BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1. Contrast Induced Nephropathy II Definisi CIN yang terjadi setelah PCI memiliki berbagai definisi tergantung literatur yang digunakan. Oleh karena perbedaan definisi dari berbagai literatur ini menyebabkan data yang ada menjadi tidak konsisten (Shoukat dkk, 2010). Definisi CIN menurut European Society of Urogenital Radiology adalah peningkatan kreatinin serum 25% atau 0,5 mg/dl yang terjadi dalam 3 hari setelah pemberian media kontras intravaskular tanpa ada penyebab lainnya (Thomsen, 2006). Definisi CIN menurut Acute Kidney Injury Network adalah peningkatan kretinin serum 0,3 mg/dl disertai dengan adanya oliguria. Dalam jurnal yang dipublikasikan pada Journal American College of Cardiology 2008, CIN didefinisikan sebagai peningkatan kreatinin serum 25% dari nilai dasar kreatinin serum atau peningkatan yang absolut 0,5 mg/dl (44 µmol/l) yang terjadi dalam jam pertama setelah terpapar kontras, tanpa ada penyebab lainnya (McCullough, 2008). Slocum dkk (2010) melakukan studi untuk menentukan definisi CIN yang paling baik dalam implikasi klinis apakah peningkatan serum 25% dari nilai dasar kreatinin serum atau peningkatan yang absolut 0,5 mg/dl. Dari data yang ada peningkatan yang absolut 0,5 mg/dl lebih superior dibanding peningkatan serum 25% dari nilai dasar kreatinin serum dalam menegakkan CIN. II Epidemiologi Insidensi terjadinya CIN sebagai komplikasi diagnostik dan intervensi radiografi sangat bervariasi tergantung dari definisi yang digunakan, prosedur yang dilakukan, jumlah dan tipe media kontras serta adanya faktor-faktor resiko seperti penyakit ginjal kronik, diabetes mellitus dan penggunaan jumlah kontras yang terlalu banyak (Gleeson dkk, 2004). CIN terjadi berkisar antara 0,6-2,3% pada populasi umum, namun pada sebagian penderita prevalensi terjadinya CIN secara signifikan lebih tinggi (Mehran dkk, 2006). Pada studi yang dilakukan di William Beaumont Hospital, diantara 1826

2 penderita yang menjalani PCI, CIN terjadi pada 14,5% dari seluruh kasus dan sebanyak 0,7% memerlukan dialisis (McCullough dkk, 1997). Studi yang dilakukan di Graduate Hospital mendapatkan bahwa dari 1196 penderita yang menjalani intervensi koroner 11,1% terjadi CIN, selain itu juga disimpulkan bahwa hanya pada penderita yang dengan gangguan ginjal sebelumnya atau disertai adanya diabetes mellitus memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadi CIN (Rudnick dkk, 1997). Studi retrospektif dengan menggunakan Mayo Clinic PCI Registry pada tahun 1996 sampai 2000 dengan mengikutsertakan 7586 penderita yang menjalani intervensi koroner didapatkan insiden CIN sebanyak 254 orang (3,3%). Studi ini juga menunjukkan insiden terjadinya kematian selama rawatan rumah sakit, terutama akibat infark miokard meningkat > 10 kali lipat pada penderita CIN. Dan pada penderita CIN tersebut angka kejadian perdarahan, terbentuknya hematom, pseudoaneurysm, stroke, emboli paru dan perdarahan saluran cerna juga lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang tidak mengalami CIN. (Rihal dkk, 2002). Studi besar lainnya yang dilakukan di Washington Hospital Center dari tahun 1994 sampai 1999 dengan 8628 penderita yang menjalani intervensi koroner didapatkan 1431 (16,5%) menderita CIN (Iakovou dkk, 2003). Studi yang dilakukan terhadap 183 penderita dengan usia tua yaitu lebih dari 70 tahun yang menjalani intervensi koroner didapatkan 11% menderita CIN (Rich dkk, 1990). Insidensi CIN yang dilaporkan menurut literatur literatur yang ada sangat bervariasi. Dengan menggunakan data tahun 2000, diperkirakan lebih dari kasus CIN terjadi pertahunnya dan lebih dari 4600 dari penderita tersebut membutuhkan hemodialisis (Gami dkk, 2004). Studi lainnya yang dilakukan pada sekitar penderita yang menjalani intervensi koroner menunjukkan bahwa 2% dari penderita yang mengalami CIN memiliki resiko 15 kali lipat untuk terjadi major adverse cardiac events (MACE) selama rawatan rumah sakit dibanding penderita yang tidak mengalami CIN. Resiko untuk terjadinya infark miokard meningkat 6 kali lipat, terjadi reokslusi meningkat 11 kali lipat, dan resiko kematian meningkat 22 kali lipat dibandingkan pada penderita yang tidak mengalami CIN (Bartholomew dkk, 2004).

3 Gambar 1. Insidens kematian selama masa rawatan rumah sakit yang berhubungan dengan CIN (Brinker,2005). Nilai kreatinin serum awal dengan angka kejadian CIN memiliki hubungan yang signifikan yaitu bervariasi dari 2% pada penderita dengan kreatinin serum dasar < 1,5 mg/dl hingga mencapai 20% pada penderita dengan kreatinin serum dasar > 2 mg/dl, terutama apabila penderita juga menderita DM (Meschi dkk, 2006; Brinker dkk, 2005). Tabel 1. Insidensi terjadinya CIN setelah PCI. (Brinker, 2005) Suatu studi yang dilakukan oleh Mutjaba dkk (2010) untuk menentukan frekuensi penderita dengan adanya insufisiensi ginjal dengan nilai serum kreatinin normal yang menjalani intervensi koroner. Ternyata pada studi ini didapatkan bahwa pada penderita dengan kreatinin normal sering memiliki nilai GFR yang tidak normal. Sehingga GFR sebaiknya selalu dinilai untuk menentukan apakah telah terjadi insufisiensi ginjal walaupun kreatinin serum dalam batas normal. Ribichini dkk (2010) melakukan suatu studi untuk melihat apakah peningkatan kreatinin serum yang cepat dapat memprediksi terjadinya CIN dan kerusakan ginjal yang permanen setelah intervensi koroner. Dan dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa peningkatan kreatinin serum yang minimal pada 12 jam pertama merupakan

4 prediktor kuat untuk terjadinya CIN dan kerusakan ginjal dalam 30 hari setelah terpapar media kontras. II Patogenesis Patogenesis pasti CIN belum sepenuhnya diketahui, namun cenderung melibatkan beberapa faktor patogen dan kombinasi beberapa mekanisme (Persson dkk, 2005). Pada CIN terjadi kombinasi yang unik dari berbagai proses patologi yang melibatkan disfungsi endotel, adanya oksigen radikal bebas yang sitotoksik dan toksisitas tubulus yang akhirnya dapat menimbulkan hipoksia jaringan medulla ginjal (Heyman dkk, 2007; Wong dkk, 2007; McCullough, 2009 ). Marry dkk (2001) menyatakan bahwa kerusakan ginjal akibat media kontras oleh karena perubahan hemodinamik dan efek toksisitasnya pada ginjal. Perubahan hemodinamik ginjal ditemukan pada banyak studi yang menemukan implikasi kuat adanya vasokontriksi ginjal dengan efek iskemi medulla, yang melibatkan nitric oxide (NO) sebagai vasodilator protektif endogen. Penyebab instrinsik CIN adalah peningkatan vasokonstriksi, penurunan prostaglandin lokal dan NO sehingga menurunkan efek vasodilatasi, efek toksik langsung pada sel-sel tubular ginjal yang rusak oleh karena radikal-radikal bebas, meningkatkan kebutuhan oksigen dan tekanan intratubular serta viskositas urin dan obstruksi tubular yang akan berakumulasi untuk terjadinya iskemia medulla ginjal (Gleeson dkk, 2006). Setelah pemberian media kontras terjadi vasodilatasi renal yang cepat yang diikuti dengan vasokonstriksi yang panjang dengan peningkatan resistensi vaskular intrarenal, sehingga terjadi pengurangan total aliran darah ginjal dan penurunan GFR (Detrenis dkk, 2005; Murphy dkk, 2000), serta peningkatan ekskresi enzim lisosom urine dan protein berat molekul kecil yang menandakan adanya kerusakan tubular (Weisberg dkk, 1994).

