BAB II PENDEKATAN TEORITIS
|
|
- Handoko Wibowo
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 5 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka Konservasi Salah satu upaya yang dianggap efektif untuk dilakukan dalam melindungi ekosistem dan sumberdaya adalah dengan menetapkan kawasan konservasi yang bertujuan melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi prosesproses ekologi. Kawasan Konservasi Laut (KKL) meliputi; Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Taman Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL), Cagar Alam Laut (CAL), Suaka Margasatwa Laut (SML), Daerah Perlindungan Laut (DPL), dan Suaka Perikanan (SP). Tujuan dari penetapan kawasan konservasi yang tertera dalam pasal 3 Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH Tahun 1990) yang dikutip oleh Hardjasoemantri (1991) adalah sebagai berikut: Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Hingga Tahun 2009, jumlah KKL di Indonesia berjumlah 89 dengan luas keseluruhan adalah ha. Jumlah dan luasan Kawasan Konservasi Laut (KKL) di Indonesia Tahun 2009 secara terperinci dapat dilihat pada lampiran Manfaat dan Tujuan Penetapan Kawasan Konservasi Kawasan konservasi di pesisir dan laut memiliki peran utama sebagai berikut (Agardy dan Barr et al dikutip Bengen 2001): 1. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi ekosistem. 2. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.
2 6 3. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika. 4. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem. Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir dan laut, menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktivitas menusia terhadap keanekaragaman hayati laut. 5. Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir. Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat lokal dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Pada pasal empat dari UUKH Tahun 1990 dinyatakan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Artinya bahwa pengelolaan kawasan konservasi dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk masyarakat. Namun dalam kenyataannya, yang lebih berwenang adalah pihak pemerintah baik pusat maupun daerah yang menyatakan dirinya sebagai pihak yang mencetuskan dan pemilik kawasan konservasi sedangkan masyarakat terbatas dalam hal pengelolaan. Mengingat pentingnya kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia secara khusus masyarakat lokal maka masyarakat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi. Hal ini nantinya akan berimplikasi dalam penerapan proses konservasi yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring Penetapan Zona Kawasan Konservasi Sistem zonasi kawasan konservasi adalah pembagian wilayah di dalam kawasan menjadi zona-zona guna menentukan kegiatan-kegiatan pengelolaan yang diperlukan secara tepat dan efektif dalam rangka mencapai tujuan
3 7 pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya (DEPHUT 1995 dikutip Manoppo 2002). Masalah yang penting dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi adalah menetapkan batas-batas atau zona-zona. Hal ini menjadi penting karena penentuan zona ini akan menentukan siapa pelaku yang berhak mengelola dan memanfaatkan bahkan hal ini bisa memicu terjadinya konflik. Menurut Bengen (2001), secara umum zona-zona di kawasan konservasi dikelompokkan menjadi tiga zona yaitu: 1. Zona inti atau zona perlindungan: habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi oleh karena itu zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas manusia khususnya mengeksploitasi. 2. Zona penyangga: zona ini bersifat lebih terbuka tetapi tetap dikontrol dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga di sekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai aktifitas pemanfaatan yang mengganggu dan melindungi kawasan dari pengaruh eksternal. 3. Zona pemanfaatan: lokasi ini masih memiliki nilai konservasi tertentu tetapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi. Penetapan zonasi di atas hampir berlaku di seluruh kawasan konservasi di Indonesia walaupun ada kawasan yang memiliki batas zonasi lebih dari ketiga zona di atas. Ketika penetapan zonasi dilakukan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan adalah komunitas lokal atau masyarakat pesisir yang beroperasi di zona-zona tersebut. Banyak kasus dilapangan membuktikan, area yang sering dilalui nelayan lokal harus di ambil dan dijadikan zona terlindungi bahkan nelayan tersebut tidak boleh melintas atau beroperasi di area tersebut. Padahal area yang termasuk zona terlindungi merupakan area yang sudah sejak lama mereka manfaatkan dan kelola. Hal ini lah yang justru menimbulkan konflik, sehingga ketika penetapan zonasi harus melibatkan peran masyarakat lokal guna meminimalisir konflik yang akan terjadi.
4 Daerah Perlindungan Laut Pengertian, maksud, dan tujuan pembentukan DPL Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. DPL didefinisikan sebagai area larang ambil (no take zone area) dan dikelola oleh masyarakat lokal (Coremap II 2009). Daerah Perlindungan Laut yang yang dikelola oleh masyarakat lokal disebut DPL-BM (Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat). DPL-BM merupakan daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat. Demikian pula kegiatan manusia di dalam kawasan DPL-BM diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan, dan larangan kegiatan tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk peraturan kampung (Coremap II 2009). Prinsip dasar dari DPL adalah zona larang ambil bersifat permanen dan tidak untuk dibuka pada waktu-waktu tertentu. Daerah Perlindungan Laut dimaksudkan untuk : 1. Mengurangi kegiatan bersifat destruktif terhadap sumberdaya laut dan pesisir, khususnya bagi terumbu karang dan mangrove (Salm et al dikutip Setianingsih 2010) 2. Melindungi spesies langka dan habitatnya, serta mempertahankan produksi perikanan (Salm et al dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009) 3. Dapat merehabilitasi/menjaga sumberdaya laut akibat aktifitas yang merusak (Salm et al dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009) 4. Mengembangkan kegiatan yang dapat meningkatkan perekonomian/pendapatan bagi masyarakat lokal (Salm et al dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009) 5. Mendidik masyarakat lokal dalam hal perlindungan laut/konservasi sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat (Coremap II 2009) DPL secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktifitas perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu karangnya mungkin
5 9 mulai rusak oleh aktifitas manusia. Perlindungan terhadap kawasan terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya akan memberikan kesempatan kepada terumbu karang dan organisme laut lainnya yang sudah rusak atau binasa untuk kembali hidup dan berkembang biak. Nantinya kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi, menyediakan tempat hidup dan makanan bagi ikan-ikan untuk hidup, makan, tumbuh, dan berkembang biak. Sumber : DKP Raja Ampat (2009) Gambar 1. Daerah Perlindungan Laut Manfaat dan Sistem Zonasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) COREMAP II (2008) menyatakan bahwa manfaat yang dapat diperoleh dari Daerah Perlindungan Laut diantaranya adalah, (i) meningkatkan hasil tangkapan perikanan lokal, (ii) keuntungan ekonomis karena pemeliharaan ikan yang lebih baik, (iii) menciptakan kesempatan kerja, dan (iv) membantu penegakan aturan. DPL harus memiliki zona inti, yaitu suatu areal yang di dalamnya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumberdaya lainnya sama sekali tidak diperbolehkan (no take zone area). Begitu juga kegiatan yang dapat merusak terumbu karang di zona inti seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar, serta penggunaan galah untuk mendorong perahu di atas terumbu karang juga dilarang. Aturan larang ambil sangat penting di zona inti. Namun demikian, keputusan pelarangan tersebut tergantung pada keinginan masyarakat itu sendiri.
6 10 Pada umumnya, DPL-BM memiliki zona inti dan zona penyangga. Zona penyangga adalah suatu kawasan di sekeliling zona inti yang memperbolehkan beberapa jenis kegiatan, termasuk penangkapan ikan. Penangkapan yang diperbolehkan adalah dengan menggunakan cara tradisional seperti memancing, memanah, dan menggunakan perahu tradisional. Kegiatan penyelaman dengan menggunakan scuba dan snorkeling juga diizinkan. Sementara itu, kegiatan penangkapan ikan secara komersil seperti penggunaan perahu berlampu, dan penggunaan beberapa jenis alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang tetap dilarang dalam zona penyangga ini (Coremap II 2009) Proses Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Daerah Perlindungan Laut ditetapkan dengan tujuan menjamin keberlanjutan dari sumberdaya laut dan memberikan kesempatan kepada masyarakat sebagai pengelola utama. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) dibuat dan ditetapkan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat melalui suatu peraturan yang disepakati bersama atau kesepakatan kampung. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam pembentukan DPL adalah sebagai berikut (Coremap II 2009): 1. Pengenalan masyarakat dan identifikasi isu Langkah ini merupakan upaya mengajak masyarakat memahami peran DPL- BM dan manfaat yang diperoleh. Kemudian mengidentifikasi isu dengan mengumpulkan data dasar mengenai kondisi desa dan mengidentifikasi isu utama. 2. Persiapan program DPL-BM Pada langkah kedua, kegiatan yang dilakukan adalah pendidikan lingkungan hidup terhadap masyarakat lokal, pelatihan yang bertujuan membangun kapasitas masyarakat, pemetaan terumbu karang, dan pembentukan kelompok pengelola DPL-BM. 3. Konsultasi dan pembuatan aturan Langkah ini dilakukan secara formal dan informal demi mendapatkan kesepakatan terhadap, lokasi DPL, zona DPL, ukuran atau luasan DPL, hal-
7 11 hal yang dilarang dan diperbolehkan dalam zona yang ditetapkan, sanksi dan kewajiban pengelola, serta rancangan peraturan desa. 4. Persetujuan aturan Ketika masyarakat dan pihak yang berkepentingan telah bersepakat untuk membentuk DPL maka selanjutnya adalah membuat persetujuan aturan yang telah didiskusikan. Aturan desa tentang DPL-BM ditetapkan secara formal melalui peraturan desa yang didukung mayoritas masyarakat setempat, ditandatangani oleh pemerintah desa dan lembaga-lembaga perwakilan di desa dan diteruskan kepada Kepala Kecamatan dan Bupati. 5. Pelaksanaan dan pemantauan Langkah terakhir yang dilakukan adalah pemasangan tanda batas permanen; pemasangan papan peraturan dan informasi; peresmian DPL; patroli dan pemantauan secara rutin; pelaksanaan dan penegakan peraturan DPL; serta evaluasi. Secara umum, konsep yang diterapkan oleh Coremap dalam proses pembentukan DPL-BM adalah mengikuti siklus pengelolaan sumberdaya pesisir, mulai dari identifikasi isu, persiapan perencanaan, pendanaan dan adopsi formal, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Sumber : DKP Raja Ampat (2009) Gambar 2. Siklus Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
8 Penentuan Lokasi dan Ukuran DPL Adapun beberapa syarat penentuan lokasi dan ukuran Daerah Perlindungan Laut yang digunakan oleh Coremap II Kabupaten Raja Ampat, antara lain adalah (Coremap II 2008): 1. Kondisi tutupan karang hidup (karang keras dan lunak) dalam kondisi yang baik (tutupan karang di atas 50 persen) 2. Kepadatan ikan dan keanekaragaman organisme laut lainnya cukup tinggi 3. Merupakan terumbu karang sumber (source reef) 4. Mencakup 10 persen-20 persen dari keseluruhan habitat terumbu karang yang ada di wilayah suatu desa 5. Habitat terumbu karang yang mencakup rataan dan kemiringan karang dan secara ideal memiliki lamun dan habitat mangrove (tetapi tidak harus selalu memiliki lamun dan mangrove) 6. Suatu kawasan yang diketahui merupakan tempat ikan bertelur 7. Lokasinya masih berada dalam jangkauan penglihatan masyarakat sehingga mudah diamati dan memudahkan pemantauan serta penerapan aturan yang berlaku Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat Melimpahnya sumberdaya alam pesisir dan laut yang dimiliki Indonesia tentunya memerlukan strategi pengelolaan yang dapat secara efektif meningkatkan kuantitas di segala bidang, baik ekonomi masyarakat maupun konservasi dan kelestarian sumberdaya alam. Upaya tersebut dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa pendekatan dari atas (top down) yang menempatkan pemerintah sebagai pemegang peran utama, terbukti tidak efektif. Menurut Perez (1995) seperti dikutip oleh Saad (2003), proses pengelolaan tersebut mengakibatkan hilangnya sistem masyarakat dan tata nilai yang sudah berlaku secara turun temurun. Hal tersebut mendorong para ahli untuk merekomendasikan pengembangan pengelolaan bersama atau pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (community based fisheries management). Saad (2003) mendefinisikan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat sebagai pembagian tanggung jawab dan otoritas antara
9 13 pemerintah setempat dan sumberdaya setempat (local community) untuk mengelola sumberdaya perikanan. Secara formal dan informal, pengelolaan model ini diwujudkan dalam bentuk penyerahan hak milik (property rights) atas sumberdaya perikanan kepada masyarakat. Selain itu menurut Ruddle (1999) seperti dikutip oleh Ruddle dan Satria (2010), unsur-unsur pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat antara lain : 1. Territorial Boundary (batasan wilayah) 2. Rules (peraturan) 3. Authority (kewenangan) 4. Monitoring (pengawasan) 5. Sanctions (sanksi) Hak Kepemilikan Ketika berbicara pemanfaatan dan pengelolaan suatu kawasan konservasi ataupun sumberdaya alam secara umum, maka tidak terlepas dari konteks hak kepemilikan para pengguna terhadap sumberdaya alam yang akan dimanfaatkan. Dengan adanya kejelasan akan hak milik seseorang maka akan menentukan dan membatasi sejauh mana ia dapat mengambil dan mengelola sumberdaya dan juga dapat menjauhi terjadinya konflik kepentingan atas sumberdaya alam yang menjadi objek. Hak-hak tersebut akan menentukan status kepemilikan seseorang atau kelompok atas sumberdaya. Menurut Ostrom dan Schlager yang dikutip Satria (2009), terdapat lima tipe hak-hak dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu: 1. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif. 2. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya. 3. Hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk turut serta dalam pengelolaan sumberdaya.
10 14 4. Hak ekslusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain. 5. Hak pengalihan (alienation right) adalah hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak kolekif tersebut di atas. Terkait dengan hak kepemilikan atas sumberdaya, maka penting untuk diketahui rezim-rezim kepemilikan yaitu akses terbuka (open access), negara (state property), swasta (private property), dan masyarakat (communal property). Tabel 1. Rezim Kepemilikan Atas Sumberdaya Alam di Indonesia Rezim kepemilikan Akses terbuka (open access) Negara (state property) Swasta (private property) Komunal atau masyarakat Sumber : Satria (2009) Keterangan Akses terbuka, tidak ada pengaturan tentang apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana terjadinya persaingan bebas. Pada rezim ini, tragedy of the commons sering terjadi. Selain itu kerusakan sumberdaya, konflik antara pelaku, dan kesenjangan ekonomi pun mengikutinya. Hak kepemilikan berada di tingkat daerah hingga pusat dan berlaku pada sumberdaya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Pada rezim ini sering terjadi konflik antara pemerintah pusat dan daerah atau dengan pihak lainnya. Hak kepemilikan lebih bersifat temporal atau dalam jangka waktu tertentu karena izin pemanfaatan yang diberikan pemerintah. Rezim ini sangat berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat dan terjadinya kesenjangan ekonomi. Rezim ini ditandai oleh hak kepemilikan yang sifatnya sudah turun temurun, lokal, dan spesifik. Peraturan yang ada dibuat berdasarkan pengetahuan lokal dan pelaksanaannya lebih efektif. Kekurangan rezim ini adalah lemahnya legitimasi secara formal dari pemerintah atas aturan-aturan lokal yang ada. Hak-hak di atas dikategorikan berdasarkan dimiliki atau tidaknya hak tersebut oleh setiap pemangku kepentingan. Orang yang memiliki hak tersebut juga diklasifikasikan ke dalam lima kategori, seperti tertera pada tabel dibawah ini:
11 15 Tabel 2. Status Hak Kepemilikan Hak Milik Owner Proprietor Claimant Authorized user Authorized entrant Access x x x x x Withdrawal x x x x Management x x x Exclusion x x Alienation x Sumber : Ostrom dan Schlager (1996) dikutip Satria (2009) Analisis Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal atau berada di wilayah pesisir, dan sebagian besar hidupnya bergantung pada kekayaan sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir. Secara turun temurun mereka bermata pencaharian sebagai nelayan, pedagang antar pulau, dan lain-lain. Nikijuluw (2005) menggolongkan masyarakat pesisir dalam dua tipe kelompok yaitu kelompok non-perikanan (penjual jasa pariwisata, jasa transportasi, dan yang memanfaatkan sumberdaya non hayati laut dan pesisir) dan kelompok perikanan (nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan, dan pedagang ikan). Secara umum, yang menjadi pembeda masyarakat pesisir dengan masyarakat desa dan kota adalah dari aspek kondisi sosial dan ekonomi mereka yang umumnya terbelakang (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003). Penyebab dari kemiskinan masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa faktor, diantaranya adalah : 1. Tidak adanya akses ke sumber modal, akses terhadap teknologi, dan akses terhadap pasar (Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003). 2. Pendapatan yang relatif rendah (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003; Satria 2002). 3. Kurangnya kelembagaan penunjang (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003). 4. Lemahnya insfrastruktur baik sosial, fisik, maupun ekonomi (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003; Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003).
12 16 5. Rendahnya tingkat pendidikan dan status kesehatan (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003; Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003). 6. Kebijakan pemerintah yang berorientasi pada produksi sehingga menyebabkan tangkap lebih (over fishing) (Tindjbate 2001 dikutip Karim 2005). Kemiskinan dapat dibedakan berdasarkan ukurannya menjadi dua macam yaitu kemiskinan tetap (absolute) dan kemiskinan relatif. Kemiskinan tetap (absolute) merupakan kemiskinan yang dilihat dari ukuran garis kemiskinan (Satria 2002; Ibrahim 2007). Garis kemiskinan pun bermacam-macam bergantung pada institusi yang mengeluarkan ukurannya, diantaranya : 1. Menurut BPS, kemiskinan dapat diukur dengan cara membandingkan total pengeluaran penduduk per kapita per bulan terhadap garis kemiskinan yang berlaku yakni tingkat pengeluaran untuk makanan kurang dari 2100 kalori (Satria 2002; Ibrahim 2007). 2. Selain itu, Sajogjo menggunakan ukuran pengeluaran konsumsi beras untuk mengukur kemiskinan. Menurut garis kemiskinan Sajogjo, kategorinya berdasarkan tingkat pengeluaran setara kilogram beras perkapita pertahun adalah sebagai berikut (Sajogjo dikutip Satria 2002; Sajogjo 1977 dikutip Kamarijah 2003) : a. Sangat miskin : untuk desa adalah 180 kg beras/tahun sedangkan penduduk dikota adalah 270 kg beras/tahun. b. Miskin sekali : untuk daerah pedesaan setara dengan 240 kg beras/tahun, sedangkan penduduk perkotaan setara dengan 360 kg beras/tahun. c. Miskin : untuk pedesaan adalah 320 kg beras/tahun, sedangkan perkotaan setara dengan 480 kg beras/tahun. Ukuran kemiskinan kedua adalah kemiskinan relatif, dimana pengukurannya dengan membandingkan satu kelompok pendapatan dengan kelompok pendapatan lainnya (Satria 2002) atau didasarkan pada pertimbangan individual untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan (Raharto dan Romdiati 2002 dikutip Ibrahim 2007).
13 17 Kesejahteraan masyarakat dapat dianalisis berdasarkan data kependudukan, kesehatan masyarakat, pendidikan, tingkat kelahiran atau fertilitas, kriminalitas, serta perumahan dan lingkungan (BPS 2001). Sedangkan karakteristik sosial ekonomi penduduk yang lebih spesifik diperoleh berdasarkan: 1. Konsumsi/pengeluaran/pendapatan. 2. Kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pemukiman. 3. Sosial budaya, kesejahteraan rumah tangga, dan kriminalitas Pendapatan Analisis pendapatan bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input dan output yang digunakan dalam usaha, serta besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha. Keuntungan usaha diperoleh dari selisih antara total penerimaan (total revenue) dan total biaya (total cost). Apabila penerimaan total lebih besar dibandingkan dengan biaya total maka usaha tersebut dikatakan untung, jika sebaliknya usaha tersebut dikatakan merugi (Djamin 1984 dikutip Lee Won Jae 2010). Adapun formula yang digunakan untuk menghitung keuntungan usaha adalah : µ = TR-TC Keterangan : µ = Keuntungan (rupiah) TR = Total Penerimaan (rupiah) TC = Total Biaya (rupiah) Sikap Merujuk kepada Thurstone, Rokeach, Baron & Byrne, Myres, dan Gerungan seperti dikutip Walgito (2003), sikap mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap, yaitu:
14 18 1. Komponen kognitif (komponen perseptual) Yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap. 2. Komponen afektif (komponen emosional) Yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif. 3. Komponen konatif (komponen perilaku) Yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. 2.2 Kerangka Pemikiran Konservasi adalah salah satu upaya atau tindakan yang ditujukan untuk melindungi ekosistem dan sumberdaya hayati. Penetapan suatu wilayah untuk menjadi Daerah Perlindungan Laut (DPL) dilandasi dua faktor pendorong. Pertama, adanya kerusakan ekosistem pesisir dan laut seperti kerusakan terumbu karang, erosi pantai, kerusakan ekosistem mangrove, dan lain-lain. Menurunnya keanekaragaman hayati pesisir dan laut dapat mengancam keberlanjutan sumberdaya di masa depan sehingga dibutuhkan upaya untuk menetapkan kawasan konservasi guna melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi ekosistem (Agardy dan Barr et al dikutip Bengen 2001). Faktor kedua yang menjadi pendorong penetapan DPL adalah sumberdaya alam yang melimpah. Kekayaan laut Indonesia telah diakui, khususnya di daerah Timur Indonesia, oleh karena itu untuk menjamin keberlanjutan kelimpahan sumberdaya tersebut, konservasi diyakini sebagai upaya yang efektif. Selain tujuan konservasi laut untuk melindungi ekosistem sumberdaya pesisir dan laut, tujuan lainnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir atau nelayan (Agardy dan Barr et al dalam Bengen 2001). Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat lokal dalam
15 19 mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Hal ini juga dipertegas dalam Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH) pasal 3 Tahun 1990 tentang tujuan dari penetapan kawasan konservasi adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Namun bagaimana kenyataan di lapangan, itulah yang menjadi fokus penelitian ini khususnya dampak penetapan DPL terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan sebagai pihak yang telah turun temurun bergantung pada sumberdaya tersebut. Nelayan sebagai bagian dari Daerah Perlindungan Laut tentu saja memiliki hak-hak untuk memasuki kawasan, mengambil, mengolah, menjaga, dan mendapatkan hasil dari sumberdaya yang ada di dalam DPL. Seperangkat hak nelayan meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right). Hak-hak tersebut telah dimiliki sejak sebelum wilayah pesisir dan laut ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana seperangkat hak tersebut setelah ditetapkan DPL, apakah mengalami perubahan atau tidak. Respon masyarakat mengenai keberadaan DPL dan sistem zonasi, dampak bagi seperangkat hak nelayan dan keuntungan yang didapatkan akan menjadi pengukuran bagaimana pengaruh penetapan DPL terhadap seperangkat hak yang dimiliki mereka. Penetapan DPL tentu saja membentuk sistem zonasi pengelolaan sumberdaya laut dan akan mempengaruhi hak nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Ketika sistem zonasi ditentukan, maka akan terjadi perubahan seperangkat hak tersebut, dan akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan dan pendapatan nelayan. Bagaimanakah respon nelayan terhadap keberadaan DPL dan perubahan sistem zonasi akan menjadi salah satu fokus dari penelitian ini. Secara umum keterkaitan antar variabel-variabel dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran sebagai berikut :
16 20 Faktor pendorong penetapan kawasan konservasi Penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya pesisir dan laut Kekayaan sumberdaya pesisir dan laut Penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Perubahan Zonasi Respon nelayan Tingkat pengetahuan nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi Tingkat afeksi nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi Kondisi sosial ekonomi nelayan Sebelum Sesudah Kondisi Sosial Seperangkat hak nelayan (bundles Of right) Hak akses (access right) Hak pemanfaatan (withdrawal right) Hak pengelolaan (management right) Hak ekslusi (exclusion right) Sebelum Sesudah Kondisi ekonomi Tingkat Pendapatan Nelayan Keterangan : Hubungan Pengaruh Fokus aspek yang dikaji Gambar 3. Kerangka Pemikiran
17 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut : 1. Terdapat hubungan antara penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap perubahan seperangkat hak (bundles of right) nelayan. 2. Terdapat hubungan antara penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap tingkat pendapatan nelayan. 2.4 Definisi Konseptual Penelitian ini menggunakan beberapa istilah konseptual yang digunakan sebagai pengertian awal beberapa variabel dari penelitian ini. Definisi dari berbagai variabel yang ada diperoleh melalui pemahaman atas berbagai definisi dan teori yang terkait dengan variabel tersebut. Istilah-istilah konseptual tersebut yaitu: 1. Kawasan Konservasi Laut (KKL) adalah sebuah areal yang berada di wilayah pasang surut atau di atasnya, termasuk air yang melingkupinya beserta berbagai flora, fauna serta peninggalan sejarah dan berbagai bentuk kebudayaan, yang telah ditetapkan oleh aturan hukum yang berlaku maupun oleh cara-cara lain yang efektif, dilindungi baik sebagian maupun keseluruhannya. 2. Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat. 3. Pengelolaan kawasan konservasi adalah pengelolaan yang dikelola oleh pemerintah tetapi tidak menutup kemungkinan dikelola oleh masyarakat untuk pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Pengelolaan ini mencakup kegiatan memanfaatkan kawasan atau mengambil sumberdaya dalam DPL secara adil dan lestari. 4. Nelayan adalah penduduk lokal yang menggantungkan hidupnya dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di Daerah Perlindungan Laut (DPL).
18 22 5. Seperangkat hak nelayan (bundles of right) adalah hak-hak nelayan yang meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right). 2.5 Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu: 1. Seperangkat hak nelayan (bundles of right) adalah hak-hak nelayan yang meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right). a. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif. Pengukuran hak pemanfaatan melalui kegiatan : Nelayan tidak dapat melintas di lokasi DPL = skor 1= rendah Nelayan dapat melintas di lokasi DPL = skor 2 = tinggi b. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya. Pengukuran hak pemanfaatan melalui kegiatan: Nelayan tidak dapat mengambil sumberdaya di DPL = skor 1 = rendah Nelayan dapat mengambil sumberdaya secara bebas = skor 2 = tinggi c. Hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk turut serta dalam pengelolaan sumberdaya. Hak pengelolaan dapat diukur dari keterlibatan masyarakat sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring, serta mendapatkan hasil. Pengukuran : Nelayan tidak terlibat dalam penjagaan DPL dan tidak berhak melarang siapapun untuk melakukan kegiatan apapun di DPL = skor 1 = rendah Nelayan terlibat dalam penjagaan DPL dan berhak melarang siapapun untuk melakukan kegiatan apapun di DPL = skor 2 = tinggi
19 23 d. Hak ekslusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain. Pengukurannya: Tidak ada = skor 1 Ada = skor 2 2. Respons nelayan adalah tanggapan nelayan atas penetapan DPL dan sistem zonasi yang dibuat. Pengukurannya melalui aspek kognitif (pengetahuan) dan aspek afektif nelayan akan keberadaan DPL dan sistem zonasi yang dibentuk. a. Tingkat pengetahuan nelayan terhadap DPL adalah pemahaman nelayan akan keberadaan Daerah Perlindungan Laut dan sistem zonasi. Tingkat pengetahun nelayan dapat diukur dengan pertanyaan : i) Nelayan tahu pengertian DPL ii) Nelayan tahu manfaat dan tujuan DPL iii) Nelayan tahu aturan dan larangan yang dibuat terkait DPL iv) Nelayan tahu sanksi-sanksi yang diberikan bagi yang melanggar aturan-aturan di DPL Pengukurannya : Tidak = skor 1 Iya = skor 2 b. Aspek afeksi nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi adalah respon nelayan yang berhubungan dengan rasa setuju atau tidak setuju terhadap penetapan DPL dan sistem zonasi yang dibentuk. Tingkat afeksi nelayan terhadap penetapan DPL dan sistem zonasi dapat diukur dengan pernyataan : i) Penetapan DPL penting untuk keberlanjutan sumberdaya laut ii) Penetapan DPL tidak membuat nelayan terbatas untuk masuk keluar kawasan iii) Penetapan DPL tidak membuat jumlah tangkapan nelayan berkurang iv) Penetapan DPL tidak membuat perubahan sistem zonasi nelayan Pengukurannya: Tidak= skor 1 Iya = skor 2
20 24 Pengukuran tingkat respons nelayan adalah skor total dari aspek kognitif dan aspek afeksi responden : Skor di bawah skor rata-rata = Respons nelayan negatif terhadap penetapan DPL Skor di atas skor rata-rata = Respons nelayan positif terhadap penetapan DPL 3. Pendapatan (TI) nelayan adalah total penerimaan nelayan (TR) dari sektor perikanan dikurangi total pengeluaran (TC) untuk menunjang kegiatan perikanan. Ukuran pendapatan ditentukan berdasarkan rata-rata pendapatan responden dari sektor perikanan di tempat penelitian. Pendapatan < rata-rata pendapatan = skor 1 = rendah Pendapatan > rata-rata pendapatan = skor 2 = tinggi 4. Tingkat penerimaan (TR) nelayan adalah jumlah penghasilan secara keseluruhan yang diperoleh dari kegiatan menangkap ikan di laut. Skala pengukuran : Dibawah rata-rata = skor 1 = rendah Di atas rata-rata = skor 2 = tinggi 5. Tingkat pengeluaran nelayan adalah jumlah pengeluaran secara keseluruhan untuk kegiatan melaut. Skala pengukuran : Dibawah rata-rata = skor 1 = rendah Di atas rata-rata = skor 2 = tinggi
KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII)
KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII) Tim Pengajar MK Ekologi Manusia 2010 HAK KEPEMILIKAN (PROPERTY RIGHT) Rezim Hak Kepemilikan Hak Kepemilikan Tipe Hak Kepemilikan Akses Terbuka
Lebih terperinciANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN
i ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar
Lebih terperinciVIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA
73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).
Lebih terperinciKRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010
KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada
Lebih terperinciDefinisi dan Batasan Wilayah Pesisir
Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis yang terbentuk dari endapan massif kalsium karbonat (CaCO
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi
Lebih terperinciII. PENDEKATAN TEORITIS
II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi tragedy of the common didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006
PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH DAN PENATAAN FUNGSI PULAU BIAWAK, GOSONG DAN PULAU CANDIKIAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinci6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya
6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya Salah satu parameter yang berpengaruh bagi pengembangan kawasan konservasi laut adalah kandungan potensi kekayaan bawah laut yang
Lebih terperinciMENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciBAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR
BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki
Lebih terperincivi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN
Lebih terperinciABSTRAK PENDAHULUAN. Penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ini tujuan untuk melindungi
Dampak Penetapan Daerah terhadap Eksistensi Hak Nelayan Tradisional di Kabupaten Kepulauan Selayar oleh Ryan Anshari (B11108 416), yang dibimbing oleh Farida Patittingi dan Sri Susyanti Nur. ABSTRAK Penetapan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015
PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT TAHUN 2015 PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah
Lebih terperinciPENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI
PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik,
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam
Lebih terperinciIr. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-
Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.
Lebih terperinciTantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan
5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem
Lebih terperinciPELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV
xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang
Lebih terperinciDEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 TENTANG
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DAN PENATAAN FUNGSI
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR
PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciPEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN
Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman
Lebih terperinciSTUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR
STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar
Lebih terperinciBab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang
Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Diketahui bahwa Papua diberi anugerah Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Sumberdaya tersebut dapat berupa sumberdaya hayati dan sumberdaya non-hayati. Untuk sumberdaya
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
Lebih terperinciPENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU
PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah
Lebih terperinciKonservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI
Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan
Lebih terperinciBUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Lebih terperinciPEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL SASI DALAM SISTEM ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI RAJA AMPAT
PEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL SASI DALAM SISTEM ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI RAJA AMPAT Oleh Paulus Boli Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil Jakarta, 9 10 Mei 2017
Lebih terperinciOleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan
Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi
Lebih terperinciPEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER
PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut
6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR
PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 4 TAHUN 2010
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 4 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun notabene memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi
Lebih terperinciVI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI
55 VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 6.1 Analisis DPSIR Analisis DPSIR dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang jelas dan spesifik mengenai faktor pemicu (Driving force), tekanan
Lebih terperinciIII KERANGKA PEMIKIRAN
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Nilai Ekonomi Taman Nasional Alam seisinya memiliki nilai ekonomi yang dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Nilai ekonomi ini dapat diperoleh jika alam dilestarikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem
Lebih terperinciGUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU
1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang
Lebih terperinciVOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN
VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen
Lebih terperinci6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL
6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL 6.1 Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang 6.1.1 Nilai manfaat ikan karang Manfaat langsung dari ekosistem terumbu karang adalah manfaat dari jenis-jenis komoditas yang langsung
Lebih terperinciMENJAWAB TANTANGAN KONSERVASI KELAUTAN,PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL ( MEMAHAMI MAKNA UNTUK MENGELOLA )
MENJAWAB TANTANGAN KONSERVASI KELAUTAN,PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL ( MEMAHAMI MAKNA UNTUK MENGELOLA ) DISAMPAIKAN OLEH AGUS DERMAWAN DIREKTUR KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER.15/MEN/2005 TENTANG
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: PER.15/MEN/2005 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PEMBUDIDAYAAN IKAN DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA YANG BUKAN UNTUK TUJUAN KOMERSIAL
Lebih terperinci5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir
BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas
Lebih terperinci2 KERANGKA PEMIKIRAN
2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber
Lebih terperinciKeputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung
Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan
Lebih terperinciPERATURAN DESA BENTENAN NOMOR: 3 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR DAN LAUT DESA BENTENAN
PERATURAN DESA BENTENAN NOMOR: 3 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR DAN LAUT DESA BENTENAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA HUKUM TUA DESA BENTENAN, Menimbang: a. bahwa dengan adanya isu-isu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata di TNTC tidak
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan
Lebih terperinciRENCANA AKSI PENGELOLAAN TNP LAUT SAWU DAN TWP GILI MATRA
RENCANA AKSI PENGELOLAAN TNP LAUT SAWU DAN TWP GILI MATRA Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) KUPANG Jl. Yos Sudarso, Jurusan Bolok, Kelurahan Alak, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Provinsi
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan konservasi (KHK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun1999 terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KHK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun
Lebih terperinci