MAKSIMALISASI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR GUNA MENINGKATKAN PEMASUKAN DAERAH SERTA SEBAGAI FAKTOR PENDORONG PENURUNAN KEMACETAN DI DKI JAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MAKSIMALISASI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR GUNA MENINGKATKAN PEMASUKAN DAERAH SERTA SEBAGAI FAKTOR PENDORONG PENURUNAN KEMACETAN DI DKI JAKARTA"

Transkripsi

1 MAKSIMALISASI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR GUNA MENINGKATKAN PEMASUKAN DAERAH SERTA SEBAGAI FAKTOR PENDORONG PENURUNAN KEMACETAN DI DKI JAKARTA Gilbert Iglesio, Murtedjo Universitas Bina Nusantara, Jakarta ABSTRACT The purpose of this study is to try to use the vehicle tax as a driving factor to decrease traffic jam and its contribution to the overall local revenue. This research is qualitative research with descriptive design. The results suggest that the necessary other supporting factors of pulling factors for traffic jam reduction before it can use the vehicle tax as a driving factor for traffic jam reduction optimally. Keywords: vehicle tax, pulling factor of traffic jam reduction ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mencoba menggunakan Pajak Kendaraan Bermotor sebagai faktor pendorong penurunan kemacetan serta kontribusinya terhadap Pendapatan Daerah secara keseluruhan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menyarankan bahwa diperlukan faktor-faktor penunjang faktor-faktor penarik penurunan kemacetan lain sebelum bisa menggunakan Pajak Kendaraan Bermotor sebagai faktor pendorong penurunan kemacetan secara optimal. Kata Kunci : Pajak Kendaraan Bermotor, Faktor penarik penurunan kemacetan PENDAHULUAN Semenjak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah jo UU No. 33 tahun 2004, pemerintah pusat mencoba kembali memberikan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan. Kewenangan daerah tersebut mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Dengan penyerahan berbagai kewenangan tersebut, diperlukan pula penyerahan dan pengalihan pembiayaan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk membiayai kewenangan tersebut. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 1999 jo UU No. 33 Tahun 2004 penyerahan sumber pembiayaan tersebut terhimpun dalam sumber pembiayaan yang berasal dari dana perimbangan. Selain dana perimbangan, sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah pendapatan asli daerah, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan daerah yang sah. Oleh karenanya daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi kewenangannya. Ketergantungan kepada bantuan pusat, dalam hal ini pendanaan, harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian sumber pemasukan terbesar. Dengan ditetapkannya paket Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, memberi peluang kepada daerah untuk mengembangkan potensi lokal penerimaan daerah dan meningkatkan manajemen keuangannya dalam rangka mewujudkan kemandirian daerah.

2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Pemerintah Daerah dalam melaksanakan desentralisasi memiliki penerimaan daerah yang berasal dari pendapatan daerah dan pembiayaan. Adapun sumber pendapatan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan pendapatan lain-lain. Khusus untuk penerimaan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Kemampuan pendanaan terhadap pemerintah daerah adalah salah satu bagian penting untuk menilai seberapa besar kemampuan daerah dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Tanpa adanya dana yang cukup maka sulit bagi pemerintahan daerah untuk mampu menyelenggarakan tugas dan kewajiban serta segala kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri dengan baik. Ciri utama suatu daerah yang mampu melaksanakan otonomi sebagaimana dijelaskan oleh Halim (2008), yaitu (1) kemampuan keuangan daerah, dimana daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk penyelenggaraan pemerintahnnya, dan (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, agar pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan terbesar sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar. Besarnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) adalah salah satu unsur penting dari pembiayaan pemerintah daerah. Pendapatan asli daerah adalah bukti nyata bahwa masyarakat mendukung pemerintah daerah dalam menjalankan proses pemerintahan secara otonom sesuai dengan pemberian otonomi daerah melalui mekanisme desentralisasi fiskal. Untuk itu pemerintah daerah harus terus berupaya meningkatkan mutu pelayanan publik dan perbaikan sektor yang menjadi sumber PAD. Hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan serta lain-lain pendapatan daerah yang sah adalah pendapatan asli daerah (PAD). Maka harus diupayakan agar PAD menjadi sumber pendapatan utama dalam APBD. Pajak Daerah merupakan salah satu unsur penting dan merupakan kontributor utama pendapatan asli daerah. Salah satu pajak daerah yang memberikan kontribusi besar adalah pajak kendaraan bermotor. Pajak kendaraan bermotor adalah pajak yang dikenakan kepada pemilik kendaraan bermotor dan dibayarkan di wilayah tempat kendaraan bermotor tersebut terdaftar. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu berusaha untuk menggambarkan dan menafsirkan data mengenai pola penerimaan pajak kendaraan bermotor yang berdampak pada kontribusi PAD dalam APBD Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta serta korelasinya dengan kemacetan di kota Jakarta sebagai pilihan studi kasus. HASIL DAN BAHASAN Kontribusi Pajak Kendaraan Bermotor Terhadap Penurunan Kemacetan di Provinsi DKI Jakarta Dalam upaya mengatasi kemacetan yang terjadi di DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus merencanakan, mengupayakan dan melaksanakan program kerja - program kerja yang bertujuan menurunkan kemacetan. Mulai dari pembangunan infrastruktur pendukung seperti pembuatan jalan layang, underpass, transportasi umum yang memadai, hingga pembuatan regulasi yang diharapkan mampu menurunkan kemacetan di DKI Jakarta seperti perencanaan plat nomor ganjil-genap, penetapan kenaikan pajak parkir, juga penetapan tarif progresif untuk Pajak Kendaraan Bermotor. Potensi pemasukan daerah yang dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat dari jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di wilayah DKI Jakarta pada tahun NO 1 Tabel 1 Jumlah Kendaraan Bermotor yang Terdaftar di Provinsi DKI JakartaTahun 2009 JENIS WILAYAH PUSAT UTARA BARAT SELATAN TIMUR JUMLAH SEDAN DAN SEJENISNYA 57,432 43,757 70, , , ,231 2 JEEP SEGALA MERK 3 MINI BUS, MICRO BUS 19,136 20,801 28,755 35,050 27, , , , , , , ,218