5 Tabel 2. Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis CIN (Wong dkk, 2007). II Disfungsi endotel Gangguan hemodinamik secara langsung yang diakibatkan oleh media kontras terhadap sintesis dan pelepasan NO dan prostaglandin belum jelas terlihat. Produksi intrarenal terhadap mediator vasodilator tersebut bertanggung jawab terhadap suplai dan perfusi oksigen di medulla, penurunan dalam ketersediaan mediator-mediator tersebut dapat menyebabkan terjadinya nephropathy. Penurunan sintesis atau respon terhadap NO yang dilepaskan dari endothelium dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya iskemia pada ginjal (Detrenis dkk, 2005; Gleeson dkk, 2004). II Toksisitas tubulus Efek toksik media kontras secara langsung terhadap sel-sel tubulus adalah penurunan resistensi transepitel, gangguan permeabilitas substan-substan dan gangguan polarisasi membran protein. Kerusakan pada sel-sel tubulus ini dapat diikuti dengan penurunan yang signifikan dari konsentrasi kalium, adenosine diphosphate dan adenosine triphosphate (Detrenis dkk, 2005) serta ketidakseimbangan dari homeostasis kalsium dan apoptosis (Wong dkk, 2007). Hal ini akan menimbulkan gangguan pada hemodinamik ginjal yang akhirnya dapat terjadi hipoksia (Wong dkk, 2007). II Oksigen radikal bebas Oksigen radikal bebas merupakan partikel-partikel endogen yang dapat menyebabkan vakuolisasi sel-sel epitel pada tubulus proksimal. Adanya bukti bahwa

6 produksi radikal bebas ginjal meningkat setelah pemberian media kontras (Gleeson dkk, 2004). Stress oksidatif terjadi apabila jumlah oksigen radikal bebas melebihi antioksidan. Keadaan ini biasanya meningkat pada gagal ginjal kronik dan diabetes yang diketahui sebagai faktor resiko terjadinya CIN (Wong dkk, 2007). Oksigen radikal bebas memegang peranan terhadap efek vasokonstriksi yang telah diketahui merupakan faktor yang penting dalam terjadinya CIN. Dengan adanya bukti keterlibatan oksigen radikal bebas dalam terjadinya CIN maka tidak heran apabila banyak studi-studi yang dilakukan untuk menurunkan angka kejadian CIN dengan efek terhadap oksigen radikal bebas seperti misalnya N-acetylcysteine (Persson dkk, 2005). Tabel 3. Perubahan fisiologi yang terjadi setelah pemberian kontras (Heyman dkk, 2007). Ekstra renal Penurunan oksigenasi sistemik - Gangguan fungsi paru, - Pergeseran kurva disosiasi oksigen-hemoglobin kekiri Perubahan hemodinamik yang memepengaruhi ginjal (hipoperfusi) Perubahan rheologi darah Renal: Perubahan fisiologi Diuresis, perubahan GFR L respon bifasik (meningkat menurun) Peningkatan viskositas darah intrarenal dan viskositas urine Peningkatan tekanan volume ginjal dan interstitial Perubahan sirkulasi ginjal - Kortek: respon bipasik (meningkat menurun) - Outer medulla: sangat meningkat - Papilla: sangat menurun Penurunan oksigenasi ginjal Delivery oksigen menurun, konsumsi oksigen meningkat Ekskresi asam urat dan oksalat meningkat, enzimuria Renal: Perubahan regulasi mediator dan fungsi hemodinamik ginjal Peningkatan adenosin Nitric oxide: penurunan pada kortek, peningkatan pada medulla outer Prostaglandin: PGE 2 meningkat, PGI2 meningkat atau menurun Peningkatan ANP, endotelin, vasopresin, histamin, oksigen reaktif Renal: Perubahan pada tingkat selular Peningkatan radikal bebas Hipoxia-inducible factor (HIF) dan related strees- response genes meningkat, Poly-(ADP-Ribose) polymerase (PARPP) meningkat

7 Pemberian media kontras dapat menginduksi perubahan-perubahan terhadap efek sistemik, yaitu oksigenasi pada jaringan ginjal, gangguan ventilasi-perfusi paru, penurunan curah jantung dan perfusi ginjal, mengubah reologi darah serta meningkatkan asosiasi oksigen-hemoglobin (Heyman dkk, 2008). Gambar 2. Patogenesis terjadinya CIN (Gleeson dkk, 2004). II Gambaran patologi Karakterisitik lesi pada ginjal yang mengalami CIN adalah vakuolisasi sel tubular proksimal (osmotic nephrosis). Heyman dkk (2007) melakukan 211 biopsi ginjal setelah hari ketujuh pada pasien yang mendapat media kontras saat urography atau arteriography, ginjal akan mengalami osmotic nephrosis pada 47 kasus. Bentuk osmotic nephrosis yang difus lebih banyak terjadi pada penyakit ginjal berat sedangkan bentuk yang fokal terjadi pada gangguan ginjal yang ringan atau penderita dengan fungsi ginjal yang normal sebelumnya. Vakuola tidak dibentuk dari endositosis tetapi dari invaginasi membran sel. Hal ini menunjukkan bahwa media kontras pada daerah paraselular dapat menyebabkan kerusakan membran. Struktur histokima menunjukkan vakuola ini terdiri dari aktifitas asam fospat. Vakuola tubular proksimal merupakan petanda adanya paparan media kontras daripada terjadinya CIN. II Faktor risiko Identifikasi terhadap pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya CIN sangat penting dilakukan. Faktor-faktor risiko tersebut dapat dibagi kedalam dua kelompok yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi (Shoukat dkk, 2010; Mehran dkk, 2006; Barret dkk, 2006; Gami dkk, 2004).

