BAB I PENDAHULUAN. ke masyarakat, dan memulai hidup baru, menjadi angan-angan dari kebanyakan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. ke masyarakat, dan memulai hidup baru, menjadi angan-angan dari kebanyakan"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menghirup udara segar, berkumpul kembali bersama keluarga, kembali ke masyarakat, dan memulai hidup baru, menjadi angan-angan dari kebanyakan narapidana setelah keluar dari penjara. Kata bebas keluar dari penjara atau pembebasan bagi narapidana merupakan jalan satu-satunya menuju titik terang mencapai angan-angan tersebut. Maka dari itu untuk menyambut pembebasan tersebut pihak penjara memberikan narapidana sebuah gambaran akan kehidupan yang lebih baik dan penerimaan masyarakat untuk melengkapi angan-angan narapidana. Pada kenyataannya kehidupan yang didapat oleh narapidana tidak seindah angan-angan dan gambaran dari pembinaan dalam penjara. Pengucilan, penolakan, dan pemberian cap buruk yang bersifat mengintimidasi adalah kenyataan yang diterima oleh kebanyakan narapidana setelah keluar dari penjara. Hal tersebut menyebabkan banyak narapidana kemudian memiliki ketakutanketakutan dan kekhawatiran untuk menghadapi pembebasan dan kembali ke masyarakat. Ketakutan dan kekhawatiran akan perbedaan antara angan-angan dan gambaran dengan kenyataan di masyarakat dalam kehidupan para narapidana bukanlah cerita belaka. Dalam komunitas yang terbentuk di dalam penjara yaitu komunitas narapidana, ada sebutan bagi narapidana yang sudah keluar dari

2 2 penjara kemudian masuk kembali ke dalam penjara yang disebut dengan residivis. Melalui residivis tersebutlah narapidana yang lain menerima dan memperoleh gambaran kenyataan hidup di luar penjara yang ternyata jauh berbeda dengan gambaran yang diberikan oleh pembinaan penjara. Kebanyakan residivis biasanya kembali masuk penjara karena mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan masyarakat. Disini mbak, sudah ada yang berkali-kali keluar masuk penjara, kasusnya sih sama aja nyuri, tapi ada juga yang masuk lagi malah bawa rombongan. Ada juga yang kasusnya macem-macem, ada pembunuhan ada juga pencurian. Ceritanya macem-macem juga, tapi kebanyakan susah buat nyatu sama masyarakat lagi mbak, susah cari kerja, jadi kebanyakan yang nyuri lagi itu ya karena lebih susah cari kerja. (Noaf, narapidana LAPAS II B Sleman) Cerita pengalaman dan bayangan yang diperoleh melalui residivis tersebutlah yang membuat ketakutan narapidana kemudian berubah menjadi tekanan kehidupan ketika kembali ke masyarakat. Walaupun demikian kata bebas tetap menjadi tujuan dan keinginan utama dari seluruh narapidana untuk keluar dari penjara dan memiliki kehidupan yang bebas dan tidak terkekang oleh batas aturan dari penjara. Bapak Akir sebagai salah satu mantan narapidana menceritakan bahwa kehidupan sebagai mantan narapidana lebih berat untuk dijalani dibandingkan dengan kehidupan sebelum ia dipenjara. Kehidupan saya setelah keluar dari penjara lebih susah mbak. Pertama keluarga saya malu, istri saya jadi susah kalau mau gabung sama ibuibu yang lain, karena suka diomongin. Diomongin kalau suaminya itu orang jahat, bekas narapidana. Terus saya mau cari kerja juga susah, untung masih ada sisa modal jadi masih bisa buka usaha, tapi ya gitu pelanggannya juga tidak sebanyak dulu. Orang suka mikir yang enggakenggak mbak, mereka mikirnya saya penjahat dan bakalan jahat terus, padahal saya udah tobat mbak. Waktu itu saya mencuri dan judi juga

3 3 karena kepepet butuh uang buat anak sekolah, kalau saya ada duit mungkin saya gak bakal nyuri deh mbak. Zaman sekarang hidup susah mbak, apalagi kalau udah punya cap bekas narapidana, soalnya orang mikirnya orang jahat sekali jahat ya jahat, padahal enggak mbak. Di penjara juga ada orang baik. Ada sih orang yang mau terima bekas narapidana, tapi yang kayak gitu gak banyak, kebanyakan nolak kita. Jadi bingung harus hidup kayak gimana. (Hasil wawancara,10 Februari 2014) Dalam kehidupan sehari-hari, narapidana dikenal oleh masyarakat sebagai identitas dari individu yang melakukan tindakan kriminal dan selalu berhubungan dengan penjara. Masyarakat sering kali memberi cap kepada individu yang berindentitas narapidana sebagai orang yang jahat, berbahaya, sebisa mungkin dihindari dan dikeluarkan dari kehidupan sosial karena mengganggu keamanan dan ketertiban di masyarakat. Oleh karena itu banyak masyarakat yang bersikap mengintimidasi melalui pemberian cap kepada individu beserta kerabatnya yang memiliki identitas narapidana atau bekas narapidana. Tindakan masyarakat untuk memberikan cap bukan tindakan yang dapat dikatakan sebagai tindakan yang salah. Pemerintah sendiri memberikan label narapidana kepada sekelompok orang sebagai penanda bahwa individu tersebut terpidana oleh hukum negara karena melakukan tindakan yang melanggar hukum sehingga membutuhkan proses pemenjaraan guna mengembalikan kembali kesadaran akan nilai dan norma (Paramarta, 2014). Dalam kajian ilmu kriminologi sendiri, narapidana atau bekas narapidana sendiri merupakan nama buruk yang diberikan bagi orang yang pesakitan atau bekas pesakitan (Barnes dan Negley dalam Samosir, 2012). Namun yang menjadi masalah di Indonesia adalah ketika kebijakan pemerintah berusaha untuk mengembalikan narapidana ke masyarakat

4 4 dengan memberi gambaran kehidupan yang lebih baik, penerimaan masyarakat, mendapatkan pekerjaan, melalui proses pembinaan bertolak belakang dengan tindakan masyarakat di lapangan yang berisikan penolakan, pemberian cap, yang bersifat mengintimidasi. Perbedaan antara gambaran dan harapan dengan kenyataan yang diterima oleh narapidana mengakibatkan narapidana mengalami tekanan dan berada pada posisi kebingungan untuk bersikap setelah keluar dari penjara. Kebingungan tersebutlah yang akhirnya menyebabkan banyak narapidana memilih untuk kembali melakukan tindak pidananya ataupun tindak pidana yang baru. Menyadari adanya perbedaan kenyataan yang dihadapi oleh narapidana yang dapat mengakibatkan narapidana dapat kembali melakukan tindakan pidana, pemerintah akhirnya membentuk sebuah kebijakan. Kebijakan tersebut berupa bantuan untuk mengatasi kebingungan dengan membentuk sebuah unit pelaksana teknis lain dalam Lembaga Pemasyarakatan selain penjara yaitu Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Berbeda dengan Lembaga Pemasyarakatan Penjara, BAPAS tidak berbentuk bangunan penjara, melainkan sebagai sebuah kantor pembinaan dan pembimbingan. BAPAS sendiri memiliki tugas utama untuk melakukan pembinaan luar penjara terhadap narapidana diharapkan dapat mengatasi masalah yang dihadapi oleh Pemerintah Pemasyarakatan akibat adanya perbedaan kenyataan tersebut. Secara Antropologi, meminjam istilah Victor Turner, posisi narapidana yang mengalami kebingungan disebut tahap liminal. Pembebasan bagi narapidana yang harusnya menjadi jalan menuju dunia terang sosial masyarakat dari dunia

5 5 gelap penjara, tetapi justru membawa narapidana kepada dunia kelabu, tidak terang dan tidak gelap. Dunia kelabu tersebut menyebabkan narapidana berada pada posisi yang menegaskan bahwa ia tidak bisa hidup di dalam penjara dan pengawasan karena masa pidananya telah habis, namun ia juga tidak bisa hidup di dalam masyarakat karena dalam pandangan masyarakat ia dianggap sebagai orang jahat dan masyarakat menganggapnya sebagai orang jahat dan menolaknya masuk dalam masyarakat. Tahap liminal yang dialami narapidana merupakan tahap liminal yang dianggap pemerintah sangat kritis dan mempengaruhi kinerja pemerintah pada masa ritus inisiasi (Van Gennep, 1960). Ritus inisiasi tersebut merupakan program pengembalian atau program reintegrasi yang berisikan tahapan adaptasi kembali narapidana ke masyarakat yang disebut sebagai masa transisi. Oleh sebab itu latar belakang dilakukannya penelitian ini atas dasar pandangan bahwa BAPAS sebagai unit pelaksana teknis yang dibentuk oleh pemerintah, dari sudut pandang antropologi dapat disebut sebagai lembaga penginisiasi yang mencoba membentuk jalannya fase-fase dalam ritus yang akan dilalui oleh narapidana melalui tahap pengadaptasian kembali narapidana ke masyarakat. 1.2 Perumusan Masalah Pembentukan BAPAS dipandang oleh Pemerintah Pemasyarakatan sebagai satu jalan keluar untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi narapidana. Tugas BAPAS dengan melakukan pembinaan luar (di luar penjara) terhadap narapidana memiliki tujuan untuk menyelaraskan gambaran dan

6 6 kenyataan yang diterima oleh narapidana dengan membentuknya melalui program reintegrasi narapidana ke masyarakat memunculkan pandangan baru dalam dunia antropologi. Pandangan tersebut adalah bahwa dalam sebuah struktur pemerintahan yang baku terdapat kegiatan-kegiatan anti-struktur seperti ritus-ritus peralihan dan masa liminalitas. Dari kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilihat fenomena yang muncul melalui cara kerja BAPAS untuk narapidana dan masyarakat. Fenomena tersebut dapat menghasilkan persatuan pandangan antara pemerintah, masyarakat, dan narapidana untuk hidup saling menerima dan berlaku adil (tidak membeda-bedakan), namun juga dapat menjadi jarak pemisah dan memunculkan intimidasi diantara ketiganya. Ketika muncul jarak pemisah antara pemerintah, masyarakat, dan narapidana, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah mengalami kegagalan. Oleh sebab itu kerja BAPAS memiliki peran penting dalam dunia pemasyarakatan. Melihat pentingnya kerja BAPAS dengan perannya sebagai unit pelaksana teknis melalui struktur dari Pemerintah Pemasyarakatan untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi narapidana, muncul tiga pertanyaan besar yang merupakan dasar dilakukannya penelitian ini: 1. Bagaimana sesungguhnya cara kerja BAPAS dalam masa transisi yang dialami oleh narapidana? 2. Sejauh mana narapidana dan masyarakat memandang cara kerja BAPAS sebagai kebijakan pemerintah berperan dalam kehidupan narapidana setelah keluar dari penjara?

7 7 3. Apa saja faktor pendukung dan faktor hambatan keberhasilan apa saja yang muncul dalam kerja BAPAS sebagai lembaga penginisiasi narapidana kembali ke masyarakat? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran bagaimana usaha dan perhatian pemerintah kepada narapidana melalui kebijakan kerja BAPAS untuk mengintegrasikan narapidana secara individu per-individu kembali ke masyarakat di bawah bimbingan Pemerintah Pemasyarakatan. Harapannya cara kerja dan peran BAPAS yang dilihat dari sudut pandang antropologi sebagai lembaga penginisiasi dapat menjelaskan bagaimana narapidana sesungguhnya juga merupakan anggota masyarakat yang berusaha untuk melalui fase-fase kehidupan di Indonesia yang sedemikan rupa diatur oleh negara melalui perkembangan pembangunan dan kebijakan-kebijakan baru. Rangkaian proses reintegrasi narapidana ke masyarakat menjadi inti dari tujuan penelitian ini. Inti tujuan tersebut yaitu memberikan bukti melalui cara kerja BAPAS, pemerintah ingin masyarakat untuk melihat bahwa narapidana bukan sampah masyarakat melainkan anggota masyarakat yang juga ingin berperan dalam pembangunan. Harapannya masyarakat mau diajak bekerja sama untuk memecahkan dan menyelesaikan masalah pemasyarakatan yang ada. Pada akhirnya melalui penelitian ini dapat diperoleh gambaran melalui sudut pandang antropologi dan ilmu lainnya bahwa di Indonesia, melalui fase-fase kehidupan

8 8 yang dialami narapidana, masyarakat Indonesia memiliki budaya gotong royong untuk menjaga sistem yang berlaku di masyarakat. 1.4 Manfaat Penelitian Secara keseluruhan penelitian ini merupakan penelitian antropologi yang menggambarkan bagaimana narapidana sebagai unsur kecil dari jenis masyarakat yang ada menjadi sebuah unsur masalah yang kompleks dalam kehidupan sosial pemasyarakatan dewasa ini. Pada kenyataannya penelitian ini tidak melihat apa yang harus diperbuat oleh manusia, melainkan apa yang pada kenyataannya diperbuat oleh manusia dalam sebuah sistem kehidupan sosial. Maka dari itu melalui tujuan penelitian ini yaitu memberikan gambaran akan kebijakan yang diperbuat oleh pemerintah, harapannya dapat bermanfaat bagi Ilmu Antropologi untuk memandang kebijakan yang muncul. Cara pandang dan analisis data yang merupakan gabungan dari Ilmu Antropologi dan Ilmu Penologi (ilmu yang mempelajari tentang pidana dan konsekuensinya dari tindak kejahatan), diharapkan mampu membuka pandangan baru bahwa Ilmu Antropologi dapat berfungsi bersama ilmu lainnya dalam menganalisis masalah yang terjadi di masyarakat, terutama masalah kesejahteraan narapidana. Tidak hanya bagi Ilmu Antropologi, penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi dunia pemasyarakatan, terutama dalam kelanjutan kerja Balai Pemasyarakatan. Melalui gambaran yang ada dalam penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai data pendukung dan bahan evaluasi terhadap program kerja yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan. Namun yang paling utama manfaat

9 9 dari diadakannya penelitian ini adalah agar dapat digunakan sebagai tolak ukur dan evaluasi usaha Pemerintah Pemasyarakatan untuk menyelaraskan antara harapan dan kenyataan yang dihadapi oleh narapidana hingga ke masyarakat pada kehidupan narapidana setelah keluar dari penjara. Pada akhirnya melalui penelitian ini pemerintah dan masyarakat dapat bersama-sama membantu memberikan kehidupan kedua yang adil dan sejahtera kepada para narapidana. Sejahtera yang dimaksud adalah narapidana mampu menempatkan diri di masyarakat, memenuhi kebutuhan pokok, mendapat pekerjaan, dan pengakuan sebagai individu anggota masyarakat. Kehidupan yang adil, dimana narapidana memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama dengan anggota masyarakat lainnya untuk berpartisipasi dan ikut dalam pembangunan dan perubahan sosial yang ada di Indonesia tanpa ada penghakiman akan identitas narapidana yang melekat dalam dirinya. 1.5 Tinjauan Pustaka Kajian tentang pemasyarakatan, terutama tentang kehidupan narapidana menjadi menarik untuk dibahas lebih dalam karena terdapat berbagai macam fenomena yang muncul dari adanya kelompok narapidana. Sebagai bagian dari anggota masyarakat sosial, narapidana memiliki komponen kehidupan yang kompleks dan berbeda dengan masyarakat lainnya, sehingga memunculkan fenomena perilaku masyarakat yang berbeda terhadap narapidana. Kehidupan narapidana biasanya lebih dikenal dengan perilaku kehidupan yang menyimpang dari norma hukum dan nilai yang berlaku secara tertulis dalam masyarakat sosial.

10 10 Seiring dengan pembangunan yang terjadi dewasa ini kehidupan narapidana yang menjadi pembahasan bukan lagi pada proses penyimpangan, namun pada proses pengembalian narapidana ke masyarakat, khususnya untuk mengatasi masalahmasalah pembangunan dalam dunia pemasyarakatan. Di Indonesia, pandangan masyarakat secara umum tentang narapidana memiliki penjelasan yang berbagai macam. Yogyakarta sendiri sebagai satusatunya Daerah Istimewa di Indonesia memiliki filosofi tentang kehidupan menyimpang Molimo yang menjelaskan bahwa narapidana adalah pelaku dari molimo. Filosofi Molimo yang digunakan oleh Masyarakat Jawa sama dengan filosofi dalam Agama Hindu yang mengajarkan tentang sikap yang harus dihindari sebagai individu yang memimpin kehidupan dalam dirinya (Adi, 2013). Molimo sendiri merupakan singkatan dari lima jenis tindakan menyimpang, yaitu Madon atau Memitra (prostitusi), Memotoh (main judi), Maling (Mencuri), Madat (pecandu atau menggunakan narkoba), dan Metuakan atau Minum (Mabuk). Oleh sebab itu, bagi Masyarakat Yogyakarta sebagai masyarakat yang menganut nilai Jawa, molimo menjadi hal yang sangat tabu untuk dilakukan dan harus dihindari. Apabila ada individu yang melakukan hal tersebut biasanya masyarakat hukumanhukuman sosial berupa pemberian cap wong nakalan atau orang jahat hingga pengeluaran individu dari kelompok masyarakat. Djisman Samosir dalam bukunya yang berjudul Sekelumit Tentang Penologi dan Pemasyarakatan menjelaskan pandangan beberapa tokoh mengenai pandangan masyarakat terhadap identitas narapidana, serta pandangan tokoh

11 11 terhadap kejahatan pada masa kini. Pandangan dari tokoh pertama yang ia jelaskan adalah Romli Atmasasmita, dimana Romli mengatakan bahwa, Masyarakat selalu memiliki pandangan yang negatif terhadap pelaku kejahatan, sehingga kenyataan yang muncul adalah bahwa pelaku kejahatan berubah menjadi korban kejahatan itu sendiri. Dimana akibat tindak kejahatannya, masyarakat kini membalas kejahatan dengan memberikan cap buruk, bukan hanya kepada dirinya, namun juga kepada keluarganya. Pandangan kedua adalah pandangan James W. Coleman, ia menjelaskan bahwa James Coleman memandang kejahatan sebagai suatu fenomena dalam masyarakat yang tidak akan mati. Kejahatan akan semakin terus berkembang seiring dengan berkembangnya pembangunan. Hal tersebut dikarenakan perkembangan yang ada menuntut manusia untuk semakin kompetitif, terutama dalam bidang pemenuhan kebutuhan hidup. Bagi James Coleman, karena banyaknya tindak kejahatan yang muncul dewasa ini, masyarakat seharusnya sadar bahwa pelaku kejahatan bukan harus dihindari melainkan harus dicegah dan ditangani. Melihat pandangan-pandangan tersebut, Samosir memandang bahwa kejahatan sudah menjadi masalah sosial yang mendarah daging dan sangat menghambat pembangunan. Masalah terbesar adalah masyarakat memandang pelaku kejahatan yang sudah memiliki identitas narapidana baik pada saat sudah keluar dari penjara tetap sebagai individu yang jahat, bukan individu yang mengalami perubahan. Dalam bukunya, ia mengkritisi bahwa masyarakat seharusnya tidak melakukan tindakan pemberian cap tersebut. Ia menjelaskan bahwa seharusnya masyarakat sadar jika narapidana merupakan bagian dari masyarakat, dan berkaca pada diri sendiri. Samosir menggunakan pandangan J.E. Sahetapy yang mengatakan bahwa,

12 12 Sebelum masyarakat melakukan tindakan cap, sebaiknya masyarakat berkaca pada diri sendiri, adakah masyarakat yang belum pernah melakukan kejahatan sekecil apapun? Dalam bukunya, Samosir juga menjelaskan bahwa masyarakat harusnya membantu pemerintah untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana, bukan memberikan perlakuan cap buruk terhadap narapidana dan keluarganya. Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konsitusi pertama di Indonesia, dalam bukunya yang berjudul Peradilan Etik dan Etika Konstitusi membahas tentang permasalahan pembangunan yang dialami oleh dunia pemasyarakatan di Indonesia. Permasalahan tersebut adalah kondisi penjara sebagai wahana resosialisasi narapidana mengalami kondisi yang over capacity akibat dari banyaknya narapidana yang masuk serta masuk kembali dan tidak seimbang dengan narapidana yang keluar dari penjara. Kondisi over capacity dipandang oleh pemerintah sebagai dampak dari gagalnya program pembinaan narapidana dari dalam penjara. Pembinaan tersebut dikatakan gagal karena sarana dan prasarana lembaga pemasyarakatan penjara yang terbatas, menyebabkan narapidana tidak mendapat resosialisasi yang maksimal dengan hanya mendapat gambaran akan kehidupan secara garis besar yang akan didapat ketika keluar penjara. Gambaran yang biasanya diberikan oleh penjara biasanya berisikan penerimaan yang akan dilakukan oleh masyarakat terhadap diri narapidana, perolehan lapangan kerja, dan kehidupan yang lebih baik lagi. Namun, salah satu penyebab masalah over capacity adalah narapidana yang mengalami kebingungan saat bertemu kembali dengan masyarakat, karena perbedaan antara gambaran

13 13 dalam pembinaan dengan kenyataan yang diterima (Asshiddiqie, 2014:37). Hal tersebut menyebabkan banyak narapidana mengalami tekanan dan memilih kembali untuk melakukan tindakan kriminal guna bertahan hidup di masyarakat. Kembalinya narapidana melakukan tindakan kriminal dan masuk kembali ke dalam penjara, menjadi salah satu penyebab penjara mengalami over capacity. Dalam survey yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan, setidaknya sebanyak 25 propinsi dari 33 propinsi di Indonesia mengalami over capacity di setiap penjara yang ada ( dalam Asshiddiqie, 2014). Anes (2007) dalam studi tugas akhir kuliahnya di jurusan Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada, mengangkat permasalahan kehidupan narapidana di dalam penjara. Studi kasusnya berisikan tentang liminalitas yang dihadapi oleh lima narapidana di LAPAS Wirogunan Yogyakarta. Dalam tulisannya ia menceritakan bagaimana narapidana masuk dalam penjara dengan latar belakang kebanyakan karena faktor ekonomi yang berada pada kelas menengah ke bawah. Di dalam penjara, para narapidana mengalami tahap liminal (Victor Turner), dimana mereka harus menyesuaikan diri dengan kondisi penjara yang dituliskan bahwa kebanyakan narapidana merasa hidupnya berubah menjadi terbatas dalam segala hal. Sayangnya tulisan Anes hanya berkutat pada kehidupan narapidana didalam penjara, tetapi dalam penjelasannya tentang bagaimana narapidana memandang kehidupan setelah keluar dari penjara menjadi gambaran bahwa para narapidana selalu mendapat dan diberikan gambaran dari pembinaan dalam penjara bahwa kehidupan kedua lebih baik dari kehidupannya yang pertama.

14 14 Dalam studi perkembangan pola sistem pembinaan dan pemasyarakatan yang dilakukan di Indonesia tahun 2014 oleh Y. Ambeg Paramarta selaku Sekertaris Jenderal Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, saat ini proses pembinaan dan pemasyarakatan narapidana memiliki konsep yang berbasis kepada komunitas atau yang disebut dengan Community Based Correction. Penggunaan konsep tersebut atas dasar: 1. Masalah kelebihan kapasistas over capacity memunculkan anggapan bahwa pemerintah dipandang tidak mampu memaksimalkan program reintegrasi, sehingga banyak waktu dan program yang dipandang sia-sia oleh masyarakat. Melalui konsep ini diharapkan masyarakat dapat ikut serta membantu sehingga program tidaklah sia-sia. 2. Memanusiakan manusia yang telah disintegrasi dipercaya dapat lebih efektif jika langsung dilakukan di dalam masyarakat. Hal tersebut menjadi nilai tambah penggunaan konsep ini karena aspek kemanusiaan menjadi jelas ketika narapidana dikembalikan ke masyarakat, dimana narapidana dapat berinteraksi langsung bukan hanya melalui gambaran pembinaan petugas. 3. Penghematan biaya Pemerintah Pemasyarakatan. Berdasarkan survey yang dilakukan, program kegiatan pembinaan didalam masyarakat membutuhkan biaya yang lebih sedikit dibandingkan dengan program pembinaan di dalam penjara. 4. Administrasi peradilan yang lebih tepat dan transparan. Pemasyarakatan berbasiskan masyarakat menawarkan dan meningkatkan aktifitasnya pada

15 15 level lokal dan selanjutnya memberikan banyak kemungkinankemungkinan kooordinasi dan manajemen peradilan yang layak langsung dari pelaku dan penerima program tersebut. 5. Adanya sanksi pidana pengganti yaitu pembebasan bersyarat. Harapannya melalui pembebasan bersyarat, pencapaian utama digunakannya konsep ini yaitu untuk mengatasi over capacity penjara dapat teratasi. Namun dalam pembahasan tentang konsep Community Based Correction tidak dijelaskan secara jelas bagaimana konsep tersebut di masyarakat dan siapa pelaku utama konsep tersebut. Dari beberapa kajian diatas, masih banyak lagi kajian dan studi yang membahas tentang narapidana. Namun sejauh pengetahuan dan studi pustaka yang dilakukan oleh penulis belum ada studi yang membahas tentang cara kerja Balai Pemasyarakatan dalam kajian ilmu Antropologi terutama dalam memandang BAPAS sebagai agen pembaru dan lembaga penginisiasi. Melalui ilmu antropologi, penelitian ini menjelaskan cara kerja BAPAS sebagai sebuah lembaga penginisiasi yang membentuk tahapan-tahapan agar narapidana mampu masuk dalam rangakaian pencapaian ritus inisiasi dan melalui ritus tersebut. Dari penjelasan tersebutlah tujuan penelitian ini untuk membahas bagaimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah berjalan dalam masyarakat sosial diharapkan dapat terjelaskan. Dalam penelitian ini penulis akan mencoba menjawab kekurangan dari beberapa tulisan tersebut dengan menjelaskan secara jelas tentang bagaimana sebuah kebijakan pemerintah pemasyarakatan Community Based Correction lewat faktor pembebasan bersyarat dari pelaku konsep tersebut yaitu BAPAS itu sendiri.

16 16 Fokus penelitian ini adalah menggambarkan konsep kebijakan tersebut melalui cara kerja BAPAS sebagai unit pelaksana teknis yang dapat disebut sebagai agen pembaru sekaligus lembaga penginisiasi yang berupa tahapan-tahapan bentukan pemerintah untuk melihat bagaimana kerjasama antara pemerintah, narapidana, dan masyarakat mengatasi sebuah masalah sosial yang terjadi. 1.6 Landasan Teori Narapidana atau prisoner merupakan istilah yang muncul pada abad ke- 18 menuju abad ke-19, bersamaan dengan munculnya istilah penjara. Pada perubahan abad tersebut yang lebih dikenal dengan masa reformasi penjara, istilah penjara muncul sebagai nama baru dari rumah tahanan (Foucault dalam Hardiyanta, 1997: 122). Nama baru tersebut merupakan transisi bentuk keadilan hukuman dari hukuman fisik dan langsung kepada individu yang melakukan tindakan illegal menjadi hukuman yang lebih kemanusiaan dan membentuk moral yaitu dengan konsep perampasan kebebasan. Individu-individu pelaku tindakan illegal tersebutlah yang dinamakan sebagai prisoner atau yang nantinya dalam perkembangan pemasyarakatan di Indonesia disebut sebagai narapidana. Tokohtokoh reformasi yang memunculkan istilah tersebut antara lain Chaptal (1801), Decazes (1819), Villerme (1820), hingga Blouet (1835), dimana seluruhnya menegaskan bahwa seluruh bentuk hukuman tersebut berubah menjadi hukuman pemenjaraan dengan teknis hukuman berbentu koreksi (Foucault dalam Hardiyanta, 1997).

17 17 Dalam perkembangan pembangunan pemerintahan yang ada di Indonesia, kelompok narapidana termasuk dalam sektor perhatian pemerintah yang sangat penting. Warga binaan pemasyarakatan atau narapidana memiliki pengertian sebagai seseorang yang dipidana berdasarkan keputusan pengadilan karena tindakan melanggar hukum dan akan menjalani pidana dengan pola pemidanaan berupa pembinaan yang berisikan penghilangan kemerdekaan dan pemunculan koreksi moral di dalam lembaga pemasyarakatan (UU no.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dalam Samosir, 2012: 170). Michael Foucault dalam pandangannya tentang Displine and Punishment yang telah disandur oleh Hardiyanta, penjara merupakan bentuk hukuman baru supaya dapat menundukkan individu-individu agar taat dan berguna. Dalam pandangannya, penjara berhak untuk merampas kebebasan yang dimiliki oleh orang yang ditaruh didalam penjara, penjara juga berhak meminta orang tersebut membayar hutang-hutang atau uang yang dirampasnya, yang pada tujuannya merupakan sebuah teknik koreksi, dan untuk menghindari terjadi pemberontakan balas dendam terutama dalam kontak fisik kepada tahanan (hal. 124). Pandangan penjara sebagai lembaga lengkap dan keras menurut Foucault bukanlah lembaga yang cukup dapat menentukan bagaimana mekanisme yang diatur dapat memberikan efek jera. Istilah kepulauan pemenjaraanlah yang dipilih Foucault, dimana masyarakat yang digambarkan sebagai kota hukuman yang sebenarnya menentukan bagaimana seseorang sudah mendapatkan efek jera (hal. 156). Kota hukuman merupakan bentuk baru dari pandangan hukuman representatif (hukuman masyarakat langsung kepada individu pelaku kriminal), dimana di Kota

18 18 Hukuman bukan lagi penguasa pusat yang menentukan keberhasilan efek jera, namun sistem masyarakatlah yang menentukan (hal. 157). Di Indonesia, permasalahan yang muncul adalah sebuah ketimpangan pelaksanaan kebijakan pemerintah kepada narapidana, dan masyarakat. Pemerintah melalui lembaga pemasyarakatan, penjara, menyadari ketidakmampuan narapidana untuk berintegrasi dengan masyarakat sehingga membutuhkan pembinaan, namun pemerintah terlambat untuk memahami bahwa yang seharusnya membina adalah masyarakat dengan narapidana tidak dibatasi ruang gerak secara terus-menerus di dalam penjara. Kenyataannya pembinaan narapidana adalah dengan sistem koreksi dan menggambarkan kehidupan depan yang selalu indah setelah keluar dari penjara, namun realita yang diterima oleh narapidana sering bertolak belakang dengan penggambaran tersebut. Kebanyakan masyarakat menolak narapidana kembali ke masyarakat. Oleh sebab itu kebijakan pembentukan lembaga pemasyarakatan penjara saja dianggap tidak cukup menyelesaikan masalah, namun malah menimbulkan masalah yang menjadi tanda jelas kegagalan kebijakan pemerintah dalam usaha resosialisasi narapidana, sehingga akhirnya pemerintah membentuk lembaga pemasyarakatan lainnya yaitu Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi menjelaskan bahwa ada tiga tahap perubahan sosial, yaitu pertama tahap invensi dimana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, kemudian tahap kedua adalah difusi yang berisikan proses mengkomunikasikan ide-ide baru ke dalam sistem sosial, dan tahap ketiga konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang muncul dalam sistem sosial yang

19 19 terjadi sebagai akibat pengadoptasian atau penolakan inovasi (Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi, 1981: 16). Kegagalan adaptasi yang dialami oleh narapidana merupakan ketidakseimbangan antara individual dan sistem yang dimulai dari tahap dua atau pengkomunikasian yang berujung hingga tahap tiga. Hal tersebut mengakibatkan individu melakukan pemilihan usaha lain agar dapat menyeimbangi perubahan yang muncul, namun usaha lain tersebut dianggap salah oleh sistem hukum yang berlaku sehingga muncul identitas narapidana yang dapat menimbulkan fenomena masyarakat yang tidak bersikap adil melalui cara penghakiman identitas tersebut. Oleh sebab itu dalam perubahan sosial yang terjadi perlu agen pembaru dalam kehidupan bermasyarakat. Agen pembaru adalah orang asing yang memiliki latar belakang anak buah dari lembaga pembaru yang memiliki cara kerja sebagai tangan yang mengarahkan keputusan dan inovasi yang diambil dari sistem yang dimiliki oleh klien perubahan sosial (Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi, 1981:97). Balai Pemasyarakatan merupakan anak buah dari lembaga pembaru Direktorat Jendral Pemasyarakatan yang dibentuk dengan tujuan untuk dapat mengarahkan keputusan dan inovasi yang diambil oleh klien perubahan sosial yaitu narapidana dan masyarakat. Harapannya narapidana dapat berhasil beradaptasi kembali dan masyarakat mau diajak untuk mendukung keberhasilan adaptasi tersebut melalui proses penerimaan. Pada akhirnya dampak dari kebijakan tersebut dapat menyelesaikan masalah dari kebijakan sebelumnya yaitu over capacity yang dianggap oleh Pemerintah Pemasyarakatan menjadi sebuah penghambat pembangunan dari perubahan sosial yang terjadi dapat terselesaikan.

20 20 Pada kajian ilmu antropologi dikenal istilah ritus dalam kehidupan. Dalam teori yang dikemukakan oleh Van Gennep, setiap individu dalam kehidupan pasti mengalami ritus rites de passage, ritus tersebut merupakan serangkaian peralihan dari satu bagian ke bagian lainnya secara bertahap dan tertata, seperti kelahiran, kematian, perkawinan. Istilah ritus seringkali dihubungkan dengan inisiasi, ritus inisiasi dan berbentuk upacara. Ritus inisiasi sendiri memiliki pengertian ritus permulaan yang harus dijalani individu untuk masuk ke dalam suatu kelompok, kultur ataupun status sosial (Turner dalam Winangun, 1990:33). Kegunaan dari ritus inisasi itu sendiri adalah sebagai jalan seseorang untuk masuk dalam tahap baru kehidupannya di masyarakat. Biasanya ritus inisiasi dapat dilihat melalui upacara-upacara keagaman atau kepercayaan berbentuk kegiatan anti-struktur, namun dalam penelitian ini teori tersebut dapat dilihat pada sebuah struktur kebijakan pemerintah untuk narapidana. Kelompok narapidana sebagai anggota masyarakat secara individu juga mengalami ritus inisiasi tersebut, perbedaannya adalah ritus inisiasi narapidana bukan berupa upacara yang sakral, melainkan sebuah rangkaian tahapan yang profan yang dibentuk oleh kebijakan pemerintah melalui Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Ritus inisasi tersebut disebut dalam penelitian ini sebagai ritus reintegrasi. Ritus reintegrasi merupakan ritus peralihan untuk kelompok narapidana masuk kembali ke kelompok masyarakat. Atau dengan kata lain ritus reintegrasi adalah kebijakan pemerintah mengintegrasikan kembali narapidana ke masyarakat. Dalam penelitian ini kelompok narapidana merupakan kelompok masyarakat devian, atau masyarakat yang melakukan penyimpangan dari main

