BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepercayaan atau perbuatan seseorang. Dari pengertian di atas telah dikemukakan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepercayaan atau perbuatan seseorang. Dari pengertian di atas telah dikemukakan"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengaruh Pengertian Pengaruh Pengertian pengaruh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesian (KBBI) adalah daya yang ada dan timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang. Dari pengertian di atas telah dikemukakan sebelumnya bahwa pengaruh merupakan suatu daya yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang lain. Sedangkan pengertian pengaruh menurut Suyoto Bakir (2006: 145) yaitu pengaruh adalah suatu keadaan adanya hubungan timbal balik, atau hubungan sebab akibat antara apa yang mempengaruhi dengan apa yang dipengaruhi. Dua hal ini adalah yang akan dihubungkan dan dicari apa ada hal yang menghubungkannya. Di sisi lain pengaruh adalah berupa daya yang bisa memicu sesuatu, menjadikan sesuatu berubah. Maka jika salah satu yang disebut pengaruh tersebut berubah, maka akan ada akibat yang ditimbulkannya. 2.2 Psikoedukasi Pengertian Psikoedukasi Psikoedukasi adalah suatu bentuk pendidikan ataupun pelatihan terhadap seseorang dengan gangguan psikiatri yang bertujuan untuk proses treatment dan rehabilitasi. Sasaran dari psikoedukasi adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan penerimaan pasien terhadap penyakit ataupun gangguan yang ia alami, meningkatkan pertisipasi pasien dalam terapi, dan pengembangan coping mechanism 26

2 ketika pasien menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit tersebut. (Goldman, 1998 dikutip dari Bordbar & Faridhosseini, 2010) Definisi istilah psikoedukasi adalah suatu intervensi yang dapat dilakukan pada individu, keluarga, dan kelompok yang fokus pada mendidik partisipannya mengenai tantangan signifikan dalam hidup, membantu partisipan mengembangkan sumbersumber dukungan dan dukungan sosial dalam menghadapi tantangan tersebut, dan mengembangkan keterampilan coping untuk menghadapi tantangan tersebut. (Griffith, 2006 dikutip dari Walsh, 2010) Psikoeduakasi adalah treatment yang diberikan secara profesional dimana mengintegrasikan intervensi psikoterapeutik dan edukasi (Lukens & McFarlane, 2004). Berdasarkan definisi-definisi di atas, psikoedukasi (PE) dapat diterapkan tidak hanya kepada individu tetapi juga dapat diterapkan pada keluarga dan kelompok. Psikoedukasi dapat digunakan sebagai bagian dari proses treatment dan sebagai bagian dari rehabilitasi bagi pasien yang mengalami penyakit ataupun gangguan tertentu. Psikoedukasi banyak diberikan kepada pasien dengan gangguan psikiatri termasuk anggota keluarga dan orang yang berkepentingan untuk merawat pasien tersebut. Walaupun demikian, psikoedukasi tidak hanya dapat diterapkan pada ranah psikiatri tetapi dapat juga diterapkan pada ranah lainnya. Psikoedukasi dapat diterapkan tidak hanya pada individu atau kelompok yang memiliki gangguan psikiatri, tetapi juga digunakan agar individu dapat menghadapi tantangan tertentu dalam tiap tingkat perkembangan manusia sehingga mereka dapat terhindar dari masalah yang berkaitan dengan tantangan yang mereka hadapi. Dengan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa psikoedukasi adalah suatu bentuk intervensi psikologi, baik individual ataupun kelompok, yang bertujuan tidak hanya membantu 27

3 proses penyembuhan klien (rehabilitasi) tetapi juga sebagai suatu bentuk pencegahan agar klien tidak mengalami masalah yang sama ketika harus menghadapi penyakit atau gangguan yang sama, ataupun agar individu dapat menyelsaikan tantangan yang mereka hadapi sebelum menjadi gangguan. Psikoedukasi merupakan proses empowerment untuk mengembangkan dan menguatkan keterampilan yang sudah dimiliki untuk menekan munculnya suatu gangguan mental. Karena psikoedukasi dapat diterapkan sebagai bagian dari persiapan sesorang untuk menghadapi berbagai tantangan dalam tiap tahapan perkembangan kehidupan, maka psikoedukasi dapat diterapkan hampir pada setiap seting kehidupan. Selain itu, karena modelnya yang fleksibel, dimana memadukan informasi terkait gangguan tertentu dan alat-alat untuk mengatasi situasi-situasi tertentu, psikoedukasi berpotensi untuk diterapkan pada area yang luar terkait dengan berbagai bentuk gangguan dan tantangan hidup yang bervariasi (Lukens & McFarlane, 2004). Ini menunjukkan bahwa psikoedukasi diterapkan pada berbagai seting misalnya rumah sakit, bisnis, perguruan tinggi, pemerintahan, lembaga pelayanan sosial, dan bahkan militer. Di dalam Walsh (2010), ia menjelaskan mengenai pengertian psikoedukasi dari Griffiths (2006). Berdasarkan pengertian tersebut, ditarik kesimpulan bahwa fokus dari psikoedukasi adalah sebagai berikut: a. Mendidik partisipaan mengenai tantangan dalam hidup b. Membantu partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan dan dukungan sosial dalam menghadapi tantangan hidup c. Mengembangkan keterampilan coping untuk menghadapi tantangan hidup d. Mengembangkan dukungan emosional e. Mengurangi sense of stigma dari partisipan f. Mengubah sikap dan belief dari partisipan terhadap suatu gangguan (disorder) 28

4 g. Mengidentifikasi dan mengeksplorasi perasaan terhadap suatu isu h. Mengembangkan keterampilan penyelesaian masalah i. Mengembangkan keterampilan crisis-intervention Psikoedukasi tidak hanya bertujuan untuk treatment tetapi juga rehabilitasi. Ini berkaitan dengan mengajarkan seseorang mengenai suatu masalah sehingga mereka bisa menurunkan stres yang terkait dengan masalah tersebut dan mencegah agar masalah tersebut tidak terjadi kembali. Psikoedukasi juga didasarkan pada kekuatan partisipan dan lebih fokus pada saat ini dan masa depan daripada kesulitan-kesulitan di masa lalu. Menurut Walsh (2010), psikoedukasi dapat menjadi intervensi tunggal, tetapi juga sering digunakan bersamaan dengan beberapa intervensi lainnya untuk membantu partisipan menghadapi tantangan kehidupan tertentu. Psikoedukasi tidak sama dengan psikoterapi walaupun kadang terjadi tumpang tindih antara kedua intervensi tersebut. Psikoedukasi kadang ikut menjadi bagian dari sebuah psikoterapi. Walsh (2010) menjelaskan bahwa psikoterapi dapat dipahami sebagai proses interaksi antara seorang profesional dan kliennya (individu, keluarga, atau kelompok) yang bertujuan untuk mengurangi distres, disabiliti, malfungsi dari sistem klien pada fungsi kognisi, afeksi, dan perilaku. Psikoterapi juga lebih fokus pada diri individu yang mendapatkan intervensi, sedangkan psikoedukasi fokus pada sistem yang lebih besar dan mencoba untuk tidak mempatologikan pasien. Kebanyakan intervensi psikososial didasarkan pada model medis tradisional yang didesain untuk mengobati patologi, gangguan, dan disfungsi. Sebaliknya, psikoedukasi merefleksikan paradigma yang lebih menyeluruh dengan pendekatan competence-based, menekankan pada kesehatan, kolaborasi, coping, dan 29