8 Tabel 4. Faktor risiko terjadinya CIN (Shoukat dkk, 2010). II Penyakit ginjal kronik Studi-studi yang ada sebelumnya menyatakan bahwa penyakit ginjal kronik dan peningkatan kreatinin serum merupakan faktor risiko terpenting dalam menimbulkan CIN (Mehran dkk,2006). Insiden CIN pada penderita dengan penyakit ginjal kronik cenderung tinggi berkisar antara 14,8 sampai 55% (Ultramari dkk, 2006). Suatu studi yang dilakukan oleh Gruberg dkk (2001) pada 439 penderita yang menjalani intervensi koroner dengan menggunakan kontras media non-ionic dengan nilai kreatinin serum dasar 1,8% mg/dl, dan didapatkan bahwa CIN terjadi pada sepertiga kasus. Semakin tinggi nilai kreatinin serum awal maka resiko untuk terjadi CIN akan semakin besar, penderita dengan kreatinin serum dasar <1,5 mg/dl resiko CIN hanya < 2% namun pada penderita dengan kreatinin serum dasar >2 mg/dl resiko CIN dapat mencapai hingga 20%, terutama apabila penderita juga menderita DM (Meschi dkk, 2006; Mehran dkk, 2006; Brinker dkk, 2005). Namun nilai kreatinin serum saja tidak cukup untuk mengidentifikasi penderita dengan resiko tinggi terjadinya CIN. Hal ini oleh karena nilai kreatinin serum bervariasi sesuai umur, dipengaruhi massa otot dan gender (Mehran dkk, 2006). Beberapa studi menunjukkan bahwa nilai GFR 60 ml/min/1,73 m2 adalah batas untuk menetukan penderita mana yang dengan risiko tinggi untuk terjadinya CIN, hal ini menyebabkan perhitungan GFR lebih direkomendasikan sebelum

9 terpapar kontras media untuk penilaian CIN (Mehran dkk, 2006). Terdapat hubungan antara nilai kreatinin serum dengan GFR, pada penderita yang menunjukkan nilai kreatinin serum dua kali lipat lebih tinggi biasanya merupakan respon dari penurunan GFR hampir 50% (Finn, 2006). Gambar 3. Hubungan antara nilai GFR dengan kreatinin serum (Finn, 2006). Gambar 4. Resiko terjadinya CIN sesuai dengan stadium PGK (Finn, 2006). II Diabetes mellitus DM merupakan independen prediktor lainnya yang kuat untuk terjadinya CIN setelah intervensi koroner (Gami dkk, 2004). Insiden CIN pada penderita DM berkisar antara 5,7 sampai 29,4% (Mehran dkk, 2006). Studi yang dilakukan oleh Rihal dkk (2002) menyimpulkan bahwa jika fungsi ginjal normal atau terjadi gangguan ringan (kreatinin serum < 2 mg/dl), resiko terjadiya CIN pada penderita DM adalah 4,1% atau dua kali dibandingkan pada non DM.

10 Pada suatu studi, CIN terjadi pada 27% penderita DM dengan nilai kreatinin serum dasar 2,0-4,0 mg/dl dan 81% pada penderita dengan kreatinin serum >4,0 mg/dl (Mehran dkk, 2006). Gambar 5. Pengaruh gangguan ginjal dan DM terhadap insiden terjadinya CIN (Heyman dkk, 2007). Chong dkk (2009) melakukan studi pada penderita DM dengan nilai kreatinin serum normal yang dilakukan intervensi koroner dan didapatkan hasil bahwa pada penderita tersebut terjadi peningkatan resiko untuk timbulnya CIN. Walaupun resiko CIN pada penderita DM dengan fungsi ginjal normal adalah rendah, namun apabila juga disertai dengan PGK resiko terjadinya CIN menjadi tinggi dan sebaiknya tidakan profilaksis CIN dilakukan (Ultramari dkk, 2006). II Usia tua Alasan yang mungkin menyebabkan terjadi insiden CIN yang tinggi pada usia tua adalah perubahan-perubahan oleh usia seperti lebih dominannya vasokonstriksi renal dibandingkan vasodilatasi, sulitnya untuk akses vasular oleh karena pembuluh darah yang berkelok-kelok, kalsifikasi pada pembuluh darah sehingga membutuhkan jumlah kontras yang lebih banyak dan gangguan pada sintesis prostaglandin (Toprak dkk, 2006). Pada suatu studi prospektif terhadap 183 penderita dengan usia tua yaitu >70 tahun yang menjalani intervensi koroner didapatkan 11% menderita CIN (Rich dkk, 1990). Studi lainnya menunjukkan CIN terjadi 17% pada usia >60 tahun dibandingkan 4% pada usia yang lebih muda (Toprak dkk, 2006).

11 II Jenis kelamin Hormon ovarium dapat mempengaruhi sistem renin angiotensin dan aliran darah ginjal (Toprak dkk, 2006). Suatu studi retrospektif yang dilakukan oleh Iakovou dkk (2003) dengan jumlah sampel yang menjalani PCI menyimpulkan bahwa wanita merupakan prediktor independen untuk terjadinya CIN. Begitu juga studi yang dilakukan Ghani dkk (2009) yang menyatakan bahwa wanita merupakan faktor resiko independen untuk terjadi CIN. Chong dkk (2010) menyatakan wanita cenderung untuk memiliki nilai GFR yang lebih rendah dibandinkan pria. Studi yang dilakukan menyimpulkan bahwa nilai kreatinin <1,5 mg/dl merupakan batas wanita menjadi faktor prediktor independen terjadinya CIN. Namun penelitian ini bertolak belakang dengan studi lain yang menyatakan laki-laki merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya CIN. Masih diperlukan studi-studi selanjutnya untuk melihat apakah perempuan merupakan prediktor independen CIN yang sebenarnya (Toprak dkk, 2006). II Hipertensi Hipertensi telah dikategorikan menjadi faktor resiko terjadinya CIN pada beberapa penelitian. Penjelasan hipertensi menjadi faktor resiko CIN adalah gangguan pelepasan mediator-mediator vasoaktif intrarenal seperti sistem rennin angiotensin atau NO. Berkurangnya jumlah nefron ginjal juga juga merupakan predisposisi penderita hipertensi untuk terjadi CIN (Toprak dkk, 2006). Studi yang dilakukan oleh Conen dkk (2006) terhadap 1382 sampel yang menjalani intervensi koroner dengan hipotesa hipertensi sebagai faktor resiko independen terjadinya CIN pada penderita yang menjalani PCI. Dan dari hasil studi didapatkan hasil yang sesuai dengan hipotesa tersebut. II Faktor resiko jantung Congestive heart failure (CHF), infark miokard akut, syok kardiogenik dan penggunaan intra aortic ballon pump (IABP) berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CIN setelah PCI, hal ini terutama akibat seluruh kondisi tersebut menyebabkan penurunan perfusi ginjal (Shoukat dkk, 2010).

12 Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa penurunan left ventricular ejection fraction (LVEF) 49% atau CHF New York Heart Association (NYHA) III atau IV merupakan faktor resiko untuk terjadinya CIN (Schillinger dkk, 2001; Gruberg dkk, 2000). Pada suatu studi yang dilakukan oleh Rihal dkk (2002) menunjukkan bahwa CHF merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya CIN dengan OR 1,53 dan p = 0,007. Selain itu pada suatu studi kohort yang dilakukan oleh Bartholomew dkk (2004) juga mendapatkan hasil yang sama dengan OR 2,2 dan p < 0,0001. II Jumlah kontras dan osmolaritas Jumlah kontras yang digunakan merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi yang utama. Dengan meningkatnya tingkat kesulitan dari prosedur intervensi koroner maka penggunaan jumlah kontras biasanya meningkat, hal ini berhubungan dengan kejadian CIN. Banyak studi yang telah menunjukkan adanya hubungan antara jumlah kontras yang digunakan dengan resiko terjadinya CIN (Shoukat dkk, 2010). McCullough dkk (1997) melakukan studi dan menyimpulkan bahwa pada penderita yang mendapat kontras <100 ml selama prosedur intervensi koroner, resiko untuk terjadi CIN sangat kecil, atau jumlah kontras yang digunakan <5ml/kg/kreatinin serum. Studi yang dilakukan oleh Nikolsky dkk (2004) pada penderita DM yang menjalani intervensi koroner, didapatkan bahwa setiap 100 ml dari jumlah media kontras yang digunakan meningkatkan resiko CIN 30%. Menurut Heyman dkk (2007) dosis maksimal penggunaan media kontras yang dapat menurunkan insiden CIN hingga 90% adalah:

13 Gambar 6. Odds Ratio terjadi CIN berdasarkan jumlah media kontras yang digunakan. (Mehran dkk, 2006). Yoon dkk (2011) melakukan suatu studi untuk menilai rasio dari dosis media kontras (CM-dose) dengan nilai GFR dalam memprediksi terjadinya CIN dan menentukan tingkat mana yang aman dari CM-dose/GFR terhadap prosedur intervensi koroner. Dari studi ini disimpulkan bahwa CM-dose(gram)/GFR <1,42 merupakan metode yang simpel dan berguna sebagai indikator untuk menentukan dosis media kontras yang aman berdasarkan GFR. Metaanalisis yang dilakukan terhadap 31 studi untuk melihat hubungan insiden CIN dan osmolaritas dari media kontras yang digunakan. Didapatkan hasil bahwa insiden CIN pada penggunaan kontras media dengan osmolaritas yang tinggi meningkat secara signifikan pada penderita dengan gangguan ginjal sebelumnya. Namun pada penderita tanpa kelainan ginjal sebelumnya tidak ada perbedaan yang signifikan (Barret dkk, 1993). Studi lain yang dilakukan oleh Rudnick dkk (1995) pada penderita DM yang juga disertai dengan adanya gangguan ginjal yang menjalani intervensi koroner mendukung fakta yang ada sebelumnya bahwa penggunaan media kontras dengan osmolaritas yang lebih rendah dapat menurunkan angka kejadian CIN (Aspelin dkk, 2003). Secara umum, penggunaan media kontras iso-osmolar lebih aman dan dapat menurunkan kejadian CIN pada penderita dengan resiko tinggi untuk terjadi kerusakan ginjal akut setelah intervensi koroner. Sebagai tambahan, efek samping obat terjadi lebih jarang pada penggunaan media kontras yang non-ionic, osmolaritas rendah dibandingkan pada ionic, osmolaritas tinggi (Gami dkk, 2004).

14 Adanya dua atau lebih faktor resiko CIN yang terjadi bersamaan akan meningkatkan angka kejadian CIN (Mehran dkk, 2006; Heyman dkk, 2007). Studi yang dilakukan oleh Rich dkk (1990) menyatakan bahwa CIN terjadi 1,2% pada penderita tanpa faktor resiko, 11,2% pada penderita dengan satu faktor resiko dan >20% pada penderita dengan dua atau lebih faktor resiko. Gambar 7. Insiden CIN meningkat dengan bertambahnya jumlah faktor resiko. (Rich dkk, 1990) Banyak faktor-faktor resiko CIN yang telah diidentifikasi, namun resiko kumulatif kombinasi dari faktor-faktor resiko tersebut belum diketahui. Oleh karena itu Mehran dkk (2004) melakukan suatu studi untuk membuat suatu skor resiko terjadinya CIN yang mudah digunakan. Sampel yang diikutkan dalam penelitian ini berjumlah orang, secara keseluruhan angka kejadian CIN terjadi 13,1%. Pada skor resiko yang rendah ( 5) CIN terjadi 7,5% sedangkan pada skor resiko yang tinggi ( 16) CIN terjadi hingga 57,3%. Angka kejadian CIN meningkat dengan meningkatnya jumlah skor resiko CIN. Skor resiko tersebut juga dihubungkan dengan tindakan dialisis yang diperlukan.

15 Tabel 5. Skor resiko CIN yang dihubungkan dengan tindakan dialisis yang diperlukan.(mehran dkk, 2004) II Pencegahan II Modifikasi faktor-faktor risiko Penggunaan media kontras sebaiknya ditunda pada penderita dengan dehidrasi ataupun pada gagal jantung kongestif sampai dengan status hemodinamiknya stabil apabila memungkinkan. Penggunann obat obatan seperti NSAID, diuretik, ACEI, metformin sebaiknya tidak digunakan dalam jam sebelum diberikan media kontras (Barret dkk, 2006). II Terapi II Terapi yang telah terbukti 1. Hidrasi dengan saline Protokol pemberian hidrasi dengan saline telah terbukti mengurangi risiko terjadinya CIN dan sebaiknya digunakan secara rutin (Goldenberg dkk, 2005). Berdasarkan studi metaanalisis yang mengatakan bahwa insidensi CIN meningkat

16 pada penderita dengan dehidrasi, maka infus saline sebelum pemberian kontras menjadi langkah dalam pencegahan CIN. Selain waktu dan cara hidrasi, faktor lain seperti tonisitas dan komposisi cairan juga memegang peranan penting (Pannu dkk, 2006). Pada saat ini, direkomendasikan untuk pemberian hidrasi cairan dengan 0,45% saline dengan rata-rata 1 ml/kg/jam yang dimulai 1 sampai 2 jam sebelum prosedur hingga 24 jam pada penderita dengan risiko terjadi CIN. Pengawasan yang ketat untuk kondisi kebutuhan cairan sangat diperlukan pada penderita gagal jantung (Panuu dkk, 2006). 2. N-acetylcystein N-acetylcystein (NAC) merupakan bentuk modifikasi dari amino acid cystein dengan berat molekul 163,2. Obat ini digunakan secara oral ataupun intravena, merupakan antioksidan yang dapat melindungi agar tidak terjadi injury pada jaringan yang teroksidasi. Mekanisme pasti NAC mencegah CIN belum jelas, namun oleh karena NAC berfungsi sebagai antioksidan, sehingga selalu diasumsikan mekanisme inilah yang bertanggung jawab sebagai efek protektifnya (Pannu dkk, 2006). NAC mempengaruhi metabolism kreatinin melalui aktivasi kreatinin kinase dan pada subjek sehat yang diberikan NAC, kadar kreatinin serum menurun namun cystatin-c tidak berubah. (Lameire, 2006) NAC sebagai antioksidan telah menunjukkan penurunan angka kejadian CIN dan mortalitas setelah primary PCI. Dosis pemberian NAC ini bervariasi dalam beberapa penelitian, namun yang paling berhasil dicapai dengan dosis 1200 mg secara oral yang dapat diberikan dua kali sehari pada satu hari sebelum dan sesudah tindakan (McCullough, 2008). Metaanalisis yang dilakukan oleh Kelly dkk (2008) menyatakan bahwa NAC secara signifikan menurunkan resiko terjadinya CIN jika dibandingkan dengan pemberian saline saja. II Terapi yang belum terbukti Menurut Gami dkk (2004) terapi yang belum terbukti dapat menurunkan angka kejadian CIN dan masih dalam perdebatan serta masih diperlukan studi-studi untuk membuktikannya adalah : 1. Diuresis paksa

17 2. Hemodialisis 3. Penghambat kanal kalsium 4. Teofilin 5. Prostaglandin E1 6. Dopamin 7. Fenoldopam Tabel 6. Rekomendasi pencegahan terhadap CIN (Wijns dkk, 2010). Tabel 7. Evaluasi strategi terapi untuk menurunkan resiko CIN (Bartorelli dkk, 2007).

