Muhammad Alpian Ramli & Ditha Wiradiputra 1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Muhammad Alpian Ramli & Ditha Wiradiputra 1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia"

Transkripsi

1 Analisis Putusan Kasasi No. 242 K/Pdt.Sus/2012 Mengenai Pengadaan Lokomotif oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan General Electric (GE) Transportation Ditinjau dari Hukum Persaingan Usaha Muhammad Alpian Ramli & Ditha Wiradiputra 1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia ABSTRAK Dalam meningkatkan pelayanan transportasi kepada masyarakat, PT Kereta Api Indonesia (Persero) senantiasa memperbarui lokomotif-lokomotif miliknya dengan cara membeli dari General Electric (GE) Transportation secara langsung (Penunjukan Langsung). Namun, pada pengadaan lokomotif tahun 2009, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan bahwa kedua perusahaan tersebut telah melakukan persekongkolan tender. Setelah dilakukan upaya hukum keberatan, putusan KPPU tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Bandung dan pada tingkat kasasi, permohonan kasasi KPPU ditolak oleh Mahkamah Agung. Pertimbangan majelis hakim adalah karena pengadaan lokomotif ini bukan termasuk tender sehingga tidak terikat pada Pasal 22 UU No. 5 Tahun Selain itu pengadaan lokomotif ini sesuai dengan Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2008 yang memperbolehkan BUMN melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan barang/jasa. Penelitian ini membahas aspek hukum penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa ditinjau dari hukum persaingan usaha sehingga penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan regulasi terkait hukum persaingan usaha. Di akhir penelitian, Penulis berkesimpulan bahwa PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan General Electric (GE) Transportation tidak terbukti melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 karena pengadaan lokomotif ini bukan termasuk tender dan telah dilakukan sesuai Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2008. Kata kunci: Penunjukan Langsung, Persekongkolan Tender, Pengadaan Lokomotif, Hukum Persaingan Usaha ABSTRACT In ordert to improve public transport services, PT Kereta Api Indonesia (Persero) always renews his locomotives by buying them from General Electric (GE) Transportation directly (Direct Appointment). However, in the locomotive procurement in 2009, Commission the Supervision of Business Competition (KPPU) condemned that both companies had made bid rigging. After objection, the verdict was canceled by the Bandung District Court, and the KPPU s aplication was also rejected by the Supreme Court on cassation level. Consideration of the judges was because the procurement was 1 Muhammad Alpian Ramli adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya di hadapan sidang penguji. Ditha Wiradiputra adalah Dosen Fakultas Hukum UI yang memberikan bimbingan kepada Alpian dalam menulis skripsinya yang berjudul Analisis Putusan Kasasi No. 242 K/Pdt.Sus/2012 Mengenai Pengadaan Lokomotif oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan General Electric (GE) Transportation Ditinjau dari Hukum Persaingan Usaha. Tulisan ini merupakan ringkasan dari Skripsi yang dimaksud. 1

2 not a tender so that it was not bound by Article 22 of Law No. 5 of Besides this locomotive procurement was in accordance with the SOEs Ministerial Regulation No. Per-05/MBU/2008 allowing SOEs perform direct appointment in the procurement of goods/services. This research discussed the legal aspects of direct appointment in the procurement of goods and services in terms of antitrust law so that this research method used a normative juridical regulations relating to antitrust law. At the end of the study, the author concluded that PT Kereta Api Indonesia (Persero) and General Electric (GE) Transportation was not proven to have violated Article 22 of Law No. 5 of 1999 because the locomotive procurement was not tender and had been performed in accordance with the SOEs Ministerial Regulation No. Per-05/MBU/2008. Key words: Direct Procurement, Bid Rigging, Locomotive Procurement, Antitrust Law A. PENDAHULUAN Pengadaan barang dan jasa merupakan kegiatan yang sering dan rutin dilakukan, baik di lingkungan pemerintahan maupun di lingkungan swasta. Tujuannya adalah untuk memperoleh barang/jasa yang dibutuhkan Instansi Pemerintah (atau swasta jika yang melakukan pengadaan barang/jasa adalah pihak swasta) dalam jumlah yang cukup, dengan kualitas dan harga yang dapat dipertanggungjawabkan, dalam waktu dan tempat tertentu, secara efektif dan efisien, menurut ketentuan dan tata cara yang berlaku. 2 Untuk pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintahan, pengaturannya mengacu pada Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sedangkan untuk lingkungan swasta pengaturan pengadaan barang dan jasa mengacu kepada keputusan direksi perusahaan swasta tersebut. 3 Namun pada tanggal 25 Juni 2007, Kementerian BUMN mengeluarkan Surat Edaran bernomor S-298/S.MBU/2007 yang ditujukan kepada seluruh jajaran direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN untuk mengabaikan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Surat Edaran tersebut dinyatakan bahwa BUMN ketika melaksanakan tender tidak terikat pada Keppres No. 80 Tahun 2003, melainkan dapat membuat peraturan pengadaan sendiri dengan mengacu pada ketentuan Pasal 2 Presiden, Keputusan Presiden Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, Keppres No. 18 Tahun 2000, Pasal 2 ayat (2). 3 Kementerian BUMN, Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang Dan Jasa Badan Usaha Milik Negara, Permen BUMN Nomor Per- 05/MBU/2008, bagian Menimbang huruf b. 2

3 99 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN. 4 Setahun kemudian, Kementerian BUMN mengeluarkan Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peraturan ini menjadi payung hukum bagi semua BUMN dalam melakukan proyek pengadaan barang dan jasa yang tidak menggunakan dana dari APBN/APBD. 5 Melalui peraturan ini, BUMN dengan syarat-syarat tertentu diperbolehkan untuk menunjuk langsung (penunjukan langsung) seorang atau lebih pelaku usaha untuk menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan oleh BUMN tanpa melalui proses tender terlebih dahulu. 6 Namun, ketentuan ini banyak menimbulkan permasalahan dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN karena sangat rentan terjadinya persekongkolan tender yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Salah satu contoh kasus yang terkait dengan ketentuan penunjukan langsung BUMN ini adalah kasus pengadaan lokomotif oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan General Electric (GE) yang terjadi pada tahun Melihat latar belakang tersebut, penelitian ini perlu dilakukan karena ada beberapa hal yang secara hukum dapat ditelaah dan dikaji lebih jauh seperti adanya peraturan yang belum banyak diketahui yaitu Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2008 yang memperbolehkan BUMN melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan barang/jasa, adanya penafsiran yang berbeda dari pihak KPPU maupun dari para pelaku usaha mengenai penunjukan langsung dalam pengadaan barang/jasa, serta adanya pertimbangan hukum yang berbeda di tingkat Pengadilan Negeri maupun di Mahkamah Agung sehingga mengakibatkan batalnya putusan KPPU. a. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, ada beberapa rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana aspek hukum penunjukan langsung yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) kepada General Electric (GE) dalam pengadaan lokomotif ditinjau dari perspektif hukum persaingan usaha? 4 Kementerian BUMN, Surat Edaran Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN, SE No. S- 298/S.MBU/ Kementerian BUMN, Permen BUMN No.Per-05/MBU/2008, op cit, Psl.4. 6 Ibid, Ps. 5 ayat (2) huruf c jo. Ps. 9 ayat (3). 3

4 2. Apakah pengadaan lokomotif tersebut dapat dikategorikan sebagai tender dan terikat oleh Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai persekongkolan tender? 3. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan kasasi No.242K/Pdt.Sus/2012 mengenai pengadaan lokomotif ini sehingga menyebabkan dibatalkannya putusan KPPU? b. Tujuan Penelitian Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah dan pokok permasalahan, penelitian ini mempunyai tujuan, yaitu: 1. Untuk mengetahui aspek hukum penunjukan langsung yang dilakukan oleh BUMN khususnya PT Kereta Api Indonesia (Persero) kepada General Electric (GE) dalam pengadaan lokomotif. 2. Untuk mengetahui apakah pengadaan lokomotif yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan General Electric (GE) Transportation melalui penunjukan langsung dapat dikategorikan sebagai tender dan terikat oleh Pasal 22 UU No. 5 Tahun Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan Kasasi No.242 K/Pdt.Sus/2012 sehingga menyebabkan dibatalkannya putusan KPPU. B. TINJAUAN TEORITIS a. Pengertian Pengadaan Barang dan Jasa Dalam lingkungan pemerintah, pengadaan barang dan jasa diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang kemudian diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 dan diubah kembali oleh Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun Dalam Perpres tersebut, pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa. 7 Sedangkan dalam lingkungan BUMN, pengaturan pengadaan barang dan jasa dapat tunduk pada Perpres No. 54 Tahun 2010 atau tidak. Apabila pengadaan barang atau jasa 7 Presiden, Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Perpres No. 54 Tahun 2010, Ps. 1 angka 1. 4

5 tersebut menggunakan dana dari APBN/APBD, baik sebagian ataupun seluruhnya, maka pengaturannya berdasarkan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 yang telah dicabut dengan Peraturan Presiden No. 54 Tahun Sedangkan jika tidak menggunakan APBN/APBD maka pengaturan pengadaan barang di lingkungan BUMN berdasarkan Peraturan Menteri BUMN No. 5/MBU/ Dalam Peraturan Menteri tersebut, pengadaan barang/jasa didefinisikan sebagai Pengadaan barang dan jasa adalah kegiatan pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara yang pembiayaannya tidak menggunakan dana langsung dari APBN/APBD. 9 b. Cara Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN Berdasarkan Peraturan Menteri BUMN, cara pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain tetapi tidak terbatas pada: 1. pelelangan terbuka, atau seleksi terbuka untuk jasa konsultan, yaitu diumumkan secara luas melalui media massa guna memberi kesempatan kepada Penyedia Barang dan Jasa yang memenuhi kualifikasi untuk mengikuti pelelangan; 2. pemilihan langsung, atau seleksi langsung untuk pengadaan jasa konsultan, yaitu pengadaan barang dan jasa yang ditawarkan kepada beberapa pihak terbatas sekurangkurangnya 2 (dua) penawaran; 3. penunjukan langsung, yaitu pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara langsung dengan menunjuk satu penyedia barang dan jasa atau melalui beauty contest; 4. pembelian langsung, yaitu pembelian terhadap barang yang terdapat di pasar, dengan demikian nilainya berdasarkan harga pasar. 10 c. Tender Dalam hukum persaingan usaha, salah satu hal yang sering menjadi obyek persekongkolan adalah tender. Pengertian tender dapat ditemukan dalam berbagai sumber seperti: 1. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (yang mencabut Keppres No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang/jasa Instansi Pemerintah), tender atau pengadaan barang/jasa adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai 8 Kementerian BUMN, Permen BUMN No. 5/MBU/2008, op cit, bagian Menimbang huruf b. 9 Ibid, Ps 1 angka Kementerian BUMN, Permen BUMN Nomor Per-05/Mbu/2008, op cit, Ps. 5 ayat (2). 5

6 dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa Dalam Penjelasan Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999, tender adalah tawaran mengajukan sebuah harga untuk memborong suatu pekerjaan, maupun untuk pengadaan barangbarang atau untuk menyediakan jasa-jasa tertentu. 12 d. Persekongkolan Tender Persekongkolan tender secara khusus diatur dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan /atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena itu, yang dilarang dalam Pasal tersebut adalah persekongkolan (conspiracy dan collusion) antara pelaku usaha dengan pihak lain dalam penentuan pemenang tender, yakni melalui pengajuan untuk menawarkan harga dalam memborong suatu pekerjaan atau juga pengajuan penawaran harga untuk pengadan barang dan jasa-jasa tertentu. Akibat dari persekongkolan dalam menentukan pemenang tender, seringkali timbul suatu kondisi barrier to entry yang tidak menyenangkan/merugikan bagi pelaku usaha lain yang samasama mengikuti tender (peserta tender) yang pada gilirannya akan mengurangi bahkan meniadakan persaingan itu sendiri. e. Penunjukan Langsung Penunjukan langsung merupakan salah satu cara pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam Peraturan Menteri BUMN No. 5/MBU/ Dalam regulasi tersebut, didefinisikan Penunjukan Langsung yaitu sebagai cara pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara langsung dengan menunjuk satu penyedia barang dan jasa atau melalui beauty contest. 14 Pasal 9 Peraturan Menteri BUMN No. 5/MBU/2008 jo. Peraturan Menteri BUMN No.15/MBU/2012 mengatur bahwa penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN dapat dilakukan apabila memenuhi minimal salah satu dari persyaratan sebagai berikut: 1. Barang dan jasa yang dibutuhkan bagi kinerja utama perusahaan dan tidak dapat ditunda keberadaannya (business critical asset); 2. Penyedia Barang dan Jasa dimaksud hanya satu-satunya (barang spesifik); 11 Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Keppres No. 80 Tahun 2003, LN Tahun 2003 No Indonesia, UU Persaingan Usaha, op cit, Psl Kementerian BUMN, Peraturan Menteri BUMN No. 5/MBU/2008, op cit, Psl Ibid, Psl. 5 ayat (2) huruf c. 6

7 3. Barang dan jasa yang bersifat knowledge intensive dimana untuk menggunakan dan memelihara produk tersebut membutuhkan kelangsungan pengetahuan dari Penyedia Barang dan Jasa; 4. Bila pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa dengan menggunakan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan b telah dua kali dilakukan namun peserta pelelangan atau pemilihan langsung tidak memenuhi kriteria atau tidak ada pihak yang mengikuti pelelangan atau pemilihan langsung, sekalipun ketentuan dan syarat-syarat telah memenuhi kewajaran; 5. Barang dan jasa yang dimiliki oleh pemegang hak atas kekayaan intelektual (HAKI) atau yang memiliki jaminan (warranty) dari Original Equipment Manufacture; 6. Penanganan darurat untuk keamanan, keselamatan masyarakat, dan aset strategis perusahaan; 7. Barang dan jasa yang merupakan pembelian berulang (repeat order) sepanjang harga yang ditawarkan menguntungkan dengan tidak mengorbankan kualitas barang dan jasa; Penanganan darurat akibat bencana alam, baik yang bersifat lokal maupun nasional; 8. Barang dan jasa lanjutan yang secara teknis merupakan satu kesatuan yang sifatnya tidak dapat dipecah-pecah dari pekerjaan yang sudah dilaksanakan sebelumnya; 9. Penyedia Barang dan Jasa adalah BUMN dan/atau Anak Perusahaan sepanjang barang dan/atau jasa yang dibutuhkan merupakan produk atau layanan dari BUMN atau Anak Perusahaan dimaksud dengan ketentuan apabila BUMN dan/atau Anak Perusahaan yang memproduksi atau memberi pelayanan yang dibutuhkan lebih dari satu, maka harus dilakukan pemilihan langsung terhadap BUMN dan/atau Anak Perusahaan tersebut. 15 C. METODE PENELITIAN Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang menggunakan asas-asas hukum, sistematik hukum, serta dengan mensinkronisasi beberapa peraturan perundang-undangan yang ada 16. Alasannya adalah karena pengadaan lokomotif yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini akan ditinjau 15 Kementerian BUMN, Peraturan Menteri BUMN No. 5/MBU/2008, op cit, Psl Sri Mamudji, dkk Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm

8 dari perpektif hukum persaingan usaha dengan peraturan perundang-undangan terkait seperti UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara. Sedangkan berdasarkan tempat diperolehnya data, penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan. 17 Data sekunder yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan Indonesia seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia. Dalam penelitian ini akan digunakan bahan hukum primer seperti UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara, dan lainnya. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, yang antara lain adalah teori para sarjana, buku, skripsi, tesis, penelusuran internet, artikel ilmiah, jurnal, hasil seminar, bahan hasil penelitian dari universitas, surat kabar, dan makalah. Bahan hukum sekunder yang akan digunakan seperti buku berjudul Hukum Persaingan Usahan: Antara Teks dan Konteks karangan Andi Fahmi Lubis dan kawan-kawan, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha) karangan Budi Kagramanto, dan lainnya. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya ensiklopedia atau kamus. Salah satu bahan hukum tersier yang akan Penulis gunakan adalah kamus hukum Black s Law Dictionary. D. PEMBAHASAN 1. Kasus Posisi Kasus ini berawal pada tanggal 30 Desember 2008 dengan adanya niat PT Kereta Api Indonesia (Persero) membeli lokomotif dari General Electric (GE) dengan alasan lokomotif 17 Ibid,hlm Ibid, hlm

9 tersebut telah teruji dan para teknisi PT Kereta Api (Persero) pun sudah terbiasa dengan lokomotif tersebut. 19 Namun karena adanya peraturan internal yang tidak memperbolehkan pembelian langsung apabila nilainya lebih dari Rp (dua ratus juta rupiah) 20 membuat PT Kereta Api (Persero) menetapkan metode penunjukan langsung dalam pengadaan 20 (dua puluh) lokomotif ini dengan konsekuensi hanya General Electric (GE) saja yang akan diundang untuk mengajukan penawaran. Kemudian pada tanggal 21 Juli 2009, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menerima laporan tentang adanya dugaan persekongkolan tender pada pengadaan 20 (dua puluh) unit Lokomotif CC 204 Tahun 2009 yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan General Electric (GE) Transportation. 21 Hasilnya, KPPU menjatuhkan vonis pada putusannya No. 05/KPPU-L/2010 yang menyatakan PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan General Electric terbukti melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang isinya adalah pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. 22 Kemudian, General Electric (GE) Transportation dengan mengikutsertakan PT Kereta Api Indonesia (Persero) melakukan upaya keberatan ke Pengadilan Negeri Bandung. Hasilnya, Pengadilan Negeri Bandung telah menjatuhkan putusan No. 01/Pdt/G/KPPU/2010/PN.BDG yang pada intinya membatalkan putusan KPPU dan menyatakan PT Kereta Api Indonesia (Persero) serta General Electric tidak terbukti melanggar UU No. 5 Tahun Kemudian pada tanggal pada tanggal 15 Juni 2011 KPPU mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya dalam putusan No.242K/Pdt.Sus/2012 tertanggal 28 Juni 2012, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari KPPU KPPU, Putusan No. 05/KPPU-L/2010, op cit, hlm Indonesia, Peraturan Presiden No. 85 Tahun 2006 tentang Perubahan Keenam atas Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Perpres No. 85 Tahun 2006, lampiran 1 Bab I huruf c. 21 Ibid, hlm ibid, hlm Mahkamah Agung, Putusan No. 242 K/Pdt.Sus/2012, hlm

10 2. Analisis Hukum 2a. Unsur-Unsur Penting Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Tidak Terbukti Dalam memutuskan perkara persekongkolan tender, KPPU menggunakan dasar hukum Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal tersebut berbunyi: Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. 24 Dari pasal tersebut, terdapat beberapa unsur yang berdasarkan analisis Penulis tidak terbukti sehingga pihak General Electric (GE) Transportation maupun PT Kereta Api Indonesia (Persero) tidak terbukti melakukan pelanggaran Pasal 22 UU No. 5 Tahun Unsur-unsur yang dimaksud beserta analisisnya adalah sebagai berikut: a. Unsur Bersekongkol b. Unsur Pihak Lain c. Unsur Mengatur dan/atau Menentukan Pemenang Tender d. Unsur Mengakibatkan Terjadinya Persaingan Usaha Tidak Sehat Ad.a Unsur Bersekongkol Penjabaran uraian dalam Pedoman Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa bersekongkol adalah kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu. Pedoman ini menyatakan juga bahwa persekongkolan dapat terjadi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal, dan gabungan dari persekongkolan horizontal dan vertikal. 25 Selain itu, Pasal 1 huruf 8 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mendefinisikan persekongkolan sebagai berikut: Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. 26 Dari definisi tersebut, diketahui bahwa dalam persekongkolan mensyaratkan adanya bentuk kerjasama untuk menguasai pasar bersangkutan. Sedangkan berdasarkan putusan KPPU No. 05/KPPU-L/2010, KPPU sama sekali tidak dapat memberikan bukti tertulis, 24 UU Persaingan Usaha, op cit, psl KPPU, Pedoman Pasal 22, op cit, hlm Indonesia, UU Persaingan Usaha, op cit, Psl 1 angka 8. 10

11 keterangan saksi, catatan pertemuan, atau informasi dalam bentuk apapun yang menunjukan adanya suatu kerjasama atau kesepakatan yang dilakukan oleh General Electric (GE) Transportation dengan PT Kereta Api Indonesia (Persero). Semua tindakan yang dilakukan oleh General Electric (GE) dengan PT KAI sesuai dengan prosedur pengadaan barang dari PT KAI dan semata-mata dilakukan untuk kepentingan pengadaan lokomotif. Dengan kata lain, tidak ada persekongkolan yang dilakukan GE dan PT KAI sehingga unsur ini tidak terbukti. Ad. b. Unsur Pihak Lain Yang dimaksud dengan pihak lain adalah para pihak (vertikal dan horizontal) yang terlibat dalam proses tender yang melakukan persekongkolan tender baik pelaku usaha sebagai peserta ataupun subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender tersebut. Pembuktian unsur pihak lain dibuktikan berdasarkan bukti adanya keterlibatan pihak lain dalam proses tender. 27 Dalam menentukan General Electric (GE) Transportation sebagai pihak yang menyediakan 20 (dua puluh) lokomotif, pihak PT Kereta Api Indonesia (Persero) mengambil keputusan semata-mata berdasarkan pertimbangan efisiensi tanpa terpengaruh pihak GE. Oleh karena itu, unsur pihak lain ini tidak terpenuhi karena tidak adanya paksaan atau pengaruh untuk memilih GE sebagai penyedia lokomotif. Ad.c. Unsur Mengatur dan/atau Menentukan Pemenang Tender Yang dimaksud dengan tindakan mengatur dan/atau menentukan adalah suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/atau untuk memenangkan peserta tender tersebut yang antara lain dilakukan dalam hal penetapan kriteria pemenang, persyaratan teknis, keuangan, spesifikasi, proses tender, dan sebagainya. 28 KPPU di dalam putusannya No. 05/KPPU-L/2010 tidak dapat memberikan bukti apapun yang dapat menunjukan adanya kesepakatan untuk mengatur dan menentukan pemenang tender. Selain itu, pengadaan lokomotif ini bukan merupakan bagian dari tender atau pelelangan secara umum, akan tetapi pengadaan lokomotif yang melalui mekanisme 27 Yuliana Juwita, larangan persekongkolan tender berdasarkan hukum persaingan usaha, suatu perbandingan pengaturan di indonesia dan jepang, jakarta: fakultas hukum program pascasarjana, 2003, hlm Ibid, hlm

12 penunjukan langsung yang sejak awal memang PT KAI berkeinginan membeli lokomotif dari General Electric (GE). PT. Kereta Api Indonesia (Persero) mengaku sejak awal memang berniat membeli lokomotif dari GE dengan alasan lokomotif tersebut telah teruji dan para teknisi PT. Kereta Api (Persero) sudah terbiasa dengan lokomotif dari GE, namun keinginan membeli langsung tersebut terhambat oleh aturan internal yang tidak memperbolehkan pembelian langsung apabila nilainya Rp ,- (dua ratus juta rupiah) atau lebih, sehingga PT. Kereta Api (Persero) menetapkan metode penunjukkan langsung dalam pengadaan 20 (dua puluh) lokomotif ini dengan konsekuensi hanya GE yang akan diundang unuk mengajukan penawaran. 29 Singkatnya, tidak ada tindakan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender karena sejak awal PT KAI memang berkeinginan membeli lokomotif dari GE. Oleh karena itu, unsur mengatur dan/atau menentukan pemenang tender juga tidak terpenuhi Ad.d. Unsur Mengakibatkan Terjadinya Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 1 angka 6 UU Persaingan Usaha memberi batasan terhadap istilah persaingan usaha tidak sehat sebagai berikut: Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. 30 Unsur ini juga tidak terpenuhi karena KPPU tidak dapat memberikan bukti adanya perbuatan GE dan PT KAI secara tidak jujur dan melawan hukum dalam pengadaan lokomotif. Secara historis, GE telah menjalankan usahanya di Indonesia sejak tahun Sepanjang sejarah, pihak GE selalu taat dan patuh terhadap hukum di Indonesia serta mempunyai reputasi yang baik di masyarakat. Selain itu, alasan mengapa PT KAI memilih GE adalah karena mereka harus berhatihati untuk membeli lokomotif baru agar tidak menimbulkan masalah lain sehingga harus melakukan investasi tambahan. Mereka sudah sejak lama menggunakan produk GE sejak PT KAI masih berbentuk Perjan. Teknisi dan infrastruktur yang dimiliki saat ini pun sudah memahami produk GE dengan baik sehingga akan memakan biaya tambahan lain lagi 29 Mahkamah Agung, op cit, hlm Indonesia, UU Persaingan Usaha, op cit, Psl 1 angka Mahkamah Agung, op cit, hlm

13 apabila menggunakan lokomotif pabrikan lain. 32 Oleh karena itu tidaklah tepat jika dikatakan telah terjadi persaingan tidak jujur atau melawan hukum yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dalam pengadaan lokomotif ini. 2b. Pengadaan Lokomotif In Casu Bukan Termasuk Tender Sehingga Tidak Terikat Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c Permen BUMN Nomor Per- 05 /MBU/2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara dijelaskan bahwa penunjukan langsung yaitu pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara langsung dengan menunjuk satu penyedia barang dan jasa atau melalui beauty contest. 33 Dan dalam Pasal 9 ayat (1) Permen tersebut juga dinyatakan bahwa Pengadaan Barang dan Jasa melalui penunjukan langsung dilakukan dengan menunjuk langsung 1 (satu) atau Penyedia Barang dan Jasa. 34 Dari kedua ketentuan tersebut, dapat diartikan bahwa pengertian perundang-undangan mengenai Penunjukan Langsung adalah penunjukan secara langsung pada 1 (satu) barang dan/atau penyedia barang/jasa, dalam arti tidak ada pihak lain atau kompetitor dari barang/jasa atau penyedia barang/jasa yang ditunjuk secara langsung tersebut. Sedangkan berdasarkan Penjelasan Pasal 22 UU No. 5/1999, tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk memborong suatu pekerjaan, untuk menyediakan jasa. 35 Dalam hal ini tidak disebut jumlah yang mengajukan penawaran, oleh beberapa atau oleh satu pelaku usaha saja. Dari perbandingan pengertian antara penunjukan langsung dan tender tersebut dapat diambil perbedaan antara keduanya. Perbedaannya yaitu pada penunjukan langsung pihak penyelenggara pengadaan sudah menentukan atau menunjuk satu pihak yang akan menjadi penyedia barang atau jasa yang diinginkan, sedangkan pada tender pihak penyelenggara akan menentukan atau memilih satu pihak yang melakukan penawaran paling baik dari banyak peserta yang mengikuti tender. Selanjutnya, Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berbunyi: 32 Ibid, hlm Kementerian BUMN, Permen BUMN Nomor Per-05/Mbu/2008, op cit. 34 Ibid, Pasal 9 ayat (1). 35 Indonesia, UU Persaingan Usaha, op cit, Penjelasan Pasal 22 UU No. 5/

14 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 mengatur tentang persekongkolan tender yang dilakukan oleh pelaku usaha. Ketentuan dari pasal ini tidak berlaku terhadap pengadaan 20 (dua puluh) unit lokomotif yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan General Electric (GE) pada tahun Alasannya adalah karena pengadaan lokomotif tersebut bukanlah tender yang mana sejak awal PT Kereta Api Indonesia (Persero) berkeinginan untuk membeli lokomotif dari General Electric (GE). Dengan kata lain dalam pengadaan lokomotif ini tidak perlu dilakukan tender, cukup dengan penunjukan langsung saja apabila sudah ada penyedia barang/jasa tertentu yang diinginkan oleh penyelenggara pengadaan barang/jasa. Oleh karena bukan termasuk tender, maka pengadaan lokomotif ini tidak terikat oleh Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai persekongkolan tender. Jadi, pengadaan lokomotif yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia dengan General Electric (GE) bukan termasuk tender karena sejak awal PT Kereta Api Indonesia (Persero) memang berkeinginan membeli lokomotif dari GE. Oleh karena pengadaan lokomotif ini tidak sama dengan tender, maka pengadaan lokomotif ini tidak terikat oleh Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai persekongkolan tender. Dengan kata lain, dalam kasus ini PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan General Electric (GE) Transportation tidak dapat dikatakan melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai persekongkolan tender. 2c. Prosedur Penunjukan Langsung Berbeda dengan Prosedur Tender Selain memiliki perbedaan dalam pengertian, pengadaan lokomotif in casu juga berbeda dalam prosedur pelaksanaannya sehingga pengadaan lokomotif ini bukan dalam lingkup tender. Penjelasan mengenai mekanisme tender dan penunjukan langsung juga terdapat pada Pasal 20 Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. Metode pelelangan umum terbagi menjadi dua yaitu dengan prakualifikasi atau dengan pascakualifikasi yang secara lengkap sebagai berikut: a. Dengan Prakualifikasi: 1. pengumuman prakualifikasi; 2. pengambilan dokumen prakualifikasi; 3. pemasukan dokumen prakualifikasi; 4. evaluasi dokumen prakualifikasi; 5. penetapan hasil prakualifikasi; 14

15 6. pengumuman hasil prakualifikasi; 7. masa sanggah prakualifikasi; 8. undangan kepada peserta yang lulus prakualifikasi; 9. pengambilan dokumen lelang umum; 10. penjelasan; 11. penyusunan berita acara penjelasan dokumen lelang dan perubahannya; 12. pemasukan penawaran; 13. pembukaan penawaran; 14. evaluasi penawaran; 15. penetapan pemenang; 16. pengumuman pemenang; 17. masa sanggah; 18. penunjukan pemenang; 19. penandatanganan kontrak; 36 b. Dengan Pascakualifikasi: 1. pengumuman pelelangan umum; 2. pendaftaran untuk mengikuti pelelangan; 3. pengambilan dokumen lelang umum; 4. penjelasan; 5. penyusunan berita acara penjelasan dokumen lelang dan perubahannya; 6. pemasukan penawaran; 7. pembukaan penawaran; 8. evaluasi penawaran termasuk evaluasi kualifikasi; 9. penetapan pemenang; 10. pengumuman pemenang; 11. masa sanggah; 12. penunjukan pemenang; 13. penandatanganan kontrak. 37 Sedangkan untuk mekanisme penunjukan langsung, prosedurnya adalah sebagai berikut: 1. undangan kepada peserta terpilih; 2. pengambilan dokumen prakualifikasi dan dokumen penunjukan langsung; 3. pemasukan dokumen prakualifikasi, penilaian kualifikasi, penjelasan, dan pembuatan berita acara penjelasan; 4. pemasukan penawaran; 5. evaluasi penawaran; 6. negosiasi baik teknis maupun biaya; 7. penetapan/penunjukan penyedia barang/jasa; 8. penandatanganan kontrak. 38 Dari prosedur tender dan prosedur penunjukan langsung yang telah diuraikan sebelumnya, Penulis berpendapat bahwa terdapat beberapa perbedaan antara keduanya, yaitu: 36 Indonesia, Keppres No. 80 Tahun 2003, op cit, Psl Ibid, Pasal Ibid. 15

16 1. Pada tender, kesempatan untuk menjadi peserta tender diberikan kepada pelaku usaha siapa saja yang dapat memenuhi kualifikasi. Sedangkan pada penunjukan langsung, pihak penyelenggara pengadaan barang/jasa langsung memilih dan mengundang satu pihak penyedia barang/jasa saja yang kemudian akan didengar presentasinya dan dinegosiasikan baik teknis maupun biaya. 2. Pada tender, karena ada lebih dari satu peserta tender sehingga pihak penyelenggara harus mengevaluasi dan memilih satu di antara beberapa peserta tender tersebut. Sedangkan pada penunjukan langsung, pihak penyelenggara sejak awal sudah berkeinginan untuk menunjuk pihak tertentu sebagai penyedia barang/jasa. Berdasarkan perbedaan tersebut, maka pengadaan lokomotif yang dilakukan PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan General Electric (GE) termasuk penunjukan langsung karena PT Kereta Api Indonesia hanya mengundang General Electric (GE) saja untuk mempresentasikan lokomotif buatannya. Oleh karena pengadaan lokomotif ini menggunakan mekanisme penunjukan langsung, maka pengadaan lokomotif ini berbeda dengan tender. 2d. Pengadaan Lokomotif In Casu Sudah Sesuai dengan Regulasi Dalam melakukan pengadaan 20 (dua puluh) lokomotif dengan penunjukan langsung kepada General Electric (GE), PT Kereta Api Indonesia (Persero) telah menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada sehingga proses pengadaan pun telah memiliki dasar hukum yang kuat. Peraturan perundang-undangan tersebut yaitu sebagai berikut: 1. Surat Edaran Kementerian BUMN No.S-298/S.MBU/2007 yang ditujukan kepada seluruh jajaran direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN. Isi dari surat edaran tersebut pada intinya adalah bahwa BUMN ketika melaksanakan tender tidak terikat pada Keppres No. 80 Tahun 2003 Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, melainkan dapat membuat peraturan pengadaan sendiri dengan mengacu pada ketentuan Pasal 99 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN. Selain itu, diperkenankan bagi BUMN untuk melakukan penunjukan langsung apabila kegiatan pengadaan barang/jasa bersifat mendesak. 2. Pasal 17 ayat (5) Keputusan Presiden RI No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah menyebutkan bahwa: Dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukkan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya 16

17 sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan Pasal 5 ayat (2) huruf c Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara yang kedudukannya lebih tinggi dan sekaligus menjadi dasar Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa PT Kereta Api Indonesia (Persero) disebutkan bahwa penunjukan langsung, yaitu pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara langsung dengan menunjuk satu penyedia barang dan jasa atau melalui beauty contest. 40 Dan dalam Pasal 9 ayat (1) Permen tersebut dinyatakan bahwa Pengadaan Barang dan Jasa melalui penunjukan langsung dilakukan dengan menunjuk langsung 1 (satu) atau Penyedia Barang dan Jasa. 41 Pada Pasal 9 ayat (3) Permen tersebut juga dijelaskan bahwa BUMN diperbolehkan untuk melakukan penunjukan langsung apabila memenuhi persyaratan tertentu, salah satunya seperti pengadaan yang dilakukan merupakan pembelian yang berulang (repeat order) pada pihak tertentu sepanjang harga yang ditawarkan menguntungkan dan tidak mengorbankan kualitas barang dan jasa. Telah diketahui bahwa lokomotif General Electric (GE) Transportation telah digunakan PT Kereta Api Indonesia (Persero) sejak lama serta teknisi maupun infrastruktur perkeretaapian di Indonesia telah memahami produk General Electric (GE). 42 Berdasarkan beberapa peraturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengadaan 20 (dua puluh) lokomotif yang diadakan oleh PT Kereta Api Indonesia dan General Electric (GE) Transportation dengan mekanisme penunjukan langsung telah dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memiliki dasar hukum yang kuat. Oleh karena itu, pengadaaan lokomotif ini tidak melanggar hukum, khususnya hukum persaingan usaha. 2e. KPPU Tidak Dapat Menghadirkan 2 (Dua) Alat Bukti Pada dasarnya KPPU dalam membuktikan adanya persekongkolan tender harus menggunakan alat bukti yang telah diatur secara limitatif di dalam Pasal 42 UU NO. 5 Tahun Alat-alat bukti yang digunakan oleh KPPU berupa: a. Keterangan Saksi 39 Indonesia, Keppres No. 80 Tahun 2003, op cit. 40 Kementerian BUMN, Permen BUMN Nomor Per-05/Mbu/2008, op cit. 41 Ibid, Psl. 9 ayat (1). 42 Mahkamah Agung, op cit, Psl

18 b. Keterangan Ahli c. Surat dan Dokumen d. Petunjuk e. Keterangan Pelaku Usaha 43 Akan tetapi, pada perkara pengadaan lokomotif ini KPPU tidak dapat menghadirkan minimal 2 (dua) alat bukti yang dapat menunjukan adanya kerjasama atau kesepakatan yang menunjukan persekongkolan antara General Electric (GE) dengan PT Kereta Api Indonesia (Persero). KPPU hanya menggunakan asumsi dan persangkaannya bahwa telah terjadi persekongkolan tender antara kedua perusahaan tersebut. Oleh karena tidak dapat menghadirkan dua alat bukti, maka putusan KPPU seharusnya batal demi hukum. 2f. Putusan Lain KPPU Terkait Penunjukan Langsung Pada pengadaan Proyek Outsourcing Roll Out Customer Information tahun 2006 yang dilakukan oleh PLN kepada Netway secara langusng (penunjukan langsung), terlihat inkonsistensi dari KPPU dalam menjatuhkan putusan No.03/KPPU-L/2006. Pada putusan tersebut KPPU menilai bahwa penunjukan langsung yang dilakukan oleh PLN kepada Netway bukan merupakan tender. 44 Sedangkan pada pengadaan lokomotif in casu, KPPU menilai bahwa penunjukan langsung PT KAI dengan General Electric (GE) termasuk ke dalam tender. Sedangkan kedua kasus tersebut (pengadaan lokomotif dan pengadaan jasa outsourcing roll out) merupakan hal yang sama yaitu pengadaan barang/jasa dengan mekanisme penunjukan langsung. Jadi, masih terlihat keragu-raguan dari KPPU dalam memberikan batasan antara penunjukan langsung dan tender dalam pengadaan barang dan jasa. E. KESIMPULAN Dari penjelasan serta analisis yang telah diuraikan sebelumnya, ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan serta menjawab rumusan permasalahan dalam penelitian ini. Kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut: a. Pengadaan lokomotif yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan menunjuk langsung General Electric (GE) sebagai penyedia lokomotif telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 9 Peraturan Menteri BUMN No. Per- 43 KPPU, Peraturan Komisi Tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU, Perkom KPPU No. 1 Tahun 2006, Psl KPPU, Putusan No. 03/KPPU-L/

19 15/MBU/2012 memperbolehkan BUMN, termasuk PT Kereta Api Indonesia (Persero), dalam hal-hal tertentu untuk menunjuk langsung (penunjukan langsung) satu pihak sebagai penyedia barang/jasa dalam pengadaan barang/jasa tanpa melalui proses tender terlebih dahulu. b. Pengadaan lokomotif yang dilakukan PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan General Electric (GE) Transportation dengan mekanisme penunjukan langsung bukan termasuk tender. Alasannya adalah karena PT Kereta Api Indonesia (Persero) sejak awal memang berkeinginan membeli lokomotif dari General Electric (GE) sehingga mekanisme pengadaannya cukup dengan penunjukan langsung, bukan dengan tender yang diikuti oleh beberapa peserta tender. Karena pengadaan lokomotif ini tidak termasuk tender, maka pengadaan lokomotif ini tidak terikat pada Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai persekongkolan tender. Oleh karena tidak terikat dengan Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999, maka PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan General Electric (GE) Transportation tidak dapat dikatakan telah melakukan persekongkolan tender. c. Pada Putusan Kasasi No: 242 K/Pdt.Sus/2012, majelis hakim berpendapat bahwa Pengadilan Negeri tidak salah dalam menerapkan hukum (judex facti) sehingga dalam putusan tersebut majelis hakim menolak permohonan kasasi dari KPPU. Majelis hakim berpendapat bahwa proses penunjukan langsung, tidak termasuk lingkup tender yang diatur dalam Pasal 22 UU No. 5/1999 sehingga PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan General Electric (GE) tidak terbukti melakukan pelanggaran Pasal 22 UU No. 5/1999. Majelis hakim juga berpendapat bahwa pengadaan lokomotif yang dilakukan PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan General Electric (GE) telah sesuai dengan Peraturan Menteri BUMN No. 05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksaan Pengadaan Barang dan Jasa di lingkungan BUMN F. SARAN Dalam melihat permasalahan dalam penelitian ini, Penulis memiliki beberapa saran yaitu: a. Kepada pemerintah dan pembentuk undang-undang, perlu dibuatnya pembatasan yang jelas antara penunjukan langsung dan tender dalam pengadaan barang dan jasa. Karena selama ini masih banyak pihak yang memiliki penafsiran berbeda terhadap penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa. 19

20 b. Kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), perlu dilakukan sosialisasi yang intensif mengenai persekongkolan tender kepada banyak pihak seperti pelaku usaha, mahasiswa, serta praktisi hukum maupun ekonomi. Hal ini karena pihak-pihak tersebut perlu pemahaman mengenai persekongkolan tender yang mendalam serta dari sumber yang terpercaya yaitu KPPU. c. Kepada para pelaku usaha, perlu dibuatnya peraturan internal mengenai tata cara dan teknis pengadaan barang dan jasa yang sesuai dengan peraturan perundanganundangan serta yang tidak menimbulkan multitafsir. G. KEPUSTAKAAN Indonesia, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN Tahun 1999 No. 33, TLN No , Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Perpres No. 54 Tahun 2010., Keputusan Presiden Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Keppres No. 80 Tahun 2003, LN Tahun 2003 No Juwita, Yuliana. Larangan Persekongkolan Tender Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha, Suatu Perbandingan Pengaturan di Indonesia dan Jepang. Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta, Kementerian BUMN. Peraturan Menteri BUMN Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara BUMN No. Per-05/MBU/2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang Dan Jasa BUMN, Permen BUMN No. Per-15/MBU/2012., Peraturan Menteri Negara BUMN Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang Dan Jasa BUMN, Permen BUMN No. Per-05/MBU/2008., Surat Edaran Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN. SE No. S- 298/S.MBU/2007. KPPU, Peraturan Komisi Tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU, Perkom KPPU No. 1 Tahun 2006., Putusan No. 03/KPPU-L/2006, Putusan No: 05/KPPU-L/2010 Mahkamah Agung, Putusan Kasasi No: 242 K/Pdt.Sus/2012 Mamudji, Sri, dkk Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pengadilan Negeri Bandung, Putusan No. 01/Pdt/G/KPPU/2010/PN.BDG 20

BAB I PENDAHULUAN. saing yang tidak hanya di lingkup nasional tapi juga di lingkup global

BAB I PENDAHULUAN. saing yang tidak hanya di lingkup nasional tapi juga di lingkup global 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu faktor yang mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, iklim persaingan antar pelaku usaha harusnya dijaga dan dipertahankan baik oleh sesama pelaku

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan keuntungan atau menimbulkan kerugian. Apabila

Lebih terperinci

Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pengantar Pasal 35 huruf (f): Menyusun pedoman dan atau publikasi

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR PER- 05 /MBU/2008 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR PER- 05 /MBU/2008 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA NOMOR PER- 05 /MBU/2008 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA MENTERI NEGARA, Menimbang : a. bahwa pengadaan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

Kebijakan Pengadaan Barang dan/atau Jasa PT Indofarma (Persero) Tbk

Kebijakan Pengadaan Barang dan/atau Jasa PT Indofarma (Persero) Tbk Kebijakan Pengadaan Barang dan/atau Jasa PT Indofarma (Persero) Tbk Sebagai Badan Usaha Milik Negara, pembiayaan untuk Pengadaan Barang dan/atau Jasa di PT Indofarma (Persero) Tbk bersumber dari anggaran

Lebih terperinci

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER SESUAI DENGAN PASAL 22 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU NOMOR 2 TAHUN 2010

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER SESUAI DENGAN PASAL 22 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU NOMOR 2 TAHUN 2010 LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER SESUAI DENGAN PASAL 22 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU NOMOR 2 TAHUN 2010 http://www.harianpilar.com I. Pendahuluan Pengadaan barang atau jasa pada

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGAP.\ RFPI PI.TI< INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA

MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGAP.\ RFPI PI.TI< INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGAP.\ RFPI PI.TI< INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR : PER- 15 /MBU/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku, tindakan atau perbuatan termasuk perjanjian yang dilarang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI 2011 1 Cakupan Presentasi 1. Persaingan Usaha yang Sehat Dan KPPU 2. Persaingan Pasar Jasa Konstruksi 3. Masalah Umum Persaingan Usaha Dalam Sektor Jasa Konstruksi

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DRAFT Pedoman Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 2004 1 KATA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Pengantar Hukum Persaingan Usaha Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Topics to be Discussed Manfaat Persaingan Asas & Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi langkah baru bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi langkah baru bagi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi langkah baru bagi Indonesia dalam hal menyelesaikan permasalahan di bidang ekonomi khususnya dalam persaingan usaha.

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Agenda Pendahuluan Dasar Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses tender merupakan persaingan antara para penyedia barang

BAB I PENDAHULUAN. Proses tender merupakan persaingan antara para penyedia barang 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Proses tender merupakan persaingan antara para penyedia barang atau jasa agar barang atau jasa dibeli oleh pihak yang melakukan penawaran tender yang bersangkutan.

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2013 NOMOR 14 SERI E

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2013 NOMOR 14 SERI E BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2013 NOMOR 14 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PADA BADAN USAHA MILIK DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan I. PEMOHON PT. Bandung Raya Indah Lestari.... selanjutnya

Lebih terperinci

Kebijakan Pengadaan Barang dan/atau Jasa PT Indofarma (Persero) Tbk

Kebijakan Pengadaan Barang dan/atau Jasa PT Indofarma (Persero) Tbk Kebijakan Pengadaan Barang dan/atau Jasa PT Indofarma (Persero) Tbk Sebagai Badan Usaha Milik Negara, pembiayaan untuk Pengadaan Barang dan/atau Jasa di PT Indofarma (Persero) Tbk bersumber dari anggaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Tindakan Administratif Pasal 47 (1) Komisi berwenang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan Usaha 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan adalah perlawanan dan atau upaya satu orang atau lebih untuk lebih unggul dari orang lain dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia mendirikan BUMN sebagaimana tertuang dalam Undang Undang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia mendirikan BUMN sebagaimana tertuang dalam Undang Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan perekonomian salah satu cara pemerintah dalam hal mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan perekonomian dapat dilaksanakan oleh Negara dengan salah

Lebih terperinci

Tinjauan yuridis..., M.Salman Al-Faris, FHUI, 2009 Universitas Indonesia

Tinjauan yuridis..., M.Salman Al-Faris, FHUI, 2009 Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Roda perekonomian bergerak diatur dan diawasi oleh perangkat hukum, baik perangkat hukum lunak maupun perangkat hukum keras. 1 Berdasarkan pemikiran tersebut, perangkat

Lebih terperinci

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Persekongkolan Tender, Persaingan Usaha Tidak Sehat 56 LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG DIRUGIKAN AKIBAT PRAKTIK PERSEKONGKOLAN DALAM PENGADAAN TENDER

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG DIRUGIKAN AKIBAT PRAKTIK PERSEKONGKOLAN DALAM PENGADAAN TENDER PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG DIRUGIKAN AKIBAT PRAKTIK PERSEKONGKOLAN DALAM PENGADAAN TENDER oleh Putu Nindya Krishna Prasanti Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa Perdata Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

PENGADAAN JASA KONSTRUKSI

PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PENGADAAN JASA KONSTRUKSI Pengadaan barang/ jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Program pembangunan pembangkit listrik Megawatt (MW) merupakan program strategis pemerintahan Jokowi-JK untuk mendukung

BAB I PENDAHULUAN. Program pembangunan pembangkit listrik Megawatt (MW) merupakan program strategis pemerintahan Jokowi-JK untuk mendukung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Program pembangunan pembangkit listrik 35.000 Megawatt (MW) merupakan program strategis pemerintahan Jokowi-JK untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu ancaman bagi para pengusaha nasional dan para pengusaha asing yang lebih

I. PENDAHULUAN. suatu ancaman bagi para pengusaha nasional dan para pengusaha asing yang lebih 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi ekonomi saat ini, dunia usaha merupakan salah satu kegiatan yang diminati oleh banyak orang di Indonesia. Lahirnya pengusahapengusaha baru dalam

Lebih terperinci

JURNAL SKRIPSI KAJIAN TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) MENGENAI PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER

JURNAL SKRIPSI KAJIAN TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) MENGENAI PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER JURNAL SKRIPSI KAJIAN TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) MENGENAI PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER TAHUN 2011-2013 DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Hal ini sejalan dengan amanat dan cita-cita Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Pada kenyataannya saat sekarang ini ekonomi pasar

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Pada kenyataannya saat sekarang ini ekonomi pasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya dalam bidang perekonomian suatu negara dapat dibuktikan dengan banyaknya pelaku usaha dalam negeri

Lebih terperinci

Penjelasan tentang proyek yang akan dikerjakan. Panitia lelang nengumumkan kontraktor yang lolos dalam tahap pra kualifikasi

Penjelasan tentang proyek yang akan dikerjakan. Panitia lelang nengumumkan kontraktor yang lolos dalam tahap pra kualifikasi PROSES TENDER KONTRAKTOR Kontrak kerja konstruksi dibuat sebagai dasar hukum dan pedoman pelaksanaan bagi kontraktor yang diberikan oleh pemilik proyek, kontrak kerja konstruksi juga dapat berfungsi sebagai

Lebih terperinci

2 Indonesia dalam hal melakukan penyelesaian permasalahan di bidang hukum persaingan usaha, yang diharapkan terciptanya efektivitas dan efisiensi dala

2 Indonesia dalam hal melakukan penyelesaian permasalahan di bidang hukum persaingan usaha, yang diharapkan terciptanya efektivitas dan efisiensi dala 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hukum persaingan usaha sehat diperlukan dalam era dunia usaha yang berkembang dengan pesat. Globalisasi erat kaitannya dengan efisiensi dan daya saing dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan yang dianggap lebih baik. Kondisi yang lebih baik itu harus dilihat

BAB I PENDAHULUAN. keadaan yang dianggap lebih baik. Kondisi yang lebih baik itu harus dilihat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses pembaharuan yang berkelanjutan dan terus menerus dari suatu keadaan tertentu kepada suatu keadaan yang dianggap lebih baik.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami banyak kemajuan yang didorong oleh kebijakan pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. mengalami banyak kemajuan yang didorong oleh kebijakan pembangunan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, pembangunan ekonomi dalam perkembangannya telah mengalami banyak kemajuan yang didorong oleh kebijakan pembangunan di berbagai sektor usaha,

Lebih terperinci

ABSTRAK. Christine Tanuwijaya

ABSTRAK. Christine Tanuwijaya Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Hukum Pidana Oknum Pegawai Negeri Dan Pelaku Usaha Yang Melakukan Persekongkolan Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator utama keberhasilan pembangunan nasional adalah adanya kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan dengan adanya pertumbuhan

Lebih terperinci

Kata Kunci: BUMN, Penunjukan Langsung, Good Corporate Governance, Asas Kewajaran.

Kata Kunci: BUMN, Penunjukan Langsung, Good Corporate Governance, Asas Kewajaran. ABSTRAK ANALISIS YURIDIS IMPLEMENTASI ASAS KEWAJARAN SEBAGAI SALAH SATU PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) MELALUI PENUNJUKAN LANGSUNG SEBAGAIMANA

Lebih terperinci

Draft DRAFT PEDOMAN PASAL 50 H TENTANG PENGECUALIAN USAHA KECIL UU NO. 5/1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Draft DRAFT PEDOMAN PASAL 50 H TENTANG PENGECUALIAN USAHA KECIL UU NO. 5/1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DRAFT PEDOMAN PASAL 50 H TENTANG PENGECUALIAN USAHA KECIL UU NO. 5/1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAFTAR ISI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V LATAR BELAKANG TUJUAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian waralaba..., Elfiera Juwita Yahya, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian waralaba..., Elfiera Juwita Yahya, FH UI, Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Franchise berasal dari bahasa Perancis, yang berarti bebas atau bebas dari perhambaan atau perbudakan (free from servitude). 1 Black s Law Dictionary

Lebih terperinci

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1999 (5/1999) Tanggal: 5 MARET 1999 (JAKARTA) Tentang: LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN

V. KESIMPULAN DAN SARAN 88 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kriteria tender pengadaan barang dan jasa pemerintah akan berjalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh Barang dan Jasa oleh Kementerian, Lembaga, Satuan Kerja

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh Barang dan Jasa oleh Kementerian, Lembaga, Satuan Kerja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh Barang dan Jasa oleh Kementerian, Lembaga, Satuan Kerja Perangkat Daerah, Institusi lainnya yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Tugas dan Kewenangan PA/KPA, PPK, ULP, dan PPHP dalam Pengadaan Barang/Jasa

Tugas dan Kewenangan PA/KPA, PPK, ULP, dan PPHP dalam Pengadaan Barang/Jasa Tugas dan Kewenangan PA/KPA, PPK, ULP, dan PPHP dalam Pengadaan Barang/Jasa DASAR HUKUM - Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah - Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PT Pelindo II (Persero) Cabang Cirebon adalah salah satu cabang dari PT Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan perusahaan Badan

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomo

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomo No.1263, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BUMN. Pedoman Kerjasama. Perubahan. PERATURAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-04/MBU/09/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari putusan Mahkamah Agung Nomor 2365 K/Pdt/2006 yang penulis analisis dapat

BAB I PENDAHULUAN. Dari putusan Mahkamah Agung Nomor 2365 K/Pdt/2006 yang penulis analisis dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dari putusan Mahkamah Agung Nomor 2365 K/Pdt/2006 yang penulis analisis dapat diceritakan posisi kasusnya berawal dari PT. Prosam Plano yang dalam hal ini adalah sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT http://ekbis.sindonews.com/ Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Harry Azhar Azis menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena selalu terdapat kepentingan yang berbeda bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha

Lebih terperinci

SINERGI BUMN DALAM PENGADAAN BARANG DAN/ATAU JASA DALAM PERSPEKTIF PERSAINGAN USAHA

SINERGI BUMN DALAM PENGADAAN BARANG DAN/ATAU JASA DALAM PERSPEKTIF PERSAINGAN USAHA SINERGI BUMN DALAM PENGADAAN BARANG DAN/ATAU JASA DALAM PERSPEKTIF PERSAINGAN USAHA Anna Maria Tri Anggraini * Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jalan Ir. H. Juanda 36, Jakarta 10120 Abstract From the

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Setiap Individu harus diberi ruang gerak tertentu dalam pengambilan keputusan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa jasa konstruksi mempunyai peran strategis dalam pembangunan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK I. PEMOHON Ir. Eddie Widiono Sowondho,M.Sc., selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: Dr.

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Dasar hukum Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam. memutus putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014

BAB IV PEMBAHASAN. A. Dasar hukum Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam. memutus putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014 BAB IV PEMBAHASAN A. Dasar hukum Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam memutus putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014 Dalam putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014 pada halaman 136 poin 10 dan halaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan usaha 1. Dasar Hukum Persaingan Usaha Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Lebih terperinci

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Oleh: M. Hakim Nasution HAKIMDANREKAN Konsultan Hukum Asas Persaingan Usaha UU No. 5/1999 Larangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK I. PEMOHON Ir. Eddie Widiono Sowondho,M.Sc., selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: Dr. Maqdir Ismail,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa jasa konstruksi mempunyai peran strategis dalam pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan meningkatkan pertumbuhan bisnis nasional. Dalam melakukan pengadaan barang

BAB I PENDAHULUAN. dan meningkatkan pertumbuhan bisnis nasional. Dalam melakukan pengadaan barang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan pengadaan barang/ jasa BUMN bertujuan untuk mendorong dan meningkatkan pertumbuhan bisnis nasional. Dalam melakukan pengadaan barang dan

Lebih terperinci

PELELANGAN. MATA KULIAH MANAJEMEN KONSTRUKSI Pertemuan Ke 6

PELELANGAN. MATA KULIAH MANAJEMEN KONSTRUKSI Pertemuan Ke 6 PELELANGAN MATA KULIAH MANAJEMEN KONSTRUKSI Pertemuan Ke 6 DEFINISI PELELANGAN BERDASARKAN KEPPRES NO 18 THN 2000 Serangkaian kegiatan untuk menyediakan barang/jasa dengan cara menciptakan persaiangan

Lebih terperinci

TUJUAN PELATIHAN. Setelah Materi Ini Disampaikan, Diharapkan Peserta Mampu Mengetahui dan Memahami :

TUJUAN PELATIHAN. Setelah Materi Ini Disampaikan, Diharapkan Peserta Mampu Mengetahui dan Memahami : 1 TUJUAN PELATIHAN Setelah Materi Ini Disampaikan, Diharapkan Peserta Mampu Mengetahui dan Memahami : Pelaksanaan Pemilihan Penyedia Tender/Seleksi Gagal Serta Tindak Lanjutnya Pelaksanaan Kontrak 2 Pelaksanaan

Lebih terperinci

HUKUM PERSAINGAN USAHA

HUKUM PERSAINGAN USAHA HUKUM PERSAINGAN USAHA Dosen Pengampu: Prof Dr Jamal Wiwoho, SH, MHum www.jamalwiwoho.com 081 2260 1681 -- Bahan Bacaan Abdulrahman: Ensiklopesi Ekonomi keuangan dan perdagangan, Jakarta, Pradnya Paramita,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 100 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 100 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 100 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa jasa konstruksi mempunyai peran strategis dalam pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

- 1 - URAIAN TAHAPAN TATA CARA KERJA SAMA

- 1 - URAIAN TAHAPAN TATA CARA KERJA SAMA - 1 - LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 22 Tahun 2009 TANGGAL : 22 Mei 2009 URAIAN TAHAPAN TATA CARA KERJA SAMA A. Kerja Sama Antar Daerah 1. Persiapan a. Pembentukan Tim Koordinasi Kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara berbentuk Persero (selanjutnya disebut BUMN Persero) sering terjadi. Perkara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam menjamin terciptanya persaingan usaha yang sehat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam menjamin terciptanya persaingan usaha yang sehat di BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Dalam menjamin terciptanya persaingan usaha yang sehat di Indonesia, maka diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Lebih terperinci

TRANSKRIP HASIL WAWANCARA

TRANSKRIP HASIL WAWANCARA LAMPIRAN Lampiran TRANSKRIP HASIL WAWANCARA Prinsip Kepastian Hukum (Rule of Law) 1. Bagaimanakah pelaksanaan prinsip kepastian hukum (rule of law) dalam pengadaan televisi oleh Bagian Perlengkapan Sekretariat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi tersebut adalah Penyedia Jasa atau sering juga disebut dengan istilah

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi tersebut adalah Penyedia Jasa atau sering juga disebut dengan istilah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam suatu kegiatan pengadaan barang dan jasa, khususnya bidang jasa konstruksi yang dibiayai oleh Pemerintah, dimana pelaksana pekerjaan jasa konstruksi tersebut adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa jasa konstruksi mempunyai peran strategis dalam pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 100 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 100 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 100 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

STUDI KASUS HUKUM. Oleh : CANDRA BUDI KURNIAWAN No. Mahasiswa : Program Studi : Ilmu Hukum

STUDI KASUS HUKUM. Oleh : CANDRA BUDI KURNIAWAN No. Mahasiswa : Program Studi : Ilmu Hukum PERSEKONGKOLAN DALAM BEAUTY CONTEST PROYEK DONGGI-SENORO (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Perkara Nomor : 35/KPPU-I/2010) STUDI KASUS HUKUM Oleh : CANDRA BUDI KURNIAWAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian negara tersebut. Apabila membahas tentang perekonomian suatu negara, maka tidak lepas

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2005 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, DAN PERUBAHAN BENTUK BADAN HUKUM BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang

Lebih terperinci

- 1 - URAIAN TAHAPAN TATA CARA KERJA SAMA

- 1 - URAIAN TAHAPAN TATA CARA KERJA SAMA - 1 - LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 22 Tahun 2009 TANGGAL : 22 Mei 2009 A. Kerja Sama Antar Daerah URAIAN TAHAPAN TATA CARA KERJA SAMA 1. Persiapan a. Pembentukan Tim Koordinasi Kerja

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai praktek persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pelelangan dapat didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pelelangan dapat didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan untuk 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pelelangan Pelelangan dapat didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan untuk menyediakan barang / jasa dengan cara menciptakan persaingan yang sehat diantara penyedian

Lebih terperinci

Presiden, DPR, dan BPK.

Presiden, DPR, dan BPK. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: Keppres 80-2003 lihat: Perpres 32-2005::Perpres 8-2006 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN

Lebih terperinci

KEGIATAN YANG DILARANG

KEGIATAN YANG DILARANG KEGIATAN YANG DILARANG Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Pendahuluan Perlunya pengaturan terhadap kegiatan pelaku usaha di dalam

Lebih terperinci

Prosedur Pengadaan, Kontak Bisnis dan Pakta Integritas

Prosedur Pengadaan, Kontak Bisnis dan Pakta Integritas Prosedur Pengadaan, Kontak Bisnis dan Pakta Integritas Prosedur Pengadaan Tenaga Kerja antara lain : 1. Perencanaan Tenaga Kerja Perencanaan tenaga kerja adalah penentuan kuantitas dan kualitas tenaga

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2005 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, DAN PERUBAHAN BENTUK BADAN HUKUM BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PENGADAAN BARANG DAN JASA OLEH PEMERINTAH TERKAIT DENGAN ADANYA LARANGAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA

PENGADAAN BARANG DAN JASA OLEH PEMERINTAH TERKAIT DENGAN ADANYA LARANGAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA PENGADAAN BARANG DAN JASA OLEH PEMERINTAH TERKAIT DENGAN ADANYA LARANGAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA Tiara Oliviarizky Toersina 1), Suhariyanto 2) 1),2) Dosen Fakultas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang yang cukup signifikan antar pelaku usaha, praktik monopoli atau

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang yang cukup signifikan antar pelaku usaha, praktik monopoli atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita menjumpai perbedaan harga suatu barang yang cukup signifikan antar pelaku usaha, praktik monopoli atau persekongkolan

Lebih terperinci

PROSEDUR PENGADAAN JASA KONSTRUKSI DENGAN CARA PENUNJUKAN LANGSUNG NoDokumen :BRR NIAS/SOP/DRAFT Revisi ke : R-00 Tgl. Berlaku : Maret 2007 Tanggal :

PROSEDUR PENGADAAN JASA KONSTRUKSI DENGAN CARA PENUNJUKAN LANGSUNG NoDokumen :BRR NIAS/SOP/DRAFT Revisi ke : R-00 Tgl. Berlaku : Maret 2007 Tanggal : 1 Tujuan Untuk menjamin bahwa pelaksanaan proses Penunjukan Langsung sesuai dengan peraturan per undang-undangan yang berlaku, harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. 2 Ruang Lingkup

Lebih terperinci