21 21 stream yang berlaku di masyarakat, yaitu norma dan hukum. Tahap kehidupan individu yang sudah memiliki identitas narapidana dapat dikatakan berada tahap liminal (Turner, 1990) karena berbeda dengan tahap kehidupan masyarakat lainnya. Tahap liminal atau liminalitas adalah tahap seseorang berada dikondisi ambang, tidak di sana dan tidak di sini, tidak di luar dan tidak di dalam. Tahap tersebut dibuktikan dengan kebingungan yang dialami oleh narapidana untuk memposisikan diri dalam perubahan yang terjadi di masyarakat. Tahap tersebut tidak hanya berada pada kehidupan sebelum di penjara, kehidupan di dalam penjara, tetapi juga kehidupan setelah keluar dari penjara. Permasalahan terbesar adalah ketika narapidana berada pada masa transisi untuk mencapai ritus reintegrasi yaitu kehidupan saat keluar dari penjara dan kembali ke masyarakat. Dalam masa transisi tersebut sering kali narapidana dihadapkan dengan kebingungan-kebingungan untuk menemukan bagaimana cara masuk dan diterima dalam masyarakat. Kebingungan tersebut merupakan ketidak mampuan narapidana secara individu untuk melalui ritus reintegrasi tersebut karena ketidak jelasan untuk memposisikan diri dalam masyarakat. Hasil akhir dari kebingungan adalah narapidana tidak dapat melalui ritus tersebut dan mengulang kembali tindak pidananya. Hal tersebut menjadi sebuah batu sandungan bagi apa yang dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakannya karena usaha pembinaan dapat dipandang gagal oleh narapidana masyarakat. Oleh sebab itu dalam mengkaji permasalahan keberhasilan narapidana melalui ritus reintegrasi sangat berhubungan dengan apa yang diperbuat oleh pemerintah. Maka dari itu dalam penelitian ini untuk melihat bagaimana narapidana menghadapi ritus reintegrasi

22 22 melalui BAPAS sebagai lembaga penginisiasi membutuhkan pandangan dari kajian ilmu lain selain ilmu antropologi, karena peran BAPAS secara terstruktur merupakan lembaga pemasyarakatan yang secara terstruktur dibentuk untuk melakukan tahapan-tahapan guna membantu narapidana mencapai ritus reintegrasi tersebut. Satu kajian ilmu yang dapat membantu menjelaskan peran BAPAS sebagai agen pembaru dan lembaga penginisiasi adalah kajian ilmu penologi dari ilmu kriminologi. Ilmu penologi secara sederhananya merupakan ilmu yang mempelajari tentang pidana dan konsekuensinya dari tindak kejahatan. Ilmu penologi memiliki cakupan pandangan untuk melihat bagaimana perkembangan pidana mulai dari masa lalu hingga melihat masa depan dari sisi warganegara yang hidup di bawah hukum konstitusi. Penologi lebih fokus kepada bagaimana melihat keputusan negara yang berdasarkan pada rencana atau program-program untuk mengubah perilaku penjahat ke arah perkembangan individu yang lebih baik dari sektor mental, pendidikan, ekonomi, dan unsur kehidupan lainnya, dengan melihat bagaimana masyarakat memandang pengaruhnya terhadap nilai yang ada, tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kehidupan yang layak bagi para narapidana (Thomas, 1987). Pada saat ini ilmu penologi digunakan sebagai dasar untuk melihat perkembangan dunia pemasyarakatan yang ada di Indonesia terutama permasalah kapasitas penghuni penjara over capacity (Samosir, 2012). Melalui pandangan antropologi dan penologi, dapat ditarik suatu pengertian bahwa BAPAS sebagai lembaga penginisasi merupakan bentuk

23 23 realisasi dari rencana kebijakan negara memiliki kerja untuk mengeluarkan narapidana dari tahap liminal masa lalu dan masa penjaranya untuk menuju masa depan yang layak. Cara kerja BAPAS dengan melakukan pembinaan luar (luar bangunan penjara) terhadap narapidana adalah melalui program mengintegrasikan kembali narapidana yang sudah disintegrasi dalam masyarakat. Tujuan akhir program tersebutlah yang dapat disebut sebagai ritus reintegrasi. Ritus reintegrasi yang akan dilalui oleh narapidana merupakan rangkaian tahapan pembimbingan dari cara kerja BAPAS yang berisikan proses adaptasi sosial narapidana kembali ke masyarakat. Adaptasi Sosial sendiri seperti yang dijelaskan oleh Pasurdi Suparlan adalah suatu proses yang dilakukan manusia untuk mengatasi masalah yang ada dalam lingkungan sosial, budaya, ekonomi, dan alam dalam rangka memenuhi syarat-syarat dasar guna kelangsungan hidup (Suparlan dalam Geriya, 1982:74-75 dalam Edeltrudis, 1998: 12). Selain Pasurdi, Talcott Parson memandang adaptasi sebagai sebuah cara pelaku kehidupan sosial untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan tempat mereka berinteraksi (Talcott Parsons, 1963: 35). Masyarakat sebagai manusia adalah makhluk sosial yang memiliki ruang beradaptasi yaitu lingkungan sosial. Lingkungan sosial adalah lingkungan dari individu-individu yang membentuk kelompok yang memiliki sebuah sistem, tatanan, norma dan nilai yang berlaku dalam lingkungan tersebut. Maka dari itu pengertian adaptasi dari individu sebagai anggota masyarakat adalah sebagai proses penyesuaian yang dilakukan oleh manusia sebagai individu kepada masyarakat dan lingkungan sosial agar dapat melakukan kegiatan sosial untuk memenuhi kebutuhan-

24 24 kebutuhan dari sebuah sistem agar dapat berjuang hidup supaya berhasil dalam proses penyisihan kehidupan sosial dan menemukan diri menjadi seorang pribadi yang diakui oleh masyarakat (Erikson, 1989:182). Dari penjelasan adaptasi itulah cara kerja BAPAS dapat digambarkan berupa tahapan-tahapan proses pembimbingan narapidana kembali ke masyarakat. Tahapan tersebut terdiri atas tiga tahapan dimana masing-masing tahapan merupakan satu program kerja pembimbingan. Tahapan Nama Program Pelaku Utama Sasaran Awal Penelitian Kemasyarakatan Pegawai Balai Pemasyarakatan Narapidana, Keluarga Narapidana, Korban dan keluarganya,masy arakat, Aparatur Masyarakat, Lanjutan Akhir Pembimbingan Luar dalam Masa Pembebasan Bersyarat Pembebasan Murni Narapidana sebagai Klien BAPAS Pegawai BAPAS dan Klien Lingkungan Sosial BAPAS, Keluarga, Masyarakat, dan lingkungan sosial Dirjen Pemasyarakatan, Masyarakat, dan Lingkungan Sosial Tabel 1. Tahapan-tahapan Proses Adaptasi Sosial Narapidana Kembali Ke Masyarakat melalui BAPAS Sekertaris Jenderal Pemasyarakatan Indonesia (tahun 2014), Ambeg Paramarta mengatakan bahwa sesungguhnya tahapan-tahapan tersebut merupakan proses pendidikan bagi seluruh pihak pemasyarakatan. Pendidikan bagi pemerintah pemasyarakatan untuk belajar bahwa dewasa ini pola pembinaan narapidana lebih baik berorientasi kepada pembinaan di tengah-tengah masyarakat daripada di dalam penjara. Pendidikan bagi narapidana dimana sebagai individu

25 25 harus mau belajar berusaha berubah dan memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh pemerintah dengan sebaik-baiknya untuk berusaha kembali masyarakat. Pada akhirnya dari tahapan tersebut diharapkan masyarakat dapat belajar untuk mau dan harus memberikan kesempatan kepada narapidana untuk kembali hidup di masyarakat dengan hidup patuh hukum. Mansour Fakih (2014) melalui pandangan pendidikan postmodernisme mengatakan tentang pandangan ideologi yang harus dibentuk dalam masyarakat Indonesia adalah pandangan ideologi normalisme. Pandangan ini sebenarnya digunakan untuk menunjukan bagaimana sikap masyarakat memandang kaum difabel (penyandang cacat secara fisik), namun dalam memandang narapidana pandangan ini dapat digunakan. Narapidana bisa dibilang kaum difabel sosial, mereka mengalami kecacatan moral dan hukum terhadap perkembangan perubahan yang terjadi di kehidupan sosial. Maka dari itu pandangan normalisme mengajak masyarakat untuk berlaku dan memperlakukan narapidana bukan sebagai penyandang cacat, namun sebagai orang normal yang sama dengan masyarakat. Melalui proses pembelajaran dari pandangan tersebut diharapkan masyarakat dapat berlaku adil dengan tidak mendiskriminasikan narapidana sebagai sebuah identitas buruk atau kaum buangan sampah masyarakat. Harapannya dengan sikap masyarakat yang demikian, narapidana dapat berhasil beradaptasi kembali sehingga masalah dari kebijakan pemerintah sebelumnya yaitu masalah over capacity yang dianggap oleh Pemerintah Pemasyarakatan menjadi sebuah penghambat pembangunan dari perubahan sosial yang terjadi

26 26 dapat teratasi oleh kebijakan pembentukan BAPAS yang berisikan pembelajaran proses pembimbingan narapidana berbasis masyarakat. 1.7 Metode Penelitian Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Balai Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta (selanjutnya ditulis BAPAS Yogya) yang terletak di Jalan Trikora nomor 1 Yogyakarta. Pemilihan lokasi penelitian di BAPAS Yogya atas dasar pertimbangan: 1. BAPAS Yogya merupakan satu-satunya BAPAS Kelas I yang ada di Yogyakarta dan bernaung langsung di bawah Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. BAPAS Yogya merupakan satu-satunya unit pelaksana teknis yang bertugas memberikan pembinaan di luar penjara untuk para narapidana yang akan beradaptasi kembali di wilayah Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Sleman. 3. Pada ukuran survey yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan awal tahun 2014, rangking BAPAS Yogya sebagai BAPAS Kelas I mengalami rangking yang lebih rendah dibandingkan dengan BAPAS Kelas II Wonosari, sehingga BAPAS Yogya masih memerlukan banyak evaluasi untuk memperbaiki kinerja dan kualitas sebagai sebuah lembaga pemasyarakatan di pusat Kota Yogyakarta.

27 Pemilihan Informan Inti dan Informan Pendukung Fokus latar belakang pidana dari informan inti dalam penelitian ini adalah pidana kasus pencurian dan kasus asusila. Alasan pemilihan dua pidana tersebut karena yang pertama kasus asusila memiliki presentasi kasus tertinggi dari empat kasus besar (lainnya: narkotika, korupsi, pencurian, dan penipuan) yang ditangani oleh BAPAS Yogya, yaitu sebesar 45%. Yang kedua kasus pencurian, dengan latar belakang karena permasalahan ekonomi dan keterbatasan lapangan pekerjaan masih menjadi permasalahan utama kesejahteraan masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang menyebabkan tingginya kasus angka pencurian yang ditangani BAPAS Yogya, yaitu sebanyak 20%. Maka dari itu sebanyak enam responden yang dipilih merupakan pelaku tindak pidana asusila dan pencurian. Dalam analisis data nantinya, enam informan inti tersebut dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan tiga hasil penelitian kemasyarakatan (litmas) dari cara kerja BAPAS Yogya. Tiga hasil tersebut yaitu hasil litmas positif, hasil litmas negatif, dan hasil gagal bimbingan. Masing-masing kelompok berisikan dua responden dengan latar belakang kasus yang berbeda. Harapannya selain untuk memudahkan penyusunan penelitian, pengelompokan tersebut juga dapat memudahkan penjelasan tentang ukuran hasil akhir dari cara kerja BAPAS Yogya. Selain informan inti, dalam penelitian ini juga ditentukan beberapa informan yang mendukung dan berhubungan dengan pertanyaan penelitian. Kelompok informan yang dipilih pertama adalah pegawai BAPAS Yogya. Para

28 28 pegawai adalah pelaku utama dalam proses adaptasi kembali narapidana ke masyarakat, dari awal hingga akhir narapidana memperoleh status hasil penelitian. Para pegawai inilah yang menjadi penghubung antara pihak pemerintah dengan narapidana, pemerintah dengan masyarakat, dan narapidana dengan masyarakat, sehingga kelompok informan pegawai memiliki informasi yang sangat penting dalam penelitian ini. Kelompok informan kedua adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan kehidupan yang akan dihadapi dan dihadapi oleh narapidana setelah keluar dari penjara, seperti keluarga, pihak korban, masyarakat, perangkat masyarakat (rukun warga, rukun tetangga, kecamatan/ kelurahan), dan aparat pemerintah lainnya (polisi dan penjara). Kelompok informan terakhir adalah beberapa narapidana yang merupakan klien BAPAS Yogya yang tidak termasuk dalam responden. Klien-klien BAPAS tersebut dijadikan informan guna melihat bagaimana pengalaman proses adaptasi yang dapat menjadi data pendukung hasil penelitian ini. Pada akhirnya informan-informan tersebut dipilih atas dasar informan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang obyek tema penelitian yaitu evaluasi kebijakan pemerintah pemasyarakatan dalam proses mengintegrasikan kembali narapidana ke masyarakat melalui BAPAS Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2013 hingga September Penelitian ini dilaksanakan selama hampir satu tahun dengan tujuan untuk melihat bagaimana jalannya program kerja BAPAS Yogya dari awal hingga akhir. Tujuannya agar gambaran akan perkembangan yang terjadi, dan masalah yang

29 29 ditemui selama jalannya program kerja BAPAS kepada narapidana dapat dilihat hingga narapidana benar-benar mampu diintegrasikan ke masyarakat. Selama masa penelitian ini dilaksanakan, keberadaan responden dan informan tidak mengalami hambatan yang cukup sulit dalam pengumpulan data. Hal tersebut dikarenakan selama satu tahun jadwal pertemuan dan pembimbingan telah diatur dalam program kerja BAPAS secara baku atas persetujuan pertemuan dan kunjungan dari masing-masing pihak. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan hasil penelitian berupa deskripsi data kualitatif. Perolehan data tersebut menggunakan metode observasi dan partisipasi dengan beberapa tahapan, yaitu: 1. Pertama peneliti menganalisa fenomena permasalahan yang terjadi di masyarakat berhubungan dengan tema penelitian, yaitu dunia pemasyarakatan. 2. Peneliti mencari lokasi dan obyek penelitian yang dipandang menarik dan sesuai dengan tema penelitian. 3. Peneliti ikut ambil bagian dalam kerja BAPAS Yogya, terutama dalam proses pembimbingan narapidana dari awal hingga akhir dengan status peneliti sebagai pendamping peneliti dan pembimbing kemasyarakatan BAPAS Yogya. 4. Peneliti melakukan wawancara kepada responden dan informan melalui proses penelitian kemasyarakatan (litmas), pembimbingan kemasyarakatan, dan program sosialisasi-sosialisasi di BAPAS Yogya.

30 30 5. Peneliti ikut serta dalam proses pengarsipan data-data narapidana dan menggunakan arsip-arsip tersebut sebagai data pendukung tambahan riwayat responden. 6. Peneliti membantu pembuatan laporan pertanggungjawaban pegawai terhadap narapidana dan ikut serta hadir dalam sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan dalam pengambilan dan penentuan hasil akhir kerja BAPAS Yogya. Selain ke-enam tahapan diatas, untuk menyusun hasil penelitian ini digunakan juga metode studi pustaka dan dokumentasi dengan tujuan untuk mendukung dan menyempurnakan data kualitatif ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dimengerti. Melalui cara pengumpulan data yang demikian diharapkan analisis data penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang usaha adaptasi kembali secara jelas. Pada akhirnya cara pengumpulan data diharapkan dapat mencapai tujuan dan manfaat dari penelitian ini. 1.8 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan hasil penelitian ini berupa deskripsi analisis data kualitatif yang merupakan gambaran tahapan-tahapan proses adaptasi sosial narapidana kembali ke masyarakat melalui lembaga pemasyarakatan. Pada bab satu, penelitian ini membahas tentang latar belakang yang mendasari diadakannya penelitian ini. Bab ini berisikan bagaimana penelitian ini berangkat melalui asusmsi dasar dan kerangka teori yang sudah diperoleh terlebih dahulu melalui

31 31 studi lapangan dan studi pustaka pertama. Serta pada bab ini dijelaskan bagaimana pemilihan metode penelitian untuk memperoleh data penelitian ini. Memasuki bab dua, penelitian ini kemudian membahas tentang data yang diperoleh dari lapangan mengenai Balai Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta (BAPAS Yogya). Bab dua diawali dengan latar belakang terbentuknya BAPAS, gambaran umum BAPAS Yogya, dan struktur organisasi kerja BAPAS Yogya. Kemudian pada bab dua dijelaskan melalui beberapa point berupa tahapan tentang bagaimana cara kerja BAPAS Yogya dan program-program yang ada di BAPAS Yogya. Sebagai akhir dari bab dua adalah pembahasan tentang bagaimana pandangan pegawai BAPAS Yogya sebagai pelaku utama program kerja dan adaptasi narapidana kembali ke masyarakat. Bab tiga dalam penulisan penelitian ini berisikan gambaran dari hasil analisis data enam orang responden penelitian ini. Hasil analisis data tersebut berupa kisah perjalanan proses adaptasi dari masing-masing responden yang dikelompokkan dalam tiga hasil penelitian dari kerja BAPAS Yogya. Dalam penjelasan dari masing-masing responden berisikan riwayat pidana, latar belakang keluarga responden, tapi yang paling utama adalah pandangan responden, masyarakat, keluarga, korban, dan BAPAS Yogya tentang proses adaptasi kembali yang akan dan dilakukan oleh responden. Dua bab terakhir yaitu bab empat dan bab lima lebih kepada menganalisis penggambaran yang sudah ada pada bab dua dan bab tiga. Pada bab empat penggambaran pada bab dua dan bab tiga kemudian dirangkum dalam tiga point tahapan besar dengan menggunakan kerangka teori yang menjadi dasar penelitian

32 32 ini. Selain itu pada bab empat seluruh jawaban atas pertanyaan penelitian dijelaskan dalam tiga point tahapan besar tersebut. Tahapan besar tersebut merupakan tahapan proses adaptasi kembali narapidana ke masyarakat untuk dapat melalui ritus reintegrasi. Tahap pertama merupakan tahap dari BAPAS Yogya sendiri, tahap kedua adalah tahap dari narapidana, dan tahap terakhir adalah tahap dari masyarakat. Akhirnya kesimpulan dari tahapan-tahapan tersebut yang merupakan jawaban atas seluruh pertanyaan dan pernyataan dalam penelitian ini dirangkum dalam bab lima. Kesimpulan tersebut berupa evaluasi, konklusi, serta saran yang diharapkan dapat digunakan sebaga jalan pencapaian manfaat dari penelitian ini kepada para sasarannya, yaitu narapidana, masyarakat, dan pemerintah.

BAB V KESIMPULAN. dua cara kerja. Pertama dari prosedur tahapan kerja yang dilakukan BAPAS

BAB V KESIMPULAN. dua cara kerja. Pertama dari prosedur tahapan kerja yang dilakukan BAPAS 123 BAB V KESIMPULAN Cara kerja BAPAS sebagai sebuah unit pelaksana teknis yang merupakan lembaga pemasyarakatan yang memiliki melakukan pembinaan luar kepada narapidana sebagai warga binaan pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan

Lebih terperinci

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN Masyarakat terdiri dari kumpulan individu maupun kelompok yang mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam melakukan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai pelaku tindak pidana, proses hukum pertama yang akan dijalani adalah proses penyelidikan. Seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pada Undang-undang Dasar 1945. Fungsi hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. JUDUL LEMBAGA PEMASYARAKATAN Yang Berorientasi Kepada Pembentukan Suasana Pendukung Proses Rehabilitasi Narapidana

BAB I PENDAHULUAN. I.1. JUDUL LEMBAGA PEMASYARAKATAN Yang Berorientasi Kepada Pembentukan Suasana Pendukung Proses Rehabilitasi Narapidana BAB I PENDAHULUAN I.1. JUDUL LEMBAGA PEMASYARAKATAN Yang Berorientasi Kepada Pembentukan Suasana Pendukung Proses Rehabilitasi Narapidana I.2. PENGERTIAN JUDUL I.2.1. Pengertian Judul dari Terminologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan menjadi subjek yang dihormati dan dihargai oleh sesamanya. Pada dasarnya yang harus diberantas ialah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. timbul berbagai macam bentuk-bentuk kejahatan baru. Kejahatan selalu

BAB I PENDAHULUAN. timbul berbagai macam bentuk-bentuk kejahatan baru. Kejahatan selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini kejahatan semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman terutama dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga timbul berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daniati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daniati, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Generasi muda merupakan generasi penerus bangsa yang nantinya akan meneruskan estafet kepemimpinan dan membangun negeri ini di masa yang akan datang. Tentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT Modul Penanganan ABH di Bapas merupakan bagian dari Modul Penyuluhan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum terkait diversi dan keadilan restoratif bagi petugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang selanjutnya disebut dengan UU SPPA menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narapidana sebagai warga negara Indonesia yang hilang kemerdekaannya karena melakukan tindak pidana pembunuhan, maka pembinaannya haruslah dilakukan sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa sistem pembinaan narapidana yang dilakukan oleh Negara Indonesia mengacu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia tentunya mengharapkan kehidupan di masa yang akan datang dapat dilalui dengan baik dan mendapatkan kualitas hidup yang baik. Namun dalam prosesnya tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan narkoba merupakan kejahatan yang bersifat merusak, baik merusak mental maupun moral dari para pelakunya, terlebih korban yang menjadi sasaran peredaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan dan tidak adanya ketenangan dalam masyarakat. Kejahatan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan dan tidak adanya ketenangan dalam masyarakat. Kejahatan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini masih banyak masalah sosial yang tidak bisa teratasi. Salah satunya yaitu masalah tindak kriminal atau kejahatan yang terjadi dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, memandang narapidana sebagai individu anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harapan-harapan dari orang tua dan negara ini berada. Dapat dikatakan

BAB I PENDAHULUAN. harapan-harapan dari orang tua dan negara ini berada. Dapat dikatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak-anak merupakan harta yang berharga baik bagi orang tua maupun negara dimasa mendatang. Anak adalah salah satu sumber daya manusia yang merupakan generasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Penyesuaian..., Nice Fajriani, FPSI UI, 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Penyesuaian..., Nice Fajriani, FPSI UI, 2008 BAB 1 PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau dalam bahasa masyarakat awam disebut dengan penjara, merupakan tempat/kediaman bagi orang-orang yang bermasalah dengan hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tolak ukur segala hal mengenai harapan dan tujuan dari bangsa

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tolak ukur segala hal mengenai harapan dan tujuan dari bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang segala bentuk pemerintahan negara ini telah diatur dalam undang-undang dasar 1945, UUD 45 menjadi tolak ukur segala hal mengenai harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan tersebut terjadi dikarenakan berbagai macam faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan tersebut terjadi dikarenakan berbagai macam faktor yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berbagai tindakan kejahatan sering terjadi di masyarakat, misalnya pencurian, permapokan, pembunuhan, narkoba, penipuan dan sebagainya. Dari semua tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pidana penjara adalah suatu bentuk pidana yang berupa pembatasan gerak yang dilakukan dengan menutup pelaku tindak pidana dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar hukum dari Pembebasan bersyarat adalah pasal 15 KUHP yang

BAB I PENDAHULUAN. Dasar hukum dari Pembebasan bersyarat adalah pasal 15 KUHP yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Dasar hukum dari Pembebasan bersyarat adalah pasal 15 KUHP yang menyatakan orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merebaknya kasus kejahatan dari tahun ke tahun memang bervariasi,

BAB I PENDAHULUAN. Merebaknya kasus kejahatan dari tahun ke tahun memang bervariasi, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merebaknya kasus kejahatan dari tahun ke tahun memang bervariasi, kadang meningkat dan turun, baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun jika dicemati, di

Lebih terperinci

2016 POLA ADAPTASI MANTAN NARAPIDANA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

2016 POLA ADAPTASI MANTAN NARAPIDANA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu bentuk tindakan yang dilakukan seseorang dengan tujuan untuk mengambil keuntungan secara sepihak. Kejahatan yang ada di tengah masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemasyarakatan mengalami keadaan yang jauh berbeda dibandingkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemasyarakatan mengalami keadaan yang jauh berbeda dibandingkan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya seseorang yang melanggar norma hukum lalu dijatuhi hukuman pidana dan menjalani kesehariannya di sebuah Lembaga Pemasyarakatan mengalami keadaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul

PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul Untuk memahami apa yang penulis ingin sampaikan dalam tulisan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dengan Pendekatan Konsep Rehabilitasi, maka penulis perlu menjabarkan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perampokan, pembunuhan, narkoba, penipuan dan sebagainya. Dari semua tindak

BAB I PENDAHULUAN. perampokan, pembunuhan, narkoba, penipuan dan sebagainya. Dari semua tindak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Berbagai tindak kejahatan sering terjadi di masyarakat, misalnya pencurian, perampokan, pembunuhan, narkoba, penipuan dan sebagainya. Dari semua tindak kejahatan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menjalani masa pidana, hal ini sudah diatur dalam Undang undang tentang

BAB I PENDAHULUAN. yang menjalani masa pidana, hal ini sudah diatur dalam Undang undang tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembebasan bersyarat adalah suatu hak yang dimiliki oleh setiap narapidana yang menjalani masa pidana, hal ini sudah diatur dalam Undang undang tentang pelaksanaannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan anak menjadi bagian penting untuk memajukan bangsa dan Negara dimasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk melaporkan aneka kriminalitas. di berbagai daerah menunjukkan peningkatan.

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk melaporkan aneka kriminalitas. di berbagai daerah menunjukkan peningkatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang kejahatan seakan tidak ada habis-habisnya, setiap hari selalu saja terjadi dan setiap media massa di tanah air bahkan mempunyai ruang khusus untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komnas Perlindungan Anak, yaitu Arist Merdeka Sirait dalam wawancara dengan

BAB I PENDAHULUAN. Komnas Perlindungan Anak, yaitu Arist Merdeka Sirait dalam wawancara dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena memprihatinkan yang terjadi pada bangsa ini adalah meningkatnya angka kejahatan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ketua Komnas Perlindungan Anak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak Di Indonesia. hlm Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Anak Di Indonesia. hlm Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Dengan peran anak yang penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 1 ayat (1) menyebutkan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Sebagai anggota masyarakat, individu harus mematuhi norma-norma yang berlaku, agar tercapai

Lebih terperinci

NINDYA AGUSTIN LISTYANINGRUM A

NINDYA AGUSTIN LISTYANINGRUM A OPTIMALISASI PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI UPAYA MENCEGAH TERJADINYA RECIDIVE (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen Tahun 2012) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Indonesia merupakan negara hukum. Hal itu dibuktikan melalui Undang-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Indonesia merupakan negara hukum. Hal itu dibuktikan melalui Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara hukum. Hal itu dibuktikan melalui Undang- Undang Dasar 1945 pasal 3 yang berbunyi Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum

Lebih terperinci

MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: M-03.PS.01.04 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN REMISI BAGI NARAPIDANA YANG MENJALANI PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP

Lebih terperinci

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu keluarga, suku dan masyarakat. untuk menjunjung tinggi norma-norma kehidupan mencapai masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu keluarga, suku dan masyarakat. untuk menjunjung tinggi norma-norma kehidupan mencapai masyarakat BAB I PENDAHULUAN Sudah merupakan kodrat dan takdir Tuhan bahwa manusia tidak dapat secara mandiri tanpa bantuan orang lain, manusia harus hidup secara berkelompok merupakan suatu keluarga, suku dan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Manusia dengan segala aspek kehidupannya itu melaksanakan aktivitas dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Manusia dengan segala aspek kehidupannya itu melaksanakan aktivitas dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Manusia dengan segala aspek kehidupannya itu melaksanakan aktivitas dalam berbagai hal dihadapkan kepada dua sifat manusia yang saling bertentangan satu sama lainnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang kejahatan semakin berkembang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang kejahatan semakin berkembang sesuai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang kejahatan semakin berkembang sesuai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu meningkatnya pengangguran dan sulitnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dalam penjelasan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia

PENDAHULUAN. dalam penjelasan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, ketentuan ini tercantum dalam penjelasan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia

Lebih terperinci

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI RUU Pengadilan Pidana Anak: Suatu Telaah Ringkas Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI Anak perlu perlindungan khusus karena Kebelum dewasaan anak baik secara jasmani

Lebih terperinci

Kriminalitas Sebagai Masalah Sosial

Kriminalitas Sebagai Masalah Sosial Kriminalitas Sebagai Masalah Sosial Kriminalitas berasal dari kata crime yang artinya kejahatan. Kriminalitas adalah semua perilaku warga masyarakat yang bertentangan dengan norma-norma hukum pidana. Kriminalitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Latar Belakang Obyek Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia, memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi pula. Tercatat dalam sebuah harian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil BAB II URAIAN TEORITIS Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Sebelum dikenal istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penghuni lapas

Lebih terperinci

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.282, 2018 KEMENKUMHAM. Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri.

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional, untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadapan modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi,

Lebih terperinci

Perceraian, Perkawinan Kembali, dan Komunitas yang Kurang Piknik

Perceraian, Perkawinan Kembali, dan Komunitas yang Kurang Piknik Perceraian, Perkawinan Kembali, dan Komunitas yang Kurang Piknik Timothy Athanasios CHAPTER 1 PERCERAIAN SEBAGAI ISU PASTORAL Pertama-tama izinkanlah saya untuk mengakui bahwa saya bukanlah seorang praktisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial, dan politik dalam dunia internasional, Indonesia telah ikut berpatisipasi

BAB I PENDAHULUAN. sosial, dan politik dalam dunia internasional, Indonesia telah ikut berpatisipasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ancaman bahaya narkoba telah melanda sebagian besar negara dan bangsa di dunia. Kecenderungan peredaran narkoba sebagai salah satu cara mudah memperoleh keuntungan

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini memuat kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian dan saran-saran. 6.1. Kesimpulan 1.a. Pelaksanaan kewajiban untuk melindungi anak yang berhadapan dengan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena kejahatan di Indonesia saat ini, digambarkan oleh kondisi over crowded pada sekitar 400 Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dan Rumah Tahanan Negara (RUTAN).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum. Hal ini tercermin di dalam Pasal 1 ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. melanggar peraturan hukum dan perundangan berdasarkan perspektif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. melanggar peraturan hukum dan perundangan berdasarkan perspektif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah banyak teori yang dibuat untuk menjelaskan perilaku yang melanggar peraturan hukum dan perundangan berdasarkan perspektif sosial-ekonomi, misalnya, konsep

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. rumah tangga ataupun kebutuhan sehari-hari, namun tidak sedikit dari wanita tersebut

BAB V PENUTUP. rumah tangga ataupun kebutuhan sehari-hari, namun tidak sedikit dari wanita tersebut BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Perubahan zaman dan tuntutan hidup yang semakin hari semakin besar membuat posisi wanita menjadi dinamis, wanita mulai berinteraksi dengan banyak orang di luar rumah untuk tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembahasan kriminalitas di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari

BAB I PENDAHULUAN. Pembahasan kriminalitas di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pembahasan kriminalitas di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pembahasan rumah tahanan (rutan) sebagai salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam menekan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRAK Pro dan kontra terkait pidana mati masih terus berlanjut hingga saat ini, khususnya di Indonesia yang baru melakukan eksekusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap kurun waktu, setiap zaman memiliki penjahatnya sendiri atau

BAB I PENDAHULUAN. Setiap kurun waktu, setiap zaman memiliki penjahatnya sendiri atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap kurun waktu, setiap zaman memiliki penjahatnya sendiri atau sebaliknya setiap penjahat memiliki zamannya sendiri, sehingga baik modus operandi kejahatan

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Keberhasilan pembebasan..., Windarto, FISIP UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Keberhasilan pembebasan..., Windarto, FISIP UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembebasan bersyarat merupakan metode yang paling baik dalam membebaskan narapidana. Walaupun pada kenyataannya banyak orang berpendapat pembebasan bersyarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lesi Oktiwanti, 2014 Pembinaan Kesadaran Beragama Berbasis Pendidikan Orang Dewasa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lesi Oktiwanti, 2014 Pembinaan Kesadaran Beragama Berbasis Pendidikan Orang Dewasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi di Indonesia pada saat ini menunjukkan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masyarakat modern yang sangat kompleks dan heterogen,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masyarakat modern yang sangat kompleks dan heterogen, 0473/SN/F.Psi/UKM/2005 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam masyarakat modern yang sangat kompleks dan heterogen, nampaknya perilaku anti-sosial dan kejahatan pun berkembang dengan cepatnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. Dalam era pertumbuhan dan pembangunan dewasa ini, kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. Dalam era pertumbuhan dan pembangunan dewasa ini, kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Dalam era pertumbuhan dan pembangunan dewasa ini, kejahatan merupakan masalah krusial yang sangat meresahkan masyarakat, baik itu dari segi kualitas maupun dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didirikannya karena kemajuan pembangunan yang sangat pesat di Kota ini. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. didirikannya karena kemajuan pembangunan yang sangat pesat di Kota ini. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pada tahun 1981, didirikan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Karawang. Alasan didirikannya karena kemajuan pembangunan yang sangat pesat di Kota ini. Hal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.IN.04.03 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DAN PELAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI PADA DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN, KANTOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejahatan dewasa ini menunjukan tingkat kerawanan yang cukup tinggi. Hal ini dapat diketahui melalui pemberitaan media cetak maupun elektronik serta sumber-sumber

Lebih terperinci

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan Handar Subhandi Bakhtiar http://handarsubhandi.blogspot.co.id/2014/11/pengertian-dan-sejarah-singkat.html Konsep tentang pelaksanaan pidana penjara di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia banyak melakukan pelanggaran, salah satunya adalah penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba tidak hanya menjadi masalah lokal maupun nasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan

Lebih terperinci

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan ini terdapat jelas di dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hasil amandemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Penyelenggaraan BB I PENDHULUN. Latar Belakang Masalah Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat dan

Lebih terperinci

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA, SH., MH 1 Abstrak : Dengan melihat analisa data hasil penelitian, maka telah dapat ditarik kesimpulan

Lebih terperinci

PENGARUH HARAPAN TERHADAP KECENDERUNGAN RESIDIVIS PADA NARAPIDANA DI LAPAS KLAS I MALANG

PENGARUH HARAPAN TERHADAP KECENDERUNGAN RESIDIVIS PADA NARAPIDANA DI LAPAS KLAS I MALANG PENGARUH HARAPAN TERHADAP KECENDERUNGAN RESIDIVIS PADA NARAPIDANA DI LAPAS KLAS I MALANG Laily Lolita Sari_11410129 Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Lebih terperinci

2 Kebiasaan (Folksway) Norma yang menunjukan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama

2 Kebiasaan (Folksway) Norma yang menunjukan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama C. Lembaga Sosial 1. Pengertian Lembaga Sosial dan Norma Lembaga Sosial suatu sistem norma yg bertujuan utk mengatur tindakan tindakan maupun kegiatan masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya, kesehatan merupakan hak setiap manusia. Hal tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (iptek), perilaku

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (iptek), perilaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (iptek), perilaku manusia didalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multikompleks.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan atau tindak kriminil merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang 1 yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. Tidak ada masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Syofiyatul Lusiana, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Syofiyatul Lusiana, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan global telah menyisakan banyak problem dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini yang paling nyata adalah semakin kuatnya kompetisi terbuka dalam

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang semakin maju diikuti oleh laju pertumbuhan penduduk mengakibatkan sulitnya mencari lapangan pekerjaan, sehingga menimbulkan banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu unit pelaksana tekhnis dari jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mempunyai tugas pokok melaksanakan

Lebih terperinci

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK Disusun oleh : Hadi Mustafa NPM : 11100008 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Tujuan Penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

persepsi atau mengakibatkan halusinasi 1. Penggunaan dalam dosis yang 2

persepsi atau mengakibatkan halusinasi 1. Penggunaan dalam dosis yang  2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Narkotika adalah zat adiktif yang menyebabkan kehilangan kesadaran dan ketergantungan bagi penggunanya. Narkotika meningkatkan daya imajinasi manusia dengan merangsang

Lebih terperinci