MODEL DINAMIK PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (WATERSHED) DALAM UPAYA PENYEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI SEMENANJUNG LEITIMOR PULAU AMBON

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL DINAMIK PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (WATERSHED) DALAM UPAYA PENYEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI SEMENANJUNG LEITIMOR PULAU AMBON"

Transkripsi

1 i MODEL DINAMIK PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (WATERSHED) DALAM UPAYA PENYEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI SEMENANJUNG LEITIMOR PULAU AMBON JUSMY DOLVIS PUTUHENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

2 ii

3 iii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi judul MODEL DINAMIK PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (WATERSHED) DALAM UPAYA PENYEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI SEMENANJUNG LEITIMOR PULAU AMBON adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di Bagian akhir disertasi ini. Bogor, Februari 2013 Jusmy Dolvis Putuhena NRP. P

4 iv

5 v ABSTRACT JUSMY DOLVIS PUTUHENA, Watershed Management Dinamic Model in Sustainable Water Supply Efforts in Ambon Island Peninsula Leitimor. Supervised by ASEP SAPEI, M. YANUAR J. PURWANTO dan LILIK B. PRASETYO. Landcover changes from forest to other uses will impact the hydrological sistem, and result in the availability of water in the watershed Semenajung Leitimor Ambon Island. Population growth in the city of Ambon will be proportional to the demand for land and water requirements. The purpose of this study was (i). Analyzing changes in land cover in the watershed Leitimor Peninsula, (ii) to analyze the discharge mainstay at Peninsula Watershed Leitimor, (iii) to analyze the need for water in the peninsula Leitimor and (iv) Designing watershed management model for supporting sustainable water resources ecologically, economically and sosial Leitimor Peninsula. Analysis using digital image analysis, SWAT analysis, Multidimensional Scale (MDS) dynamic models (Stella) and descriptive analysis. The results showed that there have been changes in watershed landcover in Ambon; SWAT models can describe the characteristics of the watershed with an average water availability at the fifth annual tie at million m3; catchment water demand in the fifth over of the production of water services company; multidimensional sustainability status of 50.97% is quite sustainable management model is best RHL activities and expansion of agriculture with agroforestry sistems, and stakeholders a role in watershed management is the Forum DAS and forest farmer groups. Keywords: landcover change, watershed characteristics, water supply, watershed management, watershed management stakeholders

6 vii RINGKASAN JUSMY DOLVIS PUTUHENA, MODEL DINAMIK PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (WATERSHED) DALAM UPAYA PENYEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI SEMENANJUNG LEITIMOR PULAU AMBON, dibawah bimbingan ASEP SAPEI, M. YANUAR J. PURWANTO dan LILIK B. PRASETYO. Di Indonesia fenomena DAS kritis merupakan masalah lingkungan yang cukup serius. Pada Tahun 1984 tercatat 22 DAS yang mencapai status kritis, Tahun 1992 meningkat menjadi 39, pada Tahun 1998 menjadi 42, 59 pada Tahun 2000 dan 60 DAS kritis pada Tahun Pada Tahun 2005 jumlah DAS kritis di Indonesia mencapai 62 DAS dan pada Tahun 2008 tercatat sebanyak 291 DAS kritis. Keberadaan hutan dapat mencegah terjadinya banjir besar dan kekeringan. Ketidakseimbangan air terjadi akibat berubahnya tutupan lahan yang mengarah pada areal nonvegetasi. Pengelolaan lahan yang efektif dapat menghindari kerusakan sumberdaya air dengan cara menyeimbangkan penutupan lahan, peningkatan ekonomi dan manfaatan lingkungan yang selaras untuk mengurangi banjir. DAS Batu Merah di Kota Ambon merupakan salah satu lokasi DAS kritis di Indonesia. Penutupan lahan di Kota Ambon sekarang didominasi oleh permukiman penduduk dan infrastuktur pendukung lainnya seperti jalan, sarana ibadah, sekolah dan lain sebagainya. Kondisi ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan terjadinya konflik sosial. Keadaan ini mendorong rusaknya sistem hidrologi DAS, dan berakibat pada meluasnya lahan kritis, erosi dan sedimentasi, serta banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Penduduk Semenanjung Leitimor di Kota Ambon memanfaatkan air bersih yang bersumber dari lima DAS yaitu DAS Batu Gantung, DAS Batu Gajah, DAS Wai Tomu, DAS Batu Merah dan DAS Wae Ruhu, sedangkan sisanya dari Sumur pompa, sumur gali dan air hujan. Kondisi DAS di Kota Ambon berada dalam kondisi kritis, termasuk kelima DAS ini. Kajian ini bertujuan untuk menganalisa (i). Perubahan tutupan lahan, (ii) Debit andalan di DAS, (iii) Kebutuhan air dan (iv) Mendisain model pengelolaan DAS dalam menunjang keberlanjutan sumberdaya air secara ekologi, ekonomi dan sosial di Semenanjung Leitimor. Penelitian dilaksanakan di Semenanjung Leitimor Pulau Ambon, dimulai bulan Maret 2011 sampai dengan Juni Metode penelitian menggunakan metode analisis citra digital dan GIS untuk menjawab tujuan pertama, analisis SWAT untuk menjawab tujuan kedua, analisis diskriptif untuk menjawab tujuan ketiga dan Multidimensional Scale (MDS), model Sistem Dinamik (Stella) dan analisis diskriptif untuk menjawab tujuan keempat. Data yang dikumpulkan antara lain data primer berupa survei lapangan, wawancara dengan informan kunci, dan data sekunder dari instansi terkait yang menunjang penelitian ini.

7 viii Kondisi tutupan lahan di DAS Kota Ambon antara Tahun menunjukan perubahan penutupan lahan antara lain hutan sekunder, lahan terbuka, permukiman serta semak belukar mengalami kenaikan luasan sedangkan pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur mengalami penurunan luasan. Model SWAT dapat digunakan untuk mengetahui kondisi karakteristik hidrologi, dengan debit andalan 80% yang merupakan ketersediaan air disungai untuk kelima DAS sebesar ,00 m 3, dengan penyebaran yang tidak merata pada setiap bulannya, dimana pada Bulan Mei Agustus air sungai sangat banyak tersedia, namun pada bulan September April air sungai tersedia dalam jumlah yang kecil. Analisis ketersediaan air di Kota Ambon pada Tahun 2010 terhadap berbagai sektor menunjukan bahwa kebutuhan air untuk sektor domestik, sektor pertanian dan sektor perindustrian sebesar m 3 sedangkan produksi air oleh penyedia jasa air di Kota Ambon (PDAM dan PT. DSA) sebesar m 3 pada saat musim hujan dan m 3 pada saat musim kemarau. Ini berarti bahwa produksi air oleh penyedia jasa air di Kota Ambon belum mampu memenuhi kebutuhan air bersih untuk berbagai sektor. Analisis keberlanjutan pengelolaan DAS untuk multidimensi menujukan bahwa indeks keberlanjutan multidimensional sebesar 50,97% yang tergolong cukup berkelanjutan. Indeks dan status keberlanjutan masing-masing dimensi adalah dimensi ekologi 38,55% (kurang berkelanjutan), dimensi ekonmi 56,28% (cukup berkelanjutan) dan dimensi sosial 60,15% (cukup berkelanjutan); dan terdapat 13 faktor pengungkit yang sifatnya dapat diintervensi kearah perbaikan maupun dapat dipertahankan. Model dinamik pengelolaan DAS Kota Ambon yang terbaik adalah menggunakan skenario moderat dengan melakukan kegiatan RHL dan ekstensifikasi pertanian sistem agroforestri, menekan laju pertumbuhan penduduk di DAS Kota Ambon menjadi 2%, perusahaan jasa air minim menekan angka kebocoran sebesar 15% dan menambah produksi air 15%. Pemilihan skenario ini dengan pertimbangan aspek ekonomi masyarakat dan tidak mengesampingkan aspek ekologi. Pelaksanaan model ini dengan maksud memperbaiki (a) debit aliran sungai, (b) Indeks penggunaan air, (c) Kecukupan luas tutupan hutan dan (d) pendapatan petani dari agroforestri. Kelembagaan yang mempunyai peran penting dalam rehabilisati kawasan konservasi DAS Kota Ambon adalah BPDAS Wae Hapu-Batu Merah, dengan perpanjangan tangan kepada Forum DAS Maluku dan melakukan pembinaan kepada kelompok tani hutan yang merupakan aktor kunci dalam melakukan konservasi DAS Kota Ambon dengan bersama-sama LSM, Kewang Lingkungan Hidup dan Sinode GPM melakukan pendampingan dan pembinaan kepada masyarakat hulu.

8 ix Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

9 x

10 xi MODEL DINAMIK PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (WATERSHED) DALAM UPAYA PENYEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI SEMENANJUNG LEITIMOR PULAU AMBON JUSMY DOLVIS PUTUHENA Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

11 xii Penguji: Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA : 2. Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc.ForestTrop Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Rafael M. Osok, MSc : 2. Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS

12 xiii HALAMAN PERSETUJUAN Judul Disertasi : MODEL DINAMIK PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (WATERSHED) DALAM UPAYA PENYEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI SEMENANJUNG LEITIMOR PULAU AMBON Nama NRP : Jusmy Dolvis Putuhena : P Menyetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS Ketua Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS Anggota Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc Anggota Diketahui, Ketua Program Studi/Mayor Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Dekan Sekolah Pacsasarjana, Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 29 Januari 2013 Tanggal Lulus :

13 xiv

14 xv KATA PENGANTAR Puji dan syukur, penulis panjatkan ke hadirat Allah Bapa yang hanya melalui AnugerahNya di dalam Tuhan Yesus Kristus, serta tuntunan dan bimbingan RohNya yang kudus, disertasi ini dapat terselesaikan. Disertasi ini berjudul MODEL DINAMIK PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (WATERSHED) DALAM UPAYA PENYEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI SEMENANJUNG LEITIMOR PULAU AMBON dan merupakan akhir dari rangkaian penelitian yang dimulai dilakukan sejak pertengahan Tahun Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS., Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS., dan Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc. selaku komisi pembimbing, yang senantiasa mengingatkan serta menunjukkan arah penelitian dan penulisan disertasi ini. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA dan Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc.Forest.Trop sebagai penguji pada sidang tertutup dan Prof. Dr. Ir. Rafael M. Osok, MSc. dan Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS. sebagai penguji pada sidang terbuka, yang telah memberikan banyak masukan dan saran, Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana MS. selalu ketua program studi yang membantu serta memberikan kemudahan kepada penulis selama belajar di IPB Terima kasih juga penulis sampaikan kepada para Kementerian Pendidikan Nasional, pejabat di jajaran Universitas Pattimura, antara lain; Rektor, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Kehutanan, yang memberikan kesempatan sekaligus mendorong untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang doktor. Demikian juga segenap pimpinan Institut Pertanian Bogor dan jajarannya dalam mendidik dan memfasilitasi penulis selama di IPB. Kepada Gubernur Maluku dan Walikota Ambon melalui perwakilan pada instansi terkait serta para pihak yang membantu selama pengumpulan data, diucapkan terima kasih.

15 xvi Tidak lupa kepada kolega dari Forum Mahasiswa PSL-IPB, Himpunan Alumni Dewan Mahasiswa IPB, Persekutuan Pelajar dan Mahasiswa Maluku di Bogor, Prof. Dr. Ir. G. A. Watimena selaku orang tua dan pembina PERMAMA di Bogor, serta rekan-rekan yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, penulis ucapkan terima kasih untuk dukungan, doa dan kebersamaannya. Yayasan Dana Beasiswa Maluku (YDBM), Yayasan Supersemar, Yasayan Setya Bakti, Pemda Propinsi Maluku yang telah membantu penulis lewat dana bantuan penelitian. Teman-temanku Pak Yob Sahetapy, Bala Elbabley, Prof. Rafael Ozok, Prof. I. Nengah S. Jaya (Ka. Lab SIG Fahutan) Iphoel, Mba Puput, Kang Edwin, Prof. Budi Indra Setiawan (Ka. Lab Wengeningen) Bang Fadly (jagoan MWSWAT), Maul, Fajar dan Bang Lutfy Abdillah (Jagoan Stella), serta Henry Silka Innah yang banyak membantu selama penulis melakukan penyelesaian tulisan ini. Sidik Rumakabis, Dahlan Edlegar, Anca Sangdji, Ally Sangadji, dan Dullah Sofiaun teman kosan Abimanyu. Pak Ape Titioka, Pak Alex Sakalessy, Pak Ade de Silo, dan Pak Hendrik Salmon, Sius Dadasa dan keluarga serta segenap karyawan di KSU Gloria, teman-teman lain yang tidak sempat penulis sebutkan satu per satu yang selalu memberikan dorongan dan semangat kepada penulis dalam penyelesaian studi. Akhirnya kepada ayah tercinta Dominggus Putuhena, kakak-kakakku (beserta keluarga) tersayang, ibu mertua Meity Metekohy dan keluarga besar Metekohy di da Silva, istri tercinta Virginia Beatrix Manuhutu S.Hut., ananda Jecklien Deatirsa Putuhena, dan Yedija Herman Jecky Putuhena yang ditinggalkan di Ambon karena studi S3 ini; Doa, dorongan dan motivasi kalian semua selama saya melakukan studi dan di sela-sela penyelesaian disertasi ini, Bapa berterima kasih untuk doa-doa dan kesabarannya. Semoga disertasi ini ada manfaatnya bagi kita sekalian. Amin Bogor, Januari 2013 Jusmy Dolvis Putuhena

16 xvii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banda pada tanggal 28 maret 1976 sebagai anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Dominggus Putuhena dan Samelina Lientje Syaranamual (almh). Pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas diselesaikan di Kota Ambon Maluku. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Hutan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, lulus pada Tahun Lulus Program Magister Pengelolaan Lingkungan pada Tahun 2004 di Universitas Gadjah Mada - Yogyakarta. Studi Program Doktor diselesaikan di Institut Pertanian Bogor sejak Tahun 2008, pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PS - PSL) dengan biaya dari BPPS Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun 2005 penulis bekerja sebagai staff pengajar pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura - Ambon dengan konsentrasi kepakaran: konservasi sumberdaya air dan Pelestarian Sumber Daya Alam.

17 xviii

18 xix DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xxiii DAFTAR GAMBAR... xxv DAFTAR LAMPIRAN... xxix I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pikir Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Novelty II. TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Sumberdaya Air Siklus Hidrologi dan Ketersediaan Air Siklus Hidrologi Ketersediaan Air Konservasi Tanah dan Air Pengelolaan Vegetasi dan Hasil Air Indikator Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Soil and Water Assessment Tool (SWAT) Konsep Pembanguan Berkelanjutan Sistem dan Pendekatan Sistem Pengertian dan Tipe Sistem Pendekatan Sistem III. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Desain Penelitian Metode Penelitian Data Primer Data Sekunder Tahapan Analisis Data Analisis Data Penutupan Lahan

19 xx Karakteristik Hidrologi DAS Penggunaan Air Proyeksi Penduduk Pemakaian Air Kebutuhan Air Total Desain Model Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Semenanjung Leitimor Desain Model Pengelolaan DAS Semenanjung Leitimor Analisis Kelembagaan Pengelolaan DAS Kota Ambon IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Keadaan Biofisik Letak dan Luas Wilayah Aksesibilitas Kondisi Fisik Wilayah Kondisi Iklim dan Hidrologi Topografi Geologi dan Tanah Penutupan Lahan Debit Sungai Kondisi Sosial Budaya Kependudukan Kondisi Lahan Kritis Sistem Jaringan Sumberdaya Air Sistem Penyediaan Air Bersih dan Air Minum V. HASIL DAN PEMBAHASAN ANALISIS TUTUPAN LAHAN Penutupan lahan/tutupan Lahan Di DAS Kota Ambon Karakteristik Hidrologi dan Debit Andalan Deliniasi DAS Pembentukan HRUs pada DAS Kota Ambon Hulu Kelerengan di DAS Kota Ambon Pembangkit Data Iklim (WGN) Karakteristik Tanah hasil Simulasi Model SWAT Karakteristik Landcover untuk Model SWAT Output SWAT... 96

20 xxi Kalibrasi Model SWAT ANALISIS KEBUTUHAN AIR Kebutuhan Air Kebutuhan Air Domestik Kebutuhan Air Pertanian Kebutuhan Air Industri Total Kebutuhan Air di Lokasi Penelitian Produksi Air PDAM dan PT. DSA Kota Ambon Pemodelan Daerah Aliran Sungai Kota Ambon Yang Berkelanjutan Status Keberlanjutan DAS Kota Ambon Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Status Keberlanjutan Multidimensi Pengelolaan DAS Kota Ambon Faktor Pengungkit Uji Validitas dan Uji Ketepatan MDS Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Analisis Sistem Dinamik Pengelolaan DAS Kota Ambon Kondisi Eksisting Evaluasi Model Analisis Kelembagaan Pengelolaan VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

21 xxii

22 xxiii DAFTAR TABEL 1. Matriks tujuan, variabel data, teknik pengumpulan data, metode analisis dan output yang diharapkan dalam penelitian Jenis data dan sumber data primer Standar kebutuhan air untuk berbagai sektor Kategori status keberlanjutan pengelolaan DAS Semenanjung Leitimor Draft analisis kebutuhan stakeholders dalam desain kebijakan Pengelolaan DAS Semenanjung Leitimor terpadu dan berkelanjutan Rute dan jarak Kota Ambon dari Jakarta Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Kota Ambon Luas masing-masing tutupan lahan kelima DAS di Kota Ambon Matriks kesalahan hasil klasifikasi Luas tutupan lahan hutan sekunder Luas tutupan lahan semak/belukar Luas tutupan lahan pertanian lahan kering Luas tutupan lahan pertanian lahan kering campur Luas tutupan lahan permukiman Luas tutupan tanah terbuka Luas DAS Kota Ambon hasil deliniasi Hasil Analisis HRUs DAS Kota Ambon Kondisi kelerengan pada DAS di Kota Ambon Jenis tanah pada kelima DAS di Kota Ambon Penyesuaian jenis landcover lokal dengan landcover global (database SWAT) Karakteristik hidrologi DAS Kota Ambon Standar KA. RT. berdasarkan jenis kota dan jumlah penduduk Jumlah penduduk di lokasi penelitian Tahun Tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian Tahun Jumlah ternak di lokasi penelitian Tahun Data sumber air dan produksi air PDAM Kota Ambon Nilai indeks keberlanjutan multi-dimensi DAS Kota Ambon Faktor pengungkit per-dimensi keberlanjutan DAS Kota Ambon Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-DAS Kota Ambon dan analisis Monte Carlo Nilai stress dan nilai determinasi (R 2 ) hasil Rap-DAS Kota Ambon

23 xxiv 34. Analisis kebutuhan Stakeholders dalam sistem pengelolaan DAS di Kota Ambon Berkelanjutan Pertumbuhan pengguna air di Kota Ambon Perubahan penutupan lahan berdasarkan peta penutupan lahan (ha) Dinamika perubahan penutupan lahan terhadap debit Koefisien runoff berdasarakan jenis tutupan lahan Hasil perhitungan nilai AME untuk uji validasi kinerja Skenario pelaksanaan model dinamik pengelolaan DAS Kota Ambon Stakeholders yang terkait dalam pengelolaan DAS Kota Ambon Peran stakeholders dalam pengelolaan DAS Kota Ambon

24 xxv DAFTAR GAMBAR 1. Kerangak pikir pengelolaan Daerah Aliran Sungai Model pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2004) Fungsi ekosistem DAS (Asdak, 2007) Siklus hidrologi (Arsyad, 2006) Representasi lahan pada siklus hidrologi (Neitsch et al. 2010) Keterkaitan pembangunan berkelanjutan, lingkungan dan kemiskinan Peta lokasi penelitian Skema desain penelitian Tahapan analisis data Peta sebaran titik pengamatan tutupan lahan di lokasi penelitian Tahapan analisis kondisi tutupan lahan eksisting Diagram alir analisis ketersediaan air DAS Kota Ambon Ilustrasi nilai indeks keberlanjutan dalam skala ordinasi Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Setiap Dimensi Elemen proses aplikasi RafpDAS pendekatan MDS Diagram input output (Black Box) desain kebijakan pengelolaan DAS secara terpadu dan berkelanjutan Causal loop keberlanjutan sumberdaya air Tahapan pelaksanaan Model Pengelolaan DAS Kota Ambon Grafik CH bulanan rata-rata Kota Ambon Tahun Curah hujan tahunan rata-rata Kota Ambon Tahun Grafik lama penyinaran matahari Kota Ambon Grafik suhu udara rata-rata bulanan Kota Ambon Grafik kelembaban udara rata-rata bulanan Kota Ambon Peta tutupan lahan lokasi penelitian di DAS Kota Ambon Tahun Peta tutupan lahan lokasi penelitian di DAS Kota Ambon Tahun Peta tanah lokasi penelitian Peta kelerengan lokasi penelitian Tutupan lahan hutan sekunder Tutupan lahan semak/belukar Tutupan lahan pertanian lahan kering Tutupan lahan pertanian lahan kering campuran Tutupn lahan permukiman... 85

25 xxvi 33. Tutupan lahan tanah terbuka/kosong Hasil deliniasi DAS Wai Ruhu dengan model MWSWAT Hasil deliniasi DAS Batu Merah dengan model MWSWAT Hasil deliniasi DAS Wai Tomu dengan model MWSWAT Hasil deliniasi DAS Batu Gajah dengan model MWSWAT Hasil deliniasi DAS Batu Gantung dengan model MWSWAT Peta kelerengan DAS Kota Ambon Peta jenis tanah DAS Kota Ambon Peta tutupan lahan DAS Kota Ambon Tahun Peta tutupan lahan DAS Kota Ambon Tahun Deliniasi kelima DAS di Kota Ambon Grafik perbandingan debit observasi, debit simulasi DAS Wai Tomu Grafik debit DAS Wai Tomu Hasil Kalibrasi Fluktuasi debit sungai kelima DAS di Kota Ambon Grafik debit andalan kelima DAS Kota Ambon Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Kota Ambon Hasil analisis leverage atribut pada dimensi ekologi Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi DAS Kota Ambon Hasil analisis leverage pada dimensi ekonomi Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial DAS Kota Ambon Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial DAS Kota Ambon Indeks keberlanjutan parsial tiga dimensi keberlanjutan DAS Kota Ambon Hubungan ketergantungan antar sektor Submodel sosial Sub-model ekonomi PLK Pendapatan masyarakat dari pengelolaan PLK Dinamika perubahan penutupan lahan di lokasi penelitian Dinamika perubahan penutupan lahan Debit andalan Debit aliran permukaan Produksi air dan kebutuhan air di Kota Ambon Submodel ketersediaan air Tingkat pertumbuhan penduduk berdasarkan daya dukung Hasil simulasi skenario pada tutupan hutan Hasil Simulasi Skenario pada tutupan semak Hasil simulasi skenario tutupan pertanian lahan kering (PLK)

26 xxvii 69. Hasil simulasi skenario tutupan pertanian lahan kering campuran Perbandingan laju perubahan penutupan lahan berdasarkan skenario Total nilai ekonomi lahan Debit andalan permukaan Hasil simulasi ketersediaan air Matrik Stakeholders pengelolaan DAS Kota Ambon Bagan alir hubungan kolaboratif antar stakeholders pengelolaan DAS untuk menunjang ketersediaan air di Kota Ambon Diagram layang-layang multidimensi pengelolaan DAS Kota Ambon hasil modifikasi

27 xxviii

28 xxix DAFTAR LAMPIRAN 1. Koordinat Titik Pengamatan Tutupan lahan Kondisi Tutupan Lahan Lokasi Penelitian Hasil Analisis Tutupan Lahan Menggunakan MWSWAT Data Curah Hujan Stasiun BMKG Bandara Pattimura Laha Ambon (mm) Debit Sungai Wai Tomu Tahun 2010 (m 3 /det) Parameter input yang sensitif pada tahap kalibrasi SWAT CUP Tingkat Pertumbuhan Penduduk, Ternak dan Industri di Kota Ambon Hasil Analisis Debit Andalan dan Ketersediaan Air DAS Kota Ambon Atribut MDS yang digunakan dalam Analisis Keberlanjutan Persamaan model dinamika Ekologi Persamaan model dinamika Sosial Persamaan model dinamika ekonomi lahan Persamaan model dinamika ketersediaan air

29

30 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai salah satu ekosistem memiliki peran yang penting dalam pengelolaan sumberdaya air. Dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air diuraikan bahwa DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anakanak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Fungsi ekosistem akan menurun akibat dari kegiatan manusia serta akibat perubahan yang terjadi secara alami. Secara umum identifikasi permasalahan DAS dapat dibagi menjadi empat yaitu hidrologi, lahan, sosial ekonomi dan kelembagaan. Permasalahan DAS ditinjau pada aspek lahan disebabkan oleh tingginya tingkat erosi dan sedimentasi menyebabkan meluasnya lahan kritis serta menurunnya produktivitas lahan. Pada aspek sosial ekonomi, permasalahan DAS disebabkan karena konversi lahan dengan luasan yang besar untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di DAS. Pada aspek kelembagaan permasalahan DAS nampak pada rendahnya koordinasi, integrasi, sinergitas (KISS) antar stakeholder dalam pengelolaan DAS sehingga menimbulkan konflik dalam pengelolaannya (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air, 2004). Aspek lain dari permasalahan DAS adalah aspek hidrologi yang ditandai dengan fenomena banjir dan kekeringan. Banjir terjadi akibat tingginya aliran permukaan pada musim hujan sedangkan kekeringan terjadi akibat rendahnya kemampuan lahan untuk menyimpan air dalam waktu yang lama. Besarnya rasio debit maksimum dan minimum merupakan salah satu indikator kekritisan DAS, selain rendahnya persentase penutupan lahan, tingginya laju erosi tahunan serta kandungan lumpur yang berlebihan (sediment load). Rendahnya persentase penutupan lahan dan tingginya ratio debit maksimum dan minimum dapat menyebabkan meningkatnya volume run off dan menurunnya debit pada musim kemarau sehingga menyebabkan terjadinya kekeringan.

31 2 Di Indonesia fenomena DAS kritis merupakan masalah lingkungan yang cukup serius. Pada Tahun 1984 tercatat 22 DAS yang mencapai status kritis, Tahun 1992 meningkat menjadi 39, pada Tahun 1998 menjadi 42, 59 pada Tahun 2000 dan 60 DAS kritis pada Tahun 2002 (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Pada Tahun 2005 jumlah DAS kritis di Indonesia mencapai 62 DAS dan pada Tahun 2008 tercatat sebanyak 291 DAS kritis (Murtilaksono, 2009). Berbagai kajian terkait dengan permasalahan hidrologi di DAS umumnya menguraikan bahwa permasalahan DAS sangat terkait dengan kondisi lahan pada daerah tangkapannya (Watershed). Vegetasi hutan pada DAS dianggap sebagai pengatur aliran air (streamflow regulator) atau hutan dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya pada musim kemarau. Keberadaan hutan dapat mencegah terjadinya banjir besar dan kekeringan. Uraian tersebut di atas mengungkapkan bahwa pentingnya pengelolaan lahan dan vegetasinya terhadap ketersediaan air di DAS (Asdak, 2007). Tuhumury (2003) menyatakan bahwa di DAS Brantas, ketidakseimbangan air terjadi akibat berubahnya tutupan lahan yang mengarah pada areal non vegetasi. Hal serupa juga di nyatakan oleh Li et al (2006) bahwa di Mega-City Cina Tengah, perubahan penutupan lahan menjadi kawasan permukiman dari 9,1% Tahun 1987 menjadi 29,6% Tahun 1999 akan menurunkan jumlah air dari 30,4% menjadi 23,8%. Dan menurunnya luas hutan dari 33,6% menjadi 24,3%. Karakteristik hidrologi DAS dapat dinyatakan dengan debit aliran permukaan (run off). Debit aliran dipengaruhi oleh iklim (curah hujan) dan karakteristik DAS (Bentuk dan ukuran (morfometri) DAS, topografi, geologi dan tata guna lahan (jenis & kerapatan vegetasi). Berdasarkan karakteristik tersebut maka pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu dalam aspek hidrologi, lahan, sosial ekonomi dan kelembagaan. Konsep pengelolaan DAS secara terpadu mengandung tiga (3) aspek keberlanjutan yaitu keberlanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial. Konsep pengelolaan DAS yang mengarah pada keberlanjutan sumberdaya air dari segi ekologi di uraikan oleh Black (1996) yang mendefinisikan tiga prinsip umum dalam pengelolaan DAS, yaitu a). Lingkungan alami DAS sebagai suatu sistem keseimbangan dinamik, b). Faktor-faktor yang mempengaruhi run off, dan c). Distribusi yang tidak merata dari air di atmosfir

32 3 dalam hubungannya dengan praktek pengelolaan DAS. Selanjutnya Asdak (2007), menguraikan bahwa secara garis besar ada tiga sasaran umum yang ingin dicapai dalam pengelolaan DAS yaitu a). Rehabilitasi lahan terlantar atau yang masih produktif tetapi digarap dengan cara yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air, b). Perlindungan terhadap lahan yang umumnya sensitif terhadap terjadinya erosi dan/atau tanah longsor atau lahan yang diperkirakan memerlukan tindakan rehabilitasi dikemudian hari, dan c). peningkatan atau pengembangan sumberdaya air. Aspek sosial ekonomi dalam keberlanjutan sumberdaya air ditentukan oleh sistem pengelolaan DAS yang baik. Hufschmidt (1987), menguraikan bahwa pengelolaan DAS didasarkan pada tiga dimensi pendekatan analisis yaitu: a). Pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi berkaitan erat, b). Pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan dan alat implementasi program pengelolaan DAS, melalui kelembagaan yang relevan dan terkait, dan c). Pengelolaan DAS sebagai serial aktivitas yang masing-masing berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan spesifik. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai bagian dari pembangunan wilayah pada hakekatnya merupakan optimalisasi pemanfaatan lahan dan konservasi sumber daya alam untuk memenuhi berbagai kepentingan manusia secara berkelanjutan (sustainable). Namun sampai saat ini pengeloaan DAS masih diperhadapkan dengan berbagai permasalahan yang kompleks seperti penurunan luas tutupan hutan dan makin meluasnya lahan kritis, yang berakibat pada meningkatnya laju erosi tanah, pencemaran air, banjir dan kekeringan, besarnya fluktuasi debit aliran sungai pada musim kemarau musim hujan, kecenderungan penggunaan air yang belum efisien, serta berkurangnya kemampuan pemulihan kembali kondisi DAS oleh manusia. Hasil inventarisasi lahan kritis menunjukan bahwa terdapat hektar di luar tutupan hutan dan hektar di dalam tutupan hutan (Anwar, 2007). Untuk Propinsi Maluku di temukan lahan kritis di luar kawasan hutan hektar dan di dalam kawasan hutan di Maluku yang menjadi rusak telah mencapai ha (59%) dari total daerah berhutan dan perlu penanganan secara seksama, (Dinas Kehutanan Provinsi Maluku, 2007). Kondisi ini semuanya terkait dengan belum

