KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO NOVI TRI AYUNINGRUM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO NOVI TRI AYUNINGRUM"

Transkripsi

1 KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO NOVI TRI AYUNINGRUM DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Komunitas Amfibi di beberapa Sungai pada Suaka Margasatwa Nantu Provinsi Gorontalo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2015 Novi Tri Ayuningrum NIM E

4 ABSTRAK NOVI TRI AYUNINGRUM. Komunitas Amfibi di Beberapa Sungai pada Suaka Margasatwa Nantu Provinsi Gorontalo. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan AGUS PRIYONO KARTONO. Amfibi merupakan salah satu satwa yang hidup tidak jauh dari sumber air. Keberadaan amfibi sangat dipengaruhi oleh kondisi dan tipe habitat dimana beberapa jenis dapat ditemukan di hutan rendah gangguan atau di hutan terganggu. Penelitian ini dilakukan di beberapa sungai pada Suaka Margasatwa Nantu untuk mengidentifikasi komposisi jenis amfibi, pemilihan mikrohabitat oleh amfibi, dan pola penyebaran amfibi. Pengukuran mikrohabitat dilakukan untuk mendapatkan data mengenai kecepatan arus, kedalaman sungai, tutupan kanopi, lebar sungai, dan jenis substrat. Hasil penelitian menemukan 490 ekor katak dari 15 jenis amfibi tergolong dalam empat famili. Limnonectes cf modestus merupakan jenis yang selalu ditemukan di semua sungai dengan kelimpahan tertinggi (519 individu/ha) di hutan sekunder. Habitat sungai di hutan primer dan hutan sekunder memiliki kesamaan komunitas amfibi paling tinggi (86.6%), sedangkan komunitas amfibi pada sungai di kebun tebu paling berbeda dengan sungai lainnya. Analisis menunjukkan bahwa jenis amfibi cenderung memilih kondisi mikro habitat tertentu, seperti Fejervarya limnocharis sangat erat hubungannya dengan kondisi sungai yang sangat lebar dengan tutupan kanopi terbuka. Amfibi di sungai umumnya menyebar secara mengelompok. Kata kunci: komposisi jenis amfibi, mikrohabitat, pola penyebaran ABSTRACT NOVI TRI AYUNINGRUM. Stream Amphibian Community at Nantu Wildlife Sanctuary. Supervised by MIRZA DIKARI KUSRINI and AGUS PRIYONO KARTONO. Amphibians can not be separated from water resource. They depend on the condition and type of habitat, species might live in forest with minimum disturbance but others might persist in disturbed forest. Research in streams of Nantu Wildlife Santuary aimeds to identify amphibian composition, assessed the relationship between microhabitat and amphibian species, and amphibian dispersal. Microhabitat data was obtained by measuring water velocity, stream depth canopy cover, stream width, and substrat materials. We found 490 individuals frogs from 15 species of four families. Limnonectes cf modestus were found in all streams with highest abundance of 519 individuals/ha at secondary forest. The highest similarity (86.6%) occurred between primary forest and secondary forest, whereas stream at sugar cane plantation differed from others. Analysis showed Thar species tend to prefer selected microhabitat, for instance, Fejervarya limnocharis tends to select wide stream with open canopy cover. Amphibians in the stream usually distribute in clustered mode. Keywords: amphibian species composition, microhabitat, dispersion pettern

5 KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO NOVI TRI AYUNINGRUM Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

6

7 Judul Skripsi Nama NIM : Komunitas Amfibi di beberapa Sungai pada Suaka Margasatwa Nantu Provinsi Gorontalo : Novi Tri Ayuningrum : E Disetujui oleh Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi Pembimbing I Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi Pembimbing II Diketahui oleh Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus:

8

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2014 ini adalah Komunitas Amfibi di beberapa Sungai pada Suaka Margasatwa Nantu Provinsi Gorontalo. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi dan Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan dorongan semangat, saran, nasihat dan bimbingan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada BOPTN DIKTI atas bantuan dan dana kepada penulis untuk melaksanakan penelitian. Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) LIPI yang telah membantu dalam identifikasi spesies. Terima kasih kepada pihak BKSDA Manado, Bapak Muchtar Maksus selaku Kepala Seksi Suaka Margasatwa Nantu yang telah memberikan akses kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di Suaka Margasatwa Nantu. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Fata Habiburrahman Faz, Hendrik Abdul, Bapak Ridon Saleh yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data. Terima kasih kepada Ibu Elan Dado sekeluarga yang telah memberikan fasilitas kepada penulis selama penelitian. Terima kasih penulis sampaikan kepada ayah (Sunyoto), ibu (Sumiati), kakak tersayang (Andik Eko Saputra, Bayu Dwi Romadhon, Suliyani) serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, dan kasih sayang kepada penulis. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Amalia Choirunnisa, SHut, Eko Hartanto, SHut, Nuning Hamidah S, SHut, Mulyadi, SHut, teman-teman Nepenthes rafflesiana KSHE 47, teman-teman dan senior di Laboratorium Katak, staf pengajar DKSHE, serta pihakpihak lain yang telah membantu dan memberikan dukungan dan masukan kepada penulis sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, April 2015 Novi Tri Ayuningrum

10 DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR ISI vii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 METODE 2 Waktu dan Lokasi 2 Pengumpulan Data 2 Analisis Data 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 Komposisi jenis amfibi 5 Pemilihan mikrohabitat oleh amfibi 9 Pola penyebaran jenis amfibi 11 SIMPULAN DAN SARAN 12 Simpulan 12 Saran 12 DAFTAR PUSTAKA 12

11 DAFTAR GAMBAR 1 Lokasi penelitian 2 2 Perbandingan jumlah individu setiap famili di semua sungai 7 3 Kesamaan komunitas amfibi di setiap sungai 8 4 Pemilihan mikrohabitat oleh amfibi 10

12 PENDAHULUAN Latar Belakang Habitat merupakan suatu kesatuan dari faktor fisik dan biotik yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup satwa (Alikodra 2002). Habitat digunakan oleh satwa untuk tempat berkembangbiak, tempat mencari pakan, dan melakukan aktivitas harian lainnya (Inger et al. 1986). Struktur komunitas dan penyebaran spesies sangat tergantung pada faktor fisik, kimia, dan biologi lingkungan. Keberadaan suatu spesies dapat mempengaruhi keberadaan spesies lainnya dalam habitat tersebut. Keberadaan amfibi sangat dipengaruhi oleh kondisi dan tipe habitatnya. Beberapa jenis amfibi hanya ditemukan di hutan primer dan beberapa jenis lainnya ditemukan di hutan sekunder serta hutan yang telah terdegradasi. Setiap habitat mempunyai karakteristik yang berbeda, baik secara mikro maupun makro. Perbedaan tersebut dapat mempengaruhi keberadaan jenis amfibi. Menurut Iskandar (1998), beberapa jenis amfibi tidak dapat jauh dari sumber air. Terdapat, beberapa jenis yang hanya dijumpai di perairan arus cepat hingga perairan tenang seperti genangan air. Keberadaan amfibi di suatu habitat dapat tergambarkan dari struktur komunitas amfibi yang ada di habitat tersebut. Penggunaan suatu habitat oleh amfibi sangat dipengaruhi oleh struktur komunitasnya. Beberapa penelitian mengenai amfibi pernah dilakukan di Sulawesi antara lain di Sulawesi Tenggara yang menemukan 13 jenis amfibi dari empat famili (Gillespie et al. 2005). Penelitian lain di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah menemukan 25 jenis amfibi dari lima famili (Wanger et al. 2011). Daftar jenis amfibi di Sulawesi dapat ditemukan dari tulisan Iskandar dan Tjan (1996) yang menyatakan bahwa di Sulawesi terdapat 40 jenis amfibi dari empat famili. Salah satu lokasi yang memiliki habitat unik dan menarik di Sulawesi adalah Suaka Margasatwa (SM) Nantu. NFCF (2009), kawasan ini merupakan salah satu habitat babi rusa (Babyrousa babyrussa) di Sulawesi. Penelitian mengenai amfibi di SM Nantu telah dilakukan pada tahun 2014 oleh Khairunnisa (2014) yang menemukan sebanyak 18 jenis amfibi dari empat famili, yakni Bufonidae, Dicroglossidae, Ranidae, dan Rhacophoridae. Penelitian tersebut hanya melakukan eksplorasi terhadap jenis-jenis amfibi yang ada tetapi tidak memperhatikan ekologi komunitas dalam kaitannya dengan kondisi mikrohabitat. Berdasarkan hasil penelitian ini maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menelaah komunitas amfibi di habitat sungai. Tujuan Penelitian Penelitian tentang komunitas amfibi di beberapa sungai pada SM Nantu Provinsi Gorontalo ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi: 1. Komposisi jenis amfibi di beberapa sungai. 2. Pemilihan mikrohabitat oleh jenis-jenis amfibi dominan di sungai. 3. Pola penyebaran amfibi di beberapa sungai.

