TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN Kejadian traumatik merupakan peristiwa kehidupan yang dapat mengenai setiap orang. Dalam setiap kejadian traumatik yang terjadi, selalu ada implikasi kesehatan jiwa,baik dalam kasus akibat bencana alam, misalnya gempa bumi, tsunami, angin ribut, atau pada bencana yang diakibatkan oleh manusia, misalnya perang, serangan teroris, kekerasan interpersonal. Dampak dari kejadian traumatik yang dialami oleh setiap orang tidaklah sama. Anak-anak lebih rentan dan sensitif terhadap dampak dari kejadian trauma yang dialaminya. 1 Kejadian traumatik yang dialami bila tidak dapat diatasi dengan baik dapat menimbulkan suatu kumpulan gejala yang berkaitan dengan kecemasan, kompleksitas gangguan kecemasan ini dikenal sebagai gangguan stres pasca trauma (Posttraumatic Stress Disorder/ PTSD) 2 Menurut National Center for PTSD, lima juta anak di Amerika Serikat terpapar dengan kejadian traumatik setiap tahunnya dan 36% di antaranya mengalami gangguan stress pasca trauma. Menurut Stephen, et al. (2005), semakin muda usia anak yang mengalami trauma semakin besar kemungkinan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma. Di Amerika Serikat sebanyak 39% periode anak awal yang mengalami trauma berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma, 33% pada periode anak akhir, dan 27% pada periode remaja. 3 Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Menurut data dari klinik psikiatri RSCM/FKUI yang difungsikan sebagai Pusat Rujukan nasional untuk pengobatan psikis bagi korban bencana melihat makin tingginya angka kejadian bencana yang terjadi di Tanah Air belakangan ini. Kondisi itu membuat prevalensi penderita gangguan stres pasca trauma meningkat. 4 Salah bencana alam yang terbesar yakni, tsunami di Aceh yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dan mengakibatkan sekitar korban jiwa meninggal. 5 Kejadian ini menyisakan duka yang mendalam akibat ditinggalkan keluarga yang dicintainya terutama pada anak-anak, mereka masih sangat membutuhkan orang tuanya dalam menjalani kehidupan dan hal ini dapat menyebabkan gangguan satu 1

2 kejiwaannya dalam massa perkembangannya. Berdasarkan survei dari Universitas Indonesia (UI) yang dibiayai WHO terhadap anak-anak di Aceh pasca tsunami menunjukkan bahwa sebanyak 20%-25% di antaranya mengalami ganguan stress pasca trauma dan membutuhkan pertolongan dari tenaga ahli (psikolog). 6 Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya. Jumlah kasus pada 2008 mencapai angka atau lebih dari empat kasus setiap harinya. Tahun berikutnya meningkat hingga 1.998, perharinya mencapai lima kasus lebih. Peningkatan mencapai 272 kasus. 7 Hal ini tentunya juga berdampak terhadap peningkatan angka kejadian gangguan stress pasca trauma pada anak Indonesia. Oleh karena semakin meningkatnya angka kejadian gangguan stress pasca trauma pada anak di Indonesia tiap tahunnya, baik yang disebabkan oleh bencana alam maupun bencana yang diakibatkan oleh manusia, misalnya kekerasan terhadap anak maka gangguan stres pasca trauma merupakan suatu topik permasalahan yang harus diperhatikan. Identifikasi pada anak yang mengalami trauma dan berisiko menjadi gangguan stress pasca trauma merupakan komponen yang penting dalam mencegah terjadinya gangguan mental ini. Pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, tanda dan gejala, diagnosis, terapi, serta pencegahan gangguan stress pasca trauma pada anak. Diharapkan dengan pembahasan ini dapat mengembangkan pemahaman tentang pentingnya mengenali secara dini dan memberikan terapi yang tepat pada anak yang mengalami trauma agar tidak mengalami gangguan stress pasca trauma yang berkepanjangan. BAB II 2

3 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gangguan stress pasca trauma merupakan sindrom kecemasan, labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah stres fisik maupun emosi ynag melampaui batas ketahanan orang biasa. 8 Selain itu, gangguan stress pascatrauma (PTSD) dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya. 9 National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan gangguan stress pasca trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan ataupun perang. 10 Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, (DSM-IV-TR), PTSD didefinisikan sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian trauma yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, atau cidera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan ynag ekstrem, horror, atau rasa tidak berdaya. 11 Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca trauma merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh dari pengalaman yang normal bagi seseorang. 12 Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan, gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, kematian, cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak 3

4 ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian. 2.2 Epidemiologi Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress pasca trauma di Amerika Serikat sekitar 8%. Dari data statistik di Amerika Serikat diperkirakan setidaknya terdapat lebih dari 40% anak dan remaja pernah mengalami kejadian trauma dan berkembang menjadi PTSD sebesar 15% pada anak perempuan dan 6% pada anak laki-laki. Dari 3%-6% remaja yang selamat dari kejadian trauma bencana alam di Amerika Serikat, 30%-60% diantaranya mengalami PTSD. Pada anak yang melihat orang tuanya dibunuh serta yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual hampir 100% cenderung mengalami PTSD. 13 Di Indonesia meskipun belum terdapat data yang pasti berapa jumlah anak yang mengalami PTSD akibat kejadian trauma bencana alam akan tetapi dapat dikatakan jumlah anak yang mengalami PTSD meningkat seiring dengan angka kejadian bencana alam yang makin tinggi belakangan ini. 4 Di Indonesia sendiri, angka-angka kekerasan terhadap anak tidak pernah menunjukkan angka menurun, kecenderungannya selalu meningkat, World Vision yang melakukan pendataan ke berbagai daerah menemukan angka kasus kekerasan selama tahun 2009, pada tahun 2008 hanya ada 1600 kasus. Sementara pengaduan langsung ke KPAI tahun 2008 ada 580 kasus dan tahun 2009 ada 595 kasus. Angka pastinya sulit diperoleh karena banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan. Akan tetapi, jelas bahwa angka kekerasan anak di Indonesia terus mengalami peningkatan dan hal ini berdampak terhadap peningkatan prevalensi PTSD pada anak Indonesia. 2.3 Etiologi Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam perkembangan gangguan stres pasca trauma. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang maka 4

5 tubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin. Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan fisik. 3 Stresor dapat berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia, ataupun akibat kecelakaan. Stresor akibat bencana alam antara lain: menjadi korban yang selamat dari tsunami, gempa bumi, badai. Kejadian trauma akibat ulah manusia antara lain: menjadi korban banjir, penculikan, perkosaan, kekerasan fisik, melihat pembunuhan, perang, dan kejahatan kriminal lainnya di mana ia tinggal. Kejadian trauma juga dapat terjadi akibat kecelakaan baik, yang menyebabkan cidera fisik maupun yang tidak. Pada pasien yang menerima hasil diagnosis penyakit yang mematikan baik terhadap dirinya ataupun orang terdekatnya dapat menjadi stresor. 13,17 Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stres pasca trauma setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stresor diperlukan, namun stresor tidaklah cukup untuk menyebabkan gangguan. Terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan antara lain: 9,15 Faktor biologis Pada anak yang sebelumnya memiliki gangguan cemas memiliki risiko lebih tinggi berkembang menjadi PTSD setelah mengalami trauma. Hal ini berhubungan dengan faktor predisposisi genetik di mana, seseorang yang memiliki riwayat gangguan depresi dan gangguan cemas di keluarganya menjadi faktor predisposisi PTSD setelah anak tersebut terpapar dengan kejadian traumatik. Pada anak yang mengalami PTSD ditemukan beberapa abnormalitas psikobiologikal antara lain: perubahan kompleks dalam fungsi aksis hipotalamuspituitari-adrenal, terjadinya peningkatan ekskresi metabolit adrenergik dan 5

6 dopaminergik, volume intrakranial dan area korpus kolusum yang lebih kecil, defisit memori, dan IQ yang rendah. Faktor psikologi Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada perkembangan terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara tipikal menimbulkan emosi yang negatif ( sedih, marah, takut) sebagai bagian dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis (fight or flight response). Classical conditioning terjadi pada saat seseorang yang mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya trauma maka akan timbul reaksi psikologi yang tidak disadari dan merupakan respon refleks yang spesifik. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil yang serius akan timbul respon berupa ketakutan, berkeringat, takkardi setiap kali dia melewati tempat kejadian tersebut. Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian trauma yang dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak disukai dan tidak akan diulangi. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil maka ia akan berusaha untuk menghindari berada di dalam mobil. Modelling merupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut berperan dalam perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orang tua terhadap pengalaman traumatik anak merupakan prediksi terhadap keparahan gejala PTSD anak. Faktor sosial Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan meningkatkan risiko perkembangan PTSD setelah anak mengalami kejadian traumatik. 2.4 Faktor Risiko Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko seseorang mengalami gangguan stres pasca trauma, antara lain: 3,13,15,16 Seberapa berat dan dekatnya trauma yang dialaminya. Semakin berat trauma yang dialami dan semakin dekat ia berada saat kejadian semakin meningkatkan risiko PTSD 6

7 Durasi trauma yang dialamiya. Semakin lama/kronik seseorang mengalami kejadian trauma semakin berisiko berkembang menjadi PTSD ( misalnya: kekerasan pada anak di rumah) Banyaknya trauma yang dialami. Trauma yang multipel lebih berisiko menjadi PTSD Pelaku kejadian trauma. Semakin dekat hubungan antara pelaku dan korban (misalnya: kekerasan anak yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri) semakin berisiko menjadi PTSD Kejadian trauma yang sangat interpersonal seperti, perkosaan Jenis kelamin: anak dan remaja perempuan lebih berisiko dibandingkan laki-laki Kondisi sosialekonomi yang rendah (kaum minoritas) berisiko lebih tinggi akibat dari tingginya angka kekerasan di daerah tempat ia tinggal. Usia : PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anakanak dan usia tua (>60 tahun) merupakan kelompok usia yang lebih rentan mengalami PTSD. Anak-anak memiliki kebutuhan dan kerentanan khusus jika dibandingkan dengan orang dewasa, teruama karena masih ketergantungan dengan orang lain, kemampuan fisik dan intelektual yang sedang berkembang, serta kurangnya pengalaman hidup dalam memecahkan berbagai persoalan sehingga dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Seseorang yang memiliki gangguan psikiatri lainnya seperti: depresi, fobia sosial, gangguan kecemasan. Memiliki penyakit organik yang berat dan kronis seperti, kanker Pasien yang berada di bawah pengaruh anestesi akan tetapi memperoleh kembali kesadarannya saat dilakukannya operasi Seseorang yang tidak berpengalaman dan tidak memperoleh pelatihan dalam menghadapi bencana lebih berisiko dibandingkan mereka yang mendapatkannya (seperti: polisi, petugas pemadam kebakaran, petugas paramedik) 7

8 Hidup di tempat pengungsian ( misalnya: sedang ada peperangan/ konflik di daerahnya) Kurangnya dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan 2.5 Tanda dan Gejala Gejala-gejala PTSD dikelompokkan dalam tiga kategori utama. Diagnosis dapat ditegakkan bila gejala-gejala dalam kategori berlangsung selama lebih dari satu bulan. Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD adalah pertama, mengalami kembali kejadian traumatik. Seseorang kerap teringat akan kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Gejala flashback (merasa seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan. Kedua, penghindaran stimulus yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpkir tentang trauma atau menghadapi stimulus yang akan mengingatkan akan kejadian tersebut, dapat terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnyaa ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan dan ketidak mampuan untuk merasakan berbagai emosi positif. Gejala ini menunjukkan adanya menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu, juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. Ketiga, gejala ketegangan. Gejala ini meliputi sulit tidur atau mempertahankannya, sulit berkonsentrasi, wasapada berlebihan, respon terkejut yang berlebihan, termasuk meningkatnya reaktivitas fisiologis. 13 Perkembangan kemampuan anak di setiap tahapan usia berbeda dalam cara berpikir, kematangan emosional, dan kemampuan berhubungan sosial. Ketiga hal itu akan mempengaruhi cara anak bereaksi terhadap pengalaman yang tidak menyenangkan, menyakitkan, menyedihkan yang terjadi akibat peristiwa traumatk tersebut. 8

9 Oleh karena itu, tanda dan gejala PTSD pada anak dapat dibedakan berdasarkan penggolongan umur: 3 Young children ( usia 1-6 tahun) opasif, kurang responsif otakut terhadap banyak hal (tidak spesifik) oarousal yang tinggi omerasa kebingungan osulit berbicara terhadap suatu peristiwa osulit mengenali perasaan baik terhadap dirinya maupun orang lain omengalami gangguan tidur, mimpi buruk omelekat terus pada pengasuhnya (takut terpisah/ sendirian) otimbul gejala regresif (mengalami kemunduran perkembangan yang sudah dikuasai anak misalnya, menjadi tidak mau bicara, mengompol) otidak mampu memahami dan cemas akan kematian otimbul gejala somatik (sakit perut, sakit kepala) otidak mau bergerak (freezing) orewel melebihi anak normal (menangis tanpa sebab) School age children ( usia 6-11 tahun): omerasa bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian traumatik yang dialaminya ogangguan tidur, mimpi buruk odisorientasi urutan terjadinya peristiwa traumatik otingkah laku yang agresif, mudah marah dan meledak-ledak oposttraumatic play (secara kompulsif melakukan berbagai jenis permainan yang berkaitan dengan peristiwa ttraumatik) owaspada berlebihan, gelisah operasaan ketakutan omenghindari sekolah oterlalu mencemaskan orang lain 9

10 oterjadi perubahan tingkah laku, mood, kepribadian ogejala somatik ( mengeluhkan badannya terasa sakit) omudah cemas omengalami kemunduran dalam berhubungan dengan orang lain otakut terpisah (tidak berani sendirian) okehilangan minat dalam melakukan aktivitaas osulit konsentrasi di sekolah sehingga terjadi penurunan prestasi di sekolah omemberikan penjelasan yang berkaitan dengan hal gaib Preadolescents dan adolescents ( uisa tahun): omemiliki sifat memberontak baik di rumah maupun sekolah omenolak bersekolah okebingungan, seringkali menjadi iritabel oberlaku kasar dan tidak sopan dalam berhubungan dengan orang lain omelakukan berbagai tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri odepresi, menarik diri dari pergaulan sosial omengalami kemunduran prestasi di sekolah ogangguan makan dan tidur ohanya berfokus terhadap dirinya sendiri tanpa memperdulikan sekitarnya omemiliki hasrat untuk balas dendam atas peristiwa yang dialaminya osikap yang kaku, canggung dalam pergaulan omelakukan aktivitas yang berlebihan sendirian 2.6 Diagnosis Kriteria diagnosis PTSD menurut Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder IV Text Revision (DSM IV TR) yaitu: 18 A. Kejadian traumatik 1. Satu atau banyak pristiwa yang membuat seseorang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa ancaman kematian, cidera yang serius atau ancaman terhadap integritas fisik dirinya sendiri 10

11 atau orang lain. 2. Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan, kengerian, tau ketidakberdayaan yang sangat kuat. B. Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini: 1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya dan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi) 2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya (yang mencemaskan) 3. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi, haluinasinya) 4. Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang mengingatkan terhadap kejadian trauma (kenangan akan peristiwa trauma) C. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan mematikan perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma masih berespon). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini: 1. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan kejadian trauma 2. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya 3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yang dialaminya 4. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang 5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya 6. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapa merasakan cinta) 7. Perasaan bahwa masa depannya suram D. Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebih gejala di bawah ini: 1. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempeertahankannya 2. Sulit berkonsentrasi 3. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya 11

12 4. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan) 5. Reaksi kaget yang berlebihan E. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan F. Gangguan/ gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya Selain itu, secara spesifikasi diagnosis PTSD dapat diidentifikasi sebagai: (1) akut, bila gejala berlangsung satu sampai tiga bulan (2) kronis, bila gejala berlangsung lebih dari tiga buan (3) Awal gejala / onset yang tertunda bila gejala dimula sedikitnya enam bulan setelah kejadian traumatik/stresor Selanjutnya, menurut International Classification of Diseases 10 (ICD-10) kriteria diagnosis PTSD sebagai berikut: 19 A. Pasien harus pernah terpapar pada suatu peristiwa atau situasi yang menimbulkan stress (sebentar/lama) yang sifatnya malapetaka atau sangat mengancam sehingga mungkin akan menyebabkan stres pada hampir semua orang B. Terus menerus mengingat atau menghayati lagi penyebab stress dalam bentuk kilas balik yang mengganggu, kenangan yang jelas sekali atau mimpi yang berulang, atau mengalami keemasan ketika menghadapi keadaan yang mirip atau berkaitan dengan penyebab stres C. Pasien harus memperlihatkan suatu penghindaran nyata dari keadaan yang mirip atau berhubugan dengan penyebab stress yang tidak ada sebelumnya D. Salah satu dari hal berikut harus terjadi: a. tidak mampu mengingat sebagian atau seluruhnya dari beberapa aspek penting selama masa terpapar pada penyebab stres b. gejala yang terus menerus dari adanya peningkatan kepekaaan psikologis dan sensasi (tidak ada sebelum terpapar dengan penyebab stres), ditunjukkan oleh dua dari berikut ini: (1) sulit untuk memulai tidur dan mempertahankannya, (2) mudah marah atau amarah yang meledak-ledak, (3) sulit berkonsentrasi, (4) kewaspadaan yang sangat tinggi, dan (5) reaksi kaget yag berlebihan E. Kriteria B, C, dan D semuanya terjadi dalam kurun waktu enam bulan setelah peristiwa traumatik terjadi 12

13 Pedoman diagnostik gangguan stress pasca trauma menurut PPDGJ III (F 43.1) yaitu: 20 Diagnosis baru ditegakkan bilamana gannguan ini timbul dalam kurun waktu enam bulan setelah kejadiian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui enam bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu enam bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori ganngguan lainnya. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayangbayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulangulang kembali (flashbacks) Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa). Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya semua kriteria di atas dapat dipergunakan bagi anak-anak. Anak-anak memilki keterbatasan dalam kemampuan verbalnya dan memiliki cara yang berbeda dalam bereaksi terhadap stress. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak mungkin tidak memenuhi kriteria DSM-IV-TR secara penuh meskipun secara jelas anak tersebut memilki gangguan psikiatri yang analog dengan PTSD pada dewasa. Biasanaya anak seringkali tidak memilki tiga tanda dari numbing (mematikan perasaannya) dan withdrawl (menarik diri) seperti pada orang dewasa karena kemampuan verbal untuk mengekspresikan perasaannya masih kurang. Anakanak mungkin mungkin mengalami perubahan anatara hiperarousal dan numbing/ withdrawl. 13

14 Scheeringa et al (1995) merekomendasikan perubahan kriteria PTSD bagi young children. Perubahan kriteria ini tidak mengharuskan anak dapat melaporkan ketakutannya sebagai respon terhadap trauma. Kriteria diagnosis yang digunakan bagi young child yaitu: a) Anak tersebut setidaknya harus mengalami kembali salah satu tipe pengulangan ingatan kejadian traumatik di bawah ini: Menunjukkan perilaku yang mencontoh trauma yang terjadi seperti, bermain tembak-tembakan atau mengulang adegan kekerasan sendiri atau bersama teman. Perilaku ini diulang-ulang tanpa variasi yang berarti Teringat kembali akan peristiwa trauma ( bisa secara tiba-tiba) Mengalami mimpi buruk/ mengerikan tanpa dapat mendeskripsikan isi mimpi tersebut Mengalami stres saat terpapar dengan kejadian yang mengingatkan akan trauma yang dialami b) Perubahan kriteria ini juga hanya memerlukan satu dari gejala mati rasa secara emosional dan perilaku menghindar di bawah ini (dewasa perlu tiga): Menarik diri dari pergaulan sosial Jarang mau bermain Mengalami kemunduran perkembangan terutama perkembangan bahasa dan toilet training Rentang afek yang terbatas (perasaan dan pikiran jadi datar, tumpul) c) Memerlukan satu dari gejala hiperarousal di bawah ini: Sulit memulai tidur (tidak berhubungan dengan takut mimpi buruk ataupun kegelapan) Terbangun waktu tidur malam hari (bukan karena mimpi buruk) Penurunan konsentrasi Respon terkejut yang berlebihan Sangat sensitif dan memiliki reaksi intens terhadap rangsangan yang mengingatkannya pada peristiwa traumatik 14

15 d) Ditandai oleh salah satu dari gejala ketakutan dan sikap bermusuhan di bawah ini: Takut gelap Takut pergi ke toilet sendirian Takut terhadap suatu hal baru yang tidak secara jelas berkaitan dengan trauma Takut terpisah dan takut ditinggal sendirian 2.7 Terapi Sebelum menjalani terapi atau program-program apapun, ada baik nya dilakukan evaluasi psikologis pada anak terlebih dahulu. Tindakan ini untuk memahami kepribadian anak, trauma yang dialami, dan dampak dari trauma tersebut pada dirinya. Evaluasi juga dapat membantu terapis untuk memahami berbagai risiko tambahan dan menemukan kekuatan dari klien. Jika terapi diisyaratkan sebagai proses yang harus dijalani oleh anak, maka perlu konsultasi dengan terapis yang benar-benar berpengalaman dengan kasus anak-anak (bukan dewasa). Hal ini harus sangat diperhatikan karena proses evaluasi dapat dialami sebagai proses yang sangat berat dan dapat menimbulkan trauma sekunder. Setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan menggunakan psikoterapi dan farmakoterapi. Hasil pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi ini dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik dan komprehensif 21 Psikoterapi 22,23 Cognitive Behavioral Therapy (CBT) Menurut penelitian Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan pendekatan yang paling efektif dalam mengobati anak dengan PTSD. Dalam Cognitive Behavioral Therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan menganggu kegiatan-kegiatan penderita PTSD misalnya, pada seorang anak korban kejahatan mungkin akan menyalahkan diri sendiri karena ketidakhati-hatiannya. Prinsip-prinsip behavioral 15

16 therapy digunakan untuk modifikasi perilaku dan proses re-learning. Tujuan terapi ini adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang. EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing) EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagai landasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilaku kita.untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan memori yang telah ada, EMDR dijalankan dengan melakukan kegiatan fisik yang merangsang aktivasi pemrosesan informasi di dalam otak (dalam konteks EMDR disebut sebagai stimulasi bilateral) melalui indra pengelihatan/pendengaran/perabaan Playtherapy Playtherapy merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengobati PTSD pada anak periode awal / young children. Pada terapi ini bertujuan untuk memahami trauma anak dan memberikan medium untuk berekspresi dalam mengurangi tekanan emosional ynag dialami. Bermain peran, menggambar, bermain dengan boneka atau benda-benda figural dapat dijadikan cara untuk menyesuaikan diri dan memberi kesempatan pada terapis untuk melakukan reexposure yaitu, membahas peristiwa traumatiknya dalam situasi yang mendukung. Para ahli juga menyarankan perlunya psikoedukasi pada anak dan keluarganya. Psikoedukasi dimaksudkan memberi pendidikan mengenai gejalagejala yang ditunjukkan anak dan cara- cara untuk mengatasinya terutama untuk membantu anak mengatasi kecemasannya. Psikoedukasi untuk anggota keluarga terutama orangtua dan pengasuh (termasuk guru) penting karena mereka yang setiap saat berada di dekat anak tersebut. Pengetahuan mereka mengenai reaksi psikotraumatik dan gejala-gejala perilakunya akan mebantu mereka untuk 16

17 berfungsi efektif dalam menghadapi anak yang sedang bermasalah tanpa memperparah kondisi anak tersebut. Farmakoterapi Farmakoterapi merupakan terapi dengan menggunakan obat-obatan. Terapi ini diperlukan untuk menstabilkan zat-zat di otak yang menyebabkan kecemasan, kekhawatiran, dan depresi atau dengan kata lain merupakan terapi simptomatik pada PTSD. Terapi obat ini bukanlah lini pertama dalam penanganan PTSD tetapi dapat dijadikan sebagai pendukung (adjuvan) psikoterapi agar tercapai hasil yang optimal dalam menangani kasus PTSD. 16 Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs) SSRIs merupakan obat lini pertama dalam mengatasi gejala cemas, depresi, perilaku menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu). Obat ini meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake serotonin diotak. Obat golongan SSRIs yang disetujui oleh FDA dalam mengatasi gejala depresi pada anak PTSD yakni, Fluoxetine (Prozac). Obat ini digunakan untuk anak usia lebih dari 8 tahun dengan dosis awal 10 mg/ hari selama satu minggu kemudian dapat ditingkatkan sampai 20 mg/hari dan diberikan secara peroral. Beta adrenergic blocking agents Obat yang digunakan golongan ini yakni, Propanolol (Inderal). Obat i ni dapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis untuk anak-anak: 2,5 mg/kg BB/hari Mood stabiizers Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang meninggi dan gejala impulsif. Dosis Carbamazepine (Tegretol): 6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk initial lalu dapat dinaikkan hingga 100mg/hari, untuk dosis maintenance; mg/kg/hari >12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml Dosis valporic acid (Depakene, depakote): mg/kg/hari untuk dosis initial dan kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari 17

18 2.8 Pencegahan Intervensi sedini mungkin akan menghasilkan terapi yang lebih memuaskan dan akan mencegah berkembangnya stres pasca trauma menjadi gangguan stres pasca trauma Sehingga intervensi sejak dini untuk mengatasinya sangat penting, terutama bagi perkembangan emosional anak. Intervensi tersebut dapat berupa dukungan dari orangtua, guru, teman sekolah dan lingkungan sekitarnya yang dapat menimbulkan perasaan aman dan terlindungi bagi anak 2. BAB III KESIMPULAN Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, kematian, cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian. Identifikasi pada anak yang mengalami trauma dan berisiko menjadi gangguan stress pasca trauma merupakan komponen yang penting dalam mengatasi gangguan ini. PTSD terjadi akibat adanya kejadian traumatik dan perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang berperan antara lain: faktor biologis, faktor psikologis, faktor sosial, dan faktor lainnya yang dapat meningkatkan risiko terjadi gangguan ini. Tanda dan gejala penderita PTSD secara umum dapat dibagi menjadi tiga yakni: mengalami kembali kejadian trauma, menghindari stimulus, dan gejala hiperarousal. Pada anak dan remaja gejala dan tanda ini dapat dibagi lagi menurut kelompok umur. Pada anak yang mengalami gangguan stress pasca trauma sebaiknya dilakukan evaluasi psikoogis terlebih dahulu.setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan menggunakan psikoterapi 18

19 dan farmakoterapi.hasil pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi ini dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik dan komprehensif DAFTAR PUSTAKA 1. Reich JW, et al. Handbook of Adult Resilience. The Guilford Press. USA:2010. page Post Traumatic Stress Disorder Research Fact Sheet Diambil dari 3. Paige SR. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Diambil dari tm 4. Trauma Bencana. 2 Februari Diambil dari 5. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana Diambil dari 6. Aceh Jadi " Pilot Proyek Layanan Kesehatan Mental. 11 Mei Diambil dari action=pscm&no=39 7. Angka Kekerasan terhadap Anak Makin Meningkat. 09 Juni Diambil dari news/nasional/10/06/09/ angka-kekerasan-terhadap-anak-makin- meningkat 8. Kaplan dan Saddock Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis. Binarupa Aksara. Jakarta. 19

20 9. Saddock BJ, Saddock VA. Behavior Therapy. Kaplan & Sadock s Synopsis of Psikiatry Behavoioral Science/Clinical Psychiatry. 10 th ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. Philadelphia : (2): Post traumatic Stress Disorder (PTSD) Diambil dari ptsd/index.shtml 11. Posttraumatic Stress Disorder Diambil dari dbname=documentviewer&documentid= Roxanne Posttraumatic Stress Disorder. Diambil dari Kekerasan Terhadap Anak Diambil dari Saddock BJ, Saddock VA. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8 th ed. LippincottWilliams & Wilkins. Philadelphia: (2) : Roy HL. Posttraumatic Stress Disorder in Children Diambil dari Volkman MK. Children and Traumatic Incident Reduction: Creative and Cognitive Approaches. 1 th ed. Loving Healing Press: USA : Posttraumatic Stress Disorder DSM-IV TM Diagnosis and Criteria.. Diambil dari Maslim, Rusdi Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: PT.Nuh Jaya 21. Schnurr, Paula. Treatment for PTSD: Understanding the Evidence Diambil dari Kathleen KT. Clinical Management of Posttraumatic Stress Disorder Diambil dari %20home%20page_files/ClinicalTreatmentofPTSD.pdf 20

21 23. Kaminer D, Seedat S. World Psychiatric Association Posttraumatic stress disorder in children World Psychiatry June; 4(2):

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER POST TRAUMATIC STRESS DISORDER 1. Definisi Gangguan stress pasca trauma merupakan sindrom kecemasan, labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah stress fisik maupun

Lebih terperinci

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER Workplan POST TRAUMATIC STRESS DISORDER Oleh: RIDHA MAWADDAH 0907101010116 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA/BLUD RUMAH SAKIT JIWA BANDA ACEH 2014 POST TRAUMATIC STRESS DISORDER Definisi Posttraumatic

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN Gangguan stres akut (juga disebut shock psikologis, mental shock, atau sekedar shock) adalah sebuah kondisi psikologis yang timbul sebagai tanggapan terhadap peristiwa yang mengerikan.

Lebih terperinci

PTSD POSTTRAUMATIC STRESS DISORDER

PTSD POSTTRAUMATIC STRESS DISORDER PTSD POSTTRAUMATIC STRESS DISORDER Pembimbing: dr.ira Savitri Tanjung, Sp.KJ (K) Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha Periode

Lebih terperinci

Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) Oleh : Husna Nadia 1102010126 Pembimbing : dr Prasila Darwin, SpKJ DEFINISI PTSD : Gangguan kecemasan yang dapat terjadi setelah mengalami /menyaksikan suatu peristiwa

Lebih terperinci

GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA

GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA MAKALAH DISKUSI TOPIK GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA Disusun oleh: NUR RAHMAT WIBOWO I11106029 KELOMPOK: VIII KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, khususnya di

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, khususnya di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, khususnya di kota-kota besar tiap tahunnya menyebabkan kebutuhan akan transportasi juga semakin meningkat.

Lebih terperinci

Mengenal Gangguan Stress Pasca Trauma

Mengenal Gangguan Stress Pasca Trauma Materi ini merupakan salah satu bahan kuliah online gratis bagi anggota keluarga, relawan kesehatan jiwa dan perawat pendamping Mengenal Gangguan Stress Pasca Trauma Oleh: Tirto Jiwo Juni 2012 Tirto Jiwo

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Bencana menurut Undang-Undang No.24 tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan

Lebih terperinci

GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA

GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA Pembimbing : Dr. Prasilla, Sp KJ Disusun oleh : Kelompok II Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta cemas menyeluruh dan penyalahgunaan zat. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. kecelakaan lalu lintas yang cukup parah, bisa mengakibatkan cedera

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. kecelakaan lalu lintas yang cukup parah, bisa mengakibatkan cedera 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Seseorang yang mengalami hal besar dalam hidupnya, seperti kecelakaan lalu lintas yang cukup parah, bisa mengakibatkan cedera sementara ataupun menetap pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini berbagai bencana terjadi di Indonesia. Dimulai dari gempa bumi, tsunami, banjir bandang hingga letusan gunung merapi. Semua bencana tersebut tentu saja

Lebih terperinci

REFERAT GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA

REFERAT GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA REFERAT GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA Oleh: Nurul Syahidah Binti Muhamad Zaki 11-2013-330 Pembimbing: Dr. Ratna Mardiati, Sp.KJ BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT CIBUBUR FAKULTAS

Lebih terperinci

Adhyatman Prabowo, M.Psi

Adhyatman Prabowo, M.Psi Adhyatman Prabowo, M.Psi SOLO,2011 KOMPAS.com Beberapa korban bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, mengaku masih mengalami trauma. Korban masih merasa takut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengalami trauma sekunder tidak mengalami langsung kejadian. korban trauma. (Figley, McCann & Pearlman, dalam Motta 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengalami trauma sekunder tidak mengalami langsung kejadian. korban trauma. (Figley, McCann & Pearlman, dalam Motta 2008). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Secondary Traumatic Stress Istilah secondary traumatic stress mengacu pada pengalaman kondisi psikologis negatif yang biasanya dihasilkan dari hubungan yang intens dan dekat

Lebih terperinci

EMOSI, STRES DAN KESEHATAN. Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., psi

EMOSI, STRES DAN KESEHATAN. Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., psi EMOSI, STRES DAN KESEHATAN Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., psi unita@ub.ac.id http://www.youtube.com/watch?v=4kbsrxp0wik Respon Perilaku Terhadap Stimuli Emosional Fight vs Flight Fight and Flight Sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di lingkungan sekitar kita, seperti gempa bumi yang melanda Yogyakarta,

BAB I PENDAHULUAN. di lingkungan sekitar kita, seperti gempa bumi yang melanda Yogyakarta, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apabila kita menyaksikan dan mendengarkan berita-berita di media massa, maka kita akan mendengarkan beberapa peristiwa yang kerap terjadi di lingkungan sekitar kita,

Lebih terperinci

PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA

PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA Artikel PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA Mardiya Depresi merupakan penyakit yang cukup mengganggu kehidupan. Saat ini diperkirakan ratusan juta jiwa penduduk di dunia menderita depresi. Depresi dapat terjadi

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Kedaruratan Psikiatri Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang membutuhkan intervensi terapeutik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran. Istilah kompulsi menunjuk pada dorongan atau impuls yang tidak dapat ditahan untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gangguan Depresif Mayor Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing masing individu. Diagnostic

Lebih terperinci

TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS

TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS TUJUAN Memahami pengertian bencana dan krisis Memahami penyebab terjadinya bencana Mengidentifikasi proses terjadinya bencana Mengidentifikasi respons individu terhadap

Lebih terperinci

EMOSI, STRES DAN KESEHATAN. Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., psi

EMOSI, STRES DAN KESEHATAN. Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., psi EMOSI, STRES DAN KESEHATAN Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., psi unita@ub.ac.id http://www.youtube.com/watch?v=4kbsrxp0wik JW Papez mengajukan ide bahwa respon emosional tergantung oleh sistem di forebrain

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat mengganggu. Psikopatologinya melibatkan kognisi, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada masa ini anak belum memiliki kemampuan berpikir yang baik. Hal ini membuat mereka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kaplan & Sadock (2007), trauma peperangan, bencana alam,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kaplan & Sadock (2007), trauma peperangan, bencana alam, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Menurut Kaplan & Sadock (2007), trauma peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius merupakan kejadian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya pada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya pada usia ini sekolah menjadi pengalaman inti anak. Periode ketika anak-anak dianggap mulai bertanggung

Lebih terperinci

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Pedologi Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga Fakultas Psikologi Yenny, M.Psi. Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Tipe-tipe Penganiayaan terhadap Anak Penganiayaan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Begitu banyak anak-anak di Nanggroe Aceh Darussalam

Lebih terperinci

Gangguan Penyesuaian (Adjustment Disorder)

Gangguan Penyesuaian (Adjustment Disorder) Gangguan Penyesuaian (Adjustment Disorder) Definisi Gangguan penyesuaian (adjustment disorder) merupakan reaksi maladaptif jangka pendek terhadap stressor yang dapat diidentifikasi, yang muncul selama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini depresi menjadi jenis gangguan jiwa yang paling sering dialami oleh masyarakat (Lubis, 2009). Depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Chaplin,gangguan jiwa adalah ketidakmampuan menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH GAMBARAN POLA ASUH PENDERITA SKIZOFRENIA Disusun Oleh: Indriani Putri A F 100 040 233 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fobia sering kali dimiliki seseorang. Apabila terdapat perasaan takut

BAB I PENDAHULUAN. Fobia sering kali dimiliki seseorang. Apabila terdapat perasaan takut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fobia sering kali dimiliki seseorang. Apabila terdapat perasaan takut akan sesuatu yang terkadang tidak mengidap sesuatu adalah lucu dan aneh, tetapi bagi orang yang

Lebih terperinci

KLASIFIKASI GANGGUAN JIWA

KLASIFIKASI GANGGUAN JIWA KLASIFIKASI GANGGUAN JIWA PSIKOLOGIS; didasarkan atas letak dominasi gangguan pada fungsi psikologis FISIOLOGIS; setiap proses psikologis didasari fisiologis/faali ETIOLOGIS; berdasarkan penyebab gangguan

Lebih terperinci

Pendahuluan. Dr. Ika Widyawati, SpKJ(K)

Pendahuluan. Dr. Ika Widyawati, SpKJ(K) Pendahuluan Dr. Ika Widyawati, SpKJ(K) Maksud: memberikan cara bagi dokter & peneliti u/ mengorganisir pengamatannya bantuan kepada dokter dalam mengaji & dalam memformulasikan rekomendasi2 begi intervensi

Lebih terperinci

GAMBARAN KLINIS GANGGUAN KECEMASAN

GAMBARAN KLINIS GANGGUAN KECEMASAN GAMBARAN KLINIS GANGGUAN KECEMASAN Definisi Suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang untuk mengambil tindakan 2 Beda kecemasan dan ketakutan

Lebih terperinci

EPIDEMIOLOGI MANIFESTASI KLINIS

EPIDEMIOLOGI MANIFESTASI KLINIS DEFINISI Gangguan Bipolar dikenal juga dengan gangguan manik depresi, yaitu gangguan pada fungsi otak yang menyebabkan perubahan yang tidak biasa pada suasana perasaan, dan proses berfikir. Disebut Bipolar

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan bipolar dulunya dikenal sebagai gangguan manik

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan bipolar dulunya dikenal sebagai gangguan manik BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Gangguan bipolar dulunya dikenal sebagai gangguan manik depresif, yaitu gangguan kronik dari regulasi mood yang dihasilkan pada episode depresi dan mania. Gejala psikotik mungkin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi perubahan pertumbuhan dan perkembangan. Masa remaja mengalami perubahan meliputi perubahan

Lebih terperinci

Kepekaan Reaksi berduka Supresi emosi Penundaan Putus asa

Kepekaan Reaksi berduka Supresi emosi Penundaan Putus asa Keputusasaan (Hopelessness) Pengertian Keputusasaan merupakan keadaan subjektif seorang individu yang melihat keterbatasan atau tidak adanya alternative atau pilihan pribadi yang tersedia dan tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun 2012(RUU KESWA,2012) adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental, dan spiritual

Lebih terperinci

MAKALAH GANGGUAN JIWA POST TRAUMA STRESS DISORDER MENTAL HEALTH NURING BLOCK SEMESTER 6

MAKALAH GANGGUAN JIWA POST TRAUMA STRESS DISORDER MENTAL HEALTH NURING BLOCK SEMESTER 6 MAKALAH GANGGUAN JIWA POST TRAUMA STRESS DISORDER MENTAL HEALTH NURING BLOCK SEMESTER 6 DI SUSUN OLEH: SITI MAESAROH DADAN BARDAH BAKHTIAR NUR A. TIKA PURWITA SARI LAYNDO DHEANISA R. HERDA INTAN K. GUN

Lebih terperinci

JOURNAL READING GANGGUAN GEJALA SOMATIK. Diajukan Kepada : dr. Rihadini, Sp.KJ. Disusun oleh : Shinta Dewi Wulandari H2A012001

JOURNAL READING GANGGUAN GEJALA SOMATIK. Diajukan Kepada : dr. Rihadini, Sp.KJ. Disusun oleh : Shinta Dewi Wulandari H2A012001 JOURNAL READING GANGGUAN GEJALA SOMATIK Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Kesehatan Jiwa Diajukan Kepada : dr. Rihadini, Sp.KJ Disusun oleh : Shinta Dewi Wulandari

Lebih terperinci

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD) Work Plan POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD) DISUSUN OLEH: FAUZAN LUTHFI AM 1307101030154 BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA RUMAH SAKIT JIWA BANDA ACEH 2014 1. Pendahuluan Kejadian luar biasa dalam kehidupaan

Lebih terperinci

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI. Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ. disusun oleh: Ade Kurniadi ( )

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI. Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ. disusun oleh: Ade Kurniadi ( ) GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ disusun oleh: Ade Kurniadi (080100150) DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dipandang sebagai proses yang dinamis yang dipengaruhi oleh sifat bakat seseorang dan pengaruh lingkungan dalam menentukan tingkah laku apa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD) merupakan suatu gangguan perkembangan yang mengakibatkan ketidakmampuan mengatur perilaku, khususnya untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Depresi. Teori Interpersonal Depresi

LAMPIRAN. Depresi. Teori Interpersonal Depresi LAMPIRAN Depresi Teori depresi dalam ilmu psikologi, banyak aliran yang menjelaskannya secara berbeda.teori psikologi tentang depresi adalah penjelasan predisposisi depresi ditinjau dari sudut pandang

Lebih terperinci

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh : Yustina Permanawati F 100 050 056 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Manusia akan menjalani proses kehidupan yang memiliki 5 yakni

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Manusia akan menjalani proses kehidupan yang memiliki 5 yakni BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian manusia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah makhluk yang berakal budi / mampu menguasai makhluk lain. Manusia akan menjalani proses kehidupan

Lebih terperinci

Gangguan Mental Terkait Trauma. Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FKUI/RSCM

Gangguan Mental Terkait Trauma. Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FKUI/RSCM Gangguan Mental Terkait Trauma Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FKUI/RSCM Gangguan Mental setelah Trauma Trauma 2 minggu 1 bulan 2 bulan 6 bulan Reaksi stres akut Berkabung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kecemasan timbul akibat adanya respon terhadap kondisi stres atau konflik. Hal ini biasa terjadi dimana seseorang mengalami perubahan situasi dalam hidupnya dan dituntut

Lebih terperinci

Suryo Dharmono Bag. Psikiatri FKUI/RSCM

Suryo Dharmono Bag. Psikiatri FKUI/RSCM Suryo Dharmono Bag. Psikiatri FKUI/RSCM Istilah kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT ) dalam tulisan ini merujuk pada segala bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi dalam konteks kehidupan berkeluarga.

Lebih terperinci

1. Bab II Landasan Teori

1. Bab II Landasan Teori 1. Bab II Landasan Teori 1.1. Teori Terkait 1.1.1. Definisi kecemasan Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Multi krisis yang menimpa masyarakat dewasa ini merupakan salah satu pemicu yang menimbulkan stres, depresi dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah-masalah ini akan mendorong tumbuh dan berkembangnya fisik, mental,

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah-masalah ini akan mendorong tumbuh dan berkembangnya fisik, mental, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Permasalahan Dalam menjalani hidup, setiap manusia akan menemui berbagai permasalahan. Masalah-masalah ini akan mendorong tumbuh dan berkembangnya

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. 2.1 Definisi

BAB II PEMBAHASAN. 2.1 Definisi BAB I PENDAHULUAN Pasca melahirkan adalah periode dimana ibu menjalani hari yang melelahkan. Kelelahan ini terkait dengan keadaan sang bayi maupun perubahan kondisi fisik dan psikis ibu, dan hal ini dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada pasien kanker amputasi dilakukan sebagai prosedur menyelamatkan jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada pasien kanker amputasi dilakukan sebagai prosedur menyelamatkan jiwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Amputasi adalah menghilangkan satu atau lebih bagian tubuh dan belum pernah terjadi sebelumnya yang bisa sebabkan oleh malapetaka atau bencana alam seperti kecelakaan,

Lebih terperinci

PENYEBAB. Penyebab Obsesif Kompulsif adalah:

PENYEBAB. Penyebab Obsesif Kompulsif adalah: Penyakit Obsesif-Kompulsif ditandai dengan adanya obsesi dan kompulsi. Obsesi adalah gagasan, khayalan atau dorongan yang berulang, tidak diinginkan dan mengganggu, yang tampaknya konyol, aneh atau menakutkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang berbeda-beda, diantaranya faktor genetik, biologis, psikis dan sosial. Pada setiap pertumbuhan dan

Lebih terperinci

Laila Uthomah

Laila Uthomah Penerapan Terapi Kognitif untuk Mengatasi Gangguan Stres Pasca Traumatik pada Pekerja Seks Komersial di Panti Sosial Bina Karya Wanita Harapan Mulya Kedoya PENERAPAN TERAPI KOGNITIF UNTUK MENGATASI GANGGUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia sekolah mempunyai berbagai resiko yang lebih mengarah pada kecerdasan, moral, kawasan sosial dan emosional, fungsi kebahasaan dan adaptasi sosial.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih banyak daripada anak yang tidak mengalaminya, tetapi mereka memiliki gejala yang lebih sedikit dibandingkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian pustaka 2.1.1 Kehamilan 2.1.1.1 Definisi Kehamilan adalah suatu keadaan mengandung embrio atau fetus di dalam tubuh, setelah bertemunya sel telur

Lebih terperinci

PATOFISIOLOGI ANSIETAS

PATOFISIOLOGI ANSIETAS PATOFISIOLOGI ANSIETAS Faktor Predisposisi (Suliswati, 2005). Ketegangan dalam kehidupan tersebut dapat berupa : 1. Peristiwa traumatik 2. Konflik emosional 3. Konsep diri terganggu 4. Frustasi 5. Gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang sangat luar biasa, karena anak akan menjadi generasi penerus dalam keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang sangat luar biasa, karena anak akan menjadi generasi penerus dalam keluarga. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memiliki anak yang sehat dan memiliki tumbuh kembang yang baik merupakan dambaan bagi setiap pasangan suami istri yang telah menikah. Anak merupakan berkah yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Merupakan masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa remaja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena dari tahun ke tahun, jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini berarti seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan diantaranya adalah tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang mengarah

BAB I PENDAHULUAN. dan diantaranya adalah tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang mengarah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak terjadi tindak kekerasan yang terjadi di berbagai tempat di lingkungan sekitar kita. Tindak kekerasan yang terjadi berbagai macam dan diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data demografi menunjukkan bahwa populasi remaja mendominasi jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Data demografi menunjukkan bahwa populasi remaja mendominasi jumlah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Data demografi menunjukkan bahwa populasi remaja mendominasi jumlah penduduk di dunia. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2007 sekitar seperlima

Lebih terperinci

SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A

SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A Do Penyusunan gejala Memberi nama atau label Membedakan dengan penyakit lain For Prognosis Terapi (Farmakoterapi / psikoterapi)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang khayal, halusinasi sebenarnya merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tesis ini mengkaji tentang perilaku keluarga dalam penanganan penderita

BAB I PENDAHULUAN. Tesis ini mengkaji tentang perilaku keluarga dalam penanganan penderita BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tesis ini mengkaji tentang perilaku keluarga dalam penanganan penderita gangguan jiwa (skizofrenia). Sampai saat ini penanganan penderita gangguan jiwa masih sangat

Lebih terperinci

BAB II Enuresis Stres Susah buang air besar Alergi TINJAUAN PUSTAKA

BAB II Enuresis Stres Susah buang air besar Alergi TINJAUAN PUSTAKA Faktor psikis A. Enuresis Pada Anak Stres a. Pengertian Psikologi Lingkungan Faktor fisik Genetik/familial Hambatan perkembangan Pola tidur Toilet trainning yang tidak adekuat Infeksi saluran kencing Stres

Lebih terperinci

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER Work Plan POST TRAUMATIC STRESS DISORDER Pembimbing: dr.malawati, Sp. KJ Disusun Oleh : T. Okky Radhinal Akhyar 0907101010075 BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. semua orang, hal ini disebabkan oleh tingginya angka kematian yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. semua orang, hal ini disebabkan oleh tingginya angka kematian yang disebabkan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit kanker adalah penyakit yang sangat berbahaya bahkan dapat mengakibatkan kematian. Sampai saat ini kanker masih menjadi momok bagi semua orang, hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat bersama dengan teman, seorang anak biasanya selalu penuh dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit systemic lupus erythematosus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan lupus merupakan penyakit kronis yang kurang populer di masyarakat Indonesia dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa awal adalah masa dimana seseorang memperoleh pasangan hidup, terutama bagi seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) bahwa tugas masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hasil survei Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 menyatakan bahwa dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hasil survei Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 menyatakan bahwa dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hasil survei Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 menyatakan bahwa dari 237.641.326 jiwa total penduduk Indonesia, 10% diantaranya yaitu sebesar + 22.960.000 berusia

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Keperawatan Disusun

Lebih terperinci

Laporan Hasil Assessmen Psikologis Penyintas Bencana Tanah Longsor Banjarnegara Tim Psikologi UNS 1. Minggu ke-1 (18 Desember 2014)

Laporan Hasil Assessmen Psikologis Penyintas Bencana Tanah Longsor Banjarnegara Tim Psikologi UNS 1. Minggu ke-1 (18 Desember 2014) Laporan Hasil Assessmen Psikologis Penyintas Bencana Tanah Longsor Banjarnegara Tim Psikologi UNS 1 Minggu ke-1 (18 Desember 2014) 1. Gambaran situasi Situasi gawat darurat bencana tanah longsor di Desa

Lebih terperinci

SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A

SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A DIAGNOSIS? Do Penyusunan gejala Memberi nama atau label Membedakan dengan penyakit lain For prognosis Terapi (Farmakoterapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan untuk menjaga homeostatis dan kehidupan itu sendiri. Kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan untuk menjaga homeostatis dan kehidupan itu sendiri. Kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara memuaskan melalui proses homeostasis, baik fisiologis maupun psikologis. Kebutuhan merupakan suatu hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak kanak dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak kanak dengan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak kanak dengan masa dewasa. Dalam masa ini, remaja itu berkembang kearah kematangan seksual, memantapkan identitas

Lebih terperinci

DAFTAR KOMPETENSI KLINIK

DAFTAR KOMPETENSI KLINIK Panduan Belajar Ilmu Kedokteran Jiwa - 2009 DAFTAR KOMPETENSI KLINIK Target Kompetensi Minimal Masalah Psikiatrik Untuk Dokter Umum: 1. Mampu mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan kasus psikiatrik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang tinggal di Indonesia seperti tuntutan sekolah yang bertambah tinggi,

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang tinggal di Indonesia seperti tuntutan sekolah yang bertambah tinggi, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi ini, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para remaja yang tinggal di Indonesia seperti tuntutan sekolah yang bertambah tinggi, akses komunikasi/internet

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecelakaan lalu lintas merupakan fenomena yang sering terjadi, hal ini disebabkan oleh kecenderungan para pengemudi angkutan umum maupun kendaraan pribadi untuk mengambil

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KESABARAN DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA PASKA STROKE SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KESABARAN DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA PASKA STROKE SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KESABARAN DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA PASKA STROKE SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Gelar Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh : DIAN PURNA TRIODITA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko

BAB I PENDAHULUAN. dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah HIV di Indonesia telah berkembang dari sejumlah kasus kecil HIV dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko tinggi yang memiliki angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Manusia adalah mahluk sosial yang terus menerus membutuhkan orang lain disekitarnya. Salah satu kebutuhannya adalah kebutuhan sosial untuk melakukan interaksi sesama

Lebih terperinci

MANAJEMEN STRES PADA INDIVIDU YANG SELAMAT (SURVIVOR) DARI BENCANA ALAM. Kartika Adhyati Ningdiah

MANAJEMEN STRES PADA INDIVIDU YANG SELAMAT (SURVIVOR) DARI BENCANA ALAM. Kartika Adhyati Ningdiah MANAJEMEN STRES PADA INDIVIDU YANG SELAMAT (SURVIVOR) DARI BENCANA ALAM Kartika Adhyati Ningdiah 10508117 Latar Belakang Masalah Bencana merupakan peristiwa atau kejadian yang dapat menyebabkan kerugian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan kategori penyakit tidak menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara global, regional, nasional maupun lokal.

Lebih terperinci