33 4 adanya keterpaduan manajemen antara sektor dan instansi terkait (stakeholders), serta keadaan sosial ekonomi masyarakat yang kurang mendukung pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Permasalahan ini tampaknya akan terus berlangsung meskipun telah terjadi reformasi dalam berbagai aspek seperti otonomi daerah (UU No. 32 Tahun 2004), dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek pembangunan. Permasalahan di atas terkait erat dengan berbagai faktor kegiatan di bidang kehutanan baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan pada bagian hulu DAS. Hutan merupakan salah satu parameter dan indikator penting dalam pengelolaan DAS karena terkait dengan siklus hidrologi. Jika kondisi hutan dan lahan di bagian hulu DAS mengalami kerusakan maka akan lebih mudah terjadi erosi tanah akibat laju aliran permukaan yang lebih tinggi daripada laju infiltrasi. Akibatnya terjadi sedimentasi di sungai, waduk, dan saluran drainase lainnya yang pada akhirnya akan meningkatkan biaya operasional dan pemeliharaan sarana-prasarana pemanfaatan air. Sebaliknya jika kondisi hutan di hulu baik, akan memberikan dampak positif bukan saja pada air permukaan tetapi juga terhadap air tanah dan ekosistem lingkungannya. Hal ini di perkuat dengan pendapat Zhonggen et al. (2004) bahwa tutupan lahan bervegetasi mempunyai kemampuan meningkatkan/mengurangi infiltrasi. Pernyataan Zhonggen et al ini mendapat dukungan dari Wheater dan Evans (2009) yang menyatakan bahwa perlu adanya penyeimbangan penutupan lahan untuk fungsi ekologi, fungsi ekonomi dan fungsi sosial sehingga banjir tidak terjadi. Permasalahan spesifik yang terkait langsung dengan pengelolaan pada subsistem daerah hulu adalah permasalah kerusakan lahan di wilayah tangkapan air dan erosi maupun sedimentasi, sehingga adanya trade off antara kelestarian lingkungan dan peningkatan produksi pangan. Untuk menjamin kontiniutas sumberdaya air permukaan khususnya di Daerah Aliran Sungai (Watershed) yang potensial perlu secara sungguh-sungguh diamankan dan dilindungi. kawasan ini hendaknya dipetakan secara jelas dan dinyatakan sebagai kawasan yang dilindungi, upaya ini menuntut peraturan daerah dan pengelolaannya dapat diserahkan kepada lembaga atau dinas seperti Badan Pengelolaan Sumberdaya Air Baku. Badan ini bertanggung jawab dalam pengusahaan dan penyediaan air, baik

34 5 untuk air minum dan atau irigasi serta penggunaan lainnya yang dilakukan secara terpadu. Defra (2004) menyatakan bahwa pengelolaan lahan yang efektif dapat menghindari kerusakan sumberdaya air. Hal ini juga di perkuat dengan pernyataan Wheater (2009) bahwa pengelolaan jangka panjang untuk mencegah banjir adalah dengan cara menyeimbangkan penutupan lahan, peningkatan ekonomi dan manfaatan lingkungan yang selaras untuk mengurangi banjir. Pasal 26 dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 menyatakan bahwa pendayagunaan sumberdaya air dilakukan melalui kegiatan penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumberdaya air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumberdaya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai, yang ditujukan untuk memanfaatkan sumberdaya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat secara adil. Definisi sebuah pulau samudra pada dekade 70-an oleh IHP-UNSCI dinyatakan sebagai pulau yang berukuran kurang dari km 2. Menurut para peneliti air di seluruh penjuru dunia, maka ditetapkan bahwa pulau kecil yang di definisikan sebagai pulau dengan ukuran luas kurang dari km 2 (Hehanusa dan Bakti, 2005). Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air juga telah ditetapkan bahwa air di pulau kecil atau gabungan beberapa pulau kecil wajib dikelola sebagai suatu kesatuan wilayah. Selanjutnya suatu wilayah sungai (WS) dapat terdiri dari satu atau gabungan dari beberapa pulau kecil, dengan ketetapan ini berarti bahwa pulau kecil juga perlu dilengkapi dengan sebuah rencana pengelolaan air. Karakteristik Pulau kecil umumnya rentan terhadap bahaya dan mempunyai kapasitas terbatas sebagai penyangga bahaya lingkungan (Myers et al. 2000), keterbatasan lain dari pulau kecil adalah sumberdaya alam terbatas (Velde, 2007) ditambah lagi dengan cara pertanian tradisional yang kurang berkelanjutan (Bertram, 1986), serta keterbatasan adanya air (Hehanusa dan Bakti, 2004). Kota Ambon yang terletak di pulau kecil (Pulau Ambon) mempunyai pertumbuhan penduduk cukup tinggi dengan tingkat pertambahan penduduk sebesar 3,43% dari tahun sebelumnya Tahun Jumlah penduduk Kota Ambon pada Tahun 2008 adalah jiwa. Kepadatan penduduk di Kota

35 6 Ambon pada Tahun 2007 sebesar 757 jiwa per Km 2 meningkat pada Tahun 2008 sebesar 783 jiwa per Km 2 (BPS Kota Ambon, 2008). DAS Batu Merah di Kota Ambon merupakan salah satu lokasi DAS kritis di Indonesia (Nugroho, 2003 dalam Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Penutupan lahan di Kota Ambon sekarang didominasi oleh permukiman penduduk dan infrastruktur pendukung lainnya seperti jalan, sarana ibadah, sekolah dan lain sebagainya. Kondisi ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan terjadinya konflik sosial. Keadaan ini mendorong rusaknya sistem hidrologi DAS, dan berakibat pada meluasnya lahan kritis, erosi dan sedimentasi, serta banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Permasalahan terpenting adalah menurunnya debit aliran sungai yang menjadi sumber kebutuhan hidup paling vital bagi semua organisme hidup termasuk manusia, hal ini dibuktikan dengan adanya suplay air bersih oleh perusahaan jasa penyedia air di Kota Ambon kepada pelanggan secara bergiliran dalam waktu yang tidak tetap. Artinya bahwa kadang kala hanya 2-3 kali dalam seminggu atau bahkan hanya sekali dalam seminggu. Pengelolaan sumberdaya air untuk kebutuhan masyarakat di Kota Ambon dilaksanakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum dan PT. Dream Sukses Airlindo yang meliputi sambung pelanggan (59,61%) untuk PDAM (PDAM Kota Ambon, 2008) dan pelanggan (40,39%) untuk PT. DSA (Kota Ambon Dalam Angka, 2009), atau sebesar pelanggan air minum yang dapat mengkonsumsi air minum. Tjiptasmara et al. (2004) menyatakan bahwa sumber daya air tanah di Kota Ambon terdapat pada tiga akifer yaitu akifer dalam (90 m), akifer tengah (30-50 m) dan akifer dangkal (<10 m); umumnya air bersifat tawar dengan tipe Ca-HCO3 dan ketiganya berasal dari sumber yang relatif sama. Djuwansah dkk (2004) juga menyatakan bahwa sumber daya air Pulau Ambon memiliki potensi yang baik karena berada di bawah pengaruh iklim ekuatorial sehingga memiliki potensi curah hujan yang tinggi dan merata sepanjang tahun. Lokollo (2002) menyatakan bahwa ada kecenderungan semakin berkurangnya debit minimum harian, semakin meningkatnya debit maksimum harian, curah hujan yang bersifat acak, dan koefisien limpasan yang cenderung terus meningkat. Konversi lahan telah menyebabkan meningkatnya indeks

36 7 limpasan dari setiap DAS, demikian juga dengan bertambah cepatnya waktu konsentrasi aliran. Hal ini juga di dukung oleh Jacob (2009) menyatakan bahwa penurunan luas hutan dapat menaikkan aliran permukaan, sehingga diperlukan luasan hutan minimal 30% untuk DAS Batu Gantung dan 40% bagi Pulau Ambon untuk menurunkan aliran permukaan, sedangkan Suhendy (2009) menyatakan bahwa titik keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan hutan kota terdapat dipertengahan Tahun 2012 karena pada tahun tersebut diperkirakan jumlah penduduk Kota Ambon akan mencapai jiwa dengan kebutuhan air sebesar m 3 /tahun. Penduduk Semenanjung Leitimor di Kota Ambon memanfaatkan air bersih yang bersumber dari lima DAS yaitu DAS Batu Gantung, DAS Batu Gajah, DAS Wai Tomu, DAS Batu Merah dan DAS Wae Ruhu, sedangkan sisanya dari Sumur pompa. Kondisi DAS di Kota Ambon berada dalam kondisi kritis, termasuk kelima DAS ini. Berdasarkan fenomena tersebut, maka kajian ini mengambil lokasi pada kelima DAS di Semenanjung Leitimor yaitu DAS Wae Batu Gantung, Wae Batu Gajah, DAS Wae Tomu, DAS Batu Merah dan Wae Ruhu dipilih sebagai perwakilan dari beberapa DAS lainnya di Pulau Ambon yang menjadi sumber air untuk sarana penelitian ini karena lebih efisien (pertimbangannya bahwa pemanfaatan air pada DAS tersebut hanya mengandalkan energi gravitasi) untuk mengalirkan air, dan digunakan oleh masyarakat sekitar DAS tersebut untuk mandi, cuci, dan lain-lain. Hasil Penelitian ini diharapkan nantinya dapat menjadi acuan dalam perencanaan pengelolaan DAS-DAS lainnya yang ada di Pulau Ambon. Model hidrologi dapat digunakan untuk mengkaji perubahan penutupan lahan terhadap karakteristik hidrologi. Salah satu model yang dapat digunakan adalah model SWAT (Soil and Water Assesment Tools). SWAT merupakan dasar kelanjutan dari model hidrologi yang dikembangkan untuk memprediksi pengaruh manajemen lahan pada air, sedimen, dan bahan kimia pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan tanah dan pengelolaannya bermacam-macam sepanjang waktu yang lama (Neitsch et al. 2005).

37 8 Model dinamis merupakan penyederhanaan dari kompleksitas sistem nyata yang ada di lapangan dalam pengelolaan DAS. Metode dinamis digunakan untuk menentukan keputusan yang dilakukan dalam pengelolaan DAS Kota Ambon yang akan datang dengan melihat trend dari hasil simulasi yang dilakukan Kerangka Pikir DAS sebagai sumberdaya alam milik bersama (Public Good) yang difungsikan sebagai kawasan konservasi, daerah resapan dan mengatur tata air, serta penyedia kebutuhan makluk hidup. Daerah hulu DAS telah dirambah oleh penduduk sebagai tempat melakukan aktivitas sehingga konversi lahan dari hutan menjadi penggunaan lain. Konversi lahan hutan yang berfungsi sebagai Daerah Aliran Sungai dialih fungsikan menjadi permukiman baik yang mendapat ijin dari pemerintah maupun tanpa ijin yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan sendiri. Dampak yang akan timbul dari konversi lahan ini adalah terganggunya fungsi hidrologi yang berujung pada kurangnya ketersediaan air pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan. Selain konversi lahan untuk permukiman, pertambahan penduduk yang semakin tinggi menyebabkan kebutuhan akan lahan juga semakin tinggi, sehingga hutan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air juga dijadikan sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Dengan berubahnya daerah tangkapan air menjadi areal perkebunan, pertanian dan permukiman maka air hujan yang jatuh lebih banyak menjadi aliran permukaan. Meningkatnya aliran permukaan pada daerah yang semula berfungsi sebagai daerah resapan air, disebabkan karena menurunnya infiltrasi sehingga akan menyebabkan kekurangan cadangan air tanah. Menurunnya muka air tanah dapat menyebabkan krisis air karena kebutuhan akan air yang meningkat seiring dengan pertambahan penduduk. Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung boros dalam memanfaatkan air karena air sebagai milik umum (common property) dianggap tidak terbatas dan dapat diperoleh secara cuma-cuma atau gratis. Padahal, air sebagai sumberdaya alam, terbatas jumlahnya karena memiliki siklus tata air yang relatif tetap. Kerangka pikir ini dapat terlihat pada Gambar 1.

38 9 HULU DAS SEBAGAI SDA YANG PENTING (Public Good) Kawasan Konservasi Daerah Resapan, Mengatur Tata Air Penyedia Kebutuhan Makluk Hidup Pulau Kecil (Karakteristik) Hulu DAS Digunakan Manusia Untuk Berbagai Aktivitas EKOLOGI EKONOMI SOSIAL KELEMBAGAAN Konservasi Hulu DAS, Reboisasi, Sistem Agroforestry Konversi Hutan: Permukiman, Perkebunan, Pertanian, dll. Jlh Pddk Bertambah, Kebutuhan Meningkat Penegakan aturan oleh pihak terkait belum serius Kerusakan Sumber Air, Ekosistem hutan/ DAS rusak Pemanfaatan yang Berlebihan Pencemaran Sumber Air Potensi Air Tetap, Kebutuhan Meningkat Pertumbuhan penduduk tinggi, kebutuhan lahan meningkat, konversi lahan hutan menjadi penggunaan lain, kebutuhan air bersih meningkat. Meningkatkan Banjir Pada Musim Hujan dan Kekeringan pada Musim Kemarau Keterbatasan dalam menyimpan air Terjadinya Krisis Air, Mengancam Keberlanjutan Sumberdaya Air PENGELOLAAN DAS SECARA BERKELANJUTAN Improvement: 1. Konsep Pengelolaan DAS 2. Konsep Hutan Kemasyarakatan 3. Konsep Hutan Rakyat Model Dinamik 1. Submodel Ekologi 2. Submodel Ekonomi 3. Submodel Sosial 4. Submodel Ketersediaan Air Gambar 1. Kerangak pikir pengelolaan Daerah Aliran Sungai Akibat dari persaingan dalam pemanfaatan air akan semakin tajam pada masa-masa mendatang, maka dapat diantisipasi bahwa air terlebih lagi air bersih (air minum) relatif semakin langka dan karenanya akan menjadi economis good, maka lahirlah konsep-konsep Pengelolaan DAS, Konsep pengelolaan DAS

39 10 berbasis hutan kemasyarakatan dan Konsep pengelolaan DAS berbasis hutan rakyat yang dapat menjembatani kelestarian DAS. Namun hal ini masih belum bisa diaplikasikan dengan benar karena berbagai macam kendala yang ada. Dengan demikian maka pengelolaan DAS yang mengintegrasikan aspek sosial, ekologi dan ekonomi merupakan kunci keberlanjutna sumberdaya air. Pulau Ambon yang dihuni oleh penduduk yang padat dengan keterbatasan pulau Ambon (pulau kecil) untuk menampung air, maka dapat menyebabkan kelangkaan air. Kelangkaan ini terjadi karena pertumbuhan penduduk yang tinggi maka akan berbanding lurus terhadap kebutuhan air, apalagi Pulau Ambon mempunyai topografi yang sangat curam. Topografi yang curam ini menyebabkan air hujan yang jatuh sebagian besar akan menjadi aliran permukaan dibandingkan dengan masuk ke dalam tanah. Penyebaran penduduk di Kota Ambon tidak merata karena sebagian besar menempati lokasi di DAS Kota Ambon. DAS tersebut antara lain DAS Wai Ruhu, DAS Batu Merah, DAS Wai Tomu, DAS Batu Gajah dan DAS Batu Gantung. Kelima DAS ini mempunyai manfaat sebagai penyedia sumber air bagi kebutuhan masyarakat di Kota Ambon Perumusan Masalah Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Watershed) yang terjadi akhir-akhir ini adalah: (1) konversi lahan hutan menjadi areal pertanian, permukiman dan perkebunan, (2) pertambahan penduduk yang semakin tinggi, (3) kebutuhan akan air menjadi meningkat sehingga persaingan terhadap air, (4) penegakan aturan yang lemah, (5) kurang adanya peran dan partisipasi dari masyarakat terhadap Daerah Aliran Sungai. Berdasarkan kelima hal tersebut maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan pada Daerah Aliran Sungai di Semenanjung Leitimor? 2. Bagaimana debit unggulan Daerah Aliran Sungai di Semenanjung Leitimor? 3. Berapa banyak kebutuhan air di Semenanjung Leitimor? 4. Bagaimana model pengelolaan Daerah Aliran Sungai dalam menunjang keberlanjutan sumberdaya air secara ekologi, ekonomi dan sosial di Semenanjung Leitimor?

40 Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendesain model pengelolaan Daerah Aliran Sungai dalam upaya menunjang keberlanjutan sumberdaya air. Secara rinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis perubahan tutupan lahan pada Daerah Aliran Sungai di Semenanjung Leitimor. 2. Menganalisis debit andalan di Daerah Aliran Sungai di Semenanjung Leitimor. 3. Menganalisis Kebutuhan air di Semenanjung Leitimor. 4. Mendesain model pengelolaan DAS dalam menunjang keberlanjutan sumberdaya air secara ekologi, ekonomi dan sosial di Semenanjung Leitimor Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Tingkat II Kota Ambon untuk merencanakan pengembangan wilayah Tingkat II Kota Ambon, khususnya yang berkaitan dengan sumberdaya air di Pulau Ambon. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi Balai Pengelolaan DAS Kabupaten/Kota di Ambon dalam perencanaan kawasan DAS pulau-pulau kecil di Propinsi Maluku pada umumnya dan pulau Ambon khususnya. 3. Pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang terkait dengan optimasi penutupan lahan pada wilayah DAS pulau-pulau kecil Novelty Kebaruan dalam penelitian ini adalah: Model dinamika Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dengan mengintegrasikan komponen ekologi, sosial dan ekonomi dalam keberlanjutan sumberdaya air di pulau kecil (studi kasus di Pulau Ambon).

41 12

42 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai yang biasa disingkat dengan DAS dalam beberapa literatur menggunakan istilah yang berbeda dan arti yang sama, diantaranya menggunakan istilah: Watershed, river basin, catchment atau drainage basin. Istilah Watershed biasanya dihubungkan dengan batas aliran, sedang istilah river basin, catchment atau drainage basin dikaitkan dengan daerah aliran. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2007). Daerah aliran sungai merupakan suatu sistem dinamis dengan karakteristik yang spesifik dan ditentukan oleh ruang, luas, bentuk, ketercapaian dan lintasannya. Karakter tersebut sangat terkait dengan masyarakat yang bermukim di sekitar sungai. Olehnya itu, tataguna lahan di Daerah Aliran Sungai harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kerugian dan degradasi akibat persaingan kepentingan. Asdak (2007) menyatakan tujuan dari pengelolaan DAS adalah melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara rasional supaya dapat dimanfaatkan secara lestari dan berkelanjutan sehingga dapat diperoleh kondisi tata air yang baik. Dalam sistem DAS, terdapat ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan komponen DAS di daerah hulu akan sangat mempengaruhi komponen DAS pada daerah hilirnya, oleh sebab itu perencanaan daerah hulu menjadi sangat penting. Dalam setiap aktifitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di dalam sistem DAS, sangat diperlukan indikator yang mampu digunakan untuk menilai apakah pelaksanaan kegiatan tersebut telah berjalan sesuai dengan perencanaan atau belum. Indikator yang dimaksud adalah indikator yang dengan mudah dapat dilihat oleh seluruh masyarakat luas sehingga dapat digunakan peringatan awal dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian pengelolaan Daerah Aliran Sungai selain mempertimbangkan aspek teknis juga harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan. Sebagaimana bagan yang tergambar pada Gambar 2 berikut :

43 14 Pengelolaan Ekosistem DAS Hulu Hilir DAS Ekonomi, Sosial, Budaya Batas Ekologi/ Administrasi Lahan/Air Kelembagaan Teknologi Pendanaan Gambar 2. Model pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2004) Untuk tujuan pengelolaan dan pengendalian, maka Daerah Aliran Sungai dibagi atas tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah dan daerah hilir. Daerah hulu merupakan daerah yang berada dekat dengan aliran sungai yang merupakan tempat tertinggi dalam suatu DAS. Daerah hulu memiliki ciri-ciri : lereng terjal, terjadinya erosi vertikal, alur sungai yang sempit, tidak ada dataran banjir dan airnya relatif bersih. Daerah ini biasanya merupakan daerah konservasi dengan jenis vegetasi merupakan tegakan hutan. Sedang menurut Suripin (2002) daerah hulu sungai merupakan bagian dari ekosistem DAS yang didalamnya terjadi interaksi antara unsur-unsur biotik (vegetasi) dan unsur-unsur abiotik (iklim dan tanah). Interaksi ini dinyatakan dalam bentuk keseimbangan antara masukkan dan keluaran berupa air dan sedimentasi. Daerah tengah merupakan daerah transisi antara daerah hulu dan hilir sehingga biasa juga dinamakan transfer zone. Secara fisik, kawasan ini memiliki karakter: sebagai tempat akumulasi material lepas seperti pasir dan kerikil, tanahnya subur sehingga cocok menjadi area pertanian dan sebagai tandon air

44 15 permukaan sehingga terkadang dimanfaatkan sebagai budidaya perikanan. Sedang daerah hilir merupakan daerah pengaliran akhir yang memilki karakteristik fisik: alur melebar, tebing melandai (kurang dari 8%), dinding lembah landai, terbentuk dataran banjir serta terbentuk meander. Manajemen daerah aliran sungai merupakan upaya pengelolaan sumber daya air. Kodoatie dan Sjarief (2005) menguraikan bahwa dalam suatu DAS banyak sekali komponen, sistem dan fungsi/peran terkait dengan sumber daya air. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya air harus dilihat secara utuh dalam satu kesatuan minimal pada suatu Daerah Aliran Sungai. Selanjutnya, Tideman (1996) memberikan argumentasi bahwa manajemen DAS adalah pemanfaatan secara rasional dari sumberdaya lahan dan air untuk produksi maksimum dengan resiko kerusakan minimum terhadap sumber daya alam. Setiap masukan dalam DAS terjadi proses interaksi dan berlangsung dalam ekosistem tersebut. Proses interaksi tersebut dapat dievaluasi berdasarkan keluaran dari ekosistem. Sebagai contoh, masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan dan erosi, sedang keluarannya adalah debit air serta muatan sedimen. Komponen DAS berupa vegetasi, tanah dan saluran air atau sungai bertindak sebagai prosessor. Proses erosi pada Daerah Aliran Sungai sangat erat kaitannya dengan sistem hidrologi serta aktivitas manusia. Olehnya sistem DAS merupakan suatu rangkaian komponen ekosistem yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaannya. Fungsi ekosistem DAS yang terdiri atas input, proses dan output tergambar pada Gambar 3. Pengelolaan DAS bertujuan untuk mempertahankan jasa lingkungan yang diberikannya yaitu keseimbangan sistem hidrologi di alam. Keseimbangan tersebut ditunjukkan dengan kuantitas air, kualitas air, perbandingan debit maksimum dan minimum serta tinggi permukaan air tanah. Indikator keseimbangan ekosistem DAS sangat dipengaruhi oleh kondisi vegetasi, kualitas tanah serta kondisi sungai.

45 16 INPUT = Curah Hujan Vegetasi Tanah Sungai Manusia = IPTEK DAS = Prosessor Output = Debit dan Muatan Gambar 3. Fungsi ekosistem DAS (Asdak, 2007) 2.2. Sumberdaya Air Air adalah sumberdaya yang sangat vital bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia. Namun, dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka air suatu saat mungkin tidak akan mencukupi kebutuhan seluruh umat manusia apabila tidak diupayakan cara-cara untuk melestarikannya. Para ahli memperediksikan bahwa menjelang Tahun 2025 sekitar dua pertiga penduduk dunia akan kekurangan air. Ini berarti akan terjadi persaingan yang sangat ketat antar pengguna dalam pemanfaatan sumberdaya air (Sutawan, 2001). Undang-Undang No 7 Tahun 2004 mendefinisikan Sumberdaya Air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.

46 17 Keberadaan air bagi manusia untuk menunjang hidup dan kehidupannya merupakan sesuatu yang mutlak dibutuhkan dan tak dapat dipungkiri lagi. Namun sejak beberapa dasawarsa terakhir ini keberadaan air sebagai suatu sumberdaya sudah mencapai titik kritis yang mengkhawatirkan banyak orang karena akan sangat mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia selanjutnya. Kerawanan telah terjadi tidak hanya dipandang dari sudut pandang ketimpangan antara jumlah ketersediaan yang semakin tak sepadan dengan kebutuhan saja tetapi kerawanan juga terjadi di seluruh dimensi keberadaan air itu sendiri. Kerawanan itu terjadi pula dari sudut mutu, temporal maupun spasial (Sutawan, 2001). Dalam kehidupan awal manusia, hubungan antara air dengan pangan dilakukan melalui proses pemberian air untuk tanaman atau lebih dikenal sebagai proses irigasi. Sistem irigasi dibangun manusia karena menyadari bahwa untuk dapat menjamin diperolehnya keberhasilan panen dan produksi yang lebih tinggi, maka kebutuhan air tanaman tidak dapat sepenuhnya tergantung lagi dari hujan atau bentuk-bentuk presipitasi alami lainnya yang bersifat stochastik. Keberhasilan produksi tanaman memerlukan jaminan perolehan air yang lebih deterministic (Sutawan, 2001). Dalam konteks Indonesia dewasa ini, berbagai masalah terkait dengan sumberdaya air dapat diidentifikasi antara lain: adanya gejala krisis air; degradasi sumberdaya air; konflik akibat persaingan antar pengguna air; mengecilnya lahan beririgasi karena alih fungsi; kurang jelasnya ketentuan hak penguasaan air; lemahnya koordinasi antar instansi dalam menangani sumberdaya air; dan kelemahan kebijakan sumberdaya air (Sutawan, 2001). Masalah-masalah ini tentunya menuntut adanya opsi kebijakan yang tepat sehingga pemanfaatan sumberdaya air bisa berkelanjutan.

47 Siklus Hidrologi dan Ketersediaan Air Siklus Hidrologi Siklus air atau siklus hidrologi merupakan konsep dasar tentang keseimbangan air secara global dan juga menunjukkan semua hal yang berhubungan dengan air. secara skematik, siklus hidrologi dapat dijelaskan sebagai berikut (Asdak, 2007): 1. Presipitasi, merupakan curah hujan, yaitu jatuhnya air ke permukaan tanah. Presipitasi terjadi akibat naiknya uap air di atmosfir hingga mencapai suhu dingin dan terkondensasi. 2. Intersepsi, yaitu tertahannya air hujan oleh tajuk vegetasi sebelum mencapai permukaan tanah, untuk selanjutnya diuapkan kembali atau diserap oleh vegetasi tersebut. 3. Evaporasi, penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk permukaan vegetasi oleh proses fisik. Unsur utama yang penting adalah energi matahari. 4. Transpirasi, merupakan penguapan air oleh tanaman melalui pori-pori daun karena proses biologi. Sedangkan total air yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air dan vegetasi karena faktor iklim dan fisiologis vegetasi disebut evapotranspitasi. 5. Infiltrasi, merupakan proses penetrasi air ke dalam tanah akibat gaya kapiler atau gerakan arah vertikal. Sedangkan air yang tidak terserap akan tertampung sementara dalam cekungan permukaan tanah, yang selanjutnya mengalir ke tempat yang lebih rendah, lalu masuk ke sungai. Menurut Arsyad (2006), sebelum mencapai permukaan tanah air hujan tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan tersebut akan tersimpan di permukaan tajuk/daun selama proses pembasahan tajuk, dan sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun (throughfall) atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon (steamflow). Sebagian air hujan tidak akan pernah sampai di permukaan tanah, melainkan terevaporasi kembali ke atmosfer (dari tajuk dan batang) selama dan setelah berlangsung hujan (interception loss). Air hujan yang mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk kedalam tanah (infiltration). Sedangkan air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah akan

48 19 tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai (Arsyad, 2006). Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban tanah telah cukup jenuh maka air hujan yang baru masuk kedalam tanah akan bergerak secara lateral (horisontal) untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar dari permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai, lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini (Arsyad, 2006). Evapotranspirasi Curah hujan Evaporasi Intersepsi Jatuh Langsung Lolos Tajuk dan Aliran Batang Evaporasi Suplai Air Permukaan Infiltrasi Langsung Simpanan Bawah Permukaan Aliran Permukaan Infiltrasi Tertunda Transpirasi Simpanan Bawah Aliran Bawah Permukaan Perkolasi Cadangan air bawah tanah Evaporasi Aliran air bawah tanah Aliran Sungai Gambar 4. Siklus hidrologi (Arsyad, 2006).