3 PICK UP, LIGHT TRUCK, TRUCK DAN SEJENISNYA 22,066 29,484 41,800 27,088 37, ,507 BT WAGON, WAGON, BOX, DELIVERY VAN 16,683 21,663 27,770 14,069 15,571 95,756 DUM TRUCK, TRUCK TANGKI DAN SEJENISNYA 4,750 7,379 7,236 4,724 5,442 29,531 OTOLET/OPELET, MICROLET 1,295 2,456 2,600 2,029 5,690 14,070 KENDARAAN BERMOTOR RODA TIGA 3,434 1,619 3,612 3,367 3,741 15,773 9 S E P E D A M O T O R 10 ALAT-ALAT BERAT 450, , , ,740 1,045,211 3,847,203 4,090 13,892 6,299 3,472 4,224 31,977 T O T A L 709, ,198 1,278,018 1,236,910 1,435,281 5,548,288 Sumber : Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Keadaan ini menjadi salah satu hal yang menjadi bahan pertimbangan untuk menetapkan tarif progresif PKB Provinsi DKI Jakarta seperti yang tertuang pada Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta nomor 8 tahun Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta nomor 8 tahun 2010 ditetapkan pada tanggal 3 November 2010 oleh gubernur Provinsi DKI Jakarta. Peraturan ini mulai efektif berlaku untuk Pajak Kendaraan Bermotor pada januari Artinya sejak tahun 2011 seluruh kendaraan bermotor yang terdaftar di wilayah DKI Jakarta menggunakan Peraturan Daerah tersebut dalam penghitungan PKB. Dalam peraturan tersebut mulai diberlakukan tarif PKB secara progresif untuk kendaraan kedua dan seterusnya untuk kepemilikan oleh orang pribadi. Pajak Progresif kendaraan bermotor dikenakan terhadap kendaraan bermotor kedua dan seterusnya yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh pribadi berdasarkan nama dan/atau nama yang sama (Peraturan Gubernur provinsi DKI Jakarta no. 168 tahun 2012). Sehingga tarif pajak progresif yang digunakan untuk kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor pertama sebesar 1.5% (satu koma lima persen), untuk kendaraan bermotor kedua sebesar 2% (dua persen), untuk kendaraan bermotor ketiga sebesar 2.5% (dua koma lima persen) dan untuk kendaraan bermotor ke empat dan seterusnya sebesar 4% (empat persen). Kriteria Kendaraan Bermotor yang dikenakan tarif progresif adalah sebagai berikut: 1. Kendaraan Bermotor yang dimiliki oleh orang pribadi atas nama dan/atau alamat yang sama. 2. Kendaraan Bermotor pertama, kedua, ketiga dan seterusnya merupakan jenis Kendaraan Bermotor yang sama. 3. Plat nomor Kendaraan Bermotor dengan warna yang sama. Untuk pelaksanaan kriteria nomor satu belum berlangsung secara efektif. Dalam prakteknya pelaksanaan tarif progresif berlaku pada kendaraan bermotor dengan nama dan alamat yang sama. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 pasal 7 ayat 2 yang menyatakan " Tarif Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas nama dan/atau alamat yang sama". Tarif Pajak Kendaraan Bermotor yang ada pada Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 pasal 7 ayat 1 adalah tarif progresif PKB. Dalam praktek pemberlakuannya saat ini, tarif progresif PKB dikenakan pada kendaraan bermotor yang dimiliki atas nama dan alamat yang sama. Pertama diperiksa nama pemilik kendaraan bermotor setelah itu diperiksa alamat kendaraan bermotor terdaftar (seperti informasi yang tertera di STNK). Jika nama dan alamat diketahui sama, barulah kendaraan kedua dan seterusnya dikenakan tarif progresif PKB. Sementara untuk kepemilikan/penguasaan Kendaraan Bermotor oleh badan dikenakan tarif sebesar 1.5% (satu koma lima persen). Untuk Kendaraan Bermotor yang dikuasai/dimiliki oleh TNI/PORLI, pemerintah pusat, pemerintah daerah, kendaraan umum, ambulans, mobil jenasah, pemadam kebakaran, lembaga sosial, serta lembaga sosial dan keagamaan dikenakan tarif PKB sebesar 0.5% (nol koma lima persen). Dalam penghitungannya, PKB dihitung berdasarkan hasil perkalian antara tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Tarif PKB yang berlakukan merupakan hasil keputusan Pemerintah Provinsi dengan tetap mengacu pada UU no 28 tahun 2009 sebagai dasar penetapan tarifnya. Sementara DPP Pajak Kendaraan Bermotor

4 dibentuk dari perkalian antara Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) dengan bobot yang mencerminkan secara relatif kadar kerusakan jalan dan/atau pencemaran Iingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. DPP kendaraan bermotor dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri Keuangan. Hingga akhir tahun 2011, setelah satu tahun tarif PKB progresif diberlakukan, jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di wilayah Provinsi DKI Jakarta tetap mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun pada tahun 2011 tetap terjadi kenaikan, kendaraan sedan dan sejenisnya mengalami penurunan, bahkan penurunan tersebut lebih besar dibandingkan dengan penurunan pada tahun 2010 seperti yang terlihat pada tabel 2 NO JENIS KENDARAAN Tabel 2 Pertumbuhan Jumlah Kendaraan Bermotor Tahun TAHUN KENAIKAN TAHUN KENAIKAN (PENURUNAN) 2011 (PENURUNAN) 1 SEDAN DAN SEJENISNYA 401, ,108 (6,123) 381,627 (13,481) 2 JEEP SEGALA MERK 131, ,279 8, ,164 6,885 3 MINI BUS, MICRO BUS 824, ,624 77, ,604 77, PICK UP, LIGHT TRUCK, TRUCK DAN SEJENISNYA BT WAGON, WAGON, BOX, DELIVERY VAN DUM TRUCK, TRUCK TANGKI DAN SEJENISNYA OTOLET/OPELET, MICROLET KENDARAAN BERMOTOR RODA TIGA 157, ,727 5, ,565 4,838 95, ,745 6, ,579 8,834 29,531 30,990 1,459 33,470 2,480 14,070 14,063 (7) 14,046 (17) 15,773 15, ,760 (21) 9 S E P E D A M O T O R 3,847,203 4,326, ,063 4,799, , ALAT-ALAT BERAT 31,977 35,083 3,106 39,705 4, T O T A L 5,548,288 6,123, ,378 6,688, ,891 Sumber : Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, diolah Kendaraan sedan dan sejenisnya umumnya dimiliki oleh orang pribadi yang memiliki kemampuan ekonomi baik. Begitu pula dengan kendaraan mini bus dan micro bus yang umumnya terdiri dari kendaraan keluarga family car ataupun kendaraan umum. Diperkirakan bahwa pengguna kendaraan sedan dan sejenisnya beralih jenis kendaraan dan memilih family car atau jenis kendaraan mini bus. Dari tabel terlihat bahwa kenaikan jenis kendaraan mini bus beserta micro bus mengalami peningkatan yang cukup besar dan terbilang stabil. Selaras dengan kenaikan jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di wilayah Provinsi DKI Jakarta, keadaan ini memberi dampak pada meningkatnya Pemasukan Daerah khususnya dari sektor Pajak Daerah. Dalam perencanaan penerimaan PKB, perencanaan penerimaan tahun 2009 hingga 2011 terus mengalami kenaikan. Hal ini didasari oleh potensi penerimaan dari sisi PKB yang terlihat dari jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di wilayah DKI Jakarta yang terus meningkat. Peningkatan perencanaan penerimaan PKB dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Perencanaan Penerimaan Pajak Kendaraan BermotorTahun NO TAHUN POTENSI RENCANA REALISASI % (5 : 4) , , ,25

5 , ,96 Sumber : Bidang Perencanaan dan Pengembangan Pajak Daerah DPP Provinsi DKI Jakarta Realisasi penerimaan pada tahun 2012 tidak mencapai target yang direncanakan. Kondisi ini diperkirakan merupakan akibat mutasi kendaraan keluar wilayah Provinsi DKI Jakarta. Jumlah kendaraan bermotor selama tahun 2012 juga terus mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor tentu juga memberi dampak pada peningkatan Pendapatan Daerah. Seperti yang terlihat pada proyeksi perencanaan dan realisasi penerimaan PKB yang meningkat pada tabel 3, tentu peningkatan ini merupakan dampak dari kenaikan jumlah kendaraan bermotor yang berbanding lurus dengan Peningkatan penerimaan PKB. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor selama tahun 2012 tersebut dapat dilihat pada tabel 4. NO Tabel 4 Jumlah Kendaraan Bermotor Tahun JENIS KENDARAAN TAHUN KENAIKAN (PENURUNAN) 1 SEDAN DAN SEJENISNYA 381, ,995 (632) 2 JEEP SEGALA MERK 146, ,664 12,500 3 MINI BUS, MICRO BUS 979,604 1,087, , PICK UP, LIGHT TRUCK, TRUCK DAN SEJENISNYA BT WAGON, WAGON, BOX, DELIVERY VAN DUM TRUCK, TRUCK TANGKI DAN SEJENISNYA 167, ,051 14, , ,390 11,811 33,470 37,852 4,382 7 OTOLET/OPELET, MICROLET 14,046 14, KENDARAAN BERMOTOR RODA TIGA 15,760 16, S E P E D A M O T O R 4,799,037 5,244, , ALAT-ALAT BERAT 39,705 47,032 7, T O T A L 6,688,557 7,292, ,776 Sumber : Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, diolah Pada tahun 2012, jumlah kendaraan bermotor tetap mengalami kenaikan seperti yang terlihat pada tabel 4 di atas. Meski mengalami kenaikan, berbeda dengan keadaan 2011, pada tahun 2012 penurunan jumlah kendaraan tipe sedan dan sejenisnya sangatlah sedikit jika dibandingan dengan penurunan pada tahun Sementara kendaraan sedan dan sejenisnya mengalami penurunan, kendaraan dengan jenis mini bus dan micro bus terus mengalami peningkatan. Penerapan tarif progresif PKB yang berlaku di wilayah DKI Jakarta juga terbilang lebih murah dibandingkan dengan tarif PKB yang diterapkan oleh Provinsi Jawa Barat sebagai Provinsi yang berbatasan langsung di bagian selatan (Depok) dan timur (Bekasi) dengan wilayah Provinsi DKI Jakarta. Provinsi Jawa Barat menerapkan tarif progresif PKB sebesar 1.75% (satu koma tujuh lima persen) untuk kendaraan pertama, 2.25% (dua koma dua lima persen) untuk kendaraan kedua, 2.75% (dua koma tujuh lima persen) untuk kendaraan ketiga, 3.25% (tiga koma dua lima persen) untuk kendaraan keempat dan 3.75% (tiga koma tujuh lima persen) untuk kendaraan kelima dan seterusnya. Tarif yang diberlakukan Provinsi DKI Jakarta untuk kendaraan keempat dan seterusnya memang lebih tinggi, namun Provinsi Jawa Barat memberlakukan tarif pajak progresif yang lebih tinggi 0.25% (nol koma dua lima persen) untuk kendaraan pertama, kedua dan ketiga. Sedangkan Provinsi Banten yang berbatasan dengan wilayah Provinsi DKI Jakarta di sebelah barat (Tangerang) menerapkan tarif pajak yang tidak jauh berbeda dengan tarif progresif yang ditetapkan oleh Provinsi DKI Jakarta. Tarif progresif sebesar 1.5% (satu koma lima persen) untuk kendaraan pertama, 2% (dua persen) untuk kendaraan kedua, 2.5% (dua koma lima persen) untuk kendaraan ketiga, 3% (tiga persen) untuk kendaraan keempat dan 3.5% (tiga koma lima persen) untuk kendaraan kelima dan seterusnya. Dalam hal ini tarif progresif yang

