MANAJEMEN OBAT DI RUMAH SAKIT. Disusun oleh: Dr. Satibi, M.Si., Apt

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MANAJEMEN OBAT DI RUMAH SAKIT. Disusun oleh: Dr. Satibi, M.Si., Apt"

Transkripsi

1 MANAJEMEN OBAT DI RUMAH SAKIT Disusun oleh: Dr. Satibi, M.Si., Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

2 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan pada Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan buku yang berjudul Manajemen Obat di Rumah Sakit sebagai salah satu upaya memberikan kontribusi bagi masyarakat khususnya rumah sakit dalam mendukung manajemen obatnya. Dalam penulisan buku ini penulis mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Rektor Universitas Gadjah Mada, yang memberikan insentif dana dalam penulisan naskah buku ini 2. Prof. Dr. Subagus Wahyuono., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada yang memberikan kesempatan untuk menulis buku ini 3. Prof. Dr. Achmad Fudoli, DEA., Apt. Selaku pendamping penulisan buku ini, sehingga atas kesabaran dan ketelatenannya memberikan saran, masukan dan rekomendasi untuk pembuatan buku ini. 4. Semua pihak dan teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, semoga kebaikan kalian dibalas oleh-nya. Penulis menyadari karya ini masih jauh sempurna, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan dalam penyusunan karya selanjutnya. Akhirnya, penulis berharap semoga karya ini berguna bagi penelitian selanjutnya dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan. Yogyakarta, Oktober 2014 Penulis Dr. Satibi, M.Si., Apt 2

3 DAFTAR ISI Halaman Judul... i Kata Pengantar... ii Daftar Isi... iii BAB I. RUMAH SAKIT DAN FARMASI RUMAH SAKIT... 1 Klasifikasi Rumah sakit... 2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit... 4 Visi dan Misi Rumah sakit... 5 Farmasi Rumah Sakit... 6 Standar Pelayanan minimal IFRS BAB II. PENDAHULUAN MANAJEMEN OBAT BAB III. SELEKSI OBAT A. Seleksi Obat Sistem Formularium Panitia Farmasi dan Terapi Standar Terapi BAB IV. PENGADAAN OBAT DI RUMAH SAKIT A. Perencanaan Obat B. Pengadaan Obat di Rumah Sakit C. Metode Pengadaan Obat D. Persiapan Pengadaan BAB V. PENGENDALIAN PERSEDIAAN OBAT DI RUMAH SAKIT A. Manfaat Dari Proses Pengendalian Obat B. Masalah Pengendalian Persediaan

4 C. Model-Model Pengendalian Persediaan Contoh Kasus Pengadaan Persediaan obat di Rumah Sakit Contoh Kasus Pengendalian Persediaan di Rumah Sakit BAB VI. SISITEM PENYIMPANAN DAN DISTRIBUSI OBAT A. Sistem Penyimpanan Obat Standar Penyimpanan Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan di dalam Penyimpanan Obat Sarana Prasarana Penyimpanan Cara Penenmpatan Persediaan Dalam Gudang Dasar Pemilihan Sistem Penyimpanan Pengaturan Tata Ruang dan Penyusunan Inventory B. Sistem Distribusi Obat Sistem distribusi obat resep individual sentralisasi Sistem Obat Persediaan lengkap di Ruang (Floor Stock) Sistem Distribusi Obat Kombinasi Resep Individu dan Persediaan di Ruang Sistem Distribusi Obat Dosis Unit (UDDS) Sistem Farmasi Satu Pintu BAB VII. PENGGUNAAN OBAT Dampak Negatif Penggunaan Obat yang Tidak Rasional Ciri Pemakaian Obat yang Tidak Rasional Indikator Penggunaan Obat Keselamatan Pasien Pengertian patient safety Tujuan Patient Safety Manajemen Patient Safety BAB VIII. INDIKATOR PENGELOLAAN OBAT Indikator Pengelolaan Obat Menurut DepKes Indikator Pengelolaan Obat Menurut WHO

5 BAB IX. MANAJEMEN SUPPORT DALAM MANAJEMEN OBAT A. Human Capital 186 B. Information Capital 188 C. Organizational Capital D. Manajemen Keuangan DAFTAR PUSTAKA DAFTAR SINGKATAN

6 BAB I RUMAH SAKIT DAN FARMASI RUMAH SAKIT Kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit menurut Robert Maxwell dari WHO Hospital Advisor Group (1994) memiliki 6 dimensi, yaitu: equity, appropriateness, accesibility, acceptability, efficiency dan effectiveness, dengan penekanan pada tiga dimensi terakhir. Acceptability artinya bahwa suatu pelayanan harus berorientasi kepada pasien. Efficiency artinya bahwa rumah sakit melakukan segala sesuatu dengan benar (doing things right), menggunakan sumber daya dengan seksama dan dengan standar profesi yang jelas. Effectiveness artinya bahwa rumah sakit dalam melakukan segala sesuatunya benar (doing right things). Maxwell juga menambahkan bahwa kualitas merupakan keluaran dari suatu teknis, kualitas hubungan interpersonal antara staf rumah sakit dengan pelanggan dan kondisi lingkungan dimana pelayanan itu diberikan (Maxwell, 1994). Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan promotif, pencegahan penyakit preventif, penyembuhan penyakit kuratif, dan pemulihan kesehatan rehabilitatif, yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya kesehatan ini menjadi pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas kesehatan di Indonesia termasuk rumah sakit. Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Rumah Sakit harus tetap mampu meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dengan menyelenggarakan pelayanan kesehatan 6

7 perorangan secara paripurna, menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat, melakukan upaya kesehatan yang dilaksanakan secara serasi, terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan dengan tujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat (Depkes RI, 2009). Rumah sakit diselenggarakan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika, profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak, anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Hal ini bertujuan untuk mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit, sumber daya manusia di rumah sakit, meningkatkan mutu, mempertahankan standar pelayanan rumah sakit, memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan rumah sakit (Depkes RI, 2009). Rumah sakit yang merupakan salah satu dari sarana kesehatan, merupakan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien (DeKes RI, 2004). Pelayanan kesehatan yang diselengarakan rumah sakit meliputi: pelayanan medis, pelayanan penunjang medis, pelayanan rehabilitasi dan peningkatan kesehatan, pendidikan dan pelatihan serta pengembangan bidang kesehatan. Menurut SK Menkes RI No.983/Menkes/SK/XI/1992 tentang pedoman organisasi rumah sakit umum, rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan bersifat dasar, spesialistik dan subspesialistik, memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan (Aditama, 2010). Klasifikasi Rumah Sakit 7 10

8 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya. a. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan menjadi rumah sakit umum dan rumah sakit khusus, sebagai berikut : 1) Rumah Sakit Umum yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. 2) Rumah Sakit Khusus yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. b. Berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dibagi menjadi rumah sakit publik dan rumah sakit privat, sebagai berikut : 1) Rumah Sakit Publik yaitu rumah sakit yang dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelola badan layanan umum (BLU) atau badan layanan umum daerah (BLUD) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, contoh : Rumah Sakit Departemen Kesehatan, Rumah Sakit Pemerintah Daerah Provinsi, Rumah Sakit Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Rumah Sakit TNI, Rumah Sakit Polri, dan Rumah Sakit Pertamina. 2) Rumah Sakit Privat yaitu rumah sakit yang dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero, contoh : Rumah Sakit Yayasan, Rumah Sakit Perusahaan. Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit. a. Klasifikasi Rumah Sakit Umum terdiri atas : 8

9 1) Rumah Sakit Umum kelas A, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 5 spesialis penunjang medik, 12 spesialis lain, dan 13 subspesialis dasar. 2) Rumah Sakit Umum kelas B, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 4 spesialis penunjang medik, 8 spesialis lain, dan 2 subspesialis dasar. 3) Rumah Sakit Umum kelas C, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, dan 4 spesialis penunjang medik. 4) Rumah Sakit Umum kelas D, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 spesialis dasar. b. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus terdiri atas : 1) Rumah Sakit Khusus kelas A, mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap. 2) Rumah Sakit Khusus kelas B, mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas. 3) Rumah Sakit Khusus kelas C, mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan subspesialis sesuai kekhususan yang minimal. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Berdasarkan SK Menkes RI No.1197/MENKES/SK/X/2004 tentang standar pelayanan farmasi di rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan tugas tersebut, rumah sakit mempunyai fungsi : a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. 9

10 b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis. c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan. Visi dan Misi Rumah Sakit Untuk berhasil dalam pelayanan secara menyeluruh, maka pimpinan rumah sakit perlu melakukan perencanaan strategi dengan mengembangkan visi, misi, menetapkan tujuan, pengembangan program, penetapan prioritas, rencana tindakan terpadu, dan penerapan. Visi rumah sakit merupakan kekuatan memandu rumah sakit. Suatu inspirasi yang cukup jelas, sangat kuat menimbulkan dan mendukung tindakan yang perlu untuk mencapai status masa depan. Visi merupakan pernyataan tetap (permanen) untuk mengkomunikasikan sifat dari keberadaan rumah sakit, berkenaan dengan maksud, lingkup usaha/kegiatan, kepemimpinan kompetitif, memberikan kerangka kerja yang mengatur hubungan antara rumah sakit dan stakeholders utamanya, dan menyatakan tujuan luas dari unjuk kerja rumah sakit. Fokus visi adalah eksternal untuk stakeholders (Siregar dan Amalia, 2004). Misi rumah sakit merupakan suatu pernyataan singkat dan jelas tentang alasan keberadaan rumah sakit, maksud, fungsi yang diinginkan untuk memenuhi harapan dan kepuasan konsumen. Misi sebagai metode utama untuk mencapai maksud tersebut, memformulasi berbagai jenis kegiatan tertentu dari semua upaya yang dilakukan rumah sakit dan strategi yang digunakan dalam beroperasi, menetapkan cara sumber dialokasikan oleh rumah sakit dan pola umum pertumbuhan serta arah masa depan. Fokus misi harus internal rumah sakit (Siregar dan Amalia, 2004). 10

11 Farmasi Rumah Sakit Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit. Disebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi pada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Tuntutan masyarakat dan pasien akan mutu pelayanan farmasi, mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari drug oriented ke patient oriented dengan filosofi Pharmaceutical Care. Praktik Pelayanan Kefarmasian merupakan hal yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan (DepKes RI, 2004). Pharmaceutical care berkembang sebagai kelanjutan dari sejarah perkembangan obat yang mengakibatkan makin banyaknya drug adverse reaction. Terlihat dari catatan sejarah bahwa di USA, tahun 1971, kematian dan 1 juta dirawat di rumah sakit karena adanya drug adverse reaction dari obat yang diresepkan. Pada tahun 1987 FDA mencatat kematian dan dirawat di rumah sakit yang berkaitan dengan drug adverse reaction dari obat yang diresepkan. Morse mengestimasikan bahwa di USA biaya penyakit yang berkaitan dengan obat diresepkan adalah $ 7 bilion setiap tahun (Strand dkk, 1998). Dilaporkan juga oleh McDonnell (2006) bahwa kejadian medication error di rumah sakit % akibat dari adverse drug event (ADE), dan setiap kejadian ADE biayanya mencapai dollar amerika tiap pasien di rumah sakit. Dari kejadian tersebut sebenarnya dapat dicegah %. Mengacu pada SK Menkes Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk 11

12 pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Farmasi rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di rumah sakit tersebut. Hal ini mendorong pelayanan farmasi satu pintu harus ditegakkan dalam sistem pelayanan farmasi rumah sakit (sesuai dengan undangundang rumah sakit no 44 tahun 2009, pasal 15 ayat 3). Adapun tujuan pelayanan farmasi adalah (DepKes RI, 2004) sebagai berikut: a Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa maupun keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang tersedia. b Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan etika profesi. c Melaksanakan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai obat, d Menjalankan pengelolan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku, e Mengevaluasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi pelayanan f Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku g Mengadakan penelitian dan pengembangan dibidang farmasi dan peningkatan metode. h Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium rumah sakit. Farmasi Rumah sakit, selain mempunyai tujuan umum pelayanan farmasi, juga mempunyai fungsi. Fungsi Farmasi Rumah Sakit antara lain: (DepKes RI, 2004) A. Pengelolaan perbekalan farmasi 1) Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit 2) Merencanakan kebutuhan farmasi secara optimal 3) Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku 12

13 4) Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit 5) Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku 6) Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian 7) Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di rumah sakit. B. Pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan: (DepKes RI, 2004) 1) Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien 2) Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat kesehatan 3) Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat kesehatan 4) Memantau keefektifan dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan 5) Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga 6) Memberikan konselling kepada pasien/keluarga 7) Melakukan pencampuran obat suntik 8) Melakukan penyiapan nutrisi parenteral 9) Melakukan penanganan obat kanker 10) Melakukan penentuan kadar obat dalam darah 11) Melakukan pencatatan setiap saat 12) Melaporkan setiap kegiatan. Farmasi rumah sakit mempunyai arti penting dalam Rumah Sakit. Dalam Undang-undang Rumah Sakit no. 44 tahun 2009 disebutkan bahwa salah satu persyaratan RS harus memenuhi persyaratan kefarmasian. Di bagian keenam pasal 15 tentang kefarmasian menyebutkan bahwa: (DepKes RI, 2009) 13

14 1) Persyaratan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 1 harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau. 2) Pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti standar pelayanan kefarmasian 3) Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi dan bahan habis pakai di Rumah sakit harus dilakukan oleh instalasi farmasi sistem satu pintu 4) Besaran harga perbekalan farmasi pada instalasi farmasi rumah sakit harus wajar dan berpatokan kepada harga patokan yang ditetapkan pemerintah 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian sebagaiamana dimaksud dalam ayat 2) diatur dengan peraturan menteri. Standar Pelayanan Minimal IFRS Rumah Sakit harus memelihara dan mengembangkan IFRS serta fungsi pelayanannya yang dilakukan sesuai dengan praktik profesional dan etika yang dapat diterima dan semua persyaratan perundang undangan yang berlaku. Fungsi pelayanan kefarmasian di rumah sakit mempunyai berbagai komponen, yang semuanya digolongkan menjadi pelayanan non klinik dan klinik. Dibawah ini diuraikan berbagai standar kegiatan atau pelayanan IFRS. Standar adalah suatu dokumen yang ditetapkan dengan konsensus dan disetujui oleh suatu badan yang diakui, yang berisi peraturan, pedoman atau karakteristik dari kegiatan atau hasil kegiatan, disediakan untuk penggunaan umum dan berulang, ditujukan untuk pencapaian derajat optimal keberaturan dalam suasana tertentu. Jadi, standar minimal kegiatan atau pelayanan IFRS adalah kegiatan minimal yang harus dilakukan IFRS secara terus menerus yang masih memberikan unjuk kerja dan hasil yang baik (Siregar dan Amalia, 2004). 14

15 Standar 1: manajerial dimana IFRS harus dipimpin oleh seorang Apoteker yang secara profesional kompeten dan memenuhi persyaratan hukum. Jabatan pimpinan IFRS harus berada dalam tingkat yang sama dengan jabatan pimpinan Staf Medik Fungsional (SMF) dalam struktur rumah sakit. Standar II : Fasilitas yaitu ruangan, peralatan dan perbekalan harus disediakan untuk fungsi profesional dan administratif IFRS sebagaimana dipersyaratkan. IFRS harus dilengkapi dengan ruangan, alat, bahan, pasokan untuk fungsi profesional dan administratif. Standar III : Distribusi dan Pengendalian Obat yaitu kebijakan dan prosedur terdokumentasi yang berkaitan dengan distribusi obat intra rumah sakit, harus dikembangkan oleh pimpinan IFRS bersama sama Panitia Farmasi dan Terapi (PFT), staf medik, perawat dan dewan perwakilan disiplin lain. IFRS adalah suatu unit atau bagian yang harus bertanggung jawab dalam pengelolaan menyeluruh mulai dari perencanaan, pengadaan (pembelian, manufaktur), pengendalian mutu, penyimpanan dan peracikan, pelayanan resep/order, distribusi sampai dengan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah sakit termasuk pelayanan yang berkaitan dengan obat kepada penderita ambulatori. Kebijakan dan prosedur yang menguasai sebagai fungsi tersebut harus dikembangkan oleh apoteker dengan masukan dari PFT, staf rumah sakit yang terlibat, seperti pimpinan rumah sakit, perawat, dokter dan komite atau panitia lain (Siregar dan Amalia, 2003). Standar IV : Informasi obat yaitu IFRS bertugas dan bertanggung jawab menyediakan/memberikan informasi yang akurat dan komprehensif bagi staf medik, profesional kesehatan lain, dan penderita serta harus membuat IFRS sebagai sentra informasi obat. Standar V : jaminan terapi yang rasional yaitu terkait dengan penggunaan obat secara rasional. Penggunaan obat yang rasional mensyaratkan bahwa penderita memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan klinik, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan individual, untuk periode waktu yang memadai dan harga yang terendah 15

16 bagi mereka dan komunitas mereka. Istilah penggunaan obat yang rasional dalam lingkungan biomedik mencangkup kriteria seperti obat yang benar, indikasi yang tepat, yaitu alasan bahwa penulisannya didasarkan pada pertimbangan medik yang baik (tanpa cacat), obat yang tepat, berkaitan dengan manfaat, keamanan, kesesuaian bagi penderita yang tepat, yaitu tidak ada kontraindikasi dan kemungkinan terjadinya reaksi merugikan adalah minimal. Dispensing yang benar termasuk informasi yang tepat bagi penderita tentang obat yang ditulis dokter, dan kepatuhan penderita pada pengobatannya. Standar VI : Penelitian yaitu praktik kefarmasian didasari oleh berbagai ilmu, seperti fisikokimia, biologi, farmasetik, biomedik dan sosioekonomi. Jadi keberhasilan masa depan dan berkelanjutan serta rasa harga diri profesi tergantung pada dasar pengetahuan yang diperluas dan yang dapat dihasilkan melalui penelitian serta pengembangan ilmiah yang giat dan dinamis agar penelitian ini mempunyai arti dan produktif sesuai dengan kebutuhan IFRS dalam rumah sakit, apoteker rumah sakit harus berpatisipasi aktif. Apoteker rumah sakit harus dapat berfungsi baik dalam penelitian dengan bekerja sama dengan profesional pelayanan kesehatan lainnya. Apoteker memberikan kontribusi keahlian yang khas pada aspek yang berkaitan dengan obat pada pelayanan penderita dan memikul tanggung jawab pribadi pada hasil dari pelayanan kefarmasian yang mereka berikan pada penderita. Standar VII : pemberian/konsumsi obat dan produk biologik yang aman yaitu kebijakan dan prosedur terdokumentasi yang menguasai pemberian/konsumsi obat dan produk biologik yang aman harus dikembangkan oleh PFT bekerjasama dengan IFRS, perawat, dan jika perlu perwakilan disiplin lain. Standar VIII : Mutu dalam pelayanan perawatan penderita yang diberikan oleh IFRS yaitu sebagai bagian dari program jaminan mutu rumah sakit, mutu dan ketepatan pelayanan, perawatan dan penderita yang diberikan IFRS harus dipantau, dievaluasi dan masalah yang diidentifikasi diadakan solusinya, IFRS adalah suatu organisasi pelayanan yang merupakan suatu sistem terorganisasi dari keterampilan dan fasilitas khusus. IFRS yang merupakan pemasok pelayanan, menghendaki agar pelayanannya 16

17 cocok digunakan atau memuaskan konsumen, sama seperti yang dikehendaki pemasok produk industrial. Banyak kemiripan teknik jaminan mutu lembaga pelayanan dan lembaga manufaktur, tetapi pelayanan memerlukan suatu pendekatan khusus (Siregar dan Amalia, 2004). 17

18 BAB II PENDAHULUAN MANAJEMEN OBAT Sistem pengelolaan obat harus dipandang sebagai bagian dari keseluruhan sistem pelayanan di rumah sakit dan diorganisasikan dengan suatu cara yang dapat memberikan pelayanan berdasarkan aspek keamanan, efektif dan ekonomis dalam penggunaan obat, sehingga dapat dicapai efektifitas dan efisiensi pengelolaan obat. Dimana keduanya merupakan konsep utama yang digunakan untuk mengukur prestasi kerja manajemen. Pengelolaan obat di rumah sakit ini dibentuk di suatu instalasi farmasi rumah sakit (Jokosusilo, 2004) Menurut Trisnantoro (2003), obat merupakan barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang sakit. Pentingnya obat dalam pelayanan kesehatan memberikan konsekuensi yang besar pula dalam anggaran obat. Anggaran obat di rumah sakit untuk obat dan alat kesehatan yang dikelola instalasi farmasi mencapai 50-60% dari seluruh anggaran rumah sakit. Berbagai rumah sakit melaporkan bahwa keuntungan dari obat yang dijual di rumah sakit merupakan hal yang paling mudah dilakukan dibandingkan dengan keuntungan dari jasa yang lain, misalnya radiologi, pelayanan rawat inap ataupun pelayanan gizi. Dengan kondisi seperti ini, maka manajemen obat di rumah sakit sangat penting untuk dilakukan. Pengelolaan obat berhubungan erat dengan anggaran dan belanja rumah sakit. Mengenai biaya obat di rumah sakit dapat sebesar 40% dari total biaya kesehatan. Menurut Depkes RI secara nasional biaya obat sebesar 40%-50% dari jumlah operasional pelayanan kesehatan. Mengingat begitu pentingnya dana dan kedudukan obat bagi rumah sakit, maka pengelolaannya harus dilakukan secara efektif dan efisien sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pasien dan rumah sakit. Pengelolaan tersebut meliputi seleksi dan perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi dan penggunaan. Manajemen obat yang baik menjamin selalu tersedianya obat setiap saat diperlukan, dalam jumlah yang cukup dan mutu yang terjamin, untuk mendukung 18

19 pelayanan yang bermutu di rumah sakit. Obat yang diperlukan adalah obat-obat yang secara medis memang diperlukan sesuai dengan keadaan pola penyakit setempat, telah terbukti secara ilmiah bahwa obat tersebut bermanfaat dan aman untuk dipakai di rumah sakit yang bersangkutan. Manajemen obat menyangkut berbagai tahap dan kegiatan yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap dan kegiatan akan membawa konsekuensi tidak efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada, mempengaruhi kinerja rumah sakit baik secara medik, ekonomi dan sosial. Dampak negatif lainnya akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap layanan rumah sakit. Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam fungsi manajerial rumah sakit secara keseluruhan, karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit baik secara medis maupun secara ekonomis. Tujuan manajemen obat di rumah sakit adalah agar obat yang diperlukan tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu yang terjamin dan harga yang terjangkau untuk mendukung pelayanan yang bermutu. Dalam sistem manajemen obat, masing-masing fungsi utama terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan fungsi selanjutnya (Liliek, 1998). Menurut Quick, dkk (2012), siklus manajemen obat mencakup empat tahap yaitu: 1) selection (seleksi), 2) procurement (pengadaan), 3) distribution (distribusi), dan 4) use (penggunaan). Masing-masing tahap dalam siklus manajemen obat saling terkait, sehingga harus dikelola dengan baik agar masing-masing dapat dikelola secara optimal. Tahapan yang saling terkait dalam siklus manajemen obat tersebut diperlukan suatu sistem suplai yang terorganisir agar kegiatan berjalan baik dan saling mendukung, sehingga ketersediaan obat dapat terjamin yang mendukung pelayanan kesehatan, dan menjadi sumber pendapatan rumah sakit yang potensial. Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung manajemen (management support) yang meliputi organisasi, administrasi dan keuangan, Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Setiap tahapan siklus manajemen obat harus selalu didukung oleh keempat management support 19

20 tersebut sehingga pengelolaan obat dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Siklus manajemen obat dapat digambarkan pada Gambar 1 SELECTION USE Management Support Organization Management Human Resources Management Administration and Finance Management Management Information Sistem PROCUREMENT DISTRIBUTION Policy and legal framework Gambar 1. Siklus Manajemen Obat (Quick dkk., 2012) Salah satu fungsi pengelolaan obat adalah seleksi terhadap obat yang benarbenar diperlukan bagi sebagian besar populasi berdasarkan pola penyakit yang ada. Proses seleksi merupakan awal yang sangat menentukan dalam perencanaan obat karena melalui seleksi obat akan tercermin berapa banyak item obat yang akan dikonsumsi dimasa datang (Quick, dkk, 2012). Pada proses pemilihan obat seharusnya mengikuti pedoman seleksi obat yang disusun oleh WHO (1993) antara lain: 1) Memilih obat yang tepat dan terbukti efektif serta merupakan drug of choice; 2) Memilih seminimal mungkin obat untuk suatu jenis penyakit, mencegah duplikasi; 3) Melakukan monitoring kontra indikasi dan efek samping obat secara cermat untuk mempertimbangkan penggunaannya; 4) Biaya obat, yang secara klinik sama harus dipilih yang termurah 5) Menggunakan obat dengan nama generik. Setelah dilakukan seleksi, sebaiknya suplai obat sesuai dengan obat yang dipilih. 20

21 Manajemen obat di rumah sakit dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Berkaitan dengan pengelolaan obat di rumah sakit, Departemen Kesehatan RI melalui SK No. 85/Menkes/Per/1989, menetapkan bahwa untuk membantu pengelolaan obat di rumah sakit perlu adanya Panitia Farmasi dan Terapi, Formularium dan Pedoman Pengobatan. Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya (DepKes RI, 2004) Formularium dapat diartikan sebagai daftar produk obat yang digunakan untuk tata laksana suatu perawatan kesehatan tertentu. Formularium merupakan referensi yang berisi informasi yang selektif dan relevan untuk dokter penulis resep, penyedia/peracik obat dan petugas kesehatan lainnya ( Pedoman pengobatan yaitu standar pelayanan medis yang merupakan standar pelayanan rumah sakit yang telah dibakukan bertujuan mengupayakan kesembuhan pasien secara optimal, melalui prosedur dan tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pedoman pengobatan sebagai panduan tenaga medis dalam memberikan pelayanan medis, yang diharapkan pengobatan menjadi rasional. Untuk melaksanakan pengadaan obat yang baik, sebaiknya diawali dengan dasar-dasar seleksi kebutuhan obat yang meliputi; 1) Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang memberikan efek terapi jauh lebih baik dibandingkan risiko efek samping yang akan ditimbulkan; 2) Jumlah obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari duplikasi dan kesamaan jenis; 3) Jika ada obat baru harus ada bukti yang spesifik untuk efek terapi yang lebih baik; 21

22 4) Dihindarkan penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi tersebut mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan obat tunggal; 5) Apabila jenis obat banyak, maka kita akan memilih berdasarkan drug of choice dari penyakit yang prevalensinya tinggi. Perencanaan obat merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga obat yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran untuk periode pengadaan yang akan datang. Perencanaan dipengaruhi berbagai hal seperti beban epidemiologi penyakit, keefektifan obat terhadap suatu penyakit dan dipertimbangkan pula harga obat (Budiono dkk, 1999). Dalam pengelolaan obat yang baik, perencanaan sebaiknya dilakukan dengan berdasarkan data yang diperoleh dari tahap akhir pengelolaan, yaitu penggunaan obat periode yang lalu. Gambaran penggunaan obat dapat diperoleh berdasarkan data riel konsumsi obat (metode konsumsi) atau berdasarkan data riil pola penyakit (metode morbiditas) dan gabungan dari kedua metode tersebut (Quick dkk, 1997). Pengadaan adalah suatu proses untuk mendapatkan barang atau obat yang dibutuhkan untuk menunjang pelayanan kesehatan di rumah sakit. Termasuk dalam pengadaan adalah pengambilan keputusan dan tindakan untuk menentukan jumlah obat yang spesifik, harga yang harus dibayar, kualitas obat yang diterima, pengiriman barang tepat waktu, proses berjalan lancar tidak memerlukan waktu dan tenaga berlebihan. Pemborosan waktu, tenaga dan dana akan meningkatkan biaya obat dan akan menurunkan kualitas pelayanan rumah sakit. Pengadaan merupakan faktor terbesar menyebabkan pemborosan maka perlu dilakukan efisiensi dan penghematan biaya. Agar proses pengadaan dapat berjalan lancar dan teratur diperlukan struktur komponen berupa personil yang terlatih dan menguasai permasalahan pengadaan, metode dan prosedur yang jelas, sistem informasi yang baik, serta didukung dengan dana dan fasilitas yang memadai (Budiono dkk, 1999). Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengamanan obat dengan cara menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman, mengatur obat agar mudah ditemukan kembali pada saat diperlukan, mengatur kondisi ruang dan penyimpanan 22

23 agar obat tidak mudah rusak/hilang, serta melakukan pencatatan dan pelaporan obat. Selain persyaratan fisik, penyimpanan obat juga memerlukan prasyarat yang lebih spesifik serta pengaturan yang rapi. Hal ini dikarenakan obat memerlukan perlakuan tersendiri seperti: suhu tertentu, memerlukan pengamanan yang ketat, zat yang eksplosif dan pencahayaan tertentu. Obat luar harus disimpan terpisah dari obat dalam. Obat diatur sesuai sistem FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out), serta obat yang hampir kadaluwarsa diberi tanda agar bisa selalu dimonitor (Quick dkk, 1997). Distribusi merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk penunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan antara lain: efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada, metode sentralisasi atau desentralisasi, sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi (DepKes RI, 2004). Penggunaan adalah suatu tahap masalah pemakaian obat yang rasional serta dampak penggunaan obat yang tidak rasional. Menurut DepKes RI (DepKes RI, 2004), pengobatan yang rasional adalah jika pengobatan dilakukan secara tepat (medically appropriate) yaitu tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat jenis obat, tepat dosis, cara dan lama pemberian, tepat penilaian terhadap kondisi pasien, tepat penyerahan, tepat informasi, tepat tindak lanjutnya dan waspada terhadap efek samping obat. Ketidakrasionalan pemakaian obat sangat beragam, mulai dari pemakaian obat tanpa indikasi, dosis, cara, frekuensi dan lama pemberian yang tidak tepat, hingga peresepan obat-obat relatif mahal atau peresepan obat-obat yang belum terbukti secara ilmiah memberi manfaat terapi yang lebih besar dibanding risiko. 23

24 BAB III SELEKSI OBAT Sistem manajemen obat merupakan serangkaian kegiatan kompleks yang merupakan suatu siklus yang saling terkait, pada dasarnya terdiri dari empat fungsi dasar yaitu seleksi, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) merupakan satu-satunya unit di Rumah Sakit (RS) yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan obat atau perbekalan kesehatan yang digunakan dirumah sakit (Quick dkk., 1997). Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung manajemen (Management support) yang meliputi organisasi, administrasi dan keuangan, sumber daya manusia (SDM), dan sistem informasi manajemen (SIM) (Quick dkk., 2012) A. Seleksi Obat Seleksi merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam panitia farmasi dan terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi pembelian (Depkes RI, 2004). Pemilihan obat di rumah sakit merujuk kepada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) sesuai dengan kelas rumah sakit masing-masing, formularium rumah sakit, formularium jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) Askes dan Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek). Kriteria pemilihan kebutuhan obat yang 24

25 baik, meliputi : jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari kesamaan jenis, hindari penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi mempunyai efek lebih baik dibanding obat tunggal, apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan (drug of choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi (Depkes RI, 2008). Seleksi obat bertujuan untuk menghindari obat yang tidak mempunyai nilai terapetik, mengurangi jumlah jenis obat dan meningkatkan efisiensi obat yang tersedia (Quick dkk, 2012). Menurut Surat Keputusan Mentri Kesehatan RI no. 1197/SK/Menkes/X/2004 seleksi atau pemilihan obat merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi dirumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan criteria pemilihan dengan memprioritaskan obat essensial, standarisasi sampai menjaga dan memeperbarui standar obat (DepKes, 2004). Menurut WHO, tahap-tahap seleksi obat, dimulai dengan membuat daftar masalah kesehatan umum yang dialami (list of common health problems). Setelah itu menentukan terapi standar untuk memilih obat standar yang digunakan dan terapi non obatnya.tahap ketiga melihat daftar obat essensial yang ada untuk kemudian dibuat daftar obat yang berguna untuk menyusun formularium. Dari terapi standar yang ada dibuat suatu Guidline terapi untuk menentukan penggunaan obat yang rasional melalui pelatihan, supervise, dan monitoring. Formularium yang telah disusun digunakan sebagai sumber informasi obat yang digunakan untuk terapi di rumah sakit. Semua tahap tersebut bertujuan untuk mendapat ketersediaan dan penggunaan obat yang lebih rasional (Quick, et al., 1997). Seleksi adalah proses memilih sejumlah obat dengan rasional di rumah sakit dengan tujuan untuk menghasilkan penyediaan/pengadaan yang lebih baik, penggunaan obat yang lebih rasional, dan harga yang lebih rendah. Pedoman seleksi obat yang dikembangkan dari WHO, yaitu: 25

