STUDI PEMBUNGAAN DAN ISOLASI GEN APETALA1 PADA KAKAO (Theobroma cacao L.) SAMANHUDI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI PEMBUNGAAN DAN ISOLASI GEN APETALA1 PADA KAKAO (Theobroma cacao L.) SAMANHUDI"

Transkripsi

1 STUDI PEMBUNGAAN DAN ISOLASI GEN APETALA1 PADA KAKAO (Theobroma cacao L.) SAMANHUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Studi Pembungaan dan Isolasi Gen APETALA1 pada Kakao (Theobroma cacao L.) adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Juni 2006 Samanhudi A

3 RINGKASAN SAMANHUDI Studi Pembungaan dan Isolasi Gen APETALA1 pada Kakao (Theobroma cacao L.). Di bawah bimbingan ROEDHY POERWANTO sebagai Ketua Komisi dan DJOKO SANTOSO, SOBIR dan AGUS PURWITO sebagai Anggota. Kakao merupakan komoditas penting bagi Indonesia, baik secara ekonomi maupun sosial. Namun demikian, produktivitas perkebunan kakao di Indonesia masih rendah. Salah satu masalah yang mempengaruhi rendahnya produksi kakao tersebut adalah pembungaannya yang tidak konsisten. Pada perkebunan di daerah tropis, pohon kakao dewasa dapat berbunga sepanjang tahun, tetapi pembungaan terbesar terjadi pada saat pergantian dari musim kering ke musim hujan. Di luar musim tersebut, pembungaan pohon kakao dapat diinduksi dengan beberapa senyawa retardan. Kemajuan biologi molekuler juga telah berkontribusi secara nyata dalam menjelaskan beberapa proses biologi, termasuk proses pembungaan. Hal ini dapat membantu untuk mendapatkan solusi yang efektif berkaitan dengan masalah rendahnya produktivitas. Tujuan penelitian ini adalah 1) untuk mendapatkan jenis dan konsentrasi senyawa penginduksi pembungaan, 2) untuk mengetahui perubahan kandungan beberapa zat endogen pada tanaman kakao selama induksi pembungaan, 3) untuk mengidentifikasi dan mengisolasi gen APETALA1 (AP1) pada kakao, 4) untuk menguji ekspresi gen AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao, dan 5) untuk menguji ekspresi gen TcAP1 (AP1 kakao) pada planlet tembakau sebagai tanaman model. Penelitian lapangan dilakukan di Kebun Rajamandala, Bandung, Jawa Barat mulai bulan Juli sampai dengan Nopember 2003 menggunakan rancangan acak kelompok dengan tujuh kali ulangan. Paklobutrazol diaplikasikan pada konsentrasi 0.5 dan 1 g bahan aktif/pohon, sedangkan CCC dengan konsentrasi dan ppm. Paklobutrazol dan CCC diaplikasikan dalam bentuk larutan baik secara sendirian maupun dikombinasikan dengan sukrosa 1%, dengan aplikasi melalui penyemprotan daun. Percobaan laboratorium dilakukan di Plant Research International, Belanda dan di Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, yang meliputi isolasi RNA, RT-PCR, kloning, sekuensing, uji ekspresi gen AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao dan uji ekspresi gen TcAP1 pada tanaman model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) perlakuan yang terbaik adalah CCC ppm yang dikombinasikan dengan sukrosa 1%, karena perlakuan tersebut dapat menginduksi pembungaan lebih awal dan memacu pembentukan buah lebih cepat, serta meningkatkan jumlah bunga dan pentil secara nyata, 2) aplikasi senyawa penginduksi pembungaan pada kakao berpengaruh terhadap penurunan kandungan giberelin (GA 3 ), peningkatan sukrosa, peningkatan karbohidrat total dan peningkatan nisbah C/N, 3) full-length AP1 dengan ukuran 824 pb telah berhasil diisolasi dari RNA total jaringan kuncup bunga kakao, 4) gen AP1 diekspresikan secara diferensial pada berbagai jaringan tanaman kakao, dimana ekspresi terkuat terjadi pada kuncup bunga, kemudian berturut-turut disusul bantalan aktif dan bantalan pasif, dan 5) tingkat ekspresi gen TcAP1 bervariasi, dimana kultur tembakau transgenik yang mengekspresikan TcAP1 pada level sedang telah mampu beregenerasi menjadi planlet sempurna dan membentuk bunga lebih cepat.

4 SUMMARY SAMANHUDI Studies on flowering and isolation of APETALA1 gene in cacao (Theobroma cacao L.). Supervised by ROEDHY POERWANTO as chairman and DJOKO SANTOSO, SOBIR and AGUS PURWITO as members of the advisory committee. Cacao is economically and socially important commodity to Indonesia. However, productivity of cacao plantation in Indonesia is considerably low. One of problems contributing to this inferiority of production is inconsistent flowering. In tropical plantations, mature cacao trees makes flower all the time in the year, with high flowering season takes place on early rainy season. During nonflowering season, cacao flowering can be induced by some growth retardants. Advancement on molecular biology has contributed significantly in better understanding on some biological processes, included of flowering process. This may help in finding an effective way to improve productivity of cacao. The objectives of this research are to 1) examine flowering-inducing formulas, 2) determine changes of endogenous substances during flowering induction, 3) identification and isolation of APETALA1 gene in cacao, 4) assay the AP1 expression in the various cacao tissues, and 5) assay the TcAP1 (Theobroma cacao AP1) expression in tobacco plantlets. The field trials was conducted in Rajamandala plantation, Bandung, West Java from July to November 2003 using a randomized block design with seven replications. Paclobutrazol solution was applied at 0.5 and 1 g.a.i/tree and CCC at and ppm. Both paclobutrazol and CCC were applied alone or combined with 1% sucrose by foliar spray. The laboratory experiment was conducted in Plant Research International (PRI), Wageningen, the Netherlands and Indonesian Biotechnology Research Institute for Estate Crops, comprises of RNA isolation, RT-PCR, cloning, sequencing, assay the AP1 expression in the various cacao tissues and assay the TcAP1 expression in model plants. The results showed that 1) the best treatment was ppm CCC combined with 1% sucrose, which this treatment was capable for integrated fruit production, it can induce of flower initiation earlier, promotes of fruit set formation, increase of number of flowers and fruits significantly, 2) the application of flowering inducer resulted in reduce of gibberellins (GA 3 ), increase of sucrose, increase of total carbohydrate and increase of C/N ratio, 3) the full-length AP1 was successfully isolated from total RNA of cacao flower buds, with size of 824 bp, 4) the AP1 was differentially expressed in the various cacao tissues, which the strongest expression exist in the flower bud, then active cushion and resting cushion, respectively, and 5) the expression levels of the TcAP1 events were varied, which the transgenic tobacco cultures expressing TcAP1 at moderate levels, have developed into intact plantlets and set up flowers early.

5 STUDI PEMBUNGAAN DAN ISOLASI GEN APETALA1 PADA KAKAO (Theobroma cacao L.) SAMANHUDI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

6 Judul Disertasi Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Studi Pembungaan dan Isolasi Gen APETALA1 pada Kakao (Theobroma cacao L.) : Samanhudi : A : Agronomi Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. H. Roedhy Poerwanto, M.Sc Ketua Dr. Ir. H. Djoko Santoso, M.Sc Anggota Dr. Ir. Sobir, M.Si Anggota Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : 5 September 2006 Tanggal Lulus :...

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kudus, Jawa Tengah pada tanggal 10 Juni 1968 sebagai anak ke tujuh dari tujuh bersaudara pasangan ayah Sutono (alm) dan ibu Hj. Siti Aminah. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan lulus tahun Pada tahun 1998, penulis melanjutkan ke program magister pada Program Studi Agronomi, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun Pada tahun 2001 itu pula penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama, dengan beasiswa BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional. Penulis pernah bekerja sebagai Sarjana Pendamping Purna Waktu (SP2W) untuk Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) BAPPENAS pada tahun 1994 sampai dengan tahun Sejak tahun 1995 penulis diangkat sebagai staf pengajar di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menikah dengan Iswatun, S.Pd pada tahun 1995 dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Aninditya Verinda Putrinadia (10 tahun) dan Luthfiana Nadhiifa Khoirunnisa (5 tahun).

8 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufik dan hidayah-nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi berjudul Studi Pembungaan dan Isolasi Gen APETALA1 pada Kakao (Theobroma cacao L.) dapat terlaksana. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Roedhy Poerwanto, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing, atas segala bimbingan dan arahan beliau yang cermat, terarah dan sistematis mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, sampai dengan penulisan laporan disertasi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. H. Djoko Santoso, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Sobir, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan dan saran-saran beliau yang sangat berharga untuk mempertajam pemikiran penulis dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian serta penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Sebelas Maret dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta, atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program doktor di Institut Pertanian Bogor. Kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Pertanian IPB dan Ketua Program Studi Agronomi SPS-IPB, disampaikan terima kasih dan penghargaan atas segala fasilitas dan pelayanannya. Terima kasih yang mendalam juga disampaikan kepada Kementerian Riset dan Teknologi yang telah membiayai penelitian ini sepenuhnya, melalui program Riset Unggulan Terpadu Internasional (RUTI). Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Plant Research International (PRI) dan International

9 Agricultural Center (IAC) di Belanda, yang telah memberikan fasilitas dan biaya penelitian kepada penulis untuk melakukan penelitian di Belanda. Kepada Direktur PT Perkebunan Nusantara VIII Jawa Barat beserta staf dan Kepala Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, yang telah memberikan ijin dan fasilitas untuk penelitian ini, penulis sampaikan terima kasih. Kepada pengelola BPPS Ditjen Dikti, Departemen Pendidikan Nasional, disampaikan terima kasih atas beasiswa yang telah diberikan. Rasa hormat dan terima kasih yang tulus penulis persembahkan kepada Ibunda Hj. Siti Aminah dan almarhum Ayahanda Sutono, beserta seluruh anggota keluarga, yang telah memberikan doa restu, dorongan, semangat dan motivasi, serta dukungan finansial. Penghargaan dan kebanggaan dengan segala ketulusan disampaikan kepada istrinda tercinta Iswatun, S.Pd dan anakanakku tersayang Aninditya Verinda Putrinadia dan Luthfiana Nadhiifa Khoirunnisa, atas segala doa, pengorbanan, pengertian, ketabahan dan dorongan semangat yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan pendidikan Strata-3 di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Gerco C Angenent, Dr. Ruud A. de Maagd, Dr. Ir. Richard G.H. Immink dan Marco Busscher dari Plant Research International yang telah memberikan bimbingan, fasilitas dan pelayanan kepada penulis selama melakukan penelitian di Belanda. Terima kasih dan penghargaan yang tulus juga disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Tetty Chaidamsari, M.Si yang dengan sabarnya beliau bersedia membimbing dan menuntun penulis selama penulis melakukan penelitian di Belanda. Dari beliau juga penulis mendapatkan banyak pengetahuan tentang biologi molekuler. Kepada Arief Rachmawan, S.Si, Herti Sugiarti, Niyyah Fitranti, S.Si dan Marini terima kasih atas segala bantuan dan pelayanan yang telah diberikan.

10 Terima kasih dan penghargaan yang tulus juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Darda Efendi, M.Si, Bapak Dr. Ir. Hasanuddin Ibrahim, Sp.I dan Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, M.Sc yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing atas pertanyaan dan saran-saran untuk perbaikan dalam penulisan disertasi ini. Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana IPB, terima kasih atas kerja samanya selama ini. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis, baik pada saat pengamatan di lapangan, analisis kimia di laboratorium maupun dalam penulisan disertasi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu disampaikan terima kasih. Akhirnya penulis berharap semoga laporan disertasi ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT membalas kebaikan bapak, ibu dan saudara semua dan memberikan kemudahan dalam segala urusan. Amiin. Bogor, Juni 2006 Penulis

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR SINGKATAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Penelitian Manfaat Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Kakao Fisiologi Pembungaan Senyawa Penginduksi Pembungaan..... Perubahan Zat Endogen selama Induksi Pembungaan... Studi Molekuler Pembungaan III. INDUKSI PEMBUNGAAN PADA TANAMAN KAKAO... Abstrak... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Bahan Tanaman... Prosedur Pelaksanaan... Hasil dan Pembahasan... Kesimpulan... IV. PERUBAHAN KANDUNGAN BEBERAPA ZAT ENDOGEN PADA TANAMAN KAKAO SELAMA INDUKSI PEMBUNGAAN... Abstrak... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Bahan Tanaman... Prosedur Pelaksanaan... Hasil dan Pembahasan... Kandungan Giberelin... Kandungan Sukrosa... Kandungan Karbohidrat Total... Kandungan Nitrogen... Nisbah C/N... Kesimpulan... xiv xv xvii xi

12 V. IDENTIFIKASI DAN ISOLASI GEN APETALA1 PADA TANAMAN KAKAO... Abstrak... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Bahan Tanaman... Isolasi RNA Bunga Kakao.. Perancangan Primer Heterologous Spesifik AP1... Sintesis First-Strand cdna Bunga Kakao... Reverse Transcriptase PCR (RT-PCR)... Ekstraksi dan Purifikasi AP1... Kloning AP1 ke dalam Vektor pgem-t Easy.... Miniprep DNA Plasmid Sekuensing dan Analisis Hasil Sekuensing.... Hasil dan Pembahasan... Isolasi AP1 dari Jaringan Bunga Kakao... Analisis Sekuen AP1 dari Tanaman Kakao... Kesimpulan VI. UJI EKSPRESI GEN APETALA1 PADA BERBAGAI JARINGAN TANAMAN KAKAO... Abstrak... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Bahan Tanaman... Isolasi RNA dari berbagai Jaringan Tanaman Kakao... Perancangan Primer Homologous Spesifik AP1... Sintesis First-Strand cdna dan RT-PCR... Hasil dan Pembahasan... Isolasi AP1 dari berbagai Jaringan Tanaman Kakao... Ekspresi AP1 pada berbagai Jaringan Tanaman Kakao... Kesimpulan VII. UJI EKSPRESI GEN TcAP1 (APETALA1 KAKAO) PADA TANAMAN MODEL... Abstrak... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Bahan Tanaman... Modifikasi dan Transformasi Genetik..... Kultur Jaringan... Polymerase Chain Reaction (PCR)... Reverse Transcriptase PCR (RT-PCR)... Hasil dan Pembahasan... Kesimpulan xii

13 VIII. PEMBAHASAN UMUM... IX. KESIMPULAN DAN SARAN... Kesimpulan... Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN... GLOSSARY xiii

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 2 Rata-rata saat muncul bunga pertama, waktu berbunga, jumlah tandan bunga, jumlah bunga, saat muncul pentil pertama, jumlah pentil total, persentase pentil layu, jumlah pentil sehat, jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun pada tanaman kakao yang diinduksi pembungaannya... Seleksi koloni hasil transformasi AP1 ke dalam vektor kloning xiv

15 DAFTAR GAMBAR Halaman Kerangka studi pembungaan dan isolasi gen APETALA1 pada tanaman kakao serta target yang akan dicapai... Lokasi penghambatan biosintesis giberelin oleh CCC dan paklobutrazol (Rademacher 1995; Williams et al. 1999)... Alur genetik perkembangan bunga pada Arabidopsis (Blazquez 2000) Grafik perkembangan jumlah bunga kakao... Grafik perkembangan jumlah pentil total... Grafik perkembangan jumlah pentil sehat... Penampilan bunga kakao pada 24 HSP (Hari Setelah Perlakuan).. Penampilan bunga kakao pada 12 HSM (Hari Setelah Muncul)... Kandungan giberelin bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP... Kandungan sukrosa bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP... Kandungan karbohidrat bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP.. Kandungan nitrogen bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP... Nisbah C/N bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP... Hasil elektroforesis RNA total bunga kakao... Hasil RT-PCR cdna bunga kakao... Hasil miniprep DNA plasmid... Hasil digesti DNA plasmid dengan enzim EcoRI... Sekuen nukleotida full-length AP1 pada tanaman kakao (824 pb)... Hasil BLASTN sekuen nukleotida AP1 kakao (824 pb)... Hasil BLASTP sekuen asam amino AP1 kakao (241 aa)... Hasil alignment sekuen asam amino AP1 kakao dengan beberapa spesies lain menggunakan Program ClustalW xv

16 Diagram skematik gen MADS-box MIKC tipe II pada tanaman (dimodifikasi dari Nam et al. 2003)... Hasil analisis phylogenetic tree antara protein TcAP1 (AP1 kakao) dengan protein MADS-box lain menggunakan Program TreeView.. Hasil elektroforesis RNA total dari berbagai jaringan tanaman kakao... Ekspresi AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao... Pengujian PCR spesifik TcAP1 terhadap DNA genomik planlet tembakau... Morfologi kultur planlet tembakau setelah transformasi genetik... Hasil RT-PCR spesifik TcAP1 terhadap RNA total daun planlet tembakau... Planlet tembakau in vitro pada umur 3.5 bulan... Diagram model gen ABC (Yanofsky 1995)... Bunga kakao dan diagram susunan organ bunga xvi

17 DAFTAR SINGKATAN ABA AG AGL AP1 AP2 AP3 AtLFY b.a. BA BAP BLAST CAL CaMV 35S CCC cdna CTAB DNA dntp dpl DTT EB EDTA EMBL-EBI EMF FBP GA 3 HPLC HSP IPTG Kb KNO 3 LB LB media LEC2 Abscisic acid AGAMOUS AGAMOUS-LIKE APETALA1 APETALA2 APETALA3 Arabidopsis thaliana LEAFY Bahan aktif Benzyl Adenine Benzyl Amino Purin Basic Local Alignment Search Tool CAULIFLOWER Cauliflower mosaic virus 35S Chlorocholine Chloride Complementary DNA Cetyltrimethyl Ammonium Bromide Deoxyribo Nucleic Acid Deoxynucleoside Triphosphate Diatas permukaan laut Dithiothreitol Extraction Buffer Ethylenediamine Tetraacetic European Molecular Biology Laboratory European Bioinformatics Institute EMBRIONIC FLOWER FLORAL BINDING PROTEIN Gibberellic Acid High Performance Liquid Chromatography Hari Setelah Perlakuan Isopropyl β-d-thio-galactopyranoside Kilobase Potassium Nitrate Left Border Luria Bertani media LEAFY COTYLEDON2 xvii

18 LFY LiCl LLSEP3 MADS MdMADS MgCl 2 MQ mrna MS media MSP NaCl NCBI NEB buffer NtAP1 NtLFY O/N pb PCR PE buffer ph PI ppm PVPP RB RNA RNase rpm RT-PCR SEP3 Taq TBM TcAG TcAP1 TFL1 UAH X-Gal LEAFY Lithium Chloride Lilium longiflorum SEPALLATA3 MCM1 AGAMOUS DEFICIENS SRF Malus domestica MADS Magnesium Chloride MilliQ grade water Messenger RNA Murashige & Skoog media Minggu Setelah Perlakuan Natrium Chloride National Center for Biotechnological Information New England Biolabs buffer Nicotiana tabacum APETALA1 Nicotiana tabacum LEAFY Overnight Pasang basa Polymerase Chain Reaction Polyethylene buffer Power of hydrogen PISTILLATA Part per million Polyvinyl Polypyrollidone Right border Ribonucleic Acid Ribonuclease Rotations per minute Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction SEPALLATA3 Thermophilus aquaticus Tanaman Belum Menghasilkan Theobroma cacao AGAMOUS Theobroma cacao APETALA1 TERMINAL FLOWER1 Upper Amazone Hybrid 5-bromo-4-chloro-3-indolyl-β-D-galactopyranoside xviii

19 I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang perkembangannya sangat pesat, terutama perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Potensi pengembangan kakao di Indonesia cukup besar, baik sumber daya yang dimiliki, teknologi yang dikuasai, maupun peluang pasar dalam dan luar negeri yang akan terus berkembang pada masa yang akan datang. Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang penting, karena Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ke dua di dunia setelah Pantai Gading. Areal tanaman kakao yang diusahakan di Indonesia pada tahun 2003 seluas ha dengan total produksi sebesar ton serta tingkat produktivitasnya sebesar kg/ha/tahun (Departemen Pertanian 2006). Salah satu usaha untuk meningkatkan produksi kakao yaitu dengan meningkatkan produktivitasnya. Produktivitas kakao di Indonesia masih memungkinkan untuk ditingkatkan karena didukung oleh tersedianya tenaga kerja yang banyak serta teknologi yang cukup. Produksi kakao yang dihasilkan tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan pasar dunia, apalagi mutu biji kakao Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan sebagian besar pengusahaan kakao di Indonesia masih bersifat sederhana, serta teknik budidaya yang belum dikuasai sepenuhnya. Karena itu diperlukan pengelolaan yang lebih intensif untuk meningkatkan produktivitasnya. Salah satu aspek fisiologis yang penting dalam hubungannya dengan peningkatan produksi buah kakao adalah pertumbuhan reproduktif yang terdiri atas pembungaan dan pembentukan buah.

20 2 Pembungaan pada tanaman kakao perlu mendapatkan perhatian karena pada bulan-bulan tertentu bunganya sangat banyak tetapi pada bulan-bulan yang lain bunganya sangat sedikit. Pada saat tidak berbunga atau bunganya sedikit tersebut, tanaman kakao dapat ditingkatkan pembungaannya misalnya dengan menggunakan senyawa penginduksi pembungaan. Pada Arabidopsis thaliana, pembungaan dapat diinduksi dengan menggunakan senyawa giberelin (Blazquez 2000). Hal ini berlawanan dengan induksi pembungaan pada pohon buahbuahan, dimana induksi pembungaan pada pohon buah-buahan dan tanaman berkayu lainnya berkorelasi negatif dengan aktivitas giberelin. Karena itu penggunaan zat-zat yang bersifat anti giberelin diharapkan dapat merangsang pembungaan (Poerwanto et al. 1997). Giberelin endogen yang berperan sebagai penghambat pembungaan dapat berasal dari buah, biji, tunas dan daun, dan hal ini dapat dikurangi aktivitasnya dengan mengaplikasikan senyawa anti giberelin seperti paklobutrazol (Kulkarni 1995). Paklobutrazol merupakan suatu senyawa kimia yang bekerja secara fisiologis dalam menghambat biosintesis giberelin. Paklobutrazol telah banyak digunakan secara komersial untuk menginduksi pembungaan berbagai tanaman buah-buahan seperti apel, jeruk, anggur, mangga dan durian (Rademacher 1995; Utama 2003; Blaikie et al. 2004). Aplikasi paklobutrazol pada berbagai tanaman hortikultura tersebut dapat mengurangi pertumbuhan tunas tanpa menurunkan produktivitas bunga (Rademacher 2000). Paklobutrazol juga digunakan secara luas pada beberapa tanaman bunga, dan secara umum diaplikasikan melalui foliar-spray (Million et al. 1999). Paklobutrazol dapat diserap oleh tanaman melalui jaringan akar, batang dan daun, kemudian ditranslokasikan secara akropetal melalui xilem menuju meristem subapikal, dan selanjutnya menghambat biosintesis giberelin pada daerah meristem subapikal tersebut.

21 3 Terhambatnya produksi giberelin menyebabkan penurunan laju pembelahan sel dan diferensiasi sel, sehingga pertumbuhan vegetatif menjadi menurun dan fotosintat yang terbentuk dialihkan ke pertumbuhan reproduktif yang diperlukan untuk pembentukan bunga, buah dan perkembangan buah (Gianfagna 1995; Rademacher 1995; Yuceer et al. 2003). Chlormequat chloride (Chlorocholine chloride, CCC) juga mempunyai pengaruh yang berlawanan dengan GA 3 terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. GA 3 meningkatkan pertumbuhan tunas dan menghambat pembungaan dan infloresen, sedangkan CCC menghambat pertumbuhan dan mempercepat pembungaan. Pengaruh CCC dapat menghambat pertambahan tinggi tanaman dan panjang infloresen, dan meningkatkan jumlah tunas lateral, infloresen dan bunga (Hamza dan Helaly 1983). Sebagai senyawa anti giberelin, CCC telah terbukti berperan positif terhadap pembungaan dan pengaturan fase vegetatif dari berbagai tanaman hias maupun tanaman berkayu. Pada Lantana, aplikasi CCC dapat mengurangi luas daun dan meningkatkan produksi bunga (Matsoukis et al. 2004). Pada cabai, hasil tanaman yang diperlakukan dengan CCC juga meningkat tajam dan hal ini diduga karena adanya penghambatan pertumbuhan vegetatif (Belakbir et al. 1998). Selain dengan paklobutrazol dan CCC, induksi pembungaan juga dapat dilakukan dengan menggunakan sukrosa. Pada konsentrasi yang rendah sukrosa dapat menginduksi pembungaan Arabidopsis secara nyata (Ohto et al. 2001). Pada stadia tertentu dari siklus hidupnya, tanaman mengalami perkembangan dari fase vegetatif ke fase reproduktif. Transisi ini diatur oleh faktor lingkungan dan berbagai perkembangan yang kompleks. Dalam hal ini tanaman akan mengalami perkembangan menuju pembungaan pada saat dimana bahan internal telah mencukupi dan diakumulasikan, serta kondisi lingkungannya yang mendukung. Pada Arabidopsis, proses pembungaan telah dipelajari secara

22 4 intensif selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Pengaruh senyawa seperti karbohidrat dan fitohormon telah banyak dilaporkan. Melalui pendekatan genetika molekuler, pada Arabidopsis juga telah berhasil diidentifikasi dan kloning beberapa gen yang terlibat dalam pengaturan transisi pembungaan. Pada Arabidopsis, APETALA1 (AP1) dan LEAFY (LFY) merupakan dua gen kunci yang berperan dalam proses inisiasi pembungaan (Irish 1999; Wada dan Kotoda 2003). Mutasi pada salah satu gen tersebut dapat mengakibatkan perubahan bunga menjadi meristem vegetatif (Irish 1999). Ekspresi LFY dapat mengubah meristem vegetatif menjadi meristem bunga, sebagaimana yang diakibatkan oleh ekspresi AP1 (Mandel dan Yanofsky 1995; Weigel dan Nilsson 1995). Selama fase vegetatif, LFY endogen hanya diekspresikan pada level yang rendah, dan pada saat terjadi perubahan dari fase vegetatif ke perkembangan reproduktif ekspresi LFY tersebut meningkat, yang diikuti oleh peningkatan ekspresi AP1 (Blazquez et al. 1997). Jadi, LFY mengatur transisi ke perkembangan bunga, paling tidak dengan menginduksi ekspresi AP1 pada daerah meristem tunas apikal yang membentuk primordia bunga (William et al. 2004). Ketika berada pada batas level tertentu, LFY mengaktifkan gen MADSbox AP1, suatu gen penanda meristem bunga dan kemudian secara bersamasama LFY dan AP1 mengaktifkan gen penanda organ bunga (Parcy et al. 1998). Transisi ke pembungaan tersebut dapat dihubungkan dengan perubahan dari fase juvenil ke dewasa (Battey dan Tooke 2002; Carlsbecker et al. 2004). Suatu hal yang menarik, bahwa pertumbuhan vegetatif yang panjang pada angiosperm berkayu seperti jeruk dan poplar dapat dikurangi dengan mengekspresikan secara konstitutif gen LFY dan AP1 dari Arabidopsis (Weigel dan Nilsson 1995; Rottmann et al. 2000; Pena et al. 2001).

23 5 Pada tanaman kakao, kurangnya informasi mengenai mekanisme pembentukan dan perkembangan bunga secara molekuler merupakan salah satu kendala dalam memperbaiki produktivitasnya. Melalui aplikasi paklobutrazol, CCC dan sukrosa untuk menginduksi pembungaan kakao diharapkan senyawasenyawa tersebut dapat mengaktifkan gen-gen pembungaan pada kakao, termasuk gen APETALA1. Dengan demikian diharapkan dapat membuka peluang untuk melakukan identifikasi dan karakterisasi lebih lanjut terhadap gengen pembungaan pada kakao. Perumusan Masalah Pembungaan pada tanaman kakao dapat terjadi sepanjang tahun tetapi intensitasnya bervariasi. Pada bulan-bulan tertentu terjadi pembungaan yang lebat sekali, tetapi pada saat yang lain bunganya sangat sedikit atau bahkan tidak berbunga sama sekali. Pola pembungaan yang khas pada tanaman kakao tersebut telah berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas perkebunan kakao di Indonesia. Untuk mengatasi masalah pembungaan pada tanaman kakao tersebut, perlu dilakukan upaya pengaturan pembungaan misalnya dengan aplikasi zat pengatur tumbuh. Selain dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, proses pembungaan juga dikendalikan oleh gen-gen pengatur pembungaan. Pada tanaman kakao, gen-gen yang mengontrol pembungaan belum banyak dipelajari. Oleh karena itu, selain dilakukan induksi pembungaan untuk mendapatkan inducer yang efektif, dalam penelitian ini juga akan dilakukan kloning dan karakterisasi gen APETALA1 (AP1) yang diduga ikut berperan dalam mengatur pembungaan pada tanaman kakao, serta pengujian ekspresinya pada berbagai jaringan tanaman kakao maupun pada tanaman model.

24 Induksi pembungaan tanaman kakao dengan : paklobutrazol, CCC dan sukrosa (Percobaan 1) Didapatkan jenis dan konsentrasi senyawa inducer yang efektif untuk pembungaan tanaman kakao Secara fisiologi dapat mengakibatkan perubahan kandungan beberapa zat endogen dan secara molekuler dapat mengaktifkan gen-gen pembungaan seperti : LEAFY, APETALA1, CAL, dll Pembungaan Tanaman Kakao : Terjadi sepanjang tahun Polanya sangat bervariasi Dapat diinduksi dari luar Studi perubahan kandungan beberapa zat endogen selama induksi pembungaan (Percobaan 2) Diketahui perubahan kandungan beberapa zat endogen selama induksi pembungaan Identifikasi dan isolasi gen APETALA1 pada tanaman kakao (Percobaan 3) Didapatkan full-length AP1 Uji ekspresi AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao (Percobaan 4) Dapat menjelaskan ekspresi AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao Uji ekspresi AP1 kakao pada tanaman model (Percobaan 5) Dapat menjelaskan ekspresi dan fungsi AP1 kakao pada spesies lain Gambar 1 Kerangka studi pembungaan dan isolasi gen APETALA1 pada tanaman kakao serta target yang akan dicapai. 6

25 7 Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Mengembangkan metode dasar bagi peningkatan produksi kakao di luar musim dan mempelajari gen yang terlibat dalam pembungaan kakao. Tujuan Khusus : 1. Mendapatkan jenis dan konsentrasi senyawa yang tepat untuk menginduksi pembungaan tanaman kakao. 2. Mengetahui perubahan kandungan beberapa zat endogen pada tanaman kakao selama induksi pembungaan. 3. Mengidentifikasi, mengisolasi dan kloning gen pembungaan (APETALA1) pada tanaman kakao. 4. Menguji tingkat ekspresi gen APETALA1 pada berbagai jaringan tanaman kakao. 5. Menguji ekspresi gen APETALA1 kakao pada tanaman model. Hipotesis Penelitian 1. Pembungaan tanaman kakao dapat diinduksi oleh senyawa retardan secara eksogen dengan konsentrasi tertentu. 2. Terjadi perubahan kandungan beberapa zat endogen pada tanaman kakao selama induksi pembungaan. 3. Gen APETALA1 dapat diidentifikasi dengan PCR menggunakan primer heterologous dan diklon dengan vektor pgem-t. 4. Gen APETALA1 diekspresikan secara diferensial pada berbagai jaringan tanaman kakao. 5. Gen APETALA1 kakao diduga dapat diekspresikan pada spesies tanaman lain.

26 8 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat dihasilkannya suatu formula yang dapat mengatur pembungaan tanaman kakao. Sehingga tanaman kakao yang biasanya berbunga banyak hanya satu musim dalam setahun, diharapkan dapat berbunga banyak dua musim dalam setahun. Dengan demikian panen raya juga diharapkan dapat secara rutin terjadi dua kali dalam setahun, sehingga tujuan akhir dari budidaya kakao yaitu produksi biji yang tinggi dapat dicapai. Dengan berhasil diidentifikasinya gen pengatur pembungaan (APETALA1) pada kakao, maka diharapkan mekanisme molekuler proses pembungaan kakao dapat dipahami, dengan demikian nantinya rekayasa ke arah peningkatan pembungaan dan produktivitasnya dapat dilakukan. Mengingat kakao merupakan komoditas yang secara sosial dan ekonomi penting bagi Indonesia, maka aplikasi hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam meningkatkan devisa bagi negara dan pendapatan petani kakao pada umumnya.

27 II. TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Kakao Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) termasuk tanaman kaulifloral, yaitu jenis tanaman yang membentuk bunga dan buah pada batang dan cabang yang tua. Tanaman kakao dapat tumbuh pada dataran rendah tropis dengan ketinggian hingga m dpl, dimana temperatur rendah merupakan faktor pembatas. Tanaman kakao juga memerlukan curah hujan yang merata sepanjang tahun dengan minimal mm per bulan. Kakao dapat tumbuh dengan baik pada tanah dengan kisaran ph (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 2004). Kakao merupakan tanaman dikotil tahunan dari famili Sterculiaceae dan mempunyai jumlah kromosom 2n 20. Tanaman dewasa dapat mencapai tinggi 6-9 m. Bunga kakao berwarna merah muda sampai putih, reguler, hermafrodit dan memiliki lima sepal, lima petal, 10 stamen yang tersusun dalam dua lingkaran, dan sebuah ovari superior yang merupakan gabungan dari lima carpel. Bunga kakao muncul secara bergerombol pada bantalan bunga, yaitu jaringan yang menebal yang terbentuk pada ketiak bekas menempelnya tangkai daun. Sejak bakal bunga muncul pada bantalan tersebut sampai bunga mekar diperlukan waktu sekitar 30 hari. Bila pada saat mekar bunga tidak mengalami penyerbukan, maka bunga akan segera gugur (Tjasadihardja 1987). Iklim merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola pembentukan bunga. Pola curah hujan di suatu daerah dapat menentukan pola pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman kakao. Bunga kakao dapat terbentuk sepanjang tahun tetapi intensitas pembentukannya beragam dari waktu ke waktu. Bunga banyak terbentuk selama musim hujan dan bulan-bulan lembab

28 10 berikutnya. Di Pulau Jawa, musim pembungaan besar biasanya dimulai pada bulan Nopember (awal musim hujan) dan berlangsung terus sampai bulan Juni, dengan puncak pada bulan Desember-Januari. Pembungaan besar tersebut akan menghasilkan panen besar pada bulan Mei-Juni. Peningkatan pembentukan bunga selama musim hujan diduga berkaitan juga dengan pergantian dari lingkungan kering selama musim kemarau ke lingkungan basah selama musim hujan (Tjasadihardja 1987). Meskipun tanaman kakao dapat berbunga berkali-kali sepanjang tahun, tetapi pembungaan yang utama terjadi pada saat hujan pertama setelah musim kering. Tanaman mulai berbunga setelah berumur dua tahun sejak tanam, dan untuk mencapai buah matang diperlukan waktu 5-6 bulan setelah polinasi. Buah yang telah masak dinamakan pod dan ukurannya dapat mencapai diameter 10 cm dan panjang 30 cm. Biji kakao kaya akan karbohidrat dan lemak, sehingga merupakan sumber energi yang baik. Kakao juga mengandung senyawa theobromin yang secara kimia dapat dikonversi menjadi kafein yang dapat digunakan untuk minuman maupun keperluan kesehatan. Selain itu kakao juga mengandung senyawa antioksidan (Mims 1998). Karena itu pemanfaatan biji kakao tidak hanya untuk memenuhi bahan makanan, tetapi juga untuk keperluan farmasi (Potts 2002). Faktor musim terutama musim kemarau mempengaruhi perkembangan dan produksi tanaman kakao. Pada musim kemarau intensitas cahaya matahari sangat tinggi karena derajat awan rendah, kelembaban udara sangat rendah, sebaliknya temperatur lingkungan meningkat sangat tajam, sehingga tanaman kakao mengalami cekaman air (Suhadi 2002). Dalam kondisi seperti ini tanaman kakao menjadi sulit berbunga dan akibatnya produksinya juga tertunda.

