BAB II TINJAUAN PUSTAKA
|
|
- Leony Oesman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Terhadap Yurisdiksi Secara etimologis, yurisdiksi dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris yaitu jurisdiction. Jurisdiction sendiri berasal dari bahasa Latin Yurisdictio, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum, dan dictio yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Sehingga jika didefinisikan secara singkat, maka inti dari yurisdiksi adalah ucapan atau sabda yang memiliki dasar hukum. Memiliki dasar hukum hukum dapat diartikan sebagai kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum. Dalam kekuasaan tersebut di dalamnya mencakup hak dan wewenang yang didasarkan oleh hukum. Sehingga kekuasaan yang dimiliki oleh pemegang yurisdiksi bukanlah merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri melainkan kekuasaan yang berdasarkan hukum, dibatasi oleh nilai - nilai hukum. Anthony Csabafi, dalam bukunya The Concept of State Jurisdiction in International Space Law mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi negara sebagai berikut : state jurisdiction in public international law means the right of a state to regulate or effect by legislative, executive or judical measures the rights of person, property, acts events with respect to matters not exclusively of domestic concern. 1 Dalam definisi tersebut dapat ditemukan unsur - unsur yurisdiksi yang ada yaitu hak atau kewenangan, mengatur secara hukum melalui lembaga 1 Anthony Csabafi, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law, (The Hague, 1971), hal
2 legislatif, eksekutif, maupun yudikatif; mempengaruhi hak orang, benda, peristiwa dan tidak semata - mata merupakan masalah dalam negeri saja. Senada dengan Anthony Csabafi, Akehurst juga menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis yurisdiksi yaitu yurisdiksi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Yurisdiksi legislatif mengacu pada supremasi lembaga negara yang diakui secara konstitusional untuk membuat undang-undang yang mengikat dalam wilayahnya. Negara mempunyai hak eksklusif membuat undang-undang dan peraturan dalam banyak bidang. Yurisdiksi eksekutif berkaitan dengan kewenangan negara untuk bertindak dalam batas-batas negara lain, Karena masing-masing negara independen dan memiliki kedaulatan teritorial. Yurisdiksi yudikatif menyangkut kekuasaan pengadilan dari negara tertentu untuk mengadili kasus-kasus di mana ada faktor asing. Dalam masalah pidana yurisdiksi ini menjangkau mulai dari prinsip teritorial hingga prinsip universal sedangkan dalam persoalan sipil mulai dari kehadiran fisik terdakwa di negara itu hingga prinsip kewarganegaraan dan domisili. 2 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu 3 : a. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan; b. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum 2 Malcolm N. Shaw, Hukum Internasional, terjemahan oleh Derta Sri Widowati, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2013, hal Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), hal
3 Yurisdiksi adalah ciri pokok dan sentral dari kedaulatan negara, karena merupakan pelaksanaan kewenangan yang dapat mengubah atau membuat atau mengakhiri hubungan dan kewajiban hukum. 4 Yurisdiksi dapat dicapai dengan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Di Indonesia, legislatif merupakan parlemen yang mengeluarkan undang - undang yang mengikat, eksekutif merupakan pemerintah yang memiliki yurisdiksi atau otoritas kewenangan untuk menjalankan undang - undang, dan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman yang mempunyai wewenang untuk memutus dan mengadili. Yurisdiksi sangat lekat hubungannya dengan teritorial. Yurisdiksi akan sangat kuat keberadaannya terhadap segala sesuatu yang ada dalam wilayah suatu negara. Tetapi keterkaitan antara yurisdiksi dengan wilayah negara bukan sesuatu yang bersifat mutlak. Negara - negara tetap dapat memiliki yurisdiksi untuk menghukum pelanggaran yang terjadi di luar wilayah mereka contohnya. Yurisdiksi negara dalam hukum internasional dibagi dalam dua ranah yaitu yurisdiksi perdata dan yurisdiksi pidana. Dalam yurisdiksi perdata, hukum nasional suatu negara lebih banyak dipakai untuk menyelesaikan sengketa dibandingkan dengan hukum internasional. Reaksi yang dihasilkan oleh negara - negara lain juga jauh lebih sedikit. 5 Kasus perdata dalam hukum internasional diselesaikan menggunakan yurisdiksi negara yang telah disepakati oleh masing-masing pihak dalam perjanjian. Hampir tidak ada protes diplomatik atau diskusi antar negara menyangkut hukum privat. Beberapa penulis menyimpulkan bahwa hukum adat 4 Op cit. hal Ibid, hal
4 internasional tidak menetapkan peraturan tertentu dalam hal pembatasan yurisdiksi pengadilan dalam persoalan sipil. 6 Ranah yurisdiksi yang kedua adalah yurisdiksi pidana. Sepanjang menyangkut ranah pidana maka yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara dapat berupa bentuk-bentuk seperti ini : 1. Prinsip Teritorial. Maksud dari prinsip ini adalah suatu negara mempunyai yurisdiksi penuh terhadap segala semua orang dan benda di dalam batas teritorialnya dan dalam semua perkara pidana dan perdata yang timbul di wilayah teritorialnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling penting dan mapan dalam membicarakan masalah yurisdiksi dalam hukum Internasional. 7 Seiring berjalannya waktu, maka prinsip ini dikembangkan lagi menjadi dua prinsip yaitu prinsip teritorial subyektif dan prinsip teritorial obyektif. Prinsip teritorial subyektif adalah keadaan di mana negara dapat menuntut dan menghukum pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana di wilayah negaranya tetapi tindakan itu diselesaikan atau menimbulkan kerugian di negara lain. Prinsip teritorial obyektif artinya negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang menimbulkan kerugian di negaranya 6 Ibid. 7 DJ Harris, Cases and Materials on International Law,3rd Ed, (London: Sweet &Maxwell,1998), hal
5 meskipun perbuatan itu dimulai dari negara lain, tetapi dengan syarat perbuatan tersebut dilaksanakan atau diselesaikan di dalam wilayah mereka dan menimbulkan akibat yang sangat berbahaya terhadap ketertiban sosial ekonomi di wilayah mereka. 2. Prinsip Personal (Nasionalitas) Prinsip ini artinya setiap negara dapat mengadili warga negaranya terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. 8 Prinsip nasionalitas ini juga dibagi menjadi dua bagian menurut prakteknya yaitu prinsip nasionalitas aktif dan prinsip nasionalitas pasif. Prinsip nasionalitas aktif artinya negara dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap warga negaranya di manapun ia berada. Prinsip nasionalitas pasif artinya suatu negara dapat memiliki yurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri Prinsip Perlindungan Prinsip ini artinya suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang di duga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara yang bersangkutan. 10 Prinsip ini 8 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002),hal Ibid. hal Ibid. hal
6 dibenarkan atas dasar perlindungan terhadap kepentingan negara yang sangat penting. 4. Prinsip Universal Prinsip ini seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya berarti bahwa setiap negara mempunyai yurisdiksi untuk mengadili seseorang tanpa mengindahkan lokasi maupun warga negara orang tersebut dalam batasan bahwa tindak pidana tersebut mengusik kehidupan seluruh komunitas internasional. 2.2 Tinjauan Khusus Terhadap Yurisdiksi Universal Prinsip Yurisdiksi universal artinya setiap negara memiliki yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan tertentu dengan pertimbangan bahwa sifat kejahatan tersebut sama-sama mengusik keamanan dan kepentingan seluruh komunitas internasional. Pemikiran yang mendasari munculnya prinsip yurisdiksi universal adalah adanya anggapan apabila kejahatan tersebut telah menjadi kejahatan bagi seluruh umat manusia (hostis humani generis). 11 Kejahatan universal atau kejahatan bagi seluruh umat manusia menjadi bagian dari yurisdiksi universal tidak terlepas dari hukum kebiasaan. Amnesty Internasional mendefinisikan yurisdiksi universal sebagai yurisdiksi di mana pengadilan nasional di mana pun dapat menginvestigasi, menuntut seseorang yang dituduh melakukan kejahatan internasional tanpa 11 Jahawir Thontowi dan Pranonto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal
7 memerhatikan nasionalitas pelaku, korban, maupun hubungan lain dengan negara di mana pengadilan tersebut berada. 12 Beberapa ciri unik dari yurisdiksi universal adalah : 1. Setiap negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal dengan bertanggung jawab untuk tidak mencoba memberikan perlindungan di wilayah negaranya. 2. Setiap negara yang melaksanakan yurisdiksi ini tidak perlu mempertimbangkan kewarganegaraan pelaku dan korban serta di mana kejahatan itu dilakukan. Satu-satunya yang harus dipastikan adalah pelaku kejahatan berada dalam wilayah teritorial negaranya. 3. Yurisdiksi universal hanya berlaku bagi kejahatan internasional. 13 Prinsip universal pertama kali muncul pada abad ke-17 dalam kaitannya dengan pembajakan di laut lepas. Sehingga pembajakan di laut lepas dianggap sebagai tindak pidana awal di mana asas yurisdiksi universal muncul untuk melindungi kepentingan komunitas internasional. Perlu ditekankan di sini bahwa hanya pembajakan di laut lepas saja yang masuk dalam lingkup yurisdiksi universal. Dalam hukum positif pembajakan di laut lepas masuk dalam juris gentium sesuai dengan pasal 105 UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) yang berbunyi "On the high seas, or in any other place outside the 12 Amnesty International, Universal Jurisdiction, Question and Answer, December, 2001, sebagaimana dikutip oleh Ridarson Galingging "Universal Jurisdiction in absentia; Congo v Belgium, ICJ, Feb 2002, dalam Jurnal Hukum Internasional, Vol. I No.2, Agustus 2002, FH Universitas Padjadjaran, Bandung, Hal Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar,Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2014, hal
8 jurisdiction of any State, every State may seize a pirate ship or aircraft, or a ship or aircraft taken by piracy and under the control of pirates, and arrest the persons and seize the property on board. The courts of the State which carried out the seizure may decide upon the penalties to be imposed, and may also determine the action to be taken with regard to the ships, aircraft or property, subject to the rights of third parties acting in good faith." Asas yurisdiksi universal dalam pembajakan di laut lepas bertujuan untuk mengisi kekosongan yurisdiksi jika ada kejahatan yang dilakukan di wilayah yang tidak bertuan atau wilayah yang ada di luar yurisdiksi teritorial negara-negara di dunia,sehingga pelaku kriminal yang melakukan kejahatan di wilayah tersebut tetap dapat dihukum sesuai dengan kejahatannya. Setelah pembajakan di laut lepas menjadi lingkup yurisdiksi universal, dalam hukum internasional modern, asas yurisdiksi universal berkembang kegunaannya seiring dengan adanya kejahatan-kejahatan yang sangat serius dan mematikan seperti genosida, kejahatan perang, dan lain-lain. Dalam yurisdiksi universal modern, asas yurisdiksi universal dapat digunakan untuk mengadili pelaku-pelaku kejahatan internasional yang sangat serius sehingga tidak ada lagi tempat di mana pelaku kejahatan tersebut berlindung sehingga ia tidak dapat diadili dan dihukum sesuai dengan kejahatannya. 14 Asas yurisdiksi universal digunakan dalam mengadili pelaku kejahatan internasional yang serius pada awalnya adalah saat pengadilan Israel mengadili Adolf Eichmann dan menjatuhkan putusan hukuman 14 Noora Arajarvi, Looking Back from Nowhere: Is There a Future for Universal Jurisdiction over International Crimes?, Tilburg Law Review, vol.16,2011,hal
9 mati 15 dan Pengadilan Nuremberg yang mengadili mantan pejabat-pejabat Nazi yang melakukan tindakan genosida walaupun pengadilan Nuernberg dibentuk oleh negara-negara pemenang Perang Dunia yang kedua yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pelaku kejahatan, korban, dan lokasi kejadian tindak kejahatan tersebut. Berangkat dari dua peradilan tersebut maka asas yurisdiksi universal juga mencakup kejahatan internasional yang sangat serius (kejahatan perang), selain juga digunakan untuk pembajakan di laut lepas. Saat ini dua tindak pidana yang jelas masuk dalam lingkup prinsip universal adalah pembajakan di laut lepas dan kejahatan perang. Sedangkan pembajakan di laut teritorial suatu negara tunduk kepada yurisdiksi teritorial negara yang bersangkutan. Masuknya kejahatan perang sebagai delik jure gentium dikukuhkan oleh Konvensi Jenewa 1949 yang berkenaan dengan tawanan perang, perlindungan penduduk sipil dan personel yang menderita sakit dan luka-luka. Ditambahkan juga dengan Protokol I dan Protokol II yang disahkan pada tahun 1977 oleh Konferensi Diplomatik di Jenewa tentang Penetapan dan Pengembangan Hukum Humaniter Internasional yang berlaku dalam Konflik-Konflik bersenjata (Diplomatic Conference at Geneva on the Reaffirmation and Development of International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflicts). 16 Selain dua kejahatan yang telah disebutkan di atas, kejahatan-kejahatan internasional yang serius lainnya seperti contohnya kejahatan yang melawan 15 Israel v Eichmann, Israel Supreme Court Judgment of 29 May 1962 in (1968) International Law Reports J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, terjemahan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal
10 kemanusiaan, kejahatan agresi, dan perdagangan manusia masih menjadi perdebatan di kalangan komunitas internasional. Meskipun sebenarnya saat ini prinsip yurisdiksi universal sedang didorong untuk dapat menindak pelaku-pelaku kejahatan internasional serius lainnya yang belum diadili oleh negara yang berwenang mengadili. 2.3 Permasalahan dalam Yurisdiksi Universal Yurisdiksi universal dianggap sebagai yurisdiksi yang cukup kompleks karena yurisdiksi universal bersifat kontradiktif dengan yurisdiksi nasional suatu negara. Yurisdiksi nasional suatu negara memberikan ruang lingkup yang sangat jelas bagi suatu negara untuk mengadili pelaku kejahatan internasional. Yurisdiksi nasional negara seperti yurisdiksi teritorial, nasional, dan perlindungan memiliki batas-batas yang sangat jelas dan juga merupakan suatu tanda atas kedaulatan negara. Tidak ada negara yang mau jika kedaulatannya dilanggar. Secara kontradiktif, eksistensi yurisdiksi universal mengusik yurisdiksi nasional suatu negara. Yurisdiksi universal memiliki batasan-batasan tersendiri tidak berdasarkan nasionalitas atau kepentingan suatu negara. Yurisdiksi universal memberikan ruang bagi suatu negara untuk melangkahi yurisdiksi nasional negara lain dengan dalil melindungi kepentingan seluruh komunitas internasional. Sifat kontradiktif dari yurisdiksi universal terhadap yurisdiksi lainnya ini dapat menimbulkan masalah jika tidak dikaji secara baik dan benar pelaksanaannya. Permasalahan selanjutnya yang akan muncul terhadap eksistensi yurisdiksi universal adalah ketika suatu negara telah menerapkan prinsip tersebut dalam undang-undang nasional negaranya. Akan terjadi benturan kepentingan antara 21
11 negara tersebut dengan negara lain yang tidak mengakui yurisdiksi tersebut dalam hukum positif negaranya. Di sinilah terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara yurisdiksi universal dengan pembentukan peradilan internasional. Peradilan internasional seperti contohnya ICC dapat dibentuk dengan persetujuan dari beberapa negara. Dengan menyetujui dibentuknya peradilan internasional tersebut maka negara-negara yang menyetujuinya tunduk dalam perjanjian internasional dan tunduk kepada yurisdiksi perjanjian internasional tersebut. Hal yang sangat berbeda aplikasinya terhadap yurisdiksi universal. Suatu negara dengan kemauan dan itikad yang baik untuk melindungi kepentingan komunitas internasional dapat memasukkan yurisdiksi universal sebagai hukum positif dengan memasukkannya dalam undang-undang nasional negaranya. Situasi ini yang dapat menyebabkan konflik di kemudian hari karena belum tentu negara lain mengakui atau menyetujui penerapan yurisdiksi universal. 22
BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the
BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perlindungan langsung dari salah satu negara.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembajakan di kapal laut sudah ada sejak jaman Illyrians tahun 233 SM. Pada saat itu kekaisaran Romawi telah melakukan upaya untuk melindungi pedagang Italia
Lebih terperinciPENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari
PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA Oleh: Ida Ayu Karina Diantari Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG YURISDIKSI NEGARA. lainnya (equal states don t have jurisdiction over each other) 27, dan prinsip tidak
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG YURISDIKSI NEGARA A. Pengertian Yurisdiksi Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak
Lebih terperinciBAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia
BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia
1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI YURISDIKSI, TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN KAWASAN TUMPANG TINDIH
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI YURISDIKSI, TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN KAWASAN TUMPANG TINDIH 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Yurisdiksi Negara Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan negara. Kedaulatan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pidana tersebut. Oppenheim menyatakan bahwa :
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menindak suatu tindak pidana, sebuah negara atau otoritas berwenang memerlukan yurisdiksi sebagai dasar atas perbuatannya menindak pelaku tindak pidana
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional
19 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional 1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban.
Lebih terperinciGARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN [GBPP]
GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN [GBPP] Program Studi Hubungan Versi/revisi: Nama Mata Kuliah : Dosen : Very Aziz, Lc., M.Si. SKS : 3 SKS Berlaku Mulai : Maret 2017 Silabus/Deskripsi singkat Tujuan
Lebih terperinciBAB II YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA. Asal kata kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah
BAB II YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA F. Pengertian Kedaulatan Negara Asal kata kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah souvereignity berasal dari kata Latin superanus berarti
Lebih terperinciEksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan
Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam pergantian negara yang membawa
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciINTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG
PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR
Lebih terperinciPENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL oleh Made Putri Saraswati A.A. Gede Oka Parwata Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Ne bis in idem principle
Lebih terperinciSATUAN ACARA PERKULIAHAN
3 SATUAN ACARA PERKULIAHAN A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH :KAPITA SELEKTA HUKUM INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH : WAJIB KONSENTRASI KODE MATA KULIAH : PRASYARAT : JUMLAH SKS : 2 SKS SEMESTER
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum Laut yang pada masa lampau didasari oleh kebiasaan dan hukum
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Laut yang pada masa lampau didasari oleh kebiasaan dan hukum nasional dari negara-negara yang berlaku universal, dianggap tidak lagi memenuhi kebutuhan
Lebih terperinciLEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,
Lebih terperincinasionalitas Masing-masing negara menganut kaidah yang berbeda-beda mengenai nasionalitas, misal: ius sangunis, ius soli.
NEGARA DAN INDIVIDU NASIONALITAS Merupakan status hukum keanggotaan kolektivitas individu-individu yang tindakannya, keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya dijamin melalui konsep hukum negara yang
Lebih terperinciI. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciBAGIAN I PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI YURISDIKSI NEGARA
BAGIAN I PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI YURISDIKSI NEGARA Yurisdiksi negara tidak dapat dipisahkan dari Azas Kedaulatan Negara (State Souvereignty) yang merupakan ciri hakiki dari setiap
Lebih terperinciBAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL
BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL A. Konvensi Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil Kajian instrumen hukum internasional
Lebih terperinciSILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013
SILABUS Mata Kuliah : Hukum Pidana Internasional Kode Mata Kuliah : HKIn 2081 SKS : 2 Dosen : Ir. Bambang Siswanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013 1 HALAMAN PENGESAHAN
Lebih terperinciPENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL
PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan
Lebih terperinciTelah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:
LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciKata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS
YURISDIKSI INDONESIA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN PENENGGELAMAN KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA Oleh : Kadek Rina Purnamasari I Gusti
Lebih terperinci4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional
Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam satu negara, kepentingan hukum dapat diadakan dengan berdasarkan kontrak di antara dua orang atau lebih, kesepakatan resmi, atau menurut sistem pemindahtanganan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas wilayahnya baik darat, air, maupun udara, dimana hukum yang berlaku adalah hukum nasional negara masing-masing.
Lebih terperinciPERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA
PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA Oleh Grace Amelia Agustin Tansia Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap
Lebih terperinciHUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H.
HUKUM INTERNASIONAL Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber: Starke (1989), Brownlie (1979), Shelton (2006), Riesenfeld (2006) Pengertian: Bahan-bahan aktual yang digunakan
Lebih terperinciPENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK
MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan hubungan dengan manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota masyarakat membutuhkan
Lebih terperinciSekolah Tinggi Manajemen Informatika Dan Komputer PERBANAS. Cyber Law Drafting. Kuliah Sessi 4: Prosedural dan Kelembagaan
Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Dan Komputer PERBANAS Cyber Law Drafting Kuliah Sessi 4: Prosedural dan Kelembagaan Dosen: Ir. Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, SE, MSi, MPP Agenda Isu Prosedural Jurisdiksi
Lebih terperinciKata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban
PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG Oleh : Airlangga Wisnu Darma Putra Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum
Lebih terperinciANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh
ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas
Lebih terperinciS I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7
1 S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL : WAJIB STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7 B. DESKRIPSI
Lebih terperinci2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.170, 2008 DISKRIMINASI.Ras dan Etnis. Penghapusan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4919) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciHUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah
Lebih terperinciUMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan
PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan diplomatik merupakan hal yang penting untuk dijalin oleh sebuah negara dengan negara lain dalam rangka menjalankan peran antar negara dalam pergaulan internasional.
Lebih terperinciPENGATURAN HAK PENGUASAAN TANAH HAK MILIK PERORANGAN OLEH NEGARA
PENGATURAN HAK PENGUASAAN TANAH HAK MILIK PERORANGAN OLEH NEGARA A. A. Sagung Tri Buana Marwanto Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Penguasaan tanah milik perorangan
Lebih terperinciPada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace
Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi
Lebih terperinciPELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL
PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanahkan pembentukan sebuah lembaga negara dibidang yudikatif selain Mahkamah Agung yakninya
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal
Lebih terperinciKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG
SILABUS Mata Kuliah : Hukum Internasional nal Kode Mata Kuliah : HKI 2037 SKS : 4 Dosen : 1. Evert Maximiliaan T, S.H., M.Hum 2. Bambang Irianto, S.H., M.Hum 3. Ir. Bambang Sisiwanto, S.H., M.Hum 4. Sudaryanto,
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL
Lebih terperinciHUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM
HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX By Malahayati, SH, LLM 1 TOPIK PRINSIP UMUM JENIS SENGKETA BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA PENYELESAIAN POLITIK PENYELESAIAN
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,
Lebih terperinciBAB III PENUTUP. dilakukanlah penelitian hukum normatif dengan melacak data-data sekunder
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pertanyaan utama dalam penulisan hukum / skripsi ini, dilakukanlah penelitian hukum normatif dengan melacak data-data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder
Lebih terperinciPRINSIP-PRINSIP HUKUM REGULASI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
PRINSIP-PRINSIP HUKUM REGULASI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Oleh: Dr Jamal Wiwoho Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani 1 Dalam Hukum Internasional dikenal 3 jenis Juridiksi: Juridiksi untuk menetapkan
Lebih terperinciKEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The
Lebih terperinciKonvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida
Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. 2.1 Kasus Pembajakan Kapal Maersk Alabama di Perairan Somalia
BAB II TINJAUAN UMUM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA 2.1 Kasus Pembajakan Kapal Maersk Alabama di Perairan Somalia Berdasarkan Piagam PBB Bab 1 Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa
Lebih terperinciANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992
ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992 (Sebagaimana Telah Diratifikasi dengan UU No.8 Th 1994, 2 Nopember 1994) A. PENGERTIAN EKSTRADISI Perjanjian Ekstradisi
Lebih terperinciBAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.
BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Introduction Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, mulai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang menyatakan bahwa permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penelitian ini dilatarbelakangi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (selanjutnya
Lebih terperinciSUMBER HUKUM INTERNASIONAL
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL a. Pengertian Sumber Hukum Internasional Sumber hukum dibedakan menjadi dua yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang
Lebih terperinciPELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at
PELANGGARAN HAM YANG BERAT Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan
Lebih terperinciKEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Sakti Prasetiya Dharmapati I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM Oleh : Risa Sandhi Surya I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional
Lebih terperinciHUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh : IKANINGTYAS, SH.LLM Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 1 Pengertian Hk. Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang
Lebih terperinciPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana internasional pada hakekatnya adalah diskusi tentang hukum pidana internasional dalam pengertian formil. Artinya, yang akan di bahas
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh Pande Putu Swarsih Wulandari Ni Ketut Supasti Darmawan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE
Lebih terperinciSTATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA
1 STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA I Gede Adhi Supradnyana I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. Adolf, Huala, 2002, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta,, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Bandung,
DAFTAR PUSTAKA Buku Adolf, Huala, 2002, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada., 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Bandung, Sinar Grafika. Ambarwati,
Lebih terperinciBAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait
BAB III. PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan apa yang telah disampaikan dalam bagian pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut. Dewan Keamanan berdasarkan kewenangannya yang diatur
Lebih terperinciBAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan
Lebih terperinciPENERAPAN ASAS TIDAK ADA EKSTRADISI UNTUK KEJAHATAN POLITIK TERHADAP PENOLAKAN PERMINTAAN EKSTRADISI
PENERAPAN ASAS TIDAK ADA EKSTRADISI UNTUK KEJAHATAN POLITIK TERHADAP PENOLAKAN PERMINTAAN EKSTRADISI Oleh : Ketut Gede Sonny Wibawa I Dewa Gede Palguna Anak Agung Sri Utari Bagian Hukum Internasional Fakultas
Lebih terperinciUNOFFICIAL TRANSLATION
UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008
1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL
Lebih terperinciPENGANTAR KONVENSI HAK ANAK
Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. frekuensi lalulintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barangbarang/
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laut merupakan jalur transportasi pengiriman yang paling diminati untuk mengirimkan barang yang bersifat lintas negara, seiring dengan perkembangan zaman serta meningkatnya
Lebih terperinciProsiding Ilmu Hukum ISSN: X
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Aspek Tanggung Jawab yang Timbul dalam Pengoprasian Drone Berdasarkan Hukum Udara Internasional dan Implementasinya dalam Peraturan Menteri No 90 Tahun 2015 tentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Inti dari
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan
Lebih terperinciBAB III PEMBAHASAN. 1.1 Kriteria Kejahatan Dalam Lingkup Yurisdiksi Universal
BAB III PEMBAHASAN 1.1 Kriteria Kejahatan Dalam Lingkup Yurisdiksi Universal Karena sifat dari yurisdiksi universal yang tidak mengenal batas teritorial, nasionalitas, dan kepentingan nasional suatu negara,
Lebih terperinciPENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA
Saya menyetujui, dengan segala hormat, bagian pengantar keputusan terkait prosedur dan fakta dan juga bagian penutup tentang dengan penerapan Pasal 50 (pas. 50) dari Konvensi terhadap kasus ini. Saya juga
Lebih terperinciTAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
Lebih terperincipenting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum internasional adalah hukum atau peraturan yang berlaku diluar dari wilayah suatu negara. Secara umum, hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan
Lebih terperinci