26 a. Dipilih obat yang secara ilmiah, medik, dan statistik memberikan efek terapi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan resiko efek sampingnya. b. Diusahakan jangan terlalu banyak jenis obat yang akan diseleksi (boros biaya), khususnya obat-obat yang memang bermanfaat untuk jenis penyakit yang banyak diderita masyarakat. Agar dihindari duplikasi dan kesamaan jenis obat yang diseleksi. c. Jika memasukan obat-obat baru, harus ada bukti yang spesifik bahwa obat baru yang akan dipilih tersebut memang memberikan terapetik yang lebih baik dibanding obat pendahulunya. d. Sediaan kombinasi hanya dipilih jika memang memberikan efek terapetik yang lebih baik daripada sediaan tunggal. e. Jika alternatif pilihan obat banyak, supaya pilih drug of choice dari penyakit yang memang relevansinya tinggi. f. Pertimbangkan administratif dan biaya yang ditimbulkan, misalnya biaya penyimpanan. g. Kontra indikasi, peringatan dan efek samping juga harus dipertimbangkan h. Dipilih obat yang standar mutunya tinggi i. Didasarkan pada nama generiknya dan disesuaikan dengan formularium Tujuan seleksi obat yaitu adanya suplai yang menjadi lebih baik, pemakaian obat lebih rasional, dilihat dari biaya pengobatan lebih terjangkau atau rendah. Dalam hal ini ada dampak dari seleksi obat yaitu tingginya kualitas perawatan (Quality of care) dan biaya pengobatan lebih efektif. Kriteria seleksi obat pada pengelolaan di rumah sakit : a. Dibutuhkan oleh sebagian besar populasi b. Berdasar pola prevalensi penyakit (10 penyakit terbesar) c. Aman dan manjur yg didukung dg bukti ilmiah d. Mempunyai manfaat yg maksimal dg risiko yg minimal termasuk mempunyai rasio manfaat-biaya yg baik e. Mutu terjamin 26

27 f. Sedapat mungkin sediaan tunggal Sebagai pembanding dalam seleksi obat, pemerintah melakukan seleksi obat untuk Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), dalam kriteria pemilihan obat esensial. Pemilihan obat esensial didasarkan atas kriteria berikut : (Kemenkes, 2011) 1) Mempunyai rasio manfaat-resiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan bagi pasien. 2) Kulaitas harus terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas. 3) Praktis dan mudah dalam penyimpanan dan pengangkutan. 4) Praktis dalam penggunaan dan penyerahan sesuai dengan tenaga, sarana dan fasilitas kesehatan. 5) Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penggunaan oleh pasien. 6) Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) (farmakoekonomi) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung (direct cost) dan tidak langsung (indirect cost). 7) Apabila memiliki lebih dari satu pilihan yang mempunyai efek terapi yang serupa, maka pilihan dijatuhkan pada : a. Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan bukti ilmiah; b. Obat dengan sifat farmakokinetik yang diketahui paling menguntungkan; c. Obat yang memiliki stabilitas lebih baik; d. Mudah untuk diperoleh; e. Obat yang telah dikenal. 8) Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut : a. Obat hanya bermanfaat bagi pasien dalam bentuk kombinasi tetap; b. Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada masing-masing komponen; c. Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk sebagian besar pasien yang memerlukan kombinasi tersebut; d. Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio); 27

28 e. Untuk antibiotika kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya resistensi dan efek merugikan lainnya b. Kriteria Penambahan dan Pengurangan 1) Dalam hal penambahan obat baru perlu dipertimbangkan untuk menghapus obat dengan indikasi yang sama yang tidak lagi merupakan pilihan, kecuali ada alasan kuat untuk mempertahankannya. 2) Obat program diusulkan oleh pengelola program dan akan dinilai sesuai kriteria pemilihan obat esensial. 3) Dalam pelaksanaan revisi seluruh obat yang ada dalam DOEN edisi sebelumnya dikaji oleh Komite Nasional (KomNas) Penyusunan DOEN, hal ini memungkinkan untuk mengeluarkan obat-obat yang dianggap sudah tidak efektif lagi atau sudah ada pengganti yang lebih baik. 4) Untuk obat yang sulit diperoleh di pasaran, tetapi esensial, maka akan tetap dicantumkan dalam DOEN. Selanjutnya diupayakan Pemerintah untuk menjamin ketersediaannya. 5) Obat yang baru diusulkan harus memiliki bukti ilmiah terkini (evidence based medicine), telah jelas efikasi dan keamanan, serta keterjangkauan harganya. Dalam hal ini obat yang telah tersedia dalam nama generik menjadi prioritas pemilihan. c. Petunjuk Tingkat Pembuktian dan Rekomendasi Tingkat pembuktian dan rekomendasi diambil dari US Agency for Health Care Policy and Research, sebagai berikut : Tingkat pembuktian (statements of evidence) (Kemenkes, 2011) Ia. Fakta diperoleh dari meta analisis uji klinik acak dengan kontrol. Ib. Fakta diperoleh dari sekurang-kurangnya satu uji klinik acak dengan kontrol. IIa. Fakta diperoleh dari sekurang-kurangnya satu studi dengan kontrol, tanpa acak, yang dirancang dengan baik. IIb. Fakta diperoleh dari sekurang-kurangnya satu studi quasi-eksperimental jenis lain yang dirancang dengan baik. 28

29 III. Fakta diperoleh dari studi deskriptif yang dirancang dengan baik, seperti studi komparatif, studi korelasi, dan studi kasus. IV. Fakta yang diperoleh dari laporan atau opini Komite Ahli dan/atau pengalaman klinik dari pakar yang disegani. 1. SISTEM FORMULARIUM Merupakan suatu metode yang digunakan oleh staf medik rumah sakit yang bekerja melalui PFT (Panitia Farmasi dan Terapi), mengevaluasi, menilai, dan memilih dari berbagai zat aktif obat dan produk obat yang tersedia,yang dianggap paling berguna dalam perawatan pasien. Produk sistem formularium antara lain: a. Standar Terapi b. Formulary List c. Formularium Manual Evaluasi Formularium Formularium rumah sakit dapat dievaluasi dengan mengetahui: a. Tingkat kepatuhan terhadap formularium: Formularium dibuat untuk dipatuhi staf medik fungsional dan apoteker dalam pelayanan kesehatan. Kepatuhan terhadap formularium RS akan meningkatkan efisiensi pengelolaan obat dan mendukung pengobatan yang rasional. b. Persentase usulan kebijakan PFT yang diakomodasi direktur. Kebijakan obat merupakan usulan PFT, tetapi harus ditetapkan oleh direktur RS. c. Evaluasi penggunaan obat. Penggunaan obat di RS perlu untuk dilakukan evaluasi, khusunya dalam mendukung penggunaan obat yang rasional. d. Evaluasi formularium, dilakukan pada obat-obat yang terdapat di dalam formularium e. Penetapkan kriteria seleksi f. Standarisasi 29

30 Standarisasi formularium Dalam proses standarisasi formularium, dapat kita lakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menenentukan manufaktur atau suplier yang memenuhi persyaratan sesuai kriteria seleksi b. Melakukan sosialisasi tentang standarisasi obat pada SMF dan staf farmasi c. Membuat matrik manufaktur atau suplier berdasar kriteria seleksi d. menentukan cut of point e. mengambil kesimpulan f. Dihasilkan formularium rumah sakit 2. PANITIA FARMASI DAN TERAPI Panitia Farmasi dan Terapi adalah tim yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya. Tujuan dari PFT adalah: a) Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat serta evaluasinya b) Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan. Susunan kepanitiaan Panitia Farmasi dan Terapi serta kegiatan yang dilakukan bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat : 1. Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 Dokter, Apoteker dan Perawat. Untuk Rumah Sakit yang besar tenaga dokter bisa lebih dari 3 orang yang mewakili semua staf medis fungsional yang ada. 30

31 2. Ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah dari Farmakologi. Sekretarisnya adalah Apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk. 3. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali. Rapat Panitia Farmasi dan Terapi dapat mengundang pakar-pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan PFT. Menurut WHO dalam suatu rumah sakit fungsi panitia farmasi dan terapi, yaitu : sebagai komite penasehat bagi staf medis, mengembangkan kebijakan obat, seleksi dan evaluasi obat-obat untuk daftar formularium, mengembangkan pedoman pengobatan standar (Standar Treatment Guidelines/STGs), menilai penggunaan obat untuk mengidentifikasi masalah, mengarahkan intervensi yang efektif pada penggunaan obat, mengelola (Adverse Drug Relation/ADR), mengelola medication error, transparansi informasi, dan menjalin kerjasama dengan panitia maupun institusi kesehatan lain yang sejenis di luar rumah sakit. Fungsi dan ruang lingkup PFT, yaitu: a. Mengembangkan formularium di rumah sakit dan merevisinya, pemilihan obat untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi secara subjektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama. b. PFT harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf medis. c. Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang termasuk dalam kategori khusus. 31

32 d. Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional. e. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan mengkaji medical record dibandingkan dengan standar diagnosa dan terapi, tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus menerus penggunaan obat secara rasional. f. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat. g. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis dan perawat. Peran PFT adalah mengoptimalkan penggunaan obat yang rasional dengan jalan mengevaluasi penggunaan obat di klinik, mengembangkan kebijakan pengelolaan obat, dan mengelola sistem formularium. PFT bertanggung jawab untuk mempromosikan penggunaan obat yang rasional melalui pendidikan staf profesional, pasien dan keluarganya. PFT Mengembangkan kebijakan obat : a. siklus pengelolaan obat, b. penambahan obat baru, c. obat nonformularium, d. pengurangan obat, e. penelitian obat, f. substitusi generik, g. automatic stop order, h. form obat baru dan pedomannya, i. standar terapi, j. critical pathways, k. algorithma terapi, l. mengatur detailer, 32

33 m. penyediaan literatur. Formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh panitia farmasi dan terapi sebagai pedoman untuk memberikan petunjuk kepada dokter, apoteker, perawat serta petugas administrasi di rumah sakit dalam melaksanakan pelayanan dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan. Dalam proses revisi formularium, staf medis, pihak panitia farmasi dan terapi mengadakan evaluasi dan menentukan pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran, dengan lebih mempertimbangkan kesejahteraan pasien. Dalam menerapkan sistem formularium diperlukan kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan panitia farmasi dan terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan, organisasi, fungsi, dan ruang lingkup. Staf medis harus mendukung sistem formularium yang diusulkan oleh panitia farmasi dan terapi, dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan tiap-tiap institusi, menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis oleh panitia farmasi dan terapi, menguasai sistem formularium yang dikembangkan oleh panitia farmasi dan terapi, membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di instalasi farmasi, serta membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang efek terapinya sama (Depkes RI, 2004). Proses dalam pembentukan formularium mempertimbangkan beberapa hal antara lain: daftar obat esensial, epidemiologi penyakit, daftar supli obat baik dari pengadaan, anggaran, distribusi dan produksi. Disamping itu sisitem formularium diharapkan dapat mendukung penggunaan obat yang rasional termasuk didalamya adalah informasi obat. Penggunaan obat yang rasional dengan sistem formularium harus selalu dilakukan evaluasi dan monitoring. Sistem formularium secara rinci dapat dilihat digambar 2. 33

34 List of Common Health Problem DTC Meeting List of Essential Drugs/ Formulary List Drug List Drug Supply - Procurement - Donation - Distribution - Production Treatment Guidelines Formulary Manual Rational Drug Use - Training - Supervision - Monitoring Drug Information Monitoring dan Evaluation for more Rational Drug Use Gambar 2. Sistem formularium (Quick, et al, 1997) 3. Standar Terapi a. Merupakan standar untuk mendiagnosis dan memberi terapi yang tepat; b. Di Rumah Sakit dicari secara epidemiologi yang merupakan10 penyakit dengan prevalensi tinggi tiap spesialisasi 34

35 c. Berisi : Nama penyakit, Patofisiologi, Etiologi, Gejala Klinik, Diagnosis (anamnesis, Pasien Fisik, Pasien Penunjang), Diagnosis Banding, Penatalaksanaan (Farmakologi, Non Farmakologi). Formulary Manual a. Berisi Info lengkap yang dibutuhkan untuk memakai suatu obat b. Nama obat dari Formulary List c. Info dipilih yang benar-benar digunakan di lapangan d. BNF: British National Formulary Formulary List a. Daftar Obat yang direkomendasikan; b. RS: Formularium RS, DORS; c. PT.Askes: DPHO (Daftar dan Plafond Harga Obat), DO (Daftar Obat) d. PT. Jamsostek: DSO (Daftar Standar Obat) e. Nasional: DOEN Daftar Obat Essensial Nasional, Formularium Nasional Untuk BPJS Kesehatan f. Klas Terapi, Nama Generik, Nama Dagang, Pabrik, Keterangan Adapun keuntungan dari adanya formularium yang efektif adalah: a. Menjamin keamanan dan keefektifan penggunaan obat b. Terapi obat yang lebih cost efective c. Penyediaan obat yang konsisten Prinsip Menyusun Formularium : 1. Memilih obat berdasar kebutuhan (penyakit dan keadaan yang sedang terjadi di wilayah setempat). 2. Memilih drug of choice 3. Menghindari duplikasi dan gunakan nama generik 4. Gunakan kombinasi produk hanya pada kondisi spesifik misalnya TB 5. Kriteria pemilihan harus jelas dan mencakup : a. Efikasi dan effectiveness 35

36 b. Safety c. Quality d. Cost 6. Obat konsisten dengan formularium nasional dan regional dan guidelines terapi standar. Tidak efektif dan efisiennya manajemen obat dapat dilihat dari gejala kekurangan obat yang terlalu sering dan terjadi pada banyak jenis obat, kelebihan jenis obat tertentu, penyediaan obat tidak merata, perimbangan manfaat biaya (cost effectiveness) yang tidak baik, pengaturan anggaran obat yang tidak proporsional, cara peresepan yang tidak rasional dan tidak efektif, penyimpangan dan distorsi kebutuhan obat (Wambrauw, 2006). Pedoman Penggunaan Formularium di Indonesia menurut Kepmenkes No 1197 tahun 2004: meliputi membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan panitia farmasi dan terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan, organisasi, fungsi dan ruang lingkup. staf medis harus mendukung sistem formularium yang diusulkan oleh Panitia Farmasi dan Terapi, staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan tiap-tiap institusi, staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis oleh panitia farmasi dan terapi untuk menguasai sistem formularium yang dikembangkan oleh panitia farmasi dan terapi, nama obat yang tercantum dalam formularium adalah nama generik, membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di instalasi farmasi, membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang efek terapinya sama, seperti apoteker bertanggung jawab untuk menentukan jenis obat generik yang sama untuk disalurkan kepada dokter sesuai produk asli yang diminta, dokter yang mempunyai pilihan terhadap obat paten tertentu harus didasarkan padapertimbangan farmakologi dan terapi, apoteker bertanggung jawab terhadap kualitas, kuantitas, dan sumber obat dari sediaan kimia, biologi dan sediaan farmasi yang digunakan oleh dokter untuk mendiagnosa dan mengobati pasien. 36

37 Kriteria obat yang lolos seleksi dalam formularium adalah obat sudah efektif dan aman, biaya yang relatif efisien, pilihan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti farmakokinetik obat atau tersedianya fasilitas pengadaan dan penyimpanan, mutu terjamin, termasuk bioavailabilitas dan stabilitas obat selama penyimpanan, sebaiknya obat memiliki komponen tunggal, bila dalam bentuk kombinasi maka perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk populasi yang memerlukan kombinasitersebut dan kombinasi tetap terbukti memiliki kelebihan daripada komponen tunggalnya baik dari segi efek terapi, keamanan serta kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Apabila seorang dokter bergabung menjadi staf rumah sakit, ia wajib setuju berpraktik sesuai dengan peraturan sistem formularium rumah sakit tersebut, obat yang akan ditulis, di dispensing, dan digunakan di rumah sakit harus sesuai dengan sistem formularium (Siregar dan Amalia, 2004). Secara garis besar faktor yang mempengaruhi penulisan resep dibagi dua yaitu faktor medis dan faktor nonmedis. Faktor medis adalah faktor yang berhubungan dengan status kesehatan pasien yang merupakan faktor utama yang menentukan apakah seorang pasien akan diberikan resep obat atau tidak. Faktornonmedis terbagi dua lagi yaitu faktor kondisi peresepan (conditioning factors) dan faktor individu (individual factors) yaitu semua yang berhubungan dengan individu dokter. Kekuatan dari industri obat nasional dan kekuasaan dari pihak yang berwenang mengontrol, merupakan dua faktor kondisi yang penting yang juga mempengaruhi faktor individu (Yenis, 1999., diacu dalam Wambrauw, 2006). Beberapa faktor yang mempengaruhi penulisan resep (Wambrauw, 2006) : 1. Sistem suplai kesehatan (Health Supply System) Faktor yang mempengaruhi sistem meliputi suplai obat yang tidak dapat dipercaya, jumlah obat yang terbatas/ tidak mencukupi, obat-obat yang kadaluarsa dan tersedianya obat-obat yang tidak tepat/tidak sesuai. Inefisiensi dalam sistem tersebut menimbulkan ketidakpercayaan oleh dokter dan pasien. Padahal pasien membutuhkan 37

38 pengobatan dan dokter harus memberikan obat apa yang sudah tersedia, walaupun obat yang tersedia tersebut tidak tepat indikasi. 2. Penulis resep / dokter (Prescriber) Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi dokter dalam menuliskan resep. Pengetahuan dokter tentang obat dapat mempengaruhi penulisan resep obat, pengetahuan didapat dari pendidikan dasar yang membentuk sikap. Kurangnya pendidikan berkelanjutan (Continuing education), keahlian untuk mendapatkan informasi baru yang lebih banyak didapat dari sales obat bukan berdasarkan evidence based mempengaruhi penulisan resep obat. Faktor eksternal seperti jumlah pasien yang banyak, atau tekanan untuk menuliskan resep dari pasien atau salesmen obat/pabrik obat. 38

39 BAB IV PENGADAAN OBAT DI RUMAH SAKIT Merupakan proses kegiatan manajemen obat, meliputi : perencanaan dan pengadaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan dan anggaran rumah sakit. A. Perencanaan Obat Perencanaan menurut Surat Keputusan Mentri Kesehatan RI No. 1197/SK/MenKes/X/2004 merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi konsumsi yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.. Pedoman perencanaan, meliputi : DOEN, formularium rumah sakit, standar terapi rumah sakit, ketentuan setempat yang berlaku, data catatan medik, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, siklus penyakit, sisa persediaan, data pemakaian periode yang lalu, dan rencana pengembangan (Depkes RI, 2004). Perencanaan merupakan tahap yang penting dalam pengadaan obat di instalasi farmasi rumah sakit (IFRS). Perencanaan pengadaan obat perlu mempertimbangkan jenis obat, jumlah yang diperlukan, serta efikasi obat dengan mengacu pada misi utama yang diemban oleh rumah sakit. Untuk menentukan beberapa macam obat yang harus direncanakan, fungsi kebijakan rumah sakit sangat diperlukan agar macam obat dapat dibatasi. Penetapan jumlah obat yang diperlukan dapat dilaksanakan berdasarkan polulasi yang akan dilayani, jenis pelayanan yang diberikan, atau berdasarkan data penggunaan obat yang sebelumnya (Dep Kes RI, 2002). Pedoman perencanaan menurut KepMenKes 1197/SK/MenKes/X/2004 adalah: a. DOEN, formularium rumah sakit, standar terapi rumah sakit dan ketentuan setempat yang berlaku. b. Data catatan medik 39

40 c. Anggaran yang tersedia d. Penetapan prioritas e. Siklus penyakit f. Sisa persediaan g. Data pemakaian periode yang lalu. h. Rencana pengembangan Tujuan perencanaan obat: 1. Mendapatkan jenis dan jumlah obat tepat sesuai kebutuhan 2. Menghindari kekosongan obat 3. Meningkatkan penggunaan obat secara rasional 4. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat Perencanaan merupakan tahap awal pada pengadaan obat. Ada beberapa macam metode perencanaan yaitu: a. Metode morbiditas/epidemiologi: Metode ini diterapkan berdasarkan jumlah kebutuhan perbekalan farmasi yang digunakan untuk beban kesakitan (morbidity load), yang didasarkan pada pola penyakit, perkiraan kenaikan kunjungan dan waktu tunggu (lead time). Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam metode ini, yaitu menentukan jumlah pasien yang akan dilayani dan jumlah kunjungan kasus berdasarkan prevalensi penyakit, menyediakan formularium/ standar/ pedoman perbekalan farmasi, menghitung perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi, dan penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia. Persyaratan utama dalam metode ini adalah rumah sakit harus sudah memiliki standar pengobatan, sebagai dasar untuk penetapan obat yang akan digunakan berdasarkan penyakit. Langkah-langkah perhitungan metode morbiditas adalah: 40

41 1) Menetapkan pola morbiditas penyakit berdasarkan kelompok umur penyakit. 2) Menyiapkan data populasi penduduk. 3) Menyediakan data masing-masing penyakit/tahun untuk seluruh populasi pada kelompok umur yang ada. 4) Menghitung frekuensi kejadian masing-masing penyakit/tahun untuk seluruh populasi pada kelompok umur yang ada. 5) Menghitung jenis, jumlah, dosis, frekuensi dan lama pemberian obat menggunakan pedoman pengobatan yang ada. 6) Menghitung jumlah yang harus diadakan untuk tahun anggaran yang akan datang (Dep Kes RI, 2008). Tabel 1. Keunggulaan dan Kelemahan Metode Epidemiologi Keunggulan - Perkiraan kebutuhan mendekati kebenaran - standar pengobatan mendukung usaha memperbaiki pola penggunaan obat Kelemahan - membutuhkan waktu dan tenaga terampil - data penyakit sulit diperoleh secara pasti - perlu pencatatan dan pelaporan yang baik b. Metode konsumsi Metode ini diterapkan berdasarkan data riel konsumsi perbekalan farmasi periode yang lalu, dengan berbagai penyesuaian dan koreksi. Hal yang harus diperhatikan dalam menghitung jumlah perbekalan farmasi yang dibutuhkan, yaitu dengan melakukan pengumpulan dan pengolahan data, analisa data untuk informasi dan evaluasi, perhitungan perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi, dan penyesuaian jumlah kebutuhan perbekalan farmasi dengan alokasi dana. Metode konsumsi ini mempersyaratkan bahwa penggunaan obat periode sebelumnya harus dipastikan rasional. Hal ini disebabkan metode konsumsi hanya berdasarkan pada data konsumsi sebelumnya yang tidak mempertimbangkan epidemiologi penyakit. Kalau penggunaan obat periode 41

42 sebelumnya tidak rasional, disarankan untuk tidak menggunakan metode ini, karena kalau tidak justru mendukung pengobatan yang tidak rasional di rumah sakit. berdiri) Berdasarkan pada penggunaan obat tahun sebelumnya (untuk RS yang sudah Jenis data: Dasar: * analisa data * konsumsi obat tahun sebelumnya Sumber data: 1) Pencatatan dan pelaporan ( Kartu stok) 2) Pencatatan dan pelaporan beberapa fasilitas kesehatan 3) Hasil pertemuan beberapa tenaga medis Alokasi dana, daftar obat, stok awal, penerimaan, pengeluaran, sisa kadaluwarsa, obat kosong, stok pengaman. Kelebihan metode konsumsi: 1) Datanya akurat metode paling mudah. 2) Tidak perlu data penyakit dan standar pengobatan 3) Kekurangan dan kelebihan obat sangat kecil Kekurangan; 1) Data konsumsi, obat dan jumlah kontak pasien sulit. 2) Tidak dapat untuk dasar penggunaan obat dan perbaikan pola peresepan 3) Kekurangan,kelebihan dan kehilangan obat sulit diandalkan 4) Tidak perlu catatan morbiditas yang baik Rumus yang digunakan adalah: A = (B+C+D) E 42 stok, Ket : A = Rencana pengadaan B = Pemakaian rata-rata x 12 bulan C = Stok Pengaman 10% - 20%atau sesuai kebijakan RS D = Waktu tunggu E = Sisa stok

43 c. Metode Gabungan: Yaitu gabungan dari mordibitas dan konsumsi. Metode ini untuk menutupi kelemahan kedua metode tersebut (mordibitas dan konsumsi). Kelebihan metode gabungan: Metode gabungan ini untuk menutupi kelemahan metode mordibitas dan konsumsi (Hassan, 1986) Dalam melakukan perencanaan dapat menggunakan peramalan (forecasting) sebagai usaha untuk memprediksi kebutuhan obat dimasa yang akan datang. Peramalan (Forecasting) Peramalan (forecating) adalah suatu usaha yang dilakukan perusahaan untuk bisa meramal, memprediksi keadaan masa datang tentang produknya dengan mencari tahu limit ketidakpastian masa depan terhadap perusahaan. Banyak faktor yang mengandung ketidakpastian, maka mustahil untuk melakukan peramalan yang sempurna, sehingga perlu untuk dicari metode forecasting yang terbaik untuk digunakan. Sifat data pada umumnya times series dan lengkap, maka data biasanya dapat diproyeksikan. Berbeda dengan data yang terbatas, maka hanya dapat diestimasikan. Jangka waktu proyeksi peramalan operasi logistik adalah satu tahun atau kurang, yang paling populer adalah satu bulan (Bowersox, 2004). Peramalan menurut jangka waktu dibagi menjadi 3 kategori (Seto, 2001), yaitu: 1. Prediksi/peramalan jangka pendek: prediksi untuk waktu 1-3 bulan. Biasanya digunakan untuk perencanaan pembelian, penjadwalan pekerjaan dan tingkat produksi 2. Peramalan jangka menengah: prediksi untuk jangka 3 bulan sampai dengan 3 tahun, dipakai untuk perencanaan penjualan, anggaran dan produksi. 43

44 3. Peramalan jangka panjang: prediksi untuk waktu lebih dari 3 tahun. Contohnya untuk perencanaan produk baru, ekspansi pabrik, investasi modal, penelitian dan pengembangan. Ada dua metode pengendalian, yaitu metode kualitatif (judgmental) dan metode kuantitatif. Metode kulitatif dilakukan dengan cara pengumpulan pendapat, baik pendapat ahli, survei pasar dan pengelompokan dalam metode eksploratoris dan normatif (Delphi) (Gaspersz, 2004); Yamit, 2005). Metode kualitatif ideal untuk situasi dengan data minimal (Bowersox, et al, 2002). Beberapa model peramalan yang digolongkan sebagai model kualitatif adalah: 1. Dugaan manajemen (management estimate), dimana persoalan sematamata didasarkan pada pertimbangan manajemen, umumnya oleh manajemen senior. Metode ini akan cocok dalam situasi yang sangat sensitif terhadap intiusi dari satu atau sekelompok kecil orang yang karena pengalamannya mampu memberikan opini yang kritis dan relevan. Metode ini memiliki banyak kelemahan sehingga perlu untuk dikombinasi dengan metode peramalan yang lain. 2. Riset pasar (market research) merupakan metode pengalaman berdasrkan hasil-hasil dari survei pasar yang dilakukan oleh tenagatenaga pemasar produk. Metode ini akan menjaring informasi dari pelanggan atau pelanggan potensial berkaitan dengan rencana pembelian mereka dimasa mendatang. Riset pasaar tidak hanya akan membantu untuk peramalan, tetapi juga untuk meningkatkan desain produk dan perencanaan untuk produk-produk baru, dalam hal ini adalah obat baru yang diperlukan pasien. 3. Metode kelompok terstruktur (structure Group Methods), merupakan suatu teknik peramalan berdasarkan pada proses konvergensi dari opini beberapa orang atau ahli secara interaktif tanpa menyebutkan identitasnya. 44

45 4. Analogi historis (historical analogy) merupakan teknik peramalan berdasarkan pola data masa lalu dari produk-produk yang dapat disamakan secara analogi. Metode kuantitatif sangat beragam dan setiap teknik memiliki sifat, ketepatan dan biaya yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan metode. Metode kuantitatif didasarkan pada prinsip statistik yang memiliki tingkat ketetpatan tinggi atau dapat meminimalkan kesalahan (error), lebih sistematis dan lebih populer dalam penggunaannya. Penggunaan metode kuantitatif harus memiliki tiga kondisi, yaitu (Yamit, 2005): a. Tersedia informasi masa lalu b. Informasi tersebut dapat dikuantifikasi dalam bentuk numerik c. Diasumsikan bahwa beberapa pola masa lalu akan terus berlanjut. Teknik kuantitatif memiliki metode kausal dan metode deret berkala (times series). Metode kausal dibuat berdasrkan analisis regresi multiple atau analisis ekonometrik lainnya. Metode ini sering dipakai oleh ahli ekonomi, tetapi penerapannya cukup mahal dan sulit. Metode times series sering kali lebih mudah diterapkan da terutama berguna bila pola dimasa depan kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh faktor yang sama dengan yang mempengaruhi pola dimasa lalu (Indrajit dkk, 2003). Beberapa macam teknik peramalan kuantitatif antara lain (Yamit, 2005; Subagyo, 2002) yaitu: 1. Metode single moving average (rata-rata bergerak tunggal) Metode ini diperoleh dengan merata-rata permintaan berdasarkan beberapa data masa lalu yang terbaru. Tujuan utama dari penggunaan teknik ini adalah untuk mengurangi variasi acak permintaan dalam hubungannya dengan waktu. Tujuan ini dicapai dengan merata-ratakan beberapa nilai data secara bersama-sama, dan menggunakan nilai rata-rata tersebut sebagai ramalan permintaan untuk periode yang akan datang. Disebut rata-rata bergerak karena begitu setiap data aktual permintaan baru deret waktu tersebut tersedia, maka data aktual permintaan yang 45

46 paling terdahulu akan dikeluarkan dari perhitungan, kemudian suatu nilai rata-rata baru akan dihitung. Secara matematis, moving average akan dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut: At + At At-(N-1) MA = N Keterangan: MA = moving average At = permintaan aktual pada periode t N = jumlah data permintaan yang dilibatkan dalam perhitungan MA Untuk menggunakan metode ini diperlukan data historis selam jangka waktu tertentu. Semakin panjang jangka waktu, dihasilkan moving average yang semakin halus. Beberapa kelemahan single moving average adalah: a. Perlu data historis b. Semua data mendapat bobot sama c. Tidak bisa mengikuti perubahan yang dratis d. Tidak cocok untuk meramal data yang ada gejala trend. 2. Metode single exponential smoothing (SES) Untuk mengatasi kelemahan metode moving averages akan data-data masa lalu yang cukup banyak dapat diatasi dengan teknik ini. Model matematis teknik SES adalah: Ft = Ft-1 + α (At Ft-1) Keterangan: Ft = peramalan permintaan pada periode t Ft-1 = peramalan permintaan pada periode t-1 α = konstanta pembobotan/eksponensial At = permintaan aktual pada periode terakhir. 46

47 Dari persamaan diatas maka terlihat bahwa peramalan dengan teknik SES akan didasarkan atas pembobotan data permintaan aktual terakhir dengan menggunakan nilai α yang mempunyai nilai berkisar antara 0 sampai mendekati 1. Jika nilai α mendekati 1, maka ramalan yang baru akan menyesuaikan kesalahan dengan besar pada ramalan sebelumnya. Kebalikannya bila α mendekati nol, maka ramalan yang baru akan menyesuaikan kesalahan dengan kecil. Penentuan besarnya nilai α harus dipertimbangkan dengan baik. Salah satu metode yang dapat dipakai adalah memilih nilai α berdasarkan nilai N yang dilibatkan dalam metode moving average. Metode ini hanya dapat diterapkan oleh perusahaan yang telah lama menggunakan teknik moving average dengan nilai N yang cukup memadai. Untuk menghitung nilai α dalam hubungannya dengan N adalah dengan membuat persamaan sebagai berikut: α = 2/(N+1) 3. Metode trend projection Metode peramalan trend projection adalah teknik peramalan yang mencocokkan garis trend pada serangkaian data masa lalu dan kemudian memproyeksikan garis pada masa datang untuk peramalan jangka menengah atau jangka panjang. Adapun persamaan untuk peramalan menggunakan teknik ini adalah: Y = a + bx Keterangan: Y = peramalan pada periode yang diinginkan a = persilangan dengan sumbu y b = kemiringan garis regresi (atau tingkat perubahan pada sumbu y untuk perubahan yang terjadi di x ) X = variabel bebas (dalam hal ini adalah waktu) 47