29 11 Fisiologi Pembungaan Pembungaan tanaman merupakan kejadian fisiologis yang kompleks yang secara morfologi terjadi perubahan dari fase vegetatif menuju terbentuknya organ-organ bunga. Proses pembentukan bunga tersebut secara garis besar terdiri atas empat tahap yaitu inisiasi bunga, diferensiasi bunga, pendewasaan bunga dan anthesis. Dari keempat tahap tersebut, fase inisiasi bunga merupakan fase yang paling kritis dari pembungaan yang merupakan proses biokimia dari fase vegetatif ke arah reproduktif, namun secara morfologi tidak nampak (Ryugo 1988). Terdapat beberapa konsep yang mendasari para peneliti mempelajari proses pembungaan. Konsep pertama yaitu konsep nutrisi yang menerangkan bahwa pembungaan dikontrol oleh keseimbangan karbohidrat dan nitrogen atau nisbah C/N (konsep Kraus and Kraibill), dan konsep yang kedua yaitu konsep hormonal yang menjelaskan bahwa proses pembungaan pada tanaman tertentu diatur oleh zat pendorong pembungaan (florigen). Hormon ini diproduksi oleh daun kemudian ditranslokasi ke sebagian tunas yang akan memproduksi organ generatif (Ryugo 1988). Analisis nisbah C/N pada Sinapsis alba dan Arabidopsis yang sedang diinduksi bunganya, menunjukkan bahwa nisbah C/N pada cairan floem meningkat dengan nyata dan cepat, yang mengindikasikan bahwa penurunan suplai N dan peningkatan C organik ke meristem apikal merupakan kejadian penting pada transisi pembungaan (Corbesier et al. 2002). Dalam pembungaan tanaman, transisi dari fase pertumbuhan vegetatif ke fase reproduktif merupakan proses perkembangan yang kritis, yang ditandai oleh sejumlah perubahan pada apeks tunas pada tingkat molekuler, fisiologi dan morfologi. Dengan kondisi lingkungan yang dapat menginduksi dan kemampuan tanaman untuk merespon faktor eksternal ini, meristem vegetatif akan

30 12 berkembang menjadi meristem reproduktif, yang mana dapat secara langsung menjadi infloresen dan kemudian menghasilkan banyak bunga (Immink et al. 1999). Pada kebanyakan tanaman, faktor lingkungan (terutama panjang hari dan temperatur) berperan mengendalikan transisi dari meristem vegetatif ke meristem bunga. Meristem vegetatif menjadi meristem infloresen yang selanjutnya akan membentuk satu atau lebih meristem bunga (Staveley 2005). Dalam kondisi yang menginduksi pembungaan, meristem tunas utama dari tanaman Arabidopsis menghasilkan meristem bunga lebih cepat daripada meristem daun yang mengapitnya. Selama fase vegetatif, meristem tunas utama dari Arabidopsis menghasilkan daun roset dengan jarak yang sangat dekat. Transisi ke fase reproduksi, yang dikontrol dengan ketat oleh jaringan kompleks dari gen pengontrol waktu pembungaan, dipengaruhi oleh sinyal lingkungan, seperti panjang hari, kualitas cahaya dan temperatur, sebagaimana faktor internal seperti umur tanaman. Pada beberapa spesies, waktu pembungaan terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang memberikan kondisi pertumbuhan yang baik untuk reproduksi seksual dan pemasakan biji. Faktor ini meliputi fotoperiod atau panjang hari, kualitas cahaya, kuantitas cahaya, vernalisasi, dan ketersediaan nutrisi dan air. Pembungaan dapat juga diinduksi oleh stres seperti defisiensi nutrisi, kekeringan dan kerapatan tanaman (Levy dan Dean 1998). Sementara itu Ratcliffe dan Riechmann (2002), mengatakan bahwa transisi pembungaan merupakan proses yang plastis, yang selain dipengaruhi oleh faktor endogen juga faktor lingkungan, yang meliputi panjang hari, kualitas cahaya, temperatur, stres biotik dan stres abiotik. Aplikasi GA jarang efektif untuk menginduksi pembungaan pada tanaman short-day. Pada umumnya GA menghambat pembungaan pada tanaman berkayu angiosperm, meskipun dapat memacu pembungaan pada conifer

31 13 (Pharis dan King 1985). Pada satsuma mandarin (Citrus unshiu Marc.), GA 1+3 dapat menghambat pembentukan kuncup bunga. GA eksogen memperlihatkan penghambatan terhadap pembentukan kuncup bunga tidak hanya pada citrus, tetapi juga pada apel, pear, cherrie dan peach. Bahkan tidak hanya GA eksogen yang menghambat, tetapi GA endogen juga menurunkan pembentukan kuncup bunga (Koshita et al. 1999). Berdasarkan pada penelitian-penelitian di atas, maka dalam pengaturan pembungaan diperlukan zat yang dapat menghambat biosintesis giberelin yang kemudian disebut retardan. Namun demikian, pemberian retardan selain mendorong pembungaan juga dapat mengakibatkan dormansi tunas. Untuk itu diperlukan usaha pemecahan dormansi pada tunas yang sudah terinduksi bunganya. Senyawa Penginduksi Pembungaan Zat penghambat tumbuh (retardan) merupakan zat yang mempunyai efek fisiologis memperlambat pertumbuhan vegetatif dan dapat mendorong pembungaan pada tanaman tertentu yaitu dengan menghambat pembelahan dan pembesaran sel subapikal. Retardan ini menghambat sintesis giberelin, sehingga akan menghambat pembelahan dan pembesaran sel (pertumbuhan vegetatif) dan mendorong pertumbuhan generatif. Dari kelompok senyawa triazol yang digunakan untuk meginduksi pembungaan pada tanaman berkayu, paklobutrazol adalah yang paling umum digunakan (Meilan 1997). Dasar teori penggunaan paklobutrazol adalah bahwa senyawa ini dapat menghambat biosintesis giberelin. Paklobutrazol menghambat biosintesis giberelin pada oksidasi ent-kaurene menjadi ent-kaurenoic acid (Gambar 2). Hasil penelitian yang dilakukan oleh William dan Edgerton (1983) menunjukkan bahwa paklobutrazol yang diaplikasikan pada pohon apel berumur

32 14 25 tahun dengan dosis 2 g/m 2 melalui penyiraman akar dapat mengendalikan pertumbuhan vegetatif dan meningkatkan hasil. Hasil serupa terjadi pada tanaman Eucalyptus nitens dan E. globulus, suatu tanaman berkayu yang berbunga secara biennial atau sporadis, dengan aplikasi paklobutrazol melaui penyiraman, penyemprotan lewat daun, atau injeksi batang ternyata dapat menginduksi inisiasi kuncup bunga. Paklobutrazol juga diketahui dapat menurunkan level giberelin endogen pada beberapa spesies, meningkatkan aktivitas reproduktif, menekan pertambahan tinggi dan produksi daun (Hasan 1993; Moncur dan Hasan 1994). Karena itu induksi pembungaan dengan paklobutrazol merupakan metode praktis dalam memacu pembungaan untuk keperluan pemuliaan dan produksi biji. Perlakuan paklobutrazol dapat menyebabkan pembungaan pada pohon durian. Aplikasi senyawa paklobutrazol dengan dosis 15 g/pohon dapat menghasilkan pembungaan secara nyata pada pohon durian (Utama 2003). Aplikasi paklobutrazol juga dapat meningkatkan kandungan karbohidrat dalam jaringan kayu. Kandungan karbohidrat ini merupakan sumber energi untuk pembentukan bunga. Namun secara tidak langsung aplikasi paklobutrazol dapat meningkatkan biosintesis asam absisat (ABA), sehingga mengakibatkan terjadinya dormansi tunas. Untuk itu diperlukan penyemprotan dengan zat pemecah dormansi sesudah aplikasi paklobutrazol (Usman 1997). Pada tanaman mangga, perlakuan paklobutrazol mampu menginduksi pembungaan di luar musim dengan cara menghambat biosintesis giberelin sehingga dapat menstimulir pembungaan dan meningkatkan munculnya tunas reproduktif. Perlakuan paklobutrazol dengan dosis 1.0 g bahan aktif/pohon dan waktu pemberian ethephon 60 hari sesudah aplikasi paklobutrazol mempunyai potensi pembungaan terbaik dengan mempercepat saat berbunga, meningkatkan

33 15 jumlah ranting berbunga, meningkatkan jumlah malai normal dan meningkatkan jumlah bunga sempurna (Usman 1997). MVA IPP GPP FPP GGPP CPP CCC ent-kaurene ent-kaurenoic acid Paclobutrazol ent-7α-oh-kaurenoic acid GAs-aldehyde Gibberellin x Keterangan : MVA : Mevalonic acid IPP : Isopentenil pirofosfat GPP : Geranil pirofosfat FPP : Farnesil pirofosfat GGPP : Geranil geranil pirofosfat CPP : Copalil pirofosfat Gambar 2 Lokasi penghambatan biosintesis giberelin oleh CCC dan paklobutrazol (Rademacher 1995; Williams et al. 1999).

34 16 Aplikasi paklobutrazol pada tanaman mangga juga dapat menyebabkan dormansi mata tunas yang berkepanjangan, sehingga mata tunas yang mungkin sudah terinduksi menjadi bakal bunga tersebut tidak segera muncul. Karena itu, penyemprotan dengan zat pemecah dormansi setelah aplikasi paklobutrazol diharapkan dapat mempercepat munculnya bunga dan meningkatkan jumlah bunga. Terdapat beberapa bahan kimia yang dapat memecahkan dormansi pada pohon buah-buahan, diantaranya yang telah berhasil mempercepat munculnya bunga dan meningkatkan jumlah bunga pada tanaman jeruk siem, yaitu ethephon 200 ppm, KNO 3 20 g/l atau BA 100 ppm, yang disemprotkan pada 1-2 bulan setelah aplikasi paklobutrazol (Poerwanto dan Susanto 1996). Aplikasi paklobutrazol didasarkan pada ukuran kanopi pohon dan biasanya dengan kisaran dosis g bahan aktif per pohon (Nartvaranant et al. 2000). Pada pohon lychee, aplikasi paklobutrazol melalui penyiraman tanah dengan dosis 1.0 atau 1.5 g b.a./m 2 dapat mengurangi terjadinya flush selama periode pembungaan dibandingkan dengan kontrol (Chaitrakulsub et al. 1992). Pada pohon E. nitens, paklobutrazol dan juga CCC dapat mengontrol pertumbuhan vegetatif dan merangsang pembungaan, serta menurunkan level GA 1 dan GA 20 pada apeks sebagai akibat terjadinya penghambatan biosintesis GA pada daerah tersebut (Williams et al. 1999). Chlormequat chloride (CCC) juga merupakan senyawa yang bersifat anti giberelin, yang menghambat biosintesis giberelin pada tahap pembentukan copalil pirofosfat dari geranil geranil pirofosfat (Gambar 2). Pemberian CCC dapat menurunkan pertumbuhan batang, daun dan stolon, tetapi dapat memacu pengumbian kentang (Sharma et al. 1998). Penyemprotan CCC juga dapat meningkatkan kandungan gula pereduksi, pati dan sukrosa pada batang. Sukrosa merupakan salah satu produk akhir dari proses fotosintesis dan merupakan bentuk utama dari gula yang ditranslokasikan pada kebanyakan

35 17 tanaman. Menurut Latimer et al. (2001), CCC biasanya diaplikasikan melalui foliar-spray dengan konsentrasi sampai ppm. Pada Hibiscus, aplikasi CCC dengan konsentrasi ppm dapat memacu pembungaan lebih awal dan menghasilkan jumlah bunga yang lebih banyak. CCC secara signifikan menghambat pertumbuhan tunas pada mangga, baik pada tanaman muda maupun pada tanaman dewasa. Pengaruh perlakuan CCC terhadap penurunan pertumbuhan terjadi lebih nyata pada tanaman dewasa daripada pada tanaman yang masih muda. Lebih lanjut, penghambatan pemanjangan tunas secara linier terjadi pada pohon dewasa dan muda dengan konsentrasi CCC yang lebih tinggi. Penurunan pemanjangan secara linier pada tanaman dewasa terjadi dengan perlakuan CCC ppm, sedangkan pada tanaman muda dengan konsentrasi CCC ppm. CCC menyebabkan penurunan produksi giberelin pada daun muda yang pada akhirnya akan menurunkan produksi auksin pada meristem apikal (Maiti et al. 1972). Pemberian CCC pada berbagai tanaman dapat memperbaiki pembungaan dan membuat tanaman lebih kompak, dengan pertumbuhan tunas yang seragam. Pada tanaman jeruk, ketika senyawa penghambat tumbuh tersebut digunakan untuk menstimulasi hasil pada pohon muda, maka pengaruhnya terhadap pemanjangan dan vigor menjadi kurang efektif dan sebaliknya akan memacu pembungaan dan pembentukan buah. Aplikasi CCC dengan konsentrasi 500, 1.500, dan ppm pada pohon jeruk muda yang berumur 11 bulan dapat menginduksi saat pembungaan yang lebih cepat dan memperbaiki pembentukan buah. Penurunan pemanjangan tunas pada tanaman yang diperlakukan dengan CCC dapat menghasilkan penampilan pohon yang kompak. Dengan perlakuan CCC, pembentukan buah diinisiasi lebih awal dan hasil akhir juga meningkat. Buah dari tanaman yang diperlakukan dengan CCC mempunyai jumlah biji yang lebih banyak daripada buah yang berasal dari

36 18 tanaman kontrol. Kandungan bahan kering buah sebagai bagian dari bahan kering total menjadi meningkat, dan hanya terjadi penurunan yang relatif kecil pada daun dan akar. Penurunan total bahan kering yang dihasilkan per tanaman secara keseluruhan hanya terjadi pada konsentrasi CCC yang paling tinggi (3.000 ppm), tetapi distribusi relatif dari bahan kering ke berbagai bagian tanaman dipengaruhi oleh CCC pada semua level (Salomon 1981). Studi fisiologi menunjukkan bahwa terdapat biomolekul kecil yang terlibat dalam transisi pembungaan. Molekul tersebut meliputi gula, sitokinin dan giberelin (GA). Studi pada Sinapsis alba, setelah induksi pembungaan, konsentrasi molekul tersebut pada apeks meningkat dengan cepat dan nyata (Bernier et al. 1993). Hal ini membuktikan bahwa secara genetik pembungaan dikontrol oleh gula (Levy dan Dean 1998). Pada Arabidopsis, GA dapat memacu pembungaan paling tidak dalam mengaktifkan ekspresi LFY. Blazquez et al. (1998) juga menganalisis pengaruh langsung dari GA dengan dan tanpa sukrosa terhadap aktivitas promoter LFY. Perlakuan GA saja tidak memberikan pengaruh, perlakuan sukrosa saja menghasilkan sedikit peningkatan, sedangkan jika keduanya diberikan secara bersamaan dapat memberikan pengaruh sinergis (Levy dan Dean 1998). Meilan (1997) juga melaporkan bahwa karbohidrat endogen memainkan peranan dalam mengontrol induksi pembungaan pada pohon buah-buahan. Karbohidrat dapat merefleksikan status metabolit dari suatu tanaman. Hubungannya dengan proses pembungaan, bahwa sukrosa ini akan menstimulasi ekspresi LFY yang selanjutnya akan menstimulasi pembungaan (Zufall 2002). Walaupun gula telah diketahui dapat memacu transisi pembungaan pada beberapa spesies tanaman, tetapi dalam konsentrasi yang tinggi (5%) sukrosa dapat menunda waktu pembungaan secara nyata pada Arabidopsis dan menyebabkan peningkatan jumlah daun pada waktu berbunga. Tertundanya

37 19 transisi pembungaan disebabkan oleh bertambahnya fase vegetatif, yang diakibatkan oleh lambatnya aktivasi ekspresi LFY. Konsentrasi sukrosa 1% dapat memacu transisi pembungaan dari mutan yang lambat berbunga. Hasil ini menunjukkan bahwa gula dapat mempengaruhi transisi pembungaan dengan mengaktifkan gen yang berperan mengontrol transisi pembungaan, bergantung pada konsentrasi gula, latar belakang genetik tanaman dan kapan gula tersebut diberikan (Ohto et al. 2001). Perubahan Zat Endogen selama Induksi Pembungaan Pada spesies tertentu pertumbuhan batang dan daun terhenti pada saat terjadi pembungaan. Alokasi asimilat pada tanaman yaitu untuk pertumbuhan vegetatif yang meliputi pertumbuhan akar, batang dan daun, dan pertumbuhan reproduktif yang meliputi pembentukan bunga, buah dan biji. Fase induksi dalam proses pembungaan merupakan fase paling penting yang menentukan apakah tanaman tersebut akan berbuah atau tidak. Pada fase ini terjadi perubahan fisiologis atau biokimia pada mata tunas dari pertumbuhan vegetatif menuju pertumbuhan generatif. Perubahan fisiologis atau biokimia yang terjadi pada fase induksi pembungaan tersebut antara lain meliputi perubahan kandungan karbohidrat, nitrogen, asam amino dan hormon (Poerwanto 2003). Giberelin merupakan salah satu hormon yang berperanan penting pada proses pembungaan tanaman. Giberelin adalah faktor endogen yang dapat menghambat pembungaan jeruk disamping beberapa pohon buah-buahan lainnya, dan induksi bunga tersebut memerlukan penurunan aktivitas hormon giberelin (Krajewski dan Rabe 1995). Aktivitas zat mirip giberelin pada daun jeruk Satsuma yang terinduksi bunganya lebih rendah daripada yang tidak terinduksi (Poerwanto dan Inoue 1990). Sejalan dengan hal tersebut, muncul pemikiran

38 20 bahwa perangsangan pembungaan dapat dilakukan dengan perlakuan yang menghambat biosintesis giberelin (Koshita et al. 1999). Krajewski dan Rabe (1995) menyebutkan bahwa pembungaan pada jeruk meliputi banyak proses fisiologi. Salah satu proses fisiologi tersebut adalah yang berkaitan dengan hormon giberelin. Giberelin secara endogen dapat menjadi penghambat pembungaan bagi tanaman. Berdasarkan studi pembungaan pada jeruk, ditemukan senyawa GA 1 dan GA 4 terdapat dalam konsentrasi yang lebih tinggi pada pucuk vegetatif dibandingkan pada pucuk berbunga. Disamping itu kedua jenis giberelin tersebut ditemukan pada konsentrasi yang rendah pada saat terjadinya pembungaan. Salah satu fungsi fisiologis giberelin adalah pemanjangan batang dan meningkatkan pertumbuhan daun-daun muda dengan meningkatkan aktivitas pemanjangan dan pembelahan sel. Kandungan giberelin yang tinggi dapat meningkatkan aktivitas pertumbuhan vegetatif berupa pemanjangan tunas dan pertumbuhan sel pada jaringan meristem (Hooley 1994). Pada manggis, tanaman asal sambungan memiliki kandungan GA 3, GA 5 dan GA 7 lebih rendah dibandingkan dengan tanaman asal biji (Rai 2004). Pada kebanyakan tanaman buah-buahan, pucuk dapat terinduksi atau tidak terinduksi untuk berbunga erat kaitannya dengan perbedaan kandungan hormon tumbuh (Krajewski dan Rabe 1995; Koshita et al. 1999), perbedaan keseimbangan karbohidrat dan nitrogen serta kondisi nutrisi yang optimum bersamaan dengan perubahan-perubahan dalam tunas pucuk (Lyndon 1990; Hempel et al. 2000). Pada manggis induksi bunga juga ditandai dengan penurunan tajam kandungan giberelin dan peningkatan tajam gula total dan nisbah C/N dibandingkan dengan sebelum induksi. Pada stadium induksi terjadi peningkatan kandungan gula total dan penurunan nitrogen dibandingkan dengan sebelum induksi, baik pada tanaman asal biji maupun pada tanaman asal sambungan (Rai 2004).

39 21 Proses pembungaan dipengaruhi oleh kandungan gula total daun, nisbah C/N daun dan gula total kulit ranting. Peningkatan gula total dan penurunan nitrogen bermakna cukup penting dalam pembungaan, karena penurunan kandungan nitrogen disertai dengan peningkatan gula total dapat meningkatkan nisbah C/N, yang berperanan sangat penting dalam menginduksi bunga. Kandungan gula yang tinggi pada pucuk diperlukan sebagai sumber energi awal bagi proses induksi bunga, proses perkembangan daerah meristem dan bagianbagian bunga. Pada lengkeng, kandungan gula terlarut meningkat tajam pada meristem pucuk yang terinduksi untuk berbunga (Prawitasari 2001). Pentingnya peranan gula total dan nisbah C/N pada proses induksi bunga terlihat pula pada perbedaan kandungan gula total dan nisbah C/N antara pucuk berbunga dan pucuk tidak berbunga pada tanaman manggis. Pada stadium induksi, kandungan gula total dan nisbah C/N pucuk berbunga nyata lebih tinggi dibandingkan dengan pucuk tidak berbunga. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada saat terjadi induksi bunga gula total dan nisbah C/N di pucuk meningkat dan peningkatan yang lebih besar terjadi pada pucuk-pucuk yang akan menginduksi bunga. Pucuk yang tidak mengalami peningkatan gula total secara tajam tidak mampu menginduksi bunga sehingga pucuk-pucuk tersebut tidak berbunga (Rai 2004). Studi Molekuler Pembungaan Pembungaan merupakan proses yang memerlukan banyak faktor yang dikontrol oleh integrasi sinyal endogen, yang berhubungan dengan faktor seperti umur tanaman dan status metabolit, dengan sinyal lingkungan seperti panjang hari, status nutrien dan temperatur. Gen yang berintegrasi dengan sinyal ini, gen pengontrol waktu pembungaan, bertindak sebagai inducer (penginduksi) atau repressor dari pembungaan. Pada Arabidopsis, gen LEAFY (LFY) mempunyai

40 22 posisi sentral dan merupakan gen yang terekspresi secara absolut untuk keperluan inisiasi bunga secara normal. Gen-gen yang terlibat dalam metabolisme senyawa dapat memainkan sebagian sinyal tanaman endogen, seperti hormon tanaman giberelin dan sukrosa (status metabolit) (Nilsson 2002). Fungsi gen-gen tersebut telah banyak dilaporkan, dan dapat dikelompokkan kedalam alur genetik yang berbeda dan saling berinteraksi dalam pengaturan pembungaan (Simpson et al. 1999). Menurut Blazquez (2000) dan Zufall (2002), paling tidak terdapat empat alur atau lintasan yang mempengaruhi aktivitas gengen pembungaan yaitu lintasan photoperiodic, lintasan autonomous, lintasan sucrose dan lintasan gibberellin (Gambar 3). Tahap pertama dalam perkembangan bunga adalah terjadinya transisi dari meristem vegetatif menjadi meristem bunga. Setiap meristem bunga didiferensiasi menjadi bunga yang mengandung empat tipe organ yang menempati posisi secara tepat dalam empat lingkaran konsentris. Studi genetik pada Arabidopsis thaliana dan Antirrhinum majus telah berhasil diidentifikasi gengen yang bertindak lebih awal yang menentukan penanda meristem bunga dan gen-gen yang bertindak pada tahapan berikutnya yang menentukan penanda organ bunga (Mandel et al. 1992). Pada Arabidopsis, perubahan perkembangan dari vegetatif ke reproduktif dikontrol oleh beberapa faktor, dan sebagai konsekuensinya muncullah beberapa kelompok gen yang terlibat dalam pengaturan tersebut. LFY merupakan gen pertama yang diekspresikan pada primordia yang mengapit meristem tunas apikal yang akan menjadi bunga. Peningkatan jumlah kopi LFY akan mempercepat waktu pembungaan, sedangkan penurunan level LFY akan memperlambat waktu pembungaan. Hasil ini menunjukkan bahwa LFY bertindak sebagai gen pengatur waktu pembungaan, yang mengindikasikan bahwa LFY merupakan switch yang menentukan antara proses induksi pembungaan dan inisiasi pembungaan, dan

41 23 bahwa konversi daun menjadi bunga dikontrol oleh kombinasi level LFY dan kemampuan untuk merespon LFY (Blazquez et al. 1997). Gambar 3 Alur genetik perkembangan bunga pada Arabidopsis (Blazquez 2000). Pembungaan melibatkan serangkaian aktivitas dari dua grup gen, yaitu yang mengontrol transisi dari meristem vegetatif ke bunga (gen penanda meristem bunga), dan yang secara langsung berhubungan dengan pembentukan

42 24 berbagai bagian bunga (gen penanda organ bunga) (Levy dan Dean 1998). Sejumlah gen penanda meristem bunga telah diisolasi dari Arabidopsis thaliana dan spesies tanaman model lainnya. Salah satu gen tersebut, LEAFY (LFY), terlibat dalam mengontrol transisi dari meristem vegetatif menjadi meristem bunga. Gen yang lain, APETALA1 (AP1), selain terlibat dalam mengontrol transisi dari meristem vegetatif ke meristem bunga juga diperlukan untuk perkembangan sepal dan petal. Weigel et al. (1992) memperlihatkan bahwa LEAFY berinteraksi dengan gen pengontrol pembungaan yang lain, yaitu APETALA1, untuk memacu transisi dari meristem vegetatif ke meristem bunga. Dalam alur genetik perkembangan bunga pada Arabidopsis tersebut, meristem vegetatif berkembang menjadi meristem bunga, dan kemudian menghasilkan primordia organ bunga. Pada proses ini, produk gen LFY dan AP1 berinteraksi secara sinergis untuk memacu perkembangan meristem bunga. Peranan utama dari LEAFY adalah secara langsung menekan gen penanda tunas vegetatif atau menekan faktor intermediet yang mengaktifkan gen penanda tunas vegetatif (Parcy et al. 2002). Ketika AP1 atau LFY tersebut diekspresikan secara konstitutif pada Arabidopsis transgenik secara in vitro, tanaman akan berbunga hanya dalam 10 hari (Mandel dan Yanofsky 1995; Weigel dan Nilsson 1995). Perubahan bentuk dari meristem vegetatif menjadi meristem bunga mengakibatkan roset, hingga meristem infloresen menghasilkan daun dan bunga. Hal ini tergantung pada aktivitas dari LFY dan AP1 sebagai gen penanda meristem bunga (Bowman et al. 1993; Mandel dan Yanofsky 1995). Kedua gen tersebut diekspresikan pada level yang tinggi pada primordia bunga yang muncul, tetapi hanya LFY yang diekspresikan pada primordia daun sebelum transisi ke pembungaan. Tingkat ekspresi LFY pada primordia lateral meningkat sesuai dengan umur tanaman sampai mencapai batas ambang tertentu. Segera

43 25 setelah batas ambang ini tercapai, primordia tersebut akan berkembang dari primordia daun menjadi primordia bunga (Blazquez et al. 1997). Pembentukan meristem bunga Arabidopsis terutama dikontrol oleh gen penanda meristem bunga yaitu LFY, AP1 dan CAULIFLOWER (CAL). Liljegren et al. (1999) dan Burnham (2000) juga menjelaskan bahwa interaksi antara LFY, AP1, dan CAL secara positif memacu fase transisi dari produksi tunas vegetatif ke pembentukan bunga. Di samping menentukan pembentukan bunga, aktivitas bersama antara LFY, AP1 dan CAL dapat menghambat ekspresi gen penanda meristem tunas vegetatif TERMINAL FLOWER1 (TFL1) pada meristem lateral, sehingga mencegah pembentukan tunas vegetatif. Dalam membentuk meristem bunga, LFY dapat mengaktifkan AP1 secara langsung, sedangkan LFY, AP1 dan CAL masing-masing diregulasi secara tidak langsung melalui regulasi negatif oleh TFL1 (Liljegren et al. 1999). Pada tanaman tingkat tinggi, perubahan fase perkembangan diregulasi melalui alur gen yang kompleks. Hilangnya fungsi gen akibat mutasi pada gen EMBRYONIC FLOWER (EMF1 dan EMF2) mengakibatkan Arabidopsis langsung berbunga, menghindari pertumbuhan tunas vegetatif. Fenotip ini mendukung pendapat bahwa gen EMF berperan utama dalam menekan program reproduktif (Yoshida et al. 2001; Moon et al. 2003). Ekspresi AP1 pada meristem lateral salah satunya adalah diregulasi oleh LFY. LFY mempercepat ekspresi AP1 pada meristem lateral wild-type di bawah kondisi yang menginduksi pembungaan, sehingga pada mutan lfy ekspresi AP1 menjadi tertunda. Hal ini menunjukkan bahwa LFY merupakan regulator positif bagi aktivitas AP1. Namun pada gilirannya, AP1 juga dapat meregulasi LFY secara positif, karena pada tanaman yang mengekspresikan AP1 secara konstitutif, LFY diekspresikan lebih awal pada meristem bunga yang telah mengalami perubahan tersebut (Liljegren et al. 1999). Mutasi LFY tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap fenotip yang diberikan oleh

44 26 tanaman 35S::AP1, dan konversi tunas ke bunga pada tanaman 35S::LFY terutama ditekan oleh mutasi AP1 (Mandel dan Yanofsky 1995; Weigel dan Nilsson 1995). Gen AP1 telah berhasil diklon dan memperlihatkan bahwa gen tersebut mengkode putative faktor transkripsi yang mengandung MADS-domain (DNA-binding domain). RNA AP1 diekspresikan secara seragam pada primordia bunga muda, dan selanjutnya terlokalisir pada sepal dan petal. Hal ini menunjukkan bahwa AP1 bertindak secara lokal untuk pembentukan penanda meristem bunga dan untuk menentukan perkembangan sepal dan petal (Mandel et al. 1992). Fakta bahwa mutasi LFY hanya berpengaruh kecil terhadap pembungaan dan transformasi dari tunas ke bunga yang lebih cepat pada tanaman yang mengekspresikan AP1 secara konstitutif, menunjukkan bahwa AP1 bertindak downstream dari LFY dalam membentuk penanda meristem bunga (Liljegren et al. 1999). Namun demikian, berbagai fakta membuktikan bahwa aktivitas gabungan dari LFY dan AP1 adalah lebih efektif daripada aktivitasnya secara sendiri-sendiri. Pada kondisi yang menginduksi pembungaan, tanaman yang membawa mutasi LFY dan AP1 menunjukkan transformasi yang hampir lengkap dari semua bunga menjadi cabang-cabang tunas aksilar (Huala dan Sussex 1992; Weigel et al. 1992). Analisis genetik terhadap tanaman yang mengekspresikan LFY secara konstitutif menunjukkan bahwa tunas lateral akan menjadi penanda bunga ketika LFY diekspresikan secara konstitutif, dan transformasi ini akan kembali lagi jika tidak ada aktivitas AP1 (Weigel dan Nilsson 1995). Lebih lanjut dijelaskan bahwa meskipun aktivitas AP1 konstitutif tersebut cukup untuk merubah tunas lateral menjadi bunga, namun bunga yang dihasilkan memperlihatkan beberapa karakteristik seperti tunas jika aktivitas LFY tidak ada.

45 27 Gen yang berhubungan dekat dengan AP1, yaitu CAULIFLOWER (CAL) juga mempunyai fungsi yang terlibat dalam penentuan penanda meristem bunga (Rounsley et al. 1995). Fenotip mutan ap1 juga dapat ditingkatkan lebih lanjut oleh mutasi CAL yaitu dengan tidak terjadinya konversi secara lengkap dari meristem vegetatif menjadi meristem bunga pada double mutans ap1 cal. Karena meristem bunga tidak dihasilkan oleh tunas utama pada tanaman ap1 cal di dalam kondisi tumbuh normal, maka tunas tersebut tidak pernah menghasilkan transisi secara lengkap dari fase vegetatif ke fase reproduktif (Bowman et al. 1993). Studi gain-of-function dari tanaman transgenik yang mengekspresikan LFY, AP1 atau CAL secara konstitutif di bawah kendali promoter Cauliflower Mosaic Virus 35S (CaMV 35S) memperkuat kesimpulan hasil studi berdasarkan loss-of-function dan menunjukkan bahwa aktivitas AP1 adalah downstream dan diregulasi oleh LFY. Tanaman yang mengekspresikan LFY, AP1 atau CAL secara konstitutif berbunga lebih cepat dan mengalami transformasi dari meristem tunas primer dan sekunder menjadi meristem bunga, meskipun fenotip yang dihasilkan oleh 35S::CAL lebih lemah daripada 35S::LFY atau 35S::AP1 (Mandel dan Yanofsky 1995; Weigel dan Nilsson 1995). Jadi sesuai dengan pendapat Liljegren et al. (1999), bahwa LFY, AP1 dan CAL bertindak bersamasama untuk memacu transisi dari fase produksi tunas dan daun (fase vegetatif) ke pembentukan meristem bunga (fase reproduktif). Ekspresi AP1 dibatasi secara spatial untuk meristem bunga oleh aksi gen penanda meristem vegetatif TERMINAL FLOWER1 (TFL1) (Bowman et al. 1993). Pada tanaman wild-type, AP1 dan TFL1 diekspresikan pada tempat yang berbeda, dimana TFL1 diekspresikan pada daerah subapikal meristem tunas vegetatif, sedangkan ekspresi AP1 terbatas untuk perkembangan bunga (Mandel et al. 1992). Di samping berperan dalam meregulasi perubahan fase

46 28 pertumbuhan, TFL1 juga mempunyai pengaruh antagonis terhadap AP1 dalam pembentukan penanda meristem, karena TFL1 memacu penanda meristem vegetatif dan AP1 menentukan meristem bunga. Fenotip tanaman yang mengekspresikan AP1 secara konstitutif mencerminkan fenotip tanaman yang mengalami mutasi TFL1. Tanaman 35S::AP1 dan mutan tfl1 memperpendek fase pertumbuhan vegetatifnya dan mengalami transformasi dari tunas vegetatif menjadi bunga (Mandel dan Yanofsky 1995). TFL1 diekspresikan pada level yang rendah dalam meristem vegetatif dan tampaknya berperan untuk mencegah pembungaan sebelum waktunya. Pada stadia lebih lanjut, TFL1 mengatur dan berperan dalam menekan ekspresi gen penanda meristem bunga seperti LFY dan AP1 pada meristem vegetatif (Jack 2004). Selain sebagai gen penanda meristem bunga, AP1 juga bertindak sebagai gen kelas A yang diperlukan untuk membentuk whorl pertama dan kedua dari penanda organ bunga (Bowman et al. 1993). Sesuai dengan kedua peranannya dalam menentukan penanda meristem dan penanda organ, AP1 pada awalnya diekspresikan pada meristem bunga muda dan kemudian menjadi terbatas pada daerah dimana akan dibentuk primordia sepal dan petal (Mandel et al. 1992; Gustafson-Brown et al. 1994). Karena gen AP1 berperan dalam mengontrol pembentukan primordia bunga dan organ bunga, maka mutasi gen AP1 dapat mengganggu kedua fase perkembangan bunga tersebut. Pengaruh ini ditunjukkan dengan terjadinya konversi sebagian bunga menjadi infloresen tunas dan gangguan terhadap perkembangan sepal dan petal. Tanaman mutan ap1 akan mengalami kegagalan pembentukan sepal dan petal pada whorl pertama dan whorl ke dua dari bunga, sedangkan pengaruhnya terhadap pembentukan stamen dan carpel pada whorl ke tiga dan ke empat dari bunga adalah kecil (Bowman et al. 1993).