13 2 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Juni Lokasi penelitian berada di kawasan timur SM Nantu, Provinsi Gorontalo. Pengambilan data dilakukan di luar kawasan SM Nantu di daerah perbatasan antara Desa Bontula dengan Kawasan SM Nantu, serta areal di dalam kawasan SM Nantu. Luas kawasan SM Nantu adalah ha, yang terdiri atas beberapa tipe ekosistem. Tipe ekosistem tersebut adalah ekosistem hutan primer, hutan sekunder, dan areal perkebunan. Pengamatan dilakukan di lima sungai yaitu sungai pada hutan primer, sungai pada hutan sekunder, sungai daerah ekoton yang merupakan peralihan dari kebun dan hutan, sungai pada kebun jagung, dan sungai pada kebun tebu. Pemilihan lokasi pengamatan ini sama dengan lokasi pengamatan Khairunnisa (2014), walaupun hanya difokuskan pada daerah sungai. Gambar 1 Lokasi penelitian di sungai pada daerah sekitar dan dalam Suaka Margasatwa Nantu Pengumpulan Data Jenis dan Jumlah Individu Amfibi Pengumpulan data amfibi dilakukan dengan metode Visual Encounter Survey (VES) yang dikombinasikan dengan line transect sepanjang 100 m (Heyer et al. 1994). Waktu pengamatan amfibi sesuai waktu aktif amfibi yaitu malam hari pukul 19:00-21:00 WITA. Penentuan jalur pengamatan dan pemasangan tanda di sepanjang jalur pengamatan dilakukan sehari sebelumnya. Setiap lokasi pengamatan dicatat dan di tandai dengan Global Positioning System (GPS).

14 Pada setiap sungai yang diamati, dibuat tiga transek pengamatan sepanjang 100 m dengan jarak transek 100 m. Pencarian amfibi dilakukan secara sistematis dengan menyusuri sungai jalur pada jalur pengamatan, difokuskan di kanan dan kiri sungai dengan jumlah pengamat empat orang. Pengamatan setiap transek dilakukan selama tiga hari. Amfibi yang ditemukan dicatat posisi geografisnya dengan menggunakan GPS. Pengamatan dibantu dengan senter sebagai sumber cahaya. Amfibi yang ditangkap dicatat informasinya dan dimasukkan dalam kantung plastik sebagai voucher spesimen. Data yang dicatat adalah jenis amfibi yang ditemukan, jumlah amfibi yang ditemukan, waktu perjumpaan amfibi, lokasi penemuan amfibi, dan aktivitas amfibi saat pertama kali ditemukan. Identifikasi jenis amfibi dilakukan dengan menggunakan bantuan buku identifikasi atau literatur mengenai amfibi di kawasan Wallaceae dan Sulawesi dengan Guide to the frog and reptiles of Sulawesi Tenggara off shore islands (Gillespie 2009). Dokumentasi amfibi dilakukan dengan kamera digital setelah selesai identifikasi. Beberapa individu amfibi yang ditemukan diawetkan menggunakan alkohol 70% untuk identifikasi lebih lanjut di Laboratorium Herpetologi Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Zoologi, Pusat penelitian dan pembangunan (Puslitbang) Biologi- LIPI Cibinong. Analisis genetik untuk membedakan jenis dari beberapa individu genus Limnonectes dilakukan oleh Kusrini et al. (2015) berdasarkan spesimen yang diperoleh dari penelitian ini. Data tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam identifikasi jenis. Pengambilan spesimen tidak dilakukan untuk semua spesies. Hal ini menyebabkan semua spesies Limnonectes yang ditemukan di sungai, tidak dapat diidentifikasi dengan baik sebagai jenis tertentu. Oleh karena itu individu yang tidak dapat diidentifikasi secara meyakinkan tersebut selanjutnya dikelompokkan sebagai Limnonectes cf modestus (cf = common form). Karakterstik Mikrohabitat Data karakteristik mikrohabitat digunakan untuk menduga tipe-tipe habitat yang dimanfaatkan oleh amfibi di semua sungai. Data mikrohabitat yang dicatat meliputi kecepatan arus, kedalaman sungai, lebar sungai, tutupan kanopi, dan jenis substrat. Mikrohabitat yang diukur saling memiliki hubungan, yaitu kecepatan arus dipengaruhi oleh kedalaman sungai, lebar sungai, dan kekasaran dasar sungai (Odum 1993). Pengambilan data kecepatan arus, kedalaman sungai, lebar sungai, dan tutupan kanopi diukur pada titik 0 m, 50 m, dan 100 m pada setiap jalur pengamatan di kanan, tengah dan kiri sungai. Data jenis substrat sungai diambil pada titik dimana katak ditemukan. Klasifikasi peubah mikrohabitat yang diukur adalah sebagai berikut : a. Kecepatan arus sungai Kecepatan arus sungai diukur menggunakan tutup botol yang dihanyutkan. Kecepatan arus sungai dikategorikan sebagai berikut: sangat cepat (>1.00 m/detik), cepat ( m/detik), sedang ( m/detik), lambat ( m/detik) dan sangat lambat (<0.1 m/detik) (Mason 1981 dalam Ningsih 2011). b. Kedalaman sungai Kedalaman sungai diukur dengan menggunakan tongkat dan pita meter. Kedalaman sungai diklasifikasikan sebagai berikut: sangat dalam (>25 cm), dalam (19-24 cm), agak dangkal (13-18 cm), dangkal (7-12 cm), dan sangat dangkal (0-6 cm). 3