48 4. Metode dekomposisi (times series) Metode ini didasarkan pada kenyataan bahwa biasanya apa yang telah terjadi akan berulang dengan pola yang sama. Artinya yang dulu selalu naik, pada waktu yang akan datang biasanya akan naik demikian juga sebaliknya, yang biasanya berfluktuasi akan berfluktuasi, dan biasanya yang tidak teratur akan tidak teratur juga. Time series mempunyai empat komponen yaitu: trend, musim, siklus dan variasi acak. 1) Trend merupakan pergerakan data sedikit demi sedikit meningkat atau menurun. Perubahan pendapatan, populasi, penyebaran umur atau pandangan budaya dapat mempengaruhi pergerakan trend. 2) Musim adalah pola data yang berulang pada kurun waktu tertentu seperti hari, mingguan, bulanan atau kuartal. 3) Siklus adalah pola dalam data yang terjadi setiap beberapa tahun. Siklus ini biasanya terkait pada siklus bisnis dan merupakan hal penting dalam analisis dan perencanaan bisnis jangka pendek. Memprediksi siklus bisnis sulit karena bisa dipengaruhi oleh kejadian politik ataupun kerusuhan internasional. 4) Variasi acak merupakan titik khusus dalam data, yang disebabkan oleh peluang dan situasi yang tidak biasa. Variasi acak tidak mempunyai pola khusus, jadi tidak dapat diprediksi. Untuk dianalisis dan diramal sekaligus sulit, sehingga biasanya dilakukan dekomposisi (pemecahan) dalam empat komponen (pola) perubahan sebagai berikut: Trend (T), Fluktuasi musim (M), Fluktuasi siklus (S) dan Random (R). Masing-masing pola perubahan akan dipelajari dan dicari satu persatu. setelah ditemukan akan digabung lagi menjadi nilai, taksiran dan ramalan. Cara penggabungan dapat ditambahkan atau dengan dikalikan. Adapun persamaannya adalah: F = T x M x S x R 48

49 Perbandingan dan Seleksi Metode Peramalan. Banyaknya pilihan metode peramalan alternatif yang tersedia membutuhkan kriteria yang bisa digunakan untuk membandingkan dan menyeleksi model yang bersaing ini (Makridakis dkk, 2000). Kriteria tersebut meliputi keakuratan, pola data, jenis deret, horizon waktu biaya dan kemudahan aplikasi. Makridaksis dkk, 2000, menyatakan akurasi model dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa ukuran kesalahan peramalan, yaitu mean absolute deviation (MAD), Mean Square error (MSE), standar deviation of regriation (Sr), mean absolute percent error (MAPE). Dua metode yang sering digunakan dalam menghitung kesalahan adalan MAD dan MSE. MAD adalah ukuran pertama kesalahan keselruhan untuk semua model. Nilai ini dihitung dengan mengambil nilai absolite dari tiap kesalahan peramalan dibagi dengan jumlah periode data (n). Adapun persamaan untuk menghitung MAD adalah: aktual peramalan MAD = n MSE merupakan cara kedua untuk mengukur kesalahan pengukuran keseluruhan. MSE merupakan rata-rata selisih kuadrat antara nilai yang diramalkan dan yang diamati. Rumusnya adalah: (kesalahan peramalan) 2 MSE = n B. PENGADAAN OBAT DI RUMAH SAKIT Pengadaan barang dan jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa oleh Kementerian/ Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh 49

50 kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa (Anonim, 2012 a ). Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui melalui pembelian, produksi atau pembuatan sediaan farmasi, dan sumbangan atau hibah. Tujuan pengadaan adalah untuk mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga yang layak, mutu yang baik, pengiriman barang yang terjamin tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak memerlukan tenaga serta waktu yang berlebihan. Secara umum pengadaan obat di rumah sakit dapat dilakukan dengan cara tahunan, triwulan, mingguan. Dalam menentukan jumlah pengadaan perlu diketahui adanya stok minimum dan maksimum, stok rata-rata, stok pengaman, reordering level, economic order quantity, waktu tunggu dan batas kadaluarsa. Beberapa jenis obat dan bahan aktif yang mempunyai kadaluarsa relatif pendek harus diperhatikan waktu pengadaannya, untuk itu harus dihindari pengadaan dalam jumlah besar (Depkes RI, 2004). Pengadaan obat merupakan suatu proses dari penentuan item obat dan jumlah tiap item berdasarkan perencanaan yang telah dibuat, pemilihan pemasok penulisan surat pesanan (SP) hingga SP diterima pemasok. Tujuannya adalah memperoleh obat yang dibutuhkan dengan harga yang layak, mutu baik, pengiriman obat terjamin tepat waktu, proses berjalan lancar, tidak memerlukan waktu dan tenaga yang berlebihan (Quick et al, 1997) Menurut WHO (1996), pengadaan obat merupakan bagian terbesar dari anggaran kesehatan. Di negara maju, biaya obat berkisar % dari anggaran kesehatan. Sementara di negara berkembang, biaya ini lebih besar lagi antara % sedangkan di Indonesia 39 %. Tanggung jawab pengadaan obat esensial untuk pelayanan kesehatan dasar bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, akan tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota. Tujuan pengadaan obat yakni tersedianya obat dengan jenis jumlah yang cukup sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan dengan mutu yang terjamin serta dapat diperoleh pada saat yang diperlukan, maka hal-hal yang perlu diperhatikan pada 50

51 pengadaan ini adalah kriteria obat, persyaratan pemasok, penentuan waktu pengadaan dan kedatangan obat serta penerimaan dan pemeriksaan obat (DepKes RI, 2002). 5. Kriteria/Persyaratan Pemasok Pemilihan pemasok secara hati-hati adalah penting karena dapat mempengaruhi baik kualitas maupun biaya obat yang dibutuhkan. Untuk pemilihan pemasok perlu diperhatikan / dibatasi dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Memilih izin pedagang besar farmasi atau industri farmasi 2. Bagi pedagang besar farmasi (PBF) harus mendapat dukungan dari industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) atau c-gmp. 3. Bagi industri farmasi harus yang telah memiliki sertifikat CPOB. 4. Pedagang besar farmasi atau industri farmasi sebagai supplier harus memilki reputasi yang baik dalam bidang pengadaan obat. 5. Pemilik dan atau apoteker penanggung jawab PBF, apoteker penanggung jawab produksi dan quality control industri farmasi tidak dalam proses pengadilan atau tindakan yang berkaitan dengan profesi kefarmasian. 6. Penentuan Waktu Pengadaan dan Kedatangan Obat Waktu pengadaan dan waktu kedatangan obat dari berbagai sumber anggaran perlu ditetapkan atau diusulkan oleh Unit Pengelola Obat (UPO)/Gudang Farmasi, berdasarkan hasil analisis data: 1. Sisa stok 2. Jumlah obat yang akan diterima sampai dengan akhir tahun anggaran. 3. Frekuensi pemakaian/indeks musiman 4. Waktu tunggu/lead time Berdasarkan data tersebut dapat dibuat: 1. Bagan pemakaian/penggunaan obat. 2. Penetapan waktu pesan dan waktu kedatangan obat 51

52 C. Metode Pengadaan Obat Dalam proses pengadaan ada 3 hal penting yang harus diperhatikan, yaitu : 1. Pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan biaya tinggi. 2. Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja sangat penting untuk menjaga agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu (misalnya persyaratan masa kadaluarsa, sertifikat analisa/ standar mutu, harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS) untuk bahan berbahaya, khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai certificate of origin. 3. waktu dan kelancaran bagi semua pihak dan lain-lain. Pengadaan/pembelian perbekalan farmasi dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu : 1. Pembelian merupakan rangkaian proses pengadaan untuk mendapatkan perbekalan farmasi. Pengadaan adalah proses penyediaan obat yang bertujuan untuk mendapatkan obat dengan harga yang wajar, mutu yang baik, pengiriman yang tepat waktu. Menurut Quick, et al., (2012), agar proses pengadaan dapat berjalan lancar dan teratur maka diperlukan struktur komponen berupa personil yang terlatih dan menguasai masalah pengadaan, metode dan prosedur yang jelas, sistim informasi yang baik serta didukung dengan dana dan fasilitas yang memadai. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengadaan adalah penentuan pemasok, penentuan jumlah item obat, jumlah barang tiap item obat dan kelengkapan surat pesanan atau kontrak, negoisasi harga, kapan dipesan dan cara pembayaran. 52

53 Keadaan ini harus diperhatikan karena keluaran dari tahap pengadaan akan dapat dimonitor pada tahap penyimpanan. Pengadaan persediaan sangat penting karena diharapkan dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya-biaya yang ada. Pengadaan obat tahun diatur dalam Perpres No. 54 tahun 2010, dimana diatur pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari anggaran BLUD. Tujuannya adalah agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai anggaran BLUD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel. Khusus untuk pengadaan obat, diatur dengan ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa instansi pemerintahan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam tahap pengadaan antara lain sebagai berikut : a. Memilih metode pengadaan yang paling menguntungkan Ada empat metode dalam pengadaan perbekalan farmasi yaitu sebagai berikut: i. Open Tender (tender secara terbuka) Open tender adalah suatu prosedur formal pengadaan obat yang mana dilakukan dengan cara mengundang berbagai distributor baik nasional maupun internasional. Metode ini dilakukan dalam jangka waktu tertentu misalnya 2-3 kali setahun, hal ini disebabkan karena proses tender memerlukan waktu yang lama dan harganya lebih murah. Selain itu 53

54 biasanya metode ini dipakai oleh pemerintah karena khusus sesuai sistemnya. Jadi untuk nominal tertentu dapat melakukan pengadaan dalam jumlah tertentu pula. ii. Restricted tender (tender terbatas) Metode ini dilakukan pada lingkungan yang terbatas, tidak diumumkan di Koran, biasanya berdasarkan kenalan, nominalnya tidak banyak, serta sering ada yang melakukan pengaturan tender yaitu penawaran tertutup atau selektif, para penyalur yang tertarik harus menerima semua persyaratan yang diajukan, melalui suatu proses formal pre-kualifikasi yang mengacu pada good manufacturing practices (GMPS). Performa supply terdahulu, dan kekuatan financial. iii. Competitive Negotiation (kontrak) Pembeli membuat persetujuan dengan pihak supplier untuk mendapatkan harga khusus atau persetujuan pelayanan dan pembeli dapat membayar dengan harga termurah. Metode kontrak jauh lebih menguntungkan, karena pihak Rumah Sakit dapat melakukan negoisasi langsung dengan pabrik sehingga dapat mengurangi dana (diskon). iv. Direct Procurement Merupakan cara yang paling mudah dan sederhana, namun cenderung lebih mahal karena jarang memperoleh diskon. Ciri dari metode pengadaan langsung adalah pihak Rumah Sakit secara langsung 54

55 melakukan pengadaan perbekalan farmasi (setelah barang habis) kepada pihak PBF. b. Melakukan negoisasi atas dasar kualitas, jaminan ketersediaan, pelayanan purna jual, dan harga yang wajar. c. Membuat kontrak yang spesifik sesuai hasil negoisasi d. Memonitor surat pesanan yang dibuat e. Memastikan kesesuaian antara surat pesanan, spesifikasi barang dan dokumen pendukung yang menyertai f. Melakukan pembayaran sesuai waktu yang telah disepakati (Quick, et al., 2012) Menurut perpres No. 54 tahun 2010 Proses pengadaan dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : a. Pelelangan Sederhana Pelelangan sederhana merupakan metode pemilihan penyedia barang/jasa untuk semua pekerjaan yang dapat diikuti oleh semua pnyedia barang/jasa yang memenuhi syarat yang bernilai antara Rp ,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp ,00 (lima miliar rupiah). b. Pelelangan Umum Pelelangan umum adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa untuk pekerjaan yang brnilai paling tinggi Rp ,00 (lima miliar rupiah). c. Pelelangan Terbatas 55

56 Pelelangan terbatas atau seleksi terbatas adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi kesempatan kepada penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi. d. Penunjukan langsung Persyaratan penunjukan langsung adalah : i. Penunjukan Langsung terhadap 1 (satu) Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dapat dilakukan dalam hal: (a) Keadaan tertentu; dan/atau (b) Pengadaan Barang khusus/pekerjaan Konstruksi khusus/ Jasa Lainnya yang bersifat khusus. ii. Penunjukan Langsung dilakukan dengan mengundang 1 (satu) Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang dinilai mampu melaksanakan pekerjaan dan/atau memenuhi kualifikasi. iii. Penunjukan Langsung dilakukan dengan negoisasi baik teknis maupun harga sehingga diperoleh harga yang sesuai dengan harga pasar yang berlaku dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. iv. Kriteria keadaan tertentu yang memungkinkan dilakukan Penunjukan Langsung terhadap Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi: 56

57 (a) penanganan darurat yang tidak bisa direncanakan sebelumnya dan waktu penyelesaian pekerjaannya harus segera/tidak dapat ditunda untuk: (i) pertahanan negara; (ii) keamanan dan ketertiban masyarakat; (iii)keselamatan/perlindungan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda/harus dilakukan segera, termasuk: 1) akibat bencana alam dan/atau bencana non alam dan/atau bencana social; 2) dalam rangka pencegahan bencana;dan/atau 3) akibat kerusakan sarana/prasarana yang dapat menghentikan kegiatan pelayanan public. (b) Pekerjaan penyelenggaraan penyiapan konferensi yang mendadak untuk menindaklanjuti komitmen internasional dan dihadiri oleh Presiden/Wakil Presiden; (c) Kegiatan menyangkut pertahanan Negara yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan serta kegiatan yang menyangkut keamanan dan ketertiban masyarakat yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 57

58 C1. Kegiatan bersifat rahasia untuk kepentingan intelijen dan/atau perlindungan saksi sesuai dengan tugas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; atau (d) Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang spesifik dan hanya dapat dilaksanakan oleh 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa Lainnya karena 1 (satu) pabrikan, 1 (satu) pemegang hak paten, atau pihak yang telah mendapat izin dari pemegang hak paten, atau pihak yang menjadi pemegang pelelangan untuk mendapatkan izin dari pemerintah. v. Kriteria Barang khusus/pekerjaan Konstruksi khusus/jasa Lainnya yang bersifat khusus yang memungkinkan dilakukan Penunjukan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi: (a) Barang/Jasa Lainnya berdasarkan tariff resmi yang ditetapkan pemerintah; (b) Pekerjaan Konstruksi bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem konstruksi dan satu kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan bangunan yang secara keseluruhan tidak dapat direncanakan/diperhitungkan sebelumnya (unforeseen condition); (c) Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bersifat kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan hanya ada 1 (satu) Penyedia yang mampu; (d) Pekerjaan Pengadaan dan distribusi bahan obat, obat dan alat kesehatan habis pakai dalam rangka menjamin ketersediaan obat untuk pelaksanaan 58

59 peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat yang jenis dan harganya telah ditetapkan olh Menteri yang bertanggungjawab di bidang kesehatan; (e) Pengadaan kendaraan bermotor dengan harga khusus untuk pemerintah yang telah dipublikasikan secara luas kepada masyarakat; (f) Sewa penginapan/hotel/ruang rapat yang tarifnya terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat; (g) Lanjutan sewa gedung/kantor dan lanjutan sewa ruang terbuka atau tertutup lainnya dengan ketentuan dan tata cara pembayaran serta penyesuaian harga yang dapat dipertanggungjawabkan; atau (h) Pekerjaan pengadaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum di lingkungan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang dilaksanakan oleh pengembang/developer yang bersangkutan. e. Pengadaan Langsung Tata cara pengadaan langsung adalah sebagai berikut : i. Pengadaan Langsung dapat dilakukan terhadap Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp ,00 (dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan: (a) Kebutuhan operasional Kementrian/Lembaga/Departemen/ Instansi (K/L/D/I); (b) Teknologi sederhana; (c) Risiko kecil; dan/atau 59

60 (d) Dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang-perseorangan dan/atau badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan koperasi kecil. ii. Pengadaan Langsung dilaksanakan berdasrkan harga yang berlaku di pasar kepada Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya. iii. iv. Dihapus. PA/KPA dilarang menggunakan metode Pengadaan Langsung sebagai alasan untuk memecah paket Pengadaan menjadi beberapa paket dengan maksud untuk menghindari pelelangan. f. Kontes/Sayembara Metode sayembara dapat dipilih dengan persyaratan sebagai berikut : i. Sayembara digunakan untuk Pengadaan Jasa Lainnya yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Merupakan proses dan hasil dari gagasan, kreativitas, inovasi, budaya dan metode pelaksanaan tertentu; dan (b) Tidak dapat ditetapkan berdasarkan Harga Satuan. ii. Kontes digunakan untuk Pengadaan Barang yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Tidak mempunyai harga pasar; dan (b) Tidak dapat ditetapkan berdasarkan Harga Satuan. 60

61 iii. ULP/Pejabat Pengadaan menetapkan persyaratan administrative dan tknis bagi: (a) Penyedia Barang yang akan mengikuti Kontes; (b) Penyedia Jasa Lainnya yang akan mengikuti Sayembara. iv. Dalam menetapkan persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ULP/Pejabat Pengadaan dapat menetapkan syarat yang lebih mudah dari persyaratan Penyedia Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. v. Persyaratan teknis disusun oleh tim yang ahli di bidangnya. vi. Penyusunan metode evaluasi dan pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh tim yang ahli di bidangnya. g. Swakelola Metode pengadaan lainnya adalah swakelola, adapun ketentuannya adalah : i. Swakelola merupakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan, dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagaimana penanggungjawab anggaran, instansi pemerintah lain, dan/atau kelompok masyarakat. ii. Pekerjaan dapat dilakukan dengan Swaklola meliputi: (a) Pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau memanfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia, serta sesuai dengan tugas dan fungsi K/L/D/I; 61

62 (b) Pekerjaan operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat setempat atau dikelola oleh K/L/D/I; (c) Pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak diminati oleh Penyedia Barang/Jasa; (d) Pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ditentukan terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa akan menimbulkan ketidakpastian dan risiko yang besar; (e) Penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan; (f) Pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survey yang bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa; (g) Pekerjaan survey, pemrosesan data, perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di laboratorium, dan pengembangan system tertentu; (h) Pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan; (i) Pekerjaan Industri Kreatif, inovatif, dan budaya dalam negeri; (j) Penelitian dan pengembangan dalam negeri; dan/atau (k) Pekerjaan pengembangan industry pertahanan, industry alutsista, dan industry almatsus dalam negeri. 62

63 iii. Prosedur Swakelola meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, penyerahan, pelaporan, dan pertanggungjawaban pekerjaan. iv. Pengadaan melalui Swakelola dapat dilakukan oleh: (a) K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran; (b) Instansi Pemerintah lain Pelaksana Swakelola; dan/atau (c) Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola v. PA/KPA menetapkan jenis pekerjaan serta pihak yang akan melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa secara Swakelola. Metode pemasukan dokumen : a. Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan menyusun dan menetapkan metode pemasukan Dokumen Penawaran. b. Metode pemasukan Dokumen Penawaran terdiri atas: i. Metode satu sampul ii. Metode dua sampul; atau iii. Metode dua tahap. c. Metode satu sampul digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa yang sederhana, dimana evaluasi teknis tidak dipengaruhi oleh harga dan memiliki karakteristik sebagai berikut: i. Pekerjaan yang bersifat sederhana dengan standar harga yang telah ditetapkan pemerintah; ii. Pengadaan Jasa Kosultansi dengan KAK yang sederhana; atau 63

64 iii. Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang spesifikasi teknis atau volumenya dapat dinyatakan secara jelas dalam Dokumen Pengadaan. d. Selain Pengadaan Barang/Jasa yang memiliki karakteristik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), metode satu sampul digunakan dalam Penunjukan Langsung/Pengadaan Langsung/Kontes/Sayembara. e. Metode dua sampul digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa dimana evaluasi teknis dipengaruhi oleh penawaran harga, dan digunakan untuk: i. Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang menggunakan evaluasi sistem nilai atau sistem biaya selama umur ekonomis. ii. Pengadaan Jasa Konsultansi yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Dibutuhkan penilaian yang terpisah antara persyaratan teknis dengan harga penawaran, agar penilaian harga tidak mempengaruhi penilaian teknis; atau (b) Pekerjaan bersifat kompleks sehingga diperlukan evaluasi teknis yang lebih mendalam. f. Metode dua tahap digunakan untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang memiliki karakteristik sebagai berikut: i. Pekerjaan bersifat kompleks; 64

65 ii. Memenuhi criteria kinerja tertentu dari keseluruhan system, termasuk pertimbangan kemudahan atau efisiensi pengoperasian dan pemeliharaan peralatannya; iii. Mempunyai beberapa alternative penggunaan system dan desain penerapan teknologi yang berbeda; iv. Membutuhkan waktu evaluasi teknis yang lama; dan/atau v. Membutuhkan penyetaraan teknis. 2. Produksi/pembuatan sediaan farmasi Produksi sediaan farmasi dirumah sakit merupakan kegiatan membuat, mengubah bentuk dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau non-steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kriteria perbekalan farmasi yang diproduksi di rumah sakit adalah: a. Sediaan farmasi dengan formula khusus. b. Sediaan farmasi dengan mutu sesuai standar dengan harga lebih murah. c. Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil. d. Sediaan farmasi yang tidak tersedia dipasaran. e. Sediaan farmasi untuk penelitian. f. Sediaan nutrisi parenteral. g. Rekonstruksi sediaan obat kanker. h. Sediaan farmasi yang harus selalu dibuat baru. Perbedaan dari berbagai metode pengadaan, kelebihan dan kelemahan dari masing-masing metode pengadaan dapat dilihat pada tabel 2. 65

66 Tabel 2. Macam-macam Metode Pengadaan Metode Pengadaan Tender Terbuka Tender Terbatas Negosiasi Kompetitif Langsung Deskripsi Singkat Melibatkan semua supplier yang tertarik Partisipasi supplier terbatas, yaitu yang sudah terdaftar di pemerintahan atau yang telah memenuhi syarat Pembeli melakukan pendekatan terhadap sejumlah kecil dari supplier yang potensial dan menawarkan harga yang spesifik atau penataan pelayanan Dapat membeli langsung ke supplier tunggal pada quoted price Biaya Umumnya rendah Favorable Dapat Favorable Umumnya mahal Lead Time Sedang panjang Sedangpanjang Pendekpanjang Pendekpanjang Beban Kerja Tinggi Tinggi Sedang Rendah Evaluasi Supplier Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Kondisi metode dipilih - Ketika pemasok yang berpartisipasi mempunyai reputasi baik. - Jika persyaratan yang diajukan tidak terpenuhi. - Ketika daftar pemasok yang memenuhi syarat sudah diketahui. - Ketika ada pengaturan prekualifikasi dan monitoring supplier. - Pengalaman pembelian dengan akses yang baik terhadap pasar. - Harga barang rendah, jumlah pembelian sedikit. - Saat spesifikasi yang dibutuhkan pembeli tidak tersedia secara luas. - Barang-barang emergency, item obat sedikit, dan jika tidak mungkin dilakukan negosiasi. - Pembelian sumber obat tunggal. - Barang murah atau jumlahnya sedikit. Jenis sediaan farmasi yang diproduksi : a. Produksi steril Kegiatan sterilisasi alat kesehatan dan lainnya yang berada dibawah taggung jawab instalasi farmasi. Di bagian ini lakukan 66

67 sterilisasi terhadap alat kesehatan, pembuatan aquadest, NaCI 0,9 % dengan mengunakan peralatan yang menunjang pelaksanaannya. Untuk sterilisasi digunakan autoklaf, untuk pembuatan aquadest digunakan alat destilasi, sedangkan pembuatan NaCl 0,9 % dibuat dengan menggunakan larutan aquadest. Kegiatan produksi dilakukan untuk obat yang diracik atau recentus paratus (dibuat segar/ baru). Kegiatan farmasi digudang meliputi perencanaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pelaporan. Gudang juga berada di bawah instalasi farmasi yang dikepalai oleh seorang Apoteker. Persyaratan teknis untuk produksi steril: a. Ruangan aseptis b. Peralatan : contohnya LAF, autoclave, oven, alat pelindung diri c. SDM : petugas terlatih b. Produksi non-steril a. Pembuatan puyer b. Pembuatan sirup (contoh: OBH, OBP) c. Pengemasan kembali (contoh: alkohol, H2O2) d. Pengenceran (contoh: antiseptik, desinfektan) Persyaratan teknis produksi nonsteril: a. Ruangan khusus untuk pembuatan b. Peralatan: peracikan, pengemasan c. SDM: petugas terlatih. 4. Sumbangan/dropping/hibah Pada prinsipnya pengelolaan perbekalan farmasi dari hibah mengikuti kaidah umum pengelolaan perbekalan farmasi regular. 67

68 Sumbangan bisa berasal dari pemerintah atau APBN. Contoh : pada program pemberantasan penyakit HIV/AIDS dan TB Paru, terdapat beberapa obat yang di cover oleh pemerintah. 68

69 BAB V PENGENDALIAN PERSEDIAAN OBAT DI RUMAH SAKIT Pelayanan farmasi disetiap rumah sakit dimaksudkan untuk memastikan penggunaan obat yang aman dan tepat. Pemenuhan tanggung jawab ini ditingkatkan melalui keterlibatan apoteker dalam semua aspek dari penggunaan obat. Keterlibatan ini juga termasuk keputusan dan tindakan yang berkaitan dengan evaluasi, pengadaan, penyimpanan, distribusi dan pemberian semua obat. Apoteker bertanggung jawab untuk pengembangan semua kebijakan pengendalian penggunaan obat dengan berkonsultasi dengan profesional lain, bagian dan interdisiplin yang sesuai dalam rumah sakit (Siregar dan Amalia, 2004). Pengawasan terhadap persediaan yang dikenal juga sebagai inventory control adalah bagaimana fungsi tersebut dapat dilaksanakan secara efektif. Hal ini dapat dicapai apabila dapat ditemukan jawaban yang benar atas tiga pertanyaan tersebut: a. Berapa banyak suatu item obat/barang akan dipesan pada suatu waktu? b. Kapan dilakukan pesanan ulang terhadp item tersebut? c. Yang mana dari item-item obat perlu dilakukan pengawasan? (Seto, 2001) Inventori adalah suatu sistem untuk menjaga agar persediaan obat selau ada untuk waktu yang telah ditentukan dan merupakan bagian yang penting dari sistem suplai obat. Dengan adanya sistem inventori obat menjamin ketika ada pasien membutuhkan obat akan memperoleh obat yang tepat dan menghindari kerugian akibat kerusakan obat (Quick et al., 1997). Tujuan inventory control adalah menciptakan keseimbangan antara persediaan dan permintaan oleh karena itu hasil stock opname harus seimbang dengan permintaan yang didasarkan atas satu kesatuan waktu tertentu ( Anief, 2001) Tanggung jawab apoteker untuk pengendalian penggunaan obat meliputi seluruh bagian /bidang /unit rumah sakit yang dilayani. Apoteker harus bertanggung jawab atas kebijakan penggunaan obat dan inspeksi rutin terhadap semua persediaan obat di 69

70 semua lokasi tersebut, bahkan juga di lokasi yang penguasaan dan tidak dilakukan secara langsung oleh IFRS ( Siregar dan Amalia, 2004). A. Manfaat Dari Proses Pengendalian Obat Tujuan sistem pengendalian persediaan obat adalah menciptakan keseimbangan antara persediaan dan permintaan (Anief, 2001). Selain itu sistem pengendalian persediaan obat mempunyai beberapa tujuan yang sangat penting antara lain : a. Melindungi dari kerugian Persediaan dapat melindungi dari berbagai fluktuasi dari permintaan dan penawaran. Jika distribusi obat dari pemasok terlambat atau permintaan tiba-tiba meningkat seperti pada kasus penyakit endemik tertentu, maka sistem persediaan yang baik dapat melindungi persediaan dari stok kosong. b. Memungkinkan pembelian dalam jumlah yang besar Harga unit-unit dari obat dengan sistem manufaktur biasanya lebih rendah, dan hal tersebut dihasilkan dari sistem persediaan yang baik. c. Meminimalkan waktu tunggu untuk memperoleh obat Sistem persediaan obat dapat meningkatkan ketersediaan obat secara optimal, sehingga pelayanan kesehtan dapt ditingkatkan. d. Meningkatkan efisiensi transportasi Jika tidak ada sistem persediaan, maka akan terjadi pemesanan obat sacara berulang-ulang sehingga biaya transportasi meningkat. e. Untuk mengantisipasi fluktuasi musiman Fluktuasi akan permintaan sulit untuk diprediksi. Sistem persediaan akan mengantisipasi kenaikan permintaan yang tidak menentu (Quick et al., 1997). B. Masalah Pengendalian Persediaan Masalah Klasik dari pengendalian persediaan adalah bagaiman cara menyeimbangkan antara pengaturan persediaan dengan biaya biaya yang ditimbulkannya (Quick et al., 1997). 70

71 Dalam mengambil keputusan tentang persediaan baik jumlah maupun waktu pemesanannya harus memperhatikan dan mempertimbangkan biaya-biaya variabel sebagai berikut: 1. Biaya penyimpanan (holding cost/carrying cost) Biaya variabel yang berhubungan langsung dengan jumlah persediaan, antara lain: biaya fasilitas penyimpanan, biaya modal, biaya resiko kerusakan, biaya keuangan, biaya pajak persediaan. 2. Biaya pemesanan (order cost) Setiap kali suatu bahan/ obat dipesan, akan menanggung biaya pemesanan, antara lain: biaya telepon, biaya pemrosesan upah biaya pengepakan dan penimbangan, biaya pemeriksaan penerimaan dan biaya pengiriman ke gudang. 3. Biaya penyiapan Biaya yang harus ditanggung oleh pabrik dalm memproduksi suatu komponen apabila bahan-bahan tersebut tidak dibeli tetapi diproduksi sendiri, seperti biayabiaya mesin tiadak terpakai, persiapan tenaga kerja langsung, penjadwalan, ekspedisi. 4. Biaya kehabisan /kekurangan bahan Biaya ini terjadi apabila persediaan tidak mencukupi terhadap permintaan atas bahan tersebut, seperti adanya biaya karena pemesanan khusus, biaya kegitan administrasi, kehilangan pelanggan, dan lain-lain. C. Model-Model Pengendalian Persediaan Terdapat 2 model dasar dalam pengendalian persediaan, yaitu: a. Sistem periodik: sistem ini dikenal juga dengan nama sistem interval pasti (fixed interval sistem), sistem T (time), atau atau juga sistem EOI (Economic Order interval). Pengendalian persediaan di dasarkan pada waktu interval pemesanan. b. Sistem Perpetual : disebut juga sebagai sistem kuantitas pasti, sistem kuantitas, atau Economic Order Quantity (EOQ). Level inventori untuk 71

72 masing-masing item barang dilakukan secara kontinyu dan pada saat stok turun dibawah level reorder yang telah direncanakan, maka pemensanan dimulai (Quick et al, 1997) Ada beberapa sistem pengendalian persediaan, yaitu: 1. Model ABC (Always Better Control) Pengendalian perusahaan berhubungan dengan aktivitas pengaturan persediaan bahan agar dapat menjamin persediaan dan pelayanannya kepada pasien. Salah satu pengendalian persediaan adalah dengan metode ABC atau analisis pareto. Analisis ABC ini menekankan kepada persediaan yang mempunyai nilai penggunaan yang relatif tinggi atau mahal. Sistem analisis ABC ini berguna dalam sistem pengelolaan obat, yaitu dapat menimbulkan frekuensi pemesanan dan menentukan prioritas pemesanan berdasrkan nilai atau harga obat. Alokasi anggaran ternyata didominasi hanya oleh sebagian kecil atau beberapa jenis perbekalan farmasi saja. Suatu jenis perbekalan farmasi dapat memakan anggaran besar karena penggunaannya banyak, atau harganya mahal. Dengan analisis ABC, jenis-jenis perbekalan farmasi ini dapat diidentifikasi, untuk kemudian dilakukan evaluasi lebih lanjut. Analisis ini berguna pada setiap sistem suplai untuk menganalisis pola penggunaan dan nilai penggunaan total semua item obat. Hal itu memungkinkan untuk mengklasifikasikan item-item persediaan menjadi 3 kategori (A, B, dan C) sesuai dengan nilai penggunaannya. Pembagian 3 kategori tersebut adalah sebagai berikut : A : merupakan % jumlah item menggunakan % dana B : merupakan % jumlah item menggunakan % dana C : merupakan % jumlah item menggunakan 5-10 % dana Langkah-langkah menentukan kelompok A, B dan C: 72

73 1) Hitung jumlah dana yang dibutuhkan untuk masing-masing obat dengan cara kuantum obat x harga obat. 2) Tentukan rankingnya mulai dari dana terbesar sampai terkecil. 3) Hitung persentasenya terhadap total dana yang dibutuhkan. 4) Hitung kumulasi persennya. 5) Obat kelompok A termasuk dalam kumulasi 75%. 6) Obat kelompok B termasuk dalam kumulasi > 75% s/d 95%. 7) Obat kelompok C termasuk dalam kumulasi > 95% s.d 100% Klas A 60 % Biaya Pema kaian Klas B Klas C % item persediaan Gambar 3. Grafik analisis ABC (% biaya pemakaian vs % item persediaan) Untuk memudahkan perhitungan analisis ABC, dapat dilihat dalam contoh latihan analisis ABC dibawah ini. 73

74 Tabel 3. Contoh Latihan Analisis ABC No nama obat jumlah obat harga satuan (Rp) 1 Amoxicillin OGB (Kapsul) ,3 2 Amoxil (Vial) ,2 3 Asmacare (tablet 2 mg) Asmacare (tablet 4 mg) Aspilets (tablet 80 mg) ,83 6 Atrovent (botol larutan inhalasi) Aztrin (kapsul) ,67 8 Becotide (Rotacap) Berotec (botol larutan inhalasi) Betablok (tablet 100 mg) Bricasma (Botol sirup) Capoten (tablet 12,5 mg) ,3 13 Capoten (tablet 25 mg) ,67 14 Cardioaspirin (tablet) Cerif (kapsul) ,25 16 Depakene (botol sirup) Depakote (tablet 250 mg) Dexametason generik (tablet) ,3 19 Diazepam (ampul) ,25 20 Digoxin OGB (tablet 0,0625 mg) Digoxin OGB (tablet 0,25 mg) Digoxin Sandos (tablet) ,5 23 Dilantin (kapsul 100 mg) ,15 24 Dopamin HCl (ampul) Dopamin Hcl (vial) Eritromisin OGB (Kapsul) ,33 27 Erphatrocin (Kapsul) Erphatrocin (Tablet) ,5 29 Ethambutol OGB (tablet) Extracaine (ampul) Fargoxin (tablet 0,25 mg)

75 32 Farnormin (tablet 50 mg) Farsorbid (tablet 10 mg) Farsorbid (tablet 5mg) Fenobarbital (ampul) Folic acid (tablet 1 mg) Folic acid (tablet 5 mg) ,45 38 Furosemid OGB (ampul) Furosemid OGB (tablet) Furosix (ampul) Furosix (tablet) Glibenklamid OGB (tablet 5mg) Glumin (tablet 600 mg) Glumin (tablet 850 mg) HCT OGB (tablet) Herbesser (tablet SR 90 mg) ,4 47 Inderal (tablet 10 mg) Inderal (tablet 40 mg) INH OGB (tablet) Inoxin (tablet) Kaptopril OGB (tablet 12,5 mg) Kaptopril OGB (tablet 25 mg) ,67 53 Karbamazepin (tablet 200 mg) Kutoin (kapsul 100 mg) Lantus (vial) Lasix (ampul) Lasix (tablet) Libronil (kaplet 5 mg) Medinhod (botol sirup) Metformin HCl OGB (tablet 500 mg) ,5 61 Metformin HCl OGB (tablet 850 mg) Monecto (tablet 20 mg) Neotibi (kaplet) Nitrocin (ampul) Pharozinamida (tablet) Phenytoin (ampul)

76 67 Phenytoin (kapsul 100 mg) Pirazinamid OGB (tablet) Pulmicort (turbuhaler) Renabetic (tablet 5mg) Rifam (botol sirup) Rifampisin OGB (kapsul) Salbutamol OGB (tablet 2 mg) Salbutamol OGB (tablet 4 mg) Scantensin (tablet 12,5 mg) Scantensin (tablet 25mg) ,17 77 Symbicort (Turbulaher) Tegretol (botol suspensi) 50 43,69 79 Tegretol (tablet CR 200 mg) Tegretol (tablet kunyah 100 mg) ,5 81 Terasma (tablet) Teril (tablet 200 mg) ,5 83 Tibigon (tablet) Tibitol (tablet) Topcillin (Kaplet) Topcillin (Kapsul) Topcillin (Sirup Kering Botol) Zithrax (kapsul) Tabel 4. Setelah dilakukan dengan analisis ABC, hasilnya adalah seperti tabel dibawah ini: No nama obat jumlah obat harga satuan (Rp) nilai (Rp) persen % kumulatif kelompok 55 Lantus (vial) ,33 24,33 A 71 Rifam (botol sirup) ,34 42,67 A 7 Aztrin (kapsul) ,93 48,60 A Rifampisin OGB 72 (kapsul) ,13 53,73 A 63 Neotibi (kaplet) ,08 57,82 A 88 Zithrax (kapsul) ,82 61,63 A 76

77 Cerif (kapsul) ,62 65,26 A Pirazinamid OGB 68 (tablet) ,52 68,78 A 65 Pharozinamida (tablet) ,44 72,22 A 29 Ethambutol OGB (tablet) ,55 74,78 A 59 Medinhod (botol sirup) ,08 76,85 B 84 Tibitol (tablet) ,53 78,38 B Atrovent (botol 6 larutan inhalasi) ,30 79,68 B 77 Symbicort (Turbulaher) ,27 80,94 B 83 Tibigon (tablet) ,22 82,16 B 25 Dopamin Hcl (vial) ,17 83,33 B 8 Becotide (Rotacap) ,12 84,45 B 47 Inderal (tablet 10 mg) ,12 85,56 B Topcillin (Sirup 87 Kering Botol) ,10 86,66 B 49 INH OGB (tablet) ,93 87,59 B 66 Phenytoin (ampul) ,87 88,46 B 50 Inoxin (tablet) ,84 89,30 B Bricasma (Botol 11 sirup) ,78 90,08 B 69 Pulmicort (turbuhaler) ,66 90,74 B 56 Lasix (ampul) ,64 91,38 B Asmacare (tablet 4 4 mg) ,60 91,98 B 46 Herbesser (tablet SR 90 mg) ,53 92,51 B 24 Dopamin HCl (ampul) ,50 93,01 B 77

78 26 Eritromisin OGB (Kapsul) ,47 93,48 B 48 Inderal (tablet 40 mg) ,47 93,95 B Asmacare (tablet 2 3 mg) ,45 94,39 B 64 Nitrocin (ampul) ,42 94,82 B 86 Topcillin (Kapsul) ,34 95,16 C 27 Erphatrocin (Kapsul) ,34 95,49 C Glumin (tablet mg) ,32 95,82 C 44 Glumin (tablet 850 mg) ,31 96,13 C 28 Erphatrocin (Tablet) ,30 96,43 C Depakote (tablet mg) ,23 96,66 C 57 Lasix (tablet) ,20 96,86 C Digoxin Sandos 22 (tablet) ,18 97,04 C 13 Capoten (tablet 25 mg) ,17 97,21 C 12 Capoten (tablet 12,5 mg) ,16 97,38 C 62 Monecto (tablet 20 mg) ,16 97,54 C 10 Betablok (tablet 100 mg) ,16 97,69 C 30 Extracaine (ampul) ,14 97,83 C Berotec (botol larutan 9 inhalasi) ,13 97,97 C 2 Amoxil (Vial) ,13 98,10 C Metformin HCl OGB 60 (tablet 500 mg) ,12 98,22 C 1 Amoxicillin OGB (Kapsul) ,11 98,33 C 18 Dexametason generik (tablet) ,10 98,43 C 23 Dilantin (kapsul 100 mg) ,09 98,52 C 78

79 Farsorbid (tablet 10 mg) ,09 98,61 C Farnormin (tablet 50 mg) ,09 98,70 C Salbutamol OGB (tablet 2 mg) ,09 98,79 C Metformin HCl OGB (tablet 850 mg) ,09 98,88 C Phenytoin (kapsul 100 mg) ,08 98,96 C Scantensin (tablet 25mg) ,08 99,04 C Salbutamol OGB (tablet 4 mg) ,08 99,12 C Farsorbid (tablet 5mg) ,08 99,20 C 81 Terasma (tablet) ,08 99,28 C Scantensin (tablet 75 12,5 mg) ,08 99,36 C 31 Fargoxin (tablet 0,25 mg) ,07 99,43 C 82 Teril (tablet 200 mg) ,06 99,49 C 85 Topcillin (Kaplet) ,06 99,55 C 41 Furosix (tablet) ,05 99,60 C Kutoin (kapsul mg) ,05 99,65 C 14 Cardioaspirin (tablet) ,04 99,69 C Kaptopril OGB 52 (tablet 25 mg) ,04 99,72 C 51 Kaptopril OGB (tablet 12,5 mg) ,03 99,76 C 79 Tegretol (tablet CR 200 mg) ,03 99,79 C 5 Aspilets (tablet 80 mg) ,03 99,82 C 16 Depakene (botol sirup) ,03 99,85 C 53 Karbamazepin (tablet 200 mg) ,03 99,88 C 80 Tegretol (tablet kunyah 100 mg) ,02 99,90 C 79

80 Furosemid OGB (ampul) ,02 99,92 C Glibenklamid OGB (tablet 5mg) ,02 99,93 C Furosemid OGB (tablet) ,01 99,95 C Digoxin OGB (tablet 0,0625 mg) ,01 99,96 C 19 Diazepam (ampul) ,01 99,97 C 40 Furosix (ampul) ,01 99,98 C Digoxin OGB (tablet 21 0,25 mg) ,01 99,98 C 70 Renabetic (tablet 5mg) ,00 99,99 C 37 Folic acid (tablet 5 mg) ,00 99,99 C 35 Fenobarbital (ampul) ,00 99,99 C Folic acid (tablet 1 36 mg) ,00 100,00 C 58 Libronil (kaplet 5 mg) ,00 100,00 C 45 HCT OGB (tablet) ,00 100,00 C Tegretol (botol 78 suspensi) ,00 100,00 C Total Berdasarkan analisis ABC ini, maka aktivitas pengadaan persediaan obat dapat dikendalikan dengan menentukan frekuensi pesanan, yaitu item A dipesan harus lebih hati-hati, lebih sering, dan dalam jumlah yang lebih sedikit untuk meminimalkan biaya pengadaan, persediaan pengaman rendah, item B dikendalikan dengan frekuensi dan jumlah pengadan yang optimal, dan item C usaha pengendaliannya minimum. 2. Analisis VEN 80

81 Klasifikasi barang persediaan menjadi golongan VEN (Vital, Esensial dan Non esensial) ditentukan oleh faktor makro (misalnya peraturan pemerintah atau data epidemiologi wilayah) dan faktor mikro (misalnya jenis pelayanan kesehatan yang tersedia di RS yang bersangkutan). Kategori obat-obat dalam sistem VEN yaitu : 1) V (Vital) adalah obat-obat yang termasuk dalam potensial life-saving drugs. Mempunyai efek withdrawal secara signifikan atau sangat penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan dasar 2) E (Essensial) adalah obat-obat yang efektif untuk mengurangi kesakitan, namun demikian sangat signifikan untuk bermacam-macam obat tapi tidak vital untuk penyediaan sistem kesehatan dasar 3) N (Non Essensial) adalah obat-obat yang digunakan untuk penyakit minor atau penyakit tertentu yang efikasinya masih diragukan, termasuk terhitung mempunyai biaya yang tinggi untuk memperoleh keuntungan terapeutik. Langkah-langkah menentukan VEN: menyusun kriteria menentukan VEN, menyediakan data pola penyakit, dan merujuk pada pedoman pengobatan. Tabel 5. Perbedaan kategori obat Vital, Esensial dan Non Esensial. Characteristic of drug or target condition Occurance of target condition: - Persons affected (% of population) -Person treated (number perday at average health center Severity of target condition - life threatening - Disabiling Vital Essensial Non Esens 0ver 5 % Over 5 Yes Yes 1-5 % 1-5 Occasionally Occasionally Less than 1% Les than 1 Rarely Rarely Therapeutic effect of Drug - Prevent serious disease - Cures serious disease - Treats minor, self limited, simtoms and conditions - Has proven efficacy - Has unproven efficacy Yes Yes No Always Never No Yes Possibly Ussually Rarrely No No Yes May or May May or may 3. Analisis Kombinasi ABC dan VEN 81

82 Analisis kombinasi VEN ABC dapat dilakukan dengan analisis PUT (Prioritas, Utama dan Tambahan), obat yang masuk Prioritas: harus diadakan tanpa memperdulikan sumber anggaran. Pada analisis ABC dan VEN termasuk dalam kelompok AV, BV dan CV. Obat Utama: Dialokasikan pengadaannya dari sumber dana tertentu. Pada analisis ABC dan VEN termasuk dlm kelompok AE, BE, CE, dan obat tambahan: dialokasikan pengadaannya setelah obat prioritas dan utama terpenuhi. Pada analisis ABC-VEN dlm kelompok AN, BN dan CN. Analisa kombinasi metode ABC dan VEN yaitu dengan melakukan pendekatan mana yang paling bermanfaat dalam efisiensi atau penyesuaian dana. Jenis obat yang termasuk kategori A (dalam analisis ABC) adalah benar-benar yang diperlukan untuk menanggulangi penyakit terbanyak, dan obat tersebut statusnya harus E dan sebagian V (dari analisa VEN). Sebaliknya jenis obat dengan status N harusnya masuk dalam kategori C. Pada tabel 3, merupakan tabel yang dapat digunakan untuk menetapkan prioritas pengadaan obat dimana anggaran yang ada tidak sesuai kebutuhan, dengan metode kombinasi ABC dan VEN. Tabel 6. Prioritas Pengadaan Obat dengan metode kombinasi ABC dan VEN A B C V VA VB VC E EA EB EC N NA NB NC Metode gabungan ini digunakan untuk melakukan pengurangan obat. Mekanismenya adalah obat yang masuk kategori NA menjadi prioritas pertama untuk dikurangi atau dihilangkan dari rencana kebutuhan, jika setelah dilakukan dengan pendekatan ini dana yang tersedia masih juga kurang, lakukan langkah selanjutnya. 82

83 Menurut Suciati dkk, 2006 dalam penelitiannya analisis perencanaan obat berdasarkan abc indeks kritis di instalasi farmasi menyebutkan bahwa pengelompokan obat dengan menggunakan nilai kritis obat dibuat berdasarkan efek terapi atau manfaat terapetik obat terhadap kesehatan pasien dengan mempertimbangkan efisiensi penggunaan dana yang ada. Pemrosesan data dimulai dengan dilakukannya pengumpulan data yang terbagi menjadi dua, yaitu data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan atau observasi langsung, wawancara dan pengisian kuesioner. Data tersebut dikumpulkan dan dilakukan analisis isi. Data sekunder diperoleh dari data di Instalasi Farmasi, Bagian Keuangan dan Bagian Logistik. Data yang berasal dari Instalasi Farmasi dikelompokkan berdasarkan analisis ABC Indeks Kritis. Analisis ABC Indeks Kritis digunakan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana dengan pengelompokkan obat atau perbekalan farmasi, terutama obat-obatan yang digunakan berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan. Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menghitung nilai pakai a. Menghitung total pemakaian obat b. Data pemakaian obat dikelompokkan berdasarkan jumlah pemakaian. c. Diurutkan dari pemakaian terbesar sampai yang terkecil d. Kelompok A dengan pemakaian 70% dari keseluruhan pemakaian obat e. Kelompok B dengan pemakaian 20% dari keseluruhan pemakaian obat f. Kelompok C dengan pemakaian 10% dari keseluruhan pemakaian obat. Dari 1007 items obat di Instalasi Farmasi RS. Karya Husada, dikelompokkan menurut besarnya jumlah pemakaian dengan sistem Pengelompokkan obat berdasarkan nilai pemakaian obat dalam analisis ABC di Instalasi Farmasi RS. Karya Husada, didapatkan hasil sebagai berikut. 83

84 Kelompok A: 124 item (12,31%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan jumlah pemakaian (69,10%) dari jumlah pemakaian seluruhnya. Kelompok B: 176 item (17,48%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan jumlah pemakaian (21,04%) dari jumlah pemakaian seluruhnya. Kelompok C: 707 item (70,21%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan jumlah pemakaian (9,86%) dari jumlah pemakaian seluruhnya. Hasil pengelompokkan tersebut dapat dilihat dalam table berikut:. 2. Menghitung nilai investasi a. Menghitung total investasi setiap jenis obat b. Dikelompokkan berdasarkan nilai investasi obat. c. Diurutkan dari nilai investasi terbesar sampai yang terkecil d. Kelompok A dengan nilai investasi 70% dari total investasi obat e. Kelompok B dengan nilai investasi 20% dari total investasi obat f. Kelompok C dengan nilai investasi 10% dari total investasi obat. Untuk pengelompokkan obat berdasarkan nilai investasi obat dalam analisis ABC, didapatkan hasil sebagai berikut : 84

85 Kelompok A: 76 item (7,55%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan nilai investasi sebesar Rp ,00 (70,16%) dari nilai investasi seluruhnya. Kelompok B:169 item (16,78%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan nilai investasi sebesar Rp ,00 (20,21%) dari nilai investasi seluruhnya. Kelompok C: 76 item (7,55%) dari total item obat di instalasi farmasi dengan nilai investasi sebesar Rp ,00 (9,64%) dari nilai investasi seluruhnya. Hasil pengelompokkan dapat dilihat pada Tabel Menentukan nilai kritis obat a. Menyusun kriteria nilai kritis obat b. Membagikan kuesioner berupa daftar obat kepada dokter untuk mendapatkan nilai kritis obat, dengan kriteria yang telah ditentukan. c. Dokter yang mengisi kuesioner tersebut adalah dokter yang berpengaruh terhadap peresepan dan pemakaian obat. Kuesioner yang berisi daftar obat dibagikan kepada dokter untuk mendapat penilaian mengenai nilai kritis. Dari kuesioner tersebut dilakukan analisis dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Lakukan survei tentang kekritisan obat terhadap dokter yang sering menulis resep. 2. Buat rata-rata skor dari setiap jenis obat. 85

86 3. Susun tabel obat dari skor tertinggi hingga skor terrendah. 4. Cek persentase (%) kumulatif. Penggolongan pada pemisahan % kumulatif menjadi 70% untuk kelompok X, 20% kelompok Y, dan 10% kelompok Z. Kriteria nilai kritis obat adalah : a. Kelompok X atau kelompok obat vital, adalah kelompok obat yang sangat essensial atau vital untuk memperpanjang hidup, untuk mengatasi penyakit penyebab kematian ataupun untuk pelayanan pokok kesehatan. Kelompok ini tidak boleh terjadi kekosongan. b. Kelompok Y atau kelompok obat essensial adalah obat yang bekerja kausal yaitu obat yang bekerja pada sumber penyebab penyakit, logistik farmasi yang banyak digunakan dalam pengobatan penyakit terbanyak. Kekosongan obat kelompok ini dapat ditolerir kurang dari 48 jam. c. Kelompok Z atau kelompok obat nonessensial, adalah obat penunjang agar tindakan atau pengobatan menjadi lebih baik, untuk kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan. Kekosongan obat kelompok ini dapat ditolerir lebih dari 48 jam. 4. Menentukan nilai indeks kritis obat Untuk mendapat NIK obat dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut. NIK = Nilai Pakai + Nilai Investasi + (2 x Nilai Kritis) 5. Pengelompokan obat ke dalam kelompok A, B dan C dengan kriteria : Kelompok A dengan NIK

87 Kelompok B dengan NIK Kelompok C dengan NIK Kelompok A dengan NIK tertinggi yaitu 12, mempunyai arti bahwa obat tersebut adalah obat dalam kategori kritis bagi sebagian besar pemakainya, atau bagi satu atau dua pemakai, tetapi juga mempunyai nilai investasi dan turn over yang tinggi. Penggunaan ABC Indek Kritis secara efektif dapat membantu RS dalam membuat perencanaan obat dengan mempertimbangkan aspek pemakaian, nilai investasi, kekritisan obat dalam hal penggolongan obat vital, essensial dan nonessensial. Standar terapi merupakan aspek penting lain dalam perencanaan obat karena akan menjadi acuan dokter dalam memberikan terapinya. Bila langkah-langkah dalam analisis ABC Indek Kritis terlalu sulit dilakukan atau diperlukan atau diperlukan tindakan cepat untuk mengevaluasi daftar perencanaan, sebagai langkah awal dapat dilakukan suatu evaluasi cepat (rapid evaluation), misalnya dengan melakukan revisi daftar perencanaan perbekalan farmasi. Namun sebelumnya, perlu dikembangkan dahulu kriterianya, perbekalan farmasi atau nama dagang apa yang dapaat dikeluarkan dari daftar. Manfaatnya tidak hanya dari aspek ekonomik dan medic, tetapi juga dapat berdampak positif dari beban stok. EOQ (Economic Order Quantity) 87

88 Metode ini dapat dipergunakan untuk menentukan jumlah pesanan persediaan yang menimimumkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. EOQ merupakan ukuran pesanan yang memperkecil total biaya (Seto, 2001). Untuk menentukan jumlah obat yang perlu dipesan maka hitung nilai EOQ dari masing-masing item obat. Makin besar persediaan berarti resiko penyimpanan semakin besar serta besarnya fasilitas yang harus dibangun, sehingga membutuhkan biaya pemeliharaan yang lebih besar, namun dilain pihak biaya pemesanan dan biaya distribusi menjadi lebih kecil. Ini berarti perlu adanya optimalisasi agar tercapai kesetimbangan antara membangun persediaan serta biaya distribusi dan pemesanan. Secara matematis perhitungan tersebut dirumuskan dalam rumus Jumlah pesanan yang ekonomis (Economic Order Quantity / EOQ EOQ adalah jumlah pemesanan ekonomis untuk sistem berulang, jumlah order untuk tiap barang bisa dicari dengan formula sebagai berikut: EOQ= 2CoS CmV Keterangan: Co : Cost per order (sekali pesan). Termasuk biaya telepon, fax, kertas dan biaya SDM Cm : Cost of maintenance atau biaya penyimpanan dari persediaan dalam setahun S : jumlah permintaan setahun V :Cost per unit Contoh perhitungan EOQ ringer laktat (dari kasus): Diketahui Co= Rp.5000,- S=640, Cm= 5% V = Rp.7259,- sehingga 2x5000x640 EOQ= botol, dibulatkan menjadi 133 botol 0.05x7259 Sehingga dari perhitungan tersebut diketahui bahwa persediaan (untuk sekali pesan) yang harus dibangun adalah 133 botol 88

89 EOI (Economic Order Interval) pendekatan EOI: Obat-obat yang digunakan habis waktu tertentu yang dihitung dengan EOI= 2Co CmV.. S Keterangan: Co = Cost per order (sekali pesan) Cm = Cost of maintenance dari persediaan dalam setahun S V = Jumlah permintaan setahun = Cost per unit Untuk Ringer laktat, akan habis dalam waktu: EOI= 2x5000 = 75,73 hari, dibulatkan menjadi 76 hari 0.098x7259x640 Sehingga diketahui bahwa obat yang dipesan akan habis dlam waktu 76 hari, sehingga interval pemesanan dilakukan setiap 76 hari sekali. Dari setiap nilai EOI masing-masing item obat dikurangi dengan lead time, sehingga ditemukan hari dimana rumah sakit harus memesan obat kembali atau re-order. Untuk mengantisipasi adanya stok out atau stok kosong di rumah sakit maka perlu adanya persediaan selama lead time atau waktu tunggu yang dinamakan safety stock. Safety stock secara umum merupakan level pengadaan ulang atau level persediaan maksimum termasuk dalam persediaan cadangan yang harus dimasukan dalam perhitungan. Safety Stock (SS) SS = (LT x CA) Keterangan: 89

90 LT CA : Lead time (waktu tunggu dari pesan obat sampai obat datang) : Consumption Average (rata-rata penggunaan sehari atau sebulan) Contoh: Misalkan lead time 2 hari, penggunaan Ringer laktat per tahun 640. Maka safety stock dari Ringer laktat dapat dihitung sebagai berikut: - Menghitung rata-rata penggunaan Ringer laktat perhari: = penggunaaan _ selama _ tahun 365_ hari 640 = 365 =1.75 botol - Menghitung safety stock = 2x1.75 = 3.51 botol 4 botol Stok Minimal dan maksimal Formula stock minimal dan maksimal sering digunakan dalam penjadwalan pembelian dengan menentukan interval waktu pemesanan. Dengan menggunakan pendekatan tersebut, dapat didefinisikan secara teoritis stok maksimum untuk tiap item berarti menyediakan stok yang cukup tapi tidak berlebihan, stok terakhir suatu pemesanan sampai pemesanan selanjutnya seperti halnya stok minimal, dimana suatu titik untuk dilakukan pemesanan kembali atau reorder point (ROP) (Quick dkk, 2007) Dalam inventory control, dasar reorder dengan parameter: 1.Average monthly consumption (CA) 2.Suplier lead time (LT) 3.Procurement period, time until the next order will be place (PP) 4.Stock on hand in inventory (S1) 5.Stock now on order from supplier but not yet received (S0) 6.Quantity of stock back-ordered to lower levels (SB) Stok minimum 90

91 Stok minimum merupakan minimal persediaan yang diatur untuk mencegah persediaan habis. level persediaan minimal harus juga dikendalikan dengan dasar perhitungan stok minimal dalam upaya keberlanjutan persedianan obat. Rumus stok minimal: Smin (Stok minimum) = (LT x CA) + SS = 2 SS Stok minimal =2x safety stock Dari kasus perhitungan diatas nilai safety stock adalah 3,51 Contoh perhitungan stok minimal = 2 x 3,51 = 7.01 botol 7 botol infuse. Stok Maksimal Rumus Stok maksimal Smax (stok maksimum) Smax = Smin + (PP x CA) Keterangan: Smax : Stok maksimum Smin : Stok minimum PP : Procurement Period (periode pengadaan) CA : Consumption Average (rata-rata penggunaan sehari atau sebulan) Contoh perhitungan stok maksimal untuk Asering 500cc, jika diketahui periode pengadaan setiap 7 hari: Stok maksimal = Smin + (PP x CA) 7 botol + (7 x 1,75) = 7 botol + 12,25 botol = 19,25 botol = 20 botol Sistem pengendalian pesediaan lainnya yang sering digunakan antara lain: 1. Model Fixed Order- Period 91

92 Model Fixed order-period adalah suatu model dimana pesananpesanan dilakukan setiap periode (missal 2 minggu atau bulan). Kuantitas order bisa bervariasi, tetapi setiap periode tingkat persediaan ditinjau kembali, dan pesanan dilakukan untuk mengisi persediaan sebesar optimal (Q). Model ini banyak dipakai karena perusahaan-perusahaan membeli komponen-komponen dengan basis periodik (Seto, 2001). Pada sistem ini, ada 2 nilai yang harus ditentukan yaitu: a. Interval waktu pemesanan b. Batas maksimum inventory setiap kali dilakukan pemesanan. Oleh karena jarak atau interval waktu antara pemesanan tersebut tetap, maka pengendalian lebih mudah dilakukan, tetapi kalau terjadi ketidaktepatan dalam penentuan batas maksimum inventori maka akan mengakibatkan inventory yang berlebihan atau akan terjadi kehabisan inventori. 2. Two bin sistem (two and bag account sistem) two and bag account sistem menggunakan dua kantung (bin). Merupakan variasi dari sistem perpetual. Stok dan masing-masing item dibagi dalam dua bagian/tempat yaitu bagian stok untuk stok kerja dan bagian yang lain merupakan stok simpanan. Kantung pertama merupakan tempat persediaan yang jumlahnya sama dengan jumlah inventory pada tingkat reorder point dan berfungsi sebagai inventory cadangan (reserve inventory). Inventory selebihnya (sisanya) diletakkan pada kantung kedua. Cara penggunaannya adalah mula-mula dipakai inventory dikantong kedua samapai habis. Saat inventory dikantung kedua habis, maka pemesanan ulang harus dilakukan sebelum inventory diksntung pertama habis. Apabila obat yang dipesan untuk pengisian kantung kedua telah tiba, kantung pertama diisi kembali sesuai jumlah semula (sebagai cadangan) dan sisanya dimasukkan dalam kantung pertama (Seto, 2001) 3. One bin sistem Dengan menggunakan satu kantong persediaan. Didalam kantong persediaan ini diadakan pembagian terhadap persediaan menjadi dua bagian. 92

93 a. Bagian 1 : untuk memenuhi kebutuhan rutin b. Bagian 2 : untuk memenuhi kebutuhan selam periode pengisian kembali. Cara ini memberikan keuntungan karena mudah dalam pencatatan persediaan. Syarat untuk pengendalian persediaan dengan 1 atau 2 kantong adalah: a. Apabila holding cost cukup mahal b. Apabila obat yang diminta/dipergunakan adalah tertentu dan jenisnya tidak banyak c. Apabila kepastian waktu pemesanan tidak jelas 4. Fixed Order Quantity Sistem (Sistem jumlah pesanan tetap) Fixed Order Quantity Sistem hanya digunakan untuk pemesanan obat tertentu, jumlah yang dipesan dari pemasok (suplier) adalah tetap pada titik kritis (order point = OP/reorder point = ROP). Jumlah yang dipesan adalah jumlah paling ekonomis ditinjau dari biaya-biaya yang yang harus dikeluarkan. Untuk Fixed Order Quantity Sistem, ada 2 nilai yang harus ditentukan untuk setiap jenis obat/barang (Seto, 2001): a. Berapa jumlah yang harus dipesan (Q) b. Kapan harus dilakukan pemesanan. 5. Kombinasi antara EOQ dengan analisa ABC Kombinasi ditekankan pada inventory cadangan (safety stock) dan periode pesanan/frekuensi pesanan per periode tertentu (N kali pesanan), terutama untuk kelompok A dengan inventori cadangan yang sedikit dengan periode pesanan sesering mungkin. 6. Safety stock (buffer stock) Sistem Safety stock adalah inventori tambahan yang diadakan untuk melindungi atau menjaga kemungkinan terjadi kekurangan inventory (stock out) yang disebabkan oleh penggunaan yang lebih besar dari perkiraan semula. Hal ini juga bisa terjadi karena keterlambatan barang/obat yang dipesan sampai digudang 93

94 penyimpanan (lead time lebih lama dari yang diperkirakan semula). Safety stock ditentukan besarnya: SS = L x d SS = safety Stock L = lead time d = rata-rata kebutuhan per hari Menurut Quick dkk, 1997, model ideal dalam pengelolaan inventori terdiri dari dua komponen, yaitu: stock kerja (working stock) dan stock pengaman (safety stock), yang disebut juga inventory cadangan (buffer-stock) (SS). Besarnya stock kerja berkisar antara 0 sampai sebesar jumlah sekali pembelian (Q) dan dimaksudkan untuk untuk melayani permintaan selama jangka waktu antara dua pembelian, sedangkan inventori cadangan berguna untuk mencegah kehabisan stock apabila pemenuhan permintaan terlambat atau permintaan di pelayanan yang meningkat luar biasa. Pada model inventori yang ideal, volume inventori akan menurun menurut garis miring sampai suatu titik yang menunjukkan harus dilakukan pembelian baru (reorder point). Jangka waktu antara pemesanan pembelian sampai datangnya pesanan disebut waktu tunggu (lead time). Pada saat pesanan datang maka volume inventori akan maksimal kembali yaitu Q + SS. 7. Card file system Sistem pencatan dengan kartu stok sederhana. Sistem kartu stok ini masih sering digunakan karena memang manual dan sangat sederhana. Kartu stok ini mencatat keluar masuhnya sedian farmasi setiap saat. 8. Material Requarement Planning (MRP) Material Requarement Planning (MRP) digunakan untuk industri/pabrik (termasuk farmasi) atau perencanaan kebutuhan distribusi (Distribution Requarement Planning (DRP) misal untuk apotek, PBF dan farmasi rumah sakit. MRP berguna bagi produk yang terdiri dari bahan/komponen yang harus dirakit, kumpulan bahan, tahapan waktu pemesanan dan kebutuhan kapasitas yang besar. 94

95 9. Computerized/ ICT (Information and Communication Tecnology) Merupakan cakupan segala macam teknologi yang digantikan untuk mengumpulkan, menyimpan, mendapatkan kembali, memproses, menganalisa, dan mengirimkan informasi. Komputerisasi diperlukan terutama dalam menunjang salah satu fungsi manajemen yakni pengawasan (controlling). Sistem komputerisasi memungkinkan Farmasi Rumah Sakit melakukan pengendalian persediaan secara terus-menerus seperti halnya dalam kartu barang (setiap ada transaksi barang masuk dan faktur di kartu barang dan computer. Perhitungan EOQ, maksimum dan minimum level dapat diprogramkan dalam komputer, juga untuk memantau kualitas pemasok. Teknik Teknik Pengendalian 1. Teknik manual 2. Buku kebutuhan Buku kebutuhan adalah daftar barang yang perlu dipesan apotek. Buku kebutuhan biasanya terdiri dari sebuah buku catatan yang disimpan di tempat yang mudah dijangkau. Apoteker atau asisten apoteker mencatat nama produk/obat yang sudah habis/ hampir habis/ mencapai tingkat minimum dari obat yang bersangkutan dengan melihat kartu induk/ gudang ataupun kartu obat dibagian peracikan yang dipesan di PBF mana sebagai pemasok juga dapat dilihat di kartu obat tersebut. Apoteker atau asisten apoteker yang bertanggung jawab atas persediaan obat kemudian melakukan pemesanan kapada PBF-PBF dan mencari informasi yang tercatat didalam kartu stok barang yang dimaksud. 3. Stiker harga Stiker harga dengan warna dapat digunakan untuk menunjukkan masa ketika suatu produk diterima. Lamanya waktu sebuah barang berada dalam persediaan memberikan petunjuk secara kasar mengenai jumlah barang yang dibutuhkan dan apakah barang harus dihentikan. Stiker bertanggal merupakan 95

96 pengembangan lebih lanjut dengan mencatat tanggal di faktur penerimaan pada stiker. 4. Tingkat maksimal minimal Dalam metode ini tingkat persediaan obat minimal dan maksimal ditentukan dengan mencatatnya pada kartu gudang ataupun kartu dibagian peracikan untuk setiap obat produk dalam persediaan. Tingkat minimal sebuah produk ditentukan pada titik pemesanan ulangnya. Tingkat maksimal sebuah produk ditentukan oleh permintaan atas produk dan tingkat perputaran yang diinginkan. 5. Kartu stok Beberapa macam kartu stok diperlukan untuk menegendalikan persediaan barang. Ada beberapa macam kartu stok: a. Kartu stok induk gudang Kartu ini untuk mencatat keluar masuknya barang di gudang. b. Kartu stok peracikan Kartu untuk mencatat keluar masuknya barang/obat di ruang peracikan dan pelayanan. c. Kartu penandaan obat bertanggal kadalu warsa Untuk barang /obat yang memiliki tanggal kadalu warsa disamping dicatat di kartu gudang, juga dicatat di kartu penandaan obat bertanggal kadalu warsanya. Untuk mengetahui obat-obat yang kadalu warsanya, misal 3 bulan lagi dari bulan ini, apoteker tinggal mengambil sebuah kartu yang kadalu warsanya seperti yang ingin dilihat tersebut, yang selanjutnya dapat melihat keadaan barang tersebut di gudang maupun di ruang peracikan dan pelayanan. d. Kartu inventaris barang = kartu aktiva tetap Adalah suatu cara untuk mengawasi semua barang inventaris apotek yang merupakan aktiva tetap 6. komputerisasi 96

97 Sistem komputerisasi memungkinkan apotek /farmasi rumah sakit melakukan pengendalian persediaan secara terus-menerus seperti halnya dalam sistem kartu barang (setiap ada transaksi barang masuk dan faktur pembelian dan barang keluar dan hasil penjualan selalu harus dicatat di kartu barang dank). Indikator Efisiensi Pengendalian Dalam pengendalian persedian farmasi, parameter keberhasilannya dapat dilihat dari indikator efisiensi pengendalian, yang meliputi: a. ketepatan perencanaan: melihat dari satu item obat dalam perencanaan dengan jumlah barang dan item tersebut dalam kenyataan pemakaian. b. Kecukupan obat : jumlah bulan yang menunjukan antisipasi lamanya stok obat yang tersedia. c. Stok berlebih : stok obat yang kecukupan obatnya lebih dan 18 bulan d. Stok kosong : jumlah stok akhir adalah 0 (nol) e. Stok mati: stok obat yang dalam 3 bulan atau lebih tidak dipakai f. TOR: perputaran modal yang terjadi selama 1 tahun. Contoh Studi Kasus Pengadaan Persediaan Obat Di Rumah Sakit Pengelolaan obat di rumah sakit terdiri dari beberapa tahap. Siklus pengelolaan obat di rumah sakit akan dilanjutkan dengan suatu tahap pengadaan obat. Perencanaan pengadaan dapat dilakukan dengan menggunakan metode Economic Order Quantity (EOQ), Economic Order Interval (EOI), Re Order Point (ROP), dan ABC. Dengan menghitung EOQ, kita dapat mengetahui jumlah barang yang paling ekonomis. EOI untuk mengetahui interval pengadaan yang paling ekonomis dalam satu tahun, ROP untuk mendapatkan gambaran pada posisi barang tinggal berapa untuk diadakan pengadaan ulang. Metode ABC dikelompokan berdasarkan penggunaannya, yaitu menjadi kategori Always, Better, dan Control. 97

98 Pengadaan obat sebagai salah satu bagian dari siklus pengelolaan obat di rumah sakit diperlukan komponen-komponen, yaitu personel yang terlatih dan menguasai permasalahan, prosedur yang jelas, sistem informasi yang baik, dan didukung dengan dana dan fasilitas yang memadai. Dalam pengadaan obat diperlukan suatu rencana yang baik agar diharapkan tujuan dari pengadaan perbekalan farmasi seperti memperoleh obat dengan harga yang layak, mutu yang baik, pengiriman obat terjamin, tepat waktu, proses berjalan lancar, tidak memerlukan tenaga dan waktu yang berlebihan dan dapat tercapai. Langkah proses pengadaan: 1. Mereview daftar obat/ barang farmasi yang akan diadakan Di dalam tahap ini, dilakukan penataan ulang yang didasarkan dari perencanaan yang disusun oleh tim perencana sebelumnya. Pendataan ulang dilakukan dengan menggabungkan jenis obat yang sama, mengetahui jumlah obat yang akan diadakan, menghitung harga obat persatuan dan total harga jika semua diadakan. 2. Menyesuaikan dengan situasi keuangan Dalam rangka menyesuaikan anggaran dana pengadaan (daya beli rumah sakit) obat yang dibeli, maka idealnya metode yang digunakan metode Prioritas Utama dan Tambahan (PUT)/ gabungan metode ABC dan VEN berdasrkan profit yang akan diperoleh dan juga besar nilai barang dari total barang yang dapat diadakan. Metode gabungan dipilih karena dalam metode ini didasarkan pada profit oriented dan patient orient Pada kasus, RS A (tipe C) akan melakukan pengadaan obat untuk periode Anggaran dana yang tersedia sebesar Rp ,- Dana ini hanya 80% dari total dana yang sebenarnya diperlukan untuk pengadaan obat. Dengan adanya keterbatasan dana, perlu dilakukan penyesuaian dalam pengadaan obat. Penyesuaian pengadaan dapat dilakukan dengan jalan: a. Mengurangi jumlah masing-masing item obat yang akan dibeli. b. Mengurangi jumlah item yang akan dibeli. 98

99 Dalam kasus ini penyesuaian pengadaan dilakukan dengan menggunakan pengurangan jumlah item obat dan juga pengurangan jenis item obat. Dengan anggaran dana yang hanya 80% dari anggaran tahun sebelumnya, maka tidak semua jenis item diadakan. Untuk kategori prioritas, semua jenis item tetap diadakan karena untuk obat kategiri ini harus selalu dijaga ketersediaannya di rumah sakit. Kemudian untuk kategori tambahan, hanya dipilih 2 jenis item obat untuk diadakan. Sedangkan untuk kategori utama, dipilih sebanyak 138 jenis item obat. Obat yang akan dipenuhi berdasarkan data seleksi dan perencanaan obat, maka obat kategori vital harus dipenuhi sebanyak 35 item obat dengan biaya sebesar Rp ,-. Sedangkan untuk kategori esensial dan non esensial tidak semua dipenuhi, namun disesuaikan dengan dana anggaran yang ada. Dana yang digunakan untuk nonesensial sebesar Rp ,-. 3. Menentukan jumlah masing-masing yang akan dibeli Karena dana yang tersedia hanya 80% dari total dana yang sebenarnya diperlukan, maka jumlah item obat menyesuaikan dana yang ada. Komposisi persentase nilai dan jumlah item yang akan diadakan ini tidak ada aturan bakunya, lebih cenderung fleksibel tergantung kebijakan dari pihak manajemennya. Pada kasus ini terjadi kekurangan danau ntuk obat esensial dan non esensial, pengurangan dana tersebut tidak berpengaruh terhadap pengadaan obat, dengan asusmsi bahwa masih ada sisa stok dari persediaan tahun 2007, dan masih bisa ditanggulanginya kekurangan dana dari perputaran /penjualan obat sebelumnya. Tabel 7. Item Obat dan Anggaran Analisis Total item obat yang akan diadakan Total anggaran 99

100 Prioritas 35 Rp ,- Tambahan 2 Rp Utama 138 Rp ,- Total 175 Rp ,- 4. Memilih metode pengadaan Terdapat 4 metode proses pengadaan, yaitu tender terbuka, tender terbatas, atau lelang tertutup, pembelian melalui kontrak kerja dengan negosiasi, dan pengadaan langsung. Rumah sakit sehat ini merupakan rumah sakit swasta, maka pemilihan metode pengadaan obat tidak tergantung pemerintah dan keputusan pemilihan metode dapat dilakukan dengan cara fleksibel oleh pihak rumah sakit. Karena anggaran dana yang tersedia untuk pengadaan barang hanya sebesar Rp ,-, maka dipilih metode tender terbatas atau lelang tertutup. Dengan metode ini, harga obat masih bisa dikendalikan, tenaga dan beban kerja lebih ringan bila dibandingkan denganlelang terbuka. 5. Memilih suplier /rekanan/pemasok Pemilihan pemasok dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria pemasok/pbf yang baik. Cara menentukan pemasok yaitu dengan melihat pabrik-pabrik mana saja yang memproduksi obat tersebut, kemudian mencari distributor/pemasok/pbf dari pabrik obat. Masing-masing PBF yang memenuhi criteria mendapatkan undangan yang sifatnya tertutup. Kemudian dari beberapa PBF tersebut, dipilih PBF yang memenuhi persyaratan hukum yang berlaku untuk melakukan produksi dan penjualan (telah terdaftar), telah terakreditasi sesuai dengan persyaratan CPOB dan ISO, mempunyai reputasi yang baik, serta selalu mampu dan dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemasok produk obat yang selalu tersedia dengan mutu yang tinggi dan harga yang rendah. Selainitu diutamakan PBF yang lokasinya mudah terjangkau, pengiriman tepat waktu dengan lead time yang pendek, memberikan harga khusus dengan diskon besar, jangka waktu jatuh tempo yang diberikan lama, serta memberikan kebijakan dalam pengembalian obat yang telah kadaluarsa 100

101 dan rusak. Penentuan supplier atau PBF yang akan memasok obat untuk rumah saki A dapat dilakukan dengan mengacu pada rumah sakit lama yang sudah ada sebelumnya sehingga dapat melihat reputasinya. 6. Membuat syarat kontrak kerja MoU (Memorandum of Understanding) Setelah penentuan PBF dan terdapat kesepakatan dengannya, dibuat suatu surat kerja sama yang ditandandatangani oleh kedua pihak. Kesepakatan itu berlaku sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Didalam kontrak kerja ini dicantumkan harga, syarat pembayaran dan standar mutu, dokumen yang dilampirkan, penamaan dan labeling, spesifikasi masing-masing barang, tanggungan finansial, tanggal pengiriman, hak paten dan pengepakan, kadaluarsa, dan lain-lain. 7. Memonitor pengiriman barang Monitor pengiriman barang dilakukan untuk memastikan bahwa barang dapat datang sesuai dengan waktu yang telah disepakati. 8. Menerima dan memeriksa barang Memeriksa kesesuaian antara pesanan dengan faktur dan barang yang diterima. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap nomor batch dan Expired datenya. 9. Melakukan pembayaran serta menyimpan, kemudian didistribusikan Pembayaran barang-barang yang telah datang dilakukan pada saat jatuh tempo dan dilakukan oleh Bagian Keuangan Rumah Sakit sesuai dengan peraturan yang berlaku dan telah disepakati. Dalam melakukan pengadaan, harus diperhitungkan pula mengenai biaya pemesanan dan penyimpanan. Biaya pemesanan meliputi biaya SDM, biaya telepon biaya penulisan SP, dan lain-lain. Dengan menggunakan rumuseoq dan EOI, maka dapat diketahui berapa banyak dan waktu yang paling ekonomis kapan barang seharusnya dipesan. Nilai rencana pembelian tidak selalu sama dengan barang yang seharusnya dipesan (EOQ) Karena adanya faktor-faktor lain dalam pengadaan, seperti persediaan barang yang masih ada 101

102 pada saat pemesanan (stock Opname), safety stock, dan waktu pengadaan yang tidak sesuai dengan EOI. Misalnya, ada barang-barang tertentu yang pemesanannya manggunakan sistem First Order Period (waktu-waktu) tertentu, dan lain-lain. Tahap yang dikerjakan setelah berjalannya pengadaan obat adalah tahap evaluasi. Tahap ini dapat dilakukan tiap enam bulan, tiga bulan, satu bulan, dan mingguan. Jumlah obat yang direncanakan tetap untuk kebutuhan satu tahun, tetapi akan dievaluasi tiap tiga bulan untuk mengetahui banyaknya obat yang dikonsumsi dan jadi dasar untuk pengadaan berikutnya. Pengandalian pengadaan obat dapat dilihat dari: a. Kartu Stok Kartu stok diperlukan memantau junmlah persediaan tiap hari di gudang. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipai obat-obat yang termasuk fast moving sehingga dapat hanis sebelum waktu yang direncanakan. b. Buffer Stock/safety stock Untuk mengantisipasi pemakaian obat perhari yang lebih dari perencanaan maupun kedatangan obat yang melebihi lead time, maka perlu dihitung hjuga buffer stok yang besarnya setengah dari ROP tiap-tiap obat. c. EOQ/EOI/ROP Pengendalian persediaan obat di rumah sakit A dilakukan dengan menghitung ROP, EOQ, dan EOI. Dengan menghitung ROP, maka dapat diketahui pada titik berapa perbekalan harus diadakan kembali. EOQ untuk mengetahui jumlah barang yang paling ekonomis untuk diadakan, dan EOI untuik mendapatkan gambaran setiap hari dilakukan pengadaan ulang. Metode pengendalian EOQ dipilih berdasar asumsi yang berlaku pada EOQ, diantaranya yang tidak ada potongan harga dalam kasus ini, tidak ada stock out, lead timenya diketahui dan tetap. 102

103 133 (Ringer laktat) 7 hari Gambar 4. Contoh Kurva pengadaan obat EOQ =133 botol ` ROI/EOI = 76 hari Lead time = 2 hari ROP = 7 botol Reorder = 74 hari Contoh Studi Kasus Pengendalian Persediaan Obat Di Rumah Sakit Data yang tersedia adalah data pengadaan obat pada periode 2007 Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian barang untuk menjaga ketersediaan barang dan mencegah kerugian. Metode yang digunakan adalah Card File Sistem dengan teknik pengendaliannya menggunakan kartu stok.: 1. Mengestimasi konsumsi perhari dengan cara menghitung konsumsi tahun lalu. 2. Melihat lead time pengadaan barang 3. Menghitung ROP, ROI, stok minimum, stok maksimum, safety stock 4. Mendata tiap item barang kedalam kartu stok, berupa nama barang, dosis dan bentuk sediaan, jumlah stok maksimum dan stok minimum 5. Mencatat jumlah barang disetiap pemakaian dan penerimaan barang 6. Memantau jumlah barang yang tersedia untuk menentukan kapan dilakukan pemesanan barang. 103

104 7. Mereview jumlah barang pada akhir bulan sehingga dapat diketahui dan dianalisa pemakaian barang selama satu tahun. Langkah-langkah pengendalian barang kadalu warsa menggunakan kartu stok: 1. Mengelompokan barng yang mempunyai waktu kadalu warsa yang sama bulan dan tahunnya. 2. Mencatat deskripsi barang seperti nama obat, bentuk sediaan, satuan, nomor faktur, jumlah barang, tempat penyimpanan dan keterangan 3. Memantau bulan kelompok barang yang mempunyai waktu kadalu warsa 3 bulan yang akan datang. 4. Meretur kelompok barang yang akan kadalu warsa 3 bulan yang kan datang. Contoh Pengendalian barang : Ringer laktat Penggunaan 1 hari = Penggunaan 1 bulan = Penggunaan 1 tahun = ROP = 2 x SS (Quant. 1th/365) = 2 x 3,5068 = 7,0136 FOQ = Quantity 1th/EOQ = 639,991/132,7903 = 4,8196 ROI = 365/FOQ ` = 365/4,8296 = 75,7324 Stok min = 2 x SS = 2 x 3,5068 = 7,0136 Stok max = SS + (ROI x Quantity per hari) + (Lead time x Quantity perhari) 104

105 = 2 + (75,7324 x 1,7534) + (2 x 1,7534) = 138,

106 BAB VI SISTEM PENYIMPANAN DAN DISTRIBUSI OBAT Pada saat ini, tuntunan terhadap pelayanan kesehatan yang baik semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan ekonomi masyarakat Hal ini juga menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kefarmasian. Keberhasilan seorang farmasis sebagai pemberi pelayanan pada pelayanan kefarmasian dilihat dari hasil pelayanan yang diberikan, bukan dari ketentuan ataupun persyaratan pelayanan yang disusunnya. Elemen dari program farsamasis yang penting untuk kesuksesan kinerja secara keseluruhan di rumah sakit adalah: 1. Kepemimpinan dan pengelolaan manajemen 2. Informasi obat dan pendidikan 3. Kegiatan untuk menjamin pengobatan yang rasional 4. Distribusi dan pengawasan obat 5. Sumber fasilitas, peralatan dan informasi 6. Berpartisipasi pada penelitian Hal ini seluruhnya merupakan elemen minimum pelaksanaan praktek kefarmasian sehingga seluruh instalasi farmasi harus berusaha melaksanakannya sebagai pegangan dasar. Elemen ini sangat berhungan dengan hasil, oleh karena itu kegagalan melaksanakan salah satu diantara elemen tersebut dapat mempengaruhi mutu pelayanan kefarmasian. Rumah Sakit sebagai tempat para profesional kesehatan bekerja dalam kapasitas dan profesinya, juga merupakan lembaga yang menjadi unit industri jasa, meliputi jasa medik, jasa pengguna peralatan, jasa pengguna barang, consumble farmasi, serta jasa akomodasi penderita. Indikator untuk menilai kebersilan pelayanannya adalah (Yusmainita, 1999): 1. Rasionalitas dalam diagnosis dan terapi 2. Efektivitas dan keberhasilan terapi 106

107 3. Efisien, kehematan biaya, cepat, dan lancar pelayanan 4. Kepuasan pasien, keluarga, dan lancar pelayanan Hampir IFRS pemerintah di Indonesia belum menerapkan pelayanan farmasi paripurna, tetapi masih pada pelayanan farmasi non klinik. Bahkan di berbagai rumah sakit, terutama milik pemerintah, IFRS belum berfungsi sebagaimana seharusnya karena beberapa swasta telah beroperasi secara penuh di hampir semua RS pemerintah. Dengan keadaan pelayanan farmasi di RS pemerintah seperti tersebut di atas maka IFRS tidak mungkin lagi mengendalikan semua obat yang beredar dan digunakan di RS tersebut. Namun keamanan, kemanfaatan, dan kerasionalan penggunaan obat di RS tetap menjadi tanggung jawab apoteker IFRS. Pimpinan RS, panitia farmasi dan terapi, serta IFRS harus menyadari kekeliruan tersebut dan wajib memperbaiki keadaan tersebut dengan mengembalikan semua kewajiban serta tanggung jawab pelayanan farmasi hanya kepada IFRS. Penyimpanan dan distribusi obat-obatan yang efektif mengandalkan pada desain sistem yang baik dan manajemen yang baik. Desain dan manajemen sistem distribusi yang baik harus: a. Menjaga persediaan obat-obatan secara konstan b. Menjaga obat-obatan dalam kondisi yang bagus melalui proses penyimpanan dan distribusi. c. Meminimalkan kerugian obat-obatan karena produk cacat/rusak dan atau kadaluwarsa d. Menjaga pencatatan inventaris yang akurat e. Menjaga stabilitas dalam penyimpanan obat-obatan dan inventori kontrol pada titik pemesanan kembali. f. Menggunakan sumber daya transportasi yang tersedia dengan seefisien mungkin. g. Mengurangi pencurian dan penipuan h. Memberikan informasi mengenai perkiraan kebutuhan obat-obatan 107

108 Ada empat elemen utama dalam suatu sistem distribusi, yaitu: a. Desain sistem (cakupan geografis atau populasi, jumlah level dalam sistem, sistem mendorong versus sistem menarik) b. Sistem informasi (inventory control, pencatatan dan formulir, laporan konsumsi, aliran informasi). c. Penyimpanan (pemilihan lokasi, desain bangunan, sistem penanganan bahan, pengambilan pesanan). d. Pengiriman (koleksi versus pengiriman, pemilihan transportasi, pemerolehan kendaraan, pemeliharaan kendaraan, rute dan jadwal pengiriman 1. Sistem Penyimpanan Obat Penyimpanan merupakan suatu aspek penting dari sistem pengendalian obat menyeluruh. Pengendalian lingkungan yang tepat, (yaitu : suhu, cahaya, kelembaban, kondisi sanitasi, ventilasi, dan pemisahan) harus dipelihara apabila obat-obatan dan perlengkapan lainnya disimpan di RS. Daerah peyimpanan harus aman, perlengkapan dan peralatan yang digunakan untuk penyimpanan dibuat sedemikian agar obatobatan dapat diperoleh dengan mudah oleh personel yang ditunjuk dan diberi wewenang. Personel yang demikian harus dipilih dengan teliti dan dibawah pengawasan. Keamanan juga merupakan faktor penting dan pertimbangan yang tepat harus diberikan terhadap penyimpanan yang aman untuk senyawa beracun dan mudah menyala. Obat luar harus disimpan terpisah dari obat dalam. Obat yang disimpan dalam satu lemari pendingin mengandung bahan lain selain obat harus disimpan dalam kompartemen yang terpisah (Siregar dan Amalia, 2004). Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah bagian yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan perbekalan farmasi (Dep Kes RI, 2008). Perbekalan farmasi adalah sediaan farmasi yang terdiri dari obat, bahan obat, alat kesehatan, reagensia, radio farmasi, dan gas medis. Pengelolaan perbekalan farmasi yang efektif dan efisien merupakan salah satu aspek yang menentukan untuk suksesnya program pengobatan secara rasional. Pengelolaan Perbekalan farmasi rumah sakit mempunyai arti yang 108

109 sangat penting karena untuk belanja perbekalan farmasi ini menghabiskan sekitar 40-50% dari biaya keseluruhan rumah sakit. Salah satu pengelolaan perbekalan farmasi adalah penyimpanan. Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan dari fisik yang dapat merusak mutu obat (Dep Kes RI, 2008). Penyimpanan obat/barang farmasi baik digudang farmasi, depo farmasi, apotik, ataupun diruang perawatan pelayanan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Penyimpanan perbekalan farmasi bertujuan untuk memelihara mutu sediaan farmasi, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga ketersediaan, dan memudahkan pencarian dan pengawasan. Menurut Kepmenkes Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi, sanitasi, temperatur sinar/cahaya, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas yang terdiri dari : Tabel 8. Kondisi umum dan khusus untuk ruang penyimpanan obat. Kondisi Umum untuk ruang Kondisi Khusus untuk ruang penyimpanan penyimpanan Obat jadi Obat termolabil Obat produksi Alat kesehatan dengan suhu rendah Bahan baku obat Obat mudah terbakar Alat kesehatan dan lain-lain. Obat/bahan obat berbahaya Barang karantina 1. Standar Penyimpanan Obat Standar penyimpanan obat yang sering digunakan adalah sebagai berikut (Kemenkes, 2010). : a. Persyaratan gudang 109

110 1.) Luas minimal 3 x4 m 2 2.) Ruang kering tidak lembab 3.) Ada ventilasi agar ada aliran udara dan tidak lembab 4.) Cahaya cukup 5.) Lantai dari tegel atau semen 6.) Dinding dibuat licin 7.) Hindari pembuatan sudut lantai atau dinding yang tajam 8.) Ada gudang penyimpanan obat 9.) Ada pintu dilengkapi kunci ganda 10.) Ada lemari khusus untuk narkotika b. Pengaturan penyimpanan obat 1.) Menurut bentuk sediaan dan alfabetis 2.) Menerapkan sistem FIFO dan FEFO First Expire First Out adalah mekanisme penggunaan obat yang berdasarkan prioritas masa kadaluarsa obat tersebut. Semakin dekat masa kadaluarsa obat tersebut, maka semakin menjadi prioritas untuk digunakan. First in First Out mekanisme penggunaan obat yang tidak mempunyai masa kadaluarsa. Prioritas penggunaan obat berdasarkan waktu kedatangan obat. Semakin awal kedatangan obat tersebut, maka semakin menjasi prioritas untuk digunakan. 3.) Menggunakan almari, rak, dan pallet 4.) Menggunakan almari khusus untuk menyimpan narkotika dan psikotropika 5.) Menggunakan almari khusus untuk perbekalan farmasi yang memerlukan penyimpanan pada suhu tertentu 6.) Dilengkapi kartu stock obat c. Tata ruang 110

111 Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian dan pengawasan perbekalan farmasi, diperlukan pengaturan tata ruang gudang dengan baik. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merancang bangunan gudang sebagai berikut: 1.) Kemudahan bergerak Untuk kemudahan bergerak, gudang perlu ditata sebagai berikut: a.) Gudang menggunakan sistem satu lantai, jangan menggunakan sekat-sekat karena akan membatasi pengaturan ruangan. Jika digunakan sekat, perhatikan posisi dinding dan pintu untuk mempermudah gerakan. b.) Berdasrkan arah arus penerimaan dan pengeluaran perbekalan farmasi, ruang gedung dapat ditata berdasarkan sistem arus garis lurus, arus U, atau arus L. 2.) Sirkulasi udara yang baik. Salah satu faktor penting dalam merancang bangunan gudang adalah sirkulasi udara yang cukup didalam ruangan gudang. Sirkulasi yang bhaik akan memaksimalkan umur hidup dari perbekalan farmasi sekaligus bermanfaat dalam memperpanjang dan memperbaiki kondisi kerja. Idealnya dalam gudang terdapat AC, namun biayanya akan mahal untuk ruang gudang yang luas. Alternatif lain adalah menggunakan kipas angin, apabila kipas angin belum cukup maka ventilasi melalui atap 3.) Rak dan Pallet Penempatan rak yang tepat dan menggunakan pallet akan dapat meningkatkan sirkulasi udara dan perputaran stok perbekalan farmasi. a.) Sirkulasi udara dari bawah dan perlindungan terhadap banjir b.) Peningkatan efisiensi penangan stok c.) Dapat menampung perbekalan farmasi lebih banyak d.) Pallet lebih murah daripada rak 111

112 4.) Kondisi penyimpanan khusus a.) Vaksin memerlukan cold chain khusus dan harus dilindungi dari kemungkinan putusnya aliran listrik b.) Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari khusus dan selalu terkunci c.) Bahan-bahan mudah terbakar seperti alkohol dan eter harus disimpan dalam ruangan khusus, sebaiknya disimpan di bagunan khusus terpisah dari gudang induk 5.) Pencegahan kebakaran Perlu dihindari adanya penumpukan bahan-bahan mudah terbakar, seperti dus, karton, dll. Alat pemadam kebakaran harus dipasang pada tempat yang mudah dijangkau dan dalam jumlah yang cukup. Tabung pemadam kebakaran agar diperiksa secara berkala, untuk memastikan masih berfungsi atau tidak. 2. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan di dalam fungsi penyimpanan dan gudang a. Masalah keamanan dan bahaya kebakaran merupakan resiko terbesar dari penyimpanan. Apalagi barang-barang farmasi sebagian adalah mudah terbakar. b. Pergunakan tenaga manusia seefektif mungkin, jangan berlebih jumlah karyawannya sehingga banyak waktu nganggur yang merupakan biaya. Demikian juga sebaliknya, kekurangan tenaga menimbulkan antrian di pusat pelayanan (apotek, pbf, dan lain-lain) yang akan merugikan kedua belah pihak. Harus dijaga komposisi, jumlah karyawan dan pembagian kerja yang pas. 112

113 c. Pergunakan ruang tersedia seefisien mungkin. Baik dari segi besarnya ruangan dan pembagian ruangan. d. Menciptakan suatu sistem yang lebih efektif untuk lebih memperlancar arus barang. Barang yang datang lebih dulu, harus dikeluarkan lebih dulu (metode FIFO) dan obat dengan expire date lebih dekat harus dikeluarkan lebih dulu walaupun obat tersebut datangnya belakangan. 3. Sarana Prasarana Penyimpanan Sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk penyimpanan obat ialah untuk memastikan obat berada dalam keadaan aman dan menghindari kemungkinan obat rusak. Karena itu penyimpanan harus diatur agar tercapai tujuan tersebut dengan cara: a. Mendesain struktur fisik gudang b. Terdapat organisasi pengelola gudang c. Memiliki prosedur pengeluaran obat dari gudang d. Pengaturan efisiensi kerja gudang e. Penyimpanan dan pengontrolan persediaan di unit-unit RS f. Mengetahui keperluan (jumlah dan jenis obat) untuk setiap unit g. Adanya penanganan khusus untuk obat yang stabilitasnya dipengaruhi suhu Dalam menentukan struktur fisik gudang terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu jalur distribusi obat dan seleksi letak gudang dalam suatu instalasi rumah sakit. Adapun jalur distibusi yang diperhatikan ialah jumlah dan penyebaran unit, jumlah dan kapasitas fasilitas unit manajemen di tiap unit. Sedangkan untuk tata letak gudang ialah letak gudang memudahkan distribusi obat dari gudang ke unit-unit lain, jarak antara gudang dan unit-unit di RS, drainage serta ukuran ruangan yang memadai dan aman. Sarat desain gudang yang baik ialah jika pemindahan barang dapat dilakukan dengan mudah, sirkulasi udara baik, lantai mudah dibersihkan, menempatkan obat menurut kelas terapi, indikasi klinik, jenis pelayanan atau menurut abjad, obat ditempatkan pada rak (menghemat tempat dan sirkulasi udara), tempat penyimpanan 113

114 khusus untuk bahan mudah terbakar, dilengkapi pemadam kebakaran dan sebaiknya ada penjaga malam untuk menghindari pencurian obat. Tabel 9. Jenis-jenis Gudang Dilihat dari bentuknya gudang dibagi atas: Dilihat dari jenisnya gudang dibagi atas: Gudang terbuka Gudang transit Gudang semi terbuka Gudang tertutup Gudang serbaguna Gudang pendingin Gudang tahan api Daerah penyimpanan dalam gudang adalah sebagai berikut : a. Penyimpanan pada suhu kamar tak terkontrol b. Penyimpanan pada suhu kamar dgn kelembaban terkontrol c. Penyimpanan pada suhu dingin (0-8 o C) d. Penyimpanan terkunci (narkotik) e. Penyimpanan utk barang mudah terbakar Ada beberapa cara untuk mengklasifikasi stock agar memudahkan pencarian obat yaitu berdasarkan a. Kategori terapetik/farmakologi b. Indikasi klinik c. Alfabetis d. Bentuk Dosis e. Random bin f. Penggunaan g. Kode komoditas Faktor-faktor yang perlu diperhatikan di dalam fungsi penyimpanan dan gudang adalah: 114

115 Masalah keamanan dan bahaya kebakaran merupakan resiko terbesar dari penyimpanan. Apalagi barang-barang farmasi sebagian adalah mudah terbakar, sehingga sebaiknya dilengkapi dengan pemadam kebakaran dan penjaga malam. Pergunakan tenaga manusia seefektif mungkin, jangan berlebih jumlah karyawannya sehingga banyak waktu terbuang yang merupakan biaya. Demikian juga sebaliknya, kekurangan tenaga akan menimbulkan antrian di pusat pelayanan. Pergunakan ruangan yang tersedia seefisien mungkin, baik dari segi besarnya ruangan maupun pembagian ruangan. Memelihara gedung dan peralatannya dengan sebaik mungkin, sirkulasi udaranya baik, dan lantai mudah dibersihkan. Penempatan obat menurut kelas terapi, indikasi klinik, jenis pelyanan, atau menurut abjad dan obat ditempatkan pada rak (untuk menghem,at tempat dan sirkulasi udara). Menciptakan suatu sistem yang lebih efektif untuk lebih memperlancar arus barang. Barang yang datang lebih dulu harus dikeluarkan lebih dulu (metode FIFO) dan obat dengan expired date lebih dekat harus dikeluarkan terlebih dulu walaupun obat tersebut datang terakhir. Adapun daerah penyimpanan obat dalam gudang dibagi menjadi lima yaitu penyimpanan pada suhu kamar tak terkontrol, penyimpanan pada suhu kamar dengan kelembaban terkontrol,penyimpanan pada suhu dingin (0-8 0 C), penyimpanan terkunci untuk produk narkotika dan psikotropika, dan penyimpanan untuk barang yang mudah terbakar. Untuk memudahkan petugas dalam mengambil persediaan obat digudang maka sebaiknya stok obat dalam gudang disusun berdasarkan aturan/ urutan tertentu seperti kategori terapetik, indikasi klinik, alfabetis, bentuk dosis, random bin, penggunaan, maupun berdasarkan kode komoditas (Quick, dkk.,1997). 4. Cara Penempatan Persediaan dalam Gudang Terdapat 4 sistem penyimpanan obat dalam gudang yaitu (Quick,dkk.,1997): 115

116 a. Fixed Location Fixed location yaitu penempatan Item obat ditempatkan pada tempat yang tetap/sama, keuntungannya ialah lokasi tidak berpindah-pindah atau tetap, cukup untuk menempatkan jumlah barang maksimal untuk setiap item, administrasi persediaan relatif mudah. Akan tetapi kerugian dari fixed location ialah tidak fleksibel jika ada perubahan jumlah order, jika ada tambahan item baru tidak ada tempat, pencurian meningkat, kemungkinan ada tempat penyimpanan yang tidak terpakai. b. Fluid Location Penempatan persediaan di gudang yang dibagi dalam beberapa lokasi (diberi tanda). Keuntungannya ialah ruang lebih efisien, lebih kecil 20-25% dari ruangan fixed location. Diperlukan administrasi stock yang sempurna dan catatan tempat stok harus selalu up to date. c. Semifluid location Adapun cara yang sering digunakan ialah kombinasi dari kedua sistem di atas. Terdapat empat sistem penyimpanan perbekalan farmasi di dalam gudang yaitu sebagai berikut : d. Rak/shelves 116

117 e. Floor pallet Gambar 4. Contoh penyimpanan obat dalam rak/shelves Gambar 5. Contoh penyimpanan obat dalam floor pallet 117

118 f. Pallet racks g. Block-stacked pallets Gambar 6. Contoh penyimpanan obat dalam paallet racks Gambar 8. Contoh penyimpanan obat dalam block-stacked pallets 118

119 5. Dasar Pemilihan Sistem Penyimpanan Untuk dasar pemilihan sistem penyimpanan ialah a. jumlah total barang yg disimpan b. volume rata-rata dari masing-masing barang c. ketinggian bangunan gudang d. peralatan mekanik yang tersedia untuk mengambil. 6. Pengaturan Tata Ruang dan Penyusunan Inventory Pengaturan tata ruang dan penyusunan inventory: a. Gudang dapat ditata dengan model garis lurus,huruf U dan huruf L b. Perhatian jenis/barang yang disimpan c. Setiap jenis/kelompok disusun sesuai abjad d. Jangan meletakkan barang langsung diatas lantai(sebaiknya diberi alas) e. Gunakan lemari khusus untuk barang narkotika dan barang kelompok A f. Susun barang dalam rak dan berikan nomor kode g. Pisahkan penyimpanan obat dalam dan obat luar h. Box/dus bekas dapat digunakan untuk menyimpan i. Barang yang voluminous dapat disimpan dalam box besar sedang yang kecil untuk menyimpan barang yang kaleng atau botol j. Keluarkan barang dari box secekupnya k. Bila satu box berisi bermacam-macam barang maka buat daftar isi box tersebut Setelah diperoleh gudang yang dikehendaki maka seluruh barang yang disimpan harus dikelompokan dengan memperhatikan hal berikut: Kelompok/jenis barang 1. Barang mempunyai fungsi sejenis 2. sifat fisik seperti padat atau cair 119

120 3. Kondisi yang diperlukan untuk menjaga kualitas barang yang memerlukan pendinginan selama penyimpanan atau yang mudah terbakar 4. Supplyer yang sama Tiap kelompok dibedakan menjadi : 1. Ukurannya berat atau bervolume besar 2. Tingkat pemakain baru atau fast moving,moderat atau slow moving 3. Kemudian dari masing-masing kelompok baru disimpan berdasarkan abjad 4. Lebih ekonomis apabila barang fast moving, berat dan voluminous diletakkan didekat pintu. Pengeluaran setiap barang harus memakai konsep first in first out(fifo) atau first expire frst out (FEFO). Pada dasarnya 2 konsep dimaksudkan untuk menjaga sesuatu yang akan disalurkan dengan asumsi: Mutu setiap barang akan menurun selama penympanan makin lama barang disimpan makin besar kemungkianan penurunan mutu Barang yang masuk terlebih dahulu tentunya makin cepat umur penyimpanannya Penyusunan stok perbekalan farmasi Perbekalan farmasi disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis. Untuk memudahkan pengendalian stok maka dilakukan langkah-langkah berikut: a. Gunakan prinsip FEFO dan FIFO dalam penyusunan perbekalan farmasi yaitu perbekalan farmasi yaitu perbekalan farmasi yang masa kadaluwarsanya lebih awal atau yang diterima lebih awal harus digunakan lebih awal sebab umumnya perbeklan farmasi yang datang lebih awal biasanya juga diproduksi lebih awal dan umumnya relatif lebih tua dan masa kadaluarsanya mungkin lebih awal b. Susun perbeklan farmasi dalam kemasan besar diatas pallet secara rapi dan teratur 120

121 c. Gunakan lemari khusus untuk menyimpan narkotika d. Simpan perbekalan farmasi yang dapat dipengaruhi oleh temperatur, udara, cahaya dan kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai e. Simpan perbekalan farmasi dalam rak dan berikan nomor kode, pisahkan perbekalan farmasi dalam denhan perbeklan farmasi untuk penggunaan luar. f. Cantumkan nama masing-masing perbeklan farmasi pada rak dengan rapi g. Apabila persediaan perbekalan farmasi cukup banyak, maka biarkan perbekalan farmasi tetap dalam boks masing-masing. h. Perbekalan farmasi yang mempunyai batas waktu penggunaan perlu dilakukan rotasi stok agar perbekalan farmasi tersebut tidak selalu berada dibelakang sehingga dapat dimanfaatkan sebelum masa kaduluwarsa habis. i. Item perbekalan farmasi yang sama ditempatktkan pada satu lokasi walaupun dari sumber anggaran yang berbeda 2. Sistem Distribusi Obat Sistem distribusi obat di rumah sakit adalah tatanan jaringan sarana, personel, prosedur, dan jaminan mutu yang serasi, terpadu dan berorientasi penderita dalam kegiatanpenyampaian sediaan obat beserta informasinya kepada penderita. Sistem distribusi obat mencakup penghataran sediaan obat yang telah di-dispensing IFRS ke daerah tempatperawatan penderita dengan keamanan dan ketepatan obat, ketepatan penderita, ketepatan jadwal, tanggal, waktu dan metode pemberian dan ketepatan personel pemberi obat kepada penderita serta keutuhan mutu obat (Siregar, 2004). - Sistem Distribusi Obat Untuk Pasien Rawat Inap/Tinggal Pada dasarnya ada beberapa jenis sistem distribusi obat untuk penderita rawat tinggal (PRT), yaitu: 1. Sistem distribusi obat resep individu sentralisasi Resep individu adalah order resep yang ditulis dokter untuk tiap penderita, sedangkan sentralisasi adalah semua order atau resep tersebut yang disiapkan dan 121

122 didistribusikan dari IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis pada resep/order atas nama PRT tertentu melalui perawat ke ruang penderita tersebut (Siregar, 2004). Dalam sistem ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan di-dispencing dari IFRS. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian order/resep tersebut di proses sesuai dengan kaidah cara dispensingyang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu. a. Keuntungan (Siregar, 2003) i. Semua resep/order dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi keterangan atau informasi kepada perawat berkaitan dengan obat penderita. ii. Memberi kesempatan interaksi professional antara apoteker-dokter-perawatpenderita. iii. Memungkinakan pengendalian yang lebih dekat atas perbekalan. iv. Mempermudah penagihan obat penderita. b. Keterbatasan (Siregar, 2003) Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai pada penderita. Jumlah kebutuhan personil di IFRS meningkat. Memerlukan jumlah perawat dan waktu yang lebih banyak untuk penyiapan obat di ruang pada waktu konsumsi obat. Terjadinya kesalahan obat karena kurangnya pemeriksaan pada waktu penyiapan konsumsi. 122

123 Dokter Penderita Interpretasi oleh ARS Resep/Order Dikendalikan oleh ARS Disiapkan/diracik IFRS Konsumsi Oleh perawat Pengendalian Perawat Ruang/ Perawat Perawat Penyiapan Konsumsi Kereta obat Gambar 9. Sistem Distribusi Obat Resep Individual Sentralisasi (Siregar, 2003) 2 Sistem Distribusi Obat Persediaan Lengkap di Ruang (Floor Stock) Dalam sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang, semua obat yang dibutuhkan penderita tersedia dalam ruang tersebut, kecuali obat yang jarang digunakan otau obat yang sangat mahal. Persediaan obat di ruang dipasok oleh IFRS. Biasanya sekali seminggu personil IFRS memeriksa persediaan obat di ruang, lalu menambah menambah persediaan obat yang persediaannya sudah sampai tanda batas pengisian kembali. Obat yang di-dispensing dibawah sistem ini terdiri atas obat penggunaan umum yang biayanya dibebankan pada biaya paket perawatan menyeluruh dan order obat yang harus dibayar sebagai biaya obat. Obat penggunaan umum ini terdiri atas obat yang tertera dalam daftar yang telah ditetapkan oleh PFTdan IFRS yang tersedia di unit perawat, misalnya kapas pembersih luka, larutan 123

124 antiseptik, dan obat tidur. Biasanya obat ini dibayar sebagai bagian dari biaya pelayanan perawatan. Obat yang harus dibayar tersedia pada tiap unit perawat dan penderita yang menggunakannya akan membayarnya sebagai biaya obat(siregar, 2003) Definisi dari sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang adalah tatanan kegiatan penghantaran sediaan obat sesuai dengan yang ditulis dokter pada order obat, yang disiapkan dari persdiaan di ruang oleh perawat dan dengan mengambil dosis/ unit obat dari persediaan yang langsung diberikan kepada penderita di ruang itu (Siregar, 2003). Keuntungan (Siregar, 2003 dan Anonim, 1991) : a. Obat yang diperlukan segera tersedia bagi penderita. b.peniadaan pengembalian obat yang tidak terpakai ke IFRS. c. Pengurangan penyalinan kembali order obat. d.pengurangan jumlah personil IFRS diperlukan. Keterbatasan (Siregar, 2003 dan Anonim, 1991): a. Kesalahan obat sangat meningkat karena order obat tidak dikaji oleh apoteker. Di samping itu, penyiapan obat dan konsumsi obat dilakukan oleh perawat sendiri, tidak ada pemeriksaan ganda. b.persediaan obat di unit perawat meningkat dengan fasilitas ruangan yang sangat terbatas. Pengendalian persediaan dan mutu, kurang diperhatikan oleh perawat. Akibatnya penyimpanan yang tidak teratur, mutu obat cepat merosot, dan tanggal kadaluarsa kurang diperhatikan sehingga sering terjadi sediaan obat yang tak terpakai karena telah kadaluarsa. c. Pencurian obat meningkat. d.meningkatnya bahaya karena kerusakan obat. e. Penambahan modal investasi untuk menyediakan fasilitas penyimpanan obat yang sesuai disetiap daerah perawatan penderita. f. Diperlukan waktu tambahan bagi perawat untuk menangani obat. g.meningkatnya kerugian karena kerusakan obat. 124

125 Keterbatasan/kelemahan sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang sangat banyak. Oleh karena itu, sistem ini hendaknya tidak digunakan lagi. Dalam sistem ini tanggung jawab besar dibebankan pada perawat, yaitu menginterpretasi order dan penyiapan obat, yang sebetulnya adalah tanggung jawab apoteker. Sekarang telah diperkenalkan sistem distribusi obat desentralisasi yang melaksanakan sistem persediaan lengkap di ruang, tetapi dibawah pimpinan seorang apoteker. Jika sistem desentralisai ini dilakukan, maka banyak kekurangan dari sistem distribusi obat persediaan lengkap diruang akan dapt diatasi (Siregar, 2003). Dokter Penderita Interpretasi Perawat Pengendalian oleh Perawat Resep/order Persediaan Di ruang Konsumsi oleh perawat Persediaan IFRS Penyiapan Perawat Kereta obat Dikendalikan Apoteker Gambar 10. Sistem ditribusi obat persediaan lengkap di ruang (Siregar, 2003) 3. Sistem Distribusi Obat Kombinasi Resep Individu dan Persediaan di Ruang Rumah sakit yang menerapkan sistem ini, selain menerapkan distribusi resep/order individual sentralisasi, juga menerapkan distribusi persediaan di ruangan yang terbatas. Jenis dan jumlah obat yang tersedia di ruangan ditetapkan oleh PFT dengan masukan IFRS dan dari pelayanan keprawatan. Sistem kombinasi biasanya diadakan untuk mengurangi beban kerja IFRS. Obat yang disediakan di ruangan adalah obat yang diperlukan oleh banyak penderita, setiap hari diperlukan, dan biasanya adalah obat yang relatif murah, mencakup obat resep atau obat bebas. 125

126 Keuntungan (Siregar dan Amalia, 2004): a. Semua resep/order individual dikaji langsung oleh apoteker. b. Adanya kesempatan berinteraksi profesional antara apoteker dokter perawat penderita. c. Obat yang diperlukan dapat segera tersedia bagi penderita. d. Beban IFRS dapat berkurang. Keterbatasan (Siregar dan Amalia, 2004): a. Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai kepada penderita (obat resep individu). b. Kesalahan obat dapat terjadi (obat dari persediaan ruang). 4.Sistem Distribusi Obat Dosis Unit (UDDS) Sistem distribusi ini menggunakan istilah dosis unit yang digunakan di rumah sakit berhubungan dengan jenis kemasan dan juga sistem untuk mendistribusikan kemasan tersebut. Obat dosis unit adalh obat yang diorder oleh dokter untuk penderita, terdiri atas satu atau beberapa jenis obat yang masing-masing dalam kemasn dosis unit tunggal dalam jumlah yang dikonsumsi saja. Sistem distribusi obat dosis unit adalh metode dispensing dan pengendalian obat yang dikoordinasi IFRS dalam rumah sakit. Akan tetapi, unsur berikut adalah dasar dari semua sistem dosis unit, yaitu obat dikandung dalam kemasan unit tunggal, di-dispensing dalam bentuk siap konsumsi, dan untuk kebanyakan obat tidak lebih dari 24 jam persediaan dosis, dihantarkan ke atau tersedia pada ruang perawatan penderita pada setiap waktu (Siregar dan Amalia, 2004). Sistem distribusi obat dosis unit dapat dioperasikan dengan salah satu dari 3 metode dibawah ini, yang pilihannya tergantung pada kebijakan dan kondisi suatu rumah sakit. Sistem tersebut yaitu (Siregar dan Amalia, 2004 dan Anonim, 1991): a. Sistem distribusi obat dosis unit dapat diselenggarakan secara sentralisasi. Sentralisasi dilakukan oleh IFRS sentral ke semua daerah perawatan penderita rawat tinggal di rumah sakit secara keseluruhan. Artinya, dirumah sakit itu 126

127 mungkin hanya satu IFRS tanpa adanya cabang IFRS di beberapa daerah perawatan penderita. b. Sistem disteribusi obat dosis unit desentralisasi dilakukan oleh beberapa cabang IFRS di sebuah rumah sakit. Pada dasarnya sistem distribusi obat desentralisasi ini sama dengan sistem distribusi persediaan lengkap di ruang, hanya saja sistem distribusi obat desentralisasi ini dikelola seluruhnya oleh apoteker yang sama dengan pengelola dan pengendalian oleh IFRS sentral. c. Dalam sistem distribusi obat dosis unit kombinasi sentralisasi dan desentralisasi, biasanya hanya dosis mula dan dosis keadaan darurat dilayani cabang IFRS sentral. Kalau sistem distribusi obat yang telah diurai sebelumnya dikenal sebagai sistem tradisional, maka sistem distribusi obat dosis unit ini termasuk sebagai sistem yang terbaru, meskipun sistem ini telah diperkenalkan lebih dari 20 tahun yang lalu. Kelemahan dari sistem distribusi ini adalah kebanyakan rumah sakit lambat menerapkannya, karena sistemini memerlukan biaya yang besar dan juga memerlukan penigkatan jumlah yang radikal daristaf apoteker, apabila dibandingkan dengan sistem tradisional (Anonim, 1991). Keuntungan (Siregar dan Amalia, 2004 dan Anonim, 1991): 1) Penderita menerima pelayanan IFRS 24 jam sehari dan penderita membayar hanya obat yang dikonsumsinya saja. 2) Semua dosis yang diperlukan pada unit perawatan telah disiapkan oleh IFRS, jadi perawat mempunyai waktu lebih banyak untuk merawat langsung penderita. 3) Adanya sistem pemeriksaan ganda dengan menginterpretasikan resep/order dokter dan membuat profil pengobatan penderita (P-3)oleh apoteker, dan perawat memeriksa obat yang disiapkan IFRS sebelum dikonsumsikan. Jadi sistem ini mengurangi kesalahan obat. 4) Peniadaan duplikasi order obat yang berlebih dan pengurangan pekerjaan menulis di unit perawat dan IFRS. 127

128 5) Pengurangan kerugian biaya obat yang tidak terbayar oleh penderita. 6) Penyiapan sediaan intravena dan rekonstitusi obat oleh IFRS. 7) Meningkatkan penggunaan personel profesional dan nonprofesional yang lebih efisien. 8) Mengurangi kehilangan pendapatan. 9) Menghemat ruangan di unit perawat dengan meniadakan persediaan ruah obat-obatan. 10) Meniadakan pencurian dan pemborosan obat 11) Memperluas cakupan dan pengendalian IFRS dirumah sakit secara keseluruhan. Sejak dari dokter menulis resep/order sampai penderita menerima dosis unit. 12) Kemasan dosis unit secara tersendiri-sendiri diberi etiket dengan nama obat, kekuatan, nomor kendali dan kemasan tetap utuh sampai obat siap dikonsumsi penderita. Halini mengurangi kesempatan salah obat, juga membantu dalam penelususran kembali kemasan apabila terjadi penarikan obat. 13) Sistem komunikasi pengorderan dan penghantaran obat bertambah baik. 14) Apoteker dapat dtang ke unit perawat/ruang penderita untuk melakukan konsultasi obat, membantu memberikan masukan kepada tim sebagai upaya yang diperlukan untuk perawatan penderita yang lebih baik. 15) Pengurangan biaya total kegiatan yang berkaitan denganobat. 16) Peningkatan pengendalian obat dan pemantauan penggunaan obat menyeluruh. 17) Pengendalian yang lebih besar oleh apoteker atas pola beban kerja IFRS dan penjadwalan staf. 128

129 Dokter Penderita IFRS: Interpretasi Apoteker Profil Pengobatan Penderita (P-3) Rersep/Order Konsumsi Obat Perawat Apoteker + Perawat Cek Kereta Obat Gambar 11. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit Sentralisasi (Siregar dan Amalia, 2004) 5. Sistem Distribusi Obat Desentralisasi Pelayanan Farmasi dessentralisasi terbukti selama ini merupakan suatu rencana pelaksanaan penting guna mencapai keamanan dan keefektifan penggunaan obat bagi penderita (Siregar dan Amalia, 2004). Keuntungan (Siregar dan Amalia,2004) 1) Obat dapat segera tersedia untuk dikonsumsikan pada pasien. 2) Pengendalian obat dan akuntabilitas semakin baik. 3) Apoteker dapat berkomunikasi langsung dengan dokter dan perawat. 4) Sistem distribusi obat berorientasi penderita sangat berpeluang diterapkan untuk penyerahan obat kepada penderita melalui perawat. 5) Apoteker dapat mengkaji kartu pengobatan dan dapat berbicara dengan penderita secara efisien. 6) Informasi obat dari apoteker segera tersedia bagi dokter da perawat. 129

130 7) Waktu kerja perawat dalam distribusi dan penyiapan obat untuk digunakan penderita berkurang, karena tugas itu lebih banyak dilakukan oleh personel IFRS desentralisasi. 8) Spesialisasi terapi obat bagi apoteker dalam bidang perawatan penderita dicapai lebih efektif. 9) Pelayanan klinik apoteker yang terspesialisasi dapat dikembangkan dan diberikan secara efisien. 10) Apoteker lebih mudah melakukan penelitian klinik obat dan studi assesment mutu terapi obat penderita Keterbatasan (Siregar dan Amalia, 2004) Semua apoteker pratik klinik harus cakap bekerja secara efektif dengan asisten apoteker dan teknisi. Apoteker biasanya bertanggungjawab untuk pelayanan distribusi dan pelayanan klinik. Waktu yang digunakan untuk bukan distribusi obat tergantung pada ketersediaan asisten apoteker bermutu dan berkemampuan teknisi. Pengendalian inventori obat dalam IFRS keseluruhan lebih sulit karena anggota staf berpraktik dalam lokasi fisik yang banyak. Lebih banyak alat yang diperlukan, misalnya acuan pustaka informasi obat, laminar air flow, lemari pendingin, rak obat dan alat untuk meracik. Jumlah dan keakutan penderita menyebabkan beban kerja distribusi obat dapat melebihi kapasitas ruangan dan personil dalam unit IFRS desentralisasi yang kecil. 130

131 Dokter Penderita IFRS sentral IFRS: Interpretasi Apoteker Profil Pengobatan Penderita (P-3) Rersep/Order Konsumsi Obat Perawat + Apoteker Apoteker + Perawat Cek Kereta Obat Satu wadah Gambar 12. Sistem distribusi Obat untuk Penderita rawat Tinggal Persyaratan Sistem Distribusi Obat untuk penderita Rawat Tinggal Suatu sistem distribusi obat yang efisien dan efektif sangat tergantung pada desain sistem distribusi obat yang didisain dan dikelola baik harus didapat mencapai berbagai hal sebagai berikut (Siregar, 2004) : 1. Ketersediaan obat yang tetap terpelihara. 2. Mutu dan kondisi obat/tetap stabil dalam seluruh proses distribusi. 3. Kesalahan obat minimal dan memberi keamanan maksimum pada penderita. 4. Obat yang rusak dan kadaluarsa sangat minimal. 5. Efisiensi dalam penggunaan sumber, terutama personel. 6. Pencurian dan/atau hilang dapat minimal. 7. IFRS mempunyai akses dalam semua tahap proses distribusi untuk pengendalian, pemantaun dan penerapan pelayanan farmasi klinik. 8. Terjadinya interaksi profesional dokter-apoteker-perawat-penderita. 9. Pemborosan dan penyalahgunaan obat minimal. 10. Harga terkendali. 131

132 11. Peningkatan penggunaan obat rasional. 3.Sistem Distribusi Untuk Penderita Rawat Jalan Lingkungan fisik untuk Farmasi yang melayani pasien rawat jalan bukan merupakan faktor utama mengingat bahwa pelayanan kesehatan ini diberikan kepada pasien yang rawat jalan, dan bukan yang dirawat di RS. Pasien rawat jalan berbeda dalam banyak hal dengan pasien rawat inap, pasien yang dirawat di rumah sakit selalu dalam lingkungan yang secara rutin diawasi dimana tanda-tanda penting yang terjadi juga dicatat secara rutin, pengobatan dijadwal dan diberikan oleh tenaga medis tedidik yang profesional, dan pasien ditempatkan pada suatu tempat yang khusus; sebaliknya pasien rawat jalan biasanya berad dalam lingkungan yang tidak terkontrol sehingga tanda-tanda penting yang terjadi diaantara waktu kunjungannya ke klinik tidak dicatat, dan kadang-kadang mungkin obat yang digunakan pasien tidak teratur. Dengan demikian jelas bahwa masalah yang berkaitan dengan pengobatan yang dihadapi oleh pasien rawat inap di Rumah Sakit. Pasien rawat jalan seringkali harus bertanggung jawab terhadap kesehatannya sendiri. Di samping obat-obat yang ditulis pada resep, pasien juga mungkin menggunakan obat lain yang dibeli dari Farmasi luar atau dari para pengecer obat lain. Juga mungkin pasien menggunakan obat yang diperoleh dari anggota keluarga atau teman. Tampaknya tidak seorang petugas keshatanpun yang benar-benar mengetahui pengobatan pasien secara menyeluruh. (Anonim, 1991) Dihadapkan pada masalah demikian, disamping melayani9 resep dengan benar, Farmasis harus menyediakan pelayanan farmasi yang diperluas yaitu memberikan informasi kepada pasien agar lebih mengerti tentang obat-obat yang mereka gunakan. (Anonim, 1991). Lokasi Farmasi untuk Pasien Rawat Jalan Tidak ada aturan tertulis tetang area lokasi yang terbaik untuk Farmasi yang melayani pasien rawat jalan. Namun ada 3 pembagian area lokasi yang sesuai yaitu (Anonim, 1991): Farmasi yang tersendiri untuk pasien rawat jalan. 132

133 Farmasi yang melayani baik untuk pasien rawat inap dan rawat jalan yang pelayanannya dari loket yang sama. Farmasi yang melayani baik untuk pasien rawat inap dan rawat jalan yang pelayanannya dari loket terpisah.pertimbangan paling penting adalah bahwa farmasi untuk pasien rawat jalan hendaknya berdekatan dengan klinik untuk pasien rawat jalan. Jika klinik untuk pasien rawat jalan harus dipisahkan juga dari Farmasi untuk pasien rawat inap. Ini membutuhkan perencanaan untuk transportasi obat-obatan dan pengiriman dari Farmasi pusat ke Farmasi untuk rawat jalan. Juga dibutuhkan staf tambahan dan pengawasan manajemen yang semakin luas oleh direktur/ Kepala Farmasi. Prosedur Pelayanan Meskipun pola pelayanan didalam melayani resep dan pelayanan pasien rawat jalan tampak sama dengan pelayanan di Farmasi Umum, tetapi ada beberapa perbedaan, khususnya jumlah yang besar pasien rawat jalan di Farmasi. Pada Rumah Sakit maupun Farmasi umum, resep ditulis oleh dokter, dan pasien membawanya ke farmasi/apotek dimana obat itu akan diberikan oleh farmasis. Jika harus menunggu maka apotek/farmasi harus menggunakan kartu bernomor untuk mengenali pasien dan mengerjakan resepnya. Setelah diterima oleh farmasi, resep dan label diberi nomor dengan mesin. Petunjuk dan informasi lain yang berkaitan ditulis pada label. Label tambahan, misalnya; kocok baik-baik, simpan dilemari es, dan sebagainya ditambahkan, obat yang sesuai dimasukan dlam kontainer, diadakan pemeriksaan untuk ketelitiannya dan akhirnya obat yang telah dibayar sebelumnya diberikan kepada pasien. Farmasi yang melayani banyak pasien rawat jalan harus menggunakan prosedur ban berejalan (assembly line). Seorang menerima resep dari loket penerimaan, orang lain mengetik label dan menyerahkan pada orang lain yang sedang melayani obat untuk resep tersebut dan orang lain lagi yang menyerahkan obat yang telah selesai kepad pasien melalui loket pengambilan. Meskipun prosedur ini memepercepat dalam pelayanan, kesalahan bisa terjadi jika tidak dilaksanakan 133

134 pemeriksaan yang benar. Penggunaan tenaga nonprofesional dapat dimasukan dalam prosedur ban berjalan ini, tetapi telah terjadi perdebatan mengenai apa tugas yang dapat dilaksanakan oleh tenaga non farmasis tersebut. Di beberapa daerah, hal ini diatur oleh badan pengatur lokal dan regional. Pada umumnya disetujui bahwa tenaga non profesional dapat mengetik label pada obat, namun dari segi keamanan pasien adalah suatu pelayanan yang baik jika Farmasis sendiri yang menerima resep dari pasien dan mendiskusikan informasi yang penting mengenai obat tersebut sebelum dimulainya prosedur ban berjalan tersebut. Demikian pula sebaiknya Farmasis yang menyerahkan obat yang telah selesai kepada pasien dan menerangkan petunjuk serta informasi peringatan lainnya (Anonim, 1991). Disamping prosedur ban berjalan ada dua sistem lagi yang sangat mempercepat seluruh pelayanan obat untuk pasien rawat jalan dan juga mengurangi kebutuhan staf. Sistem itu adalah: Sistem pelayanan farmasi yang dengan ketat mengikuti Formularium Rumah Sakit dan sistem pelayanan farmasi program pengemasan awal yang efisien. Dengan menggunakan sistem Formularium Rumah Sakit, staf medis harus disadarkan bahwa farmasi hanya akan melayani satu merek untuk setiap obat, dan bahwa hanya akan disediakan obat-obat pokok dalam jumlah minimal untuk tiap kategori pengobatan. Setelah standarisasi formularium tercapai, maka akan berjalan bersama program pengemasan. Obat-obat tertentu dalam jumlah yang banyak akan ditulis sebagai produk yang sama dalam jumlah yang relatif kecil, dan obat-obat ini harus dikemas di farmasi. Disamping itu, jumlah obat standar yang spesifik harus ditentukan oleh Komite Farmasi dan Terapi. Contoh, mungkin ditentukan bahwa 30 kapsul dari jenis multivitamin untuk satu bulan pengobatan atau 12 kapsul dari 1 jenis antibiotika utuk satu masa pengobatan tang dibutuhkan untuk mengobati infeksi. Setelah ditentukan, maka daftar obat yang biasa digunakan dengan jumlah kemasan harus dipasang untuk setiap ruang klinik. Dokter harus menulis resep dengan jumlah tersebut dan Farmasi harus mempunyai persediaan kontainer obat-obatan tersebut yang sudah dikemas, sehingga dengan demikian meniadakan prosedur menghitung 134

135 dan menuang obat saat melayani resep, dan hanya perlu menempelkan label obat pada kontainernya saja. (Anonim, 1991). Pelayanan Farmasi yang Diperlukan Selain pelayanan yang telah disebutkan sebelumnya, Farmasi yang melayani pasien rawat jalan dapat memberikan pelayanan-pelayanan berikut sesuai dengan waktu da staf yang ada (Anonim, 1991): a Penyuluhan Pasien (counselling) Ruang khusus untuk penyuluhan dapat digunakan dan disediakan bagi para pasien yang mempunyai masalah berkaitan dengan obat-obat tertentu seperti misalnya pasien yang menggunakan banyak macam obat atau menderita penyakit tertentu dan obat-obat dengan penggunaan khusus, misalnya inhaler, insulin dan lain-lain. b Pendidikan Pasien (Education) Karena farmasis sangat mengenal obat-obatan, maka sewajarnya jika pengetahuan tentang obat-obatan dapat diberikan pada pasien yang sangat mungkin sekali menerima pengobatan yang berbahaya karena adanya jadwal pengobatan yang kacau atau cara pemberian obat yang lain dari biasanya. Misalnya program untuk edukasi para penderita hemofili untuk menggunakan obat sendiri dirumah. c Membuat lembaran riwayat pasien dan pengobatan/catatan farmasi Seperti yang telah ditulis dalam bagian pengobatan untuk pasien, Farmasis dapat membuat catatan mengenai riwayat pengobatan untuk pasien rawat jalan. Cara ini memungkinkan farmasis mengevaluasi seluruh langkah pengobatan pasien yang sangat penting sekali untuk pasien rawat jalan yang secara rutin membeli obat di Farmasi tersebut. d Menyediakan Informasi obat-obatan 135

136 Farmasis dapat menyediakan informasi tentang obat-obatan secara umum yang akan membantu pasien untuk lebih mengerti tentang obat mereka dan bagaimana penggunaannya. e Peduli dan Merujuk/merekomendasikan Farmasis yang melayani pasien rawat jalan selalu bertatap muka dengan pasien pada waktu melayani resep, memberikan penyuluhan pada pasien atau memberikan pelayanan perawatan. Selama tatap muka dengan pasien ini mungkin diketahui bahwa pasien mengalami kondisi yang tidak terdeteksi/diketahui sebelumnya, misalnya mempunyai penyakit akut yang membutuhkan perawatan atau memerlukan bantuan dokter dengan segera. Gejala seperti diabetes, infeksi streptokokal, atau infark miokardial mungkin dapat diketahui dari keluhan-keluhan ringan yang dikemukakan pasien kepada farmasis. Farmasis yang mengetahui gejalagejala tersebut dapat segera menganjurkan pasien ke unit gawat darurat untuk pemeriksaan. Secara umum, pedoman pelayan farmasi untuk pasien rawat jalan di rumah sakit mencakup: a. Persyaratan Manajamen, meliputi: 1) Perencanaan; pelayanan farmasi untuk pasien rawat jalan harus dipimpin oleh seorang apoteker yang berkompetensi, memiliki pengalamn dalam praktek dan manajemen farmasi, yang bertanggung jawab menentukan sasaran juangka panjang dan pendek, mengembangkan rencana, hingga laboran yang berkaitan dengan pencapaian sasaran. 2) Pengelolaan staf; personil yang ditugaskan untuk pasien rawat jalan memiliki pendidikan dan pengalaman yang diperlukan untuk memenuhi tugas mereka, jumlah personel dan jadwal kerja staf diatur sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan pasien yang dilayani rumah sakit. 3) Pengelolaan Unit Pelayanan Penderita Ambulatori (UPPA); UPPA sebagai cabang dari IFRS harus selalu dipantau pengelolaanya oleh IFRS sentral 136

137 mengenai pelayanan, pengelolaan keuangan, serta kepatuhan pada standar yang berlaku. b. Persyaratan fasilitas dan peralatan 1) Apotek RS harus memiliki lokasi yang mudah dicapai oleh pasien. Ruangan dan peralatan dalam jumlah dan jenis yang memadai untuk melaksanakan fungsi profesional dan administrasi. 2) Tersedia ruangan bersifat pribadi untuk konsultasi, serta ruangan dan sumber yang memadai untuk pelayanan informasi obat. 3) Sebaiknya memiliki sumber pengolahan data yang telah memadai atau berkomputerisasi untuk memudahkan dalam mengakses. 4) Harus menyediakan ruang tunggu yang nyaman bagi penderita. c. Persyaratan pengolahan resep 1) Dispencing dilakukan oleh apoteker atau dibawah pengawasan apoteker. 2) Apoteker harus mengkaji ketepatan dari pemilihan obat, dosis, rute pemberian, serta jumlah obat. 3) Etiket ditulis secara benar, lengkap, dan jelas. 4) Obat harus disiapkan tepat waktu dengan cara akurat. 5) Pemberian informasi atau edukasi pada pasien baik secara lisan atau tertulis. Apoteker harus memastikan pasien menerima dan mengerti semua informasi yang diperlukan untuk penggunaan obat yang tepat. d. Pedoman operasional lain 1) Penetapan jam kerja sesuai dengan kebutuhan pasien rawat jalan. 2) Ketaatan pada formularium rumah sakit. 3. Sistem Farmasi Satu Pintu Pelayanan Farmasi Satu Pintu berarti tanggung jawab pelayanan kefarmasian sepenuhnya dilakukan oleh farmasi rumah sakit (RS) atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Yang dimaksud dengan sistem satu pintu menurut UU No. 44 tahun 2009 pasal 15 ayat 3 adalah bahwa rumah sakit hanya memiliki satu 137

138 kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan formularium pengadaan, dan pendistribusian alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien. IFRS memiliki kewenangan penuh dan bertanggung jawab terhadap obat yang beredar di RS, serta dalam pengelolaan perbekalan farmasi, berkewajiban mengelola obat secara berdaya guna dan berhasil guna, berkewajiban melaksanakan pengendalian pelayanan dan pemantauan penggunaan obat di rumah sakit. Proses pelaksanaan sistem pelayanan kefarmasian satu pintu, meliputi : 1) Pemahaman tentang tanggungjawab kepada pihak internal IFRS bahwa Instalasi Farmasi bertanggung jawab atas semua obat yang beredar di rumah sakit. 2) Commitment Building : Memberikan yang terbaik untuk pelanggan, pelayanan bebas kesalahan (Zero Defect), pelayanan bebas copy resep (terlayani semua di rumah sakit). 3) Membangun kekuatan internal RS terhadap pesaing farmasi dari luar dan mewujudkan keterikatan terhadap pelayanan farmasi RS dengan penyediaan dana gotong royong seluruh jajaran RS. 4) Pemberdayaan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). 5) Penerapan sistem formularium RS. 6) Penerapan satu SOP (Sistem Operasional Pelaksanaan) penulisan resep. 7) Resep wajib dikirim ke IFRS untuk dilakukan skrining dan validasi. 8) Penerapan SIM (Sistem Informasi Manajemen) farmasi. Dalam pengorganisasian IFRS (Instalasi Farmasi Rumah Sakit) sebagai salah satu revenue centre RS harus mendapatkan dukungan dan diselaraskan dengan strategi RS. Hasil penelitian yang dilakukan Satibi dkk. (2008a) di IFRS SG yang tidak menerapkan pelayanan farmasi satu pintu berdampak pada penurunan kinerjanya. Hasil kinerja IFRS SG yang tidak melaksanakan pelayanan farmasi satu 138

139 pintu seperti terlihat dalam Tabel 13. Kinerja IFRS SG yang rendah merupakan salah satu dampak dari kebijakan rumah sakit dalam melaksanakan strategi aliansi. Kebijakan ini menyebabkan banyak pihak ketiga (4 apotek diluar IFRS) masuk dalam memberikan pelayanan obat kepada pasien di RS. Kondisi ini sangat merugikan RS dan khususnya IFRS. Tabel 13. Kinerja IFRS SG yang tidak Menerapkan Pelayanan Farmasi Satu Pintu dalam Organisasinya. No. Indikator Nilai (%) 1. Keterjaringan pasien 9,06 2. Ketersediaan obat Kepuasan pasien 70,9 Sumber: Satibi dkk, (2008a) Dana merupakan masalah strategis dalam pengembangan pelayanan farmasi bermutu. Dana untuk pengadaan obat selalu menjadi alasan yang dikemukakan RS Pemerintah untuk membenarkan beroperasinya berbagai apotek swasta murni dan apotek swasta milik RS sendiri. Hampir semua apotek ini tidak dibawah kendali instalasi farmasi sehingga mutu keamanan penderita dan harga obat diluar kendali instalasi farmasi. Keadaan ini tidak kondusif untuk melakukan pelyanan farmasi yang bermutu dan berspektrum luas. Oleh karena itu, pelayanan farmasi dengan satu pintu mutlak dilaksanakan, yaitu instalasi farmasi sebagai pengelola tunggal perbekalan farmasi RS. Hal ini dikarenakan: 1.Farmasi RS bertanggung jawab atas semua barang farmasi yang beredar di RS, baik rawat jalan maupun rawat inap. 2.Farmasi RS bertanggung jawab atas pengadaan dan penyajian informasi obat siap pakai bagi semua pihak di RS, baik petugas kesehatan maupun pasien. 139

140 3.Farmasi RS bertanggung jawab atas pekerjaan pelayanan kefarmasian di RS (mengacu pada akreditasi RS dan SK Dirjen Yanmed no. 0428/YAPI/LED/RSKS/K/1989), yaitu Bab II Pasal 9: 1) Sebagai penanggung jawab atas pengelolaan obat-obat di RS maka instalasi farmasi RS berkewajiban dan harus mampu mengelola obat-obatan secara berdaya guna dan berhasil guna. 2) Untuk tercapainya tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) maka pengadaan obat-obatan di RS didasarkan atas prosedur perencanaan yang baik. Dalam nenyusun rencana pengadaan dan pengelolaan obat-obatan di RS, instalasi farmasi menggunakan data pemakaian di lapangan yang berasal dari semua unit instalasi RS. 3) Untuk dapat melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelayanan obat-obatan di RS, maka pelayanan obatan-obatan yang di RS harus melalui sistem satu pintu. 4) Dengan sistem satu pintu sebagaimana di maksud pasal 9 ayat (3), maka unit distribusi instalasi farmasi RS (apotek RS) secara bertahap harus difungsikan sepenuhnya sabagai satu-satunya apotek RS yang berkewajiban melaksanankan pelayanan obat-obatan di RS. Istilah satu pintu itu sendiri berarti: a. Satu kebijakan kebijakan, dimana kebijakan ini diambil oleh IFRS, maka harus mengikuti kebijakan yang ada seperti formularium RS, tata laksana obat, harga jual obat yang seragam, dan dalam penentuan distributor yang tepat. b. Satu SOP (Standart Operational Procedure), yang dibuat agar standar yang diinginkan tercapai termasuk prosedur/instruksi kerja yang meliputi pelayanan, pelaporan, monitoring, dan evaluasi. c. Satu pengawasan operasional, dimana dalam pelayanan, pengadaan, pengelolaan, dan seleksi obat dilakukan oleh suatu kontrol yaitu oleh IFRS. 140

141 d. Satu sistem informasi, dimana yang bertanggung jawab dalam masalah ini adalah farmasi Rumah Sakit. Beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam menyelenggarakan pelayanan farmasi sistem satu pintu antar lain : 1.Jumlah unit pelayanan yang ada di Rumah Sakit. Hal ini berguna untuk merencanakan jumlah dan letak outlet apotek. 2.Memperkirakan jumlah resep, baik jumlah resep per hari pada jam sibuk/jam kerja maupun reep diluar jam kerja. 3.Macam item obat yang diresepkan, untuk menentukan fast and slows moving drug agar persediaan obat itu selalu ada. Hal ini sangat erat kaitannya dengan persediaan dana. 4.Jumlah tenaga yang diperlukan untuk setiap outlet apotek, agar tercapai tepat obat dan tepat waktu. 5.Tersedia tenaga farmasi klinik. Tujuan Pelayanan Farmasi Satu Pintu 1) Menghindari resep keluar, dengan cara memiliki outlet apotek ditiap lantai, menggunakan sistem jemput resep, fasilitas antar untuk jarak tertentu, bekerja sama dengan poli rawat jalan. 2) Meningkatkan pendapatan IFRS dan Rumah Sakit, sehingga meningkatkan kesejahteraan pegawai. 3) Optimalisasi cakupan pelayanan obat gawat darurat, resep rawat jalan umum, rawat jalan Askes, rawat inap umum/askes, obat operasi dan pelayanan obat masyarakat miskin dan sistem Jaminan Kesehatan nasional (JKN) 4) Meminimalisasi pemberian obat yang tidak tepat waktu, dan meminimalisasi medication error untuk keamanan dan keselamatan pasien. 141

142 5) Peningkatan pelayanan farmasi sesuai dengan standar yang berlaku sehingga dapat memenuhi kebutuhan yang ditetapkan, dan memuaskan harapan konsumen. 6) Obat tersedia pada harga yang kompetitif dan memberi manfaat bagi RS. Disamping itu, dengan tujuan penerapan farmasi satu pintu lainnya adalah: 1) Memudahkan monitoring penggunaan obat. 2) Dapat mengetahui kebutuhan obat secara menyeluruh sehingga memudahkan perencaan obat. 3) Menjamin mutu obat yang tersedia sesuai persyaratan kefarmasian 4) Dapat melaksanakan pelayanan obat dengan sistem unit dose ke semua ruang rawat. 5) Dapat dilaksanakannya pelayanan informasi obat dan konseling obat baik bagi pasien rawat jalan maupun rawat inap. 6) Dapat dilaksanakan Monitoring Efek Samping obat oleh Panitia Farmasi dan Terapi. 7) Dapat melakukan pengkajian penggunaan obat di rumah sakit, baik obat generik, obat formularium, obat DPHO askes, dan lain-lain, sesuai program instalasi farmasi serta Panitia Farmasi dan Terapi. Keuntungan Pelayanan Farmasi Satu Pintu 1) Obat dan Perbekkes (perbekalan kesehatan) dikelola oleh tenaga terlatih (Apoteker dan Asisten Apoteker). 2) Obat dan Perbekkes disimpan dan dikelola Instalasi Farmasi. 3) Fasilitas penyimpanan obat dan Perbekkes dipusatkan di satu tempat. 4) Menghindari terjadinya tumpang tindih dalam pengadaan obat dan perbekalan kesehatan. 5) Dapat mengoptimalkan tim perencanaan obat terpadu. 6) Memudahkan perencanaan obat, karena mengetahui jumlah kebutuhan obat secara menyeluruh. 142

143 7) Pemegang program lebih fokus pada surveilence sehingga terjadi peningkatan cakupan program. 8) Pencatatan dan pelaporan dapat terlaksana dengan baik, sehingga memudahkan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pelayanan perbekalan farmasi di rumah sakit. 9) Meningkatkan peran instalasi farmasi sebagai salah satu revenue center bagi rumah sakit. 10) Menjamin mutu obat yang tersedia sesuai persyaratan kefarmasian. 11) Meningkatkan pelayanan kefarmasian yang bertanggung jawab kepada pasien (perlindungan konsumen). 12) Menunjang pelayanan farmasi klinik dan asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) yang komprehensif secara langsung. 13) Membantu usaha pengontrolan peresepan dalam rangka perbaikan formularium rumah sakit, pedoman diagnosis, terapi, monitoring efek samping obat, dan pelayanan Informasi Obat dan Konseling Obat. 14) Memudahkan pelaksanaan visite/ konsultasi farmasi di bangsal secara rutin dalam rangka perlindungan pasien dari kesalahan obat. 15) Rumah sakit dapat secara langsung mengelola seluruh pemasukan rumah sakit yang berasal dari pelayanan kefarmasian untuk menutupi biaya operasional rumah sakit dan peningkatan mutu SDM. 16) Dengan melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu, berarti suatu rumah sakit telah melaksanakan persyaratan standar akreditasi rumah sakit, UU Republik Indonesia No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, dan kebijakan pemerintah. 17) Dapat dilaksanakannya pelayanan obat dengan sistem unit dose ke semua ruang rawat. 18) Dapat melakukan pengkajian penggunaan obat di RS, baik obat generik, obat formularium, obat Askes dan lain-lain sesuai dengan program IFRS serta PFT. 143

144 19) Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan perbekalan farmasi (keselamatan pasien). 20) Kemudahan akses data perbekalan farmasi yang akurat. Adapun metode lain yangt bisa diterapkan untuk mencegah resep keluar dari IFRS selain dengan pemilihan sistem distribusi yang tepat dan sistem satu pintu adalah: a. E-pescribing (peresapan elektronik) Yaitu penggunaan komputer dan/atau personal digital assistants (PDAs) untuk menulis resep.penerapan sistem ini di rumah sakit diyakini cukup efektif dalam upaya mencegah resep keluar dari rumah sakit yang bersangkutan. Dengan diterapkannya sistem ini maka pasien akan menebus resep hanya di apotek rumah sakit tersebut. Agar tidak mengurangi hak-hak pasien maka pasien tetap menerima resep dalam bentuk print out bersamaan dengan dispencing obat. Metode e-prescribing, selain meningkatkan keterjaringan pasien membeli obat di IFRS juga mampu menekan angka kejadian medication error sampai 60%. Menekan kejadian medication error dalam upaya meningkatkan keselamatan pasien (patient safety) menjadi hal yang paling utama dibanding pertimbangan lainnya. b. Pembayaran terpadu Yaitu biaya dokter, biaya laboratorium, radiologi dan obat serta biaya yang lainnya dijadikan satu dengan mendirikan depo farmasi dan loket pembayaran disekitar poloklinik di rumah sakit. Keuntungan dari strategi ini adalah lebih praktis dan efektif dalam mencegah resep keluar, serta biaya operasional yang dibutuhkan lebih kecil. c. Jemput resep Yaitu adanya tenaga kerja dari IFRS yang bertugas mengambil resep dari dokter praktek di poliklinik untuk dibawa ke IFRS dan dilayani disana. Dapat juga dilakukan oleh perawat masing-masing poliklinik yang mengantarkan 144

145 resep ke IFRS. Namun, sistem ini kurang etis karena melanggar hak pasien dalam menebus resep, selain itu juga membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak. Upaya yang dilakukan agar tidak melanggar hak pasien adalah dengan tetap menawarkan kepada pasien apakah resep yang diterima akan dibeli di farmasi rumah sakit atau di apotek yang lain. Keputusan untuk membeli obat dimanapun tetap menjadi hak sepenuhnya pasien. d. Membangun outlet farmasi setiap lantai Salah satu faktor dalam keputusan pasien membeli obat di RS adalah kemudahan akses ke apotek/instalasi farmasi. Dalam upaya mendekatkan obat dengan pasien dapat dilakukan dengan membangun outlet tiap lantai di RS. Metode ini jelas membutuhkan fasilitas dan tenaga farmasi yang lebih banyak, namun pasien lebih mudah dalam memperoleh obatnya. e. Bekerjasama dengan poliklinik (pasien rawat jalan) Instalasi Farmasi RS sebagai salah satu unit bisnis RS. Kerjasama antar unit bisnis di RS menjadi salah satu faktor kunci keberhasilannya terutama adalah dengan poliklinik dan ruangan atau bangsal. Resep yang masuk ke IFRS adalah mayoritas dari poliklinik dan ruangan, sehingga alignment/keselarasan antar unit bisnis ini sangat dibutuhkan dalam upaya meningkatkan keterjaringan resep/pasien RS. 145

146 BAB VII PENGGUNAAN OBAT Salah satu faktor penentu keberhasilan pelayanan kefarmasian, dan secara umum pelayanan kesehatan, adalah penggunaan obat yang rasional. WHO memberikan definisi sebagai berikut : pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhan kliniknya, pada dosis yang tepat secara individual, waktu pemakaian terukur, dan terjangkau harganya oleh pasien yang bersangkutan, atau masyarakat sekelilingnya (Quick et al, 1997). Secara biomedik, hal itu ditentukan oleh kriteria tepat obat, tepat indikasi, obat sesuai mengenai khasiat, aman, cocok buat pasien yang bersangkutan, murah, tepat dosis, tepat cara pakai, waktu pemakaian, tepat pasien, tepat dispensing (termasuk pemberian informasi dan konseling), dan pasien patuh dan terikat pada tindakan yang dilakukan untuk kepentingannya (Quick et al, 1997). Parameter lain dipublikasikan oleh WHO (1993) yang menyebutkan bahwa penelitian tentang penggunaan obat pada fasilitas kesehatan, penilaian baik/rasional didasarkan pada 3 macam indikator, yang salah satu indikator tersebut mempersyaratkan tentang persentase penggunaan antibiotika, penulisan obat generik, dan kesesuaian dengan formularium rumah sakit/nasional (Zai, 2002). Untuk dapat menuliskan resep yang tepat dan rasional seorang dokter harus memiliki cukup pengetahuan dasar mengenai ilmu-ilmu farmakologi yaitu tentang farmakodinamik, farmakokinetik, dan sifat-sifat fisiko kimia obat yang diberikan. Oleh karena itu dokter memainkan peranan penting dalam proses pelayanan kesehatan khususnya dalam melaksanakan pengobatan melalui pemberian obat 146

147 kepada pasien. Kejadian penulisan resep yang tidak rasional dilaporkan dalam suatu penelitian oleh Oviave (1989) yaitu 74,3 % disebabkan oleh penulisan resep yang tidak esensial, dalam suatu survey mengenai polifarmasi pada pasien di rumah sakit dilaporkan terjadi insiden efek samping, karena adanya kemungkinan interaksi obat. Yang dimaksud dengan interaksi obat ialah reaksi yang terjadi antara obat dengan senyawa kimia (obat lain atau makanan) di dalam tubuh maupun pada permukaan tubuh yang dapat mempengaruhi kerja obat. Dapat terjadi peningkatan kerja obat, pengurangan kerja obat atau obat sama sekali tidak menimbullkan efek. Interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh yaitu interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik sering kali lolos dari pengamatan dokter karena kurangnya pengetahuan dari mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat, selain itu kurangnya pengetahuan dokter mengenai farmakologi (farmakodinamik dan farmakokinetik) suatu obat dapat mengakibatkan tidak rasionalnya penulisan resep jika ditinjau dari interaksi obat yang terjadi. Mengingat bahwa masalah penulisan resep yang tidak rasional ini dapat merugikan dan berbahaya bagi pasien Penggunan obat yang tepat dan sesuai pedoman pengobatan akan dapat menunjang optimasi penggunaan dana, serta meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan. Ketepatan penggunaan obat perlu didukung dengan tersedianya jumlah obat yang tepat jenis dan jumlahnya serta dengan mutu yang baik. Terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional antara lain disebabkan adanya pemberian pengobatan yang belum didasarakan pada pedoman terapi yang telah ditetapkan, kurangnya sarana penunjang untuk membantu penegakan diagnosa yang tepat, info yang sering bias yang berakibat peresepan obat-obat yang tidak tepat dan tidajk sesuai kebutuhan pengobatan, adanya tekanan dari pasien untuk meresepkan obatobat berdasarkan pilihan pasien sendiri, serta sistem perencanaan obat yang lemah. Pemakaian obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam pelayanan kesehatan oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Di banyak negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan temuan telah menunjukkan bahwa pemakaian obat jauh dari keadaan optimal dan rasional. 147

148 Yang jelas masih banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam pemakaian obat umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing). Dampak Negatif Pemakaian Obat Yang Tidak Rasional Obat adalah sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau menyedilidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi. Dengan demikian obat mencakup produk biologi tidak termasuk mencakup obat. Dalam hal ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat diutamakan pada obat esensial, sedangkan dari aspek jaminan mutu diberlakukan pada semua jenis obat. Dampak negatif pemakaian obat yang tidak rasional sangat luas dan kompleks seperti halnya faktor-faktor pendorong atau penyebab terjadinya. Tetapi secara ringkas dampak tersebut dapat digambarkan seperti berikut. 1. Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan Beberapa kebiasaan peresepan yang tidak rasional akan mempengaruhi mutu pengobatan dan pelayanan secara langsung atau tidak langsung. Secara luas juga dampak negatifnya terhadap upaya penurunan mortalitas dan morbiditas penyakit-penyakit tertentu. Misalnya, kebiasaan untuk selalu memberi antibiotik dan anti diare terhadap kasus-kasus diare akut, tanpa disertai pemberian campuran rehidrasi oral (Oralit) yang memadai, akan berdampak negatif terhadap upaya penurunan mortalitas diare. Juga pemakaian tetrasiklin pada kasus-kasus faringitis streptokokus (yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta-hemolitikus) akan berdampak negatif terhadap upaya pencegahan demam rematik oleh karena tetrasiklin bukan obat pilihan untuk faringitis streptokokus. 2. Dampak terhadap biaya pelayanan pengobatan Pemakaian obat-obatan tanpa indikasi yang jelas, untuk kondisikondisi yang sebetulnya tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan, 148

149 baik dari sisi pasien maupun sistem pelayanan. Dokter mungkin kurang memperhatikan dampak ekonomi ini, tetapi bagi pasien yang harus membayar atau bagi sistem pelayanan yang harus menanggung ongkos pengobatan, hal ini akan sangat terasa. Kebiasaan peresepan yang terlalu tergantung pada obat-obat dengan nama dagang (branded) yang mahal, jika ada alternatif obat generik dengan mutu dan keamanan yang sama, jelas merupakan beban dalam pembiayaan dan merupakan salah satu bentuk ketidakrasionalan. 3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping obat Kemungkinan risiko efek samping obat dapat diperbesar oleh pemakaian obat yang tidak tepat. Ini dapat dilihat secara individual pada masing-masing pasien atau secara epidemiologik dalam populasi. Pemakaian obat yang berlebihan baik dalam jenis (multiple prescribing) maupun dosis (over prescribing) jelas akan meningkatkan risiko terjadinya efek samping. Pemakaian antibiotika secara berlebihan juga dikaitkan dengan meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik yang bersangkutan dalam populasi (Levy, 1982). Ini mungkin merupakan contoh dampak efek samping yang kurang nyata pada seorang penderita tetapi jelas merupakan konsekuensi serius secara epidemiologik. 4. Dampak psikososial Pemakaian obat secara berlebihan oleh dokter seringkali akan memberikan pengaruh psikologik pada masyarakat. Masyarakat menjadi terlalu tergantung pada terapi obat walaupun intervensi obat belum tentu merupakan pilihan utama untuk kondisi tertentu. Lebih parah lagi kalau kemudian karena terlalu percaya atau tergantung pada intervensi obat, bentuk-bentuk intervensi lain untuk kondisi tertentu tersebut lalu ditinggalkan. Sebagai contoh, karena terlalu percaya bahwa pemakaian obat seperti aspirin secara terus-menerus akan dapat mencegah penyakit jantung koroner, maka profilaksi-profilaksi yang lebih penting terhadap faktor risiko yang sudah jelas misalnya, tidak merokok lantas diabaikan. Atau dalam klinik, karena terlalu percaya pada pemberian 149

150 profilaksi antibiotika maka tindakan-tindakan aseptik pada pembedahan lalu tidak diperhatikan secara ketat. Beberapa dampak negatif yang diutarakan tersebut mungkin jarang terperhatikan sewaktu dokter menulis resep atau memutuskan pengobatan, tetapi baru akan jelas kalau dikaji secara khusus dan luas. Mungkin masih banyak dampakdampak negatif lain yang belum tercakup, tetapi yang penting adalah bahwa kemungkinan-kemungkinan terjadinya dampak negatif tersebut bukanlah sematamata sesuatu yang teoritis saja. Ciri Pemakaian Obat Yang Tidak Rasional Seperti diutarakan di muka, secara ringkas dikatakan pemakaian obat tidak rasional kalau manfaat yang didapat tidak sebanding dengan kemungkinan risiko yang disandang pasien atau biaya yang harus dikeluarkan. Tetapi secara lebih luas pemakaian obat yang tidak rasional akan memberikan ciri-ciri umum seperti yang diuraikan berikut, 1. Pemakaian obat dimana sebenarnya indikasi pemakaiannya secara medik tidak ada atau samar-samar. 2. Pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu. 3. Cara pemberian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian yang tidak sesuai. 4. Pemakaian jenis obat dengan potensi toksisitas atau efek samping lebih besar padahal obat lain yang sama kemanfaatannya (efficacy) dengan potensi efek samping lebih kecil juga ada. 5. Pemakaian obat-obat mahal padahal alternatif yang lebih murah dengan kemanfaatan dan keamanan yang sama tersedia. 6. Tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima kemanfaatannya dan keamanannya (established efficacy and safety). 7. Memberikan pengobatan dengan obat-obat yang kemanfaatan dan keamanannya masih diragukan. 150

151 8. Pemakaian obat yang semata-mata didasarkan pada pengalaman individual tanpa mengacu kepada sumber-sumber informasi ilmiah yang layak, atau hanya didasarkan pada sumber-sumber informasi yang tidak dapat dipastikan kebenarannya. 9. Pemakaian obat yang didasarkan pada insting dan intuisi tanpa melihat fakta dan kebenaran ilmiah yang lazim. Ini misalnya terlihat pada dokterdokter yang mengklaim mempunyai cara-cara inkonvensional dalam pengobatan. Masih banyak lagi ciri pemakaian obat yang tidak rasional yang tidak kesemuanya dapat diuraikan disini. Ini sedikit banyak akan tergantung pada definisi dan kriteria serta siapa yang menilai ketidakrasionalan tersebut. Masing-masing ciri yang digambarkan di atas tidak berdiri satu-satu secara sendiri-sendiri, tetapi akan saling terkait satu sama lain. Sebagai contoh, di Indonesia sebagian besar (+ 70%) dari pasien-pasien yang datang ke Puskesmas mendapatkan suntikan walau tidak jelas indikasi medik pemberian suntikan tersebut. Bila disimak lebih lanjut tingginya pemakaian suntikan tersebut, bukan hanya indikasinya saja yang secara medik tidak jelas, tetapi juga memenuhi ciri-ciri ketidakrasionalan yang lain seperti diuraikan diatas. Bentuk-bentuk ketidak-rasionalan pemakaian obat juga dapat dikelompokkan seperti berikut (Quick et al, 1997), 1. Peresepan boros (extravagant), yakni peresepan dengan obat-obat yang lebih mahal padahal ada alternatif yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama. Termasuk di sini mestinya adalah peresepan yang terlalu berorientasi ke pengobatan simtomatik sampai mengurangi alokasi obat-obat yang lebih vital. Misalnya pemakaian obat-obat antidiare yang berlebihan dapat menurunkan alokasi untuk oralit yang notabene lebih vital untuk menurunkan mortalitas. 151

152 2. Peresepan berlebihan (over prescribing), terjadi bila dosis obat, lama pemberian atau jumlah obat yang diresepkan melebihi ketentuan. Juga peresepan dengan obat-obat yang sebenarnya tidak diperlukan dapat dikategorikan dalam bentuk ketidak-rasionalan ini 3. Peresepan yang salah (incorrect prescribing), mencakup pemakaian obat untuk indikasi yang keliru, diagnosis tepat tetapi obatnya keliru, pemberian obat ke pasien salah. Juga pemakaian obat tanpa memperhitungkan kondisi lain yang diderita bersamaan. 4. Peresepan majemuk (multiple prescribing), yakni pemakaian dua atau lebih kombinasi obat padahal sebenarnya cukup hanya diberikan obat tunggal saja. Termasuk di sini adalah pengobatan terhadap semua gejala yang mungkin tanpa mengarah ke penyakit utamanya. Sebagai contoh, di Puskesmas pasien yang datang rata-rata akan menerima obat lebih dari 4 jenis per episode kunjungan. 5. Peresepan kurang (under prescribing) terjadi kalau obat yang diperlukan tidak diresepkan, dosis tidak cukup atau lama pemberian terlalu pendek. Upaya intervensi dari sisi pengelolaan (managerial) mencakup, a. Perbaikan sistim suplai, yakni dalam proses seleksi dan pengadaan obat, misalnya dengan Daftar Obat Esensial, formularium rumah sakit, penelaahan pemakaian obat (drug utilization review) sebagai umpan balik untuk para penulis resep. b. Sistim peresepan dan dispensing obat, meliputi penyediaan pedoman atau protokol pengobatan di unit pelayanan, formulir resep khusus misalnya dengan blangko R/ maksimal 2, audit terapi, dan lain-lain. Upaya perbaikan dengan pendekatan peraturan atau regulasi (regulatory strategies) kalau intervensi-intervensi tersebut diterapkan melalui aturan-aturan formal. Kelebihan pendekatan ini oleh karena sedikit banyak bersifat mengikat, sedangkan pendekatan pendidikan dan pengelolaan umumnya bersifat persuasif. 152

153 Sebagai contoh misalnya kebijaksanaan mengenai peresepan generik (generic prescribing) yang diharuskan di unit-unit pelayanan pemerintah. Upaya apapun yang diterapkan, untuk mengetahui apakah intervensiintervensi tersebut membawa hasil harus dilakukan evaluasi dengan parameterparameter yang sudah disepakati. Oleh karena sering terjadi, setiap intervensi begitu saja diberikan tanpa ditelaah apakah efektif atau tidak. Kriteria Kerasionalan Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria ini mungkin akan bervariasi tergantung interpretasi masing-masing, tetapi paling tidak akan mencakup hal-hal berikut: a. ketepatan indikasi b. ketepatan pemilihan obat c. ketepatan cara pemakaian dan dosis obat d. ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien/dan tindak lanjut efek pengobatan. e. Ketepatan harga f. Waspada terhadap efek samping obat Indikasi pemakaian obat secara khusus adalah indikasi medik di mana intervensi dengan obat (farmakoterapi) memang diperlukan dan telah diketahui memberikan manfaat terapetik. Pada banyak keadaan, ketidakrasionalan pemakaian obat terjadi oleh karena keperluan intervensi farmakoterapi dan kemanfaatannya tidak jelas. Pertanyaan yang harus dijawab dalam kriteria indikasi ini adalah "Apakah obat diperlukan?". Kalau ya, efek klinik apa yang paling berperan terhadap manfaat terapetik. Hal ini akan menentukan evaluasi terhadap hasil terapi. Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti. a. Risiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien dan imbang dengan manfaat yang akan diperoleh. 153

154 b. Biaya obat paling sesuai untuk alternatif-alternatif obat dengan manfaat dan keamanan yang sama dan paling terjangkau oleh pasien (affordable). c. Jenis obat yang paling mudah didapat (available). d. Cara pemakaian paling cocok dan paling mudah diikuti pasien. e. Sedikit mungkin kombinasi obat atau jumlah jenis obat. Banyak ketidakrasionalan bersumber pada pemilihan obat-obat dengan manfaat dan keamanan yang samar-samar atau obat-obat yang mahal pada alternatif yang sama dengan harga lebih murah juga tersedia. Cara pemakaian obat memerlukan pertimbangan farmakokinetika, yakni: cara pemberian, besar dosis, frekuensi pemberian dan lama pemberian, sampai ke pemilihan cara pemakaian yang paling mudah diikuti oleh pasien dan paling aman serta efektif untuk pasien. Apakah pasien benar-benar memerlukan suntikan? Oleh karena sebagian besar pemberian suntikan yang terjadi umumnya tidak ada indikasi secara jelas, sering tidak memberikan kelebihan manfaat dibandingkan alternatif pemberian lain, lebih besar dibanding per oral. Juga perlu dipertimbangkan di sini adalah kemungkinan terjadinya interaksi bila diberikan obat lebih dari satu. Ketepatan pasien serta penilaiannya mencakup pertimbangan apakah ada kontraindikasi atau adakah kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian dosis secara individual. Apakah ada keadaan yang merupakan faktor konsitusi terjadinya efek samping obat pada penderita. Jika kemudian terjadi efek samping tertentu, bagaimana menentukan dan menanganinya. Indikator Pemakaian Obat Secara praktis untuk memantau pola penggunaan/peresepan obat secara umum, telah dikembangkan indikator oleh International Network for the Rational Use of Drugs (INRUD) dan WHO (WHO, 1993). Indikator ini dapat dipakai secara cepat untuk menilai pola penggunaan obat di unit pelayanan, membandingkan antar unit, 154

155 atau dipertimbangkan di sini adalah kemungkinan terjadinya interaksi bila diberikan obat lebih dari satu. menilai perubahan sesudah suatu intervensi. Indikator ini sudah diujicobakan di 12 negara berkembang dan terbukti dapat dipakai untuk tujuan pemantauan tersebut (Hogerzeil et al., 1993). Isi dari indikator dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 14. Core drug use indicators (diambil dari How to Investigate Drug Use in Health Facilities, WHO, 1993) Prescribing indicators 1. Average number of drugs per encounter 2. Percentage of encounters with an antibiotic prescribed 3. Percentage of encounters with an injection prescribed 5. Percentage of drugs prescribed from essential drugs list of formulary. Patient care indicators Facility indicators 6. Average consultation time 7. Average dispensing time 8. Percentage of drugs actually dispensed 9. Percentage of drugs adequately labelled 10. Patients' knowledge of correct dosage. 11. Availability of copy of essential drugs list or formulary 12. Availability of key drugs. Indikator penggunaan dibagi menjadi 3 macam yaitu: 1) Indikator peresepan a. Jumlah rata-rata obat tiap resep. 155

156 Tujuannya adalah untuk mengukur derajat polifarmasi. Biasanya kombinasi obat dihitung sebagai satu obat. Perhitungan dilakukan dengan membagi jumlah total produk obat yang diresepkan dengan jumlah obat yang disurvei. b.persentase obat generik yang diresepkan Tujuannya untuk mengukur kecenderungan peresepan obat generik. Peneliti harus mengetahui kandungan obat yang sebenarnya digunakan dalam resep, bukan hanya nama produk yang diresepkan (karena ada perbedaan antara nama obat dengan jumlah zat aktif yang dikandungnya), dan harus ada daftar obat apa saja yang termasuk generik. c. Persentase antibiotik yang diresepkan Indikator persentase resep dengan antibiotik digunakan untuk mengukur penggunaan antibiotik secara berlebihan karena penggunaan antibiotik secara berlebihan merupakan salah satu bentuk ketidakrasionalan peresepan. d. Indikator Penggunaan obat yang bertujuan untuk mengukur aspek khusus dari pasien dan penggunaan obat di rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan. Indikator akan memberikan informasi kepada pimpinan unit pelayanan kesehatan sehingga lebih mendalami tentang penggunaan obat, pola peresepan, dan aspek penting lainnya yang dibutuhkan pasien. Hal tersebut mencerminkan keadaan karakteristik penting dari pelayanan kesehatan e. Persentase injeksi yang diberikan ` Tujuannya untuk mengukur penggunaan injeksi yang berlebihan. Dalam hal ini, imunisasi biasanya tidak dimasukan dalam perhitungan. f. Persentase obat yang diresepkan dari daftar esensial atau formularium Tujuannya untuk mengukur derajat kesesuaian praktek dengan kebijakan obat nasional yang diindikasikan dengan peresepan daftar obat esensial atau 156

157 formularium. Sebelumnya, tiap-tiap rumah sakit harus mempunyai kopi daftar obat esensial atau formularium sehingga dapat dijadikan acuan dalam penulisan resep serta dibutuhkan suatu prosedur untuk menentukan apakah merek produk tertentu ekuivalen dengan bentuk generik yang ada pada daftar obat atau formularium. 2) Indikator pelayanan farmasi a. Rata-rata waktu konsultasi b. Rata-rata dispensing time c. Persentase obat yang diberikan d. Persentase kelengkapan label obat e. Pengetahuan pasien akan dosis yang tepat 3) Indikator fasilitas kesehatan a. Ketersediaan copy daftar obat esensial atau formularium b. Ketersediaan obat-obat kunci Keselamatan Pasien Keselamatan pasien merupakan isu utama akhir akhir ini baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kepedulian praktisi klinis terhadap keselamatan pasien sangat besar, hal ini ditunjukkan dengan pengambilan kebijakan dan melaksanakan berbagai seminar, workshop dan pelatihan pelatihan mengenai patient safety, risk management, clinical audit, patient safety indicators. Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan modern adalah suatu organisasi yang sangat kompleks karena padat modal, padat teknologi, padat karya, padat profesi, padat sistem dan padat mutu serta padat resiko sehingga tidak mengejutkan bila kejadian tidak diinginkan (KTD = adverse event) akan sering terjadi dan akan berakibat pada terjadinya injuri atau kematian pada pasien. 157

158 Menurut laporan dari institute of medicine (IOM) (1999); To err is human, building a safer health system; di Amerika Serikat diproyeksikan terjadi sampai dengan kematian setiap tahun akibat dari medical error yang sebenarnya dapat dicegah, angka ini hampir empat kali lipat dari kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Laporan dari IOM tersebut mengejutkan banyak kalangan dunia kesehatan, bagamana bisa terjadi? padahal sejak masa sebelum masehi, Hippocrates (bapak kedokteran modern) pernah mengungkapkan Primum non nocere atau First, do no harm (melayani tanpa harus membahayakan). Karena itu sejak ada laporan IOM tersebut berbagai Negara mulai mengembangkan suatu gerakan yang disebut sebagai Patient Safety (Keselamatan Pasien). Lembaga kesehatan dunia (WHO) mendirikan lembaga World Alliance for Patient Safety baru pada tahun 2004 dan Indonesia mulai gerakan keselamatan pasien ini pada tahun 2005 yaitu dengan didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) pada tanggal 1 Juni 2005 dan dicanangkannya gerakan Keselamatan Pasien secara nasional oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada tanggal 21 Agustus Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf Rumah Sakit yang cukup besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical errors). Menurut Institute of Medicine (1999), medical error didefinisikan sebagai: The failure of a planned action to be completed as intended (i.e., error of execusion) or the use of a wrong plan to achieve an aim (i.e., error of planning). Kesalahan yang terjadi dalam proses pelayanan medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien, bisa berupa Near Miss atau Adverse Event (Kejadian Tidak Diharapkan/KTD). Near Miss atau Nyaris Cedera (NC) merupakan suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi, karena keberuntungan (misalnya : pasien terima suatu obat kontra 158

159 indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat), pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf farmasi mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan), dan peringanan (suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya). Adverse Event atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), dan bukan karena underlying disease atau kondisi pasien. Gambar 13. Dampak medication error Pengertian Patient Safety Patient Safety atau keselamatan pasien adalah suatu sistem yang membuat pelayanan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Keselamatan pasien adalah reduksi dan meminimalkan tindakan yang tidak aman dalam sistem pelayanan 159

160 kesehatan sebisa mungkin melalui pratik yang terbaik untuk mencapai luaran klinis yang optimum. Patient Safety menurut Quality Interagency Coordination Task Force adalah Upayaupaya yang dirancang untuk mencegah adverse outcomes sebagai akibat clinical error Tiga kegiatan yang saling melengkapi dalam mewujudkan keselamatan pasien, yaitu: a. Preventing errors (mencegah errors) b. Making errors visible (membuat errors mudah dilihat) c. Mitigating the effects of errors (meminimalkan akibat dari errors) Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan kesehatan mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput dari perhatian kita semua. Gambar 14. Reason s Adapted Organisational Accident Causation Model 160

161 Kesalahan dapat terjadi dalam tahap : 1. Diagnostik a. Kesalahan atau keterlambatan diagnosa b. Tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai c. Menggunakan cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai d. Tidak bertindak atas hasil pemeriksaan atau observasi 2. Pengobatan a. Kesalahan pada prosedur pengobatan b. Kesalahan pada pelaksanaan terapi c. Kesalahan metode penggunaan obat d. Keterlambatan merespon hasil pemeriksaan e. Asuhan yang tidak layak 3. Preventive a. Tidak memberikan terapi profilaksis b. Monitor dan follow up yang tidak adekua 4. Lain-lain : a. Kegagalan berkomunikasi b. Kegagalan alat c. Kegagalan sistem lain 161

162 Gambar 15. Faktor penyebab terjadinya medication error Tujuan Patient Safety Tujuan Patient safety adalah 1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS 2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat 3. Menurunnya KTD di RS 4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD 162

163 Gambar 16. Human Error Types : Review Penyebab terjadinya KTD = Adverse event (Reason, 1997): 1. Tindakan yang tidak aman (unsafe act): a. Human error Slips : Error sebagai akibat kurang/ teralihnya perhatian atau salah persepsi Lapses : Error yang terkait dengan kegagalan memori lupa/tidak ingat Mistakes : Kesalahan yang terkait dengan proses mental dalam assessment informasi yang terjadi, kesalahan dalam merencanakan asuhan, kesalahan dalam menetapkan tujuan, kesalahan dalam mengambil keputusan klinis. b. Violation (pelanggaran).e.g aborsi tanpa indikasi medis c. Sabotase (Sabotase). E.g. : Mogok kerja. 163

164 2. Kondisi laten a. Sistem yang kurang tertata yang menjadi predisposisi terjadinya error. e.g: SOP tidak jelas, tata ruang yang tidak jelas. b. Sumber daya yang tidak memenuhi persyaratan. (mal praktek) e.g.: Termometer yang hanya punya satu untuk banyak pasien, dokter umum melakukan Caesar/ appendektomi. Dalam patient safety ditanamkan non blaming culture. Contoh bayi tertukar, Di Negara kita masih bertanya, siapa yang jaga kemarin? Seharusnya yang menjadi pertanyaan, mengapa hal ini bisa terjadi?. Dampak KTD terhadap pasien, ialah : a. Aspek keuangan b. Meningkatnya potensi terjadinya Medical error c. Meningkatnya hazard exposure d. Kehilangan kepercayaan Structure and hazard. Contoh: naik pesawat itu hazard. Sehingga kita punya risiko untuk jatuh. Upaya untuk menghilangkan atau meminimalkan risiko dapat dengan melakukan Risk management yaitu upaya-upaya yang dilakukan organisasi yang dirancang untuk mencegah cedera pada pasien untuk meminimalkan kehilangan financial sebagai akibat adverse outcome. Risiko adalah kemungkinan bahaya, kehilangan atau cedera dalam system pelayann kesehatan. Apa yang dilakuan, yaitu : correction (sesudah terjadi) dengan menggunakan RCA (Analisis akar penyebab Root Cause Analysis), corrective actions, preventive actions (sebelum terjadi) dengan menggunakan FMEA (Failure mode and effect analysis). Risk Management safety merupakan identifkasi 164

165 dari kelemahan sautu system dan memperbaiki system tersebut untuk mencegah harm, dengan tujuan safety. Gambar 17. Risk Management Safety Gambar 18. Tahapan Risk Management Process 165

166 Tahapan-tahapan risk managemen process/ adverse event management process (hunter area health service clinical governance unit, August, 2003) 1. Risk identification audits, complaints, claims and incidents 2. Risk analysis saverty analysis (RCA dan FMEA) 3. Risk evaluation risk registers action plan 4. Risk treatment eliminate or minimize risk 5. Ongoing monitoring Review the effectiveness of investigations and actors 6. Communication communicate risks and the outcomeof investigations Identifikaasi risiko Analisis risiko Evaluasi risiko Perlakuan terhadap resiko Monitoring berkesinambungan Komunikasi Gambar 19. Proses manajemen KTD Terdapat bermacam-macam masalah yang dihadapi. Diperlukan saverty assessment : untuk menentukan apakah hal tersebut; 166

167 (1) extreme risk, (2) high risk, (3) moderate risk, (4) low risk. Tergantung dari: 1. Saverity a. ekstrim, b. Major c. moderate d. minor e. minimal 2. Probabilitas a. Frequent (setiap minggu), b. Propable, (beberapa kali dalam setahun) c. Possible, d. Uncommon e. Rare 167

168 Gambar 20. Kajian kegawatan dalam Medication error Tabel 15. Tingkat kegawatan dan frekuensi terjadinya medication error Kegawatan Kemungkinan Tidak Sangat Tidak Gawat Sedang Begitu Gawat Gawat Gawat Sangat sering Kemungkinan besar Mungkin Sepertinya tidak akan Sangat kecil = Extreme risk 3 = moderate risk 2 = high risk 4 = low ris 168

169 Analisis akar penyebab menggunakan Root Cause Analysis (RCA). Langkah-langkah yang dilakukan dalam RCA: 1. Investigasi kejadian a. Menentukan masalah, b. Mengumpulkan bukti-bukti yang nyata, c. Melakukan wawancara, d. Meneliti lingkungan kejadian, e. Mengenali faktor-faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya kejadian, f. Menggambarkan rantai terjadinya kejadian 2. Rekonstruksi kejadian a. Mengenali kejadian-kejadian yang mengawali terjadinya adverse event ataupun near miss, b. Melakukan analisis dengan menggunakan pohon masalah untuk mengetahui kegiatan atau kondisi yang menyebabkan timbul kejadian, c. Lanjutkan sehingga dapat dikenali sistem yang melatarbelakangi timbulnya kejadian atau sampai tidak beralasan lagi untuk melanjutkan 3. Analisis penyebab a. Mengidentifikasi akar-akar penyebab, b. merumuskan pernyataan akar masalah 4. melakukan penyusunan rencana tindakan Menetapkan strategi yang tepat untuk mengatasi penyebab yang diidentifikasi, dan dapat diterima oleh pihak yang terkait dengan kejadian. 5. Rencana tindakan disusun untuk tiap akar penyebab kejadian dan pengukuran untuk menilai efektifitas tindakan terhadap akar penyebab Dapatkan persetujuan dari kepemimpinan dalam Organisasi 6. Melakukan pencatatan dan pelaporan a. mencatat proses dan alat yang digunakan 169

170 b. menghitung biaya yang dibutuhkan c. membuat ringkasan kejadian d. melakukan proses investigasi dan analisis e. menghasilkan temuan/kesimpulan Tabel 16. Dua puluh satu tahap dalam RCA Failure mode and effect analysis (FMEA); FMEA merupakan Suatu alat mutu untuk mengkaji suatu prosedur secara rinci, dan mengenali model-model adanya kegagalan/kesalahan pada suatu prosedur, melakukan penilaian terhadap tiap model kesalahan/kegagalan, dengan mencari penyebab terjadinya, mengenali akibat dari kegagalan/kesalahan, dan mencari solusi dengan melakukan perubahan disain/prosedur. 170

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah Institusi pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Defenisi Rumah Sakit BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah Institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1. Definisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT. Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur,

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT. Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur, BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur, tempat pencegahan dan penyembuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strategi pemerintah dalam pembangunan kesehatan nasional 2015-2019 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1. Defenisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan

Lebih terperinci

KOMITE FARMASI DAN TERAPI. DRA. NURMINDA S MSi, APT

KOMITE FARMASI DAN TERAPI. DRA. NURMINDA S MSi, APT KOMITE FARMASI DAN TERAPI DRA. NURMINDA S MSi, APT STANDARD PELAYANAN FARMASI Keputusan MenKes no. 1197/MenKes/SK/X/2004 Tanggal 19 Oktober 2004 Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatanyang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. upaya kesehatan dengan memfungsikan berbagai kesatuan personel terlatih dan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. upaya kesehatan dengan memfungsikan berbagai kesatuan personel terlatih dan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memfungsikan berbagai kesatuan personel terlatih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. upaya kesehatan dengan memfungsikan berbagai kesatuan personel terlatih dan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. upaya kesehatan dengan memfungsikan berbagai kesatuan personel terlatih dan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memfungsikan berbagai kesatuan personel terlatih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pelanggan terbagi menjadi dua jenis, yaitu: fungsi atau pemakaian suatu produk. atribut yang bersifat tidak berwujud.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pelanggan terbagi menjadi dua jenis, yaitu: fungsi atau pemakaian suatu produk. atribut yang bersifat tidak berwujud. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Kepuasan Konsumen Kepuasan konsumen berarti bahwa kinerja suatu barang atau jasa sekurang kurangnya sama dengan apa yang diharapkan (Kotler & Amstrong, 1997).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat pada umumnya semakin sadar akan pentingnya kesehatan dalam kehidupan. Kesehatan merupakan salah satu kunci utama bagi seseorang dalam melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (pelayanan kesehatan yang meliputi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Salah satu sarana untuk penyelenggaraan pembangunan kesehatan adalah rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rumah Sakit Rumah sakit adalah salah satu dari saranan kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 983/MenKes/SK/XI/1992, rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Manajemen adalah suatu proses tahapan kegiatan yang terdiri atas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Manajemen adalah suatu proses tahapan kegiatan yang terdiri atas BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Manajemen adalah suatu proses tahapan kegiatan yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan dengan memadukan penggunaan ilmu dan seni untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan suatu obat dapat berpengaruh terhadap kualitas pengobatan, pelayanan dan biaya pengobatan. Penggunaan obat merupakan tahap akhir manajemen obat. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obat merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Pengelolaan obat yang efisien diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi rumah sakit dan pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pembangunan kesehatan pada dasarnya

Lebih terperinci

INTISARI GAMBARAN SISTEM DISTRIBUSI OBAT UNIT DOSE DISPENSING DI DEPO TULIP RSUD ULIN BANJARMASIN

INTISARI GAMBARAN SISTEM DISTRIBUSI OBAT UNIT DOSE DISPENSING DI DEPO TULIP RSUD ULIN BANJARMASIN INTISARI GAMBARAN SISTEM DISTRIBUSI OBAT UNIT DOSE DISPENSING DI DEPO TULIP RSUD ULIN BANJARMASIN Mustika Meladiah 1 ; Harianto 2 ; Rachmawati 3 Pengelolaan obat merupakan salah satu segi manajemen rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi akan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi akan pelayanan kesehatan yang bermutu, maka sebuah pelayanan kesehatan harus mampu memberikan pelayanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 pasal 1 tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak azasi manusia, dimana setiap orang berhak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk didalamnya hak untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan BAB TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan adalah pekerjaan yang menyangkut penyusunan konsep serta kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan demi masa depan yang lebih baik (Le

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepatuhan Kepatuhan menyatakan kesesuaian perilaku dan pelaksanaan kegiatan terhadap ketentuan atau standar yang berlaku. Kepatuah dokter menulis resep dipengaruhi faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Rumah Sakit Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia dan kebutuhan hidup yang diwujudkan dan dilaksanakan dalam mencapai kesejahteraan kehidupan dalam masyarakat. Menurut

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan dalam masyarakat biasanya dilakukan dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh rumah sakit adalah kepuasan pelanggan agar dapat bertahan, bersaing,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh rumah sakit adalah kepuasan pelanggan agar dapat bertahan, bersaing, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menghadapi era persaingan yang ketat, hal utama yang perlu diperhatikan oleh rumah sakit adalah kepuasan pelanggan agar dapat bertahan, bersaing, mempertahankan pasar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Rumah Sakit Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah suatu unit yang memiliki organisasi yang teratur,

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah suatu unit yang memiliki organisasi yang teratur, BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah suatu unit yang memiliki organisasi yang teratur, tempat pencegahan dan penyembuhan penyakit, peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aksesibilitas obat yang aman, berkhasiat, bermutu, dan terjangkau dalam jenis dan

I. PENDAHULUAN. aksesibilitas obat yang aman, berkhasiat, bermutu, dan terjangkau dalam jenis dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan perlu menjamin aksesibilitas obat yang aman, berkhasiat, bermutu, dan terjangkau dalam jenis dan jumlah yang cukup (Kepmenkes,

Lebih terperinci

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa: I.PENDAHULUAN Apotek adalah suatu tempat tertentu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian berupa penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat dan tempat dilakukannya praktik kefarmasian

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Instalasi Farmasi Rumah Sakit

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Instalasi Farmasi Rumah Sakit BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Instalasi Farmasi Rumah Sakit Menurut Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (promotif, preventif, kuratif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Indikator WHO 1993 Indikator WHO 1993 adalah suatu metode untuk melihat pola penggunaan obat dan dapat secara langsung menggambarkan tentang penggunaan obat yang tidak sesuai.

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. sakit yang berbeda. Hasil karakteristik dapat dilihat pada tabel. Tabel 2. Nama Rumah Sakit dan Tingkatan Rumah Sakit

BAB IV PEMBAHASAN. sakit yang berbeda. Hasil karakteristik dapat dilihat pada tabel. Tabel 2. Nama Rumah Sakit dan Tingkatan Rumah Sakit BAB IV PEMBAHASAN A. Karakteristik Sampel Penelitian ini bertujuan untuk Rumah Sakit Umum Daerah Lombok untuk melihat gambaran Penerapan Farmasi Klinik rumah sakit sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan

Lebih terperinci

DRUG RELATED PROBLEMS

DRUG RELATED PROBLEMS DRUG RELATED PROBLEMS KATEGORI DOSIS LEBIH, DOSIS KURANG DAN OBAT SALAH DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT UMUM ISLAM KUSTATI SURAKARTA PERIODE TAHUN 2007 SKRIPSI Oleh: AMALIA FATIMAH K 100 040 178 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rumah sakit Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 983/Menkes/SK/XI/1992 Rumah Sakit merupakan salah satu tempat dari sarana kesehatan menyelenggarakan kesehatan, bertujuan

Lebih terperinci

SUBSISTEM OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN

SUBSISTEM OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN SUBSISTEM OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN Oleh: Dian Kusuma, SKM, MPH Kuliah: Sistem dan Manajemen Kesehatan Palembang, Indonesia 2007 PENGERTIAN = tatanan yg mhimpun bbagai upaya yg mjamin ketersediaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermutu serta pemerataan pelayanan kesehatan yang mencakup tenaga, sarana dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermutu serta pemerataan pelayanan kesehatan yang mencakup tenaga, sarana dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Sejalan dengan meningkatnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu serta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat 2.1 Definisi Rumah Sakit BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat semakin menyadari pentingnya menjaga kesehatan, dimana kesehatan menjadi salah satu prioritas yang perlu diperhatikan untuk bertahan hidup dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan, dimana kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mendukung dan mempengaruhi pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu serta pemerataan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-Undang RI Nomor44 tahun 2009 pasal 1 Rumah Sakit

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-Undang RI Nomor44 tahun 2009 pasal 1 Rumah Sakit 4 BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi rumah sakit Menurut Undang-Undang RI Nomor44 tahun 2009 pasal 1 Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. baik digunakan pada hewan maupun manusia (Mutschler, 1991), menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. baik digunakan pada hewan maupun manusia (Mutschler, 1991), menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Obat adalah sediaan farmasi yang merupakan hasil pencampuran satu atau lebih zat aktif dalam jumlah yang tepat dan berada di dalam satu bentuk sediaan baik

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN DOKTER DALAM PENULISAN RESEP SESUAI DENGAN FORMULARIUM RUMAH SAKIT UMUM R.A.

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN DOKTER DALAM PENULISAN RESEP SESUAI DENGAN FORMULARIUM RUMAH SAKIT UMUM R.A. ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN DOKTER DALAM PENULISAN RESEP SESUAI DENGAN FORMULARIUM RUMAH SAKIT UMUM R.A. KARTINI JEPARA TAHUN 2006 TESIS Program Studi Magister Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Upaya kesehatan merupakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Upaya kesehatan merupakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya kesehatan merupakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat dan tempat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan. Menurut WHO, kesehatan adalah kondisi dinamis meliputi kesehatan

Lebih terperinci

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan memiliki peran sangat strategis dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan memiliki peran sangat strategis dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan memiliki peran sangat strategis dalam mempercepat

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Instalasi farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit, merupakan suatu unit atau bagian yang menyelenggarakan

Lebih terperinci

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT Peranan Apoteker Farmasi Rumah Sakit adalah : 1. Peranan Dalam Manajemen Farmasi Rumah Sakit Apoteker sebagai pimpinan Farmasi Rumah Sakit harus mampu mengelola Farmasi

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan memberikan dua jenis pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan administrasi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Pengertian Rumah Sakit Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam hal ini memerlukan suatu variabel yang dapat digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam hal ini memerlukan suatu variabel yang dapat digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam analisis kepuasan pasien, erat hubungannya dengan suatu kinerja, yaitu proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai oleh suatu organisasi dalam menyediakan produk

Lebih terperinci

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN SKRIPSI

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN SKRIPSI TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN SKRIPSI Oleh : MEILINA DYAH EKAWATI K 100 050 204 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persaingan antar rumah sakit baik lokal, nasional, maupun regional. kebutuhan, tuntutan dan kepuasan pelanggan.

BAB I PENDAHULUAN. persaingan antar rumah sakit baik lokal, nasional, maupun regional. kebutuhan, tuntutan dan kepuasan pelanggan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menghadapi era globalisasi seperti sekarang ini, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh rumah sakit. Diantara tantangan yang ada adalah bagaimana mengubah paradigma

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. tempat pencegahan dan penyembuhan penyakit, peningkatan dan pemulihan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. tempat pencegahan dan penyembuhan penyakit, peningkatan dan pemulihan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah suatu unit yang memiliki organisasi yang teratur, tempat pencegahan dan penyembuhan penyakit, peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit yang merupakan salah satu dari sarana kesehatan, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit yang merupakan salah satu dari sarana kesehatan, merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya kesehatan merupakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah Sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah Sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Defenisi Rumah Sakit Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan yang esensial dari setiap individu, keluarga, dan masyarakat. Kesehatan juga merupakan perwujudan dari tingkat kesejahteraan suatu masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu tujuan dari pembangunan suatu bangsa. Kesehatan sendiri adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya perkembangan dan perubahan pola hidup pada manusia (lifestyle) dapat berdampak langsung salah satunya pada kesehatan, sehingga kesehatan menjadi salah satu hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang BAB II 2.1 Rumah Sakit TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1.1 Definisi Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Pasal 1 tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum tentang Manajemen Definisi manajemen secara klasik adalah seni dan ilmu tentang perencanaan, pengorganisasian, pengarahan/pergerakan, koordinasi dan pengawasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 pasal 1, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 pasal 1 rumah sakit

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 pasal 1 rumah sakit BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi rumah sakit Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 pasal 1 rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Lebih terperinci

MANAGEMEN FARMASI RUMAH SAKIT. Oleh : Dra. Hj. Deswinar Darwin, Apt.,SpFRS

MANAGEMEN FARMASI RUMAH SAKIT. Oleh : Dra. Hj. Deswinar Darwin, Apt.,SpFRS MANAGEMEN FARMASI RUMAH SAKIT Oleh : Dra. Hj. Deswinar Darwin, Apt.,SpFRS 1 Adalah : Suatu Unit di RS yang berperan sebagai Penunjang Medik dalam rangka melaksanakan fungsi RS Dalam Organisasi RS Unit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan perkembangan teknologi kedokteran. Apapun teknologi kedokterannya

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan perkembangan teknologi kedokteran. Apapun teknologi kedokterannya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rumah sakit adalah lembaga pemberi jasa pelayanan kesehatan dan seiring dengan perkembangan teknologi kedokteran. Apapun teknologi kedokterannya hampir selalu memerlukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. alat ilmiah khusus, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. alat ilmiah khusus, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah suatu organisasi yag kompleks, menggunakan gabungan alat ilmiah khusus, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Berdasarkan Undang-Undang tentang rumah sakit no.44 tahun 2009,

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Berdasarkan Undang-Undang tentang rumah sakit no.44 tahun 2009, BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Berdasarkan Undang-Undang tentang rumah sakit no.44 tahun 2009, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan

BAB I PENDAHULUAN. upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT DI POLI ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. DORIS SYLVANUS PALANGKARAYA, KALIMANTAN TENGAH

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT DI POLI ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. DORIS SYLVANUS PALANGKARAYA, KALIMANTAN TENGAH EVALUASI PENGGUNAAN OBAT DI POLI ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. DORIS SYLVANUS PALANGKARAYA, KALIMANTAN TENGAH REZQI HANDAYANI 1, SULANTO SALEH DANU 2, RUSTAMADJI 2, NUNUNG PRIYATNI 2 1 PascaSarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan

BAB I PENDAHULUAN. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan setiap umat manusia karena aktivitasnya dapat terhambat apabila kondisi kesehatan tidak baik.

Lebih terperinci

RUMAH SAKIT. Oleh: Diana Holidah, M.Farm., Apt.

RUMAH SAKIT. Oleh: Diana Holidah, M.Farm., Apt. RUMAH SAKIT Oleh: Diana Holidah, M.Farm., Apt. DASAR HUKUM RUMAH SAKIT UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. PerMenKes RI Nomor 1045/menkes/per/XI/2006 Tentang Pedoman organisasi rumah sakit di lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 pasal 1, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan

Lebih terperinci

Berdo a terlebih dahulu And Don t forget Keep smile

Berdo a terlebih dahulu And Don t forget Keep smile Berdo a terlebih dahulu And Don t forget Keep smile ja alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin Heru sasongko dan Keluarga PENDAHULUAN TENTANG RUMAH SAKIT Dosen: Heru Sasongko, S.Farm.,Apt. Penilaian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan citacita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

Pelayanan Farmasi. Oleh : Supariyati. Jakarta April 2011

Pelayanan Farmasi. Oleh : Supariyati. Jakarta April 2011 Pelayanan Farmasi Click icon to to add add picture picture Oleh : Supariyati Jakarta April 2011 VISI DAN MISI RSUP-Persahabatan VISI Menjadi Rumah Sakit Terdepan dalam Menyehatkan Masyarakat dengan Unggulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Praktek Kerja Profesi di Rumah Sakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Praktek Kerja Profesi di Rumah Sakit BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Praktek Kerja Profesi di Rumah Sakit Dalam rangka menyukseskan pembangunan nasional, pembangunan dalam bidang kesehatan memiliki peran yang penting. Kesehatan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan dan peningkatan jasa pelayanan kesehatan dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan dan peningkatan jasa pelayanan kesehatan dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dan peningkatan jasa pelayanan kesehatan dalam sebuah rumah sakit sangat diperlukan oleh masyarakat, oleh karena itu diperlukan upaya kesehatan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan terus meningkat seiring perkembangan zaman. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat senantiasa diupayakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengelolaan Obat dan Perbekalan Farmasi Rumah Sakit. karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengelolaan Obat dan Perbekalan Farmasi Rumah Sakit. karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. Pengelolaan Obat dan Perbekalan Farmasi Rumah Sakit Pengelolaan obat dan alat kesehatan di rumah sakit sangat penting karena ketidakefisienan akan memberikan

Lebih terperinci