47 29 Pada tanaman tomat transgenik, pengaruh utama dari ekspresi AP1 adalah mempercepat saat pembungaan. Tanaman transgenik rata-rata berbunga setelah memproduksi enam daun, sedangkan pada tanaman kontrol (wild-type) setelah memproduksi 11 daun baru berbunga. Tanaman tomat yang mengekspresikan AP1 juga mengalami konversi lebih awal dari meristem vegetatif menjadi bunga. Setelah 18 minggu pada kondisi greenhouse, tanaman transgenik menghasilkan konversi bunga dari meristem vegetatif dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan tanaman kontrol (Ellul et al. 2004). Selain tidak mempengaruhi fertilitas bunga, tanaman tomat transgenik yang mengekspresikan AP1 juga tidak mengakibatkan abnormalitas bentuk dan ukuran buah yang dihasilkan. Ekspresi konstitutif AP1 pada tanaman tomat transgenik tersebut dapat memperpendek fase vegetatifnya secara signifikan, tanpa menyebabkan abnormalitas infloresen, perkembangan bunga dan produksi buah. Hasil ini sesuai dengan ekspresi AP1 yang telah diteliti pada jeruk (Pena et al. 2001). Pada tanaman jeruk, yang mempunyai fase juvenil yang panjang dengan menunda perkembangan reproduktifnya antara 6-20 tahun, juga dapat dipercepat pembungaannya dengan mentransformasikan gen AP1 atau LFY. Bibit tanaman jeruk yang mengekspresikan secara konstitutif gen AP1 atau LFY dari Arabidopsis, dapat memproduksi bunga dan buah pada tahun pertama, sehingga dapat memperpendek fase juvenilnya. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa ekspresi AP1 adalah sama efisiennya dengan LFY di dalam menginisiasi pembungaan yang lebih awal, dan tidak menghasilkan perkembangan yang abnormal. Kedua tipe tanaman jeruk transgenik tersebut bunganya normal dan fertil, serta berbunga dalam tahun-tahun berikutnya (Pena et al. 2001). Gen penanda meristem bunga seperti AP1 dan LFY memang sangat diperlukan untuk memacu pembungaan (Mandel dan Yanofsky 1995; Weigel dan Nilsson 1995). Ekspresi AP1 atau LFY pada meristem tunas apikal

48 30 Arabidopsis menyebabkan produksi bunga terminal sebagaimana fenotip yang diakibatkan oleh mutan pada gen TFL1 (Bradley et al. 1997). Ekspresi konstitutif dari AP1 atau LFY pada herbaceous maupun spesies berkayu tersebut telah terbukti dapat mempercepat inisiasi pembungaan melalui penekanan yang kuat terhadap fase juvenil (Weigel dan Nilsson 1995; Pena et al. 2001). Hasil ini telah membuka kemungkinan baru untuk program domestikasi, perbaikan genetik, dan penelitian lebih lanjut, terutama pada pohon buah-buahan dan spesies berkayu lainnya. Berdasarkan pada pernyataan di atas, pengaturan ekspresi gen oleh perkembangan, lingkungan dan signal metabolit, adalah sangat mungkin terjadi pula dalam pengaturan inisiasi pembungaan pada tanaman kakao dengan mengikuti jalur yang sama, dimana hal tersebut ditandai oleh adanya signal penginduksi, protein pengatur transduksi signal, dan interaksi gen-gen yang terlibat dalam pengaturan pembungaan.

49 III. INDUKSI PEMBUNGAAN PADA TANAMAN KAKAO Abstrak Kakao merupakan komoditas penting bagi Indonesia, baik secara ekonomi maupun sosial. Namun demikian, produktivitas perkebunan kakao di Indonesia masih rendah. Salah satu masalah yang mempengaruhi rendahnya produksi kakao tersebut adalah pembungaannya yang tidak merata sepanjang tahun. Pada perkebunan di daerah tropis, pohon kakao dewasa dapat berbunga sepanjang tahun, tetapi pembungaan terbesar terjadi pada saat pergantian dari musim kering ke musim hujan. Di luar musim tersebut, pembungaan pohon kakao dapat diinduksi dengan beberapa senyawa retardan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan jenis dan konsentrasi senyawa penginduksi pembungaan. Penelitian dilakukan di Kebun Rajamandala, Bandung, Jawa Barat mulai bulan Juli sampai dengan Nopember 2003 menggunakan rancangan acak kelompok dengan tujuh ulangan. Paklobutrazol diaplikasikan pada konsentrasi 0.5 dan 1 g bahan aktif/pohon, sedangkan CCC dengan konsentrasi dan ppm. Paklobutrazol dan CCC diaplikasikan dalam bentuk larutan baik secara sendirian maupun dikombinasikan dengan sukrosa 1%, dengan aplikasi melalui penyemprotan daun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan CCC ppm yang dikombinasikan dengan sukrosa 1% merupakan penginduksi pembungaan kakao yang efektif, karena dengan perlakuan tersebut bunga dan pentil muncul lebih cepat, yaitu berturut-turut pada 24.3 hari setelah perlakuan (HSP) atau 21 hari lebih cepat dan 56.3 HSP atau 43 hari lebih cepat dibandingkan dengan kontrol yang baru muncul bunga pada 45.6 HSP dan pentil pada 98.9 HSP. Perlakuan tersebut juga menghasilkan jumlah bunga dan pentil yang tertinggi, yaitu masing-masing buah (terjadi peningkatan %) dan 24.9 buah (terjadi peningkatan %) dibandingkan dengan tanaman kontrol. Kata kunci : senyawa penginduksi, retardan, paklobutrazol, CCC, sukrosa. Pendahuluan Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang perkembangannya sangat pesat, terutama perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Potensi pengembangan kakao di Indonesia cukup besar, baik sumber daya yang dimiliki, teknologi yang dikuasai, maupun peluang pasar dalam dan luar negeri yang akan terus berkembang pada masa yang akan datang. Produksi kakao di Indonesia masih memungkinkan untuk ditingkatkan karena didukung oleh tersedianya lahan dan tenaga kerja yang banyak serta teknologi yang cukup. Produksi kakao yang dihasilkan selama ini belum mampu

50 32 memenuhi kebutuhan pasar dunia, apalagi mutu biji kakao Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan sebagian besar pengusahaan kakao di Indonesia masih bersifat sederhana, serta teknik budidaya yang belum dikuasai sepenuhnya. Karena itu diperlukan pengelolaan yang lebih intensif untuk meningkatkan produktivitasnya. Salah satu aspek fisiologis yang penting dalam hubungannya dengan peningkatan produksi buah kakao adalah pertumbuhan reproduktif yang terdiri atas pembungaan dan pembentukan buah. Pembungaan pada tanaman kakao perlu mendapatkan perhatian karena pada bulan-bulan tertentu bunganya sangat banyak tetapi pada bulan-bulan yang lain bunganya sangat sedikit. Pada saat tidak berbunga atau bunganya sedikit tersebut, tanaman kakao dapat ditingkatkan pembungaannya misalnya dengan menggunakan senyawa penginduksi pembungaan seperti paklobutrazol dan CCC. Paklobutrazol dan CCC merupakan senyawa kimia yang bekerja secara fisiologis dalam menghambat biosintesis giberelin (Rademacher 2000). Dasar teori penggunaan paklobutrazol adalah bahwa senyawa ini dapat menghambat biosintesis giberelin. Paklobutrazol juga diketahui dapat menurunkan level giberelin endogen pada beberapa spesies, meningkatkan aktivitas reproduktif, menekan pertambahan tinggi dan produksi daun (Hasan 1993; Moncur dan Hasan 1994). Aplikasi paklobutrazol juga dapat meningkatkan kandungan karbohidrat dalam jaringan kayu. Kandungan karbohidrat ini merupakan sumber energi untuk pembentukan bunga. Pada tanaman mangga dan pohon buah-buahan lainnya, perlakuan paklobutrazol mampu menginduksi pembungaan di luar musim dengan cara menghambat biosintesis giberelin sehingga dapat menstimulir pembungaan dan meningkatkan munculnya tunas reproduktif.

51 33 Hasil penelitian Poerwanto et al. (1997) menunjukkan bahwa aplikasi paklobutrazol pada mangga dapat menginduksi pembungaan di luar musim. Walaupun paklobutrazol menghambat munculnya tunas vegetatif, tetapi menginduksi munculnya bunga. Tanaman yang tidak mendapat paklobutrazol tidak berbunga, tetapi tunas vegetatif yang muncul banyak. Pada tanaman yang memperoleh paklobutrazol jumlah tunas vegetatif yang muncul menurun, tetapi muncul bunga. Pada manggis, pemberian paklobutrazol menyebabkan tanaman berbunga pada saat 48 hari setelah aplikasi, lebih cepat dibandingkan tanaman kontrol. Jumlah bunga dan buah tanaman yang diberi paklobutrazol juga lebih banyak dibandingkan kontrol (Poerwanto 2003). Chlormequat chloride (CCC) juga mempunyai pengaruh yang berlawanan dengan GA 3 terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Gianfagna (1995), CCC merupakan senyawa penghambat tumbuh yang dapat mengurangi pemanjangan tunas pada pohon buah-buahan, menghambat pertumbuhan vegetatif dan memacu inisiasi kuncup bunga. Pemberian CCC pada berbagai tanaman dapat memperbaiki pembungaan dan membuat tanaman lebih kompak, dengan pertumbuhan tunas yang seragam. Pada tanaman jeruk, ketika senyawa penghambat tumbuh tersebut digunakan untuk menstimulasi hasil pada pohon muda, maka pengaruhnya terhadap pemanjangan dan vigor menjadi kurang efektif dan sebaliknya akan memacu pembungaan dan mempercepat pembentukan buah (Salomon 1981). Selain dengan paklobutrazol dan CCC, induksi pembungaan juga dapat dilakukan dengan menggunakan sukrosa. Pada konsentrasi yang rendah sukrosa dapat menginduksi pembungaan Arabidopsis secara nyata (Ohto et al. 2001). Studi fisiologi menunjukkan bahwa terdapat biomolekul kecil yang terlibat dalam transisi pembungaan. Molekul tersebut meliputi gula, sitokinin dan giberelin (GA). Studi pada Sinapsis alba, setelah induksi pembungaan,

52 34 konsentrasi molekul tersebut pada apeks meningkat dengan cepat dan nyata (Bernier et al. 1993). Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan jenis dan konsentrasi senyawa yang tepat untuk menginduksi pembungaan tanaman kakao. Bahan dan Metode Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah kakao jenis UAH (Upper Amazone Hybrid), yang ditanam pada tahun 1990 di Kebun Rajamandala, Bandung, milik PT Perkebunan Nusantara VIII Jawa Barat. Pemilihan pohon kakao sebagai tanaman sampel dilakukan seseragam mungkin berdasarkan besar batang, tinggi tanaman dan ukuran tajuk atau kanopi, serta dipilih pohon yang tidak sedang berbunga atau berbuah. Prosedur Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan Nopember Senyawa yang digunakan untuk menginduksi pembungaan tanaman kakao adalah paklobutrazol, CCC dan sukrosa yang diaplikasikan dalam bentuk larutan melalui penyemprotan daun, dengan volume semprot 1 liter per pohon. Untuk memecahkan dormansi digunakan senyawa KNO 3 dengan konsentrasi 20 g/l, yang diaplikasikan satu bulan setelah perlakuan senyawa penginduksi. Satuan percobaan yang digunakan adalah pohon kakao, dengan wilayah pengamatan ditentukan pada batang mulai dari permukaan tanah sampai dengan setinggi 2 m. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK), dengan tujuh ulangan.

53 35 Adapun perlakuannya secara rinci adalah sebagai berikut : P-0.5 (paklobutrazol 0.5 g bahan aktif/pohon), P-0.5S (paklobutrazol 0.5 g b.a./pohon + sukrosa 1%), P-1 (paklobutrazol 1 g b.a./pohon), P-1S (paklobutrazol 1 g b.a./pohon + sukrosa 1%), C-1000 (CCC ppm), C-1000S (CCC ppm + sukrosa 1%), C-2000 (CCC ppm), C-2000S (CCC ppm + sukrosa 1%), KO (kontrol, tanpa disemprot) dan KA (kontrol, disemprot air). Peubah yang diamati meliputi : saat muncul bunga pertama, waktu berbunga (50% muncul bunga), jumlah tandan bunga, jumlah bunga, saat muncul pentil pertama, jumlah pentil total, persentase pentil layu, jumlah pentil sehat, jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun. Saat muncul bunga pertama adalah saat pertama kali muncul titik bunga pada batang tanaman yang diamati, dihitung dalam hari setelah perlakuan (HSP). Waktu berbunga ditentukan ketika jumlah bunga yang muncul pada satu pohon telah mencapai 50% (dalam HSP). Jumlah tandan bunga diamati setiap minggu sekali dengan cara menghitung berapa titik tempat munculnya gerombol bunga pada batang yang diamati, mulai dari permukaan tanah sampai dengan setinggi 2 m. Jumlah bunga diamati setiap minggu sekali dengan cara menghitung semua kuncup bunga yang muncul pada permukaan batang yang diamati, mulai dari permukaan tanah sampai dengan setinggi 2 m. Saat muncul pentil pertama adalah saat pertama kali terbentuk pentil pada batang tanaman yang diamati, dihitung dalam hari setelah perlakuan (HSP). Jumlah pentil total diamati setiap minggu sekali dengan cara menghitung semua pentil yang terbentuk pada permukaan batang yang diamati, mulai dari permukaan tanah sampai setinggi 2 m. Persentase pentil layu ditentukan setiap minggu sekali dengan cara menghitung persentase jumlah pentil layu terhadap jumlah semua pentil yang terbentuk (dalam %). Jumlah pentil sehat diamati setiap minggu sekali dengan cara menghitung jumlah pentil yang masih tersisa

54 36 pada permukaan batang yang diamati, mulai dari permukaan tanah sampai dengan setinggi 2 m (jumlah pentil total dikurangi dengan jumlah pentil layu). Jumlah tunas diamati setiap minggu sekali dengan cara menghitung semua tunas yang muncul pada batang yang diamati, mulai dari permukaan tanah sampai dengan setinggi 2 m. Panjang tunas diukur setiap minggu sekali dengan cara mengukur semua tunas yang muncul pada wilayah pengamatan, mulai dari pangkal tunas sampai dengan titik tumbuh tunas (dalam cm). Jumlah daun diamati setiap minggu sekali dengan cara menghitung semua daun yang terbentuk pada semua tunas yang diamati, mulai dari permukaan tanah sampai dengan setinggi 2 m. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (Anova) dan jika terdapat beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan dan uji kontras orthogonal. Hasil dan Pembahasan Secara morfologis, awal munculnya bunga merupakan suatu proses perubahan bentuk pertumbuhan tanaman dari fase vegetatif ke reproduktif. Data hasil pengamatan (Tabel 1), menunjukkan bahwa semua perlakuan senyawa penginduksi memberikan pengaruh yang efektif terhadap pembungaan kakao. Dari delapan perlakuan yang diaplikasikan, semua memberikan pengaruh terhadap inisiasi pembungaan yang lebih cepat dibandingkan dengan kontrol. Saat muncul bunga pertama tercepat terjadi pada perlakuan P-1S, C-1000S, C-2000 dan C-2000S, masing-masing pada 24.3 hari setelah perlakuan (HSP). Sementara itu pada tanaman kontrol baru mulai muncul bunga pada 21 hari berikutnya (Tabel 1).

55 37 Pohon kakao yang diinduksi mempunyai waktu berbunga (kejadian 50% muncul bunga) yang lebih cepat dibandingkan dengan kontrol. Waktu berbunga tercepat terjadi pada perlakuan C-2000S yaitu pada 44.3 HSP, sedangkan pada tanaman kontrol terjadi pada 62.6 HSP (Tabel 1). Data tersebut menunjukkan bahwa perlakuan CCC ppm dengan sukrosa 1% dapat mempercepat waktu berbunga 18 hari lebih awal. Jadi pengaruh senyawa penginduksi pembungaan selain dapat mempercepat munculnya bunga pertama juga dapat mempercepat waktu berbunga secara keseluruhan. Berdasarkan hasil analisis kontras orthogonal (Tabel 1) dapat diketahui bahwa terhadap waktu berbunga, perlakuan paklobutrazol memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan CCC, demikian juga antara penambahan sukrosa dan tanpa sukrosa. Perlakuan CCC mempercepat waktu berbunga yaitu rata-rata 49.4 HSP, sedangkan pada perlakuan paklobutrazol rata-rata 52.2 HSP. Penambahan sukrosa 1% juga nyata mempercepat waktu berbunga yaitu pada 49.2 HSP, sedangkan pada perlakuan tanpa sukrosa waktu berbunganya terjadi pada 52.4 HSP. Dengan demikian perlakuan CCC dan penambahan sukrosa 1% terbukti dapat mempercepat waktu berbunga tanaman kakao. Pada Tabel 1 juga diperlihatkan jumlah tandan bunga, yaitu gerombolan bunga yang muncul pada bantalan bunga. Walaupun secara statistik semua perlakuan hanya berbeda nyata dengan tanaman kontrol yang disemprot dengan air, namun dilihat dari nilainya semua perlakuan menghasilkan jumlah tandan bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan pohon yang tidak diperlakukan. Jumlah tandan bunga tertinggi terdapat pada perlakuan C-2000S yaitu 79.0 buah, yang berarti terjadi peningkatan % dibandingkan dengan kontrol. Dalam satu tandan bunga kakao dapat berisi beberapa bunga sampai puluhan bunga, sehingga jumlah tandan bunga tersebut penting kaitannya dengan jumlah bunga secara keseluruhan.

56 Tabel 1 Rata-rata saat muncul bunga pertama, waktu berbunga, jumlah tandan bunga, jumlah bunga, saat muncul pentil pertama, jumlah pentil total, persentase pentil layu, jumlah pentil sehat, jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun pada tanaman kakao yang diinduksi pembungaannya Peubah Pengamatan Perlakuan Muncul bunga pertama (HSP) Waktu berbunga (HSP) Jumlah tandan bunga Jumlah bunga Muncul pentil pertama (HSP) Jumlah pentil total Persentase pentil layu (%) Jumlah pentil sehat Jumlah tunas Panjang tunas (cm) Jumlah daun Hasil Uji Duncan KA 45.6 a 62.6 a 29.4 b 61.0 c 98.9 a 4.1 c 26.6 a 2.9 c 4.1 a 31.4 a a KO 36.7 b 60.6 ab 50.0 a bc 91.7 a 5.0 bc 28.4 a 3.6 bc 3.1 ab 22.8 a ab P c 55.7 bc 68.6 a ab 72.6 bc 7.4 bc 36.9 a 5.0 bc 2.3 ab 18.5 a ab P-0.5S 28.3 c 54.1 c 64.7 a ab 73.1 bc 10.6 bc 21.1 a 8.3 bc 1.7 ab 14.6 a b P c 52.7 cd 68.7 a ab 71.1 bc 10.1 bc 26.8 a 8.1 bc 1.6 ab 17.9 a b P-1S 24.3 c 46.3 e 76.9 a ab 68.3 bc 13.6 b 24.0 a 11.9 ab 1.4 b 15.0 a b C c 52.7 cd 66.1 a ab 74.9 b 9.1 bc 24.1 a 7.6 bc 1.9 ab 16.7 a b C-1000S 24.3 c 52.0 cd 62.4 a ab 73.1 bc 9.7 bc 19.8 a 8.1 bc 1.4 b 14.3 a b C c 48.6 de 63.1 a ab 72.3 bc 12.6 b 24.9 a 9.6 bc 1.3 b 14.4 a b C-2000S 24.3 c 44.3 e 79.0 a a 56.3 c 24.9 a 21.9 a 20.3 a 1.3 b 13.7 a b Hasil Uji Kontras Orthogonal Kontrol (KA) vs Semua Paklobutrazol vs CCC ** 2.48 tn 39.86** 5.16* 15.90** 0.06 tn 22.51** 0.24 tn 23.59** 0.30 tn 6.95* 2.47 tn 0.04 tn 0.87 tn 6.10* 2.15 tn 9.99** 0.28 tn 3.63 tn 0.12 tn 11.89** 0.30 tn Sukrosa vs Tanpa sukrosa 1.55 tn 6.84* 0.00 tn 0.40 tn 1.62 tn 3.85 tn 1.26 tn 4.18 tn 0.42 tn 0.34 tn 0.14 tn KK (%) Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji Duncan taraf 5% (atas). Angka pada hasil uji kontras orthogonal menunjukkan nilai F-hitung (bawah). * berbeda nyata, ** berbeda sangat nyata, tn berbeda tidak nyata. 38

57 39 Perkembangan jumlah bunga sangat nyata mulai 4 minggu setelah perlakuan (MSP) dan mencapai puncaknya pada 11 MSP. Perkembangan jumlah bunga cenderung konstan dari minggu ke minggu, dengan jumlah bunga tertinggi terjadi pada perlakuan C-2000S dan disusul oleh perlakuan P-1S (Gambar 4). Kedua senyawa retardan, baik paklobutrazol maupun CCC ketika diaplikasikan secara sendirian maupun dikombinasikan dengan sukrosa 1%, memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah saat muncul bunga pertama dan saat muncul pentil pertama. Perlakuan C-2000S menghasilkan jumlah bunga yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, serta menghasilkan jumlah pentil total yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol maupun dengan perlakuan lainnya. Jumlah bunga yang dihasilkan pada perlakuan C-2000S sebesar buah (lima kali lipat) dibandingkan dengan kontrol, dan jumlah pentil total sebesar 24.9 buah (enam kali lipat) dibandingkan dengan kontrol (Tabel 1) Jumlah Bunga Minggu Setelah Perlakuan (MSP) KO KA P-0.5 P-0.5S P-1 P-1S C-1000 C-1000S C-2000 C-2000S Gambar 4 Grafik perkembangan jumlah bunga kakao.

58 40 Berdasarkan Tabel 1 juga dapat diketahui bahwa penambahan sukrosa 1% terhadap paklobutrazol dan CCC dapat meningkatkan pembungaan dan pembentukan pentil kakao. Jumlah bunga dan jumlah pentil total terjadi lebih tinggi pada perlakuan dengan sukrosa 1% dibandingkan dengan perlakuan tanpa sukrosa. Stimulus penginduksi dapat diperlukan untuk membuat daun menjadi kompeten untuk menghasilkan stimulus bunga atau untuk meningkatkan produksinya. Pada apeks, stimulus bunga diperlukan untuk membuat apeks kompeten terhadap reaksi stimulus berikutnya atau untuk menginisiasi determinasi bunga (Lyndon 1990) Jumlah Pentil Total Minggu Setelah Perlakuan (MSP) KA KO P-0.5 P-0.5S P-1 P-1S C-1000 C-1000S C-2000 C-2000S Gambar 5 Grafik perkembangan jumlah pentil total. Perlakuan C-2000S juga dapat memacu terbentuknya pentil lebih cepat yaitu pada 56.3 HSP, dibandingkan dengan tanaman kontrol yang baru membentuk pentil pada 43 hari berikutnya (Tabel 1). Demikian juga terhadap jumlah pentil total, perlakuan C-2000S mampu menghasilkan pentil enam kali

59 41 lipat lebih banyak dibandingkan dengan kontrol (Gambar 5, Tabel 1). Terjadinya peningkatan jumlah bunga dan jumlah pentil akibat perlakuan CCC dan juga paklobutrazol menunjukkan bahwa senyawa tersebut dan atau kombinasinya dengan sukrosa 1% merupakan inducer yang kuat terhadap pembungaan kakao. Hal ini dimungkinkan karena senyawa tersebut menghambat pertumbuhan vegetatif, sehingga arah asimilat dialihkan untuk pembentukan bunga dan buah (Gianfagna 1995; Rademacher 1995; Yuceer et al. 2003). Semua perlakuan pada penelitian ini memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap persentase pentil layu, walaupun secara umum persentase pentil layu pada pohon yang diperlakukan dengan senyawa penginduksi lebih kecil dibandingkan dengan tanaman kontrol. Persentase pentil layu terkecil terjadi pada perlakuan C-1000S sebesar 19.84%, kemudian disusul oleh perlakuan C-2000S sebesar 21.87% (Tabel 1). Pentil layu (cherelle wilt) merupakan suatu mekanisme pada tanaman kakao untuk mengurangi banyaknya buah agar sesuai dengan daya dukung tanaman. Kejadian cherelle wilt diawali dengan buah menguning, mengkerut, warna buah berubah menjadi coklat hingga kehitaman dan akan menempel terus pada batang atau cabang. Puncak cherelle wilt biasanya terjadi pada minggu ke-10 setelah polinasi atau saat buah berumur 70 hari dan terjadi pada buah-buah yang panjangnya kurang dari 10 cm. Kelayuan tersebut terjadi akibat adanya kompetisi asimilat, air dan hara, dan rendahnya kandungan IAA di dalam biji kakao yang berumur kurang dari 70 hari tersebut (Tjasadihardja 1981; Duladi 2004). Walaupun persentase pentil layu antar perlakuan tidak berbeda nyata, namun jumlah pentil sehat pada beberapa perlakuan memberikan hasil yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Jumlah pentil sehat tertinggi terdapat pada perlakuan C-2000S sebesar 20.3 buah, kemudian disusul oleh perlakuan P-1S sebesar 11.9 buah, sedangkan pada tanaman kontrol hanya

60 42 mencapai 2.9 buah per pohon (Tabel 1, Gambar 6). Jumlah pentil sehat merupakan peubah yang cukup penting karena dapat menggambarkan jumlah buah yang akan bertahan sampai masak. Tingginya buah sehat yang masih terdapat di pohon dapat menunjukkan tingginya produksi biji yang akan dihasilkan. Jumlah pentil total dan jumlah pentil sehat yang nyata lebih tinggi pada perlakuan C-2000S menunjukkan bahwa CCC ppm dan kombinasinya dengan sukrosa 1% merupakan perlakuan yang lebih optimal didalam mendukung pembentukan pentil dan meningkatkan jumlah pentil kakao dibandingkan dengan perlakuan lainnnya Jumlah Pentil Sehat Minggu Setelah Perlakuan (MSP) KA KO P-0.5 P-0.5S P-1 P-1S C-1000 C-1000S C-2000 C-2000S Gambar 6 Grafik perkembangan jumlah pentil sehat. Jumlah bunga erat kaitannya dengan jumlah pentil, karena bunga yang terbentuk sangat menentukan terbentuknya pentil. Berdasarkan uji korelasi diketahui bahwa terdapat korelasi positif antara jumlah bunga dengan jumlah pentil total, dengan persamaan regresi Y X dan nilai R 2

61 Di samping itu antara jumlah bunga dengan jumlah pentil sehat juga terdapat korelasi positif, dengan persamaan regresi Y X dan nilai R Berarti semakin besar jumlah bunga yang terbentuk, kemungkinan terbentuknya pentil juga semakin besar. Kalau kejadian pentil layu dapat ditekan, maka hal tersebut dapat meningkatkan terbentuknya buah yang mampu bertahan hingga menghasilkan biji. Sesuai dengan hasil penelitian Duladi (2004), bahwa produksi buah atau biji yang tinggi perlu didukung oleh potensi pembentukan bunga dan pentil yang tinggi, serta rendahnya kejadian pentil layu (cherelle wilt). Terhadap pertumbuhan vegetatif, paklobutrazol dan CCC dapat menekan jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun. Pada pohon kakao yang tidak diperlakukan, tunas muncul lebih awal dengan jumlah tunas lebih banyak (3-4 tunas per pohon), dibandingkan dengan pohon-pohon yang diberi perlakuan yang rata-rata hanya muncul kurang dari dua tunas per pohon (Tabel 1). Terhadap panjang tunas, walaupun antar perlakuan tidak berbeda nyata namun secara umum perlakuan retardan tersebut cenderung menghasilkan panjang tunas yang rata-rata lebih pendek dibandingkan dengan tunas yang muncul dari tanaman kontrol (Tabel 1). Demikian halnya dengan jumlah daun, karena jumlah dan panjang tunas sangat menentukan jumlah daun yang terbentuk, maka tanaman kontrol yang mempunyai jumlah dan panjang tunas tertinggi juga mempunyai jumlah daun yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang diperlakukan (Tabel 1). Data tersebut menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kontrol, perlakuan CCC ppm dengan sukrosa 1% memberikan jumlah tunas paling sedikit (1.3 buah), panjang tunas terpendek (13.7 cm) dan jumlah daun paling sedikit (10.9 buah).

62 44 Penurunan pertumbuhan oleh paklobutrazol terjadi karena senyawa tersebut menghambat biosintesis giberelin, yaitu memblokir lintasan pembentukan senyawa ent-kaurene menjadi ent-kaurenoic acid. Salah satu peranan utama giberelin pada pohon adalah menstimulasi pemanjangan sel. Ketika produksi giberelin dihambat, pembelahan sel masih terjadi, tetapi sel-sel baru tidak mengalami pemanjangan (Chaney 2003). Peranan CCC dalam biosintesis giberelin yaitu menghambat lintasan pembentukan senyawa geranyl-geranyl pyrophosphate menjadi copalyl pyrophosphate. Sebagai senyawa anti giberelin, CCC dapat menghambat pertumbuhan batang, daun dan stolon, tetapi dapat memacu pengumbian kentang (Sharma et al. 1998). Penyemprotan CCC juga dapat meningkatkan kandungan gula pereduksi, pati dan sukrosa pada batang. Sukrosa merupakan salah satu produk akhir fotosintesis dan merupakan bentuk utama dari gula yang ditranslokasikan pada kebanyakan tanaman. Pada pohon Eucalyptus nitens, CCC dan juga paklobutrazol dapat mengontrol pertumbuhan vegetatif dan merangsang pembungaan, serta dapat menurunkan level GA 1 dan GA 20 pada apeks sebagai akibat terjadinya penghambatan biosintesis GA pada daerah tersebut (Williams et al. 1999). CCC menyebabkan penurunan produksi giberelin pada daun-daun muda dan sebagai akibatnya produksi auksin dari meristem apikal juga menurun (Maiti et al. 1972). Pada tanaman jeruk, perlakuan CCC dapat menginduksi pembungaan yang lebih awal dan memperbaiki fruit set. Total tunas yang mengalami pemanjangan lebih rendah pada tanaman yang diperlakukan dan menghasilkan penampilan pohon yang kompak. Percabangan juga dipengaruhi oleh CCC, yang mana jumlah daun per tanaman menurun, serta dapat menginisiasi buah lebih awal dan meningkatkan hasil akhir. Buah dari tanaman yang diperlakukan dengan CCC mempunyai biji yang lebih banyak daripada buah yang berasal dari tanaman kontrol (Salomon 1981).

63 45 Selain mempercepat munculnya bunga, perlakuan senyawa penginduksi pembungaan pada kakao juga dapat mempercepat perkembangan bunga. Pada saat muncul bunga pertama (24 HSP), pada pohon yang diperlakukan telah muncul titik bunga, sementara pada tanaman kontrol belum kelihatan adanya titik bunga (Gambar 7). Pada 12 hari setelah muncul (HSM), bunga kakao dari pohon yang diberi perlakuan tersebut telah berkembang membentuk kuncup-kuncup bunga yang besar (Gambar 8). Sementara pada tanaman kontrol, dimana gambar juga diambil pada 12 HSM, tampak perkembangan bunga yang masih berupa titik bunga dan kuncup yang masih kecil. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan senyawa penginduksi pembungaan pada kakao juga dapat mempercepat pendewasaan bunga dan memperpendek fase anthesis, sehingga sangat dimungkinkan bahwa perlakuan senyawa penginduksi pembungaan pada penelitian ini juga dapat memunculkan pentil dan menghasilkan buah yang lebih cepat. Kuncup bunga pada tanaman kakao biasanya muncul di sepanjang batang atau cabang dari pohon, terutama pada bagian permukaan yang mengalami penonjolan. Pada bagian tersebut biasanya juga tumbuh tunas. Asimilat dari jaringan daun ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman dan dengan laju yang lebih rendah ketika mencapai bagian tonjolan kulit batang tersebut, yang selanjutnya digunakan untuk inisiasi pertumbuhan organ vegetatif atau generatif seperti bunga, tergantung kompetensi untuk membentuk bunga dari pohon tersebut. Pohon yang mempunyai kompetensi rendah akan menggunakan sebagian besar asimilat tersebut untuk pertumbuhan vegetatif, sedangkan pohon yang mempunyai kompetensi tinggi akan menggunakan asimilat untuk perkembangan organ regeneratif. Oleh karena itu bunga berkembang lebih banyak pada pohon yang diperlakukan dengan inducer daripada pada tanaman kontrol (Santoso dan de Maagd 2003).

64 46 KA P-1 C-2000 KO P-1S C-2000S Gambar 7 Penampilan bunga kakao pada 24 HSP (Hari Setelah Perlakuan). KA P-1 C-2000 KO P-1S C-2000S Gambar 8 Penampilan bunga kakao pada 12 HSM (Hari Setelah Muncul). C-2000S merupakan perlakuan terbaik dibandingkan dengan semua perlakuan yang diaplikasikan. Pengaruh perlakuan tersebut terhadap inisiasi bunga dan pembentukan pentil memberikan hasil yang sebanding. Perlakuan

65 47 C-2000S dimungkinkan dapat menekan pertumbuhan vegetatif dan merangsang pertumbuhan reproduktif. Akibatnya, karbohidrat sebagai metabolit utama lebih banyak digunakan secara langsung untuk mendukung perkembangan bunga dan buah. Penambahan sukrosa 1% terhadap CCC ppm mengindikasikan bahwa sukrosa mempunyai peranan penting dalam perkembangan reproduktif. Dalam menghambat pertumbuhan vegetatif, CCC mengalihkan sebagian besar asimilat untuk mendukung perkembangan bunga. Penambahan sukrosa eksogen pada perlakuan CCC ppm dapat menambah asimilat dan karenanya dapat meningkatkan pembungaan ( Santoso dan de Maagd 2003). Transisi ke perkembangan reproduktif terjadi setelah periode per- kembangan vegetatif, yaitu ketika tanaman menjadi kompeten untuk merespon sinyal lingkungan (seperti panjang hari, intensitas cahaya dan ketersediaan nutrisi). Selama fase reproduktif, meristem vegetatif berkembang menjadi meristem bunga. Selama proses inisiasi bunga, meristem vegetatif akan memunculkan sejumlah meristem bunga lateral atau meristem bunga di bagian axilnya. Transisi dari vegetatif ke reproduktif biasanya dibarengi dengan perubahan posisi relatif dari organ-organ lateral (phyllotaxis) dan perubahan jarak antara organ-organ lateral (panjang ruas) (Davies et al. 1999). Fase induksi dalam proses pembungaan merupakan fase paling penting yang menentukan apakah tanaman tersebut akan berbuah atau tidak. Pada fase ini terjadi perubahan fisiologis atau biokimia pada mata tunas dari pertumbuhan vegetatif mengarah pada pertumbuhan mata tunas bunga. Fase ini menjadi penting karena tidak ada perubahan morfologi yang tampak pada kuncup (Poerwanto 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat tiga teori yang mendasari induksi pembungaan, yaitu: (1) teori nutrisi, (2) teori penghambat pembungaan dan (3) teori florigen.

66 48 Menurut teori nutrisi, pembungaan dapat dipacu dengan pengaturan keseimbangan antara karbohidrat dan nitrogen (nisbah C/N). Sach dan Hackett (1983) dalam Ryugo (1988) memformulasikan ide pengalihan nutrisi yang menyebabkan pucuk apeks menginisiasi primordia bunga. Mereka menemukan bahwa suatu senyawa kimia kompleks dialihkan ke apeks vegetatif pada kondisi tertentu. Bahan kimia tersebut mengaktifkan gen spesifik untuk menginisiasi morfogenesis, mengubah apeks menjadi bunga. Menurut teori penghambat pembungaan, bahwa tanaman yang tumbuh pada kondisi yang tidak favorabel untuk berbunga akan menghasilkan zat penghambat pembungaan. Tanaman akan berbunga apabila berada pada kondisi yang dapat mencegah produksi zat penghambat pembungaan tersebut. Jadi induksi pembungaan berarti menurunkan konsentrasi zat penghambat pembungaan sampai di bawah ambang penghambatan (Bernier et al. 1985). Menurut teori florigen, bahwa tumbuhan tidak akan berbunga kecuali ada kondisi yang menginduksi. Bahwa pada tanaman mempunyai bagian yang responsif terhadap fotoperiodisitas yaitu daun. Pada daun yang mendapat fotoperiodisitas tersebut terdapat informasi yang kemudian dikirim ke mata tunas, yang menyebabkan mata tunas tersebut terinduksi untuk berbunga. Pada stadia tertentu dari siklus hidupnya, tanaman mengalami perkembangan dari fase vegetatif ke fase reproduktif. Transisi tersebut diatur oleh faktor lingkungan dan berbagai perkembangan yang kompleks. Dalam hal ini tanaman akan mengalami perkembangan menuju pembungaan pada saat dimana bahan internal telah mencukupi dan diakumulasikan, serta kondisi lingkungannya yang mendukung. Beberapa tanaman, khususnya perenial berkayu, akan mengalami fase juvenil selama tanaman tersebut tidak menghasilkan struktur reproduktif meskipun semua sinyal lingkungannya sesuai.

67 49 Transisi dari juvenil ke stadia dewasa memerlukan kompetensi oleh daun atau meristem untuk merespon sinyal internal maupun eksternal (Gilbert 2005). Pembungaan pada tanaman kakao sebenarnya dapat terjadi sepanjang tahun tetapi intensitasnya bervariasi. Pada bulan-bulan tertentu terjadi pembungaan yang lebat sekali, namun pada saat yang lain bunganya sangat sedikit atau bahkan tidak berbunga sama sekali. Pola pembungaan yang khas pada tanaman kakao tersebut telah berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas perkebunan kakao di Indonesia. Pemberian paklobutrazol dan CCC telah terbukti dapat memperbaiki pola pembungaan pada tanaman kakao, yaitu dapat meningkatkan pembungaan kakao terutama pada saat tanaman tidak berbunga. Perlakuan retardan tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sintesis hormon, diantaranya sintesis giberelin. Kandungan giberelin yang rendah pada tanaman dapat menyebabkan tanaman berbunga. Penambahan sukrosa secara eksogen juga dapat meningkatkan terjadinya penumpukan karbohidrat di bagian tajuk tanaman. Peningkatan karbohidrat tersebut akan menyebabkan nisbah C/N menjadi tinggi, dimana nisbah C/N yang tinggi penting dalam menginduksi pembungaan dan pembentukan buah. Kesimpulan Perlakuan CCC ppm dengan sukrosa 1% merupakan perlakuan penginduksi pembungaan kakao yang efektif, karena selain memberikan pembungaan dan pembentukan pentil tercepat juga menghasilkan jumlah bunga dan jumlah pentil yang tertinggi. Dengan perlakuan tersebut bunga dan pentil muncul lebih cepat, yaitu berturut-turut pada 24.3 HSP (21 hari lebih cepat) dan 56.3 HSP (43 hari lebih cepat) dibandingkan dengan kontrol yang baru muncul bunga pada 45.6 HSP dan pentil pada 98.9 HSP. Perlakuan tersebut juga

68 50 menghasilkan jumlah bunga dan pentil yang tertinggi, yaitu masing-masing buah (terjadi peningkatan %) dan 24.9 buah (terjadi peningkatan %) dibandingkan dengan kontrol. Selain mempercepat inisiasi bunga, perlakuan senyawa penginduksi pembungaan juga mempercepat perkembangan bunga kakao, dimana pendewasaan bunga dan waktu anthesis terjadi lebih singkat sehingga pembentukan pentil juga terjadi lebih cepat.

69 IV. PERUBAHAN KANDUNGAN BEBERAPA ZAT ENDOGEN PADA TANAMAN KAKAO SELAMA INDUKSI PEMBUNGAAN Abstrak Kandungan zat endogen seperti giberelin dalam konsentrasi yang rendah penting peranannya dalam proses pembungaan. Demikian halnya kandungan metabolit seperti sukrosa dalam jumlah yang cukup juga penting artinya bagi transisi pembungaan tanaman. Untuk menjelaskan hal tersebut, telah dilakukan suatu analisis untuk mengetahui kandungan zat endogen pada tanaman kakao sejak diperlakukan dengan senyawa penginduksi pembungaan sampai terjadinya inisiasi bunga. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan kandungan beberapa zat endogen pada tanaman kakao selama induksi pembungaan. Sampel bantalan bunga kakao diambil dari Kebun Rajamandala, Bandung, Jawa Barat, dari pohon yang telah diperlakukan dengan senyawa penginduksi pembungaan CCC ppm dan CCC ppm dikombinasikan dengan sukrosa 1%. Analisis kandungan zat endogen dari sampel dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA IPB dan di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Departemen Pertanian, pada bulan Oktober sampai dengan Desember Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi senyawa penginduksi pembungaan pada kakao berpengaruh terhadap penurunan kandungan giberelin (GA 3 ), peningkatan sukrosa, peningkatan karbohidrat total dan peningkatan nisbah C/N. Pada saat menjelang muncul bunga pertama atau 3 minggu setelah perlakuan (MSP), perlakuan CCC ppm dengan sukrosa 1% memberikan kandungan giberelin yang lebih rendah (50.00%), kandungan sukrosa lebih tinggi (678.85%), kandungan karbohidrat total lebih tinggi (60.66%), kandungan nitrogen lebih rendah (18.31%) dan nisbah C/N lebih tinggi (97.21%) dibandingkan dengan kontrol. Kata kunci : transisi pembungaan, giberelin, sukrosa, karbohidrat, nitrogen. Pendahuluan Sebagai salah satu komoditas ekspor yang penting, pengembangan kakao di Indonesia perlu mendapatkan perhatian, apalagi Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ke dua di dunia setelah Pantai Gading. Karena itu diperlukan usaha pengelolaan yang lebih intensif untuk meningkatkan produktivitasnya. Salah satu aspek fisiologis yang penting dalam hubungannya dengan peningkatan produksi buah kakao adalah pertumbuhan reproduktif yang terdiri atas pembungaan dan pembentukan buah.

70 52 Fase induksi dalam proses pembungaan merupakan fase paling penting yang menentukan apakah tanaman tersebut akan berbuah atau tidak. Pada fase ini terjadi perubahan fisiologis atau biokimia pada mata tunas dari pertumbuhan vegetatif mengarah pada pertumbuhan generatif. Fase ini menjadi penting karena tidak ada perubahan morfologi yang tampak pada kuncup. Perubahan fisiologis atau biokimia yang terjadi pada fase induksi pembungaan tersebut antara lain meliputi perubahan kandungan karbohidrat, nitrogen, asam amino dan hormon (Poerwanto 2003). Giberelin merupakan salah satu hormon yang berperanan penting pada proses pembungaan tanaman, termasuk pembungaan tanaman buah-buahan. Hasil penelitian Rai (2004), menunjukkan bahwa kandungan GA 3, GA 5 dan GA 7 pada manggis sebelum induksi tinggi kemudian menurun sangat tajam pada stadium induksi. Pada stadium diferensiasi dan bunga mekar ketiga hormon tersebut kandungannya relatif sama seperti pada stadium induksi dan nyata lebih rendah dibandingkan dengan sebelum induksi. Kandungan sukrosa yang tinggi juga penting untuk proses pembungaan. Pada pucuk tanaman manggis muda, kandungan sukrosanya lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman manggis dewasa. Tingginya sukrosa pada tanaman manggis muda karena pemanfaatannya hanya untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan vegetatif, sedangkan pada tanaman manggis dewasa selain untuk pertumbuhan vegetatif juga untuk mendukung pertumbuhan generatif, seperti perkembangan bunga, buah dan biji (Hidayat 2002). Sementara itu, hasil penelitian Rai (2004) juga menunjukkan bahwa kandungan gula total pada pucuk manggis berbunga pada stadium induksi lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum induksi. Pada pucuk yang tidak mengalami peningkatan gula total tidak mampu menginduksi bunga sehingga pucuk-pucuk tersebut tidak berbunga. Untuk kandungan nitrogen terjadi

71 53 sebaliknya, dimana pada stadium induksi cenderung menurun dibandingkan dengan sebelum induksi. Menurut teori nutrisi, pembungaan dapat dipacu dengan pengaturan keseimbangan antara karbohidrat dan nitrogen (nisbah C/N). Jika nisbah C/N tinggi maka tanaman dapat menginduksi bunga, dan bila nisbah C/N rendah tanaman dipacu ke arah pertumbuhan vegetatif. Sach dan Hackett (1983) dalam Ryugo (1988) memformulasikan ide pengalihan nutrisi yang menyebabkan pucuk apeks menginisiasi primordia bunga. Mereka menemukan bahwa suatu senyawa kimia kompleks dialihkan ke apeks vegetatif pada kondisi tertentu. Bahan kimia tersebut mengaktifkan gen spesifik untuk menginisiasi morfogenesis, mengubah apeks menjadi bunga. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari perubahan kandungan beberapa zat endogen pada tanaman kakao yang terjadi selama induksi pembungaan. Bahan dan Metode Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah bantalan bunga, yaitu bagian kulit batang kakao yang merupakan tempat munculnya bunga. Sampel diambil dari Kebun Rajamandala, Bandung, milik PT Perkebunan Nusantara VIII Jawa Barat, yaitu dari tanaman kontrol yang disemprot dengan air dan dari tanaman yang telah diperlakukan dengan senyawa penginduksi pembungaan CCC ppm dan CCC ppm + sukrosa 1%.

72 54 Prosedur Pelaksanaan Analisis kandungan zat endogen pada bahan dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA IPB dan di Laboratorium Balai Besar Penelitan dan Pengembangan Pasca Panen Departemen Pertanian, pada bulan Oktober sampai dengan Desember Pengambilan sampel dilakukan pada 0 dan 3 minggu setelah perlakuan (MSP). Sampel bantalan bunga yang telah dilepas dari batangnya kemudian dimasukkan ke dalam kotak pendingin (cooler box) yang berisi es kering (dry ice). Selanjutnya sampel diperlakukan dengan pengering beku (freeze-dryer), kemudian disimpan dalam lemari pendingin pada suhu -20 o C sampai siap dilakukan analisis kandungan zat endogennya. Analisis kandungan zat endogen tersebut dilakukan pada 0 dan 3 MSP (menjelang muncul bunga pertama). Kandungan bahan yang dianalisis meliputi : kandungan giberelin (GA 3 ), kandungan sukrosa, kandungan karbohidrat total, kandungan nitrogen dan nisbah C/N. Analisis kandungan giberelin (GA 3 ) dilakukan dengan metode HPLC, dengan menggunakan fase gerak metanol dan asam asetat (60 : 40). Kondisi HPLC yang digunakan yaitu fase diam (kolom) C-18, dengan kecepatan alir fase gerak 1 ml/menit, tekanan pada saat injeksi 900 psi, dan dideteksi dengan detektor UV-VIS model 440 pada panjang gelombang 210 nm. Prosedur lengkap analisis giberelin seperti tertera pada Lampiran 1. Kandungan sukrosa dianalisis dengan mengikuti metode yang dilakukan oleh Vemmos (1999) sebagaimana tercantum pada Lampiran 2, sedangkan kandungan karbohidrat total dianalisis dengan menggunakan metode Nelson-Somogyi (Lampiran 3). Kandungan nitrogen dianalisis dengan menggunakan metode Semi-mikro Kjeldahl. Analisis kandungan N menggunakan sampel bantalan bunga kakao dengan bobot 0.2 g, ditambah 2 ml H 2 SO 4 98% dan didestruksi sampai jernih dengan katalisator

73 55 selenium. Setelah didestilasi sampai jernih dengan NaOH 40% dan uap (cairan) ditampung dengan 25 ml H 3 BO 3 4%, destilatnya didestilasi dengan HCl 0.1 N untuk menetapkan kandungan N (Lampiran 4). Nisbah C/N pada sampel ditentukan dengan cara menghitung nisbah kandungan karbohidrat total terhadap kandungan nitrogen. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (Anova) dan jika terdapat beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil dan Pembahasan Hasil analisis data pengamatan kandungan beberapa zat endogen pada tanaman kakao selama induksi pembungaan tercantum pada Lampiran 5. Data pada Lampiran 5 tersebut menunjukkan kandungan beberapa zat endogen sejak aplikasi senyawa penginduksi sampai dengan saat munculnya bunga pertama. Selama induksi pembungaan tersebut terjadi perubahan kandungan beberapa zat endogen diantaranya kandungan giberelin, sukrosa, karbohidrat total, nitrogen dan nisbah C/N. Kandungan Giberelin Pada saat 3 MSP, kandungan giberelin (GA 3 ) terendah terjadi pada perlakuan C-2000 dan C-2000S, yaitu 0.10 ppm (Gambar 9). Hal ini diduga bahwa pada saat 3 MSP tersebut calon bunga telah terinduksi, yang akhirnya muncul pada 24 HSP. Penurunan kandungan giberelin tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan laju pembelahan dan diferensiasi sel, sehingga pertumbuhan vegetatif menjadi menurun dan fotosintat yang terbentuk dialihkan untuk memacu inisiasi kuncup bunga (Gianfagna 1995).

74 56 Pada saat menjelang muncul bunga pertama (3 MSP), perlakuan C-2000 dan C-2000S memberikan kandungan GA 3 yang lebih rendah (0.10 ppm), yang berarti terjadi penurunan 50.00% dibandingkan dengan kontrol (Gambar 9, Lampiran 5). Hal ini karena perlakuan CCC secara langsung dapat menghambat biosintesis giberelin, yaitu menghambat pada proses pembentukan copalil pirofosfat dari geranil-geranil pirofosfat (Rademacher 1995). Perlakuan CCC ppm atau CCC ppm dengan sukrosa 1% mampu menekan kandungan giberelin pada bantalan bunga dibandingkan dengan kontrol. Hasil percobaan ini semakin memperkuat indikasi bahwa pembungaan di luar musim dapat diatur dengan menghambat biosintesis giberelin. Pada tanaman mangga, pertumbuhan reproduktif dapat juga terjadi karena pengalihan asimilat dari pertumbuhan vegetatif yang tertekan akibat penghambatan biosintesis giberelin (Usman 1997) Kandungan Giberelin (ppm) tn 0.20 a * * 0.10 b 0.10 b Minggu Setelah Perlakuan (MSP) KA C-2000 C-2000S Gambar 9 Kandungan giberelin (GA 3 ) bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP. Huruf yang sama di dalam diagram batang menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji Duncan taraf 5%. Tanda tn berbeda tidak nyata dan tanda * berbeda nyata pada uji t antara 0 dan 3 MSP.

75 57 Konsentrasi giberelin yang rendah merupakan tanda pertama perkembangan bunga dan mencegah perkembangan meristem vegetatif, sebaliknya pada konsentrasi tinggi giberelin merupakan penghambat pembungaan yang sangat kuat (Koshita et al. 1999). Poerwanto (2003) menyebutkan bahwa kemungkinan giberelin menghambat pembungaan jeruk melalui tiga cara yaitu (1) mengubah tipe tunas, dari tunas bunga yang pendek menjadi tunas vegetatif yang panjang, (2) secara tidak langsung dengan meningkatkan pertumbuhan tunas vegetatif, sehingga menekan pertumbuhan tunas generatif, dan (3) mengubah calon tunas generatif menjadi tunas vegetatif kembali. Giberelin merupakan penghambat yang sangat kuat bagi perkembangan infloresen, namun tidak menghambat transport asimilat ke dalam kuncup-kuncup bunga dan tidak mencegah akumulasi bahan-bahan terlarut (Kinet et al. 1985). Perkembangan infloresen awal yang dimulai saat pucuk terinduksi berkorelasi dengan penurunan GA endogen. Pada lengkeng, pembungaan juga berkaitan dengan kandungan giberelin, dimana pada pucuk berbunga mengandung konsentrasi GA total dan GA 3 yang lebih rendah dibandingkan dengan pucuk tidak berbunga (Prawitasari 2001). Kondisi yang sama juga terjadi pada manggis, dimana kandungan GA 3, GA 5 dan GA 7 pada pucuk berbunga lebih rendah dibandingkan dengan pucuk tidak berbunga (Rai 2004). Tingginya kandungan GA pada pucuk tidak berbunga mengindikasikan bahwa pada pucuk tersebut tidak menunjukkan adanya tanda-tanda awal memasuki fase generatif. Hasil penelitian Rai (2004) lebih lanjut menjelaskan bahwa kandungan GA sebelum induksi tinggi kemudian menurun sangat tajam pada stadium induksi. Rendahnya kandungan giberelin pada stadium induksi menunjukkan bahwa konsentrasi GA yang rendah merupakan sinyal bagi berlangsungnya proses pembungaan. Sementara itu, pada lengkeng terjadi peningkatan kembali konsentrasi GA pada stadium berbunga, karena penurunan GA diperlukan pada

76 58 stadium induksi bunga bukan pada stadium munculnya bunga (Prawitasari 2001). Peningkatan GA pada stadium munculnya bunga tersebut diduga berkaitan dengan fungsinya untuk merangsang munculnya daun-daun baru pada daerah pucuk vegetatif, yang berguna bagi proses fotosintesis untuk menghasilkan asimilat baru yang dapat digunakan saat pengisian buah. Kandungan Sukrosa Kandungan sukrosa baik pada perlakuan C-2000 maupun C-2000S menunjukkan adanya peningkatan pada saat menjelang munculnya bunga pertama (3 MSP), sedangkan pada kontrol terjadi penurunan (Gambar 10, Lampiran 5). Penambahan sukrosa 1% secara eksogen juga berakibat terhadap peningkatan sukrosa endogen, dimana perlakuan C-2000S memberikan kandungan sukrosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa sukrosa (C-2000). Hal ini terlihat jelas pada saat menjelang muncul bunga pertama (3 MSP), dimana kandungan sukrosanya meningkat % pada perlakuan C-2000S dan % pada perlakuan C-2000, dibandingkan dengan tanaman kontrolnya. Sukrosa merupakan gula transport yang dapat ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman termasuk ke bantalan bunga. Sukrosa yang memasuki apoplas dipecah menjadi glukosa dan fruktosa oleh dinding sel atau enzim invertase sebelum memasuki sel penerima. Terjadinya peningkatan sukrosa pada saat induksi hingga munculnya bunga tersebut menunjukkan bahwa sukrosa merupakan senyawa yang berperanan penting dalam transisi pembungaan. Peranan sukrosa dalam mempengaruhi transisi pembungaan tersebut yaitu dengan cara mengaktifkan gen-gen yang berperan dalam mengontrol transisi pembungaan (Ohto et al. 2001).

77 59 Kandungan Sukrosa (%) a 0 3 ** ** 6.27 b ** 8.10 c Minggu Setelah Perlakuan (MSP) KA C-2000 C-2000S Gambar 10 Kandungan sukrosa bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP. Huruf yang sama di dalam diagram batang menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji Duncan taraf 5%. Tanda ** berbeda sangat nyata pada uji t antara 0 dan 3 MSP. Tingginya akumulasi sukrosa pada saat inisiasi pembungaan menunjukkan bahwa sukrosa tersebut penting untuk perkembangan reproduktif. Hasil ini juga sesuai dengan pendapat Kinet et al. (1985), bahwa kebutuhan sukrosa untuk inisiasi pembungaan adalah lebih tinggi daripada kebutuhan untuk inisiasi daun. Lebih lanjut Ohto et al. (2001) menjelaskan bahwa peranan sukrosa pada tanaman adalah sebagai molekul yang berhubungan dengan sinyal yang meregulasi berbagai gen, dan kemungkinan mempengaruhi berbagai aspek perkembangan pada tanaman tingkat tinggi, termasuk aspek pembungaan. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa sukrosa berperanan dalam memacu transisi pembungaan pada berbagai spesies tanaman.

78 60 Pada tanaman lengkeng, kandungan sukrosa pada pucuk berbunga saat induksi dan diferensiasi jauh lebih tinggi dibandingkan pucuk tidak berbunga. Hal ini memberikan pengertian bahwa sebelum masuk ke fase generatif dibutuhkan aliran sukrosa ke pucuk yang akan digunakan sebagai sumber energi pada proses pembungaan. Sukrosa juga diperlukan pada saat diferensiasi, karena proses diferensiasi bagian-bagian calon bunga membutuhkan energi yang lebih tinggi. Kandungan sukrosa pada pucuk berasal dari mobilisasi karbohidrat cadangan sebagai faktor pendukung keberhasilan dalam proses pembungaan (Prawitasari 2001). Sukrosa merupakan salah satu gula yang umum digunakan tanaman untuk memenuhi kebutuhan energinya karena mudah ditransport. Kinet et al. (1985) menyatakan bahwa pada saat inisiasi bunga terjadi perombakan yang besar dari karbohidrat, protein dan asam-asam amino pada batang untuk selanjutnya ditransport ke pucuk yang berbunga. Tingginya sukrosa pada pucuk berbunga menunjukkan bahwa pucuk berbunga merupakan sink yang kuat yang akan menarik aliran karbohidrat cadangan dari batang. Pada tanaman kakao, dimana munculnya bunga tidak pada pucuk tetapi pada bantalan bunga yang terletak di permukaan batang atau cabang, maka bantalan bunga merupakan sink yang kuat untuk menarik aliran sukrosa yang selanjutnya akan diarahkan pada daerah yang sedang terinduksi untuk berbunga. Kandungan Karbohidrat Total Sebagaimana sukrosa, kandungan karbohidrat total juga meningkat pada saat menjelang munculnya bunga pertama (3 MSP), baik pada perlakuan C-2000 maupun pada C-2000S (Gambar 11). Dibandingkan dengan kontrol, peningkatan kandungan karbohidrat total pada perlakuan C-2000 sebesar 87.90%, sedangkan

79 61 pada perlakuan C-2000S sebesar 60.66%. Karbohidrat sangat diperlukan sebagai sumber energi bagi proses pembungaan. Ketersediaan karbohidrat sebagai sumber energi bagi pembungaan, sangat erat kaitannya dengan teori nutrisi mengenai induksi dan inisiasi pembungaan, yang mana proses tersebut memerlukan kondisi nutrisi yang optimum. 25 Kandungan Karbohidrat Total (%) * a ** b * b Minggu Setelah Perlakuan (MSP) KA C-2000 C-2000S Gambar 11 Kandungan karbohidrat bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP. Huruf yang sama di dalam diagram batang menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji Duncan taraf 5%. Tanda * berbeda nyata dan tanda ** berbeda sangat nyata pada uji t antara 0 dan 3 MSP. Fotosintesis dan asimilat merupakan faktor yang berperan penting dalam pembungaan, karena berkaitan dengan cadangan kandungan karbohidrat sebagai sumber energi yang diperlukan dalam proses pembentukan dan perkembangan organ-organ generatif. Perubahan arah transportasi asimilat dalam jaringan tanaman merupakan faktor penting dalam induksi pembungaan. Pada tanaman kakao, bantalan bunga yang terinduksi merupakan sink yang kuat, sehingga memungkinkan aliran karbohidrat diarahkan ke daerah

80 62 tersebut. Oleh karena itu, aplikasi senyawa CCC ppm dan CCC ppm dengan sukrosa 1% dapat meningkatkan kandungan karbohidrat total pada bantalan bunga, karena senyawa tersebut dapat mengakibatkan bantalan bunga menjadi terinduksi. Hasil penelitian Liferdi (2000), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kandungan karbohidrat pada beberapa organ tanaman rambutan, yaitu pada daun, kulit dan kayu. Persentase karbohidrat tertinggi terdapat pada kulit kayu saat fruit set, sedangkan kandungan karbohidrat terendah terdapat pada kayu saat buah maksimum. Tingginya persentase karbohidrat pada kulit kayu disebabkan adanya jaringan floem pada kulit tersebut yang merupakan organ penyimpan fotosintat sementara dari daun sebelum digunakan. Karbohidrat di daun meningkat sebelum tanaman memasuki fase generatif. Peningkatan tersebut disebabkan kondisi tanaman sebelumnya mengalami fase dormansi, sehingga fotosintat yang diproduksi selama fase dormansi menumpuk. Karbohidrat hasil fotosintesis selama fase dormansi tersebut digunakan saat tanaman memasuki fase generatif. Kandungan karbohidrat yang semakin meningkat selama induksi pembungaan hingga munculnya bunga mengindikasikan bahwa karbohidrat tersebut diperlukan sebagai sumber energi awal bagi proses induksi bunga dan perkembangan bagian-bagian bunga. Hasil serupa dinyatakan oleh Rai (2004), bahwa pada saat induksi bunga pada manggis terjadi peningkatan kandungan gula total yang lebih besar. Pucuk yang tidak mengalami peningkatan gula total secara tajam tidak mampu menginduksi bunga sehingga pucuk-pucuk tersebut tidak berbunga.

81 63 Kandungan Nitrogen Kandungan nitrogen tanaman kakao pada saat menjelang muncul bunga pertama (3 MSP) mengalami penurunan, namun penurunan yang nyata terjadi pada perlakuan C-2000S yaitu sebesar 18.31% dibandingkan dengan kontrol. Penambahan sukrosa 1% tampaknya memberikan pengaruh yang nyata terhadap penekanan kandungan nitrogen, dan karenanya pada perlakuan C-2000S mengalami penurunan kandungan nitrogen yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa sukrosa (Gambar 12, Lampiran 5). 2.5 Kandungan Nitrogen (%) ** 1.42 a ** 1.54 a ** 1.16 b Minggu Setelah Perlakuan (MSP) KA C-2000 C-2000S Gambar 12 Kandungan nitrogen bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP. Huruf yang sama di dalam diagram batang menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji Duncan taraf 5%. Tanda ** berbeda sangat nyata pada uji t antara 0 dan 3 MSP. Penurunan kandungan nitrogen pada tanaman kakao selama induksi pembungaan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Rai (2004) pada manggis, bahwa kandungan nitrogen pada pucuk berbunga cenderung menurun pada stadium induksi, sedangkan pada pucuk tidak berbunga mempunyai kandungan

82 64 nitrogen yang lebih tinggi. Hal tersebut menggambarkan bahwa aktivitas pertumbuhan vegetatif pada pucuk tidak berbunga lebih tinggi, sehingga membutuhkan kandungan nitrogen yang lebih besar. Penurunan kandungan nitrogen pada kakao selama induksi pembungaan dan disertai dengan peningkatan kandungan karbohidrat total, akan meningkatkan nisbah C/N yang berperanan sangat penting dalam menginduksi bunga. Kandungan nitrogen yang menurun pada bantalan bunga kakao saat tanaman memasuki fase generatif diduga karena jaringan tersebut siap untuk menjadi struktur reproduktif dan merupakan sink yang kuat dalam berkompetisi dengan organ lain. Terjadinya penurunan nitrogen tersebut diduga nitrogen digunakan untuk pembentukan sel-sel baru pada jaringan vegetatif. Hal ini diperkuat oleh pendapat Salisbury dan Ross (1992), bahwa peranan utama nitrogen bagi tanaman adalah untuk membentuk sel-sel baru sehingga pertumbuhan vegetatif tanaman seperti batang, cabang dan daun tetap dapat berlangsung. Nitrogen juga berperanan dalam pembentukan klorofil, protein, lemak dan berbagai senyawa organik lainnya. Nisbah C/N Proses pembungaan pada tanaman dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat total, nitrogen dan nisbah C/N. Nisbah C/N pada tanaman sangat ditentukan oleh kandungan karbohidrat total dan kandungan nitrogennya. Perlakuan senyawa penginduksi pembungaan diduga dapat menghasilkan pola nisbah C/N yang meningkat, karena terjadi penumpukan karbohidrat total sebagai akibat terjadinya penghambatan biosintesis giberelin. Nisbah C/N yang meningkat tersebut diduga dapat menginduksi pembungaan. Oleh karena itu, di

83 65 samping faktor luar yang dapat menginduksi pembungaan, kondisi zat endogen yang memadai juga penting untuk proses pembungaan (Liferdi 2000). Selama induksi pembungaan, pada tanaman kakao terjadi peningkatan kandungan karbohidrat total dan penurunan nitrogen, sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan nisbah C/N. Walaupun penurunan kandungan nitrogen yang terjadi relatif kecil, namun karena peningkatan karbohidrat totalnya cukup tajam, maka menghasilkan nisbah C/N yang tinggi. Peningkatan nisbah C/N terjadi baik pada perlakuan C-2000 maupun C-2000S, sedangkan pada tanaman kontrol tidak mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi terjadi pada perlakuan C-2000S, dimana pada saat menjelang munculnya bunga pertama (3 MSP) mempunyai nilai nisbah C/N sebesar 15.54, yang berarti terjadi peningkatan 97.21% dibandingkan dengan tanaman kontrol (Gambar 13, Lampiran 5). Nisbah C/N tn 7.88 a ** b ** b Minggu Setelah Perlakuan (MSP) KA C-2000 C-2000S Gambar 13 Nisbah C/N bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP. Huruf yang sama di dalam diagram batang menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji Duncan taraf 5%. Tanda tn berbeda tidak nyata dan tanda ** berbeda sangat nyata pada uji t antara 0 dan 3 MSP.

84 66 Peningkatan nisbah C/N pada bantalan bunga kakao selama induksi disebabkan oleh peningkatan kandungan karbohidrat total dan penurunan kandungan nitrogen. Nisbah C/N yang tinggi dibutuhkan untuk induksi bunga kakao, terbukti dengan adanya peningkatan tajam nisbah C/N selama induksi, sementara pada tanaman kontrol tidak mengalami peningkatan nisbah C/N. Kondisi yang sama juga terjadi pada manggis, bahwa terinduksinya pucuk untuk berbunga berkaitan erat dengan turunnya kandungan giberelin, serta meningkatnya kandungan gula total dan nisbah C/N (Rai 2004). Aplikasi CCC pada tanaman kakao dapat menghambat produksi giberelin dan sebagai akibatnya terjadi penurunan laju pembelahan dan diferensiasi sel, sehingga pertumbuhan vegetatif menjadi menurun dan fotosintat yang terbentuk dialihkan ke bantalan bunga yang selanjutnya digunakan untuk pertumbuhan reproduktif, seperti pembentukan bunga, buah dan perkembangan buah. Penambahan sukrosa 1% pada perlakuan CCC ppm telah memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan nisbah C/N pada bantalan bunga kakao, dimana pada saat menjelang muncul bunga pertama memberikan nisbah C/N yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa sukrosa. Pemberian sukrosa dapat mengakibatkan terjadinya penumpukan karbohidrat di bagian tajuk, sehingga menyebabkan peningkatan nisbah C/N pada tajuk. Nisbah C/N yang tinggi pada tajuk tersebut penting untuk menginduksi pembungaan (Poerwanto 2003). Hasil penelitian Corbesier et al. (2002) pada Sinapsis alba dan Arabidopsis thaliana, menunjukkan bahwa pada saat induksi bunga terjadi peningkatan nisbah C/N pada cairan floem. Peningkatan nisbah C/N pada cairan floem tersebut menunjukkan bahwa suplai C organik dan N secara seimbang pada meristem apikal menjadi penting pada saat transisi dari pertumbuhan vegetatif menuju pembungaan.

85 67 Kesimpulan Selama induksi pembungaan, pada tanaman kakao terjadi perubahan kandungan beberapa zat endogen, yaitu penurunan giberelin (GA 3 ), peningkatan sukrosa, peningkatan karbohidrat total dan peningkatan nisbah C/N. Pada saat menjelang muncul bunga pertama (3 MSP), perlakuan CCC ppm dengan sukrosa 1% menyebabkan penurunan kandungan giberelin (GA 3 ) sebesar 50.00%, peningkatan kandungan sukrosa sebesar %, peningkatan kandungan karbohidrat total sebesar 60.66%, penurunan kandungan nitrogen sebesar 18.31% dan peningkatan nisbah C/N sebesar 97.21% dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan hasil tersebut juga dapat disimpulkan bahwa penambahan sukrosa 1% pada CCC ppm dapat meningkatkan kandungan sukrosa dan menurunkan kandungan nitrogen pada tanaman kakao yang lebih nyata, dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan sukrosa.

86 V. IDENTIFIKASI DAN ISOLASI GEN APETALA1 PADA TANAMAN KAKAO Abstrak Produktivitas perkebunan kakao di Indonesia adalah masih rendah. Salah satu masalah utama yang berkontribusi terhadap rendahnya produksi kakao di Indonesia adalah pola pembungaannya yang tidak konsisten. Kemajuan bidang biologi molekuler telah berkontribusi secara nyata dalam menjelaskan beberapa proses biologi, termasuk proses pembungaan. Hal ini dapat membantu untuk mendapatkan solusi yang efektif berkaitan dengan masalah rendahnya produktivitas. Keberadaan APETALA1 (AP1) pada jaringan bunga kakao telah dideteksi dengan PCR menggunakan primer spesifik. Isolasi RNA murni dari jaringan kakao tersebut sangat sulit karena adanya kandungan lendir yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengisolasi gen APETALA1 pada kakao. Penelitian dilakukan di Plant Research International, Wageningen, Belanda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa full-length AP1 dengan ukuran 824 pb telah berhasil diisolasi dari jaringan kuncup bunga kakao. Berdasarkan hasil analisis homologi, sekuen tersebut berkerabat dekat dengan AP1-like protein Vitis vinifera, MADS3 protein Betula pendula, AP1-like MADSbox Populus balsamifera, PTM2 Populus tremuloides, MADS-box protein AP1 Lotus corniculatus, protein AP1 Sinapsis alba dan AP1 Citrus sinensis. Kata kunci : pembungaan, primer spesifik, PCR, RNA, full-length AP1. Pendahuluan Pembungaan melibatkan serangkaian aktivitas dari dua grup gen, yaitu gen yang mengontrol transisi dari meristem vegetatif ke bunga (gen penanda meristem bunga), dan gen yang secara langsung berhubungan dengan penanda organ bunga (Levy dan Dean 1998). Sejumlah gen penanda meristem bunga telah diisolasi dari Arabidopsis thaliana dan spesies tanaman model lainnya. Melalui pendekatan genetika molekuler, pada Arabidopsis telah berhasil diidentifikasi dan kloning beberapa gen yang terlibat dalam pengaturan transisi pembungaan. Fungsi gen-gen tersebut dapat dikelompokkan kedalam alur genetik yang berbeda dan saling berinteraksi dalam pengaturan pembungaan (Simpson et al. 1999).

87 69 Pada awalnya, pembungaan dikontrol oleh sinyal endogen dan lingkungan. Sel-sel dari meristem tunas vegetatif menjadi kompeten untuk menerima rangsangan yang menginduksi bunga, yang dihasilkan pada daun dan memacu transisi dari pertumbuhan vegetatif ke reproduktif. Walaupun banyak studi fisiologi dan genetik yang membuktikan adanya faktor genetik atau hormonal yang bertindak sebagai perangsang bunga, yang biasa disebut florigen, namun informasinya masih kurang. Studi genetik pada Arabidopsis juga telah menunjukkan sejumlah gen yang diperlukan untuk penentuan waktu pembungaan secara tepat (Immink 2002). Egea-Cortines dan Weiss (2001) menyebutkan bahwa untuk transisi dari stadia juvenil ke dewasa, selain diperlukan sinyal lingkungan juga diperlukan ekspresi ektopik dari gen penanda meristem bunga. Pada spesies tanaman model seperti Arabidopsis, gen pengendali pembentukan bunga seperti LEAFY (LFY), APETALA1 (AP1), CAULIFLOWER (CAL) dan FRUITFULL (FUL) berperan mengontrol transisi pembungaan (Dean dan Simpson 2002). Selain dikontrol oleh faktor internal (kontrol genetik), proses pembungaan juga dikontrol oleh faktor eksternal (kontrol lingkungan). Sinyal endogen berhubungan dengan faktor-faktor seperti umur tanaman dan status metabolit, sedangkan sinyal lingkungan berhubungan dengan panjang hari, status nutrisi dan suhu (Blazquez et al. 2002). Gen-gen yang menangkap sinyal tersebut bertindak sebagai aktivator dan repressor pembungaan. Salah satu gen tersebut, yaitu LFY terlibat dalam mengontrol transisi dari meristem vegetatif menjadi meristem bunga. Gen yang lain, AP1 selain terlibat dalam mengontrol transisi dari meristem vegetatif ke meristem bunga juga diperlukan untuk perkembangan sepal dan petal. Weigel et al. (1992) memperlihatkan bahwa LFY berinteraksi dengan gen pengontrol pembungaan yang lain, yaitu AP1 untuk memacu transisi dari meristem vegetatif ke meristem bunga.

88 70 Dalam alur perkembangan bunga pada Arabidopsis tersebut, meristem vegetatif berkembang menjadi meristem bunga, dan kemudian menghasilkan primordia organ bunga. Pada proses ini, produk gen LFY dan AP1 berinteraksi secara sinergis untuk memacu perkembangan bunga. Pada tanaman kakao, kurangnya informasi mengenai mekanisme pembentukan dan perkembangan bunga secara molekuler merupakan salah satu kendala dalam memperbaiki produktivitasnya. Melalui aplikasi paklobutrazol dan CCC untuk menginduksi pembungaan kakao diharapkan senyawa tersebut dapat mengaktifkan gen-gen pembungaan pada kakao, termasuk gen AP1. Dengan demikian diharapkan dapat membuka peluang untuk melakukan identifikasi dan karakterisasi lebih lanjut terhadap gen-gen pembungaan pada kakao. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, mengisolasi dan kloning gen pembungaan (AP1) pada tanaman kakao. Bahan dan Metode Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah kuncup bunga kakao. Sampel diambil dari Kebun Rajamandala, Bandung, milik PT Perkebunan Nusantara VIII Jawa Barat. Setelah diambil dari pohonnya, sampel kuncup bunga kakao langsung dimasukkan dengan segera ke dalam nitrogen cair dan selama perjalanan ke Belanda sampel disimpan dalam dry ice, untuk selanjutnya disimpan pada suhu -80 o C sampai dengan saat digunakan. Isolasi RNA, perancangan primer, sintesis first-strand cdna, RT-PCR, kloning dan sekuensing dilakukan di Plant Research International, Wageningen, Belanda.

89 71 Isolasi RNA Bunga Kakao Bahan kimia yang digunakan meliputi : bufer ekstraksi (100 mm Tris-Cl ph 8.2; 1.4 M NaCl; 20 mm EDTA ph 8; 2% CTAB), nitrogen cair, PVPP, 10 M LiCl, 3 M Na-asetat (ph 5.2), 2-merkaptoetanol, MilliQ grade water (MQ), etanol absolut, etanol 70%, fenol (water saturated), kloroform : isoamil alkohol (24:1). Prosedur yang digunakan adalah dari Asif et al. (2000), yang telah dimodifikasi oleh Chaidamsari (2005) sebagai berikut : Satu gram jaringan sampel digerus sampai halus dalam nitrogen cair dengan ditambah 1% PVPP. Selanjutnya ditambahkan 15 ml bufer ekstraksi hangat (65 C) ke dalam jaringan beku dan 15 µl 2-merkaptoetanol kemudian diblender (dengan waring blender) selama 30 detik. Homogenat dimasukkan ke dalam tabung sentrifus bersih berukuran 30 ml kemudian diinkubasi pada 65 C selama 1 jam dengan divorteks pelan setiap 15 menit. Tabung didinginkan pada suhu kamar, kemudian ditambah kloroform : isoamil alkohol (24:1) dengan volume yang sama dan dikocok hingga kedua lapisan membentuk emulsi, sesekali tutup tabung dibuka pelan untuk mengurangi kelebihan tekanan udara di dalamnya. Setelah sentrifugasi dengan kecepatan rpm pada suhu kamar selama 15 menit (BECKMAN Model J2-21M, Rotor JA-20), larutan air diekstraksi ulang dengan 1 volume fenol : kloroform : isoamil alkohol (25:24:1), kemudian diulangi lagi dengan 1 volume kloroform : isoamil alkohol (24:1). Lapisan atas dipindahkan ke dalam tabung baru, kemudian ditambah 10 M LiCl hingga konsentrasi akhirnya 3 M dan RNA dibiarkan mengendap pada 4 C selama semalam. Setelah sentrifugasi rpm pada 4 C selama 20 menit, endapan RNA dilarutkan dalam 500 µl MQ dan kemudian diekstraksi berturut-turut dengan 1 volume aqua fenol (ph 8), 1 volume fenol : kloroform : isoamil alkohol (25:24:1), dan 1 volume kloroform : isoamil alkohol (24:1) masing-masing dengan

90 72 kecepatan rpm pada 4 C selama 15 menit. Setelah dipindahkan ke tabung baru, lapisan air dicampur dengan 1/30 volume 3 M Na-asetat ph 5.2 dan 1/10 volume etanol absolut, kemudian disimpan dalam es selama 30 menit dan selanjutnya disentrifus dengan microfuge (Hettich, Universal 16 R Microcentrifuge) pada 4 C selama 25 menit dengan kecepatan rpm. Tahap ini secara efektif dapat menghilangkan polisakarida tanpa kehilangan secara berarti RNA. Setelah dipindahkan ke dalam tabung mikro baru bebas RNase, supernatan dicampur dengan 1/10 volume 3 M Na-asetat ph 5.2 dan 3 volume etanol absolut, kemudian diinkubasi pada -70 C selama 3 jam. Setelah sentrifugasi pada microfuge dengan kecepatan rpm pada 4 C selama 20 menit, endapan RNA dicuci dengan 70% etanol dingin, dikeringkan dengan SpeedVac dan dilarutkan dalam 50 µl MQ. Selanjutnya diuji kuantitasnya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 230, 260 dan 280 nm, serta elektroforesis gel agarose 1%. Perancangan Primer Heterologous Spesifik AP1 Primer heterologous AP1 20 pb dirancang dari berbagai spesies berdasarkan database pada gene bank melalui internet dengan menggunakan program BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) pada situs NCBI (National Center for Biotechnological Information, dan program ClustalW pada situs EMBL-EBI (The European Molecular Biology Laboratory The European Bioinformatics Institute, clustalw/). Daerah homologi AP1 didapatkan melalui pencarian dengan program BLAST dan alignment dengan program ClustalW tersebut.

91 73 Sintesis First-Strand cdna Bunga Kakao Prosedur yang digunakan adalah SuperScript TM II Reverse Trancriptase (Invitrogen). Volume reaksi sebanyak 20 µl untuk setiap 1 ng sampai 5 µg total RNA. Proses pemanasan dan inkubasi dilakukan dengan mesin PCR (Mastercycler gradient, Eppendorf) sebagai berikut : Dimasukkan dalam tabung mikro PCR steril : 9 µl MQ steril, 1 µl 10 mm dntp mix, 1 µg total RNA bunga kakao, dan 1 µl 10 p mol/µl oligo(dt) 23 (Ambion). Campuran tersebut selanjutnya dipanaskan pada 65 C selama 5 menit dan setelah itu segera dimasukkan ke dalam es, kemudian ditambahkan 4 µl first-strand buffer 5x dan 2 µl 0.1 M DTT. Dicampur dengan segera dan diinkubasikan pada 42 C selama 2 menit. Kemudian ditambahkan 1 µl (200 unit) SuperScript II RT dan dicampur dengan pemipetan naik-turun (tabung mikro PCR tetap di dalam mesin). Setelah diinkubasikan pada 42 C selama 50 menit, reaksi dinonaktifkan dengan pemanasan 70 C selama 15 menit. Selanjutnya ditambahkan 1 µl (2 unit) RNase H dan diinkubasi pada 37 C selama 20 menit. Reverse Transcriptase PCR (RT-PCR) Prosedur yang digunakan adalah SuperScript TM II RT, Invitrogen (dengan modifikasi). Template yang digunakan adalah first-strand cdna bunga kakao. RT-PCR dilakukan dengan volume PCR mix 50 µl yang terdiri atas : 5 µl buffer 10x, 1 µl dntp's 10 mm, 1 µl primer forward AP1 10 p mol/µl, 1 µl primer oligo(dt) p mol/µl, 1 µl Taq polymerase 5 u/µl, 2 µl first-strand cdna template, dan 39 µl MQ steril. Program PCR nya adalah sebagai berikut : initial denaturation 95 C selama 4 menit, dilanjutkan dengan denaturation 95 C 30 detik, annealing 49 C 35 detik, dan extension 72 C 2 menit sebanyak 40 siklus,

92 74 serta final extension 72 C selama 5 menit. Hasil RT-PCR kemudian diperiksa dengan gel agarose 1%. Ekstraksi dan Purifikasi AP1 Prosedur yang digunakan adalah QIAEX II Kit (QIAGEN). Pita DNA yang ukurannya sesuai dengan yang diharapkan selanjutnya diekstraksi dari gel. Hasil ekstraksi diperiksa di gel dan jika positif, selanjutnya diligasikan dengan vektor kloning. Prosedur ekstraksi dan purifikasi pita DNA dari gel adalah sebagai berikut : Pita DNA dipotong dari gel agarose menggunakan skalpel yang tajam dan bersih. Potongan gel ditimbang dalam tabung mikro yang tidak berwarna, kemudian ditambahkan 3 volume bufer QX1 untuk 1 volume gel yang mengandung 100 pb - 4 kb fragmen DNA. QIAEX II dilarutkan dengan cara divortex selama 30 detik, dan ditambahkan 10 µl QIAEX II ke dalam sampel kemudian divortex. Diinkubasikan pada 50 C selama 10 menit untuk melarutkan agarose dan mengikat DNA. Campuran divortex setiap 2 menit untuk memelihara QIAEX II dalam larutan (warna larutan tetap kuning). Sampel disentrifus selama 30 detik dan supernatan dipindahkan secara hati-hati dengan pipet. Pelet dicuci dengan 500 µl bufer QX1 dan dilarutkan kembali dengan cara divortex, kemudian untuk memindahkan residu agarose, sampel disentrifus selama 30 detik. Pelet dicuci dua kali dengan 500 µl bufer PE dan dilarutkan kembali dengan cara divortex, kemudian sampel disentrifus selama 30 detik dan supernatan dipindahkan secara hati-hati dengan pipet. Pelet dikeringkan dengan air-dry selama menit atau sampai pelet menjadi putih. Untuk melarutkan DNA, ditambahkan 18 µl 10 mm Tris-Cl ph 8.5 atau MQ ke dalam pelet kemudian divortex dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 5 menit. Campuran

93 75 disentrifus selama 30 detik dan supernatan dipipet dengan hati-hati dan dimasukkan ke dalam tabung mikro yang bersih. Supernatan ini mengandung DNA yang telah dimurnikan. Hasil ekstraksi dan purifikasi DNA kemudian diperiksa dengan gel agarose 1%. Kloning AP1 ke dalam Vektor pgem-t Easy Volume ligasi yang digunakan adalah 10 µl, terdiri atas : 3 µl DNA insert hasil purifikasi AP1 (~1.000 ng DNA insert), 1 µl vektor pgem-t Easy, 5 µl bufer ligasi rapid 2x, dan 1 µl enzim T4 ligase. Reaksi ligasi dilakukan pada suhu ruang selama 1 jam, kemudian dilanjutkan pada 4 C overnight (O/N). Reaksi selanjutnya adalah transformasi ke sel kompeten E. coli sebagai berikut : Setelah diligasi, sampel ditambah 100 µl sel kompeten, kemudian diinkubasikan dalam es selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan heat shock pada 42 C selama 50 detik, kemudian diinkubasikan dalam es selama 10 menit. Ditambahkan 800 µl media SOC cair dan dikultur pada 37 C selama 1.5 jam dengan pengocokan 250 rpm. Kemudian dikulturkan 100 µl pada media LB padat yang mengandung Ampicillin 100 µg/ml, 100 µl 100 mm IPTG dan 20 µl 50 mg/ml X-Gal. Setelah diinkubasikan pada 37 C O/N, maka dilakukan seleksi terhadap koloni yang tumbuh. Koloni yang dipilih adalah yang berwarna putih dan selanjutnya dilakukan PCR koloni dan membuat duplikat terhadap koloni yang terpilih tersebut. PCR koloni dilakukan dengan volume PCR mix sebanyak 25 µl yang terdiri atas : 20.5 µl MQ, 2.5 µl 10x buffer, 0.5 µl dntps 10 mm, 0.5 µl primer M13 forward 5 p mol/µl, 0.5 µl primer M13 reverse 5 p mol/µl, 0.5 µl Taq polymerase 5 u/µl dan kemudian ditambahkan koloni ke dalam mix tersebut. Program PCR nya adalah sebagai berikut : initial denaturation 95 C selama

94 76 4 menit, denaturation 95 C 30 detik, annealing 50 C 30 detik, extension 72 C 2 menit sebanyak 35 siklus, serta final extension 72 C selama 5 menit. Hasil PCR koloni selanjutnya diperiksa dengan gel agarose 1%. Miniprep DNA Plasmid Prosedur yang digunakan adalah QIAprep Spin Miniprep Kit (QIAGEN). Miniprep/isolasi DNA plasmid dilakukan terhadap koloni terpilih yang ukurannya sesuai yang telah dikultur semalam (O/N) pada media LB cair dan diinkubasikan pada 37 C dengan pengocokan 300 rpm. Hasil miniprep kemudian diperiksa pada gel agarose 1%. Prosedur dalam melakukan miniprep DNA plasmid adalah sebagai berikut : Pelet sel bakteri dilarutkan dalam 250 μl bufer P1 dan ditransfer ke dalam tabung mikro. Setelah ditambahkan 250 μl bufer P2, tabung mikro dibolak-balik 4-6 kali sampai tercampur kemudian ditambahkan 350 μl bufer N3 dan segera dibalik 4-6 kali dengan hati-hati. Campuran disentrifus dalam microcentrifuge selama 10 menit pada rpm, lalu supernatan dipindahkan ke dalam QIAprep Spin Column dengan cara dituang atau dipipet. Setelah sentrifugasi selama 1 menit dan cairan yang terkumpul dibuang, QIAprep Spin Column dicuci dengan menambahkan 0.75 ml bufer PE dan disentrifus selama 1 menit. Cairan yang terkumpul dibuang dan Spin Column disentrifus lagi selama 1 menit untuk menghilangkan residu bufer pencucian. QIAprep column diletakkan dalam tabung mikro bersih berukuran 1.5 ml. DNA dilarutkan dengan menambahkan 50 μl bufer EB (10 mm Tris-Cl, ph 8.5) atau MQ ke tengahtengah QIAprep Spin Column, dibiarkan tegak selama 1 menit, kemudian disentrifus selama 1 menit. Hasil miniprep selanjutnya diperiksa dengan gel agarose 1%.

95 77 Selanjutnya untuk memeriksa keberadaan DNA insert dapat dilakukan dengan pemotongan menggunakan enzim EcoRI sehingga dapat diketahui ukuran insert yang digunakan. Volume reaksi untuk digesti adalah 10 µl yang terdiri atas : 3 µl DNA plasmid hasil miniprep, 1 µl NEB buffer, 1 µl enzim EcoRI, dan 5 µl MQ. Kemudian diinkubasikan pada 37 C selama 1 jam dan diperiksa hasilnya pada gel agarose 1%. Sekuensing dan Analisis Hasil Sekuensing Sekuensing dilakukan dengan menggunakan Big Dye Terminator Cycle Sequencing Ready Reaction Kit (Perkin-Elmer Applied Biosystems), dengan mesin sequencer MJ Research, Peltier Thermal Cycler (PCT 200). Volume masing-masing reaksi sebanyak 20 µl, yaitu reaksi 1 terdiri atas 11 µl (DNA + MQ mix), 8 µl sequencing mix, dan 1 µl primer M13 forward 5 p mol/µl, dan reaksi 2 terdiri atas 11 µl (DNA + MQ mix), 8 µl sequencing mix, dan 1 µl primer M13 reverse 5 p mol/µl. Program PCR nya adalah sebagai berikut : preheating 95 C selama 1-2 menit, denaturation 95 C selama 30 detik, annealing 52 C selama 20 detik dan extension 60 C selama 4 menit, sebanyak 30 siklus. Hasil sekuensing dianalisis dengan program SeqMan II (DNAStar). Untuk mendapatkan full-length AP1, maka hasil sekuensing dengan primer M13 forward disambungkan dengan reverse complement dari hasil sekuensing dengan primer M13 reverse. Untuk membandingkan dengan semua database yang telah diketahui pada NCBI ( data sekuen dianalisis dengan program pencarian BLAST (Altschul et al. 1997). Selanjutnya terhadap sekuen-sekuen tersebut dilakukan alignment dengan menggunakan program alignment multi sekuen ClustalW (

96 78 Hasil dan Pembahasan Isolasi AP1 dari Jaringan Bunga Kakao Hasil elektroforesis RNA total bunga kakao dapat dilihat pada Gambar 14, sedangkan kualitas dan kandungan RNA dari masing-masing sampel tercantum pada Lampiran 6. Data tersebut menunjukkan bahwa RNA total yang dihasilkan mempunyai kualitas yang cukup baik dengan nilai rasio A260/A280 berkisar antara dan rasio A260/A230 berkisar antara Kandungan RNA per gram sampel berkisar antara µg. Dengan kisaran rasio absorbansi seperti itu maka RNA yang dihasilkan mempunyai kualitas yang memenuhi syarat untuk digunakan dalam berbagai kepentingan terkait. Rasio A260/A280 menunjukkan ada tidaknya kontaminasi oleh protein, sedangkan rasio A260/A230 menunjukkan ada tidaknya kontaminasi oleh polisakarida atau polifenol (Logemann et al. 1987; Manning 1990). Kualitas dan kandungan RNA total tersebut merupakan faktor penting dalam isolasi RNA, karena sangat menentukan keberhasilan pada tahapan selanjutnya. 1 kb plus Gambar 14 Hasil elektroforesis RNA total bunga kakao. Lini 1-8 RNA total bunga kakao dari beberapa preparasi yang berbeda, marker DNA 1 kb plus.

97 79 Isolasi RNA total dengan kualitas yang baik dari jaringan bunga kakao adalah sangat sulit, karena jaringan tersebut mengandung metabolit seperti lendir dan senyawa polifenol yang tinggi. Padahal untuk melakukan uji ekspresi gen menggunakan teknik RT-PCR atau yang lainnya diperlukan RNA dari berbagai jaringan dengan kualitas yang baik. Dalam penelitian ini, dengan menggunakan prosedur dari Asif et al. (2000) yang dimodifikasi, telah berhasil diisolasi RNA total dari kuncup bunga kakao dengan kualitas yang sangat baik. RNA yang dihasilkan mempunyai integritas yang tinggi, ditunjukkan dengan adanya dua pita yang kuat dari ribosomal RNA (28S dan 18S) dalam elektroforesis (Gambar 14). Kandungan RNA yang cukup tinggi (Lampiran 6) juga menunjukkan keberhasilan dalam isolasi RNA dari kuncup bunga kakao. Parameter lain yang menunjukkan tingginya kualitas RNA total yang dihasilkan yaitu stabilitasnya yang tinggi, dimana setelah disimpan pada suhu -80 o C selama beberapa minggu masih mempunyai kualitas yang sama seperti RNA yang baru diisolasi. Pencarian informasi molekuler dari sekuen gen penanda pembungaan (AP1) dilakukan melalui internet dengan tujuan untuk mempelajari sekuen gen tersebut dari beberapa spesies tanaman yang telah tersedia. Untuk mempelajari daerah homologi yang tinggi dari sekuen gen tersebut, beberapa pendekatan telah dilakukan dengan menggunakan program bioinformatika. Program pencarian BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) melalui interrnet digunakan untuk mendapatkan semua database sekuen yang tersedia tanpa memperhatikan apakah yang dicari tersebut nukleotida (DNA) atau asam amino (protein). Program ini juga digunakan untuk melihat homologi antara query sequence dengan sekuen dalam genebank yang juga terdapat pada NCBI. Dua pencarian BLAST, yaitu BLASTN (BLAST nukleotida) digunakan untuk membandingkan homologi antara sekuen nukleotida yang terdapat dalam

98 80 genebank dan BLASTP (BLAST protein) yang membandingkan sekuen asam amino. Selain itu, pencarian homologi juga dilakukan dengan melakukan alignment sekuen asam amino menggunakan program ClustalW. Primer heterologous spesifik AP1 dirancang berdasarkan homologi sekuen (conserved region) dengan menggunakan program BLAST dan ClustalW dari 14 spesies sebagai berikut : Citrus sinensis (AY338974), Populus balsamifera (AY615966), Sinapsis alba (X81480), Arabidopsis thaliana (NM_105581), Oryza sativa (AF109153), Betula pendula (X99655), Vitis vinifera (AY538746), Chloranthus spicatus (AY316311), Malus domestica (AY071921), Brassica oleracea (AJ505845), Pisum sativum (AJ279089), Eucalyptus globulus (AF305076), Dendrobium grex (AF198174) dan Nicotiana tabacum (AF009126). Berdasarkan hasil alignment tersebut dapat dipilih daerah terkonservasi (conserved) sepanjang 20 nukleotida yang selanjutnya digunakan sebagai primer AP1 forward, yaitu : 5 -ATGGGAAGAGGTAGGGTTCA-3. Primer yang dihasilkan tersebut selanjutnya digunakan dalam reaksi RT-PCR pb 500 pb 1 kb M AP1 Gambar 15 Hasil RT-PCR cdna bunga kakao.

99 81 Dari hasil sintesis first-strand cdna dengan template RNA total bunga kakao dan dilanjutkan dengan reaksi RT-PCR, diperoleh pita dengan ukuran sekitar pb (Gambar 15). Hasil ini menunjukkan bahwa putative gen AP1 pada kakao dapat diidentifikasi dengan PCR menggunakan primer heterologous. Pita yang dihasilkan selanjutnya dipotong dan diekstraksi dari gel, kemudian dimurnikan untuk selanjutnya digunakan pada proses kloning. Hasil ekstraksi diperiksa ulang di gel dan ternyata masih menghasilkan pita dengan ukuran dan kualitas yang sama, sehingga dapat digunakan sebagai insert. Tabel 2 Seleksi koloni hasil transformasi AP1 ke dalam vektor kloning Insert Total koloni Jumlah koloni Putih Biru Persentase koloni putih AP1 Gel AP1 Gel AP1 PCR AP1 PCR Selain menggunakan insert dari hasil ekstraksi gel, dalam penelitian ini juga dicoba dengan insert yang berasal dari PCR langsung. Kloning dengan insert yang berasal dari hasil PCR dan dari hasil ekstraksi gel tersebut menghasilkan beberapa koloni sebagaimana tertera pada Tabel 2. Dari koloni yang tumbuh tersebut dipilih beberapa koloni yang berwarna putih dan selanjutnya dilakukan PCR koloni serta diisolasi DNA plasmidnya. Miniprep DNA plasmid dilakukan dengan QIAprep Spin Miniprep Kit (QIAGEN) dan menghasilkan pita sebagaimana terdapat pada Gambar 16.

100 pb 1000 pb 1 kb-m Gambar 16 Hasil miniprep DNA plasmid. Lini 1-5 DNA plasmid dari koloni terpilih, marker DNA 1 kb. Kedua jenis insert yang digunakan tersebut menghasilkan total koloni dalam jumlah yang hampir sama, tetapi insert dari hasil PCR menghasilkan persentase koloni berwarna putih yang lebih tinggi (Tabel 2). Namun demikian dalam pengecekan lebih lanjut baik melalui PCR koloni maupun melalui digesti menggunakan enzim EcoRI, insert yang berasal dari hasil ekstraksi gel memberikan kualitas DNA yang lebih baik (Gambar 17). Dengan pemotongan terhadap DNA plasmid tersebut juga sekaligus dapat diketahui keberadaan DNA insert yang digunakan pb kb-m 500 pb Gambar 17 Hasil digesti DNA plasmid dengan enzim EcoRI. Lini 1-3 DNA dari koloni dengan insert hasil ekstraksi gel, lini 4-5 DNA dari koloni dengan insert hasil PCR langsung, marker DNA 1 kb.

101 83 Lima buah klon DNA rekombinan AP1 yang telah diisolasi kemudian disekuensing. Reaksi sekuensing dilakukan dengan Kit BigDye menggunakan primer universal M13 forward dan M13 reverse. Setelah kontaminasi oleh sekuen vektor dihilangkan, sekuen-sekuen nukleotida dari klon insert tersebut dianalisis dengan program SeqMan II (DNAStar) dan memperlihatkan homologi yang tinggi. Untuk mendapatkan full-length AP1, maka hasil sekuensing dengan primer M13 forward disambungkan dengan reverse complement dari hasil sekuensing dengan primer M13 reverse (Lampiran 7). Sekuensing dengan kedua primer tersebut menghasilkan sekuen full-length AP1 dengan panjang 824 pb (Gambar 18), dengan hasil translasi ke dalam protein dengan 241 residu asam amino (aa) (Lampiran 8). Ukuran sekuen asam amino AP1 kakao tersebut mirip dengan AP1 yang terdapat pada beberapa spesies tanaman lainnya seperti asam amino AP1 Malus domestica, Vitis vinifera, Populus balsamifera, Betula pendula, Citrus sinensis, Arabidopsis thaliana, dan sebagainya, yang panjangnya berkisar antara aa. ATGGGAAGAGGTAGGGTTCAGTTGAAGAGGATAGAGAACAAGATCAACAGGCAAGTT ACTTTTTCCAAAAGGAGAGCTGGGTTGTTGAAGAAAGCTCATGAGATCTCTGTCTTG TGCGATGCTGAGGTCGCTTTGATTGTCTTCTCTCACAAAGGGAAGCTCTTTGAATAC TCCAGTGATTCCTGCATGGAGAAGATACTTGAACGCTATGAAAGGTACTCTTATGCT GAAAGACAGCTTGTCGCTACTCAGCCAGGATCTCAGGGGAACTGGTCCATGGAGTAT AACAGACTTAAGGCTAAGGTTGAGCTCTTGCAGAAAAATCACAGGCACTACATGGGA GAAGATTTAGACTTTTTGAGTCTCAAGGAGCTGCAGAATTTGGAGCAGCAGCTTGAT ACTGCTCTTAAACACATTCGATCTAAAAAAAACCAACTCATGTATGAGTCTATATCT GAGCTTCAGAGAAAGGAGAAGGCAATACAGGAGCAAAACACCATGCTAGCAAAGCAG ATCAAGGAGAAGGAGAAGACTGTTGCGCAGCAGTCTCAGTGGGGGCAGCAAGGCCAT GGCCTCAACACATCACCCTTTCTGCTGCCACAGCCACATCCTTGTTTGAATATTAGT GGAACATACCAGGAAGAAGCACCAGAGATGAGGAGGAATGAACTTGACCTTACCCTG GAACCTATCTATTCGTGCAATCTGGGATGCTTTGCTGCATGAATTGTAGTACGATAT AAGAATGCTTGTTGTTGCCCGCCGCTAAAGAATATGGACATAGATGCATTATGGTTA AACAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA Gambar 18 Sekuen nukleotida full-length AP1 pada tanaman kakao (824 pb). Sekuen bergaris bawah adalah primer AP1 forward.

102 84 Analisis Sekuen AP1 dari Tanaman Kakao Berdasarkan analisis BLASTN (Gambar 19) dapat diketahui bahwa sekuen nukleotida AP1 kakao (824 pb) mempunyai homologi yang tinggi terhadap beberapa gen pembungaan (AP1) yang telah diketahui, terutama pada tanaman berkayu. Tampilan pada gambar tersebut menunjukkan tingkat homologi sekuen nukleotida AP1 kakao (824 pb) dengan sekuen yang terdapat di database. Masing-masing garis mewakili tingkat homologinya, dimana garis berwarna merah menunjukkan tingkat homologi sangat tinggi, garis ungu tingkat homologi tinggi, garis hijau tingkat homologi sedang, garis biru untuk homologi rendah dan garis hitam untuk homologi sangat rendah. Fragmen garis yang diarsir menunjukkan adanya intron. Tingkat homologi dapat diketahui lebih jauh dengan melihat nilai skor (bits) dan E value. Semakin tinggi skor (bits) maka tingkat homologinya semakin baik, sebaliknya semakin kecil skor (bits) maka semakin rendah tingkat homologinya. Selain skor (bits), E value (nilai dugaan) juga memberikan ukuran statistik penting yang cukup signifikan. Nilai E value yang lebih rendah menunjukkan tingkat homologi yang lebih baik, yang berarti sekuen yang bersangkutan lebih mirip dan data lebih dapat dipercaya. Di dalam penjajaran sekuen, untuk memastikan adanya homologi E value harus lebih rendah dari e-04 (Claveri dan Notredame 2003). Hasil BLASTN terhadap sekuen nukleotida AP1 kakao (824 pb) menunjukkan bahwa sekuen tersebut mempunyai homologi yang tinggi dengan gen-gen pembungaan (AP1) dari spesies tanaman lainnya, seperti AP1-like protein Vitis vinifera (AY538746), AP1 Lotus corniculatus (AY770395), AP1 Salix discolor (DQ068269), AP1 Populus balsamifera (AY615966) dan AP1 Citrus sinensis (AY338974).

103 85 Distribution of 281 Blast Hits on the Query Sequence Mouse over to see the defline, click to show alignments Sequences producing significant alignments: Score E (Bits) Value gi gb AY Vitis vinifera AP1-like protein mrna, e-87 gi gb AY Lotus corniculatus var. japonicus e-77 gi gb DQ Salix discolor SAP1 (SAP1) mrna, e-76 gi gb DQ Salix discolor SAP1 (SAP1) mrna, e-76 gi gb AY Populus balsamifera subsp. trichoc e-74 gi gb AY Populus balsamifera subsp. trichoc e-71 gi gb AY Populus balsamifera subsp. trichoc e-69 gi gb AY Citrus sinensis APETALA1 (AP1) mrna, 264 5e-68 gi gb AF Populus tremuloides PTM1 mrna, comp 262 2e-67 gi gb AF Populus tremuloides PTM2 mrna, comp 252 2e-64 gi gb AY Corylopsis sinensis euap1 APETALA e-61 gi gb AY Heuchera americana euap1 APETALA e-60 Gambar 19 Hasil BLASTN sekuen nukleotida AP1 kakao (824 pb).

104 86 Distribution of 100 Blast Hits on the Query Sequence Mouse-over to show defline and scores, click to show alignments Sequences producing significant alignments: Score E (Bits) Value gi gb AAT AP1-like protein [Vitis vinifera] 405 8e-113 gi emb CAA MADS3 protein [Betula pendula] 391 1e-108 gi gb AAT APETALA1-like MADS-box PTAP e-107 gi gb AAF PTM2 [Populus tremuloides] 382 4e-106 gi gb AAX MADS box protein AP1a [Lotus corni 382 6e-106 gi emb CAA Saap1 [Sinapis alba] >gi sp e-105 gi gb AAD MADS C-2 protein; MADS-box protein 379 5e-105 gi emb CAD MADS-box protein AP1-c [Brassica 375 5e-104 gi gb AAR APETALA1 [Citrus sinensis] >gi e-104 gi ref NP_ AP1 (APETALA1); DNA binding / tr e-103 gi emb CAA AP1 [Arabidopsis thaliana] 374 2e-103 gi emb CAD MADS-box protein AP1-a [Brassica e-103 gi dbj BAD Unknown protein [Arabidopsis thalian 373 3e-103 gi gb AAM Homeotic protein boi1ap1, putative [A 372 5e-103 gi gb ABE Transcription factor, MADS-box; Tr e-103 Gambar 20 Hasil BLASTP sekuen asam amino AP1 kakao (241 aa).

105 87 Demikian halnya dengan analisis BLASTP (Gambar 20), sekuen asam amino AP1 kakao (241 aa) mempunyai homologi yang tinggi dengan protein AP1 dari berbagai spesies dengan kesamaan asam amino sekitar 85%, seperti AP1- like protein Vitis vinifera (AAT07447), protein MADS3 Betula pendula (CAA67967), AP1-like MADS-box Populus balsamifera (AAT39554), PTM2 Populus tremuloides (AAF12700), MADS-box protein AP1 Lotus corniculatus (AAX13296), protein AP1 Sinapsis alba (CAA57233) dan AP1 Citrus sinensis (AAR01228). Berdasarkan hasil alignment antara sekuen protein AP1 kakao (TcAP1) dengan beberapa spesies lain menggunakan program ClustalW, menunjukkan bahwa sekuen tersebut termasuk kelompok MADS-box tipe MIKC, dimana mempunyai daerah terkonservasi yang sangat tinggi pada daerah MADS-box, daerah I (intervening) yaitu daerah antara MADS-box dan K-box, daerah K-box yang sedikit kurang terkonservasi dan daerah C-terminus yang terkonservasi hanya pada sebagian kecil sekuennya (Gambar 21). Daerah MADS-box pada TcAP1 terdiri atas 57 asam amino (aa), daerah I (intervening) terdiri atas 33 aa, daerah K-box terdiri atas 67 aa dan daerah C-terminus terdiri atas 84 aa. Gen MADS-box pada tanaman mempunyai DNA-binding domain yang conserved, yang dinamakan MADS (MCM1, AGAMOUS, DEFICIENS dan SRF) (Sung et al. 1999) dan berfungsi sebagai pengontrol berbagai aspek perkembangan dan proses reproduktif termasuk pembentukan bunga (Nam et al. 2003). Gen MADS-box menyandi faktor transkripsi dan terdapat pada tiga kingdom eukaryotik (tumbuhan, hewan dan fungi). Pada tanaman, gen MADSbox termasuk gen pengatur perkembangan tanaman. Daerah protein disandikan oleh MADS-box yang sangat conserved, yang disebut sebagai MADS-domain dan merupakan bagian dari DNA-binding domain. Daerah MADS-box terdiri atas sekitar 60 aa. Sebagian besar gen MADS-box pada tanaman adalah termasuk

106 88 MADS-box PbAP1 MGRGRVQLKRIENKINRQVTFSKRRTGLLKKAHEISVLCDAEVALIVFSHKGKLFEYSTNACMEKI 66 PtMADS MGRGRVQLKRIENKINRQVTFSKRRAGLLKKAHEISVLCDAEVALIVFCHKGKLFEYSTNACMEKI 66 TcAP1 MGRGRVQLKRIENKINRQVTFSKRRAGLLKKAHEISVLCDAEVALIVFSHKGKLFEYSSDSCMEKI 66 SaAP1 MGRGRVQLKRIENKINRQVTFSKRRAGLLKKAHEISVLCDAEVALVVFSHKGKLFEYSTDSCMEKI 66 BoAP1 MGRGRVQLKRIENKINRQVTFSKRRAGLFKKAHEISVLCDAEVALVVFSHKGKLFEYSTDSCMEKI 66 AtAP1 MGRGRVQLKRIENKINRQVTFSKRRAGLLKKAHEISVLCDAEVALVVFSHKGKLFEYSTDSCMEKI 66 BpMADS3 MGRGRVQLKRIENKINRQVTFSKRRGGLLKKAHEISVLCDAEVAVIVFSHKGKLFEYATDSSMEKI 66 PsMADS MGRGRVQLKRIENKINRQVTFSKRRAGLLKKAHEISVLCDAEVALIVFSHKGKLFEYATDSCMEKI 66 CsAP1 MGRGRVQLKRIENKINRQVTFSKRRAGFLKKAHEISVLCDAEVAVIIFSHKGKLFEYSTGSCMEKI 66 VvAP1 MGRGRVQLKRIENKINRQVTFSKRRTGLLKKAHEISVLCDAEVALIVFSTKGKLFEYSTDSCMEKI 66 NtAP1 MGRGRVQLKRIENKINRQVTFSKRRSGLLKKAHEISVLCDAEVGLIVFSTKGKLFEYSTDSCMERI 66 ChAP1 MGRGRVQLKRIENKINRQVTFSKRRSGLLKKAHEISVLCDAEVALIVFSAKGKLSEYSTDSRMDRI 66 ************************* *::**************.:::*. **** **::.: *::* K-box PbAP1 LERHERYSYAERQLVATDLDSQGNWTLEYNRLKAKVELLQRNHRHYLGEDLDSVSLKELQNLEQQI 132 PtMADS LERHERYSYAERQLVATDLDSQGNWTLEYNRLKEKVELLQRNHRHYLGEDLDSVSLKELQNLEKQI 132 TcAP1 LERYERYSYAERQLVATQPGSQGNWSMEYNRLKAKVELLQKNHRHYMGEDLDFLSLKELQNLEQQL 132 SaAP1 LERYERYSYAERQLIAPESDVNTNWSMEYNRLKAKIELLERNQRHYLGEDLQAMSSKELQNLEQQL 132 BoAP1 LERYERYSYAERQLIAPESDVNTNWSMEYNRLKAKIELLERNQRHYLGEDLQAMSPKELQNLEQQL 132 AtAP1 LERYERYSYAERQLIAPESDVNTNWSMEYNRLKAKIELLERNQRHYLGEDLQAMSPKELQNLEQQL 132 BpMADS3 LERYERYSYAEAQLVAADSEGQGSWTMEFARLKGKVELLQRNHRHYLGDDLESLSHKELQNLEQQL 132 PsMADS LERYERYSYAERQLVANDSESQGNWTIEYTRLKAKIDLLQRNYRHYMGEDLGTMSLKELQSLEQQL 132 CsAP1 LERYERYAYAERQLIAPDPESQRNWPLECNNLKAKIDLLQKDQRHYLGEDLESLSLKDIQQLEQQL 132 VvAP1 LDRYERYSYAERQLTATDPESQGNWSLEYSKLKAKIELLQRSQRHFLGEDLDSLSLKELQNLEQQL 132 NtAP1 LERYERYSYAERQLTATDHETPGSWTLEHAKLKGRLEVLQRNQGHYAGEDLDSLCMKELQNLEHQL 132 ChAP1 LERYERISYAERELRSTDHRPDGNWNLEYSKLKAKLEGLQRXQRHYMGEDLEKLSLKELQPLENQL 132 *:*:** :*** :* : :.* :*.** ::: *:: *: *:** :. *::* **:*: PbAP1 DTALKLIRERKNHLMYQSISELQIKEKAIKEQNNMLVKQIKEKEKAL-AQPALWDQQDH-GPNAS- 195 PtMADS DTALELIRERKNHLMYQSISELQIKEKAIKEQNNMLVKQIKEKEKAL-AQPALWDQQDH-GPNAS- 195 TcAP1 DTALKHIRSKKNQLMYESISELQRKEKAIQEQNTMLAKQIKEKEKTV-AQQSQWGQQGH-GLNTS- 195 SaAP1 DTALKHIRSRKNQLMHDSINELQRKEKAIQEQNSMLSKQIKEREKILRAQQEQWDQQNH-GHNMPP 197 BoAP1 DTALKHIRSRKNQLMYDSVNELQRKEKAIQEQNSMLSKQIKEREKVLMAQQEQWDQQNH-GQNMPS 197 AtAP1 DTALKHIRTRKNQLMYESINELQKKEKAIQEQNSMLSKQIKEREKILRAQQEQWDQQNQ-GHNMPP 197 BpMADS3 DTALKHVRTRKNQLMYESISQLQKKEKAIQEQNTILAKKIKEKEKTVA-QHVDWEQQNQGAPNGS- 196 PsMADS DTALKLIRTRRNQLMYESISELQKKEKVIQEQNNMLAKKIKEKEKIAAEQQVQWEHPNHHGVN CsAP1 DTALKHIRSRKNQLMQESISELQKKEKSIEEQNNLLVKQIKEREKAA-AQQAQWGNQIQNQVPNT- 196 VvAP1 DTALKHIRSRKNQLMYESISELQRKEKAMQEQNNMLAKEIKEKEKTV-AQQTHWEQQNH-GLNTS- 195 NtAP1 DSALKHIRSRKNQLMHESISELQKKDEALQEQNNNLSKQVKEG-EKELAQQTQWEQQSHDHLN ChAP1 DNALKHIRTRKTQVMMDSIAELQAREKLLQEQNSMLEKKIQE--KNALAHQAHWEQQNQTQS *.**: :* ::.::* :*: :** ::: ::***. * *:::* : : * : : PbAP SFLLPQPPLPCLNIS--YQEEDP-----EARRNYELDLTLEPIYSCHLGCFGT 241 PtMADS SFLLPQPPLPCLNIS--YQEEDP-----IARRN-ELDLTLEPIYSCHLGCFGT 240 TcAP PFLLPQP-HPCLNISGTYQEEAP-----EMRRN-ELDLTLEPIYSCNLGCFAA 241 SaAP1 PPPPQ--QIQHPYMLSHQPSPFLNMGGLYQEEDP-----MEMRRNDLDLSLEPVYNCNLGCFAA 254 BoAP1 PPPPQQHQIQHPYMLSHQPSPFLNMGGLYQEEDP-----MAMRRNDLDLSLEPVYNCNLGCFAA 256 AtAP1 PLPPQQHQIQHPYMLSHQPSPFLNMGGLYQEDDP-----MAMR-NDLELTLEPVYNCNLGCFAA 255 BpMADS SSFLLPQPLPCLNIGGNYQEEAP-----EVRRN-ELELTLEPIYSCHLGCFAT 243 PsMADS PNYLLHQQLPSLNMGGNYREEAP-----EMGRN-ELDLTLEPLYTCHLGCF CsAP LSFLLPQPPPCLRLGGAYQEQAS-----EMRRN-ELNLTLEPVCSCSLGCFAG 243 VvAP SFLLPQQLPCLNMGGTYQGEAH-----GARRN-ELDLTLEPIYPSHLGCFTT 241 NtAP SSSFVLTQPLSSLHLGEAYPTAGDNGELEGSSRQQQQNTVMPPWMLRHLNG ChAP PPPFLLTHQHPTINN-STYQARGE----EDRVR---TNSLMPPWMLRHVNG :. :. * * : : * :. Gambar 21 Hasil alignment sekuen asam amino AP1 kakao dengan beberapa spesies lain menggunakan Program ClustalW.

107 89 gen tipe II dan mempunyai tiga domain lebih banyak daripada gen tipe I, yaitu daerah intervening (I) yang terdiri atas sekitar 30 kodon, daerah keratin-like (K) yang terdiri atas sekitar 70 kodon dan daerah C-terminal (C) yang panjangnya bervariasi. Gen seperti ini dikatakan sebagai gen tipe MIKC dan spesifik pada tanaman (Henschel et al. 2002; Nam et al. 2005). Diagram gen MADS-box tipe II pada tanaman secara skematik dapat dilihat pada Gambar 22. DNA-binding domain Protein interaction MADS I K C Protein interaction domain Transcriptional activation Gambar 22 Diagram skematik gen MADS-box MIKC tipe II pada tanaman (dimodifikasi dari Nam et al. 2003). Gen MADS-box tipe MIKC bunga mengkode faktor transkripsi yang mengontrol perkembangan bunga pada tanaman, mengontrol penanda dan pembentukan organ bunga dan beberapa proses perkembangan lainnya melalui pembentukan kompleks interaksi protein-protein (Nam et al. 2005; Tonaco et al. 2006). MADS domain merupakan daerah yang sangat conserve yang terletak pada N-terminus dan berfungsi sebagai DNA-binding domain serta berperan juga dalam pembentukan homodimer protein. Domain I merupakan daerah yang kurang conserved dan berkontribusi terhadap spesifikasi dimerisasi atau interaksi protein dan pembentukan homodimer protein. Domain K berperanan dalam menentukan karakteristik struktur coil dan interaksi protein-protein. Domain C berfungsi dalam aktivasi transkripsional, dan pembentukan multimerik kompleks protein (Pelaz et al. 2001; Henschel et al. 2002; Parenicova et al. 2003; Shchennikova et al. 2004; Nam et al. 2005). Meskipun domain C tidak diperlukan

108 90 untuk DNA-binding dan dimerisasi protein, tetapi mempunyai peranan penting dalam menentukan potensial trans-aktivasi dan mendukung fungsional protein secara penuh (Ng dan Yanofsky 2001; Kramer et al. 2004). Analisis filogenetik dilakukan terhadap sekuen asam amino TcAP1 bersama dengan protein AP1 atau MADS-box lainnya dari berbagai spesies, menggunakan program ClustalW dan untuk menampilkan diagram cluster dengan software TreeView ( Hasil analisis menunjukkan bahwa dari berbagai spesies yang digunakan sebagai entry, membentuk tiga cluster protein yaitu AP1, SEPALLATA dan AGAMOUS. Dalam cluster AP1 tersebut, sekuen asam amino TcAP1 berkerabat dekat dengan protein AP1 Vitis vinifera (Gambar 23). AP1 SEP 0.1 AG Gambar 23 Hasil analisis phylogenetic tree antara protein TcAP1 (AP1 kakao) dengan protein MADS-box lain menggunakan Program TreeView.

109 91 Sekuen asam amino TcAP1 yang terdiri atas 241 aa (Lampiran 8) merupakan hasil translasi 824 pb full-length TcAP1 yang dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui kedekatannya dengan protein AP1 atau MADS-box lainnya dari berbagai spesies tanaman. Untuk alignment digunakan ClustalW karena program tersebut secara otomatis dapat menganalisis multiple alignment baik sekuen DNA maupun protein. Analisis filogenetik bertujuan untuk membandingkan gen-gen ekuivalen yang berasal dari beberapa spesies untuk rekonstruksi pohon kehidupan spesies-spesies tersebut (Claveri dan Notredame 2003). Hasil filogenetik menjelaskan bahwa protein TcAP1 berkerabat paling dekat dengan AP1 Vitis vinifera, kemudian disusul AP1 Populus balsamifera, MADS3 Betula pendula dan AP1 Citrus sinensis. Hal ini sesuai dengan hasil analisis Chaidamsari (2005), yang menyatakan bahwa protein TcAP1 memiliki homologi terhadap beberapa spesies yang tergabung dalam cluster AP1 dan berkerabat dekat dengan MADS3 Betula pendula dan AP1 Vitis vinifera, dan berkerabat jauh dengan spesies-spesies di dalam cluster FUL dari Arabidopsis thaliana dan cluster FBP29 dari Petunia hybrida. Hasil analisis filogenetik tersebut menunjukkan bahwa protein TcAP1 yang dihasilkan dalam penelitian ini mempunyai posisi yang akurat sebagai anggota cluster protein AP1. Kesimpulan Full-length AP1 telah berhasil diisolasi dari jaringan kuncup bunga kakao, dengan ukuran 824 pb. Berdasarkan hasil analisis homologi, sekuen tersebut berkerabat dekat dengan AP1-like protein Vitis vinifera, MADS3 protein Betula pendula, AP1-like MADS-box Populus balsamifera, PTM2 Populus tremuloides, MADS-box protein AP1 Lotus corniculatus, protein AP1 Sinapsis alba dan AP1 Citrus sinensis.

110 VI. UJI EKSPRESI GEN APETALA1 PADA BERBAGAI JARINGAN TANAMAN KAKAO Abstrak Dengan telah diidentifikasi dan diisolasinya sejumlah gen pembungaan, menunjukkan bahwa proses penting dari pembentukan organ reproduktif pada tanaman tingkat tinggi telah berkembang dengan cepat. Tahap penting dalam proses pembungaan adalah transformasi dari primordium bunga menjadi primordia dari keempat tipe organ bunga (sepal, petal, stamen dan carpel). Jumlah gen homeotik yang telah berhasil diisolasi dan dianalisis dari Arabidopsis untuk ekspresi spatial dan temporalnya juga mengalami peningkatan dengan pesat. Full-length AP1 telah berhasil diisolasi dari jaringan kuncup bunga kakao. Reaksi RT-PCR telah digunakan dan menunjukkan bahwa teknik tersebut efektif dalam memperlihatkan ekspresi gen pada berbagai jaringan tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji ekspresi gen AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao. Penelitian dilakukan di Plant Research International, Wageningen, Belanda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen AP1 diekspresikan secara diferensial pada berbagai jaringan tanaman kakao, dimana ekspresi terkuat terjadi pada kuncup bunga, kemudian berturut-turut disusul bantalan aktif dan bantalan pasif, sementara pada bantalan bertunas dan daun tidak terekspresi. Terdapatnya ekspresi AP1 pada level yang tinggi dalam jaringan kuncup bunga kakao, menunjukkan bahwa selain terlibat dalam transisi dari perkembangan vegetatif menuju reproduktif, gen AP1 juga berperanan penting dalam pembentukan organ bunga. Kata kunci : gen pembungaan, organ bunga, RT-PCR, Full-length AP1. Pendahuluan Pengertian ekspresi gen ialah bagaimana informasi yang terkandung di dalam suatu gen tersebut dimunculkan dalam pengendalian proses kehidupan. Ekspresi gen terdiri atas dua tahapan, yaitu transfer informasi genetik dari DNA ke dalam bentuk RNA yang disebut dengan transkripsi, dan selanjutnya penterjemahan informasi genetik yang terdapat pada RNA ke dalam bentuk polipeptida yang disebut dengan translasi. Faktor transkripsi berperan penting dalam pengaturan ekspresi suatu gen (Dale dan Schantz 2002). Banyak gen pembungaan telah diisolasi dan dianalisis dari Arabidopsis untuk menjelaskan ekspresi spatial dan temporalnya. Dengan berhasilnya isolasi dan identifikasi sejumlah gen pembungaan tersebut menunjukkan bahwa studi

111 93 tentang pembentukan organ reproduktif pada tanaman tingkat tinggi telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tahap krusial dalam proses pembungaan adalah transformasi dari primordia bunga menjadi empat tipe organ bunga yaitu sepal, petal, stamen dan carpel (Angenent et al. 1992). Studi pada Arabidopsis thaliana dan Antirrhinum majus telah menghasilkan kemajuan substansial dalam mengidentifikasi gen yang berperan dalam proses perubahan dari meristem vegetatif menjadi meristem bunga (Parfitt et al. 2004). Studi ekspresi dan analisis mutan gen MADS-box pada spesies tanaman secara luas menunjukkan bahwa peranan penting gen MADS-box adalah dalam pengaturan perkembangan tanaman baik reproduktif (bunga, biji, buah) maupun vegetatif (akar, daun). Pada Arabidopsis, setelah transisi dari perkembangan vegetatif ke reproduktif, meristem bunga tersusun pada meristem infloresen dan kemudian berkembang menjadi bunga dengan empat tipe organ (sepal, petal, stamen dan carpel). Di sini gen AP1, CAL dan LFY berperan sebagai penanda meristem bunga. Pada mutan ap1, sepal ditransformasi menjadi organ mirip daun dan petal gagal untuk berkembang (Pelaz et al. 2001). Pada Arabidopsis, tiga gen penanda organ bunga yaitu AP1, AP3 dan PI menyandikan faktor transkripsi domain MADS dan diekspresikan dengan pola yang terpisah secara spatial dalam bunga yang sedang berkembang (Jack et al. 1992; Mandel et al. 1992; Goto dan Meyerowitz 1994). AP1 mempunyai fungsi utama sebagai penanda meristem bunga dan juga diperlukan untuk pembentukan organ sepal dan petal pada bunga. Mutasi AP1 mengakibatkan tidak terbentuknya sepal dan petal, dimana pada tempal sepal terbentuk organ mirip daun (Lowman dan Purungganan 1999). Pada apel, dengan teknik RT-PCR van der Linden et al. (2002) telah berhasil memperlihatkan gen MADS-box bunga apel yang diekspresikan pada jaringan vegetatif. Gen MdMADS12 adalah gen mirip AP1 yang diekspresikan

112 94 pada daun, tunas vegetatif dan jaringan bunga dengan level yang sama, dan gen tersebut terlibat dalam transisi dari stadia juvenil ke dewasa. Gen AGL8 merupakan gen yang memacu pembentukan bunga pada Arabidopsis, tetapi juga diekspresikan pada jaringan carpel dan jaringan vascular daun, hal ini menunjukkan bahwa gen tersebut diperlukan juga untuk pengaturan diferensiasi sel (Hempel et al. 1997; Gu et al. 1998; Liljegren et al. 1998). Hasil tersebut menunjukkan bahwa gen MADS-box yang aslinya diekspresikan pada bunga, ternyata diekspresikan juga dan mungkin berfungsi pada jaringan vegetatif (van der Linden et al. 2002). Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji tingkat ekspresi gen AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao. Bahan dan Metode Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah kuncup bunga kakao, bantalan bunga aktif (mengandung calon bunga), bantalan bunga pasif (tidak mengandung calon bunga), bantalan bertunas dan daun. Sampel diambil dari Kebun Rajamandala, Bandung, milik PT Perkebunan Nusantara VIII Jawa Barat. Setelah diambil dari pohonnya, sampel berbagai jaringan tanaman kakao langsung dimasukkan dengan segera ke dalam nitrogen cair dan selama perjalanan ke Belanda sampel disimpan dalam dry ice, untuk selanjutnya disimpan pada suhu -80 o C sampai dengan saat digunakan. Isolasi RNA, perancangan primer, sintesis first-strand cdna dan RT-PCR dilakukan di Plant Research International, Wageningen, Belanda.

113 95 Isolasi RNA dari berbagai Jaringan Tanaman Kakao Bahan kimia yang digunakan meliputi : bufer ekstraksi (100 mm Tris-Cl ph 8.2; 1.4 M NaCl; 20 mm EDTA ph 8; 2% CTAB), nitrogen cair, PVPP, 10 M LiCl, 3 M Na-asetat (ph 5.2), 2-merkaptoetanol, MilliQ grade water (MQ), etanol absolut, etanol 70%, fenol (water saturated), kloroform : isoamil alkohol (24:1). Prosedur yang digunakan adalah dari Asif et al. (2000), yang telah dimodifikasi oleh Chaidamsari (2005) sebagai berikut : Satu gram jaringan sampel digerus sampai halus dalam nitrogen cair dengan ditambah 1% PVPP. Selanjutnya ditambahkan 15 ml bufer ekstraksi hangat (65 C) ke dalam jaringan beku dan 15 µl 2-merkaptoetanol kemudian diblender (dengan waring blender) selama 30 detik. Homogenat dimasukkan ke dalam tabung sentrifus bersih berukuran 30 ml kemudian diinkubasi pada 65 C selama 1 jam dengan divorteks pelan setiap 15 menit. Tabung didinginkan pada suhu kamar, kemudian ditambah kloroform : isoamil alkohol (24:1) dengan volume yang sama dan dikocok hingga kedua lapisan membentuk emulsi, sesekali tutup tabung dibuka pelan untuk mengurangi kelebihan tekanan udara di dalamnya. Setelah sentrifugasi dengan kecepatan rpm pada suhu kamar selama 15 menit (BECKMAN Model J2-21M, Rotor JA-20), larutan air (lapisan atas) diekstraksi ulang dengan 1 volume fenol : kloroform : isoamil alkohol (25:24:1), kemudian diulangi lagi dengan 1 volume kloroform : isoamil alkohol (24:1). Lapisan atas dipindahkan ke dalam tabung baru, kemudian ditambah 10 M LiCl hingga konsentrasi akhirnya 3 M dan RNA dibiarkan mengendap pada 4 C selama semalam. Setelah sentrifugasi rpm pada 4 C selama 20 menit, endapan RNA dilarutkan dalam 500 µl MQ dan kemudian diekstraksi berturut-turut dengan 1 volume aqua fenol (ph 8), 1 volume fenol : kloroform : isoamil alkohol (25:24:1), dan 1 volume kloroform : isoamil alkohol (24:1) masing-masing dengan

114 96 kecepatan rpm pada 4 C selama 15 menit. Setelah dipindahkan ke tabung baru, lapisan air dicampur dengan 1/30 volume 3 M Na-asetat ph 5.2 dan 1/10 volume etanol absolut, kemudian disimpan di es selama 30 menit dan selanjutnya disentrifus dengan microfuge (Hettich, Universal 16 R Microcentrifuge) pada 4 C selama 25 menit dengan kecepatan rpm. Tahap ini secara efektif dapat menghilangkan polisakarida tanpa kehilangan secara berarti RNA. Tahap ini bisa diulangi apabila masalah kontaminasi polisakarida (endapan putih seperti jeli) masih ada. Setelah dipindahkan ke dalam tabung mikro baru bebas RNase, supernatan dicampur dengan 1/10 volume 3 M Na-asetat ph 5.2 dan 3 volume etanol absolut, kemudian diinkubasi pada -70 C selama 3 jam. Setelah sentrifugasi pada microfuge dengan kecepatan rpm pada 4 C selama 20 menit, endapan RNA dicuci dengan 70% etanol dingin, dikeringkan dengan SpeedVac dan dilarutkan dalam 50 µl MQ. Selanjutnya diuji kuantitasnya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 230, 260 dan 280 nm, serta elektroforesis gel agarose 1%. Perancangan Primer Homologous Spesifik AP1 Primer homologous spesifik AP1 kakao dirancang sepanjang 20 nukleotida berdasarkan daerah homologi (conserved region) pada hasil alignment sekuen AP1 kakao dengan program ClustalW. Berdasarkan hasil alignment tersebut dapat ditentukan primer AP1 forward dan reverse. Sintesis First-Strand cdna dan RT-PCR Prosedur yang digunakan adalah Enhanced Avian HS RT-PCR Kit (One- Step RT-PCR Reaction) dari SIGMA, dengan sedikit modifikasi pada PCR mix dan program PCR nya. Volume PCR mix yang digunakan adalah 25 µl, terdiri atas : 16 µl water atau reagen PCR, 2.5 µl 10x buffer PCR, 1.5 µl MgCl 2 25 mm,

115 µl deoxyribonucleotide mix, 0.5 µl inhibitor RNase, 1 µl RNA template (~RNA ng/µl), 1 µl primer AP1 forward 10 p mol/µl, 1 µl primer AP1 reverse 10 p mol/µl, 0.5 µl eamv-rt, 0.5 µl JumpStart AccuTaq. Program PCR nya sebagai berikut : pre-pcr 45 C selama 1 menit, first-strand synthesis pada 45 C selama 50 menit, initial denaturation 94 C selama 2 menit, dilanjutkan dengan denaturation 94 C 20 detik, annealing 50 C 30 detik, dan extension 70 C 1 menit sebanyak 39 siklus, serta final extension 70 C selama 5 menit. Hasil PCR kemudian diperiksa dengan gel agarose 1%. Untuk memperbanyak stok DNA hasil PCR dapat diamplifikasi lagi menggunakan primer AP1 forward dan AP1 reverse dengan program PCR sebagai berikut : initial denaturation 94 C selama 2 menit, dilanjutkan dengan denaturation 94 C 20 detik, annealing 50 C 30 detik, dan extension 70 C 1 menit sebanyak 39 siklus, serta final extension 70 C selama 5 menit. Sebagai kontrol (pembanding), diload total RNA dari berbagai jaringan tanaman kakao dengan konsentrasi yang sama (dalam hal ini masing-masing jaringan digunakan ng RNA total). Hasil dan Pembahasan Isolasi AP1 dari berbagai Jaringan Tanaman Kakao Mempelajari pembungaan pada tanaman kakao secara ilmiah sangat menarik karena mempunyai karakteristik morfologi yang khas. Kakao merupakan pohon dengan infloresen cauliflora, dimana sebagian besar bunganya muncul secara berulang dari bantalan bunga yang sama pada setiap kali berbunga. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah gen-gen yang terlibat dalam pembungaan kakao tersebut diekspresikan secara konstitutif atau hanya diekspresikan pada

116 98 saat berbunga. Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melihat pola ekspresi gen pembungaan, misalnya dengan menggunakan teknik RT-PCR. Untuk kepentingan tersebut diperlukan RNA total dengan kualitas yang baik dari berbagai jaringan tanaman kakao. Namun demikian, isolasi RNA total dengan kualitas yang baik sangat sulit dikarenakan jaringan tanaman kakao mempunyai kandungan metabolit seperti lendir dan senyawa polifenol yang tinggi. Hasil isolasi RNA dari berbagai jaringan tanaman kakao ditampilkan pada Gambar 24, sedangkan kualitas dan kandungan RNA dari masing-masing sampel tertera pada Lampiran 9. Gambar 24 memperlihatkan bahwa RNA total dari berbagai jaringan tanaman kakao telah berhasil diisolasi dan RNA yang dihasilkan tersebut mempunyai integritas yang baik yang ditunjukkan oleh adanya dua pita yang kuat dari ribosomal RNA dalam elektroforesis. Lampiran 9 menunjukkan bahwa masing-masing sampel mempunyai kualitas RNA yang sangat baik, dengan nilai rasio A260/A280 berkisar antara dan rasio A260/A230 berkisar antara Kualitas RNA yang baik dari berbagai jaringan tersebut menunjukkan bahwa prosedur yang digunakan selain telah berhasil untuk mengisolasi RNA dari bunga sebagaimana pada percobaan sebelumnya, juga dapat digunakan untuk mengisolasi RNA dari berbagai jaringan lainnya. M Gambar 24 Hasil elektroforesis RNA total dari berbagai jaringan tanaman kakao. Lini 1 bunga, 2 daun, 3 bantalan bunga aktif, 4 bantalan bunga pasif, 5 bantalan bertunas, M 1 kb plus.

117 99 Keberhasilan dalam isolasi RNA dari jaringan bunga kakao pada percobaan sebelumnya sangat menentukan terhadap keberhasilan dalam percobaan uji ekspresi ini. Karena uji ekspresi ini dilakukan pada berbagai jaringan tanaman kakao, sehingga diperlukan RNA template yang berasal dari berbagai jaringan juga. Disamping itu dengan digunakannya teknik RT-PCR dalam uji ekspres ini, walaupun hanya diperlukan RNA template dalam jumlah yang sangat kecil tetapi kualitasnya harus tinggi. Berdasarkan data pada Lampiran 9, dimana RNA yang dihasilkan dari semua sampel mempunyai nilai rasio A260/A280 dan A260/A230 yang tinggi, maka menunjukkan bahwa RNA tersebut mempunyai kualitas yang tinggi. Tingginya nilai rasio A260/A280 dan A260/A230 menunjukkan bahwa RNA tersebut terbebas dari kontaminan protein dan polisakarida atau polifenol, sehingga dapat digunakan sebagai template pada reaksi selanjutnya. Primer homologous spesifik AP1 kakao didesain sepanjang 20 nukleotida berdasarkan daerah conserved pada hasil alignment beberapa sekuen AP1 kakao dengan program ClustalW. Berdasarkan hasil alignment tersebut dapat ditentukan primer AP1 forward : 5 -ATGGGAAGAGGTAGGGTTCA-3 dan AP1 reverse : 5 -CTTCTCCCATGTAGTGCCTG-3, yang selanjutnya digunakan dalam tahapan reaksi RT-PCR. Lokasi primer AP1 forward dan AP1 reverse pada sekuen full-length AP1 dapat dilihat pada Lampiran 10. Ekspresi AP1 pada berbagai Jaringan Tanaman Kakao Pola ekspresi gen AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao dapat dijelaskan dengan reaksi RT-PCR menggunakan primer homologous spesifik AP1 kakao. RNA template diisolasi dari berbagai jaringan tanaman kakao, yaitu jaringan bunga, bantalan bunga aktif, bantalan bunga pasif, bantalan bertunas

118 100 dan daun. Reaksi RT-PCR dilakukan dengan menggunakan protocol Enhanced Avian HS RT-PCR Kit (One-Step RT-PCR Reaction) dari SIGMA, dengan diawali sintesis first-strand cdna menggunakan primer spesifik (AP1 forward dan AP1 reverse). Sebagai kontrol (pembanding), diload RNA total dari masing-masing jaringan dalam jumlah yang sama, ng. Dalam jumlah yang sama tersebut, RNA total dari masing-masing jaringan ternyata menghasilkan pita dengan ketebalan yang sama (Gambar 25, panel A). Namun demikian dari hasil RT-PCR dengan primer spesifik, AP1 ternyata diekspresikan secara tidak sama dalam setiap jaringan tanaman kakao (Gambar 25, panel B). A 1000 pb 500 pb 1 kb-m pb B 400 pb 200 pb Smart Ladder Gambar 25 Ekspresi AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao. RNA total sebagai kontrol (A) dan hasil RT-PCR (B). Lini 1 jaringan bunga kakao, 2 bantalan bunga aktif, 3 bantalan bunga pasif, 4 bantalan bertunas, 5 daun.

119 101 Pada berbagai jaringan tanaman kakao tersebut, AP1 diekspresikan secara diferensial dimana ekspresi paling kuat terjadi pada jaringan bunga, kemudian disusul oleh bantalan bunga aktif (bantalan yang mengandung calon bunga) dan bantalan bunga pasif (bantalan yang tidak mengandung calon bunga). Pada bantalan bertunas dan daun, AP1 tidak terekspresi. Kuatnya ekspresi pada jaringan kuncup bunga tersebut diduga bahwa selain sebagai penanda meristem bunga peranan utama gen AP1 pada tanaman kakao kemungkinan adalah dalam pembentukan organ bunga. Hal ini sesuai dengan hasil pengujian Chaidamsari (2005), yang menyatakan bahwa ekspresi AP1 terjadi dengan tingkat yang rendah pada bantalan bertunas dan bantalan pasif, dan semakin meningkat ekspresinya pada bantalan aktif, kuncup bunga, sepal dan petal. Ekspresi AP1 juga terjadi pada ovary kakao, sedangkan pada daun tidak terjadi ekspresi. Hasil tersebut memperkuat dugaan bahwa AP1 pada kakao juga berperanan sebagai pengatur pembentukan organ bunga terutama sepal dan petal, sebagaimana peranannya pada berbagai spesies lain. Pada Arabidopsis, gen MADS-box AP1 merupakan gen kelas A dari model gen ABC yang merespon perkembangan sepal dan petal. Fungsi gen tersebut pada awal stadia perkembangan adalah menentukan penanda meristem bunga dan pembentukan bunga. Pada kebanyakan tanaman tingkat tinggi, organ bunga tersusun dalam empat whorl berbeda, yang berturut-turut berisi sepal, petal, stamen dan carpel. Spesifikasi penanda organ bunga tersebut telah dijelaskan dengan model gen ABC (Davies et al. 1999). Ekspresi gen kelas A spesifik dalam pembentukan sepal pada whorl 1. Kombinasi gen kelas A dan B spesifik dalam pembentukan petal pada whorl 2. Kelas B dan C spesifik dalam pembentukan stamen pada whorl 3. Ekspresi gen kelas C saja akan menentukan pembentukan carpel pada whorl 4. Kuatnya ekspresi AP1 pada sepal dan petal dari bunga kakao (Chaidamsari 2005), menunjukkan bahwa gen TcAP1 yang

120 102 telah berhasil diisolasi tersebut termasuk dalam tipe gen kelas A, yang berfungsi dalam pembentukan sepal dan petal. Domain MADS merupakan daerah dimerisasi atau DNA-binding yang sangat conserved yang terdapat sebagai faktor transkripsi. Gen MADS-box menggambarkan keluarga besar multi gen yang terdapat pada vascular tanaman. Pada angiosperm, sebagian besar keluarga gen MADS-box terlibat dalam berbagai tahap perkembangan bunga dan memegang peranan kunci dalam penentuan meristem bunga dan penanda organ (Riechmann dan Meyerowitz 1997). Pada Arabidopsis, paling tidak terdapat dua gen, APETALA1 dan LEAFY yang diperlukan untuk transisi dari meristem vegetatif menjadi meristem bunga. Gen AP1 telah diklon dan memperlihatkan peranannya dalam mengkode putative faktor transkripsi yang mengandung domain MADS. RNA AP1 diekspresikan secara seragam pada primordia bunga muda, dan selanjutnya menjadi terlokalisir pada sepal dan petal. Analisis secara detail dari gen AP1 dalam meristem bunga menunjukkan bahwa ekspresi gen tersebut terdeteksi pada stadia yang sangat awal dari perkembangan meristem dan dilanjutkan pada stadia akhir dalam whorl terluar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa AP1 bertindak secara lokal untuk spesifikasi penanda meristem bunga dan menentukan perkembangan sepal dan petal (Mandel et al. 1992; Sawa et al. 1999). Kelompok gen MADS-box mengkode faktor transkripsi yang terlibat dalam fungsi biologis yang berbeda pada eukaryot (Riechmann dan Meyerowitz 1997). Pada tanaman gen tersebut memainkan peranan sentral dalam perkembangan bunga dan buah (Weigel 1995). Gen MADS-box yang lain diekspresikan pada jaringan vegetatif, ovul dan embryo, menunjukkan bahwa kelompok gen tersebut mempunyai peranan yang berbeda selama perkembangan tanaman (Rounsley et al. 1995). Penemuan tersebut telah mendukung model gen ABC (AP1, AP3/PI dan AG), yang secara luas mempunyai spesifikasi dalam perkembangan bunga

121 103 dan buah. Bahkan beberapa gen kelas A juga diekspresikan pada daun dan batang (Rounsley et al. 1995; Alvarez-Buylla et al. 2000). Hasil penelitian van der Linden et al. (2002) juga menunjukkan bahwa fungsi anggota keluarga gen MADS-box tidak terbatas pada perkembangan organ bunga. Gen MADS-box telah dijelaskan peranannya dalam inisiasi pembungaan dan penentuan penanda meristem (Weigel 1995), perkembangan embryonik (Perry et al. 1999), pembentukan akar (Alvarez-Buylla et al. 2000), perkembangan jaringan vascular dan pembentukan biji dan buah (Buchner dan Boutin 1998; Gu et al. 1998; Liljegren et al. 1998). Dengan demikian, satu gen MADS-box dapat mempunyai fungsi yang berbeda pada stadia perkembangan yang berbeda. Gen MdMADS2 apel yang homolog dengan AP1 Arabidopsis misalnya, selain terekspresi pada meristem infloresen juga berperanan pada semua stadia perkembangan bunga (Sung et al. 1999). Demikian juga gen MdMADS12 apel yang mempunyai homologi tinggi terhadap group AP1 dari gen MADS-box, diekspresikan pada jaringan bunga sebagaimana pada tunas dan daun dari pohon dewasa yang berbunga, pohon dewasa yang tidak berbunga dan pohon juvenile, dengan tingkat ekspresi yang paling tinggi terjadi pada daun, sedangkan pada batang tidak terekspresi (van der Linden et al. 2002). Variasi ekspresi AP1 juga terjadi dalam hasil penelitian ini, dimana level ekspresi paling kuat terjadi pada bunga kakao, sedangkan pada bantalan bunga aktif dan bantalan bunga pasif secara berturut-turut ekspresinya semakin berkurang. Sementara pada bantalan bertunas dan daun kakao AP1 tidak terekspresi. Analisis filogenetik dari TcAP1 dan sekuen protein AP1 lainnya secara jelas menempatkan TcAP1 ke dalam cluster AP1 daripada ke dalam cluster FUL Arabidopsis atau FBP29 Petunia. Masuknya TcAP1 sebagai penanda AP1 sejati lebih didukung oleh pola ekspresinya pada bunga, dimana TcAP1 diekspresikan

122 104 sebagai gen kelas A yang mengatur dua whorl terluar yang membentuk sepal dan petal (Chaidamsari 2005). Pentingnya gen MADS-box di dalam menentukan penanda organ bunga dicerminkan oleh konservasi fungsinya yang kuat ketika mengalami evolusi dan kemampuan interaksinya dengan faktor transkripsi lain dari keluarga MADS serta kemampuan ekspresi ektopiknya pada Arabidopsis sehingga menghasilkan fenotipe yang sama (Pena et al. 2001; Kotoda et al. 2002; Benedito et al. 2004). Terekspresinya TcAP1 pada bunga dan bantalan bunga kakao, tetapi tidak terekspresi pada jaringan daun, menunjukkan bahwa TcAP1 tersebut terlibat dalam mengatur pembungaan kakao, yaitu pada stadia awal perkembangan meristem bunga dan pada pembentukan organ sepal dan petal dari bunga kakao. Kesimpulan Gen AP1 dierkspresikan secara diferensial pada berbagai jaringan tanaman kakao, dimana ekspresi terkuat terjadi pada jaringan bunga, kemudian bantalan aktif dan bantalan pasif, sementara pada bantalan bertunas dan daun tidak terekspresi. Terdapatnya ekspresi AP1 pada level yang tinggi dalam jaringan kuncup bunga kakao, menandakan bahwa selain terlibat dalam transisi dari perkembangan vegetatif menuju reproduktif, gen AP1 juga berperanan penting dalam pembentukan organ bunga.

123 VII. UJI EKSPRESI GEN TcAP1 (APETALA1 KAKAO) PADA TANAMAN MODEL Abstrak Pada berbagai spesies termasuk kakao, gen AP1 (APETALA1) diketahui sebagai gen penanda pembungaan yang mengendalikan terbentuknya jaringan sepal dan petal. Pengujian ekspresi fenotipe TcAP1 dilakukan dengan transgenesis konstruk konstitutif 35S-TcAP1 menggunakan teknik leaf disk eksplan daun tembakau dan mediasi Agrobacterium tumefaciens. Pengujian PCR spesifik TcAP1 menunjukkan bahwa teknik tersebut cukup efektif dalam mengintroduksikan konstruk 35S-TcAP1 ke dalam sel tanaman tembakau. RT-PCR dari daun planlet tembakau transgenik membuktikan bahwa level ekspresi TcAP1 tersebut bervariasi. Perbedaan tingkat ekspresi TcAP1 ini memberikan pengaruh yang sebanding terhadap perkembangan morfologis planlet tembakau in vitro. Kultur yang mengekspresikan TcAP1 pada level sedang mampu beregenerasi menjadi planlet sempurna dan membentuk bunga lebih cepat. Kata kunci : sepal, petal, transgenik, in vitro, Agrobacterium tumefaciens. Pendahuluan APETALA1 adalah gen penyandi faktor transkripsi yang dengan atau tanpa gen pembungaan lainnya, berperan dalam transisi perkembangan vegetatif ke pembungaan (Pelaz et al. 2001; Pena et al. 2001; Putterill et al. 2004). Homolog gen APETALA1 telah berhasil diklon dari organ bunga kakao. Pendekatan bioinformatika yang dikombinasikan dengan beberapa teknik biologi molekuler terbukti dapat digunakan untuk mengisolasi gen pembungaan kakao full-length APETALA1. Pendekatan kloning gen relatif lebih sederhana daripada cara yang umumnya digunakan, misalnya melalui penapisan (screening) pustaka cdna. Dengan primer heterologous yang dirancang berdasarkan sekuen homolog gen APETALA1 dari berbagai spesies yang dapat diakses dari bank gen (genebank) melalui situs atau cdna homolog APETALA1 dapat disintesis dari RNA total bunga kakao dan diamplifikasi dengan teknik RT-PCR.

124 106 DNA amplikon hasil RT-PCR tersebut terbukti merupakan homolog APETALA1. Setelah diklon dengan vektor-t, sekuen keseluruhan dari DNA hasil PCR tersebut (sekitar 900 pb), dapat ditentukan dengan primer universal M13. Analisis BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) menunjukkan bahwa sekuen cdna tersebut memiliki tingkat homologi yang tinggi dengan gen APETALA1 dari berbagai spesies. Untuk lebih memastikan identitas dan fungsinya, homolog gen APETALA1 dari kakao tersebut (TcAP1), perlu dilakukan pengujian ekspresi dan pengaruhnya terhadap perkembangan organ reproduktif tanaman. Pengujian semacam ini biasanya dilakukan menggunakan tanaman model Arabidopsis (Chaidamsari 2005). Namun karena menumbuhkan tanaman Arabidopsis di daerah atau lingkungan tropis sangat sulit, sebagai alternatif dalam pengujian tersebut maka digunakan eksplan tanaman tembakau in vitro. Dengan teknik transformasi standar leaf disk, konstruk ekspresi gen TcAP1 diintroduksikan ke dalam sel tanaman model tembakau melalui Agrobacterium tumefaciens. Kultur eksplan setelah inokulasi terdiri atas seleksi pada media padat yang mengandung dua antibiotika penyeleksi dan anti Agrobacterium, yang dilanjutkan regenerasi pada media yang sama dengan satu antibiotika penyeleksi atau tanpa antibiotika. Pengamatan terhadap perkembangan eksplan menunjukkan bahwa eksplan transgenik yang membawa konstruk TcAP1 secara morfologi berbeda dengan eksplan kontrol nontransgenik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji ekspresi gen APETALA1 kakao (TcAP1) pada tanaman model, yaitu eksplan tembakau in vitro.

125 107 Bahan dan Metode Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah eksplan tembakau in vitro, yang ditumbuhkan di Ruang Kultur Jaringan, Laboratorium Biologi Molekuler dan Rekayasa Genetika, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia di Bogor. Modifikasi dan Transformasi Genetik Konstruk ekspresi gen TcAP1 pada tanaman dibuat dengan meligasikan promoter konstitutif 35S CaMV di ujung 5 dan terminator Nos di ujung 3 dari gen tersebut. DNA untuk ligasi ini sebelumnya dipotong dengan enzim endonuklease restriksi yang sesuai. Untuk keperluan transformasi, konstruk tersebut diposisikan di antara right border (RB) dan left border (LB) dari vektor transformasi biner. Recombinant vector transformasi yang diperoleh dimasukkan ke dalam sel Agrobacterium tumefaciens galur AGL0 kompeten dengan cara elektroforasi (Chaidamsari 2005). Untuk menyeleksi dan konfirmasi Agrobacterium yang positif membawa konstruk ekspresi TcAP1, dilakukan PCR koloni dengan primer spesifik TcAP1 terhadap beberapa koloni bakteri yang tumbuh pada media seleksi. Transformasi genetik TcAP1 ke dalam sel tanaman model dilakukan dengan teknik cakram daun (leaf disk) yang dimodifikasi dari Sain et al. (1994), sebagaimana juga diuraikan dalam Santoso et al. (2000). Agrobacterium yang membawa konstruk 35S-TcAP1 ditumbuhkan dalam media cair LB yang mengandung kanamisin 50 ppm selama jam pada suhu 28 o C dengan pengocokan 150 rpm dalam keadaan gelap. Setelah diencerkan

126 108 kalinya dengan media yang sama, Agrobacterium tersebut dikulturkan kembali selama sekitar 3 jam. Potongan-potongan eksplan daun tembakau, ukuran cakram diameter cm diinkubasi selama 15 menit dengan 1/10 volume kultur cair Agrobacterium tersebut. Ko-kultivasi pada media MS padat yang mengandung acetosyringon 100 ppm dilakukan selama 2 hari. Setelah itu dilakukan seleksi pada media MS padat yang mengandung antibiotika timentin 100 ppm atau cefotaxime 500 ppm dan ppm kanamisin. Kultur Jaringan Kultur jaringan untuk regenerasi planlet tembakau dilakukan metode standar melalui organogenesis. Potongan eksplan daun steril dikulturkan pada media MS padat yang mengandung BAP 0.5 ppm (Murashige dan Skoog 1962). Kultur diinkubasi pada suhu o C dengan program penyinaran 16 jam per hari. Subkultur ke media segar dilakukan setiap 4-6 minggu sekali. Kultur eksplan transgenik dilakukan dengan metode dan kondisi yang sama dengan nontransgenik kecuali komposisi media. Untuk seleksi dan kultur eksplan transgenik, ke dalam media tumbuhnya ditambahkan antibiotika penyeleksi yang sesuai, yaitu kanamisin 50 ppm. Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR dilakukan untuk mengetahui apakah planlet transgenik yang diregenerasikan dari eksplan yang telah diinokulasi dengan Agrobacterium pembawa konstruk 35S-TcAP1 masih tetap membawa gen target. Campuran pereaksi PCR mengadung DNA template sebanyak 1-10 ng, keempat dntp masing-masing 0.2 µm, sepasang primer DNA spesifik TcAP1 masing-masing sebanyak nm dan DNA Taq polymerase Unit. Reaksi dilakukan

127 109 dengan volume µl, dengan program PCR sebagai berikut : denaturation pada suhu 94 o C selama 30 detik, annealing pada suhu 50 o C selama 30 detik, extension pada suhu 72 o C selama 2 menit, dengan pengulangan sebanyak 35 siklus. Hasil PCR diperiksa menggunakan gel agarose dengan konsentrasi 0.7-1% yang telah diberi ethidium bromida (Sambrook et al. 1989). Reverse Transcriptase PCR (RT-PCR) Analisis RT-PCR dilakukan dalam satu rangkaian percobaan yang terdiri atas preparasi mini RNA total, sintesis first strand cdna dan PCR menggunakan utas tunggal cdna sebagai template. RNA total dipreparasi dari daun tembakau menggunakan Kit RNeasy dari QIAGEN. Untuk proses ini digunakan 100 mg sampel daun tembakau dari kultur in vitro. Kualitas dan kuantitas RNA total yang diperoleh ditentukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 230, 260 dan 280 nm, dan dengan elektroforesis gel agarose. Sintesis first strand cdna dilakukan dengan Kit dari Invitrogen. Reaksi berlangsung dengan volume 50 µl pada suhu 42 o C selama 50 menit dengan RNA total sebanyak 1 µg. Tahapan lainnya dilakukan sebagaimana diuraikan dalam Instruction Manual yang diberikan bersama dengan kit. Sebanyak 1 ml hasil sintesis first strand cdna digunakan sebagai template dalam reaksi PCR. Reaksi PCR dilakukan dengan kondisi dan cara sebagaimana diuraikan di atas. Primer yang digunakan dirancang dari sekuen TcAP1 dengan ukuran amplikon sekitar 400 pb.

128 110 Hasil dan Pembahasan Pengalaman sebelumnya membuktikan bahwa metode transformasi genetik tanaman sebagaimana diuraikan dalam Bahan dan Metode, memiliki efektivitas yang baik pada tanaman tembakau. Pada percobaan ini, sekali lagi transfer DNA ke dalam sel tanaman tembakau telah dapat dibuktikan. Hasil pengujian PCR spesifik TcAP1 menggunakan template DNA genomik dari plantlet tembakau transgenik, memberikan amplikon DNA dengan ukuran sesuai dengan jarak kedua primer spesifik yang digunakan. Adapun ketebalan amplikon tersebut bervariasi dan secara umum tidak setebal kontrol positifnya yaitu plasmid rekombinan yang membawa konstruk 35S-TcAP1 (Gambar 26) Gambar 26 Pengujian PCR spesifik TcAP1 terhadap DNA genomik planlet tembakau. Lini 1 DNA marker, lini 2 DNA tembakau nontransgenik, lini 3 DNA plasmid rekombinan, dan lini 4-8 DNA tembakau yang membawa konstruk 35S-TcAP1. Variasi intensitas amplikon tersebut kemungkinan terkait dengan kualitas ataupun kuantitas DNA template. Kemungkinan masih adanya kontaminan yang dapat menghambat reaksi PCR menyebabkan amplifikasi tidak berlangsung optimal. Kemungkinan lainnya adalah di dalam larutan DNA template, terutama yang berasal dari tanaman tembakau mungkin terdapat kontaminan RNA dalam jumlah yang bervariasi. Dengan demikian planlet tembakau transgenik yang mengekspresikan RNA TcAP1 memberikan amplikon yang lebih banyak daripada yang ekspresinya lemah. Apapun kemungkinannya, data ini jelas menunjukkan

129 111 bahwa dengan cara transformasi sebagaimana diuraikan dalam Bahan dan Metode, konstruk TcAP1 telah masuk ke dalam sel tanaman tembakau dan tetap stabil hingga jaringan daun tembakau beregenerasi menjadi planlet. Setelah konstruk 35S-TcAP1 terbukti masuk ke dalam genom tembakau, pemeriksaan selanjutnya adalah menguji apakah gen tersebut terekspresi di dalam sistem inang yang baru. Pengujian ini bisa dilakukan di tingkat molekuler, morfologis, atau kombinasinya. Ekspresi gen TcAP1 dalam sel tanaman tembakau diharapkan dapat menghasilkan protein faktor transkripsi yang aktif sehingga memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan morfologis dari planlet yang mengekspresikannya. Pada Arabidopsis, aktivitas AP1 dalam mempengaruhi perkembangan tanaman terjadi melalui proses prenilisasi (Yalovsky et al. 2000). Hasil pengamatan perkembangan tembakau transgenik pada saat 2-3 bulan setelah transformasi disajikan pada Gambar 27. Dengan adanya transgen TcAP1, paling tidak terdapat dua fenotipe morfologis yang nyata beda penampakannya. Pertama adalah planlet transgenik yang memiliki daun terbelah (Gambar 27, panel B). Tipe yang kedua memiliki struktur seperti kuncup bunga yang bergerombol (Gambar 27, panel C). Kenampakan fenotipe yang bervariasi ini kemungkinan terkait dengan level ekspresi transgen TcAP1. Hal semacam ini terjadi pula pada ekspresi ektopik AGAMOUS pada tanaman model Arabidopsis thaliana (Kitahara et al. 2004; Chaidamsari et al. 2006). Pada planlet tembakau yang memiliki daun terbelah kemungkinan mengekspresikan TcAP1 pada level yang sedang, atau hanya sekedar memberikan dampak perubahan morfologis yang sedang saja. Sementara pada kultur transgenik yang menghasilkan struktur seperti gerombolan kuncup bunga, kemungkinan karena ekspresi yang tinggi dari TcAP1.

130 112 A B C Gambar 27 Morfologi kultur planlet tembakau setelah transformasi genetik. Panel A, B, C masing-masing adalah planlet kontrol non-transgenik, transgenik dengan helai daun terbelah (perubahan ringan), dan struktur mirip kuncup bunga yang bergerombol (perubahan berat). Sebagaimana disebutkan bahwa gen pembungaan AP1 menginduksi ekspresi gen LEAFY (Putterill et al. 2004). Over ekspresi TcAP1 menyebabkan ekspresi NtLFY terinduksi yang pada akhirnya memberikan perkembangan morfologis yang unik tersebut. Sementara itu, pecobaan ekspresi ektopik dari gen AtLFY mampu menginduksi terbentuknya struktur seperti bunga pada kultur eksplan in vitro (Wagner et al. 2004). Gen LEAFY yang merupakan pengendali transisi dari perkembangan vegetatif ke pembungaan juga menginduksi gen AP1 (Wagner et al. 1999). Terjadinya saling induksi inilah yang mungkin menjadi pemicu terbentuknya struktur mirip bunga meskipun dalam kultur in vitro.

131 113 Untuk membuktikan bahwa perubahan morfologis tersebut terkait dengan tingkat ekspresi transgen TcAP1, dilakukan pengujian RT-PCR menggunakan primer spesifik TcAP1 terhadap transkrip masing-masing planlet tersebut. Hasil pengujian ekspresi (Gambar 28) mengindikasikan bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat perubahan morfologis planlet transgenik dengan tingkat ekspresi transgen TcAP1. Pada tembakau non-transgenik, tidak diperoleh pita DNA hasil RT-PCR. Sementara itu pada planlet transgenik dan kontrol positif, PCR menggunakan template rekombinan 35S-TcAP1, diperoleh hasil RT-PCR yang relatif kuat. Adanya diferensiasi intensitas pita DNA hasil PCR diduga kuat terkait dengan perbedaan level transkrip gen target, TcAP1. Dalam beberapa hal, RT-PCR termasuk cara yang mudah untuk menguji tingkat ekspresi gen yang telah diketahui sekuen nukleotidanya, misalnya gen TcAG (Chaidamsari et al. 2006) dan gen LEC2 Arabidopsis (Stone et al. 2001). 400 pb 349 pb Gambar 28 Hasil RT-PCR spesifik TcAP1 terhadap RNA total daun planlet tembakau. Lini 1 DNA marker, lini 2 kontrol negatif tembakau non-transgenik, dan lini 8 kontrol positif rekombinan 35S-TcAP1. Lini 3-7 ekspresi TcAP1 pada tembakau transgenik individual yang menampakkan perubahan morfologis, dimana dari kiri ke kanan ekspresinya semakin kuat. Berfungsinya TcAP1 di dalam sistem interaksi dan ekspresi pada tembakau, dapat dijelaskan secara empiris maupun melalui analisis kemiripan sekuen gen pembungaan antar spesies tanaman. Sebagai salah satu gen MADS-box, AP1 dari berbagai spesies tanaman memiliki tingkat kemiripan

132 114 sekuen yang tinggi, termasuk antara TcAP1 dengan NtAP1. Secara empiris, fungsionalitas ini dapat dikaitkan dengan ekspresi transgen di dalam inang yang baru. Ekspresi gen pembungaan AP1 dan LEAFY dari Arabidopsis pada tanaman jeruk yang secara kekerabatan cukup jauh, telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan bunganya (Pena et al. 2001). Tanaman jeruk memiliki masa TBM (juvenile) yang panjang. Organ reproduktifnya tidak terbentuk hingga tanaman berumur 6-20 tahun, tergantung spesiesnya. Konstruksi konstitutif dari gen AtLFY atau AtAP1, yang merupakan penginduksi pembungaan pada Arabidopsis, telah ditransformasikan dan diekspresikan pada kecambah jeruk. Tanaman jeruk transgenik tersebut menghasilkan bunga fertile dan buah dini pada tahun pertama. Selanjutnya, ekspresi AP1 tersebut sama efisiennya dengan LFY dalam menginisiasi bunga dan tidak mengakibatkan abnormalitas pada perkembangannya. Tanaman jeruk transgenik tersebut juga tetap berbunga pada tahun-tahun berikutnya, dan respon pembungaannya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Selain itu, bibit dari biji yang berasal dari tanaman transgenik memiliki masa TBM yang sangat pendek, membuktikan bahwa fenotipe yang terekspresi tersebut merupakan sifat yang stabil dan menurun. Hasil tersebut dapat membuka peluang baru dalam pemuliaan tanaman, terutama pada tanaman tahunan (Pena et al. 2001). Perkembangan in vitro selanjutnya dari planlet tembakau transgenik menegaskan bahwa TcAP1 mempercepat pembungaan pada planlet uji tersebut. Pada subkultur yang ke dua atau pada umur planlet sekitar 3.5 bulan, pada ujung planlet telah terbentuk kuncup bunga tembakau (Gambar 29). Pembungaan dini ini terjadi pada planlet yang daunnya nampak sedikit terbelah atau yang mengekspresikan TcAP1 pada level yang sedang. Sementara itu, pada kultur transgenik yang mengekspresikan TcAP1 pada level yang tinggi belum terjadi perubahan pertumbuhan lanjutan.

133 115 A B Gambar 29 Planlet tembakau in vitro pada umur 3.5 bulan. Panel A adalah tembakau kontrol non-transgenik, dan panel B adalah tembakau transgenik 35S-TcAP1. Dalam keadaan dan cara subkultur yang baku, pembungaan tembakau in vitro hampir tidak pernah terjadi. Berdasarkan hasil tersebut dan laporan Pena et al. (2001), dapat dikatakan bahwa interaksi antara faktor transkripsi AP1 dengan faktor atau protein pembungaan terkait lainnya, memiliki spesifisitas yang relatif luas. Dimana AP1 dari spesies kecil seperti Arabidopsis ternyata dapat berfungsi menginduksi pembungaan pada spesies tanaman tahunan seperti jeruk, demikian pula sebaliknya AP1 dari spesies tanaman tahunan kakao dapat berfungsi pada spesies yang lebih kecil seperti tembakau. Kesimpulan Transformasi eksplan daun tembakau dengan konstruk 35S-TcAP1 melalui Agrobacterium tumefaciens, memberikan tingkat ekspresi TcAP1 dan perubahan morfologis yang bervariasi. Pada planlet tembakau transgenik, ekspresi TcAP1 pada level yang sedang telah mampu menginduksi pembungaan secara in vitro.

134 VIII. PEMBAHASAN UMUM Produktivitas tanaman kakao di Indonesia masih tergolong rendah. Masalah utama yang dapat menurunkan produksi kakao secara berarti adalah adanya serangan penggerek buah kakao (PBK), terjadinya pembungaan yang tidak konsisten dan tingginya tingkat layu pentil (cherelle wilt). Pemecahan masalah regeneratif, yang meliputi pembungaan yang tidak konsisten dan layu pentil, secara umum telah dilakukan melalui pendekatan konvensional seperti pengaturan pemangkasan dan pemupukan. Namun demikian pendekatan tersebut belum mampu memberikan peningkatan hasil secara signifikan. Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, untuk meningkatkan produktivitas tanaman kakao tersebut perlu diusahakan melalui induksi pembungaan menggunakan senyawa-senyawa retardan penginduksi pembungaan, serta studi molekuler mengenai gen-gen yang terlibat pada pembungaan tanaman kakao. Sampai saat ini, informasi mengenai gen-gen pembungaan pada tanaman kakao masih sangat sedikit. Studi tentang induksi pembungaan dan informasi molekuler tentang proses perkembangan organ regeneratif kakao diharapkan dapat menjadi pemecahan efektif masalah pembungaan yang berhubungan dengan rendahnya produktivitas. Pembungaan merupakan suatu proses yang kompleks yaitu berkaitan dengan perubahan struktur yang mendasar pada meristem pucuk. Perubahan dari apeks vegetatif menjadi apeks generatif berlangsung secara bertahap sehingga terjadi perubahan morfologi yang didasari perubahan fisiologi. Setelah mencapai perkembangan reproduktifnya meristem apeks pucuk berhenti menghasilkan daun dan mulai menghasilkan bagian-bagian bunga menurut urutan yang khas bagi spesies yang bersangkutan (Lyndon 1990). Pada angiosperm berkayu, induksi pembungaan dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa

135 117 retardan. Zat pengatur tumbuh tanaman tersebut bekerjanya dengan cara menghambat pembentukan giberelin (Meilan 1997). Induksi pembungaan pada saat tanaman tidak berbunga dapat meningkatkan produktivitas kebun kakao, karena buah yang dipanen dapat lebih banyak terutama pada saat bukan musim panen raya. Fase induksi dalam proses pembungaan merupakan fase paling penting yang menentukan apakah tanaman tersebut akan berbuah atau tidak. Pada fase ini terjadi perubahan fisiologis atau biokimia pada mata tunas dari pertumbuhan vegetatif mengarah pada pertumbuhan mata tunas bunga. Fase ini menjadi penting karena tidak ada perubahan morfologi yang tampak pada kuncup (Poerwanto 2003). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa proses induksi pembungaan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut meliputi: (1) faktor eksternal, yaitu suhu, stress air dan panjang hari, (2) faktor internal, meliputi kandungan nitrogen, karbohidrat, asam amino dan hormon, serta (3) faktor manipulasi oleh manusia seperti ringing, pemangkasan tajuk, pemangkasan akar, pengeringan, pelengkungan cabang dan pemberian zat pengatur tumbuh. Transisi ke perkembangan reproduktif terjadi setelah periode perkembangan vegetatif, yaitu ketika tanaman menjadi kompeten untuk merespon sinyal lingkungan (seperti panjang hari, intensitas cahaya dan ketersediaan nutrisi). Selama fase reproduktif, meristem tunas vegetatif berkembang menjadi meristem bunga. Selama proses inisiasi bunga, meristem tunas vegetatif akan memunculkan sejumlah meristem bunga lateral atau meristem bunga di bagian axilnya. Transisi dari vegetatif ke reproduktif biasanya dibarengi dengan perubahan posisi relatif dari organ-organ lateral (phyllotaxis) dan perubahan jarak antara organ-organ lateral (panjang ruas) (Davies et al. 1999). Setelah tanaman mengalami transisi dari fase vegetatif ke reproduktif, banyaknya jumlah bunga

136 118 yang dihasilkan kemudian bunga tersebut dapat bertahan sampai menghasilkan buah matang tergantung pada kondisi endogen tanaman dan pengaruh faktor lingkungan. Proses transisi mata tunas vegetatif menjadi mata tunas bunga dapat merefleksikan proses transisi dari fase juvenil ke fase dewasa. Transisi ini terjadi secara gradual, karena bagian tanaman yang lebih rendah tetap menunjukkan karakteristik juvenil sedangkan bagian atas dari pohon mulai membentuk bunga. Hal ini karena bagian akar merupakan tempat pembentukan hormon, dan jika hormon tersebut ditranslokasikan ke bagian pucuk maka dapat menghambat pembungaan. Perubahan kandungan hormon tersebut pada meristem tunas vegetatif dapat merespon transisi dari fase juvenil ke dewasa. Selama kode genetik pada bagian klon tersebut konstan, perubahan ini dapat merefleksikan represi dan ekspresi gen yang diakibatkan oleh hormon. Giberelin yang ditranslokasikan dari akar menuju tunas, menyebabkan pertumbuhan pohon cepat besar dan cabang-cabang yang dibentuk lebih banyak, tidak hanya menyebabkan jarak antara akar dengan terminal pucuk menjadi lebih jauh tetapi jumlah dari terminal tunas juga meningkat. Aplikasi paklobutrazol dan CCC pada penelitian ini telah nyata meningkatkan pembungaan kakao dan nampaknya juga terjadi peningkatan terhadap buah yang terbentuk. Perlakuan CCC ppm dengan sukrosa 1% (C-2000S) memberikan hasil terbaik, sementara itu perlakuan paklobutrazol 1 g bahan aktif per pohon dengan sukrosa 1% (P-1S) juga memberikan hasil yang hampir sama. Dengan perlakuan C-2000S, pembungaan kakao dapat dipercepat 3 minggu lebih awal dan pembentukan pentil terjadi 6 minggu lebih cepat. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa selain mempercepat munculnya bunga dan pentil, perlakuan tersebut juga dapat mempersingkat periode anthesis atau memperpendek waktu antara munculnya bunga dengan munculnya pentil. Disamping itu

137 119 juga terjadi peningkatan jumlah bunga dan jumlah pentil total, dimana jumlah bunga meningkat 5 kali lipat dan jumlah pentil total meningkat 6 kali lipat. Perlakuan senyawa penginduksi pembungaan pada kakao juga dapat meningkatkan jumlah pentil sehat yang masih bertahan pada pohon. Dengan adanya peningkatan pembungaan dan pembuahan serta diikuti peningkatan jumlah pentil total maupun jumlah pentil sehat, maka pemberian senyawa penginduksi pembungaan sangat memungkinkan untuk meningkatkan hasil biji kakao. Terhadap pertumbuhan vegetatif, senyawa inducer yang digunakan dapat menekan jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun. Dengan terjadinya penekanan terhadap pertumbuhan vegetatif tersebut maka sebagian besar asimilat pemanfaatannya dialihkan untuk mendukung pertumbuhan reproduktif, yang meliputi perkembangan bunga dan buah. Perkembangan bunga meliputi beberapa fase, dimana tahap pertama adalah transisi dari perkembangan vegetatif menuju reproduktif, yang diregulasi oleh induksi bunga. Tahap selanjutnya meliputi inisiasi individu bunga, penentuan penanda organ, dan diferensiasi organ secara spesifik (Weigel 1995). Tahapan proses pembungaan tersebut sangat dipengaruhi oleh sukrosa, dimana dalam konsentrasi rendah (1%) sukrosa dapat memacu transisi pembungaan pada beberapa spesies, sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi (5%) sukrosa dapat menunda pembungaan akibat terjadinya peningkatan jumlah daun pada saat pembungaan. Peranan sukrosa dalam mempengaruhi transisi pembungaan yaitu dengan mengaktifkan gen-gen yang berperan dalam mengontrol transisi pembungaan (Ohto et al. 2001). Pada kebanyakan tanaman, proses pembungaan dikontrol oleh banyak gen yang saling berinteraksi (Ratcliffe dan Riechmann 2002). Ekspresi gen-gen tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk senyawa yang dapat menginduksi pembungaan. APETALA1 (AP1), merupakan salah satu gen penting

138 120 dan sangat menentukan di dalam proses pembungaan, baik melalui peranannya dalam meregulasi transisi dari fase vegetatif ke reproduktif maupun peranannya dalam menentukan pembentukan organ bunga. Aktivitas gen AP1 tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor suhu, cahaya, nutrisi dan zat pengatur tumbuh. Pengaruh aplikasi senyawa penginduksi pembungaan kakao (dalam hal ini paklobutrazol, CCC dan sukrosa) diduga dapat meningkatkan aktivitas atau ekspresi gen AP1 pada kakao. Paklobutrazol dan CCC, merupakan senyawa penghambat biosintesis giberelin, pada beberapa tanaman berkayu telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan vegetatif dan memacu pembungaan. Demikian juga aplikasi sukrosa, yang merupakan gula transport, akan dapat segera dimanfaatkan oleh tanaman dan meningkatkan nisbah C/N. Dengan nisbah C/N yang meningkat maka tanaman akan dipacu untuk menuju fase reproduktif. Secara molekuler, transisi ke fase reproduktif tersebut dikendalikan pada tingkat gen. Jika gen-gen pengatur transisi dari fase vegetatif ke fase reproduktif meningkat aktivitasnya, maka tanaman akan menuju ke fase reproduktif yang ditandai atau diikuti dengan terbentuknya bunga. Pada tanaman lain, pemberian senyawa paklobutrazol, CCC dan sukrosa ternyata dapat meningkatkan aktivitas gen-gen pembungaan, termasuk AP1. Berdasarkan bukti tersebut, aplikasi senyawa yang sama untuk menginduksi pembungaan kakao juga dapat diduga bahwa senyawa tersebut dapat meningkatkan aktivitas gen AP1 kakao. Dugaan tersebut didasarkan pada hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa pembungaan dan pembentukan pentil dapat terjadi lebih awal, dan bunga serta pentil yang terbentuk juga lebih banyak. Alasan tersebut juga diperkuat oleh ekspresi AP1 pada tanaman kakao yang terjadi pada beberapa organ reproduktif. Kandungan beberapa zat endogen tanaman kakao selama induksi pembungaan juga mengalami perubahan. Perubahan tersebut meliputi penurunan kandungan giberelin (GA 3 ), peningkatan kandungan sukrosa, peningkatan

139 121 kandungan karbohidrat total dan peningkatan nisbah C/N. Perubahan kandungan zat endogen tersebut adalah karena adanya aplikasi senyawa penginduksi pembungaan dan akibatnya dapat memacu munculnya bunga kakao yang lebih cepat. Induksi pembungaan pada kakao tersebut diharapkan dapat meningkatkan pembungaan terutama pada saat musim tidak berbunga atau berbunganya sedikit, sehingga pada periode tersebut juga akan dapat dipanen buah yang lebih banyak. Dengan demikian puncak panen raya yang biasanya hanya terjadi setahun sekali, diharapkan dapat terjadi dua kali dalam setahun. Fenomena pembungaan pada tanaman kakao terkait dengan proses perubahan atau transisi dari fase vegetatif ke fase reproduktif pada meristem yang sebelumnya telah mengalami masa dormansi. Induksi bunga terjadi sebagai bagian dari proses perubahan dalam sistem metabolisme tanaman yang ditandai dengan adanya perubahan kandungan zat-zat endogen dan kondisi internal. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan tindakan budidaya (Bernier et al. 1985). Terjadinya penurunan kandungan GA dan peningkatan kandungan sukrosa, karbohidrat total dan nisbah C/N menggambarkan bahwa pada bantalan bunga kakao tersebut mengalami transisi dari fase vegetatif ke fase reproduktif. Sementara pada bantalan bunga dari pohon yang tidak diinduksi kandungan giberelinnya tetap tinggi, sedangkan kandungan sukrosa, karbohidrat total dan nisbah C/N nya mengalami penurunan, sehingga pada tanaman kontrol tersebut inisiasi bunganya menjadi lambat. Kandungan giberelin yang tinggi pada tanaman dapat menghambat pembungaan karena giberelin berperanan dalam memacu pertumbuhan vegetatif. Pada tanaman jeruk, giberelin menghambat pembungaan antara lain dengan mengubah tipe tunas dari tunas bunga yang pendek menjadi tunas vegetatif yang panjang atau mengubah calon tunas generatif menjadi tunas vegetatif kembali (Poerwanto 2003). Paklobutrazol dan CCC dapat menginduksi

140 122 pembungaan karena senyawa tersebut menghambat biosintesis giberelin. Terhambatnya biosintesis giberelin menyebabkan penurunan laju pembelahan sel pada meristem subapikal sehingga menghambat pertumbuhan vegetatif. Dengan terhambatnya pertumbuhan vegetatif, sebagian hasil fotosintat disimpan dan digunakan untuk mendukung terbentuknya bunga. Berdasarkan hasil penelitian ini, pembungaan pada tanaman kakao membutuhkan kondisi kandungan giberelin dan nitrogen yang rendah, dan kandungan sukrosa, karbohidrat total dan nisbah C/N yang tinggi. Oleh karena itu aplikasi CCC ppm dengan sukrosa 1% dapat direkomendasikan untuk memacu pembungaan tanaman kakao, terutama pada saat dimana tanaman tidak berbunga atau berbunganya sedikit. Pada kakao, informasi mengenai mekanisme pembentukan dan perkembangan bunga secara molekuler masih sangat terbatas. Proses transisi dari pertumbuhan vegetatif ke pembungaan serta pembentukan dan perkembangan bunga merupakan proses yang sangat kompleks dan melibatkan banyak gen beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Gen AP1 merupakan salah satu gen kunci pada proses transisi dari pertumbuhan vegetatif ke pembungaan maupun dalam pembentukan organ bunga. Karena AP1 merupakan salah satu gen penting yang terlibat dalam proses kompleks dan saling berinteraksi tersebut, maka dengan mempelajari AP1, selain dapat diketahui peranan gen AP1 itu sendiri dalam alur genetik serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, juga dapat membuka peluang untuk mempelajari atau meneliti gen-gen lain yang terlibat dalam proses pembungaan kakao tersebut. Kloning dan karakterisasi gen pembungaan (AP1) pada tanaman kakao (Theobroma cacao L.) ini adalah yang pertama kali dilakukan. AP1 dari tanaman kakao termasuk gen MADS-box tipe faktor transkripsi yang terlibat dalam perkembangan bunga. Dalam beberapa aspek regulasi awal dari pembungaan

141 123 seperti arsitektur bunga pada kakao pada dasarnya adalah berbeda dengan spesies tanaman lainnya, dimana pada spesies lain tersebut peranan gen MADS-box selama pembungaan telah dipelajari dengan pesat. Oleh karena itu studi tentang peranan gen MADS-box selama pembungaan pada kakao dapat menghasilkan pengetahuan penting mengenai mekanisme utama pada perkembangan berbagai arsitektur bunga dan regulasi awal pembungaan. Kloning gen-gen yang terlibat dalam spesifikasi penanda organ dan meristem bunga, serta dalam transisi menuju pembungaan pada beberapa tanaman model seperti Arabidopsis, Antirrhinum dan Petunia selama dekade terakhir telah menunjukkan langkah awal untuk menjelaskan perkembangan bunga secara molekuler. Sebagian besar gen-gen tersebut termasuk dalam kelompok gen MADS-box, yang sangat conserve dan tersebar luas sebagai pengkode faktor transkripsi (Theissen dan Saedler 1999). Produk gen MADS-box tersebut telah terlibat dalam pengaturan berbagai mekanisme perkembangan tanaman dan memperlihatkan peranan pentingnya dalam spesifikasi dan perkembangan bunga angiosperm (Angenent et al. 1995; Rounsley et al. 1995; Alvarez-Buylla et al. 2000). Pada Arabidopsis dan spesies lainnya, protein yang mengandung domain MADS diperlukan untuk keperluan transisi dari meristem vegetatif ke meristem bunga dan untuk spesifikasi penanda dari keempat tipe organ bunga (Litt dan Irish 2003). AP1 yang telah diisolasi dari tanaman kakao pada penelitian ini juga mengandung domain MADS yang terlibat dalam meregulasi pembungaan kakao, yaitu pada stadia yang sangat awal dari perkembangan bunga dan mempunyai spesifikasi sebagai penanda sepal dan petal (Chaidamsari 2005). AP1 kakao tersebut juga mempunyai homologi yang tinggi dengan gen-gen AP1 dari tanaman berkayu lainnya seperti Citrus sinensis, Vitis vinifera, Populus balsamifera, Populus tremuloides dan Betula pendula.

142 124 Pada tanaman tingkat tinggi banyak gen yang terlibat dalam perkembangan bunga dan telah berhasil dikarakterisasi dengan baik. Gen-gen tersebut mengontrol transisi dari pertumbuhan vegetatif ke generatif dan ditetapkan sebagai penanda meristem bunga. Gen-gen tersebut memiliki spesifisitas sebagai penanda organ bunga dan digambarkan sebagai model ABC dari perkembangan bunga (Saedler et al. 2001). Model ABC dari perkembangan bunga tersebut telah dipelajari lebih dari satu dekade yang lalu dengan menggunakan Arabidopsis thaliana, Antirrhinum majus, Petunia hybrida dan beberapa spesies lain sebagai tanaman model (Benedito 2004). Gambar 30 Diagram model gen ABC (Yanofsky 1995). Konsep mengenai model gen ABC telah dijelaskan oleh Yanofsky (1995) (Gambar 30). Masing-masing kelas gen penyusun model ABC mempunyai fungsi yang berbeda dalam spesifikasi organ bunga. Gen APETALA1 (AP1) diperlukan untuk fungsi A, gen APETALA3 (AP3) dan PISTILLATA (PI) diperlukan untuk fungsi B dan gen AGAMOUS (AG) diperlukan untuk fungsi C. Gen kelas A berfungsi untuk membentuk sepal pada whorl 1, A bersama B membentuk petal pada whorl 2, B bersama C membentuk stamen (organ reproduksi jantan) pada whorl 3, dan C berfungsi untuk membentuk carpel (organ reproduksi betina) pada whorl 4 (Krizek dan Meyerowitz 1996; Litt dan Irish 2003). Jika terjadi mutasi pada kelas A, maka pada whorl 1 tidak terbentuk sepal tetapi terbentuk carpel,

143 125 dan pada whorl 2 terbentuk stamen. Jika terjadi mutan B, pada whorl 2 dan whorl 3 masing-masing terbentuk sepal dan carpel. Mutan C menghasilkan petal dan sepal pada whorl 3 dan whorl 4 (Davies et al. 1999). Pi Pe Std Sta A B Se C Gambar 31 Bunga kakao dan diagram susunan organ bunga. Gerombol bunga kakao pada bantalan bunga (A); Bunga kakao dengan organ bunga (B), Se: sepal, Pe: petal, Sta: stamen, Pi: pistil, Std: staminode (dimodifikasi dari Almeda 2005); Diagram bunga yang tersusun atas empat whorl (C) (Anonymous 2006). Pada bunga kakao (Gambar 31), hasil penelitian ini dan yang dilakukan oleh Chaidamsari (2005) menunjukkan bahwa AP1 juga bertindak sebagai gen kelas A yaitu dalam pembentukan sepal dan petal pada dua whorl terluar, disamping sebagai penanda meristem bunga. Hal ini dibuktikan oleh ekspresi AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao, yang terjadi sangat kuat pada sepal dan petal dan semakin berkurang ekspresinya pada kuncup bunga, bantalan bunga aktif dan bantalan bunga pasif. Pada organ vegetatif (daun dan bantalan bertunas), AP1 tidak terekspresi. Sebagai perbandingan pada AGAMOUS (Chaidamsari 2005), selain tidak terjadi pada daun dan bantalan bertunas, ekspresinya juga tidak terjadi pada sepal dan petal. Ekspresi AG pada kakao terjadi dengan kuat pada organ ovary dan stamen yang terdapat pada dua whorl bagian dalam, dan berkurang ekspresinya pada staminode. Ekspresi AG yang kuat pada stamen dan ovary dan tidak pada organ vegetatif membuktikan

III. INDUKSI PEMBUNGAAN PADA TANAMAN KAKAO. Abstrak

III. INDUKSI PEMBUNGAAN PADA TANAMAN KAKAO. Abstrak III. INDUKSI PEMBUNGAAN PADA TANAMAN KAKAO Abstrak Kakao merupakan komoditas penting bagi Indonesia, baik secara ekonomi maupun sosial. Namun demikian, produktivitas perkebunan kakao di Indonesia masih

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Morfologi Tanaman Kakao. yaitu jenis tanaman yang membentuk bunga dan buah pada batang dan cabang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Morfologi Tanaman Kakao. yaitu jenis tanaman yang membentuk bunga dan buah pada batang dan cabang II. TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Kakao Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) termasuk tanaman kaulifloral, yaitu jenis tanaman yang membentuk bunga dan buah pada batang dan cabang yang tua.

Lebih terperinci

VIII. PEMBAHASAN UMUM. Produktivitas tanaman kakao di Indonesia masih tergolong rendah.

VIII. PEMBAHASAN UMUM. Produktivitas tanaman kakao di Indonesia masih tergolong rendah. VIII. PEMBAHASAN UMUM Produktivitas tanaman kakao di Indonesia masih tergolong rendah. Masalah utama yang dapat menurunkan produksi kakao secara berarti adalah adanya serangan penggerek buah kakao (PBK),

Lebih terperinci

VII. UJI EKSPRESI GEN TcAP1 (APETALA1 KAKAO) PADA TANAMAN MODEL. Abstrak

VII. UJI EKSPRESI GEN TcAP1 (APETALA1 KAKAO) PADA TANAMAN MODEL. Abstrak VII. UJI EKSPRESI GEN TcAP1 (APETALA1 KAKAO) PADA TANAMAN MODEL Abstrak Pada berbagai spesies termasuk kakao, gen AP1 (APETALA1) diketahui sebagai gen penanda pembungaan yang mengendalikan terbentuknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu atau singkong (Manihot esculenta Crantz.) merupakan bahan pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu atau singkong (Manihot esculenta Crantz.) merupakan bahan pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu atau singkong (Manihot esculenta Crantz.) merupakan bahan pangan utama ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Ubi kayu yang berasal dari Brazil,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubikayu (Manihot esculenta Crantz.) merupakan salah satu komoditi tanaman

I. PENDAHULUAN. Ubikayu (Manihot esculenta Crantz.) merupakan salah satu komoditi tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Perumusan Masalah Ubikayu (Manihot esculenta Crantz.) merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang telah lama dibudidayakan petani, bahkan pada lokasi yang telah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman. antara pengaruh pemangkasan dan pemberian ZPT paklobutrazol. Pada perlakuan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman. antara pengaruh pemangkasan dan pemberian ZPT paklobutrazol. Pada perlakuan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman Dari (tabel 1) rerata tinggi tanaman menunjukkan tidak ada interaksi antara pengaruh pemangkasan dan pemberian ZPT paklobutrazol. Pada perlakuan pemangkasan menunjukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubikayu atau singkong (Manihot esculenta Crantz.) merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. Ubikayu atau singkong (Manihot esculenta Crantz.) merupakan salah satu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubikayu atau singkong (Manihot esculenta Crantz.) merupakan salah satu komoditi tanaman pangan ketiga sebagai sumber karbohidrat bagi masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

Gambar 3. Tanaman tanpa GA 3 (a), Tanaman dengan perlakuan 200 ppm GA 3 (b)

Gambar 3. Tanaman tanpa GA 3 (a), Tanaman dengan perlakuan 200 ppm GA 3 (b) 45 Pembahasan Penggunaan benih yang bermutu baik merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan produksi tanaman bawang merah. Rendahnya produksi tanaman bawang merah khususnya di daerah sentra

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Taksonomi Tanaman Gerbera. Gerbera merupakan tanaman bunga hias yang berupa herba. Masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Taksonomi Tanaman Gerbera. Gerbera merupakan tanaman bunga hias yang berupa herba. Masyarakat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Taksonomi Tanaman Gerbera Gerbera merupakan tanaman bunga hias yang berupa herba. Masyarakat Indonesia menyebut gerbera sebagai Gebras atau Hebras. Tanaman gerbera

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas pertanian perkebunan rakyat. Tanaman ini menjadi andalan bagi petani dan berperan penting bagi perekonomian

Lebih terperinci

MANIPULASI TUMBUHAN MENGGUNAKAN HORMON PERTUMBUHAN TANAMAN

MANIPULASI TUMBUHAN MENGGUNAKAN HORMON PERTUMBUHAN TANAMAN MANIPULASI TUMBUHAN MENGGUNAKAN HORMON PERTUMBUHAN TANAMAN Sebagai organisme yang bersifat sesil tumbuhan tidak dapat pindah dari habitatnya. Tumbuhan harus mampu mengatasi kondisi di sekitarnya termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai penghias meja kerja dalam bentuk vas bunga, dan dapat dikombinasikan

I. PENDAHULUAN. sebagai penghias meja kerja dalam bentuk vas bunga, dan dapat dikombinasikan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bisnis bunga pot menjadi salah satu usaha yang banyak dikembangkan karena memiliki daya tarik. Bunga pot dapat dijadikan sebagai penghias dalam ruangan,

Lebih terperinci

Bab XI. Pengendalian Pertumbuhan. Winarso D Widodo 2009

Bab XI. Pengendalian Pertumbuhan. Winarso D Widodo 2009 Bab XI. Pengendalian Pertumbuhan Winarso D Widodo 2009 Nama Lengkap : Winarso Drajad Widodo Pendidikan : 1. Sarjana Pertanian (Ir) IPB, 1986 2. Magister Sain (MS) IPB, 1993 3. PhD. - Pomology (Okayama

Lebih terperinci

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 i SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Tanaman salak yang digunakan pada penelitian ini adalah salak pondoh yang ditanam di Desa Tapansari Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Yogyakarta.

Lebih terperinci

METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR

METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Ubikayu Dalam taksonomi tumbuhan, klasifikasi tanaman ubikayu adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae (tumbuhan)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Kedelai Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja atau Soja max, tetapi pada tahun 1984 telah disepakati nama botani yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Syarat Tumbuh Bawang Merah Bawang merah adalah salah satu komoditas sayuran unggulan yang telah lama diusahakan oleh petani

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Syarat Tumbuh Bawang Merah Bawang merah adalah salah satu komoditas sayuran unggulan yang telah lama diusahakan oleh petani 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Syarat Tumbuh Bawang Merah Bawang merah adalah salah satu komoditas sayuran unggulan yang telah lama diusahakan oleh petani secara intensif. Bawang merah dapat dibudidayakan dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kerontokan Bunga dan Buah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kerontokan Bunga dan Buah 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kerontokan Bunga dan Buah Kerontokan bunga dan buah sejak terbentuknya bunga sampai perkembangan buah sangat mengurangi produksi buah belimbing. Absisi atau kerontokan bunga dan

Lebih terperinci

INDUKSI PEMBUNGAAN DURIAN (DuriozibethinusMurr) DILUAR MUSIM MENGGUNAKAN PAKLOBUTRAZOL DAN KNO3

INDUKSI PEMBUNGAAN DURIAN (DuriozibethinusMurr) DILUAR MUSIM MENGGUNAKAN PAKLOBUTRAZOL DAN KNO3 SKRIPSI INDUKSI PEMBUNGAAN DURIAN (DuriozibethinusMurr) DILUAR MUSIM MENGGUNAKAN PAKLOBUTRAZOL DAN KNO3 Oleh: RicipSuprianto 11082100789 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITASS

Lebih terperinci

POLA EKSPRESI GEN HbACO2 PADA KULIT BATANG DAN LATEKS KARET (Hevea brasiliensis) AKIBAT STRES EKSPLOITASI CHAIRUNISA

POLA EKSPRESI GEN HbACO2 PADA KULIT BATANG DAN LATEKS KARET (Hevea brasiliensis) AKIBAT STRES EKSPLOITASI CHAIRUNISA POLA EKSPRESI GEN HbACO2 PADA KULIT BATANG DAN LATEKS KARET (Hevea brasiliensis) AKIBAT STRES EKSPLOITASI CHAIRUNISA PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja,

Lebih terperinci

cacao L.) MELALUI PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH

cacao L.) MELALUI PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH PENINGKATAN PRODUKSI BUAH KAKAO (Theobroma cacao L.) MELALUI PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH PACLOBUTRAZOL PADA BERBAGAI KONSENTRASI Oleh WAHYU OKTAVIANI A 34104010 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai (Capsicum sp.) berasal dari Amerika dan menyebar di berbagai negara di dunia. Cabai termasuk ke dalam famili terong-terongan (Solanaceae). Menurut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Secara umumm planlet anggrek Dendrobium lasianthera tumbuh dengan baik dalam green house, walaupun terdapat planlet yang terserang hama kutu putih Pseudococcus spp pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas

I. PENDAHULUAN. Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia. Nilai ekonominya yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedelai tetap dipandang penting oleh Pemerintah dan telah dimasukkan dalam program pangan nasional, karena komoditas ini mengandung protein nabati yang tinggi 38%, lemak

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh waktu pemberian GA3 terhadap pertumbuhan tanaman leek

5. PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh waktu pemberian GA3 terhadap pertumbuhan tanaman leek 5. PEMBAHASAN Pembahasan mengenai pengaruh waktu pemberian Giberelin (GA 3 ) terhadap induksi pembungaan dan pertumbuhan tanaman leek (Allium ampeloprasum L.) meliputi umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang

I. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang I. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Botani Gladiol Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang mempunyai jenis 180 jenis. Tanaman gladiol ditemukan di Afrika, Mediterania, dan paling banyak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Konsentrasi Air Kelapa (Cocos nucifera) terhadap Viabilitas Rosella Merah (Hibiscus sabdariffa var. sabdariffa) Berdasarkan hasil analisis (ANAVA) pada lampiran

Lebih terperinci

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO Oleh : SITI SYARA A34301027 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Transformasi, Kokultivasi, dan Regenerasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Transformasi, Kokultivasi, dan Regenerasi 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Transformasi, Kokultivasi, dan Regenerasi Konstruksi vektor ekspresi yang digunakan pada penelitian ini adalah p35scamv::tclfy. Promoter p35s CaMV digunakan dalam penelitian ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani

TINJAUAN PUSTAKA Botani TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman apel berasal dari Asia Barat Daya. Dewasa ini tanaman apel telah menyebar di seluruh dunia. Negara penghasil utama adalah Eropa Barat, negaranegara bekas Uni Soviet, Cina,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Bahan Humat dengan Carrier Zeolit terhadap Jumlah Tandan Pemberian bahan humat dengan carrier zeolit tidak berpengaruh nyata meningkatkan jumlah tandan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. jumlah bunga, saat berbunga, jumlah ruas, panjang ruas rata-rata, jumlah

HASIL DAN PEMBAHASAN. jumlah bunga, saat berbunga, jumlah ruas, panjang ruas rata-rata, jumlah III. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter yang diamati terdiri dari tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah bunga, saat berbunga, jumlah ruas, panjang ruas rata-rata, jumlah buku, dan panjang tangkai bunga. Hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Benih Kedelai. penyediaan benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih kedelai dalam jumlah yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Benih Kedelai. penyediaan benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih kedelai dalam jumlah yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Benih Kedelai Salah satu faktor pembatas produksi kedelai di daerah tropis adalah cepatnya kemunduran benih selama penyimpanan hingga mengurangi penyediaan benih berkualitas tinggi.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Mangga berakar tunggang yang bercabang-cabang, dari cabang akar ini tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Mangga berakar tunggang yang bercabang-cabang, dari cabang akar ini tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Mangga berakar tunggang yang bercabang-cabang, dari cabang akar ini tumbuh cabang lagi kecil-kecil, cabang kecil ini ditumbuhi bulu-bulu akar yang sangat halus. Akar tunggang

Lebih terperinci

Percobaan 2: Pengaruh Paclobutrazol terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan Jahe

Percobaan 2: Pengaruh Paclobutrazol terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan Jahe 23 hasil rimpang ini selain karena keterbatasan suplai air dari media, juga karena tanaman mulai memasuki akhir fase pertumbuhan vegetatif. Ketersediaan air dalam media mempengaruhi perkembangan luas daun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman bit (Beta vulgaris L.) merupakan sejenis tanaman ubi-ubian yang

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman bit (Beta vulgaris L.) merupakan sejenis tanaman ubi-ubian yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman bit (Beta vulgaris L.) merupakan sejenis tanaman ubi-ubian yang banyak mengandung gizi. Bit dapat dijadikan sebagai warna alami makanan. Pigmen merah pada buah

Lebih terperinci

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. GENERASI F0 BAMBANG KUSMAYADI GUNAWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang AgroinovasI Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale. L.) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

KALIN merangsang pembentukan organ. Rhizokalin Filokalin Kaulokalin Anthokalin

KALIN merangsang pembentukan organ. Rhizokalin Filokalin Kaulokalin Anthokalin KALIN merangsang pembentukan organ Rhizokalin Filokalin Kaulokalin Anthokalin PERTUMBUHAN PADA TUMBUHAN Kompetensi Dasar KD 3.1 Menganalisis hubungan antar faktor internal dan eksternal dengan proses pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Widdy Hardiyanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian  Widdy Hardiyanti, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia yang merupakan negara agraris memiliki masyarakat yang banyak bekerja di bidang pertanian. Tanaman holtikultura merupakan salah satu tanaman yang

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Buah per Tandan. Perkembangan ini dapat dilihat dari beberapa indikator seperti jumlah buah,

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Buah per Tandan. Perkembangan ini dapat dilihat dari beberapa indikator seperti jumlah buah, 20 IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Pengamatan Buah per Tandan Salah satu ciri perkembangan pada buah yang baik yaitu ditentukan bertambahnya volume dan biomassa selama proses tersebut berlangsung.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Padi Sawah

TINJAUAN PUSTAKA Padi Sawah 4 TINJAUAN PUSTAKA Padi Sawah Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk famili Graminae dan subfamili Oryzae.Berdasarkan morfologinya, padi dapat digolongkan menjadi tiga subspecies yaitu Indica, Japonica,

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica)

PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica) PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica) SKRIPSI OLEH : SRI WILDANI BATUBARA 050307041/PEMULIAAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Taksonomi Tanaman Dracaena Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan beruas-ruas. Daun dracaena berbentuk tunggal, tidak bertangkai,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tanah termasuk ke dalam devisi Spematophyta, famili Papilionaceae, genus Arachis, species Arachis hypogaea L.

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tanah termasuk ke dalam devisi Spematophyta, famili Papilionaceae, genus Arachis, species Arachis hypogaea L. TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kacang tanah termasuk ke dalam devisi Spematophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo Rosales, famili Papilionaceae, genus Arachis, species Arachis hypogaea

Lebih terperinci

PERBANDINGAN POLA PITA AMPLIFIKASI DNA DAUN, BUNGA, DAN BUAH KELAPA SAWIT NORMAL DAN ABNORMAL ALFINIA AZIZAH

PERBANDINGAN POLA PITA AMPLIFIKASI DNA DAUN, BUNGA, DAN BUAH KELAPA SAWIT NORMAL DAN ABNORMAL ALFINIA AZIZAH PERBANDINGAN POLA PITA AMPLIFIKASI DNA DAUN, BUNGA, DAN BUAH KELAPA SAWIT NORMAL DAN ABNORMAL ALFINIA AZIZAH PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO Delfi Trisnawati 1, Dr. Imam Mahadi M.Sc 2, Dra. Sri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Genus Gladiolus yang tergolong dalam famili Iridaceae ini mempunyai 180 jenis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Genus Gladiolus yang tergolong dalam famili Iridaceae ini mempunyai 180 jenis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Gladiol Genus Gladiolus yang tergolong dalam famili Iridaceae ini mempunyai 180 jenis (Herlina, 1991). Tanaman gladiol berasal dari Afrika Selatan dan menyebar di Asia dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Kultur in vitro merupakan suatu budidaya dalam botol. Salah satu kegiatan dalam kultur in vitro adalah kultur jaringan yaitu budidaya in vitro yang menggunakan

Lebih terperinci

Perimbangan dan Pengendalian Fase Pertumbuhan (Vegetatif-Reproduktif)

Perimbangan dan Pengendalian Fase Pertumbuhan (Vegetatif-Reproduktif) Perimbangan dan Pengendalian Fase Pertumbuhan (Vegetatif-Reproduktif) Darda Efendi Ketty Suketi Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian-IPB Pertumbuhan dan Perkembangan Pertumbuhan: o pertambahan

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN PERUBAHAN FISIOLOGI RAMBUTAN BINJAI SETELAH INDUKSI PEMBUNGAAN PADA MASA OFF-YEAR OLEH: RATNA IRDIASTUTI

PRODUKSI DAN PERUBAHAN FISIOLOGI RAMBUTAN BINJAI SETELAH INDUKSI PEMBUNGAAN PADA MASA OFF-YEAR OLEH: RATNA IRDIASTUTI PRODUKSI DAN PERUBAHAN FISIOLOGI RAMBUTAN BINJAI SETELAH INDUKSI PEMBUNGAAN PADA MASA OFF-YEAR OLEH: RATNA IRDIASTUTI PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK RATNA IRDIASTUTI. Produksi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUMBUHAN

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUMBUHAN 1 PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUMBUHAN Tujuan Pembelajaran: 1. Mengidentifikasi faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan 2. Merancang percobaan pengaruh faktor luar terhadap pertumbuhan tumbuhan 3. Menentukan

Lebih terperinci

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI.

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI. REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI Oleh: RAHADI PURBANTORO NPM : 0825010009 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus. Nanas berasal dari Brasilia (Amerika Selatan) yang telah didomestikasi sebelum masa

Lebih terperinci

PENGARUH INTENSITAS CAHAYA DAN PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PEMBUNGAAN Hoya diversifolia Blume SINTHO WAHYUNING ARDIE

PENGARUH INTENSITAS CAHAYA DAN PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PEMBUNGAAN Hoya diversifolia Blume SINTHO WAHYUNING ARDIE PENGARUH INTENSITAS CAHAYA DAN PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PEMBUNGAAN Hoya diversifolia Blume SINTHO WAHYUNING ARDIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selada (Lactuca sativa L.) merupakan salah satu tanaman sayur yang dikonsumsi

I. PENDAHULUAN. Selada (Lactuca sativa L.) merupakan salah satu tanaman sayur yang dikonsumsi 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Selada (Lactuca sativa L.) merupakan salah satu tanaman sayur yang dikonsumsi masyarakat dalam bentuk segar. Warna, tekstur, dan aroma daun selada dapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Kimia Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum diberi perlakuan dapat dilihat pada lampiran 2. Penilaian terhadap sifat kimia tanah yang mengacu pada kriteria Penilaian

Lebih terperinci

RESPON KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP KONSENTRASI GARAM NaCl SECARA IN VITRO

RESPON KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP KONSENTRASI GARAM NaCl SECARA IN VITRO RESPON KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP KONSENTRASI GARAM NaCl SECARA IN VITRO S K R I P S I OLEH : JUMARIHOT ST OPS 040307037 BDP-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merril) merupakan salah satu komoditas pangan yang

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merril) merupakan salah satu komoditas pangan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merril) merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat penting dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat. Kandungan gizi dalam

Lebih terperinci

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH EKOFISIOLOGI TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN TANAH LINGKUNGAN Pengaruh salinitas pada pertumbuhan semai Eucalyptus sp. Gas-gas atmosfer, debu, CO2, H2O, polutan Suhu udara Intensitas cahaya, lama penyinaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Cabai (Capsicum sp ) merupakan tanaman semusim, dan salah satu jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Cabai (Capsicum sp ) merupakan tanaman semusim, dan salah satu jenis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman cabai Cabai (Capsicum sp ) merupakan tanaman semusim, dan salah satu jenis tanaman hortikultura penting yang dibudidayakan secara komersial, hal ini disebabkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Tebu transgenik IPB 1 dan isogenik PS 851 ditanam di Kebun Percobaan PG Djatirorto PTPN XI, Jawa Timur. Secara administrasi, lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat beberapa jenis beras yang dikembangkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat beberapa jenis beras yang dikembangkan oleh 15 BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Di Indonesia, terdapat beberapa jenis beras yang dikembangkan oleh petani, diantaranya; beras putih, beras merah, dan beras hitam. Akan tetapi, beras hitam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian Percobaan I: Pengaruh Tingkat Berbuah Sebelumnya dan Letak Strangulasi Terhadap Pembungaan Jeruk Pamelo Cikoneng

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian Percobaan I: Pengaruh Tingkat Berbuah Sebelumnya dan Letak Strangulasi Terhadap Pembungaan Jeruk Pamelo Cikoneng BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada areal pertanaman jeruk pamelo di lahan petani Desa Bantarmara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat dengan ketinggian tempat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tebu Botani dan Syarat Tumbuh Tebu

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tebu Botani dan Syarat Tumbuh Tebu TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tebu Botani dan Syarat Tumbuh Tebu Tebu termasuk ke dalam kelas Monocotyledoneae dan ordo Glumamaceae. Saccharum officinarum adalah jenis yang paling banyak dikembangkan dan dibudidayakan

Lebih terperinci

PENGARUH CARA PANEN DAN PEMBERIAN GIBERELIN TERHADAP MUTU BUAH DAN PERTUMBUHAN TRUBUS BARU MANGGIS (Garcinia mangostana L.)

PENGARUH CARA PANEN DAN PEMBERIAN GIBERELIN TERHADAP MUTU BUAH DAN PERTUMBUHAN TRUBUS BARU MANGGIS (Garcinia mangostana L.) PENGARUH CARA PANEN DAN PEMBERIAN GIBERELIN TERHADAP MUTU BUAH DAN PERTUMBUHAN TRUBUS BARU MANGGIS (Garcinia mangostana L.) Oleh: ASLIH SRILILLAH A34303030 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bunga Gladiol (Gladiolus hybridus L) merupakan bunga potong yang menarik

I. PENDAHULUAN. Bunga Gladiol (Gladiolus hybridus L) merupakan bunga potong yang menarik I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bunga Gladiol (Gladiolus hybridus L) merupakan bunga potong yang menarik dan cukup popular. Bunga gladiol memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan menduduki

Lebih terperinci

III. ANALISIS PERCABANGAN DAN MODEL TAJUK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) PENDAHULUAN

III. ANALISIS PERCABANGAN DAN MODEL TAJUK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) PENDAHULUAN III. ANALISIS PERCABANGAN DAN MODEL TAJUK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) Analysis of branches and shoot model of Jatropha curcas L. Abstract The objective of this research was to analyze pattern of branching,

Lebih terperinci

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANGG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI YOLANDA FITRIA SYAHRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Tinggi tanaman (cm) Hasil pengamatan yang diperoleh terhadap tinggi tanaman jagung manis setelah dilakukan sidik ragam (Lampiran 9.a) menunjukkan bahwa pemberian kompos sampah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk Indonesia. Produksi padi nasional mencapai 68.061.715 ton/tahun masih belum mencukupi

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGARUH APLIKASI UNSUR FE PADA KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN TERHADAP TANAMAN TOMAT. Oleh Aprilia Ike Nurmalasari H

SKRIPSI PENGARUH APLIKASI UNSUR FE PADA KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN TERHADAP TANAMAN TOMAT. Oleh Aprilia Ike Nurmalasari H SKRIPSI PENGARUH APLIKASI UNSUR FE PADA KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN TERHADAP TANAMAN TOMAT Oleh Aprilia Ike Nurmalasari H0709011 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bunga Kakao dan Layu Pentil

TINJAUAN PUSTAKA Bunga Kakao dan Layu Pentil 16 TINJAUAN PUSTAKA Bunga Kakao dan Layu Pentil Bunga kakao muncul dari bantalan bunga yaitu ketiak daun yang telah mengalami penebalan sehingga disebut bunga cauliflorous atau truncate (Gambar 1). Bunga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani dan Morfologi Durian ( Durio zibethinus Murr)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani dan Morfologi Durian ( Durio zibethinus Murr) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani dan Morfologi Durian (Durio zibethinus Murr) Durian termasuk dalam klasifikasi Kingdomnya (Plantae), Divisi (Magnoliophya), Kelas (Magnoliopsida), Ordo (Malvales), Famili

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH:

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: Dinda Marizka 060307029/BDP-Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Jones dan Luchsinger (1979), tumbuhan anggrek termasuk ke dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari sekian banyak tumbuhan berbunga

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO Imam Mahadi, Sri Wulandari dan Delfi Trisnawati Program

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman hias mempunyai peran sangat penting dalam perdagangan komoditas pertanian dan akan selalu dibutuhkan oleh masyarakat. Menurut Sari (2008), komoditas agribisnis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit disebut dengan nama latin Elaeis guineensis Jacq. Elaeis berasal dari Elaion yang dalam bahasa Yunani berarti minyak. Guineensis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman hias khususnya bunga merupakan salah satu komoditas hortikultura

I. PENDAHULUAN. Tanaman hias khususnya bunga merupakan salah satu komoditas hortikultura I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman hias khususnya bunga merupakan salah satu komoditas hortikultura yang cukup diperhitungkan. Selain memiliki fungsi estetika, bunga juga mendatangkan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP DAYA KECAMBAH DAN PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN MUCUNA (Mucuna bracteata D.C) SKRIPSI

PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP DAYA KECAMBAH DAN PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN MUCUNA (Mucuna bracteata D.C) SKRIPSI PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP DAYA KECAMBAH DAN PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN MUCUNA (Mucuna bracteata D.C) SKRIPSI Oleh: AINUL FAHRIN SIREGAR 050301028 BDP-AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

Lebih terperinci

SINTESIS cdna DAN DETEKSI FRAGMEN GEN EF1-a1 PADA BUNGA KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)

SINTESIS cdna DAN DETEKSI FRAGMEN GEN EF1-a1 PADA BUNGA KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) SINTESIS cdna DAN DETEKSI FRAGMEN GEN EF1-a1 PADA BUNGA KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai derajat Sarjana Sains (S.Si) pada Jurusan Biologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring

Lebih terperinci

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili Papilionaceae; genus Arachis; dan spesies Arachis hypogaea L. Kacang tanah

Lebih terperinci

PENINGKATAN MUTU DAN HASIL TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill.) DENGAN PEMBERIAN HORMON GA3. Oleh :

PENINGKATAN MUTU DAN HASIL TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill.) DENGAN PEMBERIAN HORMON GA3. Oleh : PENINGKATAN MUTU DAN HASIL TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill.) DENGAN PEMBERIAN HORMON GA3 SKRIPSI Oleh : RUTH ERNAWATY SIMANUNGKALIT 060301034 BDP AGRONOMI PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Fenotipe organ reproduktif kelapa sawit normal dan abnormal.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Fenotipe organ reproduktif kelapa sawit normal dan abnormal. HASIL DAN PEMBAHASAN Fenotipe organ reproduktif kelapa sawit normal dan abnormal. Dalam perkembangannya, organ reproduktif mengalami perubahan yang mengakibatkan terjadinya perbedaan fenotipe antara kelapa

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i ABSTRACT ERNI SUMINAR. Genetic Variability Induced

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika Darmaga, Bogor (Tabel Lampiran 1) curah hujan selama bulan Februari hingga Juni 2009 berfluktuasi. Curah hujan terendah

Lebih terperinci

SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN 2,4-D DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) Oleh Nurul Mufidah H

SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN 2,4-D DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) Oleh Nurul Mufidah H SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN 2,4-D DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) Oleh Nurul Mufidah H0709085 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Manggis dan Syarat Tumbuh Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah berupa pohon yang banyak tumbuh secara alami pada hutan tropis di kawasan

Lebih terperinci

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO Oleh: ASEP RODIANSAH A34302032 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGAIRAN KEDELAI PELATIHAN TEKNIS BUDIDAYA KEDELAI BAGI PENYULUH PERTANIAN DAN BABINSA PUSAT PELATIHAN PERTANIAN

PENGAIRAN KEDELAI PELATIHAN TEKNIS BUDIDAYA KEDELAI BAGI PENYULUH PERTANIAN DAN BABINSA PUSAT PELATIHAN PERTANIAN PELATIHAN TEKNIS BUDIDAYA KEDELAI BAGI PENYULUH PERTANIAN DAN BABINSA PENGAIRAN KEDELAI BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015 Sesi : PENGAIRAN KEDELAI Tujuan Berlatih

Lebih terperinci

Stratifikasi III. METODE PENELITIAN Metode Pengumpulan Data Waktu dan Tempat Penelitian

Stratifikasi III. METODE PENELITIAN Metode Pengumpulan Data Waktu dan Tempat Penelitian DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1

Lebih terperinci