18 Gambar 8. Algoritme penatalaksaan pasien yang terpapar media kontras (McCullough, 2008). II. 2. Media Kontras II Jenis - jenis Salah satu metode untuk mengklasifikasikan media kontras yang teriodinasi adalah berdasarkan osmolaritasnya. High osmolar contrast media (HOCM, 2000 mosm/kg H2O) seperti misalnya diatrizoate, iothlamate, ioxithalamate memiliki osmalalitas lima sampai delapan kali lebih tinggi dibandingkan plasma darah. Kontras media ini berkembang pada tahun 1950an dan untuk beberapa tahun menjadi media yang utama dalam prosedur yang menggunakan kontras. Low osmolar contrast media (LOCM, mosm/kg H2O) seperti iohexol, iopamidol dan ioxaglatte yang pertama kali diperkenalkan tahun 1980an, kontras ini masih tetap hiperosmolar dengan osmolalitas dua sampai tiga kali lebih tinggi dibandingkan plasma darah. Dan pada tahun 1990an kontras media yang terbaru yang mulai dikembangkan adalah isoosmolar contrast media (IOCM, 290 mosm/kg H2O) seperti iodixanol yang osmolaritasnya sama dengan plasma darah (McCullough, 2008; Lameire, 2006; Pannu dkk, 2006).

19 Tabel 8. Media kontras yang biasa digunakan (Pannu dkk, 2006). Tabel 9. Modifikasi media kontras termasuk ukuran molekul, komposisi non-ionic dan osmolaritas (Brinker dkk, 2005). II Kejadian trombosis Pada studi invitro, seluruh media kontras memiliki efek antikoagulan. Studi yang dilakukan pada LOCM, ioxaglate memiliki kekuatan antikoagulan yang paling kuat dan iodixanol yang termasuk dalam IOCM memiliki kekuatan antikoagulan yang paling rendah. Dan inkubasi yang dilakukan terhadap media kontras pada darah

20 didapatkan hasil tidak ada aktivasi platelet selama 30 menit dengan ioxaglate, aktivasi platelet terjadi dalam 1 menit dengan iohexol dan aktivasi platelet yang sedang selama 30 menit dengan iodixanol (Corot dkk, 1996). Studi yang hampir sama yang dilakukan oleh Bertrand dkk (2000) menunjukkan hasil agregasi platelet lebih banyak terjadi pada iopamidol dibandingkan dengan iodixanol. Robertson menyatakan bahwa pembentukan clot lebih cepat terjadi setelah pemberian media kontras non-ionic dibandingkan ionic (Dusaj dkk, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa adanya efek nyata dari media kontras terhadap kaskade koagulasi dan aktivasi platelet (Brinker dkk, 2005). II Nefrotoksisitas Beberapa studi yang ada menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nefrotoksisitas yang bermakna secara statistika antara HOCM dan LOCM (Deray dkk, 1996). Namun adanya metaanalisis terhadap 45 studi yang dilakukan oleh Barrett dkk (1993) yang meyimpulkan bahwa LOCM berhubungan dengan insiden CIN yang lebih rendah jika dibandingkan dengan HOCM. Studi yang dilakukan oleh Moore dkk (1992) menunjukkan bahwa penderita dengan adanya gangguan ginjal sebelumnya terjadi peningkatan resiko nefrotoksisitas dengan penggunaan HOCM dibandingkan LOCM. Studi lain yang dilakukan oleh Rudnick dkk (1995) dalam Iohexol Cooperative Study terhadap 1196 penderita yang menjalani intervensi koroner dengan jelas menunjukkan pada penderita dengan riwayat gangguan ginjal sebelumnya atau kombinasi dengan DM secara signifikan terjadi penurunan resiko CIN apabila digunakan LOCM. Secara umum, penggunaan LOCM berhubungan dengan insidensi CIN yang lebih rendah dibandingkan dengan HOCM pada penderita dengan faktor resiko terutama pada gangguan ginjal dan DM. Jika tidak terdapat faktor resiko tersebut, tidak ada perbedaan antara penggunaan antara LOCM dan HOCM (Deray dkk, 1996). Setelah banyak studi-studi yang membandingkan antara penggunaan LOCM dan HOCM, kemudian juga dilakukan studi-studi yang membandingkan antara penggunaan LOCM dan IOCM. Studi yang dilakukan oleh Laskey dkk (2009) menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara iodixanol dan iopamidol baik pada peningkatan kreatinin serum ataupun resiko terjadi CIN. Studi metaanalisis yang dilakukan oleh Reed dkk (2009) terhadap 16 studi untuk membandingkan relatif keamanan ginjal terhadap penggunaan iodixanol

21 dibandingkan LOCM dan didapatkan hasil bahwa penggunaan iodixanol tidak menurunkan resiko terjadinya CIN dan relatif keamanan ginjal antara LOCM dan iodixanol sangat tergantung pada tipe LOCM. Studi metaanalisis yang hampir sama dilakukan From dkk (2010) terhadap 36 studi untuk membandingkan iodixanol dan LOCM menunjukkan bahwa pada penggunaan iodixanol diduga menurunkan resiko CIN namun tidak bermakna secara statistika. Pada pasien-pasien yang menjalani intervensi koroner dengan resiko untuk terjadinya CIN, studi NEPHRIC (Nephrotoxicity in High Risk Patients Study of Isoosmolar and Low-osmolar Non-ionic Contrast Media) menemukan bahwa dibandingkan dengan iohexol, iodixanol berhubungan dengan penurunan serum kretinin dan menurunkan insiden CIN (Aspelin dkk, 2003). Studi yang hampir sama yaitu studi RECOVER (Renal Toxicity Evaluation and Comparison Between Visipaque and Hexabrix In Patients with Renal Insuffciency Undergoing Coronary Angiography) yang melibatkan penderita dengan PGK yang menjalani intervensi koroner, insiden CIN secara signifikan lebih rendah pada iodixanol daripada ioxaglate (Jo dkk, 2006). Dari seluruh studi-studi telah yang dilakukan, lebih dianjurkan untuk menggunakan iodixanol pada penderita dengan resiko tinggi yang akan menjalani intervensi koroner, terutama pada penderita PGK dan DM (Laville, dkk, 2010; Pannu dkk, 2006).

22 II. 3. Kerangka Teori Penyakit Jantung Koroner Intervensi Koroner (Diagnostik atau terapeutik) Gami dkk (2004): tindakan intervensi koroner terus meningkat pertahunnya hingga 341% di AS dan pada tahun 2000, ± orang menjalani intervensi koroner Media Kontras Gami dkk (2004): untuk melakukan intervensi koroner diperlukan media kontras yang mengandung iodine. Singh dkk (2008) : media kontras yang mengandung iodine mempunyai efek toksik terhadap ginjal. Disfungsi endotel Toksisitas tubulus Oksigen radikal bebas Detrenis dkk (2005) : Terdapat gangguan sintesis dan pelepasan NO dan prostaglandin sehingga suplai dan perfusi O2 di medulla menurun menyebabkan terjadi nephropathy. Detrenis dkk (2005) : penurunan resistensi tranepitel, gangguan permeabilitas substan dan gangguan polarisasi membran protein. Wong dkk (2007) : ketidakseimbangan homeostasis kalsium dan apoptosis menimbulkan gangguan pada hemodinamik pada ginjal sehingga dapat terjadi hipoksia. Gleeson dkk (2004) :produksi radikal bebas ginjal meningkat setelah pemberian media kontras. Wong dkk (2007) : stress oksidatif terjadi apabila oksigen radikal bebas melebihi antioksidan CIN

23 II. 4. Kerangka Konsep Intervensi koroner (Diagnostik atau terapeutik) Media kontras Faktor-faktor resiko: Usia > 60 tahun Jenis kelamin Hipertensi Diabetes mellitus Anemia Riwayat MCI CHF Kreatinin serum sebelum PCI GFR < 60 Jumlah kontras Peningkatan kreatinin yang bermakna (CIN)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA i21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nefropati Yang Dicetuskan Oleh Kontras 2.1.1. Definisi Nefropati yang dicetuskan oleh kontras yang terjadi setelah IKP memiliki berbagai definisi tergantung literatur yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. tindakan radiologi. Contrast induced nephropathy didefinisikan sebagai suatu

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. tindakan radiologi. Contrast induced nephropathy didefinisikan sebagai suatu BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Contrast induced nephropathy (CIN) merupakan salah satu komplikasi serius akibat pemakaian zat kontras berbahan dasar iodium yang dipakai dalam tindakan radiologi.

Lebih terperinci

PENINGKATAN KADAR KREATININ SERUM DALAM 24 JAM PERTAMA PASKA INTERVENSI KORONER DI RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN TESIS CUT ARYFA ANDRA NIM:

PENINGKATAN KADAR KREATININ SERUM DALAM 24 JAM PERTAMA PASKA INTERVENSI KORONER DI RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN TESIS CUT ARYFA ANDRA NIM: Kepada Yth : Dibacakan pada : 19 Oktober 2011 PENINGKATAN KADAR KREATININ SERUM DALAM 24 JAM PERTAMA PASKA INTERVENSI KORONER DI RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN TESIS Oleh CUT ARYFA ANDRA NIM: 097115012 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh survei ASNA (ASEAN Neurological Association) di 28 rumah sakit (RS) di seluruh Indonesia, pada penderita

Lebih terperinci

GGA AKIBAT PENGGUNAAN ZAT MEDIA KONTRAS

GGA AKIBAT PENGGUNAAN ZAT MEDIA KONTRAS GGA AKIBAT PENGGUNAAN ZAT MEDIA KONTRAS Abdurrahim Rasyid Lubis, Reny Fahila Divisi Nefrologi dan Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU PENDAHULUAN Gangguan ginjal akut akibat zat media kontras

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Hasil Penelitian Pelaksanaan penelitian tentang korelasi antara kadar asam urat dan kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asam urat telah diidentifikasi lebih dari dua abad yang lalu akan tetapi beberapa aspek patofisiologi dari hiperurisemia tetap belum dipahami dengan baik. Asam urat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Gagal jantung adalah keadaan di mana jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan metabolisme dengan kata lain, diperlukan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia dalam dekade terakhir (2000-2011). Penyakit ini menjadi penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal mempunyai peran yang sangat penting dalam mengaja kesehatan tubuh secara menyeluruh karena ginjal adalah salah satu organ vital dalam tubuh. Ginjal berfungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prevalensi hipertensi atau tekanan darah tinggi di Indonesia cukup tinggi. Selain itu, akibat yang ditimbulkannya menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. atau gabungan keduanya (Majid, 2007). Penyakit jantung dan pembuluh darah

BAB 1 PENDAHULUAN. atau gabungan keduanya (Majid, 2007). Penyakit jantung dan pembuluh darah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh penyempitan pada lumen arteri koroner akibat arterosklerosis, atau spasme, atau gabungan

Lebih terperinci

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya MAPPING CONCEPT PENGATURAN SIRKULASI Salah satu prinsip paling mendasar dari sirkulasi adalah kemampuan setiap jaringan untuk mengatur alirannya sesuai dengan kebutuhan metaboliknya. Terbagi ke dalam pengaturan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang dimanfaatkan sehingga menyebabkan hiperglikemia,

Lebih terperinci

4. HASIL 4.1 Karakteristik pasien gagal jantung akut Universitas Indonesia

4. HASIL 4.1 Karakteristik pasien gagal jantung akut Universitas Indonesia 4. HASIL Sampel penelitian diambil dari data sekunder berdasarkan studi Acute Decompensated Heart Failure Registry (ADHERE) pada bulan Desember 2005 Desember 2006. Jumlah rekam medis yang didapat adalah

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut,

B A B I PENDAHULUAN. negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut, B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyakit kardiovaskular saat ini merupakan penyebab kematian tertinggi di negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut, penyakit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. serum terhadap kejadian acute coronary syndrome (ACS) telah dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. serum terhadap kejadian acute coronary syndrome (ACS) telah dilakukan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Hasil Penelitian Pelaksanaan penelitian tentang hubungan antara kadar asam urat serum terhadap kejadian acute coronary syndrome (ACS) telah dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN penduduk Amerika menderita penyakit gagal jantung kongestif (Brashesrs,

I. PENDAHULUAN penduduk Amerika menderita penyakit gagal jantung kongestif (Brashesrs, I. PENDAHULUAN Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskular masih menduduki peringkat yang tinggi. Menurut data WHO dilaporkan bahwa sekitar 3000 penduduk Amerika menderita penyakit gagal jantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersama dengan manifestasi

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersama dengan manifestasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersama dengan manifestasi sistemik dikarenakan adanya infeksi. 1 Sepsis merupakan masalah kesehatan dunia karena patogenesisnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. ginjal. Dari data American Heart Association tahun 2013 menyebutkan bahwa di

BAB I PENDAHULUAN UKDW. ginjal. Dari data American Heart Association tahun 2013 menyebutkan bahwa di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Hipertensi masih merupakan masalah kesehatan yang menjadi perhatian utama diberbagai negara karena angka kematian yang ditimbulkan masih sangat tinggi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronik yang tidak. umumnya berkembang lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronik yang tidak. umumnya berkembang lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronik yang tidak ditularkan dari orang ke orang. PTM mempunyai durasi yang panjang dan umumnya berkembang lambat. Empat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal stadium akhir, pasien dengan transplantasi ginjal mempunyai harapan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dislipidemia Pada Penyakit Ginjal Kronis Dislipidemia sering terjadi pada pasien-pasien dengan gagal ginjal, bahkan jauh sebelum menjadi gagal ginjal tahap akhir, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah. sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah. sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard akut (IMA) dan merupakan salah satu faktor risiko kematian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 180 juta orang di dunia mengalami diabetes melitus (DM) dan cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya

Lebih terperinci

PATOFISIOLOGI DAN PENATALAKSANAAN NEFROPATI RADIOKONTRAS

PATOFISIOLOGI DAN PENATALAKSANAAN NEFROPATI RADIOKONTRAS Tinjauan pustaka PATOFISIOLOGI DAN PENATALAKSANAAN NEFROPATI RADIOKONTRAS Bagian / SM F Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar email: dr.suwitra@ yahoo.co.id

Lebih terperinci

Pasien DM dengan penyakit arteri koroner dan > 40% LVEF. 22 orang. Cek darah. 15 mg pioglitazone slm 12 mgg. Cek darah

Pasien DM dengan penyakit arteri koroner dan > 40% LVEF. 22 orang. Cek darah. 15 mg pioglitazone slm 12 mgg. Cek darah Pasien DM dengan penyakit arteri koroner dan > 40% LVEF Kriteria eksklusi: Anemia Edema preibial Cr. Serum >1,4 mg/dl R. Ca VU 22 orang Cek darah 15 mg pioglitazone slm 12 mgg Cek darah Diabetes mellitus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diastolik yang di atas normal. Joint National Committee (JNC) 7 tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. diastolik yang di atas normal. Joint National Committee (JNC) 7 tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi merupakan suatu peningkatan tekanan darah sistolik dan/atau diastolik yang di atas normal. Joint National Committee (JNC) 7 tahun 2003 mengklasifikasikan

Lebih terperinci

PROPORSI ANGKA KEJADIAN NEFROPATI DIABETIK PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PENDERITA DIABETES MELITUS TAHUN 2009 DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

PROPORSI ANGKA KEJADIAN NEFROPATI DIABETIK PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PENDERITA DIABETES MELITUS TAHUN 2009 DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI PROPORSI ANGKA KEJADIAN NEFROPATI DIABETIK PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PENDERITA DIABETES MELITUS TAHUN 2009 DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Oleh: PIGUR AGUS MARWANTO J 500 060 047 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab kematian utama di dunia dan merupakan penyebab kematian pertama di Indonesia pada tahun 2002

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit tidak menular (non-communicable disease) yang perlu mendapatkan perhatian karena telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan oksigen miokard. Biasanya disebabkan ruptur plak dengan formasi. trombus pada pembuluh koroner (Zafari, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan oksigen miokard. Biasanya disebabkan ruptur plak dengan formasi. trombus pada pembuluh koroner (Zafari, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infark miokard merupakan perkembangan yang cepat dari nekrosis miokard yang berkepanjangan dikarenakan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri, mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian terdiri atas analisis deskriptif dan analisis data secara statistik, yaitu karakteristik dasar dan hasil analisis antar variabel

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang masih menjadi masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang masih menjadi masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Penyakit ini sangat ditakuti oleh seluruh

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut, BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Gangguan Ginjal Akut pada Pasien Kritis Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut, merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan kadar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2 kelompok. Pada kelompok pertama adalah kelompok pasien yang melakukan Hemodialisa 2 kali/minggu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nefrolitiasis adalah sebuah material solid yang terbentuk di ginjal ketika zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit ini bagian

Lebih terperinci

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. arrhythmias, hypertension, stroke, hyperlipidemia, acute myocardial infarction.

BAB 1 PENDAHULUAN. arrhythmias, hypertension, stroke, hyperlipidemia, acute myocardial infarction. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian pada negara maju antara lain heart failure, ischemic heart disease, acute coronary syndromes, arrhythmias,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah disertai proteinuria pada wanita hamil dengan umur kehamilan 20 minggu

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar oleh karena insidensinya yang semakin meningkat di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. besar oleh karena insidensinya yang semakin meningkat di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) tahap akhir merupakan masalah yang besar oleh karena insidensinya yang semakin meningkat di seluruh dunia juga di Indonesia. (1) Penderita

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi dan malnutrisi, pada saat ini didominasi oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi dan malnutrisi, pada saat ini didominasi oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan di bidang perekonomian sebagai dampak dari pembangunan menyebabkan perubahan gaya hidup seluruh etnis masyarakat dunia. Perubahan gaya hidup menyebabkan perubahan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Hubungan antara..., Eni Indrawati, FK UI, Universitas Indonesia

BAB 4 HASIL. Hubungan antara..., Eni Indrawati, FK UI, Universitas Indonesia 23 BAB 4 HASIL 4.1 Karakteristik Umum Sampel penelitian yang didapat dari studi ADHERE pada bulan Desember 25 26 adalah 188. Dari 188 sampel tersebut, sampel yang dapat digunakan dalam penelitian ini sebesar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, terutama usia dewasa. Insidensi dan prevalensinya meningkat

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, terutama usia dewasa. Insidensi dan prevalensinya meningkat 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Stroke merupakan penyebab kematian ke tiga setelah penyakit jantung dan kanker serta merupakan penyebab kecacatan tertinggi pada manusia, terutama usia dewasa. Insidensi

Lebih terperinci

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi Syok Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh.

Lebih terperinci

kematian sebesar atau 2,99% dari total kematian di Rumah Sakit (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data prevalensi di atas menunjukkan bahwa PGK

kematian sebesar atau 2,99% dari total kematian di Rumah Sakit (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data prevalensi di atas menunjukkan bahwa PGK BAB 1 PENDAHULUAN Gagal ginjal kronik merupakan salah satu penyakit yang berpotensi fatal dan dapat menyebabkan pasien mengalami penurunan kualitas hidup baik kecacatan maupun kematian. Pada penyakit ginjal

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Selama penelitian didapatkan subjek penelitian sebesar 37 penderita kritis yang mengalami hiperbilirubinemia terkonjugasi pada hari ketiga atau lebih (kasus) dan 37 penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu kasus kegawatan dibidang gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan dalam bidang kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. American Heart Association, 2014; Stroke forum, 2015). Secara global, 15 juta

BAB 1 PENDAHULUAN. American Heart Association, 2014; Stroke forum, 2015). Secara global, 15 juta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit jantung koroner dan kanker baik di negara maju maupun negara berkembang. Satu dari 10 kematian disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara-negara yang sedang berkembang, penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, kanker dan depresi akan menjadi penyebab utama kematian dan disabilitas. Hasil

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut,

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut, lxxiii BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut, setelah dialokasikan secara acak 50 penderita masuk kedalam kelompok perlakuan dan 50 penderita lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu sindroma klinis berupa sekumpulan gejala khas iskemik miokardia yang berhubungan dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sakit kritis nondiabetes yang dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sakit kritis nondiabetes yang dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperglikemia sering terjadi pada pasien kritis dari semua usia, baik pada dewasa maupun anak, baik pada pasien diabetes maupun bukan diabetes. Faustino dan Apkon (2005)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit jantung koroner (PJK) yangmemiliki risiko komplikasi serius bahkan kematian penderita. Penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) atau iskemia miokard, adalah penyakit yang ditandai dengan iskemia (suplai darah berkurang) dari otot jantung, biasanya karena penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan 140 mmhg dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Penelitian. dunia karena biaya perawatannya yang besar, kualitas hidup yang buruk dan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Penelitian. dunia karena biaya perawatannya yang besar, kualitas hidup yang buruk dan BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian Gagal jantung masih merupakan beban besar bagi masyarakat di seluruh dunia karena biaya perawatannya yang besar, kualitas hidup yang buruk dan kematian dini

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. A. Karakteristik Responden yang Memengaruhi Tekanan Darah

BAB V PEMBAHASAN. A. Karakteristik Responden yang Memengaruhi Tekanan Darah BAB V PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden yang Memengaruhi Tekanan Darah Beberapa faktor yang memengaruhi tekanan darah antara lain usia, riwayat hipertensi, dan aktivitas atau pekerjaan. Menurut tabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi atau tekanan darah tinggi dikenal luas sebagai penyakit kardiovaskular, merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemukan di masyarakat modern

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. 2. di vena sehingga menimbulkan kenaikan tekanan vena. 3 Penyebab utama gagal

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. 2. di vena sehingga menimbulkan kenaikan tekanan vena. 3 Penyebab utama gagal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal jantung merupakan sindroma klinis yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. 1 Dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002) 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sepsis merupakan suatu sindrom kompleks dan multifaktorial, yang insidensi, morbiditas, dan mortalitasnya sedang meningkat di seluruh belahan dunia. 1 Sindrom klinik

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini 61 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 44 subyek pasien pasca stroke iskemik dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit ginjal adalah salah satu penyebab paling penting dari kematian dan cacat tubuh di banyak negara di seluruh dunia (Guyton & Hall, 1997). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita 12 Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita hiperkolesterolemia yang menderita penyakit jantung koroner, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah besar. dalam bidang obstetri, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah besar. dalam bidang obstetri, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah besar dalam bidang obstetri, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi baik pada ibu maupun bayi. Hipertensi

Lebih terperinci

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM BAB 1 PENDAHULUAN Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu masalah kesehatan yang serius di dunia. Hal ini dikarena penyakit ginjal dapat menyebabkan kematian, kecacatan serta penurunan kualitas hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas.

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan pola hidup menyebabkan berubahnya pola penyakit infeksi dan penyakit rawan gizi ke penyakit degeneratif kronik seperti penyakit jantung yang prevalensinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lebih dari 6,0 mg/dl terdapat pada wanita (Ferri, 2017).

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lebih dari 6,0 mg/dl terdapat pada wanita (Ferri, 2017). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Serum asam urat adalah produk akhir dari metabolisme purin (Liu et al, 2014). Kadar serum asam urat dapat menjadi tinggi tergantung pada purin makanan, pemecahan purin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkembang. Berdasarkan data WHO (2010), setiap tahunya terdapat 10 juta

I. PENDAHULUAN. berkembang. Berdasarkan data WHO (2010), setiap tahunya terdapat 10 juta 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke adalah penyakit multifaktoral dengan berbagai penyebab disertai manifestasi mayor, dan penyebab kecacatan dan kematian di negara-negara berkembang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menghasilkan gambaran bagian-bagian tubuh dengan rinci. Pemeriksaan CT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menghasilkan gambaran bagian-bagian tubuh dengan rinci. Pemeriksaan CT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Computed Tomography (CT) merupakan prosedur pencitraan diagnostik yang menggunakan kombinasi sinar X dan teknologi komputer untuk menghasilkan gambaran bagian-bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. yang menggunakan sinar-x dengan melakukan suntikan bahan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. yang menggunakan sinar-x dengan melakukan suntikan bahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Intravenous Pyelography adalah prosedur pemeriksaan ren, ureter, dan vesica urinearia yang menggunakan sinar-x dengan melakukan suntikan bahan kontras melalui vena.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tekanan darah secara umum dapat diartikan sebagai gaya dorong darah terhadap dinding pembuluh darah arteri. Tekanan darah dicatat dengan dua angka yaitu angka tekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu akibat terjadinya penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh koroner. Penyumbatan atau penyempitan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yang tinggi dan seringkali tidak terdiagnosis, padahal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yang tinggi dan seringkali tidak terdiagnosis, padahal dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kejadian AKI (Acute Kidney Injury) masih mempunyai angka kematian yang tinggi dan seringkali tidak terdiagnosis, padahal dengan menggunakan kriteria diagnosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat dalam darah, lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat dalam darah, lebih dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat dalam darah, lebih dari 7,0 mg/dl pada laki-laki dan lebih dari 5,7 mg/dl darah pada wanita (Soeroso dan Algristian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stroke merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian khusus dan dapat menyerang siapa saja dan kapan saja, tanpa memandang ras, jenis kelamin, atau

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD Dr. MOEWARDI SKRIPSI Diajukan Oleh : ARLIS WICAK KUSUMO J 500060025

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat tajam dalam 10

BAB 1 PENDAHULUAN. Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat tajam dalam 10 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal cukup tinggi. Di Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat tajam dalam 10 tahun. Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan National Kidney Foundation penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan dengan kelainan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012, sepsis didefinisikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012, sepsis didefinisikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sepsis 2.1.1 Definisi Menurut Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012, sepsis didefinisikan sebagai munculnya

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Ginjal Kronik dilaksanakan pada bulan November Maret 2016 dengan

BAB V PEMBAHASAN. Ginjal Kronik dilaksanakan pada bulan November Maret 2016 dengan BAB V PEMBAHASAN Penelitian yang berjudul Hubungan Besar Ultrafiltrasi saat Hemodialisis dengan Kejadian Peningkatan Tekanan Darah Intradialitik pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskular dan penyebab utama end stage renal disease (ESRD). Kematian

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskular dan penyebab utama end stage renal disease (ESRD). Kematian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan ginjal merupakan komplikasi yang serius pada diabetes melitus (DM), diperkirakan terjadi pada sepertiga pasien DM di seluruh dunia. Diabetes melitus dihubungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut data statistik WHO (World Health Organization) penyakit kardiovaskular mengalami pertumbuhan, diprediksi pada tahun 2020 penyakit kronis akan mencapai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan kadar HsCRP dan tekanan darah antara pemberian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu permasalahan dibidang nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali tanpa keluhan

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional)

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional) BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional) terhadap 46 orang responden pasca stroke iskemik dengan diabetes mellitus terhadap retinopati diabetika dan gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal jantung adalah sindroma klinis yang kompleks yang timbul akibat kelainan struktur dan atau fungsi jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel kiri dalam mengisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kejadian AKI baik yang terjadi di masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit

I. PENDAHULUAN. cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tidak menular telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit secara epidemiologi,

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan oleh : Enny Suryanti J

SKRIPSI. Diajukan oleh : Enny Suryanti J PERBEDAAN RERATA KADAR KOLESTEROL ANTARA PENDERITA ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL, INFARK MIOKARD TANPA ST- ELEVASI, DAN INFARK MIOKARD DENGAN ST-ELEVASI PADA SERANGAN AKUT SKRIPSI Diajukan oleh : Enny Suryanti

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Lima belas juta orang di dunia setiap tahunnya terkena serangan

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Lima belas juta orang di dunia setiap tahunnya terkena serangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lima belas juta orang di dunia setiap tahunnya terkena serangan stroke, dimana didapatkan data 6 juta orang meninggal dunia, dan 5 juta lainnya mengalami cacat permanen.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit Non- Communicable Disease (penyakit tidak menular) yang paling sering terjadi di dunia. DM merupakan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan masalah kesehatan yang cukup dominan baik di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Prevalensi Tekanan

Lebih terperinci