SKENARIO PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS SUMBERDAYA LARVA IKAN BANDENG DI PESISIR KOTA JAYAPURA, PROVINSI PAPUA)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKENARIO PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS SUMBERDAYA LARVA IKAN BANDENG DI PESISIR KOTA JAYAPURA, PROVINSI PAPUA)"

Transkripsi

1 SKENARIO PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS SUMBERDAYA LARVA IKAN BANDENG DI PESISIR KOTA JAYAPURA, PROVINSI PAPUA) ELSYE PENINA RUMBEKWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng Di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua), adalah hasil karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2010 Elsye Penina Rumbekwan NIM C

3 ABSTRACT ELSYE PENINA RUMBEKWAN, A Scenario of Sustainable Fishery Management Resources (A Case Study of Milkfish Larval Resource in Coastal Area of Kota Jayapura, Papua Province). Supervised by M. MUKHLIS KAMAL and LUKY ADRIANTO. The milkfish larvae (Chanos chanos, Forsskal) at the Youtefa Bay and Holtekamp Village have been used as seeds for milkfish ponds in Holtekamp Village since However, the catch result of these larval fish has been declining since This research was conducted to find out the distribution patterns of larval milkfish (C. chanos, Forsskal) which would be used to identify the patterns of the bay management so that these larval resources could be protected to ensure the sustainable of fisheries management in coastal of the Kota Jayapura. The analysis results showed that the decrease in larval abundance was caused not only by fish bombing activities but also by natural mortality due to environmental degradation in some parts of the bay in addition to the continuous overfishing. This condition has an impact on the non-sustainability of utilizing the larvae. The analysis of Multi Criteria Decision Making (MCDM) showed that sustainable fisheries in coastal of the Kota Jayapura could be achieved through the protection of mangrove and coral reef ecosystems, and by putting sedimentation and fish bombing activities to an end. These efforts can only be realized in the presence of a good coordination between technical institutions, the support of the local government in Jayapura, and the active participation of the community. Keywords: milkfish larvae, stock assessment, business continuity, sustainable fisheries, Kota Jayapura.

4 RINGKASAN ELSYE PENINA RUMBEKWAN, Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua). Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan LUKY ADRIANTO. Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp merupakan kawasan pesisir yang secara administratif masuk dalam wilayah Kota Jayapura. Berdasarkan RTRW Kota Jayapura, pemanfaatan kedua kawasan ini diarahkan untuk wisata pantai dan budidaya perikanan berbasis masyarakat, termasuk budidaya tambak ikan bandeng. Akan tetapi komitment Pemerintah Daerah setempat dan koordinasi antar instansi teknis dalam mendukung pengelolaan kedua kawasan tersebut masih sangat kurang. Kondisi ini berdampak pada meningkatnya sedimentasi dan sampah yang berasal dari kawasan bisnis Entrop dan saluran pembuangan Pasar Youtefa, erosi akibat konversi mangrove, dan semakin maraknya aktivitas penangkapan ikan dengan menggunkanan bom ikan. Permasalahan ini diduga menjadi penyebab berkurangnya beberapa jenis benih alam dari kawasan ini termasuk larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) sejak tahun Larva ikan bandeng di kedua kawasan ini, dimanfaatkan sebagai benih oleh petambak di Kampung Holtekamp sejak tahun Menurunnya suatu populasi ikan di alam disebabkan oleh terbatasnya rekruitment sediaan alami. Untuk mempertahankan rekruitmen ikan di alam agar tetap stabil dibutuhkan jumlah spawning stock biomass (SSB) yang memadai. Jumlah SSB ini sangat bergantung pada kualitas habitat dimana suatu sumberdaya ikan melewati siklus hidupnya dan aktivitas pemanfaatan. Oleh sebab itu, pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan harus memperhatikan kompleksitas ekosistem, mengontrol pemanfaatan sumberdaya dalam ekosistem dan memperhitungkan dampak, resiko, dan ketidakpastian dari pemanfaatan ekosistem tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk; (1) Mengetahui pola distribusi dan kelimpahan larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) di perairan kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, (2) Mengidentifikasikan pola pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp berbasis pada distribusi dan kelimpahan larva ikan bandeng untuk menjamin pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura. Untuk menjawab tujuan satu, dilakukan analisis terhadap keadaan biofisik perairan mencakup; pengukuran parameter suhu dan salinitas, analisis fitoplankton, analisis jenis makanan utama larva ikan bandeng, analisis kelimpahan larva ikan bandeng, analisis faktor kondisi larva ikan bandeng, dan analisis hubungan antara biomassa, faktor kondisi larva ikan bandeng, dan fitoplankton dengan parameter suhu dan salinitas. Tujuan dua dijawab melalui: analisis keadaan sosial ekonomi yang meliputi; analisis alokasi upaya penangkapan dan perilaku pengumpul larva ikan bandeng, analisis pengelolaan perikanan berkelanjutan, dan analisis skenario pengelolaan perikanan berkelanjutan.

5 Pengamatan dilakukan pada 3 (tiga) stasiun. Stasiun I dan II berada di Kampung Holtekamp, sedang stasiun III berada di Kampung Enggros (Teluk Youtefa). Stasiun I lebih terbuka dan menghadap langsung ke Samudera Pasifik, stasiun II lebih tertutup dan terlindung oleh dua pulau karang di bagian depannya serta tanjung Kasu di sisi kanannya, dan stasiun III terlindung dalam Teluk Youtefa. Arah angin dominan dari Timur Laut dengan kecepatan 3.0 hingga 8.9 m/det. Di stasiun I, suhu perairan berkisar antara 29 C hingga 31 C dan salinitas antara 28 hingga 29. Di stasiun II, suhu antara 27 C hingga 30 C dengan salinitas antara 27 hingga 29. Stasiun III, suhu antara 29 C hingga 31 C dengan salinitas antara 28 hingga 30. Kisaran suhu dan salinitas di ketiga stasiun ini masih sesuai untuk pertumbuhan optimal larva ikan bandeng. Hasil perbandingan antara jenis fitoplankton yang ditemukan di ketiga stasiun pengamatan dengan hasil penelitian sebelumnya terkait kebiasaan makan larva ini, maka jenis yang ditemukan sebagai makanan utama larva ini adalah Nitszchia sp., Pleurosigma sp., dan Diploneis sp. (klas Bacillariophyceae) serta Ceratium sp. dan Peridinium sp. (klas Dinophyceae). Jumlah dan jenis fitoplanton di stasiun II lebih tinggi dari stasiun I dan III. Hasil analisis terhadap sumberdaya larva ikan bandeng menunjukkan; total tangkapan larva di stasiun I sebanyak ekor dengan kelimpahan antara 1 hingga 4 ekor/m 2 /hari, stasiun II sebanyak ekor dengan kelimpahan antara 3 hingga 10 ekor/m 2 /hari, dan stasiun III sebanyak ekor dengan kelimpahan antara 2 hingga 5 ekor/m 2 /hari. Diinformasikan oleh pengumpul bahwa, antara tahun 1993 hingga 2002 dengan jumlah pengumpul 25 orang, rata-rata hasil tangkap berkisar antara hingga ekor/org/hari, antara 2003 hingga 2004 hasil tangkapan berkisar antara 104 hingga 208 ekor/org/hari, sedang antara tahun 2005 hingga 2007 berkisar antara 20 hingga 40 ekor/org/hari. Kelimpahan larva ini pada kondisi perairan yang stabil berkisar antara 20 hingga 42 ekor/m 2 /hari. Penurunan hasil tangkap dan kelimpahan larva ikan bandeng ini menandakan stok larva ini telah sangat berkurang. Hasil analisis hubungan antara biomassa, faktor kondisi larva ikan bandeng, dan fitoplankton dengan parameter suhu dan salinitas yang menggunakan PCA (AKU), menunjukkan bahwa stasiun II lebih produktif. Hal ini terkait pola arus, arah dan kecepatan angin, serta didukung pula oleh karakteristik fisik stasiun pengamatan. Hasil tabulasi data indeks musiman bulanan (Ij) (%) dan effort pada diagram bar menunjukkan bahwa pengumpul selalu memberikan respons positif terhadap setiap musim kelimpahan, namun tidak semua pengumpul serentak secara bersama-sama melakukan penangkapan. Hal ini disebabkan jumlah hasil tangkap yang semakin berkurang dan tidak adanya perbedaan harga jual larva ini baik pada saat melimpah atau pun berkurang. Perbandingan antara hasil tangkap, kelimpahan, dan RPUE ij pada tahun 2009 dengan tahun 2004 menunjukkan bahwa umumnya alokasi upaya pengumpul selalu mengikuti kelimpahan larva ikan bandeng. Namun karena harga jual larva ini tetap sama, maka dengan pembatasan atau pergiliran effort akan lebih menguntungkan. Hasil perbandingan ini juga menunjukkan selisih dinamika hasil tangkapan, kelimpahan larva ikan bandeng, dan RPUE ij pada tahun 2009 dengan 2004 cukup besar. Dinamika tersebut mengalami penurunan pada tahun 2009.

6 Pada analisis pengelolaan perikanan berkelanjutan, perbandingan antara nilai riil dan Critical Treshold Value (CTV) dari masing-masing variabel pengukur indikator keberlanjutan menunjukkan, kondisi Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp saat ini tidak dapat menjamin adanya keberlanjutan usaha bagi pemanfaat larva ikan bandeng. Bagi usaha pengumpul larva, seluruh nilai riil berada di bawah nilai CTV-nya. Pada petambak, selisih nilai riil dan CTV dari keberadaan larva ikan bandeng tidak sebesar pada pengumpul. Hal ini disebabkan petambak mempunyai daerah penyuplai benih alternatif, sehingga secara ekonomi cukup menguntungkan. Bagi pedagang dari sisi biologi sama dengan kondisi pada petambak, karena kedua usaha ini memiliki keterkaitan erat dalam hal penyediaan ikan bandeng untuk konsumsi pasar. Pendapatan pedagang sangat menguntungkan karena selain memiliki daerah penyuplai ikan bandeng alternatif, harga komoditi ini relatif tinggi. Meskipun secara ekonomi usaha petambak dan pedagang menguntungkan, tetapi tidak akan berkelanjutan karena nilai riil dari ketiga indikator lain berada di bawah nilai CTV-nya. Skenario pengelolaan terbaik untuk menunjang perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura melalui pendekatan distribusi larva ikan bandeng di Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp adalah; perlindungan ekosistem mangrove (menghentikan konversi dan meningkatkan reboisasi) serta pengendalian sedimentasi, dan penghentian aktivitas penangkapan yang menggunakan bom ikan. Ekosistem mangrove di kedua kawasan ini selain berfungsi sebagai daerah asuhan bagi berbagai larva ikan termasuk larva ikan bandeng, berfungsi juga sebagai pencegah terjadinya erosi, pencegah intrusi air laut, serta pelindung daratan dari badai dan hempasan ombak. Pengendalian sedimentasi penting dilakukan di Teluk Youtefa. Aktivitas bom ikan penting dihentikan karena menyebabkan kerusakan habitat pemijahan dan kematian larva ikan. Untuk itu menunjang skenario ini, dibutuhkan dukungan dan komitment Pemerintah Daerah setempat dalam hal aturan dan finansial serta koordinasi yang baik antar instansi teknis. Hal ini dimaksudkan untuk menunjang program reboisasi yang saat ini dilakukan instansi BAPEDALDA, penataan kembali buangan Pasar Youtefa dan kawasan bisnis Entrop yang masuk ke kawasan Teluk Youtefa, serta penghentian aktivitas penangkapan yang bom ikan. Keywords: larva ikan bandeng, pengkajian stok, keberlanjutan usaha, perikanan berkelanjutan, Kota Jayapura.

7 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

8 SKENARIO PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS SUMBERDAYA LARVA IKAN BANDENG DI PESISIR KOTA JAYAPURA, PROVINSI PAPUA) ELSYE PENINA RUMBEKWAN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

9 Judul Tesis : Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng Di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua) Nama : Elsye Penina Rumbekawan NIM : C Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc Ketua Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : 13 January 2010 Tanggal Lulus :

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Zairon, M.Sc.

11 Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada Mu dan tongkat Mu, itulah yang menghibur aku. Oleh karena itu ajarlah aku menghitung harihari ku sedemikan, sehingga aku beroleh hati yang bijaksana, tahu mengucap syukur dalam segala hal. (Mazmur 23: 4; 90: 12). (Els 2010) Karya ini ku persembahkan bagi kedua orang tuaku tercinta Laurenz Rumbekwan dan Solfina Marisan serta putraku Gerald Angelo yang tersayang dan tercinta, terima kasih atas pengertian, pengorbanan dan dukungannya yang tulus selama menunggu selesainya masa studiku. Tidak lupa pula untuk kedua adikku Evie dan Sufrace yang setia menjaga kedua orang tuaku selama masa studiku, seluruh saudara-saudaraku yang juga sangat kusayangi. Rekanrekan DISKANLA Kota Jayapura dan DKP Provinsi Papua, sahabat sejati ku Jufri dan istri, serta seluruh masyarakat Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp, terima kasih atas dukungannya.

12 PRAKATA Syukur dan terima kasih penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha pengasih atas penyertaannya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema penelitian ini adalah perikanan berkelanjutan dengan judul Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua), dilaksanakan sejak bulan Mei hingga awal Juli Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan strategi pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp serta pengembangan usaha pertambakan ikan bandeng di Kota Jayapura ke depan. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua. Bogor, January 2010 Elsye Penina Rumbekwan

13 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur pada Tuhan yang Maha Pengasih atas kekuatan, kesehatan dan penghiburan yang diberikan, sehingga tesis dengan judul Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sumberdaya Larva Ikan Bandeng di Pesisir Kota Jayapura, Provinsi Papua) dapat penulis selesaikan. Penulis juga menyadari, bahwa tesis ini tidaklah mungkin dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis dengan tulus menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada: 1. Dr.Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc, selaku ketua komisi dan anggota pembimbing, atas waktu, tenaga, pikiran, pengarahan, dan dorongan semangat yang telah diberikan sejak awal hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini. 2. Kedua orang tuaku yang terkasih di masa tua mereka, atas semangat, dorongan, dan doa pada penulis selama studi. 3. Anakku Gerald Angelo dan adikku Suffrace, atas dukungan doa dan semangat yang diberikan pada penulis selama studi. 4. Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc dan Ir. Taryono, M.Si, yang telah meluangkan waktu untuk penulis dapat berkonsultasi. 5. Drs. Mr. Kambu, M.Si dan Ir. J.P. Nerokouw MP, selaku Walikota dan Sekda Kota Jayapura, atas perhatian dan dukungan kepada penulis selama menjalani studi dan penelitian hingga penyelesaian tesis ini. 6. Masyarakat Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp terutama ibu-ibu pengumpul larva ikan bandeng serta petambak, atas bantuan dan dukungan selama penulis melakukan penelitian guna penulisan tesis ini. 7. Keluarga besar Program Studi SPL IPB, khususnya adik-adiku yang baik, Salvin, Tyo, Ervien, Subhan, dan Ita. 8. Kedua saudaraku yang baik, ibu Gladys dan pak Riyadi serta tak lupa pula kedua akang yang selalu di PS SPL, pak Zainal dan mas Dindin. Bogor,..., 2010 Penulis

14 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jayapura, Propinsi Papua pada tanggal 28 Agustus 1969 dari pasangan Bapak Laurenz Rumbekwan dan Ibu Solfina Marisan. Penulis merupakan anak ke- 5 dari 10 bersaudara. Tahun 1988 penulis lulus SMA Gabungan Kristen Khatolik di Jayapura dan pada tahun yang sama diterima di Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado dan lulus pada tahun Pada tahun 1994 hingga akhir tahun 1997, penulis melaksanakan tugas sebagai konsultan IDT di Kabupaten Merauke. Pada bulan Desember tahun 1997, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintah Daerah Kota Jayapura. Saat ini penulis tercatat sebagai staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura. Penulis berkesempatan melanjutkan studi pascasarjana di Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor atas sponsor Pemerintah Daerah Kota Jayapura.

15 xiv DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xvi xviii xxi 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tjuan Penelitian. 1.4 Manfaat Penelitian 1.5 Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Integrasi Perikanan Dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu Bioekologi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forsskal) Kualitas Lingkungan Perairan Habitat Larva Ikan Bandeng Suhu Permukaan Perairan Salinitas Arus Ketersediaan Makanan Ekosistem Mangrove Sumberdaya Larva Ikan Bandeng Pendugaan Kelimpahan Stok Faktor Kondisi. 2.5 Analisis Alokasi Upaya Penangkapan dan Perilaku Pengumpul Larva Ikan Bandeng Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Konsep Perikanan Berkelanjutan Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Skenario Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Jenis dan Sumber Data Data Primer Data Sekunder. 3.3 Metode Pengambilan Contoh Pengambilan Contoh Data Biofisik Pengambilan Contoh Data Sosial Ekonomi Analisis Data Data Biofisik Data Sosial Ekonomi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Multi Criteria Decesion Making (MCDM)

16 xv 4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis Letak dan Luas Wilayah Keadaan Iklim. 4.2 Keadaan Administratif Keadaan Sosial Ekonomi Demografi Produk Domestik Regional Bruto (PRDB) Aksessibilitas Ekosisitem Pesisir Lokasi Penelitian Fisiografi Pantai Kondisi Dinamika Perairan 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Biofisisk Karakteristik Fisik Stasiun Pengamatan Parameter Suhu dan Salinitas Arah Arus serta Arah dan Kecepatan Angin Fitoplankton Sumberdaya Larva Ikan Bandeng Jenis Makanan Utama Hubungan antara Biomassa, Faktor Kondisi, dan Fitoplankton dengan Parameter Suhu dan Salinitas Keadaan Sosial Ekonomi Karakteristik Responden Dinamika Usaha Responden Alokasi Upaya Penangkapan dan Perilaku Pengumpul Larva Ikan Bandeng 5.3 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Penentuan Indikator dan Variabel Pengukur Indikator Penentuan Nilai Riil dan CTV serta Pengertian Hasil Analisis Evaluasi Keberlanjutan Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan 6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN

17 xvi DAFTAR TABEL Halaman Jenis dan sumber data biofisik Jenis dan sumber data sosial ekonomi Jenis dan sumber data sekunder. 31 Teknik pengambilan contoh data biofisik.. 32 Jenis data responden, dan pertanyaan untuk data sosial ekonomi. 33 Matriks pembobotan dalam analisis MCDM. 44 Luas wilayah Distrik di Kota Jayapura.. 46 Luas Kelurahan dan Kampung lokasi penelitian Distrik serta Kelurahan dan Kampung lokasi penelitian Luas wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk Kota Jayapura menurut Distrik, tahun Luas wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk lokasi penelitian, tahun Peranan tiap sektor ekonomi terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga berlaku, tahun Peranan tiap subsektor pertanian terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga berlaku, tahun Peranan tiap sektor ekonomi terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga konstan, tahun Peranan tiap subsektor pertanian terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga konstan, tahun Pertumbuhan PRDB per kapita Kota Jayapura atas dasar harga berlaku, tahun Konstanta pasang surut Kota Jayapura... Data arus serta arah dan kecepatan angin selama waktu pengamatan Hasil analisis fitoplankton di ketiga stasiun pengamatan... Jumlah tangkapan dan kelimpahan individu larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan... Kisaran rata-rata panjang tubuh, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan

18 xvii Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua Komponen Utama untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei Korelasi antara variabel pada stasiun I, II, dan III untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua Komponen Utama untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni Korelasi antara variabel pada stasiun I, II, dan III untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni Jumlah responden pengumpul larva ikan bandeng menurut klasifikasi lama usaha. Jumlah responden petambak menurut klasifikasi lama usaha.. Jumlah responden pedagang ikan bandeng menurut klasifikasi lama usaha... Jumlah responden pengumpul menurut klasifikasi rata-rata hasil tangkapan per musim tangkap.. Jumlah responden pengumpul menurut klasifikasi besarnya pendapatan Jumlah responden petambak menurut klasifikasi kepemilikan luasan tambak... Jumlah responden petambak menurut klasifikasi luasan tambak yang dikelola per musim tanam... Jumlah responden petambak menurut klasifikasi kebutuhan benih per musim tanam... Jumlah responden petambak menurut klasifikasi hasil produksi per musim tanam... Jumlah responden petambak menurut klasifikasi pendapatan per musim tanam. Jumlah responden petambak menurut klasifikasi pendapatan per bulan Jumlah responden pedagang pengumpul ikan bandeng menurut klasifikasi hasil produksi per bulan... Jumlah responden pedagang pengumpul ikan bandeng menurut klasifikasi pendapatan... Pembobotan nilai Gini Ratio Indeks (GRI)

19 xviii DAFTAR GAMBAR 1 Halaman Kerangka pemikiran penelitian Ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal).. Habitat ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal) dari larva hingga dewasa (Bagarinao 1991).. Larva ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal) Peta pengambilan contoh data penelitian.. Bagan alir penentuan jumlah dan jenis responden. Peta administrasi KotaJayapura (BAPPEDA KotaJayapura) Topografi pantai stasiun I.. Topografi pantai stasiun II. Topografi pantai stasiun III... Sebaran suhu permukaan di ketiga stasiun pengamatan pada bulan Mei dan Juni 2009 Sebaran salinitas di ketiga stasiun pengamatan pada bulan Mei dan Juni, Komposisi kelimpahan jenis fitoplankton (%) di ketiga stasiun pengamatan pada tanggal 25 dan 27 Mei 2009)... Komposisi kelimpahan jenis fitoplankton (%) di ketiga stasiun pengamatan pada tanggal 25 dan 29 Juni 2009)... Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di stasiun I.. Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di stasiun II. Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di stasiun III... Dinamika panjang rata-rata, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng si stasiun I Dinamika panjang rata-rata, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng si stasiun II.. Dinamika panjang rata-rata, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng si stasiun III. Empat dari lima jenis makanan larva ikan bandeng di perairan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp.. Hasil analisis AKU untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei,

20 xix Halaman Hasil analisis AKU untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni Indeks Musiman Bulanan (I j ) (%) selama waktu pengamatan Indeks Musiman Bulanan (I j ) (%) dan effort.. 87 Dinamika RPUE Ij, hasil tangkap (ekor/hari), dan kelimpahan (ind./m 2 ) larva ikan bandeng, tahun Dinamika RPUE j, hasil tangkap (ekor/hari), dan kelimpahan (ind./m 2 ) larva ikan bandeng, tahun Proporsi persepsi responden terhadap variabel pengukur indikator ekologi. 91 Proporsi persepsi responden terhadap variabel pengukur indikator ekonomi Proporsi persepsi responden terhadap variabel pengukur indikator sosial 92 Proporsi persepsi responden terhadap variabel pengukur indikator kebijakan.. 92 Diagram amoeba untuk keberlanjutan usaha pengumpul larva ikan bandeng Diagram amoeba untuk keberlanjutan usaha petambak ikan bandeng Diagram amoeba untuk keberlanjutan usaha pedagang pengumpul ikan bandeng 98 Struktur hirarki untuk analisis MCDM Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekologi 103 Skor akhir kontribusi persepsi responden petambak terhadap kriteria ekologi 103 Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang terhadap kriteria ekologi 104 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria ekologi. 105 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekonomi Skor akhir kontribusi persepsi responden petambak terhadap kriteria ekonomi Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang terhadap kriteria ekonomi.. 109

21 xx 43 Halaman Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria ekonomi Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria sosial Skor akhir kontribusi persepsi responden petambak terhadap kriteria sosial Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang terhadap kriteria sosial. Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria sosial Skor akhir skenario pengelolaan perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura.. Skor akhir persepsi seluruh responden pada masing-masing subkriteria untuk setiap skenario

22 xxi DAFTAR LAMPIRAN 1 Halaman Alat yang digunakan Data pasang surut pada seluruh waktu pengamatan... Data komposisi jenis fitoplankton pada pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei, 2009 Data komposisi jenis fitoplankton pada pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni, 2009 Data kuantitatif larva ikan bandeng di stasiun I.. Data kuantitatif larva ikan bandeng di stasiun II Data kuantitatif larva ikan bandeng di stasiun III... Sebaran suhu dan salinitas selama pengamatan.. Data parameter suhu, salinitas, biomassa larva ikan bandeng, kelimpahan fitoplankton, faktor kondisi untuk AKU. Komponen analisis AKU Data total tangkapan larva ikan bandeng pada setiap musim (bulan) kelimpahan periode I tahun Data total tangkapan larva ikan bandeng pada setiap musim (bulan) kelimpahan periode I tahun Tabulasi data untuk perhitungan nilai Indeks Musiman Bulanan (Ij) dalam persen. Data hasil perhitungan prakiraan keuntungan ekonomi, periode I tahun Data hasil perhitungan prakiraan keuntungan ekonomi, periode I tahun Data hasil perhitungan bobot persepsi responden untuk analisis indikator domain. Data bobot persepsi responden pengumpul untuk MCDM. Data bobot persepsi responden petambak untuk MCDM... Data bobot persepsi responden pedagang untuk MCDM... Data bobot persepsi responden pengambil kebijakan untuk MCDM Data agregat persepsi responden untuk analisis MCDM... Data karakteristik responden pengumpul larva ikan bandeng

23 xxii 23 Halaman Data karakteristik responden petambak ikan bandeng Data karakteristik responden pedagang ikan bandeng Responden pengambil kebijakan lingkup PEMDA Kota Jayapura

24 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua dan berada di Teluk Yos Sudarso. Kawasan pesisir Kota Jayapura terbagi atas pesisir bagian barat dan bagian timur. Pesisir bagian timur mencakup kawasan Teluk Yotefa, Kampung Holtekamp, Kampung Skouw Yambe, Kampung Skouw Mabo dan Kampung Skouw Sae yang berbatasan lansung dengan negara Papua New Gunea (PNG). Teluk Yotefa berada di bagian dalam Teluk Yos Sudarso, sedang Kampung Holtekamp berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Secara ekologis, kawasan Teluk Yotefa dan pesisir Kampung Holtekamp didominasi ekositem mangrove yang memberikan sumbangan nutrien bagi kesuburan perairan. Kondisi ini diduga mendukung kedua kawasan tersebut sebagai feeding ground, spawning ground dan nursery ground. Kedua kawasan pesisir ini terhubung oleh Tanjung Kasuary (Cawery). Secara komunitas, dalam kawasan Teluk Youtefa terdapat tiga kampung dan dua Kelurahan, yaitu; Kampung Tobati, Kampung Enggros, Kampung Nafri, Kelurahan Entrop, dan Kelurahan Abepantai. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 372/KPTS/Um/1/1978 tanggal 9 Juni 1978, Teluk Youtefa ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam yang disebut Taman Wisata Teluk Youtefa (TWTY). Pemanfaatan kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jayapura (PERDA Kota Jayapura No. 16 tahun 1995), diarahkan untuk wisata pantai serta budidaya perikanan laut dan payau berbasis masyarakat. Upaya Pemerintah Kota Jayapura untuk menjadikan kedua kawasan ini sebagai pusat pengembangan budidaya laut dan payau didasarkan pada ketersediaan benih alam termasuk larva ikan bandeng (Chanos chanos Frosskal), keterbatasan produktivitas perikanan tangkap, dan permintaan pasar yang terus meningkat setiap tahun terhadap komoditi ikan segar seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk Kota Jayapura. Budidaya tambak ikan bandeng di Kota Jayapura telah dilakukan sejak tahun 1993 yang dipusatkan di Kampung Holtekamp. Pada tahun 2003, Pemerintah Daerah Kota Jayapura berupaya untuk meningkatkan produktivitas

25 2 usaha ini namun terkendala pada ketersediaan benih, karena hasil tangkapan larva ikan tersebut yang selama ini dimanfaatkan sebagai benih semakin berkurang. Pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk di dalamnya pengelolaan teluk memerlukan keterpaduan berbagai aspek baik antar wilayah, antar sektor, antar pelaku, maupun antar sektor yang sama. Hal ini dimaksudkan agar tercipta perencanaan pembangunan wilayah yang seimbang, sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi dan keadilan bagi masyarakat pesisir secara berkelanjutan. Pembangunan yang selalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa ada perhatian yang memadai terhadap karakteristik, fungsi, dan dinamika ekosistem, pada satu ketika akan mengakibatkan penurunan mutu lingkungan pada skala waktu tertentu dan berdampak pada berkurangnya sumberdaya ikan di dalamnya. Kondisi ini terjadi pula di kawasan pesisir Kota Jayapura termasuk kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp. Walaupun peruntukan kedua kawasan ini telah diatur dalam RTRW Kota Jayapura, konsekuensi Pemerintah Daerah dalam mendukung peruntukan kedua kawasan tersebut masih kurang. Demikian pula dengan keterpaduan program antar instansi teknis dalam pengelolaan kedua kawasan tersebut. Didorong oleh semangat otonomi khusus (OTSUS) untuk memberdayakan masyarakat lokal dan memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Jayapura, berdampak pada banyaknya kegiatan pembangunan baik sektor ekonomi maupun jasa yang dipaksakan masuk ke kedua kawasan ini, tanpa melihat karakteristik dan kapasitas kedua kawasan tersebut. Akibatnya, kedua kawasan tersebut terutama Teluk Youtefa beberapa tahun terakhir banyak menerima tekanan akibat aktivitas masyarakat seperti; meningkatnya sedimentasi dan sampah yang berasal dari kawasan bisnis Entrop dan saluran pembuangan Pasar Youtefa, erosi akibat konversi mangrove untuk pembangunan dan perluasan areal pertambakan, serta semakin maraknya aktivitas bom ikan. Tekanan ini, diduga menjadi penyebab berkurangnya beberapa jenis benih alam dari kedua kawasan ini termasuk larva ikan bandeng sejak tahun Dikatakan oleh Odum (1993); Effendi (1978); Matarase et al. (1989); Mantiri (1995), sumberdaya ikan dalam siklus hidupnya akan melewati stadia sebagai larva yang bersifat meroplankton dan sangat peka terhadap perubahan lingkungan biofisik perairan dan predator. Bila terjadi gangguan yang mengakibatkan perubahan

26 3 kondisi lingkungan habitat suatu populasi larva ikan, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup populasi tersebut. Untuk mencapai perikanan berkelanjutan dibutuhkan strategi pengelolaan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan, sehingga dapat memberikan manfaat sosial ekonomi secara berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan dalam konteks perikanan berkaitan dengan keseimbangan antara teknologi penangkapan, kualitas sumberdaya perikanan dan daya dukung perairan. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu strategi pengelolaan yang memberikan ambang batas bagi laju pemanfaatan ekosistem alami dan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya termasuk sektor perikanan (Dahuri et al. 2004). Sementara itu menurut Munasinghe (2001), konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi yaitu; (1) Ekologi, (2) Ekonomi, (3) Sosial, serta (4) Hukum dan Kelembagaan. Tujuannya, meningkatkan kemampuan konsumsi barang dan jasa, melindungi dan mempertahankan sistim dalam ekologi dan pengembangan hubungan manusia untuk pencapaian aspirasi yang ingin dicapai baik secara individu maupun komunitas. Berdasarkan uraian di atas, maka dipandang perlu untuk melakukan kajian tentang distribusi larva ikan bandeng dan beberapa faktor yang mempengaruhi kelimpahannya, seperti; biofisik lingkungan serta prilaku pemanfaat sumberdaya ini khususnya di perairan pesisir Kampung Holtekamp dan sekitar Kampung Enggros yang dapat digunakan untuk merumuskan suatu strategi pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura. 1.2 Perumusan Masalah. Peningkatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk Kota Jayapura, berdampak pada peningkatan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang multi guna sehingga terjadi tekananan ekologis yang kompleks. Konversi mangrove serta sampah dan sedimentasi merupakan masalah krusial saat ini bagi kawasan Teluk Youtefa, sedang permasalahan pesisir Kampung Holtekamp adalah meningkatnya konversi mangrove dan penggunaan bom ikan. Pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng di pesisir Kota Jayapura dalam hal ini pesisir Kampung Holtekamp, untuk memenuhi kebutuhan benih usaha

27 4 pertambakan. Di Kota Jayapura luasan tambak yang tersedia saat ini ± 554 hektar, dikelola hektar. Kebutuhan benih petambak antara tahun 1993 hingga tahun 2002 sepenuhnya bergantung pada ketersediaan larva ikan bandeng secara alami di pesisir Kampung Holtekamp. Namun setelah tahun 2003, ketersediaan sumberdaya ini terus menurun. Diinformasikan oleh pengumpul bahwa, antara tahun 2005 hingga 2007 dengan jumlah pengumpul sebanyak 25 orang, bila penangkapan dilakukan secara bersama-sama, rata-rata hasil tangkapan berkisar antara 20 hingga 40 ekor per hari selama periode kelimpahan. Antara tahun 1993 sampai tahun 2002, rata-rata setiap pengumpul bisa mendapatkan 1000 hingga 1500 ekor larva per orang per hari. Antara tahun 2003 hingga tahun 2004 jumlah tangkapan berkurang menjadi 104 hingga 208 ekor per orang per hari. Menurut oleh Tzeng and Yu (1992), terbatasnya ketersediaan larva ikan bandeng di alam karena sangat bergantung pada rekruitment sediaan alami. Untuk mengatasi kekurangan benih ini, petambak mendatangkan dari Makasar tetapi dalam jumlah yang terbatas dengan tingkat kematian yang tinggi. Kondisi ini berdampak pada banyaknya tambak yang tidak produktif saat ini. Dengan terus meningkatnya usaha pertambakan di Kampung Holtekamp, dimana kebutuhan benih sepenuhnya bergantung pada alam, maka dalam kondisi semakin tingginya konversi mangrove dan sedimentasi di Teluk Youtefa serta semakin meningkatnya konversi mangrove dan aktivitas pengeboman ikan di Kampung Holtekamp, ketersediaan larva ikan bandeng dikuatirkan akan terus berkurang. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat diidentifikasikan terkait dengan permasalahan pengelolaan sumberdaya larva ikan bandeng berkelanjutan di pesisr Kota Jayapura adalah sebagai berikut: (1) Meningkatnya permintaan larva ikan bandeng alami oleh pembudidaya tambak dikuatirkan akan mendorong pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumberdaya ini. (2) Belum diketahui berapa besar stok larva ikan bandeng alami dan pengaruh biofisik lingkungan terhadap dinamika stoknya secara alami di kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp.

28 5 (3) Belum adanya alternatif pengelolaan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp dalam kerangka pemanfaatan larva ikan bandeng sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masalah sosial ekonomi masyarakat di kedua kawasan ini. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengetahui pola distribusi dan kelimpahan larva ikan bandeng di perairan kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp. (2) Mengidentifikasi pola pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp berbasis pada distribusi dan kelimpahan sumberdaya ikan dalam hal ini larva ikan bandeng untuk menjamin pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp serta pengembangan usaha pertambakan ikan bandeng di Kampung Holtekamp ke depan, sehingga dapat memberikan hasil yang berkelanjutan baik dari sisi ekologi, ekonomi maupun sosial. 1.5 Kerangka Pemikiran Hasil tangkap larva ikan bandeng di pesisir Kampung Holtekamp yang dimanfaatkan sebagai benih oleh petambak di Kampung Holtekamp sejak tahun 1993, jumlahnya terus menurun sejak tahun Menurut Sparre and Veneme (1999), perubahan ukuran stok dalam kurun waktu tertentu, dapat disebabkan oleh adanya berbagai perubahan dalam lingkungan, rekruitment, pertumbuhan, kegiatan penangkapan, pemangsa (predator), dan atau pesaing (competitor). Menurut Effendie (1978); Matarase et al. (1989); Mantiri (1995), penyebab tingginya tingkat mortalitas alami pada iktioplankton karena sangat peka terhadap predator dan perubahan lingkungan, seperti; suhu, salinitas, dan ketersediaan makanan. Terkait dengan semakin menurunnya stok larva ini di alam dan dihubungkan dengan kondisi pengelolaan kawasan Teluk Youtefa dan pesisir

29 6 Kampung Holtekamp saat ini, maka dipandang perlu untuk mengetahui distribusi dan kelimpahannya secara alami, yang dapat digunakan sebagai masukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura. Ukuran keberhasilan pengelolaan perikanan berkelanjutan berkembang sejalan dengan dinamika pemahaman tentang apa yang ingin dicapai dan apa yang harus dihindari dari upaya pengelolaan yang akan dilakukan. Menurut Charles (2001) in Adrianto et al. (2004), ukuran menejemen pemanfaatan sumberdaya perikanan yang baik bukan terletak pada keberhasilan menjaga stok ikan pada level yang memungkinkan untuk dimanfaatkan pada masa yang akan datang, akan tetapi bagaimana mengupayakan agar pemanfatan sumberdaya tersebut selalu memperhatikan efesiensi dengan memperhitungan profit (keuntungan) yang akan diperoleh. Oleh sebab itu menejemen pengelolaan harus dilakukan secara bersungguh-sungguh dengan keterlibatan semua pihak mulai dari perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya penurunan stok yang mendorong kepunahan sumberdaya perikanan. Evaluasi keberlanjutan terhadap suatu kebijakan pengeloaan sumberdaya ikan seyogyanya dilakukan terhadap aspek ekologi, sosial, ekonomi, etis, maupun kelembagaan guna merumuskan model pengelolaan yang lebih obyektif. Tujuannya untuk menjaga keseimbangan pangan, baik untuk saat ini atau masa yang akan datang. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut diatas, maka pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng di pesisir Kota Jayapura diharapkan dapat memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi pemanfaatnya dan sekaligus mempertahankan kesehatan populasi stoknya di alam. Untuk itu dibutuhkan suatu pola pengelolaan terpadu untuk menjawab dua permasalahan pokok, yakni; (1) kebutuhan untuk menjaga dan mempertahankan populai sumberdaya ini di alam dan (2) kebutuhan untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya ini secara rasional sehingga mencapai keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestariannya di pesisir Kota Jayapura. Dengan demikian kerangka pemikiran yang dikembangkan sebagai pendekatan untuk penelitian ini adalah seperti pada Gambar 1.

30 7 Ekosistem Teluk Yotefa dan pesisir Kampung Holtekamp Aspek Ekobiologi Ikan Bandeng Habitat Larva Ikan Bandeng Pola Sebaran Waktu Kelimpahan Larva Ikan Bandeng Biofisik Lingkungan Ketersediaan dan Jenis makanan Kajian Kelimpahan Stok Waktu Tangkap Jumlah Tangkapan Sebaran Ukuran Dinamika Kelimpahan Larva Ikan Bandeng Analisis Keberlanjutan: -Biologi -Ekologi -Ekonomi -Sosial Analisis Dinamika Revenue : - Indeks Musiman Bulanan - Prakiran Keuntungan ekonomi Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

31 8 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Integrasi Perikanan Dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu Pertumbuhan dan kelahiran ikan sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Jika lingkungan dalam kondisi baik, populasi ikan akan tumbuh dan berkembang hingga mencapai batas pertumbuhan dan perkembangan yang mampu didukung lingkungan secara alami. Demikian sebaliknya, bila kondisi lingkungan dimana suatu sumberdaya ikan hidup terganggu, maka populasinya akan berkurang bahkan hilang (Nikijuluw 2002). Dikatakan oleh Adrianto et al. (2004), keberlanjutan suatu sumberdaya perikanan terkait erat dengan kualitas lingkungan dan ekosistem dimana sumberdaya tersebut berada secara ekologi, sehingga ekosistem merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Berkes et al. (2001) in Adrianto et al. (2004) menyatakan juga bahwa, tujuan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem selain untuk memelihara kesehatan dan keberlanjutan ekosistem guna melindungi spesies atau stok di dalamnya, bertujuan pula untuk melindungi kemampuan ekosistem dalam memproduksi kemampuan aliran energi. Ditambahkan oleh Adrianto et al. (2004), salah satu prinsip dasar yang harus diketahui dalam merumuskan rencana pengelolaan perikanan adalah memahami karateristik perikanan itu sendiri, terkait dengan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena komoditi ikan sebagai salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharuhi (renewable) dan memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa, maka pengelolaannya memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Pengelolaan sumberdaya perikanan harus memperhatikan kompleksitas ekosistem, mengontrol pemanfaatan sumberdaya dalam ekosistem, dan memperhitungkan dampak, resiko, dan ketidakpastian dari pemanfaatan ekosistem. Wilayah pesisir pada dasarnya tersusun atas berbagai ekosistem yang saling terkait. Perubahan atau kerusakan pada suatu ekosistem akan berdampak pada ekosistem lainnya. Kualitas lingkungan ekosistem pesisir tergantung pada aktivitas manusia maupun proses-proses alami yang terjadi di kawasan sekitarnya, lahan atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans). Saling ketergantungan inilah yang menyebabkan pengelolaan kawasan pesisir secara sektor tidak akan

32 9 mencapai hasil yang memuaskan. Pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk di dalamnya sumberdaya perikanan agar dapat berdampak posistif bagi pemanfaatnya secara berkelanjutan, maka harus dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management) (Dahuri et al. 1996; Cincin-Sain and Knecht 1998; Kay and Alder 1999; Masalu 2000). Menurut Dahuri et al. (2004), pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dikatakan oleh Masalu (2000) dan Dahuri et al. (2004), keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan, harus memiliki tiga dimensi, yaitu; (1) keterpaduan sektoral, (2) keterpaduan bidang ilmu, dan (3) keterpaduan atau keterkaitan ekologis. Selanjutnya menurut Kay and Alder (1999), pengelolaan pesisir terpadu akan berhasil, bila; (1) keputusan pengelolaan komprehensif yang didasarkan pada kondisi suatu wilayah pesisir, (2) evaluasi dilakukan secara menyeluruh (agregat), dan (3) pengelolaan harus konsisten dengan melibatkan semua level kebijakan dalam pelaksanaannya. Ditambahkan oleh Masalu (2000), suatu pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang efektif tidak hanya didasarkan pada suatu analisa aktivitas dan dampaknya saja, tetapi harus diperhatikan juga efek dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir secara keseluruhan. Pengelolaan sistem yang kompleks ini memerlukan suatu pendekatan terintegrasi yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan secara terorganisir, sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat memberikan manfaat sosial dan ekonomi secara optimal untuk generasi mendatang, tidak mengurangi sumberdaya itu sendiri, dan tetap memelihara proses yang berlangsung secara ekologis. Pengelolaan pesisir yang terpadu adalah dasar untuk pembangunan berkelanjutan, karena akan mengurangi dampak pencemaran, mengoreksi dampak lain, dan mengurangi konflik, baik untuk saat ini maupun di masa datang. 2.2 Bioekologi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forsskal) Ikan bandeng (Gambar 2), lebih dikenal dengan sebutan milkfish dan merupakan spesies euryhaline. Di Inggris, ikan ini dikenal sebagai salmon-

33 10 herring, sedang di Jepang dikenal dengan sabahi. Klasifikasi ikan tersebut menurut Saanin (1984), adalah: Filum: Chordata Subfilum: Vertebrata Kelas: Osteichthyes Subkelas: Actinopterygii Ordo: Gonorynchiforme Famili: Chanidae Genus: Chanos Spesies : Chanos chanos (Forsskal) Sumber : eol;org/pages/ [diakses : 1 Desember 2009] Gambar 2 Ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal) Sebagai spesies euryhaline, ikan bandeng dalam siklus hidupnya selalu bermigrasi ke perairan dengan salinitas berbeda seiring dengan pertumbuhannya. Melewati masa mudanya di perairan pesisir, kemudian seiring dengan kematangan seksual akan beruaya ke laut lepas untuk memijah dekat permukaan pada kedalaman 10 hingga 40 meter yang bersubsrat pasir dan koral (Nontji 1986). Bardach et al. (1982) in Budiono et al. (1984), menyatakan bahwa ikan bandeng akan siap memijah setelah berumur 6 tahun dan dilakukan pada malam hari. Secara alami setiap induk bandeng akan memijah 1 atau 2 kali dalam setahun. Selanjutnya habitat ikan bandeng dari larva hingga dewasa dapat dilihat pada Gambar 3.

34 11 Pantai Laut lepas Daerah pemijahan Laut lepas Daerah pembesaran Gambar 3 Habitat ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal) dari larva hingga dewasa (Bagarinao 1991). Larva ikan bandeng yang baru dipijahkan disebut yolk-sac larvae hingga kuning telurnya diserap. Disebut larva bila ukuran tubuh berkisar antara 6 hingga 10 mm, berumur 2 hingga 3 minggu setelah pemijahan, dan mulai bermigrasi ke perairan pantai (Lee et al. 1986). Menurut Lee et al. (1986); Nontji (1986), sebutan fry diberikan untuk fase akhir dari larva yang berumur antara 3 hingga 4 minggu setelah pemijahan, dengan ukuran panjang tubuh antara 10 hingga 16 mm, yang selanjutnya muncul di perairan pantai, bergerak lincah, dan selalu berada di permukaan secara bergerombol. Setelah itu akan memasuki kawasan manggrove, hidup disana hingga berumur ± 3 bulan, kemudian akan bermigrasi kembali ke laut (Lee et al. 1986). Pola distribusi seperti ini berkaitan erat dengan kondisi perairan, seperti ketersediaan makanan, faktor fisik, dan kimia perairan (Boehlert et al. 1985). Warna larva tersebut pada ukuran panjang tubuh antara 10 hingga 12 mm adalah bening (transparan). Pada ukuran panjang tubuh antara 13 hingga 15 mm dengan berat tubuh antara 6 hingga 7 mg, memiliki sebuah titik putih di bagian tengah badan yang berfungsi sebagai gelembung udara (Mardjono et al. 1985). Bentuk larva ikan bandeng dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Larva ikan bandeng (Chanos chanos, Forsskal)

35 12 Nontji (1986), menyatakan bahwa larva ikan bandeng yang muncul di perairan pesisir di Indonesia dikenal dengan sebutan nener. Larva ikan ini umumnya ditemukan di perairan pesisir yang jernih, bebas pencemaran, masih dipengaruhi pasang surut, dan bersubsrat dasar pasir atau pasir dengan sedikit berbatu terutama pantai berpasir yang mendapat suplai air tawar. Ini dikarenakan larva tersebut dalam fase pertumbuhannya memerlukan salinitas yang lebih rendah untuk berkembang menjadi ikan muda (Mardjono et al. 1985). Penyebaran larva ini banyak ditentukan oleh angin dan arus, terutama arus pasang surut serta ketika angin bertiup ke arah pantai. Muncul di pantai pada saat air mulai pasang atau mulai surut (Kumagai 1984 in Watanabe 1986; Nontji 1986; Mardjono et al. 1985; Suseno 1987; Mudjiman 1987). 2.3 Kualitas Lingkungan Perairan Habitat Larva Ikan Bandeng Faktor biofisik laut seperti, cahaya, suhu, salinitas, arus, pasang surut, dan ketersediaan makanan telah dipandang sebagai faktor abiotik dan biotik pada ekosistem laut yang memiliki banyak kegunaan dalam proses kelangsungan hidup biota laut termasuk larva ikan bandeng, seperti pertumbuhan dan distribusinya. Menurut Lee et al. (1986), kelangsungan hidup (survival) larva ikan bandeng banyak dipengaruhi oleh perubahan lingkungan habitatnya, seperti; (1) suhu, (2) oksigen terlarut, (3) salinitas, (4) kekeruhan, (4) intesitas cahaya, (5) densitas plankton, (6) fase bulan, (7) cuaca, dan (8) keberadaan ekosistem mangrove Suhu Permukaan Perairan Suhu perairan terutama lapisan permukaan dipengaruhi oleh intensitas penyinaran matahari, arus permukaan, keadaan awan, up welling, divergensi dan konvergensi terutama di sekitar estuari dan sepanjang garis pantai (Hela and Laevastu 1970). Suhu permukaan laut juga dipengaruhi oleh kondisi meteorologi, seperti; penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaman udara, dan kecepatan angin. Oleh sebab itu, suhu permukaan laut biasanya mengikuti pola musim. Contohnya pada musim pancaroba, kecepatan tiupan angin biasanya lemah sehingga permukaan laut tenang dan proses pemanasan sangat tinggi yang mengakibatkan suhu lapisan permukaan mencapai maksimum (Nontji 1986).

36 13 Sulliva (1954) in Hayes and Laevastu (1982) menyatakan bahwa, pengaruh suhu terhadap ikan antara lain; (1) sebagai modifier proses metabolik (kebutuhan makan dan pertumbuhan), (2) sebagai modifier bagi aktivitas badan (laju renang), dan (3) sebagai stimulus saraf. Dikatakan oleh Lee et al. (1986), ikan bandeng dapat mentolerir kisaran suhu dari 10 0 C hingga 40 0 C, hidup sehat pada suhu 15 0 C hingga 30 0 C, dengan pertumbuhan optimal pada suhu 25 0 C hingga 30 0 C. Hasil penelitian Villaluz and Unggai (1983) in Watanabe (1986) menemukan bahwa, pertumbuhan dan perkembangan larva ini cepat pada suhu C hingga C, sedang pada suhu C hingga C, dan lambat pada suhu C hingga C. Pengkonsentrasian makanan ikan sangat erat hubungannya dengan suhu, disamping beberapa faktor linkungan lain. Dengan mengetahui suhu optimum suatu spesies ikan akan dapat digunakan untuk meramal daerah konsentrasi ikan, kelimpahan musiman, dan distribusi atau migrasi ikan (Baskoro et al. 2004). Dari studi kebiasaan makan juvenil milkfish yang diambil dari lagoons payau di Tarawa Selatan Kiribati oleh Luckstadt and Reiti (2002), dimana suhu perairan pada pukul adalah C dan C pada pukul 16.00, makanan yang ditemukan mendominasi isi perut juvenil milkfish di perairan tersebut adalah Chlorophycea dan Cyanophycea yang merupakan jenis algae hijau bersel tunggal Salinitas Salinitas adalah konsentrasi rata-rata seluruh garam dalam gram yang terdapat didalam satu kilogram air laut. Salinitas bersifat lebih stabil di lautan terbuka, dibanding daerah intertidal (Nybakken 1986). Fluktuasi salinitas di intertidal dapat terjadi karena upwelling, masuknya air tawar dalam debit yang besar, dan atau karena pengaruh hujan yang turun secara terus menerus. Namun demikian, perubahan salinitas ini relatif kecil kecuali daerah dekat sungai yang mengeluarkan debit air tawar dalam jumlah besar (Kinne 1963; Nybakken 1986). Menurut Kinne (1963), fluktuasi salinitas berdampak pada perubahan masa air dan perubahan stabilitas kondisi suatu perairan yang mana dapat mempengaruhi derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan organisme perairan. Hal ini disebabkan dalam tahapan pertumbuhan ikan, perubahan salinitas akan mempengaruhi pengaturan osmotik ikan dan menentukan daya apung dari telur-

37 14 telur ikan pelagis. Ditambahkan oleh Hayes and Laevastu (1982), salinitas mempengaruhi fisiologis kehidupan organisme dalam hubunganya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dan lingkungannya. Pengaruh ini berbeda pada setiap organisme baik fitoplankton, zooplankton, maupun iktioplankton. Menurut Lignot et al. (2000), meski iktioplankton biasanya dapat menyesuaikan diri terhadap tekanan osmotik, namun cenderung memilih perairan dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya, sehingga secara langsung akan sangat mempengaruhi distribusinya. Beberapa spesies ikan dapat hidup pada salinitas yang berbeda-beda, tetapi ada pula yang hanya dapat hidup pada salinitas tertentu. Duenas and Young (1984) in Watanabe (1986), mendapati larva ikan bandeng pada nol hari sampai hari ke tujuh tergolong euryhaline sedang (8-7 ), pada hari ke tujuh hingga ke empat belas stenohaline (27-28 ), dan euryhaline tinggi (0-70 ) pada hari ke dua puluh satu. Hasil studi Lin et al. (2003), tentang expresi Natrium (Na), Kalium (K), dan Adenosin Tri Phospat (Na,K-ATPase) insang juvenil milkfish terhadap penyesuaian salinitas, menunjukkan bahwa aktivitas NKA meningkat bersamaan dengan meningkatnya protein. Peningkatan NKA pada insang juvenil di perairan tawar lebih tinggi dibanding pada air payau sedang pada juvenil di air laut sangat kecil. Hasil studi ini menunjukkan, perubahan salinitas yang sangat ekstrim akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan protein yang lebih banyak untuk meningkatkan NKA sebagai upaya osmoregulator untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang hiposaline. Dengan kata lain, peningkatan osmoregulasi terhadap perubahan salinitas yang sangat ekstrim, akan menyerap sebagian besar protein guna meningkatkan aktivitas NKA dengan maksud menyediakan energi untuk bergerak dibandingkan untuk pertumbuhan. Oleh sebab itu dapat dikatakan juga bahwa meski ikan bandeng adalah spesies euryhaline namun perubahan salinitas yang sangat ekstrim dapat menghambat pertumbuhannya Arus Arus berperan dalam transportasi ikan dan larvanya di laut. Karakter arus bervariasi setiap tahun dan berperan penting dalam migrasi musiman ikan pelagis dan semi pelagis. Anomali arus permukaan dapat mempengaruhi distribusi

38 15 iktioplankton, juwana, dan juga migrasi pemijahan ikan (Laevastu and Hayes 1982). Menurut Wahbah et al. (2001), adanya arus yang berlawanan akan menjadi perangkap bagi keberadaan makanan ikan di laut. Pola aliran arus mempengaruhi pola penyebaran nutrient, transport sedimen, plankton, ekosistem laut, dan geomorfologi pantai. Sverdrup et al. (1972), membagi arus laut ke dalam tiga golongan besar, yaitu : 1. Arus yang disebabkan oleh perbedaan sebaran densitas di laut, dimana arus dengan densitas lebih berat akan mengalir ke tempat air berdensitas lebih ringan. Arus jenis ini biasanya memindahkan sejumlah besar massa air ke tempat lain. 2. Arus yang ditimbulkan oleh angin yang berhembus di permukaan laut. Arus jenis ini biasanya membawa air ke satu jurusan dengan arah yang sama selama satu musim tertentu. 3. Arus yang disebabkan oleh pasang surut. Arus jenis ini mengalir bolak balik dari dan ke pantai atau berputar. Pada daerah teluk, pola arus lebih didominasi oleh pasang surut dan angin. Pengaruh gaya pasang surut untuk membangkitkan arus jauh lebih besar dibanding yang dibangkitkan oleh gaya gesek angin pada permukaan air laut Ketersediaan Makanan Di perairan, keberadaan makanan dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik seperti; suhu, cahaya, ruang, dan luas permukaan. Selanjutnya jenis makanan ikan dipengaruhi oleh umur, tempat, dan waktu (Effendi 1997). Suresh et al. (2006) menyatakan bahwa, jenis makan yang dimakan oleh ikan berbeda menurut spesies dan umur. Jenis makan pun dapat berbeda pada spesies yang sama tetapi berbeda tempat. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan suatu jenis makan di habitat tersebut. Umumnya makanan yang pertama kali dimakan oleh semua ikan dalam mengawali hidupnya (fase larva dan juvenil) adalah plankton bersel tunggal yang berukuran mikroskopis. Dapat berupa fitoplankton atau zooplankton (Sverdrup et al. 1972; Nybakken 1986; Odum 1993). Dari hasil studi kebiasaan makan juvenil milkfish di lagoons payau Tarawa Selatan Kiribati, yang dilakukan oleh Luckstadt and Reiti (2002), ditemukan makanan yang dominan dalam saluran pencernaan

39 16 juvenil milkfish adalah jenis algae hijau bersel tunggal yang terdiri dari Chlorophycea dan Cyanophycea yang mencapai 60 % dari total isi saluran pencernaan, baik pada siang maupun malam hari. Sementara itu Diatome, Copepoda, Phyleeopod, dan Naupli hanya merupakan bagian kecil dari isi perut mereka. Komunitas fitoplankton akan mengalami suatu suksesi dominasi jenis secara terus menerus, yang dipengaruhi oleh; cahaya, konsentrasi dan rasio unsur hara, serta bentuk-bentuk kimia unsur hara (Goldman and Carpenter 1974). Menurut Sanders et al. (1987), peningkatan unsur hara yang terus menerus dapat mempengaruhi pertumbuhan dan struktur komunitas fitoplanton. Karena setiap jenis fitoplankton memiliki perbedaan kebutuhan untuk berbagai nutrien. Perubahan pada struktur komunitas terjadi karena perubahan fluks dan konsentrasi relatif unsur hara. Dikatakan oleh Effendi (1997), dengan mempelajari kebiasaan makan ikan, dapat mengetahui kandungan gisi alami, dapat digunakan untuk mempelajari hubungan ekologis antara keberadaan suatu populasi organisme dengan lingkungannya, misalnya; bentuk pemangsaan, persaingan makanan, dan rantai makanan Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove berfungsi sebagai penyuplai berbagai material ke daerah pantai (Alongi 1989; Hatcher et al. 1989; Chong et al. 1990; Lee 1995). Detritus mangrove yang terbawa air laut merupakan nutrisi yang berpengaruh nyata terhadap kehidupan pesisir dan laut (Rodelli et al. 1984; Hatcher et al. 1989; Fleming et al. 1990; Marguillier et al. 1997). Ekositem mangrove juga merupakan tempat perlindungan untuk berbagai organisme intertidal maupun subtidal (Robertson and Duke 1987). Oleh karena ekositem mangrove berperan dalam menstimulasi produktivitas pantai, maka daerah pantai yang bermangrove akan memiliki hasil perikanan yang lebih besar dibandingkan daerah pantai tanpa mangrove (Marshall 1994). Keberadaan ekosistem mangrove bagi sumberdaya larva ikan bandeng adalah sebagai daerah asuhan untuk menjadi ikan muda (Lee et al. 1986; Watanabe 1986; Bagarinao 1991).

40 17 Melena et al. (2000) menyatakan bahwa, ekosistem mangrove memiliki fungsi ekologi dan ekonomi bagi kehidupan di bumi. Terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu: 1. Menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang, dan kepiting, serta mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir. 2. Menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai yang berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir. 3. Melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan masyarakat di dalamnya dari badai, ombak, pasang surut, dan topan. 4. Menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik di daerah perairan pesisir dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk ke dalam perairan tersebut. 5. Menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya. 6. Menyediakan kayu api untuk bahan bakar, kayu untuk bahan bangunan, daun nipah untuk atap dan kerajinan tangan, serta lahan tambak untuk budidaya perikanan. 2.4 Sumberdaya Larva Ikan Bandeng Pendugaan Kelimpahan Stok Stok didefenisikan sebagai suatu subgugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama serta menghuni suatu wilayah geografis tertentu. Merupakan kelompok hewan terpisah secara geografis tetapi hidup bercampur dengan kelompok lainnya (Sparre and Venema, 1999). Definisi stok yang lain yang diberikan oleh Gulland (1983) in Sparre and Venema (1999), bahwa suatu subkelompok dari satu spesies dapat diperlakukan sebagai satu stok jika perbedaan dalam kelompok tersebut dan percampuran dengan kelompok lain mungkin dapat diabaikan tanpa membuat kesimpulan yang absah. Pengkajian stok dimaksudkan untuk mendeskripsikan hubungan antara proses masukan dan keluaran serta alat yang digunakan, yang disebut model. Dapat diartikan sebagai upaya pencarian tingkat pemanfaatan maksimum untuk

41 18 memberikan saran dalam pemanfaatan jangka panjang suatu sumberdaya. Model pengkajian stok terbagi atas model analitik dan model holistik. Model analitik lebih dapat mengeluarkan hasil peramalan yang lebih dapat dipercaya, karena deskripsi stok dilakukan berdasarkan data yang lebih rinci. Data tersebut mencakup; (1) data survival, (2) data hasil tangkapan dan upaya, (3) data frekuensi panjang, (4) tangkapan per upaya, dan (5) data frekuensi umur dalam runtun waktu tertentu. Model holistik digunakan pada keadaan dimana data yang tersedia terbatas pada; (1) data survival saja, (2) data hasil tangkapan dan upaya saja, (3) data frekuensi panjang saja, dan atau (4) data tangkapan per upaya dan frekuensi panjang saja. Model holistik tidak mengharuskan untuk menggunakan data struktur umur atau panjang ikan, tetapi mengganggap stok ikan tersebut sebagai biomassa yang homogen. Oleh sebab itu dalam model holistik, tipe data apapun yang dipunyai dapat digunakan untuk menghasilkan informasi dan saransaran (Sparre and Venema 1999). Aspek penting yang harus diperhatikan dalam pengkajian stok adalah metode yang hendak digunakan untuk menganalisa kumpulan data yang dimiliki. Untuk mengkaji stok sesaat (standing stock) dari benih alam komersial dan ikan demersal, dapat dilakukan dengan metode trawl dasar (Sparre and Venema 1999). Model holistik yang paling sering digunakan adalah metode swept area (alur sapuan efektif per luas sapuan) (Widodo et al. 1998; Sparre and Venema 1999). Ditambahkan oleh Sparre and Venema (1999), metode swept area didasarkan pada hasil tangkapan per satuan area dari survei dengan trawl. Ukuran dari suatu stok ikan dalam suatu perairan dapat dinyatakan dalam jumlah total individu maupun berat total individu (biomassa). Jumlah total individu maupun biomassa suatu stok ikan di laut sulit diukur secara langsung. Oleh sebab itu dalam menduga ukuran stok ikan seringkali digunakan jumlah atau berat relatif yang dinyatakan sebagai densitas atau kelimpahan (abundance). Densitas atau kelimpahan ikan diartikan sebagai jumlah atau berat individu yang disapu oleh alat tangkap pada luasan tertentu (CPUA) (Effendie 1997; Widodo et al. 1998). Nilai dugaan CPUA menurut Sparre and Venema (1999), adalah hasil tangkapan dibagi luas sapuan (mil laut, km 2 atau m 2 ). Luas sapuan disimbolkan dengan A dan diasumsikan sebagai perkalian antara panjang alur dengan lebar

42 19 mulut jaring (trawl dan atau seser). Lebar mulut jaring tersebut tidak akan berbeda untuk tiap tarikan. Posisi awal dan posisi akhir tarikan perlu ditentukan untuk menghitung jarak sapuan. Akurasi nilai dugaan kelimpahan ini bergantung pada akurasi dari nilai dugaan luas sapuan. Ditambahkan pula oleh Aziz (1989), pendugaan kelimpahan stok atau kelimpahan relatif adalah penting dalam menejemen perikanan sebagai suatu langkah untuk menduga parameter penting lainya. Beberapa pendugaan kelimpahan diperlukan untuk mengevaluasi dampak dari besarnya unit dan usaha menejemen terhadap suatu populasi ikan, disamping untuk menduga laju eksploitasi akibat penangkapan atau sebab lain Faktor Kondisi Faktor kondisi merupakan keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dalam angka. Faktor kondisi ikan berkorelasi dengan panjang tubuh, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, dan umur ikan. Selain itu, faktor kondisi juga digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan (kondisi perairan dan kualitas air) dengan ikan. Oleh sebab itu, perhitungan faktor kondisi dapat digunakan sebagai indikator kondisi perairan bagi pertumbuhan ikan. Perhitungan faktor kondisi, didasarkan pada panjang dan berat ikan (Royce 1972 in Effendi 1997). Ditambahkan oleh Oymak et al. (2001), faktor kondisi bervariasi menurut pertumbuhan, umur serta kebiasaan makan, dan kepadatan ikan di suatu perairan. 2.5 Analisis Alokasi Upaya dan Perilaku Pengumpul Larva Ikan Bandeng Menurut Bene and Tewfik (2000), untuk memelihara sumberdaya ikan yang sehat guna menunjang pembangunan yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya tersebut perlu memperhitungkan dinamika stok serta memperhatikan; integrasi antara dinamika armada, perilaku nelayan, dan dinamika aturan. Oleh sebab itu, suatu peraturan yang dibuat untuk mengatur pengusahaan suatu sumberdaya perikanan agar dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya tersebut dan aktivitas masyarakat yang memanfaatkannya dapat berjalan dengan baik, maka seluruh proses yang mempengaruhi dinamika sumberdaya tersebut harus dipahami dengan baik. Suatu contoh diberikan oleh Hilborn (1985) in Bene and Tewfik (2000), tentang krisis yang terjadi pada pengelolaan ikan Cod dan Salmon di Canada pada tahun 1980-an. Pada krisis ini, penurunan stok kedua sumberdaya

43 20 tersebut bukan disebabkan oleh ketidaktahuan nelayan tentang berapa stok yang harus dimanfaatkan, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang bioekologi kedua ikan tersebut dan pengaturan nelayan. Pendekatan analisis sistem dalam menentukan alokasi upaya penangkapan dan perilaku nelayan merupakan kerangka analisis multidisipliner terpadu untuk menganalisa hubungan (interaksi) antara komponen berbeda dari pengusahaan suatu sumberdaya perikanan. Komponen-komponen tersebut terdiri atas; mekanisme biologis, ekonomis, dan sosial yang secara langsung menentukan keberlanjutan usaha. Dalam analisis sistem, pemahaman respon nelayan terhadap perubahan biologi, ekonomi, dan kondisi kebijakan (aturan) dapat digunakan sebagai masukan yang sangat menunjang untuk merancang upaya pengelolaan sumberdaya tersebut. Keistimewaan dari analisis ini adalah, data yang digunakan dapat berupa data harian, bulanan, atau tahunan tergantung fenomena yang diamati. Disamping itu, dapat juga digunakan data kualitatif seperti, data hasil penelitihan sebelumnya dan data pribadi yang tidak dipublikasikan untuk menggambarkan karakteristik sosial dari masyarakat yang menjadi objek pengamatan (Bene and Tewfik 2000). Pendekatan analisis sistem untuk menduga alokasi upaya penangkapan dan perilaku nelayan dapat dilakukan melalui perhitungan; (1) indeks musiman bulanan (Ij) dalam persen, (2) prakiraan keuntungan ekonomi, dan (3) perilaku nelayan. Tujuannya adalah, untuk mengetahui apakah nelayan memberikan respons terhadap setiap musim kelimpahan dan keuntungan yang akan diperoleh. Hasil analisis ini digunakan untuk mempelajari fenomena yang terjadi pada pemanfaatan suatu sumberdaya larva ikan disuatu kawasan perairan tertentu (Bene and Tewfik 2000). 2.6 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Selama ini, evaluasi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan lebih difokuskan pada penentuan status stok relatif dari spesies target melalui referensi biologi dan referensi ekologi. Pendekatannya masih menggunakan referensi dari spesies target sebagai indikator dari status sumberdaya dan sinyal early warming bagi terlampauinya level ekstraksi. Permasalahannya, pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak hanya terbatas pada bagaimana mempertahankan kelestarian

44 21 sumberdaya tersebut, melainkan perlu juga mempertimbangkan interaksi antara sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan dengan aktivitas manusia untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut (Adrianto et al. 2004; Fauzi 2006). Untuk mendisain suatu perencanaan pengelolaan yang dapat menjamin kelangsungan suatu sumberdaya perikanan dan aktivitas masyarakat yang tergantung pada sumberdaya tersebut, maka faktor biologi, ekologi, mekanisme ekonomi, dan aturan yang mempengaruhi alokasi upaya pemanfaatan sumberdaya tersebut sangat penting untuk dipahami (Bene and Tewfik 2000) Konsep Perikanan Berkelanjutan Konsep keberlanjutan telah lama diperdebatkan dalam ilmu perikanan. Charles (2001) in Adrianto et al. (2004) menyatakan bahwa, ada tiga paradigma yang mendasari munculnya konsep keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu: (1) Paradigma Konservasi Dalam paradigma konservasi, konsep keberlanjutan diartikan sebagai cara mengendalikan upaya tangkap agar optimal dan berkelanjutan. Stok ikan harus dapat dilindungi tanpa memperhatikan tujuan manusia memanfaatkan stok tersebut sebagai obyek. Akibatnya, dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk mendapatkan manfaat yang kecil. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menunjang konsep konservasi dalam dunia perikanan adalah maximum sustainable yield (MSY). (2) Paradigma Rasionalisasi Paradigma rasionalisasi memperhitungkan kepentingan pemanfaat sumberdaya dan pemilik sumberdaya. Pemanfaatan sumberdaya perikanan harus rasional dan efesien secara ekonomi, dengan memperhitungkan keuntungan (profit) yang akan diperoleh. Pandangan dalam paradigma rasionalisasi ini kemudian mendasari lahirnya konsep produksi lestari yang memberikan nilai ekonomi (penerimaan netto) terbesar, atau diistilahkan sebagai maximum economic yield (MEY).

45 22 (3) Paradigma Sosial (Komunitas) Paradigma ini muncul karena kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan selalu berorientasi pada kepentingan manusia. Dalam paradigma ini cara yang paling baik dalam mencapai perikanan berkelanjutan adalah melalui analisis sistimatik dan kompleks pada cara pemanfaatan. Target dalam paradigma ini adalah produksi optimum lestari (optimum sosial yield/osy), yang mengakomodir aspek keberlanjutan komunitas menyangkut; (a) pengontrolan panen, (b) penggunaan teknologi tepat guna, (c) memperhitungan resiliensi jangka panjang, dan (d) keragaman. Dengan kata lain keberlanjutan tidak hanya difokuskan pada konservasi sumberdaya ikan semata ataupun memaksimalkan pemanfatan ekonomi saja, tetapi lebih ditekankan pada bagaimana menyediakan sumber pendapatan bagi komunitas nelayan. Berdasarkan ketiga paradigma tersebut di atas, selanjutnya ditambahkan oleh Adrianto et al. (2004), perikanan berkelanjutan harus didefinisikan secara luas karena menyangkut kepentingan manusia. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Salim (1991), bahwa saat ini pengelolaan sumberdaya ikan selalu dihadapkan pada tantangan yang timbul karena faktor-faktor yang menyangkut pertumbuhan penduduk, perkembangan sumberdaya dan lingkungannya, perkembangan teknologi, dan ruang lingkup internasional. Tantangan untuk memelihara sumberdaya yang sehat menjadi isu yang cukup kompleks dalam pembangunan perikanan berkelanjutan. Menurut Adrianto et al. (2004); Fauzi (2006), konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung beberapa aspek yaitu: (1) Keberlanjutan Ekologi (Ecological sustainability) Untuk menjamin keberlanjutan ekologi, model pengelolaan yang sudah berjalan perlu dikaji ulang untuk menghindari habisnya stok ikan dan bagaimana memelihara stok tersebut pada level yang stabil, baik pada saat ini maupun masa yang akan datang. Dengan kata lain, upaya untuk memelihara keberlanjutan stok atau biomas sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta memberikan perhatian utama untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem.

46 23 (2) Keberlanjutan Sosial Ekonomi (Socioeconomic sustainability) Keberlanjutan sosial ekonomi, harus bersifat makro sehingga dapat mencapai tingkat kesejahteraan sosial ekonomi secara menyeluruh untuk jangka panjang. Dalam menilai keberlanjutan sosial ekonomi, perlu diperhitungkan kriteria ekonomi dan kriteria sosial. Kriteria ekonomi meliputi tingkat pemanfaatan sumberdaya dan ktriteria sosial meliputi pemerataan kesejakteraan. Secara ekonomi pemanfaatan sumberdaya perikanan harus relevan dan secara sosial memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi generasi mendatang. Permasalahannya, hal ini sulit dipisahkan di tingkat kebijakan. Keberlanjutan sosial ekonomi dapat dicapai dengan memperhatikan keberlanjutan dari kesejakteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan menjamin keberlanjutan dari semua sistim ekonomi, baik lokal maupun global, dapat memberikan manfaat yang merata bagi semua pengelola perikanan. (3) Keberlanjutan Komunitas (Community sustainability) Pembangunan perikanan yang berkelanjutan, harus memperhatikan keberlanjutan kesejakteraan dari sisi komunitas atau masyarakat secara terpadu, baik kesejakteraan ekonomi mapun sosial budaya dan kesehatan jangka panjang. (4) Keberlanjutan Kelembagaan (Institutional sustainability) Keberlanjutan kelembagaan, menyangkut pengelolaan dan pemeliharanan aspek financial, administrasi yang baik dan sehat serta kemampuan pengorganisasian untuk jangka panjang. Pengelolaan aspek financial dan administrasi yang baik serta kemampuan pengorganisasian untuk jangka panjang, merupakan syarat dari tiga komponen pembangunan perikanan berkeberlanjutan yang telah disebutkan sebelumnya. Hal ini dikarenakan, keberlanjutan kelembagaan sangat terkait dengan perangkat peraturan dan kebijakan pengelolaan yang dikuasai oleh nelayan. Dengan kata lain, keberlanjutan pemanfaatan suatu sumberdaya hanya dapat dicapai pada model pengelolaan yang dikuatkan oleh peraturan.

47 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan A. Analisis Indikator Indikator didefinisikan sebagai sebuah alat untuk mengukur, mengindikasikan, atau merujuk sesuatu hal dengan lebih atau kurang dari ukuran yang diinginkan. Tujuannya, untuk mengetahui masalah kritis yang menjadi faktor penghambat bagi keberlanjutan usaha pemanfaat suatu sumberdaya perikanan. Dalam analisis indikator, perlu untuk menentukan pemanfaat sumberdaya dan indikator yang digunakan untuk menilai permasalahan (Adrianto 2007). Dalam penelitian ini pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng terdiri atas; (1) pengumpul larva ikan bandeng, (2) petambak ikan bandeng, dan (3) pedagang pengumpul ikan bandeng. Sedang indikator yang akan dijadikan tolak ukur adalah indikator ekologi, ekonomi, sosial, dan kebijakan. B. Evaluasi Keberlanjutan Pada analisis ini yang dikaji adalah penilaian pemanfaat sumberdaya perikanan terhadap suatu kebijakan dan atau program, dengan menggunakan kriteria; (1) efesiensi, (2) keberlanjutan, dan (3) pemerataan. Menurut UNDP (1999) in Adrianto (2007), evaluasi didefinisikan sebagai upaya selektif yang dilakukan untuk memperkirakan pencapaian kemajuan dan implementasi sebuah program secara sistimatik dan berorientasi pada tujuan kegiatan atau program. Ada tiga pendekatan evaluasi yang dapat dilakukan yaitu; (1) pendekatan evaluasi kinerja, (2) evaluasi proses, (3) identifikasi kapasitas pengelolaan, dan (3) evaluasi hasil (Pomeroy and Rivera G in Adrianto 2007). Penelitian ini menggunakan pendekatan evaluasi proses yang didisain untuk menentukan kualitas implementasi dan aktifitas pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng untuk mengetahui tingkat pencapaian pemanfaatan yang berkelanjutan Skenario Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Pengelolaan sumberdaya alam merupakan masalah yang multi kriteria dan multi obyektif. Oleh sebab itu diperlukan suatu teknik evaluasi yang saling berhubungan. Untuk menentukan skenario terbaik pengelolaan perikanan

48 25 berkelanjutan, digunakan alat analisis Multi Criteria Desicion Making (MCDM). MCDM merupakan alat analisis kebijakan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam. Teknik analisis kebijakan dengan MCDM merupakan suatu teknik yang bertujuan mengakomodasi proses seleksi yang melibatkan beragam kriteria (multi criteria) dalam mengkalkulasi pemrasaran di antara kriteria konflik yang terjadi. Penggunaan MCDM dalam penelitian ini, dimaksudkan untuk membantu dalam merumuskan skenario pengelolaan perikanan di pesisir Kota Jayapura, khususnya Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp secara berkelanjutan melalui pendekatan distribusi sumberdaya larva ikan bandeng. Pendekatan MCDM mengakomodasi beberapa kriteria yang dihadapi namun relevan dalam mengambil keputusan tanpa harus mengkonversi ke pengukuran moneter dan proses normalisasi. Menurut Gumbriech (1996), dalam analisis MCDM diperlukan sejumlah pendekatan dengan menghitung sejumlah kriteria untuk membentuk struktur yang mendukung proses pengambilan keputusan. Prosudur kerja dalam analisis MCDM dimulai dengan tahapan preferensi ctriteria (pembobotan kriteria). Langkah-langkahnya adalah; (1) identifikasi dan penetapan skenario atau alternatif keputusan, (2) identifikasi serta penetapan kriteria dan subkriteria yang dapat digunakan untuk menilai setiap skenario (alternatif), dan (3) pemberian bobot pada setiap subkriteria dari setiap kriteria. Besar kecilnya nilai bobot yang diberikan, didasarkan pada pertimbangan seberapa pentingnya subkriteria tersebut menjadi penilai dalam pengambilan keputusan menurut persepsi responden. Pembobotan ini dapat dilakukan berdasarkan skala Saaty atau Likert. (Gumbriech 1996). Tahapan pokok dalam analisis MCDM adalah tahapan fungsi agregasi (Agregation Functions). Tujuan dari tahapan ini adalah untuk menetapkan skenario (alternatif) keputusan yang mungkin diambil. Dalam tahapan ini dilakukan perhitungan rata-rata geometrik dari hasil pembobotan persepsi responden. Jumlah skor seluruh subkriteria dari seluruh kriteria pada skenario (alternatif) terpilih harus sama dengan satu (Jankowski 1995 in Subandar 2002).

49 27 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif guna mendapatkan fakta dari kondisi yang ada melalui survei dan analisis laboratorium. Tujuannya, untuk mendapatkan data kondisi biofisik lingkungan lokasi penelitian, kelimpahan sumberdaya larva ikan bandeng, jenis makanannya, dan penilaian dampak berkurangnya kelimpahan sumberdaya tersebut terhadap sosial ekonomi pada pengumpul larva ikan bandeng serta petambak dan pedagang pengumpul ikan bandeng. Selanjutnya, digunakan untuk menggambarkan fakta, sifat, dan hubungan antara fenomena yang diselidiki secara sistimatis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang komperhensif dan mendalam tentang kondisi dari obyek yang diteliti (Nazir 2003). Berdasarkan masalah yang diteliti, metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode survei, yaitu mengadakan penyelidikan untuk mendapatkan fakta-fakta dari gejala yang ada dihubungkan dengan kondisi faktual dari daerah dimana lokasi penelitian itu berada (Nazir 2003). Metode survei juga bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu kelompok masyarakat melalui wawancara langsung dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dirancang dan dipersiapkan sebelumnya (Singarimbun 1995). Gay (1976) in Sevilla et al. (1993), mendefenisikan metode survei sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. 3.2 Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian, analisis laboratorium, serta wawancara dengan masyarakat setempat dan responden. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari suatu institusi yang telah didokumentasikan dalam bentuk laporan, publikasi ilmiah dan atau publikasi daerah.

50 Data Primer Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini, meliputi data biofisik lingkungan dan data sosial ekonomi. Data biofisik lingkungan diperoleh melalui survei lapangan serta analisis laboratoriun. Sedang data sosial ekonomi diperoleh melalui oberservasi lapangan, yang dilakukan lewat wawancara langsung maupun menggunakan kuisioner. A. Data Biofisik Data biofisik lingkungan dibatasi pada data larva ikan bandeng dan faktor penentu distribusinya pada saat dilakukan sampling. Data biofisik yang diperoleh langsung di lapangan terdiri atas; (1) pengukuran panjang alur sapuan pada ketiga stasiun pengamatan, (2) pengukuran suhu dan salinitas, dan (3) perhitungan jumlah larva ikan bandeng. Data biofisik yang diperoleh melalui analisis laboratoriun, meliputi; (1) pengukuran panjang dan berat tubuh larva dan (2) kelimpahan fitoplankton. Jenis makanan utama larva ikan bandeng diketahui melalui penyesuaian jenis fitoplankton yang diperoleh dengan hasil penelitian sebelumnya terkait jenis makanan utama larva ini. Untuk jenis data, sumber data, satuan pengukuran dan alat bantu yang digunakan, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan sumber data data biofisik. No. Jenis Data Sumber Data Unit Alat Yang Digunakan 1 Suhu perairan Insitu 0 Termometer air raksa C 2 Salinitas 4 Jenis dan kelimpahan fitoplankton 5 Larva ikan bandeng: - Jumlah tangkapan - Panjang tubuh - Berat tubuh Insitu Refraktometer Exsitu Ind/M3 Plankton net, botol koleksi sampel, formalin 10%, mikroskop, literatur idenstifikasi plankton. Insitu Exsitu Exsitu Ekor mm/ekr gr/ekr Seser dan alat hitung Alat ukur Timbangan digital, ketelitian 0,0001 gr. Jenis makanan utama Exsitu spesies Hasil identifikasi plankton, literatur hasil penelitian.

51 29 B. Data Sosial Ekonomi Data sosial ekonomi terdiri atas data sosial dan data ekonomi yang diperoleh melalui wawancara dengan pengisian kuisioner oleh responden. Pemilihan jenis responden sebagai unit penelitian untuk data sosial ekonomi ditentukan secara sengaja (purposive sampling) sesuai tujuan penelitian, dengan pertimbangan bahwa; (1) responden merupakan penduduk dewasa yang telah mampu berpikir positif dalam mengambil keputusan, (2) responden terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng di Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, dan (3) responden terlibat dalam pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp. Purposive sampling dalam pemilihan responden untuk data sosial ekonomi menurut Adrianto (2007), merupakan pemilihan responden secara langsung atau sengaja menurut kriteria tertentu yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Untuk kepentingan penelitian ini, maka jenis responden yang digunakan adalah; (1) pengumpul larva ikan bandeng, (2) petambak ikan bandeng, (3) pedagang pengumpul ikan bandeng, dan (4) pengambil kebijakan. Pemilihan responden pengumpul larva ikan bandeng dan petambak ikan bandeng dilakukan secara simple random sampling menggunakan bilangan random, sedang jumlah unit respondennya (sampel) menggunakan persamaan estimasi proposi yang dikemukakan oleh Cochran (1963) in Nazir (2003). Data sosial ekonomi untuk responden pengumpul larva ikan bandeng, petambak dan pedagang pengumpul ikan bandeng meliputi; identitas responden, kondisi sosial ekonomi, dinamika usaha, persepsi responden terhadap indikator keberlanjutan usaha, persepsi responden terhadap skenario pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp. Data responden pengambil kebijakan meliputi; identitas responden, ada tidaknya program Pemerintah Daerah Kota Jayapura yang berhubungan langsung dengan pengelolaan kedua kawasan pesisir tersebut dan pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng, persepsi terhadap indikator keberlanjutan usaha, dan persepsi terhadap skenario pengelolaan pesisir Kota Jayapura.

52 30 Jenis data sosial ekonomi, sumber data dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis dan sumber data sosial ekonomi. Responden Jenis data Sumber data Alat yang digunakan Pengumpul, a. Identitas responden wawancara Kuisioner Petambak, dan b. Lama domisili dan lama usaha (insitu) Pedagang c. Jumlah tanggungan keluarga d. Dinamika usaha e. Persepsi terhadap indikator keberlanjutan usaha f. Persepsi terhadap skenario pengelolaan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp Pengambil kebijakan a. Identitas resoonden b. Program PEMDA Kt Jpr c. Persepsi terhadap indikator keberlanjutan usaha d. Persepsi terhadap skenario pengelolaan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp wawancara (insitu) Kuisioner Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dari instansi terkait lingkup Pemerintah Daerah Kota Jayapura, dalam bentuk laporan dan publikasi daerah. Instansi yang dimaksud terdiri atas; (1) Dinas Perikanan dan Kelautan (DISKANLA), (2) Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA), (3) Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA), (4) Badan Meteorologi dan Geofisiska (BMG) Provinsi Papua, dan (4) Badan Pusat Statistik (BPS). Peta-peta pendukung diperoleh dari BAKOSURTANAL dan BAPPEDA Kota jayapura. Sedang kondisi ekosistem Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp diperoleh dari laporan hasil studi Lembaga Konservasi Laut (LKL) Provinsi Papua tahun Secara rinci data sekunder yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.

53 31 Tabel 3 Jenis dan sumber data sekunder Jenis Data Metode Pengumpulan Data Sumber Data A Kondisi umum daerah dan lokasi penelitian a Keadaan geografis - Letak dan luas wilayah Studi literatur BPS Kt. Jpr. - Keadaan iklim Studi literatur/laporan BMG Prov.Papua b Keadaan administrasi Studi literatur BAPPEDA Kt.Jpr c Keadaan sosial ekonomi - Demografi Studi literatur/laporan BAPPEDA Kt.Jpr - PRDB Kota Jayapura Studi literatur/laporan BPS Kt. Jpr. - Aksessibilitas Studi literatur/laporan BAPPEDA Kt.Jpr d. Ekosistem Teluk Youtefa dan Pesisir Kampung Holtekamp - Fisiofrafi pantai Studi literatur/laporan LKL Prov. Papua - Dinamika Perairan Studi literatur/laporan LKL Prov. Papua B Peta-peta pendukung a Peta rupa bumi Studi literatur BAKOLSURTANAL b. Peta administrasi Studi literatur BAPPEDA Kt.Jpr 3.3 Metode Pengambilan Contoh Penelitian ini dilaksanakan di Kota Jayapura, meliputi Teluk Youtefa (Kampung Enggros), Kampung Holtekamp, Kelurahan Entrop, Kelurahan Waymhorock, dan Kampung Yoka. Waktu pengambilan contoh data biofisik disesuaikan dengan periode kelimpahan larva ikan bandeng. Di perairan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, kemunculan larva ikan bandeng terjadi pada bulan April hingga Juni (periode I) dan antara bulan September hingga November (periode II). Karena keterbatasan waktu studi, pengambilan contoh disesuaikan dengan kemunculan larva ini periode I. Pada saat dilakukan penelitian ini, larva tersebut muncul pada minggu ke- 4 bulan Mei hingga minggu ke- 1 bulan Juni dan ke- 4 bulan Juni hingga minggu ke- 1 bulan Juli Oleh sebab itu pengamatan dan samplingpun dilakukan pada waktu tersebut, Pengambilan Contoh Data Biofisik Pengambilan data biofisik terdiri atas; pengukuran parameter kualitas air (suhu dan salinitas), pengambil air contoh untuk analisis fitoplankton, dan sampling larva ikan bandeng. Oleh karena penyebaran larva ikan tersebut sangat

54 32 ditentukan oleh arus pasang surut (Kumagai 1984 in Watanabe 1986; Nontji, 1986; Mardjono et al. 1985; Suseno 1987; Mujiman 1987), maka pengambilan contoh data biofisik dilakukan pada minggu ke- 1 dan minggu ke- 4 setiap bulan kelimpahan (Mei-Juli 2009). Pengukuran parameter suhu dan salinitas dilakukan bersamaan dengan waktu dilakukan sampling terhadap larva ikan bandeng. Sedang pengambilan sampel air untuk analisis jenis dan kelimpahan fitoplankton dilakukan pada tanggal 25 Mei 2009 (stasiun I, II, dan III), tanggal 27 Mei 2009 (hanya stasiun II), tanggal 25 Juni 2009 (stasiun I, II,III) dan tanggal 29 Juni 2009 (hanya stasiun II). Penentuan stasiun pengambilan contoh dilakukan secara sengaja (purposive sampling) disesuaikan dengan tujuan penelitian (Singarimbun 1995). Untuk kepentingan penelitian ini, maka ditentukan tiga stasiun yang disesuaikan dengan daerah penyebaran larva ikan bandeng. Jarak antar stasiun penelitian menyesuaikan lokasi penyebaran larva tersebut. Teknik pengambilan contoh data biofisik dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Teknik pengambilan contoh data biofisik. No. Parameter Teknik pengambilan contoh 1 Fisik - Suhu 2 Kimia - Salinitas 3 Biologi - Plankton - Larva ikan bandeng Diukur langsung di ketiga stasiun secara vertikal. Diukur lansung di ketiga stasiun secara vertikal pada titik dan waktu yang sama dengan pengukuran suhu. Dilakukan secara vertikal pada ketiga stasiun, pada titik dan waktu yang sama dengan pengukuran suhu dan salinitas. Air laut yang disaring = 50 ltr. Sampel air kemudian dimasukan dalam botol koleksi sampel = 12,5 ml, dan diberikan formalin 10% sebanyak 13cc. Analisis dilakukan di laboratorium BIMA I IPB. Penyeseran secara horisontal sepanjang garis pantai sampai kedalaman 50 cm. Dihitung jumlahnya per alat tangkap. Untuk yang akan dijadikan sampel, diawetkan dengan alkohol 70% = 10 cc, dipisahkan menurut stasiun dan waktu sampling. Analisis dilakukan di Lab. Balai POM Papua dan Lab. BIMA I IPB. Alat dan bahan yang digunakan Thermometer Refraktometer - plankton net ukuran 35 µm. - formalin 10%. - mikroskop. - botol sampel - buku identifikasi plankton. - alat hitung. -Seser dengan mesh size 1,1 mm dan lebar mulut 84 cm. -Alkohol 70%. -botol sampel. -Mikroskop.

55 Pengambilan Contoh Data Sosial Ekonomi Pengambilan data sosial ekonomi dilakukan melalui pengisian kuisioner yang telah disiapkan oleh responden terpilih. Pertanyaan yang diajukan disesuaikan dengan jenis responden yang telah ditentukan. Hal yang ditanyakan pada responden dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis data responden dan pertanyaan untuk data sosial ekonomi No Jenis Data Responden Pertanyaan 1 Indentitas pengumpul larva, petambak, dan Nama, umur, pendidikan, pedagang ikan bandeng (Chanos chanos, Frosskall) suku, lama tinggal, lama usaha, tenaga kerja dan jumlah pengambil kebijakan tanggungan. Nama, umur, pendidikan, instansi, jabatan, TUPOKSI (instansi dan jabatan). 2 Dinamika Usaha Pengumpul larva ikan bandeng Periode dan dinamika kelimpahan larva ikan bandeng, jumlah effort per musim, jumlah tangkapan, penanganan hasil tangkap dan harga jual, serta modal usaha. Petambak ikan bandeng Pedagang ikan bandeng 3 Presepsi pengumpul larva, petambak, dan pedagang ikan bandeng pengambil kebijakan Periode dan dinamika kelimpahan larva ikan bandeng, luasan tambak (dimiliki, dikelola), siklus produksi, padat tebar, asal benih, harga benih, biaya operasional, hasil produksi, harga jual dan modal usaha. Jumlah ikan bandeng, asal bandeng, tujuan pasar, harga beli dan harga jual per daerah asal biaya operasional lain dan modal usaha. Program PEMDA yang berkenaan keberadaan usaha, efektivitas dari program tersebut, dan keterlibatan. Presepsi terhadap indikator keberlanjutan usaha dan skenario pengelolaan pesisir Kota Jayapura Program terkait usaha pemanfaatan larva ikan Bandeng, efektivitas program tersebut, dan keterlibatan pelaku usaha. Presepsi terhadap indikator keberlanjutan usaha dan skenario pengelolaan pesisr Kota Jayapura

56 27 Peta pengambilan contoh data penelitian, dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Peta pengambilan contoh data penelitian 34

57 Analisis Data Data Biofisik A. Parameter Suhu dan Salinitas Data parameter suhu dan salinitas yang terukur ditabulasi dan dihitung rataratanya. B. Fitoplankton (1) Analisis kelimpahan Dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (APHA 1998): Keterangan : N = kelimpahan fitoplankton (ind./m 3 ), n = jumlah fitoplankton tercacah, V d = volume air yang disaring (50 lt), V t = volume air yang tersaring atau dikoleksi (12,5 ml), V cg = volume pada counting cell (1 ml), O i = luas gelas penutup, O p = luas strip yang teramati (mm2) (2) Indeks Keanekaragaman (H ) Indeks ini digunakan untuk mengetahui keanekaragaman hayati biota yang diteliti. Jika nilai indeks ini makin tinggi, artinya komunitas biota (fitoplankton) di perairan tersebut makin beragam dan tidak didominasi oleh jenis tertentu (Romimoharto dan Juwana 2001). Indeks ini dihitung berdasarkan persamaan Shannon (Krebs 1985), sebagai berikut : H ' = s ( P i ln P i ) i= 1 Keterangan : H = indeks keragaman jenis, s = jumlah macam jenis (taxa) dalam komunitas fitoplankton yang diamati, P i = hasil bagi antara jumlah individu dari spesies ke- i dengan total jumlah individu dalam komunitas (N). Dalam hal ini P i maupun ln P i bernilai negative sehingga indeks keanekaragaman (H ) bernilai positif. Kisaran indeks keanekaragaman dapat diklasifikasikan sebagai berikut; (1) H < artinya keanekaragaman kecil dan kestabilan komunitas rendah, (2) < H artinya keanekaragaman sedang dan

58 36 kestabilan komunitas sedang dan (3) H > artinya keanekaragaman dan kestabilan komunitas tinggi (modifikasi Wilhm and Doris 1968 in Wilhm 1975). (3) Indeks Keseragaman (E) Indeks keseragaman menunjukkan pola sebaran biota. Jika nilai indeks keseragaman relatif tinggi, penyebaran setiap jenis biota di perairan dalam kondisi merata. Dihitung dengan persamaan (Brower and Zar 1990): E = H ' H max ; dengan H max = ln s Keterangan : E = indeks keseragaman, H = nilai indeks Shannon, H maks = ln s dan s = jumlah macam spesies. Nilai keseragaman berkisar antara 0 hingga 1. Jika keseragaman mendekati 1, maka sebaran individu antara jenis merata dan perbedaannya tidak mencolok. Bila nilai keseragaman mendekati 0, maka sebaran individu antar jenis tidak merata karena didominasi oleh jenis tertentu. (4) Indeks Dominansi (C) Indeks dominasi berbanding terbalik dengan indeks keseragaman (E). Dimana suatu komunitas dengan indeks dominasi yang tinggi akan memiliki indeks keseragaman yang rendah. Demikian sebaliknya. Indeks ini dihitunga dengan menggunakan Indeks Simpson, dengan formula sebagai berikut (Brower and Zar 1990): Keterangan : C = Indeks dominasi, n i = Jumlah individu dari spesies ke-i, dan N = Total individu dalam komunitas, dan s = jumlah spesies. Indeks dominasi berkisar antara 0 hingga 1. Bila nilai indeks ini mendekati 0, maka komunitas biota di perairan makin beragaman karena tidak didominasi oleh jenis tertentu. Sedang bila nilai indeks ini mendekati 1,

59 37 maka keragaman jenis rendah karena komunitas didominasi oleh jenis tertentu (Odum 1993). C. Kelimpahan Larva Ikan Bandeng Kelimpahan larva ikan Bandeng, didefinisikan sebagai banyaknya individu per luas daerah pengambilan contoh (Brower and Zar 1977), yang dihitung dengan persamaan berikut: Keterangan : N i = kelimpahan larva ikan pada hari ke- i (ind/m 2 ), n i = jumlah individu tertangkap pada hari ke- i, dan A = luas sapuan. Luas sapuan diasumsikan sebagai perkalian antara panjang alur sapuan dengan lebar mulut seser yang disimbolkan dengan A. Dihitung dengan persamaan yang domodifikasi dari Sparre and Venema (1999), sebagai berikut: Keterangan : A = luas sapuan, D = jarak sapuan, X 2 = lebar bukaan mulut seser. Pendugaan kelimpahan dalam biomassa dilakukan dengan memanfaatkan persamaan Brower and Zar (1990) tersebut di atas, dimana n i diasumsikan sebagai total bobot larva tertangkap pada hari ke- i (gr/m 2 ). D. Analisis Faktor Kondisi Larva Ikan Bandeng Faktor kondisi larva ikan bandeng dihitung dengan memanfaatkan persamaan berikut (Effendi 1979): (1) Bila pola pertumbuhan bersifat allometrik (b 3 ), menggunakan rumus; (2) Bila pola pertumbuhan bersifat isometrik (b =3 ), menggunakan rumus;

60 38 Keterangan : K = faktor kondisi, W = bobot larva contoh (gr), L = panjang larva contoh (mm), a dan b = konstanta. E. Jenis Makanan Utama Seluruh saluran pencernaan dari sampel larva ikan bandeng yang diperiksa nya pada penelitian ini dalam kondisi kosong. Diduga, disebabkan oleh dua hal, yaitu; (1) larva tersebut sudah ditangkap sebelum melakukan aktivitas makan, dan atau (2) larva tersebut telah mengeluarkan isi saluran pencernaannya ketika ditangkap. Oleh sebab itu analisis jenis makanan utama larva ini dilakukan melalui perbandingan antara jenis fitoplankton yang ditemukan pada saat sampling dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya terkait dengan kebiasaan makan larva ini. F. Hubungan antara Biomassa, Faktor Kondisi, dan Fitoplankton dengan Parameter Suhu dan Salinitas Pada analisis ini digunakan metode analisis statistik multivariabel, yaitu Analisis Komponen Utama (AKU). Dikatakan oleh Bengen (2000), tujuan utama digunakannya analisis ini adalah: 1. Mengekstraksi informasi esensial yang terdapat dalam suatu tabel atau matriks data. 2. Menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan interpretasi. 3. Mempelajari suatu tabel atau matriks data dari sudut pandang kemiripan antara individu atau hubungan antar variabel. Pengolahan data melalui AKU, dilakukan dengan program Minitab Seri 15. Matriks data terdiri dari; (1) stasiun pengamatan sebagai individu statistik (baris) dan (2) biomassa dan faktor kondisi larva ikan bandeng, kelimpahan fitoplankton, serta parameter suhu dan salinitas sebagai peubah variabel kuantitatif. Jika semakin dekat suatu titik variabel pada lingkaran korelasi, semakin besar peranannya terhadap sumbu (grafik bidang). Korelasi terhadap sumbu sama dengan kosinus sudut antara sumbu dan garis lurus yang melewati pusat gravitasi dan titik variabel. Dengan demikian kita dapat

61 39 menginterpretasi posisi suatu variabel berdasarkan sudut yang dibentuk oleh garis lurus dengan sumbu atau variabel lain. Matriks korelasi menjelaskan hubungan antar parameter yang ada. Tanda minus atau plus menunjukkan sifat korelasi negatif atau positif antar parameter. Nilai yang mendekati satu (0.5 sampai 1) menjelaskan hubungan yang positif antar parameter. Nilai yang mendekati minus satu (-0.5 sampai -1) menjelaskan hubungan negatif antar parameter. Sedang nilai yang mendekati nol (-0.5 sampai 0.5) menjelaskan hubungan antar parameter yang tidak erat atau tidak mempunyai pengaruh terhadap parameter lain (Bengen 2000) Data Sosial Ekonomi A. Penentuan Jumlah Unit Responden Jumlah unit sampel untuk responden pengumpul larva dan petambak ikan bandeng ditentukan berdasarkan persamaan estimasi proporsi sebagai berikut (Cochran 1963 in Nazir 2003): n = N. p( 1 p) ( N 1) D + p( 1 p) Keterangan : n = jumlah unit sampel yang diinginkan, N = jumlah total jenis responden, D = B 2 /4 (B adalah bound of error = 0,10 ), dan p (estimator dari proporsi populasi = 0,5). Selanjutnya, responden yang diambil sebagai obyek penelitian ditentukan secara random sampling. Tujuannya, untuk menghindari subyektifitas dalam pengambilan data. Untuk responden pedagang dan pengambil kebijakan, karena jumlah unit sampelnya kurang dari 25 orang, maka pengambilan responden sebagai obyek penelitian dilakukan secara sensus. Secara diagramatis prosudur penentuan jumlah dan pemilihan jenis responden dapat dilihat pada Gambar 6.

62 40 Data Sosial Ekonomi Jenis Responden Pengumpul larva ikan bandeng Petambak ikan bandeng Pedagang ikan bandeng Pengambil kebijakan Purposive Sampling N 1 =25 N 2 =37 N 3 =15 N 4 =10 n 1 = 20 Estimasi Proposi n 2 = 27 n 3 =15 Sensus n 4 =10 Jumlah unit responden (sampel) Random Sampling 47 Sensus 25 Pemilihan responden Gambar 6 Bagan alir penentuan jumlah dan jenis responden. Pada Gambar 6 di atas, jumlah pengumpul larva ikan bandeng adalah sebanyak 25 orang dan petambak sebanyak 37 orang (DISKANLA 2007/2008). Dengan memanfaatkan persamaan estimasi proporsi tersebut diperoleh jumlah unit sampel untuk pengumpul larva sebanyak 20 orang dan petambak sebanyak 27 orang. Jumlah responden pedagang pengumpul ikan bandeng, sebanyak 15 orang dan pengambil kebijakan sebanyak 10 orang. Untuk reponden pengambil kebijakan, disesuaikan juga dengan Tugas Pokok dan Fungsi pada instansi yang menjadi obyek pengambilan data. B. Alokasi Upaya Penangkapan dan Perilaku Pengumpul Larva Ikan Bandeng Dilakukan untuk melihat perilaku ekonomi dari pengumpul larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal). Data time series yang akan digunakan dalam analisis ini adalah data harian selama 3 bulan kemunculan larva

63 41 tersebut. Berdasarkan hasil tangkapan selama pengamatan, selanjutnya dilakukan tahapan analisis sebagai berikut (Bene and Tewfik 2000): (1) Indeks Musiman Bulanan (%) Perhitungan indeks musiman bulan (I j ), dilakukan untuk membantu melihat fluktuasi kelimpahan larva ikan bandeng setiap bulan kelimpahan dalam persen (%). Tujuannya, sebagai dasar untuk mengetahui musim dengan kelimpahan maksimum dan atau minimum. Untuk mendapatkan nilai Ij (%) digunakan persamaan Makridakis et al. (1983) in Bene and Tewfik (2000), sebagai berikut: I j 1 = 100x K x K 1 j+ 3k k = 0 T j+ 3k Keterangan : I j = indeks musiman untuk bulan ke- j (j = 3 bulan), K = {0,..., K-1} adalah jumlah musim (waktu tangkap) untuk seluruh rangkaian waktu (selama 3 bulan), x j +3k = data hasil tangkapan dalam bulan ke j+3k, dan T j + 3k = nilai trend yang berhubungan dengan nilai rata-rata hasil tangkapan dalam bulan ke j+3k. (2) Prakiraan Keuntungan Ekonomi Tujuan dari analisis ini untuk melihat apakah pengumpul mengalokasikan upaya penangkapannya berdasarkan keuntungan atau laba yang akan diperoleh. Keuntungan ini didapat berdasarkan nilai pasar dari suatu komoditi atau jumlah hasil produksi. Prakiraan keuntungan ekonomi tidak dapat dihitung langsung tetapi diperkirakan melalui perhitungan pendapatan bioekonomi (revenue) per unit effort (RPUE), dengan persamaan yang dimodifikasi dari Bene and Tewfik (2000) berikut: Keterangan : RPUE = pendapatan per unit effort pada hari ke- j (asumsi untuk mencerminkan pendapatan yang diperoleh pengumpul pada setiap hari tangkap), CPUE j = hasil tangkap per unit usaha pada hari ke- j (asumsi untuk mencerminkan ketersediaan atau kelimpahan larva pada setiap hari tangkap), dan P = harga stok yang berlaku. Nilai CPUE j didapat dengan memanfaatkan persamaan:

64 42 Keterangan : C j = hasil tangkap pada hari ke- j dan E j = jumlah upaya pada hari ke- j Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan A. Penentuan Indikator Keberlanjutan Indikator keberlanjutan dianalisis secara deskriptif dengan cara pemberian bobot untuk menentukan tingkat kepentingan dari masing-masing variabel pengukur pada indikator yang telah ditentukan. Dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu; (1) mengidentifikasikan indikator dan variabel pengukur setiap indikator yang berpengaruh langsung pada keberlanjutan usaha pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng dihubungkan dengan kondisi Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp saat ini, (2) mengajukan indikator dan variabel pengukur setiap indikator untuk mendapatkan persepsi responden, (3) pemberian bobot berdasarkan persepsi responden, dan (4) menghitung proporsi persepsi responden berdasarkan hasil pembobotan pada setiap variabel pengukur pada masing-masing indikator. Besarnya skor akhir proporsi persepsi responden pada masing-masing variabel pengukur indikator, didapat dengan memanfaatkan persamaan berikut: Keterangan : P i = proposi persepsi responden dari variabel ke- i, JP i = jumlah persepsi responden dari variabel ke- i dan JR = jumlah responden yang menjawab. Pertanyaan yang diajukan adalah, apakah variabel ke- i pada masing-masing indikator penting untuk usaha pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng. Pembobotan dilakukan berdasarkan skala Likert (Nazir 2003), dimana bobot 3 diberikan bila sangat penting, bobot dua bila penting, dan bobot 1 bila kurang penting. Untuk menentukan variabel mana yang terpilih pada masing-masing indikator, dilakukan dengan cara memilih proporsi persepsi

65 43 dengan nilai tertinggi. Nilai proporsi pada tahapan analisis ini selanjutnya digunakan untuk analisis evaluasi keberlanjutan. B. Evaluasi Keberlanjutan Tujuan dari tahapan ini adalah, untuk mengevaluasi dampak dari pengelolaan pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp) guna menentukan kualitas implementasi dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya larva ikan bandeng, sehingga dapat dicapai pemanfaatan yang berkelanjutan. Ditujukan untuk menilai tingkat keberlanjutan dan kinerja pemanfaat larva tersebut melalui pengukuran tingkat pemanfaatan, guna memberikan gambaran efektivitas pemanfaatannya agar tujuan dan sasaran yang diinginkan dapat dicapai. Kriteria yang digunakan dalam analisis ini adalah: (1) Kriteria efesiensi Variabel yang digunakan untuk penilaian kriteria efisiensi, adalah variabel dari indikator ekonomi yang terpilih. Pertanyaan yang diajukan adalah, apakah variabel ke- i dari indikator ekonomi penting untuk usaha pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng. (2) Kriteria keberlanjutan Variabel yang digunakan untuk penilaian kriteria keberlanjutan, adalah variabel dari indikator ekologi dan kebijakan yang terpilih. Pertanyaan yang diajukan adalah, apakah variabel ke- i dari indikator ekologi dan kebijakan penting untuk usaha pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng. (3) Kriteria pemerataan. Variabel yang digunakan untuk penilaian kriteria pemerataan, adalah variabel dari indikator sosial yang terpilih. Pertanyaan yang diajukan adalah, apakah variabel ke- i dari indikator sosial penting untuk usaha pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng. Selanjutnya dilakukan perbandingkan antara nilai riil (saat ini) dengan CTV (Crtitical Treshold Value) dari masing-masing variabel terpilih pada setiap indikator dengan teknik amoeba. CTV merupakan nilai kritis atau nilai

66 44 ideal dari setiap variabel terpilih. Masing-masing nilai riil variabel memiliki konsekuensi yang berbeda terhadap CTV-nya, dimana setiap nilai variabel tersebut memiliki konsekuensi positif terhadap nilai CTV-nya. Semakin besar nilai riil dari CTV-nya, semakin baik keragaan variabel tersebut (Glasser and Diele 2004; Adrianto 2007) Multi Criteria Desicion Making (MCDM) Analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM), digunakan untuk menentukan skenario terbaik pengelolaan pesisir Kota Jayapura terutama kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, guna menunjang pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan termasuk di dalamnya pemanfaatan larva ikan bandeng. Teknik analisis data menggunakan software simple multi atribut rating technigues (SMART). Teknik SMART merupakan keseluruhan proses dari perantingan skenario- skenario dan pembobotan dari atribut yang ada. Tahapan dalam analisis MCDM adalah: (1) Merumuskan skenario atau alternatif pengelolaan pesisir Kota Jayapura. (2) Menentukan kriteria dan subkriteria yang akan digunakan untuk menilai skenario yang telah dirumuskan. (3) Menyusun struktur hirarki pengelolaan perikanan berkelanjutan, dimulai dari tujuan yang ingin dicapai, kriteria yang digunakan, subkriteria, sampai pada skenario (alternatif) yang dirumuskan dan relevan dengan pengelolaan pesisir Kota Jayapura. (4) Menentukan bobot atau skor pada setiap subkriteria. Bobot suatu skenario (alternatif) dengan kriteria yang harus diambil disusun berdasarkan matriks yang dapat dilihat pada Tabel 6 (Fauzi dan Anna 2001). Tabel 6 Matriks pembobotan dalam analisis MCDM (Kriteria j) C 1 C 2 C 3.. C m (Bobot j) W 1 W 2 W 3. W m S1 a 1 X 11 X 12 X 13. X 1m S2 a 2 X 21 X 22 X 23. X 2m S3 a 3 X 31 X 32 X 33. X 3m S m a n X n1 X n2 X n3 X nm

67 45 Keterangan : S i (i = 1,2,3,... m) = skenario pilihan yang ada, C j (j = 1,2,3,..., m) = kriteria dengan bobot W j, dan a ij (i = 1,2,3,... m; j = 1,2,3,... n) = pengukuran keragaan dari suatu skenario A i berdasarkan kriteria C j. Dalam penelitian ini, kriteria yang ditentukan untuk analisis MCDM adalah, kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial. Sedang subkriteria yang dipilih sebagai penilai bagi setiap kriteria pada masing-masing skenario yang dirumuskan diambil dari hasil analisis indikator untuk keberlanjutan. Proses pemilihan subkriteria ini dilakukan berdasarkan nilai tertinggi yang masuk dalam kelas nilai terpilih. Penentuan kelas nilai terpilih menggunakan persamaan interval kelas, sebagai berikut (Djarwanto 1993 in Nazir 2003): Keterangan : Range = nilai maksimum nilai minimum, dan k = jumlah kelas. Nilai k, diperoleh dengan memanfaatkan persamaan Sturge in Nazir (2003), yaitu: Keterangan : n = jumlah kelas yang diinginkan(ditentukan 2 kelas). Tahapan berikutnya adalah tahapan fungsi agregasi (Agregation Functions). Pada tahapan ini dilakukan perhitungan rata-rata geometrik dari hasil yang diperoleh pada masing-masing subkriteria. Rata-rata geometrik dihitung dengan menggunakan formula: Keterangan : y = rata-rata geometrik, n = jumlah responden dan S i = persepsi responden ke- i, sehingga persamaan menjadi: Proses interaksi dalam analisis MCDM, menggunakan perangkat lunak Decision Criterium Plus.

68 46 4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis Letak dan Luas Wilayah Kota Jayapura terletak di tepian Teluk Yos Sudarso dan secara geografis berada pada posisi antara hingga Lintang Selatan dan antara hingga Bujur Timur. Sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasifik, sebelah selatan dengan Kabupaten Kerom, sebelah timur dengan Negara Papua New Guinea (PNG) dan sebelah barat dengan Distrik Sentani dan Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura. Luas masing-masing distrik dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Luas wilayah Distrik di Kota Jayapura Distrik Luas wilayah (km 2 ) Jayapura Utara Jayapura Selatan Abepura Heram Muaratami Sumber : BAPPEDA Kota Jayapura (2008). Selanjutnya luas masing-masing kelurahan dan kampung yang termasuk dalam lokasi penelitian ini, dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Luas kelurahan dan kampung lokasi penelitian Kelurahan/Kampung Luas wilayah (km 2 ) Kel. Entrop Kamp. Enggros Kel. Waymhorock Kamp.Yoka Kamp. Holtekamp Sumber : BAPPEDA Kota Jayapura (2008) Keadaan Iklim Data Badan Meterologi dan Geofisika (BMG) wilayah V Jayapura tahun 2008, menunjukkan curah hujan Kota Jayapura bervariasi antara 29 sampai 456 mm per tahun. Rata-rata jumlah hari hujan bervariasi antara 9 sampai 24 hari per tahun. Suhu harian bekisar antara 24.2 C sampai 32.6 C. Kelembaban udara

69 47 bervariasi antara 76% sampai 83%. Iklim Kota Jayapura dikategorikan basah dengan konsentrasi hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember hingga Januari, sedang konsentrasi hujan terendah terjadi antara bulan Mei hingga bulan Agustus. 4.2 Keadaan Administratif Secara adminitratif, Kota Jayapura terdiri atas 5 (lima) Distrik, yaitu; (1) Jayapura Utara, (2) Jayapura Selatan, (3) Abepura, (4) Muaratami, dan (5) Heram. Teluk Youtefa, secara administratif distrik menjadi bagian dari 3(tiga) wilayah Distrik, yaitu; (1) Jayapura Selatan, (2) Abepura, dan (3) Muaratami. Kampung Holtekamp, secara administratif distrik masuk dalam Distrik Muaratami. Lokasi penelitian ini meliputi 4 Distrik, yaitu; Jayapura Selatan, Abepura, Heram dan Muaratami. Pada Tabel 9 berikut, diperlihatkan Kelurahan dan Kampung dari masing-masing Distrik yang dijadikan lokasi penelitian ini. Tabel 9. Distrik serta Kelurahan dan Kampung lokasi penelitian Distrik Kelurahan /Kampung Jayapura Selatan Kelurahan Entrop Abepura Kelurahan Waymhorock Kampung Enggros Heram Kampung Yoka Muaratami Kampung Holtekamp Sumber : BAPPEDA Kota Jayapura (2008). Peta administratif Kota Jayapura dapat dilihat pada Gambar 7 (halaman 54). 4.3 Keadaan Sosial Ekonomi Demografi Penduduk Kota Jayapura adalah penduduk heterogen yang terdiri dari bermacam-macam suku yang ada di Indonesia. Jumlah Penduduk Kota Jayapura tahun 2008 sebanyak jiwa. Distrik dengan kepadatan tertinggi adalah Distrik Jayapura Selatan, sedang Distrik Muaratami adalah Distrik dengan kepadatan terendah. Jumlah dan kepadatan penduduk di tiap distrik pada tahun 2008, dapat dilihat pada Tabel 10.

70 48 Tabel 10 Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk Kota Jayapura menurut Distrik, tahun 2008 Distrik Luas wilayah (km 2 ) Jumlah penduduk Kepadatan (orang) (orang/km 2 ) Jayapura Utara Jayapura Selatan Abepura Distrik Heram Muaratami Sumber : BAPPEDA dan BPS Kota Jayapura (2008). Jumlah dan kepadatan penduduk dari masing-masing Kelurahan dan Kampung yang menjadi lokasi penelitian, dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk lokasi penelitian, tahun 2008 Kelurahan/Kampung Luas wilayah (km 2 ) Jumlah penduduk (orang) Kepadatan (orang/km 2 ) Kel. Entrop Kamp. Enggros Kel. Waymhorock Kamp.Yoka Kamp. Holtekamp Sumber : BAPPEDA dan BPS Kota Jayapura (2008) Produk Domestik Regional Bruto (PRDB) Salah satu kegunaan dari Pendapatan Regional Bruto (PRDB), adalah untuk melihat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita suatu daerah dari tahun ke tahun. Penyajian PRDB secara sektoral dapat memberikan gambaran perkembangan dari struktur perekonomian suatu daerah. PRDB dengan masih adanya faktor inflasi di dalamnya akan merupakan PRDB atas dasar harga berlaku (at current prices), sedangkan bila faktor inflasi sudah dieliminir akan merupakan PRDB atas dasar harga konstan (at constant prices). Peranan tiap sektor ekonomi terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga berlaku, ditampilkan pada Tabel 12.

71 49 Tabel 12 Peranan tiap sektor ekonomi terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga berlaku, tahun Sektor Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan,Hoteldan Restoran Pengankutan dan Komunikasi Jasa Perusahan Jasa-jasa Jumlah PRDB per Tahun Sumber : BPS Kota Jayapura (2008) Peranan tiap subsektor pertanian terhadap PRDB Kota Jayapura atas harga berlaku dari tahun 2004 hingga tahun 2007, disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Peranan tiap subsektor pertanian terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga berlaku, tahun Sub sektor Pertanian Tanaman bahan makanan Tanaman perkebunan Peternakan dan hasilnya Kehutanan Perikanan Sumber : BPS Kota Jayapura (2008) Peranan tiap sektor ekonomi terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga konstan, ditampilkan pada Tabel 14. Tabel 14 Peranan tiap sektor ekonomi terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga konstan, tahun Sektor Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan,Hotel dan Restoran Pengankutan dan Komunikasi Jasa Perusahan Jasa-jasa Jumlah PRDB per Tahun Sumber : BPS Kota Jayapura (2008)

72 50 Dari peranan tiap subsektor pertanian terhadap PRDB Kota Jayapura atas harga konstan tersebut di atas, maka pada Tabel 15, ditampilkan peranan tiap subsektor pertanian atas harga konstan dari tahun 2004 hingga tahun Tabel 15 Peranan tiap subsektor pertanian terhadap PRDB Kota Jayapura atas dasar harga konstan, tahun Sub sektor Pertanian Tanaman bahan makanan Tanaman perkebunan Peternakan dan hasilnya Kehutanan Perikanan Sumber : BPS Kota Jayapura (2008) PDRB per kapita antara tahun 2004 hingga 2007, diperoleh melalui hasil bagi antara PRDB tiap sektor ekonomi atas dasar harga berlaku pada tahun tersebut dengan jumlah penduduk. Fluktuasi nilai pertumbuhan (%) dari PRDB perkapita atas dasar harga berlaku tersebut, dapat digunakan sebagai informasi untuk menilai tingkat kemakmuran masyarakat Kota Jayapura secara rata-rata. Fluktuasi PRDB per kapita Kota Jayapura antara tahun 2004 hingga 2007 (Tabel 16). Tabel 16. Pertumbuhan PRDB perkapita atas dasar harga berlaku Kota Jayapura, tahun Tahun PDRB perkapita (Rp) Pertumbuhan (%) Sumber : BPS Kota Jayapura (2008) Aksessibilitas Sebagai ibu kota Provinsi Papua, Kota Jayapura memiliki sarana prasarana jalan yang cukup baik, sehingga mempermuda mobilitas penduduk dan kelancaran aktivitas sosial ekonomi. Teluk Youtefa dapat dijangkau dengan menggunakan sarana transportasi darat dan laut. Untuk bagian dalam teluk, setelah menggunakan transportasi darat, dilanjutkan dengan transportasi laut (perahu dayung, perahu motor, atau speed boat). Dapat dilakukan melalui pelabuhan PPI

73 51 Hamadi, pantai Hanyang (Kelurahan Entrop), dan pantai Abe (Pasar Youtefa). Khusus untuk Kampung Enggros selain lewat laut, dapat dijangkau dengan transportasi darat (sepeda motor) melalui Kampung Holtekamp, dengan memanfaatkan lidah pasir yang membentuk Tanjung Kasuary. Untuk Kampung Holtekamp, bila menggunakan transportasi laut, dapat juga dilakukan lewat PPI Hamadi, pantai Hanyang (Kelurahan Entrop) dan pantai Abe (Pasar Youtefa). Sedang bila menggunakan transportasi darat, dapat memanfaatkan ruas jalan internasional Jayapura PNG yang membutuhkan waktu ± 45 menit. 4.4 Ekosistem Pesisir Lokasi Penelitian Teluk Youtefa, merupakan teluk kecil yang berada dalam Teluk Yos Sudarso dan diapit oleh Tanjung Pie di sebelah kiri dan Tanjung Caweri (Tanjung Kasuay) di sebelah kanannya. Kawasan ini didominasi oleh ekosistem mangrove Genus Rhizophora, Sonneratia, dan Ceriops tagal, serta ekosistem lamun jenis Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Halodule pinfolia, H. ovalis, dan H. minor. Ekosistem terumbu karang dalam kawasan ini, umumnya telah rusak akibat sedimentasi dan aktivitas masyarakat dalam kawasan ini (UNIPA 2006; LKL Prov. Papua 2008). Kampung Holtekamp, didominasi juga oleh ekosistem mangrove dan terumbu karang (DKP, Prov. Papua 2008). Merupakan pantai berpasir yang landai. Pengaruh air tawar didapat dari Kali Buaya dan celah Gunung Kasu Fisiografi Pantai Berdasarkan hasil pengamatan Tim Peneliti dari Lembaga Konservasi Laut Provinsi Papua (LKL Prov.Papua), topografi Teluk Youtefa datar dengan persentase kelandaian ± 35%. Kedua tanjung yang mengapit Teluk Youtefa hanya dipisahkan oleh selat Tobati dengan lebar ± 300 meter. Selat Tobati ini sekaligus berfungsi sebagai pintu keluar masuk ke Teluk Youtefa dari arah laut. Lebar selat Tobati ini menyebabkan kawasan ini terlindung dari pengaruh ombak dan arus sehingga pergerakan air dan sedimen lebih banyak bersikulasi di dalam teluk. Karakteristik pantai berelief datar (0%-3%), tersusun oleh endapan aluvial marine hidromorf. Sedimentasi yang terjadi disebabkan oleh adanya erosi, aliran sungai Anafre, dan buangan Pasar Youtefa serta kawasan bisnis Entrop.

74 52 Kampung Holtekamp, juga memiliki topografi datar dengan persentase kelandaian 0% hingga 3%. Merupakan peraian terbuka yang menghadap langsung Samudera Pasifik dan hanya di lindungi oleh beberapa pulau karang di depannya. Saat ini masalah krusial Teluk Youtefa adalah meningkatnya konversi mangrove, erosi, serta kiriman sampah yang menumpuk disekitar atau dalam celah-celah akar mangrove. Sampah dan sedimentasi berasal dari aktivitas Pasar Youtefa, kawasan bisnis Entrop, dan pemukiman penduduk sekitar dan dalam teluk tersebut. Untuk Kampung Holtekamp, masalah krusial saat ini adalah meningkatnya konversi mangrove dan aktivitas bom ikan. Sedimentasi yang terjadi di pesisir kawasan ini disebabkan oleh adanya erosi yang terbawa oleh arus dari Teluk Youtefa dan Kampung Skouw serta sedimen yang terbawa oleh beberapa sungai yang bermuara ke pantai Holtekamp Kondisi Dinamika Perairan A. Pasang Surut Pasang surut (pasut), merupakan proses naik turunnya muka laut secara periodik karena gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari. Naik turunnya muka laut dapat terjadi sekali dalam sehari (pasut tunggal), atau dua kali sehari (pasut ganda). Sedangkan pasut lainnya yang tidak berperilaku demikian disebut pasut campuran (Nontji 1986). Keadaan pasut Kota Jayapura mengacu pada hasil pengukuran pasut harian oleh Dishidros-AL yang dikompilasi dengan data pasut hasil survei Tim Peneliti LKL Prov. Papua (Tabel 17). Tabel 17 Konstanta pasang surut Kota Jayapura Tetapan M 2 S 2 N 2 K 2 K 1 O 1 P 1 Amplitudo (cm) º-g Sumber : LKL Prov. Papua (2008) Keterangan : M 2 = principal lunar, S 2 = principal solar, N 2 = large lunar elliptic, K 1 = luni solar diurnal, O 1 = principal lunar diurnal, K 2 = luni solar semi diurnal, dan P 1 = principal solar diurnal.

75 53 Berdasarkan perhitungan nilai F (Formzahl), diperoleh nilai F sebesar 1.133, sehingga disimpulkan tipe pasut Kota Jayapura adalah tipe campuran yang condong ke harian ganda (mixed semi diurnal). Artinya setiap hari akan tejadi keadaan dua kali pasang dan dua kali surut. B. Gelombang Rata-rata tinggi gelombang di pesisir Kota Jayapura berdasarkan pengamatan dan prediksi dari arah dan kecepatan angin oleh LKL Prov. Papua (2008), tidak lebih dari 1 meter. Gelombang laut yang tinggi biasanya dijumpai pada pesisir pantai Holtekamp sampai Kampung Skouw Sae. Hal ini disebabkan kawasan tersebut berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik sehingga jarak pembangkit gelombangnya (fetch length) juga besar. C. Salinitas Berdasarka hasil pengamatan dari Tim Peneliti Lembaga Konservasi Laut Provinsi Papua, diketahui bahwa salinitas di Teluk Youtefa bervariasi antara 18 sampai 29. Sedang perairan Holtekamp bervariasi antara 27 sampai 35. D. ph Nilai ph tanah yang tinggi umumnya diperoleh di pinggir laut, sedangkan yang rendah yang jauh dari garis pantai umumnya lebih bersifat basa. Kisaran derajat keasaman (ph) tanah yang ditemukan di Kampung Enggros berkisar antara 5.85 hingga 6.07, di Kampung Tobati antara 6.35 hingga ph tanahnya kedua kampung ini bersifat asam karena adanya proses pembusukan pada area mangrove yang lebih bersuasana asam. Di Kampung Nafri ph tanahnya berkisar antara 7.48 hingga 7.7, yang berarti bersifat basa (LKL Prov.Papua 2008).

76 46 Gambar 7 Peta administrasi Kota Jayapura (BAPPEDA Kota Jayapura) 54

77 55 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Biofisik Karakteristik Fisik Stasiun Pengamatan Stasiun I, terletak di pesisir Kampung Holtekamp, merupakan pantai yang terbuka dan berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Cenderung tandus, karena habitat mangrove dikawasan ini telah dikonversi menjadi lahan tambak dan jalan. Topografi pantai landai dengan kemiringan antara 0% hingga 3% dengan lebar pantai ke arah laut pada saat surut ± 150 meter dan jarak perairan dengan daratan ± 10 meter. Masukan air tawar didapat dari Kali Buaya, namun karena pada saat sampling ada perbaikan jaringan irigasi Muaratami, maka debit air tawar untuk sementara dikurangi. Fluktuasi salinitas di mulut muara kali buaya sampai jarak ± 500 meter ke arah hilir mengikuti besar kecilnya debit air tawar dari jaringan irigasi Muaratami. Pada saat dilakukan pengukuran salinitas, kisaran salinitas pada jarak tersebut sama dengan kisaran di perairan depan mulut muara. Panjang alur sapuan untuk kepentingan penelitian ini adalah , diukur berdasarkan sebaran larva ikan bandeng. Panjang alur sapuan tersebut tidak berubah, selama seluruh waktu pengamatan. Selanjutnya topografi pantai stasiun I dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 Topografi pantai stasiun I

78 56 Stasiun II, juga terletak di pesisir Kampung Holtekamp. Dibanding stasiun I, stasiun II lebih tertutup, terlindung oleh dua pulau karang di bagian depan dan Tanjung Kasu di sisi kanannya. Kondisi ini memungkinkan arus yang masuk ke stasiun ini terhalang cenderung melemah. Ini dapat dilihat dari air yang agak keruh dan subsrat dasar perairan yang bercampur lumpur. Lumpur ini selain masukan yang terbawa oleh aliran sungai kecil yang masuk ke perairan ini pada saat hujan atau pada saat pengurasan dan perbaikan beberapa tambak yang berada di lokasi ini, juga berasal dari buangan Kali Buaya. Selain itu stasiun II juga sangat dekat dengan gunung Skow yang masih terjaga dengan baik dan berada tepat di belakangnya, sehingga turut mendukung rendahnya suhu permukaan perairan dibanding stasiun I dan III. Dengan kondisi fisik stasiun II seperti ini, maka sangat mendukung sebagai nusery ground bagi beberapa larva ikan selain larva ikan bandeng. Pada saat dilakukan sampling, banyak ditemukan beberapa larva ikan, kepiting, dan cumi. Topografi pantai juga landai, dengan lebar pantai ke arah laut pada saat surut ± 40 meter, dan jarak perairan dengan daratan ± 3 meter. Panjang alur sapuan untuk kepentingan penelitian ini adalah meter, yang juga diukur berdasarkan sebaran larva dan ukuran panjang inipun tidak berubah sepanjang seluruh waktu pengamatan. Selanjutnya topografi stasiun II dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Topografi pantai stasiun II Stasiun III, merupakan stasiun pengamatan yang berada dalam Teluk Youtefa. Letaknya di samping kiri selat Tobati, jarak sapuan meter. Jarak

79 57 sapuan ini diukur dari ujung spit (lidah pasir) pada mulut teluk ke arah Kampung Enggros, disesuaikan dengan penyebaran larva yang masuk bersamaan dengan arus pasang surut. Stasiun ini terlindung oleh tanaman kelapa, cemara pantai (Casuariana equisetifolia) dan mangrove. Subsrat dasar lebih dominan lumpur daripada pasir. Meskipun demikian, karena arus yang masuk cenderung lemah perairan relatif jernih meski agak berbau dan banyak endapan sampah plastik. Hasil pengukuran ph yang dilakukan oleh Tim LKL Provinsi Papua tahun 2008, menunjukkan nilai ph di sekitar stasiun III berkisar antara 5.56 hingga Lebar pantai pada saat surut tidak lebih dari 2 meter, dan jarak perairan dengan daratan tidak lebih dari 1 meter. Selanjunya topografi pantai stasiun III dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10 Topografi pantai stasiun III Selama waktu pengamatan, sedang musim kemarau di Kota jayapura, yang telah berlangsung sejak bulan Maret Pengamatan dilakukan pada siang hari saat air mulai surut dan mulai pasang Parameter Suhu dan Salinitas A. Suhu Permukaan Perairan Pengukuran suhu dilakukan setiap jam dimulai pukul hingga pukul waktu setempat. Pengukuran pada minggu ke- 4 bulan Mei 2009, suhu permukaan perairan di stasiun I berkisar antara 29 C hingga 31 C, di stasiun II antara 27 C

80 58 hingga 30 C, dan stasiun III antara 29 C hingga 31 C. Pada minggu ke- 1 dan minggu ke- 4 bulan Juni 2009, suhu permukaan di stasiun I berkisar antara 30 C hingga 31 C, stasiun II antara 28 C hingga 30 C, dan di stasiun III antara 30 C hingga 31 C. Rentan suhu yang tidak terlalu besar selama pengamatan ini menandakan, suhu perairan di ketiga stasiun tersebut dalam kondisii stabil. Sebaran suhu di stasiun I dan III lebih tinggi dibanding stasiun II, baik pada bulan Mei maupun bulan Juni. Lebih tingginya suhu permukaan di stasiun I, disebabkan penyinaran matahari dan kondisi fisik dari lokasi pengamatan. Sedang tingginya suhu permukaan di stasiun III, diduga karena berada dalam Teluk Youtefa (Kampung Enggros), maka tingginya suhu pada saat pengamatan selain karena penyinaran matahari, disebabkan juga oleh adanya proses dekomposisi bahan organik yang berasal dari daratan dan perkampungan di dalam kawasan tersebut. Kisaran suhu permukaan di ketiga stasiun pengamatan ini masih sesuai untuk pertumbuhan optimal larva ikan bandeng (Leee et al. 1986; Villaluz and Unggai 1983 in Watanabe 1986). Rata-rata sebaran suhu permukaan di ketiga stasiun selama bulan Mei dan Juni dapat dilihat pada Gambar 11. Sebaran Suhu (⁰C) Bulan Mei Bulan Juni 30, , , , ,5 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Lokasi Pengamatan Gambar 11 Sebaran suhu permukaan di ketiga stasiun pengamatan pada bulan Mei dan Juni B. Salinitas Pengukuran salinitas juga dilakukan setiap jam dimulai pukul hingga pukul waktu setempat. Pada minggu ke- 4 bulan Mei 2009, di stasiun I salinitas berkisarr antara 28 hingga 29, stasiun II antara 27 hingga 29, dan stasiun III antara 28 hingga 30. Pada minggu ke- 1 dan minggu ke- 4 bulan Juni 2009, kisaran salinitas di stasiun I antara 29

81 59 hingga 30, di stasiun II antara 27 hingga 29, dan stasiun III antara 29 hingga 30. Rentan salinitas yang tidak terlalu besar ini juga menandakan kondisi salinitass di ketiga stasiun pengamatan stabil. Larva ikan bandeng pada umur 7 hingga 14 hari dengan ukuran tubuh antara 10 mm hingga 20 mmm dapat mentoleril salinitas 25 hingga 35 (Watanabe 1986; Lin et al. 2003). Dikatakan oleh Kinne (1963); Nybakken (1986), fluktuasi salinitas di perairan pantai sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar (sungai dan curah hujan) ), pola sirkulasi air laut, dan penguapan. Padaa tampilan Gambar 12, rata-rata sebaran salinitas di stasiun I dan III lebih tinggi dibanding stasiun II, baik pada bulan Mei maupun bulan Juni. Hal ini, selain disebabkan oleh penguapan akibat penyinarann matahari, stasiun III juga tidak dipengaruhi oleh suplai air tawar. Pada stasiun I, meski berada di depan mulut muara sungai Kali Buayaa akan tetapi karena padaa waktu pengamatan adalah musim kemarau dan sedang dilakukan perbaikan jaringan irigasi bendungan Muaratami, maka debit air sungai dikurangi. Di stasiun II, sebaran salinitas lebih rendah karena selain kondisi fisik stasiun, debit air tawar dari sungai kecil di dekat lokasi tersebutpun cukup stabil. Bulan Mei Bulan Juni 29,5 Sebaran Salinitas ( ) 29 28, ,5 27 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Lokasi Pengamatan Gambar 12 Sebaran salinitas di ketiga stasiun pengamatan pada bulan Mei dan Juni Arah Arus serta Arah dan Kecepatan Angin Dikatan oleh Nontji (1986), angin sangat menentukann terjadinya gelombang dan arus permukaan. Pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin musim (musoon). Pada bulan Maret hingga Mei, dikenal sebagai musimm peralihan atau pancaroba awal tahun. Arah angin berubah-ubah walaupun masih didominasi

82 60 dari arah Timur Laut dan kekuatannyapun sudah melemah sehingga lautpun cenderung tenang. Bulan Juni hingga bulan Agustus merupakan musim timur. Anginpun umumnya bertiup dari arah Timur Laut dengan kecepatan 3 hingga 6 m/detik (Dishidros 2000). Informasi arah arus serta arah dan kecepatan angin dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Provinsi Papua, Kantor Cabang Kota Jayapura, dapat dilhat pada Tabel 18. Tabel 18 Data arus serta arah dan kecepatan angin selama waktu pengamatan Wanktu pengamatan Arah arus Arah angin Rata-rata kecepatan angin (m/detik) Minggu ke-4, Mei, Mei-09 Timur Laut Timur Mei-09 Timur Laut Timur Mei-09 Utara Timur Laut Mei-09 Utara Timur Laut Mei-09 Barat Laut Utara Mei-09 Barat Laut Utara Mei-09 Utara Timur Laut 6.7 Minggu ke-1, Juni, Jun-09 Utara Timur laut Jun-09 Timur Laut Timur Jun-09 Utara Timur Laut Jun-09 Barat Laut Timur Laut Jun-09 Utara Timur Laut 6.0 Minggu ke-4, Juni, Jun-09 Utara Timur Laut Jun-09 Barat Laut Timur Laut Jun-09 Utara Timur Laut Jun-09 Timur Laut Timur Laut Jun-09 Timur Laut Timur 5.4 Minggu ke-1, Juli, Jul-09 Timur Laut Timur Jul-09 Barat Laut Utara Jul-09 Barat Barat Laut Jul-09 Utara Timur Laut Jul-09 Utara Timur Laut Jul-09 Timur Laut Timur Laut 4.8 Sumber : BMG Prov.Papua, Ktr. Cab.Jpr., (2009) Fitoplankton Pengambilan contoh air untuk analisis kelimpahan fitoplankton di stasiun I dan III dilakukan 2 (dua) kali, yaitu tanggal 25 Mei dan 25 Juni Di stasiun II pengambilan dilakukan 4 (empat) kali, yaitu tanggal 25 dan 27 Mei serta tanggal 25 dan 29 Juni Perlakuan di stasiun II yang berbeda dari stasiun I dan III ini disebabkan, pada tanggal 27 Mei dan 29 Juni 2009 jumlah tangkapan

83 61 larva ikan bandeng lebih banyak dari hari sebelumnya. Tujuan dari perlakuan tersebut hanya dimaksudkan untuk melihat adakah perbedaan kelimpahan jenis dan jumlah fitoplankton dari tanggal pengamatan sebelumnya. Kennish (1990) menyatakan bahwa, fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae (diatom), Dinophyceae (dinoflagellata) Prymnesiophyceae (cocolithopor), Chrysophyceae (silicoflagellata). dan Cyanophyceae (blue-green algae) adalah taksa utama dari produser planktonik di laut. Pada pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009, kelimpahan fitoplankton di ketiga stasin pengamatan terdiri atas kelas Bacillariophyceae. Sedang pada pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni 2009, jenis fitoplanton terdiri atas kelas Bacillariophyceae, Cyanophyceae, dan Dinophyceae. Jenis dan kelimpahan fitoplankton di masing-masing stasiun pada setiap waktu pengamatan cukup fluktuatif. Menurut Davis (1955), dalam suatu penelitian sering dijumpai perbedaan jenis maupun jumlah fitoplankton pada daerah yang berdekatan meskipun berasal dari massa air yang sama. Hal ini dipengaruhi angin, proses up welling, unsur hara, serta aktivitas pemangsaan. Pada pengamatan tanggal 25 Mei, kelimpahan di stasiun II (IIa) lebih tinggi daripada stasiun I dan III. Dari sisi keanekaragaman jenis, kestabilan komunitas di ketiga stasiun tersebut rendah. Penyebaran individu antara jenis di ketiga stasiun tidak merata karena didominasi oleh jenis tertentu. Menurut Arinardi et al. (1995), suatu jenis plankton dikatakan pendominan ababila memiliki komposisi jenis 10% dari total komposisi jenis yang ditemukan pada masingmasing stasiun pengamatan. Di stasiun I dan III didominasi oleh Chaetoceros sp., sedang di stasiun IIa oleh Chaetoceros sp. dan Bacteriastrum sp.. Pada pengamatan tanggal 27 Mei yang hanya dilakukan di stasiun II (IIb), nilai kelimpahan lebih tinggi dari tanggal 25 Mei, tetapi keanekaragaman dan kestabilan komunitasnya rendah dengan sebaran individu yang tidak merata dan lebih didominasi oleh jenis Chaetoceros sp. (Tabel 19, Gambar 13, Lampiran 3). Pada pengamatan tanggal 25 Juni, kelimpahan fitoplankton di stasiun III lebih tinggi dari pada stasiun I dan II (IIa). Dari sisi keanekaragaman jenis kestabilan komunitas di ketiga stasiun tersebut rendah. Penyebaran individu antara jenis di stasiun I dan IIa cukup merata, dimana komunitas fitoplankton di kedua stasiun

84 62 tersebut cukup beragam. Meskipun demikian, dari nilai indeks dominasi yang dihasilkan terlihat bahwa komunitas fitoplankton di stasiun I lebih di dominasi oleh Trichodesmium sp., Chaetoceros sp. dan Nodularia sp.. Di stasiun III, penyebaran invidu antar jenis tidak merata dan komunitas fitoplankton di stasiun tersebut lebih didominasi oleh Trichodesmium sp. dan Chaetoceros sp.. Pada pengamatan tanggal 29 Juni yang hanya dilakukan di stasiun II (IIb), nilai kelimpahannya lebih tinggi dari tanggal 25 Juni. Keanekaragaman dan kestabilan komunitas juga rendah dengan sebaran individu yang cukup merata, tetapi lebih didominasi oleh jenis Chaetoceros sp. dan Trichodesmium sp.. (Tabel 19, Gambar 14, dan Lampiran 4). Selanjutnya, jenis fitoplankton, kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi jenis di ketiga stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil analisis fitoplankton di ketiga stasiun pengamatan Jenis 25 Mei 27 Mei 25 Juni 29 Juni Fitoplankton I IIa III IIb I IIa III IIb Bacillariaophyceae Rhizosolenia sp Nitzschia sp Triceratium sp Chaetoceros sp Pleurosigma sp Coscinodiscus sp Diploneis sp Hemiaulus sp Streptotheca sp Guinardia sp Biddulphia sp Novicula sp Camphylodiscus sp Climacodium sp Leptocylindus sp Bacteriastrum sp Lauderia sp Melosira sp Thalassiothrix sp Eucampia sp Cyanophcea Trichodesmium sp Nodularia sp Dinophyceae Ceratium sp Peridinium sp Taxa Kelimpahan ( H' ) 0,70 0,68 0,00 0,05 1,63 1,49 0, ( E ) 0,34 0,38 0,00 0,02 0,66 0,65 0, (C) 0,70 0,67 1 0,99 0,31 0,32 0,

85 63 Komposisi setiap jenis fitoplankton dalam persen untuk hasil pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009, dapat dilihat pada Gambar St. I Komposisi Jenis (%) 1.78 Chaetoceros sp 0.59 Bacteriastrum sp Thalassiothrix sp Eucampia sp Nitzschia Sp Novicula sp Rhizosolenia sp Coscinodiscuss sp Komposisi Jenis (%) Chaetoceros sp Bacteriastrum sp Nitzschia Sp St. IIa Komposisi Jenis (%) Chaetocero Komposisi Jenis (%) Chaetoceros sp Bacteriastrum sp Eucampia sp 100 St. III St. IIb Rhizosolenia sp Coscinodiscus sp Gambar 13 Komposisi tanggal 25 jenis fitoplankton (%) di ketiga stasiun pengamatan pada dan 27 Mei 2009 Dominasi klas Bacillariophyceae dalam komposisi jenis fitoplankton di ketiga stasiun pengamatan berkaitan dengan ketersediaan unsur hara. Dikatakan oleh Levinton (1982) in Madubun (2008), jenis fitoplankton dari klas ini sangat mendominasi perairan pesisir karena kawasan ini sangat kaya akan nutrient. Terutama kawasan pesisir yang mendapatkann suplai air tawar atau memiliki ekosistem mangrove. Garno (2002) menyatakan bahwa, bila jenis fitoplankton beragam dan kepadatan yang tinggi zooplankton akan melakukan pemilihan makanan ( selective feeding). Ditemukannya jenis Chaetoceros sp. Dan Bacteriastrum sp. sebagai jenis pendominan, karena kedua jenis fitoplankton ini merupakan jenis yang mampu memanfaatkan nutrient secara optimal serta mampu beradaptasi terhadap kondisi fisik kimia perairan yang ada. Disamping itu bila dilihat dari selektivitass makan zooplankton, jenis ini kurang disukai karena memiliki setae pada keempat sudut tubuhnya (Goldman and Horne 1983). Komposisi dari setiap jenis fitoplankton hasil pengamatan pada tanggal 25 dan 29 Juni 2009, dapat dilihat pada Gambar 14.

