BAB II KAJIAN PUSTAKA. hidupnya. Untuk dapat berinteraksi memerlukan alat komunikai yaitu. keinginan kepada anggota masyarakat lainnya.
|
|
- Hartono Bambang Susman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Bahasa Pengertian Bahasa dan Komunikasi Manusia adalah mahluk sosial, yaitu sebagai anggota masyarakat tidak akan dapat hidup tanpa berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota masyarakat lainnya. Manusia selalu melakukan suatu kepanjangan hidupnya. Untuk dapat berinteraksi memerlukan alat komunikai yaitu bahasa. Dengan bahasa, manusia dapat menyatakan pikiran, perasaan dan keinginan kepada anggota masyarakat lainnya. Badudu (1996: 3) menyatakan bahwa pikiran, perasaan dan keinginan tidaklah mempunyai arti sebelum dinyatakan dengan bahasa yang diketahui, ditanggapi dan diberi reaksi oleh masyarakat lainnya. Oleh karena itu pula, dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa yang paling mendasar adalah fungsi komunikatif, yaitu tata pergaulan dan perhubungan sesama manusia (Nababan, 1993: 48). Bahasa merupakan suatu sistem struktur yang berfungsi sebagai alat komunikasi. Salah satu bahasa yang digunakan oleh bangsa lndonesia adalah bahasa Indonesia yang notabene sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Studi bahasa merupakan suatu studi yang memperhatikan (a) struktur bahasa sebagai kode, (b) mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan individu (c) studi bahasa menitik beratkan analisis 8
2 9 sebagai bagian dari kebudayaan manusia, dan (d) studi bahasa mengutamakan telaah bahasa sebagai gejala sosial. Dalam kajian ini, studi bahasa dikaitkan dengan pemakaiannya di masyarakat. Kajian ini disebut sosiolinguistik Kajian sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Kajian ini pun mengkaji studi bahasa sebagai bentuk sosial yang terjadi dalam situasi konkret (Appel, 1976: 9). Situasi kebahasaan di Indonesia amat kompleks karena terdapat sejumlah besar bahasa di Indonesia tercinta ini. Didalam kehidupan sosial serta aktivitas sehari-hari anggota masyarakatnya, disamping bahasa Indonesia, dipakai juga bahasa-bahasa daerah yang konon lebih dari 760- an jumlahnya, beserta variasi-variasinya, dan bahasa asing tertentu sesuai dengan fungsi, situasi, serta konteks berbahasa. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara/bahasa resmi, bahasa-bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa komunikasi intraderah, dan bahasa asing berfungsi sebagai bahasa komunikasi internasional umum. Situasi kebahasaan di Indonesia seperti digambarkan di atas, jika dipandang dari sudut masyarakat atau adanya lebih dari satu bahasa dalam masyarakat, dapat disebut bilingualism, secara kemasyarakatan atau societal bilingualism. Sehubungan dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan, serta adanya kontak antarbahasa daerah di dalam daerah atau wilayah yang sama, banyak
3 10 anggota masyarakat Indonesia merupakan bilingual secara perseorangan atau individual bilingualism. Selain itu, jika dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat, masyarakat Indonesia dapat juga disebut masyarakat diglosik. dengan bahasa Indonesia sebagai "variasi tinggi" dan bahasa daerah sebagai "variasi rendah". Karena secara resmi dan umum, bahasa Indonesia seyogianya dipakai dalam situasi formal dan umum oleh penutur antarbahasa daerah, dan bahasa daerah dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu bahasa daerah. Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa sering disebut bilingualitas. Keadaan semacam ini menimbulkan apa yang disebut dengan sentuh bahasa atau kontak bahasa (Suhardi dan Sembiring, 2005: 58). Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (codeswitching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme. Gejala demikian juga terjadi dalam pembelajaran antara guru dengan siswa di SMP Negeri 1 Kedungbanteng. Kontak bahasa tersebut terjadi karena masyarakatnya dapat pula disebut sebagai masyarakat
4 11 dwibahasa, yang sekurang-kurangnya memiliki dua bahasa yang digunakan dalam komunikasi pembelajaran sehari-hari, yakni bahasa daerah berupa Bahasa Jawa dan bahasa resmi sebagai pengantarnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Gejala penggunaan dua bahasa lebih rumit lagi ketika mereka memasukkan unsur-unsur bahasa lain selain kedua bahasa tersebut dalam interaksi. Kerumitan tersebut disebabkan mereka harus menentukan dengan bahasa apakah sebaiknya dalam berkomunikasi. Selain itu penutur juga harus dapat menentukan variasi kode manakah yang sesuai dengan situasinya. Dengan demikian setiap masyarakat dalam wilayah pembelajaran SMP Negeri 1 Kedungbanteng sebagai masyarakat dwibahasa/multibahasa, harus memilih salah satu bahasa atau variasi kode yang digunakan dalam suatu peristiwa tuturnya Masyarakat Tutur Kajian dalam Sosiolinguistik adalah pemakaian bahasa dalam masyarakat. Secara luas, istilah Masyarakat Tutur (Speech Comunity) atau bisa juga disebut dengan Masyarakat Bahasa (Linguistic Comunity) digunakan oleh para linguis untuk mengacu pada komunitas yang didasarkan pada bahasa. Apabila suatu kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai bahasa yang relative sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan bahwa kelompok orang itu atau
5 12 masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur (speech community) (Chaer, 2004: 36). Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang mennggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Definisi ini mirip dengan definisi yang diberikan oleh Bloomfield (1933, diindonesiakan oleh Sutikno, 1995: 40) dalam bukunya yang berjudul Language. Ia memperkenalkan istilah masyarakat bahasa dengan definisi suatu kelompok orang yang menggunakan sistem tanda wicara yang sama dalam berinteraksi. Halliday (dalam Suhardi dan Sembiring, 2005: 54) menyatakan bahwa sekelompok orang yang merasa atau menganggap diri mereka memakai bahasa yang sama disebut sebagai masyarakat bahasa. Frasa merasa atau menganggap pada definisi di atas perlu digarisbawahi, karena pada kenyataan sehari-hari dua bahasa yang sama baik dalam tata bunyi, tata bahasa, dan leksikon yang mengandung banyak kemiripan dapat disebut dua masyarakat bahasa yang berbeda, karena masyarakat tutur tersebut menganggap dua bahasa tersebut berbeda. Sebagai contoh, secara linguistis bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia mempunyai tata bunyi, tata bahasa, dan lesikon yang mengandung banyak kemiripan, namun karena masyarakat bahasa pemakai bahasa tersebut menganggapnya sebagai dua bahasa yang berbeda, maka masyarakat bahasa penutur bahasa
6 13 Indonesia dan masyarakat bahasa penutur bahasa Malaysia tidak dapat disebut satu masyarakat tutur yang sama. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, pendapat yang diungkapkan oleh Fishman dirasa dapat merangkum semua pendapat yang telah diuraikan sebelumnya. Fishman mengatakan bahwa masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya (Chaer, 2004: 36) Kedwibahasaan dan Dwibahasawan Kajian sosiolinguistik yang membahas masalah kode bahasa tentu sangat erat kaitannya dengan kedwibahasaan. Kedwibahasaan diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur, yang oleh Bloomfield (dalam Sutikno, 1995: 54) dirumuskan sebagai native-like control of two language. Kedwibahasaan seperti itu oleh Haliday disebut dengan istilah ambilingualism, disebut equalingualism oleh Oksar dan disebut coordinate bilingualism oleh Diebold (dalam Chaer, 2004: 87). Pendapat semacam itu ternyata makin lama makin tidak populer, sebab untuk menentukan sejauh mana seorang penutur dapat menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya tidak ada dasarnya, sehingga sukar diukur dan hampir-hampir tidak dapat dilakukan. Oleh sebab itu pengertian kedwibahasaan seperti itu kemudian hanya dipandang salah satu jenis saja dari kedwibahasaan.
7 14 Perluasan pengertian kedwibahasaan nampak dalam pendapat Mackey (dalam Chaer, 2004: 87) yang mengemukakan adanya tingkattingkat kedwibahasaan, yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat kemampuan seseorang dalam penguasaan bahasa kedua. Tingkat-tingkat kemampuan demikian dapat dilihat dari penguasaan penutur terhadap segi-segi gramatikal, leksikal, semantik dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan bahasanya yaitu: menyimak, menulis, berbicara dan membaca. Makin banyak unsur-unsur tersebut dikuasai oleh seorang penutur makin tinggi tingkat kedwibahasaannya, makin sedikit penguasaan terhadap unsur-unsur itu makin rendah. Akan tetapi, semuanya termasuk dwibahasawan-dwibahasawan. Menurut Nababan (1993: 29), kedwibahasaan tidak hanya dapat dipakai oleh perseorangan, tetapi juga untuk masyarakat (societal bilingualism). Pesatnya kemajuan dibidang informasi pada sarana perhubungan menyebabkan masyarakat pada era globalisasi sekarang ini banyak yang menguasai bahasa kedua, ketiga bahkan keempat. Penguasaan bahasa oleh seorang individu yang lebih dari satu inilah yang disebut kedwibahasaan (Nababan, 1993: 27). Konsekuensi logis dari adanya kedwibahasaan ini adalah timbulnya alih kode, campur kode dan interferensi. Hal ini disebabkan ketergantungan bahasa (languange dependency) tidak dapat dihindarkan dalam tindak tutur seorang dwibahasawan, masyarakat dengan jumlah suku yang beragam lebih dari satu bahasa dalam komunikasi sehari-hari.
8 15 Masyarakat atau individu yang memiliki dua bahasa dan mempergunakannya dalam komunikasi dinamakan dwibahasawan. Haugen (melalui Suwito, 1985: 44) mengatakan bahwa seorang dwibahasawan sebagai tahu bahasa artinya bahwa seorang yang disebut dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, ia cukup mengetahui secara pasif dua bahasa. Menurut Sri Utari (1992: 104), terdapat dua macam kedwibahasaan yang terdapat di Indonesia. 1. Bahasa Indonesia dan bahasa daerah, dapat terjadi karena: 1.1 dalam Sumpah Pemuda 1928 penggunaan Bahasa Indonesia dikaitkan dengan perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme; 1.2 bahasa-bahasa daerah mempunyai tempat yang wajar disamping pembinaan dan pengembangan bahasa dan kebudayaan Indonesia; 1.3 perkawinan campur antar suku; 1.4 perpindahan penduduk dari satu daerah satu ke daerah lain; 1.5 interaksi antar suku yakni perdagangan; 1.6 motivasi yang banyak didorong oleh kepentingan profesi. 2. Bahasa Indonesia dengan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, memiliki tujuan diantaranya adalah: 2.1 untuk memperoleh pekerjaan yang layak; 2.2 untuk menunjang harga diri dan memberikan suatu status di masyarakat, karena adanya asosiasi dengan konsep orang terpelajar; 2.3 untuk mampu berperan serta dalam pembicaraan di forum Internasional.
9 Campur Kode Pengertian Kode Suatu aktivitas bicara yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari seseorang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode pada lawan bicaranya (Pateda, 1991: 83). Pengkodean itu melalui proses yang terjadi kepada pembicara maupun mitra bicara. Kode-kode yang dihasilkan oleh tuturan tersebut harus dimengerti oleh kedua belah pihak. Di dalam proses pengkodean jika mitra bicara atau pendengar memahami apa yang dikodekan oleh lawan bicara, maka ia pasti akan mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan apa yang disarankan oleh penutur. Tindakan itu misalnya dapat berupa pemutusan pembicaraan atau pengulangan pernyataan (Pateda, 1991: 84). Kode menurut Suwito (1985: 67-69) adalah untuk menyebutkan salah satu varian didalam hierarki kebahasaan, misalnya varian regional, kelas sosial, raga, gaya, kegunaan dan sebagianya. Dipandang dari sudut lain, varian sering disebut sebagai dialek geografis yang dapat dibedakan menjadi dialek regional dan dialek lokal. Ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa, sedangkan varian kegunaannya disebut register. Masing-masing varian merupakan tingkat tertentu dalam hierarki kebahasaan dan semuanya termasuk dalam cakupan kode, sedangkan kode merupakan bagian dari bahasa. Pembedaan ragam sebagai varian bahasa didasarkan pada nada situasi bahasa yang mewadahinya. Nada situasi tutur umumnya dibedakan menjadi situasi formal, informal dan sakral. Dengan
10 17 demikian ragam bahasa yang mewadahinyapun sejajar dengan situasi yang mewadahi yaitu ragam formal, ragam informal, ragam sakral. Dalam percakapan sehari-hari, sering dijumpai penggunaan bahasa yang berbeda-beda antar kelompok atau dalam urusan tertentu yang berbeda. Varian bahasa seperti itu disebut register. Jadi register adalah varian bahasa yang perbedaannya ditentukan oleh peristiwa bicara (speech event). Register tidak ditentukan oleh unsur-unsur bahasa yang perbedaannya ditentukan oleh unsurunsur bahasa seperti fonem, morfem, kalimat, leksikon maupun tipe struktur wacana secara keseluruhan. Ragam, tingkat tutur dan register merupakan kode tutur. Kode tutur merupakan varian bahasa yang secara nyata dipakai oleh masyarakat bahasa yang bersangkutan (Poejosoedarmo, 1978: 5). Bagi masyarakat dwibahasawan, hal tersebut meliputi varian dari dua bahasa. Jadi dalam kode itu terdapat suatu pembatasan umum yang membatasai pemakaian unsur-unsur bahasa tersebut. Dengan demikian pemakaian unsur-unsur tersebut memiliki keistimewaan-keistimewaan. Keistimewaan itu antara lain terdapat pada bentuk, distribusi dan frekuensi unsur-unsur bahasa itu. Kode tutur bukan merupakan unsur kebahasaan seperti fonem, morfem, kata, ungkapan, frase, kalimat atau wacana, tetapi keberadaannya ditentukan oleh unsur-unsur kebahasaan tersebut. Berdasarkan pendapat-pendapat itu dapat disimpulkan bahwa kode dapat berupa varian-varian dari sebuah bahasa maupun bahasa itu sendiri. Berpijak pada pengertian ini memberi peluang bahwa campur kode tidak hanya terjadi antarbahasa tetapi dapat juga terjadi antarvarian.
11 Pengertian Campur Kode Pemilihan sebuah kode tertentu merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari masyarakat dwibahasa ataupun multibahasa. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code switching), campur kode (code mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/ multilingualisme. Demikian juga yang terjadi dalam proses pembelajaran, kontak bahasa mungkin akan dilakukan oleh guru. Salah satu jenis pilihan bahasa yang mungkin dilakukan adalah dengan campur kode (code mixing). Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu (Sumarsono, 2009: 202). Pembicaraan mengenai campur kode ini tidak lepas dengan pembicaraan mengenai alih kode, karena kedua peristiwa yang lazim terjadi di masyarakat bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Kesamaan yang ada antara lain alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur (Chaer, 2004: 114). Perbedaan keduanya, banyak ragam yang berpendapat. Thelander berpendapat bahwa apabila dalam suatuu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa
12 19 lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi bila kalusaklausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode (dalam Chaer, 2004: 115). Fasold, membedakan campur kode dengan alih kode dengan criteria gramatika. Apabila seseorang yang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, maka melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa menggunakan struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika lain, maka peristiwanya adalah alih kode (dalam Chaer, 2004: 115). Nababan (1993: 25) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukan unsurunsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan tidak adanya istilah yang merujuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam, dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa maupun bahasa itu sendiri (Nababan, 1993: 32). Kemampuan komunikatif penutur dalam suatu masyarakat bahasa akan sangat mempengaruhi hasil yang diharapkan penutur tersebut.
13 20 Kemampuan komunikatif menurut Nababan (1993: 10) adalah kemampuan untuk memilih dan menggunakan satuan-satuan bahasa itu disertai dengan aturan-aturan penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat bahasa. Menurut Suwito (1985: 401) bahwa campur kode adalah penyusupan unsur-unsur kalimat dari suatu bahasa kedalam bahasa yang lain, berwujud kata, frasa, pengulangan kata, ungkapan atau idiom. Banyaknya pendapat mengenai perbedaan dan persamaan campur kode dengan alih kode menimbulkan sulitnya memahami perbedaan keduanya. Made (2010: 79-80) memberikan kesimpulan perbedaan campur kode (code mixing) dengan alih kode (code switching) berdasarkan beberapa kriteria. 1. Unsur kebahasaan (gramatikal), dikatakan sebagai code mixing adalah apabila ada satu bahasa yang dimasuki unsur-unsur/serpihan-serpihan bahasa lain. 2. Topiknya, apabila terjadi masih dalam topik yang sama dinamakan code mixing, tetapi apabila sudah berbeda topik atau ada perubahan topic pembahasan, maka dinamakan code switching. 3. Bahasanya, apabila yang digunakan adalah penyisipan frase atau kelompok kata-kata dinamakan code mixing, tetapi apabila yang terjadi berubah/pindah ke bahasa lain, maka dinamakan code switching. 4. Keformalan, code switching biasanya terjadi pada situasi formal, dan code mixing biasanya pada situasi tidak formal atau informal.
14 21 5. Kelancaran, apabila penuturnya berbicara lancar dinamakan code mixing, dan apabila penuturnya kurang lancer maka yang terjadi adalah code switching. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode muncul apabila penggunaan dua bahasa (varian) atau lebih, dalam tindak tutur dengan penyusupan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam yang lain dalam batas-batas linguistik tertentu, masih dalam satu topic pembicaraan, biasanya dalam situasi informal walaupun dapat terjadi pada situasi yang formal dengan memperhatikan pada kelancaran penutur menggunakan bahasanya Tipe Campur Kode Campur kode diklasifikasikan menjadi dua yaitu, campur kode bersifat ke dalam (internal) dan campur kode bersifat ke luar (eksternal) (Suwito, 1985: 76). Dikatakan campur kode ke dalam (internal) apabila antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran masih mempunyai hubungan kekerabatan secara geografis maupun secara geanologis, bahasa yang satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal. Bahasa yang terlibat dalam campur kode internal umumnya masih dalam satu wilayah politis yang berbeda. Contoh campur kode ke dalam (internal) dalam dialog (2) berikut: (2) Nanti masnya matur dulu aja ke orang tua, kalo biayanya kurang lebih Rp
15 22 Kata matur pada teks tersebut adalah bentuk campur kode, penggunaan kata matur sebenarnya bisa dihindari sebab kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, penggunaan kata matur sesuai dengan budaya yang berlaku di daerah tempat tuturan terjadi. Kata matur menunjukan perwujudan kedaerahan yaitu Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa yang hidup dalam wilayah politik sama dengan bahasa Indonesia, Bahasa Jawa juga memiliki hubungan genetis dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa data tersebut adalah campur kode internal atau ke dalam. Dikatakan campur kode eksternal apabila antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran tidak mempunyai hubungan kekerabatan, secara geografis, geanologis ataupun secara politis. Campur kode eksternal ini terjadi diantaranya karena kemampuan intelektualitas yang tinggi, memancarkan nilai moderat. Dengan demikian hubungan campur kode tipe ini adalah keasingan antar bahasa yang terlibat. Contoh campur kode eksternal dalam dialog (3) berikut: (3) Data-data yang ada di phone memory kemungkinan akan hilang seperti nomer-nomer telepon, pesan, kalender dan catatan. Kata phone memory dalam teks berasal dari bahasa Inggris, bahasa Inggris tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan bahasa Indonesia, antara kedua bahasa tersebut juga tidak ada hubungan genetis oleh sebab itu maka tipe campur kode pada kata tersebut adalah tipe campur kode ke luar atau eksternal.
16 Bentuk bentuk Campur Kode Menurut Suwito (1985: 78) selain tipe-tipe campur kode juga memiliki wujud yang ditentukan oleh wujud bahasa tercampur yaitu seberapa besar unsur bahasa tercampur menyusup ke dalam bahasa utama. Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat didalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain penyisipan unsur yang berupa kata, penyisipan unsur berupa frase, penyisipan unsur berupa klausa, penyusupan unsur berupa perulangan kata dan penyusupan unsur berupa ungkapan Latar Belakang Terjadinya Campur Kode Suwito (1985: 77-78) memberi batasan tentang faktor penyebab campur kode berasal dari latar belakang terjadinya campur kode, yakni tipe -tipe yang berlatar belakang pada sikap atau non-kebahasaan dan tipe yang berlatar belakang pada kebahasaan. Dari latar belakang tersebut maka dapat diidentifikasi faktor faktor penyebab terjadinya campur kode sebagai berikut : 1. identifikasi peranan yang ukurannya adalah sosial, registeral, edukasional; 2. identifikasi ragam yang ditentukan oleh bahasa yang dipakai seseorang didalam peristiwa campur kode, berdasarkan kedudukan dalam status sosialnya; 3. keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan, yang menandai sikap dan hubungan dengan orang lain.
17 24 Faktor penyebab terjadinya campur kode yaitu (1) kesantaian penutur (2) situasi formal (3) kebiasaan (4) tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai (Nababan, 1993:32) Dari pendapat di atas tampak persamaan dan perbedaan dalam memandang campur kode. Persamaannya bahwa campur kode merupakan percampuran dua bahasa (varian) atau lebih dalam tindak tutur. Perbedaannya yaitu masing-masing pada batas-batas linguistik campur kode Weinreich (1963) menjelaskan mengapa seseorang harus meminjam kata-kata dari bahasa lain. Hal ini pada dasarnya memiliki dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Internal adalah faktor yang menunjukan bahwa seseorang meminjam kata dari bahasa lain karena dorongan yang ada dalam dirinya. Adapun faktor tersebut meliputi tiga macam sebagaimana tersebut di bawah ini. 1. Menghindari kata yang jarang dipakai (Low frequency of word) Seseorang melakukan campur kode karena kata-kata yang sering digunakan biasanya mudah diingat dan lebih stabil maknanya. Hal ini misalnya, ketika seorang guru sedang mengajarkan tentang tokoh cerita protagonis, antagonis dan figuran yang berasal dari bahasa Inggris. Dengan demikian peminjaman kata dari bahasa lain bertujuan untuk menghindari pemakaian kata yang jarang didengar orang. Atau dengan kata lain menggunakan kata yang biasanya dipakai sehingga lawan tutur mudah memahami makna yang ingin disampaikan penutur.
18 25 2. Memecahkan masalah homonym (Pernicious Homonymy) Kata-kata yang dipinjam dari bahasa lain juga digunakan untuk memecahkan masalah homonim yang ada dalam bahasa penutur. Maksudnya adakalanya jika penutur menggunakan kata dalam bahasanya sendiri, maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim yaitu makna ambigu. Sehingga untuk menghindari keambiguan makna penutur menggunakan kata dari bahasa lain. 3. Menggunakan sinonim kata (Need for Synonim) Penutur sengaja menggunakan kata dari bahasa lain yang bersinonim dengan bahasa penutur dengan tujuan untuk menyelamatkan muka lawan tutur. Faktor eksternal adalah suatu dorongan yang berasal dari luar penutur, yang menyebabkan penutur meminjam kata dari bahasa lain. Terdapat empat faktor eksternal sebagaimana berikut ini. 1. Perkembangan atau perkenalan dengan budaya baru (New culture) Faktor ini terjadi karena adanya perkembangan budaya baru misalnya perkembangan teknologi di Indonesia, mau tidak mau orang Indonesia banyak menggunakan bahasa Inggris karena banyak sekali alat-alat teknologi yang berasal dari negara asing. Atau pemakaian bahasa Jawa oleh para mahasiswa yang notabene tidak berasal dari Jawa. 2. Maksud tertentu (In Sufficiently Differentiated) Menunjukkan makna tertentu yang memiliki maksud tertentu misalnya karena kebiasaan.
19 26 3. Status Sosial (Social Value) Penutur mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor sosial, sehingga diharapkan dengan penggunaan kata-kata tersebut dapat menunjukan status sosial dari penutur. 4. Keterbatasan kosa kata (Oversight) Maksudnya ada keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasa penutur dalam kaitannya dengan topik yang disampaikan sehingga penutur harus mengambil kata dari bahasa lain. Contohnya terbatasnya kata dalam bidang kedokteran dalam bahasa Indonesia, maka banyak istilah kedokteran yang diambil dari bahasa latin yang mempunyai istilah yang tepat dalam bidang kedokteran Tindak Tutur dan Pragmatik Tindak tutur sebenarnya merupakan salah satu fenomena dalam masalah yang lebih luas, yang dikenal dengan istilah pragmatik. Tindak tutur (speech act) merupakan bagian dari peristiwa tutur (speech event). Kalau peristiwa tutur itu dalam bentuk praktis adalah wacananya, seperti sebuah percakapan, pidato, proses pembelajaran, dan lain-lain, maka tindak tutur merupakan unsur pembentukannya yang berupa tuturan dan tindakan/perbuatan tuturannya (Chaer, 2004: 50). Wijana (1996: 1) menjelaskan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi. Pragmatik mempelajari bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi dan
20 27 bagaimana pragmatik menyelidiki makna sebagai konteks, bukan sebagai sesuatu yang abstrak dalam komunikasi (Leech, 1993: 5). Konteks menjadi pijakan utama dalam analisis pragmatik. Konteks di sini termasuk masalah siapa yang mengatakan kepada siapa, tempat dan waktu diujarkannya suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai yang terlibat di dalam tindakan mengutarakan kalimat itu (Purwo, 1990: 14) Jadi, makna yang dikaji oleh pragmatik adalah makna yang terikat konteks (contex dependent) atau dengan kata lain mengkaji maksud penutur untuk memahami maksud mitra tutur. Penutur dan mitra tutur dapat memanfaatkan pengalaman bersama (background knowledge) untuk memudahkan pengertian bersama. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat dipahami bahwa cakupan kajian pragmatik sangat luas, sehingga sering dianggap tumpang tindih dengan kajian wacana atau kajian sosiolinguistik. Suatu kajian pragmatik bukan hanya bentuk kata atau kalimat saja, melainkan juga konteks yang melingkupinya, penggunaannya dalam tindak tutur atau tindak ujaran (speech act), interaksi antara penutur dan lawan tutur. Untuk lebih jelasnya, berikut akan disajikan tentang aspek dan bentuk pragmatiknya Aspek Pragmatik Leech (1993: 19-20) mengemukakan sejumlah aspek studi pragmatik, meliputi : penutur dan mitra tutur, konteks tutur, tujuan
21 28 tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal Penutur dan mitra tutur Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan mitra tutur adalah usia, latar belakang sosial, ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban Konteks Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau latar belakang sosial yang sesuai dan tuturan yang bersangkutan. Dalam pragmatik konteks itu pada hakekatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur Tujuan tuturan Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tuturan Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan satu maksud atau sebaliknya, satu maksud dapat disampaikan dengan beraneka ragam tuturan Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas Pragmatik menangani bahasa dan tingkatannya yang lebih konkret, dibanding tata bahasa. Tuturan yang konkret adalah jelas penutur dan mitra tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.
22 Tuturan sebagai produk tindak verbal Tuturan yang digunakan dalam pragmatik merupakan wujud dari tindak verbal. Oleh karena itu, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwasanya dalam melakukan ujaran ada beberapa aspek yang harus diperhatikan. Aspekaspek tersebut akan berpengaruh pada keberterimaan dan keefektifan ujaran yang dilakukan, atau karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam memaknai suatu ujaran tidak dapat mengabaikan faktor-faktor di luar ujaran itu sendiri Bentuk Tindak Tutur Searle (dalam Rohmadi, 2004: 29) menyebut tindak tutur sebagai produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi linguistik yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, perintah atau yang lainnya. Tindak tutur (speech act) adalah gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu (Chaer, 2004: 49). Berdasar struktur kalimatnya, tindak tutur terdiri atas tiga jenis, yaitu (1) kalimat deklaratif (pernyataan); (2) kalimat interogatif (pertanyaan); dan (3) kalimat imperatif (perintah) (Chaer, 2004:50). Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar
23 30 untuk menaruh perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa atau sekedar hanya memberitahukan. Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar untuk member jawaban secara lisan. Kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta. Pembagian kalimat atas kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif didasarkan pada bentuk kalimat itu secara terlepas, artinya ada kemungkinan sebuah kalimat deklaratif atau kalimat interogatif tidak lagi berisi pernyataan dan pertanyaan, tetapi menjadi berisi perintah. Hal ini dikarenakan oleh adanya situasi dan kondisi konteks yang mengikuti terjadinya suatu kalimat tersebut, sehingga suatu satuan kalimat dapat juga dipakai untuk mengungkapkan sejumlah fungsi di dalam komunikasi, dan suatu fungsi komunikatif tertentu dapat juga diungkapkan dengan sejumlah satuan kalimat (Purwo, 1990:14). Misalnya, suatu kalimat Sudah jam Sembilan! (yang secara struktural dapat disebut sebagai kalimat deklaratif) dapat digunakan untuk mengungkapkan sejumlah fungsi di dalam komunikasi. Salah satunya, kalimat itu dapat berupa jawaban (yang informatif) terhadap pertanyaan Jam berapa sekarang? Selain membawa fungsi komunikatif, kalimat tersebut dapat pula dipakai untuk komunikatif yang lain. Jika kalimat tersebut misalnya diucapkan oleh seorang ibu yang mengelola pondokan mahasiswi dan diarahkan kepada mahasiswa yang sedang bertamu menemui mahasiswi anak semangnya, maka kalimat itu dapat diartikan
24 31 sebagai pengusiran secara tidak langsung. Jadi kalimat deklaratif tersebut tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan berita atau informasi, tetapi dapat pula digunakan untuk menyatakan perintah. Demikian juga suatu fungsi komunikatif tertentu dapat dinyatakan dengan beberapa cara. Misalnya ada kalimat: (4) Tutup pintu itu!, (5) Bisakah pintu itu ditutup? (6) Saya agak kedinginan. Kalimat-kalimat tersebut menunjukan bahwa suatu fungsi komunikatif dapat disampaikan dengan menggunakan konstruksi imperatif pada kalimat (4), konstruksi interogatif pada kalimat (5), dan konstruksi deklaratif pada kalimat (6). Moeliono (1992: 33) menyatakan bahwa apabila didasarkan pada nilai komunikatifnya, kalimat dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi lima, yakni: (1) kalimat berita atau deklaratif, (2) kalimat perintah atau imperatif, (3) kalimat tanya atau interogatif, (4) kalimat seruan atau eksklamatif, (5) kalimat penegas atau emfatik. Sesuai sebutannya kalimat berita untuk menyampaikan berita yang berupa pernyataan, kalimat tanya digunakan untuk mengajukan pertanyaan, kalimat perintah digunakan untuk memberikan perintah, kalimat seruan digunakan untuk mengungkapkan keheranan atau kekaguman atas hal tertentu, dan kalimat penegas digunakan untuk memberikan penekanan atau penegasan khusus terhadap pokok pembicaraan tertentu.
25 32 Ramlan (1987: 31) menyatakan bahwa berdasarkan fungsinya dalam hubungannya dengan situasi, kalimat dapat digolongkan menjadi tiga, yakni (1) kalimat berita, (2) kalimat tanya, (3) kalimat suruh. Kalimat berita berfungsi untuk memberitahukan sesuatu kepada orang lain. Kalimat tanya berfungsi untuk menanyakan sesuatu, sedangkan kalimat suruh mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan tertentu dari orang yang diajak berbicara. Berbeda dengan pernyataan di atas, Kundjana (2005: 3) tentang fungsi komunikatif ini, menyebutnya dengan istilah makna pragmatik deklaratif, makna pragmatik interogatif, dan makna pragmatik imperatif. Hal ini digunakan, karena dianggap sosok ini memiliki cakupan makna yang jauh lebih luas manakala dibandingkan dengan istilah lainnya. Misalnya istilah imperatif jika dibandingkan dengan istilah memerintah atau menyuruh. Oleh karena itu, makna pragmatik deklaratif dapat dinyatakan dengan konstruksi deklaratif. Makna pragmatik interogatif dapat dinyatakan dengan konstruksi interogatif. Makna pragmatik imperatif dapat dinyatakan dengan konstruksi imperatif. Dapat dikatakan demikian karena dalam kegiatan bertutur, misalnya makna pragmatik imperatif tidak hanya dapat dinyatakan dengan konstruksi imperatif, melainkan dapat pula dinyatakan dengan konstruksi-konstruksi lain. Karena fungsi komunikasi deklaratif, interogatif maupun imperatif itu terwujud dalam bentuk tindak-tindak tutur, tuturan-tuturan
26 33 tersebut pun erat hubungannya dengan jenis-jenis tindak tutur. Dilihat secara pragmatik, ada tiga jenis tindakan yang diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act) (Austin dalam Chaer, 2004 : 53). Yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. tindak lokusi, yaitu tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti berkata atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami (Chaer, 2004: 53). Searle dalam Wijana (1996: 17) mengatakan bahwa lokusi adalah tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu; 2. tindak ilokusi, yaitu tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit (Chaer, 2004: 53). Tindak tutur ilokusi ini biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan; 3. tindak perlokusi yaitu tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain itu (Chaer, 2004: 53). Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) Mungkin ibu menderita penyakit jantung koroner. Maka si pasien akan panik atau sedih. Ucapan dokter itu adalah tindak tutur perlokusi. Wijana (1996: 20) tindak perlokusi adalah sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang
27 34 seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarkan. Pendapat lain tentang tindak tutur ilokusi seperti yang disampaikan Rohmadi (2004: 31), adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Searle (dalam Rahardi, 2005: 36) menggolongkan tindak tutur ilokusi ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan itu adalah: 1) asertif, 2) direktif, 3) ekspresif, 4) komisif dan 5) deklaratif. 1. Asertif adalah bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan. 2. Direktif adalah bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan tindakan. 3. Ekspresif adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. 4. Komisif adalah bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. 5. Deklaratif adalah bentuk tutur yang menghubungkan bentuk tuturan dengan kenyataan Proses Pembelajaran Telaah mengenai proses pembelajaran dalam kajian ini adalah proses yang berlangsung pada tingkatan SMP dalam mata pelajaran bahasa
28 35 Indonesia, yang terfokus pada tuturan guru, maka akan diuraikan mengenai: 1) pengertian pembelajaran, 2) pembelajaran bahasa Indonesia, dan 3) guru Pengertian Pembelajaran Pembelajaran adalah proses yang sengaja dirancang untuk menciptakan terjadinya aktivitas belajar dalam diri individu. Dengan kata lain, pembelajaran merupakan sesuatu hal yang bersifat eksternal dan sengaja dirancang untuk mendukung terjadinya proses belajar internal dalam diri individu (Benny A. Pribadi, 2009: 6-7). Pengertian pembelajaran menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran di sekolah adalah interaksi atau hubungan timbal balik antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan siswa dalam suatu kelompok belajar. Pengertian interaksi mengandung unsur saling memberi dan menerima, yang selalu melibatkan unsur-unsur: 1) Tujuan pembelajaran yang hendak dicapai sesuai dengan tuntutan kompetensi dasar (KD); 2) Adanya siswa sebagai komponen yang mengalami proses pembelajaran dan guru sebagai komponen yang mengatur proses pembelajaran; 3) Sarana dan prasarana yang mendukung proses pembelajaran seperti media, alat-alat laboratorium dan sumber-sumber belajar lainnya; 4) Lingkungan, sosial dan budaya juga sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran, diharapkan sekolah mampu menciptakan
29 36 lingkungan sekolah yang kondusif sebagai wahana tempat proses pembelajaran. Suatu pembelajaran dapat berjalan dengan efektif bila seluruh komponen yang berpengaruh dalam proses pembelajaran saling mendukung dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen yang berpengaruh dalam proses pembelajaran adalah guru, siswa, sarana-prasana, dan lingkungan (Dirjen Dikmenum, 1994). Guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam implementasi pembelajaran. Tanpa guru, bagaimanapun bagus dan idealnya suatu strategi, maka strategi itu tidak mungkin dapat diaplikasikan. Keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran akan tergantung pada kepiawaian guru dalam menggunakan metode, teknik dan taktik pembelajaran. Mengingat kajian penelitian ini terfokus pada guru dalam pembelajaran, maka mengenai guru akan dibahas lebih rinci dalam bagian lain. Siswa adalah organisme yang unik yang sedang berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiannya, akan tetapi tempo dan irama perkembangan masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Proses pembelajaran dapat dipengaruhi oleh perkembangan anak yang tidak sama itu, disamping karakteristik lain yang melekat pada diri anak. Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran, misalnya media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perlengkapan sekolah, dan lain sebagainya; sedangkan
30 37 prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran, misalnya : jalan menuju sekolah, penerangan sekolah, kamar kecil dan lain sebagainya. Kelengkapan sarana dan prasarana akan membantu guru dalam penyelenggaraan proses pembelajaran. Dengan demikian sarana dan prasarana merupakan komponen penting yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran. Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran, yaitu organisasi kelas dan faktor iklim sosio-psikologis. Faktor organisasi kelas yang didalamnya meliputi jumlah siswa dalam satu kelas merupakan aspek penting yang dapat mempengaruhi pembelajaran. Organisasi kelas yang terlalu besar akan kurang efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Faktor iklim sosio-psikologis maksudnya adalah keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam proses pembelajaran. Iklim sosial ini dapat terjadi secara internal atau eksternal. Secara internal adalah hubungan antara orang yang terlibat dalam lingkungan sekolah, misalnya antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan guru, bahkan antara guru dengan pimpinan sekolah. Secara eksternal adalah hubungan yang harmonis antara pihak sekolah dengan dunia luar, misalnya antara sekolah dengan orang tua siswa, dengan lembaga-lembaga masyarakat, dan lain sebagainya. Hubungan antara komponen-komponen tersebut di atas, dapat digambarkan dalam bentuk skema seperti pada gambar berikut :
31 38 Faktor sekolah guru, metode, sarana Raw Input siswa masuk Proses Pembelajaran Out Put Siswa Berhasil Faktor Lingkungan Sosial Budaya Gambar 1: Skema komponen-komponen yang berpengaruh dalam proses pembelajaran. (Sumber Dirjen Pendidikan Menengah Umum, 1994) Pembelajaran Bahasa Indonesia Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan. Tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999) adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai,
32 39 dan mengekspresikan diri dengan berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan. Sementara itu, dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) untuk SMP dan MTs, disebutkan bahwa tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia secara umum meliputi: 1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, 2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, 3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, 4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial, 5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, 6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Tujuan di atas dapat tercapai, bila dalam pembelajaran bahasa memperhatikan prinsip-prinsip belajar bahasa, serta menjadikan aspekaspek tersebut sebagai petunjuk. Prinsip-prinsip belajar bahasa dapat disarikan sebagai berikut. Pebelajar akan belajar bahasa dengan baik bila: 1) diperlakukan sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat, 2) diberi kesempatan berapstisipasi dalam penggunaan bahasa secara komunikatif dalam berbagai macam aktivitas, 3) bila ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk, keterampilan, dan strategi
33 40 untuk mendukung proses pemerolehan bahasa, 4) ia disebarkan dalam data sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari bahasa sasaran, 5) jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan budaya, 6) jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan mereka, dan 7) jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri (Aminuddin, 1994) Guru Guru sebagai sosok panutan, yang memiliki moral dan agama yang patut ditiru dan diteladani oleh siswa di dalam maupun di luar kelas. Alat pendidikan yang diharapkan akan membentuk kepribadian siswa kelak di masa dewasa. Dalam hal ini guru dipandang sebagai role model yang akan digugu dan ditiru oleh peserta didiknya (Suparlan, 2006: 32). Guru harus banyak menggunakan waktunya untuk berhubungan dengan peserta didik, tidak saja karena jauh dari kondisi komunikasi yang ideal di kebanyak kelas, tetapi juga karena hakikat mengajar itu sendiri. Ujaran guru dikarakterisasi dengan banyaknya ujaran yang menindakan tindak tutur, yaitu menginformasikan, menjelaskan, mendefinisikan, menanyakan, membenarkan,, menarik perhatian, dan memerintah (Ibrahim, 1993: 211) Kompetensi Guru Guru memiliki satu kesatuan peran dan fungsi yang tidak dapat dipisahkan antara kemampuan mendidik, membimbing, mengajar dan
34 41 melatih. Keempat kemampuan tersebut secara terminologis akademis dapat dibedakan antara yang satu dengan lainnya. Namun, dalam kenyataan praktik di lapangan, keempat hal tersebut harus menjadi satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan (Suparlan, 2006: 29). Mengingat kajian penelitian ini mengenai tuturan guru yang terjadi dalam proses pembelajaran atau ketika guru sedang mengajar, maka penulis akan menjelaskan mengenai ketrampilan mengajar guru. Keterampilan mengajar (teaching skills) dapat dilatihkan melalui microteaching yang harus dikuasai terlebih dahulu oleh calon guru sebelum melakukan proses pembelajaran di lembaga pendidikan (Usman, 2006: 74). Adapun keterampilan mengajar tersebut antara lain: keterampilan bertanya (questioning skills), keterampilan memberi penguatan (reinforcement skills), keterampilan mengadakan variasi (variation skills), keterampilan menjelaskan (explaning skills), keterampilan membuka dan menutup pelajaran (set induction an closure), keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil, keterampilan mengelola kelas, dan keterampilan mengajar perseorangan Keterampilan bertanya (questioning skills) Bagaimanapun tujuan pendidikan, secara universal guru akan selalu menggunakan keterampilan bertanya kepada siswanya. Cara bertanya untuk seluruh kelas, untuk kelompok atau untuk individu, memiliki pengaruh yang sangat berarti tidak hanya pada hasil belajar
35 42 siswa tetapi juga pada suasana kelas baik sosial maupun emosional (Djamarah, 2005: 99). Menurut Usman (2006: 77-79) keterampilan bertanya ada dua yaitu keterampilan bertanya dasar dan keterampilan bertanya lanjutan. 1. Komponen-komponen keterampilan bertanya dasar, yaitu: Penggunaan pertanyaan secara jelas dan singkat Pemberian acuan Pemindahan giliran Penyebaran Pemberian waktu berfikir Pemberian tuntutan 2. Komponen-komponen keterampilan bertanya lanjutan, yaitu: Pengubahan tuntutan tingkat kognitif dalam menjawab pertanyaan Pengaturan urutan pertanyaan Penggunaan pertanyaan pelacak Peningkatan terjadinya interaksi Keterampilan memberi penguatan (reinforcement skills) Penguatan (reinforcement) adalah segala bentuk respons, apakah bersifat verbal ataupun nonverbal, yang merupakan bagian dari modifikasi tingkah laku guru terhadap tingkah laku siswa, yang bertujuan untuk memberikan informasi atau umpan balik (feedback)
36 43 bagi si penerima (siswa) atas perbuatannya sebagai suatu tindak dorongan ataupun koreksi (Usman, 2006: 80) Pemberian respon dalam proses interaksi educatif disebut pemberian penguatan, karena hal tersebut akan membantu sekali dalam meningkatkan hasil belajar siswa (Djamarah, 2005: 118). Usman (2006: 81), penguatan mempunyai pengaruh yang berupa sikap positif terhadap proses belajar siswa dan bertujuan sebagai berikut : 1. meningkatkan perhatian siswa terhadap pelajaran; 2. merangsang dan meningkatkan motivasi belajar; 3. meningkatkan kegiatan belajar dan membina tingkah laku siswa yang produktif. Dalam memberikan penguatan diperlukan penggunaan komponen keterampilan yang tepat. Komponen tersebut ada enam. 1. Penguatan verbal Pujian dan dorongan yang diucapkan oleh guru untuk merespon tingkah laku siswa adalah penguatan verbal. 2. Penguatan gestural Pemberian penguatan gestural sangat erat sekali dengan pemberian penguatan verbal. Gerakan tubuh merupakan bentuk pemberian penguatan gestural.
37 44 3. Penguatan kegiatan Penguatan dalam bentuk kegiatan ini banyak terjadi bila guru menggunakan suatu kegiatan atau tugas, sehingga dapat memilihnya/menikmati sebagai suatu hadiah atas suatu pekerjaan atau penampilan sebelumnya. 4. Penguatan mendekati Perhatian guru kepada siswa menunjukan bahwa guru tertarik, secara fisik guru mendekati siswa dapat dikatakan sebagai penguatan mendekati. Penguatan mendekati siswa secara tisik dipergunakan untuk memperkuat penguatan verbal, penguatan tanda dan penguatan sentuhan. 5. Penguatan sentuhan Penguatan gentuhan merupakan penguatan yang terjadi bila guru secara fisik menyentuh siswa, misal menepuk bahu, berjabatangan yang semuanya ditunjukan untuk penghargaan penampilan tingkah laku atau kerja siswa. 6. Penguatan tanda Bila guru menggunakan berbagai macam simbol, apakah itu benda atau tulisan yang ditujukan kepada siswa untuk penghargaan terhadap suatu penampilan tingkah laku, kerja siswa disebut sebagai penguatan tanda (loken reinforcemen).
BAB II LANDASAN TEORI. Biau. Kabupaten Buol. Adapun penelitian sejenis yang pernah diteliti antara lain:
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Penelitian tentang alih kode dan campur kode, sudah banyak diteliti oleh para peneliti sebelumnya. Namun sejauh ini belum ada yang melakukan penelitian
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo, 1985:46). Untuk
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah ide-ide, penggambaran, hal-hal, atau benda-benda ataupun gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo, 1985:46).
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep merupakan abstraksi mengenai fenomena yang dirumuskan atas
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan abstraksi mengenai fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian keadaan kelompok
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dua bahasa atau lebih (multilingual), yaitu bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia pada umumnya memiliki keterampilan menggunakan dua bahasa atau lebih (multilingual), yaitu bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa nasional dan bahasa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengantar Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah menjadi suatu wilayah yang kompleks masyarakatnya. Keadaan ini terjadi karena sekarang semakin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sikap terhadap apa yang dituturkannya. kegiatan di dalam masyarakat. Bahasa tidak hanya dipandang sebagai gejala
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Sebagai alat komunikasi bahasa digunakan sebagai alat penyampaian pesan dari diri seseorang kepada orang lain,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. istilah. Berikut diuraikan penjelasan yang berkaitan dengan pendahuluan.
BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini diuraikan mengenai: (1) latar belakang, (2) fokus penelitian, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) penegasan istilah. Berikut diuraikan penjelasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa juga merupakan ekspresi kebudayaan,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat yang digunakan oleh sekelompok manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa juga merupakan ekspresi kebudayaan, karena bahasa mengalami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi tersebut, manusia memerlukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia bermasyarakat. Bahasa berfungsi sebagai alat untuk berinteraksi atau alat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan fenomena yang tidak dapat dilepaskan dari segala kegiatan manusia bermasyarakat. Bahasa berfungsi sebagai alat untuk berinteraksi atau alat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. interaksi antarpesona dan memelihara hubungan sosial. Tujuan percakapan bukan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan berbicara menduduki posisi penting dalam kehidupan manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia melakukan percakapan untuk membentuk interaksi antarpesona
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan manusia, karena melalui bahasa manusia dapat saling berhubungan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah salah satu alat komunikasi yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena melalui bahasa manusia dapat saling berhubungan dengan sesama anggota masyarakat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi bersifat arbitrer yang dipergunakan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat utama dalam komunikasi dan memiliki daya ekspresi dan informatif yang besar. Bahasa sangat dibutuhkan oleh manusia karena dengan bahasa manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bersifat produktif dan dinamis. Selain itu perkembangan bahasa juga dipengaruhi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa selalu mengalami perkembangan dan perubahan dalam kurun waktu tertentu. Perkembangan dan perubahan bahasa terjadi karena bahasa yang bersifat produktif dan dinamis.
Lebih terperinciBAB II KERANGKA TEORI. ini, yang berkaitan dengan: (1) pengertian pragmatik; (2) tindak tutur; (3) klasifikasi
BAB II KERANGKA TEORI Kerangka teori ini berisi tentang teori yang akan digunakan dalam penelitian ini, yang berkaitan dengan: (1) pengertian pragmatik; (2) tindak tutur; (3) klasifikasi tindak tutur;
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. satu sama lain. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat komunikasi sosial.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam komunikasi, hubungan antara bahasa dan masyarakat tidak dapat dipisahkan karena bahasa merupakan wahana bagi masyarakat untuk berinteraksi satu sama lain. Fungsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. alat berkomunikasi antara anggota masyarakat yang berupa lambang bunyi yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa sebagai wahana komunikasi digunakan setiap saat. Bahasa merupakan alat berkomunikasi antara anggota masyarakat yang berupa lambang bunyi yang dihasilkan oleh
Lebih terperinciKESANTUNAN IMPERATIF DALAM PIDATO M. ANIS MATTA: ANALISIS PRAGMATIK SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1
KESANTUNAN IMPERATIF DALAM PIDATO M. ANIS MATTA: ANALISIS PRAGMATIK SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah HERU SUTRISNO
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep dapat mendukung proses berjalannya suatu penelitian.
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Alih Kode Konsep dapat mendukung proses berjalannya suatu penelitian. Menurut KBBI konsep adalah rancangan dasar, ide, pengertian, dan gambaran
Lebih terperinciALIH KODE DAN CAMPUR KODE SERTA PENGGUNAANNYA DALAM RANAH SOSIOLINGUISTIK
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE SERTA PENGGUNAANNYA DALAM RANAH SOSIOLINGUISTIK Sungkono Dekan FKIP Universitas Borneo Tarakan E-mail: sungkono_ubt@yahoo.com ABSTRAK: Manusia mengungkapkan maksud yang ingin
Lebih terperinciALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PEMBELAJARAN SAINS DI SD DOREMI EXCELLENT SCHOOL. oleh: Ni Made Yethi suneli
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PEMBELAJARAN SAINS DI SD DOREMI EXCELLENT SCHOOL oleh: Ni Made Yethi suneli Abstrak: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menganalisis
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. dilakukan. Akan tetapi penelitian tentang interferensi bahasa telah banyak dilakukan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Relevan Sebelumnya Kajian tentang penggunaan bahasa Suwawa khususnya di lingkungan masyarakat Kecamatan Bone Raya Kabupaten Bone Bolango belum pernah dilakukan. Akan tetapi
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Tindak tutur adalah bagian dari pragmatik yang digagasi oleh Austin
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Tindak Tutur Tindak tutur adalah bagian dari pragmatik yang digagasi oleh Austin (1962) dengan mengemukakan pendapat bahwa pada dasarnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi (Wijana,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sudah sewajarnya bahasa dimiliki oleh setiap manusia di dunia ini yang secara rutin
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Kajian mengenai bahasa merupakan suatu kajian yang tidak akan pernah habis untuk dibicarakan karena bahasa telah menjadi bagian dari
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada empat, yaitu tuturan, alih kode, campur kode dan bilingualisme. 2.1.1 Tuturan Tuturan atau
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi antar sesama, baik dalam kehidupan sehari-hari di keluarga maupun di lingkungan masyarakat tempat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ada dua proses yang terjadi, yaitu proses kompetensi dan proses performansi.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya (Simanjuntak:1987:157).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Alih kode..., Dewi Nuryanti, FIB UI, Universitas Indonesia
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemahaman berbahasa setiap orang berbeda di setiap budaya. Berkumpulnya berbagai budaya di suatu tempat, seperti ibukota negara, menyebabkan bertemunya berbagai budaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa mengalami perubahan signifikan seiring dengan perubahan masyarakat. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai keperluannya. Banyaknya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. atau kelompok individu terutama kelompok minoritas atau kelompok yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seseorang dapat bertutur dengan bahasa tertentu secara tiba-tiba dalam situasi penuturan baik bersifat formal maupun yang bersifat informal. Mengganti bahasa diartikan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. kaitannya dengan penelitian yang dilakukan. Kajian pustaka adalah langkah yang
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka berisi beberapa hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan. Kajian pustaka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Cara pengungkapan maksud dan tujuan berbeda-beda dalam peristiwa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cara pengungkapan maksud dan tujuan berbeda-beda dalam peristiwa berbahasa. Sebagian orang menggunakan bahasa lisan atau tulisan dengan menggunakan kata-kata yang jelas
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Pragmatik pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf yang bernama
BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Pengertian Pragmatik Pragmatik pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf yang bernama Charles Morris. Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa
Lebih terperinciALIH KODE DAN CAMPUR KODE PERCAKAPAN STAF FKIP UNIVERSITAS AL ASYARIAH MANDAR
Prosiding Seminar Nasional Volume 03, Nomor 1 ISSN 2443-1109 ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PERCAKAPAN STAF FKIP UNIVERSITAS AL ASYARIAH MANDAR Nur Hafsah Yunus MS 1, Chuduriah Sahabuddin 2, Muh. Syaeba 3 Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pertimbangan akal budi, tidak berdasarkan insting. dan sopan-santun non verbal. Sopan-santun verbal adalah sopan santun
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Baryadi (2005: 67) sopan santun atau tata krama adalah salah satu wujud penghormatan seseorang kepada orang lain. Penghormatan atau penghargaan terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi menggunakan simbol-simbol vokal
2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sarana komunikasi yang paling penting sesama masyarakat adalah bahasa. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia lain. Bahasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengekspresikan tulisanya baik lisan maupun tulisan dengan memanfaatkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuturan manusia dapat diekspresikan melalui media masa baik lisan maupun tulisan. Dalam media lisan, pihak yang melakukan tindak tutur adalah penutur (pembicara)
Lebih terperinciRealisasi Tuturan dalam Wacana Pembuka Proses Belajar- Mengajar di Kalangan Guru Bahasa Indonesia yang Berlatar Belakang Budaya Jawa
REALISASI TUTURAN DALAM WACANA PEMBUKA PROSES BELAJARMENGAJAR DI KALANGAN GURU BAHASA INDONESIA YANG BERLATAR BELAKANG BUDAYA JAWA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dapat dilakukan oleh manusia melalui bahasa. Chaer (2010:14)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasi untuk dapat menjalin hubungan dengan manusia lain dalam lingkungan masyarakat. Komunikasi dapat dilakukan oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahasa pengantar dalam komunikasi sehari-hari. nasional dan bahasa negara. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahasa merupakan sarana yang vital dan utama dalam hidup. Karena tanpa bahasa sulit bagi kita untuk mengerti atau memahami arti dan maksud dari perkataan orang lain.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Seiring berjalannya waktu, dunia perfilman telah mengalami perkembangan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring berjalannya waktu, dunia perfilman telah mengalami perkembangan yang pesat saat ini. Film juga telah memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Selain
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. situasi tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Yule (2006: 82) yang. menyatakan bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak tutur merupakan suatu bentuk tindakan dalam konteks situasi tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Yule (2006: 82) yang menyatakan bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasi untuk dapat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasi untuk dapat menjalin hubungan dengan manusia lain dalam lingkungan masyarakat. Ada dua cara untuk dapat melakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa berfungsi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi atau interaksi sosial. Sebagai alat komunikasi, bahasa dapat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. lain, sehingga orang lain mengetahui informasi untuk memenuhi kebutuhan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa berperan penting di dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, hampir semua kegiatan manusia bergantung pada dan bertaut dengan bahasa. Tanpa adanya bahasa
Lebih terperinciTINDAK TUTUR DALAM BERCERITA SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 CIAMIS
TINDAK TUTUR DALAM BERCERITA Oleh Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ABSTRAK Berdasarkan observasi penulis saat melakukan kegiatan PPL. Anak terlihat cenderung pasif melakukan kegiatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun kelompok. Bahasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia. Makhluk sosial
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial, yaitu mahluk yang berkelompok dengan spesiesnya, untuk berinteraksi dengan sesamanya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. komunikasi, sebab bahasa adalah alat komunikasi yang sangat penting,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan ciri yang paling khas manusia yang membedakan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan bahasa manusia dapat mengadakan komunikasi, sebab bahasa adalah alat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya dalam kehidupannya. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia saling berkomunikasi
Lebih terperinciBentuk Tuturan Imperatif Bahasa Indonesia dalam Interaksi Guru-Siswa di SMP Negeri 1 Sumenep
Andriyanto, Bentuk Tuturan Imperatif Bahasa Indonesia... 9 Bentuk Tuturan Imperatif Bahasa Indonesia dalam Interaksi Guru-Siswa di SMP Negeri 1 Sumenep Andriyanto Bahasa Indonesia-Universitas Negeri Malang
Lebih terperinciBAB 2 TINDAK TUTUR DAN SLOGAN IKLAN. Pandangan Austin (Cummings, 2007:8) tentang bahasa telah menimbulkan
BAB 2 TINDAK TUTUR DAN SLOGAN IKLAN 2.1. Pengertian Tindak Tutur Pandangan Austin (Cummings, 2007:8) tentang bahasa telah menimbulkan pengaruh yang besar di bidang filsafat dan lingustik. Gagasannya yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sekitar, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai moral atau agama. Tidak dapat. kebutuhan manusia satu dengan yang lainnya.
1 BAB I PENDAHULUAN A LATAR BELAKANG Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dwibahasa yang berbahasa pertama bahasa daerah dan berbahasa kedua bahasa Indonesia. Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peristiwa tutur merupakan gejala sosial, sedangkan tindak tutur
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peristiwa tutur merupakan gejala sosial, sedangkan tindak tutur merupakan gejala individual, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan berbahasa si penutur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Film adalah media komunikasi yang bersifat audio visual untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Film adalah media komunikasi yang bersifat audio visual untuk menyampaikan suatu pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat tertentu (Effendy, 1986:
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu tuturan saat seseorang
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Tindak Tutur Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu tuturan saat seseorang melakukan beberapa tindakan seperti melaporkan, menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, dan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. peneliti di Indonesia. Penelitian-penelitian itu yang dilakukan oleh: Susi Yuliawati
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relavan Penelitian mengenai multilingualisme telah banyak dilakukan oleh para peneliti di Indonesia. Penelitian-penelitian itu yang dilakukan oleh: Susi Yuliawati
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. tentang pemertahanan bahasa Bali di Universitas Airlangga, dan pemertahanan
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Penelitian yang mengangkat masalah Pemertahanan Bahasa Bali belum ada yang melakukan di daerah Gorontalo, namun peneliti menemukan di internet
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang berkembang saat ini
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang berkembang saat ini adalah Taman Kanak Kanak (TK) seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia dalam menyampaikan ide, gagasan, atau perasaan kepada orang lain.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa digunakan oleh manusia dalam bidang kehidupannya. Mempelajari bahasa dan mengkaji bahasa merupakan hal yang penting dilakukan oleh manusia karena secara langsung
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami
Lebih terperinciOBJEK LINGUISTIK = BAHASA
Nama : Laela Mumtahanah NIM : 1402408305 BAB III OBJEK LINGUISTIK = BAHASA Objek kajian linguistik yaitu bahasa 3. 1. Pengertian Bahasa Objek kajian linguistik secara langsung adalah parole karena parole
Lebih terperinciTINDAK TUTUR DALAM DIALOG DRAMA KISAH CINTA 40 MENIT KARYA DIDI ARSANDI
TINDAK TUTUR DALAM DIALOG DRAMA KISAH CINTA 40 MENIT KARYA DIDI ARSANDI NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa memiliki peranan penting bagi manusia. (Keraf, 1971:1) bahasa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki peranan penting bagi manusia. (Keraf, 1971:1) bahasa merupakan alat komunikasi yang dipergunakan sebagai alat untuk berinteraksi dalam menyampaikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek pengajaran yang sangat penting, mengingat bahwa setiap orang menggunakan bahasa Indonesia
Lebih terperinciTINDAK TUTUR DAN KESANTUNAN BERBAHASA DI KANTIN INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI
TINDAK TUTUR DAN KESANTUNAN BERBAHASA DI KANTIN INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI Oleh: Latifah Dwi Wahyuni Program Pascasarjana Linguistik Deskriptif UNS Surakarta Abstrak Komunikasi dapat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, digunakan baik sebagai bahasa pengantar sehari-hari ataupun bahasa pengantar di lingkungan formal seperti bahasa pengantar sekolah,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ucap yang bersifat arbiter dan konvensional, yang dipakai sebagai alat komunikasi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi oleh alat ucap yang bersifat arbiter dan konvensional, yang dipakai sebagai alat komunikasi oleh sekelompok
Lebih terperinciREALISASI KESANTUNAN BERBAHASA PADA PERCAKAPAN SISWA KELAS IX SMP NEGERI 3 GEYER
REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA PADA PERCAKAPAN SISWA KELAS IX SMP NEGERI 3 GEYER NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S- I Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia,
Lebih terperinciBENTUK KALIMAT IMPERATIF OLEH GURU DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI MTS MUHAMMADIYAH 4 TAWANGHARJO KABUPATEN WONOGIRI NASKAH PUBLIKASI
BENTUK KALIMAT IMPERATIF OLEH GURU DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI MTS MUHAMMADIYAH 4 TAWANGHARJO KABUPATEN WONOGIRI NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. daerah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Akibatnya, banyak masyarakat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sangat penting, yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Di samping bahasa Indonesia, terdapat juga bahasa daerah
Lebih terperinciCAMPUR KODE TUTURAN GURU BAHASA INDONESIA DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR: Studi Kasus di Kelas VII SMP Negeri 20 Padang
CAMPUR KODE TUTURAN GURU BAHASA INDONESIA DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR: Studi Kasus di Kelas VII SMP Negeri 20 Padang Oleh: Murliaty 1, Erizal Gani 2, Andria Catri Tamsin 3 Program Studi Pendidikan Bahasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup, terutama bagi kehidupan manusia. Setiap manusia akan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi merupakan suatu hal yang mutlak dibutuhkan oleh semua makhluk hidup, terutama bagi kehidupan manusia. Setiap manusia akan melakukan komunikasi dengan sesamanya
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. keakuratan data. Teori-teori tersebut adalah teori pragmatik, aspek-aspek situasi
BAB II KAJIAN TEORI Untuk mendukung penelitian ini, digunakan beberapa teori yang dianggap relevan dan dapat mendukung penemuan data agar memperkuat teori dan keakuratan data. Teori-teori tersebut adalah
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L.
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret (KBBI, 2007: 588). 2.1.1 Tindak Tutur Istilah dan teori tentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diperlukan adanya sarana agar komunikasi tersebut dapat berjalan dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu di dalam kehidupan pasti tidak akan terlepas untuk melakukan komunikasi dengan individu lainnya. Dalam berkomunikasi diperlukan adanya sarana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut pendapat Austin (1962) yang kemudian dikembangkan oleh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindak tutur merupakan tindakan yang terjadi dalam setiap proses komunikasi dengan menggunakan bahasa. Berbahasa dalam bentuk berbicara merupakan bagian dari keterampilan
Lebih terperinciTINDAK TUTUR ILOKUSI TOKOH KAKEK DALAM FILM TANAH SURGA
TINDAK TUTUR ILOKUSI TOKOH KAKEK DALAM FILM TANAH SURGA SUTRADARA HERWIN NOVIANTO, RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN MENYIMAK, DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI KELAS X SMA Oleh: Sri Utami Fatimah Program
Lebih terperinciBAB 5. KESIMPULAN dan SARAN. pemakaiannya. Bahasa juga kerap dijadikan media dalam mengungkapkan
1 BAB 5 KESIMPULAN dan SARAN 5.1 Kesimpulan Bahasa merupakan produk budaya yang paling dinamis dalam pemakaiannya. Bahasa juga kerap dijadikan media dalam mengungkapkan pemikiran, permintaan, dan perasaan
Lebih terperinciDAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... i PRASYARAT GELAR... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS... iv PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v UCAPAN TERIMA KASIH... vi ABSTRAK... viii ABSTRACT...
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sekolah, sidang di pengadilan, seminar proposal dan sebagainya.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peristiwa tutur terjadinya atau berlangsung pada interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur;
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 2001: 21). Sebagai alat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa (language) merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahasa tulis salah satu fungsinya adalah untuk berkomunikasi. Bahasa tulis dapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia mempunyai dua peran dalam berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan, yaitu sebagai pemberi informasi dan sebagai penerima informasi. Komunikasi
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. A. Hakikat, Fungsi, dan Kedudukan Bahasa Indonesia. Bahasa dalam bahasa Inggris disebut dengan language, yang memiliki
BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat, Fungsi, dan Kedudukan Bahasa Indonesia Bahasa dalam bahasa Inggris disebut dengan language, yang memiliki pengertian suatu bentuk ungkapan yang bentuk dasarnya ujaran.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pikiran, perasaan, dan pengalaman manusia disampaikan melalui bahasa.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pikiran, perasaan, dan pengalaman manusia disampaikan melalui bahasa. Chaer dan Leonie (2010:14 15) mengungkapkan bahwa dalam komunikasi, bahasa berfungsi sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bentuk ujaran atau tuturan. Tuturan-tuturan yang digunakan tersebut biasanya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam berinteraksi manusia pasti menggunakan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi. Bahasa dalam komunikasi itu digunakan manusia dalam bentuk ujaran atau tuturan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kepentingan bersama (Suwito dalam Aslinda dkk, 2010: 06). Bahasa sebagai
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya manusia merupakan suatu makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan bahasa baik lisan maupun tulisan guna bergaul dengan manusia lain,
Lebih terperincipartisipan, terutama pihak pengirim komunikasi (komunikator), sering melupakan unsurunsur
BAB1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau perasaan.menduduki tempat yang lebih penting daripada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Manusia sebagai masyarakat sosial dituntut untuk berkomunikasi dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai masyarakat sosial dituntut untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Untuk keperluan ini, manusia dapat menggunakan bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi dua sarana,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunikasi dapat dilakukan oleh manusia melalui bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi dua sarana, yaitu bahasa tulis dan bahasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan beberapa bangsa asing yang membawa bahasa dan kebudayaannya masing-masing.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia mengalami kontak dengan beberapa bangsa asing yang membawa bahasa dan kebudayaannya masing-masing.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, tetapi sebagai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan suatu bangsa dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan suatu bangsa dan peranannya sangat penting sehingga melalui bahasa dapat dilihat tinggi rendahnya kebudayaan bangsa tersebut.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran tersebut. Berbagai mata pelajaran diajarkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam bidang pendidikan proses pembelajaran di sekolah menjadi pilar utama. Karena tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan nasional sangat ditentukan dari proses
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahasa yang berlaku dan harus pandai memilih kata-kata yang tepat agar apa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengarang adalah kegiatan merangkai kata-kata yang disusun berdasarkan tema yang sudah ditentukan dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar.merangkai kata-kata
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia. Manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan sesama.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan wujud yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia. Manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan sesama. Setiap komunikasi dengan melakukan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. juga dapat menyampaikan pikiran, perasaan kepada orang lain. demikian, bahasa juga mempunyai fungsi sebagai alat kekuasaan.
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi antarmanusia. Manusia berbahasa setiap hari untuk berkomunikasi. Berbahasa adalah suatu kebutuhan, artinya berbahasa merupakan
Lebih terperinci