15 4 c. Lebar sungai Lebar sungai diukur dengan membentangkan meteran (30 m) dari tepi di sisi yang satu secara tegak lurus terhadap aliran air ke sisi yang lain di seberangnya. Lebar sungai diklasifikasikan sebagai berikut: sangat lebar (>20 m), lebar (16-20 m), agak sempit (11-15 m), sempit (6-10 m), dan sangat sempit (0-5 m). d. Tutupan kanopi Tutupan kanopi diukur menggunakan densiometer. Tutupan kanopi diklasifikasikan sebagai berikut: sangat rapat ( %), rapat (61-80 %), agak terbuka (41-60 %), terbuka (21-40 %), dan sangat terbuka (0-20 %). e. Substrat sungai Substrat sungai digunakan amfibi sebagai pijakan untuk beraktivitas, substrat sungai dikategorikan sebagai berikut: batu besar (>250 mm), batu kecil ( mm), batu kerikil (15-50 mm), kerikil (2-15 mm), pasir ( mm), lumpur dan tanah liat (<0.06 mm) (Dayton 2005). Selain itu terdapat substrat lain yaitu ranting dan batang kayu. Analisis Data Kelimpahan jenis amfibi Kelimpahan jenis amfibi digunakan untuk mengidentifikasi kelimpahan jenis amfibi di setiap sungai. Kelimpahan dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Brower dan Zar 1989): Jumlah individu jenis amfibi ke-i Kelimpahan jenis amfibi = Luas pengambilan contoh (ha) Kesamaan komunitas amfibi antar sungai Indeks kesamaan komunitas jenis amfibi digunakan untuk mengidentifikasi kesamaan komposisi jenis amfibi di setiap sungai. Kesamaan komunitas jenis amfibi dianalisis menggunakan software minitab 16 dengan Ward s Linkage Clustering berdasarkan nilai kehadiran jenis amfibi. Pemilihan mikrohabitat oleh jenis amfibi Kecenderungan pemilihan karakteristik mikrohabitat oleh jenis amfibi dianalisis menggunakan software CANOCO dengan metode Canonical Corespondence Analysis (CCA). Mikrohabitat yang dianalisis meliputi kedalaman sungai, kecepatan arus sungai, lebar sungai, tutupan kanopi, dan jenis substrat. Pola penyebaran amfibi Pola penyebaran amfibi dianalisis dengan menggunakan indeks dispersi. Untuk mengurangi kemungkinan bias, hanya jenis yang memiliki jumlah individu lebih dari lima ekor yang dianalisis pola penyebarannya. Persamaan indeks dispersi merupakan rasio antara nilai varian dan nilai rata-rata contoh (Ludwig dan Reynolds 1988):

16 Keterangan: ID ID = S2 x : Indeks dispersi S 2 : Ragam contoh x : Rata-rata Jika contoh mengikuti sebaran poisson, maka varian contoh akan sebanding dengan rata-rata contoh dan selanjutnya nilai ID yang diharapkan = 1, yang menunjukkan bahwa populasi mengikuti pola sebaran acak. Jika varian < 1 (mendekati 0) menunjukkan pola sebaran seragam dan jika varian > 1 maka menunjukkan pola sebaran mengelompok. Selanjutnya untuk menguji indeks dispersi dengan ukuran N < 30 digunakan uji chi-square dengan persamaan sebagai berikut: 5 Keterangan: χ 2 ID N χ 2 = ID (N-1) : Nilai chi-square : Indeks dispersi : Jumlah transek Jika komunitas komunitas menyebar seragam χ 2 2 < χ ; jika menyebar mengelompok maka nilai χ > χ dan jika menyebar acak maka χ < χ 2 < 2 χ HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Jenis Amfibi Kekayaan jenis dan kelimpahan amfibi Ditemukan 15 jenis amfibi dari empat famili dengan jumlah total individu 490 ekor. Beberapa jenis yang ditemukan merupakan endemik Sulawesi yaitu Limnonectes heinrichi, Limnonectes cf modestus, Limnonectes larvaepartus, Occidozyga celebensis, Hylarana celebensis, Hylarana mocquardii, Hylarana macrops, Polypedates iskandari, Rhacophorus georgii, Rhacophorus monticola, dan Ingerophrynus celebensis (Tabel 1). Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan Khairunnisa (2014) yang menemukan 18 jenis amfibi dari empat famili. Perbedaan ini diperkirakan karena Khairunnisa (2014) melakukan penelitian di habitat terestrial dan akuatik, sedangkan penelitian ini difokuskan pada habitat akuatik. Terdapat tiga spesies yang tidak ditemukan oleh Khairunnisa (2014), yaitu Occidozyga semipalmata, P. iskandari, dan R. georgii. Selain itu terdapat enam spesies yang telah ditemukan oleh Khairunnisa (2014) namun tidak ditemukan pada penelitian ini yaitu Limnonectes cf grunniens, Limnonectes sp2, Limnonectes sp3, Limnonectes sp4, Limnonectes sp5, dan Rhacophorus sp. Hal ini menunjukkan masih ada kemungkinan ditemukannya jenis lain di SM Nantu. Perbedaan ini diduga karena beberapa spesies Limnonectes yang ditemukan pada penelitian ini tidak tertangkap, yang memungkinkan bahwa spesies tersebut termasuk dalam jenis-jenis

17 6 Limnonectes yang ditemukan oleh Khairunnisa (2014). Kelimpahan jenis amfibi disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Kelimpahan jenis amfibi di setiap sungai Nama jenis Kelimpahan (individu/ha) KT KJ DE HS HP Fejervarya limnocharis Fejervarya cancrivora Limnonectes heinrichi* Limnonectes cf modestus* Limnonectes larvaepartus* Occidozyga semipalmata Occidozyga celebensis* Hylarana celebensis* Hylarana mocquardii* Hylarana macrops* Polypedates iskandari* Rhacophorus georgii* Rhacophorus monticola* Duttaphrynus melanostictus Ingerophrynus celebensis* Keterangan : KT = Sungai pada kebun tebu, KJ = Sungai pada kebun jagung, DE = Sungai daerah ekoton, HS = Sungai pada hutan sekunder, HP = Sungai pada hutan primer, (-) = Amfibi tidak ditemukan, (*) = Endemik Sulawesi Jenis Limnonectes yang belum teridentifikasi sampai tingkat spesies termasuk dalam jenis endemik Sulawesi. Pada penelitian ini paling tidak genus Limnonectes di SM Nantu terdiri dari tiga jenis yaitu L. cf modestus, L. heinrichi, dan L. larvaepartus. Iskandar dan Tjan (1996) menyatakan bahwa herpetofauna di Sulawesi menarik karena tingkat endemisitas yang tinggi dan beberapa spesies memiliki reproduksi yang unik. Amfibi pada umumnya mengeluarkan telur dan berudunya berkembang di sungai atau genangan; namun Kusrini et la. (2015) menemukan bahwa L. larvaepartus memiliki reproduksi unik dengan menyimpan berudu di dalam perutnya. Jenis-jenis endemik Limnonectes umumnya memiliki kesamaan morfologi yang tinggi sehingga harus dilakukan analisis genetik untuk membedakan antar spesies (Iskandar et al. 2014, Kusrini et al. 2015). Jenis yang memiliki kelimpahan tergolong rendah (1 individu/ha) adalah L. larvaepartus dan P. iskandari (Tabel 1). Penilaian kelimpahan individu ini kemungkinan besar bias karena L. larvaepartus yang dianalisis merupakan spesimen yang telah dianalisis secara genetik (Kusrini et al. 2014). Terdapat kemungkinan Limnonectes jenis lain yang dilaporkan pada penelitian ini termasuk pada L. larvaepartus sehingga nilai kelimpahan jenis ini sebenarnya lebih besar dari hasil penelitian. Rendahnya kelimpahan P. iskandari pada penelitian ini diduga karena kondisi sungai pada kebun tebu merupakan habitat yang terganggu karena dekat dengan pemukiman dan aktivitas manusia serta memiliki tutupan kanopi yang tergolong agak terbuka (39.3%). P. iskandari merupakan jenis amfibi yang baru diidentifikasi dan dipublikasikan nama ilmiahnya sehingga belum ada penelitian

18 mengenai habitat jenis tersebut. Penelitian yang telah ada, hanyalah mengenai jumlah kromosom P. iskandari oleh Riyanto et al. (2011). Jenis H. mocquardii ditemukan paling melimpah (240 individu/ha) di sungai pada hutan primer. Hal ini diduga dipengaruhi oleh tutupan kanopi vegetasi di tepi sungai yang sangat rapat (81.7%). Menurut Wanger et al. (2009), tutupan kanopi termasuk dalam faktor yang mempengaruhi kekayaan dan kelimpahan jenis amfibi. Penemuan ini sama dengan penemuan Khairunnisa (2014) yang menemukan di habitat hutan rendah gangguan dan tanpa gangguan didominasi jenis H. mocquardii. Penelitian Gillespie et al. (2005) di Buton menunjukkan bahwa amfibi yang ditemukan di habitat yang telah terganggu biasanya adalah jenis-jenis yang umum di hunian manusia, sedangkan di habitat yang masih utuh ditemukan jenis endemik dan jenis yang khas menurut habitatnya. Selain itu diantara habitat hutan yang mengalami sedikit gangguan dan yang mendapat gangguan sedang tidak ditemukan perbedaan nyata pada jenis maupun endemisme. Hal ini dapat dibuktikan oleh beberapa jenis endemik Sulawesi seperti R. monticola yang hanya ditemukan di sungai pada hutan primer (10 individu/ha) dan R. georgii yang hanya ditemukan di sungai pada hutan sekunder (57 individu/ha). Khairunnisa (2014) juga menemukan R. monticola di hutan tanpa gangguan. Jenis yang dapat ditemukan di sekitar pemukiman manusia adalah D. melanostictus (8 individu/ha) di sungai pada kebun tebu. Jenis ini merupakan jenis yang biasa ditemukan di daerah terganggu dekat dengan pemukiman manusia (Iskandar 1998). Perbandingan jumlah individu setiap famili di semua sungai ditunjukkan pada Gambar Jumlah individu Sungai dalam kebun tebu Sungai dalam kebun jagung 46 Sungai daerah ekoton Lokasi sungai Sungai dalam hutan sekunder 67 1 Sungai dalam hutan primer Dicroglossidae Ranidae Bufonidae Rhacophoridae Famili Rhacophoridae Bufonidae Ranidae Dicroglossidae Gambar 2 Perbandingan jumlah individu setiap famili di semua sungai Famili Dicroglossidae selalu mendominasi di semua sungai, L. cf modestus dan F. limnocharis dapat ditemukan di semua sungai. L. cf modestus melimpah di sungai pada hutan sekunder (519 individu/ha) dan F. limnocharis merupakan jenis yang di sungai daerah ekoton (56 individu/ha) (Tabel 1). Melimpahnya jenis yang diidentifikasi sebagai L. cf modestus bisa jadi bias karena tidak ada penelaahan mendalam atas karakter morfologi dan kemungkinan terdiri dari beberapa spesies. L. cf modestus termasuk pada jenis yang selalu ditemukan di semua sungai di

19 8 Sulawesi. Gillespie et al. (2004) di Sulawesi Tenggara menemukan 184 individu L. cf modestus dan dianggap cukup melimpah meskipun tidak diketahui nilai kelimpahan per hektar. Selain genus Limnonectes dan Fejervarya ditemukan jenis dari genus Occidozyga yaitu O. Celebensis dan O. semipalmata yang ditemukan di genangan air. Iskandar (1998) menyatakan marga Occidozyga sepenuhnya hidup di akuatik atau di air. Famili Ranidae terdiri dari tiga jenis yaitu H. mocquardii, H. macrops, dan H. celebensis. Famili ini lebih banyak ditemukan dibanding famili Bufonidae dan Rhacophoridae, karena famili Ranidae termasuk kelompok katak yang hidup di habitat akuatik atau sekitar air mulai dari aliran tenang sampai aliran cepat (Iskandar 1998). Famili Bufonidae terdiri dari dua jenis yaitu I. celebensis dan D. melanostictus. Jenis yang dapat ditemukan di semua sungai adalah I. celebensis. Gillespie et al. (2004) menemukan telur I. celebensis di sungai, diduga jenis ini menggunakan sungai untuk berbiak. D. melanostictus hanya ditemukan di sungai pada kebun tebu karena habitat jenis ini di daerah terganggu (Iskandar 1998). Kesamaan komunitas amfibi Amfibi di sungai pada hutan primer dan hutan sekunder membentuk satu komunitas dan memiliki kesamaan komunitas amfibi paling tinggi (86.6%). Dendrogram kesamaan komunitas amfibi disajikan pada Gambar 3. Tingginya kesamaan tersebut karena karakteristik kedua sungai hampir sama yaitu memiliki tingkat gangguan rendah, jauh dari pemukiman dan aktivitas manusia, di tepi kanan dan kiri sungai terdapat pepohonan, tumbuhan bawah, serta serasah yang hampir menutupi tanah di tepi sungai, dengan tutupan kanopi tergolong sangat rapat (81%). Hal ini menyebabkan hampir semua jenis amfibi yang ditemukan di sungai pada hutan primer dapat ditemukan di sungai pada hutan sekunder, kecuali jenis R. monticola yang hanya ditemukan di sungai pada hutan primer. Hasil ini sama dengan Wanger et al. (2009) yang menemukan komposisi jenis amfibi di hutan sekunder sama dengan komposisi amfibi di hutan primer. 29,96 Kesamaan 53,31 76,65 100,00 KT KJ DE Nama sungai HS HP Gambar 3 Kesamaan komunitas amfibi di setiap sungai Keterangan: KT = Sungai pada kebun tebu, KJ = Sungai pada kebun jagung, DE = Sungai daerah ekoton, HS = Sungai pada hutan sekunder, HP = Sungai pada hutan primer

20 Komunitas amfibi yang menempati sungai pada kebun jagung dan sungai daerah ekoton mengelompok dan membentuk komunitas dengan nilai kesamaan komunitas amfibi sebesar 67.1%. Kesamaan komunitas ini terbentuk karena karakteristik sungai pada kebun jagung yang hampir sama dengan sungai pada daerah ekoton yaitu lokasi kedua sungai berdekat dengan ladang dan kebun tetapi jauh dari pemukiman, memiliki bentuk habitat dan penyusun vegetasi yang hampir sama. Meskipun berada di kebun jagung namun di tepi kanan dan kiri sungai terdapat pepohonan dan tumbuhan bawah yang rapat dengan serasah yang hampir menutupi tanah. Selain itu lokasi sungai pada daerah ekoton lebih dekat dengan sungai pada kebun jagung menyebabkan komposisi jenis amfibi di kedua lokasi hampir sama. Hasil tersebut sama dengan Khairunnisa (2014) yang menemukan habitat yang jauh dari pemukiman tetapi dekat dengan kebun dan ladang memiliki kesamaan sebesar 78.39%. Hal ini karena kedua lokasi memiliki bentuk habitat dan penyusun vegetasi yang sama. Komunitas amfibi yang menempati sungai pada kebun jagung dan daerah ekoton mengelompok dan membentuk komunitas dengan amfibi yang menempati sungai pada kebun tebu sebesar 54.3%. Hal ini dikarenakan kondisi sungai pada kebun tebu hampir sama dengan sungai pada kebun jagung yaitu berada di daerah perkebunan, terdapat batuan besar dan kecil di tepi kanan dan kiri sungai. Oleh karena itu komposisi jenis amfibi di kedua sungai memiliki kemiripan. Komunitas amfibi tersebut kemudian mengelompok dengan komunitas amfibi di sungai pada hutan primer dan sungai pada hutan sekunder dengan nilai kesamaan sebesar 29.9%. Hal ini dikarenakan kondisi sungai pada kebun tebu memiliki tutupan kanopi agak terbuka (39.3%), di tepi kanan dan kiri sungai hampir tidak ada vegetasi hanya terdapat batuan. Selain itu sungai memiliki gangguan yang tinggi karena berdekatan dengan pemukiman dan aktivitas manusia. Hal ini menyebabkan komunitas amfibi di sungai pada kebun tebu berbeda dengan komunitas amfibi di daerah berhutan yang jauh dari pemukiman dan aktivitas manusia. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Wanger et al. (2009) bahwa komposisi jenis amfibi di daerah terganggu berbeda dengan komposisi di hutan yang masih alami. 9 Pemilihan Mikrohabitat oleh Jenis-jenis Amfibi Jenis R. monticola, H. celebensis, dan O. semipalmata tidak dimasukkan dalam analisis pemilihan mikrohabitat karena jumlah individu yang ditemukan masing-masing hanya satu individu. L. larvaepartus, F. cancrivora, dan D. melanostictus merupakan amfibi yang cenderung memilih sungai dengan arus lambat, substrat tanah liat dan lumpur. Iskandar (1998) menyatakan bahwa habitat F. cancrivora berada di daerah terganggu yaitu sawah. Mikrohabitat yang dipilih F. cancrivora hampir sama dengan kondisi sawah yang memiliki substrat berupa lumpur dengan aliran air yang lambat bahkan cenderung tidak mengalir. Jenis D. melanostictus termasuk dalam famili Bufonidae yang hidupnya cenderung terestrial, namun beberapa tahapan hidupnya setengah akuatik (Iskandar 1998), sehingga cenderung memilih sungai dengan kecepatan arus lambat dan substrat tanah. Jenis L. larvaepartu merupakan jenis yang baru teridentifikasi, sehingga dapat dipastikan kondisi mikrohabitat yang disukainya. Kecenderungan pemilihan mikrohabitat oleh amfibi disajikan pada Gambar 4.

21 O.sem H.cel P.isk SPT DKL RAN RPT R.geo BTG H.mac CPT L.hein ADKL H.moc L.mod SRPT BKE I.cel DLM SDLM SDG ATBK SDKL R.mon O.cel D.mel TLL F.can LMBT L.larv TBK SLBR F.lim Spesies Habitat -0.6 SSPT Gambar 4 Pemilihan mikrohabitat amfibi : Rgeo = Rhacophorus georgii, Rmon = Rhacophorus monticola, Pisk = Polypedates iskandari, Hmoc =Hylarana mozquardii, Hmac = Hylarana macrops, Hcel= Hylarana celebensis, Flim = Fejervarya limnocharis, Fcan = Fejervarya cancrivora, Llarv = Limnonectes spv, Lhein = Limnonectes heinrichi, Lmod = Limnonectes cf modestus, Ocel = Occidozyga celebensis, Osem = Occidozyga semipalmata, Icel = Ingerophrynus celebensis, Dmel = Duttaphrynus melanostictus. : RAN = Ranting, BKE = Batu kecil, BTG = Batang pohon, TLL =Tanah liat dan lumpur, SCPT = sangat cepat, CPT = cepat, SDG = sedang, LMBT = lambat, SLMBT = sangat lambat, SDLM = sangat dalam, DLM = dalam, ADLK = agak dangkal, DKL = dangkal, SDKL = sangat dangkal, SRPT = sangat rapat, RPT = rapat, ATBK = agak terbuka, TBK = terbuka, STBK = sangat terbuka, SLBR = sangat lebar, LBR = lebar, ASPT = agak sempit, SPT = sempit, SSPT = sangat sempit. F. limnocharis cenderung memilih habitat yang memiliki tutupan kanopi terbuka pada sungai yang sangat lebar. Menurut Iskandar (1998), F. limnocharis termasuk jenis katak yang menyukai daerah sawah dan padang rumput. Kondisi mikrohabitat yang dipilih F. limnocharis hampir sama dengan kondisi sawah dan padang rumput yaitu memiliki tutupan kanopi tergolong terbuka. O. celebensis cenderung memilih sungai dengan arus sedang pada sungai yang sangat sempit. Pemilihan mikrohabitat diduga dipengaruhi oleh perilaku O. celebensis yang termasuk dalam marga Occidozyga, dimana hidupnya selalu berada di dalam air. Menurut Iskandar (1998), marga Occidozyga terdiri atas jenis-jenis yang berukuran kecil sehingga memerlukan kecepatan arus yang tergolong sedang agar tidak terbawa oleh aliran air. R. georgii cenderung memilih substrat batang pohon dan ranting. Hal ini berhubungan dengan peletakan busa telur R. georgii, dimana saat pengamatan ditemukan busa telur R. georgii menggantung di batang pohon yang dibawahnya

22 terdapat aliran air. Penemuan tersebut sama dengan hasil penelitian Gillespie et al. (2007) yang menemukan busa telur R. georgii melekat secara vertikal pada permukaan batang pohon dengan jarak 1-3 m di atas permukaan air. L. heinrichi, L. cf modestus, H. mocquardii, H. macrops dan I. celebensis menunjukkan posisi jenis-jenis tersebut mendekati titik pusat, menandakan jenis tersebut semakin tidak selektif. Hasil analisis tersebut sesuai dengan Gillespie et al. (2004) yang menemukan beberapa individu I. celebensis di berbagai jenis substrat seperti tumbuhan, batang pohon, log kayu, bebatuan, dan tanah atau pasir di pinggir sungai. Menurut Iskandar dan Mumpuni (2004) di dalam IUCN Red List L. heinrichi hidup di aliran berarus sedang sampai cepat di sungai dalam hutan. 11 Pola Penyebaran Jenis Amfibi Di Sungai Pola penyebaran amfibi di lokasi penelitian umumnya bersifat mengelompok. Hal ini terjadi karena adanya keseragaman habitat sehingga satwa cenderung mengelompok di tempat yang terdapat banyak pakan (Tarumingkeng 1994). Pakan amfibi adalah serangga, cacing, dan larva serangga yang berukuran kecil, semua amfibi termasuk dalam kelompok karnivora (Iskandar 1998). Keragaman serangga di hutan dipengaruhi oleh kerapatan pohon, tumbuhan bawah, dan tutupan kanopi. Umumnya keragaman serangga di hutan primer lebih tinggi karena hutan primer memiliki kerapatan tajuk dan vegetasi yang tinggi (Haneda 2004). Hal ini sesuai dengan kondisi sungai di SM Nantu yang memiliki tutupan kanopi rata-rata tergolong rapat (72.2%) dengan tepi kanan dan kiri sungai terdapat vegetasi serta serasah yang hampir menutupi tanah dan batuan di tepi sungai. Kondisi ini membuat amfibi cenderung mengelompok di daerah bervegetasi yang terdapat serangga sebagai pakan. Penyebaran acak ditemukan pada jenis F. limnocharis di sungai pada kebun jagung. Hal ini sesuai dengan pendapat Odum (1971) yang menyatakan bahwa penyebaran acak paling jarang ditemukan. Penyebaran seragam ditemukan pada beberapa jenis yaitu F. limnocharis di sungai pada kebun tebu, L. heinrichi di sungai pada kebun jagung, dan L. cf modestus di sungai pada hutan primer. Terdapat keseragaman dalam lingkungan hidup spesies tersebut (Tarumingkeng 1994). Selain itu Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa keseragaman terjadi karena adanya pengaruh negatif dari persaingan pakan atau sumberdaya lainnya. Keseragaman lingkungan hidup terlihat dari kondisi sungai pada kebun jagung di tepi kanan dan kiri sungai terdapat pepohonan, tumbuhan bawah, serasah, dan tutupan kanopi yang rapat (79.7%). Hal ini menyebabkan F. limnocharis memencar secara acak untuk mencari daerah yang terbuka, sesuai dengan habitat F. limnocharis hidup di daerah terbuka (Iskandar 1998). Sungai di kebun tebu memiliki tutupan kanopi agak terbuka (39.3%) kondisi tersebut sesuai dengan habitat F. limnocharis. Kesamaan kebutuhan ruang yang terbuka ini menyebabkan persaingan antar individu F. limnocharis sehingga tersebar seragam (Odum 1993). L. heinrichi menyebar seragam di sungai pada kebun jagung diduga karena kondisi vegetasi di sungai ini tidak serapat di sungai yang berada di hutan. Hal ini dapat berpengaruh pada keberadaan serangga sebagai pakan amfibi yang menyukai daerah yang memiliki kerapatan pohon tinggi (Haneda 2004), diduga serangga di sungai pada kebun jagung menyebar merata

23 12 sesuai kondisi vegetasi sehingga L. heinrichi menyebar seragam untuk mendapatkan pakan. L. cf modestus menyebar seragam di sungai pada hutan primer diduga karena kondisi sungai pada hutan primer didominasi oleh substrat pasir, menyebabkan L. cf modestus bersaing untuk mendapatkan daerah yang lebih tinggi dari permukaan air. Hal ini didukung dengan Gillespie et al. (2004) menemukan L. cf modestus di substrat batu yang berjarak 15 cm dari permukaan tanah tidak berada di dalam air. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Ditemukan 15 jenis dari empat famili dengan total individu 490 ekor. L. cf modestus jenis yang paling melimpah (519 individu/ha) di sungai pada hutan sekunder. Komunitas amfibi di sungai pada hutan primer dengan sungai pada hutan sekunder memiliki kesamaan komunitas amfibi paling tinggi (86.6%), sedangkan komunitas amfibi di sungai pada kebun tebu dengan komunitas amfibi yang menempati sungai pada hutan primer dan sungai pada hutan sekunder memiliki kesamaan komunitas amfibi paling rendah (29.9%). 2. Amfibi memerlukan habitat yang spesifik, keberadaan mikrohabitat tertentu bisa menjadi indikator untuk menemukan jenis tertentu. 3. Pola penyebaran amfibi di sungai didominasi oleh penyebaran mengelompok. Saran Selama pengamatan ditemukan kebun-kebun yang berada di dalam kawasan Suaka Margasatwa yang berpotensi merusak habitat amfibi dan satwaliar lainnya. Pihak pengelola SM Nantu harus melakukan penyuluhan dari pihak pengelola kepada masyarakat agar membuka lahan di luar kawasan SM Nantu dan menindak masyarakat yang telah merambah kawasan lindung. Dari penelitian terlihat bahwa sempadan sungai yang rimbun memiliki jumlah jenis dan kelimpahan amfibi yang lebih tinggi dari pada sempadan sungai yang terbuka. Oleh karena itu perlindungan daerah riparian sangat penting bukan saja untuk melindungi tanah namun juga sebagai habitat amfibi. DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor (ID): Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Brower JE, Zar JH Field and Laboratory Methods For General Ecology. Washington DC (US): Brown Company Publishers.

24 Dayton GH Community assembly of xeric-adapted anurans at multiple spatial scales [thesis]. Texas (US): Department of Wildlife and Fisheries Sciences. Texas A&M University. Gillespie GR, Lockie D, Scroggie MP, Iskandar DT Habitat use by streambreeding frogs in South-east Sulawesi, with some premilinary observations on community organization. Journal of Tropical Ecology. 20: Gillespie GR, Howard S, Lockie D, Scroggie MP, Boadi L Herpetofaunal richness and community structure of off-shore Island of Sulawesi, Indonesia. Biotropica. 37: Gillespie GR, Anstis M, Howard SD, Lockie D Description of the tadpole of the Rhacophorid frog Rhacophorus georgii Rroux (Rhacophoridae) from Sulawesi, Indonesia. Jurnal of Herpetology. 41 (1): Gillespie GR Guide to the frogs and reptiles of Sulawesi Tenggara offshore islands. Victoria (AU): Wildlife conservations and science. Haneda NF Insect communities in the three different forest habitats of Sungai Lalang forest reserve with emphasis on selected order of insect [tesis]. Selangor (MY): Universiti Putra Malaysia. Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for Amphibians. Washington DC (US): Smitsonian Institution Press. Inger FR, Voris HK, Frogner KJ Organization of a community of tadpoles in rain forest streams in Borneo. Journal of Tropical Ecology. 2: Iskandar DT Amfibi Jawa dan Bali Seri Panduan Lapangan. Bogor (ID): Puslitbang LIPI. Iskandar DT, Tjan KN The amphibians and reptiles of Sulawesi, with notes on the distribution and chromosomal number of frogs. In: Kitchener DJ. Suyanto A (eds). Proceedings of the First International Conference on Eastern Indonesian-Australian Vertebrate Fauna. Manado, Indonesia. pp Iskandar DT, Evans BJ, McGuire JA A novel reproductive mode in frog: A new species of frog with internal fertilization and birth of tadpoles. PLoS ONE. 9(12): e DOI: /journal.pone [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources The IUCN Red List of Threatened Species [Internet]. [diunduh 2014 Des 12]. Tersedia pada: details/58360/0. Khairunnisa LR Keanekaragaman jenis dan sebaran spasial amfibi di Suaka Margasatwa Nantu Gorontalo [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kusrini MD, Rowley JJL, Khairunnisa LR, Shea GM, Altig R The reproductive biology and Larvae of the first tadpole-bearing frog, Limnonectes larvaepartus. PLoS ONE. 10(1): e DOI: /journal.pone Ludwig JA, Reynolds JF Statistical Ecology: A primer on methods and computing. California (CA): John wiley and Sons. [NFCF] Nantu Forest Conservations Found Nantu Forest Conservations Found Feasibility Report. Sanur (ID): PT. Starling Asia. Ningsih WD Struktur komunitas berudu anura di sungai Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 13

25 14 Odum EP Dasar-dasar Ekologi Edisi ketiga. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Odum EP Fundamentals of Ecology. Philadelphia (US): Saunders. Riyanto A, Mumpuni, McGuire JA Morphometry of striped tree frogs, Polypedates leucomystax (Gravenhorst, 1829) from Indonesia with description of a new species. Russian Journal of Herpetology. 18 (1): Tarumingkeng RC Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan. Wanger TC, Iskandar DT, Motzke I, Brook BW, Sodhi NS, Clough Y, Tscharntke T Effect of land-use change on community composition of tripical amphibians and reptiles in Sulawesi. Indonesia. Conservation Biology. DOI: /j Wanger TC, Motzke I, Saleh S, Iskandar DT The amphibians and reptiles of the Lore Lindu National Park area, Central Sulawesi, Indonesia. Salamandra. 47 (1):

26 15 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Magetan pada tanggal 10 November Penulis merupakan anak ketiga dari pasangan Sunyoto dan Sumiati. Penulis menempuh pendidikan di SDN Sumbersawit II ( ), SMPN 1 Plaosan ( ), SMAN 3 Magetan ( ). Tahun 2010 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) pada Mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE). Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan sebagai anggota biro Pengembangan Sumberdaya Manusia Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova) pada kepengurusan dan bergabung dalam Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) Himakova (2012-sekarang). Penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam (CA) Pangandaran dan Gunung Sawal (2012), Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) (2013), Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional (TN) Meru Betiri (2014). Penulis juga mengikuti kegiatan Eksplorasi Flora dan Fauna Indonesia (RAFFLESIA) di CA Tangkuban Perahu, CA Sukawayana dan Taman Wisata Alam (TWA) Sukawayana (2012), RAFFLESIA di CA Bojonglarang Jayanti (2013), Studi Konservasi Lingkunga (SURILI) di TN Manusela (2013). Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melaksanakan penelitian di Suaka Margasatwa (SM) Nantu, Gorontalo dengan judul Komunitas Amfibi di Beberapa Sungai pada Suaka Margasatwa Nantu Provinsi Gorontalo di bawah bimbingan Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi dan Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi.

EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E

EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen : Dr Ir Agus Priyono Kartono, M.Si KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Biologi FMIPA-UR 2 Bidang Zoologi Jurusan Biologi FMIPA-UR Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK Oleh: Hellen Kurniati Editor: Gono Semiadi LIPI PUSAT PENELITIAN BIOLOGI LIPI BIDANG ZOOLOGI-LABORATORIUM HERPETOLOGI Cibinong, 2016

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Youth Camp Tahura WAR pada bulan Maret sampai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Youth Camp Tahura WAR pada bulan Maret sampai 19 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitiana Penelitian dilaksanakan di Youth Camp Tahura WAR pada bulan Maret sampai April 2012, pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada malam hari

Lebih terperinci

Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati

Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati Abstrak; Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DI KAWASAN TAMBLING WILDLIFE NATURE CONSERVATION (TWNC) TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS) PESISIR BARAT LAMPUNG

KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DI KAWASAN TAMBLING WILDLIFE NATURE CONSERVATION (TWNC) TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS) PESISIR BARAT LAMPUNG JURNAL HUTAN LESTARI (217) KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DI KAWASAN TAMBLING WILDLIFE NATURE CONSERVATION (TWNC) TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS) PESISIR BARAT LAMPUNG (The Diversity Herpetofauna

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS BERUDU ANURA DI SUNGAI CIBEUREUM TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT

STRUKTUR KOMUNITAS BERUDU ANURA DI SUNGAI CIBEUREUM TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT Media Konservasi Vol. 18, No. 1 April 2013 : 10 17 STRUKTUR KOMUNITAS BERUDU ANURA DI SUNGAI CIBEUREUM TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT (Anura Tadpoles Community Structure in Cibeureum

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS AMPIBI (Ordo Anura) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity of Amphibians Species (Ordo Anura) in Gunung Ambawang Protected Forest

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT

POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Struktur Komunitas Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum

Lebih terperinci

Karakterisik dan Kepadatan Populasi Genus Microhyla Di Wilayah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA-TWA) Telaga Warna ABSTRAK

Karakterisik dan Kepadatan Populasi Genus Microhyla Di Wilayah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA-TWA) Telaga Warna ABSTRAK Karakterisik dan Kepadatan Populasi Genus Microhyla Di Wilayah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA-TWA) Miftah Hadi Sopyan 1), Moerfiah 2), Rouland Ibnu Darda 3) 1,2,3) Program Studi Biologi Fakultas

Lebih terperinci

Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak

Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak Jurnal Biologi Indonesia 7(2): 331-340 (2011) Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak Hellen Kurniati Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Gedung Widyasatwaloka-LIPI,

Lebih terperinci

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI

INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI Lutfi Aditia Pratama 1), Moerfiah 2), Rouland Ibnu Darda 3) 1,2,3) Program Studi Biologi FMIPA Universitas Pakuan Jalan Pakuan PO.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI (ORDO ANURA) DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SURANADI - LOMBOK BARAT*

KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI (ORDO ANURA) DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SURANADI - LOMBOK BARAT* KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI (ORDO ANURA) DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SURANADI - LOMBOK BARAT* Oleh: Noar Muda Satyawan HMPS Biologi FKIP Unram, Jl. Majapahit 62 Mataram, Email : noarmudasatyawan@yahoo.com

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat (Gambar 2).

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

PERSEBARAN TUMBUHAN OBAT PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack.) DI JALUR UTAMA PATROLI TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA) SULTAN SYARIF HASYIM PROVINSI RIAU

PERSEBARAN TUMBUHAN OBAT PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack.) DI JALUR UTAMA PATROLI TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA) SULTAN SYARIF HASYIM PROVINSI RIAU PERSEBARAN TUMBUHAN OBAT PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack.) DI JALUR UTAMA PATROLI TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA) SULTAN SYARIF HASYIM PROVINSI RIAU THE DISTRIBUTION OF MEDICINAL PLANTS OF PASAK BUMI Eurycoma

Lebih terperinci

Keywords : Diversity in Cikaweni PPKAB Bodogol, Dominance, Inventory, Herpetofauna, VES with Time Search methods

Keywords : Diversity in Cikaweni PPKAB Bodogol, Dominance, Inventory, Herpetofauna, VES with Time Search methods KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA DI JALUR CIKAWENI PUSAT PENDIDIKAN KONSERVASI ALAM BODOGOL (PPKAB), RESORT BODOGOL, TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Oleh: Isniatul Wahyuni 1) (E34120017), Rizki Kurnia

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

DAMPAK DEFORESTASI PADA LAJU PENURUNAN KERAGAMAN JENIS KODOK DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALlMUN

DAMPAK DEFORESTASI PADA LAJU PENURUNAN KERAGAMAN JENIS KODOK DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALlMUN DAMPAK DEFORESTASI PADA LAJU PENURUNAN KERAGAMAN JENIS KODOK DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALlMUN Hellen Kurniati Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LlPI Jalan Raya Jakarta Bogor Km 46, Cibinong 16911, Jawa Barat

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

JURNAL HUTAN LESTARI (2015) Vol. 3 (1) : 15 20

JURNAL HUTAN LESTARI (2015) Vol. 3 (1) : 15 20 KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI ORDO ANURA DI KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KALIMANTAN BARAT Species Amphibians Diversity Ordo Anura in Gunung Semahung Protected

Lebih terperinci

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax)

PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) Desy Natalia Sitorus (E34120011), Rizki Kurnia Tohir (E34120028), Dita Trifani (E34120100) Departemen Konservasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

JENIS- JENIS AMPHIBIA YANG DITEMUKAN DI KEBUN KELAPA SAWIT KANAGARIAN KUNANGAN PARIK RANTANG KABUPATEN SIJUNJUNG

JENIS- JENIS AMPHIBIA YANG DITEMUKAN DI KEBUN KELAPA SAWIT KANAGARIAN KUNANGAN PARIK RANTANG KABUPATEN SIJUNJUNG 1 JENIS- JENIS AMPHIBIA YANG DITEMUKAN DI KEBUN KELAPA SAWIT KANAGARIAN KUNANGAN PARIK RANTANG KABUPATEN SIJUNJUNG,, Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat Jurusan Biologi Universitas

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April 2014 di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

Komunitas Anura (Amphibia) pada Tiga Tipe Habitat Perairan di Kawasan Hutan Harapan Jambi

Komunitas Anura (Amphibia) pada Tiga Tipe Habitat Perairan di Kawasan Hutan Harapan Jambi Komunitas Anura (Amphibia) pada Tiga Tipe Habitat Perairan di Kawasan Hutan Harapan Jambi Community of Anura (Amphibia) in three types of wetland habitat at the Harapan Rainforest Jambi Kharisma Putra

Lebih terperinci

SURVEI AWAL KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI DESA KETENGER, BATU RADEN, JAWA TENGAH

SURVEI AWAL KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI DESA KETENGER, BATU RADEN, JAWA TENGAH SURVEI AWAL KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI DESA KETENGER, BATU RADEN, JAWA TENGAH I G. A. Ayu Ratna P. 1) dan E. A. P. Willy Wijaya 2) 1) Laboratorium Taksonomi Hewan, Fakultas Biologi, Universitas Jenderal

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 INVENTARISASI SIMPANAN KARBON PADA LOKASI PENGGUNAAN LAHAN PERKEBUNAN SAWIT, PERSAWAHAN DAN PERTANIAN LAHAN KERING CAMPUR (Studi Kasus Resort Konservasi Wilayah Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN SKRIPSI Oleh : PARRON ABET HUTAGALUNG 101201081 / Konservasi Sumber Daya Hutan PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitan ini adalah penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang dilakukan dengandesain tujuan utama untuk membuat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Keanekaragaman Herpetofauna di Lahan Reklamasi Tambang Batubara PT Singlurus Pratama, Kalimantan Timur

Keanekaragaman Herpetofauna di Lahan Reklamasi Tambang Batubara PT Singlurus Pratama, Kalimantan Timur Seminar Nasional Biologi 06 Keanekaragaman Herpetofauna di Lahan Reklamasi Tambang Batubara PT Singlurus Pratama, Kalimantan Timur Teguh Muslim dan Ulfah Karmila Sari, Balai Penelitian Teknologi Konservasi

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ekowisata ditaman Nasional Way Kambas, Lampung, Juli 2006.

DAFTAR PUSTAKA. Ekowisata ditaman Nasional Way Kambas, Lampung, Juli 2006. 38 DAFTAR PUSTAKA [HIMAKOVA IPB] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan danekowisata Institut Pertanian Bogor. 2006. Laporan Studi KonservasiLingkungan (SURILI) 2006: Eksplorasi Keanekaragam Hayati

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis Fauna Amphibia di Taman Nasional Lore Lindu

Keanekaragaman Jenis Fauna Amphibia di Taman Nasional Lore Lindu Biocelebes, Desember 2009, hlm. 59-63 ISSN: 1978-6417 Vol. 3 No. 2 Keanekaragaman Jenis Fauna Amphibia di Taman Nasional Lore Lindu Annawaty 1) dan Asri Pirade Paserang 1) 1) Jurusan Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif (Nazir, 1988), karena penelitian ini hanya memberikan deskripsi mengenai vegetasi pada daerah ekoton

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PEELITIA 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan pada empat tipe habitat

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU Number of Individual and Groups Proboscis (Nasalis Larvatus, Wurmb) In Sentarum Lake

Lebih terperinci

Inventarisasi Jenis-jenis Amfibi (Ordo Anura) di Areal Lahan Basah Sekitar Danau Sebedang Kecamatan Sebawi Kabupaten Sambas

Inventarisasi Jenis-jenis Amfibi (Ordo Anura) di Areal Lahan Basah Sekitar Danau Sebedang Kecamatan Sebawi Kabupaten Sambas Inventarisasi Jenis-jenis Amfibi (Ordo Anura) di Areal Lahan Basah Sekitar Danau Sebedang Kecamatan Sebawi Kabupaten Sambas Rino Saputra 1, Ari Hepi Yanti 1, Tri Rima Setyawati 1 1 Program Studi Biologi,

Lebih terperinci

Jurnal Sylva Lestari ISSN Vol. 2 No. 1. Januari 2014 (21 30)

Jurnal Sylva Lestari ISSN Vol. 2 No. 1. Januari 2014 (21 30) KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI (ORDO ANURA) PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI YOUTH CAMP DESA HURUN KECAMATAN PADANG CERMIN KABUPATEN PESAWARAN (AMPHIBIANS DIVERSITY (ORDO ANURA) ON SEVERAL HABITAT TYPES YOUTH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

Berry Fakhry Hanifa dkk. Kajian Keanekaragaman dan Kemelimpahan Ordo Anura Sebagai Indikator Lingkungan Pada Tempat Wisata di Karesidenan Kediri

Berry Fakhry Hanifa dkk. Kajian Keanekaragaman dan Kemelimpahan Ordo Anura Sebagai Indikator Lingkungan Pada Tempat Wisata di Karesidenan Kediri KAJIAN KEANEKARAGAMAN DAN KEMELIMPAHAN ORDO ANURA SEBAGAI INDIKATOR LINGKUNGAN PADA TEMPAT WISATA DI KARESIDENAN KEDIRI Berry Fakhry Hanifa 1) Nadya Ismi 2) Wahyu Setyobudi 2) Budhi Utami 1) 1) Laboratorium

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Amfibi Amfibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti hidup. Secara harfiah amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam, yakni dunia darat

Lebih terperinci

MUHAMMAD IRFANSYAH LUBIS

MUHAMMAD IRFANSYAH LUBIS PEMODELAN SPASIAL HABITAT KATAK POHON JAWA (Rhacophorus javanus Boettger 1893) DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JARAK JAUH DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT

Lebih terperinci

DISTRIBUSI VERTIKAL ANURA DI GUNUNG SEBLAT KABUPATEN LEBONG, BENGKULU VERTICAL DISTRIBUTION OF ANURA IN SEBLAT MOUNT LEBONG REGENCY, BENGKULU

DISTRIBUSI VERTIKAL ANURA DI GUNUNG SEBLAT KABUPATEN LEBONG, BENGKULU VERTICAL DISTRIBUTION OF ANURA IN SEBLAT MOUNT LEBONG REGENCY, BENGKULU Prosiding Semirata 2015 bidang MIPA BKSPTN Barat Hal 173 178 DISTRIBUSI ERTIKAL ANURA DI GUNUNG SEBLAT KABUPATEN LEBONG, BENGKULU ERTICAL DISTRIBUTION OF ANURA IN SEBLAT MOUNT LEBONG REGENCY, BENGKULU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga (Kelas Insekta) merupakan kelompok makhluk hidup yang memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari separuh jumlah spesies makhluk

Lebih terperinci

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA Enggar Lestari 12/340126/PBI/1084 ABSTRACT Interaction between birds and habitat is the first step to determine their conservation status.

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H.

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup dalam kehidupannya memiliki lingkungan kehidupan yang asli atau tempat tinggal yang khas untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT SKRIPSI MHD. IKO PRATAMA 091201072 BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT (Population Of Bekantan (Nasalis Larvatus, Wurmb) In The Area Of Sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan November 010 sampai dengan bulan Januari 011 di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Peta lokasi pengamatan dapat dilihat

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN DAN SEBARAN SPASIAL AMFIBI DI PULAU PEUCANG DAN CIDAON TAMAN NASIONAL UJUNG KULON IRVAN

PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN DAN SEBARAN SPASIAL AMFIBI DI PULAU PEUCANG DAN CIDAON TAMAN NASIONAL UJUNG KULON IRVAN PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN DAN SEBARAN SPASIAL AMFIBI DI PULAU PEUCANG DAN CIDAON TAMAN NASIONAL UJUNG KULON IRVAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS DAN SEBARAN SPASIAL ULAR PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING, KALIMANTAN TENGAH

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS DAN SEBARAN SPASIAL ULAR PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING, KALIMANTAN TENGAH STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS DAN SEBARAN SPASIAL ULAR PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING, KALIMANTAN TENGAH Azhari Purbatrapsila E. 34104077 DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN

Lebih terperinci