BAB I PENDAHULUAN. sejarah ataupun teori sastra, atau pengetahuan di luar kesastraan, misalnya sosial

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. sejarah ataupun teori sastra, atau pengetahuan di luar kesastraan, misalnya sosial"

Transkripsi

1 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menekuni kerja kritik sastra memerlukan pengetahuan luas. Tanpa pengetahuan luas, kritik yang disajikan dangkal. Pengetahuan yang dimaksud dapat berupa pengetahuan mengenai kesastraan itu sendiri, misalnya tentang sejarah ataupun teori sastra, atau pengetahuan di luar kesastraan, misalnya sosial budaya, politik dan ekonomi. Bagi Frye (2000: 3) kritik sastra bukan sesuatu yang sederhana dari bagian besar sebuah aktivitas kesastraan, melainkan sebagai bagian yang esensial. Posisinya yang sangat esensial itulah yang menjadikan kritik sastra layak untuk dikaji. Kritik sastra pada hakikatnya bukan disiplin studi yang berdiri sendiri (Davi & Schleifer, tt: ix). Kritik sastra dapat bekerja bersama-sama dengan disiplin ilmu yang lain. Davi & Schleifer (tanpa tahun: 8) menunjukkan bahwa kritik sastra terkini telah bersinggungan dengan praktik kebudayaan, seperti bahasa, pengajaran, politik, psikologi, filsafat, ideologi dan sosiologi. Persingungan antara disiplin ilmu kritik sastra dengan disiplin ilmu lain 1 menimbulkan dua implikasi. Pertama, sebagaimana yang dikatakan Rokhman (2003: 4), memiliki keuntungan sebab dapat meminimalisasi keterkucilan kritik sastra dengan disiplin ilmu lain. Keuntungan lainnya yani menciptakan kesejajaran objek penelitian, memicu toleransi antar disiplin ilmu, memperkaya

2 16 pengetahuan kritikus dan meluasnya predikat kritikus yang tidak hanya disandang oleh seorang ahli atau akademisi sastra. Kedua, menimbulkan persoalan di dalam metode kerja kritik. Hal ini sebagaimana yang terlihat dalam perdebatan kritik akademik dengan kritik para sastrawan. Kritik Ganzheit yang menggabungkan antara disiplin ilmu kritik sastra dan disiplin ilmu psikologi, menuai banyak tanggapan dari sisi metode yang digunakan. Penggabungan itu sama dengan yang dilakukan Easthope melalui apa yang disebut sebagai praktik penandaan (signiftying practice). Easthope (tanpa tahun: 5) menyadari bahwa mengkombinasikan kajian teks sastra dengan budaya populer dalam praktik penandaan akan menimbulkan polemik. Salah satu polemik tersebut adalah persoalan mengkatagorikan antara teks sastra dengan teks di luar sastra. Banyak persoalan lain di dalam kritik sastra Indonesia yang telah dikemukakan oleh para pakar, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Pradopo (2008) 1 dan Semi (1985) 2. Persoalan yang dikemukakan oleh kedua pakar tersebut hingga kini masih relevan untuk dicermati dan diperhatikan. Bahkan, tampak bahwa pemikiran mengenai persoalan kritik sastra yang dikemukakan oleh kedua pakar tersebut telah menjadi sebuah paradigma sebagaimana yang dikonsepkan 1 Persoalan kritik sastra Indonesia meliputi kurangnya tempat, kurangnya kritikus yang profesional, terdapat perbedaan pandangan antara kritikus dengan sastrawan, tidak sesuainya teori kritik dengan corak dan wujud kesastrawan Indonesia modern yang bersifat nasional dan regional, pertentangan antara kritik sastra sastrawan dan kritik sastra akademik (hlm. 96). 2 Perkembangan kritik sastra yang kurang memuaskan akibat dari kurangnya majalah sastra, kritik sastra sebagai kritik kewartawanan, kurangnya pendidikan sastra, anggapan yang tersebar mengenai sastra yang hanya permainan belaka, kurangnya kebiasaan membaca, kurangnya terjemahan sastra dunia, dan kurangnya kemampuan bahasa asing (hlm. 68).

3 17 oleh Faruk (2001: 7; 2012: 108), paradigma terbentuk apabila terjadi kesepakatan pada komunitas tertentu mengenai berbagai pemikiran yang dianggap normal. 3 Hal tersebut dapat dilihat dari munculnya persoalan-persoalan kritik sastra yang juga disepakati oleh para aktivis sastra, misalnya anggapan mengenai kredibilitas kritikus akademik yang masih di luar harapan (Muhammad, 2010:xii; Saidi, 2006: 32 34; Situmorang, 2009: 16), minimnya kritik sastra (Darma, 1992: 366; Mahayana, 2009: 13; Malna, 2000: 119; 125; Sarjono, 2001: 157), dan atau masih dinilainya kekakuan kritik sastra yang hidup di lingkungan akademis (Mahayana, 2005: ; 2009: 13; Lilis A, 2009: 13). Selain itu, persoalan profesionalisme dan kemampuan kreatif seorang kritikus dalam menggugah pembacanya (Damono, 1983: 37 38; Darma, 2007: 110; Kleden, 2004: 19), masih selalu diperbincangkan. Persoalan kritik sastra lainnya yang telah menjadi paradigmatik sifatnya ialah sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahayana (2007: xii) dan Salam (2008) yang melihat praktik kritik dalam sastra Indonesia masih terpolariasi pada analisis intrinsik dan ekstrinsik karya sastra. Padahal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Davi & Schleifer di atas, perkembangan kritik sastra saat ini telah mengarah pada kerja kritik yang lintas disiplin. Keadaan semacam itu dapat menyuguhkan sebuah konstruksi kewacanaan dalam kritik sastra. Implikasinya, kritik sastra menjadi bagian dari formasi diskursif dalam pembentukan subjek dan realitas dan dengan demikian dapat pula terlibat dalam 3 Paradigma yang dimaksud dalam teks ini, diakui Faruk, belum seketat paradigma dalam konsep Khun (2001: 10; 2012: 111). Paradigma mengenai kritik sastra menurut Faruk (2009:1 13; 2012: 59 75), berupa kritik sastra humanis dan pembentukan subjek, kritik sastra strukturalis dan penaklukan subjek, kritik sastra dikursif atau pasca-struktural, kritik sastra pasca-marxis, kajiankajian budaya, dan pendekatan kritis.

4 18 pembentukan subjek dan realitas dan dengan demikian dapat pula terlibat dalam kepentingan ekonomi politik tertentu (Faruk, 2009: 13). Terdapat relasi yang saling terkait antara kritik sastra sebagai sebuah disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya. Hal senada disampaikan oleh Kleden (2004: 200) yang mengatakan bahwa kritik sastra adalah bagian dari kritik yang lebih luas: akademis, politis, kultural, ideologi, atau intelektual. Namun, wacana-wacana diskursif dalam kritik sastra Indonesia saat ini belum mendapat perhatian yang maksimal. Masih kuat kecenderungan paradigma kritik sastra sebagaimana yang dikatakan Mahaya dan Salam di atas. Paradigmatisasi kritik sastra juga dapat dilihat dari kemunculan H.B. Jassin dan A. Teeuw yang menurut Toda (1984: 25) merupakan dua nama besar yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah penelitian dan pengenalan sastra Indonesia modern. Berbagai tulisan kritiknya sering dijadikan acuan dalam penulisan kritik sastra. Dengan kata lain, apa yang ditulis oleh Jassin misalnya, telah dijadikan panutan atau pedoman dalam kesastraan Indonesia. Hal itu diungkapkan Faruk (2001: 11; 2012: 111) dengan menunjukkan bagaimana tulisan Jassin mengenai Chairil Anwar banyak ditiru dan dijadikan pedoman bagi pelajaran sastra di berbagai institusi pendidikan. Layak kemudian untuk dicermati mengenai paradigma kritik sastra. Diperlukan landasan teoretis yang representatif dalam menentukan sebuah paradigma kritik sastra. Konsep paradigma sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas S. Khun dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962) sangat

5 19 diperlukan dalam membantu dan menentukan landasan teoretis mengenai kritik sastra. Penelitian ini akan mengkaji paradigma kritik sastra A. Teeuw. Teeuw sebagai seorang kritikus asing memiliki banyak pengaruh dalam khazanah sastra Indonesia. Terutama setelah Teeuw ikut membimbing langsung program doktoral sastra, kritik sastra diwujudkan dalam rangka penelitian sastra dengan memperkenalkan bermacam-macam metode (Rahmanto, 1990). Berbagai bukunya mengenai teori maupun kritik sastra banyak dijadikan acuan di dalam bahan pengajaran karya sastra. Penelitian ini penting diteliti sebab kajian atau penelitian paradigma kritik sastra jarang dilakukan. Padahal, penelitian semacam ini dapat menambah khazanah keilmuan sastra itu sendiri. Pemilihan kritik sastra A. Teeuw sebagai objek material untuk diteliti berdasar pada dua hal. Pertama, pengaruhnya yang besar dalam khazanah sastra Indonesia, sebagaimana yang dikatakan Rahmanto di atas. Kedua, A. Teeuw merupakan kritikus asing yang belum banyak dikaji hasil kerja kritiknya secara lebih mendalam. 1.2 Masalah Penelitian Masalah dalam penelitian ini melingkupi dua hal. Pertama, bagaimanakah paradigma kritik sastra A. Teeuw. Kedua, bagaimanakah terbentuknya pola-pola paradigma pada kritik sastra A. Teeuw.

6 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis paradigma kritik sastra A. Teeuw. Selain itu, tujuan penelitian ini adalah menunjukkan polapola paradigma yang terdapat dalam kritik sastra A. Teeuw. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki dua manfaat, yakni manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis untuk mengakumulasi teori kritik sastra dan mendiskripsikan serta menganalisis paradigma kritik sastra A. Teeuw. Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah untuk a) mendorong penelitianpenelitian yang serupa agar wacana penelitian kritik sastra semakin mendapat perhatian sehingga b) menyemarakkan perkembangan ilmu sastra menjadi acuan dalam penelitian-penelitian berikutnya, khususnya dalam ilmu kritik sastra. 1.5 Tinjauan Pustaka Sebuah buku Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi (1978) yang diedit oleh Lukman Ali menyajikan tentang polemik kritik sastra antara kelompok Ganzheit dan kelompok Rawamangun. Polemik yang dimunculkaan tidak terlepas dari persoalan metode dalam mengkritik karya sastra. Bagi kubu Ganzheit kritik sastra merupakan sebuah pembacaan totalitas, pertemuan antara manusia dengan karya seni. Membaca karya sastra seperti memahami manusia, tidak memahaminya setapak demi setapak, unsur demi unsur, dan bukan elemen-elemen yang datang

7 21 terlebih dahulu pada kita, melainkan totalitasnya (Budiman dan Mohamad, 1978: 4). Sementara itu, dalam pandangan aliran Rawamangun, kritik sastra memerlukan kaidah dalam pelaksaan teknisnya. Kaidah tersebut yang nantinya dapat menjelaskan data-data objektif sehingga kesan subjektifitas dalam menilai karya sastra dapat dihindari (Effendi, 1978: 24 23). Apa yang disajikan dalam buku tersebut pada dasarnya berkutat pada wilayah orentasi sastra, menyangkut metode operasionalsiasi kritik sastra. Selain itu, usaha dalam menentukan objektifitas dalam mengkritik juga telah ditunjukkan. Bagi kelompok Ganzheit hal ini sangat jelas dikemukakan bahwa yang penting bukanlah satu keputusan yang bisa disetujui bersama oleh semua orang, melainkan bagaimana ia mempertanggungjawabkan keputusan itu, satu keputusan yang baginya mungkin tidak bagi orang lain satu kebenaran yang diyakini (Budiman dan Mohamad, 1978: 6). Kritik sastra tetap mementingkan pertanggungjawaban yang tidak lain adalah upaya mengungkapkan gagasan atau argumentasi mengenai apa yang dibacanya. Bagi kelompok Rawamangun, apa yang dikemukakan oleh kelompok Ganzheit merupakan pelaksaan kerja kritik yang sangat subjektif. Namun, jika dicermati kembali, aliran Rawamangun terjebak pada konsepnya sendiri. Apa yang dikatakan sebagai persedian yang dikemukakan oleh kelompok Rawamangun, menunjukkan bahwa kelompok ini berada pada ranah subjektif. 4 4 Effendi (1978: 24), Penanggap referat beranggapan, bahwa sikap penilai sebelum menghadapi sebuah cipta sastra adalah sikap yang dinafasi oleh suatu persedian atau apersepsi material tertentu yang tidak dibawa sejak penilaian dilahirkan, persedian yang tumbuh berkembang berkat rangsangan lingkungan dalam arti seluas-luasnya: perhubungan mesra terus-menerus dengan kehidupan cipta sastra, dengan hasil-hasil telaah sendiri atau orang lain, ilmu-ilmu yang

8 22 Subjektifitas yang dimaksud berupa penilaian yang sebenarnya tidak murni objektif. Pengetahuan seoang kritikus sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan, budaya dan intensitas dalam bergelut dengan dunia yang ditekuninya. Persedian sang kritikus yang satu dengan sang kritikus yang lain tidak sama. Hal inilah yang kemudian dapat memberikan cara pandang, maupun cara kerja kritik sastra yang berlainan. Buku Kritik Sastra Indonesia Modern (2002) oleh Rachmad Djoko Pradopo merupakan buku sejarah kritik sastra Indonesia. Buku yang mulanya berawal dari disertasi ini menganalisis berbagai macam kritik sastra Indonesia secara lengkap (Yudiono, K.S., 2009: 27). Dalam buku ini, Pradopo (2002: 13), menguraikan teori mengenai dasar-dasar kritik sastra, jenis-jenis, dan metode-metode yang ada dalam kritik sastra, juga, diuraikan segala wujud kritik sastra Indonesia, dan mengenai teori-teori yang menjadi dasar kritik sastra Indonesia modern. Ruang lingkup yang luas tersebut ditopang dengan penggunaan teori yang memadukan berbagai macam pendekatan, yakni struktural, bandingan, sosiologi sastra dan estetika resepsi. Namun, ruang lingkup yang luas menjadikan analisis yang dilakukan kerap tumpang tindih secara teoretis. Teori kritik sastra MH. Abrams tidak dioperasikan dengan teliti. Terkesan adanya penyederhanaan dalam pelaksanaan teori tersebut. Hal ini misalnya dapat terlihat pada analisis mengenai kritik sastra Armijin Pane. Dikatakan bahwa kritik Armijin Pane bercorak ekspresif (Pradopo, 2002: 110). Persoalan utamanya adalah adanya pemahaman terhadap hamba sukma sebagai suatu yang dianggap sebagai elemen ekspresif. telah dicapai manusia, khususnya yang masih dekat dengan keperluannya sebagai penilai dan aneka-ragam lagi.

9 23 Padahal, sebagaimana yang kemudian dijelaskan dalam buku tersebut, bahwa ternyata hamba sukma tersebut tidak dapat terlepas dari gambaran (cermin) masyarakatnya, yang itu berarti terikat pada elemen mimetik. Hal serupa terjadi misalnya pada analisis kritik sastra Sanusi Pane. Buku tersebut tidak menjelaskan bagaimana kedua elemen ini sebenarnya saling melengkapi, atau dapat pula saling bertumpang tindih. Tidak ada uraian yang mengungkapkan persoalan tersebut. Akibatnya, kecenderungan untuk menyederhanakan teori begitu tampak. Ketidakcermatan dalam penguasaan teori menjadi titik lemah dalam buku ini. Kecermatan dalam operasionalisasi teori juga tampak dari pemaduan dua konsep teoretis yang sebenarnya berbeda. Uraian mengenai analisis dalam kritik sastra dengan konsep norma Roman Ingarden yang disifatkan sebagai struktural misalnya, membuktikan tiadanya batasan yang ketat antara strukturalisme sebagai sebuah relasi antar unsur, dengan fenomenologisme yang menekankan keutuhan. Makna dalam pengertian fenomenologis bukanlah kumpulan gagasan-gagasan, simbol-simbol, orientasi-orientasi yang terpecah dan secara genetik berhubungan, melainkan lebih merupakan totalitas (Faruk, 2010: 209). Namun, yang tejadi pada buku tersebut menekankan totalitas yang diidentikkan dengan hubungan atau relasi antar unsur. Apa yang kemudian disifatkan sebagai struktural, menjadi tidak tepat, sebab sebenarnya bersifat fenomenologis. Kemungkinan ini terjadi sebab teori sastra Rene Wellek dan Austine Warren yang telah mendarah-daging pada tubuh penulisnya (Faruk, 2002: 18).

10 24 Hal ini sebenarnya telah disadari oleh Pradopo (2002: 71) dengan membawa lebih jauh lagi analisis norma ke ranah sistem semiotik. Persoalannya kemudian, apa yang disifatkan sebagai struktural itu kembali lagi ke soal fenomenologis. Implikasi dari itu semuanya ialah analisis yang sekadar pada ranah pengkatagorian berdasar fakta yang berupa teks kritik sastra yang dijadikan objek mataerial penelitian tersebut. Tidak mengherankan jika kemudian analisis yang dikemukakan berdasar pada apa yang tersaji dalam teks, secara tersurat, tanpa memperhatikan wacana-wacana lain yang ada di sekitarnya secara lebih kritis. Dikatagorikannya kritik Sutan Takdir Asisjahbana sebagai kritik pragmatik misalnya, hanya didasarkan pada data tekstual mengenai tulisan-tulisan STA yang menurut Pradopo (2002: 117) penuh semangat dan optimisme perjuangan. Penelitian Pradopo tentang kritik sastra Indonesia, pada mulanya sudah dilakukan pada penelitian sebelumnya yang kemudian dibukukan dengan judul Prinsip-Prinsip Kritik Sastra (2003). 5 Buku tersebut berisikan teori kritik sastra dan analisis terhadap beberapa hasil kerja kritik seorang kritikus sastra. Di antara kritikus yang diteliti hasil kerjanya ialah 1) H.B. Jassin, 2) Amal Hamzah, 3) Ajib Rosidi, 4) J.U. Nasution, 5) Junus Amir Hamsah, 6) Boen S. Oemarjati, 7) M.S. Hutagalung. Sebagaimana buku yang terakhir ditulis, analisis yang digunakan dalam buku tersebut terbatas pada orientasi kritik M.H. Abrams yang tidak ditaati dengan baik. Namun demikian, buku ini telah membangun konsep kritik sastra sebagaimana yang dikatakan Pradopo (2003:4) bahwa kekurangan kritik sastra Indonesia ialah 5 Cetakan buku pertama ini diterbitkan oleh Dwi Dharma dalam bentuk stensilan pada tahun Buku ini bermula dari hasil penelitian skripsi. Tahun 1994, buku ini diterbitkan melalui jalur penerbit formal (tidak stensilan). Di dalamnya memuat teori-teori mengenai kritik sastra.

11 25 ketika membicarakan karya sastra sendiri, sering sebatas pada tataran objektivasi atau yang dinamakan impressionistik. Hal ini mengakibatkan kritik hanya berupa kesan-kesan yang sifatnya masih pada tataran permukaan. Pradopo (2003:4), kritik sastra seharusnya membahas karya sastra, menganalisis karya sastra, sedang pembicaraan mengenai sastrawannya diletakkan pada nomor dua, yakni sebagai penerang dari segi-segi yang gelap dalam karyanya. Sayangnya, apa yang dikonsepkan itu, agar kritik harus proporsional, tidak teroperasikan dengan baik pada analisisnya. Sebuah Tesis Fungsi Sosial Kritik Sastra Sunda Ajib Rosidi (2007) yang disusun oleh Teddi Muhtadin menyimpulkan tentang kritik sastra sunda Ajib Rosidi yang berfungsi dalam mendorong renaisans sunda. Renaisans sunda adalah kembali kejiwa aktif-kreatif leluhur sunda sebagai jalankeluar dari masalah susbstansi yang dihadapi masyarakat sunda yakni kemerdekaan dan kebekuan kebudayaan Sunda yang dipengaruhi oleh feodalisme Mataram serta dikukuhkan oleh kolonialisme Belanda dan Jepang. Hal inilah yang merupakan substansi, "ideologi" atau leading principle kritik sastra Sunda AR (Muhtadin, 2007: 71). Medernisasi Eropa lebih mengarah kepada bentuk, sedangkan kritik sastra Sunda AR lebih mementingkan isi atau substansi. Tesis ini berangkat dari konsep fungsi kritik sastra Terry Eagleton dalam The Fungcition of Criticism: from The Spectator to Post-Structuralism. Konsep tersebut kemudian dipadukan dengan teori Raymond Williams tentang budaya residu, bangkit dan dominan. Selain itu, digunakan pula pendekatan "diskursive practice" yang dirumuskan oleh Muhammad A.S. Hikam dari karya-karya Michel

12 26 Foucault yang menganggap bahwa bahasa, di dalam dirinya, merupakan representasi dari diployment (penjelasan) berbagai macam kekuatan; oleh karena itu, bahasa merupakan salah satu space (ranah) tempat terjadinya konflik berbagai kepentingan dan counter-hegemoni (hegemoni tanding). Dari sisi ketersebaran wacana dalam kritik sastra, argumentasi yang muncul melalui pendekatan teori yang digunakan sangat relevan. Tesis ini telah menunjukkan praktik diskursif lain dalam kritik sastra secara lebih kritis. Namun, kelemahannya ialah tidak ketatnya pada peguasaan orientasi kritik sastra sebagai sesuatu yang teknis-metodelogis. Akibatnya, analisis yang tercipta terfokus pada satu sisi saja, yakni sisi argumentasinya yang telah memasukkan wacana-wacana lain dalam kritik sastra. Buku Pengkajian Kritik Sastra Indonesia (2009) oleh Yudiono K.S. berisikan mengenai teori kritik sastra serta analisis buku-buku kritik sastra. Terdapat sepuluh buku yang dijadikan objek penelitian. 6 Namun, analisis yang muncul tidak mencerminkan ketaatan terhadap teori kritik sastra. Hal tidak terlepas dari tujuan buku ini yang misinya adalah merangsang dan menggugah semangat mahasiswa untuk menulis kritik sastra yang kelak akan terbaca masyarakat luas (Yudiono, K.S., 2009: 134). Misi itulah yang menegaskan bahwa sejumlah buku kritik sastra yang ditawarkan dalam buku tersebut bukan objek penelitian, 6 Kesepuluh buku kritik tersebut adalah 1) Kritik Sastra Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai I (H.B. Jassin, 1954), 2) Tanggapan Dunia Asrul Sani (M.S. Hutagalung, 1967), 3) Chairil Anwar Sebuah Pertemuan (Arief Budiman, 1976), 4) Tergantung Pada Kata (A. Teeuw, 1980), 5) Sosok Pribadi dalam Sajak (Subagio Sastrowardoyo, 1980), 6) Dari Mochtar Lubis hingga Mangunwijaya (Th. Sri Rahayu Prihatmi, 1989), 7) Melawan Kucuran Keringat (Suripan Sadi Hutomo, 1992), 8) Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya (Yudiono K.S., 2003), 9) Taufiq Ismail: Karya dan Dunianya (Sumito. A. Sayuti, 2005), dan 10) Tamsil Zaman Citra (Arif Bagusd Prasetyo, dkk., 2007).

13 27 melainkan contoh-contoh kritik sastra Indonesia dari masa ke masa (Yudiono, K.S., 2009: 132; 134). Pembicaraan mengenai buku kritik sastra yang terdapat dalam buku tersebut hanya berkisar pada kesan-kesan belaka, atau menyerupai resensi yang sekadar mengulas isi buku, tanpa mengkaitkannya dengan teori kritik sastra. Sebelum menerbitkan Pengkajian Kritik Sastra Indonesia, Yudiono K.S., menerbitkan buku Telaah Kritik Sastra Indonesia (1990). Buku tersebut bermula dari sebuah tesis yang membahas tentang buku-buku kritik sastra Indonesia. 7 Berbeda dengan buku yang ditulis terakhir, Telaah Kritik Sastra Indonesia masih memperlihatkan penggunaan teori kritik sastra. Teori yang digunakan adalah teori kritik sastra MH. Abrams. Namun, operasionalisasi dari teori kritik Abrams terlalu disederhanakan. Buku-buku yang dijadikan objek penelitian seolah-olah dipaksakan masuk ke dalam katagori orientasi kritik, yakni objektif, ekspresif, dan mimetik. Sementara paradigma pragmatik tidak ditemukan buku kritik yang masuk ke dalam paradigma tersebut. Alasan pengkatagorian itu sendiri berdasar pada kecenderungan yang menonjol untuk memanfaatkan pendekatan tertentu (Yudiono K.S., 1990: 66). Hal ini menunjukkan bahwa analisis yang digunakan sekadar pada tataran teknis-metodelogis (orientasi). Padahal persoalan dalam kritik sastra Indonesia, terlebih yang telah berbentuk buku, bukan sekadar soal orientasi belaka. 7 Buku yang dijadikan sampel sebanyak 21 buah. Pemilihan buku tersebut berdasar pada 1) belum dibahas oleh Rachmad Djoko Pradopo yang pernah melakukan penelitian kritik sastra Indonesia tahun dan, 2) buku tersebut dianggap mewakili keseluruhan bahan penelitian (Yudiono, K.S., 1990: 17).

14 28 Buku Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta (2009) oleh Tirto Suwondo dkk. Buku tersebut merupakan hasil penelitian mengenai kritik sastra Indonesia yang berada di Jogjakarta pada rentang waktu 1966 sampai dengan Sampel yang digunakan merupakan media massa yang terbit di Yogyakarta. Di antaranya adalah Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini). Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor. Penelitian tersebut mengunakan teori dari Jauss dan Isser dengan prinsip dasarnya horizon harapan (horizon of expectation) dan tempat terbuka (blank, apenness) yang dipadukan dengan Ronald Tanaka, Said dan Abrams. Hasil penelitian hanya berupa diskripsi dan pemetaan nama-nama kritikus. Selain itu, (Suwondo dkk, 2009: 110), menyimpulkan pula bahwa kritik sastra Indonesia di Yogyakarya selama rentang waktu 1966 sampai dengan 1980 bersifat impresionestik. Hal itu disebabkan oleh media massa yang berkembang pesat dan digunakan sebagai sarana yang efektif oleh para kritikus saat itu. 1.6 Landasan Teori Kritik Sastra Memahami definisi kritik sastra, akan lebih baik jika dilakukan dengan mengetahui landasan etimologisnya. Selain itu, kritik sastra harus dipahami sebagai ilmu pengetahuan sebab telah menjadi disiplin ilmu sendiri dalam isntitusi pendidikan sastra. Melalui pemahaman terhadap kritik sastra sebagai ilmu pengetahuan, dapat mengantarkan ke dalam konsep paradigma sebagaimana yang dikonsepkan oleh Khun.

15 Etimologi Kritik sastra tidak dapat dapat dipahami pengertiannya tanpa menelusuri jejak etimologisnya. Pengertian kritik (sastra) berasal dari kata krites (Yunani Kuno) yang artinya hakim (Habib, 2005: 9; Pradotokusumo, 2002: 39; Semi,1985: 7). Bentuk krites inilah yang menjadi dasar kata kritik yang digunakan saat ini. Kata krites sendiri berasal dari kata krinein yang berarti menghakimi, membanding, atau menimbang (Pradotokusumo, 2002: 39; Semi,1985: 7). Kata kritikos digunakan oleh kaum Pergamon yang dipimpin oleh Crates. Kata tersebut digunakan untuk membedakannya dengan kaum gramatikos, yakni kaum yang ahli dalam bidang gramatikal bahasa. Kaum gramatikos dipimpin oleh Aristarchos di sebuah wilayah yang bernama Alexandria. Abad ke-2 M istilah kritikos dan grammatikos memiliki arti sama. Hal ini menjadikan kata kritikos sendiri leyap tidak dipergunakan lagi pada zaman itu. Istilah criticus dalam sastra Latin memiliki arti lebih tinggi dari kata gramaticus. Hal itu dikarenakan isilah criticus memiliki juga arti penafsiran naskah dan penafsiran kata-kata. Pengertian criticus atau kritikos sebagai literary criticism dalam khasanah kesastraan Inggris dipelopori oleh Quintilian dan Aristoteles (Yudiono KS, 2009: 29). Istilah tersebut pada abad pertengahan Eropa hanya muncul pada bidang kedokteran. Pengertiannya pun mengalami perubahan, yakni untuk menyatakan suatu penyakit yang kritis atau sangat membahayakan bagi penderitanya. Pada zaman Renaissance, pengertian dari istilah tersebut kemudian kembali ke awal. Seorang bernama Poliziano di tahun

16 mengunakan istilah-istilah tersebut untuk membedakannya dengan filsuf. Sementara itu, istilah criticus dan gramaticus digunakan untuk menunjuk orang yang tekun dan mendalami bidang sastra lama. Kemudian istilah ars critica digunakan untuk mempergunakan Alkitab oleh pujangga Erasmus. Kalangan Humanisme kemudian mempersempit pengertian istilah tersebut yang sebatas pada penyuntingan dan pembetulan teks-teks kuno. Kemudian di akhir tahun 1600, pengertian kritik terbatas pada cakupan pembetulan dan edisi, pernyataan pengarang, sensor dan penghakiman serta sintaksis. Perkembangan selanjutnya, istilah kritik digunakan untuk orang yang melakukan kerja kritik dan juga kegiatan kiritik itu sendiri. Sementara itu, pada abad 19, di Perancis dan Amerika mulai dikenal dua pengertian secara luas. Istilah critique digunakan untuk menunjuk atau membicarakan tentang seorang pengarang tertentu, sementara istilah criticism menunjuk kepada teori-teorinya. Di Jerman terdapat istilah kritish yang berasal dari Perancis, dan Literaturwissenscht yang berarti teori sastra (Yudiono KS, 2009: 30) Definisi dan Orientasi Kritik sastra merupakan studi tentang definisi, klasifikasi, analisis, interpretasi, dan evalusasi karya sastra (Abrams, 1999: 49). Interpretasi yang dikemukakan Abrams (1999: 127) dibagi menjadi dua, yakni interpretasi dalam arti sempit dan interpretasi dalam arti luas. Pengertian arti sempit berarti memperjelas atau menjernihkan arti bahasa secara analisis, parafrase, dan

17 31 komentar. Sementara dalam arti luas, interpretasi berarti memperjelas karya sastra dalam segala bentuknya, seperti genre, unsur-unsur struktur, tema dan efeknya. Abrams (1999: 50) membagi kritik sastra menjadi dua, yakni kritik teoretis dan kritik aplikatif. Kritik teoretis bertujuan mengeksplisitkan teori sastra, prinsipprinsip umum, kumpulan bentuk, perbedaan, dan katagori, sebagai dasar yang dapat diaplikasikan pada karya sastra untuk mengidentifikasi dan menganalisis berdasar kriteria sastra (Abrams, 1999: 50). Kritik teoretis lebih banyak menyajikan berbagai macam teori-teori kritik. Dikemukakan oleh Abrams (1999: 50), para intelektual dalam bidang kritik teoretis di antarnya adalah Longinus di Yunani; Horace di Roma; Boileau dan Sainte-Beuve di Perancis; Baugmgarten dan Goethe di Jerman; Samuel Johnson, Coleridge, dan Matthew Arnold di Inggris; serta Poe dan Emerson di Amerika. Buku-buku kritik teoretis di abad XX, yang disebutkan Abrams (1999: 50) di antaranya adalah I.A. Richard, Principles of Literary Criticism (1924); Kenneth Burke, The Philosophy of Literary Form (1941, rev. 1957); Eric Auebach, Mimesis (1946); R.S. Crane, ed., Citic and Criticism (1952); dan Northrop Frye, Anatomy of Criticism (1957). Kritik aplikasi memfokuskan diri pada diskusi seputar karya sastra dan pengarangnya, mengaplikasikan teori kritik, prinsip-prinsip teori dalam menganalisis, menginterpretasikan dan mengevaluasi karya sastra dan pengarangnya (Abrams, 1999: 50). Beberapa pakar dan bentuk kritik aplikasi ini, dicontohkan oleh Abrams (1999: 50) adalah tulisan Dryden dalam Restoration; Dr. Johnson s Lives of the English Poet ( ); Mattheew Arnold s Essays in

18 32 Criticism (1868); I.A. Richard Practical Criticism (1930); T.S. Elio t Selected Essay (1932); dan beberapa kritik oleh Virginia Wolf; F.R. Leavis; dan Lionel Trilling. Kritik aplikasi masih dikatagorikan lagi menjadi dua bentuk, yakni kritik impresionistik dan kritik yudisial (Abrams, 1999: 51 52). Kritik impresionistik merupakan kritik yang mengarah pada impresi atau kesan-kesan kritikus terhadap karya sastra maupun pengarangnya. Kritik yudisial merupakan kritik yang menganalisis dan menerangkan efek karya ssstra menurut subjek, organisasi, tekhnik, serta gaya berdasarkan pertimbangan standar umum tentang kehebatan dan keluarbiasaan sastra. Abrams (1979:6) menguraikan empat unsur dalam kritik sastra. Pertama, karya sastra (work), sebagai produk dari seorang pengarang. Kedua, pengarang (arts), itu sendiri yang menghasilkan karya sastra. Ketiga, alam (universe) yang memberikan ide dan bahan untuk membuat karya sastra oleh seorang pengarang, dan keempat adalah pembaca (audience). Unsur keempat ini yang memberikan makna, penafsiran dan respon terhadap karya sastra. Karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang dari ide-ide yang berasal dari alam, ditujukan kepada elemen keempat ini, yakni pembaca. Keempat elemen tersebut jika dibagankan akan tampak seperti di bawah ini.

19 33 Bagan 1 Orientasi Kritik Sastra M.H. Abrams ALAM (UNIVERSE) KARYA SASTRA (WORK) PENGARANG (ARTS) PEMBACA (AUDIENCE) Keempat unsur tersebut saling berkaitan. Orientasi kritik sastra menurut Abrams didasarkan pada hubungan antar unsur tersebut. Kritik sastra yang menghubungkan antara karya sastra dengan alam dinamakan kritik mimetik; kritik sastra yang menghubungkan antara karya sastra dengan pembaca dinamakan kritik pragmatik; kritik sastra yang menghubungkan antara karya sastra dengan pengarang dinamakan kritik ekspresif; dan kritik sastra yang mengkaji tentang karya sastra itu sendiri dinamakan kritik objektif (Abrams, 1999: 51 52). Abrams (1979) menyebut keempat orientasi tersebut sebagai teori, yakni teori mimetik, teori pragmatik, teori ekspresif dan teori objektif Kritik Sastra sebagai Ilmu Kritik sastra dalam penelitian ini, ditempatkan ke dalam kerangka ilmu (science), bukan pengetahuan (knowledge). Penekan ini untuk menghindari kemunculan perbedan konsep antara ilmu dan pengetahuan. Meskipun, dalam

20 34 beberapa hal keduanya disamakan, atau digabungkan menjadi satu frase, ilmu pengetahuan, namun, keduanya tetap memiliki perbedaan yang mendasar. Diperlukannya penjelasan mengenai kritik sastra sebagai ilmu, bertujuan untuk mengantarkan dalam memahami, menelaah dan menggunakan pengertian paradigma Thomas S. Khun. Bermula dari hal itu, dapat ditemukan kemudian bagaimana paradigma-paradigma yang terdapat dalam kritik sastra. Pemahaman mengenai paradigma harus ditujukan kepada khazanah ilmu sebagaimana yang dikatakan Khun (2008:1), bahwa sebagai sebuah khazanah, revolusi ilmu bukan sekadar sebagai anekdot atau kronologi sejarah. Khun lebih memilih menggunakan diksi ilmu (science) daripada diksi pengetahuan (knowledge) pada judul bukunya, The Structure of Scientific Revolution. Hal ini mengidentifikasikan bahwa konsep paradigma lebih ditekankan kepada sebuah kazanah ilmu. Penting dikemukakan mengenai ilmu dan pengetahuan untuk menjelaskan pengertian atau konsepnya. Dikatakan Suriasumantri (2007:294), pengetahuan (knowledge) merupakan terminologi generik sementara ilmu (science) merupakan anggota (species) dari kelompok (genus) tersebut. Sebagai anggota dari kelompok, ilmu ditandai oleh tiga terminologi, yakni ontologis, epistemologis dan aksiologis. Ontologis terdiri atas dua kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud, dan logos yang berarti ilmu. Terminologi ontologis dengan demikian berkaitan dengan ilmu tentang sesuatu, tentang ada (Adib, 2011: 69; Suriasumantri, 2009: 5).

21 35 Epistemologi, terdiri atas dua kata, yakni episteme yang berarti pengetahun dan logos yang memiliki arti ilmu. Terminologi epistemologis merupakan teori pengetahun, yakni membahas cara memperoleh pengetahuan (Adib, 2011: 69; Suriasumantri, 2009: 9). Sementara terminologi aksiologis berkaitan dengan nilainilai, manfaat atau kegunaan ilmu. Kritik sastra, memiliki ketiga kategori tersebut. Terminologi ontologis berupa persoalan kritik sastra yang menyangkut pada analisis, penilaian dan penghakiman karya sastra. Sementara terminologi epistemologi dalam kritik sastra, yakni terdapatnya berbagai teori, metode dan pendekatan dalam kritik sastra. Penekanan antara teori, pendekatan dan metode dalam kritik sastra, sering menjadi tumpang tindih. Teori sosiologi sastra misalnya, juga disebut sebagai pendekatan sosiologi sastra. Begitu juga dengan teori hermeutika, juga kerap dilekatkan sebagai metode hermeutika. Teori kritik sastra, dapat disebut dengan teori sastra, sebab, di dalam kritik sastra juga terdapat teori sastra yang dioperasionalkan. Teori kritik sastra itu yang dinamakan sebagai kritik teoretis (theoretical criticism) dalam istilah Abrams. Dalam kritik sastra, terdapat berbagai macam teori, misalnya teori strukturalisme, strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dan teori-teori post-struktural dan post-modern. Metode dalam kritik sastra dalam dikatagorikan ke dalam metode intuitif, metode hermeutika, metode kualitatif, metode analisis isi, metode formal, metode dialektika, dan metode deskriptif analitis, sebagaimana yang dicontohkan Ratna (2006). Metode sendiri berasal dari bahasa Latin, yakni methodos yang memiliki

22 36 akar kata meta dan hodos. Meta memiliki arti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sementara hodos, memiliki arti jalan, arah, cara. Dengan demikian, arti secara luas, metode memiliki arti sebagai strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya (Ratna, 2006: 34). Sementara pendekatan, berbeda dengan teori dan metode. Ratna (2006: 41) menjelaskan bahwa pendekatan memiliki tingkat abstraksi lebih tinggi daripada teori dan metode. Dalam sebuah pendekatan, dimungkinkan mengunakan sejumlah teori dan metode. Pendekatan dalam kritik sastra, menurut Ratna (2006: ) dapat dibedakan menjadi menjadi pendekatan sosiologi sastra, pendekatan psikologi sastra dan pendekatan antropologi sastra. Terminologi aksiologis dalam kritik sastra, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, kritik sastra memiliki banyak manfaat. Baik yang berupa manfaat untuk perkembangan keilmuan (kritik) sastra sendiri, maupun untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai karya sastra yang dikritik. Dikatakan Pradopo (2002: 35 38; 2003: 14), kritik sastra memiliki kegunakan a) untuk keilmuan sastra, b) untuk perkembangan kesastraan dan c) untuk kepentingan masyarakat yang menginginkan penerangan tentang karya sastra. Kritik sastra sebagai ilmu, jika dibagankan akan tersaji seperti Bagan 2 Landasan Pengetahuan Ilmu Kritik Sastra di bawah ini.

23 37 Bagan 2 Landasan Pengetahuan Ilmu Kritik Sastra Ilmu Kritik Sastra Ontologis Epistemologis Aksiologis Apa Bagaimana Mengapa/Untuk Apa Teori Metode Manfaat 1. Strukturalisme 2. Strukturalisme dinamik 3. Strukturalisme genetik 4. Posmo 1. Intuitif 2. Hemeutika 3. Kualitatif 4. Analisis isi 5. Formal 6. Dialektika 7. Deskriptif analisis 1. keilmuan sastra, 2. perkembangan kesastraan dan 3. kepentingan masyarakat yang menginginkan penerangan tentang karya sastra Paradigma Thomas S.Khun Paradigma yang dikemukakan Thomas S. Khun (2008: 170), menunjukkan sejenis unsur dalam konstalasi (kepercayaan, nilai, teknik, yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat tertentu), pemecahan teka-teki yang konkret, yang jika digunakan model atau contoh, dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan teka-teki sains yang normal yang masih tertinggal. Konsep tersebut ditegaskan lagi dengan menganologkan paradigma dengan matriks disipliner. Disipliner karena ia mengacu kepada dimilikinya disiplin tertentu oleh para pemraktek bersama-sama, dan matriks karena ia terdiri atas

24 38 beberapa jenis unsur yang tertata yang masing-masing memerlukan spesifikasi lebih lanjut (Khun, 2008: 177). Jenis unsur yang tertata dan membentuk keseluruhan serta berfungsi bersama itu yang kemudian dikonsepkan sebagai paradigma. Terdapat empat unsur yang dikemukakan oleh Khun mengenai paradigma (2008). Pertama, generalisasi simbolis, yakni ungkapan yang digunakan tanpa keraguan atau penolakan oleh anggota kelompok yang dapat ditungkan ke dalam bentuk yang logis. Kedua, model. Khun membagi model menjadi dua, yakni model heruistik dan model ontologis. Model heuristik merupakan model yang membantu dalam penemuan atau dalam belajar, sementara model ontologis merupakan model yang berdasarkan eksistensi. Model digunakan untuk membantu menjelaskaan dan memecahkan teka-teki. Begitu sebaliknya, daftar teka-teki yang belum dipecahkan dapat mengacu kepada model yang telah ada. Ketiga, nilai-nilai. Nilai-nilai sebagai unsur paradigma merupakan ukuran dalam mempertimbangkan keakuratan, margin kesalahan, teori, kesedehanaan, konsistensi, kelogisan. Setiap ilmuan atau kelompok ilmuan, kadang tidak pernah sama dalam menentukan standar nilai yang diacu. Namun demikian, nilai bersama dapat menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkan dengan cara yang sama. Keempat, eksemplar, yakni sederet masalah yang dipelajari bersama beserta pemecahannya. Banyaknya eksemplar yang kemudian bermunculan, dapat mempengaruhi generasi simbolik. Khun menempatkan eksemplar sebagai unsur dalam matrik disipliner yang memerlukan banyak perhatian.

25 39 Mempelajari sederet masalah beserta pemecahannya (eksemplar), memerlukan keterampilan dalam memahami teori dan kaidah dalam memecahkan masalah. Hal yang perlu ditekankan adalah tidak semua teori dapat menjelaskan tentang fakta. Sementara kaidah, merupakan titik pandang yang mapan atau dengan prakonsepsi sebagai sebuah pembatasan, baik sifat pemecahanpemecahan yang dapat diterima maupun langkah-langkah untuk memperolehnya (Khun, 2008: 38). Teori hanya dapat menjelaskan dari sebagian kecil fakta yang diperoleh. Tidak ada teori yang pernah mendapat tempat terbuka bagi semua kemungkinan tes yang relevan, mereka bukan menanyakan apakah suatu teori telah diverifikasi, melainkan menanyakan probalitasnya dilihat dari kenyataan yang benar-benar ada (Khun, 2008: 142). Tidak ada jawaban yang lebih tepat bagi pertanyaan apakah atau sejauh mana teori individual cocok dengan fakta (Khun, 2008: 144). Penekanannya hanya pada kesesuaian antara salah satu teori dengan fakta yang ada. Khun mencontohkan pada kasus teori Priestlye dan Lavoisier setelah satu dasawarsa, ternyata teori Lavoiser lebih sesuai dengan fakta yang dikemukakan. Namun demikian, ketidaksesuaiaan antara teori dan fakta tersebut meneguhkan karakteristik sains yang normal. Khun (2008: 143), menjelaskan bahwa ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaan kesesuaian data-teori yang ada yang, kapan pun menetapkan banyak teka-teki yang menjadi karakteristik sains yang normal. Dikatakan Khun (2008: 10), sains yang normal berarti riset yang dengan teguh berdasar atas satu atau dua lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian

26 40 yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fondasi bagi praktik selanjutnya. Dipaparkan Khun (2008: 96), teori dapat berkembang menjadi teori baru ketika, pertama, terdiri atas gejala-gejala yang telah diterangkan dengan jelas oleh paradigma yang ada, dan gejala itu jarang menyajikan motif atau titik tolak bagi penyusunan teori. Kedua, terdiri atas gejala-gejala yang sifatnya ditunjukkan oleh paradigma-paradigma yang ada, tetapi yang rinciannya hanya dapat dipahami melalui artikulasi teori selanjutnya. Ketiga, anomali-anomali yang diakui yang karena karakteristiknya menandakan kerumitannya dalam menolak pengasimilasian kepada paradigma-paradigma yang ada. Selain itu, supaya diterima sebagai sebuah paradigma, sebuah teori harus tampak lebih baik daripada saingannya, tetapi tidak perlu, dan memang tidak pernah, menerangkan semua fakta yang dapat dihadapkan kepadanya (Khun, 2008: 17). Tidak semua teori adalah paradigma (Khun, 2008: 60). Semntara teori, dapat menjadi paradigma ketika telah memenuhi keempat unsur paradigma. Standar verifikasi sebagai cara mengartikulasikan teori tidak jauh beda dengan maksud falsifikasi Karl Popper, yakni teks yang, karena hasilnya negatif, mementingkan penolakan teori yang mapan. Penolakan itu terjadi jika berulang kali terjadi kegagalan-kegagalan atau ketidaksesuaian antara pengharapan terhadap teori dengan fakta yang ada. Kegagalan berulang pada akhirnya dapat mempengaruhi penolakan teori sampai kapan pun, selamanya. Paradigma, dalam pandangan Khun, terbentuk ketika sains yang normal diterima secara konsensus oleh masyarakat ilmiah. Penerimaan itu disebabkan

27 41 oleh penemuan atau penciptaan baru yang belum pernah ada, serta bersifat cukup terbuka untuk dikritisi kembali keberadaanya. Baik penemuan (discovery) dan penciptaan (invention), atau antara teori dan fakta, dalam pandangan Khun, bersifat artifisial. Penemuan-penemuan bukanlah peristiwa-peristiwa yang terasing, melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur (Khun, 2008: 52). Implikasi dari episode (riset) ini, pada awalnya, tidak menyebabkan munculnya keseragaman, namun sebaliknya, memunculkan variasi-variasi, pembacaan atau artikulasi hasil pengamatan yang berbeda. Hal inilah yang kemudian memuculkan paradigma baru. Menurut Khun (2008: 16), setiap tahaptahap awal perkembangan sains mana pun, orang yang berbeda yang menghadapi deretan gejala yang sama, tetapi tidak selalu gejala tertentu yang sama, melukiskan dan menafsirkan gejala itu dengan cara-cara yang berbeda. Pada tahap akhir, perbedaan pengamatan dapat hilang atau pun lenyap selamanya ketika aliran paradigma hanya menekankan suatu bagian khusus dari kumpulan informasi yang terlalu besar dan belum lengkap (Khun, 2008: 16). Perbedaan dalam melukiskan dan menafsirkan gejala, bagi Khun (2008:115) terjadi akibat persoalan persepsi dan melihat. Persepsi dipengaruhi oleh latar belakang seorang ilmuan (ras, budaya, profesi). Karakteristik persepsi dalam sebuah eksperimen riset, bagi Khun (2008: 111), dapat menjadi sentral dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Persepsi tersebut yang kemudian mempengaruhi ilmuan dalam melihat objek risetnya. Apa yang dilihat orang bergantung pada apa yang dipandangnya dan juga pada apa yang diajarkan

28 42 kepadanya untuk terlihat oleh pengalaman konsep visual terdahulu (Khun, 208: 111). Persepsi dipengaruhi oleh rangsangan dan sensasi yang didapat oleh seorang ilmuan, baik sebagai individu maupun kelompok, ketika melihat objek risetnya. Rangsangan yang berbeda dapat menciptakan sensasi yang sama, dan rangsangan yang sama kadang menciptakan sensasi yang berbeda. Keduanya dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Menurut Khun, (2008: 188), dunia kita ini dihuni pertamapertama bukan oleh rangsangan, melainkan oleh objek-objek sensasi kita, dan mereka (para ilmuan) tidak perlu sama, antara individu dengan individu, atau kelompok dengan kelompok. Persepsi yang terbentuk dari rangsangan dan sensasi, dikemukakan Khun sebagai titik pandang yang tidak dapat dibandingkan. Persoalan persepsi yang mempengaruhi pengamatan seorang ilmuan terhadap objek risetnya, berpengaruh kepada interpretasi data. Namun sebaliknya, apa yang terjadi selama revolusi sains tidak dapat sepenuhnya direduksi menjadi reinterpretasi data-data individual yang abadi (Khun, 2008: 119). Perbedaan melihat memengaruhi interpretasi data. Hal tersebut misalnya terjadi pada kasus Aristoteles dan Galelio mengenai pendulum. Keduanya melihat dan mengamati objek yang sama, namun berbeda dalam menginterpretasikan. Di mana pendulum dan jatuh yang tertahan bukanlah persepsi yang berbeda, melainkan interpretasi yang berbeda tentang data-data yang tidak diragukan yang disajikan oleh pengamatan terhadap batu yang berayun (Khun, 2008: 122). Persoalan tersebut, menurut Khun, tidak lagi terletak pada persepsi, melainkan interpretasi.

29 43 Keseluruhan dari rangangan, sensasi, persepsi dan interpretasi, merupakan unsur paradigma yang menjadi kesatuan dalam generalisasi simbolis. Paradigma baru dapat pula muncul ketika paradigma lama tidak dapat memecahkan teka-teki yang masih mengendap, atau munculnya kesadaran akan anomali. Khun (2008: 53) menjelaskan anomali sebagai pengakuan alam, dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains normal. Pada tahap inilah krisis sains terjadi yang kemudian melahirkan revolusi sains. Putusan untuk menolak sebuah paradigma selalu sekaligus merupakan putusan untuk menerima yang lain, dan pertimbangan yang mengakibatkan putusan itu melibatkan perbandingan paradigma-paradigma dengan alam maupun satu sama lain (Khun, 2008: 77) Orientasi Kritik M.H Abrams sebagai Paradigma Paradigma dalam kritik sastra dapat ditelusuri dengan mengklasifikasikan unsur-unsur yang membangunnya. Dengan cara demikian, dapat diketahui bahwa sebuah paradigma dapat memungkinkan menjadi beberapa paradigma, atau sebaliknya, beberapa paradigma, dapat diklasifikasikan ke dalam satu paradigma. Kemungkinan-kemungkinan tersebut berdasarkan pada argumentasi dalam menentukan unsur-unsur paradigma. Orientasi kritik sastra Abrams, yang dikatagorikan ke dalam kritik mimesis, kritik ekspresif, kritik objektif dan kritik prakmatis, menurut Kaiser (2004: 12) termasuk ke dalam paradigma romantik. Dikotomi menjadi salah satu unsur penting dalam paradigma romantisme. Kaiser (2004: 12) mengatakan bahwa

30 44 sejarah krtitik romantisme berada pada dikotomi antara satu bentuk dengan bentuk yang lain: institusi atau kesadaran, politik atau subjektifitas. Sementara itu, bagi Abrams, kritik romantik dapat membedakan antara sifat kesastraan dengan wacana diskriptif (1979:56). Persoalan ini tidak terlepas dari bagaimana sebuah tiruan (imitasi) kemudian dijadikan sebagai bahan untuk berekspresi. Imitasi tidak dapat disertakan begitu saja sebagai karya seni tanpa melibatkan imajinasi. Kritik mimetik misalnya, yang memfokuskan pada kritik yang melibatkan peniruan, tidak serta merta menihilkan elemen ekspresi pengarang. Orientasi kritik Abrams hadir sebagai sebuah metode yang berakar dari orientasi teori estetika romantik. Bagi Abrams (1979: 100), orientasi teori estetika romantik bukan sekadar ide atau premis, namun sebuah arah kebiasaan umum, yang dapat ditemui pada karya sastra yang mengungkapkan sesuatu tentang alam, dan tidak begitu saja diterima sebagai kritik yang khusus mengenai keadaan yang digambarkan. Dalam orientasi estetika romantik, akan selalu melibatkan banyak perkiraan perbedaan filsafat, pengucapan, motif berdialektika, dan penghakiman kritik. Teori romantik sebagai sebuah implikasi analog dengan alternatif dalam sebuah interaksi kesastraan, bersama-sama berpengaruh di luar dan di dalam kesastraran, pikiran dan objek, keinginan dan perasaan terhadap persepsi (Abrams, 1979: 51). Pengaruh tersebut dapat dimaksudkan sebagai nilai-nilai dan menjadikannya sebagai sebuah paradigma, yakni paradigma kritik romantik. Ukuran di dalam kritik dalam paradigma romantik ditentukan oleh artikulasi

31 45 berinteraksi dalam kesastraan. Sejauh mana pengaruh di luar dan di dalam sastra beroperasi dan menunjukkan dikotominya. Eksemplar paradigma romantik MH. Abrams dapat ditelusuri dalam The Mirror and the Lamp yang mengartikulasikan masalah kritik beserta pemecahannya melalui pemodelan teori-teori estetika. Orientasi yang bersumber karya sastra (work), sebagai produk dari seorang pengarang; pengarang (arts), yang menghasilkan karya sastra; alam (universe) yang memberikan ide dan bahan untuk membuat karya sastra oleh seorang pengarang; dan pembaca (audience), merupakan model dari teori estetika. Setiap karya seni selalu hadir dari keempat unsur tersebut. Pemecahan masalah yang dimaksud dapat dilihat dari analisisnya mengenai kesastraan Wordsworth dan Shelley. Dapat dilihat bagaimana keduanya, baik Shelley maupun Wordsworth, bentuk kesastraannya tidak sekadar mimetik, namun menyerupai penciptaan produk kesastraan dalam respon emosi terhadap sensibilitas objek (Abrams, 1979: 129). Apa yang terjadi pada keduanya merupakan kombinasi dari Platonisme dan psikologi empiris, antara mimetik dan ekspresif. Orentasi kritik sastra Abrams dengan memperhatikan unsur paradigma di atas, yang kemudian dapat disebut sebagai paradigma kritik romantik, dapat pula dirumuskan kembali melalui konsep paradigma paradigma Thomas S. Khun yang telah diuraikan sebelumnya. Perumusan tersebut dapat berimplikasi kepada kemunculan paradigma baru. Hal itu sesuai dengan yang dikatakan Khun bahwa paradigma dapat lahir ketika muncul konsensus dan memenuhi keempat unsur paradigma, yakni generalisasi simbolis, model, nilai-nilai, dan eksemplar.

32 46 Kemunculan paradigma dapat bermula dari teori. Penyebutan Abrams mengenai keempat orientasi kritik sebagai teori, memberikan kemungkinan besar terhadap terjadinya paradigma. Di sisi lain, teori yang dikemukakan itu berdasar pada data-data yang relevan. Khun juga menunjukan bagaimana sebuah teori kemudian menjadi paradigma, yakni seperti pada teori relativitas Einstein. Memandang orientasi atau teori kritik M.H. Abrams, seperti yang telah dikemukakan di atas, harus memenuhi syarat sebagai sebuah paradigma. Orientasi kritik mimetik misalnya, memiliki generalisasi simbolis, model, nilainilai dan eksemplar yang ternyata berbeda dengan orientasi ekspresif, objektif dan pragmatis. Perbedaan itu yang kemudian meletakkan orientasi mimetik sebagai paradigma. Pengakuan bahwa segala ciptaan manusia adalah tiruan alam, merupakan generalisasi simbolis. Sementara teori penciptaan karya seni oleh Aristoteles merupakan modelnya. Ukuran nilai dalam paradigma mimetik dapat ditelusuri dari seberapa jauh ciptaan meniru kenyataan yang ada, dan eksemplar dapat ditelusuri dari terdapatnya beberapa kritik sastra yang menekankan kepada kemiripan karya sastra dengan alam. Mengenai paradigma kritik sastra M.H Abrams ini, akan diuraikan lebih lengkap pada Bab II penelitian ini. 1.7 Metode Penelitian Objek formal penelitian ini adalah paradigma kritik sastra, sementara objek materialnya adalah buku kritik sastra A. Teeuw, yakni buku Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya ananta Toer dan buku Tergantung Pada

BAB V PENUTUP. kritik sastra itu sendiri. Berbagai maacam pendapat mengenai manfaat kritik sastra

BAB V PENUTUP. kritik sastra itu sendiri. Berbagai maacam pendapat mengenai manfaat kritik sastra 142 BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Kritik sastra dikatakan sebagai ilmu sebab memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan ontologis yang berkaitan dengan apa pada kritik sastra mengacu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan teori sastra. Perkembangan kritik sastra akan menjadi catatan

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan teori sastra. Perkembangan kritik sastra akan menjadi catatan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan kritik sastra berhubungan erat dengan sejarah sastra dan juga perkembangan teori sastra. Perkembangan kritik sastra akan menjadi catatan sejarah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang selain dikenal sebagai negara maju dalam bidang industri di Asia, Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra prosa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. XVIII dan XIX. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. XVIII dan XIX. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu benda budaya yang dapat ditinjau dan ditelaah dari berbagai sudut. Teks-teks sastra bersifat multitafsir atau multiinterpretasi. Isi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1).

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari akar kata Cas atau sas dan tra. Cas dalam bentuk kata kerja yang diturunkan

Lebih terperinci

BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER KRITIK SASTRA I (BDI 2133) Pengampu: Drs. Heru Marwata, M.Hum.

BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER KRITIK SASTRA I (BDI 2133) Pengampu: Drs. Heru Marwata, M.Hum. BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER KRITIK SASTRA I (BDI 2133) Pengampu: Drs. Heru Marwata, M.Hum. JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2004

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastra adalah produk kebudayaan (karya seni) yang lahir di tengah-tengah

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastra adalah produk kebudayaan (karya seni) yang lahir di tengah-tengah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah produk kebudayaan (karya seni) yang lahir di tengah-tengah masyarakat dan pengarang sebagai pencipta karya sastra merupakan bagian dari masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu karya seni yang disampaikan oleh seorang sastrawan melalui media bahasa. Keindahan dalam suatu karya sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk mengikuti perkembangan zaman. Pembelajaran memiliki peran serta mendidik siswa agar menjadi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi, buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah

Lebih terperinci

SOSIOLOGI SASTRA SEBAGAI PENDEKATAN DALAM PENELITIAN SASTRA (Metode Penelitian Sastra)

SOSIOLOGI SASTRA SEBAGAI PENDEKATAN DALAM PENELITIAN SASTRA (Metode Penelitian Sastra) SOSIOLOGI SASTRA SEBAGAI PENDEKATAN DALAM PENELITIAN SASTRA (Metode Penelitian Sastra) A. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan pencerminan masyarakat, melalui karya sastra, seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai rancangan penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nenden Lilis Aisiyah (cerpenis dan pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan

I. PENDAHULUAN. Nenden Lilis Aisiyah (cerpenis dan pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nenden Lilis Aisiyah (cerpenis dan pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia) menyatakan dalam Artikel Sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab pendahuluan ini dikemukakan beberapa poin di antaranya latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab pendahuluan ini dikemukakan beberapa poin di antaranya latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan ini dikemukakan beberapa poin di antaranya latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan ruang lingkup penelitian. 1.1

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. gejala. Kaitan tersebut dilakukan oleh peneliti berdasarkan observasinya.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. gejala. Kaitan tersebut dilakukan oleh peneliti berdasarkan observasinya. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Untuk membahas sebuah karya sastra ada dua macam pendekatan, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik bertolak

Lebih terperinci

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN Pada umumnya manusia dilahirkan seorang diri. Namun demikian, mengapa manusia harus hidup bermasyarakat. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Nama : Awal Nurahmat Deriyanto Nis : 12880 Kelas :XI RPL 1 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang memberikan bimbingan dan pertolongannya sehingga dalam penulisan Makalah ini bisa berjalan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Penulis melakukan telaah kepustakaan yang berhubungan dengan PDH dengan menelusuri penelitian sebelumnya. Telaah pustaka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra anak masih terpinggirkan dalam khazanah kesusastraan di Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang sastra anak. Hal

Lebih terperinci

Pendekatan-Pendekatan dalam Karya Sastra

Pendekatan-Pendekatan dalam Karya Sastra Pendekatan-Pendekatan dalam Karya Sastra Mimetik Ekspresif Pragmatik Objektif 10/4/2014 Menurut Abrams 2 Pendekatan Mimetik Realitas: sosial, budaya, politik. ekonomi, dan lain-lain. Karya Sastra 10/4/2014

Lebih terperinci

BAB 1 MENGENAL KRITIK SASTRA

BAB 1 MENGENAL KRITIK SASTRA BAB 1 MENGENAL KRITIK SASTRA A. Pendahuluan Salah satu objek dalam studi sastra atau cabang ilmu sastra yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap karya sastra, yaitu kritik sastra. Kritik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil imajinasi seseorang yang berasal dari pengalaman, pemikiran, perasaan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil imajinasi seseorang yang berasal dari pengalaman, pemikiran, perasaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil imajinasi seseorang yang berasal dari pengalaman, pemikiran, perasaan yang dituangkan dalam bentuk bahasa dan dilukiskan dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 Tinjauan aspek sosiokultural puisi-puisi pada harian Solopos dan relevansinya sebagai materi ajar alternatif bahasa Indonesia di SMA (harian Solopos edisi oktober-desember 2008) Oleh: Erwan Kustriyono

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN 224 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan Berlandaskan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV diperoleh simpulan yang berkaitan dengan struktur, fungsi, dan makna teks anekdot siswa kelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena itu, bagi

BAB I PENDAHULUAN. sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena itu, bagi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu karya seni yang disampaikan oleh seorang sastrawan melalui media bahasa. Keindahan dalam suatu karya sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa

Lebih terperinci

BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA

BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA 8 BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA Resensi atas karya sastra berkaitan erat dengan resepsi sastra. Resensi-resensi karya sastra di surat kabar dapat dijadikan sasaran penelitian resepsi sastra. Dalam bab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Posisi penting pendidikan dalam membangun kualitas bangsa menuntut

BAB I PENDAHULUAN. Posisi penting pendidikan dalam membangun kualitas bangsa menuntut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Posisi penting pendidikan dalam membangun kualitas bangsa menuntut penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara profesional dan terpadu. Tidak dapat dipungkiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya (Semi,

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Membaca karya sastra memerlukan persiapan, strategi agar karya tersebut dapat dipahami. Pembaca mesti memahami model bahasa, bentuk sastra, dan dengan sendirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan apa yang ingin diutarakan pengarang. Hal-hal tersebut dapat

BAB I PENDAHULUAN. dengan apa yang ingin diutarakan pengarang. Hal-hal tersebut dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang fenomena kesusastraan tentu tidak lepas dari kemunculannya. Hal ini disebabkan makna yang tersembunyi dalam karya sastra, tidak lepas dari maksud pengarang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat adalah novel. Menurut Esten (1993:

BAB I PENDAHULUAN. sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat adalah novel. Menurut Esten (1993: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu karya sastra prosa yang menggambarkan tentang permasalahan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat adalah novel. Menurut Esten (1993: 12), novel merupakan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 2.1.1 Sastra Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, kreasi bukan sebuah imitasi.

Lebih terperinci

ESTETIKA ABAD KE-20 SUSANNE K. LANGER. Oleh : Ritter Willy Putra Christina Abigail Daniz Puspita

ESTETIKA ABAD KE-20 SUSANNE K. LANGER. Oleh : Ritter Willy Putra Christina Abigail Daniz Puspita ESTETIKA ABAD KE-20 SUSANNE K. LANGER Oleh : Ritter Willy Putra 12120210157 Christina Abigail 12120210195 Daniz Puspita 12120210208 Fifiani Lugito 12120210231 Harryanto 12120210370 Fakultas Seni dan Desain,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukan kajian pustaka. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai monolog Marsinah Menggugat sudah dilakukan sebelumnya oleh peneliti terdahulu. Penelitian terdahulu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori

BAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori BAB II LANDASAN TEORI Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori pendukungnya antara lain; hakekat pendekatan struktural, pangertian novel, tema, amanat, tokoh dan penokohan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra muncul karena karya tersebut berasal dari gambaran kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra muncul karena karya tersebut berasal dari gambaran kehidupan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra selalu muncul dari zaman ke zaman di kalangan masyarakat. Karya sastra muncul karena karya tersebut berasal dari gambaran kehidupan manusia yang

Lebih terperinci

Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow. Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1

Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow. Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1 Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1 Sebagai seorang akademisi yang sangat memperhatikan aspek-aspek pengajaran dan pengembangan kebudayaan, E.K.M. Masinambow merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan bahwa sastra adalah institusi sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan bahwa sastra adalah institusi sosial BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah 1.1.1. Latar Belakang Sastra 1 merupakan curahan hati manusia berupa pengalaman atau pikiran tentang suatu objek tertentu. Rene Wellek mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. commit to user BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil karya manusia yang mengekspresikan pikiran, gagasan, pemahaman, dan tanggapan perasaan penciptanya tentang hakikat kehidupan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang berdasarkan aspek kebahasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Hal ini disebabkan masing-masing pengarang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Hal ini disebabkan masing-masing pengarang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir karena adanya daya imajinasi yang di dalamnya terdapat ide, pikiran, dan perasaan seorang pengarang. Daya imajinasi inilah yang mampu membedakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan merupakan sebuah bentuk ekspresi atau pernyataan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Sebagai ekspresi kebudayaan, kesusastraan mencerminkan sistem sosial,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisipreposisi

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisipreposisi BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisipreposisi penelitian, maka harus memiliki konsep-konsep yang jelas.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan menulis merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan menulis merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kemampuan menulis merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang sangat penting untuk dikuasai. Untuk itu kemampuan menulis perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra tadi harus dapat dikomunikasikan kepada orang lain, karena dapat saja

BAB I PENDAHULUAN. sastra tadi harus dapat dikomunikasikan kepada orang lain, karena dapat saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan disampaikan kepada orang lain. Sastra adalah komunikasi. Bentuk rekaman atau karya sastra tadi harus dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan kreativitas manusia. Karya sastra lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. Relevansi Dalam perkuliahan ini mahasiswa diharapkan sudah punya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastrawan kelas dunia. Begitu banyak karya sastra Jepang yang telah di

BAB I PENDAHULUAN. sastrawan kelas dunia. Begitu banyak karya sastra Jepang yang telah di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang adalah salah satu negara maju di Asia yang banyak memiliki sastrawan kelas dunia. Begitu banyak karya sastra Jepang yang telah di terjemahkan dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas sumber manusia itu tergantung pada kualitas pendidikan. Peran

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas sumber manusia itu tergantung pada kualitas pendidikan. Peran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber manusia itu tergantung pada kualitas pendidikan. Peran pendidikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka menjelaskan gagasan, pemikiran atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Plato,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan pembangunan dan peningkatan sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia dapat dilakukan

Lebih terperinci

MENGHIDUPKAN KRITIK SASTRA AKADEMIK Oleh Nenden Lilis A.

MENGHIDUPKAN KRITIK SASTRA AKADEMIK Oleh Nenden Lilis A. MENGHIDUPKAN KRITIK SASTRA AKADEMIK Oleh Nenden Lilis A. Gosip Jalanan, lagu yang dibawakan grup band Slank yang berisi kritik terhadap kinerja para wakil rakyat, sontak membuat Badan Kehormatan DPR dan

Lebih terperinci

Kesalahan Umum Penulisan Disertasi. (Sebuah Pengalaman Empirik)

Kesalahan Umum Penulisan Disertasi. (Sebuah Pengalaman Empirik) Kesalahan Umum Penulisan Disertasi (Sebuah Pengalaman Empirik) Setelah membimbing dan menguji disertasi di sejumlah perguruan tinggi selama ini, saya memperoleh kesan dan pengalaman menarik berupa kesalahan-kesalahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Secara etimologis metode berasal dari kata Yunani Metodos yang berarti

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Secara etimologis metode berasal dari kata Yunani Metodos yang berarti BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Secara etimologis metode berasal dari kata Yunani Metodos yang berarti jalan atau cara sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode mengangkat masalah

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel. BAB VIII KESIMPULAN Puisi Maḥmūd Darwīsy merupakan sejarah perlawanan sosial bangsa Palestina terhadap penjajahan Israel yang menduduki tanah Palestina melalui aneksasi. Puisi perlawanan ini dianggap unik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sisi-sisi kehidupan manusia dan memuat kebenaran-kebenaran kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. sisi-sisi kehidupan manusia dan memuat kebenaran-kebenaran kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan refleksi atau cerminan kondisi sosial masyarakat yang terjadi di dunia sehingga karya itu menggugah perasaan orang untuk berpikir tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sebagai hasil seni,

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sebagai hasil seni, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sebagai hasil seni, sastra merupakan hasil cipta manusia yang mengekspresikan pikiran, gagasan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut, Jabrohim, dkk. (2003:4) menjelaskan yaitu, Bahasa memang media

BAB I PENDAHULUAN. tersebut, Jabrohim, dkk. (2003:4) menjelaskan yaitu, Bahasa memang media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah sebuah kreasi yang indah, baik lisan maupun tulisan yang memiliki peran penting dalam menciptakan karya sastra dengan hakikat kreatif dan imajinatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah suatu kegiatan kreatif pada sebuah karya seni yang tertulis atau tercetak (Wellek 1990: 3). Sastra merupakan karya imajinatif yang tercipta dari luapan

Lebih terperinci

TANTANGAN FILSAFAT ILMU DALAM PERKEMBANGAN GEOGRAFI YULI IFANA SARI

TANTANGAN FILSAFAT ILMU DALAM PERKEMBANGAN GEOGRAFI YULI IFANA SARI TANTANGAN FILSAFAT ILMU DALAM PERKEMBANGAN GEOGRAFI YULI IFANA SARI RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana peranan filsafat ilmu dalam perkembangan ilmu pengetahuan? 2. Bagaimana perkembangan ilmu geografi? 3. Apa

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; (3) ling gambaran

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; (3) ling gambaran BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Landasan Teori 2.1.1 Konsep Konsep adalah (1) rancangan atau buram surat dan sebagainya; (2) ide atau pengertian yang diabstrakkan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. puisi antara lain Oidipus, Hamlet, Mahabaratha, Ramayana, dan sebagainya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. puisi antara lain Oidipus, Hamlet, Mahabaratha, Ramayana, dan sebagainya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra dari berbagai macam karya sastra yang ada. Dalam perkembangannya, puisi mengalami pasang surut sesuai pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra. Bahasa sudah menjadi sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Saeful Ulum, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Saeful Ulum, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Alasan rasional dan esensial yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini di antaranya berdasarkan pada dua hal utama, yaitu 1) Opini masyarakat

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 9 Universitas Indonesia

BAB 2 LANDASAN TEORI. 9 Universitas Indonesia BAB 2 LANDASAN TEORI Sebagaimana telah disinggung pada Bab 1 (hlm. 6), kehidupan masyarakat dapat mengilhami sastrawan dalam melahirkan sebuah karya. Dengan demikian, karya sastra dapat menampilkan gambaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 10 BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisi tentang struktural sastra dan sosiologi sastra. Pendekatan struktural dilakukan untuk melihat keterjalinan unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum adalah agar (1) peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan seni dan karya yang sangat berhubungan erat dengan ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka karya sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki kaitan yang sangat erat. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki kaitan yang sangat erat. Menurut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Moral, kebudayaan, kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki ruang lingkup yang luas di kehidupan masyarakat, sebab sastra lahir dari kebudayaan masyarakat. Aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa. Dari zaman ke zaman sudah banyak orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana ilmu pengetahuan bidang lain, sastra sebagai ilmu memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana ilmu pengetahuan bidang lain, sastra sebagai ilmu memiliki 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sebagaimana ilmu pengetahuan bidang lain, sastra sebagai ilmu memiliki karakteristiknya sendiri. Abrams (Teeuw, 1988: 50) dalam bukunya yang berjudul The Mirror

Lebih terperinci

89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa

89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa 89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa A. Latar Belakang Mata pelajaran Sastra Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan seni yang bermediumkan bahasa dan dalam proses terciptanya melalui intensif, selektif, dan subjektif. Penciptaan suatu karya sastra bermula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia (Trisman, 2003:12). Karya sastra terdiri atas puisi, prosa, dan drama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia (Trisman, 2003:12). Karya sastra terdiri atas puisi, prosa, dan drama. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil imajinasi yang memiliki unsur estetis dan dituangkan ke dalam bentuk tulisan dengan media bahasa. Karya sastra sendiri dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. indah setelah diberi arti oleh pembaca (Teeuw, 1984 : 91)

BAB I PENDAHULUAN. indah setelah diberi arti oleh pembaca (Teeuw, 1984 : 91) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra adalah hasil cerminan dari sebuah budaya kelompok masyarakat yang menceritakan tentang interaksi manusia dengan lingkungannya dan merupakan hasil kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah penelitian yang berisikan pentingnya keterampilan menulis bagi siswa

BAB I PENDAHULUAN. masalah penelitian yang berisikan pentingnya keterampilan menulis bagi siswa BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas delapan hal. Pertama, dibahas latar belakang masalah penelitian yang berisikan pentingnya keterampilan menulis bagi siswa sekolah dasar. Kemudian, dibahas identifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui cipta, rasa, dan karsa manusia. Al-Ma ruf (2009: 1) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. melalui cipta, rasa, dan karsa manusia. Al-Ma ruf (2009: 1) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu bentuk seni yang diciptakan melalui cipta, rasa, dan karsa manusia. Al-Ma ruf (2009: 1) menjelaskan karya sastra merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya terdapat daya kreatif dan daya imajinasi. Kedua kemampuan tersebut sudah melekat pada jiwa

Lebih terperinci

FILSAFAT ILMU DAN CABANG FILSAFAT. H. SyahrialSyarbaini, MA. Modul ke: 02Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

FILSAFAT ILMU DAN CABANG FILSAFAT. H. SyahrialSyarbaini, MA. Modul ke: 02Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA Modul ke: 02Fakultas Dr. PSIKOLOGI CABANG FILSAFAT H. SyahrialSyarbaini, MA. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id CABANG- CABANG FILSAFAT Standar Kompetensi Setelah perkualiahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak pelajaran tentang pengalaman hidup yang dapat menginspirasi

BAB I PENDAHULUAN. Banyak pelajaran tentang pengalaman hidup yang dapat menginspirasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak pelajaran tentang pengalaman hidup yang dapat menginspirasi lahirnya sebuah karya sastra yang akhirnya dijadikan sebagai media untuk menyampaikan aspirasi, gagasan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam melaksanakan keterampilan menulis dan hasil dari produk menulis itu.

BAB I PENDAHULUAN. dalam melaksanakan keterampilan menulis dan hasil dari produk menulis itu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterampilan menulis dapat kita klasifikasikan berdasarkan dua sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang tersebut adalah kegiatan atau aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud atau hasil dari daya imajinasi seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan pengalaman pribadi atau dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif peran sastrawan dan faktor-faktor yang melingkupi seorang sastrawan

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif peran sastrawan dan faktor-faktor yang melingkupi seorang sastrawan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah karya kreatif dan imajinatif dengan fenomena hidup dan kehidupan manusia sebagai bahan bakunya. Sebagai karya yang kreatif dan imajinatif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penulisan sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari latar belakang situasi saat

BAB 1 PENDAHULUAN. Penulisan sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari latar belakang situasi saat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penulisan sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari latar belakang situasi saat karya itu diciptakan, termasuk pula latar belakang pengarang yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra yang banyak diterbitkan merupakan salah satu bentuk dari berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk seni, tetapi sastra juga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemikiran Yoga dapat dilihat sebagai suatu konstelasi pemikiran filsafat, bukan hanya seperangkat hukum religi karena ia bekerja juga mencapai ranah-ranah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra menurut Wellek dan Warren adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (2013: 3). Hal tersebut dikuatkan dengan pendapat Semi bahwa sastra adalah suatu bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari bahasa. Bahasa merupakan sarana untuk berkomunikasi antarsesama manusia. Bahasa sebagai sarana komunikasi dapat berupa

Lebih terperinci