86 Komposisi Jenis (%) Bacillariaophyceae Rhizosolenia sp Nitzschia Sp Chaetoceros sp 2.31 Coscinodiscus sp 0.58 Biddulphia sp Climacodium sp Leptocylindus sp 2.89 Bacteriastrum sp 2.31 Cyanophycea Trichodesmium sp 1.16 Nodulariaa sp St. I Dinophyceae Ceratium sp Peridinium sp Komposisi Jenis (%) Bacillariaophyceae Rhizosolenia sp Nitzschia Sp Chaetoceros sp 4.54 Pleurosigma sp Coscinodiscus sp Novicula sp Camphylodiscus sp Cyanophycea Trichodesmium sp Dinophyceae 1.13 St. IIa Ceratium sp 1.13 Peridinium sp ,11 Komposisi Jenis (%) Bacillariaophyce ae Rhizosolenia sp Nitzschia Sp Triceratium sp Chaetoceros sp St. III Pleurosigma sp Coscinodiscus sp 1.31 Komposisi Jenis (%) Bacillariaophyce ae Rhizosolenia sp Triceratium sp Chaetoceros sp Pleurosigma sp Coscinodiscus sp St. IIb Streptotheca sp Biddulphia sp Novicula sp Gambar 14 Komposisi tanggal 25 jenis (%) fitoplankton di ketiga stasiun pengamatan pada dan 29 Juni 2009

87 Sumberdaya Larva Ikan Bandeng. Waktu kemunculan larva untuk periode I tahun 2009, telah bergeser dari bulan April ke Bulan Mei. Kondisi ini diduga disebabkan perubahan iklim dan musim kemarau yang lebih cepat. Musim kemarau di Kota Jayapura yang biasanya berlangsung pada bulan Mei, pada tahun 2009 ini terjadi lebih awal yaitu pada bulan Maret. Dikatakan oleh Lawalata (1977) in Budiono et al. (1984), bila terjadi kenaikan atau penurunan suhu dari biasanya, maka akan berdampak pada diperlambat atau dipercepatnya waktu pemijahan. A. Jumlah dan Kelimpahan Larva Ikan Bandeng Hari sampling larva ikan bandeng pada minggu ke- 4 bulan Mei sebanyak 7 hari (tanggal Mei). Rata-rata jumlah tangkapan per hari di stasiun I sebanyak 420 ekor, stasiun II sebanyak ekor, dan stasiun III sebanyak 372 ekor. Hari sampling pada minggu ke- 1 bulan Juni sebanyak 5 hari (tanggal 1 5 Juni). Rata-rata jumlah tangkapan per hari di stasiun I sebanyak 452 ekor, stasiun II sebanyak 969 ekor, dan stasiun III sebanyak 364 ekor. Hari sampling pada minggu ke- 4 bulan Juni sebanyak 5 hari (tanggal Juni). Di stasiun I tidak ditemukan adanya larva, stasiun II rata-rata tangkapan sebanyak 922 ekor, dan stasiun III sebanyak 199 ekor. Hari sampling pada minggu ke- 1 bulan Juli sebanyak 6 hari (tanggal 1-7 Juli). Di stasiun I juga tidak ditemukan adanya larva, stasiun II rata-rata tangkapan sebanyak 662 ekor, dan stasiun III sebanyak 242 ekor. Tidak ditemukannya larva ikan bandeng di stasiun I pada minggu ke- 4 bulan Juni dan minggu ke- 1 bulan Juli, karena kedua minggu pengamatan ini berada pada satu siklus pasang surut yang sama dan kedua minggu ini telah berada pada pertengahan musim timur dimana kecepatan angin pun cenderung lebih lemah dari dua minggu pengamatan sebelumnya. Dengan kondisi kecepatan angin seperti pada Tabel 18, maka arus yang datang terhalang Tanjung Kasu dan pulau karang di depan stasiun II dan III untuk selanjutnya dibelokkan masuk ke dua stasiun tersebut. Hal ini didasarkan pada kondisi perairan stasiun I yang sangat jernih dan tenang menandakan tidak adanya mixing dibanding stasiun II yang sedikit keruh. Kondisi fisik stasiun pengamatan, arah pergerakan arus dan angin, serta ukuran panjang

88 66 tubuh larva terkait umur larva menyebabkan pada seluruh waktu pengamatan, jumlah tangkapan, kelimpahan individu dan biomassa larva ikan bandeng di stasiun II lebih tinggi daripada stasiun I dan III. Selanjutnya data jumlah tangkapan dan kelimpahan individu larva ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Jumlah tangkapan dan kelimpahan individu larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan Stasiun Ttl. Tkpn (ekor) Tangkapan (ekor/hari) Kelimpahan (ekr/m 2 /hari) Hasil sampling pada minggu ke- 4 bulan Mei 2009 I II III Hasil sampling pada minggu ke- 1 bulan Juni 2009 I II III Hasil sampling pada minggu ke- 4 bulan Juni 2009 II III Hasil sampling pada minggu ke- 1 bulan Juli 2009 II III Pada Tabel 20, terlihat bahwa meski jumlah tangkapan di stasiun I lebih tinggi dari stasiun III, namun dari sisi kelimpahan individu lebih rendah. Hal ini disebabkan jarak sapuan stasiun III lebih pendek sehingga luas alur sapuannyapun lebih sempit. Bila data hasil tangkapan dihubungkan dengan informasi responden tentang hasil tangkapan per orang per hari pada setiap musim kelimpahan antara tahun 1993 hingga tahun 2004 (perumusan masalah), maka hasil tangkapan telah sangat berkurang. Jumlah tangkapan per orang per hari dalam penelitian ini berkisar antara 32 hingga 99 ekor, dengan kelimpahan individu bervariasi antara 1 hingga 10 ekor/m 2 /hari (Lampiran 5,6, dan 7). Dikatakan oleh Lin (1985) in Lee et al. (1986), pada kondisi perairan yang stabil, kelimpahan larva ini di alam berkisar antara 20 hingga 42

89 67 ekor/m 2 /hari. Menurut Tzeng and Yu (1992), kelimpahan larva ikan bandeng di alam sangat bergantung pada rektuitmen alami. Jumlah rekruitmen alami ikan menurut ICES (2008), sangat ditentukan oleh jumlah stok pemijah (spawning stoch biomass/ssb) yang memadai. Berkurangnya stok pemijah disebabkan oleh penurunan kualitas habitat asuhan yang berdampak pada meningkatnya kematian alami pada tingkat larva dan juvenil, akitivitas pemanfaatan yang berlebihan, serta penurunan kualitas habitat pemijahan. Dengan adanya konversi mangrove yang berlebihan di kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp serta meningkatnya sedimentasi di Teluk Youtefa berdampak pada penurunan fungsi ekologis kedua kawasan ini terutama Teluk Youtefa. Ketika dilakukan sampling di stasiun III, jumlah larva yang mati alami ± 60% dari jumlah yang tertangkap. Tingginya kematian alami larva ini diduga disebabkan larva yang telah kehilangan banyak energi untuk bergerak dan tetap bertahan terhadap arus, ketika memasuki stasiun III dalam kondisi tubuh kekurangan energi tidak mampu melakukan penyesuaian terhadap perubahan kondisi air yang terlalu dratis. Pemboman ikan, marak dilakukan di perairan sekitar Kampung Holtekamp, termasuk ekosistem terumbu karang di sekitar kawasan tersebut. Aktivitas ini selain merusak habitat pemijahan, berdampak pula pada terganggunya aktivitas pemijahan dan kematian larva ikan. Diinformasi oleh petambak di Kampung Holtekamp, hasil tangkapan larva ini sangat melimpah antara tahun 1993 hingga 2002 sehingga tidak mampu ditampung oleh mereka. Kelebihan benih alam ini kemudian dikirim ke Makasar untuk memenuhi kebutuhan petambak di sana. Dikatakan oleh ICES (2008), untuk mempertahankan suatu stok pada tingkat yang produktif diperlukan jumlah stok pemijah dalam jumlah yang cukup dan lingkungan yang sangat cocok agar setiap tahap dalam daur hidupnya dapat dilewati dengan baik. Ketidak pedulian terhadap hal ini akan mengakibatkan berkurangnya stok suatu sumberdaya sehingga menjurus ke penurunan hasil tangkapan dan berdampak pula pada penurunan keuntungan ekonomi yang optimal. Selanjutnya dinamika jumlah dan kelimpahan

90 68 individu larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan pada seluruh tanggal pengamatan, dapat dilihat pada Gambar 15, 16 dan 17. Kelimpahan (ind/m 2 ) Kelim pahan Jum lah nener 24 Mei 25 Mei 26 Mei 27 Mei 28 Mei 29 Mei 30 Mei 31 Mei 1 Juni 2 Juni 3 Juni 4 Juni 5 Juni Tanggal Sam pling 25 Juni 26 Juni 27 Juni 29 Juni 30 Juni 1 Juli 3 Juli 4 Juli 5 Juli 6 Juli 7 Juli Gambar 15 Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di stasiun I Jumlah nener (individu) 14 Kelim pahan Jumlah nener 2000 Kelimpahan (ind/m 2 ) Juni 24 Mei 25 Mei 26 Mei 27 Mei 28 Mei 29 Mei 30 Mei 31 Mei 1 Juni 2 Juni 4 Juni 5 Juni Tanggal Sampling 25 Juni 26 Juni 27 Juni 29 Juni 30 Juni 1 Juli 3 Juli 4 Juli 5 Juli 6 Juli 7 Juli Gambar 16 Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di stasiun II Jumlah nener (individu) 14 Kelim pahan Jumlah nener 2000 Kelimpahan (ind/m 2 ) Juni 24 Mei 25 Mei 26 Mei 27 Mei 28 Mei 29 Mei 30 Mei 31 Mei 1 Juni 2 Juni 4 Juni 5 Juni Tanggal Sampling 25 Juni 26 Juni 27 Juni 29 Juni 30 Juni 1 Juli 3 Juli 4 Juli 5 Juli 6 Juli 7 Juli Gambar 17 Dinamika jumlah dan kelimpahan larva ikan bandeng di stasiun III Jumlah nener (individu)

91 69 Gambar 15, 16, dan 17, menunjukkan pola distribusi larva pada minggu ke- 4 bulan Mei ( tanggal 24-30) hingga minggu ke- 1 bulan Juni 2009 (tanggal 1-5) dan minggu ke- 4 bulan Juni (tanggal 24-30) hingga minggu ke- 1 bulan Juli 2009 (tanggal 1-7) cenderung sama. Hal ini disebabkan minggu ke- 4 bulan Mei dan minggu ke- 1 bulan Juni berada pada siklus pasang surut dan musim yang sama, sehingga pola pergerakan arus dan arah serta kecepatan angin nya pun cenderung sama (Tabel 18). Demikian juga dengan minggu ke- 4 bulan Juni dan minggu ke- 1 bulan Juli. Pada Gambar 15 terlihat juga bahwa, di stasiun I tidak ada data untuk tanggal 28 Mei Hal ini disebabkan pada tanggal tersebut terjadi banjir dari Kali Buaya akibat buangan jaringan irigasi Muaratami. Salinitas yang terukur pada saat itu adalah 23 dan suhu yang terukur adalah 25 C, kondisi air sangat keruh. Dikatakan oleh Lee et al. (1986), sebagai iktioplankton, larva ikan bandeng akan menghindari arus yang kuat dan air berlumpur. Bila ketiga gambar tersebut diperbandingkan, tampak juga bahwa waktu kelimpahan maksimum dan minimum (tanggal) antara stasiun II dan III menunjukkan pola yang sama, meski berbeda dalam jumlah tangkapan. Hal ini juga terkait pola pergerakan arus serta arah dan kecepatan angin, kondisi fisik stasiun pengamatan, serta ditunjang pula oleh tingginya kematian alami larva tersebut di stasiun III. Berpengaruhnya faktor arus dan angin terhadap distribusi larva ini selain didasarkan pada informasi data arus dan angin (Tabel 18), didasarkan juga pada kisaran rata-rata ukuran panjang tubuh larva di ketiga stasiun tersebut (Lampiran 5,6, dan 7). Menurut Lee et al. (1986) dan Nontji (1986), pada ukuran panjang tubuh antara 10 hingga 16 mm, larva ikan bandeng berada dalam fase akhir larva dan masih bersifat planktonis sehingga pergerakan lebih banyak ditentukan arus. B. Panjang Tubuh, Biomassa, dan Faktor Kondisi Larva Ikan Bandeng Hasil pengukuran panjang tubuh larva ikan bandeng per hari tangkap selama seluruh waktu pengamatan menunjukkan, pangang tubuh larva di stasiun III lebih tinggi dari stasiun I dan II. Umumnya larva yang ditemukan, ukuran tubuhnya berkisar antara 12 mm hingga 15 mm. Untuk berat tubuh larva,

92 70 stasiun II lebih tinggi dari stasiun I dan III. Ukuran berat tubuh larva per ekor berkisar antara hingga Hasil analisis hubungan panjang berat larva yang dilakukan sebagai masukan untuk analisis faktor kondisi, menunjukkan nilai koefisien pertumbuhan (koefisien b) sebesar Karena koefisien b 3, maka disimpulkan pola pertumbuhan larva ini adalah allometrik, dimana pertambahan panjang tubuh lebih cepat daripada pertambahan berat tubuh. Pada pertumbuhan allometrik, faktor kondisi ikan lebih banyak dipengaruhi oleh pertambahan panjang tubuh ikan (Effendi 1997). Kisaran ukuran rata-rata panjang tubuh, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 21. Stasiun Tabel 21 Kisaran rata-rata panjang tubuh, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan Rata-rata panjang tubuh (mm/ekr) Rata-rata berat tubuh (gr/ekor) Biomassa larva (gr/m 2 /ekor) Faktor kondisi Hasil sampling pada minggu ke- 4 bulan Mei I II III Hasil sampling pada minggu ke- 1 bulan Juni I II III Hasil sampling pada minggu ke- 4 bulan Juni II III Hasil sampling pada minggu ke- 1 bulan Juli II III Menurut Lee et al. (1986), pertambahan panjang tubuh larva ikan bandeng dipengaruhi oleh umur dan keadaan biofisik lingkungan tempat hidup (suhu, salinitas, dan ketersediaan makanan). Keadaan biofisik lingkungan juga sangat berperan dalam peningkatan biomassa dan faktor kondisi. Untuk melihat apakah faktor kondisi dan biomassa larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan berkorelasi dengan ukuran panjang tubuhnya, maka dilakukan tabulasi data panjang rata-rata tubuh larva ikan bandeng dengan biomassa dan faktor kondisinya seperti pada Gambar 18, 19 dan 20.

93 71 20 Panjang rata-rata Faktor kondisi Biom assa 2,0 0,04 Panjang rata-rata (mm) Mei 25 M ei 26 Mei 27 Mei 28 Mei 29 Mei 30 M ei 31 Mei 1 Juni 2 Juni 3 Juni 4 Juni 5 Juni Tanggal Sampling 25 Juni 26 Juni 27 Juni 29 Juni 30 Juni 1 Juli 3 Juli 4 Juli 5 Juli 6 Juli 7 Juli Gambar 18 Dinamika panjang rata-rata, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng di stasiun I 1,5 1,0 0,5 0,0 Faktor kondisi 0,03 0,02 0,01 0,00 Biomassa (gram / m 2 ) 20 Panjang rata-rata Faktor kondisi Biom assa 2,0 0,10 Panjang rata-rata (mm) Mei 25 Mei 26 M ei 27 Mei 28 Mei 29 Mei 30 Mei 31 Mei 1 Juni 2 Juni 3 Juni 4 Juni 5 Juni Tanggal Sam pling 25 Juni 26 Juni 27 Juni 29 Juni 30 Juni 1 Juli 3 Juli 4 Juli 5 Juli 6 Juli 7 Juli Gambar 19 Dinamika panjang rata-rata, biomassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng di stasiun II 1,5 1,0 0,5 0,0 Faktor kondisi 0,08 0,06 0,04 0,02 0,00 Biomassa (gram / m 2 ) 20 Panjang rata-rata Faktor kondisi Biom assa 2,0 0,10 Panjang rata-rata (mm) Mei 25 M ei 26 Mei 27 Mei 28 Mei 29 M ei 30 Mei 31 Mei 1 Juni 2 Juni 3 Juni 4 Juni 5 Juni Tanggal Sam pling 25 Juni 26 Juni 27 Juni 29 Juni 30 Juni 1 Juli 3 Juli 4 Juli 5 Juli 6 Juli 7 Juli Gambar 20 Dinamika panjang rata-rata, bimassa, dan faktor kondisi larva ikan bandeng di stasiun III 1,5 1,0 0,5 0,0 Faktor kondisi 0,08 0,06 0,04 0,02 0,00 Biomassa (gram / m 2 )

94 72 Pada Gambar 18, 19, dan 20, terlihat bahwa faktor kondisi larva tidak selalu mengikuti ukuran panjang tubuhnya. Pada ketiga gambar tersebut, terlihat juga bahwa meski ukuran rata-rata panjang tubuh larva di ketiga stasiun relatif sama, namun berbeda dalam nilai faktor kondisi. Larva ikan bandeng di stasiun III memiliki ukuran tubuh yang lebih panjang dari larva di stasiun I dan II, tetapi nilai faktor kondisinya cenderung lebih kecil. Hal ini disebabkan 2 (dua) hal. Pertama, jarak yang ditempuh untuk sampai ke stasiun III lebih jauh disamping arus di sekitar selat Tobati juga cukup kuat, sehingga sebagian energi terkuras untuk bergerak serta untuk tetap bertahan terhadap kekuatan arus. Kedua, karena larva tersebut langsung ditangkap sebelum melakukan aktivitas makan. Untuk stasiun I dan II, juga disebabkan 2 (dua) hal. Pertama, karena belum sempat melakukan aktivitas makan ketika ditangkap. Kedua, larva tersebut telah mengeluarkan isi saluran pencernaannya ketika ditangkap akibat stres sehingga mempengaruhi biomassa dan nilai faktor kondisi. Bila nilai biomassa dan berat tubuh larva pada pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei serta 25 dan 29 Juni pada ketiga gambar dihubungkan dengan kelimpahan fitoplankton (Tabel 19 serta Gambar 13 dan 14), maka dapat dikatakan bahwa stasiun II lebih produktif dibanding stasiun I dan III. Biomassa dan berat tubuh larva ikan bandeng di stasiun II lebih tinggi dari stasiun I dan III. Kondisi ini juga terkait dengan karakteristik fisik stasiun II, arah arus, serta arah dan kecepatan angin. Menurut Santiago et al. (1983), peningkatan biomassa larva ditentukan oleh tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan, dimana tinggi rendahnya kelangsungan hidup atau laju pertumbuhan bergantung pada kelayakan habitat serta keserasian sediaan makanan alami. Ditambahkan oleh Wahbah et al. (2001) bahwa, aliran arus yang terhalang dapat menimbulkan pola arus yang berlawanan dan menjadi perangkap bagi keberadaan makan ikan di laut Jenis Makanan Utama Luckstadt and Reiti (2002), menemukan fitoplankton yang mendominasi isi perut juvenil milkfish yang diambil dari perairan lagoons payau di Tarawa Selatan Kiribati terdiri atas jenis algae hijau yaitu, Chlorophycea dan Cyanophyta.

95 73 Kedua jenis fitoplankton ini mencapai 60% dari total isi saluran pencernaan, baik pada siang maupun malam hari. Sedangkan Diatome, Copepoda, Phylopod dan Nupli hanya merupakan bagian kecil dari isi perut mereka. Tampi (1957) in Supriharyono (1987), menemukan Chroococus sp., Pleurosigma sp. dan Diploneis sp. dalam saluran pencernaan larva ikan bandeng dari perairan payau di Philipina. Supriharyono (1987), menemukan fitoplankton yang menjadi makanan utama larva ikan bandeng di perairan laut Kecamatan Sluke, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah terdiri atas, Nitzschia sp., Pleurosigma sp., Diploneis sp., Ceratium sp. dan Peridinium sp.. Anggoro (1984), menemukan jenis makan alami dalam saluran pencernaan larva ini yang sama dengan jenis yang ada di perairan Sluke, terdiri atas; (1) Navicula sp., Nitzschia sp., Rhizosolenia sp. dan Pleurosigma sp. dari kelompok alga kersik dan (2) Chroococcus sp., Lyngbya sp., Oscillatoria sp., Phormidium sp. dan Spirulina sp. dari kelompok alga biru. Tang and Hwang (1972) in Anggoro (1984) menyatakan bahwa, sitoplasma alga kersik lebih mudah diserap oleh usus larva ikan bandeng dibanding alga biru. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Poernomo (1979) dan Sachlan (1980), bahwa alga kersik walaupun berdinding keras tetapi sitoplasmanya lebih mudah diserap usus larva ikan dibanding alga biru. Anggoro (1984), menemukan kelompok alga kersik mendominasi 40% isi saluran pencernaan dan kelompok alga biru mendominasi 60% saluran pencernaan larva ikan bandeng. Ini berarti bahwa, larva tersebut tidak selektif dalam memanfaatkan makanan alami yang tersedia. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa sebagian dari jenis fitoplankton yang ditemukan di ketiga stasiun pengamatan merupakan makan utama larva ikan bandeng di perairan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp. Jenis tersebut antara lain; (1) Nitzschia sp., Pleurosigma sp. dan Diploneis sp. dari klas Bacillariophyceae serta (2) Ceratium sp. dan Peridinium sp.. dari klas Dinophyceae. Namun demikian, bisa saja jenis fitoplanton lain yang ditemukan di kedua kawasan perairan ini dimanfaatkan juga oleh larva tersebut mengingat pola makannya yang tidak selektif dalam pemilihan makanan.

96 74 Tang and Hwang (1972) in Anggoro (1984) menyatakan bahwa, sitoplasma dari alga kersik selain lebih mudah diserap usus larva ikan bandeng, jenis alga ini ternyata memiliki rasio nutrisi sebesar 1 : 1.54, dan skor peran bagi pertumbuhan sebesar 4. Rasio nutrisi dan skor peran terhadap pertumbuhan ini lebih tinggi dari jenis alga biru. Berdasarkan pernyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa, ada korelasi antara jumlah kelimpahan jenis fitoplankton ini dengan biomassa dan faktor kondisi larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan. Bila diperhatikan hasil sampling plankton pada tanggal 25 dan 27 bulan Mei serta tanggal 25 dan 29 Juni di stasiun II, kelimpahan jenis Nitzschia sp., Diploneis sp., Pleurosigma sp., Ceratium sp., dan Peridinium sp. cukup tinggi demikian juga dengan biomassa dan faktor kondisi larva pada tanggal pengamatan tersebut (Gambar 18, 19, dan 20). Empat dari lima jenis fitoplankton yang menjadi makanan utama larva ikan bandeng di perairan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp, dapat dilihat pada Gambar 21. Nitzschia sp. Pleurosigma sp. Ceratium sp. Diploneis sp. Gambar 21 Empat dari lima jenis makananan larva ikan bandeng di perairan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp (Sumber : Hubungan antara Biomassa, Faktor Kondisi, dan Fitoplankton dengan Parameter Suhu dan Salinitas Menurut Lee et al. (1986), suhu, salinitas, dan densitas fitoplankton merupakan sebagian dari faktor yang menentukan sintasan larva ikan bandeng. Ditambahkan oleh Nybakken (1992) dan Basmi (1999), distribusi fitoplankton berkaitan erat dengan suhu dan salinitas perairan. Santiago et al. (1983) menyatakan bahwa, ketersediaan fitoplankton sangat menentukan peningkatan biomassa larva ikan dan peningkatan ini bergantung pada kelayakan habitat. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dilakukan Analisis Komponen Utama (AKU) untuk melihat hubungan antara biomassa, faktor kondisi, dan kelimpahan

97 75 fitoplankton serta keterkaitan ketiganya dengan parameter suhu dan salinitas di ketiga stasiun pengamatan. Keseluruhan nilai yang diperhitungkan dalam analisis ini adalah nilai yang terukur pada tanggal 25 dan tanggal 27 Mei serta tanggal 25 dan tanggal 29 Juni Nilai parameter suhu dan salinitas merupakan nilai rata-rata, nilai kelimpahan fitoplankton adalah nilai total kelimpahan (ind/m 3 ), nilai kelimpahan larva ikan bandeng adalah kelimpahan dalam biomassa (gr/m 2 ) dan faktor kondisi larva. Berdasarkan output Komponen Utama dari nilai-nilai yang diperhitungkan pada variable yang terukur pada tanggal 25 Mei 2009 dan tanggal 27 Mei 2009, maka komponen yang digunakan sebanyak dua komponen, yaitu Komponen Utama 1 dan Komponen Utama 2. Keputusan pengambilan kedua komponen ini dilihat dari nilai eigen (akar ciri) yang lebih dari 1. Hasil analisis Komponen Utama terhadap hubungan antara variabel yang diperbandingkan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua Komponen Utama untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009 Eigen Analisis Komponen Utama 1 2 Nilai Eigen (akar ciri) Ragam Kumulatif Total keragaman yang mampu dijelaskan oleh Komponen Utama 1 dan Komponen Utama 2, adalah 95.8%. Keragaman yang mampu dijelaskan oleh Komponen Utama 1, sebesar 74%, sedang yang mampu di jelaskan oleh Komponen Utama 2, sebesar 21.9%. Keterkaitan hubungan antara variabel pada ketiga stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Korelasi antar variabel pada stasiun I, II, dan III untuk pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009 Variabel Korelasi Terhadap Korelasi Terhadap Komponen Utama 1 Komponen Utama 2 Suhu Salinitas Kelimpahan fitoplankton Biomassa larva ikan Bandeng (gr/m 2 ) Faktor kondisi larva ikan Bandeng

98 76 Hasil analisis untuk variabel yang diperbandingkan dari pengamatan tanggal 25 dan 27 Mei 2009, dapat dilihat pada Gambar 22. Second Component (21.9%) Stasiun I suhu Stasiun III salin itas Stasiun IIa G/m2 faktor_kondisi k elim p ah an Stasiun IIb Fir s t Co mp o n e n t ( 7 4 % ) 2 3 Gambar 22 Hasil analisis AKU untuk tangal 25 dan 27 Mei Pada Gambar 22, terlihat bahwa stasiun II baik pada sampling tanggal 25 Mei maupun tanggal 27 Mei 2007 lebih dekat dengan karakteristik faktor kondisi dan biomassa larva ikan bandeng serta kelimpahan fitoplankton. Karakteristik ini lebih banyak mengarah ke Stasiun IIb (hasil pengamatan tanggal 27 Mei). Korelasi antara ketiga variabel ini sangat erat dan searah (korelasi positif). Ini ditunjukkan oleh sudut yang dibentuk oleh ketiganya yang kurang dari 90 derajat. Stasiun I dan III lebih dicirikan oleh variabel suhu dan salinitas serta keduanyapun memiliki hubungan yang kuat serta berkorelasi positif. Antara dua kelompok faktor tersebut, yaitu; (1) faktor kondisi, biomassa larva ikan bandeng, dan kelimpahan fitoplankton dengan (2) faktor suhu dan salinitas, berlawanan atau tidak searah. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa, meski parameter suhu dan salinitas yang terukur di ketiga stasiun tersebut memiliki nilai yang dapat ditoleransi oleh fitoplankton dan larva ikan bandeng, namun produktivitas stasiun II lebih tinggi daripada stasiun I dan III. Ini menunjukkan juga bahwa, faktor karakteristik fisik stasiun pengamatan serta pergerakan arus dan angin pada waktu pengamatan sangat berperan dalam distribusi dan kelimpahan dari fitoplankton dan larva ikan bandeng. Pada tanggal 25 Juni dan tanggal 29 Mei 2009, komponen yang digunakanpun sebanyak dua komponen, yaitu Komponen Utama 1 dan Komponen Utama 2. Keputusan pengambilan ini juga dilihat dari nilai nilai eigen (akar ciri)

99 77 yang lebih dari 1. Hasil analisis Komponen Utama terhadap hubungan antara variabel yang diperbandingkan dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua Komponen Utama untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni 2009 Eigen Analisis Komponen Utama 1 2 Nilai Eigen (akar ciri) Ragam Kumulatif Total keragaman yang mampu dijelaskan oleh kedua Komponen Utama tersebut adalah, sebesar 94.4%. Keragaman yang mampu dijelaskan oleh Komponen Utama 1, sebesar 72% dan oleh Komponen Utama 2, sebesar 22.4%. Keterkaitan hubungan antara variabel pada ketiga stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Korelasi antar variabel pada stasiun I, II dan III untuk pengamatan tanggal 25 dan 29 Juni 2009 Variabel Korelasi Terhadap Korelasi Terhadap Komponen Utama 1 Komponen Utama 2 Suhu Salinitas Kelimpahan fitoplankton Biomassa larva ikan Bandeng (gr/m 2 ) Faktor kondisi larva ikan Bandeng Hasil analisis untuk variabel yang diperbandingkan dari pengamatan tanggal 25 dan 29 Mei 2009, dapat dilihat pada Gambar Stasiun IIb Second Component salin itas su h u Stasiun I Stasiun III k elimpahan G/m2 faktor_kondisi -1.0 Stasiun IIa Fir s t Co mp o n e n t 1 2 Gambar 23 Hasil analisis AKU untuk tangal 25 dan 29 Juni 2009.

100 78 Hasil analisis pada Gambar 23, menunjukkan juga bahwa stasiun II baik pada pengamatan tanggal 25 Juni maupun 29 Juni 2009, lebih dekat dengan karakteristik faktor kondisi dan biomassa larva ikan bandeng serta kelimpahan fitoplankton. Karakteristik inipun lebih banyak mengarah ke Stasiun IIb (hasil pengamatan tanggal 29 Juni). Korelasi antara ketiga variabelpun sangat erat dan searah (korelasi positif). Stasiun III, lebih dicirikan oleh variabel suhu dan salinitas serta keduanya pun memiliki hubungan yang kuat dan berkorelasi positif. Sedang stasiun I, tidak menunjukkan karakteristik atau hubungan variabel apapun karena pada minggu IV bulan Juni tidak ditemukan adanya larva ikan bandeng, sehingga tidak dilakukan pengukuran parameter suhu, salinitas, dan fitoplankton. Antara dua kelompok faktor tersebut, yaitu; (1) faktor kondisi, biomassa larva ikan bandeng, dan kelimpahan fitoplankton dengan (2) faktor suhu dan salinitas, berlawanan atau tidak searah. Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa, meski parameter suhu dan salinitas yang terukur di kedua stasiun tersebut memiliki nilai yang dapat ditoleransi oleh fitoplankton dan larva ikan bandeng, namun produktivitas stasiun II lebih baik daripada stasiun III. Ini menunjukkan juga bahwa, faktor karakteristik fisik stasiun pengamatan serta pergerakan arus dan angin pada waktu pengamatan sangat berperan dalam distribusi serta kelimpahan fitoplankton dan larva ikan bandeng. 5.2 Keadaan Sosial Ekonomi Karakteristik Responden Masyarakat yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terkait langsung dengan pengelolaan sumberdaya ikan bandeng. Populasi responden terdiri atas, 20 orang pengumpul larva ikan bandeng dan 27 orang petambak ikan bandeng di kampung Holtekamp Kelurahan Muaratami, 15 orang pedagang pengumpul ikan bandeng di Pasar Youtefa Kelurahan Waymhorock, dan 10 orang pengambil kebijakan yang berasal dari instansi teknis lingkup Pemerintah Daerah Kota Jayapura (Kelurahan Entrop dan Kampung Yoka). Responden pengambil kebijakan terbagi atas; (1) Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura sebanyak 4 orang, (2) BAPPEDA Kota Jayapura sebanyak 3 orang, (3) BAPEDALDA Kota Jayapura sebanyak 1 orang dan (4) Dinas Parawisata sebanyak 2 orang.

101 79 A. Responden Pengumpul Larva Ikan Bandeng Pengumpul larva ikan bandeng didominasi oleh ibu rumah tangga dan remaja putri yang merupakan penduduk asli dari suku Sarmi dan suku Waropen (Kabupaten Serui). Dari 20 orang responden pengumpul, 12 orang diantaranya adalah tamatan SD, 5 orang tamatan SMP, dan 3 orang tamatan SMU. Usaha ini telah dilakukan oleh penduduk setempat sejak tahun Jumlah responden pengumpul larva ikan bandeng menurut klasifikasi waktu usaha dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Jumlah responden pengumpul larva ikan bandeng menurut klasifikasi lama usaha No Lama Usaha (thn) Jumlah Responden (org) Persentasi (%) Jumlah Sumber : Data primer (2009) B. Responden Petambak Ikan Bandeng Responden pelaku usaha tambak ikan bandeng seluruhnya merupakan masyarakat pendatang dari suku Bugis dan Makasar. Awalnya, usaha ini dipelopori oleh PT. Hanurata dan diperuntukkan bagi masyarakat pemilik hak ulayat sebagai wujud program Bina Desa. Namun kemudian usaha ini beralih kepemilikan pada padatang dari kedua suku pendatang tersebut. Pelaku usaha tambak ini didominasi oleh laki-laki. Dari 27 orang responden, 11 orang di antaranya adalah tamatan SD, 5 orang tamatan SMP, 8 orang tamatan SMU, dan sarjana 3 orang. Usaha tambak ini telah berlangsung selama 28 tahun, atau tepatnya mulai dilakukan sejak tahun Usaha tambak ini berkembang pesat antara tahun 1993 hingga tahun 2002, karena adanya pasar yang mendukung dan suplai benih yang memadai. Jumlah responden petambak ikan bandeng menurut klasifikasi waktu usaha dapat dilihat pada Tabel 27.

102 80 Tabel 27 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi lama usaha No Lama Usaha (thn) Jumlah Responden (org) Persentasi (%) Jumlah Sumber : Data Primer (2009) C. Responden Pedagang Pengumpul Ikan Bandeng Seluruh responden pedagang pengumpul ikan bandengpun berasal dari suku Bugis dan Makasar. Seluruh responden adalah laki-laki, dengan tingkat pendidikan umumnya adalah tamatan SMP. Dari 15 orang responden, 2 orang di antaranya tamatan SD, tamatan SMP 9 orang, dan 4 orang tamatan SMU. Usaha ini telah berlangsung selama 25 tahun. Jumlah pedagang tersebut meningkat antara tahun 2002 hingga tahun 2008, yaitu 80.00%. Peningkatan jumlah responden ini terkait dengan prospek pasar komuditi ikan bandeng yang sangat bagus. Jumlah responden menurut klasifikasi lamanya usaha dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Jumlah responden pedagang ikan bandeng menurut lama usaha No Lama Usaha (thn) Jumlah Responden (org) Persentasi (%) Jumlah Sumber : Data Primer, (2009) Dinamika Usaha Responden A. Responden Pengumpul Larva Ikan Bandeng (1) Produksi Total hasil tangkap responden setiap musim tangkap saat ini ± ekor larva. Rata-rata setiap responden pada tiap musim tangkap mendapatkan

103 81 larva antara 179 hingga ekor. Jumlah responden menurut klasifikasi rata-rata hasil tangkapan per musim kelimpahan dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Jumlah responden pengumpul menurut klasifikasi rata-rata hasil tangkap per musim tangkap (2) Pendapatan No. Hasil Tangkap (ekr) Jumlah Responden (org) Persentasi (%) Jumlah Sumber: Data primer (2009) Pendapatan rata-rata responden pengumpul ± Rp ,- dengan kisaran pendapatan rata-rata antara Rp hingga Rp setiap musim tangkap. Pendapatan responden pengumpul berbanding lurus dengan produksi karena tidak ada perbedaan harga baik saat kemunculan larva ini melimpah ataupun berkurang. Jumlah responden menurut klasifikasi jumlah pendapatan dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 Jumlah responden pengumpul menurut klaifikasi besarnya pendapatan No Pendapatan (Rp) Jumlah Responden (org) Persentasi (%) Jumlah Sumber : Data primer (2009) B. Responden Petambak Ikan Bandeng (1) Jumlah Luasan Kepemilikan Tambak Jumlah luasan kepemilikan tambak responden berkisar antara 3 sampai 19 hektar, dimana 62.96% dari 27 responden memiliki luasan tambak antara 3

104 82 sampai 5 hektar. Jumlah rensponden menurut klasifikasi kepemilikan luasan tambak dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi kepemilikan luasan tambak No Luasan Tambak (Ha) Jumlah Responden (org) Persentasi (%) Jumlah Sumber : Data primer (2009) (2) Jumlah Luasan Tambak Dikelola per Musim Tanam Umumnya tidak semua luasan tambak yang dimiliki ditebari benih setiap musim tanam. Hal ini selain karena keterbatasan benih, beberapa luasan tambak diperuntukan untuk menunmbuhkan pakan alami. Jumlah luasan dikelola bervariasi antara 2 sampai 8 hektar, dimana 59.26% dari 20 responden memiliki luasan kelola antara 2 hingga 3 hektar. Jumlah responden menurut luasan tambak dikelola dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi luasan tambak yang dikelola per musim tanam No Luasan Tambak (Ha) Jumlah Responden (org) Persentasi (%) Jumlah Sumber : Data primer (2009) (3) Jumlah Kebutuhan Benih per Musim Tanam Total kebutuhan benih responden petambak ± ekor per musim tanam. Kebutuhan benih setiap responden per musim tanam berkisar antara hingga ekor per luasan dikelola. Perbedaan kebutuhan benih ini terkait dengan perbedaan padat tebar per hektar yang diberlakukan oleh

105 83 masing-masing responden, dimana perbedaan padat terbar ini tergantung pada suplai benih yang mampu disiapkan oleh responden yang bersangkutan. Sebagian besar responden membutuhkan benih antara hingga ekor per jumlah luasan tambak dikelola. Jumlah responden menurut klasifikasi kebutuhan benih dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi kebutuhan benih per musim tanam No Kebutuhan Benih (ekr) Jumlah Responden (org) Persentasi (%) Jumlah Sumber : Data primer (2009) (4) Jumlah Produksi Jumlah total produksi tambak dikelola berdasarkan padat tebar yang diberlakukan setiap musim tanam saat ini, sebesar ekor. Dari total produksi tambak dikelola oleh tiap responden, 25% menjadi hak penjaga tambak (bagi hasil). Jumlah responden menurut klasifikasi rata-rata produksi setiap musim tanam untuk luasan yang dikelola setelah dikurangi persentasi bagi hasil dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi hasil produksi per musim tanam No Klas Hsl.Prod. (ekr/musim) Jml.Responden (org) Persentasi (%) Jumlah Sumber : Data primer (2009)

106 84 (5) Jumlah Pendapatan Total pendapatan seluruh petambak setiap musim tanam adalah sebesar Rp ,-, dengan pendapatan rata-rata per musim tanam, sebesar Rp ,-. Jumlah pendapatan setiap responden per musim tanam berkisar antara Rp ,- hingga Rp ,-. Jumlah responden menurut klasifikasi pendapatan setiap musim tanam dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi pendapatan per musim tanam No Klasifikasi pendapatan Jml.Responden Persentasi (Rp./Msm.Tnm)) (org) (%) Jumlah Sumber : Data primer (2009) Pendapatan per bulan responden petambak diperoleh dari total pendapatan setiap responden per musim tanam dibagi dua belas bulan. Berdasarkan hasil pembagian tersebut didapatkan nilai pendapatn rata-rata responden setiap bulan adalah sebesar Rp ,-. Jumlah responden menurut klasifikasi pendapatan per bulan dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36 Jumlah responden petambak menurut klasifikasi pendapatan per bulan No Klasifikasi Pendapatan (Rp./bln) Jml.Responden (org) Persentasi (%) Jumlah Sumber : Data primer (2009)

107 85 C. Responden Pedagang Pengumpul Ikan Bandeng (a) Jumlah Produksi Total ikan bandeng yang mampu disiapkan oleh seluruh pedagang pengumpul ikan bandeng setiap bulan adalah sebanyak, ekor, dimana jumlah yang mampu disiapkan oleh setiap responden bervariasi antara 500 hingga ekor per orang. Jumlah responden pedagang pengumpul ikan bandeng menurut klasifikasi hasil produksi per bulan dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37 Jumlah responden pedagang pengumpul menurut klasifikasi hasil produksi per bulan No Klas Hsl.Prod. (ekr/bln) Jml.Responden (org) Persentasi (%) Jumlah Sumber : Data primer (2009) (b) Jumlah Pendapatan Rata-rata harga jual ikan bandeng oleh responden di Kota Jayapura adalah, sebesar Rp ,-. Berdasarkan data hasil produksi dan harga jual ikan bandeng, maka pendapatan setiap responden ini setiap bulan berkisar antara Rp ,- hingga Rp ,-. dimana kebanyakan responden memperoleh pendapatan per bulan antara Rp ,- hingga Rp ,- per orang. Diketahui bahwa, selain mendapatkan suplai ikan bandeng dari petambak di Kampung Holtekamp, responden ini juga mendatangkan suplai ikan bandeng dari Makasar dan Kalimantan Timur. Tentang harga jual per ekor, tidak ada perbedaan antara ikan bandeng produksi tambak Holtekamp dan kedua daerah penyuplai alternatif tersebut. Jumlah responden menurut klasifikasi jumlah pendapatan per bulan dapat dilihat pada Tabel 38.

108 86 Tabel 38 Jumlah responden pedagang pengumpul ikan bandeng menurut klasifikasi pendapatan No Klas pendapatan (Rp./bln) Jml.Responden (org) Persentasi (%) Jumlah Sumber : Data primer (2009) Alokasi Upaya dan Perilaku Pengumpul Larva Ikan Bandeng Pengalokasian upaya dan perilaku pengumpul larva ikan bandeng, diketahui melalui; (1) tabulasi data nilai indeks musiman bulanan (I j ) dan effort serta (2) tabulasi data hasil tangkap (ekor/hari), kelimpahan larva ikan bandeng (ind./m 2 ), dan RPUE j. Untuk itu, dilakukan perhitungan nilai indeks musiman bulanan (I j ) dalam persen dan analisis prakiraan keuntungan ekonomi (RPUE j ), sebagaimana uraian berikut. A. Indeks Musiman Bulanan (I j ) (%) Data yang digunakan untuk analisis ini adalah data hasil tangkap yang diperoleh pada saat pengamatan (bulan Mei, Juni, dan Juli 2009). Hasil analisis menunjukkan, I j bulan Mei sebesar %, I j bulan Juni sebesar %, dan I j bulan Juli sebesar % (Lampiran 13). Lebih tingginya nilai I j bulan Mei disebabkan, pada bulan tersebut distribusi larva ikan bandeng terjadi bersamaan di ketiga stasiun pengamatan. Disamping itu, minggu ke- 4 bulan Mei adalah awal musim timur. Menurut Nontji (1986) dan Mujiman (1987), musim kelimpahan larva ini di Indonesia terjadi pada awal musim Timur dan awal musim Barat. Ditambahkan oleh Suseno (1984), kelimpahan larva ikan bandeng meningkat pada awal musim Timur dan atau awal musim Barat. Fluktuasi nilai I j tersebut dapat dilihat pada Gambar 24.

109 87 Indeks Musiman Bulanan (%) 800,00 600,00 400,00 200,00 0,00 Mei Juni Juli Gambar 24 Indeks Musiman Bulanan (I j ) (%) selama waktu pengamatan. Untuk mengetahui apakah pengumpul larva ikan bandeng memberikan respon terhadap setiap waktu kelimpahan, maka dilakukan tabulasi data I j dan effort pada diagram bar, seperti pada Gambar 25. Effort Indeks Bulanan Juli Juni Mei 0,00 200, ,00 600,00 800,00 Gambar 25 Indeks Musiman Bulanan (I j ) (%) dan effort. Berdasarkan Gambar 25, maka dapat dikatakan pengumpul selalu memberikan respons terhadap setiap musim kelimpahan, dimana jumlah effort akan meningkat bersamaan dengann peningkatan jumlah larva. Akan tetapi dalam kasus ini tidak semua pengumpul serentak secaraa bersamatangkapan sama melakukan penangkapan. Hal ini disebabkan jumlah hasil yang semakin berkurang saat ini (rata-rata ekor/orang/hari) sedang tenagaa yang dikeluarkan dan kesulitan yang dihadapi dalam penanganan benih sama dengann yang harus dihadapi pada saat kelimpahan. B. Prakiraan Keuntungan Ekonomi (RPUE j ) Menurut Bene and Tewfik (2000), umumnya secara ekonomi nelayan akan mengalokasikan upaya mereka menurut laba atau keuntungan yang akan diperoleh. Dalam kasus ini diharapkan pengumpul larva ikan bandengpun berperilaku demikian. Perkiraan keuntungan ekonomi (RPUE j ) diperoleh

110 88 dengan memanfaatkan data hasil tangkap, upaya, dan harga jual dari hasil penelitian (Lampiran 13). Untuk menganalisis apakah upaya pengumpul selalu dialokasikan menurut jumlah tangkapan dan kelimpahan guna mendapatkan keuntungan atau laba yang lebih, maka dilakukan tabulasi data RPUE j, hasil tangkap dan kelimpahan larva ikan bandeng seperti terlihat pada Gambar 26. Hasil tangkapan (ekor/hari) May 25-May Hasil tangkapan Kelimpahan RPUEij 26-May 27-May 28-May 29-May 30-May 31-May 1-Jun 2-Jun 3-Jun 4-Jun 5-Jun Tanggal (2009) 25-Jun 26-Jun 27-Jun 29-Jun 30-Jun 1-Jul 3-Jul 4-Jul 5-Jul 6-Jun 7-Jul Gambar 26 Dinamika RPUE j, hasil tangkap (ekor/hari), dan kelimpahan individu larva ikan bandeng (ind/m 2 ), tahun 2009 Tabulasi data hasil tangkapan dengan kelimpahan individu larva ikan bandeng dan RPUE j pada Gambar 26, mendukung hasil analisis pada Gambar 25. Alokasi upaya selalu mengikuti kelimpahan larva ikan bandeng. Pendapatan pengumpul akan meningkat apabila hasil tangkap meningkat. Hasil tangkappun akan meningkat apabila kelimpahan larva meningkat. Selanjutnya untuk menganalisis apakah alokasi upaya penangkapan selalu berdasarkan keuntungan (laba) yang diperoleh atau hanya berdasarkan kebutuhan ekonomi, maka dilakukan tabulasi data hasil tangkap, kelimpahan larva, dan RPUE j pada tahun 2004, seperti terlihat pada Gambar 27. Selanjutnya tampilan pada Gambar 27 dibandingkan dengan tampilan pada Gambar Kelimpahan (ind/m 2 ) RPUEij

111 89 Hasil tangkapan (ekor/hari) Apr 24-Apr Hasil tangkapan Kelimpahan RPUEij 25-Apr 26-Apr 27-Apr 28-Apr 29-Apr 30-Apr 1-May 2-May 3-May Tanggal (2004) 24-May 25-May 26-May 27-May 28-May 30-May 31-May 1-Jun 2-Jun 3-Jun 4-Jun 6-Jun Gambar 27 Dinamika RPUE j, hasil tangkap (ekor/hari), dan kelimpahan individu larva ikan bandeng (ind/m 2 ), tahun 2004 Tabulasi data hasil tangkap, kelimpahan larva, dan RPUE j pada Gambar 27, juga menunjukkan bahwa alokasi upaya mengikuti kelimpahan larva ikan bandeng. Meskipun demikian, karena kelimpahan pada tahun 2004 masih cukup tinggi maka hasil tangkap dan pendapatan pengumpulpun lebih tinggi dari tahun 2009 (Gambar 26). Pada Gambar 27 juga terlihat, nilai RPUE j pada tanggal 26 dan 30 April serta tanggal 1 Mei 2004 lebih tinggi dari tanggal penangkapan lainnya. Bila Gambar 27 dihubungkan dengan data effort (upaya) pada Lampiran 14, maka terlihat bahwa tingginya nilai RPUE j pada ketiga tanggal tersebut karena pengurangan jumlah effort. Ini menunjukkan bahwa, untuk mendapatkan keuntungan atau laba yang lebih perlu dilakukan pembatasan jumlah effort. Hal ini disebabkan harga jual larva ini tetap sama, baik saat melimpah ataupun berkurang. Dinamika RPUE j pada Gambar 26 dan 27 juga memberikan informasi bahwa, alokasi upaya pengumpul larva ikan bandeng tidak didasarkan pada keuntungan yang diperoleh tetapi lebih dikarenakan kebutuhan ekonomi terkait tidak adanya mata pencarian alternatif. Ini juga mengindikasikan bahwa, para pengumpul yang umumnya ibu-ibu rumah tangga secara ekonomi sangat bergantung pada kelimpahan larva ini. Kedua gambar tersebut juga menunjukkan, adanya perbedaan kelimpahan Kelimpahan (ind/m 2 ) 350x x x x x x x10 3 RPUEij

112 90 larva ikan bandeng yang cukup besar antara tahun 2004 dan Kelimpahan tersebut mengalami penurunan pada tahun Penurunan kelimpahan ini berdampak pada berkurangnya hasil tangkap dan pendapatan pengumpul. 5.3 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Penentuan Indikator dan Variabel Pengukur Indikator Indikator dan variabel pengukur yang teridentifikasi dan pada analisis ini adalah : (1) Indikator ekologi; keberadaan ekosistem mangrove (Ekl.1), keberadaan ekosistem terumbu karang (Ekl.2), keberadaan sumberdaya larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) (Ekl.3), berkurangnya sedimentasi (Ekl.4), dan kualitas air Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp (Ekl.5). (2) Indikator ekonomi; peningkatan produksi hasil usaha (Ekm.1), peningkatan pendapatan (Ekm.2), berkurangnya kematian alami larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) (Ekm.3), peningkatan luasan areal tambak (Ekm.4), dan peningkatan padat tebar (Ekm.5). (3) Indikator sosial; tingkat pendidikan (S.1), pemerataan pendapatan (S.2), partisipasi dalam pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp (S.3), keberadaan tenaga kerja (S.4), dan keharmonisan hubungan antara pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) (S.5). (4) Indikator kebijakan; pengembangan dan peningkatan produktivitas tambak (K.1), pengendalian konversi dan peningkatan reboisasi ekosistem mangrove (K.2), peningkatan SDM pengumpul larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) (K.3), pemberdayaan pelaku bom ikan (K.3), pengendalian sedimentasi (K.4), dan penghentian aktivitas pemboman ikan (K.5). Hasil perhitungan bobot dari persepsi responden untuk indikator ekologi, menghasilkan terpilihnya variabel keberadaan sumberdaya larva ikan bandeng (C. chanos, Forsskal) (Ekl.3) dengan nilai proporsi persepsi tertinggi, yaitu Terpilihnya variabel ini menunjukkan bahwa, sumberdaya larva ikan bandeng

113 91 merupakan faktor yang paling penting untuk menunjang keberlanjutan usaha pemanfaat sumberdaya ini. Proporsi persepsi setiap variabel pengukur indikator ekologi dapat dilihat pada Gambar 28. Proporsi Presepsi Ekl1 Ekl2 Ekl3 Ekl4 Ekl5 Variabel Indikator Ekologi Gambar 28 Proporsi persepsi respondenn terhadap variabel pengukur indikator ekologi Variabel pengukur indikator ekonomi yang terpilih adalah peningkatan pendapatan (Ekm.2), dengan proporsi persepsi responden sebesar Ini menunjukkan, aspek peningkatan pendapatann menjadi tujuan utama dalam melakukan usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan ekonomi. Proporsi persepsi responden untuk setiap variabel pengukur indikator ekonomi dapat dilihat pada Gambar 29. Proporsi Presepsi 3 2,,5 2 1,,5 1 0,,5 0 Ekm1 Ekm2 Ekm3 Ekm4 Ekm5 Variabel Indikator Ekonomi Gambar 29 Proporsi persepsi responden terhadap variabel pengukur indikator ekonomi Variabel pengukur indikator sosial yang terpilih adalah pemerataan pendapatan (S.2), dengan proporsi persepsi responden sebesar Terpilihnya variabel ini mengindikasikan bahwa, kondisii saat ini mengakibatkan adanya kesenjangann ekonomi. Oleh karena itu, responden menginginkan adanya pemerataan pendapatan agar tidak tercipta kecemburuan sosial. Proporsi persepsi setiap variabel pengukur indikator sosial dapat dilihat pada Gambar 30.

114 92 Proporsi Presepsi S1 S2 S3 S4 Variabel Indikator Sosial S5 Gambar 30 Proporsi persepsi respondenn terhadap variabel pengukur indikator sosial Variabel pengukur indikator kebijakan yang terpilih adalah pengendalian konversi dan peningkatan reboisasii ekosistem mangrove (K.2), dengan proporsi persepsi responden sebesar Terpilihnya variabel ini menunjukkan, seluruh responden menyadari keberadaan ekosistem mangrove di pesisir Kota Jayapura terutama di Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp sangat penting untuk menjaga funggsi ekologis kawasan ini dalam menunjang keberlanjutan usaha mereka. Proporsi persepsi responden setiap variabel pengukur indikator kebijakan dapat dilihat pada Gambar 31. Proporsi Presepsi 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 K1 K2 K3 K4 K5 Variabel Indikator Kebijakan K6 Gambar 31 Proporsi persepsi responden terhadap variabel pengukur indikator kebijakan Berdasarkan variabel pengukur terpilih pada masing-masingg indikator tersebut, selanjutnya dilakukan analisis terhadap keberlanjutan usaha pengumpul larva, petambak, dan pedagang pengumpul ikan bandeng Penentuan Nilaii Riil dan CTV serta Pengertian Hasil Analisis Keberadaan sumberdaya larvaa ikan bandeng yang terpilih sebagai variabel pengukur bagi kriteria keberlanjutan biologi, didefenisikan n sebagai jumlah larva yang tersedia saat ini. Untuk pengumpul digunakan total hasil tangkapan selama

115 93 pengamatan, yaitu ekor. Untuk petambak dan pedagang digunakan nilai kebutuhan benih berdasarkan kondisi padat tebar tambak sekarang, yaitu ekor. Sebagai pembanding (CTV) digunakan hasil tangkapan pada tahun 2004, yaitu ekor. Jika hasil tabulasi pada diagram amoeba menunjukkan jumlah larva ikan bandeng saat ini sama atau lebih besar dari CTV-nya, maka dikatakan stok larva saat ini secara biologi dapat berkelanjutan sehingga dapat menunjang keberlanjutan usaha pemanfaat sumberdaya larva tersebut, demikian sebaliknya. Keberadaan ekosistem mangrove yang terpilih sebagai variabel pengukur keberlanjutan ekologi, didefenisikan sebagai luasan mangrove yang tersedia saat ini di kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, yaitu 260 hektar. Untuk nilai CTV-nya digunakan luasan mangrove yang seharusnya tersedia atau yang diinginkan. Untuk kepentingan penelitian ini, luasan yang diinginkan diperoleh dari hasil penjumlahan antara luasan sekarang dan luasan yang akan direboisasi, yaitu seluas 311 hektar. Luasan mangrove di Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp yang telah direboisasi adalah 4 hektar dari 51 hektar yang diprogramkan (BAPEDALDA 2008). Jika hasil tabulasi pada diagram amoeba menunjukkan luasan mangrove saat ini sama atau lebih dari luasan yang diinginkan, maka keberadaan ekosistem mangrove dalam kondisi baik dan fungsi ekologisnya dapat berlanjutan sehingga menunjang keberlanjutan usaha pemanfaat sumberdaya larva tersebut, demikian sebaliknya. Peningkatan pendapatan yang terpilih sebagai variabel pengukur kriteria efisien (ekonomi), didefenisikan sebagai pendapatan rata-rata pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng. Pendapatan pengumpul sebesar Rp ,- per orang, petambak sebesar Rp ,- per orang, dan pedagang sebesar Rp ,- per orang. Sebagai pembanding (CTV) digunakan nilai UMR Kota Jayapura tahun 2008/2009, sebesar Rp ,-. Jika hasil perbandingan dengan diagram amoeba menunjukkan pendapatan pemanfaat sama atau meningkat dari UMR Kota Jayapura, kondisi kedua kawasan perairan pesisir tersebut dapat menunjang berkelanjutan ekonomi pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng.

116 94 Pemerataan pendapatan yang terpilih sebagai variabel pengukur bagi kriteria pemerataan (sosial), didefenisikan sebagai distribusi pendapatan. Untuk kepentingan penelitian ini digunakan nilai Gini Rasio Indeks (GRI) Kota Jayapura, sebesar Sebagai nilai CTV-nya digunakan nilai GRI untuk distribusi pendapatan yang merata menurut kriteria Bank Dunia. Nilai GRI berkisar dari 0 hingga 1, dimana semakin mendekati 0 semakin bagus, demikian sebaliknya (Rosyidi 2005). Menurut Oshima in Rosyidi (2005), bila GRI mendekati 0.3 menunjukkan ketimpangan pemerataan pendapatan ringan, bila mendekati 0.4 ketimpangan moderat atau sedang, dan bila mendekati 0.5 menunjukkan ketimpangan berat atau mutlak. Untuk kepentingan analisis ini, dilakukan pembobotan terhadap nilai GRI, seperti terlihat pada Tabel 39. Tabel 39 Pembobotan nilai Gini Rasio Indeks (GRI) No GRI Pembobotan Keterangan 1 > Sangat berat Berat Sedang Merata Nilai GRI yang akan digunakan dalam analisis ini adalah nilai hasil pembobotan. Bila bobot GRI Kota Jayapura sama atau lebih besar dari bobot CTV-nya, maka pemerataan pendapatan semakin bagus dan kondisi kedua kawasan pesisir tersebut dapat menunjang keberlanjutan sosial pemanfaat sumberdaya larva tersebut Evaluasi Keberlanjutan A. Keberlanjutan Biologi (1) Pengumpul Larva Ikan Bandeng Tampilan diagram amoeba pada Gambar 32, menunjukkan hasil tangkapan larva saat ini berada sangat jauh di bawah hasil tangkapan tahun Selisih antara kedua nilai ini menunjukkan hasil tangkap larva saat ini berkurang sebanyak ekor. Sesuai dengan batasan pengertian hasil perbandingan antara nilai riil dan nilai CTV dari variabel ini, maka kondisi kedua kawasan pesisir tersebut tidak dapat menunjang keberlanjutan keberadaan sumberdaya larva ikan bandeng (biologi) yang berdampak pada ketidakberlanjutan usaha pengumpul.

117 95 (1) Petambak Ikan Bandeng Hasil tabulasi nilai riil total kebutuhan petambak setiap musim tanam dan nilai CTV-nya (hasil tangkap tahun 2004) pada diagram amoeba menunjukkan, total kebutuhan benih juga berada dibawah nilai CTV-nya. Namun demikian perbedaan antar keduanya tidak sebesar perbedaan indikator ini pada pengumpul (Gambar 33). Hal ini disebabkan petambak mempunyai daerah alternatif lain untuk menutupi kekurangan benih tambak mereka, yaitu dari Makasar. Meskipun demikian dari sisi keberlanjutan biologi tetap tidak berkelanjutan dan berdampak pada ketidakberlanjutan usaha mereka. Hal ini disebabkan, meski petambak memiliki sumber benih alternatif, produktivitas tambak mereka sangat bergantung pada benih lokal. Ini dikarenakan larva tersebut lebih berkualitas dari sisi kecepatan pertumbuhan dan daya tahan terhadap penyakit. (2) Pedagang Pengumpul Ikan Bandeng Kondisi keberlanjutan usaha pedagang ikan bandeng dari sisi biologi sama dengan kondisi pada analisis terhadap petambak (Gambar 34). Hal ini disebabkan kedua usaha ini memiliki keterkaitan erat dalam hal penyediaan bahan baku (ikan bandeng) untuk konsumsi pasar. Oleh sebab itu ketidakberlanjutan usaha petambak juga berdampak pada ketidakberlanjutan usaha mereka. B. Keberlanjutan Ekologi Hasil tabulasi nilai riil dan nilai CTV dari variabel pengukur indikator ekologi (luasan mangrove) pada diagram amoeba dari ketiga pemanfaat sumberdaya larva tersebut menunjukkan bahwa, nilai riil berada dibawa nilai CTV-nya. Terjadi penurunan luasan mangrove sebesar 51 Ha (Gambar 32, 33, dan 34). Berdasarkan batasan pengertian hasil perbandingan nilai riil dan CTV dari variabel pengukur kriteria keberlanjutan ini, maka kondisi kedua kawasan ini secara ekologi berdampak pada ketidakberlanjutan ketiga usaha ini. Hal ini dikarenakan ekosistem mangrove di kedua kawasan tersebut berperan penting sebagai daerah asuhan larva tersebut. Penurunan luasan ekosistem ini, berdampak pada penurunan fungsi ekologisnya untuk

118 96 mendukung kedua kawasan tersebut dalam menunjang kesehatan stok ikan bandeng dan pada akhirnya berdampak pada ketidakberlanjutan ketiga usaha ini. C. Keberlanjutan Ekonomi (1) Pengumpul Larva Ikan Bandeng Pada Gambar 32, terlihat selisih yang cukup besar antara pendapatan riil pengumpul dengan UMR Kota Jayapura, yaitu Rp ,-. Selisih ini menunjukkan, penurunan stok larva ikan bandeng berdampak pada ketidakberlanjutan ekonomi pengumpul. Hal ini karena pengumpul sangat bergantung secara ekonomi pada keberadaan larva ini secara alami terkait tidak adanya mata pencarian alternatif. (2) Petambak Ikan Bandeng Pada Gambar 33, terlihat bahwa usaha tambak secara ekonomi cukup menguntungkan. Ini dapat dilihat dari nilai pendapatan petambak yang melebihi UMR Kota Jayapura, meski pendapatan mereka tidak sebesar pada pedagang. Hal ini dikarenakan selain memiliki sumber benih alternatif, harga ikan bandeng pun cukup tinggi, yaitu rata-rata Rp ,- per ekor. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa, karena memiliki alternatif lain untuk memenuhi kekurangan benih dan ditunjang pula oleh harga komoditi ini, maka dari sisi ekonomi untuk sementara dapat menunjang keberlanjutan usaha mereka. (3) Pedagang Pengumpul Ikan Bandeng Pada Gambar 34, terlihat bahwa usaha pedagang ikan bandeng secara ekonomi sangat menguntungkan. Ini dapat dilihat dari nilai pendapatan pedagang yang jauh melebihi nilai UMR Kota Jayapura, dengan selisih sebesar Rp ,-. Tingginya pendapatan pedagang ini selain terkait dengan adanya daerah penyuplai ikan bandeng alternatif, ditunjang pula oleh tersedianya pasar dan harga komoditi ini yang cukup tinggi di Kota Jayapura. Oleh sebab itu, kondisi pengelolaan kedua kawasan pesisir tersebut saat ini dapat menunjang keberlanjutan ekonomi mereka.

119 97 D. Keberlanjutan Sosial Pada Gambar 32, 33, dan 34, terlihat bahwa, dari sisi pemerataan pendapatan untuk ketiga usahaa ini mengarah pada ketidakberlanjutan sosial. Menurut Oshima in Rosyidi (2005), nilai GRI 0.23 menunjukkann distribusi pendapatan dengan ketimpangan sedang dan cukup baik untuk distribusi pendapatan di negara berkembang. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dikatakan pemerataan pendapatan masyarakat Kota Jayapura cukup baik. Akan tetapi bila dikaitkan dengan analisis terhadap variabel pengukur indikator biologi dan ekologi, kondisi ini menjurus pada ketidakberlanjutan sosial pemanfaat sumberdaya larva ini. Diagram amoebaa untuk keberlanjutann usaha dari ketiga pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng, dapat dilihat pada Gambar 32, 333 dan 34. Gambar 32 Diagram amoeba untuk keberlanjutan usaha pengumpul larva ikan bandeng Gambar 33 Diagram amoeba untuk keberlanjutann usaha petambak ikan bandeng

120 98 Gambar 34 Diagram amoeba untuk keberlanjutan usaha pedagang pengumpul ikan bandeng Berdasarkan tampilan Gambar 32, 33, dan 34, maka dapat dikatakan bahwa permasalahan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp saat ini berdampak pada ketidakberlanjutann pengelolaann perikanan di pesisir Kota Jayapura. Hal ini dikarenakann kebijakan pembangunan Kota Jayapura yang tidak memperhatikan kestabilan ekosistem pesisir dan sumberdaya di dalamnya. Akibat yang ditimbulkan adalah terjadi penurunan luasan mangrove dan meningkatnya sedimentasi. Kurangnya pemantauan dan pembinaan terhadap aktivitas masyarakat dalam menangkap ikan berdampak pada meningkatnya aktivitas bom ikan. Penurunan luasan mangrove, peningkatan sedimentasi, dan aktivitas bom ikan ini berdampak pada terganggunya kesehatan stok sumberdaya larva ikan bandeng di kawasan pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp). Terganggunya kesehatan stok sumberdaya larva ini lebih berdampak pada produktivitas usaha pengumpul dan petambak serta berpengaruh langsung pada keberlanjutan sosial ekonomi kedua pemanfaat ini. Hal ini dikarenakan usaha kedua pemanfaat ini saling terkait dan bergantung langsung pada ketersediaan stok larva tersebutt secara alami. Bagi pengumpul, hal ini dikarenakann ketergantuan secara ekonomi akibat tidak memiliki sumber pendapatan alternatif yang memadai. Bagi petambak, penurunan stok larva ini berdampak pada berkurangnya luasan tambak dikelola dan penurunan jumlah padat tebar karena berkuranya benih berkualitas. Walaupun petambak memiliki suplai benih alternatif, mereka terkendala pada modal usahaa dan tingkat kematian benih dari luar yang cukup tinggi, yaitu antara 30% hingga 40% %. Bagi

121 99 pedagang, penurunan stok larva ikan bandeng tidak berdampak sosial ekonomi dikarenakan, selain memiliki daerah penyuplai ikan bandeng alternatif, harga komoditi inipun cukup tinggi yaitu, sebesar Rp ,- per ekor dan ketersediaan pasarpun sangat menunjang. Pada ketiga diagram amoeba diatas terlihat juga bahwa, dari sisi ekonomi, usaha petambak dan pedagang cukup menguntungkan. Namun demikian, terkait dengan konsep perikanan berkelanjutan, maka kondisi ini tidak menunjang adanya keberlanjutan bagi ketiga usaha pemanfaat sumberdaya larva tersebut. Hal ini disebabkan nilai riil dari ketiga indikator lain berada di bawah nilai CTV-nya. Terutama nilai indikator ekologi dan biologi. Keberadaan suatu sumberdaya ikan di alam selain sangat dipengaruhi kualitas lingkungan dan ekosistem (Effendi 1997; Matarase et al. 1995; Sparre and Vanema 1999; Adrianto et al. 2004), ditentukan pula oleh aktivitas penangkapan (Sparre and Vanema 1999; Glaser and Diele 2004). Menurut petambak, dari sisi kecepatan pertumbuhan dan daya tahan terhadap penyakit, larva ikan bandeng lokal lebih baik dibanding yang didatangkan dari luar, sehingga dari sisi produksi jauh lebih menguntungkan. Oleh sebab itu meski musim tanam sering tidak sejalan dengan musim kemunculan larva ini, beberapa petambak selalu menyediakan luasan khusus untuk menampung benih alam ini. Ditambahkan juga oleh pedagang bahwa, meski memiliki daerah penyuplai ikan bandeng alternatif, namun hasil produksi tambak Holtekamp lebih diminati pasar, karena rasa dagingnya yang lebih manis dan segar. Kedua informasi ini mengindikasikan bahwa, karena hasil tangkap tetap laku dijual, sedang kemunculan larva tersebut adalah musiman, di sisi lain pengumpul sangat bergantung pada kelimpahannya secara ekonomi, maka penangkapan larva ini selalu dilakukan pada saat kemunculannya. Penangkapan yang terus menerus ini diduga juga turut memberi andil pada terganggunya kesehatan stok sumberdaya larva ini di kedua kawasan tersebut. Dikatakan oleh Pitcher and Hart (1982) in Glaser and Diele (2004), penurunan jumlah tangkapan dapat juga diartikan sebagai indikator penangkapan yang berlebihan, terutama untuk stok yang fluktuasi alaminya kurang signifikan dalam kekuatan kohort dan ukuran distribusi.

122 100 Berdasarkan pendapat dan informasi diatas, maka dapat dikatakan bahwa, dengan semakin meningkatnya konversi mangrove dan sedimentasi di Teluk Youtefa, semakin meningkatnya konversi mangrove dan aktivitas pengeboman ikan di perairan pesisir Kampung Holtekamp, serta didukung pula oleh terus meningkatnya permintahan benih oleh patambak, ketersediaan larva ikan bandeng akan terus berkurang. ICES (2008) menyatakan bahwa, untuk mempertahankan rekruitmen ikan di alam agar tetap stabil dibutuhkan jumlah spawning stoch biomaas (SSB) yang memadai. Jumlah SSB ini sangat bergantung pada kualitas habitat dimana suatu sumberdaya ikan melewati siklus hidupnya dan aktivitas pemanfaatan. Oleh sebab itu menurut Adrianto et al. (2004), model pengelolaan yang sudah berjalan perlu dikaji guna menghindari habisnya stok ikan dan bagaimana memelihara stok tersebut pada level yang stabil, baik pada saat ini maupun masa yang akan datang. Hal ini dapat dicapai dengan perhatian terhadap keberlanjutan kesejakteraan dari sisi komunitas secara terpadu baik kesejakteraan ekonomi, sosial, dan ditunjang pula oleh perhatian pada kesehatan sumberdaya target. Tujuannya agar tercapai kesejakteraan sosial ekonomi secara menyeluruh untuk jangka panjang. Berdasarkan hasil-hasil analisis dan pendapat-pendapat tersebut di atas, maka perlu dirumuskan suatu alternatif pengelolaan yang sebaiknya dilakukan di Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp guna pemulihan kesehatan stok larva ikan bandeng agar dapat berdampak positif bagi peningkatan ekonomi dan kesejakteraan pemanfaat sumberdaya larva ini secara berkelanjutan. 5.4 Skenario Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan Untuk menentukan skenario terbaik pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura melalui pendekatan sumberdaya larva ikan bandeng, dalam penelitian ini digunakan analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM). Perumusan skenario pengelolaan dilakukan dengan memperhatikan kondisi kedua kawasan tersebut saat ini dan hasil analisis sebelumnya, dengan memasukan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Skenario yang dirumuskan adalah:

123 101 (1) Skenario I; Bila kondisi Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp tetap seperti sekarang ini dimana konversi mangrove, sedimentasi, dan aktivitas bom ikan tetap berlangsung. (2) Skenario II; Bila konversi mangrove dihentikan dan reboisasi ditingkatkan, aktivitas bom ikan dihentikan, tetapi sedimentasi tidak dikendalikan. (3) Skenario III; Bila konversi mangrove dihentikan dan reboisasi ditingkatkan, sedimentasi dikendalikan, tetapi aktivitas bom ikan tetap. (4) Skenario IV; Bila konversi mangrove dihentikan dan reboisasi ditingkatkan, sedimentasi dikendalikan, dan aktivitas bom ikan dihentikan. Berdasarkan hasil analisis indikator, maka subkriteria yang terpilih sebagai penilai bagi setiap kriteria (aspek) keberlanjutan untuk menentukan skenario terbaik adalah: (1) Kriteria ekologi; Kelimpahan sumberdaya larva ikan bandeng. (2) Kriteria ekonomi; (a) Pendapatan pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng dan (b) Hasil produksi pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng. (3) Kriteria sosial; (a) Keharmonisan hubungan antar pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng, (b) Pemerataan pendapatan antara pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng, dan (c) Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp. Berdasarkan rumusan skenario, aspek yang diperhitungkan dan subkriteria yang terpilih, maka dibentuk struktur hirarki untuk menggambarkan model pengelolaan yang akan dilakukan di pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp) guna memulihkan keberadaan sumberdaya larva ikan bandeng di kedua kawasan tersebut. Struktur hirarki tersebut dapat dilihat pada Gambar 35. Gambar 35 Struktur hirarki untuk analisis MCDM

124 102 Untuk mendapatkan bobot persepsi responden, maka pertanyaan yang diajukan adalah, apakah kondisi suatu subkriteria pada suatu skenario akan bertambah, tetap, atau berkurang. Persepsi responden ini selanjutnya diberi bobot, dihitung rata-rata geometrik (Lampiran 17, 18, 19, 20, dan 21), dan dianalisis baik untuk seluruh responden maupun per jenis responden. Besar kecilnya nilai kontribusi dari kriteria dan subkriteria yang menentukan suatu skenario terpilih sebagai yang terbaik, ditentukan oleh persepsi responden. Persepsi responden dipengaruhi oleh tingkat kepentingan terhadap subkriteria yang digunakan. Berdasarkan struktur hirarki yang dibentuk dan analisis data dengan program Criterium Decision Plus melalui metode SMART terhadap rata-rata geometrik dari bobot persepsi responden, maka hasilnya diuraikan menurut masing-masing kriteria keberlanjutan dari pengelolaan sumberdaya perikanan di pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp). A. Kriteria Ekologi Skor akhir kriteria ekologi pada masing-masing skenario pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura hanya dipengaruhi oleh skor akhir dari subkriteria keberadaan sumberdaya larva ikan bandeng. Hasil analisis terhadap persepsi masing-masing responden menghasilkan skenario IV sebagai yang terbaik. Hasil ini menunjukkan bahwa, seluruh responden sepakat kelimpahan larva ikan bandeng di kedua kawasan tersebut dapat bertambah (membaik) apabila konversi mangrove dihentikan dan reboisasinya ditingkatkan, sedimentasi dikendalikan, dan aktivitas bom ikan dihentikan. (1) Responden Pengumpul Pada responden penggumpul, skor akhir subkriteria ini menunjukkan nilai yang lebih kecil dibanding responden petambak, pedagang, dan pengambil kebijakan. Hal ini dikarenakan usaha pengumpul ini bersentuan langsung dengan perairan. Berdasarkan pengalaman pengumpul, penurunan hasil tangkapan terjadi bersamaan dengan semakin meningkatnya permasalahan krusial yang terjadi sekarang di kedua kawasan tersebut. Oleh sebab itu bagi responden ini, skenario I, II dan III tidak berdampak pada

125 103 bertambahnya kelimpahan larva ikan di kedua kawasan pesisir tersebut. Skor akhir dari persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekologi pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 36. Contributions to EKOLOGI from Level:Level 3 Skenario IV Skenario I Skenario II Sbdy. Larva Ikan Bandeng Skenario III 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 Gambar 36 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekologi (2) Responden Petambak Hasil analisis persepsi responden ini menunjukkan skenario II memiliki nilai yang lebih besar dari skenario I dan III. Hal ini dikarenakan menurut persepsi sebagian responden ini masalah sedimentasi tidak terlalu berdampak pada penurunan stok larva ikan bandeng. Masalah sedimentasi hanya terjadi di Teluk Youtefa, sedang usaha pengumpulan larva dilakukan diperairan pesisir Kampung Holtekamp yang relatif jernih. Disamping itu, lokasi usaha tambak berada jauh dari lokasi sedimentasi dan dekat perairan yang relatif jernih (st.i dan II) kecuali terjadi banjir di Kali Buaya. Bagi petambak, bom ikan lebih berdampak pada penurunan kelimpahan larva tersebut. Skor akhir persepsi responden petambak terhadap kriteria ekologi pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 37. Contributions to EKOLOGI from Level:Level 3 Skenario IV Skenario II Skenario I Sbdy. Larva Ikan Bandeng Skenario III 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 Gambar 37 Skor akhir kontribusi persepsi responden petambak terhadap kriteria ekologi

126 104 (3) Responden Pedagang Hasil analisis persepsi responden ini juga menunjukkan skenario II memiliki nilai yang lebih besar dari skenario I dan III. Hal ini dikarenakan usaha responden ini hanya berhubungan dengan petambak yang lokasinya berada jauh dari lokasi tempat terjadinya sedimentasi. Oleh sebab itu menurut sebagian responden ini, masalah sedimentasi kurang berpengaruhnya bagi berkurangnya kelimpahan larva ikan bandeng di kedua kawasan pesisir tersebut dibanding bom ikan. Skor akhir persepsi responden pedagang terhadap kriteria ekologi pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 38. Contributions to EKOLOGI from Level:Level 3 Skenario IV Skenario II Skenario I Sbdy. Larva Ikan Bandeng Skenario III 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 Gambar 38 Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang terhadap kriteria ekologi. (4) Responden Pengambil Kebijakan Hasil analisis persepsi responden ini juga menunjukkan skenario II memiliki nilai yang lebih besar dari skenario I dan III. Ini menunjukkan bahwa, menurut sebagian responden ini, masalah sedimentasi kurang berdampak pada penurunan hasil tangkap larva ikan bandeng di kedua kawasan pesisir tersebut dibandingkan penggunaan bom ikan. Menurut responden ini peningkatan sedimentasi hanya terjadi di Teluk Youtefa (stasiun III), sedang usaha pengumpulan larva dilakukan di stasiun I dan II yang relatif jernih. Persepsi yang demikian terkait kurangnya pemahaman tentang siklus hidup larva ini dan faktor biofisik yang mempengaruhi keberadaan dan distribusinya di alam. Skor akhir persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria ekologi pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 39.

127 105 Contributions to EKOLOGI from Level:Level 3 Skenario IV Skenario II Skenario I Sbdy. Larva Ikan Bandeng Skenario III 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 Gambar 39 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria ekologi B. Kriteria Ekonomi Skor akhir dari dari kriteria ekonomi yang menentukan terpilihnya salah satu skenario sebagai yang terbaik, dipengaruhi oleh skor akhir dari subkriteria peningkatan pendapatan dan peningkatan produksi. Analisis terhadap kedua subkriteria tersebut pada masing-masing skenario menghasilkan skenario IV sebagai yang terbaik untuk responden pengumpul, petambak, dan pengambil kebijakan. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa, ketiga responden tersebut sepakat produksi dan pendapatan mereka akan meningkat melalui penghentian konversi dan peningkatan reboisasi mangrove, pengendalian laju sedimentasi, dan penghentian aktivitas bom ikan. Pada responden petambak dan pengambil kebijakan hasil analisis juga menunjukkan nilai skor akhir yang sama pada masing-masing skenario, baik pada subkriteria peningkatan produksi maupun peningkatan pendapatan. Pada responden pedagang ikan bandeng, hasil analisis persepsi responden pada kedua subkriteria ekonomi ini menghasilkan skenario II sebagai yang terbaik. (1) Responden Pengumpul Nilai skor akhir pada skenario IV untuk responden ini adalah sebesar Nilai skor akhir subkriteria dari masing-masing skenario pada responden ini jauh lebih kecil dibanding responden petambak, pedagang, dan pengambil kebijakan. Hal ini terkait dengan presepsi responden ini pada kriteria ekologi. Dengan tidak adanya mata pencarian alternatif, maka secara ekonomi pengumpul sepenuhnya bergantung pada ketersediaan larva ikan

128 106 bandeng secara alami. Oleh sebab itu, hanya skenario IV yang dipandang dapat meningkatkan produksi dan pendapatan mereka. Hasil analisis juga menunjukkan, pada skenario IV, skor akhir subkriteria peningkatan produksi sebesar 0.13, sedang peningkatan pendapatan sebesar Lebih tingginya skor akhir peningkatan produksi daripada peningkatan pendapatan terkait dengan harga jual larva ini yang sama, baik pada saat melimpah atau berkurang. Oleh sebab itu bagi pengumpul peningkatkan hasil tangkap lebih diprioritaskan karena sangat menentukan peningkatan pendapatan mereka. Skor akhir dari persepsi responden pengumpul terhadap kedua subkriteria pada kriteria ekonomi terhadap masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 40. Contributions to EKONOMI from Level:Level 3 Skenario IV Skenario I Peningkatan produksi Skenario II Peningkatan Pendapatan Skenario III 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 Gambar 40 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekonomi (2) Responden Petambak Terpilihnya skenariof IV sebagai yang terbaik menurut persepsi responden petambak, terkait dengan kualitas benih lokal yang lebih unggul dibanding benih luar. Oleh sebab itu apabila masalah krusial kedua kawasan pesisir tersebut teratasi secara bersama-sama, maka larva ikan bandeng akan meningkat dan kebutuhan benih berkualitas akan terpenuhi. Terpenuhinya kebutuhan benih berkualitas akan meningkatkan produksi tambak dan peningkatan pendapatan. Hal ini dikarenakan permasalahan utama penurunan pendapatan petambak di Kampung Holtekamp disebabkan penurunan hasil produksi karena kekurangan benih berkualitas. Persepsi ini juga mempengaruhi nilai skor akhir yang sama untuk subkriteria peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan, yaitu 0.17.

129 107 Hasil analisis juga menghasilkan skor akhir untuk skenario II lebih besar dari skenario III dan I, yaitu 0,22. Hal ini terkait dengan persepsi responden ini pada kriteria ekologi, bahwa sedimentasi kurang berdampak pada berkurangnya kelimpahan larva ikan bandeng. Dengan adanya daerah penyuplai benih alternatif, maka kekurangan benih akan tertutupi sehingga penurunan produksi dan pendapatan tidak sebesar pada skenario I dan III. Skor akhir kedua subkriteria pada skenario II ini juga sama, yaitu Ini menunjukkan, karena sebagian kekurangan benih akibat sedimentasi dapat ditutupi dengan mendatangkan benih dari luar, maka membutuhkan biaya operasional yang lebih besar dibanding memanfaatkan benih lokal. Akibatnya produksi dan pendapatan akan seimbang. Pada skenario III dan I, nilai skor akhir kedua subkriteria juga sama, yaitu Nilai skor akhir ini merupakan gambaran dari kondisi produksi dan pendapatan petambak saat ini. Skor akhir kedua subkriteria pada skenario I dan III ini mendukung persepsi responden ini pada kriteria ekologi. Dimana bom ikan dianggap lebih berdampak pada penurunan kelimpahan larva ikan bandeng dibanding sedimentasi. Skor akhir dari persepsi responden petambak untuk kriteria ekonomi pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 41. Contributions to EKONOMI from Level:Level 3 Skenario IV Skenario II Peningkatan produksi Skenario I Peningkatan Pendapatan Skenario III 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 Gambar 41 Skor akhir kontribusi persepsi responden petambak terhadap kriteria ekonomi. (3) Responden Pedagang Pada responden pedagang, hasil analisis menunjukkan skenario II sebagai yang terbaik. Terpilihnya skenario II ini, terkait dengan berkurangnya produksi tambak Holtekamp akibat sedimentasi yang tidak sebesar akibat penggunaan bom ikan. Dengan adanya daerah penyuplai ikan bandeng alternatif dan harga beli yang jauh lebih murah, maka kondisi ini sangat

130 108 menguntungkan pedagang. Hal ini disebabkan pedagang akan menutupi sebagian kebutuhan ikan bandengnya dari daerah penyuplai alternatif tetapi dalam jumlah yang terbatas sehingga biaya yang ditimbulkan relatif kecil. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada analisis keberlanjutan, ikan bandeng produksi tambak Holtekamp lebih diminati pasar dan harganyapun cukup tinggi. Oleh sebab itu dengan memadukan ikan bandeng produksi tambak Holtekamp dan produksi daerah penyuplai alternatif, maka produksi dan pendapatan akan meningkat dengan cepat. Hasil analisis terhadap persepsi responden ini juga menghasilkan skenario IV sebagai yang terbaik kedua. Hal ini terkait dengan adanya kebijakan PEMDA Kota Jayapura untuk membatasi masuknya ikan dari daerah penyuplai apabila kebutuhan konsumsi ikan dapat dipenuhi oleh produksi lokal. Pada skenario IV, terlihat juga bahwa nilai skor akhir peningkatan pendapatan lebih tinggi (0.17) dari peningkatan produksi (0.11). Hal ini menunjukkan bahwa, bila permasalahan krusial kedua kawasan pesisir tersebut teratasi secara bersama-sama, maka produktivitas tambak akan meningkat karena kebutuhan benih terpenuhi. Meningkatnya produktivitas tambak akan berdampak pada keharusan pedagang untuk menampung hasil produksi tersebut. Oleh karena produksi tambak Holtekamp lebih diminati pasar dan harganyapun lebih mahal, maka produksi akan terbatas tetapi pendapatan akan lebih tinggi. Sedang pada skenario III, skor akhir kedua subkriteria berada dibawah skenario IV dengan nilai skor akhir keduanya yang sama, yaitu Ini menunjukkan bahwa, dengan masih adanya aktivitas bom ikan produksi tambak Holtekamp akan terus berkurang. Dengan terus berkurangnya produksi tambak Holtekamp berdampak pada meningkatnya permintaan ikan bandeng dari luar dalam jumlah yang lebih banyak. Untuk mendatangkan ikan dalam jumlah yang lebih banyak membutuhkan biaya operasional yang lebih tinggi. Pada kondisi ini biaya produksi dan pendapatan menjadi seimbang tetapi berkurang. Skor akhir kontribusi bobot persepsi responden pedagang pada kriteria ekonomi terhadap masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 42.

131 109 Contributions to EKONOMI from Level:Level 3 Skenario II Skenario IV Peningkatan produksi Skenario I Peningkatan Pendapatan Skenario III 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 Gambar 42 Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang terhadap kriteria ekonomi (4) Responden Pengambil Kebijakan Pada responden pengambil kebijakan, skor akhir subkriteria peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan pada skenario IV memiliki nilai yang sama, yaitu Kesamaan nilai skor akhir ini terkait dengan persepsi responden ini bahwa, penurunan pendapatan pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng di Kota jayapura disebabkan oleh penurunan hasil produksi akibat berkurangnya kelimpahan larva ikan bandeng secara alami. Bila permasalahan krusial kedua kawasan peisir tersebut terselesaikan dapat meningkatkan hasil tangkap dan pendapatan pengumpul. Peningkatan hasil tangkap berdampak pada peningkatan produktivitas tambak dan pendapatan petambak. Peningkatan produktivitas tambak berdampak pada perputaran keuntungan pedagang dengan cepat karena pasar lebih menyukai ikan bandeng dari tambak Holtekamp. Terpilihnya skenario II sebagai yang terbaik kedua, terkait dengan persepsi responden ini pada kriteria ekologi. Oleh karena menurut persepsi responden ini berkurangnya larva ikan bandeng lebih disebabkan oleh penggunaan bom ikan dibanding masalah sedimentasi, maka nilai skor akhir dari skenario III dan I juga sama dan lebih kecil (0.11). Kedua skenario ini merupakan kondisi yang terjadi sekarang di kedua kawasan tersebut menurut persepsi responden ini. Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan untuk kriteria ekonomi pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 43 berikut.

132 110 Contributions to EKONOMI from Level:Level 3 Skenario IV Skenario II Peningkatan produksi Skenario I Peningkatan Pendapatan Skenario III 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 Gambar 43 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria ekonomi C. Kriteria Sosial Skor akhir pada kriteria sosial yang menentukan terpilihnya salah satu skenario sebagai yang terbaik, dipengaruhi oleh nilai skor subkriteria; pemerataan pendapatan, keharmonisan hubungan antara pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp. Hasil analisis terhadap persepsi responden pengumpul, petambak, dan pengambil kebijakan untuk masing-masing subkriteria menghasilkan skenario IV sebagai yang terbaik untuk kriteria sosial. Ketiga jenis responden ini sepakat bahwa, dengan mengendalikan laju konversi dan meningkatkan reboisasi mangrove serta mengendalikan laju sedimentasi, dan menghentikan aktivitas bom ikan, akan berdampak positif bagi peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, peningkatan keharmonisan hubungan antar pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng, dan peningkatan pemerataan pendapatan pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng di Kota Jayapura. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kedua kawasan pesisir tersebut merupakan yang terpenting menurut persepsi responden pengumpul, petambak, dan pengambil kebijakan. Hal ini disebabkan permasalahan krusial kedua kawasan pesisir tersebut yang terjadi saat ini adalah akibat aktivitas masyarakat. Oleh sebab itu, skor akhir parsipasi masyarakat nilainya semakin kecil pada skenario II, III, dan I pada ketiga responden ini.

133 111 (1) Responden Pengumpul Skor akhir kriteria sosial pada skenario IV untuk responden ini lebih tinggi dari ketiga responden lainnya, yaitu Partisipasi masyarakat dan keharmonisan hubungan antara pemanfaat memiliki nilai skor akhir yang sama, sebesar 0.20, sedang pemerataan pendapatan mendapatkan nilai skor akhir terkecil, yaitu Ini menunjukkan bahwa menurut persepsi responden ini, dengan terlaksananya pengendalian konversi dan peningkatan reboisasi mangrove, pengendalian sedimentasi dan penghentian aktivitas bom ikan akan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk turut berpatisipasi dalam pengelolaan kedua kawasan pesisir tersebut. Meningkatnya partisispasi masyarakat ini, berdampak positif bagi pemulihan kesehatan stok larva ikan bandeng sehingga hasil tangkap akan meningkat. Peningkatan hasil tangkap akan meningkatkan keharmonisan hubungan antara pemanfaat karena terdorong oleh rasa saling membutuhkan terkait pemasaran hasil. Pemerataan pendapatan juga akan meningkat meski tidak sebesar usaha petambak dan pedagang, karena terkait perbedaan produk dan harga jual. Pada skenario II, III, dan I, skor akhir ketiga subkriteria menurun tetapi dalam besaran nilai yang sama. Nilai skor akhir untuk partisipasi masyarakat sebesar 0.14, keharmonisan hubungan pemanfaat sebesar 0.13 dan pemerataan pendapatan sebesar, Nilai skor akhir ini terkait dengan persepsi responden ini sebelumnya pada kriteria ekologi. Bagi responden ini, dengan tidak diselesaikannya permasalahan kedua kawasan pesisir tersebut secara bersamaan, partisipasi masyarakat, keharmonisan hubungan pemanfaat, dan pemerataan pendapatan akan tetap seperti kondisi sekarang ini. Meskipun demikian nilai skor akhir dari subkriteria partisipasi masyarakat dan keharmonisan hubungan masih lebih tinggi dari responden petambak, pedagang, dan pengambil kebijakan. Hal ini disebabkan, meski kedua kawasan ini mengalami tekanan ekologis yang kompleks, responden ini tetap berpartisipasi untuk menegur pengguna bom ikan. Hubungan antara sesama pengumpul, antara pengumpul dengan petambak, dan antara petambak dengan pedagangpun dianggap cukup harmonis. Ini dikarenakan

134 112 pembagian jadwal tangkap yang selama ini dilakukan tetap berlangsung dan tidak menimbulkan konflik. Petambak juga tetap menyediakan luasan untuk menampung hasil tangkapan mereka. Rendahnya skor akhir pemerataan pendapatan pada ketiga skenario ini, terkait dengan ketergantungan pendapatan responden ini pada keberadaan sumberdaya larva ikan bandeng secara alami. Keberadaan larva tersebut secara alamipun tergantung pada kondisi kedua kawasan pesisir tersebut saat ini. Skor akhir dari persepsi responden pengumpul untuk kriteria sosial terhadap masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 44. Contributions to SOSIAL from Level:Level 3 Skenario IV Skenario I Skenario II Parsipasi Msy Keharmonisan Hub. P'Nener Pemerataan Pendapatan Skenario III 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 Gambar 44 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria sosial (2) Responden Petambak Hasil analisis terhadap persepsi responden ini menghasilkan nilai skor akhir untuk skenario IV sebesar 0.34, dimana masing-masing subkriteria mendapatkan nilai skor akhir yang sama, yaitu Hasil analisis ini menunjukkan bahwa, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kedua kawasan tersebut akan meningkat bila masalah krusial kedua kawasan pesisir tersebut terselesaikan. Bila partisipasi masyarakat meningkat akan berdampak positif bagi peningkatan kelimpahan larva ikan bandeng. Meningkatnya larva ikan bandeng akan berdampak positif bagi peningkatan keharmonisan hubungan antara pemanfaat karena saling membutuhkan dalam hal penyediaan benih dan ikan bandeng serta pemasaran hasil produksi. Kondisi inipun akan mendukung pemerataan pendapatan yang lebih baik. Pada skenario II, ketiga subkriteria menghasilkan nilai skor akhir yang sama, yaitu 0.073, tetapi lebih kecil dari skenario IV. Ini menunjukkan

135 113 bahwa, apabila masalah sedimentasi tidak terselesaikan, partisipasi masyarakat dalam pengendalian sedimentasipun akan menurun. Kondisi ini berdampak pada menurunnya keharmonisan hubungan antar pemanfaat sumberdaya larva ikan tersebut, dikarenakan pengumpul akan mencari petambak yang lebih menguntungkan atau sebaliknya. Petambakpun mencari pedagang yang dapat memberi keuntungan lebih atau sebaliknya. Persaingan hasil produksi antar pemanfaat ini akan berdampak pada menurunnya pemerataan pendapatan. Pada skenario III, nilai skor akhir subkriteria partisipasi masyarakat sama dengan nilai subkriteria tersebut pada skenario II. Nilai skor akhir subkriteria keharmonisan hubungan antar pemanfaat dan pemerataan pendapatan lebih kecil tetapi dalam besaran yang sama, yaitu Nilai ini menunjukkan bahwa, apabila masalah bom ikan tidak terselesaikan, partisipasi masyarakat dalam penghentian aktivitas bom ikan juga akan menurun. Dengan menurunnya partisipasi masyarakat ini, penurunnan kelimpahan larva ikan bandeng akan lebih tinggi dibanding penurunan yang disebabkan sedimentasi. Kondisi ini akan lebih mengurangi keharmonisan hubungan pemanfaat sumberdaya larva tersebut, karena persaingan dalam mempertahankan pengumpul dan pedagang lagangan akan lebih tinggi sehingga kesenjangan pendapatanpun semakin tinggi pula. Hal ini disebabkan, dengan semakin berkurangnya stok larva ini, petambak harus menutupi kekurangan benih dari daerah penyuplai alternatif dengan jumlah yang semakin tinggi dan jumlah tersebut tidak akan sama antar petambak karena tergantung pada kemampuan modal masing-masing. Disamping itu, karena keterbatasan produksi tambak, pedagang akan memasukan ikan bandeng dari daerah penyuplai alternatif dalam jumlah yang lebih banyak dan atau mencari petambak lain yang dapat memberi keuntungan lebih. Itulah sebabnya mengapa nilai skor akhir ketiga subkriteria ini semakin kecil pada skenario I. Skor akhir dari persepsi responden petambak untuk kriteria sosial terhadap masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 45.

136 114 Contributions to SOSIAL from Level:Level 3 Skenario IV Skenario II Skenario III Parsipasi Msy Keharmonisan Hub. P'Nener Pemerataan Pendapatan Skenario I 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 Gambar 45 Skor akhir kontribusi peresepsi responden petambak terhadap kriteria sosial (3) Responden Pedagang Hasil analisis persepsi responden ini juga menghasilkan nilai skor akhir untuk masing-masing subkriteria pada skenario II sama dengan skenario IV, yaitu, Nilai skor akhir yang sama ini juga terkait dengan persepsi responden ini pada kriteria ekologi dan ekonomi. Oleh karena usaha ini tidak bersentuan langsung dengan perairan dan ditunjang pula oleh adanya daerah penyuplai ikan bandeng alternatif, maka bagi responden ini; pemerataan pendapatan, keharmonisan hubungan antara pemanfaat sumberdaya larva ini, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kedua kawasan pesisir tersebut tetap akan sama. Persepsi ini juga mendasari nilai skor akhir dari subkriteria pemerataan pendapatan pada skenario IV dan II lebih tinggi (0.14) dari kedua subkriteria lainnya. Pemerataan pendapatan merupakan hal yang terpenting dibanding keharmonisan hubungan antar pemanfaat sumberdaya larva ikan bandeng dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kedua kawasan pesisir tersebut. Persepsi ini terkait dengan persepsi responden ini pada kriteria ekologi dan ekonomi. Pada skenario II, suplai ikan bandeng dari Holtekamp akan berkurang namun tidak sebesar yang diakibatkan oleh penggunaan bom ikan. Pada situasi ini, kekurangan ikan bandeng dapat ditanggulangi dari daerah penyuplai tetapi dalam jumlah yang relatif sedikit, sehingga biaya operasional yang dibutuhkan relatif kecil dan pemerataan pendapatanpun akan sama dengan kondisi pada skenario IV. Nilai skor akhir pemerataan pendapatan semakin kecil pada skenario III dan I. Hal ini disebabkan, bila masih ada aktivitas bom ikan, produktivitas pengumpul dan petambak akan semakin menurun. Akibatnya, pedagang harus mendatangkan ikan bandeng dari luar dalam jumlah yang lebih besar.

137 115 Akan tetapi jumlah ini tidak akan sama antar pedagang karena dibatasi oleh perbedaan modal usaha yang dimiliki. Pada kondisi ini, keharmonisan hubungan antara pemanfaat akan penting karena berhubungan dengan kebutuhan ikan bandeng dan biaya yang harus dikeluarkan. Atau dapat dikatakan bahwa, bagi responden ini keharmonisan hubungan antara pemanfaat sumberdaya larva menjadi penting ketika produktivitas tambak semakin menurun (skenario III dan I). Hal ini disebabkan dua hal, yaitu; (1) pasar lebih menyukai ikan bandeng produksi tambak Holtekamp, (2) untuk mendatangkan ikan bandeng dari luar dalam jumlah yang lebih besar akan terkendala pada modal usaha dan waktu. Oleh sebab itu keharmonisan dibutuhkan untuk mempertahankan petambak langganan karena terkait kontinyutas suplai ikan bandeng. Nilai skor akhir partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp pada masing-masing skenario memiliki nilai yang lebih kecil. Pada skenario II dan IV nilainya yaitu 0.04, sedang skenario III dan I nilainya Ini menunjukkan bahwa, meski partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kedua kawasan tersebut kurang mendapat perhatian dan dianggap sama pada kondisi antara skenario II dan IV, namun responden ini menyadari juga bahwa partisipasi masyarakat akan semakin berkurang bila masalah bom ikan dan atau seluruh permasalahan krusial kedua kawasan tersebut tidak teratasi. Besarnya kontribusi skor akhir dari perepsi responden pedagang untuk kriteria sosial terhadap masing-masing skenario, dapat dilihat pada Gambar 46. Contributions to SOSIAL from Level:Level 3 Skenario II Skenario IV Skenario III Pemerataan Pendapatan Keharmonisan Hub. P'Nener Parsipasi Msy Skenario I 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 Gambar 46 Skor akhir kontribusi presepsi responden pedagang terhadap kriteria sosial

138 116 (4) Responden Pengambil Kebijakan Hasil analisis persepsi responden ini pada masing-masing subkriteria dari kriteria sosial menunjukkan, nilai skor akhir subkriteria partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kedua kawasan pesisir tersebut dan keharmonisan hubungan antara pemanfaat semakin berkurang pada skenario II, III, dan I. Ini menunjukkan bahwa, dengan tidak terselesaikannya permasalahan kursial kedua kawasan pesisir tersebut secara bersama-sama, maka stok larva ikan bandeng akan terus berkurang dan kebutuhan benih petambak akan semakin meningkat, sedang produktivitas tambakpun akan semakin menurun. Dalam kondisi ini, keharmonisan hubungan pengumpul dan petambak akan berkurang karena pengumpul akan mencari petambak yang lebih menguntungkan atau sebaliknya. Keharmonisan petambak dan pedagangpun akan berkurang karena dengan semakin berkurangnya produksi tambak, pedagang akan mendatangkan ikan bandeng dari daerah penyuplai alternatif dalam jumlah yang cukup besar dan atau mencari petambak lain yang dapat memberi keuntungan lebih. Nilai skor akhir subkriteria pemeraan pendapatan pada skenario II dan III juga sama tetapi lebih kecil pada skenario I. Ini menunjukkan bahwa, ketidakmerataan pendapatan antar pemanfaat akan semakin meningkat dengan tidak terselesaikannya permasalahan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp secara bersama-sama. Bagi pengumpul, hal ini dikarenakan tidak adanya mata pencarian alternatif. Sedang bagi petambak, meski kebutuhan benih masih dapat diatasi karena memiliki daerah penyuplai benih alternatif, namun kesenjangan pendapatan antara petambak tetap ada karena jumlah benih yang didatangkan tergantung pada modal yang dimiliki. Bagi pedagang meski dapat mendatangkan ikan bandeng dari daerah penyuplai alternatif namun tetap akan kurang optimal, karena dibatasi modal usaha dan waktu dibanding memanfaatkan produksi tambak Holtekamp. Besarnya kontribusi skor akhir dari persepsi responden pengambil kebijakan untuk kriteria sosial terhadap masing-masing skenario dapat dilihat pada Gambar 47.

139 117 Contributions to SOSIAL from Level:Level 3 Skenario IV Skenario II Skenario III Parsipasi Msy Keharmonisan Hub. P'Nener Pemerataan Pendapatan Skenario I 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 Gambar 47 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengambil kebijakan terhadap kriteria sosial Setelah melakukan analisis terhadap persepsi masing-masing jenis responden pada setiap subkriteria dari masing-masing skenario, maka tahap selanjutnya adalah mencari skenario terbaik pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan melalui pendekatan larva ikan bandeng di pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp). Tahapan ini dilakukan melalui analisis terhadap persepsi seluruh responden. Hasil analisis persepsi seluruh responden menghasilkan skenario IV sebagai yang terbaik untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp). Skor akhir dari persepsi seluruh responden untuk skenario pengelolaan perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp) dapat dilihat pada Gambar 48. Gambar 48 Skor akhir skenario pengelolaan perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura. Berdasarkan hasil analisis yang ditunjukkan pada Gambar 48 diatas, maka pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan berbasis pada distribusi sumberdaya larva ikan bandeng di pesisir Kota Jayapura adalah melalui; perlindungan ekosistem mangrove, pengendalian sedimentasi, dan penghentian aktivitas bom ikan. Perlindungan ekosistem mangrove penting dilakukan karena

140 118 ekosistem ini memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup populasi ikan di alam termasuk ikan bandeng, yaitu sebagai daerah asuhan (Lee et al. 1986; Primavera 2000). Ekosistem ini juga berfungsi sebagai feeding ground, spawning ground, pencegah terjadinya erosi, resapan air, pelindung daratan dari badai dan hempasan ombak (Primavera 2000; Melena et al. 2000). Bagi kawasan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp, ekosistem mangrove ini berfungsi juga sebagai pelindung dari erosi dan abrasi. Pengendalian sedimentasi penting dilakukan terutama di Teluk Youtefa. Hai ini disebabkan kawasan ini merupakan perairan tertutup sebagaimana digambarkan dalam karakteristik stasiun pengamatan. Kondisi ini mengakibatkan material sedimentasi yang masuk ke perairan tersebut akan menumpuk dan berdampak pada penurunan kualitas air. Dengan menurunnya kualitas air di Teluk Youtefa, maka larva ikan bandeng yang telah kehilangan banyak energi saat memasuki kawasan teluk tersebut harus mengerluarkan energi tambahan untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi perairan yang terlalu dratis sehingga berdampak pada meningkatnya kematian alami. Penggunaan bom ikan penting dihentingkan karena dampaknya sangat besar terhadap kerusakan habitat pemijahan, terganggunya aktivitas pemijahan dan kematian larva ikan. Hasil analisis persepsi seluruh responden pada masing-masing subkriteria untuk setiap skenario (Gambar 49) menunjukkan, nilai skor akhir yang sama untuk peningkatan produksi, peningkatan pendapatan, dan peningkatan kelimpahan sumberdaya larva ikan bandeng pada setiap skenario. Hasil ini menunjukkan bahwa, produksi dan pendapatan pemanfaat akan meningkat apabila kelimpahan sumberdaya larva ikan bandeng meningkat. Peningkatan ketiga subkriteria ini akan terjadi apabila permasalahan krusial kedua kawasan tersebut terselesaikan secara bersama-sama. Kondisi tersebut akan meningkatkan keharmonisan dan pemerataan pendapatan antar pemanfaat. Dengan terselesaikannya permasalahan krusial kedua kawasan tersebut secara bersamasama akan memberi motifasi kepada masyarakat untuk turut berpatisipasi aktif dalam pengelolaan kedua kawasan pesisir tersebut. Tampilan pada Gambar 49 juga menunjukkan. bahwa kesehatan dan keberlanjutan sistem dalam suatu ekosistem pesisir harus dipahami dan

141 119 diperhatikan saat merumuskan suatu kebijakan pengelolaan. Bila kesehatan dan keberlanjutan sistem dalam suatu ekosistem terganggu akan berdampak pada ketidakberlanjutan sumberdaya yang hidup didalamnya. Ketidakberlanjutan sumberdaya tersebut berdampak pula bagi ketidakberlanjutan sosial ekonomi masyarakat yang bergantung pada sumberdaya tersebut. Contributions to PERIKANAN BERKELANJUTAN from Level:Level 3 Skenario IV Skenario II Skenario III Peningkatan produksi Peningkatan Pendapatan Sbdy. Larva Ikan Bandeng Parsipasi Msy Keharmonisan Hub. P'Nener Pemerataan Pendapatan Skenario I 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 Gambar 49 Skor akhir persepsi seluruh responden pada masing-masing subkriteria untuk setiap skenario Pengelolaan kawasan pesisir dan laut termasuk sumberdaya perikanan agar dapat berkelanjutan menurut Masalu (2000), harus dilakukan secara terpadu baik antara ekosistem dan sumberdaya serta harus terpadu pula antar institusi dalam pemerintahan. Model keterpaduan ini merupakan dasar yang kuat untuk menunjang pemanfaatan sumberdaya kawasan pesisir dan laut yang berkelanjutan. Untuk itu pemahaman hubungan antar ekosistem dan siklus hidup sumberdaya di dalamnya sangat penting bagi semua stakeholders yang terlibat. Berdasarkan pendapat tersebut, maka keberadaan institusi BAPPEDA dan BAPEDALDA sebagai badan yang berkekuatan hukum untuk merencanakan pembangunan dan mengendalikan dampak lingkungan harus diberikan otoritas penuh untuk mengendalikan dan membuat ijin bagi setiap aktivitas usaha yang memanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi konflik pemanfaatan dan memudahkan dalam koordinasi. Untuk itu setiap stakeholders dalam kedua badan ini harus memiliki pemahaman yang baik tentang keterkaitan ekosistem dalam kawasan pesisir, dampak yang ditimbulkan oleh suatu aktivitas terhadap keseimbangan ekosistem dalam kawasan tersebut, dan pengaruhnya secara sosial ekonomi. Setiap stakeholders di kedua institusi inipun harus memiliki kemapuan dalam hal koordinasi, agar tercapai keterpaduan program antar intitusi baik sektoral ataupun regional.

142 120 Dikatakan oleh Adianto et al. (2004), pengelolaan aspek finansial dan administrasi yang baik serta kemampuan pengorganisasian untuk jangka panjang merupakan syarat pembangunan perikanan berkeberlanjutan yang hanya dapat dicapai pada model pengelolaan yang dikuatkan oleh peraturan. Sebagai skenario terbaik untuk pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura (Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp), maka skenario IV ini hanya dapat terlaksana apabila ada dukungan dan komitment dari Pemerintah Daerah setempat. Dukungan dan komitment tersebut dapat berupa aturan tertulis yang mengikat semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, dan finansial. Hal ini dikarenakan, permasalahan krusial di pesisir Kota Jayapura saat ini terutama konversi mangrove dan sedimentasi, diakibatkan oleh penataan kota yang tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan bagi kelangsungan fungsi ekologis di kedua kawasan tersebut. Sedimentasi dan sampah dikawasan Teluk Youtefa telah terjadi dan akan tetap berlangsung karena masuknya saluran pembuangan Pasar Youtefa dan kawasan bisnis Entrop. Oleh sebab itu, dukungan dan komitmen dalam bentuk finansial dibutuhkan untuk pembiayaan dan penataan sampah dan sedimentasi dari kedua saluran pembuangan tersebut. Dukungan finansial dibutuhkan juga untuk mendukung program reboisasi dan pemeliharaan ekosistem mangrove yang telah dicanangkan oleh BAPEDALDA, serta pembinaan dan pemberdayaan pelaku bom ikan. Pembinaan dan pemberdayaan tersebut harus dilakukan untuk perbaikan dan peningkatan ekonomi maupun SDM.

143 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab terdahulu, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. 1. Distribusi dan kelimpahan larva ikan bandeng di ketiga stasiun pengamatan pada seluruh waktu pengamatan, dipengaruhi oleh pola arus serta arah dan kecepatan angin terkait dengan pergantian musim dan karakteristik fisik stasiun pengamatan. Hal ini dikarenakan ukuran panjang tubuh larva yang tertangkap masih berada pada fase akhir larva yang masih bersifat planktonis sehingga migrasi masih dipengaruhi arus. Pada minggu ke- 4 bulan Mei dan minggu ke- 1 bulan Juni, merupakan satu siklus pasang surut yang berada pada awal musim timur. Arah arus dan angin berubah-ubah karena masih dipengaruhi oleh musim sebelumnya tetapi masih didominasi dari arah Timur Laut dengan kekuatan yang telah berkurang. Ditunjang oleh karakteristik stasiun pengamatan, maka arus yang datang terhadang Tanjung Kasu dan pulau karang di depan stasiun II dan III untuk selanjutnya sebagian besar arus yang membawa serta larva ikan bandeng dibelokkan masuk ke kedua stasiun tersebut. Minggu ke- 4 bulan Juni dan minggu ke- 1 bulan Juli, juga merupakan satu siklus pasang surut tetapi sudah berada pada pertengahan musim timur. Arah angin didominasi Timur Laut dengan kecepatan yang lebih lemah. Dalam kondisi ini, maka arus yang datang bersamaan dengan larva ikan bandeng juga terhadang Tanjung Kasu dan pulau karang di depan stasiun II dan III, untuk selanjutnya seluruh arus dibelokkan masuk ke dua stasiun tersebut. Kisaran suhu dan salinitas di ketiga stasiun pengamatan selama pengamatn tidak mempengaruhi distribusi dan kelimpahan larva tersebut karena relatif stabil dan masih sesuai untuk pertumbuhan optimal larva ikan bandeng. Karateristik stasiun II yang terlindung Tanjung Kasu menimbulkan pola arus yang berlawanan menjadi perangkap bagi fitoplankton dan larva ikan bandeng sehingga biomassa dan faktor kondisi larva tersebut cenderung lebih tinggi dari stasiun I dan III.

144 Jumlah tangkapan dan kelimpahan individu larva ikan bandeng di perairan Teluk Youtefa dan Kampung Holtekamp saat ini telah sangat berkurang. Hal ini selain karena permasalahan krusial kedua kawasan pesisir tersebut, diduga ditunjang pula oleh penangkapan yang kontinyu. Kontinyutas penangkapan terjadi karena petambak selalu memanfaatkan larva ini meski stoknya telah berkurang dan ditunjang pula oleh ketergantungan pengumpul secara ekonomi pada keberadaan larva tersebut secara alami. 3. Pola pengelolaan Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp belum memperhatikan karateristik serta keterkaitan ekosistem dan sumberdaya di dalamnya. Meningkatnya konversi mangrove, sedimentasi, dan penggunaan bom ikan berdampak pada terganngunya kesehatan dan keberlanjutan sistem dalam ekosistem di Teluk Youtefa dan pesisir Kampung Holtekamp. Kondisi ini berdampak pada berkurangnya kelimpahan larva ikan bandeng di kedua kawasan ini dan mengakibatkan ketidakkeberlanjutan usaha pemanfaatan sumberdaya larva tersebut, terutama pengumpul larva dan petambak ikan bandeng. Ini dikarenakan, kedua usaha ini memiliki keterkaitan langsung secara ekonomi pada keberadaan larva tersebut secara alami. Oleh sebab itu penyelesaian permasalahan krusial kedua kawasan tersebut harus dilakukan secara terpadu dan menyeluruh. Ekosistem mangrove di kedua kawasan tersebut harus dilindungi melalui penghentian laju konversi dan peningkatan reboisasi. Ekosistem terumbu karang harus dilindungi melalui penghentian aktivitas bom ikan. Perlindungan kedua ekosistem ini penting dilakukan karena memiliki funsi ekologis untuk menjamin kelangsungan populasi ikan termasuk ikan bandeng di pesisir Kota Jayapura, yaitu sebagai nursery ground, feeding ground, dan spawning ground. Penghentian bom ikan penting dilakukan karena berdampak juga pada kematian larva dan juvenil ikan termasuk ikan bandeng, serta berdampak pula pada terganggunya aktivitas pemijahan. Pengendalian sedimentasi penting dilakukan di Teluk Youtefa, karena kawasan ini merupakan perairan tertutup sehingga material sedimentasi akan menumpuk dan berdampak pada penurunan kualitas air. Penurunan kualitas air ini berdampak pada meningkatnya kematian alami larva ikan termasuk larva

145 123 ikan bandeng. Ini dikarenakan, larva yang telah kehilangan banyak energi saat memasuki kawasan teluk tersebut harus pula mengerluarkan energi tambahan untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi perairan. 6.2 Saran Dengan mengacu pada hasil pengamatan dan pembahasan sebelumnya serta kesimpulan di atas, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dibutuhkan komitmen Pemerintah Kota Jayapura dan partisipasi aktif masyarakatnya untuk menghentikan konversi dan meningkatkan reboisasi mangrove, mengendalian sedimentasi di bagian dalam Teluk Youtefa agar fungsi ekologis kawasan ini tetap berlangsung, dan penghentian aktivitas bom ikan. 2. Pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku bom ikan perlu ditingkatkan. Pembinaan harus dilakukan untuk perbaikan ekonomi dan peningkatan SDM pelaku bom ikan. 3. Institusi BAPPEDA dan BAPEDALDA harus diberi otoritas untuk mengendalikan dan membuat ijin bagi setiap aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Kota Jayapura, guna mengurangi konflik dan memudahkan dalam koordinasi. Untuk itu diupayakan agar setiap individu dalam dua intitusi ini memiliki pemahaman yang baik tetantang karakteristik ekosistem pesisir Kota Jayapura, keterkaitan antar ekosistem dan antara ekosistem dengan sumberdaya di dalamnya, serta dampak yang ditimbulkan oleh suatu aktivitas terhadap keseimbangan ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat di dalamnya. 4. Perlu dilakukan kajian lanjut tentang dinamika distribusi larva ini minimal II periode kelimpahan, agar informasi yang didapat tentang pola distribusi dan kelimpahan larva ini lebih lengkap. Hal ini dimaksudkan agar, apabila penurunan kelimpahan diakibatkan juga oleh tangkap lebih dan perlu dilakukan pembatasan atau penutupan musim tangkap, maka cukup dilakukan di salah satu lokasi sehingga pengumpul tetap mendapatkan penghasilan dan tidak menimbulkan konflik sosial. 5. Apabila akan dilakukan penutupan areal tangkap dan atau pembatasan jumlah tangkapan untuk melindungi populasi larva ikan bandeng dan larva

146 124 ikan lainnya, dapat dilakukan di perairan Teluk Youtefa. Hal ini terkait dengan perairan kawasan ini yang relative tenang dan dukungan dari kearifan masyarakat lokal yang sudah ada, seperti; tidak menangkap ikan yang berukuran kecil, penutupan waktu tangkap berdasarkan jenis ikan, dan tidak menggunakan bom ikan di kawasan tersebut. Disamping itu, bila dilakukan di perairan teluk tersebut, tidak menimbulkan dampak sosial karena pengumpulan larva hanya dilakukan di stasiun I dan II. Namun untuk mendukung alternatif ini, konversi mangrove harus dihentikan dan reboisasinya ditingkatkan, aktivitas bom ikan harus dihentikan, dan sedimentasi harus dikendalikan.

147 125 DAFTAR PUSTAKA Adrianto L., Matshuda Y., Sakuma Y Assesing Local Sustainability Of Fisheries System: A Multi-Criteria Participatory Approach with the case of Yoron Island. Japan: Kagoshima Prefecture. Marine Policy, 29 : Adrianto L., Kusumastanto T Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan (Fisheries Management Plan) dan Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir (Coastal Management Plan). Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor. Adrianto L Pendekatan dan Metodologi Evaluasi Program Perikanan: Participatory Qualitative Modeling. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor. Anggoro S Pengaruh Salinitas Terhadap Kuantitas Dan Kualitas Makanan Alami serta Produksi Biomassa Nener Bandeng [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Alongi DM The role of soft-bottom benthic communities in tropical mangrove and coral reef ecosystems. CRC Critical Reviews in Aquatic Science 1: [APHA] American Public Health Association Standard Methods for the Examinition of Water and Wastewater. Ed ke- 20. Washington: Amer. Publ. Health Association Inc. xxxvii hal. Arinardi OH., Trimaningsih SH Riyono, E Asnaryanti Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Sekitar Pulau Sumatra. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. iii+110 p. Aziz KA Pendugaan Stok Populasi Ikan Tropis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 89 hal. Bagarinao TU Biology of Milkfish (Chanos chanos, Forsskal). Aquaculture Departement Southeast Asian Fisheries Development Center. Tigbauan, Iloilo. Philippines. Baskoro MS., Wahyu RI., Effendy A Migrasi dan Distribusi Ikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 152 hal. [BAPPEDA] Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Jayapura. Jayapura dalam Angka, Kota Jayapura: BAPPEDA. [BAPEDALDA] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan daerah Kota Jayapura. Rencana Strategis, Kota Jayapura: BAPPEDALDA. Bene C., Tewfik A Analysis of Fishing Effort Allocation and Fishermen Behaviour Trough a System Approach. Centre For The Economics and Management of Aquqtic Resources. Human Ecology, 29 (2):

148 126 Bengen DG Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: PKSPL, IPB. [BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika Provinsi Papua, Kantor Cabang Kota Jayapura. Data Klimatologi Kota Jayapura Bulan Mei, Juni dan Juli Kota Jayapura: BMG. Boehlert GW., DM. Gadomski, BC. Mundy Vertical Distribution of Ichthyoplankton of the Oregon Coast in Spring and Summer Months. Fish Bull., : [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Jayapura Statistik Kependudukan dan Ekonomi Kota Jayapura. Kota Jayapura: BPS. Brower JE., JH. Zar Field and laboratory Methods for General Ecologi 3 rd ed. Wm. C. Iowa: Brown Publishers Dubugue. 237 p. Budiono M., E. Sudarmi, Bambang SR Biologi Bandeng (Chanos chanos, Forsskal). Balai Budidaya Air Payau, Jepara. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. 225 hal. Chen Chun-Nian, Lin Li-Yih, Lee Tsung-Han Ionocyte Distribusi in Gills of The Euryhaline Milkfish (Chanos chanos, Forsskal, 1775). Zoological Studies, 43 (4): Chong VC., Sasekumar A., Leh MUC., D Cruz R The fish and prawn communities of a Malaysian coastal mangrove system, with comparisons to adjacent mud flats and inshore waters. Estuarine Coastal and Shelf Science, 31: Cicin-Sain B., RW. Knecht Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Island Press, Wahintong DC, 517 pp. Clark J Coastal Ecosystems: Ecological considerations for manajement of the coastal zone. The Conservation Foundition, Washington, D.C. 178p. Colin WC Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. Departement of Matematies University of British Columbia. New York: John Wiley and Sons. Dahuri R., Rais J., Ginting SP., Sitepu MJ Pengelolaan Sunberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Ed Rev. Jakarta: Pradnya Paramita. Dahuri R Penerapan Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. Di dalam: Seminar Sehari Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PPLH-IPB, Ditjen Bangda dan ADB, Bogor. Bogor: April, Davis CC The Marine and Fresh Water Plankton. Michigan State Univ. Press. Dishidros Laporan Survei dan Pemetaan Hidro. Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL. Jakarta: Dishidros.

149 127 [DISKANLA] Dinas Perikanan dan kelutan Kota Jayapura Data Perikanan Budidaya Kota Jayapura tahun 2007/2008. Kota Jayapura: DISKANLA. [DKP] Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua Penyusunan Master Plan Sentra Perikanan Budidaya Di Kabupaten/Kota Jayapura. Laporan Akhir. Papua: PT. INSAN Group. Effendy MI Biologi Ikan. Yokyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara. 163 hal. Effendy MI Biologi Perikanan. Studi Natural History. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 106 hal. Fauzi A Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 257 hal. Fleming M., LinG., Sternberg LSL Influence of mangrove detritus in an estuarine ecosystem. Bulletin of Marine Science, 47: Garno YS Penerapan Metode Pengendapan pada Penentuan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Pesisir dan Laut (Studi Kasus Kualitas Perairan Pesisir Pulau Pulau Harapan-Kepulauan Seribu). Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 4(5): Goldman JC., Carpenter EJ A Kinetic Approach to the of Temperature in Algal Growth. Limnol Oceanogr, 19 : Goldman R., AJ. Horne Limnology. McGraw Hill International Book Company. Auckland, New Zealand. 464p Gumbriech T Application of GIS in Training for Environment Management (46) p Hatcher BG., Johannes RE., Robertson AI Review of research relevant to the conservation of shallow tropical marine ecosystems. Oceanography and Marine Biology Annual Review, 27: Hayes LM., T. Laevastu Fisheries Oceanography and Ecology. New Ocean Enviromental Service. London: Fishing News Books Ltd. Hela I., T. Laevastu Fisheries Oceanography. New Ocean Enviromental Service. London: Fishing News Books Ltd. Hutabarat S., SM. Evans Pengantar Oseanografi. Jakarta: Djambatan. 158 hal. [ICES] International Council for Exploration of the Sea Report of the Working Group on the Assessment of Northern Shelf Demersal Stocks. http//: [1 Desember 2008] Kay, R., J. Alder Coastal Plamming and Management. Academic Press. New York. Kennish MJ Ecology of Estuaries. Vol II: Biology Aspects. CRC Press, Inc. Boca Raton, FL h.

150 128 Kinne O The Effect of Temperature and Salinity on Marine and Brackhish Water Animal, p In: Barnes H. (Ed) Oceonography and Marine Biology, Vol. II: An Anual Review. London: George Allen and Unwin Ltd. Krebs CJ Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. 3 rd edition. New York: Harper and Raw Publisher. 694 hal. Krismono ASN., Krismono Dinamika Kualitas Air (Oksigen Terlarut, Nitrat dan Fosfat) di Waduk Djuanda Jawa Barat. In: NN. Wiadnyana, ES. Kartamihardja, DI. Hartoto, A. Sarnita, dan MTD. Sunarno. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia ke- 1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jakarta: BRKP Lagler KF., JE. Bardach, RR. Miller, DM. Passino Ichtyology. John Wileg and Sons, Inc. New York. 505 p. Lee SY Mangrove outwelling: a review. Hydrobiologia, 295: Lee Ch-Sh., Gordon MS., Watanabe WO Aquaculture of Milkfish (Chanos Chanos, Forsskal). Los Angels: State Of The Art. Dep. Of Biology Univ. of California. 31 pp. Lignot JH., S. Spanings-Pierot, G. Charmantier Osmoregulatory Capacity as a Tool in Monitoring The Physiological Condition and The Effect of Stressin crustaceans. Aquaculture, 191: Lin YM., Chen CN., Lee TH The Expression of Gill Na, K-ATPase in Milkfish (Chanos chanos). Acclimated to Seawater, Brackish and Fresh Water. Elseivier, A. 135 : [LKL] Lembaga Konservasi Laut Papua. Penyusunan Profil Serta Rencana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kota Jayapura, Kota Jayapura: BAPPEDA. Luckstadt Ch., Reiti T Investigations of The Behavior of Juvenile Milkfish (Chanos chanos Forsskal) in Brackishwater Lagoons on South Tarawa, Kiribati. Verhandlungen der Gesellschalt fur Ichthyologie, Band 3 : Manubun U Produktivitas Primer Fitoplankton Dan Kaitannya Dengan Unsur Hara Dan Cahaya Di Perairan Muara Jaya Teluk Jakarta [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marion Glaser, Karen Diele Asymmetric Outcomes : assesing central aspects of the biological, economic and social sustainability of a mangrove crab fishery, Ucides cordatus (Ocypodidae), in North Brasil. Elseivier, Ecological Economics 49: Marguillier S., van der Velde G., Dehairs F., Hemminga MA., Rajagopal S Trophic relationships in an interlinked mangrove-seagrass ecosystem as traced by δ 13 C and δ 15 N. Marine Ecology Progress Series, 151:

151 129 Mardjono M., Budiono M., N. Hamid Tecnic of Catch and Handling of Fish Fry. Aqued to Pond Culture Jepara. Jepara: Brackish Aquaculture Development Center. P Marshall N Mangrove Conservation in Relation to Overall Environmental Considerations. Hydrobiologia 285: Masalu DCP Coastal and Marine Resource use Conflicts and Sustainable Development in Zanzibar Tanzania. Elseivier, Ocean and Coastal Management, 43 : Mantiri ROSE Ichthyoplanktonologi. Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado. Materi Kuliah. Manado: UNSRAT. Melena DM Mongrove management handbook. Coastal Resource Management project of the Departement of Environment and Natural Resources supported by the United States Agency for lnternational Development. Manila. Philippines. Metarase AC., AW. Kedall Jr., DM. Vinter Laboaratory Guide to early life history stages of Northeas pacific Fishes. NOAA Technical Report NMFS 80. U.S. Dept commerce. 652 hal. Munasinghe M Interaction Between Climate Change and Sustainable Development- an Introduktion. Int. J. Global Environmental Issues, Vol.1, Bo. 2. Mudjiman Budidaya Ikan Bandeng. Jakarta: Penebar Swadaya. Mwangamilo JJ., Jiddawi NS Nutitional Studies and Development of a Practical Feed for Milkfish (Chanos chanos) Culture in Zanzibar, Tanzania. Western Indian Ocean J. Mar. Sci. 2: Nazir M Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Nikijuluw V Rezim Pengelolaan Sunberdaya Perikanan. Jakarta: Pustaka Cidesindo. 254 hal. Nontji A Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. 367 hal. Nybakken JW Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan: Biology and Ecological Approach. Jakarta: Gramedia. Odum EP Dasar- dasar ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Press. 679 hal. Oymak ASK., Solak, E. Unlu Some Biological Heckel, Characteristich of Silurus triotegus, 1843, from Atatuk Dan Lake (Turkey). Truck Journal, 25 : [PERDA] Peraturan Daerah Kota Jayapura Nomor 16, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jayapura. Kota Jayapura: Bag. Hukum. Primavera JH Philippines Mangroves - Status, Threats and Sustainable Development. Paper Presented to International Workshop Asia-Pacific

152 130 Cooperation on Research for Conservation of Mangroves. Okinawa Japan: March, UNU, Robertson AI., Duke NC Mangroves as nursery sites: comparisons of the abundance and species composition of fish and crustaceans in mangroves and other nearshore habitats in tropical Australia. Marine Biology, 96: Rodelli MR., Gearing JN, Gearing PJ, Marshall N., Sasekumar A Stable isotope ratio as a tracer of mangrove carbon in Malaysian ecosystems. Oecologia, 61: Rohmimotarto K., Juwana S Biologi Laut, Ilmu pengetahuan Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseonografi-LIPI. Jakarta. Xii hal. Rosyidi S Pengantar Teori Ekonomi. Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal Russel FS The Eggs Planktonic Stage Of British Marine Fishes. London: Avad Press. hal Saanin H Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan 1 dan 2. Jakarta: Bina Cipta. Sachlan M Planktologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Diponegoro Semarang. 130 halaman. Sanders JG., Cibik SJ., D Elia CF., Boyton WR Nutrient Enrichment Studies in a Coastal Plain Estuary: change in phytoplanton species composition. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciensces, 44: Santiago CB., M. Banes-Alba, ET. Songalia Effect of Artificial Diets on Growth and Survival of Milkfish Fry in Freshwater. Aquaculture, 34: Sevilla CG., Twila PG., Belle RP., Gabriel UG Pengantar Metode Penelitian (terjemahan). Jakarta: Universitas Indonesia. Sparre P., Venema SC Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis Buku-1 Manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jakarta. Singarimbun M Tipe Metode dan Proses Penelitian dalam Metode Penelitian Survei (Editor: Singarimbum, Masri, dan Sofian Effendi) LP3ES, Jakarta. Subandar A Multi Criteria Making Techniques. Materi Kuliah Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan, 22 Hal. Supriharyono Inovasi Penerapan Jaring Apung Tarik Pada Pemenuhan Penyediaan Nener Budidaya Tambak. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. Semarang: UNDIP.

153 131 Suseno S Budidaya Ikan dan Udang Dalam Tambak. Jakarta: Gramedia. Suresh VR., BK. Biawas, GK. Vinci, K. Mitra, A. Mukherjee Biology and Fishery of Barred Spiny Eel, Macrognathus pancalus, Hamilton. Journal of Acta Ichthyological et Piscatoria, 36 (1): Sverdrup HV., MW. Johson, RH. Fleming The Ocean. Their Physich, Chemistry and General Biology. Englewood Cliffs. Prectice Hall Inc. [UNIPA] Universitas Negeri Papua Survei Potensi Sumberdaya Teluk Youtefa Berbasis Masyarakat Di Kota Jayapura. Manokwari: UNIPA. Tang YA., TL. Hwang Stock Manipulation of Coastal Fish Farms, p: In T.V.R. Pillay, ed. Coastal Aquaculture in the Indo-Pasific Region. Fishing News (Books) Ltd., London. Tzeng WN., SY. Yu Effects of Starvation on the Formation of Daily Growth Incraments in the Otoliths of Milkfish Larvae (Chanos chanos, Forsskal). J. Fish Biol., 40: Wahbah MI., Mohammad BZ Temporal Distribution Of Chlorophyll, a Suspended Matter, and The Veritical Flux Of Particles In Aqaba (Jordan). Hydrobiologia, 459 : Watanabe WO Larvae and Larva Culture. Oceanic Institute. Hawaii. In; C. Sheng Lee and M.S. Gordon and W.O., Aguaculture of milkfish (Chanos chanos F). State of the art ; Widodo J., Naamin N., Aziz KA Metode Pengkajian Stok (Stock Assessment). Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia. Wilhm JF Biological Indicators of Pollution. In BA. Whitton (Ed.), River Ecology. Oxford: Blackwell Scientific Publication.

154

155 132 Lampiran 1 Alat yang digunakann Seser (alat pengumpul larva ikan bandeng) Termometer Refraktometerr Planktonnet Timbangan Digital (ketelitian gr)

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua dan berada di Teluk Yos Sudarso. Kawasan pesisir Kota Jayapura terbagi atas pesisir bagian barat dan bagian timur. Pesisir

Lebih terperinci

SKENARIO PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS SUMBERDAYA LARVA IKAN BANDENG DI PESISIR KOTA JAYAPURA, PROVINSI PAPUA)

SKENARIO PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS SUMBERDAYA LARVA IKAN BANDENG DI PESISIR KOTA JAYAPURA, PROVINSI PAPUA) SKENARIO PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS SUMBERDAYA LARVA IKAN BANDENG DI PESISIR KOTA JAYAPURA, PROVINSI PAPUA) ELSYE PENINA RUMBEKWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 46 4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis 4.1.1 Letak dan Luas Wilayah Kota Jayapura terletak di tepian Teluk Yos Sudarso dan secara geografis berada pada posisi antara 1 0 28 17.26 hingga

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT Oleh : H. M. Eric Harramain Y C64102053 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Kartini V.A. Sitorus 1, Ralph A.N. Tuhumury 2 dan Annita Sari 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Budidaya Perairan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA JOSHIAN NICOLAS WILLIAM SCHADUW SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT

ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah) MA SITASARI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS A. Kerangka Teori Hutan mangrove merupakan ekosistem wilayah pesisir yang potensial yang memiliki kaitan erat dengan kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan belasan ribu pulau besar dan kecil beserta juga dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia (Christanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kurau Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus eleutheronema dan Species Eleutheronema

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci