat dibantu oleh proses pengaliran keluar abses secara pembedahan, sehingga memungkinkan ruangan tertutup yang sebelumnya terisi nanah akan mengecil dan sembuh. Jika abses pecah pada permukaan dan menimbulkan saluran keluar yang berakhir begitu saja dalam ruang abses maka saluran buntu ini 4

2 digilib.uns.ac.id 5 disebut sinus. Sebaliknya, jika abses meluas ke dua permukaan yang terpisah, maka dapat menimbulkan saluran abnormal yang menghubungkan dua organ atau menghubungkan lumen organ berongga dan permukaan tubuh disebut fistula (Price dan Wilson, 2006). a. Spesimen nanah Salah satu hal yang umum diobservasi pada proses penyakit infeksi yaitu produksi dari nanah yang merupakan hasil dari invasi bakteri pada kavitas, jaringan atau organ tubuh. Dikarenakan posisi anatomis produksi nanah bervariasi, sehingga organisme yang berperan dalam terjadinya infeksi pun bervariasi. Semua bakteri yang merupakan flora normal memiliki peran dalam pembentukan nanah. Beberapa jamur, terutama jamur yang dapat bermultiplikasi pada jaringan tubuh, juga berperan dalam pembentukan nanah. Tetapi, produksi nanah jarang ditemukan pada infeksi virus (WHO, 2003). 1) Etiologi spesimen a) Luka bedah Spesimen yang didapat ketika dilakukan tindakan operasi dapat didapat dengan mengaspirasi abses lokal atau dengan prosedur operatif lain. Operator sebaiknya mendapatkan sampel dari jaringan yang representatif dan apabila ada eksudat yang purulen. Apabila memungkinkan, jangan menggunakan kapas steril. Spesimen diambil menggunakan spuit dan jarum. Apabila

3 digilib.uns.ac.id 6 kapas steril diperlukan, ambil sebanyak mungkin nanah yang ada dan disimpan pada kontainer steril. b) Luka tusuk Lesi yang disebabkan oleh tusukan yang merusak kulit mengandung berbagai mikroorganisme yang mana merupakan bagian dari flora normal kulit atau flora normal dari tanah dan air. Luka tusuk yang merusak sampai pada usus akan menyebabkan kerusakan yang lebih fatal karena flora usus dapat berkontribusi terjadinya infeksi pada luka dan kavitas peritoneal. c) Luka infeksi nosokomial Infeksi terkait rumah sakit diketahui lebih sering terjadi di bagian bedah. Angka kejadian infeksi luka pascaoperasi bervariasi dari satu rumah sakit dengan rumah sakit lain, dan kejadian tertinggi merupakan pasien dengan operasi bagian perut, dada atau ortopedi. Infeksi luka bedah dapat terjadi setelah pembedahan atau beberapa hari setelahnya. Staphylococcus aureus merupakan bakteri terbanyak yang ditemukan pada infeksi ini, diikuti oleh Eschericia coli (WHO, 2003). 2) Pengumpulan spesimen a) Prinsip pengumpulan spesimen Untuk mendapatkan sampel yang tepat maka diperlukan prinsip dasar dari pengumpulan spesimen mikrobiologis, yaitu:

4 digilib.uns.ac.id 7 (1) Apabila memungkinkan, spesimen diambil saat fase akut dari infeksi dan sebelum diberi antibiotik (2) Pilih tempat pengambilan sampel yang tepat sesuai dengan spesimen yang diambil (3) Kumpulkan spesimen menggunakan teknik yang tepat dan seminimal mungkin hindari kontaminasi dari flora normal (4) Kumpulkan jumlah spesimen yang dibutuhkan dengan tepat (5) Simpan spesimen pada kontainer yang didesain untuk menjaga viabilitas dari organisme dan menghindarkan dari kebocoran yang akan merusak spesimen (6) Beri label pada spesimen dengan tepat sesuai dengan tempat diambilnya sampel dan identitas pasien (7) Kirim spesimen ke laboratorium sesegera mungkin atau simpan spesimen pada lingkungan yang tidak akan mempengaruhi keberadaan spesimen b) Prosedur pengambilan sampel Spesimen untuk kultur mikrobiologi sebaiknya dikumpulkan pada kontainer yang steril, kecuali spesimen feces, yang dapat dikumpulkan pada kontainer yang bersih dan antibocor. Penggunaan lidi steril tidak direkomendasikan untuk pengumpulan spesimen dikarenakan tidak dapat mengumpulkan jumlah kuantitas yang cukup, mudah terkontaminasi, mudah

5 digilib.uns.ac.id 8 untuk mengering dan menyebabkan berkurangnya organisme. Lidi steril lebih tepat untuk spesimen yang berasal dari saluran pernapasan atas, bagian luar telinga, mata dan traktus genital. Ujung dari lidi steril mengandung kapas, dacron atau kalsium alginat. Ujung lidi yang mengandung kapas memiliki asam lemak berlebihan, yang bersifat toksik pada beberapa bakteri. Lidi dengan ujung dacron dan polyester memiliki penggunaan yang luas. Pengumpulan spesimen menggunakan lidi steril lebih tepat pada spesimen yang butuh media transpor dan melindungi spesimen mengering. Adanya lesi, luka dan abses menjadi permasalahan pada laboratorium mikrobiologi. Istilah luka tidak diperbolehkan pada label spesimen, tetapi harus ditulis posisi anatomis tempat pengambilan spesimen. Spesimen yang diambil dari lesi seharusnya diambil dengan menggunakan aspirasi jarum daripada menggunakan lidi steril. Sebelum spesimen diambil, bersihkan terlebih dahulu untuk menghilangkan flora komensal (Mahon et al., 2011). (1) Abses Teknik untuk mengumpulkan nanah dan bagian-bagian dari dinding abses yaitu menggunakan prosedur operatif. Spuit dan jarum dibutuhkan untuk mengaspirasi sebanyak mungkin nanah, yang kemudian secara aseptik diletakkan

6 digilib.uns.ac.id 9 pada kontainer spesimen steril. Apabila kontainer steril tidak ada, spesimen tersebut harus disimpan di dalam spuit dengan jarum yang tertutup, dan spuit tersebut sebagai kontainer untuk dibawa ke laboratorium. Spesimen harus segera diproses di laboratorium. Lidi steril dapat juga digunakan untuk mengumpulkan jumlah yang kecil dari nanah, atau nanah yang berasal dari bagian tubuh khusus, seperti mata. Ketika bagian dari jaringan dibutuhkan dari dinding abses, maka laborat seharusnya memipis jaringan tersebut, menggunakan sejumlah kecil dari kaldu steril sebagai pelarut, atau melunakkan jaringan menjadi bagian-bagian kecil menggunakan gunting steril. (2) Laserasi, luka tusuk, luka pascaoperasi, luka bakar dan ulkus dekubitus Setelah laborat membersihkan daerah yang akan diambil untuk spesimen, operator harus melihat ke dalam permukaan pada nanah yang telah terkumpul, jaringan yang rusak, krepitasi atau tanda-tanda abnormal yang lain. Bagian dari jaringan yang berperan dalam tanda-tanda tersebut sebaiknya tidak digunakan dalam kultur dan diletakkan pada tempat yang steril untuk diproses. Nanah atau eksudat lain sebaiknya dikumpulkan dan disimpan

7 digilib.uns.ac.id 10 pada tabung steril secara hati-hati. Apusan bisa digunakan apabila penting. (3) Sinus atau drainase limfonodi Ketika sebuah sinus atau drainase limfonodi menunjukkan tanda-tanda drainase spontan, materi drainase harus dikumpulkan dengan hati-hati menggunakan pipet Pasteur dan disimpan pada tabung steril. Apabila discharge tidak ada, operator sebaiknya mengambil material yang purulen dengan spuit steril dan jarum. Sekali lagi, lidi steril hanya digunakan apabila pipet Pasteur tidak ada. (4) Eksudat Akumulasi cairan yang abnormal di dalam kavitas tubuh seperti pleura, sendi atau lapisan peritoneal membutuhkan prosedur operatif untuk mengaspirasi spesimen ke dalam kontainer steril untuk dibawa ke laboratorium mikrobiologi atau sitologi (WHO, 2003). b. Pengawetan, penyimpanan dan transpor spesimen Transpor spesimen merupakan komponen penting dari proses preanalisis uji mikrobiologi. Tujuan utama dari transpor spesimen ke laboratorium adalah untuk mengatur keadaan spesimen tersebut seperti keadaan asli. Idealnya spesimen dikirim ke laboratorium dalam 30 menit setelah pengambilan spesimen, maksimal 2 jam. Apabila

8 digilib.uns.ac.id 11 transpor spesimen ke laboratorium tertunda, atau apabila spesimen tidak diproses segera setelah diterima laboratorium, maka spesimen dapat diatur dengan penyimpanan secara spesifik dengan penggunaan bahan pengawet, antikoagulan, media transpor dan media kultur. Beberapa spesimen yang tidak segera dikirim atau diproses dapat diatur dengan disimpan di kondisi lingkungan yang spesifik. Beberapa spesimen seperti urin, feces, sputum, apusan (bukan anaerob), alat medis seperti kateter, dan spesimen virus dapat diatur pada temperatur lemari pendingin (4 C) dalam 24 jam. Patogen yang sensitif pada dingin harus disimpan pada temperatur ruang. Cairan serebrospinal dapat disimpan pada inkubator dengan suhu 35 C dalam waktu 6 jam (Mahon et al., 2011). 2. Staphylococcus aureus a. Morfologi dan identifikasi 1) Ciri-ciri organisme S. aureus adalah bakteri berbentuk bulat, bersifat gram positif, biasanya tersusun dalam rangkaian tidak beraturan seperti buah anggur. Beberapa diantaranya tergolong flora normal pada kulit dan selaput mukosa manusia, menyebabkan penanahan, abses, berbagai infeksi piogen dan bahkan septikemia yang fatal. S. aureus mengandung polisakarida dan protein yang berfungsi sebagai antigen dan merupakan substansi penting di dalam struktur

9 digilib.uns.ac.id 12 dinding sel, tidak membentuk spora dan tidak membentuk flagel (Brooks et al., 2013). 2) Epidemiologi Habitat utama dari S. aureus adalah pada hidung. Selain di hidung, kolonisasi S. aureus ditemukan di aksila, vagina, faring dan permukaan kulit (Mahon et al., 2011). Diperkirakan 10-40% pada manusia sehat terdapat koloni S. aureus di dalam hidung (Freeman- Cook dan Freeman Cook, 2005). 3) Sifat kultur S. aureus tumbuh dengan baik pada berbagai media bakteriologik dibawah suasana aerobik atau mikroaerofilik. Tumbuh dengan cepat pada temperatur 37 C namun pembentukan pigmen yang terbaik adalah pada temperatur kamar (20-35 C). Koloni pada media yang padat akan berbentuk bulat, halus, menonjol dan berkilau-kilau membentuk berbagai pigmen berwarna kuning keemasan (Brooks et al., 2013). 4) Sifat-sifat pertumbuhan S. aureus menghasilkan katalase, yang membedakannya dengan kelompok bakteri streptokokus. Bakteri ini meragikan banyak karbohidrat dengan lambat, menghasilkan asam laktat tetapi tidak menghasilkan gas. Bakteri ini relatif resisten terhadap pengeringan dan panas (Brooks et al., 2013). Apabila kondisi untuk tumbuh tidak mendukung, S. aureus dapat bertahan selama

10 digilib.uns.ac.id 13 beberapa tahun dalam masa dorman, yaitu menjadi tidak aktif dan menunggu waktu yang tepat untuk tumbuh. Kemudian, bakteri ini dapat tumbuh kembali ketika kondisi sudah mendukung (Freeman- Cook dan Freeman-Cook, 2005). b. Faktor virulensi Patogenisitas dari S. aureus meliputi berbagai faktor virulensi yaitu enterotoksin, toksin sitolitik dan komponen seluler seperti protein A. Beberapa toksin sitolitik dan toksin eksfoliatif telah teridentifikasi. Namun, faktor virulensi tersebut membuat S. aureus bersifat resisten dan menjadi mikroorganisme patogen. 1) Enterotoksin Enterotoksin pada stafilokokus merupakan enterotoksin yang stabil terhadap panas yang menyebabkan berbagai gejala seperti diare dan mual muntah. Secara serologis enterotoksin dibedakan menjadi enterotoksin grup A sampai E dan G sampai J. Toksintoksin ini memproduksi 30%-50% dari isolat S. aureus. Karena enterotoksin stabil terhadap suhu 100 C dalam 30 menit, makanan yang terkontaminasi S. aureus apabila dipanaskan tidak akan mencegah penularan. Keracunan makanan karena S. aureus pada umumnya disebabkan oleh enterotoksin A, B dan D. Enterotoksin B dan C dan terkadang G dan I berhubungan dengan sindrom syok toksik. Enterotoksin B juga berhubungan dengan pseudomembran

11 digilib.uns.ac.id 14 enterokolitis stafilokokus. Toksin-toksin ini, bersama dengan toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1), yang merupakan superantigen yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan sel T, mengaktifkan respon imun (Mahon et al., 2011). 2) Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) menyebabkan hampir semua kasus yang berhubungan dengan sindrom syok toksik. TSST-1 merupakan superantigen yang menstimulasi proliferasi dari sel T dan produksi yang berlebihan oleh sitokin yang menyebabkan munculnya gejala. Pada konsentrasi yang rendah, TSST-1 menyebabkan kebocoran sel endotel dan pada konsentrasi yang tinggi, toksin ini bersifat sitotoksik pada sel. 3) Toksin eksfoliatif Toksin eksfoliatif diproduksi oleh fage grup II, toksin ini juga disebut toksin epidermolitik. Toksin ini menyebabkan lapisan epidermis kulit mengelupas dan dikenal sebagai penyebab sindrom kulit lepuh stafilokokus, terkadang disebut penyakit Ritter. Toksin ini juga menyebabkan impetigo bulosa. 4) Toksin sitolitik S. aureus memproduksi protein ekstraseluler lain yang mempengaruhi sel darah merah dan leukosit. Hemolisin dan leukosidin merupakan toksin sitolitik dari S. aureus. S. aureus memproduksi empat tipe hemolisin: alfa, beta, gamma dan delta.

12 digilib.uns.ac.id 15 Hemolisin α, yang akan melisiskan eritrosit, mampu merusak trombosit dan makrofag dan menyebabkan kerusakan jaringan. Hemolisin β berperan pada spingomielin di membran plasma eritrosit. Aktivitas hemolisin β terjadi pada fase inkubasi pada temperatur 37 C dan pada temperatur 4 C. Hemolisin δ merupakan toksin sitolitik dengan konsentrasi tertinggi pada S. aureus dan kelompok stafilokokus koagulase negatif, dikatakan kurang toksik pada struktur sel dibandingkan dengan hemolisin α dan hemolisin β. Hemolisin γ terkadang hanya ditemukan pada Panton-Valentine leukocidin (PVL). Leukosidin stafilokokus, PVL, merupakan eksotoksin yang mematikan terhadap leukosit polimorfonuklear. Toksin ini berhubungan dengan sifat invasif dari mikroorganisme dengan menekan fagositosis dan berhubungan dengan infeksi kulit dan pneumonia. 5) Enzim Stafilokoagulase hanya diproduksi oleh S. aureus. Walaupun peran dari koagulase pada patogenisitas kurang jelas, tetapi dikatakan sifat ini merupakan tanda virulensi. Banyak strain dari S. aureus menghasilkan hialuronidase. Enzim ini menghidrolisis asam hialuronat yang ada pada substansi intraseluler pada jaringan ikat, menyebarkan infeksi bakteri. Lipase diproduksi baik pada stafilokokus koagulase positif dan negatif. Lipase berperan pada

13 digilib.uns.ac.id 16 lemak yang ada pada permukaan kulit, lebih khusus lagi pada kelenjar minyak. Protease, lipase dan hialuronidase mampu menghancurkan jaringan dan berperan dalam penyebaran infeksi pada jaringan. Protein A merupakan salah satu dari komponen seluler yang telah diidentifikasi terdapat pada dinding sel S. aureus. Kemungkinan peran penting dari protein A terhadap terjadinya infeksi disebabkan karena S. aureus dan kemampuan dari protein A untuk berikatan dengan porsi Fc pada imunoglobulin G (IgG). Ikatan ini menetralkan IgG dan dapat menahan terjadinya fagositosis (Mahon et al., 2011). c. Infeksi Staphylococcus aureus Infeksi S. aureus dipengaruhi oleh virulensi dari strain bakteri, ukuran inokulum dan sistem imun inang. Infeksi terjadi dimulai dari rusaknya kulit atau pelindung mukosa yang menyebabkan jalan masuk untuk bakteri ke jaringan lemak atau aliran darah. Individu dengan mekanisme pertahanan tubuh yang normal akan lebih mudah untuk melawan infeksi ini dibandingkan dengan yang mengalami defisiensi imun. Ketika mikroorganisme telah memasuki sistem pertahanan tubuh, hal ini akan mengaktifkan respon inflamasi dari inang, yang menyebabkan proliferasi dan aktivasi dari sel polimorfonuklear.

14 digilib.uns.ac.id 17 1) Infeksi kulit dan luka Infeksi yang disebabkan oleh S. aureus bersifat supuratif. Abses terisi oleh nanah dan dikelilingi oleh jaringan nekrotik dan leukosit yang mengalami kerusakan. Beberapa dari infeksi kulit yang disebabkan S. aureus seperti folikulitis, furunkel, karbunkel dan impetigo bulosa. Infeksi ini biasa terjadi karena hasil dari perlukaan kulit yang sudah terjadi sebelumnya, seperti luka bakar, luka gores dan luka bedah. Folikulitis merupakan inflamasi folikel rambut atau kelenjar minyak yang ringan, daerah yang terinfeksi membengkak dan berwarna merah. Furunkel, yang mana infeksi lanjut dari folikulitis berukuran lebih besar, bengkak, dan berbentuk abses. Karbunkel merupakan infeksi lanjut dari furunkel dan mengenai jaringan yang lebih dalam. Tidak seperti furunkel, pasien karbunkel terkadang mengalami demam, indikasi bahwa bakteri telah menyerang secara sistemik. Impetigo bulosa yang disebabkan oleh S. aureus berbeda dengan impetigo nonbulosa streptokokus. Pada infeksi S. aureus, pustula lebih besar dan dikelilingi oleh daerah kecil eritem. Impetigo bulosa sangat mudah menular melalui kontak langsung maupun inokulasi. 2) Sindrom kulit lepuh Sindrom kulit lepuh atau penyakit Ritter, merupakan dermatitis eksfoliatif yang terjadi pada bayi baru lahir dan anak-anak. Sindrom ini disebabkan oleh toksin eksfoliatif yang diproduksi oleh

15 digilib.uns.ac.id 18 faga S. aureus grup II. Penyakit ini juga terjadi pada orang dewasa. Kasus sindrom kulit lepuh pada orang dewasa sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronis dan pasien immunocompromised. Tingkat mortalitas pada anak-anak sebesar 0%-7%, sementara pada orang dewasa sebesar 50%. Tingkat keparahan dari penyakit ini bervariasi mulai dari lesi kulit lokal dalam bentuk impetigo bulosa sampai pada kondisi yang lebih parah. Manifestasi impetigo bulosa sebagai lesi lokal mengandung materi yang purulen. Lesi ini dapat menjadi lebih parah, yang mana bercirikan eritem diikuti oleh pengelupasan dari lapisan epidermis. 3) Sindrom syok toksik Sindrom syok toksik secara umum menghasilkan infeksi lokal, hanya toksin TSST-1 yang menyebabkan infeksi sistemik. Manifestasi klinis awal dari sindrom syok toksik meliputi panas tinggi, ruam, tanda-tanda dehidrasi, diare dan muntah selama beberapa hari. Pada kasus yang ekstrim, pasien mungkin terjadi hipotensi dan syok. Ruam biasa ditemukan pada badan tetapi dapat menyebar ke seluruh tubuh. Hasil laboratorium darah rutin menghasilkan peningkatan angka leukosit. Jumlah dari trombosit menurun, dan walaupun tidak ada bukti terjadinya perdarahan, koagulasi pembuluh darah bisa terjadi.

16 digilib.uns.ac.id 19 4) Nekrolisis epidermal toksik Nekrolisis epidermal toksik merupakan manifestasi klinis dari banyak kasus, terutama karena obat, tetapi pada beberapa kasus dihubungkan dengan infeksi dan vaksin. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi gejala yang muncul disebabkan karena reaksi hipersensitivitas. 5) Keracunan makanan Enterotoksin S. aureus, telah diidentifikasi dan dihubungkan dengan gangguan gastrointestinal. Sumber dari kontaminasi biasanya pada makanan yang terinfeksi. Penyakit ini terjadi ketika makanan terkontaminasi enterotoksin yang diproduksi oleh strain S. aureus yang disebabkan karena tidak disimpan secara benar, yang kemudian menyebabkan pertumbuhan bakteri yang menghasilkan produksi toksin. Gejala dari keracunan karena S. aureus muncul dengan cepat, perkiraan 2-8 jam setelah makan, dan akan kembali seperti semula setelah jam. Walaupun tidak ada tanda-tanda demam, mual, muntah, nyeri pada daerah perut merupakan beberapa manifestasi klinis dari keracunan ini. Diare dan nyeri kepala juga mungkin terjadi. 6) Infeksi lain Bakterimia merupakan infeksi sekunder dari pneumonia dan endokarditis. Mikroorganisme memasuki aliran darah melalui jarum yang telah terkontaminasi atau melalui lesi fokal yang ada

17 digilib.uns.ac.id 20 pada kulit atau pada organ respirasi atau organ genital. Osteomielitis karena S. aureus terjadi sebagai manifestasi sekunder dari bakterimia. Infeksi ini berkembang ketika mikroorganisme ada pada luka atau fokus infeksi dan memasuki aliran darah. Gejala meliputi demam, bengkak dan nyeri di sekitar daerah inflamasi (Mahon et al., 2011). 3. Staphylococcus haemolyticus a. Morfologi dan idenfitikasi 1) Ciri-ciri organisme S. haemolyticus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat, bergerombol, tidak menghasilkan spora dan tidak motil. S. haemolyticus memiliki dinding sel yang tebal (60-80 nm). Sama seperti bakteri kokus gram positif lain, dinding selnya mengandung peptidoglikan, asam teikoik dan protein (Daniel et al, 2014). 2) Epidemiologi S. haemolyticus merupakan flora normal dari kulit dan membran mukosa. Bakteri ini menyebar secara luas dalam jumlah yang tidak terlalu banyak pada seluruh permukaan tubuh manusia (Forbes et al., 2007). 3) Sifat kultur Kultur S. haemolyticus pada media agar darah 5% menunjukkan koloni berukuran sedang, halus dan berwarna kusam.

18 digilib.uns.ac.id 21 S. haemolyticus termasuk pada bakteri β-hemolitik (Forbes et al., 2007). 4) Sifat-sifat pertumbuhan S. haemolyticus memproduksi katalase, yang membedakan dengan kelompok bakteri streptokokus. Bakteri ini menunjukkan hasil negatif pada uji koagulase, DNase, ornithin dekarboksilase, fosfatase, urease dan oksidase (Vos P et al., 2009). b. Faktor virulensi Mekanisme patogenesis dari infeksi S. haemolyticus masih belum diketahui secara pasti. Genom S. haemolyticus yang diambil dari isolat klinis mengandung gen yang mengatur faktor virulensi meliputi hemolisin, adhesin, eksonuklease dan protease (Krzyminska et al., 2012). Sel epitel merupakan lini pertama pertahanan tubuh untuk melawan agen penyebab infeksi. Kemampuan bakteri untuk melekat pada sel epitel merupakan langkah krusial bakteri patogen untuk memulai kolonisasi atau infeksi pada inang. Kemampuan S. haemolyticus untuk melakukan perlekatan pada sel epitel cukup tinggi, terutama pada spesimen darah dan infeksi luka (Krzyminska et al., 2015). Kemampuan bakteri patogen untuk menginvasi sel inang dan jaringannya dianggap sebagai salah satu faktor patogenisitas terjadinya infeksi yang tahan lama. Invasi ke sel inang menyebabkan patogen untuk bersembunyi, dan bertahan pada jaringan inang dan

19 digilib.uns.ac.id 22 menghindar dari respon imun (Hoff-mann et al., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Krzyminska et al. (2015) menemukan bahwa strain S. haemolyticus diinternalisasi oleh fagosit yang tidak profesional. 19 dari 30 strain (63%) terbukti invasif, dengan index invasi lebih tinggi daripada kontrol nonpatogen. 27% dari strain S. haemolyticus menunjukkan aktivitas lipolitik, 43% memproduksi lesitin dan 20% memiliki aktivitas protease. Strain yang memproduksi lipase, listin dan proteinase atau lipase dan proteinase memiliki sitotoksik dan index invasif tertinggi. Beberapa strain patogen memproduksi enzim ekstraseluler yang berperan dalam pemecahan jaringan inang dan perkembangan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Protease mampu memecah faktor komplemen dari inang, musin dan merusak persimpangan antar sel epitel, menyebabkan penyebaran bakteri (Krzyminska et al., 2015). S. haemolyticus mampu membentuk biofilm yang merupakan salah satu faktor patogen dari bakteri ini. Pembentukan biofilm dari S. haemolyticus terdiri dari dua proses yang bermula pada perlekatan awal yang diatur oleh protein pada permukaan sel dan enzim pelisis utamanya autolisin. Protein permukaan sel berperan dalam perlekatan dan berikatan dengan fibrinogen dan vitronektin dari inang. Perlekatan pada inang dan perlekatan intraseluler dikarenakan aktivitas protein Bhp (Daniel et al., 2014).

20 digilib.uns.ac.id 23 Biofilm berperan dalam terjadinya resistensi antibiotik dan infeksi yang tahan lama dari S. haemolyticus. Biofilm S. haemolyticus tidak bergantung pada faktor polisakarida adesi independen dan mengandung sedikit gen yang mengatur produksi polisakarida ini. Pembentukan biofilm inilah yang membedakan S. haemolyticus dengan spesies stafilokokus koagulase negatif yang lain (Daniel et al., 2014). Autolisin termasuk dalam faktor yang berpengaruh dalam perlekatan bakteri pada permukaan abiotik dan pembentukan biofilm. Perlekatan bakteri dengan matriks protein inang diperankan oleh protein pengikat matriks ekstraseluler yang berperan vital dalam membentuk ikatan dengan fibronektin dan kolagen. Protein terkait akumulasi memproduksi eksopolisakarida yang menyebabkan perlekatan antar sel, hemoaglutinasi dan akumulasi saat terjadi infeksi. S. haemolyticus juga mensekresi eksoenzim seperti lipase dan protease sistein. Enzim-enzim ini membantu dalam pertahanan patogen pada sekresi lemak dan kerusakan jaringan ketika proses infeksi (Daniel et al., 2014). Keseluruhan proses faktor virulensi dikontrol oleh gen regulator aksesoris stafilokokus (Sar). S. haemolyticus juga banyak memproduksi siderofor untuk pengambilan besi oleh stafiloferin A dan B. Komponen dinding sel seperti peptidoglikan dan asam lipoteikoik menstimulasi proses inflamasi (Daniel et al., 2014).

21 digilib.uns.ac.id 24 Bakteri patogen memiliki mekanisme spesifik untuk melawan respon imun antimikroba sel yang bertujuan untuk menghindar dari pertahanan imun inang. S. haemolyticus menstimulasi apoptosis dari makrofag pada proses patogenesis dan menyebabkan perubahan pada strukturnya. S. haemolyticus memproduksi banya sitotoksin yang membunuh makrofag. Hal ini menjadi mekanisme penting terhadap berhasilnya proses infeksi. Sitotoksik juga menyebabkan disfungsi mitokondria dalam proses fagosit dengan meregulasi kematian sel apoptosis. Hal ini terjadi melalui permeabilitas membran luar yang diproduksi oleh potensi transmembran mitokondria (Daniel et al., 2014). c. Infeksi Staphylococcus haemolyticus Infeksi yang disebabkan oleh stafilokokus koagulase negatif umumnya dihubungkan dengan penggunaan alat medis. Kemampuan bakteri ini untuk membentuk biofilm mendukung perkembangan infeksi menjadi infeksi yang berlangsung lama. S. haemolyticus dikatakan sebagai penyebab yang signifikan dari bakterimia yang berhubungan dengan penggunaan kateter intravaskular. S. haemolyticus dapat berkolonisasi pada kateter vena sentral. Infeksi yang umum antara lain endokarditis katup jantung, septikemia, peritonitis dan infeksi saluran kemih. Komplikasi yang lain meliputi infeksi kronis luka bedah dan osteomielitis, sementara pada infeksi pasien immunocompromised infeksi jaringan lunak lebih terlihat.

22 digilib.uns.ac.id 25 S. haemolyticus mampu berkolonisasi pada alat medis seperti prostesa katup, prostesa ortopedi, kateter intravaskular dan kateter urin ketika dilakukan intervensi pembedahan. Keseluruhan mortalitas infeksi karena stafilokokus koagulase negatif adalah 9% pada neonatus. Isolasi dari S. haemolyticus menjadi penting untuk pasien dengan tanda klinis sepsis khususnya ketika pasien memiliki faktor resiko klinis yang telah disebutkan di atas. Infeksi yang berhubungan dengan kateter intravaskular cukup diperhatikan pada pasien yang dirawat pada unit perawatan intensif, terutama yang sudah cukup lama dirawat inap di rumah sakit dengan kateter sebagai faktor resiko terjadinya komplikasi. Bakteri ini dapat dengan mudah berpindah ke kulit, melalui permukaan luar dari alat medis ini. Keparahan dari infeksi ini bergantung pada kateter, frekuensi penggunaan dan faktor virulensi bakteri. Beberapa penelitian mengatakan bahwa pemberhentian penggunaan alat medis seperti kateter dapat menurunkan resiko infeksi (Daniel et al., 2014).

23 digilib.uns.ac.id 26 B. Kerangka Pemikiran Pasien terpapar bakteri Uji Laboratorium: pengambilan spesimen nanah Kultur Bakteri Bakteri oportunistik Bakteri patogen Staphylococcus haemolyticus Staphylococcus aureus Manifestasi klinis Manifestasi klinis Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran Keterangan: : terdiri dari : berhubungan : disebabkan oleh : dibahas

PATOGENISITAS MIKROORGANISME

PATOGENISITAS MIKROORGANISME PATOGENISITAS MIKROORGANISME PENDAHULUAN Pada dasarnya dari seluruh m.o yg terdapat di alam, hanya sebagian kecil saja yg patogen maupun potensial patogen. Patogen adalah organisme yg menyebabkan penyakit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Infeksi Nosokomial Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya orang sakit dan orang sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut menyebabkan rumah sakit berpeluang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pernafasan bagian atas; beberapa spesiesnya mampu. memproduksi endotoksin. Habitat alaminya adalah tanah, air dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pernafasan bagian atas; beberapa spesiesnya mampu. memproduksi endotoksin. Habitat alaminya adalah tanah, air dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristika stafilokokus Bakteri ini merupakan flora normal pada kulit dan saluran pernafasan bagian atas; beberapa spesiesnya mampu memproduksi endotoksin. Habitat alaminya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. kecil dan hanya dapat dilihat di bawah mikroskop atau mikroskop elektron.

BAB II TINJAUAN TEORI. kecil dan hanya dapat dilihat di bawah mikroskop atau mikroskop elektron. BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Mikroorganisme Patogen Oportunis Mikroorganisme atau mikroba adalah makhluk hidup yang sangat kecil dan hanya dapat dilihat di bawah mikroskop atau mikroskop elektron. Mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Natrium Hipoklorit Sterilisasi merupakan suatu cara untuk menanggulangi transmisi penularan infeksi bakteri patogen dari alat kesehatan ke manusia. Alat kesehatan yang perlu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Infeksi Nosokomial Infeksi adalah proses masuknya mikroorganisme ke dalam jaringan tubuh, kemudian terjadi kolonisasi dan menimbulkan penyakit (Entjang, 2003). Infeksi Nosokomial

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang ditunjukkan setelah pasien

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang ditunjukkan setelah pasien BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial adalah infeksi yang ditunjukkan setelah pasien menjalani proses perawatan lebih dari 48 jam, namun pasien tidak menunjukkan gejala sebelum

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karakter Biologi Klebsiella pneumoniae K. pneumoniae tergolong dalam kelas gammaproteobacteria, ordo enterobacteriale, dan famili Enterobacteriaceae. Bakteri K. pneumoniae adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah yang bersifat akut, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakteremia didefinisikan sebagai keberadaan kuman dalam darah yang dapat berkembang menjadi sepsis. Bakteremia seringkali menandakan penyakit yang mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang sejarah manusia, jutaan orang dilaporkan meninggal dunia akibat infeksi bakteri. Infeksi dapat menular dari satu orang ke orang lain atau dari hewan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Broiler atau ayam pedaging merupakan ternak yang efisien dalam

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Broiler atau ayam pedaging merupakan ternak yang efisien dalam PENDAHULUAN Latar Belakang Broiler atau ayam pedaging merupakan ternak yang efisien dalam menghasilkan daging. Daging ayam merupakan jenis daging yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari keberadaan mikroorganisme. Lingkungan di mana manusia hidup terdiri dari banyak jenis dan spesies mikroorganisme. Mikroorganisme

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling utama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia karena temperatur yang tropis, dan kelembaban

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Selama penelitian bulan Januari Juni 2011 terdapat 20 subjek yang memenuhi

BAB VI PEMBAHASAN. Selama penelitian bulan Januari Juni 2011 terdapat 20 subjek yang memenuhi BAB VI PEMBAHASAN Selama penelitian bulan Januari Juni 2011 terdapat 20 subjek yang memenuhi kriteria penelitian, 65% di antaranya laki-laki, dengan rentang umur 6-156 bulan, dengan 75% gizi baik, 25%

Lebih terperinci

NEISSERIA MENINGITIDIS

NEISSERIA MENINGITIDIS NEISSERIA MENINGITIDIS Penyakit Meningokokus adalah satu penyakit berjangkit. Neisseria menigitidis (meningokokus) merupakan bakteri kokus gram negatif yang secara alami hidup di dalam tubuh manusia. Meningokokus

Lebih terperinci

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus Mikrobiologi-Virologi kelas A Kelompok 7 Anggota : Nico reynaldo 2014210159 Rahmalia febriyani 2014210175 Rahmi three wahyuni 2014210176 Rike farahiyah 2014210183 Rizka sukmasari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nama kayu manis dan termasuk dalam jenis rempah-rempah. Pohon tinggi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nama kayu manis dan termasuk dalam jenis rempah-rempah. Pohon tinggi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kayu manis 1. Gambaran umum kayu manis Tanaman Cinnamomum burmanni merupakan jenis tanaman berumur panjang yang menghasilkan kulit. Kulit ini di Indonesia diberi nama kayu manis

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan studi deskriptif melalui pengamatan secara prospektif terhadap kejadian infeksi luka AV fistula

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Munculnya strain bakteri yang resisten terhadap banyak antibiotik termasuk bakteri Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif pada pengecatan gram

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif pada pengecatan gram BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Staphylococcus aureus 1.1. Morfologi Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif pada pengecatan gram terlihat bentuk kokus ukurannya 0.8-1.0 mm dengan diameter 0.7-0.9

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut merupakan nomeklatur Staphylococcus aureus :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut merupakan nomeklatur Staphylococcus aureus : 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Staphylococcus aureus 2.1.1 Nomenklatur Berikut merupakan nomeklatur Staphylococcus aureus : Kingdom (kerajaan) Phylum (filum) Class (kelas) Order (bangsa) Family (suku)

Lebih terperinci

: Clostridium perfringens

: Clostridium perfringens Clostridium perfringens Oleh : Fransiska Kumala W 078114081 / B Clostridium perfringens adalah salah satu penyebab utama infeksi luka berakibat gangrene gas. Seperti banyak clostridia, organisme ini banyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya mikroorganisme yang normal pada konjungtiva manusia telah diketahui keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan populasi mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan 1 BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan jaringan subkutan biasanya disebabkan oleh invasi bakteri melalui suatu area yang robek pada kulit,

Lebih terperinci

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif, tidak bergerak ditemukan satu-satu, berpasangan, berantai pendek atau bergerombol, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan dinding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan non-bergerak bulat kecil berbentuk atau non-motil cocci. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dan non-bergerak bulat kecil berbentuk atau non-motil cocci. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Staphylococcus aureus adalah jenis bakteri. Ini Gram positif noda dan non-bergerak bulat kecil berbentuk atau non-motil cocci. Hal ini ditemukan dalam anggur seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah utama dalam bidang ilmu kedokteran saat ini terkait erat dengan kejadian-kejadian infeksi. Hal tersebut ditunjukkan oleh banyaknya data-data yang memperlihatkan

Lebih terperinci

B A B 1 PENDAHULUAN. menginfeksi manusia. Menurut Tuula (2009), bakteri ini berada di kulit (lapisan

B A B 1 PENDAHULUAN. menginfeksi manusia. Menurut Tuula (2009), bakteri ini berada di kulit (lapisan B A B 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Streptococcus β hemolyticus Grup A atau yang disebut juga dengan Streptococcus pyogenes merupakan salah satu bakteri patogen yang banyak menginfeksi manusia. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar karena makanan adalah sumber energi manusia. Makanan yang dikonsumsi manusia mempunyai banyak jenis dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Staphylococcus adalah bakteri gram positif berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus merupakan bakteri koagulase negatif, kecuali Staphylococcus aureus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan terapi saluran akar bergantung pada debridement

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan terapi saluran akar bergantung pada debridement BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan terapi saluran akar bergantung pada debridement chemomechanical pada jaringan pulpa, debris pada dentin, dan penggunaan irigasi terhadap infeksi mikroorganisme.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah kerusakan fisik akibat dari terbukanya atau hancurnya kulit yang menyebabkan ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal (Nagori and Solanki, 2011).

Lebih terperinci

CARA TUMBUHAN MEMPERTAHANKAN DIRI DARI SERANGAN PATOGEN. Mofit Eko Poerwanto

CARA TUMBUHAN MEMPERTAHANKAN DIRI DARI SERANGAN PATOGEN. Mofit Eko Poerwanto CARA TUMBUHAN MEMPERTAHANKAN DIRI DARI SERANGAN PATOGEN Mofit Eko Poerwanto mofit.eko@upnyk.ac.id Pertahanan tumbuhan Komponen pertahanan: 1. Sifat-sifat struktural yang berfungsi sebagai penghalang fisik

Lebih terperinci

ISOLASI RARE ACTINOMYCETES DARI PASIR PANTAI DEPOK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA YANG BERPOTENSI ANTIBIOTIK TERHADAP Staphylococcus SKRIPSI

ISOLASI RARE ACTINOMYCETES DARI PASIR PANTAI DEPOK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA YANG BERPOTENSI ANTIBIOTIK TERHADAP Staphylococcus SKRIPSI ISOLASI RARE ACTINOMYCETES DARI PASIR PANTAI DEPOK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA YANG BERPOTENSI ANTIBIOTIK TERHADAP Staphylococcus aureus MULTIRESISTEN SKRIPSI Oleh: HAJAR NUR SANTI MULYONO K 100 060 207

Lebih terperinci

BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi

BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG Osteomielitis adalah inflamasi yang terjadi pada tulang dan sumsum tulang, infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Bakteri dari genus Staphylococcus adalah bakteri. gram positif kokus yang secara mikroskopis dapat diamati

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Bakteri dari genus Staphylococcus adalah bakteri. gram positif kokus yang secara mikroskopis dapat diamati BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bakteri dari genus Staphylococcus adalah bakteri gram positif kokus yang secara mikroskopis dapat diamati sebagai organisme individu, berpasangan, dan ireguler serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di rumah sakit 3 x 24 jam. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang. 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang. Kolonisasi tidak menimbulkan gejala klinis hingga infeksi dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. S. aureus adalah bakteri berbentuk bulat, bersifat gram positif,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. S. aureus adalah bakteri berbentuk bulat, bersifat gram positif, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Staphylococcus aureus 1. Morfologi S. aureus adalah bakteri berbentuk bulat, bersifat gram positif, biasanya tersusun dalam rangkaian tidak beraturan seperti buah anggur. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Streptococcus sanguis merupakan bakteri kokus gram positif dan ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Streptococcus sanguis merupakan bakteri kokus gram positif dan ditemukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah merupakan bakteri kokus gram positif dan ditemukan pada rongga mulut manusia yang sehat. Bakteri ini banyak ditemukan pada plak dan karies gigi, serta pada

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu negara mega biodiversity dengan kekayaan alam yang melimpah dan beraneka ragam (Darmawan et al., 2004). Hal ini patut disyukuri,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Luka 1. Definisi Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu (Perry,

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta

Lebih terperinci

PIODERMA. Dr. Sri Linuwih S Menaldi, Sp.KK(K) Dr. Wieke Triestianawati, Sp.KK(K) Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI / RSCM Jakarta

PIODERMA. Dr. Sri Linuwih S Menaldi, Sp.KK(K) Dr. Wieke Triestianawati, Sp.KK(K) Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI / RSCM Jakarta PIODERMA Dr. Sri Linuwih S Menaldi, Sp.KK(K) Dr. Wieke Triestianawati, Sp.KK(K) Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI / RSCM Jakarta DEFINISI Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas, baik di negara maju maupun negara berkembang. Sebagian besar virulensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tersusun seperti buah anggur. Dikenal dua spesies Staphylococcus, yaitu

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tersusun seperti buah anggur. Dikenal dua spesies Staphylococcus, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Staphylococcus adalah bakteri gram negatif yang berbentuk bulat tersusun seperti buah anggur. Dikenal dua spesies Staphylococcus, yaitu S. aureus dan S.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Staphylococcus merupakan suatu kuman berbentuk sferis yang tumbuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Staphylococcus merupakan suatu kuman berbentuk sferis yang tumbuh BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Staphylococcus aureus 2.1.1 Sifat Staphylococcus aureus Staphylococcus merupakan suatu kuman berbentuk sferis yang tumbuh bergerombol seperti buah anggur dengan ukuran diameter

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dipisahkan dengan praktik kedokteran modern. Saat ini penggunaan kateter

BAB 1 PENDAHULUAN. dipisahkan dengan praktik kedokteran modern. Saat ini penggunaan kateter BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan kateter intravena sudah menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dengan praktik kedokteran modern. Saat ini penggunaan kateter intravena merupakan bagian

Lebih terperinci

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4. KONSEP MEDIK A. Pengertian Mastoiditis Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tak diobati dapat terjadi osteomielitis. Mastoiditis adalah segala

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Telur asin adalah telur yang sebelumnya diolah dulu, proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Telur asin adalah telur yang sebelumnya diolah dulu, proses BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telur Asin Telur asin adalah telur yang sebelumnya diolah dulu, proses pembuatanya membutuhkan kecermatan dan ketelitian tersendiri dari bahan baku telur menjadi telur asin yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas yang diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila meliputi kelainan fisik ikan, uji refleks, dan respon

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Tomat Tanaman tomat merupakan komoditas yang multiguna. Tidak hanya berfungsi sebagai sayuran dan buah saja, tomat juga sering dijadikan pelengkap bumbu, minuman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagian tubuh manusia seperti kulit, mukosa mulut, saluran pencernaan, saluran ekskresi dan organ reproduksi dapat ditemukan populasi mikroorganisme, terutama bakteri.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Nosokomial 1. Pengertian Menurut Paren (2006) pasien dikatakan mengalami infeksi nosokomial jika pada saat masuk belum mengalami infeksi kemudian setelah dirawat selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat mikrobiologi. Inflamasi

Lebih terperinci

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan F. KEPERAWATAN Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan Kaji TTV, catat perubahan TD (Postural), takikardia, demam. Kaji turgor kulit, pengisian kapiler dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan yang memiliki bunga banyak, serta daun dari bunga bakung ini memilki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan yang memiliki bunga banyak, serta daun dari bunga bakung ini memilki BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tumbuhan Bunga Bakung Tumbuhan bunga bakung mempunyai ketinggian antara 0,5-1,25 m, merupakan tumbuhan yang memiliki daun dan bunga. Bunga bakung termasuk tumbuhan

Lebih terperinci

BAB I mengalami komplikasi karena infeksi ini (WHO, 2012). Prevalensi tertinggi infeksi nosokomial terjadi di Intensive Care Units

BAB I mengalami komplikasi karena infeksi ini (WHO, 2012). Prevalensi tertinggi infeksi nosokomial terjadi di Intensive Care Units BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pseudomonas aeruginosa dikenal sebagai bakteri yang sering menimbulkan infeksi, khususnya pada pasien imunokomprimis, penderita HIV, dan berperan pada infeksi paru kronis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah salah satu penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah serius di dunia kesehatan. Stroke merupakan penyakit pembunuh nomor dua di dunia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan-bahan lain seperti garam, bawang merah, bawang putih. Sambal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan-bahan lain seperti garam, bawang merah, bawang putih. Sambal BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sambal Cabai 1. Sambal Sambal salah satu bahan yang terbuat dari cabai dan ditambah bahan-bahan lain seperti garam, bawang merah, bawang putih. Sambal memiliki cita rasa yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan

III. METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan pendekatan cross sectional, menggunakan metode difusi dengan memakai media Agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial adalah infeksi yang berkenaan atau berasal dari rumah sakit, digunakan untuk infeksi yang tidak ada atau mengalami masa inkubasi sebelum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi virus dengue maupun demam berdarah dengue (DBD) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi virus dengue maupun demam berdarah dengue (DBD) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi virus dengue maupun demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan global. Dalam tiga dekade terakhir terjadi peningkatan angka kejadian penyakit di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dialami oleh siapa saja dan dapat terjadi dimana saja baik dirumah, tempat

I. PENDAHULUAN. dialami oleh siapa saja dan dapat terjadi dimana saja baik dirumah, tempat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh dokter, biaya yang dibutuhkan juga cukup mahal untuk penanganannya. Luka bakar dapat dialami oleh siapa saja

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Mas yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis pada ikan mas yang diinfeksi Aeromonas hydrophila meliputi kerusakan jaringan tubuh dan perubahan

Lebih terperinci

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta KESEHATAN IKAN Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta Penyakit adalah Akumulasi dari fenomena-fenomena abnormalitas yang muncul pada organisme (bentuk tubuh, fungsi organ tubuh, produksi lendir,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009)

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009) TINJAUAN PUSTAKA Lactobacillus plantarum Bakteri L. plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, Ordo Lactobacillales, famili Lactobacillaceae, dan genus Lactobacillus. Lactobacillus dicirikan dengan

Lebih terperinci

PANDUAN PENANGANAN, PENGGUNAAN DAN PEMBERIAN DARAH DAN PRODUK DARAH RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN LAMPUNG

PANDUAN PENANGANAN, PENGGUNAAN DAN PEMBERIAN DARAH DAN PRODUK DARAH RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN LAMPUNG PANDUAN PENANGANAN, PENGGUNAAN DAN PEMBERIAN DARAH DAN PRODUK DARAH RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN LAMPUNG 2 0 1 5 BAB I DEFINISI Transfusi darah adalah pemindahan darah dari donor ke dalam peredaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lain (Jawetz dkk., 2013). Infeksi yang dapat disebabkan oleh S. aureus antara lain

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lain (Jawetz dkk., 2013). Infeksi yang dapat disebabkan oleh S. aureus antara lain BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Staphylococcus aureus merupakan bakteri komensal pada manusia yang ditemukan di kulit, kuku, hidung, dan membran mukosa. Bakteri ini dapat menjadi patogen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi merupakan salah satu permasalahan kesehatan di masyarakat yang tidak pernah dapat diatasi secara tuntas yang menjadi penyebab utama penyakit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Sekitar 53 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi saluran cerna merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di seluruh dunia, terutama pada anak-anak (Nester et al, 2007). Infeksi saluran cerna dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. 2004). Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. jika menembus permukaan kulit ke aliran darah (Otto, 2009). S. epidermidis

BAB I PENDAHULUAN UKDW. jika menembus permukaan kulit ke aliran darah (Otto, 2009). S. epidermidis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal,bersifat komensal pada permukaan kulit dan membran mukosa saluran napas atas manusia. Bakteri ini diklasifikasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid termasuk dalam 10 besar masalah kesehatan di negara berkembang dengan prevalensi 91% pada pasien anak (Pudjiadi et al., 2009). Demam tifoid merupakan penyakit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Benih Lele Sangkuriang yang terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis benih lele sangkuriang yang diinfeksikan Aeromonas hydrophila meliputi

Lebih terperinci

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Conducted by: Jusuf R. Sofjan,dr,MARS 2/17/2016 1 Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. S.pneumoniae atau pneumokokus adalah diplokokus gram-positif. Bakteri ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. S.pneumoniae atau pneumokokus adalah diplokokus gram-positif. Bakteri ini BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S. pneumoniae S.pneumoniae atau pneumokokus adalah diplokokus gram-positif. Bakteri ini sering berbentuk lanset atau tersusun dalam bentuk rantai, mempunyai simpai polisakarida

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 10 juta jiwa, dan 70% berasal dari negara berkembang, salah satunya Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 10 juta jiwa, dan 70% berasal dari negara berkembang, salah satunya Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku merokok merupakan salah satu ancaman terbesar kesehatan masyarakat dunia. Menurut laporan status global WHO (2016), perilaku merokok telah membunuh sekitar

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Porphyridium cruentum

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Porphyridium cruentum 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Porphyridium cruentum Porphyridium cruentum adalah mikroalga merah bersel satu yang termasuk kelas Rhodophyceae, hidup bebas atau berkoloni yang terikat

Lebih terperinci

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 2 PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 2 PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 2 PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN PENDAHULUAN Seorang ibu akan membawa anaknya ke fasilitas kesehatan jika ada suatu masalah atau

Lebih terperinci

Rickettsia typhi Penyebab Typhus Endemik

Rickettsia typhi Penyebab Typhus Endemik Rickettsia typhi Penyebab Typhus Endemik (Manda Ferry Laverius/078114010) Penyakit typhus disebabkan oleh beragai macam bakteri. Meskipun penyakit ini memiliki kesamaan ciri secara umum, namun typhus dapat

Lebih terperinci

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN BAB 10 RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN 10.1. PENDAHULUAN Virus, bakteri, parasit, dan fungi, masing-masing menggunakan strategi yang berbeda untuk mengembangkan dirinya dalam hospes dan akibatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komplikasi yang sering terjadi pasca prosedur dental adalah infeksi yang

BAB I PENDAHULUAN. Komplikasi yang sering terjadi pasca prosedur dental adalah infeksi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prosedur dental yang invasif sering diikuti dengan berbagai macam komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor dan tidak semua dapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif,

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aeromonas salmonicida 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi A. salmonicida A. salmonicida merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak motil, tidak membentuk spora,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang

BAB I PENDAHULUAN. antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tonsil merupakan organ tubuh yang berfungsi mencegah masuknya antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang masuk akan dihancurkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis metisilin. MRSA mengalami resistensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. infeksi dan juga merupakan patogen utama pada manusia. Bakteri S. aureus juga

BAB I PENDAHULUAN. infeksi dan juga merupakan patogen utama pada manusia. Bakteri S. aureus juga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang S.aureus merupakan salah satu bakteri yang dapat menyebabkan penyakit infeksi dan juga merupakan patogen utama pada manusia. Bakteri S. aureus juga merupakan flora

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tidak beraturan yang terdapat garis tengah dengan ukuran 1μm. Staphylococcus sp. tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tidak beraturan yang terdapat garis tengah dengan ukuran 1μm. Staphylococcus sp. tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Staphylococcus sp Bakteri ini bersifat Grampositif yang berbentuk kokus dan tersusun dalam rangkaian tidak beraturan yang terdapat garis tengah dengan ukuran 1μm. Staphylococcus

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci