BAB IV ANALISIS ASAS KONSENSUALITAS DALAM AKAD JUAL BELI. A. Analisis Terhadap Akad Jual Beli dalam KUH Perdata
|
|
- Suryadi Widjaja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB IV ANALISIS ASAS KONSENSUALITAS DALAM AKAD JUAL BELI A. Analisis Terhadap Akad Jual Beli dalam KUH Perdata Sebagaimana sudah dijelaskan, dalam KUH Perdata jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dari pasal tersebut menunjukkan bahwa jualbeli dalam KUH perdata merupakan hasil persetujuan. Persetujuan itu merupakan kesepakatan antara dua pihak untuk mengikatkan dirinya dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum itu sendiri merupakan perbuatan yang berakibat hukum. Hal lain yang bisa dingkapkan dari pasal diatas mengisaratkan jual beli meletakkan hak dan kwajiban kepada pembeli dan penjual. Hak dan kwaiban itu harus dijalankan sebagaimana mestinya. Jika hak dan kwajiban tersebut tidak dijalankana maka transaksi jual beli bisa menghalangi kegagalan karena salah satu pihak mungkin akan keberatan untuk melangsungkan akad jual beli. Perkataan jual beli mengandung arti mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik yaitu menjual dan membeli. Sehubungan dengan itu barang yang menjadi obyek jual beli dapat ditentukan bagaimana wujudnya dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Dengan demikian dalam sistem KUH Perdata jual beli menurut hukum adalah sah misalnya : jual beli mengenai panenan yang akan diperoleh pada suatu 56
2 57 waktu dari sebidang tanah tertentu.berbeda halnya dengan hukum Islam bahwa jual beli seperti yang dicontohkan tersebut dianggap tidak sah karena barangnya tidak jelas serta tidak ada kepastian apakah jumlahnya dan kwalitasnya sama dengan perjanjian sebelumnya. Dalam sistem KUH Perdata jual beli mempunyai unsur unsuir pokok yaitu barang dan harga. Dalam hubungan barang dan harga sistem KUH Perdata menganut asas konsensualitas artinya perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata sepakat. Disini tampak, KUH Perdata sangat mengutamakan kesepakatan karena kesepakatan menjadi sebab utama terjadinya perjanjian jual beli meskipun barang itu belum diserahkan dan harganyapun belum dibayar. Dalam sistem KUH Perdata yang menjadi ukuran tercapainya kata sepakat itu adalah pernyataan-pernyataan yang tel;ah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada azas konsensualitas, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus (dan ini adalah maha penting karena merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu undang-undang), kita terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Dan ini pula merupakan suatu tuntutan' kepastian hukum. Bukankah dari ketentuan bahwa kita harus berpijak pada apa yang telah dinyatakan itu timbul perasaan aman pada setiap orang yang telah membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin dituntut memenuhi kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan kepadanya.
3 58 Dan apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat konsensus atau tidak (yang berarti apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau tidak) maka Hakim atau Pengadilanlah yang akan menetapkannya. Pemyataan timbal-balik dari kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal-balik di antara mereka. Apakah semua pernyataan dapat dipertanggung-jawabkan kepada (menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi) pihak yang melakukan pernyataan itu? Karena mengenai hal ini tidak kita ketemukan sesuatu ketentuan dalam undang-undang, maka persoalan itu telah dipecahkan oleh para sarjana dan oleh yurisprudensi. Dapat dikatakan bahwa menurut ajaran yang sekarang dianut dan juga menurut yurisprudensi, pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar sepakat adalah pernyataan yang secara objektip dapat dipercaya. Suatu pernyataan yang kentara dilakukan secara tidak sungguh-sungguh (secara senda- gurau) atau yang kentara mengandung suatu kekhilapan atau kekeliruan, tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar kesepakatan. Dalam Civil Code of Japan masalah ini diatur dalam Bab tentang "Juristic Acts" perihal "declaration of intention" dalam Buku kesatu yang berjudul "General Provisions". Zaman di mana untuk terjadinya suatu perjanjian sungguhsungguh dituntut tercapainya suatu perjumpaan kehendak, sudah lampau. Setelah melewati pengalaman-pengalaman yang pahit (seperti dalam casus terkenal antara Weiler dan Oppenheim yang terjadi dimuka Pengadilan di Jerman), sekarang sudah dirasakan bahwa berpegang teguh pada tuntutan
4 59 tersebut akan menjurus kearah ketidak-pastian hukum, padahal diambil nya azas konsensualitas adalah justru untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum. Tuntutan akan adanya sungguh-sungguh suatu perjumpaan kehendak, memang tidak dapat dipertahankan lagi dalam zaman modem sekarang ini dimana transaksi transaksi yang besar lazimnya diadakan tanpa hadlirnya para pihak berhadapan muka, tetapi lewat korespondensi atau lewat perantaraperantara. Oleh karena itu maka sudah tepatlah bahwa adanya perjumpaan kehendak (konsensus) itu diukur dengan pernyataan pernyataan yang secara bertimbal-balik telah dikeluarkan. Adanya konsensus itu malahan sebenarnya sering "dikonstruksikan" oleh Hakim. Berdasarkan pernyataan-pernyataan bertimbal-balik itu dianggap bahwa sudah dilahirkan sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian (yang mengikat seperti undang-undang). Dan sekali sepakat itu dianggap ada, maka Hakimlah lagi yang akan menafsirkan apa yang telah disetujui, perjanjian apa yang telah dilahirkan dan apa saja hak dan kewajiban para pihak. Azas konsensualitas yang terkandung dalam pasal 1320 KUH Perdata. (kalau dikehendaki: pasal 1320 dihubungkan dengan pasal 1338 ayat 1), tampak jelas pula dari Perumusan-perumusan Berbagai Macam perjanjian. Kalau kita ambil perjanjian yanq utama, yaitu jual beli, maka konsensualitas itu menonjol sekali dari perumusannya dalam pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi: Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar".
5 60 Dalam Code Civil Perancis malahan jual-beli yang sifatnya konsensuil itu sudah pula meinindahkan hak inilik atas barang yang diperjual-belikan, sehingga yang disitu dinamakan penyerahan (delivrance) hanyalah merupakan penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang hak miliknya sudah berpindah sewaktu perjanjiannya jual-beli ditutup. "La proprie'te'est acquise des qu'on est convenu de la chose et du prix" demikianlah dikatakan oleh pasal 1583 C.C. Juga Burgerliches Gesetzbuch Jerman (Barat) dalam paragraph 433, tanpa berbicara tentang sesuatu bentuk-cara yang diharuskan untuk perjanjian jual-beli (Kauf), mewajibkan si penjual berdasarkan perjanjiannya, untuk menyerahkan dan memberikan hak miliknya kepada si pembeli. Akhirnya, untuk mengambil suatu contoh dari hukumnya sebuah negara tetangga, yaitu Philipina, ditunjukkan pada pasal 1356 dari Civil Code of the Philippines, yang di dalam bab tentang bentuk cara perjanjian ("form of contracts"), ialah pasal 1356, menyatakan : "Contracts shall be obligatory, in whatever form they have been entered into" Perjanjian jual-beli adalah suatu perjanjian pada mana satu pihak mengikatkan diri untuk menyerahkan (leveren) suatu barang (benda) dan pihak lain mengikatkan diri untuk membayar harga yang disetujui bersama. Demikian kira-kira disebutkan di dalam Pasal 1457 B.W. Definisi tersebut tidak sedikit menimbulkan kritik dari para penulis. Apabila dengan levering (penyerahan) itu dimaksudkan penyerahan hak milik
6 61 dan bukan penyerahan nyata, maka definisi dalam pasal tersebut tidak lebih jelek dari definisi lain. Yang menjadi persoalan adalah, apakah hal itu mungkin. Perjanjian jual-beli secara historis dan logis adalah suatu species dari genus perjanjian tukar-menukar. Perjanjian jual-beli adalah perjanjian tukarmenukar pada mana salah satu prestasinya terdiri dari sejumlah uang dalam arti alat pembayaran yang sah. Di dalam Burgerlijk Wetboek istilah "harga" mempunyai arti yang neutral tapi dalam Pasal 1457 B.W. istilah harga tidak mungkin berarti lain daripada suatu jumlah alat pembayaran yang sah. Pada perjanjian tukar-menukar, uang berhadapan dengan uang dan barang berha dapan dengan barang. Pada perjanjian jual-beli maka barang berhadapan dengan uang. Barang di sini harus diartikan luas baik barang (benda) yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Agar suatu perjanjian dapat dinamakan perjanjian jual-beli maka salah satu prestasinya harus berupa pemberian alat pembayaran yang sah. Bukan uang, tapi alat pembayaran yang sah. Apabila prestasi dari pihak yang satu adalah sebuah mobil dan prestasi dari pihak lainnya adalah sejumlah uang kuno maka tidak ada perjanjian jual-beli melainkan perjanjian tukar-menukar. Karena itu harus berhati-hati agar perjanjian jual-beli tidak kehilangan sifat perjan jian jual-belinya apabila para pihak telah menyepakati bahwa pem bayarannya tidak terjadi dengan alat pembayaran yang sah melainkan dengan cara lain seperti bankaccept, penyerahan wesel atas pihak ketiga atau dengan pembukuan kredit guna kepenlingan pen juat oleh pembeli pada sebuah bank
7 62 (accreditief). Memang dalam hal-hal itu mungkin tidak dapat dikatakan bahwa ada pembayaran dengan alat pembayaran yang sah, tapi walaupun demikian prestasinya mempunyai akibat sama seperti pembayaran dengan alat pembayaran yang sah. Karena itu dapat disimpulkan bahwa penukaran uang asing dengan uang Republik Indonesia yang sah adalah perjanjian jual-beli, sedang penukaran uang Republik Indonesia dengan uang Republik Indonesia (lembaran sepuluh ribu dengan dua lembaran lima ribu) adalah perjanjian tukar-menukar. Suatu perjanjian pada mana pihak yang satu harus menyerahkan sesuatu barang tertentu sedang pihak yang lain harus membayar dengan uang dollar, adalah perjanjian tukar-menukar jika itu dilakukan di Indonesia. Perjanjian yang sama itu adalah perjanjian jual-beli apabila dilakukan di Amerika. Mungkin saja terjadi bahwa momen mengadakan perjanjian jual-beli dan momen melaksanakan perjanjian itu jatuh bersamaan. Jadi pembayaran dan penyerahan (levering) praktis terjadi pada saat yang sama. Dalam hal yang demikian maka mungkin ada yang berpendapat bahwa tidak terjadi jual-beli yang bersifat konsensuil karena para pihak tidak bermaksud menimbulkan perikatan timbal- balik untuk memberi, karena perikatan itu langsung pada waktu terjadi menjadi terhapus. Akan tetapi di sini sebenarnya hanya ada suatu perjanjian jual-beli yang momen-momen terjadinya dan pelaksanaannya jatuh bersamaan; suatu perjanjian jual-beli yang diringkus (samengedrongen). Jadi ada perjanjian jual-beli konsensuil, dan bahwa kedua prestasi segera telah dipenuhi tidak mengurangi hal itu. Suatu contoh otomat. Seorang
8 63 pedagang menempatkan sebuah otomat penjualan rokok di muka tokonya. Dengan demikian ia mengadakan pena waran kepada para pejalan kaki unluk membeli rokok dari tokonya. Apabila seorang membutuhkan rokok dan memasukkan uang logam ke dalam otomat tersebut maka terjadi perjanjian jual-beli. Pada saat itu juga keluarlah satu bungkus rokok dari otomat dan dengan demikian pedagang itu telah memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan barang. Apabila otomat tersebut rusak dan setelah pembeli memasukkan uang logam ke dalamnya tidak keluar apa-apa, maka ia akan masuk ke dalam toko dari si pedagang itu dan menuntut penyerahan sebungkus rokok. Apabila definisi tentang perjanjian jual-beli dari pasal 1457 B.W. diperhatikan, maka tampaklah bahwa perjanjian jual-beli itu menimbulkan kewajiban-kewajiban pada kedua belah pihak. Pada pihak yang satu kewajiban itu berupa kewajiban untuk menyerahkan barang dan pada yang lainnya untuk membayar harganya. Jadi barangnya dan uangnya mungkin belum diserahkan pada waktu itu. Yang ada baru kewajiban-kewajiban belum terjadi penyerahan (levering). Untuk terjadinya jual-beli menurut sistem Burgerlijk Wetboek tidak diperlukan lain kecuali persesuaian kehendak antara para pihak mengenai barang (zaak) dan harga. Dengan kata lain: perjan jian jual-beli dan perjanjian pada umumnya menurut sistem Burgerlijk Wetboek adalah konsensuil. Dalam sistem tersebut berlaku asas yang dinamakan konsensualitas. Perkataan ini berasal dari perkataan "consensus" yang berarti
9 64 sepakat. Asas konsen sualitas bukannya berarti bahwa untuk suatu perjanjian diperlukan kesepakatan. Hal yang demikian itu adalah semestinya. Perjanjian adalah persesuaian kehendak yang berarti bahwa kedua belah pihak saling menyetujui atau sepakat. Arti asas konsensualitas adalah bahwa pada dasarnya perjanjian itu timbul karena kesepakatan dan sudah ada sejak tercapai kata sepakat. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah ada kesepakatan mengenai halhal yang pokok dan karena itu tidak di perlukan suatu formalitas. Barang (zaak) dan harga merupakan unsur pokok (essentialia) dari perjanjian jual-beli. Leveringnyalah yang terikat syarat bentuk, tapi perjanjiannya selalu konsensuil. Untuk menjelaskan hubungan antara perjanjian jual-beli dan levering (penyerahan) maka pembuat undang-undang menegaskan: levering (penyerahan) terjadi menurut peraturan hukum benda; perjanjian jual-beli saja, tidak menyebabkan beralihnya hak milik. Meskipun tidak disebutkan dalam salah satu pasal undang- undang, tapi kiranya cukup jelas bahwa harga itu harus berupa sejumlah uang, karena bila tidak demikian maka tidak ada perjanjian jual-beli. Apabila pembayaran (prestasi dari pihak pembeli) berupa barang lain, maka tidak ada jual-beli melainkan yang ada adalah tukar-menukar. Jika pembayarannya adalah prestasi lain seperti misalnya "berbuat atau tidak berbuat" maka tidak ada perjanjian jual-beli melainkan yang ada adalah suatu perjanjian yang tidak bernama (onbenoemde contract).
10 65 Sejak dalam hukum Romawi maka untuk harga disyaratkan : verum, certum dan justum. Verum artinya : sungguh-sungguh dimaksudkan. Harganya harus sungguh-sungguh harganya "zaak" (barang) itu, dan tidak boleh hanya main-main. Kecuali itu harus juga justum. Justum artinya: adil. Dan Certum, yang berarti : dapat ditentukan. Karena itu suatu perjanjian jual-beli sebuah mobil untuk harga satu rupiah, bukanlah suatu perjanjian jualbeli melainkan perjanjian hibah. Juga apabila langsung setelah mengadakan perjanjian jual-beli itu lalu pembeli dibebaskan dari kewajibannya untuk membayar harga yang terhutang, maka tidak ada jual-beli juga, melainkan hibah. Undang-undang tidak mengharuskan agar ada keseimbangan antara "zaak" dan harga. Dengan sengaja syarat demikian (harus ada keseimbangan antara apa yang dijual dengan harganya) yang terdapat di dalam Code Civil untuk melindungi penjualnya, tidak di oper. Menurut Hoge Raad (13 Nopember 1936, N.J. 1937, 433) maka pasal-pasal 1335 atau pasal 1337 B.W. tidak dapat dikemukakan. Jadi apabila harganya tidak seimbang dengan nilai apa yang dijual maka tidak ada perjanjian tanpa sebab, sebab yang palsu atau sebab yang tidak diperkenankan. Tapi tentu saja bahwa peraturan mengenai kesesatan, penipuan dan paksaan berlaku. Bahwa para pihaklah dan bukan orang lain yang menetapkan harganya adalah wajar. Biasanya penetapan harga harus tegas tapi sudah cukup asal obyektif dapat ditentukan. Para pihak dapat menyerahkan penentuan harganya
11 66 kepada pihak ketiga. Para pihak dapat memperjanjikan bahwa yang menentukan harganya adalah orang lain di luar para pihak. Mereka tidak dapat mengadakan perjanjian bahwa yang akan menentukan harganya adalah salah satu dari mereka sendiri karena hal ini akan bertentangan dengan Pasal 1256 B.W. (H.R. 26 Juni N.J. 1914, Juga mereka tidak boleh mengadakan perjanjian bahwa salah seorang dari mereka mengingat keadaan, dapat mengubah harga yang telah mereka tetapkan (H.R. 11 Mei 1923, N.J. 1923, 919). Tapi menurut H.R. (15 Nopember 1923, N.J. 1923, N.J. 1924, 887) suatu perjanjian jual-beli pada mana para pihak sama sekali tidak membicarakan tentang harganya, adalah sah. Yang demikian itu terjadi dalam perjanjian jual-beli di toko besar dengan harga pasti dan pada pembelian de ngan harga pasaran hari itu. Bagaimana sifat perintah kepada pihak ketiga untuk menentukan harga jual-belinya? Perintah demikian itu adalah suatu perin tah untuk memberikan "bindend advies (nasehat yang mengikat). Para pihak dapat memerintahkan kepada orang lain (pihak luar) untuk menjabarkan (uitwerken) perjanjian yang diadakan oleh mere ka itu lebih lanjut atau menafsirkannya. Yang demikian itu dina makan meminta "bindend advies" (saran yang mengikat). Para pihak telah menyatakan sebelumnya tunduk pada putusan yang akan diberikan pihak ketiga (pihak luar) itu. Ini berbeda dari suatu keputusan arbitral karena suatu keputusan arbitral memberikan alas-hak eksekutorial dan karena itu menggantikan suatu keputusan Pengadilan, sedang "bindend advies" hanya menambah suatu
12 67 perjanjian yang ada. Apabila salah satu pihak merasa dirugikan, dan tidak patuh pada nasehat itu, pihak lainnya dapat menuntutnya karena cidera janji. Apabila pihak ketiga (pihak luar) yang dimintai "bindend ad vies" itu tidak menentukan harganya, maka tidak terjadi perjanjian jual-beli. B. Analisis Asas Konsensualitas (persamaan dan Perbedaan) dalam Hukum Islam dan KUH Perdata Jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dalam mana pihak satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak inilik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri Atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak inilik tersebut. Perkataan jual-beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal-balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda "koop en verkoop" yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu "verkoopt" (menjual) sedang yang lainnya "koopt" (membeli). Dalam bahasa Inggeris jual-beli disebut dengan hanya "sale" saja yang berarti "penjualan" (hanya dilihat dari sudutnya si penjual), begitu pula dalam bahasa Perancis disebut hanya dengan "vente" yang juga berarti "penjualan", sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan "Kauf" yang berarti "pembelian". Barang yang menjadi obyek perjanjian jual-beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan ujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Dengan demikian adalah sah
13 68 menurut hukum misalnya jual-beli mengenai panenan yang akan diperoleh pada suatu waktu dari sebidang tanah tertentu. Jual-beli yang dilakukan dengan percobaan atau mengenai barangbarang yang biasanya dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dibuat dengan suatu syarat-tangguh (pasal 1463 KUH Perdata). Dengan demikian maka jual-beli mengenai sebuah lemari es, meskipun barang dan harga sudah disetujui, baru jadi kalau barangnya sudah dicoba dan memuaskan. Begitu pula halnya dengan jual-beli sebuah pesawat radio atau televisi. Unsur-unsur pokok ("essentialia") perjanjian jual-beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan azas "konsensualitas" yang menjiwai hukum perjanjian KUH Perdata, perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya "sepakat" mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah. Sifat konsensuil dari jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi: "Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar". Apakah yang djnamakan "konsensualitas" itu? Konsensualitas berasal dari perkataan "konsensus" yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya: apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam "sepakat" tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak
14 69 dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya:"setuju", "accoord", "oke" dan lain-lain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tandatangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu. Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah "sama", sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah "sama dalam kebalikannya". Misalnya: yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedang yang lain ingin memperoleh hak inilik atas barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang disebutkan itu sebagai gantinya kepada si peinilik barang. Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dari KUH Perdata menganut azas konsensualitas. Artinya ialah: hukum perjanjian dari KUH Perdata itu menganut suatu azas bahwa untuk melahirkan perjanjian dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu (dan dengan demikian "perikatan" yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan. ada saat atau detik tercapainya konsensus sebagaimana dimaksudkan di atas. Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau yang sebelumnya. Dari mana dapat kita ketahui atau kita simpulkan bahwa Hukum perjanjian KUH Perdata, menganut azas konsensualitas itu? Menurut pendapat kaini, azas tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat
15 70 sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal 1338 (1) seperti diajarkan oleh beberapa penulis. Bukankah oleh pasal 1338 (1) yang berbunyi: "Semua perjanjjaan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada "semua perjanjian yang dibuat secara sah". Apakah yang dinamakan "perjanjian yang (dibuat secara) sah" itu? Jawabannya diberikan oleh pasal 1320 yang menyebutkan satu persatu syaratsyarat untuk perjanjian yang sah itu. Syarat-syarat itu adalah: 1. sepakat, 2. kecakapan, 3. hal tertentu dan 4. causa (sebab, isi) yang halal. Dengan hanya disebutkannya "sepakat" saja tanpa dituntutnya sesuatu bentuk-cara (formalitas) apapun, sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat kita simpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Adanya yang dinamakan perjanjian-perjanjian "forinil" atau pula yang dinamakan perjanjian-perjanjian "riil" itu merupakan kekecualian. Perjanjian forinil adalah misalnya perjanjian perdamaian" yang menurut pasal 1851 (2) KUH Perdata. harus diadakan secara tertulis (kalau tidak maka ia tidak sah), sedangkan perjanjian riil adalah misalnya perjanjian "pinjam-pakai" yang menurut pasal 1740 baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi
16 71 obyeknya atau perjanjian "penitipan" yang menurut pasal 1694 baru terjadi denqan diserahkannya barang yang dititipkan. Untuk perjanjian-perjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat saja, tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata riil). Sudah jelaslah kiranya bahwa azas konsensualitas itu harus kita simpulkan dari pasal 1320 dan bukannya dan pasal 1338 (1). Dari pasal yang terakhir ini lazimnya disimpulkan suatu azas lain dari hukum perjanjian KUH Perdata, yaitu adanya atau dianutnya sistim terbuka atau azas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid). Adapun cara menyimpulkannya ialah dengan jalan menekankan pada perkataan "semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian". Dikatakan bahwa pasal 1338 (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban dan kesusilaan umum". Sebab apa hukum perjanjian mengambil azas konsensualitas itu? Diambilnaya azas konsensualitas tersebut yang berarti perkataan sudah mengikat" adalah menurut Prof. Eggens suatu tuntutan kesusilaan (zedelijke eis). Dikatakan bahwa itu merupakan suatu puncak peningkatan martabat manusia yang tersimpul didalam pepatah "een man een man, een woord een woord". Yang dimaksudkan adalah bahwa dengan diletakkannya kepercayaan pada perkataan orang, si orang ini ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya
17 72 sebagai manusia. Memanglah benar apa yang dikatakan oleh Prof. Eggens itu, bahwa ketentuan bahwa orang harus dapat dipegang perkataannya itu adalah suatu tuntutan kesusilaan, memang benar bahwa kalau orang ingin dihargai sebagai manusia ia harus dapat dipegang perkataannya atau ucapannya, namun bagi Hukum yang ingin menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat, azas konsensualitas itu merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Bahwa orang yang hidup dalam masyarakat yang teratur harus dapat dipegang perkataan atau ucapannya (dipegang "mulutnya") itu merupakan suatu tuntutan kepastian hukum yang merupakan satu sendi yang mutlak dari suatu tata-hukum yang baik. Pasal 1338 (1) yang menyatakan bahwa perjanjian mengikat sebagai undang-undang tidak memberikan kriterium untuk apa yang dinamakannya perjanjian itu. Apakah untuk perjanjian itu sudah cukup apabila sudah dicapai sepakat ataukah masih diperlukan syaratsyarat lain? Jawaban diberikan oleh pasal l320: cukup apabila sudah tercapai sepakat (konsensus). Inilah yang kita namakan konsensualitas. Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak yaita keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkai perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh
18 73 pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang "menawarkan" (melakukan "offerte") maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut. Dari uraian di atas bahwa jual beli dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat ada persamaan dan perbedaan. Perbedaanya adalah : Dalam Hukum Islam, jual beli, barangnya harus diserahkan dan diterima oleh pembeli. Dasar hukumnya Hadits yang berbunyi : Artinya: Janganlah kamu membeli ikan yang ada di dalam air sesungguhnya yang demikian itu penipuan. Sedangkan dalam KUH Perdata, jual beli, barangnya boleh saja belum diserahkan dan hargnya belum dibayar. Dalam Hukum Islam sahnya jual beli tidak hanya cukup dengan kata sepakat karena ada rukun dan sarat. Sedangka dalam KUH Perdata sahnya jual beli cukup dengan kata sepakat. Dasar hukumnya yaitu pasal 1458 KUH Perdata. Namun demikian, tidak berarti hukum Islam tidak menganut asas konsensualitas, karena asas konsensualitas menjadi bagian dari sahnya jual beli dalam hukum Islam. Sedangkan Persamaannya adalah: kedua hukum itu (Hukum Islam dan KUH Perdata) sama-sama menganggap konsensualitas menjadi bagian terpenting untuk sahnya jual beli.
19 74 Kelebihan Hukum Islam : bahwa karena rukun dan sarat begitu ketat maka bisa menghindari adanya upaya penipuan. Kelemahannya adalah: karena syaratnya terlalu berat maka tidak melancarkan transaksi jual beli. Kelebihan KUH Perdata: karena syaratnya sangat ringan maka ia melancarkan terjadinya transaksi jual beli. Kelemahannya: karena terlalu ringan maka sangat mudah terjadinya penipuan.
BAB III ASAS KONSENSUALITAS DALAM AKAD JUAL BELI PASAL 1458 KUH PERDATA. Hukum Perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata yang memuat
BAB III ASAS KONSENSUALITAS DALAM AKAD JUAL BELI PASAL 1458 KUH PERDATA A. Ketentuan Umum tentang Perikatan Hukum Perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata yang memuat azas-azas umum dalam empat bab
Lebih terperinciPENGALIHAN HAK MILIK ATAS BENDA MELALUI PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA. Oleh : Deasy Soeikromo 1
PENGALIHAN HAK MILIK ATAS BENDA MELALUI PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA Oleh : Deasy Soeikromo 1 A. PENDAHULUAN Jual beli bagi manusia sudah merupakan bagian dari aktivitas keseharian untuk memenuhi
Lebih terperinciistilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst
Lebih terperinciBAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau
BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi
Lebih terperinciLex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015
PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk
BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan
Lebih terperinciPERJANJIAN JUAL BELI. Selamat malam. Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya..
PERJANJIAN JUAL BELI Selamat malam Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya.. 1. PENGERTIAN PERJANJIAN JUAL BELI Dalam suatu masyarakat, dimana
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang
Lebih terperinciHUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.
HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JUAL BELI
15 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JUAL BELI A. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas pengertian jual beli, ada baiknya mengetahui pengertian perjanjian secara umum terlebih dahulu. Perjanjian adalah hal
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSINYASI
20 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSINYASI A. Pengertian Konsinyasi Penjualan konsinyasi dalam pengertian sehari-hari dikenal dengan sebutan penjualan dengan cara penitipan. Konsinyasi merupakan penyerahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM
BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu perbuatan hukum yang hampir setiap hari dilakukan oleh manusia adalah jual beli. Jual beli merupakan kegiatan yang dilakukan manusia untuk memenuhi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan
Lebih terperinciHUBUNGAN HUKUM YANG MENIMBULKAN HAK DAN KEWAJIBAN DALAM KONTRAK BISNIS. TOTOK DWINUR HARYANTO, SH MH Dosen Fakultas Hukum UNISRI Surakarta
HUBUNGAN HUKUM YANG MENIMBULKAN HAK DAN KEWAJIBAN DALAM KONTRAK BISNIS TOTOK DWINUR HARYANTO, SH MH Dosen Fakultas Hukum UNISRI Surakarta Abstract: All commercial activities that consist of production,
Lebih terperinciBAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata
23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata
Lebih terperinciAsas asas perjanjian
Hukum Perikatan RH Asas asas perjanjian Asas hukum menurut sudikno mertokusumo Pikiran dasar yang melatar belakangi pembentukan hukum positif. Asas hukum tersebut pada umumnya tertuang di dalam peraturan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI
25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN TEORITIS. menjadi sebab lahirnya suatu perikatan, selain sumber lainya yaitu undangundang.jika
1 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pembahasan tentang perjanjian kiranya tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang perikatan, hal tersebut disebabkan
Lebih terperinciHukum Perikatan Pengertian hukum perikatan
Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu
Lebih terperinciURGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak
URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya
36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan
Lebih terperinciBAB I. mobil baru dengan banyak fasilitas dan kemudahan banyak diminati oleh. merek, pembeli harus memesan lebih dahulu ( indent ).
BAB I A. LATAR BELAKANG Kemajuan teknologi di bidang transportasi yang demikian pesat,memberi dampak terhadap perdagangan otomotif, dibuktikan dengan munculnya berbagai jenis mobil baru dari berbagai merek.
Lebih terperinciAKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*
Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian
Lebih terperinciASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2
ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak
Lebih terperinciPERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH
PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH Oleh : Gostan Adri Harahap, SH. M. Hum. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Labuhanbatu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa
16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Hukum Perikatan Pada Umumnya 1. Pengertian Perikatan Hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. sebenarnya tidak terdapat dalam KUHD maupun perundang-undangan lainnya, namun kita dapat
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengaturan Surat Berharga Sebelum kita sampai pada pengaturan mengenai surat berharga, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui pengertian dari surat berharga, mengenai pengertian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,
19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perjanjian Pembiayaan konsumen Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa
Lebih terperinciA. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada
BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS CACAT TERSEMBUNYI PADA OBJEK PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL YANG MEMBERIKAN FASILITAS GARANSI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing
Lebih terperinciBAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian
Lebih terperinciKLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )
PENGERTIAN PERJANJIAN KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) (166010200111038) FANNY LANDRIANI ROSSA (02) (166010200111039) ARLITA SHINTA LARASATI (12) (166010200111050) ARUM DEWI AZIZAH
Lebih terperinciHukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)
Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA
BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata pengertian jual beli adalah suatu persetujuan
Lebih terperinciBAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor
BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Menurut sistem terbuka yang mengenal adanya asas kebebasan berkontrak
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi
BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukannya dengan sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan
7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki
Lebih terperinciCommon Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan
Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan 2 Prof. Subekti Perikatan hubungan hukum antara 2 pihak/lebih, dimana satu pihak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya dalam sebuah perjanjian yang di dalamnya dilandasi rasa
BAB I PENDAHULUAN Salah satu perwujudan dari adanya hubungan antar manusia adalah dilaksanakannya dalam sebuah perjanjian yang di dalamnya dilandasi rasa saling percaya satu dengan lainnya. Perjanjian
Lebih terperinciBAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP OPERASIONALISASI DANAREKSA REPO SAHAM (DARSA)
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP OPERASIONALISASI DANAREKSA REPO SAHAM (DARSA) Danareksa Repo saham (Darsa) merupakan produk investasi dengan imbal tetap dari danareksa yang berbasis saham. Dengan
Lebih terperinciTanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia.
Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 ABSTRAK Setiap perbuatan yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pengertian perjanjian di dalam Buku III KUH Perdata diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PENITIPAN BARANG. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar kata perjanjian,
17 BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PENITIPAN BARANG 2.1 Pengertian Perjanjian Pada Umumnya Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar kata perjanjian, namun ada banyak pengertian perjanjian.
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu
Lebih terperinciBAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING
BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.
28 BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata sebagai bagian dari KUH Perdata yang terdiri dari IV buku. Buku
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA A. Pengertian Perjanjian Kerja Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang majikan. Hubungan kerja menunjukkan kedudukan kedua belah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,
BAB I PENDAHULUAN Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dengan adanya kelahiran maka berakibat pada timbulnya hak dan kewajban baik dari
Lebih terperinciPemanfaatan pembangkit tenaga listrik, baru dikembangkan setelah Perang Dunia I, yakni dengan mengisi baterai untuk menghidupkan lampu, radio, dan ala
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pembangunan jangka panjang yang dilakukan bangsa Indonesia mempunyai sasaran utama yang dititik beratkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan pengembangan
Lebih terperinciBAB VI PERIKATAN (VERBINTENISSEN RECHT)
BAB VI PERIKATAN (VERBINTENISSEN RECHT) A. DASAR-DASAR PERIKATAN 1. Istilah dan Pengertian Perikatan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan, definisi, maupun arti istilah Perikatan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to contract) penyelenggara jaringan telekomunikasi diwajibkan untuk memenuhi permohonan pihak
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.
BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan
Lebih terperinciBAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN
BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN A. Dasar Hukum Memorandum Of Understanding Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi : Kemudian daripada
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. berjudul Perihal Perikatan (Verbintenis), yang mempunyai arti lebih luas
BAB II LANDASAN TEORI A. RUANG LINGKUP PERJANJIAN 1. Pengertian Perjanjian Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) berjudul Perihal Perikatan (Verbintenis), yang mempunyai arti lebih luas
Lebih terperinciKONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG]
KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG] Untuk keperluan kutipan versi AS, teks bahasa Inggris bersertifikasi PBB dipublikasikan dalam 52
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA
BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang
Lebih terperincipada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)
Definisi pinjam-meminjam menurut Pasal 1754 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
BAB I PENDAHULUAN Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan, demikianlah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian dan Jenis-jenis Perjanjian Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa
Lebih terperinciBAB III KARAKTERISTIK DAN BENTUK HUBUNGAN PERJANJIAN KONSINYASI. A. Karakteristik Hukum Kontrak Kerjasama Konsinyasi Distro Dan
BAB III KARAKTERISTIK DAN BENTUK HUBUNGAN PERJANJIAN KONSINYASI A. Karakteristik Hukum Kontrak Kerjasama Konsinyasi Distro Dan Pemasok Dalam kamus istilah keuangan dan perbankan disebutkan bahwa : Consgnment
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian
Lebih terperinciBAB III KERANGKA TEORI. Undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Mempunyai sifat sistem terbuka,
1 BAB III KERANGKA TEORI A. Perjanjian Hukum tentang Perjanjian diatur dalam buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Mempunyai sifat sistem terbuka, maksudnya dalam hukum perikatan/perjanjian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak untuk menuntut sesuatu
Lebih terperinciHUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1
HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal
Lebih terperinciTEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK
TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK Sularto MHBK UGM PERISTILAHAN Kontrak sama dengan perjanjian obligatoir Kontrak sama dengan perjanjian tertulis Perjanjian tertulis sama dengan akta Jadi antara istilah kontrak,
Lebih terperinciASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN
ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN Selamat malam semua Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Asas-asas dalam Hukum Perjanjian ya.. Ada yang tahu asas-asas apa saja
Lebih terperinciSENGKETA JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN DENGAN AKTA JUAL BELI FIKTIF. (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten No.50/PDT.G/2012/PN.
SENGKETA JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN DENGAN AKTA JUAL BELI FIKTIF (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten No.50/PDT.G/2012/PN.Klt) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat
Lebih terperinciBab IV PEMBAHASAN. A. Hubungan Hukum dalam Perjanjian Penyimpanan Barang di SDB pada
Bab IV PEMBAHASAN A. Hubungan Hukum dalam Perjanjian Penyimpanan Barang di SDB pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Yogyakarta Safe Deposit Box yaitu merupakan suatu jasa pelayanan
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan
BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perjanjian-perjanjian yang bertujuan untuk memperoleh sesuatu barang. Dalam pandangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia senantiasa mengadakan hubunganhubungan hukum seperti mengadakan transaksi-transaksi ataupun perjanjian-perjanjian yang bertujuan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah perjanjian berasal dari kata dalam bahasa Belanda
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian pada umumnya 1. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian berasal dari kata dalam bahasa Belanda overeenkomst (M.S.Salim, 2003: 160), yang berasal dari kata overeenkomen,
Lebih terperinciPROSES PEMERIKSAAN PERKARA JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH SECARA KREDIT. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)
PROSES PEMERIKSAAN PERKARA JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH SECARA KREDIT (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas-Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan
A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. menuntut para pelaku bisnis melakukan banyak penyesuaian yang salah satu
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi dunia jelas dapat dibaca dari maraknya transaksi bisnis yang mewarnainya. Pertumbuhan ini menimbulkan banyak variasi bisnis yang menuntut para pelaku
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PRAKTEK MAKELAR. A. Praktek Makelar Dalam Jual Beli Mobil di Showroom Sultan Haji Motor
BAB IV ANALISIS PRAKTEK MAKELAR A. Praktek Makelar Dalam Jual Beli Mobil di Showroom Sultan Haji Motor Sebelum menganalisa praktek makelar yang ada di lapangan, terlebih dahulu akan menjelaskan makelar
Lebih terperinciMAKALAH KONTRAK. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Hukum Bisnis DosenPengampu :Andy Kridasusila, SE, MM.
MAKALAH KONTRAK Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Hukum Bisnis DosenPengampu :Andy Kridasusila, SE, MM Di susun oleh: Moh Subekhan B.131.12.0339 FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN
Lebih terperinciBAB III ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM JUAL BELI PASAL 1493 KUH PERDATA
40 BAB III ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM JUAL BELI PASAL 1493 KUH PERDATA A. Gambaran Umum Tentang KUH Perdata. 1. Sejarah KUH Perdata Sejarah terbentuknya KUH Perdata di Indonesia tidak terlepas dari
Lebih terperinciSistem Pembukuan Dan, Erida Ayu Asmarani, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UMP, 2017
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Ketentuan mengenai gadai ini diatur dalam KUHP Buku II Bab XX, Pasal 1150 sampai dengan pasal 1160. Sedangkan pengertian gadai itu sendiri dimuat dalam Pasal
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian A.1 Pengertian perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, hal ini berdasarkan bahwa perikatan dapat lahir karena perjanjian dan undang undang. Sebagaimana
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,
23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI 2.1 Pengertian Perjanjian Kredit Pasal 1313 KUHPerdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III KUH Perdata, dibawah judul Tentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sains dan teknologi membawa dampak yang signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah membawa kontribusi yang begitu domain
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK
44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah
Lebih terperinciHUKUM JASA KONSTRUKSI
HUKUM JASA KONSTRUKSI A. LATAR BELAKANG Konstruksi merupakan suatu kegiatan yang melibatkan/ menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat Kegiatan konstruksi : Risiko tinggi (tidak pasti, mahal, berbahaya)
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN JUAL BELI
BAB II PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian Perjanjian Jual Beli Perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kepentingan hidup masing-masing, salah satunya melakukan transaksi jual beli.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial saling membutuhkan satu sama lain supaya mereka tolong menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan manusia, pengangkutan memiliki peranan yang sangat penting. Demikian juga halnya dalam dunia perdagangan, bahkan pengangkutan memegang peranan yang mutlak,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TENTENG LEVERING SEBAGAI CARA UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM PERDATA
BAB II TINJAUAN TENTENG LEVERING SEBAGAI CARA UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM PERDATA Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan usaha-usaha yang dapat menghasilkan barang-barang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai sekarang pembuatan segala macam jenis perjanjian, baik perjanjian khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman pada KUH Perdata,
Lebih terperinciAKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:
AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh: Abuyazid Bustomi, SH, MH. 1 ABSTRAK Secara umum perjanjian adalah
Lebih terperinci