49 Ketersediaan Air Air merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh makhluk hidup di dunia. Untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat, manusia membutuhkan air bersih. Dengan makin meningkatnya jumlah penduduk serta laju pertumbuhannya, makin naik pula pemanfaatan sumber-sumber air. ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap individu. Kebutuhan manusia akan sumberdaya air menjadi sangat nyata bila dikaitkan dengan empat hal, yaitu pertambahan penduduk, pertumbuhan pangan, peningkatan industrialisasi dan perlindungan ekosistem terhadap teknologi. Diketahui bahwa jumlah air di bumi tetap, perubahannya hanya mengikuti siklus hidrologi yang berputar sepanjang masa. Padahal penduduk dunia selalu bertambah dan kehidupannya semakin maju, sehingga keperluan air semakin bertambah banyak (Soerjani et al. 1987). Sugiharto (1983) dalam Suhendy (2009) menyatakan bahwa untuk mencukupi kebutuhan air sehari-hari adalah sejalan dengan tingkat kemajuan masyarakat. Selain jumlahnya yang cukup, air untuk keperluan rumahtangga juga harus memenuhi syarat kesehatan. Hal ini karena selain air dapat dicemari oleh zat-zat yang bersifat racun, juga merupakan media dari berbagai kuman penyakit. Air minum yang juga disebut air bersih adalah salah satu kebutuhan utama manusia. Manusia memerlukan air untuk berbagai keperluan seperti MCK, produksi pangan, sandang dan papan. Air yang digunakan untuk rumah tangga harus memenuhi syarat kesehatan. Namun sampai dengan Tahun 2000, berdasarkan data Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, baru sekitar 19% penduduk Indonesia yang baru menikmati air bersih (39% di perkotaan) dan hanya 5% yang menggunakan sistem perpipaan dan sisanya 47% penduduk desa menggunakan air yang bersumber dari sumur gali dan sumber air yang tidak terlindungi (Parahita, 2005 dalam Muis, 2005) Eda dan Chan (2008) dengan kasus sumberdaya air di Peru menyatakan bahwa menggunakan informatika yang tepat tentang potensi air, kualitas air, kuantitas air dan karakteristik suatu wilayah maka dapat ditemukan ketersediaan air suatu wilayah untuk memasok kebutuhan domestik, serta peranan lembaga-

50 21 lembaga yang terkait tentang sumberdaya air perlu lebih efisien dalam mengatasi masalah lingkungan Konservasi Tanah dan Air Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Dalam arti sempit konservasi tanah diartikan sebagai upaya untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi. Sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah menentukan kemampuan tanah (soil capability) untuk suatu penggunaan dan perlakuan yang diperlukan agar tanah tidak rusak dan tanah dapat digunakan secara berkelanjutan (sustainable). Sifat-sifat tanah tersebut juga menentukan kepekaan tanah untuk tererosi. Sistem penilaian tanah untuk maksud menentukan kemampuan tanah, dirumuskan di dalam sistem klasifikasi kemampuan lain (land capability classification). Upaya konservasi tanah ditunjukan untuk (1) mencegah erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar tanah dapat digunakan secara berkelanjutan (lestari). Dengan demikian maka konservasi tanah tidaklah berarti penundaan penggunaan tanah atau pelarangan penggunaan tanah, melainkan menyesuaikan macam dan cara penggunaan tanah dengan kemampuan tanah serta memberikan perlakuan sesuai dengan syarat yang diperlukan agar tidak rusak dan dapat berfungsi secara berkelanjutan. Inilah kaidah kegunaan konservasi tanah (Arsyad, 2006). Konservasi tanah mempunyai hubungan dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang di berikan pada sebidang tanah akan mampengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena itu konservasi tanah dan konservasi air merupakan dua hal yang sangat berhubungan erat sekali : berbagai tindakan konservasi tanah adalah merupkan tindakan konservasi air. Berdasarkan hubungan ini, maka tanggungjawab sektor pertanian dalam masalah air ada 2 yaitu : (1) memelihara jumlah, waktu aliran dan kualitas air, dan (2) mengoptimumkan manfaat air melalui penerapan cara-cara penggunakaan air untuk pertanian yang efisien. Persoalan konservasi tanah dan air adalah kompleks

51 22 dan memerlukan kerja sama yang erat antara berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan seperti ilmu tanah, biologi, hidrologi dan teknik konservasi tanah dan air. Pada akhirnya pengembangan dan penerapan konservasi tanah dan air ditentukan oleh berbagai aspek sosial, ekonomi dan budaya manusia. Menurut Arsyad (2006), konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Konservasi tanah mempunyai hubungan yang erat dengan konservasi air Pengelolaan Vegetasi dan Hasil Air Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan pengelolaan vegetasi atau tataguna lahan adalah agar daerah aliran sungai secara keseluruhan dapat berperan atau memberikan manfaat sebesar-besarnya secara lestari bagi manusia didalam memenuhi kebutuhan hidup serta kesejahteraannya (Dahuri et al. 1996), sehingga selain dapat menampung perkembangan dan dinamika kegiatan ekonomi masyarakat setempat, maka pengelolaan tersebut diharapkan dapat mengantisipasi berbagai permasalahan yang mungkin terjadi. Kegiatan tataguna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam suatu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air. Perubahan dari suatu jenis vegetasi ke jenis vegetasi lainnya adalah umum dalam suatu pengelolaan DAS atau pengelolaan sumberdaya alam. Penebangan hutan, perladangan berpindah, atau perubahan tataguna lahan hutan menjadi areal pertanian, padang rumput atau permukiman adalah contoh kegiatan yang sering dijumpai pada wilayah yang sedang bertumbuh. Terjadi perubahan tataguna lahan dan jenis vegetasi tersebut dalam skala besar dan bersifat permanen dapat mempengaruhi besar kecil hasil air (Lokollo, 2000). Siriwardena et al. (2006) melakukan penelitian tentang Dampak Perubahan Lahan terhadap Kondisi hidrologi Daerah Aliran Sungai di DAS Comet, Central Queensland, Australia dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh hasil akhir air dari Daerah Aliran Sungai Sungai Comet akibat konversi hutan

52 23 menjadi padang rumput, menunjukan bahwa dampak pembukaan vegetasi hutan dari luasan 83% menjadi 38% menyebabkan kenaikan limpasan sebesar 40%. Kebanyakan persoalan sumberdaya air berkaitan dengan waktu dan penyebaran aliran air. kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna lahan dan faktor meteorologi, terutama curah hujan. Hasil penelitian jangka panjang yang dilakukan di berbagai penjuru dunia menunjukan bahwa pengaruh tataguna lahan dan aktivitas lain terhadap perilaku aliran air dapat terjadi dengan cara (Hibbert, 1983; Bosch and Hewlett, 1982; dalam Asdak, 2007): 1) Penggantian atau konversi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi tahunan tinggi menjadi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi rendah dapat meningkatkan volume aliran air dan mempercepat waktu yang diperlukan untuk mencapai debit puncak. Mekanisme peningkatan volume aliran air ini terjadi ketika hujan turun, kelembaban tanah awal cenderung meningkat dan karenanya daya tampung air dalam tanah menjadi berkurang. 2) Kegiatan yang bersifat memadatkan tanah seperti pengembalaan yang intensif, pembuatan jalan dan bangunan lainnya, dan penebangan hutan. Kegiatan-kegiatan tersebut dalam batas waktu tertentu dapat meningkatkan volume dan waktu berlangsungnya air limpasan, dan dengan demikian memperbesar debit puncak. Kegiatan yang bersifat memacu infiltrasi diharapkan dapat memberikan pengaruh sebaliknya. Berdasarkan karakteristik perubahan tataguna lahan di atas, maka dapat dikatakan bahwa permasalahan yang paling serius yang berkaitan dengan pembangunan adalah berubahnya laju dan kuantitas limpasan dalam mencapai sungai, sehingga perencanaan dan manajemen penutupan lahan yang baik sangat bergantung kepada akuratnya analisis dampak lingkungan hidrologi yang diakibatkan oleh pembangunan. Lisnawati (2006) melakukan penelitian dengan judul Analisis perubahan penutupan lahan dan pengaruhnya terhadap debit sungai dan daya dukung lahan di kawasan puncak Kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah 1). Menganalisis perubahan penutupan lahan, 2). Menganalisis keterkaitan perubahan penutupan lahan terhadap selisih debit maksimum-minimum, 3). Menganalisis

53 24 besarnya daya dukung lahan di kawasan puncak Kabupaten Bogor; menunjukan bahwa perubahan lahan dari kebun campuran mengarah kepada permukiman sebesar 250,42 ha (15,44%). Hasil analisis regresi berganda menyimpulkan bahwa hutan mampu menurunkan selisih debit maksimum-minimum sebesar 0,027 m 3 /detik jika luas hutan naik sebesar satu hektar. Perubahan penutupan lahan merupakan perubahan penggunaan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan lainnya yang diikuti dengan berkurangnya tipe penutupan lahan dari suatu waktu ke waktu berikutnya. Perubahan atau perkembangan penutupan lahan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor alami dan faktor manusia (Vink, 1975). Ma et al. (2005) melakukan penelitian karakteristik sumberdaya air dan dampaknya akibat aktivitas manusia di DAS Shiyang China dengan tujuan untuk mengetahui sumberdaya air tanah dan geokimia air tanah akibat kegiatan manusia. Hasil penelitian menunjukan bahwa aktivitas manusia selama 50 tahun terakhir, telah menyebabkan perubahan luar biasa dari keberadaan air tanah. Proses pengisian ulang air tanah telah berkurang 50%, akibatnya secara umum terjadi penurunan sebesar 3-5 meter dengan penurunan maksimum 35 meter di beberapa kota sehingga perubahan hidrologi ini telah mengakibatkan degradasi ekosistem yang serius, sehingga disarankan bahwa teknologi irigasi modern dan peraturan yang terkait dengan pengelolaan air dan alokasi sumberdaya dalam DAS sangat di butuhkan untuk mencapai proses keberlanjutan sumberdaya air Indikator Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara umum pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan paling sedikit harus memenuhi indikator lestari dan berkelanjutan dibawah ini (Rahmadi, 2002), yaitu: 1. Pengelolaan yang mampu mendukung produktifitas optimum bagi kepentingan kehidupan (indikator ekonomi) 2. Pengelolaan yang mampu memberikan manfaat merata bagi kepentingan kehidupan (sosial) 3. Pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk tidak terdegradasi (indikator lingkungan)

54 25 4. Pengelolaan dengan menggunakan teknologi yang mampu dilaksanakan oleh kondisi penghidupan setempat, sehingga menstimulir tumbuhnya sistem institusi yang mendukung (indikator teknologi) Pada pengelolaan DAS indikator paling memungkinkan adalah melihat kondisi tata airnya. Yang dimaksud indikator kondisi tata air yang meliputi: 1. Indikator kuantitas air. Kondisi kuantitas air ini sangat berkaitan dengan kondisi tutupan vegetasi lahan di DAS yang bersangkutan. Bila tutupan vegetasi lahan DAS yang bersangkutan berkurang dapat dipastikan perubahan kuntitas air akan terjadi. Sehingga setiap pelaksanaan kegiatan yang bermaksud mengurangi tutupan lahan pada suatu tempat maka harus diiringi dengan usaha konservasi. Indikator ini dapat dilihat dari besarnya air limpasan permukaan maupun debit air sungai. 2. Indikator kualitas air. Kondisi kualitas air disamping dipengaruhi oleh tutupan vegetasi lahan seperti pada kondisi kuantitas, tetapi juga dipengaruhi oleh buangan domestik, buangan industri, pengolahan lahan, pola tanam, dan lain-lain. Dengan demikian bila sistem pengelolaan limbah, pengolahan lahan, dan pola tanam dapat dengan mudah diketahui kejanggalannya dengan melihat indikator kualitas air. Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai ataupun air sumur. 3. Indikator perbandingan debit maksimum dan minimum. Yang dimaksud disini adalah perbandingan antara debit puncak maksimum dengan debit puncak minimum sungai utama (di titik outlet DAS). Indikator ini mengisyaratkan kemampuan lahan untuk menyimpan. Bila kemampuan menyimpan air dari suatu daerah masih bagus maka fluktuasi debit air pada musim hujan dan kemarau adalah kecil. Kemampuan menyimpan air ini sangat bergantung pada kondisi permukaan lahan seperti kondisi vegetasi, tanah, dan lain-lain. 4. Indikator muka air tanah. Indikator ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah di suatu lahan. Indikator muka air tanah ini mengisyaratkan besarnya air masukan ke dalam tanah dikurangi dengan pemanfaatan air tanah. Yang mempengaruhi besarnya air masuk kedalam tanah adalah vegetasi, kelerengan, kondisi tanahnya sendiri, dan lain-lain. Ketinggian muka air

55 26 tanah ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah dalam (aquifer) ataupun ketinggian air tanah dangkal (non-aquifer). 5. Indikator curah hujan. Besarnya curah hujan suatu tempat sangat dipengaruhi oleh kondisi klimatologi daerah sekitarnya, sedangkan kondisi klimatologi ini diperanguhi perubahan tutupan lahan, ataupun aktifitas lainnya. Sehingga bila terjadi perubahan secara besar pada tutupan lahan maka akan mempengaruhi klimatologi dan juga curah hujan yang terjadi. Indikator tata air yang dapat dengan mudah dilihat dengan pengamatan masyarakat umum diharapkan menjadi kontrol pelaksanaan pembangunan yang dilakukan dengan lebih terbuka. Sebagai gambaran bahwa suatu Daerah Aliran Sungai dikatakan masih baik apabila: 1. Memberikan produksi tinggi bagi keperluan kehidupan dalam DAS yang bersangkutan 2. Menjamin kelestarian DAS, dimana erosi yang terjadi dibawah erosi yang dapat ditoleransi 3. Terdapat kelenturan, dimana bila terjadi gangguan pada salah satu bagian, maka bagian lain mampu memberikan supply/bantuan. 4. Bersifat pemerataan, dimana setiap stakeholder yang ada di dalam DAS mampu berperan sesuai dengan kemampuan yang dipunyai dan mendapatkan imbalan yang sesuai Sedangkan dari aspek biofisik, suatu DAS dikatakan baik apabila: 1. Debit sungai konstan dari tahun ke tahun 2. Kualitas air baik dari tahun ke tahun 3. Fluktuasi antara debit maksimum dan minimum kecil 4. Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun 5. Kondisi curah hujan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu

56 Soil and Water Assessment Tool (SWAT) Analisis hidrologi dapat dilakukan dengan menggunakan software SWAT yang pertama kali dikembangkan oleh DR. Jeff Arnold pada awal tahun 1990-an untuk Agricultural Research Service (ARS) dari USDA. Menurut Neitsche et al (2005), SWAT merupakan hasil gabungan dari beberapa model yaitu Simulator for Water Resources in Rural Basin (SWWRRB); Chemical, Runoff, and Erosion from Agricultural Management Sistem (CREAMS); Groundwater Loading effects on Agricultural Management Sistem (GREAMS); dan Erosion Productivity Impact Calculator (EPIC). Software SWAT pertama kali digunakan di Amerika Serikat yang kemudian meluas ke Eropa, Afrika, dan Asia. Software SWAT dikembangkan untuk mengetahui pengaruh dari manajemen lahan terhadap siklus hidrologi, sedimen yang ditimbulkan dan daur ulang bahan kimia pertanian yang diperoleh berdasarkan data pada jangka waktu tertentu. Software SWAT akan diaplikasikan sebagai tools tambahan pada menu bar plug-in Map Window-46SR. Map Window 46SR adalah open source software berbasis GIS yang memungkinkan para penggunanya untuk menambahkan sendiri program atau tool baru. Dengan demikian, SWAT dapat diintegrasikan dengan MapWindow (MapWindow SWAT/MWSWAT) tanpa perlu membeli sistem berbasis GIS lainnya secara lengkap. SWAT merupakan model hidrologi berbasis fisika (physically based) yang membutuhkan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi, vegetasi dan praktek pengelolaan lahan yang terjadi di dalam DAS. SWAT dapat dimodelkan secara langsung proses-proses fisika yang terkait dengan pergerakan air, sedimen, pertumbuhan tanaman, siklus unsur hara dan lain sebagainya (Neitch et al., 2005). Proses-proses tersebut didasarkan pada konsep neraca air. Untuk pemodelan, suatu DAS dibagi menjadi beberapa Sub DAS atau Sub Basin yang didasarkan pada kesamaan penutupan lahan dan kesamaan lereng atau sifat lain yang berpengaruh terhadap hidrologi. Simulasi hidrologi suatu DAS dengan model SWAT dipisahkan kedalam dua bagian utama yaitu fase lahan pada siklus hidrologi (Gambar 5) dan fase air pada siklus hidrologi. Fase lahan mengendalikan jumlah air, sedimen, unsur hara

57 28 dan pestisida yang masuk ke dalam saluran utama pada setiap Sub DAS. Fase air atau penelusuran siklus hidrologi. Gambar 5. Representasi lahan pada siklus hidrologi (Neitsch et al. 2010) SWAT terus mengalami perkembangan sejak awal diciptakan. Hingga kini, SWAT telah dicoba dikembangkan untuk daerah tropis yang pada dasarnya memiliki ketersediaan data yang berbeda dengan daerah sub tropis dimana model ini diciptakan. Pengembangan sangat didukung oleh perkembangan teknologi. Pada awalnya, SWAT untuk dikembangkan oleh Windows (Visual Basic), GRASS, Arcview, ArcGIS dan terakhir dikembangkan dalam Map Windows, suatu interface untuk SWAT yang dapat diakses bebas oleh pengguna. SWAT telah mengalami validasi yang luas. Kalibrasi dan validasi output SWAT oleh Reungsang et al. (2005) dengan membandingkan aliran hasil model dan aliran NO 3 -N dalam sungai menghasilkan nilai R 2 sebesar Kalibrasi aliran permukaan bulanan yang dilakukan oleh Schuol dan Abbaspour (2006) menggunakan teknik Nash-Sutcliffe menghasilkan nilai efesiensi sebesar Analisis sensitivitas model yang dilakukan Reungsang et al. (2005) menunjukan bahwa model sangat peka terhadap variasi curah hujan, CN, Soil Available water capacity, dan koefesien evaporasi tanah.

58 29 Siklus hidrologi disimulasikan dalam SWAT berdasarkan pada persamaan water balance. Persamaannya adalah : Keterangan : SWt = kandungan akhir air tanah (mmh 2 O) SW 0 = kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mmh 2 O) R day = Jumlah presipitasi pada hari ke-i (mmh 2 O) Q Surf = Jumlah surface runoff pada hari ke-i (mmh 2 O) Ea = Jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mmh 2 O) Wseep = Jumlah air yang memasuki vadose zone pada profil tanah pada hari ke- I (mmh 2 O) Qgw = Jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mmh 2 O) Data masukan model untuk setiap HRUs (Hydrologic Respon Unit/HRU) Sub DAS dikelompokan ke dalam beberapa kategori yaitu iklim, unit respon hidrologi, genangan/daerah basah, air bawah tanah dan saluran utama yang mendrainase Sub DAS. HRU merupakan kelompok lahan dalam Sub DAS yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah dan pengolahan yang unik. Data yang dibutuhkan dalam model ini merupakan data harian. Data iklim menyediakan masukan air dan energi yang berpengaruh terhadap keseimbangan air. Input energi berupa iklim penting dalam melakukan simulasi dalam SWAT untuk menghasilkan perhitungan water balance yang akurat (Neitsch et al., 2005). Paramater iklim yang digunakan dalam SWAT berupa hujan harian, temperatur udara maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, serta kelembaban nisbi. Keunggulan dari SWAT adalah data iklim yang sulit untuk disediakan secara harian dapat dibangkitkan dengan menggunakan input file weather generator (.wgn) Konsep Pembanguan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan merupakan antidisertasi terhadap model pembangunan yang berorientasi ekonomi. Pembangunan yang berorientasi ekonomi semata dinilai gagal menyelesaikan agenda pembangunan yaitu kemiskinan dan kerusakan lingkungan (Salim, 2005). Konsep pembangunan

59 30 berkelanjutan mengeksplorasi kaitan antara pembangunan ekonomi, kualitas lingkungan dan keadilan sosial (Rogers et al. 2007). Konsep ini berawal dari pertemuan konfrensi internasional lingkungan hidup di Stockholm, Swedia tahun Konfrensi ini pertama kali dalam sejarah yang di gagas oleh PBB. Sepuluh tahun kemudian PBB kembali menggelar konperensi tentang lingkungan hidup pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya. Usul yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di Nairobi ini dibawa kesidang umum PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk WCED (World Comission on Environment and Development) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland. Komisi ini menghasilkan dokumen "Our Common Future" pada tahun 1987, yang memuat analisis dan saran bagi proses pembangunan berkelanjutan. Dalam dokumen itu diperkenalkan suatu konsep baru yang disebut suatu konsep pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Beberapa pengertian tentang pembangunan disampaikan oleh ilmuwan sebagai berikut. 1. Pembangunan berkelanjutan ialah sebuah pendekatan yang mempertemukan perbaikan kualitas hidup yang terus menerus dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang efektif, sehingga generasi yang akan datang dapat mewarisi sumberdaya tersebut untuk kehidupannya; 2. Pembangunan berkelanjutan ialah upaya untuk memelihara proses ekologi dan sistem penopang hidup, melindungi keanekaragaman genetik, dan pemanfaatan spesies serta ekosistem secara berkelanjutan (WWF 1987 dalam oleh Rogers et al., 2007). 3. Pembangunan berkelanjutan mencakup proses dan perubahan yang mendalam dalam aspek politik, sosial, ekonomi, kelembagaan, teknologi termasuk juga mendeskripsikan ulang hubungan antara negara berkembang dengan negara maju (Maurice 1992 dalam Rogers et al. 2007). 4. Pembangunan berkelanjutan berarti mendasarkan kebijakan pembangunan dan lingkungan pada perbandingan biaya dan manfaat dan analisis ekonomi yang cermat yang akan memperkuat perlindungan lingkungan dan menyebabkan

60 31 naiknya tingkat kesejahteraan secara berkelanjutan (World Bank 1992 dalam oleh Rogers et al. 2007). Rogers, Jalal dan Boyd (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial dan dimensi ekonomi. Dimensi ekologi artinya optimalisasi manfaat ekologis tidak harus mengabaikan aspek ekonomi dan sosial. Dimensi sosial maksudnya tidak harus mengabaikan aspek ekonomi dan ekologis. Sedangkan dimensi ekonomi artinya tidak mengabaikan dimensi ekologi dan sosial. Dengan demikian ketiga pilar tersebut harus digerakkan secara simultan dalam perencanaan dan implimentasi pembangunan. Selanjutnya Smith dan Jalal (2000) dalam Rogers et al. (2007) menjelaskan kaitan antara pembangunan berkelanjutan, lingkungan dan kemiskinan seperti pada Gambar 5. Permasalahan lingkungan disumbang oleh dua kutub, yaitu (1) kemiskinan yang berimplikasi pada kerusakan sumberdaya alam, dan (2) pembangunan yang berimplikasi pada degradasi lingkungan serta deplesi sumberdaya alam. Strategi atas permasalahan tersebut ialah dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan. Pada kutub kemiskinan melalui pengurangan kemiskinan dengan beberapa programnya. Sedangkan pada kutub pembangunan dilakukan integrasi antara pembangunan dengan lingkungan hidup (Gambar 6). Penjelasan tersebut sejalan dengan pengertian pembangunan berkelanjutan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan bagi umat manusia tidak rusak. Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute), tetapi merupakan batas yang luwes (flexible) yang

61 32 tergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam serta kemampuan biosfir menerima dampak kegiatan manusia. Beberapa peneliti menguraikan keberlanjutan lebih rinci lagi dalam lima dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi kelembagaan dan dimensi teknologi (Fauzi dan Anna, 2005). Dimensi ekologi ialah terkait menjaga daya dukung, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama. Dimensi sosial ekonomi ialah terkait keberlanjutan kesejahteraan masyarakat dalam rangka keberlanjutan. Dimensi kelembagaan ialah terkait kelembagaan yang mendorong keberlanjutan. Dimensi sosial ialah terkait keberlanjutan sosial masyarakat. Pembangunan Berkelanjutan Kemiskinan SDA rusak Permasalahan Lingkungan: Pencemaran, Degradasi Lahan, Perubahan Iklim Pembangunan SDA rusak Reduksi kemiskinan 1. Pemenuhan kebutuhan dasar 2. Kontrol demografi 3. Kontrol penggunaan common property 4. Meningkatkan produktivitas ReduksIntegrasi Pembangunan & lingkungan 1. Amdal 2. Teknologi ramah lingkungan 3. Kontrol mitigasi 4. Energi terbarukan Gambar 6. Keterkaitan pembangunan berkelanjutan, lingkungan dan kemiskinan 2.9. Sistem dan Pendekatan Sistem Pengertian dan Tipe Sistem Sistem adalah suatu gugus dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu, (Manetsch dan Park, 1979 dalam Eriyatno, 1997). Pengertian tersebut memberikan penjelasan bahwa dalam sistem terdapat bagian-bagian yang saling

62 33 berinteraksi dalam upaya pencapaian tujuan. Oleh karena itu Marimin (2004) mengatakan bahwa sistem merupakan gugus dari elemen-elemen yang saling berinteraksi secara teratur dalam rangka mencapai tujuan atau subtujuan. Menurut Hartrisari (2007) suatu sistem dapat terdiri atas beberapa subsistem. Masing-masing susbsistem tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Namun secara keseluruhan dalam konsep sistem memiliki fungsi yang sama. Artinya masing-masing fungsi dari subsistem tersebut saling mendukung untuk berjalannya fungsi sistem secara keseluruhan. Hartrisari (2007) menjelaskan bahwa sistem dapat digolongkan dalam dua tipe yaitu, (1) sistem terbuka atau open sistem dan (2) sistem tertutup atau closed sistem. Sistem terbuka ialah sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari input, namun tidak memberi umpan balik terhadap input. Sebaliknya sistem tertutup, outputnya memberikan umpan balik terhadap input Pendekatan Sistem Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin, 2004). Sedangkan Eriyatno (1998) menjelaskan bahwa pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (sistim approach). Dengan demikian pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang komprehensif dan berorientasi tujuan. Selanjutnya disampaikan bahwa pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Hartrisari (2007) menjelaskan pendekatan sistem merupakan pendekatan yang tidak secara langsung mereduksi faktor yang berpengaruh tetapi lebih bersifat menyeluruh. Pendekatan yang bersifat holistik lebih memfokuskan keterkaitan antara faktor. Pendekatan sistem menggunakan model untuk mempelajari perilaku sistem yang dikaji, yang digunakan sebagai dasar perbaikan sistem. Sementara model adalah penyederhanaan sistem. Artinya karena sistem merupakan sangat komplek, maka model dibuat untuk memudahkan memahami

63 34 gambaran sistem. Tujuan penyusunan model yaitu; (1) memahami proses yang terjadi dalam suatu sistem; (2) membuat prediksi dan (3) menunjang pengambilan keputusan, (Hartrisari, 2007). Eryatno (1999) menjelaskan bahwa untuk dapat bekerja secara sempurnah suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur yang meliputi (1) metodelogi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) tim yang multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi dan (8) aplikasi komputer. Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisis, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya (Marimin, 2007). Menurut Marimin (2007) sifat dasar dari suatu sistem terdiri atas tujuh, yaitu: 1. Pencapaian tujuan, prinsip ini memberikan sifat bahwa sistem merupakan sesuatu yang dinamis dalam mencapai tujuan; 2. Kesatuan usahan, prinsip ini menjelaskan bahwa hasil keselurahan dari sistem melebihi bagian-bagiannya atau disebut konsep sinergi; 3. Keterbukaan terhadap lingkungan, prinsip ini menjelaskan bahwa lingkungan merupakan sumber potensi dan hambatan. Oleh karena itu pencapaian tujuan suatu sistem relatif tidak mutlak. Sebaliknya dapat dilakukan dengan berbagai cara sesusia dengan tantangan lingkungannya; 4. Transformasi, yaitu prinsip yang menjelaskan tentang proses perubahan input menjadi output.

64 35 Menurut Hartrisari (2007), pendekatan sistem memiliki beberapa tahapan yaitu; (1) analisis kebutuhan, bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhankebutuhan dari masing-masing stakeholders, (2) formulasi permasalahan, mengkombinasikan dan mensinergiskan semua permasalahan yang merupakan kebutuhan stakeholders dalam sistem, (3) identifkasi sistem, yaitu memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem mencakup faktor-faktor yang terkait di dalamnya. Identifikasi sistem dapat dilakukan dengan diagram input-output atau diagram lingkar sebab akibat, (4) simulasi pemodelan, yaitu tahap interaksi antara analisis sistem dengan pembuatan keputusan yang menggunakan model dengan mempertimbangkan berbagai variabel yang dimasukkan, (5) validasi dan verifikasi.

65 36

66 37 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian lapangan secara fisik berlokasi di DAS Batu Gantung, DAS Batu Gajah, DAS Wai Tomu, DAS Batu Merah dan DAS Ruhu di Semenanjung Leitimor Pulau Ambon (Gambar 7). Dalam penelitian ini batasan yang digunakan adalah hanya pada wilayah DAS yang merupakan daerah sumber air yang dipasok untuk kebutuhan air minum di Kota Ambon dengan luas 4.123,09 ha. Wae Ruhu Wae Batu Merah Wae Tomu Wae Batu Gajah Wae Batu Bantung Sumber : Bappeda Kota Ambon, 2003 Gambar 7. Peta lokasi penelitian 3.2. Desain Penelitian Dalam penelitian ini digunakan tiga macam metode analisis, yaitu untuk menjawab tujuan pertama adalah interpretasi data secara visual yaitu dengan menganalisa warna. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan fenomenafenomena bersifat kualitatif, berkaitan dengan interpretasi data citra satelit tingkat perubahan dan penyimpangan pemanfaatan lahan sebagai akibat dari upaya pertumbuhan wilayah. Analisis hidrologi untuk menjawab tujuan kedua yaitu dengan menggunakan Metode MWSWAT. Analisis pertumbuhan penduduk berdasarkan

67 38 metode geometri, analisis kebutuhan air berdasarkan ketentuan dari Departemen Pekerjaan Umum untuk menjawab tujuan ke tiga, serta metode pendekatan Multi Dimensional Scalling (MDS) dan Stella untuk Analisis dinamis serta analisis deskriptif membahas kelembagaan pengelolaan DAS pada tujuan keempat. Pengumpulan Data Primer & Sekunder ERDAS & GIS Survei Tutupan Lahan MWSWAT, RAINBOW PERMEN PU No. 18/PRT/M/2007 Kondisi Eksisting DAS Analisis Karakteristik DAS dan Debit Andalan 1. Data Iklim 2. Data Tanah 3. Data Debit 1. KA Domestik 2. KA Pertanian 3. KA Industri 4. KA Total Analisis Kebutuhan Air Analisis Ketersediaan Air MDS Analisis Keberlanjutan (Kondisi Eksisting DAS) 1. Data Iklim 2. Data Tanah 3. Data Debit Ekologi Ekonomi Sosial Model Dinamik (Stella) Analisis Kelembagaan (Diskriptif) Model Pengelolaan DAS Berkelanjutan Gambar 8. Skema desain penelitian

68 39 Tabel 1. Matriks tujuan, variabel data, teknik pengumpulan data, metode analisis dan output yang diharapkan dalam penelitian NO TUJUAN VARIABEL DATA SUMBER DATA TEKNIK PENGUMPULAN DATA METODE ANALISIS OUTPUT YANG DIHARAPKAN 1. Menganalisis perubahan tutupan lahan pada DAS di Semenanjung Leitimor. Tataguna lahan, penutupan lahan Primer dan sekunder Observasi langsung, studi pustaka Interpretasi Data Citra dengan perangkat lunak Erdas dan GIS/SIG perubahan penutupan lahan pada DAS untuk kelima DAS 2. Menganalisa debit andalan DAS di Semenanjung Leitimor CH, Debit sungai. Primer dan sekunder Observasi langsung, Pengukuran langsung, studi pustaka MWSWAT, RAINBOW Karakteristik hidrologi dan debit andalan DAS Kota Ambon 3. Menganalisis kebutuhan air di Semenanjung Leitimor Proyeksi penduduk, kebutuhan air Data primer dan sekunder Studi Pustaka, observasi langsung Metode Geometril, berdasarkan PERMEN PU No. 18/PRT/M/2007 Kebutuhan air di semenanjung Leitimor. 4. Merumuskan model pengelolaan Daerah Aliran Sungai dalam menunjang keberlanjutan sumberdaya air secara ekologi, ekonomi, dan sosial di Semenanjung Leitimor Seluruh data yang digunakan pada analisis parsial setiap komponen pengelolaan DAS Primer dan sekunder serta responden Wawancara mendalam, kuesioner, FGD Pendekatan sistem: MDS, Analisis Sistem Dinamis (Stella); Analisis kelembagaan (Diskriptif) Model pengelolaan DAS yang berkelanjutan

69 Metode Penelitian Data Primer Pengumpulan data dibedakan atas data biofisik (tanah, hidrologi, penutupan lahan) dan data sosial ekonomi masyarakat di wilayah ke lima DAS yang diwakili oleh Desa Kusu-Kusu Sereh dan Desa Soya, Kecamatan Sirimau Kota Ambon. Data debit sungai sesaat untuk kelima sungai yang menjadi sampel dalam penelitian. Penutupan lahan sekarang di hulu DAS dan sifat-sifat tanah (bahan induk) diamati di lapangan dan di plot ke dalam peta kerja saat survey lapangan berlangsung. Pengamatan sifat-sifat tanah (warna, tekstur, struktur, porositas, kedalaman tanah) dilakukan melalui data boring dan profil tanah, sedangkan infiltrasi diukur langsung di lapangan dengan ring infiltrometer. Data primer berdasarkan dari responden yang terdiri dari para pakar diwawancarai dengan panduan kuisioner. Kuisioner merupakan kumpulan dari pertanyaan-pertanyaan yang berisikan tentang rencana studi yang dilaksanakan. Pengambilan kuisioner dilakukan terhadap responden yang ditentukan secara purposive yaitu pada pakar yang terkait dengan pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang antara lain: Dinas Kehutanan Kota Ambon, Bappeda Kota Ambon. BPDAS Wilayah Maluku, Akademisi, Pengelola Air Minum (PDAM dan DSA), tokoh masyarakat, Forum DAS Propinsi Maluku, Lembaga Swadaya Masyarakat. Tabel 2. Jenis data dan sumber data primer No. Jenis Data Sumber Data 1. Biofisik (stuktur dan tekstur tanah) BPN Kota Ambon, PU Propinsi Maluku 2. Tutupan lahan 3. Sosial ekonomi masyarakat BPS Kota Ambon 4. Data debit sungai PU Prop. dan Balai SDA Maluku 5. Responden pakar Wawancara panduan kuisioner

70 Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dibedakan atas kondisi umum lingkungan, data iklim diperoleh dari stasiun BMKG Karang Panjang Ambon karena merupakan stasiun terdekat, data citra satelit Pulau Ambon dari LAPAN, dan peta penutupan lahan Pulau Ambon dari BPKH Maluku, Data hidrologi sungai yang menyangkut pengukuran tinggi muka air dan debit sungai dari Wae Batu Gantung, Wae Batu Gajah, DAS Wai Tomu, DAS Batu Merah dan Wae Ruhu, data administrasi Kota Ambon dari Badan Pusat Statistik Kota Ambon serta Regulasi dan Undang-undang dari instansi terkait. Pengumpulan data menyangkut data primer dan data sekunder. Data yang dibutuhkan pada penelitian ini antara lain: - Debit sungai Wae Tomu Tahun 2010 dari Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Maluku dan Balai Sungai Maluku. - Data klimatologi Stasiun BMKG Bandara Pattimura Laha Ambon - Data global Digital Elevation Mode (DEM) untuk wilayah Pulau Ambon dengan resolusi 30 X 30 m yang berasal dari ( 2_1/SRTM3/Eurasia) - Data global dari Landcover ( skala 1: , tanah skala 1: dan data iklim global - Peta tanah DAS Kota Ambon - Administrasi Kota Ambon dari instansi terkait.

71 Tahapan Analisis Data MULAI Data Penunjang: 1. Studi Pustaka 2. Data Sekunder PENULISAN PROPOSAL Data Penunjang: 1. Citra Landsat TM 2. Peta Topografi EVALUASI TUTUPAN LAHAN Data Penunjang: 1. Curah Hujan 2. Debit Sungai 3. Kondisi Biofisik lahan ANALISIS HIDROLOGI Data Penunjang: 1. Tkt. Pertumbuhan Pddk 2. Keb. Air Domestik, Pertanian dan industri ANALISIS KEBUTUHAN DAN KETERSEDIAAN AIR Semua Data Yang Terkumpul ANALISIS KEBERLANJUTAN Faktor pengungkit dari keberlanjutan MODEL DINAMIS PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI Hasil Wawancara Dengan Informan Kunci tentang faktor pengungkuit yang perlu diperbaiki ANALISIS KELEMBAGAAN DAS Gambar 9. Tahapan analisis data SELESAI 3.4. Analisis Data Penutupan Lahan. Analisis penutupan lahan lokasi penelitian dianalisis menggunakan interpretasi data Citra Pulau Ambon dengan bantuan perangkat lunak computer (software) ERDAS 9 dan Sistem Informasi Geografis (SIG)/Geography Information Sistems (GIS) Arcinfo lisensi Fahutan IPB. Erdas dan SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer, yaitu sekumpulan perangkat keras (komputer), perangkat lunak, data-data geografis, manusia yang terorganisir, yang secara efisien mengumpulkan, menyimpan, meng-update, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk data bereferensi geografis.

72 Gambar 10. Peta sebaran titik pengamatan tutupan lahan di lokasi penelitian 43

73 44 Citra landsat Data Penunjang: 1. Peta Topografi 2. Peta tataguna tanah, dll Interpretasi Citra Landsat berdasarkan unsur ukuran, rona, warna tekstur dan pola Klasifikasi Tutupan Lahan Peta interpretasi/peta tutupan lahan sementara Pengecekan Lapangan Data Pengamatan Lapangan Perbaikan peta hasil interpretasi dan hasil pengecekan lapangan Akurasi Tidak diterima Peta Tutupan Lahan Final Gambar 11. Tahapan analisis kondisi tutupan lahan eksisting Pengenalan obyek secara visual merupakan bagian dalam interpretasi citra. Untuk itu identitas dan jenis obyek pada citra sangat diperlukan dalam analisis. Karakteristik obyek pada citra dapat digunakan untuk mengenali obyek melalui unsur interpretasi. Unsur interpretasi yang dimaksud antara lain: a). Ukuran merupakan cerminan penyajian luas daerah yang ditempati oleh kelompok individu; b). rona merupakan tingkat/gradasi keabuan yang teramati pada citra penginderaan jauh yang dipresentasikan secara hitam-putih; c). warna merupakan wujud yang tampak mata. Dibandingkan dengan rona, perbedaaan warna lebih mudah dikenali oleh penafsir dalam mengenali obyek secara visual; d). tekstur

74 45 merupakan frekuensi perubahan rona dalam citra. Tekstur dihasilkan oleh kelompok unit kenampkan yang kecil, tekstur sering dinyatakan kasar, halus, ataupun belang-belang (Contoh hutan primer bertekstur kasar, hutan tanaman bertekstur sedang, tanaman padi bertekstur halus); e). pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan beberapa obyek alamiah. Hal ini membuat pola unsur penting untuk membedakan pola alami dan hasil budidaya manusia. Klasifikasi tutupan lahan merupakan langkah selanjutanya dari proses interpretasi citra, setelah itu dibuat peta penutupan lahan sementara. Peta penutupan lahan semenatara ini kemudian dijadikan peta untuk melakukan pengecekan di lapangan. Data hasil pengecekan lapangan selanjutnya dijadikan acuan untuk perbaikan peta hasil inerpretasi awal, selanjutnya dilakukan uji akurasi terhadap klasifikasi tutupan lahan tersebut dan jika akurasi diterima maka langkah selanjutnya adalah membuat peta tutupan lahan final. Luas areal tutupan lahan yang dilakukan pada lokasi penelitian termasuk kelima DAS dan dataran perkotaan pada bagian hilir dari DAS Kota Ambon, sedangkan luasan tutupan lahan untuk analisis debit unggulan hanya sampai pada batas outlet dari masing-masing DAS Karakteristik Hidrologi DAS Analisis data mencakup rata-rata curah hujan wilayah, evapotranspirasi, infiltrasi dan aliran permukaan. Selanjutnya dilakukan analisis SWAT dengan menggunakan aplikasi MapWindow dalam menganalisis debit sungai DAS di Kota Ambon. Pada aplikasi SWAT input data yang diperlukan disesuaikan dengan metode yang akan digunakan dalam menentukan parameter output nantinya. Simulasi SWAT dilakukan pada dua tahun yaitu Tahun 2002 dan Tahun 2010 dengan melihat perubahan tutupan lahan karena data perubahan tutupan lahan yang ada hanya pada Tahun 2002 dan Tahun 2009, sedangkan untuk melakukan kalibrasi debit hanya pada Tahun 2010 karena time series data debit yang ada hanya pada Tahun 2010.

75 46 Analisis data mencakup rata-rata curah hujan wilayah, evapotranspirasi, infiltrasi dan aliran permukaan. Selanjutnya dilakukan analisis SWAT dengan menggunakan aplikasi MapWindow dalam menganalisis debit DAS Kota Ambon. Analisis Kecenderungan Ketersediaan Air Data hasil pengukuran debit harian sungai Wae Tomu telah dikumpulkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Maluku untuk Tahun 2002 dan Balai Sungai Maluku untuk Tahun 2010 secara intensif menggunakan AWLR. Ketersediaan air diproyeksikan berdasarkan data historis debit sungai dengan menggunakan model populer yang dikenal sebagai model Verhulst (Burghes dan Borrie, 1981). Secara umum model ini menunjukan kurva sigmoid dari waktu ke waktu dengan nilai batasan pada waktu tak terbatas. Mulai 1. Tanah 2. Iklim 3. Landuse 4. Debit Pengumpulan Data Pengelompokan Data Pemasukan Data Tataguna Lahan Peta dan Karakteristik DAS Iklim Debit HRUs Model MWSWAT Kalibrasi Debit Model Debit Observasi Simulasi Hasil Kalibrasi Tidak Validasi Model Ya Evaluasi Statistik Selesai Gambar 12. Diagram alir analisis ketersediaan air DAS Kota Ambon

76 47 Analisis debit sungai menggunakan MWSWAT Perhitungan debit sungai dilakukan dengan menggunakan MWSWAT untuk melihat karakteristik DAS secara keseluruhan dengan responsnya terhadap hidrologi DAS. Hasil simulasi nantinya dikalibrasi kembali dengan hasil perhitungan debit observasi di lapangan. sebelum memulai tahapan pengolahan dengan menggunakan SWAT, perlu dilakukan persiapan terhadap data yang akan dimasukan sebagai input dalam SWAT yaitu: a. Membuat sistem koordinat pada peta DEM (30 m X 30 m), landcover, tanah. Sistem koordinat yang digunakan adalah sistem koordinat Universal Transverse Mercator (UTM) WGS 1984 pada zone 52S. Format peta yang digunakan dalam bentuk raster (grid cells). b. Menyiapkan data iklim yang meliputi daftar stasiun Bandara Pattimura ( txt), data hujan harian dari tahun ( pcp), data temperatur harian dari tahun ( tmp), data iklim tahun di dalam file weather generator (WGN_Pattimura.wgn). c. Menyiapkan data karakteristik tanah, tanaman/landcover, dan wilayah urban dengan penyesuaian terhadap data global yang telah ada. Penggambaran Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai Kota Ambon dibuat dengan metode Automatic Watershed Deliniation pada aplikasi SWAT. Peta DEM pulau Ambon dengan resolusi 30 m X 30 m dijadikan input untuk mempresentasekan beda elevasi dari setiap titik untuk melihat arah aliran air permukaan. Aliran sungai yang terbentuk akan membentuk suatu daerah aliran sungai, dan outlet dari aliran sungai tersebut disesuaikan dengan koordinat outlet sungai yang ada di Kota Ambon. Pembuatan wilayah Hidrologi Wilayah hidrologi dibentuk berdasarkan hydrological Response Unit (HRUs) pada aplikasi SWAT. HRUs menggambarkan pengaruh suatu wilayah terhadap faktor hidrologi yang terjadi pada wilayah tersebut, pembagian wilayah tersebut berdasarkan karakteristik tanah, tataguna lahan, dan kemiringan lereng. Input peta tanah dan landcover harus dalam koordinat sistem UTM, dan dalam format raster. Selanjutnya faktor kemiringan yang digunakan dalam menentukan

77 48 HRUs dibagi dalam beberapa pembagian menurut Arsyad (2006) yakni 0-3%, 3-8%, 8-15%, 15-30%, 30-45%, 45-65%, >65%. Threshold dari persentase total luasan yang digunakan untuk landcover (10%) jenis tanah (5%) dan kelerengan (5%) yang memiliki persentase luasan yang lebih kecil dari threshold yang ditentukan untuk diabaikan. Simulasi SWAT Pada tahapan ini input data yang digunakan adalah periode simulasi tahun File data stasiun iklim (.txt), file data hujan harian (.pcp), temperatur harian (.tmp) dan fie weather generator (.wgn). Visualisasi Hasil Simulasi Pada tahapan visualisasi parameter output yang dikehendaki dapat ditampilkan dalam MapWindow, berupa gradasi warna. Pada sungai yang disimulasi, output yang dipilih yaitu parameter output debit sungai sebagai ratarata tahunan. Kalibrasi dan validasi Analisis hasil simulasi dari output yang telah diperoleh dikalibrasi parameter inputnya agar hasil simulasi mendekati kondisi ideal dengan data hasil pengukuran di lapangan. Selanjutnya dilakukan validasi terhadap kondisi aktual di lapangan pada periode Perbandingan output debit hasil simulasi SWAT dengan debit hasil observasi outlet di lapangan dilakukan dengan menggunakan SWAT Plot dan Graph. Hasil simulasi kemudian dikalibrasi dengan SWAT CUP untuk mengetahui kesamaan antara debit observasi dengan debit kalibrasi. Karena itu nilai p_faktor dan R 2 merupakan parameter utama yang dipakai sebagai hasil kalibrasi menggunakan SWAT CUP. Analisis dilakukan dengan menggunakan koefisien determinasi (R 2 ) dan Nash-Sutcliffe Index (NSI) sebagai berikut: ( ) ( ( )... (3-1) )... (3-2)

78 49 Dimana : Q obs Q cal,i = debit observasi (m 3 /det) = debit hasil simulasi (m 3 /det) = debit Simulasi rata-rata (m 3 /det) = debit observasi rata-rata (m 3 /det) Kategori simulasi berdasarkan nilai NSI (Van Liew et al., 2005 dalam Stehr, 2009) adalah sebagai berikut: - Layak jika > 0,75 - Memuaskan 0,36<NSI<0,75 - Kurang memuaskan jika <0,36 Jika hasil kalibrasi didapatkan hasil memuaskan atau layak maka model SWAT dapat diaplikasikan dalam simulasi untuk berbagai kondisi dalam manajemen sumberdaya air di DAS Kota Ambon. Analisis Debit Andalan Analisis debit andalan dilakukan dengan cara mengelompokan debit ratarata perbulan hasil simulasi MWSWAT kemudian dirancang berdasarkan konsep peluang (probability). Perhitungan debit andalan dapat diduga dengan menggunakan analisis peluang yaitu dengan metode sebaran normal. Metode sebaran normal digunakan untuk menggambarkan rataan aliran sungai tahunan. Sebaran ini membutuhkan data rataan dan simpangan baku dari debit sungai. Analisa debit andalan menggunakan metode tahun dasar perencanaan, metode ini biasanya digunakan dalam perencanaan atau pengelolaan irigasi. Umumnya di bidang irigasi dipakai debit dengan keandalan 80%. Dalam perhitungan debit andalan dalam penelitian ini digunakan tools RAINBOW, paket perangkat lunak untuk analisis frekuensi hidrometeorologi dan pengujian homogenitas set data historis. Perangkat ini dapat di down load pada situs

79 Penggunaan Air Proyeksi Penduduk Untuk menentukan kebutuhan air di Semenanjung Leitimor dimulai dengan proyeksi jumlah penduduk Kota Ambon dengan metode Geometri (Badan Pusat Statistik): P n = P 0 (1+r) 2... (3.3) Dimana : P n = Jumlah penduduk pada tahun ke n. P 0 = Jumlah penduduk pada tahun dasar. r = Laju pertumbuhan penduduk. n = Jumlah interval tahun Ketentuan teknis untuk pengkajian kebutuhan air domestik untuk wilayah penelitian dikelompokan ke dalam kategori wilayah berdasarkan standar kebutuhan air untuk berbagai sektor SNI adalah sebagai berikut:

80 51 Tabel 3. Standar kebutuhan air untuk berbagai sektor No. Jenis Pemakai Satuan Standart Konsumsi Domestik 1. Masyarakat Kota dengan penduduk > 1 juta L/jiwa/hari Masyarakat Kota dengan penduduk L/jiwa/hari juta 3. Masyarakat Desa dengan penduduk < L/jiwa/hari Kran Umum L/jiwa/hari 30 Non Domestik 1. Hidran Kebakaran % keb. dmstk 5 2. Kebocoran % keb. dmstk Sekolah L/jiwa/hari Kantor L/jiwa/hari Tempat Ibadah L/jiwa/hari 2 Industri 1. Secara umum L/Det/Ha 1 Irigasi 1. Irigasi Teknis L/det/ha 1 2. Irigasi Semi Teknis L/det/ha 1 3. Irigasi Sederhana L/det/ha 1 Ternak 1. Sapi L/ekor/hari Domba/kambing L/ekor/hari 5 3. Babi L/ekor/hari 6 4. Unggas L/ekor/hari 0,6 Tambak 1. Tambak Sederhana L/det/ha 0,8 2. Tambak Semi Intensif L/det/ha 3,9 3. Tambak Intensif L/det/ha 5,9 Komersial 1. Pelabuhan Udara L/pnmpg/hari Terminal/Stasiun Bis L/pnmpg/hari 3 3. Pelabuhan Laut L/pnmpg/hari Hotel L/jiwa/hari 200 Sarana Kesehatan 1. Rumah Sakit L/bed/hari 300 Sumber :SNI Penyusunan Neraca Sumberdaya Air

81 Pemakaian Air Pemakaian air setiap orang dapat dihitung melalui: Besar pemakaian air setiap orang setiap hari (Px) adalah Total pemakaian air (ltr/hr) P x =..... (3.4) Jlh anggota keluarga (orang) Kebutuhan Air Total Kebutuhan air total diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh kebutuhan air untuk kebutuhan domestik, industri, dan pertanian. Persamaan yang dapat digunakan adalah KA total = KA domestik + KA industri + KA pertanian..... (3.5) Untuk persamaan (3,5), dapat dibuat persamaan untuk menghitung kebutuhan air masing-masing variabel yaitu: a. Kebutuhan Domestik. Jumlah kebutuhan air setiap individu, yang dipengaruhi oleh faktor usia, agama, dan tingkat kesejahteraan, tetapi dalam penelitian ini faktor-faktor tersebut tidak diperhitungkan. Persamaan untuk menghitung kebutuhan air domestik adalah KA domestik = 365 hari (N t (100/1000).. (3.6) Dimana: N t = Np(1+r) t.. (3.7) Ket : N t = Jumlah penduduk pada tahun ke t (jiwa). Np = Jumlah penduduk pada tahun dasar hitungan (jiwa). r = Laju pertumbuhan penduduk. t = Selisih tahun antara proyeksi dengan tahun dasar hitungan b. Kebutuhan Air Industri Kebutuhan Air industri yang dihitung dalam penelitian ini mencakup industri pangan formal, industri tekstil, industri bahan bangunan, industri mesin, logam, elektronik dan industri kerajinan. KA industri = 365 hari (N ind X U ind ).. (3.8) Dimana : N ind = Jumlah industri (unit). U ind = Kebutuhan air harian per unit (m 3 /hari).

82 53 c. Kebutuhan Air Pertanian Kebutuhan air pertanian yang dihitung dalam penelitian ini adalah hanya untuk kebutuhan air ternak. Ternak yang digolongkan dalam perhitungan kebutuhan air adalah ternak sapi, kambing, babi, unggas (itik dan ayam). Sedangkan kebutuhan air untuk tanaman tidak dihitung karena tidak ada pertanian yang intensif di lokasi penelitian dan tidak ada saluran irigasi sehingga kebutuhan air untuk pertanian diabaikan. KA ternak = 365 hari (N ternak X U ternak ).. (3.9) Dimana : N ternak = Jumlah ternak (ekor). U ternak = Kebutuhan air ternak per ekor (ltr/hari) Desain Model Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Semenanjung Leitimor 1) Analisis Data Analisis keberlanjutan pengelolaan Daerah Aliran Sungai Semenanjung Leitimor dilakukan dengan metode pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS). Analisis ini dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain: 1. Penentuan atribut keberkelanjutan pengelolaan DAS yang mencakup tiga dimensi yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial. 2. Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi. Masing-masing atribut dari setiap dimensi dilakukan penilaian berdasarkan scientific judgment oleh responden pakar berdasarkan persyaratan yang telah ditentukan. Pemberian skor ordinal pada rentang 0-2, atau 0-3 atau sesuai dengan karakter atribut yang menggambarkan strata penilaian dari terendah (0) sampai yang tertinggi (3). Skor 0 adalah buruk (bad) dan skor 3 adalah baik (good). Penilaian atribut dilakukan dengan membandingkan kondisi atribut dengan memberikan penilaian buruk (0), sedang (1), baik (2) atau sangat baik (3). 3. Menghitung indeks dan menganalisis status keberlanjutan. Hasil skor dari setiap atribut dianalisis dengan multi dimensional untuk menentukan suatu titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan pengelolaan DAS Kota Ambon. Titik tersebut merupakan posisi relatif berkelanjutan yang dikaji

83 54 terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Skor definitifnya adalah nilai modus, yang dianalisis untuk menentukan titik-titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan sistem yang dikaji relatif terhadap titik baik dan buruk dengan teknik ordinasi statistik MDS. Skor perkiraan setiap dimensi dinyatakan dengan skala terburuk (bad) 0% sampai yang terbaik (good) 100%. Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kategori status keberlanjutan pengelolaan DAS Semenanjung Leitimor Nilai Indeks 0,00-25,00 25,01-50,00 50,01-75,00 75,01-100,00 Sumber: Fauzi dan Anna (2005) Kategori Buruk (tidak berkelanjutan) Kurang (kurang berkelanjutan) Cukup (cukup berkelanjutan) Baik (sangat berkelanjutan) Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Dengan proses rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) hingga 100% (baik). Ilustrasi hasil ordinasi nilai indeks keberlanjutan terlihat pada Gambar 13 berikut: Buruk Baik Gambar 13. Ilustrasi nilai indeks keberlanjutan dalam skala ordinasi Selain itu nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan secara bersama dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram). Diagram layang-layang tersebut simetrisnya ditentukan oleh indeks masing-masing dimensi (ekologi, ekonomi, sosial). Disamping itu nilai indeks dari masing-masing dimensi dapat dimunculkan keberlanjutan disajikan pada Gambar 14. pada diagram tersebut. Diagram layang-layang Analisis untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan maka dilakukan analisis sensivitas dengan melihat bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin besar perubahan nilai RMS, maka semakin sensitif atribut tersebut. Analisis-

84 55 analisis yang dilakukan tersebut akan terdapat pengaruh galat yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor, kesalahan pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, proses analisis MDS yang berulangulang, kesalahan pemasukan data atau terdapat data yang hilang, dan tingginya nilai stress (nilai stress dapat diterima jika nilai < 25%) (Kavanagh, 2001 dalam Budiharsono, 2007). Sehinga dalam mengevaluasi pengaruh galat pada pendugaan nilai ordinasi akan digunakan analisis Monte Carlo. Ekonomi Ekologi Sosial Gambar 14. Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Setiap Dimensi Pendekatan MDS dalam Rap-insus DAS memberikan hasil yang stabil yang telah dimodifikasi dibandingkan dengan metode multivariate analysis yang lain, seperti factor analysis. Dalam MDS, dua titik atau obyek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan. Sebaliknya, obyek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan. Teknik ordinasi atau penentuan jarak di dalam MDS didasarkan pada Euclidean Distance yang dalam ruang berdimensi n dapat (Modifikasi dari Fauzi dan Anna, 2005) ditulis sebagai berikut: d x x2 y1 y2 z1 z (3.10) Konfigurasi dari obyek atau titik di dalam MDS kemudian diproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidean (dij) dari titik I ke titik j dengan titik asal (σij) sebagaimana persamaan berikut: d ij ij... (3.11)

85 56 Teknik yang digunakan untuk meregresikan persamaan di atas adalah Algoritma ALSCAL, dimana mengoptimalisasikan jarak kuadrat (square distance = d ijk ) terhadap data kuadrat (titik asal = Oijk), yang dalam tiga dimensi (i, j, k) ditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut: s... (3.12) Dimana jarak kuadrat merupakan jarak Eucledian yang dibobot atau ditulis: d x x 2 2 r wka ia ja i... (3.13) Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S di atas dan R 2. Nilai stress yang rendah menunjukkan good fit, Nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Dalam pendekatan Rap- Fish, model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 atau S < 0,25 (Fauzi dan Anna, 2005). Nilai R 2 yang baik adalah yang nilainya mendekati 1. 1 m m k 1 i j i o Secara keseluruhan maka tahapan dalam analisis keberlanjutan menggunakan MDS dapat dilihat pada Gambar 15 di bawah ini: d 2 ijk j o 4 ijk 2 ijk 2 Start Identifikasi dan Pendefenisian Atribut (didasarkan pada kriteria yang konsisten) Gambaran Umum Skoring (mengkonstruksi reference point untuk good dan bad serta anchor) Multidimensional Scaling Ordination (untuk setiap atribut) Simulasi Montecarlo (Analisis Ketidakpastian) Analisis Leverage (Analisis Anomali) Analisis Keberlanjutan (Asses Sustainability) Gambar 15. Elemen proses aplikasi RafpDAS pendekatan MDS

86 Desain Model Pengelolaan DAS Semenanjung Leitimor Model pengelolaan Daerah Aliran Sungai Semenanjung Leitimor berkelanjutan didasarkan atas pendekatan sistem mencakup identifikasi kebutuhan stakeholders, formulasi masalah, identifikasi sistem, simulsi sistem dan implimentasi. Desain kebijakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai mengintegrasikan antara aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan penutupan lahan. Masing-masing aspek tersebut merupakan submodel yang saling memiliki keterkaitan. 1) Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam penyusunan desain ini adalah sistem dinamik dengan bantuan software Stella Metode analisis ini memiliki tahapan sebagai berikut. a. Analisis kebutuhan Analisis kebutuhan merupakan tahapan awal dalam pendekatan sistem. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap stakeholders yang terkait sistem pengelolaan Daerah Aliran Sungai secara terpadu dan berkelanjutan. Hal ini penting untuk mengetahui peta atau gambaran dari kebutuhan masing-masing stakeholders sehingga untuk memaksimalkan pencapaian tujuan bersama. Langkah awal dalam analisis kebutuhan adalah mendata para stakeholders yang terkait dalam penyusunan desain kebijakan Daerah Aliran Sungai terpadu dan berkelanjutan. Setelah stakeholders teridentifikasi, kemudian dianalisis kebutuhan masing-masing melalui wawancara mendalam (deep interview) dengan stakeholders termasuk wawancara dengan para pakar yang memiliki pemahaman terhadap sistem yang ada. Berdasarkan observasi pendahuluan terhadap permasalahan yang ada di lapangan maka stakeholders dan kebutuhannya teridentifikasi yang disajikan pada tabel di bawah.

87 58 b. Identifikasi sistem Sistem adalah gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu (Hartirisari, 2007). Pada tahap identifikasi sistem, mencoba memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem. Hal ini dimaksudkan untuk mengenali hubungan antara pernyataan kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus diselesaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan menyusun diagram lingkar sebab-akibat (causal loop diagram) atau diagram input output (black box diagram). Tabel 5. Draft analisis kebutuhan stakeholders dalam desain kebijakan Pengelolaan DAS Semenanjung Leitimor terpadu dan berkelanjutan Stakeholders Pemerintah Masyarakat Hulu Masyarakat Kelompok Bibit Rakyat Akademisi Kebutuhan 1. Keberlanjutan ekosistem DAS Kota Ambon 2. Pendapatan daerah meningkat 3. Peningkatan kesejahteraan masyarakat 4. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS 5. Pengembangan sumberdaya DAS 1. Kesejahteraan meningkat 2. Terjaganya kondisi lingkungan yang baik 3. Penyuluhan pertanian dan kehutanan 4. Bantuan pengembangan modal usaha yang kondusif 5. Pelayanan pemerintah 1. Fungsi Daerah Aliran Sungai sebagai reservoir terjaga 2. Nilai estetika Daerah Aliran Sungai terpelihara 1. Pembinaan, pendampingan dan pemberdayaan 2. Pelatihan konservasi DAS 3. Ketersediaan dana 1. Ketersediaaan bibit anakan 2. Kemitraan dengan perguruan tinggi 3. Ekosistem DAS Kota Ambon lestari 4. Penelitian dan pengembangan pengelolaan SDA 5. Kesejahteraan petani agroforestri terjamin

88 59 Input Tak Terkontrol: 1. Perilaku Masyarakat 2. Konversi Lahan 3. Iklim Input Lingkungan: 1. UU No. 41 Tahun UU No. 7 Tahun UU No. 32 Tahun 2009 Outpun Yang Dikehendaki: 1. Keberlanjutan sumberdaya air bagi masyarakat. 2. Tata ruang kota yang selaras 3. Konservasi DAS 4. Sungai mengalir sepanjang tahun Input Terkontrol: 1. Kearifan lokal 2. Penggunaan lahan berbasis agroforestri 3. Perencanaan tata ruang kota sesuai dengan kemampuan lahan MODEL PENGELOLAAN DAS (Watershed) DALAM UPAYA PENYEDIAAN AIR BERKELANJUTAN Outpun Yang Tak Dikehendaki: 1. Permukiman meningkat di DAS 2. Degradasi lahan 3. Sungai kering pada musim kemarau Umpan Balik Gambar 16. Diagram input output (Black Box) desain kebijakan pengelolaan DAS secara terpadu dan berkelanjutan. c. Simulasi Model Simulasi model merupakan peniruan perilaku suatu sistem. Tujuan simulasi model adalah untuk memahami gejela, membuat analisis, peramalan perilaku dan proses tersebut di masa depan. Simulasi model dibantu dengan menggunakan perangkat lunak yaitu Stella Gambar 17. Causal loop keberlanjutan sumberdaya air

89 60 d. Validasi dan Verifikasi model. Validasi model dilakukan dengan dua cara yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur adalah lebih menekankan pada keyakinan pada pemeriksaan logika pemikiran, sedangkan uji validasi kinerja ialah menekankan pada pemeriksaaan kebenaran yang taat data empiris. Validasi adalah proses menentukan apakah model konseptual merefleksikan sistem nyata dengan tepat. Artinya pengujian validitas suatu model dilakukan untuk mengetahui kebenaran suatu model konsistensi secara logis dan kedekatan model dengan keadaan nyata. Sedangkan verifikasi adalah proses menentukan apakah model simulasi merefleksikan model konseptual dengan tepat Analisis Kelembagaan Pengelolaan DAS Kota Ambon 1) Jenis dan Sumber Data Jenis data terdiri atas data primer. Data primer mencakup stakeholders, pengaruh, kepentingan dan perannya. 2) Metode pengumpulan Data Metode pengumpulan data diperoleh lewat wawancara dengan berbagai stakeholders tentang peran masing-masing dalam pengelolaan DAS Kota Ambon. 3) Analisis Data Data yang diperoleh sebagian besar merupakan data yang tidak terukur sehingga analisis akan dilakukan secara deskriptif kualitatif peran lembaga yang terkait dianalisis dengan menggunakan analisis stakeholders dengan teknik yaitu power versus interest grids. Secara keseluruhan dari proses mendesain model pengelolaan Saerah Airan Sungai dan termasuk hubungan antara stakeholders yang terkait dalam pengelolaan DAS Kota Ambon disajikan dalam Gambar 18 berikut ini.

90 61 SISTEM PENGELOLAAN DAS dan PENYEDIAAN AIR Penentuan Dimensi Keberlanjutan, Atribut dan Skala Kondisi Eksisting 1. Tutupan Lahan 2. Debit Andalan 3. Kebutuhan Air Analisis Keberlanjutan Indeks Keberlanjutan Atribut Kunci Faktor Pengungkit Keberlanjutan Analisis Kebutuhan, formulasi Fasalah, Identifikasi Sistem Submodel Ekonomi Submodel Sosial Submodel Ekologi Submodel Ketersediaan Air Validasi Skenario Penentuan coefisien tutupan lahan Model Dinamik Pengelolaan DAS Model Kelembagaan Pengelolaan DAS Model Pengelolaan DAS dalm Upaya Penyediaan Air Berkelanjutan Gambar 18. Tahapan pelaksanaan Model Pengelolaan DAS Kota Ambon

91 62

92 63 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Keadaan Biofisik Letak dan Luas Wilayah Letak Kota Ambon sebagian besar berada dalam wilayah Pulau Ambon yang secara geografis berada pada posisi astronomis 03 o 04 o Lintang Selatan dan 128 o 129 o Bujur Timur. Secara keseluruhan Kota Ambon berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah. Daerah ini diapit oleh 2 lautan luas yaitu Laut Banda (kedalaman sekitar m) dan Laut Seram (kedalaman sekitar m). Secara umum Kota Ambon berada di wilayah sepanjang pesisir dalam Teluk Ambon dan pesisir luar Semenanjung Leitimor, dengan total luas wilayah seluas 377 km 2, luas wilayah daratan 359,45 km 2 yang membujur di sepanjang pantai mengelilingi perairan Teluk Ambon dan Teluk Dalam. Adapun batas-batas Kota Ambon adalah sebagai berikut: a. Sebelah Barat berbatasan dengan petuanan Desa Hatu Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. b. Sebelah Timur berbatasan dengan petuanan Desa Suli Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah. c. Sebelah Utara berbatasan dengan petuanan Desa Hitu, Hila dan Kaitetu Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda. Secara Administratif Kota Ambon terdapat di Provinsi Maluku, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 2 Tahun 2006, terdiri dari lima Kecamatan, yaitu Kecamatan Nusaniwe, Kecamatan Sirimau, Kecamatan Leitimor Selatan, Kecamatan Teluk Ambon Baguala, dan Kecamatan Teluk Ambon, meliputi 20 kelurahan dan 30 desa. Pulau ini terbentuk dari gabungan dua Semenanjung memanjang yang berorientasi Barat laut - Timur laut sepanjang 55 km dengan lebar maksimum 20 km. Ketinggian maksimum Kota Ambon adalah 547 m di atas permukaan laut yaitu puncak Gunung Lamajangga di bagian utara Semenanjung Leihitu.

93 Aksesibilitas Kota Ambon yang merupakan ibukota Provinsi Maluku dapat dicapai dari Jakarta dengan menempuh jalur penerbangan maupun perhubungan laut. Penerbangan menuju Ambon hingga saat ini dilayani oleh 4 maskapai penerbangan yaitu Lion Airlines, Batavia Airlines, Sriwijaya Airlines dan Garuda Airlines, sedangkan pelayaran dengan menggunakan jasa kapal laut (Pelni). Akses kabupaten-kabupaten yang tersebar di beberapa pulau saat ini umumnya dilakukan dengan pesawat maupun kapal laut dan kapal Ferry. Penerbangan yang menghubungkan antar pulau di Maluku dilayani oleh maskapai penerbangan Trigana KAL Star, Wings Airlines, Trans Nusa dan Merpati Airlines dengan jadwal penerbangan setiap hari untuk pulau tertentu dan 3 sampai dengan 4 kali per minggu untuk pulau lainnya. Tabel 6. Rute dan jarak Kota Ambon dari Jakarta No Rute Jarak (Km) Waktu Tempuh 1 Jakarta ,75 jam Makasar 2 hari 2 Makasar- Ambon ,25 jam 2 hari 3 Bandara Pattimura menit Kota Ambon 30 menit Sumber: Dinas Perhubungan Kota Ambon 2010 Jenis Transportasi Pesawat Kapal Laut Pesawat Kapal Laut Mobil Speedboad Keterangan Kadangkadang transit di Surabaya 4.2. Kondisi Fisik Wilayah Kondisi Iklim dan Hidrologi Curah hujan tertinggi rata-rata untuk periode Tahun terjadi pada bulan Juni sebesar 620 mm, dan terendah pada Bulan November yaitu sebesar 71 mm. Sedangkan rata-rata curah hujan tahunan untuk periode Tahun sebesar 3015 mm, dengan maksimum terjadi pada Tahun 2008 sebesar 5693 mm dan minimum pada Tahun 1997 sebesar 1507 mm. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20 berikut ini.

94 Curah hujan Bulanan (mm) jan feb mar apr mei jun jul agust sep okt nop des Bulan Curah Hujan Bulanan Gambar 19. Grafik CH bulanan rata-rata Kota Ambon Tahun Curah hujan tahunan (mm) Tahun Curah Hujan Tahunan Gambar 20. Curah hujan tahunan rata-rata Kota Ambon Tahun Iklim di Kota Ambon adalah iklim laut tropis dan iklim musim, karena letak Pulau Ambon yang dikelilingi oleh laut. Iklim sangat dipengaruhi oleh lautan dan berlangsung bersamaan dengan iklim musim di daerah ini, yaitu musim barat atau utara, dan musim timur atau tenggara. Kedua musim ini dikelilingi oleh musim pancaroba yang merupakan musim transisi dari kedua musim tersebut. Musim barat pada umumnya berlangsung dari Bulan Desember sampai dengan Bulan Maret, sedangkan Bulan April adalah masa transisi ke musim timur. Musim timur berlangsung dari Bulan Mei sampai Oktober disusul oleh pancaroba pada Bulan November yang merupakan transisi ke musim barat.

95 66 Berdasarkan data curah hujan, maka pada Tahun 1979 sampai 2010, curah hujan tertinggi terjadi pada Tahun 2008 yaitu sebesar mm dengan 251 hari hujan, curah hujan terendah terjadi pada Tahun 1997 yaitu sebesar mm dengan 145 hari hujan. Mengacu pada rata-rata curah hujan bulanan dalam 31 tahun terakhir, maka bulan basah (musim hujan) dengan curah hujan di atas 200 mm terjadi pada Bulan Mei hingga September seiring berlangsungnya musim timur, sedangkan bulan kering (musim panas) dengan curah hujan dibawah 200 mm terjadi dari Bulan Oktober hingga April seiring dengan berlangsungnya musim barat. Sementara itu berdasarkan data Stasiun Meteorologi Ambon Tahun 2001 sampai Tahun 2005, maka rata-rata temperatur di Kota Ambon adalah 26,6 0 C dengan kisaran suhu minimum adalah 23,8 0 C dan suhu maksimum 30,4 0 C, ratarata kelembaban nisbi sekitar 76,6%, rata-rata lama penyinaran matahari adalah 53,6% dan rata-rata tekanan udara adalah 76,6 atm. Kecepatan angin rata-rata 3 knot dan terbanyak bertiup dari arah barat laut dan tenggara, dengan kecepatan terbesar adalah 20 knot (jam) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Bulan Penyinaran matahari Gambar 21. Grafik lama penyinaran matahari Kota Ambon

96 67 ( ⁰C) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Bulan Suhu Udara Gambar 22. Grafik suhu udara rata-rata bulanan Kota Ambon (%) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Bulan Kelembaban Udara Kota Ambon Gambar 23. Grafik kelembaban udara rata-rata bulanan Kota Ambon Topografi Kota Ambon mempunyai wilayah yang sebagian besar terdiri dari daerah berbukit yang berlereng terjal dengan kemiringan lebih dari 20% seluas kurang lebih 186,9 Km 2 atau 73% dan daerah datar dengan kemiringan sekitar 10% seluas kira-kira 55 Km 2 atau 17% dari luas seluruh wilayah daratannya. Kondisi topografi Kota Ambon dikelompokkan dalam 7 lokasi, yaitu : a. Pusat Kota dan sekitarnya (sebagian petuanan Desa Amahusu sampai Desa Latta) dengan areal ketinggian m dan kemiringan 3,36 o seluas 13,5 Km 2 atau 5,44%. b. Rumah Tiga dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 50 m dan kemiringan 3,19 o seluas 4,5 Km 2 atau 5,57%.

97 68 c. Passo dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 50 m dan kemiringan 3,3 o seluas 14,75 Km 2 atau 4,74%. d. Laha dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 50 m dan kemiringan 3,93 o seluas 4,25 Km 2 atau 6,18%. e. Hutumuri dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 50 m dan kemiringan 6,16 o seluas 4,25 Km 2 atau 9,70 %. f. Kilang dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 50 m dan kemiringan 5,56 o seluas 3,5 Km 2 atau 9,91%, sedangkan untuk ketinggian m dengan kemiringan 6,56 o seluas 3,25 Km 2 atau 10,3%. g. Latuhalat dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 50 m dan kemiringan 5,4 o seluas 4 Km 2 atau 8,57%. Di Kota Ambon terdapat 10 gunung, dan yang tertinggi adalah Gunung Nona, yaitu 600 m di atas permukaan laut, serta dialiri oleh 15 sungai. Sungai yang terpanjang adalah Sungai Sikula (Way Sikula), yaitu sepanjang 15,5 Km Geologi dan Tanah Berdasarkan peta geologi dan topografi Pulau Ambon oleh Veerbek dan Van Bos yang dibuat Tahun 1898, Semenanjung Leitimor tersusun oleh dua bahan induk, yaitu alluvium dengan luas 61,55 ha atau 30,87% dari luas Semenanjung Leitimor, dan Korakkalk dengan luas 10,10 ha atau 5,06%. Di Semenanjung Leitimor terdapat dua bahan asal, yaitu alluvial dan denudasional yang terbagi menjadi dataran alluvial, perbukitan denudasional terkikis kecil, perbukitan denudasional terkikis sedang, dan perbukitan denudasional terkikis kuat. Dataran alluvial merupakan bentuk lahan yang terdapat diantara daerah pantai dan daerah perbukitan. Formasi alluvium dan batu gamping merupakan bahan induk yang menyusun daerah ini dengan asosiasi jenis tanah seperti alluvial, regosol, rensina, podsolik, dan brunizem. Perbukitan denudasional merupakan bentuk lahan yang paling luas di Semenanjung Leitimor, yaitu ha atau 90,33% yang tersebar di daerah berombak seperti berbukit, bentuk lahan ini dipengaruhi oleh proses geomorfologi seperti gerakan dalam perut bumi.

98 Penutupan Lahan Penutupan lahan di Kota Ambon sangat bervariasi dari yang masih berupa hutan sampai kegiatan pemukiman yang bercirikan perkotaan. Tercatat bahwa tutupan hutan dan belukar merupakan jenis penutupan lahan yang paling dominan yaitu mencapai 49% atau sekitar ,60 ha, sedangkan penutupan lahan dengan presentase terkecil adalah alang-alang yaitu 2,35% atau sekitar 842,96 ha. Penutupan lahan untuk pemukiman mencapai 5.393,40 ha atau sekitar 15% dari luas Kota Ambon. Perkembangan penutupan lahan di Kota Ambon telah mengalami beberapa perubahan atau pergeseran peruntukan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, dimana presentase terbesar pada lahan pertanian dan belukar yang sebelumnya seluas ,91 ha menjadi ,44 ha. Penggunanan lahan akibat pergeseran peruntukan tersebut dialihkan fungsi dan penggunaannya untuk pemukiman dan daerah terbangun. Pergeseran penutupan lahan menjadi pemukiman disebabkan oleh keberadaan pengungsi akibat konflik sosial yang melanda Kota Ambon. Kecenderungan perkembangan ini perlu mendapat perhatian khusus Debit Sungai Lokasi penelitian mencakup lima sungai yaitu sungai Wai Ruhu, Wai Batu Merah, Wai Tomu, Wai Batu Gajah dan Wai Batu Gantung. Debit yang tercatat adalah debit Wai Tomu dengan debit harian minimum 0,200 m 3 dan debit harian maksimum adalah 0,980 m 3 (Lampiran 5). Keadaan sungai yang umumnya mengalir sepanjang tahun walaupun musim kemarau adalah Wai Ruhu, sedangkan untuk ke empat sungai lainnya akan kering jika musim kemarau berkepanjangan. Sungai Wai Ruhu akan mengalami penurunan debit yang drastis jika musim kemarau berkepanjangan. Sumber air PDAM yang berasal dari mata air pada Sungai Wai Ruhu sebanyak 3 reservoir dan Sungai Batu Gantung sebanyak 1 reservoir.

99 Kondisi Sosial Budaya Kependudukan Data kependudukan Kota Ambon sampai Tahun 2006 masih meliputi data yang tersaji dalam 3 kecamatan, sebelum dimekarkan menjadi 5 kecamatan dengan Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 2 Tahun Namun untuk memudahkan penelitian, data kependudukan dicatat berdasarkan desa dan kelurahan, untuk selanjutnya dikelompokkan dalam 5 kecamatan. Jumlah penduduk Kota Ambon pada Tahun 2009 adalah jiwa, yang tersebar di Kecamatan Sirimau jiwa, Kecamatan Nusaniwe jiwa, Kecamatan Leitimor Selatan jiwa, Kecamatan Teluk Ambon Baguala jiwa, dan Kecamatan Teluk Ambon jiwa. Jumlah penduduk menunjukkan indikasi meningkat dari tahun ke tahun, dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 4,18% terjadi pada Tahun 2001 seiring dengan pulihnya keamanan pasca konflik sosial yang menyebabkan banyak penduduk yang mengungsi kembali lagi ke Kota Ambon. Tabel 8. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Kota Ambon Tahun Kecamatan Kota Laju Teluk TA Leitimor Nusaniwe Sirimau Ambon Pertumbuhan Ambon Baguala Selatan , , , , , , , , ,31 Sumber : Kota Ambon Dalam Angka , BPS Kota Ambon 4.4. Kondisi Lahan Kritis Wilayah Provinsi Maluku dengan luas daratan ha, terdiri dari areal hutan ha, dan areal tak berhutan seluas ha. Data Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Tahun 2009 menyebutkan 59,24% atau seluas ha dari areal hutan merupakan areal kritis yang perlu direhabilitasi.

100 71 Disamping itu masih terdapat areal di luar tutupan hutan yang juga perlu untuk direhabilitasi seluas ha. Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) memiliki lahan kritis terluas, yaitu ha atau 43,4% dari total luas lahan kritis di Maluku, disusul Kabupaten Buru seluas ha (17,1%) dan Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) seluas ha (10,8%). Sementara itu untuk Kota Ambon luas lahan kritis adalah ha, di dalam kawasan ha di luar kawasan ha Sistem Jaringan Sumberdaya Air Kota Ambon menggunakan sumber air baku yang berasal dari mata air yang berada di wilayah Kota Ambon. Untuk menjaga keberlanjutan penggunaan sumber air baku ini, maka perlu dilakukan pembatasan pola pemanfaatan daerah sekitar mata air yaitu pada mata air Air Kaluar Dusun Kusu-kusu Sereh Desa Urimesing, Wainitu Kelurahan Wainitu, Air besar Karang Panjang serta beberapa mata air di sekitarnya seperti Air Panas dan Wai Niwu Kelurahan Karang Panjang untuk melayani pusat kota, mata air Wai Pompa di Desa Halong Kecamatan Teluk Ambon Baguala yang melayani Desa Halong dan Desa Hative Kecil Sistem Penyediaan Air Bersih dan Air Minum Kebutuhan ideal air bersih adalah liter/orang dengan cakupan pelayanan 55%-75% (pelayanan minimal untuk permukiman dari Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001). Jika kebutuhan air bersih Kota Ambon diasumsikan 100 liter/orang/hari maka kebutuhan air bersih untuk Kota Ambon dapat dihitung dari perkalian antara jumlah penduduk dengan jumlah kebutuhan dasar penduduk untuk klasifikasi kota sedang (100 liter/orang/hari). Dengan demikian kebetuhan air bersih Kota Ambon Tahun 2007 sebesar liter/hari. Kapasitas sumber air sebesar 132 liter/detik. Jika dianalisa lebih lanjut maka bisa dikatakan bahwa kapasitas produksinya tidak melebihi kapasitas sumber, sehingga Kota Ambon masih membutuhkan peningkatan kapasitas produksi, karena untuk kebutuhan air bersih saja sebesar 314 liter/detik. Jadi masih dibutuhkan peningkatan kebutuhan air bersih yang dihasilkan sekitar 182,78 liter/detik.

101 72 Pelanggan yang tercatat pada perusahaan Daerah Air Minum Kota Ambon selama Tahun 2007 berjumlah pelanggan diantaranya pelanggan rumah tangga dengan jumlah sambungan rumah (SR) sebanyak SR. Jika 1 sambungan rumah (SR) memenuhi kebutuhan penduduk sebanyak 6 jiwa (luar Pulau Jawa) maka bisa dihitung pula jumlah pelanggan yaitu jiwa, sehingga dapat dikatakan tingkat pelayanan sebesar 11,16% (Bappeda Kota Ambon, 2009).

102 73 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. ANALISIS TUTUPAN LAHAN Penutupan lahan/tutupan Lahan Di DAS Kota Ambon Data tipe penutupan lahan/tutupan lahan di 5 (lima) DAS di Kota Ambon diperoleh melalui analisis data Citra Landsat Tahun 2002 dan Tahun Berdasarkan analisis citra secara visual, penutupan lahan/tutupan lahan di kelima DAS di Kota Ambon dibedakan dalam 6 kelas berdasarkan Badan Planologi Departemen Kehutanan Republik Indonesia (Anonim, 2008) yaitu Hutan sekunder (2002), Semak/belukar (2007), Pertanian lahan kering (20091), Pertanian lahan kering campur semak (20092), Permukiman (2012), Tanah terbuka (2014). Sebaran tipe penutupan lahan/tutupan lahan Tahun 2002 dan 2009, jenis tanah, kelerengan dan jenis tutupan lahan di ke lima DAS di Kota Ambon pada disajikan pada Gambar 24, Gambar 25, Gambar 26, dan Gambar 27, sedangkan luasan masing-masing tipe penutupan lahan/tutupan lahan disajikan pada Tabel 9. Penilaian akurasi hasil klasifikasi menggunakan matriks kesalahan (error matrik/confusion matrix) yaitu membandingkan antara data referensi yang diketahui (ground truth data) dengan hasil klasifikasi (Lillesand dan Kiefer, 1994 dalam Purnama 2005). Kolom dari matriks ini mempresentasikan ground truth dari setiap kelas berdasarkan test sample, sedangkan baris dari matriks berisi kelas hasil klasifikasi dari test sample tersebut. Tingkat akurasi keseluruhan (overall classification atau overall performance class) dapat dihitung dengan menjumlahkan total jumlah piksel yang diklasifikasikan dan membaginya dengan total jumlah piksel yang diuji. Parameter akurasi lainnya adalah kappa statistic atau KHAT, yaitu dengan menunjukkan kecocokan antara dua kategori variabel. Dalam penginderaan jauh, kappa menunjukkan ukuran kecocokan data antara hasil klasifikasi dengan data ground truth. Nilai kappa dihitung berdasarkan matriks kesalahan dan berada pada interval 0 sampai dengan 1, dimana 0 berarti tidak ada kecocokan sama sekali antara data hasil klasifikasi dengan ground truth, sedangkan kappa semakin mendekati 1,0 memperlihatkan tingkat akurasi yang lebih baik.

103 74 Hasil perhitungan nilai akurasi keseluruhan sebesar 83.56%, secara rinci perhitungan nilai akurasi disajikan pada Tabel 9 dan sebaran titik pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 1. No. Tabel 9. Luas masing-masing tutupan lahan kelima DAS di Kota Ambon Penutupan lahan/tutupan Lahan Perubahan (ha) Ha % ha % 1 Hutan Sekunder 918,96 22, ,68 40, ,2 2 Pert. Lahan Kering Campuran 1.680,94 40,77 310,99 7, ,95 3 Lahan Terbuka 42,31 1,03 66,60 1,62 +24,29 4 Pemukiman 479,06 11,62 498,12 12,08 +19,06 5 Pertanian Lahan Kering 979,60 23,76 141,45 3,43-838,15 6 Semak Belukar 22,23 0, ,27 34, ,04 Jumlah 4.123,1 100, Keterangan : (+) peningkatan luas area, (-) penurunan luas area Hasil analisis perubahan penutupan lahan sebagaimana ditunjukan pada Tabel 9, terihat bahwa telah terjadi perubahan penutupan lahan dari Tahun 2002 ke Tahun 2009 dimana yang mengalami peningkatan luasan yaitu hutan sekunder mengalami peningkatan luasan sebesar 745,2 ha; lahan terbuka sebesar 24,29 hha; permukiman sebesar 19,06 ha; dan semak belukar sebesar 1.419,04 ha. Jenis tutupan lahan yang mengalami pengurangan luasan adalah pertanian lahan kering campur sebesar 1.136,95 ha dan pertanian lahan kering sebesar 838,15 ha.

104 75 Classified data Tabel 10. Matriks kesalahan hasil klasifikasi Reference Data Hutan Lahan Lahan Permukiman Pertanian Pertanian lahan Semak Kering Sekunder Terbuka lahan kering kering campuran Belukar Jumlah Hutan Lahan Kering Sekunder 8 8 Lahan Terbuka Permukiman Pertanian Lahan kering 4 4 Pertanian Lahan kering Campur Semak Belukar Jumlah Producers Accuracy User s Accuracy Hutan Sekunder = 0,89 = 88,89 Hutan Sekunder = 1,00 = 100,00 Semak belukar = 1,00 = 100,00 Semak belukar = 0,80 = 80,00 Pertanian lahan kering = 0,80 = 80,00 Pertanian lahan kering = 0,80 = 80,00 Pertanian lahan kering campuran = 0,80 = 80,00 Pert. Lahan kering = 1,00 = 100,00 campuran Permukiman = 0,89 = 88,89 Permukiman = 0,80 = 80,00 Tanah terbuka = 0,90 = 90,00 Tanah terbuka = 0,90 = 90,00 Nilai Akurasi Keseluruhan = ( 54)/62 = 87,10% Nilai Akurasi Kappa = 83,56%

105 76 Gambar 24. Peta tutupan lahan lokasi penelitian di DAS Kota Ambon Tahun 2002

106 Gambar 25. Peta tutupan lahan lokasi penelitian di DAS Kota Ambon Tahun

107 78 Gambar 26. Peta tanah lokasi penelitian

108 Gambar 27. Peta kelerengan lokasi penelitian 79

109 80 Hutan sekunder Hutan sekunder adalah kenampakkan hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan yang telah menampakan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Kenampakan warna pada Citra Landsat band 5-4-2, hutan sekunder nampak dengan warna hijau tua dengan tekstur kasar. Hal ini disebabkan oleh tingginya keadaan stratum hutan, biomassa dan kelembaban dari hutan tersebut. Hutan alam/primer pada lahan basah kenampakan warnanya lebih gelap dari pada hutan lahan kering karena adanya pengaruh dari genangan air. Berdasarkan hasil interpretasi Citra landsat, luas hutan sekunder di kelima DAS Kota Ambon pada Tahun 2002 adalah 918,96 hektar (22,29%). Luas tersebut menjadi 1.664,68 hektar (40,37%) pada Tahun Kenaikan luas hutan sekunder ini diperkirakan terjadi karena adanya kegiatan reboisasi oleh Dinas Kehutanan Propinsi dan Dinas Kehutanan Kota Ambon lewat Program Gerakan Rehabilitasi Lahan Tahun Secara rinci luas tutupan lahan hutan sekunder disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Luas tutupan lahan hutan sekunder DAS Tahun (ha) Perubahan Wai Ruhu 104,92 618, ,44 Wai Batu Merah 128,93 132,59 +3,66 Wai Tomu 109,01 210, ,04 Wai Batu Gajah 184,35 299, ,60 Wai Batu Gantung 407,01 406,85-0,16 Jumlah 934, , ,57 Berdasarkan data pada Tabel 11 nampak secara keseluruhan terjadi penurunan luas lahan hutan sekunder yang disebabkan perubahan penutupan lahan/tutupan lahan menjadi penggunaan lain, gambaran luasan penutupan lahan/tutupan lahan hutan sekunder disajikan pada Gambar 28. Kondisi tutupan lahan hutan sekunder di kelima DAS Kota Ambon, ternyata hutan terluas untuk Tahun 2009 terdapat pada DAS Wai Ruhu seluas 620,05 hektar, dan terkecil pada DAS Batu Gantung seluas 1,21 hektar pada Tahun Perubahan penutupan lahan/tutupan lahan hutan sekunder yang terjadi pada masing-masing DAS menunjukan bahwa terjadi perubahan yang signifikan luasanya cenderung bertambah, kecuali pada DAS Batu Gajah yang terjadi pengurangan,

110 81 Gambar 28. Tutupan lahan hutan sekunder Semak/belukar Semak/belukar adalah kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali (mengalami suksesi), atau kawasan dengan pohon jarang (alami), atau kawasan dengan dominasi vegetasi berkayu bercampur dengan vegetasi rendah (alami) lainnya, serta umumnya sudah tidak ada kenampakan bekas alur atau bercak penebangan lagi. Susunan tumbuhan pada tipe belukar umumnya berdaun lebar dan tipis dengan lapisan tajuknya yang belum nampak sehingga memberikan nilai pantulan yang tinggi. Pada citra Landsat dengan kombinasi band nampak dengan warna hijau muda kekuningan dengan tekstur yang halus. Gambar tutupan lahan semak/belukar dapat dilihat pada Gambar 29 berikut. Gambar 29. Tutupan lahan semak/belukar

111 82 Berdasarkan hasil interpretasi citra, luasan semak belukar di kelima DAS Kota Ambon pada Tahun 2002 adalah seluas 26,71 hektar (0,54%). Luas tersebut menjadi 1419,61 hektar pada Tahun 2009 atau terjadi peningkatan luas kawasan semak/belukar. Secara rinci tutupan lahan semak/belukar disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Luas tutupan lahan semak/belukar DAS Tahun (ha) Perubahan Wai Ruhu 0,00 628, ,58 Wai Batu Merah 0,61 228, ,97 Wai Tomu 6,50 115, ,19 Wai Batu Gajah 19,61 92,51 +72,91 Wai Batu Gantung 0,00 300, ,25 Jumlah 26, , ,90 Berdasarkan Tabel 12 nampak secara keseluruhan terjadi kenaikan luas lahan semak/belukar disebabkan oleh bekas perubahan tutupan lahan menjadi penggunaan lain dan karena kerusakan dari DAS sendiri. Luas kawasan semak/belukar dikelima DAS Kota Ambon, ternyata kondisi tutupan lahan semak/belukar terluas Tahun 2009 pada DAS Wai Ruhu seluas 628,58 hektar, dan terkecil berada pada DAS Wai Ruhu dan Batu Gantung seluas 0 hektar pada Tahun Perubahan tutupan lahan semak/belukar terjadi pada masing-masing DAS menunjukan bahwa terjadi peningkatan luasan yang signifikan. Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering adalah semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan (tanaman musiman, penggairan tergantung pada air hujan) kebun campuran dan ladang. Pada kebun campuran apabila tanaman pertanian lebih mendominasi maka dimasukkan dalam kelas pertanian lahan kering. Pada Citra Landsat kombinasi band 5-4-2, areal yang baru ditanam akan nampak dengan warna merah tua, sedangkan lahan yang sudah ditanami dengan palawija mulai dari warna merah muda sampai kekuningan, kadang-kadang tidak dapat dibedakan dengan tumbuhan penutup tanah seperti vegetasi semak (alangalang) karena biomasanya tidak jauh berbeda. Gambar tutupan lahan pertanian lahan kering dapat dilihat pada Gambar 30.

112 83 Berdasarkan hasil interpretasi citra, luasan pertanian lahan kering di kelima DAS Kota Ambon pada Tahun 2002 adalah seluas 979,60 hektar (23,76%). Luas tersebut menjadi 141,45 hektar pada Tahun 2009 atau diperkirakan terjadi pengurangan luas kawasan pertanian lahan kering. Secara rinci luas tutupan lahan pertanian lahan kering disajikan pada Tabel 13. Gambar 30. Tutupan lahan pertanian lahan kering Tabel 13. Luas tutupan lahan pertanian lahan kering DAS Tahun (ha) Perubahan Wai Ruhu 837, ,86 Wai Batu Merah 1,13 48,86 +47,73 Wai Tomu 0,00 14,03 +14,03 Wai Batu Gajah 93,84 20,26 73,59 Wai Batu Gantung 30,28 59,91 +29,64 Jumlah 963,11 143,06-820,05 Berdasarkan Tabel 13 nampak bahwa secara keseluruhan terjadi kenaikan luas pertanian lahan kering disebabkan oleh aktivitas masyarakat yang bertani. Luas kawasan pertanian lahan kering dikelima DAS Kota Ambon ternyata kondisi tutupan lahan pertanian lahan kering terluas untuk Tahun 2002 terdapat pada DAS Wai Ruhu seluas 837,86 hektar, terkecil pada DAS Wai Tomu (Tahun 2002) dan Wai Ruhu (Tahun 2009) seluas 0 hektar. Perubahan tutupan lahan pertanian lahan kering yang terjadi pada masing-masing DAS menunjukan bahwa perubahan yang signifikan luasannya cenderung bertambah untuk DAS Batu Gantung, Batu Merah dan Wai Tomu, sedangkan terjadi penurunan untuk DAS Batu Gajah dan DAS Wai Ruhu. Berkurangnya luasan pertanian lahan kering disebabkan karena persaingan hasil pertanian lokal dengan pertanian dari daerah lain yang lebih

113 84 murah dan lahan kering yang ditanam dengan sayuran biasanya untuk konsumsi sendiri, begitu juga untuk pertanian lahan kering campur Pertanian lahan kering campuran Pertanian lahan kering campuran adalah semua jenis pertanian di lahan kering yang berselang seling atau bercampur dengan semak, belukar, dan bekas tebangan. Pada kebun campuran apabila semak, belukar dan bekas tebangan lebih mendominasi maka dimasukkan dalam kelas pertanian lahan kering bercampur semak. Berdasarkan kenampakan warnanya nampak dengan campuran warna hijau dan merah pada Citra Landsat dengan kombinasi band Warna hijau menunjukan tanaman tahunan, merah berupa tanaman semusim. Pertanian lahan kering campuran dapat dibedakan dengan vegetasi semak/belukar. Gambar tutupan lahan pertanian lahan kering campuran dapat dilihat pada Gambar 31 di bawah ini. Gambar 31. Tutupan lahan pertanian lahan kering campuran Berdasarkan hasil interpretasi citra, luasan pertanian lahan kering campuran di kelima DAS Kota Ambon pada Tahun 2002 adalah seluas 1.680,94 hektar (40,77%). Luas tersebut menjadi 310,99 hektar pada Tahun 2009 atau terjadi pengurangan luas kawasan pertanian lahan kering campuran. Secara jelas tutupan lahan pertanian lahan kering campuran disajikan pada Tabel 14.

114 85 Tabel 14. Luas tutupan lahan pertanian lahan kering campur. DAS Tahun (ha) Perubahan Wai Ruhu 568,08 159,19-408,89 Wai Batu Merah 311,26 14,76-296,50 Wai Tomu 215,93 24,31-191,62 Wai Batu Gajah 203,54 63,29-140,25 Wai Batu Gantung 376,49 48,08-328,41 Jumlah 1675,29 309, ,66 Berdasarkan Tabel 14 terlihat bahwa secara keseluruhan terjadi penurunan luas lahan pertanian lahan kering campur yang disebabkan oleh bekas perubahan penutupan lahan/tutupan lahan menjadi penggunaan lain dan karena kerusakan dari DAS sendiri. Luas kawasan pertanian lahan kering campuran dikelima DAS Kota Ambon, ternyata kondisi tutupan lahan pertanian lahan kering campur terluas Tahun 2002 pada DAS Wai Ruhu seluas 568,08 hektar, dan terkecil pada DAS Batu Merah Tahun 2009 seluas 14,76 hektar. Perubahan penutupan lahan/tutupan lahan pertanian lahan kering campuran yang terjadi pada masingmasing DAS menunjukan bahwa terjadi perubahan yang cenderung berkurang. Permukiman Permukiman adalah kenampakan kawasan permukiman, baik perkotaan atau pedesaan yang masih mungkin untuk dipisahkan, Lapangan golf dan kawasan 85lluvial masuk ke dalam kelas permukiman. Pada citra landsat dengan kombinasi band 5-4-2, jalan raya dan permukiman 85lluvi dengan warna merah jambu, Kenampakan dari permukiman dengan ukuran yang cukup luas dapat diidentifikasi sebagai daerah perkotaan. Gambar 32 menunjukan tutupan lahan permukiman, dapat dilihat dibawah ini. Gambar 32. Tutupn lahan permukiman

115 86 Berdasarkan hasil interpretasi citra, luas daerah permukiman di kelima DAS Kota Ambon Tahun 2002 seluas 479,06 hektar (11,62%). Luas tersebut menjadi 498,12 hektar Tahun 2009 atau terjadi peningkatan luas kawasan permukiman. Secara rinci liat tutupan lahan permukiman disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Luas tutupan lahan permukiman. DAS Tahun (ha) Perubahan Wai Ruhu 13,94 60,60 +46,66 Wai Batu Merah 136,48 139,69 +3,20 Wai Tomu 83,06 34,34-48,73 Wai Batu Gajah 49,07 56,39 +7,33 Wai Batu Gantung 36,05 38,43 +2,38 Jumlah 318,60 329,44 +10,84 Berdasarkan Tabel 15 nampak secara keseluruhan terjadi kenaikan luas lahan permukiman disebabkan karena kebutuhan lahan seiring pertambahan penduduk serta adanya konflik kemanusiaan yang terjadi Tahun 1999 sehingga menyebabkan munculnya permukiman-permukiman baru di DAS Kota Ambon. Luas kawasan permukiman di kelima DAS Kota Ambon, ternyata kondisi tutupan lahan permukiman terluas Tahun 2009 pada DAS Batu Merah seluas 139,69 hektar, dan terkecil pada DAS Wai Ruhu Tahun 2002 seluas 13,94 hektar. Perubahan penutupan lahan/tutupan lahan permukiman yang terjadi pada masingmasing DAS menunjukan bahwa terjadi perubahan yang cenderung bertambah. Lahan terbuka Lahan terbuka/kosong adalah seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan puncak gunung, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai) dan lahan terbuka bekas kebakaran. Pada Citra Landsat dengan kombinasi band 5-4-2, lahan terbuka nampak dengan warna merah sampai merah tua. Kenampakan yang cukup jelas dan mudah diidentifikasi pada bekas kebakaran, atau areal yang dibuka masyarakat. Gambar 33 menunjukan penutupan lahan/tutupan lahan tanah terbuka/kosong, dapat dilihat dibawah ini. Berdasarkan hasil interpretasi citra, luas daerah tanah kosong di ke lima DAS Kota Ambon pada Tahun 2002 adalah seluas 42,13 hektar (1,03%). Luas tersebut menjadi 66,60 hektar pada Tahun 2009 atau diperkirakan terjadi

116 87 peningkatan luas kawasan tanah terbuka/kosong. terbuka/kosong disajikan pada Tabel 16. Tutupan lahan tanah Gambar 33. Tutupan lahan tanah terbuka/kosong Tabel 16. Luas tutupan tanah terbuka. DAS Tahun (ha) Selisih Wai Ruhu 0,00 4,08 +4,08 Wai Batu Merah 0,00 13,93 +13,93 Wai Tomu 0,00 16,09 +16,09 Wai Batu Gajah 0,00 18,01 +18,01 Wai Batu Gantung 15,15 11,44-3,71 Jumlah 15,15 63,55 +48,40 Berdasarkan Tabel 16 nampak bahwa secara keseluruhan terjadi kenaikan luas tanah terbuka/kosong yang disebabkan oleh faktor kebakaran atau pembukaan lahan oleh masyarakat untuk melakukan aktivitas pertanian dan kemudian ditinggalkan begitu saja. Luas tanah terbuka/kosong di kelima DAS Kota Ambon, ternyata kondisi tutupan lahan tanah terbuka/kosong terluas Tahun 2009 pada DAS Wai Tomu seluas 16,06 hektar, dan terkecil pada DAS Batu Gajah, Batu Merah, Wai Ruhu, Wai Tomu (Tahun 2002) seluas 0 hektar. Perubahan tutupan lahan tanah terbuka/kosong yang terjadi pada masing-masing DAS menunjukan bahwa terjadi perubahan luasannya cenderung bertambah, kecuali pada DAS Batu Gantung yang menjadi menurun.

117 Karakteristik Hidrologi dan Debit Andalan Proses hidrologi suatu DAS secara sederhana digambarkan dengan adanya hubungan antara unsur masukan yakni hujan, proses dan keluaran yaitu berupa aliran. Adanya hujan tertentu akan menghasilkan aliran tertentu pula. Aliran ini dipengaruhi oleh karakteristik DAS meliputi topografi, geologi, tanah, penutup lahan/vegetasi, dan pengelolaan lahan serta morfometri DAS. Hujan yang jatuh tidak semuanya akan menjadi limpasan. Sebagian air hujan akan mengalami infiltrasi ke dalam tanah, sebagian terintersepsi oleh tanaman dan evapotranspirasi ke udara. Dengan demikian jelas bahwa persentase hujan yang menjadi limpasan tergantung pada berbagai faktor dalam suatu siklus hidrologi mulai dari terjadinya hujan sampai air kembali ke udara dalam bentuk evapotranspirasi. Perubahan lahan dengan pembangunan kota tentunya tidak terhindarkan, mulai dari penggundulan hutan digantikan dengan permukaan kedap berupa atap perumahan, jalan-jalan, tempat parkit, bandara, dan sebagainya. Dampaknya secara nyata telah meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir. Hal ini terjadi juga pada DAS di Kota Ambon yang meliputi DAS Wai Ruhu, DAS Batu Merah, DAS Wai Tomu, DAS Batu Gajah, DAS Batu Gantung. Kelima DAS ini mengalami perubahan yang sangat pesat sehingga mempengaruhi respon hidrologi dari DAS itu sendiri. Karakteristik dari DAS di Kota Ambon yang dianalisis dalam penelitian ini antara lain curah hujan, kelerengan, jenis tanah, kondisi tutupan lahan, luas dan bentuk dari DAS, panjang sungai dan debit sungai Deliniasi DAS Pemanfaatan model MWSWAT untuk deliniasi DAS Kota Ambon dilakukan secara otomatis. Dalam proses deliniasi ini, data yang dibutuhkan berupa peta jaringan sungai, peta DEM, lokasi DAS dan outlet DAS. Hasil yang diperoleh dari proses deliniasi berupa peta jaringan sungai, batas DAS dan Sub DAS dan perhitungan topografi lengkap. Proses deliniasi tersebut menggunakan ambang batas (threshold) yang digunakan adalah 50 ha, sehingga membentuk 5 DAS dengan total luasan

118 ,29 ha, masing-masing luasnya disajikan Tabel 17. Hasil deliniasi batas DAS dan sub DAS Kota Ambon dapat dilihat pada Gambar 34 sampai Gambar 38. Tabel 17. Luas DAS Kota Ambon hasil deliniasi No DAS Luas DAS (Ha) % luas DAS 1 Wai Ruhu 1.524,97 38,77 2 Batu Merah 578,13 14,70 3 Wai Tomu 414,59 10,54 4 Batu Gajah 550,53 14,00 5 Batu Gantung 865,07 21,99 Luas Total 3.933,29 100,00 Gambar 34. Hasil deliniasi DAS Wai Ruhu dengan model MWSWAT

119 90 Gambar 35. Hasil deliniasi DAS Batu Merah dengan model MWSWAT Gambar 36. Hasil deliniasi DAS Wai Tomu dengan model MWSWAT

120 91 Gambar 37. Hasil deliniasi DAS Batu Gajah dengan model MWSWAT Gambar 38. Hasil deliniasi DAS Batu Gantung dengan model MWSWAT

121 Pembentukan HRUs pada DAS Kota Ambon Hulu Unit lahan yang terbentuk oleh model SWAT merupakan tumpang tindih dari jenis tanah, penutupan lahan dan kemiringan lereng yang terdapat pada DAS Kota Ambon Hulu. HRUs yang terbentuk oleh model dengan menggunakan metode threshold by percentage (dimana untuk jenis lahan menggunakan threshold 5 %), jenis tanah menggunakan threshold sebesar 5% dan kemiringan lereng menggunakan threshold 5%. HRUs yang terbentuk pada proses simulasi adalah 615 Tahun 2002 dan 789 Tahun 2009 unit dengan 141 Subbassin. Perubahan HRUs yang terjadi sebesar 174 HRUs, hasil analisis HRUs dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini. Tabel 18. Hasil Analisis HRUs DAS Kota Ambon No. DAS Luas Jumlah Jumlah HRUs Tahun (ha) Subbasin Perubahan 1. Wai Ruhu 1.524, Batu Merah 578, Wai Tomu 414, Batu Gajah Batu Gantung Total 3.933, Kelerengan di DAS Kota Ambon Kelima DAS di Kota Ambon mempunyai kelerengan terbagi dalam 6 (enam) kelas kelerengan yaitu 0-3%, 3-8%, 8-15%, 15-35%, 35-45%, dan > 45% (Arsyad, 2006). Berdasarkan hasil pembentukan hidrology respons unit yang dibentuk maka kondisi kelerengan pada lokasi penelitian tergolong datar sampai curam karena mewakili kelerengan 0-3% sampai dengan >45%. Namun hasil analisis SWAT menunjukan bahwa tidak ditemukan area yang masuk dalam tipe kelerengan 3-8 % dan 8-15%. Kelerengan lereng kelima DAS didominasi oleh kelerengan curam >45% dengan luasan 3.206,22 ha, kelerengan datar 0-3% dengan luasan 623,95 ha, kelerengan agak curam 30-45% dengan luasan 17,27 ha dan terakhir kelerengan bergelombang sampai agak curam 15-30% dengan luasan 26,08 ha. Dapat dikatakan bahwa kelima DAS di Kota Ambon ini terletak pada kawasan dengan

122 93 kelerengan bergelombang-curam (bergunung). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 19 berikut ini. Tabel 19. Kondisi kelerengan pada DAS di Kota Ambon Kelerengan (%) No. DAS > 45 Total 1. Wai Ruhu ,97 2. Batu Merah ,13 3. Wai Tomu ,59 4. Batu Gajah Batu Gantung Total Gambar 39. Peta kelerengan DAS Kota Ambon Pembangkit Data Iklim (WGN) Data WGN dibangun oleh data curah hujan, 93lluvial93re, kecepatan 93lluvi, radiasi matahari dalam kurun waktu 23 tahun ( ). Data iklim ini digunakan untuk membangun generator cuaca dapat dilihat pada Lampiran Karakteristik Tanah hasil Simulasi Model SWAT Hasil analisis jenis tanah menggunakan MSSWAT menghasilkan jenis tanah yang domiman pada kelima DAS adalah jenis tanah Podsolik dengan luas 1.738,98 ha (44,21%) kemudian jenis tanah alluvial dengan luas 1085,33 ha

123 94 (27,59%) diikuti oleh jenis tanah kambisol seluas 859,24 (21,85%) dan yang terakhir jenis tanah litosol dengan luas 249,74 (4,97%). Jenis tanah latosol sangat sedikit penyebarannya pada lokasi penelitian karena pada DAS Batu Merah, DAS Wai Tomu dan DAS Batu Gajah jenis tanah litosol tidak terdapat sama sekali. Selain itu juga jenis tanah litosol mempunyai sebaran luasan yang sangat sedikit pada DAS Wai Ruhu dan DAS Batu Gantung, untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini. No. DAS Tabel 20. Jenis tanah pada kelima DAS di Kota Ambon LUAS DAS (ha) TANAH Podsolik % Aluvial % Litosol % Kambisol % 1 Wai Ruhu 1.524,97 639,27 41,92 545,34 35,76 152,42 9,99 166,46 10,92 2 Batu Merah 578,13 391,42 67,70 114,74 19, ,97 12,45 3 Wai Tomu 414,49 137,25 33,11 81,58 19, ,76 47,23 4 Batu Gajah 550,53 177,01 32,15 81,49 14, ,26 52,36 Batu 5 Gantung 865,07 373,42 43,17 228,44 26,41 92,88 10,74 115,49 13,35 T o t a l 1.738,98 44, ,33 27,59 249,74 6,35 859,24 21,85 Gambar 40. Peta jenis tanah DAS Kota Ambon

124 Karakteristik Landcover untuk Model SWAT SWAT membutuhkan banyak input data yang sebagian besar masih belum terpenuhi karena terbatasnya data yang tersedia pada DAS Kota Ambon Hulu. Oleh karena itu, input data jenis landcover lokal disesuaikan dengan dengan input data landcover global yang diperkirakan mendekati jenis landcover global yang telah tersedia pada database SWAT dalam bentuk Microsoft access (mwswat.mdb) yang telah terintegrasi dalam software SWAT. Penyesuaian input data landcover lokal dengan landcover global dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Penyesuaian jenis landcover lokal dengan landcover global (database SWAT) Tanaman/Landcover (crop Data) Kode SWAT (LANDCOVER_ID) Keterangan Jenis Tanaman /Landcover dalam SWAT Hutan Sekunder FOEB Evergreen Broadleaf Forest Kebun Campuran CRDY Dry Cropland and Pasture Perkebunan CRWO Cropland/Woodland Mosaik Permukiman URMG Urban residential medium dencity Semak Belukar SHRB Shrubland Tanah Terbuka GRAS Grassland Gambar 41. Peta tutupan lahan DAS Kota Ambon Tahun 2002

125 96 Gambar 42. Peta tutupan lahan DAS Kota Ambon Tahun Output SWAT Output MWSWAT yang merupaka hasil proses simulasi MWSWAT pada tahap 4 dapat dilihat pada Gambar 48. Visualisasi output antara lain batas DAS, jaringan sungai, banyaknya HRUs, bentuk sungai, dan banyaknya subdas. Karakteristik dari DAS Kota Ambon hasil simulasi menggunakan program MWSWAT menghasilkan karakteristik hidrologi sebagaimana tertera pada Tabel 22 di bawah ini. Tabel 22. Karakteristik hidrologi DAS Kota Ambon No. DAS Jlh HRUs Pjg Luas Jlh Bentuk Tahun Sungai DAS (ha) SubDAS DAS (km) 1. Wai Ruhu 1.524, ,8 Memanjang 2. Batu Merah 578, ,8 Melebar 3. Wai Tomu 414, ,2 Memanjang 4. Batu Gajah 550, ,6 Memanjang 5. Batu Gantung 865, ,6 Melebar

126 97 Gambar 43. Deliniasi kelima DAS di Kota Ambon Gambar 44. Grafik perbandingan debit observasi, debit simulasi DAS Wai Tomu Kalibrasi Model SWAT Kalibrasi model dilakukan dengan membandingkan debit hasil simulasi (flow out pada file RCH) dengan debit hasil pengukuran lapang pada SPAS Wai Tomu saja karena data yang ada hanya pada DAS Wai Tomu, sedangkan untuk keempat DAS yang lain tidak dilakukan karena tidak ada data. Kalibrasi dilakukan menggunakan data hujan dan debit Tahun 2010, dan tutupan lahan Tahun 2009 dengan periode harian. Simulasi dilakukan dengan metode statistik.

127 98 Kalibrasi dilakukan menggunakan SWAT CUP secara berulang-ulang sebanyak 700 kali untuk 1 (satu) kali iterasi dan iterasi dilakukan sebanyak 3 kali, menghasilkan nilai p_factor sebesar 0,65; nilai NSI sebesar 0,06; nilai R 2 sebesar 0,50. Dalam kalibrasi menggunakan SWAT CUP maka parameter yang sering dipakai adalah p_faktor dan R 2 (Kamus SWAT di Toolbar Help pada MWSWAT) sehingga lewat kedua parameter ini dapat ditarik kesimpulan tentang hasil debit yang dapat mewakili. Nilai p_faktor menerangkan luasan dari 95PPU (95% prediction uncertainty)/luasan dari parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi artinya himpitan antara garis grafik observasi dengan grafik simulasi. Semakin berimpit maka nilai p-faktor akan semakin besar. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tingkat keakuratan debit kalibrasi dapat melakukan prediksi debit di lapangan secara akurat. Nilai R 2 adalah koefisien determinasi yang menggambarkan seberapa besar kemampuan semua variabel bebas menjelaskan model yang dihasilkan. Parameter yang disarankan untuk di ubah-ubah atau dilakukan simulasi untuk keadaan tertentu adalah terlihat pada Lampiran 6. Gambar 45. Grafik debit DAS Wai Tomu Hasil Kalibrasi Hasil kalibrasi debit dari SWAT CUP dibandingkan dengan debit observasi dan debit model yang ada untuk melihat bagaimana trend dan kecenderungan persamaan grafik tersebut. Debit yang dihasilkan merupakan hasil simulasi mengunakan parameter hasil kalibrasi SWAT CUP (Lampiran 6), kemudian dimasukkan nilai 32 parameter tersebut pada SWAT Editor, sehingga mendapatkan nilai debit dari masing-masing DAS yang lain. Simulasi dilakukan untuk tahun Debit

128 99 ini di anggap dapat merepresentasikan kondisi yang ada di lapangan dengan beranggapan bahwa nilai debit ini 50% sama dengan kondisi real di lapangan. Fluktuasi Debit Fluktuasi debit kelima sungai dari Tahun menunjukkan bahwa debit sungai tinggi terjadi pada Tahun 2000, sedangkan debit sungai terrendah pada Tahun Bulan Juli merupakan puncak dari debit puncak tertinggi. DAS yang mempunyai debit sungai terbanyak adalah DAS Wai Ruhu sedangkan DAS Batu Merah adalah DAS dengan debit sungai yang terkecil. Gambar fluktuasi debit bulanan dari kelima DAS di Kota Ambon dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 46. Fluktuasi debit sungai kelima DAS di Kota Ambon Debit Andalan Debit andalan adalah debit yang dirancang berdasarkan konsep peluang (probability), dan digunakan untuk mengetahui ketersediaan air dengan resiko sekian persen (Soemarto, 1989). Debit andalan adalah suatu nilai debit yang dapat diandalkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan air yang dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan besarnya debit rencana untuk mendukung perencanaan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air.

129 100 Debit andalan yang diperoleh berdasarkan hasil simulasi RAINBOW untuk peluang 80% adalah Wai Ruhu 0,1861 m 3 /det; Sungai Batu Merah 0,0705 m 3 /det; Wai Tomu 0,1687 m 3 /det; Sungai Batu Gajah 0,0565 m 3 /det; Batu Gantung 0,0422 m 3 /det. Distribusi debit andalan dari setiap DAS disajikan pada Gambar 47 dibawah ini. Debit (m3/det) JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC Bulan Wai Ruhu BATU MERAH WAI TOMU BATU GAJAH BATU GANTUNG Total Debit Gambar 47. Grafik debit andalan kelima DAS Kota Ambon Gambar 47 menunjukan ketersediaan air pada bulan Oktober sampai dengan bulan April cenderung tetap namum pada bulan Mei sampai bulan September debit sungai cenderung tinggi atau meningkat. Debit Bulan Maret yang pakai untuk menghitung ketersediaan air di DAS dengan pertimbangan ketersediaan air saat kondisi minimum. Total ketersediaan air dari kelima DAS adalah Wai Ruhu ,60 m 3, Sungai Batu Merah ,00 m 3, Wai Tomu ,20 m 3, Sungai Batu Gajah ,00 m 3, dan Batu Gantung ,20 m 3 sehingga total kesediaan air di sungai adalah ,00 m 3 pada kondisi minimum. Total ketersedian air ini diperoleh dengan cara nilai debit andalan di konversi dari m3/det menjadi m3/tahun (nilai debit dikalikan dengan 60*60*24*365).

130 ANALISIS KEBUTUHAN AIR Air yang dikonsumsi oleh manusia dapat berasal dari dalam tanah, dan dari air permukaan. Ketersediaan air suatu kawasan bergantung pada siklus hidrologi kawasan tersebut. Konservasi Daerah Aliran Sungai merupakan cara untuk menyimpan air karena banyaknya akar tanaman akan mampu menambah lubang pori-pori tanah sehingga air dapat masuk, dan aliran permukaan (run off) pada saat hujan akan menjadi berkurang. Kebutuhan Air Analisis kebutuhan air meliputi kebutuhan air untuk domestik, industri, peternakan dan irigasi selain dilakukan untuk kebutuhan saat ini juga dilakukan untuk kebutuhan air dimasa yang akan datang, dimana faktor-faktor utama yang mempengaruhi kebutuhan tersebut akan mempengaruhi Kebutuhan Air Domestik Kebutuhan air rumah tangga atau domestik adalah kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sehari-hari. Kebutuhan air rumah tangga antara lain untuk minum, memasak, mandi cuci kakus (MCK) dan lain-lain seperti cuci mobil/motor, menyiram tanaman dan sebagainya. Perkiraan jumlah kebutuhan air domestik saat ini dan saat yang akan datang dihitung berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan penduduk dan kebutuhan air perkapita. Kebutuhan air perkapita dipengaruhi oleh aktivitas dan kebiasaan atau tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu, dalam memperkirakan besarnya kebutuhan air domestik perlu dibedakan antara kebutuhan air untuk penduduk daerah perkotaan (urban) dan daerah perdesaan (rural). Adanya pembeda kebutuhan air dilakukan dengan mempertimbangkan penduduk di daerah perkotaan cenderung memanfaatkan air secara berlebihan dibandingkan dengan penduduk di pedesaan. Kebutuhan air domestik yang dihitung meliputi kebutuhan air penduduk, kebutuhan air murid di sekolah, kebutuhan air guru di sekolah, kebutuhan air rumah sakit, dan kebutuhan air hotel. Besarnya konsumsi air dapat mengacu pada berbagai macam standar yang telah dipublikasikan. Standart kebutuhan air domestik berdasarkan kriteria jumlah penduduk dan jenis kota seperti disajikan pada Tabel 3. Jumlah penduduk yang

131 102 digunakan dalam standar ini adalah jumlah penduduk yang menetap pada satu wilayah. Tabel 23. Standar KA. RT. berdasarkan jenis kota dan jumlah penduduk Jumlah Penduduk Jumlah Kebutuhan Air Jenis Kota (jiwa) (liter/orang/hari) > Metropolitan Metropolitan Besar Besar Sedang Kecil > Sumber : Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU. Besarnya kebutuhan air untuk tiap orang per hari berdasarkan standart dari Direktorat Jenderal Cipta Karya adalah sebagai berikut: 1. Kebutuhan untuk penduduk kota besar sebesar 150 liter/kapita/hari. 2. Kebutuhan untuk penduduk kota kecil sebesar 80 liter/kapita/hari. 3. Kebutuhan untuk penduduk pedesaan sebesar 60 liter/kapita/hari. Berdasarkan Tabel 23 di atas, sesuai dengan jumlah penduduk Kota Ambon maka dapat dikategori sebagai kota sedang dengan jumlah kebutuhan air sebesar liter/orang/hari. Kota Ambon dengan penduduk sebesar jiwa pada Tahun 2010, kebutuhan air domestik rata-rata dapat diasumsikan sama dengan rata-rata konsumsi air bersih per kapita per hari masyarakat Indonesia, yaitu sebesar 100 liter/orang/hari (Standar Kebutuhan Air Untuk Berbagai Sektor, SNI ,1-2002). Dengan demikian dapat diketahui kebutuhan air domestik di Kota Ambon pada Tahun 2010 adalah m 3 ; kebutuhan air murid adalah m 3 ; kebutuhan air guru sebesar m 3 ; kebutuhan air untuk hotel adalah m 3 dan kebutuhan air rumah sakit sebesar m 3 ; sehingga total kebutuhan air domestik lokasi penelitian Tahun 2010 adalah m 3. Sebaran penduduk di lokasi penelitian (Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Nusaniwe) Tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Sirimau sebanyak jiwa dan Kecamatan Nusaniwe adalah jiwa. Jumlah penduduk akan berbanding lurus dengan

132 103 kebutuhan air di daerah yang banyak penduduknya, demikian pula sebaliknya. Jumlah penduduk lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 24 berikut ini. Tabel 24. Jumlah penduduk di lokasi penelitian Tahun Tahun Sumber : BPS Kota Ambon (diolah). Jumlah Penduduk (jiwa) Kecamatan Sirimau Kecamatan Nusaniwe Perkembangan jumlah penduduk dapat dilihat dari laju pertumbuhan penduduk, Rata-rata laju pertumbuhan penduduk di lokasi penelitian Tahun yaitu 2,72% (data pertumbuhan murid, guru, hotel, rumah sakit terlampir dalam tulisan ini) yang dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Rata-rata pertumbuhan penduduk Kota Ambon Tahun Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Prtmbhn Penduduk Jiwa Persen (%) Metode Geometri {Pn = P0 (1+r)n} , , , , , Jumlah ,6 Tingkat pertumbuhan domestik, ternak dan industri di lokasi penelitian meliputi pertumbuhan penduduk, pertumbuhan murid, pertumbuhan guru, pertumbuhan hotel, pertumbuhan rumah sakit, pertumbuhan ternak (sapi, kambing, babi, unggas) dan pertumbuhan industri dapat dilihat pada Tabel 26 berikut ini.

133 104 Tabel 26. Tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian Tahun No. Pertumbuhan Tingkat Pertumbuhan (%) 1 Penduduk 2,72 2 Murid 6,06 3 Guru 7,29 4 Hotel 18,70 5 Sapi 6,32 6 Kambing 15,42 7 Babi 9,80 8 Unggas 2,72 9 Rumah Sakit 0,00 10 Industri 13, Kebutuhan Air Pertanian Kebutuhan air untuk pertanian yang dihitung hanya kebutuhan air untuk ternak, sedangkan kebutuhan air untuk pertanian tidak dihitung karena pada lokasi penelitian tidak ada saluran irigasi yang fungsinya untuk mengairi tanaman pertanian. Tanaman pertanian yang ada pada lokasi penelitian menggunakan air hujan yang jatuh langsung. Kebutuhan air ternak pada lokasi penelitian yang meliputi Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Nusaniwe antara lain untuk ternak sapi, kambing, babi, dan unggas. Kebutuhan air ternak dihitung sama dengan kebutuhan air domestik yaitu dengan menghitung tingkat petumbuhan ternak selama 6 tahun. Jumlah ternak di Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Nusaniwe untuk Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 27 dan tingkat pertumbuhan masing-masing jenis ternak dapat dilihat pada Tabel 26 di atas. Jumlah kebutuhan air ternak Tahun 2010 adalah kebutuhan air sapi m 3 /thn; kebutuhan air ternak kambing 852 m 3 /thn; kebutuhn air ternak babi sebesar m 3 /thn; kebutuhan air ternak unggas sebesar m 3 /thn; sehingga keseluruhan kebutuhan air untuk ternak Tahun 2010 adalah sebesar m 3 /thn.

134 105 Tabel 27. Jumlah ternak di lokasi penelitian Tahun Tahun Jumlah Ternak (ekor) Sapi Kambing Babi Unggas Kebutuhan Air Industri Kebutuhan air untuk industri pada lokasi penelitian yang meliputi Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Nusaniwe antara lain untuk industri pangan formal; tekstil; bahan bangunan; mesin, logam, elektronik; dan kerajinan. Kebutuhan air industri dihitung dengan asumsi bahwa luasan industri seluas 1 hektar dengan tingkat kebutuhan air adalah 1 liter/detik/hektar (SNI ) dan berdasarkan tingkat pertumbuhan industri selama 6 tahun. Jumlah industri di Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Nusaniwe untuk Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 28 dan tingkat pertumbuhan industri sebesar 13,66% (Tabel 26 di atas). Jumlah kebutuhan air industri Tahun 2010 adalah kebutuhan air industri pangan formal m 3 ; kebutuhan air industri tekstil m 3 ; kebutuhan air untuk industri bahan bangunan sebesar m 3 ; kebutuhan air industri mesin, logam, elektronik sebesar m 3 ; dan kebutuhan air industri kerajinan sebesar m 3 ; sehingga total kebutuhan air industri Tahun 2010 adalah sebesar m 3. Tahun Tabel 28. Jumlah industri di lokasi penelitian Tahun Pangan Formal Tekstil Industri Bahan Bangunan Mesin, Logam, Elektronik Kerajinan Total Sumber: Dinas Perindustrian Kota Ambon 2011.

135 Total Kebutuhan Air di Lokasi Penelitian Kebutuahn air secara keseluruhan untuk lokasi penelitian adalah kebutuhan air domestik ditambah kebutuhan air ternak ditambah kebutuhan air industri adalah sebesar m 3 pada Tahun Produksi Air PDAM dan PT. DSA Kota Ambon Data produksi air yang diperoleh dari PDAM Kota Ambon dan PT. Dream Sukses Airlindo (DSA) yang terkait dengan lokasi penelitian di Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Nusaniwe Tahun 2011 terdapat 17 sumber air yang di gunakan untuk menyediakan air bagi masyarakat Kota Ambon. Debit air yang di produksi PDAM Kota Ambon (Tabel 29) berkisar antara 5 liter/det (kondisi minimum/kemarau) sampai 86 liter/detik (kondisi maksimum/hujan). Debit yang dihasilkan dari ke 17 sumber air berkisar antara m 3 /tahun atau m 3 /hari. Sedangkan produksi air bersih oleh PT. DSA adalah sebesar m 3 /tahun (BPS Kota Ambon, 2011). Produksi air ini jika dibandingkan dengan kebutuhan air masyarakat di lokasi penelitian yang merupakan kawasan Pusat Kota Ambon tidaklah mencukupi yaitu kebutuhan untuk Tahun 2010 sebesar m 3 sementara produksi air yang di suplai kepada masyarakat pada kondisi minimum dimusim kemarau adalah m 3 dan pada musim hujan sebesar m 3 atau pasokan dari PDAM dan DSA sebagai penyedia jasa air minum hanya baru memenuhi 52,01% (sisanya yang belum terpenuhi adalah m 3 (47,98%) pada musim kemarau dan kebutuhan air masyarakat Kota Ambon pada musim hujan adalah 48,51% (yang tidak terpenuhi m 3 ). Masyarakat Kota Ambon yang berada pada lokasi penelitian menggunakan air selain dari PDAM Kota Ambon. juga menggunakan air sumur gali, air tanah, air sungai dan bahkan ada yang beli dari mobil tangki. Dalam penelitian ini yang menjadi objek perhitungan produksi air hanya dari sumber PDAM Kota Ambon saja.

136 107 Tabel 29. Data sumber air dan produksi air PDAM Kota Ambon 2011 SUMBER DEBIT (LITER/DETIK) Produksi air (LITER) MAX MIN MAX MIN AIR KELUAR BATU GAJAH 10 3, WAINITU WAIPOMPA 18 13, A/P A/P - 1A A/P - 2A A/P A/P - SKIP A/P - POHON MANGGA 7,5 7, A/P A/P A/P A/P A/P A/P Sumber: PDAM Kota Ambon Pemodelan Daerah Aliran Sungai Kota Ambon Yang Berkelanjutan Status Keberlanjutan DAS Kota Ambon Pengelolaan DAS Kota Ambon dilakukan oleh berbagai stakeholders dengan berbagai kepentingan dan pengaruh yang dimiliki terhadap interaksi antar pelaku. DAS memiliki berbagai produk barang dan jasa yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat yang ada di DAS. Namun sebaliknya, DAS juga memberikan dampak negatif bagi masyarakat akibat memburuknya kualitas dan fungsi DAS. Manfaat yang diberikan oleh DAS diantaranya manfaat ekologis, ekonomis, maupun sosial dan budaya. Dalam suatu periode waktu manfaat ekonomi menjadi penting bagi masyarakat, namun pada saat yang berbeda manfaat ekologis menjadi sangat penting dan melebihi kepentingannya daripada manfaat sosial maupun ekonomi. Tingkat manfaat yang diperoleh sangat ditentukan oleh interaksi antar pelaku di dalam DAS dengan kondisi biofisik DAS.

137 108 DAS Kota Ambon hulu merupakan bagian dari DAS yang termasuk dalam kategori kritis dan memerlukan prioritas penanganan yang lebih baik (DAS Batu Merah). Perilaku DAS hulu Kota Ambon telah mengakibatkan banjir di wilayah hilir pada musim hujan. Akibat banjir menimbulkan kerugian baik moril maupun materiil yang terus berlangsung belakangan ini secara periodik pada musim hujan, penurunan kualitas air sungai, longsor pada beberapa titik maupun kejadian kekeringan pada musim kemarau. Secara teknis hidrologi, kondisi demikian dapat terjadi akibat tingginya limpasan air permukaan dan berlangsungnya erosi. Kondisi hidrologi DAS Kota Ambon ditunjukkan oleh ketidakstabilan debit air maksimum dan minimum di kelima sungai. Koefisien rejim sungai kelima DAS menunjukkan nilai di atas 120 yang berarti kondisi DAS Kota Ambon yang semakin buruk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status keberlanjutan DAS Kota Ambon dari dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial. Status keberlanjutan DAS dilakukan melalui penilaian keberlanjutan masing-masing dimensi dengan analisis terhadap atribut-atribut penyusunannya dengan metoda multidimensional scaling menggunakan Rap_Insus DAS Kota Ambon yang merupakan modifikasi dari Rapfish (A Rapid Appraisal Technique for Fisheries) yang biasa digunakan untuk menduga tingkat keberlanjutan pada perikanan tangkap dari berbagai dimensi Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Hasil analisis Rap-DAS Kota Ambon terhadap 9 atribut diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi sebesar 38,55% (terletak antara 25,00 44,99%) berarti kurang berkelanjutan. Nilai indeks berkelanjutan kurang dari 50% ini menunjukan semakin memburuknya kondisi ekologi wilayah DAS Kota Ambon. Kemampuan ekologi wilayah untuk mendukung aktivitas di wilayah tersebut semakin berkurang. Bila daya dukung ekologis ini dibiarkan maka berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang lain sehingga pengelolaan DAS Kota Ambon semakin tidak berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekologi disajikan pada Gambar 52.

138 109 Berdasarkan analisis leverage terhadap atribut ekologi diperoleh 5 atribut yang sensitif terhadap tingkat keberlanjutan dari dimensi ekologi yaitu (1) Debit Aliran Sungai (RMS = 5,00); (2) Indeks Penggunaan Air/IPA (RMS = 4,29); (3) Indeks bervegetasi IPL = Lahan Bervegetasi/Luas DAS (RMS = 3,33); (4) Pola Pertanian Konservatif (RMS = 3,21); dan (5) Kecukupan Luasan Tutupan hutan (RMS = 2,95). Perubahan terhadap ke-5 leverage factor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Hasil analisis leverage disajikan pada Gambar 48. RAP Insus DAS Ordination Dimensi Ekologi Gambar 48. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi DAS Kota Ambon Debit aliran sungai berdasarkan perhitungan koefisien resim sungai ternyata mendapatkan nilai yang lebih dari 120 artinya bahwa debit sungai pada saat debit minimum untuk puncak kemarau adalah 0,2 m 3 /detik (debit aliran bisa terjadi kering atau debit menjadi nol (0)) dan pada saat puncak musim hujan menjadi 0,9 m3/detik (Balai Sungai Maluku Tahun 2011) artinya secara fisik maka aliran sungai sudah berada pada nilai KRS 450.

139 110 Gambar 49. Hasil analisis leverage atribut pada dimensi ekologi Indeks penggunaan air (IPA) yang dihitung berdasarkan SNI menunjukan bahwa kebutuhan air untuk konsumsi wilayah Kota Ambon telah melebih produksi air yang disediakan oleh PDAM Kota Ambon dan PT. DSA. Kondisi seperti ini perlu menjadi pertimbangan oleh pihak PDAM Kota Ambon untuk pengelolan yang baik seperti kontrol atau minimalkan kebocoran pada jaringan perpipaan. Pemanfaatan sumber air tanah sebagai persediaan kebutuhan konsumsi masyarakat serta pemanfaatan sumber air yang baru. Pertanian konservatif pengelolaan lahan pertanian garapan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada Desa Soya, Desa Urimesing dan Gunung Nona, serta lahan garapan milik masyarakat sebelum diubah menjadi lahan terbangun, umumnya dikerjakan dengan pola konvensional dan konservatif yaitu untuk konvensional dengan menanam tanaman semusim, memakai pestisida, menanam tanaman semusim pada daerah berlereng terjal, tanpa ada terasering dan tidak ada sumur resapan; sedangkan pola pertanian konservatif berupa jenis tanaman yang di tanam adalah jenis tanaman campuran dan yang berumur panjang, memakai pupuk organik, tanpa pestisida. Penutupan lahan bervegetasi. Penutupan lahan bervegetasi menunjukkan kemampuan Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan nilai indeks penutupan lahan (IPL) yaitu perbandingan antara lahan berpenutupan vegetasi dengan luas DAS.

140 111 Penutupan lahan bervegetasi DAS Kota Ambon sebesar 2.330,11 ha (59.24%) yang terdiri dari hutan sekunder 1.612,00 ha; pertanian lahan kering 145,82 ha; dan pertanian lahan kering campur 572,29 ha. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan DAS Hulu sebagai perlindungan Daerah Aliran Sungai masih cukup baik (IPL: 30-75%) untuk wilayah DAS Kota Ambon (setempat). Wilayah berpenutupan vegetasi ini perlu dijaga keberadaannya dan jika memungkinkan maka dapat ditingkatkan luasannya baik berupa penutupan hutan dan pertanian lahan kering. Kecukupan luas tutupan hutan. Kecukupan luas tutupan hutan sebagai wilayah DAS merupakan kawasan yang murni berhutan (hutan sekunder). Untuk wilayah DAS Kota Ambon tutupan hutan adalah seluas 1.612,00 ha atau 40,98% dari luas DAS Kota Ambon secara keseluruhan. Presentase ini masih berada pada kategori cukup baik pada nilai interval antara 30 75%, namun perlu untuk ditingkatkan lagi luas kawasan bervegetasi hutan (hutan sekunder) supaya fungsi tutupan hutan dalam respons hidrologi akan semakin meningkat dalam hal penyediaan air Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Atribut yang dianalisis pada dimensi ekonomi dalam pengelolaan DAS Kota Ambon sebanyak 7 atribut. Berdasarkan hasil analisis Rap-Insus DAS Kota Ambon diperoleh nilai indeks keberlanjutan dari dimensi ekonomi sebesar 56,28% berarti dengan status cukup berkelanjutan (terletak antara 50,00-74,99%). Hal ini berarti bahwa secara ekonomi, DAS Kota Ambon masih memberikan dukungan terhadap pengelolaan secara berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekonomi disajikan pada Gambar 50. Berdasarkan hasil analisis leverage yang disajikan pada Gambar 51. diperoleh 4 (dua) atribut yang perubahannya berpengaruh sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan ekonomi yaitu (1) Penyerapan Tenaga Kerja Agroforestri (RMS=5,09); dan (2) Tingkat Ketergantungan Konsumen Terhadap Produk Agroforestri (RMS = 2,88); (3) Potensi Objek Wisata (RMS = 2,88); dan (4) Pendapatan Petani dari Agroforestri (RMS = 2,82). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 50.

141 112 RAP Insus DAS Ordination Dimensi Ekonomi Gambar 50. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi DAS Kota Ambon Penyerapan Tenaga Kerja Agroforestri, dalam hal ini adalah kegiatan ekonomi yang berbasis pada sistem agroforestri yaitu pemanaman tanaman berumur panjang dan dipadukan dengan tanaman perkebunan, dan tanaman semusim yang bernilai ekonomis. Semakin banyak kebutuhan akan tenaga kerja untuk mengelola hasil produksi agroforestri maka secara ekonomi akan menjadi baik karena melibatkan banyak orang. Data Desa Soya dan Desa Urimesing menunjukan bahwa 47,5% masyarakat yang bermukim pada DAS Hulu Kota Ambon adalah bermata pencaharian adalah petani. Ketergantungan terhadap produk agroforestri. Ketergantungan konsumen terhadap produk agroforestri yang berasal dari DAS Kota Ambon sangatlah tinggi. Hal ini diperoleh dari pengamatan di lapangan yang mana antusias masyarakat yang konsumtif terhadap buah-buahan (salak, durian, langsat, duku, dan lain sebagainya) yang merupakan produk dari agroforestri DAS bagian hulu Kota Ambon, apabila produk agroforestri lokal sudah tidak ada di pasar maka untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam hal pemenuhi akan kebutuhan produk agroforestri dapat di pasok dari luar Pulau Ambon.

142 113 Gambar 51. Hasil analisis leverage pada dimensi ekonomi Potensi objek wisata. Potensi objek wisata yang ada pada DAS Kota Ambon adalah Tempayang Sirimau, kolam pemandian Air Besar yang terletak di Desa Soya, kolam pemandian Air Keluar dan Gua Leang Ekang di Desa Urimesing. Jumlah pengunjung yang banyak hanya pada tempat permandian Air Besar di Desa Soya karena akses kesana yang mudah dan transportasi lancar. Namun data jumlah pengunjung tidak terdata dengan baik untuk semua objek wisata. Pengelolaan kawasan wisata sebagai sumber pendapatan tambahan juga tidak dikelola dengan baik. Hal ini ditunjukan dengan adanya objek wisata namun dibiarkan begitu saja tanpa ada pengelolaan dengan baik oleh masyarakat, pemerintah desa maupun instansi terkait. Pada objek wisata ini dapat menjadi sumber pendapatan alternatif bagi masyarakat sekitar lokasi objek wisata. Pendapatan Petani agroforestri. Tingkat pendapatan petani agroforestri berada pada kisaran antara Rp Rp pendapatan ini berasal dari hasil produk agroforestri seperti cengkeh, pala, durian, manggis, langsat, duku, salak dan lain-lain yang bernilai ekonomis tinggi. Tingginya nilai ekonomis ini tidak sebanding dengan produksi agroforestri yang bisa dipanen secara terus menerus karena tergantung pada musim buah-buahan.

143 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Hasil analisis Rap-Insus DAS Kota Ambon terhadap 9 atribut dimensi sosial dan budaya diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial sebesar 60,15% (berada di antara 50,00 74,99%) berarti cukup berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi sosial disajikan pada Gambar 52. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 4 (lima) atribut yang sensitif terhadap indeks keberlanjutan sosial dan budaya yaitu (1) Ketergantungan masyarakat terhadap DAS sebagai sumber nafkah (RMS = 4,61); (2) Tingkat partisipasi masyarakat (RMS = 3,15); (3) Konflik Lahan (RMS = 3,03); (4) Aturan kelembagaan lokal (RMS = 2,90). Hasil leverage terhadap dimensi sosial disajikan pada Gambar 53. Ketergantungan Masyarakat Kepada DAS. Ketergantungan masyarakat terhadap DAS sebagai sumber mencari nafkah dengan jumlah penduduk yang tergantung sebesar 33,20% (jika dibandingkan dengan total seluruh penduduk) maka dikatakan baik karena semakin sedikit orang yang ketergantungan hidup ekonominya kepada DAS maka peluang kelestarian DAS akan semakin baik. Secara ekonomi, jumlah 33,20% tersebut memang kecil nilainya sehingga masyarakat yang mendapat keuntungan ekonomi kecil. Sehingga diharapkan peningkatan sumber perekonomian dari alternatif yang lain. Partisipasi masyarakat. Tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan DAS berdasarkan hasil wawancara dengan aparat pemerintah Desa Soya dan Desa Urimesing yang merupakan wilayah di hulu DAS Kota Ambon adalah sebesar 25%. Artinya bahwa tingkat partisipasi ini dinilai sedang sehingga perlu di naikkan lagi tingkat partisipasi masyarakat. Partisipasi yang pernah dilakakukan antara lain penanaman pohon dalam bentuk program Gerhan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Maluku dan Dinas Kehutanan Kota Ambon. Kegiatan lintas alam yang dilakukan dalam rangka memperingati harihari besar keagamaan yang didalamnnya juga dilakukan kegiatan reboisasi. Kegiatan ini baik dalam hal pelestarian DAS Kota Ambon, namun tingkat keterlibatan masyarakat yang masih kurang sehingga diharapkan agar keterlibatan

144 115 masyarakat harus dimaksimalkan dalam rangka ikut bersama melestarikan DAS Kota Ambon. Konflik Lahan. Konflik lahan yang terjadi pada DAS Kota Ambon bagian hulu memang pada skala jarang terjadi. Namun konflik ini terjadi karena masalah kepemilikan lahan antara Desa Batu Merah dan Desa Soya yang sampai dengan saat ini belum jelas sehingga terkadang ada konflik antara sesama pemilik lahan yang mengklaim bahwa mereka mempunyai lahan pada tempat yang sama. Apalagi pasca konflik sosial yang terjadi di Kota Ambon 10 tahun belakangan ini. Peran pemerintah sebagai pengambil kebijakan kiranya dapat sebagai jembatan dalam hal penyelesaian status kepemilikan lahan yang menjadi konflik supaya pihak-pihak yang saling konflik dapat berakhir. RAP Insus DAS Ordination Dimensi Sosial Gambar 52. Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial DAS Kota Ambon Aturan kelembagaan lokal. Aturan kelembagaan lokal yang berlaku pada Kota Ambon umumnya dan wilayah DAS Kota Ambon khususnya masih berlangsung dengan baik dan ada aturan yang tidak tertulis serta ada kelembagaan adat yang mengurus tentang pelarangan atau penundaan panen pada jenis-jenis tanaman tertentu. Aturan kelembagaan ini masih berjalan sampai dengan saat ini sehingga perlu untuk dipertahankan dalam rangka pelestarian sumberdaya alam secara umum dan DAS khususnya.

145 116 Gambar 53. Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial DAS Kota Ambon Status Keberlanjutan Multidimensi Pengelolaan DAS Kota Ambon Hasil analisis dengan menggunakan Rap-Insus DAS Kota Ambon diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk masing-masing dimensi sebagai berikut : a. Dimensi ekologi sebesar 38,55% berarti kurang berkelanjutan (indeks terletak antara 25,01-50,00%). b. Dimensi ekonomi sebesar 56,28% berari cukup berkelanjutan (indeks di antara nilai 50,01-75,00%). c. Dimensi sosial sebesar 60,15% berarti cukup berkelanjutan (indeks di antara nilai 50,01-75,00%). Hasil analisis Rap-Insus DAS Kota Ambon disajikan pada Gambar 54 berikut: Gambar 54. Indeks keberlanjutan parsial tiga dimensi keberlanjutan DAS Kota Ambon

146 117 DAS Kota Ambon merupakan bagian wilayah ekosistem yang berpengaruh terhadap kondisi ekosistem setempat maupun wilayah tengah dan hilir DAS. Masing-masing wilayah (hulu, tengah, dan hilir DAS) memiliki penekanan kepentingan dalam pengelolaannya disesuaikan dengan kondisi DAS yaitu karakteristik wilayah, ketergantungan dan pengaruhnya terhadap wilayah di sekitarnya. Memperhatikan kondisi DAS, maka masing-masing dalam pengelolaannya memiliki bobot kepentingan yang berbeda dalam pengelolaannya. Berdasarkan pendapat beberapa pakar terkait diperoleh bahwa bobot tertimbang untuk masing-masing dimensi adalah dimensi ekologi 38,55%, ekonomi 56,28% dan sosial 60,15%. Berdasarkan hasil pembobotan dari ketiga dimensi ekonomi, ekologi dan sosial maka diperoleh nilai indeks keberlanjutan multidimensi sebesar 50,97% (terletak pada rentan 50,01%-75,00%) tergolong cukup berkelanjutan. Nilai indek keberlanjutan sebesar 50,97% ini memang dikatakan cukup berkelanjutan namun berada pada posisi yang sangat mudah terpengaruh ke arah kurang berkelanjutan. Sehingga status keberlanjutan ini sangat mudah berpengaruh karena hanya berada pada kisaran 0,97 saja. Nilai indeks hasil pembobotan disajikan pada Tabel 30. No. Tabel 30. Nilai indeks keberlanjutan multi-dimensi DAS Kota Ambon Dimensi keberlanjutan Nilai indeks keberlanjutan Nilai bobot tertimbang (%) Nilai indeks hasil pembobotan 1 Ekologi 38,55 38,27 21,54 2 Ekonomi 56,28 35,64 13,74 3 Sosial 60,15 26,09 15,69 Jumlah 50,97 Hasil analisis ke-25 atribut dari ketiga dimensi (ekonomi, ekologi, sosial) diperoleh 13 atribut sensitif sebagai faktor pengungkit (leverage factor) terhadap masing-masing dimensi secara parsial. Sebagai faktor pengungkit, ada atribut yang perlu ditingkatkan kinerja dan sebagian yang lain perlu dijaga kinerja pengelolaan DAS Kota Ambon sehingga nilai indeks keberlanjutan ke depan menjadi lebih baik. Oleh sebab itu perlu intervensi dalam meningkatkan kinerja atribut untuk menaikkan status keberlanjutan pengembangan DAS Kota Ambon. Nilai indeks keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil pembobotan dalam diagram layang tertera pada Gambar 54 di atas.

147 Faktor Pengungkit. Faktor pengungkit (leverage factor) yang perubahannya dapat mempengaruhi secara sensitif terhadap peningkatan indeks keberlanjutan dari ketiga dimensi sebanyak 13 faktor. Ke-13 faktor ini berasal dari dimensi ekologi 5 faktor, dimensi ekonomi 4, faktor dan dimensi sosial 4 faktor. Terhadap ke-13 faktor pengungkit tersebut dapat ditingkatkan kinerjanya dan atau dipertahankan kestabilannya guna meningkatkan indeks keberlanjutan DAS Kota Ambon. Faktor pengungkit tersebut antara lain disajikan pada Tabel 31 berikut. Tabel 31. Faktor pengungkit per-dimensi keberlanjutan DAS Kota Ambon No. Dimensi Faktor Pengungkit (leverage factor) RMS 1 Ekologi (5) 1. Debit aliran Sungai (KRS). 5,00 2. Indeks penggunaan air (IPA). 4,29 3. Indeks bervegetasi (IPL). 3,33 4. Pola Pertanian konservatif. 3,21 5. kecukupan luas tutupan hutan. 2,95 2 Ekonomi (4) 6. Penyerapan tenaga kerja agroforestri. 5,09 7. Tingkat ketergantungan konsumen terhadap produk agroforestri. 2,88 8. Potensi objek wisata. 2,88 9. Pendapatan petani dari agroforestri. 2,82 3 Sosial (5) 10. Ketergantungan masyarakat terhadap DAS. 4, Tingkat partisipasi masyarakat. 3, Konflik lahan 3, Aturan kelembagaan lokal 2, Uji Validitas dan Uji Ketepatan MDS Uji validitas dengan analisis Monte Carlo, memperhatikan hasil analisis Monte Carlo dan analisis MDS pada taraf kepercayaan 95% diperoleh bahwa nilai indeks keberlanjutan pengelolaan DAS Kota Ambon menunjukkan adanya selisih nilai rata-rata kedua analisis tersebut sangat kecil (0,72%). Ini berarti bahwa model analisis MDS yang dihasilkan memadai untuk menduga nilai indeks keberlanjutan DAS Kota Ambon. Perbedaan nilai yang sangat kecil ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam proses analisis dapat diperkecil atau dihindari. Kesalahan yang disebabkan pemberian skoring pada setiap atribut. Variasi pemberian skoring yang bersifat multidimensi karena adanya opini yang berbeda relatif kecil, proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang

148 119 relatif stabil, dan kesalahan dalam melakukan input data dan data yang hilang dapat dihindari (Fauzi dan Anna, 2005). Analisis Monte Carlo ini juga dapat digunakan sebagai metoda simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak/ galat (random error) dalam analisis statistik yang dilakukan terhadap seluruh dimensi (Kavanagh dan Pitcher, 2004). Hasil analisis analisis MDS dan Monte Carlo disajikan pada Tabel 32 berikut. Tabel 32. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Rap-DAS Kota Ambon dan analisis Monte Carlo Dimensi MDS Nilai Indeks Keberlanjutan (%) Monte Carlo Perbedaan (MC) (MDS-MC) Perbedaan (MDS- MC)% Ekologi 38,55 38,48 0,07 0,18 Ekonomi 56,28 57,16 0,88 1,56 Sosial 60,15 60,30 0,15 0,25 Rata-rata 51,66 51,98 0,37 0,72 Uji Ketepatan Analisis MDS (goodness of fit). Dari hasil analisis Rap- Insus DAS Kota Ambon diperoleh koefisien determinasi (R 2 ) antara 93,86%- 95,18 % atau lebih besar dari 80% atau mendekati 100% berarti model pendugaan indeks keberlanjutan baik dan memadai digunakan (Kavanagh, 2001). Nilai stress antara 0,14 0,16 atau selisih nilai stres sebesar 0,02. Nilai determinasi ini mendekati nilai % dan nilai stress 0,14-0,16 lebih kecil dari 0,25 atau 25% sehingga model analisis MDS yang diperoleh memiliki ketepatan yang tinggi (goodness of fit) untuk menilai indeks keberlanjutan DAS Kota Ambon (Fisheries, 1999). Koefisien determinasi hasil analisis Rap-Insus DAS Kota Ambon disajikan pada Tabel 33 berikut. Tabel 33. Nilai stress dan nilai determinasi (R 2 ) hasil Rap-DAS Kota Ambon No. Parameter Dimensi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Ekologi 1 Nilai Indeks 38,55 56,28 60,15 2 Nilai Stress 0,14 0,16 0,14 3 Nilai R 2 95,18 93,86 95,12 4 Jumlah Iterasi 2 2 2

149 Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Analisis Sistem Dinamik Pengelolaan DAS Kota Ambon Analisis kebutuhan Setelah mengetahui dari hasil analisis berbagai faktor, bahwa kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan perlu seimbang dalam pengelolaan DAS berkelanjutan, maka masih perlu dilakukan analisis kebutuhan stakeholders di dalam kawasan sekitar DAS. Berdasarkan hasil identifikasi bahwa stakeholders yang terlibat dalam sistem pengelolaan DAS berkelanjutan pada dimensi kebijakan publik adalah pemerintah yang mewakili kepentingan publik, kelompok bibit rakyar, masyarakat setempat dan lembaga agama yang mewakili kepentingan masyarakat, serta akademisi yang mewakili kalangan intelektual dan kepakaran. Tahap ini, dilakukan inventarisasi kebutuhan stakeholders yang terlibat, sebagai masukan dalam model. Masing-masing pelaku memiliki kebutuhan dan pandangan terhadap dampak-dampak pengembangan pada keberlanjutan manfaatmanfaat dan dampak-dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial. Analisa kebutuhan stakeholders dalam sistem disajikan pada Tabel 34. Formulasi Masalah Perumusan permasalahan merupakan aktivitas sistem yang dikaji. Dalam hubungannya dengan pengelolaan DAS berkelanjutan, permasalahan sistem merupakan gap antara kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada. Dengan demikian, perumusan permasalahan sistem merupakan kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan para pelaku pada kondisi nyata yang terjadi. Kebutuhan para pelaku terhadap keberhasilan adalah bersifat pemuasan kebutuhan dari masing-masing pelaku (stakeholders), sedangkan kondisi yang ada saat ini tidak dapat memenuhi kebutuhan para pelaku tersebut.

150 121 Tabel 34. Analisis kebutuhan Stakeholders dalam sistem pengelolaan DAS di Kota Ambon Berkelanjutan Stakeholders Pemerintah Masyarakat Hulu Kelompok Bibit rakyat Akademi Sinode GPM PDAM + DSA Kebutuhan 1. Keberlanjutan ekosistem DAS Kota Ambon. 2. Pendapatan daerah meningkat. 3. Hutan terpelihara dan memenuhi kecukupan luas. 4. Pola pertanian yang sifatnya konservatif 5. Kebutuhan air masyarakat terpenuhi 6. Konflik lahan berkurang 7. Konversi lahan berkurang 8. Aturan kelembagaan lokal tetap berfungsi 1. Kesejahteraan meningkat lewat program agroforestri 2. Konflik lahan berkurang 3. Bantuan pengembangan usaha 4. Penyaluran air pada masyarakat 1. Adanya pendampingan dan pemberdayaan masyarakat 2. Pelatihan konservasi DAS 3. Adanya pendanaan untuk kegiatan penyediaan bibit, penanaman dan pemeliharaan. 4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam konservasi DAS 1. Kemitraan dengan perguruan tinggi 2. Ekosistem DAS Kota Ambon lestari 3. Penelitian dan pengembangan pengelolaan SDA 4. Kesejahteraan petani agroforestri terjamin 1. Kerjasama dengan pihak pemerintah dalam program pengelolaan lingkungan 2. Pemberdayaan dan partisipasi anggota jemaat 1. Kelestarian daerah hulu DAS 2. Pemenuhan air bagi masyarakat Permasalahan yang muncul perlu mendapat perhatian pihak pemerintah dan masyarakat luas. Selain melalui koordinasi dan pemahaman yang sama antar stakeholders. Adanya konflik kepentingan diantara para stakeholders, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan stakeholders, uraian permasalahan dalam sistem pengelolaan DAS berkelanjutan dimensinya mencakup sebagai berikut:

151 Dimensi ekologi 2. Dimensi ekonomi 3. Dimensi sosial Pengelolaan DAS perlu dilakukan untuk menjaga ketersediaan air dan juga mampu meningkatkan nilai ekonomi lahan. Perbaikan nilai ekonomi lahan mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial yang timbul sehingga berdampak pada rusak ekologi. Kerusakan ekologi berhubungan langsung dengan penurunan potensi ketersediaan air. Hal ini seperti membentuk siklus yang saling terkait dan mempengaruhi seperti Gambar 55 berikut. EKOLOGI SOSIAL EKONOMI Gambar 55. Hubungan ketergantungan antar sektor Bentuk pengelolaan DAS, haruslah mempertimbangkan ketiga sektor utama di atas. Pengutamaan salah satu sektor akan mempengaruhi menurunnya sektor lain dan juga tindakan manajemen yang diambil Kondisi Eksisting 1) Submodel Sosial Laju pertumbuhan penduduk di daerah penelitian mencapai 2,72%/tahun sejak Tahun Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya kepadatan dan kebutuhan lahan serta kebutuhan akan air. Selain itu, terjadi peningkatan laju pertumbuhan untuk sektor non-domestik seperti jumlah murid dan guru yang ada di sekolah, pertumbuhan ternak, jumlah tempat tidur di hotel dan rumah sakit serta peningkatan jumlah industri. Adapun bentuk model pertambahan pengguna air disajikan pada Gambar 56 berikut.

152 123 Gambar 56. Submodel sosial Dari Gambar 56, terdapat 4 stok yang menggambarkan pertambahan pengguna air. Pertumbuhan penduduk diduga dengan menggunakan laju pertumbuhan penduduk rata-rata. Pertumbuhan penduduk dibatasi oleh ketersediaan lahan untuk permukiman. Dalam model ini diasumsikan 1 kepala keluarga (kk) terdiri dari 5 orang dan membutuhkan 80 m 2 untuk permukiman. Jika lahan yang tersedia sudah terbangun permukiman, maka pertumbuhan penduduk dianggap 0. Selain itu, pertumbuhan industri ke depan hanya 3,36% sampai dengan Tahun Secara dinamis, pendugaan pertumbuhan penduduk menggunakan rumus sebagai berikut: Penduduk(T) = Penduduk(T - Dt) + (Pertambahan penduduk) Jumlah Penduduk awal = Pertambahan penduduk = Penduduk*2.72/100 Sedangkan untuk menduga pengguna air lainnya digunakan rumus umum yakni Jenis Pengguna Air(T) = Jenis Pengguna Air (T - Dt) + (Pertambahan jenis pengguna air) Pertambahan jenis pengguna air = Jenis pengguna air x laju rata-rata pertumbuhan tahunan (%). Adapun bentuk pertumbuhan pengguna air yang terjadi disajikan pada Tabel 35 berikut.

153 124 Tabel 35. Pertumbuhan pengguna air di Kota Ambon Tahun Pengguna Air Penduduk Murid Guru Hotel Industri Rumah Sakit Pertambahan penduduk mempengaruhi peningkatan jumlah murid dan guru yang berkorelasi positif dengan kebutuhan air di sekolah. Selain itu, terjadi peningkatan konsumsi air di rumah sakit dan hotel serta industri. Laju pertumbuhan murid dan guru mencapai 6,06%, sedangkan laju pertumbuhan pengguna hotel mencapai 18,7% dan industri sebesar 13,66%. Selain itu, sektor peternakan juga menunjukkan angka meningkat, yakni sapi sebesar 6,32%, kambing sebesar 16,42% dan babi sebesar 9,8% serta unggas sebesar 16,63%. Peningkatan penduduk, jumlah tempat tidur rumah sakit dan hotel selanjutnya disebut sebagai sektor domestik, sedangkan ternak disebut sebagai sektor pertanian dan industri dikategorikan sebagai sektor industri. 2) Submodel Ekonomi Masyarakat yang bergantung pada DAS mencapai lebih dari 40%, yang mendapatkan manfaat berupa mata pencaharian sebesar 30%. Secara umum, hutan tidak memberikan manfaat ekonomi berarti dikarenakan status hutan adalah hutan lindung yang dikelola oleh Dinas Kehutanan Kota Ambon. Bentuk pengelolaan hutan ke arah rehabilitasi dan pemanfaatan jasa lingkungan serta hasil hutan bukan kayu. Hal ini mengakibatkan laju perambahan dan pencurian kayu sangat tinggi. Jumlah masyarakat yang mengelola lahan menjadi lahan pertanian sangat kecil.

154 125 Pendugaan nilai ekonomi lahan pada PLK (pertanian lahan kering) dengan mengasumsikan di lahan tersebut dilakukan penanaman sayuran. Modal awal penanaman sayuran adalah Rp. 3,9 juta/ha. Keuntungan dari penanaman sayur dihitung dengan rumus (keuntungan-modal)*luas lahan PLK. Pendugaan nilai ekonomi PLKC (pertanian lahan kering campuran) dihitung dengan asumsi bahwa pada lahan tersebut dilakukan penanaman dengan pola agroforestri yakni mengkombinasikan jenis tanaman penghasil kayu mpts (multi purpose tree sistem) seperti tanaman buah dan sayuran. Penanaman sayuran sangat bergantung pada tutupan tajuk tanaman penghasil kayu dan mpts. Untuk itu, asumsi yang digunakan dalam model ini adalah persentasi penanaman sayuran terus menurun mengikuti laju pertumbuhan tajuk tegakan. Adapun asumsi tersebut adalah pada awal penanaman dilakukan penanaman sebanyak 30% dari luas lahan PLKC. Empat tahun setelah penanaman, luas lahan yang dapat ditanam untuk sayuran adalah 20% dari luas lahan PLKC. Kemudian tujuh tahun setelah penanaman, luas lahan yang dapat ditanam untuk sayuran adalah 10% dari luas lahan PLKC. Pada Sembilan tahun setelah penanaman, luas lahan yang dapat ditanam untuk sayuran adalah 5% dari luas lahan PLKC dan selebihnya sudah tidak dapat dilakukan penanaman sayuran karena luas bidang dasar telah tertutupi tajuk tegakan. Penanaman tanaman penghasil kayu dengan jarak tanam 10 x 10 m atau terdapat 183 pohon/ha, dengan daur tebang 30 tahun. Sedangkan penanaman mpts (alpukat dan cengkeh) dengan jarak tanam 2 x 3 m atau masing-masing jenis terdapat pohon /ha. Cengkeh dan alpukat akan berbuah pada umur tujuh tahun setelah penanaman, dengan produktivitas cengkeh 100 kg/ha/tahun dan alpukat 750 kg/ha/tahun. Harga jual cengkeh adalah Rp /kg dan harga jual alpukat Rp. 5000/kg. Harga kayu mahoni adalah Rp /m 3. Pemanenan mahoni akan dilakukan setelah daur tebang yakni 30 tahun. Pendugaan kondisi eksisting ekonomi lahan masih menggunakan pola penanaman PLK sebagai nilai lahan. Adapun nilai ekonomi PLKC merupakan simulasi skenario pengembangan ekstensifikasi lahan pertanian dengan pola agroforestri. Bentuk pengelolaan pun dalam bentuk pertanian lahan kering (PLK). Adapun bentuk sub-model disajikan pada Gambar 57 berikut.

155 126 Gambar 57. Sub-model ekonomi PLK Gambar 57 menunjukkan pendapatan masyarakat sangat bergantung pada luas lahan yang tersedia. Namun, laju konversi lahan menjadi permukiman dan pola pengelolaan yang tidak kontinyu mengakibatkan lahan berubah menjadi semak. Hal ini mengakibatkan laju pendapatan masyarakat dari PLK menurun. Bila luas lahan PLK menurun maka nilai pendapatan yang diperoleh per tahun akan menurun, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 58 berikut. Nilai Ekonomi Lahan (Rp) Millions 1, Tahun Eksisting Gambar 58. Pendapatan masyarakat dari pengelolaan PLK

156 127 Gambar 58 menjelaskan bahwa pendapatan masyarakat dari pengolahan lahan untuk pertanian terus menurun. Hal ini disebabkan oleh menurunnya luas lahan. Penurunan pendapatan mengakibatkan angka pengangguran yang sangat tinggi dan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Masyarakat beralih dari petani menjadi penyedia jasa seperti tukang becak, tukang ojeg dan lainnya. Perekonomian berjalan lambat, karena sebagian besar aliran transaksi jual beli terjadi di luar kota Ambon dan bahkan di luar Provinsi Maluku. 3) Submodel Ekologi a. Perubahan penutupan lahan Perubahan penutupan lahan di Kota Ambon, memang tidak dapat disamakan dengan dinamika yang terjadi di kota-kota besar pada umumnya. Provinsi Maluku pernah berhadapan dengan konflik sosial terbesar sepanjang sejarah yang mengakibatkan rusaknya tatanan hidup dan merubah perilaku pengelolaan lahan. Permukiman banyak yang dibakar dan ditinggal mengakibatkan semak bertambah, sementara lahan pertanian ditinggal petani begitu saja sehingga berubah menjadi semak belukar. Selain itu, terdapat perbaikan luas areal berhutan disebabkan oleh pelaksanaan Gerhan (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan), serta areal pertanian lahan kering campuran yang ditinggal sehingga tidak tertata dengan baik. Tabel 36. Perubahan penutupan lahan berdasarkan peta penutupan lahan (ha) Tahun 2002 Penutupan lahan (ha) Luas Awal (Ha) Hutan PLKC 2009 Lahan Terbuka Pemukiman PLK Semak 1.664,68 310,99 66,60 498,12 141, ,27 Jumlah Hutan 918,96 - PLKC 1.680,94 106,53 89,18 195,71 Lahan Terbuka 42,31 - Pemukiman 479,06 - PLK 979,60 3,47 2,72 113,54 119,73 Semak 22,23 - Total luas (Ha) 106,53-3,47 2,72-202,72 315,44 Berdasarkan hasil analisis peta penutupan lahan pada Tahun 2002 dan 2009 terdapat beberapa alih penutupan lahan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 36 yang menerangkan bahwa perubahan penutupan lahan dari Tahun 2002 ke

157 128 Tahun 2009 kemudian dengan asumsi bahwa dibagi tujuh tahun antara sehingga diketahui bahwa setiap tahun terjadi perubahan penutupan lahan sebesar 315,44 ha. Perubahan penutupan lahan sebesar 315,44 ha tiap tahun ini akan tejadi perubahan pada penutupan lahan PLKC menjadi hutan sebesar 106,53 ha; PLKC menjadi semak sebesar 89,18 ha; PLK menjadi lahan terbuka sebesar 3,47 ha; PLK menjadi permukiman sebesar 2,72 ha; dan PLK menjadi semak sebesar 113,54 ha. Asumsi ini berlaku untuk Tahun Berdasarkan Tabel 36 di atas, PLKC akan cenderung menurun seiring dengan konservasi untuk penggunaan lain seperti hutan dan permukiman. Sebagian lainnya dari luas PLKC diterlantarkan sehingga menjadi lahan terbuka dan semak. Adapun perubahan penutupan lahan berdasarkan peta perubahan penutupan lahan disajikan dalam Tabel 37 berikut. Tahun Tabel 37. Dinamika perubahan penutupan lahan terhadap debit Hutan Sekunder Luas Jenis Tutupan Lahan (Ha) PLKC PLK Semak Belukar Debit (m 3 ) Curah hujan tahunan (mm) , ,94 979,60 22,23 1, , ,23 859,86 224,95 1, , ,53 740,12 427,67 1, , ,82 620,39 630,39 1, ,09 898,11 500,65 833,11 2, ,62 702,40 380, ,83 2, ,15 506,69 261, ,55 4, , ,27 2, Tabel 37 menunjukkan bahwa perubahan penutupan lahan bersifat dinamis. Luas hutan terus meningkat sementara luas PLKC dan PLK terus berkurang. Adapun bentuk diagram hubungan antara komponen penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 59 dan Gambar 60 berikut.

158 129 Gambar 59. Dinamika perubahan penutupan lahan di lokasi penelitian Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah luas area berhutan adalah 40% dari total luas lahan, sedangkan luas PLK dan PLKC masing-masing 20% dari luas lahan, 20% dari luas lahan terdiri atas permukiman dan lahan terbuka. Jika luas hutan, PLK dan PLKC telah terpenuhi maka model perubahan lahan telah mencapai kondisi tetap dan tidak terjadi konversi baik menjadi hutan maupun untuk pengembangan ekonomi masyarakat dalam bentuk PLK dan PLKC. Tentunya pembangunan PLK dan PLKC sangat terkait dengan skenario ekstensifikasi lahan pertanian dengan pola agroforestri sementara konversi semak menjadi hutan dipengaruhi oleh skenario RHL. Hasil simulasi model pada kondisi BAU (business as usual) dapat dilihat pada Gambar 60 berikut ini. Penutupan lahan (ha) Tahun HUTAN SEMAK PLKC PLK MUKIM LT Total LU Gambar 60. Dinamika perubahan penutupan lahan

159 130 Gambar 60 menunjukkan bahwa pada kondisi BAU, terjadi perubahan penutupan lahan yang dinamis menurut kepentingan. Luas lahan PLKC terus menurun yang disebabkan oleh konversi menjadi peruntukkan lain seperti hutan. Hal ini digambarkan dengan konversi kebun campuran ke hutan adalah jika perbandingan hutan terhadap landcover adalah nol yang artinya luas hutan lebih kecil dibandingkan total luas landcover maka laju konversi akan bersifat tetap sebanyak 29,08 ha dari kebun campuran. Bila reboisasi dilakukan untuk mengendalikan laju penurunan luas hutan maka reboisasi akan dibangun secara bertahap dari Tahun sebanyak 50 % dari target luas hutan total, dan sebanyak 30 % dari Tahun dan sebanyak 20 % dari Tahun Hal ini menunjukan bahwa reboisasi pada PLKC akan selesai sampai dengan Tahun Demikian pula untuk semak dan PLK. b. Ketersediaan Air Ketersediaan air dalam model ini diketahui lewat perhitungan berbagai sumber konsumsi air dari berbagai konsumen dengan mempertimbangkan tingkat pertumbuhan masing-masing konsumen tersebut, serta mengetahui potensi air yang dihasilkan oleh PDAM dan PT. DSA (Dream Sukses Airlindo). Perubahan penutupan lahan akan berdampak pada debit aliran permukaan meningkat yang akan menyebabkan masuknya air ke dalam tanah (infiltrasi) semakin kecil. Pengaruh perubahan penutupan lahan terhadap debit dapat dilihat pada Tabel 37. Berdasarkan tabel tersebut, perubahan penutupan lahan diikuti oleh berubahnya debit aliran permukaan. Pendugaan debit aliran permukaan berdasarkan penutupan lahan dilakukan berdasarkan koefisien run off menurut Asdak (2005) sebagimana disajikan pada Tabel 38 berikut ini. Tabel 38. Koefisien runoff berdasarakan jenis tutupan lahan No Jenis tutupan lahan Koefisien runoff 1 Hutan 0,05 2 PLK 0,3 3 PLKC 0,2 4 Semak 0,45 Sumber: Asdak 2005

160 131 Koefisien run off pada masing-masing tutupan lahan dikumulatifkan sehingga menjadi koefisien run off kumulatif menjadi persamaan berikut pada submode ketersediaan air adalah : C = Dimana : C 1.A 1 + C 2.A C i.a i A 1 + A A i C = Koefisien run off kumulatif Ci = Koefisien run off lahan i Ai = Luas lahan i (ha) A = Luas DAS = C i.a i A i Persamaan lain perubahan penutupan lahan yang terjadi di Kota Ambon juga mengakibatkan beberapa sungai di Kota Ambon terancam kering dimusim kemarau dan banjir dimusim penghujan. Adapun peningkatan debit andalan disajikan pada Gambar 61 berikut. Air Tersedia (m3) Millions Tahun Eksisting Gambar 61. Debit andalan Perubahan penutupan lahan di Kota Ambon akan mengakibatkan laju infiltrasi yang rendah namun konsumsi tinggi seiring meningkatnya jumlah penduduk. Runoff (m3) Millions Tahun Eksisting Gambar 62. Debit aliran permukaan

161 132 Gambar 62 menunjukkan perubahan penutupan lahan yang mengakibatkan adanya trend peningkatan luas hutan mengakibatkan laju runoff semakin menurun, hal ini mengakibatkan laju infiltrasi tinggi. Produksi air PDAM yang konstan menjadikan potensi masalah sosial baru yang akan timbul. Masyarakat mengalami kesulitan untuk mencari pasokan air bersih dalam kota. Masyarakat membeli air dari mobil tangki dengan harga yang lumayan tinggi. Disekitar perumahan dibuat bunker air untuk menampung air, sementara di pemukiman yang kecil dan padat masyarakat mengandalkan membeli air dari tukang air eceran yang dijual dengan jerigen. Pendapatan ekonomi terus menurun, terbatasnya pilihan mata pencaharian dan semakin sempitnya lahan pertanian mengakibatkan potensi masalah sosial makin tidak terkendali. Perlu adanya perbaikan melalui pengelolaan DAS terpadu, yang tidak hanya mempertimbangkan DAS sebagai fungsi utama untuk menampung, menyerap dan mendistribusikan air namun juga fungsi DAS sebagai mata pencaharian. Laju kebutuhan air terus meningkat sementara produksi air oleh PDAM dan PT. DSA konstan. Debit air yang meningkat akibat perubahan penutupan lahan mengakibatkan volume air di sungai meningkat yang mempengaruhi bertambahnya air tersedia di sungai. Adapun perbandingan antara kebutuhan air dengan produksi dapat dilihat pada Gambar berikut 63. Millions Volume (m3) Tahun Total Produksi Air Konsumsi Air Total Air Tersedia Gambar 63. Produksi air dan kebutuhan air di Kota Ambon Berdasarkan Gambar di atas terlihat bahwa pada kondisi eksisting sekarang ini total kebutuhan air lebih besar dibandingkan produksi air, sementara

162 133 air tersedia di sungai masih mencukupi. Untuk itu perlu adanya upaya pemanfaatan air sungai untuk memenuhi permintaan air domestik. Upaya tersebut dapat digambarkan dengan submodel sebagaimana dijelaskan dengan Gambar 64. Gambar 64. Submodel ketersediaan air Perubahan penutupan lahan akan mengakibatkan laju infiltrasi yang rendah dan konsumsi yang meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk. Sementara produksi air PDAM yang konstan menjadikan potensi masalah sosial baru yang akan timbul. Masyarakat mengalami kesulitan untuk mencari pasokan air bersih dalam kota. Masyarakat membeli air dari mobil tangki dengan harga yang lumayan tinggi. Di sekitar perumahan dibuat bunker air untuk menampung air, sementara di permukiman yang kecil dan padat masyarakat mengandalkan membeli air dari penjual air eceran yang dijual dengan jerigen. Menurunnya pendapatan ekonomi, terbatasnya pilihan mata pencaharian dan semakin sempitnya lahan pertanian mengakibatkan potensi masalah sosial makin tidak terkendali. Perlu adanya perbaikan melalui pengelolaan DAS terpadu, yang tidak hanya mempertimbangkan DAS sebagai fungsi utama untuk menampung, menyerap dan mendistribusikan air namun juga fungsi DAS sebagai mata pencaharian. Perubahan fungsi penutupan lahan akan mempengaruhi ekonomi masyarakat yang bergantung pada lahan. Selain itu, sangat mempengaruhi laju

163 134 serapan air hujan yang turun di permukaan sehingga meningkatkan debit aliran permukaan Evaluasi Model Menurut Barlas (1996) validasi kinerja dapat dilakukan dengan cara membandingkan data simulasi dengan data empiris. Validasi kinerja model dilakukan dengan membandingkan data penduduk aktual dan data simulasi dengan menggunakan Absollute Mean Error (AME). AME dihitung dengan rumus (jumlah penduduk eksisting - jumlah penduduk hasil simulasi)/jumlah penduduk eksisting. Hasil perhitungan AME disajikan pada Tabel 39 di bawah ini. Tabel 39. Hasil perhitungan nilai AME untuk uji validasi kinerja Jumlah Penduduk (jiwa) Tahun Penduduk Eksisting Penduduk Simulasi AME , , , , ,05 Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 39 menunjukkan bahwa, nilai AME secara keseluruhan berada di bawah angka 10%. Menurut Mahmudi et al. (2001) batas penyimpangan yang diterima antara data simulasi dan eksisting ialah 5-10%. Dengan demikian menjelaskan bahwa model yang dibangun memiliki kinerja yang baik. Kesimpulannya model ini bisa diimplimentasikan dalam menyusun desain pengelolaan DAS di lokasi penelitian Proyeksi Skenario Pengelolaan DAS 1. Skenario DAS dengan Debit Air sebagai pembatas Debit air sangat dipengaruhi oleh curah hujan, kelerengan, jenis tutupan lahan dan juga tipe tanah. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus adalah perubahan penutupan lahan. Pada kondisi eksisting, hutan cenderung meningkat, sementara PLK dan PLKC menurun dan berubah menjadi permukiman dan semak. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan dari segi ekonomi, karena hutan di

164 135 Kota Ambon diklasifikasikan sebagai kawasan lindung yang tidak dimanfaatkan hasil kayu. Sementara semak ada karena PLK dan PLKC yang tidak dikelola secara kontinyu. Simulasi model untuk meningkatkan infiltrasi air larian (debit) maka perlu memperhatikan aspek ekologi dan ekonomi masyarakat. Skenario dibangun dengan pertimbangan bahwa ekologi akan lebih baik bila ekonomi masyarakat menjadi bagian yang diperhatikan dalam pengelolaan DAS. Pertimbangan ini mengacu pada faktor kunci dalam keberlanjutan DAS hasil analisis MSD. Adapun bentuk skenario yang ditawarkan disajikan pada Tabel 40 berikut. Tabel 40. Skenario pelaksanaan model dinamik pengelolaan DAS Kota Ambon Pertimbangan perbaikan DAS 1. Debit aliran sungai. 2. Indeks penggunaan air. 3. Kecukupan luas tutupan hutan (40%). 4. Pendapatan petani dari agroforestri Skenario I simpel (Pesimis) II (Moderat) III kompleks (Optimis) Uraian (Keterangan) 1. Ekstensifikasi lahan pertanian dengan agroforestri (ELPA) pada areal semak 2. Pertumbuhan penduduk 2,00%. 3. Kontrol kebocoran 10% (5 tahun pertama 5%, dan 10 tahun kemudian 5%). 4. Produksi tambahan PDAM sebesar 10% pada tahun ke Gabungan RHL + ELPA. 2. Pertumbuhan penduduk 2,00%. 3. Kontrol kebocoran 15% (5 tahun pertama 5%, dan 10 tahun kemudian 10%). 4. Produksi tambahan PDAM sebesar 15% pada tahun ke Rehabilitasi lahan (RHL) dengan tanaman hutan pada areal semak. 2. Pertumbuhan penduduk 1,5%. 3. Kontrol kebocoran 30% (5 tahun pertama 15%, dan 10 tahun kemudian 15%). 4. Produksi tambahan PDAM sebesar 40% pada tahun ke 7 dan tahun ke 13. Berdasarkan Tabel 40, terdapat 3 skenario utama yakni skenario simpel, moderat dan kompleks. Skenario ini lebih mengarah pada perubahan tutupan lahan dan nilai ekonomi total dari perubahan penutupan lahan dan debit. Skenario RHL (rehabilitasi hutan dan lahan) yakni penanaman tutupan hutan dengan tanaman hutan melalui berbagai kegiatan RHL. Skenario ekstensifikasi lahan pertanian dengan agroforestri yaitu penanaman lahan di luar tutupan hutan dengan mengkombinasikan tanaman mahoni, cengkeh, alpukat dan tanaman semusim seperti sayuran dan tanaman obat. Sedangkan skenario RHL dan ekstensifikasi

165 136 lahan pertanian dengan agroforestri yaitu penanaman dilakukan di tutupan hutan maupun di luar tutupan hutan dengan pola RHL maupun perluasan areal pertanian dengan pola agroforestri. Pertumbuhan penduduk di lokasi penelitian sebesar 2,00% dan 1,5% dengan pertimbangan bahwa khusus untuk lokasi penelitian pertumbuhan penduduk hanya sebesar itu, namun secara keseluruhan untuk pertumbuhan penduduk Kota Ambon dapat mengikuti pertumbuhan penduduk tiap tahunnya. Kontrol kebocoran yang menjadi pertimbangan dalam skenario dengan alan bahwa dalam setiap manajemen penyediaan air baik oleh PDAM maupun perusahaan swasta lainnya pasti mempunyai kebocoran. Kebocoran yang dimaksud bisa terjadi pada jaringan perpipaan maupun pada instansi-instansi tertenutu yang tidak bisa dikontrol (masalah teknis dan kelalaian petugas lapangan PDAM). Pertimbangan jumlah persen kebocoran mengacu pada Departemen PU yang menyatakan bahwa saat ini angka kebocoran pelayanan PDAM secara nasional masih sebesar 37% (Anonim, 2006). Produksi tambahan PDAM dalam memenuhi kebutuhan air di Kota Ambon dijadikan sebagai pertimbangan perbaikan ketersediaan air karena PDAM tidak hanya mempertahankan produksi yang ada sekarang namun harus berupaya untuk mencari sumber air yang baru untuk menambah produksi yang ada. Pertimbangan 40% karena terkait dengan keterbatasan pulau kecil Simulasi pertumbuhan penduduk Hasil simulasi pertumbuhan penduduk sesuai dengan skenario pada Tabel 40 diasumsikan juga untuk pertumbuhan industri karena pertumbuhan industri akan sangat tergantung juga pada jumlah penduduk. Pertumbuhan penduduk juga diasumsikan bahwa tiap KK terdapat 5 orang dan menggunakan 100 m 2, dan luas area yang dapat digunakan sebesar 20%. Pertimbangan ini menjadi dasar untuk menentukan daya dukung dari DAS Kota Ambon. Pertumbuhan industri akan mengikuti daya dukung pertumbuhan penduduk. Gambar 65 menunjukkan pertumbuhan penduduk berdasarkan daya dukung lahan untuk keperluan jumlah KK yang ada di Kota Ambon dengan tingkat pertumbuhan pada kondisi eksisting tanpa skenario, skenario simpel,

166 137 skenario moderat dan skenario kompleks. Pada gambar tersebut terlihat bahwa kondisi eksisting daya dukung akan mencapai batas pada Tahun 2029, pada skenario simpel dan moderat pada Tahun 2035 dan skenario kompleks pada Tahun 2044 Penduduk (jiwa) Thousands Pddk Eksisting Tahun Pddk Simpel Gambar 65. Tingkat pertumbuhan penduduk berdasarkan daya dukung 1.2. Simulasi perubahan penutupan lahan Hasil simulasi skenario menunjukkan bahwa secara umum tren luas hutan akan terus bertambah, meski tidak dilakukan skenario apa-apa pada kondisi eksisting. Jika dilihat trend setiap skenario maka skenario simpel memberikan pengaruh lebih besar terhadap peningkatan luas hutan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 66 berikut. 2, Luas Hutan (ha) 1, , TAHUN EKSISTING SIMPEL MODERAT KOMPLEKS Gambar 66. Hasil simulasi skenario pada tutupan hutan Gambar 66 di atas menjelaskan, skenario moderat memberikan dampak pada luas hutan lebih tinggi namun pencapaian target luas hutan sebesar 40% lebih lambat jika dibandingkan skenario kompleks. Namun, tren ini tidak terjadi pada tutupan lahan semak. Pada skenario kompleks dapat menurunkan luas areal

167 138 semak lebih besar dibandingkan skenario lainnya. Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 67 berikut. Luas Semak (ha) 2, , , , , , Tahun EKSISTING SIMPEL MODERAT KOMPLEKS Gambar 67. Hasil Simulasi Skenario pada tutupan semak Berdasarkan Gambar 67 terlihat bahwa laju penurunan luas semak terjadi pada skenario moderat dan simpel, sementara skenario kompleks lebih baik dibandingkan keadaan eksisting. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan baik berupa ekstensifikasi lahan pertanian dengan agroforestri maupun RHL dan ekstensifikasi lahan pertanian dengan agroforestri akan mampu menurunkan lahan tidur berupa semak. Perubahan luas lahan PLK cenderung menurun. Hal ini disebabkan luas lahan PLK yang lebih besar dari 20% luas penutupan lahan sehingga perlu dilakukan koreksi terhadap luas PLK yang disesuaikan untuk pembangunan hutan dan PLKC (Gambar 68). Luas PLK (ha) Tahun EKSISTING SIMPEL MODERAT KOMPLEKS Gambar 68. Hasil simulasi skenario tutupan pertanian lahan kering (PLK) Luas lahan PLKC (perkebunan lahan kering campuran) cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh luas lahan yang dikonversi menjadi PLKC terbatas oleh luas lahan yang ada dan sangat bergantung dari luas hutan. Hal ini dapat dilihat dari skenario moderat dan simpel yang terus meningkatkan luas

168 139 namun kemudian akan menurun karena tipe pengusahaannya berupa agroforestri yang didominasi oleh tanaman semusim (Gambar 69) Luas PLKC (ha) Tahun EKSISTING SIMPEL MODERAT KOMPLEKS Gambar 69. Hasil simulasi skenario tutupan pertanian lahan kering campuran Berdasarkan Gambar 69, terlihat bahwa skenario moderat dan simpel dapat meningkatkan luas lahan PLKC dibandingkan dengan skenario kompleks. Bila digabung hasil simulasi skenario maka dapat dilihat perbedaan sebagaimana Gambar 70 berikut. (a) (b) (c) Keterangan: (a) kondisi eksisting; (b) Skenario simpel; (c) Skenario Moderat; (d) Skenario kompleks Gambar 70. Perbandingan laju perubahan penutupan lahan berdasarkan skenario (d)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai salah satu ekosistem memiliki peran yang penting dalam pengelolaan sumberdaya air. Dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an yang diimplementasikan dalam bentuk proyek reboisasi - penghijauan dan rehabilitasi hutan - lahan kritis. Proyek

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi 2.1. Alur Studi Alur studi kegiatan Kajian Tingkat Kerentanan Penyediaan Air Bersih Tirta Albantani Kabupaten Serang, Provinsi Banten terlihat dalam Gambar 2.1. Gambar 2.1. Diagram Alir Studi II - 1 2.2.

Lebih terperinci

kebutuhannya, masyarakat merambah hutan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian. Konversi hutan dan lahan juga dilakukan oleh kegiatan pembangunan

kebutuhannya, masyarakat merambah hutan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian. Konversi hutan dan lahan juga dilakukan oleh kegiatan pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan yang dominan disebabkan oleh berubahnya kondisi tutupan lahan hutan akibat pemanfaatan lahan oleh aktivitas manusia yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam semesta ini. Bagi umat manusia, keberadaan air sudah menjadi sesuatu yang urgen sejak zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK DAS Cisadane Hulu merupakan salah satu sub DAS Cisadane yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan kemudian mengalirkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan aspek fisik, sosial dan ekosistem yang di dalamnya mengandung berbagai permasalahan yang komplek, seperti degradasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air BAB I PENDAHULUAN I. Umum Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya.

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU. Aji Winara dan Edy Junaidi ABSTRAK

KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU. Aji Winara dan Edy Junaidi ABSTRAK KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU Aji Winara dan Edy Junaidi ABSTRAK Sistem agroforestry merupakan integrasi antara beberapa aspek ekologis dan ekonomis.

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intensitas kegiatan manusia saat ini terus meningkat dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun pemanfaatan sumberdaya alam ini khususnya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut berasal dari perairan Danau Toba. DAS Asahan berada sebagian besar di wilayah Kabupaten Asahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 10/PRT/M/2015 TANGGAL : 6 APRIL 2015 TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BAB I TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN

Lebih terperinci

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Disampaikan pada PELATIHAN PENGELOLAAN DAS (25 November 2013) KERJASAMA : FORUM

Lebih terperinci

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh : Purba Robert Sianipar Assisten Deputi Urusan Sumber daya Air Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di sumber daya air yang

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi lahan kering untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 148 juta ha (78%) dari total luas daratan Indonesia sebesar 188,20 juta ha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DESEMBER, 2014 KATA PENGANTAR Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 21/PRT/M/2010

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan berpengaruh pada pemanfaatan sumberdaya lahan dalam jumlah besar untuk memenuhi ketersediaan kebutuhan

Lebih terperinci

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB. SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : 08.00 12.00 WIB. Oleh : HARRY SANTOSO Kementerian Kehutanan -DAS adalah : Suatu

Lebih terperinci

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daur hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut, air tersebut akan tertahan (sementara)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

PENANGANAN KAWASAN BENCANA LONGSOR DAS WAI RUHU. Steanly R.R. Pattiselanno, M.Ruslin Anwar, A.Wahid Hasyim

PENANGANAN KAWASAN BENCANA LONGSOR DAS WAI RUHU. Steanly R.R. Pattiselanno, M.Ruslin Anwar, A.Wahid Hasyim PENANGANAN KAWASAN BENCANA LONGSOR DAS WAI RUHU Steanly R.R. Pattiselanno, M.Ruslin Anwar, A.Wahid Hasyim Program Magister Teknik Sipil Minat Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 143, 2001 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat pesat di berbagai bidang, baik sektor pendidikan, ekonomi, budaya, dan pariwisata. Hal tersebut tentunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam esensial, yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Dengan air, maka bumi menjadi planet dalam tata surya yang memiliki

Lebih terperinci

ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN

ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN 2012-2021 1 Oleh : Irfan B. Pramono 2 dan Paimin 3 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA AIR PERMUKAAN

PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA AIR PERMUKAAN BAB II PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA AIR PERMUKAAN Mahasiswa mampu menjabarkan pengembangan DAS dan pengembangan potensi sumberdaya air permukaan secara menyeluruh terkait dalam perencanaan dalam teknik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Danau Singkarak terletak di dua kabupaten yaitu KabupatenSolok dan Tanah Datar. Kedua kabupaten ini adalah daerah penghasil berasdan menjadi lumbung beras bagi Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kegiatan memperbaiki, memelihara, dan melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan barang dan jasa khususnya, baik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*) PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS Oleh: Suryana*) Abstrak Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dilakukan secara integratif dari komponen biofisik dan sosial budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia Tuhan memang diperuntukkan bagi manusia sehingga harus dimanfaatkan atau diambil manfaatnya. Di sisi lain dalam mengambil manfaat hutan harus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

MAKALAH. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN DAERAH TANGKAPAN AIR ( Suatu Pemikiran Untuk Wilayah Jabotabek ) Oleh S o b i r i n

MAKALAH. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN DAERAH TANGKAPAN AIR ( Suatu Pemikiran Untuk Wilayah Jabotabek ) Oleh S o b i r i n MAKALAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN DAERAH TANGKAPAN AIR ( Suatu Pemikiran Untuk Wilayah Jabotabek ) Oleh S o b i r i n J U R U S A N G E O G R A F I FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang mengalir secara terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah satu bagian dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR 5.1. Simulasi di Sub DAS Cisadane Hulu Validasi model dilakukan dengan menggunakan data debit sungai harian tahun 2008 2010. Selanjutnya disusun 10 alternatif

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Aliran Permukaan dan Infiltrasi dalam suatu DAS. pengangkut bagian-bagian tanah. Di dalam bahasa Inggris dikenal kata run-off

TINJAUAN PUSTAKA. Aliran Permukaan dan Infiltrasi dalam suatu DAS. pengangkut bagian-bagian tanah. Di dalam bahasa Inggris dikenal kata run-off 7 TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan dan Infiltrasi dalam suatu DAS Aliran permukaan, yaitu air yang mengalir di atas permukaan tanah. Bentuk aliran inilah yang penting sebagai penyebab erosi, karena merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan isu terkini yang menjadi perhatian di dunia, khususnya bagi negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kedua fenomena tersebut

Lebih terperinci

OPTIMASI PEMANFAATAN AIR BAKU DENGAN MENGGUNAKAN LINEAR PROGRAMMING (LP) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU, BANTEN. OLEH : MIADAH F

OPTIMASI PEMANFAATAN AIR BAKU DENGAN MENGGUNAKAN LINEAR PROGRAMMING (LP) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU, BANTEN. OLEH : MIADAH F OPTIMASI PEMANFAATAN AIR BAKU DENGAN MENGGUNAKAN LINEAR PROGRAMMING (LP) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU, BANTEN. OLEH : MIADAH F14102075 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci