IDENTIFIKASI LUAS DAERAH AKTIF DI MATAHARI PENYEBAB KEJADIAN BADAI GEOMAGNET
|
|
- Susanto Sudomo Lie
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Fibusi (JoF) Vol. 3 No. 3, Desember 2015 IDENTIFIKASI LUAS DAERAH AKTIF DI MATAHARI PENYEBAB KEJADIAN BADAI GEOMAGNET Kholidah 1,*, Rasdewita Kesumaningrum 2,, Judhistira Aria Utama 1 1Departemen Pendidikan Fisika,Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudhi No. 299 Bandung Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Dr. Djunjunan No. 133 Bandung kholidah@student.upi.edu kesumaningrum@bdg.lapan.go.id j.aria.utama@upi.edu ABSTRAK Kejadian badai geomagnet dapat diidentifikasi dengan menggunakan indikator indeks Dst yang menunjukan gangguan medan geomagnet pada komponen H. Badai geomagnet merupakan salah satu fenomen penting dalam sistem cuaca antariksa karena merupakan dampak dari hubungan Matahari-Bumi. Cuaca antariksa sangat dipengaruhi oleh aktivitas di Matahari seperti misalnya bintik Matahari, CME, dan flare yang biasanya berasal dari daerah aktif di Matahari. Hasil identifikasi dan analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator indeks Dst < -100 nt sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 diperoleh 104 kejadian badai geomagnet dan sekitar 75,9 % disebabkan oleh CME yang umumnya merupakan CME Halo dan sebesar 92,4 % CME ini dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif. Data yang ditinjau yaitu data kejadian badai geomagnet dengan indeks Dst < -100 nt yang disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif yang teridentifikasi yaitu sebanyak 60 data. Hasil analisis menunjukan bahwa luas daerah aktif penyebab terjadinya badai geomagnet kuat dan sangat kuat sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 memiliki kecenderungan dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit dan sedang. Daerah aktif dengan keluasan sempit dan sedang dapat menghasilkan intensitas badai geomagnet yang lebih besar dibandingkan intensitas badai geomagnet yang dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas. Hal ini menunjukan bahwa luas daerah aktif memiliki keterkaitan yang kecil terhadap intensitas badai geomagnet. Kata Kunci : Badai Geomagnet Kuat, Badai Geomagnet Sangat Kuat, CME, Flare, Indeks Dst, Luas Daerah Aktif. IDENTIFICATION THE WIDE OF ACTIVE REGION ON THE SUN CAUSE GEOMAGNETIC STORM EVENT ABSTACT Geomagnetic storm event can identified using Dst Index as indicator that show the geomagnetic field disturbance component H. Geomagnetic storm is one of *Penanggung Jawab
2 Kholidah, dkk, Identifikasi Luas Daerah Aktif di Matahari Penyebab Kejadian Badai Geomagnet the important phenomena in space weather because it is the impact of the Sun- Earth. Space weather is influenced by solar activity such as sunspot, CME and flares are usually derived from the active region on the Sun. Based on the result of analysis that has been done with Dst index < -100 nt indicator during the solar cycle 23 and 24, gained as much as 104 geomagnetic storm and about 75.9 % are caused by CME are generally to the Halo and about 92.4% % of this CME is caused by flares above the active region. The data is to be reviewed is data geomagnetic storm event with Dst index < -100 nt is caused by the CME that caused by flares above the active region as many as 60 events. Based of analysis showed that the wide of active region causes of strong geomagnetic storm and very strong geomagnetic storm during solar cycle 23 and 24 generated is in the category of narrow and medium. Active region with narrow and medium able to produce a geomagnetic storm intensity greather than the intensity of geomagnetic storms with wide breadth. Thus, the wide of active region have little relevance to the intensity of geomagnetic storm. Keywords : Strong Geomagnetic Storms, Very Strong Geomagnetic Storms, CME, Flares, Dst Index, The Wide of Active Region. PENDAHULUAN Matahari merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi lingkungan Bumi. Aktivitas di Matahari seperti misalnya bintik Matahari, CME, dan flare dapat menjadi penyebab perubahan cuaca antariksa. Cuaca antariksa merupakan kondisi di Matahari dan di ruang antarplanet, magnetosfer, ionosfer dan termosfer yang dapat mempengaruhi medan magnet Bumi, jaringan listrik, kondisi dan kemampuan sistem tehnologi yang berbasis antariksa seperti misalnya sistem satelit, penentuan posisi berbasis satelit seperti GPS (Global Positioning System) bahkan dapat mempengaruhi keadaan iklim di Bumi (Martiningrum, dkk. 2012). Salah satu fenomena terpenting dalam sistem cuaca antariksa yaitu kejadian badai geomagnet yang merupakan dampak dari hubungan Matahari-Bumi. Badai geomagnet merupakan gangguan pada magnetosfer Bumi yang disebabkan oleh lontaran partikel-partikel yang berasal dari Matahari dan medan magnet Matahari yang dibawa oleh angin Matahari yang mengarah ke selatan Bumi sehingga dapat menyebabkan terjadinya rekoneksi yang menyebabkan melemahnya medan magnet Bumi. Kecepatan angin Matahari dapat lebih tinggi dari biasanya setelah terjadi CME atau saat terdapat lubang korona di Matahari (Santoso, 2013).. Lubang korona (Coronal Holes) muncul sebagai daerah gelap di korona Matahari yang berkaitan dengan garis medan magnet yang terbuka.. Lubang korona dapat menjadi sumber angin Matahari berkecepatan tinggi yang dapat mengakibatkan terjadinya CIR (Corotating Interaction Region) yang bisa mempercepat partikel dan bisa menimbulkan badai geomagnet. Coronal Mass Ejection (CME) merupakan material yang dilepaskan di korona Matahari berupa plasma dan mengandung medan magnet. Saat terjadi CME, sekitar kg s.d kg materi korona terlontar ke angkasa dengan energi sebesar Joule s.d Joule dengan rata- rata kecepatannya mencapai 350 km/s. CME ini dapat mencapai Bumi rata-rata 2 hari s.d 3 hari (Martiningrum, dkk. 2012). CME ini biasanya terlihat sebagai CME Halo (Howard, dkk dalam Youssef, 2012). Yatini (2011) mengungkapkan bahwa CME Halo dan flare kuat yang berada pada posisi geoefektif akan berdampak pada Bumi. Flare yang mengakibatkan badai geomagnet umumnya berasal dari bagian barat Matahari (Yatini, dkk. 2008).
3 Fibusi (JoF) Vol. 3 No. 3, Desember 2015 Flare merupakan suatu ledakan di Matahari yang melontarkan partikel berenergi tinggi yang disebabkan oleh peristiwa rekoneksi magnet (magnetic reconnection) (Yatini, dkk, 2010). Rekoneksi magnet adalah penyusunan kembali garis-garis gaya magnet ketika dua medan magnet berlawanan arah dibawa bersama-sama. Penyusunan kembali ini diikuti oleh pelepasan energi secara mendadak yang tersimpan di dalam medan magnet dengan arah berlawanan. Aktivitas di Matahari seperti misalnya CME maupun flare biasanya berasal dari daerah aktif di Matahari, sehingga pengamatan terhadap daerah aktif di Matahari sangat penting dilakukan terutama untuk mengantisipasi dampak-dampak buruk yang dapat diakibatkan oleh aktivitasnya. Pada penelitian ini, variabel daerah aktif yang akan ditinjau yaitu luas daerah aktif, sedangkan indikator yang digunakan untuk mengukur intensitas badai geomagnet yaitu indeks Dst. Indeks Dst (Disturbance Storm Time) merupakan suatu indeks yang menggambarkan kuat vektor geomagnet komponen H (arah utaraselatan geomagnet). Saat terjadi badai geomagnet, indikasinya adalah penurunan atau pelemahan kuat medan magnet yang mengarah ke utara. Semakin negatif harga Dst mengindikasikan semakin kuat badai geomagnet tersebut. Gonzales & Tsurutani, Gonzalez, dkk. (dalam Santoso, dkk. 2008) mengklasifikasikan intensitas badai geomagnet menjadi empat kategori yaitu Lemah (-30 > Dst 50), Sedang (-50 > Dst 100), Kuat (-100 > Dst 200), dan Sangat Kuat (Dst < -200). Pada penelitian ini, data yang ditinjau yaitu kejadian badai geomagnet yang memiliki indeks Dst lebih kecil dari -100 nt sepanjang siklus Matahari ke-23 (1996 s.d 2007) dan siklus Matahari ke-24 (2008 s.d 2014). METODE PENELITIAN Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu : Data indeks Dst diperoleh dari World Data Center C2 at Kyoto University database yang tersedia online dan dapat diunduh dari Data CME diperoleh dari SOHO/LASCO CME Catalog yang tersedia online dan dapat diunduh dari gov/cme_list/ untuk data CME sampai dengan tahun 2013 dan dari Cactus CME List yang tersedia online dan dapat diunduh dari catalog.php untuk data CME tahun Data flare dan erupsi filamen diperoleh dari Spaceweather yang tersedia online dan dapat diunduh dari ftp://ftp.swpc.noaa.gov/ pub/warehouse/ dengan kode flare yaitu XRA dan kode erupsi filamen yaitu DSF atau EPL. Data lubang korona diperoleh dari dan dari Solar Monitor yang tersedia online dan dapat diunduh dari r.org/ Data daerah aktif di Matahari yang diperoleh dari Spaceweather yang tersedia online dan dapat diunduh dari ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/. Penelitian ini diawali dengan mencari data munculnya badai geomagnet kuat dan sangat dengan melakukan identifikasi terhadap indeks Dst. Hal yang perlu diperhatikan untuk data indeks Dst yaitu waktu kejadian (mulai turun sampai naik kembali) dan tingkat kekuatan badai (Dst minimum). Setelah diperoleh data indeks Dst yang meliputi waktu kejadian dan Dst minimum, maka selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap sumber di Matahari yang menyebabkan terjadinya badai tersebut. Pemilihan kandidat CME yang diduga sebagai penyebab badai dilakukan dalam selang waktu 2 hari s.d 3 hari. Penentuan selang waktu ini dilakukan berdasarkan rata-rata CME tiba di Bumi (Martiningrum, dkk. 2012). Setelah diperoleh kandidat CME yang berkaitan, selanjutnya dilakukan analisis terhadap kecepatan CME untuk memperkirakan waktu tibanya CME di Bumi. Jika waktu tibanya CME di Bumi sesuai dengan waktu terjadinya badai
4 Fibusi (JoF) Vol. 3 No. 3, Desember 2015 geomagnet maka CME tersebut dipilih sebagai penyebab badai geomagnet tersebut. Dengan
5 Kholidah, dkk, Identifikasi Luas Daerah Aktif di Matahari Penyebab Kejadian Badai Geomagnet mengetahui jarak Bumi - Matahari dan kecepatan CME maka waktu tibanya CME di Bumi dapat diketahui. Jika telah ditemukan CME yang berkaitan, selanjutnya diidentifikasi pemicu terjadinya CME yaitu flare atau erupsi filamen. Selang waktu dipilih antara 2 hari s.d 3 hari sebelum kejadian badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan pemilihan waktu identifikasi CME. Flare dan erupsi filamen dapat dikatakan sebagai pemicu CME jika adanya kesesuaian antara waktu terjadinya flare atau erupsi filamen dengan waktu terjadinya CME. Jika teridentifikasi flare sebagai pemicu CME maka kita dapat memperoleh data berupa waktu kejadian, kelas flare, lokasi daerah aktif dan luas daerah aktif. Sedangkan jika teridentifikasi bahwa erupsi filamen sebagai pemicu CME, maka data yang diperoleh berupa waktu kejadian dan lokasi. Data yang telah diperoleh ditabulasi disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet dan CME. Jika tidak ditemukan adanya CME yang berkaitan maka dilakukan identifikasi terhadap lubang korona yang diduga sebagai penyebab terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu dipilih antara 1 hari s.d 5 hari sebelum terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan kecepatan angin Matahari yaitu antara 300 km/s s.d 800 km/s (solarscience.msfc.nasa.gov/feature4.s.html). Posisi lubang korona yang diduga sebagai pemicu terjadinya badai yaitu terletak didekat ekuator dan berada di bagian barat Matahari. Data yang diperoleh berupa waktu kejadian dan posisi lubang korona. Data yang telah diperoleh ditabulasi disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet. Pada penelitian ini, data yang digunakan yaitu data kejadian badai geomagnet yang disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif yang teridentifikasi. Pada penelitian ini, dilakukan pengklasifikasian terhadap luas daerah aktif. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan distribusi kejadian flare penyebab terjadinya badai geomagnet. Pada Gambar 1 ditunjukkan bahwa kecenderungan flare kelas B dan C yang memiliki intensitas sinar-x lebih kecil dari 10-2 ergs cm -2 s -1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 0 Millionths of a Solar Hemisphere (MH) s.d 400 MH, flare kelas M yang memiliki intensitas sinar-x 10-2 ergs cm -2 s -1 s.d lebih kecil dari 10-1 ergs cm -2 s -1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 1000 MH dan flare kelas X yang memiliki intensitas sinar-x lebih besar sama dengan 10-1 ergs cm -2 s -1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 2500 MH, sehingga pengklasifikasian dibuat dengan menjadikan kecenderungan distribusi flare kelas B dan C sebagai batas untuk kategori keluasan sempit, flare kelas M sebagai batas untuk kategori keluasan sedang dan flare kelas X sebagai batas untuk kategori keluasan luas dan hasil pengklasifikasian ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Daerah Aktif Klasifikasi Luas Daerah Aktif Sempit L < 400 Sedang 400 L < 1000 Luas L 1000 Intensitas Flare 1.20E E E E E E E Daerah Aktif Flare Kelas B Flare Kelas C Flare Kelas M Flare Kelas X Gambar 1.Distribusi flare penyebab badai geomagnet terhadap luas daerah aktif
6 Fibusi (JoF), Vol. 3 No. 2 Desember 2015 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi dan analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator nilai Indeks Dst lebih kecil dari -100 nt sepanjang siklus ke- 23 (1996 s.d 2007) dan siklus ke-24 (2008 s.d 2014) diperoleh 104 kejadian badai geomagnet dengan distribusi kejadian sepanjang siklus ke- 23 sebanyak 91 kejadian dan 13 kejadian sepanjang siklus ke-24 dengan distribusi kejadian tiap tahun seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nt Sepanjang Siklus ke-23 dan ke-24 No Tahun Jumlah Kejadian Total 104 Jika hasil pada Tabel 2 kita rajah dalam sebuah grafik maka akan dapat ditunjukkan pada Gambar 2. Jumlah kejadian Tahun Gambar 2. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nt Sepanjang Siklus ke-23 dan ke-24 Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 2 diketahui bahwa frekuensi kejadian badai geomagnet dengan indeks Dst lebih kecil dari nt paling banyak pada siklus aktivitas Matahari ke-23 terjadi pada tahun 2001 yaitu sebanyak 17 kejadian, sedangkan pada siklus aktivitas Matahari ke-24 terjadi pada tahun 2012 sebanyak 7 kejadian. Telah diketahui bahwa aktivitas Matahari mencapai puncak maksimum pada siklus ke-23 yaitu terjadi pada tahun 2000 (Saroso, 2010) dan pada siklus ke-24 terjadi pada tahun 2014 (Maspupu, 2011). Dengan hasil yang diperoleh ditunjukan bahwa kejadian badai geomagnet tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan fase maksimum dan fase minimum dari siklus Matahari. Simpulan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Saroso (2010) yang membahas tentang karakteristik kejadian badai geomagnet besar dalam siklus Matahari ke-22 dan ke-23. Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis yang telah dilakukan, dari 104 kejadian, 79 diantaranya atau sekitar 75,9 % disebabkan oleh CME, 14 diantaranya atau sekitar 13,5 % disebabkan oleh lubang korona dan 11 diantaranya atau sekitar 10,6 % tidak diketahui sumbernya seperti ditunjukkan pada Tabel 3.
7 Kholidah, dkk, Identifikasi Luas Daerah Aktif di Matahari Penyebab Kejadian Badai Geomagnet Tabel 3. Penyebab Terjadinya Badai Geomagnet Sepanjang Siklus ke-23 dan ke-24 No Tahun Penyebab Kejadian Badai Geomagnet Kuat CME Lubang Korona Sumber Tidak Diketahui Total Dari Tabel 3 diperoleh bahwa sumber di Matahari yang menghasilkan badai geomagnet dengan indeks Dst lebih kecil dari -100 nt umumnya disebabkan oleh CME sebanyak 79 kejadian atau sekitar 75,9 %. Data CME yang diperoleh dari SOHO/LASCO CME Catalog diketahui bahwa sebesar 73,4 % CME penyebab badai geomagnet umumnya merupakan CME Halo, sebesar 26,6 % merupakan CME yang memiliki sudut posisi lebih besar dari 180 derajat, hal ini menjelaskan bahwa posisi CME yang menyebabkan badai ini umumnya terletak di bagian barat Matahari. Saat Matahari berotasi, medan magnet Matahari menjadi melengkung ke sisi barat Matahari sehingga sumber gangguan yang kemungkinan besar mengenai Bumi berasal dari sisi barat. Dari 79 kejadian yang disebabkan oleh CME, 73 kejadian atau sekitar 92,4 % CME dipicu oleh flare dan 6 kejadian atau sekitar 7,6 % CME dipicu oleh erupsi filamen. Diperoleh bahwa Prosentase kejadian CME lebih tinggi disebabkan oleh flare dibandingkan oleh erupsi filamen, hal ini karena jumlah kejadian erupsi filamen lebih sedikit (filamen yang erupsi lebih jarang) daripada jumlah kejadian flare. Pada penelitian ini, terdapat 13 data atau sekitar 17.8 % kejadian CME yang dipicu oleh flare yang tidak teridentifikasi daerah aktifnya seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Frekuensi Pemicu Timbulnya CME Pemicu Terjadinya CME No Waktu Terjadinya CME Daerah Aktif Teridentifi kasi Flare Daerah Aktif Tidak Teridentifik asi Erupsi Filamen
8 Fibusi (JoF), Vol. 3 No. 2 Desember 2015 No Waktu Terjadinya CME Pemicu Terjadinya CME Daerah Aktif Teridentifi kasi Flare Erupsi Filamen Daerah Aktif Tidak Teridentifik asi Total Dari Tabel 4 dapat terlihat bahwa umumnya sebesar 82,2 % flare terjadi di atas daerah aktif sehingga dapat dikatakan bahwa ada keterkaitan antara daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet. Hal ini dapat dijelaskan karena daerah aktif di Matahari dapat menghasilkan flare yang dapat memicu terjadinya CME penyebab terjadinya badai geomagnet. Telah diketahui sebelumnya bahwa badai geomagnet dengan intensitas kuat umumnya disebabkan oleh CME yang dapat berpengaruh terhadap angin Matahari. Data yang digunakan hanya data kejadian badai geomagnet dengan indeks Dst lebih kecil dari -100 nt yang disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare dengan daerah aktif yang teridentifikasi yaitu sebanyak 60 data kejadian badai geomagnet. Sesuai dengan tujuan awal yaitu mengidentifikasi luas daerah aktif yang menyebabkan terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst lebih kecil dari -100 nt sepanjang siklus ke-23 dan ke-24, maka pada penelitian ini, keluasan daerah aktif diklasifikasikan seperti pada Tabel 1. Berdasarkan pengklasifikasian tersebut diperoleh distribusi kejadian badai geomagnet tiap tahunnya berdasarkan klasifikasi keluasan yang ditunjukan pada Tabel 5. Tabel 5. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst Lebih Kecil dari nt Berdasarkan Klasifikasi Daerah Aktif No Tahun Klasifikasi Sempit Sedang Luas Total Jika waktu terjadinya badai geomagnet pada Tabel 5 dirajah dalam bentuk grafik berdasarkan jumlah kemunculan pada keluasan daerah aktif, maka hasilnya ditunjukkan pada Gambar 3. Jumlah kejadian Tahun Sempit Sedang Luas Gambar 3. Frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan Indeks Dst Lebih Kecil dari -100 nt Berdasarkan Klasifikasi Daerah Aktif Dari 60 kejadian badai geomagnet dengan indeks Dst lebih kecil dari -100 nt yang dipicu
9 Kholidah, dkk, Identifikasi Luas Daerah Aktif di Matahari Penyebab Kejadian Badai Geomagnet oleh flare yang muncul di atas daerah aktif, diperoleh bahwa sekitar 51,7 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit, 33,3 % di sebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sedang dan 15 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas. Hasil ini menunjukan bahwa umumnya kejadian badai geomagnet yang memiliki indeks Dst lebih kecil dari -100 nt disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit. Berdasarkan pengklasifikasian Gonzales & Tsurutani, dan Gonzales, dkk, (dalam Santoso, dkk, 2008) diketahui bahwa badai geomagnet dengan indeks Dst lebih kecil dari -100 nt dapat dikategorikan menjadi badai geomagnet kuat dan badai geomagnet sangat kuat. Dari 60 data kejadian badai geomagnet dengan indeks Dst lebih kecil dari -100 nt, diperoleh 46 kejadian badai geomagnet masuk dalam kategori badai geomagnet kuat dan 14 kejadian badai geomagnet masuk dalam kategori badai geomagnet sangat kuat. Berdasarkan klasifikasi keluasan daerah aktif, maka diperoleh luas daerah aktif penyebab kejadian badai geomagnet kuat dan sangat kuat seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Distribusi Luas Daerah Aktif Penyebab Kejadian Badai Geomagnet Kuat dan Sangat Kuat Intensitas Badai Klasifikasi Sempit Sedang Luas Kuat Sangat Kuat Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa sekitar 56,5 % badai geomagnet kuat disebabkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sempit, 30,4 % disebabkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sedang dan 13 % disebabkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan luas. Sedangkan frekuensi terjadinya badai geomagnet sangat kuat sekitar 35,7 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit, 42,9 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sedang dan 21,4 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas. Hasil ini menunjukan bahwa luas daerah aktif penyebab terjadinya badai geomagnet kuat yaitu kategori keluasan sempit, sedangkan untuk badai geomagnet sangat kuat tidak ada kategori keluasan yang menunjukan dominan namun terlihat bahwa kecenderungan luas daerah aktif penyebab terjadinya badai geomagnet kuat yaitu dalam kategori keluasan sempit dan sedang.. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluasan daerah aktif tidak memiliki korelasi yang signifikan terhadap intensitas badai geomagnet. Daerah aktif dengan keluasan sempit dan sedang dapat menghasilkan intensitas badai geomagnet yang lebih besar dibandingkan intensitas badai geomagnet yang dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Gambar 4 ditunjukkan bahwa daerah aktif dengan keluasan luas tidak selalu memberikan nilai indeks Dst yang lebih negatif dibandingkan nilai indeks Dst yang dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit dan sedang. Indeks Dst (nt) daerah aktif 2500 sempit sedang luas Gambar 4. Hubungan Luas daerah aktif dengan Intensitas Badai Geomagnet Dari hasil identifikasi dan analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator indeks Dst lebih kecil dari -100 nt sepanjang siklus Matahari ke-23 (1996 s.d 2007) dan ke- 24 (2008 s.d 2014) diperoleh 104 kejadian badai geomagnet dengan distribusi kejadian sepanjang siklus ke-23 sebanyak 91 kejadian dan 13 kejadian sepanjang siklus ke-24. Dari 104 kejadian, diperoleh sekitar 75,9 % disebabkan oleh CME yang umumnya merupakan CME
10 Fibusi (JoF), Vol. 3 No. 2 Desember 2015 Halo dan sebesar 92,4 % CME ini dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif. Pada penelitian ini, data yang ditinjau yaitu data kejadian badai geomagnet yang memiliki indeks Dst lebih kecil dari -100 nt yang disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif yang teridentifikasi sehingga data yang digunakan yaitu sebanyak 60 data. Dari hasil analisis yang telah dilakukan menunjukan bahwa sebesar 56,5 % badai geomagnet kuat disebabkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sempit, 30,4 % disebabkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sedang dan 13% disebabkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan luas. Sedangkan frekuensi terjadinya badai geomagnet sangat kuat sekitar 35,7 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit, 42,9 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sedang dan 21,4 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas. Hasil ini menunjukan bahwa luas daerah aktif penyebab terjadinya badai geomagnet kuat dan sangat kuat sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 memiliki kecenderungan dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit dan sedang. Daerah aktif dengan keluasan sempit dan sedang dapat menghasilkan intensitas badai geomagnet yang lebih besar dibandingkan intensitas badai geomagnet yang dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas. Hal ini menunjukan bahwa luas daerah aktif memiliki keterkaitan yang kecil terhadap intensitas badai geomagnet. DAFTAR PUSTAKA Catalogue of Space Storms. [Online]. Diakses dari : Maspupu, J. (2011). Prediksi untuk Siklus 24 Secara Numerik. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Penerapan MIPA.Bandung: LAPAN Martiningrum, D.R., Purwono, A., Nuraeni, F., Muhamad, J. (2012). Fenomena Cuaca Antariksa. Bandung: LAPAN Santoso, A., Habirun., Rachyany, S., Bangkit, H. (2008). Karakteristik Sudden Commencement dan Sudden Impulse di SPD Biak Periode Jurnal Sains Dirgantara, 6 (1), hlm Saroso, S. (2010). Karakteristik Badai Geomagnet Besar Dalam Siklus Matahari ke-22 dan ke-23. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, hlm SOHO-LASCO CME Catalog. [Online]. Diakses dari : Solar Monitor. [Online]. Diakses dari : Solar Science. [Online]. Diakses dari : solarscience.msfc.nasa.gov/feature4.s.html Space Weather. [Online]. Diakses dari : ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/ World Data Center for Geomagnetism Kyoto. [Online]. Diakses dari : ac.jp/dst_final/index.html Yatini, C.Y., Saroso, S., Sinambela, W., Nugroho, J.L., Suhandi., B. (2010). Modul Diseminasi Interaksi Matahari-Bumi untuk Kalangan Guru Sekolah Menengah Atas. Bandung: LAPAN Youssef, M. (2012). On the relation between the CMEs and the solar flares. NRIAG Journal of Astronomy and Geophysics, 1, hlm
KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT
Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 21 November 2015 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
1 BAB III METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian deskriptif analitik yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi didalamnya. Beragam aktivitas di permukaannya telah dipelajari secara mendalam dan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca antariksa. Aktivitas Matahari sendiri ditandai oleh kemunculan bintik Matahari (Sunspot) yang
Lebih terperinciDISTRIBUSI KARAKTERISTIK SUDDEN STORM COMMENCEMENT STASIUN BIAK BERKAITAN DENGAN BADAI GEOMAGNET ( )
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 1 Maret 28:5-54 DISTRIBUSI KARAKTERISTIK SUDDEN STORM COMMENCEMENT STASIUN BIAK BERKAITAN DENGAN BADAI GEOMAGNET (2-21) Sity Rachyany Peneliti Pusat Pemanfaatan
Lebih terperinciSTUDI TENTANG BADAI MAGNET MENGGUNAKAN DATA MAGNETOMETER DI INDONESIA
284 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 hal. 284-288 STUDI TENTANG BADAI MAGNET MENGGUNAKAN DATA MAGNETOMETER DI INDONESIA Setyanto Cahyo Pranoto Pusat Pemanfaatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu pendek dan skala waktu panjang (misalnya siklus Matahari 11 tahunan). Aktivitas dari Matahari
Lebih terperinciANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG
ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG 1. Burchardus Vilarius Pape Man (PMG Pelaksana Lanjutan Stasiun
Lebih terperinciDAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA
DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Perubahan cuaca antariksa dapat menimbulkan dampak
Lebih terperinciDISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23
DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23 Tiar Dani dan Jalu Tejo Nugroho Peneliti Matahari dan Antariksa Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl.
Lebih terperinciSEMBURAN RADIO MATAHARI DAN KETERKAITANNYA DENGAN FLARE MATAHARI DAN AKTIVITAS GEOMAGNET
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 2 Juni 28:9-94 SEMBURAN RADIO MATAHARI DAN KETERKAITANNYA DENGAN FLARE MATAHARI DAN AKTIVITAS GEOMAGNET Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari mungkin tidak pernah ada kehidupan di muka Bumi ini. Matahari adalah sebuah bintang yang merupakan
Lebih terperinciPENENTUAN POSISI LUBANG KORONA PENYEBAB BADAI MAGNET KUAT
Penentuan Posisi Lubang Korona Penyebab Badai Magnet Kuat (Clara Y. Yatini) PENENTUAN POSISI LUBANG KORONA PENYEBAB BADAI MAGNET KUAT Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cuaca antariksa adalah kondisi di matahari, magnetosfer, ionosfer dan termosfer yang dapat mempengaruhi kondisi dan kemampuan sistem teknologi baik yang landas bumi
Lebih terperinciMODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER
MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER Habirun Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) email: h a b i r u n @ b d
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini dilakukan indentifikasi terhadap lubang korona, angin
30 BAB III METODE PENELITIAN Pada penelitian ini dilakukan indentifikasi terhadap lubang korona, angin surya, dan badai geomagnet selama selang waktu tahun 1998-2003. Berikut dijelaskan metode penelitian
Lebih terperinciGANGGUAN GEOMAGNET PADA FASE MINIMUM AKTIVITAS MATAHARI DAN MEDAN MAGNET ANTARPLANET YANG TERKAIT
GANGGUAN GEOMAGNET PADA FASE MINIMUM AKTIVITAS MATAHARI DAN MEDAN MAGNET ANTARPLANET YANG TERKAIT Mamat Ruhimat Peneliti Pusat Sains Antariksa, LAPAN email: mruhimat@yahoo.com ABSTRACT Geomagnetic disturbances
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di Antariksa bukan berupa hujan air atau salju es seperti di Bumi, melainkan cuaca di Antariksa terjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bumi setiap saat selalu dihujani oleh atom-atom yang terionisasi dan partikel subatomik lainnya yang disebut sinar kosmik. Sinar kosmik ini terdiri dari partikel yang
Lebih terperinciKETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 3 September 08:112-117 KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN 1996 01 Clara Y. Yatini, dan Mamat Ruhimat Peneliti Pusat
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Studi literatur ini dilakukan dengan menganalisis keterkaitan
BAB III METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode deskriptif analitik. Studi literatur ini dilakukan dengan menganalisis keterkaitan kejadian gelombang kejut dengan
Lebih terperinciPENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Abstrak
PENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Nani Pertiwi 1, Bambang Setiahadi 2, Sutrisno 3 1 Mahasiswa Fisika, Fakultas
Lebih terperinciVariasi Pola Komponen H Medan Geomagnet Stasiun Biak Saat Kejadian Solar Energetic Particle (SEP) Kuat Pada Siklus Matahari Ke-23
Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 29 Variasi Pola Komponen H Medan Stasiun Biak Saat Kejadian Solar Energetic Particle (SEP) Kuat Pada Siklus Matahari Ke-23 Anwar Santoso Pusat
Lebih terperinciAnwar Santoso, Mamat Ruhimat, Rasdewita Kesumaningrum, Siska Fillawati Pusat Sains Antariksa
Estimasi Badai Geomagnet... (Anwar Santoso et al) ESTIMASI BADAI GEOMAGNET BERDASARKAN KONDISI KOMPONEN ANGIN SURYA DAN MEDAN MAGNET ANTARPLANET (ESTIMATION OF GEOMAGNETIC STORM BASED ON SOLAR WIND COMPONENT
Lebih terperinciKARAKTERISTIK BADAI GEOMAGNET BESAR DALAM SIKLUS MATAHARI KE-22 DAN 23
190 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 hal. 190-194 KARAKTERISTIK BADAI GEOMAGNET BESAR DALAM SIKLUS MATAHARI KE-22 DAN 23 Sarmoko Saroso Bidang Aplikasi Geomagnet
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id
Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id MODEL EMPIRIK GANGGUAN GEOMAGNET TERKAIT DENGAN LONTARAN MASSA KORONA (EMPIRICAL MODEL OF GEOMAGNETIC DISTURBANCE ASSOCIATED WITH
Lebih terperinciANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET
Seminar Nasional Statistika IX Institut Teknologi Sepuluh Nopember, 7 November 29 ANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET Oleh : Anwar Santoso Staf Peneliti Bidang
Lebih terperinciKARAKTERISTIK SUDDEN COMMENCEMENT DAN SUDDEN IMPULSE DI SPD BIAK PERIODE
6 Jurnal Sains Dirgantara Vol. 6 No. 1 Desember 28:6-7 KARAKTERISTIK SUDDEN COMMENCEMENT DAN SUDDEN IMPULSE DI SPD BIAK PERIODE 1992-21 Anwar Santoso, Habirun, Sity Rachyany, Harry Bangkit Peneliti Bidang
Lebih terperinciANALISIS PENURUNAN INTENSITAS SINAR KOSMIK
Berita Dirgantara Vol. 11 No. 2 Juni 2010:36-41 ANALISIS PENURUNAN INTENSITAS SINAR KOSMIK Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Penyebab
Lebih terperinciPENERAPAN METODE POLARISASI SINYAL ULF DALAM PEMISAHAN PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DARI ANOMALI GEOMAGNET TERKAIT GEMPA BUMI
Fibusi (JoF) Vol.1 No.3, Desember 2013 PENERAPAN METODE POLARISASI SINYAL ULF DALAM PEMISAHAN PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DARI ANOMALI GEOMAGNET TERKAIT GEMPA BUMI S.F. Purba 1, F. Nuraeni 2,*, J.A. Utama
Lebih terperinciKARAKTERISTIK VARIASI HARIAN KOMPONEN H GEOMAGNET REGIONAL INDONESIA
KARAKTERISTIK VARIASI HARIAN KOMPONEN H GEOMAGNET REGIONAL INDONESIA Habirun Pusat Sains Antariksa-LAPAN Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa Email : e_habirun@yahoo.com PENDAHULUAN Karakteristik variasi
Lebih terperinciAnalisis Kejadian Corona Mass Ejection (CME) dan Solar Wind di Stasiun Geofisika Kampung Baru Kupang (KPG)
Analisis Kejadian Corona Mass Ejection (CME) dan Solar Wind di Stasiun Geofisika Kampung Baru Kupang (KPG) 1. Rahmat Setyo Juliatmoko, M.Si (PMG Ahli Stasiun Geofisika Kampung Baru Kupang) 2. Burchardus
Lebih terperinciBADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA
Badai Matahari dan Pengaruhnya pada Ionosfer...(Clara Y.Yatini et al.) BADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA Clara Y. Yatini, Jiyo, Mamat Ruhimat Peneliti Pusat Pemanfaatan
Lebih terperinciAnalisis Variasi Komponen H Geomagnet Pada Saat Badai Magnet
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 29 Analisis Variasi Komponen H Geomagnet Pada Saat Badai Magnet Habirun Peneliti
Lebih terperinciLIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK
Fibusi (JoF) Vol.1 No.3, Desember 2013 LIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK S.U. Utami
Lebih terperinciKARAKTERISTIK LONTARAN MASSA KORONA (CME) YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET
KARAKTERISTIK LONTARAN MASSA KORONA (CME) YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET Clara Y. Yatini, Suratno, Gunawan Admiranto, Nana Suryana Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id
Lebih terperinciAnwar Santoso Peneliti Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa Pusat Sains Antariksa, Lapan
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 12 No. 1 Desember 2014 :42-59 42 GEO-EFEKTIVITAS AKTIVITAS MATAHARI DAN LINGKUNGAN ANTARIKSA PADA SAAT BADAI GEOMAGNET [GEO-EFFECTIVENESS OF SOLAR ACTIVITY AND SPACE ENVIRONMENT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari Fitriani, 2013
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matahari merupakan sumber energi utama perubahan kondisi lingkungan antariksa. Matahari terus-menerus meradiasikan kalor, radiasi elektromagnetik pada seluruh panjang
Lebih terperinciProsiding Workshop Riset Medan Magnet Bumi dan Aplikasinya
13 Prosiding Workshop Riset Medan Magnet Bumi dan Aplikasinya http://www.lapan.go.id Korelasi Puncak Gangguan Komponen H Medan Magnet Bumi dengan Durasi Badai Geomagnet Correlation of Geomagnetic H Component
Lebih terperinciAWAN MAGNET PADA FASE MINIMUM AKTIVITAS MATAHARI DAN KAITANNYA DENGAN GANGGUAN GEOMAGNET
Awan Magnet pada Fase Minimum...(Clara Y. Yatini et al.) AWAN MAGNET PADA FASE MINIMUM AKTIVITAS MATAHARI DAN KAITANNYA DENGAN GANGGUAN GEOMAGNET Clara Y. Yatini dan Mamat Ruhimat Peneliti Pusat Sains
Lebih terperinciCUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN
CUACA ANTARIKSA Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Cuaca antariksa meliputi kopling antara berbagai daerah yang terletak antara matahari
Lebih terperinciModel Empiris Variasi Harian Komponen H Pola Hari Tenang. Habirun. Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl. Dr. Junjunan No.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 29 Model Empiris Variasi Harian Komponen H Pola Hari Tenang Habirun Pusat Pemanfaatan
Lebih terperinciPREDIKSI BINTIK MATAHARI UNTUK SIKLUS 24 SECARA NUMERIK
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 Mei 2011 PREDIKSI BINTIK MATAHARI UNTUK SIKLUS 24 SECARA NUMERIK John Maspupu Pussainsa
Lebih terperinciIDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN
IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT The geomagnetic disturbance level called geomagnetic index.
Lebih terperinciSTUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT
STUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT Habirun dan Sity Rachyany Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT Statistical study on correlation
Lebih terperinciANALISIS PERUBAHAN VARIASI HARIAN KOMPONEN H PADA SAAT TERJADI BADAI MAGNET
ANALISIS PERUBAHAN VARIASI HARIAN KOMPONEN H PADA SAAT TERJADI BADAI MAGNET Habirun, Sity Rachyany Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: e_habirun@yahoo.com ABSTRACT Changes in the daily
Lebih terperinciDiterima 11 Agustus 2017; Direvisi 10 Januari 2018; Disetujui 10 Januari 2018 ABSTRACT
Analisis Kondisi Fluks Elektron di... (Siska Filawati) ANALISIS KONDISI FLUKS ELEKTRON DI SABUK RADIASI ELEKTRON LUAR BERDASARKAN MEDAN MAGNET ANTARPLANET (BZ) DAN KECEPATAN ANGIN MATAHARI (ANALYSIS OF
Lebih terperinciPENGEMBANGAN SOFTWARE DETEKSI OTOMATIS SUDDEN COMMENCEMENT BADAI GEOMAGNET NEAR REAL TIME
Pengembangan Software Deteksi Otomatis Sudden... (Anwar Santoso et al.) PENGEMBANGAN SOFTWARE DETEKSI OTOMATIS SUDDEN COMMENCEMENT BADAI GEOMAGNET NEAR REAL TIME Anwar Santoso *), Sarmoko Saroso *), Habirun
Lebih terperinciFLARE BERDURASI PANJANG DAN KAITANNYA DENGAN BILANGAN SUNSPOT
FLARE BERDURASI PANJANG DAN KAITANNYA DENGAN BILANGAN SUNSPOT Santi Sulistiani, Rasdewlta Kesumaningrum Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN ABSTRACT In this paper we present the relationship
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id
Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id PENGARUH CIR DAN CME TERHADAP FLUKS ELEKTRON SEPANJANG TAHUN 2011 (THE EFFECT OF CIR AND CME ON THE ELECTRON FLUX IN 2011) Siska
Lebih terperinciPENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG
PENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG Hablrun, Sity Rachyany, Anwar Santoso, Visca Wellyanita Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT Geomagnetic
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage:http//www.lapan.go.id
Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage:http//www.lapan.go.id PENGARUH BADAI GEOMAGNET TERHADAP ANOMALI IONISASI EKUATORIAL DI BPAA SUMEDANG (GEOMAGNETIC STORM EFFECT ON EQUATORIAL IONIZATION
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus
26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Desain Penelitian 3.1.1 Metode penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus mempergunakan data semburan radio Matahari tipe II yang
Lebih terperinciANALI5IS BADAI MAGNET BUMI PERIODIK
ANALI5IS BADAI MAGNET BUMI PERIODIK Visca Wellyanita, Sity Rachyany, Mamat Ruhimat Peneliti Bidang Aplikasi Geomagnet dan Magnet Antariksa, LAPAN ABSTRACT Periodic magnetic storms are those related to
Lebih terperinciANCAMAN BADAI MATAHARI
ANCAMAN BADAI MATAHARI 1. Gambaran Singkat Badai Matahari (Solar Storm) adalah gejala terlemparnya proton dan elektron matahari, dan memiliki kecepatan yang setara dengan kecepatan cahaya. Badai Matahari
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data sekunder yang diperoleh dari hasil akuisisi data yang dilakukan oleh Lembaga Penerbangan
Lebih terperinciPENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM
Jurnal Fisika Vol. 3 No. 1, Mei 2013 63 PENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM Buldan Muslim 1,* Pusat Sains Antariksa Deputi Bidang Pengakajian, Sains dan Informasi Kedirgantaraan,
Lebih terperinciLEDAKAN MATAHARI PEMICU ANOMALI DINAMIKA ATMOSFER BUMI
Ledakan Matahari Pemicu Anomali Dinamika Atmosfer Bumi (Suratno) LEDAKAN MATAHARI PEMICU ANOMALI DINAMIKA ATMOSFER BUMI Suratno Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN e-mail: suratno@bdg.lapan.go.id
Lebih terperinciPERBANDINGAN PERHITUNGAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG (175 4'BT; 17 6'LS)
PERBANDINGAN PERHITUNGAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG (175 4'BT; 17 6'LS) Anwar Santoso dan Habirun Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT Studies on geomagnetic
Lebih terperinciHELISITAS MAGNETIK DAERAH AKTIF DI MATAHARI
HELISITAS MAGNETIK DAERAH AKTIF DI MATAHARI Clara Y. Yatlnl Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id ABSTRACT The solar magnetic helicity obey the helicity rule. Negative
Lebih terperinciMedan Magnet Benda Angkasa. Oleh: Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB
Medan Magnet Benda Angkasa Oleh: Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB Kompetensi Dasar XII.3.4 Menganalisis induksi magnet dan gaya magnetik pada berbagai produk teknologi XII.4.4 Melaksanakan pengamatan induksi
Lebih terperinciIDENTIFIKASI KONDISI ANGIN SURYA (SOLAR WIND) UNTUK PREDIKSI BADAI GEOMAGNET
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 275 hal. 275-283 IDENTIFIKASI KONDISI ANGIN SURYA (SOLAR WIND) UNTUK PREDIKSI BADAI GEOMAGNET Anwar Santoso Bidang Aplikasi Geomagnet
Lebih terperinciMATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA
Berita Dirgantara Vol. 9 No. 1 Maret 2008:6-11 MATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA Neflia Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN Neflia103@yahoo.com RINGKASAN Kata cuaca antariksa sangat erat
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
19 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian 1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik. Dalam mengidentifikasi semburan radio Matahari (solar
Lebih terperinciKETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN VARIABILITAS IONOSFER DAN DAMPAKNYA PADA KOMUNIKASI RADIO DAN NAVIGASI BERBASIS SATELIT DI INDONESIA.
KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN VARIABILITAS IONOSFER DAN DAMPAKNYA PADA KOMUNIKASI RADIO DAN NAVIGASI BERBASIS SATELIT DI INDONESIA. Wilson Sinambela 1, Tiar Dani 1, Iyus Edy Rustandi 1, Jalu Tejo
Lebih terperinciYANG TERKAIT DENGAN LUBANG KORONA TANGGAL 22 AGUSTUS 2010
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 1 Maret 2011: 6-11 YANG TERKAIT DENGAN LUBANG KORONA TANGGAL 22 AGUSTUS 2010 Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Lubang
Lebih terperinciANALISIS MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN GEOMAGNET BERDASARKAN POSISI MATAHARI
ANALISIS MOEL VARIASI ARIAN KOMPONEN GEOMAGNET BERASARKAN POSISI MATAARI T-15 abirun Bidang Aplikasi Geomagnet an Magnet Antariksa Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl. r. Junjunan No. 133 Bandung
Lebih terperinciMODEL POLA HARI TENANG MEDAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG MENGGUNAKAN PERSAMAAN POLINOM ORDE-4
MODEL POLA HARI TENANG MEDAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG MENGGUNAKAN PERSAMAAN POLINOM ORDE-4 Anwar Santoso dan Habirun Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT The quiet day
Lebih terperinciKEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI DAN BADAI GEOMAGNET
KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI DAN BADAI GEOMAGNET Sri Ekawati 1), Asnawi 1), Suratno 2) 1) Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN
Lebih terperinciDiterima 18 April 2016, Direvisi 23 Juni 2016, Disetujui 28 Juni 2016 ABSTRACT
Pengaruh Orientasi Medan Magnet... (Anton Winarko dan Anwar Santoso) PENGARUH ORIENTASI MEDAN MAGNET ANTARPLANET PADA GANGGUAN GEOMAGNET DI LINTANG RENDAH (THE EFFECT OF INTERPLANETARY MAGNETIC FIELD ORIENTATION
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id
Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id KOREKSI HARIAN DALAM SURVEI GEOMAGNET DI PARE-PARE, SULAWESI (DAILY CORRECTION IN GEOMAGNETICS SURVEY AT PARE-PARE, SULAWESI)
Lebih terperinciABSTRACT ABSTRAK 1 PENDAHULUAN
PROBABILITAS KETERKAITAN SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II DENGAN LONTARAN MASSA KORONA Suratno Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN e-mail: suratno@bdg.lapan.go.id ABSTRACT Investigation on probability
Lebih terperinciPENENTUAN WAKTU ONSET SUDDEN COMMENCEMENT KOMPONEN H GEOMAGNET DI BIAK
Penentuan Waktu Onset SC (Sudden Commencement)... (Anwar Santoso) PENENTUAN WAKTU ONSET SUDDEN COMMENCEMENT KOMPONEN H GEOMAGNET DI BIAK Anwar Santoso Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN
Lebih terperinciANALISIS SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II SEBAGAI PREKURSOR KEMUNGKINAN TERJADINYA BADAI MAGNET BUMI
Analisis Semburan Radio Matahari Tipe II... (Suratno et al.) ANALISIS SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II SEBAGAI PREKURSOR KEMUNGKINAN TERJADINYA BADAI MAGNET BUMI Suratno dan Santi Sulistiani Peneliti Bidang
Lebih terperinciMETODE PENGUKURAN ARUS GIC PADA TRANSFORMATOR JARINGAN LISTRIK
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 71 hal. 71-76 METODE PENGUKURAN ARUS GIC PADA TRANSFORMATOR JARINGAN LISTRIK Setyanto Cahyo P Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa,
Lebih terperinciTELAAH INDEKS K GEOMAGNET DI BIAK DAN TANGERANG
TELAAH INDEKS K GEOMAGNET DI BIAK DAN TANGERANG Sity Rachyany, Habirun, Eddy Indra dan Anwar Santoso Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa LAPAN ABSTRACT By processing and analyzing the K index data
Lebih terperinciAnalisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek
Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek Muhammad F. Rouf Hasan 1, Bambang Setiahadi, Sutrisno Jurusan Fisika, Universitas
Lebih terperinciIDENTIFIKASI MODEL INDEKS K GEOMAGNET BERDASARKAN SIFAT STOKASTIK
IDENTIFIKASI MODEL INDEKS K GEOMAGNET BERDASARKAN SIFAT STOKASTIK Habirun Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT Geomagnetic K Index is the index that expressing magnetic disturbance
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id
Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id ANALISIS PENGARUH BADAI GEOMAGNET TERHADAP RESPON fof2 IONOSFER DI BPAA SUMEDANG (GEOMAGNETIC STORM EFFECT TO THE FOF2 IONOSPHERE
Lebih terperinciMODEL SPEKTRUM ENERGI FLUENS PROTON PADA SIKLUS MATAHARI KE-23
MODEL SPEKTRUM ENERGI FLUENS PROTON PADA SIKLUS MATAHARI KE-23 Wilson Sinambela, S. L Manurung, Nana Suryana Peneliti Pusat Pamanfaatan Sains Antariksa, LAPAN e-mail:wilson@bdg.lapan.go.id e-mail:manurung@bdg.lapan.go.id
Lebih terperinciIDENTIFIKASI PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI PADA
IDENTIFIKASI PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI PADA fof2 Dl BIAK DAN TEC IONOSFER Dl BANDUNG Wilsom Sinambela, Anwar Santoso, dan Asnawi Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains dan Antariksa Lcmbaga Penerbangan dan
Lebih terperinci1.2 Tujuan Makalah Makalah ini dibuat untuk membantu para taruna-taruni dalam hal memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan medan magnet Bumi.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Magnet adalah suatu obyek yang mempunyai medan magnet. Pada saat ini, suatu magnet adalah suatu materi yang mempunyai suatu medan magnet. Materi tersebut bisa dalam
Lebih terperinciSTUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO
STUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO AnwAr Santoso Peneliti Bidang Aplihasi Geomagnet dan Magnet Antariksa, LAPAN ABSTRACT Phenomena of ionospherics irregularities such as process
Lebih terperinciANALISIS PERGERAKAN BINTIK MATAHARI Dl DAERAH AKTIF NOAA 0375
ANALISIS PERGERAKAN BINTIK MATAHARI Dl DAERAH AKTIF NOAA 0375 Oara Y. Yatint, E. Sunggfrtg Mumpunl Penelltt Puat Pemanfaatan Sains Mtiriksa, LAPAN emit cl3r3@bdg.tip3n-to.ld ABSTRACT The observation of
Lebih terperinciKALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540 MENGGUNAKAN KALIBRATOR MAGNETOMETER
Kalibrasi Magnetometer...(Harry Bangkit dan Mamat Ruhimat) KALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540 MENGGUNAKAN KALIBRATOR MAGNETOMETER Harry Bangkit, Mamat Ruhimat Pusat Sain Antariksa Lembaga Penerbangan dan
Lebih terperinciPERAN DIMENSI FRAKTAL DALAM RISET GEOMAGSA
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 Mei 2011 PERAN DIMENSI FRAKTAL DALAM RISET GEOMAGSA John Maspupu Pussainsa LAPAN,
Lebih terperinciPEMODELAN DAN VALIDASI HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KRITIS LAPISAN F2 IONOSFER (fof2) DENGAN TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DARI DATA IONOSONDA DAN GPS
PEMODELAN DAN VALIDASI HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KRITIS LAPISAN F2 IONOSFER (fof2) DENGAN TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DARI DATA IONOSONDA DAN GPS Buldan Muslim Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN
Lebih terperinciANALISIS KONDISI ANTARIKSA DI ORBIT LAPAN A2 MENJELANG PUNCAK AKTIVITAS MATAHARI SIKLUS 24
Analisis Kondisi Antariksa di Orbit...(Nizam Ahmad et al.) ANALISIS KONDISI ANTARIKSA DI ORBIT LAPAN A2 MENJELANG PUNCAK AKTIVITAS MATAHARI SIKLUS 24 Nizam Ahmad dan Neflia Peneliti Pusat Sains Antariksa,
Lebih terperinciSTUDI PERBANDINGAN DISTRIBUSI INDEKS K GEOMAGNET ANTARA STASIUN BIAK DENGAN MAGNETOMETER DIGITAL DAN STASIUN TANGERANG DENGAN MAGNETOMETER ANALOG
STUDI PERBANDINGAN DISTRIBUSI INDEKS K GEOMAGNET ANTARA STASIUN BIAK DENGAN MAGNETOMETER DIGITAL DAN STASIUN TANGERANG DENGAN MAGNETOMETER ANALOG Anwar Santoso dan Sity Rachyany Peneliti Pusat Pemanfaatan
Lebih terperinciDiterima: 28 April 2016; direvisi: 3 Juni 2016; disetujui: 14 Juni 2016 ABSTRACT
Analisis Prekursor Peristiwa Flare... (Agustinus G. A, et al) ANALISIS PREKURSOR PERISTIWA FLARE/PELONTARAN MASSA KORONA DALAM RANGKA PERINGATAN DINI CUACA ANTARIKSA (THE ANALYSIS OF FLARE/CORONAL MASS
Lebih terperinciMETODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24
METODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24 Johan Muhamad Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN E-mail: johan_m@bdg.lapan.go.id ABSTRACT A Non-linear Fitting method was
Lebih terperinciPENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI BIAK
PENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI BIAK Mamat Ruhimat, Sity Rachyany, Habirun, Visca Wellyanita Peneliti Bidang Aplikasi Geomagnet dan Magnet Antariksa, LAPAN ruhimat@bdg.lapan.go.id
Lebih terperinciANALISIS PENGARUH FLARE DAN CME TERHADAP INDEKS DST PASCA GERHANA BULAN TOTAL 8 OKTOBER 2014
ISSN 1829-5266 (print) ISSN 2301-8550 (online) ANALISIS PENGARUH FLARE DAN CME TERHADAP INDEKS DST PASCA GERHANA BULAN TOTAL 8 OKTOBER 2014 Asih Melati *) Program Studi Fisika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Lebih terperinciPola Variasi Reguler Medan Magnet Bumi Di Tondano
JURNAL MIPA UNSRAT ONLINE 3 (1) 30-34 dapat diakses melalui http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmuo Pola Variasi Reguler Medan Magnet Bumi Di Tondano Teguh Prasetyo a,b*, Adey Tanauma a, As ari a a
Lebih terperinciANALISIS DAMPAK FLARE TIPE X SEPTEMBER 2014 TERHADAP SISTEM NAVIGASI DAN POSISI BERBASIS SATELIT DARI PENGAMATAN GISTM KUPANG
DOI: doi.org/10.21009/03.snf2017.02.epa.11 ANALISIS DAMPAK FLARE TIPE X SEPTEMBER 2014 TERHADAP SISTEM NAVIGASI DAN POSISI BERBASIS SATELIT DARI PENGAMATAN GISTM KUPANG Asnawi Husin 1,a), Tiar Dani 1,b),
Lebih terperinciAnalisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek
JPSE (Journal of Physical Science and Engineering) http://journal2.um.ac.id/index.php/jpse EISSN: 2541-2485 Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari
Lebih terperinciDiterima 11 Januari 2016, Direvisi 9 Juni 2016, Disetujui 24 Juni 2016 ABSTRACT
Analisis Respon Medan Geomagnet antara... (Anwar Santoso) ANALISIS RESPON MEDAN GEOMAGNET ANTARA STASIUN DI EKUATOR MAGNET DAN STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET PADA MERIDIAN MAGNET 210⁰ MM (ANALYSIS OF
Lebih terperinciABSTRAK. Kata Kunci: Sunspot, Aktivitas Matahari, Klasifikasi Mcintosh, Flare
ABSTRAK Pradhana, Candra. 2013.Klasifikasi Bintik Matahari (Sunspot) berdasarkan McIntosh sebagai Parameter Aktivitas Matahari dan Prediktor Flare Kelas x Diamati di Laboratorium Astronomi Fisika UM pada
Lebih terperinciAnalisis Medan Magnet Bumi Sebelum dan Sesudah Kejadian Gempa (Studi Kasus: Gempa 18 November 2014 di Sabang)
JURNAL MIPA UNSRAT ONLINE 5 (2) 65--69 dapat diakses melalui http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmuo Analisis Medan Magnet Bumi Sebelum dan Sesudah Kejadian Gempa (Studi Kasus: Gempa 18 November 2014
Lebih terperinciDAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY)
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 8 No. Juni :-9 DAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY)
Lebih terperinci