Nawaluh Damanik yang memegang kekuasaan sebagai raja tahun menjadi daerah hukum Kota Pematangsiantar yaitu:

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Nawaluh Damanik yang memegang kekuasaan sebagai raja tahun menjadi daerah hukum Kota Pematangsiantar yaitu:"

Transkripsi

1 32 BAB II KEWENANGAN PEMERINTAH KOTA PEMATANGSIANTAR DALAM PEMUNGUTAN BPHTB PASCA BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH A. Deskripsi Kota Pematangsiantar. 1. Sejarah Singkat Kota Pematangsiantar. 36 Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar merupakan daerah kerajaan. Pematangsiantar yang berkedudukan di Pulau Holing dan raja terakhir dari dinasti ini adalah keturunan marga Damanik yaitu Tuan Sang Nawaluh Damanik yang memegang kekuasaan sebagai raja tahun Di sekitar Pulau Holing kemudian berkembang menjadi perkampungan tempat tinggal penduduk di antaranya Kampung Suhi Haluan, Siantar Bayu, Suhi Kahean, Pantoan, Suhi Bah Bosar dan Tomuan. Daerah-daerah tersebut kemudian menjadi daerah hukum Kota Pematangsiantar yaitu: a. Pulau Holing menjadi Kampung Pematang. b. Siantar Bayu menjadi Kampung Pusat Kota. 36 Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, Pematangsiantar Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Pematangsiantar, 2011, hal. xxxii. 32

2 33 c. Suhi Kahean menjadi Kampung Sipinggol-pinggol, Kampung Melayu, Martoba, Sukadame dan Bane. d. Suhi Bah Bosar menjadi Kampung Kristen, Karo, Tomuan, Pantoan, Toba dan Martimbang. Setelah Belanda memasuki daerah Sumatera Utara, daerah Simalungun menjadi daerah kekuasasan Belanda sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan raja-raja. Kontroleur Belanda yang semula berkedudukan di Perdagangan, pada tahun 1907 dipindahkan ke Pematangsiantar. Sejak itu Pematangsiantar berkembang menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru, bangsa Cina mendiami kawasan Timbang Galung dan Kampung Melayu. Pada tahun 1910 didirikan Badan Persiapan Kota Pematangsiantar. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1917 berdasarkan Staatblad No. 285 Pematangsiantar berubah menjadi Gemente yang mempunyai otonomi sendiri. Sejak Januari 1939 berdasarkan Staatblad No. 717 berubah menjadi Gemente yang mempunyai Dewan. Pada zaman Jepang berubah menjadi Siantar State dan Dewan dihapus. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Pematangsiantar kembali menjadi daerah otonomi. Berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1948 Status Gemente menjadi Kota Kabupaten Simalungun dan Walikota dirangkap Bupati Simalungun sampai tahun 1957.

3 34 Berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 berubah menjadi Kota Praja penuh dan dengan keluarnya Undang-Undang No.18 tahun 1965 berubah menjadi Kota, dan dengan keluarnya Undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah berubah menjadi Kota Daerah Tingkat II Pematangsiantar sampai sekarang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 1981 Kota Daerah Tingkat II Pematangsiantar terbagi atas 4 (empat) wilayah kecamatan yang terdiri atas 29 (dua puluh sembilan) desa / kelurahan dengan luas wilayah 12,48 (dua belas koma empat puluh delapan) Km 2 yang peresmiannya dilaksanakan oleh Gubernur Sumatera Utara pada tanggal 17 Maret Kecamatan-kecamatan tersebut yaitu : a. Kecamatan Siantar Barat b. Kecamatan Siantar Timur c. Kecamatan Siantar Utara d. Kecamatan Siantar Selatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1986 tanggal 10 Maret 1986 Kota Daerah tingkat II Pematangsiantar diperluas menjadi 6 (enam) wilayah kecamatan, dimana 9 (sembilan) desa / kelurahan dari wilayah Kabupaten Simalungun masuk menjadi wilayah Kota Pematangsiantar, sehinggga Kota Pematangsiantar terdiri dari 38 (tiga puluh delapan) desa / kelurahan dengan luas

4 35 wilayah menjadi 70,230 (tujuh puluh koma dua ratus tiga puluh) Km 2. Kecamatankecamatan tersebut yaitu : a. Kecamatan Siantar Barat b. Kecamatan Siantar Timur c. Kecamatan Siantar Utara d. Kecamatan Siantar Selatan e. Kecamatan Siantar Marihat, dan f. Kecamatan Siantar Martoba Selanjutnya, pada tanggal 23 Mei 1994 dikeluarkan kesepakatan bersama Penyesuaian Batas Wilayah Administrasi antara Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun dengan SKB Bersama No : 136/3140/ /4620/1994 Adapun hasil kesepakatan tersebut adalah wilayah Kota Pematangsiantar menjadi seluas 79, 9706 (tujuh puluh sembilan koma sembilan ribu tujuh ratus enam) Km 2. Pada tahun 1997 Wilayah Administrasi di Kota Pematangsiantar mengalami perubahan status sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara yang meliputi :

5 36 a. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No K/97 tertanggal 13 Pebruari 1997 dan direalisasikan oleh Surat Keputusan Walikota KDH Tk II Kota Pematangsiantar No. 140/1961/Pem/97 tertanggal 15 April 1997 tentang : Pembentukan Lima Kelurahan Persiapan di Kecamatan Siantar Martoba. b. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 140/2610.K/95 tertanggal 4 Oktober 1995 serta direalisasikan oleh Surat Keputusan Walikota KDH Tk II Kota Pematangsiantar No. 140/1961/Pem/97 tertanggal 2 Juli 1997 tentang Perubahan Status 9 (sembilan) Desa Menjadi Kelurahan. Sehingga pada tahun 1997 wilayah administrasi Kota Pematangsiantar menjadi 43 (empat puluh tiga) Kelurahan. Pada tahun 2007, diterbitkan 5 (lima) Peraturan Daerah tentang pemekaran wilayah administrasi Kota Pematangsiantar yaitu : a. Peraturan Daerah No. 3 tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar Sitalasari. b. Peraturan Daerah No. 6 tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar Marimbun. c. Peraturan Daerah No. 7 tahun 2007 tentang Pembentukan Kelurahan Bah Sorma. d. Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2007 tentang Pembentukan Kelurahan Tanjung Tongah, Naga Pitu dan Tanjung Pinggir.

