BAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang. pada acara adat maupun festival. Dilihat dari segi waktu dan model pertunjukan,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang. pada acara adat maupun festival. Dilihat dari segi waktu dan model pertunjukan,"

Transkripsi

1 1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Reyog Ponorogo adalah salah satu bagian dari kesenian rakyat yang terdapat di Propinsi jawa Timur, tepatnya di wilayah Propinsi Jawa Timur bagian Barat yaitu Kota Ponorogo. Kesenian Reyog Ponorogo sampai saat ini dapat dijumpai pada acara adat maupun festival. Dilihat dari segi waktu dan model pertunjukan, reyog mengalami banyak perubahan. Reog atau Reyog berasal dari kata riyet atau dapat diartikan sebagai keadaan bangunan yang hampir rubuh, karena di dalam pertunjukan reyog terdapat suara gamelan atau musik pengiring yang menyerupai bata rubuh yang artinya sangat semarak dan ramai (Poerwowijoyo, 1985:9). Akan tetapi sampai saat ini perdebatan antara pemilihan kosakata yang tepat mengenai reyog masih berlangsung. Reog atau reyog keduanya sama-sama digunakan untuk menyebutkan salah satu jenis tarian yang berasal dari Ponorogo dengan ciri khas unsur topeng Dhadak Meraknya. Pada awalnya penduduk Ponorogo sering menyebutkan dengan istilah reyog akan tetapi pada tahun 1995, saat Drs. Markoem Singodimejo menjabat sebagai Bupati Ponorogo beliau mengeluarkan SK Bupati yang menetapkan semboyan REOG yang memiliki arti resik, endah, omber, girang-gemirang sebagai semboyan kota Ponorogo. Secara tidak langsung hal itu mempengaruhi masyarakat Ponorogo. Dahulu menggunakan istilah reyog akan tetapi dengan adanya semboyan itu membuat masyarakat beralih pada

2 2 kosakata reog (Fauzannafi, 2005 : 17,61). Penulis memilih untuk menggunakan istilah yang lebih original yaitu reyog. Sebagai kota dengan image Kota Reyog, Ponorogo memiliki banyak sekali grup reyog. Hampir setiap kecamatan memiliki grup, bahkan setiap desa memiliki lebih dari satu grup reyog, seperti di wilayah Kecamatan Sumoroto. Kecamatan Sumoroto dianggap masyarakat Ponorogo sebagai tempat berdirinya pusat Kerajaan Bantar Angin, yaitu merupakan salah satu kerajaan yang dianggap sebagai tempat asal-usul reyog Ponorogo ( Fauzannafi, 2005: 16). Berdasarkan sumber tertulis maupun lisan yang ditemukan, saat ini di sekitar masyarakat dan pelaku reyog di Ponorogo beredar berbagai versi asal-usul terbentuknya kesenian reyog Ponorogo. Bentuk pertunjukan Reyog Ponorogo pun saat ini ada beberapa versi. Beberapa versi itu memiliki perbedaan dari segi pola gerakan pertunjukan dan kostum. Perbedaan pola gerakan dan kostum pertunjukan kesenian Reyog Ponorogo pada masa sekarang dengan masa dulu yang sangat mencolok adalah munculnya dua versi pertunjukan reyog yaitu reyog yang disajikan di Festival Reyog Nasional (FRN) dan Reyog Obyog atau reyog yang biasa dilakukan oleh masyarakat atau obyogan. Pada pentas reyog yang ditampilkan di Festival Reyog Nasional (FRN) terdiri dari formasi lengkap dari cerita reyog. Karakter yang ada meliputi penari jathil atau jaranan yang diperankan oleh perempuan. Biasanya dalam pertunjukan festival terdapat sekitar 10 penari. Selain itu ada karakter warok atau laki-laki paruh baya berpakaian serba hitam dengan mengenakan jenggot yang tebal.

3 3 Karakter lain dalam pertunjukan ini adalah bujang ganong atau patih raja. Ketiga karakter penari itu dipimpin oleh satu raja bernama Prabu Klono Sewandono. Sementara inti dari pertunjukan reyog ini terletak pada Dhadak Merak atau topeng yang sangat besar berbentuk kepala singa dan bermahkota burung merak. Kelima karakter itu muncul secara bergiliran pada pentas Festival Reyog Nasional. Pada Festival Reyog Nasional alur pertunjukan yang disajikan sangat rapi dan teratur. Berbeda dengan Reyog Festival, Reyog Obyog atau Obyogan biasa dipentaskan pada saat masyarakat setempat memiliki acara atau hajatan. Pemilik rumah hajatan akan menyewa pemain Reyog Obyog untuk melakukan pementasan. Pertunjukan ini tentu sangat dinanti oleh masyarakat karena dengan adanya Reog Obyog atau obyogan masyarakat menjadi terhibur. Pentas Reyog Obyog biasanya tidak banyak membutuhkan pemain, sebagaimana pada festival. Di dalam reyog obyog biasanya hanya terdiri dari Dhadak merak, jathil, dan bujang ganong. Nuansa pementasan Reyog Obyog didominasi oleh: penari jathil yang erotis, kegagahan (kekuatan) barongan, spontanitas, dan kebrutalan para penonton yang hampir seluruhnya adalah lak-laki (Fauzannafi, 2005: 113) Dalam penelitian ini penulis akan fokus pada pertunjukan Reyog Obyog. Reyog Obyog adalah salah satu jenis pertunjukan Reyog Ponorogo yang muncul di pertunjukan reyog rakyat tradisional. Reyog Obyog adalah bentuk seni pertunjukan rakyat yang dapat ditanggap, dimainkan dan ditonton kapan saja, di manapun dan oleh siapapun. Reyog Obyog sangat dekat dengan masyarakat. Jenis pertunjukan ini menyatu dengan nilai dan kehidupan masyarakat seperti acara pernikahan, khitanan, slametan atau bersih desa (Fauzannafi, 2005: 107).

4 4 Pentas yang dekat dengan masyarakat tidak kemudian selalu membawa dampak positif bagi masyarakatnya. Pentas Reyog Obyog memiliki kesan erotis dan sronok dari penari jathil yang tidak dapat dilepaskan. Penampilan erotis dari penari jathil obyogan telah nampak dari kostum yang dipakai, yang cenderung ketat dan transparan (Fauzannafi, 2005: 113). Kostum jathil festival dan jathil obyogan itu berbeda. Salah satu juri Festival Reyog, menegaskan bahwa untuk festival, pakaian jathil haruslah sesuai dengan etika berkesenian, sebagai contoh, celana jathil seharusnya 5 cm di bawah lutut dan tidak ketat. Sedangkan pada kostum jathil obyogan pakaian ketat dan setengah paha (Fauzannafi, 2005: 113). Selain kostum, hal lain yang dipertentangkan dari kedua bentuk penyajian itu adalah masalah perilaku penonton dan para pemain yang seronok dan kebiasaan menenggak minuman keras pada saat tanggapan Reyog Obyog berlangsung. Aturan yang telah dibuat dan disepakati dalam Reyog Festival tidak diterapkan pada Reyog Obyog. Terlebih reaksi masyarakat yang melihat pertunjukan tersebut sebagai hal yang biasa saja dan tidak mengganggu adat istiadat. Reaksi masyarakat tidak frontal dan sama sekali tidak ada rasa kekhawatiran pada perilaku masyarakat yang sekiranya mengarah pada tindakan erotisme. Tidak berhenti pada aksi erotisme yang ditunjukkan penari jathil, para penontonnya juga dipengaruhi oleh minuman beralkohol. Budaya seperti itu disajikan pada pentas rakyat yang ditonton oleh berbagai jenis usia. Bahkan dalam suatu pementasan obyogan seorang tamu berkata: Ponorogo kuwi ngombe yo ngombe, sholat yo sholat (Di ponorogo itu minum ya minum sholat ya sholat).

5 5 Dari pernyataan itu terlihat bahwa karakteristik beberapa orang di Ponorogo memiliki gaya hidup yang bebas dan tidak ingin terikat oleh suatu aturan di masyarakat (Fauzannafi, 2005: 87). Melihat sikap beberapa masyarakat yang sepertinya biasa saja pada fenomena tersebut, diperkirakan dalam kelompok masyarakat ini terdapat sikap permisif. Permisivisme berasal dari bahasa Inggris, permissive yang berarti serba membolehkan, suka mengizinkan. Sejalan dengan arti katanya, permisivisme merupakan sikap dan pandangan yang membolehkan dan mengizinkan segalagalanya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia permisif memiliki arti bersifat terbuka (serba membolehkan; suka mengizinkan): masyarakat kini sudah lebih terbuka-terhadap hal-hal yang dahulu dianggap tabu. Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa sikap permisif adalah sikap yang mengizinkan dan membolehkan segalanya terlepas dari norma dan aturan yang berlaku. Masyarakat dengan sikap permisif lebih bersifat bebas dan tidak mau tahu terhadap persoalan yang sedang terjadi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Sifat ini sejalan dengan sifat yang dominan bagi masyarakat Indonesia, masyarakat cenderung tidak mau tahu terhadap persoalan-persoalan yang dianggap tabu. Sikap permisif banyak di latar belakangi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah prinsip hidup orang Indonesia yang tidak mau ikut campur terhadap urusan orang lain. Masyarakat Jawa memiliki perbedaan golongan yang meliputi: abangan, santri, priyayi (Geertz, 1997 : 87). Beberapa masyarakat Jawa mewakili setiap interaksi sosialnya yang didasarkan pada aspek kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi

6 6 politik. Pada golongan abangan pola interaksinya lebih bebas (tidak terikat aturan) dari pada golongan santri atau priyayi. Pertunjukan Reyog Obyog mengarah pada hiburan rakyat golongan abangan yang memberikan pola ruang untuk berimprovisasi tanpa harus terpaku pada suatu aturan. Improvisasi yang dilakukan bertujuan untuk usaha memberikan hiburan yang disenangi oleh penonton dalam golongan abangan ( Fauzannafi, 2005: 154). Kelas abangan mewakili sikap yang masih percaya pada segi-segi animisme, sinkretisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur penduduk desa. Golongan ini sangat dekat dengan pola kehidupan golongan bawah. Istilah abangan dimunculkan pada kebudayaan orang desa, yaitu para petani yang kurang dipengaruhi oleh aspek luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain di antara penduduk (Geertz, 1981:87). Hal ini yang kemudian dapat dijadikan hipotesis mengapa masyarakat penikmat Reyog Obyog bersifat permisif terhadap fenomena erotisme jathil obyog. Melihat fenomena yang terjadi di masyarakat Ponorogo saat penonton menikmati pertunjukan Reyog Obyog, penulis ingin mengkaji lebih lanjut mengenai fenomena ini. Penulis akan mengkaji dengan orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn. Kluckhohn menjelaskan bahwa suatu nilai budaya memiliki variasi jenis yang berlandasan pada lima masalah dasar pada diri manusia. Yaitu hakikat manusia, hakikat karya manusia, hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, hakikat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan yang terakhir hubungan manusia dengan manusia yang lain (Koenjaraningrat, 1990:191). Dari penjelasan yang sudah dipaparkan, menurut penulis ada aspek yang

7 7 mempengaruhi masyarakat untuk berperilaku permisif khususnya dalam pertunjukan Reyog Obyog. Aspek-aspek itulah yang melandasi penelitian penulis untuk menggali nilai yang sebenarnya dari sikap permisif masyarakat tersebut. Teori orientasi nilai budaya oleh Clyde Kluckhon digunakan sebagai objek formal dari penelitian ini, karena dapat mewakili penggambaran nilai budaya yang ada di pertunjukan Reyog Obyog sehingga memudahkan penulis untuk menganalisis terhadap aspek yang terkandung dalam sikap permisif penonton Reyog Obyog. Untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan pada pembahasan berikutnya. 1. Rumusan Masalah Adanya perubahan pola pertunjukan dan perilaku masyarakat dalam pertunjukan Reyog Ponorogo serta sikap sikap yang melatarbelakangi pertunjukan ini memunculkan pertanyaan dalam benak penulis. Untuk mengkaji fenomena sikap permisif penonton terhadap penari jathil Reyog Obyog, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : a) Bagaimana deskripsi dari pertunjukan Reyog Obyog? b) Bagaimana fenomena sikap permisif penonton yang ada dalam pertunjukan jathil Reyog Obyog? c) Bagaimana hubungan antara sikap permisif penonton jathil obyog dengan penari jathil jika ditinjau dari perspektif orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn? d) Apa orientasi nilai budaya yang mendasari sikap permisif masyarakat Ponorogo?

8 8 2. Keaslian Penelitan Penelitian tentang Reog Ponorogo sudah banyak yang didokumentasikan. Dalam penelitian ini penulis ingin meneliti tentang Sikap Permisif Penonton terhadap Penari Jathil Reyog Obyog Ditinjau dari Orientasi Nilai Budaya Clyde Kluckhohn. Penelitian ini memiliki objek formal pandangan orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn dengan objek material sikap permisif penonton pada jathil Reog Ponorogo. Berikut adalah daftar penelitian yang sudah ada yang memiliki kesamaan dengan objek formal maupun objek materialnya: 1. Reog Ponorogo, Menari di antara Dominasi dan Keragaman karya Muhammad Zamzam Fauzannafi, 2005, merupakan buku hasil penelitian yang dilakukannya di Ponorogo mengenai. Perbedaan antara Reyog Obyog dan Festival Reyog Nasional (FRN). Dan pemaparannya mengenai Reyog di masa sekarang. 2. Warok Dalam Sejarah Kesenian Reog Ponorogo Perspektif Eksistensialisme oleh Lisa Sulistyaning Kencanasari, 2008, Program Sarjana Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Skripsi ini meneliti tentang warok dalam Reog Ponorogo dalam perspektif eksistensialisme. 3. Nilai- Nilai Kebudayaan Dalam Reog Tulungagung oleh Endang Sriwahyuningsih Dewi Saraswati, 2010, Program Sarjana Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Skripsi ini melakukan penelitian tentang Reog Tulungagung dengan objek formal pemikiran nilai budaya C. Kluckhohn.

9 9 4. Ludruk Dalam Perspektif Orientasi Nilai Budaya Clyde Kluckhohn oleh Jayanti Rakhmawati Putri, 2011, Program Sarjana Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Skripsi inimeneliti tentang kebudayaan ludruk yang ditinjau dengan orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn. 5. Permainan Anak Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perspektif Nilai-Nilai Budaya Kluckhohn oleh Puradian Wiryadigda, 2011, Program Sarjana Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini memaparkan mengenai permainan tradisional yang ada di Yogyakarta menggunakan objek Formal nilai budaya C. Kluckhohn. 6. Reog Ponorogo Dalam Tinjauan Aksiologi Relevansinya Dengan Pembangunan Karakter Bangsa oleh Asmoro Achmadi, 2012, Program Doktor Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Disertasi ini meneliti tentang Aksiologi yang ada dalam Reog Ponorogo dengan pandangan Max Scheller. Sekilas terlihat objek formal ataupun objek material memiliki kesamaan, akan tetapi menurut penelusuran penulis, penelitian tentang Sikap permisif penonton terhadap penari jathil Reyog Obyog ditinjau dari orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn belum pernah dilakukan, sehingga menurut peulis keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan. 3. Faedah yang diharapkan Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara langsung maupun tak langsung. Bagi penulis manfaat langsung yang diharapkan

10 10 adalah penelitian ini dapat menjadi salah satu sumbangan dalam penelitian filsafat dan perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Adapun manfaat jangka panjang yang diharapkan meliputi: a. Bagi Perkembangan ilmu Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terlebih dalam bidang budaya. Dengan pemahaman menyeluruh mengenai nilai budaya diharapkan ilmu di Indonesia dapat bertahan diantara perkembangan zaman dan ketertinggalan dari bangsa lain. Selain itu penulis berharap penelitian filsafat dapat dipahami oleh orang awam sebagai suatu kajian ilmiah yang berkesinambungan dengan bidang keilmuan lain. b. Bagi Perkembangan Ilmu Filsafat Dalam bidang Ilmu Filsafat penelitian ini diharapkan mampu memberikan wujud konkrit dari Ilmu filsafat. Dengan adanya kajian budaya Nusantara yang sedemikian diharapkan mampu memberikan referensi dan pola pikir baru dalam pengaplikasian bidang fillsafat dan studi ilmu lain. c. Bagi Kehidupan Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam kehidupan masyarakat dan memperkenalkan nilai-nilai budaya yang tergerus oleh arus modernitas dan memberikan cara pandang lain terhadap penelitian filsafat. Dengan penelitian ini penulis berharap mampu membuka hasrat masyarakat untuk memajukan budaya bangsa dan ilmu filsafat agar tidak jauh tertinggal dengan bangsa lain.

11 11 B. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah : 1. Mendiskripsikan apa yang dimaksud pertunjukan Reyog Obyog. 2. Memaparkan bagaimana fenomena sikap permisif penonton yang ada dalam pertunjukan jathil Reyog Obyog. 3. Memaparkan bagaimana hubungan antara sikap permisif penonton jathil obyog dengan penari jathil jika ditinjau dari perspektif orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn. 4. Memaparkan hasil analisis mengenai orientasi nilai budaya yang mendasari sikap permisif masyarakat Ponorogo. C. Tinjauan Pustaka Sebagai langkah awal dalam penelitian yang akan dilaksanakan, penulis melakukan berbagai tinjauan terhadap buku-buku dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan, agar tidak terjadi kerancuan terhadap topik yang ditulis dan menentukan sebenarnya di mana posisi topik penelitian yang penulis lakukan. Di antara hasil-hasil penelitian yang pernah mengangkat Kesenian Reyog Ponorogo dan Reyog Obyog Ponorogo sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut: Dalam buku Pedoman Dasar Sejarah Reog Ponorogo yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ponorogo dimuat tiga versi utama kisah asal-usul Reog Ponorogo dan ditempatkan secara kronologis. Versi pertama adalah Kerajaan Bantarangin (abad XI), versi kedua versi Ki Ageng Kutu Suryangalam yang merujuk pada masa pemerintahan Bhre Kertabumi di

12 12 Majapahit (abad XV), dan diakhiri oleh versi Bathoro Katong yang merujuk pada penyebaran agama Islam di wilayah Ponorogo pada (abad XV). Penelitian yang dilakukan Endang Sriwahyuningsih Dewi Saraswati dalam skripsinya Nilai Nilai Kebudayaan Dalam Reog Tulungangung, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengangkat tentang nilai nilai yang ada dalam sebuah pertunjukan Reyog Tulungagung yang kemudian memberikan gambaran bahwa berbagai sikap hidup etis dan bersahaja yang menjadi makna tiap gerakan dalam Reog Tulungagung merupakan bukti yang menjadikannya tetap relevan dengan situasi kekinian, baik dalam sosialitas maupun dalam pengelolaan alam, lingkungan hidup manusia. Begitu juga dengan isi penelitian yang dilakukan oleh Lisa Sulistyaning Kencanasari, dalam skripsi Warok Dalam Sejarah Kesenian Reog Ponorogo Perspektif Eksistensialisme, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Peneliti ini mendeskripsikan tentang sosok warok dalam kesenian Reyog Ponorogo serta nilai eksistensial yang ada dalam tokoh tersebut. Hasil yang didapatkan bahwa kesenian reog telah menjadi bagian dari masyarakat Ponorogo. Kesenian Reyog menggambarkan tentang eksistensi Warok dalam melawan ketidak-adilan raja Brawijaya V yang dianggap lalai dalam menjalankan tugasnya. Kebijakan kebijakan raja sangat menyengsarakan rakyat dan apabila hal ini terus dibiarkan maka akan berdampak pada munculnya pemberontakanpemberontakan di seluruh wilayah kerajaan. Penelitian yang dilakukan oleh Asmoro Achmadi, Reog Ponorogo dalam Tinjauan Aksiologi Relevansinya dengan Pembangunan Karakter Bangsa (2012)

13 13 mengangkat tentang nilai aksiologis dalam Reog Ponorogo dan unsur keseniannya serta relevansi terhadap pembangunan karakter bangsa. Kemudian didapatkan hasil bahwa kesenian Reog Ponorogo memiliki nilai: keruhanian, nilai spiritual, nilai kehidupan, nilai kesenangan. Nilai yang muncul kemudian menjadi nilai yang dapat ditransformasikan dalam perkembangan pembangunan karakter bangsa. Muhammad Zamzam Fauzanafi dalam bukunya yang berjudul Reog Ponorogo, Menari di antara Dominasi dan Keragaman, Mengemukakan bahwa apa yang terjadi di Ponorogo dengan menunjukan hal yang kurang lebih serupa dengan peneliti lain. Bahwa reyog yang secara tradisional identik dengan nilai nilai yang dibangun oleh golongan tiyang Ho e atau bangsawan. Kemudian menggeser Reyog Obyog sedemikian rupa menjadi reyog yang muncul dalam Festival Reyog Nasional dan pentas Reyog Bulan Purnama. Dari penelitian yang ditemukan, beberapa membahas mengenai nilai nilai kebudayaan di dalam reyog, eksistensinya pada kehidupan masyarakat, pola pertunjukan reyog dahulu dan saat ini, dan tinjauan aksiologinya. Melalui beberapa penelitian tersebut penulis belum menemukan pembahasan mengenai sikap permisif dari penonton reyog. Khususnya terhadap fenomena yang terjadi di Reyog Obyog. Selain itu penulis juga belum menemukan adanya penelitian yang terkait dengan Reyog Obyog dan orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn. Oleh karena itu penulis akan mencoba mengkaji lebih lanjut mengenai kedua bahasan tersebut dengan judul Sikap Permisif Penonton terhadap Penari Jathil Reyog Obyog Ditinjau dari Orientasi Nilai Budaya Clyde Kluckhohn.

14 14 D. Landasan Teori Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta; buddayyah, yang berasal dari bentuk jamak buddhi yang berarti budi atau akal (Soekanto, 2002;: 172). Sedangkan kata Buddayah sendiri terdiri dari kata budi dan daya. Budi artinya makna, akal, pikiran, pengertian, paham, pendapat, atau perasaan. Daya memiliki makna yang tersirat dalam budi yaitu sebagai himpunan kemampuan dan segala usaha yang dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi untuk memperbaiki sesuatu dengan tujuan kesempurnaan. Menurut B. Malinowski dalam buku Munandar Sulaeman sebuah kebudayaan memilik 7 unsur universal yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi politik, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Beberapa sistem itu kemudian dikombinasikan ke dalam bagan lingkaran yang akan memunculkan sifat kebudayaan yang dinamis (Munandar, 1993: 13). Dalam buku pengantar ilmu antropology, C Kluckhon yang dikutip oleh Koenjaraningrat (1990:191), mengatakan bahwa variasi jenis nilai budaya bertumpu pada lima masalah dasar kehidupan yaitu hakikat manusia, karya manusia, kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Kluckhohn dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai budaya merupakan sebuah konsep beruang lingkup luas yang hidup dalam alam pikiran sebahagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup. Rangkaian konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai-nilai budaya. Secara fungsional sistem nilai ini

15 15 mendorong individu untuk berperilaku seperti apa yang ditentukan. Manusia percaya, bahwa hanya dengan berperilaku seperti itu manusia akan berhasil (Pelly:1994). Menurut Clyde Cluckhon di dalam setiap wujud kebudayaan terkandung nilai tertentu. Berbagai nilai tersebut dikelompokkan Kluckhon menjadi (1) Nilai hakikat kehidupan manusia, (2) Hakikat karya manusia, (3) Hakikat hubungan manusia dengan alam, (4) hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, dan (5) hakikat hubungan manusia dengan sesamanya (Koentjaraningrat,2005:28) Sementara itu pengertian mengenai sikap permisif dalam hubungan keluarga dapat digambarkan dari sikap yang ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Dengan kata lain sikap ini adalah sikap yang memberikan kebebasan pada seseorang untuk menilai sesuatu menjadi penilain yang baik atau buruk tanpa mempermasalahkan aturan di masyarakat (Hurlock, 1976) Pada sikap permisif terdapat tiga prediktor untuk memahami sikap tersebut. Pertama variabel demografis, hubungan masyarakat dengan kondisi geografis seseorang yang meliputi jenis kelamin, tempat tinggal, tingkat pendidikan, status kerja. Kedua adalah variabel keluarga, dapat dilihat mengenai tingkat pendidikan ayah dan ibu serta pekerjaan ibu. Untuk variabel ketiga adalah variabel latar belakang sosial tentunya mengarah pada persoalan sosial yang telah terjadi (Faturochman, 1995 :28). Berdasarkan teori-teori di atas, diharapkan dihasilkan analisa mengenai nilai-nilai yang melatarbelakangi sikap permisif masyarakat terhadap pertunjukan

16 16 Reyog Obyog. Sehingga memperoleh pemaparan yang jelas mengenai nilai-nilai yang ditanamkan pada setiap pementasan. E. Metode Penelitian 1. Bahan Penelitian Penelitian ini penulis lakukan dengan menggunakan metode kajian kepustakaan yang kemudian ditambah metode kajian lapangan dengan sistematisrefleksif. Seperti yang sudah dijelaskan pada buku Metodologi Penelitian Filososfis karangan Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair (Anton Bakker dan Achmad Chariss Z, 1990: 91,92). Penelitian ini merupakan penelitian filosofis yang mengangkat nilai nilai di dalam sebuah pertunjukan jathil reyog obyog. a. Data Pustaka : Kajian pustaka adalah suatu kajian yang diperoleh dari sumber pustaka dengan menggunakan literature buku, dalam kajian pustaka terdapat dua tipe data pustaka yaitu pustaka primer dan sekunder. Pustaka primer meliputi tulisan Purwowijoyo mengenai Babad Ponorogo (1984) yang terdiri dari 8 jilid. Sumber lain dalam penelitian ini meliputi Sejarah, Jurnal- Jurnal, dan berbagai sumber kepustakaan mengenai Reog Ponorogo. Pustaka sekunder meliputi buku, artikel, jurnal penelitian, yang digunakan sebagai pendamping data primer. Pustaka yang digunakan lebih bersifat umum untuk membantu memberikan pemahaman lebih mendalam pada penelitian ini.

17 17 1. Asmoro Achmadi, Reog Ponorogo dalam Tinjauan Aksiologi. Relevansinya dengan Pembangunan Karakter Bangsa. Universitas Gadjah Mada. 2. Endang Sriwahyuningsih Dewi Saraswati, Nilai-nilai dalam Kebudayaan Reog Tulungagung. Universitas Gadjah Mada. 3. Lisa Sulistyaning Kencanasari, Warok dalam Sejarah Kesenian Reog Ponorogo Perspektif Eksistensialisme. Universitas Gadjah Mada. 4. Muhammad Zamzam Fauzanafi, Reog Ponorogo, Menari diantara Dominasi dan Keragaman. Kepel Press. b. Data Lapangan Selain mengacu pada kajian pustaka penulis juga membutuhkan kajian lapangan yang dapat digunakan sebagai pendukung dari data pustaka. Kajian lapangan yang penulis gunakan adalah metode wawancara, yang selanjutnya akan dianalisis lebih lanjut untuk memperoleh data yang valid terkait rumusan yang diteliti. Narasumber yang diperlukan penulis adalah pelaku utama dari pertunjukan reyog. Seperti penari jathil obyog dan penonton pertunjukan reyog obyog. Lebih spesifiknya penulis akan melakukan wawancara pada beberapa penari jathil kelompok Reyog Pujonggo Anom yaitu kelompok yang berada di Karanglo Lor dan pelaku pertunjukan Reyog Obyog lainnya seperti pengrawit atau pemain alat musik. Serta penulis

18 18 akan mencari narasumber terkait cerita asal usul reyog, penari jathil, penonton, pengamat kesenian reyog. 2. Jalan Penelitian Adapun langkah-langkah yang harus diambil dalam pengumpulan data penelitian ini sebagai berikut: a) Langkah pertama, pengumpulan data kepustakaan yang terkait dengan kajian. Pengumpulan data dilakukan dengan pencarian dokumen atau sumber pustaka terkait objek formal dan material. b) Langkah kedua, melakukan penelusuran mengenai data primer dan sekunder yang digunakan sebagai sumber utama. Sumber data utama digunakan untuk menganalisis hambatan-hambatan yang akan ditemui penulis dalam proses penelitian. c) Langkah ketiga setelah data primer ditemukan dilakukan klasifikasi antara data primer dengan data sekunder sebagai sumber tambahan. Untuk memudahkan jalannya penelitian. d) Langkah keempat, Setelah mengumpulkan data kepustakaan dan data lapangan. Dilakukan analisa data yang sudah diklasifikasikan. e) Langkah kelima, Dari data yang telah terkumpul dan diklasifikasikan kemudian dituangkan kedalam bentuk laporan yang sistematis. 3. Analisis Hasil Metode penelitian yang digunakan untuk pengambilan data dan analisa data pada penelitian ini menggunakan pendekatan multidisiplin yang terdiri dari

19 19 penelitian pandangan filosofis di lapangan. Data yang diambil di lapangan adalah data yang berupa hasil wawancara. Sehingga penelitian dapat dimasukkan kedalam jenis penelitian kualitatif. Adapun unsur-unsur metodis sebgai berikut: 1. Deskripsi, yaitu memberikan gambaran data Reyog Obyog secara sistematis dan mengklasifikasikan kedalam tema penelitian. 2. Interpretasi, yaitu penulis memberikan konsepsi filosofis mengenai isi dari Reog Ponorogo dan berbagai literatur tentang pemikiran nilai budaya pada sikap permisif yang muncul di masyarakat. 3. Kesinambungan historis, yaitu menjelaskan tentang adanya kesinambungan lingkaran historis antara masyarakat dengan pelaku reyog dalam pertunjukan Reyog Obyog. 4. Koherensi Intern, yaitu melakukan pengkajian terhadap unsur yang melatarbelakangi sikap permisif masyarakat dengan sudut pandang orientasi nilai budaya C. Kluckhohn. Kemudian dicari unsur yang lebih menonjol diantara keduanya. F. Hasil Yang Dicapai Hasil penelitian filosofis yang ingin dicapai dalam tema Sikap permisif penonton terhadap penari jathil reyog obyog ditinjau dari orientasi nilai budaya Clyde Kluckhohn diharapkan mampu memberikan hasil sebagai berikut: 1. Mendapatkan informasi dan gambaran yang jelas mengenai Reog Obyog. 2. Mendapatkan konsepsi filosofis melalui pemahaman tentang nilai-nilai budaya yang terdapat dalam Reog Obyog.

20 20 3. Memahami sikap permisif yang dimunculkan oleh penonton reyog obyog terhadap penari jathil. G. Sistematika Penulisan Penelitian ini mempunyai sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I dalam penelitian ini adalah pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan luaran yang diharapkan. Tinjauan pustakan dan landasan teori juga menjadi bagian dari bab ini disertai metodologi penelitian. Bab II Mendeskripsikan bagaimana Reog Obyog itu berada di antara masyarakat serta bagaimana awal kemunculannya. Dan bagaimana fenomena sikap permisif penonton tehadap pertunjukan itu. Bab III adalah pembahasan tentang sudut pandang teori orientasi nilai budaya terhadap suatu bentuk kebudayaan masyarakat di Indonesia. Bab IV adalah hasil analisis dengan menggabungkan bentuk kebudayaan reyog ponorogo dengan fenomena sikap permisif masyarakat yang ditinjau lebih dalam menurut teori orientasi nilai budaya C.Kluckhohn. Bab V hasil penyimpulan yang akurat terhadap penelitian Reog obyog ditinjau dalam perspektif Nilai Budaya C.Kluckhohn mengenai permasalahan dan pembahasannya, serta memberikan saran yang mungkin diperlukan oleh pembaca penelitian ini.

1. Abstrak. 2. Peluang bisnis. Nama ; MUKHLISON HAKIM

1. Abstrak. 2. Peluang bisnis. Nama ; MUKHLISON HAKIM Nama ; MUKHLISON HAKIM 1. Abstrak Pusat kebudayaan reog ponorogo merupakan sebuah tempat yang digunakan untuk memamerkan,melatih dalam rangka melestarikan kebudayaan reog ponorogo adapun fasilitas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Ponorogo yang terletak di sisi tenggara Provinsi Jawa Timur yakni

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Ponorogo yang terletak di sisi tenggara Provinsi Jawa Timur yakni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan khasanah budaya, salah satunya di Kabupaten Ponorogo yang terletak di sisi tenggara Provinsi Jawa Timur yakni kesenian Reyog

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reog Ponorogo sangat terkenal di Indonesia. Kesenian Reog Ponorogo

BAB I PENDAHULUAN. Reog Ponorogo sangat terkenal di Indonesia. Kesenian Reog Ponorogo BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reog Ponorogo sangat terkenal di Indonesia. Kesenian Reog Ponorogo sebagai kesenian tradisional penuh dengan nilai-nilai historis dan legendaris. Kesenian Reog

Lebih terperinci

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo)

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo) JURNAL SKRIPSI MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo) SKRIPSI Oleh: DESI WIDYASTUTI K8409015 FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KESENIAN REOG PONOROGO

PERKEMBANGAN KESENIAN REOG PONOROGO BAB II PERKEMBANGAN KESENIAN REOG PONOROGO 2.1. Kesenian Reog Ponorogo Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) Kesenian yang memiliki kata dasar seni dan memiliki arti kesanggupan akal untuk menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pijakan dalam menenukan suatu tindakkan seperti prilaku masyarakat seharihari.

BAB I PENDAHULUAN. pijakan dalam menenukan suatu tindakkan seperti prilaku masyarakat seharihari. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kearifan lokal memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan tradisional pada suatu tempat, dalam kearifan lokal tersebut banyak mengandung suatu pandangan maupun

Lebih terperinci

2015 PERTUNJUKAN KESENIAN EBEG GRUP MUNCUL JAYA PADA ACARA KHITANAN DI KABUPATEN PANGANDARAN

2015 PERTUNJUKAN KESENIAN EBEG GRUP MUNCUL JAYA PADA ACARA KHITANAN DI KABUPATEN PANGANDARAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan yang mempunyai ciri khas dan bersifat kompleks, sebuah kebudayaan yang lahir di dalam suatu lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai slogan resmi Kabupaten Ponorogo, yang berarti Resik, Endah, Omber,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai slogan resmi Kabupaten Ponorogo, yang berarti Resik, Endah, Omber, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan nama Reyog saat ini telah diganti menjadi Reog yang disahkan oleh Markum Singodimejo (Bupati Ponorogo) atas dasar kepentingan pariwisata, dan pemakaian

Lebih terperinci

2015 TARI TUPPING DI DESA KURIPAN KECAMATAN PENENGAHAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

2015 TARI TUPPING DI DESA KURIPAN KECAMATAN PENENGAHAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Budaya lahir dan dibentuk oleh lingkungannya yang akan melahirkan berbagai bentuk pola tersendiri bagi masyarakat pendukungnya. Berbicara tentang kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal memiliki warisan budaya yang beranekaragam. Keanekaragaman budayanya itu tercermin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian merupakan segala hasil kreasi manusia yang mempunyai sifat

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian merupakan segala hasil kreasi manusia yang mempunyai sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian merupakan segala hasil kreasi manusia yang mempunyai sifat keindahan dan dapat diekspresikan melalui suara, gerak ataupun ekspresi lainnya. Dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119.

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya, musik merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan peribadatan. Pada masa sekarang ini sangat jarang dijumpai ada suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis dan indah, sehingga ia dapat dinikmati dengan panca inderanya yaitu

Lebih terperinci

2015 PERKEMBANGAN KESENIAN BRAI DI KOTA CIREBON TAHUN

2015 PERKEMBANGAN KESENIAN BRAI DI KOTA CIREBON TAHUN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat memiliki jenis yang beragam. Keanekaragaman jenis kesenian tradisional itu dalam perkembangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prima Suci Lestari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prima Suci Lestari, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian adalah suatu peristiwa sosial yang mempunyai tenaga kuat sebagai sarana kontribusi antara seniman dan penghayatnya, ia dapat mengingatnya, menyarankan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Media tradisional dikenal juga sebagai media rakyat, atau dalam arti sempitnya disebut sebagai kesenian rakyat. Coseteng dan Nemenzo (Jahi 2003: 29) mendefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kita adalah Negara yang memiliki beragam kebudayaan daerah dengan ciri khas masing-masing. Bangsa Indonesia telah memiliki semboyan Bhineka Tunggal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang satu berbeda dengan kebudayaan yang lain. Indonesia adalah negara

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang satu berbeda dengan kebudayaan yang lain. Indonesia adalah negara BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki corak kebudayaan daerah yang hidup dan berkembang di seluruh pelosok tanah air. Kebudayaan yang satu berbeda

Lebih terperinci

Kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan, karena. kesenian dan kekriyaan. Kesenian dan kebudayaan dapat mengalami

Kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan, karena. kesenian dan kekriyaan. Kesenian dan kebudayaan dapat mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan, karena kebudayaan merupakan kompleks budi dan daya, bukan semata-mata kesenian dan kekriyaan. Kesenian

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH INOVASI GANONGAN PADA KESENIAN REOG PONOROGO MELALUI KEGIATAN MAGANG KEWIRAUSAHAAN. Oleh : HERI WIJAYANTO, ST, MM NIP.

ARTIKEL ILMIAH INOVASI GANONGAN PADA KESENIAN REOG PONOROGO MELALUI KEGIATAN MAGANG KEWIRAUSAHAAN. Oleh : HERI WIJAYANTO, ST, MM NIP. ARTIKEL ILMIAH INOVASI GANONGAN PADA KESENIAN REOG PONOROGO MELALUI KEGIATAN MAGANG KEWIRAUSAHAAN Oleh : HERI WIJAYANTO, ST, MM NIP. 132 315 058 Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kekompleksitasan Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan a. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya di dunia manusia mengalami banyak peristiwa baik itu yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Terkadang beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dalam berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dalam berbagai hal, seperti keanekaragaman budaya, lingkungan, alam, dan wilayah geografis. Keanekaragaman

Lebih terperinci

2015 PERKEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN LONGSER DI KABUPATEN BANDUNG TAHUN

2015 PERKEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN LONGSER DI KABUPATEN BANDUNG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan budaya dan juga memiliki berbagai macam kesenian. Keberagaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia terlahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersifat kompleks, abstrak, dan luas (http://id.wikipedia.org/wiki/budaya).

BAB I PENDAHULUAN. bersifat kompleks, abstrak, dan luas (http://id.wikipedia.org/wiki/budaya). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya bersifat kompleks,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut sejarah, sesudah Kerajaan Pajajaran pecah, mahkota birokrasi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut sejarah, sesudah Kerajaan Pajajaran pecah, mahkota birokrasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut sejarah, sesudah Kerajaan Pajajaran pecah, mahkota birokrasi dialihkan oleh Kerajaan Sunda/Pajajaran kepada Kerajaan Sumedanglarang. Artinya, Kerajaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan. hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan. hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat dan dijadikan milik diri manusia dengan belajar. 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

BAB I PENDAHULUAN. Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jawa Barat atau yang lebih dikenal dengan etnis Sunda sangat kaya dengan berbagai jenis kesenian. Kesenian itu sendiri lahir dari jiwa manusia dan gambaran masyarakatnya

Lebih terperinci

2015 KREASI TARI RONGGENG LENCO DI DESA CURUG RENDENG KECAMATAN JALAN CAGAK KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT

2015 KREASI TARI RONGGENG LENCO DI DESA CURUG RENDENG KECAMATAN JALAN CAGAK KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Subang merupakan salah satu daerah yang kaya akan ragam kesenian tradisional. Subang dikenal dengan kesenian Sisingaan yang menjadi ikon kota Subang. Kesenian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asti Purnamasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asti Purnamasari, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian diciptakan oleh masyarakat sebagai wujud dari jati dirinya. Pencapaiannya dilakukan dengan cara yang beragam, sehingga melahirkan identitas yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Struktur karya sastra dibedakan menjadi dua jenis yaitu struktur dalam

BAB I PENDAHULUAN. Struktur karya sastra dibedakan menjadi dua jenis yaitu struktur dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Struktur karya sastra dibedakan menjadi dua jenis yaitu struktur dalam (intrinsik) dan luar (ekstrinsik). Pada gilirannya analisis pun tidak terlepas dari kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai keanekaragaman seperti yang terdapat di daerah lain di Indonesia. Kesenian tersebut di antaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Prastyca Ries Navy Triesnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Prastyca Ries Navy Triesnawati, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seni tidak bisa lepas dari produknya yaitu karya seni, karena kita baru bisa menikmati seni setelah seni tersebut diwujudkan dalam suatu karya konkrit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rina Arifa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rina Arifa, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian adalah ekspresi dan sifat eksistensi kreatif manusia yang timbul dari perasaannya dan bersifat indah, sehingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada akhirnya dapat membangun karakter budaya

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada akhirnya dapat membangun karakter budaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian tradisional pada akhirnya dapat membangun karakter budaya tertentu. Sebuah pernyataan tentang kesenian Jawa, kesenian Bali, dan kesenian flores, semuanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkaitan dengan pengungkapan rasa keindahan. Menurut kodratnya

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkaitan dengan pengungkapan rasa keindahan. Menurut kodratnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesenian merupakan salah satu perwujudan kebudayaan yang mempunyai peranan penting bagi masyarakat. Kesenian merupakan salah satu jenis kebutuhan manusia yang berkaitan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN A. PENGANTAR Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) merupakan salah satu unsur dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Secara umum, PkM tidak hanya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beraneka ragam. Begitupun negara Indonesia. Dengan banyak pulau dan suku

BAB I PENDAHULUAN. beraneka ragam. Begitupun negara Indonesia. Dengan banyak pulau dan suku 1 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Setiap negara memiliki ciri khas yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Mulai dari bahasa, makanan, pakaian sampai kebudayaan yang beraneka ragam. Begitupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan lagi, dimana arus modernisasi tidak mengenal batasan antar kebudayaan baik regional, nasional

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Sejarah Reyog secara umum menceritakan tentang Prabu Klono Sewandhono ingin melamar Dewi Songgolangit yaitu yang lebih dikenal sebagai cerita versi Bantarangin.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan cara-cara yang ditempuh dalam suatu tindakan penelitian. Pada penelitian ini peneliti mengambil salah satu metode yang dipilih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan negara berkembang lainnya, yaitu terdiri dari banyak. suku, adat, kebiasaan, dan budaya yang sangat beragam.

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan negara berkembang lainnya, yaitu terdiri dari banyak. suku, adat, kebiasaan, dan budaya yang sangat beragam. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan sosial di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari aspek demografisnya, karena negara ini merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya akan bentuk dan ragam kebudayaan. Kebudayaan yang hidup pada berbagai suku bangsa menyumbangkan kekayaan melimpah bagi kebudayaan

Lebih terperinci

KESENIAN REOG PONOROGO

KESENIAN REOG PONOROGO KESENIAN REOG PONOROGO DI SUSUN OLEH : NAMA : DWI PRASETYO NUGROHO NIM : 167037004 Prodi : Penciptaan dan Pengkajian Seni UNIVERSITAS SUMATERA UTARA T.A 2017/2018 KATA PENGANTAR Puji Syukur kepada Tuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman suku bangsa dan budaya yang dimiliki oleh setiap negara

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman suku bangsa dan budaya yang dimiliki oleh setiap negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman suku bangsa dan budaya yang dimiliki oleh setiap negara merupakan kebanggaan yang luar biasa bagi negaranya sendiri. Begitu juga dengan keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keanekaragaman suku bangsa dan budaya di Indonesia merupakan kekayaan bangsa yang perlu mendapat perhatian khusus. Kekayaaan ini merupakan kebudayaan yang erat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. perkawinan Masyarakat Arab di Kota Medan kesimpulan sebagai berikut. a. Upacara Pernikahan Masyarakat Arab di Medan

BAB V PENUTUP. perkawinan Masyarakat Arab di Kota Medan kesimpulan sebagai berikut. a. Upacara Pernikahan Masyarakat Arab di Medan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian terhadap Bentuk Tari Zahifa pada upacara perkawinan Masyarakat Arab di Kota Medan kesimpulan sebagai berikut. a. Upacara Pernikahan Masyarakat Arab di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman seni dan budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena proses akulturasi.

Lebih terperinci

BAB I. Seni Pertunjukan Daerah Dulmuluk

BAB I. Seni Pertunjukan Daerah Dulmuluk BAB I Seni Pertunjukan Daerah Dulmuluk 1.1 Bagaimana Kabar Seni Pertunjukan Dulmuluk Dewasa Ini? Seni adalah bagian dari kebudayaan. Sebagai bagian dari kebudayaan, sebagai perwujudan keberakalan manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Fanny Ayu Handayani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Fanny Ayu Handayani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki keragaman budaya yang didalamnya terkandung kesenian, seperti halnya kesenian berupa tari-tarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Destri Srimulyan, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Destri Srimulyan, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seni Budaya Garut mencakup kepercayaan, norma-norma artistik dan sejarah-sejarah nenek moyang yang tergambarkan melalui kesenian tradisional. Hal ini dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat mempersatukan dan mempertahankan spiritualitas hingga nilai-nilai moral yang menjadi ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengisi jabatan tertentu di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengisi jabatan tertentu di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum merupakan suatu sarana untuk memilih orang agar dapat mengisi jabatan tertentu di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut sistem demokrasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra memiliki kekhasan dari pengarangnya masing-masing. Hal inilah yang

BAB I PENDAHULUAN. sastra memiliki kekhasan dari pengarangnya masing-masing. Hal inilah yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan suatu karya yang sifatnya estetik. Karya sastra merupakan suatu karya atau ciptaan yang disampaikan secara komunikatif oleh penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Hiburan adalah segala sesuatu yang berbentuk kata-kata, tempat, benda, perilaku yang dapat menjadi penghibur atau pelipur hati yang susah atau sedih. Hiburan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan kenyataan, bangsa Indonesia terdiri dari suku-suku bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan kenyataan, bangsa Indonesia terdiri dari suku-suku bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan kenyataan, bangsa Indonesia terdiri dari suku-suku bangsa yang mempunyai latar belakang sosio budaya yang berbeda-beda. Keragaman ini terdiri dari kebudayaan-kebudayaan

Lebih terperinci

TAYUB NINTHING: TARI KREASI BARU YANG BERSUMBER PADA KESENIAN TAYUB

TAYUB NINTHING: TARI KREASI BARU YANG BERSUMBER PADA KESENIAN TAYUB TAYUB NINTHING: TARI KREASI BARU YANG BERSUMBER PADA KESENIAN TAYUB ARTIKEL OLEH: AJENG RATRI PRATIWI 105252479205 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS SASTRA JURUSAN SENI DAN DESAIN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiono (2011:15) : Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buddayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.

BAB I PENDAHULUAN. buddayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara yang terdiri atas berbagai suku bangsa. Masing-masing suku bangsa memiliki warisan budaya yang tak ternilai harganya.kata budaya

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Metode yang digunakan penulis dalam mendapatkan data adalah: Tinjauan pustaka: melalui media buku, dan internet

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Metode yang digunakan penulis dalam mendapatkan data adalah: Tinjauan pustaka: melalui media buku, dan internet BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Data Objek Penelitian Metode yang digunakan penulis dalam mendapatkan data adalah: Tinjauan pustaka: melalui media buku, dan internet Survei lapangan: melalui wawancara dengan

Lebih terperinci

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masyarakat Sunda Ciamis mempunyai kesenian yang khas dalam segi tarian yaitu tarian Ronggeng Gunung. Ronggeng Gunung merupakan sebuah bentuk kesenian tradisional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki keanekaragaman seni, budaya dan suku bangsa. Keberagaman ini menjadi aset yang sangat penting

Lebih terperinci

GEOGRAFI BUDAYA Materi : 7

GEOGRAFI BUDAYA Materi : 7 GEOGRAFI BUDAYA Materi : 7 Agus sudarsono 1 VII. KEBUDAYAAN 2 A. BUDAYA DAN KEBUDAYAAN Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jepang adalah negara maju dan modern, tetapi negara Jepang tidak pernah meninggalkan tradisi dan budaya mereka serta mempertahankan nilai-nilai tradisi yang ada sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian ronggeng gunung merupakan kesenian tradisional masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian ronggeng gunung merupakan kesenian tradisional masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kesenian ronggeng gunung merupakan kesenian tradisional masyarakat Ciamis. Ronggeng gunung sebenarnya masih dalam koridor terminologi ronggeng secara umum, yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahkan memiliki hubungan yang cukup kuat dengan nilai-nilai pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. bahkan memiliki hubungan yang cukup kuat dengan nilai-nilai pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Seni Reyog Ponorogo merupakan seni budaya yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam instrument seni maupun ragam tarinya. Nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian ini memuat metode dan pendekatan penelitian. Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penikmatnya. Karya sastra ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. penikmatnya. Karya sastra ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra terbentuk atas dasar gambaran kehidupan masyarakat, karena dalam menciptakan karya sastra pengarang memadukan apa yang dialami dengan apa yang diketahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pariwisata telah menjadi sektor industri yang sangat pesat dewasa ini, pariwisata sangat berpengaruh besar di dunia sebagai salah satu penyumbang atau membantu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan tradisional adalah kebudayaan yang terbentuk dari keanekaragaman suku-suku di Indonesia yang merupakan bagian terpenting dari kebudayaan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ludruk merupakan seni kesenian tradisional khas daerah Jawa Timur. Ludruk digolongkan sebagai kesenian rakyat setengah lisan yang diekspresikan dalam bentuk gerak dan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari. Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton

BAB V KESIMPULAN. Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari. Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton 387 BAB V KESIMPULAN 1. Kesimpulan Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, lembaga formal, dan lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena daerah Bekasi berbatasan langsung dengan Ibu Kota Jakarta (Betawi) dan

BAB I PENDAHULUAN. karena daerah Bekasi berbatasan langsung dengan Ibu Kota Jakarta (Betawi) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kabupaten Bekasi adalah salah satu kabupaten yang termasuk dalam Propinsi Jawa Barat, sebuah kabupaten dengan masyarakat yang khas dan heterogen karena daerah

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. mempertahankan adat istiadat yang telah diwariskan oleh generasi terdahulu secara

BAB IV PENUTUP. mempertahankan adat istiadat yang telah diwariskan oleh generasi terdahulu secara BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Masyarakat suku Sasak di pulau Lombok pada umumnya masih mempertahankan adat istiadat yang telah diwariskan oleh generasi terdahulu secara turun temurun. Adat istiadat dipertahankan

Lebih terperinci

TARI KREASI NANGGOK DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN

TARI KREASI NANGGOK DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang terletak di bagian selatan pulau Sumatera, dengan ibukotanya adalah Palembang. Provinsi Sumatera Selatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. DESAIN PENELITIAN Metode penelitian merupakan rangkaian cara atau kegiatan pelaksanaan penelitian yang didasari oleh asumsi-asumsi dasar, pandangan-pandangan filosofis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil kreativitas manusia yang sangat kompleks. Di dalamnya berisi struktur-struktur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil kreativitas manusia yang sangat kompleks. Di dalamnya berisi struktur-struktur BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebudayaan Kebudayaan mencakup pengertian yang sangat luas. Kebudayaan merupakan hasil kreativitas manusia yang sangat kompleks. Di dalamnya berisi struktur-struktur yang saling

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. "Adat" berasal dari bahasa Arab,عادات bentuk jamak dari عاد ة (adah), yang

BAB II KAJIAN TEORI. Adat berasal dari bahasa Arab,عادات bentuk jamak dari عاد ة (adah), yang 1 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Adat "Adat" berasal dari bahasa Arab,عادات bentuk jamak dari عاد ة (adah), yang berarti "cara", "kebiasaan" dengan makna berulang kali. Merupakan nama kepada pengulangan perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Sunda memiliki identitas khas yang ditunjukkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Sunda memiliki identitas khas yang ditunjukkan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Sunda memiliki identitas khas yang ditunjukkan dengan kesenian. Kesenian merupakan pencitraan salah satu sisi realitas dalam lingkungan rohani jasmani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nuarisa Agossa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nuarisa Agossa, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seni pertunjukan yang ada di Indonesia sangat beragam bentuk dan jenisnya. Seni pertunjukan yang berada dalam suatu lingkungan masyarakat Indonesia tidak terlepas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ludruk merupakan sebuah drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelar di panggung. Pertunjukan kesenian yang berasal dari Jombang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain termasuk teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan

BAB I PENDAHULUAN. lain termasuk teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepanjang sejarahnya, Jepang telah menyerap banyak gagasan dari negaranegara lain termasuk teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan kebudayaan. Jepang

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN KEBUDAYAAN

BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN KEBUDAYAAN BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN KEBUDAYAAN 2.1 Uraina Tentang Seni Kata seni berasal dari kata "SANI" yang kurang lebih artinya "Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa". Menurut kajian ilmu di eropa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal karena seni dan budayanya yang beranekaragamsehinga bangsa ini memiliki daya tarik tersendiri juga memiliki nilai yang tinggi terhadap seni dan budaya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai budaya terdapat di Indonesia sehingga menjadikannya sebagai negara yang berbudaya dengan menjunjung tinggi nilai-nilainya. Budaya tersebut memiliki fungsi

Lebih terperinci

Komunikasi Nonverbal Pada Tari Bujang Ganong

Komunikasi Nonverbal Pada Tari Bujang Ganong Komunikasi Nonverbal Pada Tari Bujang Ganong ( Studi Etnografi Komunikasi Nonverba Nonverball pada Pertunjukan Tari Bujang Ganong Festival Reyog Nasional di Kabupaten Ponorogo ) SKRIPSI Oleh : HAMZAH FAKHRONI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya akan jenis kesenian baik tradisi maupun kreasi. Salah satu daerah di Jawa Barat yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tari merupakan ungkapan perasaan manusia yang dinyatakan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tari merupakan ungkapan perasaan manusia yang dinyatakan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari merupakan ungkapan perasaan manusia yang dinyatakan dengan gerakan-gerakan. Manusia telah mulai menari sejak jaman prasejarah. Awalnya manusia menari hanyalah berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki makna sesuatu yang beragam, sesuatu yang memilik banyak perbedaan begitupun dengan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan untuk mendapatkan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan untuk mendapatkan BAB III METODE PENELITIAN 1. Desain Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan untuk mendapatkan data peneliti menggunakan metode etnomusikologi, studi kasus dan performance studies.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis sastra oral, berbentuk kisah-kisah yang mengandalkan kerja ingatan, dan diwariskan.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Secara umum, metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode merupakan cara yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa serta budaya. Keanekaragaman kebudayaan ini berasal dari kebudayaan-kebudayaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN A. Landasan Teori 1. Kebudayaan Banyak orang mengartikan kebudayaan dalam arti yang terbatas yaitu pikiran, karya, dan semua hasil karya manusia yang memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata seni adalah sebuah kata yang semua orang dipastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara Etimologi istilah seni berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ritmis yang indah (Sudarsono, 1965: 17). Musik sendiri adalah segala sesuatu

BAB I PENDAHULUAN. ritmis yang indah (Sudarsono, 1965: 17). Musik sendiri adalah segala sesuatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tarian adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah (Sudarsono, 1965: 17). Musik sendiri adalah segala sesuatu yang ada hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumedang merupakan kota yang kaya akan kebudayaan, khususnya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sumedang merupakan kota yang kaya akan kebudayaan, khususnya dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumedang merupakan kota yang kaya akan kebudayaan, khususnya dalam bidang kesenian daerah. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap daerah di Sumedang memiliki ragam kesenian

Lebih terperinci

NILAI-NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM MITOS KIAI KALADETE TENTANG ANAK BERAMBUT GEMBEL DI DATARAN TINGGI DIENG KABUPATEN WONOSOBO SKRIPSI

NILAI-NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM MITOS KIAI KALADETE TENTANG ANAK BERAMBUT GEMBEL DI DATARAN TINGGI DIENG KABUPATEN WONOSOBO SKRIPSI NILAI-NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM MITOS KIAI KALADETE TENTANG ANAK BERAMBUT GEMBEL DI DATARAN TINGGI DIENG KABUPATEN WONOSOBO SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu unsur kebudayaan dan sebagai salah satu perantara sosial

BAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu unsur kebudayaan dan sebagai salah satu perantara sosial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Seiring dengan zaman, kebudayaan dan masyarakat akan selalu berkembang

Lebih terperinci