5 empowerment (Dixon, 1999; Marsh, 1992, dikutip dari Lukens & McFarlane, 2004 ). Psikoedukasi didasarkan pada kekuatan dan fokus pada masa sekarang. Psikoedukasi, baik individu ataupun kelompok tidak hanya memberikan informasi- informasi penting terkait dengan permasalahan partisipannya tetapi juga mengajarkan keterampilan-keterampilan yang dianggap penting bagi partisipannya untuk menghadapi situasi permasalahannya. Psikoedukasi kelompok dapat diterapkan pada berbagai kelompok usia dan level pendidikan. Asumsi lainnya, Psikoedukasi kelompok lebih menekankan pada proses belajar dan pendidikan daripada self-awareness dan self-understanding dimana komponen kognitif memiliki proporsi yang lebih besar daripada komponen afektif (Brown, 2011). Namun ini tidak berarti bahwa psikoedukasi sama sekali tidak menyentuh aspek self- awareness dan self-understanding. Hal ini dikembalikan kepada sasaran dari psikoedukasi itu sendiri anak-anak, remaja, dan orang dewasa di berbagai seting. Psikoedukasi kelompok ini juga dapat terdiri dari 1 sesi ataupun lebih. Brown (2011) menjelaskan Psikoedukasi dengan lebih luas. Psikoedukasi kelompok dapat bervariasi dari hanya berupa kelompok diskusi hingga menjadi suatu kelompok self-help. Beberapa bentuk kelompok yang termasuk dalam Psikoedukasi namun memiliki seting dan konten informasi yang berbeda, misalnya task group yang bertujuan untuk pencapaian penyelesaian tugas. Training/work group bertujuan untuk membuat partisipannya mampu memenuhi harapan dari pekerjaannya. Training/social skill group fokus pada pengembangan keterampilan sosial yang bertujuan untuk pencegahan ataupun remedial. Contoh-contoh kelompok tersebut adalah bagian kecil dari psikoedukasi yang disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan dari kelompok tersebut. 30

6 2.2.2 Teori Psikoedukasi Teori-teori yang melatarbelakangi psikoedukasi antara lain adalah teori sistem ekologi, teori kognitif-perilaku, teori belajar, group practice models, stress and coping models, model dukungan sosial, dan pendekatan naratif (Anderson, Reiss, & Hogarty, 1986, dikutip dari Lukens & McFarlane, 2004). Teori sistem ekologi ini memberikan kerangka kerja untuk menilai dan membantu individu dalam memahami gangguan ataupun pengalamannya dikaitkan dengan sistem lain dalam kehidupannya, misalnya pasangan, keluarga, sekolah. Psikoedukasi juga mengadaptasi konsep-konsep dasar dari existensial-humanistik, behaviorist, dan teori kognitif. Pendekatan humanistik yang mendasari psikoedukasi adalah existential-humanistic theory yang menyatakan bahwa manusia mampu membuat keputusan pribadi yang didukung dengan potensi untuk berkembang dan penguasaan lingkungannya, sekaligus bertindak dengan bertanggung jawab. Teori behaviorist menekankan pada pengaruh dari manipulasi lingkungan. Teori kognitif fokus pada penguasaan terhadap keterampilan kognisi-emosi yang menjadi komponen dari proses psycho-training. Psikoedukasi dapat digunakan dalam berbagai seting situasi. Untuk bidang klinis sendiri, psikoedukasi banyak digunakan bersamaan dengan psikoterapi pada klien-klien dengan gangguan psikologi, di sekolah atau instansi pendidikan ataupun pada health psychology atau medical psychology. Misalnya Psikoedukasi pada skizofrenia, bipolar disorder, depresi, penggunaan narkoba ataupun alkohol. Psikoedukasi diberikan agar klien tersebut memiliki pemahaman dan penerimaan terhadap gangguannya untuk menghindari terjadinya kemungkinan relapse. Psikoedukasi tidak hanya diberikan kepada klien, tetapi juga kepada anggota keluarga sebagai suatu sistem dukungan sosial terdekat bagi klien. Untuk 31

7 penerapan pada instansi atau organisasi misalnya adalah penerapan pada sekolah dan universitas. Psikoedukasi yang diberikan biasanya terkait dengan topik-topik tertentu, misalnya bullying, bahaya narkoba, kesehatan reproduksi, ataupun kekerasan dalam pacaran. Psikoedukasi pada sekolah biasanya menjadi bagian dari bimbingan konseling sesuai dengan kebutuhan siswa. Untuk bidang health psychology atau medical psychology, psikoedukasi banyak diterapkan pada pasien-pasien penderita penyakit tertentu. Misalnya pada pasien diabetes, mereka mendapatkan psikoedukasi mengenai gaya hidup yang mendukung kesembuhan mereka atau setidaknya mendukung dalam menjaga kadar gula darah mereka. Contoh lainnya pada pasien-pasien kanker yang membutuhkan perawatan khusus dan perubahan gaya hidup untuk mencegah agar kanker tidak menyerang kembali. Psikoedukasi juga diberikan kepada anggota keluarga ataupun orang yang berkepentingan untuk merawat pasien tersebut. Penerapan- penerapan psikoedukasi itu sendiri sudah banyak dilaksanakan di negara-negara barat dan negara maju. Di Indonesia sendiri, psikoedukasi belum banyak diterapkan secara luas. 2.3 Konsep Ketergantungan NAPZA Pengertian ketergantungan NAPZA NAPZA adalah singkatan untuk narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Sedangkan ketergantungan dapat diartikan sebagai kondisi bagi seseorang yang tidak bisa putus dari suatu zat (Darmono, 2006:19). Adapun menurut Sumiati (2009:94) ketergantungan adalah suatu kondisi dimana pasien tidak mampu putus dari mengonsumsi suatu zat. Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan 32

8 bahwa ketergantungan NAPZA adalah kondisi seseorang yang tidak mampu putus dari NAPZA Jenis NAPZA 1. Narkotika Narkotika berasal dari bahasa Yunani yang berarti narkosis yaitu zat yang menimbulkan mati rasa atau lumpuh (Sarlito W. Sarwono 2009: 268). Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, atau ketagihan yang sangat berat (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1997). Jenis narkotika dibagi atas 3 golongan : (1) Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya adiktif sangat tinggi menyebabkan ketergantunggan. Tidak dapat digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contoh : ganja, morphine, putauw adalah heroin tidak murni berupa bubuk. (2) Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol. (3) Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi dapat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : codein dan turunannya (Darmono, 2006:22-24) 2. Psikotropika Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif,dapat menyebabkan perubahan aktifitas mental 33

9 dan perilaku serta dapat menyebabkan ketergantungan psikis dan fisik bila tanpa pengawasan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1997). Jenis psikotropika dibagi atas 4 golongan : (a) Golongan I : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat untuk menyebabkan ketergantungan, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya seperti esktasi (menthylendioxy menthaphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul), sabu-sabu (berbentuk kristal berisi zat menthaphetamin). (b) Golongan II : adalah psikotropika dengan daya aktif yang kuat untuk menyebabkan Sindroma ketergantungan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : ampetamin dan metapetamin. (c) Golongan III : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sedang berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: lumubal, fleenitrazepam. (d) Golongan IV : adalah psikotropika dengan daya adiktif ringan berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: nitra zepam, diazepam (Martono, 2006) 3. Zat adiktif lainnya Zat adiktif lainnya adalah zat zat selain narkotika dan psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakainya, diantaranya adalah : Rokok, Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan, Thiner dan zat lainnya, seperti lem kayu, penghapus cair dan aseton, cat, bensin yang bila dihirup akan dapat memabukkan (Alifia, 2008) Efek NAPZA 1. Halusinogen, efek dari NAPZA yang bisa mengakibatkan bila dikonsumsi dalam sekian dosis tertentu dapat mengakibatkan seseorang menjadi ber-halusinasi 34

10 dengan melihat suatu hal/benda yang sebenarnya tidak ada/tidak nyata contohnya: kokain & LSD. 2. Stimulan, efek dari NAPZA yang bisa mengakibatkan kerja organ tubuh seperti jantung dan otak bekerja lebih cepat dari kerja biasanya sehingga mengakibatkan seseorang lebih bertenaga untuk sementara waktu, dan cenderung membuat seorang pengguna lebih senang dan gembira untuk sementara waktu. 3. Depresan, efek dari NAPZA yang bisa menekan sistem syaraf pusat dan mengurangi aktivitas fungsional tubuh, sehingga pemakai merasa tenang bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tidak sadarkan diri. Contohnya: putaw. 4. Adiktif, Seseorang yang sudah mengkonsumsi NAPZA biasanya akan ingin dan ingin lagi karena zat tertentu dalam narkoba mengakibatkan seseorang cenderung bersifat pasif, karena secara tidak langsung narkoba memutuskan syarafsyaraf dalam otak, contohnya ganja, heroin, putaw. Jika terlalu lama dan sudah ketergantungan narkoba maka lambat laun organ dalam tubuh akan rusak dan jika sudah melebihi takaran maka pengguna akan overdosis dan akhirnya menyebabkan kematian Jenis Ketergantungan NAPZA Pada kasus ketergantungan terdapat dua macam ketergantungan yaitu ketergantungan fisik dan psikologis: 1. Ketergantungan fisik biasanya terjadi apabila pengguna narkoba/napza berhenti menggunakan napza maka ia akan mengalami gejala putus zat dan toleransi yang diantaranya adalah nyeri dan tidak bisa tidur. 2. Ketergantungan psikologis biasanya berupa kerinduan yang kuat sekali untuk menggunakannya. 35

11 2.3.5 Ciri khas ketergantungan NAPZA Ciri khas Ketergantungan napza menurut Sumiati dkk, (2009:30) antara lain: 1. Frekuensinya setiap hari atau terus menerus 2. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya 3. Menggunakan untuk menghilangkan rasa sakit 4. Pada saat menggunakan pasien akan mengalami rasa tidak nyaman 2.4 Konsep Keluarga Pengertian Keluarga Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah (Shochib, 2008). Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk homoestatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota kelurganya dari gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan emosional anggota keluarganya. Usaha kesehatan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga agar dapat 36

12 memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005 ). Sebagai bagian dari tugasnya untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya, keluarga perlu menyusun dan menjalankan aktivitas-aktivitas pemeliharaan kesehatan berdasarkan atas apakah anggota keluarga yakin menjadi sehat dan mencari informasi mengenai kesehatan yang benar yang dapat bersumber dari petugas kesehatan langsung ataupun media massa (Friedman, 1998) Fungsi Keluarga Menurut Suprajitno (2004), ada beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan keluarga : (a) fungsi pendidikan, dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak bila kelak dewasa nanti. (b) fungsi sosialisasi anak, tugas keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik. (c) fungsi perlindungan, keluarga melindungi anak dan anggota keluarga dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindungi dan merasa aman. (d) fungsi perasaan, keluarga menjaga secara instuitif, merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota lainya dalam berkomunikasi dan berinteraksi satu dengan lainya sehingga ada saling pengertian satu sama lain. (f) fungsi religius, keluarga memperkenalkan dan mengajak anggota keluarga dalam kehidupan beragama untuk menenamkan keyakinan bahwa ada kekuatan lainya yang mengatur kehidupan ini dan akan ada kehidupan lain setelah dunia ini. (g) fungsi ekonomis, keluarga dalam hal ini mencari sumber-sumber kehidupan dalam memenuhi fungsi-fungsi keluarga lainnya. Dan (h) fungsi biologis, keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi penerus. 37

13 2.4.3 Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan Untuk dapat mencapai tujuan kesehatan keluarga, keluarga harus memiliki tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotanya dan saling memelihara. Tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh keluarga (Effendy, 2007) yaitu : 1. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya. Keluarga mengenal perkembangan emosional dari anggota keluarganya dan tingkah laku ataupun aktivitas yang normal atau tidak untuk dilakukan. Hal ini erat hubungannya dengan pengetahuan keluarga akan gejala-gejala gangguan jiwa. 2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. Segera setelah keluarga mengetahui bahwa ada kondisi anggota keluarag tidak sesuai dengan normal maka sebaiknya keluarga memutuskan dengan cepat tindakan yang harus dilakukan untuk keseimbangan anggota keluarganya dengan segera membawanya ke petugas kesehatan. 3. Memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya yang sakit dan yang tidak dapat membantu diri sendiri karena cacat fisik ataupun mental. Karena penderita gangguan jiwa tidak bisa mandiri untuk memenuhi kebutuhan aktivitas hidupnya. 4. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga. Keluarga membuat iklim yang kondusif bagi penderita gangguan jiwa di lingkungan rumah agar merasa nyaman dan merasa tidak diikucilkan dari keluarga. 5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-lembaga kesehatan yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada. Untuk kesembuhan penderita gangguan jiwa, keluarga harus memiliki 38

14 banyak informasi mengenai kesehatan jiwa anggota keluarganya dari lembaga petugas kesehatan yang ada Kesiapan Keluarga dalam Manerima Pasien Gangguan Jiwa Rumah sakit jiwa seringkali mengalami kesulitan memulangkan pasien ke pihak keluarga, sebab setiap kali hanya dalam waktu beberapa hari akan kambuh kembali, selain itu keluarga pasien sering menolak menerima kembali dengan berbagai macam alasan serta kurangnya pengertian terhadap penanganan dan perawatan pasien mantan gangguan jiwa. Pasien dengan perawatan pasien dengan gangguan jiwa di rumah sakit jiwa memang memerlukan waktu yang lama, terutama pasien dengan gangguan jiwa kronis (menahun), disebabkan kurangnya keterlibatan keluarga untuk ikut serta cara perawatannya sehari-hari, sehingga keluarga tidak siap dan tidak dapat beradaptasi dengan pasien lagi. Dalam proses perencanaan kepulangan klien gangguan jiwa dari RSJ diawali dengan pertemuan yang pada proses keperawatan disebut dengan proses pangkajian. Proses pengkajian ini penting dilakukan untuk memperoleh data dari pasien dan keluarga sehingga dapat ditemukan masalah yang dihadapi pasien dan keluarga berhubungan dengan keadaan kesehatan pasien dan perawatannya di rumah. Biasanya yang dikaji adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kesiapan mereka menerima kepulangan pasien gangguan jiwa dan faktor-faktor tersebutlah yang paling banyak menjadi alasan keluarga menolak kehadiran klien gangguan jiwa ditengah tengah keluarga mereka (Francesca, 2010). Adapun beberapa faktor yang perlu dikaji tentang kesiapan menerima pasien gangguan jiwa adalah sebagai berikut : a. Pengetahuan keluarga 39

15 Sebagai sebuah keluarga, seharusnya mengetahui tentang peran dan tanggung jawab dalam proses keperawatan yang direncanakan untuk perawatan klien dirumah. Faktor ini adalah salah satu faktor yang sering kali diabaikan oleh pihak keluarga padahal peran keluarga dalam proses penyembuhan merupakan peran yang paling penting (Depkes RI, 2006). Keluarga harus menambah pengetahuan dan melengkapi dirinya dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memperlakukan mereka dalam keluarga secara baik dan memadai, bersifat teraupetik dan membawa anggota keluarga tersebut kepada kesembuhan yang seterusnya. Perlakuan-perlakuan keluarga terhadap salah satu anggota keluarga yang mengidap perilaku kekerasan, apabila tidak disertai pengetahuan dan sikap yang benar dapat mengakibatkan kekambuhan kembali (Depkes RI, 2006). Penelitian lain juga menunjukkan perlunya terapi pada keluarga diberikan untuk kesiapan keluarga dalam menerima kepulangan pasien jiwa dengan membekali mereka pengetahuan-pengetahuan tentang perawatan pasien perilaku kekerasan untuk mendukung kesembuhan penderita (Huda, 2012). Sebuah keluarga dengan penderita gangguan jiwa perlu mengetahui dan menyadari keadaan diri penderita, mengambil keputusan untuk menetukan bagaimana sikap yang sebaiknya diambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita boleh berhenti minum obat (berobat) apabila gejala-gejala sudah menghilang/berkurang, juga banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa hanya perlu medikasi (obat-obatan) untuk dapat sembuh saat proses pemulihannya dirumah. Hal ini jelas keliru, terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran keluarga guna resosialiosasi dan pencegahan kekambuhan (Huda, 2012). b. Sruktur keluarga 40

16 Struktur keluarga meliputi pola dan proses komunikasi yang memungkinkan anggota keluarga untuk mengekspresikan marahnya, sedih, gembira, komunikasi yang terbuka, komunikasi yang dapat menyelesaikan konflik keluarga, suasana emosi yang hangat, saling percaya, menghargai, memperhatikan dan menerima. Pelaksanaan peran yang dilakukan keluarga, nilai-nilai yang dimiliki dan dianut keluarga yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, norma sosial yang dianut oleh masyarakat turut mempengaruhi kesiapan keluarga (Depkes RI, 2005). Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuhan atau pengendalian perilaku kekerasan. Keluarga harus bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, berantakan atau mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung bersikap kasar. Akan tetapi, terlalu memanjakan juga tidak baik. Tetapi yang kita temukan pada kenyataannya justru keluarga menjadi emosional, kritis, bahkan bermusuhan, jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan ketika berhadapan dengan penderita memicu kekambuhan (Depkes RI, 2005). c. Sistem Pendukung Keluarga sebagai sebuah kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah atau memperbaiki masalah kesehatan yang dalam hal ini adalah gangguan jiwa yang ada dalam kelompoknya sendiri, oleh karena itu keluarga merupakan sistem yang terutama sebagai pendukung bagi klien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Maka dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor yang penting (Depkes RI, 2005). Keluarga pasien diharapkan memberikan perhatian khusus kepada penderita. Biasanya keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan mental menyembunyikannya sehingga tidak terlihat oleh tamu-tamu yang datang ke rumah mereka. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena penderita akan merasa dikucilkan. 41

17 Yang harus dilakukan adalah menyapa penderita setiap hari dan memberikan perhatian agar mereka tidak disingkirkan (Depkes RI, 2005). Kesedian keluarga untuk tetap merawat dan tetap mengakuinya sebagai bagian dari orang yang disayangi sangatlah diperlukan agar mereka tetap merasa dihargai sebagai manusia layaknya. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu obat penyembuhan yang sangat berarti bagi penderita. Dengan dibentuknya kelompok keluarga gangguan jiwa dimasyarakat akan memungkin pasien dan keluarga gangguan jiwa di masyarakat akan memungkinkan klien dan keluarga mengadakan diskusi dan tukar pengalaman dalam mengatasi gejala yang timbul pada pasien gangguan jiwa. Sayangnya masyarakat sendiri justru mengasingkan keberadaan penderita gangguan jiwa sehingga hal ini turut mempengaruhi sikap keluarga terhadap pasin bahkan gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit yang membawa aib bagi keluarga sehingga diputuskan untuk dibuang oleh keluarganya sendiri, akhirnya faktor lingkungan dalam keluarga justru tidak mendukung kesembuhan pasien (Depkes RI, 2005). Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya sendiri. Masyarakat kita menyebut penyakit jiwa pada tingkat yang paling parah seperti gila, sehingga penderita harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi ditelantarkan oleh keluarganya. Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat secara etis untuk melakukan diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap penderita kelainan jiwa. Karena pengucilan dan diskriminasi justru memperburuk kondisi penderita itu sendiri. Tempat terbaik bagi penderita gangguan jiwa bukan di panti rehabilitasi atau di rumah sakit jiwa, apalagi dijalanan. Tempat terbaik bagi mereka adalah berada ditengah-tengah keluarganya, diantaranya orang-orang yang dicintainya. Yang mereka butuhkan adalah perhatian, pengertian, dukungan, cinta dan kasih sayang. 42

18 Perhatian dan kasih sayang tulus dari keluarga dan orangorang terdekatnya akan sangat membantu proses penyembuhan kondisi jiwanya. Sudah seharusnya keluarga dapat mengurangi persepsi dan diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa dalam keluarga dan memberikan dukungan sosial kepadanya, rasa empati, penerimaan, mendorong untuk mulai berinteraksi sosial, dan dorongan untuk tidak berputus asa dan terus berusaha. Terapi sosial ini akan sangat membantu penderita gangguan jiwa dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menjadi stressor bagi penderita. Penyakit gangguan jiwa ini sesungguhnya dapat teratasi dengan syarat ditangani secara tepat dan cepat. Dukungan moril dari keluarga dan orang-orang terdekat jelas sangat penting bagi penderita. Ironisnya penerimaan merupakan hal tersulit yangdapat diperoleh seorang penderita. Masih banyak orang tua yang malu mengakui anaknya adalah pengidap gangguan jiwa. Penyangkalan ini justru semakin menjauhkan penderita dari kemungkinan untuk sembuh (Depkes RI, 2005). d. Sumber daya keluarga Sumber keuangan seperti ekonomi dan sumber keluarga. Pekerjaan pasien yang lalu baik pekerjaan yang pokok maupun sambilan. Kemampuan pasien untuk melakukan pekerjaan di rumah sakit jiwa dan kemungkinan klien untuk kembali ke pekerjaan semula atau harus mengganti pekerjaan yang baru (Depkes RI, 2005). Faktor ini juga adalah faktor yang penting di kaji dari keluarga karena pada umumnya kemampuan finansial keluarga pasien dengan gangguan jiwa tidak memungkinkan untuk membiayai penyembuhan penyakit yang cenderung berjalan kronis sehingga kejadian seperti ini memicu tindakan dan sikap keluarga terhadap penolakan pasien gangguan jiwa. Perawatan yang dibutuhkan penderita gangguan jiwa menimbulkan dampak yang besar bagi keluarga, yaitu dampak ekonomi yang ditimbulkan berupa 43

19 hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung. 2.5 Pemberdayaan Keluarga dalam Penanganan Gangguan Jiwa Pemberdayaan keluarga dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat jiwa, disertai pengembangan lingkungan yang mendukung pengembangan perilaku sehat jiwa. Pemberdayaan keluarga diperlukan untuk membantu keluarga merawat pasien gangguan jiwa dan mengatasi masalah dan beban dalam merawat pasien gangguan jiwa. Upaya pemberdayaan keluarga dapat dilakukan di masyarakat dan tatanan pelayanan kesehatan. Upaya pemberdayaan keluarga bertujuan membantu keluarga dalam menjalankan tugas kesehatan keluarga, yaitu (1) mengenal gangguan jiwa anggota keluarganya, (2) menetapkan pelayanan kesehatan jiwa yang akan digunakan, (3) merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, (4) merawat diri sendiri (anggota keluarga yang menjadi care giver), (5) memodifikasi lingkungan keluarga yang mendukung penyembuhan pasien gangguan jiwa, (6) menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa Ruang Lingkup Pemberdayaan Keluarga Menurut Depkes RI (2006) pemberdayaan keluarga ini dibatasi pada pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa, namun untuk berdayanya keluarga yang mengalami gangguan jiwa harus didukung seluruh pihak yang terkait dengan penanganan penderita gangguan jiwa. Kegiatan yang terkait adalah : a. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia 44

20 program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam pemberian informasi dan psikoedukasi masalah kesehatan jiwa. b. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam merawat pasien gangguan jiwa. c. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam pemberian dukungan psikologis pada keluarga pasien gangguan jiwa. d. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam peningkatan kemandirian melalui jejaring dukungan keluarga. e. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa melalui kerjasama lintas sektor. f. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam pencatatan dan pelaporan. g. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi 45

21 masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam monitoring dan evaluasi Strategi Pemberdayaan Keluarga Strategi yang harus dikembangkan dalam pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa, antara lain: a. Meningkatkan sosialisasi kebijakan, strategi dan materi program pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa pada seluruh stakeholder. b. Mengoptimalkan peran dan fungsi-fungsi sektor terkait sesuai dengan tugas pokok, dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai, serta mekanisme kerja dan koordinasi program yang dilaksanakan secara sinkron dan sinergis dalam pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa. c. Mengembangkan kelompok-kelompok jejaring dukungan keluarga (Family Support Network) yang berbasis wilayah, dalam meningkatkan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga pasien gangguan jiwa. d. Meningkatkan kemandirian dan kualitas keluarga pasien gangguan jiwa Upaya Pemberdayaan Keluarga Melalui Family Psychoeducation Family Psychoeducation (FPE) adalah tindakan keperawatan spesialis yang tepat untuk diberikan pada keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan baik penyakit fisik maupun gangguan jiwa. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart dan Laraia, 2005). Keluarga menjadi unit penting yang mempengaruhi kesehatan pasien karena keluarga yang akan merawat pasien dirumah. Terlebih untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang memerlukan perawatan 46

22 jangka panjang. Psikoedukasi keluarga ini merupakan sebuah metode yang berdasarkan pada penemuan klinik terhadap pelatihan keluarga yang bekerjasama dengan tenaga keperawatan jiwa professional sebagai bagian dari keseluruhan tindakan klinik untuk anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (Keliat dan Akemat, 2011). Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengurangi kekambuhan pasien gangguan jiwa, meningkatkan fungsi pasien dan keluarga sehingga mempermudah pasien kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat dengan memberikan penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi pasien gangguan jiwa. Meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan, meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya menurunkan angka kekambuhan, mengurangi beban keluarga, melatih keluarga untuk bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar anggota keluarga atau orang lain (Keliat dan Akemat, 2011). Terapi psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan kemampuan kognitif karena dalam terapi mengandung unsur untuk meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengajarkan teknik yang dapat membantu keluarga untuk mengetahui gejala gejala penyimpangan perilaku, serta peningkatan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri. Tujuan program pendidikan ini adalah meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengajarkan keluarga bagaimana teknik pengajaran untuk keluarga dalam upaya membantu mereka melindungi keluarganya dengan mengetahui gejala-gejala perilaku dan mendukung kekuatan keluarga (Stuart dan Laraia, 2005). Aktifitas program psychoeducational untuk keluarga menurut Stuart dan Laraia (2005), dapat meningkatkan kemampuan terdapat unsur didaktik yaitu: 47

23 Komponen didaktik: memberikan informasi tentang gangguan jiwa dan sistem kesehatan jiwa. Kemampuan kognitif yang mengalami peningkatan yaitu keluarga mampu mengetahui penyebab gangguan jiwa, tanda gejala gangguan jiwa akibatnya keluarga mampu untuk merawat pasien gangguan jiwa. Kebanyakan program pendidikan mempunyai batasan dan didesain terbatas terutama untuk pola pikir dan perilaku dari keluarga. Yang paling penting dari program psikoedukasi keluarga adalah bertemu keluarga berdasarkan pada kebutuhan dan keluarga memberi kesempatan untuk bertanya, bertukar pandangan dan bersosialisasi dengan anggota yang lain dan profesi kesehatan mental. Psikoedukasi keluarga sangat efektif diberikan kepada keluarga. Kenaikan kemampuan psikomotor pada kelompok intervensi dimungkinkan karena terapi psikoedukasi keluarga yang berkaitan dengan adanya komponen ketrampilan latihan yang terdiri dari: komunikasi, latihan menyelesaikan konflik, latihan asertif, latihan mengatasi perilaku dan mengatasi stress. Komponen latihan terdapat dalam tiga sesi, yaitu demonstrasi keluarga, cara berinteraksi dan berkenalan dengan orang lain, memperagakan cara beraktifitas dan meragakan cara memberikan obat pada pasien. Peningkatan kemampuan psikomotor ini kemungkinan berkaitan dengan teori belajar yang menjelaskan bahwa seorang belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan, peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan artinya seseorang mampu memiliki keterampilan tertentu bila terdapat jalinan positif dan stimuli yang diamati dan karakteristik diri seseorang. Kemampuan psikomotor dalam merawat klien ditujukan pada kemampuan keluarga untuk senantiasa memberi pujian dan penghargaan pada klien, berupaya memberi dukungan pengobatan dengan membawa klien berobat ke pelayanan kesehatan. Notoatmodjo (2007) menentukan bahwa kecakapan untuk menyelesaikan problem 48

24 praktis, meningkat pada usia tahun. Kemampuan psikomotor didapatkan sebagian besar keluarga mampu meragakan cara berinteraksi, berkenalan dengan orang lain dan yang jarang dilakukan adalah mengontrol minum obat dan melibatkan dalam aktifitas, karena klien masih dirawat di rumah sakit. Penelitian Wardani dkk, (2006) dalam penelitian yang berjudul Pengaruh Psikoedukasi Terhadap Beban dan Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Halusinasi di Yogyakarta. Keluarga yang mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga meningkatkan kemampuan yang bermakna sebesar 25,36 kali. Goldenberg (2004) menyatakan bahwa psikoedukasi adalah terapi yang diberikan untuk memberikan informasi terhadap keluarga yang mengalami distress, memberikan pendidikan pada mereka untuk meningkatkan keterampilan, untuk dapat memahami dan meningkatkan koping akibat gangguan jiwa yang dapat mengakibatkan masalah pada keluarga. Lawrenece dan Veronika (2002) mengungkapkan terjadi peningkatan 33% pada kelompok klien skizofrenia setelah diberikan terapi psikoedukasi keluarga, karena dalam psikoedukasi keluarga berisi tentang: peningkatan hubungan yang positif antara anggota keluarga, meningkatkan stabilitas keluraga, menajemen stress keluarga, kemampuan motorik keluarga melalu role play. Dengan demikian dapat disimpulkan penelitian ini menjawab hipotesa bahwa terapi psikoedukasi keluarga meningkatkan kemampuan keluarga secara bermakna dalam merawat klien isolasi sosial. Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu mengenal gangguan jiwa, dilakukan oleh tenaga kesehatan di masyarakat (lingkungan tempat tinggal) dan tatanan pelayanan kesehatan, yaitu puskesmas, rumah sakit umum dan swasta yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, dan rumah sakit jiwa. 49

25 a. Upaya petugas kesehatan di masyarakat dalam membantu keluarga mengenal gangguan jiwa. Tenaga kesehatan di masyarakat adalah perawat dan dokter Puskesmas yang telah dilatih tentang pelayanan kesehatan jiwa. Upaya tenaga kesehatan di masyarakat dalam membantu keluarga mengenal masalah, dilakukan dengan cara: 1. Memberikan penyuluhan gangguan jiwa tentang: pengertian, penyebab, tanda dan gejala, dan akibat dari gangguan jiwa. 2. Mendeteksi pasien gangguan jiwa melalui pengkajian. 3. Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami oleh pasien. 4. Menjelaskan masalah dan beban yang dapat dialami keluarga. 5. Mengidentifikasi masalah dan beban yang dialami oleh keluarga. 6. Menjelaskan masalah dan beban yang dialami oleh keluarga. b. Upaya petugas kesehatan di pelayanan kesehatan dalam membantu keluarga mengenal gangguan jiwa. Tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan adalah perawat dan dokter puskesmas, rumah sakit umum dan swasta yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, serta rumah sakit jiwa, yang telah dilatih tentang pelayanan kesehatan jiwa. Upaya pemberdayaan keluarga untuk mengenal masalah, dilakukan tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dengan cara: 1. Menginformasikan tentang gangguan jiwa: pengertian, penyebab, tanda dan gejala, dan akibat dari gangguan jiwa, melalui informasi langsung pada pengunjung, pembagian pamflet, pemasangan poster. 2. Mendeteksi gangguan jiwa melalui pengkajian terhadap pasien yang berkunjung ke Puskesmas, rumah sakit umum dan swasta yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Misalnya tenaga kesehatan mendeteksi pasien yang bicara atau 50

26 senyum-senyum sendiri, atau tanda dan gejala gangguan jiwa lainnya, saat pasien sedang menunggu giliran panggilan untuk pemeriksaan. 3. Menjelaskan kondisi gangguan jiwa yang dialami oleh pasien. 4. Menjelaskan masalah dan beban yang dapat dialami keluarga. 5. Mengidentifikasi masalah dan beban yang dialami oleh keluarga. 6. Menjelaskan masalah dan beban yang dialami oleh keluarga. c. Keluarga menetapkan pelayanan kesehatan jiwa yang akan digunakan upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu menetapkan pelayanan kesehatan jiwa yang akan digunakan untuk merawat anggota yang mengalami gangguan jiwa dan merawat dirinya sendiri (anggota keluarga yang menjadi care giver), dilakukan tenaga kesehatan dengan cara: 1. Mendiskusikan dan membantu keluarga untuk dapat menetapkan pelayanan kesehatan jiwa untuk membantu proses penyembuhan pasien dan mengatasi masalah serta beban keluarga. 2. Memotivasi keluarga untuk tetap menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa untuk penyembuhan pasien dan mengatasi masalah serta beban keluarga. d. Keluarga merawat pasien (anggota keluarga yang menjadi care giver) Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk merawat diri sendiri diperlukan agar keluarga tetap dapat memberikan perawatan terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Tenaga kesehatan di masyarakat dan di pelayanan kesehatan dapat membantu keluarga mengatasi masalah dan mengurangi beban yang dialami dengan cara memberikan pendidikan kesehatan untuk 51

27 mengatasi masalah dan beban yang dirasakan keluarga, yaitu dengan cara: memberikan psikoedukasi keluarga dan melatih manajemen stres. e. Keluarga memodifikasi lingkungan yang mendukung penyembuhan pasien gangguan jiwa. Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu memodifikasi lingkungan, dilakukan oleh tenaga kesehatan di masyarakat dan pelayanan kesehatan dengan cara memberikan pengetahuan tentang cara menciptakan kondisi suasana lingkungan (fisik dan non fisik) yang dapat mendukung penyembuhan, mencegah kekambuhan, dan kepatuhan minum obat. f. Keluarga menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Upaya tenaga kesehatan dalam memfasilitasi keluarga pasien gangguan jiwa menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, adalah: 1. Menginformasikan pada keluarga tentang kondisi-kondisi pasien yang membutuhkan perawatan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. 2. Menginformasikan tentang pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia untuk mengatasi masalah keluarga. 3. Menginformasikan keberadaan lintas sektor yang dapat digunakan untuk proses penyembuhan pasien. 4. Memotivasi keluarga menggunakan lintas sektor untuk proses penyembuhan pasien. 5. Menginformasikan tentang jejaring dukungan keluarga yang dapat digunakan untuk proses penyembuhan pasien. 6. Memotivasi keluarga untuk terlibat dalam jejaring dukungan keluarga. 52

28 2.5.4 Kemampuan Keluarga dalam Perawatan Gangguan Jiwa Dukungan sosial adalah sumber dukungan yang berasal dari eksternal dan merupakan komponen dalam sumber koping yang perlu dikembangkan. Dukungan sosial adalah dukungan untuk individu yang didapat dari keluarga, teman, kelompok atau orang orang disekitar pasien termasuk kader (Notoatmodjo, 2012). Keluarga sebagai care giver bagi pasien harus memiliki kemampuan-kemampuan tentang cara merawat pasien harga diri rendah kronik. Kemampuan yang harus dimiliki keluarga terdiri dari kemampuan memahami dan mengerti tentang cara meningkatkan kemampuan positif dan kemampuan memberikan bantuan dalam meningkatkan kemampuan positif. Kader kesehatan jiwa sebagai pendukung harus memiliki kemampuan dalam merawat pasien dengan harga diri. Kemampuan yang harus dimiliki kader adalah kemampuan dalam memberikan dukungan, dorongan dan motivasi melakukan kegiatan positif, memberikan reinforcement positif atas keberhasilan pasien melakukan kegiatan positif dan merujuk pasien bila ada penurunan kemampuan (Keliat, dkk, 2011). Keluarga penderita gangguan jiwa perlu dimotivasi untuk menghadapi keadaan secara realita, bahwa penderita gangguan jiwa membutuhkan dorongan agar dapat berfungsi secara optimal di lingkungan keluarga dan masyarakat. Peran serta masyarakat melalui upaya promotif kesehatan jiwa sangat penting untuk mengurangi stigma terhadap gangguan jiwa, tanpa peran serta masyarakat maka upaya kesehatan jiwa tidak akan mencapai hasil seperti yang diinginkan. Misal perlu dijalin kerjasama dengan pesantren, baik promosi dan prevensi maupun terapi gangguan jiwa. Hal ini 53

29 sangat penting karena sampai saat ini pesantren masih merupakan institusi yang dipercaya oleh masyarakat dan di indonesia jumlahnya banyak tersebar dimanamana. Dan hal yang paling penting adalah perubahan paradigma masyarakat agar tidak membiarkan kelompok resiko terkena gangguan jiwa ini tanpa perawatan. Orang yang mengalami gangguan jiwa memerlukan perhatian dan pengertian yang lebih, kasih sayang dan perhatian serta pengertian yang sungguh-sungguh merupakan kunci utama dalam merawat pasien gangguan jiwa. Pada aspek yang lain, keluarga dan lingkungan masyarakat juga harus diberi penjelasan untuk dapat menerima kondisi pasien. Jika keluarga dan lingkungan masyarakat tidak menerima, akan menjadi masalah bagi pasien, keluarga dan masyarakat serta pemerintah. Keluarga sebagai orang terdekat dengan klien merupakan sistem pendukung utama dalam memberikan pelayanan langsung pada saat klien berada dirumah. Oleh karena itu keluarga memiliki peran penting didalam upaya pencegahan kekambuhan penyakit pada klien jiwa. Melihat fenomena diatas, maka keluarga perlu mempunyai pemahaman mengenai cara perawatan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Salah satu upaya yang dilakukan adalah perawat dapat melaksanakan penyuluhan guna memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga. Dalam pelayanan kesehatan jiwa modern, petugas yang melakukan perawatan dan pengobatan memiliki tiga kewajiban terhadap pasien, yaitu (1) kewajiban memberikan perawatan dan pengobatan yang baik dan bermartabat untuk mencapai hasil sebaik mungkin dalam upaya mengurangi atau menghilangkan gejala, mengembalikan fungsi dan kemampuan yang dimiliki pasien sebelumnya, atau sebagai tindakan rehabilitasi; (2) petugas memiliki kewajiban untuk membentuk dan mempertahankan pengobatan dan perawatan yang komprehensif kepada semua pasien yang membutuhkan; dan (3) 54

30 kewajiban memperbaiki pengetahuan, baik tentang diagnostik maupun perawatan, dan memberikan pasien sebuah perawatan dan pengobatan sesuai kebutuhan, fleksibel sesuai dengan metode yang efektif (Aiyub, 2012). Orang yang bekerja dengan pasien gangguan jiwa harus memiliki rencana tindakan yang bagus, karena tujuan utama pelayanan kesehatan jiwa adalah menstimulasi perawatan pasien secara mandiri, penuh dukungan, dan membangun rasa saling percaya sehingga pasien dapat mengatasi permasalahan dalam kehidupannya, meningkatkan kemandirian, rasa memiliki, dan memperkuat kemampuan untuk mempengaruhi kehidupan mereka sendiri. Hasil yang diharapkan dari tindakan perawatan adalah pasien memiliki kemampuan mengatasi stres dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian petugas harus berfungsi sebagai motivator bagi pasien dalam mengembangkan kepribadian mereka (Aiyub, 2012) Komponen Psikoedukasi dalam Perawatan Gangguan Jiwa Psikoeduksi dikembangkan oleh Mottaghipour dan Bickerton pada tahun 2005 ahli kesehatan mental orang dewasa bekerjasama dengan Australian National Standards for Mental Health Services, berupa kerangka kebutuhan pelayanan keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental yang disebut Pyramid of Family Care. Menurut Mottaghipour dan Bickerton (2005), psikoedukasi adalah merupakan suatu tindakan yang diberikan kepada individu dan keluarga untuk memperkuat strategi koping atau suatu cara khusus dalam menangani kesulitan perubahan mental. Psikoedukasi dapat dilaksanakan diberbagai tempat pada berbagai kelompok atau rumah tangga. Tindakan psikoedukasi memiliki media berupa catatan seperti poster, booklet, pamflet, video, dan beberapa eksplorasi yang diperlukan. Proses pemberian psikoedukasi sangat diperlukan kehadiran keluarga sebagai kunci 55

PSIKOEDUKASI: INTERVENSI REHABILITASI DAN PREVENSI

PSIKOEDUKASI: INTERVENSI REHABILITASI DAN PREVENSI PSIKOEDUKASI: INTERVENSI REHABILITASI DAN PREVENSI Ada banyak bentuk intervensi yang dapat digunakan dalam dunia psikologi, baik itu intervensi individual, kelompok, bahkan komunitas. Tiap intervensi memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Narkoba 1.1.1 Pengertian Narkoba Narkoba adalah senyawa kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti perasaan, pikiran, suasana hati dan perilaku seseorang jika masuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan jiwa adalah bagian dari kesehatan secara menyeluruh, bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, tetapi pemenuhan kebutuhan perasaan bahagia, sehat, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial, hal ini dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial, hal ini dapat dilihat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 menyatakan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial, hal ini dapat dilihat dari seseorang dengan kualitas hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disisi lain, apabila disalahgunakan narkoba dapat menimbulkan ketergantungan dan

BAB I PENDAHULUAN. Disisi lain, apabila disalahgunakan narkoba dapat menimbulkan ketergantungan dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penyalahgunaan narkoba merupakan penyakit endemik dalam masyarakat modern, dapat dikatakan bahwa penyalahgunaan narkoba merupakan penyakit kronik yang berulang kali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan serius yang perlu mendapatkan perhatian dari keluarga. Townsend (2014), mengatakan skizofrenia yaitu terjadi perpecahan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Chaplin,gangguan jiwa adalah ketidakmampuan menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba, keterusan hingga menyebabkan ketergantungan yang berpotensi

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba, keterusan hingga menyebabkan ketergantungan yang berpotensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Membahas penyebab yang mengganggu kesehatan jiwa tidak hanya karena faktor sosial seperti pola asuh, lingkungan, pergaulan dan trauma. Terdapat faktor lain terkait

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya sendiri. Masyarakat kita menyebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Narkoba Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika dan obat berbahaya. Adapun istilah lainnya yaitu Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pada masa globalisasi saat ini dengan kehidupan modern yang semakin kompleks, manusia cenderung akan mengalami stress apabila ia tidak mampu mengadaptasikan keinginan-keinginan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dukungan Keluarga 1. Pengertian Keluarga Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima

Lebih terperinci

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.185, 2014 KESEHATAN. Jiwa. Kesehatan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5571) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengancam hampir semua sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengancam hampir semua sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba telah menjadi permasalahan dunia yang tidak mengenal batas Negara, juga menjadi bahaya global yang mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2005). Kesehatan terdiri dari kesehatan jasmani (fisik) dan

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2005). Kesehatan terdiri dari kesehatan jasmani (fisik) dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan keadaan dimana kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang lengkap, tidak hanya bebas dari penyakit dan kecacatan (WHO, 2005). Kesehatan terdiri

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa ABSTRAK Halusinasi adalah gangguan jiwa pada individu yang dapat ditandai dengan perubahan persepsi sensori, dengan merasakan sensasi yang tidak nyata berupa suara, penglihatan, perabaan, pengecapan dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu tersebut menyadari kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah sesuatu yang berharga bagi seluruh makhluk hidup di dunia karena tanpa kesehatan, manusia tidak akan dapat menjalani kegiatan hidupnya dengan optimal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Visi Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah masyarakat yang sehat mandiri dan berkeadilan. Visi tersebut menggambarkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian dari keluarga. Townsend (2014), mengatakan skizofrenia yaitu terjadi

BAB I PENDAHULUAN. perhatian dari keluarga. Townsend (2014), mengatakan skizofrenia yaitu terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan serius yang perlu mendapatkan perhatian dari keluarga. Townsend (2014), mengatakan skizofrenia yaitu terjadi perpecahan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tergolong makanan jika diminum, diisap, dihirup, ditelan, atau disuntikkan,

BAB I PENDAHULUAN. tergolong makanan jika diminum, diisap, dihirup, ditelan, atau disuntikkan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Narkoba merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya (BNN, 2007). Narkoba atau napza adalah obat, bahan, atau zat, dan bukan tergolong

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sehat jiwa adalah keadaan mental yang sejahtera ketika seseorang mampu merealisasikan potensi yang dimiliki, memiliki koping yang baik terhadap stressor, produktif

Lebih terperinci

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : ESTI PERDANA PUSPITASARI F 100 050 253 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Halusinasi adalah gangguan terganggunya persepsi sensori seseorang,dimana tidak terdapat stimulus. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien merasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya manusia memerlukan hubungan interpersonal yang positif baik dengan individu lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini peredaran dan penggunaan narkoba di kalangan masyarakat Indonesia nampaknya sudah sangat mengkhawatirkan dan meningkat tiap tahunnya. Kepala Badan Narkotika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya gangguan pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh. Penyakit ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengguna Narkoba. Pengguna napza atau penyalahguna napza adalah individu yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengguna Narkoba. Pengguna napza atau penyalahguna napza adalah individu yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengguna Narkoba 1. Pengertian Pengguna Narkoba Pengguna napza atau penyalahguna napza adalah individu yang menggunakan narkotika atau psikotropika tanpa indikasi medis dan tidak

Lebih terperinci

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas 1 /BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara - negara maju. Meskipun masalah kesehatan jiwa tidak dianggap sebagai gangguan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan proses interaksi yang kompleks antara faktor genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural. Telah terbukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami gangguan fungsi mental berupa frustasi, defisit perawatan diri, menarik diri

BAB I PENDAHULUAN. mengalami gangguan fungsi mental berupa frustasi, defisit perawatan diri, menarik diri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA) merupakan salah satu permasalahan yang menjadi ancaman serius bagi Bangsa Indonesia. Penyalahgunaan NAPZA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. serta perhatian dari seluruh masyarakat. Beban penyakit atau burden of disease

BAB 1 PENDAHULUAN. serta perhatian dari seluruh masyarakat. Beban penyakit atau burden of disease BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting dan harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari seluruh jajaran lintas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep koping 1.1. Pengertian mekanisme koping Koping adalah upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, ancaman, luka, dan

Lebih terperinci

Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia

Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia Posted by Lahargo Kembaren ABSTRAK Skizofrenia merupakan gangguan kronik yang sering menimbulkan relaps. Kejadian relaps yang terjadi pada pasien skizofrenia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, kesulitan karena persepsinya terhadap dirinya sendiri (Djamaludin,

BAB I PENDAHULUAN. lain, kesulitan karena persepsinya terhadap dirinya sendiri (Djamaludin, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh orang lain, kesulitan karena persepsinya terhadap dirinya sendiri (Djamaludin, 2001). Gangguan jiwa erat hubungannya

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 109 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran harapan dan konsep Tuhan pada anak yang mengalami kanker, serta bagaimana mereka mengaplikasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah penyalahgunaan narkoba, khususnya di Indonesia, saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah penyalahgunaan narkoba, khususnya di Indonesia, saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah penyalahgunaan narkoba, khususnya di Indonesia, saat ini telah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Jumlah pengguna dan pecandu narkoba dari tahun ke tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyeluruh dalam menjalankan fungsi-fungsinya, karena keluarga

BAB I PENDAHULUAN. yang menyeluruh dalam menjalankan fungsi-fungsinya, karena keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga menjadi unit terkecil dalam lingkup masyarakat yang memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap suatu kondisi. Dalam ruang lingkup keluarga terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa menurut UU No.36 tahun 2009 adalah "Kondisi jiwa seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan, dalam pengendalian diri serta

Lebih terperinci

BAB VII ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKA

BAB VII ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKA BAB VII ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKA Gambar 7.1, terdiri dari rokok, minuman keras dan obat-obatan yang semuanya tergolong pada zat adiktif dan psikotropika Gambar 7.1: Zat adiktif dan psikotropika 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat arti ketidakmampuan serta identitas secara individu maupun kelompok akan

BAB I PENDAHULUAN. membuat arti ketidakmampuan serta identitas secara individu maupun kelompok akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa adalah salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara maju, modern dan industri. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perasaan dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan

BAB I PENDAHULUAN. perasaan dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Depkes RI (2003), gangguan jiwa adalah gangguan pikiran, perasaan dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan tergangguanya fungsi sehari-hari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan manusia yang meliputi bidang ekonomi, teknologi, sosial, dan budaya serta bidangbidang yang lain telah membawa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGERTIAN Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun 2012(RUU KESWA,2012) adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental, dan spiritual

Lebih terperinci

dicintai, putusnya hubungan sosial, pengangguran, masalah dalam pernikahan,

dicintai, putusnya hubungan sosial, pengangguran, masalah dalam pernikahan, A. Latar Belakang Gangguan jiwa yang terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas cenderung meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai, putusnya hubungan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1. Karakteristik Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas 1.1 Definisi Spiritualitas 1.2 Karakteristik Spiritualitas 1.3

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI ILMIAH Disusun oleh : CAHYO FIRMAN TRISNO. S J 200 090

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan

Lebih terperinci

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB I 1.1 Latar Belakang BAB I 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa yaitu suatu sindrom atau pola perilaku yang secara klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH GAMBARAN POLA ASUH PENDERITA SKIZOFRENIA Disusun Oleh: Indriani Putri A F 100 040 233 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Multi krisis yang menimpa masyarakat dewasa ini merupakan salah satu pemicu yang menimbulkan stres, depresi dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Skizofrenia merupakan salah satu gangguan mental yang menimbulkan efek merusak pada kehidupan penderita maupun anggota-anggota keluarga. Sebagai lingkungan yang terdekat, maka keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dari masalah yang diteliti, rumusan masalah, tujuan umum dan tujuan khusus dari penelitian, serta manfaat penelitian. 1.1. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN REHABILITASI NARKOBA

BAB II TINJAUAN REHABILITASI NARKOBA BAB II TINJAUAN REHABILITASI NARKOBA II.1. PENGERTIAN NARKOBA Istilah narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Lama kelamaan disadari bahwa kepanjangan narkoba tersebut keliru

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Gangguan Jiwa BAB II TINJAUAN TEORI 2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa Gangguan jiwa merupakan perubahan sikap dan perilaku seseorang yang ekstrem dari sikap dan perilaku yang dapat menimbulkan penderitaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di Negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah kesehatan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas cenderung meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. usia tua di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77% dan usia harapan

BAB I PENDAHULUAN. usia tua di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77% dan usia harapan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penduduk Lanjut usia di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, ini disebabkan karena meningkatnya usia harapan hidup. Pada tahun 1980 usia harapan hidup di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Manusia adalah mahluk sosial yang terus menerus membutuhkan orang lain disekitarnya. Salah satu kebutuhannya adalah kebutuhan sosial untuk melakukan interaksi sesama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan narkoba menjadi salah satu faktor banyaknya terjadi kasus

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan narkoba menjadi salah satu faktor banyaknya terjadi kasus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terdapat beberapa penyebab yang melatarbelakangi pemilihan judul Perancangan Pusat Rehabilitasi Pengguna Narkoba di Kabupaten Malang. Latar belakang dibedakan menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam

BAB II TINJAUAN TEORI. menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Gangguan hubungan sosial merupakan suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel dan menimbulkan perilaku maladaptif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia salah satu bentuk gangguan jiwa berat, dulu sering dianggap akibat kerasukan roh halus atau ilmu gaib. Akibatnya, pasien sering dikucilkan bahkan dipasung

Lebih terperinci

Dasar Dasar Pelayanan Pemulihan Gangguan Jiwa

Dasar Dasar Pelayanan Pemulihan Gangguan Jiwa Dasar Dasar Pelayanan Pemulihan Gangguan Jiwa M enurut Substance Abuse and Mental Health Service Administration (SAMHSA), sebuah badan milik pemerintah Amerika Serikat, pengertian dari pemulihan adalah

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG. GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG Dyna Apriany ABSTRAK Usia balita merupakan masa-masa kritis sehingga diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manic depresif

BAB I PENDAHULUAN. yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manic depresif BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien dengan gangguan jiwa. Halusinasi sering diidentikkan dengan skizofrenia. Dari seluruh skizofrenia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk kesejahteraan dan kesembuhan orang lain. Maka haruslah tergerak motifmotif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk kesejahteraan dan kesembuhan orang lain. Maka haruslah tergerak motifmotif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keperawatan merupakan pengabdian atau pekerjaan sosial yang dilakukan untuk kesejahteraan dan kesembuhan orang lain. Maka haruslah tergerak motifmotif dimana

Lebih terperinci

PERAN KELUARGA PADA PEMULIHAN KESEHATAN JIWA

PERAN KELUARGA PADA PEMULIHAN KESEHATAN JIWA PERAN KELUARGA PADA PEMULIHAN KESEHATAN JIWA Ny A, 65 tahun, penderita Demensia disertai Gangguan Perilaku (BPSD). Beberapa kali menjalani rawat inap di RS, dengan Pnemonia, Gizi buruk, dan perilaku kacau.

Lebih terperinci

STRATEGI COPING PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA ( Fenomena pada Perawat di RSJD Surakarta )

STRATEGI COPING PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA ( Fenomena pada Perawat di RSJD Surakarta ) STRATEGI COPING PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA ( Fenomena pada Perawat di RSJD Surakarta ) Skripsi Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai derajat Sarjana S-1 Fakultas Psikologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini berarti seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Fungsi utama Rumah Sakit yakni melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Seiring dengan berjalannya waktu dan semakin majunya teknologi kedokteran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN. kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Keperawatan Disusun

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA KOMUNITAS (CMHN)

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA KOMUNITAS (CMHN) ASUHAN KEPERAWATAN JIWA KOMUNITAS (CMHN) NAMA KELOMPOK 6 A4E : 1. Made Udayati (10.321.0864) 2. Kadek Ayu Kesuma W. (10.321.0858) 3. Kadek Ninik Purniawati (10.321.0859) 4. Luh Gede Wedawati (10.321.0867)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosialisasi, transisi agama, transisi hubungan keluarga dan transisi moralitas.

BAB I PENDAHULUAN. sosialisasi, transisi agama, transisi hubungan keluarga dan transisi moralitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa transisi merupakan faktor risiko utama timbulnya masalah kesehatan pada usia remaja. Masa transisi pada remaja meliputi transisi emosional, transisi sosialisasi,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN 5.1. Kesimpulan Bab ini berusaha menjawab permasalahan penelitian yang telah disebutkan di bab pendahuluan yaitu melihat gambaran faktor-faktor yang mendukung pemulihan pada

Lebih terperinci

Lampiran 1 KUESIONER PERILAKU PENGGUNA NAPZA SUNTIK DI DALAM MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010

Lampiran 1 KUESIONER PERILAKU PENGGUNA NAPZA SUNTIK DI DALAM MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010 Lampiran 1 KUESIONER PERILAKU PENGGUNA NAPZA SUNTIK DI DALAM MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010 I. INFORMASI WAWANCARA 1. Nomor Urut Responden... 2. Nama Responden...

Lebih terperinci

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri A. Pengertian Defisit Perawatan Diri Kurang perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Maslim, 2001). Kurang perawatan diri adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan

BAB I PENDAHULUAN yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program Indonesia Sehat merupakan pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui upaya kesehatan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 996/MENKES/SK/VIII/2002 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 996/MENKES/SK/VIII/2002 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 996/MENKES/SK/VIII/2002 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN SARANA PELAYANAN REHABILITASI PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada beberapa tahun terakhir ini, masalah penyalahgunaan narkoba meningkat luas, tidak hanya di kota besar namun juga di kota-kota kecil dan pedesaan di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Komunikasi 2.1.1 Pengertian Komunikasi Secara Umun Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu, mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian. perjalanan kronik dan berulang. Skizofrenia biasanya memiliki onset pada masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian. perjalanan kronik dan berulang. Skizofrenia biasanya memiliki onset pada masa digilib.uns.ac.id 14 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat dengan tanda dan gejala yang beraneka ragam, baik dalam derajat maupun jenisnya dan seringkali ditandai

Lebih terperinci

DUKUNGAN PSIKOSOSIAL KELUARGA DALAM PENYEMBUHAN PASIEN NAPZA DI RUMAH SAKIT JIWA PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA

DUKUNGAN PSIKOSOSIAL KELUARGA DALAM PENYEMBUHAN PASIEN NAPZA DI RUMAH SAKIT JIWA PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA DUKUNGAN PSIKOSOSIAL KELUARGA DALAM PENYEMBUHAN PASIEN NAPZA DI RUMAH SAKIT JIWA PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA Elisa Putri D. Siahaan*, Wardiyah Daulay** *Mahasiswa Fakultas Keperawatan USU **Dosen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di daerah tropis seluruh dunia. Filariasis atau penyakit kaki gajah adalah suatu infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan jiwa yang terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas ini cenderung semakin meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh dengan tekanan seperti kehilangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mengalami kekambuhan. WHO (2001) menyatakan, paling tidak ada

BAB I PENDAHULUAN. akan mengalami kekambuhan. WHO (2001) menyatakan, paling tidak ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman era globalisasi ini banyak sekali masyarakat yang mengalami gangguan jiwa dan biasanya pasien yang telah mengalami gangguan jiwa akan mengalami kekambuhan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehat, maka mental (jiwa) dan sosial juga sehat, demikian pula sebaliknya,

BAB I PENDAHULUAN. sehat, maka mental (jiwa) dan sosial juga sehat, demikian pula sebaliknya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (WHO, 2001). Hal ini berarti seseorang dikatakan sehat

Lebih terperinci

: Evi Karota Bukit, SKp, MNS NIP : : Kep. Jiwa & Kep. Komunitas. : Asuhan Keperawatan Jiwa - Komunitas

: Evi Karota Bukit, SKp, MNS NIP : : Kep. Jiwa & Kep. Komunitas. : Asuhan Keperawatan Jiwa - Komunitas Nama : Evi Karota Bukit, SKp, MNS NIP : 19671215 200003 1 002 Departemen Mata Kuliah Topik : Kep. Jiwa & Kep. Komunitas : Keperawatan Komunitas : Asuhan Keperawatan Jiwa - Komunitas LAPORAN WHO (2002)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia Indonesia seutuhnya. Visi Indonesia sehat yang diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia Indonesia seutuhnya. Visi Indonesia sehat yang diharapkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia memiliki visi menciptakan masyarakat yang mempunyai kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat sehingga tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan penurunan semua fungsi kejiwaan terutama minat dan motivasi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan penurunan semua fungsi kejiwaan terutama minat dan motivasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, tetapi masih kurang populer di kalangan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah WHO 2001 menyatakan bahwa paling tidak ada satu dari empat orang didunia mengalami masalah mental, sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA TERHADAP KEJADIAN STROKE BERULANG DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN

KUESIONER PENELITIAN PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA TERHADAP KEJADIAN STROKE BERULANG DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN KUESIONER PENELITIAN PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA TERHADAP KEJADIAN STROKE BERULANG DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN I. KARAKTERISTIK RESPONDEN a. Nama : b. Umur : c. Jenis Kelamin : L / P d. Pendidikan

Lebih terperinci