6 37 e. Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2007 tentang Pembentukan Kelurahan Parhorasan Nauli, Sukamakmur, Marihat Jaya, Tong Marimbun, Mekar Nauli dan Nagahuta Timur Dengan demikian jumlah Kecamatan di Kota Pematangsiantar ada sebanyak 8 (delapan) kecamatan dengan jumlah kelurahan sebanyak 53 (lima puluh tiga) kelurahan. Sejak tahun 1956 sampai sekarang Kota Pematangsiantar telah dipimpin oleh 17 (tujuh belas) orang walikota sebagai kepala daerah. Tabel 1 Nama-nama Walikota Pematangsiantar Sejak Tahun 1956 Sampai Sekarang No Nama Masa Jabatan 1 O.K.H. Salamuddin Jamaluddin Tambunan Rakoetta Sembiring Abner Situmorang Juni 1964 Agustus Pandak Tarigan 10 Agustus Agustus Zainuddin Hasan 31 Agustus Desember Tarif Siregar 1 Oktober Desember Drs. M. Pardede 28 Desember April Letkol Laurimba Saragih 25 April Juni 1974

7 38 Tabel 1 lanjutan 10 Kol. Sanggup Ketaren 29 Juni Juni Kol. Drs. M.J.T. Sihotang 29 Juni Juni Drs. Jabanten Damanik 29 Juni Juni Drs. Zulkifli Harahap 29 Juni Juni Drs. Abu Hanifah 29 Juni Mei Drs. Marim Purba 25 Mei 2000 Januari Ir. R.E. Siahaan Agustus 2005 Agustus Hulman Sitorus, S.E. Agustus 2010 sekarang Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, Pematangsiantar Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Pematangsiantar, Lokasi dan Keadaan Geografis Kota Pematangsiantar. 37 Kota Pematangsiantar terletak pada garis 2 o o Lintang Utara dan 99 o o 6 35 Bujur Timur, berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Simalungun. Luas daratan Kota Pematangsiantar adalah 79,971 Km 2 terletak meter di atas permukaan laut. Berdasarkan luas wilayah menurut kecamatan, kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Siantar Sitalasari dengan luas wilayah 22,723 Km 2 atau sama dengan 28,41 persen dari total luas wilayah Kota Pematangsiantar. 37 Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, Pematangsiantar Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Pematangsiantar, 2011, hal. 2-6.

8 39 Secara administrasi wilayah Kota Pematangsiantar terbagi menjadi 8 (delapan) kecamatan yaitu : 1. Kecamatan Siantar Marihat 2. Kecamatan Siantar Marimbun 3. Kecamatan Siantar Selatan 4. Kecamatan Siantar Barat 5. Kecamatan Siantar Utara 6. Kecamatan Siantar Timur 7. Kecamatan Siantar Martoba 8. Kecamatan Siantar Sitalasari Tabel 2 Nama Kelurahan Serta Luas Wilayah Dirinci Menurut Kecamatan Kecamatan Kelurahan Luas Wilayah (1) (2) (3) Siantar Marihat 1. Sukamaju 2. Pardamean 3. Sukaraja 4. BP. Nauli 5. Sukamakmur 6. Parhorasan Nauli 7. Mekar Nauli Siantar Marimbun 1. Simarimbun Nagahuta 3. Pematang Marihat 4. Tong Marimbun 5. Nagahuta Timur 6. Marihat Jaya Siantar Selatan 1. Aek Nauli 27.00

9 40 Tabel 2 lanjutan 2. Martimbang 3. Kristen 4. Toba 5. Karo 6. Simalungun Siantar Barat 1. Sipinggol-pinggol 2. Teladan 3. Dwikora 4. Proklamasi 5. Timbang Galung 6. Simarito 7. Banjar 8. Bantan Siantar Utara 1. Martoba 2. Melayu 3. Baru 4. Sukadame 5. Bane 6. Sigulang-gulang 7. Kahean Siantar Timur 1. Kebun Sayur 2. Tomuan 3. Pahlawan 4. Siopat Suhu 5. Merdeka 6. Pardomuan 7. Asuhan Siantar Martoba 1. Sumber Jaya 2. Nagapita 3. Pondok Sayur 4. Tambun Nabolon 5. Nagapitu 6. Tanjung Pinggir 7. Tanjung Tongah Siantar Sitalasari 1. Bah Kapul 2. Gurilla 3. Setia Negara 4. Bukit Shofa 5. Bah Sorma Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, Pematangsiantar Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Pematangsiantar, 2011.

10 41 Tabel 3 Penerimaan Kota Pematangsiantar Tahun 2010 Menurut Jenis Penerimaan (Rupiah) No Uraian Kelompok dan Jenis Kelompok Realisasi (I) (2) (3) 1. PENDAPATAN ,45 2. Pendapatan Asli Daerah ,66 3. Pajak Daerah ,00 4. Retribusi Daerah ,00 5. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil ,90 Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan 6. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah ,70 7. Dana Perimbangan ,30 8. Bagi Hasil Pajak / Bagi Hasil Bukan Pajak ,00 9. Dana Alokasi Umum , Dana Alokasi Khusus , Lain-lain Pendapatan Yang Sah ,48 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, Pematangsiantar Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Pematangsiantar, 2011.