6 diberlakukan wilayah Provinsi Banten dan Provinsi DKI Jakarta hanya berbeda pada pengenaan kendaraan ke empat dan seterusnya. Kepemilikan kendaraan yang terus meningkat, berarti semakin banyak kendaraan yang memadati ruas jalan di Provinsi DKI Jakarta. Ruas jalan yang relatif tidak bertambah harus melayani pembengkakan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor. Dari data ini, bisa dikatakan bahwa penerapan tarif PKB secara progresif belum mampu memberi kontribusi dalam upaya menurunkan kepemilikan kendaraan bermotor secara umum. Jumlah kendaraan terus bertambah meskipun sudah dua tahun tarif progresif PKB sudah diberlakukan. Jika tarif PKB kemudian dinaikan dari keadaan saat ini (katakanlah 0.25%, untuk kembali mencoba menekan laju pertumbuhan kendaraan guna menurunkan kemacetan sehingga menjadi 1.75%; 2.25%; 2.75%; 4.25%,) dalam rangka upaya penurunan kepemilikan kendaraan bermotor guna mengurai kemacetan, akan ada kemungkinan kendaraan bermotor yang terdaftar di wilayah Provinsi DKI Jakarta akan menurun. Tetapi kenaikan tarif PKB tersebut tidak akan memberi dampak pada penurunan kemacetan di Provinsi DKI Jakarta bahkan akan dapat berakibat pada menurunnya penerimaan daerah dari sektor PKB. Salah satu faktor yang menyebabkan gagalnya PKB sebagai faktor pendorong penurunan kemacetan di Provinsi DKI Jakarta karena adanya peluang untuk memindahkan wilayah administrasi kendaraan atau memutasi kendaraan ke Provinsi Jawa Barat ataupun Provinsi Banten sebagai provinsi tetangga namun tetap digunakan di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Kenaikan tarif PKB yang lebih besar dari tarif yang berlaku sekarang juga akan memberi dampak yang bertentangan dengan tujuan awal pemberlakukan tarif progresif yakni menekan laju petumbuhan kendaraan sebagai salah satu langkah untuk mengurangi kemacetan dengan tetap memaksimalkan penerimaan dari PKB. Karena akibat yang timbul bukan hanya tidak terurainya kemacetan di Provinsi DKI Jakarta, tetapi juga Provinsi DKI Jakarta kehilangan pemasukan dari sektor PKB akibat mutasi kendaraan ke luar wilayah Provinsi DKI Jakarta sehingga pemasukan dari sektor PKB menurun. Penerapan tarif PKB yang terlalu tinggi pernah terjadi di wilayah pemerintahan Surabaya. Penerapan tarif PKB yang terlalu tinggi menyebabkan penerimaan dari segi PKB menurun, sementara lalu lintas kendaraan wilayah Surabaya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Wilayah sekitar Surabaya yang menerapkan PKB yang lebih rendah daripada Surabaya menyebabkan banyak mutasi kendaraan ke wilayah sekitar Surabaya, sementara penggunaan kendaraan tersebut masih di wilayah Surabaya. Tertekan dengan keadaan tersebut akhirnya tarif PKB di wilayah Surabaya kemudian disesuaikan kembali dan diturunkan. Penerapan PKB yang sekarang ini memang belum mampu menekan laju pertumbuhan kendaraan, namun dari segi kontribusi pada pemasukan daerah, PKB merupakan salah satu "primadona" Pendapatan Daerah dari sisi pajak daerah. Bersama dengan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) memberi kontribusi yang sangat besar bagi Pendapatan Asli Daerah. Kontribusi Pajak Kendaraan Bermotor Terhadap Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu unsur pembentuk pendapatan daerah. Dilihat dari kontribusinya, PAD memberi kontribusi yang sangat besar. Bahkan dalam 4 tahun terakhir, PAD memberi kontribusi besar terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan. Kondisi kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini. No. URAIAN Tabel 5 Pendapatan Daerah Tahun TAHUN Pendapatan 19,251,893,888,555 23,025,986,993,128 28,297,361,482,869 35,379,180,051, Pendapatan Asli Daerah 10,601,057,958,783 12,891,992,182,041 17,825,987,294,430 22,040,801,447, Pajak Daerah 8,560,134,926,182 10,751,745,151,388 15,221,249,152,689 17,721,493,016, Retribusi Daerah 416,896,030, ,210,908, ,349,051,004 1,820,435,447, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah 181,130,584, ,005,615, ,789,767, ,823,210,568 1,442,896,417,886 1,478,030,506,977 1,716,599,322,802 2,147,049,773,179

7 4.2 Dana Perimbangan 8,650,835,929,772 9,537,609,058,087 9,149,708,963,289 11,554,964,807, Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah 0 596,385,753,000 1,321,665,225,150 1,783,413,796,261 Sumber : BPKD Provinsi DKI Jakarta, diolah Nampak bahwa kontribusi atau sumbangsi PAD terhadap pendapatan daerah mencapai lebih besar dari 50% dan terus meningkat setiap tahunnya. Persentase kontribusi tersebut dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 Perbandingan Pendapatan Asli Daerah dengan Pendapatan Tahun Tahun Pendapatan Pendapatan Asli Daerah Persentase ,251,893,888,555 10,601,057,958, % ,025,986,993,128 12,891,992,182, % ,297,361,482,869 17,825,987,294, % ,379,180,051,989 22,040,801,447, % Sumber : BPKD Provinsi DKI Jakarta, diolah Sebagai perwujudan nyata dari asas desentralisasi atau desentralisasi fiskal, sudah sepantasnya PAD memberi kontribusi yang besar terhadap pendapatan daerah. Dari tahun 2009 lebih dari 50% pendapatan daerah merupakan sumbangsi dari PAD. Hanya pada tahun 2012 kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah mengalami sedikit penurunan sekitar 0.70% (nol koma tujuh persen). Jika melihat pada tiap-tiap aspek pembentuk nilai PAD yang memiliki sumbangsi yang besar terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan, pajak daerah adalah salah satu aspek pembentuk nilai PAD yang menjadi kontributor terbesar. Kontribusi pajak daerah terhadap PAD selama empat tahun terahkir dapat dilihat pada tabel 7 berikut. Tabel 7 Perbandingan Pajak Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Tahun TAHUN PAD PAJAK DAERAH PERSENTASE ,601,057,958,783 8,560,134,926, % ,891,992,182,041 10,751,745,151, % ,825,987,294,430 15,221,249,152, % ,040,801,447,924 17,721,493,016, % Sumber : BPKD Provinsi DKI Jakarta, diolah Pada tahun 2012 terjadi penurunan kontribusi pajak daerah terhadap PAD, seperti halnya dengan yang terjadi pada kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan. Pada tahun 2012, retribusi daerah mengalami kenaikan yang sangat singnifikan, yakni sebesar % (dua ratus sembilan puluh koma tujuh lima persen) jika dibandingkan dengan retribusi tahun Bahkan nominal penerimaan dari sektor retribusi daerah yang sebesar Rp1,820,435,447,667 jauh lebih besar dari prediksi yang hanya menganggarkan penerimaan retribusi daerah sebesar Rp901,225,604,600 atau 102% (seratus dua persen) lebih besar. Keadaan ini membuat persentase kontribusi pajak daerah sedikit menurun, namun kontribusi pajak daerah terhadap PAD empat tahun terakhir masih tetap pada kisaran lebih dari 80% (delapan puluh persen). Artinya Pajak daerah memiliki peran penting dalam pembentukan PAD. Hingga 2010 pajak daerah di wilayah Provinsi DKI Jakarta terdiri dari 10 jenis pajak daerah, yakni : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, pajak air tanah, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan dan pajak parkir. Baru pada tahun 2011 Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan (BPHTB) mulai masuk ke dalam wilayah wewenang pemerintah daerah untuk memungut jenis pajak tersebut. Dan pada tahun 2013 ini Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) mulai aktif berlaku sebagai salah satu pajak yang kewenangan pemungutannya berada pada pemerintah daerah. Bersama Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), PKB menjadi dua kontributor terbesar bagi penerimaan dari sektor pajak daerah. Meskipun semenjak tahun 2011 BPHTB yang memiliki kontribusi yang cukup besar, masuk ke dalam ranah kewenangan pemerintah daerah dalam pemungutannya, BBNKB dan PKB tetap

8 menjadi dua kontributor teratas bagi penerimaan pajak daerah. Meskipun kontribusi BBNKB dan PKB terhadap pajak daerah secara keseluruhan menurun dikarenakan besarnya kontribusi BPHTB. Pada tabel 8, dapat dilihat besaran nilai kontribusi masing-masing pajak selama empat tahun terakhir. Tabel 4.8 Jumlah Penerimaan Pajak Daerah Berdasarkan Jenis NO JENIS PAJAK PAJAK KENDARAAN BERMOTOR 2,766,961,102,529 3,107,744,107,420 3,664,400,165,006 4,106,973,713,880 BEA BALIK NAMA KENDARAAN 2,542,533,323,110 3,997,470,274,150 4,582,084,588,660 5,507,710,354,550 BERMOTOR PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN 671,464,087, ,327,812, ,569,568, ,558,921,963 BERMOTOR PAJAK AIR TANAH 126,446,931, ,690,521, ,442,293, ,100,432,523 5 PAJAK HOTEL 608,668,370, ,252,246, ,337,282,673 1,013,222,210,448 6 PAJAK RESTORAN 755,473,014, ,920,581,945 1,031,995,530,296 1,259,711,807,394 7 PAJAK HIBURAN 267,735,587, ,356,000, ,519,831, ,695,862,814 8 PAJAK REKLAME 269,697,869, ,171,510, ,666,970, ,162,893,731 PAJAK 9 PENERANGAN JALAN 412,478,855, ,404,904, ,449,292, ,307,626, PAJAK PARKIR 11 BPHTB 138,675,783, ,407,192, ,256,146, ,299,711, ,885,527,481,824 3,224,573,379,083 JUMLAH 8,560,134,926,182 10,751,745,151,388 15,221,249,152,689 17,722,316,913,544 Sumber : Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta, diolah Besaran kontribusi yang disubangkan pajak daerah terhadap PAD berada pada kisaran lebih dari 80% (delapan puluh persen). Hal ini membuat aspek-aspek penerimaan pajak daerah juga mampu memberi kontribusi atau pengaruh yang cukup besar terhadap PAD. Sumbangsi PAD yang juga menjadi andalan dalam penerimaan pendapatan daerah atau pemasukan daerah menempatkan aspek-aspek penerimaan pajak daerah seperti PKB, BBNKB,BPHTB dan seterusnya memiliki andil dalam membentuk pendapatan daerah, baik itu menjadi lebih kecil atau menjadi lebih besar. Pengaruh yang dimiliki oleh PKB terhadap penerimaan pajak daerah dapat ditelusuri dengan melihat dari besarnya kontribusi PKB terhadap penerimaan pajak daerah. Persentase kontribusi PKB terhadap Pajak daerah juga PAD dapat terlihat pada tabel 9 berikut. Tabel 9 Perbandingan Pajak Kendaraan Bermotor Terhadap Pajak Daerah dan Pendapatan Asli Daerah Tahun TAHUN PKB PAJAK DAERAH PERSENTASE PAD PERSENTASE 1 2 1:2 3 1: ,766,961,102,529 8,560,134,926, % 10,601,057,958, % ,107,744,107,420 10,751,745,151, % 12,891,992,182, % ,664,400,165,006 15,221,249,152, % 17,825,987,294, % ,106,845,546,568 17,721,493,016, % 22,040,801,447, %

9 Sumber : BPKD Provinsi DKI Jakarta, diolah Asas desentralisasi atau desentralisasi fiskal membuat pendapatan daerah atau pemasukan daerah mengandalkan sumbangsi PAD dalam membentuk pendapatan daerah secara keseluruhan. Berikut kontribusi PKB terhadap pendapatan daerah, terlihat pada tabel 10. Tabel 10 Perbandingan Pajak Kendaraan Bermotor Terhadap Pendapatan Daerah Tahun TAHUN PKB PENDAPATAN DAERAH PERSENTASE ,766,961,102,529 19,251,893,888, % ,107,744,107,420 23,025,986,993, % ,664,400,165,006 28,297,361,482, % ,106,845,546,568 35,379,180,051, % Sumber : BPKD Provinsi DKI Jakarta, diolah Jika melihat pada kontribusi PKB yang mencapai lebih dari 10% sebagai pemasukan daerah atau pendapatan daerah, bisa dikatakan PKB memiliki andil yang besar. Bisa dibilang besar karena dari sekian banyak aspek yang memberi kontribusi terhadap nilai pendapatan daerah atau sekitar 12 Pajak daerah, seluruh nilai sumbangsi retribusi, Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, Lain-lain PAD, serta nilai dana perimbangan dan lain - lain PAD yang sah, lebih dari sepersepuluhnya merupakan sumbangan PKB. Bahkan PKB menempati posisi keriga sebagai kontributor terhadap pendapatan daerah. Informasi tersebut dapat dilihat pada tabel 11 berikut. Tabel 11 Persentase Empat Kontributor Terbesar Terhadap Pendapatan Daerah Tahun Dana Perimbangan 44.93% 41.42% 32.33% 32.66% BBNKB 13.21% 17.36% 16.19% 15.57% PKB 14.37% 13.50% 12.95% 11.61% BPHTB 0.00% 0.00% 10.20% 9.11% Pendapatan daerah yang digunakan untuk mendanai pengeluaran daerah juga untuk membiayai belanja daerah, namun tidak mampu dimaksimalkan atau gagal memaksimalkan potensi pemasukan daerah, berarti kemampuan pemerintah daerah dalam mengurus daerahnya sangat perlu dipertanyakan. Lebih lanjut keadaan ini bisa membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerahnya makin memburuk. Memburuknya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerahnya bisa membuat semakin sedikitnya kontribusi masyarakat terhadap keberlangsungan pemerintah daerah. Salah satu bentuk minimnya kontribusi atau dukungan masyarakat terhadap pemerintah daerah dapat berupa dengan tidak memenuhi kewajiban retribusi ataupun kewajiban perpajakan termasuk di dalamnya Pajak Kendaraan bermotor. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Atas dasar uraian tersebut yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan : 1. Penerapan tarif Progresif Pajak Kendaraan bermotor yang berlaku di Provinsi DKI Jakarta belum berlangsung sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun Pada teknis pelaksanaannya, tarif pajak progresif belum diberlakukan sesuai dengan pasal 7 ayat 2 Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010, yang menyebutkan; tarif progresif Pajak Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama dan/atau alamat yang sama. Tarif progresif Pajak Kendaraan Bermotor hanya berlaku pada kendaraan yang dimiliki atas nama dan alamat yang sama. 2. Unit pelaksanaan teknis Pajak Kendaraan Bermotor atau dalam hal ini samsat masih belum berstrategi mengenai adanya tindakan tax avoidance untuk tarif progresif Pajak Kendaraan Bermotor yang dilakukan oleh pemilik kendaraan bermotor.

10 3. Pajak Kendaraan Bermotor belum mampu memberi kontribusi terhadap penurunan pertumbuhan kendaraan bermotor terlebih lagi terhadap kemacetan yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta. Keadaan ini akan terus berlangsung selama faktor-faktor penarik belum berlaku secara optimal. 4. Pajak Kendaraan Bermotor memiliki andil besar dalam sumbangsinya terhadap Pendapatan Daerah atau Pemasukan Daerah. 5. Kenaikan tarif Pajak Kendaraan Bermotor akan memberi dampak yang buruk baik dari segi Pendapatan Daerah juga kemacetan Provinsi DKI Jakarta selama faktor-faktor penarik penurunan pertumbuhan kendaraan bermotor belum optimal serta tidak ada integrasi mengenai tarif Pajak Kendaraan Bermotor dengan wilayah tetangga. Saran Diperlukan sistem integrasi terpadu yang berbasis online untuk mendukung langkah pemerintah daerah untuk dapat secara efektif menjadikan Pajak Kendaraan Bermotor sebagai faktor pendorong penurunan pertumbuhan kendaraan bermotor. Maka dari itu saran yang dapat diberikan sebagai berikut: 1. Agar penggunaan E-KTP sebagai alat identifikasi nama ataupun kartu identitas penduduk diterapkan secara konsisten dengan E-KTP sehingga dapat mengindari kepemilikan kartu identitas penduduk lebih dari satu. 2. Agar Perencanaan dan implementasi penggunaan Geotagging Information System untuk mengidentifikasi alamat-alamat yang terdaftar pada kendaraan bermotor secara tepat sehingga bisa diketahui jumlah kendaraan bermotor yang ada di setiap alamat. 3. Diharapkan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta mengembangan dan membangunan faktor-faktor penarik penurunan kendaraan bermotor seperti kendaraan umum berbasis masal seperti MRT dan monorel sehingga pengguna kendaraan pribadi beralih menggunakan kendaraan umum tersebut. 4. Agar Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta mengintegrasikan dengan provinsi tetangga yang memungkinan terbentuknya peraturan daerah tentang Pajak Kendaraan Bermotor yang dapat menekan peningkatan kendaraan bermotor REFERENSI B. Ilyas, Wirawan. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta : Salemba Empat, Halim, Abdul. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Kedua. Yogyakarta : UPP AMP YKPN, Ismail, Tjip. Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Jakarta : Yellow Printing, Mardiasmo. Perpajakan Edisi Revisi Yogyakarta: Andi, Nurcholis, Hanif. Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jakarta : Erlangga, Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1999 tentang Retribusi Daerah. Peraturan Gubernur Nomor 34 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pelayanan Pajak. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor RIWAYAT PENULIS Gilbert Iglesio lahir di kota Jakarta pada tanggal 14 Maret Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang ilmu Ekonomi Akuntansi pada tahun 2013.

BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Kontribusi Pajak Kendaraan Bermotor Terhadap Penurunan Kemacetan di

BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Kontribusi Pajak Kendaraan Bermotor Terhadap Penurunan Kemacetan di BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Kontribusi Pajak Kendaraan Bermotor Terhadap Penurunan Kemacetan di Provinsi DKI Jakarta Dalam upaya mengatasi kemacetan yang terjadi di DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era reformasi saat ini, Pemerintah Indonesia telah mengubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi yang berarti pemerintah daerah dapat mengurus keuangannya

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 90 TAHUN 2017 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2017 DAN TAHUN 2018 DENGAN

Lebih terperinci

1 UNIVERSITAS INDONESIA

1 UNIVERSITAS INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia memasuki babak baru seiring diberlakukannya desentralisasi fiskal. Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2015 GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pembagian struktur pemerintahan di Indonesia terbagi menjadi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimana yang bertujuan agar masing-masing pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan harkat, martabat,

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan harkat, martabat, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan harkat, martabat, kualitas serta kesejahteraan segenap lapisan masyarakat, untuk itu pembangunan harus dipandang

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 34 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 34 TAHUN 2015 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 100 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PEMBERIAN BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH KEPADA INSTANSI PEMUNGUT DAN INSTANSI/PENUNJANG LAINNYA DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru dengan dikeluarkannya Undangundang No.22 tahun 1999 dan

Lebih terperinci

Jalan Diponegoro Nomor 22 Telepon (022) Faks (022) BANDUNG 40115

Jalan Diponegoro Nomor 22 Telepon (022) Faks (022) BANDUNG 40115 1 2 Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 68 TAHUN 2011 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (PKB) DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR (BBNKB) TAHUN 2011

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR PROVINSI BANTEN TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 77 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 77 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 77 TAHUN 2014 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2014 DAN TAHUN 2015 GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan pemerintahan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 059 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 059 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 059 TAHUN 2016 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2016 DI WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan keleluasaan pada

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan keleluasaan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan keleluasaan pada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 23 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 23 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 23 TAHUN 2015 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR UNTUK KENDARAAN BERMOTOR PEMBUATAN SEBELUM TAHUN 2015

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 22 TAHUN 2017 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 68 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 68 TAHUN 2011 TENTANG RANC ANGAN PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 68 TAHUN 2011 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (PKB) DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR (BBNKB) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Mardiasmo (2006:1) definisi pajak dalam buku perpajakan edisi revisi, pajak adalah : Iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 096 TAHUN 2017

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 096 TAHUN 2017 PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 096 TAHUN 2017 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2017 DI WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Kabupaten Bekasi merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua itu kita pahami sebagai komitmen kebijakan Pemerintah Daerah kepada. efisien dengan memanfaatkan sumber anggaran yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. semua itu kita pahami sebagai komitmen kebijakan Pemerintah Daerah kepada. efisien dengan memanfaatkan sumber anggaran yang ada. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan Kota Malang dalam segi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat merupakan hal besar yang harus mendapatkan perhatianserius dari Pemerintah Kota Malang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001, pemerintah daerah merupakan organisasi sektor publik yang diberikan kewenangan oleh pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penerimaan Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat

I. PENDAHULUAN. Penerimaan Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat berasal dari pungutan pajak maupun bukan pajak, serta sumbangan ataupun bantuan dan pinjaman.

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 63 TAHUN 2017 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik Indonesia disamping sektor migas dan ekspor barang-barang non migas. Sebagai salah satu sumber penerimaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

G U B E R N U R SUMATERA BARAT

G U B E R N U R SUMATERA BARAT No. Urut: 27, 2015 G U B E R N U R SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan pembangunan disegala sektor. Hal ini berkaitan dengan sumber dana

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan pembangunan disegala sektor. Hal ini berkaitan dengan sumber dana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia memiliki tujuan pembangunan nasional yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Pembangunan daerah termasuk ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kesatuan, Indonesia mempunyai fungsi dalam membangun masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Dengan

Lebih terperinci

LAJU PERTUMBUHAN PAJAK RESTORAN, HOTEL DAN HIBURAN DALAM PAD KOTA KEDIRI

LAJU PERTUMBUHAN PAJAK RESTORAN, HOTEL DAN HIBURAN DALAM PAD KOTA KEDIRI LAJU PERTUMBUHAN PAJAK RESTORAN, HOTEL DAN HIBURAN DALAM PAD KOTA KEDIRI Zulistiani Universitas Nusantara PGRI Kediri zulis.tiani.zt@gmail.com Abstrak Kota Kediri mempunyai wilayah yang cukup strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Dalam undang-undang ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Akhir pemerintahan orde baru merupakan langkah awal bagi Bangsa Indonesia untuk berpindah kebijakan yang semula kebijakan sentralisasi menjadi kebijakan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan perkembangan yang terjadi. Dampak perubahan dan perkembangan ini sangat berpengaruh

BAB 1 PENDAHULUAN. dan perkembangan yang terjadi. Dampak perubahan dan perkembangan ini sangat berpengaruh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi sekarang ini menuntut masyarakat untuk siap menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi. Dampak perubahan dan perkembangan ini sangat berpengaruh

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 75 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (PKB)

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 75 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (PKB) PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 75 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (PKB) DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR (BBNKB) TAHUN 2010 GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Analisis Rasio untuk Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah 333 ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Vidya Vitta Adhivinna Universitas PGRI Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan nasional merupakan kegiatan yang berlangsung terus-menerus dalam pembangunan nasional. Tujuan pembangunan nasional adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS KONTRIBUSI PENERIMAAN PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR. Calen (Politeknik Bisnis Indonesia) Abstrak

ANALISIS KONTRIBUSI PENERIMAAN PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR. Calen (Politeknik Bisnis Indonesia) Abstrak ANALISIS KONTRIBUSI PENERIMAAN PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR Calen (Politeknik Bisnis Indonesia) Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana. mandiri menghidupi dan menyediakan dana guna membiayai kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana. mandiri menghidupi dan menyediakan dana guna membiayai kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 diperlukan ketersediaan dana yang besar. Pemerintah sebagai pengatur

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG 1 GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 71 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 71 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 71 TAHUN 2016 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2016 Menimbang : Mengingat DENGAN RAHMAT ALLAH YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Arditia (2012) Otonomi daerah adalah kewenangan dan kewajiban setiap daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) bertujuan sebagai salah satu syarat

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) bertujuan sebagai salah satu syarat BAB I PENDAHULUAN I.7 Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) bertujuan sebagai salah satu syarat dalam rangka penyusunan Tugas Akhir dan

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR SULAWESI BARAT n20 PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 18 TAHUN 2015 u TENTANG TAMBAHAN PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR

Lebih terperinci

BAB III PENGELOLAAN RETRIBUSI PARKIR KOTA SURABAYA. A. Pengaruh Retribusi Terhadap Pendapatan Asli Daerah

BAB III PENGELOLAAN RETRIBUSI PARKIR KOTA SURABAYA. A. Pengaruh Retribusi Terhadap Pendapatan Asli Daerah BAB III PENGELOLAAN RETRIBUSI PARKIR KOTA SURABAYA A. Pengaruh Retribusi Terhadap Pendapatan Asli Daerah Otonomi daerah yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah

Lebih terperinci

ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH PROVINSI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PADA SAMSAT AIRMADIDI)

ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH PROVINSI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PADA SAMSAT AIRMADIDI) ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH PROVINSI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PADA SAMSAT AIRMADIDI) Natalia Ester Rompis, Ventje Ilat, Anneke Wangkar Fakultas Ekonmi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN` dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah. Pemerintah Pusat dan Daerah, setiap daerah otonom diberi wewenang yang lebih

BAB I PENDAHULUAN` dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah. Pemerintah Pusat dan Daerah, setiap daerah otonom diberi wewenang yang lebih BAB I PENDAHULUAN` 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah di Indonesia mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah menetapkan Undang- Undang (UU)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di perlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasiaonal. Tanggung

BAB I PENDAHULUAN. di perlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasiaonal. Tanggung BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peranan serta wajib pajak untuk secara langsung dan sama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang di perlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi maupun

BAB I PENDAHULUAN. ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemandirian pembangunan diperlukan baik tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I : Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan nasional dalam

BAB I PENDAHULUAN. Bab I : Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan nasional dalam Bab I : Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pajak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah, baik dalam pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah maupun tugas

BAB I PENDAHULUAN. daerah, baik dalam pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah maupun tugas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak daerah sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) memegang peranan penting dalam rangka membiayai urusan rumah tangga daerah, baik dalam pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara, dimana kawasan daerahnya terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dimana

BAB I PENDAHULUAN. daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberian kewenangan otonomi daerah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dimana pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa otonomi

BAB I PENDAHULUAN. tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional, Indonesia menganut pada asas desentralisasi dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat membiayai pengeluaran pemerintah dalam rangka menyelenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat membiayai pengeluaran pemerintah dalam rangka menyelenggarakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Era otonomi daerah yang secara resmi mulai diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 2001 menghendaki daerah untuk berkreasi mencari sumber penerimaan yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Andriani dalam bukunya Waluyo (2009: 2) menyatakan bahwa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Andriani dalam bukunya Waluyo (2009: 2) menyatakan bahwa BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Andriani dalam bukunya Waluyo (2009: 2) menyatakan bahwa pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dipaksakan) yang terutang

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR

GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR NOMOR 38 TAHUN 2016 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR PEMBUATAN SEBELUM TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada

Lebih terperinci

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE 2005-2009 Muhammad Amri 1), Sri Kustilah 2) 1) Alumnus Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas Muhammadiyah Purworejo 2) Dosen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan perekonomiannya, Indonesia harus meningkatkan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan perekonomiannya, Indonesia harus meningkatkan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah salah satu negara berkembang di Asia yang berusaha mempertahankan perekonomian dari goncangan krisis global. Dalam rangka mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah yang mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 2001 memberi kebebasan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, menetapkan

Lebih terperinci

KONTRIBUSI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH KOTA SAMARINDA

KONTRIBUSI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH KOTA SAMARINDA 1 KONTRIBUSI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH KOTA SAMARINDA Jonetta Triyanti. D, H.Eddy Soegiarto K, Imam Nazarudin Latif Fakultas

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 22 TAHUN 2006

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 22 TAHUN 2006 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 22 TAHUN 2006 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2006 GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Redo Adrianto dan Danny Wibowo Program Akuntansi Pajak Program Studi Akuntansi Universitas Kristen Petra ABSTRAK

Redo Adrianto dan Danny Wibowo Program Akuntansi Pajak Program Studi Akuntansi Universitas Kristen Petra ABSTRAK Analisis Perbedaan Pemilihan Warna Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Kelompok Sedan, Jeep, Station Wagon dan Sejenisnya dengan Kelompok Truck, Pick Up dan Sejenisnya di Surabaya Selatan 2008 2011 Redo Adrianto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahtraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dengan adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahtraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dengan adil dan makmur. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini sebagai negara berkembang Indonesia tengah gencargencarnya melaksanakan pembangunan disegala bidang baik ekonomi, sosial, politik, hukum, maupun bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, penyelenggaraan pemerintah daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi, pemberian otonomi luas kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam upaya pelaksanaan pembangunan nasional, hal yang paling penting adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan pengeluaran pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menyebutkan bahwa melalui otonomi daerah, pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat yaitu melalui pembangunan yang dilaksanakan secara merata. Pembangunan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan yang adil dan merata, sangat diperlukan sumber dana dan sumber daya yang berasal dari luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini, kita tidak bisa bebas dari yang namanya pajak. Bahkan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini, kita tidak bisa bebas dari yang namanya pajak. Bahkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa kini, kita tidak bisa bebas dari yang namanya pajak. Bahkan barang dan jasa yang kita konsumsi sehari-haripun dikenai pajak. Hal tersebut dikarenakan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional merupakan salah satu kegiatan pemerintah Indonesia yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Provinsi, salah satunya adalah Pajak Kendaraan Bermotor (Mardiasmo,

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Provinsi, salah satunya adalah Pajak Kendaraan Bermotor (Mardiasmo, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak daerah terbagi atas dua kelompok, yaitu Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Pajak daerah juga merupakan salah satu penerimaan yang penting di Pemerintahan

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 44 TAHUN 2014 TENTANG

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 44 TAHUN 2014 TENTANG 1 Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 44 TAHUN 2014 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian, proses penelitian dan sistematika penulisan.

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian, proses penelitian dan sistematika penulisan. BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, kontribusi penelitian, batasan penelitian, proses penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan pembangunan nasional tersebut. Pemerintah harus

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan pembangunan nasional tersebut. Pemerintah harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan nasional merupakan suatu rangkaian pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruhan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hakikat mendasar dari prinsip kebijakan otonomi daerah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang nomor 34 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang Pajak Daerah

Lebih terperinci

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat. Kesejahteraan kehidupan masyarakat dapat dicapai jika pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Pembangunan daerah juga

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Pembangunan daerah juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, oleh karena itu hasil pembangunan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, memiliki tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS PERANAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO

ANALISIS PERANAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO ANALISIS PERANAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO Yanuar Fajar Nugroho Topowijono Tri Henri Sasetiadi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang 115030400111078@mail.ub.ac.id

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah menerapkan suatu gerakan pembangunan yang dikenal dengan istilah Pembangunan Nasional. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana tercantum

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana tercantum BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan dalam rangka melaksanakan Trilogi pembangunan, diperlukan ketersediaan

Lebih terperinci

EVALUASI PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA SURAKARTA

EVALUASI PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA SURAKARTA EVALUASI PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Setiap provinsi terbagi dari beberapa Kabupaten maupun Kota.

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Setiap provinsi terbagi dari beberapa Kabupaten maupun Kota. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah negara yang wilayahnya terbagi mejadi 33 provinsi. Setiap provinsi terbagi dari beberapa Kabupaten maupun Kota. Hubungan tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut asas desentralisasi dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan dalam pembangunan nasional sangat didukung oleh pembiayaan yang berasal dari masyarakat, yaitu penerimaan pajak. Segala bentuk fasilitas umum seperti

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 38 TAHUN 2018 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 38 TAHUN 2018 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 38 TAHUN 2018 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR PEMBUATAN SEBELUM TAHUN

Lebih terperinci