BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERCOBAAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERCOBAAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERCOBAAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetepi pada pasal 45 yang memakai batasan usia 16 tahun. Pasal 45 berbunyi: Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan suatu hukuman; atau memerintahkan supaya si tersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman; yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 497, , 514, 517, 519, 526, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan terdahulu tang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran itu atau suatu kejahatan, atau menghukum anak yang bersalah itu. 44 Ketentuan pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah dicabut dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan telah dirubah 44 Nashriana, Op. cit, hal. 4 46

2 47 pula dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tindak pidana pencurian dengan kekerasan itu oleh pembentuk undangundang telah diatur dalam pasal 365 KUHP Yang berbunyi sebagai berikut: 1. Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan terhadap orang-orang, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau untuk mempermudah pencurian tersebut, atau untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lainlain peserta dalam kejahatan dapat melarikan diri jika diketahui pada waktu itu juga, ataupun untuk menjamin penguasaan atas benda yang telah dicuri. 2. Dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun: 1. Jika tindak pidana itu dilakukan pada malam hari di dalam sebuah tempat kediaman atau diatas sebuah pekarangan tertutup yang di atasnya terdapat sebuah tempat kediaman, atau di atas jalan umum, atau diatas kereta api atau trem yang bergerak; 2. Jika tindak pidana itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama; 3. Jika untuk mendapat jalan masuk ke tempat kejahatan, orang yang bersalah telah melakukan pembongkaran atau pemanjatan atau telah memakai kunci-kunci palsu, suatu perintah palsu atau suatu seragam palsu; 4. Jika tindak pidana itu telah mengakibatkan luka berat pada tubuh. 3. Dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika tindak pidana itu telah mengakibatkan matinya orang. 4. Dijatuhkan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, jika tindak pidana itu mengakibatkan luka berat pada tubuh atau matinya orang, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang disertai dengan salah satu keadaan yang disebutkan dalam angka 1 dan Pencurian dengan kekerasan memang sangat berbeda dengan pencurian, namun subtansi yang ada dalam pencurian dengan kekerasan sama dengan pencurian. Letak perbedaan keduanya pada teknis dilapangan, pencurian dengan kekerasan ialah tindakan pencurian yang berlangsung saat diketahui sang korban, sedangkan pencurian identik dilakukan saat tidak diketahui korban. 45 P.A.F. Lamintang, Theo Lamintang, Delik-delik Kejahatan tehadap Harta Kekeyaan, (Jakarta, Sinar Grafika : 2009), hal

3 48 Pencurian dengan kekerasan dalam hukum positif atau KUHP dikategorikan dalam delik pencurian yang didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan yang ditujukan pada orang dengan tujuan untuk mempermudah dalam melakukan aksinya. 46 Menurut Prof. Simons, kekerasan itu tidak perlu merupakan sarana atau cara untuk melakukan pencurian, melainkan cukup jika kekerasan tersebut terjadi sebelum, selama, dan sesudah pencurian itu dilakukan dengan maksud seperti yang dikatakan di dalam rumusan pasal 365 ayat (1) KUHP yakni: a. Untuk mempersiapkan atau untuk memudahkan pencurian yang akan dilakukan; b. Jika kejahatan yang mereka lakukan itu op heterdaad betrapt atau diketahui pada waktu sedang dilakukan, untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lain-lain peserta kejahatan dapat melarikan diri; c. Untuk menjamin tetap mereka kuasai benda yang telah mereka curi. Kesimpulannya adalah bahwa tidak setiap pencurian disertai dengan kekerasan merupakan pencurian seperti yang dimaksud dalam pasal 365 ayat (1) KUHP, yakni misalnya pencurian pada malam hari dalam sebuah tempat kediaman yang disertai dengan kekerasan dengan maksud untuk dapat melakukan perbuatan melanggar susila dengan anak gadis pemilik rumah. Kejahatan tersebut bukan merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan dalam pasal 365 ayat (2) angka 1 KUHP, karena kekerasan yang dilakukan orang 46 pada : jum at, 24 Maret 2017 pukul WIB

4 49 dalam pasal ini juga harus dimaksud untuk maksud yang sama seperti yang ditentukan dalam pasal 365 ayat (1) KUHP. 47 Kekerasan atau ancaman kekerasan ini harus dilakukan pada orang, bukan kepada barangdan dapat dilakukan sebelumnya, bersamaan, atau setelah pencurian itu dilakukan, asal maksudnya untuk menyiapkan atau memudahkan pencurian itu dan jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya atau kawannya yang turut melakukan akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu teta ada di tangannya. Seseorang pencuri dengan merusak rumah, tidak masuk disini, karena kekerasan (merusak) itu tidak dikenakan pada orang. Seseorang copet setelah mencuri dimaki-maki oleh orang yang melihat dan karena sakit hati lalu memukul pada orang itu, tidak termasuk disini, sebab kekerasan (memukul) itu untuk membalas karena sakit hati, bukan untuk keperluaan tersebut di atas Seperti diketahui pencurian dengan kekerasan pada dasarnya identik dengan pencurian lainnya. Perbedaannya hanya terletak pada klasifikasi kekerasan atau ancaman kekerasan yang melekat pada perbuatan pencurian. Dengan demikian unsurunsurnya dapat dikatakan sama dengan Pasal 362 KUHPidana ditambah klasifikasi ancaman kekerasan. Unsur-unsur delik pencurian dengan kekerasan dapat kita lihat dalam Pasal 365 KUHPidana. Adapun unsur-unsur delik ini sama dengan yang dipunyai oleh Pasal 362 KUHP ditambah dengan tambahan unsurunsur sebagai berikut Pasal 365 ayat (1): 1. Unsur Pencurian a. Perbuatan mengambil; 47 P.A.F. Lamintang, Theo Lamintang, Op. cit, hal

5 50 b. Yang diambil harus sesuatu; c. Barang itu harus seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain; d. Maksud untuk memiliki dengan melawan hukum (hak); 2. Unsur didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang. 3. Unsur dengan maksud menyiapkan atau memudahkan pencurian itu. 48 B. Pengaturan Percobaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tentang syarat untuk dapat dipidananya pembuat percobaan kejahatan dirumuskan dalam pasal 53 ayat (1) yakni: Poging tot misdrijf, wanneer het voornemen des daders zich door een begin van uitvoering heeft goepenbaar en de uitvoering allen ten gevolge van omstandigheden van zijnen wil onafhankelijk, niet is voltooid. Oleh BPHN diterjemahkan: mencoba melakukan kejahatan pidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Jadi ada 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Adanya niat; 2. Adanya permulaan pelaksanaan; 3. Pelaksanaan tidak selesai yang bukan disebabkan kerena kehendaknya sendiri. 49 Perihal percobaan kejahatan merupakan ketentuan umum hukum pidana, yang dalam buku I bab IV terdiri dua pasal, 53 dan 54, dalam hal ini berbeda 48 has.ac.id/bitstream/handle/ /9977/skripsi%2520lengkap-pidana- JUNAEDI%2520AZIS.pdf%3F diakses pada : Sabtu, 25 Maret 2017 pukul WIB 49 Adami Chazawi, Op. cit, hal. 3

6 51 dengan pengulangan (residive) yang tidak mengenal ketentuan umum yang dimuat dalam buku I Pasal 53 merumuskan: 1. Mencoba melakukan kejahatan pidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendak sendiri; 2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga; 3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun; 4. Pidana tabahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. 50 C. Perlindungan Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Berdasarkan Undang- Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah sebagai upaya untuk melindungi anak dan hak-haknya agar bisa tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa kekerasan dan diskriminasi, hal ini diperlukan sebagai bentuk perlindungan terhadap anak yang melakukan suatu tindak pidana seperti yang kita diketahui bahwa perkembangan kejahatan yang semakin meningkat tentunya sangat memprihatinkan yang mana pelakunya tidak hanya orang dewasa akan tetapi juga dilakukan oleh anak, pada dasarnya perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak dengan orang dewasa tidak ada perbedaan hanya saja 50 Ibid, hal. 6

7 52 perbedaan itu terlihat dari pelakunya yang masih dibawah umur dan yang sudah dewasa. Selain itu juga niat/tujuan antara anak dan orang dewasa dalam melakukan suatu tindak pidana tentunya juga berbeda. Ketentuan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan batasan usia terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yakni: Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 51 Anak tetaplah anak, dengan segala ketidakmandirian yang ada mereka sangatlah membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dari orang dewasa di sekitarnya. Anak mempunyai berbagai hak yang harus diimplementasikan dalam kehidupan dan penghidupan mereka. 52 Lahirnya Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi peneguhan terkait dengan perlindungan terhadap anak di Indonesia. Undang-undang inilah yang memperkenalkan konsep Diversi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan masyarakat pada umumnya sebagai sebuah bentuk pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan 51 Dheny Wahyudhi, 2015, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan dengan Hukum melalui Pendekatan Restorative Justice, hal Nashriana, Op.cit, hal. 13

8 53 pidana ke proses di luar peradilan pidana demi mewujudkan keadilan restoratif (restorative justice). 53 Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Kasus yang sering muncul di dalam masyarakat yang melibatkan Anak sebagai pelakunya maka dalam penyelesaiannya dengan mekanisme atau tindakan diversi dapat memungkinkan Anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial lainnya. Penggunaan mekanisme diversi tersebut diberikan kepada para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga lainnya) dalam menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda atau dibawah umur tanpa menggunakan pengadilan formal. Penerapan Diversi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan Anak dalam suatu proses peradilan. Peradilan Anak merupakan sistem peradilan yang bersifat restorative justice dengan mengutamakan kebutuhan dan kepentingan dimasa yang akan datang. Stigmatisasi Anak nakal seperti yang terjadi selama ini tidak akan memberikan peluang kepada Anak untuk mendapatkan ruang tumbuh kembang yang lebih baik. Begitu juga penanganan Anak dipenjara, jangan sampai menimbulkan trauma dan tidak ditahan bersama orang dewasa. Resiko penanganan Anak di penjara menjadi tekanan yang sangat luar biasa bagi Anak setelah menjalani putusan hukum. Upaya mewujudkan criminal restorative justice system bagi Anak 53 Skripsi Novi Megawaty Aritonang, Penerapan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana pembunuhan berencana (studi putusan pengadilan negeri Stabat nomor 1/pid.sus.anak/2015/pn-stb), (Medan, USU : 2016) hal. 38

9 54 yang berhadapan dengan hukum, diperlukan payung hukum antar pihak terkait agar penanganan komprehensif. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan. Diversi dilakukan untuk menemukan suatu bentuk penyelesaian yang memberikan perlindungan terhadap Anak dengan mengedepankan prinsip the best interest of the child. 54 Susan Sharpe mengemukakan ada lima prinsip dalam restorative justice, yaitu: 1. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus. Dalam hal ini korban dan pelaku harus dilibatkan secara aktif dalam perundingan untuk menemukan penyelesaian secara konprehensif. Selain itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang sedang merasa terganggu keamanan dan ketertibannya oleh pelaku untuk ikut duduk bersama memecah persoalan ini; 2. Restorative justice mencari solusi untuk mengembalikan dan menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini termasuk juga upaya penyembuhan atau pemulihan korban atas tindak pidana yang menimpanya; 3. Restorative justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus menunjukkan rasa penyesalan dan mengakui semua kesalahannya serta 54 ac.id/9611/10/bab%2520ii.pdf+&cd=5&hl=en&ct=clnk, diakses pada : jum at, 24 Maret 2017 pukul WIB

10 55 menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain; 4. Restorative justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku serta mereintegrasikan kembali keduanya dalam kehidupan masyarakat secara normal. Keduanya harus dibebeskan dari masa lalunya demi masa depan yang lebih cerah; 5. Restorative justice memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk mencegah supaya tindakan kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat, tetapi kejahatan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Faktor korelatif kriminogen lebih cenderung berakar dari persoalan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, seperti faktor ekonomi, sosial budaya dan bukan bersumber pada diri pelaku, oleh karena itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan diposisikan sesuai dengan fungsinya dalam kehidupan masyarakat. Konsep Diversi dan restorative justice seperti dikemukakan di atas bisa dijadikan sebagai salah satu tujuan pemidanaan sebagai upaya penyelesaian kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan dengan memberikan rasa tanggung jawab semua pihak, termasuk masyarakat itu sendiri. Selain itu juga bisa

11 56 memberikan nuansa edukatif kepada korban dan pelaku untuk saling menghargai terhadap sesama dalam mencapai kebahagian kehidupan bersama. 55 Pasal 2 Undang-Undang Nomor. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa, Sistem Peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas: a. perlindungan; b. keadilan; c. nondiskriminasis; d. kepentingan terbaik bagi anak; e. penghargaan terhadap pendapat anak f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak; g. pembinaan dan pembimbingan anak; h. proporsional; i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan j. penghindaran pembalasan. 56 Pasal 3 Undang-Undang Nomor. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa, setiap Anak dalam Proses Peradilan berhak: a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b. dipisahkan dari orang dewasa; c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. melakukan kegiatan rekreasional; e. bebes dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam yang paling singkat; h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i. tidak dipublikasikan identitasnya; j. memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh Anak; k. memperoleh advokasi sosial; l. memperoleh kehiduan pribadi; m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; 55 Marlina, Op. cit, hal Pasal 2 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

12 57 n. memperoleh pendidikan; o. memperoleh pelayanan kesehatan; dan p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 57 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga menyatakan, Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak: a. mendapat pengurangan masa pidana; b. memperoleh asimilasi; c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga; d. memperoleh pembebasan bersyarat; e. memperoleh cuti menjelang bebas; f. memperoleh cuti bersyarat; dan g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 58 Pasal 5 ayat Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Restoratif; 2. Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini; b. Persidangan Anak yang dilakukan oleh Pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. 3. dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi Pasal 3 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 58 Pasal 4 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 59 Pasal 5 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

13 58 Terhadap anak-anak yang kebetulan berhadapan dengan hukum, menurut Arief Gosita ada beberapa hak-hak yang harus diperjuangkan pelaksanaan secara bersama-sama, yaitu: 1. Sebelum persidangan a. hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah; b. hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja (ancaman, penganiayaan, cara, dan tempat penahanan misalnya); c. hak untuk mendapatkan pendamping, penasihat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo; d. hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap dirinya (transport, penyuluhan dari yang berwajib) Selama persidangan a. hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan kasusnya; b. hak mendapat pendamping, penasihat selama persidangan; c. hak untuk mendapat fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai dirinya (transport, perawatan, kesehatan); d. hak untuk mendapat perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial 60 Nashriana, Op, cit, hal 20

14 59 (berbagai macam ancaman, penganiayaan, cara, dan tempat-tempat penahanan misalnya); e. hak untuk menyatakan pendapat; f. hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang menimbulkan penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHP (pasal 1 ayat 22); g. hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/penghukuman yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya; h. hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya Setelah persidangan a. hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan ide mengenai Pemasyarakatan; b. hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya); c. hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang tuanya, keluarganya Ibid, hal Ibid, hal. 23

15 60 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, menyatakan, bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana Tahap Proses penyidikan Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa: 1. Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. 2. Dalam hal dianggap perlu, penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, pekerja sosial Profesional atau tenaga Kesejahteraan sosial dan tenaga ahli lainnya. 3. Dalam hal melalukan pemeriksaan terhadap anak korban dan anak saksi, penyidik wajib meminta laporan sosial dari pekerja sosial Profesional atau tenaga Kesejahteraan sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. 64 Bertolak dari hal tersebut, maka pada waktu pemeriksaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, seorang penyidik disarankan tidak memakai seragam dinas dan dalam tugasnya harus melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik, hal ini sesuai dengan pernyataan di dalam pasal 22 Undang- 63 Pasal 1 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 64 Pasal 27 Undang-undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

16 61 Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa penyidik pada saat melakukan penyidikan terhadap anak yang diduga pelaku tindak pidana, tidak memakai toga atau atribut kedinasan, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penyidik anak dalam melakukan tugasnya harus menggunakan pendekatan secara simpatik, dan tidak melakukan tindakan pemaksaan dam intimidasi, hal ini bertujuan agar menghindari ketakutan dan trauma pada anak, selain itu agar dengan pakaian biasa dapat menjadikan persidangan berjalan dengan lancar dan penuh kekeluargaan. 65 Perkara anak dapat diajukan ke sidang pengadilan sesuai pasal 20 Undang- Undang No. 11 tahun 2012 adalah perkara anak yang berumur 12 tahun dan belum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun si Anak tetap diajukan ke sidang Anak. Namun pasal 24 Undang Undang Nomor 11 tahun 2012 masih memungkinkan dilakukan penyidikan anak yang berumur dibawah 12 tahun, namun berkas perkaranya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan dipersidangan Proses Penangkapan dan Penahanan Pasal 30 ayat (1) sampai (5) menyatakan bahwa: 1. Penangkapan terhadap anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam. 65 Skripsi Novi Megawaty Aritonang, Op,cit, hal diakses pada : Senin, 27 Maret 2017 pukul WIB

17 62 2. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruangan pelayanan khusus anak. 3. Dalam hal ruangan pelayanan khusus anak belum ada wilayah yang bersangkutan, anak dititipkan di LKPS. 4. Penangkapan terhadap anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya. 5. Biaya bagi setiap anak yang ditempatkan di LKPS dibebankan pada anggaran kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. 67 Asas Praduga tak bersalah pada saat melakukan tindakan penangkapan harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan martabat anak. Anak juga harus dipahami sebagai orang yang belum mampu memahami masalah hukum yang terjadi atas dirinya. Melakukan tindakan penangkapan terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana tersebut harus didasarkan pada bukti yang cukup dan jangka waktunya terbatas yaitu hanya dalam satu hari. Pada saat melakukan penangkapan, hak-hak anak sebagai tersangka haruslah juga diperhatikan, seperti hak mendapatkan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang. 68 Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga 67 Pasal 30 Undang-undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 68 Maidin Gultom, 2014, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung, Refika Aditama : 2014) hal. 122

18 63 melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum. 69 Pasal 33 Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan penahanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 untuk kepentingan penyidik dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum atas permintaan penyidik paling lama 8 (delapan) hari. Pejabat yang melakukan penangkapan terhadap anak wajib memberitahukan kepada Anak dan orang tua/wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum, dan untuk menjaga proses tetap berjalan sesuai hukum, dalam hal pejabat tidak melakukan pemberitahuan sebagaimana yang mestinya, maka penangkapan terhadap Anak batal demi hukum. 3. Tahap Penuntutan Setelah Penuntut Umum menerima berkas perkara dari Penyidik dan berkas perkara tersebut telah dinyatakan lengkap, maka penuntut umum kemudian melakukan tindakan yang disebut dengan penuntutan. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang nline.com/klinik/detail/lt53f55d0f46878/hal-hal-penting-yang-diatur-dalam-uu-sistem-peradilanpidana-anak+&cd=1&hl=id&ct=clnk diakses pada : Senin, 27 Maret 2017 pukul WIB 70 /wp-content/uploads/2013/12/studi-atas-praktik-peradilan-anak-di- Jakarta.pdf+&cd=6&hl=id&ct=clnk diakses pada : Senin, 27 Maret 2017 pukul WIB

19 64 berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan. 71 Proses peradilan anak, struktur pidana yang selanjutnya berperan adalah Jaksa/Penuntut Umum anak, artinya yang berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap anak yang didakwa melakukan tindak pidana adalah Penuntut Umum Anak. Ketentuan ini tertuang dalam pasal 53 Undang-Undang Pengadilan Anak. 72 Pasal 41 Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Penuntutan terhadap perkara anak dilakukan oleh Penuntut Umum ditetapkan berdasarkan keputusan Jaksa Agung atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Pasal 42 Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi, dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kepakatan Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan, dan dalam hal gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan perkara ke Pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan. 4. Tahap Persidangan Proses persidangan merupakan proses akhir dari rangkaian proses seseorang yang tersangkut perkara, karena di dalam persidanganlah akan dibuktikan apakah perbuatan yang dilakukan seseorang terbukti atau tidak diakses pada : Senin, 27 Maret 2017 pukul WIB 72 Nashriana, Op, cit, hal. 129

20 65 Penuntut umumlah dalam proses pembuktian di persidangan yang akan berusaha meyakinkan hakim akan kesalahan seseorang (terdakwa) dengan mengajukan alatalat bukti, baik berupa keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Untuk persidangan anak yang berkonflik dengan hukum, Undangundang Pengadilan Anak dan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak mensyaratkan agar dilakukan oleh hakim anak. Sedangkan hakim anak disini ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi. Adapun syarat untuk dapat ditetapkan menjadi hakim anak, meliputi telah berpengalaman sebagai hakim di lingkungan peradilan umum serta mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. 73 Pemeriksaan sidang Anak pada dasarnya dilakukan dengan Hakim tunggal dengan sidang tertutup, dengan Hakim tunggal, bertujuan agar sidang anak dapat diselesaikan dengan cepat. Memang pada prinsipnya bahwa penyelesaian perkara anak dapat dilakukan dengan waktu singkat/cepat agar anak tidak berlama-lama mendapat perlakuan terkait pemberian sanksi terhadap kenakalan yang telah dilakukannya. Perkara anak yang disidangkan dengan hakim tunggal adalah perkaraperkara pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau ke bawah dan pembuktiannya mudah atau tidak sulit. Apabila tindak pidananya diancam dengan hukuman penjara di atas lima tahun dan pembuktiannya sulit, maka berdasarkan 73 pada : Senin, 27 Maret 2017 pukul WIB

21 66 pasal 11 ayat (2) Undang-undang Pengadilan Anak, perkara tersebut diperiksa dengan Hakim Majelis. 74 Menurut Lilik Mulyadi, dengan diaturnya prinsip hakim tunggal dalam sidang anak, memunculkan banyak hikmah positif yang diambil, yang diuraikan pada yang berikut: Pertama dengan tibanya abad XXI di mana timbulnya kebutuhan mendesak tentang transparansi peradilan, maka diperlukan kesiapan mental, profesionalisme dan moral dari aparat pengadilan pada umumnya serta hakim pada khususnya. Konsekuensi logis aspek ini tentu dituntut adanya: sumber daya manusia (SDM) hakim yang memadai, pintar, bijaksana, tangguh dan mumpuni dan bermoral baik. Untuk itu merupakan suatu keharusan tumbuhnya jiwa profesionalisme hakim guna meningkatkan secara teoretik dalam hakim majelis terbentuk polarisasi pemikiran sehingga putusan hakim terlihat lebih baik, sempurna dan lengkap. Akan tetapi dalam aspek pengalaman, ternyata belum tentu demikian. Salah satu aspek negatif hakim majelis adalah kurang timbulnya jiwa kompetitif hakim untuk belajar, oleh karena kebanyakan menggantungkan kepada kepiawaian Ketua Majelis yang dalam praktik memang ditunjuk hakim senior selain ketua/wakil ketua Pengadilan Negeri. Bagaimana kalau hakim majelis kurang piawai, dengan diterapkannya hakim tungal maka secara teoretik dan praktik hakim dituntut, dipacu dan mau tidak mau harus lebih banyak memperdalam ilmu hukum, belajar pengalaman secara langsung memimpin 74 Nashriana, Op, cit, hal. 141

22 67 sidang sendirian sejak awal, sehingga masyarakat pencari keadilan dapat menilai lebih objektif kemampuan hakim tersebut. Kedua, dengan diterapkannya hakim tunggal, maka eksaminasi hakim dapat dilakukan secara lebih cepat, benar dan terarah. Oleh karena putusan hakim yang dieksaminasi tersebut memang benar sesuai dengan kemampuan hakim bersangkutan. Apabila dilakukan eksaminasi dengan tetap mempergunakan hakim majelis maka dikhawatirkan kurang tampak kemampuan hakim yang sebenarnya karena kekurang jelasan siapa yang membuat putusan hakim majelis tersebut. Ketiga, argumentasi diterapkannya hakim majelis, akan mempersempit, mempersulit dan meminimalisasikan hakim nakal rasanya kuarng tepat dan seluruhnya belum tentu benar oleh karena faktor ini tidak dapat ditumpahkan kepada hakim semata. Selain itu, eksistensi hakim nakal tersebut ternyata senyatanya hidup, tumbuh dan berkembang karena aspek lingkungan, moral, sosial dan lain sebagainya. Tegasnya eksistensi hakim nakal juga tergantung kepada moral pihak berperkara pada perkara perdata, dan juga tergantung pada moral jaksa penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum. Singkatnya, fenomena tersebut kurang memungkinkan timbul apabila elemen itu tidak bersatu mendukung. Keempat, dengan diterapkannya hakim tunggal maka diharapkan baik langsung maupun tidak langsung dapat lebih mempercepat proses penanganan perkara sehingga peradilan dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Di tingkat banding maupun di tingkat kasasi, hakim yang memeriksa dan

23 68 memutus perkara anak nakal sama dengan di tingkat peradilan pertama, yaitu dengan hakim tunggal Ibid, hal

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK A. Tindak Pidana Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Diversi 1. Pengertian Diversi Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE. Oleh : Dheny Wahyudhi 1. Abstrak

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE. Oleh : Dheny Wahyudhi 1. Abstrak PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE Oleh : Dheny Wahyudhi 1 Abstrak Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam proses peradilan

Lebih terperinci

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Persamaan Delik Pembunuhan Tidak Disengaja Oleh Anak di Bawah Umur Menurut

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016 SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 1 Oleh: Karen Tuwo 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No: 164/Pid.B/2009/PN.PL) SAHARUDDIN / D

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No: 164/Pid.B/2009/PN.PL) SAHARUDDIN / D PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No: 164/Pid.B/2009/PN.PL) SAHARUDDIN / D 101 07 502 ABSTRAK Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 24 BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK A. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan semata, hal ini berdasarkan penjelasan umum tentang sistem pemerintahan negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA www.legalitas.org UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5332 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

Lebih terperinci

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PROSES PERADILAN ANAK DI KOTA JAYAPURA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOmor 11 TAHUN 2012

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PROSES PERADILAN ANAK DI KOTA JAYAPURA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOmor 11 TAHUN 2012 PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PROSES PERADILAN ANAK DI KOTA JAYAPURA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOmor 11 TAHUN 2012, SH.,MH 1 Abstrak : Peranan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Dalam Proses Peradilan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS POLRESTA SURAKARTA) SKRIPSI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap sejumlah responden yang akan memberikan gambaran

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci

Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kota Pematangsiantar)

Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kota Pematangsiantar) 1 Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kota Pematangsiantar) Novelina M.S. Hutapea* *Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, untuk. mewujudkannya diperlukan upaya perlindungan terhadap anak.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, untuk. mewujudkannya diperlukan upaya perlindungan terhadap anak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat manusia seutuhnya, sebagai generasi muda penerus cita-cita

Lebih terperinci

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice

Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice NOVELINA MS HUTAPEA Staf Pengajar Kop.Wil. I dpk Fakultas Hukum USI P.Siantar Ringkasan Undang-undang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan proses modernisasi yang membawa dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif yang timbul adalah semakin maju dan makmur kondisi ekonomi,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERAMPASAN PAKSA SEPEDA MOTOR

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERAMPASAN PAKSA SEPEDA MOTOR BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERAMPASAN PAKSA SEPEDA MOTOR A. Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 362 KUHP mengatur tentang tindak pidana pencurian biasa yang berbunyi 51

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN. BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.BLB A. Tindak Pencurian Kendaraan Bermotor yang Dilakukan

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN PENYIDIK DALAM PROSES PENYIDIKAN PIDANA ANAK. 2.1 Prosedur Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana

BAB II KEWENANGAN PENYIDIK DALAM PROSES PENYIDIKAN PIDANA ANAK. 2.1 Prosedur Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana BAB II KEWENANGAN PENYIDIK DALAM PROSES PENYIDIKAN PIDANA ANAK 2.1 Prosedur Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana Dalam sistem hukum Indonesia, hukum pidana dapat diartikan secara sempit dan dapat diartikan

Lebih terperinci

OLEH ANAK BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

OLEH ANAK BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PROSES PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN Ependi Abstract The process of settlement of the criminal acts committed by the Child by Act No. 11 of 2012 is done by diversion (when criminal offenses

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan yang teratur, aman dan tertib, demikian juga hukum pidana yang dibuat oleh manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus pembangunan, yaitu generasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT Modul Penanganan ABH di Bapas merupakan bagian dari Modul Penyuluhan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum terkait diversi dan keadilan restoratif bagi petugas

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak 1. Indonesia Undang-undang yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa dimasa yang

I. PENDAHULUAN. yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa dimasa yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa dimasa yang akan datang,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK TERSANGKA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Proses Persidangan Anak Undang-undang sistem peradilan pidana anak menjelaskan bahwa upaya hakim dalam menangani perkara anak nakal di luar

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN Diajukan Oleh : Nama : Yohanes Pandu Asa Nugraha NPM : 8813 Prodi : Ilmu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB II PROSES PENANGANAN YANG EDUKATIF TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

BAB II PROSES PENANGANAN YANG EDUKATIF TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BAB II PROSES PENANGANAN YANG EDUKATIF TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Anak harus dididik untuk dapat bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya, terlebih

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN 1 TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN Suriani, Sh, Mh. Fakultas Hukum Universitas Asahan, Jl. Jend Ahmad Yani Kisaran Sumatera Utara surianisiagian02@gmail.com ABSTRAK Pasal

Lebih terperinci

Oleh Lily I. Rilantono (Ketua Umum YKAI)

Oleh Lily I. Rilantono (Ketua Umum YKAI) Oleh Lily I. Rilantono (Ketua Umum YKAI) Banyak anak-anak berkonflik dengan hukum dan diputuskan masuk dalam lembaga pemasyarakatan. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1997 pengadilan negeri

Lebih terperinci