BAB III PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MENGAWASI REASURANSI PERUSAHAAN ASURANSI. A. Dasar Hukum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MENGAWASI REASURANSI PERUSAHAAN ASURANSI. A. Dasar Hukum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan"

Transkripsi

1 BAB III PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MENGAWASI REASURANSI PERUSAHAAN ASURANSI A. Dasar Hukum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan baik di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank seperti Asuransi, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Secara lebih lengkap, OJK adalah lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Nomor 21 tahun 2011 Tugas pengawasan industri keuangan non-bank dan pasar modal secara resmi beralih dari Kementerian Keuangan dan Bapepam-LK ke OJK pada 31 Desember 79

2 Sedangkan pengawasan di sektor perbankan beralih ke OJK pada 31 Desember 2013 dan Lembaga Keuangan Mikro pada Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dikatakan bahwa, OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undangundang ini. Lebih lanjut disebutkan pada penjelasan pasal 2 bahwa, Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada diluar pemerintah. Jadi, seharusnya tidak terpengaruh oleh pemerintah (independen). Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa status kelembagaan OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, sehingga secara yuridis bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang OJK. 69 Independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK. Secara perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam undang- undang OJK. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan OJK yang tepat, dalam undang-undang OJK diatur juga mekanisme seleksi yang transparan, akuntabel, dan melibatkan 68 diakses pada tanggal 22 Mei 2017 pukul 22:34 WIB 69 diakses pada tanggal 22 Mei 2017 pukul 22:34 WIB

3 81 partisipasi publik melalui suatu panitia seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan 70 Awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya keresahan dari beberapa pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia. Ada tiga hal yang melatarbelakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia, permasalahan lintas sektoral industri jasa keuangan, dan amanat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (Pasal 34). Pasal 34 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia merupakan respon dari krisis Asia yang terjadi pada yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya sektor perbankan. Menurut sejarahnya, krisis pada yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya bank yang mengalami koleps, sehingga banyak yang mempertanyakan pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang tidak mendukung diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka sistem keuangan yang lebih tangguh. Reformasi di bidang hukum perbankan diharapkan menjadi obat penyembuh krisis dan sekaligus menciptakan penangkal dalam pemikiran permasalahan-permasalahan di masa depan. 70 Ibid.

4 82 Untuk itu, terbentuklah ide awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan yang sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada Bank Sentral. Rancangan Undang-Undang ini di samping memberikan independensi, juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari Bank Sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (Bank Sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan Rancangan Undang-Undang (kemudian menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola Bank Sentral Jerman yang tidak mengawasi bank. Di Jerman, pengawasan industri perbankan dilakukan oleh suatu badan khusus yaitu Bundesaufiscuhtsamt furda kreditwesen. Pada waktu Rancangan Undang- Undang tersebut diajukan muncul penolakan yang kuat dari kalangan DPR dan Bank Indonesia. Sebagai kompromi, disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan Bank Sentral. Nantinya Otoritas Jasa Keuangan akan mengawasi seluruh industri jasa keuangan yang ada di Indonesia.

5 83 Alasan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, antara lain makin kompleks dan bervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi perusahaan jasa keuangan, dan globalisasi industri jasa keuangan. Di samping itu, salah satu alasan rencana pembentukan Otoritas Jasa Keuangan adalah pemerintah beranggapan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral telah gagal dalam mengawasi sektor perbankan. Kegagalan tersebut dapat dilihat pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia mulai pertengahan 1997, sejumlah bank yang ada pada saat itu dilikuidasi. Melihat dari sejarah tersebut, dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia, maka program pembangunan ekonomi nasional harus dilaksanakan secara komperhensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh ke seluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Program pembangunan ekonomi nasional juga harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel yang berpedoman pada prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun Untuk mencapai tujuan tersebut, program pembangunan ekonomi nasional perlu didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik yang secara terus-menerus melakukan reformasi terhadap setiap komponen dalam sistem perekonomian nasional. Salah satu komponen penting dalam sistem keuangan dan

6 84 seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional. 71 OJK pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Adapun ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang- undang sektoral tersendiri, yaitu Undang-undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya. OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan demikian, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber 71 Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

7 85 daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Secara kelembagaan, OJK berada di luar pemerintah, yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh sebab itu, lembaga ini juga melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara ex-officio 72. Keberadaan ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Ini diperlukan untuk memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasioanal, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Untuk mewujudkan koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan yang baik, OJK harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Ex-officio adalah jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain.

8 86 B. Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan Dengan besarnya kedudukan dan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga yang satu ini, tentunya harus ada suatu pengaturan yang jelas dan tertulis demi mewujudkan kepastian hukum. Namun dengan dilahirkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan memberikan kepastian hukum, dan undang-undang tersebut menjadi dasar hukum dalam melaksanakan kewajiban dan kewenangan dari lembaga tersebut. Mengenai tujuan OJK dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 UU OJK. selengkapnya ketentuan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: 1. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; 2. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan 3. Mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Mengenai fungsi OJK itu sendiri telah dijabarkan dalam UU No.21 Tahun 2011, dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

9 87 Selanjutnya di dalam Pasal 6 Undang-undang tersebut juga menyebutkan mengenai tugas pengaturan dan pengawasannya, yaitu: 1. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, 2. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, dan 3. kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: 73 a) menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-undang ini; b) menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; c) menetapkan peraturan dan keputusan OJK; d) menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; e) menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK; f) menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu; g) menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan; 73 Pasal 8 Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

10 88 h) menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan i) menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: 74 a) menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan; b) mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif; c) melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d) memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu; e) melakukan penunjukan pengelola statuter; f) menetapkan penggunaan pengelola statuter; 74 Ibid, pasal 9

11 89 g) menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan h) memberikan dan/atau mencabut: 1. izin usaha; 2. izin orang perseorangan; 3. efektifnya pernyataan pendaftaran; 4. surat tanda terdaftar; 5. persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6. pengesahan; 7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. C. Upaya Pengawasan Reasuransi dan Peraturan Yang Terkait Kegiatan reasuransi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dan perusahaan-perusahaan reasuransi membutuhkan suatu perangkat peraturan tertentu. Pengaturan terhadap kegiatan reasuransi tersebut dianggap perlu, mengingat di dalam kegiatan tersebut tercakup berbagai kepentingan baik kepentingan-kepentingan

12 90 langsung maupun kepentingan-kepentingan tidak langsung. Oleh karena itu pengaturan yang ideal adalah suatu pengaturan yang dapat memberikan perlindungan hukum serta kepastian hukum bagi siapapun yang kepentingannya langsung atau tidak langsung terlibat dalam kegiatan reasuransi yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan asuransi dengan perusahaan-perusahaan reasuransi. Sesuai dengan pasal 6 UU OJK mengenai tugas pengaturan dan pengawasannya, yaitu: 1. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, 2. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, dan 3. kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Maka dari itu sudah merupakan tugas dan wewenang OJK dalam mengawasi kegiatan yang dilakukan jasa keuangan di sektor perasuransian yang dalam hal ini mengawasi kegiatan reasuransi yang dilakukan antara perusahaan asuransi dengan perusahaan reasuransi maka dari itu OJK mengeluarkan peraturan untuk mengawasi pelaksanaan reasuransi oleh perusahaan asuransi yang ditinjau dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK. 05/2015 Tentang Retensi Sendiri dan Reasuransi dalam Negeri yang terdapat pada Bab III Bagian Kesatu Strategi Dukungan Reasuransi yaitu :

13 91 Pasal 4 1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib mengembangkan dan mengimplementasikan strategi dukungan reasuransi untuk penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah agar memiliki kapasitas yang cukup untuk memenuhi liabilitas. 2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menelaah implementasi strategi dukungan reasuransi paling sedikit sekali dalam setahun. 3) Untuk pertama kali, strategi dukungan reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada OJK paling lambat tanggal 15 Januari ) Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah mengubah strategi dukungan reasuransi, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menyampaikan perubahan dimaksud kepada OJK beserta alasannya dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak perubahan strategi dukungan reasuransi dimaksud. Pasal 5 Strategi dukungan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) paling sedikit harus memuat:

14 92 a. kebijakan reasuransi secara komprehensif dengan memperhitungkan manfaat diversifikasi dan kelayakan pihak reasuransi (counterparty); b. sistem yang sehat dalam melakukan pemilihan dan pemantauan program reasuransi; c. ringkasan proses pembentukan retensi sendiri dan monitoring retensi sendiri; dan d. penanggung jawab pelaksana program reasuransi dan pengendaliannya. Pasal 6 Dalam mengembangkan strategi dukungan reasuransi, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. profil risiko dari risiko yang ditanggung; b. kecukupan modal dan akses terhadap penambahan modal; c. volatilitas klaim masa lalu dan/atau klaim yang diperkirakan; d. tingkat profitabilitas masing-masing lini usaha; e. ukuran retensi yang sesuai dengan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah; f. penggunaan program reasuransi proporsional dan nonproporsional; g. kondisi lingkungan, khususnya untuk daerah yang rawan bencana;

15 93 h. kapasitas reasuransi otomatis; i. optimalisasi kualitas, penggunaan, dan biaya reasuransi; j. dampak bila reasuradur dalam negeri dengan porsi reasuransi otomatis mengalami kebangkrutan; k. peringkat reasuradur dalam negeri; dan l. kondisi pasar reasuransi. D. Upaya Pengawasan Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi Perbedaan mendasar antara perusahaan asuransi dengan perusahaan lain pada umumnya terletak pada fungsi underwriting dan fungsi penanganan klaim pada perusahaan asuransi. Apabila perusahaan lain biasanya dapat menghitung secara cepat sebelum menentukan harga produknya, maka tidak demikian halnya dengan perusahaan asuransi. Pada saat menetapkan tingkat premi (yang berlaku sebagai harga pokok penjualan) untuk suatu penutupan pertanggungan, perusahaan asuransi belum dapat mengetahui secara pasti berapa biaya yang harus dilakukan dalam penutupan terrsebut. Oleh karena itu, perusahaan asuransi harus mendasarkan penetepan premi pada perkiraan biaya yang paling mendekati kenyataan. Metode penetapan harga pokok atau premi yang berbeda inilah yang mneyebabkan perusahaan asuransi harus mengukur kemungkinan terjadinya risiko (risk profile) dan memproyeksikan hasil

16 94 investasi. Investasi ini dananya terutama bersumber dari cadangan premi yang sebetulnya merupakan piutang dari tertanggung dan cadangan klaim yang sebetulnya merupakan hutang atas klaim yang diperkirakan terjadi. 75 Dalam hal upaya pengawasan kesehatan keuangan perusahaan asuransi yang dilakukan oleh OJK (sesuai dengan tugas dan wewenang OJK yang diatur dalam UU No. 21 tahun 2011 tentang OJK dan UU No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian) dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK. 05/2015 Tentang Retensi Sendiri dan Reasuransi dalam Negeri pasal 27 yaitu: Pasal 27 1) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis dan/atau dukungan reasuransi fakultatif dinilai oleh OJK dapat membahayakan dan/atau memperburuk kondisi kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah atau dapat menjadikan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tidak melaksanakan fungsi sebagai Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, OJK dapat memerintahkan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah untuk mengubah program dukungan reasuransi yang dimilikinya agar lebih sesuai dengan kondisi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. 75 Salusra Satria, Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaan Asuransi Kerugian di Indonesia (Dengan Analisis Rasio Keuangan Early Warning System ), (Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1994) hlm. 52

17 95 2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib melaksanakan perintah OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penjelasan pasal 27 berisi : Ayat (1) Contoh perubahan program dukungan reasuransi antara lain: a. perubahan reasuransi fakultatif menjadi reasuransi otomatis, atau sebaliknya; dan b. perubahan reasuransi nonproporsional menjadi reasuransi proporsional, atau sebaliknya. Ayat (2) Cukup jelas. Namun OJK mengeluarkan peraturan tersendiri mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (4), Pasal 20 ayat (5), Pasal 21 ayat (4), dan Pasal 22 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor. 71/POJK.05/2016 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Jika kita lihat dalam pasal 27 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK. 05/2015 tersebut maka kita bisa melihat bahwa OJK dalam melaksanakan

18 96 fungsi pengawasannya dalam menjaga kondisi kesehatan keuangan perusahaanperusahaan asuransi yang ada adalah dengan menilai dukungan reasuransi yang ada dan memerintahkan perusahaan asuransi tersebut untuk merubah program dukungan reasuransi sesuai dengan penjelasan pasal 27 namun dengan syarat apabila dukungan reasuransi tersebut merugikan kondisi kesehatan keuangan perusahaan asuransi. E. Pengawasan Terhadap Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23 /POJK.05/2015 Tentang Produk Asuransi Dan Pemasaran Produk Asuransi yang dimaksud dengan Produk Asuransi adalah: 1. Program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih risiko yang dapat diasuransikan yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti dengan memberikan penggantian kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita pemegang polis, tertanggung, atau peserta, atau pemberian jaminan pemenuhan kewajiban pihak yang dijamin kepada pihak yang lain apabila pihak yang dijamin tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya; 2. program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih risiko yang terkait dengan meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan,

19 97 hidup dan meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan, atau anuitas asuransi jiwa; 3. program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih risiko yang terkait dengan keadaan kesehatan fisik seseorang atau menurunnya kondisi kesehatan seseorang yang dipertanggungkan; dan/atau 4. program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih risiko dengan memberikan penggantian atau pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta atau pihak lain yang berhak dalam hal terjadi kecelakaan. Produk Asuransi harus memiliki: 1. Premi atau Kontribusi yang sesuai dengan manfaat yang dijanjikan, yang ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan, dan tidak diterapkan secara diskriminatif; dan 2. Polis Asuransi yang tidak mengandung kata, frasa, atau kalimat yang dapat : menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup, kewajiban Perusahaan, dan kewajiban pemegang polis, tertanggung, atau peserta; dan/atau mempersulit pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengurus haknya. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi (PAYDI) adalah produk Asuransi yang paling sedikit memberikan perlindungan terhadap risiko kematian dan

20 98 memberikan manfaat yang mengacu pada hasil investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk untuk Produk Asuransi baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun bukan unit. PAYDI harus memenuhi kriteria: 1. memiliki proporsi perlindungan terhadap risiko kematian dan manfaat yang dikaitkan dengan investasi; 2. memiliki masa pertanggungan tertentu; dan 3. memiliki strategi investasi yang spesifik. Dalam pengaturan mengenai Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi khususnya dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor. 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dalam Bab III : Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi diatur dalam pasal 26 sampai pasal 30 yaitu: Pasal 26 Perusahaan Asuransi yang memasarkan PAYDI wajib memisahkan pencatatan aset dan Liabilitas yang bersumber dari PAYDI dengan aset dan Liabilitas yang bersumber dari produk asuransi lainnya.

21 99 Pasal 27 (1) Aset yang bersumber dari PAYDI wajib ditempatkan pada jenis: a) deposito berjangka pada Bank, BPR, dan BPRS, termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan; b) sertifikat deposito pada Bank; c) saham yang tercatat di bursa efek; d) obligasi korporasi yang tercatat di bursa efek; e) MTN; f) surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia; g) surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia; h) surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; i) surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya; j) reksa dana; k) efek beragun aset; l) REPO; dan/atau m) emas murni

22 100 (2) Aset yang bersumber dari PAYDI dalam bentuk bukan investasi harus dalam jenis: a) kas dan bank; b) tagihan premi penutupan langsung; c) tagihan investasi; dan/atau d) tagihan hasil investasi. (3) Jenis investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan deskripsi produk yang dilaporkan kepada OJK dan yang dijanjikan kepada calon pemegang polis. (4) Aset yang bersumber dari PAYDI yang tidak digaransi tidak diperhitungkan sebagai Aset Yang Diperkenankan. (5) Ketentuan mengenai dasar penilaian setiap jenis investasi dan bukan investasi atas aset yang bersumber dari PAYDI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 28 Penempatan atas aset yang bersumber dari PAYDI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 9.

23 101 Pasal 29 Penempatan investasi di luar negeri atas PAYDI paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari total investasi PAYDI. Pasal 30 (1) Perusahaan wajib menatausahakan seluruh aset yang bersumber dari PAYDI pada Bank Kustodian. (2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mempunyai hubungan afiliasi dengan Perusahaan, kecuali hubungan afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Negara Republik Indonesia.

24 BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DITINJAU DARI PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14/POJK.05/2015 TENTANG RETENSI SENDIRI DAN REASURANSI DALAM NEGERI A. Perkembangan Peraturan Reasuransi dan Retensi Sendiri Pada dasarnya setiap perusahaan asuransi di Indonesia, baik perusahaan asuransi jiwa maupun perusahaan asuransi kerugian melaksanakan reasuransi. Kegiatan Reasuransi bagi suatu perusahaan asuransi merupakan satu kegiatan utama kedua, sebagai tindak lanjut dari kegiatan utama pertama atau kegiatan pokoknya, ialah menjalankan usaha asuransi. Kedua kegiatan tersebut ialah, kegiatan melakukan perjanjian asuransi dan perjanjian reasuransi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang saling berkaitan erat satu sama lain. Reasuransi dilakukan oleh perusahaanperusahaan asuransi baik dengan perusahaan reasuransi dalam negeri maupun di luar negeri berdasarkan suatu perjanjian. Meskipun kegiatan reasuransi dan hubungan para pihak dalam perjanjian reasuransi pada hakekatnya secara penuh ditentukan sendiri oleh para pihak, tetapi karena menyangkut kepentingan pihak lain maka masih terdapat peraturan-peraturan lain sebagai kendala utama yang bersifat publik administrasif. Pelaksanaan kegiatan reasuransi oleh perusahaan-perusahaan asuransi 102

25 103 di Indonesia secara teknis dan administratif diatur dalam beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh departemen keuangan sebagai departemen teknis yang mempunyai wewenang untuk mengawasi dan mengadakan pembinaan terhadap kegiatan perusahaan asuransi. 76 Namun dalam pelaksanaan kegiatan reasuransi oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia secara teknis dan administratif pada saat ini dilakukan oleh lembaga OJK. Landasan utama dilaksanakannya kegiatan reasuransi oleh perusahaan asuransi sebagai penanggung pertama adalah pasal 271 KUHD. Pasal tersebut pada hakekatnya hanya memberikan suatu hak kepada penanggung. Hak yang diberikan oleh pasal ini ialah hak untuk melakukan/melaksanakan atau tidak melakukan/melaksanakan reasuransi. Jadi perusahaan asuransi sebagai penanggung pertama mempunyai kebebasan penuh untuk menggunakan atau tidak atas hak yang dimilikinya itu, penanggung senantiasa mempunyai wewenang penuh untuk mempergunakan atau tidak atas hak untuk mengasuransikan. 77 Di dalam tata pergaulan antar perusahaan asuransi, pelaksanaan kegiatan reasuransi antara perusahaan asuransi sebagai penanggung pertama/ceding company dengan perusahaan reasuransi sebagai penanggung ulang, pada hakekatnya dilakukan atas dasar hubungan kerjasama yang erat dan saling menguntungkan atas dasar saling percaya yang tinggi. 76 Sri Redjeki Hartono.Op. Cit, hlm Ibid hlm. 203

26 104 Hubungan kerjasama tersebut, dilaksanakan berdasarkan suatu perjanjian di bawah tangan, ialah perjanjian reasuransi. Di samping itu dapat pula diketahui, bahwa pelaksanaan perjanjian reasuransi dilakukan baik secara perjanjian atau treaty maupun secara fakultatif tergantung pada kebutuhan dan situasi dan kondisi perusahaan pada suatu waktu. 78 Pelaksanaan reasuransi sebagai realisasi ketentuan pasal 271 KUHD mempunyai motivasi utama demi keamanan usaha asuransi pada masing-masing perusahaan asuransi yang bersangkutan. Pelaksanaan reasuransi oleh perusahaanperusahaan asuransi dilakukan dengan tujuan yang bervariasi, antara lain karena: 1. Untuk penyebaran risiko. 2. Untuk mengadakan peralihan risiko. 3. Untuk dapat memenuhi tanggung jawab. 4. Untuk memenuhi undang-undang/peraturan. Peraturan yang diwajibkan setiap perusahaan asuransi mempunyai hubungan dengan perusahaan reasuransi atau perusahaan asuransi lainnya: Untuk perusahaan asuransi kerugian diatur dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. Kep. 612/MK/IV/8/1971 tentang Tata Cara 78 Ibid hlm Ibid, hlm. 202

27 105 Perijinan Usaha dan Pemenuhan Deposito Perusahaan-perusahaan Asuransi Kerugian, pasal Untuk perusahaan asuransi jiwa, diatur oleh Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. Kep. 168/MK/IV/2/1974 tentang Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi Jiwa di Indonesia, pada Pasal 2 sub. h. Dalam Pasal 2 sub h, mensyaratkan perusahaan asuransi jiwa: Sanggup memberikan laporan data perusahaan secara periode atau setiap kali apabila diminta dan laporan treaty reasuransi jiwa serta mengumumkan neraca perusahaan sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Moneter, Direktorat Lembaga-lembaga Keuangan. Pada umumnya perusahaan-perusahaan asuransi di Indonesia melaksanakan reasuransi, baik secara perjanjian maupun fakultatif. Kedua cara tersebut dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing perusahaan asuransi yang bersangkutan. Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian menyatakan bahwa perusahaan reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi jiwa. Peranan reasuransi ini semakin dipertegas dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 224/KMK.01/1993 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi

28 106 dan Perusahaan Reasuransi bahwa dukungan reasuransi pada perusahaan asuransi harus berdasarkan reasuransi treaty dan baru dukungan fakultatif apabila dukungan reasuransi treaty tidak mencukupi. Kepmen ini juga mengharuskan perusahaan asuransi untuk mendapat dukungan reasuransi paling tidak dari satu perusahaan reasuransi dan satu perusahaan asuransi dalam negeri. 80 Pada tanggal 17 Oktober 2014 Undang-undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian diundangkan dan menggantikan Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 dalam rangka rangka menyikapi dan mengantisipasi perkembangan industri perasuransian serta perkembangan perekonomian, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat global. 81 Pada pasal 1 angka 7 UU No. 40 tahun 2014 pengertian reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya dan dalam pasal 2 ayat (3) perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha reasuransi yang berarti adalah perusahaan reasuransi hanya bisa menyelenggarakan usaha reasuransi dan tidak bisa menyelenggarakan usaha asuransi. Lembaga pengawas yang melakukan pengawasan terhadap usaha perasuransian dan membentuk peraturan pelaksana Undang-undang Perasuransian adalah Otoritas Jasa Keuangan yang fungsi dan kewenangannya sendiri diatur dalam 80 pada tanggal 16 Juni 2017 pukul 21:25 WIB 81 Bagian menimbang UU No.40 tahun 2014 tentang Perasuransian

29 107 Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 sehingga OJK mengeluarkan peraturan mengenai reasuransi secara khusus yang terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor. 14/POJK. 05/2015 tentang Retensi Sendiri dan Reasuransi dalam Negeri. B. Pengaturan dan Pengawasan Terhadap Usaha Asuransi di Indonesia Usaha asuransi merupakan satu jenis usaha di bidang jasa yang memberikan jasa proteksi. Oleh karena itu dalam tata kehidupan pada umumnya, sehingga mempunyai karakteristik yang khusus dibandingkan jenis usaha lain. Mengingat sifatnya yang khusus tadi, maka pada usaha ini perlu diatur pula secara khusus mengenai pembinaan dan pengawasannya, demi kepentingan masyrakat luas. Dalam Keputusan Presiden RI No. 40 tahun 1989 tentang Usaha di Bidang Asuransi Kerugian diatur bahwa yang mempunyai wewenang untuk mengadakan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha asuransi adalah Menteri Keuangan. 82 Adapun bentuk pembinaan dan pengawasan terhadap usaha asuransi oleh Menteri Keuangan c.q. Direktorat Lembaga Keuangan dan Akuntansi Direktorat Moneter antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut: Persyaratan teknis yang harus dipenuhi untuk pendirian perusahaan asuransi. 82 Sri Rejeki Hartono, Op.Cit, hlm Departemen Keuangan R.I., Direktorat Lembaga Keuangan dan Akuntansi Dirjen Moneter, Laporan XX kegiatan usaha perasuransian di Indonesia (Jakarta, 1987), hlm. 198

30 Persyaratan teknis dan keuangan yang harus dipenuhi berkenaan dengan pemberian izin usaha. 3. Persyaratan-persyaratan teknis dan keuangan berkenaan dengan penyelenggaraan usaha asuransi Persyaratan-persyaratan tersebut, secara khusus diatur sesuai dengan jenis usaha asuransi yang bersangkutan, yaitu apabila usaha asuransi yang bersangkutan termasuk usaha asuransi jiwa, usaha asuransi kerugian, termasuk reasuransi, broker asuransi, adjuster asuransi dan perusahaan asuransi sosial. Secara umum, pembinaan dan pengawasan yang diterapkan terhadap indsutri usaha asuransi dilaksanakan dalam rangka memberikan kepastian jaminan terhadap masyrakat luas. Untuk itu secara teknis pengawasan dan pembinaan tersebut selalu mengalami perubahan persyaratan. 84 Frederick G. Crane memasukan industri asuransi ke dalam Regulated Industry (industri yang diatur), karena melibatkan kepentingan umum. Karenanya, dalam rangka melindungi kepentingan umum dan membina perusahaan perasuransian, lembaga pembina dan pengawas industri asuransi, yaitu pemerintah perlu membuat peraturan-peraturan yang bertujuan untuk : Mencegah kondisi insolven dari penanggung (prevent unsurer insolvency) 2. Mencegah adanya kecurangan (prevent fraud) 84 Sri Rejeki Hartono, Op.Cit, hlm Salusra Satria, Op. Cit, hlm. 43

31 Menjamin penetapan harga yang wajar (make sure that policies are reasonably priced) 4. Menyediakan perlindungan asuransi secara luas (make insurance protection widely available) Hal-hal yang perlu diatur dalam peraturan tersebut mencakup : 1. Kesehatan keuangan (company financial strength) 2. Tarif premi dan bentuk perjanjian (rates and forms) 3. Penyelenggaraan usaha (business methods) Masalah keuangan merupakan masalah terpenting dalam pengawasan industri asuransi, karena tujuan pengawasan menurut Bickelhaupt adalah melindungi masyarakat dari kondisi insolvent atau dari perlakuan tidak adil dari perusahaan asuransi (to protect the public against insolvency or unfair treatment by insurer). 86 Selain untuk melindungi masyarakat tertanggung, pembinaan dan pengawasan industri asuransi bertujuan untuk mempertahankan lalu mengembangkan industri asuransi. Tujuan tersebut dapat dicapai karena aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah menyebabkan setiap perusahaan asuransi dapat berusaha dalam iklim bersaing yang sehat dan tidak saling mematikan. Di samping itu pembinaan, dan 86 Ibid

32 110 pengawasan yang dilakukan pemerintah akan mengakibatkan kepercayaan masyarakt terhadap industri asuransi dapat bertambah baik. 87 Di Indonesia tanggung jawab dan tugas dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian diberikan kepada Lembaga Otoritas Jasa Keuangan. Dasar hukum pelaksanaan fungsi pengawasan dan pembinaan tersebut adalah Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dalam pasal 6 yang berbunyi : OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Selain itu secara terinci, wewenang yang diemban oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam pasal 8 UU No.21 tahun 2011 yaitu: 1. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini; 2. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; 3. menetapkan peraturan dan keputusan OJK; 4. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; 87 Ibid, hlm.44

33 menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK; 6. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu; 7. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan; Segala ketentuan dalam undang-undang yang dikeluarkan pada tahun 2011 tersebut merupakan landasan hukum yang baru, yang lebih kokoh, dan menjadi dasar pelaksanaan gerak usaha di bidang perasuransian. Berdasarkan Undang-undang tersebut, OJK diberikan wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan industri perasuransian di Indonesia Setelah membahas mengenai lembaga pengawas dan pembinaan asuransi di Indonesia maka dalam bagian aspek pengawasan dan pembinaan asuransi di Indonesia itu sendiri diatur dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2014 Tentang Perasuransian. Pada intinya terdapat tiga hal pokok yang menjadi aspek pembinaan dan pengawasan industri perasuransian yaitu aspek kelembagaan perusahaan perasuransian, kesehatan keuangan, dan penyelenggaraan usaha Ibid

34 112 C. Pengaturan Terhadap Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan mengamanatkan bahwa fungsi pengawasan dan pengaturan terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang beroperasi di Indonesia dilakukan oleh OJK dan tujuan OJK dibentuk adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Sejalan dengan tujuan OJK, pembentukan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian berupaya untuk menciptakan industri perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif yang secara umum dilakukan, baik dengan penetapan ketentuan baru maupun dengan penyempurnaan ketentuan yang telah ada. Upaya tersebut dilakukan antara lain dengan penyempurnaan ketentuan mengenai kesehatan keuangan. Peraturan OJK ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian khususnya tercantum dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20 ayat (5), Pasal 21 ayat (4), dan Pasal 22 ayat (5). Ketentuan dalam pasal tersebut mengamanatkan adanya pengaturan mengenai: a. kesehatan keuangan dan metode mitigasi risiko untuk menjaga kesehatan keuangan; b. dana jaminan; c. pemisahan aset dan Liabilitas; dan

35 113 d. penyampaian laporan. Selain dari materi tersebut, dilakukan juga upaya penyempurnaan materi dalam peraturan yang berlaku sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Hal tersebut merupakan upaya dalam memenuhi kebutuhan hukum dari industri perasuransian. Oleh karena itu, Peraturan OJK ini diharapkan dapat memberikan pedoman bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dalam menjalankan kegiatan operasional khususnya menjaga kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. 89 Sehingga dibentuklah peraturan OJK dalam memenuhi kebutuhan hukum perusahaan asuransi dalam menjaga kesehatan keuangan yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 71 /POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Yang menjadi ruang lingkup kesehatan keuangan perusahaan asuransi berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan OJK Nomor 71/POJK.05/2016 yaitu: a. Tingkat Solvabilitas; b. cadangan teknis; 89 Bagian Umum dalam Penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 71 /POJK.05/2016 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuansi dan Perusahaan Reasuransi.

36 114 c. kecukupan investasi; d. Ekuitas; e. Dana Jaminan; dan f. ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan. Untuk melihat kesehatan keuangan perusahaan asuransi indikator yang kita butuhkan adalah indikator kesehatan keuangan perusahaan asuransi yaitu : A. Tingkat Solvabilitas (Risk Based Capital) Risk Based Capital adalah suatu ukuran yang menginformasikan tingkat keamanan finansial atau kesehatan suatu perusahaan asuransi. Semakin besar rasio kesehatan Risk Based Capital sebuah perusahaan asuransi, maka semakin sehat kondisi finansial perusahaan tersebut Ketentuan-ketentuan mengenai tingkat solvabilitas yang diperlukan perusahaan asuransi dalam Peraturan OJK Nomor 71/POJK.05/2016 dalam Pasal 3 dan Pasal 4 yaitu:

37 115 Pasal 3 1) Perusahaan setiap saat wajib memenuhi Tingkat Solvabilitas paling rendah 100% (seratus persen) dari MMBR 90. 2) Perusahaan setiap tahun wajib menetapkan target Tingkat Solvabilitas internal. 3) Target Tingkat Solvabilitas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling rendah 120% (seratus dua puluh persen) dari MMBR dengan memperhitungkan profil risiko setiap Perusahaan serta mempertimbangkan hasil simulasi skenario perubahan (stress test). 4) OJK dapat memerintahkan kepada Perusahaan untuk meningkatkan dan memenuhi target Tingkat Solvabilitas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan mempertimbangkan profil risiko Perusahaan serta mempertimbangkan hasil simulasi skenario perubahan (stress test). 5) Perusahaan setiap saat harus memenuhi Target Solvabilitas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). 6) Perusahaan dilarang membayar dividen atau memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada pemegang saham atau yang setara apabila hal tersebut 90 Dalam Pasal 1 angka (11) Modal Minimum Berbasis Risiko yang selanjutnya disingkat MMBR adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan Liabilitas.

38 116 akan menyebabkan tidak tercapainya target Tingkat Solvabilitas internal yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). Pasal 4 1) Perhitungan MMBR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus memperhitungkan risiko paling sedikit terdiri dari: a. risiko kredit; b. risiko likuiditas; c. risiko pasar; d. risiko asuransi; dan e. risiko operasional. 2) Dalam hal Perusahaan Asuransi memasarkan PAYDI, MMBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditambah sebesar persentase tertentu dari dana investasi yang bersumber dari PAYDI. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan jumlah MMBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Makna angka nilai Risk Based Capital paling sedikit 120% adalah bahwa perusahaan tersebut minimal memiliki kekayaan 120% lebih besar dari nilai hutang perusahaannya termasuk untuk membiayai setiap risiko pertanggungan yang dimiliki perusahaan asuransi tersebut.

39 117 Menurut Keputusan Menteri Keuangan No.424/KMK.06/2004, Rumus perhitungan Risk Based Capital sebagai berikut : Risk Based Capital = Tingkat Solvabilitas BTSM Keterangan : Risk Based Capital : salah satu metode pengukuran Batas Tingkat Solvabilitas yang disyaratkan dalam undangundang dalam mengukur tingkat kesehatan keuangan sebuah perusahaan asuransi untuk memastikan pemenuhan kewajiban Asuransi dan Reasuransi dengan mengetahui besarnya kebutuhan modal perusahaan sesuai dengan tingkat resiko yang dihadapi perusahaan dalam mengelola kekayaan dan kewajibannya. Tingkat Solvabilitas : untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka panjang. Batas Tingkat Solvabilitas Minimum (BTSM) = suatu jumlah minimum tingkat solvabilitas yang ditetapkan, yaitu sebesar jumlah dana yang dibutuhkan untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban. 91 B. Rasio Investasi (ROI) 91 Rifki Santoso Budiarjo, Op.Cit, hlm. 23

40 118 Rasio Investasi (ROI) menunjukkan seberapa banyak laba bersih yang bisa dihasilkan dari seluruh pemanfaatan kekayaan yang dimiliki perusahaan, sehingga dipergunakan angka laba setelah pajak dan kekayaan perusahaan. Analisis rasio Rasio Investasi(ROI) dalam analisis keuangan mempunyai arti yang sangat penting karena merupakan salah satu tekhnik analisis yang bersifat menyeluruh (comprehensive). Analisis rasio Rasio Investasi (ROI) merupakan teknik analisis yang lazim digunakan untuk mengukur tingkat efektivitas dari keseluruhan operasi perusahaan. Rasio Investasi(ROI) merupakan salah satu rasio profitabilitas yang mengukur kemampuan perusahaan dengan keseluruhan investasi yang ditanamkan dalam total asset yang digunakan untuk memperoleh keuntungan. 92 Kegunaan Rasio Investasi (ROI) sifatnya menyeluruh dan dapat digunakan untuk mengambil keputusan bagi pihak manajemen perusahaan maupun pihak luar perusahaan untuk perencanaan di masa mendatang. C. Rasio Klaim Klaim asuransi adalah sebuah permintaan resmi kepada perusahaan asuransi, untuk meminta pembayaran berdasarkan ketentuan perjanjian. Klaim Asuransi yang diajukan akan ditinjau oleh perusahaan untuk validitasnya dan kemudian dibayarkan kepada pihak tertanggung setelah disetujui. Klaim merupakan salah satu kegiatan operasional perusahaan asuransi yang harus diselesaikan antara pihak asuransi dengan 92 Ibid, hlm. 25

41 119 tertanggung atau pemegang polis. Perusahaan dapat mengetahui berapa besar pembayaran klaim yang telah dilakukan akibat terjadinya kerugian yang dialami oleh pemegang polis (tertanggung). 93 D. Rasio Pertumbuhan Premi Rasio Pertumbuhan Premi adalah rasio ini menggambarkan kenaikan/penurunan yang tajam pada volume premi neto memberikan indikasi kurangnya tingkat kestabilan kegiatan usaha perusahaan. E. Dampak dari Reasuransi dalam Negeri Bagi Perusahaan Asuransi Kendala-kendala umum yang selalu ada pada setiap jenis usaha pada dasarnya karena adanya keterbatasan pada faktor modal, manajemen, dan tenaga kerja. Perusahaan asuransi pada umumnya mempunyai beberapa kendala lain yang sifatnya sangat khas asuransi ialah masalah teknis asuransi dan faktor yang tak terduga yang sangat mempengaruhi usaha. Kendala umum dan kendala khusus tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kendala utama pada perusahaan asuransi yaitu kendalakendala yang sifatnya intern perusahaan ekstern perusahaan. ialah: 94 Kendala-kendala yang sangat dominan pada perusahaan asuransi antara lain 93 Ibid, hlm. 28

42 Kendala intern meliputi: a) Kemampuan dan kapasitas modal, b) Kemampuan manajemen, c) Kemampuan dan keterampilan tenaga, d) Kemampuan dan keterampilan teknis asuransi 2. Kendala ekstern meliputi: a) Kemajuan dan perkembangan teknologi di segala bidang, b) Keadaan di luar perusahaan yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang tak terduga c) Keadaan pasar baik nasional maupun internasional Berdasarkan kendala-kendala tersebut di atas, perusahaan asuransi sebagai penanggung pertama, yaitu sebagai perusahaan yang menyediakan jasa proteksi juga bagi dirinya sendiri. Kebutuhan tersebut dapat diperoleh apabila perusahaan asuransi melakukan reasuransi. Reasuransi pada hakikatnya sama dengan asuransi, mempunyai fungsi untuk mengalihkan dan menyebarkan risiko. Penyebaran dan peralihan risiko juga hanya dapat terjadi berdasarkan atas suatu perjanjian. 94 Sri Rejeki Hartono, Op.Cit, hlm. 231

43 121 Secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan antara asuransi dan reasuransi adalah merupakan suatu kerjasama dengan saling ketergantungan dan keterlibatan sedemikian rupa yang dilakukan oleh para pihak atas dasar asas timbal balik. Hubungan hukum tersebut terjadi dalam berbagai bentuk jenis perjanjianperjanjian reasuransi. Jadi secara teknis peran reasuransi terhadap kegiatan asuransi ialah melindungi penanggung pertama terhadap insolvency (ketidakmampuan membayar) yang dapat menjamin stabilitas usaha asuransi pada umumnya. 95 Sebelum membahas dampak reasuransi dalam negeri terutama terhadap perusahaan asuransi terlebih dahulu kita mengetahui fungsi dari reasuransi, adapun fungsi dari reasuransi adalah sebagai berikut yaitu: Memberi jaminan atau perlindungan kepada penanggung dari kerugiankerugian underwriting yang dapat sewaktu-waktu membahayakan likuiditas, solvabilitas, dan kelestarian kegiatan usaha mereka. 2. Menaikkan kapasitas akseptasi perusahaan asuransi atas risiko-risiko yang melampaui batas kemampuannya karena berlebihan tanggung-gugat yang tidak bisa mereka tampung sendiri akan dijamin oleh penanggung ulang yang telah bersedia menampungnya. 3. Sebagai alat penyebaran risiko, baik di pasaran reasuransi dalam negeri maupun di pasaran luar negeri. 95 Ibid, hlm A.J. Marianto, Op.Cit, hlm. 23

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 72 /POJK.05/2016 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 71 /POJK.05/2016 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 71 /POJK.05/2016 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 71 /POJK.05/2016 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN /SEOJK.05/2017 TENTANG

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN /SEOJK.05/2017 TENTANG Yth. 1. Direksi Perusahaan Asuransi; dan 2. Direksi Perusahaan Reasuransi; di tempat. SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.05/2017 TENTANG DASAR PENILAIAN ASET YANG DIPERKENANKAN DALAM BENTUK

Lebih terperinci

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN /SEOJK.05/2016 TENTANG

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN /SEOJK.05/2016 TENTANG Yth. 1. Direksi Perusahaan Asuransi; dan 2. Direksi Perusahaan Reasuransi; di tempat. SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.05/2016 TENTANG DASAR PENILAIAN ASET YANG DIPERKENANKAN DALAM BENTUK

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /POJK.05/2015 TENTANG RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /POJK.05/2015 TENTANG RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /POJK.05/2015 TENTANG RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH Peraturan ini telah diketik ulang, bila ada keraguan mengenai isinya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.337, 2014 EKONOMI. Asuransi. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/PMK.010/2012 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/PMK.010/2012 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/PMK.010/2012 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI Keputusan ini telah diketik ulang, bila ada keraguan mengenai

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /POJK.05/2015 TENTANG RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /POJK.05/2015 TENTANG RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /POJK.05/2015 TENTANG RETENSI SENDIRI DAN DUKUNGAN REASURANSI DALAM NEGERI I. UMUM Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/2018 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN BAGI PERUSAHAAN ASURANSI BERBENTUK BADAN HUKUM USAHA BERSAMA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/2018 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN BAGI PERUSAHAAN ASURANSI BERBENTUK BADAN HUKUM USAHA BERSAMA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/2018 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN BAGI PERUSAHAAN ASURANSI BERBENTUK BADAN HUKUM USAHA BERSAMA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan,

Lebih terperinci

ekonomi Kelas X BANK SENTRAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN KTSP & K-13 A. Pengertian Bank Sentral Tujuan Pembelajaran

ekonomi Kelas X BANK SENTRAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN KTSP & K-13 A. Pengertian Bank Sentral Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X ekonomi BANK SENTRAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami fungsi serta peranan

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN /POJK.05/2016 TENTANG

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN /POJK.05/2016 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2016 TENTANG PROSEDUR DAN TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DI BIDANG PERASURANSIAN DAN PEMBLOKIRAN KEKAYAAN

Lebih terperinci

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG Yth. 1. Direksi Perusahaan Asuransi Syariah; dan 2. Direksi Perusahaan Reasuransi Syariah; di tempat. SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.05/2017 TENTANG DASAR PENILAIAN ASET YANG DIPERKENANKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak bermunculan bermacam-macam bank umum di

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak bermunculan bermacam-macam bank umum di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini banyak bermunculan bermacam-macam bank umum di Indonesia, dari yang menawarkan fasilitas dan produk yang sama sampai yang baru. Jika di dilihat dari sudut

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 67 /POJK.05/2016 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN

Lebih terperinci

- 2 - PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas.

- 2 - PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 72 /POJK.05/2016 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH I. UMUM Undang-Undang Nomor 21 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV. Akibat hukum adalah akibat dari melakukan suatu tindakan untuk. memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan atau telah

BAB IV. Akibat hukum adalah akibat dari melakukan suatu tindakan untuk. memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan atau telah BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERALIHAN PENGAWASAN PERBANKAN DARI BANK INDONESIA KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN A. Akibat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 71 /POJK.05/2016 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 71 /POJK.05/2016 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 71 /POJK.05/2016 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI I. UMUM Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Lebih terperinci

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 22 /SEOJK.05/2017

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 22 /SEOJK.05/2017 Yth. 1. Direksi Perusahaan Asuransi; dan 2. Direksi Perusahaan Reasuransi, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 22 /SEOJK.05/2017 TENTANG DASAR PENILAIAN ASET DALAM BENTUK INVESTASI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 424/KMK.06/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 424/KMK.06/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 424/KMK.06/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI Keputusan ini telah diketik ulang, bila ada keraguan mengenai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

AKTUARIS DALAM SEKTOR JASA KEUANGAN. Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank 1A Otoritas Jasa Keuangan

AKTUARIS DALAM SEKTOR JASA KEUANGAN. Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank 1A Otoritas Jasa Keuangan AKTUARIS DALAM SEKTOR JASA KEUANGAN Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank 1A Otoritas Jasa Keuangan 2 nd Indonesian Actuaries Summit Yogyakarta, 21 April 2017 AGENDA A B C Ketentuan OJK

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5618 EKONOMI. Asuransi. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG Yth. 1. Direksi Perusahaan Asuransi Syariah; dan 2. Direksi Perusahaan Reasuransi Syariah; di tempat. SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.05/2016 TENTANG DASAR PENILAIAN ASET YANG DIPERKENANKAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk kepentingan negara

Lebih terperinci

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesulitan besar terhadap dunia usaha. Tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kesulitan besar terhadap dunia usaha. Tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional sehingga menimbulkan kesulitan besar terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Kemudian dalam

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Kemudian dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Keberadaan industri perusahaan asuransi di Indonesia sangat membantu pemerintah dalam menanggulangi risiko yang dihadapi oleh masyarakat setiap saat, kemudian

Lebih terperinci

Laporan Posisi Keuangan Bukan Konsolidasi TriwulanITahun 2018 (dalam jutaan rupiah) Uraian Rincian Tradisional PAYDI Jurnal Eliminasi

Laporan Posisi Keuangan Bukan Konsolidasi TriwulanITahun 2018 (dalam jutaan rupiah) Uraian Rincian Tradisional PAYDI Jurnal Eliminasi LPKJ_1 ASET Investasi Deposito Berjangka Sertifikat Deposito Saham Laporan Posisi Keuangan Bukan Konsolidasi TriwulanITahun 2018 Uraian Rincian Tradisional PAYDI Jurnal Eliminasi Gabungan Saldo SAK Saldo

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa industri perasuransian yang sehat,

Lebih terperinci

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /SEOJK.05/2017

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /SEOJK.05/2017 Yth. 1. Direksi Perusahaan Asuransi Syariah; 2. Direksi Perusahaan Reasuransi Syariah; 3. Direksi Perusahaan Asuransi yang Memiliki Unit Syariah; dan 4. Direksi Perusahaan Reasuransi yang Memiliki Unit

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kata Bank dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang asing lagi.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kata Bank dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang asing lagi. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bank Kata Bank dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang asing lagi. Beberapa pengertian bank telah dikemukakan baik oleh para ahli maupun menurut ketentuan undang-undang,

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5626 KEUANGAN. OJK. Manajemen. Resiko. Terintegerasi. Konglomerasi. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 348) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

Laporan Posisi Keuangan Bukan Konsolidasi TriwulanIV Tahun 2017 (dalam jutaan rupiah) Uraian Rincian Tradisional PAYDI Jurnal Eliminasi

Laporan Posisi Keuangan Bukan Konsolidasi TriwulanIV Tahun 2017 (dalam jutaan rupiah) Uraian Rincian Tradisional PAYDI Jurnal Eliminasi LPKJ_1 ASET Investasi Deposito Berjangka Sertifikat Deposito Aset Tetap Lain Aset Lain Jumlah Bukan Investasi JUMLAH ASET LIABILITAS DAN EKUITAS Liabilitas Utang Utang Klaim Utang Koasuransi Utang Reasuransi

Lebih terperinci

No Pembiayaan OJK selain bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara juga berasal dari Pungutan dari Pihak. Sebagai pelaksanaan dari

No Pembiayaan OJK selain bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara juga berasal dari Pungutan dari Pihak. Sebagai pelaksanaan dari TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5504 OJK. Pungutan. Kewajiban. Pelaksanaan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 33) PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN I. UMUM Otoritas Jasa Keuangan yang merupakan otoritas tunggal (unified supervisory model)

Lebih terperinci

2 d. bahwa untuk mengelola eksposur risiko sebagaimana dimaksud dalam huruf a, konglomerasi keuangan perlu menerapkan manajemen risiko secara terinteg

2 d. bahwa untuk mengelola eksposur risiko sebagaimana dimaksud dalam huruf a, konglomerasi keuangan perlu menerapkan manajemen risiko secara terinteg LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.348, 2014 KEUANGAN. OJK. Manajemen. Resiko. Terintegerasi. Konglomerasi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5626) PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2011 tentang OJK. Pembentukan lembaga

I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2011 tentang OJK. Pembentukan lembaga I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 69 /POJK.05/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI,

Lebih terperinci

Laporan Posisi Keuangan Bukan Konsolidasi TriwulanIIITahun 2017

Laporan Posisi Keuangan Bukan Konsolidasi TriwulanIIITahun 2017 LPKJ_1 ASET Investasi Deposito Berjangka Sertifikat Deposito Uraian Rincian Tradisional PAYDI Jurnal Eliminasi Gabungan Saldo SAK Saldo SAP Saldo SAK Saldo SAP Saldo SAK Saldo SAP Saldo SAK Saldo SAP 6,442,004.77

Lebih terperinci

Uraian Rincian Tradisional PAYDI Jurnal Eliminasi

Uraian Rincian Tradisional PAYDI Jurnal Eliminasi LPKJ_1 ASET Investasi Deposito Berjangka Sertifikat Deposito Aset Tetap Lain Aset Lain Jumlah Bukan Investasi JUMLAH ASET LIABILITAS DAN EKUITAS Liabilitas Utang Utang Klaim Utang Koasuransi Utang Reasuransi

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 17 /POJK.05/2017 TENTANG PROSEDUR DAN TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DI BIDANG PERASURANSIAN DAN PEMBLOKIRAN

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang

2 menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang No.361, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. OJK. Transaksi. Bursa. Penjamin. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5635) PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun melanda hampir

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun melanda hampir BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1. LATAR BELAKANG MASALAH Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 1997-1998 melanda hampir tiap negara di seluruh dunia, termasuk salah satunya di Indonesia juga

Lebih terperinci

Sosialisasi UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. SAMARINDA, 2 juli 2015

Sosialisasi UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. SAMARINDA, 2 juli 2015 Sosialisasi UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan SAMARINDA, 2 juli 2015 1 POKOK BAHASAN 1 2 3 4 5 6 Pengertian, Latar Belakang dan Tujuan Pembentukan OJK Fungsi, Tugas dan wewenang OJK Governance

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/ TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALANG REASURANSI, DAN PERUSAHAAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN Peraturan ini telah diketik ulang, bila ada keraguan mengenai isinya harap merujuk kepada teks aslinya.

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.111, 2011 EKONOMI. Otoritas Jasa Keuangan. Pengelolaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2017, No Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20

2017, No Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.36, 2017 KEUANGAN OJK. Investasi Kolektif. Multi Aset. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6024) PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5835 EKONOMI. Penjaminan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

- 3 - PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas.

- 3 - PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 17 /POJK.05/2017 TENTANG PROSEDUR DAN TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DI BIDANG PERASURANSIAN DAN PEMBLOKIRAN KEKAYAAN PERUSAHAAN ASURANSI,

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Draft 10042014 OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2013 TENTANG PENJAMINAN PENYELESAIAN TRANSAKSI BURSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26/POJK.04/2014 TENTANG. Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26/POJK.04/2014 TENTANG. Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26/POJK.04/2014 TENTANG Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

Perusahaan adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah. 4. Perusahaan Asu

Perusahaan adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah. 4. Perusahaan Asu Yth. 1. Direksi Perusahaan Asuransi; 2. Direksi Perusahaan Asuransi Syariah; 3. Direksi Perusahaan Reasuransi; dan 4. Direksi Perusahaan Reasuransi Syariah, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA PSAK 28: Akuntansi Asuransi Kerugian (Revisi 2012) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 28 bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA PSAK 28: Akuntansi Asuransi Kerugian (Revisi 2012) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 28 bertujuan untuk 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 PSAK 28: Akuntansi Asuransi Kerugian (Revisi 2012) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 28 bertujuan untuk mengatur bagaimana perlakuan akuntansi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional merupakan upaya untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional merupakan upaya untuk mewujudkan masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional merupakan upaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

2016, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALAN

2016, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.303, 2016 KEUANGAN OJK. Asuransi. Reasuransi. Penyelenggaraan Usaha. Kelembagaan. Perusahaan Pialang. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI

TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 481/KMK.017/1999 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR.../POJK.05/2014 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR.../POJK.05/2014 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN -1- RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR.../POJK.05/2014 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH,

Lebih terperinci

TENTANG LAPORAN AKTUARIS TAHUNAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN REASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH

TENTANG LAPORAN AKTUARIS TAHUNAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN REASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH LAMPIRAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29 /SEOJK.05/2017 TENTANG LAPORAN AKTUARIS TAHUNAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN REASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, DAN PERUSAHAAN REASURANSI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peranan usaha perasuransian di Indonesia dalam menunjang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN BAB I KETENTUAN UMUM.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN BAB I KETENTUAN UMUM. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan : 1. Perusahaan

Lebih terperinci

Yth. 1. Perusahaan Asuransi; 2. Perusahaan Asuransi Syariah; 3. Perusahaan Reasuransi; dan 4. Perusahaan Reasuransi Syariah di tempat.

Yth. 1. Perusahaan Asuransi; 2. Perusahaan Asuransi Syariah; 3. Perusahaan Reasuransi; dan 4. Perusahaan Reasuransi Syariah di tempat. Yth. 1. Perusahaan Asuransi; 2. Perusahaan Asuransi Syariah; 3. Perusahaan Reasuransi; dan 4. Perusahaan Reasuransi Syariah di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15/SEOJK.05/2014

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang No.349, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. OJK. Tata Kelola. Terintegrasi. Konglomerasi. Penerapan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5627) PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional

Lebih terperinci

Rin cian , , , , Pembelian Piutang untuk Perusahaan Pembiayaan dan/atau Bank

Rin cian , , , , Pembelian Piutang untuk Perusahaan Pembiayaan dan/atau Bank Halaman 1 PERUSAHAAN ASURANSI JIWA LAPORAN POSISI KEUANGAN Bukan Konsolidasi Uraian Rin cian Saldo SAK Saldo SAP Saldo SAK Saldo SAP (1) (2) (3) (4) (5) (6) ASET Investasi Deposito Berjangka dan Sertifikat

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 5/POJK.05/2013

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 5/POJK.05/2013 PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 5/POJK.05/2013 TENTANG PENGAWASAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN I. UMUM Ketentuan Pasal 39 UU BPJS mengatur bahwa

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PERUSAHAAN ASURANSI

BAB I PERUSAHAAN ASURANSI BAB I PERUSAHAAN ASURANSI A. Pengertian Perusahaan Asuransi 1. Pengertian Perusahaan Kegiatan ekonomi yang berkembang akan membawa perkembangan pula dalam kegiatan bisnis, kegiatan ekonomi yang meningkat

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional

Lebih terperinci

RENCANA KORPORASI PERUSAHAAN ASURANSI UMUM / PERUSAHAAN REASURANSI / PERUSAHAAN ASURANSI JIWA 1 Tahun 2

RENCANA KORPORASI PERUSAHAAN ASURANSI UMUM / PERUSAHAAN REASURANSI / PERUSAHAAN ASURANSI JIWA 1 Tahun 2 Lampiran 7 Surat Edaran OJK Nomor.. Tanggal RENCANA KORPORASI PERUSAHAAN ASURANSI UMUM / PERUSAHAAN REASURANSI / PERUSAHAAN ASURANSI JIWA 1 Tahun 2 PT. XYZ (alamat perusahaan) ¹ Tulis salah satu sesuai

Lebih terperinci

Rin cia n , , , ,00 Pembelian Piutang untuk Perusahaan Pembiayaan dan/atau 113 Bank

Rin cia n , , , ,00 Pembelian Piutang untuk Perusahaan Pembiayaan dan/atau 113 Bank Halaman 1 PERUSAHAAN ASURANSI JIWA LAPORAN POSISI KEUANGAN Bukan Konsolidasi Uraian Rin cia n Triwulan II Triwulan IV Saldo SAK Saldo SAP Saldo SAK Saldo SAP (1) (2) (3) (4) (5) (6) ASET Investasi Deposito

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Nega

2 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Nega LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2015 KEUANGAN. OJK. Dana Pensiun. Investasi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5692) PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 3/POJK.05/2015

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk mewujudkan perekonomian

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15 /POJK.03/2017 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15 /POJK.03/2017 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15 /POJK.03/2017 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23/POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23/POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23/POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI I. UMUM Perkembangan industri perasuransian saat ini cukup pesat sehingga mendorong

Lebih terperinci

Rin cian , , , ,00 Pembelian Piutang untuk Perusahaan Pembiayaan dan/atau 113 Bank

Rin cian , , , ,00 Pembelian Piutang untuk Perusahaan Pembiayaan dan/atau 113 Bank Halaman 1 PERUSAHAAN ASURANSI JIWA LAPORAN POSISI KEUANGAN Bukan Konsolidasi Uraian Rin cian Triwulan I 2015 Triwulan IV 2014 Saldo SAK Saldo SAP Saldo SAK Saldo SAP (1) (2) (3) (4) (5) (6) ASET Investasi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.179, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESRA. Aset. Jaminan Sosial. Ketenagakerjaan. Pengelolaan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5724). PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/25/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/25/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/25/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 68-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 1999 PERBANKAN. LIKUIDASI. IZIN USAHA. PEMBUBARAN. LEMBAGA KEUANGAN. (Penjelasan dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA. EKONOMI. Jaminan Sosial. Kesehatan. Aset. Pengelolaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5482)

LEMBARAN NEGARA. EKONOMI. Jaminan Sosial. Kesehatan. Aset. Pengelolaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5482) No.239, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA EKONOMI. Jaminan Sosial. Kesehatan. Aset. Pengelolaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5482) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.399, 2015 KEUANGAN OJK. Reksa Dana. Terproteksi. Penjaminan. Indeks. Pedoman Pengelolaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5817).

Lebih terperinci