11 42 Tabel 4 Jumlah Luas Tanah dan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Menurut Kecamatan Tahun 2010 Kecamatan Wajib PBB Luas Tanah ( m2 ) ( 1 ) ( 2 ) ( 3 ) 1. Siantar Marihat Siantar Marimbun Siantar Selatan Siantar Barat Siantar Utara Siantar Timur Siantar Martoba Siantar Sitalasari Pematangsiantar Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, Pematangsiantar Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Pematangsiantar, 2011.

12 43 Tabel 5 Besarnya Nilai Ketetapan, Tunggakan dan Potensi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Menurut Kecamatan Tahun 2010 Kecamatan Pokok ( Rupiah ) Tunggakan ( Rupiah ) Potensi ( 1 ) ( 2 ) ( 3 ) ( 4 ) 1. Siantar Marihat Siantar Marimbun Siantar Selatan Siantar Barat Siantar Utara Siantar Timur Siantar Martoba Siantar Sitalasari Pematangsiantar Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, Pematangsiantar Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Pematangsiantar, 2011.

13 44 Tabel 6 Rencana dan Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Kecamatan Tahun 2010 (Rupiah) Kecamatan Rencana Realisasi % 1. Siantar Marihat ,01 2. Siantar Marimbun Siantar Selatan ,70 4. Siantar Barat ,73 5. Siantar Utara ,76 6. Siantar Timur ,36 7. Siantar Martoba ,82 8. Siantar Sitalasari ,56 Pematangsiantar ,84 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, Pematangsiantar Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Pematangsiantar, Tabel 7 Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Dirinci Menurut Kecamatan Tahun ( Rupiah ) Kecamatan ( 1 ) ( 2 ) ( 3 ) ( 4 ) 1.Siantar Marihat SiantarMarimbun Siantar Selatan Siantar Barat Siantar Utara Siantar Timur Siantar Martoba Siantar Sitalasari Pematangsiantar Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, Pematangsiantar Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Pematangsiantar, 2011.

14 45 Tabel 8 Realisasi Pajak Menurut Jenis Objek Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Kota Pematangsiantar Tahun ( Jutaan Rupiah ) Tahun Pajak Pajak Tak Langsung Langsung Pajak Lainnya Jumlah ( 1 ) ( 2 ) ( 3 ) ( 4 ) ( 5 ) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,41 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, Pematangsiantar Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Pematangsiantar, B. Dasar Hukum Pemungutan BPHTB. Secara historis, pemungutan BPHTB di Indonesia sebenarnya sudah dikenal pada masa pemerintahan kolonial Belanda dahulu. Tidak hanya di Indonesia, usia pajak properti ini di berbagai negara di dunia ternyata sudah sangat tua, meskipun dengan memakai nama dan istilah yang berbedabeda dan dengan memakai sistem pengelolaan yang beragam bentuknya. Di Inggris jenis pajak properti ini sudah dikenal sejak abad ke-12 sedangkan di negara tetangga Malaysia sejak tahun Di Indonesia pungutan pajak properti ini disebut dengan Bea Balik Nama, sebagaimana diatur dalam Ordonansi Bea Balik Nama, Staatsblad 1924 Nomor , hal Heru Supriyanto, Cara Menghitung PBB, BPHTB, Dan Bea Meterai, PT. Indeks, Jakarta,

15 46 Bea balik nama ini dipungut atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Hindia Belanda ( Indonesia ), termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Yang dimaksud dengan harta tetap dalam ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap / barang-barang tidak bergerak dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 Nomor 27. Contoh hak-hak kebendaan atas tanah tersebut antara lain ialah hak eigendom, hak opstal, dan hak erfpacht. 39 Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( UUPA ) pada tanggal 24 September 1960, hak-hak kebendaan yang dimaksud di atas tidak berlaku lagi, karena hak-hak kebendaan produk hukum kolonial telah diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam UUPA, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 UUPA antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan lain-lain. Oleh karena itu terhitung sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960, Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi. 40 Setelah 37 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 29 Mei 1997 oleh pemerintah Republik Indonesia disahkan undang-undang sebagai pengganti aturan Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah yaitu Undang-undang Nomor 39 Harry Hartoyo dan Untung Supardi, Membedah Pengelolaan Administrasi PBB dan BPHTB, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, hal Ibid.

16 47 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (UU BPHTB), namun karena situasi Indonesia saat itu mengalami krisis moneter maka ditunda pemberlakuannya selama 7 bulan lamanya. Undang-undang BPHTB mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari Kemudian Undang-undang Nomor 21 tahun 1997 tentang BPHTB ini telah mengalami perubahan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang BPHTB. Selanjutnya Undang-undang Nomor 21 tahun 1997 yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2000 tentang BPHTB tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi terhitung sejak 1 Januari 2011 oleh Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah ini menggantikan undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah yang lama, yaitu Undang-undang Nomor 18 tahun 1997 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 34 tahun Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara undang-undang pajak daerah yang lama dan undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah yang baru, yaitu antara lain ditetapkannya Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB ) menjadi pajak kabupaten / kota. 41 Ibid.

17 48 Tabel 9 Perbedaan Pengaturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Menurut Undangundang Nomor 18 tahun 1997, Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 dan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Jenis Pajak Daerah Kabupaten/ Kota a. Pajak Hotel dan Restoran b.pajak Hiburan c.pajak Reklame d.pajak Penerangan Jalan e.pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C a.pajak Hotel b.pajak Restoran c.pajak Hiburan d.pajak Reklame e.pajak Jalan f.pajak Bahan Golongan C g.pajak Parkir Penerangan Pengambilan Galian a.pajak Hotel b.pajak Restoran c.pajak Hiburan d.pajak Reklame e.pajak Penerangan Jalan f. Pajak Mineral Logam dan Batuan g.pajak Parkir h.pajak Air Tanah i. Pajak Sarang Burung Walet j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan k.bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Sumber : diolah sendiri oleh penulis dari berbagai sumber Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ditetapkan menjadi pajak daerah kabupaten / kota karena memenuhi kriteria suatu pajak daerah yakni jika ditinjau dari

18 49 aspek lokalitas, hubungan antara pembayar pajak dan yang menikmati manfaat pajak serta praktek yang umum di berbagai negara di dunia. 42 Tabel 10 Kewenangan Pemungutan PBB Dan BPHTB Di Berbagai Negara No Negara Bentuk Negara Kewenangan Pemungutan PBB dan BPHTB 1 Australia Monarki Konstitusional Pemda 2 Canada Federal Pemda 3 India Federal Pemda 4 Belanda Monarki Konstitusional Pemda 5 Amerika Serikat Federal Pemda 6 Jepang Monarki Konstitusional Pemda 7 Singapura Republik Parlementer Pusat 8 China Republik Sosialis Pusat 9 Korea Selatan Republik Pemda 10 Philipina Republik Pemda 11 Malaysia Monarki Konstitusional Pemda 12 Hungaria Republik Pemda Sumber : Modul Sosialisasi Pelaksanaan Pengalihan PBB-P2 Menjadi Pajak Daerah oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan. 42 Marwanto Harjowiryono, Modul Sosialisasi Pelaksanaan Pengalihan PBB P 2 Menjadi Pajak Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Jakarta, 2012, hal. 5.

19 50 Untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut pemerintah pusat telah menerbitkan sejumlah peraturan terkait BPHTB dan PBB 2 yaitu : 1. Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 186/PMK.07/2010 dan Nomor 53 Tahun 2010, tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan sebagai Pajak Daerah. 2. Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010, tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah. 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2010 tentang Badan atau Perwakilan Lembaga Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Atas Hak Tanah Dan Bangunan. 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 148/PMK.07/2010 tentang Badan atau Perwakilan Lembaga Internasional Yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. 5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah.

20 51 6. Surat Menteri Keuangan Nomor: S 495/MK.07/2010 tanggal 29 September 2010 perihal Pedoman Penyusunan Perda dan Sistem Prosedur Pemungutan BPHTB. 7. Surat Menteri Keuangan Nomor: S 632/MK.07/2010 tanggal 30 November 2010 perihal Percepatan Penyusunan Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. 8. Surat Menteri Keuangan Nomor: S 690/MK.07/2010 tanggal 27 Desember 2010 perihal Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Menurut Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, pemungutan BPHTB yang semula adalah pajak pemerintah pusat diubah menjadi pajak pemerintah daerah kota atau kabupaten dan sehubungan dengan itu untuk selanjutnya ketentuan mengenai pemungutan BPHTB ini diatur dalam peraturan daerah kota atau kabupaten masing-masing. Di Kota Pematangsiantar pemungutan BPHTB diatur dalam Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah yang berlaku sejak tanggal 22 Maret 2011 dan sebagai peraturan organiknya diatur dalam Peraturan Walikota Pematangsiantar Nomor 2 tahun 2011 tentang Sistem Dan Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Kota Pematangsiantar yang mulai berlaku tanggal 23 Maret 2011.

21 52 Tabel 11 Perbandingan Pengaturan BPHTB menurut Undang-undang Nomor 21 tahun 1997, Undang-undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (UUBPHTB) dan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) UU BPHTB UU PDRD 1. BPHTB ditetapkan sebagai pajak pusat 2. Hasil BPHTB dibagi : 20 % pusat 16 % provinsi 64 % pemko / pemkab 3. Dasar pengaturan : undang-undang 4. Subjek BPHTB : orang / badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan 5. Objek BPHTB : perolehan hak atas tanah dan bangunan 6. Tarif BPHTB : sebesar 5 % 7. NPOP TKP : a. maksimal rp. 300 juta untuk waris dan hibah wasiat b. maksimal rp. 60 juta untuk selain waris dan hibah wasiat 1. BPHTB ditetapkan sebagai pajak daerah 2. Hasil BPHTB 100 % untuk : PAD pemko / pemkab 3. Dasar pengaturan : peraturan daerah 4. Subjek BPHTB : sama 5. Objek BPHTB : sama 6. Tarif BPHTB : maksimal 5 % 7. NPOP TKP : a. minimal rp. 300 juta untuk waris dan hibah wasiat b. minimal rp. 60 juta untuk selain waris dan hibah wasiat. 8. Cara Perhitungan : 5 % x (NPOP NPOPTKP ) Sumber : diolah sendiri oleh penulis dari berbagai sumber 8. Cara Perhitungan : 5 % (maksimal) x (npop npoptkp)

22 53 C. Kewenangan Pemerintah Kota Pematangsiantar Dalam Pemungutan BPHTB Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Pada uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah membawa perubahan besar dalam pemungutan BPHTB di Indonesia, karena Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merubah status pemungutan BPHTB yang semula merupakan kewenangan pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten / kota. Perubahan status pemungutan BPHTB dari kewenangan pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah daerah kota / kabupaten berdasarkan Pasal 180 angka 6 Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari Konsekuensi logis dalam pelaksanaan amanat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut adalah bahwa setiap pemerintah kota / kabupaten di Indonesia termasuk Pemerintah Kota Pematangsiantar yang ingin memungut BPHTB sebagai sumber penerimaan daerahnya diharuskan untuk terlebih dahulu menetapkan peraturan daerah ( Perda ) tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi dasar hukum pemungutan BPHTB. Dalam konteks pajak daerah dan retribusi daerah, setidaknya terdapat 3 undang-undang yang menjadi dasar kewenangan pemerintah kota / kabupaten termasuk Pemerintah Kota Pematangsiantar untuk melakukan pungutan pajak daerah

23 54 dan retribusi daerah. Selain Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga terdapat pada Undang-undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menggantikan undang-undang yang lama yaitu Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah provinsi / kota / kabupaten untuk melakukan pungutan pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah. Amanah tersebut dijalankan berdasarkan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah, dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang ini ditetapkan DPR pada tahun 2009, sebagai pengganti undang-undang lama yaitu Undang-undang Nomor 18 tahun 1997 sebagaimana telah diubah berdasarkan Undang-undang Nomor 34 tahun Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memperluas basis pajak dan jenis retribusi yang menjadi kewenangan daerah. Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan jenis pajak provinsi terdiri atas :

24 55 a. Pajak Kendaraan Bermotor. b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. d. Pajak Air Permukaan dan e. Pajak Rokok. Sementara itu jenis pajak kabupaten / kota terdiri atas : a. Pajak Hotel. b. Pajak Restoran. c. Pajak Hiburan. d. Pajak Reklame. e. Pajak Penerangan Jalan. f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan. g. Pajak Parkir. h. Pajak Air Tanah. i. Pajak Sarang Burung Walet. j. Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ) Perdesaan dan Perkotaan dan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB ). Baik Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah maupun Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan bahwa kewenangan

25 56 pemerintah daerah kota / kabupaten dalam melakukan pungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus dijalankan dengan peraturan daerah ( Perda ). Perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah merupakan produk legislasi dari pemerintahan daerah yang pembentukan dan muatan materinya tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan di atasnya. Perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah adalah aturan hukum yang dikeluarkan organ-organ desentralisasi teritorial sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluarannya. Daerah provinsi, kota dan kabupaten memiliki wewenang otonom untuk membuat aturan guna kepentingan rumah tangga provinsi, kota dan kabupaten. Wewenang ini dicantumkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan perwujudan pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi daerah sendiri diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat serta peningkatan daya saing daerah. Upaya tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia mendorong peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan lebih

26 57 memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Pasal 21 huruf e Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Kewenangan melakukan pungutan pajak daerah dan retribusi daerah pelaksanaannya dilakukan berdasarkan peraturan daerah. Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah. Pemerintah daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan undang-undang. Hal ini berarti bahwa pungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus sesuai dengan ketentuan undang-undang. Peraturan daerah merupakan pelaksanaan dari undang-undang. Pemerintah daerah tidak diperkenankan melakukan pungutan pajak daerah dan retribusi daerah atau pungutan lain selain yang ditentukan undang-undang.

BAB I KONDISI GEOGRAFIS DAN KEADAAN IKLIM KondisiGeografis

BAB I KONDISI GEOGRAFIS DAN KEADAAN IKLIM KondisiGeografis BAB I KONDISI GEOGRAFIS DAN KEADAAN IKLIM 1.1. KondisiGeografis Secara umum, kondisi geografis suatu wilayah adalah keadaan muka b suatu wilayah dilihat dari beberapa aspek, antara lain: letak, cuaca,

Lebih terperinci

BAB II Gambaran Umum Kotamadya Tingkat II Pematangsiantar

BAB II Gambaran Umum Kotamadya Tingkat II Pematangsiantar BAB II Gambaran Umum Kotamadya Tingkat II Pematangsiantar 2.1 Letak Geografis Dilihat dari letak geografisnya Pematangsiantar sebagai Kotamadya tingkat II terletak di 3.01-2.54, 40 Lintang Utara dan 99.06,

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Mengenal Kotamadya Pematangsiantar 2.1.1. Sejarah Kota Pematangsiantar Kota Pematangsiantar yang kini menjadi daerah asal yang ditakuti di Indonesia ini, ternyata

Lebih terperinci

BAB II LETAK DAN LOKASI PENELITIAN. dan kota terbesar kedua di provinsi tersebut setelah Medan. Karena letak

BAB II LETAK DAN LOKASI PENELITIAN. dan kota terbesar kedua di provinsi tersebut setelah Medan. Karena letak BAB II LETAK DAN LOKASI PENELITIAN 2.1 Kota Pematang Kota Pematang adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara, dan kota terbesar kedua di provinsi tersebut setelah Medan. Karena letak Pematang yang

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA PEMATANG SIANTAR. karena dikeliling oleh kabupaten Simalungun yang merupakan salah satu

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA PEMATANG SIANTAR. karena dikeliling oleh kabupaten Simalungun yang merupakan salah satu BAB II GAMBARAN UMUM KOTA PEMATANG SIANTAR 2.1 Kondisi Umum Kota Pematang Siantar Kota Pematang Siantar merupakan Kotamadya Tingkat II dan juga sebagai kota terbesar kedua di provinsi Sumatera Utara. kota

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 1981 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN BINJAI UTARA, KECAMATAN BINJAI KOTA DAN KECAMATAN BINJAI SELATAN DI KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II BINJAI, KECAMATAN SIANTAR TIMUR, KECAMATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1986

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1986 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1986 TENTANG PERUBAHAN BATAS WILAYAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II PEMATANG SIANTAR DAN KABUPATEN DAERAH TINGKAT II SIMALUNGUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II PROFIL KOTA PEMATANGSIANTAR, SUMATERA UTARA

BAB II PROFIL KOTA PEMATANGSIANTAR, SUMATERA UTARA BAB II PROFIL KOTA PEMATANGSIANTAR, SUMATERA UTARA 2.1 Kondisi Geografis Kota Pematangsiantar Kota Pematangsiantar merupakan wilayah yang berada di tengah-tengah Kabupaten Simalungun, yakni pada ketinggian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 35 TAHUN 1981 (35/1981)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 35 TAHUN 1981 (35/1981) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 35 TAHUN 1981 (35/1981) TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN BINJAI UTARA, KECAMATAN BINJAI KOTA DAN KECAMATAN BINJAI SELATAN DI KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II

Lebih terperinci

BAB III KEPENDUDUKAN, KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Rasio Jenis Kelam

BAB III KEPENDUDUKAN, KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Rasio Jenis Kelam BAB III KEPENDUDUKAN, KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN 3.1. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Rasio Jenis Kelam Menurut konsep demografi, penduduk adalah setiap orang, baik negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENGALIHAN PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN MENJADI PAJAK DAERAH

PENGALIHAN PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN MENJADI PAJAK DAERAH PENGALIHAN PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN MENJADI PAJAK DAERAH I. PENDAHULUAN Meningkatnya kegiatan pembangunan di segala bidang, menyebabkan peningkatan pula kebutuhan akan

Lebih terperinci

PROFIL KOTA PEMATANGSIANTAR

PROFIL KOTA PEMATANGSIANTAR PROFIL KOTA PEMATANGSIANTAR Kota Pematangsiantar merupakan wiliyah Kota yang berada tepat di tengah-tengah Kabupaten Simalungun LETAK GEOGRAFIS Kota Pematangsiantar terletak pada garis 2 53 20-3 01 00

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Dalam undang-undang ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional, Indonesia menganut pada asas desentralisasi dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR TAHUN

PERATURAN DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR TAHUN ===================================================== LEMBARAN DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR TAHUN 2012 NOMOR 4 ================================================================== PERATURAN DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan keleluasaan pada

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan keleluasaan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan keleluasaan pada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru dengan dikeluarkannya Undangundang No.22 tahun 1999 dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,

Lebih terperinci

JADWAL PELAKSANAAN REMBUG WARGA, MUSRENBANG KELURAHAN, KECAMATAN DAN KOTA SERTA TAHAPAN PENETAPAN RKPD 2019 KOTA PEMATANGSIANTAR TAHUN 2018

JADWAL PELAKSANAAN REMBUG WARGA, MUSRENBANG KELURAHAN, KECAMATAN DAN KOTA SERTA TAHAPAN PENETAPAN RKPD 2019 KOTA PEMATANGSIANTAR TAHUN 2018 JADWAL PELAKSANAAN REMBUG WARGA, MUSRENBANG KELURAHAN, KECAMATAN DAN KOTA SERTA TAHAPAN PENETAPAN RKPD 2019 KOTA PEMATANGSIANTAR TAHUN 2018 No Kecamatan/Kelurahan Hari/Tanggal/Pukul Tempat Penanggung Jawab/

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era reformasi saat ini, Pemerintah Indonesia telah mengubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi yang berarti pemerintah daerah dapat mengurus keuangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam penerimaan negara non migas. Berdasarkan sudut pandang fiskal, pajak adalah penerimaan negara yang digunakan

Lebih terperinci

PBB DAN BPHTB. Pertemuan 1 Sejarah PBB

PBB DAN BPHTB. Pertemuan 1 Sejarah PBB PBB DAN BPHTB Pertemuan 1 Sejarah PBB PBB ADA DISELURUH DUNIA MEMPUNYAI DAMPAK FISKAL DAN NON-FISKAL 1. BERAPA UANG YANG DIHASILKAN DARI PBB 2. DASAR PENGENAAN PAJAK DAN SIAPA YANG MENENTUKAN 3. BERAPA

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 14 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 14 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 14 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH TAHUN ANGGARAN 2017 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian, proses penelitian dan sistematika penulisan.

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian, proses penelitian dan sistematika penulisan. BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, kontribusi penelitian, batasan penelitian, proses penelitian

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 91 TAHUN 2010 TENTANG JENIS PAJAK DAERAH YANG DIPUNGUT BERDASARKAN PENETAPAN KEPALA DAERAH ATAU DIBAYAR SENDIRI OLEH WAJIB PAJAK DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan suatu fenomena yang menarik dalam kehidupan masyarakat dan negara. Saati ini pajak bukan lagi merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara, dimana kawasan daerahnya terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2010 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. Pajak Daerah. Penetapan. Dibayar Sendiri. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5179) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dimana

BAB I PENDAHULUAN. daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberian kewenangan otonomi daerah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dimana pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah yang mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 2001 memberi kebebasan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, menetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I EKONOMI. Pajak Daerah. Pemungutan. Tata Cara. Ketentuan. Pencabutan (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 244). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB X DATA MAKRO DOKUMEN PERENCANAAN Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar Tahun

BAB X DATA MAKRO DOKUMEN PERENCANAAN Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar Tahun BAB X DATA MAKRO DOKUMEN PERENCANAAN 10.1. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar Tahun 2012-2032 Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar Nomor 1 Tah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan dalam pembangunan nasional sangat didukung oleh pembiayaan yang berasal dari masyarakat, yaitu penerimaan pajak. Segala bentuk fasilitas umum seperti

Lebih terperinci

SEKILAS PAJAK DAERAH DI INDONESIA

SEKILAS PAJAK DAERAH DI INDONESIA BAB 1 SEKILAS PAJAK DAERAH DI INDONESIA PENDAHULUAN Apabila dilihat dari lembaga yang berwenang memungutnya, pemungutan pajak di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Negara (pajak pusat) dan Pajak Daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan daerahnya sendiri, membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan daerahnya sendiri, membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dijalankannya otonomi daerah merupakan salah satu bentuk dari desentralisasi pemerintahan. Otonomi daerah merupakan hak yang diperoleh dari pemerintah pusat, dan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan potensi dan kepentingan daerah itu sendiri. yang sesuai denganperaturan perundang-undangan. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. dengan potensi dan kepentingan daerah itu sendiri. yang sesuai denganperaturan perundang-undangan. Oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengurus rumah tangga daerah serta pengelolaan sumber daya yang dimiliki dengan potensi

Lebih terperinci

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang PERUBAHAN UNDANG-UNDANG BPHTB

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang PERUBAHAN UNDANG-UNDANG BPHTB Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang PERUBAHAN UNDANG-UNDANG BPHTB dan berubah menjadi Pajak Daerah Berdasarkan UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah LOGO BEA PEROLEHAN HAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik Indonesia disamping sektor migas dan ekspor barang-barang non migas. Sebagai salah satu sumber penerimaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia senantiasa melakukan pembangunan nasional untuk mensejahterakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia senantiasa melakukan pembangunan nasional untuk mensejahterakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara di dunia baik yang sudah maju maupun berkembang pasti menginginkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Salah satu untuk meningkatkan kesejahteraan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional merupakan pembangunan yang dapat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, oleh karena itu hasil pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, penyelenggaraan pemerintah daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan sedikit campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS BAB II LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Gaya Pikul Menurut Siti Resmi (2011) yang dimaksud dengan Teori gaya pikul adalah, menyatakan bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG Menimbang : Mengingat PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 03 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor P3 dan Bea Meterai.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor P3 dan Bea Meterai. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia salah satu penerimaan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan pembangunan nasional serta bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi maupun

BAB I PENDAHULUAN. ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemandirian pembangunan diperlukan baik tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian sangat memerlukan tanah pertanian. Dalam perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian sangat memerlukan tanah pertanian. Dalam perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh umat manusia yang memberikan tempat tinggal, tempat bertahan hidup dengan cara mengusahakannya. Sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. didalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak daerah merupakan sumber pendapatan yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk mendukung pelaksanaan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kesatuan, Indonesia mempunyai fungsi dalam membangun masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sensus penduduk yang dilakukan pada 1 Mei 15 Juni 2010 tercatat paling

BAB I PENDAHULUAN. pada sensus penduduk yang dilakukan pada 1 Mei 15 Juni 2010 tercatat paling BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah Negara yang sedang berkembang dengan jumlah penduduk yang pada sensus penduduk yang dilakukan pada 1 Mei 15 Juni 2010 tercatat paling tidak terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam upaya pelaksanaan pembangunan nasional, hal yang paling penting adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan pengeluaran pemerintah

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS DAN KONTRIBUSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB P2) TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KABUPATEN JEMBER

ANALISIS EFEKTIVITAS DAN KONTRIBUSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB P2) TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KABUPATEN JEMBER Jurnal STIE SEMARANG VOL 9 No. 1 Edisi Februari 2017 ( ISSN : 2085-5656) ANALISIS EFEKTIVITAS DAN KONTRIBUSI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB P2) TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI BREBES NOMOR 001 TAHUN 2018 TENTANG TENTANG TATA CARA PEMBERIAN INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DI KABUPATEN BREBES

PERATURAN BUPATI BREBES NOMOR 001 TAHUN 2018 TENTANG TENTANG TATA CARA PEMBERIAN INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DI KABUPATEN BREBES PERATURAN BUPATI BREBES NOMOR 001 TAHUN 2018 TENTANG TENTANG TATA CARA PEMBERIAN INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DI KABUPATEN BREBES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya dari tahun ke tahun sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya dari tahun ke tahun sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung adalah salah satu kota dan provinsi Jawa Barat yang pemerintah daerahnya senantiasa berupaya meningkatkan pendapatan dan pembangunan daerahnya dari tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua itu kita pahami sebagai komitmen kebijakan Pemerintah Daerah kepada. efisien dengan memanfaatkan sumber anggaran yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. semua itu kita pahami sebagai komitmen kebijakan Pemerintah Daerah kepada. efisien dengan memanfaatkan sumber anggaran yang ada. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan Kota Malang dalam segi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat merupakan hal besar yang harus mendapatkan perhatianserius dari Pemerintah Kota Malang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Efektivitas 1. Pengertian Efektivitas Hidayat (1986) menjelaskan bahwa: Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 100 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PEMBERIAN BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH KEPADA INSTANSI PEMUNGUT DAN INSTANSI/PENUNJANG LAINNYA DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Mardiasmo (2006:1) definisi pajak dalam buku perpajakan edisi revisi, pajak adalah : Iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN ALOKASI BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH MENTERI DALAM NEGERI

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN ALOKASI BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH MENTERI DALAM NEGERI KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN ALOKASI BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH MENTERI DALAM NEGERI Menimbang: Bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 76 ayat (2) Peraturan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MADYA PEMATANG SIANTAR

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MADYA PEMATANG SIANTAR BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MADYA PEMATANG SIANTAR 2.1. Letak Geografis. Wilayah Kota Madya Pematang Siantar terletak di tangah-tengah Kabupaten Simalungun dengan keadaan topografi berbukit-bukit rendah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. penyelenggaraan pemerintah daerah. Berlakunya Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. penyelenggaraan pemerintah daerah. Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menerapkan peraturan mengenai pemerintah daerah yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan pemerintah daerah. Berlakunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan perekonomiannya, Indonesia harus meningkatkan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan perekonomiannya, Indonesia harus meningkatkan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah salah satu negara berkembang di Asia yang berusaha mempertahankan perekonomian dari goncangan krisis global. Dalam rangka mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, memiliki tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN ALOKASI BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH MENTERI DALAM NEGERI,

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN ALOKASI BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH MENTERI DALAM NEGERI, KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN ALOKASI BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 76 ayat (2) Peraturan

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH

PROVINSI JAWA TENGAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2015 Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu bagian dari pendapatan yang diterima oleh negara. Di

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu bagian dari pendapatan yang diterima oleh negara. Di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan salah satu bagian dari pendapatan yang diterima oleh negara. Di Indonesia, 70% pendapatan yang diterima negara berasal dari pajak. Dari pendapatan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PAJAK DAERAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PAJAK DAERAH PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PAJAK DAERAH I. UMUM Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, sebagaimana tercermin dalam Pasal 18 ayat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Akhir pemerintahan orde baru merupakan langkah awal bagi Bangsa Indonesia untuk berpindah kebijakan yang semula kebijakan sentralisasi menjadi kebijakan desentralisasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

Keterangan Pers POKOK-POKOK PENGATURAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Keterangan Pers POKOK-POKOK PENGATURAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH Keterangan Pers POKOK-POKOK PENGATURAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH Pada hari ini tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 03/PMK.07/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 03/PMK.07/2007 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 03/PMK.07/2007 TENTANG PENETAPAN PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan baik melalui administrator pemerintah. Setelah

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan baik melalui administrator pemerintah. Setelah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah daerah berusaha mengembangkan dan meningkatkan, perannya dalam bidang ekonomi dan keuangan. Dalam rangka meningkatkan daya guna penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari luar negeri dapat berupa pinjaman dari negara lain.

BAB I PENDAHULUAN. dari luar negeri dapat berupa pinjaman dari negara lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara hukum yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi rakyatnya sehingga terbentuk suatu masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.12

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan sesedikit mungkin campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak

Lebih terperinci

RGS Mitra 1 of 15 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RGS Mitra 1 of 15 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RGS Mitra 1 of 15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 05/PMK.07/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 05/PMK.07/2007 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 05/PMK.07/2007 TENTANG PENETAPAN PERKIRAAN ALOKASI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN BAGIAN PEMERINTAH PUSAT YANG DIBAGIKAN KEPADA SELURUH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yaitu PAD. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD, adalah

BAB I PENDAHULUAN. daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yaitu PAD. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD, adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendapatan daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah. Sumber pendapatan daerah menurut Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 2.1 Sejarah Kecamatan Siantar Selatan Sebagai tindak lanjut dari pasal 8 UU No. 5 tahun 1974, lahirlah UU No. 5 tahun 1979 yang mengatur Pemerintahan Desa/Kelurahan dimana

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG BAGI HASIL PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH UNTUK DESA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG BAGI HASIL PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH UNTUK DESA SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG BAGI HASIL PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH UNTUK DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini, kita tidak bisa bebas dari yang namanya pajak. Bahkan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini, kita tidak bisa bebas dari yang namanya pajak. Bahkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa kini, kita tidak bisa bebas dari yang namanya pajak. Bahkan barang dan jasa yang kita konsumsi sehari-haripun dikenai pajak. Hal tersebut dikarenakan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah menerapkan suatu gerakan pembangunan yang dikenal dengan istilah Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Dengan adanya pajak sebagai sumber PAD, daerah dapat membiayai. pembangunan secara optimal. Dalam Undang-undang RI Nomor 28 Tahun

Dengan adanya pajak sebagai sumber PAD, daerah dapat membiayai. pembangunan secara optimal. Dalam Undang-undang RI Nomor 28 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD). Dengan adanya pajak sebagai sumber PAD, daerah dapat membiayai pembangunan secara optimal. Dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana. mandiri menghidupi dan menyediakan dana guna membiayai kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana. mandiri menghidupi dan menyediakan dana guna membiayai kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 diperlukan ketersediaan dana yang besar. Pemerintah sebagai pengatur

Lebih terperinci

BUPATI KARANGASEM PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KARANGASEM PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG 1 BUPATI KARANGASEM PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan BAB I PENDAHULUAN 1.7 Latar Belakang Sistem otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diterapkan Indonesia sejak tahun 2004 mengharuskan pemerintah untuk menyerahkan beberapa urusan untuk diselesaikan

Lebih terperinci

TENTANG. dilakukan. Nomor 21. diubah. Tanah dan. Tahun. Nomor...

TENTANG. dilakukan. Nomor 21. diubah. Tanah dan. Tahun. Nomor... UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menempatkan pajak dalam kehidupannya, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

BAB I PENDAHULUAN. menempatkan pajak dalam kehidupannya, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu cara dalam meningkatkan pembangunan nasional di Indonesia adalah dengan cara gotong royong nasional serta adanya kewajiban setiap warga Negara dalam menempatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umum adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau

BAB I PENDAHULUAN. umum adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 04 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 04 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 04 TAHUN 2014 TENTANG BAGI HASIL PENERIMAAN PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR UNTUK PEMERINTAH PROVINSI DAN PEMERINTAH KABUPATEN / KOTA PERIODE BULAN OKTOBER

Lebih terperinci

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.59, 2008 OTONOMI. Pemerintah. Pemilihan. Kepala Daerah. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci